Vol.18 No.1 Juni 2021
Jurnal Ilmiah Islamic Resources 50
E-ISSN: 2720-9172
P-ISSN: 1412-3231
PESONA HIJRAH AL-RASUL SEBAGAI ASAS PERADABAN JIHAD DAN
SISTEM PENANGGALAN ISLAM
Oleh:
ABD. SAMAD BASO
Abstrak
Hijratul Rasul adalah simbol keyakinan yang membara dan simbol perbedaan antara yang
hak dan yang batil. Hijratul Rasul terlaksana dengan batil karena nabi dan sahabatnya
memiliki pengetahuan yang komperhensif, yaitu: (a) tahu fiqh dan tahu dakwah; (b) tahu
jihad dan tahu sabar. Oleh karena itu, orang yang memiliki paham yang salah atau salah
paham hanya tahu memvonis kafir atau Islam tanpa adanya upaya membujuk orang kafir
dengan melalui proses dakwah. Miss standing ini menjadikan agama sebagai tujuan bahkan
menjadikan agama sebagai Tuhan. Oleh karena itu, makna jihad yang benar harus sesuai
visi-misi Hijratul Rasul sebagai langkah strategis dalam perjuangan. Karena itu hijrah sangat
diresponi oleh Al-Qur’an dalam QS. Al-Nisa/100 dan dengan itu pula sehingg nama Hijriyah
dijadikan nama dalam sistem penanggalan Islam yang di dalamnya tercakup berbagai
dinamika dalam membangun peradaban kemanusiaan universal.
Kata kunci: pesona hijra, hijaturrasul, sistem penaggalan, asas peradaban, jihad
I. PENDAHULUAN
Hijrah dalam perspektif sejarah disebutkan bahwa seruan ajaran Hijratul Rasul sangat
bertentangan dengan seruan ideologi terorisme. Bukankah Khalifah Umar bin Khattab
mengatakan bahwa peristiwa hijrah merupakan pemisahan antara hak dan yang batil.
Hijratul Rasul merupakan langkah konkret yang harus diresponi karena ide-idenya akan
memperlihatkan misi Islam sebagai rahmatan lil’alamin. Sebagaimana disebutkan QS. Al-
Anbiya/107, yang berbunyi:
ارسلنك الا رحمة ل لعلمين وما
Terjemahan:
Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
seluruh alam (QS. Al-Anbiya/107).
Menghadirkan amal kebajikan dalam kehidupan manusia baik secara individual. Kelompok
maupun pada tingkat masyarakatan dan negara bukanlah sesauatu yang mudah karena dalam
diri manusia dan di sekelilingnya ada kekuatan yang selalu mengajak kepada kejahatan
melalui tarekat-tarekat tertentu yang sungguh sangat terselubung atau licik ( ةجن
ال من
اس dan senantiasa hadir dalam setiap waktu/kesempatan pada segenap aktivitas (والن
manusia. Untuk mencegah musuh tersebut lahirlah perjuangan yang dalam bahasa agama
disebut jihad, yaitu mencurahkan segenap upaya tenaga manusia dengan sungguh-sungguh
agar amal kebajikan itu dapat terwujud dengan baik. Itulah sebabnya jihad dalam agama
Islam menjadi sebuah tema pokok. Bahkan ada kelompok yang menganggap bahwa jihad itu
termasuk rukun Islam.
Apalagi makna mulia seruan jihad oleh kalangan tertentu masih sering disalahpahmi
dengan tafsiran yang lebih sempit, bahkan keluar dari makna subtantif. Kalangan Barat
memahaminya sebagai bentuk sikap kekerasan, kekejaman yang tidak berperikemanusiaan
dan tidak berbudaya. Analogi berpikir ini didukung oleh realitas empiris perilaku
Vol.18 No.1 Juni 2021
Jurnal Ilmiah Islamic Resources 51
E-ISSN: 2720-9172
P-ISSN: 1412-3231
sekelompok Muslim yng melaksanakan aksi teror dan semacamnya dengan dalil jihad.
Keadaan ini merembes pada labelisasi yang bersifat pukul rata mengenai Islam dan orang
Muslim pada satu label yaitu teroris, termasuk dalam konteks ini lembaga pendidikan Islam,
seperti pesantren yang diklaim sebagai kawah candradimuka pembentuk teroris. Labelisasi
ini memang tidak lepas dari peran media Barat yang melakukan berbagai propaganda dan
manipulasi pemberitaan untuk mendiskreditkan Islam. Walaupun pada tataran ril dalam
sejarah Hijratul Rasul Islam tidak hanya memuat nuansa besar juga yang bersifat kecil dan
lembut menjadi ciri khas yang sebenarnya. Karena itu nabi Muhammad setelah perang badar
nabi bersabda kepada sahabatnya bahwa kita baru saja kembali dari jihad kecil menuju jihad
besar, yaitu memerangi hawa nafsu. Dari Hadits ini menunjukkan bahwa jihad merupakan
bentuk usaha keras dalam mencapai perdamaian dan keadilan secara universal sebagaimana
pesan Nabi bahwa bentuk jihad yang paling tinggi adalah perjuangan seseorang dalam
membersihkan hati dari sifat-sifat kotor. Karena itu, para ahli Hadtis dan sejarawan lebih
suka menggunakan gazhwah sedang para penguasa dan elit politik lebih suka menggunakan
kata harb. Dengan demikian jihad tidak murni sebagai prototype perang an sich, namun lebih
sebagai bentuk usaha keras dalam mencapai perdamaian dan keadilan.
Abu El Fadl sebagaimana dikutip Mukhammad Ilyasin, dkk (2016: 79) menyebutkan
jihad sebagai konsep yang bersift mutlak dan tak tertabatas, yakni mempunyai spektrum
makna yang luas dan ini tidak berlaku bagi konsep qital. Jihad adalah sesuatu yang pada
dasarnya baik dan tidak demikian dengan qital. Bahkan sebagian pemikir Muslim
menekankan bahwa jihad yang terbaik adalah melakukan ijtihad kontemporer karena banyak
hal-hal didiamkan oleh Hadits yang mungkin pada zaman nabi memang hal itu belum ril di
masyarakat.
Sejalan dengan itu, pemikir Muslim Prancis, Roger Garudi sebagaimana dikutip oleh
Musthafa Luthfi (2008: 301) menambahkan bahwa politik para pemimpin Israil yang
melanjutkan politik nasionalisme Barat dan imperialism Barat adalah salah satu faktor yang
mendorong munculnya radikalisme di masyarakat Arab.
Paham di atas tidak boleh dibiarkan mengalir lebih jauh ke dalam kehidupan umat
Islam, karena Islam adalah agama yang mulia mengajarkan kedamaian dan kerahmatan bagi
kesemestaan. Dan ini memerlukan jihad mulia untuk memerangi jihad yang salah kaprah
yang mengancam kemapanan kehidupan beragama dalm kontes bermasyarakat dan
berbangsa.
Sejalan dengan itu, Hasan Al-Bannah dalam Luthfi (2008: 266) menegaskan bahwa
ketika tujuan jihad Islam merupakan tujuan paling mulia maka sarana jihad juga merupakan
sarana paling mulia karena Allah merngharamkan agresi dan memberikan petunjuk tentang
nilai kasih saying yang agung. Kaum Muslimin ketika melaksanakan jihad tidak boleh
melampaui batas, seperti berkhianat, mencuri, merampok harta dan melanggar kehormatan.
Mereka saat perang adalah sebaik-baik tentara dan saat damai sebaik-baik orang yang
berdamai.
Di sisi lain, awal sistem penanggalan Miladiyah dikaitkan dengan kelahiran Isa Al-
Masih sehingga awal tahun Miladiyah jatuh pada tanggal 1 Januari. Sedangkan awal sistem
penanggalan Hijriyah dikaitkan dengan peristiwa migrasi Nabi dari Kota Mekah ke Kota
Madinah yang sebelumnya disebut Yastrib. Sehingga awal tahun Hijriyah jatuh pada 1
Muharram karena pada bulan Muharram itu dideklarasikan oleh nabi untuk bermigrasi ke
Madinah sekalipun pelaksanaannya jatuh pada Rabiul Awal.
Kata hijrah itu mengandung dinamika yang sangat luar biasa. Kiyai Sanusi Baco dalam
Forum Utama (1996) menjelaskan bahwa peristiwa hijrah tersebut tidak sekedar terjadinya
pergantian tahun baru yang merupakan kalender umat Islam tetapi lebih dari itu peristiwa
tersebut dapat menjadi peringatan atas hijrahnya Rasulullah sebagai suatu peristiwa sejarah
Vol.18 No.1 Juni 2021
Jurnal Ilmiah Islamic Resources 52
E-ISSN: 2720-9172
P-ISSN: 1412-3231
yang monumental dalam masa awal kemunculan Islam. Para sahabat menetapkan nama
hijrah sebagai sistem penanggalan karena di dalamnya terkandung berbagai dinamika yang
sangat menentukan keberhasilan misi Islam yang pada gilirannya memperbaiki kehidupan
dan peradaban manusia.
Dari uraian di atas muncul masalah, sebagai berikut:
1. Pesona hijrah sebagai asas peradaban dalam Islam.
2. Hijratul Rasul sebagai asas peradaban jihad.
3. Hijratul Rasul sebagai asas sistem penaggalan dalam Islam.
II. PEMBAHASAN
A. Pesona Hijrah sebagai Asas Peradaban dalam Islam
Hijrah secara logawi/umum berarti perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain.
Kata hijrah berasal dari kata hajarah yuhajiru muhajiratun dalam ungkapan lain hijrah
berarti keluar dari satu kampung ke kampung yang lain (hajara minhu ila Biladin akhar).
Menurut Isa Anshari sebagaimana dikutip oleh Muhammad Hasan, hijrah berarti
meniggalkan pusat atau markas perjuangan (Mekah) ke tempat yang lebih strategis
(Madinah) untuk meneruskan perjuangan. Maka hijrah dalam pengertian ini adalah bagian
integral dari politik Islam untuk mencari taktik menyusun kekuatan baru menuju kesuksesan
dalam mewujudkan cita-cita perjuangan.
Hijrah dalam Islam tidak semata-mata berkonotasi mobilitas dan transformasi fisik
dari satu tempat ke tempat yang lain. Hijrah juga bisa berkonotasi non-fisik, yaitu
bertransformasi dari keadaan buruk menuju ke keadaan yang lebih, dari zona tidak aman dan
tidak nyaman ke zona yang lebih aman dan nyaman.
Perpindahan nabi dari Mekah Muqarramah ke Madinah Munawwar atas dasar perintah
Ilahi untuk membangun suatu daerah/negara yang berpatokan pada wahyu Allah. Untuk
menjabarkan prinsip rahmatan lil’alamin sehingga pada gilirannya berdiri daulah yang
menegakkan kebenaran memberantas kebatilan, menumbuhkembangkan sifat tolong-
menolong antara sesama manusia, menghapuskan bentuk penindasan dan diskriminasi di
tengah-tengah masyarakat.
Hijratul Rasul dari Mekah Muqarramah ke Madinatul Munawarrah tidak pernah
dibayangkan oleh ahli strategi bahwa hijratulrasul akan berhasil karena dihalau oleh pakar-
pakar strategi dari kaum Arab jahiliyah trutuma Abu Sufyan, Abu Jahal, Abu Lahab dan
lain-lain. Namun pada akhirnya Hijratul Rasul membuahkan peradaban dalam sejarah bahwa
kodrat Allah mengatasi semua kodrat, iradah Allah mengatasi seluruh iradah kaum
musyrikin untuk melakukan penindasan terhadap Nabi dan umatnya. Sebagaimana firman
Allah dalam QS. Al-Anfal/8: 30, yang berbunyi:
والل خير الماكرين واذ يمكر بك الاذين كفروا ليثبتوك او يقتلوك او يخرجوك ويمكرون ويمكر الل
Terjemahan:
Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan tipu daya terhadapmu
(Muhammad) untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau
mengusirmu. Mereka membuat tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Allah
adalah sebaik-baik pembalas tipu daya (QS. Al-Anfal/8: 30).
Dalm ayat ini Allah memperlihatkan kodratNya. Orang yang selalu bersama degan
Allah pasti Allah akan memberikan pertolongan bila diperlukan. Kasus ini terbukti pada diri
Nabi. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Yasin/36: 9, yang berbunyi:
من خلفهم سدا فاغشينهم فهم ل يبصرون وجعلنا من بين ايديهم سدا وا
Vol.18 No.1 Juni 2021
Jurnal Ilmiah Islamic Resources 53
E-ISSN: 2720-9172
P-ISSN: 1412-3231
Terjemahan:
Dan Kami jadikan di hadapan mereka sekat (dinding) dan di belakang mereka juga sekat,
dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat (QS. Yasin/36: 9).
Dalam Hadits Rasulullah disebutkan dua macam hijrah, yaitu:
1. Berhijrah menghindari kejahatan, artinya orang yang hijrah yang sebenarnya ialah
orang yang meninggalkan semua yang dilarang oleh Allah SWT. Karena itu, Umar bin
Khattab sebagaimana dikutip oleh Muhammad Hasan (1996: 33) menegaskan bahwa
hijrah ialah pemisah antara yang hak dan yang batil.
2. Berhijrah dengan niat lillahi ta’ala untuk menegakkn agama Allah yang dibawa oleh
RasulNya kapan dan di mana saja terjadi penindasan terhadap kegiatan keagamaan.
Hal ini sesuai dengan uraian Umar bin Khattab sebagiaman dikutip oleh Muhammad
Hasan (1996: 33) yang artinya barang siapa yang berhijrah kepada Allah dan RasulNya
maka hijrahnya itu kepada Allah dan RasulNya.
Dua macam hijrah tersebut di atas itulah hijrah yang dianjurkan oleh Allah dan
RasulNya dan inilah hijrah yang bernilai ibadah. Selain dua hijrah di atas tidaklah dinilai
sebagai ibadah, seperti hijrah karena ingin kawin dengan wanita tertentu atau karena bisnis
terntentu.
Betapa penting berhijrah hingga fuqaha menyebutnya sebagai fardhu ‘ain (individu)
sedangkan dari kalangan ahli ilmu kalam memandang bahwa hijrah itu adalah sendi
keimanan karena hijrah itu menentukan siapa yang beriman dan siapa tidak beriman.
QS. Al-Nisa/97-100 menunjujkkan bahwa pelaku hijrah dipilah 4 taraf, yaitu
1. Mereka yang berhijrah dan sampai ke negeri tujuan (Madinah)
2. Mereka yang berhijrah tapi gagal di tengah jalan
3. Mereka yang bermint hijrah tapi tidak jadi karena banyak alasan
4. Mereka yang tidak hijrah dan memang tidak berminat
Untuk kelompok pertama mereka disebut Muhajirin dan dijanjikan surga. Begitupula
kelompok yang kedua. Sedang kelompok yang ketiga posisinya masih diperdebatkan oleh
mufassirin. Sedangkan kelompok yang keempat digolongkan sebagai kafir.
Begitu pentingnya berhijrah sehingga hijrah dianggap sebagai keniscayaan yang tidak
bisa ditawar. Hijrah adalah syariat yang eksis sejak zaman Rasulullah hingga akhir zaman.
Karena itu, Said Aqil Siradj dalam Risalah NU (2010: 54-55) berpendapat bahwa pesan
tentang transmigrasi bisa dikaitkan dari ajaran hijrah yang muncul di awal kedatangan Islam
di jazirah Arab. Hijrah merupakan perintah langsung dari Allah kepada umat Islam
meninggalkan Mekah menuju Madinah. Dari sini dapat dicatat bahwa titik awal kesuksesan
Islam dalam semua aspek kehidupan yang pada akhirnya dalam beberapa dasawarsa mampu
menawarkan peradaban cosmopolitan.
Nama-nama bulan yang digunakan sesuai dengan nama bulan yang dikenal dengan
bangsa Arab sebelum Islam, yaitu Muharram, Safar, Rabiul Awal, dst. sampai Dzulhajji
sebagai bulan ke-12. Nama bulan ini menurut riwayat ditetapkan masa hidup Kilab bin
Murrah (kakek buyut nabi Muhammad SAW sekitar 2 abad sebelum datangnya Islam.
Nama-nama bulan dalam tahun Hijriyah terkait dengan alam atau kultur Arab dalam bulan
yang bersangkutan, seperti bulan Muharram disebut Muharram karena haram bagi mereka
untuk peperangan. Disebut Safar karena Kota Mekah kosong/sepi jika ada peperangan.
Begitulah seterusnya.
Yang paling mempesona dalam peristiwa Hijratul Rasul adalah pernyataan Rasulullah
SAW yang menegaskan (memanggil Kota Mekah): Wahai kota kelahiranku aku akan
meniggalkanmu bukan berarti aku membencimu (aku tetap mencintaimu akan tetapi aku
akan meninggalkanmu karena risalahku dibenci (visi-misiku dibenci oleh pendudkmu). Dari
Vol.18 No.1 Juni 2021
Jurnal Ilmiah Islamic Resources 54
E-ISSN: 2720-9172
P-ISSN: 1412-3231
pernyataan Rasul ini menunjukkan kebenaran satu pernyataan bahwa mencintai tanah air
(tumpa darah) adalah bagain dari fitrah manusia.
B. Hijratul Rasul sebagai Asas Peradaban Jihad
Konsep hijrah nabi (Hijrah Al-Rasul) tidak identik dengan perjalanan eksodus yang
mengisyaratkan kekalahan dan kepasrahan. Karena itu, hijrah dalam Islam lebih tepat
diartikan dalam pengertian bertransformasi dari keadaan buruk menuju ke keadaan yang
lebih baik, atau dari zona tidak aman dan tidak nyaman ke zona yang lebih nayaman dan
aman. Spirit atau semangat hijrah, sesungguhnya tidak lain dari penciptaan situasi yang lebih
kondusif untuk menjalankan fungsi dan kapasitas kita sebagai hamba dan khalifah di muka
bumi. Jika di suatu tempat kita sulit mewujudlkan kedua fungsi dan peran yang diamanahkan
oleh Allah maka di situ ada tantangan untuk hijrah. Akan tetapi jika tantangan itu tidak
muncul maka tidak ada keharusan untuk hijrah.
Jihad dalam Al-Qur’an itu hanya mempunyai satu tujuan, yaitu membumikan nilai-
nilai kebenaran dan kemanusiaan universal. Jihad itu tujuannya tidak lain dari strategi
perdamaian. Benar ungkapan yang disampaikan oleh Ibnu Taymiyyah dalam Luthfi (2008:
266-267) bahwa jihad disyari’atkan bukan untuk menyebarluaskan Islam tetapi untuk
melindunginya dari perbuatan dzalim. Karena itu, umat Islam semakin yakin bahwa tujuan
tudingan itu adalah untuk memperburuk Islam secara umum dan materi jihad pada
khususnya, yaitu untuk mengumumkan kepada masyarakat internasional bahwa Islam
adalah agama kekerasan dan terorisme. Untuk memaksa orang masuk Islam sangat
bertentangan dengan Al-Qur’an pada QS. Al-Baqarah/2-256, yang berbunyi:
فمن ياكفر بالطااغوت ويؤمن بالل شد من الغي ين قد تابيان الر فقد استمسك بالعروة الوثقى ل انفصام ل اكراه فى الد
عليم ميع لها والل س
Terjemahan:
Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan)
antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan
beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat
yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui (QS. Al-Baqarah/2-256).
Jihad ala teroris telah membajak kesucian/ dan kemuliaan jihad sebagai pintu untuk
melakukan sesuatu yang justru menodai ajaran agama itu sendiri. Oleh karena itu,
gerakannya telah menaburkan benih-benih perpecahan dan mengobarkan sifat-sifat
permusuhan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, merusak nilai-nilai kemanusiaan, nilai
syari’at dan budaya peradaban yang Islami sebagai rahmatanlilal’alamin, sebagaimana yang
tertuang dalam QS. Al-Anbiya/21: 107 yang berbunyi:
وما ارسلنك الا رحمة ل لعلمين
Terjemahan:
Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
seluruh alam (QS. Al-Anbiya/21: 107).
Dari sini dapat dipastikan bahwa jihad dari kalangan teroris adalah paham jihad yang
salah kaprah bahkan sangat bertentangan dengan makna jihad qur’ani, yakni jihad yang
berkonotasi ajaran Islam yang utuh.
Substansi jiwa qur’ani pada hakekatnya adalah penjernihan potensi insani dari hal
yang tercela dengan melakukan hal yang mulia. Jika kita merujuk secara anatomi di
syari’atkannya jihad ini dapat dikatakan bahwa sesungguhnya jihad hadir di tengah-tengah
umat Islam karena didorong oleh kesadaran keagamaan yang tinggi dan penegakan ajaran
Vol.18 No.1 Juni 2021
Jurnal Ilmiah Islamic Resources 55
E-ISSN: 2720-9172
P-ISSN: 1412-3231
Islam yang subtantif (aqidah, syari’at dan ahlakul karimah). Bukan menebarkan permusuhan
dan tindakan yang tidak manusiawi yang pada ujung-ujungnya memicu lahirnya perpecahan
yang mengancam keutuhan sebuah negara yang berdaulat.
Sejatinya jihad qur’ani bangkit karena semangat kritis yang menekankan pada 3 hal
pokok keberagamaan, yaitu:
1. Prinsip visioner (yang tidak bisa dilanggar) tanpa harus meninggalkan kulutur
peradaban masyarakat Islam dalam artian jihad itu menekankan pada kemajuan,
dinamisme dan perubahan. Bukan ajaran yang meruntuhkan peradaban, bukan pula
ajaran yang tidak peka terhadap perubahan zaman. Pemikiran jihad qur’ani harus
menjadi kekuatan utuh yang mampu memberikan panduan atas perubahan zaman yang
terus bergulat/mengalir.
2. Terbuka dengan tidak mengorbankan jati diri keumatan.
Prinsip terbuka adalah bahwa ajaran jihad qur’ani harus terbuka terhadap paham lain
dengan mengedepankan akhlaqul karimah, namun juga tetap menjaga komitmen nilai luhur
yang ada pada dirinya. Mengapresiasi dan bersikap toleran terhadap kebenaran yang lain.
Dalam artian akan menjadikan dirinya duduk bersanding dengan pihak lain (saling memberi
masukan serta mengevaluasi dalam bingkai-bingkai syar’i untuk menciptakan langkah yang
lebih bagus di masa depan. Jadi bukan memfitnah, menciderai antara satu golongan dengan
golongan yang lain. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
Yang intinya menegaskan bahwa kezhaliman itu lebih menyakitkan daripada
pembunuhan.
3. Memihak tanpa kehilangan objektivitas.
Prinsip pemihakan dalam jihad qur’ani adalah sikap yang berani menentang dan
melawan kezhaliman/ketidakadilan. Oleh karena itu, pendekatan dalam menerjemahkan
ajaran Islam harus diberikan tekanan pada dimensi pemihakan terhadap kemanusiaan dan
problem sosial secara memadai. Dengan demikian pembacaan terhadapa nasionlisme
melalui pendekatan jihad mengarah kepada proses terciptanya pemikiran peradaban yang
dapat mengangkat harkat dan martabat anak bangsanya serta pencintraan yang lebih simpati
(rahmatan lil’alamin). Jihad diposisikan sebagai sumber mata air peradaban denan penuh
nilai uluhiyah, syar’iyah dan nilaii kesemestaan. Inilah yang menjadi harapan untuk
mengantar manusia menikmati kebahagiaan-dunia akhirat.
C. Hijratul Rasul sebagai Asas Sistem Penaggalan dalam Islam
Hijrah menjadi populer karena dipilih sebagai nama penanggalan dalam dunia Islam.
Asa-usul hijrah diambil dari momentum perpindahan Nabi Muhammad dari Mekkah ke
Yastrib yang kemudian diubah menjadi Madinah.
Terpilihanya peristiwa hijrah sebagai momentum penanggalan Islam karena beberapa
konsideran, antara lain: pertama, baru terwujud setelah ke Madinah; kedua, umat Islam
sepanjang zaman diharapakan selalu memiliki semangat hijrah, yakni semangat dinamis
yang tidak terpaku pada suatu keadaan dan ingin berhijrah menuju kondisi yang lebih baik;
ketiga, dan inilah yang paling utama karena Al-Qur’an sangat banyak memberi penghargaan
kepada orang-orang yang berhijrah, sperti yang ditagaskan oleh QS. Al-Nisa/4: 100, yang
berbunyi:
Vol.18 No.1 Juni 2021
Jurnal Ilmiah Islamic Resources 56
E-ISSN: 2720-9172
P-ISSN: 1412-3231
سعة ومن ياخرج من بيته مهاجرا الى الل ورسوله ثما ۞ ومن يهاجر في سبيل الل يجد فى الرض مراغما كثيرا وا
حيما وت فقد وقع يدركه الم اجره على الل وكان الل غفورا را
Terjemahan:
Dan barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di bumi ini
tempat hijrah yang luas dan (rezeki) yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan
maksud berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum
sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. Dan
Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (QS. Al-Nisa/4: 100).
Sedang penanggalan Hijriyah menggunakan jasa rembulan sehingga disebut
penanggalan Qamariyah. Penanggalan Miladiyah yang berawal dari kelahiran Isa Al-Masih
sehingga disebut penanggal Masehi sekalipun sebenarnya orang Masehi tidak memiliki
penangalan. Yang memiliki penanggalan adalah bangsa Romawi. Penanggalan miladiyah
menggunakan jasa matahari sehingga disebut penanggalan Syamsiyah.
Penggunaan jasa matahari dan jasa bulan dalam sistem penanggalan sangat diresponi
oleh Al-Qur’an pada QS. Al-Kahfi/18: 25, yang berbunyi:
ولبثوا في كهفهم ثلث مائة سنين وازدادوا تسعا
Terjemahan:
Dan mereka tinggal dalam gua selama tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (QS.
Al-Kahfi/18: 25).
Memperingati tahun baru Hijriyah merupakan gejala baru dalam peradaban umat Islam
Indonesia. Sekalipun demikian peringatan tahun baru Hijriyah belum semarak dengan
peringatan Maulid, Isra Mi’raj, Nuzhul Qur’an dan sebagainya.
Tahun baru Hijriyah disebut juga tahun baru Islam yang dasarnya adalah peristiwa
hijrahnya nabi dari kota kelahirannya ke Kota Yastrib yang kemudian diubah namanya
menjadi Madinatul Munawwarah (kota yang bercahaya). Menurut Ridwan Abdul Salam
sebagaimana dikutip oleh Muhammad Hasan (1996: 34) bahwa tahun hijrah nabi dijadikan
permulaan perhitungan tahun Islam karena peristiwa itu merupakan kejadian yang amat
mempesona dalam Islam. Penanggalan tahun hijrah yang bertolak mulai dari bulan Asyura
(Muharram) dan berakhir pada bulan Dzulhijjah.
Dalam buku Qishashul Anbiya sebagaimana dikutip oleh Muhammad Hasan (1996:
34) tertulis bahwa hari hijrah nabi terjadi pada tahun 16 Juli 622 M. dipandang oleh umat
Islam sebagai permulaan orde Islam yng telah mulai mengalahkan orde jahiliyah. Karena
itu, peristiwa yang amat penting ini dijadikan oleh kaum Muslimin menjadi awal perhitungan
al-manak Islam yang sampai sekarang terkenal dengan nama tahun Hijriyah yang
dideklarasikan oleh Khalifah Umar bin Khattab.
Kalender Hijriyah dalam perspektif sejarah menurut Al-Biruni sebagaimana dikutip
oleh Rahim Yunus (1996 : 11) munculnya ide tahun Hijriyah, berawal dari Abu Musa Al-
Asy’ari ketika bersurat kepada khalifah Umar mengatakan bahwa Khalifah Umar menulis
surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari tanpa tanggal. Mengapa hal itu terjadi? Umar bin Khattab
setelah berembuk dengan pembantu-pembantu khalifah menerima usul dari Ali bin Abi
Thalib untuk menetapkan hijrah nabi sebagai tahun pertama Islam. Alasan Ali mengusulkan
hal itu, karena hijrah nabi merupakan awal nabi Muhammad resmi memegang kekuasaan.
Kalender Hijriyah yang menggunakan jasa rembulan disebabkan oleh beberapa
kemungkinan, yaitu;
1. Tahun Qamariyah erat kaitannya dengan pelaksanaan ibadah dalam Islam, seperti haji
dan saum.
Vol.18 No.1 Juni 2021
Jurnal Ilmiah Islamic Resources 57
E-ISSN: 2720-9172
P-ISSN: 1412-3231
2. Al-Qur’an mengakui penetapan 12 bulan yang digunakan sebelum datangnya Nabi
Muhammad SAW. Mengenai penetapan bulan Muharram sebagai bulan pertama,
Muharram diperkirakan dua alasan, yaitu:
a. Karena Nabi Muhhamad SAW mendeklarasikan maksud hijrah pada bulan
Muharram dan sampai Yastrib pada tanggal 8 atau 12 Rabiul Awal.
b. Karena bulan Muharram adalah bulan pertama mereka melakukan bisnis setelah
bulan haji. Pada bulan ini mereka berkumpul di Mekah dalam artian penemaan
Muharram sebagai bulan pertama berkaitan dengan aktivitas dengan umat Islam
dalam mencari karunia Tuhan di muka bumi.
Di sisi lain, Nasaruddin Umar menjelaskan (bahwa kalender hijrah dinamai hijrah
karena kata hijrah sangat diresponi oleh Al-Qur’an QS. Al-Nisa /4: 100, yang berbunyi:
سعة ومن ياخرج من بيته مهاجرا الى الل ورسوله ثما ۞ ومن يهاجر في سبيل الل يجد فى الرض مراغما ك ثيرا وا
حيما يدركه الموت فقد وقع اجره على الل وكان الل غفورا را
Terjemahan:
Dan barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di bumi ini
tempat hijrah yang luas dan (rezeki) yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan
maksud berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum
sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. Dan
Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (QS. Al-Nisa/4: 100).
Artinya kata hijrah itu mengandung dinamika yang sangat luar biasa. Kiyai Sanusi
Baco dalam Forum Utama (1996) menjelaskan bahwa peristiwa hijrah tersebut tidak sekedar
terjadinya pergantian tahun baru yang merupakan kalender umat Islam tetapi lebih dari itu
peristiwa tersebut dapat menjadi peringatan atas hijrahnya Rasulullah sebagai suatu
peristiwa sejarah yang monumental dalam masa awal kemunculan Islam. Pemikir Islam
menetapkan hijrah tersebut merupakan suatu strategi perjuangan Rasullullah SAW yang
sangat menentukan keberhasilan misi Islam yang pada gilirannya memperbaiki kehidupan
dan peradaban manusia.
Karena itu, sebaiknya umat Islam tahu nama-nama bulan yang digunakan dalam
kalender Hijriyah. Penanggalan Hijriyah (Qamariyah) bertolak dari lamanya bulan
mengelilingi bumi (29,5 hari) itulah sebabnya sehingga setiap bergantian antara 30 dengan
29 hari. Lewat sistem ini menunjukkan bahwa penanggalan Qamariyah semakin tepat karena
awal dan akhir bulan selalu dimulai dari terbenamnya matahari di ufuk barat dan bulan baru
dihitung jika hilal sudah tepat di horizon barat baik ditetapkan melalui rukyat maupun
melalui hizab. Tanggal yang ditetapkan oleh penanggalan Qamariyah tidak akan berbeda
dari putaran bulan mengelilingi bumi yang sesungguhnya. Sekalipun diakui bahwa kadang
terjadi kekeliruan tetapi kekeliruan itu tidak akan berlarut-larut seperti yang terjadi pada
sistem penanggalan Syamsiyah tanggal 15 Oktober 1582 M tidak disusul dengan tanggal 16
Oktober 1582 M, melainkan mundur 10 hari ke belakang menjadi tanggal 5 Oktober 1582
M. Perhitungan penanggalan Qamariyah sanngat dihitung oleh dirinya sendiri sebagaimana
penampakan bulan kepada manusia. Keistimewaan lain dari penanggalan Qamariyah karena
penanggalan Qamariyah dimulai dari malam hari artinya malam lebih dahulu daripada siang.
Penamaan bulan-bulan dalam sistem penanggalan Qamariyah mengandung makna
aksiologis yang bebas dari kesan sirik mesti begitu sistem penanggalan masehi tidak dapat
disebut sistem kafir dan Hijriyah sebagai sistem Islam karena kekufuran dan keimanan
berada pada keyakinan bukan berada pada penamaan. Dari permasalahan penanggalan di
atas juga memunculkan pertanyaan mengapa sistem kalender Hijriyah yang mengunggulkan
perhitungan lamanya bulan mengelilingi bumi tidak diperaktekkan dalam penentuan
Vol.18 No.1 Juni 2021
Jurnal Ilmiah Islamic Resources 58
E-ISSN: 2720-9172
P-ISSN: 1412-3231
administrasi dalam pergaulan. Sesungguhnya sistem penanggalan Qamariyah sudah dikenal
sejak dahulu ada yang berpendapat sejak Nabi Ibrahim namun tidak punya perhitungan
definitive tentang tahun keberapa. Tahun hanya ditandai yang terkait dengan peristiwa besar
Tahun Gajah ketika raja Abraham menyerbu Ka’bah bersama dengan pasukan gajahnya.
Seperti itulah tahun Hijriyah lahir mengambil momen hijrah Rasulullah dari Mekah ke
Madina. Jadi sistem penanggalan Hijriyah yang dimulai dari Muharram diakhiri dengan
Zulhajji adalah kreasi para sahabat terutama Umar bin Khattab dalam artian Rasulullah
sendiri tidak tahu menahu dan tidak memakai simbol hijrah sebagai pedoman tahun. Namun
demikian sistem penaggalan Qamariyah tidak dapat dijadikan patokan, seperti kalender hari
efekttif sekolah, gajian dan sebagainya. Mungkin di satu sisi menguntungkan pegawai, guru
dan rakyat kecil karena gajian diterima lebih cepat. Tetapi disatu sisi kasihan orang yang
punya kredit. Di samping itu, juga merepotkan dan bisa berbahaya karena setiap bulan ada
orang yang berkelahi karena menunggu keputusan isbat hilal. Ada yang tanggal 1 hari ini,
ada yang tanggal 1 besok.
Sekalipun demikian Kiyai Sanusi Baco (1996: 5-6) menegaskan bahwa Al-Qur’an
sendiri telah menetapkan bahwa perjalanan bulan sabit mempunyai arti yang sangat penting
dalam menghitung aktivitas manusia karena itu pergantian tahun baru Hijriyah yang
didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi sangatlah berarti bagi kehidupan
manusi. Beliau mengutip firman Allah dalam QS. Al-Baqarah/2: 189, yang berbunyi:
وليس البر بان تأتوا البيوت من ظهورها ولكنا البرا من اتاقى ۞ يسـلونك عن الهلاة قل هي مواقيت للنااس والحج
وأتوا البيوت من ابوابها واتاقوا الل لعلاكم تفلحون
Terjemahan:
Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, “Itu adalah
(penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji.” Dan bukanlah suatu kebajikan memasuki
rumah dari atasnya, tetapi kebajikan adalah (kebajikan) orang yang bertakwa. Masukilah
rumah-rumah dari pintu-pintunya, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung (QS.
Al-Baqarah/2: 189).
Di sisi lain KH. Abdul Malik menegaskan bahwa tahun baru Hijriyah yang dikatikan
dengan peristiwa hijrahnya Rasulullah dari Mekah ke Madinah bertepatan pada bulan
Muharram. Bulan Muharram ini dijadikan oleh masyarakat Arab/Islam dengan bulan
kebaikan dengan bulan perubahan dari yang negatif ke yang positif. Karena itu menurut
Kiyai Abdul Malik pergantian tahun baru Hijriyah adalah saat yang paling tepat agar umat
Islam berketetapan hati melakukan perubahan ke arah yang lebih baik khususnya yang
terkait dengan perilaku agar sikap dan perilakunya sejalan dengan tuntunan ajaran hijrah.
Jadi secara historis bulan Muharram adalah bulan yang sebaiknya dijadikan titik tolak dalam
melakukan aktivitas. Namun, dalam kenyataanya banyak orang yang mengaku Muslim
tetapi menganggap sebagai bulan yang sial sehingga dia tabu memulai pekerjaannya pada
hari-hari 1 Muharram, misalnya tahun ini 1 Muharram pada hari Senin, setiap hari Senin
pada tahun itu dia pantang memulai kegiatan seperti hari pernikahan dan sebagainya.
3. Penanggalan Qamariyah perhitungannya tidak akan mengalami penyimpangan, seperti
dalam penanggalan Syamsiyah.
Di dalam sistem penanggalan Syamsiyah ada beberapa kerancuan di dalamnya.
Kerancuan tersebut dapat dilihat dalam sejarah sistem penanggalan Syamsiyah di bawah ini:
Putaran bumi yang tepat dalam edarannya mengelilingi matahari adalah 365 hari 5 jam
48 menit 46 detik per tahun. Bilangan yang tidak bulat ini pasti sangat sukar untuk dijadikan
kalender. Mungkin karena kesukaran inilah Jullius Caesar (Dictator Romawi 47 SM)
menginstruksikan supaya setiap tahun jumlah harinya ditetapkan menjadi 365 hari. Adapun
Vol.18 No.1 Juni 2021
Jurnal Ilmiah Islamic Resources 59
E-ISSN: 2720-9172
P-ISSN: 1412-3231
kelebihan 5 jam, 48 menit, 46 detik dibulatkan menjadi 6 jam (1/4 hari). Tiap-tiap tahun
yang keempat jumlah untuk bulan Februari ditetapkan menjadi 29 (bukan 28), dalam arti
setiap tahun keempat jumlah harinya ditetapkan menjadi 366 hari.
Pembulatan waktu 5 jam 48 menit 46 detik menjadi 6 jam maka perhitungan
penanggalan romawi memiliki kelebihan 11 menit pertahun. Penanggalan romawi lebih
cepat mendahului 11 menit daripada peredaran bumi yang sesungguhnya.
Kelebihan 11 menit tersebut dalam waktu 4 tahun akan menajdi ¾ jam, atau dalam
waktu satu abad akan menjadi ¾ hari, sehingga pada abad XVI perhitungan tahun/kalender
ini mendahului 10 hari daripada yang sesungguhnya. Melihat kepincangan ini, sehingga Paus
Gregrorius XIII membuat penetapan tanggal 15 Oktober 1582 M. tidak disusul dengan
tanggal 16 Oktober 1582M mundur 10 hari kebelakang menjadi tanggal 1582 M., melainkan
mundur 10 hari ke belakang menajdi tanggal 5 Oktober 1582 M.
Bertolak dari ketentuan Paus Gregrorius XIII di atas maka tanggal 5 Oktober 1982
yang lalu, seharusnya tidak disusul dengan tanggal 16 Oktober 1982 M., melainkan harus
diundurkan ke belakang menjadi tanggal 2 Oktober 1982 M (mundur 3 hari).
Menyimak sistem penanggalan yang disinyalir oleh Julius Caesar dan Paus Gregrorius
XIII (idola orang Masehi) di atas, menurut penulis sangat menyulitkan dalam menetapkan
tanggal yang sesungguhnya, di samping karena landasan teorinya tidak dapat dibuat dengan
tepat menurut yang sesungguhnya, juga karena jumlah harinya setiap bulan tidak dapat
dokongkretkan (tidak bisa disaksikan dengan mata kepala). Berbeda dengan penanggalan
Qamariyah, jumlah harinya dapat disaksikan dengan mata kepala. Lewat kerancuan di atas
sering menimbulkan pertanyaan “Apakah hari Kamis yang ditetapkan pada tanggal 11 Maret
2021 benar-benar jatuh pada tanggal yang sesungguhnya?” Pertanyaan ini wajar karena
dalam sistem penanggalan Syamsiyah banyak hal yang membingungkan sehingga
perhitungannya menyimpang dari yang sesungguhnya (perhitungannya tidak dapat
dipertanggungjawabkan sebagaimana yang dikehendaki oleh penanggalan Syamsiyah yang
sesungguhnya bertolak dari perputaran bumi mengelilingi matahari.
Kerancuan yang lain yang banyak menimbulkan pertanyaan “Mengapa bulan bulan
Februari ditetapkan 28 atau 29 hari, sementara bulan Agustus jumlah harinya 31. Padahal
menurut deretan-deretannya seharusnya bulan Agustus seharusnya 30 hari bukan 31 hari.
Menurut beberapa literatur bahwa sistem penanggalan Syamsiyah ada unsur mitosnya,
seperti bulan Februari hanya 28/29 hari karena raja Februari lebih rendah status sosialnya
dibanding raja Agustus. Karena itu, penanggalan Februari yang seharusnya 30 hari dialihkan
ke bulan Agustus sehingga jumlah hari bulan Agustus menjadi 31 hari. Kerancuan lain dari
sistem penanggalan Masehi, yaitu terjadinya perubahan bulan Maret sebagai bulan 1 berubah
menjadi bulan 3 dan bulan Januari dan Februari tadinya bulan 11 dan 12. Unsur mitos dalam
penanggalan romawi, seperti bulan Januari berasal dari kata Janus yaitu nama dewa yang
bermuka dua. Februari berasal dari kata Februm yang berarti menyapu bersih. Maret berasal
dari kata mars yang berarti dewa perang bangsa romawi. April berasal dari kata Aprilio yang
berart bersemi. Mei berasal dari kata Maia dan nama Juni berasal dari kata Juno. Berasala
dari kata Julius (nama kaisar Romawi). Agustus berasal dari kata Augustus nama penguasa
Romawi (Untuk selengkapnya bisa dilihat tulisan Sudayo el Kamali dalam Suara Masjid No.
121 tahun 1405 H: 89-94).
III. KESIMPULAN
1. Hijratul Rasul dilakukan dan dilaksanakan oleh Nabi dan sahabat sebagai tanda bahwa
mengalah untuk mencapai kemenangan adalah satu keniscayaan. Dalam peristiwa
Hijratul Rasul nampak sekali bahwa konsep jihad itu tidak memiliki konotasi kekerasan
dan radikalisme bahkan jauh dari sikap terorisme.
Vol.18 No.1 Juni 2021
Jurnal Ilmiah Islamic Resources 60
E-ISSN: 2720-9172
P-ISSN: 1412-3231
2. Begitu mulianya Hijratul Rasul sehingga diberi simbol sebagai perbedaan antara hak
dan yang batil. Inilah yang pantas dijadikan pedoman dalam mengembangkan Islam
sebagai agama akhir zaman. Karena mendakwahkan agama akhir zaman adalah sesuatu
yang sangat sulit karena hati masyarakat sekeliling sudah dipenuhi tareqah-tareqah yang
terselubung minal jinnati wa al-nas sebagaimana yang tercantu dalam QS. Al-Nas/114:
6, yang berbunyi:
من الجناة والنااس
Terjemahan:
Dari (golongan) jin dan manusia (QS. Al-Nas/114: 6).”
3. Menurut Al-Qur’an jasa matahari digunakan untuk penetapan ibadah harian dalam
Islam, seperti penentuan shalat, penentuan waktu sahur dan waktu berbuka puasa.
Sedangkan jasa rembulan digunakan untuk penentuan ibadah tahunan, seperti ibadah
haji dan ibadah Ramadhan, hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Apalagi penanggalan
Qamariyah dapat menunjukkan bahwa hari ini tanggal sekian dan besok tanggal sekian
beda dengan penanggalan matahari tidak menunjukkan bahwa hari ini tanggal sekian
dan besok tanggal sekian.
4. Hijratul Rasul menjadi kerangka teori dalam pembenahan sistem penanggalan Islam
karena peristiwa itu penuh dinamika dalam membangun peradaban bahkan hijrah itu
sendiri banyak mendapat respon dan penghargaan dari Allah SWT sebagaimana yang
tertuang dalam QS. Al-Nisa/4: 100.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, As’ad Said. 2010. Terorisme Kian Ancam Asia Tenggra dalam Risalah NU No. 20 tahun
ke-3.
Bintang, Abunawas. 1996. Hijrah sebagai strategi perjungan dalam dalam Mimbar
As’adiyah. Edisi ke-4 tahun ke-1.
Bisri, Mustafa. 2010. Sebarkan Islam dengan pencerahan Risalah NU No. 20 tahun ke-3.
Forum Utama. 1996. Tahun Baru Hijriah, Momentum Perubahan Sikap Perilaku Umat
dalam Mimbar As’adiyah. Edisi ke-4 tahun ke-1.
Hasan, Muhammad. 1996. Menyongsong Tahun Hijriah 1417 dalam Mimbar As’adiyah.
Edisi ke-4 tahun ke-1.
Helmi, Mustafa. .2010.Perubahan Pola Gerakan Teroisme dalam Risalah NU No. 20 tahun
ke-3.
Idahram, Syaikh. 2011. Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik. Yogyakarta:
LKiS Printing Cemerlang.
Ilyasin, Mukhammad, M. Abzar dan Mohammad Kamaluddin. 2017. Teroris dan Agama.
Cet. I. Jakarta: Kencana.
El Kamali, Sudayo. 1405 H. Keistimewaan Penanggalan Hiriyah dalam Suara Masjid No.
121.
Kodifikasi Angkatan Santri, 2009. Kang Santri; Menyikapi Problematika Umat. Buku 1.
Kediri: Lirboyo Press.
Luthfi, Musthafa. 2008. Melenyapkan Hantu Terorisme dari Dakwah Kontemporer, cet. I.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Madani, Malik. 2010. Bersama-Sama Memerangi Ideologi Kekerasan dalam Risalah NU
No. 20 tahun ke-3.
Vol.18 No.1 Juni 2021
Jurnal Ilmiah Islamic Resources 61
E-ISSN: 2720-9172
P-ISSN: 1412-3231
Mughniyah, M. J., 1996. Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Khamsah; terjemahan Masykur A.B.,
Afif Muhammad dan Idrus Al-Kaff; dengan judul Fiqih Lima Mazhab. Cet. 2. Jakarta:
PT Lentera Basritama.
Muzadi, Hasyim. 2010. Posisi NU dan Aasal Muasal Terorisme dalam Risalah NU No. 20
tahun ke-3.
Raya, A. T., 2015. Mengenal Hakikat Diri untuk Mengenal Allah. Makassar: Berkah Utami.
Rahman, Jalaluddin. 1996. Menyambut Tahun Baru Hijriah 1 Muharram 1417 H. dalam
Mimbar As’adiyah. Edisi ke-4 tahun ke-1.
Sahal, M. A. M., 2014. Dialog Problematika Umat. Cet. 2. Surabaya: Khalista.
Siradj, Said Aqil. 2011. Nilai Hijrah Perspektif Transmigrasi dalam Risalah NU. Edisi 22
Tahun ke-4.
Somad, A., 2017. 37 Masalah Populer. Pekan Baru: Tafaqquh Media.
Syafi’I, Musta’in. 2011. Tahun Hijriah; Ide cemerlang Umar bin Khattab dalam Risalah NU.
Edisi 22 Tahun ke-4.
Tim Penulis Paramadina, 2005. Fiqih Lintas Agama. Cet. 7. Jakarta: Paramadina.
UU RI No. 20 Th. 2003. 2016. Undang-Undang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional).
Jakarta: Sinar Grafika.
Usman, Ali. 2010. Kriminalisasi Makna Baru Jihad dalam Risalah NU No. 20 tahun ke-3.
Yahya, Al Habib Muhammad L. b., 2017. Secercah Tinta Jalinan Cinta Seorang Hamba
dengan Sang Pencipta. Pekalongan: Menara Publizer.
Yunus, Abdu Rahim. 1996. Nilai Hijrah bagi Peradaban Manusia dalam Mimbar As’adiyah.
Edisi ke-4 tahun ke-1.