Download - pilositik astrositoma
PENDAHULUAN
Tumor otak adalah lesi oleh karena ada desakan ruang baik jinak maupun ganas
yang tumbuh di otak, meningen dan tengkorak. Kraniofaringioma adalah tumor dari sel
epitel embrionik dari duktus kraniofaringeal yang terletak di area hipotalamus di atas
sella tursika atau bagian infundibulum. Kraniofaringioma merupakan tumor kistik yang
berkalsifikasi, ekstra-aksial, epitel-skuamosa, dan tumbuh dengan lambat yang timbul
dari sisa-sisa duktus kraniofaringeal dan/atau celah Rathke dan menempati bagian
suprasellar.
Insidensi kraniofaringioma menempati 4% dari tumor intracranial. Lokasi
kraniofaringioma yang paling sering ditemukan adalah pada regio suprasella.
Kraniofaringioma merupakan 13% dari keseluruhan tumor suprasella dan 56% tumor
suprasella pada anak-anak.
Kraniofaringioma berasal dari sel skuamosa sisa kantung Rathke yang terletak
antara adenohipofisis dan neurohipofisis. Kraniofaringioma dianggap didapat secara
kongenital dan timbul dari sisa-sisa kantong Rathke's di persimpangan batang
infundibular dan hipofisis.
Manifestasi klinis kraniofaringioma bergantung dari lokasi tumor, ukuran, pola
pertumbuhan dan kaitannya dengan struktur serebral yang lain. Manifestasi klinis
kraniofaringioma biasanya timbul perlahan-lahan. Terdapat interval 1-2 tahun antara
onset gejala dengan diagnosis. Regio suprasella dikelilingi oleh struktur-struktur saraf
yang berpotensi untuk menampilkan gejala defisit neurologis seperti gangguan
penglihatan, gangguan endokrin, peningkatan tekanan intrakranial serta gangguan
psikiatri.
Referat ini akan membahas mengenai kraniofaringioma. Selain itu, pada referat
ini juga akan dibahas mengenai anatomi dan embriologi terutama sella dan area
sekitarnya.
ANATOMI DAN FISIOLOGI
A. REGIO SELLA TURSIKA
Fossa hipofisis dibatasi pada anterior, posterior dan inferior oleh struktur
tulang sella tursika.1 Batas anterior disebut tuberkulum sella. Batas posterior
adalah dorsum sella. Pada bagian anterior dan sedikit superior dari tuberkulum
terdapat sulkus kiasmatikus yang berujung pada tiap sisi foramen optikus. Batas
superolateral dorsum sella membentuk struktur bulat yang disebut prosesus
Klinoideus posterior yang merupakan tempat menempelnya dura. prosesus
klinoideus anterior memiliki fungsi yang sama dan berkaitan dengan sisi
anterolateral dari sella tursika.2
Batas bawah dari fossa hipofiseal dibentuk oleh atap sinus sfenoideus,
tergantung ukuran sinus tersebut. Apabila sinus berukuran kecil, atapnya hanya
membentuk dasar bagian anterior dari sella tursika dan sisanya dibentuk oleh
tulang sfenoid. Derajat pneumatisasi tulang sfenoid dan ketebalan tulang yang
memisahkan sinus sfenoid dari fosa hipofiseal sangat bervariasi. Pola struktur
tulang trabekula yang membagi sinus sfenoid juga tidak konstan. Septum
intrasinus menempel pada bagian tengah dinding sella anterior dan hanya pada
20% kasus dan dapat pula tidak ada. Pada 20% kasus lain, perlekatan posterior
dari septum intrasinus adalah pada prominensia karotis.2,3
2
Kontur dari sella juga sangat bervariasi. Meskipun konturnya bulat dan oval
namun dapat juga datar. Saat lahir, sella tursika terdiri dari depresi dangkal dan
bagian dorsum belum terosifikasi. Pada saat usia 4 tahun, bentuk sella menjadi
semakin bulat. Dimensi sagital meningkat sebanyak 0,5 – 1 mm per tahun hingga
masa pubertas (ketika bentuk sella sudah definitif menjadi bulat). Rata-rata
dimensi anteroposterior sella pada bidang midsagital adalah 1,07 cm, sedangkan
rata-rata dalam dan dimensi transversumnya adalah 0,8 cm dan 1,21 cm. Ukuran
Rata-rata sella pada pria maupun wanita sama.2
Diafragma sella, yaitu lipatan dura dengan defek sentral akan membentuk
atap tidak komplit di atas sella tursika. Diafragma sella memisahkan lobus
anterior dengan kiasma optikus. Batas diafragma menempel pada tuberkulum
sella, prosesus klinoideus anterior, bagian superior dorsum sella dan prosesus
klinoideus posterior. Pada bagian lateral, diafragma berlanjut dengan lipatan dura
yang menyusun dinding lateral fossa hipofisis.2
B. PARASELLA DAN SUPRASELLA
Lipatan duramater yang membentuk dinding lateral fossa hipofisis berisi
sinus kavernosus, yang terdiri dari kanal-kanal yang dipisahkan oleh trabekula
fibrosa.1 Kedua sinus saling berhubungan dari sinus interkavernosus anterior dan
posterior atau sinus sirkularis. Sinus ini melintas pada diafragma sella di depan
dan belakang infundibulum.2
Nervus okulomotorius, nervus troklearis, dan nervus trigeminus divisi satu
dan dua terdapat pada dinding lateral sinus kavernosus, di antara perbatasan
endotelial dan dura mater. Sedangkan nervus abdusen terdapat pada sinus
tersebut. Sinus kavernosus juga membungkus satu bagian dari arteri karotid
interna dan pleksus nervus simpatikus yang mengelilinginya. Segmen kavernosus
dari arteri karotid interna berjalan kedepan dekat dengan permukaan superolateral
tulang sfenoid pada lekukan yang disebut sulkus karotikus. Arteri ini kemudian
membelok ke superior, medial dari prosesus klinoid anterior, pada bagian akhir
anterior sulkus karotikus, dimana arteri ini menembus ke dura dan memasuki
ruang subaraknoid.2
3
Hipofisis terletak dibawah hipotalamus dan jaras visual. Variabilitas
perkembangan permukaan superior dari tulang sfenoid yang letaknya anterior dari
fossa hipofiseal mengakibatkan variasi letak antara kelenjar hipofisis,
infundibulum, diafragma sella, sulkus kiasmatikus dan aparatus optikus. Terdapat
empat pola yang ditemui:2
1. Pada beberapa kasus, tulang sfenoid berkembang sehingga sulkus
kiasmatikus terletak lebih inferior dari biasanya. Ini akan mengakibatkan
posisi foramen optikus menjadi lebih rendah sehingga kiasma optikus
letaknya lebih dekat dengan diafragma sella. Batas anterior kiasma
berdekatan dengan sulkus kiasmatikus dan sering kali bersinggungan
dengan dinding posterior atas dari sinus sfenoideus. Nervus optikus di
intrakranial jarasnya relatif pendek dan infundibulum terletak posterior dari
jaras ini dari hipotalamus ke diafragma sella. Ekstensi tumor hipofisis
suprasela dapat mengakibatkan disetensi diafragma sella sehingga
mengakibatkan tekanan tertinggi terdapat pada bagian medial traktus
optikus.
2. Pada kasus lain, jaras nervus optikus di intrakranial lebih panjang serta
keseluruhan kiasma optikus terletak pada bagian anterior diafragma sella.
Infundibulum dengan jalur vertikal melewati hipotalamus menuju ke
apertura sentralis. Kiasma optikus merupakan struktur yang paling rentan
4
terhadap ekstensi tumor hipofisis ke suprasella. Struktur kedua ini
ditemukan pada 12% kasus.
3. Pada struktur ketiga ini, kiasma optikus terletak lebih posterior dibanding
kedua struktur sebelumnya, terletak pada aspek posterior dari diafragma
sella dan pada bagian anterior dorsum sella. Infundibulum terdapat di
anterior dan melewati hipotalamus menuju ke diafragma. Struktur ini
ditemukan pada 75% kasus.
4. Pada struktur ini, kiasma optikus terletak pada dan dibelakang dorsum sella.
Infundibulum terdapat di depannya dan mengarah ke apertura sentralis.
Struktur ini terdapat padaa 4% - 11% kasus. Pada struktur ini, aspek medial
dari nervus optikus merupakan bagian yang paling rentan pada ekstensi
tumor intrasella ke bagian suprasella.
C. KELENJAR HIPOFISIS
Hipofisis terletak pada bagian inferior diensefalon. Hipofisis melekat pada
hipotalamus melalui infundibulum dan disokong oleh sella tursika tulang sfenoid.
Hipofisis memiliki fungsi endokrin dan secara struktural dan fungsional dibagi
menjadi bagian anterior yang disebut adenohipofisis dan bagian posterior yang
disebut neurohipofisis. Adenohipofisis dibagi menjadi pars distalis (hipofisis
anterior) dan pars tuberalis. Neurohipofisis terdiri dari hipofisis posterior.2
5
Berat rata-rata kelenjar hipofisis saat lahir adalah sekitar 100 mg.
pertumbuhan cepat terjadi pada masa kanak-kanak, diikuti oleh pertumbuhan
lebih lambat hingga dewasa. Saat dewasa berat rata-rata hipofisis adalah sekitar
500 – 600 mg. Hipofisis dewasa berukuran panjang 10 mm, lebar 10 – 15 mm dan
tinggi 5 mm. Hipofisis pada wanita biasanya 20% lebih berat dibandingkan
dengan pria akibat perbedaan relatif ukuran pars distalis dan pada saat kehamilan
berat hipofisis bertambah sebanyak 12% - 100% akibat pembesaran pars distalis.
Volume hipofisis berkurang seiring penambahan usia.2
Regulasi neural fungsi hipofisis terjadi akibat dua mekanisme, yaitu
proyeksi langsung dan tidak langsung:2
1. Proyeksi langsung hipotalamus ke neurohipofisis mengandung terminal
akson yang berakhir pada lobus posterior dan melepaskan produk
neurosekretori langsung ke aliran darah.
2. Regulasi adenohipofisis via hormon tropik yang diproduksi di hipotalamus
dan diteruskan ke lobus anterior via sistem vena porta.
Kelenjar hipofisis mendapat suplai darah dari dua kelompok arteri, yaitu
arteri hipofiseal superior (AHS) yang memberikan suplai primer ke lobus anterior
dan arteri hipofiseal inferior (AHI) yang memberiksan suplai ke pars nervosa.
AHS berasal dari arteri karotid interna (AKI) atau dari arteri komunikans
posterior sedangkan AHI berasal dari trunkus meningohipofiseal, cabang dari
segmen kavernosa AKI. AHS terdiri dari pembuluh darah kecil yang keluar dari
bagian inferomedial AKI dibawah nervus optikus. Mereka memperdarahi
infundibulum, adenohipofisis dan permukaan inferior nervus optikus dan kiasma.
6
Arteri-arteri kecil ini beranastomosis dengan bagian sisi kontralateralnya dan
dengan AHI untuk membentuk pleksus yang mengelilingi eminensia media dan
bagian atas infundibulum. Eminensia media menerima ujung-ujung sel
hipotalamik yang memproduksi faktor pelepas dan inhibisi yang berkaitan dengan
kontrol fungsi adenohipofiseal. Cincin vaskular ini terbagi menjadi pleksus primer
kapiler yang berfenestra yang bercabang melalui jaringan-jaringan dan menerima
faktor regulatori yang disekresikan oleh jaringan. Kapiler-kapiler bergabung
menjadi venula dan membentuk vena porta hipofiseal. Setelah mentransmisikan
faktor regulatori menuju adenohipofisis dan menerima hormon yang disekresi
lobus anterior, kapiler-kapiler ini kemudian bergabung menjadi vena hipofiseal
lateral eferen yang mendrainase sinus kavernosus.1,2
Lobus posterior mendapat suplai darah dari cabang AHI. Pembuluh darah
ini melewati bagian medial dari asalnya dibawah diafragma sella untuk memasuki
lekukan diantara pars distalis dan pars nervosa. Pada lokasi ini, terbagi menjadi
cabang asendens dan desendens yang bergabung dengan cabang lainnya dari AHI
kontralateral dan membentuk cincin arteri. Anastomosis ini kemudian membentuk
arteriol dan kapiler yang bercabang sepanjang pars nervosa, menerima produk
neurosekretori dari akson terminal. Cabang lain memberi suplai ke kapsul pars
nervosa dan infundibulum. Drainase vena lobus posterior juga secara primer oleh
sinus kavernosus dan sinus sirkularis. Lobus intermedius relatif avaskular, namun
dapat diperdarahi suplai kolateral dari hubungan anastomosis antara kapiler lobus
anterior dan posterior.1,2
7
PILOCYTIC ASTROCYTOMA
A. DEFINISI
Tumor otak adalah lesi oleh karena ada desakan ruang baik jinak maupun
ganas yang tumbuh di otak, meningen dan tengkorak.6 Kraniofaringioma adalah
tumor dari sel epitel embrionik dari duktus kraniofaringeal yang terletak di area
hipotalamus di atas sella tursika atau bagian infundibulum.7 Kraniofaringioma
merupakan tumor kistik yang berkalsifikasi, ekstra-aksial, epitel-skuamosa, dan
tumbuh dengan lambat yang timbul dari sisa-sisa duktus kraniofaringeal dan/atau
celah Rathke dan menempati bagian suprasellar.8
B. EPIDEMIOLOGI
Insidensi kraniofaringioma menempati 4% dari tumor intrakranial.
Distribusi usia pada tumor ini puncaknya adalah pada usia 5-14 tahun dan 50-60
tahun. Insidensi tumor ini yaitu 0,5 hingga 2,5 per 1.000.000 populasi. Tidak ada
variasi jenis kelamin ataupun ras. Tidak ada hubungan genetik yang diidentifikasi
dan kasus keturunan pada keluarga jarang ditemukan.8
Lokasi kraniofaringioma yang paling sering ditemukan adalah pada regio
suprasella. Kraniofaringioma merupakan 13% dari keseluruhan tumor suprasella
dan 56% tumor suprasella pada anak-anak dimana merupakan 5% - 10% dari
keseluruhan tumor intrakranial pada anak.8
C. ETIOLOGI
Kraniofaringioma berasal dari sel skuamosa sisa kantung Rathke yang
terletak antara adenohipofisis dan neurohipofisis.7
Dua hipotesis telah disusun untuk menjelaskan etiologi kraniofaringioma,
yaitu teori embriogenik dan teori metaplastik.8
TEORI EMBRIOGENIK
8
Teori embriogenik berkaitan dengan perkembangan adenohipofisis dan
transformasi sel yang tersisa dari duktus kraniofaringeal dan kantung Rathke.
Pada minggu keempat kehamilan, infundibulum yang merupakan evaginasi
diencephalon kearah bawah, kontak dengan kantung Rathke yang merupakan
invaginasi dari cavitas “orissto primitive” (stomodenum). Tangkai dari kantung
ini merupakan duktus craniopharyngeus yang lama kelamaan akan menyempit,
menutup dan terpisah dari stomodenum pada akhir gestasi bulan kedua. Vesikel
yang baru terbentuk ini kemudian akan rata dan mengelilingi infundibulum dan
dindingnya akan membentuk struktur hipofisis. Vesikel tersebut kemudian akan
berinvolusi. Dari sel embriologik yang menyusun duktus kraniofaringeus atau
kantung Rathke inilah terbentuk kraniofaringioma.8
TEORI METAPLASTIK
Teori metaplastik menyatakan bahwa terdapat kemungkinan
kraniofaringioma berasal dari metaplasia sel squamosal dan sel epitel residual
yang berasal dari stomodenum primitive dan normalnya terdapat pada
adenohipofisis. Kedua teori ini dapat diterima dan dapat menjelaskan spektrum
histopatologis dari kraniofaringioma.8
D. PATOGENESIS
Kraniofaringioma dianggap didapat secara kongenital dan timbul dari sisa-
sisa kantong Rathke's di persimpangan batang infundibular dan hipofisis.
Kraniofaringioma adalah tumor epitel yang jinak. Sel-sel skuamosa yang
ditemukan menunjukkan gambaran metaplastik dan dapat menetap untuk suatu
jangka masa yang signifikan sebelum transformasi terjadi. Terdapat juga pendapat
yang mengatakan bahwa tumor ini berasal dari malformasi dari sel embrio yang
terlalu lama menetap di daerah tersebut dan tidak diserap sewaktu janin sehingga
menyebabkan pertumbuhan yang abnormal. Pada saat tumor telah mencapai
diameter 3 sampai 4 cm, hampir selalu menjadi kistik dan sebagian terkalsifikasi.
Biasanya terletak di atas sella tursika dan menekan kiasma optik hingga ke
ventrikel ketiga. Tumor yang besar dapat menghambat aliran CSF.8
9
E. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis kraniofaringioma bergantung dari lokasi tumor, ukuran,
pola pertumbuhan dan kaitannya dengan struktur serebral yang lain.6
Kraniofaringioma biasanya secara umum tumbuh dengan lambat, gejala
dapat timbul secara gradual sehingga manifestasi klinis dapat timbul 1- 2 tahun
diantara gejala onset dan diagnosis. Pada dewasa, gejala klinis yang paling sering
muncul adalah defisit lapang pandang dan tanda hipohipofisis. Pada sekitar 40-
80% pasien dengan ekstensi tumor suprasella yang menekan kiasma optikus dapat
mengakibatkan gangguan pada tajam penglihatan dan gangguan pada lapang
pandang (hemianopsia bitemporal asimetris). Pada penelitian dari 78 pasien
dewasa, 57% pasien wanita melaporkan menstruasi yang tidak teratur atau
amenore dan 28% pasien mengeluh adanya gangguan fungsi seksual. Gejala lain
seperti nausea dan muntah (26%), kekurangan energi (32%) dan letargi (26%)
juga sering pada pasien dewasa. Gejala-gejala ini indikatif merupakan gejala
disfungsi hipofisis anterior.7
Secara umum, defisiensi hormon pertumbuhan sering ditemukan, diikuti
oleh defisiensi gonadotropin, hormon adenokortikotropin (ACTH), tiroid
stimulating hormone (TSH). Kompresi infundibulum dapat mengakibatkan
diabetes insipidus (DI) dengan gejala poliuria dan polidipsia pada 17-38,5%
kasus. Keterkaitan hipotalamus dapat mengakibatkan peningkatan berat badan
signifikan yang merupakan manifestasi klinis dari 13-15,4% pasien. Nyeri kepala
berat juga sering kali dijumpai (56%) dan dapat merupakan akibat dari
peningkatan tekanan intrakranial akibat masa tumor tersebut, maupun akibat
hidrosefalus obstruksi akibat kompresi ventrikel tiga atau akibat kebocoran masa
kista yang dapat mengakibatkan iritasi meningeal.7
Manifestasi klinis kraniofaringioma biasanya timbul perlahan-lahan.
Terdapat interval 1-2 tahun antara onset gejala dengan diagnosis. Regio suprasella
dikelilingi oleh struktur-struktur saraf yang berpotensi untuk menampilkan gejala
defisit neurologis seperti gangguan penglihatan, gangguan endokrin, peningkatan
tekanan intrakranial serta gangguan psikiatri.8 Manifestasi klinis kraniofaringioma
dibagi menjadi:
10
1. Manifestasi akibat peningkatan tekanan intrakranial akibat obstruksi pada
foramen Monro7
- Nyeri kepala
Nyeri kepala dilaporkan pada 55% - 86% pasien. Nyeri kepala bersifat
tumpul namun memberat secara progresif, bersifat terus menerus dan
kadang-kadang bersifat posisional. Penyebab nyeri kepala adalah akibat
peningkatan tekanan intrakranial akibat hidrosefalus sekunder atau
kompresi sella duramater atau sella diafragma.
- Muntah proyektil
2. Gangguan visual8
Gangguan visual akibat kompresi nervus optikus, kiasma optikus atau
traktus optikus terjadi pada 40%-70% pasien. Gangguan visual juga dapat
terjadi akibat papilledema. Papilledema disebabkan oleh hidrosefalus akibat
obstruksi pada ventrikel 3 oleh tumor. Defek lapang pandang yang terjadi
yaitu bitemporal hemianopia.
3. Disfungsi endokrin8
Sering kali pada kraniofaringioma timbul manifestasi nonendokrin,
namun sering terjadi kegagalan fungsi hipofisis anterior. Defisiensi hormon
pertumbuhan sering ditemui. Manifestasi lain yang sering muncul adalah
hipotiroid, yang terjadi pada 40% pasien. Manifestasi insufisiensi adrenal
juga dapat muncul. Sekitar 20% pasien mengalami diabetes insipidus.
Delapan puluh persen pasien dewasa mengeluh penurunan libido. Impotensi
dan amenorea sering dijumpai.
Terdapat tiga sindrom klinis yang berkaitan dengan lokasi anatomis tumor.
Bila tumor terletak prechiasma, maka terdapat manifestasi seperti penurunan
tajam penglihatan progresif dan konstriksi dari lapang pandang serta dapat
dijumpai atrofi optik. Bila tumor terletak di retrokiasma maka akan terjadi
manifestasi peningkatan tekanan intrakranial dan hidrosefalus. Bila tumor terletak
intrasella maka pasien biasanya mengeluh nyeri kepala dan terdapat
endokrinopati.8
Pertumbuhan tumor ekstensif ke frontal atau lobus temporal dapat
menimbulkan anosmia atau kejang, ke fosa posterior akan menyebabkan
abnormalitas fungsi saraf otak IV dan VI, traktus piramidalis dan serebelum.
11
Jarang sekali kraniofaringioma menimbulkan defisit neurologis yang berat seperti
disfungsi N. VIII.6
Ekstensi tumor parasella dengan infiltrasi sinus kavernosus dapat
mengakibatkan kelumpuhan nervus kranialis dengan diplopia dan paresis otot
okuli. Keterlibatan lobus temporal dapat mengakibatkan kejang dan pada orang
tua tumor ukuran besar dapat mengakibatkan gangguan kemampuan kognitif dan
perubahan kepribadian.6,8
F. DIAGNOSIS
Diagnosis pasien dengan kraniofaringioma adalah berdasarkan temuan
klinis, yaitu gejala neurologis dan endokrin serta temuan radiologi, yaitu massa
solid yang kistik dan mengalami kalsifikasi, dan kemudian dikonfirmasi dengan
temuan histologis yang khas.
Pemeriksaan penunjang untuk kraniofaringioma dapat dilakukan dengan
pemeriksaan radiologi, endokrin, oftalmologi, dan patologi anatomi.
1. Pemeriksaan Radiologi
Tampilan klasik dari kraniofaringioma adalah separuh bagian sellar
atau para sellar yang padat, dan separuhnya bagian cyctic calcified mass
lesion. Tumor ini terjadi pada daerah supra sellar (75%), supra dan infra
sellar (20%), dan infra sellar (5%).8
CT scan sangat sensitif untuk melihat kalsifikasi, yang terdapat pada
85% pasien dengan kraniofaringioma. Kalsifikasi lebih sering terjadi pada
anak-anak (90%) disbanding dewasa (50%). CT scan juga berguna untuk
melihat kista pada tumor. Hingga 75% kraniofaringioma merupakan masa
kistik. Kista biasanya memiliki densitas yang sama dengan cairan
serebrospinal. Bagaimanapun, Magnetic resonance imaging (MRI)dengan
kapasitas gambar yang multiplanar, sangat penting untuk menentukan
anatomi local dan merupakan pemeriksaan radiologi terbaik untuk
perencanaan pembedahan dan follow up pasien. Namun karena MRI tidak
dapat menunjukkan kalsifikasi dengan baik, CT scan digunakan untuk
membantu diagnosa.8
12
2. Pemeriksaan Endokrin
Evaluasi endokrin harus meliputi evaluasi hormon-hormon hipofisis
anterior, yaitu terdiri dari hormon pertumbuhan, hormon tiroid, serta
luteinizing hormone (LH) dan follicle-stimulating hormone (FSH) harus
diukur bersama-sama dengan tingkat kortisol dan penilaian terhadap serum
dan osmolalitas urin. Selain itu, perkiraan usia tulang dan, untuk wanita
muda, USG ovarium sangat berguna. Idealnya, setiap kelainan harus
diperbaiki pra-bedah, paling tidakpun, tingkat kortisol yang rendah dan
diabetes insipidus harus ditangani sebelum prosedur bedah.6,7
3. Pemeriksaan Oftalmologi
Sebagian besar pasien dewasa dengan kraniofaringioma memiliki
manifestasi defisit lapang pandang.6 Pemeriksaan lapang pandang dan
ketajaman visual harus dinilai. Selain itu, visualisasi dari diskus optikus,
untuk menyingkirkan papilloedema, dan visual evoked potential harus
dilakukan.7
4. Pemeriksaan Patologi Anatomi
13
Kraniofaringioma merupakan suatu tumor suprasellar yang
mengandung dua komponen yaitu padat dan kistik. Bagian padatnya
merupakan suatu masa dengan permukaan rata, lunak, dan berwarna abu
kemerahan, sedangkan bagian kistiknya lebih lunak lagi, di mana
konsistensi dan warnanya tergantung dari ketebalan dindingnya. Adanya
deposit kalsium dapat menjadikan tumor itu mengeras. Adanya perubahan
degeneratif menyebabkan kista tumor ini membesar, dinding dalamnya
dapat mengandung papil-papil dan terisi cairan kecoklatan seperti lumpur
yang mengandung kristal-kristal kolesterol.7
Gambaran mikroskopik bagian padat kraniofaringioma terdiri dari
jaringan epitel kolom atau kuboid dengan lapisan tengahnya mengandung
sel-sel polygonal serta massa sentral sel epitel. Bagian kistiknya mempunyai
dinding dengan ketebalan yang bervariasi yang histologisnya sama dengan
bagian yang padat. Ada membrana basalis yang membentuk suatu
perbatasan antara tumor dengan jaringan otak atau meningen sekitarnya.7
G. TATALAKSANA
Tatalaksana kraniofaringioma membutuhkan penanganan dari beberapa
aspek yaitu bedah saraf, endokrin, neurooftalmologi, neuropsikologi dan radiasi
onkologi. Pemeriksaan endokrin sangat dibutuhkan. Gangguan endokrin seperti
hipotiroid , insufisiensi adrenal dan diabetes insipidus harus diperhatikan karena
hal ini dapat meningkatkan morbiditas intraoperative dan postoperative.
Insufisiensi adrenal harus ditatalaksanai dengan terapi steroid sebelum dilakukan
terapi terhadap hipotiroid karena terapi hormone tiroid sebelum terapi steroid
dapat mempresipitasi insufisiensi adrenal akut. Hidrosefalus akut simptomatik
perlu ditatalaksanai dengan pemasangan drainase ventrikel. Adanya hidrosefalus
yang tidak ditangani dapat memperburuk prognosis pasien.8
Pembedahan merupakan terapi pilihan pada kraniofaringioma, pembedahan
secara transfenoideal bila memungkinkan, namun karena tumor ini juga memiliki
komponen ekstrasella, rekurensi setelah pembedahan sering dijumpai. Mayoritas
pasien memerlukan radioterapi setelah pembedahan. Konsekuensi terapi
bervariasi berkaitan dengan luas dan lokasi tumor. Diabetes insipidus dan
kegagalan hipofisis anterior sering ditemukan setelah pembedahan dan hal ini
14
bersifat permanen. Evaluasi ACTH dan TSH serta keseimbangan cairan harus
dilakukan setelah pembedahan.8
Teknik pembedahan yang dipilih berdasarkan lokasi, ukuran dan tipe tumor.
Terdapat tiga struktur penting yang harus diperhatikan dalam pembedahan
kraniofaringioma agar tidak terjadi kerusakan pada struktur-struktur ini, yaitu
pituitary stalk, hipotalamus dan arteri.8
Pola pertumbuhan berkaitan dengan asal tumor, di atas atau di bawah dari
diafragma sella. Pada kraniofaringioma dengan pertumbuhan prekiasma, reseksi
tumor harus dilakukan dengan menggunakan teknik transfenoideal. Untuk
kraniofaringioma dengan pertumbuhan retrokiasma yang tidak ditutupi oleh sella
diafragmatika dan berhubungan langsung dengan jaringan otak, dengan mudah
dapat robek bila dilakukan traksi, sehingga harus dilakukan kraniotomi.
Kraniotomi merupakan pembedahan standar yang dilakukan selama bertahun-
tahun. Kraniotomi diindikasikan untuk tumor suprasella dan memungkinkan
visualisasi nervus optikus, kiasma optikus dan hubungan tumor dengan struktur
ini. Untuk tumor ukuran kecil yang predominan terletak pada sella, teknik
transfenoideal adalah pilihan. Namun apabila tumor terletak pada infundibulum,
pendekatan pterional atau subfrontal dan craniotomi orbitofrontal (dengan
endoskopi atau bantuan mikroskop) dapat dilakukan. Lesi kecil intraventrikel
dapat diraih melalui lamina terminalis atau transventrikular (pendekatan
transkalosal atau transventrikular). Teknik yang digunakan untuk tumor ukuran
besar adalah pterional, subfrontal transbasal, bifrontal, orbitozigomatik,
temporopolar, fronto orbitozigomatik 8
Pada pasien dengan tumor rekuren, pembedahan lanjutan diperlukan dengan
marsupialisasi komponen kistik, internal atau eksternal shunting dan injeksi
radionukleotida ke kista tersebut. Pemantauan jangka panjang adalah yang utama
dari tatalaksana pasien dengan tumor rekuren. Sebagian besar pasien memerlukan
terapi sulih hormon total, termasuk desmopresin dan hormon pertumbuhan.8
Radioterapi untuk Kraniofaringioma
Tatalaksana kraniofaringioma membutuhkan penanganan dari beberapa
aspek yaitu bedah saraf, endokrin, neurooftalmologi, neuropsikologi dan radiasi
15
onkologi. Pembedahan merupakan terapi pilihan pada kraniofaringioma,
pembedahan secara transfenoideal bila memungkinkan, namun karena tumor ini
juga memiliki komponen ekstrasella, rekurensi setelah pembedahan sering
dijumpai. Mayoritas pasien memerlukan radioterapi setelah pembedahan.
Radioterapi didefinisikan sebagai pengobatan penyakit kanker dengan
menggunakan energi tinggi radiasi yang difokuskan pada jaringan kanker yang
bertujuan untuk membunuh dan menghentikan pertumbuhan sel sel kanker. Istilah
radioterapi juga dikenal dengan terapi radiasi.
Radioterapi merupakan salah satu modalitas penting dalam penatalaksanaan
proses keganasan. Berbagai penelitian klinis telah membuktikan bahwa modalitas
terapi pembedahan akan memberikan hasil yang lebih optimal jika diberikan
kombinasi terapi dengan kemoterapi dan radioterapi. Sifat dan lokasi tumor otak
seringkali menimbulkan proses desak ruang yang akan meningkatkan tekanan
intrakranial, terlebih pada kasus metastasis tumor ganas pada intrakranial akan
cepat menimbulkan edema serebri yang akan memperburuk tekanan intrakranial.
Sebagian besar tumor otak bersifat radioresponsif (moderately sensitive),
sehingga pada tumor dengan ukuran terbatas pemberian dosis tinggi radiasi
diharapkan dapat mengeradikasi semua sel tumor. Namun demikian pemberian
dosis ini dibatasi oleh toleransi jaringan sehat disekitarnya. Semakin dikit jaringan
sehat yang terkena maka makin tinggi dosis yang diberikan. Guna menyiasati hal
ini maka diperlukan metode serta teknik pemberian radiasi dengan tingkat presisi
yang tinggi.
Perencanaan radiasi seperti 3-dimensional conformal theraphy, penggunaan
multi leaf collimators dan IMRT (Intensity Modulated Radiation Therapy)
merupakan metode radiasi yang saat ini digunakan dan masih terus
dikembangkan.
Stereotactic Radiosurgery (SRS) merupakan metode radiasi yang bertujuan
untuk memberikan dosis radiasi setinggi mungkin pada lesi jaringan otak dengan
meminimalkan dosis yang diterima oleh jaringan sehat sekitar tumor. Digunakan
alat leksel gamma knife yang menggunakan sumber radiasi Cobalt-60. metode
radiasi lain menggunakan sumber radiasi sinar X pada alat Linier accelerator
16
(Stereotactic Radiotheraphy, SRT). Selain berbeda pada sumber, metode
pemberiannya juga berbeda. Pada SRS radiasi diberikan dalam fraksi tunggal
mengingat perencanaan dan pelaksanaannya yang lebih rumit, hal ini berbeda
dengan SRT dimana radiasi dapat diberikan dalam beberapa fraksi. Baik SRS
maupun SRT, berkombinasi dengan radiasi eksterna seluruh otak, terbukti
memberikan hasil yang efektif. Sebanyak 94% dan 73% tumor terkontrol pada
bulan ke-13 dan 26. Disamping tumor otak SRS dilaporkan juga memberikan
hasil yang baik dibandingkan dengan microsurgery pada kasus neuroma akustikus
dalam hal timbulnya neuropati fasial dan trigeminus, lama perawatan, gangguan
pendengaran serta kekambuhan. Lesi non maligna intrakranial lain yang tercatat
dapat memberikan hasil pengobatan yang baik adalah arterio venous
malformation (AVM).
Pada kraniofaringioma, radioterapi yang diberikan setelah terapi
pembedahan memiliki hasil jangka panjang yang lebih baik, terutama untuk
mencegah rekurensi. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Harrabi et al, hasil
jangka panjang dari pemberian fractioned stereotactic radiotherapy (FSRT) untuk
pasien dengan kraniofaringioma hasilnya sangat memuaskan. Setelah 6 bulan,
14% kasus yang diberikan terapi FSRT mengalami regresi total dan 83,3% kasus
mengalami regresi tumor parsial.
Kesimpulannya, FSRT mengarah pada hasil yang memuaskan untuk
penatalaksanaan pasien dengan kraniofaringioma dengan pertimbangan kontrol
lokal yang baik, perbaikan secara keseluruhan, dan dalam mempertahankan fungsi
organ.
H. PROGNOSIS
Kelangsungan hidup lima tahun secara keseluruhan adalah 80%. Tetapi
pada anak-anak prognosisnya lebih baik, yaitu 85% untuk kelangsungan hidup 5
tahun. Sedangkan pada orang dewasa yang lebih tua prognosisnya 40% untuk
kelangsungan hidup 5 tahun.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Jones R, Editor. Netter’s Neurology. 2nd edition. Philadelphia: Saunders; 2012
2. Amar AP, Weiss MH. 2003. Pituitary Anatomy and Physiology. USA: Elsevier;
2003
3. Fitzgerald MJ, Gruener G, Mtui E. Clinical Neuroanatomy and Neuroscience. 6 th
edition. Philadelphia: Saunders; 2012
4. Sadler, TW. Langman’s Medical Embryology. 11th edition. Philadelhia: Wolters
Kluwer; 2010
5. Ropper AH, Victor M. Adam and Victor’s Principles of Neurology. 7th edition.
United States: The McGraw-Hill Companies; 2001
6. Gilroy, J. Basic Neurology. 3rd edition. United States: The McGraw-Hill Companies;
2000
7. Baehr M, Frotscher M. Diagnosis topic neurologis duus: anatomi, fisiologi, tanda,
gejala. Edisi 4. Jakarta: EGC; 2012
8. Demonte F, Gilbert MR, Mahajan A, McCutheon IE. Tumors of Brain and Spine.
United States: Springer Science; 2007
18