Download - pokok filsafat hukum
BAB I
Latar Belakang, Permasalahan,
dan Teori Dasar.
Menurut arti kata filsafat adalah suatu kebijaksanaan hidup (filosofia).
Berdasarkan arti kata ini bermacam-macam definisi filsafat telah tersusun. Tidak
perlu mempersoalkan semua definisi itu di sini. Cukuplah kami kemukakan
unsur-unsur yang relevan bagi suatu pengertian filsafat yang tepat.
Filsafat merupakan suatu ilmu pengetahuan. Karena itu filsafat bebeda
dengan pengetahuan biasa yang dimiliki orang berdasarkan pengalaman hidup.
Pengalaman hidup dapat menghasilkan suatu kebijaksanaan hidup, akan tetapi
kebijaksanaan ini belum menjadi filsafat dalam arti teknis. Supaya menjadi
filsafat pengalaman hidup perlu diselidiki terus-menerus dengan menurut suatu
metoda berpikir yang memadai.
Filsafat berbeda dari ilmu-ilmu pengetahuan lainnya oleh karena mempnyai
obyeknya sendiir. Dalam ilmu-ilmu pengetahuan yang disebut positif, dipelajari
salah satu gejala hidup. Umpama dalam psikologi diperlajari kelakuan manusia,
dalam sosiologi struktur-struktur masyarakat.
Jalan untuk memperoleh pandangan hidup yang menyeluruh itu ialah jalan
refleksi atas pengalaman, baik pengalaman hidup maupun (dalam zaman
modern ini) pengalaman ilmiah. Jelaslah pengetahuan langsung tentang realitas
itu bukan filsafat. Seorang yang berfilsafat mengambil apa yang telah ditangkap
dalam pengalaman untuk memandangnya di bawah suatu horison yang lebih
luas, yakni sebagai unsur kehidupan manusia yang menyeluruh.
Filsafat hukum tidak mencari arti salah satu hukum yang konkret, melainkan
arti hukum sebagai hukum. Pertanyaan-pertanyaan yang timbul di sini ialah
sebagai berikut. Apakah hukum itu? Apakah hukum itu sama dengan tata
hukum? Ataukah terdapat kaidah-kaidah lain yang tidak ditentukan manusia,
yang berefungsi sebagai dasar tatahukum? Apakah terdapat hukum yang tidak
adil? Apa artinya keadilan itu? Selanjutnya : setiap orang yakin, bahwa hukum
harus diataati, asal hukum itu betul-betul merupakan hukum. Timbul pertanyaan:
dari manakah keharusan itu? Karena kewajiban etis terhadap orang lain? Dari
Allah? Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, walaupun menjadi pertanyaan
pula dalam ilmu hukum, sesungguhnya merupakan pokok pelajaran filsafat
hukum.
Tulisan ini berangkat dari pandangan bahwa filsafat hukum adalah cabang
filsafat, khususnya cabang filsafat moral (etika). Posisi filsafat sebagai mater
scientiarum menjadikan filsafat hukum juga sebagai induk dari ilmu hukum.
Dengan demikian, filsafat hukum adalah juga bagian dari disiplin hukum, yang
menurut perkembangan terakhir cukup dibedakan menjadi tiga saja, yaitu ilmu
hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Sebagaimana dikemukakan oleh Gustav
Radbruch dan Langemeyer, semua yang dibuat pasti memiliki tujuan. Demikian
pula halnya dengan filsafat hukum. Cabang disiplin hukum ini membahas
masalah-masalah hukum secara filosof untuk mencari apa hakikat hukum dan
menemukan hukum yang benar dan adil bagi setiap masyarakat, bangsa, dan
negara.
Modalitas untuk membahas masalah-masalah filsafat hukum tersebut adalah
dengan memahami dasar-dasar pengertian, sejarah, dan aliran-aliran filsafat
hukum. Inti dari pembelajaran filsafat hukum adalah penguasaan aliran-aliran
filsafat hukum karena dengan bekal inilah semua permasalahan filsafat hukum
mampu dianalisis dengan baik melakui pendekatan integral-holistik. Apa yang
dianggap hukum yang benar dan adil, terbukti tidak selalu sama bagi tiap-tiap
masyarakat, bangsa, dan negara dari waktu ke waktu. Hal ini semua dapat
dijelaskan dengan mengetengahkan aliran-aliran utama filsafat hukum, seperti
Aliran Hukum Kodrat (sering pula disebut Aliran Hukum Alam), Postivisme
Hukum, Utilatarianisme, Mazhab Sejarah, Sociological Jurispredence, Realisme
Hukum, dan Freierechtslehre.
Setiap aliran filsafat hukum menyajikan sudut pandang tersendiri dalam
menjawab setiap permasalahan filsafat hukum. Ada sejumlah masalah filsafat
hukum yang kerap diangkat sebagi topik diskursus cabang disiplin hukum ini.
Masalah-masalah itu dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu masalah-
masalah klasik dan kontemporer.
Masalah-masalah klasik filsafat hukum meliputi persoalan (1) hakikat hukum;
(2) tujuan hukum; (3) keadilan; (4) penataan hukum; (5) hak negara menghukum;
(6) hubungan hukum dan kekuasaan. Dasar pemikiran untuk menempatkan
keenam permasalahan tersebut secara berurutan adalah sebagai berikut.
Masalah pertama adalah tentang hakikat hukum. Alasannya karena hukum
memang mutlak diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Sementara itu,
masyarakat tidak dapat menemukan jawaban hakikat hukum ini dalam ilmu
hukum, sehingga pertanyaan ini harus diserahkan kepada filsafat hukum. Ada
aliran-aliran filsafat hukum tertentu yang secara spesifik membedakan ciri-ciri
khas hukum dengan hal-hal yang digolongkan sebagai nonhukum. Di sisi lain
ada aliran filsafat hukum yang menolak pemilahan seperti itu sehingga hukum
menjadi identik dengan moral, budaya, perilaku, dan sebagainya.
Semua ciptaan manusia memiliki tujuan, termasuk hukum. Tujuan ini
bermacam-acam, seperti kedamaian, ketertiban, kepastian hukum, dan
kemanfatan. Bahasan tentang tujuan hukum ini akan mengambil porsi topik
permasalahan kedua. Tidak dapat dipungkiri, keadilan adalah salah satu tujuan
hukum yang sekaligus menjadi masalah perenial filsafat hukum. Oleh sebab itu,
topik tentang keadilan layak ditempatkan tersendiri sebagai pemasalahan ketiga.
Memang ada anggapan bahwa isi dari hukum adalah keadilan. Dengan
demikian, menaati hukum dengan sendirinya berarti menegakkan keadilan.
Tentu tidak semua setuju dengan pendapat ini. Ada banyak alasan seseorang
menaati hukum. Dengan demikian, permasalahan keempat yang perlu
dipertanyakan oleh filsafat hukum adalah mengapa orang harus menaati hukum.
Ketidaktaatan terhadap hukum memberi hak kepada negara untuk menghukum.
Dari sini muncul permasalahan kelia, yakni mengapa negara berhak
menghukum. Karena penghukuman itu berkorelasi dengan kekuasaan, maka
permasalahan keenam yang selanjutnya diketengahkan adalah tentang
hubungan antara hukum dan kekuasaan.
Tidak dapat dihindari bahwa penggunaan kekuasaan atas nama hukum
berdampak langsung terhadap hak asasi manusia. Hak ini sangat banyak,
beberapa di antaranya yang selalu menjadi isu sentral adalah hak milik dan hak
mengeluarkan pendapat atau hak berpartisipasi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (demokrasi). Semua hak ini hanya
mungkin berjalan konstruktif selama berada dalam koridor hukum. Namun,
hukum yang dimaksud tidak boleh sekadar menjadi alat penyelesai sengketa
(dispute settlement) dan sarana tertib sosial (social order), melainkan juga
sebagai sarana pembaruan masyarakat (social engineering).
BAB II
Pembahasan dan Contoh
Tumbuhnya berbagai aliran dalam filsafat hukum menunjukan pergulatan
pemikiran yang tidak henti-hentinya dalam lapangan ilmu hukum. Apabila pada
masa lalu, filsafat hukum merupakan produk sampingan dari para filsuf, dewasa
ini kedudukannya tidak lagi demikian karena masalah-masalah filsafat hukum
telah menjadi bahan kajian tersendiri bagi para ahli hukum.
Dipaparkannya aliran-aliran filsafat hukum ini juga tidak sekadar merupakan
“napak tilas” perjalanan pemikiran para ahli tersebut. Dengan mengetahui
pemikiran-pemikiran tersebut kita akan mendapat banyak masukan yang
memungkinkan kita untuk menghargai pendapat orang lain. Sudah menjadi
tradisi ilmiah bawa suatu pemikiran pada saat tertentu akan terasa tidak sesuai
lagi dengan zamannya, dan segera disangkal oleh pemikiran berikutnya.
Sekalipun dengan, pemikiran yang lama tetap menjadi buah karya yang
berharga untuk dikaji ulang terus-menerus, dan boleh jadi suatu saat nanti,
kembali tampil ke depan dengan bentuk baru.
Aliran-aliran filsafat hukum yang akan dibicarakan dalam tulisan meliputi: (1)
Aliran Hukum Alam; (2) Positivisme Hukum; (3) Utilitarianisme; (4) Mazhab
Sejarah; (5) Sociological Jurisprudence; (6) Realisme Hukum; dan (7)
Freirechtslehre. Tata urutan pembahasan tersebut tidak menunjukkan bahwa
suatu aliran yang dibicarakan lebih dulu selalu mendahului aliran yang
dibicarakan kemudian. Urutan di atas lebih didasarkan kepada sistematika
pemikiran dari masing-masing aliran, yang dalam suatu situasi sesuai dengan
tata urutan kronologis, namun di sisi lain juga tidak lagi sesuai. Tetapi disini saya
akan memperdalam Mazhab Sejarah dengan Sociological Jurisprudence.
Mazhab Sejarah
Mazhab Sejarah (Historische Rechtsschule) merupakan reaksi terhadap tiga
hal (Basuki, 1989: 32), yaitu :
1. Rasionalisme abad ke-18 yang didasarkan atas hukum alam, kekuatan
akal, dan prinsip-prinsip dasar yang semuanya berperan pada filsafat
hukum, dengan terutama mengandalkan jalan pikiran deduktif tanpa
memperhatikan fakta sejarah, kekhususnya dan kondisi nasional.
2. Semangat Revolusi Prancis yang menentang wewenang tradisi dengan
misi kosmopolitannya (kepercayaan kepada rasio dan daya kekautan
tekad manusia untuk mengatasi lingkungannya), yaitu seruannya ke
segala penjuru dunia (Soekanto, 1979: 26).
3. Pendapat yang berkembang saat itu yang melarang hakim menafsirkan
hukum karena undang-ndang dianggap dapat memecahkan semua
masalah hukum. Code Civil dinyatakan sebagai kehendak legislatif dan
harus dianggap sebagai suatu sistem hukum yang harus disimpan dengan
baik sebagai sesuatu yang suci karena berasal dari alasan-alasan yang
murni.
Di samping itu, terdapat faktor lain, yaitu masalah kodifikasi hukum Jerman
setelah berakhirnya masa Napoleon Bonaparte, yang diusulkan oleh Thibuat
(1772-1840), guru besar pada Universitas Heidelberg di Jerman dalam
tulisannya yang terbit tahun 1814, berjudul Uber die Notwendigkeit eines
Allegemeinen Burgerlichen Rechts fur Deutchland (Tentang Keharusan Suatu
Hukum Perdata bagi Jerman). Karena dipengaruhi oleh keinginannya kan
kesatuan negara, ia menyatakan keberatan terhaadp hukum yang tumbuh
berdasarkan sejarah. Hukum itu sukar untuk diselidiki, sedangkan jumlah
sumbernya bertambah banyak sepanjang masa, sehingga hilanglah keseluruhan
gambaran darinya. Karena itulah harus diadakan perubahan yang tegas dengan
jalan penyusunan undang-undang dalam kitab. Hal ini meruakan kebanggaan
Jerman. Keberatan yang dikemukakan ialah bahwa di berbagai daerah, hukum
itu harus disesuaikan dengan keadaan setempat yang khas dan bahwa orang
harus menghormati apa yang dijadikan adat, tidak dapat mengimbangi
keuntungan yang dibawah olehnya. Sudah saatnya melaksanakan sesuatu yang
luar biasa yang mungkin direalisasikan (Schmid, 1979: 62-63).
Sebagaimana diutarakan sebelumnya, abad ke-18 adalah abad rasionalisme.
Pemikiran rasionalisme mengajarkan universalisme dalam cara berpikir. Cara
pandang inilah yang menjadi salah satu penyebab munculnya Mazhab Sejarah
yang menentang universalisme.
Mazhab Sejarah juga timbul sejalan dengan gerakan nasionalisme di Eropa.
Jika sebelumnya para ahli hukum memfokuskan perhatiannya pada individu,
penganut Mazhab Sejarah sudah mengarah kepaa bangsa, tepatnya jiwa
bangsa (Volksgeist) (Paton, 1951: 15).
Tokoh-tokoh penting Mazhab Sejarah adalah von Savigny, Puchta, dan
Henry Sumner Maine.
Friedrich Karl von Savigny (1770-1861)
Savigny menganalogikan timbulnya hukum itu dengan timbulnya bahasa
suatu bangsa. Masing-masing bangsa memiliki ciri yang khusus dalam
berbahasa. Hukum pun demikian. Karena tidak ada bahasa yang universal, tiada
pula hukum yang universal.
Hukum timbul, menurut Savigny, bukan karena perintah penguasa atau
karena kebiasaan, tetapi karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa
bangsa itu (instinktif). Jiwa bangsa (Volksgeist) itulah yang menjadi sumber
hukum. Seperti diungkapkannya, “Law is an expression of the common
consciousness or spirit of people.” Hukum tidak dibuat, tetapi ia tumbuh dan
berkembang bersama masyarakat (Das Rechts wird nicht gemacht, es ist und
wird mit dem Volke). Pendapat Savigny seperti ini bertolak belakang pula dengan
pandangan Positivisme Hukum. Ia mengingatkan, untuk membangun hukum,
studi terhadap sejarah suatu bangsa mutlak perlu dilakukan.
Paton (1951: 16) memberikan sejumlah catatan terhadap pemikiran Savigny
sebagai berikut: (1) jangan sampai kepentingan dari golongan masyarakat
tertentu dinyatakan sebagai Volksgeist dari masyarakat secara keseluruhannya;
(2) tidak selamanya peraturan perundang-undangan itu timbul begitu saja,
karena dalam kenyataannya banyak ketentuan mengenai serikat kerja di Inggris
yang tidak akan terbentuk tanpa perjuangan keras; (3) jangan sampai peranan
hakim dan ahli hukum lainnya tidak mendapat perhatian, karena walaupun
Volksgeist itu dapat menjadi bahan kasarnya, tetap saja perlu ada yang
menyusunnya kembali untuk diproses menjadi bentuk hukum; (4) dalam banyak
kasus, peniruan memainkan peranan yang lebih besar daripada yang diakui
penganut Mazhab Sejarah.
Patut pula dicatat, walaupun Savigny menyatakan bahwa hukum itu tidak
muncul dari kebiasaan, pengejawantahan yang paling konkret dari Volksgeist itu
dalam kenyataannya adalah kebiasaan yang tumbuh dalam kehidupan
masyarakat. Tentu saja pengertian “kebiasaan” di sini adalah kebiasaan yang
berangkat dari tata nilai yang baik, yang dipilih secara selektif. Contoh : Hukum
kebiasaan Germania yang beraneka ragam
SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
Istilah sociological dalam menamai aliran ini, menurut Paton (1951: 17-21),
kurang tepat dan dapat menimbulkan kekacauan. Ia lebih senang menggunakan
istilah “metode fungsional”. Oleh karena itu, ada pula yang menyebut
Sociological Jurisprudence ini dengan Functional Anthropological.
Menurut Lily Rasjidi (1990: 47-48), perbedaan antara Sociological
Jurisprudence adalah nama aliran dalam filsafat hukum, sedangkan sosiologi
hukum adalah cabang dari sosiologi. Kedua, walaupun objek yang dipelajari oleh
keduanya adalah tentang pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat,
namun pendekatannya berbeda. Sociological Jurisprudence menggunakan
pendekatan hukum kemasyarakatan, sedangkan sosiologi hukum memilih
pendekatan dari masyarakat ke hukum.
Menurut aliran Sociological Jurisprudence ini, hukum yang baik haruslah
hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat. Aliran ini
memisahkan secara tegas antara hukum positif (the positive law) dan hukum
yang hidup (the living law). Aliran ini timbul dari proses dialektika antara (tesis)
Positivisme Hukum (antitesis) Mazhab Sejarah.
Sebagaimana diketahui, Positivisme Hukum memandang tiada hukum kecuali
perintah yang diberikan penguasa (law is a command of lawgivers), sebaliknya
Mazhab Sejarah menyatakan hukum timbul dan berkembang bersama dengan
masyarakat. Aliran pertama mementingkan akal, sementara aliran yang kedua
lebih mementingkan pengalaman, dan Sociological Jurisprudence menganggap
keduanya sama pentingnya.
Aliran Sociological Jurisprudence ini memiliki pengaruh yang sangat luas
dalam pembangunan hukum Indonesia. Tokoh-tokoh aliran Sociological
Jurisprudence antara lain adalah Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound.
Eugen Ehrlich (1862-1922)
Eugen Ehrlich dapat dianggap sebagai pelopor aliran Sociological
Jurisprudence, khususnya di Eropa. Ia adalah seorang ahli hukum dari Austria
dan tokoh pertama yang meninjau hukum dari sudut sosiologi.
Ehrlich melihat ada perbedaan antara hukum positif di satu pihak dengan
hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) di lain pihak. Menurutnya,
hukum positif baru akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan,
atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat tadi. Di sini jelas
bahwa Ehrlich berbeda pendapat dengan penganut Positivisme Hukum.
Ehrlich ingin membuktikan kebenaran teorinya, bahwa titik pusat
perkembangan hukum tidak teletak pada undang-undang, putusan hakim, atau
ilmu hukum tetapi pada masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, sumber dan
bentuk hukum yang utama adalah kebiasaan. Hanya sayangnya, seperti
dikatakan oleh Friedmann, dalam karyanya, Ehrlich pada akhirnya justru
meragukan posisi kebiasaan ini sebagai sumber dan bentuk hukum pada
masyarakat modern.
Sampai di sini terlihat bahwa pendapat Ehrlich mirip dengan von Savigny.
Hanya saja, Ehrlich lebih senang menggunakan istilah kenyataan sosial daripada
istilah volksgeist sebagaimana yang digunakan Savigny. Kenyataan-kenyataan
sosial yang anormatif itu dapat menjadi normatif, sebagai kenyataan hukum
(facts of law) atau hukum yang hidup (living law, yang juga dinamakan Ehrlich
dengan Rechtsnormen), melalui empat cara. Huijbers (1988: 213) menyebut
empat cara (jalan) itu: (1) kebiasaan (Uebung), (2) kekuasaan efektif, (3) milik
efektif, dan (4) pernyataan kehendak pribadi. Contoh : UU Ps 28 tentang
kehakiman, Hakim wajib menggali tetang kehidupan.
BAB III
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan di atas adalah bahwa antara
Mazhab Sejarah dengan Sociological Jurisprudence sama-sama bertolak
belakang dengan pemikiran Positivisme Hukum dan terlihat bahwa pendapat
Ehrlich mirip dengan von Savigny. Hanya saja, Ehrlich lebih senang
menggunakan istilah kenyataan sosial daripada istilah volksgeist sebagaimana
yang digunakan Savigny. Namun perbedaan pandangan antara Ehrlich dengan
von Savigny dapat dituliskan sebagai berikut : Menurut Savigny hukum
merupakan salah satu faktor dalam kehidupan bersama suatu bangsa, seperti
bahasa, adat, moral, dan tatanegara. Oleh karena itu hukum merupakan sesuatu
yang bersifat supra-individual, suatu gejala masyarakat.
Pada permulaan, waktu kebudayaan bangsa-bangsa masih bertaraf rendah,
hukum timbul secarah spontan dengan tidak sadar dalam jiwa warga bangsa.
Kemudian sesudah kebudayaan berkembang, semua fungsi masyarakat
dipercayakan pada suatu golongan tertentu. Demikianlah pengolahan hukum
dipercayakan kepada kepada kaum yuris sebagai ahli-ahli bidangnya.
Hakikat dari sistem hukum menurut Savigny adalah sebagai pencerminan
jiwa bangsa yang mengembangkan hukum itu. Semua hukum berasal dari adat
istiadat dan kepercayaan dan bukan berasal dari pembentuk undang-undang.
Sedangkan Menurut Ehrlich pusat gaya tarik perkembangan hukum tidak
terletak pada perundang-undangan, tidak pada ilmu hukum, tetapi di dalam
masyarakat sendiri(Inner Order). Ajaran berpokok pada pembedaan antara
hukum positif dengan hukum yang hidup, atau dengan kata lain pembedaan
antara kaidah-kaidah hukum dengan kaidah-kaidah sosial lainnya. Hukum positif
hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat.
Daftar Pustaka
1. Darmodiharjo, Darji & DR Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum
Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT
Gramedia, Jakarta, 2008.
2. Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit
Kanisius, Yogyakarta, 1982.