TESIS
PREDIKTOR KETIDAKTERATURAN MINUM OBAT
TUBERKULOSIS (TB) PADA PASIEN DENGAN
PENGOBATAN KATEGORI 1
DI PUSKESMAS KOTA DENPASAR PADA TAHUN
2011-2012
OLEH
PUTU IKA FARMANI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
i
TESIS
PREDIKTOR KETIDAKTERATURAN MINUM OBAT
TUBERKULOSIS (TB) PADA PASIEN DENGAN
PENGOBATAN KATEGORI 1
DI PUSKESMAS KOTA DENPASAR PADA TAHUN
2011-2012
PUTU IKA FARMANI
NIM 1392161002
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
ii
PREDIKTOR KETIDAKTERATURAN MINUM OBAT
TUBERKULOSIS (TB) PADA PASIEN DENGAN
PENGOBATAN KATEGORI 1
DI PUSKESMAS KOTA DENPASAR PADA TAHUN
2011-2012
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister,
Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Program Pascasarjana
Universitas Udayana
PUTU IKA FARMANI
NIM 1392161002
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
iii
LEMBAR PENGESAHAN
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL 29 APRIL 2015
Pembimbing I,
Prof. dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH
NIP. 194810101977021001
Pembimbing II,
dr. Anak Agung Sagung Sawitri, MPH
NIP. 196809141999032001
Mengetahui
Ketua Program Studi
Ilmu Kesehatan Masyarakat
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Prof. dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH
NIP. 194810101977021001
Direktur
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Prof. Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K)
NIP. 195902151985102001
iv
PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS
Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai
oleh Panitia Penguji pada
Progam Pascasarjana Universitas Udayana
pada Tanggal 29 April 2015
Berdasarkan SK Rektorat Universitas Udayana
No. : 1230/UN14.4/HK/2015
Tanggal: 27 April 2015
Panitia Penguji Tesis adalah:
Ketua : Prof. dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH
Anggota :
1. dr. Anak Agung Sagung Sawitri, MPH
2. Prof. Dr. dr. Tuti Parwati Merati, Sp. PD
3. Prof. Dr. dr. Mangku Karmaya, M. Repro PA(K)
4. Dr. dr. Dyah Pradnyaparamita Duarsa, M.Si
v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Nama : Putu Ika Farmani
NIM : 1392161002
Program Studi : Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Judul Tesis : Prediktor Ketidakteraturan Minum Obat Tuberkulosis
(TB) pada Pasien dengan Pengobatan Kategori 1 di
Puskesmas Kota Denpasar pada Tahun 2011-2012
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat. Apabila
dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya
bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan Mendiknas RI Nomor 17,
tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.
Denpasar, 29 April 2015
Putu Ika Farmani
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyeselesaikan tesis yang berjudul
“Prediktor Ketidakteraturan Minum Obat Tuberkulosis (TB) pada Pasien dengan
Pengobatan Kategori 1 di Puskesmas Kota Denpasar pada Tahun 2011-2012” ini
tepat pada waktunya.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof.dr. Dewa
Nyoman Wirawan, MPH selaku pembimbing I yang telah penuh perhatian telah
memberikan dorongan, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti program
magister dan khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih sebesar-
besarnya pula penulis sampaikan kepada Ibu dr.Anak Agung Sagung Sawitri,
MPH selaku pembimbing II yang telah dengan penuh perhatian dan kesabaran
telah memberikan bimbingan, semangat, dan saran kepada penulis.
Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana
Bapak Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD(KEMD) atas kesempatan dan fasilitas
yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan
Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat di Universitas Udayana. Ucapan
terima kasih ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pasca Sarjana
Universitas Udayana, Ibu Prof.Dr.dr. A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K) atas kesempatan
yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa program magister pada
Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Tidak lupa penulis ucapkan terima
kasih kepada Bapak Prof.dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH selaku ketua PS
MIKM UNUD. Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan terima kasih
kepada sekretariat PS MIKM UNUD, Kordinator Peminatan Epidemiologi
Lapangan PS MIKM UNUD, dan semua para dosen dan staf PS MIKM UNUD.
Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada para penguji tesis ini, yaitu
Ibu Prof. Dr. dr. Tuti Parwati Merati, Sp.PD, Bapak Prof. Dr. dr. Mangku
Karmaya, M.Repro PA(K) dan Ibu Dr. dr. Dyah Pradnyaparamita Duarsa, M.Si
yang telah memberikan masukan dan koreksi.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu dr. Luh Putu Sri
Armini, M.Kes selaku Kepala Dinas Kesehtan Kota Denpasar, Bapak Ida Bagus
vii
Gede Ekaputra selaku Kepala Bidang P2P, dan Ibu Luh Lastini selaku pemegang
Program TB yang senantiasa memberikan ijin untuk melakukan penelitian dan
memberikan arahan. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada
seluruh Kepala Puskesmas beserta seluruh pemegang Program TB yang tidak bisa
penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan ijin penelitian serta
membantu pengumpulan data.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Tim Kirby Institute,
University of New South Wales, Sydney, Australia yang telah memberikan
bimbingan dan bantuan finansial sehingga meringankan beban penulis dalam
menyelesaikan tesis ini. Akhirnya penulis ucapkan terima kasih kepada orang tua
beserta keluarga penulis yang telah memberikan dukungan moral dan material
kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini.
Denpasar, 29 April 2015
Putu Ika Farmani
viii
ABSTRAK
PREDIKTOR KETIDAKTERATURAN MINUM OBAT TUBERKULOSIS
(TB) PADA PASIEN DENGAN PENGOBATAN KATEGORI 1
DI PUSKESMAS KOTA DENPASAR PADA TAHUN 2011-2012
Ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (TB) merupakan salah satu
prediktor kegagalan konversi dahak dan kejadian resistensi obat TB. Kota
Denpasar memiliki proporsi suspek TB multi drug resistance (TB-MDR)
terbanyak di antara kabupaten/kota di Provinsi Bali tahun 2012 yaitu mencapai
46,93%. Selain itu angka konversi di Kota Denpasar tahun 2011 dan 2012 (67%)
tidak mencapai target minimal yang ditentukan yaitu sebesar 80%. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui gambaran ketidakteraturan minum obat TB dan
keterkaitannya dengan beberapa faktor demografi, klinis, dan faktor program.
Penelitian ini merupakan penelitian longitudinal dengan menggunakan
data cohort 644 pasien TB dalam pengobatan kategori 1 di 11 Puskesmas Kota
Denpasar tahun 2011-2012 dan data primer yang diperoleh dengan mewawancarai
seluruh pemegang Program TB di puskesmas. Sampel penelitian ini adalah pasien
TB usia ≥15 tahun dengan pengobatan kategori 1. Ketidakteraturan minum obat
didefinisikan sebagai waktu saat pasien tidak datang mengambil obat TB sesuai
jadwal minimal 1 hari maksimal 8 minggu. Berdasarkan definisi tersebut maka
setiap pasien berpeluang mengalami ketidakteraturan lebih dari satu kali. Variabel
yang diteliti yaitu faktor demografi (umur, jenis kelamin, pengalaman berobat
pasien), klinis pasien (hasil pemeriksaan dahak, jenis infeksi TB, status HIV), dan
program (jenis puskesmas, hubungan pasien dengan PMO, durasi pemberian obat
fase intensif dan lanjutan, pemberian obat pada peralihan setelah fase intensif),
dan waktu ketidakteraturan. Data dianalisis dengan Kaplan Meier dan Cox
regression proportional hazard dengan model repeated event.
Sebanyak 58,7% pasien mengalami ketidakteraturan minum obat TB di
mana 47,2% diantaranya terjadi pada periode peralihan ke fase lanjutan. Total
kejadian ketidakteraturan minum obat yang terjadi adalah 535 kejadian. Insiden
rate ketidakteraturan adalah 5,1 per 1.000 orang hari dengan median time
ketidakteraturan minum obat TB sebesar 56 hari (IQR:56-57). Total kumulatif
waktu ketidakteraturan yaitu dengan interval 1-99 hari. Analisis multivariat
menunjukkan pasien laki-laki mempunyai kemungkinan lebih besar mengalami
ketidakteraturan minum obat dibandingkan perempuan (AHR=1,21; 95% CI:1,02-
1,44; p=0,03). Durasi pemberian obat maksimal selama ≤ 2 minggu pada fase
intensif memiliki kemungkinan lebih besar mengalami ketidakteraturan
dibandingkan selama ≤ 1 minggu (AHR=1,55; 95% CI:1,28-1,87; p<0,0001).
Hasil yang sama juga diperoleh untuk durasi pemberian obat maksimum pada fase
lanjutan (AHR=1,62; 95% CI:1,06-2,47; p=0,026).
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai landasan memilih
durasi pemberian obat yang efektif dan konseling kepatuhan yang intensif pada
pasien laki-laki untuk menurunkan kejadian ketidakteraturan minum obat.
Kata Kunci: Ketidakteraturan, tuberkulosis, kategori 1, puskesmas.
ix
ABSTRACT
PREDICTORS OF TB TREATMENT INTERRUPTION AMONG TB
PATIENTS IN PUBLIC HEALTH CENTRES, DENPASAR, 2011-2012
TB treatment interruption is one of predictors of failed infection
conversion and the incidence of TB drug resistance. The conversion rate of
Denpasar over 2011-2012 was around 67% lower than the national target (80%).
This study aimed to explore and describe the predictors of TB treatment
interruption in Public Health Centres in Denpasar.
A longitudinal study with secondary data analysis of 644 cohorts of TB
patients on the first regimen enrolled in TB treatment in 11 public health centres
in Denpasar over 2011-2012 was conducted. Primary data was collected by
interviewing TB program officers in 11 Public Health Centres in Denpasar. The
sample was all patients aged ≥15 years accessing the first regimen of TB
treatment. TB treatment interruption is defined as patients not accessing treatment
from at least in one day to a maximum of 8 weeks. Based on the definition of TB
treatment interruption it was therefore possible that each patient may experience
TB treatment interruption more than once. Variables included in the analyses were
sociodemographic factors (age, sex, history of TB treatment), clinical condition
(sputum test result, type of TB infection, HIV status), programmatic factors (type
of public health centre, patient relationship to treatment observer, duration of drug
delivery, and drug delivery in the transition to continuation phase), and date of TB
treatment interruption. Data was analysed by Kaplan Meier and Cox Regression
Proportional Hazard with repeated event model.
A total of 58,7% patients experienced TB treatment interruption and
47,2% of them occurred in the period of the transition to continuation phase. The
cumulative total of TB treatment interruption was 535 times. Incidence rate of
treatment interruption was 5,1 per 1.000 person days. Median time of treatment
interruption was 56 days (IQR:56-57). Total time of treatment interruption was 1-
99 days. In multivariate analysis, male patients were more likely to experience TB
treatment interruption compared to females (AHR=1,21; 95% CI:1,02-1,44;
p=0,03). Patients accessing treatment with the maximum duration of drug delivery
of ≤ 2 weeks on the intensive phase were more likely to experience interruption
compared to ≤ 1 week (AHR=1,55; 95% CI:1,28-1,87; p<0,0001). Patients
accessing treatment with the maximum duration of drug delivery of ≤ 2 weeks on
the continuation phase were more likely to experience interruption compared to ≤
1 week (AHR=1,62; 95% CI:1,06-2,47; p=0,026).
Study findings indicate that it would be more efficient to implement
treatment with a shorter space of time between dosage access, from every 2 weeks
to every 1 week. Intensive adherence counseling specially tailored for male
patients is also required.
Keywords: treatment interruption, tuberculosis, first regimen, public health centre,
Denpasar
x
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ............................................................................................. i
LEMBAR PERSYARATAN GELAR ............................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ iii
LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI ................................................. iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ................................................... v
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................... vi
ABSTRAK .......................................................................................................... viii
ABSTRACT ........................................................................................................ ix
DAFTAR ISI ....................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ..................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 6
1.3.1 Tujuan Umum .................................................................................. 6
1.3.2 Tujuan Khusus ................................................................................. 6
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................... 7
1.4.1 Manfaat Praktis ................................................................................ 7
1.4.2 Manfaat Teoritis .............................................................................. 7
BAB II KAJIAN PUSTAKA .............................................................................. 9
2.1 Aspek Klinis dan Epidemiologi Tuberkulosis (TB) ................................. 9
2.1.1 Diagnosa Tuberkulosis (TB) ........................................................... 9
2.1.2 Pengobatan Tuberkulosis (TB) ........................................................ 12
2.1.3 Ketidakteraturan Minum Obat ......................................................... 13
2.2 Teori Lawrence Green .............................................................................. 16
2.3 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Ketidakteraturan Minum
Obat Tuberkulosis (TB) ............................................................................ 17
2.3.1 Faktor Sosiodemografi .................................................................... 18
2.3.2 Faktor Pelayanan Kesehatan ............................................................ 23
2.3.3 Perilaku Berisiko ............................................................................. 26
2.3.4 Kondisi Klinis Pasien ...................................................................... 27
2.3.5 Hubungan Pasien dengan Pengawas Minum Obat (PMO).............. 34
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS
PENELITIAN ........................................................................................... 36
3.1 Kerangka Berpikir .................................................................................... 36
3.2 Konsep Penelitian ..................................................................................... 38
3.3 Hipotesis Penelitian .................................................................................. 38
xi
BAB IV METODE PENELITIAN ..................................................................... 40
4.1 Rancangan Penelitian ............................................................................... 40
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................... 40
4.3 Ruang Lingkup Penelitian ........................................................................ 41
4.4 Penentuan Sumber Data ........................................................................... 41
4.4.1 Populasi Penelitian .......................................................................... 41
4.4.2 Jumlah dan Besar Sampel Penelitian ............................................... 41
4.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variebel............................ 43
4.5.1 Variabel Penelitian .......................................................................... 43
4.5.2 Definisi Operasional Variabel ......................................................... 44
4.6 Instrumen Penelitian ................................................................................. 47
4.7 Prosedur Pengumpulan Data .................................................................... 47
4.7.1 Jenis dan Sumber Data yang Dikumpulkan..................................... 47
4.7.2 Cara Pengumpulan Data .................................................................. 49
4.7.3 Pengolahan Data .............................................................................. 51
4.8 Analisa Data ............................................................................................. 51
BAB V HASIL PENELITIAN ........................................................................... 56
5.1 Gambaran Program Pengobatan Tuberkulosis di Puskesmas Kota
Denpasar ................................................................................................... 56
5.2 Karakteristik Sampel Penelitian ............................................................... 60
5.3 Karakteristik Ketidakteraturan Minum Obat ............................................ 62
5.4 Hasil Analisis Bivariat Prediktor Ketidakteraturan Minum Obat
Tuberkulosis ............................................................................................. 66
5.5 Hasil Analisis Multivariat Prediktor Ketidakteraturan Minum Obat
Tuberkulosis ............................................................................................. 69
BAB VI PEMBAHASAN ................................................................................... 71
6.1 Besaran Masalah Ketidakteraturan Minum Obat ..................................... 71
6.2 Prediktor Ketidakteraturan Minum Obat .................................................. 76
6.3 Keterbatasan Penelitian ............................................................................ 80
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 82
7.1 Simpulan ................................................................................................... 82
7.2 Saran ......................................................................................................... 83
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 84
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................. 86
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Definisi Ketidakteraturan Minum Obat Beberapa Penelitian ............. 14
Tabel 2.2 Kombinasi dan Dosis OAT KDT Berdasarkan Jenis Rejimen ........... 30
Tabel 2.3 Kombinasi dan Dosis OAT Kombipak Berdasarkan Jenis Rejimen .. 31
Tabel 2.4 Efek Samping OAT dan Penatalaksanaannya..................................... 32
Tabel 4.1 Definisi Operasional Variabel............................................................. 44
Tabel 5.1 Aspek Layanan Pengobatan TB di Sebelas Puskesmas Kota
Denpasar ............................................................................................. 59
Tabel 5.2 Karakteristik Demografi, Klinis, dan Faktor Program
Berdasarkan Kejadian Ketidakteraturan Minum Obat TB ................. 62
Tabel 5.3 Krakteristik Ketidakteraturan dan Kondisi Pasien Selama
Pengamatan......................................................................................... 63
Tabel 5.4 Crude HR Prediktor Ketidakteraturan Minum Obat TB
Berdasarkan Prediktor ........................................................................ 67
Tabel 5.5 Adjusted HR Prediktor Ketidakteraturan Minum Obat TB
di Puskesmas Kota Denpasar.............................................................. 70
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Alur Diagnosa TB Paru ................................................................... 11
Gambar 2.2 Bagan Model PRECEDE Green (1980) .......................................... 17
Gambar 3.1 Konsep Penelitian ........................................................................... 38
Gambar 5.1 Proses Seleksi Sampel Penelitian .................................................... 61
Gambar 5.2 Grafik Pengamatan Pasien TB ........................................................ 64
Gambar 5.3 Grafik Waktu Kejadian Ketidakteraturan Minum Obat .................. 65
Gambar 5.4 Grafik Kaplan Meier Ketidakteraturan Minum Obat
Berdasarkan Durasi Pemberian Obat Fase Intensif........................ 66
xiv
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
DOTS : Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy
E : Etambutol
H : Isoniazid
HIV : Human Immunodeficiency Virus
KDT : Kombinasi Dosis Tetap
MDR : Multi Drug Resistance
OAT : Obat Anti Tuberkulosis
PMO : Pengawas Minum Obat
PPTI : Perhimpunan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia
PRM : Puskesmas Rujukan Mikroskopis
PS : Puskesmas Satelit
R : Rifampisin
S : Streptomisin
SDM : Sumber Daya Manusia
TB : Tuberkulosis
Z : Pirazinamid
xv
DAFTAR LAMPIRAN
1. Tabel Ekstraksi Data
2. Kuesioner Wawancara
3. Output STATA
4. Ethical Clearance dari Litbang FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar
5. Rekomendasi Penelitian dari Badan Penanaman Modal dan Perizinan
6. Rekomendasi Penelitian dari Kesbangpol Kota Denpasar
7. Ijin Penelitian dari Dinas Kesehatan Kota Denpasar
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi kronis yang masih menjadi
masalah di Dunia. Hal ini terbukti dengan masuknya perhatian terhadap
penanganan TB dalam MDGs. Tujuan keenam MDGs berisi tentang pengendalian
penyebaran dan penurunan jumlah kasus baru tuberkulosis dan pencapaian
tersebut diindikasikan oleh angka kejadian dan tingkat kematian serta proporsi
tuberkulosis yang ditemukan, diobati, dan disembuhkan dalam program DOTS
(Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy) (Bappenas, 2012).
Pada tahun 2013 sekitar 9 juta orang terkena TB dan 1,5 juta orang
meninggal akibat TB (360.000 kematian pada penderita TB dengan HIV positif)
(WHO, 2014). Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang
memiliki masalah dengan kasus TB. Berdasarkan data World Health Statistics
2013, pada tahun 2011 prevalensi TB paru di Indonesia berada pada posisi
keenam di Asia Tenggara dengan angka 281 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI
, 2013), angka kejadian TB sebesar 187 per 100.000 penduduk, dan angka
kematian mencapai 27 per 100.000 penduduk. Di Provinsi Bali, TB termasuk
dalam sepuluh besar penyakit yang ditemukan di Puskesmas Sentinel, Puskesmas,
dan Rumah Sakit di Provinsi Bali pada tahun 2012 dengan angka prevalensi TB
paru mencapai 50 per 100.000 penduduk (Dinkes Provinsi Bali, 2013).
2
Penanganan penyakit TB dilakukan secara komprehensif dari penemuan
kasus hingga pengobatan pada pasien TB. Tanpa pengobatan, angka kematian
akibat TB menjadi tinggi. Pada beberapa penelitian tentang perjalanan penyakit
alamiah kasus TB paru BTA positif dengan status HIV negatif ditemukan sekitar
70% meninggal dalam kurun waktu 10 tahun sedangkan pada kasus TB kultur
positif (BTA negatif) ditemukan sekitar 20% meninggal dalam kurun waktu 10
tahun (WHO, 2013). Pengobatan TB yang diberlakukan secara internasional
disebut dengan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy).
Delapan belas tahun sejak peluncuran strategi-strategi untuk perawatan dan
pengendalian TB secara nasional oleh WHO yaitu pada pertengahan 1990-an (The
DOTS strategy), the subsequent global rollout of DOTS, dan The Stop TB
strategy, total kumulatif orang yang berhasil diobati selama tahun 1995-2012
mencapai 56 juta orang dan menyelamatkan sekitar 22 juta jiwa (WHO, 2013). Di
Indonesia angka kesuksesan pengobatan TB (proporsi hasil pengobatan sembuh
dan lengkap) pada tahun 2012 mencapai 90,2 % sedangkan di Provinsi Bali angka
kesuksesan pengobatan tahun 2012 mencapai 86,1% yaitu hanya 1,1% di atas
target minimal yang ditetapkan WHO (Kemenkes RI, 2013).
Selain untuk menyembuhkan pasien dan mencegah kematian, tujuan
pengobatan TB lainnya yaitu mencegah kekambuhan, memutuskan rantai
penularan, dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti
Tuberkulosis (OAT). Pengobatan pasien TB di Indonesia dibedakan menjadi dua
tahap yaitu tahap awal (intensif) dan tahap lanjutan. Pada pengobatan tahap
intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung
3
untuk mencegah terjadinya resistensi obat (Kemenkes RI, 2011). Selain itu,
apabila pengobatan yang tepat dilakukan pada fase intensif biasanya pasien
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu dan sebagian besar pasien
TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) (Kemenkes RI, 2011).
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Bali, Kota Denpasar memiliki
proporsi suspek TB yang mengalami multi drug resistance (TB-MDR) terbanyak
diantara kabupaten/kota Provinsi Bali pada tahun 2012 yaitu mencapai 46,93%
(46 kasus). Angka suspek TB-MDR di Kota Denpasar pada tahun 2012-2013
mengalami penurunan yang relatif kecil yaitu sebesar 37,33% (Laporan TB Dinas
Kesehatan Kota Denpasar Tahun 2013 dan 2014). Hal serupa juga terjadi pada
angka suspek TB-MDR 2012-2013 di tingkat puskesmas di Kota Denpasar.
Angka suspek TB-MDR puskesmas tahun 2012 (3,98% dengan 15 kasus)
mengalami penurunan yang sangat kecil pada tahun 2013 (3,67% dengan 15
kasus). Sedangkan angka suspek TB-MDR dari non-puskesmas relatif kecil yaitu
1,64% (13 kasus pada tahun 2012) dan 0,55% (4 kasus pada tahun 2013).
Pengobatan TB terdiri dari fase intensif dengan lama pengobatan 2-3 bulan
dan fase lanjutan dengan lama pengobatan 4 bulan. Obat TB seharusnya diminum
secara teratur selama 6-8 bulan sesuai dengan jadwal untuk mencegah terjadinya
resistensi obat TB. Beberapa penelitian menemukan dampak dari ketidakteraturan
minum obat TB. Penelitian di Indonesia menemukan pasien yang mengonsumsi
obat TB secara tidak teratur memiliki risiko menjadi TB-MDR sebesar 2,3 kali
dibandingkan dengan pasien yang mengonsumsi obat TB secara teratur (SR et.al.,
2012). Hasil penelitian lainnya menunjukkan pasien yang teratur berobat
4
berhubungan dengan terjadinya konversi dahak dengan nilai OR = 4,92 dan p =
0,004 (Astuti, 2010). Selain itu sebuah penelitian di Rusia menemukan bahwa
total hari seorang pasien tidak minum obat TB pada fase intensif berhubungan
dengan kejadian default (putus obat) dengan kategori pasien yang tidak minum
obat TB 1-7 hari pada fase intensif memiliki OR = 2,1 (95% CI : 1,2–3,7), tidak
minum obat TB sejumlah 8–14 hari dengan OR = 4,3 (95% CI : 1,6-7,1), dan
tidak minum obat TB lebih dari 14 hari dengan OR = 4,6 (95% CI : 2,5-8,5)
(Jakubowiak et al., 2009).
Beberapa penelitian tentang ketidakteraturan minum obat TB di Indonesia
yang telah terpublikasi yaitu menganalisis ketidakteraturan minum obat dalam
bentuk proporsi sementara analisis waktu kejadian (time to event) ketidakteraturan
belum dilakukan. Pada penelitian ini dilakukan analisis terkait prediktor yang
berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat. Beberapa faktor yang
berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat TB yang ditemukan di
Indonesia yaitu penderita dengan status kambuh, keberadaan PMO, terdapat
selang waktu pengobatan, penyuluhan, kunjungan rumah, mutu obat, sarana
transportasi, jarak, pendapatan keluarga, dukungan keluarga, efek samping obat,
perilaku petugas, dan pengetahuan (Ubaidillah, 2001; Senewe, 2002; Raharno,
2005; Simamoro, 2004). Sedangkan beberapa penelitian di luar Indonesia
menemukan faktor yang berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat yaitu
ketidaktahuan tentang lama pengobatan, jarak, dan riwayat merokok (Ibrahim et
al., 2014). Sementara untuk faktor demografi dan klinis awal pasien beberapa
penelitian mendapatkan hasil yang berbeda. Penelitian tentang kondisi demografi,
5
kondisi klinis pasien, dan faktor program pengobatan TB penting dilakukan untuk
mengetahui kondisi pasien yang mengalami ketidakteraturan berdasarkan ketiga
hal tersebut sehingga dapat disusun upaya untuk mencegah ketidakteraturan
minum obat pasien TB.
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Kota Denpasar karena berdasarkan
wawancara dengan petugas TB di puskesmas, kebanyakan pasien TB merupakan
penduduk pendatang dengan tingkat mobilisasi yang cukup tinggi. Kondisi
tersebut cenderung mengakibatkan pasien tidak teratur dalam menjalani
pengobatan TB di Kota Denpasar. Selain itu 34,1% pasien TB (tahun 2011–2012)
diobati di puskesmas dengan data TB 01 dan TB 03 yang lebih mudah diakses.
Berdasarkan data TB elektronik, angka konversi pada tahun 2011 (67,2%) dan
2012 (67%) tidak mencapai target minimal yang ditentukan yaitu sebesar 80%.
Apabila hal ini tidak ditangani maka ketidakteraturan minum obat tersebut dapat
menurunkan capaian angka konversi dan meningkatkan suspek TB-MDR
sehingga meningkatkan risiko penularan TB di Kota Denpasar. Selain itu
penelitian serupa belum pernah dilakukan di Kota Denpasar.
Berdasarkan pemaparan di atas maka penulis merasa perlu untuk
melakukan penelitian mengenai prediktor ketidakteraturan minum obat TB di
Puskesmas Kota Denpasar tahun 2011-2012.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan
masalah penelitian terhadap pengobatan tuberkulosis di Puskesmas Kota Denpasar
2011 – 2012 sebagai berikut:
6
1.2.1 Berapakah angka insiden dan median time ketidakteraturan minum obat?
1.2.2 Bagaimanakah gambaran total kumulatif waktu ketidakteraturan minum
obat?
1.2.3 Adakah hubungan antara faktor demografi (umur, jenis kelamin, dan
pengalaman berobat pasien) dengan ketidakteraturan minum obat?
1.2.4 Adakah hubungan antara faktor klinis (hasil pemeriksaan dahak awal, jenis
infeksi TB, dan status HIV) dengan ketidakteraturan minum obat?
1.2.5 Adakah hubungan antara faktor program (jenis puskesmas, hubungan
pasien dengan PMO, durasi maksimal pemberian obat fase intensif, durasi
maksimal pemberian obat fase lanjutan, dan pemberian obat pada
peralihan setelah fase intensif) dengan ketidakteraturan minum obat?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Mengetahui prediktor ketidakteraturan minum obat TB pada pasien
dengan pengobatan kategori 1 di Puskesmas Kota Denpasar tahun 2011-2012.
1.3.2 Tujuan khusus
Tujuan khusus penelitian pada pasien TB dengan pengobatan kategori 1 di
Puskesmas Kota Denpasar adalah untuk mengetahui hal seperti diuraikan di
bawah ini.
1. Angka insiden dan median time ketidakteraturan minum obat
2. Gambaran total kumulatif waktu ketidakteraturan minum obat
3. Hubungan antara faktor demografi (umur, jenis kelamin, dan pengalaman
berobat pasien) dengan ketidakteraturan minum obat
7
4. Hubungan antara faktor klinis (hasil pemeriksaan dahak awal, jenis infeksi
TB, dan status HIV) dengan ketidakteraturan minum obat
5. Hubungan antara faktor program (jenis puskesmas, hubungan pasien dengan
PMO, durasi maksimal pemberian obat fase intensif, durasi pemberian obat
fase lanjutan, dan pemberian obat pada peralihan setelah fase intensif) dengan
ketidakteraturan minum obat
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat praktis
1. Sebagai bahan masukan terhadap petugas kesehatan terutamanya tenaga
kesehatan program TB untuk mengoptimalkan program pengobatan pasien TB
dan mengendalikan munculnya kasus TB-MDR.
2. Memberikan masukan kepada pemegang kebijakan untuk hasil evaluasi
program sehingga dapat meningkatkan pencatatan yang lebih lengkap pada
program TB.
3. Memberikan masukan untuk memperpendek durasi minum obat TB untuk
mengurangi risiko kejadian ketidakteraturan minum obat.
4. Memberikan informasi kepada pasien TB mengenai titik-titik waktu di mana
pasien berpotensi mengalami ketidakteraturan minum obat.
1.4.2 Manfaat teoritis
1. Memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan terkait
faktor yang berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat TB.
8
2. Data yang diperoleh dapat dipergunakan sebagai informasi awal untuk
penelitian ketidakteraturan minum obat TB selanjutnya terkait aspek mental
dengan analisis yang lebih mendalam.
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Aspek Klinis dan Epidemiologi Tuberkulosis (TB)
Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Paru-paru merupakan
organ yang seringkali terserang kuman TB namun terdapat beberapa bagian tubuh
lain yang juga dapat diserang seperti ginjal, tulang belakang, dan otak. Menurut
Centers for Disease Control and Preventive (CDC) dan WHO, penularan TB dari
orang ke orang dapat melalui udara yang terkontaminasi kuman TB oleh penderita
TB dengan cara bersin, batuk, berbicara atau bernyanyi. Orang yang berdekatan
dengan kondisi tersebut berpotensi menghirup kuman TB sehingga terinfeksi
kuman TB hanya saja tidak setiap orang yang terinfeksi kuman TB menjadi sakit
TB. Akibat hal tersebut dikenal dua macam kondisi terkait TB yaitu infeksi TB
laten dan penyakit TB. Sedangkan berdasarkan Kemenkes RI (2011) penularan
TB tergantung dari kondisi ruangan tempat udara terkontaminasi kuman TB,
lamanya kuman TB berada dalam suatu ruangan, derajat kepositifan hasil
pemeriksaan dahak penderita, dan konsentrasi kuman TB di udara serta lamanya
menghirup udara. Di sisi lain TB tidak ditularkan melalui bersalaman, berbagi
makanan atau minuman, menyentuh seprai atau kursi toilet, berbagi sikat gigi, dan
berciuman (CDC, 2014).
2.1.1 Diagnosa tuberkulosis (TB)
Diagnosa penyakit TB yang digunakan di Indonesia dilakukan berdasarkan
Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis yang dibedakan sesuai dengan
10
letak penyakit TB. Beberapa kriteria diagnosa penyakit TB adalah sebagai berikut.
a. Diagnosa TB paru
1. Seluruh suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam kurun waktu 2 hari
yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS).
2. Diagnosa TB paru pada orang dewasa ditetapkan dengan penemuan
kuman TB. Menurut program TB nasional, pemeriksaan dahak
mikroskopis untuk penemuan BTA adalah diagnosa utama. Pemeriksaan
lain seperti foto toraks, biakan, dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai
penunjang diagnosa sepanjang sesuai dengan indikasinya.
3. Diagnosa TB tidak diperbolehkan hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja karena foto toraks tidak selalu memberikan gambaran khas
keberadaan TB paru sehingga sering terjadi overdiagnosa.
b. Diagnosa TB ekstra paru
1. Gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena, seperti kaku
kuduk pada meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (pleuritis),
pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan
deformatis tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.
2. Diagnosa pasti ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis atau
histopatologis yang diambil dari jaringan tubuh.
c. Diagnosa TB pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA)
Pada ODHA kriteria diagnosa TB paru dan TB ekstra ditegakkan sebagai
berikut:
11
1. TB paru BTA positif ditegakkan apabila minimal satu hasil pemeriksaan
dahak positif
2. TB paru BTA negatif ditegakkan apabila hasil pemeriksaan dahak negatif
dan gambaran klinis dan radiologis mendukung TB atau BTA negatif dari
hasil kultur TB positif.
3. TB ekstra paru pada ODHA ditegakkan dengan pemeriksaan klinis
bakteriologis dan atau histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang
terkena.
Gambar 2.1
Alur Diagnosa TB Paru (Kemenkes, 2011)
12
2.1.2 Pengobatan TB
Secara umum tujuan pengobatan Tuberkulosis (TB) antara lain
penyembuhan pasien serta mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas,
pencegahan kematian, pencegahan kekambuhan, pemutusan rantai penularan,
serta pencegahan timbulnya resistensi kuman terhadap obat anti tuberkulosis
(OAT) dan penularannya (Kemenkes RI, 2011; TB Fact.org, 2014). Panduan
pengobatan TB yang berlaku di dunia dan Indonesia saat ini disebut dengan
DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse chemotherapy). DOTS
merupakan strategi yang ditetapkan oleh WHO yang bertujuan untuk mencapai
angka kesembuhan yang tinggi, mencegah putus berobat, mengatasi efek samping
OAT, serta mencegah resistensi kuman akibat ketidakpatuhan.
Prinsip-prinsip yang diterapkan pada pengobatan TB menurut Kemenkes
dan TB Facts yaitu: 1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa
jenis obat dalam jumlah yang cukup serta dosis yang sesuai dengan kategori
pengobatan untuk mencegah resistensi kuman terhadap obat; 2) jangan
menambahkan OAT tunggal (monoterapi); 3) pengobatan dilakukan di bawah
pengawasan langsung dengan pemilihan seorang Pengawas Minum Obat (PMO)
untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat; 4) kepatuhan terhadap
pengobatan TB menjadi tanggung jawab dokter yang merawat serta pasien; 5)
pengobatan dilakukan dalam dua fase yaitu intensif dan lanjutan.
1. Fase intensif
Pengobatan fase intensif merupakan bagian awal dari prosedur pengobatan
TB. Pengobatan fase intensif berlangsung dua bulan untuk pasien dengan OAT
13
kategori satu dan tiga bulan untuk pasien dengan OAT kategori dua. Pengobatan
dua bulan pertama pada pasien dengan kategori satu pada fase intensif bertujuan
untuk mencapai angka konversi pada fase awal, mencegah terjadinya resistensi
obat, dan membuat pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu
(Kemenkes RI, 2011). Pengobatan fase intensif perlu diperhatikan agar berjalan
sesuai dengan prosedur karena ketidaktepatan pelaksanaan pengobatan fase
intensif termasuk ketidakteraturan minum obat dapat berdampak pada kegagalan
konversi di akhir pengobatan fase intensif serta timbulnya masalah TB-MDR.
2. Fase lanjutan
Pasien yang telah menyelesaikan fase intensif akan diberikan pengobatan
fase lanjutan selama empat bulan. Pada fase lanjutan pasien akan mendapat obat
yang lebih sedikit dibandingkan dengan fase intensif namun dalam jangka waktu
pengobatan yang lebih panjang. Pada fase ini pemberian isoniasid dan rifampisin
tetap diberikan selama empat bulan. Pengobatan pada fase lanjutan bertujuan
untuk membunuh kuman persister dengan maksud mencegah kekambuhan
(Kemenkes RI, 2011).
2.1.3 Ketidakteraturan minum obat
Secara program TB ketidakteraturan minum obat didefinisikan sebagai
ketidaksesuaian seorang pasien dalam mengikuti jadwal pengobatan yang telah
ditentukan. Pasien TB seharusnya mengikuti ketentuan tersebut agar mendapat
hasil pengobatan yang optimal. Ketidakteraturan minum obat pada pasien TB
seharusnya tidak terjadi apabila keberadaan pengawas minum obat (PMO) dan
pemegang program TB membimbing secara penuh. Perilaku minum obat yang
14
tidak teratur akan mempersulit kesembuhan terhadap suatu penyakit (Hapsari,
2010).
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan mengenai ketidakteraturan
minum obat TB memiliki definisi yang berbeda-beda dan memakai istilah lain
seperti kepatuhan. Definisi pada penelitian tersebut yaitu sebagai berikut.
Tabel 2.1
Definisi Ketidakteraturan Minum Obat Beberapa Penelitian
No Penelitian Nama Variabel Definisi
1 2 3 4
1 Simamoro (2004) Tidak teratur Penderita dikatakan tidak teratur
jika penderita pernah terlambat/lalai
mengambil obat/minum obat lebih
dari 2 hari pada masa pengobatan
intensif dan lebih dari 1 minggu
pada masa fase lanjutan serta tidak
melakukan pemeriksaan sputum
ulang pada akhir bulan ke-2 dan ke-
5.
2 Hapsari (2010) Ketidakteraturan
berobat
Pasien yang selama periode
pengobatan terlambat mengambil
OAT 14 hari/lebih (jika
diakumulasikan) atau pasien yang
tidak menyelesaikan pengobatan
(Drop Out). Selain itu pasien
dikatakan tidak teratur jika pasien
tidak minum obat sesuai dengan
dosis yang dianjurkan.
3 Zuliana (2010) Tidak patuh Responden tidak menelan obat
sesuai dengan ketentuan petugas
kesehatan atau responden tidak
menelan obat lebih dari 8 minggu
selama tahap pengobatan lanjutan
dan tidak mengambil obat serta
tidak memeriksakan dahak sesuai
jadwal yang telah ditetapkan dan
tidak menaati nasihat dari petugas
kesehatan.
15
1 2 3 4
4 Jakubowiak et al.
(2009)
Treatment
interruption
Penghentian pengobatan sementara
didefinisikan sebagai segala jenis
penghentian pengobatan paling
sedikit 1 hari namun tidak melebihi
2 bulan berturut-turut.
5 Ibrahim et al.
(2014)
Treatment
interruption
Penghentian pengobatan TB
sementara yaitu setiap pasien yang
kehilangan pengobatan selama 2
hari berturut-turut pada fase intensif.
Hal tersebut juga berlaku untuk
pasien kategori 1 yang kehilangan
pengobatan 14 hari berturut-turut
dan pasien kategori 2 yang
kehilangan pengobatan 2 hari
berturut-turut pada fase lanjutan
pengobatan.
Beberapa penelitian menunjukkan variasi waktu terjadinya
ketidakteraturan minum obat TB yaitu: 1) kebanyakan ketidakteraturan minum
obat terjadi antara bulan kedua dan ketiga masa pengobatan, hal ini bertepatan
dengan perbaikan kondisi klinis pada awal pengobatan (Gupta et.al., 2011); 2)
Penelitian pada pasien TB paru di Rusia menemukan median kejadian
ketidakteraturan minum obat setiap pasien yaitu 2 kali (interval = 2-6 kali). 20%
pasien mengalami ketidakteraturan minum obat pada fase intensif, 67% pada fase
lanjutan, dan 13% pada kedua fase tersebut. Sementara median lama
ketidakteraturan minum obat yaitu 3 minggu (Oblast, 2001); 3)Penelitian yang
dilakukan di Rusia menemukan ketidakteraturan minum obat pada fase intensif
berkisar antara 1–125 hari dan pada fase lanjutan berkisar antara 1-127 hari
(Jakubowiak et al., 2009); 4) Penelitian oleh Ibrahim et al. (2014) menemukan
16
kejadian ketidakteraturan minum obat sebesar 19%; dan 5) Penelitian oleh
Senewe (2002) menemukan ketidakteraturan minum obat sebesar 33%.
2.2 Teori Lawrence Green
Lawrence Green menjelaskan bahwa perilaku itu dilatarbelakangi atau
dipengaruhi oleh tiga faktor pokok, yakni faktor predisposisi (predisposing
factor), faktor yang mendukung (enabling factor), dan faktor yang memperkuat
atau mendorong (reinforcing factor) (Notoatmodjo, 2007). Faktor predisposisi
dapat mencakup pengetahuan, sikap, pendidikan, kepercayaan, keyakinana, dan
nilai-nilai lainnya yang dianut oleh seseorang. Sedangkan faktor pendukung dapat
mencakup sarana, fasilitas, dan akses agar seseorang mau mengubah
perilakunya. Sementara ini faktor penguat dapat berupa sikap dan perilaku
petugas yang menyebabkan seseorang mengadopsi lebih lama suatu perilaku.
Perilaku seseorang terhadap suatu respon atau stimulus dipengaruhi oleh 2 faktor
yaitu: 1) Faktor internal yang mencakup pengetahuan, kecerdasan, persepsi,
emosi, motivasi, dan sebagainya yang berfungsi untuk mengolah rangsangan dari
luar; 2) Faktor eksternal meliputi lingkungan sekitar baik fisik maupun non-fisik
seperti iklim, manusia, sosial-ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya. Berikut
merupakan gambaran bagan teori perilaku Lawrence Green.
17
Gambar 2.2
Bagan Model PRECEDE Green (1980)
(Sumber: Lawrence W. Green Health Education Planning. A Diagnostic
Approach (1980) dalam (Rahmansyah, 2012)
2.3 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Ketidakteraturan Minum
Obat Tuberkulosis (TB)
Beberapa penelitian terkait faktor yang mempengaruhi ketidakteraturan
minum obat TB dilakuakan di luar negeri dan beberapa telah dilakukan di
Indonesia. Terdapat faktor yang berpengaruh terhadap ketidakteraturan minum
obat TB dan tidak berpengaruh terhadap ketidakteraturan minum obat TB. Berikut
adalah hasil analisis penelitian terkait ketidakteraturan minum obat TB.
Predisposing Factor:
Pengetahuan
Sikap
Nilai
Persepsi
Variabel demografi
Enabling Factor:
Ketersediaan fasilitas
Keterjangkauan fasilitas
kesehatan
Keterampilan petugas
kesehatan
Reinforcing Factor :
Sikap dan perilaku petugas
kesehatan, keluarga,
teman,guru, tokoh
masyarakat
PERILAKU
18
2.3.1 Faktor Sosiodemografi
1. Umur
Penyakit paru lebih sering ditemukan pada golongan usia produktif. Hal
ini menyebabkan tingginya kejadian TB pada kelompok produktif dapat
menurunkan kualitas kehidupan seseorang yang seharusnya berada pada masa
produktif. Beberapa penelitian mendapatkan hasil peningkatan umur memiliki
kecenderungan untuk mengalami ketidakteraturan minum obat. Hal ini
dikarenakan umur yang lebih tua membutuhkan dukungan tambahan untuk
mengakses pengobatan TB (Wu et.al., 2009). Hal tersebut tentu membatasi
kemampuan pasien untuk datang mengambil obat secara teratur di Puskesmas.
Beberapa penelitian mendapatkan kelompok umur beragam untuk
cenderung mengalami ketidakteraturan minum obat diantaranya yaitu : 1)
Simamoro (2004) menunjukkan ketidakteraturan (tidak datang ≥ 2 hari)
pengobatan lebih banyak terjadi pada umur 41-60 tahun dengan persentase
mencapai 41,3%; 2) Gupta et al. (2011) menemukan ketidakteraturan terbanyak
terjadi pada kelompok umur 25-44 tahun (57%); 3) penelitian di Rusia
menemukan umur 25-50 tahun berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat
pasien TB rawat inap yaitu dengan ORs=1,5–1,7 (Belilovsky et al., 2010); 4)
kelompok umur <50 tahun berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat
dengan RR=1,20 95%CI:1,00-1,04 yang menyertakan pasien default sebagai
outcome (Ahmad dan Velhal, 2014). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh
Ibrahim et al. (2014) menemukan tidak ada hubungan signifikan antara kelompok
19
umur > 35 tahun terhadap ketidakteraturan minum obat (AOR = 0,79 dan 95%
CI: 0,34–1,44).
2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin secara tidak langsung berpengaruh terhadap peran sosial
seseorang. Wanita lebih cenderung mencari pelayanan kesehatan dan cenderung
lebih patuh terhadap pengobatan dengan DOTS dibandingkan dengan laki-laki
(Wu et al., 2009). Pendapat berbeda diperoleh dari penelitian di Afrika,
Bangladesh, dan Syria menyatakan bahwa wanita yang telah menikah cenderung
harus meminta ijin kepada suami untuk datang ke layanan kesehatan untuk
berobat TB (Ibrahim et al., 2014).
Hasil penelitian tentang hubungan antara jenis kelamin dengan
ketidakteraturan minum obat TB menunjukkan hal yang berbeda. Beberapa
penelitian mendapatkan hasil sebagai berikut: 1) pada penelitian oleh Gupta et al.
(2011), 77,61% yang mengalami ketidakteraturan minum obat berjenis kelamin
laki-laki; 2) penelitian oleh Ibrahim et al. (2014) menunjukkan jenis kelamin
wanita tidak berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat (AOR = 1,4 dan
95% CI: 0,55–3,47); 3) jenis kelamin laki-laki pada pasien TB rawat inap berisiko
mengalami ketidakteraturan dengan ORs = 1,5–2,3 (Belilovsky et al., 2010); dan
4) jenis kelamin laki-laki berisiko 1,3 kali mengalami ketidakteraturan minum
obat dibandingkan dengan wanita (95% CI: 1,1–1,6) (Connolly et al., 1999); 5)
jenis kelamin laki-laki berisiko mengalami ketidakteraturan minum obat dengan
RR=1,28 95%CI:1,02-1,59 dan p=0,02 (Ahmad dan Velhal, 2014). Sedangkan
penelitian yang dilakukan oleh Simamoro (2004) menunjukkan bahwa perempuan
20
cenderung mengalami ketidakteraturan (tidak datang ≥ 2 hari) pengobatan
dibandingkan laki-laki dengan persentase 62,3%.
3. Pekerjaan
Beberapa penelitian ketidakteraturan minum obat TB meneliti tentang
pekerjaan pasien hanya saja belum diperoleh penjelasan yang jelas mengenai
pengaruhnya. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan hasil yang
berbeda.
Jenis pekerjaan pasien ditemukan tidak berhubungan dengan kepatuhan
minum obat yang rendah (p=0,56) pada penelitian oleh Kayigamba et al. (2013)
dengan hasil pelajar dengan OR=0,38 (95% CI: 0,09-1,68) dan wiraswasta dengan
OR=0,92 (95% CI: 0,43-2). Status bekerja pasien TB ditemukan tidak
berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat dengan AOR=1,6 (95%
CI:0,66-3,70) (Ibrahim et al., 2014). Sedangkan status pasien TB rawat inap yang
tidak bekerja berhubungan signifikan terhadap ketidakteraturan minum obat
(ORs=1,1-2,8) (Belilovsky et al., 2010).
4. Pengetahuan pasien
Pengetahuan menjadi salah satu faktor yang berperan dalam mengambil
suatu keputusan. Menurut Notoatmodjo dalam Zuliana (2010), perilaku seseorang
terkait masalah kesehatan dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan orang tersebut
terhadap masalah kesehatan yang dihadapi. Beberapa penelitian terkait
pengetahuan pasien yaitu: 1) kurangnya pengetahuan pasien tentang durasi minum
obat TB berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat dengan AOR=6,1
(95% CI: 2,8-11,2) (Ibrahim et al., 2014); 2) 61% dari pasien yang tidak teratur
21
berobat memiliki pengetahuan yang kurang mengenai pentingnya melanjutkan
pengobatan (Gupta et al., 2011); 3) Pengetahuan berhubungan dengan
ketidakteraturan minum obat (p=0,004) (Zuliana, 2010).
5. Status pernikahan
Status pernikahan pasien TB berkaitan dengan dukungan sosial yang
diperoleh dari pasangan. Pada beberapa penilitian yang menyertakan status
pernikahan pasien TB tidak melakukan analisis mengenai pengaruh pernikahan
terhadap ketidakteraturan minum obat TB. Penelitian di India menemukan bahwa
72,14% pasien yang mengalami ketidakteraturan memiliki status menikah (Gupta
et al., 2011). Sama halnya dengan penelitian di Indonesia yang menemukan
pasien TB paru yang tidak teratur berobat, 76,67% diantaranya memiliki status
menikah (Hapsari, 2010).
6. Pengalaman berobat pasien
Pengalaman berobat pasien yaitu pengalaman pasien dalam berobat TB
sebelum memulai pengobatan yang ditentukan pada periode penelitian ini
berdasarkan riwayat dan hasil pengobatan seorang pasien TB sebelumnya. Pada
data sekunder pengalaman berobat pasien yang dimaksud tercatat dengan nama
tipe pasien. Tipe pasien yang dikategorikan dalam program tuberkulosis di Bali
yaitu sebagai berikut.
a. Kasus baru
Kasus baru didefinisikan sebagai pasien yang belum pernah mendapatkan
pengobatan TB dengan OAT atau pernah diobati dengan OAT dalam
22
kurun waktu kurang dari empat bulan. Pasien yang dimaksud dapat
memiliki hasil pemeriksaan BTA positif maupun negatif.
b. Kasus yang sebelumnya diobati
Pada tipe pasien yang pernah diobati terdapat beberapa kategori yaitu:
1) Kasus kambuh (relaps) yaitu pasien yang sebelumnya pernah
mendapatkan pengobatan TB serta telah dinyatakan berstatus sembuh
atau pengobatan lengkap kemudian terdiagnosa kembali dengan
kondisi BTA positif (apusan atau kultur)
2) Kasus setelah putus obat (default) yaitu pasien yang telah mengikuti
pengobatan TB namun mengalami putus obat selama dua bulan atau
lebih dengan hasil pemeriksaan BTA positif.
3) Kasus setelah gagal (failure) yaitu pasien yang pada pengobatan
sebelumnya memiliki hasil pemeriksaan dahak tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama masa
pengobatan.
c. Kasus pindahan (transfer in)
Kasus pindahan didefinisikan sebagai pasien yang dipindahkan pencatatan
pengobatannya ke register lain untuk melanjutkan pengobatan.
d. Kasus lain
Kasus lain pada program TB yaitu kasus-kasus yang tidak memenuhi
kategori di atas misalnya beberapa kondisi berikut.
1) Pasien dengan tidak diketahui dengan jelas riwayat pengobatan
sebelumnya
23
2) Pasien yang pernah mengikuti pengobatan TB namun hasil
pengobatannya tidak diketahui
3) Pasien yang kembali diobati namun dengan hasil pemeriksaan BTA
negatif
Pengalaman pengobatan TB yang tergolong buruk dapat menurunkan
motivasi pasien untuk sembuh ditambah mereka kembali mengalami infeksi TB.
Beberapa penelitian menemukan hasil yang berbeda yaitu: 1) Penderita dengan
tipe pasien kambuh memiliki risiko 18 kali lebih besar mengalami
ketidakteraturan minum obat dengan dibandingkan tipe pasien lainnya (OR =
18,18 dan 95% CI: 2,1–157,4) (Ubaidillah 2001); 2) pasien TB rawat inap yang
mengulang pengobatan berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat dengan
ORs = 1,3–2,5 (Belilovsky et al., 2010) dengan kejadian ketidakteraturan minum
obat 51,2%; 3) proporsi pasien yang mengalami ketidakteraturan minum obat
tertinggi pada pasien baru (66,6%) (Kandel et al., 2014).
2.3.2 Faktor Pelayanan Kesehatan
1. Akses ke pelayanan kesehatan
Seorang pasien TB harus mengikuti berobat ke palayanan kesehatan
minimal selama enam bulan. Banyaknya waktu yang dihabiskan untuk menjalani
delapan bulan pengobatan menyebabkan pasien cenderung tidak teratur minum
obat (Ibrahim et al., 2014). Ketersediaan dan akses menjadi hal yang
mempengaruhi seorang pasien TB untuk berobat dalam jangka waktu yang cukup
lama. Beberapa penelitian terkait jarak dan ketersediaan sarana transportasi
terhadap ketidakteraturan minum obat telah dilakukan.
24
Penelitian mengenai jarak tempat tinggal dengan pelayanan kesehatan
yaitu: 1) Jarak tempat tinggal pasien > 5 km (AOR=11,3 95% CI: 5,7-22,2)
membatasi akses pasien TB ke layanan kesehatan terutama saat menjalani
pengobatan TB fase intensif sehingga pasien harus mengeluarkan biaya perjalanan
(Ibrahim et al., 2014); 2) jarak berhubungan dengan keteraturan minum obat
dengan OR=3,26 (95% CI:1,8-5,89 dan p=0,00001) (Senewe, 2002); 3) Jarak
berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat pada penelitian yang dilakukan
oleh Raharno (2005) di Kabupaten Pekalongan.
Selain jarak, ketersediaan sarana transportasi juga diteliti sebagai salah
satu faktor yang mempengaruhi keteraturan minum obat dengan OR=3,12
(95%CI;1,19-8,14 dan p=0,015) (Senewe, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh
Raharno (2005) juga menemukan bahwa transportasi berpengaruh secara
signifikan terhadap ketidakteraturan berobat pasien TB.
2. Status tempat berobat
Pengobatan TB tergolong pengobatan dengan jangka panjang dimana
pengambilan obat yang teratur menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi
keberhasilan pengobatan TB. Sarana dan jenis fasilitas kesehatan tempat pasien
berobat juga berperan dalam mencegah ketidakteraturan minum obat. Pengobatan
TB di Denpasar kini dapat diperoleh di puskesmas, rumah sakit, klinik, maupun di
dokter praktik swasta. Puskesmas di Kota Denpasar berdasarkan penggolangan
dalam program TB dibedakan menjadi dua jenis.
a. Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM) merupakan puskesmas yang
memiliki laboratorium yang bertugas membuat sediaan, pewarnaan, serta
25
pemeriksaan dahak. Selain itu puskesmas ini juga menerima rujukan dan
melaksanakan bimbingan kepada puskesmas satelit. Setiap PRM
diharuskan untuk mengikuti uji silang secara berkala di laboratorium
rujukan uji silang di wilayahnya dengan tujuan menjaga mutu eksternal.
b. Puskesmas Satelit (PS) merupakan puskesmas yang memiliki laboratorium
dengan kapasitas pengumpulan dahak, pembuatan sediaan, dan fiksasi
yang kemudian dikirim ke PRM.
Belum banyak penelitian tentang perbedaan ketidakteraturan minum obat
pasien TB pada kedua jenis puskesmas tersebut namun beberapa hasil terkait
fasilitas pelayanan kesehatan dalam penelitian mendapatkan hasil yang bervariasi
yaitu: 1) 184 (56,27%) ketidakteraturan minum obat terjadi dari pasien yang
resepnya bersumber dari praktisi swasta (Gupta et al., 2011); 2) 121 (47,5%)
ketidakteraturan pasien TB berobat terjadi di puskemas pada penelitian di sebuah
distrik di Afrika Selatan (Kandel et al., 2014); 3) 34,25% ketidakteraturan minum
obat terjadi pada pengobatan dengan DOTS (Gupta et al., 2011).
3. Kualitas obat
Kualitas obat TB yang meningkat menyebabkan gejala umum TB akan
menghilang hanya dalam beberapa minggu pengobatan sehingga pasien yang
memiliki pengetahuan yang kurang akan durasi pengobatan TB cenderung
mengalami ketidakteraturan minum obat (Ibrahim et al., 2014). Mutu obat TB
ditemukan signifikan berhubungan dengan keteraturan minum obat dengan OR=2
(95% CI:1,02-3,9 dan p=0,039) (Senewe, 2002).
26
4. Petugas kesehatan
Aspek petugas kesehatan juga berperan dalam keberhasilan pasien minum
obat TB secara teratur. Baik dari segi kemampuan maupun sikap petugas terhadap
pasien. Pengobatan TB melibatkan interaksi antara pasien dan petugas kesehatan
sehingga sikap petugas kesehatan kepada pasien menjadi salah satu faktor penentu
keberhasilan ataupun kegagalan pengobatan TB (Ibrahim et al., 2014). Petugas
kesehatan yang melayani pasien dengan tidak ramah dan tidak bersahabat
berpotensi menimbulkan ketidakteraturan minum obat pada pasien sebaliknya
pasien yang dirawat dengan penuh cinta dan empati dari petugas kesehatan akan
memberikan keyakinan pada pasien untuk patuh dan setia mengikuti pengobatan
(Ibrahim et al., 2014).
2.3.3 Perilaku berisiko
1. Konsumsi alkohol
Konsumsi alkohol berlebihan menjadi salah satu kebiasaan yang dapat
merusak kesehatan. Hal serupa juga ditemukan pada pasien TB yang tidak teratur
minum obat TB. Konsumsi alkohol dapat menekan respon imun selain itu orang
yang mengonsumsi alkohol seringkali lupa akan janji mereka untuk berobat ke
rumah sakit (Ibrahim et al., 2014). Beberapa penelitian menemukan hasil yaitu: 1)
49,25% pasien yang mengalami ketidakteraturan minum obat memiliki riwayat
konsumsi alkohol (Gupta et al., 2011); 2) Pasien TB rawat inap yang memiliki
kebiasaan buruk terkait alkohol yang ditemukan berhubungan signifikan dengan
ketikdakteraturan pengobatan (ORs=1,8-4,0) (Belilovsky et al., 2010).
27
2. Merokok
Merokok menjadi kebiasaan buruk yang berdampak terhadap orang yang
merokok dan orang disekitarnya. Merokok dapat merusak paru dan menurunkan
imun adaptif tubuh terhadap pengobatan TB hanya saja mekanisme tersebut
belum diketahui meskipun penelitian di Turki dan Rusia menemukan hubungan
signifikan antara merokok dan dengan ketidakteraturan minum obat (Ibrahim et
al., 2014). Sebuah penelitian di India menemukan 57,71% pasien yang mengalami
ketidakteraturan minum obat merupakan perokok (Gupta et al., 2011). Pada
penelitian oleh Ibrahim et al., (2014) ditemukan hubungan bermakna antara
kebiasaan merokok dengan ketidakteraturan minum obat (AOR=3,4 dan 95% CI:
1,5-8,0).
2.3.4 Kondisi Klinis Pasien
1. Jenis infeksi tuberkulosis (TB)
Pada program TB, klasifikasi penyakit TB dibedakan menjadi dua yaitu
TB paru dan TB ekstra paru yang disesuaikan dengan organ tubuh yang terserang
kuman TB. Berdasarkan Pedoman Nasional Penanggulangan TB yaitu: 1) TB
paru didefinisikan sebagai tuberkulosis yang menginfeksi jaringan (parenkim)
paru tidak termasuk selaput paru dan kelenjar pada hilus; 2) TB ekstra paru
didefinisikan sebagai TB yang menginfeksi organ tubuh selain paru seperti selaput
otak, pleura, kelenjar lymfe, selaput jantung, persendian, kulit, tulang, usus,
saluran kencing, dan lain-lain. Khusus untuk pasien dengan kedua infeksi di atas
maka secara pencatatan akan diklasifikasikan sebagai TB paru.
28
Tidak banyak penelitian mengenai hubungan antara jenis infeksi TB
terhadap ketidakteraturan minum obat namun penelitian yang pernah dilakukan
memperoleh hasil yaitu: 1) penelitian yang dilakukan oleh Ibrahim et al (2014)
menemukan kejadian ketidakteraturan pada pasien TB paru sebesar 71 (19%); 2)
Senewe (2002) menemukan ketidakteraturan minum obat TB pada pasien TB paru
lebih besar yaitu 33%; 3) tidak ada perbedaan kepatuhan minum obat TB
berdasarkan klasifikasi infeksi TB (p=0,16) (Kayigamba et al., 2013); 4) jenis
infeksi TB paru pada analisis bivariat ditemukan sebagai faktor risiko
ketidakteraturan minum obat dengan ORs=2,8-5,1 namun tidak terbukti dalam
analisis multivariat (Belilovsky et al., 2010).
2. Hasil Pemeriksaan Dahak
Hasil pemeriksaan dahak sebelum pasien memutuskan untuk mengikuti
pengobatan penting untuk mengetahui tingkat potensi penularan TB oleh pasien
tersebut dan menggolongkan jenis infeksi TB yang diperiksa. Pasien BTA positif
yang tidak teratur atau gagal dalam menjalani pengobatannya berpotensi untuk
menimbulkan resistensi obat dan berisiko tinggi menularkan hal tersebut ke orang
lain. Definisi tentang klasifikasi pasien TB berdasarkan hasil pemeriksaan dahak
awal secara program TB yaitu.
a. TB paru BTA positif dinyatakan apabila memenuhi kriteria yaitu; 1)
minimal dua dari tiga spesimen dahak Sewaktu Pagi Sewaktu (SPS)
menunjukkan hasil BTA positif; 2) satu spesimen dahak SPS
menunjukkan hasil BTA positif dengan foto toraks dada disertai gambaran
tuberkulosis; 3) satu spesimen dahak SPS menunjukkan hasil BTA positif
29
yang disertai biakan kuman positif; 4) satu atau lebih spesimen dahak SPS
menunjukkan hasil positif setelah tiga spesimen pada pemeriksaan BTA
sebelumnya menunjukkan hasil negatif tanpa ada perbaikan setelah
diberikan antibiotik non-OAT.
b. TB paru BTA negatif dinyatakan apabila kasus tidak memenuhi kriteria
TB paru BTA positif namun memenuhi kriteria berikut: 1) paling tidak
tiga spesimen dahak SPS menunjukkan hasil BTA negatif; 2) foto toraks
abnormal dengan menunjukkan gambaran tuberkulosis; 3) bagi pasien
dengan HIV negatif tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian
antibiotik non-OAT; 4) dipertimbangkan oleh dokter untuk diberikan
pengobatan.
Tidak banyak penelitian tentang hubungan antara hasil pemeriksaan dahak
terhadap ketidakteraturan pengobatan. Namun penelitian yang dilakukan oleh
Ahmad dan Velhal (2014) menunjukkan ketidakteraturan minum obat TB pada
pasien TB baru BTA positif sebesar 71% (199 kasus).
3. Jenis Rejimen Obat
Pengobatan TB dilakukan dengan pemberian obat sedemikian rupa pada
dosis dan waktu tertentu untuk dapat mencapai tujuan pengobatan. Sampai saat ini
lebih dari dua puluh jenis obat digunakan untuk pengobatan TB yang hampir
semuanya dikembangkan beberapa tahun lalu (TB Facts.org, 2014). Obat TB
digunakan dengan dalam berbagai kombinasi dalam berbagai kondisi berbeda. Hal
ini terlihat dari kombinasi obat yang digunakan pada pasien TB baru yang besar
kemungkinan tidak memiliki resistensi terhadap obat TB. Kombinasi-kombinasi
30
dari obat TB yang digunakan dalam pengobatan disebut dengan rejimen atau
panduan OAT.
Secara umum panduan OAT dibedakan menjadi dua yaitu kategori 1 dan
kategori 2. Rejimen kategori 1 diberikan kepada pasien dengan kriteria yaitu: 1)
pasien baru TB paru BTA (Basil Tahan Asam) positif; 2) pasien TB paru BTA
negatif foro toraks positif; 3) pasien TB ekstrak paru; dan 4) pasien dengan
pengobatan TB kurang dari 1 bulan. Lima obat dasar yang digunakan pada
kategori 1 yaitu izoniasid, rifampicin, pyrazinamide, ethambutol, dan
streptomycin. Sedangkan rejimen kategori 2 diberikan kepada pasien yang
merupakan kasus kambuh, pasien gagal pada pengobatan sebelumnya, dan pasien
dengan status pengobatan default (putus obat). Jenis obat yang digunakan pada
kategori 2 sama degan kategori 1, hanya saja terdapat perbedaan pada kombinasi
dan dosis obat. Kombinasi dan dosis obat berdasarkan jenis rejimen dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel 2.2
Kombinasi dan Dosis OAT KDT Berdasarkan Jenis Rejimen
Jenis
Rejimen
Berat Badan
(kg)
Tahap Intensif
RHZE(150/75/400/275)
Tahap Lanjutan
RH (150/150)
1 2 3 4
Kategori 1 30-37 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
>71 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
31
Tabel 2.3
Kombinasi dan Dosis OAT Kombipak Berdasarkan Jenis Rejimen
Jenis
Rejimen/Tahap
Pengobatan
Lama
Pengobatan
Dosis per hari/kali Jumlah
hari
menelan
obat
H
300mg
R
450mg
Z
500mg
E
250mg
E
400mg
S
injeksi
Kategori 1
- Intensif 2 bulan 1 1 3 3 - - 56 kali
- Lanjutan 4 bulan
2 1 - - - - 48 kali
Kategori 2
- Intensif 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75gr 56 kali
1 bulan 1 1 3 3 - - 28 kali
- Lanjutan 4 bulan 2 1 - 1 2 - 60 kali
Banyaknya jenis dan kombinasi obat TB yang digunakan menyebabkan
pengobatan TB lebih berat sebagai akibat efek samping dari masing-masing obat.
Berikut adalah efek samping OAT yang digunakan dalam pengobatan TB di
Indonesia beserta penatalaksanaannya.
1 2 3 4
Jenis
Rejimen
Berat Badan
(kg)
Tahap Intensif
RHZE (150/75/400/275)
Tahap Lanjutan
RH (150/150)+E(400)
Selama 56 hari Selama 28 hari
Kategori 2 30-37 2 tablet 4KDT + 500 mg
streptomisin injeksi
2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT+2 tablet
etambutol
38-54 3 tablet 4KDT+750 mg
streptomisin injeksi
3 tablet 4KDT
3 tablet 2KDT+3 tablet
etambutol
55-70 4 tablet 4KDT+1.000
mg streptomisin injeksi
4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT+4 tablet
etambutol
>71 5 tablet 4KDT+ 1.000
mg streptomisin injeksi
5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT+5 tablet
etambutol
32
Tabel 2.4
Efek Samping OAT dan Penatalaksanaannya
Efek Samping Kategori Efek
Samping
Penyebab Penatalaksanaan
1. Tidak ada nafsu
makan, mual, sakit
perut
Ringan Rifampicin Semua OAT diminum malam
hari sebelum tidur
2. Nyeri sendi Ringan Pyrazinamide Beri aspirin
3. Kesemutan sampai
dengan rasa terbakar
pada kaki
Ringan Izoniasid Beli vitamin B6 (piridoxin) 100
mg per hari
4. Warna kemerahan
pada air seni (urin)
Ringan Rifampicin Tidak perlu diberi apa-apa
namun perlu penjelasan kepada
pasien
5. Gatal dan kemerahan
pada kulit
Berat Semua jenis
OAT
Singkirkan kemungkinan lain
dapat dilakukan dengan
pemberian anti histamine sambil
diberikan OAT dengan
pengawasan ketat. Apabila tidak
hilang maka hentikan OAT dan
lakukan rujukan
6. Tuli Berat Streptomycin Streptomycin dihentikan ganti
dengan ethambutol
7. Gangguan
keseimbangan
Berat Streptomycin Streptomycin dihentikan ganti
dengan ethambutol
8. Ikterus tanpa
penyebab lain
Berat Hampir semua
OAT
Hentikan semua OAT sampai
ikterus hilang
9. Bingung dan muntah-
muntah (permulaan
pada ikterus karena
obat)
Berat Hampir semua
OAT
Hentikan semua OAT dan segera
lakukan tes fungsi hati
10. Gangguan
pengelihatan
Berat Ethambutol Hentikan ethambutol
11. Purpura dan renjatan
(syok)
Berat Rifampicin Hentikan rifampicin
Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis
Hanya sedikit penelitian yang dilakukan untuk melihat hubungan antara
jenis rejimen terhadap ketidakteraturan minum obat pasien TB namun beberapa
penelitian menemukan beberapa hal terkait dengan rejimen obat yang diberikan
terhadap ketidakteraturan.
33
Penelitian yang dilakukan oleh Raharno (2005) menunjukkan hubungan
antara efek samping obat terhadap ketidakteraturan minum obat. Beberapa
penelitian serupa mendapatkan hasil yaitu: 1) efek samping obat berpengaruh
terhadap ketidakteraturan minum obat TB dengan OR=6,105, 95% CI:1,503–
24,796, dan p = 0,011 (Simamoro, 2004); 2) 6,9% pasien mengutarakan efek
samping menjadi alasan ketidakteraturan minum obat TB (Kandel et al., 2014).
4. Status HIV
Status HIV sekarang menjadi perhatian pula pada program penanganan TB
secara nasional sehingga dibentuklah program kolaborasi TB-HIV. Adanya
penyakit HIV pada pasien TB akan memberikan beban yang semakin besar
terhadap efek samping dari kedua pengobatan yang diterima sehingga
menyebabkan pasien untuk tidak teratur dalam mengikuti pengobatan TB.
Beberapa penelitian menemukan hasil yang bervariasi. Penelitian yang
dilakukan oleh Sardar et al. (2010) memperoleh prevalensi ketidakpatuhan
berobat TB pada pasien TB-HIV sebesar 40,5% (95% CI:30,5–50,5). Penelitian
lain di Rwandan menemukan bahwa ada hubungan antara infeksi HIV dengan
buruknya kepatuhan pasien TB dalam berobat dengan OR = 1,7 namun hasil ini
tidak bermakna secara statistik (95% CI : 0,97–3,0 dan p=0,06) (Kayigamba et al.,
2013). Sedangkan pasien TB dengan HIV yang tidak dalam program ART
cenderung memiliki kepatuhan yang rendah dalam menjalankan pengobatan TB
(OR = 2,4 dan 95% CI: 1,2–4,6) (Kayigamba et al., 2013). Hal serupa juga
didapat pada penelitian oleh Connolly et al. (1999) di mana status HIV positif
berisiko 1,8 kali mengalami ketidakteraturan minum obat dibandingkan status
34
HIV negatif dengan 95% CI: 1,4–2,4. Tidak adanya konseling pada pasien TB-
HIV menjadi salah satu faktor ketidakpatuhan pasien dalam pengobatan TB
(AOR=47,12, 95% CI: 7,99–195,27) (Sardar et al., 2010). Ketidakpatuhan pasien
TB-HIV tersebut berpotensi menimbulkan ketidakteraturan pada pengobatan TB.
2.3.5 Hubungan Pasien dengan Pengawas Minum Obat (PMO)
Pengawas Minum Obat (PMO) adalah salah satu upaya dalam strategi
DOTS untuk menjamin keberhasilan seorang pasien mengikuti pengobatan TB.
PMO bertugas untuk mengawasi pasien TB menum obat sesuai dengan jadwal.
Adanya PMO seharusnya dapat memberikan dukungan bagi pasien TB untuk
menjalani pengobatan yang tegolong jangka panjang. Penelitian terkait PMO
dengan keberhasilan pengobatan TB ataupun ketidakteraturan minum obat.
Hubungan pasien dengan PMO menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan
dalam menentukan PMO. PMO yang dipilih dari anggota keluarga memiliki
beberapa keuntungan yaitu kondisi dekat dengan pasien sehingga dapat setiap saat
memantau pasien minum obat, tedapat ikatan emosional sehingga penderita
merasa mendapatkan perhatian dari keluarga, dan dapat dipercaya oleh pasien
(Hapsari, 2010).
Beberapa penelitian terkait PMO yang telah dilakukan yaitu: 1) 40,9%
pasien yang mengalami ketidakteraturan minum obat menyatakan bahwa PMO
mereka berasal dari keluarga atau kader desa; 2) penderita yang memiliki PMO
anggota keluarga merupakan faktor protektif dengan OR=0,34 namun tidak
terbukti secara statistik (p=0,13) (Ubaidillah, 2001); 3) penderita dengan PMO
35
yang memiliki kinerja baik berhubungan dengan keteraturan berobat pasien TB
dengan OR=5,23 dan p=0,003 (Hapsari, 2010).
36
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Berdasarkan kajian maka kerangka bepikir dalam penelitian ini yaitu
perilaku ketidakteraturan minum obat dipengaruhi oleh faktor sosiodemografi,
pelayanan kesehatan, kondisi klinis pasien, perilaku berisiko, dan hubungan
pasien dengan PMO.
Faktor sosiodemografi pasien yang mempengaruhi perilaku
ketidakteraturan minum obat yaitu jenis kelamin, umur, pengalaman berobat
pasien, pekerjaan, dan pengetahuan. Faktor sosiodemografi tersebut berperan
terhadap perilaku ketidakteraturan minum obat terkait kehidupan sosial dan cara
seseorang mengambil keputusan terhadap masalah kesehatan yang sedang
dihadapi.
Kondisi pengobatan TB yang tergolong memerlukan waktu yang cukup
lama menyebabkan faktor pelayanan kesehatan juga berperan dalam terjadinya
ketidakteraturan minum obat pasien TB. Faktor pelayanan kesehatan yang
ditemukan berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat TB yaitu jenis
puskesmas, ketersediaan obat, jarak tempat tinggal ke tempat pelayanan
kesehatan, ketersediaan sarana transportasi, dan sikap petugas pemberi layanan
pengobatan TB. Kondisi pelayanan kesehatan yang terjangkau dan pelayanan
yang nyaman dapat memberikan kesan yang baik kepada pasien sehingga
berpengaruh terhadap perilaku minum obat pasien.
Perilaku berisiko pasien yang ditemukan lebih berkaitan dengan dampak
37
yang ditimbulkan pada kondisi fisik dan psikis pasien. Konsumsi alkohol dan
merokok merupakan perilaku berisiko yang ditemukan berhubungan dengan
ketidakteraturan minum obat pasien.
Faktor lainnya yang memiliki potensi hubungan dengan ketidakteraturan
minum obat yaitu kondisi klinis pasien yang meliputi jenis infeksi TB, hasil
pemeriksaan dahak awal, jenis rejimen obat, dan status HIV. Kondisi klinis pasien
berkaitan dengan kemampuan pasien untuk datang ke pelayanan kesehatan untuk
mengambil obat atau sebaliknya kondisi klinis yang membaik membuat pasien
merasa seolah-olah sembuh dari penyakit sehingga memutuskan untuk tidak
minum obat.
Berdasarkan kerangka berpikir di atas maka dapat diketahui
ketidakteraturan minum obat TB dipengaruhi oleh faktor sosiodemografi (umur,
jenis kelamin, pengalaman berobat pasien, pekerjaan, dan pengetahuan), faktor
pelayanan kesehatan (jenis puskesmas, ketersediaan obat, jarak tempat tinggal ke
tempat pelayanan kesehatan, ketersediaan sarana transportasi, dan sikap petugas
pemberi layanan pengobatan TB), perilaku berisiko (konsumsi alkohol dan
merokok), faktor kondisi klinis pasien (jenis infeksi TB, hasil pemeriksaan dahak
awal, jenis rejimen obat, dan status HIV), dan hubungan pasien dengan PMO.
Pada penelitian ini ditambahkan variabel program lainnya yang belum ditemukan
pada penelitian lainnya yaitu durasi pemberian obat (fase intensif dan lanjutan)
dan pemberian obat pada peralihan setelah fase intensif.
38
3.2 Konsep Penelitian
Gambar 3.1
Konsep Penelitian
Keterangan :
: variabel yang diteliti
: variabel yang tidak diteliti
3.3 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka, dan
kerang konsep serta jenis data yang tersedia maka disusun hipotesis penelitian
Faktor Sosiodemografi
- Umur
- Jenis kelamin
- Pengalaman berobat pasien
Faktor Pelayanan Kesehatan dan
Program
- Jenis puskesmas
- Hubungan pasien dengan PMO
- Durasi pemberian obat (fase
intensif dan lanjutan)
- Pemberian obat peralihan akhir
fase intensif
Faktor Klinis Pasien
- Jenis infeksi TB
- Hasil pemeriksaan dahak awal
- Status HIV
Ketidakteraturan
minum obat
- Kualitas Obat
- Jarak ke pelayanan kesehatan
- Ketersediaan sarana transportasi
- Sikap petugas
Perilaku Berisiko Pasien
- Konsumsi alkohol
- Merokok
- Pengetahuan pasien
- Pekerjaan
- Jenis rejimen obat
39
tentang pengobatan tuberkulosis di Puskesmas Kota Denpasar Tahun 2011 – 2012
sebagai berikut.
1. Terdapat hubungan antara umur dengan ketidakteraturan minum obat
tuberkulosis.
2. Terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan ketidakteraturan minum obat.
3. Terdapat hubungan antara pengalaman berobat pasien dengan ketidakteraturan
minum obat.
4. Terdapat hubungan antara hasil pemeriksaan dahak awal dengan
ketidakteraturan minum obat.
5. Terdapat hubungan antara jenis infeksi TB dengan ketidakteraturan minum
obat.
6. Terdapat hubungan antara status HIV dengan ketidakteraturan minum obat.
7. Terdapat hubungan antara jenis puskesmas dengan ketidakteraturan minum
obat.
8. Terdapat hubungan antara hubungan pasien dengan PMO dengan
ketidakteraturan minum obat.
9. Terdapat hubungan antara durasi maksimal pemberian obat fase intensif
dengan ketidakteraturan minum obat.
10. Terdapat hubungan antara durasi maksimal pemberian obat fase lanjutan
dengan ketidakteraturan minum obat.
11. Terdapat hubungan antara pemberian obat pada peralihan setelah fase intensif
dengan ketidakteraturan minum obat.
40
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan yaitu penelitian longitudinal
menggunakan data cohort pasien TB dengan pengobatan kategori 1 yang terdaftar
dalam pengobatan di seluruh Puskesmas Kota Denpasar periode 1 Januari 2011
sampai dengan 31 Desember 2012.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di seluruh Puskesmas di Kota Denpasar pada
bulan Desember 2014 sampai dengan 1 Pebruari 2015. Kota Denpasar memiliki
11 puskesmas yang tersebar di empat kecamatan antara lain Kecamatan Denpasar
Timur (Puskesmas I dan II Denpasar Timur), Kecamatan Denpasar Utara
(Puskesmas I, II, dan III Denpasar Utara), Kecamatan Denpasar Barat (Puskesmas
I dan II Denpasar Barat), dan Kecamatan Denpasar Selatan (Puskesmas I, II, III,
dan IV Denpasar Selatan). Pada tahun 2011, seluruh puskesmas di Kota Denpasar
telah menerapkan strategi DOTS dan semua pemegang program TB telah
mendapatkan pelatihan terkait strategi DOTS. Di Denpasar terdapat dua
Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM) dan sembilan puskesmas satelit.
Puskesmas yang ditunjuk sebagai PRM yaitu Puskesmas I Denpasar Selatan dan
Puskesmas I Denpasar Utara. Seluruh puskesmas di Kota Denpasar memberikan
pelayanan pengobatan TB serta memiliki rekam medis pasien berupa formulir TB
01 dan TB 03.
41
Dipilihnya puskesmas di Kota Denpasar karena Kota Denpasar memiliki
jumlah pasien TB terbanyak dibandingkan Kabupaten/Kota lainnya serta
tingginya penduduk pendatang di Kota Denpasar yang berpotensi untuk
mengalami ketidakteraturan minum obat TB.
4.3 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini yaitu Ilmu Kesehatan Masyarakat tentang
manajemen berobat TB di Puskesmas Kota Denpasar.
4.4 Penentuan Sumber Data
4.4.1 Populasi penelitian
Populasi penelitian ini adalah semua pasien TB yang terdaftar di dalam
pengobatan TB di Puskesmas Kota Denpasar pada 1 Januari 2011 sampai dengan
31 Desember 2012 sebanyak 819 orang.
4.4.2 Jumlah dan besar sampel penelitian
Sampel yang akan digunakan pada penelitian ini adalah seluruh pasien TB
yang terdaftar dalam pengobatan TB di 11 Puskesmas Kota Denpasar periode
2011–2012 yang memenuhi kriterian inklusi dan eksklusi sebagai berikut.
1. Kriteria inklusi
a. Pasien TB yang berusia ≥ 15 tahun
b. Apabila pasien memiliki catatan pengobatan lebih dari 1 kali selama
periode 1 Januari 2011– 31 Desember 2012 maka akan diambil riwayat
pengobatan yang pertama
c. Pasien dengan TB 01 dan TB 03 yang dapat ditemukan di Puskesmas di
Kota Denpasar
42
d. Pasien TB dengan pengobatan kategori 1
2. Kriteria eksklusi
Kriteria eksklusi pada penelitian ini yaitu pasien TB dengan formulir TB 01
dengan fase intensif yang tidak lengkap atau tidak tercatat.
Penentuan besar sampel minimal yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu menggunakan rumus untuk penelitian analitis kategorik tidak berpasangan
sebagai berikut (Dahlan, 2009):
𝑛1 = 𝑛2 = (𝑍𝛼 2𝑃𝑄 + 𝑍𝛽 𝑃1𝑄1 + 𝑃2𝑄2)2
(𝑃1 − 𝑃2)2 (1)
Dengan asumsi:
P2 = 24% = 0, 24 (Simamoro, J, 2004)
Q2 = 1- P2 = 1 – 0,24 = 0,76
Zα = deviat baku alfa yang digunakan sebesar 1,96
Zβ = deviat baku beta yang digunakan sebesar 0,84
d ( P1 – P2) = presisi yang diinginkan adalah 20%
P1 = 0,20 + 0,24 = 0,44
Q1 = 1- P1 = 1 - 0,44 = 0,56
P = (P1 + P2)/2 yaitu (0,44+0,24)/2 = 0,34
Q = 1 - P = 1 - 0,34 = 0,66
Berdasarkan rumus dan asumsi di atas maka dapat dilakukan perhitungan besar
sampel minimum sebagai berikut:
n1=n2= (1,96 2 0,34 0,66 +0,84 0,44 0,56 + 0,24 (0,76)2
(0,44-0,24)2
43
n1 = n2 = 87
P2 merupakan proporsi pada kelompok yang teratur berobat, yang didapat dari
penelitian oleh Simamoro,J (2004) pada kelompok yang teratur berobat dengan
faktor risiko tidak memiliki PMO.
Jadi berdasarkan perhitungan di atas maka jumlah sampel minimal pada
kelompok yang tidak teratur berobat sebanyak 87 orang dan jumlah sampel
minimal pada kelompok yang teratur berobat sebanyak 87 orang sehingga jumlah
minimal total sampel yaitu 2 x 87 = 174. Untuk mengurangi bias maka peneliti
menggunakan semua sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dalam
penelitian.
4.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel
4.5.1 Variabel penelitian
Penelitian ini menggunakan dua jenis variabel yaitu variabel tergantung
(dependent variable) dan variabel bebas (independent variable). Variabel
tergantung dalam penelitian ini adalah ketidakteraturan minum obat TB
sedangkan variabel bebas adalah: faktor demografi (umur, jenis kelamin, dan
pengalaman pengobatan pasien), faktor klinis (hasil pemeriksaan dahak awal,
jenis infeksi TB, dan status HIV), faktor program (jenis puskesmas, hubungan
pasien dengan PMO, durasi pemberian obat fase intensif, durasi pemberian obat
fase lanjutan, dan pemberian obat pada peralihan setelah fase intensif).
44
4.5.2 Definisi Operasional Variabel
Tabel 4.1
Definisi Operasional Variabel
Variabel Definisi Operasional Cara Pengumpulan
Data
Hasil
Pengukuran
Skala Skala Analisis
1 2 3 4 5 6
1. Umur Umur (dalam tahun) seseorang
saat memulai pengobatan TB yang
tercatat pada formulir TB 01
Review dokumen Umur dalam
tahun
Interval Interval
99=Missing
2. Jenis kelamin Jenis kelamin yang tercatat pada
formulir TB 01
Review dokumen 1.Laki-laki
2.Perempuan
Nominal Kategori:
0=Perempuan
1=Laki-laki
99=Missing
3. Pengalaman
berobat pasien
Pengalaman pasien terkait pernah
tidaknya seorang pasien berobat
TB sebelum memulai pengobatan
yang terdaftar pada periode
penelitian ini
Review dokumen 1.Baru
2.Kambuh
3.Default
4.Gagal
5.Pindahan
6.Lainnya
Nominal Kategori:
0=Belum pernah mengikuti
pengobatan TB
1=Pernah mengikuti
pengobatan TB
4 Hasil
pemeriksaan
dahak awal
Hasil pemeriksaan laboratorium
terhadap dahak pasien sebelum
mulai pengobatan yang tercatat
pada TB 03
Review dokumen 1.Negatif
2.Positif
3.Tidak
dikerjakan
5.Missing
Nominal Kategori:
0=Negatif
1=Positif
2=Tidak dikerjakan
99=Missing
5. Jenis infeksi TB Jenis infeksi TB yang diderita oleh
pasien TB sesuai diagnosa yang
tercatat pada TB 03
1.Paru
2.Ekstra paru
Nominal Kategori:
0=Ekstra paru
1=Paru
45
1 2 3 4 5 6
6. Status HIV Hasil diagnosa HIV yang dimiliki
oleh pasien TB dan tercatat pada
TB 03
Review dokumen 1.Positif
2.Negatif
3.Tidak
dikerjakan
4.Missing
Nominal Kategori:
0=Negatif
1=Positif
2=Tidak dikerjakan
99=Missing
7. Jenis puskesmas Jenis puskesmas tempat pasien
menjalankan pengobatan TB
berdasarkan fasilitas laboratorium
terkait pemeriksaan TB
Review dokumen 1.Puskesmas
Satelit (PS)
2.Puskesmas
Rujukan
Miskroskop
is (PRM)
Nominal Kategori:
0=Puskesmas Rujukan
Mikroskopis (PRM)
1=Puskesmas Satelit (PS)
8. Hubungan
pasien dengan
Pengawas
Minum Obat
(PMO)
Hubungan pasien dengan
pengawas minum obat yang
ditunjuk pada saat memulai
pengobatan
Review dokumen 1.Keluarga
2.Teman
3.Tetangga
4.Petugas
kesehatan
5.Lainnya
6.Tidak ada
7.Missing
Nominal Kategori:
0= Keluarga
1=Bukan Keluarga
2=Tidak memiliki PMO
99=Missing
9. Durasi
pemberian obat
pada fase
intensif
Durasi maksimal pasien diminta
kembali ke puskesmas untuk
mengambil obat pada fase
pengobatan intensif
Wawancara Nominal Kategori:
0= ≤ 1 minggu
1= ≤ 2 minggu
10. Durasi
pemberian obat
pada fase
lanjutan
Durasi maksimal pasien diminta
kembali ke puskesmas untuk
mengambil obat pada fase
pengobatan lanjutan
Wawancara Nominal Kategori:
0= ≤ 1 minggu
1= ≤ 2 minggu
2= ≤ 4 minggu
46
1 2 3 4 5 6
11. Pemberian obat
pada fase
peralihan setelah
intensif
Sikap petugas untuk memberikan
obat pada fase peralihan setelah
fase intensif berakhir apabila hasil
pemeriksaan dahak terlambat
Wawancara Nominal Kategori:
0=ya
1=tidak
2=tidak pernah mengalami
12. Ketidakteraturan
minum obat
Waktu di mana pasien TB tidak
mengambil obat sesuai jadwal
selama pengobatan TB
berlangsung dengan waktu tidak
datang terpendek yaitu 1 hari dan
tidak lebih dari 8 minggu
Review dokumen Tanggal pasien
tidak datang
Interval Kategori:
0= Sensor (meninggal, default,
pindah,dan teratur berobat)
1=Tidak teratur
47
4.6 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan terdiri dari kuesioner dan laptop
untuk memasukkan data secara langsung. Kuesioner digunakan untuk
mengumpulkan informasi tentang pengalaman menjadi pemegang program TB,
pelatihan yang diperoleh pemegang program TB, sumber daya manusia dalam
program TB, dan durasi pemberian obat TB pada pasien pada masing-masing
puskesmas. Sedangkan variabel tentang puskesmas tempat berobat, tahun, nomor
registrasi, hubungan pasien dengan PMO, dan waktu saat terjadi ketidakteraturan
pasien minum obat diambil secara langsung menggunakan laptop.
4.7 Prosedur Pengumpulan Data
4.7.1 Jenis dan sumber data yang dikumpulkan
Jenis data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini merupakan data
primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan bersumber dari hasil
wawancara dengan pemegang program TB pada sebelas puskesmas di Kota
Denpasar terkait pengalaman menjadi pemegang program TB, pelatihan yang
diperoleh pemegang program TB, sumber daya manusia dalam program TB, dan
durasi pemberian obat TB pada pasien pada masing-masing puskesmas.
Data sekunder yang dikumpulkan meliputi data kohort pasien TB yang
memulai pengobatan TB di sebelas puskesmas di Kota Denpasar periode 1 Januari
2011 sampai dengan 31 Desember 2012. Sumber data sekunder tersebut dibagi
menjadi beberapa bagian sebagai berikut:
1. Formulir TB 01 yaitu kartu catatan pengobatan pasien yang berisikan nomor
registrasi, identitas (nama, umur, dan jenis kelamin), PMO, nama puskesmas,
48
riwayat pengobatan sebelumnya, tipe pasien, tipe infeksi, pemeriksaan kontak
serumah, jenis OAT, hasil pemeriksaan dahak, rejimen obat, kegiatan
pengambilan obat anti tuberkulosis (OAT), pemeriksaan HIV, dan hasil
pengobatan pasien. Formulir TB 01 dapat diperoleh di Puskesmas Kota
Denpasar.
2. Formulir TB 03 yaitu rekapitulasi beberapa informasi pada formulir TB 01
oleh petugas puskesmas untuk dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kota Denpasar.
Formulir TB 03 berisi informasi tentang nomor registrasi, identitas pasien
(nama, umur, dan jenis kelamin), alamat, nama puskesmas, tanggal mulai
pengobatan, hubungan pasien dengan PMO, rejimen obat, tipe infeksi, tipe
pasien, hasil pemeriksaan dahak, tanggal berhenti dan hasil pengobatan, serta
tanggal identifikasi dan pengobatan koinfeksi TB/HIV.
3. TB elektronik yaitu data bentuk soft copy dalam format Microsoft excel yang
berisi data yang sama dengan formulir TB 03 terkecuali hubungan pasien
dengan PMO yang dilaporkan oleh puskesmas ke Dinas Kesehatan Kota
Denpasar. Data TB elektronik diperoleh di Dinas Kesehatan Kota Denpasar.
4. TB Sistem Informasi TB Terpadu (SITT) yaitu data bentuk soft copy dalam
format Microsoft Excel yang merupakan data yang dilaporkan secara rutin ke
pusat setiap triwulan secara online oleh Dinas Kesehatan Kota Denpasar. Data
TB SITT berisi tentang nomer registrasi pasien, tahun mulai berobat, alamat
pasien, jenis kelamin, umur, tanggal mulai berobat, tipe infeksi, tipe pasien,
hasil pemeriksaan dahak, tempat berobat, jenis rejimen, hasil pemeriksaan
awal dahak, hasil pemeriksaan dahak pada akhir fase intensif, hasil
49
pemeriksaan pada akhir fase sisipan, hasil pemeriksaan dahak satu bulan
sebelum akhir pengobatan, hasil pemeriksaan dahak pada akhir pengobatan,
hasil pengobatan, tanggal pasien dianjurkan tes HIV/AIDS, tanggal pretest,
tanggal tes HIV/AIDS, hasil tes HIV/AIDS, tanggal posttest, tanggal dirujuk,
tanggal memulai ART, riwayat HIV, dan status menerima PPK.
4.7.2 Cara pengumpulan data
Data dikumpulkan dengan beberapa cara yang disesuaikan dengan jenis
sumber data. Terdapat dua cara pengumpulan data yaitu wawancara dan ekstraksi
data cohort pasien TB.
Cara pengumpulan data primer yang dilakukan sebagai berikut.
1. Mengajukan permohonan ijin penelitian ke Dinas Kesehatan Kota Denpasar
untuk melakukan wawancara dengan kesebelas pemegang program TB di
Puskesmas Kota Denpasar
2. Melakukan wawancara kepada sebelas pemegang program TB menggunakan
kuesioner
3. Data yang telah dikumpulkan kemudian dibuat ke dalam bentuk soft copy
yang digabungkan dengan data sekunder lainnya
Cara pengumpulan data sekunder yang dilakukan sebagai berikut.
1. Mengajukan permohonan ke Dinas Kesehatan Kota Denpasar untuk laporan
triwulan puskesmas dalam bentuk data TB elektronik tahun 2011-2012 dan
data TB SITT Kota Denpasar tahun 2011-2012
50
2. Setiap formulir TB 01 dan TB 03 yang ditemukan di puskesmas dicocokkan
dengan data pada TB elektronik pada masing-masing tahun memulai
pengobatan TB. Beberapa cara yang dilakukan sebagai berikut.
a. Pengecekan setiap nomer registrasi pasien yang tercatat dalam formulir
TB 01 atau TB 03 ke dalam TB elektronik berdasarkan tahun memulai
pengobatan TB dengan menu find dalam program Microsoft excel
b. Apabila pada formulir TB 01 atau TB 03 tidak dituliskan nomer registrasi
pasien maka dilakukan pengecekan menggunakan nama pasien pada
dengan menu find pada data TB elektronik
Setelah kedua cara di atas dilakukan maka langkah selanjutnya yaitu
memeriksa identitas pasien lainnya seperti umur, jenis kelamin, alamat pasien,
dan tanggal mulai pengobatan pada TB elektronik untuk memastikan bahwa
data dalam bentuk soft copy tersebut merupakan pasien yang sama dengan
data pada formulir TB 01 dan TB 03.
3. Data yang telah jelas dan cocok identitasnya kemudian diekstrak ke dalam
bentuk file dengan format Microsoft excel dengan mengambil informasi
tentang nomer registrasi, tahun memulai pengobatan TB, puskesmas tempat
formulir TB 01 dan TB 03 ditemukan, hubungan pasien dengan PMO, dan
tanggal terjadi ketidakteraturan minum obat.
Setelah semua data terkumpulkan maka dilakukan penggabungan data
ekstraksi dari formulir TB 01 dan TB 03, hasil wawancara dengan pemegang
program, dan data TB SITT dalam format Microsoft excel berdasarkan nomer
registrasi pasien, tahun pengobatan, dan puskesmas tempat pasien mendapat
51
pengobatan TB. Kerahasiaan dijaga dengan cara menggunakan nomer registrasi
pasien TB tanpa mencantumkan nama pasien yang disimpan dalam file khusus
dan rahasia.
4.7.3 Pengolahan data
Data yang diperoleh kemudian diteliti dan dianalisis kelengkapannya
dengan langkah-langkah sebagai berikut.
1. Editing : data primer maupun data sekunder yang terkumpul kemudian
diperiksa, apabila terdapat ketidakjelasan maka langsung dipertanyakan
kepada petugas TB di pelayanan kesehatan sehingga dapat dimengerti dan
diisi dengan tepat.
2. Coding : setiap variabel dengan skala data kategori diberikan kode berupa
angka untuk memudahkan proses pengolahan selanjutnya.
3. Data entry : semua data primer dan sekunder yang telah dikoding kemudian
dimasukkan ke dalam komputer menggunakan program Microsoft excel yang
selanjutnya dipindahkan ke dalam program STATA 12.0 untuk dianalisis.
4. Cleaning : pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan ke dalam program
komputer dilakukan untuk menghindari kesalahan data yang dianalisis.
5. Tabulasi : proses ini dilakukan pada data primer maupun sekunder dengan
mengelompokkan data hasil penelitian yang serupa dan menjumlahkannya
dengan teliti dan teratur ke dalam tabel yang telah disediakan.
4.8 Analisis Data
Analisis data yang dilakukan adalah analisis repeated event dengan
kejadian berulang yang bersifat identik. Metode analisis ini mempertimbangkan
52
event yang mungkin terjadi lebih dari satu kali pada masing-masing subjek selama
masa pengamatan (Kleinbaum dan Klein, 2005). Berdasarkan definisi operasional
dari ketidakteraturan minum obat (event) pada penelitian ini maka seorang pasien
TB berpotensi untuk mengalami ketidakteraturan lebih dari satu kali. Analisis
repeated event dilakukan dengan model Cox Proportional Hazzard. Hal lain yang
diperoleh dengan memperhatikan kejadian berulang yaitu jumlah kejadian
ketidakteraturan dan total hari ketidakteratuan.
Setelah dilakukan pengumpulan data sedemikian hingga kemudian data
dianalisis secara analitik dengan program STATA dengan langkah-langkah
berikut.
1. Analisis univariat
Data yang telah diolah kemudian dianalisis secara univariat. Analisis
univariat yang dilakukan yaitu untuk mengetahui median time ketidakteraturan
minum obat, insiden ketidakteraturan, dan deskripsi masing-masing variabel
prediktor. Oleh karena itu semua variabel bebas maupun variabel tergantung
dimasukkan ke dalam analisis univariat. Penyajian hasil analisis univariat untuk
variabel berskala nominal yaitu dengan tabel distribusi frekuensi yang berisi
frekuensi dan proporsi. Sedangkan untuk data interval disajikan dengan nilai
mean dan standar deviasi (SD) untuk data yang berdistribusi normal atau nilai
median dan IQR untuk data yang tidak berdistribusi normal. Khusus untuk median
time ketidakteraturan dianalisis mengguanakan analisis repeated event dan
ditampilkan dengan nilai median dan inter quartile range (IQR) yang
menampilkan persentil ke 25% sampai persentil ke 75% dari waktu
53
ketidakteraturan. Secara visual median time pengamatan secara umum maupun
berdasarkan kejadian ketidakteraturan minum obat disajikan dengan Grafik
Kaplan Meier.
2. Analisis bivariat
Analisis bivariat bertujuan untuk melihat gambaran karakteristik subjek
penelitian berdasarkan variabel tergantung serta melihat hubungan antara variabel
bebas dengan variabel tergantung. Variabel yang dianalisis bivariat disajikan
dengan tabulasi silang antara variabel bebas yang meliputi faktor demografi
(umur, jenis kelamin, pengalaman berobat pasien), faktor klinis (hasil
pemeriksaan dahak awal, jenis infeksi TB, status HIV), dan faktor program (jenis
puskesmas, hubungan pasien dengan PMO, durasi pemberian obat fase intensif,
durasi pemberian obat fase lanjutan, dan pemberian obat pada peralihan setelah
fase intensif) dengan variabel tergantung yaitu ketidakteraturan minum obat.
Nilai crude Hazard Ratio (HR) dari ketidakteraturan minum obat pasien
TB dihitung dengan Cox Proportional Hazard Regression dengan cara
memasangkan variabel tergantung dengan masing-masing variabel bebas. Selain
nilai crude Hazard Ratio (HR), diperoleh pula nilai p spesifik dan nilai p (group)
dari crude HR dengan tingkat kepercayaan 95%. Sedangkan penentuan nilai p dari
crude HR dilakukan dengan beberapa cara. Perhitungan nilai p (group) pada
variabel dengan kategori lebih dari 2 kategori pada data nominal digunakan
testparm. Sebelum memulai analisis maka data pasien yang missing dikeluarkan
agar tidak mempengaruhi hasil analisis. Hasil analisis terkait hubungan antara
variabel bebas dengan variabel tergantung dapat dilihat dari nilai crude HR, 95%
54
CI, dan nilai p. Ho ditolak apabila nilai p < 0,05 dan nilai crude HR ≠ 1 dengan
95% CI yang tidak memuat angka 1. Nilai crude HR < 1 menunjukkan variabel
bebas dapat menurunkan risiko ketidakteraturan minum obat, nilai crude HR > 1
menunjukkan variabel bebas dapat meningkatkan risiko ketidakteraturan minum
obat, dan crude HR=1 menunjukkan bahwa variabel bebas tidak berhubungan
dengan ketidakteraturan minum obat.
3. Analisis multivariat
Analisis multivariat bertujuan untuk melihat hubungan antara variabel
bebas dengan variabel tergantung secara serentak saat variabel yang dianggap
mengganggu dikendalikan. Pada analisis ini digunakan kembali metode Cox
Proportional Hazard Regression dengan repeated event. Variabel bebas
dimasukkan secara bersamaan dengan variabel tergantung. Syarat variabel bebas
dapat masuk ke dalam model yaitu memiliki nilai p<0,20 pada analisis bivariat.
Variabel-variabel bebas dengan skala data kategorikal yang menunjukkan
kemungkinan multikoliniearitas diuji dengan metode Kendall di mana jika nilai
Kendall tau b >0,6 maka terdapat multikolinearitas antar variabel tersebut. Oleh
karena itu salah satu variabel yang memiliki multikolliniearitas dipilih untuk
masuk ke dalam model multivariat berdasarkan pertimbangan teori.
Hasil analisis yang diperoleh yaitu nilai adjusted Hazard Ratio (AHR),
nilai p spesifik, dan nilai p (group) dari adjusted HR dengan 95% CI. Pada
variabel dengan lebih dari 2 kategori, nilai p dari adjusted HR dihitung dengan
testparm (untuk data nominal). Pengaruh variabel bebas terhadap variabel
tergantung dapat dilihat dari nilai adjusted HR, 95% CI, dan nilai p. Ho ditolak
55
apabila nilai p < 0,05 dan nilai adjusted HR ≠ 1 dengan 95% CI yang tidak
memuat angka 1. Nilai adjusted HR < 1 menunjukkan variabel bebas dapat
menurunkan risiko ketidakteraturan minum obat, nilai adjusted HR > 1
menunjukkan variabel bebas dapat meningkatkan risiko ketidakteraturan minum
obat, dan adjusted HR=1 menunjukkan bahwa variabel bebas tidak berhubungan
dengan ketidakteraturan minum obat.
56
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Program Pengobatan Tuberkulosis di Puskesmas Kota
Denpasar
Program P2 TB di puskesmas dikelola oleh seorang pemegang program
dengan dibantu petugas PPTI (Perhimpunan Pemberantasan Tuberkulosis
Indonesia) dalam hal pengobatan pasien. Sebanyak 91% puskesmas pada tahun
2011-2012 telah memiliki petugas PPTI, dan hanya Puskesmas IV Denpasar
Selatan yang mendapat bantuan petugas PPTI setiap Hari Jumat dan Sabtu
dikarenakan petugas PPTI masih berbagi dengan Puskesmas III Denpasar Selatan.
Karakteristik pemegang program TB di Puskesmas Kota Denpasar yaitu: 1) rata-
rata umur pemegang program TB yaitu 44 tahun; 2) mayoritas pemegang program
TB berjenis kelamin perempuan (91%); 3) rata-rata lama bertugas petugas
pemegang TB yaitu 8,9 tahun dengan interval 0,5-20 tahun; 4) pada periode
penelitian, pemegang program TB memiliki jabatan rangkap dalam program lain
di puskesmas yang berkisar antara 1-6 jabatan.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam Program P2 TB di puskesmas
adalah penjaringan suspek, pemeriksaan laboratorium, pengobatan pasien TB,
hingga pelaporan program ke Dinas Kesehatan Kota Denpasar. Penegakan
diagnosa dan kategori pengobatan yang diberikan kepada pasien TB dilakukan
oleh dokter yang tergabung dalam Poli DOTS namun untuk pemberian serta
pengawasan minum obat selanjutnya dapat dikerjakan oleh pemegang program
57
TB yang dibantu oleh petugas PPTI. Hal ini bertujuan memperpendek alur
pengambilan obat untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam pengambilan obat
serta memperkecil risiko penularan di puskesmas. Program pengobatan TB di
Puskesmas Kota Denpasar tidak melayani pengobatan TB untuk pasien dari luar
wilayah kerja puskesmas sehingga untuk pasien luar wilayah kerja yang terjaring
segera dirujuk ke puskesmas yang mewilayahi tempat domisili pasien masing-
masing.
Pengobatan TB dengan kategori 1 diberikan kepada pasien dengan
diagnosa pasien baru TB paru BTA positif, TB paru BTA negatif namun foto
toraks positif, dan pasien TB ekstra paru. Pengobatan TB dengan kategori 1 dapat
dibagi menjadi dua fase pengobatan yaitu fase intensif dengan dan fase lanjutan.
Pada fase intensif pasien minum OAT setiap hari selama 56 hari sedangkan pada
fase lanjutan pasien minum OAT tiga kali seminggu selama 16 minggu. Bagi
pasien yang tidak mengalami konversi pada akhir fase intensif maka akan
diberikan OAT sisipan selama 28 hari dengan paduan OAT yang sama dengan
fase intensif. Berdasarkan Pedoman Nasional Penanggulangan TB di Indonesia
panduan OAT kategori 1 yang digunakan yaitu 2HRZE/4(HR)3 yang diberikan
berdasarkan berat badan pasien. Selain itu selama pengobatan pasien TB
melakukan pemeriksaan dahak pada awal pengobatan, akhir fase intensif, akhir
fase sisipan (bagi pasien yang mendapat fase sisipan), pada bulan kelima, dan
akhir pengobatan.
Pelaksanaan Program TB di Kota Denpasar memiliki beberapa jenis form
pencatatan namun pada penelitian ini hanya digunakan form TB 01, form TB 03,
58
data TB 03 elektronik, dan data TB 03 SITT. Form TB 01 merupakan kartu
pencatatan yang merupakan rekam medik pasien TB selama mengikuti
pengobatan TB di puskesmas. Pada form TB 01 terdapat informasi mengenai
riwayat pengambilan obat TB oleh pasien selama pengobatan TB berlangsung.
Form TB 03 merupakan form yang digunakan oleh petugas TB di puskesmas
untuk melaporkan data pasien TB yang diperoleh setiap triwulan ke Dinas
Kesehatan Kota Denpasar. Informasi khusus yang terdapat pada form TB 03 yaitu
hubungan pasien dengan PMO. Data TB 03 elektronik merupakan rekapitulasi
dari informasi pada form TB 03 yang dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kota
Denpasar yang dibuat dalam bentuk softcopy dengan program Microsoft excel.
Sedangkan data TB 03 SITT merupakan hasil rekapitulasi data pada form TB 03
yang dilaporkan ke pusat. Informasi pada TB 03 elektronik dan TB 03 SITT
merupakan informasi yang sama hanya saja memiliki tujuan, metode pencatatan,
dan pelaporan yang berbeda.
Berdasarkan wawancara dengan pemegang program TB di 11 Puskesmas
Kota Denpasar (Tabel 5.1), terlihat bahwa sebagian besar pemegang program TB
memiliki buku bantu untuk pelayanan pasien namun terdapat beberapa perbedaan
dalam manajemen pemberian obat kepada pasien. Sebanyak 72,7% puskesmas
memberikan obat kepada pasien dengan dosis maksimal untuk 1 minggu pada fase
intensif sedangkan pada fase lanjutan 63,6% puskesmas memberikan obat kepada
pasien dengan dosis maksimal untuk 2 minggu. Berdasarkan kesepakatan di Dinas
Kesehatan Kota Denpasar, durasi pemberian obat dilakukan setiap 1 minggu,
59
namun beberapa puskesmas memiliki kebijakan lokal sesuai dengan kebutuhan
setempat.
Tabel 5.1
Aspek Layanan Pengobatan TB di Sebelas Puskesmas Kota Denpasar
Aspek Layanan Puskesmas
n (%)
Standar
Nasional
Pembuatan buku bantu untuk memudahkan pelayanan pasien 9 (81,8)
Durasi maksimal pemberian obat pada pasien oleh petugas
a. Fase intensif
≤ 1 minggu 8 (72,7) Tidak
tertulis ≤ 2 minggu 3 (27,3)
b. Fase lanjutan
≤ 1 minggu 1 (9,1) Tidak
tertulis ≤ 2 minggu 7 (63,6)
≤ 4 minggu 3 (27,3)
c. Insidentil
≤ 4 minggu 6 (54,5) Tidak
tertulis ≤ 5 minggu 1 (9,1)
≤ 12 minggu 1 (9,1)
Sesuai kebutuhan pasien 3 (27,3)
Kebijakan Petugas
a. Mengubah durasi pemberian obat berdasarkan kepatuhan
pasien
Ya 3 (27,3) Tidak
tertulis Tidak 8 (72,7)
b. Kebijakan pemberian obat antar fase jika hasil
laboratorium terlambat
Antar fase intensif ke fase sisipan atau lanjutan Tidak
tertulis Memberikan obat fase sisipan 4 (36,4)
Memberikan obat fase lanjutan 3 (27,3)
Tidak memberikan obat sampai ada hasil laboratorium 3 (27,3)
Tidak pernah mengalami 1 (9,1)
Antar fase sisipan ke fase lanjutan Beri obat
fase lanjutan Memberikan obat fase lanjutan 11 (100)
Pemeriksaan dahak bulan ke-5 terlambat
Memberikan obat fase lanjutan 11 (100)
60
Pada kondisi pasien yang bersifat insidentil (pulang kampung atau keluar
kota), mayoritas pemegang program TB memberikan obat TB untuk kebutuhan
dosis maksimal untuk 4 minggu (54,5%). Sebanyak 72,7% puskesmas tidak
melakukan perubahan durasi pemberian obat di atas meskipun pasien TB
menunjukkan kepatuhan yang baik selama pengobatan.
Terkait dengan pemberian obat pada fase peralihan kepada pasien apabila
terjadi keterlambatan hasil pemeriksaan dahak pada akhir fase intensif sebanyak
36,4% puskesmas tetap memberikan obat fase sisipan tanpa menunggu hasil
dahak, 27,3% memberikan obat fase lanjutan tanpa menunggu hasil dahak, 27,3%
tidak memberikan obat hingga hasil dahak diketahui, dan 9,1% puskesmas
menyatakan tidak pernah mengalami keterlambatan tersebut. Sedangkan untuk
pemberian obat apabila terjadi keterlambatan hasil pemeriksaan dahak pada akhir
fase sisipan dan bulan kelima, semua puskesmas telah menerapkan cara yang
sama yaitu dengan tetap memberikan obat fase lanjutan.
5.2 Karakteristik Sampel Penelitian
Penelitian dilakukan pada pasien TB yang terdaftar dalam pengobatan TB
pada periode 2011-2012 di 11 Puskesmas Kota Denpasar dengan jumlah sampel
penelitian yaitu 644 pasien. Berikut merupakan proses seleksi sampel penelitian
berdasarkan kriteria inklusi, eksklusi, dan kelengkapan data.
61
Gambar 5.1
Proses Seleksi Sampel Penelitian
Sampel penelitian digambarkan berdasarkan faktor demografi, klinis, dan
program yang merupakan data awal pengamatan. Sebanyak 52,5% sampel
penelitian memulai pengobatan TB pada tahun 2011 dan sisanya memulai
pengobatan pada tahun 2012. Karakteristik sampel penelitian digambarkan
berdasarkan kelompok yang tidak teratur berobat dan teratur berobat ditampilkan
dalam Tabel 5.2. Lebih dari 50% pasien TB di Puskesmas pada kelompok yang
tidak teratur minum obat adalah berjenis kelamin laki-laki, memiliki PMO berasal
dari keluarga, pasien TB baru, hasil pemeriksaan dahak awal positif, TB paru,
tidak mengetahui status HIV, dan berasal dari puskesmas satelit dengan median
umur yaitu 35 tahun (IQR: 27-48).
644 Pasien TB kategori 1
725 Pasien umur ≥ 15 tahun
dengan TB 01 di Puskesmas 14 Pasien dengan form TB 01 dengan
fase intensif yang tidak lengkap atau
tidak tercatat
67 Pasien TB dengan kategori 2
819 Pasien terdaftar periode
2011-2012
4 Pasien data form TB 03 tidak lengkap
52 Pasien TB umur < 15 tahun
781 Ditemukan form TB 01 di
Puskesmas
38 Pasien dengan form TB 01 yang
tidak ditemukan
62
Tabel 5.2
Karakteristik Demografi, Klinis, dan Faktor Program Berdasarkan Kejadian
Ketidakteraturan Minum Obat TB
Karakteristik Tidak Teratur (N=378)
n (%)
Teratur (N=266)
n (%)
Total
n (%)
Faktor demografi
Umur Median (IQR) 35 (27-48) 35 (27-49) 35 (27-48)
Jenis Kelamin
Perempuan
Laki-laki
159 (42,1)
219 (57,9)
119 (44,7)
147 (55,3)
278 (43,2)
366 (56,8)
Status pasien
Baru
Pindahan
360(95,2)
18 (4,8)
250 (94,0)
16 (6,0)
610 (94,7)
34 (5,3)
Faktor klinis
Hasil pemeriksaan dahak
Negatif
Positif
Tidak dikerjakan
121 (32,0)
251 (66,4)
6 (1,6)
95 (35,7)
169 (63,5)
2 (0,8)
216 (33,5)
420 (65,2)
8 (1,2)
Jenis infeksi TB
TB ekstra paru
TB paru
29 (7,7)
349 (92,3)
24 (9,0)
242 (91,0)
53 (8,2)
591 (91,8)
Status HIV
Negatif
Positif
Tidak diketahui
116 (30,7)
5 (1,3)
257 (68,4)
81 (30,5)
3 (1,1)
182 (68,4)
197 (30,6)
8 (1,2)
439 (68,2)
Faktor program
Hubungan pasien dengan PMO
Keluarga 363 (96,0) 247 (92,9) 610 (94,7)
Keluarga dan nakes 0 (0,0) 1 (0,4) 1 (0,2)
Nakes 5 (1,3) 11 (4,1) 16 (2,5)
Lainnya 6 (1,6) 3 (1,1) 9 (1,4)
Tidak memiliki PMO 4 (1,1) 4 (1,5) 8 (1,2)
Jenis puskesmas
PRM
Satelit
80 (21,2)
298 (78,8)
70 (26,3)
196 (73,7)
150 (23,3)
494 (76,7)
5.3 Karakteristik Ketidakteraturan Minum Obat
Selama periode pengamatan seorang pasien TB dapat mengalami lebih
dari satu kali ketidakteraturan minum obat dan hal tersebut dapat terjadi pada fase
yang sama maupun fase yang berbeda. Selain pasien yang tidak teratur dan teratur
minum obat, terdapat pula pasien yang pindah, meninggal, dan default (putus
63
obat). Berikut kondisi pasien dan karakteristik ketidakteraturan selama periode
pengamatan ditampilkan pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3
Karakteristik Ketidakteraturan dan Kondisi Pasien Selama Pengamatan
Karakteristik Ketidakteraturan dan Kondisi
Pasien
Frekuensi (N=644)
n (%)
Frekuensi (N=644)
n (%)
Kondisi ketidakteraturan
Teratur minum obat 234 (36,3)
Tidak teratur minum obat 378 (58,7)
Kondisi pasien pada akhir pengamatan
Pindah 25 (3,9)
Default (putus obat) 10 (1,6)
Meninggal 14 (2,2)
Karakteristik ketidakteraturan
Ketidakteraturan berdasarkan fase pengobatan
Fase intensif 78 (12,1) 100 (15,5)
Peralihan ke fase sisipan 21 (3,3) 21 (3,3)
Fase sisipan 4 (0,6) 4 (0,6)
Peralihan ke fase lanjutan 304 (47,2) 304 (47,2)
Fase lanjutan 68 (10,6) 106 (16,5)
Total hari tidak datang mengambil obat (hari)
Peralihan ke fase sisipan: median (IQR) 3 (2-6)
Interval 1-21
Peralihan ke fase lanjutan : median (IQR) 2 (1-3)
Interval 1-56
Kumulatif hari ketidakteraturan: median (IQR) 2 (1-5)
Interval 1-99
Kondisi pasien TB selama periode pengamatan adalah 36,3% pasien
teratur minum obat, 3,9% pasien pindah tempat pengobatan, 1,6% pasien
mengalami default, dan 2,2% pasien meninggal dunia. Sementara proporsi
ketidakteraturan terbanyak berdasarkan orang maupun kejadian yaitu pada
peralihan ke fase lanjutan dengan proporsi 47,2%. Median total hari
ketidakteraturan pada periode peralihan ke fase sisipan sebesar 3 (IQR: 2-6)
dengan interval 1-21 hari sedangkan untuk periode peralihan ke fase lanjutan
64
sebesar 2 (IQR: 1-3) dengan interval 1-56 hari. Median total kumulatif
ketidakteraturan minum obat yaitu 2 (IQR: 1-5) dan interval 1-99 hari.
Grafik Kaplan Meier ditampilkan untuk menggambarkan ketidakteraturan
minum obat TB dengan memperhitungkan kejadian ketidakteraturan berulang
pada setiap pasien.
Gambar 5.2
Grafik Pengamatan Pasien TB
Dari 644 data pasien TB yang dianalisis untuk mengetahui jumlah
kejadian ketidakteraturan pengobatan dilakukan analisis repeated event.
Berdasarkan grafik Kaplan Meier di atas diperoleh median time pengamatan yang
tercapai pada hari ke-61(IQR: 56-215) dengan insiden rate ketidakteraturan
minum obat di Puskesmas Kota Denpasar sebesar 5,1 per 1.000 orang hari. Pada
gambar 5.3 ditampilkan grafik Kaplan Meier berdasarkan ketidakteraturan minum
obat.
median time ketidakteraturan = 61 days
0.0
00.2
50.5
00.7
51.0
0
644 594 39 0 Number at risk
0 100 200 300days
Pro
pors
i Tid
ak
Men
ga
lam
i Ketid
akt
era
tura
n
65
Gambar 5.3
Grafik Waktu Kejadian Ketidakteraturan Minum Obat
Berdasarkan Gambar 5.3, diketahui 50% ketidakteraturan tercapai pada
hari ke-56 di mana hari tersebut merupakan peralihan dari fase intensif ke fase
lanjutan maupun peralihan dari fase intensif ke fase sisipan. Median waktu
ketidakteraturan minum obat yaitu 56 (IQR: 56-57) hari.
Pada Gambar 5.4 dapat dilihat median time ketidakteraturan minum obat
antara puskesmas dengan durasi pemberian obat pada fase intensif sebesar ≤ 1
minggu yaitu pada hari ke-66 (IQR:56-215) dan durasi pemberian obat sebesar ≤
2 minggu pada hari ke-57 (IQR: 56-192).
50% ketidakteraturan terjadi pada hari ke-56
0.0
00.2
50.5
00.7
51.0
0
378 48 5 0status = interruption266 546 34 0status = no interruption
Number at risk
0 100 200 300days
status = teratur status = ketidakteraturan
Pro
pors
i tid
ak m
en
ga
lam
i ketid
akte
ratu
ran
66
Gambar 5.4
Grafik Kaplan Meier Ketidakteraturan Minum Obat Berdasarkan Durasi
Pemberian Obat Fase Intensif
Grafik di atas menunjukkan bahwa penerapan durasi pemberian obat fase
intensif untuk jangka waktu ≤ 2 minggu cenderung lebih cepat untuk mengalami
ketidakteraturan minum obat dibandingkan dengan pemberian obat untuk jangka
waktu ≤ 1 minggu. Insiden rate ketidakteraturan minum obat pada durasi
maksimal pemberian obat fase intensif ≤ 2 minggu lebih besar dibandingkan
dengan durasi maksimal pemberian obat ≤ 1 minggu dengan insiden rate masing-
masin adalah 6,7 per 1.000 orang hari dan 4,6 per 1.000 orang hari.
5.4 Hasil Analisis Bivariat Prediktor Ketidakteraturan Minum Obat
Tuberkulosis
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara masing-masing
faktor demografi, klinis, dan program terhadap ketidakteraturan minum obat TB.
<= 1 minggu
<= 2 minggu
0.0
00.2
50.5
00.7
51.0
0
0 100 200 300analysis time
durasi = <=1 minggu durasi = <=2 minggu
Pro
pors
i tid
ak
men
ga
lam
i ketid
akt
era
tura
n
67
Pada analisis yang menggunakan Cox Proportional Hazard Regression dilihat
nilai crude HR, 95% CI, dan nilai p yang ditampilkan pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4
Crude HR Prediktor Ketidakteraturan Minum Obat TB Berdasarkan Prediktor
Variabel Analisis Bivariat
Crude HR 95%CI p p(g)
Faktor demografi
Umur 1,00 0,99-1,00 0,94
Jenis Kelamin
Perempuan 1 (ref)
Laki-laki 1,20 1,01-1,43 0,04
Pengalaman berobat
Tidak 1 (ref)
Ya 0,93 0,61-1,39 0,71
Faktor Klinis
Hasil pemeriksaan dahak awal
Negatif 1 (ref)
Positif 1,22 1,01-1,47 0,04
Tidak dikerjakan 1,65 0,81-3,36 0,17 0,08
Jenis infeksi TB
Ekstra paru 1 (ref)
Paru 1,16 0,83-1,62 0,38
Status HIV
Negatif 1 (ref)
Positif 1,35 0,69-2,64 0,39
Tidak diketahui 1,06 0,88-1,27 0,57 0,63
Faktor Program
Jenis puskesmas
PRM 1 (ref)
Satelit 1,10 0,90-1,35 0,34
Hubungan pasien dengan PMO
Keluarga 1 (ref)
Bukan keluarga 0,56 0,31-0,99 0,045
Tidak memiliki PMO 1,29 0,61-2,72 0,51 0,11
Durasi pemberian obat
Fase intensif
- ≤ 1minggu 1 (ref)
- ≤ 2 minggu 1,46 1,21-1,75 <0,0001
Fase lanjutan
- ≤ 1minggu 1 (ref)
- ≤ 2 minggu 1,77 1,16-2,69 0,008
- ≤ 4 minggu 1,30 0,83-2,04 0,26 0,0011
Pemberian obat peralihan setelah
intensif
- Ya 1 (ref)
- Tidak 0,87 0,72-1,05 0,14
- Tidak pernah mengalami 0,72 0,47-1,09 0,12 0,13
68
Hasil analisis bivariat terhadap 11 variabel yang diukur pada awal
pengamatan yang ditampilkan dalam Tabel 5.4 menunjukkan bahwa jenis
kelamin laki-laki, hasil pemeriksaan dahak positif, PMO bukan keluarga, durasi
pemberian obat pada fase intensif (≤ 2 minggu), dan fase lanjutan (≤ 2 minggu)
berhubungan secara statistik dengan ketidakteraturan minum obat pasien TB.
Risiko ketidakteraturan minum obat pada pasien TB berjenis kelamin laki-laki
1,20 kali lebih besar dibandingkan dengan pasien perempuan (crude HR=1,20;
95% CI :1,01-1,43; p=0,04). Risiko ketidakteraturan minum obat pada pasien TB
dengan hasil pemeriksaan dahak positif 1,22 kali lebih besar dibandingkan dengan
pasien yang hasil pemeriksaan dahak negatif (crude HR=1,22; 95% CI:1,01-1,47;
p=0,04). PMO yang berasal dari bukan keluarga merupakan faktor protektif di
mana pasien dengan PMO bukan keluarga memiliki risiko 0,56 lebih rendah untuk
mengalami ketidakteraturan minum obat dibandingkan PMO yang berasal dari
keluarga (crude HR=0,56; 95% CI:0,31-0,99; p=0,045). Selain PMO, faktor
program yang berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat yaitu durasi
maksimal pemberian obat ≤ 2 minggu pada fase intensif memiliki risiko 1,46 kali
lebih besar mengalami ketidakteraturan minum obat dibandingkan dengan durasi
maksimal pemberian obat ≤ 1 minggu (crude HR=1,46; 95% CI: 1,21-1,75;
p<0,0001), durasi maksimal pemberian obat setiap ≤ 2 minggu pada fase lanjutan
memiliki risiko 1,77 kali lebih besar untuk mengalami ketidakteraturan
dibandingkan dengan maksimal pemberian obat setiap ≤1 minggu (crude
HR=1,77; 95% CI: 1,16-2,69; p=0,008).
69
5.5 Hasil Analisis Multivarat Prediktor Ketidakteraturan Minum Obat
Tuberkulosis
Analisis multivariat dilakukan dengan tujuan melihat prediktor yang
secara independen mempengaruhi ketidakteraturan minum obat TB. Variabel
prediktor yang dianalisis secara multivariat adalah variabel yang memiliki nilai
p<0,20 pada analisis bivariat yaitu jenis kelamin, hasil pemeriksaan dahak, PMO,
durasi maksimal pemberian obat fase intensif, durasi maksimal pemberian obat
fase lanjutan, dan pemberian obat pada peralihan setelah fase intensif. Variabel
umur ikut dimasukkan ke dalam analisis multivariat karena dianggap
mempengaruhi ketidakteraturan minum obat TB oleh karena itu variabel yang
dianalisis multivariat yaitu jenis kelamin, PMO, hasil pemeriksaan dahak, umur,
durasi pemberian obat fase intensif, durasi pemberian obat fase lanjutan, dan
pemberian obat pada fase peralihan setelah fase intensif. Variabel umur, durasi
maksimal pemberian obat pada peralihan setelah fase intensif, hubungan pasien
dengan PMO, dan hasil pemeriksaan dahak dikeluarkan dari model dengan
metode backward. Hasil analisis multivariat model akhir yang diperoleh
ditampilkan pada tabel 5.5.
Berdasarkan analisis multivariat diperoleh prediktor ketidakteraturan
minum obat TB di Puskesmas Kota Denpasar yaitu jenis kelamin, durasi
maksimal pemberian obat fase intensif, dan durasi maksimal pemberian obat fase
lanjutan. Pasien TB dengan jenis kelamin laki-laki berisiko 1,21 kali lebih
berisiko mengalami ketidakteraturan minum obat dibandingkan dengan pasien
perempuan (AHR=1,21; 95%CI:1,02-1,44, p=0,03). Durasi maksimal pemberian
obat setiap ≤ 2 minggu pada fase intensif memiliki risiko 1,55 kali lebih besar
70
untuk mengalami ketidakteraturan minum obat dibandingkan durasi pemberian
maksimal obat ≤ 1 minggu (AHR=1,55; 95% CI:1,28-1,87; p<0,0001). Durasi
maksimal pemberian obat setiap ≤ 2 minggu pada fase lanjutan memiliki risiko
1,62 kali lebih besar untuk mengalami ketidakteraturan minum obat dibandingkan
durasi maksimal pemberian obat ≤ 1 minggu (AHR=1,62; 95% CI:1,06-2,47;
p=0,026).
Tabel 5.5
Adjusted HR Prediktor Ketidakteraturan Minum Obat TB
di Puskesmas Kota Denpasar
Variabel AHR 95% CI p p(group)
Jenis Kelamin
Perempuan 1 (ref)
Laki-laki 1,21 1,02-1,44 0,03
Durasi maksimal pemberian
obat pada fase intensif
≤ 1minggu 1 (ref)
≤ 2 minggu 1,55 1,28-1,87 < 0,0001
Durasi maksimal pemberian
obat pada fase lanjutan
≤ 1minggu 1 (ref)
≤ 2 minggu 1,62 1,06-2,47 0,026
≤ 4 minggu 1,07 0,67-1,70 0,77 0,0002
71
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Besaran Masalah Ketidakteraturan Minum Obat
Insiden rate ketidakteraturan minum obat TB menggunakan analisis
repeated event sebesar 5,1 per 1.000 orang hari dengan memperhitungkan pasien
yang mengalami lebih dari sekali ketidakteraturan selama masa pengobatan.
Temuan insiden rate ketidakteraturan minum obat TB pada penelitian lainnya
tidak ditemukan namun beberapa temuan dalam penelitian lainnya menampilkan
dalam bentuk proporsi.
Selama pengamatan dalam periode pengobatan TB, sebanyak 58,7%
pasien mengalami ketidakteraturan minum obat. Hasil ini lebih tinggi
dibandingkan penelitian lainnya yang dilakukan di Binjai (33,7%), Puskesmas
Depok (33%), Pekalongan (39,2%), dan di negara lain seperti Nigeria (19%)
(Simamoro, 2004; Ibrahim et al., 2014; Raharno, 2005; Senewe, 2002). Sementara
temuan ini lebih rendah dibandingkan penelitian di Puskesmas Pekan Labuhan
yang menemukan pasien yang kurang patuh dan tidak patuh sebesar 86,9%
(Zuliana, 2010).
Pada penelitian ini ditemukan bahwa pasien TB berpotensi mengalami
ketidakteraturan minum obat TB pada semua fase pengobatan. Ketidakteraturan
minum obat pada fase intensif ditemukan sebesar 12,1% dan fase lanjutan sebesar
10,6%. Temuan ini lebih rendah dibandingkan penelitian di Rusia
(ketidakteraturan selama 2-8 minggu) dan di Pekan Labuhan (ketidakpatuhan
pasien dalam menelan obat dan memeriksakan dahak sesuai jadwal)
72
(Oblast, 2001; Zuliana, 2010). Hasil lain yang diperoleh pada penelitian ini yaitu
proporsi ketidakteraturan minum obat terbesar baik berdasarkan orang maupun
kejadian terjadi pada periode peralihan ke fase lanjutan dengan proporsi 47,2%.
Sebanyak 50% kejadian ketidakteraturan minum obat tercapai pada hari ke- 56 di
mana hari tersebut merupakan hari peralihan ke fase lanjutan terutama untuk
pasien yang berhasil mengalami konversi maupun fase peralihan ke fase sisipan.
Hasil ini sesuai dengan penelitian di India yang menemukan kebanyakan
ketidakteraturan minum obat terjadi antara bulan kedua dan ketiga masa
pengobatan yang bertepatan dengan perbaikan kondisi klinis pasien (Gupta et al.,
2011).
Berdasarkan hasil wawancara dengan pemegang Program TB di Dinas
Kesehatan dan beberapa Puskesmas Kota Denpasar maka beberapa kemungkinan
yang menyebabkan tingginya ketidakteraturan minum obat pada periode waktu
tersebut tersebut bersumber dari pasien, pemeriksaan laboratorium, dan kebijakan
petugas. Masalah yang muncul dari sisi pasien yaitu terdapat pasien yang tidak
datang untuk menyerahkan dahak sesuai waktu yang ditentukan oleh petugas TB
(1 minggu sebelum fase intensif berakhir). Alasan pasien tidak datang kembali ke
puskesmas pada akhir fase intensif dikarenakan perbaikan kondisi klinis (pasien
merasa sehat) di mana pasien cenderung mengalami peningkatan berat badan,
tidak mengalami batuk, dan mengalami kesulitan dalam mengeluarkan dahak.
Bagi pasien yang terlambat menyerahkan dahak dilakukan pelacakan ke rumah
oleh petugas PPTI dan pemegang program dengan tujuan pengambilan dahak dan
menanyakan alasan tidak datang ke puskesmas. Pada kegiatan pelacakan yang
73
sering menjadi masalah yaitu pasien bersangkutan tidak ditemui saat kunjungan
atau alamat yang diberikan pasien bukan merupakan alamat tempat tinggal
sebenarnya. Selain itu perilaku ketidakteraturan minum obat pasien berdasarkan
penelitian di Nigeria, India, dan Pekan Labuhan dapat disebabkan oleh kurangnya
pengetahuan pasien tentang durasi pengobatan TB dan pentingnya pengobatan TB
dengan waktu yang tepat (Ibrahim et al., 2014; Gupta et al., 2011; Zuliana, 2010).
Hanya saja dalam penelitian ini pengetahuan pasien akan durasi pengobatan TB
tidak dapat diukur karena tidak tercatat pada data sekunder. Berdasarkan hasil
wawancara, hasil pemeriksaan dahak dari pihak laboratorium (PRM) pernah
mengalami keterlambatan namun hanya berkisar 1-2 hari. Keterlambatan hasil
dahak pada umumnya terjadi karena banyaknya sediaan yang harus diperiksa oleh
puskesmas PRM namun pemegang program TB telah melakukan upaya untuk
memperoleh hasil dahak secara informal yaitu melalui pesan singkat atau telepon.
Sedangkan dari sisi petugas lebih terkait pada tindakan yang diambil petugas
dalam pemberian obat pada saat periode menunggu hasil dahak tersebut. Oleh
karena itu pada puskesmas yang menerapkan kebijakan pemberian obat dilakukan
setelah ada hasil dahak dapat menjadi salah satu pemicu pasien untuk tidak teratur
minum obat. Beberapa petugas puskesmas berpendapat bahwa pemberian obat
yang tidak sesuai dengan hasil pemeriksaan dahak yang belum diketahui berisiko
menimbulkan resistensi obat sementara beberapa petugas lain berpendapat
pemberian obat pada peralihan antar fase dilakukan untuk mencegah putus obat
dan menjaga konsistensi perjanjian di awal pengobatan yang dibuat dengan
pasien. Masalah ini secara tidak langsung dapat diatasi dengan diberlakukannya
74
kesepakatan baru pada tahun 2015. Berdasarkana hasil monitoring dan evaluasi
yang diadakan pada Bulan Maret 2015 dinyatakan bahwa fase sisipan dihapuskan
dalam rangkaian pengobatan TB sebagaimana kebijakan nasional terbaru. Pada
kesepekatan baru dinyatakan bahwa pasien yang telah memasuki akhir fase
intensif dilakukan pemerikaan dahak, namun hasil pemeriksaan dahak tersebut
tidak lagi menentukan jenis obat yang diberikan (apakah sisipan atau lanjutan).
Pasien dengan hasil pemeriksaan dahak akhir fase intensif dengan hasil positif
maupun negatif akan diberikan obat fase lanjutan. Kebijakan baru ini dapat
menurunkan ketidakteraturan minum obat yang tepat terjadi pada akhir fase
intensif dikarenakan petugas tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan dahak
untuk menentukan jenis obat yang diberikan kepada pasien sehingga diharapkan
ketidakteraturan yang terjadi pada periode tersebut dapat diturunkan. Kebijakan
baru tersebut akan dapat mengurangi masalah dari sisi program namun masalah
dari sisi pasien tetap belum bisa teratasi sehingga potensi kejadian
ketidakteraturan minum obat masih ada pada periode tersebut.
Secara keseluruhan perbedaan temuan terkait ketidakteraturan minum obat
TB pada penelitian ini disebabkan oleh perbedaan definisi operasional
ketidakteraturan minum obat, perbedaan cara pengelompokan ketidakteraturan,
dan perbedaan karakteristik sampel yang digunakan. Penelitian ini menggunakan
definisi yang lebih spesifik tentang kejadian ketidakteraturan minum obat yaitu
waktu di mana pasien tidak datang mengambil obat TB sesuai jadwal dengan
interval waktu 1-56 hari serta klasifikasi ketidakteraturan minum obat dibuat lebih
spesifik sehingga proporsi ketidakteraturan minum obat lebih tersebar sedangkan
75
pada penelitian lainnya cenderung mengklasifikasikan ketidakteraturan minum
obat hanya ke dalam dua fase yaitu fase intensif dan fase lanjutan.
Pada penelitian ini ditemukan potensi ketidakteraturan minum obat tidak
hanya pada fase intensif, sisipan, atau lanjutan melainkan pada peralihan antar
fase pengobatan. Secara umum total kumulatif hari ketidakteraturan selama
pengobatan TB yaitu dengan interval 1-99 hari dan median 2 hari (IQR: 1-5).
Temuan ini lebih kecil dibandingkan penelitian di Rusia yang mengklasifikasikan
berdasarkan fase pengobatan dengan total hari ketidakteraturan pada fase intensif
1-125 dan fase lanjutan 1-127 (tidak termasuk pasien yang putus obat)
(Jakubowiak et al., 2009). Hal ini menunjukkan tingkat keteraturan minum obat
TB di Puskesmas Kota Denpasar apabila dilihat dari total waktu ketidakteraturan
lebih rendah dibandingkan penelitian lainnya. Temuan lainnya adalah interval
total waktu ketidakteraturan pada fase peralihan yaitu 1-21 hari yang lebih kecil
dibandingkan ketidakteraturan yang terjadi pada peralihan ke fase lanjutan yaitu
1-56 hari. Apabila dilihat dari median hari ketidakteraturan pada peralihan ke fase
sisipan (median 3 hari, IQR:2-6) lebih besar dibandingkan dengan peralihan ke
fase lanjutan (median 2 hari, IQR:1-3). Penelitian lainnya belum ada yang
meneliti tentang ketidakteraturan pada peralihan antar fase. Ketidakteraturan yang
ditemukan pada peralihan antar fase pada penelitian ini perlu mendapatakan
perhatian karena terdapat penelitian lainnya di Rusia yang menemukan bahwa
semakin banyak total hari ketidakteraturan minum obat maka semakin
meningkatkan kemungkinan pasien mengalami default (putus obat) (Jakubowiak
et al., 2009). Berdasarkan hal tersebut dengan mengevaluasi ketidakteraturan
76
minum obat pasien TB secara berkala maka petugas pemegang program dapat
memperkirakan pasien-pasien yang berpotensi untuk default (putus obat) sehingga
segera dapat dilakukan upaya untuk meredam kejadian tersebut.
6.2 Prediktor Ketidakteraturan Minum Obat
Hasil analisis data menunjukkan bahwa prediktor ketidakteraturan minum
obat TB di Puskesmas Kota Denpasar adalah jenis kelamin laki-laki, durasi
maksimal pemberian obat ≤ 2 minggu pada fase intensif, dan durasi maksimal
pemberian obat ≤ 2 minggu pada fase lanjutan. Pasien TB laki-laki memiliki
risiko lebih tinggi untuk mengalami ketidakteraturan minum obat. Temuan ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Rusia, Afrika Selatan, India, dan
Nigeria yang menyatakan laki-laki lebih berisiko mengalami ketidakteraturan
minum obat dibandingkan wanita (Ahmad dan Velhal, 2014; Belilovsky et al.,
2010; Connolly et al., 1999; Ibrahim et al., 2014). Penelitian lainnya menyatakan
perilaku pencarian pengobatan DOTS dan kepatuhan pada pasien laki-laki lebih
rendah dibandingkan dengan pasien wanita (Wu et.al., 2009). Penelitian lainnya
mengaitkan peranan jenis kelamin laki-laki terhadap ketidakteraturan minum obat
TB karena laki-laki cenderung memiliki perilaku berisiko seperti mengonsumsi
alkohol dan merokok dibandingkan dengan pasien wanita (Belilovsky et al., 2010
dan Ibrahim et al., 2014). Pada penelitian ini informasi mengenai kebiasaan
merokok dan konsumsi alkohol pasien TB tidak dapat diperoleh akibat
ketidaktersediaan data terkait kebiasaan/perilaku berisiko pasien.
Analisis multivariat menunjukkan durasi maksimal pemberian obat pada
fase intensif maupun fase lanjutan merupakan prediktor ketidakteraturan minum
77
obat TB di Puskesmas Kota Denpasar. Pasien yang dirawat di puskesmas yang
menerapkan durasi maksimal pemberian obat ≤ 2 minggu pada fase intensif lebih
berisiko mengalami ketidakteraturan minum obat dibandingkan dengan
puskesmas yang menerapkan durasi maksimal pemberian obat ≤ 1 minggu. Hal
yang sama juga ditunjukkan pada durasi maksimal pemberian obat ≤ 2 minggu
pada fase lanjutan lebih berisiko mengalami ketidakteraturan minum obat
dibandingkan durasi maksimal pemberian obat ≤ 1 minggu. Hasil ini
menunjukkan bahwa pasien yang lebih jarang kontak dengan klinik cenderung
mengalami ketidakteraturan minum obat yang terlihat dari informasi pada Grafik
Kaplan Meier ketidakteraturan minum obat berdasarkan durasi maksimal
pemberian obat fase intensif. Pada durasi maksimal pemberian obat ≤ 2 minggu
pasien lebih cepat mengalami ketidakteraturan minum obat dibandingkan dengan
durasi maksimal pemberian obat ≤ 1 minggu. Temuan ini belum dapat
dibandingkan karena belum ditemukan penelitian yang melihat peran durasi
pemberian obat TB kepada pasien terhadap ketidakteraturan minum obat. Temuan
pada penelitian ini penting untuk penyusunan standar manajemn pengobatan yang
tepat untuk mengurangi kejadian ketidakteraturan minum obat pada pasien TB.
Hasil analisis yang tidak signifikan ditemukan antara variabel umur
dengan ketidakteraturan minum obat. Beberapa penelitian lainnya juga
menunjukkan hasil yang tidak konsisten terkait peran umur terhadap
ketidakteraturan minum obat. Penelitian yang dilakukan di India dan Rusia yang
cenderung menunjukkan bahwa pasien dengan umur yang lebih tua lebih berisiko
mengalami ketidakteraturan minum obat (Ahmad dan Velhal, 2014; Belilovsky et
78
al., 2010). Sementara hasil berbeda ditemukan oleh Ibrahim et al. (2014)
menemukan tidak ada hubungan signifikan antara kelompok umur > 35 tahun
terhadap ketidakteraturan minum obat.
Analisis terhadap variabel hubungan pasien dengan PMO dengan
ketidakteraturan minum obat tidak menunjukkan hubungan yang signifikan pada
analisis multivariat. Hasil ini sesuai dengan penelitian oleh Ubaidillah (2001)
yang menemukan bahwa PMO yang merupakan anggota keluarga penderita
merupakan faktor protektif ketidakteraturan minum obat TB namun tidak terbukti
secara statistik. Meskipun penelitian ini menggunakan cohort pengobatan pasien
TB, namun data variabel PMO diambil pada awal pengamatan. Hal ini yang
menyebabkan perilaku dan peran PMO yang sangat berpeluang untuk berubah
seiring berjalannya pengobatan TB tidak dapat diukur dalam penelitian ini secara
longitudinal. Penelitian di Surakarta (2010) yang menemukan bahwa kinerja PMO
yang baik berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat pasien TB juga
merupakan penelitian cross-sectional yang juga belum dapat menggambarkan
peran PMO sesungguhnya terhadap ketidakteraturan minum obat TB.
Hasil tidak signifikan juga ditemukan antara variabel pengalaman berobat
pasien dengan ketidakteraturan minum obat TB, di mana pasien dengan status
pindahan digolongkan ke dalam kategori memiliki pengalaman berobat TB.
Secara deskriptif temuan pada penelitian ini sesuai dengan Kandel, et.al.(2014)
yang menemukan proporsi ketidakteraturan minum obat tertinggi pada pasien
baru hanya saja berdasarkan analisis bivariat maupun multivariat pengalaman
berobat pasien tidak terbukti sebagai prediktor ketidakteraturan minum obat.
79
Sedangkan beberapa penelitian lainnya yang menemukan pasien dengan riwayat
pengobatan sebelumnya berisiko mengalami ketidakteraturan (Belilovsky et al.,
2010; Ubaidillah, 2001). Perbedaan temuan ini disebabkan oleh perbedaan
karakteristik sampel penelitian. Pada penelitian lainnya pasien dengan pengobatan
kategori 2 (pasien gagal, kambuh, dan putus obat) dimasukkan dalam analisis
sedangkan pada penelitian ini hanya menggunakan pasien dengan kategori 1
dengan statuas pasien baru dan pindahan. Di Kota Denpasar program pengobatan
TB di puskesmas tidak melakukan pengobatan untuk pasien di luar wilayah
sehingga apabila ada pasien luar wilayah kerja yang terjaring maka akan segera
dirujuk ke puskesmas tempat tinggal/domisili masing-masing. Hal ini
menyebabkan tidak ada perbedaan pengalaman berobat yang berarti antara pasien
baru dengan pindahan.
Jenis infeksi TB tidak ditemukan berperan signifikan terhadap
ketidakteraturan minum obat. Beberapa penelitian lainnya juga menunjukkan hasil
yang tidak konsisten di mana penelitian di Rwanda menemukan tidak ada
perbedaan kepatuhan minum obat pasien TB dan penelitian di Rusia yang
menemukan bahwa TB paru pada analisis bivariat faktor risiko ketidakteraturan
minum obat namun tidak terbukti dalam analisis multivariate (Belilovsky et al.,
2010). Demikian pula pada variabel hasil pemeriksaan dahak yang tidak
signifikan berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat pada analisis
multivariate di mana penelitian lainnya tidak meneliti keterkaitan variabel ini
terhadap ketidakteraturan minum obat.
80
Hasil analisis variabel status HIV dengan ketidakteraturan minum obat
tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Temuan ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Kayigamba et al. (2013) namun berlawanan dengan
penelitian oleh Connolly et.al (1999). Dapat disimpulkan bahwa peran status HIV
terhadap ketidakteraturan minum obat belum konsisten.
Faktor program lainnya yang juga ditemukan tidak signifikan berhubungan
dengan ketidakteraturan minum obat yaitu jenis puskesmas dan pemberian obat
pada peralihan setelah fase intensif berakhir. Pada penelitian ini jenis puskesmas
dibedakan menjadi puskesmas PRM yaitu puskesmas yang mampu melakukan
pembacaan pemeriksaan dahak dan puskesmas satelit yang merujuk sediaan dahak
kepada puskesmas PRM. Pasien-pasien di puskesmas PRM diharapkan memiliki
ketidakteraturan yang lebih rendah karena hasil pemeriksaan dahak dapat
berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan puskesmas satelit, namun dengan
analisis bivariat ditemukan tidak ada perbedaan antara puskesmas PRM dan
satelit. Hasil ini belum bisa dibandingkan karena pada penelitian lainnya belum
ada yang meneliti tentang jenis puskesmas seperti pada penelitian ini. Demikian
pula untuk durasi pemberian obat pada fase peralihan setelah fase intensif
berakhir ditemukan tidak berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat.
Penelitian terkait hal tersebut belum ditemukan sehingga hasil tersebut belum
dapat dibandingkan.
6.3 Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan dalam penelitian ini dibagi ke dalam validitas internal dan
validitas eksternal. Kelemahan yang berkaitan dengan validitas internal mencakup
81
beberapa hal yaitu: 1) keterbatasan variabel prediktor ketidakteraturan minum
obat pada data sekunder yang berkaitan dengan status sosial ekonomi (pendidikan,
pekerjaan, status pernikahan), jarak rumah dengan puskesmas, perilaku berisiko
pasien TB, faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku pasien, dan
alasan ketidakteraturan pasien minum obat; 2) kesalahan dan ketidaklengkapan
pencatatan data sekunder; 3) metode analisis repeated event yang digunakan pada
penelitian sebelumnya hanya ditemukan untuk outcome yang berupa kejadian
suatu penyakit bukan perilaku. Kelemahan yang berkaitan dengan validitas
eksternal yaitu penelitian ini hanya dilakukan di semua puskesmas di satu kota
sehingga hasil belum bisa digeneralisasi ke populasi yang lebih luas terutama
untuk pasien TB di rumah sakit yang memiliki karakteristik dan kondisi program
yang berbeda.
82
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Setelah dilakukan penelitian tentang ketidakteraturan minum obat TB di
seluruh puskesmas Kota Denpasar maka diperoleh beberapa simpulan sebagai
berikut.
1. Angka insiden ketidakteraturan minum obat 5,1 per 1.000 orang hari dengan
median waktu pengamatan yaitu 61 hari (IQR:56-215) dan 50% kejadian
ketidakteraturan tercapai pada hari ke-56, serta median total kumulatif hari
ketidakteraturan minum obat yaitu yaitu 2 hari (IQR:1-5) dengan interval 1-
99 hari.
2. Berdasarkan penelitian tentang prediktor ketidakteraturan minum obat TB
dapat disimpulkan tiga variabel yang terbukti berhubungan dengan
ketidakteraturan minum obat secara statistik yaitu jenis kelamin, durasi
maksimal pemberian obat pada fase intensif, dan durasi maksimal pemberian
obat pada fase lanjutan. Jenis kelamin laki-laki memiliki risiko lebih tinggi
untuk mengalami ketidakteraturan minum obat dibandingkan dengan wanita.
Durasi maksimal obat pada fase intensif selama ≤ 2 minggu memiliki risiko
yang lebih tinggi untuk mengalami ketidakteraturan minum obat TB
dibandingkan durasi maksimal pemberian obat selama ≤ 1 minggu. Durasi
maksimal pemberian obat pada fase lanjutan selama ≤ 2 minggu memiliki
risiko yang lebih tinggi untuk mengalami ketidakteraturan minum obat TB
dibandingkan durasi maksimal pemberian obat ≤ 1 minggu.
83
3. Untuk variabel umur, pengalaman berobat pasien, hasil pemeriksaan dahak,
jenis infeksi TB,status HIV, jenis puskesmas, pengawas minum obat, dan
pemberian obat pada peralihan setelah fase intensif tidak terbukti secara
statistik berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat TB.
7.2 Saran
Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil analisis data yaitu sebagai
berikut.
1. Terkait tatalaksana pengobatan TB disarankan untuk penyusunan SOP di
masing-masing puskesmas terkait kebijakan baru yang meniadakan fase
sisipan dalam rangkaian pengobatan TB. Selain itu tentang durasi maksimal
pemberian obat disarankan ≤ 1 minggu dalam upaya untuk mengurangi
ketidakteraturan minum obat. Selain itu petugas TB maupun dokter disarankan
untuk meningkatkan pemberian informasi mengenai perubahan kondisi yang
akan dialami pasien selama pengobatan dan mempertegas informasi mengenai
waktu pengobatan TB yang benar serta memberikan konseling kepatuhan
secara intensif kepada pasien dengan jenis kelamin laki-laki yang cenderung
mengalami ketidakteraturan minum obat.
2. Terkait data pengobatan pasien perlu dilakukan perbaikan pencatatan dan
penambahan informasi tentang sosial ekonomi (pendidikan, pekerjaan, status
pernikahan), jarak rumah dengan puskesmas, perilaku berisiko pasien TB, dan
alasan ketidakteraturan pasien minum obat.
84
3. Untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan pengamatan terhadap faktor-
faktor yang berhubungan dengan perilaku ketidakteraturan minum obat pasien
TB dan pengukuran kinerja PMO secara longitudinal.
85
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, S. R., & Velhal, G. D. 2014. Study of Treatment Interruption of New
Sputum Smear Positive TB Cases Under DOTS Strategy. International
Journal of Medical Science and Public Health, 3(8).
Astuti, N. K. 2010. Hubungan Keteraturan Berobat dengan Konversi Dahak
Penderita TB Paru Kasus Baru Setelah Pengobatan Fase Intensif.
Universitas Sebelas Maret.
Bappenas. 2012. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di
Indonesia 2011.
Belilovsky, E. M., Borisov, S. E., Cook, E. F., Shaykevich, S., Jakubowiak, W.
M., & Kourbatova, E. V. 2010. Treatment interruptions among patients with
tuberculosis in Russian TB hospitals. International Journal of Infectious
Diseases, 14(8), e698–703. doi:10.1016/j.ijid.2010.03.001
CDC. 2014. Tuberculosis ( TB ): Basic TB Facts. Retrieved October 31, 2014,
from http://www.cdc.gov/tb/topic/basics/default/html
Connolly, C., Davies, G., & Wilkinson, D. 1999. Who fails to complete
tuberculosis treatment? Temporal trends and risk factors for treatment
interruption in a community-based directly observed therapy programme in a
rural district of South Africa. Journal Tuberculosis Lung Disease, 3(12).
Dinkes Provinsi Bali. 2013. Profil Kesehatan Provinsi Bali Tahun 2012.
Denpasar.
Gupta, S., Gupta, S., & Behera, D. 2011. Reasons for interruption of anti-
tubercular treatment as reported by patients with tuberculosis admitted in a
tertiary care institute. The Indian Journal of Tuberculosis, 58(1), 11–7.
Retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21434551
Hapsari, J. R. 2010. Hubungan Kinerja Pengawas Minum Obat (PMO) dengan
Keteraturan Berobat pasien TB Paru Strategi DOTS di RSUD dr. Moewardi
Surakarta. Universitas Sebelas Maret.
Ibrahim, L. M., Hadejia, I. S., Nguku, P., Dankoli, R., Waziri, N. E., Akhimien,
M. O., … Nsubuga, P. 2014. Factors associated with interruption of
treatment among Pulmonary Tuberculosis patients in Plateau State, Nigeria.
2011. The Pan African Medical Journal, 17, 78.
doi:10.11604/pamj.2014.17.78.3464
86
Jakubowiak, W., Bogorodskaya, E., Borisov, S., Danilova, I., & Kourbatova, E.
2009. Treatment interruptions and duration associated with default among
new patients with tuberculosis in six regions of Russia. International Journal
of Infectious Diseases : IJID : Official Publication of the International
Society for Infectious Diseases, 13(3), 362–8. doi:10.1016/j.ijid.2008.07.015
Kandel, T., Mfenyana, K., Chandia, J., & Yogeswaran, P. 2014. The prevalence of
and reasons for interruption of anti-tuberculosis treatment by patients at
Mbekweni Health Centre in the King Sabata Dalindyebo (KSD) District in
the Eastern Cape province. South African Family Practice, 50(6), 47–47c.
doi:10.1080/20786204.2008.10873785
Kayigamba, F. R., Bakker, M. I., Mugisha, V., De Naeyer, L., Gasana, M.,
Cobelens, F., & van der Loeff, M. S. 2013. Adherence to tuberculosis
treatment, sputum smear conversion and mortality: a retrospective cohort
study in 48 Rwandan clinics. PloS One, 8(9), e73501.
doi:10.1371/journal.pone.0073501
Kemenkes Republik Indonesia. 2013. Profil Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes RI. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kleinbaum, D. G., & Klein, M. 2005. Survival Analysis : A Self-Learning Text.
(M. Gail, K. Krickeberg, J. Samet, A. Tsiatis, & W. Wong, Eds.) (Secod
Edit.). USA: Springer.
Notoatmodjo, S. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka
Cipta.
Oblast, I. 2001. Tuberculosis Treatment Interruptions. MMWR, 50(11), 16–18.
Raharno, T. 2005. Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Ketidakteraturan
Berobat Penderita TB Paru di Instalasi Rawat Jalan BP. RSUD Kraton
Kabupaten Pekalongan.
Rahmansyah, A. 2012. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Drop Out (DO)
pada Penderita TB Paru di Rumah Sakit Paru Palembang Tahun 2010.
Indonesia University.
Sardar, P., Jha, A., Roy, D., Roy, S., Guha, P., & Bandyopadhyaya, D. 2010.
Intensive Phase Non-compliance to Anti Tubercular Tretment in Patients
with HIV-TB Coinfection: A Hospital-based Cross-sectional Study. Journal
of Community Health, 35(5), 471–478.
87
Senewe, F. P. 2002. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Berobat
Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Depok. Buletin Penelitian
Kesehatan, 30(1), 32–38.
Simamoro, J. 2004. Faktor yang Mempengaruhi Ketidakteraturan Penderita TB
Paru di Puskesmas Kota Binjai Tahun 2004. Universitas Sumatera Utara.
SR, D. S., Nurlaela, S., & A, I. Z. 2012. Risk Factors of Multidrug Resistant
Tuberculosis (MDR-TB). Jurnal Kesehatan Masyarakat, 8(1), 60–66.
TB Fact.org. 2014. TB Treatment. Retrieved October 30, 2014, from
http://www/tbfacts.org/tb-treatment.html
TB Facts.org. 2014. TB Drugs | First line , second line & new TB drugs.
Retrieved November 03, 2014, from http://www.tbfacts.org/tb-drugs.html
Ubaidillah. 2001. Faktor yang Mempengaruhi Ketidakteraturan Berobat
Penderita TB Paru di Kabupaten Lahay Provinsi Sumatera Selatan : Analisis
Data Sekunder. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Retrieved from http://eprints.lib.ui.ac.id/7443/1/72891-T9551-Faktor yang-
TOC.pdf
Utama, G. A. 2013. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Motivasi Berobat Penderita
Tuberkulosis di Kota Pekalongan Tahun 2012. WIDYA, 1(2).
WHO. 2013. Global Tuberculosis Report 2013.
WHO. 2014. Global Tuberculosis Report 2014. France.
Wu, P.-S., Chou, P., Chang, N.-T., Sun, W.-J., & Kuo, H.-S. 2009. Assessment of
Changes in Knowledge and Stigmatization Following Tuberculosis Training
Workshop in Taiwan. Elsevier and Formosan Medical Association, 108(5),
377–385.
Zuliana, I. 2010. The Effect of Individual Characteristic, Health Services Factor,
and Treatment Support of The Patients TB Compliance in Work Area of
Pekan Labuhan’s Primary Health Centre in Medan on 2009. Universitas
Sumatera Utara.
88
LAMPIRAN
89
Lampiran 1
TABEL EKSTRAKSI DATA
No. Tahun No.
Registrasi
Puskesmas Jenis
Puskesmas
Jenis
Kelamin
Umur Hubungan
dengan
PMO
Pengalaman
Berobat
Pasien
Jenis
Infeksi
TB
Jenis
Rejimen
90
Hasil
Pemeriksaan
Lab Awal
Hasil Lab
HIV
Tannggal
Mulai
Pengobatan
Tanggal
Ketidakteraturan
Fase Terjadinya
Ketidakteraturan
91
Lampiran 2
PENJELASAN KEPADA PEMEGANG PROGRAM PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS DI PUSKESMAS KOTA DENPASAR
“Prediktor Ketidakteraturan Minum Obat Tuberkulosis (TB)
di Puskesmas Kota Denpasar Tahun 2011-2012”
Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Salah satu upaya yang
dilakukan dalam pengendalian munculnya kasus TB yaitu pngobatan TB. Secara
umum tujuan pengobatan Tuberkulosis (TB) antara lain: 1) penyembuhan pasien serta
mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas, pencegahan kematian, pencegahan
kekambuhan, pemutusan rantai penularan, serta pencegahan timbulnya resistensi
kuman terhadap obat anti tuberkulosis (OAT) dan penularannya (Kemenkes RI, 2011;
TB Fact.org, 2014).
DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse chemotherapy)
merupakan strategi yang ditetapkan oleh WHO dan diterapkan untuk pengobatan TB di
Indonesia. Mencegah putus berobat dan resistensi kuman akibat ketidakpatuhan
menjadi beberapa tujuan diterapkannya strategi DOTS. Pengobatan TB terdiri dari fase
intensif dengan lama pengobatan 2-3 bulan dan fase lanjutan dengan lama pengobatan
4 bulan. Obat TB seharusnya diminum secara teratur selama 6-8 bulan sesuai dengan
jadwal untuk mencegah terjadinya resistensi obat TB. Untuk mengetahui faktor yang
menyebabkan ketidakteraturan minum obat pasien TB di Puskesmas Kota Denpasar
Tahun 2011-2012 dilakukan penelitian yang berbasis pada rekam medik dan
wawancara. Penelitian dengan menggunakan rekam medik pengobatan pasien TB yang
telah menyelesaikan pengobatan tidak memungkinkan peneliti untuk meminta ijin
secara langsung kepada pasien. Walaupun demikian, peneliti tetap akan melakukan
pengambilan data dengan mengedepankan aspek etik agar tidak merugikan pasien yaitu
dengan cara menuliskan nomer registrasi dan tahun pengobatan sehingga hanya dapat
diakses oleh peneliti dan orang yang relevan dalam penelitian ini. Pada kondisi pasien
yang tidak memungkinkan memberikan ijin secara langsung, pemegang program
pengendalian tuberkulosis (TB) di puskesmas dapat memberikan ijin pengambilan data
setelah mempertimbangkan bahwa studi ini tidak bertentangan dengan etik.
92
Sementara untuk data yang diperoleh dengan wawancara akan diminta
persetujuan secara langsung kepada pemegang program pengendalian TB di puskesmas
selaku responden. Secara tidak langsung hal ini dapat memberikan masukan pada
peningkatan kualitas data yang dikumpulkan. Anda dapat menyimpan lembaran
penjelasan ini sebagai informasi untuk Saudara sendiri. Apabila mempunyai
pertanyaan lebih lanjut tentang penelitian ini, bisa menghubungi Putu Ika Farmani
(pada nomer 082339624610).
93
FORMULIR PERSETUJUAN
Persetujuan untuk berpartisipasi pada penelitian mengenai “Prediktor
Ketidakteraturan Minum Obat Tuberkulosis (TB) di Puskesmas Kota Denpasar
Tahun 2011-2012”.
Bahwa saya telah membaca lembaran informasi yang diberikan kepada saya
(atau telah dibacakan untuk saya) dan saya telah memahami tujuan penelitian ini.
Saya mengerti bahwa data penelitian ini akan dijamin kerahasiaannya. Informasi
mengenai identitas pasien (nama lengkap pasien) akan digantikan dengan nomor
registrasi dan data akan tersimpan secara aman yang hanya bisa diakses oleh orang
yang relevan.
Saya mengerti bahwa saya berhak menolak untuk memberikan ijin dalam
penggunaan data ini setiap saat tanpa adanya sanksi atau kehilangan hak-hak saya
dan telah diberikan kesempatan untuk bertanya mengenai penelitian ini atau
mengenai peran serta saya dalam penelitian. Saya secara sukarela dan sadar bersedia
mewakili institusi dan pasien dalam penelitian ini dengan menandatangani formulir
persetujuan menjadi subyek penelitian.
Denpasar,................................2015
Peneliti
(..............................................)
Pemegang Program Pengendalian TB
Puskesmas
(..............................................)
94
C. CATATAN TENTANG JALANNYA WAWANCARA :
(DIISI SETELAH WAWANCARA SELESAI
8. Wawancara berjalan tersendat-sendat 1. Ya 2. Tidak
9. Kerjasama dari responden kurang baik 1. Ya 2. Tidak
10. Wawancara terganggu karena kehadiran 1. Ya 2. Tidak
pihak ketiga
11. Daya tangkap responden terhadap pertanyaan 1. Ya 2. Tidak
kurang
12. Catatan lain yang perlu ditambahkan, 1. Ya 2. Tidak
TULIS PADA RUANG INI! ______________
___________________________________________________________
DAFTAR PERTANYAAN PENELITIAN “Prediktor Ketidakteraturan Minum Obat Tuberkulosis (TB) di Puskesmas
Kota Denpasar Tahun 2011-2012”
RESPONDEN ADALAH PEMEGANG PROGRAM PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS (TB)
A. IDENTITAS
1. Nama responden :
2. Umur :
3. Jenis kelamin :
4. Nama puskesmas :
5. Nomor responden :
B. WAKTU WAWANCARA
6. Kunjungan ke 1 2 3
7. Tanggal
95
D. INFORMASI TERKAIT PROGRAM PENGENDALIAN TB DI
PUSKESMAS
13. Berapa lama anda menjabat sebagai pemegang program P2 TB di puskesmas ini sampai
dengan tahun 2013?
__________ bulan/tahun
14. Pelatihan terkait TB apa saja yang pernah anda dapatkan sampai dengan tahun 2012?
Sebutkan:
1. ______________
2. ______________
3. ______________
4. ______________
5. ______________
6. (diisi sesuai dengan jumlah pelatihan yang diikuti)
15. Apakah selama tahun 2011-2013 anda memegang jabatan selain pemegang P2 TB?
1. Tidak
2. Ya ,jika Ya sebutkan jabatan tersebut
_____________________________
_____________________________
16. Petugas apa saja yang tergabung dalam kegiatan pengobatan TB di puskesmas anda
pada tahun 2011/2012?
1. Pemegang program TB saja
2. Pemegang program TB yang
merangkap petugas PPTI
3. Pemegang program TB dan
petugas PPTI
4. Lainnya (disebutkan )
_____________
17. Apakah selama ini anda membuat buku bantu (buku catatan selain formulir TB yang
disediakan oleh Dinas Kesehatan Kota Denpasar) dalam memberikan pengobatan TB
kepada pasien?
1. Tidak
96
2. Ya
Jika Ya, informasi tambahan (informasi di luar formulir TB 01 dan 03) apa saja
yang dicatat? Sebutkan.
18. Terkait pengobatan TB, setiap berapa hari pasien diminta datang untuk mengambil obat
TB ke puskesmas?
Jawab:
1. Pemberian obat TB rutin pada fase intensif yaitu ___________ hari
2. Pemberian obat TB rutin pada fase lanjutan yaitu ___________ hari
3. Pemberian obat TB pada kondisi khusus (seperti pulang kampung/keluar kota)
yaitu ________ hari
19. Pada akhir tahap intensif pengobatan dilakukan pemeriksaan dahak pasien. Pada saat
kondisi hasil pemeriksaan dahak belum diterima sedangkan hari pengobatan pasien
pada fase intensif telah habis, apakah yang dilakukan terhadap pengobatan pasien?
Jawab:
1. Melanjutkan pemberian obat yang digunakan pada tahap sisipan
2. Memberikan obat setelah ada hasil pemeriksaan dahak pasien
3. Lainnya (sebutkan)
_________________________________________________________
20. Pada akhir fase sisipan pengobatan dilakukan pemeriksaan dahak pasien. Pada saat
kondisi hasil pemeriksaan dahak belum diterima sedangkan hari pengobatan pasien
pada fase sisipan telah habis, apakah yang dilakukan terhadap pengobatan pasien?
Jawab:
1. Melanjutkan pemberian obat yang digunakan pada fase lanjutan
2. Memberikan obat setelah ada hasil pemeriksaan dahak pasien
3. Lainnya (sebutkan)
97
_________________________________________________________
21. Pada bulan ke-5 pengobatan dilakukan pemeriksaan dahak pasien. Pada saat kondisi
hasil pemeriksaan dahak belum diterima sedangkan hari pengobatan pasien pada
bulan ke-5 telah habis, apakah yang dilakukan terhadap pengobatan pasien?
Jawab:
1. Melanjutkan pemberian obat yang digunakan pada tahap ini
2. Memberikan obat setelah ada hasil pemeriksaan dahak pasien
3. Lainnya (sebutkan)
______________________________________________________
22. Apakah di puskesmas anda menyediakan pemeriksaan laboratorium berkaitan dengan
program TB?
1. Ya
Jika “Ya” sebutkan layanan laboratorium apa saja yang diberikan
________________________
2. Tidak
PERIKSA KEMBALI :
1. APAKAH SUDAH SEMUA PERTANYAAN DITANYAKAN?
2. APAKAH JAWABAN RESPONDEN SUDAH SEMUANYA DICATAT?
3. UCAPKAN TERIMA KASIH
98
Lampiran 3
Analisis Univariat
swilk filter_peralihan_sisip
Shapiro-Wilk W test for normal data
Variable | Obs W V z Prob>z
-------------+--------------------------------------------------
filter_per~p | 21 0.72667 6.698 3.845 0.00006
summarize filter_peralihan_sisip
Variable | Obs Mean Std. Dev. Min Max
-------------+--------------------------------------------------------
filter_per~p | 21 4.761905 4.526641 1 21
. summarize filter_peralihan_sisip, detail
filter_peralihan_sisip
-------------------------------------------------------------
Percentiles Smallest
1% 1 1
5% 1 1
10% 1 1 Obs 21
25% 2 2 Sum of Wgt. 21
50% 3 Mean 4.761905
Largest Std. Dev. 4.526641
75% 6 7
90% 8 8 Variance 20.49048
95% 11 11 Skewness 2.379648
99% 21 21 Kurtosis 9.009812
. swilk filter_lama_peralihan_lanjutan
Shapiro-Wilk W test for normal data
Variable | Obs W V z Prob>z
-------------+--------------------------------------------------
filter_lam~n | 304 0.55717 95.459 10.708 0.00000
. summarize filter_lama_peralihan_lanjutan, detail
filter_lama_peralihan_lanjutan
-------------------------------------------------------------
Percentiles Smallest
1% 1 1
5% 1 1
10% 1 1 Obs 304
25% 1 1 Sum of Wgt. 304
50% 2 Mean 3.226974
Largest Std. Dev. 4.961681
75% 3 19
90% 7 23 Variance 24.61828
95% 12 32 Skewness 5.609542
99% 19 56 Kurtosis 49.13776
99
. swilk total_missing
Shapiro-Wilk W test for normal data
Variable | Obs W V z Prob>z
-------------+--------------------------------------------------
total_miss~g | 378 0.51842 126.035 11.478 0.00000
. summarize total_missing, detail
total_missing
-------------------------------------------------------------
Percentiles Smallest
1% 1 1
5% 1 1
10% 1 1 Obs 378
25% 1 1 Sum of Wgt. 378
50% 2 Mean 5.57672
Largest Std. Dev. 10.45469
75% 5 52
90% 12 72 Variance 109.3005
95% 21 76 Skewness 4.774649
99% 52 99 Kurtosis 31.84122
. tab sex_code status, col
+-------------------+
| Key |
|-------------------|
| frequency |
| column percentage |
+-------------------+
| status
sex_code | no interr interrupt | Total
-----------+----------------------+----------
female | 119 159 | 278
| 44.74 42.06 | 43.17
-----------+----------------------+----------
male | 147 219 | 366
| 55.26 57.94 | 56.83
-----------+----------------------+----------
Total | 266 378 | 644
| 100.00 100.00 | 100.00
tab have_exp status,col
+-------------------+
| Key |
|-------------------|
| frequency |
| column percentage |
+-------------------+
| status
have_exp | no interr interrupt | Total
-----------+----------------------+----------
0 | 250 360 | 610
| 93.98 95.24 | 94.72
100
-----------+----------------------+----------
1 | 16 18 | 34
| 6.02 4.76 | 5.28
-----------+----------------------+----------
Total | 266 378 | 644
| 100.00 100.00 | 100.00
. tab lab0_cod status,col
+-------------------+
| Key |
|-------------------|
| frequency |
| column percentage |
+-------------------+
| status
lab0_cod | no interr interrupt | Total
-------------+----------------------+----------
negative | 95 121 | 216
| 35.71 32.01 | 33.54
-------------+----------------------+----------
positive | 169 251 | 420
| 63.53 66.40 | 65.22
-------------+----------------------+----------
no conducted | 2 6 | 8
| 0.75 1.59 | 1.24
-------------+----------------------+----------
Total | 266 378 | 644
| 100.00 100.00 | 100.00
. tab tbinfect_cod status,col
+-------------------+
| Key |
|-------------------|
| frequency |
| column percentage |
+-------------------+
| status
tbinfect_cod | no interr interrupt | Total
---------------+----------------------+----------
extrapulmonary | 24 29 | 53
| 9.02 7.67 | 8.23
---------------+----------------------+----------
pulmonary | 242 349 | 591
| 90.98 92.33 | 91.77
---------------+----------------------+----------
Total | 266 378 | 644
| 100.00 100.00 | 100.00
. . tab treat_support status,col
+-------------------+
| Key |
|-------------------|
| frequency |
| column percentage |
+-------------------+
| status
101
treat_support | no interr interrupt | Total
-----------------+----------------------+----------
famili | 247 363 | 610
| 92.86 96.03 | 94.72
-----------------+----------------------+----------
famili dan nakes | 1 0 | 1
| 0.38 0.00 | 0.16
-----------------+----------------------+----------
lainnya | 11 5 | 16
| 4.14 1.32 | 2.48
-----------------+----------------------+----------
nakes | 3 6 | 9
| 1.13 1.59 | 1.40
-----------------+----------------------+----------
tidak ada | 4 4 | 8
| 1.50 1.06 | 1.24
-----------------+----------------------+----------
Total | 266 378 | 644
| 100.00 100.00 | 100.00
. tab phctreat status,col
+-------------------+
| Key |
|-------------------|
| frequency |
| column percentage |
+-------------------+
| status
phctreat | no interr interrupt | Total
----------------------+----------------------+----------
PHC of microscopic re | 70 80 | 150
| 26.32 21.16 | 23.29
----------------------+----------------------+----------
satellite | 196 298 | 494
| 73.68 78.84 | 76.71
----------------------+----------------------+----------
Total | 266 378 | 644
| 100.00 100.00 | 100.00
stset stop, fail(status) id(id) time0(start) exit(time .)
id: id
failure event: status != 0 & status < .
obs. time interval: (start, stop]
exit on or before: time .
------------------------------------------------------------------------------
1178 total obs.
0 exclusions
------------------------------------------------------------------------------
1178 obs. remaining, representing
644 subjects
535 failures in multiple failure-per-subject data
104558 total analysis time at risk, at risk from t = 0
earliest observed entry t = 0
last observed exit t = 274
stsum
failure _d: status
analysis time _t: stop
exit on or before: time .
102
id: id
| incidence no. of |------ Survival time -----|
| time at risk rate subjects 25% 50% 75%
---------+---------------------------------------------------------------------
total | 104558 .0051168 644 56 61 215
. stsum, by(status)
failure _d: status
analysis time _t: stop
exit on or before: time .
id: id
| incidence no. of |------ Survival time -----|
status | time at risk rate subjects 25% 50% 75%
---------+---------------------------------------------------------------------
no inter | 77919 0 643 . . .
interrup | 26639 .0200833 378 56 56 57
---------+---------------------------------------------------------------------
total | 104558 .0051168 644 56 61 215
. stdes
failure _d: status
analysis time _t: stop
exit on or before: time .
id: id
|-------------- per subject --------------|
Category total mean min median max
------------------------------------------------------------------------------
no. of subjects 644
no. of records 1178 1.829193 1 2 12
(first) entry time 0 0 0 0
(final) exit time 165.6227 1 167 274
subjects with gap 377
time on gap if gap 2103 3.938202 1 2 56
time at risk 104558 162.3571 1 166 265
failures 535 .8307453 0 1 11
------------------------------------------------------------------------------
sts graph, risktable
failure _d: status
analysis time _t: stop
exit on or before: time .
id: id
. sts graph, by(status)
failure _d: status
analysis time _t: stop
exit on or before: time .
id: id
sts graph, by(spacing_fase_intensif) risktable
103
. stsum, by(spacing_fase_intensif)
failure _d: status
analysis time _t: stop
exit on or before: time .
id: id
| incidence no. of |------ Survival time -----|
durati~i | time at risk rate subjects 25% 50% 75%
---------+---------------------------------------------------------------------
<=1 week | 79521 .0046026 492 56 66 215
<=2 week | 25037 .00675 152 56 57 192
---------+---------------------------------------------------------------------
total | 104558 .0051168 644 56 61 215
104
ANALISIS BIVARIAT
Faktor Demografi
stcox age
failure _d: status
analysis time _t: stop
exit on or before: time .
id: id
Iteration 0: log likelihood = -3350.8237
Iteration 1: log likelihood = -3350.821
Iteration 2: log likelihood = -3350.821
Refining estimates:
Iteration 0: log likelihood = -3350.821
Cox regression -- Breslow method for ties
No. of subjects = 644 Number of obs = 1178
No. of failures = 535
Time at risk = 104558
LR chi2(1) = 0.01
Log likelihood = -3350.821 Prob > chi2 = 0.9414
------------------------------------------------------------------------------
_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
-------------+----------------------------------------------------------------
age | .9997906 .002852 -0.07 0.941 .9942163 1.005396
------------------------------------------------------------------------------
. stcox i.sex_code
failure _d: status
analysis time _t: stop
exit on or before: time .
id: id
Iteration 0: log likelihood = -3350.8237
Iteration 1: log likelihood = -3348.5923
Iteration 2: log likelihood = -3348.5918
Refining estimates:
Iteration 0: log likelihood = -3348.5918
Cox regression -- Breslow method for ties
No. of subjects = 644 Number of obs = 1178
No. of failures = 535
Time at risk = 104558
LR chi2(1) = 4.46
Log likelihood = -3348.5918 Prob > chi2 = 0.0346
------------------------------------------------------------------------------
_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
-------------+----------------------------------------------------------------
1.sex_code | 1.204876 .1069465 2.10 0.036 1.012485 1.433825
------------------------------------------------------------------------------
. stcox i.have_exp
failure _d: status
analysis time _t: stop
exit on or before: time .
105
id: id
Iteration 0: log likelihood = -3350.8237
Iteration 1: log likelihood = -3350.7529
Iteration 2: log likelihood = -3350.7529
Refining estimates:
Iteration 0: log likelihood = -3350.7529
Cox regression -- Breslow method for ties
No. of subjects = 644 Number of obs = 1178
No. of failures = 535
Time at risk = 104558
LR chi2(1) = 0.14
Log likelihood = -3350.7529 Prob > chi2 = 0.7067
------------------------------------------------------------------------------
_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
-------------+----------------------------------------------------------------
1.have_exp | .9251857 .193454 -0.37 0.710 .614108 1.39384
Faktor Klinis
. stcox i.lab0_cod
failure _d: status
analysis time _t: stop
exit on or before: time .
id: id
Iteration 0: log likelihood = -3350.8237
Iteration 1: log likelihood = -3348.2496
Iteration 2: log likelihood = -3348.2267
Iteration 3: log likelihood = -3348.2267
Refining estimates:
Iteration 0: log likelihood = -3348.2267
Cox regression -- Breslow method for ties
No. of subjects = 644 Number of obs = 1178
No. of failures = 535
Time at risk = 104558
LR chi2(2) = 5.19
Log likelihood = -3348.2267 Prob > chi2 = 0.0745
------------------------------------------------------------------------------
_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
-------------+----------------------------------------------------------------
lab0_cod |
1 | 1.21789 .1179293 2.04 0.042 1.007362 1.472416
2 | 1.65062 .5989438 1.38 0.167 .8105508 3.361352
------------------------------------------------------------------------------
. testparm i.lab0_cod
( 1) 1.lab0_cod = 0
( 2) 2.lab0_cod = 0
chi2( 2) = 5.18
Prob > chi2 = 0.0752
106
. stcox i.tbinfect_cod
failure _d: status
analysis time _t: stop
exit on or before: time .
id: id
Iteration 0: log likelihood = -3350.8237
Iteration 1: log likelihood = -3350.428
Iteration 2: log likelihood = -3350.4266
Iteration 3: log likelihood = -3350.4266
Refining estimates:
Iteration 0: log likelihood = -3350.4266
Cox regression -- Breslow method for ties
No. of subjects = 644 Number of obs = 1178
No. of failures = 535
Time at risk = 104558
LR chi2(1) = 0.79
Log likelihood = -3350.4266 Prob > chi2 = 0.3729
------------------------------------------------------------------------------
_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
-------------+----------------------------------------------------------------
1.tbinfect~d | 1.160527 .1980604 0.87 0.383 .8305877 1.621529
------------------------------------------------------------------------------
. stcox i.hivstat_cod
failure _d: status
analysis time _t: stop
exit on or before: time .
id: id
Iteration 0: log likelihood = -3350.8237
Iteration 1: log likelihood = -3350.394
Iteration 2: log likelihood = -3350.3884
Iteration 3: log likelihood = -3350.3884
Refining estimates:
Iteration 0: log likelihood = -3350.3884
Cox regression -- Breslow method for ties
No. of subjects = 644 Number of obs = 1178
No. of failures = 535
Time at risk = 104558
LR chi2(2) = 0.87
Log likelihood = -3350.3884 Prob > chi2 = 0.6471
------------------------------------------------------------------------------
_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
-------------+----------------------------------------------------------------
hivstat_cod |
1 | 1.346777 .4618168 0.87 0.385 .6877245 2.637407
2 | 1.055289 .1008604 0.56 0.573 .8750173 1.272699
------------------------------------------------------------------------------
. testparm i.hivstat_cod
( 1) 1.hivstat_cod = 0
( 2) 2.hivstat_cod = 0
chi2( 2) = 0.91
Prob > chi2 = 0.6331
107
Faktor Program
. stcox i.phctreat
failure _d: status
analysis time _t: stop
exit on or before: time .
id: id
Iteration 0: log likelihood = -3350.8237
Iteration 1: log likelihood = -3350.3626
Iteration 2: log likelihood = -3350.3623
Refining estimates:
Iteration 0: log likelihood = -3350.3623
Cox regression -- Breslow method for ties
No. of subjects = 644 Number of obs = 1178
No. of failures = 535
Time at risk = 104558
LR chi2(1) = 0.92
Log likelihood = -3350.3623 Prob > chi2 = 0.3367
------------------------------------------------------------------------------
_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
-------------+----------------------------------------------------------------
1.phctreat | 1.103621 .1142801 0.95 0.341 .9009022 1.351954
------------------------------------------------------------------------------
. stcox i.treat_supportcod
failure _d: status
analysis time _t: stop
exit on or before: time .
id: id
Iteration 0: log likelihood = -3350.8237
Iteration 1: log likelihood = -3348.2751
Iteration 2: log likelihood = -3348.1589
Iteration 3: log likelihood = -3348.1585
Refining estimates:
Iteration 0: log likelihood = -3348.1585
Cox regression -- Breslow method for ties
No. of subjects = 644 Number of obs = 1178
No. of failures = 535
Time at risk = 104558
LR chi2(2) = 5.33
Log likelihood = -3348.1585 Prob > chi2 = 0.0696
----------------------------------------------------------------------------------
_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
-----------------+----------------------------------------------------------------
treat_supportcod |
1 | .5572158 .1627445 -2.00 0.045 .3143513 .9877146
2 | 1.28841 .4903423 0.67 0.506 .6110891 2.716463
----------------------------------------------------------------------------------
. testparm i.treat_supportcod
( 1) 1.treat_supportcod = 0
( 2) 2.treat_supportcod = 0
108
chi2( 2) = 4.50
Prob > chi2 = 0.1053
. stcox i.spacing_fase_intensif
failure _d: status
analysis time _t: stop
exit on or before: time .
id: id
Iteration 0: log likelihood = -3350.8237
Iteration 1: log likelihood = -3343.1551
Iteration 2: log likelihood = -3343.0837
Iteration 3: log likelihood = -3343.0837
Refining estimates:
Iteration 0: log likelihood = -3343.0837
Cox regression -- Breslow method for ties
No. of subjects = 644 Number of obs = 1178
No. of failures = 535
Time at risk = 104558
LR chi2(1) = 15.48
Log likelihood = -3343.0837 Prob > chi2 = 0.0001
--------------------------------------------------------------------------------------
-
_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf.
Interval]
----------------------+---------------------------------------------------------------
-
1.spacing_fase_inte~f | 1.455534 .135424 4.03 0.000 1.212903
1.746702
. stcox i.spacing_fase_lanjutan
failure _d: status
analysis time _t: stop
exit on or before: time .
id: id
Iteration 0: log likelihood = -3350.8237
Iteration 1: log likelihood = -3343.5021
Iteration 2: log likelihood = -3343.4069
Iteration 3: log likelihood = -3343.4068
Refining estimates:
Iteration 0: log likelihood = -3343.4068
Cox regression -- Breslow method for ties
No. of subjects = 644 Number of obs = 1178
No. of failures = 535
Time at risk = 104558
LR chi2(2) = 14.83
Log likelihood = -3343.4068 Prob > chi2 = 0.0006
--------------------------------------------------------------------------------------
-
_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf.
Interval]
----------------------+---------------------------------------------------------------
-
spacing_fase_lanjutan |
109
1 | 1.767401 .3790001 2.66 0.008 1.160925
2.690705
2 | 1.296991 .2990449 1.13 0.259 .8254234
2.037966
--------------------------------------------------------------------------------------
-
. testparm i.spacing_fase_lanjutan
( 1) 1.spacing_fase_lanjutan = 0
( 2) 2.spacing_fase_lanjutan = 0
chi2( 2) = 13.62
Prob > chi2 = 0.0011
. stcox i.pemberian_obat_setelah_intensif
failure _d: status
analysis time _t: stop
exit on or before: time .
id: id
Iteration 0: log likelihood = -3350.8237
Iteration 1: log likelihood = -3348.7021
Iteration 2: log likelihood = -3348.6908
Iteration 3: log likelihood = -3348.6908
Refining estimates:
Iteration 0: log likelihood = -3348.6908
Cox regression -- Breslow method for ties
No. of subjects = 644 Number of obs = 1178
No. of failures = 535
Time at risk = 104558
LR chi2(2) = 4.27
Log likelihood = -3348.6908 Prob > chi2 = 0.1185
-------------------------------------------------------------------------------------------------
_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
--------------------------------+----------------------------------------------------------------
pemberian_obat_setelah_intensif |
1 | .8673138 .0833789 -1.48 0.139 .7183669 1.047144
2 | .7178629 .1515695 -1.57 0.116 .4745904 1.085836
-------------------------------------------------------------------------------------------------
. testparm i.pemberian_obat_setelah_intensif
( 1) 1.pemberian_obat_setelah_intensif = 0
( 2) 2.pemberian_obat_setelah_intensif = 0
chi2( 2) = 4.08
Prob > chi2 = 0.1297
110
Uji Multikoliniearitas
. ktau sex_code have_exp lab0_cod tbinfect_cod hivstat_cod phctreat treat_supportcod
spacing_fase_intensif spacing_fase_lanjutan pembe
> rian_obat_setelah_intensif, stats(taua taub) star(0.05)
(obs=1178)
+-----------------+
| Key |
|-----------------|
| tau_a |
| tau_b |
+-----------------+
| sex_code have_exp lab0_cod tbinfe~d hivsta~d phctreat treat_~d spacin~f
spacin~n pember~f
-------------+------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------
sex_code | 0.4851
| 1.0000
|
have_exp | 0.0033 0.0937
| 0.0154 1.0000
|
lab0_cod | 0.0319* -0.0013 0.4477
| 0.0684* -0.0064 1.0000
|
tbinfect_cod | 0.0185* 0.0058 0.0740* 0.1412
| 0.0706* 0.0507 0.2942* 1.0000
|
hivstat_cod | -0.0076 -0.0103 0.0447* 0.0182* 0.4406
| -0.0165 -0.0508 0.1008* 0.0731* 1.0000
|
phctreat | -0.0075 -0.0097 -0.0378* -0.0181* -0.0830* 0.3536
| -0.0180 -0.0533 -0.0950* -0.0808* -0.2102* 1.0000
|
treat_supp~d | 0.0093 -0.0027 -0.0087 -0.0018 -0.0034 -0.0033 0.0853
| 0.0458 -0.0299 -0.0446 -0.0163 -0.0176 -0.0191 1.0000
|
spacing_fa~f | 0.0007 -0.0167* 0.0215 -0.0161* -0.0659* 0.1250* 0.0053 0.3968
| 0.0017 -0.0864* 0.0511 -0.0680* -0.1576* 0.3337* 0.0286 1.0000
|
spacing_fa~n | -0.0179 0.0111* 0.0442* 0.0005 -0.0099 -0.1321* -0.0032 0.1138*
0.4199
| -0.0396 0.0560* 0.1019* 0.0023 -0.0229 -0.3427* -0.0168 0.2788*
1.0000
|
pemberian_~f | -0.0055 -0.0129* -0.0446* -0.0121 0.0109 -0.0623* -0.0021 -0.1991*
-0.1982* 0.4977
| -0.0113 -0.0595* -0.0945* -0.0455 0.0233 -0.1485* -0.0104 -0.4480*
-0.4335* 1.0000
|
.
111
Analisis Multivariat
. stcox age i.sex_code i.lab0_cod i.treat_supportcod i.spacing_fase_intensif i.spacing_fase_lanjutan
i.pemberian_obat_setelah_intensif
failure _d: status
analysis time _t: stop
exit on or before: time .
id: id
Iteration 0: log likelihood = -3350.8237
Iteration 1: log likelihood = -3328.1939
Iteration 2: log likelihood = -3327.8764
Iteration 3: log likelihood = -3327.876
Refining estimates:
Iteration 0: log likelihood = -3327.876
Cox regression -- Breslow method for ties
No. of subjects = 644 Number of obs = 1178
No. of failures = 535
Time at risk = 104558
LR chi2(11) = 45.90
Log likelihood = -3327.876 Prob > chi2 = 0.0000
-------------------------------------------------------------------------------------------------
_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
--------------------------------+----------------------------------------------------------------
age | 1.000516 .002869 0.18 0.857 .9949087 1.006155
1.sex_code | 1.194094 .1069259 1.98 0.048 1.001883 1.42318
|
lab0_cod |
1 | 1.157032 .1137981 1.48 0.138 .9541725 1.403021
2 | 1.665908 .6160168 1.38 0.168 .8070397 3.4388
|
treat_supportcod |
1 | .730318 .2195875 -1.05 0.296 .4051147 1.316576
2 | 1.076856 .4144054 0.19 0.847 .5065128 2.289416
|
1.spacing_fase_intensif | 1.480436 .1592633 3.65 0.000 1.198998 1.827935
|
spacing_fase_lanjutan |
1 | 1.487771 .3449867 1.71 0.087 .9444049 2.343765
2 | .9678388 .2500802 -0.13 0.899 .5832581 1.605999
|
pemberian_obat_setelah_intensif |
1 | .9690375 .1142788 -0.27 0.790 .7690564 1.221021
2 | .7219853 .1613822 -1.46 0.145 .4658682 1.118906
-------------------------------------------------------------------------------------------------
. testparm i.lab0_cod
( 1) 1.lab0_cod = 0
( 2) 2.lab0_cod = 0
chi2( 2) = 3.47
Prob > chi2 = 0.1761
. testparm i.treat_supportcod
( 1) 1.treat_supportcod = 0
( 2) 2.treat_supportcod = 0
chi2( 2) = 1.14
Prob > chi2 = 0.5662
. testparm i.spacing_fase_lanjutan
( 1) 1.spacing_fase_lanjutan = 0
112
( 2) 2.spacing_fase_lanjutan = 0
chi2( 2) = 15.93
Prob > chi2 = 0.0003
. testparm i.pemberian_obat_setelah_intensif
( 1) 1.pemberian_obat_setelah_intensif = 0
( 2) 2.pemberian_obat_setelah_intensif = 0
chi2( 2) = 2.13
Prob > chi2 = 0.3440
.
. stcox i.sex_code i.lab0_cod i.treat_supportcod i.spacing_fase_intensif
i.spacing_fase_lanjutan i.pemberian_obat_setelah_intensif
failure _d: status
analysis time _t: stop
exit on or before: time .
id: id
Iteration 0: log likelihood = -3350.8237
Iteration 1: log likelihood = -3328.2095
Iteration 2: log likelihood = -3327.8926
Iteration 3: log likelihood = -3327.8922
Refining estimates:
Iteration 0: log likelihood = -3327.8922
Cox regression -- Breslow method for ties
No. of subjects = 644 Number of obs = 1178
No. of failures = 535
Time at risk = 104558
LR chi2(10) = 45.86
Log likelihood = -3327.8922 Prob > chi2 = 0.0000
-------------------------------------------------------------------------------------------------
_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
--------------------------------+----------------------------------------------------------------
1.sex_code | 1.195038 .1068777 1.99 0.046 1.002894 1.423996
|
lab0_cod |
1 | 1.1562 .1136166 1.48 0.140 .9536475 1.401775
2 | 1.669437 .6170209 1.39 0.166 .8090355 3.444868
|
treat_supportcod |
1 | .7290551 .2190821 -1.05 0.293 .4045508 1.313856
2 | 1.075282 .4136768 0.19 0.850 .5058858 2.285557
|
1.spacing_fase_intensif | 1.480176 .1592162 3.65 0.000 1.198817 1.827567
|
spacing_fase_lanjutan |
1 | 1.485248 .3440819 1.71 0.088 .9432011 2.338803
2 | .9673532 .249925 -0.13 0.898 .5830006 1.605097
|
pemberian_obat_setelah_intensif |
1 | .9687479 .1142352 -0.27 0.788 .7688412 1.220632
2 | .7226171 .1614983 -1.45 0.146 .4663076 1.119809
-------------------------------------------------------------------------------------------------
. testparm i.treat_supportcod
( 1) 1.treat_supportcod = 0
( 2) 2.treat_supportcod = 0
113
chi2( 2) = 1.15
Prob > chi2 = 0.5630
. testparm i.spacing_fase_lanjutan
( 1) 1.spacing_fase_lanjutan = 0
( 2) 2.spacing_fase_lanjutan = 0
chi2( 2) = 15.90
Prob > chi2 = 0.0004
. testparm i.pemberian_obat_setelah_intensif
( 1) 1.pemberian_obat_setelah_intensif = 0
( 2) 2.pemberian_obat_setelah_intensif = 0
chi2( 2) = 2.12
Prob > chi2 = 0.3460
. testparm i.lab0_cod
( 1) 1.lab0_cod = 0
( 2) 2.lab0_cod = 0
chi2( 2) = 3.47
Prob > chi2 = 0.1765
. . stcox i.sex_code i.lab0_cod i.spacing_fase_intensif i.spacing_fase_lanjutan
i.pemberian_obat_setelah_intensif
failure _d: status
analysis time _t: stop
exit on or before: time .
id: id
Iteration 0: log likelihood = -3350.8237
Iteration 1: log likelihood = -3328.7595
Iteration 2: log likelihood = -3328.5194
Iteration 3: log likelihood = -3328.5194
Iteration 4: log likelihood = -3328.5194
Refining estimates:
Iteration 0: log likelihood = -3328.5194
Cox regression -- Breslow method for ties
No. of subjects = 644 Number of obs = 1178
No. of failures = 535
Time at risk = 104558
LR chi2(8) = 44.61
Log likelihood = -3328.5194 Prob > chi2 = 0.0000
-------------------------------------------------------------------------------------------------
_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
--------------------------------+----------------------------------------------------------------
1.sex_code | 1.193586 .1066126 1.98 0.048 1.001897 1.421949
|
lab0_cod |
1 | 1.159917 .1139856 1.51 0.131 .956707 1.40629
2 | 1.681361 .6212374 1.41 0.160 .814995 3.468702
|
1.spacing_fase_intensif | 1.491674 .159407 3.74 0.000 1.209792 1.839235
|
spacing_fase_lanjutan |
1 | 1.56619 .3564315 1.97 0.049 1.002604 2.446582
114
2 | 1.003697 .2576641 0.01 0.989 .6068572 1.660041
|
pemberian_obat_setelah_intensif |
1 | .9702502 .1144698 -0.26 0.798 .7699442 1.222667
2 | .7262201 .1623322 -1.43 0.152 .4685963 1.12548
-------------------------------------------------------------------------------------------------
. testparm i.lab0_cod
( 1) 1.lab0_cod = 0
( 2) 2.lab0_cod = 0
chi2( 2) = 3.60
Prob > chi2 = 0.1653
. testparm i.spacing_fase_lanjutan
( 1) 1.spacing_fase_lanjutan = 0
( 2) 2.spacing_fase_lanjutan = 0
chi2( 2) = 18.43
Prob > chi2 = 0.0001
. testparm i.pemberian_obat_setelah_intensif
( 1) 1.pemberian_obat_setelah_intensif = 0
( 2) 2.pemberian_obat_setelah_intensif = 0
chi2( 2) = 2.06
Prob > chi2 = 0.3571
.
. stcox i.sex_code i.lab0_cod i.spacing_fase_intensif i.spacing_fase_lanjutan
failure _d: status
analysis time _t: stop
exit on or before: time .
id: id
Iteration 0: log likelihood = -3350.8237
Iteration 1: log likelihood = -3329.8314
Iteration 2: log likelihood = -3329.6345
Iteration 3: log likelihood = -3329.6345
Refining estimates:
Iteration 0: log likelihood = -3329.6345
Cox regression -- Breslow method for ties
No. of subjects = 644 Number of obs = 1178
No. of failures = 535
Time at risk = 104558
LR chi2(6) = 42.38
Log likelihood = -3329.6345 Prob > chi2 = 0.0000
---------------------------------------------------------------------------------------
_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
----------------------+----------------------------------------------------------------
1.sex_code | 1.195908 .1067564 2.00 0.045 1.003951 1.424567
|
lab0_cod |
1 | 1.170805 .1148075 1.61 0.108 .966089 1.418902
2 | 1.526981 .5555192 1.16 0.245 .7484527 3.11532
|
1.spacing_fase_inte~f | 1.542792 .1489268 4.49 0.000 1.276852 1.864123
115
|
spacing_fase_lanjutan |
1 | 1.547689 .3370686 2.01 0.045 1.009955 2.371731
2 | 1.015195 .2422315 0.06 0.950 .6359861 1.620508
---------------------------------------------------------------------------------------
. testparm i.lab0_cod
( 1) 1.lab0_cod = 0
( 2) 2.lab0_cod = 0
chi2( 2) = 3.34
Prob > chi2 = 0.1887
. testparm i.spacing_fase_lanjutan
( 1) 1.spacing_fase_lanjutan = 0
( 2) 2.spacing_fase_lanjutan = 0
chi2( 2) = 17.12
Prob > chi2 = 0.0002
. stcox i.sex_code i.spacing_fase_intensif i.spacing_fase_lanjutan
failure _d: status
analysis time _t: stop
exit on or before: time .
id: id
Iteration 0: log likelihood = -3350.8237
Iteration 1: log likelihood = -3331.4814
Iteration 2: log likelihood = -3331.2994
Iteration 3: log likelihood = -3331.2994
Refining estimates:
Iteration 0: log likelihood = -3331.2994
Cox regression -- Breslow method for ties
No. of subjects = 644 Number of obs = 1178
No. of failures = 535
Time at risk = 104558
LR chi2(4) = 39.05
Log likelihood = -3331.2994 Prob > chi2 = 0.0000
---------------------------------------------------------------------------------------
_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
----------------------+----------------------------------------------------------------
1.sex_code | 1.21314 .1078102 2.17 0.030 1.019215 1.443963
1.spacing_fase_inte~f | 1.548758 .1493917 4.54 0.000 1.281969 1.871069
|
spacing_fase_lanjutan |
1 | 1.619129 .3500623 2.23 0.026 1.059859 2.473516
2 | 1.071675 .2534973 0.29 0.770 .674089 1.703762
---------------------------------------------------------------------------------------
. testparm i.spacing_fase_lanjutan
( 1) 1.spacing_fase_lanjutan = 0
( 2) 2.spacing_fase_lanjutan = 0
chi2( 2) = 17.34
Prob > chi2 = 0.0002
116
Tes asumsi analisis cox regression
. estat phtest
Test of proportional-hazards assumption
Time: Time
----------------------------------------------------------------
| chi2 df Prob>chi2
------------+---------------------------------------------------
global test | 4.28 4 0.3693
----------------------------------------------------------------
Analisis risiko jenis kelamin laki-laki pada durasi pemberian obat fase intensif
. tab spacing_fase_lanjutan spacing_fase_intensif
spacing_fa |
se_lanjuta | Spacing_fase_intensif
n | 7 days 7-14 days | Total
-----------+----------------------+----------
7 days | 68 0 | 68
7-14 days | 662 197 | 859
14-28 days | 127 124 | 251
-----------+----------------------+----------
Total | 857 321 | 1,178
. stcox i.sex_code i. spacing_fase_lanjutan if spacing_fase_intensif==0
failure _d: status
analysis time _t: stop
exit on or before: time .
id: id
Iteration 0: log likelihood = -2184.8132
Iteration 1: log likelihood = -2177.3772
Iteration 2: log likelihood = -2177.2998
Iteration 3: log likelihood = -2177.2998
Refining estimates:
Iteration 0: log likelihood = -2177.2998
Cox regression -- Breslow method for ties
No. of subjects = 492 Number of obs = 857
No. of failures = 366
Time at risk = 79521
LR chi2(3) = 15.03
Log likelihood = -2177.2998 Prob > chi2 = 0.0018
---------------------------------------------------------------------------------------
_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
----------------------+----------------------------------------------------------------
1.sex_code | 1.127332 .1204966 1.12 0.262 .9142603 1.390061
|
spacing_fase_lanjutan |
1 | 1.617763 .3508066 2.22 0.027 1.057632 2.474544
2 | 1.001216 .2562718 0.00 0.996 .6062532 1.653491
---------------------------------------------------------------------------------------
117
. testparm i.spacing_fase_lanjutan
( 1) 1.spacing_fase_lanjutan = 0
( 2) 2.spacing_fase_lanjutan = 0
chi2( 2) = 12.91
Prob > chi2 = 0.0016
. stcox i.sex_code i. spacing_fase_lanjutan if spacing_fase_intensif==1
failure _d: status
analysis time _t: stop
exit on or before: time .
id: id
Iteration 0: log likelihood = -823.92693
Iteration 1: log likelihood = -818.53905
Iteration 2: log likelihood = -818.53315
Refining estimates:
Iteration 0: log likelihood = -818.53315
Cox regression -- Breslow method for ties
No. of subjects = 152 Number of obs = 321
No. of failures = 169
Time at risk = 25037
LR chi2(2) = 10.79
Log likelihood = -818.53315 Prob > chi2 = 0.0045
---------------------------------------------------------------------------------------
_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
----------------------+----------------------------------------------------------------
1.sex_code | 1.470364 .2375051 2.39 0.017 1.071351 2.017984
2.spacing_fase_lanj~n | .7400683 .1204434 -1.85 0.064 .53795 1.018127
---------------------------------------------------------------------------------------