prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

133
TESIS PREDIKTOR KETIDAKTERATURAN MINUM OBAT TUBERKULOSIS (TB) PADA PASIEN DENGAN PENGOBATAN KATEGORI 1 DI PUSKESMAS KOTA DENPASAR PADA TAHUN 2011-2012 OLEH PUTU IKA FARMANI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015

Upload: dinhduong

Post on 31-Dec-2016

246 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

TESIS

PREDIKTOR KETIDAKTERATURAN MINUM OBAT

TUBERKULOSIS (TB) PADA PASIEN DENGAN

PENGOBATAN KATEGORI 1

DI PUSKESMAS KOTA DENPASAR PADA TAHUN

2011-2012

OLEH

PUTU IKA FARMANI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

Page 2: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

i

TESIS

PREDIKTOR KETIDAKTERATURAN MINUM OBAT

TUBERKULOSIS (TB) PADA PASIEN DENGAN

PENGOBATAN KATEGORI 1

DI PUSKESMAS KOTA DENPASAR PADA TAHUN

2011-2012

PUTU IKA FARMANI

NIM 1392161002

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

Page 3: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

ii

PREDIKTOR KETIDAKTERATURAN MINUM OBAT

TUBERKULOSIS (TB) PADA PASIEN DENGAN

PENGOBATAN KATEGORI 1

DI PUSKESMAS KOTA DENPASAR PADA TAHUN

2011-2012

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister,

Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Program Pascasarjana

Universitas Udayana

PUTU IKA FARMANI

NIM 1392161002

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

Page 4: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

iii

LEMBAR PENGESAHAN

TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL 29 APRIL 2015

Pembimbing I,

Prof. dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH

NIP. 194810101977021001

Pembimbing II,

dr. Anak Agung Sagung Sawitri, MPH

NIP. 196809141999032001

Mengetahui

Ketua Program Studi

Ilmu Kesehatan Masyarakat

Program Pascasarjana

Universitas Udayana

Prof. dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH

NIP. 194810101977021001

Direktur

Program Pascasarjana

Universitas Udayana

Prof. Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K)

NIP. 195902151985102001

Page 5: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

iv

PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS

Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai

oleh Panitia Penguji pada

Progam Pascasarjana Universitas Udayana

pada Tanggal 29 April 2015

Berdasarkan SK Rektorat Universitas Udayana

No. : 1230/UN14.4/HK/2015

Tanggal: 27 April 2015

Panitia Penguji Tesis adalah:

Ketua : Prof. dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH

Anggota :

1. dr. Anak Agung Sagung Sawitri, MPH

2. Prof. Dr. dr. Tuti Parwati Merati, Sp. PD

3. Prof. Dr. dr. Mangku Karmaya, M. Repro PA(K)

4. Dr. dr. Dyah Pradnyaparamita Duarsa, M.Si

Page 6: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

v

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Nama : Putu Ika Farmani

NIM : 1392161002

Program Studi : Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

Judul Tesis : Prediktor Ketidakteraturan Minum Obat Tuberkulosis

(TB) pada Pasien dengan Pengobatan Kategori 1 di

Puskesmas Kota Denpasar pada Tahun 2011-2012

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat. Apabila

dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya

bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan Mendiknas RI Nomor 17,

tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.

Denpasar, 29 April 2015

Putu Ika Farmani

Page 7: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas

berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyeselesaikan tesis yang berjudul

“Prediktor Ketidakteraturan Minum Obat Tuberkulosis (TB) pada Pasien dengan

Pengobatan Kategori 1 di Puskesmas Kota Denpasar pada Tahun 2011-2012” ini

tepat pada waktunya.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof.dr. Dewa

Nyoman Wirawan, MPH selaku pembimbing I yang telah penuh perhatian telah

memberikan dorongan, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti program

magister dan khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih sebesar-

besarnya pula penulis sampaikan kepada Ibu dr.Anak Agung Sagung Sawitri,

MPH selaku pembimbing II yang telah dengan penuh perhatian dan kesabaran

telah memberikan bimbingan, semangat, dan saran kepada penulis.

Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana

Bapak Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD(KEMD) atas kesempatan dan fasilitas

yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan

Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat di Universitas Udayana. Ucapan

terima kasih ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pasca Sarjana

Universitas Udayana, Ibu Prof.Dr.dr. A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K) atas kesempatan

yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa program magister pada

Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Tidak lupa penulis ucapkan terima

kasih kepada Bapak Prof.dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH selaku ketua PS

MIKM UNUD. Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan terima kasih

kepada sekretariat PS MIKM UNUD, Kordinator Peminatan Epidemiologi

Lapangan PS MIKM UNUD, dan semua para dosen dan staf PS MIKM UNUD.

Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada para penguji tesis ini, yaitu

Ibu Prof. Dr. dr. Tuti Parwati Merati, Sp.PD, Bapak Prof. Dr. dr. Mangku

Karmaya, M.Repro PA(K) dan Ibu Dr. dr. Dyah Pradnyaparamita Duarsa, M.Si

yang telah memberikan masukan dan koreksi.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu dr. Luh Putu Sri

Armini, M.Kes selaku Kepala Dinas Kesehtan Kota Denpasar, Bapak Ida Bagus

Page 8: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

vii

Gede Ekaputra selaku Kepala Bidang P2P, dan Ibu Luh Lastini selaku pemegang

Program TB yang senantiasa memberikan ijin untuk melakukan penelitian dan

memberikan arahan. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada

seluruh Kepala Puskesmas beserta seluruh pemegang Program TB yang tidak bisa

penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan ijin penelitian serta

membantu pengumpulan data.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Tim Kirby Institute,

University of New South Wales, Sydney, Australia yang telah memberikan

bimbingan dan bantuan finansial sehingga meringankan beban penulis dalam

menyelesaikan tesis ini. Akhirnya penulis ucapkan terima kasih kepada orang tua

beserta keluarga penulis yang telah memberikan dukungan moral dan material

kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini.

Denpasar, 29 April 2015

Putu Ika Farmani

Page 9: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

viii

ABSTRAK

PREDIKTOR KETIDAKTERATURAN MINUM OBAT TUBERKULOSIS

(TB) PADA PASIEN DENGAN PENGOBATAN KATEGORI 1

DI PUSKESMAS KOTA DENPASAR PADA TAHUN 2011-2012

Ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (TB) merupakan salah satu

prediktor kegagalan konversi dahak dan kejadian resistensi obat TB. Kota

Denpasar memiliki proporsi suspek TB multi drug resistance (TB-MDR)

terbanyak di antara kabupaten/kota di Provinsi Bali tahun 2012 yaitu mencapai

46,93%. Selain itu angka konversi di Kota Denpasar tahun 2011 dan 2012 (67%)

tidak mencapai target minimal yang ditentukan yaitu sebesar 80%. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui gambaran ketidakteraturan minum obat TB dan

keterkaitannya dengan beberapa faktor demografi, klinis, dan faktor program.

Penelitian ini merupakan penelitian longitudinal dengan menggunakan

data cohort 644 pasien TB dalam pengobatan kategori 1 di 11 Puskesmas Kota

Denpasar tahun 2011-2012 dan data primer yang diperoleh dengan mewawancarai

seluruh pemegang Program TB di puskesmas. Sampel penelitian ini adalah pasien

TB usia ≥15 tahun dengan pengobatan kategori 1. Ketidakteraturan minum obat

didefinisikan sebagai waktu saat pasien tidak datang mengambil obat TB sesuai

jadwal minimal 1 hari maksimal 8 minggu. Berdasarkan definisi tersebut maka

setiap pasien berpeluang mengalami ketidakteraturan lebih dari satu kali. Variabel

yang diteliti yaitu faktor demografi (umur, jenis kelamin, pengalaman berobat

pasien), klinis pasien (hasil pemeriksaan dahak, jenis infeksi TB, status HIV), dan

program (jenis puskesmas, hubungan pasien dengan PMO, durasi pemberian obat

fase intensif dan lanjutan, pemberian obat pada peralihan setelah fase intensif),

dan waktu ketidakteraturan. Data dianalisis dengan Kaplan Meier dan Cox

regression proportional hazard dengan model repeated event.

Sebanyak 58,7% pasien mengalami ketidakteraturan minum obat TB di

mana 47,2% diantaranya terjadi pada periode peralihan ke fase lanjutan. Total

kejadian ketidakteraturan minum obat yang terjadi adalah 535 kejadian. Insiden

rate ketidakteraturan adalah 5,1 per 1.000 orang hari dengan median time

ketidakteraturan minum obat TB sebesar 56 hari (IQR:56-57). Total kumulatif

waktu ketidakteraturan yaitu dengan interval 1-99 hari. Analisis multivariat

menunjukkan pasien laki-laki mempunyai kemungkinan lebih besar mengalami

ketidakteraturan minum obat dibandingkan perempuan (AHR=1,21; 95% CI:1,02-

1,44; p=0,03). Durasi pemberian obat maksimal selama ≤ 2 minggu pada fase

intensif memiliki kemungkinan lebih besar mengalami ketidakteraturan

dibandingkan selama ≤ 1 minggu (AHR=1,55; 95% CI:1,28-1,87; p<0,0001).

Hasil yang sama juga diperoleh untuk durasi pemberian obat maksimum pada fase

lanjutan (AHR=1,62; 95% CI:1,06-2,47; p=0,026).

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai landasan memilih

durasi pemberian obat yang efektif dan konseling kepatuhan yang intensif pada

pasien laki-laki untuk menurunkan kejadian ketidakteraturan minum obat.

Kata Kunci: Ketidakteraturan, tuberkulosis, kategori 1, puskesmas.

Page 10: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

ix

ABSTRACT

PREDICTORS OF TB TREATMENT INTERRUPTION AMONG TB

PATIENTS IN PUBLIC HEALTH CENTRES, DENPASAR, 2011-2012

TB treatment interruption is one of predictors of failed infection

conversion and the incidence of TB drug resistance. The conversion rate of

Denpasar over 2011-2012 was around 67% lower than the national target (80%).

This study aimed to explore and describe the predictors of TB treatment

interruption in Public Health Centres in Denpasar.

A longitudinal study with secondary data analysis of 644 cohorts of TB

patients on the first regimen enrolled in TB treatment in 11 public health centres

in Denpasar over 2011-2012 was conducted. Primary data was collected by

interviewing TB program officers in 11 Public Health Centres in Denpasar. The

sample was all patients aged ≥15 years accessing the first regimen of TB

treatment. TB treatment interruption is defined as patients not accessing treatment

from at least in one day to a maximum of 8 weeks. Based on the definition of TB

treatment interruption it was therefore possible that each patient may experience

TB treatment interruption more than once. Variables included in the analyses were

sociodemographic factors (age, sex, history of TB treatment), clinical condition

(sputum test result, type of TB infection, HIV status), programmatic factors (type

of public health centre, patient relationship to treatment observer, duration of drug

delivery, and drug delivery in the transition to continuation phase), and date of TB

treatment interruption. Data was analysed by Kaplan Meier and Cox Regression

Proportional Hazard with repeated event model.

A total of 58,7% patients experienced TB treatment interruption and

47,2% of them occurred in the period of the transition to continuation phase. The

cumulative total of TB treatment interruption was 535 times. Incidence rate of

treatment interruption was 5,1 per 1.000 person days. Median time of treatment

interruption was 56 days (IQR:56-57). Total time of treatment interruption was 1-

99 days. In multivariate analysis, male patients were more likely to experience TB

treatment interruption compared to females (AHR=1,21; 95% CI:1,02-1,44;

p=0,03). Patients accessing treatment with the maximum duration of drug delivery

of ≤ 2 weeks on the intensive phase were more likely to experience interruption

compared to ≤ 1 week (AHR=1,55; 95% CI:1,28-1,87; p<0,0001). Patients

accessing treatment with the maximum duration of drug delivery of ≤ 2 weeks on

the continuation phase were more likely to experience interruption compared to ≤

1 week (AHR=1,62; 95% CI:1,06-2,47; p=0,026).

Study findings indicate that it would be more efficient to implement

treatment with a shorter space of time between dosage access, from every 2 weeks

to every 1 week. Intensive adherence counseling specially tailored for male

patients is also required.

Keywords: treatment interruption, tuberculosis, first regimen, public health centre,

Denpasar

Page 11: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

x

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ............................................................................................. i

LEMBAR PERSYARATAN GELAR ............................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ iii

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI ................................................. iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ................................................... v

UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................... vi

ABSTRAK .......................................................................................................... viii

ABSTRACT ........................................................................................................ ix

DAFTAR ISI ....................................................................................................... x

DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ..................................................... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xv

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 5

1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 6

1.3.1 Tujuan Umum .................................................................................. 6

1.3.2 Tujuan Khusus ................................................................................. 6

1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................... 7

1.4.1 Manfaat Praktis ................................................................................ 7

1.4.2 Manfaat Teoritis .............................................................................. 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA .............................................................................. 9

2.1 Aspek Klinis dan Epidemiologi Tuberkulosis (TB) ................................. 9

2.1.1 Diagnosa Tuberkulosis (TB) ........................................................... 9

2.1.2 Pengobatan Tuberkulosis (TB) ........................................................ 12

2.1.3 Ketidakteraturan Minum Obat ......................................................... 13

2.2 Teori Lawrence Green .............................................................................. 16

2.3 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Ketidakteraturan Minum

Obat Tuberkulosis (TB) ............................................................................ 17

2.3.1 Faktor Sosiodemografi .................................................................... 18

2.3.2 Faktor Pelayanan Kesehatan ............................................................ 23

2.3.3 Perilaku Berisiko ............................................................................. 26

2.3.4 Kondisi Klinis Pasien ...................................................................... 27

2.3.5 Hubungan Pasien dengan Pengawas Minum Obat (PMO).............. 34

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS

PENELITIAN ........................................................................................... 36

3.1 Kerangka Berpikir .................................................................................... 36

3.2 Konsep Penelitian ..................................................................................... 38

3.3 Hipotesis Penelitian .................................................................................. 38

Page 12: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

xi

BAB IV METODE PENELITIAN ..................................................................... 40

4.1 Rancangan Penelitian ............................................................................... 40

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................... 40

4.3 Ruang Lingkup Penelitian ........................................................................ 41

4.4 Penentuan Sumber Data ........................................................................... 41

4.4.1 Populasi Penelitian .......................................................................... 41

4.4.2 Jumlah dan Besar Sampel Penelitian ............................................... 41

4.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variebel............................ 43

4.5.1 Variabel Penelitian .......................................................................... 43

4.5.2 Definisi Operasional Variabel ......................................................... 44

4.6 Instrumen Penelitian ................................................................................. 47

4.7 Prosedur Pengumpulan Data .................................................................... 47

4.7.1 Jenis dan Sumber Data yang Dikumpulkan..................................... 47

4.7.2 Cara Pengumpulan Data .................................................................. 49

4.7.3 Pengolahan Data .............................................................................. 51

4.8 Analisa Data ............................................................................................. 51

BAB V HASIL PENELITIAN ........................................................................... 56

5.1 Gambaran Program Pengobatan Tuberkulosis di Puskesmas Kota

Denpasar ................................................................................................... 56

5.2 Karakteristik Sampel Penelitian ............................................................... 60

5.3 Karakteristik Ketidakteraturan Minum Obat ............................................ 62

5.4 Hasil Analisis Bivariat Prediktor Ketidakteraturan Minum Obat

Tuberkulosis ............................................................................................. 66

5.5 Hasil Analisis Multivariat Prediktor Ketidakteraturan Minum Obat

Tuberkulosis ............................................................................................. 69

BAB VI PEMBAHASAN ................................................................................... 71

6.1 Besaran Masalah Ketidakteraturan Minum Obat ..................................... 71

6.2 Prediktor Ketidakteraturan Minum Obat .................................................. 76

6.3 Keterbatasan Penelitian ............................................................................ 80

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 82

7.1 Simpulan ................................................................................................... 82

7.2 Saran ......................................................................................................... 83

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 84

LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................. 86

Page 13: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Definisi Ketidakteraturan Minum Obat Beberapa Penelitian ............. 14

Tabel 2.2 Kombinasi dan Dosis OAT KDT Berdasarkan Jenis Rejimen ........... 30

Tabel 2.3 Kombinasi dan Dosis OAT Kombipak Berdasarkan Jenis Rejimen .. 31

Tabel 2.4 Efek Samping OAT dan Penatalaksanaannya..................................... 32

Tabel 4.1 Definisi Operasional Variabel............................................................. 44

Tabel 5.1 Aspek Layanan Pengobatan TB di Sebelas Puskesmas Kota

Denpasar ............................................................................................. 59

Tabel 5.2 Karakteristik Demografi, Klinis, dan Faktor Program

Berdasarkan Kejadian Ketidakteraturan Minum Obat TB ................. 62

Tabel 5.3 Krakteristik Ketidakteraturan dan Kondisi Pasien Selama

Pengamatan......................................................................................... 63

Tabel 5.4 Crude HR Prediktor Ketidakteraturan Minum Obat TB

Berdasarkan Prediktor ........................................................................ 67

Tabel 5.5 Adjusted HR Prediktor Ketidakteraturan Minum Obat TB

di Puskesmas Kota Denpasar.............................................................. 70

Page 14: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Alur Diagnosa TB Paru ................................................................... 11

Gambar 2.2 Bagan Model PRECEDE Green (1980) .......................................... 17

Gambar 3.1 Konsep Penelitian ........................................................................... 38

Gambar 5.1 Proses Seleksi Sampel Penelitian .................................................... 61

Gambar 5.2 Grafik Pengamatan Pasien TB ........................................................ 64

Gambar 5.3 Grafik Waktu Kejadian Ketidakteraturan Minum Obat .................. 65

Gambar 5.4 Grafik Kaplan Meier Ketidakteraturan Minum Obat

Berdasarkan Durasi Pemberian Obat Fase Intensif........................ 66

Page 15: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

xiv

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

DOTS : Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy

E : Etambutol

H : Isoniazid

HIV : Human Immunodeficiency Virus

KDT : Kombinasi Dosis Tetap

MDR : Multi Drug Resistance

OAT : Obat Anti Tuberkulosis

PMO : Pengawas Minum Obat

PPTI : Perhimpunan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia

PRM : Puskesmas Rujukan Mikroskopis

PS : Puskesmas Satelit

R : Rifampisin

S : Streptomisin

SDM : Sumber Daya Manusia

TB : Tuberkulosis

Z : Pirazinamid

Page 16: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

1. Tabel Ekstraksi Data

2. Kuesioner Wawancara

3. Output STATA

4. Ethical Clearance dari Litbang FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar

5. Rekomendasi Penelitian dari Badan Penanaman Modal dan Perizinan

6. Rekomendasi Penelitian dari Kesbangpol Kota Denpasar

7. Ijin Penelitian dari Dinas Kesehatan Kota Denpasar

Page 17: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi kronis yang masih menjadi

masalah di Dunia. Hal ini terbukti dengan masuknya perhatian terhadap

penanganan TB dalam MDGs. Tujuan keenam MDGs berisi tentang pengendalian

penyebaran dan penurunan jumlah kasus baru tuberkulosis dan pencapaian

tersebut diindikasikan oleh angka kejadian dan tingkat kematian serta proporsi

tuberkulosis yang ditemukan, diobati, dan disembuhkan dalam program DOTS

(Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy) (Bappenas, 2012).

Pada tahun 2013 sekitar 9 juta orang terkena TB dan 1,5 juta orang

meninggal akibat TB (360.000 kematian pada penderita TB dengan HIV positif)

(WHO, 2014). Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang

memiliki masalah dengan kasus TB. Berdasarkan data World Health Statistics

2013, pada tahun 2011 prevalensi TB paru di Indonesia berada pada posisi

keenam di Asia Tenggara dengan angka 281 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI

, 2013), angka kejadian TB sebesar 187 per 100.000 penduduk, dan angka

kematian mencapai 27 per 100.000 penduduk. Di Provinsi Bali, TB termasuk

dalam sepuluh besar penyakit yang ditemukan di Puskesmas Sentinel, Puskesmas,

dan Rumah Sakit di Provinsi Bali pada tahun 2012 dengan angka prevalensi TB

paru mencapai 50 per 100.000 penduduk (Dinkes Provinsi Bali, 2013).

Page 18: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

2

Penanganan penyakit TB dilakukan secara komprehensif dari penemuan

kasus hingga pengobatan pada pasien TB. Tanpa pengobatan, angka kematian

akibat TB menjadi tinggi. Pada beberapa penelitian tentang perjalanan penyakit

alamiah kasus TB paru BTA positif dengan status HIV negatif ditemukan sekitar

70% meninggal dalam kurun waktu 10 tahun sedangkan pada kasus TB kultur

positif (BTA negatif) ditemukan sekitar 20% meninggal dalam kurun waktu 10

tahun (WHO, 2013). Pengobatan TB yang diberlakukan secara internasional

disebut dengan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy).

Delapan belas tahun sejak peluncuran strategi-strategi untuk perawatan dan

pengendalian TB secara nasional oleh WHO yaitu pada pertengahan 1990-an (The

DOTS strategy), the subsequent global rollout of DOTS, dan The Stop TB

strategy, total kumulatif orang yang berhasil diobati selama tahun 1995-2012

mencapai 56 juta orang dan menyelamatkan sekitar 22 juta jiwa (WHO, 2013). Di

Indonesia angka kesuksesan pengobatan TB (proporsi hasil pengobatan sembuh

dan lengkap) pada tahun 2012 mencapai 90,2 % sedangkan di Provinsi Bali angka

kesuksesan pengobatan tahun 2012 mencapai 86,1% yaitu hanya 1,1% di atas

target minimal yang ditetapkan WHO (Kemenkes RI, 2013).

Selain untuk menyembuhkan pasien dan mencegah kematian, tujuan

pengobatan TB lainnya yaitu mencegah kekambuhan, memutuskan rantai

penularan, dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti

Tuberkulosis (OAT). Pengobatan pasien TB di Indonesia dibedakan menjadi dua

tahap yaitu tahap awal (intensif) dan tahap lanjutan. Pada pengobatan tahap

intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung

Page 19: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

3

untuk mencegah terjadinya resistensi obat (Kemenkes RI, 2011). Selain itu,

apabila pengobatan yang tepat dilakukan pada fase intensif biasanya pasien

menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu dan sebagian besar pasien

TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) (Kemenkes RI, 2011).

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Bali, Kota Denpasar memiliki

proporsi suspek TB yang mengalami multi drug resistance (TB-MDR) terbanyak

diantara kabupaten/kota Provinsi Bali pada tahun 2012 yaitu mencapai 46,93%

(46 kasus). Angka suspek TB-MDR di Kota Denpasar pada tahun 2012-2013

mengalami penurunan yang relatif kecil yaitu sebesar 37,33% (Laporan TB Dinas

Kesehatan Kota Denpasar Tahun 2013 dan 2014). Hal serupa juga terjadi pada

angka suspek TB-MDR 2012-2013 di tingkat puskesmas di Kota Denpasar.

Angka suspek TB-MDR puskesmas tahun 2012 (3,98% dengan 15 kasus)

mengalami penurunan yang sangat kecil pada tahun 2013 (3,67% dengan 15

kasus). Sedangkan angka suspek TB-MDR dari non-puskesmas relatif kecil yaitu

1,64% (13 kasus pada tahun 2012) dan 0,55% (4 kasus pada tahun 2013).

Pengobatan TB terdiri dari fase intensif dengan lama pengobatan 2-3 bulan

dan fase lanjutan dengan lama pengobatan 4 bulan. Obat TB seharusnya diminum

secara teratur selama 6-8 bulan sesuai dengan jadwal untuk mencegah terjadinya

resistensi obat TB. Beberapa penelitian menemukan dampak dari ketidakteraturan

minum obat TB. Penelitian di Indonesia menemukan pasien yang mengonsumsi

obat TB secara tidak teratur memiliki risiko menjadi TB-MDR sebesar 2,3 kali

dibandingkan dengan pasien yang mengonsumsi obat TB secara teratur (SR et.al.,

2012). Hasil penelitian lainnya menunjukkan pasien yang teratur berobat

Page 20: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

4

berhubungan dengan terjadinya konversi dahak dengan nilai OR = 4,92 dan p =

0,004 (Astuti, 2010). Selain itu sebuah penelitian di Rusia menemukan bahwa

total hari seorang pasien tidak minum obat TB pada fase intensif berhubungan

dengan kejadian default (putus obat) dengan kategori pasien yang tidak minum

obat TB 1-7 hari pada fase intensif memiliki OR = 2,1 (95% CI : 1,2–3,7), tidak

minum obat TB sejumlah 8–14 hari dengan OR = 4,3 (95% CI : 1,6-7,1), dan

tidak minum obat TB lebih dari 14 hari dengan OR = 4,6 (95% CI : 2,5-8,5)

(Jakubowiak et al., 2009).

Beberapa penelitian tentang ketidakteraturan minum obat TB di Indonesia

yang telah terpublikasi yaitu menganalisis ketidakteraturan minum obat dalam

bentuk proporsi sementara analisis waktu kejadian (time to event) ketidakteraturan

belum dilakukan. Pada penelitian ini dilakukan analisis terkait prediktor yang

berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat. Beberapa faktor yang

berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat TB yang ditemukan di

Indonesia yaitu penderita dengan status kambuh, keberadaan PMO, terdapat

selang waktu pengobatan, penyuluhan, kunjungan rumah, mutu obat, sarana

transportasi, jarak, pendapatan keluarga, dukungan keluarga, efek samping obat,

perilaku petugas, dan pengetahuan (Ubaidillah, 2001; Senewe, 2002; Raharno,

2005; Simamoro, 2004). Sedangkan beberapa penelitian di luar Indonesia

menemukan faktor yang berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat yaitu

ketidaktahuan tentang lama pengobatan, jarak, dan riwayat merokok (Ibrahim et

al., 2014). Sementara untuk faktor demografi dan klinis awal pasien beberapa

penelitian mendapatkan hasil yang berbeda. Penelitian tentang kondisi demografi,

Page 21: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

5

kondisi klinis pasien, dan faktor program pengobatan TB penting dilakukan untuk

mengetahui kondisi pasien yang mengalami ketidakteraturan berdasarkan ketiga

hal tersebut sehingga dapat disusun upaya untuk mencegah ketidakteraturan

minum obat pasien TB.

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Kota Denpasar karena berdasarkan

wawancara dengan petugas TB di puskesmas, kebanyakan pasien TB merupakan

penduduk pendatang dengan tingkat mobilisasi yang cukup tinggi. Kondisi

tersebut cenderung mengakibatkan pasien tidak teratur dalam menjalani

pengobatan TB di Kota Denpasar. Selain itu 34,1% pasien TB (tahun 2011–2012)

diobati di puskesmas dengan data TB 01 dan TB 03 yang lebih mudah diakses.

Berdasarkan data TB elektronik, angka konversi pada tahun 2011 (67,2%) dan

2012 (67%) tidak mencapai target minimal yang ditentukan yaitu sebesar 80%.

Apabila hal ini tidak ditangani maka ketidakteraturan minum obat tersebut dapat

menurunkan capaian angka konversi dan meningkatkan suspek TB-MDR

sehingga meningkatkan risiko penularan TB di Kota Denpasar. Selain itu

penelitian serupa belum pernah dilakukan di Kota Denpasar.

Berdasarkan pemaparan di atas maka penulis merasa perlu untuk

melakukan penelitian mengenai prediktor ketidakteraturan minum obat TB di

Puskesmas Kota Denpasar tahun 2011-2012.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan

masalah penelitian terhadap pengobatan tuberkulosis di Puskesmas Kota Denpasar

2011 – 2012 sebagai berikut:

Page 22: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

6

1.2.1 Berapakah angka insiden dan median time ketidakteraturan minum obat?

1.2.2 Bagaimanakah gambaran total kumulatif waktu ketidakteraturan minum

obat?

1.2.3 Adakah hubungan antara faktor demografi (umur, jenis kelamin, dan

pengalaman berobat pasien) dengan ketidakteraturan minum obat?

1.2.4 Adakah hubungan antara faktor klinis (hasil pemeriksaan dahak awal, jenis

infeksi TB, dan status HIV) dengan ketidakteraturan minum obat?

1.2.5 Adakah hubungan antara faktor program (jenis puskesmas, hubungan

pasien dengan PMO, durasi maksimal pemberian obat fase intensif, durasi

maksimal pemberian obat fase lanjutan, dan pemberian obat pada

peralihan setelah fase intensif) dengan ketidakteraturan minum obat?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan umum

Mengetahui prediktor ketidakteraturan minum obat TB pada pasien

dengan pengobatan kategori 1 di Puskesmas Kota Denpasar tahun 2011-2012.

1.3.2 Tujuan khusus

Tujuan khusus penelitian pada pasien TB dengan pengobatan kategori 1 di

Puskesmas Kota Denpasar adalah untuk mengetahui hal seperti diuraikan di

bawah ini.

1. Angka insiden dan median time ketidakteraturan minum obat

2. Gambaran total kumulatif waktu ketidakteraturan minum obat

3. Hubungan antara faktor demografi (umur, jenis kelamin, dan pengalaman

berobat pasien) dengan ketidakteraturan minum obat

Page 23: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

7

4. Hubungan antara faktor klinis (hasil pemeriksaan dahak awal, jenis infeksi

TB, dan status HIV) dengan ketidakteraturan minum obat

5. Hubungan antara faktor program (jenis puskesmas, hubungan pasien dengan

PMO, durasi maksimal pemberian obat fase intensif, durasi pemberian obat

fase lanjutan, dan pemberian obat pada peralihan setelah fase intensif) dengan

ketidakteraturan minum obat

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat praktis

1. Sebagai bahan masukan terhadap petugas kesehatan terutamanya tenaga

kesehatan program TB untuk mengoptimalkan program pengobatan pasien TB

dan mengendalikan munculnya kasus TB-MDR.

2. Memberikan masukan kepada pemegang kebijakan untuk hasil evaluasi

program sehingga dapat meningkatkan pencatatan yang lebih lengkap pada

program TB.

3. Memberikan masukan untuk memperpendek durasi minum obat TB untuk

mengurangi risiko kejadian ketidakteraturan minum obat.

4. Memberikan informasi kepada pasien TB mengenai titik-titik waktu di mana

pasien berpotensi mengalami ketidakteraturan minum obat.

1.4.2 Manfaat teoritis

1. Memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan terkait

faktor yang berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat TB.

Page 24: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

8

2. Data yang diperoleh dapat dipergunakan sebagai informasi awal untuk

penelitian ketidakteraturan minum obat TB selanjutnya terkait aspek mental

dengan analisis yang lebih mendalam.

Page 25: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Aspek Klinis dan Epidemiologi Tuberkulosis (TB)

Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit menular langsung yang

disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Paru-paru merupakan

organ yang seringkali terserang kuman TB namun terdapat beberapa bagian tubuh

lain yang juga dapat diserang seperti ginjal, tulang belakang, dan otak. Menurut

Centers for Disease Control and Preventive (CDC) dan WHO, penularan TB dari

orang ke orang dapat melalui udara yang terkontaminasi kuman TB oleh penderita

TB dengan cara bersin, batuk, berbicara atau bernyanyi. Orang yang berdekatan

dengan kondisi tersebut berpotensi menghirup kuman TB sehingga terinfeksi

kuman TB hanya saja tidak setiap orang yang terinfeksi kuman TB menjadi sakit

TB. Akibat hal tersebut dikenal dua macam kondisi terkait TB yaitu infeksi TB

laten dan penyakit TB. Sedangkan berdasarkan Kemenkes RI (2011) penularan

TB tergantung dari kondisi ruangan tempat udara terkontaminasi kuman TB,

lamanya kuman TB berada dalam suatu ruangan, derajat kepositifan hasil

pemeriksaan dahak penderita, dan konsentrasi kuman TB di udara serta lamanya

menghirup udara. Di sisi lain TB tidak ditularkan melalui bersalaman, berbagi

makanan atau minuman, menyentuh seprai atau kursi toilet, berbagi sikat gigi, dan

berciuman (CDC, 2014).

2.1.1 Diagnosa tuberkulosis (TB)

Diagnosa penyakit TB yang digunakan di Indonesia dilakukan berdasarkan

Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis yang dibedakan sesuai dengan

Page 26: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

10

letak penyakit TB. Beberapa kriteria diagnosa penyakit TB adalah sebagai berikut.

a. Diagnosa TB paru

1. Seluruh suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam kurun waktu 2 hari

yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS).

2. Diagnosa TB paru pada orang dewasa ditetapkan dengan penemuan

kuman TB. Menurut program TB nasional, pemeriksaan dahak

mikroskopis untuk penemuan BTA adalah diagnosa utama. Pemeriksaan

lain seperti foto toraks, biakan, dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai

penunjang diagnosa sepanjang sesuai dengan indikasinya.

3. Diagnosa TB tidak diperbolehkan hanya berdasarkan pemeriksaan foto

toraks saja karena foto toraks tidak selalu memberikan gambaran khas

keberadaan TB paru sehingga sering terjadi overdiagnosa.

b. Diagnosa TB ekstra paru

1. Gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena, seperti kaku

kuduk pada meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (pleuritis),

pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan

deformatis tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.

2. Diagnosa pasti ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis atau

histopatologis yang diambil dari jaringan tubuh.

c. Diagnosa TB pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA)

Pada ODHA kriteria diagnosa TB paru dan TB ekstra ditegakkan sebagai

berikut:

Page 27: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

11

1. TB paru BTA positif ditegakkan apabila minimal satu hasil pemeriksaan

dahak positif

2. TB paru BTA negatif ditegakkan apabila hasil pemeriksaan dahak negatif

dan gambaran klinis dan radiologis mendukung TB atau BTA negatif dari

hasil kultur TB positif.

3. TB ekstra paru pada ODHA ditegakkan dengan pemeriksaan klinis

bakteriologis dan atau histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang

terkena.

Gambar 2.1

Alur Diagnosa TB Paru (Kemenkes, 2011)

Page 28: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

12

2.1.2 Pengobatan TB

Secara umum tujuan pengobatan Tuberkulosis (TB) antara lain

penyembuhan pasien serta mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas,

pencegahan kematian, pencegahan kekambuhan, pemutusan rantai penularan,

serta pencegahan timbulnya resistensi kuman terhadap obat anti tuberkulosis

(OAT) dan penularannya (Kemenkes RI, 2011; TB Fact.org, 2014). Panduan

pengobatan TB yang berlaku di dunia dan Indonesia saat ini disebut dengan

DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse chemotherapy). DOTS

merupakan strategi yang ditetapkan oleh WHO yang bertujuan untuk mencapai

angka kesembuhan yang tinggi, mencegah putus berobat, mengatasi efek samping

OAT, serta mencegah resistensi kuman akibat ketidakpatuhan.

Prinsip-prinsip yang diterapkan pada pengobatan TB menurut Kemenkes

dan TB Facts yaitu: 1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa

jenis obat dalam jumlah yang cukup serta dosis yang sesuai dengan kategori

pengobatan untuk mencegah resistensi kuman terhadap obat; 2) jangan

menambahkan OAT tunggal (monoterapi); 3) pengobatan dilakukan di bawah

pengawasan langsung dengan pemilihan seorang Pengawas Minum Obat (PMO)

untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat; 4) kepatuhan terhadap

pengobatan TB menjadi tanggung jawab dokter yang merawat serta pasien; 5)

pengobatan dilakukan dalam dua fase yaitu intensif dan lanjutan.

1. Fase intensif

Pengobatan fase intensif merupakan bagian awal dari prosedur pengobatan

TB. Pengobatan fase intensif berlangsung dua bulan untuk pasien dengan OAT

Page 29: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

13

kategori satu dan tiga bulan untuk pasien dengan OAT kategori dua. Pengobatan

dua bulan pertama pada pasien dengan kategori satu pada fase intensif bertujuan

untuk mencapai angka konversi pada fase awal, mencegah terjadinya resistensi

obat, dan membuat pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu

(Kemenkes RI, 2011). Pengobatan fase intensif perlu diperhatikan agar berjalan

sesuai dengan prosedur karena ketidaktepatan pelaksanaan pengobatan fase

intensif termasuk ketidakteraturan minum obat dapat berdampak pada kegagalan

konversi di akhir pengobatan fase intensif serta timbulnya masalah TB-MDR.

2. Fase lanjutan

Pasien yang telah menyelesaikan fase intensif akan diberikan pengobatan

fase lanjutan selama empat bulan. Pada fase lanjutan pasien akan mendapat obat

yang lebih sedikit dibandingkan dengan fase intensif namun dalam jangka waktu

pengobatan yang lebih panjang. Pada fase ini pemberian isoniasid dan rifampisin

tetap diberikan selama empat bulan. Pengobatan pada fase lanjutan bertujuan

untuk membunuh kuman persister dengan maksud mencegah kekambuhan

(Kemenkes RI, 2011).

2.1.3 Ketidakteraturan minum obat

Secara program TB ketidakteraturan minum obat didefinisikan sebagai

ketidaksesuaian seorang pasien dalam mengikuti jadwal pengobatan yang telah

ditentukan. Pasien TB seharusnya mengikuti ketentuan tersebut agar mendapat

hasil pengobatan yang optimal. Ketidakteraturan minum obat pada pasien TB

seharusnya tidak terjadi apabila keberadaan pengawas minum obat (PMO) dan

pemegang program TB membimbing secara penuh. Perilaku minum obat yang

Page 30: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

14

tidak teratur akan mempersulit kesembuhan terhadap suatu penyakit (Hapsari,

2010).

Beberapa penelitian yang pernah dilakukan mengenai ketidakteraturan

minum obat TB memiliki definisi yang berbeda-beda dan memakai istilah lain

seperti kepatuhan. Definisi pada penelitian tersebut yaitu sebagai berikut.

Tabel 2.1

Definisi Ketidakteraturan Minum Obat Beberapa Penelitian

No Penelitian Nama Variabel Definisi

1 2 3 4

1 Simamoro (2004) Tidak teratur Penderita dikatakan tidak teratur

jika penderita pernah terlambat/lalai

mengambil obat/minum obat lebih

dari 2 hari pada masa pengobatan

intensif dan lebih dari 1 minggu

pada masa fase lanjutan serta tidak

melakukan pemeriksaan sputum

ulang pada akhir bulan ke-2 dan ke-

5.

2 Hapsari (2010) Ketidakteraturan

berobat

Pasien yang selama periode

pengobatan terlambat mengambil

OAT 14 hari/lebih (jika

diakumulasikan) atau pasien yang

tidak menyelesaikan pengobatan

(Drop Out). Selain itu pasien

dikatakan tidak teratur jika pasien

tidak minum obat sesuai dengan

dosis yang dianjurkan.

3 Zuliana (2010) Tidak patuh Responden tidak menelan obat

sesuai dengan ketentuan petugas

kesehatan atau responden tidak

menelan obat lebih dari 8 minggu

selama tahap pengobatan lanjutan

dan tidak mengambil obat serta

tidak memeriksakan dahak sesuai

jadwal yang telah ditetapkan dan

tidak menaati nasihat dari petugas

kesehatan.

Page 31: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

15

1 2 3 4

4 Jakubowiak et al.

(2009)

Treatment

interruption

Penghentian pengobatan sementara

didefinisikan sebagai segala jenis

penghentian pengobatan paling

sedikit 1 hari namun tidak melebihi

2 bulan berturut-turut.

5 Ibrahim et al.

(2014)

Treatment

interruption

Penghentian pengobatan TB

sementara yaitu setiap pasien yang

kehilangan pengobatan selama 2

hari berturut-turut pada fase intensif.

Hal tersebut juga berlaku untuk

pasien kategori 1 yang kehilangan

pengobatan 14 hari berturut-turut

dan pasien kategori 2 yang

kehilangan pengobatan 2 hari

berturut-turut pada fase lanjutan

pengobatan.

Beberapa penelitian menunjukkan variasi waktu terjadinya

ketidakteraturan minum obat TB yaitu: 1) kebanyakan ketidakteraturan minum

obat terjadi antara bulan kedua dan ketiga masa pengobatan, hal ini bertepatan

dengan perbaikan kondisi klinis pada awal pengobatan (Gupta et.al., 2011); 2)

Penelitian pada pasien TB paru di Rusia menemukan median kejadian

ketidakteraturan minum obat setiap pasien yaitu 2 kali (interval = 2-6 kali). 20%

pasien mengalami ketidakteraturan minum obat pada fase intensif, 67% pada fase

lanjutan, dan 13% pada kedua fase tersebut. Sementara median lama

ketidakteraturan minum obat yaitu 3 minggu (Oblast, 2001); 3)Penelitian yang

dilakukan di Rusia menemukan ketidakteraturan minum obat pada fase intensif

berkisar antara 1–125 hari dan pada fase lanjutan berkisar antara 1-127 hari

(Jakubowiak et al., 2009); 4) Penelitian oleh Ibrahim et al. (2014) menemukan

Page 32: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

16

kejadian ketidakteraturan minum obat sebesar 19%; dan 5) Penelitian oleh

Senewe (2002) menemukan ketidakteraturan minum obat sebesar 33%.

2.2 Teori Lawrence Green

Lawrence Green menjelaskan bahwa perilaku itu dilatarbelakangi atau

dipengaruhi oleh tiga faktor pokok, yakni faktor predisposisi (predisposing

factor), faktor yang mendukung (enabling factor), dan faktor yang memperkuat

atau mendorong (reinforcing factor) (Notoatmodjo, 2007). Faktor predisposisi

dapat mencakup pengetahuan, sikap, pendidikan, kepercayaan, keyakinana, dan

nilai-nilai lainnya yang dianut oleh seseorang. Sedangkan faktor pendukung dapat

mencakup sarana, fasilitas, dan akses agar seseorang mau mengubah

perilakunya. Sementara ini faktor penguat dapat berupa sikap dan perilaku

petugas yang menyebabkan seseorang mengadopsi lebih lama suatu perilaku.

Perilaku seseorang terhadap suatu respon atau stimulus dipengaruhi oleh 2 faktor

yaitu: 1) Faktor internal yang mencakup pengetahuan, kecerdasan, persepsi,

emosi, motivasi, dan sebagainya yang berfungsi untuk mengolah rangsangan dari

luar; 2) Faktor eksternal meliputi lingkungan sekitar baik fisik maupun non-fisik

seperti iklim, manusia, sosial-ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya. Berikut

merupakan gambaran bagan teori perilaku Lawrence Green.

Page 33: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

17

Gambar 2.2

Bagan Model PRECEDE Green (1980)

(Sumber: Lawrence W. Green Health Education Planning. A Diagnostic

Approach (1980) dalam (Rahmansyah, 2012)

2.3 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Ketidakteraturan Minum

Obat Tuberkulosis (TB)

Beberapa penelitian terkait faktor yang mempengaruhi ketidakteraturan

minum obat TB dilakuakan di luar negeri dan beberapa telah dilakukan di

Indonesia. Terdapat faktor yang berpengaruh terhadap ketidakteraturan minum

obat TB dan tidak berpengaruh terhadap ketidakteraturan minum obat TB. Berikut

adalah hasil analisis penelitian terkait ketidakteraturan minum obat TB.

Predisposing Factor:

Pengetahuan

Sikap

Nilai

Persepsi

Variabel demografi

Enabling Factor:

Ketersediaan fasilitas

Keterjangkauan fasilitas

kesehatan

Keterampilan petugas

kesehatan

Reinforcing Factor :

Sikap dan perilaku petugas

kesehatan, keluarga,

teman,guru, tokoh

masyarakat

PERILAKU

Page 34: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

18

2.3.1 Faktor Sosiodemografi

1. Umur

Penyakit paru lebih sering ditemukan pada golongan usia produktif. Hal

ini menyebabkan tingginya kejadian TB pada kelompok produktif dapat

menurunkan kualitas kehidupan seseorang yang seharusnya berada pada masa

produktif. Beberapa penelitian mendapatkan hasil peningkatan umur memiliki

kecenderungan untuk mengalami ketidakteraturan minum obat. Hal ini

dikarenakan umur yang lebih tua membutuhkan dukungan tambahan untuk

mengakses pengobatan TB (Wu et.al., 2009). Hal tersebut tentu membatasi

kemampuan pasien untuk datang mengambil obat secara teratur di Puskesmas.

Beberapa penelitian mendapatkan kelompok umur beragam untuk

cenderung mengalami ketidakteraturan minum obat diantaranya yaitu : 1)

Simamoro (2004) menunjukkan ketidakteraturan (tidak datang ≥ 2 hari)

pengobatan lebih banyak terjadi pada umur 41-60 tahun dengan persentase

mencapai 41,3%; 2) Gupta et al. (2011) menemukan ketidakteraturan terbanyak

terjadi pada kelompok umur 25-44 tahun (57%); 3) penelitian di Rusia

menemukan umur 25-50 tahun berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat

pasien TB rawat inap yaitu dengan ORs=1,5–1,7 (Belilovsky et al., 2010); 4)

kelompok umur <50 tahun berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat

dengan RR=1,20 95%CI:1,00-1,04 yang menyertakan pasien default sebagai

outcome (Ahmad dan Velhal, 2014). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh

Ibrahim et al. (2014) menemukan tidak ada hubungan signifikan antara kelompok

Page 35: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

19

umur > 35 tahun terhadap ketidakteraturan minum obat (AOR = 0,79 dan 95%

CI: 0,34–1,44).

2. Jenis Kelamin

Jenis kelamin secara tidak langsung berpengaruh terhadap peran sosial

seseorang. Wanita lebih cenderung mencari pelayanan kesehatan dan cenderung

lebih patuh terhadap pengobatan dengan DOTS dibandingkan dengan laki-laki

(Wu et al., 2009). Pendapat berbeda diperoleh dari penelitian di Afrika,

Bangladesh, dan Syria menyatakan bahwa wanita yang telah menikah cenderung

harus meminta ijin kepada suami untuk datang ke layanan kesehatan untuk

berobat TB (Ibrahim et al., 2014).

Hasil penelitian tentang hubungan antara jenis kelamin dengan

ketidakteraturan minum obat TB menunjukkan hal yang berbeda. Beberapa

penelitian mendapatkan hasil sebagai berikut: 1) pada penelitian oleh Gupta et al.

(2011), 77,61% yang mengalami ketidakteraturan minum obat berjenis kelamin

laki-laki; 2) penelitian oleh Ibrahim et al. (2014) menunjukkan jenis kelamin

wanita tidak berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat (AOR = 1,4 dan

95% CI: 0,55–3,47); 3) jenis kelamin laki-laki pada pasien TB rawat inap berisiko

mengalami ketidakteraturan dengan ORs = 1,5–2,3 (Belilovsky et al., 2010); dan

4) jenis kelamin laki-laki berisiko 1,3 kali mengalami ketidakteraturan minum

obat dibandingkan dengan wanita (95% CI: 1,1–1,6) (Connolly et al., 1999); 5)

jenis kelamin laki-laki berisiko mengalami ketidakteraturan minum obat dengan

RR=1,28 95%CI:1,02-1,59 dan p=0,02 (Ahmad dan Velhal, 2014). Sedangkan

penelitian yang dilakukan oleh Simamoro (2004) menunjukkan bahwa perempuan

Page 36: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

20

cenderung mengalami ketidakteraturan (tidak datang ≥ 2 hari) pengobatan

dibandingkan laki-laki dengan persentase 62,3%.

3. Pekerjaan

Beberapa penelitian ketidakteraturan minum obat TB meneliti tentang

pekerjaan pasien hanya saja belum diperoleh penjelasan yang jelas mengenai

pengaruhnya. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan hasil yang

berbeda.

Jenis pekerjaan pasien ditemukan tidak berhubungan dengan kepatuhan

minum obat yang rendah (p=0,56) pada penelitian oleh Kayigamba et al. (2013)

dengan hasil pelajar dengan OR=0,38 (95% CI: 0,09-1,68) dan wiraswasta dengan

OR=0,92 (95% CI: 0,43-2). Status bekerja pasien TB ditemukan tidak

berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat dengan AOR=1,6 (95%

CI:0,66-3,70) (Ibrahim et al., 2014). Sedangkan status pasien TB rawat inap yang

tidak bekerja berhubungan signifikan terhadap ketidakteraturan minum obat

(ORs=1,1-2,8) (Belilovsky et al., 2010).

4. Pengetahuan pasien

Pengetahuan menjadi salah satu faktor yang berperan dalam mengambil

suatu keputusan. Menurut Notoatmodjo dalam Zuliana (2010), perilaku seseorang

terkait masalah kesehatan dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan orang tersebut

terhadap masalah kesehatan yang dihadapi. Beberapa penelitian terkait

pengetahuan pasien yaitu: 1) kurangnya pengetahuan pasien tentang durasi minum

obat TB berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat dengan AOR=6,1

(95% CI: 2,8-11,2) (Ibrahim et al., 2014); 2) 61% dari pasien yang tidak teratur

Page 37: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

21

berobat memiliki pengetahuan yang kurang mengenai pentingnya melanjutkan

pengobatan (Gupta et al., 2011); 3) Pengetahuan berhubungan dengan

ketidakteraturan minum obat (p=0,004) (Zuliana, 2010).

5. Status pernikahan

Status pernikahan pasien TB berkaitan dengan dukungan sosial yang

diperoleh dari pasangan. Pada beberapa penilitian yang menyertakan status

pernikahan pasien TB tidak melakukan analisis mengenai pengaruh pernikahan

terhadap ketidakteraturan minum obat TB. Penelitian di India menemukan bahwa

72,14% pasien yang mengalami ketidakteraturan memiliki status menikah (Gupta

et al., 2011). Sama halnya dengan penelitian di Indonesia yang menemukan

pasien TB paru yang tidak teratur berobat, 76,67% diantaranya memiliki status

menikah (Hapsari, 2010).

6. Pengalaman berobat pasien

Pengalaman berobat pasien yaitu pengalaman pasien dalam berobat TB

sebelum memulai pengobatan yang ditentukan pada periode penelitian ini

berdasarkan riwayat dan hasil pengobatan seorang pasien TB sebelumnya. Pada

data sekunder pengalaman berobat pasien yang dimaksud tercatat dengan nama

tipe pasien. Tipe pasien yang dikategorikan dalam program tuberkulosis di Bali

yaitu sebagai berikut.

a. Kasus baru

Kasus baru didefinisikan sebagai pasien yang belum pernah mendapatkan

pengobatan TB dengan OAT atau pernah diobati dengan OAT dalam

Page 38: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

22

kurun waktu kurang dari empat bulan. Pasien yang dimaksud dapat

memiliki hasil pemeriksaan BTA positif maupun negatif.

b. Kasus yang sebelumnya diobati

Pada tipe pasien yang pernah diobati terdapat beberapa kategori yaitu:

1) Kasus kambuh (relaps) yaitu pasien yang sebelumnya pernah

mendapatkan pengobatan TB serta telah dinyatakan berstatus sembuh

atau pengobatan lengkap kemudian terdiagnosa kembali dengan

kondisi BTA positif (apusan atau kultur)

2) Kasus setelah putus obat (default) yaitu pasien yang telah mengikuti

pengobatan TB namun mengalami putus obat selama dua bulan atau

lebih dengan hasil pemeriksaan BTA positif.

3) Kasus setelah gagal (failure) yaitu pasien yang pada pengobatan

sebelumnya memiliki hasil pemeriksaan dahak tetap positif atau

kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama masa

pengobatan.

c. Kasus pindahan (transfer in)

Kasus pindahan didefinisikan sebagai pasien yang dipindahkan pencatatan

pengobatannya ke register lain untuk melanjutkan pengobatan.

d. Kasus lain

Kasus lain pada program TB yaitu kasus-kasus yang tidak memenuhi

kategori di atas misalnya beberapa kondisi berikut.

1) Pasien dengan tidak diketahui dengan jelas riwayat pengobatan

sebelumnya

Page 39: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

23

2) Pasien yang pernah mengikuti pengobatan TB namun hasil

pengobatannya tidak diketahui

3) Pasien yang kembali diobati namun dengan hasil pemeriksaan BTA

negatif

Pengalaman pengobatan TB yang tergolong buruk dapat menurunkan

motivasi pasien untuk sembuh ditambah mereka kembali mengalami infeksi TB.

Beberapa penelitian menemukan hasil yang berbeda yaitu: 1) Penderita dengan

tipe pasien kambuh memiliki risiko 18 kali lebih besar mengalami

ketidakteraturan minum obat dengan dibandingkan tipe pasien lainnya (OR =

18,18 dan 95% CI: 2,1–157,4) (Ubaidillah 2001); 2) pasien TB rawat inap yang

mengulang pengobatan berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat dengan

ORs = 1,3–2,5 (Belilovsky et al., 2010) dengan kejadian ketidakteraturan minum

obat 51,2%; 3) proporsi pasien yang mengalami ketidakteraturan minum obat

tertinggi pada pasien baru (66,6%) (Kandel et al., 2014).

2.3.2 Faktor Pelayanan Kesehatan

1. Akses ke pelayanan kesehatan

Seorang pasien TB harus mengikuti berobat ke palayanan kesehatan

minimal selama enam bulan. Banyaknya waktu yang dihabiskan untuk menjalani

delapan bulan pengobatan menyebabkan pasien cenderung tidak teratur minum

obat (Ibrahim et al., 2014). Ketersediaan dan akses menjadi hal yang

mempengaruhi seorang pasien TB untuk berobat dalam jangka waktu yang cukup

lama. Beberapa penelitian terkait jarak dan ketersediaan sarana transportasi

terhadap ketidakteraturan minum obat telah dilakukan.

Page 40: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

24

Penelitian mengenai jarak tempat tinggal dengan pelayanan kesehatan

yaitu: 1) Jarak tempat tinggal pasien > 5 km (AOR=11,3 95% CI: 5,7-22,2)

membatasi akses pasien TB ke layanan kesehatan terutama saat menjalani

pengobatan TB fase intensif sehingga pasien harus mengeluarkan biaya perjalanan

(Ibrahim et al., 2014); 2) jarak berhubungan dengan keteraturan minum obat

dengan OR=3,26 (95% CI:1,8-5,89 dan p=0,00001) (Senewe, 2002); 3) Jarak

berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat pada penelitian yang dilakukan

oleh Raharno (2005) di Kabupaten Pekalongan.

Selain jarak, ketersediaan sarana transportasi juga diteliti sebagai salah

satu faktor yang mempengaruhi keteraturan minum obat dengan OR=3,12

(95%CI;1,19-8,14 dan p=0,015) (Senewe, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh

Raharno (2005) juga menemukan bahwa transportasi berpengaruh secara

signifikan terhadap ketidakteraturan berobat pasien TB.

2. Status tempat berobat

Pengobatan TB tergolong pengobatan dengan jangka panjang dimana

pengambilan obat yang teratur menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi

keberhasilan pengobatan TB. Sarana dan jenis fasilitas kesehatan tempat pasien

berobat juga berperan dalam mencegah ketidakteraturan minum obat. Pengobatan

TB di Denpasar kini dapat diperoleh di puskesmas, rumah sakit, klinik, maupun di

dokter praktik swasta. Puskesmas di Kota Denpasar berdasarkan penggolangan

dalam program TB dibedakan menjadi dua jenis.

a. Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM) merupakan puskesmas yang

memiliki laboratorium yang bertugas membuat sediaan, pewarnaan, serta

Page 41: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

25

pemeriksaan dahak. Selain itu puskesmas ini juga menerima rujukan dan

melaksanakan bimbingan kepada puskesmas satelit. Setiap PRM

diharuskan untuk mengikuti uji silang secara berkala di laboratorium

rujukan uji silang di wilayahnya dengan tujuan menjaga mutu eksternal.

b. Puskesmas Satelit (PS) merupakan puskesmas yang memiliki laboratorium

dengan kapasitas pengumpulan dahak, pembuatan sediaan, dan fiksasi

yang kemudian dikirim ke PRM.

Belum banyak penelitian tentang perbedaan ketidakteraturan minum obat

pasien TB pada kedua jenis puskesmas tersebut namun beberapa hasil terkait

fasilitas pelayanan kesehatan dalam penelitian mendapatkan hasil yang bervariasi

yaitu: 1) 184 (56,27%) ketidakteraturan minum obat terjadi dari pasien yang

resepnya bersumber dari praktisi swasta (Gupta et al., 2011); 2) 121 (47,5%)

ketidakteraturan pasien TB berobat terjadi di puskemas pada penelitian di sebuah

distrik di Afrika Selatan (Kandel et al., 2014); 3) 34,25% ketidakteraturan minum

obat terjadi pada pengobatan dengan DOTS (Gupta et al., 2011).

3. Kualitas obat

Kualitas obat TB yang meningkat menyebabkan gejala umum TB akan

menghilang hanya dalam beberapa minggu pengobatan sehingga pasien yang

memiliki pengetahuan yang kurang akan durasi pengobatan TB cenderung

mengalami ketidakteraturan minum obat (Ibrahim et al., 2014). Mutu obat TB

ditemukan signifikan berhubungan dengan keteraturan minum obat dengan OR=2

(95% CI:1,02-3,9 dan p=0,039) (Senewe, 2002).

Page 42: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

26

4. Petugas kesehatan

Aspek petugas kesehatan juga berperan dalam keberhasilan pasien minum

obat TB secara teratur. Baik dari segi kemampuan maupun sikap petugas terhadap

pasien. Pengobatan TB melibatkan interaksi antara pasien dan petugas kesehatan

sehingga sikap petugas kesehatan kepada pasien menjadi salah satu faktor penentu

keberhasilan ataupun kegagalan pengobatan TB (Ibrahim et al., 2014). Petugas

kesehatan yang melayani pasien dengan tidak ramah dan tidak bersahabat

berpotensi menimbulkan ketidakteraturan minum obat pada pasien sebaliknya

pasien yang dirawat dengan penuh cinta dan empati dari petugas kesehatan akan

memberikan keyakinan pada pasien untuk patuh dan setia mengikuti pengobatan

(Ibrahim et al., 2014).

2.3.3 Perilaku berisiko

1. Konsumsi alkohol

Konsumsi alkohol berlebihan menjadi salah satu kebiasaan yang dapat

merusak kesehatan. Hal serupa juga ditemukan pada pasien TB yang tidak teratur

minum obat TB. Konsumsi alkohol dapat menekan respon imun selain itu orang

yang mengonsumsi alkohol seringkali lupa akan janji mereka untuk berobat ke

rumah sakit (Ibrahim et al., 2014). Beberapa penelitian menemukan hasil yaitu: 1)

49,25% pasien yang mengalami ketidakteraturan minum obat memiliki riwayat

konsumsi alkohol (Gupta et al., 2011); 2) Pasien TB rawat inap yang memiliki

kebiasaan buruk terkait alkohol yang ditemukan berhubungan signifikan dengan

ketikdakteraturan pengobatan (ORs=1,8-4,0) (Belilovsky et al., 2010).

Page 43: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

27

2. Merokok

Merokok menjadi kebiasaan buruk yang berdampak terhadap orang yang

merokok dan orang disekitarnya. Merokok dapat merusak paru dan menurunkan

imun adaptif tubuh terhadap pengobatan TB hanya saja mekanisme tersebut

belum diketahui meskipun penelitian di Turki dan Rusia menemukan hubungan

signifikan antara merokok dan dengan ketidakteraturan minum obat (Ibrahim et

al., 2014). Sebuah penelitian di India menemukan 57,71% pasien yang mengalami

ketidakteraturan minum obat merupakan perokok (Gupta et al., 2011). Pada

penelitian oleh Ibrahim et al., (2014) ditemukan hubungan bermakna antara

kebiasaan merokok dengan ketidakteraturan minum obat (AOR=3,4 dan 95% CI:

1,5-8,0).

2.3.4 Kondisi Klinis Pasien

1. Jenis infeksi tuberkulosis (TB)

Pada program TB, klasifikasi penyakit TB dibedakan menjadi dua yaitu

TB paru dan TB ekstra paru yang disesuaikan dengan organ tubuh yang terserang

kuman TB. Berdasarkan Pedoman Nasional Penanggulangan TB yaitu: 1) TB

paru didefinisikan sebagai tuberkulosis yang menginfeksi jaringan (parenkim)

paru tidak termasuk selaput paru dan kelenjar pada hilus; 2) TB ekstra paru

didefinisikan sebagai TB yang menginfeksi organ tubuh selain paru seperti selaput

otak, pleura, kelenjar lymfe, selaput jantung, persendian, kulit, tulang, usus,

saluran kencing, dan lain-lain. Khusus untuk pasien dengan kedua infeksi di atas

maka secara pencatatan akan diklasifikasikan sebagai TB paru.

Page 44: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

28

Tidak banyak penelitian mengenai hubungan antara jenis infeksi TB

terhadap ketidakteraturan minum obat namun penelitian yang pernah dilakukan

memperoleh hasil yaitu: 1) penelitian yang dilakukan oleh Ibrahim et al (2014)

menemukan kejadian ketidakteraturan pada pasien TB paru sebesar 71 (19%); 2)

Senewe (2002) menemukan ketidakteraturan minum obat TB pada pasien TB paru

lebih besar yaitu 33%; 3) tidak ada perbedaan kepatuhan minum obat TB

berdasarkan klasifikasi infeksi TB (p=0,16) (Kayigamba et al., 2013); 4) jenis

infeksi TB paru pada analisis bivariat ditemukan sebagai faktor risiko

ketidakteraturan minum obat dengan ORs=2,8-5,1 namun tidak terbukti dalam

analisis multivariat (Belilovsky et al., 2010).

2. Hasil Pemeriksaan Dahak

Hasil pemeriksaan dahak sebelum pasien memutuskan untuk mengikuti

pengobatan penting untuk mengetahui tingkat potensi penularan TB oleh pasien

tersebut dan menggolongkan jenis infeksi TB yang diperiksa. Pasien BTA positif

yang tidak teratur atau gagal dalam menjalani pengobatannya berpotensi untuk

menimbulkan resistensi obat dan berisiko tinggi menularkan hal tersebut ke orang

lain. Definisi tentang klasifikasi pasien TB berdasarkan hasil pemeriksaan dahak

awal secara program TB yaitu.

a. TB paru BTA positif dinyatakan apabila memenuhi kriteria yaitu; 1)

minimal dua dari tiga spesimen dahak Sewaktu Pagi Sewaktu (SPS)

menunjukkan hasil BTA positif; 2) satu spesimen dahak SPS

menunjukkan hasil BTA positif dengan foto toraks dada disertai gambaran

tuberkulosis; 3) satu spesimen dahak SPS menunjukkan hasil BTA positif

Page 45: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

29

yang disertai biakan kuman positif; 4) satu atau lebih spesimen dahak SPS

menunjukkan hasil positif setelah tiga spesimen pada pemeriksaan BTA

sebelumnya menunjukkan hasil negatif tanpa ada perbaikan setelah

diberikan antibiotik non-OAT.

b. TB paru BTA negatif dinyatakan apabila kasus tidak memenuhi kriteria

TB paru BTA positif namun memenuhi kriteria berikut: 1) paling tidak

tiga spesimen dahak SPS menunjukkan hasil BTA negatif; 2) foto toraks

abnormal dengan menunjukkan gambaran tuberkulosis; 3) bagi pasien

dengan HIV negatif tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian

antibiotik non-OAT; 4) dipertimbangkan oleh dokter untuk diberikan

pengobatan.

Tidak banyak penelitian tentang hubungan antara hasil pemeriksaan dahak

terhadap ketidakteraturan pengobatan. Namun penelitian yang dilakukan oleh

Ahmad dan Velhal (2014) menunjukkan ketidakteraturan minum obat TB pada

pasien TB baru BTA positif sebesar 71% (199 kasus).

3. Jenis Rejimen Obat

Pengobatan TB dilakukan dengan pemberian obat sedemikian rupa pada

dosis dan waktu tertentu untuk dapat mencapai tujuan pengobatan. Sampai saat ini

lebih dari dua puluh jenis obat digunakan untuk pengobatan TB yang hampir

semuanya dikembangkan beberapa tahun lalu (TB Facts.org, 2014). Obat TB

digunakan dengan dalam berbagai kombinasi dalam berbagai kondisi berbeda. Hal

ini terlihat dari kombinasi obat yang digunakan pada pasien TB baru yang besar

kemungkinan tidak memiliki resistensi terhadap obat TB. Kombinasi-kombinasi

Page 46: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

30

dari obat TB yang digunakan dalam pengobatan disebut dengan rejimen atau

panduan OAT.

Secara umum panduan OAT dibedakan menjadi dua yaitu kategori 1 dan

kategori 2. Rejimen kategori 1 diberikan kepada pasien dengan kriteria yaitu: 1)

pasien baru TB paru BTA (Basil Tahan Asam) positif; 2) pasien TB paru BTA

negatif foro toraks positif; 3) pasien TB ekstrak paru; dan 4) pasien dengan

pengobatan TB kurang dari 1 bulan. Lima obat dasar yang digunakan pada

kategori 1 yaitu izoniasid, rifampicin, pyrazinamide, ethambutol, dan

streptomycin. Sedangkan rejimen kategori 2 diberikan kepada pasien yang

merupakan kasus kambuh, pasien gagal pada pengobatan sebelumnya, dan pasien

dengan status pengobatan default (putus obat). Jenis obat yang digunakan pada

kategori 2 sama degan kategori 1, hanya saja terdapat perbedaan pada kombinasi

dan dosis obat. Kombinasi dan dosis obat berdasarkan jenis rejimen dapat dilihat

pada tabel berikut.

Tabel 2.2

Kombinasi dan Dosis OAT KDT Berdasarkan Jenis Rejimen

Jenis

Rejimen

Berat Badan

(kg)

Tahap Intensif

RHZE(150/75/400/275)

Tahap Lanjutan

RH (150/150)

1 2 3 4

Kategori 1 30-37 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

38-54 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

55-70 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

>71 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Page 47: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

31

Tabel 2.3

Kombinasi dan Dosis OAT Kombipak Berdasarkan Jenis Rejimen

Jenis

Rejimen/Tahap

Pengobatan

Lama

Pengobatan

Dosis per hari/kali Jumlah

hari

menelan

obat

H

300mg

R

450mg

Z

500mg

E

250mg

E

400mg

S

injeksi

Kategori 1

- Intensif 2 bulan 1 1 3 3 - - 56 kali

- Lanjutan 4 bulan

2 1 - - - - 48 kali

Kategori 2

- Intensif 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75gr 56 kali

1 bulan 1 1 3 3 - - 28 kali

- Lanjutan 4 bulan 2 1 - 1 2 - 60 kali

Banyaknya jenis dan kombinasi obat TB yang digunakan menyebabkan

pengobatan TB lebih berat sebagai akibat efek samping dari masing-masing obat.

Berikut adalah efek samping OAT yang digunakan dalam pengobatan TB di

Indonesia beserta penatalaksanaannya.

1 2 3 4

Jenis

Rejimen

Berat Badan

(kg)

Tahap Intensif

RHZE (150/75/400/275)

Tahap Lanjutan

RH (150/150)+E(400)

Selama 56 hari Selama 28 hari

Kategori 2 30-37 2 tablet 4KDT + 500 mg

streptomisin injeksi

2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT+2 tablet

etambutol

38-54 3 tablet 4KDT+750 mg

streptomisin injeksi

3 tablet 4KDT

3 tablet 2KDT+3 tablet

etambutol

55-70 4 tablet 4KDT+1.000

mg streptomisin injeksi

4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT+4 tablet

etambutol

>71 5 tablet 4KDT+ 1.000

mg streptomisin injeksi

5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT+5 tablet

etambutol

Page 48: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

32

Tabel 2.4

Efek Samping OAT dan Penatalaksanaannya

Efek Samping Kategori Efek

Samping

Penyebab Penatalaksanaan

1. Tidak ada nafsu

makan, mual, sakit

perut

Ringan Rifampicin Semua OAT diminum malam

hari sebelum tidur

2. Nyeri sendi Ringan Pyrazinamide Beri aspirin

3. Kesemutan sampai

dengan rasa terbakar

pada kaki

Ringan Izoniasid Beli vitamin B6 (piridoxin) 100

mg per hari

4. Warna kemerahan

pada air seni (urin)

Ringan Rifampicin Tidak perlu diberi apa-apa

namun perlu penjelasan kepada

pasien

5. Gatal dan kemerahan

pada kulit

Berat Semua jenis

OAT

Singkirkan kemungkinan lain

dapat dilakukan dengan

pemberian anti histamine sambil

diberikan OAT dengan

pengawasan ketat. Apabila tidak

hilang maka hentikan OAT dan

lakukan rujukan

6. Tuli Berat Streptomycin Streptomycin dihentikan ganti

dengan ethambutol

7. Gangguan

keseimbangan

Berat Streptomycin Streptomycin dihentikan ganti

dengan ethambutol

8. Ikterus tanpa

penyebab lain

Berat Hampir semua

OAT

Hentikan semua OAT sampai

ikterus hilang

9. Bingung dan muntah-

muntah (permulaan

pada ikterus karena

obat)

Berat Hampir semua

OAT

Hentikan semua OAT dan segera

lakukan tes fungsi hati

10. Gangguan

pengelihatan

Berat Ethambutol Hentikan ethambutol

11. Purpura dan renjatan

(syok)

Berat Rifampicin Hentikan rifampicin

Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis

Hanya sedikit penelitian yang dilakukan untuk melihat hubungan antara

jenis rejimen terhadap ketidakteraturan minum obat pasien TB namun beberapa

penelitian menemukan beberapa hal terkait dengan rejimen obat yang diberikan

terhadap ketidakteraturan.

Page 49: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

33

Penelitian yang dilakukan oleh Raharno (2005) menunjukkan hubungan

antara efek samping obat terhadap ketidakteraturan minum obat. Beberapa

penelitian serupa mendapatkan hasil yaitu: 1) efek samping obat berpengaruh

terhadap ketidakteraturan minum obat TB dengan OR=6,105, 95% CI:1,503–

24,796, dan p = 0,011 (Simamoro, 2004); 2) 6,9% pasien mengutarakan efek

samping menjadi alasan ketidakteraturan minum obat TB (Kandel et al., 2014).

4. Status HIV

Status HIV sekarang menjadi perhatian pula pada program penanganan TB

secara nasional sehingga dibentuklah program kolaborasi TB-HIV. Adanya

penyakit HIV pada pasien TB akan memberikan beban yang semakin besar

terhadap efek samping dari kedua pengobatan yang diterima sehingga

menyebabkan pasien untuk tidak teratur dalam mengikuti pengobatan TB.

Beberapa penelitian menemukan hasil yang bervariasi. Penelitian yang

dilakukan oleh Sardar et al. (2010) memperoleh prevalensi ketidakpatuhan

berobat TB pada pasien TB-HIV sebesar 40,5% (95% CI:30,5–50,5). Penelitian

lain di Rwandan menemukan bahwa ada hubungan antara infeksi HIV dengan

buruknya kepatuhan pasien TB dalam berobat dengan OR = 1,7 namun hasil ini

tidak bermakna secara statistik (95% CI : 0,97–3,0 dan p=0,06) (Kayigamba et al.,

2013). Sedangkan pasien TB dengan HIV yang tidak dalam program ART

cenderung memiliki kepatuhan yang rendah dalam menjalankan pengobatan TB

(OR = 2,4 dan 95% CI: 1,2–4,6) (Kayigamba et al., 2013). Hal serupa juga

didapat pada penelitian oleh Connolly et al. (1999) di mana status HIV positif

berisiko 1,8 kali mengalami ketidakteraturan minum obat dibandingkan status

Page 50: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

34

HIV negatif dengan 95% CI: 1,4–2,4. Tidak adanya konseling pada pasien TB-

HIV menjadi salah satu faktor ketidakpatuhan pasien dalam pengobatan TB

(AOR=47,12, 95% CI: 7,99–195,27) (Sardar et al., 2010). Ketidakpatuhan pasien

TB-HIV tersebut berpotensi menimbulkan ketidakteraturan pada pengobatan TB.

2.3.5 Hubungan Pasien dengan Pengawas Minum Obat (PMO)

Pengawas Minum Obat (PMO) adalah salah satu upaya dalam strategi

DOTS untuk menjamin keberhasilan seorang pasien mengikuti pengobatan TB.

PMO bertugas untuk mengawasi pasien TB menum obat sesuai dengan jadwal.

Adanya PMO seharusnya dapat memberikan dukungan bagi pasien TB untuk

menjalani pengobatan yang tegolong jangka panjang. Penelitian terkait PMO

dengan keberhasilan pengobatan TB ataupun ketidakteraturan minum obat.

Hubungan pasien dengan PMO menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan

dalam menentukan PMO. PMO yang dipilih dari anggota keluarga memiliki

beberapa keuntungan yaitu kondisi dekat dengan pasien sehingga dapat setiap saat

memantau pasien minum obat, tedapat ikatan emosional sehingga penderita

merasa mendapatkan perhatian dari keluarga, dan dapat dipercaya oleh pasien

(Hapsari, 2010).

Beberapa penelitian terkait PMO yang telah dilakukan yaitu: 1) 40,9%

pasien yang mengalami ketidakteraturan minum obat menyatakan bahwa PMO

mereka berasal dari keluarga atau kader desa; 2) penderita yang memiliki PMO

anggota keluarga merupakan faktor protektif dengan OR=0,34 namun tidak

terbukti secara statistik (p=0,13) (Ubaidillah, 2001); 3) penderita dengan PMO

Page 51: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

35

yang memiliki kinerja baik berhubungan dengan keteraturan berobat pasien TB

dengan OR=5,23 dan p=0,003 (Hapsari, 2010).

Page 52: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

36

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Berdasarkan kajian maka kerangka bepikir dalam penelitian ini yaitu

perilaku ketidakteraturan minum obat dipengaruhi oleh faktor sosiodemografi,

pelayanan kesehatan, kondisi klinis pasien, perilaku berisiko, dan hubungan

pasien dengan PMO.

Faktor sosiodemografi pasien yang mempengaruhi perilaku

ketidakteraturan minum obat yaitu jenis kelamin, umur, pengalaman berobat

pasien, pekerjaan, dan pengetahuan. Faktor sosiodemografi tersebut berperan

terhadap perilaku ketidakteraturan minum obat terkait kehidupan sosial dan cara

seseorang mengambil keputusan terhadap masalah kesehatan yang sedang

dihadapi.

Kondisi pengobatan TB yang tergolong memerlukan waktu yang cukup

lama menyebabkan faktor pelayanan kesehatan juga berperan dalam terjadinya

ketidakteraturan minum obat pasien TB. Faktor pelayanan kesehatan yang

ditemukan berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat TB yaitu jenis

puskesmas, ketersediaan obat, jarak tempat tinggal ke tempat pelayanan

kesehatan, ketersediaan sarana transportasi, dan sikap petugas pemberi layanan

pengobatan TB. Kondisi pelayanan kesehatan yang terjangkau dan pelayanan

yang nyaman dapat memberikan kesan yang baik kepada pasien sehingga

berpengaruh terhadap perilaku minum obat pasien.

Perilaku berisiko pasien yang ditemukan lebih berkaitan dengan dampak

Page 53: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

37

yang ditimbulkan pada kondisi fisik dan psikis pasien. Konsumsi alkohol dan

merokok merupakan perilaku berisiko yang ditemukan berhubungan dengan

ketidakteraturan minum obat pasien.

Faktor lainnya yang memiliki potensi hubungan dengan ketidakteraturan

minum obat yaitu kondisi klinis pasien yang meliputi jenis infeksi TB, hasil

pemeriksaan dahak awal, jenis rejimen obat, dan status HIV. Kondisi klinis pasien

berkaitan dengan kemampuan pasien untuk datang ke pelayanan kesehatan untuk

mengambil obat atau sebaliknya kondisi klinis yang membaik membuat pasien

merasa seolah-olah sembuh dari penyakit sehingga memutuskan untuk tidak

minum obat.

Berdasarkan kerangka berpikir di atas maka dapat diketahui

ketidakteraturan minum obat TB dipengaruhi oleh faktor sosiodemografi (umur,

jenis kelamin, pengalaman berobat pasien, pekerjaan, dan pengetahuan), faktor

pelayanan kesehatan (jenis puskesmas, ketersediaan obat, jarak tempat tinggal ke

tempat pelayanan kesehatan, ketersediaan sarana transportasi, dan sikap petugas

pemberi layanan pengobatan TB), perilaku berisiko (konsumsi alkohol dan

merokok), faktor kondisi klinis pasien (jenis infeksi TB, hasil pemeriksaan dahak

awal, jenis rejimen obat, dan status HIV), dan hubungan pasien dengan PMO.

Pada penelitian ini ditambahkan variabel program lainnya yang belum ditemukan

pada penelitian lainnya yaitu durasi pemberian obat (fase intensif dan lanjutan)

dan pemberian obat pada peralihan setelah fase intensif.

Page 54: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

38

3.2 Konsep Penelitian

Gambar 3.1

Konsep Penelitian

Keterangan :

: variabel yang diteliti

: variabel yang tidak diteliti

3.3 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka, dan

kerang konsep serta jenis data yang tersedia maka disusun hipotesis penelitian

Faktor Sosiodemografi

- Umur

- Jenis kelamin

- Pengalaman berobat pasien

Faktor Pelayanan Kesehatan dan

Program

- Jenis puskesmas

- Hubungan pasien dengan PMO

- Durasi pemberian obat (fase

intensif dan lanjutan)

- Pemberian obat peralihan akhir

fase intensif

Faktor Klinis Pasien

- Jenis infeksi TB

- Hasil pemeriksaan dahak awal

- Status HIV

Ketidakteraturan

minum obat

- Kualitas Obat

- Jarak ke pelayanan kesehatan

- Ketersediaan sarana transportasi

- Sikap petugas

Perilaku Berisiko Pasien

- Konsumsi alkohol

- Merokok

- Pengetahuan pasien

- Pekerjaan

- Jenis rejimen obat

Page 55: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

39

tentang pengobatan tuberkulosis di Puskesmas Kota Denpasar Tahun 2011 – 2012

sebagai berikut.

1. Terdapat hubungan antara umur dengan ketidakteraturan minum obat

tuberkulosis.

2. Terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan ketidakteraturan minum obat.

3. Terdapat hubungan antara pengalaman berobat pasien dengan ketidakteraturan

minum obat.

4. Terdapat hubungan antara hasil pemeriksaan dahak awal dengan

ketidakteraturan minum obat.

5. Terdapat hubungan antara jenis infeksi TB dengan ketidakteraturan minum

obat.

6. Terdapat hubungan antara status HIV dengan ketidakteraturan minum obat.

7. Terdapat hubungan antara jenis puskesmas dengan ketidakteraturan minum

obat.

8. Terdapat hubungan antara hubungan pasien dengan PMO dengan

ketidakteraturan minum obat.

9. Terdapat hubungan antara durasi maksimal pemberian obat fase intensif

dengan ketidakteraturan minum obat.

10. Terdapat hubungan antara durasi maksimal pemberian obat fase lanjutan

dengan ketidakteraturan minum obat.

11. Terdapat hubungan antara pemberian obat pada peralihan setelah fase intensif

dengan ketidakteraturan minum obat.

Page 56: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

40

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan yaitu penelitian longitudinal

menggunakan data cohort pasien TB dengan pengobatan kategori 1 yang terdaftar

dalam pengobatan di seluruh Puskesmas Kota Denpasar periode 1 Januari 2011

sampai dengan 31 Desember 2012.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di seluruh Puskesmas di Kota Denpasar pada

bulan Desember 2014 sampai dengan 1 Pebruari 2015. Kota Denpasar memiliki

11 puskesmas yang tersebar di empat kecamatan antara lain Kecamatan Denpasar

Timur (Puskesmas I dan II Denpasar Timur), Kecamatan Denpasar Utara

(Puskesmas I, II, dan III Denpasar Utara), Kecamatan Denpasar Barat (Puskesmas

I dan II Denpasar Barat), dan Kecamatan Denpasar Selatan (Puskesmas I, II, III,

dan IV Denpasar Selatan). Pada tahun 2011, seluruh puskesmas di Kota Denpasar

telah menerapkan strategi DOTS dan semua pemegang program TB telah

mendapatkan pelatihan terkait strategi DOTS. Di Denpasar terdapat dua

Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM) dan sembilan puskesmas satelit.

Puskesmas yang ditunjuk sebagai PRM yaitu Puskesmas I Denpasar Selatan dan

Puskesmas I Denpasar Utara. Seluruh puskesmas di Kota Denpasar memberikan

pelayanan pengobatan TB serta memiliki rekam medis pasien berupa formulir TB

01 dan TB 03.

Page 57: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

41

Dipilihnya puskesmas di Kota Denpasar karena Kota Denpasar memiliki

jumlah pasien TB terbanyak dibandingkan Kabupaten/Kota lainnya serta

tingginya penduduk pendatang di Kota Denpasar yang berpotensi untuk

mengalami ketidakteraturan minum obat TB.

4.3 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini yaitu Ilmu Kesehatan Masyarakat tentang

manajemen berobat TB di Puskesmas Kota Denpasar.

4.4 Penentuan Sumber Data

4.4.1 Populasi penelitian

Populasi penelitian ini adalah semua pasien TB yang terdaftar di dalam

pengobatan TB di Puskesmas Kota Denpasar pada 1 Januari 2011 sampai dengan

31 Desember 2012 sebanyak 819 orang.

4.4.2 Jumlah dan besar sampel penelitian

Sampel yang akan digunakan pada penelitian ini adalah seluruh pasien TB

yang terdaftar dalam pengobatan TB di 11 Puskesmas Kota Denpasar periode

2011–2012 yang memenuhi kriterian inklusi dan eksklusi sebagai berikut.

1. Kriteria inklusi

a. Pasien TB yang berusia ≥ 15 tahun

b. Apabila pasien memiliki catatan pengobatan lebih dari 1 kali selama

periode 1 Januari 2011– 31 Desember 2012 maka akan diambil riwayat

pengobatan yang pertama

c. Pasien dengan TB 01 dan TB 03 yang dapat ditemukan di Puskesmas di

Kota Denpasar

Page 58: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

42

d. Pasien TB dengan pengobatan kategori 1

2. Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi pada penelitian ini yaitu pasien TB dengan formulir TB 01

dengan fase intensif yang tidak lengkap atau tidak tercatat.

Penentuan besar sampel minimal yang digunakan dalam penelitian ini

yaitu menggunakan rumus untuk penelitian analitis kategorik tidak berpasangan

sebagai berikut (Dahlan, 2009):

𝑛1 = 𝑛2 = (𝑍𝛼 2𝑃𝑄 + 𝑍𝛽 𝑃1𝑄1 + 𝑃2𝑄2)2

(𝑃1 − 𝑃2)2 (1)

Dengan asumsi:

P2 = 24% = 0, 24 (Simamoro, J, 2004)

Q2 = 1- P2 = 1 – 0,24 = 0,76

Zα = deviat baku alfa yang digunakan sebesar 1,96

Zβ = deviat baku beta yang digunakan sebesar 0,84

d ( P1 – P2) = presisi yang diinginkan adalah 20%

P1 = 0,20 + 0,24 = 0,44

Q1 = 1- P1 = 1 - 0,44 = 0,56

P = (P1 + P2)/2 yaitu (0,44+0,24)/2 = 0,34

Q = 1 - P = 1 - 0,34 = 0,66

Berdasarkan rumus dan asumsi di atas maka dapat dilakukan perhitungan besar

sampel minimum sebagai berikut:

n1=n2= (1,96 2 0,34 0,66 +0,84 0,44 0,56 + 0,24 (0,76)2

(0,44-0,24)2

Page 59: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

43

n1 = n2 = 87

P2 merupakan proporsi pada kelompok yang teratur berobat, yang didapat dari

penelitian oleh Simamoro,J (2004) pada kelompok yang teratur berobat dengan

faktor risiko tidak memiliki PMO.

Jadi berdasarkan perhitungan di atas maka jumlah sampel minimal pada

kelompok yang tidak teratur berobat sebanyak 87 orang dan jumlah sampel

minimal pada kelompok yang teratur berobat sebanyak 87 orang sehingga jumlah

minimal total sampel yaitu 2 x 87 = 174. Untuk mengurangi bias maka peneliti

menggunakan semua sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dalam

penelitian.

4.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel

4.5.1 Variabel penelitian

Penelitian ini menggunakan dua jenis variabel yaitu variabel tergantung

(dependent variable) dan variabel bebas (independent variable). Variabel

tergantung dalam penelitian ini adalah ketidakteraturan minum obat TB

sedangkan variabel bebas adalah: faktor demografi (umur, jenis kelamin, dan

pengalaman pengobatan pasien), faktor klinis (hasil pemeriksaan dahak awal,

jenis infeksi TB, dan status HIV), faktor program (jenis puskesmas, hubungan

pasien dengan PMO, durasi pemberian obat fase intensif, durasi pemberian obat

fase lanjutan, dan pemberian obat pada peralihan setelah fase intensif).

Page 60: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

44

4.5.2 Definisi Operasional Variabel

Tabel 4.1

Definisi Operasional Variabel

Variabel Definisi Operasional Cara Pengumpulan

Data

Hasil

Pengukuran

Skala Skala Analisis

1 2 3 4 5 6

1. Umur Umur (dalam tahun) seseorang

saat memulai pengobatan TB yang

tercatat pada formulir TB 01

Review dokumen Umur dalam

tahun

Interval Interval

99=Missing

2. Jenis kelamin Jenis kelamin yang tercatat pada

formulir TB 01

Review dokumen 1.Laki-laki

2.Perempuan

Nominal Kategori:

0=Perempuan

1=Laki-laki

99=Missing

3. Pengalaman

berobat pasien

Pengalaman pasien terkait pernah

tidaknya seorang pasien berobat

TB sebelum memulai pengobatan

yang terdaftar pada periode

penelitian ini

Review dokumen 1.Baru

2.Kambuh

3.Default

4.Gagal

5.Pindahan

6.Lainnya

Nominal Kategori:

0=Belum pernah mengikuti

pengobatan TB

1=Pernah mengikuti

pengobatan TB

4 Hasil

pemeriksaan

dahak awal

Hasil pemeriksaan laboratorium

terhadap dahak pasien sebelum

mulai pengobatan yang tercatat

pada TB 03

Review dokumen 1.Negatif

2.Positif

3.Tidak

dikerjakan

5.Missing

Nominal Kategori:

0=Negatif

1=Positif

2=Tidak dikerjakan

99=Missing

5. Jenis infeksi TB Jenis infeksi TB yang diderita oleh

pasien TB sesuai diagnosa yang

tercatat pada TB 03

1.Paru

2.Ekstra paru

Nominal Kategori:

0=Ekstra paru

1=Paru

Page 61: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

45

1 2 3 4 5 6

6. Status HIV Hasil diagnosa HIV yang dimiliki

oleh pasien TB dan tercatat pada

TB 03

Review dokumen 1.Positif

2.Negatif

3.Tidak

dikerjakan

4.Missing

Nominal Kategori:

0=Negatif

1=Positif

2=Tidak dikerjakan

99=Missing

7. Jenis puskesmas Jenis puskesmas tempat pasien

menjalankan pengobatan TB

berdasarkan fasilitas laboratorium

terkait pemeriksaan TB

Review dokumen 1.Puskesmas

Satelit (PS)

2.Puskesmas

Rujukan

Miskroskop

is (PRM)

Nominal Kategori:

0=Puskesmas Rujukan

Mikroskopis (PRM)

1=Puskesmas Satelit (PS)

8. Hubungan

pasien dengan

Pengawas

Minum Obat

(PMO)

Hubungan pasien dengan

pengawas minum obat yang

ditunjuk pada saat memulai

pengobatan

Review dokumen 1.Keluarga

2.Teman

3.Tetangga

4.Petugas

kesehatan

5.Lainnya

6.Tidak ada

7.Missing

Nominal Kategori:

0= Keluarga

1=Bukan Keluarga

2=Tidak memiliki PMO

99=Missing

9. Durasi

pemberian obat

pada fase

intensif

Durasi maksimal pasien diminta

kembali ke puskesmas untuk

mengambil obat pada fase

pengobatan intensif

Wawancara Nominal Kategori:

0= ≤ 1 minggu

1= ≤ 2 minggu

10. Durasi

pemberian obat

pada fase

lanjutan

Durasi maksimal pasien diminta

kembali ke puskesmas untuk

mengambil obat pada fase

pengobatan lanjutan

Wawancara Nominal Kategori:

0= ≤ 1 minggu

1= ≤ 2 minggu

2= ≤ 4 minggu

Page 62: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

46

1 2 3 4 5 6

11. Pemberian obat

pada fase

peralihan setelah

intensif

Sikap petugas untuk memberikan

obat pada fase peralihan setelah

fase intensif berakhir apabila hasil

pemeriksaan dahak terlambat

Wawancara Nominal Kategori:

0=ya

1=tidak

2=tidak pernah mengalami

12. Ketidakteraturan

minum obat

Waktu di mana pasien TB tidak

mengambil obat sesuai jadwal

selama pengobatan TB

berlangsung dengan waktu tidak

datang terpendek yaitu 1 hari dan

tidak lebih dari 8 minggu

Review dokumen Tanggal pasien

tidak datang

Interval Kategori:

0= Sensor (meninggal, default,

pindah,dan teratur berobat)

1=Tidak teratur

Page 63: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

47

4.6 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan terdiri dari kuesioner dan laptop

untuk memasukkan data secara langsung. Kuesioner digunakan untuk

mengumpulkan informasi tentang pengalaman menjadi pemegang program TB,

pelatihan yang diperoleh pemegang program TB, sumber daya manusia dalam

program TB, dan durasi pemberian obat TB pada pasien pada masing-masing

puskesmas. Sedangkan variabel tentang puskesmas tempat berobat, tahun, nomor

registrasi, hubungan pasien dengan PMO, dan waktu saat terjadi ketidakteraturan

pasien minum obat diambil secara langsung menggunakan laptop.

4.7 Prosedur Pengumpulan Data

4.7.1 Jenis dan sumber data yang dikumpulkan

Jenis data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini merupakan data

primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan bersumber dari hasil

wawancara dengan pemegang program TB pada sebelas puskesmas di Kota

Denpasar terkait pengalaman menjadi pemegang program TB, pelatihan yang

diperoleh pemegang program TB, sumber daya manusia dalam program TB, dan

durasi pemberian obat TB pada pasien pada masing-masing puskesmas.

Data sekunder yang dikumpulkan meliputi data kohort pasien TB yang

memulai pengobatan TB di sebelas puskesmas di Kota Denpasar periode 1 Januari

2011 sampai dengan 31 Desember 2012. Sumber data sekunder tersebut dibagi

menjadi beberapa bagian sebagai berikut:

1. Formulir TB 01 yaitu kartu catatan pengobatan pasien yang berisikan nomor

registrasi, identitas (nama, umur, dan jenis kelamin), PMO, nama puskesmas,

Page 64: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

48

riwayat pengobatan sebelumnya, tipe pasien, tipe infeksi, pemeriksaan kontak

serumah, jenis OAT, hasil pemeriksaan dahak, rejimen obat, kegiatan

pengambilan obat anti tuberkulosis (OAT), pemeriksaan HIV, dan hasil

pengobatan pasien. Formulir TB 01 dapat diperoleh di Puskesmas Kota

Denpasar.

2. Formulir TB 03 yaitu rekapitulasi beberapa informasi pada formulir TB 01

oleh petugas puskesmas untuk dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kota Denpasar.

Formulir TB 03 berisi informasi tentang nomor registrasi, identitas pasien

(nama, umur, dan jenis kelamin), alamat, nama puskesmas, tanggal mulai

pengobatan, hubungan pasien dengan PMO, rejimen obat, tipe infeksi, tipe

pasien, hasil pemeriksaan dahak, tanggal berhenti dan hasil pengobatan, serta

tanggal identifikasi dan pengobatan koinfeksi TB/HIV.

3. TB elektronik yaitu data bentuk soft copy dalam format Microsoft excel yang

berisi data yang sama dengan formulir TB 03 terkecuali hubungan pasien

dengan PMO yang dilaporkan oleh puskesmas ke Dinas Kesehatan Kota

Denpasar. Data TB elektronik diperoleh di Dinas Kesehatan Kota Denpasar.

4. TB Sistem Informasi TB Terpadu (SITT) yaitu data bentuk soft copy dalam

format Microsoft Excel yang merupakan data yang dilaporkan secara rutin ke

pusat setiap triwulan secara online oleh Dinas Kesehatan Kota Denpasar. Data

TB SITT berisi tentang nomer registrasi pasien, tahun mulai berobat, alamat

pasien, jenis kelamin, umur, tanggal mulai berobat, tipe infeksi, tipe pasien,

hasil pemeriksaan dahak, tempat berobat, jenis rejimen, hasil pemeriksaan

awal dahak, hasil pemeriksaan dahak pada akhir fase intensif, hasil

Page 65: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

49

pemeriksaan pada akhir fase sisipan, hasil pemeriksaan dahak satu bulan

sebelum akhir pengobatan, hasil pemeriksaan dahak pada akhir pengobatan,

hasil pengobatan, tanggal pasien dianjurkan tes HIV/AIDS, tanggal pretest,

tanggal tes HIV/AIDS, hasil tes HIV/AIDS, tanggal posttest, tanggal dirujuk,

tanggal memulai ART, riwayat HIV, dan status menerima PPK.

4.7.2 Cara pengumpulan data

Data dikumpulkan dengan beberapa cara yang disesuaikan dengan jenis

sumber data. Terdapat dua cara pengumpulan data yaitu wawancara dan ekstraksi

data cohort pasien TB.

Cara pengumpulan data primer yang dilakukan sebagai berikut.

1. Mengajukan permohonan ijin penelitian ke Dinas Kesehatan Kota Denpasar

untuk melakukan wawancara dengan kesebelas pemegang program TB di

Puskesmas Kota Denpasar

2. Melakukan wawancara kepada sebelas pemegang program TB menggunakan

kuesioner

3. Data yang telah dikumpulkan kemudian dibuat ke dalam bentuk soft copy

yang digabungkan dengan data sekunder lainnya

Cara pengumpulan data sekunder yang dilakukan sebagai berikut.

1. Mengajukan permohonan ke Dinas Kesehatan Kota Denpasar untuk laporan

triwulan puskesmas dalam bentuk data TB elektronik tahun 2011-2012 dan

data TB SITT Kota Denpasar tahun 2011-2012

Page 66: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

50

2. Setiap formulir TB 01 dan TB 03 yang ditemukan di puskesmas dicocokkan

dengan data pada TB elektronik pada masing-masing tahun memulai

pengobatan TB. Beberapa cara yang dilakukan sebagai berikut.

a. Pengecekan setiap nomer registrasi pasien yang tercatat dalam formulir

TB 01 atau TB 03 ke dalam TB elektronik berdasarkan tahun memulai

pengobatan TB dengan menu find dalam program Microsoft excel

b. Apabila pada formulir TB 01 atau TB 03 tidak dituliskan nomer registrasi

pasien maka dilakukan pengecekan menggunakan nama pasien pada

dengan menu find pada data TB elektronik

Setelah kedua cara di atas dilakukan maka langkah selanjutnya yaitu

memeriksa identitas pasien lainnya seperti umur, jenis kelamin, alamat pasien,

dan tanggal mulai pengobatan pada TB elektronik untuk memastikan bahwa

data dalam bentuk soft copy tersebut merupakan pasien yang sama dengan

data pada formulir TB 01 dan TB 03.

3. Data yang telah jelas dan cocok identitasnya kemudian diekstrak ke dalam

bentuk file dengan format Microsoft excel dengan mengambil informasi

tentang nomer registrasi, tahun memulai pengobatan TB, puskesmas tempat

formulir TB 01 dan TB 03 ditemukan, hubungan pasien dengan PMO, dan

tanggal terjadi ketidakteraturan minum obat.

Setelah semua data terkumpulkan maka dilakukan penggabungan data

ekstraksi dari formulir TB 01 dan TB 03, hasil wawancara dengan pemegang

program, dan data TB SITT dalam format Microsoft excel berdasarkan nomer

registrasi pasien, tahun pengobatan, dan puskesmas tempat pasien mendapat

Page 67: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

51

pengobatan TB. Kerahasiaan dijaga dengan cara menggunakan nomer registrasi

pasien TB tanpa mencantumkan nama pasien yang disimpan dalam file khusus

dan rahasia.

4.7.3 Pengolahan data

Data yang diperoleh kemudian diteliti dan dianalisis kelengkapannya

dengan langkah-langkah sebagai berikut.

1. Editing : data primer maupun data sekunder yang terkumpul kemudian

diperiksa, apabila terdapat ketidakjelasan maka langsung dipertanyakan

kepada petugas TB di pelayanan kesehatan sehingga dapat dimengerti dan

diisi dengan tepat.

2. Coding : setiap variabel dengan skala data kategori diberikan kode berupa

angka untuk memudahkan proses pengolahan selanjutnya.

3. Data entry : semua data primer dan sekunder yang telah dikoding kemudian

dimasukkan ke dalam komputer menggunakan program Microsoft excel yang

selanjutnya dipindahkan ke dalam program STATA 12.0 untuk dianalisis.

4. Cleaning : pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan ke dalam program

komputer dilakukan untuk menghindari kesalahan data yang dianalisis.

5. Tabulasi : proses ini dilakukan pada data primer maupun sekunder dengan

mengelompokkan data hasil penelitian yang serupa dan menjumlahkannya

dengan teliti dan teratur ke dalam tabel yang telah disediakan.

4.8 Analisis Data

Analisis data yang dilakukan adalah analisis repeated event dengan

kejadian berulang yang bersifat identik. Metode analisis ini mempertimbangkan

Page 68: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

52

event yang mungkin terjadi lebih dari satu kali pada masing-masing subjek selama

masa pengamatan (Kleinbaum dan Klein, 2005). Berdasarkan definisi operasional

dari ketidakteraturan minum obat (event) pada penelitian ini maka seorang pasien

TB berpotensi untuk mengalami ketidakteraturan lebih dari satu kali. Analisis

repeated event dilakukan dengan model Cox Proportional Hazzard. Hal lain yang

diperoleh dengan memperhatikan kejadian berulang yaitu jumlah kejadian

ketidakteraturan dan total hari ketidakteratuan.

Setelah dilakukan pengumpulan data sedemikian hingga kemudian data

dianalisis secara analitik dengan program STATA dengan langkah-langkah

berikut.

1. Analisis univariat

Data yang telah diolah kemudian dianalisis secara univariat. Analisis

univariat yang dilakukan yaitu untuk mengetahui median time ketidakteraturan

minum obat, insiden ketidakteraturan, dan deskripsi masing-masing variabel

prediktor. Oleh karena itu semua variabel bebas maupun variabel tergantung

dimasukkan ke dalam analisis univariat. Penyajian hasil analisis univariat untuk

variabel berskala nominal yaitu dengan tabel distribusi frekuensi yang berisi

frekuensi dan proporsi. Sedangkan untuk data interval disajikan dengan nilai

mean dan standar deviasi (SD) untuk data yang berdistribusi normal atau nilai

median dan IQR untuk data yang tidak berdistribusi normal. Khusus untuk median

time ketidakteraturan dianalisis mengguanakan analisis repeated event dan

ditampilkan dengan nilai median dan inter quartile range (IQR) yang

menampilkan persentil ke 25% sampai persentil ke 75% dari waktu

Page 69: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

53

ketidakteraturan. Secara visual median time pengamatan secara umum maupun

berdasarkan kejadian ketidakteraturan minum obat disajikan dengan Grafik

Kaplan Meier.

2. Analisis bivariat

Analisis bivariat bertujuan untuk melihat gambaran karakteristik subjek

penelitian berdasarkan variabel tergantung serta melihat hubungan antara variabel

bebas dengan variabel tergantung. Variabel yang dianalisis bivariat disajikan

dengan tabulasi silang antara variabel bebas yang meliputi faktor demografi

(umur, jenis kelamin, pengalaman berobat pasien), faktor klinis (hasil

pemeriksaan dahak awal, jenis infeksi TB, status HIV), dan faktor program (jenis

puskesmas, hubungan pasien dengan PMO, durasi pemberian obat fase intensif,

durasi pemberian obat fase lanjutan, dan pemberian obat pada peralihan setelah

fase intensif) dengan variabel tergantung yaitu ketidakteraturan minum obat.

Nilai crude Hazard Ratio (HR) dari ketidakteraturan minum obat pasien

TB dihitung dengan Cox Proportional Hazard Regression dengan cara

memasangkan variabel tergantung dengan masing-masing variabel bebas. Selain

nilai crude Hazard Ratio (HR), diperoleh pula nilai p spesifik dan nilai p (group)

dari crude HR dengan tingkat kepercayaan 95%. Sedangkan penentuan nilai p dari

crude HR dilakukan dengan beberapa cara. Perhitungan nilai p (group) pada

variabel dengan kategori lebih dari 2 kategori pada data nominal digunakan

testparm. Sebelum memulai analisis maka data pasien yang missing dikeluarkan

agar tidak mempengaruhi hasil analisis. Hasil analisis terkait hubungan antara

variabel bebas dengan variabel tergantung dapat dilihat dari nilai crude HR, 95%

Page 70: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

54

CI, dan nilai p. Ho ditolak apabila nilai p < 0,05 dan nilai crude HR ≠ 1 dengan

95% CI yang tidak memuat angka 1. Nilai crude HR < 1 menunjukkan variabel

bebas dapat menurunkan risiko ketidakteraturan minum obat, nilai crude HR > 1

menunjukkan variabel bebas dapat meningkatkan risiko ketidakteraturan minum

obat, dan crude HR=1 menunjukkan bahwa variabel bebas tidak berhubungan

dengan ketidakteraturan minum obat.

3. Analisis multivariat

Analisis multivariat bertujuan untuk melihat hubungan antara variabel

bebas dengan variabel tergantung secara serentak saat variabel yang dianggap

mengganggu dikendalikan. Pada analisis ini digunakan kembali metode Cox

Proportional Hazard Regression dengan repeated event. Variabel bebas

dimasukkan secara bersamaan dengan variabel tergantung. Syarat variabel bebas

dapat masuk ke dalam model yaitu memiliki nilai p<0,20 pada analisis bivariat.

Variabel-variabel bebas dengan skala data kategorikal yang menunjukkan

kemungkinan multikoliniearitas diuji dengan metode Kendall di mana jika nilai

Kendall tau b >0,6 maka terdapat multikolinearitas antar variabel tersebut. Oleh

karena itu salah satu variabel yang memiliki multikolliniearitas dipilih untuk

masuk ke dalam model multivariat berdasarkan pertimbangan teori.

Hasil analisis yang diperoleh yaitu nilai adjusted Hazard Ratio (AHR),

nilai p spesifik, dan nilai p (group) dari adjusted HR dengan 95% CI. Pada

variabel dengan lebih dari 2 kategori, nilai p dari adjusted HR dihitung dengan

testparm (untuk data nominal). Pengaruh variabel bebas terhadap variabel

tergantung dapat dilihat dari nilai adjusted HR, 95% CI, dan nilai p. Ho ditolak

Page 71: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

55

apabila nilai p < 0,05 dan nilai adjusted HR ≠ 1 dengan 95% CI yang tidak

memuat angka 1. Nilai adjusted HR < 1 menunjukkan variabel bebas dapat

menurunkan risiko ketidakteraturan minum obat, nilai adjusted HR > 1

menunjukkan variabel bebas dapat meningkatkan risiko ketidakteraturan minum

obat, dan adjusted HR=1 menunjukkan bahwa variabel bebas tidak berhubungan

dengan ketidakteraturan minum obat.

Page 72: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

56

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Gambaran Program Pengobatan Tuberkulosis di Puskesmas Kota

Denpasar

Program P2 TB di puskesmas dikelola oleh seorang pemegang program

dengan dibantu petugas PPTI (Perhimpunan Pemberantasan Tuberkulosis

Indonesia) dalam hal pengobatan pasien. Sebanyak 91% puskesmas pada tahun

2011-2012 telah memiliki petugas PPTI, dan hanya Puskesmas IV Denpasar

Selatan yang mendapat bantuan petugas PPTI setiap Hari Jumat dan Sabtu

dikarenakan petugas PPTI masih berbagi dengan Puskesmas III Denpasar Selatan.

Karakteristik pemegang program TB di Puskesmas Kota Denpasar yaitu: 1) rata-

rata umur pemegang program TB yaitu 44 tahun; 2) mayoritas pemegang program

TB berjenis kelamin perempuan (91%); 3) rata-rata lama bertugas petugas

pemegang TB yaitu 8,9 tahun dengan interval 0,5-20 tahun; 4) pada periode

penelitian, pemegang program TB memiliki jabatan rangkap dalam program lain

di puskesmas yang berkisar antara 1-6 jabatan.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam Program P2 TB di puskesmas

adalah penjaringan suspek, pemeriksaan laboratorium, pengobatan pasien TB,

hingga pelaporan program ke Dinas Kesehatan Kota Denpasar. Penegakan

diagnosa dan kategori pengobatan yang diberikan kepada pasien TB dilakukan

oleh dokter yang tergabung dalam Poli DOTS namun untuk pemberian serta

pengawasan minum obat selanjutnya dapat dikerjakan oleh pemegang program

Page 73: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

57

TB yang dibantu oleh petugas PPTI. Hal ini bertujuan memperpendek alur

pengambilan obat untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam pengambilan obat

serta memperkecil risiko penularan di puskesmas. Program pengobatan TB di

Puskesmas Kota Denpasar tidak melayani pengobatan TB untuk pasien dari luar

wilayah kerja puskesmas sehingga untuk pasien luar wilayah kerja yang terjaring

segera dirujuk ke puskesmas yang mewilayahi tempat domisili pasien masing-

masing.

Pengobatan TB dengan kategori 1 diberikan kepada pasien dengan

diagnosa pasien baru TB paru BTA positif, TB paru BTA negatif namun foto

toraks positif, dan pasien TB ekstra paru. Pengobatan TB dengan kategori 1 dapat

dibagi menjadi dua fase pengobatan yaitu fase intensif dengan dan fase lanjutan.

Pada fase intensif pasien minum OAT setiap hari selama 56 hari sedangkan pada

fase lanjutan pasien minum OAT tiga kali seminggu selama 16 minggu. Bagi

pasien yang tidak mengalami konversi pada akhir fase intensif maka akan

diberikan OAT sisipan selama 28 hari dengan paduan OAT yang sama dengan

fase intensif. Berdasarkan Pedoman Nasional Penanggulangan TB di Indonesia

panduan OAT kategori 1 yang digunakan yaitu 2HRZE/4(HR)3 yang diberikan

berdasarkan berat badan pasien. Selain itu selama pengobatan pasien TB

melakukan pemeriksaan dahak pada awal pengobatan, akhir fase intensif, akhir

fase sisipan (bagi pasien yang mendapat fase sisipan), pada bulan kelima, dan

akhir pengobatan.

Pelaksanaan Program TB di Kota Denpasar memiliki beberapa jenis form

pencatatan namun pada penelitian ini hanya digunakan form TB 01, form TB 03,

Page 74: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

58

data TB 03 elektronik, dan data TB 03 SITT. Form TB 01 merupakan kartu

pencatatan yang merupakan rekam medik pasien TB selama mengikuti

pengobatan TB di puskesmas. Pada form TB 01 terdapat informasi mengenai

riwayat pengambilan obat TB oleh pasien selama pengobatan TB berlangsung.

Form TB 03 merupakan form yang digunakan oleh petugas TB di puskesmas

untuk melaporkan data pasien TB yang diperoleh setiap triwulan ke Dinas

Kesehatan Kota Denpasar. Informasi khusus yang terdapat pada form TB 03 yaitu

hubungan pasien dengan PMO. Data TB 03 elektronik merupakan rekapitulasi

dari informasi pada form TB 03 yang dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kota

Denpasar yang dibuat dalam bentuk softcopy dengan program Microsoft excel.

Sedangkan data TB 03 SITT merupakan hasil rekapitulasi data pada form TB 03

yang dilaporkan ke pusat. Informasi pada TB 03 elektronik dan TB 03 SITT

merupakan informasi yang sama hanya saja memiliki tujuan, metode pencatatan,

dan pelaporan yang berbeda.

Berdasarkan wawancara dengan pemegang program TB di 11 Puskesmas

Kota Denpasar (Tabel 5.1), terlihat bahwa sebagian besar pemegang program TB

memiliki buku bantu untuk pelayanan pasien namun terdapat beberapa perbedaan

dalam manajemen pemberian obat kepada pasien. Sebanyak 72,7% puskesmas

memberikan obat kepada pasien dengan dosis maksimal untuk 1 minggu pada fase

intensif sedangkan pada fase lanjutan 63,6% puskesmas memberikan obat kepada

pasien dengan dosis maksimal untuk 2 minggu. Berdasarkan kesepakatan di Dinas

Kesehatan Kota Denpasar, durasi pemberian obat dilakukan setiap 1 minggu,

Page 75: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

59

namun beberapa puskesmas memiliki kebijakan lokal sesuai dengan kebutuhan

setempat.

Tabel 5.1

Aspek Layanan Pengobatan TB di Sebelas Puskesmas Kota Denpasar

Aspek Layanan Puskesmas

n (%)

Standar

Nasional

Pembuatan buku bantu untuk memudahkan pelayanan pasien 9 (81,8)

Durasi maksimal pemberian obat pada pasien oleh petugas

a. Fase intensif

≤ 1 minggu 8 (72,7) Tidak

tertulis ≤ 2 minggu 3 (27,3)

b. Fase lanjutan

≤ 1 minggu 1 (9,1) Tidak

tertulis ≤ 2 minggu 7 (63,6)

≤ 4 minggu 3 (27,3)

c. Insidentil

≤ 4 minggu 6 (54,5) Tidak

tertulis ≤ 5 minggu 1 (9,1)

≤ 12 minggu 1 (9,1)

Sesuai kebutuhan pasien 3 (27,3)

Kebijakan Petugas

a. Mengubah durasi pemberian obat berdasarkan kepatuhan

pasien

Ya 3 (27,3) Tidak

tertulis Tidak 8 (72,7)

b. Kebijakan pemberian obat antar fase jika hasil

laboratorium terlambat

Antar fase intensif ke fase sisipan atau lanjutan Tidak

tertulis Memberikan obat fase sisipan 4 (36,4)

Memberikan obat fase lanjutan 3 (27,3)

Tidak memberikan obat sampai ada hasil laboratorium 3 (27,3)

Tidak pernah mengalami 1 (9,1)

Antar fase sisipan ke fase lanjutan Beri obat

fase lanjutan Memberikan obat fase lanjutan 11 (100)

Pemeriksaan dahak bulan ke-5 terlambat

Memberikan obat fase lanjutan 11 (100)

Page 76: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

60

Pada kondisi pasien yang bersifat insidentil (pulang kampung atau keluar

kota), mayoritas pemegang program TB memberikan obat TB untuk kebutuhan

dosis maksimal untuk 4 minggu (54,5%). Sebanyak 72,7% puskesmas tidak

melakukan perubahan durasi pemberian obat di atas meskipun pasien TB

menunjukkan kepatuhan yang baik selama pengobatan.

Terkait dengan pemberian obat pada fase peralihan kepada pasien apabila

terjadi keterlambatan hasil pemeriksaan dahak pada akhir fase intensif sebanyak

36,4% puskesmas tetap memberikan obat fase sisipan tanpa menunggu hasil

dahak, 27,3% memberikan obat fase lanjutan tanpa menunggu hasil dahak, 27,3%

tidak memberikan obat hingga hasil dahak diketahui, dan 9,1% puskesmas

menyatakan tidak pernah mengalami keterlambatan tersebut. Sedangkan untuk

pemberian obat apabila terjadi keterlambatan hasil pemeriksaan dahak pada akhir

fase sisipan dan bulan kelima, semua puskesmas telah menerapkan cara yang

sama yaitu dengan tetap memberikan obat fase lanjutan.

5.2 Karakteristik Sampel Penelitian

Penelitian dilakukan pada pasien TB yang terdaftar dalam pengobatan TB

pada periode 2011-2012 di 11 Puskesmas Kota Denpasar dengan jumlah sampel

penelitian yaitu 644 pasien. Berikut merupakan proses seleksi sampel penelitian

berdasarkan kriteria inklusi, eksklusi, dan kelengkapan data.

Page 77: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

61

Gambar 5.1

Proses Seleksi Sampel Penelitian

Sampel penelitian digambarkan berdasarkan faktor demografi, klinis, dan

program yang merupakan data awal pengamatan. Sebanyak 52,5% sampel

penelitian memulai pengobatan TB pada tahun 2011 dan sisanya memulai

pengobatan pada tahun 2012. Karakteristik sampel penelitian digambarkan

berdasarkan kelompok yang tidak teratur berobat dan teratur berobat ditampilkan

dalam Tabel 5.2. Lebih dari 50% pasien TB di Puskesmas pada kelompok yang

tidak teratur minum obat adalah berjenis kelamin laki-laki, memiliki PMO berasal

dari keluarga, pasien TB baru, hasil pemeriksaan dahak awal positif, TB paru,

tidak mengetahui status HIV, dan berasal dari puskesmas satelit dengan median

umur yaitu 35 tahun (IQR: 27-48).

644 Pasien TB kategori 1

725 Pasien umur ≥ 15 tahun

dengan TB 01 di Puskesmas 14 Pasien dengan form TB 01 dengan

fase intensif yang tidak lengkap atau

tidak tercatat

67 Pasien TB dengan kategori 2

819 Pasien terdaftar periode

2011-2012

4 Pasien data form TB 03 tidak lengkap

52 Pasien TB umur < 15 tahun

781 Ditemukan form TB 01 di

Puskesmas

38 Pasien dengan form TB 01 yang

tidak ditemukan

Page 78: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

62

Tabel 5.2

Karakteristik Demografi, Klinis, dan Faktor Program Berdasarkan Kejadian

Ketidakteraturan Minum Obat TB

Karakteristik Tidak Teratur (N=378)

n (%)

Teratur (N=266)

n (%)

Total

n (%)

Faktor demografi

Umur Median (IQR) 35 (27-48) 35 (27-49) 35 (27-48)

Jenis Kelamin

Perempuan

Laki-laki

159 (42,1)

219 (57,9)

119 (44,7)

147 (55,3)

278 (43,2)

366 (56,8)

Status pasien

Baru

Pindahan

360(95,2)

18 (4,8)

250 (94,0)

16 (6,0)

610 (94,7)

34 (5,3)

Faktor klinis

Hasil pemeriksaan dahak

Negatif

Positif

Tidak dikerjakan

121 (32,0)

251 (66,4)

6 (1,6)

95 (35,7)

169 (63,5)

2 (0,8)

216 (33,5)

420 (65,2)

8 (1,2)

Jenis infeksi TB

TB ekstra paru

TB paru

29 (7,7)

349 (92,3)

24 (9,0)

242 (91,0)

53 (8,2)

591 (91,8)

Status HIV

Negatif

Positif

Tidak diketahui

116 (30,7)

5 (1,3)

257 (68,4)

81 (30,5)

3 (1,1)

182 (68,4)

197 (30,6)

8 (1,2)

439 (68,2)

Faktor program

Hubungan pasien dengan PMO

Keluarga 363 (96,0) 247 (92,9) 610 (94,7)

Keluarga dan nakes 0 (0,0) 1 (0,4) 1 (0,2)

Nakes 5 (1,3) 11 (4,1) 16 (2,5)

Lainnya 6 (1,6) 3 (1,1) 9 (1,4)

Tidak memiliki PMO 4 (1,1) 4 (1,5) 8 (1,2)

Jenis puskesmas

PRM

Satelit

80 (21,2)

298 (78,8)

70 (26,3)

196 (73,7)

150 (23,3)

494 (76,7)

5.3 Karakteristik Ketidakteraturan Minum Obat

Selama periode pengamatan seorang pasien TB dapat mengalami lebih

dari satu kali ketidakteraturan minum obat dan hal tersebut dapat terjadi pada fase

yang sama maupun fase yang berbeda. Selain pasien yang tidak teratur dan teratur

minum obat, terdapat pula pasien yang pindah, meninggal, dan default (putus

Page 79: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

63

obat). Berikut kondisi pasien dan karakteristik ketidakteraturan selama periode

pengamatan ditampilkan pada Tabel 5.3.

Tabel 5.3

Karakteristik Ketidakteraturan dan Kondisi Pasien Selama Pengamatan

Karakteristik Ketidakteraturan dan Kondisi

Pasien

Frekuensi (N=644)

n (%)

Frekuensi (N=644)

n (%)

Kondisi ketidakteraturan

Teratur minum obat 234 (36,3)

Tidak teratur minum obat 378 (58,7)

Kondisi pasien pada akhir pengamatan

Pindah 25 (3,9)

Default (putus obat) 10 (1,6)

Meninggal 14 (2,2)

Karakteristik ketidakteraturan

Ketidakteraturan berdasarkan fase pengobatan

Fase intensif 78 (12,1) 100 (15,5)

Peralihan ke fase sisipan 21 (3,3) 21 (3,3)

Fase sisipan 4 (0,6) 4 (0,6)

Peralihan ke fase lanjutan 304 (47,2) 304 (47,2)

Fase lanjutan 68 (10,6) 106 (16,5)

Total hari tidak datang mengambil obat (hari)

Peralihan ke fase sisipan: median (IQR) 3 (2-6)

Interval 1-21

Peralihan ke fase lanjutan : median (IQR) 2 (1-3)

Interval 1-56

Kumulatif hari ketidakteraturan: median (IQR) 2 (1-5)

Interval 1-99

Kondisi pasien TB selama periode pengamatan adalah 36,3% pasien

teratur minum obat, 3,9% pasien pindah tempat pengobatan, 1,6% pasien

mengalami default, dan 2,2% pasien meninggal dunia. Sementara proporsi

ketidakteraturan terbanyak berdasarkan orang maupun kejadian yaitu pada

peralihan ke fase lanjutan dengan proporsi 47,2%. Median total hari

ketidakteraturan pada periode peralihan ke fase sisipan sebesar 3 (IQR: 2-6)

dengan interval 1-21 hari sedangkan untuk periode peralihan ke fase lanjutan

Page 80: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

64

sebesar 2 (IQR: 1-3) dengan interval 1-56 hari. Median total kumulatif

ketidakteraturan minum obat yaitu 2 (IQR: 1-5) dan interval 1-99 hari.

Grafik Kaplan Meier ditampilkan untuk menggambarkan ketidakteraturan

minum obat TB dengan memperhitungkan kejadian ketidakteraturan berulang

pada setiap pasien.

Gambar 5.2

Grafik Pengamatan Pasien TB

Dari 644 data pasien TB yang dianalisis untuk mengetahui jumlah

kejadian ketidakteraturan pengobatan dilakukan analisis repeated event.

Berdasarkan grafik Kaplan Meier di atas diperoleh median time pengamatan yang

tercapai pada hari ke-61(IQR: 56-215) dengan insiden rate ketidakteraturan

minum obat di Puskesmas Kota Denpasar sebesar 5,1 per 1.000 orang hari. Pada

gambar 5.3 ditampilkan grafik Kaplan Meier berdasarkan ketidakteraturan minum

obat.

median time ketidakteraturan = 61 days

0.0

00.2

50.5

00.7

51.0

0

644 594 39 0 Number at risk

0 100 200 300days

Pro

pors

i Tid

ak

Men

ga

lam

i Ketid

akt

era

tura

n

Page 81: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

65

Gambar 5.3

Grafik Waktu Kejadian Ketidakteraturan Minum Obat

Berdasarkan Gambar 5.3, diketahui 50% ketidakteraturan tercapai pada

hari ke-56 di mana hari tersebut merupakan peralihan dari fase intensif ke fase

lanjutan maupun peralihan dari fase intensif ke fase sisipan. Median waktu

ketidakteraturan minum obat yaitu 56 (IQR: 56-57) hari.

Pada Gambar 5.4 dapat dilihat median time ketidakteraturan minum obat

antara puskesmas dengan durasi pemberian obat pada fase intensif sebesar ≤ 1

minggu yaitu pada hari ke-66 (IQR:56-215) dan durasi pemberian obat sebesar ≤

2 minggu pada hari ke-57 (IQR: 56-192).

50% ketidakteraturan terjadi pada hari ke-56

0.0

00.2

50.5

00.7

51.0

0

378 48 5 0status = interruption266 546 34 0status = no interruption

Number at risk

0 100 200 300days

status = teratur status = ketidakteraturan

Pro

pors

i tid

ak m

en

ga

lam

i ketid

akte

ratu

ran

Page 82: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

66

Gambar 5.4

Grafik Kaplan Meier Ketidakteraturan Minum Obat Berdasarkan Durasi

Pemberian Obat Fase Intensif

Grafik di atas menunjukkan bahwa penerapan durasi pemberian obat fase

intensif untuk jangka waktu ≤ 2 minggu cenderung lebih cepat untuk mengalami

ketidakteraturan minum obat dibandingkan dengan pemberian obat untuk jangka

waktu ≤ 1 minggu. Insiden rate ketidakteraturan minum obat pada durasi

maksimal pemberian obat fase intensif ≤ 2 minggu lebih besar dibandingkan

dengan durasi maksimal pemberian obat ≤ 1 minggu dengan insiden rate masing-

masin adalah 6,7 per 1.000 orang hari dan 4,6 per 1.000 orang hari.

5.4 Hasil Analisis Bivariat Prediktor Ketidakteraturan Minum Obat

Tuberkulosis

Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara masing-masing

faktor demografi, klinis, dan program terhadap ketidakteraturan minum obat TB.

<= 1 minggu

<= 2 minggu

0.0

00.2

50.5

00.7

51.0

0

0 100 200 300analysis time

durasi = <=1 minggu durasi = <=2 minggu

Pro

pors

i tid

ak

men

ga

lam

i ketid

akt

era

tura

n

Page 83: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

67

Pada analisis yang menggunakan Cox Proportional Hazard Regression dilihat

nilai crude HR, 95% CI, dan nilai p yang ditampilkan pada Tabel 5.4.

Tabel 5.4

Crude HR Prediktor Ketidakteraturan Minum Obat TB Berdasarkan Prediktor

Variabel Analisis Bivariat

Crude HR 95%CI p p(g)

Faktor demografi

Umur 1,00 0,99-1,00 0,94

Jenis Kelamin

Perempuan 1 (ref)

Laki-laki 1,20 1,01-1,43 0,04

Pengalaman berobat

Tidak 1 (ref)

Ya 0,93 0,61-1,39 0,71

Faktor Klinis

Hasil pemeriksaan dahak awal

Negatif 1 (ref)

Positif 1,22 1,01-1,47 0,04

Tidak dikerjakan 1,65 0,81-3,36 0,17 0,08

Jenis infeksi TB

Ekstra paru 1 (ref)

Paru 1,16 0,83-1,62 0,38

Status HIV

Negatif 1 (ref)

Positif 1,35 0,69-2,64 0,39

Tidak diketahui 1,06 0,88-1,27 0,57 0,63

Faktor Program

Jenis puskesmas

PRM 1 (ref)

Satelit 1,10 0,90-1,35 0,34

Hubungan pasien dengan PMO

Keluarga 1 (ref)

Bukan keluarga 0,56 0,31-0,99 0,045

Tidak memiliki PMO 1,29 0,61-2,72 0,51 0,11

Durasi pemberian obat

Fase intensif

- ≤ 1minggu 1 (ref)

- ≤ 2 minggu 1,46 1,21-1,75 <0,0001

Fase lanjutan

- ≤ 1minggu 1 (ref)

- ≤ 2 minggu 1,77 1,16-2,69 0,008

- ≤ 4 minggu 1,30 0,83-2,04 0,26 0,0011

Pemberian obat peralihan setelah

intensif

- Ya 1 (ref)

- Tidak 0,87 0,72-1,05 0,14

- Tidak pernah mengalami 0,72 0,47-1,09 0,12 0,13

Page 84: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

68

Hasil analisis bivariat terhadap 11 variabel yang diukur pada awal

pengamatan yang ditampilkan dalam Tabel 5.4 menunjukkan bahwa jenis

kelamin laki-laki, hasil pemeriksaan dahak positif, PMO bukan keluarga, durasi

pemberian obat pada fase intensif (≤ 2 minggu), dan fase lanjutan (≤ 2 minggu)

berhubungan secara statistik dengan ketidakteraturan minum obat pasien TB.

Risiko ketidakteraturan minum obat pada pasien TB berjenis kelamin laki-laki

1,20 kali lebih besar dibandingkan dengan pasien perempuan (crude HR=1,20;

95% CI :1,01-1,43; p=0,04). Risiko ketidakteraturan minum obat pada pasien TB

dengan hasil pemeriksaan dahak positif 1,22 kali lebih besar dibandingkan dengan

pasien yang hasil pemeriksaan dahak negatif (crude HR=1,22; 95% CI:1,01-1,47;

p=0,04). PMO yang berasal dari bukan keluarga merupakan faktor protektif di

mana pasien dengan PMO bukan keluarga memiliki risiko 0,56 lebih rendah untuk

mengalami ketidakteraturan minum obat dibandingkan PMO yang berasal dari

keluarga (crude HR=0,56; 95% CI:0,31-0,99; p=0,045). Selain PMO, faktor

program yang berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat yaitu durasi

maksimal pemberian obat ≤ 2 minggu pada fase intensif memiliki risiko 1,46 kali

lebih besar mengalami ketidakteraturan minum obat dibandingkan dengan durasi

maksimal pemberian obat ≤ 1 minggu (crude HR=1,46; 95% CI: 1,21-1,75;

p<0,0001), durasi maksimal pemberian obat setiap ≤ 2 minggu pada fase lanjutan

memiliki risiko 1,77 kali lebih besar untuk mengalami ketidakteraturan

dibandingkan dengan maksimal pemberian obat setiap ≤1 minggu (crude

HR=1,77; 95% CI: 1,16-2,69; p=0,008).

Page 85: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

69

5.5 Hasil Analisis Multivarat Prediktor Ketidakteraturan Minum Obat

Tuberkulosis

Analisis multivariat dilakukan dengan tujuan melihat prediktor yang

secara independen mempengaruhi ketidakteraturan minum obat TB. Variabel

prediktor yang dianalisis secara multivariat adalah variabel yang memiliki nilai

p<0,20 pada analisis bivariat yaitu jenis kelamin, hasil pemeriksaan dahak, PMO,

durasi maksimal pemberian obat fase intensif, durasi maksimal pemberian obat

fase lanjutan, dan pemberian obat pada peralihan setelah fase intensif. Variabel

umur ikut dimasukkan ke dalam analisis multivariat karena dianggap

mempengaruhi ketidakteraturan minum obat TB oleh karena itu variabel yang

dianalisis multivariat yaitu jenis kelamin, PMO, hasil pemeriksaan dahak, umur,

durasi pemberian obat fase intensif, durasi pemberian obat fase lanjutan, dan

pemberian obat pada fase peralihan setelah fase intensif. Variabel umur, durasi

maksimal pemberian obat pada peralihan setelah fase intensif, hubungan pasien

dengan PMO, dan hasil pemeriksaan dahak dikeluarkan dari model dengan

metode backward. Hasil analisis multivariat model akhir yang diperoleh

ditampilkan pada tabel 5.5.

Berdasarkan analisis multivariat diperoleh prediktor ketidakteraturan

minum obat TB di Puskesmas Kota Denpasar yaitu jenis kelamin, durasi

maksimal pemberian obat fase intensif, dan durasi maksimal pemberian obat fase

lanjutan. Pasien TB dengan jenis kelamin laki-laki berisiko 1,21 kali lebih

berisiko mengalami ketidakteraturan minum obat dibandingkan dengan pasien

perempuan (AHR=1,21; 95%CI:1,02-1,44, p=0,03). Durasi maksimal pemberian

obat setiap ≤ 2 minggu pada fase intensif memiliki risiko 1,55 kali lebih besar

Page 86: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

70

untuk mengalami ketidakteraturan minum obat dibandingkan durasi pemberian

maksimal obat ≤ 1 minggu (AHR=1,55; 95% CI:1,28-1,87; p<0,0001). Durasi

maksimal pemberian obat setiap ≤ 2 minggu pada fase lanjutan memiliki risiko

1,62 kali lebih besar untuk mengalami ketidakteraturan minum obat dibandingkan

durasi maksimal pemberian obat ≤ 1 minggu (AHR=1,62; 95% CI:1,06-2,47;

p=0,026).

Tabel 5.5

Adjusted HR Prediktor Ketidakteraturan Minum Obat TB

di Puskesmas Kota Denpasar

Variabel AHR 95% CI p p(group)

Jenis Kelamin

Perempuan 1 (ref)

Laki-laki 1,21 1,02-1,44 0,03

Durasi maksimal pemberian

obat pada fase intensif

≤ 1minggu 1 (ref)

≤ 2 minggu 1,55 1,28-1,87 < 0,0001

Durasi maksimal pemberian

obat pada fase lanjutan

≤ 1minggu 1 (ref)

≤ 2 minggu 1,62 1,06-2,47 0,026

≤ 4 minggu 1,07 0,67-1,70 0,77 0,0002

Page 87: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

71

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Besaran Masalah Ketidakteraturan Minum Obat

Insiden rate ketidakteraturan minum obat TB menggunakan analisis

repeated event sebesar 5,1 per 1.000 orang hari dengan memperhitungkan pasien

yang mengalami lebih dari sekali ketidakteraturan selama masa pengobatan.

Temuan insiden rate ketidakteraturan minum obat TB pada penelitian lainnya

tidak ditemukan namun beberapa temuan dalam penelitian lainnya menampilkan

dalam bentuk proporsi.

Selama pengamatan dalam periode pengobatan TB, sebanyak 58,7%

pasien mengalami ketidakteraturan minum obat. Hasil ini lebih tinggi

dibandingkan penelitian lainnya yang dilakukan di Binjai (33,7%), Puskesmas

Depok (33%), Pekalongan (39,2%), dan di negara lain seperti Nigeria (19%)

(Simamoro, 2004; Ibrahim et al., 2014; Raharno, 2005; Senewe, 2002). Sementara

temuan ini lebih rendah dibandingkan penelitian di Puskesmas Pekan Labuhan

yang menemukan pasien yang kurang patuh dan tidak patuh sebesar 86,9%

(Zuliana, 2010).

Pada penelitian ini ditemukan bahwa pasien TB berpotensi mengalami

ketidakteraturan minum obat TB pada semua fase pengobatan. Ketidakteraturan

minum obat pada fase intensif ditemukan sebesar 12,1% dan fase lanjutan sebesar

10,6%. Temuan ini lebih rendah dibandingkan penelitian di Rusia

(ketidakteraturan selama 2-8 minggu) dan di Pekan Labuhan (ketidakpatuhan

pasien dalam menelan obat dan memeriksakan dahak sesuai jadwal)

Page 88: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

72

(Oblast, 2001; Zuliana, 2010). Hasil lain yang diperoleh pada penelitian ini yaitu

proporsi ketidakteraturan minum obat terbesar baik berdasarkan orang maupun

kejadian terjadi pada periode peralihan ke fase lanjutan dengan proporsi 47,2%.

Sebanyak 50% kejadian ketidakteraturan minum obat tercapai pada hari ke- 56 di

mana hari tersebut merupakan hari peralihan ke fase lanjutan terutama untuk

pasien yang berhasil mengalami konversi maupun fase peralihan ke fase sisipan.

Hasil ini sesuai dengan penelitian di India yang menemukan kebanyakan

ketidakteraturan minum obat terjadi antara bulan kedua dan ketiga masa

pengobatan yang bertepatan dengan perbaikan kondisi klinis pasien (Gupta et al.,

2011).

Berdasarkan hasil wawancara dengan pemegang Program TB di Dinas

Kesehatan dan beberapa Puskesmas Kota Denpasar maka beberapa kemungkinan

yang menyebabkan tingginya ketidakteraturan minum obat pada periode waktu

tersebut tersebut bersumber dari pasien, pemeriksaan laboratorium, dan kebijakan

petugas. Masalah yang muncul dari sisi pasien yaitu terdapat pasien yang tidak

datang untuk menyerahkan dahak sesuai waktu yang ditentukan oleh petugas TB

(1 minggu sebelum fase intensif berakhir). Alasan pasien tidak datang kembali ke

puskesmas pada akhir fase intensif dikarenakan perbaikan kondisi klinis (pasien

merasa sehat) di mana pasien cenderung mengalami peningkatan berat badan,

tidak mengalami batuk, dan mengalami kesulitan dalam mengeluarkan dahak.

Bagi pasien yang terlambat menyerahkan dahak dilakukan pelacakan ke rumah

oleh petugas PPTI dan pemegang program dengan tujuan pengambilan dahak dan

menanyakan alasan tidak datang ke puskesmas. Pada kegiatan pelacakan yang

Page 89: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

73

sering menjadi masalah yaitu pasien bersangkutan tidak ditemui saat kunjungan

atau alamat yang diberikan pasien bukan merupakan alamat tempat tinggal

sebenarnya. Selain itu perilaku ketidakteraturan minum obat pasien berdasarkan

penelitian di Nigeria, India, dan Pekan Labuhan dapat disebabkan oleh kurangnya

pengetahuan pasien tentang durasi pengobatan TB dan pentingnya pengobatan TB

dengan waktu yang tepat (Ibrahim et al., 2014; Gupta et al., 2011; Zuliana, 2010).

Hanya saja dalam penelitian ini pengetahuan pasien akan durasi pengobatan TB

tidak dapat diukur karena tidak tercatat pada data sekunder. Berdasarkan hasil

wawancara, hasil pemeriksaan dahak dari pihak laboratorium (PRM) pernah

mengalami keterlambatan namun hanya berkisar 1-2 hari. Keterlambatan hasil

dahak pada umumnya terjadi karena banyaknya sediaan yang harus diperiksa oleh

puskesmas PRM namun pemegang program TB telah melakukan upaya untuk

memperoleh hasil dahak secara informal yaitu melalui pesan singkat atau telepon.

Sedangkan dari sisi petugas lebih terkait pada tindakan yang diambil petugas

dalam pemberian obat pada saat periode menunggu hasil dahak tersebut. Oleh

karena itu pada puskesmas yang menerapkan kebijakan pemberian obat dilakukan

setelah ada hasil dahak dapat menjadi salah satu pemicu pasien untuk tidak teratur

minum obat. Beberapa petugas puskesmas berpendapat bahwa pemberian obat

yang tidak sesuai dengan hasil pemeriksaan dahak yang belum diketahui berisiko

menimbulkan resistensi obat sementara beberapa petugas lain berpendapat

pemberian obat pada peralihan antar fase dilakukan untuk mencegah putus obat

dan menjaga konsistensi perjanjian di awal pengobatan yang dibuat dengan

pasien. Masalah ini secara tidak langsung dapat diatasi dengan diberlakukannya

Page 90: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

74

kesepakatan baru pada tahun 2015. Berdasarkana hasil monitoring dan evaluasi

yang diadakan pada Bulan Maret 2015 dinyatakan bahwa fase sisipan dihapuskan

dalam rangkaian pengobatan TB sebagaimana kebijakan nasional terbaru. Pada

kesepekatan baru dinyatakan bahwa pasien yang telah memasuki akhir fase

intensif dilakukan pemerikaan dahak, namun hasil pemeriksaan dahak tersebut

tidak lagi menentukan jenis obat yang diberikan (apakah sisipan atau lanjutan).

Pasien dengan hasil pemeriksaan dahak akhir fase intensif dengan hasil positif

maupun negatif akan diberikan obat fase lanjutan. Kebijakan baru ini dapat

menurunkan ketidakteraturan minum obat yang tepat terjadi pada akhir fase

intensif dikarenakan petugas tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan dahak

untuk menentukan jenis obat yang diberikan kepada pasien sehingga diharapkan

ketidakteraturan yang terjadi pada periode tersebut dapat diturunkan. Kebijakan

baru tersebut akan dapat mengurangi masalah dari sisi program namun masalah

dari sisi pasien tetap belum bisa teratasi sehingga potensi kejadian

ketidakteraturan minum obat masih ada pada periode tersebut.

Secara keseluruhan perbedaan temuan terkait ketidakteraturan minum obat

TB pada penelitian ini disebabkan oleh perbedaan definisi operasional

ketidakteraturan minum obat, perbedaan cara pengelompokan ketidakteraturan,

dan perbedaan karakteristik sampel yang digunakan. Penelitian ini menggunakan

definisi yang lebih spesifik tentang kejadian ketidakteraturan minum obat yaitu

waktu di mana pasien tidak datang mengambil obat TB sesuai jadwal dengan

interval waktu 1-56 hari serta klasifikasi ketidakteraturan minum obat dibuat lebih

spesifik sehingga proporsi ketidakteraturan minum obat lebih tersebar sedangkan

Page 91: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

75

pada penelitian lainnya cenderung mengklasifikasikan ketidakteraturan minum

obat hanya ke dalam dua fase yaitu fase intensif dan fase lanjutan.

Pada penelitian ini ditemukan potensi ketidakteraturan minum obat tidak

hanya pada fase intensif, sisipan, atau lanjutan melainkan pada peralihan antar

fase pengobatan. Secara umum total kumulatif hari ketidakteraturan selama

pengobatan TB yaitu dengan interval 1-99 hari dan median 2 hari (IQR: 1-5).

Temuan ini lebih kecil dibandingkan penelitian di Rusia yang mengklasifikasikan

berdasarkan fase pengobatan dengan total hari ketidakteraturan pada fase intensif

1-125 dan fase lanjutan 1-127 (tidak termasuk pasien yang putus obat)

(Jakubowiak et al., 2009). Hal ini menunjukkan tingkat keteraturan minum obat

TB di Puskesmas Kota Denpasar apabila dilihat dari total waktu ketidakteraturan

lebih rendah dibandingkan penelitian lainnya. Temuan lainnya adalah interval

total waktu ketidakteraturan pada fase peralihan yaitu 1-21 hari yang lebih kecil

dibandingkan ketidakteraturan yang terjadi pada peralihan ke fase lanjutan yaitu

1-56 hari. Apabila dilihat dari median hari ketidakteraturan pada peralihan ke fase

sisipan (median 3 hari, IQR:2-6) lebih besar dibandingkan dengan peralihan ke

fase lanjutan (median 2 hari, IQR:1-3). Penelitian lainnya belum ada yang

meneliti tentang ketidakteraturan pada peralihan antar fase. Ketidakteraturan yang

ditemukan pada peralihan antar fase pada penelitian ini perlu mendapatakan

perhatian karena terdapat penelitian lainnya di Rusia yang menemukan bahwa

semakin banyak total hari ketidakteraturan minum obat maka semakin

meningkatkan kemungkinan pasien mengalami default (putus obat) (Jakubowiak

et al., 2009). Berdasarkan hal tersebut dengan mengevaluasi ketidakteraturan

Page 92: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

76

minum obat pasien TB secara berkala maka petugas pemegang program dapat

memperkirakan pasien-pasien yang berpotensi untuk default (putus obat) sehingga

segera dapat dilakukan upaya untuk meredam kejadian tersebut.

6.2 Prediktor Ketidakteraturan Minum Obat

Hasil analisis data menunjukkan bahwa prediktor ketidakteraturan minum

obat TB di Puskesmas Kota Denpasar adalah jenis kelamin laki-laki, durasi

maksimal pemberian obat ≤ 2 minggu pada fase intensif, dan durasi maksimal

pemberian obat ≤ 2 minggu pada fase lanjutan. Pasien TB laki-laki memiliki

risiko lebih tinggi untuk mengalami ketidakteraturan minum obat. Temuan ini

sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Rusia, Afrika Selatan, India, dan

Nigeria yang menyatakan laki-laki lebih berisiko mengalami ketidakteraturan

minum obat dibandingkan wanita (Ahmad dan Velhal, 2014; Belilovsky et al.,

2010; Connolly et al., 1999; Ibrahim et al., 2014). Penelitian lainnya menyatakan

perilaku pencarian pengobatan DOTS dan kepatuhan pada pasien laki-laki lebih

rendah dibandingkan dengan pasien wanita (Wu et.al., 2009). Penelitian lainnya

mengaitkan peranan jenis kelamin laki-laki terhadap ketidakteraturan minum obat

TB karena laki-laki cenderung memiliki perilaku berisiko seperti mengonsumsi

alkohol dan merokok dibandingkan dengan pasien wanita (Belilovsky et al., 2010

dan Ibrahim et al., 2014). Pada penelitian ini informasi mengenai kebiasaan

merokok dan konsumsi alkohol pasien TB tidak dapat diperoleh akibat

ketidaktersediaan data terkait kebiasaan/perilaku berisiko pasien.

Analisis multivariat menunjukkan durasi maksimal pemberian obat pada

fase intensif maupun fase lanjutan merupakan prediktor ketidakteraturan minum

Page 93: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

77

obat TB di Puskesmas Kota Denpasar. Pasien yang dirawat di puskesmas yang

menerapkan durasi maksimal pemberian obat ≤ 2 minggu pada fase intensif lebih

berisiko mengalami ketidakteraturan minum obat dibandingkan dengan

puskesmas yang menerapkan durasi maksimal pemberian obat ≤ 1 minggu. Hal

yang sama juga ditunjukkan pada durasi maksimal pemberian obat ≤ 2 minggu

pada fase lanjutan lebih berisiko mengalami ketidakteraturan minum obat

dibandingkan durasi maksimal pemberian obat ≤ 1 minggu. Hasil ini

menunjukkan bahwa pasien yang lebih jarang kontak dengan klinik cenderung

mengalami ketidakteraturan minum obat yang terlihat dari informasi pada Grafik

Kaplan Meier ketidakteraturan minum obat berdasarkan durasi maksimal

pemberian obat fase intensif. Pada durasi maksimal pemberian obat ≤ 2 minggu

pasien lebih cepat mengalami ketidakteraturan minum obat dibandingkan dengan

durasi maksimal pemberian obat ≤ 1 minggu. Temuan ini belum dapat

dibandingkan karena belum ditemukan penelitian yang melihat peran durasi

pemberian obat TB kepada pasien terhadap ketidakteraturan minum obat. Temuan

pada penelitian ini penting untuk penyusunan standar manajemn pengobatan yang

tepat untuk mengurangi kejadian ketidakteraturan minum obat pada pasien TB.

Hasil analisis yang tidak signifikan ditemukan antara variabel umur

dengan ketidakteraturan minum obat. Beberapa penelitian lainnya juga

menunjukkan hasil yang tidak konsisten terkait peran umur terhadap

ketidakteraturan minum obat. Penelitian yang dilakukan di India dan Rusia yang

cenderung menunjukkan bahwa pasien dengan umur yang lebih tua lebih berisiko

mengalami ketidakteraturan minum obat (Ahmad dan Velhal, 2014; Belilovsky et

Page 94: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

78

al., 2010). Sementara hasil berbeda ditemukan oleh Ibrahim et al. (2014)

menemukan tidak ada hubungan signifikan antara kelompok umur > 35 tahun

terhadap ketidakteraturan minum obat.

Analisis terhadap variabel hubungan pasien dengan PMO dengan

ketidakteraturan minum obat tidak menunjukkan hubungan yang signifikan pada

analisis multivariat. Hasil ini sesuai dengan penelitian oleh Ubaidillah (2001)

yang menemukan bahwa PMO yang merupakan anggota keluarga penderita

merupakan faktor protektif ketidakteraturan minum obat TB namun tidak terbukti

secara statistik. Meskipun penelitian ini menggunakan cohort pengobatan pasien

TB, namun data variabel PMO diambil pada awal pengamatan. Hal ini yang

menyebabkan perilaku dan peran PMO yang sangat berpeluang untuk berubah

seiring berjalannya pengobatan TB tidak dapat diukur dalam penelitian ini secara

longitudinal. Penelitian di Surakarta (2010) yang menemukan bahwa kinerja PMO

yang baik berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat pasien TB juga

merupakan penelitian cross-sectional yang juga belum dapat menggambarkan

peran PMO sesungguhnya terhadap ketidakteraturan minum obat TB.

Hasil tidak signifikan juga ditemukan antara variabel pengalaman berobat

pasien dengan ketidakteraturan minum obat TB, di mana pasien dengan status

pindahan digolongkan ke dalam kategori memiliki pengalaman berobat TB.

Secara deskriptif temuan pada penelitian ini sesuai dengan Kandel, et.al.(2014)

yang menemukan proporsi ketidakteraturan minum obat tertinggi pada pasien

baru hanya saja berdasarkan analisis bivariat maupun multivariat pengalaman

berobat pasien tidak terbukti sebagai prediktor ketidakteraturan minum obat.

Page 95: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

79

Sedangkan beberapa penelitian lainnya yang menemukan pasien dengan riwayat

pengobatan sebelumnya berisiko mengalami ketidakteraturan (Belilovsky et al.,

2010; Ubaidillah, 2001). Perbedaan temuan ini disebabkan oleh perbedaan

karakteristik sampel penelitian. Pada penelitian lainnya pasien dengan pengobatan

kategori 2 (pasien gagal, kambuh, dan putus obat) dimasukkan dalam analisis

sedangkan pada penelitian ini hanya menggunakan pasien dengan kategori 1

dengan statuas pasien baru dan pindahan. Di Kota Denpasar program pengobatan

TB di puskesmas tidak melakukan pengobatan untuk pasien di luar wilayah

sehingga apabila ada pasien luar wilayah kerja yang terjaring maka akan segera

dirujuk ke puskesmas tempat tinggal/domisili masing-masing. Hal ini

menyebabkan tidak ada perbedaan pengalaman berobat yang berarti antara pasien

baru dengan pindahan.

Jenis infeksi TB tidak ditemukan berperan signifikan terhadap

ketidakteraturan minum obat. Beberapa penelitian lainnya juga menunjukkan hasil

yang tidak konsisten di mana penelitian di Rwanda menemukan tidak ada

perbedaan kepatuhan minum obat pasien TB dan penelitian di Rusia yang

menemukan bahwa TB paru pada analisis bivariat faktor risiko ketidakteraturan

minum obat namun tidak terbukti dalam analisis multivariate (Belilovsky et al.,

2010). Demikian pula pada variabel hasil pemeriksaan dahak yang tidak

signifikan berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat pada analisis

multivariate di mana penelitian lainnya tidak meneliti keterkaitan variabel ini

terhadap ketidakteraturan minum obat.

Page 96: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

80

Hasil analisis variabel status HIV dengan ketidakteraturan minum obat

tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Temuan ini sesuai dengan penelitian

yang dilakukan oleh Kayigamba et al. (2013) namun berlawanan dengan

penelitian oleh Connolly et.al (1999). Dapat disimpulkan bahwa peran status HIV

terhadap ketidakteraturan minum obat belum konsisten.

Faktor program lainnya yang juga ditemukan tidak signifikan berhubungan

dengan ketidakteraturan minum obat yaitu jenis puskesmas dan pemberian obat

pada peralihan setelah fase intensif berakhir. Pada penelitian ini jenis puskesmas

dibedakan menjadi puskesmas PRM yaitu puskesmas yang mampu melakukan

pembacaan pemeriksaan dahak dan puskesmas satelit yang merujuk sediaan dahak

kepada puskesmas PRM. Pasien-pasien di puskesmas PRM diharapkan memiliki

ketidakteraturan yang lebih rendah karena hasil pemeriksaan dahak dapat

berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan puskesmas satelit, namun dengan

analisis bivariat ditemukan tidak ada perbedaan antara puskesmas PRM dan

satelit. Hasil ini belum bisa dibandingkan karena pada penelitian lainnya belum

ada yang meneliti tentang jenis puskesmas seperti pada penelitian ini. Demikian

pula untuk durasi pemberian obat pada fase peralihan setelah fase intensif

berakhir ditemukan tidak berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat.

Penelitian terkait hal tersebut belum ditemukan sehingga hasil tersebut belum

dapat dibandingkan.

6.3 Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam penelitian ini dibagi ke dalam validitas internal dan

validitas eksternal. Kelemahan yang berkaitan dengan validitas internal mencakup

Page 97: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

81

beberapa hal yaitu: 1) keterbatasan variabel prediktor ketidakteraturan minum

obat pada data sekunder yang berkaitan dengan status sosial ekonomi (pendidikan,

pekerjaan, status pernikahan), jarak rumah dengan puskesmas, perilaku berisiko

pasien TB, faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku pasien, dan

alasan ketidakteraturan pasien minum obat; 2) kesalahan dan ketidaklengkapan

pencatatan data sekunder; 3) metode analisis repeated event yang digunakan pada

penelitian sebelumnya hanya ditemukan untuk outcome yang berupa kejadian

suatu penyakit bukan perilaku. Kelemahan yang berkaitan dengan validitas

eksternal yaitu penelitian ini hanya dilakukan di semua puskesmas di satu kota

sehingga hasil belum bisa digeneralisasi ke populasi yang lebih luas terutama

untuk pasien TB di rumah sakit yang memiliki karakteristik dan kondisi program

yang berbeda.

Page 98: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

82

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Setelah dilakukan penelitian tentang ketidakteraturan minum obat TB di

seluruh puskesmas Kota Denpasar maka diperoleh beberapa simpulan sebagai

berikut.

1. Angka insiden ketidakteraturan minum obat 5,1 per 1.000 orang hari dengan

median waktu pengamatan yaitu 61 hari (IQR:56-215) dan 50% kejadian

ketidakteraturan tercapai pada hari ke-56, serta median total kumulatif hari

ketidakteraturan minum obat yaitu yaitu 2 hari (IQR:1-5) dengan interval 1-

99 hari.

2. Berdasarkan penelitian tentang prediktor ketidakteraturan minum obat TB

dapat disimpulkan tiga variabel yang terbukti berhubungan dengan

ketidakteraturan minum obat secara statistik yaitu jenis kelamin, durasi

maksimal pemberian obat pada fase intensif, dan durasi maksimal pemberian

obat pada fase lanjutan. Jenis kelamin laki-laki memiliki risiko lebih tinggi

untuk mengalami ketidakteraturan minum obat dibandingkan dengan wanita.

Durasi maksimal obat pada fase intensif selama ≤ 2 minggu memiliki risiko

yang lebih tinggi untuk mengalami ketidakteraturan minum obat TB

dibandingkan durasi maksimal pemberian obat selama ≤ 1 minggu. Durasi

maksimal pemberian obat pada fase lanjutan selama ≤ 2 minggu memiliki

risiko yang lebih tinggi untuk mengalami ketidakteraturan minum obat TB

dibandingkan durasi maksimal pemberian obat ≤ 1 minggu.

Page 99: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

83

3. Untuk variabel umur, pengalaman berobat pasien, hasil pemeriksaan dahak,

jenis infeksi TB,status HIV, jenis puskesmas, pengawas minum obat, dan

pemberian obat pada peralihan setelah fase intensif tidak terbukti secara

statistik berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat TB.

7.2 Saran

Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil analisis data yaitu sebagai

berikut.

1. Terkait tatalaksana pengobatan TB disarankan untuk penyusunan SOP di

masing-masing puskesmas terkait kebijakan baru yang meniadakan fase

sisipan dalam rangkaian pengobatan TB. Selain itu tentang durasi maksimal

pemberian obat disarankan ≤ 1 minggu dalam upaya untuk mengurangi

ketidakteraturan minum obat. Selain itu petugas TB maupun dokter disarankan

untuk meningkatkan pemberian informasi mengenai perubahan kondisi yang

akan dialami pasien selama pengobatan dan mempertegas informasi mengenai

waktu pengobatan TB yang benar serta memberikan konseling kepatuhan

secara intensif kepada pasien dengan jenis kelamin laki-laki yang cenderung

mengalami ketidakteraturan minum obat.

2. Terkait data pengobatan pasien perlu dilakukan perbaikan pencatatan dan

penambahan informasi tentang sosial ekonomi (pendidikan, pekerjaan, status

pernikahan), jarak rumah dengan puskesmas, perilaku berisiko pasien TB, dan

alasan ketidakteraturan pasien minum obat.

Page 100: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

84

3. Untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan pengamatan terhadap faktor-

faktor yang berhubungan dengan perilaku ketidakteraturan minum obat pasien

TB dan pengukuran kinerja PMO secara longitudinal.

Page 101: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

85

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, S. R., & Velhal, G. D. 2014. Study of Treatment Interruption of New

Sputum Smear Positive TB Cases Under DOTS Strategy. International

Journal of Medical Science and Public Health, 3(8).

Astuti, N. K. 2010. Hubungan Keteraturan Berobat dengan Konversi Dahak

Penderita TB Paru Kasus Baru Setelah Pengobatan Fase Intensif.

Universitas Sebelas Maret.

Bappenas. 2012. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di

Indonesia 2011.

Belilovsky, E. M., Borisov, S. E., Cook, E. F., Shaykevich, S., Jakubowiak, W.

M., & Kourbatova, E. V. 2010. Treatment interruptions among patients with

tuberculosis in Russian TB hospitals. International Journal of Infectious

Diseases, 14(8), e698–703. doi:10.1016/j.ijid.2010.03.001

CDC. 2014. Tuberculosis ( TB ): Basic TB Facts. Retrieved October 31, 2014,

from http://www.cdc.gov/tb/topic/basics/default/html

Connolly, C., Davies, G., & Wilkinson, D. 1999. Who fails to complete

tuberculosis treatment? Temporal trends and risk factors for treatment

interruption in a community-based directly observed therapy programme in a

rural district of South Africa. Journal Tuberculosis Lung Disease, 3(12).

Dinkes Provinsi Bali. 2013. Profil Kesehatan Provinsi Bali Tahun 2012.

Denpasar.

Gupta, S., Gupta, S., & Behera, D. 2011. Reasons for interruption of anti-

tubercular treatment as reported by patients with tuberculosis admitted in a

tertiary care institute. The Indian Journal of Tuberculosis, 58(1), 11–7.

Retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21434551

Hapsari, J. R. 2010. Hubungan Kinerja Pengawas Minum Obat (PMO) dengan

Keteraturan Berobat pasien TB Paru Strategi DOTS di RSUD dr. Moewardi

Surakarta. Universitas Sebelas Maret.

Ibrahim, L. M., Hadejia, I. S., Nguku, P., Dankoli, R., Waziri, N. E., Akhimien,

M. O., … Nsubuga, P. 2014. Factors associated with interruption of

treatment among Pulmonary Tuberculosis patients in Plateau State, Nigeria.

2011. The Pan African Medical Journal, 17, 78.

doi:10.11604/pamj.2014.17.78.3464

Page 102: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

86

Jakubowiak, W., Bogorodskaya, E., Borisov, S., Danilova, I., & Kourbatova, E.

2009. Treatment interruptions and duration associated with default among

new patients with tuberculosis in six regions of Russia. International Journal

of Infectious Diseases : IJID : Official Publication of the International

Society for Infectious Diseases, 13(3), 362–8. doi:10.1016/j.ijid.2008.07.015

Kandel, T., Mfenyana, K., Chandia, J., & Yogeswaran, P. 2014. The prevalence of

and reasons for interruption of anti-tuberculosis treatment by patients at

Mbekweni Health Centre in the King Sabata Dalindyebo (KSD) District in

the Eastern Cape province. South African Family Practice, 50(6), 47–47c.

doi:10.1080/20786204.2008.10873785

Kayigamba, F. R., Bakker, M. I., Mugisha, V., De Naeyer, L., Gasana, M.,

Cobelens, F., & van der Loeff, M. S. 2013. Adherence to tuberculosis

treatment, sputum smear conversion and mortality: a retrospective cohort

study in 48 Rwandan clinics. PloS One, 8(9), e73501.

doi:10.1371/journal.pone.0073501

Kemenkes Republik Indonesia. 2013. Profil Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta:

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kemenkes RI. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta:

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kleinbaum, D. G., & Klein, M. 2005. Survival Analysis : A Self-Learning Text.

(M. Gail, K. Krickeberg, J. Samet, A. Tsiatis, & W. Wong, Eds.) (Secod

Edit.). USA: Springer.

Notoatmodjo, S. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka

Cipta.

Oblast, I. 2001. Tuberculosis Treatment Interruptions. MMWR, 50(11), 16–18.

Raharno, T. 2005. Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Ketidakteraturan

Berobat Penderita TB Paru di Instalasi Rawat Jalan BP. RSUD Kraton

Kabupaten Pekalongan.

Rahmansyah, A. 2012. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Drop Out (DO)

pada Penderita TB Paru di Rumah Sakit Paru Palembang Tahun 2010.

Indonesia University.

Sardar, P., Jha, A., Roy, D., Roy, S., Guha, P., & Bandyopadhyaya, D. 2010.

Intensive Phase Non-compliance to Anti Tubercular Tretment in Patients

with HIV-TB Coinfection: A Hospital-based Cross-sectional Study. Journal

of Community Health, 35(5), 471–478.

Page 103: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

87

Senewe, F. P. 2002. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Berobat

Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Depok. Buletin Penelitian

Kesehatan, 30(1), 32–38.

Simamoro, J. 2004. Faktor yang Mempengaruhi Ketidakteraturan Penderita TB

Paru di Puskesmas Kota Binjai Tahun 2004. Universitas Sumatera Utara.

SR, D. S., Nurlaela, S., & A, I. Z. 2012. Risk Factors of Multidrug Resistant

Tuberculosis (MDR-TB). Jurnal Kesehatan Masyarakat, 8(1), 60–66.

TB Fact.org. 2014. TB Treatment. Retrieved October 30, 2014, from

http://www/tbfacts.org/tb-treatment.html

TB Facts.org. 2014. TB Drugs | First line , second line & new TB drugs.

Retrieved November 03, 2014, from http://www.tbfacts.org/tb-drugs.html

Ubaidillah. 2001. Faktor yang Mempengaruhi Ketidakteraturan Berobat

Penderita TB Paru di Kabupaten Lahay Provinsi Sumatera Selatan : Analisis

Data Sekunder. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Retrieved from http://eprints.lib.ui.ac.id/7443/1/72891-T9551-Faktor yang-

TOC.pdf

Utama, G. A. 2013. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Motivasi Berobat Penderita

Tuberkulosis di Kota Pekalongan Tahun 2012. WIDYA, 1(2).

WHO. 2013. Global Tuberculosis Report 2013.

WHO. 2014. Global Tuberculosis Report 2014. France.

Wu, P.-S., Chou, P., Chang, N.-T., Sun, W.-J., & Kuo, H.-S. 2009. Assessment of

Changes in Knowledge and Stigmatization Following Tuberculosis Training

Workshop in Taiwan. Elsevier and Formosan Medical Association, 108(5),

377–385.

Zuliana, I. 2010. The Effect of Individual Characteristic, Health Services Factor,

and Treatment Support of The Patients TB Compliance in Work Area of

Pekan Labuhan’s Primary Health Centre in Medan on 2009. Universitas

Sumatera Utara.

Page 104: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

88

LAMPIRAN

Page 105: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

89

Lampiran 1

TABEL EKSTRAKSI DATA

No. Tahun No.

Registrasi

Puskesmas Jenis

Puskesmas

Jenis

Kelamin

Umur Hubungan

dengan

PMO

Pengalaman

Berobat

Pasien

Jenis

Infeksi

TB

Jenis

Rejimen

Page 106: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

90

Hasil

Pemeriksaan

Lab Awal

Hasil Lab

HIV

Tannggal

Mulai

Pengobatan

Tanggal

Ketidakteraturan

Fase Terjadinya

Ketidakteraturan

Page 107: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

91

Lampiran 2

PENJELASAN KEPADA PEMEGANG PROGRAM PENGENDALIAN

TUBERKULOSIS DI PUSKESMAS KOTA DENPASAR

“Prediktor Ketidakteraturan Minum Obat Tuberkulosis (TB)

di Puskesmas Kota Denpasar Tahun 2011-2012”

Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit menular langsung yang

disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Salah satu upaya yang

dilakukan dalam pengendalian munculnya kasus TB yaitu pngobatan TB. Secara

umum tujuan pengobatan Tuberkulosis (TB) antara lain: 1) penyembuhan pasien serta

mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas, pencegahan kematian, pencegahan

kekambuhan, pemutusan rantai penularan, serta pencegahan timbulnya resistensi

kuman terhadap obat anti tuberkulosis (OAT) dan penularannya (Kemenkes RI, 2011;

TB Fact.org, 2014).

DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse chemotherapy)

merupakan strategi yang ditetapkan oleh WHO dan diterapkan untuk pengobatan TB di

Indonesia. Mencegah putus berobat dan resistensi kuman akibat ketidakpatuhan

menjadi beberapa tujuan diterapkannya strategi DOTS. Pengobatan TB terdiri dari fase

intensif dengan lama pengobatan 2-3 bulan dan fase lanjutan dengan lama pengobatan

4 bulan. Obat TB seharusnya diminum secara teratur selama 6-8 bulan sesuai dengan

jadwal untuk mencegah terjadinya resistensi obat TB. Untuk mengetahui faktor yang

menyebabkan ketidakteraturan minum obat pasien TB di Puskesmas Kota Denpasar

Tahun 2011-2012 dilakukan penelitian yang berbasis pada rekam medik dan

wawancara. Penelitian dengan menggunakan rekam medik pengobatan pasien TB yang

telah menyelesaikan pengobatan tidak memungkinkan peneliti untuk meminta ijin

secara langsung kepada pasien. Walaupun demikian, peneliti tetap akan melakukan

pengambilan data dengan mengedepankan aspek etik agar tidak merugikan pasien yaitu

dengan cara menuliskan nomer registrasi dan tahun pengobatan sehingga hanya dapat

diakses oleh peneliti dan orang yang relevan dalam penelitian ini. Pada kondisi pasien

yang tidak memungkinkan memberikan ijin secara langsung, pemegang program

pengendalian tuberkulosis (TB) di puskesmas dapat memberikan ijin pengambilan data

setelah mempertimbangkan bahwa studi ini tidak bertentangan dengan etik.

Page 108: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

92

Sementara untuk data yang diperoleh dengan wawancara akan diminta

persetujuan secara langsung kepada pemegang program pengendalian TB di puskesmas

selaku responden. Secara tidak langsung hal ini dapat memberikan masukan pada

peningkatan kualitas data yang dikumpulkan. Anda dapat menyimpan lembaran

penjelasan ini sebagai informasi untuk Saudara sendiri. Apabila mempunyai

pertanyaan lebih lanjut tentang penelitian ini, bisa menghubungi Putu Ika Farmani

(pada nomer 082339624610).

Page 109: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

93

FORMULIR PERSETUJUAN

Persetujuan untuk berpartisipasi pada penelitian mengenai “Prediktor

Ketidakteraturan Minum Obat Tuberkulosis (TB) di Puskesmas Kota Denpasar

Tahun 2011-2012”.

Bahwa saya telah membaca lembaran informasi yang diberikan kepada saya

(atau telah dibacakan untuk saya) dan saya telah memahami tujuan penelitian ini.

Saya mengerti bahwa data penelitian ini akan dijamin kerahasiaannya. Informasi

mengenai identitas pasien (nama lengkap pasien) akan digantikan dengan nomor

registrasi dan data akan tersimpan secara aman yang hanya bisa diakses oleh orang

yang relevan.

Saya mengerti bahwa saya berhak menolak untuk memberikan ijin dalam

penggunaan data ini setiap saat tanpa adanya sanksi atau kehilangan hak-hak saya

dan telah diberikan kesempatan untuk bertanya mengenai penelitian ini atau

mengenai peran serta saya dalam penelitian. Saya secara sukarela dan sadar bersedia

mewakili institusi dan pasien dalam penelitian ini dengan menandatangani formulir

persetujuan menjadi subyek penelitian.

Denpasar,................................2015

Peneliti

(..............................................)

Pemegang Program Pengendalian TB

Puskesmas

(..............................................)

Page 110: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

94

C. CATATAN TENTANG JALANNYA WAWANCARA :

(DIISI SETELAH WAWANCARA SELESAI

8. Wawancara berjalan tersendat-sendat 1. Ya 2. Tidak

9. Kerjasama dari responden kurang baik 1. Ya 2. Tidak

10. Wawancara terganggu karena kehadiran 1. Ya 2. Tidak

pihak ketiga

11. Daya tangkap responden terhadap pertanyaan 1. Ya 2. Tidak

kurang

12. Catatan lain yang perlu ditambahkan, 1. Ya 2. Tidak

TULIS PADA RUANG INI! ______________

___________________________________________________________

DAFTAR PERTANYAAN PENELITIAN “Prediktor Ketidakteraturan Minum Obat Tuberkulosis (TB) di Puskesmas

Kota Denpasar Tahun 2011-2012”

RESPONDEN ADALAH PEMEGANG PROGRAM PENGENDALIAN

TUBERKULOSIS (TB)

A. IDENTITAS

1. Nama responden :

2. Umur :

3. Jenis kelamin :

4. Nama puskesmas :

5. Nomor responden :

B. WAKTU WAWANCARA

6. Kunjungan ke 1 2 3

7. Tanggal

Page 111: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

95

D. INFORMASI TERKAIT PROGRAM PENGENDALIAN TB DI

PUSKESMAS

13. Berapa lama anda menjabat sebagai pemegang program P2 TB di puskesmas ini sampai

dengan tahun 2013?

__________ bulan/tahun

14. Pelatihan terkait TB apa saja yang pernah anda dapatkan sampai dengan tahun 2012?

Sebutkan:

1. ______________

2. ______________

3. ______________

4. ______________

5. ______________

6. (diisi sesuai dengan jumlah pelatihan yang diikuti)

15. Apakah selama tahun 2011-2013 anda memegang jabatan selain pemegang P2 TB?

1. Tidak

2. Ya ,jika Ya sebutkan jabatan tersebut

_____________________________

_____________________________

16. Petugas apa saja yang tergabung dalam kegiatan pengobatan TB di puskesmas anda

pada tahun 2011/2012?

1. Pemegang program TB saja

2. Pemegang program TB yang

merangkap petugas PPTI

3. Pemegang program TB dan

petugas PPTI

4. Lainnya (disebutkan )

_____________

17. Apakah selama ini anda membuat buku bantu (buku catatan selain formulir TB yang

disediakan oleh Dinas Kesehatan Kota Denpasar) dalam memberikan pengobatan TB

kepada pasien?

1. Tidak

Page 112: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

96

2. Ya

Jika Ya, informasi tambahan (informasi di luar formulir TB 01 dan 03) apa saja

yang dicatat? Sebutkan.

18. Terkait pengobatan TB, setiap berapa hari pasien diminta datang untuk mengambil obat

TB ke puskesmas?

Jawab:

1. Pemberian obat TB rutin pada fase intensif yaitu ___________ hari

2. Pemberian obat TB rutin pada fase lanjutan yaitu ___________ hari

3. Pemberian obat TB pada kondisi khusus (seperti pulang kampung/keluar kota)

yaitu ________ hari

19. Pada akhir tahap intensif pengobatan dilakukan pemeriksaan dahak pasien. Pada saat

kondisi hasil pemeriksaan dahak belum diterima sedangkan hari pengobatan pasien

pada fase intensif telah habis, apakah yang dilakukan terhadap pengobatan pasien?

Jawab:

1. Melanjutkan pemberian obat yang digunakan pada tahap sisipan

2. Memberikan obat setelah ada hasil pemeriksaan dahak pasien

3. Lainnya (sebutkan)

_________________________________________________________

20. Pada akhir fase sisipan pengobatan dilakukan pemeriksaan dahak pasien. Pada saat

kondisi hasil pemeriksaan dahak belum diterima sedangkan hari pengobatan pasien

pada fase sisipan telah habis, apakah yang dilakukan terhadap pengobatan pasien?

Jawab:

1. Melanjutkan pemberian obat yang digunakan pada fase lanjutan

2. Memberikan obat setelah ada hasil pemeriksaan dahak pasien

3. Lainnya (sebutkan)

Page 113: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

97

_________________________________________________________

21. Pada bulan ke-5 pengobatan dilakukan pemeriksaan dahak pasien. Pada saat kondisi

hasil pemeriksaan dahak belum diterima sedangkan hari pengobatan pasien pada

bulan ke-5 telah habis, apakah yang dilakukan terhadap pengobatan pasien?

Jawab:

1. Melanjutkan pemberian obat yang digunakan pada tahap ini

2. Memberikan obat setelah ada hasil pemeriksaan dahak pasien

3. Lainnya (sebutkan)

______________________________________________________

22. Apakah di puskesmas anda menyediakan pemeriksaan laboratorium berkaitan dengan

program TB?

1. Ya

Jika “Ya” sebutkan layanan laboratorium apa saja yang diberikan

________________________

2. Tidak

PERIKSA KEMBALI :

1. APAKAH SUDAH SEMUA PERTANYAAN DITANYAKAN?

2. APAKAH JAWABAN RESPONDEN SUDAH SEMUANYA DICATAT?

3. UCAPKAN TERIMA KASIH

Page 114: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

98

Lampiran 3

Analisis Univariat

swilk filter_peralihan_sisip

Shapiro-Wilk W test for normal data

Variable | Obs W V z Prob>z

-------------+--------------------------------------------------

filter_per~p | 21 0.72667 6.698 3.845 0.00006

summarize filter_peralihan_sisip

Variable | Obs Mean Std. Dev. Min Max

-------------+--------------------------------------------------------

filter_per~p | 21 4.761905 4.526641 1 21

. summarize filter_peralihan_sisip, detail

filter_peralihan_sisip

-------------------------------------------------------------

Percentiles Smallest

1% 1 1

5% 1 1

10% 1 1 Obs 21

25% 2 2 Sum of Wgt. 21

50% 3 Mean 4.761905

Largest Std. Dev. 4.526641

75% 6 7

90% 8 8 Variance 20.49048

95% 11 11 Skewness 2.379648

99% 21 21 Kurtosis 9.009812

. swilk filter_lama_peralihan_lanjutan

Shapiro-Wilk W test for normal data

Variable | Obs W V z Prob>z

-------------+--------------------------------------------------

filter_lam~n | 304 0.55717 95.459 10.708 0.00000

. summarize filter_lama_peralihan_lanjutan, detail

filter_lama_peralihan_lanjutan

-------------------------------------------------------------

Percentiles Smallest

1% 1 1

5% 1 1

10% 1 1 Obs 304

25% 1 1 Sum of Wgt. 304

50% 2 Mean 3.226974

Largest Std. Dev. 4.961681

75% 3 19

90% 7 23 Variance 24.61828

95% 12 32 Skewness 5.609542

99% 19 56 Kurtosis 49.13776

Page 115: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

99

. swilk total_missing

Shapiro-Wilk W test for normal data

Variable | Obs W V z Prob>z

-------------+--------------------------------------------------

total_miss~g | 378 0.51842 126.035 11.478 0.00000

. summarize total_missing, detail

total_missing

-------------------------------------------------------------

Percentiles Smallest

1% 1 1

5% 1 1

10% 1 1 Obs 378

25% 1 1 Sum of Wgt. 378

50% 2 Mean 5.57672

Largest Std. Dev. 10.45469

75% 5 52

90% 12 72 Variance 109.3005

95% 21 76 Skewness 4.774649

99% 52 99 Kurtosis 31.84122

. tab sex_code status, col

+-------------------+

| Key |

|-------------------|

| frequency |

| column percentage |

+-------------------+

| status

sex_code | no interr interrupt | Total

-----------+----------------------+----------

female | 119 159 | 278

| 44.74 42.06 | 43.17

-----------+----------------------+----------

male | 147 219 | 366

| 55.26 57.94 | 56.83

-----------+----------------------+----------

Total | 266 378 | 644

| 100.00 100.00 | 100.00

tab have_exp status,col

+-------------------+

| Key |

|-------------------|

| frequency |

| column percentage |

+-------------------+

| status

have_exp | no interr interrupt | Total

-----------+----------------------+----------

0 | 250 360 | 610

| 93.98 95.24 | 94.72

Page 116: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

100

-----------+----------------------+----------

1 | 16 18 | 34

| 6.02 4.76 | 5.28

-----------+----------------------+----------

Total | 266 378 | 644

| 100.00 100.00 | 100.00

. tab lab0_cod status,col

+-------------------+

| Key |

|-------------------|

| frequency |

| column percentage |

+-------------------+

| status

lab0_cod | no interr interrupt | Total

-------------+----------------------+----------

negative | 95 121 | 216

| 35.71 32.01 | 33.54

-------------+----------------------+----------

positive | 169 251 | 420

| 63.53 66.40 | 65.22

-------------+----------------------+----------

no conducted | 2 6 | 8

| 0.75 1.59 | 1.24

-------------+----------------------+----------

Total | 266 378 | 644

| 100.00 100.00 | 100.00

. tab tbinfect_cod status,col

+-------------------+

| Key |

|-------------------|

| frequency |

| column percentage |

+-------------------+

| status

tbinfect_cod | no interr interrupt | Total

---------------+----------------------+----------

extrapulmonary | 24 29 | 53

| 9.02 7.67 | 8.23

---------------+----------------------+----------

pulmonary | 242 349 | 591

| 90.98 92.33 | 91.77

---------------+----------------------+----------

Total | 266 378 | 644

| 100.00 100.00 | 100.00

. . tab treat_support status,col

+-------------------+

| Key |

|-------------------|

| frequency |

| column percentage |

+-------------------+

| status

Page 117: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

101

treat_support | no interr interrupt | Total

-----------------+----------------------+----------

famili | 247 363 | 610

| 92.86 96.03 | 94.72

-----------------+----------------------+----------

famili dan nakes | 1 0 | 1

| 0.38 0.00 | 0.16

-----------------+----------------------+----------

lainnya | 11 5 | 16

| 4.14 1.32 | 2.48

-----------------+----------------------+----------

nakes | 3 6 | 9

| 1.13 1.59 | 1.40

-----------------+----------------------+----------

tidak ada | 4 4 | 8

| 1.50 1.06 | 1.24

-----------------+----------------------+----------

Total | 266 378 | 644

| 100.00 100.00 | 100.00

. tab phctreat status,col

+-------------------+

| Key |

|-------------------|

| frequency |

| column percentage |

+-------------------+

| status

phctreat | no interr interrupt | Total

----------------------+----------------------+----------

PHC of microscopic re | 70 80 | 150

| 26.32 21.16 | 23.29

----------------------+----------------------+----------

satellite | 196 298 | 494

| 73.68 78.84 | 76.71

----------------------+----------------------+----------

Total | 266 378 | 644

| 100.00 100.00 | 100.00

stset stop, fail(status) id(id) time0(start) exit(time .)

id: id

failure event: status != 0 & status < .

obs. time interval: (start, stop]

exit on or before: time .

------------------------------------------------------------------------------

1178 total obs.

0 exclusions

------------------------------------------------------------------------------

1178 obs. remaining, representing

644 subjects

535 failures in multiple failure-per-subject data

104558 total analysis time at risk, at risk from t = 0

earliest observed entry t = 0

last observed exit t = 274

stsum

failure _d: status

analysis time _t: stop

exit on or before: time .

Page 118: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

102

id: id

| incidence no. of |------ Survival time -----|

| time at risk rate subjects 25% 50% 75%

---------+---------------------------------------------------------------------

total | 104558 .0051168 644 56 61 215

. stsum, by(status)

failure _d: status

analysis time _t: stop

exit on or before: time .

id: id

| incidence no. of |------ Survival time -----|

status | time at risk rate subjects 25% 50% 75%

---------+---------------------------------------------------------------------

no inter | 77919 0 643 . . .

interrup | 26639 .0200833 378 56 56 57

---------+---------------------------------------------------------------------

total | 104558 .0051168 644 56 61 215

. stdes

failure _d: status

analysis time _t: stop

exit on or before: time .

id: id

|-------------- per subject --------------|

Category total mean min median max

------------------------------------------------------------------------------

no. of subjects 644

no. of records 1178 1.829193 1 2 12

(first) entry time 0 0 0 0

(final) exit time 165.6227 1 167 274

subjects with gap 377

time on gap if gap 2103 3.938202 1 2 56

time at risk 104558 162.3571 1 166 265

failures 535 .8307453 0 1 11

------------------------------------------------------------------------------

sts graph, risktable

failure _d: status

analysis time _t: stop

exit on or before: time .

id: id

. sts graph, by(status)

failure _d: status

analysis time _t: stop

exit on or before: time .

id: id

sts graph, by(spacing_fase_intensif) risktable

Page 119: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

103

. stsum, by(spacing_fase_intensif)

failure _d: status

analysis time _t: stop

exit on or before: time .

id: id

| incidence no. of |------ Survival time -----|

durati~i | time at risk rate subjects 25% 50% 75%

---------+---------------------------------------------------------------------

<=1 week | 79521 .0046026 492 56 66 215

<=2 week | 25037 .00675 152 56 57 192

---------+---------------------------------------------------------------------

total | 104558 .0051168 644 56 61 215

Page 120: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

104

ANALISIS BIVARIAT

Faktor Demografi

stcox age

failure _d: status

analysis time _t: stop

exit on or before: time .

id: id

Iteration 0: log likelihood = -3350.8237

Iteration 1: log likelihood = -3350.821

Iteration 2: log likelihood = -3350.821

Refining estimates:

Iteration 0: log likelihood = -3350.821

Cox regression -- Breslow method for ties

No. of subjects = 644 Number of obs = 1178

No. of failures = 535

Time at risk = 104558

LR chi2(1) = 0.01

Log likelihood = -3350.821 Prob > chi2 = 0.9414

------------------------------------------------------------------------------

_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------

age | .9997906 .002852 -0.07 0.941 .9942163 1.005396

------------------------------------------------------------------------------

. stcox i.sex_code

failure _d: status

analysis time _t: stop

exit on or before: time .

id: id

Iteration 0: log likelihood = -3350.8237

Iteration 1: log likelihood = -3348.5923

Iteration 2: log likelihood = -3348.5918

Refining estimates:

Iteration 0: log likelihood = -3348.5918

Cox regression -- Breslow method for ties

No. of subjects = 644 Number of obs = 1178

No. of failures = 535

Time at risk = 104558

LR chi2(1) = 4.46

Log likelihood = -3348.5918 Prob > chi2 = 0.0346

------------------------------------------------------------------------------

_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------

1.sex_code | 1.204876 .1069465 2.10 0.036 1.012485 1.433825

------------------------------------------------------------------------------

. stcox i.have_exp

failure _d: status

analysis time _t: stop

exit on or before: time .

Page 121: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

105

id: id

Iteration 0: log likelihood = -3350.8237

Iteration 1: log likelihood = -3350.7529

Iteration 2: log likelihood = -3350.7529

Refining estimates:

Iteration 0: log likelihood = -3350.7529

Cox regression -- Breslow method for ties

No. of subjects = 644 Number of obs = 1178

No. of failures = 535

Time at risk = 104558

LR chi2(1) = 0.14

Log likelihood = -3350.7529 Prob > chi2 = 0.7067

------------------------------------------------------------------------------

_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------

1.have_exp | .9251857 .193454 -0.37 0.710 .614108 1.39384

Faktor Klinis

. stcox i.lab0_cod

failure _d: status

analysis time _t: stop

exit on or before: time .

id: id

Iteration 0: log likelihood = -3350.8237

Iteration 1: log likelihood = -3348.2496

Iteration 2: log likelihood = -3348.2267

Iteration 3: log likelihood = -3348.2267

Refining estimates:

Iteration 0: log likelihood = -3348.2267

Cox regression -- Breslow method for ties

No. of subjects = 644 Number of obs = 1178

No. of failures = 535

Time at risk = 104558

LR chi2(2) = 5.19

Log likelihood = -3348.2267 Prob > chi2 = 0.0745

------------------------------------------------------------------------------

_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------

lab0_cod |

1 | 1.21789 .1179293 2.04 0.042 1.007362 1.472416

2 | 1.65062 .5989438 1.38 0.167 .8105508 3.361352

------------------------------------------------------------------------------

. testparm i.lab0_cod

( 1) 1.lab0_cod = 0

( 2) 2.lab0_cod = 0

chi2( 2) = 5.18

Prob > chi2 = 0.0752

Page 122: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

106

. stcox i.tbinfect_cod

failure _d: status

analysis time _t: stop

exit on or before: time .

id: id

Iteration 0: log likelihood = -3350.8237

Iteration 1: log likelihood = -3350.428

Iteration 2: log likelihood = -3350.4266

Iteration 3: log likelihood = -3350.4266

Refining estimates:

Iteration 0: log likelihood = -3350.4266

Cox regression -- Breslow method for ties

No. of subjects = 644 Number of obs = 1178

No. of failures = 535

Time at risk = 104558

LR chi2(1) = 0.79

Log likelihood = -3350.4266 Prob > chi2 = 0.3729

------------------------------------------------------------------------------

_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------

1.tbinfect~d | 1.160527 .1980604 0.87 0.383 .8305877 1.621529

------------------------------------------------------------------------------

. stcox i.hivstat_cod

failure _d: status

analysis time _t: stop

exit on or before: time .

id: id

Iteration 0: log likelihood = -3350.8237

Iteration 1: log likelihood = -3350.394

Iteration 2: log likelihood = -3350.3884

Iteration 3: log likelihood = -3350.3884

Refining estimates:

Iteration 0: log likelihood = -3350.3884

Cox regression -- Breslow method for ties

No. of subjects = 644 Number of obs = 1178

No. of failures = 535

Time at risk = 104558

LR chi2(2) = 0.87

Log likelihood = -3350.3884 Prob > chi2 = 0.6471

------------------------------------------------------------------------------

_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------

hivstat_cod |

1 | 1.346777 .4618168 0.87 0.385 .6877245 2.637407

2 | 1.055289 .1008604 0.56 0.573 .8750173 1.272699

------------------------------------------------------------------------------

. testparm i.hivstat_cod

( 1) 1.hivstat_cod = 0

( 2) 2.hivstat_cod = 0

chi2( 2) = 0.91

Prob > chi2 = 0.6331

Page 123: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

107

Faktor Program

. stcox i.phctreat

failure _d: status

analysis time _t: stop

exit on or before: time .

id: id

Iteration 0: log likelihood = -3350.8237

Iteration 1: log likelihood = -3350.3626

Iteration 2: log likelihood = -3350.3623

Refining estimates:

Iteration 0: log likelihood = -3350.3623

Cox regression -- Breslow method for ties

No. of subjects = 644 Number of obs = 1178

No. of failures = 535

Time at risk = 104558

LR chi2(1) = 0.92

Log likelihood = -3350.3623 Prob > chi2 = 0.3367

------------------------------------------------------------------------------

_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------

1.phctreat | 1.103621 .1142801 0.95 0.341 .9009022 1.351954

------------------------------------------------------------------------------

. stcox i.treat_supportcod

failure _d: status

analysis time _t: stop

exit on or before: time .

id: id

Iteration 0: log likelihood = -3350.8237

Iteration 1: log likelihood = -3348.2751

Iteration 2: log likelihood = -3348.1589

Iteration 3: log likelihood = -3348.1585

Refining estimates:

Iteration 0: log likelihood = -3348.1585

Cox regression -- Breslow method for ties

No. of subjects = 644 Number of obs = 1178

No. of failures = 535

Time at risk = 104558

LR chi2(2) = 5.33

Log likelihood = -3348.1585 Prob > chi2 = 0.0696

----------------------------------------------------------------------------------

_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-----------------+----------------------------------------------------------------

treat_supportcod |

1 | .5572158 .1627445 -2.00 0.045 .3143513 .9877146

2 | 1.28841 .4903423 0.67 0.506 .6110891 2.716463

----------------------------------------------------------------------------------

. testparm i.treat_supportcod

( 1) 1.treat_supportcod = 0

( 2) 2.treat_supportcod = 0

Page 124: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

108

chi2( 2) = 4.50

Prob > chi2 = 0.1053

. stcox i.spacing_fase_intensif

failure _d: status

analysis time _t: stop

exit on or before: time .

id: id

Iteration 0: log likelihood = -3350.8237

Iteration 1: log likelihood = -3343.1551

Iteration 2: log likelihood = -3343.0837

Iteration 3: log likelihood = -3343.0837

Refining estimates:

Iteration 0: log likelihood = -3343.0837

Cox regression -- Breslow method for ties

No. of subjects = 644 Number of obs = 1178

No. of failures = 535

Time at risk = 104558

LR chi2(1) = 15.48

Log likelihood = -3343.0837 Prob > chi2 = 0.0001

--------------------------------------------------------------------------------------

-

_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf.

Interval]

----------------------+---------------------------------------------------------------

-

1.spacing_fase_inte~f | 1.455534 .135424 4.03 0.000 1.212903

1.746702

. stcox i.spacing_fase_lanjutan

failure _d: status

analysis time _t: stop

exit on or before: time .

id: id

Iteration 0: log likelihood = -3350.8237

Iteration 1: log likelihood = -3343.5021

Iteration 2: log likelihood = -3343.4069

Iteration 3: log likelihood = -3343.4068

Refining estimates:

Iteration 0: log likelihood = -3343.4068

Cox regression -- Breslow method for ties

No. of subjects = 644 Number of obs = 1178

No. of failures = 535

Time at risk = 104558

LR chi2(2) = 14.83

Log likelihood = -3343.4068 Prob > chi2 = 0.0006

--------------------------------------------------------------------------------------

-

_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf.

Interval]

----------------------+---------------------------------------------------------------

-

spacing_fase_lanjutan |

Page 125: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

109

1 | 1.767401 .3790001 2.66 0.008 1.160925

2.690705

2 | 1.296991 .2990449 1.13 0.259 .8254234

2.037966

--------------------------------------------------------------------------------------

-

. testparm i.spacing_fase_lanjutan

( 1) 1.spacing_fase_lanjutan = 0

( 2) 2.spacing_fase_lanjutan = 0

chi2( 2) = 13.62

Prob > chi2 = 0.0011

. stcox i.pemberian_obat_setelah_intensif

failure _d: status

analysis time _t: stop

exit on or before: time .

id: id

Iteration 0: log likelihood = -3350.8237

Iteration 1: log likelihood = -3348.7021

Iteration 2: log likelihood = -3348.6908

Iteration 3: log likelihood = -3348.6908

Refining estimates:

Iteration 0: log likelihood = -3348.6908

Cox regression -- Breslow method for ties

No. of subjects = 644 Number of obs = 1178

No. of failures = 535

Time at risk = 104558

LR chi2(2) = 4.27

Log likelihood = -3348.6908 Prob > chi2 = 0.1185

-------------------------------------------------------------------------------------------------

_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

--------------------------------+----------------------------------------------------------------

pemberian_obat_setelah_intensif |

1 | .8673138 .0833789 -1.48 0.139 .7183669 1.047144

2 | .7178629 .1515695 -1.57 0.116 .4745904 1.085836

-------------------------------------------------------------------------------------------------

. testparm i.pemberian_obat_setelah_intensif

( 1) 1.pemberian_obat_setelah_intensif = 0

( 2) 2.pemberian_obat_setelah_intensif = 0

chi2( 2) = 4.08

Prob > chi2 = 0.1297

Page 126: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

110

Uji Multikoliniearitas

. ktau sex_code have_exp lab0_cod tbinfect_cod hivstat_cod phctreat treat_supportcod

spacing_fase_intensif spacing_fase_lanjutan pembe

> rian_obat_setelah_intensif, stats(taua taub) star(0.05)

(obs=1178)

+-----------------+

| Key |

|-----------------|

| tau_a |

| tau_b |

+-----------------+

| sex_code have_exp lab0_cod tbinfe~d hivsta~d phctreat treat_~d spacin~f

spacin~n pember~f

-------------+------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------

sex_code | 0.4851

| 1.0000

|

have_exp | 0.0033 0.0937

| 0.0154 1.0000

|

lab0_cod | 0.0319* -0.0013 0.4477

| 0.0684* -0.0064 1.0000

|

tbinfect_cod | 0.0185* 0.0058 0.0740* 0.1412

| 0.0706* 0.0507 0.2942* 1.0000

|

hivstat_cod | -0.0076 -0.0103 0.0447* 0.0182* 0.4406

| -0.0165 -0.0508 0.1008* 0.0731* 1.0000

|

phctreat | -0.0075 -0.0097 -0.0378* -0.0181* -0.0830* 0.3536

| -0.0180 -0.0533 -0.0950* -0.0808* -0.2102* 1.0000

|

treat_supp~d | 0.0093 -0.0027 -0.0087 -0.0018 -0.0034 -0.0033 0.0853

| 0.0458 -0.0299 -0.0446 -0.0163 -0.0176 -0.0191 1.0000

|

spacing_fa~f | 0.0007 -0.0167* 0.0215 -0.0161* -0.0659* 0.1250* 0.0053 0.3968

| 0.0017 -0.0864* 0.0511 -0.0680* -0.1576* 0.3337* 0.0286 1.0000

|

spacing_fa~n | -0.0179 0.0111* 0.0442* 0.0005 -0.0099 -0.1321* -0.0032 0.1138*

0.4199

| -0.0396 0.0560* 0.1019* 0.0023 -0.0229 -0.3427* -0.0168 0.2788*

1.0000

|

pemberian_~f | -0.0055 -0.0129* -0.0446* -0.0121 0.0109 -0.0623* -0.0021 -0.1991*

-0.1982* 0.4977

| -0.0113 -0.0595* -0.0945* -0.0455 0.0233 -0.1485* -0.0104 -0.4480*

-0.4335* 1.0000

|

.

Page 127: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

111

Analisis Multivariat

. stcox age i.sex_code i.lab0_cod i.treat_supportcod i.spacing_fase_intensif i.spacing_fase_lanjutan

i.pemberian_obat_setelah_intensif

failure _d: status

analysis time _t: stop

exit on or before: time .

id: id

Iteration 0: log likelihood = -3350.8237

Iteration 1: log likelihood = -3328.1939

Iteration 2: log likelihood = -3327.8764

Iteration 3: log likelihood = -3327.876

Refining estimates:

Iteration 0: log likelihood = -3327.876

Cox regression -- Breslow method for ties

No. of subjects = 644 Number of obs = 1178

No. of failures = 535

Time at risk = 104558

LR chi2(11) = 45.90

Log likelihood = -3327.876 Prob > chi2 = 0.0000

-------------------------------------------------------------------------------------------------

_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

--------------------------------+----------------------------------------------------------------

age | 1.000516 .002869 0.18 0.857 .9949087 1.006155

1.sex_code | 1.194094 .1069259 1.98 0.048 1.001883 1.42318

|

lab0_cod |

1 | 1.157032 .1137981 1.48 0.138 .9541725 1.403021

2 | 1.665908 .6160168 1.38 0.168 .8070397 3.4388

|

treat_supportcod |

1 | .730318 .2195875 -1.05 0.296 .4051147 1.316576

2 | 1.076856 .4144054 0.19 0.847 .5065128 2.289416

|

1.spacing_fase_intensif | 1.480436 .1592633 3.65 0.000 1.198998 1.827935

|

spacing_fase_lanjutan |

1 | 1.487771 .3449867 1.71 0.087 .9444049 2.343765

2 | .9678388 .2500802 -0.13 0.899 .5832581 1.605999

|

pemberian_obat_setelah_intensif |

1 | .9690375 .1142788 -0.27 0.790 .7690564 1.221021

2 | .7219853 .1613822 -1.46 0.145 .4658682 1.118906

-------------------------------------------------------------------------------------------------

. testparm i.lab0_cod

( 1) 1.lab0_cod = 0

( 2) 2.lab0_cod = 0

chi2( 2) = 3.47

Prob > chi2 = 0.1761

. testparm i.treat_supportcod

( 1) 1.treat_supportcod = 0

( 2) 2.treat_supportcod = 0

chi2( 2) = 1.14

Prob > chi2 = 0.5662

. testparm i.spacing_fase_lanjutan

( 1) 1.spacing_fase_lanjutan = 0

Page 128: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

112

( 2) 2.spacing_fase_lanjutan = 0

chi2( 2) = 15.93

Prob > chi2 = 0.0003

. testparm i.pemberian_obat_setelah_intensif

( 1) 1.pemberian_obat_setelah_intensif = 0

( 2) 2.pemberian_obat_setelah_intensif = 0

chi2( 2) = 2.13

Prob > chi2 = 0.3440

.

. stcox i.sex_code i.lab0_cod i.treat_supportcod i.spacing_fase_intensif

i.spacing_fase_lanjutan i.pemberian_obat_setelah_intensif

failure _d: status

analysis time _t: stop

exit on or before: time .

id: id

Iteration 0: log likelihood = -3350.8237

Iteration 1: log likelihood = -3328.2095

Iteration 2: log likelihood = -3327.8926

Iteration 3: log likelihood = -3327.8922

Refining estimates:

Iteration 0: log likelihood = -3327.8922

Cox regression -- Breslow method for ties

No. of subjects = 644 Number of obs = 1178

No. of failures = 535

Time at risk = 104558

LR chi2(10) = 45.86

Log likelihood = -3327.8922 Prob > chi2 = 0.0000

-------------------------------------------------------------------------------------------------

_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

--------------------------------+----------------------------------------------------------------

1.sex_code | 1.195038 .1068777 1.99 0.046 1.002894 1.423996

|

lab0_cod |

1 | 1.1562 .1136166 1.48 0.140 .9536475 1.401775

2 | 1.669437 .6170209 1.39 0.166 .8090355 3.444868

|

treat_supportcod |

1 | .7290551 .2190821 -1.05 0.293 .4045508 1.313856

2 | 1.075282 .4136768 0.19 0.850 .5058858 2.285557

|

1.spacing_fase_intensif | 1.480176 .1592162 3.65 0.000 1.198817 1.827567

|

spacing_fase_lanjutan |

1 | 1.485248 .3440819 1.71 0.088 .9432011 2.338803

2 | .9673532 .249925 -0.13 0.898 .5830006 1.605097

|

pemberian_obat_setelah_intensif |

1 | .9687479 .1142352 -0.27 0.788 .7688412 1.220632

2 | .7226171 .1614983 -1.45 0.146 .4663076 1.119809

-------------------------------------------------------------------------------------------------

. testparm i.treat_supportcod

( 1) 1.treat_supportcod = 0

( 2) 2.treat_supportcod = 0

Page 129: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

113

chi2( 2) = 1.15

Prob > chi2 = 0.5630

. testparm i.spacing_fase_lanjutan

( 1) 1.spacing_fase_lanjutan = 0

( 2) 2.spacing_fase_lanjutan = 0

chi2( 2) = 15.90

Prob > chi2 = 0.0004

. testparm i.pemberian_obat_setelah_intensif

( 1) 1.pemberian_obat_setelah_intensif = 0

( 2) 2.pemberian_obat_setelah_intensif = 0

chi2( 2) = 2.12

Prob > chi2 = 0.3460

. testparm i.lab0_cod

( 1) 1.lab0_cod = 0

( 2) 2.lab0_cod = 0

chi2( 2) = 3.47

Prob > chi2 = 0.1765

. . stcox i.sex_code i.lab0_cod i.spacing_fase_intensif i.spacing_fase_lanjutan

i.pemberian_obat_setelah_intensif

failure _d: status

analysis time _t: stop

exit on or before: time .

id: id

Iteration 0: log likelihood = -3350.8237

Iteration 1: log likelihood = -3328.7595

Iteration 2: log likelihood = -3328.5194

Iteration 3: log likelihood = -3328.5194

Iteration 4: log likelihood = -3328.5194

Refining estimates:

Iteration 0: log likelihood = -3328.5194

Cox regression -- Breslow method for ties

No. of subjects = 644 Number of obs = 1178

No. of failures = 535

Time at risk = 104558

LR chi2(8) = 44.61

Log likelihood = -3328.5194 Prob > chi2 = 0.0000

-------------------------------------------------------------------------------------------------

_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

--------------------------------+----------------------------------------------------------------

1.sex_code | 1.193586 .1066126 1.98 0.048 1.001897 1.421949

|

lab0_cod |

1 | 1.159917 .1139856 1.51 0.131 .956707 1.40629

2 | 1.681361 .6212374 1.41 0.160 .814995 3.468702

|

1.spacing_fase_intensif | 1.491674 .159407 3.74 0.000 1.209792 1.839235

|

spacing_fase_lanjutan |

1 | 1.56619 .3564315 1.97 0.049 1.002604 2.446582

Page 130: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

114

2 | 1.003697 .2576641 0.01 0.989 .6068572 1.660041

|

pemberian_obat_setelah_intensif |

1 | .9702502 .1144698 -0.26 0.798 .7699442 1.222667

2 | .7262201 .1623322 -1.43 0.152 .4685963 1.12548

-------------------------------------------------------------------------------------------------

. testparm i.lab0_cod

( 1) 1.lab0_cod = 0

( 2) 2.lab0_cod = 0

chi2( 2) = 3.60

Prob > chi2 = 0.1653

. testparm i.spacing_fase_lanjutan

( 1) 1.spacing_fase_lanjutan = 0

( 2) 2.spacing_fase_lanjutan = 0

chi2( 2) = 18.43

Prob > chi2 = 0.0001

. testparm i.pemberian_obat_setelah_intensif

( 1) 1.pemberian_obat_setelah_intensif = 0

( 2) 2.pemberian_obat_setelah_intensif = 0

chi2( 2) = 2.06

Prob > chi2 = 0.3571

.

. stcox i.sex_code i.lab0_cod i.spacing_fase_intensif i.spacing_fase_lanjutan

failure _d: status

analysis time _t: stop

exit on or before: time .

id: id

Iteration 0: log likelihood = -3350.8237

Iteration 1: log likelihood = -3329.8314

Iteration 2: log likelihood = -3329.6345

Iteration 3: log likelihood = -3329.6345

Refining estimates:

Iteration 0: log likelihood = -3329.6345

Cox regression -- Breslow method for ties

No. of subjects = 644 Number of obs = 1178

No. of failures = 535

Time at risk = 104558

LR chi2(6) = 42.38

Log likelihood = -3329.6345 Prob > chi2 = 0.0000

---------------------------------------------------------------------------------------

_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

----------------------+----------------------------------------------------------------

1.sex_code | 1.195908 .1067564 2.00 0.045 1.003951 1.424567

|

lab0_cod |

1 | 1.170805 .1148075 1.61 0.108 .966089 1.418902

2 | 1.526981 .5555192 1.16 0.245 .7484527 3.11532

|

1.spacing_fase_inte~f | 1.542792 .1489268 4.49 0.000 1.276852 1.864123

Page 131: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

115

|

spacing_fase_lanjutan |

1 | 1.547689 .3370686 2.01 0.045 1.009955 2.371731

2 | 1.015195 .2422315 0.06 0.950 .6359861 1.620508

---------------------------------------------------------------------------------------

. testparm i.lab0_cod

( 1) 1.lab0_cod = 0

( 2) 2.lab0_cod = 0

chi2( 2) = 3.34

Prob > chi2 = 0.1887

. testparm i.spacing_fase_lanjutan

( 1) 1.spacing_fase_lanjutan = 0

( 2) 2.spacing_fase_lanjutan = 0

chi2( 2) = 17.12

Prob > chi2 = 0.0002

. stcox i.sex_code i.spacing_fase_intensif i.spacing_fase_lanjutan

failure _d: status

analysis time _t: stop

exit on or before: time .

id: id

Iteration 0: log likelihood = -3350.8237

Iteration 1: log likelihood = -3331.4814

Iteration 2: log likelihood = -3331.2994

Iteration 3: log likelihood = -3331.2994

Refining estimates:

Iteration 0: log likelihood = -3331.2994

Cox regression -- Breslow method for ties

No. of subjects = 644 Number of obs = 1178

No. of failures = 535

Time at risk = 104558

LR chi2(4) = 39.05

Log likelihood = -3331.2994 Prob > chi2 = 0.0000

---------------------------------------------------------------------------------------

_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

----------------------+----------------------------------------------------------------

1.sex_code | 1.21314 .1078102 2.17 0.030 1.019215 1.443963

1.spacing_fase_inte~f | 1.548758 .1493917 4.54 0.000 1.281969 1.871069

|

spacing_fase_lanjutan |

1 | 1.619129 .3500623 2.23 0.026 1.059859 2.473516

2 | 1.071675 .2534973 0.29 0.770 .674089 1.703762

---------------------------------------------------------------------------------------

. testparm i.spacing_fase_lanjutan

( 1) 1.spacing_fase_lanjutan = 0

( 2) 2.spacing_fase_lanjutan = 0

chi2( 2) = 17.34

Prob > chi2 = 0.0002

Page 132: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

116

Tes asumsi analisis cox regression

. estat phtest

Test of proportional-hazards assumption

Time: Time

----------------------------------------------------------------

| chi2 df Prob>chi2

------------+---------------------------------------------------

global test | 4.28 4 0.3693

----------------------------------------------------------------

Analisis risiko jenis kelamin laki-laki pada durasi pemberian obat fase intensif

. tab spacing_fase_lanjutan spacing_fase_intensif

spacing_fa |

se_lanjuta | Spacing_fase_intensif

n | 7 days 7-14 days | Total

-----------+----------------------+----------

7 days | 68 0 | 68

7-14 days | 662 197 | 859

14-28 days | 127 124 | 251

-----------+----------------------+----------

Total | 857 321 | 1,178

. stcox i.sex_code i. spacing_fase_lanjutan if spacing_fase_intensif==0

failure _d: status

analysis time _t: stop

exit on or before: time .

id: id

Iteration 0: log likelihood = -2184.8132

Iteration 1: log likelihood = -2177.3772

Iteration 2: log likelihood = -2177.2998

Iteration 3: log likelihood = -2177.2998

Refining estimates:

Iteration 0: log likelihood = -2177.2998

Cox regression -- Breslow method for ties

No. of subjects = 492 Number of obs = 857

No. of failures = 366

Time at risk = 79521

LR chi2(3) = 15.03

Log likelihood = -2177.2998 Prob > chi2 = 0.0018

---------------------------------------------------------------------------------------

_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

----------------------+----------------------------------------------------------------

1.sex_code | 1.127332 .1204966 1.12 0.262 .9142603 1.390061

|

spacing_fase_lanjutan |

1 | 1.617763 .3508066 2.22 0.027 1.057632 2.474544

2 | 1.001216 .2562718 0.00 0.996 .6062532 1.653491

---------------------------------------------------------------------------------------

Page 133: prediktor ketidakteraturan minum obat tuberkulosis (tb)

117

. testparm i.spacing_fase_lanjutan

( 1) 1.spacing_fase_lanjutan = 0

( 2) 2.spacing_fase_lanjutan = 0

chi2( 2) = 12.91

Prob > chi2 = 0.0016

. stcox i.sex_code i. spacing_fase_lanjutan if spacing_fase_intensif==1

failure _d: status

analysis time _t: stop

exit on or before: time .

id: id

Iteration 0: log likelihood = -823.92693

Iteration 1: log likelihood = -818.53905

Iteration 2: log likelihood = -818.53315

Refining estimates:

Iteration 0: log likelihood = -818.53315

Cox regression -- Breslow method for ties

No. of subjects = 152 Number of obs = 321

No. of failures = 169

Time at risk = 25037

LR chi2(2) = 10.79

Log likelihood = -818.53315 Prob > chi2 = 0.0045

---------------------------------------------------------------------------------------

_t | Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

----------------------+----------------------------------------------------------------

1.sex_code | 1.470364 .2375051 2.39 0.017 1.071351 2.017984

2.spacing_fase_lanj~n | .7400683 .1204434 -1.85 0.064 .53795 1.018127

---------------------------------------------------------------------------------------