Download - Preskas Obgyn
BAB I
ILUSTRASI KASUS
1.1 Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Umur : 33 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Gampong Blang Seumot Beutong, Nagan Raya
No CM : 0-99-41-15
Tanggal pemeriksaan : 19 Januari 2015
1.2 Anamnesis
- Keluhan Utama : Batuk darah berwarna merah segar
-Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang atas rujukan dari Nagan Raya, dengan
keluhan batuk darah sejak 1 minggu yang lalu. Darah berwarna merah segar, timbul
saat batuk berat. Sesak nafas dikeluhkan oleh pasien ketika batuk dan malam hari.
Sebelumnya pasien pernah didiagnosa TB pada tahun 2012 dan telah mengkonsumsi
OAT selama 11 bulan penuh. Pasien saat ini sedang hamil dengan usia 28 minggu.
Pasien mengatakan tidak ingat kapan hari pertama haid terakhir. Mules-mules, mual
dan muntah sering dirasakan oleh pasien. Pasien tidak pernah mengeluhkan keluar
darah maupun cairan dari kemaluan. Pasien juga mengeluhkan nafsu makan menurun
dan merasa lemas. Pasien mengeluh batuk yang tidak sembuh-sembuh walaupun
sudah minum obat. BAK : dalam batas normal, masih bisa ditahan, tidak pernah
mengompol, BAB : dalam batas normal, demam (-). Pasien mengeluhkan adanya
gangguan dalam beraktivitas.
-Riwayat Penyakit Dahulu: Pasien tidak memiliki riwayat penyakit hipertensi,
diabetes mellitus, penyakit jantung
3
-Riwayat Penyakit Keluarga : Keluarga pasien tidak memiliki riwayar penyakit yang
sama seperti pasien, hipertensi (-), diabetes mellitus (-), penyakit jantung (-), asma
(-), alergi (-).
-Riwayat Kebiasaan Sosial : Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga.
-Riwayat Obstetrik: Pasien lupa kapan terakhir kali haid. Menstruasi teratur setiap
bulan, lama 7 hari, ganti pembalut 2x/hari, nyeri saat haid (+). Menikah 1 kali pada
umur 20 tahun. Jumlah anak 4 orang. lahir seluruhnya lahir dengan persalinan
normal per vaginam, ditolong oleh bidan, sehat, hidup, tidak ada yang kembar.
Anak Pertama : Perempuan, 7 tahun, lahir dengan persalinan normal per vaginam,
BBL : ± 2900 gr.
Anak Kedua : Laki-laki, 5 tahun, lahir dengan persalinan normal per vaginam, BBL :
±3200 gr.
Anak Ketiga : Perempuan : 3 tahun, lahir dengan persalinan normal per vaginam,
BBL : ± 2600 gr.
Anak Keempat : Perempuan, 1 tahun 2 bulan, lahir dengan persalinan normal per
vaginam, BBL : ± 2700 gr.,
1.3 Pemeriksaan Fisik
Kesadaran: kompos mentis
Tanda vital:
• Tekanan Darah : 90/60 mmHg
• Frekuensi Nadi : 84x/menit
• Suhu : 36,7 C
• Frekuensi Pernapasan : 24x/menit
BB: 50 kg, TB: 155 cm. Kesan gizi: sedang (IMT = ).
Status Generalis:
4
Kepala : Deformitas (-), rambut hitam tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-
THT : tak ada kelainan
Leher : KGB tidak teraba, JVP 5-2 cmH2O
Paru : vesikuler, ronkhi +/+ basah halus pada basal lapangan paru,
mengi -/-
Jantung : Bunyi Jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : lemas, datar, nyeri tekan (-), nyeri supra pubik (-), bising
usus (+) normal.
Ekstremitas : akral hangat, perfusi perifer cukup, edema -/-
Status Obstetri
Pemeriksaan Leopold 1 : TFU 25 cm
Pemeriksaan Leopold 2 : Punggung Kiri, DJJ : 132x/menit
Pemeriksaan Leopold 3 : Kepala
Pemeriksaan Leopold 4 : Konvergen
HIS : Tidak ada
1.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 15 Januari 2015
Jenis Pemeriksaan Nilai Hasil Nilai rujukan
Hemoglobin 8,6 12-14 gr/dl
Leukosit 5.7 4.1-10.5 x 103/ul
Trombosit 274 150-400 x 103/ul
Hematokrit 26 40.0-55.0 %
Creatinin darah 0,39 0.51-0.95 mg/dl
Ureum darah 9 13-43 mg/dl
5
Eritrosit 3.5 4.5-6.0 x 103/ul
Masa pembekuan 7 5-15 menit
Masa perdarahan 2 1-7 menit
Natrium (Na) 137 135-145 mmol/L
Kalium (K) 4.5 3.5-4.5 mmol/L
Klorida (Cl) 104 90-110 mmol/L
Glukosa Darah Sewaktu 66 <200 mmol/L
HBsAg Negatif Negatif
Ferritin 12.31 10-160 mg/ml
MCV 74 80-100 fL
MCH 24 27-31 pg
MCHC 33 32-36 %
LED 71 <20 mm/jam
1.5 Diagnosis Kerja
1. G5P4 Hamil 31-32 minggu JPKTH
2. Anemia ec. dd/1. Hamil 2. Bronchitis
3. Haemoptisis ec. TB Paru dd/Bronchitis
1.7 Tatalaksana
Bagian Obstetri dan Ginekologi:
- Sohobion tab 1x1
- Observasi DJJ per hari
Bagian Pulmonologi:
- IVFD RL 15 gtt/i
-Kalnex 500 mg/8 jam
-Vit. C 2 amp/8 jam
6
-Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
-Domperidone 3x1 tab
-Vit. B6 3x1 tab
7
BAB II
TUBERKULOSIS PADA KEHAMILAN
I. PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang masih menjadi
permasalahan di dunia kesehatan hingga saat ini. Worl Health Organization (WHO)
melaporkan dalam Global Tuberculosis Report 2013, pada tahun 2012 diperkirakan
ada 8,6 juta kasus insiden TB di dunia, setara dengan 122 kasus per 100.000
penduduk. Sebagian besar terjadi di Asia (58%) dan Afrika (27%), proporsi lebih
kecil terjadi di daerah Mediterania Timur (8%), Eropa (4%) dan Amerika (3%).
Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-4 di dunia setelah
India, Cina dan Afrika Selatan.1,2
Tuberkulosis tidak hanya menyumbang proporsi yang signifikan dalam beban
penyakit global, juga merupakan kontributor yang signifikan untuk kematian ibu,
merupakan salah satu penyakit dari tiga penyebab utama kematian di kalangan
wanita usia 15 - 45 tahun. Angka insiden TB pada kehamilan tidak tersedia di
banyak negara karena banyak faktor perancu. Namun demikian, diperkirakan bahwa
kejadian TB pada wanita hamil akan sama tingginya pada populasi umum, dengan
kejadian mungkin lebih tinggi di negara berkembang.3
Pada tahun 2011 Indonesia (dengan 0,38-0,54 juta kasus) menempati urutan
keempat setelah India, Cina, Afrika Selatan. Indonesia belum mempunyai data
prevalensi TB pada perempuan hamil. Di poliklinik tuberkulosis Persatuan
Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) tahun 2006 dan 2007 terdapat 0,2%
perempuan hamil yang mengidap TB. Angka tersebut sebanding dengan prevalensi
TB pada masyarakat umum. Untuk itu diasumsikan bahwa penyebaran TB pada
perempuan hamil minimal tidak berbeda dengan sebaran di kalangan masyarakat.
Oleh karena itu usaha penapisan seharusnya dapat dilakukan pada populasi
perempuan hamil mengingat risiko yang lebih tinggi yang akan didapat oleh ibu dan
janin.1,4
8
Pada perempuan hamil TB memberi pengaruh pada kehamilan dan janin
terkait dengan keterlambatan pengobatan. Lebih dari 90% perempuan hamil dengan
TB aktif muncul dari populasi perempuan hamil dengan infeksi tuberkulosis yang
tidak diobati. Mortalitas perinatal pada perempuan hamil yang menderita TB enam
kali lebih tinggi jika dibandingkan kontrol dengan insidens prematuritas dan berat
badan lahir rendah meningkat dua kali lipat. Diagnosis dan pengobatan yang
terlambat berhubungan dengan meningkatnya morbiditas ibu empat kali lebih tinggi.4
II. DEFINISI
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang menular dan dapat menyerang
berbagai organ dalam tubuh, dan terutama menyerang paru. Infeksi ini disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis dalam kehamilan merupakan
tuberkulosis yang dijumpai dalam masa kehamilan.4
III. EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan di dunia demikian juga
tuberkulosis pada kehamilan. Menurut World Health Organization (WHO), insidens
TB pada tahun 2008 adalah 9,4 juta dan 3,6 juta di antaranya menginfeksi wanita.
TB merupakan salah satu penyebab terbesar kematian pada wanita, yaitu sekitar
700.000 kematian setiap tahun, dan sepertiga dari kematian tersebut terjadi pada
wanita usia subur. Suatu penelitian lain yang dilakukan di UK pada tahun 2008,
insidens TB pada kehamilan adalah 4,2 per 100.000 kehamilan.5,6
Prevalensi TB bervariasi di berbagai negara. Prevalensi TB dalam kehamilan
di Indonesia menurut survei nasional tahun 2004 adalah 119/100.000 penduduk dan
dalam kehamilan prevalensi tuberkulosis bervariasi antara 0,37-1,6%.7
IV. ETIOLOGI
9
Penyebab dari penyakit tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis,
yang mempunyai karakteristik mikrobiologi yaitu kuman berbentuk batang dengan
dengan ukuran panjang 1-4/µm dan tebal 0,3-0,6/µm yang bersifat aerob, tidak
membentuk spora, non motil, parasit intraseluler yang merupakan salah satu dari
lima anggota M. tuberculosis complex, di mana yang lain adalah: M.Bovis,
M.Ulcerans, M.Africanum, dan M.Microti, akan tetapi M.tuberculosis adalah yang
bersifat patogen pada manusia.3,8,9
Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian
peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan
terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan ia
juga lebih tahan terhadap gangguan kima dan fisis. Kuman dapat bertahan hidup
pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam
lemari es) hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat
dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberkulosis
menjadi aktif lagi.8
Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam
sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula memfagositasi malah kmudian
disenanginya karena banyak mengandung lipid.8
Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih
menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan
oksigen pada bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis.8
V. PATOFISIOLOGI
Tuberkulosis dapat menyerang hampir semua organ tubuh, tetapi yang biasa
diserang adalah paru (kurang lebih 80%). Pada pasien pengidap HIV, pola dari
infeksi TB ini agak berbeda, cenderung terjadi TB extrapulmonal.3,4
Disebut Tuberculosis karena penyakit ini membentuk benjolan-benjolan
(tubercles) disertai perkejuan dan perkapuran, khususnya di dalam jaringan paru-
paru. Hampir semua infeksi TB disebabkan oleh penularan melalui inhalasi dari
10
partikel-partikel yang infeksius yang dikeluarkan oleh pasien pengidap TB lewat
batuk, bersin, berbicara, atau menggunakan tissue yang mengandung kuman TB.
Partikel-partikel aerosolized tuberculosis dengan besar partikel antara 1-5 µm dapat
dibawa ke udara bebas dan dapat menyebar ke tempat yang jauh dan dapat
menginfeksi orang-orang di sekitarnya.3,4,10
Setelah inhalasi dan sampai di paru, nukleus droplet akan memasuki cabang-
cabang bronkus dan berimplantasi pada bronkiolus respiratorik dan alveolus, maka
terjadi reaksi dari tubuh, terjadi proses fagositosis oleh makrofag paru, terjadi reaksi
granulomatous. Suatu basil tuberkel yang telah terinhalasi akan dapat menentukan
infeksi paru atau tidak, tergantung baik pada virulensi bakteri maupun dari
kemampuan mikrobisidal makrofag alveolar yang memakannya. Jika basil mampu
bertahan hidup dari pertahanan tubuh awal, maka bakteri ini akan bermultiplikasi
dalam makrofag alveolus. Basil tuberkel akan bertumbuh secara lambat, membagi
diri dalam 25-32 jam dalam makrofag. Mycobacterium tuberculosis tidak memiliki
endotoksin maupun eksotoksin; sehingga tidak terjadi respon imun immediate (awal)
terhadap infeksi. Organisme ini akan bertumbuh dan waktu 2-12 minggu, sampai
mencapai jumlah tertentu yang mampu untuk memicu respon imun yang dapat
dideteksi dengan adanya reaksi skin test tuberkulin. Basil TB ini tetap berada dalam
kondisi dorman dalam Ghon’s focus ini untuk waktu yang lama, dan suatu saat dapat
berubah menjadi reaktif.3,4,8
Pada pasien dengan imunitas selular yang utuh, kumpulan sel T yang telah
teraktifasi dan makrofag akan membentuk granuloma yang kemudian menimbulkan
pembentukan Ghon’s focus yang membatasi multiplikasi dan penyebaran kuman
tubersulosis dalam organisme. Antibodi yang melawan M. Tuberculosis akan
terbentuk tapi tidak tampak protektif. Organisme cenderung untuk terlokalisasi di
tengah granuloma, yang seringkali akan nekrotik. Untuk sebagian besar individu
dengan fungsi imun yang normal, proliferasi M. Tuberculosis berhenti begitu
imunitas selular berkembang, meskipun demikian, sejumlah kecil basilus hidup
mungkin saja masih akan ada di dalam granuloma.3,4
11
Meskipun kompleks primer kadang-kadang dapat terlihat pada pemeriksaan
radiologi toraks, mayoritas infeksi tuberkulosis pulmo secara klinik dan radiologi
tidak tampak. Sebagian besar, hasil skin test tuberkulin positif merupakan satu-
satunya indikasi bahwa M. Tuberculosis telah berkembang. Individu dengan infeksi
tuberkulosis laten tapi bukan penyakit aktif tidak infeksius, sehingga tidak dapat
menularkan kuman. Diperkirakan kurang lebih 10% individu dengan infeksi
tuberkulosis dan tidak mendapat terapi pencegahan akan berkembang menjadi
tuberkulosis aktif. Kemampuan host untuk merespon organisme akan berkurang
dengan adanya penyakit seperti silikosis, DM, dan penyakit yang berhubungan
dengan immunosupresi, misalnya infeksi HIV, pemberian kortikosteroid dan obat-
obat immunosupresan lain. Pada keadaan ini, kecenderungan untuk berkembangnya
penyakit tuberkulosis meningkat.3,4,8
VI. CARA PENULARAN
Tuberkulosis menyebar melaui udara dengan droplet nukleus, sebuah partikel
berdiameter 1-5 µm yang mengandung kompleks M. Tuberkulosis. Droplet nuklei
juga dihasilkan ketika pasien dengan tuberkulosis pulmonal atau laringeal batuk,
bersin, berbicara atrau bernyanyi. Cara penularan lain yang mungkin terjadi yaitu
lewat mulut dengan mengkonsumsi susu yang tidak dipasteurisasi dan bisa juga
melalui implantasi langsung melalui kulit yang tidak intact atau melalui conjunctiva.3
Tuberkulosis kongenital merupakan komplikasi di dalam uterus yang jarang
terjadi sementara itu risiko transmisi setelah kelahiran tinggi. Tuberkulosis
kongenital merupakan hasil penyebaran hematogen melalui vena umbilkal ke hati
janin atau melalui penelanan atau aspirasi cairan amnion yang terinfeksi. Fokus
primer terbentuk di hati dengan adanya keterlibatan nodus limfe periportal. Basil
tuberkel menginfeksi paru secara sekunder, berbeda pada dewasa yang 80% infeksi
primer terjadi di paru.1,4
12
Mikroorganisme juga dikeluarkan pada terapi aerosol, induksi sputum,
aerosolosasi selama proses bronkoskopi, dan melalui manipulasi lesi atau proses
pengolahan jaringan atau sekret di laboratorium.3,4
4 faktor yang menentukan kecenderungan transmisi M. Tuberkulosis:3,4,10
1) Jumlah mikroorganisme yang dikeluarkan ke udara
2) Konsentrasi mikroorganisme diudara yang ditentukan oleh volume ruangan
dan ventilasi.
3) Lamanya waktu seseorang terekspos dengan udara yang terkontaminasi
4) Status imun dari individu yang terekspos.
Sumber penularan penyakit tuberculosis adalah penderita TB BTA positif.
Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
droplet nuclei (percikan dahak). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000
percikan darah. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak
berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan
selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan
seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya.
Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien
tersebut.10
Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Orang
dapat terinfeksi bila droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan. Selama
kuman TB masuk kedalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB tersebut
dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah,
sistem saluran linfe,saluran napas, atau penyebaran langsung kebagian-bagian tubuh
lainnya. Resiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.
Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan
lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. Faktor yang mempengaruhi
13
kemungkinan seseorang menjadi penderita TB adalah daya tahan tubuh yang rendah;
diantaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS.3,10
Gambar 1. Faktor Risiko Kejadian TB10
VII. EFEK KEHAMILAN TERHADAP TB
Peneliti dari zaman Hippocrates telah menyatakan kekhawatiran mereka
tentang efek tak diinginkan yang mungkin ada pada kehamilan dengan TB paru.
Terjadinya TB diyakini sebagai akibat dari peningkatan tekanan intraabdomen yang
terkait dengan kehamilan. Keyakinan ini dipegang secara luas sampai awal abad
keempat belas. Peneliti seperti Hedvall dan Schaefer menunjukkan tidak adanya efek
samping dari kehamilan terhadap progresitas TB. Namun, kehamilan yang berurutan
dapat memberikan efek negatif yaitu menimbulkan reaktivasi tuberkulosis laten,
namun kehamilan tidak mempengaruhi terapi TB. Faktor lain yang turut berperan
adalah status gizi ibu, adanya penyakit penyerta dan ko-infeksi HIV. Penting untuk
14
diketahui bahwa diagnosis tuberkulosis pada kehamilan mungkin lebih sulit
dilakukan, karena gejala awalnya mungkin dianggap berasal dari kehamilan.
Penurunan berat badan yang berhubungan dengan penyakit juga mungkin tertutupi
oleh kenaikan berat badan normal pada kehamilan. 3,4
VIII. EFEK TB TERHADAP KEHAMILAN
Efek TB terhadap kehamilan dipengaruhi oleh berbagai faktor, umur
kehamilan saat didiagnosis TB, adanya penyebaran ekstrapulmoner, koinfeksi HIV
dan pengobatan yang diberikan. Prognosis paling buruk terjadi pada wanita dengan
diagnosis penyakit TB yang sudah lanjut pada masa nifas, begitu juga pada wanita
dengan koinfeksi HIV. Kegagalan pengobatan juga memperburuk prognosis.3,4
Namun data mengenai efek TB terhadap maternal dan luaran neonatal masih
belum jelas. Beberapa penelitian mengatakan bahwa dengan pengobatan yang tepat
dalam jangka waktu yang benar, infeksi TB tidak memberikan efek negatif terhadap
kehamilan. Dari suatu penelitian prospektif di India, tidak ada perbedaan pada
komplikasi kehamilan pada wanita yang didiagnosis TB dan diterapi dengan wanita
hamil yang tidak terkena TB. Namun, terdapat suatu pengecualian pada wanita hamil
yang terlambat memulai terapi TB, terjadi peningkatan mortalitas neonatus dan
tingginya angka prematur. Dalam penelitian, diagnosis dan terapi TB dimulai pada
umur gestasi antara 13 dan 24 minggu (67%). Hasil dari terapi seperti konversi
sputum, stabilisasi penyakit dan angkat terjadinya relaps hampir sama dengan
penderita TB yang tidak hamil, Namun dalam penelitian ini, ibu hamil yang
terinfeksi TB, tidak terinfeksi HIV. Pada wanita hamil dengan HIV, efek dari TB
lebih berkaitan dengan infeksi HIV daripada keadaan kehamilannya.4
Berlawanan dengan penelitian di atas, sebuah review retrospektif di Taiwan,
ibu hamil yang didiagnosis TB mengalami peningkatan risiko terjadinya kelainan
pada kehamilan dibandingkan dengan ibu yang tidak terinfeksi TB. Pada ibu hamil
dengan TB mempunyai angka persentase berat lahir rendah dan pertumuhan janin
terganggu, namun tidak ada perbedaan mengenai kelahiran prematur pada dua
15
kelompok tersebut. Meskipun demikian, diagnosis dan terapi TB yang cepat
merupakan suatu hal yang penting.TB masih menjadi penyebab morbiditas dan
mortalitas maternal yang signifikan, terutama dalam konteks ko-infeksi HIV. 3,4
Komplikasi obstetrik lainnya yang dilaporkan adalah abortus spontan, uterus
yang kecil, peningkatan berat badan hamil yang tidak optimal. Lainnya adalah lahir
prematur, berat badan lahir rendah, dan meningkatnya mortalitas neonatus, seperti
yang sudah disebutkan diatas. Diagnosis dan terapi yang cepat merupakan suatu hal
yang penting. TB masih menhadi penyebab morbiditas dan mortalitas maternal yang
signifikan, terutama dalam konteks ko-infeksi HIV. Diagnosis yang telat
meryupakan faktor independen dimana akan meningkatkan morbiditas sebanyak
empat kali lipat, dan kelahiran prematur meningkat sebanyak sembilan kali lipat.3,4,11
IX. EFEK TB PADA NEONATUS
Transmisi TB ibu ke anak dapat terjadi di dalam uterus dengan penyebaran
hematogen melalui vena umbilikus dan aspirasi atau menelan cairan amnion yang
terinfeksi dan juga selama proses kelahiran melalui kontak dengan cairan amnion
yang terinfeksi atau sekresi genital. Infeksi post-partum dapat terjadi melalui
penyebaran di udara atau melalui cairan susu yang terinfeksi dari lesi tuberkulosis
aktif di payudara. Walaupun transmisi melalui ASI dapat diabaikan, bayi dari ibu
dengan TB aktif masih dapat terinfeksi melalui penyebaran lewat udara.Jika ibu baru
saja didiagnosa, belum di terapi, dan TB aktif, maka ibu harus dipisahkan dari
anaknya untuk mencegah penularan. Diagnosis TB pada neonatus bukan hal yang
mudah, kecurigaan klinis terhadap gejala non spesifik dan sulit dibedakan dengan
gejalan kongenital lainnya merupakan hal penting. Pada TB kongenital, gejala
terlihat pada umur 2 dan 3 minggu. Diagnosis definitif yaitu dengan kultur
M.tuberkulosis dari jaringan atau cairan. Gambaran radiologi dada yang abnormal
sering ditemukan, setengahnya memberikan gambaran pola miliar.Jika terdiagnosa
TB aktif, harus diberikan terapi penuh. Jika tidak terdiagnosis TB aktif, maka
diberikan profilkasis isoniazid.3,4
16
Tuberkulosis kongenital mungkin sulit dibedakan dengan infeksi neonatus
atau infeksi kongenital dengan gejala yang mirip pada umur dua sampai tiga minggu.
Gejala-gejalanya adalah hepatosplenomegaly, repiratory distress, demam, dan
limfadenopati. Abnormalitas radiologi dapat terlihat namun secara umum terlihat
pada penyakit TB latent. Diagnosis tuberkulosis neonatus ditegakkan dengan kriteria
diagnosis Cantwell et al, yaitu adanya kompleks granuloma kaseseosa pada biopsi
hepar perkutaneus saat kelahiran, plasenta yang terinfeksi, atau tuberkulosis traktus
genital maternal, dan lesi saat minggu pertama kehidupan. Kemungkinan transmisi
setelah kelahiran harus disingkirkan dengan menelaah semua riawayat kontak
termasuk kontak dengan tenaga medis dan penjenguk. Sebanyak setengah dari
neonatus dengan tuberkulosis kongenital meninggal dunia.3,4
X. KLASIFIKASI
- Klasifikasi berdasarkan organ tubuh (anatomical site) yang terkena:10
1. Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang
jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar
pada hilus.
2. Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium),
kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat
kelamin, dan lain-lain. Pasien dengan TB paru dan TB ekstraparu
diklasifikasikan sebagai TB paru
- Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, keadan ini
terutama ditujukan pada TB Paru:
1. Tuberkulosis paru BTA positif.
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
17
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB
positif.
1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
2. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria
diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative
Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberkulosis.
Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT, bagi pasien
dengan HIV negatif.
Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
- Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya disebut sebagai tipe
pasien, yaitu:
1. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan BTA bisa
positif atau negatif
2. Kasus yang sebelumnya diobati
Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif.
Kasus setelah gagal (Failure)
18
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
3. Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan keregister lain untuk melanjutkan
pengobatannya.
4. Kasus lain:
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, seperti yang
tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya,
pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya,
kembali diobati dengan BTA negative.
XI. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal
dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah
gejala respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).7,8,12
1. Gejala respiratorik
- batuk kurang lebih 2 minggu
- batuk darah
- sesak napas
- nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada
saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka
pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi
bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar. Gejala
utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih . Batuk
dapat diikuti dengan gejala tambahan seperti dahak bercampur darah, sesak napas
atau rasa nyeri dada, badan lemas, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan,
badan kurang enak “malaise”, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik dan
19
demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala diatas dapat juga dijumpai pada
penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma dan kanker
paru.78,12
2. Gejala sistemik
- Demam
- Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun
3. Gejala tuberkulosis ekstra paru
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya
pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri
dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala
meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas &
kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.7,8,12
Pada pemeriksaan fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ
yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan
struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau
sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah
lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 & S2) , serta daerah
apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain
suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda
penarikan paru, diafragma & mediastinum.7,8,12
Untuk mendiagnosis kondisi tersebut, riwayat paparan terhadap individu
dengan batuk kronis atau berkunjung ke daerah endemik tuberkulosis harus
diperoleh. Riwayat gejala, mirip dengan gejala yang dialami oleh wanita tidak hamil.
Perhatian harus ditingkatkan mengingat gejala pada ibu hamil tidak spesifik, yaitu
keringat di malam hari, demam di malam hari, batuk darah, penurunan berat badan
yang progresif, dan batuk kronis selama lebih dari tiga minggu. Tahap penting dalam
membuat diagnosis pada kehamilan yaitu untuk mengidentifikasi faktor risiko untuk
infeksi TB dan gejala-gejala infeksi.7,8,12
20
XII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Tes Tine
Tes ini menggunakan beberapa jarum yang sudah dicelupkan pada
bakteri TB yang sudah dimurnikan, disebut dengan old tuberculin (OT). Kulit
ditusuk dengan jarum tersebut dan reaksi dianalisa 48-72 jam kemudian.
Namun tes ini tidak lagi popular kecuali untuk uji penyaring pada populasi
yang besar. 4
2. Tes Mantoux
Injeksi intradermal derivat protein yang sudah dimurnikan sebanyak
0.1 mL (5 tuberculin units), dan reaksi kulit dianalisis 48-72 jam akan timbul
reaksi berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni
reaksi persenyawaan antara antibodi seluler dan antigen tuberkulin. Banyak
sedikitnya reaksi persenyawaan antibodi seluler dan antigen tuberkulin
dipengaruhi oleh antibodi humoral, pada ibu hamil makin besar pengaruh
antibodi humoral, makin kecil indurasi yang ditimbulkan.4
3. Pemeriksaan dahak mikroskopis (BTA)
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan
dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3
spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan
berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):10
S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah
pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah bangun tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan sendiri kepada
petugas di Fasyankes.
S (sewaktu): dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi.
21
4. Foto thoraks
Pada pemeriksaan foto thoraks ditemukan gambaran infiltrasi, kavitas,
dan limfadenopati mediastinum. Pemeriksaan radiologik harus memakasi
pelindung timah pada abdomen, sehingga bahaya radiasi dapat
diminimalisasi. Pada trimester I hindari pemeriksaan foto thoraks karena efek
radiasi yang sedikit pun masih berdampak negatif pada sel-sel muda janin.7
XIII. DIAGNOSIS TB PADA KEHAMILAN
Diagnosis TBC pada kehamilan sama dengan TBC tanpa kehamilan. Diagnosis
mungkin terlambat ditegakkan karena manifestasi klinis yang tidak khas, tertutup
oleh gejala-gejala pada kehamilan. Good et al melaporkan bahwa dari 27 wanita
hamil dengan pemeriksaan biakan sputum yang positif, didapatkan 74% gejala batuk,
41% penurunan berat badan, 30% demam, malaise dan lelah, 19% batuk darah dan
20% tanpa gejala. Oleh karena itu perlu dilakukan penapisan pada perempuan hamil
dengan risiko tinggi terkena TBC melalui pemeriksaan antenatal. Pemeriksaan yang
dianjurkan adalah uji tuberkulin, sputum BTA dan pemeriksaan biakan.5,7,8
22
Gambar 2. Alur diagnosis TB10
XIV. PENATALAKSANAAN
Sebelum kehamilan perlu diberi konseling mengenai pengaruh kehamilan dan
TBC, serta pengobatan. Adanya TB tidak merupakan indikasi untuk melakukan
abortus. Pengobatan TB dengan isoniazid, rifampicin, etambutol dan pirazinamid
tidak merupakan kontraindikasi pada kehamilan. Pengobatan TB dengan
aminoglikosida (streptomisin) merupakan kontraindikasi pada kehamilan karena
dapat menyebabkan ototoksik pada janin.7
23
Pengobatan TB dalam kehamilan menurut rekomendasi WHO adalah dengan
pemberian 4 regimen kombinasi isoniazid, rifampicin, etambutol, dan pirazinamid
selama 6 bulan. Cara pengobatan sama dengan tidak hamil. Dapat juga diberikan 3
regimen kombinasi, isoniazid, rifampicin, etambutol selama 9 bulan. Angka
kesembuhan 90% pada pengobatan selama 6 bulan directly observed therapy (DOT)
pada infeksi baru.7
Saat persalinan mungkin diperlukan oksigen yang adekuat dan cara
persalinan sesuai indikasi obstetrik. Pemakaian masker dan ruangan isolasi
diperlukan untuk mencegah penularan.7
Tabel 1. Langkah penanganan TB pada kehamilan7
Sebelum kehamilan Konseling mengenai pengaruh kehamilan dan TB
serta pengobatan
Pemeriksaan penyaring tuberkulosis pada populasi
risiko tinggi
Perbaikan keadaan umum (gizi, anemia)
Selama kehamilan Tuberkulosis bukan merupakan indikasi untuk
melakukan pengguguran kandungan
Pengobatan dengan regimen kombinasi dapat
segera dimulai begitu diagnosis ditegakkan
Antenatal care dilakukan seperti biasa, dianjurkan
pasien datang paling awal atau paling akhir untuk
mencegah penularan pada orang di sekitarnya
Saat persalinan Persalinan dapat berlangsung seperti biasa.
Penderita diberi masker untuk menutupi hidung dan
mulutnya agar tidak terjadi penyebaran kuman
disekitarnya
Pemberian oksigen adekuat
Tindakan pencegahan infeksi (kewaspadaan
24
universal)
Ekstraksi vakum/forseps bila ada indikasi obstetrik
Sebaiknya persalinan dilakukan di ruang isolasi,
cegah perdarahan pascapersalinan dengan
uterotonika
Pasca persalinan Observasi 6-8 jam kemudian penderita dapat
langsung dipulangkan. Bila tidak mungkin untuk
dipulangkan, penderita harus dirawat di ruang
isolasi.
Perawatan bayi harus dipisahkan dari ibunya
sampai tidak terlihat tanda proses aktif lagi
(dibuktikan dengan pemeriksaan sputum sebanyak
3 kali dengan hasil selalu negatif)
Pemberian ASI tidak merupakan kontraindikasi
meskipun ibu mendapatkan OAT
Profilaksis neonatus dengan isoniazid 10mg/kg/hari
dan vaksinasi BCG
Tatalaksana OAT yang diberikan dibagi atas 2 golongan:12
Obat lini pertama (first line).
Yang merupakan OAT lini pertama adalah Rifampisin (R), Isoniazid (INH),
Etambutol (EMB), dan Pirazinamid (PZA).
Obat lini kedua (second line) adalah Streptomisin (S), Kanamisin,
Etionamid, Kapreomisin, Fluoroquinolones, Amoxycillin/Clavulanic Acid,
Para-Aminosalicylic Acid (PAS), Amikacin, Ethionamide and
Prothionamide, serta Cycloserine.
Tabel 2. Jenis dan Dosis OAT
25
ObatDosis
(mg/kg
BB/Ha
ri)
Dosis yang dianjurkan Dosis
Max
Dosis (mg) / BB (kg)
Kategori
Harian
(mg/kgBB/
Hari)
Intermitten
(mg/kgBB/
Hari)
< 40 40-60 > 60
R 8-12 10 10 600 300 450 600 C
INH 4-6 5 10 300 150 300 450 A
PZA 20-30 25 35 750 1000 1500 n/a
EMB 15-20 15 30 750 1000 1500 A
S 15-18 15 15 1000 Sesu
ai
BB
750 1000 X
Regimen pengobatan (metode DOTS)
Pengobatan TB memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 bulan agar dapat
mencegah perkembangan resistensi obat, oleh karena itu WHO telah menerapkan
strategi DOTS dimana petugas kesehatan tambahan yang berfungsi secara ketat
mengawasi pasien minum obat untuk memastikan kepatuhannya. Oleh karena itu
WHO juga telah menetapkan regimen pengobatan standar yang membagi pasien
menjadi 4 kategori berbeda menurut definisi kasus tersebut, seperti bisa dilihat pada
tabel di bawah ini.12
Tabel 3. Berbagai Paduan Alternatif Untuk Setiap Kategori Pengobatan
26
Kategori
pengobatan
TB
Pasien TB
Paduan pengobatan TB alternatif
Fase awal
(setiap hari / 3 x
seminggu)
Fase lanjutan
I
Kasus baru TB paru dahak positif;
kasus baru TB paru dahak negatif
dengan kelainan luas di paru; kasus
baru TB ekstra-pulmonal berat
2 EHRZ (SHRZ)
2 EHRZ (SHRZ)
2 EHRZ (SHRZ)
6 HE
4 HR
4 H3 R3
II
Kambuh, dahak positif; pengobatan
gagal; pengobatan setelah terputus
2 SHRZE / 1 HRZE
2 SHRZE / 1 HRZE
5 H3R3E3
5 HRE
III
Kasus baru TB paru dahak negatif
(selain dari kategori I); kasus baru TB
ekstra-pulmonal yang tidak berat
2 HRZ atau 2H3R3Z3
2 HRZ atau 2H3R3Z3
2 HRZ atau 2H3R3Z3
6 HE
2 HR/4H
2 H3R3/4H
IV
Kasus kronis (dahak masih positif
setelah menjalankan pengobatan
ulang)
TIDAK DIPERGUNAKAN
(merujuk ke penuntun WHO guna
pemakaian obat lini kedua yang diawasi
pada pusat-pusat spesialis)
Sesuai tabel di atas, maka paduan OAT yang digunakan untuk program
penanggulangan tuberkulosis di Indonesia adalah 12
- Kategori I : 2HRZE (S) / 6HE.
27
Pengobatan fase inisial regimennya terdiri dari 2HRZE (S) setiap hari selama 2
bulan obat H, R, Z, E atau S. Sputum BTA awal yang positif setelah 2 bulan
diharapkan menjadi negatif, dan kemudian dilanjutkan ke fase lanjutan 4HR atau 4
H3 R3 atau 6 HE. Apabila sputum BTA masih positif setelah 2 bulan, fase intensif
diperpanjang dengan 4 minggu lagi tanpa melihat apakah sputum sudah negatif atau
tidak.
- Kategori II : 2HRZES/1HRZE/5H3R3E3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZES/1HRZE yaitu R dengan H, Z, E,
setiap hari selama 3 bulan, ditambah dengan S selama 2 bulan pertama. Apabila
sputum BTA menjadi negatif fase lanjutan bisa segera dimulai. Apabila sputum BTA
masih positif pada minggu ke-12, fase inisial dengan 4 obat dilanjutkan 1 bulan lagi.
Bila akhir bulan ke-2 sputum BTA masih positif, semua obat dihentikan selama 2-3
hari dan dilakukan kultur sputum untuk uji kepekaan, obat dilanjutkan memakai fase
lanjutan, yaitu 5H3R3E3 atau 5 HRE.
- Kategori III : 2HRZ/2H3R3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZ atau 2 H3R3, yang dilanjutkan dengan
fase lanjutan 2HR atau 2 H3R3.
- Kategori IV : Rujuk ke ahli paru atau menggunakan INH seumur hidup
Pada pasien kategori ini mungkin mengalami resistensi ganda, sputumnya harus
dikultur dan dilakukan uji kepekaan obat. Seumur hidup diberikan H saja sesuai
rekomendasi WHO atau menggunakan pengobatan TB resistensi ganda (MDR-TB).
Selain 4 kategori di atas, disediakan juga paduan obat sisipan (HRZE).
Obat sisipan akan diberikan bila pasien tuberkulosis kategori I dan kategori II
pada tahap akhir intensif pengobatan (setelah melakukan pengobatan selama 2
minggu), hasil pemeriksaan dahak/sputum masih BTA positif.
Pengobatan dengan FDC
28
Obat anti tuberkulosis “fixed-dose combination” atau disingkat dengan OAT
– FDC (sering disebut FDC saja) adalah tablet yang berisi kombinasi beberapa jenis
obat anti TBC dengan dosis tetap.13
1. Kategori 1 : 2 (HRZE) / 4 (HR)3. Kategori 1 diberikan kepada:
penderita baru TBC Paru BTA positif
penderita baru TBC Paru BTA negatif/Rontgen positif (ringan atau berat)
penderita TBC Ekstra Paru (ringan atau berat).
Tabel 4. Dosis untuk kategori 1: 2(HRZE) / 4(HR)3
2. Kategori 2 : 2(HRZE)S /1(HRZE) / 5(HR)3E3. Kategori 2 diberikan kepada:
penderita TBC BTA positif Kambuh
penderita TBC BTA positif Gagal
penderita TBC berobat setelah lalai (treatment after default) yang kembali
dengan BTA positif.
Tabel 5. Dosis untuk kategori 2: 2(HRZE)S / 1(HRZE) / 5(HR)3E3
29
3. OAT sisipan: 1(HRZE)
OAT sisipan diberikan bila pada akhir tahap intensif pengobatan pada
penderita BTA positif tidak terjadi konversi, maka diberikan obat sisipan 4FDC
(HRZE) setiap hari selama 28 hari dengan jumlah tablet setiap kali minum sama
dengan sebelumnya.13
Efek samping OAT pada kehamilan:
Rifampisin
Merupakan obat lini pertama yang terutama bekerja pada sel yang sedang
tumbuh, tetapi juga memperlihatkan efek pada sel yang sedang tidak aktif
(resting cell). Bekerja dengan menghambat sintesa RNA M. tuberculosis
sehingga menekan proses awal pembentukan rantai dalam sintesa RNA. Bekerja
di intra dan ekstra sel. Pada konsentrasi 0,005 -0,2 mg/l akan menghambat
pertumbuhan M. tuberculosis secara in vitro. Obat ini juga menghambat beberapa
Mycobacterium atipikal, bakteri gram negatif dan gram positif. Secara in vitro,
30
rifampisin dapat meningkatkan aktivitas streptomisin dan isoniazid terhadap M.
tuberculosis dan juga mempunyai mekanisme post antibiotic effect terhadap
bakteri gram negative. Obat ini menimbulkan warna orange sampai merah bata
pada urin, saliva, feses, sputum, air mata dan keringat. Volume distribusi 1 L/kg
BB, ikatan protein plasma 60-80%, waktu paruh 1-6 jam dan akan memanjang
bila terdapat gangguan fungsi hepar. Dapat melewati barier plasenta dan dapat
dijumpai konsentrasi rendah di ASI. Rifampisin melewati plasenta dengan kadar
yang sama dengan ibu. Pada akhir trismester ke-3 rasio konsentrasi pada tali
pusat dan ibu besarnya 0,12 - 0,33. Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi
adalah sindrom respirasi, purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal
ginjal. Efek samping ringan sering terjadi pada saat pemberian berkala dan dapat
sembuh sendiri atau hanya memerlukan pengobatan simtomatik. Efek samping
pada bayi baru lahir juga didapatkan hemorrhagic disease of the newborn
sehingga dianjurkan pemberian profilaksis vitamin K.5
Isoniazid (INH)
Menghambat biosintesis asam mikolat yang merupakan unsur penting
dinding sel Mycobacterium. Menghilangkan sifat tahan asam dan menurunkan
jumlah lemak yang terekstraksi oleh metanol dari Mycobacterium. Hanya kuman
yang peka yang menyerap obat ke dalam selnya dan proses ini merupakan proses
aktif. Bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa
hari pertama pengobatan. Waktu paruh berkisar 1-3 jam. Mudah berdifusi ke
dalam sel dan semua cairan tubuh. Isoniazid tidak bersifat teratogenik janin,
meskipun konsentrasi yang melewati plasenta cukup besar. Efek samping berat
berupa hepatitis dapat timbul pada kurang lebih 0,5 % penderita. Bila terjadi
ikterus, hentikan pengobatan sampai ikterus hilang. Efek samping yang ringan
dapat berupa: tanda keracunan pada saraf tepi, kesemutan, nyeri otot atau
gangguan kesadaran. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin
(dengan dosis 5-10 mg per hari atau dengan vitamin B kompleks). Efek samping
pada bayi baru lahir dilaporkan adanya perdarahan (hemmorrhagic disease of the
31
newborn) sehingga dianjurkan pemberian profilaksis vitamin K sebelum
kelahiran.5
Etambutol (EMB)
Merupakan inhibitor arabinosyl transferases (I,II,III). Arabinosyl
transferase terlibat dalam reaksi polimerisasi arabinoglycan, yang merupakan
unsur esensial dari dinding sel Mycobacterium. Afinitas terhadap arabinosyl
transferase III lebih kuat dibandingkan lainnya. Arabinosyl transferase
digunakan untuk menjadikan EMB-CAB operon. Hal ini menyebabkan
metabolisme sel terhambat dan sel mati. Gangguan sintesis arabinoglycan
mengubah barier sel, lipofilik meningkatkan aktivitas obat yang bersifat seperti
rifampisin dan ofloksasin. Dinding sel Mycobacterium spp sangat dibutuhkan
untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup organisme di penjamu. Dinding sel
Mycobacterium terdiri dari mycolic acid, arabinoglycan dan peptidoglycan.
Dinding sel merupakan lapisan lipid bilayer dan asimetris. Hampir semua galur
M. tuberculosis dan M. kansasii sensitif terhadap etambutol. Etambutol tidak
efektif untuk kuman lain. Etambutol pada konsentrasi 1-5 ìg/ml akan
menghambat pertumbuhan M.tuberculosis secara in vitro. Etambutol ini tetap
menekan pertumbuhan M.tuberculosis yang telah resisten terhadap isoniazid dan
streptomisin. Etambutol dosis 15 mg/kg BB ini hanya aktif terhadap sel yang
bertumbuh dengan khasiat tuberkulostatik, sedangkan pada dosis 25 mg/kg BB
bersifat bakterisidal. Penggunaan etambutol tunggal, ditemukan sputum basil
tahan asam (BTA) negatif dalam 3 bulan, tetapi ditemukan resistensi 35% dari
kasus dan frekuensi relaps lebih tinggi. Efektivitas pada hewan coba sama
dengan isoniazid. Invivo, sukar menciptakan resistensi terhadap etambutol dan
timbulnya lambat. Resistensi bakteri terhadap etambutol terjadi akibat mutasi
embB, embA dan embC, kode untuk arabinosyl transferase. Resistensi ini timbul
bila etambutol diberikan tunggal. Pada pemberian oral sekitar 75-80% etambutol
diserap di saluran cerna. Makanan tidak mempengaruhi absorpsi obat. Kadar
puncak plasma dicapai dalam waktu 2-4 jam setelah pemberian. Dosis tunggal 25
32
mg/kg BB menghasilkan kadar plasma sekitar 2-5 ìg/ml dalam 2-4 jam, kurang
dari 1 ìg dalam 24 jam. Masa paruh eliminasinya 3-4 jam dan dapat memanjang
sampai 8 jam pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Etambutol secara
bebas melewati plasenta dengan cord to maternal serum ratio adalah 0,75.
Penelitian pada kelinci terdapat efek monoftalmia sedangkan pada tikus terjadi
penurunan kesuburan. Rata-rata malformasi yang dilaporkan pada 638 bayi yang
dilahirkan oleh ibu yang mendapat etambutol selama kehamilan adalah 2,2%.
Secara teori etambutol menyebabkan kemungkinan toksisitas pada mata. Hal ini
diyakinkan kembali dengan penilaian pada 6 janin yang mengalami abortus pada
minggu 5 - 12 kehamilan, tidak didapatkan gangguan pada sistem optik
embrional.5
Pirazinamid (PZA)
Adalah suatu produk, yang memerlukan konversi enzim pirazinamidase
(dihasilkan oleh mikobakterial tertentu) menjadi bentuk aktif asam pirazinoat,
masuk ke dalam sitoplasma M. tuberculosis secara difusi pasif, mengalami
konversi oleh enzim nikotinamidase/pirazinamidase menjadi bentuk aktif asam
pirazinoat (POA). PZA lebih aktif terhadap basil tuberkel semidorman karena
sistem pompa refluks yang lemah dibandingkan dengan basil sedang bertumbuh
cepat, di mana pompa refluks lebih aktif. Peradangan akut akan menurunkan pH
akibat produksi asam laktat oleh sel-sel inflamasi, hal ini menguntungkan
aktivitas PZA. Berkurangnya peradangan akan meningkatkan pH lingkungan
basil tuberkel yang berakibat pada peningkatan konsentrasi hambat minimal
PZA. Kuman dalam keadaan dorman tidak dapat dipengaruhi karena pada saat
itu ambilan PZA tidak terjadi. Banyak penelitian menyatakan daya sterilisasi obat
ini dalam makrofag, dengan konsentrasi ≥ 20μg/ml menghambat basil
tuberculosis intraseluler. Efek bakteriostatik atau bakterisidal terhadap M.
tuberculosis tergantung dosis (konsentrasi PZA), serta lamanya paparan terhadap
makrofag yang terinfeksi M. tuberculosis. Pada berbagai studi dan laporan tidak
ditemukan efek teratogenik yang bermakna pada hewan dan malformasi janin
33
pada pasien yang telah diterapi. Penggunaan PZA pada wanita hamil telah
direkomendasikan oleh International Union Against Tuberculosis and Lung
Disease secara rutin, namun di Amerika dilarang karena tidak adanya data yang
adekuat mengenai efek teratogeniknya. Efek samping utama dari penggunaan
obat ini adalah hepatitis, juga dapat terjadi nyeri sendi dan kadang-kadang dapat
menyebabkan serangan arthritis gout yang kemungkinan disebabkan
berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Pemberian intermiten dapat
mengurangi kejadian tersebut. Efek samping lain adalah anoreksia, mual,
muntah, disuri, demam dan reaksi hipersensitivitas.5
Streptomisin
Melewati plasenta dengan cepat sampai ke sirkulasi janin dan cairan
amnion serta mencapai kadar kurang dari 50% dibandingkan kadar ibu. Efek
samping yang dilaporkan dari berbagai studi pada hewan yaitu ototoksik. Tuli
kongenital telah dilaporkan terjadi pada bayi yang terpajan selama dalam
kandungan, walaupun tidak ada hubungan yang pasti tentang mekanisme
ototoksik dengan pajanan selama kehamilan. Pada negara berkembang
dianjurkan tidak menggunakan streptomisin selama kehamilan.5
Kanamisin
Merupakan obat lini kedua dan merupakan variasi dari aminoglikosida,
mempunyai efek samping yang sama dengan streptomisin dan sebaiknya tidak
digunakan pada kehamilan kecuali pada MDR. Etionamid mempunyai penetrasi
yang baik ke semua jaringan termasuk cairan serebrospinal. Etionamid
dinyatakan potensial bersifat teratogenik dan sebaiknya dihindari penggunaan
pada kehamilan kecuali jika dibutuhkan pada kasus MDR-TB. Efek samping
lainnya seperti hepatitis, neuritis optic dan neuritis perifer. Dosis 0,5 - 1
gram/hari dalam dosis terbagi.5
34
Fluoroquinolones (Ciprofloxacin, Gatifloxacin, Moxifloxicin and
Norfloxacin).
Tidak terbukti meningkatkan kejadian kelahiran abnormal dalam
penggunaannya. Akan tetapi pada percobaan menggunakan binatang dengan
ciprofloxacin dilaporkan adanya risiko kerusakan dari articular cartilage dan
subsequent juvenile arthritis dengan penggunaan jangka pendek serta
diperkirakan terjadi kerusakan dari sendi pada penggunaan jangka panjang. Oleh
karena itu harus benar-benar dipertimbangkan dalam penggunaannya.5
Amoxycillin/Clavulanic Acid,
Belum terbukti adanya efek teratogenik pada percobaan binatang.
Amoxycillin/clavulanic acid biasa dipakai pada kehamilan trimester akhir
sebagai profilaksis pada wanita dengan prolonged rupture of membranes tanpa
adanya laporan yang merugikan, akan tetapi tidak banyak laporan pada
penggunaan trimester pertama kehamilan. Amoxycillin/clavulanic acid memiliki
peran kecil pada pengobatan wanita hamil dengan MDR-TB dan tidak cukup
tersedia alternatifnya.5
Kapreomisin
Merupakan obat lini kedua yang diberikan secara intramuskular.
Kapreomisin secara umum merupakan kontraindikasi untuk ibu hamil, hanya
digunakan dengan pertimbangan benar-benar terhadap risiko dan kegunaannya.
Biasanya obat ini digunakan untuk MDR-TB 3 kali seminggu. Obat ini
dilaporkan bersifat teratogenik pada percobaan menggunakan tikus yang hamil.5
Cycloserine
Obat ini tidak terbukti bersifat teratogenik pada percobaan menggunakan
tikus, akan tetapi tidak cukup bukti dari studi pada manusia utnutk konfirmasi
keamanan obat ini untuk wanita hamil. Oleh karena itu harus benar-benar
dipertimbangkan penggunaannya.5
Para-Aminosalicylic Acid (PAS)
35
Dilaporkan belum cukup bukti keamanannya pada pemakaian untuk
kehamilan baik studi pada manusia maupun pada binatang. Hanya pernah ada
satu studi dari 123 pasien yang mendapatkan PAS, melaporkan adanya angka
kejadian abnormalitas pada anggota tubuh dan telinga yang lebih tinggi
dibandingkan OAT lain. Oleh karena itu harus benar-benar dipertimbangkan
penggunaannya.5
Amikacin
Obat yang tergolong aminoglycosides, yang mana semua obat golongan
ini berpotensi menimbulkan nephrotoksitas dan ototoksitas pada fetus dan
penggunaannya tidak direkomendasikan pada wanita hamil. Oleh karena itu
penggunaan obat ini pada kehamilan seharusnya merupakan pilihan akhir setelah
benar-benar mempertimbangkan untung ruginya 5
XV. KOMPLIKASI
Komplikasi pada penderita tuberkulosis antara lain hemoptisis berat
(perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena
syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan napas, kolaps dari lobus akibat retraksi
bronchial, bronkiectasis dan fibrosis pada paru, pneumotoraks spontan: kolaps
spontan karena kerusakan jaringan paru, penyebaran infeksi ke organ lain seperti
otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya, insufisiensi Kardio Pulmoner
(Cardio Pulmonary Insufficiency). Komplikasi obstetrik yang dilaporkan adalah
abortus spontan, uterus yang kecil, peningkatan berat badan hamil yang tidak
optimal. Lainnya adalah lahir prematur, berat badan lahir rendah, dan meningkatnya
mortalitas neonatus.3,4,11
Tuberkulosis kongenital merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada
infeksi tuberkulosis in utero yang merupakan akibat penyebaran hematogen
maternal. Tuberkulosis kongenital sulit didiagnosis karena gejalanya mirip infeksi
neonatal dan kongenital lainnya. Gejala biasanya muncul pada 2-3 minggu
36
pascapartus. Gejalanya berupa hepatosplenomegali, distress pernapasan, demam dan
foto toraks biasanya abnormal.3,4
XVI. PROGNOSIS
Tuberkulosis tidak mempengaruhi kehamilan dan kehamilan tidak
mempengaruhi manifestasi klinis dan progresivitas penyakit bila diterapi dengan
regimen yang tepat dan adekuat. Pemberian regimen yang tepat dan adekuat ini akan
memperbaiki kualitas hidup ibu, mengurangi efek samping obat-obat tuberkulosis
terhadap janin dan mencegah infeksi yang terjadi pada bayi yang baru lahir.3,4
Diagnosis yang telat merupakan faktor independen dimana akan
meningkatkan morbiditas sebanyak empat kali lipat, dan kelahiran premature
meningkat sebanyak sembilan kali lipat. Prognosis pada wanita hamil sama dengan
prognosis wanita yang tidak hamil. 3,4
37
BAB III
PEMBAHASAN
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang menular dan dapat menyerang
berbagai organ dalam tubuh, dan terutama menyerang paru. Infeksi ini disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis dalam kehamilan merupakan
tuberkulosis yang dijumpai dalam masa kehamilan. Pada perempuan hamil TB
memberi pengaruh pada kehamilan dan janin terkait dengan keterlambatan
pengobatan. Lebih dari 90% perempuan hamil dengan TB aktif muncul dari populasi
perempuan hamil dengan infeksi tuberkulosis yang tidak diobati. Mortalitas perinatal
pada perempuan hamil yang menderita TB enam kali lebih tinggi jika dibandingkan
kontrol dengan insidens prematuritas dan berat badan lahir rendah meningkat dua
kali lipat. Diagnosis dan pengobatan yang terlambat berhubungan dengan
meningkatnya morbiditas ibu empat kali lebih tinggi.4
Pada pasien tersebut, dari anamesis ditemukan gejala batuk darah sejak 1
minggu yang lalu. Darah berwarna merah segar, timbul saat batuk berat. Pada
pemeriksaan fisik tidak didapatkan respiratory rate 24 kali per menit, Maka menurut
teori yang dikemukan oleh Good et al bahwa ibu hamil yang dicurigai menderita TB
paru dapat diketahui dari gejala yang ditimbulkan. Good et al melaporkan bahwa dari
27 wanita hamil dengan pemeriksaan biakan sputum yang positif, didapatkan 74%
gejala batuk, 41% penurunan berat badan, 30% demam, malaise dan lelah, 19%
batuk darah dan 20% tanpa gejala. Oleh karena itu perlu dilakukan penapisan pada
perempuan hamil dengan risiko tinggi terkena TBC melalui pemeriksaan antenatal.
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah uji tuberkulin, sputum BTA dan pemeriksaan
biakan.5,7,8
Menurut World Health Organization (WHO), insidens TB pada tahun 2008
adalah 9,4 juta dan 3,6 juta di antaranya menginfeksi wanita. TB merupakan salah
satu penyebab terbesar kematian pada wanita, yaitu sekitar 700.000 kematian setiap
tahun, dan sepertiga dari kematian tersebut terjadi pada wanita usia subur. Suatu
38
penelitian lain yang dilakukan di UK pada tahun 2008, insidens TB pada kehamilan
adalah 4,2 per 100.000 kehamilan.5,6
Prevalensi TB bervariasi di berbagai negara. Prevalensi TB dalam kehamilan
di Indonesia menurut survei nasional tahun 2004 adalah 119/100.000 penduduk dan
dalam kehamilan prevalensi tuberkulosis bervariasi antara 0,37-1,6%.7 pada kasus
pasien ini sesuai dengan insidensi yang terjadi di Indonesia.
Pengobatan TB dalam kehamilan menurut rekomendasi WHO adalah dengan
pemberian 4 regimen kombinasi isoniazid, rifampicin, etambutol, dan pirazinamid
selama 6 bulan. Cara pengobatan sama dengan tidak hamil. Dapat juga diberikan 3
regimen kombinasi, isoniazid, rifampicin, etambutol selama 9 bulan. Angka
kesembuhan 90% pada pengobatan selama 6 bulan directly observed therapy (DOT)
pada infeksi baru.7
Saat persalinan mungkin diperlukan oksigen yang adekuat dan cara
persalinan sesuai indikasi obstetrik. Pemakaian masker dan ruangan isolasi
diperlukan untuk mencegah penularan.7 Namun pada pasien ini tidak diberikan
karena belum dapat dipastikan apakah pasien tersebut menderita TB Paru yaitu
dengan pemeriksaan sputum BTA.
Diet untuk penderita TB sangat penting karena kebanyakan penderita
mengalami kekurangan gizi. Kekurangan (defisiensi) protein menghambat
kemampuan tubuh untuk melawan infeksi.
Selain pengobatan antibiotik, diet TB yang tepat juga diperlukan untuk
memasok tubuh dengan berbagai nutrisi penting. Konsumsi alkohol harus benar-
benar dihindari selama mengidap TB karena bisa menyebabkan memburuknya
kondisi dan komplikasi lebih lanjut. Makanan berminyak dan pedas juga harus
dihindari. Dengan pengobatan yang tepat dan diet sehat, suat kemungkinan untuk
mendapatkan berat badan yang sehat. Diet TB harus terdiri dari banyak buah dan
sayuran segar. Hal ini penting untuk mempertahankan asupan kalori yang tepat.
Mengkonsumsi berbagai buah-buahan dan sayuran. Diet untuk pasien tb juga harus
memasukkan kacang-kacangan. Hal ini membantu untuk menjaga berat badan dan
39
juga membangun kekebalan terhadap penyakit lebih lanjut. Susu dan produk susu
juga harus menjadi bagian dari diet. Ada juga produk susu rendah lemak dan lemak
bebas tersedia saat ini.
Selain diet yang tepat, individu juga harus mendapatkan istirahat yang cukup
sehingga sistem kekebalan tubuh dapat pulih dan berfungsi dengan baik. Ketika
terpengaruh dengan TBC, disarankan untuk tinggal di rumah
Kebutuhan nutrisi pada penderita TB
Energi
Kebutuhan energi pada pasien TB meningkat karena penyakit itu sendiri. Kebutuha
energy sekitar 35 - 40 kkal per kilogram berat badan ideal.
Protein
Asupan protein diet adalah penting untuk mencegah pemborosan cadangan tubuh
(misalnya jaringan otot). Sebuah asupan 1.2 - 1,5 g per kilogram berat badan atau
15% dari energi total harian asupan atau sekitar 75 - 100 g per hari akan cukup.
Makanan dan zat yang perlu dihindari untuk digunakan
Seperti yang selalu terjadi untuk kesehatan yang baik, ada makanan tertentu
yang tidak boleh makan dan zat Anda tidak harus menggunakan.
Hindari tembakau dalam segala bentuk.
Jangan minum alkohol - dapat menambah risiko kerusakan hati dari beberapa
obat yang dipakai untuk mengobati TB Anda.
Batasi kopi dan minuman berkafein lainnya.
Batasi produk olahan, seperti gula, roti putih, dan nasi putih.
Hindari tinggi lemak, tinggi kolesterol daging merah dan bukannya beban di
sumber protein lebih ramping seperti unggas, kacang, tahu, dan ikan.
Terapi diet bertujuan memberikan makanan secukupnya guna memperbaiki
dan mencegah kerusakan jaringan tubuh lebih lanjut serta memperbaiki status gizi
40
agar penderita dapat melakukan aktifitas normal. Terapi untuk penderita kasus
Tuberkulosis Paru menurut (Almatsier Sunita, 2006) adalah:
a. Energi diberikan sesuai dengan keadaan penderita untuk mencapai berat
badan normal.
b. Protein tinggi untuk mengganti sel-sel yang rusak (75-100 gr).
c. Lemak cukup 15-25 % dari kebutuhan energi total.
d. Karbohidrat cukup sisa dari kebutuhan energi total.
e. Vitamin dan mineral cukup sesuai kebutuhan total.
Dapat dilihat dibawah ini bahan makanan yang dianjurkan dan tidak
dianjurkan pada penderita tuberculosis.
Bahan Makanan Dianjurkan Tidak Dianjurkan
Sumber karbohidrat Nasi, roti, dan hasil olahan
tepung seperti kue
Dimasak dengan banyak
minyak kelapa atau santan
kental
Sumber protein Daging sapi, ayam, ikan,
telur, susu, dan hasil
olahan seperti keju dan
yoghurt
Dimasak dengan banyak
minyak kelapa
Sumber protein nabati Semua jenis kacang-
kacang dan hasil
olahannya seperti tempe
dan keju
Sayuran Semua jenis sayuran
seperti; bayam, buncis,
daun singkong, kacang
41
panjang, labu siam dan
wortel direbus, ditumis
dan kukus
Buah-buahan Semua jenis segar seperti;
pepaya, semangka, melon,
pisang, buah kaleng, buah
kering dan jus buah
Minuman Madu, sirup, teh dan kopi
encer
Minuman rendah kalori
Lemak dan minyak Minyak goreng, mentega,
margarin, santan encer,
salad
Santan yang kental
Program diet dan perencanaan waktu makan
Diet Tinggi Energi Tinggi Protein (TETP) bertujuan memberikan makanan
secukupnya untuk memenuhi kebutuhan kalori dan protein yang bertambah guna
mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh atau guna menambah berat
badan hingga mencapai normal. Syarat diet ini adalah tinggi kalori, tinggi protein,
cukup vitamin dan mineral, serta mudah dicerna.
Macam Diet Tinggi Energi Tinggi Protein untuk penyakit TB:
a) Diet Tinggi Energi Tinggi Protein I (TETP 1)
a. Energi: 2600 kalori
b. Protein 100 gr (2/kg BB).
b) Diet Tinggi Energi Tinggi Protein II (TETP II)
a. Energi 3000 kalori
b. Protein 125 gr (2,5 gr/kg BB)
42
Penderita dapat diberikan salah satu dari dua macam diit Tinggi Energi
Tinggi Protein (TETP) sesuai tingkat penyakit penderita. Untuk memudahkan diet
Tinggi Energi Tinggi Protein (TETP), penambahan konsumsi kalori dan protein
dilakukan dengan memberikan penambahan lauk dan susu. Sumber protein hewani
yang baik diberikan adalah ayam, daging, hati, telur, susu, dan keju, sedangkan
sumber protein nabati adalah kacang-kacangan dan hasilnya, seperti tahu, tempe, dan
oncom. Makanan yang terlalu manis dan gurih yang dapat mengurangi nafsu makan,
seperti gula-gula, dodol, kue, tarcis dan sebagainya, adalah bahan makanan yang
harus dihindari.
43
DAFTAR PUSTAKA
1. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis.
Jakarta. Kementerian Kesehatan RI. 2013.
2. Global Tuberculosis Report 2013. World Health Organization.2013.
3. Loto, M.O, Awowole. Tuberculosis in Pregnancy. Journal of Pregnancy.
Nigeria. 2012.
4. Lukito F. Tuberkulosis pada Kehamilan. Jakarta. FK-Unika Atma Jaya. 2012.
5. Meiyanti. Penatalaksanaan Tuberkulosis pada Kehamilan. Jakarta. Universa
Medicina. 2007.
6. Mnyani. Tuberculosis in Pregnancy. South Africa. BJOG. 2011.
7. Saifuddin, AB, dkk. Ilmu Kebidanan. Jakarta. PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. 2010. Hal: 806-808.
8. Sudoyo, AW, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta.
FKUI .2007. Hal: 998-1003.
9. Norwitz, E, dkk. Maternal-Fetal Medicine. USA. Cambridge University
Press. 2007. Hal: 212.
10. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta. Kementerian
Kesehatan RI. 2012. Hal: 1-29.
11. Benson, dkk. Obstetrics & Gynecology. Singapore. The McGraw-Hill
Companies.2006.
12. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006.
13. Petunjuk Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis Fixed Dose Combination
(OAT-FDC). Jakarta. Departemen Kesehatan RI.2004.
44