PRILAKU DALAM BEBERAPA MASYARAKAT
DI SUMATERA JAWA DAN BALI
MAKALAH
Oleh :
MUHAMAD SAMSUDINNIM : 2012141019
UNIVERSITAS KUNINGANFAKULTAS HUKUM
2013
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang dalam kami sampaikan ke hadiran Tuhan Yang Maha Pemurah,
karena berkat kemurahanNya makalah ini dapat kami selesaikan sesuai yang
diharapkan.Dalam makalah ini kami membahas “prilaku dalam bebarapa masyarakat disumatera
jawa dan bali”, suatu perbedaan antar suku yang mempunyai cirri khas tersendiri yang
menyimpan sejuta keindahan untuk kita simak.
Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman perbedaan antar suku serta
kebudayaan dalam memahami berbagai unsur prilaku serta budaya dan sekaligus melakukan
apa yang menjadi tugas mahasiswa yang mengikuti mata kuliah “Antropologi Budaya
Hukum”
Dalam proses pendalaman prilaku dalam berbagai masyarakat ini, tentunya kami
mendapatkan bimbingan, arahan, koreksi dan saran, untuk itu rasa terima kasih yang dalam-
dalamnya kami sampaikan” : ANTHON FATHANUDIEN., SH.MH selaku dosen mata
kuliah “Antropologi Budaya Hukum” .
Demikian makalah ini saya buat semoga bermanfaat,
Kuningan , 01 Januari 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isii
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Maksud dan Tujuan
Bab II Pembahasan
II.1. Prilaku orang Aceh
II.2. Prilaku Orang Batak
II.3. Esensi dan eksistensi Toleransi Orang Jawa
II.4. Historis Membentuk Identitas Kebudayaan Bali
Bab III Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia dan kehidupannya selalu menarik untuk kita kaji. Hal itu disebabkan objek
kajiannya adalah diri kita sendiri maupun orang-orang disekitar kita. Ilmu yang
mengkaji masalah kehidupan manusia salah satunya antropologi/sosiologi.
Antropologi adalah salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari tentang budaya
masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari
ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang
berbeda dari apa yang dikenal di Eropa.Antropologi lebih memusatkan pada
penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan
masyarakat yang tinggal daerah yang sama.
Sosiologi adalah salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari tentang hubungan-
hubungan sosial yang ada dalam masyarakat, memfokuskan kajiannya pada peran dan
kedudukan individu dalam masyarakat serta hubungan diantara keduanya.
Antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitik beratkan pada
masyarakat dan kehidupan sosialnya.
B. Rumusan Masalah
Adapun Rumusan Masalah dari Latar Belakang diatas adalah untuk mengetahui
manfaat-manfaat apa saja yang terkandung di dalam antropologi hukum.
C. Maksud dan Tujuan
Penulisan makalah ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Memenuhi tugas mata kuliah Antropologi Hukum
2. Memberikan gambaran teori mengenai Peran, Status, Nilai, Norma, dan juga
Budaya/kebudayaan dalam kaitannya dengan masyarakat sebagai sasaran ilmu
Sosiologi.
3. Sebagai arahan agar mahasiswa dapat mengkorelasikan prilaku dalam beberapa
masyarakat serta hubungan antara teori Peran, Status, Nilai, Norma dan
Budaya/kebudayaan dengan kehidupan masyarakat di kehidupan yang nyata.
BAB II
PRILAKU DALAM BEBERAPA MASYARAKAT DI SUMATERA, JAWA DAN
BALI
Lapangan penelitian antropologi hukum ditujukan pada garis prilaku manusia yangterus-
menerus terjadi, pola ulang prilaku manusia yang selalu ama dan sering berlaku, itulahyang
merupakan norma, dan apabila norma itu mempunyai akibat hukum, yang menimbulkanhak dan
kewajiban, yang mempunyai sanksi, maka norma itu merupakan norma hukum. Olehkarena
hukum itu dapat terjadi karena danya hubungan kepentingan seseorang, sebagaimanadianut
perundangan bahwa semua persetujuan yang dibuat sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya (pasal 1338 KUH Perdata).Berbagai prilaku manusia dalam
beberapa lingkungan masyarakat adat di sumatera :
1. Prilaku Orang Aceh
Semua orang yang berasal dari daerah istimewa aceh adalah orang aceh. Kecualiorang-
orang Gayo dan Alas yang sistem kemasyarakatannya berdasarkan kekerabatan, makaseluruh
masyarakat aceh merupakan masyarakat teritorial keagamaan. Walaupun masihnampak
adanya pengaruh keturunan bangsawan dengan gelat teuku bagi keturunan pria dangelar cut
bagi keturunan wanita yang demikian banyaknya, orang-orang aceh tidak mengenalsistem
klen. Kehidupan yang bersifat parental atau bilateral mendiami tempat kediaman yang
disebut “mukim”, “gampong” atau “meunasah”, yang dipakai oleh kepala mukim,
keucik (kepala kampung) dan teuku kepala meunasah (pusat pengajian kampung), disamping
orang-orang tua selaku pemuka masyarakat setempat, merekalah yang berprilaku sebagai
kepalaadat dan berperan menjadi penengah atau jurudamai dalam menyelesaikan perselisihan
adat setempat. Orang aceh tidak biasa dalam pertemuan warga masyarakat menanyakan
hubungankekerabatan, mengusut-usut pertalian daerah atau pertalian perkawinan seperti orang
batak meminta cerai dikarenakan dimadu, suami mempunyai isteri lain. Sedangkan mengapa
suamimenceraikan isterinya karena alasan biologis, kebanyakan karena isteri melakukan
perbuatanserong atau tidak punya keturunan. Alasan-alasan yang menjadi sebab perceraian
karena adapihak lain yang campur tangan, dari pihak isteri mengapa meminta cerai karena
campurtangan orang tua, sedangkan mengapa suami menceraikan istrinya karena isteri
dibujuk rayuorang lain.Menurut adat jika isteri dicerai suami maka sebaliknya sebelum suami
meninggalkanrumah isteri, ia memperbaiki kerusakan-kerusakan rumah, misalnya
memperbaiki atapdinding lantai tangga rumah, pagar pekarangan, dinding (keupalang) sumur
dan diberinyapula pakaian untuk istrinya. Selama masa idah suami mengirimkan nafkah pada
isterinya, jikaada anak-anak, maka semua anak tinggal pada isterinya, dan kewajiban suami
memberinafkah untuk anaknya dan sewaktu-waktu suami datang menjenguk anak-anaknya.
Apabilaistri tidak mengurus anak-anaknya dengan baik maka suami dapat mengambil anak-
anaknyaitu, jika terjadi perselisihan mengenai anak-anak, maka penelesaiannya dilakukan
dihadapanKeuchiq dan Teungku Meunasah dengan rukun dan damai, biasanya anak yang masihmenyusu
tetap dipelihara ibunya dengan bantuan biaya suaminya sedangakan yang sudahagak besar
dapat ikut suami, dan apabila sudah besar boleh memilih ikut ayah atau ibunya.Jika terjadi
perceraian maka areuta peunulang tetap tinggal pada isteri menjadi areutatuha untuk
diberikan dan dibagikan kepada anak-anaknya dikemudian hari. Sedangkanmengenai areuta
sihareukat dapat dibagi berimbang banyaknya antara suami dan istri atausepertiga bagian
bagi istri dan dua pertiga bagian bagi suami sebaliknya menurut keadaansetempat dan sejauh
mana istri ikut berperan dalam pengumpulan harta pencarian itu. Dengandemikian dalam
keluarga Aceh yang hidup rukun sampai umur tua, ada kemungkinanmempunyai tiga macam
harta yang akan menjadi harta warisan bagi para waris dari pewarisyang wafat, yaitu areuta
tuha, areuta peunulang dan areuta sihareukat. Areuta Tuha adalahharta yang menjadi milik
suami istri (ayah-ibu) masing-masing yang berasal dari hibah,wasiat atau warisan orang tua
masing-masing. Areta Peunulang adalah harta yang dimilikiistri (ibu) berasal dari pemberian
orang tua atau mertua ketika berpisah hidup berumah tanggasendiri (dipeungkleh).Menurut
hasil penelitian Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat UniversitasSyiah Kuala tahun
1980/1981 di daerah tingkat II Aceh Besar, apabila pewaris wafat, makayang berhak menjadi
waris adalah semua anak pria dan wanita, semua cucu dari anak laki-laki, ayah dan ibu kakek
dan nenek, sudara laki-laki, paman, anak-anak paman, janda dan ataududa yang mamsih
hidup. Jika pewaris tersebut semuanya ada maka yang diutamakan mendapat bagian warisan
adalah ayah dan ibu mendapat 1/6 bagian, janda 1/8 bagian, duda ¼bagian, kemudian anak
laki-laki dan perempuan dengan perbandingan anak laki-lakimendapat satu bagian,
sedangkan anak perempuan setengah bagian.Pelaksanaan pembagian warisan (peurae atau
weuk-pusaka) dilakukan denganberpedoman pada hukum islam dan memperhatikan hukum
adat, artinya tidak mutlak berpegang pada hukum Islam melainkan juga diperhatikan adat
yang tradisional yaitukepentingan anak-anak wanita yang diutamakan dari anak-anak laki-
laki. Dalam praktek pelaksanaan pembagian warisan dilakukan dalam tenggang waktu paling
cepat tujuh hari, atau44 hari atau 100 hari sejak wafatnya pewaris, maksud tenggang waktu
tersebut adalah untuk memberi kesempatan bagi para penagih utang atau pembayar yang
menyelesaikan utangpiutang pada waris. Tenggang waktu tersebut juga tidak mutlak, masih
diperhatikan jika parawaris masih ada yang masih anak-anak. Jika demikian pembagian
warisan ditangguhkanpelaksanaannya sampai anak-anak dewasa, dan warisan dikuasai dalam
keadaan tidak terbagi-bagi di tangan ayah atau ibu yang masih hidup.Menurut hasil penelitian
Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat UniversitasSyiah Kuala tahun 1980/1981 di
daerah tingkat II Aceh Besar pelaksanaan hibah dapatberlaku tidak saja terhadap bangunan
rumah atau tanah kepada anak-anak wanita, tetapi jugamungkin perhiasan dan ternak yang
bukan saja diberikan bagi keperluan anak melainkan jugakeperluan orang lain. Biasanya
penghibahan itu dilakukan orang tua dihadapan keuchiq,Teungku Meunasah dan orang-orang
tua (Tuha Peuet) serta para ahli waris. Apabila ketikahidupnya orang tua belum
menghibahkan harta kepada anak-anaknya, maka sebelum iameninggal ia dapa berwasiat
(wasiet), meninggalkan pesan tentang harta kekayaan yang akanditinggakannya, baik dengan
lisan maupun dalam bentuk tulisan, wasiat itu dikemukakannyadengan diketahui oleh
Keuchiq, Teungku Meunasah dan Tuha Peuet serta ahli waris. Jumlahharta yang diwasiatkan
itu juga tidak boleh lebih dari 1/3 bagian harta kekayaannya, baik wasiat untuk para ahli
waris maupun kepada orang-orang yang berjasa kepada pewaris atauuntuk maksud tertentu.
Jika wasiat melebihi 1/3 bagian dari harta peninggalan maka para ahliwaris berhak menuntut
pembatalannya.Anak-anak sebagai ahli waris dibedakan yang pria dan yang wanita, yang pria
akanmendapat dua bagian sedangkan anak wanita sebagian, sedangkan anak yang lahir di
luarperkawinan yang sah hanya mewaris dari ibu biologisnya, dan anak tiri hanya mewaris
dariorang tua yang melahirkannya. Pewarisan itu tidak menimbulkan masalah jika
warisnyatunggal, jika ahli waris anak laki-laki tunggal maka semua harta peninggalan orang
tuanyadiwarisinya sendiri, ialah yang berkuasa mengaturnya, tetapi jika waris tunggal anak
wanita maka ia hanyamendapat seperduanya dan jika anak wanita ada dua orang, maka
merekaberhak atas 2/3 bagian dari harta warisan.
2. Prilaku Orang Batak
Orang-orang batak terdiri beberapa kesatuan masyarakat yang disebut Batak Toba,Batak
Karo, Batak Simalungun, Pardembanan (Asahan), Batak Pak-Pak (Dairi), Batak Angkola,
Batak Mandaling. Daerah kediaman asal mereka ialah di daerah pegunungan sampaipantai barat dalam
Provinsi Sumatra Utara. Budaya hukum orang Batak dipengaruhi ajaran kepercayaan asli
“perbegu”, pemujaan roh kerabat yang telah meninggal (Masri Singarimbun -
Koentjaraningrat, 1964-42), atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Tinggi yang
disebutOmpu Tuan Mula Djadi na Bolon atau singkatnya Debata, selanjutnya ia mempunyai
namalain sebagaimana dikemukakan PH.O.L.Tobing. “As the god of the upperworld he is not
only called Mula Djadi na Bolon, but alsoTuan Budi na Bolon; as the God of the
middleworld he has the same names, but alsothe name of Ompu Silaon na Bolon (=Radja
Pinangkabo); as the God of theunderworld, of the sea and the lightning he is not only called
Mula Djadi na Bolon, but also Tuan Pane na Bolon” (PH.O.L.Tobing, 1963 : 35)
Jadi menurut kepercayaan asli Batak (Toba) ada Dewata penguasa dunia atas,
Dewatapenguasa dunia tengah dan Dewata penguasa dunia bawah, selain itu orang batak jugadipengaruhi
ajaran Hindu Jawa (Budha Tantrik) dalam abad ke-13. Namun kemudianorangBatak
dipengaruhi ajaran Islam, terutama didaerah Angkola dan Mandailing dan ajaranKristen di
daerah Toba dan lainnya. Hal mana tidak berarti tidak ada orang batak Toba, Karoyang
beragama Islam atau sebaliknya beragama Kristen. Bahkan adakalanya dalam satukeluarga
Batak suami beragama Islam istri beragama Kristen atau orang tua beragama Islamanak
beragama Kristen. Apalagi orang-orang Batak sudah banyak yang merantau dan
terjadiperkawinan antar suku dan atau perkawinan dengan orang asing.Hubungan
kekerabatan orang Batak didasarkan pada adanya pertalian darah yangditarik menurut garis
keturunan ayah (genea-logis patrilineal) dan pertalian perkawinan antarapihak pemberi dara
(Toba: Hula-Hula, Karo: Kalimbubu) dengan pihak penerima dara (Toba: Boru, Karo: Anak
Beru). Jadi setiap anak pria atau wanita Batak akan menarik garisketurunannya melalui garis
ayah, dengan memakai nama marga ayah.
3. Esensi dan eksistensi Toleransi Orang Jawa
Dalam dasawarsa terdahulu para pengamat seringkali menyebut istilah “sinkretisme
Jawa” dan relativisme Jawa”. Namun istilah tersebut, sejak pecahnya revolusi nasional
Indonesia telah berubah dan lebih popular dengan sebutan “toleransi orang Jawa” sebagai
watak mereka yang paling utama. Terlepas orang Jawa sendiri secara tradisional menganggap
toleransi sebagai salah satu wataknya yang menonjol atau tidak, namun yang jelas akhir-akhir
ini tampaknya mereka juga merasa bangga karena reputasi mereka akan keterbukaannya dan
sikap lapangdadanya.
Meluasnya istilah toleransi dalam masyarakat Jawa itu telah diakui oleh beberapa kalangan
dan merupakan kesatuan pendapat di kalangan orang-orang asing yang menekuni pada hal
ini, termasuk orang Jawa sendiri yang terpelajar. Hal ini disebabkan oleh faktor psikologis,
politis dan historis. Bahkan lebih naïf lagi bahwa kesatuan pendapat ini lebih cenderung
menutupi gagasan “toleransi Jawa”.
Menurut Anderson bahwa pengertian “relativisme Jawa” seharusnya tidak dipahami sebagai
toleransi terhadap perbedaan-perbedaan umum dengan mengabaikan masalah ras, warna dan
kepercayaan. Dalam kenyataannya, relativisme Jawa tidak berlaku bagi kelompok-kelompok
dan etnis lainnya yang ada di Indonesia. Dengan kata lain terhadap siapa orang Jawa merasa
sedikit lebih unggul? Selain itu, sikap toleransi Jawa juga tidak berlaku bagi orang-orang
Cina dan Eropa.
Kedua komunitas ini mempunyai prestise ambigu yang diwarisi dari penjajahan dulu. Atas
dasar pengalaman ini pula orang jawa menyarankan agar anak mereka tidak kawin dengan
orang Cina dengan alasan abu mereka lebih tua. Dengan pengertian lain anak-anak mereka
akan menjadi lebih Cina dari pada Jawa. Meskipun orang-orang Cina dalam beberapa hal
lebih bisa diterima oleh orang Jawa di banding dengan Sunda. Hal ini secara historis orang-
orang Cina di Jawa Tengah dan Jawa Timur sudah berinteraksi sejak dahulu kala. Sementara
itu orang-orang Cina setempat telah menyatu dengan kebudayaan Jawa. Dari sini munculah
suatu pertanyaan, dalam hal apa toleransi Jawa itu tampak nyata?
Hampir tidak ada keraguan bahwa gagasan toleransi di atas pasti ada hubungannya dengan
sifat khas dari agama itu sendiri utamanya yang terdapat di Jawa. Suatu formulasi Jawa yang
tipikal mungkin akan berbunyi “sudah tentu saya orang Islam, tetapi bukan orang muslim
yang panatik seperti orang Aceh. Kami orang-orang Islam Jawa bisa bergaul dengan Kristen
dan Budha. Kami melihat kebenaran dalam semua agama dan tidak hanya ada di kepercayaan
kami.
Pandangan di atas terkesan sangat inklusif, toleran dan relatif. Namun dalam faktanya,
meskipun orang-orang Jawa secara kuantitatif mayoritas adalah bergama Islam, tetapi ikatan
spiritual yang nyata dari sebagian besar orang Jawa terhadap agama ini lebih sedikit dari
jumlah nominalnya (h.4).
Kekuatan dalam memilih partai-partai Islam di Jawa misalnya, mayoritas adalah orang-orang
Sunda di Jawa Barat dan Madura di Madura dan ujung Timur pulau Jawa. Di antara orang-
orang Jawa, Islam paling kuat adalah berada di daerah pesisir pantai Utara. Hal itu karena
secara historis banyak dipengaruhi oleh kebudayaan-kebudayaan asing—Cina, Arab dan
Eropa-, sementara itu secara politis dan sosial Islam jauh dari pusat kebudayaan Jawa yang
terletak di Jawa Tengah bagian Selatan.
Oleh karena mayoritas orang Jawa tidak merasa dirinya Islam dalam pengertian
sesungguhnya, maka toleransi mereka terhadap kepercayaan atau agama yang bukan Islam
kurang dianggap sebagai persoalan yang prinsip. Tetapi hal tersebut justru dianggap hanya
merupakan suatu pertahanan yang berguna melawan tuntutan politik dan moral dari minoritas
Islam yang ortodoks dan agresif. Atau dalam contoh klasik pertentangan antara kelompok
santri (orang-orang islam yang taat) dengan abangan (orang-orang islam biasa). Dengan
demikian makna toleransi dalam konteks itu lebih merupakan senjata untuk menyangkal
keunggulan santri dan menjamin terus adanya dominasi abangan yang tradisional itu.
Pandangan di atas akan semakin jelas lagi ketika orang melihat pada sikap orang-orang Jawa
abangan terhadap umat Kristen. Di berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur umat
Protestan dan Katolik telah memainkan peranan sejarah yang pentimg (h.5). Dengan masuk
Kristen orang akan terbebas dari herarki masyarakat Jawa yang ada, dimana kedudukan dan
agama saling berjalin berkelindan, karena kekuasaan spiritual tertinggi diberikan kepada
penguasa-penguasa duniawi Jawa, seperti Susuhunan Surakarta dan SultanYogyakarta. Dari
pihak umat Kristen kaum Katolik telah membuat kemajuan yang mengagumkan di Jawa
karena pastur-pastur mereka kebanyakan orang Jawa dan biasanya mereka menunjukkan
kemauan yang sungguh-sungguh untuk menyesuaikan diri dengan gagasan-gagasan
tradisional Jawa beserta prasangka-prasangkanya.
Namun demikian selalu ada posisi sosial yang hilang, yang tak terhindarkan lagi yang terjadi
karena orang Jawa yang menjadi Kristen. Tetapi yang pasti, di masa penjajahan orang-orang
Kristen Jawa mendapatkan kedudukan tertentu di dalam msyarakat, karena menganut agama
yang sama dengan penguasa kolonial. Namun demikian semenjak revolusi, prestise yang
ambigu ini sudah jelas menghilang. Tetapi bukan semata-mata ikatan kolonial masa lalu yang
mendasari perasaan-perasaan yang luas bahwa orang-orang Kristen Jawa, bahkan juga orang-
orang Katolik Jawa tidak sungguh-sungguh menjadi bagian dari keluarga Jawa dalam
pengertian yang paling luas. Seperti halnya santri-santri Islam yang kuat, orang-orang Kristen
pun juga dirasakan sebagai ancaman terhadap stabilitas tatanan tradisional. Perasaan-perasaan
demikian itu tampak sekali kuat pada saat sekarang ini, utamanya ketika persoalan-persoalan
yang menyedihkan tentang idenitas Jawa mulai menampak.
Secara singkat bisa dikatakan bahwa dalam semua agama orang Jawa melihat adanya hal
yang benar, tetapi tidak melihat adanya kebenaran yang mutlak. Dengan kata lain dia mencari
dan menyetujui gagasan Kristen yang dirasa cocok dengan jawa. Selebihnya diabaikan sama
sekali. Agama Kristen berlaku sejauh sesuai dengan kepercayaan Jawa (h.6). Demikian juga
gambaran toleransi beragama orang-orang Jawa ketika dihadapkan pada agama Budha. Di
Jawa orang-orang Budha hanyalah kelompok kecil, tetapi mereka memiliki prestise yang baik
karena beberapa sebab. Para pemeluk agama tersebut mayoritas adalah kalangan elite baik di
pusat maupun di daerah.
Dengan demikian faktor penentu yang harus diperhatikan, ketika orang menilai sampai
seberapa jauh toleransi religius orang Jawa yang sesungguhnya, adalah terletak pada
hubungan-hubungan kelas dan etnis dari kelompok religius yang ada di dalamnya. Dari sana
orang tidak dengan mudah bisa mengatakan bahwa orang-orang Jawa memiliki sikap toleran
terhadap agama kristen dan Budha, kecuali apabila sistem-sistem religius tersebut telah
berasimilasi dengan “Jawa-isme”. Selain itu, jika penganut-penganut agama tersebut adalah
orang-orang Jawa yang dihormati.
Dari pola pemikiran di atas setidaknya ada hal yang bisa kita petik bahwa apa yang selama ini
secara umum dianggap sebagai suatu keterbukaan dan toleransi yang dikagumi dari kalangan
orang Jawa, pada kenyataannya hanyalah istilah lain dari Chauvinisme cultural. Dalam
kenyataannya justru sama sekali lain dari hal-hal di atas. Hanya saja ketika kesalahpahaman
umum tertentu telah disingkirkan, orang akan merasakan dengan sebenarnya dimensi yang
menurut Anderson sangat luas dari penghargaan orang Jawa terhadap bermacam ragamnya
manusia.
Inilah sebabnya menurut Anderson watak sesungguhnya dari “toleransi” orang Jawa harus
dicari secara universal, dan bukan hanya terjebak pada setiap bentuk simbolik dari
penerimaan humanis orang-orang Jawa yang sangat abstrak terhadap sistem religius dan
kepercayaan maupun etika yang saling bertentangan (h. 8-9).
Sisi misterius dari keragaman kebudayaan Jawa selain dari makna “toleransi” yang melekat
pada masyarakatnya, di Jawa juga senantiasa dianggap memiliki mitologi religius yang
hampir diakui secara universal menyebabkan adanya ketundukan emosional dan intelektual
yang mendalam. Inilah yang ingin disebut oleh Anderson untuk lebih mudahnya dengan
tradisi wayang dan pemancar utama tradsisi tersebut.
Bagi Anderson wayang telah merefleksikan keanekaragaman hidup manusia seperti yang
dirasakan oleh orang Jawa. Meskipun demikian keanekaragaman ini diatur dengan jelas oleh
dikotomi-dikotomi yang nyata. Misalnya, ada pemisah yang fundamental antara kiri dan
kanan, sepuh dan nem (tua dan muda), Kurawa dan Pendawa, yang pada dasarnya timbul dari
adanya dualitas yang nyata dalam alam semesta: pria dan wanita, matahari dan bumi, gunung
dan laut, siang dan malam, tua dan muda.
Semua itu perlu, dan saling melengkapi satu dengan lainnya. Siang bukanlah siang kalau
tidak ada malam, dan muda bukanlah muda kalau tidak ada ketuaan yang mengintip dari
balik pundaknya. Ketegangan yang harmonis dan stabilitas yang penuh dari pandangan hidup
(weltan-scbauung) ini pada dasarnya bertentangan dengan kosmologi Kristen dan Islam, di
mana Tuhan tidak bersifat ambigu, melainkan hanya merepresentasikan satu pihak saja
(kejantanan, kebaikan, terang dan akal). Harus diakui bahwa dewasa ini, di bawah pengaruh
Kristen, Eropa, mungkin sejak akhir abad yang lalu, tradisi orang Jawa terlihat adanya
kecenderungan menyederhanakan antara hubungan yang sulit itu.
Toleransi terhadap sikap-ambigu telah mulai menurun, dan wayang telah mulai kehilangan
nilainya yang asli sehingga hanya merupakan sandiwara biasa tentang tingkah laku yang
baik. Berkembangnya penafsiran seperti ini telah mengindikasikan adanya suatu usaha untuk
mengasimilasikan kebudayaan Jawa dengan kebudayaan Barat. Tetapi perlu kita pahami
bersama bahwa hal tersebut bukanlah tradisi Jawa kuno yang asli dan halus itu, bukan pula
konsepsi religius yang relativistik yang telah berhasil mempengaruhi kehidupan, agama dan
kesenian Jawa bertahun-tahun lamanya.
Pembagian kelir pada wayang antara kurawa dan pendawa dewasa ini sering diartikan
sebagai adanya gambaran konflik antara baik dan buruk. Namun demikian adanya sifat
saling melengkapi dan saling hubungan yang bersifat ambigu dari eksistensi manusia,
digambarkan dengan baik oleh ironi bahwa kiri dan kanan tidaklah mutlak. Pada
pertunjukkan wayang misalnya, hal tersebut tergantung dari tempat mana orang
menyaksikan. Wayangnya yang asli atau bayangannya. Dengan demikian bisa jadi yang
kanan bisa menjadi kiri dan yang kiri bisa menjadi kanan.
Dalam pandangan Anderson pembagian prinsipal dari pembagian wayang itu berasal dari
adanya hubungan yang erat antara alam pikiran religius dan suatu tatanan sosial yang
ditentukan oleh sejarah. Jawa-isme adalah suatu pandangan dunia yang tidak bisa dimengerti
dalam suatu masyarakat egaliter. Konsepsi Asia Tenggara zaman dulu tentang Raja-Tuhan
telah meresap ke dalam dunia wayang. Dalam konsepsi ini penguasa duniawi merupakan
pernyataan dari penguasa ilahi. Sementara hamba raja mengambil kekuasaan sesuai dengan
jauhnya mereka dari singgasana, baik secara simbolik maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Hirarki sosial tersebut menggambarkan suatu perspektif kosmologi yang langsung
bertentangan dengan kosmologi Islam dan Kristen. Karena agama-agama ini telah
memberikan suatu kontras yang kuat antara Tuhan dan manusia.
Bagi orang Jawa kosmos tidak hanya penuh bagi kehidupan dan kekuatan hidup, melainkan
juga secara cermat di bagi dalam lapisan-lapisan. Jawa dalam hal ini tidak pernah memiliki
suatu sistem kasta, melainkan sesuatu yang berasal dari gagasan kasta murni. Setiap lapisan
atau tingkat mempunyai fungsinya sendiri yang khusus dalam lingkungan struktur sosial.
Setiap tatanan tergantung pada seluruh tatanan lainnya. Apabila yang satu telah gagal
fungsinga, maka yang lain akan berakibat menderita. Dengan demikian Raja dalam konteks
masyarakat Jawa berhubungan sekali dengan kekuasaan-kekuasaan Ilahi dan menerima
karunia mereka. Para Brahmana bertugas menyelenggarakan upacara-upacara kenegaraan dan
meneruskan kebudayaan masyarakatnya kepada generasi selanjutnya. Para satriya
mempunyai tugas untuk mengelola pemerintahan dan melindungi negara terhadap serangan-
serangan dari luar. Para pedagang mengusahakan kemakmuran ekonomi. Sedangkan para
tukang lebih mementingkan menciptakan sarana materiil katimbang sarana kebudayaan. Dari
konsep mengenai fungsi ini munculah gagasan mengenai moralitas.
Karena fungsi itu saling berkaitan dan oleh karena setiap tatanan adalah penting bagi seluruh
tatanan lainnya, penerimaan tatanan seseorang terhadap setiap tatanan tergantung dari cukup
tidaknya mereka memenuhi fungsi dalam tatanan mereka.
Dengan demikian seorang satriya yang bersikap baik dalam perannya sebagai seorang tukang
hal demikian merupakan perilaku satriya yang buruk, terlepas dari baiknya pekerjaan yang
mereka laksanakan. Seorang pedagang yang hidup sebagai orang pedagang merupakan
anggota masyarakat yang lebih baik dari pada pedagang yang hidup sebagai seorang
brahmana yang terikat. Atas dasar fakta inilah terbentuk suatu kasta dan kelas dalam
masyarakat Jawa, yang masing-masing kelas dan kasta tersebut saling bertentangan dengan
kelas dan kasta lainnya.
Rigidnya konsepsi moralitas ini secara perlahan telah mengalami perubahan yang cukup
signifikan sejak hadirnya pengaruh Budha, yang melarang ditambahkannya nilai absolut pada
masing-masing kelas atau moralitas. Ajaran Budha tersebut mengatakan bahwa tujuan
akhirnya dari moralitas itu bukanlah bersifat keduniawian, melainkan penyerapan ke dalam
yang tak terbatas. Dari ajaran budha tersebut mengidealkan bahwa sikap yang baik adalah
bertindak secara pantas sesuai dengan tingkatan, tanpa menambahkan suatu kepentingan
permanen kepadanya.
4. Historis Membentuk Identitas Kebudayaan Bali
Kebudayaan Bali sekarang ini merupakan buah dari proses historis yang cukup panjang.
Pelacakan terhadap sejarah kebudayaan Bali dari data arkeologis menunjukkan bahwa
manusia Bali telah mengembangkan kebudayaannya sejak zaman prasejarah, yakni masa
meramu, berburu, bercocok tanam, dan puncaknya terjadi pada masa perundagian. Masa
perundagian ditandai dengan mulai munculnya sistem hidup berkelompok, serta munculnya
kepercayaan dan konsep-konsep keagamaan yang sifatnya religius-magis. Keyakinan
terhadap adanya hidup setelah kematian, adanya roh leluhur, dan gunung sebagai alam arwah
merupakan bentuk-bentuk religi asli Bali di masa itu. Kepercayaan masyarakat primitif yang
berkarakter religius-magis menjadi medan yang memungkinkan terjadinya dialog dengan
agama Hindu yang datang dari India (Ardhana dalam Ayatrohaedi, 1986).
Namun demikian, perubahan besar dalam kebudayaan Bali boleh dikatakan terjadi
setelah adanya kontak antara kebudayaan lokal dengan agama Hindu yang sekaligus
membawa Bali ke zaman sejarah. Dalam hubungan antara dua kebudayaan ini, tampaknya
masyarakat Bali cukup selektif dan kritis sehingga memungkinkan terjadinya sebuah dialog.
Proses dialogis yang terjadi melahirkan bentuk agama Hindu Bali yang unik dan khas dengan
karakter-karakter lokal, serta membedakannya dengan agama Hindu di tanah kelahirannya,
India. Kemampuan kebudayaan lokal untuk beradaptasi dengan kebudayaan luar inilah yang
kemudian dikenal dengan istilah local genious. Istilah ini untuk pertama kalinya
diperkenalkan oleh Quarich Wales untuk menjelaskan kemampuan kebudayaan setempat
dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan itu
berhubungan (Magetsari, 1986:56). Uraian ini menegaskan bahwa manusia Bali
sesungguhnya memiliki karakter yang kuat ketika berhadapan dengan kebudayaan asing
sehingga eksistensi budaya lokal tetap dapat dipertahankan.
Dalam perkembangan selanjutnya kebudayaan Bali terus-menerus berproses secara
dialektis dan transformatif sehingga menampilkan bentuk kebudayaan Bali seperti sekarang
ini. Hal ini sejalan dengan pendapat Swellengrebel (1960) bahwa kebudayaan Bali dibentuk
oleh unsur-unsur tradisi kecil, tradisi besar, dan tradisi modern. Tradisi kecil, yaitu tradisi
yang berorientasi pada kebudayaan lokal mempunyai ciri-ciri, antara lain sistem ekonomi
sawah dengan irigasi; kerajinan meliputi besi, perunggu, celup, dan tenun; pada pura terdapat
sistem ritual dan upacara keagamaan yang sangat kompleks; tari dan tabuh dipakai dalam
rangka upacara di pura. Tradisi besar, yaitu tradisi yang berorientasi pada agama dan
kebudayaan Hindu dalam kehidupan masyarakat Bali menampakkan ciri-ciri, antara lain
kekuasaan yang pusat kedudukannya adalah raja sebagai keturunan Dewa; adanya tokoh
pedanda; adanya upacara pembakaran mayat (ngaben) bagi orang yang meninggal; adanya
sistem kalender Hindu-Jawa; pertunjukkan wayang kulit, dll (Geria, 2000:48). Sementara itu,
tradisi modern, yaitu tradisi yang mencakup unsur-unsur yang berkembang sejak zaman
penjajahan, zaman kemerdekaan, sampai dengan era globalisasi sekarang ini. Ciri-cirinya,
antara lain pendidikan massal; sistem agama dirasionalisasi, terkoordinasi, dan
terkomunikasikan ke dalam maupun keluar, kerajinan bersifat produksi massal; adanya
orientasi ke depan yang diintrodusir oleh berbagai departemen, dll. (Mc. Kean dalam Geria,
2000). Dari proses tersebut dapat dipahami bahwa interaksi antara tradisi kecil dan tradisi
besar membuahkan kebudayaan Bali tradisional yang bercirikan budaya ekspresif dengan
dominannya nilai-nilai religius, estetika, dan solidaritas. Sebaliknya, pertemuan kebudayaan
Bali tradisional dengan tradisi modern ditandai dengan terintegrasinya nilai-nilai modern
dalam kebudayaan Bali, seperti rasionalisasi dan komersialisasi budaya.
Sejarah juga menunjukkan bahwa masyarakat Bali adalah masyarakat yang terbuka
dalam menerima kehadiran etnik lain. Hubungan antara Bali dan masyarakat luar, baik
melalui hubungan politik maupun ekonomi atau perdagangan di masa lampau telah
menjadikan masyarakat Bali sebagai masyarakat multietnik. Ini menyebabkan masyarakat
Bali saat ini bukan lagi masyarakat yang homogen, melainkan masyarakat yang heterogen.
Malahan, heterogenitas tersebut merambah hampir semua lini kehidupan masyarakat meliputi
bidang ekonomi, agama, sosial-budaya, dan sebagainya.
Meskipun etnik Bali (beragama Hindu) merupakan kelompok etnik dominan, tetapi
dalam kenyataannya memberikan ruang gerak dan kebebasan kepada etnik lain sebagai etnik
minoritas untuk mengembangkan kebudayaannya. Hal ini tampak dari rasa persaudaraan
yang terjadi antaretnik yang didasari oleh nilai-nilai kearifan lokal budaya Bali. Walaupun
diberikan kebebasan dalam mengembangkan kebudayaannya kelompok etnik minoritas
tampaknya juga menyesuaikan diri dengan budaya dominan (Bali). Hal ini tampak dalam
membuat bangunan tempat suci, seperti mesjid dengan mengadopsi unsur budaya Hindu
arsitektur Bali yang tampak dari atap mesjid bertumpang satu (Stutterheim, 1927:114; Pijper,
1947:275-276). Di berbagai wilayah di Bali etnik pendatang menjadi anggota sekaa subak,
bahkan ada yang menjadi pengurus. Hubungan antaretnis yang menunjukkan adanya saling
menghargai di antara kelompok-kelompok etnik bahkan sudah terjadi jauh sebelumnya. Hal
ini dapat dibuktikan di Pura Batur Kintamani, Bangli. Di pura ini disamping menjadi tempat
pemujaan dari etnik Bali yang beragama Hindu, di lingkungan pura juga terdapat tempat
pemujaan bagi kelompok etnik keturunan Cina. Istilah Ciwa-Budha yang dikenal dalam
masyarakat Bali juga menjadi bukti adanya perpaduan antara agama-agama yang pernah
berpengaruh di Bali di masa yang lampau.
Kedatangan etnis lain di Bali, baik yang tetap mempertahankan identitas
kelompoknya maupun yang mengadopsi kebudayaan Bali dapat beradaptasi dan berintegrasi
dalam kehidupan masyarakat Bali yang mayoritas. Dengan demikian, hubungan antaretnis
menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas manusia Bali, baik secara individu maupun
kolektif, yakni manusia Bali yang mempunyai sifat permisif dan toleran terhadap agama dan
kebudayaan lain serta mampu hidup bersama dalam keberagaman.
Melihat perjalan sejarah tersebut, kebudayaan Bali sekarang ini merupakan hasil dari
pertemuan antarbudaya yang terjadi secara dialogis-transformatif, yakni antara kebudayaan
lokal dan kebudayaan asing yang datang belakangan. Dominannya nilai-nilai religius, estetis,
dan solidaritas dalam kebudayaan Bali tradisional selama berabad-abad telah membentuk
karakter manusia Bali. Nilai tersebut diekspresikan dalam pelaksanaan ajaran agama Hindu
yang didasari oleh tattwa-susila-acara, dalam aktivitas berkesenian, dan tingginya rasa
persaudaraan dalam konteks panyama-brayan. Ketiganya hidup subur dalam aktivitas di desa
pakraman.
BAB IIIPENUTUP
A. KESIMPULAN
Kebudayaan merupakan hasil kreasi manusia yang tidak dibentuk hanya dalam waktu hitungan
jari, baik itu jari tangan maupun kaki. Kebudayaan dibentuk dari awal kehidupan manusia, sampai
akhir kehidupan manusia. Oleh karena itu, kebudayaan memang seharusnya dan selayaknya kita
pertahankan dan lestarikan keberadaannya. Disamping untuk menghormati segala yang telah
diwariskan oleh nenek moyang kita, kebudayaan merupakan hal yang amat berharga dan tidak
tergantikan.
B. SARAN
Antropologi dan Sosiologi sangat besar peranannya dalam perkembangan kehidupan
manusia sehingga diharapkan kepada kita semua untuk selalu mengembangkan wawasan dan
memperdalam pemahaman tentang kehidupan masyarakat yang berkaitan dengan
antropologi/sosiologi.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.azamku.com/
https://www.academia.edu/4900995/Makalah_Antropologi_Budaya