SILABUS DAN DESAIN PEMBELAJARAN MATA PELAJARAN
PELATIHAN BINTARA GAKKUM POLAIR
MATERI PROSES PENEGAKKAN HUKUM TINDAK PIDADAN (PEMERIKSAAN SAKSI DAN TERSANGKA)
BAHAN BELAJAR (HANJAR)
Disusun dalam rangka Pelatihan Bintara Gakkum Polair
GADIK SPN POLDA JAMBIAKBP DADANG DJOKO KARYANTO.
SEKOLAH POLISI NEGARA POLDA JAMBI
JAMBI
2016
1
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH JAMBI SEKOLAH POLISI NEGARA JAMBI
PELATIHAN BINTARA GAKKUM POLAIR HARI KE-5MATA PELAJARAN TEKNIK DAN TAKTIK GAKKUM
MATERI PROSES PENEGAKKAN HUKUM TINDAK PIDANA (PEMERIKSAAN SAKSI DAN TERSANGKA)
BAB 1 Pendahuluan
A. UmumPengertian tindak pidana di laut adalah tindak pidana yang hanya bisa terjadi di lautan dan
tidak bisa terjadi di darat, dibedakan dengan tindak pidana umum yang terjadi di laut. Berawal dari
pengertian tersebut maka timbullah akibatnya yaitu berupa tindak pidana di laut menjadi suatu
tindak pidana khusus yang mengandung arti bahwa tindak pidana di laut mempunyai kekkhususan tersendiri. Kekhususan itu bisa terjadi meliputi seluruh unsur tindak pidana ((Subyek, Kesalan,
Bersifat melawan hukum, Bertentangan dengan undang-undang, maupun unsur-unsur lainnya
misalnya : Tempat, Waktu dan Keadaan Lainnya) (Sianturi, SH, Tindak Pidana Khusus)). Karena
merupakan tindak pidana khusus disebut juga delik khusus, delik tersebar, delik diluar KUHP, maka
penyelesaiannyapun mempunyai kekhususan yang menyimpang dari tindak pidana umum (KUHP)
sedangkan hukum acara juga ada penyimpangan dengan KUHAP, bahkan aparat penegak hukum,
hukum yang ditegakkan juga ada penyimpangan dan medianya juga lain, yaitu berupa laut yang
mempunyai sifat Internasional sedangkan tata cara melakukan tindak pidana di lautpun berbeda
karena menggunakan Kapal, namun baik KUHP maupun KUHAP masih tetap melingkupi tindak
pidana di laut.
Trend perkembangan lingkungan strategis baik global, regional maupun nasional
diperairan, dengan berbagai bentuk gangguan kamtibmas menimbulkan dampak yang berspektrum
luas di berbagai bidang kehidupan. Polri telah membagi golongan kejahatan kedalam 4(empat) golongan/jenis. Pertama, kejahatan konvensional seperti kejahatan jalanan, premanisme,
banditisme, perjudian, pencurian dan lain-lain; Kedua, kejahatan transnational yaitu : terroris,
2
trafficking in persons, money laundering, sea piracy and armed robbery at sea, arms smuggling, cyber crime and international economic crime; Ketiga, kejahatan terhadap kekayaan negara seperti korupsi, illegal logging, illegal fishing, illegal minning, penyelundupan, penggelapan pajak,
penyalahgunaan BBM, dan lain-lain serta Keempat, kejahatan yang berimplikasi kontijensi seperti SARA, separatisme, konflik horizontal dan vertikal serta unjuk rasa anarkis.
Berdasarkan teori efektivitas hukum (Soerjono Soekanto, 2011:8), efektif atau tidaknya suatu penegakan hukum ditentukan oleh 5 faktor yaitu :1) Faktor hukumnya/UU, 2) penegak hukum, 3) sarana, 4) masyarakat dan 5) kebudayaan. Dalam berfungsinya hukum, mentalitas
atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik,
tetapi kualitas petugas kurang baik, akan menjadi masalah dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu,
salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas/ kepribadian penegak hukum itu sendiri. Dalam Teori Kriminologi (J.E Sahetapy, 1992:78),dalam rangka implementasi
penegakan hukum “Bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebijakan, dan
Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kesalahan”.
Relevan dengan hal tersebut B. M. Taverne mengatakan, “geef me goede rechter, goede rechter commissarissen, goede officieren van justitieen, goede politie ambtenaren, en ik zal met een slecht wetboek van strafprosesrecht het goede beruken” bahwasannya beliau mengatakan “berikan aku hakim, jaksa, polisi dan advokat yang baik, maka aku akan berantas kejahatan meskipun tanpa secarik undang-undang pun”. Dengan kata lain, “berikan padaku hakim dan jaksa yang baik, maka dengan hukum yang buruk pun saya bisa mendatangkan keadilan . Artinya,
bagaimana pun lengkapnya suatu rumusan undang-undang, tanpa didukung oleh aparatur penegak
hukum yang baik, memiliki moralitas dan integritas yang tinggi, maka hasilnya akan buruk.
Sementara itu di Indonesia saat ini memiliki 13 (tiga belas) lembaga penegak hukum di
laut. Dari jumlah tersebut terdiri dari 6(enam) lembaga yang mempunyai satgas patroli dilaut dan 7
(tujuh) lembaga penegak hukum lainnya tidak memiliki satuan tugas patroli di laut. Lembaga
penegak hukum yang memiliki satgas patroli di laut adalah : 1.TNI-AL; 2.Polri/Direktorat Kepolisian
Perairan; 3.Kementerian Perhubungan/Dirjen HUBLA; 4.Kementerian Kelautan dan
Perikanan/Dirjen PSDKP; 5.Kementerian Keuangan/Dirjen Bea Cukai; dan 6.Badan Keamanan
Laut (Bakamla). Lembaga penegak hukum tersebut, melaksanakan patroli terkait dengan keamanan
dan keselamatan dilaut secara sektoral sesuai dengan kewenangan yang dimiliki berdasarkan
Peraturan Perundang-undangan masing-masing.
B. Tujuan Pelatihan Bintara Gakkum Polair
3
Tujuan Pelatihan Bintara Gakkum Polair ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan serta sikap perilalu Bintara Polri sehingga memiliki kemampuan dalam melaksanakan
penegakkan hukum diperairan melalui mekanisme pelaksanaan patroli perairan, hasil pemeriksaan
dokumen dan kapal dapat diketahui bahwa telah terjadi suatu tindak pidana atau pelanggaran
terhadap ketentuan peraturan yang berlaku.
C. Standar Kompetensi UmumStandar kompetensi utama untuk lulusannya yang diharapkan adalah :
1. Mampu melaksanakan pengembangan diri dan perubahan mindset dan culture set;
2. Mampu menerapkan karakter insan Bhayangkara sesuai etika profesi Polri;
3. Mampu menerapkan budaya anti korupsi
D. Standar Kompetensi Utama Standar kompetensi utama untuk lulusannya yang diharapkan adalah :
1. Mampu memahami dan menguasai perundang-undangan yang berkaitan dengan
perairan;
2. Mampu memahami, menguasai dan melaksanakan teknik pemetaan;
3. Mampu memahami, menguasai dan melaksanakan teknik dan taktik gakkum;
4. Mampu memahami, menguasai dan membuat Lapgas;
E. Kompetensi DasarKompetensi dasar yang diharapkan adalah agar Personil Bintara Polair memiliki
kemampuan memahami, menguasai dan melaksanakan cara bertindak penegakkan hukum
dalam hal prosedur penghentian kapal, prosedur pemeriksaan kapal, dan administrasi pemeriksaan
kapal.
F. Indikator Hasil Belajar :Setelah menyelesaikan proses kegiatan belajar ini, Personil Bintara Polair memiliki
kemampuan memahami, menguasai dan melaksanakan proses penegakkan hukum.
G. Pokok Bahasan:Proses Penegakan Hukum Tindak Pidana (Pemeriksaan Saksi dan Tersangka);
Waktu : waktu yang disediakan adalah 450 Menit (10 JP)
4
BAB II.Proses Penegakkan Hukum Tindak Pidana
A.Permasalahan dan Pendapat Para Ahli Hukum
5
Pemberitaan media terkini sebagai wujud ketegasan pemerintah yaitu pada akhir-akhir ini
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sangat gencar melakukan melakukan penangkapan
dan penenggelaman kapal illegal. Ternyata kegiatan ini menurut pengamat hukum laut belum
didukung oleh payung hukum yang cukup kuat. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) belum memuat tentang aturan bagaimana proses
penangkapan kapal yang didahului penghentian dan pemeriksaan terhadap kapal dilaut. Melihat
perkembangan pada era Globalisasi khususnya terkait tindak pidana dilautan maka diperlukan
adanya suatu perubahan terhadap peraturan perundang-undangan, akibat selama ini telah
banyaknya kapal-kapal yang beroperasi melewati perairan yurisdiksi nasional bahkan melakukan
tindak pidana dan pelanggaran diwilayah perairan NKRI.
Pertanyaannya adalah apakah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ,Masih relevan dengan kondisi saat ini, bila dikaitkan dengan kewenangan Penyidik tindak pidana tertentu di laut? Menurut pendapat penulis Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak relevan dengan kondisi saat ini, KUHAP
kewenangan penyidikan terletak pada ranah kewenangan Kepolisian, KUHAP seolah dipaksakan
untuk menfasilitasi atau mengakomodir penyidik diluar kepolisian. Hal demikian bisa kita dalami
secara runtut pada Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana. Bab I, Ketentuan Umum
Pasal 1, Yang dimaksud dalam undang-undang ini dengan:
1. Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil
tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
2. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
3. Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang karena diberi
wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang ini;
4. Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh
undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan;
5. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Penulis menyakini bahwa Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana. Bab I, Ketentuan Umum
Pasal 1, Yang dimaksud dalam undang-undang ini, penyidikan ada pada ranah dan kewenangan
pejabat kepolisian negara Republik Indonesia, termasuk penyelidikan, atau pejabat pegawai negeri
6
sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan, menurut penulis sama saja tetap merupakan kewenangan pejabat kepolisian, Pasal 6, (1) Penyidik adalah, c a pejabat polisi negara Republik Indonesia;o b. pejabat pegawai negeri sipil
tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. (2) Syarat kepangkatan pejabat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Bagian Kedua, Penyidikan, Pasal 106, Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau
pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga, (1) Untuk merupakan tindak pidana
wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan. Pasal 107, kepentingan penyidikan,
penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a memberikan petunjuk kepada penyidik tersebut pada
Pasal 6 ayat (1) huruf b dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan;
Bagaimana pendapat para pengamat hukum pidana (menurut Pengamat Hukum Laut Ali Ridho (kandidat doktor hukum dari Universitas Borobudur) terkait peahaman KUHAP yang sekarang ini?, jika dipahami, dan didalami pasal-pasal substansi dalam KUHAP saat ini masih
mengatur hukum acara bagi penyidik di wilayah daratan, sementara penyidik tindak pidana tertentu
dilautan seperti TNI AL, PPNS Bea Cukai, PPNS Perikanan, PPNS Kehutanan dan lain-lain dalam
proses penyidikan belum mempunyai KUHAP khusus Tindak Pidana Tertentu di Laut.
Sebagai gambaran dan perbandingan antara Penyidik TNI Angkatan Laut dengan PPNS Perikanan
mempunyai cara sendiri-sendiri dalam proses penghentian dan pemeriksaan kapal di laut, untuk
PPNS Perikanan berdasarkan standart operasional prosedur (SOP) sedangkan TNI Angkatan Laut
berdasarkan Prosedur Tetap Keamanan Laut (Protap Kamla).
Diakui beberapa produk Undang-Undang yang ada di Indonesia seperti Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan dan
Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan masih bercampur antara hukuman
pidana dan acara hukum pidana.
Seperti apakah keinginan para ahli hukum kelautan terhadap wacana munculnya KUHAP Kelautan? 1.setiap satu tindak pidana dilaut diatur dalam satu Undang-Undang. 2.Dalam
melaksanakan penegakan hukum dilaut seharusnya penyidik/ penegak hukum di laut dipayungi
hukum acara yang komprehensif sebagai pedoman bagi penyidik dari instansi manapun asalkan
mereka penyidik tindak pidana tertentu di laut yang ditunjuk berdasarkan Undang-Undang. 3. setiap
7
penyidik dari instansi manapun mempunyai acuan/dasar hukum acara yang jelas. 4. Melihat pasal-
pasal diatas seharusnya instansi terkait melakukan pembaharuan hukum yang tidak bersifat ego
sektoral tetapi lebih mengedepankan kepentingan Nasional dengan melakukan komunikasi dan
harmonisasi.
Permasalahan ini dari Pos Kota News (faisal/sir), kemudian di Diunduh pada hari Senin tanggal 16
Mei 2016 pkl 14.45 wib
Bagaimana Prosedur Pemeriksaan Tersangka dalam Kode Etik Kepolisian?
Biasanya dapat kita lihat bahwa di seluruh Indonesia aparat Polri dalam melakukan
pemeriksaan/interogasi terhadap tersangka berdasarkan pendapat masyarakat sering diklaim oknum
aparat melakukan tindak kekerasan. Beberapa penelitian dan polling pendapat dari masyarakat
menanyakan, Apakah Polri tidak memiliki suatu prosedural atau kode etik dalam melakukan
pemeriksaan terhadap tersangka sehingga dengan seenaknya main pukul atau maki terhadap
tersangka yang juga memiliki hak-hak asasi? Bahkan mereka masyarakat mengomentari, Bila
melihat masa pendidikan para bintara Polri apakah mungkin mereka mengerti dalam melaksanakan
segala aturan hukum khususnya Hukum Pidana?
Jawaban :
Pemeriksaan Tersangka maupun Saksi di Kepolisian pada dasarnya diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) dan juga UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU PSK”). Selain kedua UU tersebut, ada juga UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU Kepolisian”) yang pada
dasarnya mengamanatkan dalam Bab V tentang Pembinaan Profesi. Turunan dalam UU Kepolisian
tersebut di antaranya adalah Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkap 7/2006”) dan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkap 8/2009”).
Secara khusus, KUHAP telah mengatur pada Bab VI tentang Tersangka dan Terdakwa dan Bab VII
tentang Bantuan Hukum. Ketentuan–ketentuan lainnya yang menjamin hak-hak tersangka juga
tersebar dalam pasal-pasal lain dalam KUHAP seperti dalam hal pra peradilan ataupun dalam ganti
kerugian akibat upaya paksa yang melawan hukum. Selain itu dalam UU PSK, khususnya
dalam Pasal 5 ayat (1)telah merinci dengan cukup baik hak–hak saksi/korban selama menjalani
pemeriksaan baik di tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di Pengadilan.
8
Jelaskan Perkap Nomor 7 tahun 2006, bahwa Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa menghindarkan diri dari perbuatan tercela dan sebutkan tindakan-tindakan yang tidak boleh dilakukan!Dalam Perkap 7/2006, khususnya dalam Pasal 7 telah dijelaskan bahwa Anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia senantiasa menghindarkan diri dari perbuatan tercela yang dapat merusak
kehormatan profesi dan organisasinya, dengan tidak melakukan tindakan-tindakan berupa:
(a) Bertutur kata kasar dan bernada kemarahan;
(b) Menyalahi dan atau menyimpang dari prosedur tugas;
(c) Bersikap mencari-cari kesalahan masyarakat;
(d) Mempersulit masyarakat yang membutuhkan bantuan/pertolongan;
(e) Menyebarkan berita yang dapat meresahkan masyarakat;
(f) Melakukan perbuatan yang dirasakan merendahkan martabat perempuan;
(g) Melakukan tindakan yang dirasakan sebagai perbuatan menelantarkan anak-anak di bawah
umur; dan;
(h) Merendahkan harkat dan martabat manusia.
Sebutkan hal-hal yang tidak boleh dilakukan larang anggota Polri untuk tidak melanggar HAM terkait Perkap nomor 8 tahun 2009 !Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan
Standar HAM dalam Penyelengaraan Tugas Polri khususnya dalam Pasal 11 ayat (1) telah
ditegaskan bahwa setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan:
(a) penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang dan tidak berdasarkan hukum;
(b) penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat dalam kejahatan;
(c) pelecehan atau kekerasan seksual terhadap tahanan atau orang-orang yang disangka terlibat
dalam kejahatan;
(d) penghukuman dan/atau perlakuan tidak manusiawi yang merendahkan martabat manusia;
(e) korupsi dan menerima suap;
(f) menghalangi proses peradilan dan/atau menutup-nutupi kejahatan;
(g) penghukuman dan tindakan fisik yang tidak berdasarkan hukum (corporal punishment);(h) perlakuan tidak manusiawi terhadap seseorang yang melaporkan kasus pelanggaran HAM
oleh orang lain;
(i) melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan yang tidak berdasarkan hukum;
(j) menggunakan kekerasan dan/atau senjata api yang berlebihan
9
Peraturan manakah yang menjadi parameter sikap perilaku yang tidak boleh dilakukan oleh seorang aparat Kepolisian RI dalam melaksanakan kegiatan penyelidikan?Dalam Pasal 13 ayat (1) Perkap nomor 8/2009 juga disebutkan bahwa dalam melaksanakan
kegiatan penyelidikan, setiap petugas Polri dilarang:
(a) melakukan intimidasi, ancaman, siksaan fisik, psikis ataupun seksual untuk mendapatkan
informasi, keterangan atau pengakuan;
(b) menyuruh atau menghasut orang lain untuk melakukan tindakan kekerasan di luar proses
hukum atau secara sewenang-wenang;
(c) memberitakan rahasia seseorang yang berperkara;
(d) memanipulasi atau berbohong dalam membuat atau menyampaikan laporan hasil penyelidikan;
(e) merekayasa laporan sehingga mengaburkan investigasi atau memutarbalikkan kebenaran;
(f) melakukan tindakan yang bertujuan untuk meminta imbalan dari pihak yang berperkara.
Berdasarkan keseluruhan peraturan ini tentunya diharapkan bahwa setiap anggota kepolisian dapat
bertindak sesuai dengan peraturan perundang–undangan yang berlaku di Indonesia. Demikian
jawaban kami, terima kasih.
Sebutkan dasar hukum bahwa insan Polri memiliki kewenangan terhadap penyidikan dan penyelidikan tindak pidana serta landasan perilaku yang diharapkan oleh masyarakat:! Jawabannya adalah sebagai berikut antara lain
1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”)
2. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
3. Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
4. Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia
5. Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam
Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia
Jelaskan maksudnya bahwa para penyidik dalam melaksanakan kegiatannya terikat kepada
peraturan-peraturan, perundang-undangan, dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam
menjalankan tugasnya. Dalam pelaksanaan proses kegiatan penyidikan, peluang-peluang untuk
melakukan penyimpangan atau penyalagunaan wewenang!
Tahap Penyelidikan Seorang penyidik dalam melaksanakan tugasnya memiliki koridor hukum yang
harus di patuhi, dan diatur secara formal, apa dan bagaimana tata cara pelaksanaan, tugas-tugas
10
dalam penyelidikan. Artinya para penyidik dalam melaksanakan kegiatannya terikat kepada
peraturan-peraturan, perundang-undangan, dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam
menjalankan tugasnya. Dalam pelaksanaan proses kegiatan penyidikan, peluang-peluang untuk
melakukan penyimpangan atau penyalagunaan wewenang untuk tujuan tertentu, memungkinkan
terjadi bukan mustahil hal yang demikian akan dilakukan oleh oknum anggota Polri . Karena itulah
semua ahli kriminalistik menempatkan etika penyidikan sebagai bagian dari profesionalisme yang harus dimiliki oleh seorang penyidik sebagai bagian dari profesionalisme yang harus dimiliki oleh seorang penyidik. Bahkan, apabila etika penyidikan tidak dimiliki oleh seseorang penyidik dalam menjalankan tugas -tugas penyidikan, cenderung akan terjadi tindakan sewenang-wenang petugas
yang tentu saja akan menimbulkan persoalan baru. Ruang lingkup penyelidikan adalah serangkaian
tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak
pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang mengatur
dalam undang-undang No 26 tahun 2000 pasal I angka 5. Penyelidik karena kewajibannya
mempunyai wewenang menerima laporan, mencari keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti
orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, dan mengadakan
tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1)
KUHAP, untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik dapat melakukan
penangkapan. Namun untuk menjamin hak hak asasi tersangka, perintah penangkapan tersebut
harus didasarkan pada bukti permulaan Barang Bukti. Penyelidikan yang dilakukan penyelidik dalam
hal ini tetap harus menghormati asas praduga tak bersalah (presumption of innocence)
sebagaimana di sebutkan dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP. Penerapan asas ini tidak lain
adalah untuk melindungi kepentingan hukum dan hak-hak tersangka dari kesewenang-wenangan
kekuasaan para aparat penegak hukum. Selanjutnya kesimpulan hasil penyelidikan ini disampaikan
kepada penyidik. Apabila didapati tertangkap tangan, tanpa harus menunggu perintah penyidik,
penyelidik dapat segara melakukan tindakan yang diperlukan seperti penangkapan, larangan,
meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan. Selain itu penyelidik juga dapat meakukan
pemerikasaan surat dan penyitaan surat serta mengambil sidik jari dan memotret atau mengambil
gambar orang atau kelopmpok yang tertangkap tangan tersebut. Selain itu penyidik juga dapat
membawa dang mengahadapkan oarang atau kelompok tersebut kepada penyidik. Dalam hal ini
Pasal 105 KUHAP menyatakan bahwa melaksanakan penyelidikan, penyidikan, penyelidik
dikoordinasi, diawasi dan diberi petunjuk oleh penyidik. Tahap Penyidikan. Pengertian penyidikan
diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang terdapat Pada Pasal 1 butir I yang
berbunyi sebagai berikut: "Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia Atau Pejabat
Pegawai Negari Sipil tertentunyang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan
11
penyidikan." Dari pengertian penyidik diatas, dalam penjelasan undang-undang disimpulkan
mengenai pajabat yang berwenang untuk melakukan penyidikan yaitu: Pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia (POLRI); dan Pejabat Pegawai Negari Sipil yang diberi wewenang khusus oleh
Undang-undang untuk melakukan penyidikan. Selain penyidik, dalam KUHAP dikenal pula penyidik
pembantu, ketentuan mengenai hal ini terdapat pada Pasal I butir 3 KUHAP, yangmenyebutkan
bahwa: "Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang karena
diberikan diberi wewenang tertentu dapat melakukan penyidikan yang diatur dalam undang-undang
ini". Selanjutnya mengenai pengertian penyidik pembantu diatur dalam Pasal 1 Butir 12 Undang-
undang No.2 tahun 2002, yang menyatakan Bahwa: "Penyidik Pembantu adalah pejabat Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia
berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi wewenang tertentu dalam melakukan tugas penyidikan
yang diatur dalam Undang-undang". Mengenai Penyidik Negari Sipil Dijelaskan lebih lanjut dalam
penjelasan Pasal 7 ayat (2) KUHAP, Bahwa "Yang dimaksud dengan penyidik dalam ayat ini adalah
misalnya pejabat bea cukai, pejabat imigrasi, pejabat kehutanan yang melakukan tugas penyelidikan
sesuai dengan wewenang khusus yang diberikan oleh undang-undang yang menjadi dasar
hukumnya masing-masing." Berdasarkan ketentuan perundang-undangan mengenai penyidik dan
penyidik pembantu di atas, dapat diketahui bahwa untuk dapat melaksanakan tugas penyidikan
harus ada pemberian wewenang. Mengenai pemberian wewenang tersebut menurut Andi Hamzah,
berpendapat bahwa: "Pemberian wewenang kepada penyidik bukan semata-mata didasarkan atas
kekuasaan tetapi berdasarkan atas pendekatan kewajiban dan tanggung jawab yang diembannya,
dengan demikian kewenangan yang diberikan disesuaikan dengan kedudukan, tingkat kepangkatan,
pengetahuan serta ringannya kewajiban dan tanggung jawab penyidik." Tugas penyidikan yang
dilakukan oleh Penyidik POLRI adalah merupakan penyidik tunggal bagi tindak pidana Umum,
tugasnya sebagai penyidik sangat sulit dan membutuhkan tanggung jawab yang besar, karena
penyidikan merupakan tahap awal dari rangkaian proses penyelesaian perkara pidana yang
nantinya akan berpengaruh bagi tahap proses peradilan selanjutnya. Sedangkan pada Pasal I butir 2
KUHAP menjelaskan mengenai pengertian penyidikan, sebagai berikut: "Penyidikan adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak
pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya" Segubungan dengan hal tersebut Yahya
Harahap memberikan Penjelasan mengenai penyidik dan penyidikan sebagai berikut: "Sebagaimana
yang telah dijelaskan pada pembahasan ketentuan umum Pasal I Butir I dan 2, Merumuskan
pengertian penyidikan yang menyatakan, penyidik adalah pejabat Polri atau pejabat pegawai negeri
tertentu yang diberi wewenang oleh undang-undang. Sadangkan penyidik sesuai dengan cara yang
12
diatur dalam undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu
membuat atau menjadi terang suatu tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan
tersangkanya atau pelaku tindak pidananya" Sedangkan Andi Hamzah dalam bukunya Hukum
Acara Pidana Indonesia menyimpulkan defenisi dari Pasal I Butir 2 KUHAP, sebagai berikut:
Penyidikan (acara pidana) hanya dapat dilakukan berdasarkan undang-undang, hal ini dapat
disimpulkan dari kata-kata...menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Ketentuan ini dapat
dibandingkan dengan Pasal 1 Ned.Sv. Yang berbunyi: Strafvordering heeft allen wet voorzien.
(Hukum acara pidana dijalankan hanya berdasarkan Undang-undang). Acara pidana dijalankan jika
terjadi tindak pidana hal ini dapat disimpulkan dari kata membuat terang tindak pidana yang terjadi,
hal inilah yang tidak disetujui oleh Van Bemmelen, karena, katanya mungkin saja acara pidana
berjalan tanpa terjadi delik; contoh klasik yang dikemukakan ialah kasus Jean Clas di Prancis yang
menyangkut seorang Ayah dituduh membunuh anaknya, padahal itu tidak terjadi namun proses
pidananya sudah berjalan. Selanjutnya Andi Hamzah kembali mengemukakan pendapatnya bahwa
Penyidikan ialah suatu istilah yang dimaksud sejajar dengan pengertian Opsparing (Belanda), dan
Investigation (Inggris) atau Penyisatan/Sjasat (Malaysia). Defenisi penyidikan dalam KUHAP.
Menurut bahasa Belanda adalah sama dengan Opsporing. Berikut ini Andi Hamzah mengutip pendapat De Pinto ang menyatakan bahwa; Menyidik (Opsporing). Berarti pemeriksaan permulaan
oleh Pejabat-pejabat yang untuk itu oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan
apapun mendengar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadinya suatu pelanggaran hukum
Penyidikan merupakan aktivitas yurisdis yang dilakukan penyelidik untuk mencari dan menemukan
kebenaran sejati (Membuat terang jelas tentang tindak pidana yang terjadi. Apa yang dikemukakan
tentang penyelidikan tersebut diatas Buchari Said menyebutkan sebagai aktivitas yuridis,
maksudnya adalah aktivitas yang dilakukan berdasarkan aturan-aturan hukum positif sebagai hasil
dari tindakan tersebut harus dapat dipertanggung jawabkan secara yuridis pula, karena kata yuridis
menunjuk kepada adanya suatu peraturan hukum yang dimaksud tiada lain peraturan-peraturan
mengenai hukum acara pidana. Tujuan utama penyidikan adalah untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti dapat membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi dan
guna menemukan tersangkanya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal I butir 2 KUHAP Dalam
melaksanakan tugas penyidikan untuk mengungkapkan suatu tindak pidana, maka penyidik karena
kewajibannya mempunyai wewenang sebagimana yang tercantum di dalam isi ketentuan Pasal 7
ayat (1) Kitab Undang-udang Hukum Acara Pidana (KUHAP) jo. Pasal 16 ayat (1) Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisan Negara Republik Indonesia, yang menyebutkan bahwa
wewenang penyidik adalah sebagi berikut: Menerima Laporan atau pengaduan dari seorang tentang
adanya tindak pidana; melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; menyuruh
13
berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; melakukan
penangkapan, penahanan,penggeledahan dan penyitaan; mengenai sidik jari dan memotret
seseorang; memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; mendatang orang ahli
yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; mengadakan penghentian
penyidikan; mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Penyidikan yang
dilakukan tersebut didahului dengan pemberitahuan kepada penutut umum bahwa penyidikan
terhadap suatu peristiwa pidana telah mulai dilakukan. Secara formal pemberitahuan tersebut
disampaikan melalui mekanisme Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Hal tersebut
diatur dalam ketentuan Pasal 109 KUHAP. Namun kekurangan yang dirasa sangat menghambat
adalah tiada ada ketegasan dari kentuan tersebut kapan waktunya penyidikan harus diberitahukan
kepada Penuntut Umum. Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib
segara menyerahkan berkas perkara tersebut kepada penutut umum. Dan dalam hal penutut umum
berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut kurang lengkap. Penutut umum segera
mengembalikan berkas perkara tersebut kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. Apabila
pada saat penyidik menyerahkan hasil penyidikan, dalam waktu 14 Hari penutut umum tidak
mengembalikan berkas tersebut, maka penyidikan dianggap selesai. Tahap Penuntutan Dalam
Undang-undang ditentukan bahwa hak penututan hanya ada pada penututan umum yaitu Jaksa
yang diberi wewenang oleh kitab-kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana No.8 tahun tahun
1981. Pada Pasal 1 butir 7 KUHAP Tercantum defenisi penututan sebagai berikut; “Penuntutan
adalah tindakan penututan umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang
berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan
suapay diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan." Yang bertugas menurut atau
penuntut umum ditentukan di Pasal 13 jo Pasal butir 6 huruf b yang pada dasarnyan berbunyi :
“Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan
penututan dan melaksanakan penetapan hakim “ Kemudian Muncul undang-undang No. 5 tahun
1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya tidak diberlakukan lagi dan diganti
oleh Undang-undang No. 16 tahun 2004, yang menyatakan bahwa kekuatan untuk melaksanakan
penuntutan itu dilakukan oleh kejaksaan. Dalam Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tetap
Kejaksaan Republik Indonesia yang memberikan wewenang kepada Kejaksaan (Pasal 30), yaitu:
Melakukan Penuntutan; Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan dan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap; Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana
bersayarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat Melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; Melengkapi berkas perkara tertentu
14
dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang
dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dan penyidik. Mengenai kebijakan penuntutan, penuntut
umumlah yang menentukan suatu perkara hasil penyidikan, apakah sudah lengkap ataukah tidak
untuk dilimpahkan ke Pengadilan Negeri untuk diadili. Hal ini diatur dalam pasal 139 KUHAP. Jika
menurut pertimbangan penututan umum suatu perkara tidak cukup bukti-bukti untuk diteruskan ke
Pengadilan ataukah perkara tersebut bukan merupakan suatu delik, maka penuntut umum membuat
membuat suatu ketetapan mengenai hal itu (Pasal 140 ayat (2) butir b (KUHAP). Mengenai
wewenang penutut umum untuk menutup perkara demi hukum seperti tersebut dalam Pasal 140 (2)
butir a (KUHAP), Pedoman pelaksanaan KUHAP memberi penjelasan bahwa “Perkara ditutup demi
hukum” diartikan sesuai dengan buku I Kitab Undang-undang Hukum Pidana Bab VIII tentang
hapusnya hak menuntut yang diatur dalam Pasal 76;77;78 dan 82 KUHP. Penuntutan Perkara
dilakukan oleh Jaksa Penuntut umum, dalam rangka pelaksanaan tugas penuntutan yang
diembannya. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
melakukan penuntutan dan melaksanakan penempatan hakim. Dalam melaksanakan penuntutan
yang menjadi wewenangnya, penuntut Umum segera membuat surat dakwaan berdasarkan hasil
penyidikan. Dalam hal didapati oleh penuntut umum bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa
tersebut bukan merupakan peristiwa pidana atau perkara ditutup demi hukum, maka penuntut umum
menghentikan penuntutan yang dituangkan dalam suatu surat ketetapan. Apabila tersangka berada
dalam tahanan tahanan, sedangkan surat ketetapan telah diterbitkan maka tersangka harus segera
di keluarkan dari tahanan. Selanjutnya, surat ketetapan yang dimaksud tersebut dikeluarkan dari
tahanan. Selanjutnnya, surat ketetapan yang dimaksud tersebut dibertahukan kepada tersangka.
Turunan surat ketetapan tersebut disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasihat
hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim. Atas surat ketetapan ini maka dapat
dimohon praperadilan, sebagaimana diatur dalam BAB X, bagian kesatu KUHAP dan apabila
kemudian didapati alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka.
Nebis in Idem berarti tidak melakukan pemeriksaan untuk kedua kalinya mengenai tindakan (feit)
yang sama. Ketentuan ini disahkan pada pertimbangan, bahwa suatu saat (nantinya) harus ada
akhir dari pemeriksaan/penuntutan dan akhir dari baliknya ketentuan pidana terhadap suatu delik
tertentu. Asas ini merupakan pegangan agar tidak lagi mengadakan pemeriksaan/penuntutan
terhadap pelaku yang sama dari satu tindakan pidana yang sudah mendapat putusan hukum yang
tetap. Dengan maksud untuk menghindari dua putusan terhadap pelaku dan tindakan yang sama
juga akan menghindari usaha penyidikan/ penuntutan terhadap perlakuan delik yang sama, yang
sebelumnya telah pernah ada putusan yang mempunyai kekuatan yang tetap. Tujuan dari atas ini
ialah agar kewibawaan negara tetap junjung tinggi yang berarti juga menjamin kewibawaan hakim
15
serta agar terpelihara perasaan kepastian hukum dalam masyarakat Agar supaya suatu perkara
tidak dapat diperiksa untuk kedua kalinya apabila; Pertama Perbuatan yang didakwakan (untuk
kedua kalinya) adalah sama dengan yang didakwakan terdahulu. Kedua Pelaku yang didakwa
(kedua kalinya) adalah sama. Ketiga untuk putusan yang pertamateri terhadap tindakan yang sama
itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Belakangan dasar ne bis in idem itu digantungkan
kepada beberapa hal bahwa terhadap seseorang itu juga mengenai peristiwa yang tertentu telah
diambil keputusan oleh hakim dengan vonis yang tidak diubah lagi. Putusan : Pertama Penjatuhan
Hukuman (veroordeling) Dalam hal ini oleh hakim diputuskan, bahwa terdakwa terang salah telah
melakukan peritiwa pidana yang dijatuhkan kepadanya;atau kedua: Pembebasan dari penuntutan
hukum (ontslag van rechtvervoging) Dalam hal ini hakim memutuskan, bahwa peristiwa yang
dituduhkan kepada terdakwa itu dibuktikan dengan cukup terang, akan tetapi peritiwa itu ternyata
bukan peristiwa pidana, atau terdakwanya keadapatan tidak dapat di hukum karena tidak dapat
dipertanggung jawabkan atas perbuatannya itu, bahwa keslahan terdakwa atas peristiwa yang
dituduhkan kepadanya tidak cukup buktinya. Dalam Pasal 77 KUHP yang berbunyi: Hak Menuntut
hukum gugur (tidak berlaku lagi) lantaran si terdakwa meninggal dunia. Apabila seorang terdakwa
meninggal dunia sebelum putus ada putusan terakhir dari pengadilan maka hak menuntut gugur.
Jika hal ini terjadi dalam taraf pengutusan, maka pengusutan itu dihentikan. Jika penuntut telah
dimajukan, maka penuntut umum harus oleh pengadilan dinyatakan tidak dapat diterima dengan
tentunya (Niet-ontvankelijk) umumnya demikian apabila pengadilan banding atau pengadilan kasasi
masih harus memutuskan perkaranya. Pasal 82 82 KUHP yang berbunyi : Ayat (1) :” Hak menuntut
hukum karena pelanggaran yang terancam hukuman utama tak lain dari pada denda, tidak berlaku
lagi bagi maksimun denda dibayar dengan kemauan sendiri dan demikian juga di bayar ongkos
mereka, jika penilaian telah dilakukan, dengan izin amtenaar yang ditunjuk dalam undang-undang
umum, dalam tempo yang ditetapkannya”. Ayat (2): ”Jika perbuatan itu terencana selamanya denda
juga benda yang patut dirampas itu atau dibayar harganya, yang ditaksir oleh amtenaar yang
tersebut dalam ayat pertama”. Ayat (3):” Dalam hal Hukuman itu tambah diubahkan berulang-ulang
membuat kesalahan, boleh juga tambahan itu dikehendaki jika hak menuntut hukuman sebab
pelanggaran yang dilakukan dulu telah gugur memenuhi ayat pertama dan kedua dari pasal itu'.
Ayat (4);”Peraturan dari pasal ini tidak berlaku bagi orang yang belum dewasa ,yang umumnya
sebelum melakukan perbuatan itu belum cukup enam belas tahun”. Penghapusan hak penuntutan
bagi penuntut umum yang diatur dalam Pasal 82 KUHP mirip dengan ketentuan hukum perdata
mengenai transaksi atau perjanjian. Tahap Pemeriksaan Pengadilan Apabila terhadap suatu perkara
pidana telah dilakukan penuntutan, maka perkara tersebut diajukan kepengadilan. Tindak Pidana
tersebut untuk selanjutnya diperiksa, diadili dan diputus oleh majelis hakim dan Pengadilan Negeri
16
yang berjumlah 3 (Tiga) Orang. Pada saat majelis hakim telah ditetapkan, selanjutnya ditetapkan
hari sidang. Pemberitahuan hari sidang disampaikan oleh penuntut umum kepada terdakwa di alat
tempat tinggalnya atau disampaikan di tempat kediaman terakhir apabila tempat tinggalnya
diketahui. Dalam hal ini surat panggilan memuat tanggal, hari serta jam dan untuk perkara apa ia
dipanggil. Surat panggilan termaksud disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang
dimulai. Sistem pembuktian yang dianut oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah
sistem pembuktian berdasarkan undang-undang yang negatif (Negatif wettelijk). Hal ini dapat
disimpulkan dari Pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Pasal 183 KUHAP
menyatakan: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadinya dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Berdasarkan
pernyataan tersebut, nyatalah bahwa pembuktian harus didasarkan apad alat bukti yang disebutkan
dalam undang-undang disertai keyakinan hakim atas alat-alat bukti yang diajukan dalam
persidangan, yang terdiri dari: Keterangan saksi; Keterangan Ahli; Surat; Petunjuk; dan Keterangan
terdakwa. Disamping itu kitab Undang-undang hukum Acara Pidana juga menganut minimun
pembuktian (minimum bewijs), sebagaimana disebutkan dalam Pasal 183 tersebut. Minimun
pembuktian berarti dalam memutuskan suatu perkara pidana hakim harus memutuskan berdasarkan
sejumlah alat bukti. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memberikan batasan minimal
penggunaan alat bukti, yaitu minimal dua alat bukti, yaitu minimal dua alat bukti disertai oleh
keyakinan hakim. Tahap memeriksaan perkara pidana dipengadilan ini dilakukan setelah tahap
pemeriksaan pendahuluan selesai. Pemeriksaan ini dilandaskan pada sistem atau model Accusatoir,
dan dimulai dengan menyampaikan berkas perkara kepada Public prosecutor. Pemeriksaan dimuka
sidang pengadilan diawali dengan pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan ynag
dilakukan secara sah menurut undang-undang. Dalam hal ini KUHAP pasal 154 telah memberikan
batasan syarat undang undang dalam hali KUHAP pasal 154 telah memberikan batasan syarat
syahnya tentang pemanggilan kepada terdakwa, dengan ketentuan; Surat panggilan kepada
terdakwa disampaikan di alat tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui,
disampaikan di tempat kediaman terakhir. Apabila terdakwa tidak ada ditempat kediaman terakhir,
surat panggilan disampaikan melalui kepala desa yang berdaerah hukum tempat tinggal terdakwa
atau tempat kediaman terakhir dalam hal terdakwa ada dalam tahanan surat panggilan disampaikan
kepadanya melalui pejabat rumah tahanan negara. Penerimaan surat panggilan terdakwa sendiri
ataupun orang lain atau melalui orang lain, dilakukan dengan tanda penerimaan apabila tempat
tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal, surat panggilan ditempelkan pada tempat
pengumuman di gedung pengadilan yang berwenang mengadili perkaranya. PROSES PERKARA
17
PIDANA MASUK KE PENGADILAN BERDASARKAN KUHAP Acara Pelimpahan perkara ke
pengadilan oleh Jaksa Penuntut Umum di sertai dengan surat dakwaan. Keterangan. Pasal 143
KUHAP Kemudian Ketua PN mempelajarinya, apakah perkara tersebut masuk wewenangnya atau
bukan.Keterangan. Pasal 147 KUHAP Maka setelah itu Ketua PN menetapkan, bahwa PN tersebut
berwenang mengadili, dan PN tersebut tidak berwenang mengadili. Keterangan. Pasal 84 KUHAP
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sitim4ryam/proses-pemeriksaan-perkara-pidana-di-
indonesia
BAB IIIPENEGAKAN HUKUM DI LAUT OLEH KEPOLISIAN PERAIRAN
PendahuluanSebutkan Trend perkembangan lingkungan strategis baik global, regional maupun nasional
diperairan, dengan berbagai bentuk gangguan kamtibmas menimbulkan dampak yang berspektrum
luas di berbagai bidang kehidupan!. Polri telah membagi golongan kejahatan kedalam 4 (empat)
golongan/jenis. Pertama, kejahatan konvensional seperti kejahatan jalanan, premanisme,
banditisme, perjudian, pencurian dan lain-lain; Kedua, kejahatan transnational yaitu : terroris, trafficking in persons, money laundering, sea piracy and armed robbery at sea, arms smuggling, cyber crime and international economic crime; Ketiga, kejahatan terhadap kekayaan negara seperti
korupsi, illegal logging, illegal fishing, illegal minning, penyelundupan, penggelapan pajak,
penyalahgunaan BBM, dan lain-lain serta Keempat, kejahatan yang berimplikasi kontijensi seperti
SARA, separatisme, konflik horizontal dan vertikal serta unjuk rasa anarkis.
Berdasarkan teori efektivitas hukum (Soerjono Soekanto, 2011:8), efektif atau tidaknya suatu
penegakan hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor yaitu :1) Faktor hukumnya/UU, 2) penegak hukum,
18
3) sarana, 4) masyarakat dan 5) kebudayaan. Dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau
kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik,
tetapi kualitas petugas kurang baik, akan menjadi masalah dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu,
salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas/ kepribadian penegak
hukum itu sendiri. Dalam Teori Kriminologi (J.E Sahetapy, 1992:78),dalam rangka implementasi
penegakan hukum “Bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebijakan.
Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kesalahan”. Relevan dengan hal tersebut B. M.
Taverne mengatakan, “geef me goede rechter, goede rechter commissarissen, goede officieren van justitieen, goede politie ambtenaren, en ik zal met een slecht wetboek van strafprosesrecht het goede beruken” bahwasannya beliau mengatakan “berikan aku hakim, jaksa, polisi dan advokat
yang baik, maka aku akan berantas kejahatan meskipun tanpa secarik undang-undang pun”.
Dengan kata lain, “berikan padaku hakim dan jaksa yang baik, maka dengan hukum yang buruk pun
saya bisa mendatangkan keadilan.Artinya, bagaimana pun lengkapnya suatu rumusan undang-
undang, tanpa didukung oleh aparatur penegak hukum yang baik, memiliki moralitas dan integritas
yang tinggi, maka hasilnya akan buruk.
Sebutkan 13 (tiga belas) lembaga penegak hukum di laut dari jumlah tersebut terdiri dari 6
(enam)lembaga yang mempunyai satgas patroli dilaut dan 7(tujuh) lembaga penegak hukum lainnya
tidak memiliki satuan tugas patroli di laut. Lembaga penegak hukum yang memiliki satgas patroli di
laut! Perlu diketahui bersama bahwa di Indonesia pada saat ini telah memiliki 13 lembaga penegak
hukum di laut. Dari jumlah tersebut terdiri dari 6 lembaga yang mempunyai satgas patroli dilaut dan
7 lembaga penegak hukum lainnya tidak memiliki satuan tugas patroli di laut. Lembaga penegak
hukum yang memiliki satgas patroli di laut adalah : TNI-AL; Polri/Direktorat Kepolisian Perairan;
Kementerian Perhubungan/Dirjen HUBLA; Kementerian Kelautan dan Perikanan/Dirjen PSDKP;
Kementerian Keuangan/Dirjen Bea Cukai; dan Bakamla. Lembaga penegak hukum tersebut,
melaksanakan patroli terkait dengan keamanan dan keselamatan dilaut secara sektoral sesuai
dengan kewenangan yang dimiliki bedasarkan Peraturan Perundang-undangan masing-masing.
Penegakan Hukum di LautDalam buku Dasar-Dasar Ilmu Hukum (Ishak, 2012:244). Penegakan hukum mempunyai arti
menegakkan, melaksanakan ketentuan dalam masyarakat, sehingga secara luas penegakan hukum
merupakan proses berlangsungnya perwujudan konsep-konsep yang abstrak menjadi kenyataan.
Proses penegakkan hukum dalam kenyataanya memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat
penegak hukum itu sendiri. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa pengertian penegakan hukum,
19
dalam bentuk kongkritnya di bidang perairan adalah segala kegiatan operasional yang
diselenggarakan di seluruh perairan dalam rangka menjamin tegaknya hukum nasional.
Penegakan hukum di laut mempunyai pengertian segala upaya yang dilakukan oleh pemerintah
dalam menjamin keselamatan dan keamanan di laut yurisdiksi nasional Indonesia, baik keselamatan
dan keamanan manusia, lingkungan alam, maupun keselamatan dan keamanan pelayaran.
Penegakan hukum di perairan berbeda dengan penegakan hukum di darat, terutama karena di
perairan/laut bertemu dua kepentingan hukum, yaitu kepentingan hukum nasional dan hukum
internasional, sedangkan di darat hanya mewadahi kepentingan hukum nasional. Dengan kata lain,
penegakan hukum di perairan berarti juga menegakkan hukum, konvensi atau semua aturan yang
telah disepakati dunia Internasional, di mana pemerintah Indonesia ikut menandatangani
konvensi/aturan-aturan tersebut, atau telah meratifikasinya dengan menerbitkan undang-undang
terkait dengan hal tersebut.
Perbedaan lainnya dengan penegakan hukum di darat adalah, pemberlakuan hukum di laut
dilakukan berdasarkan rezim hukum yang berbeda, sedangkan di darat tidak dikenal adanya
perbedaan rezim hukum. Selain itu, subyek hukum di laut adalah manusia - WNI atau WNA dan
negara, negara dalam hal ini berupa bendera kapal, sedangkan di darat subyek hukumnya adalah
manusia dan badan hukum.
Berawal dari pengertian tersebut maka timbullah akibatnya yaitu bahwa tindak pidana di laut menjadi
suatu tindak pidana KHUSUS yang mengandung arti bahwa tindak pidana di laut mempunyai
kekkhususan tersendiri. Kekhususan itu bisa terjadi meliputi seluruh unsur-unsur tindak pidana
(Subyek, schuld/kesalan, bersifat melawan hukum, bertentangan dengan undang-undang, maupun
unsur-unsur lainnya misalnya : tempat, waktu dan keadaan lainnya). Karena merupakan tindak
pidana khusus disebut juga delik khusus, delik tersebar, delik diluar KUHP, maka
penyelesaiannyapun mempunyai kekhususan yang menyimpang dari tindak pidana umum (KUHP)
sedangkan hukum acara juga ada penyimpangan dengan KUHAP, bahkan aparat penegak hukum,
hukum yang ditegakkan juga ada penyimpangan dan medianya juga lain, yaitu berupa laut yang
mempunyai sifat Internasional sedangkan tata cara melakukan tindak pidana di lautpun berbeda
karena menggunakan KAPAL, namun baik KUHP maupun KUHAP masih tetap melingkupi tindak
pidana di laut.
Hukum Yang DigunakanAsas-asas hukum pidana dari buku 1 KUHP berlaku terhadap tindak pidana di laut berdasarkan
pasal 103 KUHP yang isinya bahwa ketentuan-ketentuan dalam Bab VIII KUHP diperlakukan
terhadap ketentuan perundang-undangan di luar KUHP yang diancam dengan pidana, kecuali diatur
20
khusus oleh undang-undang tersebut. Misalnya UU No. 31 tahun 2004 tentang perikanan yang
telah dubah dengan UU No. 45 tahun 2009, UU No. 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI) dan seterusnya. Sedangkan KUHAP demikian juga masih tetap melingkupi
hukum acara di laut via pasal 284 KUHAP yang isinya bahwa semua perkara diberlakukan hukum
acara pidana (KUHAP) dengan pengecualian ketentuan khusus acara pidana yang dibawa oleh
undang-undang tertentu dengan demikian pada tindak pidana di laut ini, hal yang diatur adalah
acaranya, misalnya penghentian kapal, pemeriksaan diatas kapal, tatacara membawa kapal ke
pelabuhan terdekat dan sebagainya menyimpang dari pada KUHAP karena KUHAP tidak mengatur
hal tersebut.
KUHAP tidak seluruhnya dapat diterapkan pada hukum acara di laut karena beberapa alasan antara
lain :
1. Status kapal/pesawat udara belum diatur sebagai subyek.
2. KUHAP memberlakukan hukum acara pidana khusus via pasal 284 KUHAP.
3. KUHAP belum mengatur kewenangan penyidik diluar Polisi dan PPNS.
4. KUHAP tidak mengatur wilayah di luar Indonesia padahal ada tindak pidana di laut yang terjadi di
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).
5. Tembusan surat penangkapan seharusnya diberikan kepada keluarga, tetapi bila yg ditangkap
merupakan KAPAL maka tidak mempunyai keluarga.
6. Penahanan untuk KAPAL tidak bisa dilaksanakan di Rumah Tahanan Negara.
7. Pengadilan di laut tidak mengenal yurisdiksi pengadilan, pengadilan yang berwenang mengadili
adalah pengadilan yang mempunyai Yurisdiksi terdekat (UU No. 3 tahun 1985) dimana KAPAL
diserahkan ke pelabuhan terdekat.
penegakkan hukum dilaut mempunyai aspek yang berbeda dengan di darat yaitu penegakkan
hukum di laut bisa merupakan penegakkan kedaulatan di laut yaitu manakala penegakkan tersebut
dilakukan terhadap kapal-kapal asing yang berarti kapal tersebut berstatus negara asing di wilayah
negara indonesia yang melakukan tindak pidana di laut, sedangkan bila penegakkan tersebut
dilakukan terhadap kapal-kapal berbendera Indonesia berarti hal tersebut merupakan penegakan
hukum, kedua penegakkan tersebut juga mempunyai aspek yang berbeda bila penegakkan
terhadap kedaulatan mempunyai aspek keutuhan wilayah, Integritas Internasional dan hukum yang
ditegakkan adalah Hukum Internasional, Konvensi-konvensi Internasional, Perjanjian antar Negara
maupun kebiasaan dilaut, termasuk juga hukum Naional dan itu semua untuk kepentingan Negara.
Tetapi apabila penegakkan hukum terhadap Kapal Indonesia mempunyai aspek penegakkan hukum
pribadi, pelayanan masyarakat, ketertiban masyaralat, kepentingan masyarakat maupun
21
kepentingannya dari hukum yang ditegakkanpun hanyalah Negara (UU Nasional) serta mempunyai
aspek YURIDIS keamanan dan ketertiban di laut.
Didalam penegakkan hukum di laut ada suatu keterbatasan keberlakuan Hukum Nasional
terhadap Hukum Internasional yaitu yang tertera pada pasal 9 KUHP yang isinya keberlakuan pasal
2, 3, 4, 5, 7, 8 KUHP dibatasi atas pengecualian-pengecualian yang diakui dalam Hukum
Internasional (UNCLOS 1982) pasal 73 ayat (3) mengatur terhadap pelaku tindak pidana di Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE) didalam menegakkan hukum Negara pantai, tidak boleh dijatuhkan oleh
Negara yang mencakup pengurungan sehingga hal ini UU ZEE Indonesia tidak boleh melampaui
ketentuan tersebut. Sedangkan hukum acaranya yang berlaku pada tindak pidana di laut adalah
Hukum Acara Khusus yang dibawa oleh UU Khusus tersebut, dan Hukum Acara Khusus di laut
maupun Hukum Acara Pidana yang belum mengatur hal khusus itu. Dan itu semua hanyalah
ditingkat awal sampai penyidikan bila sudah berlanjut ke penuntutan dan persidangan seluruhnya
tunduk pada KUHAP.
Dasar penegakan hukum di laut oleh antara lain:
1. Stbl.1939 No. 442 tentang Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Laut Larangan.
2. Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
3. Undang-Undang Rl Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982.
4. Undang-Undang Rl Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan
Ekosistemnya.
5. Undang Undang Rl Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
6. Undang Undang RI Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
7. Undang-undang RI Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
8. Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi.
9. Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI.
10. Undang-Undang RI Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil.
11. Undang-Undang Rl Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
12. Undang-Undang Rl Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.
13. Undang-Undang Rl Nomor 04 Tahun 2009 tentang MINERBA.
14. Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang NARKOBA.
15. Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
16. Undang-Undang Rl Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan UU Rl No. 31 tentang Perikanan.
22
17. Undang-Undang Rl Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan.
18. Skep Kapolri No Pol : Skep/ 79 / II / 2001 tanggal 5 Februari 2001 tentang penunjukan Pol Airud
sebagai Penyidik di wilayah perairan dan bidang penerbangan Yurisdiksi Nasional Indonesia dan
pelimpahan wewenang kepada Dit Pol Airud.
Kewenangan Polair Sebagai PenyidikBahwa fungsi kepolisian merupakan salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat, hal ini sebagaimana di tegaskan dalam pasal 13 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa tugas pokok Kepolisian RI adalah : 1) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, 2) Menegakkan hukum, 3) memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu, dalam pasal 14 huruf g Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dikatakan bahwa “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya”.Wewenang Kepolisian sebagai penyelidik dan penyidik tersebut sesuai pengaturan yang terdapat
dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dimana di dalam pasal 4 KUHAP dikatakan, bahwa Penyelidik adalah setiap pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Sedangkan dalam pasal 6 ayat (1) KUHAP, dikatakan bahwa penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang. Selain berdasarkan undang-undang kepolisian
dan KUHAP wewenang kepolisian diwilayah perairan laut juga dinyatakan dalam berbagai peraturan
perundang-undangan lainya yang mengatur tentang tindak pidana tertentu diwilayah perairan laut.
Sebagai contoh, wewenang Polri (Polair) dalam tindak pidana tertentu seperti dimaksud pasal 282
ayat (1) undang-undang No. 17 tahun 2008 Tentang Pelayaran juga memberikan kewenangan
kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melakukan penyidikan terhadap tindak
pidana di bidang pelayaran.
PROSEDUR PENANGANAN TINDAK PIDANA DI LAUT/ PERAIRAN1. Pendeteksian Kapal
23
a. Melaksanakan kegiatan pengawasan di wilayah perairan yang rawan terjadi tindak pidana
berdasarkan informasi yang diperoleh.
b. Pengenalan sasaran dengan menggunakan sarana yang ada (Radar, sonar, teropong,
komunikasi radio, atau isyarat).
c. Penilaian sasaran dimaksudkan untuk menilai dan menentukan target/sasaran benda yang
dicurigai.
2. Penyelidikan Kapal
a. Penghentian Kapal
Apabila kapal dicurigai melakukan pelanggaran/tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang
cukup, diadakan penghentian dengan alasan kapal tersebut melakukan pelanggaran/tindak pidana
yang diatur dalam UU.
b. Pemeriksaan kapal
Setelah kapal dihentikan maka selanjutnya dilaksanakan tindakan : pemeriksaan atas perintah
Komandan, kapal merapat ke kapal patroli atau sebaliknya. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
proses pemeriksaan dilaut :
1) Pemeriksaan dilaut harus menggunakan sarana yang sah/resmi dengan identitas/ciri-ciri yang
jelas dan dapat dikenali sebagai kapal patroli/pemerintah yang diberi kewenangan untuk melakukan
tindakan tersebut.
2) Tim pemeriksa harus menggunakan seragam lengkap dan dilengkapi surat perintah.
3) Pemeriksaan harus disaksikan oleh Nakhoda atau ABK kapal yang diperiksa.
4) Pemeriksaan harus dilakukan secara tertib, tegas, teliti, cepat, tidak terjadi kehilangan, kerusakan
dan tidak menyalahi prosedur pemeriksaan.
5) Selama peran pemeriksaan tim pemeriksa harus selalu berkomunikasi dengan kapal yang
diperiksa.
Setelah selesai pemeriksaan, hal-hal yang harus diperhatikan :
1) Membuat surat pernyataan tertulis dan di tandatangani oleh Nakhoda kapal, yang menerangkan
tentang hasil pemeriksaan berjalan dengan tertib, tidak terjadi kekerasan, kerusakan dan
kehilangan.
2) Membuat surat pernyataan tertulis dan ditanda tangani oleh Nakhoda kapal, yang menerangkan
tentang hasil pemeriksan surat-surat/ dokumen kapal dengan menyebutkan tempat dan waktu.
3) Mencatat dalam buku jurnal kapal yang diperiksa yang berisi : waktu dan posisi pemeriksaan,
pendapat tentang hasil pemeriksaan, Perwira pemeriksa menandatangani hasil pemeriksaan pada
buku jurnal kapal dibubuhi stempel kapal pemeriksa, dalam hal buku jurnal kapal tidak ada nakhoda
membuat surat pernyatan tentang tidak adanya buku jurnal kapal, terhadap Nakhoda kapal asing
24
yang tidak dapat berbahasa Indonesia, sesampai dipangkalan/pelabuhan terdekat diberikan
penjelasan lengkap dan rinci terkait perkaranya dengan dibantu oleh penterjemah sebelum di
lakukan penyidikan lanjutan.
3. Tindak lanjut hasil penyelidikan
a. Apabila tidak terdapat bukti yang cukup atau petunjuk yang kuat tentang adanya tindak pidana
maka : Kapal diijinkan melanjutkan pelayaran, dalam buku Jurnal pelayaran dicatat bahwa telah
diadakan pemeriksaan dengan menyebutkan posisi dan waktu, meminta surat secara tertulis kepada
nahkoda kapal tentang tidak terjadinya kekerasan, kerusakan dan kehilangan selama pemeriksaan
serta pernyataan tidak melakukan gugatan.
b. Apabila terdapat bukti yang cukup atau petunjuk yang kuat tentang telah terjadi suatu
pelanggaran/tindak pidana : Perwira pemeriksa memberitahu kepada Nakhoda bahwa telah terjadi
tindak pidana dan untuk itu kapal akan dibawa kepangkalan/ pelabuhan yang ditentukan, meminta
kepada nakhoda kapal untuk memberikan tandatangan pada peta posisi Gambar Situasi Pengejaran
dan Penghentian. Kemudian Komandan kapal patroli mengeluarkan surat perintah untuk membawa
kapal dan orang ke pangkalan/pelabuhan yang terdekat dan telah ditentukan.
Alternatif cara membawa kapal :a. Di Ad hoc (Perintah membawa)1) Komandan kapal patroli menerbitkan surat perinah ad hoc kepada nachoda/tersangka supaya
membawa sendiri kapalnya kepelabuhan sesuai yang diperintahkan.
2) Surat-surat/dokumen, muatan dan benda-benda dipindahkan diamankan di kapal patroli.
3) Perintah Ad hoc hanya diberlakukan terhadap kapal berbendera Indonesia (ABK bukan asing)
yang diyakini tidak akan melarikan diri.
4) Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh Komandan kapal /nakhoda kapal patroli : Waspadai Kapal
tersebut tidak mematuhi perintah ad hoc dan melarikan diri, Waspadai pertukaran Nakhoda kapal
yang tidak sesuai sijil.
b. Dikawal.1) Kapal tetap dibawa Nakhoda dan ABK-nya menuju pelabuhan yang dituju.
2) Ditempatkan Tim kawal diatas kapal secara proporsional.
3) Kapal patroli dapat mengawal pada jarak aman.
4) Surat-surat/dokumen kapal/muatan dan benda-benda yang mudah dipindahkan termasuk alat
komunikasi diamankan di kapal patroli.
5) Sebagian ABK dari kapal yang dikawal dapat dipindahkan kekapal patroli.
25
c. Digandeng/ditunda/ditarik.1) Dalam hal kapal mengalami kerusakan dapat dibawa oleh kapal patroli dengan cara
digandeng/ditunda/ditarik dengan tetap memperhatikan kesiapan tekhnis dan material kapal patrol.
2) Sebagian ABK dapat dipindahkan kekapal patroli dan menempatkan petugas diatas kapal yang
dikawal.
3) Apabila kapal mengalami kerusakan berat dan kemungkinan akan tenggelam serta upaya
penyelamatan kapal tidak memungkinkan , maka nachoda dan ABK dipindahkan ke kapal Patroli
sebagai upaya pertolongan.
4) Apabila kapal yang digandeng/ditunda/ditarik karena kerusakan berat mengakibatkan tenggelam ,
harus dibuat berita acara yang berisi tentang posisi dan sebab-sebab tenggelamnya kapal tersebut.
d. Penyerahan kepada Pangkalan/Kantor.Pada prinsipnya Komandan Kapal Patroli adalah Penyidik/penyidik pembantu, namun dengan
pertimbangan efisiensi waktu penyidikan lanjut diserahkan kepada pangkalan/kantor berwenang
tempat dimana kapal akan diperiksa lebih lanjut (penyelidikan lanjutan penyidikan). Setelah kapal
sampai dipangkalan/pelabuhan, komandan kapal patroli segera menyerahkan kapal dan muatan,
nakhoda dan ABK serta surat-surat/Dokumen kapal/muatan kepada pangkalan dengan dilengkapi (Administrasi Pemeriksaan Kapal) anatara lain adalah sebagai berikut:
1) Laporan kejadian
2) GSPP kapal
3) Pernyataan posisi kapal
4) Surat perintah dan BA riksa kapal
5) Pernyataan hasil pemeriksaan kapal
6) Pernyataan hasil pemeriksaan surat-surat kapal
7) Pernyataan keadaan muatan kapal
8) Pernyataan tidak tersedianya buku jurnal kapal (kalau tidak ada)
9) Surat perintah dan BA membawa kapal dan orang
10) BAP saksi dari Kapal patroli (min 2 orang yang bertugas pada saat itu)
11) BA pengambilan sumpah/janji saksi dari kapal patroli ( min 2 orang yang bertugas pada waktu
kejadian dan telah memenuhi syarat untuk diambil sumpah.
12) BA serah terima kapal dan perlengkapannya, Nakhoda dan ABK, Dokumen kapal serta Berkas
Perkara.
e. Penyidikan
26
1) Pemeriksaan oleh Penyidik di Pangkalan/Kantor
Pangkalan/ kantor melakukan pemeriksaan terhadap kapal dan muatan, nakhoda dan ABK serta
surat-surat/dokumen kapal/muatan yang diserahkan oleh kapal patroli/instansi lain untuk proses
hukum lebih lanjut.
2) Proses Penyidikan.
Penyidik segera menerbitkan Surat Perintah Penyidikan dan surat pemberitahuan dimulainya
Penyidikan (SPDP) kepada pihak kejaksaan, untuk keperluan penyidikan, setelah dilakukan tindakan
: Penggeledahan, pemeriksaan saksi, tersangka, penyitaan dan penahanan.
3) Penanganan ABK non Yustisial
ABK yang bukan tersangka setelah selesai dilakukan pemeriksaan sebagai saksi tidak dilaksanakan
penahanan.
Prosedur penyelesaian perkara setelah di darat menggunakan hukum acara pidana umum
(KUHAP).Tindak pidana di laut tidak mengenal yuridiksi peradilan dan pengadilan yang berwenang
mengadili ialah pengadilan yang membawahi pelabuhan dimana kapal tangkapan tersebut
diserahkan. Tidak ada keharusan kapal penangkap menyerahkan ke pelabuhan tertentu mengingat
di laut tidak mengenal Locus Deliti dan Locus Delitinya adalah seluruh perairan Indonesia.
Ketentuan yang ada adalah kapal tangkapan diserahkan ke pangkalan yang terdekat sehingga tidak
mengganggu tugas-tugas operasional lainnya kapal patroli Polisi, dan seluruh pengadilan di
Indonesia berwenang sehingga diserahkan kemana saja.
PENUTUP1. Kesimpulan
a. Efektifitas penegakan hukum dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: faktor hukumnya,
aparatnya, sarananya dan masyarakat serta kebudayaannya.
b. Tindak pidana di laut merupakan tindak pidana khusus, dalam penanganan perkaranya
menggunakan hukum acara tersendiri.
c. Tindak pidana di laut dapat bersifat Internasional maupun Nasional dan subyek tindak pidana di
laut bersumber dari hukum Internasional.
2. Saran
Dalam rangka penegakan hukum di laut agar efektif dan tidak terjadi tumpang tindih serta ego
sektoral oleh dinas/instansi pemerintah harus ditingkatkan kerjasama dan profesionalitas penegakan
hukum, guna menjamin keamanan dan keselamatan di laut dalam rangka mendukung Indonesia
sebagai poros maritim. (by. EBS 7/15)
27
BAB IV
TEKNIK INTEROGASI DALAM PENYIDIKAN
I. PENDAHULUAN
Pemeriksaan memegang peran penting dalam kegiatan penyidikan/interogasi untuk
mencari kebenaran meteriil, sebagai suatiu kewajiban penyidik yang ditentukan dalam undang-
undang. Pemeriksaan adalah merupakan salah satu tenik mencari dan menedapatkan keterangan
terhadap saksi maupun tersangka dalam rangka penyidikan tindak pidana dengan cara mengajukan
pertanyaan baik lisan maupun tertulis kepada tersangka, atau saksi, guna mendapatkan keterangan,
petunjuk-petunjuk dan alat bukti lainnya dan kebenran keterlibatan tersangka dalam rangka
28
pembuatan berita acara pemeriksaan.[3] Upaya penyidikan ini mengacu pada Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) Lembaran
Negara Tahun 1981 No. 3209 yang diundangkan pada tanggal 31 Desember 1981, dengan
diundangkan KUHAP ini mengakibatkan perubahan fundamental di dalam sistem peradilan pidana,
dengan perubahan fundamental ini mengakibatkan pula perubahan di dalam sistem penyidikan.
Tentu dari perubahan fundamental ini juga mengalami perubahan kultur bagi penegak
hukum di lapangan, sehingga diperlukan upaya-uapaya dalam peningkatan kemampuan, kecakapan
dan kemahiran dari seluruh aparatur penegak hukum dan dilakukan secara berlanjut. Penyidik
sebagai gari terdepan dalam pelaksanaan penegakkan hukum senantiasa diperlukan dalam
memperhitungkan akan terjadinya persoalan-persoalan yang tidak dapat dihindari, ketika berlakunya
hukum acara sebelum KUHAP ini berlaku. KUHAP merupakan hukum nasional berdasarkan
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bersifat unifikasi dan kodifikasi yang bertujuan untuk
kepentingan nasional, ini adalah merupakan realisasi Eropa kontinental seperti Jerman, Perancis
dan Belanda atau negara-negara lain seperti Jepang, yang membedaknnya hanya keadaan dalam
menetapkan bentuk juridisnya dengan teknik perundang-undangan, dan tidak mengenai isinya,
khususnya yang berkaitan dengan asas-asas Hukum Acara Pidana.
Kita ketahui bahwa sebelum KUHAP ini lahir dalam proses penyelidikan maupun
penyidikan masih menggunakan HIR, perlakuan terhadap seseorang yang diduga sebagai pelaku
tindak pidana dalam mencari bukti dilakukan dengan cara-cara kekerasan, bahkan penyiksaan
seseorang mengalami kriminalisasi.[4] Hal ini dilakukan karena semata-mata untuk mengejar
pengakuan, tidak didasarkan kepada pembuktian secara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan
atas kebenarannya. Tindakan ini dapat mengakibatkan cacat pisik dan mental terhadap pelaku
tindak pidana, terjadi penyalahgunaan wewenang bahkan terjadi pelanggaran hak asasi manusia.
Penyalahgunaan wewenang dalam menjalankan hukum pidana merupakan suatu
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 3885, Pasal 1 ke 6 menyatakan bahwa:
“Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk
aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut haj asasi manusia seseorang atau
kelompok orang yang dijamin oleh oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau
29
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan
mekanisme hukum yang berlaku”.
Tentunya dalam penegakkan hukum, aparat penegak hukum diharapkan tidak melakukan
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), pelanggaran ini tidak terjadi manakali aparat penegak
hukum memiliki pengetahuan tentang hukum, terampil dalam melakukan tugas secara profesional
dan proporsional sesuai kewenangan yang diberikan oleh undang-undang.
Aparat penegak hukum harus memahami norma-norma yang berlaku pada masing-masing
bidang hukum, karena masing-masing bidang hukum mempunyai makna penormaan yang berbeda.
Apabila aparat penegak hukum khususnya Kepolisian tidak memahami “domain” masing-masing
bidang hukum, maka akan diperalat dan dimanfaatkan oleh pencari keadilan dengan jalan pintas
untuk segera mendapatkan prestasi dengan melaporkan ke pihak Kepolisian. Sesuai tugas dan
wewenangnya dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4168, menyatakan bahwa:
a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. menegakan hukum; dan
c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.[5]
Sebagai pelayan masyarakat Polri tidak boleh menolak laporan atau pengaduan yang
disampaikan kepadanya, semua permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat cenderung
melaporkan ke kepolisian, tidak terkecuali permasalahan yang dilaporkan menyangkut peristiwa
keperdataan maupun permasalahan lainnya. Masyarakat tidak mengerti dan memahami hukum,
sehingga setiap permasalahan yang terjadi dilaporkan. Apakah masalah yang dihadapi masuk
dalam lingkup hukum perdata atau hukum pidana, ia tetap melaporkan ke Kepolisian dengan
harapan cepat terselesaikan.
Hal ini aparat penegak hukum diharapkan dapat memahamai persoalan-persolan yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat, dalam kehidupan masyarakat tentu terdapatnorma-norma yang
berlaku berupa norma larangan (dwingend recht) seringkali dilanggar, pelanggaran-pelanggaran
yang terjadi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor lingkungan, ekonomi, keamanan
dan geografis maupun karakter masyarakatnya.Sedangkan perkembangan dan kemajuan kejahatan
saat ini dipengaruhi pula oleh perkembangan masyarakatnya. Dalam hubungan ini, I.S.
30
Susanto menulis, wajah kejahatan dipengaruhi oleh bentuk dan karakter masyarakatnya, artinya
masyarakat industri akan memiliki wajah kejahatan yang berbeda dengan masyarakat agraris [6].
Dengan kemajuan teknologi dewasa ini pola kehidupan masyarakat akan terpengaruh dan
berkembang secara pesat, sehingga dampak yang muncul sangat mempengarui terhadap kondisi
dan tatanan kehidupan masyarakat, secara perlahan tanpa disadari atau tidak, pola prilaku maupun
pola pikir masyarakat ikut terpengaruh pula.
Dewasa ini perkembangan kejahatan semakin canggih, dengan modus maupun cara-cara
dalam melakukan kejahatan semakin modern dengan meninggalkan pola-pola tradisional, pola-pola
tradisional saat ini sudah tidak digunakan karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan
situasi masyarakat dewasa ini, bahkan dalam kegiatan berinteraksi maupun pergaulan masyarakat
sehari-hari dalam melakukan kegiatancenderung mengikutinya.
Polri sesuai tugas dan kewenangannya sebagai pelayan masyarakat dan aparat penegak
hukum, senantiasa bertindak secara profesional dan proporsional, dan mampu memahami terhadap
peraturan perundang-undangan yang ada serta dalam melakukan proses penyelidikan maupun
penyidikan terhadap suatu kasus yang diterimanya. Dalam melakukan tugas penyelidikan dan
penyidikan terhadap kasus yang ditangani ternyata tidak ditemukan unsur-unsur pidananya, maka
pihak Kepolisian khususnya penyidik dapat untuk menghentikan perkara, dengan mengeluarkan
surat ketetapan berupa Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), hal tersebut di atur dalam
Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa: “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan
karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana
atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut
umum, tersangka atau keluarganya.
Penghentian penyidikan adalah merupakan salah satu kegiatan penyelesaian perkara
yang dilakukan apabila :
a. Tidak terdapat cukup bukti;
b. Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana;
c. Demi hukum karena :
(1) Tersangka meninggal dunia;
(2) Tuntutan tindak pidana telah kadaluarsa;
31
(3) Nebis en idem (tindak pidana tersebut telah memperoleh putusan hakim yang
mempunyai kekuatan hukum tetap).
II. PEMBAHASAN
1. Pemeriksaan
a. Arti Pemeriksaan
Pemeriksaan adalah kegiatan untuk mendapatkan keterangan, kejelasan dan keidentikan
tersangka, saksi ahli dan atau barang bukti maupun tentang unsur-unsur tindak pidana yang telah
terjadi, sehingga kedudukan atau peranan seseorang maupun barang bukti di dalam tindak pidana
tersebut menjadi jelas dan dituangkan di dalam berita acara pemeriksaan.[7] Berita acara
pemeriksaan (BAP) adalah catatan atau tulisan yang bersifat otentik, dibuat dalam bentuk tertentu
oleh penyidik atau penyidik pembantu atas kekuatan sumpah jabatan, diberi tanggal dan ditanda
tangani oleh penyidik atau penyidik pembantu dan tersangka serta saksi/ahli yang diperiksa,
memuat uraian tindak pidana yang mencangkup/memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang
dipersangkakan dengan menyebut waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan,
identitas penyidik/penyidik pembantu dan yang diperiksa, keterangan yang diperiksa.[8]
Berita acara pemeriksaan (BAP) yang tertuang dalam berkas perkara (BP) sangat
berperan penting dalam sistem peradilan pidana sebagaimana diatur dalam Undang-uandang
Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP), yaitu yang dikenal dengan Criminal Justis Sistem, Polri sebagai
Penyidik, Jaksa Penuntut Umum sebagai Pebutut dan Hakim sebagai pemutus dalam Persidangan.
Kita ketahui hasil berita acara pemeriksaan (BAP) yang tertuang dalam berita acara pemeriksaan
(BAP) yang dibuat oleh Penyidik, dapat dijadikan dasar oleh Jaksa Penuntut Umum untuk
mendakwa seseorang dalam proses peradilan yang diduga sebagai pelaku tindak pidana. Apabila
hasil pemeriksaan yang dituangkan dalam berkas (BP) yang dibuat oleh Penyidik, maka dakwaan
yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum pun akan mengalami kekliruan, termasuk vonis Hakim
yang dijatuhkan terhadap seseorang palaku tindak pidana akan mengalami kesesatan.[9]
b. Syarat-Syarat Pemeriksaan
32
Pemeriksa selaku penyidik/penyidik pembantu dalam melakukan pemeriksaan harus
memiliki kewenangang untuk melakukan pemeriksaan dalam membuat berita acara pemeriksaan
(BAP), memilki pengetahuan yang cukup tentang hukum pidana, hukum acara pidana dan
perarturan perundang-undangan lainnya. Mempunyai pengetahuan yang cukup dan mahir dalam
melaksanakan fungsi tehnis kepolisian di bidang reserse, mahir dalam taktik dan tehnik dalam
melakukan pemeriksaan.
Di samping itu pula memilki kepriabdian yang baik, percaya diri, sabar, tidak gampang
terpengaruh, tekun, ulet dan memiliki kemapuan menilai dengan tepat dan bertindak secara cermat
serta obyketif tanpa pilih kasih. Seorang penyidik/penyidik selaku pemeriksa hendaknya melihat
seseorang yang diperiksa, apakah seorang tersangka maupun seorang saksi dan ahli harus memiliki
kemampuan untuk mempersiapkan rencana pemeriksaan dengan baik efektif dan efesien. Dalam
melakukan pemeriksaan terhadap seorang tersangka, saksi dan ahli ditetapkan secara khusus
tempat maupu sarana pemeriksaan, sehingga tujuan dari pemeriksaan dapat berjalan sesuai
dengan harapan yaitu pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan.
c. Pembuatan Berita Acara Pemeriksaan
Dalam pembuatan beriata acara pemeriksaan, terdapat persyaratan yang harus dipenuhi
yaitu, syarat formal dan materiil[10], pertama, syarat formal dibuat dalam bentuk tertentu dan
tertulis kata-kata Pro Justitia artinya bahwa format berita acara yang dibuat oleh penyidik/penyidik
pembantu atas dasar untuk keadilan, bukan untuk kepentingan lain. Kemudian setiap lembar dari
produk itu ditanda tangani oleh penyidik/penyidik pembantu dan orang yang diperiksa, baik sebagai
saksi, tersangka dan ahli. Kedua, syarat materiil yaitu keseluruhan isi atau meteri menyangkut urang
dari peristiwa tindak pidana yang terjadi dan dapat memenuhi unsur-unsur pasal yang dilanggar atau
yang disangkakan kepada pelaku tindak pidana.
d. Evaluasi
Evaluasi pembuatan berita acara pemeriksaan, senantiasa dilakukan dengan cara: tahap
inventarisasi, tahap seleksi dan pengkajian. Hal ini dilakukan agar keterangan para saksi, ahli dapat
dijadikan dasar dan memenuhi unsur-unsur pasal yang disangkakan kepada seseorang yang diduga
sebagai pelaku tindak pidana. Selanjutnya dilakukan seleksi, siapa saja yang layak untuk dijadikan
saksi untuk dimasukan dalam berkas perkara (BP), dan dilakukan pengkajian untuk menguji
kebenaran dengan bukti-bukti serta petunjuk-petunjuk yang ada, sehingga dapat ditarik suatu
33
kesimpulan tentang kebenaran dan dapat dipercaya tentang peristiwa pidana yang terjadi dan dapat
menentukan pelaku tindak pidana.
2. Pembuktian
a. Arti Pembuktian
Pembuktian adalah suatu proses untuk mencari kebenaran dalam menyelesaikan suatu
sengketa atau perselisihan kepentingan, kepentingan-kepentingan tersebut dapat berhubungan
dengan hukum perdata, hukum pidana, hukum administrasi dan hukum tata usaha negara.
Pembuktian memegang peranan sangat penting dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan,
apabila seseorang didakwa telah melakukan pelanggaran hukum dan hasil pembuktian “tidak cukup“
maka seorang terdakwa wajib dibebaskan, namun apabila dapat dibuktikan maka seorang terdakwa
dinyatakan bersalah dan diberikan sanksi berupa hukuman badan atau denda.
Pembuktian memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan,
dengan bukti-bukti yang diajukan untuk mencari dan membuktikan kebenaran atau membuktikan
kesalahan-kesalahan seseorang, dengan pembuktian yang telah diajukan dalam persidangan, maka
seseorang dapat diketahui kesalahan-kesalahan disangkakan kepadanya sebagai dasar untuk
menjatuhkan sanksi pidana.
Dari dua pengertian tersebut, maka proses pembuktian merupakan inti dari penentuan
salah atau tidak seorang yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana, dalam menjalani
proses penyidikan atau pemeriksaan sidang persidangan. Penentuan salah atau tidak seseorang
tidak boleh hanya ditentukan oleh pendapat pribadi Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim, atau
pada pengakuan tersangka/terdakwa, akan tetapi harus melalui proses pembuktian dengan alat-alat
bukti yang ditentukan.
Menurut M. Yahya Harahap[11] menyatakan bahwa, pembuktian adalah merupakan titik
sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Pembuktian merupakan ketentuan-ketentuan
yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang,
untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepadanya.
Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan
undang-undang yang boleh dipergunakan hakim untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan.
Dalam proses persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan
kesalahan terdakwa.
34
Hari Sangsaka dan Lely Rosita memberikan pengertian pembuktian adalah merupakan
sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macm alat bukti yang sah menurut
hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti serta
kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.[12]
Dari uraian tersebut di atas arti pembuktian ditinjau dari segi hukum acara
pidana sebagaimana di atur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan penjelasannya termuat dalam tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3209.
b. Alat Bukti
Dalam Pasal 184 KUHAP menyatakan, bahwa macam- macam alat-alat bukti sebagai
berikut :
Ayat (1) alat bukti yang sah :
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuak;
e. Keterangan terdakwa.
Ayat (2) hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Pengertian hal-hal secara umum adalah suatu hal yang secara umum diketahui tentang
suatu hal atau keadaan yang biasa lazim terjadi dalam penilaian masyarakat, hal demikian yang
sudah diketahui umum tidak perlu dibuktikan, yang diatur dalam Pasal 184 ayat (2)
KUHAP. Macam-macam alat bukti dahulu di atur dalam pasal 295 HIR, yang terdiri dari sebagai
berikut:
a. Keterangan saksi;
b. Surat-surat;
c. Pengakuan;
35
d. Tanda-tanda (petunjuk).
Dalam pasal 184 KUHAP, mengandung makna ketentuan yang membatasi hakim, penuntut
umum, terdakwa, maupun penasehat hukum dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Tidak boleh
sembarangan dalam menilai pembuktian dan terikat pada ketentuan maupun tata cara penilian alat
bukti yang ditentukan undang-undang. Alat-alat bukti yang dipergunakan dalam persidangan
maupun dalam mempertahankan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Pasal 184
KUHAP dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Alat Bukti Keterangan Saksi
Keterangan saksi adalah merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana.
Syarat-syarat agar keterangan saksi dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dan memiliki nilai
kekuatan pembuktian yang sempurna sebagai berikut:
a. Harus mengucapkan sumpah atau janji (pasal 160 ayat (3) KUHAP).
- Pada prinsipnya sumpah diucapkan sebelum memberi keterangan.
- Pasal 160 (4) KUHAP memberi kemungkinan untuk mengucapkan sumpah atau janji
setelah saksi memberi keterangan.
b. Keterangan Saksi yang bernilai sebagai bukti.
Berdasarkan pasal 1 angka 27, keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti ialah
keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana :
- Yang didengar sendiri oleh saksi;
- Yang dilihat sendiri oleh saksi;
- Yang dialami sendiri oleh saksi;
- Menyebut alasan dari pengetahuannya.
c. Testimonium de auditu (mendengar orang lain tidak bernilai sebagai alat bukti). Pendapat atau
rekaan dari hasil pemikiran saksi bukan merupakan alat bukti dan tidak bernilai sebagai alat
bukti. Kadangkala dalam praktek pemeriksaan pertanyaan penyidik kepada seorang saksi
sudah dimulai dengan bagaimana pendapat saudara dan seterusnya, pertanyaan seperti itu
jelas keliru karena saksi tidak boleh bependapat, yang berpendapat adalah ahli.
36
d. Keterangan saksi dalam penyidikan sebagai bahan dasar keterangan saksi di pengadilan.
Keterangan saksi dalam berita acara pemeriksaan pada saat penyidikan harus diulang dan
dipertahankan oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai keterangan saksi di sidang pengadilan.
Tidak ada salahnya jika Jaksa Penuntut Umum membacakan kembali keterangan-keterangan
saksi yang penting dan mendukung surat dakwaan dalam berita acara pemeriksaan dalam
berkas perkara.
e. Keterangan seorang saksi tidak cukup, tanpa didukung alat bukti yang lain, dan tidak dapat
digunakan sebagai alat bukti untuk membuktikan kesalahan tersangka/terdakwa. Agar dapat
dijadikan sebagai alat bukti yang sah, maka keterangan satu orang saksi harus ditambah
dengan alat bukti yang lain yaitu keterangan ahli, surat, pentunjuk atau keterangan terdakwa,
dengan ketentuan antara alat bukti tersebut harus saling bersesuaian dan saling menguatkan.
Keterangan satu orang saksi tanpa didukung oleh alat bukti yang lain, maka alat bukti tunggal
tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk menentukan kesalahan tersangka/terdakwa. (unus testis nullus testis). Timbul suatu pertanyaan bagaimana kalau saksi hanya dua orang saja,
yang keterangannya saling bersesuaian dan menguatkan tanpa didukung oleh alat bukti
keterangan ahli, surat petunjuk dan terdakwa menyangkal. Apakah dapat digunakan sebagai
alat bukti yang sah untuk menentukan kesalahan tersangka/ terdakwa. Dalam praktek,
keterangan dua orang saksi yang saling bersesuaian dan menguatkan, dapat diterima oleh
hakim sebagai alat bukti untuk menentukan kesalahan terdakwa.
f. Cara pembuktian keterangan saksi yang bernilai pembuktian :
(1) Keterangan antara saksi satu dengan yang lainnya saling bersesuaian dan
menguatkan bukan bertentangan dan berdiri sendiri-sendiri.
(2) Alasan saksi memberi keterangan, pada saat saksi memberi keterangan sesuatu
peristiwa atau keadaan tertentu yang tidak pasti, seorang saksi dalam memberi
keterangan tidak boleh ragu-ragu, keterangan saksi harus sungguh-sungguh yang
dialami sendiri, dilihat sendiri atau didengar sendiri.
(3) Latar belakang kehidupan saksi, untuk mengetahui latar belakang kehidupan saksi,
perlu untuk mengetahui apakah ada pengaruh dengan faktor-faktor kepribadian
misalnya suka bohong, pemabuk dan lain-lain terhadap keterangan yang berikan.
37
(4) Pada saat penyidikan, keterangan saksi diberikan dengan mengucapkan sumpah, jika
tidak hadir di sidang keterangannya dibacakan dan keterangan saksi tersebut
mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah.
(5) Keterangan saksi diberikan dengan mengucapkan sumpah.
Suatu kesaksian agar mempunyai kekuatan sebagai alat bukti, maka harus
memenuhi syarat sebagai berikut,[13] antara lain :
1. Syarat obyektif :
a) tidak boleh bersama-sama sebagai terdakwa;
b) tidak boleh ada hubungan keluarga;
c) mampu bertanggung jawab, yakni sudah berumur 15 tahun atau sudah pernah kawin
dan tidak sakit ingatan.
2. Syarat formal:
a) kesaksian harus diucapkan dalam sidang;
b) kesaksian tersebut harus diucapkan di bawah sumpah;
c) tidak dikenakan asas unus testis nulun testis.
3. Syarat subyektif/material:
a) saksi menerangkan apa yang ia lihat, ia ketahui, ia dengar dan ia alami sendiri;
b) dasar-dasar atau alasan mengapa saksi tersebut melihat, mendengar dan mengalami
sesuatu yang diterangkan tersebut.
2) Alat Bukti Keterangan Ahli
Keterangan ahli adalah keterangan yan diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian
khusus, tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan yang di atur dalam asal 1 angka 28 KUHAP.
38
Dalam pasal 120 KUHAP bahwa, dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta
pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus. Ahli mengangkat sumpah atau
mengucapkan janji di muka penyidik, bahwa ia akan memberi keterangan menurut
pengetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali apabila disebabkan karena harkat serta martabat,
pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan
keterangan yang diminta.
Pasal 133 KUHAP, dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang
koban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman
atau dokter dan atau ahli lainnya. Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan secara tertulis disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan
mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. Mayat dikirm kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap
mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang
dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.
Menurut Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : SE-003/J.A./2/1984,
pemeriksaan ahli terhadap otentikasi tanda tangan dan tulisan yang akan digunakan sebagai alat
bukti tentang suatu peristiwa pidana, telah disepakati oleh Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonsia dan Kepala Kepolisian Rpublik Indonesia sebagai
berikut:
a) Untuk tindak pidana umum dan tindak pidana khusus keterangan ahli otentikasi diberikan
oleh Laboratorium Kriminal Mabes Polri;
b) Untuk tindak pidana militer, keterangan ahli otentikasi diberikan oleh Laboratorium Kriminal
POM ABRI;
c) Untuk perakara yang bersifat koneksitas dapat diberikan oleh salah satu Laboratorium
Kriminal berdasarkan kesepakatan antara unsur penegak hukum yang duduk dalam team
untuk perakara koneksitas.
Pasal 179 KUHAP, setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran
kehakiman atau dokter ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. Dalam
39
memberikan keterangan dengan mengucapkan sumpah atau janji dan memberikan keterangan
yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.
Dari pengaturan tentang keterangan ahli tersebut dapat diuraikan hal-hal sebagai berikut :
1) Permintaan keterangan ahli dilakukan pada tahap penyidikan :
- Penyidik meminta keterangan ahli dan untuk itu ahli membuat "Laporan hasil pemeriksaan"
misalnya; Visum et Repertum, laporan Audit. Dibuat dengan mengingat sumpah waktu
menerima jabatan atau pekerjaan. Laporan ahli tertentu sudah mempunyai sifat dan nilai
sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang.
- Laporan hasil pemeriksaan dituangkan dalam bentuk berita acara pemeriksaan Ahli.
2) Keterangan ahli diberikan di sidang pengadilan
Apabila dianggap perlu dan dikehendaki baik oleh hakim ketua sidang karena jabatan, maupun atas
permintaan Jakasa Penuntut Umum, terdakwa atau penasihat hukum, dapat meminta pemeriksaan
keterangan ahli dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Bentuk keterangan ahli menurut tata cara
ini berbentuk "keterangan lisan" dan "secara langsung" diberikan oleh yang bersangkutan dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan. Bentuk keterangan lisan secara langsung dicatat dalam berita
acara pemeriksaan sidang pengadilan oleh panitera, dan untuk itu ahli yang memberi keterangan
lebih dulu mengucapkan sumpah atau janji sebelum ia memberikan keterangan. Jadi dalam tata
cara dan bentuk keterangan ahli di sidang pengadilan tidak dapat diberikan hanya berdasar sumpah
atau janji pada waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Tapi harus mengucapkan sumpah atau
janji di sidang pengadilan sebelum ia memberikan keterangan. Dengan dipenuhinya tata cara dan
bentuk keterangan yang demikian dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, bentuk keterangan ahli
tersebut menjadi alat bukti yang sah menurut undang-undang. Sekaligus keterangan ahli yang
seperti ini mempunyai nilai kekuatan pembuktian.
3) Keterangan ahli sebagai alat bukti
a) Keterangan seorang ahli yang mempunyai keahlian khusus.
b) Keterangan ahli diperlukan untuk membuat terang perkara pidana yang diperiksa sesuai
dengan pengetahuannya.
4) Dualisme alat bukti keterangan ahli tetap satu alat bukti:
40
a) Keterangan ahli dalam bentuk "Laporan" dapat dikategorikan alat bukti surat (Pasal 187
c KUHAP).
b) Keterangan ahli secara lisan dan langsung baik dalam berita acara penyidik
maupun keterangan dalam sidang pengadilan.
3) Alat Bukti Surat
Dalam pasal 187 KUHAP surat sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat (1) huruf c,
dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:
a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau
keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang
jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b) surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat
oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung
jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c) surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya;
d) surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian
yang lain.
Yang dimaksud dengan surat dalam pasal 187 huruf a KUHAP adalah: surat yang dibuat
oleh pejabat umum yang berwenang untuk jabatan”, misalnya berita acara yang dibuat oleh seorang
penyidik; surat yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya,
yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang
dialaminya sendiri, sesuai dengan ketentuan undang-undang, misalnya paspor, surat ijin mendirikan
bangunan, surat kartu penduduk, surat ijin mengemudi, surat yang dibuat oleh seorang notaris dan
sebagainya, yang kesemuanya bernilai sebagai alat bukti surat.
Macam-macam surat dapat dibedakan,[14]adalah:
- Surat biasa;
41
- Surat otentik;
- Surat dibawah tangan.
Jika macam-macam surat tersebut dihubungkan dengan ketentuan pasal 187
KUHAP, maka Pasal 187 huruf a, b dan c KUHAP termasuk surat otentik dan pasal 187 huruf d
termasuk surat biasa.
Nilai kekuatan pembuktian dalam hukum acara perdata surat autentik atau surat dalam
bentuk resmi sebagaimana tersebut pasal 187 huruf a dan b KUHAP, dinilai sebagai alat bukti yang
“sempurna”, dan mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat bagi hakim. Sedangkan
dalam hukum acara pidana tidak mengatur secara khusus tentang nilai kekuatan pembuktian surat.
Ditinjau dari segi teori dan di hubungkan beberapa prinsip pembuktian yang diatur dalam KUHAP
dapat ditinjau,[15] sebagai berikut:
1) Ditinjau dari segi formal, alat bukti surat yang disebut dalam pasal 187 huruf a,b, dan c
merupakan alat bukti yang “sempurna”. Sebab bentuk surat-surat di dalamnya dibuat secara
resmi menurut formalitas yang ditentukan dalam undang-undang, dan dibuat oleh pejabat
yang berwenang yang memiliki nilai bukti yang sempurna. Oleh karena itu, alat bukti surat
resmi mempunyai nilai “pembuktian formal yang sempurna”, dari segi formal ini dititikberatkan
dari sudut “teoritis” dikesampingkan oleh beberapa asas dan ketentuan yang terdapat dalam
KUHAP, yaitu adanya batas minimum pembuktian yang ditentukan oleh pasal 183 KUHAP.
2) Ditinjau dari segi materiil, semua bentuk surat yang disebut dalam pasal 187 KUHAP “bukan
alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat”. Nilai kekuatan pembuktian sama halnya
dengan nilai kekuatan pembuktian saksi dan alat bukti keterangan ahli, sama-sama
mempunyai nilai kekuatan yang “bersifat bebas”. Hakim bebas untuk menilai kekuatan
pembuktian, bebas untuk menggunakan atau menyingkirkan.
Dasar alasan ketidakterikatan atas alat bukti surat tersebut, didasarkan pada beberapa
asas; antara lain :
a) asas proses pemeriksaan perkara pidana ialah untuk mencari kebenaran materiil atau
“kebenaran sejati” (meteriel waarheid), bukan mencari kebenaran formal;
b) asas keyakinan hakim, asas ini berhubungan erat dengan sistem pembuktian yang dianut
dalam KUHAP.
42
c) asas batas minimum pembuktian, ditinjau dari segi formal alat bukti surat (autentik) sebagai
alat bukti yang sah dan bernilai sempurna, akan tetapi kesempurnaan tidak berdiri sendiri,
melainkan perlu bukti pendukung lainnya.
4) Alat Bukti Petunjuk
Dalam pasal 188 KUHAP, pengertiannya alat bukti petunjuk adalah sebagai berikut:
(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik
antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari; keterangan
saksi; surat; keterangan terdakwa.
(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu
dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan
dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Alat bukti petunjuk diperlukan apabila alat bukti yang lain belum mencukupi batas minimum
pembuktian yang dutentukan dalam pasal 183 KUHAP, alat bukti petunjuk tidak dapat berdiri sendiri
melainkan berhubungan dengan alat bukti lainnya. Alat bukti petunjuk dapat digambarkan sebagai
alat bukti yang lahir dari kandungan alat bukti yang lain,[16] karena :
(1) selamanya tergantung dan bersumber dari alat bukti yang lain;
(2) alat bukti petunjuk baru diperlukan dalam pembuktian, apabila alat bukti yang lain belum
dianggap hakim cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Atau dengan kata lain, alat
bukti petunjuk baru dianggap mendesak mempergunakannya apabila upaya pembuktian
dengan alat bukti yang lain belum mencapai batas minimum pembuktian;
(3) oleh karena itu, hakim harus lebih dahulu berdaya upaya mencukupi pembuktian dengan
alat bukti lain sebelum mempergunakan alat bukti petunjuk;
(4) dengan demikian upaya mempergunakan alat bukti petunjuk baru diperlukan pada tingkat
keadaan daya upaya pembuktian sudah tidak mungkin diperoleh lagi dari alat bukti yang
lain.
43
Nilai kekuatan pembuktian petunjuk sifat dan kekuatan pembuktian sama
dengan pembuktian keterangan saksi, keterangan ahli dan alat bukti surat sifat kekuatan
pembuktian yang “bebas”. Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian oleh petunjuk, hakim
bebas menilai dan mempergunakan dalam pembuktian.
5) Alat Bukti Keterangan Terdakwa
Adalah suatu keterangan terdakwa yang disampaikan di dalam sidang pengadilan.
Keterangan terdakwa lebih luas dari pengakuan terdakwa. Pengakukan terdakwa tidak
menghapuskan kewajiban pembuktian, proses pemeriksaan dalam pembuktian selamanya tetap
diperlukan sekalipun terdakwa mengaku, jaksa penuntut umum tetap berkewajiban untuk
membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat bukti yang lain, pengakuan terdakwa “bersalah“ sama
sekali tidak menghapuskan pembuktian. Pasal 189 ayat (4) KUHAP menyatakan bahwa:
(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan
yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri;
(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu
menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang
sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya;
(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri;
(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertal dengan alat bukti yang
lain.
Pengakuan terdakwa atau keterangan terdakwa bukan merupakan alat bukti yang
sempurna, juga tidak memiliki pembuktian yang menentukan untuk menjatuhkan kesalahan
terdakwa, melainkan perlu alat pembuktian yang lain. Dari ketentuan pasal 189 ayat (1) dan ayat (2)
KUHAP tersebut keterangan terdakwa dapat dibagi dua yaitu ;
(a) Keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang pengadilan (The Confession Outside Court), asas ini menerangkan bahwa keterangan yang diberikan di luar
sidang pengadilan tidak mempunyai nilai kekuatan alat bukti, melainkan dapat
membantu dan menemukan alat bukti dalam persidangan.
44
(b) Keterangan terdakwa yang diberikan dalam sidang pengadilan, baru merupakan alat
bukti. Keterangan terdakwa tersebut berisi pernyataan terdakwa tentang apa
yang ia diperbuat, apa yang ia lakukan dan apa yang ia alami.
3. Sistem Pembuktian
Sistem pembuktian ada beberapa ajaran yang berhubungan dengan
teori pembuktian, dalam teori dikenal 4 sistem pembuktian yaitu :
a. Conviction in Time
Sistem pembuktian Conviction in time adalah sistem pembuktian yang mengajarkan
dalam menentukan kesalahan terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian pada ”keyakinan”
hakim. Hakim dalam menjatuhkan kesalahan terdakwa tidak terikat dengan alat bukti. Dari mana
hakim menyimpulkan keyakinan yang dijadikan dasar untuk menjatuhkan putusan terdakwa, dalam
sistem ini tidak menjadi masalah. Keyakinan boleh diambil dari alat bukti yang dihasilkan dalam
persidangan atau tidak mempergunakan alat bukti yang ada dipersidangan. Hakim langsung
menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sekalipun kesalahan terdakwa telah
cukupbukti, jika hakim tidak yakin maka terdakwa dapat dibebaskan, sebaliknya walaupun
kesalahan terdakwa tidak terbukti dengan melihat alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan
bersalah, semata-mata atas dasar “keyakinan” hakim. Sistem ini unsur subyektif sangat dominan.
Sistem pembuktian conviction in time ini dipergunakan dalam sistem peradilan juri, misalnya di
Inggris dan Amerika serikat.
b. Conviction in Raisone
Sistem pembuktian Conviction in Raisone ini masih mendasarkan pada “keyakinan” hakim
dalam menentukan kesalahan terdakwa, akan tetapi hakim dibatasi. Hakim dalam menjatuhkan
putusan terhadap terdakwa berdasar keyakinannya dan menguraikan alasan-alasan yang rasional
(reasonable). Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan dapat diterima
oleh akal, tidak semata-mata berdasar keyakinan tanpa batas. Sistem pembuktian ini disebut
dengan sistem pembuktian bebas.
c. Sistem Pembuktian Secara Positif
Sistem pembuktian positif ini menganut sistem pembuktian menurut undang-undang, yang
berdasar pada alat-alat bukti yang telah ditentukan dalam undang-undang, keyakinan hakim tidak
45
ikut berperan. Dalam menentukan kesalahan seseorang terdakwa didasarkan atas alat-alat bukti
yang sah yang ditentukan dalam undang-undang, sudah cukup bagi hakim untuk menentukan
kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Sistem ini, hakim seolah-olah sebagai
robot dalam menjalankan undang-undang, hati nurani hakim tidak ikut dalam menentukan kesalahan
terdakwa. Sistem pembuktian positif ini yang dicari adalah kebenaran formal, dan sistem pembuktian
ini dipergunakan dalam hukumacara perdata.
d. Sistem Pembuktian Secara Negatif
Sistem pembuktian negatif (negatif wettelijk) ini merupakan sistem pembuktian positif dan
sistem pembuktian menurut keyakinan hakim (convictioan in time). Dalam sistem pembuktian secara
negatif ini hakim dalam mentukan kesalahan terdakwa didasarkan pada alat-alat bukti yang sah
yang ditentukan dalam undang-undang dan adanya keyakinan hakim. Terdapat dua komponen
dalam sistem pembuktian negatif ini untuk menentukan kesalahan terdakwa[17], yaitu :
1) pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut
undang-undang;
2) dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang
sah menurut undang-undang. Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur “obyektif” dan
“subyektif” dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa dan tidak ada yang dominan di antara
kedua unsur tersebut.
4. Sistem Pembuktian yang Dianut KUHAP
Setelah dijelaskan sistem pembuktian yang ada, sistem pembuktian mana yang di anut
oleh KUHAP?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita baca pasal 183 KUHAP, yang berbunyi
“hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekuramg-
kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-
benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Dari pengertian tersebut dapat diuraikan tentang persyaratan untuk menyatakan
seseorang bersalah menurut KUHAP, yaitu Sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah; hakim
memperoleh keyakinan terjadinya tindak pidana dan terdakwalah yang melakukan. Dari uraian di
atas jelaslah bahwa KUHAP mengatur sistem pembuktian “negatif wettelijk”.
5. Penerapan dan Kecenderungan Sistem Pembuktian KUHAP
46
Dalam Pelaksanaan sistem pembuktian secara negatif dalam penegakan hukum di
Indonesia baik masa HIR maupun setelah KUHAP berlaku, penerapan sistem pembuktian secara
negatif sebagaimana diamanatkan dalam pasal 183 KUHAP, pada umumnya telah
mendekati makna dan tujuan pembuktian.
Penutup
Bahwa berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik/penyidik pembantu adalah
merupakan kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
KUHAP, dibuat dalam bentuk format tertentu yang memenuhi syarat formal maupun syarat materiil.
Berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik/penyidik pembantu sangat penting karena di
buat atas dasar untuk kedilan, yang selanjuya dijadikan dasar oleh Jaksa Penuntut Umum untuk
melakukan dakwakan kepada seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dalam proses
peradilan, bukan untuk kepentingan lain.
Berita acara yang telah dibuat, kemudian disusun menjadi satu bendel/berkas (yang
dinamakan berkas perkara atau BP), dapat menentukan salah tidaknya seseorang dalam proses
peradilan pidana, dengan bukti-bukti yang ada kaitannya dengan peristiwa pidana yang terjadi,
dapat dijadikan dasar Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan kesalahan seseorang yang diduga
sebagai pelaku tindak pidana di depan hakim pengadilan yang memutuskannya.
Berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik/penyidik pembantu yang disusun
menjadi satu bendel/berkas jika salah dan keliru, maka berkas perkara yang dijadikan dasar oleh
Jaksa Penuntut Umum untuk mendakwa seseorang yang diduga melakukan tindak pidana,
kemudian diputus oleh hakim pengadilan akan terjadi kesesatan, pada akhirnya akan terjadi
pelanggaran hak asasi manusia.
47
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULANSetelah dicermati, disusun, dirancang, dan diupayakan penyusunan bahan belajar latihan
manajemen kewilayahan untuk para bintara gakkum Polair ini, maka disimpulkan bahwa s tandar
kompetensi untuk lulusannya yang akan diraih dan diharapkan oleh institusi Polri, agar para Bintara
Gakkum Polair antara lain adalah sesuai dengan tujuan pelatihan Bintara Gakkum Polair ini yaitu
untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta sikap perilalu Bintara Polri sehingga
memiliki kemampuan dalam melaksanakan penegakkan hukum diperairan melalui mekanisme
pelaksanaan patroli perairan, hasil pemeriksaan dokumen dan kapal dapat diketahui bahwa telah
terjadi suatu tindak pidana atau pelanggaran terhadap ketentuan peraturan yang berlaku.
Capaian yang demikian tidaklah semudah seperti membalikkan kedua telapak tangan,
oleh karena itu perlunya upaya kuat dari semua pihak (lembaga/SPN, siswa, tenaga pendidik) dalam
menciptakan situasi dan iklim pembelajaran yang kondusif dan penguasaan materi yang lengkap,
situasi kelas yang nyaman, terkini /up to date, terampil dan mumpuni serta profesional dalam
memberi pelatihan.
B. SARAN
48
Saran perlu disampaikan terkait keinginan pimpinan agar tercipta komunikasi 2(dua) arah
antara gadik dan siswa untuk memperoleh kemajuan bersama dalam rangka mendidik dan
memajukan personil Polri yang bertugas di kewilayahan. Kemudian terkondisikan suasana belajar
mengajar yang nyaman, sesuai dengan kompetensinya. Oleh karena itu disarankan antara lain
adalah :
1. Disarankan hanjar pelatihan bintara gakkum Polair yang ada ini menjadi pedoman dalam
pelaksanaan tugas para bintara gakkum Polair dan berkelanjutan;
2. Disarankan hanjar pelatihan bintara gakkum Polair apabila dirasa perlu untuk mendapatkan
muatan yang lebih terkini sekiranya semua pihak membantu memperkaya isi atau muatan
keilmuan sehingga penulis bangga hasil karyanya mendapatkan apresiasi dari siapapun.
3. Penguasaan keilmuan yang mendorong agar siswanya terampil dalam mengemban tugas
kepolisian terutama ilmu manajemen, kepemimpinan, penguasaan peraturan perundangan
adalah urgent dan utama, akan tetap yang paling pokok, prinsip dan terpenting adalah perihal
pengendalian diri, berupaya meningkatkan mutu adab, akhlakul karimah/ akhlak yang baik
dan terpuji sebagai cerminan aparatur negara yang mencerminkan perilaku Pancasila dan
beragama. Artinya negara mengharapkan terbentuk sosok personil Polri yang berakhlak
mulia/ terpuji yang memiliki pengetahuan.
Demikian Bahan Belajar (Hanjar) bintara gakkum yang perdana ini disusun sebagai
pedoman, dengan harapan para bintara gakkum menjadi terpola teliti, praktis, efektif, efisien, dan
waspada serta terampil dalam memberikan pelayan dan pengayoman kepada masyarakat
sebagaimana yang tertera di dalam peraturan Kapolri yang mengatur tentang manajemen
operasional kepolisian dan susunan organisasi dan tata kerja pada tingkat kepolisian daerah dan ,
serta bagamana mengelola suatu gangguan kamtibmas dan penanganan permasalahan yang
muncul, kemudian melaksanakan penghentian kapal, pemeriksaan kapal dan kelengkapan
administrasi pemriksaan secara efektif dan efisien.
49
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Mabes Polri, Jakarta.
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Daerah. Mabes Polri, Jakarta.
Jenderal Polisi Drs. Timur Pradopo. 2011. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun 2011 tentang Manajemen Operasi Kepolisian. Mabes Polri, Jakarta.
Kresno Buntoro.2012. Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) Prospek dan Kendala. Cetakan
Pertama. Sekolah Staf dan Komando TNI AL (SESKOAL). Jakarta.
Bahder Johan Nasution. 2008. Metode Penelitian Ilmu Hukum. Cetakan Pertama. Mandar Maju,
Bandung.
Syahmin A.K., 1988, Beberapa Perkembangan dan Masalah Hukum Laut Internasional(Sekitar
Penegakan Hukum di Perairan Yurisdiksi Nasional Indonesia Dewasa Ini). , Binacipta,Bandung.
Prijanto, Heru, 2007, Hukum Laut Internasional. , Bayu Media, Malang.
Subagyo, P. Joko, 1993, Hukum Laut Indonesia. , Rineka Cipta, Jakarta
50
Blogger Abbas archa, Koresponden : Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah, Jl Arif Rahman
Hakim No. 150 Sukolilo - Surabaya 60111, diunduh hari senin 16 Mei 2016 pkl 11.09 wib
JAKARTA (Pos Kota)
Sianturi, Tindak Pidana Khusus, Sianturi, Azas-Azas Hukum Pidana. Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, l996.
-----------, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2005
-----------, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan penanggulangan Kejahatan, PT Citra Aditya,
Bandung, 2001.
Allot, Anthony, The Limits of Law, dalam Barda Nawawi Arief.
A. Garner, Bryan, Blacks Law Dictionary, Seven Edition, St Paul, Minn, 1999.
Bruggink,J.J.H., Rechtsreflecties, alih bahasa Arief Sidharta, Citra Aditya Bakti, Bandung, l996.
Black, Donal Socilogi Justice, 1986.
Englebecht, R.Susilo “Sculd” diartikan kesalahan, M.Budianto dan K.Wantjik Saleh” Sculd” diartikan
kekhilafan. Lihat juga P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1997.
51
Hadjon, Philipus M. dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, 2005.
Hantum, Van, dalam J.E.Sahetapy,.(editor penerjemah), Hukum Pidana, Kumpulan Bahan Penataran
Hukum Pidana Prof. Dr.D.Schaffmeister, Prof.Dr. Nico Keijzer dan Mr. E.PH. Sitorus, Liberty,
Yogjakarta, 1995.
Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Yarsif Watampone, Jakarta, 2005.
Hutchinson, Terry, Researching and Writing in Law, Lawbook, Sydney, 2002.
J. Noyon-G.E. Langemeyer, Het Wetboek van Strafrecht, Arnhem : S.Gonda-Quint, l954.
JM Van, Bemmelen, Ons Strafrecht, HD-TW & Zoon NV, Haarlem, 1968,
Lamintang, PAF, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, l997.
-----------,Lamintang, P.AF, Delik-Delik Khusus Kejahatan Jabatan danKejahatan-Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Pionir Jaya, Bandung, 1991,h.276.
Mahmud Marzuki, Peter, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005.
Mertokusumo, Sudikno,Mengenal Hukum, Liberty, Yogjakarta, 2004.
52
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rinika Cipta, Jakarta, 2008.
-----------,Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983
Minarno, Nur Basuki, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Negara, Laksbang Mediatama, Cet ke 1, Surabaya, 2008.
Moris L. Cohen, et.all, Legal Research in a Nut Shell, West Publishing Co., St. Paul, Minn, l992.
Moch. Anwar, H.A.K, Brigjen Polisi Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP BUKU II) Jilid I, Penerbit Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1994.
Packer, H.L., The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press, California, 1968.
Paton, G.W. Text Book Of Jurisprudence, Oxpord.
Poernomo, Bambang, Asas-Asas Hukum Pidana, Terbitan kelima, Ghalia, Jakarta, l985.
Prodjohamidjojo, Martiman, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia 2, Pradnya Paramita,
Jakarta, 2002.
Remmelink, Jan, Hukum Pidana Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia , Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
53
R. Dye, Thomas, dalam Barda Nawawi Arief, Penetapan Pidana Penjara Dalam Perundang-undangan Dalam Rangka Usaha PenanggulanganKejahatan,UNPAD,1986.
Sahetapy, J.E. (editor penerjemah), Hukum Pidana, Kumpulan Bahan Penataran Hukum Pidana Prof. Dr. D.
Schaffmeister, Prof. Dr. Nico Keijzer dan Mr. E. PH. Sutorius, Liberty, Yogjakarta, l995.
Smith, Russel G, Crime in the Professions, Ashgate Publishing Limited, England, 2004.
Susanto, I.S, Kejahatan Koorporasi, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995.
Surakhmad, Wiranto, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar Metode dan Teknik, Bandung, 1972.
Schaffmeister, D, D.N. Keijzer dan E.PH.Sutorius, Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,Cetakan ke II,
Bandung, 2007.
Sangsaka, Hari, dan Lely Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003.
Yahya Harahap, M, Pembahasan Permasalahan dan Penerapam KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2003.
Undang-undang
54
Undang-undang Nomor I Tahun 1946 Jo Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang berlakunya
Peraturan Hukum Pidana.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan Undang- undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasan Kehakiman.
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Tahun 1968 .
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Himpunan Bujuklak, Bujuklap dan Bujukmin Proses Penyidikan Tindak Pidana, Mabes Polri, Jakarta,
September 2000.
55
[1]Disampaikan dalam Rangka Pelatihan Pembuktian Terkait Saksi Dalam Proses Peradilan
Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Airlangga Dan Bank Rakyat Indonesia Angkatan I Tanggal
13 Oktober 2011.
[2] Yahman Praktisi Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Surabaya.
[3]Lihat, Himpunan Bujuklak, Bujuklap dan Bujukmin Proses Penyidikan Tindak Pidana,
Mabes Polri, Jakarta, September 2000, hal. 230.
[4]Suatu Istilah dari perseteruan antara “Cicak dan Buaya” dalam kasus Bibit Candra dan
Susno Duadji yang menjadi perhatian Publik, Politisi, maupun para Pakar Hukum serta tidak henti-
hentinya menjadi komentar atau pendapat, dalam media cetak maupun media elektronik.
[5] Lihat Pasal 13 Undang-undang Kepolisian RI Nomor 2 Tahun 2002
[6]I.S. Susanto, Kejahatan Koorporasi, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, 1995, hal. 5.
[7]Lihat Himpunan Bujuklak, Bujuklap dan Bujukmin Proses Penyidikan Tindak
Pidana, Loc.Cit.
[8]Ibid. hal. 231.
[9]Lihat Kasus Penangkapan dan Penahanan serta Proses Peradilan yang dialami oleh
Hambali di Jombang, ternyata ditemukan pelaku yang sebenarnya, hal ini didasarkan atas
pengakukan tersangka dalam tekanan pisik maupun psikis untuk mengejar pengakuan, pembuktian
tidak dilakukan secara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.
[10]Lihat Himpunan Bujuklak, Bujuklap dan Bujukmin Proses Penyidikan Tindak
Pidana, Op.Cit. hal. 235.
[11]M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapam KUHAP, Sinar Grafika,
Jakarta, 2003, hal.273.
[12]Hari Sangsaka dan Lely Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Mandar
Maju, Bandung, 2003, hal. 10.
[13]Ibid. hal. 48
[14]Ibid. hal. 60
56
[15]M. Yahaya Harahap, Op Cit, hal. 309.
[16]Ibid. hal. 316.
[17]Ibid.hal. 279.
57