Download - REFERAT AKALASIA 1
BAB I
PENDAHULUAN
Akalasia esofagus adalah gangguan motilitas esofagus yang ditandai
dengan tidak adanya peristaltik esofagus dan gangguan relaksasi sfingter esofagus
bagian bawah. Penyebab pasti penyakit ini belum diketahui. Secara histopatologik
kelainan ini ditandai dengan adanya degenerasi ganglia pleksus mienterikus.
Akibat keadaan ini akan terjadi stasis makanan dan selanjutnya akan timbul
pelebaran esofagus. Keadaan ini akan menimbulkan gejala dan komplikasi
tergantung dari berat dan lamanya kelainan yang terjadi.1,2
Akalasia mulai dikenal oleh Thomas Willis pada tahun 1674. Pada
awalnya keadaan ini diduga sebagai sumbatan di esofagus distal, sehingga dia
melakukan dilatasi dengan tulang ikan paus dan mendorong makanan masuk ke
dalam lambung. Pada tahun 1908, Henry Plummer melakukan dilatasi dengan
kateter balon. Pada tahun 1913, Heller melakukan pembedahan myotomi yang
terus dianut sampai sekarang. Namun, Penyebab dari akalasia ini masih belum
diketahui dengan pasti. Teori-teori atas penyebab akalasia pun mulai bermunculan
seperti suatu proses yang melibatkan infeksi, kelainan atau yang diwariskan atau
genetik, sistim imun yang menyebabkan tubuh sendiri untuk merusak esophagus,
dan proses penuaan atau proses degeneratif.2,3
Akalasia merupakan kasus yang jarang. Insidensi penyakit akalasia adalah
sekitar 1:100.000 penduduk dan prevalensinya sekitar 10:100.000 penduduk
dengan distribusi laki-laki perempuan sama. Tidak ada predileksi berdasarkan ras.
Akalasia terjadi pada semua umur dengan kejadian dari lahir sampai dekade 7-8
dan puncak kejadian pada umur 30-60 tahun. Data Divisi Gastroenterologi,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI didapatkan 48 kasus dalam kurun waktu
5 tahun (1984-1988). Sebagian besar kasus terjadi pada umur pertengahan dengan
perbandingan jenis kelamin yang hampir sama. Di Amerika Serikat ditemukan
sekitar 2000 kasus akalasia setiap tahun dan sebagian besarnya pada usia 25-60
tahun dan hanya sedikit pada anak-anak. Kelainan ini tidak diturunkan dan
biasanya membutuhkan waktu bertahun-tahun hingga menimbulkan gejala.4,5
Akalasia esofagus merupakan penyakit yang progresif dengan gejala
disfagia baik untuk makanan cair maupun padat, regurgitasi dan disertai dengan 1
nyeri dada. Regurgitasi makanan yang tidak tercerna sering bisa disalahartikan
sebagai penyakit gastroesophageal reflux sehingga dapat menunda penegakkan
diagnosis akalasia esofagus. Regurgitasi bisa terjadi saat makan, tak lama setelah
makan, atau ketika perubahan posisi pasien seperti pada posisi telentang.
Regurgitasi makanan yang tidak tercerna dilaporkan sekitar 60% pasien dan 40%
mengalami nyeri dada. Sekitar 40% dari pasien juga mengalami heartburn, karena
stasis dan fermentasi makanan di esofagus.3,5
Diagnosis akalasia esofagus ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang akalasia
esofagus terus berkembang. Baru-baru ini, High-Resolution Manometry (HRM)
telah menggantikan manometri konvensional sebagai gold standar yang telah
digunakan selama bertahun-tahun. Berdasarkan Chicago Klasifikasi pada pasien
dengan gangguan motilitas esofagus, ada tiga tipe akalasia esofagus yaitu tipe I
dengan ciri adanya gangguan relaksasi dan pelebaran esofagus dengan minimal
tekanan esofagus, tipe II dengan ciri terdapatnya tekanan di seluruh esofagus dan
tipe III dengan ciri adanya kontraksi spastik di segmen esofagus distal. Pasien
dengan tipe II akalasia memiliki prognosis yang terbaik, karena mereka lebih
mungkin untuk diterapi dengan Pneumatic Dilatation (PD) atau Laparoscopi
Heller Myotomy (LHM) dibandingkan pasien dengan akalasia tipe I atau akalasia
tipe III.6,7,8
Terapi akalasia esofagus pun terus berkembang. Terapi dapat berupa
farnakoterapi maupun non-farmakoterapi. Per-oral endoscopic myotomy (POEM)
merupakan myotomi dengan pendekatan endoskopi yang pertama kali
diperkenalkan pada manusia pada tahun 2010. Pendekatan terapi baru ini semakin
banyak digunakan di seluruh dunia. Studi-studi tentang terapi POEM ini pun
sudah banyak dilakukan. Barbirie et al (2015) melekukan studi meta analisi
tentang efikasi dan keamananan POEM untuk terapi akalasia esofagus. Studi ini
menyimpulkan bahwa POEM merupakan modalitas terapi endoskopik yang
sangat layak dan efektif untuk akalasia esofagus, tapi POEM seharusnya
dilakukan di pusat-pusat yang mampu mengobati komplikasi POEM, seperti
pneumothorax atau pneumoperitoneum. 9,10
2
Walaupun penyakit ini jarang terjadi tapi kita harus bisa mengenali dan
mengatasi penyakit ini karena komplikasi yang ditimbulkan dari penyakit ini
sangat mengancam nyawa seperti obstruksi saluran pernapasan sampai sudden
death. Ilmu pengetahuan dan teknologi tentang akalasia esofagus ini pun juga
berkembang dengan baik. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk
mengetahui penegakan diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat dari akalasia
esofagus, sehingga dapat menatalaksana pasien dengan baik.7
3
BAB 2
AKALASIA ESOFAGUS
2.1. Definisi
Akalasia esofagus adalah gangguan motilitas esofagus yang penyebabnya
tidak diketahui yang ditandai dengan aperistaltik esofagus dan gangguan relaksasi
sfingter esofagus bagian bawah. Secara histopatologik kelainan ini ditandai oleh
degenerasi ganglia pleksus mienterikus. Berdasarkan Chicago klasifikasi pada
pasien dengan gangguan motilitas esofagus dengan pemeriksaan high-resolution
manometry (HRM) yaitu akalasia tipe I, II dan tipe III.1,8
Akalasia esofagus tipe I dengan ciri adanya gangguan relaksasi dan
pelebaran esofagus dengan minimal tekanan esofagus, tipe II dengan ciri
terdapatnya tekanan di seluruh esofagus dan tipe III dengan ciri adanya kontraksi
spastik di segmen esofagus distal. Pasien dengan tipe II akalasia memiliki
prognosis yang terbaik, karena mereka lebih mungkin untuk diterapi dengan
Pneumatic Dilatation (PD) atau Laparoskopi Heller Myotomy (LHM)
dibandingkan pasien dengan akalasia tipe I atau tipe III.7,8
2.2. Epidemiologi
Akalasia merupakan kasus yang jarang. Insidensi dari penyakit akalasia ini
adalah sekitar 1:100.000 penduduk dan dengan prevalensi sekitar 10:100.000
penduduk dengan distribusi laki-laki perempuan sama. Tidak ada predileksi
berdasarkan ras. Akalasia terjadi pada semua umur dengan kejadian dari lahir
sampai dekade 7-8 dan puncak kejadian pada umur 30-60 tahun.5
Data Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
didapatkan 48 kasus dalam kurun waktu 5 tahun (1984-1988). Sebagian besar
kasus terjadi pada umur pertengahan dengan perbandingan jenis kelamin yang
hampir sama. Di Amerika Serikat ditemukan sekitar 2000 kasus akalasia setiap
tahun dan sebagian besarnya pada usia 25-60 tahun dan hanya sedikit pada anak-
anak. Kelainan ini tidak diturunkan dan biasanya membutuhkan waktu bertahun-
tahun hingga menimbulkan gejala.4,5
4
2.3. Anatomi dan Fisiologi Esofagus
Esofagus adalah suatu saluran otot vertikal yang menghubungkan
hipofaring dengan lambung. Ukuran panjangnya 23-25 cm dan lebarnya sekitar 2
cm (pada keadaan yang paling lebar) pada orang dewasa. Esofagus dimulai dari
batas bawah kartilago krikoidea kira-kira setinggi vertebra servikal VI. Dari batas
tadi, esofagus terbagi menjadi tiga bagian yaitu, pars cervical, pars thoracal dan
pars abdominal. Esofagus kemudian akan berakhir di orifisium kardia gaster
setinggi vertebra thoracal XI. Terdapat empat penyempitan fisiologis pada
esofagus yaitu, penyempitan sfingter krikofaringeal, penyempitan pada
persilangan aorta (arkus aorta), penyempitan pada persilangan bronkus kiri dan
penyempitan diafragma (hiatus esofagus). 11
Gambar 2.1. Anatomi Esofagus 11
Dinding esofagus terdiri dari 3 lapisan yaitu mukosa yang merupakan
epitel skuamosa, submukosa yang terbuat dari jaringan fibrosa elastis dan
merupakan lapisan yang terkuat dari dinding esofagus, otot-otot esofagus yang
terdiri dari otot sirkuler bagian dalam dan longitudinal bagian luar dimana 2/3
bagian atas dari esofagus merupakan otot skelet dan 1/3 bagian bawahnya
merupakan otot polos.11,12
Pada bagian leher, esofagus menerima darah dari a. karotis interna dan
trunkus tyroservikal. Pada bagian mediastinum, esofagus disuplai oleh a. esofagus
dan cabang dari a. bronkial. Setelah masuk ke dalam hiatus esofagus, esofagus
5
menerima darah dari a. phrenicus inferior dan bagian yang berdekatan dengan
gaster di suplai oleh a. gastrica sinistra. Darah dari kapiler-kapiler esofagus akan
berkumpul pada v. esofagus, v. thyroid inferior, v. azygos, dan v. gastrica.
Esofagus diinervasi oleh persarafan simpatis dan parasimpatis (nervus vagus) dari
pleksus esofagus atau yang biasa disebut pleksus mienterik Auerbach yang
terletak di antara otot longitudinal dan otot sirkular sepanjang esofagus.11
Esofagus mempunyai 3 bagian fungsional. Bagian paling atas adalah upper
esophageal sphincter (sfingter esofagus atas), suatu cincin otot yang membentuk
bagian atas esofagus dan memisahkan esofagus dengan tenggorokan. Sfingter ini
selalu menutup untuk mencegah makanan dari bagian utama esofagus masuk ke
dalam tenggorokan. Bagian utama dari esofagus disebut sebagai badan dari
esofagus, suatu saluran otot yang panjangnya kira-kira 20 cm.11,12
Bagian fungsional yang ketiga dari esofagus yaitu lower esophageal
sphincter (sfingter esophagus bawah), suatu cincin otot yang terletak di pertemuan
antara esofagus dan lambung. Seperti halnya sfingter atas, sfingter bawah selalu
menutup untuk mencegah makanan dan asam lambung untuk kembali
naik/regurgitasi ke dalam badan esofagus. Sfingter bagian atas akan berelaksasi
pada proses menelan agar makanan dan saliva dapat masuk ke dalam bagian atas
dari badan esofagus. Kemudian, otot dari esofagus bagian atas yang terletak di
bawah sfingter berkontraksi, menekan makanan dan saliva lebih jauh ke dalam
esofagus. Kontraksi yang disebut gerakan peristaltik ini akan membawa makanan
dan saliva untuk turun ke dalam lambung. Pada saat gelombang peristaltik ini
sampai pada sfingter bawah, maka akan membuka dan makanan masuk ke dalam
lambung.11,12
Esofagus berfungsi membawa makanan, cairan, sekret dari faring ke gaster
melalui suatu proses menelan, dimana akan terjadi pembentukan bolus makanan
dengan ukuran dan konsistensi yang lunak, proses menelan terdiri dari tiga fase
yaitu, fase oral, fase pharingeal, dan fase esofageal. Fase oral yaitu makanan
dalam bentuk bolus akibat proses mekanik bergerak pada dorsum lidah menuju
orofaring, palatum mole dan bagian atas dinding posterior faring terangkat. Fase
pharyngeal yaitu terjadi refleks menelan (involuntary), faring dan laring bergerak
ke atas oleh karena kontraksi m. Stilofaringeus, m. Salfingofaring, m. Thyroid dan
6
m. Palatofaring, aditus laring tertutup oleh epiglotis dan sfingter laring. Fase
oesophageal yaitu fase menelan (involuntary) perpindahan bolus makanan ke
distal oleh karena relaksasi m. Krikofaring, di akhir fase sfingter esofagus bawah
terbuka dan tertutup kembali saat makanan sudah lewat.11,12
2.4. Etiopatogenesis
Penyebab pasti daari penyakit akalasia esofagus ini sampai sekarang
belum diketahui. Secara histologik, ditemukan kelainan berupa degenerasi sel
ganglion plexus Auerbach sepanjang esofagus pars torakal. Berdasarkan etiologi,
akalasia esofagus ini dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu akalasia primer dan
akalasia sekunder.1,2
Akalasia primer yaitu akalasia esofagus dimana penyebab yang jelas
kelainan ini tidak diketahui dan diduga disebabkan oleh virus neurotropik yang
berakibat lesi pada nukleus dorsalis vagus pada batang otak dan ganglia
mienterikus pada esofagus. Akalasia sekunder yaitu akalasia esofagus dimana
kelainan ini dapat disebabkan oleh infeksi seperti penyakit chagas, tumor
intraluminer seperti tumor kardia atau pendorongan ekstraluminer seperti
pseudokista pankreas. Kemungkinan lain dapat disebabkan oleh obat
antikolinergik atau paska vagotomi.2
Etiologi akalasia primer masih belum diketahui, namun beberapa hipotesis
menyatakan akalasia disebabkan karena genetika, infeksi virus, autoimun, dan
neurodegenerasi. Setiap hipotesis berusaha menghubungkan dengan tidak adanya
ganglia pleksus myentericus di esophagus, meskipun terdapat kemungkinan
bahwa teori– teori tersebut terjadi bersamaan.1,2
Teori pertama adalah teori genetika. Kasus akalasia pada anak dan karena
keturunan sangat jarang. Sehingga teori genetika tidak mendukung sebagai
penyebab akalasia primer. Beberapa kasus akalasia lahir dari orang tua atau
kerabat dengan akalasia telah dilaporkan. Hanya ada satu laporan kasus kembar
monozigot dengan akalasia yaitu Sindrom Allgrove. merupakan penyakit resesif
autosomal pada anak-anak dengan gejala alacrima, insufisiensi adrenal,
keterbelakangan mental, dan neuropati otonom dan perifer.1,2
Teori hipotesis infeksi viral juga berkembang sebagai salah satu etiologi
akalasia esofagus. Sejumlah penelitian mengaitkan agen virus dalam patogenesis 7
akalasia. Etiologi ini tampaknya masuk akal mengingat distribusi usia pasien
akalasia seragam. Selain itu, penyakit Chagas merupakan contoh patogen menular
yang dapat menyebabkan akalasia. Sebuah laporan awal mencatat peningkatan
signifikan secara statistik pada titer antibodi terhadap virus campak pada pasien
dengan akalasia dibandingkan dengan kontrol, namun penelitian ini belum
dibuktikan. 1,2
Virus lain yang di duga bearkaitan dengan akalasia adalah virus varicella –
zoster. Penelitian terbaru lain menggunakan teknik polymerase chain reaction
tidak mendeteksi adanya campak, herpes atau virus papiloma pada spesimen
myotomy pasien akalasia. Penelian dengan hasil yang negatif tidak
mengesampingkan adanya specimen virus yang lain sebagai etiologi dari akalasia.
Kemungkinan yang mendukung etiologi ini adalah penelitian terbaru yang
menunjukkan immunoreaktif sel-sel inflamasi pasien akalasia sebagai respon
terhadap antigen virus meskipun peneliti tidak dapat mendeteksi virus dalam
sampel.1,2
Teori hipotesis autoimun dibangun atas adanya ditemukan infiltrasi
inflamasi di esofagus yang terkena akalasia. Infiltrasi inflamasi pada pleksus
myentericus terdapat pada 100% specimen. Adanya infiltrasi sel pada
imunohistokimiawi ditandai dengan adanya sel T positif CD3 dan CD8. Infiltrasi
eosinofilik yang signifikan juga dibuktikan pada beberapa pasien dengan
akalasia.2
Teori hipotesis neurodegenerasi merupakan hipotesis ketiga yang
diusulkan sebagai etiologi akalasia primer. Pada akalasia disebutkan terjadi
hilangnya neuron dalam inti motorik vagal dan terjadi perubahan degeneratif dari
serabut saraf vagal. Lesi yang dibuat secara eksperimental di batang otak dan
saraf vagus pada hewan menghasilkan kelainan motilitas esofagus yang
menyerupai akalasia. Sehingga peneliti berspekulasi tempat yang berkaitan
dengan akalasia primer adalah di inti motorik dorsal dan saraf vagus yang
menyebabkan kelainan myentericus sekunder. 1,2
Mayoritas penelitian patologis menemukan kelainan dominan akalasia di
dalam pleksus myentericus dengan ditandai adanya berkurangnya atau tidak
adanya sel ganglion serta adanya infiltrasi inflamasi plexus myenterikus. Defek di
8
persarafan vagal diperkirakan menyebabkan kelainan klinis di luar esofagus
termasuk gangguan pengosongan lambung, yang jarang terlihat pada pasien
akalasia. Sangat mungkin adanya perubahan neurodegeneratif di akalasia
merupakan sekunder dari adnaya virus atau kerusakan karena autoimun diganglia
enteric.1,2
2.5. Gejala klinis
Gejala klini yang sering ditemukan pada penderita akalasia esofagus
adalah adalah disfagia, regurgitasi, rasa terbakar dan nyeri substernal, serta
penurunan berat badan. Disfagia merupakan keluhan utama dari penderita
Akalasia. Disfagia dapat terjadi secara tiba-tiba setelah menelan atau bila ada
gangguan emosi. Disfagia yang terjadi secara progresif dari makanan padat diikuti
oleh makan cair sering menjadi keluhan pertama pada penderita akalasia esofagus
dan terjadi pada 82% sampai100% pasien dengan akalasia esofagus.5,6
Regurgitasi dapat timbul setelah makan atau pada saat berbaring. Sering
regurgitasi terjadi pada malam hari pada saat penderita tidur, sehingga dapat
menimbulkan pneumonia aspirasi dan abses paru. Regurgitasi makanan yang tidak
tercerna dilaporkan sekitar 60% pasien.5,6
Rasa terbakar dan nyeri substernal dapat dirasakan pada stadium
permulaan. Heartbun pada akalasia esofagus terjadi pada 27 % sampai 42% pasien
Pada stadium lanjut akan timbul rasa nyeri hebat di daerah epigastrium dan rasa
nyeri ini dapat menyerupai serangan angina pektoris. Chest pain pada akalasia
esofagus terjadi pada 17 % sampai 95% pasien. Penurunan berat badan terjadi
karena penderita berusaha mengurangi makannya unruk mencegah terjadinya
regurgitasi dan perasaan nyeri di daerah substernal. Gejala lain yang biasa
dirasakan penderita adalah rasa penuh pada substernal dan akibat komplikasi dari
retensi makanan.5,6
2.6. Diagnosis
Diagnosis akalasia esofagus dibangun dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis akalasia esofagus sering dibingungkan
dengan entitas yang lebih umum seperti gastroesophageal reflux disease (GERD).
Diagnosis biasanya terlambat 2-3 tahun dari gejala awal. Pemeriksaan akalasia
9
antara lain endoskopi gastrointestinal bagian atas, pemeriksaan radiologi
esofagogram, dan manometri esofagus. Gold standar penegakan diagnosis
akalasia esofagus adalah manometri esofagus.5,6
Pemeriksaan endoskopi gastrointestinal bagian atas dilakukan dengan
ketentuan untuk menyingkirkan adanya keganasan. Pada akalasia, pemeriksaan
endoskopi menunjukkan adanya dilatasi esofagus dengan mukosa yang normal.
Terdapat adanya cairan atau makanan yang tersisa. Selain itu pada akalasia dapat
menunjukkan adanya infeksi kandida yang merupakan infeksi sekunder karena
esofagus statis. Saat endoskop masuk melewati LES tekanan yang di berikan
mudah dan lancar, tidak ada striktur yang disebabkan karena neoplasia atau
fibrosis.5,7,13
Kesan adanya peristaltik esofagus dan LES pada pemeriksaan endoskopi
tidak akurat. Kesan berkurangnya peristalsis dan LES tidak sensitif maupun
spesifik. Retensi makanan di esofagus dapat dianggap sebagai parameter yang
lebih spesifik dalam mendiagnosis akalasia, tetapi hanya terjadi pada pasien
dengan penyakit lanjut dan gangguan transit yang berat. Candida esofagitis pada
pasien kekebalan yang kompeten harus meningkatkan kecurigaan retensi
esophagus.13
Pemeriksaan barium esofagogram pada pasien curiga akalasia merupakan
tes diagnostik awal. Akurasi esofagogram untuk diagnosis akalasia adalah 95%.
Pada stadium awal tak tampak adanya gelombang peristaltik primer, penyempian
gastroesofageal junction hanya minimal dan kadang-kadang terlihat gelombang
peristaltik nonpropusif di badan esofagus (‘vigorous achalasia’) dengan
ditemukan gelombang sekunder sampai tersier. Pada akalasia progresif tampak
gambaran bird’s beak di gastroesofageal junction dengan di bagian distalnya
membentuk sudut sebelum masuk ke lambung.7,8
Fenomena hurst merupakan fenomena ketika pasien akalasia dilakukan
pemeriksaan esofagram diposisikan berdiri, barium terletak di titik dimana
tekanan hidrostatik barium diatas tekanan LES. Kadang-kadang karena dorongan
barium, gastroesofageal junction terbuka. Esofagus yang mengalami dilatasi dan
berliku-liku serta badan esofagus yang aperistaltik diasumsikan sebagai bentuk
sigmoid.8
10
Gambar 2.2. Barium esofagogram pada akalasia7
Pada akalasia berat esofagus biasanya tampak melebar secara signifikan
dan kadang-kadang berliku-liku, tidak kosong, dan terdapat makanan dan air liur
yang tertahan menyebabkan gambaran air fluid level di bagian atas barium
(gambar 8c). Esofagus distal ditandai adanya LES yang tertutup secara bertahap
bentuk lonjong halus menyerupai paruh burung (bird’s beak), dan kadang-kadang
terdapat divertikulum epifrenicus. Pada stadium lanjut seluruh esofagus
mengalami atonik.7
Barium Esophagogram mempunyai kemampuan mengetahui gangguan
fungsional akalasia, yaitu gangguan pengosongan esofagus. Pemeriksaan ini
sangat sederhana dan dilakukan secara luas untuk pemeriksaan pre dan post terapi
akalasia sejak tahun 1960. Namun beberapa peneliti berpendapat pemeriksaan ini
hanya untuk mengevaluasi pasien post terapi dengan dilatasi. Peneliti lain
menunjukkan adanya hubungan yang kurang baik antara perbaikan gejala dan
temuan radiografi.6,7
Manometri esofagus merupakan gold standard dalam penegakan diagnosis
akalasia dan harus dilakukan pada setiap pasien yang akan dilakukan perawatan
invasif seperti pelebaran pneumatik atau myotomy bedah. Karena akalasia hanya
melibatkan otot polos esofagus, kelainan manometri terbatas pada 2/3 esofagus
bagian distal3. Diagnosis akalasia diperlukan jika ditemukan tekanan LES yang
meningkat pada fase istirahat, relaksasi LES inkomplet dan tidak adanya
peristaltik6. Menurut Ritcher et al, sekurangnya ditemukan 2 abnormalitas 11
patognomonik pada pasien akalasia, yaitu: aperistalsis dan relaksasi LES
abnormal.8,14
Relaksasi abnormal LES terlihat di semua pasien akalasia. Relaksasi
abnormal dapat berupa tidak adanya relaksasi LES atau relaksasi inkomplet saat
menelan (70%-80%) dan relaksasi komplet namun lebih pendek (< 6 detik).
Tekanan LES istirahat meningkat pada sekitar 50 % pasien dengan akalasia.5,15
LES yang tidak mengalami relaksasi biasanya mempunyai tekanan LES > 8
mmH). Rata-rata tekanan puncak esofagus selama menelan digunakan
membedakan akalasia klasik dan akalasia kuat (vigorous achalasia). Vigorous
achalasia didefinisikan sebagai rata-rata kontraksi amplitudo di atas 37
mmHg.6,7,14
Pemeriksaan tekanan LES dengan manometri memiliki negatif palsu 48%.
Adanya manometri resolusi tinggi membantu membuat diagnosis akalasia secara
teliti dengan mengevaluasi LES dan relaksasi esofagogastric junction
menggunakan tekanan relaksasi terintegrasi. Terdapat 3 pola akalasia berdasar
pemeriksaan manometri resolusi tinggi, yaitu : Tipe I – Gangguan relaksasi
dengan pelebaran esofagus namun tekanan esofagus diabaikan. Tipe II – Terdapat
tekanan di seluruh esofagus dan Type III – Adanya kontraksi spastik di segmen
esofagus distal.6,7,14
Gambar 2.3. Tiga subtipe akalasia berdasarkan pemeriksaan manometri14
Pandolfino et al (2013) dalam studinya tentang menajemen akalasia esofagus,
membuat sebuah algoritma diagnosis akalasia esofagus pada pasien dengan keluhan
12
disfagia, nyeri dada, dan adanya regurgitasi.Algoritma tersebut dapat dilihat pada
gamabar dibawah ini.6
Gambar. 2.4. Algoritma diagnosis akalasia esofagus 6
BAB 3
TATALAKSANA AKALASIA ESOFAGUS
13
Akalasia esofagus merupakan gangguan motilitas esofagus yang ditandai
dengan tidak adanya peristaltik esofagus dan gangguan relaksasi sfingter esofagus
bagian bawah dan secara histopatologik kelainan ini ditandai dengan adanya
degenerasi ganglia pleksus mienterikus. Terapi yang mampu mengembalikan
aktivitas peristaltik esofagus dan memperbaiki gangguan relaksasi spingter
esofagus bagian bawah belum ada. Walaupun demikian terapi yang selama ini
diberikan adalah untuk mengurangi tekanan spingter esofagus bawah dengan tiga
tujuan utama yaitu menghilangkan gejala akalasia esofagus terutama disfagia dan
regurgitasi, memperbaiki pengosongan esofagus, dan mencegah terjadinya
megaesofagus.1,5
Modalitas terapi yang akalasia esofagus terus berkembang. Modalitas
terapi tersebut memiliki efikasi dan keamanan yang berbeda-beda. Terapi tersebut
seperti farmakoterapi oral, farmakologi via endoskopi atau injeksi
BotulinumTtoksin (Botox), Pneumatic Dilatation (PD), terapi bedah myotomi
seperti Laparascopic Heller Myotomy (LHM), dan yang terbaru adalah Peroral
Endoscopic Myotomi (POEM). Pilihan modalitas terapi juga tergantung pada
kondisi pasien yang memiliki resiko terhadap tindakan operasi. Pasien dengan
tinggi resiko operasi dapat diterapi dengan farmakoterapi baik oral maupun via
endoskopi.7,8
Keberhasilan terapi akalasia esofagus dapat dilihat dari hilang atau
berkurangnya gejala klinis yang dialami pasien baik jangka pendek maupun
jangka lama. Perbaikan klinis akalasia esofagus pasca terapi dapat dinilai dengan
penurunan nilai Eckardts score. Komponen penilaiannya adalah perbaikan gejala
dispagia, regurgitasi, chest pain dan berat badan. Skor kecil sama tiga menunjukan
keberhasilan terapi akalasia esofagus.7
Tabel. 3.1. Eckardts score7
3.1. Farmakoterapi oral
14
Terapi farmakologis oral pada penatalaksanaan akalasia merupakan pilihan
pengobatan yang tidak begitu banyak memberikan perbaikan dan hanya bersifat
sementara. Obat-obatan golongan calcium channel blocker (CCB) dan nitrat long
acting adalah dua obat yang paling umum digunakan untuk mengobati akalasia
esofagus. Obat ini hanya bersifat sementara mengurangi tekanan LES dengan
merelaksasi otot polos spingter bawah esofagus dan memfasilitasi pengosongan
esofagus.5,15
Calcium channel blocker menurunkan tekanan spingter bawah esofagus
sekitar 13-49% dan memperbaiki gejala pasien sekitar 0-75%. Calcium channel
blocker yang paling umum digunakan adalah nifedipin dengan efek maksimum
tercapai setelah konsumsi 20-45 menit dan durasi kerja mulai dari 30 sampai 120
menit. Oleh karena itu, nifedipin sublingual dapat dikonsumsi 30-45 menit
sebelum makan dengan dosis 10-30 mg untuk respon terbaik.5,15
Sublingual isosorbid dinitrat juga efektif dalam menurunkan tekanan
spingter bawah esofagus sekitar 30-65% dan memperbaikan gejala sekitar 53-
87%. Sublingual isosorbide dinitrate memiliki waktu yang lebih singkat untuk
mengurangi tekanan spingter bawah esofagus sekitar 3-27 menit dari nifedipin
sublingual tetapi juga memiliki durasi kerja yang lebih pendek. Oleh karena itu,
sublingual isosorbid dinitrat dengan dosis 5 mg biasanya diberikan sekitar 10-15
menit sebelum makan.5
Studi banding dari efek nifedipin sublingual dengan isosorbid dinitrat
sublingual mendapatkan hasil tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam
penurunan tekanan spingter bawah esofagus. Respon klinis dari obat-obatan ini
bekerja singkat dengan efek samping seperti sakit kepala, hipotensi, dan pedal
edema. Selain itu, obat ini tidak memberikan bantuan lengkap gejala. Obat-obatan
ini umumnya digunakan untuk pasien dengan akalasia yang tidak bisa atau
menolak untuk menjalani terapi yang mempunyai efikasi yang baik seperti PD
dan myotomi dan mereka yang telah gagal dengan terapi suntikan toksin
botulinum.5
Obat lain yang juga digunakan untuk akalasia esofagus adalah
Phosphodiesterase-5 inhibitor seperti sildenafil. Obat ini juga mampu menurunkan
tekanan spingter bawah esofagus pada pasien dengan akalasia. Obat-obat lain
15
yang juga digunakan dan termasuk antikolinergik adalah seperti dicyclomine dan
cimetropium bromide, β-adrenergik agonis (terbutalin), dan teofilin. Society of
American Gastrointestinal and Endoscopic Surgeons (SAGES) tahun 2014
menyatakan, karena keterbatasan efikasi dari farmako terapi oral, terapi ini hanya
direkomendasikan pada fase-fase awal akalasia esofagus, terapi sementara ketika
menunggu terapi definitif, atau pada pasien yang tidak bisa menjalani terapi
akalasia esofagus yang lainnya.15,16
3.2. Farmakoterapi via Endoskopi
Botulinum toksin (Botox) sebagai inhibitor presinaptik ampuh pelepasan
asetilkolin dari ujung saraf pada plexus mienterikus pertama kali diperkenalkan
pada tahun 1980. Keberhasilan terapi injeksi botox pada akalasia esofagus
pertama kali dilaporkan oleh parischa et al pada tahun 1994. Studi ini melibatkan
20 orang pasien dengan akalasia esofagus. Studi ini mendapatkan hasil efikasi
yang baik pada 90% pada 1 bulan pasca terapi dan 67% pada 6 bulan pasca terapi.
Studi ini menyimpulkan bahwa injeksi botox pada spingter esofagus bawah efektif
dan aman untuk terapi akalasia esofagus dan hasil ini bertahan sampai beberapa
bulan.17,18
Yamaguchi et al (2015) melakukan studi efikasi dan keamanan
penggunaan injeksi botox pada akalasia esofagus di Jepang. Studi ini melibatkan
10 orang pasien dengan akalasia esofagus dan injeksi 100 unit toksin pada
spingter esofagus bawah. Studi ini menilai perbaikan tekanan spingter esofagus
bawah sebelum dan satu minggu pasca tindakan dan mendapatkan hasil
penurunan tekanan spingter esofaagus bawah dan penurunan eckardst score secara
siknifikan pasca terapi dengan tanpa komplikasi. Studi ini menyimpulkan bahwa
injeksi botox pada spingter esofagus bawah efektif dan aman untuk terapi akalasia
esofagus.19
Botulinum toksin (Botox) adalah inhibitor presinaptik ampuh pelepasan
asetilkolin dari ujung saraf yang telah terbukti menjadi pengobatan berguna dalam
akalasia. Toksin membelah protein (SNAP-25) yang terlibat dalam sekering
vesikel presinaptik yang mengandung acetylcholine yang menghubungkan
membran plasma neuron dengan otot sasaran. Hal ini berefek pada terhambatnya
eksositosis asetilkolin ke daerah sinaptik dan menyebabkan kelumpuhan jangka
16
pendek otot dengan menghalangi stimulasi kolinergik dari spingter bawah
esofagus. Efek ini akan mengganggu komponen neurogenik dari sfingter dengan
tetap mempertahankan tekanan basal spingter bawah esofagus. Efek obat ini
mampu menurunkan 50% tekanan spingter bawah esofagus. Penurunan ini sudah
cukup untuk mengurangi gejala akalasia esofagus.15,17
Gambar 3.1. Mekanisme kerja botulinum toxin15
Injeksi botulinum toxin menggunakan endoskopi, toksin diinjeksi dengan
memakai jarum skleroterapi yang dimasukkan ke dalam dinding esophagus
dengan sudut kemiringan 45°, dimana jarum dimasukkan sampai mukosa kira-kira
1-2 cm di atas squamocolumnar junction. Lokasi penyuntikan jarum ini terletak
tepat di atas batas proksimal dari spingter bawah esofagus dan toksin tersebut
diinjeksi secara caudal ke dalam sfingter. Dosis efektif yang digunakan yaitu 80-
100 unit/mL yang dibagi dalam 20-25 unit/mL untuk diinjeksikan pada setiap
kuadran dari LES.17
17
Gambar 3.2. Metade injeksi Botulinum Toxin (Botox)17
Injeksi diulang dengan dosis yang sama 1 bulan kemudian untuk
mendapatkan hasil yang maksimal. Namun demikian, terapi ini mempunyai
efikasi yang terbatas, sekitar 40% pasien mengalami relap dalam 6 bulan setelah
terapi, persentasi ini selanjutnya naik menjadi 70%, walaupun setelah beberapa
kali penyuntikan dua setengah tahun kemudian. Sebagai tambahan, terapi ini
sering menyebabkan reaksi inflamasi pada bagian gastroesophageal junction,
yang selanjutnya dapat menjadikan tindakan myotomi menjadi lebih sulit.5,17
Pemanfaatan injeksi toksin botulinum dibatasi untuk keadaan tertentu,
seperti pada keadaan PD atau myotomi dianggap tidak tepat karena beresiko.
Toksin botulinum dapat dipakai sebagai pengobatan tambahan pada pasien dengan
kontraksi spastik residual atas tindakan myotomi. Terapi ini sebaiknya digunakan
pada pasien lansia yang kurang bisa menjalani dilatasi atau pembedahan. Society
of American Gastrointestinal and Endoscopic Surgeons (SAGES) tahun 2014
menyatakan injeksi botulinum toksin merupakan terapi yang aman, akan tetapi
memiliki keterbatasan efikasi jangka panjang.5,16
3.3. Pneumatic dilatation (PD)
Dilatasi sebagai terapi pada akalasia pertama kali diperkenalan oleh oleh
Thomas Willis pada tahun 1674. Thomas Willis menggunakan tulang ikan paus
sebagai dilator dan mendorong makanan masuk ke dalam lambung yang
mengalami hambatan di esofagus. Saat sekarang, dilator yang banyak dipakai
adalah polietilen mikrovasif dilator rigiflex. Pneumatic dilatation (PD)
merupakan pilihan terapi nonsurgical paling efektif untuk pasien dengan akalasia.
18
Pasien yang dipertimbangkan untuk PD juga harus siap untuk intervensi bedah
jika teradi perforasi esofagus.5,18
Pneumatic dilatation (PD) menggunakan tekanan udara untuk mendilatasi
lumen esofagus dan mengganggu serat otot sirkuler dari spingter bawah esofagus.
Prosedur ini dilakukan dengan sedasi dan panduan fluoroscopy. Dilator
dimasukan dalam tiga diameter balon yang berbeda yaitu 3.0, 3.5, dan 4.0 cm.
Aspek yang paling penting dari PD adalah keahlian dari operator dan kesiapan
untuk intervensi bedah dalam kasus perforasi. Posisi dilator yang akurat penting
untuk efektivitas terapi. Pneumatic dilatation (PD) dilakukan sebagai prosedur
rawat jalan dan pasien dapat dipulangkan setelah dilatasi.5,18
Gambar 3.3. Pneumatic dilatation dengan balon rigiflex18
Pneumatic dilatation (PD) telah menjadi bentuk terapi utama selama
bertahun-tahun. Persentase keberhasilan jangka pendek adalah antara sekitar 70%
- 80%, amun akan turun menjadi 50% dalam 10 tahun kemudian, walaupun
setelah beberapa kali dilatasi. Komplikasi yang paling serius yang berhubungan
dengan PD adalah perforasi esofagus dengan insiden sekitar 1,9%. Pasien yang
menjalani PD harus menyadari risiko dan memahami bahwa intervensi bedah
mungkin akan dilakukan sebagai akibat perforasi. Tidak ada prediktor predileksi
perforasi.5,18
Terapi konservatif dengan antibiotik, nutrisi parenteral, dan stent mungkin
efektif pada perforasi kecil, tapi tindakan bedah melalui torakotomi adalah yang
terbaik pada perforasi besar dan luas. GERD dapat terjadi setelah PD sekitar 15-
35% pasien. PPI diindikasikan pada pasien dengan GERD setelah PD. PD juga
19
dapat digunakan pada pasien yang gagal myotomi. Katzka et al (2011) melakukan
studi tentang efikasi, kejadian perforasi, dan metode PD untuk terapi akalasia
esofagus. Studi ini menyimpulkan bahwa PD merupakan metode terapi aman dan
baik untuk penatalaksanaan akalasia esofagus, walaupun dibutuhkan multipel
dilatasi untuk mendapatkan hasil yang baik untuk jangka lama.19
Sinagara et al (2015) melakukan studi tentang efikasi PD pada pasien
dengan akalasia esofagus di Italia. Studi ini melibatkan 20 orang pasien yang
menderita akalasia esofagus. Studi ini dibagi 2 grup berdasarkan umur di bawah
50 tahun dan di atas 50 tahun. Hasil studi ini seluruh pasien mengalami remisi
komplit dan tidak ada teradi komplikasi. Beberapa pasien mengalami rekurensi.
Studi menyimpulkan bahwa PD merupakan terapi yang memiliki efikasi yang
baik dan aman, walaupun teradi rekurensi, tetapi terapi redilatasi berhasil
dilakukan.20
Cheng et al (2015) melakukan studi tentang efek klinis terapi PD pada
pasien dengan akalasia esofagus di China. Studi ini melibatkan 35 orang pasien
yang menderita akalasia esofagus. Pasien diikuti selama 10 tahun untuk melihat
efek terapi jangka panjang PD pada pasien akalasia esofagus. Hasil studi ini
97,2% pasien mengalami remisi komplit pada 6 bulan pertama, dan hanya 40 %
yang tidak mengalami rekurensi pada lebih dari 60 bulan. Studi menyimpulkan
bahwa PD pada terapi akalasia esofagus memiliki respon yang bagus.
Tindakannya simpel dan aman serta efektif.21
Elliott et al (2013) melakukan studi retrospektif tentang hasil terapi jangka
lama terapi PD pada pasien dengan akalasia esofagus di Australia. Studi ini
melibatkan 301 orang pasien yang menderita akalasia esofagus dan diterapi
dengan PD. Hasil studi ini 82% pasien mengalami remisi selama 12 bulan
pertama, 18% mengalami relap pada 2 tahun pertama, 41% pada pada 5 tahun
pertama, 60% pada 10 tahun, dan insiden perforasi terjadi sebanyak 2 %. Studi
menyimpulkan bahwa PD pada terapi akalasia esofagus, kejadian relap
merupakan kejadian yang umum terjadi pada terapi dengan PD, dan dibutuhkan
redilatasi untuk mendapatkan hasil yang baik.22
Society of American Gastrointestinal and Endoscopic Surgeons (SAGES)
tahun 2014 menyatakan bahwa diantara terapi non operatif akalasia esofagus, PD
20
merupakan modalitas terapi yang paling efektif, tetapi rawan terjadi komplikasi
perforasi. Tindakan ini direkomendasikan pada keadaan pasien dengan resiko
tinggi operasi. Jika dibandingkan dengan injeksi botulinum toxin, PD memiliki
efikasi yang lebih baik. Hal ini didukung oleh studi Leyden et al (2014) yang
melakukan studi perbandingan efikasi terapi injeksi botox dengan PD. Studi ini
menyimpulkan bahwa PD lebih efektif pada terapi akalasia esofagus dibandingkan
dengan injeksi botulinum toxin.16,23
3.4. Terapi Bedah Myotomi
Myotomi sebagai terapi bedah akhalasia esofagus pertama kali
diperkenalkan oleh Heller pada tahun 1914. Myotomi dilakukan dalam 2 tahapan
prosedur simultan melalui trans abdominal dan myotomi ektra mukosa pada
dinding anterior dan posterior esofagus. Zaaijer pada tahun 1923, kemudian
memodifikasi tindakan ini dengan hanya melakukan myotomi pada dinding
anterior esofagus dan berhasil diterapkan dengan hasil yang pada 8 pasien yang
menderita akalasia esofagus.6,7,24
Myotomi dilakukan secara operasi terbuka melalui trans torakal dan trans
abdominal. Masalah utama yang dihadapi pada waktu itu adalah tindakan ini telah
sukses mengurangi gejala disfagia, akan tetapi terjadi peningkatan insiden
Gastroesofageal Reflux Disease (GERD) pasca operasi. Pada tahun 1962, Dor
melakukan tindakan anterior fundoplikasi pada trans abdominal myotomi untuk
meminimalkan kejadian GERD pasca tindakan myotomi. Semenjak tindakan ini
diperkenalkan, presedur ini terus dilakukan dan dilaporkan berhasil mengurangi
kejadian GERD pasca tindakan Myotomi.6,7,24
Pada tahun 1991, minimal invasif myotomi dengan tharakoskopi mulai
diperkenalkan di Amerika Serikat. Pelegrini et al (1992), pertama kali melaporkan
minimal invasif myotomi pada 17 pasien yang diterapi dengan 15 orang dengan
thorakoskopi myotomi dan 2 orang dengan laparoskopik myotomi. Tindakan ini
berhasil mengurangi gejala disfagia pada 82% pasien. Tindakan ini selanjutnya
lebih dikenal dengan nama Laparacopic Heller Myotomi (LHM).24
Society of American Gastrointestinal and Endoscopic Surgeons (SAGES)
tahun 2014, merekomendasikan laparaskopi myotomi sebagai terapi pasien
dengan akalasia esofagus dengan tanpa kontraindikasi opearasi. Laporaskopi 21
myotomi mempunyai efikasi yang baik dalam mengurangi gejala disfagia pada
penderita akhalasia esofagus dalam jangka waktu yang lama. Tindakan ini dapat
dibarengi dengan tindakan fundoplikasi untuk mengurangi kejadian GERD pasca
tindakan.16
Kiudelis et al (2011) melakukan studi perbandingan terapi Laparascopi
Heller Myotomi (LHM) dengan dilatasi pneumatik pada pasien akalasia esofagus.
Studi ini melibatkan 46 pasien, 23 orang diterapi dengan endoskopi dilatasi
pneumatik dan 23 orang lagi dengan laparaskopi myotomi dengan parsial
fundoplikasi. Studi ini menilai perbaikan gejala disfagia jangka lama dan kejadian
heartbun pasca tindakan. Hasil studi ini menunjukan laparaskopi myotomi efektif
pada 82,6% pasien dan dilatasi efektif pada 52,2% pasien, dengan kejadian
heartbun pasca tindakan 39 % pasien pada laparaskopi myotomi dan 43% pasien
pada dilatasi pneumatik. Studi menyimpulkan bahwa laparaskopik myotomi lebih
efektif dibandingkan dengan dilatasi pneumatik.25
Boeckxstaens et al (2011) melakukan studi perbandingan terapi
laparaskopi myotomi dengan dilatasi pneumatik pada pasien akalasia esofagus.
Studi ini melibatkan 201 pasien, 95 orang diterapi dengan endoskopi dilatasi
pneumatik dan 106 orang lagi dengan LHM dengan Dor fundoplikasi. Studi ini
menggunakan nilai Eckcardt score kecil sama 3sebagai keberhasilan terapi yang
di nilai setelah 1 dan 2 tahun terapi. Studi ini mendapatkan hasil LHM efektif
pada 93% pada tahun pertama dan 90% pada tahun kedua. Pada pneumatik
dilatasi didapatkan efektif pada 90% pada tahun pertama, dan 86% pada tahun
kedua. Studi menyimpulkan bahwa LHM dibandingkan dilatasi pneumatik tidak
superior pada 2 tahun follow-up terapi pasien akalasia esofagus.26
Abdi et al (2016) melakukan studi efikasi awal dari terapi Heller myotomi
pada pasien akalasia esofagus di Iran. Studi ini melibatkan 20 orang pasien yang
diterapi dengan LHM dan dilakukan esofageal manometri pada sebelum dan 2
bulan pasca tindakan. Studi ini mendapatkan hasil penurunan yang siknifikan dari
tekanan spingter esofagus bawah setelah 2 bulan tindakan. Studi ini
menyimpulkan bahwa LHM sangat efektif mengurangi disfagia pada pasien
dengan akalasia esofagus.27
22
Schoenberg et al (2013) melakukan studi meta analisis tentang
perbandingan efikasi tindakan LHM dengan endoskopi dilatasi pneumatik sebagai
modalitas terapi pada akalasia esofagus. Laporan ini menganalisis 16 studi yang
mencakup 590 tindakan LHM dan endoskopi dilatasi pneumatik. Studi ini
menyimpulkan bahwa LHM lebih superior dalam efikasi terapi akhalasia esofagus
baik dalam jangka pendek maupun jangka lama. LHM dapat dijadikan pilihan
terapi pertama pada terapi akalasia esofagus.28
American College of Gastroenterology (ACG) tahun 2013 mengeluarkan
guedlines menajemen pasien dengan akhalasia esofagus. Pada guedlines tersebut
Myotomi merupakan pilihan terapi pada pasien dengan rendah resiko operasi. Jika
terapi myotomi gagal, dapat dilakukana pengulangan myotomi atau dilakukan
tindakan esofagektomi.5
Gambar 3.4. Alur terapi pasien dengan akalasia5
3.5. Peroral Endoscopic Myotomi (POEM)
Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) merupakan modalitas terapi baru
pada penatalaksanaan akalasia esofagus. POEM yang dilkukan pada mausian
pertama kali diperkenalkan oleh Inoue et al pada tahun 2010 yang melakukan
tindakan POEM pada 17 pasien yang menderita akalasia esofagus di Jepang
dengan hasil terapi yang sangat baik. Semenjak itu, tindakan ini sudah dilakukan
pada ribuan pasien di dunia sudah sukses dilkukan, walaupun ada komplikasi-
komplikasi tindakan yang harus di perhatikan.9
23
Pasien yang telah didiagnosis dengan akhalasia merupakan indikasi untuk
dilakukan tindakan POEM. Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) tidak memiliki
kontraindikasi mutlak. Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) bisa dilakukan pada
ketiga tipe akhalasia esofagus. Prinsip penatalaksaan dengan Peroral Endoscopic
Myotomi (POEM) adalah memotong otot sirkuler spingter esofagus bawah.
Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) merupakan tindakan berbasis endoskopi
yang bersifat minimal invasif.29
Persiapan tindakan Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) harus dilakukan
secara baik. Persiapan pasien yang akan dilakukan tindakan dan alat-alat yang
akan digunakan. Pasien harus dipuasakan satu hari sebelum tindakan, dan
dipastikan tidak ada residu makanan dan cairan pada daerah yang akan dilakukan
tindakan. Pasien dapat diberikan antibiotik profilak dengan cefalosporin generasi
ketiga intravena. Tindakan ini dilakukan dalam keadaan anestesi umum.29,30
Teknik tindakan Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) dapat dilukukan
melalui beberapa langkah. Langkah-langkah tersebut dapat dilihat pada gambar
berikut.
Gambar. 3.5. Skema tindakan Peroral Endoscopic Myotomi30
Tindakan Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) dapat terjadi beberapa
komplikasi yang mungkin terjadi. Komplikasi tersebut dapat berupa
pneumoperitonium, injuri mukosa, perdarahan, dan terjadinya Gastroesophageal
reflux (GER). Pneumoperitonium dapat terjadi pada saat prosedur tindakan
dilakukan dan ini diterapi dengan parasintesis abdomen untuk mengurangi
tekanan akibat udara yang terperangkap di daerah peritonium.31,32
24
Gastroesophageal reflux (GER) merupakan komplikasi terbanyak yang
terjadi pasca tindakan Peroral Endoscopic Myotomi (POEM). Kejadian GER
pasca tindakan Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) sekitar 46% dan lebih besar
jika dibandingkan dengan kejadian GER pasca tindakan Laparascopic Heller
Myotomy (LHM) dengan fundoplikasi sekitar 25-40%. Untuk mengurangi
kejadian GER pasca Peroral Endoscopic Myotomi (POEM), teknik yang
dilakukan adalah dengan menyisakan sepanjang 2 cm otot ke arah esophago-
gastro junction (EGJ). Gejala GER yang ditimbulkan dapat juga diterapi dengan
pemberian pump proton inhibitor (PPI).33
Gambar. 3.6. Gambaran endoskpi tindakan Peroral Endoscopic Myotomi30
Youn et al (2016) membandingkan karakteristik modalitas terapi akalasia
antara Peroral Endoscopic Myotomi (POEM), Laparascopic Heller Myotomy
(LHM), dan Pneumatic Dilatasion (PD). Studi ini menyatakan bahwa ada
beberapa keunggulan Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) dibandingkan
dengan yang lainnya, seperti respon klinis yang baik dan pemotongan otot sirkuler
yang selektif. Adapun kekurangan Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) seperti
insiden kejadian GERD pasca tindakan yang cukup tinggi.34
Tabel 3.2. Perbandingan karakteristik POEM dengan LHM dan PD 34
25
Laporan dari semua studi tentang efikasi dari Peroral Endoscopic
Myotomi (POEM) menyatakan bahwa teknik Peroral Endoscopic Myotomi
(POEM) ini memiliki efikasi yang tinggi untuk mengobati akalasia esofagus. Hal
ini terlihat pada penurunan yang signifikan dari Eckardt score setelah tindakan
Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) ini dibandingkan dengan sebelum
tindakan. Walaupun demikian, berapa komplikasi seperti pneumoperitonium,
perdarahan, dan kejadian GERD pasca tindakan tetap dilaporkan.33
Inoue et al (2010) melaporkan pertama kali tindakan POEM pada 17
pasien yang menderita akalasia esofagus di Jepang. Laporan ini menyatakan
teknik ini sukses melakukan tindakan pada semua pasien dengan hasil yang baik.
Hasil folow-up setelah 5 bulan tindakan menunjukan rata-rata penurunan yang
siknifikan skor gejala dispagia. Efek samping yang dilaporkan terjadi 1 orang
yang mengalami pneumoperitonium, dan satu dengan esofagitis refluk grade B
yang respon dengan pemberian PPI.9
Renteln et al (2012) mempublikasikan hasil tindakan Peroral Endoscopic
Myotomi (POEM) pada 16 pasien yang menderita akalasia esofagus. Laporan ini
menyatakan 94% pasien diterapi dengan sukses dan ini terbukti dengan penurunan
Eckardt score kecil dari 3 dalam 3 bulan follow-up. Gejala GERD tidak
dilaporkan, tetapi didapatkan satu esofagitis grade A 3 bulan pasca tindakan
Peroral Endoscopic Myotomi (POEM).35
Minami et al (2013) melaporkan hasil tindakan Peroral Endoscopic
Myotomi (POEM) pada 28 pasien yang menderita akalasia esofagus. Studi
menyatakan 100% sukses menurunkan Eckardt score kecil dari 3 dalam 6 bulan
follow-up. Studi ini juga melaporkan menurunkan rata-rata tekanan spingter 26
bawah esofagus dari 71,2 mmHg menjadi 21,0 mmHg. Studi ini juga melaporkan
2 kejadian perdarahan pasca tindakan, satu perforasi di daerah GEJ yang dierapi
dengan klip endoskopi.36
Aslan et al (2015) mempublikasikan hasil tindakan Peroral Endoscopic
Myotomi (POEM) pada 8 pasien yang menderita akalasia esofagus di Turki.
Laporan ini menyatakan 100% pasien diterapi dengan sukses dan ini terbukti
dengan penurunan Eckardt score kecil dari 3. Efek samping yang dilaporkan
terjadi 2 orang yang mengalami pneumoperitonium yang diterapi dengan jarum
Verres.37
Barbieri et al ( 2015) melakukan studi meta analisis tentang efikasi dan
keamanan tindakan Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) sebagai modalitas
terapi pada akalasia esofagus. Laporan ini menemukan 16 studi yang mencakup
551 pasien yang telah mendapatkan tindakan Peroral Endoscopic Myotomi
(POEM). Studi ini melaporkan Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) sebanyak
97% sukses memperbaiki klinis akalasia esofagus dan kejadian efek samping
mayor pada 14% kasus. Studi menyimpulkan bahwa Peroral Endoscopic Myotomi
(POEM) merupakan modalitas terapi berbasis endoskopi yang mempunyai efikasi
yang baik, walaupun masih dikaitkan dengan beberapa kejadian efek samping
yang serius. Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) ini sebaiknya hanya dilakukan
pada rumah sakit yang mampu mentatalaksana komplikasi Peroral Endoscopic
Myotomi (POEM) seperti pneumothorak dan pneumo peritonium.10
BAB 4
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
27
1. Akalasia esofagus adalah gangguan motilitas esofagus yang penyebabnya
tidak diketahui yang ditandai dengan aperistalsis esofagus dan gangguan
relaksasi sfingter esofagus bagian bawah.
2. Diagnosis akalasia esofagus ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Gejala klinis yang sering
ditemukan pada akalasia esofagus adalah disfagia, regurgitasi, heartbun,
dan nyeri dada. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah barium
esofagogram, endoskopi, dan manometri sebagai gold standar untuk
diagnosis akalasia esofagus.
3. Farmakoterapi yang dapat diberikan adalah farmakoterapi oral berupa
nitrat dan calcium chanel bloker dan farmakoterapi via endoskopi berupa
injeksi botulinum toxin yang diberikan pada pasien dengan resiko tinggi
tindakan bedah.
4. Pneumatic dilation (PD) dan tindakan bedah Laparascopic Heller
Myotomi LHM) merupakan modalitas terapi yang mempunyai efikasi yang
baik pada talaksanaa pasien dengan akalasia esofagus.
5. Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) merupakan modalitas terapi baru
yang bersifat minimal invasif berbasis endoskopi mempunyai efikasi yang
baik dalam tatalaksana akalasia esofagus.
4.2. Saran
1. Perlunya pemahaman yang lebih lanjut tentang talaksanaan akalasia
esofagus.
2. Perlunya penambahan sarana dan prasarana yang mendukung untuk dapat
mentalaksana pasien dengan akalasia esofgus dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Patel DA, Kim HP, Zifodya JS, Vaezi MF. Idiopathic (primary) achalasia: a
review. Orphanet Journal of Rare Diseases. 2015. Vol.10: p89-110
28
2. Richter JE. Achalasia - An Update. Journal of Neurogastroenterology Motil.
2010. Vol. 16 p.102-122
3. Pohl D, Tutuian R. Achalasia: an Overview of Diagnosis and Treatment.
Journal of Gastrointestinal Liver Disease. 2007. Vol.16. No 3, 297-303
4. Bakri F. Akalasia. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi keenam.
Editor Sudoyo AW, Setiohadi, Alwi I, Simadibrata, Setiati S. Penerbit Interna
Publising. 2014: 1743-1748
5. Vaezi M, Pandolfino J, Vela M. ACG Clinical Guideline: Diagnosis and
Management of Achalasia. The American Journal of Gastroenterology. 2013.
p.1-12
6. Pandolfino JE, Kahrilaz PJ. Presentation, Diagnosis, and Management of
Achalasia. Journal of Gastroenterology and Hepatology. 2013. Vol.11. p887-
897
7. Ramirez M, Patti MG. Changes in the Diagnosis and Treatment of Achalasia. J
Clinical and Translational Gastroenterology. 2015. Vol.6. e87
8. Fox M, Kahrilaz PJ, Pandolfina JE, Werner, Smouth AJ, Schwiezer D, et al.
Chicago Classification Criteria of Esophageal Motility Disorders Defined in
High Resolution Esophageal Pressure Topography (EPT). J Neurogastroenterol
Motil. 2012. Vol. 24 : p57–65
9. Inoue H, Minami H, Kobayashi Y, Sato Y, Kaga M, Suzuki M, et al. Peroral
endoscopic myotomy (POEM) for esophageal achalasia. Journal of Endoscopy.
2010. Vol. 42. p265–271
10. Barbieri LA, Hassan C, Rosati R, Romario UF, Correale L, Repici A.
Systematic review and meta-analysis: Efficacy and safety of POEM for
achalasia. United European Gastroenterology Journal. 2015. Vol. 3(4). p325–
334
11. Matsuo K, Palmer JB. Anatomy and Physiology of Feeding and Swallowing :
Normal and Abnormal. Physiology Medicine Rehabilitation Clinical. 2008.
Vol.19(4): p691–707
12. Goyal RK, Chaudhuri A. Physiology of Normal Esophageal Motility. Journal
Clinical Gastroenterology. 2008. Vol.42(5): p610–619
29
13. Sanchis ML, Callol PS, Gallego AM, Perez IB, Campos LP, Barcelo LF, et
al. Management of primary achalasia: The role of endoscopy . World Journal
of Gastrointest Endosc. 2015. Vol.7(6): p593-605
14. Muller M. Impact of high-resolution manometry on achalasia diagnosis and
treatment. Annals of Gastroenterology. 2015. Vol.28, p3-9
15. Nassri A, Ramzan Z. Pharmacotherapy for the management of achalasia:
Current status, challenges and future directions. World J Gastrointest
Pharmacol Ther. 2015. Vol. 4. p145-155
16. Stefanidis D, Richarson W, Farrell TM, Kohn GP, Augenstin V, Fanelli RD,
et al. Guidelines for the Surgical Treatment of Esophageal Achalasia. Society
of American Gastrointestinal and Endoscopic Surgeons.2014
17. Shim CS. Endoscopic botulinum toxin injection: Benefit and limitation.
Journal of Gastrointestinal Intervention. 2014. Vol.3(1), p19–23
18. Kumar AR, Sussman FH, Katz PO. Botulinum toxin and pneumatic dilation
in the treatment of achalasia. Journal of Techniques in Gastrointestinal
Endoscopy. 2014. Vol.16. p10–19
19. Yamaguci D, Tsuruoka N, Sakata Y, Shimoda R, Fujimoto K, Iwakiri R.
Safety and efficacy of botulinum toxin injection therapy for esophageal
achalasia in Japan. Journal of Clinical Biochemical Nutrition. 2015. Vol.57.
No.3
20. Sinagra E, Raimondo D, Montalbano LM, Linea C, Giunta M, Amvrosiadis,
et al. Efficacy of pneumatic dilatation for the treatment of idiopatic achalasia:
a single-center experience. Journal of Abdomen. 2015. Vol.2: e512
21. Cheng P, Shi H, Zhang Y, Zhou H, Dong J, Cai Y. Clinical Effect of
Endoscopic Pneumatic Dilation for Achalasia. Medicine Journal. 2015. Vol.94.
No.28
22. Elliott TR, Wu PI, Fuentealba S, Szczesniak M, Carle DJ, Cook IJ. Long-
term outcome following pneumatic dilatation as initialtherapy for idiopathic
achalasia: an 18-year single-centre experience. Aliment Pharmacology
Therapy. 2013. Vol. 37. p1210–1219
30
23. Leyden JE, Moss AC, Mathuna P. Endoscopic pneumatic dilation versus
botulinum toxin injection in the management of primary achalasia.Cochrane
Library. 2014, Issue 12
24. Allaix ME, Patti MG. Heller Myotomy for Achalasia. From the Opento the
Laparoscopic Approach. World Journal of Surgery. 2014. Vol.14
25. Kiudelis M. Mickevicius A, Maleckas A, Endzimas Z, Kiudelis G, Jonaitis L,
et al. Laparoscopic myotomy or pneumatic dilatation for achalasia treatment.
Central European Journal of Medicine. 2011. Vol.6. p640-644
26. Boeckxstaens GE, Annese V, Varannes SB, Chaussade S, Costantini M,
Cuttitta A, et al. Pneumatic Dilation versus Laparoscopic Heller’s Myotomy
for Idiopathic Achalasia. N Engl J Med. 2011. Vol.364.p1807-1816
27. Abdi S, Mojgan, Forotan, Nikzamir A, Zomorody S, Sherefat SJ. The early
efficacy of Heller myotomy in the treatment of Iranian. Gastroenterol Hepatol
Bed Bench. 2016. Vol.9(1). p30-35
28. Schoenberg MB, Marx S, Kersten JF, Rosch T, Belle S, Kahler G, et al.
Laparoscopic Heller Myotomy Versus Endoscopic Balloon Dilatation for the
Treatment of Achalasia :A Network Meta-Analysis. Annals of Surgery. 2013.
Vol. 258. p943–952
29. Kumta NA, Mehta S, Kedia P, Weaver K, Sharaiha RZ, Fukami N, et al.
Peroral Endoscopic Myotomy: Establishing a New Program. Clinical
Endoscopy Journal. 2014. Vol.47. p389-397
30. Fridel D, Modayil R, Iqbal S, Grendell JH, Stavropoulos SN. Per-oral
endoscopic myotomy for achalasia: An American perspective. World Journal
Gastrointestinal Endoscopy. 2013. Vol.5(9). p420-427
31. Bredenoord AJ, Osch TR, Fockens P. Peroral endoscopic myotomy for
achalasia. Neurogastroenterology Motil Journal. 2014. Vol.26. p3–12
32. Phalanusitthepha C, Inoue H, Ikeda H, Sato H, Sato C, Hokierti C. Peroral
endoscopic myotomy for esophageal achalasia. Annals of Translational
Medicine. 2014. Vol.2(3):p31
33. Yang D, Wagh MS. Peroral Endoscopic Myotomy for the Treatment of
Achalasia: An Analysis. Hindawi Publishing Corporation. Diagnostic
andTherapeutic Endoscopy. 2013, Article ID 389596, 8 pages
31
34. Youn YH, Minami H, Chiu PW, Park H. Peroral Endoscopic Myotomy for
Treating Achalasia and Esophageal Motility Disorders. Journal of
Neurogastroenterology Motil. 2016. Vol. 22 No.1
35. Renteln D, Inoue H, Minami H, Isomoto H, Yamaguchi N, Miuma S, et al.
Peroral endoscopic myotomy for the treatment of achalasia: A prospective
single center study. Journal of Gastroenterology. 2012. Vol.107: p411–417
36. Minami H, Isomoto H, Yamaguchi N, Miuma S, Kobayashi Y, Yamaguchi T
et al. Peroral endoscopic myotomy for esophageal achalasia: Clinical impact of
28 cases. Journal of Endoscopy. 2014. Vol. 26: p43–51
37. Aslan F, Akpınar Z, Alper E, Atay A, Yurtlu AA, Çekiç C, et al. The last
innovation in achalasia treatment; per-oral endoscopic myotomy. Turkey
Journal Gastroenterology. 2015. Vol.26: p218-223
32