Download - referat farmasi
HIPERTENSI
1. Definisi
Hipertensi adalah kondisi dimana tekanan darah 140/90 atau lebih, dimana
penanganan farmakologis terbukti memiliki dampak pada tingkat tekanan darah pada
percobaan kontrol plasebo.
Menurut data epidemiologi, hipertensi dengan tekanan sistolik >140 memilki
peningkatan resiko mengalami penyakit jantung koroner dan stroke.
2. Etiologi dan Faktor Resiko
Etiologi
Sleep apnea
Induksi oleh obat atau penyebab terkait
Penyakit ginjal kronis
Aldosteronism primer
Penyakit renovaskuler
Terapi steroid kronis dan sindroma Cushing
Pheochromocytoma
Coarctation of the aorta
Penyakit tiroid dan paratiroid
Faktor Resiko Kardiovaskuler
Hipertensi
Merokok
Obesitas
Kurang aktivitas fisik
Dislipidemia
Diabetes Mellitus
Mikroalbuminemia atau GFR <60 mL/min
Umur (lebih dari 55 untuk pria, 65 untuk wanita)
1
Riwayat penyakit keluarga penyakit kardiovaskular prematur (pria <55 atau
wanita <65)
Kerusakan Organ Target
Jantung
Hipertrofi ventrikel kiri
Angina atau miokardial infark
Revaskularisasi koroner
Gagal jantung
Otak
Stroke atau transient ischemic attack
Penyakit Ginjal Kronis
Penyakit arterial perifer
Retinopati
3. Klasifikasi Hipertensi
2
Klasifikasi berdasarkan penyebab Hipertensi
1. Hipertensi Primer (esential)
Penyebab hipertensi tidak diketahui pada 90-95% pasien.
2. Hipertensi Sekunder
Disebabkan oleh:
a. Gangguan ginjal
Renal parenchymal disease : penyakit ginjal glomeruler, penyakit tubulo-
interstisiil kronik, penyakit polikistik, uropati obstruktif
Renovascular disease : Renal Artery Steanosis (RAS) karena
atherosklerosis dan displasia fibromuskuler, arthritis, kompresi arteri
renalis oleh faktor ekstrinsik
Lain-lain : tumor yang menghasilkan renin, retensi natrium ginjal (Liddle’s
syndrome)
b. Gangguan Endokrin
Kelainan adreno-kortikal : aldosteronisme primer, hiperplasia adrenal
kongenital, sindroma cushing.
Adrenal-medullary tumors : phaeochromocytoma
Thyroid disease : hipertiroid, hipotiroid
Hyperparathyroidism : hiperkalsemia
Akromegali
Carcinoid tumors
c. Exogenous medication and drugs
Kontrasepsi oral, simpatomimetik, glukokortikoid, mineralokortikoid, OAINS,
cyclosporine, eritropoetin, MAO inhibitor, dan lain-lain
d. Kehamilan: pre eklamsia dan eklamsia
e. Co-arctation of the aorta
f. Gangguan neurologi
Sleep apnea, peningkanan tekanan intrakranial (tumor otak), gangguan afektik,
spinal cord injury (Guillain-Barre syndrome), disregulasi Baroreflex
g. Faktor psikososial
h. Intravascular volume overload
3
i. Hipertensi sistolik
Hilangnya elastisitas aorta dan pembuluh darah besar
Hyperdynamic cardiac output : Hipertiroid, insufisiensi aorta, anemia,
fistula arteriovenous, beri-beri, penyakit Paget tulang.
4. Patogenesis dan Patofisiologi
Patogenesis hipertensi esensial adalah multifaktorial dan sangat kompleks.
Beberapa faktor memodulasi tekanan darah (BP) untuk perfusi jaringan yang memadai
dan termasuk mediator humoral, reaktivitas vaskular, volume sirkulasi darah, kaliber
pembuluh darah, viskositas darah, curah jantung, elastisitas pembuluh darah, dan
stimulasi saraf. Kemungkinan patogenesis hipertensi esensial telah diusulkan di mana
beberapa faktor, termasuk kecenderungan genetik, asupan garam berlebih, dan nada
adrenergik, dapat berinteraksi untuk menghasilkan hipertensi. Meskipun genetika
tampaknya berkontribusi terhadap hipertensi esensial, mekanisme yang tepat belum
ditetapkan.
Karena penyelidikan patofisiologi hipertensi, baik pada hewan dan manusia,
semakin banyak bukti menunjukkan bahwa hipertensi mungkin memiliki dasar
imunologi. Penelitian telah menunjukkan bahwa hipertensi berhubungan dengan
infiltrasi ginjal sel imun dan imunosupresi farmakologis (seperti dengan obat
mycophenolate mofetil) atau imunosupresi patologis (seperti yang terjadi dengan HIV)
menghasilkan tekanan darah berkurang pada hewan dan manusia. Bukti menunjukkan
bahwa limfosit T dan sitokin T-sel yang berasal (misalnya, interleukin 17, tumor necrosis
factor alpha) memainkan peran penting dalam hipertensi.
Satu hipotesis adalah bahwa hasil prehipertensi oksidasi dan kekuatan mekanik
diubah yang mengarah pada pembentukan neoantigens, yang kemudian
dipresentasikan kepada sel T, yang menyebabkan aktivasi T-sel dan infiltrasi organ
penting (misalnya, ginjal, pembuluh darah). Hal ini menyebabkan persisten atau berat
hipertensi dan organ akhir kerusakan. Aktivasi sistem saraf simpatik dan rangsangan
noradrenergik juga telah ditunjukkan untuk mempromosikan aktivasi T-limfosit dan
infiltrasi dan memberikan kontribusi pada patofisiologi hipertensi.
Riwayat alami hipertensi esensial berkembang dari sesekali hipertensi. Setelah
periode asimtomatik berubah-ubah panjang, hipertensi persisten berkembang menjadi
4
hipertensi rumit, di mana kerusakan end-organ ke aorta dan arteri kecil, jantung, ginjal,
retina, dan sistem saraf pusat jelas.
Perkembangan hipertensi esensial adalah sebagai berikut :
Prehipertensi pada orang berusia 10-30 tahun (dengan meningkatnya curah
jantung)
Hipertensi Awal pada orang berusia 20-40 tahun (di mana peningkatan
tahanan perifer menonjol)
Didirikan hipertensi pada orang berusia 30-50 tahun
Hipertensi Complicated pada orang berusia 40-60 tahun
Salah satu mekanisme hipertensi telah digambarkan sebagai output tinggi
hipertensi. Hasil output tinggi hipertensi dari penurunan resistensi pembuluh darah
perifer dan stimulasi jantung bersamaan dengan hiperaktivitas adrenergik dan diubah
homeostasis kalsium. Mekanisme kedua memanifestasikan dengan curah jantung
normal atau berkurang dan resistensi pembuluh darah sistemik meningkat karena
peningkatan vasoreactivity. Lain (dan tumpang tindih) mekanisme meningkat garam
dan reabsorpsi air (sensitivitas garam) oleh ginjal, yang meningkatkan volume darah
yang bersirkulasi.
Reaktivitas kortisol, indeks hipotalamus-hipofisis-adrenal fungsi, merupakan
mekanisme lain dimana stres psikososial dikaitkan dengan hipertensi di masa depan.
[19] Dalam subpenelitian prospektif kohort Whitehall II, dengan 3 tahun tindak lanjut
dari kohort kerja pada pasien yang sebelumnya sehat, peneliti melaporkan 15,9% dari
sampel pasien menderita hipertensi dalam menanggapi stres mental yang diinduksi
laboratorium dan menemukan hubungan antara reaktivitas kortisol stres dan kejadian
hipertensi.
5. Diagnosa
Diagnosa pada penderita hipertensi meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, dan prosedur diagnostik lain.
Tanda dan Gejala
5
Pada dasarnya hipertensi tidak memberi gejala yang spesifik. Umumnya gejala
yang dikeluhkan berkaitan dengan :
1. Peningkatan TD : sakit kepala (pada hipertensi berat), paling sering di daerah
occipital dan dikeluhkan pada saat bangun pagi, selanjutnya berkurang secara
spontan setelah beberapa jam, dizziness, palpitasi, mudah lelah.
2. Gangguan vaskuler : epistaksis, hematuria, penglihatan kabur karena perubahan di
retina, episode kelemahan atau dizziness oleh karen transient cereberal ischemia,
angina pectoris, sesak karena gagal jantung.
3. Penyakit yang mendasari : pada hiperaldosteronisme primer didapatkan poliuria,
polidipsi, kelemahan otot karena hipokalemia, pada sindroma Cushing didapatkan
peningkatan berat badan dan emosi labil, pada Pheochromocytoma bisa didapatkan
sakit kepala episodik, palpitasi, diaphoresis, postural dizzines.
Anamnesis lain yang menunjang :
1. Riwayat hipertensi pada keluarga disertai riwayat peningkatan TD secara intermiten
menunjang adanya hipertensi esensial.
2. Hipertensi sekunder sering terjadi pada umur < 35 tahun atau > 55 tahun.
3. Riwayat infeksi saluran kemih berulang bisa dikaitkan dengan Pyelonefritis kronis.
4. Nokturia dan polidipsi mengesankan gangguan ginjal atau endokrin.
5. Adanya beberapa gejala, seperti angina pectoris, gejala insufisiensi sereberal, gagal
jantung kongestif menggambarkan adanya kelainan vaskuler yang progresif ke arah
kondisi yang membahayakan.
6. Adanya faktor resiko, seperti merokok, diabetes mellitus, dilipidemia, riwayat
keluarga yang meninggal dalam usia relatif muda karena penyakit kardiovaskuler.
7. Gaya hidup seperti diet, aktivitas fisik, pekerjaan, tingkat pendidikan, dan lain-lain.
Pemeriksaan Fisik
Kesan umum : misalnya wajah bulat dan obesitas trunkal mengesankan sindroma
Cushing.
Peningkatan TD dan nadi :
1. Bandingkan kanan-kiri, posisi tidur/duduk dan berdiri
2. Bila pada saat berdiri TDD meningkat mengesankan hipertensi esensial, bila TDD
turun (tanpa terapi antihipertensi) kemungkinan hipertensi sekunder.
6
Catat berat badan dan tinggi badan untuk perhitungan Body Mass Index (BMI).
Pemeriksaan mata yang teliti : terutama funduskopi untuk memperkirakan lamanya
hipertensi dan prognosis.
Palpasi dan auskultasi a. Carotid : mencari kemungkinan oklusi/stenosis yang mungkin
merupakan manifestasi penyakit hipertensi vaskuler, dan mungkin juga bagian dari lesi
a. Renalis.
Pemeriksaan kelenjar tiroid
Pemeriksaan dada :
1. Jantung : left vebtricular hypertrophy (LVH), gagal jantung
2. Paru : rales
3. Bising ekstrakardiak dan kolateral (Coarctation aorta).
Pemeriksaan abdomen :
1. Bising pada sisi kanan/kiri garis tengah, di atas umbilikus kemungkinan penyempitan
a. Renalis (Renal Artery Stenosis).
2. Pembesaran ginjal karena polikistik ginjal, massa pada ginjal.
3. Palpasi denyut a. Femoralis, bila menurun dan atau terlambat dibandingkan a.
Radialis maka TD pada kaki harus diukur. Walaupun denyut a. Femoralis normal, bila
didapatkan hipertensi pada umur < 30 tahun, tekanan arteri ekstremitas bawah
harus diukur.
Pemeriksaan ekstremitas : edema, tanda adanya cerebrovaskuler accident (CVA)
sebelumnya.
Pemeriksaan Laboratorium
Masih terdapat silang pendapat mengenai seberapa jauh/luas pemeriksaan
laboratorium yang harus dilakukan pada pasien hipertensi, khususnya hipertensi
sekunder atau subset dari hipertensi esensial. Tetapi secara umum sebelum memulai
terapi perlu dilakukan pemeriksaan darah yang meliputi :
1. Urin lengkap
2. Elektrolit serum (K, Na, Ca, P)
3. Darah lengkap
4. Profil lipid
5. Gula darah
7
6. Elektrokardiogram (EKG)
7. BUN dan kreatinin serum
8. Foto dada
Bila dipandang perlu bisa dilengkapi pemeriksaan :
1. Ekskresi albumin urin
2. Rasio albumin/kreatinin
Tidak direkomendasikan bermacam-macam pemeriksaan lain untuk mencari penyebab
hipertensi, kecuali TD tidak dapat dikontrol.
6. Terapi
Tujuan terapi pasien hipertensi adalah :
Target tekanan darah < 140/90 mmHg, untuk individu berisiko tinggi (diabetes, gagal
ginjal proteinuria) < 130/80 mmHg
Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular
Menghambat laju penyakit ginjal proteinuria
Selain pengobatan hipertensi, pengobatan terhadap faktor resiko atau kondisi penyerta
lainnya seperti diabetes mellitus atau dislipidemia juga harus dilaksanakan hinggap
mencapai target masing-masing kondisi.
Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi non-farmakologis dan farmakologis. Terpai
nonfarmakologis harus dilaksanakan oleh semua pasien hipertensi dengan tujuan
menurunkan tekanan darah dan mengendalikan faktor-faktor resiko serta penyakit penyerta
lainnya.
Terapi non-farmakologis :
Menghentikan merokok
Menurunkan berat badan berlebih
Menurunkan konsumsi alkohol berlebih
Latihan fisik
Menurunkan asupan garam
Meningkatkan konsumsi buah dan sayur serta menurunkan asupan lemak.
Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang dianjurkan oleh
JNC VII :
8
Diuretika, terutama jenis Thiazide (Thiaz) atau Aldosterone Antagonis (Aldo Ant)
Beta blocker
Calsium Channel Blocker atau Calsium antagonist (CCB)
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 receptor antagonis/blocker (ARB)
Masing-masing obat antihipertensi memiliki efektivitas dan keamanan dalam pengobatan
hipertensi, tetapi pemilihan obat antihipertensi juga dipengaruhi beberapa faktor, yaitu :
Faktor sosio ekonomi
Profil faktor resiko kardiovaskuler
Ada tidaknya kerusakan organ target
Ada tidaknya penyakit penyerta
Variasi individu dari respon pasien terhadap obat antihipertensi
Kemungkinan adanya interaksi dengan obat yang digunakan pasien untuk penyakit
lain
Bukti ilmiah kemampuan obat antihipertensi yang akan digunakan dalam
menurunkan resiko kardiovaskuler
Berdasarkan uji klinis, hampir seluruh pedoman penanganan hipertensi menyatakan
bahwa keuntungan pengobatan antihipertensi adalah penurunan tekanan darah itu sendiri,
terlepas dari jenisatau kelas obat antihipertensi yang digunakan. Tetapi terdapat pula bukti-
bukti yang menyatakan bahwa kelas obat antihipertensi tertentu memiliki kelebihan untuk
kelompok pasien tertentu.
Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terpai dimulai secara bertahap, dan target
tekanan darah dicapai secara progresif dalam beberpa minggu. Dianjurkan untuk
menggunakan obat antihipertensi dengan masa kerja panjang atau yang memberikan efikasi
24 jam dengan pemberian sekali sehari. Pilihan apakah memulai terpai dengan satu jenis
obat antihipertensi atau dengan kombinasi tergantung pada tekanan darah awal dan ada
tidaknya komplikasi. Jika terapi dimulai dengan satu jenis obat dan dalam dosis rendah, dan
kemudian tekanan darah belum mencapai target, maka langkah selanjutnya adalah
meningkatkan dosis obat tersebut, atau berpindah ke antihipertensi lain dengan dosis
rendah. Efek samping umumnya bisa dihindari dengan menggunakan dosis rendah, baik
tunggal maupun kombinasi obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah, terapi
9
kombinasi dapat meningkatkan biaya pengobatan dan menurunkan kepatuhan pasien
karena jumlah obat yang harus diminum bertambah.
Kombinasi yang telah terbukti efektif dan dapat ditoleransi :
Diuretik dan ACEI atau ARB
CCB dan BB
CCB dan ACEI atau ARB
CCB dan diuretika
AB dan BB
Kadang diperlukan tiga atau empat kombinasi obat.
7. Farmakoterapi Obat – Obat Anti Hipertensi
Dikenal 5 kelompok obat lini pertama (first line drug) yang lazim digunakan untuk
pengobatan awal hipertensi, yaitu : i. Diuretik; ii. Penyekat reseptor beta adrenergik (β-
blocker); iii. Penghambat angiotensin-converting enzyme (ACE-inhibitor); iv. Penghambat
reseptor angiotensin (Angiotensin-reseptor blocker, ARB); v. Antagonis kalsium.
Pada JNC VII, penyekat reseptor alfa adrenergik (α-blocker) tidak dimasukkan dalam
kelompok obat lini pertama. Sedangkan pada JNC sebelumnya termasuk lini pertama.
Selain itu dikenal juga tiga kelompok obat yang dianggap lini kedua yaitu : i. Penghambat
saraf adrenergik; ii. Agonis α-2 sentral; dan iii. Vasodilator.
1. Diuretik
Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air, dan klorida sehingga
menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya, terjadi penurunan
curah jantung dan tekanan darah. Selain mekanisme tersebut, beberapa diuretik juga
menurunkan resistensi perifer sehingga menambah efek hipotensinya. Efek ini diduga
akibat penurunan natrium di ruang interstisial dan di dalam sel otot polos pembuluh
darah yang selanjutnya menghambat influks kalsium. Hal ini terlihat jelas pada diuretik
tertentu seperti golongan tiazid yang mulai menunjukkan efek hipotensif pada dosis
kecil sebelum timbulnya diuresis yang nyata. Pada pemberian kronik curah jantung akan
kembali normal, namun efek hipotensif masih tetap ada. Efek ini diduga akibat
penurunan resistensi perifer.
10
Penelitian-penelitian besar membuktikan bahwa efek proteksi kardiovaskuler
diuretik belum terkalahkan oleh obat lain sehingga diuretik dianjurkan untuk sebagian
besar kasus hipertensi ringan dan sedang. Bahkan bila menggunakan kombinasi dua
atau lebih anti hipertensi, maka salah satunya dianjurkan diuretik.
Golongan Tiazid. Terdapat beberapa obat termasuk golongan tiazid antara lain
hidroklorotiazid, bendroflumetiazid, klorotiazid, dan diuretik lain yang memiliki gugus
aryl-sulfonamida (indapamid dan klortalidon). Obat golongan ini bekerja dengan
menghambat transport bersama (symport) Na-Cl di tubulus distal ginjal, sehingga
ekskresi Na+ dan Cl- meningkat.
Hidroklorotiazid (HCT) merupakan prototipe golongan tiazid dan dianjurkan untuk
sebagian besar kasus hipertensi ringan dan sedang dan dalam kombinasi dengan
berbagai antihipertensi lain. Dalam dosis yang ekuipoten berbagai golongan tiazid
memiliki efek dan efek samping yang kurang lebih sama. Perbedaan utama terletak
pada masa kerjanya. Bendroflumetiazid memiliki waktu paruh 3 jam, hidroklorotiazid
10-12 jam dan indapamid 15-25 jam. Golongan tiazid umumnya kurang efektif pada
gangguan fungsi ginjal, dapat memperburuk fungsi ginjal dan pada pemakaian lama
menyebabkan hiperlipidemia (peningkatan kolesterol, LDL, dan trigliserida). Efek
hipotensif tiazid baru terlihat setelah 2-3 hari dan mencapai maksimum setelah 2-4
minggu. Karena itu, peningkatan dosis tiazid harus dilakukan dengan interval waktu
tidak kurang dari 4 minggu.
Indapamid memiliki kelebihan karena masih efektif pada pasien gangguan fungsi
ginjal, bersifat netral pada metabolisme lemak dan efektif meregresi hipertrofi
ventrikel.
Penggunaan
Sampai sekarang tiazid merupakan obat utama dalam terapi hipertensi. Berbagai
penelitian besar membuktikan bahwa diuretik terbukti paling efektif dalam
menurunkan resiko kardiovaskuler.
Pada pasien gagal ginjal, tiazid kehilangan efektivitas diuretik dan antihipertensinya;
untuk pasien ini dianjurkan penggunaan diuretik kuat. Tiazid terutama efektif untuk
pasien hipertensi dengan kadar renin yang rendah, misalnya pada orang tua. Pada
kebanyakan pasien, efek antihipertensi mulai terlihat dengan dosis HCT 12,5 mg/hari.
Bila digunakan sebagai monoterapi, dosis maksimal sebaiknya tidak melebihi 25mg HCT
11
atau klortalidon per hari, karena peningkatan dosis hipokalemia dan efek samping
lainnya tanpa meningkatkan efek antihipertensi secara nyata.
Tiazid dapat digunakan sebagai obat tunggal pada hipertensi ringan sampai sedang,
atau dalam kombinasi dengan antihipertensi lain bila TD tidak berhasil diturunkan
dengan antidiuretik saja.
Tiazid jarang menyebabkan hipotensi ortostatik dan ditoleransi dengan baik,
harganya murah, dapat diberikan satu kali sehari, dan efek antihipertensinya bertahan
pada pemakaian jangka panjang.
Tiazid seringkali dikombinasi dengan antihipertensi lain karena : 1) dapat
meningkatkan efektivitas antihipertensi lain dengan mekanisme kerja yang berbeda
sehingga dosisnya dapat dikurangi, 2) tiazid mencegah retensi cairan oleh
antihipertensi lain sehingga efek obat-obat tersebut dapat bertahan.
Antihipertensi tiazid mengalami antagonisme oleh antiinflamasi non steroid (AINS),
terutama indometasin, karena AINS menghambat sintesis prostaglandin yang berperan
penting dalam pengaturan aliran darah ginjal dan transport air dan garam. Akibatnya
terjadi retensi natrium dan air yang akan mengurangi efek hampir semua obat
antihipertensi.
Efek samping
Tiazid, terutama dalam dosis tinggi dapat menyebabkan hipokalemia yang dapat
berbahaya pada pasien yang mendapat digitalis. Efek samping ini dapat dihindari bila
tiazid diberikan dalam dosis rendah atau dikombinasi dengan obat lain seperti diuretik
hemat kaliu, atau penghambat enzim konversi angiotensin (ACE-inhibitor). Sedangkan
suplemen kalium tidak lebih efektif. Tiazid juga dapat mengakibatkan hiponatremia dan
hipomagnesemia serta hiperkalsemia. Selain itu, tiazid dapat menghambat ekskresi
asam urat dari ginjal, dan serangan gout akut. Untuk menghindari efek metabolik ini,
tiazid harus digunakan dalam dosis rendah dan dilakukan pengaturan diet. Tendensi
hiperkalsemia oleh tiazid dilaporkan dapat mengurangi resiko osteoporosis.
Tiazid dapat meningkatkan kadar kolesterol LDL dan trigliserida, tetapi
kemaknaannya dalam peningkatan resiko penyakit jantung koroner belum jelas. Pada
penderita DM, tiazid dapat menyebabkan hiperglikemia karena mengurangi sekresi
insulin. Pada pasien pria, gangguan fungsi seksual merupakan efek samping tiazid yang
kadang-kadang cukup mengganggu.
12
DIURETIK KUAT (LOOP DIURETICS, CEILING DIURETICS)
Diuretik kuat bekerja di ansa Henle asenden bagian epitel tebal dengan cara
menghambat kotransport Na+, K+, Cl- dan menghambat resorpsi air dan elektrolit. Mula
kerjanya lebih cepat dan efek diuretiknya lebih kuat daripada golongan tiazid, oleh
karena itu diuretik kuat jarang digunakan sebagai antihipertensi, kecuali pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal atau gagal jantung.
Termasuk dalam golongan diuretik kuat antara lain furosemid, torasemid,
bumetanid, dan asam etakrinat. Waktu paruh diuretik kuat umumnya pendek sehingga
diperlukan pemberian 2 atau 3 kali sehari.
Efek samping diuretik kuat hampir sama dengan tiazid, kecuali bahwa diuretik kuat
menimbulkan hiperkalsiuria dan menurunkan kalsium darah, sedangkan tiazid
menimbulkan hipokalsiuria dan meningkatkan kadar kalsium darah.
DIURETIK HEMAT KALIUM
Amilorid, triamteren, dan spironolakton merupakan diuretik lemah. Penggunaan
teruatam dalam kombinasi dengan diuretik lain untuk mencegah hipokalemi. Diuretik
hemat kalium dapat menimbulkan hiperkalemia bila diberikan pada pasien dengan
gagal ginjal, atau bila dikombinasi dengan peghambat ACE, ARB, β-blocker, AINS atau
dengan suplemen kalium. Penggunaan harus dihindarkan bila kreatinin serum lebih dari
2,5 mg/dL.
Spironolakton merupakan antagonis aldosteron sehingga merupakan obat yang
terpilih pada hiperaldosteronisme primer (sindrom Conn). Obat ini sangat berguna pada
pasien dengan hiperurisemia, hipokalemia, dan dengan intoleransi glukosa. Berbeda
dengan golongan tiazid, spironolakton tidak mempengaruhi kadar Ca++ dan gula darah.
Efek samping spironolakton antara lain ginekomastia, mastodinia, gangguan menstruasi
dan penurunan libido pada pria.
Interaksi
Efek hipokalemia dan hipomagnesemia akibat tiazid dan diuretik kuat mempermudah
terjadinya aritmia oleh digitalis. Pemberian kortikosteroid, agonis β-2 dan amfoterisin B
memperkuat efek hipokalemia diuretik. Penggunaan diuretik bersamaan dengan
kuinidin dan obat lain yang dapat menyebabkan aritmia ventrikel polimorfik akan
meningkatkan resiko efek samping ini. Semua diuretik mengurangi klirens litium. AINS
mengurangi efek antihipertensi diuretik karena menghambat sintesis prostaglandin di
13
ginjal. AINS, penghambat ACE dan β-blocker dapat meningkatkan resiko hiperkalemia
bila diberikan bersama diuretik hemat kalium.
2. Penghambat Sistem Adrenergik
PENGHAMBAT ADRENOSEPTOR BETA (Β-BLOCKER)
Mekanisme antihipertensi
Berbagai mekanisme penurunan tekanan darah akibat pemberian β-blocker dapat
dikaitkan dengan hambatan reseptor β1, antara lain : 1) penurunan frekuensi denyut
jantung dan kontraktilitas miokard sehingga menurunkan curah jantung; 2) hambatan
sekresi renin di sel-sel jukstaglomerular ginjal dengan akibat penurunan produksi
angiotensi II; 3) efek sentral yang mempengaruhi aktivitas saraf simpatis, perubahan
pada sensitivitas baroreseptor, perubahan aktivitas neuron adrenergik perifer dan
peningkatan biosintesis prostasiklin.
Penurunan TD oleh β-blocker yang diberikan per oral berlangsung lambat. Efek ini mulai
terlihat dalam 24 jam sampai 1 minggu setelah terapi dimulai, dan tidak diperoleh
penurunan TD lebih lanjut setelah 2 minggu bila dosisnya tetap. Obat ini tidak
menimbulkan hipotensi ortostatik dan tidak menimbulkan retensi air dan garam.
Penggunaan
Β-blocker yang digunakan sebagai obat tahap pertama pada hipertensi ringan sampai
sedang terutama pada pasien dengan penyakit jantung koroner (khususnya sesudah
infark miokard akut), pasien aritmia supravetrikel dan ventrikel tanpa kelainan
konduksi, pada pasien muda dengan sirkulasi hiperdinamik, dan pada pasien yang
memerlukan antidepresan trisiklik atau antipsikotik (karena efek antihipertensi β-
blocker tidak dihambat oleh obat-obat tersebut). Β-blocker lebih efektif pada pasien
muda dan kurang efektif pada pasien lanjut.
Efektivitas antihipertensi berbagai β-blocker tidak berbeda satu sama lain bila diberikan
dalam dosis yang ekuipoten. Ada atau tidaknya kardioselektivitas, aktivitas
simpatomimetik intrinsik (ASI) dan aktivitas stabilisasi membran (MSA), menentukan
pemilihan obat ini dalam kaitannya dengan kondisi patologi pasien. Semua β-blocker
dikontraindikasikan pada pasien asma bronkial. Bila harus diberikan pada pasien
dengan diabetes atau dengan gangguan sirkulasi perifer, maka penghambat selektif β1
adalah lebih baik dibandingkan dengan β-blocker nonselektif, karena efek hipoglikemi
14
relatif ringan serta tidak menghambat reseptor β2 yang memperantarai vasodilatasi
otot rangka. Β-blocker dengan ASI kurang efektif untuk PJK dan belum terbukti efektif
untuk pasca infark miokard, meskipun kurang menimbulkan efek samping metabolik.
Pada pasien dengan gangguan fungsi kronik, pemakaian β-blocker dapat memperburuk
fungsi ginjal karena penurunan aliran darah ginjal.
Dari berbagai β-blocker, atenolol merupakan obat yang sering dipilih. Obat ini bersifat
kardioselektif dan penetrasi ke SSP minimal, sehingga kurang menimbulkan efek
samping sentral dan cukup diberikan sekali sehari sehingga diharapkan akan
meningkatkan kepatuhan pasien. Dosis lazim adalah 50-100 mg per oral sekali sehari.
Metoprolol perlu diberikan dua kali sehari dan kurang kardioselektif dibandingkan
dengan atenolol. Dosisnya adalah 50-100 mg dua kali sehari. Labetolol dan karvedilol
memiliki efek vasodilatasi karena selain menghambat reseptor β, obat ini juga
menghambat reseptor α. Secara teroitis sifat ini akan memperkuat efek antihipertensi
dan mengurangi efek samping seperti rasa dingin di ekstremitas. Tetapi efek
vasodilatasi ini dapat menimbulkan hipotensi postural.
Efek samping, perhatian dan kontraindikasi
Β-blocker dapat menyebabkan bradikardia, blokade AV, hambatan nodus SA, dan
menurunkan kekuatan kontraksi miokard. Oleh karena itu obat golongan ini
dikontraindikasikan pada keadaan bradikardia, blokade AV derajad 2 dan 3, sick sinus
syndrome dan gagal jantung yang belum stabil. Khusus pada gagal jantung, pendapat
lama mengatakan bahwa β-blocker merupakan kontraindikasi karena bersifat inotropik
negatif. Namun pendapat terbaru membuktikan bahwa β-blocker, terutama carvedilol
(α-β-blocker) dan juga bisoprolol, terbukti bermanfaat dan telah direkomendasikan
dalam JNC VI dan VII untuk pengobatan gagal jantung dalam kombinasi dengan ACE-
inhibitor.
Β-blocker merupakan obat yang baik untuk hipertensi dengan angina stabil kronik, tapi
dapat memperberat gejala angina Prinzmetal (angina variant), sehingga pemberiannya
pada pasien hipertensi dengan angina harus memperhatikan perbedaan kedua jenis
angina ini. Selain itu, penghentian β-blocker pada pasien dengan angina tidak boleh
dilakukan secara mendadak karena dapat menimbulkan kambuhnya serangan
hipertensi ke tingkat yang lebih tinggi (rebound hypertesion) kambuhnya serangan
angina bahkan infark miokard pada pasien angina pektoris.
15
Bonkospasme merupakan efek samping yang penting pada pasien dengan riwayat asma
bronkial atau penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), sehingga pemakaian β-blocker
termasuk yang kardioselektif merupakan konraindikasi untuk keadaan ini.
Gangguan sirkulasi perifer lebih jarang terjadi dengan β-blocker kardioselektif atau yang
memiliki efek vasodilatasi seperti labetolol dan karvedilol.
Efek sentral berupa depresi, mimpi buruk, halusinasi dapat terjadi dengan β-blocker
yang lipofilik seperti propanolol dan oksprenolol.
Gangguan fungsi seksual sering terjadi akibat pemakaian β-blocker, terutama yang tidak
selektif.
Pemakaian β-blocker pada pasien DM yang mendapat insulin atau obat hipoglikeik oral,
sebaiknya dihindari. Sebab β-blocker dapat menutupi gejala hipoglikemia.
PENGHAMBAT ADRENOSEPTOR ALFA (α-blocker)
Hanya alfa-bloker yang selektif menghambat reseptor alfa-1 yag digunakan sebagai
antihipertensi. Alfa-bloker non selektif kurang efektif sebagai antihipertensi karena
hambatan reseptor alfa-2 di ujung saraf adrenergik akan meningkatkan pelepasan
norepinefrin dan meningkatkan aktivitas simpatis.
Mekanisme antihipertensi
Hambatan resptor α1 menyebabkan vasodilatasi di arteriol dan venula sehingga
menurunkan resistensi perifer. Disamping itu, venodilatasi menyebabkan aliran balik
vena berkurang yang selanjutnya menurunkan curah jantung. Venodilatasi ini dapat
menyebabkan hipotensi ortostatik terutama pada pemberian dosis awal (fenomena
dosis pertama), menyebabkan refleks takikardia dan peningkatan aktivitas renin
plasma. Pada pemakaian jangka panjang refleks kompensasi ini akan hilang, sedangkan
refleks antihipertensi tetap bertahan.
Αlfa-blocker memiliki beberapa keunggulan antara lain efek positif terhadap lipid darah
(menurunkan LDL, dan trigliserida dan meningkatkan HDL) dan mengurangi resistensi
insulin, sehingga cocok untuk pasien hipertensi dengan dislipidemia dan /atau diabetes
mellitus. Alfa-bloker juga sangat baik untuk pasien hipertensi dengan hipertrofi prostat,
karena hambatan reseptor alfa-1 akan merelaksasi otot polos prostat dan sfingter
uretra sehingga mengurangi resistensi urin. Obat ini juga memperbaiki insufisiensi
16
vaskuler perifer, tidak mengganggu aliran darah ginjal dan tidak berinteraksi dengan
AINS.
Efek samping
Hipotensi ontostatik sering terjadi pada pemberian dosis awal atau pada peningkatan
dosis (fenomena dosis pertama), terutama dengan obat yang kerjanya singkat seperti
prazosin. Pasien dengan deplesi cairan (dehidrasi, puasa) dan usia lanjut lebih mudah
mengalami fenomena dosis pertama ini. Gejalanya berupa pusing sampai sinkop. Untuk
menghindari hal ini sebaiknya pengobatan dimulai dengan dosis kecil dan diberikan
sebelum tidur.
Efek samping lain antara lain sakit kepala, palpitasi, edema perifer, hidung tersumbat,
mual dan lain-lain.
ADRENOLITIK SENTRAL
Metildopa, klonidin, guanfasin, guanabenz, moksinidin, rimedin.
Yang paling sering digunakan dalam klas ini adalah metildopa dan klonidin. Guanabenz
dan guanfasin sudah jarag digunakan, dan analog klonidin yaitu moksonidin dan rimedin
masih dalam penelitian.
Metildopa
Mekanisme kerja
Metildopa merupakan prodrug yang dalam SSP menggantikan kedudukan DOPA dalam
sintesis katekolamin dengan hasil akhir α-2 di sentral sehingga mengurangi sinyal
simpatis ke perifer. Metildopa menurunkan resistensi vaskuler tanpa banyak
mempengaruhi frekuensi dan curah jantung. Tapi pada pasien usia lanjut, dilatasi vena,
penurunan beban hulu dan penurunan frekuensi jantung dapat menyebabkan curah
jantung menurun. Efek maksimal tercapai 6-8 jam setelah pemberian oral atau i.v.
Walaupun penurunan tekanan darah waktu berdiri lebih besar dibanding waktu
berbaring, hipotensi ortostatik lebih jarang terjadi dibandingkan dengan pemberian
obat yang bekerja di perifer atau diganglion otonom. Aliran darah ginjal dan fungsi
ginjal tidak dipengaruhi oleh metildopa. Pada pemakaian jangka panjang sering terjadi
retensi air sehingga efek antihipertensinya makin berkurang. Hal ini disebut sebagai
toleransi semu (pseudo tolerance) dan dapat diatasi dengan pemberian diuretik.
Penggunaan
17
Metildopa merupakan antihipertensi tahap kedua. Obat ini terbukti efektif bila
dikombinasi dengan diuretik. Tapi pemakaiannya terbatas oleh seringnya timbul efek
samping. Obat ini masih merupakan pilihan utama untuk pengobatan hipertensi pada
kehamilan karena terbukti efektif aman untuk janin.
Dosis efektif adalah 2x125 mg per hari dan dosis maksimal 3g perhari. Untuk hipertensi
pasca bedah sering diberikan secara intermiten 250-1000mg tiap 6 jam.
Kinetik
Absorpsi melalui saluran cerna bervariasi dan tidak lengkap. Bioavabilitas oral rata-rata
20-50%. Sekitar 50-70% dieksresi melalui urin dalam konjugasi dengan sulfat dan 25%
dalam bentuk utuh. Pada insufisiensi ginjal terjadi akumulasi obat dan metabolitnya.
Waktu paruh obat sekitar 2 jam, tapi efek puncak tercapai setelah 6-8 jam pemberial
oral atau i.v., dan efektivitas berlangsung sampai 24 jam. Perlambatan efek ini
nampaknya berkaitan dengan proses transport ke SSP, konversinya menjadi metabolit
aktif dan eliminasi yang terlambat dari jaringan otak.
Efek samping
Yang paling sering adalah sedasi, hipotensi postural, pusing, mulut kering dan sakit
kepala. Efek samping lain adalah depresi, gangguan tidur, impotensi, kecemasan,
penglihatan kabur dan hidung tersumbat. Jarang-jarang terjadi anemia hemolitik
autoimun, trombositopenia, leukopenia, demam obat (drug fever) dan sindrom seperti
lupus (lupus-like syndrome) dengan pembentukan antibodi anti nukleus (ANA). Pada
pemakaian lama, uji Coombs positif terjadi pada 10-20% pasien, sedangkan anemia
hemolitik terjadi pada kurang dari 5%. Penghentian mendadak dapat menimbulkan
fenomena rebound berupa peningkatan TD mendadak.
Interaksi. Pemberian bersama preparat besi dapat mengurangi absorpsi metildopa
sampai 70%, tapi sekaligus mengurangi eliminasi dan menyebabkan akumulasi
metabolit sulfat. Hal ini diperlukan pada kehamilan dimana kedua obat ini sering
diberikan bersamaan. Efek hipotensif metildopa ditingkatkan oleh diuretik dan
dikurangi oleh antidepresan trisiklik dan amin simpatomimetik.
3. Vasodilator
Hidralazin, minoksidil, dan diazoksid
HIDRALAZIN
18
Mekanisme kerja
Hidralazin bekerja langsung merelaksasi otot polos arteriol dengan mekanisme yang
belum dapat dipastikan. Sedangkan oto polos vena hampir tidak dipengaruhi.
Vasodilatasi yang terjadi menimbulkan reflek kompensasi yang kuat berupa
peningkatan kekuatan dan frekuensi denyut jantung, peningkatan renin dan
norepinefrin plasma.
Hidralazin menurunkan tekanan darah berbaring dan berdiri. Karena lebih selektif
bekerja pada arteriol, maka hidralazin jarang menimbulkan hipotensi ortostatik.
Penggunaan
Hidralazin tidak digunakan sebagai obat tunggal karena takifilaksis akibat retensi cairan
dan reflek simpatis akan mengurangi efek antihipertensinya. Obat ini biasanya
digunakan sebagai obat kedua atau ketiga setelah diuretik dan β-blocker. Retensi cairan
dapat diatasi oleh diuretik dan reflek takikardi akan dihambat oleh β-blocker.
Dosis pemberian oral 25-100mg dua kali sehari. Untuk hipertensi darurat seperti pada
glomerulonefritis akut dan eklampsia, dapat juga diberikan i.m. atau i.v. dengan dosis
20-40 mg. Dosis maksimal 200mg / hari.
Farmakokinetik
Hidralazin diabsorpsi dengan baik melalui saluran cerna, tapi bioavabilitasnya relatif
rendah (16% pada asetilator cepat dan 32% pada asetilator lambat) karena adanya
metabolisme lintas pertama yang besar. Pada asetilator lambat dicapai kadar plasma
yang lebih tinggi, dengan efek hipotensi berlebihan dan efek samping yang lebih sering.
Efek samping dan perhatian
Hidralazin dapat menimbulkan sakit kepala, mual, flushing, hipotensi, takikardi,
palpitasi, angina pektoris. Iskemia miokard dapat terjadi pada pasien PJK, yang dapat
dicegah dengan pemberian bersama β-blocker. Retesni air dan natrium disertai edema
dapat dicegah dengan pemberian bersama diuretik.
Sindrom lupus dengan uji antibodi antinuklear (ANA) positif yang bersifat reversible
setelah penghentian obat dapat terjadi setelah terapi lama (6 bulan atau lebih) berupa
demam, artralgia, splenomegali, sel E positif di darah perifer.
Efek samping lain adalah neuritis perifer, diskrasia darah, hepatotoksisitas dan
kolangitis akut. Neuropati perifer dapat dikoreksi dengan pemberian piridoksin.
19
Obat ini dikontraindikasikan pada hipertensi dengan PJK dan tidak dianjurkan pada
pasien usia diatas 40 tahun.
4. Penghambat Sistem Renin-Angiotensin
SISTEM RENIN-ANGIOTENSIN-ALDOSTERON (SRAA)
SRAA berperan dalam pengaturan tekanan darah dan volume cairan tubuh. Sistem ini
tidak terlalu aktif pada individu dengan volume darah dan kadar natrium normal, tapi
sangat penting bila ada penurunan tekanan darah atau deplesi cairan atau garam.
Reaksi pertama tubuh terhadap penurunan volume darah adalah peningkatan sekresi
renin dari sel jukstaglomerular di arteriol aferen ginjal.
Renin adalah enzim proteolitik yang disintesis oleh sel-sel jukstaglomerular di ginjal dan
merupakan penentu (rate limiting step) aktivitas SRAA. Sekresinya meningkat bila
terjadi penurunan aliran darah ginjal (misalnya akibat penurunan TD, stenosis arteri
renalis, gagal jantung, perdarahan dan dehidrasi), hiponatremia (akibat diet rendah
garam) dan rangsangan adrenergik melalui reseptor β1.
Angiotensin adalah suatu α globulin yang disintesis dalam hati dan beredar dalam
darah. Renin berfungsi mengubah angiotensinogen menjadi angiotensi 1 yang
merupakan hormon yang belum aktif. Selanjutnya angiotensi 1 akan diubah oleh
angiotensin converting enzyme (ACE) menjadi angiotensin 2 yang memiliki efek
vaskonstriksi yang sangat kuat dan merangsang sekresi aldosteron dari korteks adrenal.
ACE disintesis dalam sel-sel endotel seluruh sistem vaskular terutama dalam sistem
kapiler paru-paru dan ginjal. Disamping mengubah angiotensin 1 menjadi angiotensin 2,
ACE juga berperan dalam degradasi bradikinin menjadi kinin non aktif. Bradikinin
merupakan vasodilator yang poten yang bekerja dengan meningkatkan sintesis EDRF
(endothelium derived relaxing factor) dan prostasiklin (PGI2) di sel-sel endotel vaskular.
PENGHAMBAT ANGIOTENSIN CONVERTING ENZYME (ACE INHIBITOR)
Kaptopril merupakan ACE-inhibitor yang pertama ditemukan dan banyak digunakan di
klinik untuk pengobatan hipertensi dan gagal jantung. Secara umum ACE-inhibitor
dibedakan atas 2 kelompok : 1) yang bekerja langsung, contohnya kaptopril dan
lisinopril. 2) Prodrug, contohnya enalapril, kuinapril, perindopril, ramipril, silazapril,
benazepril, fosinopril, dan lain-lain. Obat ini dalam tubuh diubah menjadi bentuk aktif
20
yaitu, berturut-turut, enalaprilat, kuinaprilat, perindoprilat, ramiprilat, silazaprilat,
benazeprilat, fosinoprilat, dan lain-lain.
ACE-inhibitor menghambat perubahan AI menjadi AII sehingga terjadi vasodilatasi dan
penurunan sekresi aldosteron. Selain itu, degradasi bradikinin juga dihambat sehingga
kadar bradikinin dalam darah meningkat dan berperan dalam efek vasodilatasi ACE-
inhibitor. Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan tekanan darah, sedangkan
berkurangnya aldosteron akan menyebabkan ekskresi air dan natrium dan retensi
kalium.
Pada gagal jantung kongestif efek ini akan sangat mengurangi beban jantung dan akan
memperbaiki keadaan pasien. Walaupun kadar Ang1 dan renin meningkat, namun
pemberian ACE-inhibitor jangka panjang tidak menimbulkan toleransi dan penghentian
obat ini biasanya tidak menimbulkan hipertensi rebound. Selain itu, ACE-inhibitor
menurunkan resistensi perifer tanpa diikuti refleks takikardi. Besarnya penurunan
tekanan darah pada pemberian akut sebanding dengan tingginya kadar renin plasma.
Namun obat golongan ini tidak hanya efektif pada hipertensi dengan renin normal
amupun rendah. Hal ini karena ACE-inhibitor menghambat degradasi bradikinin yang
mempunyai efek vasodilatasi. Selain itu, ACE-inhibitor juga diduga berperan
menghambat pembentukan angiotensin 2 secara lokal di endotel pembuluh darah.
Pemberian diuretik dan pembatan asupan garam akan memperkuat efek
antihipertensinya.
Berkurangnya produksi angiotensin 2 oleh ACE-inhibitor akan mengurangi sekresi
aldosteron di korteks adrenal. Akibatnya terjadi ekskresi air dan natrium, sedangkan
kalium mengalami retensi sehingga ada tendensi terjadinya hiperkalemia terutama
pada gangguan fungsi ginjal.
Di ginjal ACE-inhibitor menyebabkan vasodilatasi arteri renalis sehingga meningkatkan
aliran darah ginjal dan secara umum akan meningkatkan aliran darah ginjal dan secara
umum akan memperbaiki laju filtrasi glomerulus.
Namun, pada stenosis arteri renalis bilateral atau stenosis unilateral pada ginjal tunggal
ACE-inhibitor dapat memperburuk fungsi ginjal. Penurunan tekanan filtrasi glomerulus
pada keadaan stenosis arteri renalis di atas dapat menimbulkan kegagalan filtrasi.
Penggunaan
21
ACE-inhibitor efektif untuk hipertensi ringan, sedang, maupun berat. Bahkan beberapa
diantaranya dapat digunakan pada krisis hipertensi seperti kaptopril dan enalaprilat.
Obat ini efektif pada sekitar 70% pasien. Kombinasi dengan diuretik memberikan efek
sinergik (sekitar 85% pasien TD-nya terkendali dengan kombinasi ini), sedangkan efek
hipokalemia diuretik dapat dicegah. Kombinasi dengan β-blocker memberikan efek
aditif. Kombinasi dengan vasodilator lain, termasuk prazosin dan antagonis kalsium,
memberi efek yang baik. Tetapi pemberian bersama penghambat adrenergik lain yang
menghambat respons adrenergik α dan β (misalnya klonidin, metildopa, labetalol, atau
kombinasi α dan β-blocker) sebaiknya dihindari karena dapat menimbulkan hipotensi
berat dan berkepanjangan.
Efek samping
1. Hipotensi
2. Batuk kering
3. Hiperkalemi
4. Rash
5. Edema angioneurotik
6. Gagal ginjal akut
7. Proteinuria
8. Efek teratogenik
Farmakokinetik
Kaptopril. Diabsorpsi dengan baik pada pemberian oral dengan bioavabilitas 70-75%.
Pemberian bersama makanan akan mengurangi absorpsi sekitar 30%, oleh karena itu
obat ini harus diberikan 1 jam sebelum makan.
Sebagian besar ACE-inhibitor mengalami metabolisme di hati, kecuali lisinopril yang
tidak dimetabolisme. Eliminasi umumnya melalui ginjal, kecuali fosinopril yang
mengalami eliminasi di ginjal dan bilier.
Perhatian dan kontraindikasi
ACE-inhibitor dikontraindikasikan pada wanita hamil karena bersifat teratogenik.
Pemberian pada ibu menyusui juga kontraindikasi karena ACE-inhibitor diekskresi
melalui ASI dan berakibat buruk terhadap fungsi ginjal bayi.
22
Dalam JNC VII, ACE-inhibitor diindikasikan untuk hipertensi dengan penyakit ginjal
kronik. Namun harus berhati-hati terutama bila ada hiperkalemia karena ACE-inhibitor
akan memperberat hiperkalemia. Kadar kreatinin darah perlu dipantau peningkatan
kreatinin, maka obat ini harus dihentikan. ACE-inhibitor dikontraindikasikan pada
stenosis arteri renalis bilateral atau unilateral pada keadaan ginjal tunggal.
Pemberian bersama diuretik hemat kalium dapat menimbulkan hiperkalemia.
Pemberian bersama antasida akan mengurangi absorpsi, sedangkan kombinasi dengan
AINS akan mengurangi efek antihipertensi dan menambah resiko hiperkalemia.
ANTAGONIS RESEPTOR ANGIOTENSIN II (Angiotensin receptor blocker, ARB)
Reseptor AngII terdiri dari dua kelompok besar yaitu reseptor AT1 dan AT2. Reseptor
AT1 terdapat terutama di otot polos pembuluh darah dan di otot jantung. Selain itu
terdapat juga di ginjal, otak, dan kelenjar adrenal. Reseptor AT1 memperantarai semua
efek fisiologis AngII terutama yang berperan dalam homeostasis kardiovaskular.
Reseptor AT2 terdapat di medulla adrenal dan mungkin juga di SSP, tapi sampai
sekarang fungsinya belum jelas.
Losartan merupakan prototipe obat golongan ARB yang bekerja selektif pada reseptor
AT1. Pemberian obat ini akan menghambat semua efek AngII, seperti vasokonstriksi,
sekresi aldosteron rangsangan saraf simpatis, efek sentral AngII (sekresi vasopresin,
rangsangan haus), stimulasi jantung, efek renal serta efek jangka panjang berupa
hipertrofi otot polos pembuluh darah dan miokard. Dengan kata lain, ARB menimbulkan
efek yang mirip dengan pemberian ACE-inhibitor. Tapi karena tidak mempengaruhi
metabolisme bradikinin, maka obat ini dilaporkan tidak memiliki efek samping batuk
kering dan angioedema seperti sering terjadi dengan ACE-inhibitor.
ARB sangat efektif menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi dengan kadar
renin yang tinggi seperti hipertensi renovaskuler dan hipertensi genetik, tapi kurang
efektif pada hipertensi dengan aktivitas renin yang rendah. Pada pasien dengan
hipovolemia, dosis ARB perlu diturunkan.
Pemberian ARB menurunkan tekanan darah tanpa mempengaruhi frekuensi denyut
jantung. Penghentian mendadak tidak menimbulkan hipertensi rebound. Pemberin
jangka panjang tidak mempengaryhu lipid dan glukosa darah. Losartan menunjukkan
23
efek urikosurik yang cukup nyata, sedangkan valsartan tidak mempengaruhi asam urat
darah.
Farmakokinetik
Losartan diabsorpsi dengan baik melalui saluran cerna dengan bioavabilitas sekitar 33%.
Absorpsinya tidak dipengaruhi oleh adanya makanan di lambung.
Waktu paruh eliminasi adalah ±1-2 jam, tapi obat ini cukup diberikan satu atau dua kali
sehari, karena kira-kira 15% losartan dalam tubuh diubah menjadi metabolit dengan
potensi 10 sampai 40 kali losartan dan masa paruh yang jauh lebih panjang (6-9 jam).
Losartan danmetabolitnya tidak dapat menembus sawar darah otak. Sebagian besar
obat dieksresi melalui feses sehingga tidak diperlukan penyesuaian dosis pada
gangguan fungsi ginjal termasuk pasien hemodialisis dan pada usia lanjut. Tapi dosis
harus disesuaikan pada gangguan fungsi hepar.
Efek samping dan perhatian
Hipotensi dapat terjadi pada pasien dengan kadar renin tinggi seperti hipovolemia,
gagal jantung, hipertensi renovaskuler dan sirosis hepatis.
Hiperkalemia biasanya terjadi dalam keadaan tertentu seperti insufisiensi ginjal, atau
bila dikombinasi dengan obat-obat yang cenderung meretensi kalium seperti diuretik
hemat kalium dan AINS dan juga bila asupan kalium berlebihan.
Fetotoksik : Seperti ACE-inhibitor, anagonis reseptor AII potensial bersifat fetotoksik,
sehingga harus dihentikan bila pemakainya ternyata hamil.
Kontraindikasi
Seperti ACE-inhibitor, ARB dikontraindikasikan pada kehamilan trimester 2 dan 3, dan
harus segera dihentikan bila pemakainya ternyata hamil. Obat ini tidak dianjurkan untuk
diberikan pada wanita hamil menyusui, karena ekskresinya ke dalam air susu ibu belum
diketahui. Selain itu, juga dikontraindikasikan pada stenosis arteri renalis bilateral atau
stenosis pada satu-satunya ginjal yang masih berfungsi.
5. Antagonis Kalsium
Antagonis kalsium menghambat influks kalsium pada sel-sel otot olos pembuluh darah
dan miokard. Di pembuluh darah, antagonis kalsium terutama menimbulkan relaksasi
24
arteriol, sedangkan vena kurang dipengaruhi. Penurunan resistensi perifer ini sering
diikuti oleh refleks takikardi dan vasokonstriksi, terutama bila menggunakan golongan
dihidropiridin kerja pendek (nifedipin). Sedangkan diltiazem dan verapamil tidak
menimbulkan takikardia karena efek kronotropik negatif langsung pada jantung. Bila
refleks takikardia kurang baik, seperti pada orang tua, maka pemberian antagonis
kalsium dapat menimbulkan hipotensi yang berlebihan.
Sifat berbagai antagonis kalsium :
1. Golongan dihidropiridin (DHP, yakni nifedipin, nikardipin, isradipin, felodipin,
dan amlodipin) bersifat vaskuloselektif dan generasi yang baru memiliki
selektic=vitas yang lebih tinggi. Sifat vaskuloselektif ini menguntungkan
karena : a) efek langsung pada nodus AV dan SA minimal; b) menurunkan
resistensi perifer tanpa penurunan fungsi jantung yang berarti; c) relatif
aman dalam kombinasi dengan β-blocker.
2. Bioavabilitas oral relatif rendah. Hal ini disebabkan karena eliminasi
presistemik (metabolisme lintas pertama) yang tinggi di hati. Amlodipin
memiliki bioavabilitas yang relatif tinggi dibanding antagonis kalsium yang
lain.
3. Kadar puncak tercapai dengan cepat untuk kebanyakan antagonis kalsium.
Hal ini menyebabkan TD turun dengan cepat, dan ini dapat mencetuskan
iskemia miokard atau sereberal. Absorpsi amlodipin dan sediaan lepas
lambat alinnya terjadi secara pelan-pelan sehingga dapat mencegah
penurunan tekanan darah yang mendadak.
4. Waktu paruh umumnya pendek/sedang sehingga kebanyakan antagonis
kalsium harus diberikan 2 atau 3 kali sehari. Amlodipin memiliki waktu paruh
yang panjang sehingga cukup diberikan sekali sehari. Kadarnya pada jam ke
24 masih 2/3 dari kadar puncak.
5. Semua antagonis kalsium dimetabolisme di hati. Penggunaan pada pasien
sirosis hati dan usia lanjut harus dilakukan dengan sangat hati-hati.
6. Antagonis kalsium hanya sedikit sekali yang diekskresi dalam bentuk utuh
lewat ginjal sehingga tidak perlu penyesuaian dosis pada gangguan fungsi
ginjal.
25
7. Isradipin dan amlodipin tidka mempengaruhi kadar digoksin yang diberikan
bersama. Kadar verapamil dan amlodipin tidak dipengaruhi oleh simetidin.
Penggunaan
Sejak JNC VII, antagonis kalsium telah menjadi salah satu golongan AH tahap pertama.
Sebagai monoterapi antagonis kalsium memberikan efektivitas sama dengan AH lain.
Antagonis kalsium terbukti sangat efektif pada hipertensi dengan kadar renin yang
rendah seperti pada orang tua. Kombinasi dengan ACE-inhibitor, metildopa, atau β-
blocker, sebaiknya dipilih antagonis yang bersifat vaskuloselektif (dihidropiridin).
Kombinasi dengan diuretik tidak jelas meningkatkan efek antihipertensi antagonis
kalsium.
Nifedipin oral sangat bermanfaat untuk mengatasi hipertensi darurat. Dosis awal 10mg
akan menurunkan tekanan darah dalam waktu 10 menit dan dengan efek maksimal
setelah 30-40 menit. Untuk mempercepat absorpsi, obat sebaiknya dikunyah lalu
ditelan. Pemberian sublingual tidak mempercepat pencapaian efek maksimal.
Antagonis kalsium tidak mempunyai efek samping metabolik, baik terhadap lipid, gula
darah, maupun asam urat.
Pada pasien dengan penyakit jantung koroner , pemakaian nifedipin kerja singkat dapat
meningkatkan resiko infark miokard dan stroke iskemik dan dalam jangka panjang
terbukti mempertinggi mortalitas. Oleh karena itu antagonis kalsium kerja singkat tidak
dianjurkan untuk hipertensi dengan PJK. Pemakaian dosis tinggi sebaiknya dihindarkan
untuk semua hipertensi.
Efek samping
Nifedipin kerja singkat paling sering menyebabkan hipotensi dan dapat menyebabkan
iskemia miokard atau serebral. Refleks tekikardia dan palpitasi mempermudah
terjadinya serangan angina pada pasien dengan PJK. Hipotensi sering terjadi pada
pasien usia lanjut, keadaan deplesi cairan dan yang mendapat antihipertensi lain.
Amlodipin dan nifedipin lepas lambat dengan mula kerja yang lambat menimbulkan
efek samping yang lebih janrang dan lebih ringan.
Sakit kepala, muka merah terjadi karena vasodilatasi arteri meningeal dan di daerah
muka.
Edema perifer terutama terjadi oleh dihidropiridin, dan yang paling sering adalah
nifedipin.
26
Bradiaritmia dan gangguan konduksi terutama terjadi akibat verapamil, kurang
dengan diltiazem dan tidak terjadi dengan dihidropiridin. Oleh karena itu verapamil dan
diltiazem tidak boleh diberikan pada pasien dengan bradikardia, blok AV derajat 2 dan 3
dan sick sinus syndrome.
Efek inotropik negatif, terutama oleh verapamil dan diltiazem dan minimal oleh
dihidropiridin. Hal ini dapat berbahaya bila diberikan pada pasien dengan gagal jantung.
Pada gagal jantung kongestif akut pemberian nifedipin masih dapat dibenarkan bila
tidak tersedia vasodilator yang lain, dan amlodipin dianggap aman.
Konstipasi dan retensi urin akibat relaksasi otot polos saluran cerna dan kandung
kemih terutama terjadi dengan verapamil. Kadang-kadang dapat terjadi refluks
esofagus.
Hiperplasia gusi dapat terjadi dengan semua antagonis kalsium.
8. Komplikasi Hipertensi
Komplikasi hipertensi bukanlah pembahasan yang singkat. Sebelum berbicara
tentangkomplikasi hipertensi, perlu diketahui bahwa tekanan yang berlebihan pada dinding
pembuluh darah Anda yang disebabkan oleh tekanan darah tinggi dapat merusak pembuluh
darah, serta organ dalam tubuh Anda. Semakin tinggi tekanan darah Anda dan semakin
lama waktu berjalan tidak terkendali, semakin besar kerusakan yang ditimbulkan. Akibat
komplikasi darah tinggi yang berkelanjutan sangatlah fatal karena ini akan berhubungan
dengan kematian.
Komplikasi hipertensi karena tekanan darah tidak terkontrol
Komplikasi hipertensi sangat erat kaitannya dengan riwayat tekanan darah tinggi yang tidak
terkontrol. Tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol dapat mengakibatkan:
1. Serangan jantung atau stroke. Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan pengerasan
dan penebalan arteri (aterosklerosis), yang dapat menyebabkan serangan jantung
(penyakit jantung), stroke atau komplikasi lain. Serangan jantung dan stroke
merupakan komplikasi hipertensi yang sangat umum ditemukan.
27
2. Aneurisma atau Aneurysm. Peningkatan tekanan darah dapat menyebabkan
pembuluh darah melemah, membentuk suatu aneurisma. Jika aneurisma pecah,
dapat mengancam jiwa. Komplikasi darah tinggi/hipertensi akibat aneurisma
memerlukan perhatian gawat darurat yang khusus.
3. Gagal jantung. Untuk memompa darah terhadap tekanan tinggi dalam pembuluh,
otot jantung perlu berkontraksi lebih sehingga otot akan menjadi kental. Otot kental
memiliki kesulitan memompa darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh,
hal ini dapat menyebabkan komplikasi hipertensi yang berupa gagal jantung.
4. Lemah dan menyempitnya pembuluh darah padaginjal. Hal ini dapat mencegah dari
organ-organ lain berfungsi normal. Untuk menentukan komplikasi hipertensi
menyempitnya pembuluh darah memerlukan beberapa pemeriksaan penunjang
yang dilakukan oleh dokter yang ahli dalam bidang Cardiovascular.
5. Sindrom metabolik. Sindrom ini adalah sekelompok gangguan metabolisme tubuh –
termasuk lingkar pinggang meningkat, trigliserida tinggi, rendah high density
lipoprotein (HDL), tekanan darah tinggi, dan tingkat insulin yang tinggi. Jika Anda
memiliki tekanan darah tinggi, Anda lebih mungkin memiliki komponen lain dari
sindrom metabolik. Komponen-komponen yang Anda miliki, semakin memperbesar
risiko diabetes, penyakit jantung atau stroke.
6. Masalah dengan memori atau pemahaman. Tekanan darah tinggi yang tidak
terkontrol juga dapat mempengaruhi kemampuan Anda untuk berpikir, mengingat
dan belajar. Masalah dengan konsep memori atau pemahaman yang lebih umum
pada orang yang memiliki tekanan darah tinggi/hipertensi.
7. Angina. Ini dikenal sebagai jenis khusus dari nyeri dada. Bila Anda memiliki angina,
Anda akan merasa nyeri di dada, lengan, bahu, atau punggung. Anda mungkin
merasa sakit lebih saat jantung Anda bekerja lebih cepat, seperti ketika Anda
berolahraga tetapi rasa sakit mungkin hilang waktu kita istirahat.
9. Preventif
Adapun hal-hal yang harus diperhatikan untuk mencegah komplikasi hipertensi adalah :
28
1. Mengendalikan tekanan darah dan memeriksa tekanan darah secara rutin disertai
pemeriksaan untuk pemantauan risiko komplikasi
2. Apabila anda juga penderita diabetes, maka kendalikan kadar gula dalam diri anda
3. Mengkonsumsi obat secara rutin
4. Berolah raga
5. Menghindari makan makanan yang berkadar lemak jenuh tinggi (otak, ginjal, paru,
minyak kelapa, gajih).Makanan yang diolah dengan menggunakan garam natrium
(biscuit, craker, keripik dan makanan kering yang asin).Makanan dan minuman
dalam kaleng (sarden, sosis, korned, sayuran serta buah-buahan dalam kaleng, soft
drink).Makanan yang diawetkan (dendeng, asinan sayur/buah, abon, ikan asin,
pindang, udang kering, telur asin, selai kacang).Susu full cream, mentega, margarine,
keju mayonnaise, serta sumber protein hewani yang tinggi kolesterol seperti daging
merah (sapi/kambing), kuning telur, kulit ayam).Bumbu-bumbu seperti kecap, maggi,
terasi, saus tomat, saus sambal, tauco serta bumbu penyedap lain yang pada
umumnya mengandung garam natrium.Alkohol dan makanan yang mengandung
alkohol seperti durian, tape.
DIABETES MELLITUS
A. Definisi
29
Menurut Ammerican Diabetes Assosiation (ADA) 2010, diabetes mellitus merupakan suatu
kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemik yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. (1)
B. Epidemiologi
Secara epidemilogik diabetes mellitus sering tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau
terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan sehingga morbiditas dan
mortalitas dini terjadi terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi ini. Penelitian lain
menyatakan bahwa dengan adanya urbanisasi populasi diabetes tipe 2 akan meningkat 5-10
kali lipat karena terjadi perubahan perilaku rural-tradisisonal menjadi urban. Faktor resiko
yang berubah secara epidemiologic diperkirakjan adalah usia, lebih banyak dan lebih
lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya aktifitas jasmani dan hiperinsulinemia.
Semua faktor ini berinteraksi dengan beberapa faktor genetic yang berhubungan dengan
DM tipe 2.
C. Klasifikasi
Tabel klasifikasi etiologi DM
Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin
absolute:
- Autoimun
- Idiopatik
Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relative sampai yang dominan defek sekresi
insulin disertai resistensi insulin
DM Tipe Lain - Defek genetic fungsi sel beta
- Defek genetic kerja insulin
- Penyakit eksokrin pancreas
- Endokrinopati
- Karena obat atau zat kimia
30
- Infeksi
- Sebab imunologis yang jarang
- Sindrom genetic lain yang berkaitan dengan DM
DM gestational DM yang didapat saat kehamilan
D. Faktor Resiko
- Usia ≥ 45 tahun
- Usia lebih muda, terutama dengan Index Massa Tubuh >23 kg/m2
- Kebiasaan tidak aktif
- Turunan pertama dari orang tua yang DM
- Riwayat melahirkan dengan BB bayi >4000 gram atau riwayat DM gestational
- Hipertensi (≥140/90 mmHg)
- Kolesterol HDL ≤35 mg/dl dan atau trigliserida ≥250 mg/dl
- Menderita polycystis ovarian syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait
dengan resistensi insulin
- Adanya riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT) sebelumnya
- Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular
E. Patofisiologi Diabetes Melitus
1. Diabetes Tipe 1
Terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel pankreas telah
dihancurkan oleh proses autoimun.Pankreas tidak mampu sintesis dan sekresi insulin
dalam kuantitas dan atau kualitas yang cukup, bahkan kadang-kadang tidak ada
sekresi insulin sama sekali.
Glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap
dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia posprandial (sesudah makan).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap
kembali semua glukosa yang tersaring keluar akibatnya glukosa tersebut dieksresikan
dalam urin (glukosuria). Eksresi ini akan disertai oleh pengeluaran cairan dan
31
elekrolit yang berlebihan, keadaan ini disebut diuresis osmotik. Pasien mengalami
peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsi).
2. Diabetes Tipe 2
Diabetes tipe 2 adalah diabetes yang tidak tergantung insulin pada tipe ini, pada
awalnya kelainan terletak pada jaringan perifer (resistensi insulin) dan kemudian
disusul dengan disfungsi sel beta pancreas (defek pada fase pertama sekresi insulin),
yaitu sebagai berikut :
Sekresi insulin oleh pancreas mungkin cukup atau kurang, namun terdapat
keterlambatan sekresi insulin fase 1 (fase cepat), sehingga glukosa sudah
diabsorbsi masuk darah tetapi jumlah insulin yang efektif belum memadai.
Jumlah reseptor di jaringan perifer kurang.
Kadang jumlah reseptor cukup, tetapi kualitas reseptor jelek, sehingga kerja
insulin tidak efefktif.
Terdapat kelainan pasca reseptor, sehingga proses glikolisis intraselular
terganggu.
3. Diabetes Gestasional
Didefenisikan sebagai permulaan intoleransi glukosa atau pertama sekali didapat
selama kehamilan
4. Diabetes Melitus Terkait Malnutrisi
Dapat terjadi karena beberapa hal antara lain sebagai berikut :
Kekurangan protein dalam jangka waktu panjang yang bersamaan dengan
makanan utama singkong akibatnya HCN yang ada dalam singkong merusak sel
beta pancreas.
Kekurangan protein dan kalori jangka panjang dapat menyebabkan gangguan
atau rusaknya sel beta
Atau sebab lain yang belum jelas, misalnya akibat dari toxic agent lain.
F. Gejala Klinis Diabetes Melitus
Seseorang dapat dikatakan menderita Diabetes Melitus apabila menderita dua dari tiga
gejala yaitu:
32
a. Keluhan TRIAS: Banyak minum, Banyak kencing dan Penurunan berat badan.
b. Kadar glukosa darah pada waktu puasa lebih dari 120 mg/dl.
c. Kadar glukosa darah dua jam sesudah makan lebih dari 200 mg/dl.
Keluhan yang sering terjadi pada penderita Diabetes Mellitus adalah: Poliuria,
Polidipsia, Polifagia, Berat Badan menurun, Lemah, Kesemutan, Gatal, Visus menurun,
Bisul/luka, Keputihan).
G. Diagnosa DM
Menurut PERKENI
Kadar glukosa darah sewaktu >200 mg/dl, plus gejala klasik : poliuria, polidipsia
dan penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya.
Kadar glukosa darah puasa >126 mg/dl
Kadar glukosa plasma >200mg/dl pada 2 jam sesudah makan atau beban glukosa
75 gram pada TTGO.
H. Terapi DM
Penatalaksanaan dasar terapi DM meliputi pentalogi terapi DM
33
Terapi primer
Penyuluhan kesehatan masyarakat tentang DM
Latihan fisik
Diet
Terapi Sekunder
Obat hipoglikemia (OHO dan insulin)
Cangkok pancreas
Diet
Kebutuhan kalori sesuai : kelamin, umur , berat badan, aktifitas fisik,
pekerjaan, kehamilan, menyusui, komplikasi
3 kali makan utama dan 3 kali makan kecil
Jumlah dan waktu makan harus tepat
Latihan Fisik
Frekuensi : Teratur 3-5 kali perminggu
Intensitas : Ringan sampai sedang
Durasi : 30 –60 menit / 5 X30 menit /minggu
Tipe : Aerobik (jalan, joging, ber sepeda)
OHO
1. Insulin Secretagogues : yaitu OHO yang memicu sekresi insulin. Glongan obat ini
dibedakan menjadi 2 kelompok.
Sulfonylureas1st generation e.g. chlorpropamide, tolbutamide
2nd generation e.g. glyburide, gliclazide, glipizide, gliquidone
3rd generation e.g. glimepiride
Modified release
Non-sulfonylureic e.g. repaglinide, nateglinide
2. Insulin Sensitizer : yaitu OHO yang memperbaiki sensitivitas insulin, terbagi dalam
2 kelompok.
34
Thiazolidinedioness :. rosiglitazone, pioglitazone, ciglitazone, englitazone,
darglitazone
Non TZD : Muraglitazar, ragaglitazar, tesaglitazar
Metaglidasen
Biguanides : Metformin
3. Intestine Enzyme Inhibitor : yaitu bekerja dengan menghambat enzyme di usus
sehingga menghambat penyerapan glukosa
α – Glucoside Inhibitors : Acarbose , vogiblose, miglitol
α –Amylase Inhibitor : Tendamistase
4. Other Spesifik Type :
Insulin mimetic drugs , memiliki efek seperti insulin : glimepirid, chromium
β – cell replaces : Exedin
inhibitor dari Dipeptidyl Peptidase : Metformin, liraglutide
penghambat sekresi glucagon : Amylin Analogues
5. Fixed drugs kombinasi
OHO Generik Mg/tab Dosis
harian
(mg)
Lama
kerja
(jam)
Frek/hari Pemberian
SU Klorpropamid 100-250 100-
500
24-36 1 Sebelum
makan
Glibenklamid 2,5-5 2,5-15 12-24 1-2
Glipizid 5-10 5-20 10-16 1-2
Gliklazid 80 80-240 10-20 1-2
Glikuidon 30 30-120 - -
Glimepirid 1-4 0,5-6 24 1
Glinid Repaglinid 0,5-2 1,5-6 - 3
Netaglinid 120 360 - 3 Tidak
35
bergantung
jadwal
makan
Tiazolinidione Rosiglitazon 4 4-8 24 1 Idem
Pioglitazone 15,30 15,30 24 1 Idem
Penghambat
glukoside α
Acarbose 50-100 100-
300
3 Bersama
suapan
pertama
Biguanid Metformin 500-850 250-
3000
6-8 1-3 Bersama
atau
sesudah
makan
Glibenklamid
Insulin
Kelas Mulai efek Puncak Lama
Aksi pendek (Actrapid,
Humulin R)
15-30menit 2-4 jam 6-8 jam
Campuran (Humulin 30/70 ) 60 menit 1-8 jam 14-15 jam
Aksi sedang (Humulin N,
Insulatard)
2-4 jam 1-8 jam 14-15 jam
Aksi panjang (Lantus,
levemiir)
24 jam
I. Komplikasi Diabetes Mellitus
Komplikasi diabetes mellitus adalah semua komplikasi yang timbul sebagai akibat
dari diabetes mellitus baik sistemik ataupun organ dan jaringan tubuh yang lainya. Proses
glikosilasi merupakan faktor penting terjadinya komplikasi ini. Didapatkan bahwa AGE
36
( advanced Glycosilated end product) yang bertanggung jawab munculnya komplikasi kronik
pada diabetes mellitus.
Klasifikasi Komplikasi diabetes Melitus
a. Komplikasi akut
1. Hipoglikemia
2. Koma laktoasidosis
3. Ketoasidosis diabetikum
4. Koma hiperosmoler non ketotik.
b. Komplikasi kronis
Komplikasi pada rambut, telinga , mata,mulut, jantung,paru, kaki, saraf, dan kulit.
A. KOMPLIKASI AKUT
1. HIPOGLIKEMIA
Hipoglikemia murni adalah kadar glukosa kurang dari 60mg/dl
Reaksi hipoglikemia adalah kadar glukosa yang turun secara mendadak
Koma hipoglikemia adalah keadaan koma akibat kadar glukosa kurang dari 30
mg/dl
Reaktif hipoglikemia adalah gejala hipoglikemia muncul setelah 3-5 jam
sesudah makan.
Gejala hipoglikemia
- Lapar, gemetar
- Keringat dingin
- Pusing, gelisah sampai koma
2. Koma lakto asidosis
Gejala klinis
- Stupor atau koma dengan hiperglikemik ringan
Diagnosis
37
- Diagnosa ditegakkan apabila terjasi stupor dengan kadar glikosa
250 mg/dl
- Anion gab lebih dari 15-20 mEq/l
3. Keto asidosis diabetik
Kriteria diagnosis KAD
- Poliuria,polidipsi,mual atau muntah,pernapasan kusmaul,lemah,
dehidrasi,hipotensi,kesadaran terganggu.
- Hiperglikemia dengan kadar glukosa lebih dari 300mg/dl.
- Bikarbonat kurang dari 20mEq/l
- Glukosuria dan ketonuria.
4. Koma hiperosmoler non ketotik
Kriteria diagnosis KHONK
- Hiperglikemia dengan tidak ada didapatkan riwayat diabetes
sebelumnya, tidak kussmaul, tidak ketonemia.
- Dehidrasi berat , hipotensi.
B. KOMPLIKASI KRONIK
1. Infeksi
Furunkel, karbunkel, tb paru,UTI, mikosis
2. Mata
- Neuritis optika
- Katarak
- Retinopati
- Glaukoma
- Perdarahan corpos vitreum
3. Mulut
38
- Xerostomia diabetik
- Ginggiva
- Periodontitis
4. Jantung
- Penyakit jantung koroner
5. Traktus urogenital
- Nefropati diabetik
- Pielonefritis
- UTI ( urinari track infection)
6. Saraf
Saraf perifer
- Parastesia ,anastesia,
- Neuropatik pain
Saraf otonom
- Gastroparese diabetikurum yang dapat menyebabkan mual,
muntah, diare
- Gastro Atrophi
- Gangguan kelenjar keringat
7. Kulit
- Gatal
- Pseudoikterik
- Selulitis
- Gangren
- Necrobiosis lipodica diabetikorum.
J. Preventif
Modifikasi gaya hidup dan obat obatan farmakologi dapat menghambat munculnya
onset diabetes mellitus. The Program Prevention Diabetes menunjukkan dengan perubahan
gaya hidup yang intensif dengan diet dan berolah raga 30 menit dalam sehari untuk
39
beberapa minggu dapat mengurangi dan mencegah pada sesorang dengan gangguan
toleransi glukosa menuju diabetes mellitus. Seseorang dengan keturunan DM dan gannguan
toleransi glukosa serta gangguan glukosa puasa dapat menjaga BMI yang normal dan
aktivitas fisik yang cukup. ADA ( american diabetes assosiation) menyarankan pengunaan
metformin pada sesorang dengan faktor risiko tinggi diabetes mellitus yaitu pada seseorang
yang mengalami gangguan glukosa puasa dan ganguan toleransi glukosa, umur kurang dari
60 tahun,BMI lebih dari 35m/m2,keluarga dengan riwayat diabetes, peningkatan serum
trigliserida, HDL yang rendah,Hypertensi, A1C > 6%
INTERAKSI OBAT
Pemilihan obat untuk terapi antihipertensi akhir-akhir ini adalah masalah khusus
pada pasien diabetes. Selain itu pertimbangan dalam memilih agen antihipertensi, ada
kekhawatiran yang khusus pada individu-individu tertentu, misalnya, peningkatkan resiko
kardiovaskular dan komplikasi dari diabetes yang dapat memperburuk efek samping dan,
mungkin, mengubah efektivitas agen farmakologis. Karena individu diabetes jauh lebih
mungkin dibandingkan orang nondiabetes untuk memiliki komplikasi seperti hipotensi
ortostatik dan impotensi, obat-obatan yang memperburuk ini harus digunakan dengan hati-
hati. Dalam mengobati pasien dengan diabetes dan hipertensi, dokter harus menghindari
memburuknya glikemik kontrol atau meningkatkan frekuensi atau keparahan episode
hipoglikemik. Tingginya prevalensi dislipidemia, penyakit aterosklerotik kardiovaskular, dan
insufisiensi ginjal juga mempersulit pilihan terapi antihipertensi pada pasien diabetes.
Frekuensi dari penyakit diabetes dan hipertensi yang sering terjadi bersama-sama
selanjutnya akan meningkatkan pentingnya isu seputar pilihan yang tepat dari obat
antihipertensi. Pasien dengan non-insulin-dependent diabetes mellitus (NIDDM) memiliki
40
sekitar dua kali lipat peningkatan kemungkinan memiliki hipertensi .Penyakit diabetes dan
hipertensi ditandai dengan resistensi insulin perifer dan hiperinsulinemia Penelitian
menunjukkan bahwa hiperinsulinemia dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah (BP),
mungkin melalui peningkatan reabsorpsi Na + ginjal, aktivasi sistem saraf simpatik,
perubahan dalam tingkat kation intraseluler, atau langsung efek pada resistensi pembuluh
darah perifer. Hubungan korelasi diabetes hipertensi dan insulin-dependent mellitus (IDDM)
juga umum terjadi. patofisiologi kelainan, termasuk ditingkatkan retensi Na + oleh ginjal dan
peningkatan respon pressor, bersama oleh IDDM dan NIDDM pasien Namun, kenaikan
bersamaan dalam proteinuria dan BP pada pasien IDDM menunjukkan bahwa disfungsi
ginjal juga berkontribusi pada perkembangan hipertensi pada bagian ini diabetes pasien.
Beberapa penelitian, di sisi lain, telah menunjukan bahwa predisposisi untuk terjadinya baik
hipertensi dan nefropati diabetik dapat terjadi bersama-sama.
Mekanisme patofisiologi nefropati diabetik tidak sepenuhnya dipahami tetapi
mencakup glikasi protein, proteinuria, pengaruh genetik, dan perubahan hemodinamik yang
disebabkan oleh hipertensi dan gangguan autoregulasi ginjal. Renin-angiotensin sistem
sistemik dan intrarenal (RAS) dapat menjadi aktif dalam awal perjalanan diabetes.
Peningkatan angiotensin II, suatu efektor hilir RAS, terlibat langsung dalam cedera ginjal
melalui efek hemodinamik, stres oksidatif, induksi proinflamasi dan faktor fibrosis, dan efek
proliferatif seluler. Hipertensi berkontribusi pada nefropati dengan meningkatkan tekanan
intraglomerular, menyebabkan hiperfiltrasi dan kerusakan hemodinamik.
Karena RAS yang terlibat dalam patofisiologi nefropati diabetik, obat-obatan yang
menghambat RAS, seperti angiotensin-converting-enzyme (ACE) inhibitor dan angiotensin II
receptor blocker-(ARB), efektif dalam pencegahan dan pengobatan nefropati diabetik. Studi
klinis menunjukkan bahwa agen ini, selain kemampuan mereka untuk menurunkan tekanan
darah, juga memperlambat perkembangan nefropati diabetik. Manfaat yang terlihat
tersebut tampaknya melebihi dari akibat perubahan tekanan darah saja.
ACE penghambatan RAS telah terbukti memperlambat perkembangan untuk
nefropati diabetik pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 1. Perlindungan terhadap
fungsi ginjal pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 juga telah dibuktikan dengan
inhibitor ACE di beberapa klinik penelitian.
Pada pasien diabetes, terutama mereka dengan ringan sampai HTN moderat,
pengobatan lini pertama meliputi modifikasi gaya hidup, yaitu, mengontrol berat badan,
41
rendah lemak diet anti-aterogenik, pembatasan garam, penurunan asupan alkohol,
penghentian merokok, dan aktivitas fisik. Langkah selanjutnya akan menjadi administrasi
obat antihipertensi. Lima kelas obat yang dianggap efektif untuk monoterapi. Diuretik, beta-
blockers, calcium channel blocker, alpha 1 adrenergik blockers, ACE inhibitor, dan
kemungkinan antagonis angiotensin-receptor adalah obat lini pertama yang tersedia untuk
digunakan.
farmakologis Terapi
ACE INHIBITOR
Mungkin kelompok yang paling menjanjikan dari obat yang digunakan untuk
mengobati hipertensi pada pasien dengan diabetes adalah inhibitor ACE. Obat ini memiliki
karakteristik yang membuat mereka, dalam banyak ideal untuk mengobati hipertensi
diabetes pasien. Tidak seperti banyak kelas-kelas lain dari obat antihipertensi, ACE inhibitor
tampaknya meningkatkan sensitivitas insulin dan mungkin meningkatkan kontrol glikemik.
Juga, agen ini tidak mengubah tingkat lipid dan tidak memperburuk faktor resiko
kardiovaskular lainnya ketika menurunkan tekanan darah.
ACE inhibitors telah terbukti bermanfaat pada pasien yang telah memiliki infark
miokard atau gagal jantung kongestif, atau yang memiliki penyakit diabetic renal disease.
Agen ini dianggap terapi pilihan pada pasien dengan hipertensi dan diabetes, sesuai dengan
pedoman dari ADA , NKF, Organisasi Kesehatan Dunia, dan JNC VI.6,9,10,13, juga didukung
dari “Heart Outcomes Prevention Evidence” (HOPE), percobaan ini menunjukkan penurunan
kejadian kardiovaskular pada pasien yang memakai dosis maksimum inhibitor ACE.
Baru-baru ini, sebuah meta-analisis dari uji mengevaluasi penggunaan antihipertensi
pada pasien berisiko tinggi, termasuk mereka yang menderita diabetes, menunjukkan
bahwa terapi ACE inhibitor mengakibatkan penurunan 20 sampai 30 persen dalam risiko
stroke, penyakit jantung koroner, dan kardiovaskular events.
Sebuah meta-analisis kedua ACE inhibitor dibandingkan dengan obat antihipertensi
lain pada pasien dengan diabetes. [Evidence level A, meta-analisis] Tiga dari empat studi
dievaluasi menunjukkan inhibitor ACE untuk menjadi manfaat signifikan lebih besar bila
dibandingkan dengan antihipertensi lain di reduksi infark miokard akut, penyakit
kardiovaskular, dan semua penyebab kematian.
ACE inhibitors dapat memberikan manfaat tambahan pada pasien dengan diabetes.
Pasien-pasien ini mungkin memiliki gangguan fibrinolisis dan disfungsi endotel, yang
42
meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular. ACE inhibitors telah terbukti untuk
meningkatkan fibrinolisis dan endotel dysfunction. inhibitor ACE juga telah terbukti
meningkatkan sensitivitas insulin.
Salah satu bidang yang menjadi perhatian adalah penggunaan inhibitor ACE pada
orang dengan penyakit ginjal, yang umum pada pasien dengan diabetes. Sebuah analysis
post hoc terbaru dari percobaan HOPE menunjukkan bahwa pada pasien dengan penyakit
vaskular yang sudah ada sebelumnya atau diabetes dikombinasikan dengan faktor risiko
kardiovaskular, insufisiensi ginjal ringan (yaitu, tingkat serum kreatinin 1,4-2,3 mg per dL
[124-203 umol per L]) secara signifikan meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular
berikutnya. Dalam penelitian ini, ramipril mengurangi risiko kardiovaskular tanpa
meningkatkan efek samping. Namun, pada pasien dengan stenosis arteri ginjal bilateral,
inhibitor ACE dapat menyebabkan insufisiensi ginjal. Untuk membantu mendeteksi
keberadaan stenosis arteri ginjal bilateral, dokter harus memantau tingkat serum kreatinin
pada awal dan satu minggu setelah memulai terapi inhibitor ACE.
ANGIOTENSIN RECEPTOR BLOCKER
Penelitian “the Candesartan and lisinopril Microalbuminuria” (CALM
membandingkan candesartan dengan lisinopril pada pasien dengan diabetes tipe 2,
hipertensi, dan microalbuminuria. Hasil penelitian menunjukkan bahwa CALM candesartan
sama efektifnya dengan lisinopril dalam penurunan tekanan darah dan meminimalisasi
mikroalbuminuria.
Baru-baru ini, “Reduction of Endpoints in Non–Insulin-Dependent Diabetes Mellitus
with the Angiotensin II Antagonist Losartan study” Para peneliti menemukan bahwa terapi
losartan menghasilkan efek renoprotektif yang diluar dari efek yang disebabkan penurunan
tekanan darah pada pasien dengan diabetes tipe 2 dan nefropati. Selain itu, penelitian
“Irbesartan Microalbuminuria Type 2 Diabetes Mellitus in Hypertensive Patient Study” baru-
baru ini menemukan irbesartan menjadi neuroprotektif pada pasien dengan diabetes tipe 2
yang memiliki microalbuminuria.] Penelitian terbaru telah selesai, “MicroAlbuminuria
Reduction with VALsartan” (MARVAL) dari percobaan, ditemukan bahwa valsartan
menurunkan ekskresi albumin urin untuk tingkat yang lebih besar daripada amlodipine pada
pasien diabetes tipe 2 dengan mikroalbuminuria. Hasil ini juga terlihat dalam subset dari
pasien studi yang tidak hipertensi, yang menunjukkan valsartan memiliki efek
antiproteinuric yang tidak terkait efek antihipertensinya.
43
Uji klinis lain juga telah menegaskan bahwa ARB dapat menurunkan tekanan darah
dan melindungi ginjal terhadap nefropati pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2.
Sebagai contoh, Irbesartan Diabetes Nefropati Trial (idnt) melaporkan bahwa irbesartan
efektif dalam memperlambat progresi nefropati sekunder untuk diabetes tipe 2 mellitus.
Efek renoprotektif dari irbesartan didukung oleh temuan “Irbesartan Reduction of
Microalbuminuria-2” (IRMA-2). Pasien yang menerima 300 mg irbesartan sehari memiliki
penurunan signifikan risiko mengembangkan nefropati diabetik dibandingkan dengan
kelompok plasebo.
CALCIUM CHANNEL BLOCKER
Terdapat kontroversi mengenai penggunaan CCBs, terutama dihidropiridin
(misalnya, amlodipine [Norvasc], nifedipine [Procardia]) dalam mengobati hipertensi pada
pasien dengan diabetes. Lima studies telah mengevaluasi hasil kardiovaskular pada pasien
dengan hipertensi dan diabetes yang diobati dengan CCBs dihidropiridin. Baik percobaan
“the Appropriate Blood Pressure Control in Diabetes” (ABCD) dan Fosinopril vs Amlodipine
Cardiovascular Event Randomized Trial (FACET) menunjukkan tidak ada penurunan yang
signifikan dalam kejadian kardiovaskular dengan CCB dihidropiridin dibandingkan dengan
inhibitor ACE.
Sebaliknya, percobaan “Hipertensi Optimal Treatment” (HOT), “Systolic
Hypertension in Europe, dan Isolated Hypertension in China Study” menyimpulkan bahwa
penggunaan CCBs dihidropiridin, sebagai monoterapi atau kombinasi dengan agen lain,
dikaitkan dengan pengurangan risiko kardiovaskular. Dalam percobaan ini, risiko
kardiovaskular menurun muncul hasil dari pencapaian target tekanan darah, bukan dari
karakteristik intrinsik dari agen yang digunakan. Dalam semua tiga percobaan, banyak
pasien diperlukan penambahan inhibitor ACE atau antihipertensi lain ke CCB dihidropiridin
untuk mencapai tujuan tekanan darah sasaran. Kombinasi ACE inhibitor dan CCB
dihidropiridin telah terbukti mengurangi proteinuria.
The CCBs nondihydropyridine (misalnya, verapamil [Calan]) menunjukkan penurunan
risiko kardiovaskular bila digunakan sebagai monoterapi. Menggabungkan CCB
nondihydropyridine dengan inhibitor ACE pada pasien hipertensi dengan diabetes dikaitkan
dengan penurunan lebih besar dalam proteinuria dibandingkan jika obat digunakan secara
sendiri-sendiri.
BETA BLOCKERS
44
Secara umum, penggunaan beta blocker pada pasien dengan diabetes tidak
dianjurkan karena efek metabolik yang merugikan dan menutupi gejala hipoglikemik. Data
dari UKPDS 39 study8 menunjukkan tidak ada perbedaan dalam episode hipoglikemik pada
pasien yang diobati dengan atenolol dibandingkan dengan captopril, tapi berarti berat
badan pada kelompok atenolol lebih besar. Penelitian ini juga menunjukkan pengurangan
risiko serupa di mikrovaskuler dan penyakit makrovaskular pada kelompok yang diobati
dengan kaptopril dan atenolol.
Carvedilol, non-selektif ß-blocker, memiliki efek yang lebih baik pada tingkat
hemoglobin A1C, sensitivitas insulin, kadar kolesterol total, dan trigliserida dibandingkan
metoprolol pada pasien dengan diabetes melitus tipe 2 dan hipertensi sudah menerima ACE
inhibitor atau ARB. selain itu, terjadinya mikroalbuminuria secara signifikan lebih rendah
pada pasien yang menerima carvedilol dari metoprolol. Namun demikian, efek dari ß-
blocker pada homeostasis glukosa pada pasien dengan diabetes biasanya mudah dikelola,
bukan kontraindikasi untuk digunakan.
DIURETIK
Diuretik thiazide telah terbukti bermanfaat bagi pasien dengan diabetes dan
hipertensi sistolik. “The Systolic Hypertension in the Elderly Program trial” dilakukan untuk
menilai efek dari dosis rendah pengobatan antihipertensi berbasis diuretik pada tingkat
kejadian kardiovaskular mayor pada pasien yang lebih tua dengan hipertensi sistolik
terisolasi dan diabetes. studi menunjukkan bahwa terapi chlorthalidone dosis rendah efektif
dalam mencegah serebrovaskular utama dan kejadian kardiovaskular.
Dosis rendah dari tiazid (misalnya, hydrochlorothiazide [Esidrix], 12,5 mg per hari)
ditoleransi dengan baik dan tidak terkait dengan effects metabolik yang merugikan. Tapi
diuretik thiazide tidak efektif pada pasien dengan insufisiensi ginjal; pada pasien tersebut,
diuretik loop lebih disukai. Secara umum, diuretik efektif dalam pengobatan hipertensi.
Selain itu, banyak diuretik generik yang lebih murah dan banyak tersedia.
45
Daftar Pustaka
Braunwald's Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine, 8th ed.
Das S. 2001 Management of Hypertension in Diabetes MellitusJournal, Indian Academy of
Clinical Medicine.
George L, Bakris MD, James R 2008, Treatment of Hypertension in Patients WithDiabetes—
An Update on behalf of the American Society of Hypertension Writing Group.
Gunawan S G, dkk. 2011. Farmakologi Dan Terapi. Jakarta. Badan Penerbit FKUI.
Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia, PERKENI
2011.
Paul P 2006 Managing Hypertension in Patients With Type 2 Diabetes Mellitus, Syst
Pharm. 2006;63(12):1140-1149.
Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Dalam,Edisi III, 2008,Rumah sakit
umum dokter soetomo Surabaya
46
Peter P, Henry R. 1991Drug Treatment of Hypertension in Patients With Diabetes Mellitus in
Diabetes Care Vol 14 1991.
Powers C A,2008. Diabetes mellitus in Harrison’s Principal Internal medicine, United State,
Mc Graw Hill p 2282.
Sherri L 2002 Controlling Hypertension in Patients With Diabetes
http://www.aafp.org/afp/2002/1001/p1209.html
Sudoyo A W, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta. InternaPublishing.
Tjokroprawiro A,Setiawan BP,Santoso J,Sugiarto G.2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
Diabetes mellitus,surabaya, Airlangga University Press.
47