ISLAM DAN NEGARA
PEMIKIRAN ABU BAKAR BA’ASYIR TENTANG NEGARA ISLAM
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
Praga Adidhatama NIM: 104033201141
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H./2009 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul ISLAM DAN NEGARA; PEMIKIRAN ABU BAKAR BA’ASYIR TENTANG NEGARA ISLAM telah diujikan dalam
sidang munaqosyah Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta pada 11 Desember 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos.) pada Program Studi Pemikiran
Politik Islam.
Jakarta, 11 Desember 2009
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Dr. Hendro Prasetyo, MA. Joharatul Jamilah, M.Si.
NIP: 19640719 199003 1 001 NIP: 19680816 199703 2 002
Anggota,
Dr. Sirodjudin Ali, MA. A. Bakir Ihsan, M.Si. NIP: 19540605 200112 1 001 NIP: 19720412 200312 1 214
Pembimbing,
M. Zaki Mubarak, M.Si.
NIP: 19730927 200501 1 008
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (satu) di Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 20 Oktober 2009
Praga Adidhatama
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan kasih sayang dan karunia tiada terhingga kepada penulis. Shalawat
serta salam selalu tercurah kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW,
sehingga penulis dapat menyelsaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Islam
dan Negara: Pemikiran Abu Bakar Ba’asyir Tentang Negara Islam”
Peneliti telah mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak, maka
pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag., selaku Sekretaris Program Studi
Pemikiran Politik Islam Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak M. Zaki Mubarak, M.Si., yang telah meluangkan waktu, pikiran
serta memberikan saran dan dukungan kepada peneliti.
5. Seluruh dosen dan staf pengajar pada Program Studi Pemikiran Politik
Islam, penulis sampaikan terima kasih yang setinggi-tingginya.
6. KH. Abu Bakar Ba’asyir sebagai narasumber yang telah meluangkan
waktu diantara kesibukannya dan memberikan informasi langsung kepada
penulis.
7. Teruntuk Ayah dan Ibuku, Mulyadi Muhayar dan Haning Romdiati, yang
tidak pernah berhenti berdoa dan telah memberikan dukungan moril
dan materil selama ini. Kepada Adik penulis, Dinhar Wicaksana, juga
patut mendapat ucapan terima kasih karena doa dan dukungannya.
Untuk mereka semua, penulis persembahkan karya ini.
8. Mas Nono dan Mas Anto, yang telah menemani penulis selama di
Surakarta sehingga dapat menemui narasumber untuk penulisan skripsi ini.
9. Untuk kawan-kawan 348; Aco, Sidik, Osfred, Lala, Iid, Agus, Tedy,
Firman, Dito, Bpk. Faisal, Bpk. Dadang, Bpk. Carsalim.
10. Kawan-kawan Fraksi Pojok: Gusti Ramli, Irwansyah, Sucilawati, Yudi,
Husni, Jabar, Ikbal, Rifki, Baasit, Iin, Zubeir, dan kawan-kawan
PPI angkatan 2004 yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Terimakasih atas diskusi, dukungan, serta canda dan tawanya kepada
penulis selama berlangsungnya penulisan karya ini.
11. Last but not least, kepada My Lovely Giri Meraksa Yusuf, yang selalu
memotivasi penulis serta pengertiannya sepanjang penyusunan karya ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu
kritik serta saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi
ini dapat memberikan manfaat bagi penulis serta pembaca. Demikian semoga
Allah menerima usaha ini sebagai ‘amal jariyah dan mengampuni kesalahan
dalam karya ini.
Jakarta, 8 November 2009
Penulis,
Praga Adidhatama
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................. i DAFTAR ISI ……………………………………………………………. iii
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………... v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang…………………………………………… 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……………………. 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………... 8
D. Metode Penulisan……………………………………….... 8
E. Sistematika Penulisan….…………………………………. 9
BAB II
KONSEP NEGARA ISLAM
A. Hubungan Agama dan Negara…………………………… 11
B. Relasi Agama dan Negara dalam Islam………………….. 14 1. Pandangan Tokoh Kontra Negara Islam……………... 17
2. Pandangan Tokoh Pro Negara Islam…………………. 23
BAB III ABU BAKAR BA’ASYIR DAN NEGARA ISLAM A. Riwayat Hidup…………………………………………… 48
B. Latar Belakang Pendidikan………………………………. 50 C. Aktifitas Sosial, Dakwah dan Politik…………………….. 51
1. Hubungan Ba’asyir dengan Negara Islam Indonesia
dan Jamaah Islamiyah………………………………… 61 2. Ba’asyir Bergabung dengan Majelis Mujahidin
Indonesia……………………………………………… 67
3. Keluar dari Majelis Mujahidin Indonesia…………….. 69 D. Pemikiran Abu Bakar Ba’asyir…………………………….. 72
E. Profil Singkat Pesantren Al-Mukmin,…………………….. 74
BAB IV ISLAM DAN NEGARA; PEMIKIRAN ABU BAKAR
BA’SYIR TENTANG NEGARA ISLAM a. Pemikiran Abu Bakar Ba’asyir Tentang Negara Islam……..81
1. Negara Islam Dalam Pandangan Ba’asyir……………82 2. Kritik Terhadap Sistem Sekuler……………………….. 84
3. Kritik Terhadap Sistem Demokrasi……………………. 85
4. Kritik Terhadap HAM…………………………………. 89
B. Menegakkan dan Mendakwahkan Dinul Islam……………. 93
1. Aturan Penegakkan Dinul Islam………………………. 94 2. Muamalah Golongan Mukmin dan
Muamalah Golongan Kafir……………………………. 96
3. Cara Pelaksanaan Sistem Syariat……………………. 98
C. Usaha Abu Bakar Ba’asyir Dalam Memperjuangkan Implementasi Syariat Islam & Negara Islam…………….101
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan………………………………………………… 105 B. Saran-saran………………………………………………….106
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 108 LAMPIRAN………………………………………………………………. 113
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perdebatan tentang relasi agama dan negara masih menjadi satu
pembahasan panjang sampai saat ini dan belum ada kesepakatan akan hubungan
tersebut. Berbagai teori ditawarkan atas relasi agama dan negara yang ditawarkan
masing-masing kelompok, dan mereka akan mempertahankan teori tersebut.
Kelompok-kelompok yang menawarkan konsep ini dibagi menjadi 2
paham kelompok, paham teokrasi serta paham sekuler. Paham teokrasi
berpendapat bahwa negara menyatu dengan agama karena pemerintahan
dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan, segala tata kehidupan dalam
masyarakat, bangsa, dan negara dilakukan atas titah Tuhan. Sedangkan paham
Sekuler berpendapat, norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan
tidak berdasarkan agama atau firman Tuhan, meskipun norma-norma tersebut
bertentangan dengan Tuhan.
Di dalam lingkup tema Islam sendiri masih terdapat perdebatan tentang
relasi agama, yang dalam hal ini tentang tema Islam dan negara itu sendiri.
Berbagai pendapat itu datang dari kalangan tokoh Islam maupun dari tokoh di luar
Islam yang memiliki persepsi tentang hubungan relasi tersebut.
Melihat pendapat tokoh Marxis, Maxim Rodinson, seperti yang dikutip
oleh Nurcholish Madjid, bahwa agama Islam menawarkan kepada para
pemeluknya suatu proyek kemasyarakatan. Suatu program yang harus diwujudkan
di muka bumi. Jadi Islam tidak bisa disamakan dengan Kristen atau Budhisme,
sebab Islam tidak hanya menampilkan dirinya sebagai perhimpunan kaum
beriman yang mempercayai kebenaran yang satu dan sama, melainkan juga
sebagai suatu masyarakat yang total1.
Tokoh Islam seperti Ibnu Khaldun, seperti yang dikutip oleh Munawir
Sjadzali, menawarkan bahwa peraturan-peraturan politik yang mengatur ke-
tatanegara-an dapat dilakukan oleh cendekiawan, orang ahli dalam negara
tersebut, tetapi dapat juga berasal dari agama. Menurutnya peraturan yang berasal
dari agama melalui utusannya yaitu Rasul-RasulNya dianggap yang terbaik. Oleh
karena dengan hukum yang bersumber dari ajaran agama akan terjamin tidak saja
keamanan dan kesejahteraan di dunia, tetapi juga di akhirat2.
Melihat dari sisi historis Islam, pada saat Islam dipimpin oleh Nabi
Muhammad, perannya bukan hanya sebagai pemimpin agama melainkan juga
pemimpin negara, pendapat Ibnu Taimiyah berbeda. Ibnu Taimiyah mengatakan
bahwa posisi Nabi saat itu adalah sebagai Rasul yang bertugas menyampaikan
ajaran (al Kitab) bukan sebagai penguasa. Kalaupun ada pemerintahan, itu
hanyalah sebuah alat untuk menyampaikan agama dan kekuasaan bukanlah
agama. Dengan kata lain, politik atau negara hanyalah sebagai alat bagi agama
bukan suatu ekstensi dari agama3.
Sedangkan menurut pemikir Islam al-Maududi mempunyai persepsi
sendiri tentang hubungan Islam dan negara dengan disebutnya sistem teo
demokrasi. Teo demokrasi, yaitu sistem pemerintahan demokrasi Ilahi, karena di
1 Nurcholish Madjid, “Kata pengantar” dalam Ahmad Syafi’I Ma’arif, Islam & Masalah
Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstitusi (Jakarta: LP3ES, 1996), h. ix. 2
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara;Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1995), h.102.
3 Tim ICCE, Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani
(Jakarta:ICCE UIN, 2003), h. 61.
bawah naunganNya kaum Muslim telah diberi kedaulatan rakyat yang terbatas di
bawah pengawasan Tuhan4.
Pendapat ini adalah gambaran dari banyak perbedaan pendapat lainnya
tentang relasi Islam dan negara, yang terjadi di negara-negara Islam tidak
terkecuali di Indonesia. Sejak lengser-nya Soeharto pintu demokrasi terbuka
dalam menjalankan pemerintahan selanjutnya, bagi kalangan Islamis yang melihat
hal ini merupakan suatu kesempatan dalam memperjuangkan idenya untuk
membentuk suatu negara Islam. Banyak gerakan bersifat gerakan Islam non
politik maupun politik di Indonesia yang mengiginkan konsep negara Islam di
aplikasikan di Indonesia melalui pelaksanaan Syariat Islam di dalam peraturan
tata negara Indonesia.
Sejak berdirinya Indonesia, usaha-usaha untuk mendirikan suatu negara
berlandaskan Islam sudah ada. Diawali oleh organisasi yang dinamakan Darul
Islam di Jawa Barat. Gagasan mendirikan Darul Islam, suatu pemerintahan negara
Islam murni secara terang-terangan dengan hukum Islam, sudah dicetuskan oleh
sejumlah pemimpin Islam Jawa Barat selama beberapa waktu. Namun demikian,
baru setelah Perjanjian Renville yang disponsori PBB ditandatangani pada bulan
Januari 1948, lingkungan memberi angin kepada pelaksanaan praktis gagasan
mereka ini5.
Organisasi ini kemudian masuk ke ruang lingkup politik praktis melalui
Partai Sarekat Islam Indonesia. Namun di dalam partai ini pun terjadi perbedaan
pendapat diantara tokoh-tokoh partai yang berimbas pada perpecahan tubuh
4 Abul A’la Al-Maududi, Hukum & Konstitusi; Sistem Politik Islam. Terj. Asep Hikmat
(Bandung: Mizan, 1993), h. 160. 5
George Mc Turnan Kahin, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik
Indonesia;Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, terj. Nin Bakdi Soemanto (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1995), h 416.
partai, PSII Hijrah yang dipimpin oleh S. M. Kartosuwiryo dan PSII Penyadar
yang dipimpin oleh Agus Salim.
Sampai pada saat ini, isu pembentukan negara Islam (negara yang
didasarkan atas peraturan Islam) belum juga hilang di Indonesia. Banyak
organisasi massa yang tetap menginginkan Islam masuk ke dalam ke-tata negara-
an Indonesia seperti organisasi Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad, Forum
Komunikasi Ahlussunnah Wal Jama’ah (FKAWJ), Hizbut Tahrir Indonesia
sampai Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Tidak hanya organisasi massa saja
melainkan juga organisasi politik Islam, seperti Partai Bulan Bintang (PBB) yang
secara terang-terangan memperjuangkan syariat Islam pada pemilihan umum 2004
lalu.
Gerakan organisasi tersebut memiliki suatu landasan tersendiri. Terdapat
berbagai landasan teologis atau filosofis di balik keputusan para aktivis politik
Islam untuk memperjuangkan kaitan formalistik atau legalistik antara Islam dan
negara. Sebagian besar, landasan teologis itu dibentuk dan dipengaruhi oleh
pandangan mereka tentang Islam6.
Beberapa kelompok Islam ada yang merasa perlu Indonesia dibentuk
sebagai negara Islam atas dasar perjuangan kembali tujuh kata pada Piagam
Jakarta yaitu “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para
pemeluknya.” yang dihapus dari perumusan pancasila.
Salah satu tokoh ulama di Indonesia yang mempunyai cita-cita mendirikan
suatu negara Islam adalah KH. Abu Bakar Ba’asyir, pendiri pondok pesantren Al-
Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah. Ba’asyir pernah menjadi pimpinan
6
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara:Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam
di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 177.
atau Amir Majelis Mujahidin Indonesia sebelum mendirikan organisasi sendiri
bernama Jamaah Ansharut Tauhid. Banyak usaha yang dilakukan Ba’asyir dalam
menawarkan konsep negara Islam sampai keluar masuk penjara oleh pemerintah
sejak zaman Soeharto berkuasa karena dinilai mengingkari konsep Pancasila yang
menjadi ideologi bangsa Indonesia dan kental ketika orde baru berkuasa.
Sepak terjang Ba’asyir tidak hanya ditanggapi oleh pemerintah Indonesia
saja melainkan dari luar negeri seperti Amerika yang menuduh Ba’asyir telah
mendirikan gerakan radikal Jamaah Islamiyah yang terkait dengan gerakan teroris
Al-Qaeda ketika berada di Malaysia.
Abu Bakar Ba’asyir dikenal sangat tajam dalam menyampaikan idenya
tentang negara Islam. Semasa menjadi pimpinan MMI, Ba’asyir dengan
kegigihannya terus menghendaki suatu negara Islam. Syariat Islam menjadi suatu
keharusan di dalam formalitas peraturan negara. Hal itu dipahami tidak saja
sebagai kewajiban asasi setiap muslim, tapi sekaligus sebagai satu-satunya jalan
untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang adil7. Ba’asyir menolak sistem
demokrasi yang dianut oleh negara yang dinilainya tidak sesuai dengan ajaran
Nabi. Namun demokrasi yang sudah diterapkan di Indonesia harus mau tidak mau
diikuti oleh masyarakat. Ba’asyir pun tidak memungkiri hal tersebut.
Menyadari kondisi tersebut, dalam seruannya ketika Ba’asyir berstatus
sebagai tahanan di Rutan Salemba untuk menghadapi pelaksanaan pemilu tahun
2004, Ba’asyir menyatakan perlunya umat Islam memilih partai yang
memperjuangkan tegaknya syariat Islam. Seruan ini dikeluarkan oleh Ba’asyir dan
Habib Moh. Rizieq Syihab dalam bentuk selebaran, intinya menyerukan “wajib
7
Jamhari & Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 68.
bagi umat Islam untuk memanfaatkan Pemilu secara optimal bagi pemenangan
Syariat Islam, dengan memilih parpol Islam, memilih Presiden dan Wakil
Presiden yang memiliki komitmen terhadap pemberlakuan Syariat Islam. Untuk itu,
haram memberikan suara kepada partai yang anti penegakkan Syariat Islam”8. Syariat
Islam sangat diperlukan untuk diterapkan di negara yang penduduknya
mayoritas Islam, karena Syariat Islam yang diterapkan secara kaffah
di masyarakat dapat meneguhkan kedudukan dienul Islam dan kaum muslimin,
membuahkan keamanan bagi rakyat umum, memurnikan pengamalan tauhid,
menjaga kebersihan harta dari barang haram, menjaga keamanan harta, menjaga
kesehatan akal sehingga tidak terjadi kerusakan akhlak, menjaga kemurnian
keturunan sehingga tidak terjadi kelahiran anak yang tidak jelas ayahnya,
mencegah adanya pemaksaan untuk masuk Islam, orang-orang kafir (non
muslim), yang tidak menghalangi berlakunya syari’at Islam secara kaffah
mendapat perlakuan baik dan adil, mencegah permutadan dari Dinul Islam,
menjaga keamanan jiwa dan menumbuhkan kemakmuran ekonomi yang
membawa ketentraman dan perbaikan moral9.
Di dalam praktiknya, Ba’asyir juga tidak menggunakan cara-cara yang
radikal seperti dengan cara pemberontakan, intimidasi dengan fisik atau
sejenisnya, walaupun di mata Barat khususnya Amerika menilai bahwa Ustadz
Ba’asyir merupakan aktor utama atas tindakan kekerasan yang terjadi di Indonesia
(contoh terhadap pengeboman di Bali) yang mereka sebut teroris itu. Pada
akhirnya Ba’asyir menolak tuduhan tersebut dan dengan tegas mengatakan bahwa
8
Irfan S. Awwas, “Nasihat Politik Abu Bakar Baasyir,” Sabili, No. 16, Th XI, 27 Februari 2004, h. 32.
9 Irfan S Awwas, Dakwah & Jihad Abu Bakar Ba’asyir (Jogjakarta: Wihdah Press,
2003), h. 60.
penggunaan senjata di wilayah yang aman dan bukan di medan perang adalah
tidak dibenarkan.
Ba’asyir memang memiliki cita-cita menegakkan Dinul Islam. Sebab, ia
merupakan perjuangan untuk menegakkan al haq (kebenaran), keadilan,
kebebasan, kemerdekaan, keselamatan, dan kebahagiaan, baik di dunia maupun di
akhirat. Semua bentuk perjuangan di luar itu adalah bathil, menyia-siakan umur,
waktu, tenaga pikiran dan harta10
.
Dari pemikiran Ba’asir tersebut untuk mewujudkan cita-citanya tidaklah
mudah, Indonesia memiliki berbagai macam agama, suku dan kebudayaan yang
masing-masing memiliki identitas tersendiri. Namun, Ba’asyir tetap memiliki
idealisme dan harapan yang tinggi dengan memanfaatkan situasi di alam
demokrasi ini negara Islam akan dapat terwujud, walau dari kalangan yang kontra
dengan pembentukan negara Islam seperti tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL), Ulil
Abshar Abdalla mengkritik Ba’asyir yang justru menikmati alam demokrasi di
Indonesia sebagai peluang untuk merealisasikan cita-citanya itu.
Berdasarkan dari latar belakang diatas penulis tertarik untuk mengangkat
skiripsi dengan judul “Islam dan Negara: Pemikiran Abu Bakar Ba’asyir
Tentang Negara Islam”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Untuk memudahkan penelitian ini, maka penulis membatasi masalah pada
pemikiran Abu Bakar Ba’asyir dalam mewujudkan cita-cita untuk menjadikan
Indonesia menjadi suatu negara Islam.
10 Abu Bakar Ba’asyir, Catatan Dari Penjara; Untuk Mengamalkan dan Menegakkan
Dinul Islam (Depok: Penerbit Mushaf, 2006), h. 220-221.
Adapun rumusan masalahnya dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pemikiran Abu Bakar Ba’asyir tentang Islam dan negara?
2. Usaha apa yang dilakukan Abu Bakar Ba’asyir dalam mewujudkan cita-
cita negara Islam di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui cara pemikiran apa yang ditawarkan oleh Abu Bakar
Ba’asyir tentang negara Islam.
2. Untuk mengetahui usaha-usaha yang dilakukan oleh Abu Bakar Ba’asyir
dalam mewujudkan negara Islam di Indonesia
D. Metode Penelitian
Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus yang
penelaahannya dilakukan secara mendalam dan komprehensif. Penulisan ini
menggunakan data kualitatif yang berwujud kata-kata, gambar dan bukan
angka-angka11
. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini menggunakan
studi pustaka, selain itu juga dilakukan wawancara langsung dengan objek yang
diteliti dan berbagai sumber yang bersangkutan dengan objek penelitian.
Selanjutnya penelitian ini menggunakan metode pembahasan deskriptif
analitis, yaitu menguraikan, mengklasifikasikan data-data yang terkumpul sesuai
11 P. Joko Syubagya, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1990), h. 95.
dengan tema penelitian dan memaparkannya secara sistimatis disertai dengan
membuat analisis.
Metode penulisan ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Karya
Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), diterbitkan oleh CeQDA Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah.12
E. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, untuk mempermudah memahami dari isi
skripsi ini, maka penulis membagi isi skripsi ini dari lima bab, tiap bab
yang di dalamnya terdiri dari beberapa sub bab. Adapun sistematika sebagai
berikut :
Bab Pertama berisi pendahuluan meliputi, latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metodologi penelitian,
serta sistematika penulisan yang akan dibahas dalam skripsi ini.
Bab Kedua berisi mengenai bahasan umum konsep negara Islam.
Dalam pembahasan umum ini membahas tentang teori Islam serta teori negara.
Dalam pembahasan ini juga aka dipaparkan tentang kontroversi relasi agama dan
negara yang juga terjadi pada lingkup Islam dimana terjadi pendapat pro dan
kontra dari pengaruh agama terhadap negara.
Bab Ketiga berisi tentang Profil Abu Bakar Ba’asyir. Dimulai dari
riwayat hidup serta latar belakang pendidikannya yang membentuk karakter
dalam pemikiran Ba’asyir. Dalam bab ini juga akan dibahas aktifitas sosial
12
Hamid Nasuhi, dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)
(Jakarta: CeQDA Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, 2007). Cet. II
politiknya sampai dengan hasil pemikiran Ba’asyir sebagai penjelasan posisi
agama terhadap negara.
Bab Keempat merupakan inti dan fokus dari skripsi yang membahas
mengenai agama dan negara dalam pemikiran Abu Bakar Ba’asyir. Pembahasan
yang akan diangkat adalah mengenai kritik Ba’asyir terhadap beberapa sistem
negara yang ada seperti sistem sekuler, demokrasi dan nasionalis serta
implementasi hak dan kewajiban di dalam sistem tersebut. Selain itu, akan
dibahas juga bagaimana cara menegakkan dan mendakwahkan dinul Islam serta
usaha Ba’asyir sendiri dalam memperjuangkan dan mengenalkan syariat Islam
khususnya di Indonesia.
Bab Kelima merupakan penutup dan tahap akhir penulisan skripsi,
yang berisi kesimpulan dari permasalahan yang diangkat serta berisikan saran
terhadap apa yang diperjuangkan oleh Ba’asyir.
BAB II
KONSEP NEGARA ISLAM
A. Hubungan Agama dan Negara
Sebelum masuk ke dalam pembahasan agama dan negara, serta perdebatan
diantara tokoh yang menginginkan penyatuan agama terhadap negara dengan
tokoh yang mengkehendaki adanya pemisahan agama dari urusan kenegaraan, ada
baiknya kita mengetahui terlebih dahulu pengertian dari agama serta negara itu
sendiri.
Agama yang berasal dari bahasa Sanskrit, selalu hadir di dalam kehidupan
kita sehari-hari, tidak hanya ada di dalam satu individu namun agama juga hadir
di dalam ruang lingkup kemasyarakatan tak terkecuali juga hadir di dalam ruang
politik.
Agama tersusun dari dua kata, a yang artinya tidak dan gama artinya pergi.
Jadi tetap diam di tempat, diwarisi turun-temurun. Ada lagi pendapat yang
mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci13. Jadi bisa ditarik
kesimpulan disini agama adalah suatu ikatan spiritual serta yang dinamakan
agama memiliki suatu pedoman hidup tersendiri secara tekstual.
Sedangkan di dalam tekstual semit sendiri agama merupakan terjemahan
dari kata din yang artinya undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab kata ini
mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan,
kebiasaan14
. Jadi agama disini adalah suatu peraturan yang dimana orang-orang
13 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. (Jakarta: UI Press 1985), h. 9.
14 Ibid., hal. 9.
yang mengikuti ajarannya harus patuh terhadap aturan yang ada dengan kata lain
terikat oleh hukum agama tersebut.
Sedangkan negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang
kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh
pemerintahan yang berada di wilayah tersebut15
.
Masih dari sumber Wikipedia, negara adalah pengorganisasian masyarakat
yang mempunyai rakyat dalam suatu wilayah tersebut, dengan sejumlah orang
yang menerima keberadaan organisasi ini16
.
Negara ini merupakan suatu wilayah yang dalam menjalankannya seperti
bentuk organisasi yang bertujuan untuk mengakomodir cita-cita anggotanya yang
dalam hal ini adalah rakyat sehingga sampai kepada tujuan bersama. Tujuan
bersama ini kemudian dicantumkan dalam sebuah konstitusi yang disebut juga
dengan undang-undang.
Dalam lingkup perpolitikan, negara adalah satu komunitas politik tersusun
yang menaklukan suatu kawasan dan mempunyai kedaulatan luar dan dalam yang
dapat menguasai monopoli terhadap penggunaan kekerasan yang secara wajar17
.
Menurut Robert M. Mac Iver, yang dikutip dalam buku Ilmu Negara, yang
ditulis oleh Mohammad Kusnadi dan Bintan R Saragih, negara adalah asosiasi
yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu
15 “Negara”, artikel diakses pada 12 Agustus 2009 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Negara. 16
Ibid. 17
“Negara (Politik)”, artikel diakses pada 12 Agustus 2009 dari http://ms.wikipedia.org/wiki/Negara_(politik).
wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu
pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa18.
Masuk ke dalam pembahasan, dalam teori politik yang sudah ada pada saat
ini, hubungan agama dan negara, seperti yang terdapat pada pendahuluan terdapat
dua konsep menurut beberapa aliran, yaitu paham teokrasi, dan paham sekuler.
Agama dan negara menurut konsep teokrasi. Dalam paham ini, agama dan
negara tidak dapat dipisahkan dan senantiasa harus bersatu, kebijakan publik
sepenuhnya ditentukan oleh denominasi agama. Paham ini berawal ketika masa
kekuasaan gereja di Eropa ketika ruang publik diatur oleh gereja melalui para
pimpinan gereja atau pastur-pastur. Pemimpin Gereja ini merupakan wakil-wakil
Tuhan untuk mengatur kehidupan masyarakat di bawah kekuasaan gereja.
Berbagai alasan dikemukakan bahwa pada dasarnya agama selain membawa
peraturan-peraturan bersifat moral yang berisi tuntunan hidup disamping itu
agama juga mengatur tentang cara mengelola suatu masyarakat yang disini bisa
diartikan juga sebagai negara. Menurut Peter Berger yang dikutip oleh Mun’im A.
Sirry, mengatakan bahwa agama sebagai kekuatan “world maintaining” dan
“world shaking”. Dengan dua kekuatan itu, agama mampu melegitimasi atau
menentang kekuasaan dan privilege19.
Teori selanjutnya adalah yang dikemukakan oleh paham sekuler. Paham
ini mengatakan bahwa agama tidak dapat mencampuri urusan negara. Paham ini
juga menjelaskan bahwa negara merupakan urusan manusia dengan manusia lain
atau segala urusan keduniaan, sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan
18
Moh Kusnadi & Bintan R Saragih, Ilmu Negara (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), h. 57. Cet IV.
19 Mun’im A. Sirry, Membendung Militansi Agama: Iman dan Politik dalam Masyarakat
Modern (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 64.
Tuhan. Dari teori tersebut sudah dapat dijelaskan bahwa segala urusan dunia
merupakan urusan manusia tidak dapat disatukan oleh agama.
Pemisahan ini dimaksudkan untuk menjaga keutuhan nilai-nilai agama itu
sendiri sebagai penjaga moral manusia. Apabila agama masuk dalam urusan
negara maka dikhawatirkan akan tejadi suatu gesekan dari agama minoritas
terhadap agama mayoritas yang menginginkan adanya pelaksanaan hukum yang
sesuai dengan ajaran agama mayoritas. Namun walaupun adanya pemisahan
antara agama dan negara di dalam paham ini, negara sekuler tetap membebaskan
warga di negara tersebut memeluk agama sesuai dengan keyakinannya dan negara
tidak mengintervensi hal tersebut.
Dari kedua teori tersebut dapat disimpulkan bahwa ada posisi yang tegas
terhadap posisi agama dan negara. Namun diluar kedua teori itu ada teori yang
menyatakan bahwa agama dan negara saling berhubungan. Teori ini adalah teori
agama dan negara yang simbiotik. Kelompok ini menolak terdapatnya aturan-
aturan di agama yang dapat diselaraskan ke dalam sistem pemerintahan. Namun
kelompok ini juga menolak pemahaman bahwa agama hanya suatu hubungan
personal antara Tuhan dan makhlukNya secara individu.
Agama memerlukan negara untuk berkembangnya agama itu sendiri
demikian juga negara yang memerlukan agama yang dapat berkembang dalam
ruang etika dan moral.
B. Relasi Agama dan Negara dalam Islam
Masuk ke dalam lingkup perspektif Islam, relasi agama dan negara sudah
banyak didebatkan oleh para pemikir Islam sejak dahulu. Mereka memiliki
argumen sendiri dalam mengeluarkan ide tentang relasi agama dan negara yang
dalam hal ini bisa dikatakan juga tentang relasi Islam dan politik.
Berbagai ragam pemikiran ini jika dilihat memiliki satu tujuan yaitu
bagaimana Islam dapat berkembang dengan baik di dalam kehidupan masyarakat
yang di aplikasikan di dalam kehidupan sehari-hari baik itu pada lingkup sosial,
politik, hukum dan sebagainya. Namun cara untuk mencapai tujuan tersebut
masing-masing pemikir Islam memiliki pandangan tersendiri, ada yang memiliki
pendapat bahwa kehidupan Islami dapat berjalan jika Islam masuk ke dalam
tatanan politik atau negara sehingga negara dapat berjalan sesuai dengan ajaran-
ajaran Islam.Kehidupan negara yang diatur oleh Islam ini masuk ke dalam suatu
aturan yang disebut syariah, dengan masuknya syaiah ke dalam politik maka
diaharuskan berjalan sesuai dengan aturan-aturan yang sudah diatur oleh Islam.
Munawir Sjadzali dalam bukunya, Islam dan Tata Negara, melihat dalam
perkembangan umat Islam terdapat tiga aliran hubungan antara Islam dan
ketatanegaraan. Aliran pertama berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata
agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara
manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah satu agama yang sempurna dan yang
lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk
kehidupan bernegara. Aliran kedua, berpendirian bahwa Islam adalah agama
dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan.
Aliran ketiga, menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba
lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Tetapi aliran ini
juga menolak anggapan Barat yang hanya mengatur hubungan antara manusia dan
Maha Penciptanya. Aliran ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat
sistem ke-tata negara-an tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan
bernegara20.
Pemikir yang kontra terhadap pendapat tersebut memiliki alasan tersendiri
bahwa Islam tidak boleh ikut masuk ke dalam sistem ke-tata negara-an karena jika
Islam masuk ke dalam wilayah itu dikhawatirkan Islam hanya dijadikan alat
legitimasi untuk mencapai kekuasaan tertentu dengan mengabaikan aturan ke-tata
negara-an yang sudah baku, hal ini dikhawatirkan apabila Islam dipaksakan
masuk ke dalam lingkup politik maka akan terjadi konflik sosial yang tidak dapat
dihindarkan, dan hal ini membawa dampak buruk bagi kehidupan di dalam suatu
negara.
Khusus pengikut paham Modernis, Marxis, atau Sekularis menyatakan
bahwa hubungan antara agama dan politik adalah hubungan yang saling
bertentangan. Agama merupakan bersumber dari Tuhan dimana bersifat sakral
dan suci, sedangkan politik bersumber dari manusia yang sifatnya kotor dan
kejam.
Alasan tersebut adalah untuk memisahkan agama yang dasarnya saling
melengkapi. Mereka menginginkan berjalannya akidah tetapi tanpa adanya
syariat, ibadah tanpa adanya muamalah, atau dunia tanpa agama. Hal ini membuat
dampak negatif bahwa politik yang berkembang sesuai zaman secara tidak
langsung melihat juga bahwa agama bersifat stagnan yang tidak bisa mengikuti
perkembangan zaman, dengan alasan bahwa adanya pembaharuan merupakan
bid’ah yang sesat.
20
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI-
Press, 1993), h. 1.
1. Pandangan Tokoh Kontra Negara Islam
Pemisahan agama dan negara terjadi di dunia Islam untuk pertama kalinya
terjadi pada saat Revolusi Turki 1920-1924. Pada saat revolusi itu, generasi muda
Turki mulai mengambil alih pemerintahan Ustmani serta memaksa Raja
Abdulhamid untuk memulihkan konstitusi serta membentuk parlemen.
Pergerakan yang disebut sebagai nasionalisme Turki kemudian membuat
para pendukung Ustmani mulai berfikir sekuler. Dasar pemikiran ini pertama kali
dikemukakan oleh Ziya Gokalp. Dia mengusulkan pemisahan agama dari negara
atas dasar teori Durkheim tentang evolusi sosial21
.
Gokalp tidak sepenuhnya berpikiran sekuler, menurutnya agama masih
memiliki peran penting untuk mempersatukan patriotisme yang mempersatukan
umat manusia. Walaupun syariat tidak perlu diubah peraturan sosial haruslah
berkembang sesuai dengan perkembangan masyarkat.
Turki kemudian mulai mengalami pemindahan kekuasaan dari kedaulatan
Sultan-Khalifah menjadi perwakilan terpilih negara Turki. Kemenangan
peperangan Turki ini tidak lain adalah karena dari kesuksesan militer Mustafa
Kemal. Saat itu legitimasi politik kemudian dialihkan dari Sultan ke Dewan.
Kemal dan pendukungnya kemudian ingin membuat satu tatanan baru di
dalam negeri Turki dimana kedaulatan sepenuhnya berada di tangan rakyat Turki.
Namun, hal ini mendapat suatu hambatan karena pada saat itu masih ada Mehmet
VI, yang walaupun dalam posisi lemah tetapi Khalifah ini memiliki perkenalan
yang cukup luas di imperium Ustmani dan juga pemimpin agama umat Islam yang
sah. Para kelompok konservatif agama juga memberikan tumpuan dukungan
21
Anthony Black, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, terj, Abdullah Ali & Mariana Ariestawati (Jakarta: Serambi, 2006), h. 561. Cet. I
dalam suatu ijtihad.
harus
sesuai
dengan
kepada Mehmet VI untuk menghindari adanya cita-cita baru yaitu membentuk
pemerintahan republik.
Namun, atas dasar pendeklarasian Majelis di Turki menyatakan bahwa
kedaulatan berada di negara dan menjadi satu-satunya wakil yang sebenarnya
memegang kekuasaan legislatif serta eksekutif. Kemal melandasi aksinya
sebagian atas prinsip bahwa legitimasi pada akhirnya tergantung pada kekuasaan
de facto22
. Pada saat itu Majelis menghapus kesultanan dan kemudian menjadi
suatu negara yang republik.
Kekhalifahan dihapus karena menurut Majelis Nasional, kekhalifahan ini
bukanlah terbentuk atas dasar inisiatif nabi, melainkan hanya disimpulkan dari
usulan-usulan individu yang terdapat Majelis juga
mengatakan bahwa bentuk pemerintahan perkembangan
zaman. Hal ini banyak mendapatkan pertentangan dari banyak ulama bahwa
pemisahan agama dari wilayah politik merupakan suatu sifat yang bid’ah.
Menurut ulama kekhalifahan merupakan kepemimpinan umum dalam urusan
agama dan dunia.
Banyak pendapat yang kontra terhadap masuknya Islam pada lingkup
politik atau negara. Ziauddin Sardar mengatakan bahwa apabila negara-negara
Muslim berusaha menerapkan atau memaksakan pelaksanaan syariah, maka
kontradiksi yang secara inherent melekat dalam proses formulasi dan
perkembangan fiqh akan muncul ke permukaan23.
Sardar mengkhawatikan bahwa bila syariah dipaksakan masuk maka yang
terjadi adalah adanya pemaksaan dalam hal kekuasaan dengan menggunakan
22
Ibid., h. 563. 23
Ziauddin Sardar, Islam Tanpa Syariat: Menggali Universalitas Tradisi (Jakarta:
Grafindo, 2005), h. 19.
tameng syariah tersebut. Pemberlakuan ini dijadikan oleh penguasa tertentu untuk
menjalankan negara secara totaliter yang memungkinkan penguasa melakukan
kontrol penuh atau melakukan arbitrasi terhadap rakyatnya. Pemahaman syariah
yang baku ini akan menjadikan rakyat memiliki pemikiran yang sempit dan tidak
dapat melakukan suatu kajian ulang terhadap syariah ini yang seharusnya syariah
dapat dijadikan suatu sumber untuk mengkaji lebih dalam lagi terhadap kajian Al-
Quran dengan pandangan yang baru yang sesuai dengan kehidupan yang plural
ini.
Sama halnya dengan pendapat dari pemikir Islam kontemporer Ali Abdul
Raziq, seperti yang dikutip oleh Saidiman, Menurut Raziq, tidak ada satupun ayat
Al-Qur’an yang menyatakan satu bentuk pemerintahan atau sistem politik Islam.
Yang ada hanyalah ungkapan-ungkapan mengenai posisi Muhammad sebagai
pembawa risalah. Raziq kemudian mengutip sejumlah dalil yang menunjukkan
bahwa Muhammad hanyalah pembawa risalah, dan tidak memiliki otoritas untuk
melakukan pemaksaan. Dengan tidak adanya paksaan, maka sesungguhnya
Muhammad tidak menunjukkan otoritas politik yang ada dalam doktrin agama.
Kekuatan pemaksa hanya milik otoritas politik dan bukan otoritas agama24
.
Abdul Raziq mengkritik sistem pemerintahan Islam yang dalam hal ini
adalah sistem khilafah. Menurutnya, di dalam Al-Qur’an tidak ada peraturan yang
mengharuskan negara didirikan dengan sistem khilafah dan Raziq kemudian
memberikan contoh bahwa Nabi Muhammad di masanya juga tidak
mengharuskan pengikut setelahnya menggunakan sistem pemerintahan sesuai apa
yang dilakukan olehnya, karena kondisi pada saat itu berbeda pada kondisi ketika
24
Saidiman, “Ilusi Khilafah Islam,” artikel diakses pada 12 April 2009 dari
http://islamlib.com/id/artikel/ilusi-khilafah-islam/.
masa sepeninggal Nabi Muhammad terutama pada saat ini. Nabi Muhammad
bukanlah sebagai penyebar risalah negara Islam, melainkan hanya pembawa
risalah agama.
Khilafah adalah skenario dari politik bukan dari agama. Agama tidak
menentang atau mendukung berbagai sistem pemerintahan melainkan sebagai
peninggalan untuk kita untuk mengatur sesuai dengan kaidah politik. Kenegaraan
diserahkan kepada kita yang dikembangkan melalui akal dan rasionalitas serta
pengalaman manusia untuk mencari jalan yang terbaik.
Ide tentang negara Islam juga di kritik oleh Munawir Sjadli. Menurutnya
tidak ada keharusan bagi umat Islam untuk mendirikan negara Islam.
Memperjuangkan politik Islam, menurutnya hanyalah untuk memformalkan
agama dalam birokrasi kenegaraan dan hal itu justru akan menimbulkan
ketegangan yang panjang antara umat Islam dan pemerintah.
Pemaksaan agama (Islam) di dalam pemerintahan justru akan membawa
dampak buruk terhadap agama itu sendiri. Hakikat agama untuk membawa
keharmonisan hidup justru tidak ada sama sekali melainkan adanya perselisihan
dari pihak lain untuk melegalkan pahamnya juga masuk ke dalam lingkup
birokrasi.
Nurcholis Madjid atau Cak Nur memiliki pendapatnya sendiri. Ide tentang
negara Islam dilakukan pendekatan tentang masyarkat madani. Menurutnya,
kepemimpinan Nabi Muhammad pada kota Yastrib dituangkan dalam “Piagam
Madinah” dan isi piagam tersebut sama halnya dengan konsep masyarakat
madani, yang memiliki ciri egalitarianisme, penghargaan kepada orang
berdasarkan prestasi (bukan kesukuan, keturunan, ras dan sebagainya),
keterbukaan (partisipasi seluruh anggota masyarakat aktif), penegakan hukum dan
keadilan, toleransi dan pluralisme serta musyawarah. Sesuai pada kondisi saat ini
di dunia yang didalamnya terdapat berbagai macam karakter individu dengan latar
belakangnya baik itu suku, ras agama seharusnya umat Islam memikirkan
bagaimana mengakomodasi semua pihak untuk dapat hidup secara bersama
dengan menggunakan asas yang disepakati semua pihak.
Hal ini dapat terwujud jika umat Muslim terbuka. Menurut Nurcholish
seperti yang dikutip Bahtiar Effendi, mengatakan usaha ini hanya dapat dicapai
apabila kaum Muslim memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi untuk
membiarkan gagasan-gagasan apapun, betapapun tidak konvensionalnya gagasan-
gagasan itu, untuk dikemukakan dan dikomunikasikan secara bebas25
.
Kensep negara Islam, dalam pandangan Nurcholis, adalah suatu distorsi
hubungan proposional antara negara dan agama. Negara, menurutnya, adalah
salah satu segi kehidupan duniawi, yang dimensinya adalah rasional dan kolektif.
Sedangkan agama adalah aspek kehidupan lain yang berdimensi spiritual dan
pribadi26
.
Nurcholis secara tegas mengatakan, walaupun agama dan negara dapat
disatukan namun hal itu harus dibedakan dalam dimensinya serta pendekatannya.
Agama tidak dapat masuk ke ruang politik jika kondisinya tidak memungkinkan
untuk hal itu.
Pemikir terkemuka dari Sudan, Abdullahi Ahmed An-Na’im, memiliki
pendapat tentang pemisahan agama (yang lebih membicarakan tentang syariat)
25
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 137.
26 Nurcholish Madjid, Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam
Indonesia, dalam Islam Kemodernan dan KeIndonesiaan (Bandung: Mizan, 1998), h. 224. Cet. XI.
terhadap negara. Alasan An-Na’im memisahkan disini bukanlah untuk meletakan
posisi agama atau syariat ke ruang publik yang sempit. Pemisahan ini dilakukan
dengan diiringi pengawasan terhadap politik Islam sehingga syariat dapat di
usulkan menjadi suatu undang-undang yang An-Naim sebut melalui public reason
(pemikiran umum).
An-Naim menolak syariat hadir di dalam negara yang dipaksakan. Syariat
harus dijalankan oleh umat Muslim secara sukarela tanpa ada pemaksaan untuk
menerapkannya. Pemaksaan dikhawatirkan akan membawa dampak buruk
terhadap nilai kesucian terhadap syariat tersebut disamping juga pemaksaan sama
saja tidak menghormati terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia.
An-Naim mengatakan, ingin mengadvokasi prinsip pemisahan
kelembagaan antara Islam dan negara, namun dengan tetap mempertahankan
hubungan antara Islam dan politik, melalui apa yang disebut sebagai public
reason. Prinsip ini memungkinkan penerapan prinsip-prinsip Islam dalam
kebijakan publik secara legitimate, namun tetap tunduk kepada prinsip-prinsip ke-
tata negara-an yang berlaku, serta menjamin kesetaraan hak setiap warga negara
tanpa membedakan agama, ras, suku, gender, dan ideologi27
.
Bagi An-Naim, pemisahan agama atau syariat ini semata-mata untuk
memberikan kebebasan kepada umat untuk mendukung, menolak, mendiskusikan
atas prinsip-prinsip agama.
27 Wawancara Fathuri SR dan Agus Setia Budi dengan An-Naim. Artikel diakses pada 3
Maret 2009 dari http://www.csrc.or.id/wawancara/index.php?detail=070308053014.html.
2. Pandangan Tokoh Pro Negara Islam
Lain pemikir Islam yang kontra terhadap ide tentang negara Islam lain
juga alasan bagi pemikir Islam yang pro terhadap ide negara Islam. Pemikir Islam
yang pro terhadap negara Islam memiliki alasan tersendiri bahwa mendirikan
negara Islam merupakan suatu kewajiban bagi kaum Muslim, karena dengan
mendirikannya akan membawa suatu rahmatan lil alamin bagi masyarakatnya
sesuai dengan hakikat Islam itu sendiri.
Tokoh pemikir Islam yang juga pada masa klasik yaitu Ibnu Taimiyah
adalah salah satu yang mempunyai gagasan mengenai penyatuan agama di dalam
lingkup negara. Bagi Ibnu Taimiyah, perihal pemimpin negara, seseorang yang
diangkat sebagai pemimpin harus betindak amanah terhadap pihak yang berhak
atasnya dan bagi rakyatnya harus bersikap patuh selain kepada pemimpin juga
patuh terhadap Allah serta Rasul. Ibnu Taimiyah juga mengharuskan negara untuk
melaksanakan hukum-hukum pidana hak Tuhan, seperti hukuman bagi pencuri,
penzina dan sebagainya. Jika di dalamnya terdapat perbedaan pendapat diantara
mereka maka segala permasalahan tersebut dikembalikan kepada al-Quran dan
Sunnah. Oleh karena itu para pemimpin negara. Seperti yang dikutip oleh
Munawir Sjadli, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa, para penguasa harus
menegakkan dan melaksanakan hukuman hak Allah itu, meskipun tidak ada
pengaduan dari siapa pun, oleh karena hukuman tersebut telah jelas digariskan
dalam Al-Quran28
.
Pengaruh agama terhadap negara yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah
tersebut juga menyinggung posisi dari kepala negara. Menurut Ibnu Taimiyah,
28Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 87.
kepala negara adalah perwakilan dari Tuhan, pemimpin negara memerintah
dengan kewenangannya yang diberikan oleh Tuhan.
Ibnu Taimiyah sangat menginginkan keadilan pada suatu negara, menurut
Ibnu Taimiyah, masih dalam buku tulisan Bahtiar Effendi, beranggapan, bahwa
kepala negara yang adil meskipun kafir adalah lebih baik daripada kepala negara
yang tidak adil meskipun Islam29
.
Tokoh filsuf Muslim besar yang juga hidup pada zaman klasik, al-Ghazali,
berpendapat bahwa negara tidak terlepas dari agama. Ghazali lebih menyorot
masalah pemimpin dalam suatu negara. Menurut Ghazali, bahwa pemimpin itu
merupakan kembaran dari Tuhan. Keberadaan pemimpin harus ada untuk
mengharmoniskan hidup negara. Pemimpin merupakan titah dari Tuhan yang
dimana para pengikutnya tidak boleh menentang atau melawan.
Al-Maududi memiliki pendapat dimana agama harus masuk ke dalam
lingkup politik. Tokoh yang juga salah satu pendiri negara Pakistan ini
mengharuskan umat Muslim untuk kembali kepada dua sumber Al-Qur’an dan
Hadis, termasuk dalam menjalankan kenegaraan. Maududi melihat bahwa umat
Muslim harus menjalankan pemerintahannya sesuai dengan apa yang dilakukan
pada masa Nabi Muhammad memimpin Yastrib. Sesuai apa yang dikutip oleh
Munifah Syanwani, Maududi tidak menerima sistem pemerintahan yang sedang
dijalankan pada zaman modern ini, ia selalu memperjuangkan simbol Islam,
bahwa Islam harus diterapkan sebagai dasar negara karena menurutnya
didirikannya suatu negara adalah sebagai manifestasi dan misi besar Islam dan ia
pun menolak demokrasi yang berpaham kedaulatan rakyat, maka sebagai
29Ibid., h. 89.
alternatifnya ia menawarkan sistem kekhalifahan dengan paham kedaulatan
Tuhan, manusia harus tunduk pada aturan Tuhan karena manusia hanya
merupakan wakil Allah di muka bumi30.
Terkait dengan kepemimpinan, bagi Maududi pemimpin harus dapat
menjalankan negaranya sesuai dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, hukum
negara atau undang-undang harus sesuai dengan syariat Islam secara utuh tanpa
ada Ijtihad lagi. Maududi menilai bahwa Islam memberikan sistem yang sesuai
dengan perkembangan zaman.
Maududi menawarkan sistem pemerintahan yang disebut dengan “Teo-
demokrasi”, yaitu sistem pemerintahan demokrasi ilahi. Eksekutif yang terbentuk
berdasarkan sistem pemerintahan semacam ini dibentuk berdasarkan kehendak
umum kaum Muslim yang juga berhak untuk menumbangkannya31
.
Dari sistem Teo-demokrasi itu, segala macam masalah pemerintahan yang
tidak diatur dalam syariah dapat diselesaikan dengan cara konsensus, jadi bagi
umat Muslim yang memiliki ilmu yang tinggi dan dapat berfikir sehat diberikan
wewenang untuk menafsirkan hukum Tuhan jika dianggap perlu.
Juga Teokrasi dalam arti bahwa apabila terdapat perintah-perintah atau
hukum yang telah jelas dan terang-terangan dari Tuhan atau Rasul-Nya, maka tak
seorang pun, atau tak satupun lembaga legislatif, yang berhak untuk
30Munifah Syanwani, “Perbandingan Pemikiran Politik Islam Abul A'la Al-Maududi
dengan Pemikiran dan Gerakan Partai Bulan Bintang di Indonesia (Politik dan Hubungan
Internasional di Timur Tengah),” artikel diakses pada 3 Maret 2009 dari http://www.digilib.ui.ac.id/abstrakpdf/78204.pdf?file=abstrak-78204.pdf.
31 Abul A’la al-Maududi, Hukum & Konstitusi: Sistem Politik Islam, terj. Asep Hikmat
(Bandung: Mizan, 1993), h. 160.
melaksanakan pertimbangan secara mandiri, sekalipun seluruh Muslim disegenap
penjuru dunia mencapai sepakat bulat untuk mengubahnya32.
Allah memberikan batasan-batasan terhadap ruang gerak manusia, bukan
untuk mengekang dan menciptakan diskrimanasi terhadap hak-hak manusia,
melainkan batasan-batasan ini yang Maududi sebut sebagai ‘Batas-Batas Ilahi’
(Hudud-Allah), memberikan binaan kepada manusia untuk berlegislasi dengan
peraturan-peraturan bagi kegiatannya.
Maududi menjelaskan tujuan negara Islam yang berasal dari konsepsi
Allah melalui Al-Qur’an bersifat positif. Tujuan negara tidak hanya mencegah
rakyat untuk saling memeras untuk melindungi kebebasan mereka dan melindungi
seluruh bangsanya dari invasi asing. Negara ini juga bertujuan untuk
mengembangkan sistem keadilan sosial yang berkeseimbangan yang telah
diketengahkan Allah dalam kitab suci Al-Qur’an33.
Jelas menurut Maududi bahwa negara Islam secara menyeluruh bertujuan
untuk melindungi masyarakat yang dinaunginya baik dari konflik internal diantara
masyarakat maupun dari serangan-serangan musuh diluar masyarakat yang
dinaungi cahaya Islam itu.
Islam juga memberikan hak-hak tertentu bagi non-Muslim. Hak-hak non
Muslim merupakan salah satu hak yang harus diperhatikan bagi umat Islam. Non
Muslim yang hidup di negara muslim harus diberikan perlindungan. Non Muslim
itu sendiri adalah bagi mereka yang telah memberikan perjanjian kepada negara
Islam. Hak-hak non Muslim itu sendiri harus dihormati dan sama kedudukannya
di muka hukum.
32
Ibid., h. 160. 33
Abul A’la Maududi, Sistem Politik Islam Hukum dan Konstitusi, terj. Asep Hikmat (Bandung, Mizan, 1998), h. 166. Cet 6
Negara Islam tidak boleh mencapuri hak-hak pribadi non-Muslim, yang
memiliki kemerdekaan penuh untuk menganut dan meyakini serta memiliki
kebebasan untuk melakukan ritual-ritual serta upacara-upacara keagamaan mereka
menurut caranya sendiri34. Maududi juga mengatakan bahwa non-Muslim tidak
hanya diberikan kebebasan untuk beribadah di wilayah Islam, melainkan mereka
berhak untuk mengkritik Islam dalam batas-batas yang ditetapkan oleh hukum dan
kesusilaan.
Oleh karena itu negara Islam ini bersifat universal tidak hanya berlaku
bagi masyarakat Muslim. Negara Islam ini menghapus kebebasan pribadi dan
sifatnya yang rahasia. Negara Islam memberikan solusi bagi sektor kehidupan dan
kegiatan masyarakat sehingga tercipta suatu kehidupan yang sejalan dengan
norma-norma moral. Negara Islam dengan ciri menghapus hal-hal privat bukanlah
persamaan dari sifat negara fasis ataupun komunis, negara Islam juga bukan
negara yang otoriter. Pada perjalanannya negara Islam dengan batasan-batasannya
ini akan dapat menghapus sifat kediktatoran. Sehingga akan sejalan dengan cita-
cita membangun suatu kesejahteraan dan keseimbangan hidup yang mencakup
semua sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Dalam negara Islam, al-Maududi mengatakan bahwa kedaulatan tertinggi
ada di tangan Tuhan. Dengan tetap mengingat prinsip-prinsip ini jika kita
mengamati posisi orang-orang yang diturunkan untuk menegakkan Hukum Tuhan
di bumi, wajar jika dinyatakan mereka dianggap sebagai wakil-wakil dari
penguasa tertinggi35.
34 Abul A’la Maududi, Hak-hak Asasi Manusia dalam Islam, terj. Bambang Iriana Djaatmadja (Jakarta, Bumi Aksara, 1995), h. 98. Cet. I
35 Maududi, Sistem Politik Islam Hukum dan Konstitusi, h. 168.
Maududi beralasan bahwa Islam sendiri menggunakan istilah kekhalifahan
bukan kedaulatan, oleh karena itu, bagi siapapun yang memegang kekuasaan dan
siapapun yang memerintah dengan berpegang teguh pada hukum Tuhan pasti
merupakan khalifah dari penguasa tertinggi, yang dalam hal ini Allah, dan
berwenang pada kekuasaan-kekuasaan yang telah dipercayakan rakyat kepadanya.
Kekhalifahan inilah yang Maududi sebut demokrasi Islam, karena semua
individu dapat menikmati hak-hak dan kekuasaan kekhalifahan dari Tuhan. Oleh
karena itu setiap individu berhak memimpin sebagai khalifah atas rakyat yang
dipimpinnya, pemimpin disini bukanlah yang berdaulat melainkan sebagai wakil
Tuhan. Maududi membedakan demokrasi Islam dengan demokrasi Barat. Dalam
demokrasi Barat, rakyatlah yang berdaulat, dalam Islam kedaulatan berada di
tangan Tuhan dan rakyat adalah khalifah-Nya atau wakil-Nya. Dalam demokrasi
Barat rakyat yang membuat hukumnya sendiri, dalam demokrasi Islam rakyat
harus mentaati dan mematuhi hukum (syari’ah) yang diberikan Tuhan melalui
Rasul-Nya36
.
Masih banyak lagi Maududi membahas akan adanya hak-hak manusia
yang diperhatikan oleh Islam. Negara Islam memberikan hak-hak yang luas
kepada setiap individu, tidak ada hak istimewa bagi siapapun untuk menjadi
penguasa. Siapapun dengan prestasinya berhak atas kekuasaan yang dicapainya.
Bagi pemegang kekuasaan akan diminta pertanggung jawabannya yang telah
mendelegasikan sebagai khalifah bagi rakyat. Di dalam negara Islam hak-hak
manusia juga diperhatikan secara baik, seperti bagi pria dan wanita yang telah
cukup umur diberikan kebebasan berpendapat karena pada dasarnya bahwa setiap
36 Maududi, Hak-hak Asasi Manusia dalam Islam, h. 3
individu adalah penjelasan dari kekhalifahan. Artinya setiap individu berhak
untuk menyuarakan pendapatnya terhadap jalanya kekhalifahan sebagai salah satu
berjalannya sifat kontrol sosial.
Sebagai tokoh politik di Indonesia, Muhammad Natsir memiliki gagasan
bahwa umat Islam haruslah ikut terjun ke dunia politik, karena dalam menjayakan
Islam menurut Natsir tidak terlepas dari memperjuangkan masyarakat, negara dan
memperjuangkan kemerdekaan.
Natsir menggunakan kekuatan politik dan dakwahnya secara berimbang
dalam mensyiarkan Islam. Bagi Natsir, menyebarkan dakwah Islam tidak akan
mungkin berjalan tanpa ada kekuatan dan kemauan politik yang dalam hal ini
adalah kekuasaan, karena antara kekuasaan dan dakwah tidak dapat dipisahkan.
Natsir dengan tegas menolak asas Pancasila, seperti kritiknya terhadap
Soekarno yang menolak mendirikan negara yang didasarkan Islam, Natsir
mengatakan bahwa untuk dasar negara, Indonesia hanya mempunyai dua pilihan,
yaitu sekularisme (la diniyah) atau paham agama (Dini)37
.
Menurut Dhiauddin Rais, mendirikan negara Islam adalah sutau kewajiban
karena mendirikan negara Islam merupakan hak Allah dan juga hak umat, karena
pada hakikatnya Islam mencakup urusan-urusan materi dan ruhani serta manusia
dalam perbuatannya di dunia dan akhirat.
Rais mengkonsepkan pendirian negara Islam dengan istilah khalifah sama
dengan konsep imamah. Pendirian negara Islam ini merupakan hal yang
fundamental dilakukan oleh mayoritas umat Islam, menegakkan imamah ini
37
Muhammad Natsir, Agama dan Politik Capita Selecta II (Jakarta: Pustaka Pendis, 1985), h. 12.
merupakan hal yang paling penting dan merupakan penerapan hukum yang sangat
mulia.
Hakikat kekhalifahan adalah usaha untuk mendirikan negara Islam dan
menjaga kebersinambungannya. Negara Islam adalah negara yang berdiri atas
dasar agama Islam, negara yang melaksanakan syariat Islam yang bertugas
menjaga tanah-tanah negara Islam, membela penduduk negara Islam dan berusaha
menyebarkan misi Islam di dunia38
.
Umat dalam sistem Islam adalah suatu kumpulan yang disatukan bukan
oleh ikatan kesatuan tempat, darah atau bahasa. Tujuan sistem Islam disamping
mencakup tujuan-tujuan duniawi juga membidik tujuan-tujuan rohani, bahkan
tujuan-tujuan rohani itu adalah tujuan yang utama dan mendasar, serta yang paling
tinggi39
.
Dhiauddin Rais mengatakan bahwa dalam suatu keimamahan, pemimpin
tidak dapat menjalankan pemerintahannya secara sendiri-sendiri. Bukan hanya
adanya ada satu kontrak di dalam suatu negara. Adanya suatu imam yaitu
berperan dalam menciptakan kontrak lain untuk membantu tugas dari
kepemimpinan.
Tugas suatu negara tidak dapat dilakukan secara sendirian, harus ditunjuk
wakil pelaksana dengan kontrak juga. Kontrak-kontrak ini haruslah mempunyai
dasar hukum yang kuat, memiliki kedudukan yang sama, memiliki tujuan
tersendiri. Oleh karena itu pentingnya kontrak-kontrak ini disamping kontrak
pertama.
Cet. I
38 M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 163.
39
Ibid., h. 310
Pada dasarnya sebuah negara adalah terdiri dari beberapa kontrak yang
berjalan bersama dalam menjalani aktifitas pemerintahan. Pemimpin dan kontrak
sosial ini haruslah ada hubungan langsung dengan rakyat. Dengan adanya hal
tersebut, pemimpin dapat memberikan tanggung jawab kepada masyarakat
sebagai penghubung dengan lembaga-lembaga lainnya yang menjalankan
pemerintahan.
Mengenai hak dan kewajiban, hak privat harus tunduk kepada hak-hak
umum. Semua hak seseorang pasti berkaitan dengan hak Allah. Oleh karena itu,
hak yang menggabungkan kepentingan umum ini sejalan dengan kemashlahatan
pribadi. Menurut Dhiauddin, yang memberlakukan hak-hak dalam Islam ini
hanyalah Allah. Di dalam Islam kewajiban berporsi lebih banyak daripada hak.
Barangsiapa yang tidak menjalankan kewajiban ini dipandang tidak taat kepada
Allah yang selanjutnya dinamakan oleh Islam sebagai dosa besar, namun secara
prinsip tidak keluar dari ke Islamannya.
Selanjutnya menurut Dhiaudin, Islam juga memandang kesamaan hukum
bagi masyarakat umumnya. Persamaan di sini terletak dalam kata “adil”. Makna
asli dari kata “adil” dalam tinjauan etimologinya berarti: persamaan dalam
bermuamalah. Secara tidak langsung seruan Islam pada prinsip keadilan dan
berkonsekuensi melaksanakannya adalah menyeru pada “persamaan”40
.
Adil menurut Dhiauddin adalah persamaan orang di mata hukum, secara
muamallah, orang Islam harus sama dimata hukum, terkecuali oleh orang-orang
non Islam yang memiliki aturan tertentu dalam menjatuhkan suatu hukuman.
Untuk menjalankan suatu keadilan ini, semua orang harus dipandang sama,
40 Ibid., h. 269.
sederajat dalam pandangan, berkeadilan di dalam majelis sehingga tidak ada
orang-orang yang berkedudukan meminta suatu keringanan hukuman.
Mengenai kepemimpinan, unsur tanggung jawab harus dijadikan dasar
dalam pemerintahan Islam. Selama pemimpin selalu berpegang teguh kepada
aturan Islam dan perintah Allah, menjaga keadilan, melaksanakan proses hukum
secara adil, serta menjaga amanat kepemimpinannya, maka selama itu pemimpin
bisa dikatakan sebagai imam yang adil, dan selama itu juga rakyat harus patuh dan
taat serta mendukung kepada imam tersebut.
Rakyat yang memberontak terhadap imam yang adil, Islam
mengkategorikan sebagai perbuatan makar. Makar atau al-bagyu adalah, tindakan
sekelompok orang yang memiliki kekuatan untuk menentang pemerintah,
dikarenakan terdapat perbedaan paham mengenai masalah kenegaraan41
.
Jika masyarakat ingin mengkritik imam yang tidak lagi menjalankan
amanahnya sebagai pemimpin, rakyat dapat melakukannya dengan cara memberi
masukan berupa nasihat. Memberikan nasihat adalah salah satu kewajiban rakyat
terhadap pemimpinnya, setidaknya itulah pendapat dari Dhiauddin Rais tentang
bagaimana cara rakyat menyampaikan kritikan kepada pemimpin yang tidak lagi
menjalankan apa yang diamanahkan untuk menjalankan pemerintahan.
Yang terakhir, Dhiauddin menyampaikan perbedaan sistem pemerintahan
Islam dengan sistem demokrasi. Pertama, perbedaan mengenai arti rakyat. Dalam
sistem demokrasi, yang dimaksud rakyat hanya terbatas kepada satu wilayah, satu
ras yang cenderung berada di dalam kelompok kecil yang memiliki fanatisme
sempit. Berbeda dengan rakyat dalam arti Islam, rakyat memiliki arti yang lebih
41 Fatchul Barri, “Sanksi bagi Pelaku Makar dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Positif,” artikel diakses pada tanggal 22 Juli 2009 dari http://digilib.uin-
suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=digilib-uinsuka--fatchulbar-1580.html
luas yang tidak hanya dibatasi oleh wilayah kecil saja, kesatuan rakyat ini diikat
dalam satu akidah. Walau itu berbeda ras, suku, namun memiliki pandangan
akidah yang sama, maka ia adalah warga negara Islam.
Kedua, Dhiauddin mengkritik sistem demokrasi yang hanya
mementingkan dunia atau materi. Tujuan dari sistem demokrasi diwujudkan
dalam memberikan kebutuhan-kebutuhan bagi rakyat dengan materi, menambah
pendapatan dan berbagai macam lainnya yang memiliki sifat dalam pemenuhan
fisik saja. Berbeda dengan Islam, disamping dalam pemenuhan kebutuhan
duniawi, Islam juga memiliki tujuan memenuhi kebutuhan rohani dan kebutuhan
ini menjadi kebutuhan yang utama.
Ketiga, rakyat memiliki kekuasaan mutlak, rakyat berhak dengan
sepenuhnya membuat dan menghapus undang-undang, keputusan-keputusan dari
mejelis harus dilaksanakan walau secara menyeluruh hal tersebut dapat
membahayakan kelangsungan nilai-nilai moral maupun manusia.
Berbeda dengan Islam, kekuasaan rakyat tidak bisa dijalankan penuh
karena ada syariat yang ikut mengaturnya. Syariat ini bertujuan untuk membatasi
gerak rakyat bila ada suatu keputusan yang melebihi nilai-nilai norma sosial dan
agama secara keseluruhan. Rakyat tidak dapat melampaui batas dari ajaran Allah
yang tertuang di dalam Al-Quran maupun hadits. Umat dalam Islam - atau jika
mau dapat dikatakan dalam demokrasi Islam - harus berpegang pada aturan
akhlak, dan terikat dengan perinsip-prinsipnya42
. Bisa ditarik kesimpulan jika
Islam memberikan kebebasan bagi umat untuk menjalankan pemerintahan dengan
melihat kepada batasan-batasan dari ajaran Allah, yang tidak lain untuk menjaga
42 M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, h. 311
penyimpangan yang mungkin dilakukan dan semua keputusan yang melampaui
batas etika kemanusiaan.
Pentingnya mendirikan negara Islam adalah karena di dalam negara Islam
hak-hak rakyat akan terpenuhi dan terlindungi, karena jalannya pemerintahan
Islam terjalin antara dua unsur yang saling bersatu, yaitu hubungan antara umat
dan syariat. Umat menjalankan syariat dan syariat akan mengawasi perjalanan
umat dalam menjalankan roda pemerintahan. Oleh karena itu, sistem Islam adalah
sistem yang khusus dengan menggunakan istilah yang murni yaitu ‘Sistem
Pemerintahan Islam”. Jika umat ingin mengartikan dengan istilah yang sesuai
dengan perkembangan zaman ini, maka bisa dikatakan bahwa sistem Islam dapat
dikatakan sebagai sistem ‘demokrasi Islam’
Tujuan mendirikan pemerintahan Islam harus diiringi dengan keimanan
kepada Allah SWT, setidaknya inilah pendapat dari Muhammad Husein Heikal
dalam bukunya yang berjudul Al-Hukumatul Islamiyah. Dengan adanya iman ini
maka dengan sendirinya akan memunculkan rasa persamaan, persaudaraan, dan
kebebasan. Pada prinsipnya semua manusia di mata Allah adalah sama tidak ada
keutamaan antara Arab dan non-Arab terkecuali dilihat dalam kadar keimanannya.
Setiap manusia memiliki kebebasan dalam segala hal termasuk kebebasan dalam
memilih akidah. Semua harus dilindungi dalam pemerintahan Islam.
Perkembangan konsep pemerintahan Islam berpengaruh kepada prinsip-
prinsip Islam itu sendiri sehinga menjadi dasar dalam perkembangan peradaban
dunia. Dalam hal perbudakan contohnya, Islam tidak hanya membuka pintu lebar-
lebar bagi kemerdekaan budak, bahkan menurut Islam memerdekakan budak
termasuk amalan yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah, Islam
menempatkan budak pada sisi yang mulia43. Setidaknya itulah yang terjadi pada
masa pemerintahan Islam berkuasa.
Dalam peradaban dunia, banyak hak-hak wanita tidak ditempatkan pada
yang seharusnya, hak-hak mereka terabaikan. Menurut Islam, hak kaum wanita
harus dipenuhi dengan baik sesuai dengan kewajiban-kewajibannya. Sedangkan
derajat kaum lelaki berada setingkat di atas kaum wanita karena beban dan
tanggung jawab yang harus mereka pikul44
. Wanita memiliki hak kebebasan yang
sama seperti laki-laki dalam bergaul di masyarakat sepanjang itu tidak merugikan
masyarakat dan keluarga sendiri.
Atas dasar itu maka peradaban Islam dilakukan atas prinsip persamaan,
masing-masing mempunyai hak serta kewajiban yang sama, tidak ada paksaan
bagi muslim memaksa orang non muslim untuk memeluk Islam. Kewajiban
membayar jizyah atau pajak terhadap orang yang tidak mau memeluk Islam tidak
lain hanya untuk memberikan keamanan bagi mereka dari setiap musuh untuk
mempertahankan eksistensi negara.
Mengenai hak dan kewajiban individu dan masyarakat, Muhammad
Heikal menjelaskan bahwa Islam menjamin hak individu namun bukan berarti
Islam menggunakan asas indvidualime. Islam mengakui adanya hak milik,
keluarga serta warisan. Mengakui adanya paham individualisme merupakan suatu
kekeliruan. Anggapan ini tentu saja keliru, biarpun mengakui paham ini, Islam
juga menetapkan bahwa di dalam harta orang kaya terdapat bagian tertentu yang
menjadi hak orang miskin45
.
43 Muhammad Husein Heikal, Pemerintahan Islam, terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1993), h. 28. Cet. II 44
Ibid., h. 29 45
Ibid., h. 40.
Kewajiban negara adalah menjamin kehidupan individu, baik untuk
menjaga dari mengikisnya moral, menjamin pendidikan serta menjamin
kesehatan. Kewajiban ini juga merupakan suatu kewajiban terhadap Allah karena
hal itulah yang kemudian akan diminta pertanggung jawaban pertama kali
sebelum hal lainnya.
Heikal juga membahas bahwa Islam juga menjamin adanya suatu
kebebasan, kebebasan itu ialah kebebasan dalam akidah, kebebasan dalam
berfikir, bebas dari kemiskinan serta bebas dari rasa takut.
Mengenai masalah kebebasan dalam berakidah, dalam Islam tidak ada
paksaan dalam beragama, semua bebas dalam meyakini apa yang menjadi
akidahnya. Memang ada hukuman bagi orang yang murtad, namun di dalam
agama lain juga terdapat akan hal ini. Melihat contoh dari masa kejayaan Islam,
telah dibuktikan bahwa wilayah yang diduduki oleh Islam tidak ada paksaan bagi
penduduk asli wilayah itu untuk masuk ke dalam Islam, bahkan hal sebaliknya,
mereka diberikan kebebasan dalam melaksanakan ritual menurut kepercayaannya
dan pemerintah justru memproteksi masyarakat yang ada di dalamnya. Begitu
juga halnya dalam perjanjian damai yang dilakukan Islam, tidak ada satu butir pun
di perjanjian tersebut yang mengharuskan penduduk asli negeri yang ditaklukan
mengikuti agama Islam.
Apabila kebebasan akidah sudah dapat membuat manusia saling
menghormati, membuat mereka mencari kesempurnaan dengan cara toleransi,
persaudaraan dan saling mencintai, semuanya merupakan faktor penting yang
mendorong ke arah kemajuan dan membuat dunia menjadi aman dan damai46
.
46
Ibid., h. 127
Yusuf Qardhawi juga menyatakan suatu keharusan bagi Islam untuk
menyatu dengan politik, hal ini dapat dijalankan dengan pendirian negara Islam.
Melalui ruang sejarah Islam, Muhammad berusaha dengan sekuat tenaga dan
pikiran di bawah lindungan wahyu Allah, untuk membangun negara Islam yang
merupakan sarana untuk menyukseskan dakwahnya serta mensejahterakan
rakyatnya. Tidak ada seorang pun yang memiliki kekuasaan kecuali kekuasaan
yang berdasarkan syariat Islam47
.
Qardhawi menyetujui bahwa agama tidak terlepas dari politik dan politik
tidak terlepas dari agama. Sepanjang sejarah, umat Islam tidak mengenal adanya
pemisahan agama dengan negara, mereka menyatu dalam lingkup negara besar ke
Islaman di bawah kekhalifahan.
Qardhawi mengkritik sikap sekularis yang memisahkan agama dari
negara, mengatakan bahwa agama tidak lain hanya mengatur urusan pribadi saja.
Islam tidak ada keterkaitannya dalam mengatur fungsi sosial terhadap negara,
memperbaiki kondisi moral masyarakat. Qardhawi juga mengkritik pernyataan
sekularis yang mengatakan para pendukung negara Islam tidak lain hanya untuk
pernyataan kefanatikan dari kaum mayoritas belaka dan mengesampingkan hak-
hak minoritas.
Qardhawi menyatakan bahwa negara Islam adalah suatu negara yang
demokratis sesuai dengan negara yang berperadaban lainnya, yang didasarkan
pada demokrasi, pembaiatan dan juga suara mayoritas. Negara Islam didirikan
atas dasar nasehat dari agama yang memiliki sifat amar makruf, dan nahi
47 Yusuf Qaradhawi, Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik, terj. Khoirul Amru
Harahap (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2008), h. 148. Cet. I
mungkar. Oleh karena itu negara Islam adalah negara yang juga berperadaban dan
negara yang syura yang juga selaras dengan inti dari demokrasi.
Mengenai pemimpin negara dalam suatu negara Islam, Qardhawi menolak
jika negara Islam dipimpin oleh orang yang tidak mentaati Islam, hal ini dapat
dilihat dalam baiat pimpinan negara. Baiat yang dimaksudkan sebagai baiat yang
bisa melepaskan kita dari perbuatan dosa adalah membaiat seorang pemimpin
yang menentukan hukum berdasarkan Al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah48
.
Dalam istilah teknis fuqaha’, baiat untuk mengangkat kepala negara
tersebut disebut baiat in’iqâd. Sebab, baiat inilah yang secara nyata menandai
perpindahan kekuasaan dari tangan umat ke tangan kepala negara (Khalifah)49.
Baiat ini adalah salah satu cara penyerahan kekuasaan oleh orang yang membaiat
kepada seseorang sehingga kemudian ia menjadi pemimpin atau khalifah. Tata
cara baiat ini juga dilakukan dalam pengangkatan ke empat Khalifatul Rasyidin,
Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Qardhawi menilai bahwa anggapan politik itu kotor, keji serta banyak
intrik-intrik sehingga agama terlalu murni untuk ikut masuk ke dalamnya
merupakan satu hal yang tidak mendasar, hanya untuk dijadikan alasan supaya
agama tidak mencampuri politik. Politik yang dijalankan oleh manusia yang
memiliki tujuan menjaga kemashlahatan umat, menjaga keadilan serta
sepenuhnya dijalankan sesuai dengan syariat maka dengan sendirinya akan
membawa masyarakat ke arah yang lebih baik dan Allah akan memakmurkan
negara tersebut.
48 Ibid., h. 147
49 “Kewajiban Memilih Pemimpin,” artikel diakses pada tanggal 10 Juli 2009 dari
http://hizbut-tahrir.or.id/2009/03/06/kewajiban-memilih-pemimpin/.
Negara Islam adalah negara yang juga bisa dikatakan negara madani,
namun perbedaannya negara Islam menggunakan syariat Islam. Dikatakan negara
madani karena dalam menentukan pemimpin, ditentukan oleh Ahlul halli wal aqdi
(rakyat yang memiliki hak suara, langsung ataupun tidak langsung) untuk memilih
pemimpin yang kuat, terpercaya, berkemampuan untuk memimpin dan memenuhi
semua syarat-syaratnya50
.
Untuk mensahkan suatu pemimpin negara, maka harus dilakukan baiat
secara umum, karena pemimpin merupakan utusan rakyat melalui wakil-wakilnya
serta adanya tangung jawab moral terhadap apa yang diwakilkannya serta adanya
pertanggung-jawaban antara penguasa dan rakyat. Pembaiatan ini juga diperlukan
bagi rakyat untuk mengingatkan, memberi saran agar pemimpinnya akan selalu
berada di jalan yang benar.
Di dalam Islam pemimpin adalah manusia biasa yang tidak boleh
dikultuskan karena manusia pada hakikatnya tidak bisa terlepas dari dosa. Oleh
karena itu, rakyat sebagai pihak yang dipimpin berhak untuk mengkritik penguasa
jika dilihat menyimpang bahkan berhak untuk mencabut kekuasaannya jika
pemimpin benar-benar keluar dari aturan agama serta undang-undang yang
berlaku. Rakyat berhak untuk menolak perintah pemimpin negara jika
diperintahkan untuk berbuat maksiat kepada Allah, bahkan hal itu diwajibkan oleh
agama.
Posisi pemuka agama di dalam Islam tidak sama dengan apa yang ada di
dalam agama lain seperti pada masa kepemimpinan di bawah gereja yang dikenal
dengan istilah Teokrasi. Islam tidak mengenal kekuasaan seperti pada sistem
50 Qaradhawi, Meluruskan Dikotomi, h. 170
“Gereja”, kekuasaan di bawah gereja. Islam tidak mengharuskan individu
beribadah melalui pemimpin agama, tidak ada halangan apapun bagi seorang
individu untuk bertemu dengan penciptanya.
Segala sesuatu urusan harus dipegang kepada orang yang benar-benar
menguasai hal tersebut. Negara dengan permasalahannya haruslah dipimpin oleh
orang yang mengerti akan permasalahan kenegaraan, bukan seorang pemuka
agama yang hanya paham di dalam bidang keagamaan.
Pemimpin yang dimaksudkan adalah pemimpin yang mempunyai
kemampuan akan menjalani tugas kenegaraan karena bakat, pengetahuan, serta
pengalaman. Pemimpin juga haruslah amanah terhadap apa yang dipimpinya serta
kepada agamanya sendiri. Karena dengan terlaksananya amanah kepemimpinan
dengan baik, maka akan terealisir secara otomatis amanah-amanah yang lain, baik
terkait dengan amanah kepada Allah swt maupun amanah yang berhubungan
dengan sesama hamba dan dengan diri sendiri51
.
Qardhawi juga mengatakan bahwa hak-hak kaum minoritas (terutama
pemeluk agama Kristen), sudah diatur oleh Islam tanpa ada suatu tekanan apapun
ataupun pelanggaran hak seperti yang dikatakan oleh pihak modernis maupun
sekularis.
Mereka mengatakan bahwa penyebutan Ahlu Dzimmah, merupakan suatu
penyebutan bahwa kaum minoritas non muslim dipinggirkan dari wilayah muslim
sendiri. Minoritas juga dibebankan oleh kewajiban-kewajiban seperti yang
dilakukan oleh umat muslim serta membayar sejenis pajak yang juga disebut
Jizyah. Kaum minoritas juga tidak diperbolehkan menduduki jabatan-jabatan
51
Attabiq Luthfi, “Menunaikan Amanah Kepemimpinan,” artikel diakses pada 17 Juli 2009 dari http://www.dakwatuna.com/2007/menunaikan-amanah-kepemimpinan/
tertentu baik di bidang birokrasi, hukum, maupun perpolitikan. Hal tersebut
merupakan pelanggaran-pelanggaran yang akan terjadi jika berada di bawah
wilayah Islam.
Qardhawi membantah itu semua, tidak ada satu aturan pun di dalam Islam
dimana aturan tersebut dapat menciptakan rasa diskriminatif bagi tiap manusia,
baik itu Islam sendiri maupun non Islam. Islam adalah agama yang Rahmatan lil
Alamin, agama bagi semua alam, oleh karena itu Islam sudah mengatur segala
sesuatunya sampai terwujudnya suatu keadilan yang manusia bisa sadari maupun
tidak.
Ahli Dzimmah, merupakan suatu istilah perjanjian bagi keamanan
mayoritas. Kaum Muslimin diharuskan untuk memberikan suatu perlindungan
bagi kaum minoritas dan tidak ada yang boleh untuk merusak perjanjian tersebut.
Hak mereka sama dengan hak kaum muslim, serta kewajiban mereka pun sama
dengan kewajiban orang muslim, hak dan kewajiban secara umum bukan secara
agama, karena setiap agama memiliki ajaran khusus.
Tentang jizyah, sebagai bentuk dari kepatuhan terhadap undang-undang
dengan membayar beberapa dari hasil kekayaan mereka. Dari hal tersebut, negara
diwajibkan untuk melindungi kaum minoritas tersebut, sama halnya dengan apa
yang dilakukan oleh khalifah Umar bin Khatab yang memberikan bantuan kepada
kaum minoritas yang lemah dan memberikan kebutuhan ekonomi dan kesehatan
bagi orang-orang non muslim.
Jizyah, juga bisa diartikan sebagai ganti dari kewajiban berjihad yang
merupakan kewajiban agama yang bersifat ta’abbudiyah (dalam rangka
beribadah)52. Hal ini dilakukan karena Islam tidak ingin melihat mereka berjihad
terhadap warga non muslim. Jihad merupakan kegiatan ibadah terhadap agama
dan dapat menempatkan orang-orang yang berjihad berada di tempat yang paling
baik di sisi Allah. Ada pendapat dari para fuqaha bahwa setian non muslim dapat
terlepas dari jizyah jika mereka ikut ambil bagian dalam suatu peperangan. Maka
dengan adanya “wajib militer” bagi setiap warga negara, maka jizyah ini dengan
sendirinya dihapuskan dengan arti lain tidak harus membayar apapun.
Hukum-hukum agama Islam tidak akan dibebankan kepada non muslim,
hukum-hukum itu berkaitan dengan bidang keibadahan dan amalan-amalan ibadah
laninya seperti salat, puasa, zakat maupun haji.
Berbeda dengan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan masalah
masyarakat sipil, undang-undang hukum pidana dan sebagainya. Di dalam hal ini
semua kedudukan sama, namun mayoritas tidak boleh merampas hak kaum
minoritas. Namun, Qardhawi berpendapat apabila kaum muslim mau menerima
dan menghormati kaum non muslim untuk mengatur apa yang menjadi segala
peraturan mereka sebagai bukti ketaatan bagi agamanya, hal tersebut menjadi
lebih baik. Dengan sikap tersebut, kita akan terlihat menghormati hak-hak
manusia dan batasan hukum yang sudah ditetapkan oleh Allah.
Perdebatan antar tokoh-tokoh tentang posisi agama terhadap negara dapat
ditarik kesimpulan bahwa, tokoh-tokoh tersebut memiliki satu alasan bagaimana
agama dapat sebagai pembentuk keharmonisan masyarakat di dalam kehidupan
bernegara. Namun tokoh-tokoh muslim tersebut memposisikan agama antara
menyatukan dengan politik atau negara dan yang memisahkan dengan politik.
52 Qaradhawi, Meluruskan Dikotomi, h. 202
Alasan itu dikemukakan agar umat Muslim selayaknya terus
melaksanakan syariat dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan isi Al-Qur’an
dan sunnah. Pelaksanaan syariah untuk mewujudkan keutuhan bermasyarakat
serta memposisikan umat Muslim terhadap umat lainnya dalam kehidupan
bernegara.
Kerukunan beragama harus dijaga terutama pada negara yang memiliki
masyarakat yang plural melalui suatu peraturan, sehingga tidak ada gesekan
diantara umat beragama khususnya agama minoritas terhadap agama mayoritas.
Hal ini sama kondisinya ketika pada zaman Nabi Muhammad memimpin Yastrib
yang penduduknya terdiri dari berbagai agama, suku maupun ras.
Pandangan tokoh-tokoh Islam yang menolak agama hadir di dalam negara
di sadari sebagai alasan mengapa agama yang dipaksakan hadir di lingkup publik
menjadi pemicu dari lahirnya gerakan-gerakan radikal Islam. Dalam konteks
Indonesia, gerakan-gerakan radikal ini dilakukan untuk tujuan menempatkan
agama dengan syariah Islamnya untuk dapat dijadikan sebagai landasan dalam
kehidupan bernegara.
Namun jika dilihat, gerakan radikal yang identik dengan kekerasan ini
tidak hadir begitu saja, kekerasan terjadi karena ada satu alasan yang pada
akhirnya muncul gerakan tersebut. Jika dilihat dari asalnya, menurut Hassan
Hanafi, kekerasan muncul bila eksistensi manusia terancam. Ketidak adilan sosial
merupakan salah satu bentuk keterancaman eksistensi tersebut, karena
penghancuran bertentangan dengan eksistensi manusia53
.
53 Hassan Hanafi, Agama, Kekerasan dan Islam Kontemporer, terj. Ahmad Najib
(Yogyakarta: Jendela, 2001), h. 55. Cet I.
Dari pendapat Hassan Hanafi tersebut dapat dilihat bahwa bentuk radikal
Islam yang ada di Indonesia terjadi karena mereka merasa tidak diperlakukan adil
oleh negara serta tidak terakomodasinya harapan-harapan muslim untuk
melaksanakan syariat pada ruang publik.
Gerakan Islam ini tidak muncul seketika saja melainkan karena adanya
satu ideologi dan doktrin yang ikut melatar belakanginya. Wujud ini muncul
ketika Islam dan kenyataan sosial historis para pemeluknya terbentur dalam
menghadapi perubahan-perubahan sosial yang menghadang di depan mereka.
Gerakan ini muncul dan tidak terlepas menunjukkan perlawanan antara doktrin
ajaran dan realitas kehidupan para pemeluknya dalam menghadapi keadaan
internal maupun faktor eksternal.
Gerakan yang membawa ideoligi ke-Islaman ini disematkan karena dalam
kemunculannya gerakan ini memiliki aturan dan landasan dengan ajaran Islam.
Islam sebagai ideologi didasarkan pada pemahaman bahwa Islam merupakan
agama yang bersifat universal tanpa batasan wilayah sosial. Disini ideologi
berperan penting sebagai sumber berfikir dan bekerja sebagai perekat hubungan
sosial yang mengikat anggotanya yang disepakati bersama akan nilai dan norma.
Gerakan-gerakan yang memiliki idologi Islam ini juga disebut sebagai gerakan
Islamisme.
Islamisme ini muncul dengan memiliki persepsi bahwa Islam sebagai
agama yang universal dan dapat masuk ke suatu ideologi negara atau sistem
kenegaraan. Kalangan Islamis selain meyakini Islam sebagai nilai-nilai dan
prinsip-prinsip bagi suatu ideologi politik, juga sampai tingkat tertentu
mempersoalkan hubungan antara Islam dan konsepsi-konsepsi Barat dengan
meyakini bahwa masyarakat dapat mengatasi masalah kehidupan modern jika
benar-benar bertumpu pada Islam54.
Ada beberapa alasan kenapa gerakan Islam ini muncul di Indonesia pada
masa-masa ini. Gerakan ini muncul untuk menemukan pemaham terhadap ajaran
Islam sebagai alternatif dari sistem yang berlaku pada saat ini, mengaplikasikan
Islam secara praktis bukan hanya secara abstrak saja. Alasan lainnya adalah, tidak
terlepas dari sejarah perjalanan Islam pada masa Orde Baru, yang dikekang
sehingga menyebabkan umat Islam dipinggirkan sampai menjadi mayoritas yang
tidak dapat berbuat apa-apa, dan alasan selanjutnya, ada dugaan bahwa Islam
ditafsirkan secara parsial sehingga terjadi pemutarbalikan fakta, oleh karena itu
hal ini harus dimurnikan kembali.
Dilihat dari jumlahnya, gerakan-gerakan keagamaan Islam ini telah mucul
secara endemic di masa reformasi. Hal ini bisa dimaklumi karena di masa
reformasi ini gerakan-gerakan Islam bisa secara bebas muncul dan menyuarakan
ide-ide dan kepentingan mereka55. Awal reformasi dijadikan sebagai titik awal
dari kebangkitan Islam untuk menyerukan diskonten mereka atas tindakan negara
ketika masa Orde Baru.
Walau ada beberapa kebijakan-kebijakan pemerintah yeng berhubungan
dengan kepentingan umat Islam, salah satu bentuk akomodasi yang paling
mencolok adalah direkrutnya para pemikir dan aktivis Islam politik generasi baru
ke dalam lembaga-lembaga eksekutif (birokrasi) dan legislatif negara56
. Bentuk
akomodasi lainnya yaitu seperti dikeluarkannya peraturan tentang pendidikan
54 Haedhar Nashir, Gerakan Islam Syariat; Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia
(Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2007), h. 152. Cet. I 55
Afdlal, dkk., Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: Lipi Press, 2005), h. 120. Cet
I. 56
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, h. 273
keagamaan, zakat, sampai dengan pelaksanaan haji dari masa Orde Baru sampai
masa reformasi. Ini membuktikan bahwa pemerintah telah melaksanakan
kewajibannya dalam mengakomodasi kepentingan Islam.
Namun, sikap akomodasi negara terhadap beberapa ketentuan syariat
Islam tersebut belum memuaskan bagi kelompok Islam radikal. Maka, seiring
dengan arus deras reformasi, banyak bermunculan gerakan Islam yang
orientasinya adalah penegakkan syariat Islam. Secara kultural dan politik, mereka
memperjuangkan Piagam Jakarta sebagai titik pemberlakuan syariat Islam secara
menyeluruh, baik hukum perdata maupun pidana57
.
Gerakan yang juga disebut gerakan yang dilakukan para Islam
fundamental, justru menjadi suatu bumerang bagi pelakunya, hal ini mendapatkan
penilaian antipati pada masyarakat umumnya. Gerakan-gerakan keagamaan yang
fundamentalis selalu dianggap orang sebagai gerakan yang negatif, seperti
eksklusif, militan dan memakai cara-cara yang tidak demokratis58. Maka, bisa
dikatakan gerakan ini terjebak dengan usaha-usahanya dalam menanamkan
tujuannya.
Salah satu tokoh di Indonesia yang memiliki cita-cita untuk membentuk
negara Islam di Indonesia yang mulai vokal dalam mengargumenkan idenya, yaitu
Abu Bakar Ba’asyir. Ba’asyir memiliki alasan tersendiri kenapa syariat Islam ini
harus ditanam pada lingkup negara. Berbeda dengan gerakan lain, dalam
meloloskan cita-citanya itu, Ba’asyir tidak menggunakan cara-cara radikal atau
pemberontakan, melainkan melalui diskusi-diskusi keagamaan, ceramah-ceramah
serta kegiatan-kegiatan pengajian yang Ba’asyir pimpin. Dari sini dapat diketahui
57 Khamami Zada, Islam Radikal; Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di
Indonesia (Jakarta: Teraju, 2002), h. 120. Cet I 58
Ibid., h. 281.
bahwa Ba’asyir menanamkan syariat melalui individu-individu yang kemudian
tercipta suatu masyarakat yang Islami.
Walaupun Ba’asyir melaksanakan cita-cita tersebut dengan yang
dinamakan jihad, ia menolak penanaman syariat dilakukan secara radikal karena
dengan gerakan-gerakan tersebut akan mendapat antipati pada masyarakat yang
melihatnya terlebih lagi radikalisme terjadi bukan ditempat yang seharusnya dan
tanpa alasan yang dibenarkan.
Dalam mendirikan negara Islam itu, Ba’asyir menggunakan sistem
Khilafah, dimana ia juga meyakini bahwa dengan sistem tersebut kekuasaan Islam
internasional akan terbentuk. Oleh karena itu, seorang pemimpin negara haruslah
seorang yang beragama Islam, sehingga pemimimpin tersebut dapat menjalankan
negara sesuai yang syariat perintahkan.
BAB III
ABU BAKAR BA’ASYIR
DAN
GERAKAN NEGARA ISLAM
A. Riwayat Hidup
Abu Bakar yang bernama lengkap Abu Bakar bin Abud Baamualim
Ba’asyir dilahirkan pada tanggal 12 Dzulhijjah 1356, bertepatan dengan tanggal
17 Agustus 1938 di Mojoagung, kota kecil yang masuk dalam kabupaten
Jombang, Jawa Timur. Ayah dan kakeknya asli Hadramaut, Yaman, yang telah
menetap dan menjadi warga negara Indonesia. Ibunda Abu Bakar juga keturunan
arab, sedang neneknya orang Jawa asli59
.
Abu Bakar Ba’asyir sepanjang masa kecilnya hidup di dalam lingkungan
yang sangat agamis. Ba’asyir sudah ditinggal oleh ayahnya sekitar umur sepuluh
tahun. Sepeninggal ayahnya, Ba’asyir diasuh ibundanya dengan menanamkan
nilai-nilai agama60.
Sang Ibu tidak bersekolah formal, tetapi pandai mengaji. Maka berbekal
ilmu agama itulah dia membimbing dan menanamkan nilai-nilai al-Qur’an kepada
putra-putrinya dengan penuh kasih sayang61
. Ibunya meninggal dunia pada tahun
1980 ketika diberi kabar sewaktu Ba’asyir berada di penjara pada saat rezim
Soeharto berkuasa.
59 Fauzan al-Anshari, Hari-Hari Abu Bakar Ba’asyir di Penjara. Saya Difitnah (Jakarta:
Qalammas, 2006), h. 3. Cet V 60
Ibid., h. 3 61
Irfan Suryahardy Awwas, ed., Dakwah & Jihad Abu Bakar Baasyir (Jogjakarta: Wihdah
Press. 2003), h. 5.
Abu Bakar Ba’asyir manjalani hidupnya penuh dengan dinamika, ini
dikarenakan Ba’asyir dengan karakternya mempelajari Islam serta
mengaplikasikan melalui gerakan dan pemikiran dalam perspektifnya. Ba’asyir
terlihat berani dalam menghadapi serangan dari pihak-pihak yang tidak sepaham
dengannya, sekalipun itu datangnya dari pihak luar negeri. Seperti contohnya
serangan yang datangnya dari presiden Amerika, George Walker Bush,
mengatakan bahwa Ba’asyir merupakan tokoh teroris internasional, hal itu tidak
mengendurkan semangat Ba’asyir dalam memperjuangkan Islam.
Setiap orang memiliki karakter sendiri yang memang terkadang tidak
dapat orang lain pahami tentang ideologi, prinsip, maupun cita-cita yang
melandasi seseorang memilih jalan hidupnya. Ba’asyir sampai pada usia senja
menempati rumah dinas yang dimiliki oleh pesantren Al-Mukmin dikarenakan
Ba’asyir sebagai pendiri selain mengajar di lembaga pendidikan tersebut.
Pada tahun 1971, Ba’asyir menikah dengan Aisyah binti Abdurrahman
Baraja, seorang santri Mu’allimat Al-Irsyad, Solo. Aisyah adalah adik salah satu
sahabat Ba’asyir bernama Abdullah Baraja. Aisyah terkesan dengan pribadi
Ba’asyir yang sepanjang hidupnya selalu berada pada kekonsistenannya
mendakwahkan Islam. Dari hasil pernikahan ini, Baasyir memiliki tiga orang anak
bernama Zulfa, Abdul Rasyid, dan Abdurrahim.
Demi dakwah yang dijalankannya, Ba’asyir terlihat tidak
mengkhawatirkan akan akibat yang diperjuangkannya, hal ini terlihat dari apa
yang dilakukannya dalam mengkritik pemerintah yang menurutnya telah
menghalangi syariat Islam diterapkan dalam ruang legalitas kenegaraan, akibat
dari apa yang diperjuankan tersebut, Ba’asyir telah merasakan masuk penjara
berulangkali, dengan berbagai tuduhan yang ditujukannya.
B. Latar Belakang Pendidikan
Abu Bakar Ba’asyir adalah seorang tokoh keturunan arab yang tinggal di
sebuah desa bernama Mojo Agung. Sebelum memulai pendidikannya di Pondok
Modern Gontor, Ponorogo, Ba’asyir membantu keluarganya dengan bekerja
selama setahun di perusahaan tenun.
Setelah menamatkan sekolah di Pesantren Gontor atas biaya kakaknya,
Ba’asyir melanjutkan pendidikannya dengan kuliah di Universitas Al-Irsyad,
Surakarta, dengan mengambil jurusan Dakwah pada tahun 1963.
Ba’asyir mulai ikut dalam organisasi kemasyarakatan di Gerakan Pemuda
Islam Indonesia (GPII) tingkat kecamatan, langsung sebagai ketua organisasi pada
tahun 1961. Ba’asyir juga menjadi ketua GPII Cabang Pondok Modern Gontor.
Pada tahun 1966 Ba’asyir kembali dipercaya sebagai ketua Lembaga Dakwah
Mahasiswa Islam (LDMII) cabang Surakarta pada tahun 1966. Keikutsertaan
terakhir Ba’asyir di dalam organisasi kemasyarakatan adalah dengan memegang
amanah dalam organisasi Islam sebagai Sekretaris Umum Pemuda Al-Irsyad
cabang Solo.
Pada usianya yang menginjak umur 31, bersama Abdullah Sungkar dan
Hasan Basri, Ba’asyir mendirikan sebuah radio dakwah yang diberi nama Radio
Dakwah Islamiyah ABC (Al-Irsyad Broadcasting Commission) pada tahun 1967.
Saat itu rezim Soeharto yang masih kuat berkuasa menutup radio tersebut. Namun
Ba’asyir menempuh usaha selanjutnya dengan mendirikan satu lagi pemancar
radio bernama Radio Dakwah Islamiyah Surakarta (RADIS) pada tahun 1969
masih bersama Abdullah Sungkar.
C. Aktifitas Sosial, Dakwah dan Politik
Ba’asyir sukses berdakwah melalui RADIS, radio tersebut mendapat
sambutan yang luar biasa dari masyarakat sebagai radio dakwah yang berani
menyampaikan kebenaran. Namun perjalanan radio ini juga tidak panjang, karena
dianggap menyiarkan dakwah bernada politik, maka tahun 1975 radio itu dilarang
mengudara oleh Laksusda Jawa Tengah. Pada saat itu, ada satu bahasan yang
mengkritik tentang Asas Tunggal Pancasila yang dipaksakan sebagai asas dari
organisasi massa dan organisasi politik, menilai pemerintah yang tidak adil dan
melanggar Syariat Islam. Dari bahasan ini, aparat melihat bahwa ada usaha dari
ulama untuk ikut masuk ke dunia politik, dan usaha-usaha untuk mengkritik
pemerintahan.
Usaha Ba’asyir dalam berdakwah tidak berhenti pada saat itu saja. Pada 10
Maret 1972, Pondok Pesantren Al-Mukmin didirikan oleh Abu Bakar Ba'asyir
bersama Abdullah Sungkar, Yoyo Roswadi, Abdul Qohar H. Daeng Matase dan
Abdllah Baraja. Pondok Pesantren ini berlokasi di Jalan Gading Kidul 72 A, Desa
Ngruki, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Menempati areal seluas 8.000 meter
persegi persisnya 2,5 kilometer dari Solo. Keberadaan pondok ini semula adalah
kegiatan pengajian kuliah zuhur di Masjid Agung Surakarta. Membajirnya jumlah
jamaah membuat para mubalig dan ustadz kemudian bermaksud mengembangkan
pengajian itu menjadi Madrasah Diniyah62.
62 “Abu Bakar Baasyir, “Vonis Tak Terlibat Bom Bali,” artikel diakses pada tanggal 3
Juli 2009 dari http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/a/abu-bakar-baasyir/index.shtml.
Titik pergerakan Ba’asyir yang lebih berani ditunjukkan Ba’asyir dengan
keberaniannya mengkritik pemerintah rezim Orde Baru. Akibatnya, tahun 1982,
Ba’asyir ditangkap oleh rezim Orde Baru untuk pertama kalinya karena dianggap
bersikap keras terhadap pemerintahan.
Pada 1982, Ba'asyir ditangkap bersama dengan Abdullah Sungkar.
Ba’asyir dituduh menghasut orang untuk menolak asas tunggal Pancasila karena
menurutnya asas tunggal tersebut hanya suatu rekayasa dari pihak kristen atau
katolik untuk menghancurkan semua institusi Islam, Ba’asyir menentang
penghormatan kepada bendera karena menurutnya perbuatan tersebut termasuk
sirik. Ba’asyir juga dituduh bagian Hispran (Haji Ismail Pranoto) - salah satu
tokoh DI/TII. Di pengadilan ini, keduanya divonis 9 tahun penjara63
.
Pada penahanan itu, Ba’asyir dituduh untuk mengakui telah menjadi
pengikut H. Ismail Pranoto, yang mempunyai cita-cita untuk mendirikan Negara
Islam Indonesia. Semula Ba’asyir tidak mau mengakui tuduhan tersebut, namun
Ba’asyir melihat kondisi yang dialami oleh Abdullah Sungkar dan Abdullah
Baraja yang terlebih dahulu di periksa oleh Komandan Satuan Tugas Intelijen
(Satgasin) Mayor Yahya Pattu dan dua orang lainnya, Kapten Yopi dam Peltu
Sunarso.
Ba’asyir akhirnya dengan terpaksa mengakui telah menjadi pengikut
DI/TII, dengan harapan Ba’asyir dapat memberikan keterangan yang sebenar-
benarnya di dalam proses pengadilan.
Sidang juga memberikan tuduhan kepada Abdullah Sungkar yang telah
dibaiat Hispran sebagai Pimpinan Jama’ah Ansharullah daerah Surakarta, dan
63
Muchus Budi, “Baasyir dan 17 Agustus,” artikel diakses pada tanggal 20 Juni 2009 dari http://www.detiknews.com/read/2008/08/18/105844/990329/608/baasyir-dan-17-agustus
Abu Bakar Ba’asyir dibai’at sebagai Wakil Pimpinan Jamaah Ansharullah daerah
Surakarta.
Jamaah Ansharullah ini juga biasa disebut sebagai Jama’ah Islamiyah,
nama yang pada saat ini masih menjadi sorotan dari dunia khususnya Amerika
Serikat dan organisasi PBB. Jamaah Islamiyah inilah yang diciptakan pemerintah
Orde Baru.
Pada tahun 1985, Baasyir mendapatkan panggilan sidang dari Pengadilan
Negeri untuk mendengarkan putusan kasasi. Banyak kalangan yang dekat dengan
Ba’asyir menyarankan agar Ba’asyir tidak menghadiri persidangan tersebut
karena hal ini hanyalah taktik rezim Orde baru untuk menangkapnya kembali.
Atas dasar berbagai pertimbangan, bersama dengan Abdullah Sungkar,
Ba’asyir memutuskan untuk meninggalkan Indonesia dengan tujuan Malaysia.
Mereka bersama beberapa sahabat diam-diam berangkat dari Solo menuju Jakarta.
Di Jakarta mereka tinggal selama lebih kurang tiga pekan, lalu melanjutkan ke
Lampung, terus ke Medan. Dari Medan dilanjutkan perjalanan menuju Malaysia64
.
Selama di Malaysia, Ba’asyir mengajarkan amalan-amalan Islam sesuai
dengan Al-Quran dan Hadits. Kegiatan ini terbentuk melalui kegiatan talim
bulanan. Selain berdakwah, Ba’asyir juga berdagang menjual obat-obatan,
berkebun maupun berternak.
Pemerintah Malaysia yang pada saat itu bersikap melindungi setiap
pendatang membuat Ba’asyir hidup tenang selama 14 tahun sampai pada akhirnya
dapat mendirikan lembaga pendidikan, Pondok Pesantren Lukmanul Hakim di
64 Fauzan al-Anshari, Hari-Hari Abu Bakar Baasyir di Penjara, h. 7.
Johor. Pada saat itu Mahatir Mohammad sebagai Perdana Menteri tidak
menganggap pendatang politik sebagai pendatang haram.
Karena kebebasannya itu, sahabat Ba’asyir, Abu Sungkar dan Abu Jibril
Abdurrahman yang juga dipanggil Ustadz Mohammad Iqbal diberikan izin
sebagai pendakwah di Malaysia. Mereka tidak membawa suatu pesan atau misi
tertentu dalam berdakwah, melainkan mereka menyampaikan pesan-pesan
kebaikan dari Al-Quran dan Hadits. Jama’ahnya tersebar pesat di wilayah
Banting, dan di beberapa Masjid Jami seperti Masjid Puchong, Masjid Jami
Ampang, Masjid Abu Bakar di wilayah Kuala Lumpur. Selain itu Ba’asyir juga
sering diundang memberi pengajian di Kedutaan RI, Taman Tun Abdul Razak dan
pengajar tetap di jama’ah pengajian Departemen Keuangan di masa Anwar
Ibrahim menjabat sebagai Menteri Keuangan Malaysia65
.
Sampai pada tahun 2002, Ba’asyir dengan kelompok pengajian yang oleh
pemerintah Malaysia diberi nama (Kelompok Militan Malaysia, Kumpulan
Mujahidin Malaysia), disebut sebagai salah satu jaringan Jamaah Islamiyah.
KMM dituduh telah melatih santrinya untuk melakukan tindakan anarki seperti
pemboman tempat-tempat ibadah non-Muslim di Malaysia. KMM juga dituduh
ingin mendirikan sebuah negara Pan-Islam di wilayah Asia Tenggara.
Jemaah Islamiyah sebagaimana banyak diberitakan bertujuan mendirikan
pemerintahan Islam di Malaysia, Indonesia, dan Filipina melalui (aksi) kekerasan.
Jemaah Islamiyah juga diisukan punya pendirian, bahwa pemerintah negara yang
ada sekarang adalah tidak Islami dan dipimpin oleh orang-orang kafir66
.
65
Irfan S Awwas, Menelusuri Jejak Da’wah, Dari Penjara Ke Meja Hijau (Yogyakarta:
Wihdah Press, 2003), h. 50. 66
Idi Subandy Ibrahim & Asep Syamsul M. Romli, Kontroversi Ba’Asyir: Jihad Melawan Opini “fitnah” Global. (Bandung: Yayasan Nuansa Cendikia, 2003), h. 37.
Puncaknya ketika terjadi peristiwa WTC di New York tahun 2003, KMM
menjadi sorotan dengan hasil penagkapan dari para pengikutnya dengan tuduhan
terkait jaringan Al-Qaidah yang menjadi pelaku utama penyerangan gedung
WTC, Amerika Serikat. Ba’asyir yang berada di Malaysia mulai tersudut dengan
pernyataan dari Menteri Senior Singapura, Lee Kwan Yew, yang menyebutkan
bahwa aktivis KMM dipimpin oleh pemimpin ekstrim Indonesia. Sampai pada
akhirnya, Ba’asyir ditahan oleh Mabes Polri atas tuduhan tambahan terlibat
pengeboman malam Natal 2000, rencana pembunuhan Presiden Megawati, dan
terkait dengan kelompok Al-Qaidah.
Ba’asyir tidak mengambil sikap diam atas pernyataan dari Lee kwan Yew.
Gugatan balik disampaikan Ba’asyir atas tuduhan tersebut namun hal ini
terkendala atas kekebalan yang dimiliki negara atau memiliki imunitas
diplomatik. Konfrensi Wina ihwal praktek hubungan internasional menyebut
bahwa sebuah kedutaan besar asing mempunyai status imunitas alias kekebalan
diplomatik, termasuk kebal dalam hal hukum67
. Dengan adanya keistimewaan
yang dimiliki negara ini, hal yang mustahil bagi seorang seperti Ba’asyir untuk
menggugat Menteri Senior Singapura tersebut.
Umat muslim di Malaysia yang sempat mengikuti dakwah Ba’asyir juga
tidak percaya atas apa yang dituduhkan berbagai pihak, tentang keterlibatan
Ba’asir dalam berbagai aksi terorisme. Mereka tidak mempercayai Ba’asyir
mempunyai sifat yang keras, bahkan mereka mengakui akan kearifan Ba’asyir
selama tinggal dengan mereka. Karena sering sholat berjamaah dengan warga di
sekitar dan sahabatnya, Ba’asyir menyulap bangunan di sebelah rumahnya
67
Agung Rulianto, “Sidang Gugatan Abu Bakar Ba’asyir Ditunda”, Tempo, 31 Maret 2002, h. 46.
menjadi surau. Kalaupun ada kesan keras dalam berakwah, sejumlah warga
menunjuk Iqbal, warga Indonesia yang sudah puluhan tahun menjadi pendakwah
di Malaysia68.
Ba’asyir bisa dikatakan sangat kritis terhadap Amerika dan pihak-pihak
yang berpikiran sekuler. Banyak kritikan yang disampaikan oleh Ba’asyir kepada
Amerika. Bisa dikatakan Ba’asyir adalah salah satu tokoh Islam di Indonesia yang
sangat vokal dalam hal mengkritik pandangan Amerika terhadap pergerakan Islam
di dunia.
Kritikan Ba’asyir terhadap Amerika salah satunya adalah tentang teroris
yang dialamatkan kepada pihak Islam saja. Benar yang melakukan adalah orang
yang beragama Islam, namun Amerika menurut penilaian Ba’asyir telah
menyalahi istilah teroris yang hanya diarahkan kepada Islam saja. Bagi Amerika,
teroris adalah militan Islam yang menegakkan syariat. Ba’asyir melihat masalah
yang sesunguhnya adalah pertentangan antara hak dan bathil, antara Islam dan
kafir. Penyebutan teroris ini adalah usaha dari pihak kafir untuk memadamkan
cahaya Islam dengan mengunakan kamuflase penyematan istilah itu.
Penyebutan teroris oleh pihak barat adalah untuk mencegah tegaknya
Syariat Islam yang dilakukan oleh mujahidin muslim. Banyak cara yang
dilakukan oleh barat untuk menyudutkan Islam, salah satunya adalah dengan
menciptakan peran teroris yang kemudian disematkan sebagai bagian dari
kelompok Islam. Setelah penyematan itu, kemudian untuk lebih memberikan
ruang sempit bagi pergerakan Islam, maka diarahkan juga bahwa kelompok-
68 Widjajanto & Rommy Fibri, “Jejak Ba’asyir di sungai manggis”, Tempo, 3 November
2002: h. 62 No. 35/XXXI/
kelompok Islam tersebut dikendalikan oleh tokoh-tokoh Islam yamg kritis dan
membahayakan bagi pihak Barat.
Ba’asyir membantah apa yang dituduhkan oleh Amerika. Islam adalah
agama yang menjungjung tinggi perdamaian. Memaksa kaum kafir untuk masuk
Islam secara tidak sadar merupakan hal yang dilarang oleh Islam. Aturan dari
Islam juga yang memberikan perintah bagi kaum muslim untuk menjaga kaum
non muslim yang tidak memerangi Islam. Rasulullah sendiri mengatakan bahwa
seorang muslim yang memerangi kaum kafir adalah sama dengan musuh Nabi
sendiri.
Kritik Ba’asyir terhadap sekuler didasarkan atas sikap kaum sekularis
yang melarang Al-Quran dan Hadis sebagai dasar negara, asas maupun sumber
hukum negara. Mereka kemudian menggantinya dengan pemikiran sendiri bahkan
tidak sedikit mengadopsi peraturan-peraturan yang berasal dari negara Barat.
Mereka tidak secara penuh menempatkan syariat Islam hadir di ruang publik,
hanya sebatas pada lingkup urusan pribadi dan lingkup keluarga yang terbatas.
Mereka tidak akan pernah mengizinkan untuk memberlakukan syariat secara
kaffah.
Penegakkan syariat Islam yang diperjuangkan oleh umat muslim, Ba’asyir
melihatnya harus dilakukan dengan penegakkan Daulah Islamiyah atau dengan
Khilafah sehingga syariat ini akan dapat diterapkan secara kafah. Pembentukan
Dinul Islam ini dapat dilakukan dengan berbagai usaha jihad, sperti melakukan
dakwah agama, melalui pendidikan sampai dengan usaha-usaha sosial.
Ba’asyir meyakinkan bahwa perjuangan menegakkan Dinul Islam adalah
lebih mulia dibandingkan dengan menegakkan asas-asas lain seperti, sosialis,
komunis, demokrasi, kapitalis, dan sistem lainnya. Oleh karena itu bagi setiap
muslim yang ingin melakukan suatu perjuangan dalam menyebar syariat Islam
haruslah dilakukan dengan sepenuh hati.
Selama di Indonesia setelah kembalinya dari Malaysia, Ba’asyir hanya
melakukan beberapa aktifitas, dan itu masih berada di lingkup penyampaian
dakwah, seperti mengajar di pondok pesantren Ngruki, berceramah serta
memberikan taujih di Masjid serta Majlis Talim, dan menjadi pimpinan Majelis
Mujahidin Indonesia sampai akhirnya Ba’asyir keluar dari organisasi tersebut.
Sifatnya yang terbuka ditujukan untuk menghindari tuduhan yang
dialamatkan kepada Ba’asyir. Ba’asyir membuktikan bahwa tidak ada agenda
yang tersembunyi atau organisasi lainnya selain aktifitas berdakwah beliau.
Sebagai seorang juru dakwah, Ba’asyir memang banyak ditemui oleh berbagai
kalangan maupun individu. Ba’asyir dengan terbuka menerima semua yang ingin
bertemu dengan menyampaikan dan mengarahkan tamunya untuk terus
memegang dan menjalankan syariat. Dari pesan tersebut tentu yang diharapkan
Ba’asyir adalah menumbuhkan benih-benih syariat pada setiap individu.
Karena jiwa dan watak yang sudah ditanam pada kepribadian Ba’asyir,
semua propaganda yang dilancarkan oleh Amerika dihadapinya dengan berani.
Secara terbuka, Ba’asyir menyatakan kebencian dan menyatakan permusuhannya
secara terbuka terhadap Amerika yang melancarkan kekuasaan politiknya di
wilayah Asia Tenggara.
Ba’asyir melihat aksi-aksi pengeboman yang terjadi di Indonesia adalah
skenario Amerika untuk memfitnah Islam dan menghancurkannya secara pelan-
pelan dari dalam, sehingga mereka dapat masuk ke Indonesia dengan dasar
memerangi aksi terorisme.
Sikap membenci pemerintah AS yang ditujukan Abu Bakar Ba’asyir,
merupakan salah satu alasan yang melatar belakangi mengapa Presiden AS
George W Bush terus menerus memprovokasi serta melakukan tekanan kepada
pemerintah Indonesia untuk menangkapnya. Akibat provokasi AS itu, maka
pemerintahan Megawati bergeming untuk meninjau kembali kasus lama tahun
1980-an sebagai suatu test case, dan melihat kemungkinan apakah ia masih bisa
dihukum69
.
Tahun 2002 merupakan tahun ujian tersendiri bagi Abu Bakar Ba’asyir
karena untuk yang kesekian kalinya Ba’asyir harus kembali ke dalam penjara.
Pada saat itu, Ba’asyir yang sedang sakit tetap dibawa oleh polisi untuk
dimasukkan lagi ke dalam sel penjara. Ba’asyir sekali lagi dituduh sebagai
pemimpin Jamaah Islamiyah. Penangkapan ini dianggap merupakan salah satu
skenario dimana telah terjadi suatu pesanan dari Amerika untuk menangkapnya.
Ba’asyir dengan kekonsistenannya tetap membela realisasi syariat tanpa
ada tawar-menawar. Sikap Ba’asyir ini mendapatkan dukungan penuh dari para
aktivis Islam dan sikap ini juga yang membuat musuh-musuh Islam seperti kaum
sekularis dan Amerika terus memantau gerak Ba’asyir dengan harapan syariat
Islam tidak segera terwujud.
Penangkapan kembali Ba’asyir terjadi di Rumah Sakit Pusat Kesejahteraan
Umat (RS PKU) Muhammadiyah, Surakarta. Penangkapan pada tanggal 28
Oktober 2002 kali ini selain dengan tuduhan sebagai pimpinan Jamaah Islamiyah
69 Irfan Suryahardy Awwas, Dakwah & Jihad Abu Bakar Baasyir,. h. 24.
ditambah atas keterlibatannya pada pengeboman-pengeboman yang ada di
Indonesia termasuk pengeboman di Masjid Istiqlal. Tuduhan diperparah lagi
ketika terjadi peledakan bom Bali I, di lain sisi, Ba’asyir pun mengecam aksi
pengeboman itu.
Penangkapan Ba’asyir langsung di RS PKU sangat disayangkan karena
pada saat itu Ba’asyir dalam perawatan penyakitnya. Pendukung Ba’asyir sempat
terlibat bentrok dengan polisi namun dengan caranya tersendiri Ba’asyir segera
menenangkan massa pendukungnya yang sebelumnya telah menunggu di halaman
rumah sakit.
Baasyir dipindahkan perawatannya di RS Polri Kramat Jati dan seminggu
setelah Idul Fitri 1423 H, Ba’asyir kemudian dipindahkan ke tahanan Mabes Polri
sampai pada persidangan. Pada masa penahanan ini juga, terdapat tuduhan yang
ditujukan kepada pesantren Ngruki, Abdullah Sungkar, Abu Bakar Ba’asyir, serta
alumni santri Ngruki terlibat langsung dengan jaringan Al-Qaedah dan JI seperti
yang dilaporkan oleh pihak asing.
Selama ini, tuduhan yang ditujukan untuk Ba’asyir lebih banyak berasal
dari Barat, sedangkan dari dalam negeri sendiri, pihak polisi terlihat kesulitan
untuk mendapatkan bukti-bukti yang dituduhkan barat itu. Untuk mendukung
sangkaannya bahwa Ba’asyir melanggar pasal 104 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) tentang rencana pembunuhan terhadap Megawati Soekarnoputri
dan pengeboman sejumlah gereja pada malam Natal tahun 2000. Berkas perkara
yang dilimpahkan penyidik kepada kejaksaan berapa kali dikembalikan, disertai
permohonan untuk dilengkapi dan disempurnakan70.
1. Hubungan Ba’asyir dengan Negara Islam Indonesia dan Jamaah Islamiyah.
Isu keterlibatan Ba’asyir di organisasi Negara Islam Indonesia dikeluarkan
oleh pernyataan dari pemerintah Amerika menanggapi kejadian peristiwa 11
September 2003 atas penghancuran gedung World Trade Centre di New York. Isu
ini kuat melekat pada diri Abu Bakar Ba’asyir karena kedekatannya dengan
Abdullah Sungkar dan tokoh-tokoh radikal Islam lainnya ketika di Malaysia
seperti Hambali dan Ali Ghufron.
Istilah Negara Islam Indonesia (NII) diikuti juga oleh munculnya istilah
Jamaah Islamiyah. Akar dari lahirnya JI dan NII ini berawal dari suatu pengajian
yang diadakan di Malaysia dimana pengisi materi dari pengajian ini dibawa oleh
para pendatang dari Indonesia seperti Abdullah Sungkar, Abu Jibril dan Abu
Bakar Ba’asyir.
Seperti yang dijelaskan oleh mantan anggota Jamaah Islamiyah, Nasir
Abas dalam bukunya, Membongkar Jamaah Islamiyah. Seketika anggota
pengajian ini akan diberangkatkan berjihad ke Afghanistan ada satu baiat untuk
mentaati pimpinan yang ketika itu dipegang oleh Abdul Halim tidak lain adalah
Abdullah Sungkar. Alasan pembaiatan ini bertujuan setelah melakukan jihad di
Afghanistan, agenda lain adalah untuk berjihad di Indonesia menjadi negara
Islam. NII ini akan meneruskan perjuangan Kartosuwiryo ketika pra kemerdekaan
70 Edi Sudrajat, Dalam Buku, Abu Bakar Ba’asyir, Catatan dari Penjara: Untuk
Mengamalkan dan Menegakkan Dinul Islam (Depok: Mushaf, 2006), h. lxxvii.
dahulu. Indonesia ini wajib dijadikan Islam dahulu sebelum yang lain karena
sejarah penegakkan Islam ini sudah ada sebelumnya.
Sewaktu di Afghanistan, terjadi perpecahan di dalam tubuh mujahidin
pengikut pengajian Abdullah Sungkar. Kelompok ini terdiri dari kelompok
pengikut Abdul Halim dan kelompok pengikut Ajengan Masduki. Kelompok
Abdul Halim ini terus bertahan di Afghanistan sedangkan kelompok Ajengan
Masduki kembali ke Malaysia. Di Malaysia, kelompok Ajengan Masduki ini akan
mempersiapkan jihadnya di negara Indonesia.
Sejak itu, awal tahun 1993 orang-orang Indonesia yang berada di kamp
latihan Towrkham, baik yang mengikuti program Akademi Militer ataupun kursus
singkat hanyalah terdiri dari orang-orang yang memilih Abdul Halim selaku
pemimpin mereka yang baru di bawah organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah, baik
siswanya maupun para instrukturnya71
.
Dapat diketahui disini Abu Bakar Ba’asyir mengikuti pergerakan dari
Abdullah Sungkar dalam melakukan dakwahnya di Malaysia. Abdullah Sungkar
sendiri adalah sebagai pembawa ajaran NII dari Indonesia. seperti yang
dilaporkan oleh International Crisis Group, bahwa Abdullah Sungkar sebagai
ketua dari NII wilayah Jawa Tengah dengan Abu Bakar Ba’asyir sebagai orang
kepercayaannya. Sungkar dan Ba’asyir kemudian berbai’at kepada Ismail Pranoto
pada tahun 1976.
Penangkapan Hispran atas keterlibatannya pada pengeboman Gereja
Methodis di Medan inilah yang kemudian membawa Ba’asyir ke penjara yang
71
Nasir Abas, Membongkar Jamaah Islamiyah: Pengakuan Mantan Ketua JI (Jakarta:
Grafindo, 2009), h. 86. Cet.VII
kemudian dijatuhi hukuman dengan tuduhan sebagai pengikut Hispran dan ikut
dalam mendirikan negara Islam sebagai reaksi terhadap Soeharto yang menutup
cita-cita Islam politik di Indonesia.
Penyangkalan Ba’asyir atas masih aktifnya di NII didasari oleh peristiwa
lepasnya Ba’asyir dan Abdullah Sungkar dari NII ketika di Afghanistan yang
kemudian mendirikan organisasi baru yaitu Jamaah Islamiyah dimana organisasi
ini juga diisukan memiliki jaringan dengan Al-Qaedah pimpinan Usamah bin
Ladin. Abu Bakar Ba’asyir juga sudah lepas komunikasi dengan NII ketika
hijrahnya ke Malaysia. Alasan lepasnya Ba’asyir ini karena tujuan Ba’asyir
sendiri yang menginginkan sifat ke universalan dari Islam itu sendiri
dibandingkan dengan NII yang hanya sebatas wilayah regional saja. Ini termasuk
cita-cita Ba’asyir dalam menegakkan negara Islam yang tidak hanya sebatas
nasional saja melainkan transnasional.
Setelah mendirikan organisasi baru di Afghanistan dengan Jamaah
Islamiyah-nya, mereka kemudian kembali ke Malaysia. Di Malaysia inilah
Ba’asyir dan Abdullah Sungkar mendirikan Madrasah Lukmanul Hakim yang
kemudian di madrasah ini juga Ba’asyir bertemu dengan Azahari dan Noordin M
Top sebagai muridnya.
Pada masa ini Ba’asyir kemudian diangkat menjadi amir JI baru karena
meninggalnya Abdullah Sungkar. Dampak dari wafatnya Abdullah Sungkar ini
menimbulkan banyak anggota JI yang kemudian memisahkan diri untuk
menonaktifkan dari kegiatan JI walau tanpa ada pernyataan tertulis bahwa mereka
resmi keluar dari JI. Ada di antara senior dan anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah
ditingkat pimpinan pada waktu itu yang kurang setuju dengan pengangkatan Abu
Bakar Ba’asyir selaku Amir72
.
Pertentangan lainnya ketika Abu Bakar Ba’asyir kemudian maju sebagai
Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) pada bulan Agustus 2004. Ada
pertentangan pendapat diantara pemimpin JI antara pihak yang setuju dengan
terlibatnya Ba’asyir di MMI dengan pihak yang tidak setuju.
Pada saat itu terjadi perselisihan antara pemimpin JI. Pada dasarnya Abu
Bakar Ba’asyir bersedia meletakkan pimpinan JI, namun di antara pimpinan dan
senior tidak menginginkan Abu Bakar Ba’asyir meletakkan jabatannya tersebut,
sehinga sempat mengancam akan keluar dan tidak aktif di dalam Al-Jamaah Al-
Islamiyah seandainya Abu Bakar Ba’asyir dihentikan jabatannya73.
Untuk menjaga keutuhan dari organisasi JI maka Ba’asyir mengambil
sikap untuk memangku dua jabatan, sebagai Amir MMI dan JI. Akibatnya,
Ba’asyir mengalami kesulitan dalam menangani dua organisasi besar tersebut
sampai pada akhirnya Ba’asyir menunjuk Zulkarnain sebagai Pelaksana Tugas
Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah. dengan Amir masih dipegang oleh Ba’asyir
sampai terpilihnya Amir yang baru.
Dengan bubarnya para pengikut JI ini, maka konsentrasi dari organisasi ini
akhirnya terpecah selain karena diantara JI sendiri ada bagian-bagian penanggung
jawab operasi wilayah dimana mereka tidak mengetahui penanggung jawab
wilayah lain dikarenakan sifat dari JI ini yang juga tertutup walau sesama
anggota. Pengikut JI yang keluar juga masih dapat mengakui keanggotaannya
72 Ibid., h. 304.
73 Ibid., h. 305
dikarenakan tidak ada pembuktian bahwa mereka keluar secara resmi. Hal ini
membuat kebingungan antar sesama anggota dan tingkat pimpinan.
Kebingungan dan kemarahan dari angota Al-Jamaah Al-Islamiyah baik
dari tingkat pimpinan hingga ketingkat bawahan kembali terjadi ketika peristiwa
bom pada malam Natal tahun 200074
. Hal ini kemudian diikuti dengan aksi lain
seperti, bom Bali tahun 2002, Agustus 2003 bom Marriott, September 2004 bom
di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta, dan Oktober 2005 bom bunuh diri
di Jimbaran dan Kuti ( di Pulau Bali)75
.
Banyak diantara pelaku bom malam Natal ini adalah anggota JI dan NII
yang direkrut oleh Hambali. Hambali ini membuat kelompok baru dalam aksinya
tersebut, hal ini membuat kebingungan dari anggota dan pemimpin JI karena
Hambali melakukan sendiri aksinya diluar dari batas tujuan JI sendiri. Mulai dari
sinilah sistem perjuangan JI semakin tidak jelas dan keluar dari platform awal
yang bertujuan untuk menyebar ke Islaman sesuai tuntutan Rasulullah.
Penolakan Ba’asyir atas tuduhan yang diarahkannya terkait keterlibatan
dengan organisasi NII dan JI ini ada beberapa alasan. Pertama dalam kasus NII,
Ba’asyir hanya menjadi orang kepercayaan Abdullah Sungkar, Ba’asyir kemudian
tetap aktif dalam kegiatan mengajar di pondok pesantrennya. Sedangkan Abdullah
Sungkar terus melakukan dakwah di berbagai tempat.
74 Ibid., h. 307.
75 “Terorisme di Indonesia,” artikel diakses pada tanggal 28 Oktober 2009 dari
www.crisisgroup.org/home/index.cfm?id=3630&l=1
Kedekatan Abu Bakar Ba’asyir dengan Abdullah Sungkar dapat dilihat
dengan persamaan visinya dalam mewujudkan cita-cita negara Islam yang dimana
sistem kenegaraannya dilandasi oleh syariat khususnya di Indonesia. Hal ini dapat
dilihat dari pemikiran Abdullah Sungkar kritik kerasnya terhadap paham
nasionalis. Meyakini bahwa negara Indonesia adalah milik bangsa Indonesia
berarti telah merusak Tauhid Rububiyah seorang Mu’min, sebab pada hakekatnya
Allah lah pemilik segala makhluk, termasuk negara Indonesia dan penghuninya76
.
Kedekatan dengan Abdullah Sungkar ini kemudian diperkuat dengan
memiliki cita-cita yang sama bahwa kepemimpinan negara yang benar itu adalah
kepemimpinan yang sudah di contohkan pada sistem Khilafah terdahulu.
Persamaan visi ini merupakan cerminan dengan visi yang di jalankan Ba’asyir
pada saat ini.
Penolakan Ba’asyir atas keterlibatan di JI dalam salah satu persidangannya
bisa jadi karena ada alasan tertentu sehingga Ba’asyir dengan tegas menolak
keterlibatannya langsung di tubuh JI. Ba’asyir beralasan bahwa JI yang telah
dilaporkan oleh pihak ICG merupakan hasil dari rekayasa Barat hanya untuk
menjeratnya di dalam penjara. Penjelasan tentang JI yang dilaporkan dinilai tidak
berimbang dan berdasar. Dalam kasus ini memang masih menjadi suatu
perdebatan tersendiri tentang bagaimana bentuk utuh Jamaah Islamiyah itu
ditambah para anggota JI yang memiliki tingkat solidaritas sendiri untuk menutupi
76
Muh. NurSalim, “Pemikiran politik Ustadz Abdullah Sungkar,” artikel diakses pada tanggal 28
Oktober 2009 dari http://www.msi-
uii.net/baca.asp?katagori=rubrik&menu=Millah&baca=artikel&id=266.
pergerakannya sejalan dengan sifat organisasi JI sendiri sebagai Tanzim Sirri
dengan kata lain merupakan suatu organisasi rahasia baik secara ideologis serta
dalam hal pergerakan. Karena situasi inilah Ba’asyir beberapa kali keluar-masuk
penjara tanpa ada kejelasan bukti bahwa Ba’asyir secara nyata adalah sebagai
salah satu tokoh penting di tubuh JI.
2. Ba’asyir Bergabung dengan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI)
Selain telah melalui pengalaman keluar masuk penjara, Ba’asyir juga
bergabung dengan Majelis Mujahiddin Indonesia. Pada kongres yang pertama di
Yogyakarta, Ba’asyir terpilih sebagai amir Mujahiddin pada tanggal 5-7 Agustus
2000 untuk periode 2000-2009. MMI adalah salah satu ormas Islam yang agenda
utamanya adalah perjuangan syariat Islam.
Menurut Ba’asyir, MMI yang dipimpinnya menggunakan cara perjuangan
Rasulullah, menyampaikan dakwah secara jelas kepada semua umat tentang
syariat. Penyampaian syariat ini tidaklah dengan melakukan gerakan-gerakan
yang radikal. MMI sangat vokal dalam membela kepentingan umat Islam dan
berani mangambil sikap terhadap lawannya pada saat itu yaitu Presiden Amerika
Serikat, George W Bush serta Perdana Menteri Ariel Sharon untuk dibawa ke
Mahkamah Internasional dalam hal sebagai teroris.
MMI secara eksplisit menyatakan tidak ingin mendirikan negara Islam,
meskipun berniat menegakkan syariat Islam di Indonesia77
. MMI menggunakan
cara yang terbaik untuk mengaplikasikan syariat Islam di Indonesia tanpa harus
berhadapan dan bertentangan dengan pemerintah. Hal ini juga merupakan satu
agenda dalam kongres MMI yang pertama.
77
Idi Subandy Ibrahim & Asep Syamsul M. Romli, Kontroversi Ba’asyir. h. 39
Dalam tujuan menegakkan syariat Islam, MMI telah memprogramkan
perjuangannya yang telah disetujui dan disahkan dalam kongres Mujahidin I di
Yogyakarta pada 5 Agustus 2000. Program politik MMI diantaranya; 1. Menuntut
agar Pemerintah melaksanakan syari’ah Islam secara kaffah dalam kehidupan
berpolitik dan bernegara, 2. Membangun kekuatan politik Islam dengan mendesak
partai-partai Islam untuk bersatu padu memperjuangkan tegaknya syari’ah Islam,
3. Menciptakan Pemerintahan yang menjamin pelaksanaan Syari’ah Islam bagi
pemeluknya-pemeluknya, dengan tetap memberi kemerdekaan bagi umat
beragama lain untuk melaksanakan ajaran agamanya, 4. Memiliki media massa
untuk menyebarluaskan program-program mujahidin78
.
Untuk memperjuangkan kesepakatan tersebut maka MMI membentuk
perwakilan atau Laskar Mujahidin di setiap wilayah. Segala pokok permasalahan
yang melanda kaum muslimin bangsa Indonesia dari masa awal kemerdekaan baik
berupa tragedi politik maupun kemanusiaan adalah belum berlakunya syari’ah
Islam. Selama ini politik di Indonesia berada pada tangan orang yang salah yang
tidak mau melaksanakan syariat secara utuh di dalam formalisasi kenegaraan.
MMI yang dipimpin Ba’asyir ini memiliki alasan mengapa satu tema besar
yang diperjuangkannya yaitu penegakkan syariat terus diperjuangkan adalah,
pertama, alasan akidah (ideologis), dimana setiap muslim yang lurus akidahnya
pasti menginginkan berlakunya syariat Islam sebagai konsekuensi logis dari
pengakuan sebagai muslim, sehingga mereka terhindar dari bencana. Kedua,
alasan historis (siroh), dimana perjalanan sejarah umat Islam sejak zaman
Rasulullah Saw, hingga khulafaur rosyidin dan khilafah sesudahnya, yang mereka
78
Irfan S Awwas, ed., Risalah Kongres Mujahidin I dan Penegakan Syari’ah Islam (Yogyakarta: Wihdah Press, 2001), h., 145.
itu para tabi’in dan solafus sholeh hingga akhir runtuhnya khilafah Utsmaniyah di
bawah Sukthan Abdul Hamid II tahun 1924 M, mereka semua hidup dalam satu
sistem Islam, yaitu sistem khilafah dengan tetap menjaga wildatul ummah dan
wildatul imamah. Ketiga, berkenaan dengan realitas masa kini dengan munculnya
era globalisasi yang justru diwarnai dengan krisis dimensional yang
berkepanjangan, saatnya umat Islam dituntut untuk lebih berani dalam
menawarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits dengan tanpa ragu dan minder demi
mengatasi segala macam problema yang menimpa umat manusia79
. Dengan alasan
tersebut, MMI beralasan bahwa tegaknya syariat Islam sangat mendesak.
Perhatian Ba’asyir dengan MMI juga dapat dilihat dari sikap penolakan terhadap
pengangkatan Megawati sebagai presiden. Sikap kepemimpinan perempuan
menjadi perdebatan khusus sendiri bagi kelompok Islam. Di dalam Islam politik
kepemimpinan perempuan ini sah dikarenakan adanya alasan darurat walau
memiliki kesan adanya kepentingan politik yang kemudian munculah paradigma
tersebut. MMI memiliki sikap sendiri, MMI menyatakan alasan darurat
sebagaimana dijadikan dasar partai politik tersebut tidak dapat dibenarkan dalam
Islam. Sebab, pengertian darurat dalam Islam menyangkut masalah hidup dan
mati, di samping itu realitas di Indonesia masih terdapat banyak alternatif presiden
yang bervisi Islam dan memiliki kemampuan80
.
3. Keluar dari Majelis Mujahidin Indonesia
Pada tahun 2008, Abu Bakar Ba’asyir keluar dari MMI dengan alasan
sistem kepemimpinan dan tata keorganisasian majelis ini sudah tidak mengikuti
79
Ibid., h. 193 80
Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2008), h. 288.
aturan Islam lagi. Ba’asyir mengkritik seharusnya perintah dan keputusan berada
di Amir bukan di Lajnah Tanfidziah. Kedudukan Amir di dalam Islam berada di
tempat yang paling tinggi, oleh karena itu sudah seharusnya di taati dan didengar.
Pengunduran diri Ustad Ba'asyir tersebut juga murni kemauannya sendiri, dan
tidak ada tekanan dari luar. Menurutnya, selama ini Abu Bakar Ba'asyir
sebenarnya telah melakukan dakwah di internal MMI. Kendati demikian banyak
anggota MMI yang tidak menyetujui pelurusan yang ditanamkan Abu Bakar81
.
Setelah keluar dari MMI, Ba’asyir kemudian mendirikan organisasi baru
yang mengklaim menggunakan sistem jamaah atau imamah. Organisasi ini
kemudian diberi nama Jamaah Ansharut Tauhid yang menjawab kebutuhan umat
akan adanya jamaah yang menjadi wadah bagi umat yang masih memiliki Ghirah
(semangat) untuk menegakkan kalimah Allah dengan jalan Dakwah dan Jihad fi
sabilillah di muka bumi, dan merupakan sebagai sarana menuju tegaknya kesatuan
umat Islam di bawah kepemimpinan yang satu, yaitu khilafah Islamiyah,
mengingat membangun kesatuan umat yang besar ini membutuhkan sebuah
proses bertingkat dan bertahap, dimana jama’atul muslimin (jama’ah Umat Islam)
takkan bisa di tegakkan kecuali dengan melewati masa membangun jamaah min
ba’dhil Muslimin (jama’ah sebagian Umat Islam) dengan cara-cara yang sesuai
ajaran Sunnah Nabi saw82
.
Konsep organisasi Islam berbeda dengan konsep yang organisasi
demokratis yang banyak dipakai pada zaman ini, menyangkut masalah amir atau
81 Novel, “Mundur dari MMI, Bulan Ramadhan Ustad Ba’asyir Bentuk Organisasi Baru,”
artikel diakses pada 26 Agustus 2009 dari http://www.eramuslim.com/berita/nasional/mundur- dari-mmi-bulan-ramadhan-ustad-ba-039-asyir-bentuk-organisasi-baru.htm.
82 “Mengenal Jamaah Ansharut Tauhid,” artikel diakses pada 9 Agustus 2009 dari
http://www.ansharuttauhid.com/jamaah/mengenal-jat.html.
pemimpin. Amir dalam konsep jamaah-imamah tidak dipilih secara periodik
melainkan ia dipilih hanya sekali, dan tetap akan menjadi amir selama masih ada
kemampuan dan tidak melanggar syariat. Ba’asyir mengkritik konsep
pengangkatan pemimpin dalam sistem demokrasi saat ini karena pengangkatan
amir hanya menghabiskan dana yang tidak sedikit.
Walau sikap Ba’asyir ini mendapatkan kritikan, Ba’asyir tetap dengan
pendiriannya membentuk organisasi yang visi misinya ingin menegakkan sistem
Imamah. Banyaknya organisasi Islam yang berkembang dianggap wajar dalam
pandangan Ba’asyir karena selama Khilafah Islam belum terbentuk maka selama itu
organisasi-organisasi Islam ada untuk memperjuangkan cita-cita tersebut.
Ba’asyir mengajak semua jamaah yang ada untuk bersatu padu memperjuangkan
syariat Islam. Abu Bakar Ba’asyir juga mengajak setiap jamaah yang ada untuk
membenahi diri sehingga layak dikatakan sebagai thaifah manshurah atau
kelompok yang mendapat kemenangan dari Allah SWT.
Mengenai masalah kepemimpinan dan perjuangan menuju khilafah, di
tekankan juga pada deklarasi Ansharut Tauhid pada tanggal 17 September 2008.
Penekanan itu terletak pada poin tentang kepemimpinan yang tertulis bahwa amir
dapat memimpin jika masih ada kekuatan dalam menjalankan amanah dan tujuan
perjuangannya adalah untuk menegakkan Daulah atau Khilafah Islamiyyah. Jadi,
tidak perlu adanya penggantian Amir secara periodik dalam suatu kongres, seperti
yang dilaksanakan oleh ormas-ormas yang mengikuti sunnah Yahudi83.
83 Abu Bakar Ba’asyir, “Taujih AM, Amir Jama’ah Ansharut Tauhid,” artikel diakses
pada 7 Agustus 2009 dari http://www.ansharuttauhid.com/jamaah/sistem-organisasi.html.
Syariat Islam memang merupakan harga mati menurut Abu Bakar
Ba’asyir. Menurutnya, justru karena Indonesia adalah bermayoritaskan pemeluk
Islam, maka usaha menegakkan syariah ini diharuskan. Kelompok-kelompok yang
mempunyai cita-cita menegakkan syariat Islam bukanlah musuh negara,
melainkan orang-orang yang menghalangi tegaknya syariat adalah musuh negara
yang sebenarnya karena negara tidak menghalangi umat beragama menjalankan
agamanya masing-masing84
.
D. Hasil Pemikiran Abu Bakar Ba’asyir
Ba’asyir mencurahkan pikirannya tentang bagaimana syariat Islam harus
dijalankan sesuai dengan ajaran di dalam Al-Quran dan sunnah dalam bukunya
yang berjudul Catatan Dari Penjara: Untuk Mengamalkan dan Menegakkan
Dinul Islam.
Buku yang dibagi menjadi tiga bab pembahasan ini menjelaskan
bagaimana pemahaman Islam Ba’asyir sejalan dengan cita-citanya untuk
mendirikan negara Islam. Buku ini juga sekaligus menjawab sikapnya atas aksi
terorisme yang mengatasnamakan Islam serta menjawab apakah benar Ba’asyir
merestui dan mengajarkan kekerasan serta terorisme.
Dalam penyampaian pemikirannya tentang Dinul Islam di dalam buku ini,
Ba’asyir banyak menggunakan dalil sebagai dasar dalam mengaplikasikan Dinul
Islam di dunia. Pertama, Ba’asyir mengharuskan pendirian Dinul Islam harus
sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah, bukan dengan keinginan dari masyarakat.
Cara mengamalkan Dinul Islam ini haruslah dengan hati yang bersih dan
84 Wawancara dengan Abu Bakar Ba’asyir, “Syariat Islam Harga Mati,” video diakses
pada tanggal 5 Agustus 2009 dari
http://www.youtube.com/watch?v=faoHc6xMyjk&feature=related.
menghindari sejauh mungkin dari kemusyrikan, ke-jahiliyah, serta bersih dari
kepemimpinan kafir serta sekular. Tegaknya Dinul Islam ini juga melalui suatu
kekuasaan politik yang bersistem Khilafah.
Kedua, Ba’asyir membahas bagaimana cara untuk mendakwahkan dan
menegakkan Dinul Islam. Baasyir juga membedakan tentang perbedaan antara
mendakwahkan Dinul Islam dan menegakkan Dinul Islam. Mendakwahkan Dinul
Islam bukan berarti sebagai mengaplikasikan kekuasaan Daulah Islamiyah atau
khilafah, tetapi hanya sebatas diamalkan secara perorangan atau berkelompok
namun bukan secara birokrasi. Hal ini tidak dapat dikatakan pengamalan secara
kaffah dan bersih dikarenakan musuh-musuh Islam masih dapat mengganggu
umat Islam.
Pengertian tegaknya Dinul Islam adalah berdirinya Daulah Islamiyah,
sehingga syariat dapat dijalankan dengan seutuhnya, kaffah dan bersih. Dinul
Islam inilah dapat ditegakkan melalui jalan dakwah seperti melaui pendidikan,
tabligh, kegiatan sosial serta yang paling akhir yaitu dengan jihad fisabilillah
untuk memerangi pihak-pihak yang menghalangi tegaknya kekuasaan Islam atau
khalifah.
Ketiga, Ba’asyir menguraikan tentang bagaimana cara mendakwahkan dan
menegakkan Dinul Islam pada zaman dewasa ini. Telah ditekankan oleh Allah
bahwa syariat Islam akan selalu murni tanpa terkontaminasi oleh perubahan
zaman dan tempat. Maka, sudah seharusnya umat Islam untuk bersama
menegakkan Dinul Islam dengan memperdalami dakwah dan tabligh serta dengan
memahami makna jihad dan i’dat (menyusun kekuatan senjata) secara seutuhnya.
Ba’asyir menilai sistem demokrasi sebagai sistem yang tidak sesuai
dengan aturan Allah. Karena pada dasarnya di dalam sistem demokrasi
perundangan yang dipakai menentang kedaulatan Allah sehingga dapat membawa
kemurtadan karena segala penetapan undang-undang diserahkan kepada manusia.
Hal inilah yang dikritik keras oleh Ba’asyir.
E. Profil Singkat Pesantren Al-Mukmin
Berbicara Ba’asyir, tidak terlepas dari latar belakangnya yang membentuk
karakter Ba’asyir serta pemikirannya. Ba’asyir sepanjang hidupnya dikelilingi
oleh lingkungan yang agamis, sehingga secara perlahan membentuk karakter yang
membangun sifatnya sampai sekarang. Lingkungan agamis ini yang kemudian
membawanya sampai kepada lingkungan pendidikan dimana Ba’asyir dengan
dedikasinya mendirikan tempat pendidikan yang diberi nama pondok pesantren
Al-Mukmim, Ngruki.
Pondok Pesantren ini didirikan untuk mentanamkan akidah Islam kepada
santrinya dan di dalam kesehariannya di pesantren ini, Ba’asyir menggunakan
syariat dalam penerapannya. Karena faktor terakhir ini, sampailah Baasyir di
tangkap oleh pihak kepolisian. Dari pesantren ini juga, dihasilkan banyak lulusan
yang tersebar di Indonesia, yang mengisi semua bidang keahlian termasuk yang
paling ekstrem sebagian lulusan ini juga menjadi tersangka atas aksi peledakan
pada sejumlah tempat di Indonesia.
Pesantren Al-Mukmin terletak di Dukuh Ngruki, Desa Cemani,
Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo, hanya berjarak 2 kilometer dari kota
Solo. Lokasi pesantren ini juga terletak tidak jauh dari bekas markas Laskar
Jihad85.
Awal dari berdirinya pesantren ini dimulai dari adanya pengajian kecil
yang diadakan secara rutin selepas dzuhur di Masjid Agung Surakarta. Pengajian
ini kemudian berkembang sampai pada akhirnya terbentuk sebuah Madrsah
Diniyah yang juga didukung penuh oleh radio lokal, Radio Dakwah Islamiyah
Surakarta (RADIS). Madrasah ini kemudian berkembang pesat dan mendapatkan
perhatian penuh dari penduduk sekitar sampai pada akhirnya ada inisiatif dari para
ulama yang mengisi talim tersebut untuk mengasramakan para murid yang
mengikuti pengajian rutin itu.
Realitas sosial masyarakat Solo pasca tahun 1965 dan timbulnya berbagai
ancaman yang dianggap membahayakan eksistensi Islam serta umatnya pada
waktu itu, semakin memotivasi semangat para mubaligh se-Surakarta untuk
segera mewujudkan pendidikan pondok pesantren. Hal ini juga didasarkan pada
perspektif dan pertimbangan sejarah bahwa pesantren pada zaman dulu telah
memiliki andil dan peran yang sangat besar dalam membela, memperjuangkan
dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia86
.
Tingkat pendidikan Al-Mukmin terbilang cukup lengkap. Tersedia
pendidikan dari tingkat taman kanak-kanak sampai pendidikan setingkat SMU
yang disebut aliyah. Jika terus ingin melanjutkan pendidikan setelah SMU, santri
85 Fadjar & Imron Rosyid, “Pesantren Ngruki dan sejumlah Tuduhan: Jalan Islam tanpa
Madzhab” (Jakarta, Tempo, 8 Desember 2002), h. 33. No. 40/XXXI/h. 34 86
“Pondok Pesantren Islam Al Mukmin Ngruki Sukoharjo,” artikel diakses pada tangal 31 Juli 2009 dari http://almukmin-
ngruki.com/index.php?option=com_content&view=article&id=53:pondok-pesantren-islam-al-
mukmin-ngruki-sukoharjo&catid=51:profile-pesantren&Itemid=66.
dapat masuk ke unit Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyah (KMI) untuk santri pria
dan Kulliyatul Muallimat Al-Islamiyah untuk santri wanita.
Seperti pada pesantren umumnya, Al-Mukmin ini menggunakan
kurikulum Departemen Pendidikan Nasional dengan maksud lulusan pesantren ini
dapat melanjutkan ke pendidikan formal. Untuk materi utama pendidikan
pesantren ini seperti umumnya juga, mengajarkan bahasa Arab serta cabang
ilmunya sepert ilmu Nahwu, Shorof, dan Balaghoh. Untuk bahasa pengantar di
pondok ini menggunakan tiga bahasa menurut materi yang diberikan. Bahasa
Arab untuk penyampaian materi keagamaan, bahasa Inggris untuk pengantar
pelajaran Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia untuk pengantar materi ilmu
umum.
Pesantren Al-Mukmin memberikan ilmu tingkat lanjut bagi para santri
tingkat lanjut. Menjelang kelulusan santri kelas VI, misalnya, mereka diajari
membuka kitab, fikih Bidayah Mujtahid karya Ibnu Rusyd, yang menyuguhkan
pemikiran multi mazhab.87
Pengajaran ini ditujukan bagi santri untuk dapat
memahami berbagai mazhab yang ada dengan berbagai alasan masing-masing.
Secara garis besar, pesantren Al-Mukmin tidak seperti pesantren
tradisional lainnya yang pada umumnya menggunakan paham Ahlussunah wal
Jamaah. Mengikuti tradisi Muhammad dan ijma’ ulama. Al-Mukmin
menggunakan rujukan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kedua sumber tersebutlah yang
kemudian mewarnai aktifitas dari para santri di pesantren Al-Mukmin.
87 Fadjar, “Pesantren Ngruki dan Sejumlah Tuduhan,” Tempo, 8 Desember 2009. h. 33
Kitab tafsir yang digunakan tidak sama dengan pesantren lainnya yang
pada umumnya menggunakan tafsir Al-Jalalain. Pesantren ini menggunakan kitab
klasik Ibnu Katsir (1973) untuk para santri. Bagi para pengajar, mereka
memegang tafsir Fi Dhilail Quran karya Sayid Qutub dan tafsir Al-Manar karya
Muhammad Rasyid Ridho.
Dari tata cara pengajaran yang diberikan kepada santri di pesantren Al-
Mukmin tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pesantren tersebut termasuk ke
dalam kelompok salafi.
Salaf merupakan manhaj (sistem hidup dalam ber-'aqidah, beribadah,
berhukum, berakhlaq dan yang lainnya) yang wajib diikuti oleh setiap muslim.
Jadi, pengertian Salaf dinisbatkan kepada orang yang menjaga keselamatan
'aqidah dan manhaj menurut apa yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam dan para Shahabat Radhiyallahu 'anhum sebelum terjadinya
perselisihan dan perpecahan88
.
Dari awalnya berdiri, pesantren ini kerap bermasalah bagi pemerintah,
mereka adalah penentang asas tunggal Pancasila yang diusung oleh Presiden
Soeharto pada saat itu. Selanjutnya Ngruki disebut sebagai penyalur orang-orang
yang berbahaya. Kaitan antara para tokohnya kemudian tergambar dalam analisis
International Crisis Group. Kelompok yang dipimpin Sidney Jones, peneliti dari
New York, Amerika Serikat, yang memfokuskan diri pada hak asasi manusia di
Indonesia itu, menerbitkan makalahnya yang bertajuk “Al-Qaidah in Southeast
Asia: The Case of the Ngruki Network in Indonesia”. Makalah itu memaparkan
88
“Salafus Shalih: Pengertian Salaf,” artikel diambil pada 5 Agustus 2009 dari
http://id.islamiclopedia.org/wiki/Salafus_shalih.
bahwa orang-orang tertentu di Ngruki – termasuk Ba’asyir – punya kontak dengan
biang aksi teror di kawasan Asia Tenggara89.
Pesantren Ngruki pernah dikaitkan dengan peristiwa peledakan Candi
Borobudur (Maret 1985). Tapi tidak ada bukti kuat bahwa peledakan yang
merupakan protes terhadap peristiwa Tanjung priuk (1983) itu – yang menurut
versi kelompok Islam telah menewaskan lebih dari 100 orang – didalangi oleh
tokoh-tokoh di Pondok Ngruki90
.
Pesantren ini memang menolak pengaruh Amerika, hal ini terlihat dari
kehidupan sehari-hari para santri tersebut. Mereka tidak di perbolehkan melihat
televisi melainkan hanya siaran berita dan pendidikan saja. Bagi pesantren ini, ke
moderenan tidak harus mengikuti pola Barat, tetapi bagi mereka, kemoderenan
adalah bagaimana dapat bersikap dan berprilaku yang benar.
Penghormatan bendera juga tidak dilakukan di lingkungan pondok ini,
karena segala penghormatan bagi lambang negara dan bendera negara termasuk
ke dalam perbuatan sirik. Hal ini berlaku bagi para santri. Tauhid harus secara
murni ditegakkan di dalam lingkungan pondok. Tujuan dari pondok ini adalah
menjadikan lulusannya dapat mengamalkan Islam secara murni di masyarakat,
mengamalkan syariat Islam dalam aplikasi kehidupan santri di luar pondok.
Dengan demikian diharapkan untuk mewujudkan cita-cita pendirian syariat Islam
akan segera terwujud melalui individu-individu yang sudah tetanamkan nilai-nilai
Islam, bukan dengan bentuk kekerasan.
89 Irfan Budiman, “Jihad Al-Mukmin Sampai ke Kantin,” Jakarta, Tempo, 8 Desember
2009, h. 30. No. 40/XXXI/ 90
Bina Bektiati, “ Pesantren Al-Mukmin, Ngruki: Eksklusif tapi Tak Misterius,” Tempo, 3 Februari 2002, h. 27.
BAB IV
PEMIKIRAN ABU BAKAR BA’ASYIR
TENTANG NEGARA ISLAM
Dalam pembahasan kali ini akan difokuskan kepada pemikiran Abu Bakar
Ba’asyir tentang konsep negara Islam dan usahanya dalam memperjuangkan
implementasi tentang konsep tersebut. Sesuai dengan latar belakang hidup dan
perjalanannya yang dilingkupi oleh basic agama yang kuat itulah, Ba’asyir terus
menyampaikan akan pentingnya syariat Islam untuk diterapkan tidak hanya dalam
kehidupan sehari-hari namun juga pentingnya syariat Islam itu masuk ke dalam
sistem kenegaraan.
Ba’asyir menganggap perlu syariat masuk ke dalam sistem kenegaraan
karena hal ini merupakan suatu cara untuk menyelamatkan Islam itu sendiri dari
serangan paham-paham sekuler. Menurutnya, Allah, selain menurunkan Islam
juga menurunkan sistem bagaimana cara mengamalkan Islam. Dari pendapat ini
dapat dipahami bahwa syariah merupakan hal yang wajib ada di dalam sistem
negara karena ini sudah merupakan perintah dari Allah.
Wajib hukumnya bagi umat Islam dalam menjalankan syariah tidak hanya
di dalam kehidupan sosial melainkan di dalam lingkup kenegaraan. Untuk
mengamalkan syariat Islam diperlukan kekuasaan politik (negara). Umat Islam
wajib berjuang memprioritaskan berjalannya syariat Islam. Tegaknya syariat
Islam akan memecahkan segala persoalan bangsa91
.
91
Abu Bakar Ba’asyir, “Sebuah Jaringan untuk Kaderisasi Mujahidin dalam membentuk
Masyarakat Islam” dalam Irfan Suryahardy Awwas, ed., Risalah Kongres Mujahidin I dan
penegakan Syari’ah Islam (Yogyakarta: Wihdah Press, 2001), h. 243.
Ba’asyir juga menyetujui bahwa segala persoalan bangsa Indonesia saat ini
adalah karena belum diberlakukannya syariat secara utuh. Syariat ada namun itu
masih berjalan kurang maksimal dan masih ada campur tangan dari sistem
sekuler dimana menurut Ba’asyir, demokrasi masuk dalam kategori sistem
sekuler, sistem yang dibawa dari pihak barat.
Jika syari’ah dapat berjalan secara utuh dan menyeluruh, maka jaminan
akan tertibnya komponen negara akan terwujud serta tidak ada kekhawatiran
masuknya pengaruh-pengaruh barat yang merusak Islam serta mendistorsikan
berlakunya syariat. Suatu jaminan yang menurut Ba’asyir sudah dijanjikan oleh
Allah dalam Qur’an dan sunnah.
Selama ini anggapan bahwa penegakkan syariat akan membawa dampak
pemecahan bangsa merupakan suatu hal yang berlebihan dan tidak mendasar.
Justru dengan syariat maka keutuhan umat akan terjaga dari isu disintegrasi.
Pemberlakuan syariat dan pemberlakuan ketentuan agama lain justru akan
mencegah disintegrasi bangsa. Umat memiliki hak untuk menjalankan ajaran
agamanya secara utuh dan justru harus dilindungi oleh negara. Syariat ini
merupakan suatu aturan yang global atau universal sehingga jika diberlakukan
syariat tersebut maka akan mencakup juga kepada agama-agama lainnya karena
pada prinsipnya syariah memiliki nilai-nilai kebaikan yang dimiliki oleh agama
lain.
Dari pemaham inilah kelompok gerakan Islam termasuk Abu Bakar
Ba’asyir sendiri menjadikan agenda penerapan syariat merupakan suatu agenda
yang utama yang urgent harus diperjuangkan sampai masuk ke dalam sistem
kenegaraan sehingga terciptalah suatu masyarakat dibawah satu kepemimpinan
Islam yang ruang lingkup kecilnya Ba’asyir sebut dengan Daulah sampai secara
menyeluruh yang disebut dengan sistem khilafah.
D. Pemikiran Abu Bakar Baasyir Tentang Negara Islam
Ba’asyir merupakan salah satu tokoh yang bisa dinilai berani dalam
menyampaikan idenya dalam memperjuangkan syariat secara utuh sehingga
terciptanya suatu negara Islam. Ba’asyir mendasarkan pemikirannya sesuai
dengan tuntunan Al-Quran dan Sunnah. Setidaknya itulah yang disampaikan
Ba’asyir pada wawancara pribadi dengan penulis.
Negara Islam bagi Ba’asyir adalah negara yang dimana sistem kekuaasaan
yang dijalankan sesuai dengan syariat yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah.
Penerapan syariat di dalam sistem kekuasaan ini telah diatur tata caranya oleh
Allah melalui kedua sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan sunnah seiring
dengan diturunkannya agama Islam itu sendiri, seperti yang dikatakan olehnya:
“…jika kita membaca Qur’an dan hadis dapat saya simpulkan disamping Allah menurunkan Islam sebagai konsep hidup yang menyelamatkan (ummat), Allah juga menurunkan sistem bagaimana cara mengamalkan Islam. Jadi, konsep dinul Islam itu baru bisa menemui sasarannya itu kalau cara mengamalkannya mengikuti sistem yang
ditetapkan oleh Allah.92”
Ba’asyir mendasari pemikirannya bahwa manusia harus mengikuti ajaran-
Nya termasuk syariat Islam ini dengan mengutip ayat Qur’an surat Al-An’am:
berikut:
92
Wawancara pribadi dengan Abu bakar Ba’asyir, Pondok Pesantren Al-Mukmin,
Ngruki, Surakarta, 27 September 2009.
��� �� � ��� ���� ���� ������ ��� ������� ���� �� ������ �� ��� �� ��
����� �� ���� ����� �� �� ������ ������ � �����
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang
lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang
lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. yang
demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.”
Menurut Ba’asyir, di dalam kehidupan dunia saat ini belum ada satupun
negara yang menerapkan syariat Islam secara utuh, khususnya pada negara-negara
yang bermayoritaskan penduduknya beragama Islam. Jika adapun, Ba’asyir
melihat bahwa syariat masih dijalankan setengah hati dan ada campur tangan dari
pihak pemahaman sekuler atau pemahaman kafir
1. Negara Islam dalam Pandangan Ba’asyir
Melihat dinamika yang ada di Indonesia, dimana terjadi tingkat pluralitas
yang tidak hanya terkait pada maslah kebudayaan melainkan juga dlaqm hal
keyakinan, Ba’asyir tidak menafikan akan kondisi tersebut. Ba’asyir sadar akan
kemajemukan budaya dan agama pada saat ini, namun bagi Ba’asyir tidak
menjadikan suatu hambatan tersendiri dalam meloloskan ide dalam pembentukan
negara Islam.
Negara Islam memiliki kemampuan dalam menyatukan kondisi
kemajemukan tersebut. Perbedaan nilai-nilai moral kemasyarakatan akan
dicocokan dengan nilai-nilai yang terkandung pada syariat Islam. Setiap nilai
moral memiliki sifat-sifat kebaikan tersendiri dan hal itulah yang akan
diselaraskan dengan syariat Islam dan tetap akan dihormati sebagai suatu budaya
berbangsa yang majemuk, seperti apa yang dikatakan Ba’asyir:
“Sandarannya kan syariat, adat dicocokan, dilihat, cocok,
dipelihara bahkan menjadi hukum, yang melanggar adat bisa di hukum.
Tidak cocok dibuang.93”
Ba’asyir berpendapat bahwa negara Islam merupakan satu-satunya
tatananan undang-undang serta tatanan hidup yang terus bertahan dalam berbagai
zaman. Dengan hakikat kebenaran murni yang terkandung di dalam Islam,
berbagai propaganda politik yang dimainkan Barat tidak akan dapat mampu untuk
melenyapkan nilai-nilai positif Islam tersebut94
. Ba’asyir melandasi pemikirannya
ini dengan mengacu kepada Al-Qur’an surat At-Taubah, ayat 9, berikut:
�� �� ��� �� ���� �� ��� �� � ������ �������� ���� ����� �� ������
���� ��������
“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan- ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain
menyempurnakan cahayaNya, walaupun orang-orang yang kafir tidak
menyukai.”
Negara Islam bagi Ba’asyir tidak harus diikuti dengan penyebutan Islam
pada nama negara. Suatu negara Islam menjadi suatu yang sia-sia jika di dalam
hukum positifnya syariat Islam dijalankan secara setengah-setengah atau yang
lebih buruknya lagi tidak diterapkan sama sekali. Oleh karena itu, inti dari negara
dapat disebut sebagai negara Islam adalah negara yang di dalamnya menggunakan
hukum positif syariat Islam bukan dengan hukum yang lain, bukan juga dengan
pemimpin yang beragama Islam atau rakyat yang bermayoritaskan Islam.
Dari pandangan Ba’asyir ini dapat dipahamai bahwa Ba’asyir
menginginkan suatu posisi agama menyatu kepada politik atau negara seperti pada
64.
93 Wawancara pribadi dengan Abu bakar Ba’asyir, Surakarta, 27 September 2007.
94 Irfan S Awwas, Dakwah dan Jihad Abu Bakar Ba’asyir (Jogjakarta: Wihdah, 2003), h.
pemahaman kelompok Teokrasi. Paham Teokrasi memposisikan agama menyatu
kedalam lingkup kenegaraan. Agama ikut mengatur tatanan kenegaraan dengan
bertujuan untuk terus menjaga moral kemasyarakatan. Ba’asyir menilai bahwa
Islam sebagai agama yang sempurna dan memiliki nilai-nilai moral yang serba
lengkap sudah seharusnya wajib masuk ke dalam sistem kenegaraan. Islam juga
memiliki sistem berpolitik dan tidak ada alasan bagi umat Islam untuk
meninggalkan nilai Islam di dalam setiap kehidupannya termasuk bernegara.
2. Kritik terhadap Sistem Sekuler
Ba’asyir mengkritik keras negara Turki yang memisahkan agama dari
sistem kekuasaan atau negara di lain sisi penduduk Turki adalah mayoritas
beragama Islam. Ba’asyir menilai bahwa Turki bukanlah negara Islam melainkan
masuk dalam kategori negara sekuler sama dengan negara yang jelas-jelas
menganut sistem sekuler, hal ini sesuai dengan pendapat Ba’asyir yang
mengatakan:
“Sejak Khilafah dihapus oleh musuh Allah Attaturk, itu bukan
negara Islam lagi, jadi negara Turki di bawah Kamal Attaturk itu sudah
negara kafir karena sudah tidak memakai lagi hukum Islam, tidak
didasarkan oleh Islam dan sudah memakai sistem sekuler, meskipun
penduduknya bermayoritaskan Islam. Jadi negara Islam itu cirinya
Amirnya muslim, dasarnya Qur’an dan sunnah, dan hukum positifnya
syariat Islam. Lalu disempurnakan dengan undang-undang buatan manusia
tetapi sandarannya didalam membuat undang-undang itu syariat Islam.
Maka seperti negara Turki jelas negara sekuler sama dengan negara kafir
sampai sekarang.95”
Keadilan yang ada di negara-negara sekuler bersifat semu karena keadilan
tersebut merupakan suatu kamuflase dari pihak barat untuk terus dapat memegang
peran di dalam suatu kedaulatan negara-negara Islam. Sistem sekuler yang
95
Wawancara pribadi dengan Abu Bakar Ba’asyir, Kantor Ansharut Tauhid, Jakarta, 4 Oktober 2009.
diambil oleh negara-negara Islam merupakan suatu ketundukan negara Islam pada
kekuasaan negara-negara Barat yang Ba’asyir istilahkan sebagai negara kafir atau
Hizbutsyaithon.
Pemisahan agama dari negara ini sama sekali tidak dibenarkan di dalam
agama dan ini terbukti dengan penerapan sistem sekuler ini posisi agama semakin
terpinggirkan, bukan hanya terlepas dari sistem kenegaraan saja, namun menjalar
ke ruang publik.
Masih ada pelarangan di negara-negara penganut sekuler atas hak-hak
seperti hak wanita berjilbab yang tidak boleh masuk ke dalam area pendidikan
atau perkantoran. Negara sekuler pun tidak boleh memisahkan hak beragama
seorang di ruang publik, mencampurkan urusan keagamaan terhadap peraturan
kenegaraan yang sifatnya umum, hak beragama harus dijadikan jaminan dan
merupakan kebebasan individu, jadi masih ada kepentingan politis di kasus
tersebut, bisa saja ada ketakutan negara atas eksistensi agama yang mulai tumbuh
di negara yang bersistemkan sekuler tersebut.
Sekularisme membuka peluang bagi individu terisolasi dari agama yang
membentuk karakter religiusnya. Individu hanya menumpuk ilmu kematerialan
saja yang membuat keringnya moral agama dan ego personal akan memuncak
melebihi kekuasaan Tuhan. Akibatnya manusia akan merasa tingkat
keotoritasannya lebih tinggi dan hebat dibandingkan dengan Tuhannya.
3. Kritik Terhadap Sistem Demokrasi
Seperti halnya dengan negara sekuler, negara yang menganut sistem
demokrasi juga mendapat kritikan dari Ba’asyir. Demokrasi inilah yang sangat
bertentangan jauh dengan konsep sistem ke Islam-an. Demokrasi sangat bertolak
belakang dengan syariat dikarenakan secara mendasar bisa dilihat perbedaannya,
di lain sisi syariah memiliki sumber dari Al-Qur’an dan sunnah sedangkan
demokrasi bersumber dari kesepakatan antara manusia.
Demokrasi merupakan suatu istilah dari politik Barat yang memiliki arti
kedaulatan rakyat, yang memiliki kekuasaan tertinggi tanpa adanya batasan yang
tidak bisa disentuh oleh kekuasaan manapun. Kekuasaan ini berupa hak para
penguasa dan hak membuat perundang-undangan sesuai dengan kemauan mereka.
Dalam hal ini, rakyat mewakili kekuasaannya kepada orang-orang parlemen. Para
wakil rakyat inilah yang mewakili mereka dalam menjalankan kekuasaan96
.
Parlemen di sistem demokrasi ini adalah pihak yang mewakili kekuasaan
rakyat, melaksanakan kekuasaan dengan atas nama rakyat yang kemudian
mengakomdasi suara rakyat sampai dibentuk suatu undang-undang yang mereka
buat sendiri.
Kritik atas sistem demokrasi ini disampaikannya dengan tegas melalui
pernyataan berikut ini:
“Saya sudah mengkritik tegaskan bahwa demokrasi ini syirik, dan orang yang mempercayai demokrasi, mengamalkan karena percaya setelah
dia diberi tahu dan dia tidak bisa mendapati dalil syar’i, itu murtad. Ini
jelas syirik, dimana kedaulatan tertinggi di dalam menentukan undang-
undang itu diberikan kepada manusia, padahal itu haknya Allah. Allah itu
disebut Rabb, Rabb itu mempunyai dua pengertian, pemilik dan pengatur,
maka Allah itu rabbul alamin.97”
Demokrasi di Indonesia menurut Ba’asyir juga berkiblat dari pihak barat,
dimana semua sistem yang dipakai di Indonesia merupakan adopsi dari Barat.
Nasionalisme yang ada di Indonesia juga sama dengan demokrasi dan sekuler,
96 Abu Bakar Ba’asyir, Catatan Dari Penjara; Untuk mengamalkan dan Menegakkan
Dinul Islam (Depok, Mushaf, 2006), h., 32 97 Wawancara pribadi dengan Abu Bakar Ba’asyir, Surakarta, 27 September 2007.
artinya sama dengan sistem kafir. Alasan diambilnya sistem nasionalisme ini
dikarenakan masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, etnis maupun
ras serta adat istiadat di dalamnya, namun hal ini tidak dapat dijadikan suatu
alasan syariat Islam tidak bisa masuk dalam sistem kenegaraan Indonesia. Syariat
Islam dapat dicocokan dengan adat istiadat bangsa Indonesia dengan melihat
terlebih dahulu nilai-nilai adat yang cocok dengan Islam dapat dipertahankan dan
yang tidak cocok dengan syariat harus dibuang karena pada prinsipnya adat-
istiadat itu juga berisi norma-norma kebaikan sama halnya dengan syariat, namun
karena adat istiadat ini dibuat oleh tangan manusia maka suatu kekurangan itu
pasti ada, oleh sebab itu pentingnya untuk diserasikan oleh hukum syariat juga.
Ba’asyir melihat bahwa ide nasionalisme ini justru akan menyempitkan
umat Islam secara global yang hanya dilandasi dengan wilayah, berbeda pada
negara Islam dengan khilafahnya dimana umat Islam tidak terpisahkan oleh
wilayah melainkan hanya dibatasi dari sifat keagamaan manusia.
Syariat Islam di Aceh menurut Ba’asyir belum murni diaplikasikan.
Syariat yang diterapkan adalah tidak lain sebagai permainan politik pihak kafir
untuk menghentikan perlawanan orang-orang Aceh yang memiliki tujuan
menegakkan syariat Islam di wilayahnya. Oleh karena itu, maka diberikanlah
status wilayah keistimewaan di Aceh namun tetap berada di bawah sistem negara
demokrasi, ini sama halnya syariat masih berada di bawah sistem kafir. Negara
Islam tidak boleh berada di bawah kekuasaan sistem kafir, baik itu demokrasi
ataupun nasionalis. Syariat tidak boleh di stir oleh sistem kafir, karena syariat
adalah Islam, Islam adalah agama Allah, oleh karena itu Allah tidak boleh berada
di bawah sistem lainnya, terlebih itu demokrasi dimana rakyat berada di atas
segalanya, Allah tidak boleh dibawah rakyat. Itulah kritik Ba’asyir atas penerapan
syari’ah di Aceh98.
Alasan sistem demokrasi sebagai sistem yang sirik juga diarahkan pada
terdapatnya parpol-parpol atau perwakilan rakyat di pemerintahan dimana
kedaulatan tertinggi dari suatu keputusan hukum berupa undang-undang
didasarkan atas persetujuan rakyat. Hal ini sangat bertolak belakang dengan
sistem syariah dimana kedaulatan Allah berada pada segalanya. Partai-partai
Islam yang ada belum bisa dikatakan sebagai partai Islam murni. Seluruh partai
Islam masih bertoleransi kepada demokrasi, belum ada yang secara jelas memiliki
semangat untuk mentanamkan syariat. Menanamkan syariat di dalam sistem
kenegaraan tidak perlu melalui persetujuan rakyat lagi bahkan masih ada yang
harus berunding kepada pihak non-muslim, partai Islam yang ada masih
menjadikan demokrasi sebagai acuan ideologinya. Ciri tersebut bukanlah sebagai
ciri partai Islam melainkan masih menggunakan cara kafir atau non muslim.
Syariat tidak boleh dirundingkan, karena syariat dengan sendirinya akan
membawa keamanan untuk non-muslim sekalipun.
Di sistem demokrasi ini, dalam hal pengambilan keputusan selalu berada
pada rakyat dalam arti meminta persetujuan dari rakyat melalui parlemen. Hal
inilah yang disebut sebagai kedaulatan rakyat, kedaulatan yang ada diatas
segalanya. Cara tersebut sangat tidak dibenarkan di dalam Islam, kedaulatan
tersebut bisa dikatakan sebagai kedaulatan yang menyekutukan kedaulatan Allah.
Di dalam kedaulatan Islam yang menggunakan syariat, segala keputusan ada di
tangan amir atau pemimpin melalui musyawarah dari majelis syuro atau dewan
98 Wawancara pribadi dengan Abu Bakar Ba’asyir, Jakarta, 1 Oktober 2009.
ahli serta berpedoman kembali kepada Qur’an dan sunnah, selama masih ada
dalam koridor dua sumber hukum tersebut, keputusan amir harus diikuti serta
dijalankan. Pemimpin selalu dijadikan sebagai peran akhir dari pengambilan
keputusan. Inilah bagaimana suatu keputusan diambil di dalam syariat Islam.
Dapat dikatakan bahwa demokrasi adalah agama yang berdiri sendiri
dengan pemegang kedaulatan adalah rakyat, jelas ajaran ini bertentangan dengan
Dinul Islam yang menegaskan bahwa pemegang kedaulatan adalah Allah SWT99
.
4. Kritik Terhadap HAM
Mengenai permasalahan hak-hak umat Islam, Ba’asyir juga memandang
bahwa semua peraturan perundangan yang terdiri dari hak-hak terhadap umat
Islam belum dapat terakomodir dengan baik, masih berada di luar sistem ke-
Islaman secara murni.
Ba’asyir sudah mencontohkan tadi tentang pengambilan suatu keputusan,
di sistem syariah Islam tidak ada suatu keputusan pun yang di musyawarahkan
oleh rakyat, semua keputusan tidak boleh berada pada tangan rakyat. Keputusan
harus dirundingkan melalui yang dinamakan dewan syura atau para ahli dengan
berprinsip pada Al-Qur’an dan sunnah, serta akhir dari suatu keputusan ditentukan
oleh pemimpin atau amir. Begitulah Islam mengatur tata cara dalam pengambilan
keputusan.
Contoh lainnya yaitu tentang tata cara pemilihan pemimpin. Ba’asyir
mengkritik proses demokrasi saat ini tentang cara pemilihan dewan atau
pemimpin yang mengunakan cara yang disebut pemilu. Bagi Ba’asyir, cara ini
99 Abu Bakar Ba’asyir, Catatan Dari Penjara, h., 40
jelas-jelas mengadopsi cara barat dan sangat merugikan negara. Dana yang besar
dikeluarkan setiap pelaksanaan pemilu yang diadakan secara periodik, hal ini
tidak efektif dalam proses jalannya pemerintahan. Di dalam Islam, pemimpin
tidak boleh diganti. Selama pemimpin masih bisa memegang amanah, terus
berada di dalam jalur syariat dan masih mampu dalam memimpin, maka sangat
dilarang pemimpin itu untuk digantikan. Sedangkan untuk dewan syura dipilih
oleh pemimpin sesuai dengan keahlian ilmu masing-masing. Dengan pelaksanaan
tata cara seperti ini, pada sendirinya negara akan berjalan lebih efektif dan tidak
memakan dana yang terlampau besar.
Hak-hak yang bersifat kesosialan juga masih dicampuri oleh pengaruh tata
cara barat. Contoh dalam hal pernikahan, yang memiliki syarat-syarat tertentu
seperti ada syarat umur seorang pasangan atau wanita dapat dinikahi, atau bagi
seseorang yang ingin menikah lebih dari satu kali harus melalui izin dari istri atau
pihak pemerintah seperti Kantor Urusan Agama (KUA). Di dalam Islam hal ini
tidak ada. Seseorang dapat menikahi siapapun tanpa ada batasan umur atau tanpa
izin siapapun asalkan dapat dijalankan secara adil dan dapat bertanggung jawab
akan keputusannya itu.
Hak yang paling utama yang umat Islam belum dapat selama ini adalah
menjalankan kehidupannya sesuai dengan syariat. Umat yang menginginkan
syariat diberlakukan dianggap sebagai musuh negara selama ini, hal ini adalah
keliru karena yang sesungguhnya pihak penentang syariat adalah musuh negara
sebenarnya karena akan membawa dampak perpecahan negara. Sudah seharusnya
untuk wilayah yang mayoritasnya umat Islam harus diberikan peraturan daerah
tentang pelaksanaan syariat, begitu juga untuk agama lainnya seperti ada wilayah
yang mayoritasnya adalah agama Nasrani, perlu dibuat peraturan daerah khusus
agama Nasrani. Ba’asyir mencontohkan jika orang kristen wajib ke gereja pada
hari minggu maka perlu perda yang berisi kewajiban untuk ke gereja pada hari
minggu. Untuk Islam misal diwajibkan bagi perempuan Islam menggunakan
jilbab, maka harus dibuat perda tentang wajibnya perempuan Islam untuk
menggunakan jilbab100
.
Sekarang ini belum ada perda-perda seperti itu diberlakukan khususnya di
Indonesia. Hal inilah yang membuat ada kerancuan dalam kehidupan
bermasyarakat di suatu negara seperti adanya konflik-konflik sosial. Bisa dilihat
bagaimana kasus Ahmadiyah yang belum tuntas diselesaikan oleh pemerintah
karena alasan demokrasi ini bertoleransi terhadap kasus-kasus seperti tersebut.
Syariah membatasi dengan tegas antara hak dan bathil, antara mukmin dan kafir.
Islam yang ada di Indonesia bukanlah Islam yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’an
dan sunnah melainkan Islam yang mengikuti pola non muslim. Maka dari itu
syariat adalah harga mati untuk ada pada masyarakat yang bermayoritaskan Islam
ini tanpa terkecuali dan sepenuhnya dilaksanakan.
Islam sudah memikirkan bagaimana hak-hak diberikan sebelum adanya
hak yang lahir oleh masyarakat Barat. Islam memiliki nilai keadilan yang tinggi
dalam memberikan antara hak serta kewajiban tidak saja terbatas pada umat Islam
saja melainkan kepada non muslim.
Contoh hak yang diberikan kepada orang non muslim yang berada di
negeri Islam. Contohnya seperti, memberikan keamanan baik harta dan jiwa dan
harus terus dijaga, berhak diperlakukan dengan baik dan tidak boleh dipaksa
100 Wawancara dengan Abu Bakar Ba’asyir, “Syariat Islam Harga Mati,” artikel diakses
pada tanggal 5 Agustus 2009 dari
http://www.youtube.com/watch?v=faoHc6xMyjk&feature=related.
untuk masuk Islam, namun hanya boleh untuk didakwahi, serta haknya untuk
menjalani keyakinannya namun berkewajiban membayar pajak pada umumnya.
Kalangan non muslim juga tidak boleh memperluas keyakinannya karena akan
ada undang-undang bagi umat Islam yang murtad diberikan hukuman berupa
hukuman mati. Kaum non muslim juga berhak duduk di dewan ahli atau yang
disebut menteri sesuai dengan keahlian masing-masing namun tetap tidak boleh
menjadi seorang pemimpin. Non muslim harus tunduk terhadap kekuasaan Islam.
Non muslim juga ikut dalam hukum Islam yang bersifat umum seperti undang-
undang kriminalitas pidana maupun perdata dan terpisah hukumnya jika
menyangkut masalah ibadah.Semua hak ini harus diikuti dan dipatuhi oleh setiap
muslim maupun non muslim101
.
Hak Perempuan juga diakomodir oleh Islam, bahkan perempuan
ditinggikan derajatnya serta dilindungi. Hal ini berkaitan dengan kewajiban
memakai jilbab, hal ini dikarenakan tidak lain sebagai alat untuk melindungi dari
serangan fitnah dan keamanan dari wanita itu sendiri, juga sebagai tanda yang
memisahkan batas antara golongan mukmin dengan golongan kafir. Perempuan
juga dapat berkarir dan menduduki posisi-posisi di dalam suatu karir yang
digelutinya namun tidak boleh duduk di posisi sebagai pemimpin.
Ba’asyir menambahkan bahwa siapapun yang menolak akan kehadiran
syariah atau menjalankan secara setengah-setengah maka mereka secara prinsip
masuk ke dalam golongan kafir, dan bagi yang meninggalkannya sama dengan
murtad. Sikap tegas Ba’asyir ini dikarenakan telah menilai bahwa meninggalkan
syariat sama dengan meninggalkan kewajiban solat, kewajiban solat juga
101 Wawancara pribadi dengan Abu Bakar Ba’asyir, Surakarta, 27 September 2009.
merupakan syariat itu sendiri. Jadi negara Islam adalah termasuk syariat Islam
yang dilaksanakan menyeluruh atau berjamaah.
Jika kita ingin menerapkan Islam secara kaffah dalam semua sektor
kehidupan kita maka mau tidak mau harus memformalkan syariat Allah
yang terdapat dalam Al-Quran dan sunnah dalam bentuk Undang-undang (UU),
dan sebuah UU tidak akan berjalan jika tidak dipayungi oleh sebuah
pemerintahan (daulah).
E. Menegakkan dan Mendakwahkan Dinul Islam
Kritik keras Abu Bakar Ba’asyir terhadap sistem kafir seperti sekuler,
demokrasi dan nasionalis seperti di Indonesia adalah bertujuan untuk
mengembalikan tata cara hidup masyarkat sesuai dengan tuntutan Qur’an dan
sunnah. Selama ini umat sudah jauh meninggalkan kedua pedoman hukum Allah
tersebut yang berakibat kepada konflik internal yang berkepanjangan dan
lemahnya kedudukan umat Islam terhadap pergerakan pihak sekuler barat.
Keadaan ini akan terus terjadi dan akan memberi dampak semakin buruk terhadap
posisi umat Islam yang terus mengikuti arus politik barat dan secara tidak sadar
akan melepaskan kita sepenuhnya dari Al-Qur’an dan sunnah.
Menegakkan Dinul Islam adalah suatu kewajiban yang paling utama bagi
umat Islam. Menyelamatkan negara dari sistem yang sirik harus didahulukan dari
perdebatan-perdebatan kecil tentang akhlak atau syirik kecil.
Tegaknya Dinul Islam ialah adanya kekuasaan Daulah Islamiyah atau
khilafah, sehingga syariat Islam dapat diamalkan secara terpimpin rapi, dan secara
kaffah serta bersih. Dinul Islam dapat ditegakkan dengan usaha-usaha dakwah,
tabligh, pendidikan, usaha-usaha sosial dan jihad fisabilillah untuk memerangi
orang-orang yang menghalangi tegaknya Islam atau khilafah102.
Sedangkan pengertian mendakwahkan Dinul Islam adalah menyebarkan
Islam secara luas di berbagai tempat, tetapi hanya diamalkan secara perorangan
atau berkelompok-kelompok. Dalam hal ini Islam tidak dipimpin kekuasaan
Daulah Islamiyah atau khilafah, syariat tidak dapat diamalkan secara menyeluruh
karena masih ada tekanan dari pihak Barat yang terus mengganggu. Namun Dinul
Islam masih dapat disebarkan melalui cara dakwah, tabligh, pendidikan dan
usaha-usaha sosial103.
1. Aturan Penegakkan Dinul Islam
Agar umat Islam dapat terlepas dari belenggu pemahaman barat yang
sudah mencengkram kuat ini maka hal yang paling utama ada memperjuangkan
kembali syariat hadir di dalam suatu sistem kekuasaan di negeri yang mayoritas
umatnya adalah muslim. Syariat dapat diterapkan jika aturan dalam pendirian
Dinul Islam ini dilakukan secara benar. Aturan-aturan tersebut ialah Islam
diamalkan secara prinsip, Islam diamalkan secara kaffah, dan Islam harus
diamalkan secara berjamaah atau berada di dalam kekuasaan104.
Pertama, Islam diamalkan secara prinsip. Prinsip disini adalah bersih dari
ajaran bid’ah yaitu harus sesuai dengan apa yang berpedoman pada Al-Qur’an
dan sunnah, tidak boleh melalui ijtihad sendiri atau pemahaman sendiri. Islam
juga tidak boleh ada pengaruh dari sistem yang dibentuk oleh orang kafir seperti
102 Abu Bakar Ba’asyir, Catatan Dari Penjara. h., 220.
103 Ibid., h. 220
104 Wawancara pribadi dengan Abu Bakar Ba’asyir, Surakarta, 27 September 2009.
pemahaman demokrasi saat ini dimana kedaulatan berada pada tangan rakyat
bukan pada Allah, hal ini adalah suatu dogma yang datangnya dari pihak kafir.
Islam juga harus bersih dari kafir dalam arti orang Islam tidak boleh dipimpin
oleh orang kafir. Inilah yang disebut Islam bebas dari sifat kemusyrikan.
Kedua, Islam diamalkan secara kaffah. Islam harus dilaksanakan secara
menyeluruh dari moral sampai kemasyarakatan, tidak ada satupun syariat yang
boleh ditinggalkan terkecuali belum mampu melaksanakan seluruhnya.
Berjalannya syariat ini dari wilayah terkecil yang disebut dengan daulah sampai
dalam wilayah transnasional yang disebut dengan istilah khilafah.
Ketiga, Islam harus diamalkan secara berjamaah atau harus masuk dalam
kekuasaan. Masuk dalam kekuaasaan disini adalah syariat Islam harus ada di
dalam sistem kekuasaan dalam bentuk perundang-undangan, ikut masuk ke dalam
jalannya pemerintahan. Syariat Islam tidak boleh ada diluar sistem kekuasaan,
lebih buruknya lagi dipisahkan dari kekuasaan.
Dengan mengikuti ketiga aturan pengamalan Islam tersebut maka jaminan
untuk keselamatan Islam akan didapatkan. Islam tidak akan dicampuri oleh pihak
kafir atau pihak Barat karena pengamalan tersebut akan membentuk suatu
karakter yang kuat di dalam lingkungan umat Islam itu. Jadi, Islam tidak boleh
hidup di bawah sistem kenegaraan kafir terkecuali dengan situasi tertentu seperti
berobat, berniaga, mencari ilmu umum serta berdakwah. Ba’asyir menekankan
juga bahwa umat yang yang meningalkan atau menolak negara Islam hukumnya
murtad karena meninggalkan negara Islam dengan syariatnya sama dengan
meninggalkan ibadah keimanan seperti solat yang juga bagian dari syariat. Di
Indonesia inilah yang disayangkan Ba’asyir karena terus mengikuti sistem barat
bahkan memiliki ideologi sendiri dengan ideologi nasionalisnya. Negara Islam
bukanlah suatu negara yang dibatasi oleh wilayah kenegaraan melainkan sifatnya
yang transnasional atau tidak terbatas pada wilayah suatu negara sendiri-sendiri.
Keharusan Islam masuk ke dalam sistem kenegaraan dapat dilihat dari
pernyataan Ba’asyir berikut ini:
“Jadi mengamalkan Islam dalam sistem kekuasaan baik dalam
masa tahap Daulah sampai ke dalam tahap yang sempurna, yaitu khilafah, itu konsepnya Allah bukan pemikiran saya, jadi orang yang menolak
terwujudnya kekuasaan Islam baik itu namanya negara Islam orang itu bisa murtad, karena apa? Dia menolak konsepnya Allah, Jadi jangan main-
main dengan persoalan ini. Jadi Islam harus dalam sistem kekuasaan, tidak
boleh Islam itu di bawah kekuasaan105.”
2. Muamalah Golongan Mukmin dan Muamalah Golongan Kafir
Ba’asyir membagi dua kelompok manusia menurut keagamaannya yang
menurutnya sesuai dengan apa yang dikelompokan oleh Al-Qur’an dan sunnah.
Kelompok pertama adalah golongan mukmim atau hisbullah, yakni kelompok
pengikut agama Allah, dan yang kedua adalah golongan kafir atau non mukmin
atau hizbutsyaithon, yaitu kelompok pengikut setan dan sekaligus menjadi musuh
Allah dan musuh kaum muslimin. Golongan kafir juga mempunyai ciri
mengingkari Allah, mengimani adanya Allah, tetapi menyukutukanNya dengan
makhluk-Nya, serta orang-orang yang mengimani adanya Allah dan Rasul,
kecuali nabi Muhammad yang mereka ingkari sebagai Rasul Allah106
. Muamalah
dari golongan tersebut adalah dalam hal pergaulan, dimana hubungan antara
golongan mukmin dan kafir adalah hubungan permusuhan, tidak bisa berdamai
kecuali dengan aturan tertentu namun pada hakikatnya tetap menjadi musuh.
Orang-orang mukmin wajib bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tegas
105
Ibid. 106
Ibid.
menyatakan kebathilan tentang kepercayaan agama orang kafir dan menyatakan
terlepas diri dari kepercayaan mereka. Berbeda dengan hubungan antara golongan
sesama mukmin, dimana mukmin tinggal tanpa ada batasan waktu, jarak, atau
tempat seorang mukmin tetaplah menjadi saudara diantara mukmin yang lain.
Orang-orang mukmin juga wajib mengangkat pemimpin hanya sesama orang
beriman.
Hubungan sesama mukmin dan kafir sebatas dalam hubungan sosial atau
urusan keduniaan saja. Orang muslim dapat berbuat baik, adil terhadap orang
kafir yang tidak memerangi Islam dan kaum muslimin dalam urusan dunia. Orang
mukmin dapat menikahi wanita kafir ahli kitab Yahudi atau Nasrani walau
sebagian ulama masih ada yang mengharamkan, tidak boleh menyerupai orang
kafir baik dalam pakaian atau perilaku, dan juga orang mukmin tidak boleh
memintakan ampun dosa-dosa orang-orang kafir, baik yang masih hidup ataupun
setelah mati107
.
Muamalah ini sayangnya telah tercampur oleh pengaruh pihak Barat yang
pada akhirnya dilanggar juga oleh umat Islam sendiri. Pengaruh ini datang dari
pemahaman sekuler seperti paham demokrasi, nasionalisme dan sebagainya. Di
Indonesia, paham ini sengaja dibawa masuk oleh pihak Barat yang kemudian
dilanjutkan oleh orang Islam yang mendukung ide ini. Syariat pada saat ini
kemudian makin terpuruk akibat adanya pengaruh paham plural dan liberal yang
juga dibawa oleh pihak Barat.
Yang disampaikan diatas bermaksud memberi ruang toleransi golongan
mukmin terhadap golongan kafir. Mukmin tidak boleh berada pada pengaruh kafir
107 Abu Bakar Ba’asyir, Catatan Dari Penjara. h., 95
bahkan dikuasai oleh kafir. Pada konteks kenegaraan, negara yang mayoritas
umatnya adalah mukmin tidak boleh berada di dalam pengaruh golongan kafir.
Sistem negara yang bermayoritaskan Islam tidak boleh menggunakan sistem yang
dipakai oleh pihak kafir dalam hal ini adalah pihak barat dengan demokrasi dan
semacamnya diluar sistem syariat. Sudah seharusnya bagi negara bermayoritaskan
Islam harus menggunakan sistem yang berdasarkan syariah tanpa terkecuali. Bagi
siapapun yang menolak atau tidak dijalankan secara utuh maka orang tersebut
tidak lain masuk kedalam gologan kafir.
3. Cara Pelaksanaan Sistem Syariat
Ba’asyir selain menjelaskan tentang cara menegakkan Islam seperti yang
dijelaskan diatas, dijelaskan juga tentang bagaimana sistem Islam ini dijalankan
sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad terdahulu. Sistem ini
adalah sistem sunnah Nabi yang bertolak belakang jauh dengan sistem yang
Ba’asyir sebut dengan sunnah yahudi demokrasi. Sistem ini berkaitan kepada
peran amir atau pemimpin, karena sistem sunnah yang pernah di contohkan pada
saat ke khalifahan Islam terdahulu adalah dimana pemimpin sebagai pengambil
keputusan yang didasakan kepada Al-Quran dan sunnah108
.
Pertama, Amir, tidak perlu diganti secara periodik. Pemimpin selama
masih memiliki kemampuan, sehat lahir serta batin, mau menjalankan
kewajibannya dan tidak melanggar syariat sampai tindakan murtad, tidak
dibenarkan untuk diganti. Jika ada permasalahan pribadinya bukan secara
melembaga, kita hanya bisa bersikap sabar serta mendoakan pemimpin tersebut
108 Wawancara pribadi dengan Abu Bakar Ba’asyir, Surakarta, 27 September 2009.
tanpa harus diturunkan karena dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah atau opini
yang tidak baik.
Kedua, taat selalu kepada amir atau pemimpin selama tidak ada maksiat.
Artinya, keputusan akhir ada di pemimpin, walau secara pribadi tidak setuju
namun selama keputusan itu tidak melanggar syariat, wajib untuk ditaati dan
dijalankan. Jika hal ini dapat berjalan maka sesungguhnya umat Islam akan lebih
taat daripada taatnya militer dikarenakan adanya hukum ketegasan di dalam
syariat itu. Berbeda pada praktik sistem sunnah yahudi demokrasi jika meminjam
istilah Ba’asyir. Pada sistem Yahudi, taat itu ada pada Anggaran Dasar atau
Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Kepemimpinan di dalam sistem ini disebut
sebagai kepemimpinan yang kolektif dimana Presiden terkait dengan undang-
undang serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Di dalam Islam amir mempunyai
majelis syura tersendiri yang terdiri dari ulama-ulama serta para ahli di bidang
masing-masing, sehingga jika amir kesulitan dalam menentukan suatu keputusan,
maka dapat dirundingkan dengan majelis syura yang ada. Hasil dari perundingan
itu kemudian diputuskan melalui amir dengan bersandar kembali kepada syariat.
Ketiga, keputusan musyawarah kembali lagi kepada amir. Suatu keputusan
yang diambil oleh pemimpin harus dijalankan oleh warga negara walau ada
peluang keputusan keliru namun masih dalam koridor syariat. Kekeliruan pasti
ada karena itu adalah fitrah manusia sebagai makhluk Allah. Masyarakat yang
ingin menyampaikan kritiknya dapat menyampaikannya melalui dewan syuro
serta dapat juga secara langsung, sehingga di dalam Islam masyarakat dapat juga
mengawasi serta mengkritik pemerintah serta pemimpin negara. Hal ini telah
dicontohkan ketika masa Nabi Muhammad serta pada masa khulafaur Rasyidin.
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam menawarkan
sistem yang praktis, murah dan efeknya luar biasa. Oleh karena itu, mengamalkan
Islam harus dalam sistem kekuasaan yang sifatnya transnasional.
Jika sistem Islam sudah bisa berjalan dan sudah masuk ke dalam sistem
kenegaraan dalam arti sudah dapat berkuasa, maka suatu kewajiban untuk
berdakwah ke negeri kafir atau non muslim dengan ditawari berbagai pilihan yaitu
masuk Islam, tidak masuk Islam namun membayar pajak, dan terakhir jika tidak
mau tunduk sama sekali maka sikap keras harus dilakukan. Hal ini dilakukan
untuk mencegah gangguan dari pihak non muslim untuk mengacak-acak kembali
negara Islam yang sudah berdiri selain agama Islam sendiri adalah agama misi.
Ba’asyir mendasari pemahaman ini berdasarkan pemahaman bahwa orang kafir
boleh hidup namun tidak boleh berkuasa atas Islam untuk tegaknya keadilan dan
keamanan.
Ba’asyir memberikan rangkuman tentang ciri dari negara yang
dikategorikan sebagai negara Islam, yaitu pemimpin negara harus beragama
Islam, dasar negara harus berpedoman kepada Al-Qur’an dan sunnah, serta hukum
positifnya adalah syariat Islam.
Tegaknya Islam di dunia dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan
cara dakwah dan jihad. Dakwah digunakan untuk memberikan pemahaman secara
dialogis kepada umat akan pentingnya syariat dijalankan demi terwujudnya
keamanan dan memberikan perlindungan. Dakwah sebagai jalan utama untuk
memberikan doktrin akan pemahaman syariat yang benar sampai terwujudnya
negara Islam secara utuh.
Jihad digunakan jika cara dakwah tidak efektif untuk memberikan
pemahaman tentang syariat. Jihad disini memiliki dua arti, yang pertama adalah
jihad secara bahasa dimana bersungguh-sungguh dalam berdakwah. Yang kedua
adalah jihad secara istilah, yaitu dengan menggunakan senjata di wilayah konflik.
Jihad secara istilah inilah sebagai gerbang terakhir untuk menanamkan syariat di
dalam sistem negara.
F. Usaha Abu Bakar Ba’asyir dalam Memperjuangkan Implementasi Syariat
Islam dan Negara Islam.
Pemahaman akan pemaknanaan syariat Islam yang benar kepada umat
perlu dilakukan sedini mungkin, hal ini untuk mencegah masuknya kembali
pengaruh paham sekuler yang semakin akut menguasai ruang pikiran umat Islam.
Hal ini disadari oleh Ba’asyir sendiri yang mulai melakukan pergerakan untuk
memberikan pemahaman akan pentingnya syariat Islam diterapkan di dalam
sistem kenegaraan. Ba’asyir dikenal sebagai tokoh yang sangat berani dalam
menyuarakan perlawanan pada sistem negara kafir terlebih lagi kepada pihak
Barat yang mencampuri urusan negara negara Islam seperti pihak Amerika dan
Inggris.
Ba’asyir memulai pergerakannya dengan mendirikan Radio Dakwah
Islamiyah ABC (Al-Irsyad Broadcasting Commission) dan radio RADIS. Kedua
stasiun radio ini dengan jelas memberikan kritikan terutama kepada pemerintah
tentang penggunaan asas tunggal Pancasila. Kedua radio ini kemudian ditutup
oleh pihak militer yang diberi perintah oleh pemerintah karena radio ini dinilai
terlalu mencampuri dan melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah Orde
Baru pada saat itu.
Pemerintah Orde Baru menjadikan Ba’asyir dengan beberapa tokoh Islam
lainnya seperti Abdullah Sungkar dan Abdullah Baraja sebagai salah satu lawan
politiknya pada saat itu dikarenakan keberanian mereka dalam menyerang
kebijakan pemerintah. Hal yang sangat ditakuti dilakukan oleh setiap orang
karena adanya pengawasan ketat terhadap siapapun yang melawan atau
mengkritisi pemerintah. Bukti perlawanan ini dapat dilihat dari perjalanan
aktifitas dakwahnya samapai Ba’asyir beberapa kali keluar-masuk penjara dengan
berbagai tuduhan yang dialamatkannya.
Dalam wawancara pribadi dengan Ba’asyir, ia juga menyampaikan bahwa
aktifitas selama di Malaysia tetap menjalankan dakwah seperti biasa seperti yang
dilakukan di Indonesia. Selain berdakwah, Ba’asyir juga melakukan proses niaga
dan mengajar di pendidikan Islam. Tidak ada tujuan lain selain berdakwah
menjelaskan tentang pemaknaan syariat sesuai dengan Qur’an dan sunnah.
Perjuangan Ba’asyir untuk menanamkan paham syariat Islam terus
dilakukan dengan mendirikan pondok pesantren Al-Mukmin di Ngruki, Surakarta,
yang sampai saat ini terus berkembang dan terus memberikan pemahaman Islam
tersebut. Dari pondok pesantren ini, para santriwan dan santriwati diberikan
akidah dasar bahwa setiap dalam menjalankan aktifitas harus didasari oleh syariat.
Cita-cita Ba’asyir dalam mendakwahkan syariat Islam dimuluskan dengan
menduduki kepemimpinan sebagai amir di dalam Majelis Mujahiddin Indonesia.
Melalui MMI ini, Ba’asyir mulai secara giat menyampaikan harapannya tentang
ajaran syariat dengan melakukan diskusi dan penyampaian makalah di setiap
kesempatan yang dihadiri oleh Ba’asyir.
Karena ada perubahan kebijakan politik MMI, Ba’asyir memutuskan
untuk keluar dari MMI dan membentuk organisasi sendiri yang dinamakan
Majelis Ansharut Tauhid.
Ansharut Tauhid didirikan sebagai gerbong dakwah dalam menyampaikan
pemahaman makna syariat melalui jalan dakwah. Seperti yang dikatakan Ba’asyir
sendiri bahwa situasi politik di Indonesia saat ini, cara dakwah dinilai paling tepat
dalam memperjuangkan syariat.
Organisasi yang dipimpinnya ini juga mempunyai misi untuk
menggandeng organisasi Islam lainnya yang mempunyai tujuan yang sama yaitu
mengimplemantasikan syariat pada sistem kenegaraan.
Menurut Ba’asyir, bila syariat Islam sudah masuk ke dalam sistem
kenegaraan Indonesia, tidak harus diikuti dengan penyebutan negara Islam. Suatu
hal yang tidak memiliki arti jika penyebutan negara Islam tanpa diikuti dengan
menjalankan syariat Islam. Idealnya di Indonesia jika sudah menjalankan syariat
Islam tetap sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena Islam
sendiri sangat menghargai perbedaan dan keberagaman beragama serta
kepercayaan. Syariat di Indonesia ini dapat diwujudkan jika organisasi-organisasi
Islam dapat bersatu.
Dengan banyaknya organisasi Islam yang ada saat ini akan menciptakan
suatu kekhawatiran tersendiri di masyarakat, karena dengan banyaknya organisasi
tersebut secara tidak langsung akan mengkotak-kotakan kembali umat Islam ini
menjadi kelompok-kelompok yang akan semakin mudah musuh Islam untuk
masuk memberikan doktrin sekulernya. Hal ini dianggap wajar oleh Ba’asyir dan
ini merupakan bagian dari sunatullah bahwa pada akhir zaman Islam akan terbagi
menjadi beberapa kelompok, kelompok ini terbagi menjadi mukmin serta
kelompok kafir, kelompok kafir inilah yang tidak mau menerima syariat hadir di
tengah masyarakat. Oleh karena itu satu-satunya jalan keluar untuk menyatukan
kembali kelompok-kelompok Islam ini adalah dengan menyamakan persepsi
bahwa syariat Islam sebagai agenda utama perjuangan. Inilah yang menjadi tujuan
dari Jamaah Ansharut Tauhid pimpinan Ba’asyir, sesuai dengan apa yang
dijelaskannya berikut ini:
“Mengkotak-kotak itu memang sudah sunatullah, selama Islam itu belum ada khilafah, mesti hidupnya berpecah-pecah. Hanya kelompok-
kelompok ini ada yang diatas garis yang sunnah tapi ada yang
menyeleweng, dan kebanyakan yang menyeleweng daripada yang sunnah. Jadi kelompok-kelompok umat Islam ini sudah sunatullah akibat umat
Islam tidak ada khilafah, jadi jatuhnya khilafah umat Islam jadi
berkelompok-kelompok. Islam tidak akan bisa bersatu kecuali kembali
pada kekuasaan Islam
Selain usaha-usaha yang dijelaskan diatas, Ba’asyir terus bergerak untuk
melakukan dakwah di beberapa tempat yang berlangsung hingga saat ini dan akan
terus dilakukannya sampai terwujudnya tegaknya cita-cita syariat Islam. Seperti
tema-tema dakwah di beberapa tempat di Indonesia berkaitan dengan penegakkan
syariat, sesuai apa yang dikatakannya:
“Dakwah, kami dan Jamaah Ansharut Tauhid ini konsepnya tetap
dakwah dan jihad, tapi kita baru bisa melaksanakan dakwah, jihad belum
bisa. Dakwah itu menerangkan materi yang haq. Yang bathil katakan
bathil. Meskipun itu undang-undang negara, kalau itu bathil kita katakan
bathil, jadi tidak ada kompromi mengenai persoalan ini. Jadi kita belum
bisa mengamalkan jihad dengan pengertian sebenarnya, kita sebatas dakwah.109”
109
Ibid.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Bagi Ba’asyir, Islam yang dalam hal ini adalah agama harus dapat masuk ke
dalam sistem kenegaraan. Islam akan menjaga nilai moral kenegaraan dan
kemasyarakatan sehingga tidak ada tindakan sewenang-wenang dalam
mengeluarkan kebijakan negara sehingga moral tersebut selalu berada pada
koridor syariat yang mengarah kepada kebaikan untuk semua pihak.
2. Syariat Islam harus dijalankan secara keseluruhan dan melembaga sehingga
hasil positif dari nilai-nilai yang terkandung di dalam syariat tersebut akan
dapat dirasakan oleh setiap unsur negara serta dapat berjalan efektif dalam
menjaga ketertiban bernegara.
3. Negara Islam memiliki keotoritasan yang lebih luas dibandingkan dengan
otoritas sistem negara yang di lahirkan oleh pihak Barat. Otoritas dalam
lingkup Islam ini tidak hanya terbatas pada kewilayahan saja melainkan
terbagi menjadi dua wilayah besar yang dibedakan dalam prinsip akidah
keagamaan setiap manusia.
4. Dengan terusnya umat muslim berada pada bayang-bayang sistem kenegaraan
Barat, maka hal tersebut akan terjadi suatu pengikisan sifat religius umat.
Sistem yang diadopsi Barat ini dikhawatirkan akan menghilangkan otoritas
agama sebagai penjaga akidah umat dalam bernegara yang kemudian akan
menciptakan aturannya sendiri walau bertentangan dengan nilai agama.
5. Dalam memberikan pemahaman akan nilai positif syariat Islam ini, Ba’asyir
melakukan usaha dakwahnya dengan berbagai instrument yang ada seperti
mendirikan radio dakwah, pesantren, serta membentuk organisasi dakwah
6. Dalam kondisi situasi yang aman seperti di Indonesia, Ba’asyir menilai bahwa
dalam memberikan pemahaman tentang syariat, cara yang paling tepat adalah
menggunakan metode dakwah. Jihad dengan menggunakan cara konfrontasi
dikhawatirkan akan terjadi permainan politik dari pihak Barat untuk
menguasai negara Islam dengan dalih melawan terorisme atau kelompok
radikal lainnya.
B. Saran-Saran
Dari kesimpulan diatas, penulis perlu untuk menyampaikan saran terkait
tentang pembahasan negara Islam ini. Bahwa diperlukan suatu inklusifitas dalam
penyampaian ide yang berkaitan tentang sistem pemerintahan mengingat berbagai
ragam golongan yang ada di Indonesia, sehingga dengan adanya suatu
pemahaman dari sistem pemerintahan alternatif itu dapat diselaraskan dengan
kondisi yang ada.
Keragaman di Indonesia ini khususnya, merupakan suatu tantangan
tersendiri dalam penyampaian ide negara Islam, sehingga tema tentang sistem ini
harus disesuaikan dengan realitas yang ada, serta dilakukan secara bijaksana.
Ayat-ayat Allah harus disampaikan sesuai pada fungsinya, yaitu sebagai alat
untuk meluruskan pemahaman yang kurang tepat, bukan sebagai tameng dalam
hal pembenaran suatu misi organisasi atau individu dalam penyampaian tema-
tema syariat Islam.
Perlunya dilakukan dakwah secara proposional dalam hal penyampaian
tema syariat Islam dan juga kearifan sehingga tema-tema syariat ini dapat dengan
sendirinya hadir di dalam ruang publik tanpa adanya suatu pemaksaan yang
nantinya akan menimbulkan bentrokan suatu budaya atau paham agama tertentu
di Indonesia pada khususnya dan di seluruh negara pada umumnya.
Yang perlu dikritik dari pemahaman Ba’asyir adalah terlalu mudahnya
Ba’asyir untuk menjatuhkan hukuman status kafir atau murtad secara akidah
terhadap umat Islam yang belum secara penuh menjalankan hukum syariat. Perlu
diketahui juga kondisi politik di Indonesia dan karakter manusia baik Islam
maupun non Islam yang beragam sehingga tidak dapat langsung diputuskan
terutama umat Islam bahwa semuat muslim menginginkan syariat Islam. Sehingga
sampailah kepada pencarian strategi yang lebih efektif melalui pendekatan
pemikiran dalam mengenalkan nilai-nilai di dalam syariat.
DAFTAR PUSTAKA
Abas, Nasir. Membongkar Jamaah Islamiyah: Pengakuan Mantan Ketua JI. Jakarta: Grafindo, 2009.
Afdlal, dkk., Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: Lipi Press, 2005.
Anshari, Fauzan . Hari-Hari Abu Bakar Ba’asyir di Penjara. Saya Difitnah.
Jakarta: Qalammas, 2006.
Awwas, Irfan Suryahardy. ed. Dakwah dan Jihad Abu Bakar Ba’asyir. Jogjakarta:
Wihdah Press, 2003.
. Menelusuri Jejak Da’wah, Dari Penjara Ke Meja Hijau. Yogyakarta: Wihdah Press, 2003.
. ed. Risalah Kongres Mujahidin I dan Penegakan Syari’ah Islam Yogyakarta: Wihdah Press, 2001.
Ba’asyir, Abu Bakar, Catatan dari Penjara: Untuk Mengamalkan dan
Menegakkan Dinul Islam. Depok: Mushaf, 2006.
. Dalam buku Risalah Kongres Mujahidin I dan penegakan Syari’ah Islam. Yogyakarta: Wihdah Press, 2001.
. “Sebuah Jaringan untuk Kaderisasi Mujahidin dalam membentuk Masyarakat Islam.” Dalam Irfan Suryahardy Awwas, ed.,
Risalah Kongres Mujahidin I dan penegakan Syari’ah Islam. Yogyakarta:
Wihdah Press, 2001: h. 243-247
Black, Anthony. Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini,
terj, Abdullah Ali & Mariana Ariestawati. Jakarta: Serambi, 2006.
Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998.
Hanafi, Hassan. Agama, Kekerasan dan Islam Kontemporer, terj. Ahmad Najib.
Yogyakarta: Jendela, 2001.
Heikal, Muhammad Husein. Pemerintahan Islam, terj. Tim Pustaka Firdaus.
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
Ibrahim, Idi Subandy & Asep Syamsul M Romli. Kontroversi Ba’Asyir: Jihad
Melawan Opini “fitnah” Global. Bandung: Yayasan Nuansa Cendikia,
2003.
Jamhari dan Jahroni, Jajang. Gerakan Salafi Radikal di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Kahin, George Mc Turnan. Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik Indonesia:
Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Terj. Nin Bakdi Soemanto.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995.
Kusnadi, Moh & Bintan R Saragih. Ilmu Negara. Jakarta: Gaya Media Pratama,
2000.
Madjid, Nurcholish, “ Kata Pengantar.” Dalam Ahmad Syafi’ i Ma’arif. Islam
dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstitusi.
Jakarta: LP3ES, 1996: h. ix.
. Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam
Indonesia, dalam Islam Kemodernan dan KeIndonesiaan. Bandung:
Mizan, 1998.
Maududi, Abul A’la. Hak-hak Asasi Manusia dalam Islam, terj. Bambang Iriana
Djaatmadja. Jakarta, Bumi Aksara, 1995.
. Hukum & Konstitusi: Sistem Politik Islam, terj. Asep Hikmat. Bandung: Mizan, 1993.
. Sistem Politik Islam Hukum dan Konstitusi, terj. Asep Hikmat. Bandung, Mizan, 1998.
Mubarak, Zaki. Genealogi Islam Radikal di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2008.
Nashir, Haedhar. Gerakan Islam Syariat; Reproduksi Salafiyah Ideologis di
Indonesi.a Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2007.
Nasuhi, Hamid. Dkk. Pedoman Penulisan karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan
Disertasi). Jakarta: CeQDA UIN Syahid, 2007.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press, 1985.
Natsir, Muhammad. Agama dan Politik Capita Selecta II. Jakarta: Pustaka Pendis,
1985.
Qaradhawi, Yusuf. Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik, terj. Khoirul Amru
Harahap. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008.
Rais, M. Dhiauddin. Teori Politik Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Sardar, Ziauddin. Islam Tanpa Syariat: Menggali Universalitas Tradisi. Jakarta:
Grafindo, 2005.
Sirry, Mun’im A. Membendung Militansi Agama: Iman dan Politik dalam Masyarakat Modern. Jakarta: Erlangga, 2003
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran.
Jakarta: UI Press, 1995.
Sudrajat, Edi. Dalam Buku, Abu Bakar Ba’asyir, Catatan dari Penjara: Untuk
Mengamalkan dan Menegakkan Dinul Islam. Depok: Mushaf, 2006.
Syubagya, P Joko. Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Rineka
Cipta, 1990.
Tim ICCE. Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani.
Jakarta: ICCE UIN, 2003.
Zada, Khamami. Islam Radikal; Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di
Indonesia. Jakarta: Teraju, 2002.
Internet dan Majalah “Kewajiban Memilih Pemimpin.” Artikel diakses pada tanggal 10 Juli 2009 dari
http://hizbut-tahrir.or.id/2009/03/06/kewajiban-memilih-pemimpin/.
“Mengenal Jamaah Ansharut Tauhid.” Artikel diambil pada 9 Agustus 2009 dari
http://www.ansharuttauhid.com/jamaah/mengenal-jat.html.
“Negara (Politik).” Artikel diakses pada 12 Agustus 2009 dari http://ms.wikipedia.org/wiki/Negara_(politik).
“Negara.” Artikel diakses pada 12 Agustus 2009 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Negara.
“Pondok Pesantren Islam Al Mukmin Ngruki Sukoharjo.” Artikel diakses pada tanggal 31 Juli 2009 dari http://almukmin-
ngruki.com/index.php?option=com_content&view=article&id=53:pondok -pesantren-islam-al-mukmin-ngruki-sukoharjo&catid=51:profile-
pesantren&Itemid=66.
“Salafus Shalih: Pengertian Salaf.” Artikel diakses pada 5 Agustus 2009 dari http://id.islamiclopedia.org/wiki/Salafus_shalih.
“Terorisme di Indonesia.” Artikel diakses pada tanggal 28 Oktober 2009 dari
www.crisisgroup.org/home/index.cfm?id=3630&l=1
Ba’asyir, Abu Bakar. “Taujih AM, Amir Jama’ah Ansharut Tauhid.” Artikel
diambil pada 7 Agustus 2009 dari
http://www.ansharuttauhid.com/jamaah/sistem-organisasi.html.
Baasyir, Abu Bakar. “Vonis Tak Terlibat Bom Bali.” Artikel diakses pada tanggal 3 Juli 2009 dari http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/a/abu-bakar-
baasyir/index.shtml.
Barri, Fatchul. “Sanksi bagi Pelaku Makar dalam Perspektif Hukum Islam dan
Hukum Positif.” Artikel diakses pada tanggal 22 Juli 2009 dari
http://digilib.uin-suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=digilib-
uinsuka--fatchulbar-1580.html.
Budi, Muchus “Baasyir dan 17 Agustus.” Artikel diakses pada tanggal 20 Juni
2009 dari
http://www.detiknews.com/read/2008/08/18/105844/990329/608/baasyir-
dan-17-agustus.
Luthfi, Attabiq. “Menunaikan Amanah Kepemimpinan.” Artikel diakses pada 17
Juli 2009 dari http://www.dakwatuna.com/2007/menunaikan-amanah-
kepemimpinan/.
Novel, “Mundur dari MMI, Bulan Ramadhan Ustad Ba’asyir Bentuk Organisasi
Baru.” Artikel diakses pada 26 Agustus 2009 dari
http://www.eramuslim.com/berita/nasional/mundur-dari-mmi-bulan- ramadhan-ustad-ba-039-asyir-bentuk-organisasi-baru.html.
Salim, Muh Nur. “Pemikiran politik Ustadz Abdullah Sungkar.” Artikel diakses
pada tanggal 28 Oktober 2009 dari http://www.msi-
uii.net/baca.asp?katagori=rubrik&menu=Millah&baca=artikel&id=266.
Saidiman, “Ilusi Khilafah Islam.” Artikel diakses pada 12 April 2009 dari http://islamlib.com/id/artikel/ilusi-khilafah-islam/.
Syanwani, Munifah. “Perbandingan Pemikiran Politik Islam Abul A'la Al-
Maududi dengan Pemikiran dan Gerakan Partai Bulan Bintang di
Indonesia (Politik dan Hubungan Internasional di Timur Tengah).” Artikel
diakses pada 3 Maret 2009 dari
http://www.digilib.ui.ac.id/abstrakpdf/78204.pdf?file=abstrak-78204.pdf.
Wawancara dengan Abu Bakar Ba’asyir, “Syariat Islam Harga Mati.” Video
diakses pada tanggal 5 Agustus 2009 dari
http://www.youtube.com/watch?v=faoHc6xMyjk&feature=related.
Wawancara Fathuri SR dan Agus Setia Budi dengan An-Naim. Artikel diakses pada 3 Maret 2009 dari
http://www.csrc.or.id/wawancara/index.php?detail=070308053014.htmlv
Awwas, Irfan Suryahardy. “Nasihat Politik Abu Bakar Ba’asyir.” Sabili, 27 Februari 2004: h. 32.
Bektiati, Bina. “ Pesantren Al-Mukmin, Ngruki: Eksklusif tapi Tak Misterius.”
Tempo, 3 Februari 2002: h, 64-66.
Budiman, Irfan. “Jihad Al-Mukmin Sampai ke Kantin.” Jakarta, Tempo, 8
Desember 2009: h. 48-50
Fadjar & Imron Rosyid, “Pesantren Ngruki dan sejumlah Tuduhan: Jalan Islam
tanpa Madzhab.” Jakarta, Tempo, 8 Desember 2002: h. 73-76
Fadjar, “Pesantren Ngruki dan Sejumlah Tuduhan.” Tempo, 8 Desember 2009: h.
52-53
Rulianto, Agung. “Sidang Gugatan Abu Bakar Ba’asyir Ditunda”, Tempo, 31
Maret 2002: h. 46.
Widjajanto & Rommy Fibri, “Jejak Ba’asyir di sungai manggis”, Tempo, 3
November 2002: h. 62-64. No. 35/XXXI/
Wawancara
Wawancara pribadi dengan Abu Bakar Ba’asyir, Pesantren Ngruki, Surakarta, 27 September 2009.
Wawancara pribadi dengan Abu Bakar Ba’asyir, Kantor Ansharut Tauhid, Jakarta,
4 Oktober 2009.
Lampiran 1
Wawancara Pertama dengan Abu Bakar Ba’asyir
Pimpinan Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Surakarta
Dan Amir Jamaah Ansharut Tauhid
Ngruki, 27 September 2009
(T) : Apa Alasan ustadz untuk menerapkan syariat khususnya di Indonesia? (J) : Iya, jika kita membaca Qur’an dan hadis dapat saya simpulkan disamping
Allah menurunkan Islam sebagai konsep hidup yang menyelamatkan
(umat), Allah juga menurunkan sistem bagaimana cara mengamalkan
Islam. Jadi, konsep dinul Islam itu baru bisa menemui sasarannya itu kalau
cara mengamalkannya mengikuti sistem yang ditetapkan oleh Allah.
(T) : Artinya, Ustadz? (J) : Saya mengumpamakan ibarat obat yang dikeluarkan pabrik, obat itu baru
bisa memenuhi fungsinya menyembuhkan penyakit itu dengan izin Allah
kalau caranya pakai resep, bukannya semaunya sendiri. Islam juga seperti
itu, baru bisa memenuhi fungsinya sebagai rahmatan lil alamin ,
membimbing, membina, menyelamatkan manusia dengan izin Allah dunia
akhirat kalau cara mengamalkan juga mengikuti resep.
(T) : Jadi apa resep untuk mengamalkan sistem Islam, ustadz? (J) : Resepnya itu, saya menyimpulkan menjadi tiga pokok, satu, Islam harus
diamalkan secara prinsip. Kedua, Islam harus diamalkan secara kaffah. Ketiga, Islam harus diamalkan secara berjamaah atau dalam kekuasaan.
Prinsip, yang dimaksud akidahnya harus bersih dari segala macam
kemusyrikan, ibadah mahdohnya atau ritualnya bersih dari kotoran bid’ah,
muamallahnya, sehari-hari harus bersih dari sistem muamallah orang
kafir. Pakaian, cara bikin rumah, cara perkawinan, cara mengubur orang
meninggal, itu harus bersih dari cara-cara orang kafir.
Kemudian, kepemimpinannya harus bersih dari kepemimpinan orang
kafir, ini yang dimaksud bersih, artinya Islam tidak boleh dipimpin orang
kafir. Ini bersih.
Yang kedua, kaffah, seperti yang tercantum di dalam Al-Qur’an surat Al-
Baqarah 208, Jadi Islam harus diamalkan seluruhnya, tidak boleh dengan
sengaja satu syariat-pun ditinggalkan, kecuali belum mampu. Jadi seluruh
syariat harus diamalkan, dari mulai urusan pribadi, urusan moral, sampai dengan urusan kemasyarakatan, ideologi kemasyarakatan, itu harus bersih.
Kalau diamalkan semua tidak boleh satu syariat saja dipilih-pilih, jadi Islam itu harus diamalkan dengan sistem kekuasaan. Orang Islam haram
hukumnya hidup di bawah kekuasaan lain, tapi orang kafir boleh hidup di bawah kekuasaan Islam, diperlakukan baik dan adil, dan tidak dipaksa
masuk Islam. Jadi mengamalkan Islam dalam sistem kekuasaan baik
dalam masa tahap Daulah sampai ke dalam tahap yang sempurna, yaitu
khilafah, itu konsepnya Allah bukan pemikiran saya, jadi orang yang
menolak terwujudnya kekuasaan Islam baik itu namanya negara Islam
orang itu bisa murtad, karena apa? Dia menolak konsepnya Allah, jadi
jangan main-main dengan persoalan ini. Jadi Islam harus dalam sistem
kekuasaan, tidak boleh Islam itu di bawah kekuasaan, semua ulama
sepakat orang Islam haram hukumnya hidup di bawah kekuasaan orang
diluar Islam, baik itu kafir murni maupun secara istilah saya, kafir berbulu Islam, seperti Indonesia ini kafir berbulu Islam, tapi sebenarnya negara
kafir, karena dia menolak syariat Islam secara kaffah, hukumnya kafir.
Haram hukumnya orang Islam hidup di bawah itu, kecuali empat (4), di dalam buku namanya Al Wala Wal Bara (Loyalitas dan anti loyalitas),
karangan Muhammad bin Said Al-Qathani, itu orang Islam baru boleh hidup di negara bukan negara Islam dengan alasan berobat, bisnis,
menuntut ilmu umum seperti teknologi, dan dakwah, ini baru boleh karena
sementara, terutama dakwah yang paling baik, karena dia bisa merombak
situasi negara itu, diluar itu haram, harus hijrah ke negeri Islam, karena
apa? Selalu akan difitnah, imannya akan selalu difitnah, maka haram
hukumnya. Harus ada negara Islam, itu kewajiban, itu sama dengan
kewajiban sholat, meninggalkan negara Islam berarti meninggalkan sholat,
bisa murtad. Hanya saja ajaran ini sudah di gosok, dicampur oleh paham
ideologi sesat Nasionalis, ideologi yahudi. Ini yang saya pahami, maka
sekarang ini saya disorot dimana-mana, khususnya Amerika, karena tema
saya memang itu. Tapi ini memang persoalan yang pokok, bukan persolan
cabang.
Kekuasaan itu tidak bersifat nasional tapi transnasional, itu yang disebut khilafah, maka Nabi menjanjikan masa-masa khilafah sekali lagi, karena
Islam itu membagi manusia menjadi 2 (dua), kelompok mukmin dan
kelompok kafir atau hisbullah dan hisbutsyaithon.
Muamallahnya, antara hisbullah dan hisbutsyaithon itu ini muamallah
pergaulan permusuhan bukan persaudaraan, yang pergaulan persaudaraan itu sesama mukmin. Meskipun permusuhan ini kita bisa damai dengan dia
dengan syarat-syarat tertentu, tapi tetap musuh, oleh karena itu, di dalam
Islam hanya ada istilah ukhuwah Islamiyyah. Baru-baru ini ada istilah baru
memunculkan istilah ukhuwah Wathoniyyah.
Sesama bangsa Indonesia walau itu kafir tetap musuh, jangankan tetangga
satu keluarga kalau ada kafir itu musuh.
(T) :Itu mendapat istilah musuh juga artinya? (J) :Musuh, anaknya muslim, ayahnya kafir, itu ayahnya musuhnya dia,
meskipun di dalam urusan dunia, disuruh berbuat baik, selama dia tidak
menzahirkan permusuhan, tapi statusnya musuh. Oleh karena itu ayah
tidak boleh lagi menjadi wali anak muslim yang tadi, tidak boleh lagi
saling mewarisi, sudah musuh bukan saudara. Itu konsepnya Islam. Konsep inilah yang dihilangkan oleh Yahudi dengan paham nasionalis,
sehingga rusak sekarang ini.
(T) : Bagaimana pendapat ustadz jika umat muslim yang berada di posisi
minoritas? (J) : Wajib hijrah ke negeri Islam, kalau mampu, di buku itu saya terangkan,
kalau tidak mampu berjuang di dalamnya. Sekarang ini kalau mau hijrah ke negeri Islam itu tidak ada, di dunia ini tidak ada negeri Islam, Saudi
Arabia-pun bukan negeri Islam. Semua itu pahamnya Nasionalis, negeri itu belum ada maka kita susah untuk hijrah. Mungkin sekarang di Mesir,
di Afghanistan dan di Irak, tapi itu masih lemah, belum bisa kita hijrah
kesana, kalau tidak hijrah kita harus berjuang, merombak sistem negara,
bukan merombak rezim, rezim kita gak keberatan asal mau melaksanakan
sistem Islam. Haram hukumnya hidup di Indonesia, karena
pemerintahannya bukan Islam, tapi kafir, kita wajib hijrah tapi kan tidak
mampu, maka kita berjuang, kalau berjuang tidak mampu maka kita menentang dengan hati, artinya gak boleh rela, meskipun ada pemerintah
yang bisa memberi kemakmuran, tapi selama belum diatur Islam, hati tetap menentang, itu paling lemah. Kalau hati rela sudah gak ada iman,
karena ukurannya dunia bukan syariat.
(T) : Bagaimana hak-hak non muslim di negeri Islam? (J) : Istilah non muslim itu dibuang saja, pakai kafir, itu bahasa dari Allah,
bahasa non Muslim itu dari otak manusia. Hak orang kafir dilindungi,
keamanan jiwanya, keamanan hartanya. Diperlakukan secara baik dan
tidak boleh dipaksa masuk Islam, tapi hanya boleh di dakwahi kalau mau.
Haknya dia diberi, dia hanya berkewajiban bayar pajak, dia aman
melaksanakan keyakinannya, tapi ia tidak bisa memperluas keyakinannya
karena ada undang-undang jika orang Islam murtad pindah agama, hukum mati. Maka dalam surat An-Nuur ayat 55. Orang yang beriman dan
beramal soleh itu akan diberi pahala ku kekuasaan, khilafah. Kalau
kekuasaan ini sudah berada di tangan Islam efeknya disana disebut 3(tiga).
Kalau Islam sudah ada di sistem kekuasaan kedudukan Islam itu mantap, tidak di obok-obok seperti sekarang. Tapi sekarang di obok-obok
Ahmadiyyah, diobok-obok JIL, diobok-obok Yahudi, orang dimurtadkan
seenaknya sendiri, jadi keadaan Islam goyah. Baru mantap kalau dalam
negara Islam, itu dalam Qur’an.
Efek yang kedua, Allah akan menjadikan situasi serba takut yang
menimpa umat Islam jadi suatu ketenangan. Sekarang kita serba takut,
yang kita takuti adalah kehancuran moral anak kita, karena ghozwul fiqr
penghancuran moral saat ini sangat kuat. Jadi, umat Islam dalam keadaan goncang masalah ini, lainnya dikasih tenang karena dalam negara Islam
situasi keamanan, situasi lingkungan akan sehat, amar ma’ruf nahi
munkar.
Yang ketiga, umat Islam dalam ibadahnya, tauhidnya murni tidak diganggu syirik. Tapi yang sekarang terjadi apa? Syirik berbagai macam
bentuk, ini syirik mengaku Islam, artinya ini orang Islam sendiri tapi mengamalkan syirik. Berbagai macam syirik pada saat ini, baik syirik
hukum, syirik demokrasi, syirik nasionalis, itu semua syirik. Jadi
ibadahnya umat Islam itu tidak murni, belum lagi syirik kepercayaan yang
lain itu. Jadi apa, Ibadahnya orang Islam itu kotor sekarang ini, baru bersih
jika sudah negara Islam, karena umat Islam akan diarah.
Jadi, kesimpulannya, mengamalkan Islam itu harus dalam sistem kekuasaan. Itu konsep dari Allah yang diamalkan nabi dengan cara nyata.
Itulah negara Islam, jadi negara Islam itu termasuk kuat di dalam syari’at. Termasuk syari’at yang wajib diamalkan berjamaah.
(T) : Bagaimana bentuk Sistem negara Islam menurut Ustadz? (J) : Sistem negaranya yaitu sistem sunnah nabi, bukan sistem sunnah Yahudi
demokrasi. Antara lain yang paling mencolok yaitu satu, Amir, tidak perlu diganti secara periodik, menghamburkan uang itu. Selama dia masih
hidup, masih mampu menjalankan kewajibannya, dan tidak melanggar
syariat sampai tingkatan murtad. Adapun penyelewengan pribadinya kita
diharuskan sabar, menasihatinya saja, selama ia masih mengatur negerinya
dengan Islam. Sebab kalau diturunkan khawatir menjadi fitnah. Kalau
demokrasikan periodik lima tahun sekali, menghabiskan uang, kalau ini
tidak. Itu efektifnya.
Kedua, Taat itu kepada amir selama tidak maksiat. Instruksi amir merah, sami’na wa a’thona, saya tidak setuju, saya tidak sependapat, selama itu
bukan maksiat, sami’na wa a’thona. Itu kalau Islam diamalkan lebih hebat dari militer disiplinnya. Hanya dibatasi asal tidak maksiat. Kalau
bertentangan berpendapat itu urusan lain. Kalau sistem sunnah Yahudi, taat itu kepada AD/ART, oleh karena itu sistem dalam kepemimpinan
Yahudi itu adalah kolektif, jadi presiden terikat dengan undang-undang, terikat dengan DPR. Islam tidak begitu, Amir punya majelis syuro, yang
terdiri dari ulama dan orang-orang ahli, orang pandai teknologi dan sebagainya. Jadi amir minta pandangan kepada majelis syuro, lalu amir
memandang mana pendapat yang paling baik.
Yang ketiga, di dalam musyawarah kalau negara sistem Yahudi, keputusan
mesti diambil oleh suara mayoritas, itu keputusan kafir. Tetapi di dalam Islam, tidak mesti mayoritas, kembali ke amri. Mungkin amir memilih
pandangan mayoritas, mungkin juga amir memilih pandangan minoritas.
Mana yang dipilih amir, semuanya sami’na wa a’thona, senang maupun
tidak senang.
(T) : Artinya selama itu masih di jalur Islam kita harus patuh terhadap
Amir?
(J) : Ya, selama itu masih di koridor syariat. Mungkin pendapat amir itu
keliru, namanya manusia.
(T) : Jadi apa itu semua sudah dicontohkan waktu masa khalifah
terdahulu? (J) : Iya, amir selalu memerlukan musyawarah. Amir punya badan
musyawarah yaitu majelis syura, tidak perlu semacam DPR,
menghamburkan uang. Majelis syura itu para ulama dan ahli ilmu, kalau
masalah pembangunan kan perlu ahli ilmu, dokter, insinyur, nah itu
majelis syuranya. Jadi kalau ada suatu permasalahan, dia memanggil
majelis syura jika tidak mampu memecahkannya sendiri. Jadi Islam itu
praktis, murah tapi efeknya luar biasa. Oleh karena itu mengamalkan Islam
itu mesti dalam sistem kekuasaan. Kekuasaan ini bukan dibatasi nasional
tapi transnasional. Tapi sebagai tahap boleh nasional dulu, kami di
Indonesia juga berjuang menjadi negara Islam. Tidak berhenti, sehabis itu
Indonesia mengembangkannya. Maka kekuasaan Islam itu, kalau sudah
ada kekuasaan kewajiban dia berdakwah ke negeri-negeri kafir.
Dakwahnya sederhana saja, suruh pilih tiga itu masuk Islam, atau kalau tidak masuk Islam kamu tunduk, bayar pajak dan kamu tidak kami
ganggu, keyakinanmu, kalau kamu tidak mau Islam tidak apa-apa. Tidak mau tunduk, perang, karena apa? Menurut Islam, orang kafir tidak boleh
dipaksa masuk Islam, tapi wajib dipaksa untuk tunduk di bawah kekuasaan Islam. Kenapa begitu? Karena orang kafir kalau berkuasa, nanti akan
menimbulkan fitnah, itu mesti. Karena apa? Karena konsep hidupnya orang kafir itu kebalikannya orang Islam, kalau orang Islam amar ma’ruf
nahi munkar, kalau orang kafir amar munkar nahi ma’ruf, jadi kalau dia
berkuasa nanti akan fitnah dan menimbulkan kerusakan. Kamu boleh
hidup, kamu berhak hidup di dunia, kami tidak punya hak membunuh
kamu, tapi tidak boleh kuasa. Di dalam surat At-Taubah ayat 29, kalau
tidak salah, kita disuruh memerangi orang-orang kafir ahli kitab sampai
mereka tunduk membayar pajak, itu artinya perintah dari Allah orang kafir
tidak boleh kuasa, boleh hidup tapi tidak boleh kuasa. Jadi tidak boleh
dipaksa masuk Islam tapi wajib dipaksa tunduk dibawah kekuasaan Islam.
Demi tegaknya keadilan dan keamanan.
(T) : Jika syariat Islam itu sudah ditanam di suatu wilayah, apakah orang
kafir harus ikut hukum Islam? (J) : Itu di dalam hal-hal yang sifatnya umum, misalnya undang-undang
kriminalitas, mencuri misalnya, ya kena, dipotong, karena itu undang-
undangnya umum, tapi kalau undang-undang yang sifatnya ibadah, tidak kena, misalnya kalau orang Islam, perempuan tidak memakai jilbab, itu di
hukum kalau keluar rumah, tapi kalau orang kafir, tidak boleh, karena itu
keyakinannya. Orang Islam tidak solat, di hukum, tapi kalau orang Kristen
tidak boleh, tapi kalau itu undang-undang yang sifatnya kriminal, kena semua, karena itu undang-undang masalah umum, untuk keamanan
bersama, jadi orang mencuri, orang merampok, orang koruptor, itu semua
ada undang-undangnya yang tegas, itu kena semua, tapi yang hubungannya dengan keyakinan, masing-masing, tidak boleh kita
memaksakan perempuan kafir memakai jilbab, malah tidak boleh itu,
pakaian tidak boleh menyamai, sehingga diluar bisa diketahui, itu kafir, itu Islam, jadi zahirnya sudah terang, di Darul Islam juga ada undang-undang
tentang pakaian Islam.
(T) : Dalam negara yang bersistem Islam, amir itu harus orang Islam,
bagaimana dengan yang lainnya, misalkan menteri-menteri, bisakah
ditempatkan orang kafir? Itu diambil keahliannya saja, tapi bukan untuk memimpin.
(T) : Bagaimana dengan hak-hak perempuan di negara Islam? (J) : Hak perempuan di dalam Islam tidak boleh menjadi pemimpin umum,
tidak boleh memimpin negara, karena menurut nabi itu tidak akan sukses,
karena perempuan punya kelemahan-kelemahan. Tapi perempuan ada
bidangnya sendiri. Kalau masalah berkarir sesuai dengan keahliannya bisa saja sebatas tidak melanggar koridor syariat. Seperti dokter, malah dalam
Islam harus ada dokter wanita, karena rumah sakitnya disendirikan. Mesti
ada wanita menempati karir yang diperlukan.
(T) : Lalu bagaimana rakyat dapat mengawasi pemerintahan Islam? (J) : Caranya seperti itu tadi, kalau amir melanggar syariat sampai tingkatan
murtad baru dijatuhkan.
(T) : Itu apakah lewat majelis syura? (J) : Iya, lewat majelis syura dan boleh juga secara langsung. Tapi kalau
hanya maksiat hanya dinasihati. Rakyat kepada pemimpinya bila
menasihati pemerintah tidak boleh secara terang-terangan, tetapi harus didatangi. Itu untuk menghormati pemimpin.
(T) : Bagaimana kritik ustad tentang demokrasi di Indonesia ini? (J) : Saya sudah mengkritik tegaskan bahwa demokrasi ini syirik, dan orang
yang mempercayai demokrasi, mengamalkan karena percaya setelah dia
diberi tahu dan dia tidak bisa mendapati dalil syar’i, itu murtad. Ini jelas
syirik, dimana kedaulatan tertinggi di dalam menentukan undang-undang itu diberikan kepada manusia, padahal itu haknya Allah. Allah itu disebut
Rabb, Rabb itu mempunyai dua pengertian, pemilik dan pengatur, maka Allah itu rabbul alamin, yang memiliki semua alam termasuk kita
dimiliki. Yang kedua Rabb itu pengatur, jadi yang berhak mengatur
manusia itu Allah, bukan manusia. Maka manusia membuat peraturan
harus minta izin Allah, bukan peraturannya Allah minta izin rakyat. Saya mengatakan itu syirik yang paling kurang ajar, itu murtad, bagaimana mau
mengamalkan perintah Allah melalui persetujuan rakyat? Perintah Allah
kok harus minta persetujuan rakyat? Orang itu kalau mukmin, ada perintah Allah gak banyak cakap. Gak harus pakai persetujuan, nah ini di DPR, kita
minta perjuangkan syariat Islam, diperjuangkan minta persetujuan dahulu, kalau gak setuju gak dilakukan. Saya sangat terang-terangan dulu ada
pertemuan yang dilaksanakan oleh per situ, saya nyatakan syirik, jangan main-main dengan persoalan demokrasi, ini memang buatan Yahudi untuk
menghancurkan Islam. Oleh karena itu saya katakan, Indonesia ini
sistemnya syirik, oleh karena itu macam-macam azab Allah itu turun, karena sistem syirik ini. Harus kita ganti menjadi tauhid, supaya menjadi
Baldhotum Thayyibatun warabun Ghofur.
(T) :Bagaimana dengan tujuh kalimat dalam piagam Jakarta yang
dihapuskan itu? Apa harus dikembalikan? (J) : Bukan itu saja, dasar negara harus Islam, jadi satu-satuya sumber hukum,
Islam. Boleh kita bikin adat-istiadat asal tidak boleh keluar dari koridor
syariat. Jadi, satu-satunya sumber hukum, Al-Qur’an dan Sunnah, dasar
negara Islam, hukum positifnya syariat Islam, kalau memang syariatnya
belum ada, orang boleh membuat hukum tapi sandarannya harus syariat,
bukannya sekedar piagam Jakarta, itu hanya menyempitkan Islam, oleh karena itu Allah tidak meridhoi, makanya dihapus dengan yang sangat
hina.
Oleh karena itu, jika ini dipahami, kita berjuang syariat itu diperlukan
sistemnya dua, sampai Allah juga menurunkan sistem memperjuangkan
Islam yang kesimpulannya dakwah dan jihad.
(T) : Cara dakwah di Islam sendiri bagaimana? (J) : Menerangkan apa adanya, Nabi itu memberikan berita gembira dan
mengancam, yang salah kita kritik salah, di neraka. Kalau mau diganti
kamu masuk surga. Indonesia ini syirik, ini akan membawakan ke neraka negara ini, harus kita tolong, bagaimana supaya menjadi negara tauhid
sehingga selamat dunia akhirat, itu dakwah namanya. Jadi bukan dakwah
yang kecil-kecil, masalah akhlak saja, tapi yang pokok, bid’ah-bid’ah
seperti bid’ahnya sholat, tegas, itu tetap benar bukan salah, tapi bid’ah
syiriknya negara dibiarkan kelirunya disitu, syirik negara ini yang harus
selesai dahulu, nanti yang lain-lain jika negara kembali ke tauhid, otomatis
syirik-syirik seperti itu bisa dengan mudah diselesaikan. Masalah
Ahmadiyah saja itu kecil, masalahnya selama seminggu atau dua hari bisa
selesai.
Jadi sekarang ini, umat Islam ini bodoh tentang sistem negara, tauhid
dalam bentuk pemerintah, selama dari merdeka sampai sekarang tetap
syirik. Ini salahnya umat Islam, mengapa mau menerima sistem nasionalis
demokrasi dalam membentuk negara, padahal itu dilarang keras oleh Allah. Rasulullah mau melunak sedikit saja tidak boleh dalam urusan
berhala, Saudara baca dalam surat Al-Israa ayat 73.
(T) : Apa tidak takut dengan pertentangan Adat di Indonesia? (J) : Seperti itu tadi, sandarannya kan syariat, adat dicocokan, dilihat, cocok,
dipelihara bahkan menjadi hukum, yang melanggar adat bisa di hukum.
Tidak cocok dibuang. Itulah kesimpulannya.
Lampiran II
Wawancara Kedua dengan Abu Bakar Ba’asyir
Pimpinan Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Surakarta
Dan Amir Jamaah Ansharut Tauhid
Jakarta, 4 Oktober 2009
(T) : Bagaimana pendapat Ustadz tentang sistem sekuler? (J) : Sejak Khilafah dihapus oleh musuh Allah, Attaturk, itu bukan negara
Islam lagi, jadi negara Turki di bawah Kamal Attaturk itu sudah negara
kafir karena sudah tidak memakai lagi hukum Islam, tidak didasarkan oleh
Islam dan sudah memakai sistem sekuler, meskipun penduduknya
bermayoritaskan Islam. Jadi negara Islam itu cirinya amirnya muslim,
dasarnya Qur’an dan sunnah, dan hukum positifnya syariat Islam. Lalu
disempurnakan dengan undang-undang buatan manusia tetapi sandarannya
didalam membuat undang-undang itu syariat Islam. Maka seperti negara
Turki jelas negara sekuler sama dengan negara kafir sampai sekarang.
(T) : Apakah ada cara perbedaan dari cara perjuangan di mana
penduduk muslim yang mayoritas dengan muslim yang minoritas di
dalam suatu negara dalam memperjuangkan negara Islam? (J) : Definisi yang tadi itu tidak bisa dibedakan, tiga-tiganya mesti dipenuhi,
presidennya muslim, dasarnya Qur’an dan sunnah, hukum positifnya
syariat Islam. Tidak bisa dipisahkan, kalau dikurangi salah satunya sudah
kafir. Harus menyeluruh.
(T) : Menurut Ustadz, Bagaimana dengan penerapan syariat di Aceh,
apakah sudah berjalan dengan baik? (J) : Belum, dan itupun masih belum dikatakan Islam, yaitu hanya politiknya
orang kafir saja untuk menghentikan perlawanan orang Aceh, lalu setelah
itu akan dirong-rong terus seperti sekarang. Jadi syariat Islam yang
berlaku di Aceh itu hanya karena penduduknya disana melawan kemudian di beri kesempatan menerapkan syariat. Itupun tidak memenuhi negara Islam, Indonesia ini masih negara kafir termasuk di Aceh. Negara Islam itu tidak boleh tunduk di bawah negara di luar Islam. Jadi di Islam itu ada
satu kaidah, Islam itu wajib berkuasa dan orang kafir itu boleh hidup di
bawah kekuasaannya. Tapi Islam tidak boleh diamalkan dibawah
kekuasaan yang lain. Ini yang harus dipahami kaidahnya. Jadi Islam itu
berkuasa bukan dikuasai. Maka wajib terus berjuang sampai berkuasa. Memang kaidah ini menjadi rusak ketika umat Islam sudah di serang oleh
antara lain aliran sesat nasionalis demokrasi serta sosialis serta seluruh
sistem dari kafir. Dikira hidup seperti di Indonesia ini halal padahal haram.
Umat Islam hidup di Indonesia ini wajib hijrah, asal mulanya seperti itu. Namun, karena hijrah tidak mungkin karena tidak ada tempat hijrah maka
wajib berjuang merombak sistem negara kembali ke Islam. Orang Islam
tidak boleh rela dengan keadaan negara yang belum Islam, kalau rela dia
bermaksiat jatuhnya jahiliyyah. Hanya karena perhitungan ekonomi
biasanya seperti itu, perhitungan orang Islam itu harus berlakunya hukum
Islam.
(T) : Bagaimana tanggapan ustadz tentang adanya partai-partai di
Indonesia sebagai cara mengapresiasi usulan untuk memperjuangkan
negara Islam? (J) : Dulu sudah saya terangkan, jadi disamping Allah menurunkan Islam
sebagai ideologi atau din tatanan hidup untuk mengatur kehidupan, itu
bahasa asingnya adalah ideologi, Allah juga menurunkan tata cara
mengamalkannya yaitu dengan sistem kekuasaan. Allah juga menurunkan resep memperjuangkannya. Itu dengan dakwah dan jihad, jadi Islam tidak
bisa diperjuangkan dengan sistem diluar sistem Islam seperti dengan sistem demokrasi. Islam hanya bisa diperjuangkan dengan sistem yang
digariskan oleh Allah yaitu dakwah dan jihad.
(T) : Bagaimana cara memperjuangkan Islam di Indonesia yang tepat? (J) : Dengan dakwah, di Indonesia ini cara memperjuangkannya tetap dengan
dakwah dan jihad, tapi dimulai dulu dengan dakwah, menerangkan yang
hak, diterangkan apa adanya. Itu nanti akan menimbulkan furqon (pembeda), kelompok yang bertentangan. Sebab Islam itu, tegaknya Islam itu
karena jihad, kalau tidak ada jihad tidak ada Islam, tidak ada tegaknya Islam tanpa jihad, tetapi itu dimulai dengan dakwah. Maka Rasulullah
menjanjikan dikala kekuasaan Islam itu turun, Allah akan selalu menempatkan sekelompok umat Islam yang mereka terus menerus
berjihad, kelompok ini tidak bisa dilawan.
(T) : Apa yang sudah ustadz lakukan selama ini dalam memperjuangkan
Islam? (J) : Dakwah, kami dan Jamaah Ansharut Tauhid ini konsepnya tetap dakwah
dan jihad, tapi kita baru bisa melaksanakan dakwah, jihad belum bisa.
Dakwah itu menerangkan materi yang haq. Yang bathil katakan bathil.
Meskipun itu undang-undang negara, kalau itu bathil kita katakan bathil,
jadi tidak ada kompromi mengenai persoalan ini. Jadi kita belum bisa
mengamalkan jihad dengan pengertian sebenarnya, kita sebatas dakwah.
(T) : Untuk sekarang bagaimana Khalifah bisa didirikan? (J) : Itu nanti dengan Jihad. Kalau sudah ada jihad, baru khalifah bisa berdiri
dan di dunia ini sudah ada wujudnya seperti Al-Qaidah dan Taliban. Sudah
mulai jihad mereka. Itulah arahnya dalam pembentukan khilafah nanti. Kalau khilafah sendiri sudah dijanjikan oleh Allah dan Rasulnya dan
diturunkan yang dinamakan Imam Mahdi. Itu yang akan menggerakan jihad semesta sehingga bisa menghancurkan Yahudi dan antek-anteknya
sehingga tegaklah kekuasaan Islam di dunia yang namanya Khilafah
Islamiyah.
(T) : Perbedaan antara dakwah ustadz di Indonesia dengan di Malaysia
seperti apa?
(J) : Sama, dakwahnya sama saya menerangkan bahwa yang diterangkan
Qur’an kita terangkan apa adanya. Hanya di Indonesia agak lebih bebas
setelah jatuhnya orde baru.
(T) : Bagaimana tanggapan ustadz tentang pelaksanaan HAM di Indonesia? (J) : Semua yang ada sekarang ini yang dikeluarkan pemerintah, semuanya
memojokkan Islam tidak ada yang menguntungkan Islam kelihatannya
saja menguntungkan Islam namun tetap memojokkan Islam. Kenapa?
Pemerintahan sekarang masih bersistem Yahudi, merasa atau tidak merasa
pemerintahan sekarang itu ada di pihak Yahudi. Dia merasa atau tidak
merasa, berarti dia selalu merugikan Islam. Memang tidak ada
pemerintahan sistem yahudi ini yang menguntungkan Islam. Walaupun
kelihatannya menguntungkan Islam namun perbuatannya merugikan
Islam.
(T) : Jadi bagaimana kalau pemimpin sekarang tetap menolak sistem Islam? (J) : Itu nanti pada suatu saat kalau sudah ada jihad memang pemimpin seperti
itu harus dijatuhkan kalau tidak mau kembali ke Islam. Jihad itu memang
tujuannya untuk itu, untuk memaksa supaya pemimpin itu kembali ke
Islam kalau tidak mau di jatuhkan. Ibnu Katsir dalam tafsirnya, kalau orang sudah tidak mau Islam wajib diperangi sampai ia mau kembali
kepada Islam baik urusan baik urusan berat maupun urusan kecil.
(T) : Organisasi-organisasi Islam yang ada sekarang ini apa tidak
mengkotak-kotakan Islam dengan sendirinya? (J) : Mengkotak-kotak itu memang sudah sunatullah, selama Islam itu belum
ada khilafah, mesti hidupnya berpecah-pecah. Hanya kelompok-kelompok
ini ada yang diatas garis yang sunnah tapi ada yang menyeleweng,
dankebanyakan yang menyeleweng daripada yang sunnah. Jadi kelompok-
kelompok umat Islam ini sudah sunatullah akibat umat Islam tidak ada
khilafah, jadi jatuhnya khilafah umat Islam jadi berkelompok-kelompok.
Islam tidak akan bisa bersatu kecuali tidak kembali kekuasaan Islam, karena apa? Bagi siapa yang tidak mau tunduk, diperangi walau orang
Islam. Jadi semua tunduk dibawah satu pimpinan. Itu hanya ada jika sudah tegak Daulah Islamiyyah, itu kalau masih di Indonesia. Kalau di dunia, itu
dinamakan Khilafah. Jadi bersatunya umat Islam ini harus ada khilafah, harus ada kekuasaan Islam, tanpa ada itu umat Islam akan tetap
berkelompok-kelompok. Itu merupakan salah satu konsekuensi dari ketiadaannya khilafah, ketiadaannya kekuasan, disaat kekuasaan runtuh
umat Islam berkelompok-kelompok. Hanya kelompok-kelompok ini masih ada yang diatas kebenaran dan ada juga yang menyeleweng, karena
kepentingan dunia, pada umumnya ormas dan orsospol Islam itu kena
ujian kepentingan dunia, wahn katanya Rasul itu. Dia tidak mau jihad, dia
menyetujui penguasa yang ada.
(T) : Kesimpulannya, Ustadz menolak sistem-sistem semacam demokrasi,
sekuler dan nasionalis? (J) : Ya, memang harus begitu karena apa? Allah sudah menurunkan sistem
yang cukup, mulai dari pribadi sampai dengan negara, dan juga Allah
menurunkan sistem bagaimana memperjuangkan Islam. Jangan kita
mengikuti diluar Islam, harus dibuang.
(T) : Jadi pendapat ustadz sistem yang benar itu sperti khilafah? (J) : Iya, sistem Islam yang benar itu adalah yang masuk ke sistem kekuasaan,
dalam bentuk daulah sebagai tahap, secara sempurnanya khilafah. Karena
Islam itu membagi manusia hanya 2 (dua), mukmin dan kafir. Pembagian
berbangsa-bangsa itu bukan suatu ikatan, yang merupakan ikatan itu iman,
maka orang iman itu saudaranya orang iman meskipun bukan bangsanya,
sebaliknya orang iman itu musuhnya orang kafir meskipun itu bangsanya sendiri. Disini bedanya dengan nasionalis, jika nasionalis yang saudara itu
satu bangsa meskipun orang kafir, kalau bukan satu bangsa, orang asing meskipun ulama. Islam mengatakan yang saudara itu seiman. Jadi saudara
itu dilihat dari iman, maka ada istilah ukhuwah Islamiyyah, tidak ada istilah lain. Hanya saja kaum nasionalis dan sekuler yang sesat itu
menambah lagi istilah ukhuwah wathoniyyah, itu tidak ada. Kalau dia mukmin meskipun bangsa Cina tetap saudara kita, ini tidak bisa dirubah,
ini sudah harga mati.
(T) : Apa saran Ustadz untuk umat Islam yang menginginkan penerapan
Islam di berbagai sektor sekarang ini? (J) : Ya Islam harus masuk dulu di dalam sistem kekuasaan, kalo belum
seperti itu masih berjalan setengah-setengah, seperti sekarang ini mana kita bisa menerapkan syariat Islam kecuali masalah nikah, talak, rujuk, itu
saja kadang-kadang masih diganti-ganti, seperti umpamanya tidak boleh mengawini anak umur 12, padahal Nabi pernah menikahi anak umur 9
tahun, itu saja kan diganti. Umat Islam tidak apa-apa mengawini anak
umur 12, selama tidak ada tujuan-tujuan untuk menzhalimi.
Kedua, meskipun sistem pernikahan di Indonesia itu dipersulitkan, syariat
Islam itu, tapi bisa diganti, misalkan orang mau poligami izin istri, izin
kepala kantor, itu kan rusak semua, padahal di dalam Qur’an syaratnya
adil tidak perlu izin siapa-siapa, selama dia sanggup adil boleh poligami,
kalau tidak adil baru boleh dihukum, itupun adil zahir bukan adil bathin.
Yang merusak itukan pemerintah, pemerintah itukan ada dua, kalau gak
pemerintahan Islam ya pemerintahan kafir, mana ada yang lain, Islam tidak, kafir juga tidak, gak ada setengah-setengah, Indonesia ini negara
Islam bukan kalau gitu negara kafir, Islam tidak kafir tidak, itu malah tidak karu-karuan. Allah hanya menetapkan dua nilai, Islam atau kafir, hak atau
bathil, hak itu Islam bathil itu kafir. Tadi saya katakan, jadi kalaupun ada beberapa hukum Islam di Indonesia tapi kadang-kadang masih di obok-
obok seperti tadi itu, hukum nikah di obok-obok tidak karuan, gak mungkin kafir mau mengakui Islam, karena orang kafir itu tidak ridho
Islam sejalan dengan konsep Qur’an dan sunnah, kalaupun diperbolehkan
perlakuan itu dibelokkan, orang kafir menghalangi dari orang masuk Islam
dan berusaha membengkokan Islam yang sudah ada, maka kadang-kadang
yang lebih bahaya yang kedua tadi, itu namanya ghozwul fiqr, jadi Islam
dihancurkan dari dalam, boleh Islam tapi mengikuti pola mereka, tidak
boleh memakai pola Qur’an dan sunnah, di Indonesia juga begitu, boleh
Islam tapi jangan pola sunnah, tapi pola yang sudah ada ini. Maka kalau
Islam itu hidup di bawah pemerintahan bukan Islam mesti terus difitnah
akhirnya rusak, oleh karena itu Islam tidak boleh hidup kecuali berkuasa.
(T) : Bagaimana tanggapan ustadz tentang peledakan-peledakan bom
yang ada di Indonesia, apa itu termasuk upaya dalam
memperjuangkan syari’at Islam? (J) : Iya itukan usaha mereka untuk jihad melawan Amerika sebenarnya,
karena sebelumnya Amerika sudah mengumumkan perang, yaitu perang
salib dengan kamuflase perang melawan teroris tapi itu adalah perang
melawan Islam. Ini ada pemuda-pemuda yang tidak sabar lalu menyerang
kepentingan Amerika dengan bom-bom itu, jadi itu juga salah satu bentuk perjuangan Islam, hanya saja masalah pengeboman itu masalah
perhitungan dia yang bisa salah bisa benar, orang boleh setuju boleh tidak,
tapi tujuan mereka adalah membela Islam dan kaum muslimin yang
dizholimi dan diserang oleh Amerika.
(T) : Jadi, secara prinsip tujuannya benar? (J) : Tujuannya benar, tapi langkahnya ada yang menyalahkan karena di
Indonesia ini bukan wilayah perang biasa, tapi di Afghanistan dan Irak
sana. Tapi di Indonesia itu ada perang Fiqr itu tadi, maka perang fiqr itu harus diperangi dengan dakwah. Nanti kalau mereka sudah menyerang
dengan senjata, lalu kita bisa mengangkat senjata. Kalau sekarang kita sudah memakai senjata bisa ditunggangi macam-macam. Namun,
meskipun umpama perhitungan mereka mengebom itu keliru Insya Allah
akan diampuni oleh Allah karena apa, karena tujuannya jihad itu.
Orang-orang seperti itu juga perlu tetapi dengan perhitungan yang tepat,
sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Itu harus dilakukan secara berjamaah,
yang baik, tertib, memakai perhitungan, yang seperti itu. Tapi yang jelas
perhitungan mereka adalah jihad, maka pada umumnya tanda-tanda
matinya ada karomah-karomah, tanda-tanda bau wangi semisalnya, itukan
karomah namanya, itu Allah menunjukkan bahwa mereka matinya baik,
itu memang menunjukkan niatnya mencari ridho Allah, bukan niat yang
lain-lain, meskipun langkah perhitungannya keliru, tapi Insya Allah akan
diampuni Allah SWT.
(T) : Jadi, apa kesimpulan Ustadz tentang Islam dan negara? (J) : Tidak bisa dipisahkan, Islam harus berbentuk negara maka ada ulama
yang mendefinisikan Islam, Islam itu adalah agama dan negara. Memang
tidak bisa dipisahkan, Islam harus dalam bentuk negara, dalam bentuk kekuasaan dalam istilah saya, karena negara dan secara sempurna
transnasional, bukan nasional, Islam tidak mengenal nasional. Walaupun Allah menciptakan berbangsa-bangsa dan berkaum-kaum itu untuk saling
kenal-mengenal bukan sebagai ikatan saudara tapi saya katakan yang
disebut saudara itu sesama mukmin bukan sesama bangsa, bahkan bukan
sesama keluarga.