V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Keadaan Masyarakat di Kawasan Wisata Tanjung Karang Pusentasi
5.1.1. Karakteristik Masyarakat
Kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi mencakup empat wilayah
yang terdiri atas Kelurahan Labuan Bajo, Kelurahan Boneoge, Desa Limboro dan
Desa Tovale. Meskipun demikian, hanya penduduk yang terdapat di kelurahan
Boneoge yang seluruhnya bermukim di lokasi wisata. Pada wilayah lain seperti
kelurahan Labuan Bajo dan desa Limboro penduduk yang bermukim di lokasi
wisata masing-masing hanya terdapat pada satu wilayah RT dan Dusun. Untuk
kelurahan Labuan Bajo, lokasi dan kegiatan wisata terdapat di Tanjung Karang
yang merupakan salahsatu RT di kelurahan tersebut, sedangkan di desa Limboro
kegiatan dan lokasi wisata terdapat di dusun Kaluku. Sementara itu, lokasi
wisata yang terdapat di desa Tovale yaitu Pusentasi yang berdampingan dengan
dusun Kaluku tidak dihuni oleh penduduk. Oleh karena itu, penduduk yang
berinteraksi langsung dengan aktifitas pariwisata di kawasan ini hanya terdapat
pada tiga wilayah dengan jumlah penduduk sebanyak 761 KK atau 3.353 jiwa.
Rincian jumlah penduduk pada masing-masing lokasi wisata dikemukakan pada
Tabel 9.
Tabel 9. Jumlah penduduk yang bermukim di kawasan wisata.
Lokasi
Pariwisata KK
Jumlah
jiwa Laki-laki Perempuan
Boneoge 663 2.863 1.447 1.416
Tanjung Karang 39 225 123 102
Kaluku 59 265 137 128
Jumlah 761 3.353 1.707 1.646
Sumber : Data statistik masing-masing desa dan kelurahan, 2006.
Penduduk yang bermukim di wilayah ini pada umumnya adalah
masyarakat nelayan dan petani dengan tingkat pendidikan yang relatif masih
rendah. Tingkat pendidikan masyarakat dikemukakan pada Tabel 10.
36
Tabel 10. Pekerjaan dan tingkat pendidikan responden masyarakat lokal.
Pekerjaan Tingkat pendidikan Jumlah
(orang) SD SMP SMA PT
Nelayan 25 2 0 0 27
Petani/peternak 10 5 0 0 15
Dagang 1 3 4 0 8
Sopir/Ojek 3 3 0 0 6
Guru/PNS 0 0 3 3 6
Buruh/Pertukangan 3 2 0 0 5
Jasa 1 1 1 0 3
Jumlah 43 16 8 3 70
Berdasarkan informasi yang dikemukakan pada Tabel 10 diatas terlihat
bahwa sebagian besar responden yaitu 61,4 % memiliki tingkat pedidikan sekolah
dasar, selebihnya 22,9 % berpendidikan sekolah lanjutan pertama, 11,4 %
sekolah lanjutan tingkat atas, dan sisanya 4,3 % berpendidikan tinggi. Bila
mengamati kondisi masyarakat yang terdapat di kawasan ini, yang sebagian besar
memiliki tingkat pendidikan yang rendah, dapat dikemukakan bahwa potensi
sumberdaya manusia yang terdapat dikawasan wisata ini masih tergolong rendah.
Sebagaimana halnya dengan masyarakat yang mendiami desa-desa pesisir
lainnya, sebagian besar masyarakat di wilayah penelitian ini memiliki pekerjaan
sebagai nelayan. Seperti yang dikemukakan pada Tabel 10, sebagian besar
responden masyarakat lokal memiliki pekerjaan atau mata pencaharian pokok
sebagai nelayan.
Dari 70 responden masyarakat lokal yang diwawancarai, terdapat 27
orang atau sebesar 38,6 % memiliki mata pencaharian pokok sebagai nelayan,
dan sejumlah 15 orang atau sebesar 21,4 % memiliki mata pencaharian pokok
sebagai petani. Sisanya memiliki mata pencaharian pokok sebagai pedagang,
sopir/penarik ojek, pegawai negeri, buruh/pertukangan, dan jasa. Disamping
pekerjaan pokok tersebut, mereka juga memiliki pekerjaan atau mata pencaharian
sampingan. Hal ini dilakukan disamping untuk kepentingan menambah
penghasilan keluarga, juga disebabkan karena rata-rata mereka memiliki lahan,
yang dapat ditanami tanaman-tanaman tertentu seperti jagung, ubi kayu, pisang,
dan tanaman sayuran.
37
Bagi masyarakat yang bekerja sebagai nelayan, kegiatan sampingan
dilakukan pada saat tidak melaut, terutama pada saat terjadinya musim barat
dimana mereka tidak dapat melakukan pekerjaan sebagai nelayan. Informasi yang
diperoleh pada saat wawancara dan diskusi kelompok, kegiatan sampingan
masyarakat nelayan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya disamping bertani
adalah bekerja sebagai buruh pelabuhan dan bangunan di kota Donggala, dan
sebagian diantaranya memanfaatkan peluang dari aktifitas pariwisata yang
berlangsung di wilayah ini (Tabel 11).
Tabel 11. Pekerjaan dan kelompok usia responden masyarakat lokal.
Pekerjaan Usia responden (tahun)
Jumlah
20-30 31-40 41-50 51-60 61-70
Nelayan 5 10 7 5 0 27
Petani/peternak 2 5 5 2 1 15
Dagang 1 2 2 2 1 8
Sopir/Ojek 2 2 1 1 0 6
Guru/PNS 1 2 2 1 0 6
Buruh/Pertukangan 1 2 2 0 0 5
Jasa 1 1 1 0 0 3
Jumlah 13 24 20 11 2 70
Usia responden masyarakat lokal bervariasi mulai dari usia 20 tahun
hinga 70 tahun. Pada Tabel terlihat bahwa informan yang berusia 20 – 30 tahun
sebesar 18,6 %, usia 31 – 40 tahun sebesar 34,3 %, usia 41 – 50 tahun sebesar
28,6 %, usia 51 – 60 tahun sebesar 15,7 %, dan usia 61 – 70 tahun sebesar 2,9 %.
Berdasarkan komposisi umur tersebut terlihat bahwa responden yang memiliki
usia antara 20 – 60 tahun, sebagai kelompok usia produktif, jumlahnya mencapai
97,1 %, sedangkan yang memiliki usia antara 61 – 70 tahun hanya sebesar 2,9 %.
Pekerjaan utama dari kelompok usia produkstif adalah nelayan,
pertanian/peternakan, dagang, sopit/penarik ojek, guru, dan buruh. Sedangkan
penduduk yang telah memiliki usia yang tua/kurang produktif memilih pekerjaan
sebagai peternak dan dagang yang relatif kurang membutuhkan tenaga yang
besar.
38
5.1.2. Perekonomian Masyarakat
Masyarakat yang mendiami kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi,
seperti halnya masyarakat di wilayah lainnya, mengembangkan sistem
perekonomian berdasarkan karakter wilayah dan potensi sumberdaya yang
tersedia. Perekonomian masyarakat di kawasan ini bertumpu pada dua kegiatan
yaitu pertanian/peternakan dan perikanan. Kegiatan pertanian yang dilakukan
oleh masyarakat pada umumnya berladang dan membuka perkebunan rakyat,
serta sebagian kecil diantaranya menjalankan usahatani padi sawah dengan sistim
irigasi desa dan padi ladang. Kegiatan pertanian dan perkebunan yang dilakukan
oleh masyarakat dikemukakan pada Tabel 12.
Tabel 12. Kegiatan pertanian dan perkebunan yang dimiliki oleh masyarakat
(Ha).
Desa/Kelurahan Jenis tanaman pertanian Jenis tanaman perkebunan
Padi Jagung Kelapa Cacao
Boneoge 0 4 102 6
Labuan Bajo 0 0 175 0
Limboro 40 10 120 17
Sumber : Kecamatan Banawa Dalam Angka, 2006
Kegiatan perkebunan nampaknya lebih mendominasi kegiatan penduduk
di wilayah ini, karena memang sejak dahulu daerah (Sulawesi Tengah) ini
dikenal sebagai penghasil tanaman perkebunan, terutama kelapa. Tanaman
kelapa bagi masyarakat di wilayah ini merupakan kegiatan utama untuk
pemenuhan kesejahteraannya, sementara tanaman lainnya yang dilakukan dengan
kegiatan berladang merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-
hari (subsisten) sambil menunggu panen buah kelapa yang biasanya berlangsung
setiap 3-4 bulan. Keadaan tersebut juga merupakan gambaran dari aktifitas
pertanian masyarakat yang bermukim di lokasi kawasan wisata Tanjung Karang
Pusentasi (Tanjung Karang, Boneoge, dan Dusun Kaluku). Kegiatan pertanian
dan jenis tanaman yang diusahakan oleh masyarakat di kawasan wisata ini
dikemukakan pada Tabel 13.
39
Tabel 13. Kepemilikian lahan dan jenis tanaman yang diusahakan oleh
masyarakat.
Kelurahan/
Desa
Lokasi Kepemilikan
Lahan (ha)
Jenis tanaman
yang diusahakan
Boneoge Boneoge 0,25 – 2 Tanaman tahunan : kelapa dan coklat.
Tanaman semusim : padi ladang,
jagung, ubi kayu, pisang, serta
tanaman-tanaman hortikultura seperti
cabe, tomat dan sayuran.
Labuan Bajo Tanjung
Karang
0,25 – 2
Limboro Dusun Kaluku 0,25 – 3
Disamping mengelola lahan untuk kegiatan bercocok tanam, masyarakat
juga memelihara ternak sebagai usaha sampingan untuk meningkatkan
kesejahteraannya. Jenis ternak yang dipelihara oleh masyarakat disajikan pada
Tabel 14. Meskipun hanya sebagai usaha sampingan, namun usaha peternakan ini
sangat berperan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan daging di wilayah
ini dan sebagai tabungan masyarakat yang sewaktu-waktu dapat dijual bila
mereka membutuhkan dana untuk berbagai keperluan yang mendesak.
Tabel 14. Jenis ternak yang dipelihara oleh masyarakat di wilayah penelitian.
Desa/Kelurahan Jenis ternak
Sapi Kambing Ayam Buras
Boneoge 123 195 659
Labuan Bajo 54 55 270
Limboro 194 152 639
Sumber : Kecamatan Banawa Dalam Angka, 2006
Dibidang perikanan, desa-desa yang terdapat diwilayah penelitian ini
merupakan penghasil ikan laut yang cukup besar bagi kecamatan Banawa.
Sementara Kecamatan Banawa sendiri merupakan penghasil ikan terbesar untuk
wilayah Kabupaten Donggala. Menurut Dinas Perikanan dan Kelautan Donggala
(2002), dari 8 kecamatan yang memiliki wilayah perairan laut di Kabupaten
Donggala, Kecamatan Banawa merupakan penyumbang terbesar hasil tangkapan
ikan di kabupaten ini. Pada tahun 2002 kontribusi penangkapan ikan laut di
wilayah perairan Kecamatan Banawa terhadap total produksi di Kabupaten
Donggala adalah sebesar 20,33%.
Jenis peralatan penangkapan ikan yang dimiliki oleh masyarakat di
wilayah ini adalah jala rumpon, pukat pantai dan gill net. Adapun sarana
40
transportasi perikanan yang dimiliki adalah perahu/kapal motor bermesin dan
sejumlah perahu tanpa mesin (Tabel 15).
Tabel 15. Peralatan penangkap ikan dan sarana transportasinya di wilayah
penelitian.
Desa/
Kelurahan
Peralatan penangkap ikan Sarana transportasi
perikanan
Jala
rumpon
Pukat
pantai Gill Net
Kapal/
Perahu
motor
Perahu
Tak
Bermotor
Boneoge 6 15 20 12 20
Labuan Bajo 0 0 8 5 10
Limboro 0 12 8 0 5
Sumber : Kecamatan Banawa Dalam Angka, 2006
Meskipun terdapat berbagai peralatan nelayan berupa perahu motor dan
peralatan lainnya, namun kegiatan perikanan yang dilakukan oleh sebagian besar
masyarakat merupakan kegiatan perikanan skala kecil dengan menggunakan
peralatan sederhana berupa pukat, pancing, dan panah. Penggunaan pukat pantai
dan panah biasanya dilakukan oleh masyarakat untuk menangkap ikan-ikan
karang yang terdapat disekitar kawasan wisata atau tempat-tempat lainnya
dimana terdapat banyak gugusan karang.
Kemampuan nelayan di kawasan ini untuk menangkap ikan dengan
menggunakan panah dan harus menyelam tanpa menggunakan alat cukup
terkenal disekitar kawasan ini, terutama di Teluk Palu dan perairan Kabupaten
Donggala bagian barat. Hal ini dikarenakan mereka, terutama nelayan yang
berasal dari Kelurahan Boneoge, mampu melakukan penyelaman dalam waktu
yang cukup lama, jauh melebihi kemampuan rata-rata nelayan yang terdapat di
sekitarnya.
Hasil yang diperoleh dalam menangkap ikan-ikan karang biasanya sekitar
30 – 50 ekor sekali melaut dengan harga jual sekitar Rp. 5.000,- sampai Rp.
10.000,- per ikat. Sedangkan untuk penggunaan pancing biasanya ditujukan
untuk menangkap ikan-ikan dasar dan permukaan yang biasanya dilakukan oleh
nelayan dengan menggunakan perahu tanpa motor.
Penangkapan ikan oleh nelayan dengan menggunakan pancing,
diantaranya adalah kegiatan yang disebut dengan panambe. Kegiatan panambe
41
ini merupakan kegiatan nelayan memancing ikan Julung-julung yang dalam
bahasa daerah disebut dengan bau (ikan) tampai. Ikan ini merupakan ikan
permukaan yang biasanya terdapat disekitar gugusan karang antara bulan April
hingga September, di kawasan ini terutama terdapat di perairan sekitar dusun
Kaluku dan sebagian kecil wilayah Boneoge.
Kegiatan panambe yang dilakukan oleh nelayan dalam menangkap ikan
ini biasanya dilakukan secara berkelompok dengan jumlah anggota sekitar 3
sampai 5 orang. Hasil tangkapan yang mereka dapatkan kemudian dimasak
dengan cara pengasapan, yang sebelumnya dijepit dengan menggunakan bambu,
dimana setiap jepitannya berjumlah 20 ekor. Setiap minggu masing-masing
keluarga nelayan dapat menghasilkan sekitar 50 – 150 jepitan ikan ini dengan
harga jual antara Rp. 5000,- sampai Rp. 10.000,- setiap jepitannya
Kegiatan ekonomi lainnya yang dilakukan oleh masyarakat, meskipun
tidak menjadi kegiatan utama, adalah menenun kain sarung dari benang sutera
dengan menggunakan alat tenun tradisional. Kegiatan ini biasanya dilakukan
oleh kaum perempuan yang dilakukan disela-sela aktifitas mengurus
rumahtangga dan kegiatan pertanian. Setiap sarung diselesaikan dalam waktu
sekitar 1 – 2 bulan dengan harga jual per sarung sekitar Rp. 250.000,- sampai Rp.
300.000,-. Hingga saat ini masyarakat hanya menghasilkan tenunan dalam
bentuk sarung meskipun terbuka peluang untuk menghasilkan produk yang lain
dalam bentuk cindera mata karena mereka berada pada lokasi kegiatan
pariwisata. Hal ini, menurut masyarakat, karena keterbatasan keterampilan yang
dimiliki untuk menghasilkan produk tersebut.
Disamping aktifitas yang dikemukakan tersebut, masyarakat juga
menangkap peluang usaha yang dihasilkan oleh berkembangnya aktifitas
pariwisata di kawasan ini. Diversifikasi usaha ekonomi yang mereka lakukan
merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dengan
memanfaatkan waktu-waktu tertentu ketika mereka tidak melakukan aktifitas
utamanya baik sebagai nelayan maupun bertani. Gambaran tentang pemanfaatan
waktu mereka dalam melakukan aktifitas ekonomi dikemukakan pada Tabel 16.
42
Tabel 16. Kalender aktifitas masyarakat di kawasan wisata Tanjung Karang
Pusentasi
Waktu
(bulan ke)
Lokasi dan aktifitas masyarakat
Dusun Kaluku Boneoge Tanjung Karang
Bulan 11 - 12 Musim tanam (notuja)
padi ladang.
- Melakukan
penangkapan ikan
karang.
- Mengelola kebun
- Melakukan
penangkapan ikan
karang.
- Melakukan
kegiatan usaha di
lokasi wisata.
- Mengelola kebun.
Bulan 11 - 3
- Melakukan
penangkapan ikan
karang.
- Mengelola ladang
dan kebun
- Menenun kain
Bulan 4 - 10 - Melakukan
kegiatan Panambe
- Mengelola ladang
dan kebun
- Menenun kain
- Melakukan
kegiatan
menangkap ikan
dengan pancing
dan pukat serta
kegiatan Panambe
- Mengelola kebun
- Kegiatan
menangkap ikan
dengan pancing
dan pukat.
- Melakukan
kegiatan usaha di
lokasi wisata.
- Mengelola kebun.
Bulan 4 – 5 Musim panen padi
ladang (noisi/nokato)
Hari libur dan
hari-hari
besar
Membuka warung,
menjual hasil
tankapan ikan, dan
penyewaan/ojek
perahu di Pusentasi
Membuka warung,
dan menjual hasil
tangkapan ikan
kepada wisatawan
lokal.
Berdasarkan hasil pemetaan aktifitas tersebut terlihat bahwa meskipun
sebagian besar masyarakat di kawasan ini memiliki pekerjaan pokok sebagai
nelayan dan petani, tetapi terdapat beberapa perbedaan aktifitas ekonomi pada
masing-masing lokasi. Hal ini disebabkan karena disamping terdapat perbedaan
potensi sumberdaya pada masing-masing lokasi juga disebabkan karena intensitas
kegiatan pariwisata yang berbeda pada masing-masing lokasi tersebut.
Masyarakat yang bermukim di dusun Kaluku melakukan aktifitas yang
lebih beragam dibanding lainnya. Sepanjang tahun, selain melakukan kegiatan
sebagai nelayan, mereka juga melakukan kegiatan pertanian ladang dengan
menanam padi lokal. Hal ini dilakukan karena di wilayah ini masih terdapat
lahan yang memungkinkan untuk ditanami padi ladang karena kondisi tanah dan
topografi lahannya yang memungkinkan untuk melakukan kegiatan tersebut.
Kegiatan menanam padi ladang ini dilakukan oleh masyarakat hanya
diperuntukan bagi kebutuhan lokal masyarakat setempat.
43
Sedangkan untuk kegiatan yang berkaitan dengan pariwisata hanya
mereka lakukan pada hari-hari libur dengan membuka warung dilokasi Pusentasi.
Berbeda halnya dengan masyarakat yang bermukim di Boneoge dan Tanjung
Karang, dimana kegiatan pertanian yang dapat mereka lakukan hanyalah
perkebunan kelapa dan kebun untuk tanaman buah-buahan dan sayuran.
Kegiatan masyarakat yang berkaitan dengan pariwisata secara intensif hanya
dilakukan oleh mereka yang bermukim di Tanjung Karang, sedangkan di
Boneoge hanya dilakukan ketika hari libur.
5.2. Persepsi, Partisipasi, dan Keinginan Masyarakat Terhadap Pariwisata
5.2.1. Persepsi dan Partisipasi Masyarakat
Persepsi masyarakat lokal terhadap kegiatan pariwisata di kawasan wisata
pantai Tanjung Karang Pusentasi, terutama yang berkaitan dengan ada tidaknya
manfaat yang diberikan oleh pariwisata terhadap kehidupan masyarakat
dikemukakan pada Tabel 17.
Tabel 17. Persepsi responden terhadap keberadaan kegiatan pariwisata saat ini
Pekerjaan
Persepsi
Jumlah Bermanfaat
Tidak
bermanfaat
Tidak
tahu
Nelayan 13 11 3 27
Petani/peternak 7 7 1 15
Dagang 7 1 0 8
Sopir/Ojek 5 1 0 6
Guru/PNS 4 2 0 6
Buruh/Pertukangan 4 1 0 5
Jasa 3 0 0 3
Jumlah 43 23 4 70
Hasil wawancara yang dilakukan terhadap 70 orang responden
masyarakat lokal di lokasi penelitian, seperti terlihat pada tabel tersebut,
menunjukan bahwa sebagian besar (61,43 %) responden masyarakat lokal
menyatakan bahwa kegiatan pariwisata memberikan manfaat bagi masyarakat.
Namun demikian, masih terdapat sekitar 32,86 % responden yang menyatakan
pariwisata tidak memberikan manfaat bagi masyarakat di wilayah ini, sedangkan
sebagian kecil lainnya (5,71 %) menyatakan tidak tahu. Responden yang
44
menyatakan bahwa pariwisata memberikan manfaat, pada umumnya adalah
mereka yang memiliki aktifitas usaha yang berhubungan langsung dengan
kegiatan pariwisata, disamping pekerjaan pokoknya sebagai petani dan nelayan.
Aktifitas usaha yang dilakukan adalah berupa pekerja/penyedia sarana
penginapan, warung, transportasi wisata (perahu), pemandu wisata dan
penyedia/penyewaan sarana rekreasi lainnya seperti tikar, ban, dan kacamata
renang.
Pandangan masyarakat dan beberapa stakeholder lainnya yang berkaitan
dengan manfaat dan kerugian yang diakibatkan oleh kegiatan pariwisata disajikan
pada Tabel 18.
Tabel 18. Persepsi stakeholder tentang manfaat dan kerugian dari kegiatan
pariwisata
Persepsi
Masyarakat
lokal
Aparat
Pemerintah
Pengusaha
Pariwisata LSM
Jumlah jawaban
Manfaat kegiatan pariwisata
Membuka peluang pekerjaan 36 6 4 2
Menambah pendapatan 30 6 4 1
Mendorong kemajuan desa 23 4 3 1
Memperkenalkan budaya lokal 21 4 4 0
Lingkungan menjadi baik/bersih 21 3 3 1
Dapat menjual hasil usaha 11 0 0 0
Desa menjadi terkenal 8 0 0 0
Kerugian kegiatan pariwisata
Merusak moral 41 2 0 1
Mengganggu kegiatan nelayan 27 1 0 1
Mengancam kepemilikan lahan 23 2 0 1
Kerusakan lingkungan 19 1 0 2
Berdasarkan informasi yang disajikan pada Tabel 18 tersebut terlihat
bahwa kegiatan pariwisata diharapkan dapat memberikan manfaat yang besar
bagi masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan memperlihatkan
bahwa manfaat yang paling banyak dinyatakan (51,43 %) oleh masyarakat lokal
adalah terciptanya peluang pekerjaan/usaha serta meningkatkan pendapatan.
Terdapat tiga hal yang secara spontan dikemukakan oleh masyarakat berkaitan
dengan kepentingan ekonomi mereka yaitu terbukanya lapangan pekerjaan,
menambah pendapatan, dan pemasaran dari hasil usaha perikanan mereka dapat
45
lebih terbuka. Sejalan dengan pandangan masyarakat, stakeholder lainnya juga
menyatakan bahwa kegiatan pariwisata dapat memeberikan manfaat ekonomi,
sosial, dan lingkungan. Seluruh informan yang berasal dari aparat pemerintah,
pengusaha pariwisata, dan LSM menyatakan kegiatan tersebut dapat membuka
peluang pekerjaan bagi masyarakat, diversifikasi usaha masyarakat, dan pada
akhirnya akan memberikan tambahan pendapatan.
Pada saat tertentu, yaitu sekitar bulan Nopember hingga Januari
masyarakat yang bekerja sebagai nelayan hampir tidak dapat turun melaut karena
cuaca yang tidak memungkinkan. Oleh karena itu pada saat-saat seperti ini
mereka melakukan pekerjaan diluar perikanan seperti buruh pelabuhan dan
bangunan. Bagi mereka yang memiliki kesempatan untuk menjalankan usaha
yang berkaitan dengan kegiatan pariwisata setidaknya dapat memperoleh
tambahan pendapatan meskipun tidak dapat melaut.
Sebanyak 42,86 % responden masyarakat lokal menyatakan bahwa
kegiatan pariwisata dapat memberikan tambahan pendapatan. Berdasarkan
informasi yang diperoleh, baik pada saat wawancara maupun pada diskusi
kelompok terungkap bahwa disaat cuaca tidak memungkinkan untuk melaut,
mereka masih bisa mendapatkan hasil perikanan dari sekitar gugusan karang
yang terdapat didepan obyek wisata Tanjungkarang. Namun, saat ini kegiatan
tersebut tidak dapat lagi dilakukan oleh masyarakat karena gugusan karang ini
telah menjadi lokasi penyelaman yang dilakukan oleh para wisatawan.
Beberapa manfaat yang dikemukakan diatas merupakan sesuatu yang
seharusnya diperoleh masyarakat disekitar lokasi kawasan wisata karena
pengembangan kegiatan kepariwisataan di suatu lokasi diharapkan dapat
memberikan efek positif bagi masyarakat, khususnya masyarakat lokal, dalam
bentuk pendapatan dan kesempatan kerja (Pitana dan Gayatri, 2005; Liu dan
Wall, 2006; Ross dan Wall, 1999; UNEP, 2002a). Bahkan bila pengelolaan
pariwisata yang dilakukan berjalan dengan sistim pengelolaan yang baik, dan
dengan melibatkan semua unsur masyarakat maka akan menjadikan sumber
pendapatan yang dapat berlangsung terus menerus (Scheyvens, 1999).
Disamping manfaat yang dirasakan langsung oleh masyarakat lokal,
kegiatan pariwisata juga dapat memberikan manfaat bagi pemerintah dalam
46
bentuk devisa dan peningkatan pendapatan pemerintah (Pitana dan Gayatri,
2005). Pendapatan pemerintah inilah yang diharapkan akan memberikan
sumbangan bagi kemajuan pembangunan daerah dan tentu saja akan berakibat
positif bagi kemajuan desa/kelurahan yang menjadi lokasi kegiatan
kepariwisataan. Hal ini jelas terungkap didalam wawancara yang dilakukan
dengan masyarakat serta dalam pelaksanaan diskusi kelompok terfokus yang
dilakukan di lokasi penelitian. Seperti yang tertera pada Tabel dimuka bahwa
salahsatu manfaat yang diharapkan oleh masyarakat (32,86 %) adalah kemajuan
bagi desa tempat tinggal mereka.
Meskipun demikian, menurut sebagian tokoh masyarakat dan aparat
pemerintah pada tingkat desa, kegiatan pariwisata yang telah berlangsung di
wilayah ini belum banyak memberikan sumbangan bagi kemajuan desa. Hal ini
disebabkan karena redistribusi pendapatan yang diperoleh pemerintah tidak
sepenuhnya ditujukan kepada pengembangan desa dan masyarakat di lokasi
wisata tersebut.
Berkembangnya kegiatan pariwisata diharapkan juga dapat meningkatkan
pengenalan dan pemahaman orang-orang luar (wisatawan) terhadap budaya
masyarakat di suatu lokasi yang dikunjungi. Menurut masyarakat lokal dan
stakeholder lainnya pada kawasan wisata Tanjungkarang-Pusentasi bahwa
kegiatan pariwisata yang berlangsung dapat menjadi sarana untuk
memperkenalkan budaya lokal. Dikembangkannya atraksi budaya sebagai produk
wisata yang ditawarkan kepada para wisatawan diharapkan dapat menjadi
wahana memperkenalkan, memelihara, dan mendorong masyarakat untuk
mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan lokal.
Berkaitan dengan pengembangan atraksi budaya tersebut, Spillane (1987)
menyatakan bahwa kegiatan pariwisata dapat menggairahkan perkembangan
kebudayaan asli, bahkan dapat juga menghidupkan kembali unsur kebudayaan
yang sudah hampir dilupakan. Selanjutnya, Damanik dan Weber (2006)
mengemukakan bahwa aspek sosial budaya juga merupakan sesuatu yang penting
bagi suatu daerah tujuan wisata, karena pengalaman budaya di daerah tujuan
menjadi salahsatu daya tarik yang diperhitungkan oleh wisatawan. Selanjutnya
dikemukakan bahwa sekitar 42 persen wisatawan Inggris mengatakan informasi
47
kondisi sosial, ekonomi, dan politik lokal merupakan basis pertimbangan untuk
memilih destinasi dan 37 persen mengatakan pentingnya menjalin interaksi
dengan masyarakat setempat.
Manfaat lainnya yang juga dikemukakan oleh masyarakat adalah yang
berkaitan dengan kondisi lingkungan (30 %). Kondisi lingkungan yang
dimaksudkan adalah menyangkut kebersihan dan keindahan lingkungan
pemukiman, serta kebersihan dan keindahan pantai. Dikemukakan bahwa kondisi
lingkungan pemukiman dan pantai saat ini sangat jauh berbeda dengan
keadaannya ketika kegiatan pariwisata belum intensif seperti saat ini, terutama di
Tanjungkarang.
Pada beberapa tempat tertentu, khususnya di desa Boneoge, kebersihan
dan keindahan pantai masih kurang tertata dengan baik. Hal ini disebabkan
karena hanya sebagian kecil wilayah desa ini yang dimanfaatkan sebagai lokasi
wisata, walaupun hampir sepanjang desa memiliki potensi wisata yang cukup
baik karena memiliki pantai yang berpasir putih. Salahsatu kendala dalam
penataan lokasi ini adalah karena padatnya rumah sebagai tempat pemukiman
nelayan, utamanya di desa Boneoge. Melalui diskusi kelompok dan wawancara
yang dilakukan terhadap masyarakat di desa ini juga terungkap keinginan mereka
untuk menata kondisi ini, meskipun masih ada kekhawatiran bila suatu saat
mereka akan kehilangan lahannya ketika lokasi ini juga sudah berkembang.
Disamping pemahaman tentang lingkungan yang terbatas pada aspek
penataan pemukiman, sebagian masyarakat dan stakeholder lainnya juga
mengemukakan tentang manfaat kegiatan pariwisata terhadap lingkungan alam.
Dikemukakan bahwa keadaan ini tidak berdiri sendiri sebagai sesuatu yang
dipengaruhi langsung oleh kegiatan pariwisata tetapi merupakan suatu rantai
proses sebab-akibat antar berbagai manfaat tersebut.
Manfaat ekonomi yang diperoleh dari kegiatan pariwisata akan
mendorong masyarakat untuk tetap melestarikan budaya lokal dan menjaga
kondisi lingkungan alam, karena keduanya merupakan sumberdaya ekonomi
yang dimiliki oleh suatu lokasi pariwisata. Bila penanganan terhadap kedua aspek
tersebut berlangsung dengan baik maka manfaat ekonomipun akan diperoleh.
Selanjutnya juga dikemukakan bahwa terpeliharanya budaya lokal akan sangat
48
bermanfaat bagi terpeliharanya kondisi lingkungan alam, karena masyarakat
memiliki akar budaya yang kuat dalam bentuk tata aturan pemanfaatan potensi
sumberdaya alam yang baik.
Manfaat langsung yang juga dikemukakan oleh masyarakat adalah
pemasaran langsung hasil usaha berupa hasil pertanian, perikanan, kerajian, dan
masakan yang diproduksi oleh masyarakat lokal. Mereka dapat langsung
memasarkan hasil pertanian mereka, terutama buah-buahan, dan hasil olahan
makanan yang biasanya dikonsumsi oleh wisatawan lokal pada hari-hari libur.
Sebagian besar olahan makanan merupakan hasil pertanian dan perikanan yang
dihasilkan oleh masyarakat lokal. Keadaan ini merupakan manfaat ganda
(Spillane, 1987) yang didapatkan oleh masyarakat dari adanya kegiatan
pariwisata.
Selain memberikan manfaat, juga terdapat beberapa kerugian atau akibat-
akibat negatif dari berkembangnya kegiatan pariwisata di wilayah ini.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap masyarakat lokal, seperti
yang tertera pada Tabel 18, akibat-akibat negatif yang terjadi dan sudah menjadi
kekhawatiran masyarakat adalah berkaitan dengan moral, status kepemilikan
lahan, konflik pemanfaatan sumberdaya, dan gangguan terhadap lingkungan.
Masalah moral merupakan hal yang sangat mendapat perhatian masyarakat
(58,57 %). Berdasakan penjelasan masyarakat, baik pada saat wawancara maupun
ketika dilakukan diskusi kelompok, terungkap bahwa persoalan moral yang
dimaksud adalah berkaitan dengan etika, tatakrama, adat istiadat dan juga
hubungan-hubungan sosial antar sesama masyarakat.
Penelitian yang dilakukan oleh Agusniatih (2002) di wilayah ini juga
mendapatkan bahwa dampak negatif dari kegiatan pariwisata menurut masyarakat
adalah kerusakan moral pada generasi muda, yang terutama disebabkan oleh
adanya wisatawan mancanegara. Kebiasaan wisatawan mancanegara yang suka
berjemur dan berenang dengan menggunakan pakaian minim, menurut
masyarakat akan mempengaruhi moral masyarakat, terutama kaum mudanya. Hal
inilah yang oleh Yoeti (1987) dinyatakan sebagai ”kebiasaan jelek” para
wisatawan yang sering mengakibatkan kegoncangan didalam masyarakat dan
membuat masyarakat setempat menderita.
49
Selanjutnya, Cohen (1984) dalam Pitana dan Gayatri (2005)
mengemukakan bahwa terdapat beberapa pengaruh pariwisata terhadap sosial
budaya masyarakat lokal, diantaranya dampak terhadap organisasi/kelembagaan
sosial masyarakat, ritme kehidupan sosial masyarakat, hubungan antar personal,
adat istiadat yang kemudian menyebabkan terjadinya penyimpangan-
penyimpangan sosial. Demikian pula halnya dengan masyarakat di wilayah
penelitian, keadaan seperti itu mungkin saja terjadi ketika perkembangan kegiatan
pariwisata dilihat sebagai sebuah peluang ekonomi yang terlepas dari
kepentingan dan kontrol masyarakat lokal yang memiliki budaya gotongroyong,
termasuk dalam urusan-urusan yang berkaitan dengan kepentingan ekonominya.
Akibatnya terjadi perubahan hubungan-hubungan sosial didalam masyarakat.
Dalam hal ini, menurut Mathieson dan Wall (1982) dalam Pitana dan Gayatri
(2005) pariwisata telah mengubah struktur internal masyarakat yang
mengakibatkan terjadinya pembedaan antara mereka yang memiliki hubungan
dengan pariwisata dan mereka yang tidak.
Pengalaman masyarakat dalam beberapa kegiatan yang merupakan hasil
rancangan pihak luar baik pemerintah maupun swasta sering menciptakan konflik
kecil diantara masyarakat ketika pihak diluar memanfaatkan salahsatu atau
beberapa anggota masyarakat untuk membawa kepentingan pihak luar. Dalam
kaitan dengan dengan keadaan tersebut, seperti tergambar dalam diskusi
kelompok, mereka mengharapkan bahwa diperlukan komunikasi yang lebih baik
dan terbuka antara berbagai pihak dalam merencanakan dan mengembangkan
program yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, termasuk juga
pengembangan pariwisata.
Akibat negatif lainnya yang dapat terjadi adalah terganggunya
kepemilikan lahan masyarakat (38,57 %). Hasil wawancara dan diskusi kelompok
dengan masyarakat terungkap bahwa bergesernya status kepemilikan lahan yang
diakibatkan oleh kuatnya tuntutan untuk lebih mengembangkan kegiatan
pariwisata. Pada satu sisi perkembangan kegiatan pariwisata dapat meningkatkan
kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat, tetapi disisi lain memarginalkan
masyarakat dari aktifitas tersebut, terutama bagi mereka yang tidak memiliki
modal yang cukup. Penelitian yang dilakukan oleh Agusniatih (2002) di lokasi ini
50
juga mengungkapakan bahwa sebagian masyarakat di wilayah ini enggan untuk
terlibat didalam kegiatan pariwisata karena memberikan dampak yang negatif
bagi mereka. Kegiatan pariwisata menurut mereka suatu saat akan menggusur
lahan pertanian dan pemukiman yang mereka miliki saat ini.
Kehadiran pariwisata telah menimbulkan kekhawatiran (32,86 %) akan
hilangnya akses mereka terhadap sumberdaya yang terdapat disekitar wilayah
pemukiman masyarakat. Kasus pelarangan terhadap masyarakat untuk
mengambil ikan yang terdapat di gugusan karang didepan lokasi wisata
Tanjungkarang telah menjadi pengalaman buruk bagi masyarakat tentang
pengembangan pariwisata. Karenanya, dalam wawancara dan diskusi kelompok
dengan masyarakat selalu terungkap harapan mereka agar kondisi tersebut tidak
terjadi pada lokasi yang lain seperti di Boneoge dan Dusun Kaluku.
Berkembangnya kegiatan pariwisata, dapat memberikan keuntungan bagi
lingkungan bila dikelola dengan pendekatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip
pelestarian sumberdaya alam. Potensi alam yang merupakan salahsatu daya tarik
bagi wisatawan semestinya tetap dijaga keasliannya. Bila mengamati keadaan
pariwisata di daerah ini, jelas terlihat bahwa atraksi utama yang diharapkan oleh
wisatawan adalah kondisi lingkungan yang masih alami. Hal ini terutama berlaku
bagi wisatawan mancanegara yang memanfaatkan suasana lingkungan tropis
untuk mengisi masa liburannya.
Pada disisi lain, seperti juga terjadi pada beberapa kawasan wisata lainnya
di Indonesia, keadaan lingkungan yang bersifat alami kadang tergeser oleh
kepentingan pembangunan sarana pariwisata (Marpaung, 2002). Padahal
degradasi lingkungan yang terjadi di kawasan pariwisata, disaat meningkatnya
jumlah wisatawan yang menyukai keindahan alam dan kesadaran akan
lingkungan, dapat menurunkan jumlah wisatawan yang berkunjung pada suatu
kawasan wisata tertentu (Lawrence, 1994). Masyarakat lokal di kawasan wisata
ini (27,14 %) juga melihat bahwa kegiatan pariwisata telah menberikan akibat
yang negatif bagi lingkungan.
Partisipasi masyarakat lokal merupakan suatu bagian yang penting dalam
menjamin keberlanjutan kegiatan pembangunan, termasuk juga kegiatan
51
pariwisata (Garrot, 2003). Keadaan partisipasi masyarakat dalam kegiatan
pariwisata di Tanjung Karang Pusentasi dikemukakan pada Tabel 19.
Tabel 19. Matriks partisipasi masyarakat dan stakeholder lainnya di Kawasan
Wisata Tanjungkarang Pusentasi
Stakeholder
Jenis /
Bentuk kegiatan
Ma
syara
ka
t lo
kal
Pen
gu
sah
a p
ari
wis
ata
Din
as
pa
riw
isa
ta
Pem
erin
tah
des
a/k
elu
rah
an
LS
M /
KS
M
Kel
om
po
k t
an
i/n
elay
an
Ka
ran
g T
aru
na
PK
K/D
asa
Wis
ma
Kel
om
po
k a
risa
n
Kel
om
po
k p
eng
aji
an
Lem
ba
ga
ad
at
Pengelolaan kawasan
wisata
Perencanaan lokasi
Wisata - √ √ √ √ - - - - - -
Pengembangan produk - √ √ - - - - - - - -
Pemasaran wisata - √ √ - - - - - - - -
Pengelolaan pintu
masuk lokasi
√ - - - √ - √ - - - -
Pengelolaan usaha
Akomodasi - √ √ - - - - - - - -
Pondok peristrahatan √ - √ - - - - - - - -
Transportasi wisata √ √ -
Penyediaan suvenir - √ - - - - - - - - -
Jasa penyediaan
konsumsi
- √ - - - - - - - -
Pemandu wisata - √ - - √ - - - - - -
Penyediaan sarana
rekreasi
√ √ - - - - - - - - -
Berdagang makanan √ - - - - - - - - - -
Monitoring dan evaluasi
kepariwisataan
- √ √ √ √ - - - - - -
Keterangan : Tanda √ menandakan adanya keterlibatan/partisipasi.
Partisipasi masyarakat dalam kegiatan pariwisata setidaknya berkaitan
dengan dua hal yaitu peran masyarakat dalam pengambilan keputusan, dan
pembagian manfaat dari kegiatan pariwisata (McIntosh dan Goeldner, 1986
dalam Ying dan Zhou, 2007). Bagi masyarakat lokal yang berada di kawasan
wisata Tanjungkarang Pusentasi, kedua hal tersebut nampaknya belum
sepenuhnya dapat diperoleh. Pada Tabel 23 terlihat bahwa partisipasi masyarakat
lokal masih terbatas pada kegiatan usaha tertentu yang mampu mereka lakukan
52
berdasarkan sumberdaya yang dimiliki. Beberapa kegiatan yang dilakukan oleh
masyarakat lokal sebagai usaha untuk menambah pendapatan keluarga adalah
penyediaan sarana rekreasi (ban untuk pemampung renang, kacamata renang, dan
tikar), berdagang makanan yang dilakukan pada hari-hari libur ketika lokasi
wisata ramai dikunjungi oleh wisatawan lokal, pondok peristirahatan, dan
berdagang makanan.
Kegiatan usaha seperti penyediaan akomodasi (penginapan), penyediaan
suvenir, jasa penyediaan konsumsi belum dapat dilakukan oleh masyarakat lokal.
Keadaan ini disebabkan karena masih terbatasnya kemampuan masyarakat baik
dari aspek permodalan maupun keterampilan untuk mengembangkan usaha-usaha
tersebut. Beberapa informan masyarakat lokal yang melakukan usaha penyewaan
sarana rekreasi dan berdagang makanan bagi kepentingan wisatawan lokal,
menyatakan bahwa yang mereka lakukan saat ini hanyalah sebuah usaha yang
dilakukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, karena dibangun
dengan modal yang sangat terbatas dan mereka tidak memiliki keterampilan
untuk mengembangkan usaha lainnya.
Dari gambaran yang dikemukakan tersebut terlihat bahwa peran
masyarakat dalam menjalankan usaha pariwisata di kawasan wisata ini pada
umumnya masih sangat rendah, meskipun juga diakui bahwa pada lokasi
Tanjungkarang peran masyarakat dalam menjalankan usaha sudah terbangun.
Namun, beberapa peran lainnya seperti perencanaan pengembangan lokasi
wisata, pengembangan produk dan pemasaran masih sepenuhnya ditangani oleh
pemerintah dan pihak swasta. Keadaan ini menyebabkan potensi produk yang
mungkin dimiliki oleh masyarakat lokal tidak dapat tergali dengan baik.
Sebuah hasil studi yang pernah dilakukan oleh Kementerian Kebudayaan
dan Pariwisata pada tahun 2003, yang dikemukakan oleh Suranti (2005),
diperoleh kesimpulan bahwa partisipasi masyarakat dalam pengembangan daerah
tujuan wisata di Indonesia masih rendah. Hal ini disebabkan karena belum
adanya ketentuan yang jelas dan rinci mengenai keterlibatan masyarakat dalam
pengembangan daerah tujuan wisata, yang ada hanyalah berupa himbauan agar
masyarakat diikutsertakan dalam upaya pengembangan tersebut. Seperti halnya
yang terjadi di wilayah penelitian, konsep partisipasi masyarakat masih berupa
53
arahan kebijakan (Disparsenibud Donggala, 2002), tanpa adanya penjelasan
persyaratan, tata cara dan tahapan pelaksanaannya (Suranti, 2005).
Gambar 6. Salahsatu kegiatan usaha masyarakat di Tanjung Karang.
Bila kita mencermati keadaan yang berkembang pada kawasan wisata ini,
seperti yang telah diuraikan diatas, terlihat bahwa terdapat dua tingkatan
partisipasi yang telah terjadi ditengah masyarakat. Disatu sisi, berkaitan dengan
konsep dan rencana pengembangan kawasan wisata posisi masyarakat beserta
organisasi lokal yang dimilikinya masih berada pada tingkatan partisipasi yang
terendah dimana masyarakat hanya mendapatkan pemberitahuan (informing),
yang oleh Pretty (1994) dalam Pleumaron (1997) dinyatakan sebagai partisipasi
pasif. Pada posisi ini masyarakat masih ditempatkan sebagai penerima informasi
dari pihak luar. Adapun proses yang dilakukan hanya bersifat formalitas sebagai
suatu syarat yang mungkin harus dilakukan dan komunikasi yang terjadi bersifat
satu arah. Namun pada sisi lain, masyarakat telah mengambil inisiatif untuk ikut
didalam proses untuk mendapatkan manfaat dari berkembangnya kegiatan
pariwisata tersebut.
Keadaan yang terakhir tersebut, bila dikaitkan dengan konsep tingkatan
partisipasi yang dikemukakan oleh Pretty (1994) dalam Pleumaron (1997) berada
pada tingkatan dimana masyarakat sudah mulai masuk pada partisipasi untuk
mendapatkan insentif material. Tingkatan ini masih sangat riskan karena
didalamnya, biasanya, tidak terjadi proses belajar yang dapat membangun
kekuatan masyarakat, dan akibatnya bila aktifitas yang menjadi tempat
bergantung masyarakat terhenti maka akan sangat mempengaruhi kehidupan
54
mereka. Oleh karena itu maka proses yang harus dilakukan adalah meningkatkan
partisipasi masyarakat kepada tingkatan yang lebih bersifat fungsional dimana
mereka dapat membangun kekuatan bersama melalui pengembangan kelompok
atau organisasi lokal yang dapat membangun inisiatif, ataupun merespon inisiatif
dari luar dengan posisi tawar yang cukup kuat.
Sehubungan dengan keadaan yang dikemukakan tersebut, diperlukan
suatu upaya untuk membangun kapasitas organisasi lokal yang dimiliki oleh
masyarakat dengan melibatkan mereka didalam proses kegiatan kepariwisataan di
kawasan ini. Pengembangan kapasitas ini penting untuk meningkatkan kekuatan
organisasi lokal dalam proses pengambilan keputusan pemanfaatan sumberdaya
alam dan budaya untuk kepentingan pariwisata, dimana efektifitas pengelolaan
sumberdaya tergantung kepada kekuatan organisasi tersebut dan hanya dapat
dilakukan bila didukung oleh semua pihak terutama pemerintah (Pomeroy, 1995).
5.2.2. Keinginan Masyarakat Dalam Pengelolaan Pariwisata
Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi kelompok yang dilakukan pada
masyarakat lokal di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi terlihat bahwa
mereka memiliki keinginan untuk dapat berperan aktif dalam pengelolaan
pariwisata. Harapan masyarakat yang berkaitan dengan peran mereka dalam
pengelolaan pariwisata tersebut dikemukakan pada Tabel 20.
Tabel 20. Keinginan masyarakat dalam pengelolaan pariwisata
Unsur Peran masyarakat
Atraksi alam dan budaya - Perancangan produk/atraksi wisata
- Pengelolaan produk/atraksi wisata
Usaha jasa - Penyediaan homestay
- Penyediaan konsumsi wisatawan
- Penyediaan souvenir
- Penyediaan jasa transportasi
- Penyediaan jasa pemanduan
Informasi wisata - Penyediaan informasi produk wisata
- Pembuatan pedoman wisata bagi wisatawan
Promosi Bersama pemerintah dan swasta melaksanakan
pameran/expo untuk kepentingan pariwisata
Organisasi dan kelembagaan Pelibatan organisasi dan kelompok masyarakat yang
telah ada dalam pengelolaan pariwisata, yang
mencakup aspek perencanaan, pengawasan, dan
evaluasi.
55
Berdasarkan informasi yang dikemukakan pada Tabel diatas terlihat
bahwa masyarakat lokal memiliki keinginan untuk dapat berpartisipasi didalam
pengelolaan kegiatan pariwisata di kawasan ini. Peran yang diharapkan tidak
sekedar ikutserta didalam aktifitas berjualan makanan dan penyediaan sarana
rekreasi bagi wisatawan lokal seperti yang ada saat ini, tetapi juga peran-peran
strategis dalam kaitannya dengan proses pengembangan dan pengelolaan
pariwisata. Peran-peran strategis yang dimaksudkan adalah berkaitan dengan
perencanaan dan pengelolaan produk-produk wisata berupa atraksi wisata yang
didasarkan pada potensi alam dan budaya lokal yang dimiliki oleh masyarakat,
pengelolaan informasi yang berkaitan dengan potensi wisata dan pedoman bagi
wisatawan yang berkunjung ke kawasan wisata, dan keterlibatan didalam
pengelolaan pameran dan pesta budaya.
Keinginan masyarakat tersebut didasarkan pada potensi pariwisata yang
terdapat di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi. Hasil diskusi kelompok
dan pemetaan/inventarisasi potensi yang dilakukan secara partisipatif
memperlihatkan bahwa masyarakat memiliki pandangan yang cukup luas tentang
potensi atraksi wisata yang dapat dikembangkan. Pandangan masyarakat
berkaitan dengan potensi pariwisata di kawasan ini dikemukakan pada Tabel 21.
Tabel 21. Potensi atraksi wisata yang terdapat di kawasan wisata Tanjung
Karang Pusentasi.
Lokasi Potensi
Aksesibilitas Alam Budaya
Tanjung
Karang
- Pemandangan alam
- Pantai pasir putih
- Terumbu karang
- Tracking
Pembuatan barang
kerajinan dari kayu
dan tempurung
kelapa.
Berjarak ± 3 km dari
kota Donggala dan ±
37 km dari kota Palu .
Mudah dijangkau
oleh semua jenis
kendaraan.
Boneoge - Pemandangan alam
- Pantai pasir putih
- Sunset
- Tracking
- Kegiatan panambe
yang dilakukan oleh
nelayan.
- Produk masakan hasil
laut.
- Pembuatan barang
kerajian dari kayu dan
tempurung kelapa.
Berjarak ± 5 km dari
kota Donggala.
Beberapa lokasi
tertentu di desa ini
hanya dapat
dijangkau dengan
berjalan kaki dan
menggunakan perahu.
56
Kaluku dan
Pusentasi
- Pemandangan alam
- Sumur Air Laut
- Pantai pasir putih
- Terumbu karang
- Sunset
- Tracking
- Kegiatan panambe
yang dilakukan oleh
nelayan.
- Kegiatan nontanu.
- Kegiatan nompaura.
- Kegiatan pertanian
beserta prosesi
adatnya.
- Pembuatan barang
kerajian dari kayu,
bambu, dan
tempurung kelapa.
Berjarak ± 10 km dari
kota Donggala.
Lokasi wisata yang
terdapat di dusun
Kaluku hanya dapat
dijangkau dengan
kendaraan roda dua.
Saat ini sedang
dilakukan proses
pembangunan jalan.
Pengelolaan pariwisata di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi yang
berlangsung saat ini masih menitikberatkan pada pemanfaatan potensi alam
sebagai daya tariknya, sementara potensi budaya masyarakat belum mendapatkan
perhatian yang serius. Melalui diskusi kelompok yang dilakukan, terungkap
beberapa pertanyaan dan sekaligus merupakan keinginan masyarakat yang
berkaitan dengan peluang aktifitas pertanian, perikanan, dan beberapa kegiatan
budaya yang mereka lakukan sebagai bagian dari aktifitas pariwisata.
Dikemukakan bahwa hingga saat ini belum ada aktifitas yang dilakukan oleh
wisatawan untuk melakukan perjalanan (tracking) melewati atau bahkan
mengunjungi lokasi-lokasi pemukiman, kebun, dan ladang yang mereka miliki.
Hal ini sebenarnya dapat membuka peluang masyarakat sebagai ”pemilik” segala
potensi lokal untuk mendapatkan manfaat langsung dari kegiatan pariwisata
(Damanik dan Weber, 2006).
Kondisi alam yang terdapat di kawasan ini, sangat memungkinkan untuk
dilakukannya pengembangan kegiatan wisata lintas alam. Jarak antara Tanjung
Karang dengan Pusentasi sekitar 5 - 7 kilometer dengan melewati wilayah
Kelurahan Boneoge dan dusun Kaluku dimana terdapat kebun dan ladang milik
penduduk dengan pemandangan alam yang cukup baik dapat dikembangkan
untuk kegiatan tersebut. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan dan diskusi
dengan masyarakat, terdapat beberapa pilihan-pilihan jalur yang dapat
dikembangkan baik melalui wilayah perbukitan, menyusuri bibir pantai yang
melewati berbagai aktifitas nelayan ataupun kombinasi antara keduanya dapat
dikembangkan di kawasan ini.
57
Dikembangkannya berbagai jalur seperti yang dikemukakan dimuka
menyebabkan aktifitas wisatawan, terutama wisatawan lokal, tidak hanya datang
untuk sekedar melihat tetapi terbangun sebuah proses pendidikan yang dapat
memberi pemahaman kepada wisatawan tentang pentingnya alam dan potensinya
bagi masyarakat. Apabila kegiatan seperti ini dapat dikembangkan sebagai
salahsatu atraksi maka masyarakat akan memperoleh kesempatan yang lebih
besar untuk ikut terlibat didalamnya. Disamping bermanfaat untuk membangun
komunikasi dan interaksi antara wisatawan dengan masyarakat berdasarkan
”sentuhan” lokal, kegiatan ini juga dapat memberi pengenalan dan pemahaman
wisatawan terhadap alam dan budaya setempat. Pembahasan tentang potensi
budaya ini akan dikemukakan pada bagian berikut dari tulisan ini.
Pengembangan peran masyarakat seperti yang dikemukakan dimuka,
merupakan bentuk dari keterlibatan masyarakat secara penuh didalam
pengelolaan pariwisata di kawasan ini. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya
untuk membangun mekanisme yang memungkinkan bagi masyarakat untuk dapat
berperan didalamnya (Tabel 22).
Tabel 22. Pandangan masyarakat tentang mekanisme peran mereka dalam
pengelolaan pariwisata
Unsur Mekanisme
Atraksi alam dan
budaya
- Masyarakat menggali dan merumuskan beberapa potensi alam dan
budaya yang dapat dikembangkan menjadi produk wisata.
- Masyarakat secara berkelompok memproduksi atraksi wisata
berdasarkan potensi alam dan budaya tersebut dengan bimbingan
pemerintah, swasta, LSM, dan pihak lainnya yang berkepentingan.
Usaha jasa - Masyarakat menata pemukiman dan rumah mereka agar bagi yang
berkeinginan dapat dikembangkan menjadi rumah penginapan
wisatawan.
- Masyarakat mengembangkan resep makan dengan bahan lokal bagi
wisatawan.
- Menggali dan memproduksi kembali barang kerajinan yang pernah
dibuat oleh masyarakat sebagai souvenir dan peralatan makan
wisatawan.
- Menfungsikan perahu nelayan sebagai sarana transportasi wisata.
- Pemanfaatan warga masyarakat lokal sebagai pemandu wisata.
Informasi wisata - Masyarakat bersama pihak terkait lainnya melakukan inventarisasi,
dokumentasi, penyebarluasan informasi potensi wisata alam dan
budaya.
- Masyarakat bersama pihak lainnya menyusun pedoman bagi
58
wisatawan yang berkunjung ke kawasan wisata Tanjung Karang
Pusentasi.
Promosi - Masyarakat berperan dalam merancang dan melaksanakan pesta
budaya baik yang dilakukan atas inisiatif masyarakat maupun
kegiatan yang sudah dijadualkan oleh pemerintah.
- Masyarakat berperan dalam upaya memasarkan produk wisata.
Organisasi dan
kelembagaan
- Penguatan terhadap organisasi dan kelompok masyarakat yang
sudah ada.
- Membangun mekanisme kerjasama antar kelompok-kelompok
masyarakat yang terdapat pada masing-masing desa dengan
pemerintah, swasta, LSM, dan pihak lainnya yang berkepentingan.
Mekanisme yang diharapkan oleh masyarakat lokal seperti yang
dikemukakan pada Tabel diatas dimaksudkan agar mereka dapat memperoleh
manfaat ekonomi dari kegiatan pariwisata serta memiliki kontrol terhadap
pemanfaatan sumberdaya alam dan budaya yang dimilikinya. Mekanisme proses
yang dikembangkan pada masing-masing unsur diatas menjadikan masyarakat
akan terlatih untuk melakukan penggalian (assessment) terhadap potensi dan
peluang pasar wisata serta proses perencanaan pengembangan usaha dibidang
pariwisata. Disamping itu, upaya penguatan organisasi lokal serta membangun
komunikasi dan kerjasama antara organisasi dan kelompok masyarakat dengan
pihak lainnya akan memperkuat partisipasi masyarakat lokal, karena
keikutsertaan masyarakat secara institusi atau organisasi akan lebih efektif dan
berlanjut daripada keikutsertaan individu (Upphoff, 1987 dalam Brandon, 1993).
Pengembangan peran masyarakat lokal dalam pengelolaan pariwisata di
kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi, seperti yang dikemukakan oleh
masyarakat diatas, masih mengalami beberapa kendala dalam implementasinya.
Meskipun demikian, dari hasil diskusi kelompok terfokus dikemukakan beberapa
permasalahan yang merupakan kendala dalam pengembangan peran tersebut.
Permasalahan tersebut seperti yang dikemukakan pada Tabel 23 berikut.
59
Tabel 23. Permasalahan yang dihadapi masyarakat lokal dalam pengelolaan
pariwisata
Unsur dan peran masyarakat Permasalahan
Atraksi alam dan budaya
- Perancangan produk/atraksi
wisata
- Pengelolaan produk/atraksi wisata
- Benturan kepentingan antara kegiatan
pariwisata dengan kegiatan ekonomi
masyarakat lokal dan mengancam akses
masyarakat terhadap sumberdaya.
- Keterampilan rendah.
- Tidak ada dorongan dari pemerintah.
- Pembangunan pariwisata yang lebih
menekankan pada aspek fisik.
Usaha jasa
- Penyediaan homestay
- Penyediaan konsumsi wisatawan
- Penyediaan souvenir
- Penyediaan jasa transportasi
- Penyediaan jasa pemanduan
- Keterampilan rendah
- Kekurangan modal
- Tidak ada dukungan pemerintah
Informasi wisata
- Penyediaan informasi produk
wisata
- Pembuatan pedoman wisata bagi
wisatawan
- Keterampilan rendah
- Tidak ada dukungan pemerintah
- Akses masyarakat terhadap informasi
pengembangan pariwisata masih rendah.
Promosi
Bersama pemerintah dan swasta
melaksanakan pameran/expo untuk
kepentingan pariwisata
Tidak ada dukungan pemerintah
Organisasi dan kelembagaan
Pelibatan organisasi dan kelompok
masyarakat yang telah ada dalam
pengelolaan pariwisata, mencakup
aspek perencanaan, pengawasan,
dan evaluasi.
- Tidak ada mekanisme yang jelas dari
pemerintah tentang keterlibatan organisasi
dan kelompok masyarakat.
- Sikap pemerintah yang lebih berpihak kepada
pengusaha.
Hasil diskusi kelompok seperti yang dikemukakan pada Tabel 23
memperlihatkan bahwa meskipun terdapat keinginan kuat masyarakat untuk
berperan aktif dalam pengelolaan pariwisata namun keinginan tersebut belum
dapat sepenuhnya terpenuhi karena masih terdapat berbagai permasalahan.
Permasalahan yang utama adalah dukungan kebijakan pemerintah, permodalan,
dan keterampilan masyarakat. Beberapa responden masyarakat lokal
mengemukakan bahwa mereka mengembangkan usaha yang dapat dilakukan
dengan modal dan keterampilan seadanya seperti membuka warung kopi, rumah
60
makan, dan penyewaan tikar dan ban untuk keperluan wisatawan, terutama
wisatawan lokal.
Salah seorang responden mengemukakan bahwa usaha warung kopi dan
pisang goreng yang dimilikinya sudah berlangsung sekitar 2 tahun dengan
penghasilan antara Rp. 30.000,- sampai Rp. 50.000,- per hari. Sementara itu,
pemilik usaha warung makan yang terdapat di Tanjungkarang (satu-satunya
warung makan yang terdapat di Kawasan Tanjungkarang Pusentasi)
mengemukakan bahwa kegiatannya mengelola warung makan di lokasi wisata ini
dapat memberikan pendapatan rata-rata Rp. 200.000,- sampai Rp. 300.000,- per
minggu, yang dapat digunakan secukupnya untuk kebutuhan hidup sehari-hari
dan kebutuhan sekolah anak-anaknya. Untuk usaha penyawaan tikar, ban, dan
kacamata renang, mereka dapat memperoleh pendapatan antara Rp. 150.000,-
sampai Rp. 200.000,- per minggu dari usaha tersebut. Berdasarkan pengakuan
responden bahwa usaha ini yang sementara dapat mereka lakukan untuk
menambah penghasilan yang terbatas dari kegiatan keluarga sebagai nelayan dan
dengan keterampilan yang masih terbatas.
5.3. Kearifan Sosial Budaya Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya
Alam
Penduduk yang bermukim di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi
sebagian besar merupakan masyarakat lokal etnik Kaili dengan dialek Unde.
Oleh karena itu maka tatanan sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat di
wilayah ini adalah tatanan sosial budaya masyarakat Kaili yang sangat
menghargai hubungan antar sesama manusia dan hubungan antara manusia dan
alam sekitarnya. Hubungan antara manusia dan alam sekitarnya, dalam
pandangan masyarakat, tidak hanya sekedar hubungan fungsional semata,
dimana alam berfungsi memberikan kehidupan bagi manusia, tetapi memiliki
hubungan yang sangat luas mencakup aspek sosial budaya dan religiusitas
(Nugraha dan Murtijo, 2005).
Hubungan-hubungan yang diyakini oleh masyarakat dengan alam
sekitarnya biasanya diimplementasikan kedalam sikap keseharian mereka dalam
memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia. Dalam hal ini, sebagian
masyarakat di Kawasan Tanjung Karang Pusentasi (sebagaimana masyarakat
61
Kaili pada umumnya) menerapkan hal tersebut kedalam pola pemanfaatan lahan
dengan berbagai kepentingannya. Pola pemanfaatan lahan oleh masyarakat
dikemukakan pada Tabel berikut.
Tabel 24. Pola pemanfaatan lahan pada masyarakat Kaili di Tanjung Karang
Pusentasi
Pola pemanfaatan
dan kepemilikan Deskripsi Vegetasi Pemanfaatan
Ngapa
(Perorangan dan
komunal)
Wilayah yang
diperuntukan bagi
pemukiman.
Tanaman buah,
sayuran, dan
tanaman obat.
Perumahan dan
prasarana
masyarakat.
Pampa
(Perorangan)
Lahan kebun atau
ladang yang ditanami
tanaman berumur
pendek.
Umbi-umbian,
jagung, tanaman
sayuran, dan
tanaman obat.
Subsisten, sebagai
penyanggah
kehidupan sebelum
talua berproduksi.
Talua
(Perorangan)
Lahan kebun yang
ditanami tanaman yang
berumur panjang.
Kelapa, cokelat,
kopi, tanaman
jangka panjang
lainnya, dan padi
ladang (umur pada
ladang ± 6-7
bulan).
Kebutuhan jangka
panjang, termasuk
kebutuhan pangan
tahunan.
Ova
(Perorangan dan
komunal)
Lahan hutan bekas
kebun yang telah
mengalami masa bera.
Tanaman keras
terutama buah-
buahan, tanaman
kayu, dan belukar.
Cadangan lahan
dan produksi buah-
buahan lokal.
Pangale
(Komunal)
Hutan yang pernah
dimanfaatkan atau
dikelola tetapi telah
pulih kembali.
Tanaman kayu,
rotan, dan berbagai
jenis lainnya
Produksi rotan,
tanaman obat, dan
perburuan satwa
Olo
(Adat)
Wilayah hutan yang
sama sekali tidak dapat
dikelola
Tanaman kayu dan
berbagai vegetasi
lainnya
Sumber mata air
dan perlindungan
alam.
Pola pemanfaatan lahan masyarakat di kawasan ini, merupakan pola
pemanfaatan tradisional yang yang sudah digunakan oleh masyarakat sejak lama.
Meskipun aturan tentang pemilikan lahan telah diatur oleh pemerintah melalui
kebijakannya, namun dalam beberapa hal seperti yang dikemukakan pada tabel
diatas pola pemanfaatannya masih diatur oleh kesepakatan masyarakat,
terutamam yang berkaitan dengan lahan yang dikelola secara komunal dan adat.
Melalui diskusi kelompok dikemukakan bahwa sebagai besar lahan yang dimiliki
secara perorangan oleh masyarakat lokal saat ini adalah lahan yang diwariskan
62
secara adat kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan akan pemukiman dan
kebutuhan ekonomi masyarakat. Lahan komunal merupakan lahan yang dimiliki
secara kelompok dan dimanfaatkan serta diatur penggunaannya oleh kelompok.
Pengelolaan secara kelompok ini dikenal dengan sebutan nosialampale.
Sementara itu, kepemilikan lahan secara adat dilakukan untuk mengatur
penggunaan lahan agar kepentingan masyarakat dan kepentingan pelestarian alam
dapat berjalan seimbang.
Kegiatan pelestarian alam dilakukan oleh masyarakat selain untuk
kepentingan cadangan untuk kebutuhan masa depan juga ditujukan untuk
melindungi tata air bagi suatu lokasi tertentu. Pada beberapa desa di Kecamatan
Banawa, termasuk di kawasan ini, terdapat lokasi yang dilindungi oleh
masyarakat melalui mekanisme adat. Suatu lokasi tertentu yang dilindungi selain
dikeramatkan juga dikuti oleh aturan-aturan tertentu yang mengikat dan harus
ditaati oleh masyarakat. Resiko yang akan ditanggung bila melanggar, disamping
sanksi adat yang diberikan juga diyakini akan menyebabkan bencana berupa
gangguan hama tanaman, banjir, hilangnya sumber air, dan dapat pula
menyebabkan timbulnya wabah penyakit yang menimpa masyarakat.
Keseimbangan dalam memanfaatkan potensi sumberdaya alam ini, selain
di aktualisasikan dalam pola pemanfaatan lahan, juga dilakukan oleh masyarakat
dalam pengelolaan lahan pertanian. Kegiatan pertanian dilakukan oleh
masyarakat dengan menggunakan mekanisme yang sama dengan umumnya
berlaku pada masyarakat lainnya. Meskipun demikian, bagi masyarakat Kaili di
kawasan ini, proses pengelolaan lahan pertanian dilakukan dengan
menggabungkan teknik pertanian dan prosesi adat yang dianut dan diyakini
manfaatnya oleh masyarakat. Mekanisme pengelolaan usahatani yang dilakukan
oleh masyarakat dikemukakan pada Tabel 25.
63
Tabel 25. Tatacara masyarakat dalam pengelolaan usahatani.
Tahap
pengelolaan
Kegiatan Deskripsi
Penyiapan lahan Nompepoyu Penentuan lokasi usahatani yang tepat agar
selaras dengan kepentingan alam. Kegiatan
dimulai dengan upacara adat.
Nontalu Pemarasan lokasi dilakukan dengan mengikuti
aturan yang telah disepakati secara adat oleh
masyarakat. Hal ini berkaitan dengan jenis dan
ukuran tanaman tertentu yang tidak boleh
ditebang.
Penanaman Notuja Kegiatan penanaman benih tanaman yang akan
diusahakan.
Pemeliharaan
tanaman
Nomperava Pembersihan gulma yang terdapat pada lahan
usahatani.
Panen dan paska
panen
Nokato
/nompui
Kegiatan pemanenan hasil usaha tani. Istilah
nokato diperuntukan bagi panen padi,
sedangkan nompui untuk tanaman jagung dan
buah-buahan.
Novunja Kegiatan adat/spiritual sebagai tanda
kesyukuran atas berhasilnya kegiatan usahatani.
Kelembagaan Nosialampale Sistim usaha bersama yang dilakukan dalam
mengelola lahan usahatani. Nosialampale
berarti bergandengan tangan.
Sobo - Pemangku adat (totua nu’ada) yang diangkat
sebagai pemimpin petani melalui
musyawarah adat.
- Sangat memahami kondisi alam dan
memiliki pengetahuan bertani yang baik.
Berperan sebagai pengambil keputusan
terhadap semua proses dalam kegiatan
usahatani.
Kegiatan nompepoyu merupakan tahapan yang paling menentukan dalam
proses pengelolaan usahatani yang dilakukan oleh masyarakat karena pada
tahapan ini mereka menentukan lokasi lahan usahatani yang dapat diusahakan.
Kegiatan ini dipimpin oleh seorang sobo yang akan melakukan dialog (nogane)
dengan alam agar dapat diberi petunjuk lokasi usahatani yang tepat sehingga
tidak berakibat bagi rusaknya alam. Proses tersebut akan menghasilkan
keputusan diizinkan atau tidaknya lokasi yang direncanakan dikelola sebagai
lahan usahatani. Bila keputusan akhir menyatakan bahwa lokasi tersebut tidak
64
dapat dikelola maka masyarakat yang akan membuka lahan harus mencari lokasi
lain yang tepat. Pertimbangan yang diambil dalam penentuan lokasi oleh sobo
merupakan perpaduan antara pertimbangan-pertimbangan topografi, ekologi, dan
metafisik.
Demikian pula dengan tahapan-tahapan selanjutnya seperti pengolahan
lahan, penanaman, panen dan kegiatan paska panen. Penentuan waktu
dimulainya pengolahan lahan dan penanaman ditentukan berdasarkan tanda-
tanda alam. Keseluruhan rangkaian kegiatan tersebut, terutama nompepoyu,
notuja, dan nokato/nompui selalu didahului dengan kegiatan ritual yang dipimpin
oleh sobo dengan disertai semacam dialog dengan alam yang oleh masyarakat
disebut dengan nogane. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan oleh masyarakat
secara gotong royong yang disebut nosialampale.
Untuk memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang terdapat di laut,
masyarakat di kawasan ini juga memiliki pengetahuan dan kearifan tertentu agar
potensi tersebut dapat terjaga dan dapat dimanfaatkan secara turun temurun.
Masyarakat masih memiliki pengetahuan yang berkaitan dengan ketersediaan
sumberdaya perikanan yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan mereka.
Pengetahuan-pengetahuan tersebut diantaranya adalah waktu yang tepat untuk
melakukan penangkapan berdasarkan tanda-tanda alam seperti perbintangan,
kondisi permukaan air laut, dan kondisi pasang surutnya air laut, serta
pengetahuan tentang habitat yang menjadi tempat hidup dan berkembangnya
jenis-jenis ikan tertentu.
Masyarakat yang terdapat di kawasan ini menyebut lokasi yang menjadi
habitat dari ikan-ikan tersebut berdasarkan jenis ikan yang dominan di lokasi
tersebut. Sebagai contoh misalnya, pasi pogo yang merupakan habitat tempat
berkembangnya sejenis ikan karang yang mereka sebut dengan bau pogo. Dalam
bahasa Kaili, pasi berarti gugusan terumbu karang, sedangkan bau berarti ikan.
Pengetahuan mereka tentang keadaan ini juga termasuk kapan waktu yang tepat
untuk dilakukan penangkapan agar supaya potensi yang terdapat pada lokasi
tersebut punah. Oleh karena itu dalam menjaga keberlanjutan pemanfaatan
sumberdaya tersebut maka masyarakat Kaili memiliki kearifan tertentu yang
disebut ombo.
65
Tabel 26. Kearifan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya laut.
Aspek Kegiatan Deskripsi
Sistim
pengelolaan
sumberdaya
Ombo Aturan yang berlaku dalam masyarakat untuk tidak
memanfaatkan hasil alam tertentu dalam batas
waktu yang ditentukan bersama oleh masyarakat.
Untuk daerah tangkapan ikan seperti pada suatu
gugusan karang, waktu jeda tersebut bermanfaat
untuk memulihkan populasi ikan dan perbaikan
terumbu karang.
Pemanfaatan
sumberdaya
perikanan
Panambe Kegiatan yang dilakukan untuk memancing ikan
dengan menggunakan perahu dan melemparkan
umpan yang terdapat di pancing kemudian
menariknya secara perlahan untuk mengundang
perhatian ikan dan menangkap umpan yang terkait
di pancing tersebut. Kegiatan ini biasanya dilakukan
secara berkelompok dengan jumlah 3 – 5 orang.
Maninti Kegiatan memanfaatkan sumberdaya laut yang
terdapat pada tepi pantai hingga gugusan karang
saat air laut berada pada surut terendah dengan
menggunakan tombak bermata kecil, parang, dan
jaring tangkap yang mirip jaring kupu-kupu.
Adat/spiritual Nompaura Posesi adat yang dilakukan sekali setahun yang
dilakukan sebagai tanda syukur serta memberi
peringatan kepada masyarakat agar memanfaatkan
potensi alam dengan sebaik-baiknya tanpa
melakukan perusakan.
Kearifan lokal yang dihasilkan dari pengetahuan mereka tentang
sumberdaya laut tersebut merupakan potensi yang dapat dikelola untuk
kepentingan pengelolaan pariwisata. Ombo sebagai sebuah sistim pengelolaan
terumbu karang untuk menjaga kelestariannya tidak hanya bermanfaat bagi
kepentingan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat tetapi
juga sangat bermanfaat untuk pariwisata sebagai salahsatu daya tarik yang
dimiliki oleh kawasan ini. Disamping itu, kegiatan perikanan yang dilakukan
oleh nelayan seharusnya juga dapat memperoleh manfaat dari dikembangkannya
pariwisata di kawasan ini. Manfaat yang didapatkan tidak hanya bersumber dari
penjualan hasil tangkapan ikan nelayan kepada wisatawan yang berkunjung tetapi
juga melalui keikutsertaan wisatawan pada aktifitas yang dilakukan oleh nelayan.
Salahsatu peluang untuk hal tersebut adalah menjadikan kegiatan panambe
sebagai atraksi wisata.
66
Menurut informasi yang dikemukakan oleh masyarakat pernah terjadi
secara spontan wisatawan meminta untuk diikutsertakan dalam kegiatan tersebut,
dan ini menurut mereka merupakan sebuah kebanggaan dimana orang luar
memberikan apresiasi terhadap aktifitas yang mereka lakukan. Dengan demikian
maka aktifitas masyarakat ini dapat dikembangkan menjadi salahsatu daya tarik
wisata yang juga bermanfaat untuk menambah pendapatan masyarakat serta
mendorong mereka melindungi sumberdaya yang menjadi tempat dilakukannya
aktifitas tersebut.
Disamping pengetahuan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya
alam seperti yang dikemukakan dimuka, masyarakat juga memiliki pengetahuan
dan keterampilan dalam menghasilkan produk-produk budaya baik yang
berbentuk benda budaya maupun seni musik dan tari. Berbagai bentuk produk
budaya masyarakat di kawasan wisata ini disajikan pada Tabel 27.
Tabel 27. Produk budaya masyarakat Kaili dalam bidang kerajinan.
Kegiatan Jenis produk
(Nama lokal) Deskripsi
Menenun
(Nontanu)
Buya Sabe Suatu bentuk ekspresi seni budaya masyarakat Kaili
yang dituangkan kedalam bentuk pembuatan kain
sarung dari benang sutera dengan berbagai motif.
Pembuatan
alat-alat
rumahtangga
Sindu Sendok sayur yang terbuat dari tempurung kelapa
dengan menggunakan kayu sebagai tangkainya.
Bobo Alat penyimpan air yang terbuat dari tempurung
kelapa bulat yang telah dikeluarkan dagingnya.
Pemanjo Belahan tempurung kelapa yang berbentuk
mangkok sebagai tempat cuci tangan. Bentuk yang
seperti ini kadang juga digunakan oleh masyarakat
sebagai tempat hidangan sayur.
Suge Sendok nasi yang terbuat dari bahan kayu yang
terdapat disekitar desa.
Salahsatu produk budaya masyarakat di wilayah ini yang saat ini telah
memiliki nilai ekonomi adalah pembuatan sarung Donggala yang diproduksi
dengan menggunakan alat tenun tangan. Pembuatan sarung ini merupakan
keterampilan yang telah dimiliki secara turun temurun oleh masyarakat di
wilayah ini serta pada masyarakat Kaili di beberapa wilayah lainnya. Pada
67
masyarakat Kaili, kegiatan ini biasa disebut dengan kegiatan nontanu yang dalam
bahasa Indonesia berarti menenun.
Nontanu adalah kegiatan membuat kain sarung yang juga merupakan
salahsatu bentuk ekspresi seni budaya masyarakat lokal Kaili yang yang
dituangkan kedalam kain sarung yang ditenun secara manual dengan
menggunakan alat tenun tangan. Kegiatan masyarakat ini sudah berlangsung
sejak zaman dahulu, meskipun tidak diperoleh informasi yang menyatakan sejak
kapan kegiatan ini dilakukan, dan merupakan keterampilan dan aktifitas yang
dilakukan oleh seorang gadis disamping aktifitas-aktifitas lainnya yang dilakukan
di rumah. Meskipun dahulu produksi sarung ini bukan untuk kepentingan
ekonomi tetapi hanya merupakan aktifitas yang berorientasi sosial dan budaya,
namun saat ini telah menjadi sebuah kegiatan yang memberikan nilai ekonomi
bagi masyarakat.
Gambar 7. Kegiatan nontanu yang dilakukan oleh seorang gadis di kawasan wisata
Tanjung Karang Pusentasi. (Foto : Yayasan BEST)
Masyarakat di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi juga memiliki
keterampilan untuk menghasilkan barang-barang kerajinan yang berasal dari
kayu, tempurung, dan bambu yang terdapat di kawasan ini, yang biasanya
dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Produk kerajian tersebut biasanya
berupa barang-barang rumahtangga seperti sendok masak, serta alat makan dan
minum. Namun demikian barang-barang tersebut sudah jarang dibuat karena
68
tergeser oleh produk-produk industri. Peluang yang dapat dilakukan adalah
menjadikan barang-barang tersebut sebagai cinderamata yang dapat dibeli oleh
wisatawan serta dapat dijadikan sebagai perlengkapan makan bagi wisatawan.
Selain produk budaya yang berupa barang kerajian tersebut, di wilayah
ini juga masih terdapat berbagai produk kesenian seperti seni tari dan musik.
Kegiatan seni tari yang masih dimiliki oleh masyarakat dan merupakan tarian
yang sering dilakukan oleh masyarakat dalam berbagai kegiatan adalah tari
Pontanu, Peulucinde dan Pomonte. Produk-produk kesenian tersebut
dikemukakan pada Tabel 28.
Tabel 28. Produk budaya masyarakat Kaili dalam bidang kesenian.
Kegiatan Jenis
(Nama lokal) Deskripsi
Tari Pomonte Tarian yang menggambarkan proses pemanenan padi yang
dilakukan oleh beberapa orang baik pria maupun wanita,
yang dipimpin oleh seorang tadulako.
Pontanu Tarian yang menggambarkan proses pembuatan sarung.
Peulucinde Tarian penyambutan tamu yang dilakukan oleh tiga orang
wanita.
Meaju Suatu prosesi penyambutan tamu-tamu penting, biasanya
dilakukan pada saat tamu masih berada di batas desa atau
arena suatu kegiatan.
Musik Kakula Seni musik yang menggunakan kulintang dan gong yang
terbuat dari kuningan, dan gendang, dan biasanya
dimainkan pada acara-acara tertentu.
Dadendate Dadendate berarti nyanyian panjang, diiringi oleh alat
musik berupa suling. Dilakukan menjelang kepergian
seseorang ke perantauan yang berisi pesan-pesan moral.
Saat ini dadendate telah digunakan pula sebagai media
penyampaian pesan-pesan lingkungan.
Tari Pomonte merupakan tarian yang menggambarkan tentang proses
pemanenan padi yang ditarikan oleh beberapa orang baik wanita maupun pria,
yang didalamnya menggambarkan tentang peran seorang pemimpin atau
Tadulako didalam melakukan sebuah kerja kelompok. Tari Pontanu merupakan
tarian yang dilakukan oleh beberapa gadis yang menggambarkan tentang proses
pembuatan sarung Donggala. Sedangkan tari Peulucinde adalah tarian yang
dilakukan untuk menyambut kedatangan tamu dan ditarikan pula oleh beberapa
orang gadis.
69
Kegiatan budaya lainnya yang masih dijumpai adalah Meaju yang
merupakan sebuat prosesi penerimaan tamu secara resmi. Kegiatan dilakukan
oleh sekelompok pria dengan menggunakan pakaian tertentu dan menggunakan
tombak yang melakukan arak-arakan dari tempat diterimanya tamu hingga ke
tempat dilakukannya suatu acara tertentu. Meaju ini biasa dilakukan pada saat
menjemput kedatangan tamu-tamu penting yang datang ke daerah ini.
Seni musik tradisional yang masih terdapat pada masyarakat Kaili yang
bermukim di wilayah ini adalah Kakula dan Dadendate. Kakula merupakan seni
musik yang dapat dimainkan tanpa atau mengiringi seorang penyanyi. Kegiatan
seni ini biasa dilakukan pada saat beberapa hari sebelum hingga menjelang pesta
pernikahan (tanpa penyanyi), serta pada acara-acara tertentu lainnya dengan
menggunakan penyanyi. Sedangkan dadendate (nyanyian panjang) merupakan
sebuah jenis kesenian yang biasanya dilakukan menjelang kepergiaan seseorang
ke perantauan dan berisi pesan-pesan moral tertentu, dinyanyikan oleh seseoang
dengan diiringi oleh oleh beberapa alat musik tertentu. Selain digunakan untuk
mengantar kepergian seseorang saat ini dadendate telah digunakan pula untuk
menyampaikan pesan-pesan lingkungan kepada masyarakat.
5.4. Konsep Pemerintah dan Pihak Lainnya Dalam Pengelolaan Pariwisata
Berbasis Masyarakat
Pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat membutuhkan dukungan
berbagai pihak yang terkait seperti pemerintah, swasta, dan lembaga swadaya
masyarakat. Pemerintah sebagai pemegang kendali kebijakan memiliki peran
yang sangat penting untuk mengatur keseimbangan berbagai kepentingan yang
terdapat dalam kegiatan pariwisata. Berkaitan hal tersebut, Dinas Pariwisata Seni
dan Budaya Kabupaten Donggala mengembangkan konsep pembangunan
pariwisata seperti yang dikemukakan pada Tabel 29.
70
Tabel 29. Konsep pembangunan pariwisata di Kabupaten Donggala.
Tujuan Strategi Program
Pembangunan kepariwisataan
daerah yang dapat :
1. Mengenal dan mencintai
alam dan seni budaya
daerah,
2. Memelihara keseimbangan
lingkungan hidup,
3. Memperluas kesempatan
kerja, dan
4. Meningkatkan pendapatan
masyarakat dan daerah.
1. Mendorong masyarakat
untuk melindungi potensi
alam dan budaya.
2. Mendorong pengembangan
kreasi seni untuk
memperkaya kebudayaan
daerah.
3. Meningkatkan peran aktif
masyarakat serta pengusaha
kecil dan menengah.
4. Meningkatkan pengenalan
masyarakat luas terhadap
potensi wisata daerah.
5. Mengembangkan obyek
wisata lokal dengan ciri
khas daerah sebagai bagian
dari aktifitas masyarakat.
1. Pengembangan
kelembagaan
2. Mengembangkan
produk kerajian
masyarakat.
3. Peningkatan
promosi dan
pembinaan
masyarakat
pariwisata.
4. Pengembangan
pendidikan dan
pelatihan
pariwisata.
Sumber : Disparsenibud Donggala (2002, 2003).
Strategi pengembangan pariwisata di Kabupaten Donggala, seperti yang
dikemukakan pada tabel diatas, memperlihatkan bahwa sebenarnya masyarakat
memiliki kesempatan yang sangat besar untuk berpartisipasi didalam pengelolaan
pariwisata di kawasan Tanjung Karang Pusentasi. Meskipun demikian, sejalan
dengan kondisi yang diungkapakan oleh masyarakat lokal pada saat wawancara
dan diskusi kelompok terfokus bahwa konsep pemerintah tentang pengembangan
peran masyarakat dalam pengelolaan pariwisata belum didukung oleh pengaturan
mekanisme yang jelas tentang peran tersebut. Hingga saat ini Dinas Pariwisata
juga belum memiliki satupun dokumen yang dapat memberi panduan bagi semua
pihak untuk mengembangkan peran bersama dalam pengelolaan pariwisata di
kawasan ini.
Sementara itu, berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap
aparat pemerintah, swasta, dan lembaga swadaya masyarakat yang berkaitan
dengan pandangan mereka terhadap peran masyarakat lokal dalam pengelolaan
pariwisata di Tanjung karang Pusentasi dikemukakan pada Tabel 30.
71
Tabel 30. Pandangan aparat pemerintah, swasta, dan LSM tentang peran dan
posisi masyarakat.
Pihak Posisi dan peran masyarakat
Aparat
Pemerintah
- Melibatkan semua komponen masyarakat, dimana pemerintah
berperan sebagai fasilitator.
- Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengembangan
pariwisata.
- Pengembangan obyek wisata sebagai bagian dari aktifitas
masyarakat.
- Pengembangan pariwisata dengan pendekatan pemberdayaan
masyarakat lokal.
Swasta - Melibatkan masyarakat lokal dalam mengelola pariwisata sebagai
tenaga kerja.
- Perlindungan potensi alam sebagai daya tarik wisata.
- Pengembangan dan perlindungan budaya lokal sebagai salahsatu
daya tarik wisata.
LSM/KSM - Masyarakat lokal dilibatkan secara penuh dalam perencanaan
pengembangan kawasan wisata.
- Keikutsertaan masyarakat dalam usaha pariwisata melalui
kelompok usaha bersama yang dibentuk oleh masyarakat lokal.
- Pengembangan usaha dengan sistim kerjasama (kepemilikan
bersama) antara swasta dan masyarakat lokal.
Wawancara yang dilakukan terhadap aparat pemerintah pada berbagai
tingkatan memperlihatkan bahwa posisi dan peran masyarakat menjadi perhatian
dalam pengembangan pariwisata di kawasan ini. Seperti dikemukakan pada tabel
diatas, terlihat bahwa masyarakat sebagai pemeran utama dalam pengelolaan
pariwisata dengan menjadikan kegiatan pariwisata sebagai bagian dari aktifitas
masyarakat dan pengembangan pariwisata dilakukan dengan pendekatan
pemberdayaan masyarakat. Meskipun demikian, beberapa responden aparat
pemerintah yang berasal dari tingkatan terendah yaitu Lurah dan Kepala Desa
mengemukakan bahwa keadaan tersebut masih sulit untuk diwujudkan karena
hingga saat ini belum pedoman yang jelas tentang pengembangan peran
masyarakat. Hal ini penting, terutama bagi aparat pemerintahan pada tingkatan
ini, agar dapat dijadikan dasar yang kuat bagi mereka untuk melakukan
pengambilan keputusan pada level pemerintahan yang dipimpimnya.
Dikemukakan bahwa tanpa aturan dan pedoman yang jelas sulit bagi mereka
untuk memperjuangkan peran masyarakat disaat berbagai kepentingan, termasuk
72
kepentingan pemerintahan pada level diatasnya, bertarung untuk mendapatkan
manfaat dari berkembangnya kegiatan pariwisata.
5.5. Analisis Strategi Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat di
Tanjung Karang Pusentasi
Berkaitan dengan pengembangan pariwisata berbasis masyarakat di
kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi, beberapa hal yang merupakan faktor-
faktor pendukung maupun kendala didalam mengembangkan kegiatan tersebut
telah diidentifikasi melalui serangkaian proses wawancara dan diskusi baik
kepada masyarakat lokal maupun stakehoder lainnya seperti pemerintah,
pengusaha wisata, dan LSM. Beberapa faktor pendukung yang berkaitan
dengan pengembangan pariwisata berbasis mastarakat tersebut adalah :
1. Potensi alam berupa pemandangan alam laut, pantai pasir putih, terumbu
karang, potensi alam daratan untuk melakukan tracking (lintas alam).
2. Budaya dan kearifan masyarakat lokal dalam melakukan kegiatan yang
selaras alam, kearifan masyarakat dalam melindungi terumbu karang
melalui ombo, kegiatan panambe.
3. Keinginan yang kuat dari masyarakat untuk terlibat dalam
mengembangkan potensi sumberdaya pariwisata.
4. Keterampilan masyarakat dalam menghasilkan produk kerajinan dan
olahan makanan lokal yang berasal dari hasil laut.
5. Kelembagaan sosial masyarakat yang masih terpelihara (kelompok
nelayan, institusi adat, kelompok dasawisma/PKK, kelompok pemuda,
dan kelompok keagamaan).
6. Dukungan pemerintah kepada masyarakat untuk melindungi potensi
sumberdaya alam dan budaya (Renstra Pariwisata Donggala).
7. Pengembangan obyek wisata lokal dengan ciri khas daerah sebagai bagian
dari aktifitas masyarakat (Renstra pariwisata Donggala).
8. Dukungan pemerintah untuk meningkatkan peran aktif masyarakat
(Renstra Pariwisata Dongaala).
9. Keinginan pihak swasta/pengusaha untuk melibatkan masyarakat lokal.
10. Dukungan/perhatian lembaga swadaya masyarakat untuk mendorong
peranserta masyarakat dalam pengembangan pariwisata.
73
Sedangkan faktor-faktor yang merupakan kendala atau permasalah dalam
mengembangkan pariwisata berbasis masyarakat di kawasan ini adalah :
1. Akses masyarakat yang lemah terhadap informasi pengembangan
pariwisata.
2. Rendahnya kemampuan permodalan masyarakat dalam mengembangkan
usaha yang berkaitan dengan kegiatan pariwisata.
3. Masih rendahnya kemampuan masyarakat dalam merancang produk
dalam bentuk atraksi wisata.
4. Keterampilan masyarakat dalam pengelolaan lokasi pariwisata yang
masih rendah.
5. Kerjasama antar lembaga masyarakat yang terdapat di kawasan wisata
yang masih rendah.
6. Tidak adanya aturan dan mekanisme yang jelas, dari pemerintah, yang
dapat menjamin keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pariwisata.
7. Kegiatan pariwisata yang berbenturan dengan kegiatan ekonomi
masyarakat lokal (kasus area penyelaman di Tanjung Karang) dan
mengamcam akses masyarakat terhadap sumberdaya .
8. Kegiatan pembangunan pariwisata yang dilakukan oleh pemerintah yang
lebih menekankan pada aspek fisik.
9. Pembangunan prasarana penunjang pariwisata yang megakibatkan
kerusakan lingkungan.
10. Sikap pemerintah yang lebih berpihak kepada pengusaha/swasta.
Informasi-informasi yang berkaitan dengan faktor pendukung dan kendala
yang terdapat dalam upaya mengembangkan pariwisata berbasis masyarakat ini
kemudian dirumuskan kedalam faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang, dan
ancaman yang dianalisis untuk mendapatkan strategi yang dapat mendukung
dikembangkannya konsep pengelolaan tersebut.
5.5.1. Analisis Faktor Internal dan Eksternal
Analisis SWOT dilakukan untuk mengkaji faktor-faktor internal dan
eksternal yang terdapat pada kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi untuk
memberi arahan bagi pengembangan strategi pengelolaan pariwisata berbasis
masyarakat di kawasan ini. Faktor internal adalah faktor dari dalam masyarakat
74
lokal yang mencerminkan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya (Tabel 31
dan 32). Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor diluar masyarakat lokal
yang kondisinya tidak diatur atau dikendalikan oleh masyarakat, yang
digambarkan melalui faktor peluang dan ancaman (Tabel 31).
Tabel 31. Analisis faktor internal yang merupakan kekuatan dalam pengelolaan
pariwisata berbasis masyarakat.
No.
Faktor Internal
Bo
bo
t
Ra
tin
g
Nil
ai
Pri
ori
tas
Kekuatan :
1.
2.
3.
4.
5.
Potensi alam berupa pemandangan alam laut, pantai
pasir putih, terumbu karang, dan potensi alam daratan
untuk melakukan tracking (lintas alam).
Budaya dan kearifan masyarakat dalam melakukan
kegiatan yang selaras alam serta kearifan masyarakat
dalam melindungi terumbu karang melalui ombo,
kegiatan panambe, kegiatan nontanu, dan produk
kesenian lokal.
Keinginan yang kuat dari masyarakat untuk
mengembangkan potensi sumberdaya pariwisata.
Keterampilan masyarakat dalam menghasilkan produk
kerajinan dan olahan makanan lokal yang berasal dari
hasil laut.
Kelembagaan sosial masyarakat yang masih terpelihara
(kelompok nelayan, institusi adat, kelompok
dasawisma/PKK, kelompok pemuda, dan kelompok
keagamaan).
1,00
1,00
0,50
0,75
0,75
4
4
2
4
3
4,00
4,00
1,00
3,00
2,25
I
I
IV
II
III
Jumlah 14,25 Keterangan :
Pembobotan didasarkan pada tingkat pengaruh faktor tersebut terhadap konsep
pariwisata berbasis masyarakat. Kriteria digunakan (1,00 =sangat berpengaruh ; 0,75
=berpengaruh ; 0,50 =cukup berpengaruh ; 0,25 =kurang berpengaruh ; 0,00 = tidak
berpengaruh).
Rating yaitu tingkat kepercayaan atau keyakinan akan pentingnya aspek tersebut,
menggunakan skala Likers dengan nilai 1-4 dengan kategori : 1 =kurang penting, 2
=cukup penting, 3 =penting, 4 =sangat penting.
Nilai merupakan hasil perkalian antara bobot dengan rating.
Faktor strategis kekuatan (internal) dalam pengelolaan pariwisata di
Tanjung Karang Pusentasi memiliki nilai total sebesar 13,50 (Tabel 31). Bila
diamati melalui berbagai faktor didalamnya, ternyata faktor keragaman potensi
alam, dan faktor budaya dan kearifan masyarakat mempunyai nilai yang paling
tinggi (4,00) dibanding faktor-faktor lainnya. Keadaan ini sangat beralasan bila
75
dikaitkan dengan hasil pemetaan masyarakat tentang potensi atraksi wisata alam
dan budaya yang dikemukakan pada pembahasan sebelumnya. Meskipun
demikian, faktor-faktor lain seperti keterampilan masyarakat dalam memproduksi
barang kerajinan lokal (3,00), kelembagaan sosial masyarakat (2,25), dan
motivasi masyarakat lokal (1,00) tetap memegang peranan penting dalam upaya
pengembangan kegiatan pariwisata berbasis masyarakat.
Tabel 32. Analisis faktor internal yang merupakan kelemahan dalam pengelolaan
pariwisata berbasis masyarakat.
No.
Faktor Internal
Bo
bo
t
Ra
tin
g
Nil
ai
Pri
ori
tas
Kelemahan :
1.
2.
3.
4.
5.
Akses masyarakat yang lemah terhadap informasi
pengembangan pariwisata.
Rendahnya kemampuan permodalam nasyarakat dalam
mengembangkan usaha yang berkaitan dengan kegiatan
pariwisata.
Masih rendahnya kemampuan masyarakat dalam
merancang produk dalam bentuk atraksi wisata.
Keterampilan masyarakat dalam pengelolaan lokasi
wisata yang masih rendah.
Belum ada kerjasama antar lembaga masyarakat yang
terdapat di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi.
1,00
0,75
0,75
0,75
0,50
4
4
4
4
3
4,00
3,00
3,00
3,00
1,50
I
II
II
II
IV
Jumlah 14,50
Faktor internal yang merupakan kelemahan memiliki nilai total sebesar
14,50 (Tabel 32), dengan faktor kelemahan yang paling menonjol adalah akses
masyarakat yang lemah terhadap informasi pengembangan pariwisata.
Sementara itu faktor-faktor kelemahan lainnya yang juga menonjol adalah
rendahnya kemampuan permodalan masyarakat, merancang produk wisata, dan
pengelolaan lokasi wisata.
76
Tabel 33. Analisis faktor eksternal yang merupakan peluang dalam pengelolaan
pariwisata berbasis masyarakat.
No.
Faktor Eksternal
Bo
bo
t
Ra
tin
g
Nil
ai
Pri
ori
tas
Peluang
1. Dukungan pemerintah kepada masyarakat untuk
melindungi potensi sumberdaya alam dan budaya
(Renstra Pariwisata Donggala).
1,00 3 3,00 II
2. Pengembangan obyek wisata lokal dengan ciri khas
daerah sebagai bagian dari aktifitas masyarakat
(Renstra Pariwisata Donggala)
0,75 3 2,25 III
3. Dukungan pemerintah untuk meningkatkan peran aktif
masyarakat (Renstra Pariwisata Donggala).
1,00 4 4,00 I
4. Adanya keinginan pihak swasta/pengusaha untuk
melibatkan masyarakat lokal.
0,50 2 1,00 IV
5. Dukungan/perhatian lembaga swadaya masyarakat
untuk mendorong peranserta masyarakat dalam
pengembangan pariwisata.
0,75 4 3,00 II
Jumlah 13,25
Faktor-faktor strategis eksternal yang merupakan peluang bagi
pengembangan pariwisata berbasis masyarakat di Tanjung Karang Pusentasi
memiliki nilai sebesar 13,25 (Tabel 33). Faktor yang dapat diandalkan untuk
mengembangkan sistim pengelolaan berbasis masyarakat adalah dukungan
pemerintah untuk meningkatkan peran aktif masyarakat dalam kegiatan
pariwisata seperti yang tertuang dalam rencana strategi pariwisata Donggala
tahun 2003. Sementara itu faktor-faktor lain yang juga dapat mendukung adalah
dukungan pemerintah terhadap perlindungan potensi alam dan budaya, dukungan
lembaga swadaya masyarakat, dan konsep pemerintah yang akan
mengembangkan obyek wisata dengan ciri khas lokal serta menjadikannya
sebagai bagian dari aktifitas masyarakat. Dukungan pihak swasta dalam hal ini
tidak terlalu berpengaruh yang disebabkan karena orientasi profit yang dianut
oleh pengusaha pada umumnya.
77
Tabel 34. Analisis faktor eksternal yang merupakan ancaman dalam pengelolaan
pariwisata berbasis masyarakat.
No.
Faktor Eksternal
Bo
bo
t
Ra
tin
g
Nil
ai
Pri
ori
tas
Ancaman :
1.
2.
3.
4.
5.
Tidak adanya aturan dan mekanisme yang jelas, dari
pemerintah, yang dapat menjamin keterlibatan
masyarakat dalam kegiatan pariwisata.
Kegiatan pariwisata yang berbenturan dengan kegiatan
ekonomi masyarakat lokal dan mengamcam akses
masyarakat terhadap sumberdaya.
Kegiatan pembangunan pariwisata yang dilakukan oleh
pemerintah yang lebih menekankan pada aspek fisik.
Pembangunan prasarana penunjang pariwisata yang
megakibatkan kerusakan lingkungan.
Sikap pemerintah yang lebih berpihak kepada
pengusaha/swasta.
1,00
1,00
0,75
0,50
0,75
4
3
2
3
4
4,00
3,00
1,50
1,50
3,00
I
II
IV
IV
III
Jumlah 13,00
Faktor-faktor eksternal yang merupakan ancaman bagi penerapan konsep
pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat seperti yang dikemukakan pada
Tabel 34 diatas memiliki nilai total sebesar 12,15. Faktor yang paling menonjol
adalah berkaitan dengan tidak adanya aturan dan mekanisme yang dapat
menjamin keterlibatan masyarakat secara penuh didalam kegiatan pariwisata.
Ancaman lainnya yang menonjol adalah perbenturan kepentingan antara kegiatan
pariwisata dengan kegiatan ekonomi masyarakat. Variasi dari ancaman ini dapat
berupa hilangnya hak masyarakat terhadap lahan yang dimilikinya, dan hilangnya
akses mereka terhadap sumberdaya seperti yang terjadi pada konflik pemanfaatan
terumbu karang untuk lokasi penyelaman dengan kepentingan nelayan di Tanjung
Karang. Disamping itu, komitmen yang rendah terhadap pembangunan yang
bersifat non-fisik dan berorientasi lingkungan, rendahnya keberpihakan pada
masyarakat lokal merupakan ancaman dalam mengembangkan sistim pengelolaan
yang berbasis masyarakat.
Pengembangan strategi pengelolaan pariwisata yang berbasis masyarakat
dikawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi dilakukan dengan mensinergikan
78
faktor-faktor internal dan eksternal pada Tabel 31, 32, 33, dan 34 kedalam 4
pilihan strategi sebagaimana dikemukakan pada Tabel 35 berikut.
Tabel 35 Matriks SWOT dalam pengelolaan pariwisata di kawasan wisata
Tanjung Karang Pusentasi
Faktor eksternal
Faktor internal
Kekuatan (S) :
Potensi alam yang tersedia
(4,00)
Potensi budaya dan kearifan
masyarakat (4,00)
Keterampilan masyarakat
dalam menghasilkan
kerajinan dan makanan hasil
laut (3,00)
Kelembagaan sosial
masyarakat yang masih
terpelihara (2,25)
Keinginan kuat masyarakat
(1,00)
Kelemahan (W) :
Akses masyarakat rendah
terhadap informasi
pengembangan pariwisata
(4,00)
Rendahnya kemampuan
permodalan masyarakat
(3,00)
Rendahnya kemampuan
masyarakat merancang
produk/atraksi wisata (3,00)
Keterampilan pengelolaan
pariwisata yang rendah
(3,00)
Belum ada kerjasama antar
lembaga masyarakat (1,50)
Peluang (O) :
Dukungan pemerintah untuk
meningkatkan peran aktif
masyarakat (4,00)
Dukungan pemerintah
kepada masyarakat untuk
melindungi potensi alam
dan budaya (3,00)
Dukungan lembaga swadaya
masyarakat bagi peranserta
masyarakat (3,00)
Kebijakanpemerintah untuk
mengembangkan pariwisata
dengan ciri khas lokal oleh
masyarakat (2,25)
Keinginan pihak swasta
melibatkan masyarakat
(1,00)
Strategi S-O :
Pengelolaan potensi yang
beragam tersebut
dilakukan secara bersama
oleh semua pihak dimana
masyarakat lokal
mengambil peran dalam
pengambilan keputusan.
Mengintegrasikan modal
sosial masyarakat (budaya
dan kearifan lokal) dengan
program pemerintah.
Pengembangan
kemampuan masyarakat
dalam melakukan
assessment terhadap
potensi lokal yang
dimilikinya.
Strategi W-O :
Pengembangan kapasitas
masyarakat lokal dan
organisasi sosial yang
dimilikinya .
Membangun mekanisme
penyediaan modal usaha
bagi masyarakat lokal
yang mengikutsertakan
semua pihak.
Mengembangkan
jaringan kerjasama yang
setara antara kelompok-
kelompok atau
organisasi masyarakat
lokal dengan pemerintah,
swasta, dam lembaga
swadaya masyarakat.
79
Tabel 35. Lanjutan
Ancaman (T) :
Tidak ada peraturan dan
mekanisme yang jelas bagi
keterlibatan masyarakat
(4,00)
Benturan kegiatan pariwisata
dengan kegiatan ekonomi
masyarakat yang
mengancam akses terhadap
sumberdaya (3,00)
Sikap pemerintah lebih lebih
berpihak kepada pengusaha
(3,00)
Pembangunan pariwisata
yang lebih menekankan pada
aspek fisik (1,50)
Pembangunan prasarana
pariwisata mengakibatkan
kerusakan lingkungan (1,50)
Strategi S-T :
Mensinkronisasikan modal
sosial yang dimiliki
masyarakat dengan
kemampuan kapital yang
dimiliki oleh stakeholder
lainnya.
Membangun sistim
perencanaan
pengembangan pariwisata
yang memungkinkan
terpeliharanya hak dan
akses masyarakat terhadap
sumberdaya.
Mengembangkan prinsip
pengelolaan pariwisata
yang ramah lingkungan.
Strategi W-T :
Menyiapkan peraturan
dan mekanisme
keterlibatan masyarakat
dalam pengelolaan
pariwisata.
Penguatan organisasi
dan kelembagaan yang
terdapat pada
masyarakat lokal.
Membangun sistim
pengelolaan yang
memungkinkan
masyarakat sebagai
pemilik saham .
5.5.2. Analisis Strategi Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat
Untuk menentukan alternatif prioritas strategi yang dapat dikembangkan
dalam pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat di kawasan wisata Tanjung
Karang Pusentasi, dilakukan penghitungan nilai dari masing-masing strategi
dengan menjumlahkan nilai masing-masing faktor yang saling berinteraksi.
Urutan prioritas strategi ditentukan oleh besarnya nilai hasil penjumlahan antar
faktor yang berintegrasi dan disusun berdasarkan besarnya nilai masing-masing
strategi tersebut. Nilai interaksi antar faktor tersebut dikemukakan pada matriks
berikut.
Faktor internal
Faktor eksternal Kekuatan (S)
(13,50)
Kelemahan (W)
(14,50)
Peluang (O)
(13,25)
Strategi S-O
(26,75)
Strategi W-O
(27,75)
Ancaman (T)
(13,00)
Strategi S-T
(26,50)
Strategi W-T
(27,50)
Gambar 8. Matriks nilai strategi SWOT dalam pengelolaan pariwisata berbasis
masyarakat di Tanjung Karang Pusentasi.
80
Berdasarkan hasil perhitungan nilai interaksi antar faktor yang
dikemukakan pada diatas diperoleh urutan prioritas strategi yaitu strategi W-O
(27,75), strategi W-T (27,50), strategi S-O (26,75), dan strategi S-T (26,50).
Mengacu pada nilai masing-masing strategi tersebut, maka dapat disusun strategi-
strategi pengelolaan sebagai berikut :
1. Strategi W-O meliputi :
a. Pengembangan kapasitas masyarakat lokal dan organisasi sosial yang
dimilikinya.
b. Membangun mekanisme penyediaan modal usaha bagi masyarakat lokal
yang mengikutsertakan semua pihak.
c. Mengembangkan jaringan kerjasama yang setara antara kelompok-
kelompok atau organisasi masyarakat lokal dengan pemerintah, swasta,
dam lembaga swadaya masyarakat.
2. Strategi W-T meliputi :
a. Menyiapkan peraturan dan mekanisme keterlibatan masyarakat dalam
pengelolaan pariwisata.
b. Penguatan organisasi dan kelembagaan yang terdapat pada masyarakat
lokal.
c. Membangun sistim pengelolaan yang memungkinkan masyarakat sebagai
pemilik saham dari usaha pariwisata yang dikembangkan.
3. Strategi S-O meliputi :
a. Pengelolaan potensi pariwisata yang beragam di kawasan wisata ini
dilakukan secara bersama oleh semua pihak dimana masyarakat lokal
mengambil peran dalam pengambilan keputusan.
b. Mengintegrasikan modal sosial masyarakat (budaya dan kearifan lokal)
dengan program pemerintah.
c. Pengembangan kemampuan masyarakat dalam melakukan assessment
terhadap potensi lokal yang dimilikinya.
81
4. Strategi S-T meliputi :
a. Mensinkronisasikan modal sosial yang dimiliki masyarakat dengan
kemampuan modal yang dimiliki oleh stakeholder lainnya.
b. Membangun sistim perencanaan pengembangan pariwisata yang
memungkinkan terpeliharanya hak dan akses masyarakat terhadap
sumberdaya.
c. Mengembangkan prinsip pengelolaan pariwisata yang ramah lingkungan.
Bila ditelaah secara lebih seksama faktor-faktor strategis tersebut, secara
garis besar mencakup beberapa isu penting yang perlu mendapatkan perhatian
yaitu :
Pertama, pengembangan kapasitas masyarakat dan stakeholder lainnya
dalam pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat. Pengembangan kapasitas
masyarakat akan mencakup pengetahuan dan keterampilan, permodalan, dan
pengembangan jaringan. Pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat
membutuhkan sebuah proses yang memungkinkan masyarakat dapat berperan
lebih baik didalamnya. Pengembangan kapasitas merupakan serangkaian
aktifitas dimana individu, kelompok, dan organisasi didalam masyarakat
meningkatkan kemampuan mereka dalam pengelolaan pariwisata berbasis
masyarakat. Kapasitas dalam hal ini menyangkut kepedulian, keterampilan,
pengetahuan, motivasi, komitmen, dan kepercayaan diri masyarakat (Raik, 2002).
Hal ini dimaksudkan agar masyarakat memiliki kemampuan untuk mengukur
potensi, nilai, dan prioritas mereka serta dapat mengorganisir diri (William, 1995
dalam Syahyuti, 2005) untuk melakukan sesuatu berkaitan dengan potensi
sumberdaya yang terdapat di lingkungannya.
Pengembangan kapasitas stakeholder lainnya dimaksudkan untuk
mengembangkan kemampuan mereka dalam memahami kepentingan-
kepentingan masyarakat lokal dan mengakomodasikannya kedalam aktifitas
usaha pengembangan pariwisata yang dilakukan. Pengembangan kapasitas seperti
yang dikemukakan tersebut, tidak ditujukan untuk menafikan peran pihak lain
diluar masyarakat lokal seperti pemerintah, swasta, dan berbagai kelompok
lainnya, yang notabene memiliki kemampuan jaringan dan permodalan yang
lebih baik, tetapi sebagai upaya untuk membangun kemampuan masyarakat
82
lokal dan stakeholdre lainnya dalam melakukan kerjasama serta mampu
melakukan proses pengambilan keputusan bersama yang setara dan saling
menguntungkan. Dengan demikian, proses tersebut juga akan memberikan
kemampuan bagi masyarakat dalam mengembangkan jaringan kerjasamanya
dengan berbagai pihak.
Pendekatan seperti ini telah dikembangkan dalam kegiatan pariwisata
berbasis masyarakat yang dilakukan di beberapa Taman Nasional di Indonesia.
Salahsatunya adalah yang dilakukan di Taman Nasional Rinjani, dimana
masyarakat lokal dengan stakeholder lainnya melakukan perencanaan dan
pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat secara bersama-sama (APEIS-
RISPO, 2003a). Selain di Taman Nasional Rinjani, kegiatan tersebut telah pula
dilakukan oleh berbagai lembaga dan masyarakat lokal dalam mengelola kegiatan
pariwisata berbasis masyarakat di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
(APEIS-RISPO, 2003b). Keadaan ini akan memberikan peluang bagi masyarakat
untuk membangun usaha bersama dengan pihak lain ataupun mendapatkan
suntikan modal karena perencanaan usaha yang dilakukan didasarkan pada proses
perencanaan yang matang.
Kedua, inventarisasi ataupun penggalian kembali potensi sumberdaya
pariwisata baik yang bersumber dari potensi alam (termasuk didalamnya aktifitas
produksi masyarakat) maupun potensi sosial budaya. Inventarisasi merupakan
suatu bagian dari proses pengelolaan yang akan menentukan strategi yang dapat
digunakan dalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia. Flyman (2002)
mengemukakan bahwa pengambilan keputusan dan kegiatan yang dilakukan oleh
masyarakat harus didasarkan pada pemahaman mereka tentang sumberdaya yang
tersedia agar dapat menjamin kebutuhan mereka secara berkelanjutan.
Inventarisasi ini juga merupakan suatu bentuk proses pembelajaran bagi
masyarakat lokal dalam mempersiapkan dan memproduksi atraksi wisata.
Kemampuan masyarakat lokal dalam memetakan potensi sumberdaya pariwisata
yang terdapat di lingkungannya adalah modal yang sangat penting dalam
mendukung keterlibatan mereka pada semua tahapan pengelolaan (Garrod, 2003).
Hal ini akan memeberikan kemampuan kepada masyarakat untuk dapat
83
memetakan potensi yang mereka miliki termasuk kekurangan dan kelebihan yang
terdapat didalamnya.
Ketiga, pengembangan kemampuan permodalan dan pengelolaan usaha
masyarakat lokal. Hal ini merupakan salahsatu masalah yang dihadapi oleh
masyarakat di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi seperti yang dialami
oleh kebanyakan masyarakat di desa-desa pantai yang sebagian besar bekerja
sebagai nelayan dan memiliki kemampuan modal yang sangat terbatas. Upaya
yang dilakukan dalam mengembangkan kemampuan masyarakat lokal dalam
pengelolaan usaha pariwisata serta seberapa besar manfaat yang diperolehnya
tergantung pada beberapa faktor penting seperti jenis wisata yang dikembangkan,
regulasi dalam perncanaan pengembangan, kepemilikan lahan, dan akses
masyarakat terhadap permodalan (Ashley et al, 2000).
Keempat, pengembangan jaringan dan kemitraan yang memungkinkan
masyarakat lokal dapat memperoleh manfaat dari kegiatan pariwisata yang
berlangsung. Berbagai manfaat yang dapat diperoleh masyarakat lokal
diantaranya informasi yang berkaitan dengan peluang usaha yang dapat
dikembangkan dalam menunjang kegiatan pariwisata, pengetahuan dan
keterampilan yang dibutuhkan untuk mengelola usaha pariwisata, dan
kemungkinan dikembangkannya kegiatan usaha bersama dengan stakeholder
lainnya. Hal ini dimungkinkan karena masyarakat lokal meskipun memiliki
modal usaha yang terbatas tetapi memiliki asset sumberdaya alam dan budaya.
Pengambilan keputusan yang meskipun dilakukan untuk kepentingan
lokal yang menyangkut pengembangan masyarakat dan wilayah tertentu sangat
berkaitan dengan berbagai kepentingan yang lebih luas. Oleh karenanya, untuk
mengembangkan kegiatan pariwisata di wilayah ini dibutuhkan jaringan
kerjasama dan kemitraan antara berbagai stakeholder terkait. Pendekatan tersebut
dapat membangun tanggungjawab bersama dalam perencanaan, pengambilan
keputusan, pemecahan masalah, dan implementasi serta evaluasi kegiatan
(International Council on Local Environmental Initiative, 1999).
Kelima, aturan atau pedoman yang mengatur mekanisme keterlibatan
masyarakat lokal dalam pengelolaan pariwisata. Salahsatu kelemahan yang
terdapat dalam upaya membangun pariwisata di daerah saat ini adalah lemahnya
84
kebijakan pariwisata daerah (Nirwandar, 2006). Kelemahan kebijakan ini tidak
hanya menyangkut strategi daerah untuk mengembangkan sektor pariwisatanya,
tetapi juga berkaitan dengan bagaimana sebaiknya mekanisme yang ditempuh
agar semua komponen yang terkait didalam sektor tersebut dapat berperan
didalamnya. Dalam kaitannya dengan pengelolaan pariwisata berbasis
masyarakat, aturan atau pedoman yang mengatur mekanisme peran berbagai
pihak, terutama masyarakat lokal sangat diperlukan. Hal ini disebabkan karena
dalam berbagai pengalaman, masyarakat lokal selalu terpinggirkan oleh pesatnya
perkembangan pariwisata.
Keadaan diatas merupakan akibat dari kebijakan dan perencanaan yang
berkaitan dengan pariwisata secara umum tidak memenuhi harapan masyarakat
lokal yang disebabkan oleh isi/kandungan kebijakan tersebut tidak memenuhi
kepentingan masyarakat ataupun ada tetapi tidak dapat dilaksanakan (Liu dan
Wall, 2006). Berkaitan dengan pengembangan pariwisata berbasis masyarakat di
kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi, meskipun pemerintah daerah telah
menetapkan pariwisata dikembangkan dengan menggunakan pendekatan
pemberdayaan masyarakat (Disparsenibud Donggala, 2002 dan 2003) namun
belum memiliki mekanisme yang jelas. Hal ini sangat diperlukan agar semua
pihak dapat mengembangkan perannya masing-masing sesuai dengan potensi
yang dimiliki. Salahsatu contoh, misalnya, untuk menjamin pemasaran produksi
(pertanian, peternakan, dan perikanan) masyarakat maka ditetapkan untuk
menyediakan konsumsi bagi wisatawan yang bersumber dari produksi atau
sumberdaya lokal (Garrod et al, 2006).
Keenam, membangun sistim pengelolaan pariwisata yang ramah
lingkungan, baik dari aspek lingkungan alam maupun lingkungan sosial budaya.
Pengembangan pariwisata yang berorientasi pada kelestarian lingkungan tidak
saja ditujukan bagi terpeliharanya potensi sumberdaya secara berkelanjutan tetapi
juga disebabkan karena permintaan pasar pariwisata yang besar terhadap aspek
ini. Berkaitan dengan itu, Damanik dan Weber (2006) mengemukakan bahwa
aspek lingkungan yang alamiah menjadi incaran sebagian besar wisatawan
global, mulai dari Amerika Utara sampai Eropa. Selanjutnya dikemukakan pula,
tiga dari setiap empat orang wisatawan Amerika Serikat pada tahun 2003
85
memandang penting bahwa perjalanan mereka dapat menikmati kondisi alam
yang masih baik.
Demikian pula dengan aspek lingkungan sosial sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari aspek lingkungan secara keseluruhan (Soetaryono, 2002 dalam
Purba, 2002). Pertimbangan aspek lingkungan sosial memiliki kepentingan yang
luas karena hal ini akan mempengaruhi berbagai sendi kehidupan masyarakat
termasuk pengaruhnya terhadap lingkungan alam. Berbagai kasus memberikan
contah bahwa ketidakserasian dan keseimbangan aspek sosial memberikan
pengaruh pada upaya untuk melestarikan potensi sumberdaya alam. Selain itu,
perhatian terhadap aspek ini juga berkaitan dengan keinginan pasar pariwisata
dimana daya tarik budaya, kondisi sosial, dan politik lokal dijadikan bahan
pertimbangan bagi wisatawan dalam memilih lokasi kunjungan (Damanik dan
Weber, 2006).
5.5.3. Konsep Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat di Tanjung
Karang Pusentasi
Berdasarkan berbagai isu strategis yang telah dikemukakan sebelumnya,
maka diperlukan konsep yang dapat memberikan peluang peran masyarakat
bersama stakeholder lainnya untuk mengembangkan sistim pengelolaan
pariwisata yang berbasis masyarakat. Pengalaman yang telah dilakukan di
berbagai tempat seperti pada beberapa Taman Nasional di Indonesia (APEIS-
RISPO, 2003a dan 2003b) dapat pula dijadikan acuan sebagai bahan
perbandingan untuk mengembangkan kegiatan pariwisata berbasis masyarakat di
Tanjung Karang Pusentasi. Berbagai pengalaman tersebut menempatkan
masyarakat lokal dan lembaganya sebagai bagian dari proses perencanaan dan
pengelolaan pariwisata.
Pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat yang juga merupakan
kegiatan pengembangan masyarakat (community development) dimana mereka
dapat berpartisipasi didalamnya secara penuh. Pengembangan masyarakat
merupakan upaya yang dilakukan untuk mendorong dan membantu masyarakat
dalam menetapkan kebutuhannya dan memberi ruang bagi mereka untuk
menentukan standar pencapaiannya (Cochrane, 1971 dalam Pinel, 1998).
Pengembangan masyarakat bertujuan untuk mendorong masyarakat
86
meningkatkan kapasitas dalam memperbaiki kualitas hidupnya. Hal tersebut
membutuhkan kepercayaan diri, pengalaman, pengetahuan dan kemampuan baik
bagi individu, kelompok, dan organisasi yang membentuk masyarakat tersebut
(Reid et al, 1993 dalam Pinel, 1998).
Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa upaya pengembangan
masyarakat dilakukan agar mereka dapat memiliki kemampuan untuk
menstrukturkan pengalaman, pengetahuan, dan harapan mereka kedalam sebuah
aktifitas dan perencanaannya yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya
yang terdapat di sekitarnya. Dengan kata lain, pengembangan masyarakat
merupakan upaya pemberdayaan (empowerment) diri dan potensi yang
dimilikinya baik yang berupa sumberdaya alam maupun potensi sosialnya. Hal
ini penting karena upaya pemberdayaan pada level akar rumput (grassroot)
adalah hal penting yang dalam memformulasikan perencanaan yang bersifat
komprehensip dan merupakan sarana yang penting dan menentukan bagi
kelayakan kegiatan yang berbasiskan mayarakat (Tosun dan Timothy, 2003).
Berkaitan dengan pemikiran yang yang dikemukakan tersebut, maka
konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat di kawasan wisata Tanjung
Karang Pusentasi dikembangkan dalam konteks pengembangan masyarakat dan
wilayah yang luas. Dengan demikian berarti bahwa konsep pengelolaan yang
ditawarkan tetap mempertimbangkan kepentingan dan melibatkan berbagai
stakeholder lainnya seperti pemerintah, swasta, LSM, dan perguruan tinggi. Hal
ini disebabkan karena terdapat berbagai masalah yang tidak dapat diselesaikan
oleh masyarakat pada tingkat lokal tetapi harus melibatkan pihak lain pada level
yang lebih tinggi dan lebih luas (Uphoff, 1992).
Konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat mencakup 4 (empat)
tahapan proses yaitu tahap assessment dan pengorganisasian masyarakat, tahap
perencanaan dan persiapan, tahap pelaksanaan dan pendampingan, dan tahap
monitoring dan evaluasi. Secara skematis, konsep pengelolaan tersebut disajikan
pada Gambar 9.
87
Diisi dengan skema, gambar 9 (landscape)
88
Tahap assessment dan pengorganisasian masyarakat dilakukan berupa
menginventarisasi pengetahuan, pengalaman, perhatian, dan harapan masyarakat
terhadap potensi dan pengelolaan pariwisata, serta menggali berbagai aspek yang
berkaitan dengan potensi dan pengembangan produk pariwisata. Tahapan ini
bertujuan untuk ; pertama, mengembangkan pengetahuan dan kesadaran
bersama tentang pariwisata yang ramah lingkungan ; kedua, mengidentifikasi
elemen-elemen penting untuk penyusunan pedoman dan aturan pengelolaan
pariwisata berbasis masyarakat ; ketiga, mengidentifikasi hubungan dan
keterkaitan antar berbagai stakeholder.
Assessment dan pengorganisasian masyarakat melibatkan berbagai
stakeholder, baik masyarakat lokal dan non-lokal maupun berbagai pihak lain
yang berkepentingan terhadap pengembangan pariwisata. Mereka diposisikan
sebagai pihak yang sangat memiliki pemahaman terhadap situasi dan kondisi
serta kepentingannya masing-masing. Aktifitas wawancara yang bersifat formal
dan informal serta diskusi kelompok dapat dilakukan bersama (melalui fasilitasi
pihak independen) untuk menggali dan berbagi pengalaman serta pengetahuan
agar terbangun wawasan dan pengertian yang dalam tentang kepentingan dan
peran masing-masing stakeholder.
Keluaran dari assessment yang dilakukan dapat berupa hal-hal yang dapat
dijadikan materi penyusunan konsep dan mekanisme pengelolaan (tangible
outputs) maupun hal-hal yang berfungsi sebagai moral pendukung (less-tangible
outputs) bagi pengembangan pariwisata berbasis masyarakat (Pinel, 1998).
Secara umum keluaran yang mencakup kedua aspek tersebut disajikan pada Tabel
36.
89
Tebel 36. Keluaran dalam tahap assessment dan pengorganisasian masyarakat.
Keluaran untuk penyusunan konsep
dan mekanisme pengelolaan
Keluaran yang bersifat moral
pendukung
Informasi-informasi dasar yang dapat
dijadikan bahan pertimbangan
perencanaan dan upaya
pengembangan pariwisata, dan
berbagai informasi yang tentang
dinamika perkembangan
kepariwisataan.
Informasi yang berkaitan dengan
aspek-aspek yang akan
mempengaruhi perkembangan
pariwisata dimasa datang.
Informasi tentang keberadaan
stakeholder langsung maupun tak
langsung.
Sekumpulan informasi penting yang
dapat dijadikan dasar bagi
penyusunan aturan dan mekanisme
sebagai pedoman pengelolaan
pariwisata berbasis masyarakat.
Informasi yang berkaitan dengan
berbagai hambatan dan tantangan
dalam pengelolaan pariwisata
berbasis masyarakat.
Terdorongnya kepedulian semua
stakeholder terhadap implikasi
dan kemungkinan-kemungkinan
yang terdapat dalam
pengembangan pariwisata.
Terjadinya suatu kondisi dimana
masyarakat dan stakeholder
lainnya dapat berbagi informasi
tentang kepentingan masing-
masing yang selama ini tdak
terungkap pada diskusi dan
pertemuan formal lainnya.
Terangkatnya potensi dan
kearifan kolektif masyarakat dan
mengkombinasikannya dengan
masukan, pengalaman dan
keahlian yang dimiliki oleh
stakeholder lainnya.
Terdorongnya kondisi diskusi
yang konstruktif dan kooperatif,
dan jelasnya hubungan dan
keterkaitan serta kebutuhan antar
berbagai stakeholder.
Ketepatan hubungan atau
matarantai antar berbagai isu,
keputusan dan inisiatif.
Keluaran-keluaran yang mengandung materi penyusunan konsep dan
mekanisme pengelolaan tersebut diharapkan dapat menjadi informasi yang
penting dalam pembahasan tentang pengembangan dan pelaksanaan kegiatan
pariwisata, penyusunan organisasi pengelolaan, perencanaan pengelolaan, dan
evaluasi pengelolaan dimasa datang. Sementara keluaran yang bersifat sebagai
moral pendukung akan berfungsi sebagai daya dorong yang diperlukan oleh
semua stakeholder untuk memulai dan menjalankan konsep pengelolaan
pariwisata berbasis masyarakat yang akan memberi pengaruh bagi kehidupan dan
wilayah mereka.
Tahap perencanaan dan persiapan merupakan tahapan yang dibangun
berdasarkan keluaran-keluaran dan kesepakatan yang telah dilahirkan dari proses
pengorganisasian pada tahap pertama. Tahapan ini bertujuan untuk : pertama,
90
merancang dan mengembangkan program dan produk-produk wisata; kedua,
mengembangkan infrastruktur dan konsep pelayanan wisata ; dan ketiga,
mengembangkan mekanisme dan aturan pengelolaan pariwisata. Untuk
melengkapi informasi yang diperlukan dalam tahapan ini, dilakukan pula aktifitas
yang berkaitan dengan inventarisasi terhadap sumberdaya pariwisata yang
tersedia. Pada tahapan ini, proses pengembangan kapasitas masyarakat lokal
seperti yang telah dimulai pada tahapan pertama semakin diperkuat. Aktifitas
yang dapat dilakukan adalah berupa pelatihan-pelatihan dan bimbingan teknis.
Tahap selanjutnya adalah pelaksanaan konsep/program pengelolaan
pariwisata berbasis masyarakat. Pada tahapan ini produk wisata, konsep
pelayanan wisata, dan konsep pengelolaan wisata yang dirumuskan pada tahapan
sebelumnya diimplementasi dan dikomunikasikan kepada semua pihak yang
berkepentingan. Disisi lain, aktifitas publikasi dan pemasaran produk yang telah
dihasilkan dapat dilakukan pada tahapan ini.
Tahapan yang terakhir adalah monitoring dan evaluasi. Pada tahapan ini
semua stakeholder secara bersama melakukan peran pemantauan dan penilaian
terhadap keseluruhan aktifitas dan produk yang telah dihasilkan. Dalam hal ini
juga mencakup penilaian terhadap tahapan-tahapan proses sebelumnya sehingga
didapatkan suatu mekanisme proses, keluaran proses, dan produk wisata yang
lebih baik. Hal ini penting dilakukan agar sistim pengelolaan yang
dikembangakn dapat mengantisipasi dan beradaptasi dengan dinamika
perkembangan pariwisata dan masyarakat.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa konsep pengelolaan
pariwisata berbasis masyarakat di Tanjung Karang Pusentasi dikembangkan
dalam konteks pengembangan masyarakat dan wilayah yang luas, maka
diperlukan beberapa faktor/elemen penting yang berfungsi sebagai penunjang.
Selain berfungsi sebagai penunjang, faktor-faktor/elemen-elemen tersebut
diharapkan dapat menjamin keberlanjutan dari konsep bersama yang telah
dilahirkan. Faktor-faktor tersebut adalah dukungan kebijakan pemerintah daerah,
jaringan kerjasama dan kemitraan, pendidikan dan pelatihan, bantuan pendanaan,
dan penelitian dan pengembangan.
91
Kebijakan pemerintah merupakan faktor yang sangat penting bagi
terciptanya suatu proses pengelolaan pariwisata yang berbasis masyarakat. Hal
ini penting karena pemerintah memiliki peran kontrol, pendukung,
pemberdayaan, dan penasehat (advisory) bagi setiap aktifitas yang dibangun
berdasarkan inisiatif dan kekuatan masyarakat ( Pomeroy dan Williams, 1994
dalam Metcalfe, 1996). Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996
mengisyaratkan hal tersebut, dimana pemerintah berperan tidak hanya melakukan
pengaturan tetapi juga berperan dalam melakukan bimbingan, pengawasan dan
pengendalian terhadap kegiatan usaha pariwisata. Peran tersebut berpedoman
pada tujuan pembangunan pariwisata nasional yang salahsatu diantaranya adalah
meningkatkan pendapatan nasional dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat yang didasarkan atas nilai-nilai agama, adat istiadat, serta
pandangan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Dalam era otomonomi daerah saat ini, pemerintah daerah memegang
peranan yang sangat penting. Penyiapan sistim perencanaan yang matang, yang
salahsatunya dalam bentuk penyiapan Rencanan Induk Pengembangan Pariwisata
daerah sudah harus dimulai dengan pendekatan yang lebih mampu menemukenali
wilayah yang akan dijadikan lokasi pengembangan kegiatan pariwisata
(Nirwandar, 2007). Hal ini harus dilakukan lebih mendalam dengan
mempertimbangkan potensi sumberdaya alam dan budaya serta berbagai
permasalahannya agar semua pihak yang berkepentingan, meskipun berbeda,
terhadap suatu wilayah dapat secara bersama memanfaatkannya. Dengan
demikian maka diperoleh pemahaman yang luas dan mendalam terhadap potensi
tersebut dan dapat dilahirkan suatu kebijakan yang tepat.
Salahsatu upaya yang dapat dilakukan untuk membangun kerjasama antar
berbagai stakeholder adalah dengan membangun jaringan dan kemitraan. Dengan
membangun jaringan dan kemitraan, masyarakat lokal dapat memperoleh
manfaat informasi, pengetahuan, dan keterampilan yang belum mereka miliki
yang berasal dari pihak lainnya diluar mereka, dan pihak lain tersebut dapat pula
memahami dengan benar pengetahuan, keterampilan, dan kebutuhan masyarakat
lokal. Hal ini penting karena, dengan demikian, akan terbangun suatu proses dan
prinsip-prinsip checks and balances diantara berbagai pihak (Agrawal dan
92
Gibson, 1999) sebagai salahsatu prasyarat pengembangan kegiatan pariwisata
berbasis masyarakat.
Pengembangan jaringan dan kemitraan yang dilakukan tidak sekedar
untuk memenuhi kebutuhan dan syarat kelembagaan dari suatu proses
pengembangan kegiatan pariwisata berbasis masyarakat tetapi juga merupakan
suatu proses edukasi bagi semua pihak yang terlibat didalamnya. Pentingnya
proses edukasi ini karena berbagai pihak yang terlibat akan memiliki cara
pandang yang berbeda dalam memandang masalah yang harus diselesaikan.
Disatu sisi pihak-pihak lain diluar masyarakat lokal akan memiliki pandangan
dengan cara pandang “orang luar” sementara masyarakat lokal, disisi lain
memiliki pengetahuan lokal, yang oleh Behr et al (1995) disebutkan sebagai cara
pandang dari dalam untuk mendefiniskan masalah dan menformulasikan
pemecahannya. Dengan demikian maka pendekatan ini akan memberikan
peluang terjadinya pertukaran informasi dan cara pandang sehingga diperoleh
suatu keputusan bersama dalam pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat.
Pendidikan dan pelatihan merupakan salahsatu kunci bagi keberhasilan
pengembangan masyarakat lokal dalam kaitan dengan pengembangan peran
mereka dalam pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat. Dengan tingkat
pendidikan masyarakat di kawasan Tanjung Karang Pusentasi, yang sebagian
besar hanya sampai pada tingkat sekolah dasar akan menyebabkan terjadinya
kesenjangan pengetahuan dan keterampilan dengan pihak-pihak lain yang akan
terlibat. Hal ini tentunya akan sedikit mempersulit proses komunikasi dan
perubahan prilaku masyarakat dari sekedar menerima apa adanya program yang
ditawarkan oleh pihak luar menjadi masyarakat yang berdaya dan memiliki posisi
tawar yang kuat. Dengan demikian, strategi pengembangan kemampuan
masyarakat melalui pendidikan (formal dan non-formal) serta pelatihan sangat
penting bagi keterlibatan mereka dalam pengelolaan pariwisata berbasis
masyarakat. Karena, proses pendidikan dan pelatihan merupakan salahsatu
stimulus bagi terciptanya perubahan (Behr et al, 1995) bagi masyarakat.
Sumber pendanaan bagi pengembangan usaha masyarakat untuk
mendukung kegiatan pariwisata merupakan salahsatu masalah yang dihadapi oleh
masyarakat lokal. Oleh karena itu, dukungan semua pihak untuk mengatasi hal
93
ini sangat penting untuk dilakukan. Sumber pendanaan tidak hanya berasal dari
bantuan-bantuan pemerintah, tetapi dapat bersumber dari bantuan pihak swasta
dan lembaga-lambaga pendaanaan serta sumber-sumber dana yang bersifat hibah
dari berbagai pihak yang memiliki kepedulian.
Disamping itu, suatu hal yang sangat penting untuk dilakukan adalah
bagaimana mengurangi intervensi pendanaan dari luar yang dapat memberatkan
masyarakat, dengan jalan mengembangkan sumberdaya yang bersumber dari
potensi lokal untuk menciptakan sumber pendanaan bagi masyarakat. Dengan
demikian maka, masyarakat lokal akan memiliki kontrol yang kuat terhadap
sumberdaya (Agrawal dan Gibson, 1999) yang terdapat di kawasan tersebut.
Dukungan lainnya yang juga sangat penting adalah kegiatan penelitian
dan pengembangan. Hal ini dilakukan untuk menemukan pemecahan terhadap
masalah yang dihadapi oleh masyarakat lokal dan pihak-pihak lainnya yang
terlibat langsung didalam kegiatan pariwisata. Keterbatasan yang mereka miliki
dalam kaitan ini, harus dilakukan oleh pihak lain yang lebih berkompeten dan
memiliki kemampuan yang tepat. Dalam hal ini, perah pihak lainnya seperti
Perguruan Tinggi, lembaga-lembaga penelitian dan pengkajian yang ada baik di
daerah maupun pusat sangat diperlukan. Dengan demikian maka upaya untuk
membangun sinergi dengan memadukan kekuatan yang berbeda yang dimiliki
oleh masing-masing pihak dapat tercipta, dan upaya untuk mebangun pariwisata
berbasis masyarakat dapat diwujudkan.
5.5.4. Analisis Peran Stakeholder Dalam Pengelolaan Pariwisata Berbasis
Masyarakat
Pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat, seperti telah dikemukakan
sebelumnya, menuntut adanya peranserta atau partisipasi semua pihak secara
luas. Partisipasi merupakan suatu proses dimana berbagai pihak (stakeholders)
bersama-sama memberi pengaruh dan pengawasan terhadap inisiatif
pembangunan, pengambilan keputusan, dan pemanfaatan sumberdaya yang
memberikan pengaruh kepada kehidupan mereka (World Bank, 1996 dalam Karl,
2000). Untuk melihat posisi serta peran masyarakat lokal dan berbagai
stakeholder lainnya dalam kegiatan pariwisata dilakukan analisis stakeholder
94
dengan menggunakan mekanisme seperti yang disarankan oleh Rietbergen-
McCracken dan Narayan (1998).
Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi kelompok yang dilakukan
dengan masyarakat di kawasan wisata Tanjungkarang Pusentasi ditetapkan
beberapa pihak yang merupakan stakeholder kunci dalam pengembangan
kegiatan pariwisata di wilayah ini. Para pihak yang tergali didalam kegiatan
wawancara kemudian diklarifikasi dan dikelompokan kedalam beberapa
kelompok stakeholder ketika dilakukan diskusi kelompok terfokus. Melalui
proses tersebut diperoleh beberapa kelompok stakeholder (Tabel 37) yaitu
masyarakat lokal, pengusaha pariwisata, pemerintah, lembaga swadaya
masyarakat, dan lembaga-lembaga lokal masyarakat yang terdapat di kawasan
wisata Tanjungkarang Pusentasi.
Kelompok masyarakat lokal mewakili kepentingan-kepentingan
masyarakat lokal di kawasan ini baik yang memiliki aktifitas berkaitan dengan
pariwisata maupun yang tidak berhubungan ataupun berhubungan langsung
dengan pariwisata seperti yang diuraikan pada pembahasan sebelumnya.
Sementara kelompok pengusaha wisata sebagai stakeholder utama, disamping
masyarakat lokal, mewakili pemilik penginapan dan cottage, serta biro perjalanan
yang berasal dari kota Donggala dan Palu. Kelompok pemerintah terdiri atas
Dinas Pariwisata Kabupaten Donggala serta Pemerintah Desa dan Kelurahan
yang terdapat di wilayah ini. Kelompok LSM/KSM terdiri dari lembaga non-
profit yang berasal dari Donggala dan Palu yang memiliki aktifitas di Kawasan
Wisata Tanjungkarang Pusentasi, dan kelompok swadaya masyarakat untuk
kepentingan pariwisata. Sementara yang terakhir adalah kelompok organisasi
masyarakat lokal yang masih aktif terdiri atas kelompok tani dan nelayan, PKK,
kelompok arisan, kelompok pengajian, dan lembaga adat. Hasil identifikasi
kepentingan dan pengaruh kegiatan pariwisata terhadap kepentingan kelompok-
kelompok stakeholder tersebut dikemukakan pada Tabel 37.
95
Tabel 37. Identifikasi kepentingan dan pengaruh pariwisata terhadap kepentingan
stakeholder di Kawasan Wisata Tanjungkarang-Pusentasi saat ini
(diadopsi dari Rietbergen-McCracken dan Narayan,1998).
Pihak yang
berkepentingan
(stakeholders)
Kepentingan
(interest)
Efek pariwisata
terhadap interest
Masyarakat lokal - Membuka kesempatan kerja
- Menambah pendapatan
- Menjual hasil usaha (pertanian,
perikanan, dan kerajinan)
- Perlindungan terhadap
kebudayaan lokal
+
+
+/-
-
Pengusaha pariwisata - Peningkatan jumlah kunjungan
wisatawan
- Pengembangan usaha
+
+
Pemerintah
Dinas Pariwisata - Pengaturan obyek wisata
- Pemberian izin dan pengawasan
usaha pariwisata
- Peningkatan jumlah pemasukan
dari retribusi usaha pariwisata
+
+
+
Pemerintah Desa/
Kelurahan
Pembangunan desa/kelurahan
+/-
LSM/KSM - Perlindungan potensi alam dan
budaya
- Perbaikan lingkungan
+/-
+/-
Lembaga Lokal
Kelompok tani dan
nelayan
Pemasaran hasil pertanian dan
perikanan
-
Karang Taruna Pengembangan SDM pemuda -
PKK-Dasa Wisma Keindahan lingkungan desa -
Kelompok Arisan Pengembangan modal usaha +/-
Kelompok Pengajian Kepentingan sosio-religius -
Lembaga Adat Kepentingan sosial budaya -
Berdasarkan informasi yang dikemukakan pada Tabel 37, terlihat bahwa
terdapat berbagai kepentingan yang diharapkan oleh para stakeholder dapat
terpenuhi (+) melalui kegiatan pariwisata yang berlangsung saat ini. Bagi
masyarakat lokal, kegiatan pariwisata dapat memenuhi (+) kepentingan mereka
untuk mendapatkan pekerjaan dan menambah pendapatan tetapi belum dapat
sepenuhnya memenuhi (+/-) kepentingan mereka untuk menjual hasil pertanian
dan perikanan. Disamping itu, kegiatan pariwisata saat ini belum dapat
memenuhi (-) kepentingan masyarakat lokal dalam mempertahankan dan
mengembangkan kebudayaan lokal. Sedangkan kepentingan pengusaha
96
pariwisata, seperti yang terungkap dalam wawancara yang dilakukan, adalah
meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan dan berkembangnya usaha yang
mereka jalankan. Dikemukakan bahwa kegiatan pariwisata yang berlangsung saat
ini dapat memenuhi (+) kepentingan mereka untuk mengembangkan usaha.
Pemerintah sebagai pemegang kendali kebijakan memegang peranan yang
penting didalam mengembangkan kegiatan pariwisata di wilayah ini. Dinas
pariwisata sebagai instansi yang diberi kepercayaan untuk menjalankan fungsi
tersebut memiliki beberapa kepentingan dalam kegiatan pariwisata di wilayah
penelitian. Kepentingan-kepentingan tersebut adalah pengaturan obyek wisata,
pemberian izin dan pengawasan usaha pariwisata, dan peningkatan jumlah
pemasukan dari retribusi usaha pariwisata. Dari wawancara yang dilakukan
dengan asparat pemerintahan pada tingkat kabupaten diperoleh informasi bahwa
kepentingan mereka dapat terlaksana (+) dengan baik di kawasan wisata ini.
Sedangkan pemerintah pada tingkat desa dan kelurahan mengharapkan adanya
kemajuan bagi wilayahnya sebagai akibat dari berkembangnya pariwisata.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terlihat bahwa kepentingan
pemerintahan pada level bawah ini tidak dapat tepenuhi sepenuhnya (+/-). Hal
ini disebabkan karena mereka tidak sepenuhnya memiliki wewenang untuk
mengatur dan mengambil keputusan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kegiatan pariwisata.
Bagi lembaga swadaya masyarakat/kelompok swadaya masyarakat,
kegiatan pariwisata yang berlangsung saat ini belum sepenuhnya (+/-) memenuhi
kepentingan mereka sebagai kelompok/lembaga yang memperjuangkan
perlindungan terhadap potensi sumberdaya alam dan budaya, serta perbaikan
lingkungan. Menurut mereka, konsep pengelolaan pariwisata yang ada selama
ini masih belum memberikan peran yang luas bagi semua stakeholder untuk
banyak berperan, termasuk lembaga/kelompok swadaya masyarakat sebagai
kelompok yang berupaya untuk memediasi peran masyarakat dalam setiap proses
pengembangan pariwisata. Demikian pula halnya dengan lembaga masyarakat
lokal yang terdapat di wilayah penelitian. Seluruh lembaga masyarakat lokal
tersebut, seperti terlihat pada tabel diatas menyatakan bahwa kepentingan-
kepentingan mereka belum terpenuhi (-) melalui kegiatan pariwisata yang
97
berlangsung saat ini. Hal ini terjadi karena dalam proses pengembangan
pariwisata belum menempatkan masyarakat lokal dan kelembagaan yang terdapat
didalam masyarakat sebagai subyek, tetapi masih diposisikan sebagai obyek
dalam setiap proses pengembangan pariwisata. Padahal keberhasilan kegiatan
pengelolaan sumberdaya alam, dimana pariwisata sebagai salahsatu bentuk
pemanfaatan tersebut, sangat ditentukan oleh keterlibatan masyarakat (Damanik
dan Weber, 2006) dan institusi lokal (Uphoff, 1987 dalam Brandon, 1993 ;
Rasmunsen dan Meinzen-Dick, 1995 ; Selman, 2001 ; Damanik dan Weber,
2006) yang terdapat didalamnya.
Meskipun secara eksplisit terlihat bahwa terdapat perbedaan kepentingan
pada masing-masing kelompok stakeholder tersebut, namun sebenarnya terdapat
kaitan yang sangat erat antar masing-masing kepentingan yang berbeda tersebut
jika dikaitkan dengan upaya pengembangan kegiatan pariwisata. Kepentingan
pengusaha pariwisata dalam upaya meningkatkan jumlah wisatawan dapat
memberikan peluang bagi masyarakat untuk meningkatkan pendapatan melalui
keikutsertaan dalam kegiatan usaha penunjang pariwisata, memberikan pengaruh
terhadap peningkatan jumlah pemasukan dari retribusi usaha pariwisata bagi
pemerintah, serta hubungan-hubungan atar kepentingan stakeholder yang lainnya.
Tetapi disisi lain, peluang untuk terjadinya benturan antar kepentingan
berbagai stakeholder tersebut juga memungkinkan terjadi. Sebagai contoh
misalnya, pengembangan usaha yang dilakukan oleh pengusaha pariwisata dapat
pula menjadi masalah bagi masyarakat lokal, jika upaya pengembangan usaha
tersebut lebih dititik beratkan pada ekspansi usaha ke wilayah usaha yang selama
ini dapat dilakukan oleh masyarakat. Pengalaman yang terjadi di Tanjungkarang,
berdasarkan informasi masyarakat, pada tahun 1990an pengusaha yang memiliki
penginapan dan cottage masih membagi peran dengan masyarakat lokal dalam
pelayanan kepada wisatawan. Saat itu pihak pengusaha hanya menyediakan
penginapan, sementara untuk pelayanan konsumsi diserahkan kepada masyarakat
dibawah pengawasan pengusaha terutama yang berkaitan dengan kebersihannya.
Namun, peran tersebut sejak beberapa tahun terakhir tidak lagi dimiliki oleh
masyarakat lokal. Disamping dapat menggeser peran masyarakat lokal,
pengembangan usaha yang dilakukan oleh pengusaha pariwisata dapat pula
98
mengurangi atau bahkan menghilangkan akses masyarakat terhadap sumberdaya
alam, dan mengancam hak kepemilikan masyarakat, seperti yang menjadi
kekhawatiran mereka selama ini.
Berkaitan dengan keadaan yang diuraikan dimuka, maka analisis terhadap
kepentingan dan pengaruh masing-masing stakeholder terhadap kegiatan
pariwisata berbasis masyarakat sangat diperlukan untuk memberi arahan bagi
pengembangan peran masing-masing stakeholder tersebut. Hal ini merupakan
bagian yang sangat penting didalam memulai proses pengelolaan pariwisata
berbasis masyarakat, seperti yang digambarkan pada skema pengelolaan (Gambar
9), terutama pada tahapan pertama dari proses pengelolaan. Oleh karena itu,
penguraian peran masyarakat dan berbagai stakeholder lainnya secara detail baru
dapat dilakukan setelah semua pihak tersebut melakukan penggalian (assessment)
secara bersama-sama pada tahapan tersebut.
87
Pengembangan pengetahuan dan kesadaran tentang pariwisata ramah
lingkunganMengidentifikasi elemen-elemen penting untuk penyusunan pedoman dan aturan
pelaksanaan pariwisata berbasis masyarakat
Mengidentifikasi hubungan antar stakeholder
Iventarisasi peran, pengalaman, perhatian, dan
harapan masing-masing stakeholder, serta hal-hal yang berkaitan dengan pengembangan produk
Prengembangan program
dan produk wisata
Pengembangan infrastruktur dan
pelayanan wisata
Pengembangan mekanisme
dan aturan pengelolaan
Produk wisata, pelayanan
wisata dan implementasi
program
Kesiapan sistem dan
mekanisme pengelolaan
serta evaluasi hasil
1
TAHAP
ASSESSMENT DAN
PENGORGANISASIAN
MASYARAKAT
2
PERENCANAAN
DAN PERSIAPAN
3
TAHAP
PELASANAAN
DAN
PENDAMPINGAN
4
TAHAP
MONITORING
DAN EVALUASI
Publikasi dan
pemasaran
Inventarisasi sumberdaya pariwisata
Dalam konteks pengembangan masyarakat dan
wilayah yang luas
Dukungan
kebijakan
Pemda
Jaringan
kerjasama dan
kemitraan
Pendidikan dan
pelatihan
Bantuan
pendanaan
Penelitian dan
pengembangan
Gambar 9. Skema konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi
(Diadaptasi dari Pinel, 1999)