Download - Wina Pung Skripsi STh
MEMBANGUN SOLIDARITAS KEMANUSIAAN
Tantang Jawab GBKP Runggun Yogyakarta dan Runggun
Surabaya Terhadap Solidaritas Kemanusiaan dalam
Menghadapi Bencana Alam dan Implikasinya bagi GBKP
Oleh
Wina Citra Sembiring
231.2758
SKRIPSI SARJANA THEOLOGI
SEKOLAH TINGGI TEOLOGI INDONESIA BAGIAN TIMUR
MAKASSAR
2008
i
HALAMAN PERSEMBAHAN
Banyaklah yang telah Kaulakukan, ya TUHAN, Allahku,
perbuatan-MU yang ajaib dan
maksud-Mu untuk kami.
Tidak ada yang dapat disejajarkan dengan Engkau!
Aku mau memberitakan dan mengatakannya,
tetapi
terlalu besar jumlahnya untuk dihitung.
(Mazmur 40 : 6)
Pujian bagi Allah yang Solider kepada Manusia dalam Yesus
Kristus
Hasil perjuangan dan pergumulan Teologi ini penulis
persembahkan kepada:
Lembaga STT INTIM Makassar dan GBKP
Bapak (Pt.B.Sembiring Kembaren) dan Mamak (I.Br Barus)
Dan kepada saudara-saudariku
Doris Haryadi Kembaren, Evaliata Br Kembaren dan Delfer
Septianus Kembaren
ii
dalam setiap tetesan darah, air mata dan keringat, doa,
pengharapan, kesabaran dan ketulusan serta setiap kata
yang selalu memberi motifasi.
IMANUEL
DALAM DUNIA TERANG KRISTUS BERSINAR
SERTIFIKAT UJIAN SKRIPSI
Semua yang bertandatangan di bawah ini, menerangkan bahwa Skripsi Sarjana Teologi
dengan judul:
MEMBANGUN SOLIDARITAS KEMANUSIAAN
“Tantang Jawab GBKP Runggun Yogyakarta dan Runggun
Surabaya Terhadap Solidaritas Kemanusiaan dalam
Menghadapi Bencana Alam dan Implikasinya bagi GBKP”
( xii + 78 halaman )
Dipersiapkan oleh : Wina Citra Sembiring
No. Stb : 231.2758
Utusan : Gereja Batak Karo Protestan
Jurusan : S-1 Teologi
telah dipertahankan oleh penulisnya di hadapan para Penguji dan Panitia Ujian Skripsi STT
INTIM Makassar pada tanggal 20 Agustus 2008, dan dinyatakan LULUS dengan nilai A.
Makassar, 4 September 2008
Penguji I : Pdt. Leonard P. Hutapea, M.Th ......................................
iii
Penguji II : Pdt. Resty Arnawa Tehupeuyori, M.Th ......................................
Ketua Panitia Ujian : Pdt. Nitis Putra Harsono, M.Th ......................................
Dosen Pembimbing : Pdt. Dr. Yusuf G. Mangumban ......................................
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Ungkapan syukur kepada Allah dalam Yesus Kristus, yang karena kasih-Nya
memberi kesempatan bagi penulis untuk melihat dunia dengan menjalani dan mengisi
hidup ini dengan karya dan karsa. Akhirnya, tulisan tentang bagaimana kita membangun
solidaritas kepada sesama korban bencana alam ini, berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan di Runggun Yogyakarta dan Runggun Surabaya selesai juga tepat waktunya.
Anugerah-Nya telah memampukan penulis menyelesaikan skripsi ini dengan penuh
keyakinan sekalipun harus jatuh bangun. Perkenanan-Nya jugalah kiranya untuk penulis
memasuki babak yang baru.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah
mendukung selama proses pendidikan dan penulisan yang cukup berat, baik secara moril
maupun material:
1. Pdt. DR. Yusuf G. Mangumban, sebagai dosen pembimbing yang telah rela
memberikan waktu dan pikiran untuk berdiskusi serta dengan sabar
membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak dan Mamak yang menjadi tempat mengadu, dalam kesederhanaan dan
pengharapan tidak mengenal lelah dan penuh kasih selalu memberikan yang
terbaik. Bapak dan mamak adalah kebanggaanku dan orang tua terbaik!
3. Abang Tua dan Eda serta keponakanku Joa, Kakak Eva dan abang, dan
adekku Delfer yang telah menjadi saudara dan selalu berusaha untuk
memahamiku. Terimakasih untuk setiap canda-tawa bahkan air mata dalam
keharmonisan. Aku sangat menyayangi kalian!
v
Seluruh keluarga besar yang selalu mendukung dan memotifasiku, Nenek
Ribu, Bibik dan Bapak, Bibi dan Kila, bujur melala!. Seluruh adekku,
lakukan yang terbaik!
4. Pimpinan STT INTIM Makassar, Yayasan dan segenap Dewan Dosen yang
telah membantu dan memberi sumbangan intelektual untuk mempersiapkan
penulis berkarya. Kepada Pegawai STT INTIM Makassar, untuk semua
bantuannya dalam mendukung kebutuhan akademik.
5. UPAM STT INTIM Makassar, yang memberi ruang lebih dari 3 tahun
menjalani hidup dan studi di Makassar. Teman-teman Aspura dan Aspuri,
dalam persaudaraan dan persekutuan bersama menjalani hidup yang penuh
dengan dinamika.
6. Moderamen GBKP, yang telah merekomendasikan dan memberikan beasiswa
prestasi bagi penulis untuk melanjutkan studi di lembaga STT INTIM
Makassar.
7. Pdt. Marthen Manggeng, MT.h dan Pdt. Markus Lolo, MT.h, sebagai
penasehat akademik bagi penulis selama berada di lembaga ini. Terimakasih
untuk semua nasehat dan masukan yang diberikan bagi penulis.
8. Pdt. I Nyoman Murah, MT.h dan ibu, sebagai orang tua wali mahasiswa
utusan GBKP atas pengarahan dan motifasi yang diberikan.
9. GTM Moria Makassar, GBKP Rg Bahorok dan Keluarga Ng. Sembiring,
GKSB Jemaat Tamesassang – Sul - Bar dan GBKP Perpulugen Makassar
dan warga jemaat sebagai orang tua dan saudara, yang telah menjadi wadah
untuk belajar melayani dan mengenal jemaat.
vi
10. GBKP Rg. Yogyakarta dan Rg. Surabaya yang telah menerima kehadiran
penulis melakukan penelitian dan juga telah banyak memberi bantuan tenaga
dan pikiran. Pdt. Sabar Sembiring Brahmana dan keluarga dan Dkn. Bani
Israel Karo-karo dan keluarga, serta Asna Wati br Ginting yang telah
menyediakan tempat dan sarana selama penelitian.
11. Immanuel Antonius Mabilehi, aku bersyukur kepada Allahku setiap kali aku
mengingat kamu. Terimakasih untuk kesetiaan dan kesabaran mendengar segala
keluh kesahku dan untuk setiap motifasi yang membangkitkan semangat dan
percaya diri.
12. Sahabat-sahabatku dari Bumi Turang: Maifrina V br Barus, S.Th dan
Vic.Abadi Ginting (Inong jagalah hati dan kami tunggu undangannya!), Wanti
Emteta br Depari, S.Th dan Adris (Cure kapan di Ginting kan implta ena?),
Natalea A Br Tarigan, S.Th dan Jeremia ( Lepor segala sesuatu indah pada
waktunya!) , Ria Angelia br Sitepu, S.Th dan ......... (Rimo aku bingung yang
mana....!!! ), Magdalena S.N br Depari, S.Th (Ipeh yang manakah sebenarnya
lelaki misterius itu?), Erlayas Monica br Tarigan, S.Th(Katruk jangan terus
menjadi“ropah” sejati, ini jaman reformasi ces!), terimakasih untuk
persahabatan yang selalu diwarnai dengan canda, tawa dan ketersinggungan
yang membangun. Florentina br Meliala (sabar menunggu Lencang, masih
banyak waktu dan kesempatan!) jangan patah semangat, maju terus dan masih
banyak hal yang jauh lebih penting untuk dipikirkan dari pada “hal-hal” sepele
yang tidak bermanfaat. Kami tunggu di bumi turang!!!!
13. “Senina ras Turang dari Tanah Karo si Malem”, Elia dan Kak Deky
(terimakasih untuk seperangkat komputer yang sangat mendukung penulisan
vii
skripsi ini. Tetap semangat, lakukan yang terbaik karena jodoh takkan lari
kemana..!!??), Oktoria dan Vic. Romi P, Elba dan Ayen, Jerry, Pita dan Frans
P, Diana dan Andri, Dona dan Renji, Anita dan......., Carilon, Yoan dan........,
Erma dan......., Kiki, Nopa dan......, Imanuel dan Bayu dan ????? atas
persaudaraan di tanah rantau dalam suka dan duka. Imanuel Sembiring, Eben
Ginting, Christin, Amenda dan Elsa, lakukan dan berikan yang terbaik!!!!!
14. Kakak-kakak yang selalu menjadi teman suka dan duka serta telah
menggoreskan kenangan yang tak terlupakan, Vic.Sri Pinta Br Ginting, Vic.
Marina Br Ginting, Vic.Imelda Elfera Br Sembiring, Mirawati Br Tarigan, STh,
Pdt. Chrismas Ginting, Pdt.Hermawati Br Bukit, Pdt.Beni Antoni Kaban, Pdt.
Erlikasna Br Purba, Vic.Abadi Ginting, Vic.Gresiomala Br Pinem dan
Masyunita Br Surbakti dan Vic.Yosfran. Terimakasih telah menjadi kakak dan
abang di tanah perantauan!
15. Pdt. Berthalina Br Tarigan, M.Th dan Naras, yang bukan hanya menjadi
kakak dan abang tetapi juga menjadi orang tua. Terimakasih untuk setiap
bantuan, nasehat dan motifasi serta kebersamaan yang penuh makna dan
kenangan.
16. Seluruh “Ata-ata “ 2003 dari Sabang sampai Merauke yang tidak sempat
disebutkan namanya tanpa terkecuali. Hamba-hamba-Nya dari GKSB dalam
melakukan PJ 2007. Terimakasih untuk persaudaraan yang telah terbina dalam
perjuangan hidup dan masa depan di Kampus Unggu tercinta!
17. Perpustakaan UKDW Yogyakarta dan mahasiswa UKDW Yogyakarta
utusan GBKP yang telah memberi fasilitas dan membantu penulis dalam
mengumpulkan data.
viii
18. Aswin S.Th, dan Bevy Joseph S.Th, yang selalu memberi masukan dan
meluangkan waktu berdiskusi (jangan bosan-bosan ya!). Kristin Hutubesy, S,Th
dan teman –teman yang tergabung dalam kelompok PA kecil, telah menjadi
tempat penulis bertukar pikiran.
19. Kakak, teman dan adek kamar, Yeti GMIT, Debora GT, Sarah Gepsultra,
Marlina GT, Marlin Gepsultra, Ayu GMIT, Yuhelsin GMIT, dan Meylani
GKLB, terimakasih atas persaudaraan yang saling berbagi dalam satu ruangan
6 x 6 aspuri.
20. GMKI cabang Makassar dan Komisariat STT Intim, yang telah menjadi tempat
belajar. UT OMNES UNUM SINT!
Kepada semua pihak yang telah berperan membantu penulis dalam mencari dan
memahami arti hidup.
Akhirnya, walaupun jauh dari kesempurnaan tulisan ini kiranya dapat menjadi
sebuah ajakan solider, untuk menciptakan kehidupan yang damai sejahtera.
IN CHRISTO LUX MUNDI CRESCIT
Hari Kemerdekaan RI 2008
Penulis
ix
ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji solidaritas kemanusiaan GBKP Runggun
Yogyakarta dan Runggun Surabaya dalam menghadapi bencana alam. Bencana alam, yang
terjadi beberapa tahun terakhir ini telah menyebabkan krisis multidimensi bagi kehidupan
manusia. Dalam hal ini, banyak orang masih terpusat pada teologi hukuman sebagai
penyebab bencana. Manusia kadang-kadang terlalu “asik” mencari “kambing hitam”
sehingga lupa membuka mata, telinga dan hati terhadap rintihan sesamanya.
Realitas ini membutuhkan solidaritas setiap orang. Solidaritas adalah kata lain
untuk cinta kasih yang mengerakkan hati, pikiran, tangan, kaki, dan pengorbanan apa yang
kita miliki terhadap penderitaan orang lain. Allah adalah kasih. Allah ada dalam solidaritas.
Allah adalah solidaritas itu sendiri. Di mana ada solidaritas maka disanalah Allah ada,
menyatakan diri-Nya. Setiap orang harus solider dengan mereka yang menjadi sasaran
keprihatinan dan keberpihakan Yesus, tanpa dibatasi oleh apapun. Sebab kenyataannya
solidaritas masyarakat masih kuat dipengaruhi oleh latar belakang SARA, tidak terkecuali
orang-orang Kristen.
Solidaritas mengajak semua pihak tanpa batas membangun usaha bersama dan
berbuat sesuatu untuk membangkitkan kembali semangat dan harapan hidup. Solidaritas
adalah wujud iman yang terungkap melalui tindakan kasih dan pengorbanan serta berbagi
rasa dan keprihatinan. Dalam solidaritas itulah kasih Allah dinyatakan dan kehadiran-Nya
dapat dirasakan. Sebagai gereja, GBKP terpanggil ikut bertanggung jawab untuk
menghadirkan syalom Allah. Menjadi garam dan terang dunia. GBKP terpanggil bersikap
solider dalam tindakan nyata yang membebaskan dan memberdayakan. Sebab setiap
perbuatan yang dilakukan terhadap sesama yang menderita, sesungguhnya diperbuat
kepada Allah sendiri.
x
DAFTAR ISI
Halaman Judul................................................................................................................. i
Halaman Persembahan..................................................................................................... ii
Sertifikat Ujian Skripsi.................................................................................................... iii
Ucapan Terima Kasih...................................................................................................... iv
Abstrak............................................................................................................................. ix
Daftar Isi.......................................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Permasalahan.............................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah............................................................................. 5
1.3 Tujuan Penulisan.................................................................................. 5
1.4 Metode Penelitian................................................................................. 6
1.5 Sistematika Penulisan........................................................................... 7
BAB II SOLIDARITAS KEMANUSIAAN JEMAAT GBKP RUNGGUN
YOGYAKARTA DAN RUNGGUN SURABAYA.................................... 9
2.1 Solidaritas Kemanusiaan...................................................................... 9
2.1.1 Definisi Solidaritas Kemanusiaan.............................................. 9
2.1.2 Perkembangan Solidaritas......................................................... 10
2.2 Bencana Alam...................................................................................... 12
2.2.1 Definisi Bencana Alam.............................................................. 12
2.2.2 Penggolongan Bencana Alam.................................................... 14
2.3 Gambaran Umum Jemaat Lokasi Penelitian........................................ 14
2.3.1 GBKP Runggun Yogyakarta..................................................... 15
2.3.2 GBKP Runggun Surabaya......................................................... 15
xi
2.4 Hasil Penelitian: Pandangan dan Bentuk Solidaritas Jemaat
terhadap Bencana Alam....................................................................... 16
2.4.1 Data Responden......................................................................... 17
2.4.2 Pemahaman Jemaat tentang Bencana Alam.............................. 20
2.4.3 Pemahaman dan Bentuk Solidaritas Jemaat Terhadap Korban
Bencana Alan............................................................................. 26
2.5 Rangkuman.......................................................................................... 33
BAB III ANALISA TERHADAP SOLIDARITAS KEMANUSIAAN
JEMAAT GBKP RUNGUN YOGYAKARTA DAN RUNGUN
SURABAYA.................................................................................................. 34
........................................................................................................................
3.1 Faktor Pendidikan................................................................................ 34
3.2 Faktor Sosial-Ekonomi......................................................................... 37
3.3 Faktor Budaya...................................................................................... 39
3.4 Sistem Manajemen Organisasi Gereja................................................. 41
3.5 Faktor Tradisi dan Ajaran Gereja......................................................... 43
3.5.1 Dampak dari Pemahaman Bencana Alam sebagai
Hukuman Allah.......................................................................... 44
BAB IV SOLIDARITAS KEMANUSIAAN SEBAGAI WUJUD
TANGGUNG JAWAB GEREJA: Refleksi Sosio-Teologis terhadap
Peran GBKP................................................................................................... 48
4.1 Mengurai Bencana Alam, Membangun Harapan................................. 48
4.1.1Bencana Alam: Perspektif Alkitabiah.......................................... 49
xii
4.1.2Berdiri diatas Dasar yang Guncang: Sikap terhadap
Bencana Alam............................................................................ 50
4.2 Membangun Solidaritas Kemanusiaan................................................. 54
4.2.1Solidaritas Kemanusiaan: Perspektif Alkitabiah.......................... 55
4.2.2Panggilan Dan Pengutusan Gereja............................................... 58
4.3 Membangun Komunitas GBKP: Belajar Dari Orang Samaria
Yang Baik Hati..................................................................................... 59
4.3.1Sikap dan Tindakan GBKP:“ Inilah aku, utuslah aku! “............ 60
4.3.2GBKP yang Solider: Tindakan yang Membebaskan dan
Memberdayakan........................................................................ 61
4.3.3Budaya Karo sebagai Media Solidaritas: “Rakut Sitelu” ........... 63
4.3.4Tindakan GBKP: Tindakan Jangka Panjang dan Jangka
Pendek........................................................................................ 65
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan.......................................................................................... 67
5.2 Saran..................................................................................................... 69
KEPUSTAKAAN........................................................................................................... 71
LAMPIRAN 1................................................................................................................ 74
BIODATA....................................................................................................................... 78
PERNYATAAN PENYERAHAN SKRIPSI............................................................... 79
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Permasalahan
Masyarakat kita Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir tidak henti-hentinya
dilanda penderitaan. Belum juga berhasil keluar dari krisis multi-dimensi yang melanda
negara kita sejak tahun 1997, lagi-lagi dihantam oleh berbagai bencana alam. Hanya
sedikit negara yang pernah mengalami bencana alam dengan jumlah dan intensitas seperti
yang dialami Indonesia, khususnya dalam beberapa tahun terakhir ini. Bencana-bencana
alam tersebut di antaranya:1
Tsunami Aceh dan pulau Nias, terjadi pada tanggal 26 Desember 2004. Dalam
peristiwa ini telah menewaskan lebih dari 126.000 jiwa.
Gempa Bumi di Alor, terjadi pada tanggal 12 November 2004. Peristiwa ini telah
menewaskan 33 orang, luka ringan 147 orang, luka berat 163 orang dan total
kerugian Rp 191,05 Miliar.
Gempa bumi di Yogyakarta, terjadi pada tanggal 27 Mei 2006. Dalam peristiwa ini,
sekurang-kurangnya 6.241 orang meninggal.
Gelombang besar yang melanda pantai Pangandaran, terjadi pada tanggal 17 Juli 2006.
Peristiwa ini telah menelan korban jiwa 653 orang.
Banjir dan tanah longsor di Sulawesi Selatan, terjadi pada tanggal 20 Juni 2006. Dalam
peristiwa ini telah menelan korban jiwa sebanyak 214 orang, korban hilang 64
1 Andre Vitchek, http : // pic – brr.blogspot.com/2007/03/bencana alam atau pembunuhan masal. Html,download tanggal 22 Oktober 2007.
1
orang, korban mengungsi 6.099 orang dan dengan total kerugian sebesar Rp 460,35
Miliar.
Banjir Lumpur di Sidoarjo, telah menyebabkan lebih dari 10.000 orang menjadi
pengungsi dan merendam lebih dari 1.000 area tanah dengan lumpur panas.
Dan berbagai bencana alam di berbagai daerah lainnya.
Sampai sekarang kita masih terus mengalami dampak dari bencana dahsyat di atas,
bukan saja berupa kehancuran fisik dan kehilangan ribuan nyawa tetapi juga trauma
psikologis yang membutuhkan penangulangan secara serius
Sejak Desember 2004, Indonesia telah kehilangan sekitar 200 ribu orang rakyatnya dalam
berbagai bencana alam dan jumlah korban material yang sangat besar.
Banyak pendapat bermunculan tentang penyebab bencana alam ini, seiring dengan
seringnya bencana alam terjadi. Ada yang berpendapat bahwa, bencana alam yang terjadi
sebagai hukuman Tuhan atas kesalahan dan dosa manusia. Manusia dipandang sudah jauh
dari jalan dan kehendak Tuhan. Ada yang berpendapat, bencana tersebut sebagai cobaan
Tuhan kepada umat-Nya. Ada juga yang berpendapat bahwa, bencana tersebut terjadi
sebagai suatu proses alamiah. Ada juga yang berpendapat bahwa bencana ini terjadi karena
kesalahan manusia sendiri yang telah mengeksploitasi alam secara besar-besaran tanpa
terkendali dan tidak memperhatikan kelestarian alam.
Peristiwa bencana alam, telah melanda tanah air tanpa memandang bulu, bukan
hanya melanda orang-orang yang berkeyakinan, suku, ras atau golongan tertentu saja.
Dalam situasi seperti ini, agama dinilai memiliki peran yang sangat penting dalam kaitan
untuk mendukung dan menolong umatnya keluar dari penderitaan. Di dalam penderitaan
dan hilangnya harapan inilah mestinya gereja hadir menjalankan fungsi profertis nya
dengan menyatakan kepedulian dan solidaritasnya. Ikut merasakan dan mengambil bagian
2
di dalam penderitaan mereka yang menjadi korban. Tetapi pada kenyataanya jawaban
institusi keagamaan, khususnya gereja selama ini dinilai tidak menyentuh pergumulan
umat atau bahkan dianggap mengecewakan. Realitas tersebut senada dengan apa yang
diungkapkan oleh Tim Penyunting buku Teologi Bencana: Pergumulan Iman dalam
Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial, bahwa ada suatu indikasi beberapa pemimpin
gereja dinilai kurang memberi perhatian (misalnya dengan alasan bahwa “ itu bukan
anggota jemaat dan gereja kita”), dan kurangnya aksi praksis pastoral dalam mendampingi
dan memberdayakan mereka yang telah mengalami trauma. Selama ini gereja dinilai
“menenangkan” umatnya dengan sebuah “teologi instan”, yang memandang bahwa
bencana adalah ujian, cobaan dan hukuman Tuhan bukan melakukan aksi solidaritas yang
membangkitkan.2
Dalam kaitan dengan ini, Gereja Batak Karo Protestan ( dalam bab-bab selanjutnya
akan disingkat dengan GBKP) sebagai institusi gereja di Indonesia, secara sadar
menemukan dirinya berada dalam situasi bencana ini. GBKP berada di tengah-tengah
mereka yang menjadi korban yang mengalami penderitaan, kehilangan dan keputusasaan.
Beberapa bencana alam yang telah terjadi secara langsung ikut mempengaruhi keberadaan
GBKP, diantaranya Tsunami Aceh dan Nias yang berbatasan langsung dengan pusat
GBKP, bencana alam di Yogyakarta, Lampung dan lumpur Lapindo di Sidoarjo.
Bagaimana GBKP dalam menyikapi situasi ini? Apa yang sudah dilakukan GBKP sebagai
bagian integral dari masyarakat? Apakah bantuan yang diberikan oleh GBKP selama ini
dapat memberdayakan mereka yang menjadi korban? Bagaimana gereja memposisikan diri
agar bisa ber-empati dan mengupayakan kehidupan yang penuh harapan. Situasi ini
menjadi suatu tantangan dan sekaligus juga menjadi tanggung jawab GBKP agar mampu
2 Bdk.Tim Penyunting OASE INTIM: “Pendahuluan” dalam Ati Hildebrandt Rambe, dkk. (ed.), Teologi Bencana: Pergumulan Imam dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial, Makassar: Oase Intim, 2006, hal. 12-13
3
menjawab pergumulan hidup jemaat dan masyarakat sesuai dengan visi dan misi GBKP.3
Dalam tulisan ini penulis akan mengkaji permasalahan ini, secara Sosio-Teologis, karena
masalah bencana ini merupakan masalah sosial yang menyangkut kehidupan masyarakat
luas. Solidaritas kemanusiaan yang coba dikaji di sini bukanlah sekedar solidaritas sosial
dalam pengertian derma belaka, tetapi lebih dari pada itu dalam pengertian solidaritas
Kristiani yang sesungguhnya yaitu berdasarkan kasih. Bukan saatnya untuk mencari
“kambing hitam” siapa yang benar atau siapa yang salah dan bukan juga sekedar “perasaan
kasihan” tanpa tindakan yang nyata membebaskan mereka dari penderitaan dan
keterpurukan, tetapi yang dibutuhkan adalah solidaritas kemanusiaaan yang aktif.
Berangkat dari pergumulan ini, penulis termotivasi untuk menggali lebih jauh,
bagaimana jemaat GBKP memahami bencana alam, kesadarannya dalam menyatakan
solidaritas kemanusiaan dan bagaimana upaya yang telah dilakukan GBKP dalam
menghadapi bencana alam kedepan, mengingat bahwa negara kita adalah wilayah yang
rawan akan terjadinya bencana alam. Di sini, GBKP diharapkan mampu membangun
pemahaman warga jemaat akan pentingnya partisipasi umat dalam menghadapi bencana
alam, bukan membuat gereja terkurung dalam pemahaman yang sempit tentang “siapakah
3 Visi GBKP adalah Hidup Setia Kepada Tuhan dan Misi GBKP terdiri dari 5 pokok yakni: a. Meningkatkan Peribadatan/Spiritualitas; b. Menghargai Kemanusiaan; c. Melakukan keadilan, kebenaran, kejujuran dan kasih;d. Mewujudkan warga yang dapat dipercaya; e. Meningkatkan perekonomian jemaat. Dan prioritas program yang disusun dari tahun 2006-2010 yakni: Tahun 2006: Sumber Daya Manusia (SDM) Tahun 2007 : KoinoniaTahun 2008 : Marturia Tahun 2009 : Diakonia Tahun 2010 : Kemandirian DanaVisi dan misi maupun prioritas program ini berdasarkan “Garis Besar Pelayanan GBKP 2005-5010 “
disusun dan ditetapkan pada Sidang Sinode GBKP ke-33, pada tanggal 10-17 April tahun 2005 di Retreat Center GBKP Suka Makmur, visi dan misi ini masih tetap sama dengan visi dan misi GBKP pada tahun 2000-2005.
4
sesamaku”. Bagaimana kehadiran GBKP mampu menjadi “garam” dan “terang” bagi
sesamanya.
Hal tersebut yang mendorong minat penulis untuk menulis skripsi ini dengan judul:
MEMBANGUN SOLIDARITAS KEMANUSIAAN dengan sub judul: Tantang Jawab
GBKP Runggun Yogyakarta dan Runggun Surabaya Terhadap Solidaritas
Kemanusiaan dalam Menghadapi Bencana Alam dan Implikasinya bagi GBKP.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan, maka penulis
akan merumuskan masalah-masalah yang merupakan pokok kajian karya tulis ilmiah ini
dalam tiga pertanyaan, yakni:
1. Bagaimana pandangan jemaat GBKP Runggun Yogyakarta dan Surabaya terhadap
bencana alam?
2. Bagaimana solidaritas kemanusiaan pada saat dan sesudah bencana terjadi?
3. Bagaimana pandangan Teologis terhadap solidaritas kemanusiaan?
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk:
1. Menguraikan pandangan jemaat GBKP Runggun Yogyakarta dan Surabaya
terhadap bencana alam.
2. Memaparkan solidaritas kemanusiaan pada saat dan sesudah bencana terjadi.
3. Menguraikan pandangan Teologis terhadap solidaritas kemanusiaan.
5
1.4 Metode Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian lapangan dilaksanakan di Gereja Batak Karo Protestan (GBKP)
Runggun Yogyakarta, sebagai salah satu kota yang pernah dilanda bencana alam dan telah
menelan korban jiwa dan material yang begitu banyak dan Runggun Surabaya yang dekat
dengan wilayah-wilayah yang terkena bencana alam. Wawancara dilakukan terhadap
jemaat dan pimpinan gereja GBKP Yogyakarta dan Surabaya.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dan kualitatif.
Penelitian kuantitatif adalah penelitian yang dilaksanakan dengan cara mengumpulkan
sumber-sumber yang dibutuhkan di lapangan. Penelitian kualitataif adalah penelitian yang
dilaksanakan dengan cara membaca literatur-literatur yang berhubungan dengan pokok
kajian.
3. Jenis Data
a) Primer: data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan, melalui wawancara dan
Kuisoner dengan jemaat setempat.
b) Sekunder: data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan dengan membaca
literatur-literatur yang berhubungan dengan pokok kajian.
4. Teknik Pengumpula Data
a) Melalui wawancara terhadap orang-orang yang terlibat langsung dengan masalah
tersebut.
b) Observasi partisipatif, yakni melakukan pengamatan langsung dan memberikan
penilaian terhadap masalah tersebut.
c) Menjalankan angket.
6
5. Sumber Data
a) Populasi: yang menjadi populasi penelitian adalah seluruh jemaat GBKP
Yogyakarta dan Surabaya
b) Sampel: yang menjadi sampel penelitian adalah beberapa dari jemaat dan
pimpinan gereja GBKP Yogyakarta dan Surabaya.
6. Tehnik Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan melalui pemberian penjelasan secara luas dan
mendalam, kemudian data yang diperoleh diolah secara kualitatif.
1.5 Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulisan dalam menyelesaikan skripsi ini, tulisan ini dibagi
ke dalam lima bagian dengan urutan pembagiannya sebagai berikut:
Bab I berisi tentang latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan
penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
Bab II, berisi tentang definisi solidaritas kemanusiaan dan definisi bencana alam.
Dalam bab ini digambarkan secara umum jemaat lokasi penelitian, memaparkan tentang
pemahaman warga jemaat terhadap bencana alam dan wujud solidaritas warga jemaat
terhadap korban bencana alam. Pertama-tama dikemukakan pemahaman warga jemaat
terhadap bencana alam dan selanjutnya akan dipaparkan juga kenyataan, bagaimana
solidaritas jemaat terhadap korban bencana alam pada saat dan sesudah bencana terjadi.
Bab III, berisi tentang analisa terhadap hasil penelitian tentang bencana alam dan
wujud solidaritas kemanusiaan. Di sini penulis menganalisa hasil penelitian terhadap
pemahaman bencana alam dan realitas wujud solidaritas kemanusiaan serta implikasi
sosiologis yang menyertainya.
7
Bab IV, berisi tentang bagaimana membangun Solidaritas Kemanusian, serta
refleksi Sosio-Teologis terhadap peran GBKP. Selanjutnya juga membahas bencana alam
yang ditinjau dari perspektif alkitab sebagai respon terhadap tantang jawab GBKP dalam
menghadapi bencana alam.
Bab V, berisi kesimpulan, yang penulis simpulkan berdasarkan pengkajian bab-bab
sebelumnya serta saran-saran bagi jemaat dan masyarakat berupa usulan dan langkah-
langkah konkrit yang akan mendukung GBKP dalam menyikapi tanggung jawabnya.
8
BAB II
PEMAHAMAN SOLIDARITAS KEMANUSIAAN GBKP RUNGGUN
YOGYAKARTA DAN RUNGGUN SURABAYA
Dalam bagian ini berisi tentang definisi bencana alam khususnya dari sudut
pandang ilmu pengetahuan dan definisi solidaritas kemanusiaan. Juga memaparkan
gambaran umum jemaat tempat penelitian dan hasil penelitian pemahaman warga jemaat
tentang bencana alam serta bentuk solidaritas warga jemaat terhadap korban bencana alam.
2.1 Solidaritas Kemanusiaan
Hidup dalam lingkungan masyarakat yang mengalami penderitaan dari berbagai
aspek kehidupan adalah realitas yang kita hadapi di zaman sekarang ini. Dalam situasi ini
dituntut kepekaan dan kepedulian setiap orang untuk mengambil bagian dalam penderitaan
orang lain. Dibutuhkan solidaritas yang menumbuhkan semangat hidup dan tindakan yang
memanusiakan manusia.
Istilah solidaritas kemanusiaan bukanlah hal yang baru dan bahkan sering
digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, bagian ini tetap membahas apa
definisi solidaritas kemanusiaan secara umum dan bagaimana perkembangan solidaritas
yang bertujuan untuk mempermudah kita dalam memahami solidaritas yang dimaksudkan
dalam tulisan ini.
2.1.1 Definisi Solidaritas Kemanusiaan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Solidaritas merupakan kata benda, yang
berarti perasaan solider, sifat saling rasa, perasaan setia kawan. Solider adalah kata sifat
9
yang berarti mempunyai perasaan senasib.4 Sementara, Kemanusian berarti bersifat
manusia.5 Dalam pengertian memiliki sifat-sifat manusia, misalnya: makan, minum, besar
atau kecil, senang atau sedih, kebebasan untuk memilih dan menentukan, memiliki
kehendak, perasaan, kebutuhan dan sifat-sifat lainnya.
A.Heuken SJ, berpendapat bahwa solidaritas berarti semangat setia kawan,
hubungan batin antara anggota satu kelompok masyarakat yang mendorong orang
bertindak demi kesejahteraan bersama.6 Situasi di mana solidaritas untuk mewujudkan
kemanusiaan harus dinyatakan adalah di tengah-tengah masyarakat dengan semua
permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Dengan kata lain, solidaritas berarti suatu
tindakan menjadi sesama bagi orang lain. Setiap orang dituntut untuk berdiri di samping
atau di dekat orang-orang yang mengalami pergumulan, berada bersama mereka dan juga
bergaul bersama dengan mereka, sehingga ikut merasakan apa yang mereka rasakan tanpa
ada diskriminasi baik suku, agama, ras maupun antargolongan seseorang yang
menyertainya. Solidaritas adalah suatu tindakan yang membangkitkan semangat hidup
bukan hanya sekedar perasaan kasihan namun tidak ada tindakan nyata.
2.1.2 Solidaritas Dalam Perspektif Historis
Seperti yang telah disebutkan bahwa, istilah solidaritas kemanusiaan bukanlah
suatu istilah yang baru dikenal. Istilah tersebut sudah dipakai sejak lama. Khususnya,
dalam ruang lingkup gereja, istilah tersebut dipakai untuk menunjuk kepada ajaran sosial
gereja atau yang sering kita kenal dengan istilah diakonia. Hanya saja istilah solidaritas
kemanusiaan ini lebih bersifat umum. Solidaritas atau yang juga sering disebut sebagai
ajaran sosial gereja ini sudah dikenal dan direfleksikan khususnya dalam Gereja Katolik
Roma pada pertenggahan abad ke-19, ketika Leo XIII menjabat sebagai Paus. Tetapi
4 Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Terbaru, Jakarta: Gita Media Press, hlm. 7165 Ibid, hlm. 5156 A.Heuken SJ, Ensiklopedi Politik Pembangunan Pancasila, Jakarta, 1991, hlm. 72
10
awalnya, tujuan keterlibatan sosial gereja ini lebih bersifat politik yaitu untuk mencegah
anggota-anggota gereja masuk dalam gerakan buruh Sosialis-Marxis dan berjuang untuk
menegakkan kembali pengaruh gerejani dalam gerakan para buruh yang makin anti-
Kristen.7 Dengan kata lain, pada awalnya gerakan solidaritas muncul bukan karena adanya
kesadaran dari pihak gereja yang ingin berempati dan berbela rasa serta membebaskan
umat dari penderitaan.
Kemunculan gerakan Solidaritas pada pertengahan abad ke-19 ini dipicu oleh
suatu revolusi industri (yang terhitung mulai dengan penemuan mesin uap tahun 1769)
yang pada akhirnya menyebabkan perubahan drastis dalam hubungan masyarakat. Tidak
semua orang memperoleh keuntungan dari hasil kemajuan ekonomi yang sangat diagung-
agungkan oleh banyak orang. Justru revolusi industri inilah yang mengakibatkan makin
banyaknya masyarakat harus hidup dalam kemiskinan. Kenyataan tersebut menyebabkan
protes seorang filsuf sosial Jerman Karl Marx (1818-1883) pada tahun 1848. Ia mengkritik
agama yang pada saat itu dinilainya bahwa “agama adalah candu rakyat jelata” yang
memberi sekedar keringanan namun tidak merupakan terapi.8 Agama dinilai hanya sebagai
tempat pelarian bukan untuk mengobati atau membebaskan dari penderitaan.
Di sisi lain justru Karl Marx melihat bahwa revolusi industri memiliki kekuatan
yang besar untuk mengadakan perubahan yang besar menuju solidaritas baru yaitu
masyarakat tanpa perbedaan kelas dan penuh kebebasan. Individualisme diatasi dalam
suatu kemanusiaan yang disebutnya “komunisme”.9
7 B. Kieser, SJ, Solidaritas Tahun Ajaran Gereja, Yogyakarta : Kanisius, 1993, hlm.398 Ibid, hlm.489 Ibid, hlm. 48. Komunisme yang dimaksud oleh Karl Marx adalah humanisme sebagai naturalisme
sempurna; adalah naturalisme sebagai humanisme sempurna. Komunisme mengatasi konflik antara manusia dengan alam, dan konflik antara manusia dengan sesama. Diatasi konflik antara eksistensi dan esensi, antara mengungkapkan diri dan mempertahankan diri, antara kebebasan dan keharusan, antara individu dan kebersaman.
11
Ajaran sosial gereja akhirnya benar-benar menjadi sebuah ajaran, yaitu sebagian
dari antropologi kristiani, sejak adanya perdebatan dengan kaum sosialis dan komunis.
Sejak saat itu, ajaran sosial gereja bukan hanya suatu kesimpulan teori atau refleksi atas
permasalahan sosial kaum Kristen saja. Ajaran sosial gereja mengembangkan gambaran
Kristiani mengenai manusia dan panggilannya dengan implikasi sosialnya.10
2.2 Bencana Alam
Meskipun bencana alam merupakan hal yang sudah lumrah bagi kita tetapi untuk
lebih memudahkan dalam memahaminya, maka dalam bagian ini penulis menjelaskan
definisi bencana alam secara umum dan penggolongan dari bencana alam itu sendiri
sehingga kita dapat memahaminya dengan benar.
2.2.1 Definisi Bencana Alam
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bencana alam adalah musibah yang
ditimbulkan oleh gejala alam misalnya gempa bumi, banjir, angin puyuh, dan sebagainya.11
Bencana alam juga dipahami sebagai suatu kombinasi aktivitas alam (suatu
peristiwa fisik, seperti letusan gunung, gempa bumi, tanah longsor, dan banjir) dan
aktivitas manusia yang mengakibatkan terjadinya korban jiwa dan kerugian pada
manusia.12
Menurut Muh.Aris Marfal, yang disebut sebagai bencana alam (natural disaster)
adalah suatu fenomena alam yang telah terjadi dan menimbulkan kerusakan infrastruktur
dan fasilitas kehidupan serta menghilangkan nyawa dan harta benda.13 Bencana alam
10 Ibid, Hlm. 15.11 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op.cit, hlm.12912 http: // id. Wikipedia. Org/ Wiki Bencana Alam – Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia Berbahasa Indonesia, htm, domnload tanggal 9 Februari 2008.13 Muh. Aris Marfal, Moralitas Lingkungan : Refleksi Kritis atas Krisis Lingkungan Berkelanjutan, Yogyakarta : Wahana Hijau 2005, hlm.89.
12
sebagai suatu fenomena alam yang diakibatkan oleh kekuatan-kekuatan alam dan juga
dipengaruhi oleh aktifitas manusia ini terjadi di luar kendali manusia dan merusak tatanan
kehidupan. Umumnya, pasca bencana banyak dampak yang ditimbulkan baik secara
politik, ekonomi maupun sosial, misalnya kelaparan, pengangguran, kehilangan tempat
tinggal, kehilangan sanak saudara, menjalarnya berbagai jenis wabah penyakit dan trauma
(tekanan mental). Bencana ini tidak hanya berdampak bagi manusia saja tetapi juga bagi
keseimbangan alam itu sendiri dan mahluk ciptaan lainnya.
Berdasarkan berbagai definisi yang ada dapat ditemukan karakteristik bencana
alam sebagai berikut:14
1. Adanya kerusakan pada pola-pola kehidupan normal.
2. Merugikan manusia, baik yang berupa kematian, luka, kesengsaraan maupun akibat
negatif pada kesehatan, dan merubah tatanan hidup mahluk yang lain.
3. Merugikan struktur sosial, seperti kerusakan sistem pemerintah, bangunan
komunukasi dan berbagai pelayanan umum utama lainnya.
4. Munculnya kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal atau penampungan,
makanan, pakaian, bantuan kesehatan dan pelayanan sosial.
2.2.2 Penggolongan Bencana Alam
14 Soetarso,” Siklus Penanggulangan Bencana”, Disampaikan pada Raker SATLAK PB seluruh Indonesia di Yogyakarta dan Ujungpandang,1997.
13
Berdasarkan proses terjadinya, maka bencana alam dapat di kelompokkan menjadi
2 bagian yaitu: 15
1. Bencana akibat alam (proses alamiah), adalah yang dikategorikan sebagai sesuatu
“given” dan di luar kuasa dan kendali manusia, yang tidak dapat dihindari
kedatangannya. Bencana alam ini terdiri dari: letusan gunung berapi, banjir lava,
angin topan, gempa bumi dan tsunami.
2. Bencana akibat kombinasi faktor alam dan faktor ulah manusia, bencana yang
mendatangkan kerugian dan penderitaan bagi manusia dan lingkungannya, karena
kecerobohan manusia dan sikap angkuh manusia yang melakukan tindakan
destruktif-eksploitatif alam tanpa batas. Alam hanya dilihat sebagai sumber
pemenuhan dan kepuasan manusia. Bencana yang ditimbulkan antara lain: banjir
dan tanah longsor.
2.3 Gambaran Umum Jemaat Lokasi Penelitian
Mengingat bahwa wilayah pelanyanan GBKP sangat luas dan tidak mungkin untuk
dijangkau secara keseluruhan, maka penulis memilih 2 tempat sebagai objek penelitian.
Ke-2 tempat yang dimaksud adalah Runggun16 Yogyakarta dan Runggun Surabaya. Penulis
memilih ke-2 tempat ini sebagai objek penelitian dengan pertimbangan bahwa Runggun
Yogyakarta berada di pusat kota Yogyakarta sebagai salah satu wilayah yang pernah
dilanda bencana besar pada tanggal 25 Mei 2005 silam dan telah menelan banyak korban
jiwa dan material. Runggun Surabaya sebagai salah satu jemaat GBKP yang dekat dengan
wilayah-wilayah yang terkena bencana alam.
15 Direktur Manajemen Pencegahan dan Penanggulangan Bencana, Direktorat Jenderal Pemerintah Umum Departemen DAlam Negeri, “Peran Polisi Pamong Praja dan Linmas dalam Menghadapi Bencana Alam”, Jakarta 9-11 Mei 2005.16 Istilah Runggun yang digunakan dalam tulisan ini menunjuk kepada Jemaat. Selanjutnya dalam tulisan ini untuk menunjuk kepada suatu jemaat akan tetap mempergunakan istilah runggun.
14
2.3.1 GBKP Runggun Yogyakarta
Runggun Yogyakarta yang beralamat di Jln. Monumen Yogya kembali Nandan
09/39 Sari Harjo, Ngaglik Slemen ini, terdiri dari 23 KK dengan jumlah anggota jemaat
509 orang.17 Anggota jemaat didominasi oleh mahasiswa yang melanjutkan pendidikan di
kota Yogyakarta. Rata-rata jemaat yang hadir setiap hari minggunya adalah sekitar 160-
170 orang. Kondisi ini dipengaruhi karena tidak semuanya mahasiswa yang ada aktif di
GBKP Yogyakarta.18 Majelis Jemaat yang melayani di jemaat ini berjumlah 10 orang, yang
terdiri dari 5 orang Penatua dan 5 orang Diaken, dan 1 orang PKPW (Pelayan Khusus
Penuh Waktu) yakni Pdt. Immanuel Suranta Perangin-angin, S.Th sebagai pendeta jemaat.
Dalam jemaat ini semua organisasi kategorial seperti: Mamre (Kaum Bapak),
Moria (Kaum Ibu), Permata (Kaum Pemuda), KA/KR (Anak-anak dan Remaja), dan Pardis
(orang Tua Lanjut Usia) berjalan dengan baik. Masing-masing organisasi kategorial
memiliki kepengurusan tersendiri yang bertujuan untuk memudahkan semua pelayanan
yang ada. Jemaat Yogyakarta terdiri dari 2 perpulungen/sektor pelayanan yaitu sektor
Utara dan Selatan dan masing-masing sektor juga memiliki pengurus yang bertanggung
jawab terhadap sektor pelayanannya.
2.3.2 GBKP Runggun Surabaya
Runggun Surabaya resmi ditahbiskan menjadi sebuah Runggun beserta dengan
gedung gerejanya pada tanggal 16 November 1997, tetapi gedung gereja tersebut sudah
dipergunakan sejak tanggal 25 Desember 1984. Gereja yang beralamat di Jln. Hr
Muhammad 275 Kav.411 RT.III/ RW.1 Pradah Kali Kedal ini berada dalam wilayah
pelayanan Klasis Jakarta-Bandung.
17 Berdasarkan Data Statistik Warga Jemaat GBKP Runggun Yogyakarta tahun 200718 Madison Ginting (Ketua Majelis GBKP Yogyakarta), Wawancara Penulis Tanggal 13 Januari 2008, di Yogyakarta.
15
Runggun Surabaya ini berjumlah 90 KK (Sektor I = 30 KK, Sektor II =42 KK dan
Sektor III = 18 KK).19 Majelis jemaat yang melayani berjumlah 19 orang, yang terdiri dari:
8 orang Penatua, 8 orang Diaken, 2 orang Penatua Emeritus dan 1 orang Diaken Emeritus.
Pelayan Khusus Penuh Waktu (PKPW) yang melayani jemaat ini adalah Pdt. Sabar
Sembiring Brahmana, S.Th. Semua Organisasi kategorial dalam jemaat ini berjalan dengan
baik, baik itu organisasi Mamre (Kaum Bapak), Moria (Kaum Ibu), Permata (Permata),
dan KA/KR (Anak-anak dan Remaja). Masing-masing organisasi kategorial tersebut
memiliki jadwal pelayanan tersendiri. Baik organisasi-organisasi kategorial maupun ke-3
sektor pelayanan yang ada memiliki kepengurusan yang bertanggung jawab mengkoordinir
pelayanan masing-masing sektor dan organisasi kategorial.
2.4 Hasil Penelitian: Pandangan dan Bentuk Solidaritas Warga Jemaat terhadap
Bencana Alam
Untuk mendapatkan pemahaman warga jemaat mengenai bencana alam dan
solidaritas terhadap korban bencana alam, maka penulis melakukan penelitian dengan
mengedarkan kuesioner dan melakukan wawancara. Jumlah kuesioner yang dibagikan
sebanyak 175, di Runggun Yogyakarta diedarkan sebanyak 100 lembar dan Runggun
Surabaya sebanyak 75 lembar. Jumlah kuesioner yang kembali sebanyak 149, di Runggun
Yogyakarta terkumpul sebanyak 85 lembar dan di Runggun Surabaya sebanyak 64 lembar.
Sementara ada 26 lembar kuesioner yang tidak kembali; 15 lembar di Runggun Yogyakarta
dan 11 lembar di Runggun Surabaya. Ada beberapa kesulitan yang dihadapi sehingga tidak
semua kuesioner terkumpul, ada responden yang belum mengisi kuesioner hingga batas
waktu pengumpulan dan ada juga yang membawa kerumah tetapi tidak dikembalikan.
19 Berdasarkan Data Statistik Warga Jemaat GBKP Runggun Surabaya Tahun 2008
16
Dari penelitian yang dilakukan dari bulan Januari–Februari 2008, penulis
memperoleh gambaran pemahaman warga jemaat GBKP tentang bencana alam dan
solidaritas kemanusiaan. Hal ini dapat ditelusuri dalam variabel-variabel di bawah ini.
Untuk memudahkan analisa data terhadap seluruh hasil penelitian maka
dipergunakan rumus:20
F
P= _____ X 100 %
N
2.4.1 Data Responden
1. Umur Responden
Tabel 1
Kategori Umur Responden
Kategori Umur Runggun Yogyakarta Runggun SurabayaF P F P
a. 17-25 Tahun 27 31,8 % - -b. 26-55 Tahun 42 49,4 % 39 60,9 %c. 56-64 Tahun 11 12,9 % 17 26,6 %d. 65 Tahun Keatas 5 5,9 % 8 12,5 %
Jumlah 85 100 % 64 100 %Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari –Februari 2008
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa, baik di runggun Yogyakarta
maupun Runggun Surabaya responden didominasi oleh jemaat yang berumur 26-55 tahun.
Di Runggun Yogyakarta jumlah responden yang berusia 26-55 tahun sebanyak 42 orang
(49,4 %) dan responden yang berusia 17-25 tahun berjumlah 27 orang (31,8 %).
Sementara di Runggun Surabaya responden yang berusia 26-55 tahun berjumlah 39 orang
(60,9 %), jauh berbeda dengan jumlah responden yang berusia lain.
20 Surachmat Winarno, Dasar dan Tehnik Research, Bandung : Tarsito, 1972, hlm.8
17
Keterangan :
P : Prosentase Yang Dipakai
F : Frekuensi Jawaban
N : Jumlah Sample
2. Jenis Kelamin Responden
Tabel 2
Kategori Jenis Kelamin Responden
Kategori Jenis Kelamin Runggun Yogyakarta Runggun SurabayaF P F P
a. Laki-laki 46 54,1 % 39 60,9 %b. Perempuan 39 45,9 % 25 39,1 %
Jumlah 85 100 % 64 100%Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari –Februari 2008
Tabel di atas menunjukkan bahwa, di Runggun Yogyakarta dan di Runggun
Surabaya responden didominasi oleh laki-laki. Di Runggun Yogyakarta jumlah responden
laki-laki sebanyak 46 orang (54,1 %), sementara responden perempuan 39 orang (45,9 %).
Di Runggun Surabaya jumlah responden laki-laki sebanyak 39 orang (60,9 %), sementara
responden perempuan 25 orang (39,1 %).
3. Pekerjaan Responden
Tabel 3
Kategori Pekerjaan Responden
Kategori Pekerjaan Runggun Yogyakarta Runggun SurabayaF P F P
a. PNS 40 47,1 % 23 35,9 %b. Pengawai Swasta 18 21,2 % 29 45,4 %c. Pedagang 2 2,3 % 5 7,8 %d. Petani - - - -e. Lainnya….. 25 29,4 % 7 10,9 %Jumlah 85 100 % 64 100%
Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari- Februari 2008
Tabel di atas menunjukkan pekerjaan responden/jemaat. Di Runggun Yogyakarta
pekerjaan responden didominasi oleh Pegawai Negri Sipil (PNS) yaitu sebanyak 40 orang
(47,1 %). Sementara di Runggun Surabaya pekerjaan responden didominasi oleh Pegawai
18
Swasta yakni 29 orang (45,4 %); akan tetapi, responden di ke-2 Runggun di dominasi
memiliki pekerjaan sebagai PNS dan Pegawai Swasta.
4. Pendidikan Responden
Tabel 4
Kategori Pendidikan Responden
Kategori Pendidikan Runggun Yogyakarta Runggun SurabayaF P F P
a. TK/SD - - - -b. SMP/Sederajat 12 14,1 % 10 15,6 % c. SMU/Sederajat 23 27,3 % 11 17,2 %d. Akademi/Perguruan
Tinggi49 57,6 % 43 67,2 %
Jumlah 85 100 % 64 100 %Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa baik di ke-2 Runggun pendidikan
terakhir responden didominasi tingkat Akademi/Perguruan Tinggi. Di Runggun
Yogyakarta jumlah responden yang memiliki pendidikan terakhir Akademi/Perguruan
Tinggi adalah sebanyak 49orang (57,6 %) dan di Runggun Surabaya sebanyak 43 orang
(67,2 %).
5. Status Responden dalam Jemaat
Table 5
Kategori Status Responden dalam Jemaat
19
Kategori Status dalam Jemaat
Runggun Yogyakarta Runggun SurabayaF P F P
a. Majelis Jemaat 10 11,8 % 19 29,7 %b. Pengurus Organisasi 20 23,5 % 13 20,3 %c. Anggota Jemaat Biasa 55 64,7 % 32 50 %
Jumlah 85 100 % 64 100 %Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008
Tabel di atas menunjukkan bahwa, status responden dalam jemaat didominasi
oleh anggota jemaat biasa. Hal di atas juga berlaku baik di Runggun Yogyakarta dengan
jumlah responden jemaat biasa sebanyak 55 orang (64,7 %) dan di Runggun Surabaya
jumlah responden sebagai jemaat biasa berjumlah 32 orang (50 %).
2.4.2 Pemahaman Warga Jemaat Tentang Bencana Alam
1. Pemahaman warga jemaat mengenai bencana alam
Tabel 6
Kategori Pemahaman Warga Jemaat Tentang Bencana Alam
Kategori tentang Pemahaman Bencana Alam
Runggun Yogyakarta Runggun SurabayaF P F P
a. Bencana merupakan proses alamiah
34 40 % 12 18,7 %
b. Bencana Merenggut nyawa manusia
- - - -
c. Bencana merusak tatanan hidup
21 24,7 % 24 37,5 %
d. Jawaban a dan b benar 23 27,1 % 20 31,3 %e. Lainnya 7 8,2 % 8 12,5 %
Jumlah 85 100 % 64 100 %Sumber:hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa, melalui pertanyaan pemahaman warga
jemaat tentang bencana alam ada perbedaan pemahaman diantara ke-2 Runggun. Jawaban
responden/jemaat di Runggun Yogyakarta didominasi dengan jawaban bahwa bencana
alam merupakan proses alamiah yang mengakibatkan kerusakan dan kerugian, dengan
20
jumlah responden 34 orang (40 %). Sedangkan di Runggun Surabaya 24 orang (37,5 %)
menjawab bahwa bencana alam merusak tatanan kehidupan manusia dan ciptaan lain.
Jawaban para responden tersebut hampir sama dengan pendapat para ahli yang telah
disinggung sebelumnya mengenai definisi bencana alam.
Gambar di atas menunjukan kondisi pasca gempa bumi di Yogyakarta , Mei 2006
2. Penyebab terjadinya bencana alam: gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor
dan letusan gunung berapi.
Tabel 7
Kategori Penyebab Terjadinya Bencana Alam
21
Kategori Penyebab Bencana Alam
Runggun Yogyakarta Runggun SurabayaF P F P
a. Hukuman Tuhan 17 20 % 11 17,2 %b. Ulah manusia 3 3,5 % 4 6,3 %c. Gejala alam 4 4,7 % 3 4,7 %d. Faktor alam dan manusia 56 65,9 % 37 51,8 %e. Lainnya 5 5,9 % 9 14,1 %
Jumlah 85 100 % 64 100 %
Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008
Tabel di atas merupakan jawaban dari pertanyaan penyebab terjadinya bencana
alam (gempa bumi, banjir, tanah longsor, tsunami dan letusan gunung berapi). Baik di
Runggun Yogyakarta maupun di Runggun Surabaya, jawaban responden tentang penyebab
bencana alam didominasi oleh faktor alam dan manusia. Jumlah responden dengan
jawaban tersebut di Runggun Yogyakarta sebanyak 56 orang (65,9 %) dan di Runggun
Surabaya berjumlah 37 orang (51,9 %). Sementara responden berjumlah 17 orang (20 %)
di Runggun Yogyakarta berpendapat bencana alam sebagai hukuman Tuhan dan 11 orang
(17,2 %) di Runggun Surabaya yang menjawab demikian.
3. Pemahaman Bencana Alam Yogyakarta dan Lumpur Lapindo.
Tabel 8
Kategori Bencana Alam Yogyakarta dan Lumpur Lapindo
Kategori Bencana Alam Yogyakarta dan Lapindo
Runggun Yogyakarta Runggun SurabayaF P F P
22
a. Murka Alam 4 4,7 % 6 9,4 %b. Proses Alamiah 52 61,1 % - -c. Hukuman Tuhan 21 24,7 % 15 23,4 %d. Penyalahgunaan IPTEK - - 43 67,2 %e. Lainnya 7 8,2 % - -Jumlah 85 100 % 64 100 %Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008
Tabel di atas menunjukkan pemahaman warga jemaat tentang bencana alam yang
terjadi di Yogyakarta dan Lumpur Lapindo di Surabaya. Dapat dilihat bahwa di Runggun
Yogyakarta paling banyak responden memahami bahwa bencana alam di Yogyakarta pada
akhir bulan Mei 2005 merupakan suatu proses alamiah yaitu sebanyak 52 orang ( 61,2 %)
Sementara responden yang menjawab bencana alam Yogyakarta sebagai hukuman Tuhan
sebanyak 21 orang (24,7 %), dengan alasan sebagai peringatan agar lebih mendekatkan diri
kepada Tuhan.
Pemahaman responden di Runggun Surabaya tentang Lumpur Lapindo
didominasi oleh jawaban akibat penyalahgunaan IPTEK, yakni sebanyak 43 orang (67,2
%). Sedangkan 15 orang (23,4 %) melihatnya sebagai hukuman Tuhan. Warga jemaat yang
melihat Lumpur Lapindo sebagai hukuman Tuhan memahami bahwa kerakusan manusia
yang mengeksploitasi alam dengan memakai alat-alat teknologi mutahir tidak lagi menjaga
kelestarian alam sebagai ciptaan Tuhan. Hal ini dilihat sebagai alasan bagi Allah untuk
menghukum dan mengingatkan manusia.21
Pertanyaan selanjutnya (9) masih berkaitan dengan pertanyaan di atas
mengenai pendapat warga jemaat tentang bencana alam, khususnya tsunami di Aceh. Di
Runggun Yogyakarta 48 orang berpendapat bahwa tsunami di Aceh merupakan hukuman
Tuhan bagi warga Aceh, dengan alasan bahwa pemeluk agama Islam di sana melarang
kekristenan bertumbuh; melarang umat Kristen merayakan natal; Aceh mempunyai banyak
21 Data yang diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa warga jemaat Runggun Surabaya, tanggal 3 dan 6 Februari 2008.
23
dosa karena sebagai daerah pemasok ganja dan untuk mengingatkan masyarakat Aceh agar
tidak sombong dan lupa kepada Allah. Sedangkan 37 orang berpendapat bahwa tsunami di
Aceh terjadi sebagai proses alamiah dan didukung oleh prilaku manusia yang
mengeksploitasi alam terus-menerus.22
Sementara di Runggun Surabaya, 41 orang berpendapat tsunami Aceh terjadi
sebagai hukuman Tuhan dengan berbagai alasan yang tidak jauh berbeda dengan warga
jemaat di Runggun Yogyakarta, di antaranya:23 banyak masyarakat di aceh yang tidak lagi
bermoral karena di Aceh sering terjadi pertikaian dan peperangan; masyarakat muslim di
Aceh memusuhi mereka yang non Muslim; kesombongan sebagai daerah istimewa dan
sebagai daerah serambi Mekah yang mayoritas Muslim; pemeluk agama Islam di Aceh
melarang Kekristenan, khususnya pelarangan merayakan hari Natal pada bulan Desember
2006 silam, sehingga bencana ini dilihat sebagai momentum bagi Allah untuk menghukum
orang Aceh. Sedangkan 23 orang beranggapan bahwa tsunami di Aceh merupakan suatu
proses alamiah dan akibat ulah manusia yang merusak alam sehingga bencana tersebut
dapat dijelaskan secara ilmu pengetahuan.
5. Dari mana pemahaman warga jemaat tentang bencana alam dibangun.
Tabel 10
Kategori pemahaman warga jemaat tentang dari mana pemahaman bencana dibangun.
Dari mana Pemahaman Warga Jemaat di Banggun
Runggun Yogyakarta Runggun SurabayaF P F F
a. Alkitab/ Ajaran Gereja 38 44,7 % 28 43,8 %
b. Pendidikan Formal 27 31,8 % 21 32,8 %22 Data yang diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa warga jemaat Runggun Yogyakarta, tanggal 13 Januari 2008.23 Data yang diperoleh berdasarkan hasil Quesioner dan wawancara penulis dengan beberapa Warga Jemaat Runggun Surabaya, tangggal 3 dan 6 Februari 2008.
24
c. Pengalaman 14 16,4 % 11 17,2 %d. Lainnya 6 7,1 % 4 6,2 %
Jumlah 85 100 % 64 100 %Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa, mengenai dari mana pemahaman warga
jemaat tentang bencana alam dibanggun baik di Runggun Yogyakarta maupun di Runggun
Surabaya, jawaban responden didominasi oleh jawaban bahwa pemahaman mereka di
bangun melalui alkitab/ajaran gereja dan pendidikan formal. Di Runggun Yogyakarta
responden yang menjawab melalui alkitab/ajaran gereja berjumlah 38 orang (44,7 %) dan
melalui pendidikan formal berjumlah 27 orang (31,8 %) dan di Runggun Surabaya melalui
alkitab/ajaran gereja berjumlah 28 orang (43,8 %) dan melalui pendidikan formal sebanyak
21 orang (32,8 %).
Pertanyaan selanjutnya (11) adalah mengenai pendapat warga jemaat tentang
bencana alam menurut pemahaman budaya suku Karo. Di Runggun Yogyakarta, 26 orang
menjawab bahwa bencana alam berkaitan dengan kepercayaan nenek moyang yang
menghargai, menghormati dan mencintai alam. Sedangkan 59 orang mengaku tidak
memahami tentang budaya Karo. Sementara di Ruggun Surabaya, 50 orang memahami
bahwa bencana alam terjadi akibat kemarahan nenek moyang sebab manusia tidak lagi
memelihara alam dan tidak menjaga keseimbangan alam. Sedangkan 14 orang tidak tahu
kaitannya dengan budaya Karo.
2.4.3 Pemahaman dan Bentuk Solidaritas Warga Jemaat Terhadap Korban
Bencana Alam
1. Perasaan Jemaat Terhadap Korban Bencana Alam
Tabel 12
Kategori Perasaan Warga Jemaat
Perasaan Terhadap Korban Runggun Yogyakarta Runggun Surabaya
25
Bencana Alam F P F Pa. Sedih 11 12,9 % 3 4,7 %b. Prihatin 62 72,9 % 54 84,4 %c. Takut dan cemas - - - -d. Biasa-biasa saja 5 5,9 % 3 4,7 %e. Lainnya 7 8,2 % 4 6,3 %
Jumlah 85 100 % 64 100 %Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa, perasaan warga jemaat terhadap korban
bencana alam, baik di Runggun Yogyakarta maupun di Runggun Surabaya jawaban
responden didominasi oleh perasaan prihatin. Jumlah responden yang merasa prihatin
terhadap korban bencana alam di Runggun Yogyakarta sebanyak 62 orang (72,9 %) dan di
Runggun Surabaya berjumlah 54 orang (84,4 %).
2. Bentuk Solidaritas Terhadap Korban Bencana Alam yang Terjadi di Yogyakarta
dan Sidoarjo
Tabel 13
Kategori Bentuk Solidaritas
Bentuk Solidaritas Runggun Yogyakarta Runggun SurabayaF P F P
26
Gambar di atas adalah POSKO bantuanyang di bentuk oleh GBKP
Gambar di atas menunjukan beberapawarga jemaat membersihkan puing puing
reruntuhan rumah penduduk
a. Dukungan Moral 23 27,1 % 12 18,8 %b. Dukungan Material 15 17,7 % 15 23,4 %c. Terjun Kelapangan 15 17,7 % - -d. Berdiam Diri - - - -e. a dan b 32 37,6 % 37 57,8 %
Jumlah 85 100 % 64 100 %Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008
Tabel di atas menunjukkan bahwa, bentuk solidaritas di ke-2 Runggun terhadap
korban bencana alam lebih banyak berupa dukungan moral dan material, yaitu di Runggun
Yogyakarta dengan jumlah responden 32 orang (37,6 %) dan di Runggun Surabaya
sebanyak 37 orang (57,8 %). Namun ada juga perbedaan di antara ke-2 Runggun tersebut,
responden di Runggun Yogyakarta ada 15 orang (17,7 %) yang menyatakan solidaritas
dengan langsung terjun ke lapangan, sementara di Runggun Surabaya sama sekali tidak
ada responden yang terjun kelapangan. Adanya perbedaan ini dipengaruhi oleh kenyataan
bahwa gempa bumi di Yogyakarta dominan dipahami sebagai suatu proses alamiah yang
tidak dapat dihindari, sedangkan menurut responden di Surabaya penyebab lumpur lapindo
lebih dominan dipahami karena kelalaian manusia sendiri.
3. Kriteria dalam Menyatakan Solidaritas : SARA ?
Pada Pertanyaan berikutnya adalah apakah bentuk Solidaritas jemaat ditentukan
oleh latar belakang Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA). Di Runggun
Yogyakarta 38 orang (44,7 %) menjawab bahwa Solidaritas ditentukan oleh SARA. Ada
47 orang (55,3 %) menjawab bahwa solidaritas tidak ditentukan oleh latar belakang SARA
dengan alasan semua manusia merupakan ciptaan Tuhan dan pada kenyataanya bencana
juga menimpa seseorang tanpa melihat latar belakang SARA. Pandangan seperti ini sangat
dipengaruhi oleh latar belakang lingkungan sosial jemaat yang umumnya berada dalam
lingkungan yang plural. Sedangkan di Runggun Surabaya, 34 orang ( 53,1 %) menjawab
27
solidaritas ditentukan oleh latar belakang SARA dan 30 orang (46,8 %) menjawab bahwa
semua orang yang menderita harus ditolong sebagai wujud kasih yang diajarkan oleh
Yesus Kristus tanpa membeda-bedakan apapun termasuk SARA. Baik di Runggun
Yogyakarta maupun di Runggun Surabaya, responden yang menjawab bahwa solidaritas
ditentukan oleh latar belakang SARA memberi beberapa alasan yakni: bantuan yang
diberikan kepada mereka yang memiliki latar belakang SARA yang sama dengan kita akan
lebih terjamin dan sampai pada sasaran dan SARA dipandang sebagai suatu ikatan yang
sangat menyentuh emosi setiap orang.24
4. Jenis Bantuan yang Paling Tepat diberikan kepada Korban bencana alam
Baik di Runggun Yogyakarta maupun Runggun Surabaya, melihat bahwa jenis
bantuan yang paling tepat diberikan kepada korban bencana alam adalah kebutuhan pokok
(sandang dan pangan), serta memberi dukungan moral (doa) dengan maksud untuk
menghindari terjadinya Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) dan memberi semangat.
Hal-hal tersebut dinilai sebagai kebutuhan yang paling penting setelah para korban
bencana alam kehilangan tempat tinggal, pekerjaan, sanak saudara, trauma dan lainnya.
5. Tindakan Gereja terhadap Korban Bencana Alam: Bantuan jangka pendek
(karikatif) dan jangka panjang ( pemulihan secara holistik)
Di Runggun Yogyakarta, 29 orang (34,1 %) dari 85 responden menjawab bahwa
gereja sudah bertindak dengan memberi bantuan berupa doa maupun material, contohnya
ketika terjadi gempa bumi di Yogyakarta pada bulan Mei 2006, Runggun Yogyakarta
24 Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan beberapa warga jemaat.
28
khususnya bekerja sama dengan PARPEM GBKP (bidang Partisipasi Pembangunan)
mendirikan POSKO di Bantul. Sementara 56 orang (65,9 %) menjawab gereja sudah
bertindak tetapi tidak berkelanjutan.
Sementara di Runggun Surabaya, 49 orang (76,6 %) dari 64 responden menjawab
gereja sudah memberi bantuan kepada korban bencana alam berupa moral dan material.
Ada 15 orang (23,4 %) menjawab bahwa gereja belum memiliki sarana yang memadai
untuk memberi bantuan yang maksimal kepada korban bencana alam.
6. Cara Penyaluran Solidaritas : Pribadi (Individu) atau Institusi ( Gereja).
Pada tabel berikutnya tentang cara penyaluran solidaritas. Di Runggun
Yogyakarta, sebanyak 19 orang (22,4 %) menjawab bantuan diberikan secara pribadi. Ada
45 orang (52,9 %) menjawab secara institusi serta 21 orang (24,7 %) menjawab bantuan
diberikan secara pribadi maupun institusi. Sementara, di Runggun Surabaya, 17 orang
29
Gambar di atas adalahgedung sekolah yang hancur akibat gempa
Barang-barang yang akan dibagikan kepada korban
(26,6 %) menjawab bantuan diberikan secara pribadi, 43 orang (67,2 %) memberi bantuan
secara institusi dan 4 orang (6,3 %) memberi bantuan secara pribadi maupun institusi.
Mereka yang memilih menyalurkan bantuan secara institusi beralasan bahwa penyaluran
bantuan akan lebih terorganisir, efisien dan bantuan yang diberikan dalam jumlah yang
lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah bantuan secara pribadi dan mereka yang
memilih memberi bantuan secara pribadi beralasan bahwa gereja dianggap terlalu lamban
bertindak dan kebutuhan yang akan diberikan dianggap lebih bermanfaat bagi korban dan
tepat sasaran sehingga dapat langsung dipergunakan oleh para korban.
7. Peran Gereja dalam Mensosialisasikan bencana Alam
Tabel 17
Kategori Pengsosialisasian Bencana Alam oleh Gereja
Pengsosialisasian Bencana Alam
Runggun Yogyakarta Runggun SurabayaF P F P
a. Belum pernah 17 20 % 13 20,3 %b. Sering 29 34,1 % 18 28,1 %c. Jarang 39 45,9 % 33 51,6 %
Jumlah 85 100 % 64 100 %Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa, di Runggun Yogyakarta responden
didominasi oleh jawaban bahwa gereja masih jarang melakukan pengsosialisasian bencana
alam yakni berjumlah 39 orang (45,9 %) . Sementara di Runggun Surabaya responden
yang menjawab gereja masih jarang mensosialisasikan bencana alam kepada jemaat
berjumlah 33 orang (51,6 %). Perbandingan antara jumlah responden yang menjawab
sudah sering dan masih jarang jauh berbeda, khususnya di Runggun Surabaya.
8. Cara Mencegah atau Mengatasi Bencana Alam
30
Tabel 18
Kategori Cara Mencegah atau Mengatasi Bencana Alam
Cara Mencegah/ mengatasi Bencana Alam
Runggun Yogyakarta Runggun SurabayaF P F P
a. Perlu 85 100 % 64 100 %b. Tidak perlu - - - -c. Lainnya - - - -
Jumlah 85 100 % 64 100 %Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008
Tabel di atas menunjukkan bahwa baik di Runggun Yogyakarta maupun di
Runggun Surabaya seluruh responden menjawab bahwa mereka merasa perlu untuk
mengetahui cara-cara mencegah atau mengatasi bencana alam.
9. Sosialisasi atau Penjelasan Gereja tentang Bencana Alam
Tabel 19
Kategori Sosialisasi Gereja Tentang Bencana Alam
Sosialisasi Gereja tentang Bencana Alam
Runggun Yogyakarta Runggun SurabayaF P F P
a. Melalui Khotbah 44 51,8 % 17 26,6 %
31
b. Melalui PA/Diskusi 19 22,4 % 24 37,5 %c. Seminar/ Ceramah 10 11,8 % 8 12,5 %d. Lainnya 12 14,1 % 15 23,4 %
Jumlah 85 100 % 64 100 %Sumber: hasil isian Kuesioner, Januari-Februari 2008
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa selama ini cara gereja dalam
memberi penjelasan atau mensosialisasikan bencana alam di ke-2 Runggun berbeda. Di
Runggun Yogyakarta 44 orang (51,8 %) responden menjawab bahwa gereja memberi
penjelasan mengenai bencana alam melalui khotbah dan melalui PA/diskusi berjumlah 19
orang (22,4 %). Sementara di Runggun Surabaya, responden menjawab selama ini gereja
justru memberi penjelasan tentang bencana alam lebih banyak melalui PA atau diskusi
yakni 24 orang (37,5 %) dibanding dengan melalui khotbah yang berjumlah 17 orang (26,6
%). Walaupun sebenarnya selisih jumlah ini tidak terlalu jauh
2.5 Rangkuman
Warga jemaat dalam memahami bencana alam, umumnya lebih dominan melihat
peristiwa tersebut sebagai suatu proses alamiah dan dipicu oleh prilaku manusia yang tidak
menghargai alam, daripada melihatnya sebagai hukuman Tuhan. Hal ini menunjukkan
bahwa, pemahaman warga jemaat sudah mulai terbuka. Tetapi perkembangan tersebut
32
belumlah merata. Oleh karena itu, pemahaman tentang bencana alam sebagai hukuman
Tuhan karena dosa manusia, akan lebih banyak dikaji dari pada pengaruh proses alamiah
atau prilaku manusia.
Peristiwa bencana alam umumnya menimbulkan dampak yang sangat serius baik
bagi manusia maupun bagi ciptaan lainnya. Khususnya dalam kaitan menunjukkan
solidaritas, umumnya warga jemaat sudah mewujudkannya tetapi, bantuan yang diberikan
selama ini belum maksimal dan masih bersifat karitatif dan temporer. Ada beberapa faktor
yang mempengaruhi pemahaman dan bentuk solidaritas warga jemaat tersebut. Faktor-
faktor yang dimaksud dianalisa dalam bab selanjutnya.
33
BAB III
ANALISA TERHADAP PEMAHAMAN SOLIDARITAS KEMANUSIAAN GBKP
RUNGGUN YOGYAKARTA DAN RUNGGUN SURABAYA
Dalam bagian ini penulis menganalisa hasil penelitian yang telah dilakukan,
seperti yang terlihat pada kolom-kolom dan penjabaran dalam BAB II. Berdasarkan hasil
penelitian yang telah dilakukan maka ada dua hal mendasar yang dapat dijabarkan yaitu
pemahaman tentang bencana alam dan bentuk tindakan solidaritas kemanusiaan. Dari hasil
penelitian tersebut maka ada beberapa faktor yang dianalisa dalam bagian ini berkaitan
dengan pemahaman warga jemaat. Faktor-faktor yang dimaksud adalah faktor pendidikan,
faktor sosial-ekonomi, sistem manajemen organisasi gereja, faktor budaya dan faktor
tradisi dan ajaran alkitab.
3.1 Faktor Pendidikan
Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi dan menentukan cara pandang serta cara
pikir seseorang dalam menanggapi setiap peristiwa yang terjadi di sekitar kehidupan,
dalam hal ini untuk memandang bencana alam yang terus-menerus melanda masyarakat
Indonesia. Cara pandang mereka yang hanya mengenyam tingkat pendidikan Sekolah
Menenggah Pertama (SMP) dengan mereka yang sempat mengenyam bangku pendidikan
sampai di Perguruan Tinggi (PT) pasti akan sangat berbeda.25
Faktor pendidikan ini sangat jelas terlihat pada perbedaan pemahaman warga
jemaat tentang penyebab terjadinya bencana alam. Memang secara umum jemaat GBKP di
25 Pt. Madison Ginting, wawancara Penulis Tanggal 13 Januari 2008 di Yogyakarta.
34
ke-2 Runggun tersebut sudah menikmati dan memiliki pendidikan yang tinggi tetapi masih
ada juga anggota jemaat yang masih berpendidikan rendah. Pada umumnya jawaban warga
jemaat didominasi oleh pemahaman bahwa bencana alam disebabkan oleh faktor alam.
Sangat dapat dipahami bahwa mereka yang melihat bencana alam sebagai suatu proses
alamiah (dan yang didukung oleh prilaku manusia), umumnya berpendidikan tinggi yang
tentunya dipengaruhi juga oleh ilmu-ilmu pengetahuan yang mereka peroleh dari bangku
pendidikan. Mereka selalu berusaha mencari jawaban ilmiah terhadap suatu peristiwa,
misalnya jawaban ilmu pengetahuan (geologi) terhadap penyebab terjadinya bencana alam.
Faktor lain yang juga sangat mempengaruhi pemahaman tentang bencana alam dan
berkaitan erat dengan faktor pendidikan ini adalah kemajuan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (IPTEK). Bencana alam walaupun tidak dapat diprediksi kedatangannya tetapi
dapat dijelaskan penyebab dan proses terjadinya. Bencana alam seperti gempa bumi,
tsunami, letusan gunung berapi, banjir, dan tanah longsor dapat dijelaskan dengan bantuan
IPTEK. Ilmu pengetahuan dapat menjelaskan secara gamblang dan memberikan bukti yang
kuat mengapa wilayah Indonesia sangat rentan terjadinya berbagai bencana alam. Menurut
ilmu geologi, hal ini dipengaruhi oleh letak geologis Indonesia yang ada diantara 3
lempeng dunia yang cukup aktif (Triple Junction Plate Convergence). Tiga lempengan
tersebut yang dimaksud adalah lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia dan lempeng
Pasifik yang bergerak relatif ke barat dan utara terhadap eurasia . 26
Bencana alam seperti banjir dan tanah longsor juga dapat dijelaskan penyebabnya.
Selain karena memang faktor gejala alam itu sendiri, jenis bencana alam tersebut terjadi
karena dipicu oleh perilaku manusia, misalnya: pola hidup masyarakat yang dipengaruhi
oleh budaya konsumeristik, penebangan hutan secara liar, pembuangan sampah
26 Subandono Diposaptono Budiman, Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami, Bogor: Sarana Komunikasi Utama, 2008, hlm. 15
35
sembarangan dan tindakan lainnya. Menurut Palulun Boroh dalam buku Teologi
Kehidupan: Melestarikan Lingkungan hidup, berpendapat bahwa terjadinya bencana alam
yang pernah dan sedang dialami oleh dunia sekarang ini, bahkan akan terus meningkat
pada masa yang akan datang, ternyata akar masalahnya lebih dominan pada ulah manusia
sendiri yang dengan semena-mena memanfaatkan atau mengeksploitasi sumber daya alam
(SDA) tanpa mengindahkan norma-norma ekosistem yang ada.27 Pandangan tersebut
diungkapkan dalam sebuah kalimat oleh Mahatma Gandhi bahwa:28
“ Bumi ini cukup menyediakan kebutuhan semua orang, tetapi tidak cukup menyediakan untuk ketamakan setiap orang ”.
Jelaslah bahwa, bencana alam merupakan suatu proses alamiah juga didukung oleh
perilaku manusia yang tidak menghargai alam demi kesejahtraan hidupnya. Manusia
memiliki peran yang sangat besar atas kehancuran yang sedang terjadi pada alam (hal ini
sama seperti yang dipahami oleh warga jemaat berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan. lih. tabel 7 tentang penyebab terjadinya Bencana alam).
Warga jemaat yang memiliki pemahaman bencana alam sebagai hukuman Tuhan
umumnya berpendidikan rendah dan juga dominan berusia 56 tahun keatas. Walaupun
mereka sudah bersentuhan langsung dengan kemajuan zaman dan IPTEK yang dapat
memberi penjelasan secara ilmiah, namun realitasnya pemahaman tradisional yang sudah
lama membentuk pola pikir mereka sulit untuk diubah.
Pengalaman adalah bagian dari proses pendidikan. Pengalaman akan bencana alam
yang telah terjadi menjadi ajang pembelajaran bagi masyarakat. Pengalaman ini dapat
membantu masyarakat kita untuk mengenali bencana alam sehingga tidak tergesa-gesa
27 Palulun Boroh, “ Sumber Bencana : Kerusakan Hutan dan Perubahan Iklim “, dalam Teologi Kehidupan: Melestarikan Lingkungan Hidup, penyunting: Markus Rani, SulSel: SULO, 2006, hlm. 85.28 Victor Tinambunan, GEREJA DAN ORANG PERCAYA: Oleh Rahmat Menjadi Berkat Ditenggah Krisis Multi Dimensi, L-SAPA STT HKBP, Pematangsiantar, 2006, hlm. 62.
36
dalam menyimpulkan apakah bencana alam suatu hukuman, merupakan bagian dari proses
alamiah atau bahkan akibat dari perilaku manusia sendiri. Dari pengalaman ini akhirnya
timbul pengetahuan dalam menghadapi bencana alam sehingga dapat mengurangi jumlah
korban jiwa maupun material bahkan juga mengurangi kerusakan pada alam itu sendiri.
Faktor pendidikan dalam mewujudkan solidaritas kepada korban bencana alam juga
memiliki peran yang sangat penting. Dari hasil penelitian dan pengamatan penulis, warga
jemaat dominan berpendidikan tinggi. Kenyataan ini tentunya memberi gambaran bahwa
warga jemaat memiliki potensi dan sumber daya. Dengan kata lain, potensi mereka dapat
digunakan untuk membantu para korban apakah itu dari segi kesehatan, keterampilan,
pekerjaan atau aspek lainnya. Hanya saja potensi tersebut belum dimaksimalkan.
3.2 Faktor Sosial-Ekonomi
Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri melainkan harus
berinteraksi dengan sesama sebagai makhluk ciptaan Tuhan, tampaknya telah disadari oleh
warga jemaat secara umum. Banyaknya penderitaan yang dialami masyarakat, khususnya
yang ditimbulkan oleh berbagai bencana alam yang terjadi beberapa tahun terakhir ini,
telah mendorong warga jemaat untuk bersolider terhadap mereka yang menjadi korban.
Berbagai usaha telah dilakukan untuk membantu meringankan penderitaan mereka, baik
berupa moral maupun material (misalnya: membuka dapur umum, melakukan kunjungan
kasih, pembagian sembako, membantu pembuatan tenda-tenda pengungsian dan lain-
lain).29
Kepekaan sosial (walaupun masih dibayang-bayangi oleh SARA - pokok ini akan
dibahas dalam faktor budaya) yang dimiliki oleh warga jemaat menunjukkan bahwa
29 Berdasarkan hasil laporan kegiatan panitia Posko GBKP peduli korban bencana alam Runggun Yogyakarta.
37
memang ada usaha untuk membantu meringankan atau ikut mengambil bagian dalam
penderitaan orang lain, tetapi pelayanan yang dilakukan belum maksimal. Para korban
belum bisa sepenuhnya keluar dari penderitaanya. Tindakan yang selama ini dilakukan
menunjukkan, bahwa masih minimnya pelayanan yang bersifat memberdayakan para
korban, jenis pelayanan masih bersifat derma. Salah satu faktor penting yang selalu
menjadi kendala dalam melakukan pelayanan adalah ekonomi. Tidak dapat dipungkiri
bahwa, kemampuan dari segi ekonomi akan sangat menentukan tingkat pelayanan yang
dapat dilakukan oleh gereja. Sejauh mana gereja dapat menjangkau pergumulan para
korban. Tetapi jika dilihat dari segi ekonomi/pekerjaan warga jemaat di ke-2 Runggun
walaupun tidak merata (lih. tabel 3 tentang Pekerjaan Responden), mereka mestinya
mampu memberikan pelayanan yang lebih baik.
Sangat disayangkan bantuan atau pelayanan gereja yang diberikan selama ini,
belum maksimal dan tidak berkelanjutan. Jenis bantuan hanya bersifat diakonia karikatif
dan temporal yang diberikan secara spontan ketika bencana alam terjadi karena keadaan
terdesak, darurat, dan para korban sangat tidak berdaya. Namun, pasca bencana tidak ada
tindak lanjut dari pelayanan. Belum ada tanda-tanda akan dilakukan pelayanan
transformatif dan berkelanjutan yang lebih bersifat membekali, memampukan dan
memberdayakan, agar para korban memiliki keterampilan dan kemampuan baru untuk
dapat membangun sendiri hidupnya sesuai dengan potensi yang mereka dimiliki. Kurang
memadainya sarana dan prasarana untuk memberikan bantuan mestinya bukan menjadi
alasan yang tepat sehingga pelayanan yang dilakukan gereja pada akhirnya tidak maksimal
dan tidak berkelanjutan. Warga jemaat yang memiliki kepekaan sosial dan perekonomian
yang memadai dapat diberdayakan dan difungsikan.
38
3.3 Faktor Budaya
Pada umumnya, budaya masyarakat di Nusantara masih turut membangun sikap
moral dan kepercayaan masyarakat. Dalam setiap budaya umumnya memiliki sejumlah
peraturan dan konsekwensi baik positif (kebahagiaan dan kemakmuran) maupun negatif
(malapetaka dan penderitaan). Partisipasi aktif manusia melalui tingkah laku dalam aturan
raya ini, menjadi berarti karena manusia dilihat sebagai bagian dari kesatuan ini dan
mempunyai kewajiban untuk menjaga relasi harmoni kosmis. Kelalaian dianggap fatal dan
membawa resiko baik untuk dirinya sendiri maupun dalam skala lebih besar yakni
masyarakat, misalnya dalam bentuk bencana alam, kegagalan panen, penyakit bahkan
kematian.30
Pemahaman tersebut juga masih dipegang teguh oleh budaya Batak Karo. Bagi
suku Karo setiap perbuatan akan mendatangkan akibat yang setimpal, seperti terungkap
dalam pepatah adat adi ngalo la rido, ngalar la rutang, yang bermakna kalau kita
memperoleh sesuatu secara tidak sah atau tidak wajar, maka akan datang bala atau
bencananya. Oleh karena itu, pepatah Karo juga mengatakan pangan labo ate keleng, tapi
angkar beltek, yang bermakna kita boleh melakukan apa saja tetapi harus memikirkan
dampak dari apa yang akan ditimbulkannya.31
Salah satu dari nilai-nilai budaya yang masih dipelihara sampai pada saat ini adalah
penghargaan yang sangat tinggi terhadap alam. Dalam pandangan tradisionil pengerusakan
terhadap alam diyakini akan mendatangkan musibah bagi masyarakat. Untuk menghindari
musibah tersebut maka dibuat aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh semua masyarakat.
Masih kuatnya pengaruh budaya ini terlihat jelas dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
30 Ati Hildebrandt Rambe:”Salib Tanpa Tubuh? Melampaui Pendekatan Rasional dalam Pelayanan Gereja Menghadapi Penderitaan”, dalam Ati Hildebrandt Rambe dkk. (ed.), Teologi Bencana: Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial, Makassar, Oase Intim, 2006, hlm. 301. 31 Darwan Prinst, Adat Karo, Medan: Bina Media Perintis, 2004, hlm. 66
39
penulis di ke-2 Runggun. Memang ada perbedaan jumlah yang mencolok. Lebih
banyaknya jemaat di Surabaya yang mengkaitkan antara bencana dengan budaya suku
Karo dibanding dengan jemaat Yogyakarta dipengaruhi karena responden di Runggun
Yogyakarta banyak dari kaum muda, khususnya mahasiswa (walaupun tidak dominan)
yang kurang memahami budaya Karo. Sementara di Runggun Surabaya didominasi oleh
orang tua yang masih tetap memegang kuat nilai-nilai budaya sekalipun tidak lagi berada
di tanah Karo. Melalui pemahaman tradisionil ini terlihat jelas nilai-nilai budaya Karo
sangat menganjurkan agar manusia solider terhadap alam.
Selain penghargaan yang tinggi terhadap alam, budaya Karo juga sangat memegang
tinggi nilai-nilai kekeluargaan dan sikap gotong royong. Meskipun masyarakat Karo yang
sudah tinggal dalam lingkungan sosial yang pluralis dan juga sudah sangat dipengaruhi
oleh nilai-nilai kristiani agar solider terhadap siapa saja dan mewujudkan cinta kasih tanpa
membeda-bedakan, akan tetapi perasaan kekeluargaan terhadap saudara yang sesuku masih
sangat kuat dan menonjol. Biasanya ada suatu ikatan yang kuat dirasakan oleh setiap orang
Karo terhadap sesukunya yaitu ikatan emosional. Rasa kekeluargaan antar sesama orang
Karo ini terlihat jelas dalam kehidupannya sehari-hari. Apalagi ketika muncul penderitaan
seperti bencana alam, maka perasaan senasib dan sepenanggungan antar orang Karo akan
segera terlihat, ditambah lagi jika sama-sama berada di daerah perantauan.32 Realitas
seperti ini menunjukkan bahwa suku Karo masih bersifat “eksklusif “ terhadap orang di
luar sukunya. Tetapi di dalam “keeksklusifannya” ini bukan berarti bahwa orang Karo
sama sekali tidak peduli terhadap orang lain diluar komunitas sukunya. Orang Karo yang
tergabung dalam GBKP Runggun Yogyakarta telah membentuk POSKO GBKP PEDULI
BENCANA untuk membantu korban bencana alam, akan tetapi kepedulian tersebut masih
32 Arbi Banggun, wawancara penulis tanggal 10 Januari 2008 di Yogyakarta.
40
jauh dari semestinya. Pelayanan yang diberikan kepada korban yang berada di dalam
komunitas gereja dan suku Karo sangat jauh berbeda dengan di luar komunitas tersebut.
Akibat dari kuatnya ikatan emosional ini maka tidaklah mengherankan jika masih banyak
warga jemaat yang melihat bahwa solidaritas masih dipengaruhi oleh latar belakang
SARA.
3.4 Sistem Manajemen Organisasi Gereja
Pada dasarnya peraturan-peraturan di dalam organisasi gereja sangatlah penting
sebagai sarana untuk menciptakan keteraturan. Tetapi di sisi lain ternyata peraturan juga
berpotensi sebagai penghambat dalam mewujudkan visi dan misi gereja itu sendiri.
GBKP adalah salah satu gereja yang menganut sistem Presbiterial Sinodal, di mana
sistem kerja yang berlaku adalah dari atas ke bawah (Sinode-Jemaat). Dalam
melaksanakan fungsinya, GBKP menyusun aturan-aturan yang menjadi pegangan dan
patokan sekaligus merupakan komitmen yang berlaku dan wajib dipatuhi oleh seluruh
warga GBKP, baik sebagai pelayan maupun anggota jemaat.33 Secara organisasi gereja,
baik Runggun Yogyakarta maupun Runggun Surabaya sudah berjalan dengan teratur.
Dalam melaksanakan kegiatan pelayanan ke-2 Runggun mengacu pada peraturan-peraturan
yang berlaku. Ketatnya birokrasi gereja yang harus dipatuhi dan dilaksanakan kadang-
kadang menyebabkan timbulnya benturan ketika berhadapan dengan realitas. Sebagai
contoh, ketika terjadi bencana alam di Yogyakarta, jemaat di Runggun Surabaya tidak
langsung bertindak ketika bencana terjadi tetapi setelah ada pemberitahuan resmi dari
majelis jemaat.34 Adanya benturan ini muncul karena keputusan atau kebijakan yang akan
33 Moderamen GBKP, Tata Gereja GBKP 2005-2010, Kabanjahe, 2005, hlm. 2.34 Hendri Ginting, wawancara penulis tanggal 7 Februari 2008 di Yogyakarta.
41
diambil harus melalui prosedur yang telah diatur (misalnya melalui rapat-rapat majelis dan
aturan-aturan sejenisnya).
Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Pdt. Sabar Sembiring Brahmana
bahwa:35
“Ketika terjadi bencana di Yogyakrta, kami (Runggun Surabaya) belum bisa melakukan apa-apa karena harus menunggu dulu surat pemberitahuan dari Moderamen, barulah akan disampaikan kepada warga jemaat.”
Menurut beliau bahwa, kenyataan GBKP yang menganut sistem Presbiterial
Sinodal menjadi salah satu penyebabnya.
Realitas di atas menunjukkan bahwa, ketatnya peraturan yang harus dipatuhi dan
dilaksanakan telah menyebabkan aturan itu sendiri menjadi kaku dan birokrasi menjadi
“penghambat” solidaritas. Hal ini berpengaruh karena jika ada warga jemaat yang memiliki
kepekaan sosial dan kemampuan secara ekonomi maupun memiliki sumber daya yang lain
untuk memberikan bantuan melalui institusi gereja, kadang-kadang harus “tertunda”.
Otonomi gereja (jemaat) untuk mengambil keputusan sendiri dalam kondisi-kondisi
tertentu mestinya difungsikan dengan lebih baik, sehingga gereja benar-benar menjadi
pendukung warga jemaatnya dalam mewujudkan visi dan misi gereja itu sendiri.
Selain faktor di atas, hambatan lain mengapa gereja masih lambat dalam menangani
korban bencana alam adalah adanya ketakutan akan tuduhan terjadinya proses kristenisasi.
Stigma seperti ini, sangat mempengaruhi tindakan warga jemaat dalam memberikan
bantuan. Di sisi lain, pemahaman para korban yang meragukan bantuan warga jemaat juga
turut mempengaruhi respon mereka. Pemahaman yang demikian tidak dapat dipungkiri dan
diabaikan begitu saja, karena kenyataannya ada beberapa lembaga yang bernuansa Kristen
35 Pdt. Sabar Sembiring Brahmana, wawancara penulis tanggal 10 Februari 2008.
42
tidak jarang memanfaatkan situasi tersebut sebagai sarana kristenisasi, seperti yang terjadi
ketika tsunami di Aceh.36
3.5 Faktor Tradisi dan Ajaran Gereja
Pandangan populer tentang malapetaka dan kejahatan sebagai hukuman Allah
cukup populer di antara ahli-ahli biblika.37 Banyak dari cerita-cerita Alkitab yang dijadikan
sebagai pendukung dari pemahaman bahwa kejahatan sebagai hukuman Tuhan. Misalnya
saja, cerita mengenai kejatuhan Adam dan Hawa masih tetap dipakai oleh masyarakat
zaman modern ini untuk melukiskan asal-usul kejahatan dan penderitaan yang dialami
manusia. Ada suatu pemahaman yang masih tetap diyakini sampai sekarang bahwa, andai
saja Adam dan Hawa tidak melanggar perintah Tuhan pasti umat manusia masih hidup
dengan nyaman dan tentram di Taman Firdaus yang utopis.
Senada dengan hal itu, Robert Borrong juga berpendapat bahwa dalam tradisi
agama, bencana alam selalu dilihat secara paradoksal yaitu sebagai hukuman Tuhan
sekaligus juga bukti kasih Tuhan. Cerita-cerita dalam Alkitab yang dilihat sebagai contoh
adalah peristiwa Air Bah (Kej 7), Menara Babel (Kej 11), dan peristiwa Sodom dan
Gomora yang dihancurkan sebagai hukuman atas kejahatan penduduknya (Kej 19:1-25).
Menurutnya, bencana yang bersifat paradoksal tersebut juga menjadi panggilan bagi
manusia untuk bertobat dan hidup bermoral.38
Pemahaman seperti di atas masih tetap terpelihara dan dipertahankan oleh warga
jemaat sampai sekarang. Dalam kaitan ini pimpinan gereja memiliki peran yang sangat
36 Pdt. Sabar Sembiring Brahmana, wawancara penulis tanggal 10 Februari 2008.37 Andreas A. Yewangoe: “Membangun teologi Bencana Pergumulan Teodice dan Penderitaan Allah” , dalam Ati Hildebrandt Rambe, dkk., (ed.), Teologi Bencana: Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial – Makassar, Oase Intim, 2006, hlm. 234.38Robert Borrong, “ Penanggulangan Bencana Alam “, ceramah yang disampaikan dalam lokakarya, menyambut Dies Natalis ke-59 dan Reuni Raya STT INTIM Makassar, pada tanggal 15 September 2007.
43
penting. Ketika tidak ada kesepakatan di antara pimpinan gereja (Pendeta, Penatua dan
Diaken) tentang suatu hal misalnya, pemahaman tentang bencana alam apakah sebagai
hukuman Tuhan atau tidak, juga akan ikut mempengaruhi pemahaman warga jemaat. Hal
ini terbukti dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis bahwa, ada pemahaman
berbeda diantara majelis jemaat sendiri tentang bencana alam.39 Ada majelis yang
memahami bahwa bencana alam sebagai hukuman Tuhan dan ada juga yang melihat bukan
sebagai hukuman Tuhan. Adanya perbedaan tersebut mestinya tidak diabaikan begitu saja
oleh para majelis tetapi justru dibekali dan membekali diri dengan pengetahuan secara
ilmu geologi yang berkembang saat ini. Hal ini penting mengingat warga jemaat juga
memahami bahwa, pemahaman mereka tentang bencana alam dibangun dari tradisi dan
ajaran gereja.
3.5.1 Dampak dari Pemahaman Bencana Alam sebagai Hukuman Allah
Munculnya pemahan bencana alam sebagai hukuman Allah, menimbulkan ada 2
pihak yang disalahkan ketika terjadi bencana, yaitu Allah dan para korban. Bencana alam
yang dipahami sebagai hukuman juga akan menimbulkan sikap fatalistik bagi para korban.
1. Menyalahkan Allah ( Blaming The God)
Adanya penderitaan dan malapetaka yang dialami oleh manusia selalu dikaitkan
dengan Keadilan Allah,40 karena sifat-sifat Allah, yang diyakini sebagai Mahakasih,
Mahakuasa, dan Mahatahu, dianggap tidak sesuai dengan apa yang terjadi di dunia.
39 Perbedaan pemahaman ini ditemukan baik melalui wawancara maupun Kuesioner yang dilakukan oleh penulis di ke-2 Runggun.
40 Keadilan Allah ini dikenal dengan istilah Teodice. Istilah ini mulai pada abad ke-17 oleh seorang filosof Jerman, Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716). Istilah ini dipakai dalam hubungan dengan pembelaan keadilan Allah terhadap kenyataan yang jahat dan penderitaan. Kemudian istilah ini digunakan dan dikembangkan oleh beberapa tokoh lainnya, diantaranya: Lactantius dan C.S. Lewis seperti yang telah diungkapkan diatas. Ikhtisar mengenai hal ini dapat dilihat dalam tulisan Zakaria Ngelow: “Bianglala di Atas Tsunami: selayang Pandang Teodice Kristen” dalam Ati Hildebrandt Rambe dkk (ed.), Teologi Bencana: Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial, Makassar, Oase intim, 2006, hlm. 201-220.
44
Kenyataan seperti ini menyebabkan hakikat/eksistensi Allah dipertanyakan, seperti yang
dikalimatkan seorang teolog yang bernama Lactantius (250-320 M), yang dirujuk oleh A.
Yewangoe bahwa :41
“ Adakah Allah bermaksud mencegah kejahatan (Evil) tetapi tidak sanggup? Maka itu berarti DIA tidak berkuasa. Atau adakah IA mampu tetapi tidak mau? Itu berarti Allah tidak mahakasih. Ataukah IA bisa dan mau? Lalu dari mana asal usul kejahatan? “
Berkaitan dengan pendapat Lactantius di atas, C.S. Lewis yang dirujuk oleh A.
Yewangoe juga menggungkapkan eksistensi Allah sebagai berikut:42
“ Jikalau Allah sungguh-sungguh baik, maka Ia akan membuat semua ciptaan-Nya sungguh-sungguh berbahagia secara sempurna, dan jikalau IA Mahakuasa, maka IA akan mampu melakukan apa yang IA kehendaki. Tetapi, ciptaan-Nya tidaklah berbahagia. Karena itu, Allah kekurangan baik kebaikan maupun kekuasaan, atau kedua-duanya”.43
Sejalan dengan pendapat ke-2 tokoh di atas masih banyak lagi para tokoh lain yang
mempersoalkan tentang pokok ini. Akan tetapi, ke-2 tokoh tersebut rasanya cukup
mewakili tentang pandangan yang mempertanyakan eksistensi Allah dalam penderitaan
manusia.
Berdasarkan pandangan tokoh-tokoh di atas, jelaslah bahwa manusia memiliki
kecenderungan untuk meragukan, bahkan menyalahkan dan mempertanyakan keberadaan
Allah ketika mereka mengalami penderitaan. Di manakah Allah ketika manusia menderita,
ketika bencana melanda manusia sehingga banyak yang menjadi korban: anak-anak
menjadi yatim piatu, orang tua kehilangan anak-anaknya, kehilangan sumber penghasilan
atau pertanyaan-pertanyaan yang senada terus-menerus dilontarkan.
41Andreas A. Yewangoe, Op.cit., hlm. 22642 Ibid, hlm. 226.43
45
2. Menyalahkan Korban (Blaming The Victim)
Memandang bencana sebagai hukuman Allah adalah pemahaman yang paling
umum dalam masyarakat Indonesia. Dengan adanya teologi hukuman seperti ini sering
menyudutkan mereka yang menjadi korban bencana. Fakta bahwa mereka adalah korban
justru dijadikan alasan bahwa mereka memang terkena hukuman Ilahi, sedangkan daerah
yang tidak terkena bencana dianggap sebagai orang benar dan dikasihi Tuhan.
Pemahaman di atas juga didukung oleh beberapa tokoh teolog, di antaranya:
Agustinus (Bapa gereja dari Hippo, Afrika Utara, 354-430), mengajarkan bahwa dosa
manusia adalah sebab dari kejahatan moral dan malapetaka fisik adalah hukuman setimpal
yang dijatuhkan Tuhan atas dosa itu. Dipahami bahwa segala yang diciptakan Allah adalah
baik, termasuk manusia dengan kebebasan kehendak. Manusia memakai kehendak tersebut
untuk memilih yang jahat dan pilihan itulah yang membuat yang jahat terwujud.44 Di sini
secara jelas Agustinus mengaitkan antara dosa dan malapetaka yang dialami oleh manusia
sebagai buah dari kebebasannya dalam memilih yang jahat. Dengan kata lain, penderitaan
disebabkan oleh prilaku manusia itu sendiri.
Para reformator; Martin Luther (1483-1586) dan Yohanes Calvin (1509-1564), juga
mengikuti pandangan Agustinus, bahwa semua yang jahat muncul dari dosa dan kejatuhan
manusia. Martin Luther seperti yang dirujuk Roger Haight, mengungkapkan bahwa
manusia berdosa karena kemauannya sendiri. Hal ini jelas dari tulisannya dalam bahan
kuliah-kuliahnya tentang surat Paulus kepada Jemaat di Roma (1515-1516): dosa aktual
sebenarnya merupakan pekerjaan dan buah dosa. Dosa itu sendiri adalah nafsu, atau
kecenderungan kepada yang jahat dan penolakan terhadap yang baik.45 Yohanes Calvin
juga mengatakan hal yang senada sehubungan dengan penderitan yang dialami oleh
44 Ibid. hlm.227-22845 Roger Haight, Teologi Rahmat Dari Masa Kemasa, Flores, NTT: Nusa Indah, 1999,hlm. 96.
46
manusia, bahwa dosa merupakan buah dari kebebasan manusia atas kejahatan yang
dilakukannya menurut kemauannya dan bukan karena paksaan.46
3. Sikap Fatalistik47
Pada umumnya ada suatu kecenderungan yang mengatakan bahwa rakyat Indonesia
bersifat fatalistis, mereka tidak pernah memberontak terhadap penderitaan mereka dan
akan selalu menerimanya tanpa mengeluh. Malapetaka (dan penderitaan) berupa
kemiskinan atau bencana alam umumnya menyebabkan para korban dengan mudahnya
menerima nasibnya. Allah dipahami sangat berkuasa dalam menentukan nasib dan
peruntungan manusia (biasanya masyarakat menyebut hal ini sebagai takdir). Ketika
malapetaka berupa bencana datang, diyakini itu adalah kehendak Tuhan yang harus
diterima. Dalam situasi seperti ini orang akan cenderung bersifat fatalistik terhadap
kehidupan yang sedang mereka alami, menerima situasi tertentu sebagaimama adanya,
sehingga tidak membuat mereka mengusahakan perubahan bagi kehidupan. Kondisi seperti
ini, oleh A. Yewangoe dalam bukunya “ Teologia Crusis Di Asia “ dikenal dengan istilah
nrimo (narima), sabar dan ikhlas (rila), (meskipun kata-kata itu berasal dari bahasa Jawa
dan juga dipengaruhi oleh pandangan Islam, tetapi konsep tersebut sangat dikenal oleh
rakyat Indonesia dan dianggap bertanggung jawab untuk sikap fatalisme).48 Sikap seperti
inilah yang kemudian membuat manusia – khususnya mereka yang menjadi korban
bencana – akan kehilangan inisiatif untuk mengubah nasib mereka.
46 Lih.Yohanes Calvin, Institutio: Pengajaran Agama Kristen, Terjemahan Ny.Winarsih dan Aritonang, Arifin dan Van den End, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2000, Hlm. 65.47 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Fatalisme merupakan suatu ajaran atau kepercayaan bahwa manusia dikuasai oleh nasib (yang tidak dapat diubah lagi).48 A.A. Yewangoe, Teologia Crusis di Asia : Pandangan-Pandangan Orang Kristen di Asia Mengenai Penderitaan dalamKemiskinan dan Keberagaman Di Asia, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2004, hlm. 274.
47
BAB IV
SOLIDARITAS KEMANUSIAAN SEBAGAI WUJUD
TANGGUNG JAWAB GEREJA:
Refleksi Sosio-Teologis terhadap Peran GBKP
Bencana alam yang terjadi beberapa tahun terakhir ini dipahami sangat tidak
bersahabat karena mendatangkan penderitaan bagi umat manusia, ternyata mempunyai
banyak wajah. Ada bayang-bayang trauma, penderitaan dan putus asa. Tetapi di pihak lain
juga justru memiliki makna lain, pintu hati orang terketuk dan solidaritas terjalin. Bencana
menyadarkan dan memberi kesempatan bagi kita untuk menjalin rasa kemanusiaan dan
berbagi kasih terhadap sesama. Misi Allah untuk menghadirkan syalom harus
diwujudnyatakan di dunia. Untuk menghadirkan syalom itulah Allah mengutus orang-
orang percaya (gereja) sebagai wakil-Nya di dunia.
Dalam bab ini, penulis membahas bagaimana karya Allah di dalam diri Yesus
Kristus yang solider terhadap penderitaan manusia dan implikasinya bagi GBKP dalam
memenuhi tanggung jawabnya di tengah pergumulan hidup umat sebagai wakil Allah.
4.1 Mengurai Bencana Alam, Membangun Harapan
Bencana alam bukan hanya menyebabkan krisis fisik saja tetapi juga krisis teologi.
Malapetaka dan penderitaan yang diakibatkan oleh bencana alam membawa manusia untuk
bertanya “mengapa” dan pada akhirnya memberi penafsiran sebagai jawaban atas
pertanyaan tersebut. Pendekatan yang memandang bencana alam sebagai hukuman adalah
pemahaman yang paling umum dan populer dilontarkan, bahkan di kalangan umat Kristen
48
sendiri. Kemunculan teologi hukuman sebagai penyebab bencana alam bukan tanpa alasan,
sebab pada kenyataannya banyak cerita-cerita yang mendukung pemahaman tersebut di
dalam alkitab. Lalu di tengah maraknya pemahaman ini bagaimana semestinya kita melihat
bencana alam?
4.1.1 Bencana Alam: Perspektif Alkitab
Masih populernya pemahaman tentang bencana alam sebagai hukuman Allah atas
dosa manusia, tidak terlepas dari pengaruh tradisi dan ajaran alkitab. Dalam alkitab banyak
fenomena dahsyat alam sering ditafsirkan sebagai hukuman Allah. Khususnya di dalam
kitab Perjanjian Lama (PL), bencana yang menimpa manusia selalu dilihat sebagai akibat
dari dosa manusia. Peristiwa Air bah (Kej.7) diyakini terjadi sebagai hukuman bagi
manusia. Demikian juga dengan pemusnahan kota Sodom dan Gomora (kej.19), yang
dihancurkan sebagai hukuman atas kejahatan penduduknya. Selain kedua cerita tersebut,
khususnya seluruh kitab Amos juga dilihat sebagai kitab yang menafsirkan fenomena alam
sebagai hukuman atas ketidakadilan, misalnya Amos 5: 8-9, 12 dan 16.49 Dalam ayat-ayat
tersebut ada sebuah pembalasan atas prilaku manusia.
“Dia yang memanggil air laut dan mencurahkannya ke atas permukaan bumi -Tuhan itulah nama-Nya. Dia yang menimpakan kebinasaan atas yang kuat, sehingga kebinasaan datang atas tempat yang berkubu.Sebab Aku tahu, bahwa perbuatanmu yang jahat banyak dan dosamu berjumlah besar, hai kamu yang menjadikan orang benar terjepit, yang menerima uang suap dan yang mengesampingkan orang miskin di pintu gerbang. Sesungguhnya, beginilah firman TUHAN Allah semesta alam, Tuhanku: ‘Disegala tanah lapang akan ada ratapan dan di segala lorong orang akan berkata: Wahai! Wahai!’ “
(Amos 5: 8-9, 12 dan 16).
Adanya pemahaman tentang bencana alam sebagai pembalasan atas hukuman
Tuhan yang masih diyakini oleh umat sekarang ini, tidak terlepas dari pengaruh agama
Yahudi. Kekristenan secara keseluruhan tidak terpisahkan dari umat Yahudi atau
49 Bernard T. Adeney-Risakotta, “Pengantar”, dalam Ati Hildebrandt Rambe, dkk., (ed.), Teologi Bencana: Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial, Makassar: Oase Intim, 2006, hlm. 30.
49
Yudaisme (agama Yahudi). Kekristenan mula-mula lahir dari dalam ruang lingkupYahudi.
Umat Kristen mengenal Allah melalui kesaksian alkitab yang merupakan suatu kesaksian
tertulis tentang pengalaman orang Kristen, yang utamanya berlangsung dalam konteks
keyahudian.50
Selain agama Yahudi, agama suku (agama lokal) juga ikut mempengaruhi
pemahaman warga jemaat. Walaupun warga jemaat sudah hidup dalam kekristenan tetapi,
tidak bisa terlepas begitu saja dari budaya tradisionil yang sudah berakar kuat dalam
kehidupan masyarakat. Bencana alam akan selalu dikaitkan dengan kemarahan dewa-dewa
karena prilaku manusia yang tidak menghargai alam. Dalam pemahaman tradisionil
budaya Karo, pohon-pohon yang berada di hutan diyakini merupakan tempat tinggal para
arwah nenek moyang. Pohon-pohon tidak boleh ditebang secara sembarangan.51 Hutan
dianggap sebagai pemberi kehidupan dan penjaga keselarasan antar ciptaan. Dengan kata
lain, tradisi pemikiran Yudaisme dan budaya tradisionil merupakan dua faktor penting
yang sangat mempengaruhi perjalanan gereja atau jemaat sampai saat ini.
4.1.2 Berdiri di atas Dasar yang Guncang: Sikap terhadap Bencana Alam
Meskipun diakui bahwa, banyak orang termasuk penulis alkitab dalam pasal-pasal
tertentu, percaya bahwa bencana alam (penderitaan dan malapetaka) sebagai hukuman
Allah, namun pemahaman seperti ini cukup berbahaya dan rasanya tidak relevan lagi di
zaman sekarang ini. Pemahaman tersebut dapat mengancam keyakinan umat dan juga pada
akhirnya bukan solidaritas yang dibangun tetapi menimbulkan konflik/perpecahan antar
agama. Selain itu, di zaman modern seperti sekarang ini, penyebab bencana alam dapat
dijelaskan dengan bantuan IPTEK. Jika pemahaman bencana alam sebagai hukuman Allah
50 Hans Ucko, Akar Bersama: Belajar Tentang Iman Kristen dari Dialog Kristen-Yahudi, (terj.) Martin Lukito Sinaga, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1995, hlm.164.51 Sempa Sitepu, Sejarah – Pijer Podi Adat Nggeluh Suku Karo Indonesia, Medan: ADIYU, 2006, hlm. 44
50
tetap dipertahankan, justru akan menimbulkan masalah baru yakni usaha mencari
“kambing hitam” siapa yang harus bertanggung jawab terhadap peristiwa tersebut.
Untuk menghindari pencarian kambing hitam, perlu dilakukan penggalian makna
baru di balik peristiwa bencana alam. Mengatasi persoalan di sekitar bencana alam, penulis
setuju dengan apa yang dilakukan oleh John Campbell-Nelson yang mengkaitkan aspek
geologis dan teologis sekaligus.52 Dari persfektif geologis, dapat dijelaskan penyebab
terjadinya gempa bumi. Berdasarkan ilmu pengetahuan yang berkembang saat ini,
meyakini bahwa terjadinya gempa bumi disebabkan oleh adanya pergesekan lempeng-
lempeng di kulit bumi, khususnya Indonesia yang berada di antara 3 lempeng dunia yang
cukup aktif (hal ini telah dijelaskan dalam analisa, bab 3 sebelumnya!). Berdasarkan
beberapa bencana alam yang telah terjadi, kita diingatkan agar tidak terlalu percaya diri
dan ideologis dalam menilai alam. Saat ini semakin meningkat kesadaran para ilmuan
mengenai lingkungan bahwa alam pada dirinya dinamik, tidak stabil, acak, dan tidak
terduga. Isi alam berkembang, bergeser, bertumbuh dan sebagian besar bekerja di luar
kendali manusia.
Sementara dari perspektif teologis, seluruh proses alam dilihat sebagai tindakan
Allah sang pencipta alam semesta. Banyak pemahaman yang berkembang di sekitar proses
penciptaan, salah satunya adalah paham Deisme. Menurut pahan Deisme, Allah berhenti
bekerja setelah Ia menciptakan dunia. Ketika Allah menciptakan dunia, Ia juga sekaligus
memberikan hukum-hukum yang berlaku, sehingga kini segala sesuatu berjalan
sebagaimana mestinya.53 Tentu saja pandangan seperti ini tidak sesuai dengan ajaran
alkitab, yang menunjukkan bahwa dunia ini tidak pernah berdiri sendiri. Dalam Roma 11:
36 dikatakan, bahwa segala sesuatu dari Dia (diciptakan oleh Tuhan), oleh Dia (dipelihara
52John Campbell-Nelson, “Bumi Tidak Tenang Sebuah Studi Kasus Tentang Gempa Bumi di Alor”, dalam Ati Hildebrandt Rambe, dkk, (ed.), Op.cit, hlm. 98-107.53 Harun Hadiwijono, Iman Kristen, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2001, hlm. 214.
51
oleh Tuhan) dan kepada Dia (demi kemuliaan nama Tuhan). Maupun dalam Kolose 1: 17
dikatakan juga segala sesuatu ada di dalam Dia.54 Berarti tidak ada satu kejadian pun di
dunia luput dari penglihatan Allah, termasuk di dalamnya peristiwa bencana alam dan
dampak yang diakibatkan.
Dalam kaitan proses penciptaan dan hubungannya dengan bencana alam, konsep
mengenai creatio continuo akan lebih tepat karena selain konsep ini telah lama memiliki
tempat dalam tradisi teologi, juga lebih sesuai dengan ajaran alkitab. Menurut konsep ini,
pekerjaan Allah dalam penciptaan belum selesai seluruhnya dan kemudian Ia tinggalkan
begitu saja pada hari ke-7 (Kej.1). Allah tidak pernah berhenti namun Ia diyakini terus
melanjutkan pekerjaan-Nya untuk membarui dan memperkaya alam semesta sebagai
ciptaan-Nya.55 Senada dengan konsep creatio continuo tersebut seorang filsuf, Alfred
North Whitehead (1861-1947) sebagaimana dikutip oleh Harvie M. Conn, juga memahami
bahwa dunia ini berproses. Menurutnya, dunia ini dinamis, selalu berubah, dan sedang
menjadi, mencakup ada.56 Dengan demikian dalam masalah pergerakan tektonik dapat
dikatakan bahwa, melalui cara inilah Allah terus-menerus bekerja memperbaharui wajah
permukaan bumi. Dengan kata lain, gempa bumi sebagai dampak dari karya Allah yang
berlangsung terus-menerus itu. Dengan merubah paradigma berpikir melihat bencana alam
adalah bagian dari tindakan Allah sebagai pencipta akan membantu kita keluar dari
pemahaman bencana sebagai hukuman. Perubahan paradigma dalam peristiwa bencana
alam, justru dapat dijadikan sebagai kesempatan untuk membangun solidaritas
kemanusiaan dan solidaritas terhadap alam. Peristiwa tersebut juga dapat menjadi
pengalaman iman, bahwa penyertaan Allah tetap berlaku dalam setiap situasi.
54 Ibid. hlm. 214.55 John Campbell –Nelson, Op.cit, dalam Ati Hildebrandt Rambe, dkk., (ed.), Op.cit, hlm. 10356 Harvie M. Conn, Teologi Kontemporer, Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1991, hlm. 101.
52
Selain kedua aspek di atas, bagi penulis aspek budaya yang memiliki nilai-nilai
tradisionil juga perlu diperhatikan. Budaya masyarakat nusantara umumnya masih turut
membangun sikap moral dan kepercayaan untuk menghargai alam. Bencana alam yang
terjadi bukan hanya sebagai akibat dari proses alamiah tetapi juga karena prilaku manusia
yang mengeksploitasi alam. Dampaknya juga bukan hanya bagi manusia saja tetapi bagi
alam, karena alam adalah bagian dari ciptaan Allah sebagai suatu kesatuan. Manusia
adalah bagian dari alam, manusia tidak dapat mempertahankan hidupnya tanpa alam.
Sebagai akibatnya, ketika manusia merusak alam maka sebenarnya manusia melakukan
ancaman terhadap eksistensinya sendiri. Terhadap kenyataan ini seakan-akan manusia
menutup mata, sampai sekarang ini eksploitasi terhadap alam masih terus terjadi. Kejadian
20:8: “ Ingat dan kuduskanlah hari sabat....”, selama ini yang selalu dipahami dan
ditegaskan adalah bagaimana pentingnya hari sabat bagi Allah sebagai pencipta dan
manusia sebagai ciptaan. Tetapi sebenarnya sabat bukan hanya bagi Allah dan manusia
saja, tetapi juga alam dan segala isinya. Ketika alam dieksploitasi terus-menerus maka ia
akan mengalami krisis juga. Sang reformator Martin Luther seperti yang dikutip oleh
Victor Tinambunan, juga melihat bahwa sebenarnya ada implikasi ekologi dari hukum
keempat tersebut terhadap pemeliharaan alam ciptaan. Ditekankan disini bahwa alam juga
perlu istirahat.57 Untuk menyikapi hal ini, nilai-nilai budaya yang memberi penghargaan
yang tinggi terhadap alam perlu dilestarikan. Budaya menjadi salah satu sarana bagi Allah
untuk mengingatkan manusia agar menghargai dan memelihara alam. Manusia dituntut
untuk lebih bersikap solider terhadap alam. Manusia yang mengabaikan lingkungannya
berarti mengabaikan hidupnya sendiri. Tidak ada kesejahtraan manusia tanpa disertai
kesejahtraan lingkungan hidup. Manusia perlu menyadari kedudukannya di antara ciptaan
57 Victor Tinambunan, Op.cit. hlm. 57
53
Allah. Senada dengan Christoph Stuekel Berger yang dikutip oleh Karel Erari, mengatakan
bahwa:58
“Selamat datang sebagai tamu di bumi! Rumah bumi terbuka bagi anda. Temukanlah keanekaragaman dan kekayaan taman bumi ini: bersikaplah sebagai tamu dan bukan sebagai pemilik. Anda tidak bisa dan tidak boleh berperan sebagai pencipta. Sebagai makhluk yang diciptakan anda mempunyai kesempatan untuk mengusahakan dan memelihara taman dan dengan demikian meneruskan kehidupan yang diterima”
Berkaitan dengan pertanyaan di mana Allah pada saat manusia menderita, kita
dapat belajar dari kisah Ayub. Akibat bencana dan penderitaan yang menimpanya, ia
dijadikan sebagai “kambing hitam” oleh masyarakat pada zamannya (bahkan oleh keluarga
dan teman-teman dekatnya sendiri). Menurut Rene Girard sebagaimana dikutip oleh
Sindhunata bahwa, dengan mencari kambing hitam sebenarnya hanyalah sebagai usaha
pembenaran diri sendiri. Kisah Ayub dapat kita dijadikan sebagai pedagogi iman, betapa
Tuhan dan karya-karya-Nya - termasuk juga di dalamnya bencana alam-adalah misteri
yang tak terselami oleh manusia. Tetapi satu hal yang pasti, bahwa Allah tidak pernah
berhenti bekerja dan memelihara umat-Nya.59
4.2 Membangun Solidaritas Kemanusiaan
Tuhan Allah masih bekerja hingga kini. Ia tetap bekerja memelihara dunia ini.
Segala benda dan makhluk sesudah dijadikan masih tetap bergantung kepada Dia. Oleh
karena itu, tidak ada suatu hal pun yang dapat berdiri sendiri dan terlepas dari tangan
Allah.
Seperti yang telah disebutkan bahwa, bencana alam memiliki banyak wajah, selain
menimbulkan penderitaan tetapi juga menimbulkan keprihatinan setiap orang akan relitas
di sekitarnya. Memberikan semangat kemanusiaan: empati dan berbela rasa kepada
58 Karel Ph. Erari, Teologi Lingkungan dalam Perspektif Melanesia, dalam SETIA, Jurnal Teologi Persetia No.1, 1997, hlm. 21.59 Sindhunata, Kambing Hitam Teori Rene Girard, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006, hlm. 104.
54
sesama, kebersamaan dan saling menopang. Dalam kaitan dengan relitas penderitaan ini,
dari pada terus-menerus mencari siapa yang harus bertanggung jawab atau “kambing
hitam” atas bencana, mestinya kita justru mencari makna lain di balik peristiwa itu sendiri.
Penderitaan yang disebabkan oleh bencana alam telah menggoreskan luka yang dalam bagi
para korban. Tetapi di zaman sekarang ini kepedulian dan keprihatinan umat semakin
tenggelam akibat roh spiritual individualis. Orang-orang Kristen semakin kehilangan rasa
solidaritas etis emansipatorisnya di tengah-tengah penderitaan sesamanya. Dalam realitas
kehidupan tersebut, sebagai orang beriman (gereja) kita terpanggil untuk solider bersama-
sama dengan Allah tanpa membeda-bedakan golongan, suku, agama ataupun status sosial
seseorang.
4.2.1 Solidaritas Kemanusiaan: Perspektif Alkitab
Allah adalah kasih (1 Yoh 4: 16), itulah hakikat-Nya. Dalam kasih itu Ia solider
dengan penderitaan manusia. Dimana ada penderitaan dan keputusasaan, maka di sana
jugalah Allah ada bergumul bersama penderita.
Allah di dalam Kristus pun mengidentikkan diri-Nya dengan orang-orang yang
menderita. Hal ini dapat dilihat dalam Matius 25: 31-36, khususnya dalam ayat 40:
“Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk aku”
.Dalam bagian ini Yesus mengidentikan diri-Nya dengan mereka yang menderita, Ia
bukan sebagai “penolong” tetapi yang “ditolong”. Kazoh Kitamori seperti yang dikutip
oleh A.Yewangoe juga mejelaskan mengenai penderitaan sebagai hakikat Allah, dalam
pengertian bahwa Allah bukan benar-benar menderita (substansi), melainkan lebih pada
hubungan sifat kasih Allah kepada manusia. Allah yang menderita dalam kasih-Nya ini
hanya dapat dipahami dalam pengertian salib. Melalui kelahiran dan kematian Kristus di
55
salib merupakan penderitaan Allah dan kebangkitan Kristus tersebut menunjukkan kasih
Allah. Dengan kata lain, seluruh karya keselamatan dapat dipahami sebagai ungkapan
kesetiakawanan Allah terhadap manusia. Sehubungan dengan kasih Allah itu, Kitamori
menjelaskan mengenai tiga tingkatan kasih, yaitu pertama, kasih Allah yang dicurahkan
kepada objeknya (dalam hubungan Bapa-Anak); kedua, kasih Allah yang dicurahkan
kepada manusia (dengan mengutus Anak-Nya mati demi menebus dosa manusia); dan
ketiga, kasih yang didasarkan pada penderitaan Allah (pengampunan Allah).60 Berdasarkan
hal ini, Kitamori berpendapat bahwa penderitaan justru bermanfaat untuk menyaksikan
penderitaan Allah demi kasih-Nya bagi manusia. Tentu saja solidaritas menjadi hal yang
penting dan diperlukan dalam rangka menampilkan wajah Allah yang berempati dan
berbela rasa, yang sepenuhnya memihak kepada yang menderita.
Pemahaman mengenai Allah sebagai Pemimpin dan penolong dalam sejarah, harus
dipahami secara bersama-sama dengan konsep Allah yang ikut menderita. Allah sebagai
Pemimpin dan Penolong menunjukkan kuasa-Nya, dan Allah sebagai yang ikut menderita
menunjukkan kasih-Nya. Inilah gambaran yang relevan dalam konteks penderitaan yang di
sebabkan oleh bencana alam. Ada tanggung jawab untuk mewujudnyatakan kasih-Nya
dengan menguatkan, menghibur, mendukung dan menolong serta menopang mereka yang
menjadi korban.
Kisah orang Samaria yang baik hati (Lukas 10: 25-30), sangat menarik untuk dikaji
berkaitan dengan bagaimana orang percaya memahami siapakah “sesamanya”.
Perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati mengetengahkan segi dari kehidupan
manusia, bagaimana seharusnya kita mengasihi sesama. Orang Samaria melalui
tindakannya telah memberi pelayanan kepada orang yang bukan dari golongannya, bukan
60 A.A. Yewangoe, Op.cit., hlm. 223-234.
56
sebangsa, seagama maupun kawan karib. Dari perumpamaan tersebut Yesus mau
mengatakan bahwa, yang menjadi sesama ialah siapa saja yang tergeletak tak berdaya,
tidak penting apakah ia orang Karo atau bukan, beragama Kristen atau non-kristen, berkulit
hitam atau putih, miskin atau kaya, atau latar belakang lainnya, tetapi yang terpenting
bahwa ia juga manusia. Semua manusia adalah saudara yang harus diperhatikan dalam
solidaritas kemanusiaan. Wujud nyata dari kasih tidak membatasi ruang dan waktu.
Ada 3 hal penting yang diajarkan melalui perumpamaan tersebut:61 pertama, murah
hati yang berkaitan dengan kepribadian seseorang. Orang yang murah hati adalah orang
yang menolong dengan melakukan yang terbaik. Kedua, tentang “siapakah sesamaku
manusia”, di dalam Matius 22:37-40: “ Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap
hati....................dan kasihilah sesamamu manusia seperti mengasihi dirimu
sendiri..............”. Kata “segenap” mengandung makna kasih yang tanpa syarat. Di dalam
1 Korintus 13: 13, rasul Paulus mengatakan bahwa iman dan pengharapan tidak akan
berarti tanpa kasih. Dengan kata lain, kasih kepada Allah dan sesama merupakan wujud
nyata iman dan ketiga, belas kasihan yang bukan sekedar kasihan tanpa tindakan tetapi
ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Berempati dengan menempatkan diri
kita pada posisi sesama yang menderita. Manusia tidak akan menjadi manusia yang
sempuran tanpa sesamanya. Orang lain adalah “ aku “ yang lain, yang harus dihargai, dan
diperhatikan karena mereka merupakan bagian dari diri kita, yang tidak bisa diperlakukan
seenaknya. Manusia tidak akan menemukan martabat manusiawinya tanpa merasakan
penderitaan dan kesusahan orang lain. Dengan mengaku bahwa orang lain adalah sesama
bukanlah tindakan tanpa konsekwensi. Tetapi pengakuan yang menuntut tindakan nyata.
4.2.2 Panggilan dan pengutusan Gereja
61 Stefan Leks, Tafsir Injil Lukas, Yogyakarta: Kanisius. 2003, hlm.
57
Gereja yang melayani adalah gereja yang setia pada hakikatnya dan yang mengabdi
kepada misi Allah di dunia ini. Gereja menjadi alat tindakan-tindakan Allah yang
membebaskan dan menyelamatkan dunia ini. Gereja yang melayani adalah gereja yang
senantiasa menyadari bahwa ia ada dan berada di dunia bukan untuk dirinya sendiri,
melainkan untuk bersolider dan berbelarasa terhadap sesama yang menderita. Kraemer
seperti yang dikutip oleh Freddy Butaran mengatakan bahwa, pembebasan oleh Kristus
terdiri dari pembebasan dari kecenderungan yang terus-menerus memikirkan diri sendiri
yang merupakan dosa paling pokok serta akar dari semua kerusakan dalam hidup
manusia.62
Gereja sentris, gereja yang hanya mementingkan dirinya sendiri dan menganggap
dirinya sebagai tempat pelarian dari persoalan-persoalan dunia adalah gereja yang
mengingkari hakikat dan panggilannya. Sebaliknya, gereja yang ikut memikirkan dunia
adalah gereja yang menjawab tanggung jawabnya terhadap panggilannya. Misi gereja
selalu terus berjuang untuk menyatakan syaloom Allah di mana ada penderitaan, kesusahan
dan kondisi lainnya yang tidak mensejahterakan umat manusia. Misi gereja bukan untuk
menjauhi persoalan-persoalan dunia, yang hanya ingin menjadi bejana Allah, bukan
sebagai alat Allah, yang hanya ingin dipenuhi oleh Allah bukan dipakai oleh Allah.
Solidaritas Allah kepada manusia itulah dasar solidaritas gereja dengan orang yang
menderita, miskin dan kelaparan. Solidaritas Allah dimandatkan untuk diteruskan oleh
gereja. Solidaritas tersebut merupakan warisan yang perlu diteruskan sebagai sikap dasar
Allah terhadap manusia.
Dengan berpaling kepada sesama yang menderita, merupakan solidaritas gereja
yang utama, dan dengan solidaritas itu gereja melaksanakan misinya dan mempertahankan
62 Freddy Butaran, Saudari Bumi Saudara Manusia, Yogyakarta: Kanisius, 1996, hlm. 65.
58
identitasnya. Tidak ada batasan bagi solidaritas. Jikalau hanya pada tempat-tempat tertentu,
agama tertentu, dan budaya/suku tertentu yang dianggap cocok untuk perwujudan gereja,
itu berarti suatu pengingkaran yang nyata terhadap gereja dan akan membatasi secara
kuantitatif dan kualitatif apa yang dapat dilakukan oleh Allah.63
4.3 Membangun Solidaritas Komunitas GBKP: Belajar dari Orang Samaria yang
Baik Hati
Ada dua tipe manusia yang digambarkan dari perumpamaan orang Samaria yang
baik hati. Pertama, Imam (rabi Yahudi) dan orang lewi yang mencari “jalan lain” untuk
melewati si korban. Kedua, orang Samaria yang tidak menghindar tetapi justru mendekati
dan merawatnya sampai tuntas. Ia tidak bertindak setengah-setengah, tetapi terus menerus
sampai penderita tersebut sehat kembali seperti sedia kala dan mampu melanjutkan
hidupnya. Posisi gereja selama ini terhadap korban bencana alam bukanlah seperti Imam
dan orang Lewi yang menghindar dan tidak melalukan apa-apa, tetapi juga belum sampai
pada tahap seperti orang Samaria yang membantu hingga tuntas.
Sebagai sebuah institusi gereja, GBKP dipanggil dan ditantang untuk
menghadirkan Syalom Allah di mana GBKP hadir. Untuk menjadi “sesama” bagi mereka
yang menderita menurut injil: di jalan “Yerikho ke Yerusalem” GBKP tidak mengambil
jalan lain untuk menghindari korban yang terluka dan terkapar di jalan seperti yang
dilakukan oleh Imam dan orang Lewi, melainkan seperti orang Samaria yang mendekat,
memeriksa, untuk kemudian menolongnya.
Tujuan Yesus melalui perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati, ingin
mengatakan bahwa tindakan kasih yang ditunjukkannya bersifat universal, kepedulian
63 Jon Sobrino, S.J. dan Juan Hernandez Pico, S.J., Teologi Solidaritas, Yogyakarta: Kanisius, 1989, hlm. 27
59
etisnya melampaui segala sekat-sekat yang ada. Keluar dari tembok-tembok gereja yang
memisahkannya dari realitas hidup. Hal inilah yang harus menjadi perhatian GBKP dalam
rangka melaksanakan misi Allah di bumi.
4.3.1 Sikap dan Tindakan GBKP: “Inilah aku, utuslah aku!”
Sesuai dengan moto GBKP dalam Yesaya 6: 8: “Lalu aku mendengar suara Tuhan
berkata: ‘Siapakah yang akan Kuutus,dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?’. Maka
sahutku: ‘ini aku, utuslah aku!’ “, dan visi serta misinya untuk menghargai kemanusiaan
dan melakukan keadilan, kebenaran, kejujuran dan kasih, maka GBKP harus menjadi
gereja yang memberdayakan, membangkitkan optimisme dan pengharapan para korban
bukan menambah penderitaan. Selama ini sejauh mana GBKP sudah memaknai moto
tersebut?
GBKP secara sadar memahami bahwa ia berada di dunia, di tengah-tengah
kehidupan umat yang sarat dengan penderitaan. Sadar dengan realitas tersebut, GBKP
menjawab panggilannya: “ Inilah aku, utuslah aku”, yang berarti GBKP diutus kepada
siapa saja yang menderita tanpa pembedaan. Dengan segera dan rela menerima tugas dan
panggilan Allah. Menjadi “garam dan terang”. Menjadi garam dengan larut dalam realitas
masyarakat, dan menjadi terang dengan bersedia menjadi lilin yang menyala demi
membantu sesama yang menderita. Gereja harus melaksanakan peran profetis-holistis nya
yaitu pelayanan yang menyeluruh dan mencakup berbagai segi kehidupan. Fungsi gereja
menjadi garam dan terang akan dapat dirasakan orang lain, ketika gereja peka terhadap
masalah-masalah sosial sebagai salah satu bentuk kesetiaan kepada Allah yang menjumpai
manusia dalam kemanusiaan-Nya. GBKP sebagai tubuh Kristus yang hidup, adalah
persekutuan jemaat yang bersaksi dan melayani. Jemaat perlu dibina, diorganisir dan
dimobilisir untuk merefleksikan imannya dalam tindakan nyata. Syaloom Allah harus
60
dinyatakan. Syaloom berarti damai sejahtera dan juga berkat. Dengan moto tersebut,
kapanpun dan di manapun GBKP harus siap diutus untuk mewujudkan damai sejahtera
Allah. Dengan demikian, GBKP mestinya bukan “menunggu surat pemberitahuan”
melainkan langsung bertindak.
4.3.2 GBKP yang Solider: Tindakan yang Membebaskan dan Memberdayakan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisa yang telah dilakukan, jelas bahwa
solidaritas selama ini yang diberikan oleh gereja kepada korban bencana alam masih
bersifat temporer dan karitatif. Tindakan etis seperti ini memang penting sebagai langkah
awal karena memang bantuan seperti itulah (makanan, pakaian, obat-obatan dan bantuan
sejenisnya) yang paling dibutuhkan oleh korban ketika bencana terjadi. Tetapi bantuan
tersebut tidak berkelanjutan dan jenis bantuan yang diberikan tidak membebaskan dan
memberdayakan mereka dari penderitaan. Mereka bukan hanya membutuhkan ikan tetapi
juga pancing.
Tindakan gereja dengan bantuan diakonia karitatif dan temporer yang telah ia
berikan selama ini, belum sampai pada tahap yang membebaskan dan memberdayakan.
Para korban membutuhkan bantuan lebih dari pada sekedar sandang dan pangan,
melainkan juga pekerjaan, tempat tinggal, dan kesembuhan dari trauma. Sebab bencana
alam mengakibatkan para korban bukan hanya kehilanggan harta benda saja, tetapi juga
sanak saudara dan sumber penghasilan. Mereka mengalami krisis baik secara teologis,
ekonomis maupun psikologis. Di sinilah peran gereja, bagaimana ia membantu korban
keluar dari penderitaan mereka. Gereja mestinya menjadi alat penyembuh (konselor).
Seluruh warga jemaat harus dilibatkan dan diberdayakan dalam pelayanan ini sesuai
dengan kemampuan masing-masing. Jika gereja hanya bekerja sendiri tanpa dibantu oleh
pihak lain akan sangat mustahil dapat membantu korban bencana alam betul-betul keluar
61
dari penderitaan mereka. Oleh sebab itu, gereja dengan sumber daya yang dimiliki harus
bekerjasama dengan pemerintah dan lembaga-lembaga sosial lainnya. Tindakan yang dapat
dilakukan, misalnya pendampingan dengan memberikan trauma healling bagi korban yang
trauma, memberdayakan para korban dengan memberikan pembinaan sesuai dengan
keahlian yang mereka miliki, bahkan membantu anak-anak yang harus putus sekolah.
Tindakan tersebut dapat menjadi representasi dari sikap orang Samaria. Dengan demikian,
para korban bukan hanya dibebaskan dari penderitaan tetapi sekaligus juga diberdayakan.
Tindakan yang kecil tetapi memberi dampak yang besar.
Tindakan orang Samaria yang berlaku sebagai sesama kepada korban perampokan
tersebut, mestinya dilakukan juga oleh GBKP khususnya dan gereja-gereja secara umum.
Bukan hanya sibuk dan tenggelam dengan segala ritus untuk mencari jalan ke surga, yang
akhirnya lupa dengan relitas di sekitar kita tetapi membuka hati, mata dan telingga
terhadap rintihan dan resahan mereka yang menderita. Perumpamaan tersebut juga
mengingatkan kepada orang percaya, bahwa bila seseorang terlalu sering mendiskusikan
hukum kasih maka dengan mudah akan terjebak dalam teori saja, lupa kewajibannya untuk
melakukan hukum tersebut. Realitas seperti ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh
rasul Paulus kepada jemaat di Korintus dalam 1 Korintus 13:1:
“Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing” (1 Korintus 13: 1)
Solidaritas berarti bersedia untuk membangun kehidupan bangsa dengan
kesetiakawanan satu dengan yang lain. Kita membangun kehidupan bersama dalam tekad
senasib sepenanggungan, bersama dalam kegembiraan, dan bersama dalam memikul beban
yang berat. Menurut Yesus, solidaritas justru kelihatan dalam sikap ketika berhadapan
dengan orang kecil dan lemah, yang susah dan tidak berdaya. Solidaritas yang sebenarnya
62
kelihatan dimana kita tidak mengharapkan balasan dari apa yang telah kita lakukan
( Lukas 6 : 32 – 34 dan 14 : 12 – 14). Dengan demikian, gereja baik secara individu
maupun kolektif dapat memaknai tugas dan panggilannya sebagai pembawa harapan baru
dengan tuntunan Roh Kudus.
4.3.3 Budaya Karo sebagai Media Solidaritas: “ Rakut Sitelu”
Jelaslah bahwa warga GBKP, adalah jemaat Kristen berkebudayaan Karo, yang
tetap setia kepada adat istiadat Karo, mempertahankan bahkan melestarikannya. Dalam
waktu yang sama warga GBKP juga adalah masyarakat Karo yang beriman kepada Yesus
Kristus. Warga GBKP setiap saat ingin memberlakukan imannya, dan pada saat yang sama
juga ingin memberlakukan kebudayaannya sekaligus tanpa kepercayaan leluhur.
Sistem kekerabatan “ rakut sitelu “ (tiga dalam satu ikatan) dalam masyarakat
Karo ialah:64
Mehamat man Kalimbubu (hormat)
Medes Ersenina (solider)
Megani man Anak Beru (pemurah)
Rakut Sitelu merupakan gambaran bahwa masyarakat Karo benar-benar
menjunjung tinggi semangat dan jiwa demokrasi hak-hak azasi manusia. Sistem
kekerabatan tersebut merupakan azas dalam dinamika kekeluargaan dan merupakan suatu
jalinan yang mengikat setiap orang di dalam satu lingkaran. Setiap orang pada saat tertentu
berganti posisi menjadi pelaku atau menjadi objek pelayanan. Jalinan ini membentuk
64 Dk. Em. P. Sinuraya, Diakonia GBKP 1, Medan, 1988, hlm. 88Kalimbubu: Pihak pemberi anak gadis yang sangat dihormati dalam masyarakat Karo. Menentang dan menyakiti hati Kalimbubu sangat dicela oleh masyarakat. Kalimbubu dalam masyarakat Karo disebut “dibata ni idah”, yang artinya allah yang kelihatan. Fungsi Kalimbubu adalah memperhatikan kebutuhan Anak Berunya. Kalimbubu adalah orang yang pemurah.Senina: Saudara keturunan/semarga. Arti kata senina adalah “seia sekata”, dan sepikir. Senina dalam budaya Karo berfungsi sebagai pengikat persaudaraan dan kekeluargaan.Anak Beru: Pihak penerima anak gadis. Fungsi Anak Beru sangat penting dalam keluarga. Anak Beru adalah orang yang harus memperhatikan kebutuhan Kalimbubunya. Dia harus mengarami dan meneranggi jalannya acara keluarga.
63
lingkaran berganti posisi melayani dan dilayani.65 Dapat dikatakan bahwa, setiap orang
terhisap dalam hak dan kewajiban untuk saling menolong dalam kegotong-royongan.
Kebudayaan Karo yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan “si
sampat-sampaten“ (tolong-menolong/gotong royong) dalam sistem kekerabatan Rakut
Sitelu tersebut dapat dijadikan sebagai sarana/media membangun solidaritas terhadap
sesama. Setiap orang (termasuk di dalamnya bukan suku Karo) harus dilihat sebagai
Kalimbubu, Senina dan anak Beru yang memiliki hak dan kewajiban untuk saling
menolong dan menopang. Jika semua orang Karo memposisikan dirinya dalam tiga aspek
tersebut dan mengfungsikan dirinya sesuai dengan fungsinya masing-masing maka budaya
tersebut akan membangun solidaritas dalam makna kasih sesuai dengan nilai-nilai
Kristiani. Sikap “keeksklusifan” yang senantiasa mewarnai kehidupan orang Karo
hendaknya dilihat sebagai suatu usaha dalam mempertahankan jati diri atau identitasnya,
bukan menjadikannya sebagai komunitas yang fanatik yang memandang budayanya di atas
budaya orang lain. Dengan demikian tidak ada alasan dan berdalih “dia bukan orang
Karo”.
4.3.4 Tindakan GBKP: Jangka Panjang dan Jangka Pendek
Berdasarkan uraian dan refleksi tentang bencana alam dan solidaritas kemanusiaan
di atas, maka ada beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh GBKP dalam rangka
mewujudkan tanggung jawanya menjadi “sesama” bagi para korban bencana alam.
Langkah-langkah tersebut dapat dibagi dalam 2 bagian yaitu:
1. Jangka Pendek
65 Ibid. hlm. 89.
64
Pelayanan yang bersifat karitatif dan temporer, seperti: terjun kelapangan dengan
membuka POSKO bencana, memberikan bantuan moral (doa), memberikan kebutuhan
pokok (sandang dan pangan), dan lainnya adalah tindakan yang harus dilakukan oleh
gereja sebagai langkah awal dalam membantu para korban. Bantuan yang bersifat jangka
pendek ini harus tetap disosialisasikan oleh gereja kepada seluruh anggota jemaat.
2. Jangka Panjang
Mengingat bahwa bencana alam berdampak kompleks bagi seluruh sendi-sendi
kehidupan, maka gereja juga harus memikirkan langkah jangka panjang yang akan
dilakukan dalam rangka menanggulangi bencana alam. Langkah-langkah yang dapat
dilakukan antara lain:
a. Sekalipun kita tidak dapat memprediksi kapan terjadinya suatu
bencana, tetapi paling tidak warga jemaat perlu dibekali pengetahuan tentang
bencana dan memberikan pelatihan-pelatihan dalam menangani korban bencana,
khususnya dalam pendampingan (aksi pastoral). Hal ini sangat penting sebagai
langkah antisipatif dan mempersiapkan warga jemaat dengan segala kemungkinan
yang akan terjadi. Jika kita tidak dapat memprediksi kapan terjadinya suatu gempa,
tetapi kita dapat membuat sistem komunikasi, perencanaan, dan koordinasi yang
baik sehingga dapat mengurangi terjadinya korban dan jika terjadi korban dengan
segera dapat ditangani. Usaha mitigasi tersebut harus dilakukan dengan baik dan
terarah.
b. Membangun kerja sama antara gereja dengan pihak pemerintah
dan LSM dalam membantu korban bencana alam. Kerjasama ini bukan hanya
dijalin ketika bencana alam terjadi saja, tetapi harus berkelanjutan sampai mereka
mampu berdiri sendiri. Kerjasama yang akan terjalin diharapkan dapat memberikan
65
pendampingan kepada korban trauma dan memberikan pembinaan-pembinaan
kepada para korban sesuai dengan keahlian yang dimiliki masing-masing.
Kerjasama yang akan dijalin ini juga harus dengan penuh pertimbangan, karena ada
juga pihak-pihak justru akan memanfaatkan situsi tersebut untuk mencari
keuntungan.
c. Pelatihan-pelatihan dan penyuluhan tentang bencana alam
dijadikan sebagai program kerja gereja yang disosialisasikan kepada seluruh warga
jemaat dan dilakukan secara berkesinambungan dan berkelanjutan. Komisi atau
bidang tersebut khusus dibentuk untuk penggulangan bencana alam.
66
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Berbicara tentang bagaimana membangun solidaritas kemanusiaan terhadap korban
bencana alam ternyata memiliki cakupan dan persoalan yang kompleks. Oleh sebab itu,
dalam bagian ini penulis berusaha menyimpulkan uraian-uraian diatas dan memberikan
usulan-usulan konkret yang dapat mendukung GBKP melaksanakan tanggung jawabnya
dalam menyikapi dampak bencana alam.
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka dapat disimpulkan beberapa hal
seperti di bawah ini:
1. Bencana alam merupakan suatu peristiwa yang tidak dapat dihindari karena diluar
kendali manusia (misalnya tsunami). Kenyataan ini dipengaruhi oleh letak
geografis Indonesia yang berada di antara tiga lempengan dunia yang cukup aktif.
Di samping itu ada juga bencana yang terjadi karena pengaruh prilaku manusia
sendiri yang merusak lingkungan/alam (misalnya: banjir dan tanah longsor).
2. Pemahaman warga jemaat bahwa bencana alam sebagai hukuman Allah masih
tetap berkembang sampai saat ini. Pemahaman tersebut sangat dipengaruhi oleh 2
faktor, pertama: pemikiran Yudaisme tentang paham pembalasan. Perlu dilakukan
reinterpretasi terhadap ayat-ayat alkitab yang selama ini dipahami mengacu pada
teologi hukuman. Hendaknya bencana alam tidak lagi dilihat sebagai hukuman
tetapi bagian dari karya Allah yang terus-menerus untuk ciptaan-Nya dan
67
menjadikan peristiwa bencana alam tersebut sebagai pengalaman iman yang
membangkitkan optimisme dan semangat hidup. Kedua: Pengaruh budaya
tradisionil yang memahami bahwa alam “murka” terhadap manusia masih sangat
kuat mempengaruhi masyarakat.
3. Bencana alam, khususnya yang berskala besar telah merusak tatanan kehidupan
seluruh ciptaan, baik bagi manusia dan tidak terkecuali juga bagi alam. Selama ini
jenis pelayanan yang diberikan kepada korban masih bersifat karitatif dan
temporer. Solidaritas kepada sesama mestinya tidak sekedar sebagai formalitas-
normatif, dalam pengertian derma yang timbul hanya karena rasa kasihan tanpa ada
rasa tanggung jawab. Pelayanan mestinya lebih bersifat kasih sesuai dengan nilai-
nilai Kristiani yang membutuhkan komitmen dan tanggung jawab untuk membantu
hingga tuntas. Selama ini, GBKP khususnya belum tiba pada tahap pembebasan,
pemberdayaan dan pendampingan yang sifatnya holistik (bersifat Reformatif dan
Transformatif). Selain itu peraturan-peraturan gereja yang dipahami secara kaku
juga menjadi salah satu penghambat dalam pelaksanaan pelayanan kepada korban
bencana alam.
4. Latar belakang SARA masih memberi pengaruh yang cukup besar dalam pelayanan
warga jemaat kepada korban bencana alam. Solidaritas masih diwarnai oleh latar
belakang yang sama, khususnya jemaat GBKP. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh
budaya suku Karo yang memegang teguh rasa kekeluargaan.
68
5.2 Saran
1. Karena kita tidak dapat memprediksi kapan terjadinya bencana alam, hendaknya
gereja dari sekarang membekali warga jemaat sebagai usaha untuk mempersiapkan
mereka menghadapi segala kemungkinan yang terjadi (usaha mitigasi).
2. Warga jemaat memiliki potensi yang besar untuk membantu korban bencana alam.
Oleh sebab itu, kesadaran warga jemaat untuk membangun solidaritas harus terus-
menerus ditingkatkan. Semakin tinggi kesadaran jemaat terhadap panggilannya,
akan semakin tinggi pula kadar pelayanan yang diberikan. Untuk itu, GBKP
mestinya lebih memberdayakan warga jemaat yang memiliki potensi dengan
mengikutsertakan mereka dalam membantu penanganan korban bencana alam.
Sangat penting juga meningkatkan kesadaran jemaat melalui kegiatan penyuluhan (
khotbah, seminar, pembinaan warga jemaat dll). Penyuluhan tersebut hendaknya
dilakukan terus-menerus agar pemahaman warga jemaat juga terus-menerus
berkembang, baik pengetahuan tentang bencana maupun solidaritas yang tanpa
sekat.
3. Runggun Yogyakarta dan Runggun Surabaya dapat dijadikan sebagai contoh
bagaimana wujud solidaritas terhadap sesama. Walaupun ke-2 Runggun tersebut
tidak dapat mewakili Runggun GBKP secara keseluruhan, tetapi tidak menutup
kemungkinan masih banyak Runggun yang memiliki gambaran yang sama. Oleh
karena itu, GBKP harus memberikan perhatian yang serius terhadap masalah ini.
Dalam kondisi-kondisi tertentu pelayanan gereja mestinya lebih fleksibel, sehingga
birokrasi menjadi sarana untuk menyentuh pergumulan sesama yang menderita.
Otonomi gereja untuk mengambil keputusan dalam kondisi darurat hendaknya
dapat difungsikan dengan baik. Sinode juga hendaknya dengan cepat dan aktif
69
mengsosialisasikan kepada seluruh warga jemaat tindakan yang akan dilakukan
dalam menghadapi bencana alam. Perlu juga dilakukan seminar teologi bagi
seluruh pendeta maupun penatua dan diaken, khususnya bagaimana memahami
bencana alam dan selanjutnya dapat disosialisasikan kepada seluruh warga jemaat.
4. Budaya tradisionil dapat dijadikan sebagai sarana dalam membangun solidaritas
baik bagi manusia maupun bagi alam. Nilai-nilai budaya Karo yang sangat
menjunjung tinggi penghargaan terhadap alam dan sikap kekeluargaan dalam
kegotong-royongan sangat perlu untuk dilestarikan dan dikembangkan.
5. Perlu adanya kerjasama antara gereja-gereja dengan pihak pemerintah dan
lembaga-lembaga sosial lainnya dalam menghadapi dan menanggulangi bencana
alam, khususnya dalam membantu para korban. Warga jemaat perlu dipersiapkan
sebagai komunitas menjadi alat penyembuh para korban bencana. Dalam kaitan
dengan hal ini, penting untuk mempersiapkan relawan-relawan yang terlatih sesuai
dengan potensi masing-masing.
70
KEPUSTAKAAN
A. Kamus, Alkitab, dan Konkordansi
Alkitab, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2002.
Ensklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I I M-Z, Douglas, J.D. Jakarta: Yayasan Bina
Kasih/OMF, 2001
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gita Media Press, Jakarta.
Konkordansi Alkitab, Walker, D.F. (dkk), Jakarta: BPK- Gunung Mulia, 2002
B. Buku
Aris Marfal, Muh., Moralitas Lingkungan: Refleksi Kritis atas Krisis Lingkungan
Berkelanjutan, Yogyakarta: Wahana Hijau, 2005.
Butaran, Freddy, Saudari Bumi Saudara Manusia, Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Calvin, Yohanes, Institutio: Pengajaran Agama Kristen, Jakarta: BPK-Gunung Mulia,
2000.
Conn, Harvie M., Teologi Kontemporer, Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1991.
Diposantono Budiman, Subandono, Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami, Bogor: PT.
Sarana Komunikasi Utama, 2008.
Hadiwijono, Harun, Iman Kristen, Jakarta: BPK- Gunung Mulia, 2001
Haight, Roger, Teologi Rahmat dari Masa Kemasa, Flores-NTT: Nusa Indah, 1999.
Heuken SJ, A, Ensiklopedi Politik Pembangunan Pancasila, Jakarta, 1991.
Kieser SJ, B, Solidaritas 100 Tahun Ajaran Sosial Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Leks, Stefan, Tafsir Injil Lukas, Yogyakarta: Kanisius, 2003.
71
Moderamen GBKP Kabanjahe, Tata Gereja Batak Karo Protestan, Kabanjahe: Abdi
Karya, 2005.
----------, Garis Besar Pelayanan GBKP 2005-2010, Kabanjahe: Abdi Karya, 2005.
Prinst, Darwan, Adat Karo, Medan: Bina Media Perintis, 2004.
Rambe Hildebrandt, Ati, dkk., edt., Teologi Bencana: Pergumulan Iman dalam Konteks
Bencana Alam dan Bencana Sosial, Makassar: Oase Intim, 2006.
Rani, Markus (peny), Teologi Kehidupan: Melestarikan Lingkungan Hidup, Tana Toraja-
SulSel: PT.SULO, 2006.
Sindhunata, Kambing Hitam Teori Rene Girard, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2006
Sinuraya, P., Diakonia GBKP 1, Medan, 1988.
Sitepu, Sempa, Sejarah – Pijer Podi Adat Nggeluh Suku Karo Indonesia, Medan: ADIYU,
1995.
Sobrino, Jon dan Pico, Juan Hernandes, Teologi Solidaritas, Yogyakarta: Kanisius: 1989.
Tinambunan, Victor, Gereja dan Orang Percaya: Oleh Rahmat Menjadi Berkat Ditengah
Krisis Multi Dimensi, P. Siantar: L-SAPA STT HKBP, 2006.
Ucko, Hans, Belajar Tentang Iman Kristen dari Dialog Kristen-Yahudi, (terj.), Martin
Lukito Sinaga, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1995.
Winarno, Surachmat, Dasar dan Tehnik Research, Bandung: Tarsito, 1972.
Yewangoe, A.A., Teologi Crusis Di Asia: Pandangan Orang-Orang Kristen di Asia
Mengenai Penderitaan dalam Kemiskinan di Asia, Jakarta: BPK-Gunung Mulia,
2004.
72
C. Karangan
Borrong, Robert, “ Penanggulangan Bencana Alam”, disampaikan dalam lokakarya Dies
Natalis dan Reuni Raya STT Intim Makassar, 15 September 2007.
Erari Ph, Karel, “Teologi Lingkungan dalam Perspektif Melanesia”, dalam SETIA Jurnal
Teologi Persetia No.1, Jakarta, 1997.
Http: // pic – brr. Blogspot.com / bencana alam atau pembunuhan masal, htm., download
22 Oktober 2007.
Http: // id. Wikipedia.org / Wiki Bencana Alam – Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia
Berbahasa Indonesia. Htm, download 9 Februari 2008.
Sotarso, “ Siklus Penanggulangan Bencana”, disampaikan dalam Raker SATLAK PB
seluruh Indonesia di Yogyakarta dan Ujung Pandang, 1997.
D. Informan
1. Abanita Br Tarigan 12. Lopiga Surbakti
2. Pt. Arbi Banggun 13. Bp. Joseko Pelawi
3. Bp. Hendri Sembiring 14. Bp Alan Ginting
4. Dkn. Bani Surbakti 15. Servina Br Tarigan
5. Nd. Andre Surbakti 17. Dkn Sarah Br. Tarigan
6. Dkn. Edi Ginting
7. Nd. Rahel Surbakti
8. Nd. Lopiga Surbakti
9. Pt. Abdi Ginting
10. Pt. Madison Ginting
11. Pdt. Sabar Sembiring
73
Lampiran 1
DAFTAR PERTANYAAN QUESIONER
I. Petunjuk Pertanyaan
1. Lingkarilah salah satu jawaban yang menurut saudara benar.
2. Jika jawaban yang telah tersedia tidak sesuai menurut saudara, maka isilah pada titik-
titik yang disediakan.
II. Pertanyaan
A. Data Responden
1. Usia saudara sekarang:
a. 17 – 25 Tahun
b. 26 – 55 Tahun
c. 56 – 64 Tahun
d. 65 Tahun Keata
2. Jenis kelamin saudara:
a. Laki-laki
b. Perempuan
3. Pekerjaan saudara:
a. PNS
b. Pegawai Swasta
c. Pedagang
d. Petani
e. Lainnya………..
4. Pendidikan terakhir saudara:
a. TK/SD
b. SMP/Sederajat
c. SMU/ Sederajat
d. Akademi/Perguruan Tinggi
5. Status dalam jemaat:
a. Majelis Jemaat
b. Pengurus organisasi kategorial
c. Anggota jemaat biasa
d. Lainnya…………..
B. Pemahaman Warga Jemaat Tentang Bencana Alam
1. Apakah yang saudara ketahui tentang bencana alam?
a. Bencana alam merupakan proses alamiah yang mengakibatkan kerusakan dan
kerugian
b.Bencana alam yang merenggut nyawa manusia
c. Bencana alam merusak tatanan kehidupan manusia dan ciptaan lain
d.Jawaban a dan b benar
e. Lainnya…………………
74
Lampiran 1
2. Apakah yang menyebabkan terjadinya bencana alam: gempa bumi, banjir, tanah
longsor, dan letusan gunung berapi?
a. Kehendak/ Hukuman Tuhan
b. Ulah manusia
c. Gejala alam
d. Faktor alam dan manusia
e. Lainnya……………….
3. Bagaimana saudara memahami bencana alam yang terjadi di daerah saudara ( bencana
alam di Yogyakarta lumpur Lapindo di Sidoarjo)?
a. Murka alam
b.Proses alamiah
c. Hukuman Tuhan bagi orang Aceh
d.Penyalah gunaan IPTEK
e. Lainnya
4. Apakah pendapat saudara tentang bencana alam Tsunami di Aceh?
a. Hukuman Tuhan
Alasannya…………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
……………….
b. Bukan hukuman Tuhan
Alasannya…………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
……………….
5. Dari mana pemahaman saudara dibangun tentang bencana alam?
a. Alkitab/ Ajaran gereja
b.Pendidikan formal
c. Pengalaman
d.Lainnya…………….
6. Bagaimana pandangan saudara tentang bencana alam berdasarkan budaya suku
Karo?.................................................................................................................................
.....................................................................................................................
75
Lampiran 1
C. Bentuk Solidaritas (bantuan) yang Diberikan kepada Korban Becana Alam
1. Bagaimana perasaan saudara ketika orang lain tertimpa bencana alam?
a. Sedih
b. Prihatin
c. Takut dan cemas
d. Biasa-biasa saja
e. Lainnya…………..
2. Bagaimana bentuk solidaritas saudara terhadap korban bencana alam, khususnya yang
terjadi di daerah saudara ( Yogyakarta dan Lumpu Lapindo di Sidoarjo)?
a. Memberi dukungan moral (mendoakan)
b. Memberi dukungan material
c. Terjun kelapangan
d. Berdiam diri
e. Lainnya…………….
3. Apakah bentuk solidaritas saudara ditentukan oleh latar belakang SARA (Suku,
Agama, Ras, dan Antar Golongan)?
a. Ya
Alasannya…………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
b. Tidak
Alasannya…………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
4. Menurut saudara jenis bantuan apakah yang paling tepat diberikan kepada korban
bencana alam?...........................................................................................................
Alasannya………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………..
5. Dalam situasi bencana bantuan karitatif yang sifatnya jangka pendek dan bantuan
pemulihan secara psikologi maupun ekonomi diperlukan para korban bencana alam.
Menurut saudara apakah gereja sudah melakukan hal tersebut?
a. Sudah
76
Lampiran 1
Alasannya…………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
b. Belum
Alasannya…………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
6. Apakah bentuk solidaritas saudara kepada korban bencana alam diberikan secara
pribadi (individu) atau secara institusi (Gereja)?
a. Secara individu
Alasannya…………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
b. Secara institusi
Alasannya…………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………
7. Bagaimana peran gereja dalam melakukan sosialisasi tentang bencana alam?
a. Belum pernah
b. Sering
c. Jarang
8. Apakah saudara merasa perlu mengetahui cara-cara mencegah/mengatasi bencana
alam?
a. Perlu
b. Tidak perlu
c. Lainnya……………
9. Bagaimana selama ini gereja memberikan penjelasan atau sosialisasi tentang bencana
alam?
a. Melalui khotbah
b. Melalui PA/ Diskusi
c. Melalui seminar atau ceramah
d. Lainnya…………….
77
CURICULUM VITAE
Wina Citra Br. Sembiring Kembaren, dengan filosofi hidup “mela mulih adi lenga
rulih”adalah anak ketiga dari empat bersaudara (2 putra dan 2 putri). Buah cinta kasih dari
pasangan B. Sembiring Kembaren dan I. Br. Barus lahir di keindahan dan kesejukan kuta
Bukum, Kabupaten Deli Serdang, Medan – SUMUT pada tanggal 12 Maret 1985.
Pendidikan formal yang pernah ditempuh:
SD Negeri 101841 Bukum pada tahun 1991 – 1997
SMP Negeri 1 Sibolangit pada tahun 1997 – 2000
SMU Negeri 1 Pancur Batu pada tahun 2000 – 2003
Tahun 2003 atas rekomendasi dari Moderamen Gereja Batak Karo Protestan (GBKP)
melanjutkan pendidikan di lembaga STT INTIM Makassar pada program S-1 Teologi
78
PERNYATAAN PENYERAHAN SKRIPSI
Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa skripsi dengan judul:
MEMBANGUN SOLIDARITAS KEMANUSIAAN
Tantang Jawab GBKP Runggun Yogyakarta dan Runggun Surabaya
Terhadap Solidaritas Kemanusiaan dalam Menghadapi Bencana Alam
dan Implikasinya Bagi GBKP
merupakan hasil kerja dan rumusan mandiri oleh penulis dan bebas dari unsur plagiat baik
dari sumber-sumber yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan.
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya serahkan karya ilmiah ini kepada Sekolah
Tinggi Teologia Indonesia Bagian Timur Makassar untuk disimpan, dipublikasikan dan
atau diperbanyak dalam bentuk apapun oleh STT INTIM Makassar bagi keperluan
akademis.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Makassar, 8 September 2008
Wina Citra Sembiring
79
80