draft tesis cici new-19.02.2014

89
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pembangunan kesehatan adalah bagian dari pembangunan nasional yang bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pembangunan kesehatan harus dipandang sebagai investasi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Selain itu, kesehatan juga merupakan upaya memenuhi salah satu hak rakyat, yaitu hak memperoleh pelayanan kesehatan dan merupakan upaya yang harus diintegrasikan dengan seluruh potensi bangsa Indonesia, baik masyarakat, pemerintah, maupun swasta. Salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya derajat kesehatan adalah seberapa besar tingkat pembiayaan untuk sektor kesehatan (Sujudi, 2003). Besarnya belanja kesehatan berhubungan

Upload: alffin-pelangi

Post on 26-Nov-2015

32 views

Category:

Documents


17 download

TRANSCRIPT

53

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang PenelitianPembangunan kesehatan adalah bagian dari pembangunan nasional yang bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pembangunan kesehatan harus dipandang sebagai investasi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Selain itu, kesehatan juga merupakan upaya memenuhi salah satu hak rakyat, yaitu hak memperoleh pelayanan kesehatan dan merupakan upaya yang harus diintegrasikan dengan seluruh potensi bangsa Indonesia, baik masyarakat, pemerintah, maupun swasta.Salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya derajat kesehatan adalah seberapa besar tingkat pembiayaan untuk sektor kesehatan (Sujudi, 2003). Besarnya belanja kesehatan berhubungan berhubungan positif dnegan pencapaian derajat kesehatan masyarakat. Makin besar belanja kesehatan yang dikeluarkan pemerintah, maka akan makin baik pencapaian derajat kesehatan masyarakatnya.Anggaran kesehatan di Indonesia terbilang minim. Persoalan kesehatan yang dihadapi juga sangat beragam dan disparitasnya tinggi, seperti perbedaan jarak geografis, latar belakang pendidikan, keyakinan, status sosial ekonomi, dan kurang cakupan jaminan kesehatan sehingga mengakibatkan pelayanan kesehatan belum dinikmati secara merata oleh masyarakat Indonesia. Padahal, kesehatan menjadi salah satu indikator pembangunan manusia, bersama dengan pendidikan. Hal ini menunjukkan komitmen Indonesia rendah dalam membiayai pelayanan kesehatan masyarakat karena rata-rata hanya menganggarkan 2% dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sedangkan negara-negara tetangga menganggarkan biaya kesehatan yang cukup tinggi, seperti Malaysia, Thailand, dan Timor Leste yang menganggarkan 12% untuk dana kesehatan (www.hukumonline.com, 2011).

Sesuai dengan pernyataan Seknas Fitra pada pers rilisnya tahun 2012 bahwa sejak tahun 2005-2013, rata-rata anggaran kesehatan hanya dialokasikan 2% dari belanja APBN. Bahkan sejak diberlakukan Undang-undang (UU) No. 36/2009 tentang Kesehatan yang mengamanatkan anggaran kesehatan 5%, anggaran kesehatan malah terus menurun. Pada tahun 2013, walaupun ada kenaikan anggaran, tapi proporsi anggaran kesehatan menurun. Untuk konteks Aceh, Belanja kesehatan yang berasal dari APBA terus meningkat menjadi lebih dari Rp 2 triliun pada 2012. Pada tahun 2012, pembiayaan yang dilakukan provinsi terhitung sebesar Rp 904 miliar, sedangkan kabupaten Rp 1,4 triliun. Dibandingkan dengan tahun 2005, pembiayaan kesehatan secara riil meningkat lebih tiga kali lipat pada tahun 2012. Porsi terbesar pembelanjaan terletak di tingkat kabupaten/kota tercatat sebesar 61 persen. Pembiayaan di tingkat provinsi meningkat signifikan sejak tahun 2008, searah dengan adanya tambahan sumber pembiayaan dari dana Otsus. Program pemerintah JKA yang terhitung sebesar Rp 243 miliar pada tahun 2010 dan Rp 400 miliar tahun 2011 turut menambah porsi belanja kesehatan provinsi (PECAPP, 2013).

Sejak tahun 2007 menunjukkan pola yang sama, Dinas Kesehatan merupakan pengelola terbesar belanja kesehatan. Sebesar 22 persen lainnya dikelola oleh Rumah Sakit pemerintah, yang berada di ibukota provinsi. Sesuai dengan fungsinya, biaya yang disediakan untuk rumah sakit akan lebih besar digunakan untuk upaya kuratif, sementara dana yang ditempatkan di Dinas kesehatan digunakan untuk kegiatan preventif dan kuratif.

Mulai tahun 2008 sampai dengan tahun 2028, dalam konteks otonomi daerah, Provinsi Aceh dan kabupaten/Kota di Aceh menerima dana otonomi khusus. Pemberian otonomi khusus di Aceh bersifat asimetris yang membedakan dengan provinsi lain. Penerapan Undang-undang (UU) No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, di Aceh harus disesuaikan dengan substansi UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota memberi pedoman kepada daerah tentang lingkup kewenangan dan fungsi yang akan dilaksanakan dan dibiayai dari anggaran daerah.Substansi UU No. 11/2006 yang menjelaskan kewenangan pengelolaan keuangan disebutkan pada Pasal 178 Bab Keuangan dan Arah Perekonomian dan Pasal 179 Pasal 201. Sebagai pedoman pelaksanaan anggaran otonomi khusus, Pemerintah melalui Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 195/PMK.07/2012 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Anggaran Otonomi Khusus Provinsi Aceh Tahun Anggaran 2013. Pemerintah Aceh sendiri membuat aturan terkait pengelolaan dana otonomi khusus dengan menetapkan Qanun No. 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Anggaran Bagi Hasil Migas dan Gas Bumi dan Penggunaan Anggaran Otonomi Khusus. Sebelumnya Pemerintah Aceh telah menetapkan Qanun No. 1 Tahun 2008 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Aceh.Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus Aceh (2011), menyebutkan bahwa penyaluran Dana Otonomi Khusus dari pemerintah pusat ke Pemerintah Aceh pada tahun anggaran 2008 sampai dengan 2010 mengalami keterlambatan selama kurang lebih 1-2 bulan, namun mengingat penetapan APBA yang juga terlambat, hal tersebut tampaknya tidak sampai mengganggu pelaksanaan anggaran. Manajemen keuangan daerah yang tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan media utama pemerintah daerah dalam melakukan alokasi sumber daya daerah secara optimal, sekaligus merupakan media yang dapat digunakan untuk mengevaluasi prestasi pemerintah daerah dalam membiayai pembangunan di daerah. Sebagai media utama maka setiap pengeluaran pemerintah harus diperuntukan untuk kepentingan publik dan wajib dipertanggungjawabkan. Artinya pengelolaan dalam bentuk alokasi anggaran publik diharapkan dapat mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat agar dapat mandiri secara ekonomi (Tuasikal, 2008:143). Beberapa alokasi anggaran publik yang mendasar dan menjadi urusan wajib bagi pemerintah daerah adalah untuk urusan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Urusan kesehatan merupakan urusan wajib yang diselenggarakan oleh kabupaten/kota dan dibiayai dengan APBK. Namun, pemerintah kabupaten/kota di Aceh juga mendapat pendanaan dari provinsi berupa Dana Otonomi Khusus dan dari pemerintah pusat berupa Dana Alokasi Khusus (DAK). Transfer dana dari pemerintah provinsi dan pusat ini cukup membantu daerah, mengingat sebagian besar sumber daya daerah dari Dana Alokasi Umum (DAU) telah terserap untuk belanja pegawai.Dana Otonomi Khusus merupakan penerimaan Pemeritah Aceh yang ditujukan untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan. Dana Otonomi Khusus berlaku untuk jangka 20 (dua puluh) tahun, dengan rincian untuk tahun pertama sampai dengan tahun kelima belas yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) plafon Dana Alokasi Umum Nasional dan untuk tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh yang besarnya setara dengan 1% (satu persen) plafon Dana Alokasi Umum Nasional.Pada pasal 11 Qanun No. 2 Tahun 2008 dijelaskan bahwa sebanyak 40% (empat puluh persen) dana otsus dialokasikan untuk program dan kegiatan pembangunan Aceh, dalam hal ini adalah pemerintah provinsi. Sementara 60% (enam puluh persen) sisanya dialokasikan untuk program dan kegiatan pembangunan di Kabupaten/Kota. Hal ini bermakna bahwa peran dana otonomi khusus yang dialokasikan oleh pemerintah pusat sangat besar bagi kemajuan pembangunan di Aceh, terutama alokasi besar yang diperuntukkan bagi pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Aceh.Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada provinsi/kabupaten/kota tertentu dengan tujuan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Pemerintahan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Dasar hukumnya UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; dan PP Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan (http://id.wikipedia.org/wiki/Dana_Alokasi_Khusus). Alokasi belanja infrastruktur berhubungan dengan kesehatan didasarkan pada pemahaman, bahwa pelayanan kesehatan yang baik sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sarana dan prasarana publik, seperti; jalan dan jembatan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa penangan kematian ibu dan anak akan bermuara pada infratruktur, menjadikan daerah pedesaan lebih urbanize. Tentu saja menjadikan daerah menjadi lebih urbanize bukanlah hal mudah dan murah tetapi juga jangan membuat luntur budaya yang ada. Investasi terhadap infrastuktur bukanlah hal yang harus diragukan karena berdampak langsung terhadap kesehatan dan perekonomian pada ujungnya (http://kesehatan-ibuanak.net, infrastruktur untuk kesehatan). Sedangkan justfikasi dari pengalokasian anggaran kesehatan sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk. Menurut pengamat ekonomi pada umumnya mengatakan semakin besar jumlah penduduk maka berpengaruhi terhadap kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat. Minimnya anggaran kesehatan akan sangat mempengaruhi pelayanan kepada penduduk yang berefek lemahnya pelayanan dan bermuara kepada persoalan seperti kematian ibu dan balita, penyakit menular, penyakit kronik atau tidak menular, yang secara global akan berdampak kepada menurunnya kesehatan masyarakat, produktifitas manusia, dan angka harapan hidup, distribusi dan kualitas tenaga kesehatan, yang dampaknya justru akan merugikan negara secara sistemik (http://agus34drajat.wordpress.com/, 25 juni 2013).Indeks kesehatan dalam Indeks Pembangunan Masyarakat (IPM) diukur berdasarkan indicator UHH (Umur Harapan Hidup) waktu lahir/Life Expectancy at Birth, lebih spesifikasi ditentukan berdasarkan sub/Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) yang merupakan indicator komposit dari berbagai indicator kesehatan berbasis komunitas: AKI (Angka Kematian Ibu), AKB (Angka Kematian Bayi), morbiditas, status gizi, dan kondisi kesehatan lingkungan (Muhafilah, 2013).

Pada 2010, hampir semua wilayah kabupaten/kota di Provinsi Aceh mempunyai peringkat Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) yang rendah, kecuali kota Sabang dan Kota Banda Aceh pada peringkat 12 dan 76 dari 440 kabupaten/kota di Indonesia. Bahkan Aceh Jaya dan Aceh Selatan menempati posisi peringkat 414 dan 424 dari 440 (Kementerian Kesehatan, 2007).Proses penyusunan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBD memiliki berbagai masalah. Fozzard (2001) menunjukkan bahwa pengalokasian sumber daya merupakan permasalahan mendasar dalam anggaran sektor publik. Hal ini berarti perlu adanya suatu desain sistem pengeluaran yang mampu mengendalikan pola konsumsi sumber daya ekonomi, khususnya anggaran publik yang tidak tepat sasaran. Pengalokasian sumber daya dalam anggaran seharusnya sejalan dengan kebutuhan dan prioritas pembangunan daerah.Penelitian Akbar (2011) menunjukkan hasil bahwa jumlah penduduk berpengaruh signifikan terhadap anggaran belanja daerah di Sumatera Utara. Artinya, semakin besar jumlah penduduk maka semakin banyak dan beragam fasilitas dan bentuk pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah, yang pada akhirnya memperbesar alokasi untuk belanja pelayanan publik.. Kemudian hasil dari Penelitian Sapha (2012) menunjukkan bahwa alokasi anggaran kesehatan berpengaruh terhadap estimasi untuk usia harapan hidup dan status gizi masyarakat. Belanja kesehatan di kabupaten/kota seringkali dititikberatkan pada program pengadaan pembangunan fisik seperti pembangunan Puskesmas/Pustu dan jaringannya serta rumah sakit.

Penelitian Gordon, et al. (1997) tentang pengeluaran kesehatan pada departemen kesehatan lokal di Amerika Serikat tahun 1992-1993 menunjukkan bahwa terdapat variabilitas yang besar antara pengeluaran kesehatan per kapita departemen kesehatan lokal, dimana 70% dari variabilitas (ukuran penyebaran) tersebut didapatkan dari perbedaan jumlah penduduk/populasi di wilayah yuridiksi departemen kesehatan. Rerata pengeluaran tahunan kesehatan per kapita yang diteliti pada departemen kesehatan lokal di Amerika Serikat adalah US$26 atau kurang dari sepersen per hari.Craigwell, et al. (2012) meneliti tentang efektivitas belanja publik untuk kesehatan dengan mengevaluasi usia harapan hidup di 19 negara Karibia. Hasilnya menunjukkan bahwa pengeluaran kesehatan memiliki efek positif yang signifikan terhadap status kesehatan.

Sumber pendanaan untuk membiayai program-program kesehatan dan upaya peningkatan kesehatan. Keseluruhan program kesehatan yang dibuat pemerintah harus terlebih dahulu dilakukan identifikasi kebutuhan sehingga mampu benar-benar dirasakan sebagai kebutuhan utama yang diperlukan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Untuk itu program kesehatan yang dibiayai haruslah mampu memberikan dampak nyata terhadap pelayanan kesehatan. Caranya dibuat aturan baku dalam bentuk sistem perencanaan, kontrol, dan mengevaluasian terhadap keseluruhan proses awal hingga akhir pelaksanaan program pelayanan kesehatan.

Membahas pengukuran kinerja adalah faktor penting di dalam suatu organisasi, termasuk juga untuk organisasi sektor publik. Sejauh ini, pengukuran kinerja yang digunakan oleh organisasi sektor publik, adalah pengukuran kinerja yang tradisional. Metode ini memusatkan pada aspek keuangan saja. Namun dengan menggunakan metodeValue for Money,capaian tidaklah hanya diukur dari aspek keuangan saja, tetapi juga dari aspek non keuangan, yaitu kepuasan pelanggan, operasi bisnis internal, dan aspek tumbuh dan berkembang.Value for money merupakan inti pengukuran kinerja pada organisasi pemerintah dan sektor publik. Kinerja pemerintah tidak dapat dinilai dari sisi output yang dihasilkan semata, akan tetapi secara terintegrasi harus mempertimbangkan input, output, dan outcome secara bersama-sama. Permasalahan yang sering muncul adalah sulitnya mengukur output karena output yang dihasilkan pemerintah tidak selalu berupa output yang berwujud (tangible output), tetapi kebanyakan juga bersifat output tidak berwujud (intangible output). Ukuran kinerja pada dasarnya berbeda dengan indikator kinerja. Perbedaan antara ukuran kinerja dengan indikator kinerja adalah:Ukuran kinerja, Umumnya mengacu pada penilaian kinerja secara langsung, misalnya: laporan keuangan pemerintah.

Indikator kinerja, Mengacu pada penilaian kinerja secara tidak langsung, yaitu hal-hal yang sifatnya hanya merupakan indikasi-indikasi kinerja.

Mekanisme penentuan indikator kinerja membutuhkan:

a.Sistem perencanaan dan pengendalian. Meliputi proses, prosedur, dan struktur yang memberi jaminan bahwa tujuan organisasi telah dijelaskan dan dikomunikasikan keseluruh bagian organisasi dengan menggunakan rantai komando.

b.Spesifikasi teknis dan standarisasi. Spesifikasi ini digunakan sebagai ukuran kinerja kegiatan, program dan organisasi.

c.Kompetensi teknis dan profesionalisme. Personil yang memiliki kompetensi dan professionalmerupakan jaminan dukungan dalam pekerjaan.

d.Mekanisme ekonomi dan mekanisme pasar. Mekanisme ekonomi terkait dengan pemberian reward dan punishment yang bersifat finansial.

e.Sedangkan mekanisme pasar terkait dengan penggunaan sumber daya. Mekanisme ini digunakan untuk memperbaiki kinerja personil dan organisasi (Sapnapramesti, 2012).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang sebelumnya, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:1. Apakah dana otonomi khusus berpengaruh terhadap alokasi belanja kesehatan di kabupaten/kota se-Aceh.

2. Apakah dana alokasi khusus berpengaruh terhadap alokasi belanja kesehatan di kabupaten/kota se-Aceh.

3. Apakah alokasi belanja infrastruktur berpengaruh terhadap alokasi belanja kesehatan di kabupaten/kota se-Aceh.

4. Apakah jumlah penduduk berpengaruh terhadap alokasi belanja kesehatan di kabupaten/kota se-Aceh.

5. Apakah peringkat kesehatan kabupaten/kota berpengaruh terhadap alokasi belanja kesehatan di kabupaten/kota se-Aceh.6. Apakah kinerja keuangan pemerintah daerah berpengaruh terhadap alokasi belanja kesehatan di kabupaten/kota se-Aceh.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh:

1. Alokasi dana otonomi khusus terhadap alokasi belanja kesehatan di kabupaten/kota se-Aceh.

2. Dana alokasi khusus terhadap alokasi belanja kesehatan di kabupaten/kota se-Aceh.

3. Alokasi belanja infrastruktur terhadap alokasi belanja kesehatan di kabupaten/kota se-Aceh.

4. Jumlah penduduk terhadap alokasi belanja kesehatan di kabupaten/kota se-Aceh.

5. Peringkat kesehatan kabupaten/kota terhadap alokasi belanja kesehatan di kabupaten/kota se-Aceh.6. Kinerja keuangan pemerintah daerah berpengaruh terhadap alokasi belanja kesehatan di kabupaten/kota se-Aceh.1.4 Manfaat Penelitian1.4.1 Kegunaan Praktis (Operasional)

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai masukan dan bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah yang terlibat langsung dalam pengelolaan anggaran di kabupaten/kota di Aceh.1.4.2 Kegunaan Akademis (Teoretis)

Manfaat penelitian ini dari aspek akademis/teoretis adalah untuk pengembangan kepustakaan ilmu akuntansi pemerintahan melalui pemberian bukti empiris tentang faktor-faktor yang dipertimbangkan oleh pemerintah daerah dalam pengalokasian anggaran belanja kesehatan.BAB IIKAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), dan ditetapkan dengan peraturan daerah (Ritonga, 2010:183). APBD merupakan suatu gambaran atau tolok ukur penting keberhasilan suatu daerah di dalam meningkatkan potensi perekonomian daerah. Artinya jika perekonomian daerah mengalami pertumbuhan, maka akan berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan asli daerah, khususnya penerimaan pajak daerah (Saragih, 2003:127). Menurut Mardiasmo (2006:61), anggaran sektor publik merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial, sedangkan penganggaran adalah proses atau metode untuk mempersiapkan suatu anggaran.

Struktur APBD berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 59/2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan. Daerah. Pasal 22 terdiri dari Pendapatan Belanja dan Pembiayaan dikelompokkan atas pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Belanja dikelompokan menjadi belanja terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja langsung. Pembiayaan daerah terdiri dari penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan. Penerimaan pembiayaan mencakup sisa lebih perhitungan anggaran tahun sebelumnya, penjualan dana cadangan, hasil dari kekayaan daerah yang dipisahkan, penerimaan pinjaman daerah, penerimaan kembali pemberian pinjaman, dan penerimaan piutang daerah. Pengeluaran pembiayaan mencakup pembentukan dana cadangan, penyertaan modal pemerintah daerah, pembayaran pokok hutang, dan pemberian pinjaman daerah.2.1.2 Belanja Kesehatan

Di dalam beberapa literatur tentang belanja kesehatan pembahasan tentang pembiayaan sektor kesehatan selalu diawali dengan pendefinisian sektor kesehatan itu sendiri. Hal ini disebabkan karena yang terjadi pada kenyataannya terdapat perbedaan definisi sektor kesehatan antara satu Negara dengan Negara lainnya. Sektor kesehatan memiliki definisi yang lebih luas di Negara sedang berkembang dari pada negara-negara maju. Perbedaan definisi ini sudah pasti akan mempengaruhi proses pengambilan kebijakan di sektor kesehatan, terutama dalam hal pembiayaannya.Mills dan Gibson (1990) menyebut lingkup sektor kesehatan ke dalam lima aspek, yaitu:1. Pelayanan kesehatan, jasa-jasa sanitasi lingkungan (misalnya: air, sanitas, pengawasan polusi lingkungan, keselamatan kerja, dan lain-lain).

2. Rumah sakit, institusi kesejahteraan sosial.

3. Pendidikan, pelatihan-pelatihan, penelitian medis murni.

4. Pekerjaan medis sosial, kerja sosial.

5. Praktisi medis yang mendapat pendidikan formal, penyedia pelayanan kesehatan tradisional.

Dalam rangka mencapai tujuan dan sarana pembangunan kesehatan maka diperlukan dana, baik yang bersumber dari pemerintah mapun dari masyarakat. Wasisto dan Ascobat (1986) menyebutkan bahwa secara garis besar sumber pembiayaan untuk upaya kesehatan dapat digolongkan sebagai sumber pemerintah dan sumber non-pemerintah (masyarakat, dan swasta). Selanjutnya sumber pemerintah dapat berasal dari pemerintah pusat, provinsi, Kabupaten/Kota, dan bantuan luar negeri. Adapun sumber biaya masyarakat atau swasta dapat berasal dari pengeluaran rumah tangga atau perorangan (out of pocket), perusahaan swasta/BUMN untuk membiayai karyawannya, badan penyelenggara beberapa jenis jaminan pembiayaan kesehatan termasuk asuransi kesehatan untuk membiayai pesertanya, dan lembaga non pemerintah yang umumnya digunakan untuk kegiatan kesehatan yang bersifat sosial dan kemasyarakatan.2.1.3 Sumber Pendanaan Bidang Kesehatan2.1.3.1. Dana Otonomi Khusus

Paska peralihan transisi dari masa orde baru ke reformasi tahun 1997 memicu provinsi di Indonesia meminta pemisahan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Upaya mengatasi provinsi yang ingin memisahkan diri, Pemerintah Indonesia membuat kebijakan desentralisasi kewenangan secara lebih luas ke provinsi. Namun dibatasi terhadap enam hal yang tidak diberikan ke provinsi, yakni dari kebijakan fiskal dan moneter, keamanan nasional, pertahanan luar, kekuasaan kehakiman (yustisi/hukum), kebebasan beragama, dan hubungan luar negeri. Akan tetapi pemberian otonomi khusus di Aceh bersifat asimetris yang membedakan dengan provinsi lain berdasarkan UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, atau publik menyebutnya dengan UUPA (Djojosoekarto. 2008).Konsekuensi dari pelimpahan sebagian wewenang pemerintahan dari pusat ke daerah otonom, tidak lain adalah penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia (SDM) sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. Hal ini diatur dalam UU No. 22/1999, Pasal 8 ayat (1). Maka pemerintah kemudian mengeluarkan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat-Daerah menggantikan UU No. 32/1956.

Dengan dimulainya penerimaan dana otonomi khusus pada tahun 2008, Aceh memperoleh tambahan sumber daya fiskal secara signifikan. Sejak tahun 2008, Dana Otonomi Khusus (Otsus) menjadi sumber terbesar bagi penerimaan publik Aceh dengan porsi mencapai 62 persen dari anggaran provinsi di tahun 2010, atau sekitar 25 persen dari total anggaran seluruh daerah di Aceh (provinsi dan kabupaten/kota). Dana Otsus memiliki peran menggantikan dana bagi hasil Migas yang jumlahnya terus menurun semenjak 2008. Penerimaan dana otonomi khusus telah membuat Aceh menjadi salah satu provinsi dengan sumber daya fiskal terbesar di Indonesia. Jika tanpa Dana Otsus, Aceh berada di urutan ke 15 dalam hal nilai pendapatan daerah per kapita, dengan adanya Dana Otsus, Aceh naik ke urutan 7 provinsi di Indonesia dengan pendapatan daerah per kapita tertinggi. Penerimaan Dana Otsus ini akan berlangsung selama 20 tahun sampai dengan tahun 2028 dengan proyeksi total peneriman sebesar Rp100 trilyun dengan asumsi rata-rata pertumbuhan rata-rata sebesar 5 persen per tahun (PECAPP, 2013)Pasal 183 Ayat 1 Undang- Undang No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan bahwa pemanfaatan Dana Otsus diatur untuk: (i) Membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur; (ii) Pemberdayaan ekonomi rakyat; (iii) Pengentasan kemiskinan; dan (iv) Pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. Selama periode 2008-2010, bidang infrastruktur selalu mendapat alokasi tertinggi dalam pemanfaatan dana otonomi khusus. Alokasi untuk bidang infrastruktur pekerjaan umum pada tahun 2010 mencapai Rp1,4 trilyun atau merupakan 37 persen dari seluruh alokasi otonomi khusus diikuti oleh bidang pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi Rp1,02 trilyun (27%), bidang pendidikan Rp672 milyar (18%), Kesehatan Rp558 milyar (14%), Keistimewaan Aceh Rp159 milyar (4%), dan Sosial Rp18 milyar (0,6%) (Aliasuddin, dkk, 2011).Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus Aceh merupakan kerjasama tim peneliti Universitas Syiah Kuala dan Universitas Malikussaleh (2011) menemukan bahwa alokasi untuk masing-masing kabupaten/kota secara relatif terhadap total Dana Otsus yang tersedia mengalami fluktuasi setiap tahunnya. Setidaknya terdapat 7 kabupaten yang bagian alokasinya secara relatif mengalami rata-rata pertumbuhan yang negatif dibandingkan dengan tahun 2008. Walaupun Qanun No. 1/2008 tentang Pengelolaan Keuangan Aceh, pasal 14 s/d 111 (98 pasal), telah mengatur bahwa pembagian kepada masing-masing kabupaten/kota adalah mengikuti formula yang mempertimbangkan indikator seperti jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK), dan indikator lain yang relevan, namun mengingat data dasar untuk perhitungan alokasi tidak dipublikasikan sulit memastikan bahwa alokasi yang diterima oleh kabupaten/kota telah sesuai formula yang ditetapkan.Tabel 2.1Total Dana Otonomi Khusus Untuk Masing-Masing Kabupten/Kota di Aceh Selama Tahun 2008-2011Kabupaten

/Kota2008 (%)2009 (%)2010 (%)2011 (%)Rata-rata Pertumbuhan

/Tahun (%)

Simeulue2,52,22,32,4-0,1

Aceh Singkil2,52,22,52,60,0

Aceh Selatan3,32,83,13,1-0,1

Aceh Tenggara2,92,62,93,20,1

Aceh Timur4,54,14,24,50,0

Aceh Tengah3,22,73,03,0-0,1

Aceh Barat2,72,62,42,60,0

Aceh Besar2,83,02,83,10,1

Pidie2,62,72,93,00,1

Bireuen2,63,02,62,80,1

Aceh Utara2,93,43,33,10,1

Aceh Barat Daya2,22,42,22,40,1

Gayo Lues4,32,63,83,7-0,2

Aceh Tamiang2,72,82,62,4-0,1

Nagan Raya3,42,72,73,0-0,1

Aceh Jaya3,12,43,13,10,0

Bener Meriah2,22,32,12,10,0

Pidie Jaya1,62,21,81,90,1

Banda Aceh1,52,51,51,60,0

Sabang1,31,91,21,30,0

Langsa1,82,21,61,70,0

Lhokseumawe1,82,51,51,6-0,1

Subulussalam1,82,22,02,00,1

Alokasi Kab/Kota59,960,060,058,160,0

Alokasi Provinsi40,140,040,041,940,0

Sumber: Diolah dengan menggunakan data dari Bappeda Aceh

Distribusi alokasi dana Otsus ke kabupaten/kota pada tahun 2010 memiliki korelasi yang kuat dengan luas wilayah yang dimiliki kabupaten/kota tersebut. Koefisien korelasi antara alokasi Otsus dengan luas wilayah mendekati angka satu (0,96) yang menunjukkan korelasi yang hampir sempurna, sementara korelasi antara alokasi Otsus dengan jumlah penduduk terlihat lebih lemah (0,4). Sehingga tidak mengherankan jika kota-kota yang umumnya memiliki luas wilayah yang lebih yang lebih sempit daripada kabupaten-kabupaten mendapatkan alokasi yang lebih sedikit. Korelasi dengan Indeks Pembangunan Manusia menunjukkan hubungan korelasi negatif dengan koefisien korelasi sebesar -0,5 yaitu bahwa kabupaten/kota yang IPMnya rendah cenderung mendapatkan alokasi yang lebih tinggi.Alokasi Otsus secara per kapita menunjukkan tingkat pemerataan yang serupa dengan pemerataan alokasi DAU secara nasional, dan tidak secara signifikan meningkatkan ketimpangan sumber daya fiskal antar kabupaten/kota secara keseluruhan. Tingkat pemerataan fiskal antar daerah setelah menunjukkan kecenderungan yang hampir sama dengan DAU. Indikator yang digunakan adalah Indeks Williamson (ukuran ketimpangan), yang pada dasarnya mengukur tingkat variasi alokasi antar daerah relatif terhadap variasi dalam jumlah penduduk. Perhitungan Indeks Williamson atas alokasi Dana Otsus tahun 2010 menunjukkan angka yang tidak jauh berbeda dengan Indeks Williamson DAU secara nasional. Hasil perhitungan Indeks Williamson juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara angka indeks untuk penerimaan APBK tanpa alokasi Dana Otsus dengan apabila angka alokasi Otsus ditambahkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa alokasi Dana Otsus tidak secara signifikan memperbaiki atau memperburuk variasi sumber daya fiskal antar kabupaten/kota (Pecapp. 2011, hal.31).

Di bidang Kesehatan, 70 persen alokasi Otsus digunakan untuk program peningkatan pelayanan kesehatan, yang bagian terbesarnya untuk membiayai jaminan kesehatan Aceh. Program pembangunan dan peningkatan infrastruktur Puskesmas dan RS menyerap 20 persen berikutnya dari alokasi bidang kesehatan, sementara 10 persen yang selebihnya digunakan layanan medis, obat-obatan serta program promosi kesehatan masyarakat (Tim Peneliti Unsyiah dan Unimal. 2011, hal. 37) 2.1.3.2 Dana Alokasi Khusus

Pembuatan kebijakan publik ditingkat lokal Provinsi Aceh tidak terlepas dari landasan hukum desentralisasi dan otonomi daerah, yaitu UU No.32/2004 dan UU No.33/2004, yang saat ini menjadi dasar bagi penerapan struktur politik dan administrasi pemerintahan, khususnya keuangan (fiskal) di Indonesia. UU No. 32/2004 mengatur pelimpahan penyelenggaraan sebagian besar urusan pemerintahan menjadi kewenangan daerah, sementara UU No.33/2004 menata kebijakan perimbangan keuangan sebagai konsekuensi atas pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Menurut laporan penelitian Smeru (2008) tentang Mekanisme dan Penggunaan DAK, penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah dibiayai dari dan atas beban APBD. Namun, di sisi lain kemampuan sebagian besar daerah yang tercermin dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya mampu mengumpulkan tidak lebih dari 15% nilai APBD. Oleh karena itu, kekurangannya harus dibantu oleh Pemerintah Pusat melalui mekanisme anggaran perimbangan yang terdiri dari DBH, DAU, dan DAK yang satu sama lain saling mengisi dan melengkapi. Pasal 1 angka 23 UU No. 33/2004 menyebutkan, bahwa DAK adalah anggaran yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu membiayai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.Pasal 162 UU No.32/2004 menyebutkan bahwa DAK dialokasikan dalam APBN untuk daerah tertentu dalam rangka penganggaran desentralisasi untuk (1) membiayai kegiatan khusus yang ditentukan Pemerintah Pusat atas dasar prioritas nasional dan (2) membiayai kegiatan khusus yang diusulkan daerah tertentu. Kebutuhan khusus yang dapat dibiayai oleh DAK adalah kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan secara umum dengan menggunakan rumus DAU, dan kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional. Pasal 162 Ayat (4) UU No. 32/2004 yang mengamanatkan agar DAK ini diatur lebih lanjut dalam bentuk PP, dan untuk itu Pemerintah telah mengeluarkan PP No. 55/2005 tentang Dana Perimbangan.Pelaksanaan DAK sendiri diarahkan pada kegiatan investasi pembangunan, pengadaan, peningkatan, dan/atau perbaikan sarana dan prasarana fisik pelayanan masyarakat dengan umur ekonomis yang panjang, termasuk pengadaan sarana fisik penunjang, dan tidak termasuk penyertaan modal. Pedoman pelaksanaan DAK di daerah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 171.1/PMK.07/2008 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Dana Khusus Tahun Anggaran 2009, Peraturan Menteri Keuangan No. 175/PMK.07/2009 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Dana Khusus Tahun Anggaran 2010, Peraturan Menteri Keuangan No. 216/PMK.07/2010 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Dana Khusus Tahun Anggaran 2011, Peraturan Menteri Keuangan No. 209/PMK.07/2011 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Dana Khusus Tahun Anggaran 2012, dan Peraturan Menteri Keuangan No. 201/PMK.07/2012 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Dana Alokasi Khusus Tahun Anggaran 2013.Tabel 2.2

Alokasi DAK Bidang Kesehatan di Aceh Selama Tahun 2009-2013 (dalam juta rupiah)

NoDaerah20092010201120122013

1Provinsi Aceh4.105,003.224,607.726,48.719,045.303,80

2Kab. Aceh Barat9.601,005.657,302.805,94.120,736.974,40

3Kab. Aceh Besar7.844,004.770,706.322,94.637,128.687,76

4Kab. Aceh Selatan7.012,006.408,107.173,07.688,255.342,79

5Kab. Aceh Singkil8.313,005.616,003.601,03.724,896.275,55

6Kab. Aceh Tengah6.429,004.945,306.088,18.731,065.664,11

7Kab. Aceh Tenggara7.674,006.579,407.353,35.019,827.020,40

8Kab. Aceh Timur9.144,006.557,105.332,24.322,665.468,41

9Kab. Aceh Utara8.685,006.440,703.583,6-2.631,46

10Kab. Bireuen7.271,008.358,104.640,05.731,496.128,64

11Kab. Pidie10.304,005.914,006.750,47.258,026.266,97

12Kab. Simeulue6.740,006.814,205.890,83.223,797.127,28

13Kota Banda Aceh7.583,003.769,804.813,45.684,925.464,03

14Kota Sabang9.623,005.072,205.112,72.771,035.440,18

15Kota Langsa6.350,005.584,104.968,43.228,304.406,38

16Kota Lhokseumawe6.384,003.529,003.762,63.007,574.531,90

17Kab. Nagan Raya8.465,004.961,904.165,35.685,476.247,98

18Kab. Aceh Jaya5.699,002.865,202.888,62.669,295.949,11

19Kab. Aceh Barat Daya6.225,005.941,904.057,74.555,854.950,30

20Kab. Gayo Lues6.603,004.947,403.720,36.666,464.687,71

21Kab. Aceh Tamiang7.831,004.541,103.054,25.367,805.077,90

22Kab. Bener Meriah5.886,003.636,505.631,16.000,134.696,52

23Kab. Pidie Jaya9.177,004.333,703.380,34.328,264.798,94

24Kota Subulussalam8.212,003.451,703.190,72.950,365.854,52

Sumber: Beberapa peraturan Menteri Keuangan (2009-2013), diolah (2013).Penggunaan DAK bidang kesehatan tahun anggaran 2009 dan 2010 ditujukan untuk pelayanan dasar dan pelayanan rujukan. Tahun anggaran 2011, 2012, dan 2013, penggunaannya ditujukan pada pelayanan dasar, pelayanan farmasi, dan pelayanan rujukan. Untuk tingkat Provinsi, anggaran DAK hanya ditujukan pada pelayanan rujukan.2.1.4 Alokasi Belanja Infrastruktur

Infrastruktur adalah segala struktur yang berwujud fisik yang digunakan untuk menopang keberjalanan kegiatan masyarakat, sehingga dapat menekan inefisiensi dari aktivitas masyarakat dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur dibuat sesuai permintaan seefisien mungkin yang dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat luas (Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2011 tentang Pengembangan Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda).Menurut Dedy Supriadi Priatna, Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, menurunnya belanja infrastruktur sudah barang tentu menyebabkan penyediaan infrastruktur menjadi tidak sebanding dengan perkembangan kebutuhan akibat pertambahan penduduk. Sebagai contoh, antara tahun 2000 dan 2009, tingginya pertambahan jumlah kendaraan dan relatif tidak bertambahnya infrastruktur jalan, menyebabkan jumlah kendaraan per kilometer jalan meningkat hampir 3 kali lipat. Akibat dari ketidak-seimbangan antara permintaan akan infrastruktur dan penyediaan, maka peranan infrastruktur dalam mendorong pertumbuhan ekonomi juga semakin menurun (Kementerian Pekerjaan Umum, 2011).Sedangkan hasil penelitian Silo (2007), menemukan kelambanan institusi dalam merespon animo atau keluhan masyarakat, telah meningkatkan frekwensi kritikan, baik secara langsung maupun melalui media massa. Misalnya, tentang kelambanan penyediaan sarana infrastruktur pendidikan dan bantuan pendidikan bagi siswa yang tak mampu. Keluhan dan kritikan yang disampaikan oleh masyarakat kepada Sekolah, dan Sekolah kepada Dinas Pendidikan, terutama berkenaan dengan kebijakan yang ditetapkan, deviasi implementasi kebijakan, kontrol yang lemah. Hal ini sekaligus merupakan signal buruk bagi pengembangan pendidikan yang demokratis di masa men-datang. Pengembangan pendidikan di bawah kewenangan otonomi daerah, membutuhkan partisipasi dan dukungan semua pihak.

Jika memahami hasil Laporan PECAPP tentang analisis belanja publik Aceh 2012 menunjukkan bahwa belanja infrastruktur Aceh berada di peringkat ketujuh terbesar di Indonesia dengan nilai belanja per kapitanya sebesar Rp736 ribu, sedangkan rata-rata nasional tercatat sebesar Rp358 ribu. Pembangunan jalan dan jembatan memiliki porsi terbesar dari belanja infrastruktur Aceh sebesar 44 persen. Mengingat dengan nilai belanja perkapita yang relatif besar, merupakan kesempatan bagi Aceh untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih baik terhadap kebutuhan infrastruktur pada saat ini, sekaligus merencanakan kebutuhan infrastruktur dimasa mendatang (PECAPP, 2013).

Faktor-faktor produksi yang diwakili oleh infrastruktur (jalan, listrik, air, telepon dan pendidikan) dan institusi (jumlah PNS, proporsi penduduk perkotaan, belanja anggaran dan belanja rutin) mempunyai pengaruh dan kontribusi yang signifikan terhadap output yang diwakili oleh variabel pendapatan per kapita agar dapat ditentukan arah kebijakan pemerintah dalarn pengembangan infrastruktur dan institusi di Indonesia (Lutfi, 2006).

Hasil penelitian Bastias (2010) menunujukkan bahwa pengeluaran pemerintah atas transportasi yang berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi, namun pengeluaran pemerintah atas pendidikan, kesehatan dan perumahan tidak mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Sementara dalam jangka panjang variabel pengeluaran pemerintah atas perumahan dan transportasi mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara signifikan dan bertanda positif, sedangkan variabel pengeluaran pemerintah atas pendidikan dan kesehatan tidak mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.Berdasarkan Buku Panduan Analisis Kebijakan Publik Aceh tahun 2010 disebutkan selama periode 2008-2010, bidang infrastruktur selalu mendapat alokasi tertinggi dalam pemanfaatan dana otonomi khusus. Termasuk dalam infrastruktur adalah infrastruktur bangunan pendidikan, kesehatan, dan lainnya. Selain infrastruktur, bidang lain yang mendapat alokasi besar adalah pemberdayaan ekonomi dan pendidikan.Pada tahun anggaran 2010, alokasi terbesar diperoleh oleh bidang infrastruktur pekerjaan umum. Jika kriteria infrastruktur yang digunakan hanya menyangkut bidang pekerjaan umum (jalan, jembatan, drainase, pemukiman dan pengembangan wilayah, air minum dan sanitasi, irigasi, sumber daya air, dan infrastruktur perhubungan), maka alokasi untuk bidang infrastruktur pada tahun 2010 mencapai Rp1,4 trilyun atau merupakan 37 persen dari seluruh alokasi Otsus, diikuti oleh bidang pendidikan Rp672 milyar (18%) dan Kesehatan Rp558 milyar (14%).Jika dilihat dari alokasi berdasarkan program, alokasi terbesar pada tahun 2010 digunakan untuk pembangunan jalan dan jembatan dengan alokasi sebesar Rp782 milyar atau 20,3 persen dari total anggaran. Alokasi untuk 10 program yang mendapat anggaran terbesar mencapai 71 persen dari total alokasi anggaran. Selain pembangunan jalan dan jembatan, alokasi terbesar lainnya didapatkan oleh program-program berikut ini: (i) Program Peningkatan Keberdayaan Masyarakat Pedesaan yang diantaranya digunakan untuk Bantuan Keuangan Pemakmoe Gampong (BKPG), sebuah program yang sejenis dengan PNPM, dengan alokasi sebesar Rp418 milyar (10,9%); (ii) Program Kemitraan Peningkatan Pelayanan Kesehatan yang sebagian besarnya digunakan untuk program Jaminan Kesehatan Aceh, alokasi Rp385 milyar (10%); (iii) Program wajib belajar pendidikan 9 tahun dan Program pendidikan menengah, alokasi untuk kedua program tersebut adalah Rp470 milyar (12,2%); (iv) Program Peningkatan Produksi Pertanian/Perkebunan, alokasi Rp167,4 milyar (4%) Program Pengembangan dan Pengelolaan Jaringan Irigasi, alokasi Rp154,4 milyar (4%). Program lainnya yang termasuk dalam program dengan alokasi terbesar dengan persentase alokasi masing-masing sekitar 3 persen adalah pengembangan infrastruktur pedesaan, bantuan sosial, dan pengendalian banjir.

Jumlah yang dialokasikan untuk pembangunan pagar dan paving block mencapai Rp63 milyar (2,4%), sehingga membuat pembangunan pagar menjadi salah satu dari 10 besar output dana otsus dengan jumlah alokasi yang hampir sama dengan jumlah alokasi bangunan kesehatan Rp65 milyar (2,5%). Hal tersebut konsisten dengan alokasi per program yang menunjukkan program pembangunan jalan dan jembatan sebagai program dengan alokasi terbesar 20,3 persen, diikuti oleh program peningkatan keberdayaan masyarakat pedesaan, termasuk didalamnya BKPG (10,9%), program kemitraan peningkatan pelayanan kesehatan (termasuk JKA) 10 persen, program wajib belajar pendidikan dasar (6,2%) dan program pendidikan menengah (6%).

2.1.5 Jumlah Penduduk

Pengertian jumlah penduduk adalah jumlah manusia yang bertempat tinggal/berdomisili pada suatu wilayah atau daerah dan memiliki mata pencaharian tetap di daerah itu serta tercatat secara sah berdasarkan peraturan yang berlaku di daerah tersebut. Pencatatan atau pengkategorian seseorang sebagai penduduk biasanya berdasarkan usia yang telah ditetapkan (Anonymous, 2011).Dengan meningkatnya jumlah penduduk dan bertambah banyaknya masalah kesehatan yang timbul dari transisi epidemiologi, permintaan untuk pelayanan kesehatan umum yang bermutu tinggi telah meningkat, yang menyebabkan pentingnya pengalokasian sumber dana kesehatan. Namun, kemampuan pemerintah dalam penyediaan dana sangat terbatas. Oleh sebab itu, pengaturan keuangan menjadi sangat penting disamping mencari sumber-sumber masyarakat untuk biaya tambahan bagi pelayanan kesehatan. Mekanisme alternatif untuk membiayai pelayanan kesehatan termasuk: rencana asuransi perawatan kesehatan masyarakat, adanya biaya pemakaian (user-fee) untuk menunjang kegiatan operasional di RS, dan privatisasi. Privatisasi dapat menjamin penyesuaian bagi kelompok yang berpendapatan rendah dan peraturan dari pelayanan kesehatan di sektor swasta.

Meningkatnya jumlah dan proporsi penduduk usia di atas 65 tahun di banyak negara di dunia meningkatkan kekhawatiran atas kecenderungan peningkata pengeluaran publik. Proyeksi terbaru OECD (Organization for Economic Cooperation & Development) menyatakan dari 13 negara dengan informasi yang tersedia, populasi ini akan membuat peningkatan yang terkait dengan pengeluaran dari rata-rata di bawah 19% Produk Domestik Bruto (PDB) di tahun 2000 menjadi hampir 26% PDB pada tahun 2050, dengan pembayaran pensiun hari tua dan pengeluaran kesehatan (Dang, Antolin & Oxley, 2001 dalam Gray, 2005).Struktur umur penduduk merupakan bagian penting lain dalam pengeluaran kesehatan. Penduduk usia muda (biasanya usia di bawah 15 tahun atau di bawah 5 tahun) dan penduduk usia tua (di atas 65 tahun) atau sangat tua (di atas 75 tahun) telah digunakan untuk mengkarakterisasi tingkat ketergantungan penduduk. Indikator yang menarik perhatian adalah penuaan, tetapi koefisien estimasinya lemah. Namun, studi terbaru telah menemukan hubungan yang signifikan dan positif antara penuaan pengeluaran kesehatan dan ada keyakinan bahwa itu akan meningkat di masa depan. Kesimpulan ini didasarkan pada gabungan pengaruh dari estimasi peningkatan pangsa orang tua dan kecenderungan pengeluaran kesehatan per kapita yang meningkat sejalan dengan usia. Penelitian yang lain juga menemukan hubungan positif antara pengeluaran kesehatan untuk pangsa usia 0-4 tahun, tapi ada hubungan yang sedikit negatif pada pangsa usia di atas 75 tahun (Gerattham et al, 1998 dalam De Mello-Sampayo & De Sousa-Vale, 2010).Qanun No. 2/2008 telah mengatur bahwa pembagian kepada masing-masing kabupaten/kota adalah mengikuti formula yang mempertimbangkan indikator seperti jumlah penduduk. Jika dikorelasikan dengan perencanaan dana otonomi khusus di sektor kesehatan, hasil analisis Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) dan Public Expenditure Analysis & Capacity Strengthening Program yang didukung Bank Dunia (World Bank) dan Australia Aid (AusAid) tahun 2013 menunjukan bahwa jumlah penduduk merupakan faktor penting yang harus dipertimbangkan. Bentuknya ditunjukan dengan program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA), dimana pengalokasian anggaran kesehatan sangat ditentukan oleh jumlah penduduk yang menikmati pelayanan kesehatan yang dibiayai dengan JKA tersebut.

2.1.6 Indeks Pembangunan Kesehatan MasyarakatIndeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) merupakan indeks komposit yang dirumuskan dari 24 indikator kesehatan. IPKM dimanfaatkan sebagai indikator menentukan peringkat pemerintah daerah dalam keberhasilan pembangunan kesehatan masyarakat, bahan advokasi ke pemerintah daerah agar terpacu menaikkan peringkatnya sehingga sumber daya dan program kesehatan diprioritaskan, serta sebagai salah satu kriteria penentuan alokasi dana bantuan kesehatan dari pusat ke daerah (Kementerian Kesehatan, 2010).Hasil Riset Kesehatan Dasar 2010, Provinsi Aceh mengalami peningkatan IPKM dari 0,4 (2007) menjadi 0,55 (2010). Pada tahun 2012, Kementerian Kesehatan mengalokasikan anggaran untuk mendukung upaya pembangunan kesehatan di Aceh sebesar Rp242.568 milyar, dimana alokasi anggaran itu tersebar dalam dana tugas pembantuan bidang kesehatan, dekonsentrasi, dan DAK.Hasil analisis Seknas Fitra (2012) atas anggaran daerah tahun 2011 di 20 kabupaten/kota yang menjadi partisipan program KINERJA menyatakan bahwa beberapa daerah yang memiliki IPKM rendah (di bawah 0,5), seperti Sekadau, Bulukumba, Luwu, dan Probolinggo, ternyata memiliki alokasi anggaran sektor kesehatan yang rendah, dimana rerata anggaran kesehatan per kapita masih di bawah Rp200 ribu. Proporsi anggaran kesehatan terhadap keseluruhan belanja pada keempat kabupaten tersebut masih di bawah 10%. Sedangkan empat kabupaten lain dengan IPKM di bawah 0,5, yaitu Simeulue, Aceh Singkil, Melawi, dan Aceh Tenggara sudah mengalokasikan anggaran kesehatan per kapita yang relatif tinggi (minimal Rp250 ribu).Banyaknya indikator kesehatan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 dan adanya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tingkat kabupaten/kota, telah memunculkan gagasan baru, mengembangkan indikator komposit kesehatan masyarakat, yang bisa menjabarkan lebih lanjut indikator kesehatan dalam IPM. Gagasan tersebut akhirnya melahirkan IPKM, yakni suatu indeks komposit terdiri dari 24 indikator kesehatan utama yang dikumpulkan dari 3 survei berbasis komunitas yaitu Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Survei Potensi Desa (Podes).

IPKM terpilih adalah yang mempunyai keeratan hubungan dengan indikator Umur Harapan Hidup Waktu Lahir dalam IPM. IPKM banyak manfaatnya untuk advokasi ke Pemerintah Daerah, untuk memprioritaskan daerah mana yang harus dibantu, untuk menentukan besarnya bantuan dana dari pusat ke daerah, termasuk untuk menentukan prioritas program yang harus diintervensi pada suatu lokasi.

2.1.7 Alokasi Belanja Kesehatan

Menurut Atmawikarta (2004), salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya derajat kesehatan adalah seberapa besar tingkat pembiayaan untuk sektor kesehatan. Besarnya belanja kesehatan berhubungan positif dengan pencapaian derajat kesehatan masyarakat. Semakin besar belanja kesehatan yang dikeluarkan pemerintah maka akan semakin baik pencapaian derajat kesehatan masyarakat.

Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Sugeng Bahagijo, mengutip studi Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang menyebut negara miskin pun mampu meningkatkan anggaran kesehatan. Sementara, posisi Indonesia di komunitas internasional tidak termasuk negara miskin, namun alokasi anggaran untuk kesehatan lebih kecil ketimbang beberapa negara tergolong miskin itu. Misalnya, Rwanda, Liberia dan Tanzania. Beberapa negara di Afrika itu mengalokasikan anggaran untuk kesehatan rakyatnya sebesar 15 persen, sedangkan Indonesia mengalokasikan di bawah kisaran angka tersebut. Dari data yang diperoleh Seknas Forum Indonesia untuk Trasparansi Anggaran (Fitra), periode 2005 2012 alokasi anggaran kesehatan dari belanja pemerintah rata-rata 2,2 persen. Studi WHO itu, tak jauh beda dengan studi Bank Dunia. Dibandingkan negara lainnya di wilayah Asia Tenggara, pemerintah Indonesia dinilai "pelit" dalam mengalokasikan anggaran untuk kesehatan. Contohnya di tahun 2006, pendapatan per kapita Indonesia US$ 1.420 Dollar dan anggaran untuk kesehatan dari total belanja pemerintah hanya 5,3 persen. Namun, Vietnam, dengan pendapatan per kapita hanya US$ 700, presentase belanja kesehatan terhadap total belanja pemerintah mencapai 6,8 persen.Pembiayaan kesehatan Aceh terus meningkat, mencapai lebih dari Rp1,9 triliun pada tahun 2011. Belanja per kapita kesehatan Aceh menempati peringkat keempat di Indonesia sebesar Rp400 ribu dibandingkan dengan angka nasional pada tahun 2010 sebesar Rp255 ribu. Jumlah yang relatif besar ini mestinya memberikan kesempatan bagi Aceh untuk memberikan pelayanan kesehatan yang baik kepada masyarakatnya, tapi jumlah penduduk yang juga makin meningkat menjadi tantangan bagi Aceh untuk mencari strategi memanfaatkan alokasi belanja tersebut (PECAPP, 2011).

Walaupun begitu, masih ada kabupaten/kota di Aceh yang menganggarkan anggaran kesehatannya di bawah 10%, meski peraturan perundangan mensyaratkan minimal 10% belanja daerah untuk kesehatan (Satri, 2013). Misalnya, rata-rata proporsi belanja urusan kesehatan terhadap belanja daerah tahun 2008-2011 di Kota Banda Aceh yang hanya menganggarkan 8% dan Kabupaten Bener Meriah 8,2% (Seknas Fitra, 2012).Penelitian Satri (2013) menunjukkan bahwa belum seluruh kabupaten/kota di Aceh mengalokasikan belanja sebesar jumlah minimal yang diwajibkan oleh Peraturan Perundangan, yaitu minimal 10% dari APBD di luar gaji. Kabupaten/kota yang selama tiga tahun berturut-turut (2009-2011) yang alokasi belanja bidang kesehatannya tidak mencapai jumlah minimal yang diwajibkan adalah dua kabupaten induk, yaitu Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Aceh Timur, serta enam kabupaten/kota pemekaran, yaitu Kabupaten Aceh Tamiang, Kabupaten Bener Meriah, Kota Subulussalam, Kabupaten Aceh Jaya, Kota Lhokseumawe, dan Kabupaten GayoLues. Ketidakcukupan alokasi belanja kesehatan pada kabupaten/kota pemekaran karena masih memfokuskan belanja daerahnya pada pembangunan infrastruktur lain, seperti jalan dan jembatan untuk meningkatkan aktivitas ekonomi masyarakat.

Pembiayaan kesehatan bersumber dari APBD kabupaten/kota yang bersangkutan dan juga dari luar APBD, seperti dari provinsi dan pemerintah pusat. Dalam konteks otonomi khusus di Aceh, sebagian dana otonomi khusus dalam APBD digunakan untuk membiayai belanja kesehatan yang nantinya didistribusikan ke kabupaten/kota.Tabel 2.3Data Anggaran Belanja Kesehatan Pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah di Aceh Selama Tahun 2009-2012

(dalam juta rupiah)NoDaerah2009201020112012

1Provinsi Aceh591.295710.433832.839,35895.106

2Kab. Aceh Barat58.63960.79953.505,3769.455

3Kab. Aceh Besar65.68572.56576.709,7787.785

4Kab. Aceh Selatan48.62346.76450.391,2065.765

5Kab. Aceh Singkil37.34139.21540.944,8153.809

6Kab. Aceh Tengah52.00458.26766.305,6569.024

7Kab. Aceh Tenggara67.05242.91150.752,8455.353

8Kab. Aceh Timur47.16765.90271.553,6467.775

9Kab. Aceh Utara115.24991.26798.052,34117.116

10Kab. Bireuen64.09965.541115.816,10140.744

11Kab. Pidie75.34480.61195.008,4917.665

12Kab. Simeulue36.86033.64634.149,4941.542

13Kota Banda Aceh47.41142.46446.208,2879.979

14Kota Sabang24.79942.91246.093,1249.805

15Kota Langsa46.02650.08450.022,7055.567

16Kota Lhokseumawe36.15029.92136.733,7939.837

17Kab. Gayo Lues28.30927.16528.181,4542.813

18Kab. Aceh Barat Daya42.68536.36733.226,8366.945

19Kab. Aceh Jaya34.21232.99737.497,6040.673

20Kab. Nagan Raya41.88048.51544.553,4856.939

21Kab. Aceh Tamiang47.00038.83846.025,6053.697

22Kab. Bener Meriah30.04124.75739.026,5846.516

23Kota Subulussalam21.94518.03629.304,8524.283

24Kab. Pidie Jaya25.61629.70740.902,2545.470

Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, diolah (2014).

2.1.8 Kinerja Keuangan Pemerintah DaerahMengukur dan mengevaluasi hasil dari kinerja keuangan daerah bisa dilihat pada daya serap anggaran masa lalu, yang tergambar pada besaran sisa anggaran pada akhir tahun (SILPA). Jika kondisinya SILPA besar maka kinerja pemerintah daerah tidak bagus, karena menunjukan ketidakselarasan dalam perencanaan/penganggaran.

Lee & Plummer (2007) menyatakan bahwa kinerja masa lalu dijadikan dasar untuk mengalokasikan anggaran pada tahun anggaran berikutnya (Budget Ratcheting). Selanjutnya sisa anggaran tahun sebelumnya dapat digunakan untuk sektor kesehatan karena sebagian besar sisa tersebut belum ditentukan peruntukkannya. Pengalokasian ke sektor kesehatan relevan dengan prioritas pembangunan daerah dalam upaya untuk mencapai target MDGs. Pengalokasian ke sektor kesehatan meliputi ketiga jenis belanja, yakni belanja pegawai, barang dan jasa, dan belanja modal (Abdullah, 2013).Abdullah (2013) menyatakan bahwa perubahan atas alokasi anggaran belanjamerupakan bagian terpenting dalam penyesuaian anggaran belanja, khususnya pada kelompok belanja langsung. Beberapa bentuk perubahan alokasi untuk belanja modal berdasarkan penyebabnya adalah:

1. Perubahan karena adanya varian SiLPA. Perubahan harus dilakukan apabila prediksi atas SiLPA tidak akurat, yang bersumber dari adanya perbedaan antara SILPA 201a definitif setelah diaudit oleh BPK dengan SiLPA 201b.

2. Perubahan karena adanya pergeseran anggaran (virement). Pergeseran anggaran dapat terjadi dalam satu SKPD, meskipun total alokasi untuk SKPD yang bersangkutan tidak berubah.

3. Perubahan karena adanya perubahan dalam penerimaan, khususnya pendapatan. Perubahan target atas pendapatan asli daerah (PAD) dapat berpengaruh terhadap alokasi belanja perubahan pada tahun yang sama. Dari perspektif agency theory, pada saat penyusunan APBD murni, eksekutif (dan mungkin juga dengan sepengetahuan dan/atau persetujuan legislatif) target PAD ditetapkan di bawah potensi, lalu dilakukanadjustmentpada saat dilakukan perubahan APBD.

4. SiLPA tahun berjalan merupakan SILPA (Sisa Lebih Pembiayaan) tahun lalu. Oleh karena itu, SiLPA merupakan penerimaan pada awal tahun berjalan. Namun, besaran yang diakui pada saat penyusunan APBD masih bersifat taksiran, belum definitif, karena (a) pada akhir tahun lalu tersebut belum seluruh pertanggungjawaban disampaikan oleh SKPD ke BUD dan (b) BPK RI belum menyatakan bahwa jumlah SiLPA sudah sesuai dengan yang sesungguhnya.

5. Selisih (variance) antara SiLPA dalam APBD tahun berjalan dengan Laporan Realisasi Anggaran (LRA) tahun sebelumnya merupakan angka yang menjadi salah satu bahan untuk perubahan anggaran dalam tahun berjalan, terutama dalam bentuk penyesuaian untuk belanja. Jika diterapkan konsep anggaran berimbang (penerimaan sama dengan pengeluaran atau SILPA bernilai nol atau nihil), maka varian SiLPA akan menyebabkan perubahan alokasi belanja.

Abdullah (2014) menemukan, bahwa sisa anggaran berpengaruh positif terhadap alokasi belanja operasional secara keseluruhan. Dengan menggunakan data perubahan anggaran, Abdullah (2014) juga menyimpulkan bahwa perubahan selisih antara estimasi sisa anggaran dengan realisasinya berpengaruh terhadap perubahan dalam alokasi belanja operasional. Selanjutnya pemikiran Ramadhan (2014) menemukan bahwa penerimaan pembiayaan berpengaruh terhadap alokasi belanja operasional dan belanja modal. The National Performance Review (NPR) merupakan penjelmaan dari gerakan untuk menemukan kembali praktek pemerintahan yang benar (reinventing government) yang merupakan kekuatan utama lain dalam mempromosikan pengukuran kinerja. Prinsip dasar dari gerakan ini adalah semboyan yang dijiwai oleh apa yang dapat diukur, itulah yang sudah dikerjakan oleh pemerintah (Osborne & Gaebler, 1992 dalam Lee & Plummer, 2007). Kekuatan utama lain yang mempromosikan penggunaan pengukuran kinerja adalah adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh beberapa negara bagian dan komunitas masyarakat untuk melakukan tolok banding (benchmarking) atas kinerja yang sudah dicapai di masing-masing daerah. Tolak banding dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara produk, pelayanan, proses kerja dan berbagai ukuran lain terhadap praktek terbaik yang terkait (dalam Lee & Plummer, 2007). Beberapa negara bagian (misalnya Colorado, Connecticut, Florida, Georgia, Hawaii, Iowa, Maine, Minnesota, Nebraska, New Mexico, North Carolina, Oregon, Utah) telah atau sedang mengembangkan tolak banding pada berbagai variabel pemerintahan untuk diterapkan pada seluruh atau sebagian negara bagian tersebut. Tiga program utama yang telah dikenal baik di antaranya adalah Oregon Options, Minnesota Milestones dan Florida Benchmarks.Lembaga terakhir yang mempromosikan pentingnya penerapan manajemen kinerja di sektor pemerintahan adalah GASB yang mensyaratkan setiap pemerintah negara bagian untuk melaporkan efisiensi, kualitas, dan efektivitas pencapaian program mereka. Pelaporan itu meliputi antara lain: pemenuhan pelayanan dalam hal efisiensi program yang dihasilkan, kualitas dan efektivitas program, serta rasio antara usaha pelayanan yang telah dilakukan pemerintah dengan hasil pelayanan yang dinikmati masyarakat (Wibison, 2008).

2.1.9 Penelitian Terdahulu Terkait Anggaran Pemerintah Daerah

Penelitian terdahulu lainnya yang berhubungan dengan anggaran pemerintah daerah disajikan pada Tabel 2.4.Tabel 2.4Penelitian Terdahulu Terkait Anggaran Pemerintah DaerahNoNama PenelitiJudul PenelitianVariabel yang DigunakanHasil Penelitian

1.Akbar (2011)Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Jumlah Penduduk, dan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Belanja Daerah pada Pemerintah Daerah di Sumatera UtaraPendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Jumlah Penduduk, Pertumbuhan Ekonomi, Belanja DaerahSecara simultan realisasi PAD, DAU, Jumlah Penduduk dan Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh signifikan terhadap anggaran belanja daerah pada Pemerintah Daerah di Provinsi Sumatera Utara

2.Maulida(2007)Pengaruh Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah terhadap prediksi Belanja Daerah Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD), Belanja DaerahDana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah berpengaruh terhadap Belanja Daerah

3.Prakosa

(2004)Pengaruh Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah terhadap prediksi Belanja Daerah (Studi Empirik di wilayah Provinsi Jawa Tengah dan DIY)Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD), Belanja DaerahDana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah berpengaruh signifikan terhadap Belanja Daerah

4.Sarjiah,dkk. (2012)Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alokasi Anggaran Kesehatan yang Bersumber APBD Kabupaten Sarolangun Provinsi JambiPendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan, politik (komitmen daerah), kemampuan advokasi, kemampuan perencanaanDana perimbangan, politik (komitmen) daerah, kemampuan advokasi, dan kemampuan perencanaan berpengaruh terhadap alokasi anggaran kesehatan

5.Asmi (2012)Pengaruh belanja daerah di bidang/ fungsi kesehatan terhadap output bidang kesehatan di Provinsi Sulawesi Selatan Periode 2000 2010.Variabel independennya adalah anggaran kesehatan dan perekonomianVariabel perbaikan ekonomi berpengaruh terhadap output kesehatan

6.Lee & Plummer (2007)The Government Performance and Results Act of 1993 (GPRA, 1993)Besaran alokasi anggaranPemerintahan dapat melacak dan melaporkan kinerja program-program yang di rencanakan dengan penekanan utama pada efektivitas hasil yang dicapai. Sehingga mampu mengukur kinerja pemerintahan.

2.2 Kerangka Pemikiran

Meningkatnya dana otonomi khusus dan dana alokasi khusus dapat berkontribusi terhadap pelayanan kesehatan yang lebih baik. Begitu pula dengan adanya korelasi positif antara alokasi belanja infrastruktur terhadap alokasi belanja kesehatan, karena kedua hal tersebut merupakan urusan wajib yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah secara simultan. Jumlah penduduk yang makin besar dapat menyebabkan jumlah orang yang harus dilayani dengan fasilitas yang memadai dan bantuan kesehatan yang diberikan juga makin besar, sehingga anggaran kesehatan juga besar. Rendahnya IPKM suatu kabupaten/kota berkontribusi terhadap penganggaran kesehatan yang dibutuhkan menjadi lebih besar.

Sejak tahun 2008, Dana Otonomi Khusus (Otsus) menjadi sumber terbesar bagi penerimaan publik Aceh dengan porsi mencapai 62 persen dari anggaran provinsi di tahun 2010, atau sekitar 25 persen dari total anggaran seluruh daerah di Aceh. Hal ini menyebabkan dana otsus menjadi sumber dana penting bagi peningkatan kualitas kesehatan masyarakat di Aceh.

Pengalokasian anggaran otonomi khusus dan alokasi khusus untuk infrastruktur bagian terpenting dalam mendukung program kesehatan di Provinsi Aceh. Akses infrastruktur menuju rumah sakit yang tidak tersedia akan menghambat masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan. Tidak hanya itu saja, dampak lainnya adalah meningkatnya kematian masyarakat. Faktor utamanya masyarakat lambat mendapatkan pertolongan dikarenakan akses ke rumah sakit tidak di dukung dengan infrastruktur yang baik (memadai). Selain itu, penyediaan infrastruktur menunjukan kepada publik bahwa Pemerintah Aceh peduli terhadap pelayanan kesehatan dari hilir hingga ke hulunya.

Jumlah penduduk pun sangat mempengaruhi pengalokasian anggaran kesehatan dan pelayanan yang dirasakan masyarakat. Hal ini sejalan dengan logika keuangan, jika terlalu besar jumlah penduduk maka berdampak kepada pengalokasian anggaran pelayanan kesehatan untuk setiap masyarakat. Ketika jumlah penduduknya sedikit maka berdampak kepada pelayanan kesehatan yang lebih optimal, dikarenakan dengan jumlah penduduk kecil maka pemerintah bisa memenuhi pelayanan kesehatan secara keseluruhan.

IPKM telah menjadi rujukan dan pertimbangan bagi pemerintah pusat dan daerah dalam menyusun anggaran kesehatan dan memprioritaskan daerah serta program kesehatan yang harus diintervensi pada suatu lokasi.

Kinerja keuangan pemerintah daerah memiliki relasi kuat dengan pengalokasian anggaran kesehatan. Mengukur dan mengevaluasi hasil dari kinerja keuangan daerah bisa dilihat pada daya serap anggaran masa lalu yang tergambarkan di besaran sisa anggaran pada akhir tahun (SILPA). Jika kondisi SILPA besar maka kinerja Pemerintah Daerah jelek karena menunjukan ketidakselarasan dalam perencanaan/penganggaran. Dalam teori budget ratcheting dijelaskan bahwa kinerja masa lalu dijadikan dasar untuk mengalokasikan anggaran pada tahun anggaran berikutnya. Selanjutnya sisa anggaran tahun sebelumnya dapat digunakan untuk sektor kesehatan karena sebagian besar belum terdapat peruntukkannya. Pengalokasian ke sektor kesehatan relevan dengan prioritas pembangunan daerah dalam upaya untuk mencapai target MDGs.

Dari penjelasan di atas terbangun skema kerangka pemikiran yang akan membantu penelitian ini dilaksanakan. Skema tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Penelitian2.3 Hipotesis Hipotesis penelitian yang diuji, yaitu dana otonomi khusus, dana alokasi khusus, alokasi belanja infrastruktur, jumlah penduduk, peringkat kesehatan dalam IPKM, dan kinerja keuangan pemerintah daerah berpengaruh, baik secara bersama-sama (simultan) maupun secara parsial, terhadap alokasi belanja kesehatan di kabupaten/kota se-Aceh. Dijabarkan sebagai berikut:H1 : Dana otonomi khusus, dana alokasi khusus, alokasi belanja infrastruktur, jumlah penduduk, peringkat kesehatan dalam IPKM, dan kinerja keuangan pemerintah daerah berpengaruh secara bersama-sama (simultan) terhadap alokasi belanja kesehatan di kabupaten/kota se-Aceh.

H2 : Dana otonomi khusus berpengaruh terhadap alokasi belanja kesehatan di kabupaten/kota se-Aceh.H3 : Dana alokasi khusus berpengaruh terhadap alokasi belanja kesehatan di kabupaten/kota se-Aceh.H4 : Alokasi belanja infrastruktur berpengaruh terhadap alokasi belanja kesehatan di kabupaten/kota se-Aceh.H5 : Jumlah penduduk berpengaruh terhadap alokasi belanja kesehatan di kabupaten/kota se-Aceh.H6 : Peringkat kesehatan dalam IPKM berpengaruh terhadap alokasi belanja kesehatan di kabupaten/kota se-Aceh.H7 : Kinerja keuangan pemerintah daerah berpengaruh terhadap alokasi belanja kesehatan di kabupaten/kota se-Aceh.BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian atau rancang bangun penelitian adalah serangkaian pilihan pengambilan keputusan rasional yang berkaitan dengan tujuan studi (eksploratif, deskriptif, pengujian hipotesis), letaknya (yaitu konteks studi), jenis yang sesuai untuk penelitian (jenis investigasi), tingkat manipulasi dan kontrol peneliti (tingkat intervensi peneliti), aspek temporal (horizon waktu), dan level analisis data (Sekaran, 2007:152).

Penelitian ini menggunakan perspektif studi pengujian hipotesis. Studi ini biasanya menjelaskan sifat hubungan tertentu, atau menentukan perbedaan antarkelompok atau kebebasan (independensi) dua atau lebih faktor dalam suatu situasi. Pengujian hipotesis menawarkan pemahaman lebih baik mengenai hubungan yang eksis antarvariabel. Hal tersebut juga dapat menentukan hubungan sebab-akibat. Pengujian hipotesis dapat dilakukan dengan data kuantitatif dan kualitatif (Sekaran, 2007).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh alokasi dana otonomi khusus, dana alokasi khusus, alokasi belanja infrastruktur, jumlah penduduk, peringkat kesehatan dalam IPKM, dan kinerja keuangan pemerintah daerah terhadap alokasi belanja kesehatan di kabupaten/kota se-Aceh.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Unit analisis penelitian adalah organisasi Pemerintah Aceh terdiri dari satuan kerja (dinas) yang fokusnya terhadap urusan publik masyarakat banyak. Periode waktu yang digunakan dalam penelitian direncanakan dengan mengumpulkan data secara studi cross-sectional untuk meneliti unit analisis mulai tahun 2011 sampai dengan 2012 untuk 23 kabupaten/kota se-Aceh.3.2 Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini adalah 23 kabupaten/kota se-Aceh dengan periode pengamatan mulai tahun 2011 sampai dengan 2012. Sumber data yang akan digunakan adalah data sekunder, meliputi; sumber bahan dan sumber data hasil laporan3.3 Sumber dan Teknik Pengumpulan DataTeknik pengumpulan data merupakan langkah strategis untuk mendapatkan bahan-bahan yang relevan, akurat, dan realistis. Pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai setting, berbagai sumber, dan berbagai cara (Sugiyono, 2008:62). Dalam penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Biro Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Aceh, Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, dan Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Aceh. Cara pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen atau disebut juga studi pustaka tentang dana alokasi otonomi khusus, dana alokasi khusus, alokasi belanja infrastruktur, jumlah penduduk, peringkat kesehatan, kinerja keuangan pemerintah daerah, dan alokasi belanja kesehatan. Sebagai pendukung dalam penelitian ini digunakan juga buku referensi, jurnal, laporan/penelitian, surat kabar, dan browsing internet yang terkait dengan analisis belanja daerah.3.4 Operasionalisasi Variabel

Variabel independen (bebas/X) yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:

1. Dana Otonomi Khusus (Otsus) merupakan dana yang dialokasikan untuk membiayai pelaksanaan otonomi khusus suatu daerah. Data yang digunakan adalah jumlah alokasi untuk masing-masing kabupaten/kota. 2. Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus yang merupakan urusan daerah sesuai dengan prioritas nasional. Data DAK diambil dari lampiran PMK tentang DAK.3. Alokasi Belanja Infrastruktur (ABI) jumlah alokasi belanja infrastruktur dalam APBK. Data diambil dari Belanja Modal pada bidang Pekerjaan Umum.4. Jumlah Penduduk (JP) adalah merupakan jumlah manusia yang bertempat tinggal atau berdomisili pada suatu wilayah/daerah dan memiliki mata pencaharian tetap di daerah itu serta tercatat secara sah berdasarkan peraturan yang berlaku di daerah tersebut. Data jumlah penduduk ini diperoleh dari Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh.5. Peringkat Kesehatan Kabupaten/Kota diukur dengan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM). IPKM adalah indikator komposit yang menggambarkan kemajuan pembangunan kesehatan, dirumuskan dari data kesehatan berbasis komunitas. Data IPKM diperoleh melalui Dinas Kesehatan Provinsi Aceh. 6. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah adalah pencapaian dalam pelaksanaan anggaran daerah. Di ukur dengan besaran sisa anggaran tahun sebelumnya yang di prediksikan dalam kelebihan penerimaan perubahan SiLPA.

Variabel dependen (terikat/Y) yang digunakan dalam penelitian ini adalah Alokasi Belanja Kesehatan (ABK), yang diukur dengan jumlah alokasi anggaran kesehatan yang tercantum dalam APBK. 3.5 Metode Analisis dan Rancangan Pengujian Hipotesis

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi linear berganda. Analisis regresi linear berganda merupakan suatu prosedur yang sangat kuat dan fleksibel untuk menganalisis hubungan asosiatif antara sebuah variabel dependen dengan banyak variabel independen (Malhotra, 1996 dalam Mangkuatmodjo, 2004:189).

Rumus persamaan regresi linear berganda, sebagai berikut:

Keterangan:

Y : Alokasi Belanja Kesehatan (ABK)

X1: Dana Otonomi Khusus (Otsus)

X2: Dana Alokasi Khusus (DAK)

X3: Jumlah Penduduk (JP)

X4: Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM)

X5: Dana Alokasi Infrastruktur

X6: Kinerja Keuangan Daerah

E: Error TermBerikut rancangan pengujian hipotesisnya:H0 : 1 = 2 = 3 = 4 = 5=6 = 0

Dana otonomi khusus, dana alokasi khusus, alokasi belanja infrastruktur, jumlah penduduk, indeks pembangunan kesehatan masyarakat, dan kinerja keuangan daerah tidak berpengaruh terhadap alokasi belanja kesehatan.H : paling tidak ada satu dari 0 Dana otonomi khusus, dana alokasi khusus, alokasi belanja infrastruktur, jumlah penduduk, indeks pembangunan kesehatan masyarakat, dan kinerja keuangan Pemerintah Daerah berpengaruh terhadap alokasi belanja kesehatan

DAFTAR PUSTAKAAbdullah, Syukriy. 2004. Perilaku oportunistik legislatif dalam penganggaran daerah: Pendekatan Principal-Agent Theory. Makalah disajikan pada Seminar Antarbangsa di Universitas Bengkulu, Bengkulu, 4-5 Oktober 2004.Abdullah, Syukriy. 2013. Perubahan APBD, Alamat website: http://syukriy.wordpress.com/2013/04/22/perubahan-apbd/,tanggal. [12/12/2013.`Pukul 00.50].Abdullah, Syukriy. 2014. Pengaruh SiLPA terhadap Belanja, Alamat website: http://syukriy.wordpress.com/2013/04/22/perubahan-apbd/,tanggal. [25/01/2014, pukul 17.30].Akbar, Mhd Ali. 2011. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Jumlah Penduduk dan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Belanja Daerah pada Pemda di Sumatera Utara. Tesis S2 USU. Medan.Aliasuddin, dkk. 2011. Laporan Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Otsus Aceh. Kerjasama antara Universitas Syiah Kuala dan Universitas Malikussaleh dengan dukungan teknis dari Decentralization Support Facility (DSF)-World Bank. November.Anonim. 2013. http://www.voaindonesia.com/content/who-tingkat-kesehatan-perempuan-di-afrika-rendah/1621746.html, diunduh [08/10/2013, pukul 14.45].Anonim. http://www.change.org/id/petisi/para-pelaku-sistem-pendidikan-aceh-tingkatkan-kualitas-pendidikan-di-aceh-melalui-alokasi-dana-pada-peningkatan-mutu-dan-daya-saing-siswa-serta-kualitas-tenaga-pengajarnya, diunduh [20/11/2013, pukul 15.00].Anonim. http://www.tempo.co/read/news/2013/04/03/058470916/Anggaran-Kesehatan-Aceh-Masih-Berorientasi-Kuratif, dipublikasikan tanggal 03/04/2013. Diunduh [20/11/2013, pukul 13.50].Anonim. http://www.who.or.id/ind/products/ow6/sub2/display.asp?id=1, diunduh [07/10/2013, pukul 02.00].Anonim. Menkes, 13 Daerah di Aceh Bermasalah Kesehatan.http://manajemen-jaminankesehatan.net/index.php/78-berita/285-menkes-13-daerah-di-aceh-bermasalah-kesehatan, diunduh [03/10/2013, pukul 22.14].

Anonymous. Dinamika Politik Harus Membangun Kesehatan Bangsa, Alamat website: http://agus34drajat.wordpress.com/ [2013].

Anonymous. Kesehatan Ibu Anak, Alamat website: http://kesehatan-ibuanak.net, infrastruktur untuk kesehatan. [2/12/2013, pukul : 01.10].Asmi, Nur. 2012. Pengaruh Belanja Daerah di Bidang/Fungsi Kesehatan terhadap Output Bidang Kesehatan di Provinsi Sulawesi Selatan Periode 2000 2010. Universitas Hasanuddin, Makassar (Skripsi).Atmawikarta, Arum. 2004. Investasi Kesehatan untuk Pembangunan Ekonomi. Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Bappenas RI, Jakarta.Bastias, Desi Dwi. 2010. Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah atas Pendidikan, Kesehatan, dan Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Periode 1969-2009. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang (Skripsi).Craigwell, Roland et al. 2012. The Effectiveness of Government Expenditure on Education and Health Care in the Caribbean. International Journal of Development Issues. Volume 11 No. 1 Tahun 2012, hal 5-15.De Mello-Sampayo, Felipa & Sofia De Sousa-Vale. 2010. Financing Health Care Expenditure in the OECD Countries: Evidence from a Heterogeneous, Cross Sectionally Dependent Panel. https://aquila.iseg.utl.pt/aquila. Tanggal 08/11/2013, pukul 13.30.Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007.Djojosoekarto, Agung, dkk. 2008. Kebijakan Otonomi Khusus di Indonesia, Kemitraan Partnership.

Fatmawati, Linda (2011). Kinerja dan Kesejahteraan Guru Belum Optimal. Diunduh: http://lindafatmawati-lindafatmawati.blogspot.com. Tanggal 23/08/2013, pukul 13.45 WIB.Fozzard, Adrian. 2001. The Basic Budgeting Problem: Approaches to Resources Alocation in the Public Sector and Their Implication for Pro-Poor Budgeting. Center for Aid and Public Expenditure, Overseas Development Institute (ODI). Working pape, 147.Gordon, Randolph L., et al. 1997. Determinants of US Local Health Department Expenditures, 1992 through 1993. American Journal of Public Health. Vol. 87 No. 1 Tahun 1997. Januari, hal. 91-95.Gray, Alastair. 2005. Population Ageing and Health Care Expenditure. Ageing Horizons, Issue No.2, hal. 15-20. Tahun 2005. Oxford Institute of Ageing.http://kebijakankesehatanindonesia.net/policy-brief/1184-indonesia-dinilai-mampu-wujudkan-jamkes-universal.html, diunduh [04/10/2013, pukul 11.00].

http://seknasfitra.org/pressrelease/anggaran-kesehatan-2013-tidak-menyehatkan/, diunduh [19/11/2013, pukul 15.30].http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ed6f3c486402/minimnya-anggaran-kesehatan-langgar-hak-rakyat, dipublikasikan tanggal 01/12/2011, diunduh [19/11/2013, pukul 15.00].Kabisat. 2013. Desentralisasi Fiskal Asimetrik: Pembiayaan Pembangunan Otonomi Khusus Aceh, Alamat website: http://kabisat1988.blogspot.com.

Kementerian Kesehatan. 2010. Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM). Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.Kementerian Pekerjaan Umum. 2011. Konstruksi Indonesia 2011: Penyelenggaraan Infrastruktur Berkelanjutan. Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum.Laporan Penelitian Mekanisme dan Penggunaan DAK. 2008. Lembaga Penelitian Smeru, hal. 9.Lee, M & Elizabeth Plummer. 2007. Budget Adjustments in Response to Spending Variances Evildence of Ratcheting of Local Government Expenditures, Journal of Management Acconting Research, Robert Morris University end Texas Christian University. Vol. 19. No. 1. hal. 137-167.Lutfi. 2006. Pengaruh Faktor-faktor Institusional dan Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Tesis S2, Universitas Indonesia, http://www.digilib.ui.ac.id.

Mangkuatmodjo, Soegyarto. 2004. Statistik Lanjutan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Andi.Maulida, Novi Pratiwi. 2007. Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Prediksi Belanja Daerah. Tesis S2 UII. Yogyakarta.Muhafilah, Eva. 2013. Peran Tenaga Kesehatan di Puskesmas Dalam Pencapaian IPKM, http://tabloid-mh.blogspot.com/. Download :20/2/2014, Pukul : 2.20PECAPP. 2013. Analisis Belanja Publik Aceh, Alamat website: http://belanjapublikaceh.org.

Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2011 tentang Pengembangan Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda.

Pemerintah Aceh. Qanun Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Aceh.Prakosa, Kesit Bambang. 2004. Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Prediksi Belanja Daerah (studi empirik di wilayah Provinsi Jawa Tengah dan DIY), JAAI Vol. 8 No.2, hal. 35.Public Expenditure Analysis and Capacity Strengthening Program (PECAPP). Analisis Belanja Publik Aceh 2012. Diunduh pada www.belanjapublikaceh.org. Tanggal 28/09/2013, pukul 14.05 WIB.Public Expenditure Analysis and Capacity Strengthening Program (PECAPP). Buku Panduan Analisis Belanja Publik Aceh. Diunduh pada www.belanjapublikaceh.org. Tanggal 28/09/2013, pukul 15.00 WIB.Republik Indonesia, Pemerintah Daerah, Qanun Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Anggaran Bagi Hasil Migas dan Gas Bumi dan Penggunaan Anggaran Otonomi Khusus.Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 195/PMK.07/2012 Tentang Pedoman Umum dan Alokasi Anggaran Otonomi Khusus Provinsi Aceh Tahun Anggaran 2013.Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.Ritonga, Irwan Taufiq. 2010. Perencanaan dan Penganggaran Keuangan Daerah di Indonesia. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM.Sapha, Diana. 2012. Analisis Pengaruh Belanja Kesehatan oleh Pemerintah terhadap Derajat Kesehatan Masyarakat di Provinsi Aceh. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan. Volume 3 No. 2 Tahun 2012. hal. 92-112. November.

Sapnapramesti, 2012. Pengukuran Kinerja Pemerintah dengan Konsep Value for Money. http://adindapramesti.blogspot.com/, Downlod : 20/02/2014, Pukul : 03.00.

Saragih, Juli Panglima. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi. Jakarta: Ghalia Indonesia.Sarjiah, dkk. 2012. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alokasi Anggaran Kesehatan yang Bersumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi. Laporan Penelitian yang dapat diakses pada www.kpmak-ugm.org.Satri, Nouval. 2013. Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Aceh. Tesis S2 Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.Sekaran, Uma. 2007. Metodologi Penelitian untuk Bisnis. Jakarta: Salemba.Seknas Fitra. 2012. Laporan Analisis Anggaran Daerah 2011: Temuan-temuan Hasil Studi Pengelolaan Anggaran di 20 Kabupaten/Kota Partisipan Program KINERJA. Jakarta: Kerjasama The Asia Foundation-USAID.Silo, Akbar. 2007. Responsivitas Institusi Pendidikan Dalam Pelayanan Publik di Tanah.www.ut.ac.id/html/suplemen/ipem4431/.../BabIIIPembahasan.docSugiyono. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.Sujudi, Achmad. 2003. Investasi Kesehatan untuk Pembangunan Ekonomi. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.Tim Peneliti Universitas Syiah Kuala dan Universitas Malikussaleh. 2011. Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus Aceh, hal. 37.Tuasikal, Askam. 2008. Pengaruh DAU, DAK, PAD, dan PDRB Terhadap Belanja Modal Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia. Jurnal Telaah dan Riset Akuntansi. Volume 1 No. 2. Juli, hal. 142-155.Wibisono, Dermawan. 2008. Mengukur Kinerja Pemerintah dan pemerintah Daerah. diakses pada http://dermawanwibisono.wordpress.com : [12/12/2013, pukul 09.19 WIB].Wikipedia. 2013. Dana Alokasi Khusus, Alamat website: http://id.wikipedia.org/wiki/Dana_Alokasi_Khusus, Dana otonomi khusus

Dana alokasi khusus

Alokasi belanja infrastruktur

Jumlah penduduk

Peringkat kesehatan dalam IPKM

Alokasi belanja kesehatan

Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah

Y = 0 + 1 X1 + 2 X2 + 3 X3 + 4 X4 + 5 X5 + 6 X6 + E