ekonomi illegal fishing_survey literatur
DESCRIPTION
Dokumen ini menyajikan ulasan artikel jurnal yang membahas tentang ekonomi illegal fishing.TRANSCRIPT
EKONOMI ILLEGAL FISHING : Survey Literatur
Yuhka SundayaProgram Studi Ilmu Ekonomi Universitas Islam Bandung
Hasil penelusuran literatur, sekurang-kurangnya terdapat lima hasil penelitian
yang fokus dengan masalah ekonomi illegal fishing. Diantaranya adalah Kuperan dan
Sutinen (1998), Charles et al.(1999), Abbot dan Wilen (2005), Sumalia et al.(2006),
Bailey (2007). Artikel Kuperan dan Sutinen (1998), Charles et al.(1999) dan Sumaila et
al.(2006) menampilkan sebuah rangkaian studi mengenai ekonomi illegal fishing. Ketiga
artikel tersebut mengembangkan kerangka kerja Becker (1968) mengenai pendekatan
ekonomi dalam masalah kejahatan (crime) dan hukuman (punishment). Kerangka kerja
atau model dasar Becker tersebut mereka spesifikasikan ke dalam masalah illegal fishing.
Abbot dan Wilen (2005) serta Bailey (2007) menyajikan informasi empiris
mengenai illegal fishing. Mereka tertarik untuk mengkaji perilaku ekonomi illegal fishing
dengan kerangka kerja insentif. Perbedaannya, Bailey (2007) secara khusus menggunakan
dan mengembangkan kerangka kerja pinciple-agent ke dalam masalah illegal fishing di
Raja Ampat-Indonesia, sedangkan Abbot dan Wilen (2005) menggunakan random utility
model (RUM).
Kuperan dan Sutinen (1998) menggunakan dua metode ekonometrika, probit dan
tobit, untuk menguji perilaku kepatuhan (compliance behavior) nelayan Peninsular
Malaysia yang menghadapi regulasi kegiatan penangkapan ikan disepanjang zona pantai.
Model ekonometrika yang mereka bangun menjelaskan kecenderungan nelayan untuk
melanggar atau mematuhi aturan perikanan yang ditetapkan pemerintah Malaysia.
Mereka menggunakan jenis data cross section untuk mengestimasi parameter model
probit dan tobit. Dimana, secara umum sampelnya dipecah menjadi dua : (1) keseluruhan
nelayan, dan (2) nelayan yang hanya melakukan pelanggaran. Hasil estimasinya
menunjukkan bahwa peubah perbedaan antara hasil tangkapan di wilayah terlarang dan
wilayah yang diperbolehkan signifikan mempengaruhi keputusan pelanggaran nelayan.
Peubah tersebut merefleksikan perbedaan keberlimpahan stok dan pendapatan potensial
pada zona dekat pantai dan lepas pantai, dan peubah tersebut memainkan peran utama
dalam keputusan nelayan untuk mematuhi aturan. Dengan perkataan lain, lebih tingginya
hasil tangkapan di wilayah terlarang dibandingkan hasil tangkapan dari wilayah legal
menjadi motivasi nelayan untuk melanggar peraturan. Kemudian, mereka juga
mengungkapkan bahwa aspek moral dan sosial merupakan determinan penting perilaku
kepatuhan.
Berbeda dengan literatur yang menjadi acuan Kuperan dan Sutinen (1998), Tyler
(1990) dan Tyler et al.(1989), mereka menyimpulkan bahwa peran legitimasi tidak begitu
kuat untuk meredam tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh neyalan. Tidak satupun
peubah mengenai legitimasi yang secara konsisten siginifikan dengan tanda yang
diprediksi oleh teori legitimasi. Sedangkan menurut Tyler (1990) dan Tyler et al.(1989)
peubah tersebut merupakan kekuatan penting dalam menjelaskan perilaku kepatuhan
nelayan. Menurut mereka terdapat dua alasan atas perbedaan tersebut. Pertama, ada
kesalahan dalam teori legitimasi dan karenanya harus dimodifikasi. Dimana perilaku agen
ekonomi secara utama dimotivasi oleh sesuatu yang nyata (tangible), yaitu pendapatan.
Kedua, terdapat kelemahan dalam pengukuran peubah legitimasi yang mereka gunakan
sendiri. Mereka juga menyadari ada ketidaksempurnaan dalam pengukuran peubah
legitimasi tersebut.
Sebagai simpulan, mereka menegaskan bahwa tindakan pencegahan perlu
diadopsi oleh pengelola perikanan di Malaysia. Pencegahan tersebut diwujudkan dengan
meningkatkan tindakan pengawasan. Dimana tindakan tersebut dapat meningkatkan
peluang nelayan yang melanggar aturan untuk tertangkap dan dihukum. Tindakan
pengelola perikanan tersebut dapat meredam keputusan nelayan yang mempertimbangkan
besarnya hasil tangkapan ikan di wilayah terlarang, sehingga mereka akan tergeser untuk
menangkap ikan di wilayah yang diperbolehkan saja.
Charles et al.(1999) dan Sumaila et al.(2006) membangun model konseptual
ekonomi illegal fishing. Model konseptual yang dibangun Charles et al.(1999) menjadi
salah satu acuan Sumaila et al.(2006) selain Bekcer (1968) serta Kuperan dan Sutinen
(1998). Penelitian empiris Kuperan dan Sutinen (1998) juga menjadi acuan bagi Charles
et al.(1999). Model konseptual yang dibangun Charles et al.(1999) dan Sumaila et
al.(2006) secara serupa menjelaskan perilaku mikroekonomi nelayan dalam berinteraksi
dengan pengelola perikanan yang menetapkan aturan usaha perikanan. Perbedaannya,
Sumaila et al.(2006) mempertimbangkan aspek biaya dan manfaat sebagai resiko yang
melekat dalam illegal fishing.
Model ekonomi illegal fishing yang dibangun Charles et al.(1999) tidak
memasukan faktor moral dan sosial. Asumsi yang mereka terapkan didasarkan pada hasil
penelitian empiris Kuperan dan Sutinen (1998), yang telah diulas sebelumnya, yang
menyatakan bahwa tingginya penerimaan dari illegal fishing menjadi pendorong nelayan
untuk melakukan pelanggaran terhadap aturan perikanan. Mereka membangun model
umum yang menjelaskan illegal fishing dalam aspek input perikanan dan output. Dengan
memecahkan model maksimisasi keuntungan yang dimodifikasi, yaitu dengan
memasukan beberapa persamaan mengenai peluang nelayan akan tertangkap dan
dihukum dan perkiraan denda bila tertangkap melakukan illegal fishing, mereka
menyusun proposisi mengenai perilaku nelayan tanpa peraturan, perilaku nelayan di
bawah pengaturan input, dan perilaku nelayan di bawah pengaturan output. Peubah
keputusan yang menjadi obyek pembahasannya adalah alokasi optimal input legal, illegal
dan trik nelayan untuk menghindari peraturan (avoidance activity). Dengan model
konseptual yang mereka bangun, mereka dapat mengkaji dampak penegakan dan
penegakan yang dibutuhkan untuk mencapai target konservasi sumber daya ikan.
Dengan mengembangkan model Bekcer (1968), Charles et al.(1999), serta hasil
penelitian empiris Kuperan dan Sutinen (1998), Sumaila et al.(2006) memusatkan
kajiannya kepada aspek biaya dan manfaat dari resiko yang melekat dalam kegiatan
illegal fishing. Model yang mereka sajikan menjelaskan bagaimana tindakan pemilik
usaha perikanan mempertimbangkan biaya dan manfaat ketika memutuskan apakah
mereka akan melakukan tindakan illegal atau tidak. Berbeda dengan Charles et al.(1999),
Sumaila et al.(2006) memasukan aspek moral dan sosial di dalam model konseptual yang
mereka bangun. Keduanya diasumsikan sebagai fungsi dari input penangkapan illegal.
Mereka menggali solusi interior dari nelayan yang memaksimisasi manfaat bersih
potensialnya. Dimana manfaat bersih potensial adalah penerimaan total dari tindakan
illegal fishing dikurangi dengan biaya total, denda atas illegal fishing, sanksi moral dan
sanksi sosial. Dengan perkataan lain, tujuan nelayan diasumsikan memaksimisasi manfaat
potensial dari illegal fishing yang dimoderasi oleh pertimbangan moral dan sosial. Solusi
interior yang menonjol menunjukkan bahwa pertimbangan nelayan untuk melakukan
tindakan illegal fishing ditentukan oleh perbandingan penerimaan marjinal illegal fishing
dengan biaya marjinalnya ditambah dengan denda illegal fishing, biaya marjinal moral
dan sosial yang muncul dari tindakan illegal fishing. Bila penerimaan marjinal tersebut
lebih besar dari keempat jenis biaya marjinalnya, maka nelayan akan cenderung
melakukan illegal fishing. Sebaliknya mereka akan menghindari illegal fishing bila
penerimaan marjinal illegal fishing lebih rendah dari biaya marjinalnya.
Abbot dan Wilen (2006) menyajikan model empiris untuk mengkaji sifat insentif
nelayan dalam menghindari bycatch. Beberapa pertanyaan penelitiannya serumpun
dengan fokus penelitian yang diulas sebelumnya. Bagaimana menghindari spesies yang
tidak boleh ditangkap (prohibited species catch-PSC) di perikanan Eastern Bearing Sea
(EBS). Pada perikanan tersebut pengelola perikanan dan nelayan bertujuan untuk
meredam bycatch pada spesies yang tidak ditargetkan untuk ditangkap. Analisanya
didasarkan pada kerangka kerja random utility model (RUM). Di bawah PSC nelayan
memaksimisasi keuntungan ditambah dengan nilai harapan bycatch dan unsur stokastik.
Bailey (2007) memandang illegal fishing sebagai bentuk masalah prinsipal-agen.
Model prinsipal-agen yang digunakannya mengabstraksi hubungan ekonomi antara Dinas
Kelautan dan Perikanan (DKP Raja Ampat dengan nelayan. Dimana DKP setempat
memiliki posisi sebagai prinsipal. DKP memiliki kewenangan atau otoritas untuk
mengatur dan mengelola sumber daya perikanan, sedangkan nelayan sebagai agen yang
mengeksploitasi sumber daya perikanan setempat. Mengikuti terminologi Varian (1992),
artinya nelayan akan melakukan tindakan dengan merespon kendala insentif dan
partisipasi yang dirancang oleh DKP. Dari hasil komunikasi personal Bailey (2007)
dengan Mark Erdman, Konservasi Internasional, terungkap bahwa secara formal tidak
ada program pengawasan dan penegakan hukum usaha perikanan di Raja Ampat untuk
mendeteksi dan mengukum nelayan yang menggunakan gear destruktif. Karena itu
informasi mengenai dampak pengawasan dan penagakan hukum usaha perikanan ia
peroleh dari hasil simulasi model. Melalui model pinsipal-agen yang memasukan sistem
biologis dan ekonomi, ia melakukan simulasi dengan cara memasukan skenario peluang
tertangkapnya nelayan yang melakukan illegal fishing, dan besaran denda atas illegal
fishing. Skenario tersebut menggunakan beberapa besaran peluang dan denda yang
berbeda-beda.
Model prinsipal-agen yang dibangun Bailey (2007) termasuk ke dalam model
optimisasi. Asumsinya, suku desa Raja Ampat harus memutuskan upaya sepanjang
waktu, dengan menggunakan cara legal dan illegal, untuk memaksimisasi manfaat bersih
atau diskonto rente ekonomi sepanjang waktu dengan kendala nyata. Modelnya
menampilkan situasi prinsipal-agen dua tahap. Tahap pertama, pemerintah merancang
program pengawasan dan penegakan usaha perikanan yang meghasilkan peluang
terdeteksinya illegal fishing dan hukuman yang diberikan kepada nelayan yang tertawan
(apprehended) karena menggunakan alat tangkap illegal. Tahap kedua, dengan peluang
tertawan dan harapan hukuman (expected penalty) tertentu, nelayan memutuskan alokasi
upaya legal dan illegal selama waktu simulasi (50 tahun). Parameter model sebagian
diambil dari hasil penelitian sebelumnya yang ia jadikan acuan, dengan
mempertimbangkan kesamaan dalam obyek penelitian.
Mencermati hasil analisa Bailey (2007) terhadap hasil simulasi modelnya,
terungkap bahwa pengawasan (monitoring) dan penegakan (enforcement) serta denda atas
illegal fishing merupakan satu kesatuan. Ia mengatakan bahwa berapapun tingginya
denda atas illegal fishing, tanpa pengawasan yang mempertinggi peluang terdeteksinya
tindakan illegal fishing, maka tidak akan dapat meredam illegal fishing tersebut yang
mengancam tercapainya tujuan manajemen perikanan yang lestari.