emboli paru
TRANSCRIPT
BAB I PENDAHULUAN
Emboli paru merupakan satu dari banyak penyakit pada vaskuler paru. Emboli paru dapat terjadi karena substansi yang tidak larut masuk ke dalam vena sistemik, terbawa aliran darah dan menyumbat di pembuluh darah pulmoner.1 Secara terminologi, emboli paru atau lebih tepatnya tromboemboli paru merupakan suatu trombus atau multipel trombus dari sirkulasi sistemik, masuk ke sirkulasi paru sehingga menyumbat satu atau lebih arteri pulmonalis di bronkus.2,3
Antara 60% - 90% penyebab emboli paru berasal dari vena ektremitas bawah dan pelvis.4 Munculan klinik sangat bervariasi, bisa menyebabkan kematian mendadak, tergantung ukuran emboli dan kondisi klinik dasar pasien.2,4 Emboli paru ditemukan lebih dari 60% dari hasil diotopsi dan juga sering terjadi misdiagnosis.2
Di Amerika Serikat, perkiraan insiden emboli paru sekitar 630.000 kasus pertahun, dengan jumlah kematian kasus 200.000 kasus dan kebanyakan kasus (71%) tidak terdiagnosis.3 Angka kematian mendekati 15% dari semua kasus kematian di rumah sakit karena emboli paru pada umur lebih dari 40 tahun.5
Zvezdin dkk melakukan penelitian mengenai analisis post mortem penyebab kematian dini pada pasien yang dirawat dengan penyakit paru obstruktif kronik. Penelitian ini mendapatkan 20,9% penyebab kematian karena tromboemboli paru. 6
Berbagai faktor resiko dapat menyebabkan terjadinya emboli paru, seperti faktor herediter ( seperti defisiensi protein C, defisiensi protein S dll ) dan faktor yang didapat (seperti umur > 40 tahun, perokok, keganasan dll).4
Menegakkan diagnosis emboli paru merupakan sebuah tantangan yang sulit. Tanda klinis yang muncul seperti dispnea atau nyeri dada tidak spesifik dan dapat merupakan manifestasi penyakit lain seperti infark miokard atau pneumonia. Banyak pasien dengan penyakit tromboemboli mempunyai gejala tidak spesifik dan diagnosis lebih sulit lagi jika disertai penyakit gagal jantung kongestif atau penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).4,7 Dalam menegakkan diagnosis emboli paru memerlukan keterampilan mengintegrasikan data klinis dan laboratorium serta kebijakan penilaian tentang perlu atau tidak dilakukan tindakan diagnosis invasif.1
Sensitifitas dan spesifisitas manifestasi klinis emboli paru masih rendah dan tidak ada uji klinis yang sederhana.8 Konfirmasi diagnosis dengan tes objektif hanya sekitar 20% pasien. Emboli paru bahkan bisa tanpa gejala dan kadang didiagnosis dengan prosedur diagnosis yang dilakukan untuk tujuan lain. 9
Dengan latar belakang diatas maka dalam referat ini akan dibahas bagaimana prosedur diagnosis dan penatalaksanaan emboli paru.
BAB IIGAMBARAN UMUM EMBOLI PARU
2.1. ETIOLOGI Penyebab emboli paru terbanyak adalah trombus terutama berasal dari vena
dalam.2,4 Material lain juga bisa masuk sirkulasi darah seperti sel atau fragmen tumor, lemak, cairan amnion, udara dan benda asing.2
Berbagai faktor resiko dapat menyebabkan terjadinya emboli paru, seperti faktor herediter trombofilia dan faktor yang didapat. Faktor herediter trombofilia ini sekitar 24 - 37% dari semua tromboemboli vena. Herediter trombofilia merupakan akibat defek dari faktor inhibitor koagulan (antitrombin, protein C, protein S), peningkatan level atau fungsi faktor koagulan (activated protein C resistance, factor V leiden mutation, prothrombin gene mutation, elevated factor VIII levels). Faktor resiko yang didapat lebih banyak ditemukan daripada herediter. Faktor yang didapat seperti bedah atau trauma, umur, kehamilan, keganasan, obesitas, kontrasepsi hormon, immobilisasi yang lama, gagal jantung kongestif, aterosklerotis kardiovaskuler, PPOK dan varises. 4
2.2. PATOFISIOLOGI Ruldoph Virchow yang pertama kali mendeskripsikan fenomena emboli dan trombus pada tahun 1856 dan mengidentifikasi tiga faktor yang berperan utama dalam terjadinya emboli paru yang disebut Virchow’s Triad yaitu : dikutip dari 2,3,10
a. Stasis aliran darah venab. Hiperkoagulabelc. Trauma vaskuler yang menyebabkan kerusakan endotelium
Beberapa faktor resiko terjadinya emboli paru berdasarkan Virchow’s Triad seperti :3
1. Stasis aliran vena : immobilisasi, tirah baring, anestesi, gagal jantung kongestif, Cor Pulmonale, PPOK
2. Hiperkoagulabel : keganasan, sindrom nefrotik, terapi estrogen, heparin induced thrombositopenia, dessiminated intravascular coagulation, defesiensi protein C, defesiensi Protein S, defisiensi antitrombin III
3. Kerusakan endotel vaskuler : trauma, bedahEfek fisiologik dan konsekuensi klinis dari emboli paru sangat bervariasi, mulai asimptomatis sampai kolaps hemodinamik dan kematian. Faktor utama yang menentukannya adalah : 3
1. Ukuran dan lokasi emboli2. Adanya penyakit kardiopulmonari yang bersamaan
3. Pelepasan mediator humoral sekunder dan respon hipoksik vaskuler4. Kecepatan perbaikan emboli
Hipoksemia merupakan akibat yang umum terjadi pada emboli paru. Obstruksi pembuluh darah paru mengakibatkan hambatan aliran darah dari vena sistemik mencapai kapiler paru. Hal ini menyebabkan peningkatanshunting intra pulmoner, ketidaksamaan ventilasi-perfusi (V/Q) dan penurunan kadar O2 vena. Selanjutnya, shunting dan peningkatan ruang rugi alveolar dapat terjadi akibat perdarahan alveolar atau atelektasis yang berhubungan dengan berkurangnya surfaktan. Konstriksi bronkiolus terminal dapat meningkatkan ruang rugi alveolar akibat dari hipokapnia dan pelepasan substansi vasokonstriktor dari agregasi platelet dan sel mast. Walaupun terjadi peningkatan ruang rugi alveolar, pasien dengan emboli paru biasanya terjadi hipokapnia. Hal ini diduga karena hipoksia yang disebabkan oleh stimulasi reflek fagal intrapulmoner dengan menghasilkan hiperventilasi. Akhirnya terjadi hipoksemia merupakan petunjuk peningkatan simpatik sehingga menyebabkan vasokontriksi sistemik. Pasien yang tidak mempunyai penyakit kardiopulmoner akan memberi respon kompensasi dengan meningkatkan venous return dan stroke volume. Kemudian, emboli akan meningkatkan tekanan atrium kanan.3,4,10
Emboli paru bisa menyebabkan terjadinya infark paru (walaupun kasusnya jarang), karena terjadi kerusakan parenkim paru. Infark terjadi sekitar 20% karena kerusakan aliran arteri bronkial dan saluran nafas yang nyata.3,11
Respon hemodinamik terhadap emboli paru berhubungan dengan cadangan hemodinamik dan respon adaptasi kompensasi. Setelah melewati jantung kanan, trombus/embolus menyumbat arteri pulmonalis utama atau bagian distal percabangannya sampai menyebabkan perubahan hemodinamik. Emboli paru akut merangsang pelepasan substansi vasoaktif yang kemudian menghasilkan peningkatan resistensi vaskuler paru dan afterloadventrikel kanan. Karena peningkatan afterload ventrikel kanan, menyebabkan peningkatan tekanan dinding ventrikel kanan sehingga terjadi dilatasi ventrikel kanan dan hipokinesis yang akhirnya menyebabkan disfungsi ventrikel kanan, regurgitasi trikuspidal, dan gagal ventrikel kanan.4,5,10
Jika tidak ada penyakit kardiopulmonari sebelumnya, obstruksi < 20% pembuluh darah paru mengakibatkan gangguan hemodinamik yang minimal. Ketika obstruksi 30 – 40%, kenaikan tekanan ventrikel kanan sudah terjadi tapi curah jantung masih dipertahankan melalui peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas miokard. Mekanisme kompensasi mulai gagal bila obstruksi arteri pulmonalis melebihi 50 – 60%. Curah jantung mulai berkurang dan tekanan atrium kanan meningkat sehingga terjadi gangguan hemodinamik yang nyata.3
BAB III DIAGNOSIS
Menegakkan diagnosis emboli paru merupakan sebuah tantangan yang sulit. Tanda
klinis yang muncul seperti dispnea atau nyeri dada tidak spesifik dan dapat merupakan manifestasi penyakit lain seperti infark miokard atau pneumonia. Banyak pasien dengan penyakit tromboemboli mempunyai gejala tidak spesifik dan diagnosis lebih sulit lagi jika disertai penyakit gagal jantung kongestif atau penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).4,7 Emboli paru bahkan bisa tanpa gejala dan kadang didiagnosis dengan prosedur diagnosis yang dilakukan untuk tujuan lain. 9
3. 1. Manifestasi Klinis : Emboli paru bisa dipikirkan bila ditemukan satu dari tiga sindrom klinik, yaitu: 3
a. Dispneab. Nyeri pleura atau hemoptisisc. Kollap sirkulasi
Dispnea merupakan gejala yang sering muncul (walaupun ada sekitar 25% yang tidak muncul dispnea), diikuti dengan nyeri pleura, hemoptisis. Gejala lain seperti pembengkakan atau nyeri tungkai.3,12 Pada pemeriksaan fisik ditemukan takipnea (frekuensi nafas > 20 kali/menit), takikardi, ronki, deman.7,12
Mengenai gejala dan tanda emboli paru dapat dilihat pada tabel 1 dan tabel 2 dari dua sumber berbeda. Tes probabiliti dapat digunakan untuk menilai kemungkinan emboli paru. Ada 2 macam tes yang biasa digunakan yaitu sistem skor menurut Wells dan Genewa seperti yang dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 1. Frekuensi gejala dan tanda emboli paru akut dikutip dari 4
Gejala Frekuensi (%)- Dispnea 73- Nyeri pleuritik 66- Batuk 37- Leg swelling 33- Batuk darah 13- Mengi 6
Tanda Frekuensi (%)- Frekuensi nafas ≥ 20x/menit 70- Ronki 51- Frekuensi jantung ≥ 100 x/menit 30- Bunyi jantung 3 atau 4 26- Suhu > 38,5 ºC 7
__________________________________________________________________________________
Tabel 2. Frekuensi gejala dan tanda emboli paru dikutip dari 3
Emboli Paru Masif (%) Emboli Paru sub Masif (%)- Dispnea 85 82- Nyeri pleura 64 85- Batuk 53 52- Batuk darah 23 40- Takipne 95 87- Takikardi 48 38- Bunyi P2 meningkat 58 45- Ronki 57 60- Plebitis 36 26
__________________________________________________________________________________
Tabel 3. Sistem skoring Wells dan Genewa untuk menilai kemungkinan Emboli Parudikutip dari 4
Skor Wells Poin Skor Genewa Poin- Adanya riwayat VTE* 1,5 - Adanya riwayat VTE* 2- Denyut Jantung - Denyut jantung
>100x/menit 1,5 >100x/menit 1- Setelah tindakan - Setelah tindakan bedah 3
bedah atau imobilsasi 1,5- Gejala DVT** 3 - Umur (tahun)- Alternatif diagnosis 60 - 79 1
lain sedikit 3 ≥80 2- Hemoptisis 1 - PaCO2- Keganasan 1 <36 mmHg 2
36 - 38,9 1- PaO2 <48,7 mmHg 4 48,7 - 59,9 3 60 - 71,2 2 71,3 - 82,4 1 -Atelektasis 1 -Elevasi diafragma 1________________________________________________________________________________*Venous Thromboemboli**Deep Venous Thromboemboli
Penilaian berdasarkan sistem skor Wells, kemungkinan untuk terjadinya emboli paru adalah:
1. Jika poin < 2 : kemungkinan klinik rendah2. Jika poin 2 - 5 : Kemungkinan klinik sedang 3. Jika poin > 6 : kemungkinan klinik tinggi
Penilaian berdasarkan sistem skor Genewa, kemungkinan untuk terjadinya emboli paru adalah :1. Jika poin 0 - 4 : kemungkinan klinik rendah2. Jika poin 5 - 8 : kemungkinan klinik sedang3. Jika poin ≥ 9 : kemungkinan klinik tinggi
Pemilihan sistem skor ini tergantung dari klinisi dan ketersediaan fasilitas pendukung diagnosis.Penelitian yang dilakukan oleh Douma dkk tahun 2011 yang membandingkan 4 cara
sistem skor untuk menentukan emboli paru yaitu skor Wells, skor Genewa yang direvisi, skor Wells yang disederhanakan dan skor revisi Genewa yang disederhanakan yang dikombinasikan dengan pemeriksaan D-dimer. Penelitian ini merupakan studi kohor prospektif di 7 rumah sakit di Belanda pada 807 pasien yang dicurigai emboli paru. Hasil penelitian ini didapatkan prevalensi emboli paru sekitar 23%, dan ke empat cara sistem skor yang digunakan hampir sama dalam menyingkirkan emboli paru dengan mengkombinasikan dengan hasil D-dimer yang normal.13
3. 2. Pemeriksaan Laboratorium :Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dapat dipakai untuk menegakkan suatu diagnosis
emboli paru. Tidak satupun pemeriksaan yang bisa memastikan diagnosis, tetapi pemeriksaan laboratorium dipakai sebagai informasi tambahan, menilai kemajuan terapi dan dapat menilai kemungkinan diagnosis lain.10 Pemeriksaan leukosit bisa melebihi nilai 20.000/mm3. Hipoksemia bisa ditemukan pada emboli paru.1 Tekanan parsial O2 ditemukan rendah pada kemungkinan emboli paru akut, walaupun bisa saja ditemukan normal. Tekan parsial CO2 ditemukan < 35 mmHg, tapi ada juga ditemukan >45mmHg walaupun kasusnya sedikit.7,12
3. 3. Pemeriksaan D-dimer :Trombosis vena terdiri dari fibrin dan eritrosit yang terperangkap dalam benang – benang
fibrin. Fibrin ini terbentuk akibat adanya aktivasi sistem koagulasi yang tidak dapat dinetralkan oleh antikoagulan alamiah. Jika terjadi aktivasi koagulasi maka akan terbentuk thrombin dari protrombin dengan melepaskan fragmen protrombin 1 dan 2 (F1.2). Trombin akan diikat oleh antitrombin sehingga terbentuk kompleks trombin-antitrombin (TAT). Trombin juga mengubah fibrinogen menjadi fibrin monomer yang akan mengalami polimerasi membentuk fibrin polimer. Selanjutnya F XIII akan terjadi ikatan silang sehingga terbentuk cross-linked fibrin. Kemudian plasmin akan memecah cross-linked fibrin menghasilkan D-dimer. Oleh karena itu, parameter
yang dapat dipakai untuk menilai aktivasi koagulasi adalah F 1.2, TAT, fibrin monomer dan D-dimer. Dari semua parameter, yang sering dipakai adalah D-dimer.14
Pemeriksaan D-dimer cara ELISA dengan nilai cut off 500 ng/ml mempunyai sensitifitas paling tinggi yaitu > 99%. Namun ELISA cara klasik membutuhkan waktu lama, sehingga dikembangkan berbagai cara cepat antara lain SimpliRed yang memakai darah lengkap dan Vidas DD yang berdasarkan enzyme linked fluorescence assay . SimpliRed mempunyai sensitifitas 85% dan spesifisitas 71% dan nilai prediksi negatif 92%. Vidas DD mempunyai sensitifitas 98% dan spesifisitas 41% dengan nilai prediksi negatif 98%. 14
Penelitian prospektif yang dilakukan Palareti dkk tahun 2006 di Italia mengenai penggunaan tes D-dimer pada pasien tromboemboli idiopatik yang menggunakan antikoagulan jangka panjang dan yang tidak. Pada penelitian ini didapatkan bahwa pasien yang memiliki nilai abnormal D-dimer abnormal setelah penghentian pemakaian antikoagulan 1 bulan mempunyai insiden berulang yang signifikan terjadinya tromboemboli vena (15% dibandingkan dengan yang tetap memakai antikoagulan 2,9%) dan akan berkurang bila kembali digunakan antikoagulan.15
3. 4. Pemeriksaan Foto Toraks :Gambaran foto toraks biasanya menunjukkan kelainan, walaupun tidak jelas, non
spesifik dan tidak memastikan diagnosis. Gambaran yang nampak berupa atelektasis atau infiltrat seperti yang dapat dilihat pada gambar 2.4 Gambaran lain dapat berupa konsolidasi, perubahan letak diafragma, penurunan gambaran vaskuler paru, edema paru.8 Gambar 2. Gambaran foto toraks infark paru sekunder dari emboli parudikutip dari 4
3. 5. Pemeriksaan Angiogram :Pemeriksaan angiogram paru ini merupakan standar baku emas untuk memastikan emboli
paru. Pemeriksaan ini invasif dan mempunyai resiko. Temuan angiografik emboli paru berupa filling defect dan abrupt cutoff dari pembuluh darah.3,16,17
Arteriogram negatif menyingkirkan diagnosis tromboemboli, sedangkan arteriogram positif merupakan konfirmasi diagnosis. Di tangan operator yang berpengalaman, komplikasi angiografi paru ini jarang terjadi. Komplikasi ini meliputi reaksi pirogen terhadap kontras, reaksi alergik terhadap kontras, perforasi arteri pulmoner, aritmia, bronkospasme, perforasi ventrikel kanan dan gagal jantung kongestif. Arteriografi sangat invasif, tidak nyaman pada penderita, mahal dan tidak selalu dapat dilakukan serta menimbulkan resiko pada penderita.1
3. 6. Pemeriksaan Computed Tomography (CT) :Computed Tomography (CT) merupakan tes yang dapat mendiagnosis emboli paru.
Pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas 86% dan spesifisitas 96%. Pada saat sekarang dapat dipakai untuk menyikirkan diagnosis emboli paru pada pasien dengan resiko rendah dan
mendekati intermediet, serta dapat mengkonfirmasi diagnosis emboli paru pada pasien dengan resiko intermediat dan tinggi.3
Pemeriksaan CT Pulmonary Angiogram (CTPA) telah lama dipakai dalam evaluasi emboli paru (gambar 4). CTPA ini memberi banyak keunggulan dalam mendiagnosis emboli paru yaitu : 4
a. Visualisasi langsung embolusb. Kemampuan menilai etiologi lain pada pasien lain seperti pneumonia
Dalam kepustakaan lain disebutkan bahwa CT angiografi mempunyai sensitifitas 50 % sampai 100% dan spesifisitasnya 81% sampai 100%. 18
Penelitian prospektif yang dilakukan oleh Sood dkk tahun 2006 dengan membandingkan CT angiografi dengan angiografi paru konvensional. Penelitian ini menyimpulkan bahwa CT angiografi dapat dipakai sebagai alternatif untuk mendiagnosis emboli paru dengan sensitivitas 80% dan spesifisitas 85% dengan keuntungan tidak invasif dan harga lebih murah. 19
3.7. Pemeriksaan Ventilation Perfusion Scanning :Walaupun ada keterbatasan, pemeriksaan Ventilation-Perfusion Scanning dapat
memberikan informasi yang berguna dan dapat diinterpretasikan dengan cepat. Gabungan Ventilation-Perfusion Scanning dan penilaian klinis dapat memberikan akurasi diagnosis yang baik dibandingkan dengan hanya scan. 3,17
Payar perfusi (Perfusion Lung Scan) yang benar – benar normal dapat menyingkirkan dugaan klinis emboli paru. Kriteria untuk kemungkinan besar positif atau kemungkinan kecil negatif bervariasi menurut penafsiran, tetapi secara umum tergantung pada ukuran, jumlah dan distribusi defek perfusi, yang dihubungkan dengan foto toraks dan abnormalitas payar ventilasi. Emboli yang terisolasi di lobus atas jarang terjadi pada penderita berobat jalan, karena aliran darah saat posisi berdiri lebih terdistribusi ke basal (berbeda dengan penderita yang harus tirah baring). Defek perfusi yang lebih luas dari konsolidasi yang tampak pada foto toraks pada daerah yang sama menyokong ada emboli, defek dengan ukuran sama atau lebih kecil dari abnormalitas radiologi tidak mendukung kearah emboli. 1
Payar ventilasi paru (Ventilation Lung Scan) memperbaiki spesifisitas diagnosis emboli. Daerah dengan pengurangan aktifitas ventilasi regional yang terganggu. 1
Penelitian yang dilakukan Stein dkk bertujuan untuk menentukan apakah paparan radiasi untuk pasien yang diduga dengan emboli paru bisa menurun dengan meningkatkan penggunaan ventilasi-perfusi(V/Q) scanning dan mengurangi penggunaan CT paru angiografi (CTPA) melalui intervensi pendidikan. Jumlahpemeriksaan yang
dilakukan CTPA menurun dari 1.234 pada tahun 2006 untuk 920 tahun 2007, dan jumlah V/Qscan meningkat dari 745 pada 2006 menjadi 1.216 pada tahun 2007. Berarti dosis efektif berkurang sebesar 20%,dari 8,0 mSv pada 2006-6,4 mSv pada tahun 2007 (p <0,0001). Para pasien yang menjalani CTPA dan V/Q scanpada tahun 2006 adalah usia yang sama. Pada tahun 2007, pasien yang menjalani V/Q scan secara signifikanlebih muda. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam tingkat false-negatif (kisaran, 0,8-1,2%) antara CTPA dan V/Q scan pada tahun 2006 dan 2007.20
3. 8. Pemeriksaan ElektrokardiografiTemuan elektrokardiografi tidak spesifik. Elektrokardiogram normal tidak menyingkirkan
diagnosis emboli paru, bila ditemukan perubahan, seringkali bersifat sementara berupa : 1,4
- Deviasi axis ke kanan- Sinus takikardi atau aritmia supraventrikuler- RBBB komplit atau tidak komplit- Inversi gelombang T
Gambar EKG dapat dilihat pada gambar 6 dibawah ini.Gambar 6. EKG pasien dengan strain RV sekunder tromboemboli. Deviasi axis ke kanan, S wafe di lead I, T inverted di Lead III dan RV strain di V1-V4.dikutip dari 4
3. 9. Pemeriksaan Ekokardiografi : Pemeriksaan ekhokardiografi transtorakal atau transesofageal terbatas penggunaannya untuk diagnosis emboli paru. Pada ekokardiografi dapat dilihat perubahan ukuran dan fungsi ventrikel kanan dan regurgitasi trikuspid jantung kanan akut menandakan adanya regangan. Dengan penilaian klinis yang tepat, perubahan ventrikel kanan dapat menandakan emboli paru akut. 4
Gambar 7. Gambaran Ekokardiografi Pasien Dilatasi Ventrikel Kanan dan Atrium Kanan akibat Emboli Paru.dikutip dari 4
Pemeriksaan untuk diagnosis harus disesuaikan dengan tingkat kegawatan klinis pasien berdasarkan kondisi pasien, nilai keadaan hemodinamik stabil atau tidak stabil. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.Diagnosis banding emboli paru adalah : 4
1. Pneumonia2. Bronkitis3. Asma4. PPOK5. Pneumotoraks6. Nyeri muskulosleletal7. Kostokondritis8. Fraktur iga
9. Edema Paru10. Gagal jantung kongestif11. Keganasan toraks12. Hipertensi pulmonal13. Infark miokard14. Ansietas
BAB IV PENATALAKSANAAN EMBOLI PARU
4. 1.HeparinHeparin sebagai antikoagulan utama pertama kali ditemukan oleh Howell dan Holt tahun
1918.21 Pada beberapa kasus kecurigaaan terhadap emboli paru, keputusan untuk memberikan terapi harus dibuat dengan dasar diagnosis yang kuat. Jika ada evaluasi klinis dan pemeriksaan awal kecurigaaan besar terhadap emboli akut, terapi antikoagulan harus diberikan walaupun belum ada pemeriksaan tambahan untuk konfirmasi diagnosis.1
Tujuan awal penatalaksanaan emboli paru dengan pemberian cepat antikoagulan sehingga meminimalisir komplikasi perdarahan.4,22 Antikoagulan yang diberikan berupa subkutan Low Molecular Weight (LMW) Heparin, intravena atau subkutanUnfractionated (UF) heparin dan tidak ada kontraindikasi pemberian heparin (klas 1, level eviden A)21 Terapi awal pemberian heparin selama 5 hari dengan diawali pemberian vitamin K antagonis. Target terapi sampai Partial Thromboplasti Time (PTT) antara 1,5 sampai 2 kali kontrol. 4
Penelitian yang dilakukan oleh Smith dkk yang mempelajari 400 pasien di instalasi gawat darurat (IGD)didiagnosis dengan emboli paru akut dengan menggunakan CT scan angiografi dan diobati di rumah sakit dengan heparin unfractionated IV tahun 2002-2005. Pasien menerima heparin baik di IGD atau setelah masuk. Waktu dari IGD sampai tercapai activated partial tromboplastin time (aPTT) terapeutik dihitung. Outcome termasuk mortalitas masuk rumah sakit dan dalam 30-hari, masa rawatan rumah sakit dan ICU, timbulnya perdarahan pada pemberian heparin, dan berulang vena tromboemboli dalam waktu 90 hari. Pada penelitian ini didapatkan tingkat mortalitas masuk rumah sakit 3,0 % dan dalam 30 hari 7,7%. Pasien yang berikan heparin di IGD lebih rendah mortalitas pada masuk rumah sakit (1.4% vs 6.7%; P= 0.009) dan tingkat mortalitas 30 hari (4,4 vs% 15,3%; P<.001) dibandingkanpasien yang diberi heparin setelah masuk. Pasien yang mencapai aPTT terapeutik dalam waktu 24 jam lebih rendahmortalitas pada masuk rumah sakit (1,5% vs 5,6%; P = 0,093) dan mortalitas dalam 30 hari (5,6% vs 14,8%; P =0,037) dibandingkan dengan pasien yang mencapai aPTT terapi setelah 24 jam. Pada beberapa model regresi logistik, menerima heparin di IGD masih prediksi penurunan mortalitas , dan masuk ICU tetap
prediksi peningkatan mortalitas. Penelitian ini menyimpulkan hubungan antara antikoagulasi awal dan penurunan mortalitas pada pasien dengan emboli paru akut.23
4. 2. TrombolisisObat trombolisis berguna melisis trombus dengan meningkatkan produksi plasmin
melalui aktivasi plasminogen. Banyak sediaan yang tersedia seperti streptokinase dan urokinase.3,22 Fibrinolisis digunakan pada penderita dengan emboli paru akut yang massif dan kemungkinan komplikasi perdarahan yang lebih besar (klas II, level eviden B).20,22
Pada penderita dengan hemodinamik tidak stabil, perawatan lebih agresif seperti trombolisis. Ini merupakan pilihan terapi karena tingginya angka kematian pada penderita tersebut dan perbaikan obstruksi tromboemboli lebih cepat dengan trombolitis dibandingkan dengan antikoagulan.9
Wang dkk melakukan penelitian mengenai keefektifan dan keamanan regimen Urokinase 2 jam dibandingkan dengan Urokinase 12 jam pada pasien emboli paru akut. Pada penelitian ini didapatkan bahwa kedua regimen memiliki kesamaan dalam hal efektifitas dan keamanannya untuk emboli paru akut. 24
Tabel 4. Obat dan dosis trombolitik dikutip dr 25
Obat Regimen dosisStreptokinase 250.000 unit selama 30 menit, kemudian 100.000 unit /jam selama 24 jamUrokinase 4.400 unit/kgBB selama 10 menit, kemudian 4.400 unit/kgBB selama 12 jamRt-PA 10 mg bolus, kemudian 90 mg selama 2 jam ____________________________________________________________________
Tabel 5. Kontraindikasi absolut dan relatif terapi trombolitik dikutip dari 25
Absolut- Riwayat perdarahan intrakranial- Keganasan intrakranial- Trauma kepala- Perdarahan internal yang aktif- Riwayat bedah intrakranial atau intraspinal dalam 3 bulan- Kecelakaan serebrovaskuler dalam 2 bulan
Relatif- Pernah perdarahan internal- Pernah bedah atau biopsi organ- Pernah trauma- Hipertensi tidak terkontrol- Resiko tinggi trombosis jantung kiri- Retinopati diabetik- Kehamilan- Umur >75 tahun.
____________________________________________________________________
Penelitian metaanalisis yang dilakukan Wan S dkk tahun 2004 mengenai perbandingan trombolitik dengan heparin sebagai terapi awal emboli paru pada 11 studi mencakup 748 pasien. Hasil penelitian ini menyimpulkan belum ada bukti manfaat terapi trombolitik lebih baik dibandingkan dengan heparin sebagai terapi awal pada pasien emboli paru. Manfaat trombolitik baru dirasakan pada pasien dengan resiko tinggi untuk kejadian berulang atau kematian.26
4. 3. Embolektomi Embolektomi merupakan terapi pertama emboli paru yang pertama kali dilakukan oleh Tredelenberg tahun 1908 pada arteri pulmonari.21 Merupakan tindakan bedah yang dilakukan pada emboli paru akut untuk mencegah resiko hemoragi intrakranial.16 Operasi plag mempunyai resiko kematian yang besar (30%), karena pasien berada dalam keadaan kritis, hemodinamik yang tidak stabil selama operasi. Pasien didiagnosis di ruang emergensi yang mempunyai kecendrungan diagnosis besar terhadap emboli paru dan biasanya pemberian antikoagulan atau trombolitik tidak memberikan manfaat.4
Penelitian yang dilakukan oleh Lidt dkk terhadap penderita dengan emboli paru massif
dengan disfungsi ventikel kanan. Pada pasien ini tindakan trombolitik merupakan kontraindikasi karena akan meningkatkan resiko perdarahan, gagal trombolisis. Pada pasien ini dilakukan percoutaneous mechanical trombectomy (PMT) yang ternyata merupakan alternatif terapi yang bermanfaat untuk kasus tersebut. 27
4. 4. PROGNOSIS Angka kematian mencapai 10-15%. Dalam persentasi kecil emboli paru masif meninggal sebelum didiagnosis, seringkali dalam 1 jam pertama. Pada penderita yang mendapat antikoagulan adekuat dengan heparin dan bertahan lebih dari 2 jam, prognosisnya baik. Bila heparin tidak diberikan akan terjadi embolisasi pada 1/3 kasus. Resiko menurun kurang dari 5% dengan terapi heparin adekuat.1 Emboli paru berulang dapat dicegah bila diberikan terapi dengan heparin dan antikoagulan oral, sehingga prognosisnya menjadi lebih baik. 21
Penelitian yang dilakukan Fremont dkk secara retrospektif di RS Trousseau Prancis mulai 1 Januari 1992 sampai 30 Juni 2005 mengenai nilai diagnostik rasio diameter akhir diastolik ekhokardiografi right/left ventricular pada pasien emboli paru akut. Rasio RV/LV ≥0,9 pada ekhokardiografi (P=0,01) merupakan faktor prediktor bebas untuk menilai angka kematian rumah sakit. Kriteria ini dapat dipakai menilai prognosis yang buruk .28
Penelitian yang dilakukan oleh Klok dkk mengenai kualitas hidup penderita emboli paru akut mulai 1 Januari 2001 sampai 1 Juli 2007 dengan jumlah sampel 392 penderita. Penelitian
ini didapatkan kualitas hidup yang buruk berhubungan dengan umur, obesitas, keganasan dan status kardiopulmoner.29
Pulmonary Embolism Prognostic Index (PESI) dapat menilai lebih baik prediksi resiko kematian pada pasien dengan emboli paru. Adapun caranya dapat di lihat pada tabel dibawah ini.30
Tabel 6. Pulmonary embolism prognostic index (PESI) dikutip dari 30
Prediktor Skor- Umur tahun- Laki – laki + 10- Kanker + 30- Gagal jantung + 10- PPOK + 10- Denyut jantung ≥110 x/menit + 20- Tekanan darah sistolik <100mmHg + 30- Frekuensi napas ≥ 30 + 20- Suhu tubuh <36ºC + 20- Delirium + 60- SaO2 < 90% + 20 TOTAL : ____________
__________________________________________________________________________________
Interpretasi:- Risiko rendah : ≤ 65 klas I, kematian 0,7%
66 – 85 klas II, kematian 1,2%- Resiko tinggi : 86 – 105 klas III, kematian 4,8%
106-125 klas IV, kematian 13,6% >125 klas V, kematian 25%
BAB V KESIMPULAN
1. Emboli Paru merupakan penyakit vaskuler akibat tersumbatnya arteri pulmonalis atau arteri bronkialis karena suatu trombus, bisa juga karena sel tumor, fragmen tulang, lemak, amnion dan udara.
2. Manifestasi klinis emboli paru tidak khas, (biasanya dispnea, nyeri dada, hemoptisis dan kollaps sirkulasi) sehingga sulit untuk mendiagnosis.
3. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan seperti laboratorium, D-Dimer, foto toraks, EKG, Ekokardiografi, CT angiografi, Ventilation verfusion scanning dan angiografi dan pemilihannya tergantung klinisi dan ketersediaan fasilitas rumah sakit.
4. Standar baku emas untuk diagnosis emboli paru adalah angiografi.5. Diagnosis dapat ditegakkan dengan menilai gejala klinis, pemeriksaan laboratorium dan
penunjang.6. Penatalaksanaan emboli paru dengan pemberian anti koagulan seperti heparin, trombolitik
seperti streptokinase, urokinase dan Rt-PA atau tindakan bedah seperti embolektomi.7. Prognosis emboli paru tergantung pada kecepatan dibuatnya diagnosis, beratnya penyakit,
kecepatan diberikannya terapi dan adanya penyakit lain yang menyertainya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Budi Swidarmoko. Tromboemboli Paru. In : Pulmonologi intervensi dan gawat napas. Ed: Swidarmoko B, Susanto AD. Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI. 2010:72-102
2. Weinberger SE, Cockril BA, Mandel J. Pulmonary embolism. In: Texbook of Principles of Pulmonary Medicine. 4th , ed. Philadelphia: Sounders Elsevier: 2008.p.182-192
3. Yung GL, Fedullo PF. Pulmonary thromboembolic disease. In: Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA et all, editors. Texbook of Fishman’s Pulmonary Disease and Disorders. 4 th , ed. New York: Mc Graw Hill Medical : 2008.p.1421-1446
4. Gruber MP, Bull TM. Pulmonary embolism. In: Albert RK, Spiro SG, Jett JR, editors. Texbook of Clinical Respiratory Medicine. 3th , ed. Philadelphia: Mosby Elsevier: 2008.p.763-781.
5. Khosravi M, Wood KE. Pulmonary embolism and deep venous thrombosis. In: Raoof S, George L, Saleh A, editors. Texbook Manual of Critical care. New York: Mc Graw Hill Medical : 2009. P. 412-433
6. Zvezdin B, Milutionov S, Kojicic M, Hadnadjev M et all. A Postmortem analysis of major causes of early death in patients hospitalized with COPD exacerbation. Chest. 2009:136;367-380
7. Piazza G and Goldhader S. Acute pulmonary embolism. American Heart Association, Circulation, 2006;114:e28-e32
8. Jimenez S. Guidelines on acute pulmonary embolism from European Society of Cardiology : reflections from the Perspective of the Emergency Physician. Emergencias. 2010:22;61-67
9. Agnelli G, Becattini C. Acute pulmonary embolism. N Engl J Med. 2010:363;266-74
10. Fedullo PF, Morris TA. Pulmonary tromboembolism. In: Murray JF, Nadel JA, Mason RJ, Boushey HA, editors. Textbook of Respiratory Medicine. 4th, ed. Philadelphia: WB Sounders company: 2005.p.41425-1458
11. Morris TA. Thromboembolic disease: Epidemiology, natural history, and diagnosis. In: Badraw RA, Ries AL, Morris TA, editors. Manual of Clinical Problem in Pulmonary Medicine. 6 th , ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins: 2005
12. Stein PD. Pulmonary embolism. Baltimore: Williams And Wilkins: 1996
13. Douma RA, Mos ICM, Erkens PMG, Nizet TAC et all. Performance of 4 cinical decision rules in diagnostic management of acute pulmonary embolism. Ann Intern Med. 2011:154;709-718
14. Rahajuningsih S. Pemeriksaan Laboratorium pada trombosis vena dalam (DVT). In : Hemostasis dan Trombosis. Ed: Rahajuningsih. FKUI;2009:66-77
15. Palareti G, Cosmi B, Legnani C, Tosseto A, Brusi C, Lorio A et all. D-Dimer testing to determine the duration of anticoagulation therapy. N Engl J Med. 2006: 355;1780-9
16. Goldhaber SZ. Deep venous trombosis and pulmonary thrombolism. In: Loscalzo J, Fauci AS, Kapser DL, Longo DL et all, editors. Teexbook of Harrison’s Pulmonary and Critical Care Medicine. New York: Mc Graw Hill Medical : 2010.p.204-214.
17. Collins, Jannette, stern, Eric J. Pulmonary vaskulature disease. In: Chest Radiology. Pholadelphia: Lippincontt Williams And Wilkins: 2008
18. Meyer NJ. Pulmonary embolism: Trombus, fat, air and amniotic fluid. In: Hall JB, Schmiot GA, Hogarth DK, editors. Texbook of Critical Care. New York: Mc Graw Hill Medical : 2007.p. 51-55
19. Sood S, Negi A, Dhiman DS, Sood RG et al. Role of CT Angiography in pulmonary embolism and its comparative evaluation with conventional pulmonary angiography. Ind J Radiol Imag.2006:16:215-219
20. Stein E, Haramati L, Chamarthy M, Sprayregen et all. Success of safe and simple algoritm to reduce use of CT pulmonary angiography in the emergency departement. AJR. 2010:194;392-397
21. Dalen JE. Pulmonary embolism: What have we learned since Virchow?. Chest. 2009:122;1801-1817
22. Jaff MR, McMurtry MS, Archer SL, Cushman M et all. Management of massive and submassive pulmonary embolism, iliofemoral deep vein thrombosis, and chronic thromboembolic pulmonary hypertension : A Scientific Statement from the Heart Association. Circullation.2011:123;1788-1830
23. Smith SB, Geske JB, Maguire JM, Zane NA et al. Early anticoagulation is associated with reduced mortality for acute pulmonary embolism. Chest. 2010:137;1382-1390
24. Wang C, Zhai Z, Yang Y, Yuan Y et al. Efficacy and safety of 2-hour urokinase regimen in acute pulmonary embolism: a randomized controlle trial. Biomed Central Respiratory Research. 2009:10:128-137
25. Todd JL, Tapson VF. Thrombolytic therapy for acute pulmonary embolism. Chest. 2009;135:1321-1329
26. Wan S, Quinlan DJ, Agnelli G and Eikelboom JW. Trombolisis compared with heparin for the initial treatment of pulmonary embolism : meta-analysis of randomized controlled trials. Circulation. 2004;110:744-9
27. Lidt GE, Gaspar J, Sandoval J, Santos FD et al. Combined Clot Fragmentation and Aspiration in Patient with Acute Pulmonary Embolism. Chest.2008:134;54-60
28. Fremont B, Pacouret G, Jacobi D, Puglisi R. Prognostic value of echocardiograpic right/left ventricular end-diastolic diameter ratio in patients with acute pulmonary embolism. Chest.2008:133;358-362
29. Klok FA, Kralingen KV, Dijk AP, Heyning FH et al. Quality of life in long term survivors of acute pulmonary embolism. Chest.2010:138;1432-1440
30. Masotti L, Righini M, Vuilleumier N, Antonelli F et all. Prognostic stratification of acute pulmonary embolism: focus on clinical aspects, imaging, and biomarkers. Vascular Health and Risk management. 2009;5:567-75 * refrat ini hasil kerja bareng dengan dr.erneti.