endoftalmitis jamur endogen
DESCRIPTION
jurdingTRANSCRIPT
Endoftalmitis Fungi Endogen : Organisme Penyebab,
Strategi Penatalaksanaan, dan Hasil Ketajaman Penglihatan
Aliha Lingappan, Charles C. Wykoff, Thomas A. Albini, Darlene Miller, Avinash
Pathengay, Janet L. Davis, and Harry W. Flynn, JR
Tujuan : Untuk melaporkan organisme penyebab, strategi penatalaksanaan, dan hasil
ketajaman penglihatan pada endoftalmitis fungi endogen.
Desain : Observasi kumpulan kasus.
Metode : Laporan mikrobiologi dan rekam medis ditinjau secara retrospektif pada
semua pasien dengan endoftalmitis fungi endogen antara 1 Januari 1990 sampai 1 Juli
2009.
Hasil : Kriteria studi tercapai pada 65 mata dari 51 pasien dengan rata-rata waktu
tindak lanjut 18 bulan. Yeast merupakan organisme penyebab terbanyak pada 38
(75%) pasien dibandingkan dengan molds pada 13 (25%) pasien. Ablasio retina
terjadi pada 17 mata (26%). Ketajaman penglihatan 20/200 atau lebih baik terdapat
pada 28 (56%) mata dengan yeast dan pada 5 (33%) mata dengan molds pada hasil
tindak lanjut terakhir.
Kesimpulan : Yeast merupakan penyebab terbanyak endoftalmitis fungi endogen
unilateral maupun bilateral yang terbukti dengan kultur. Endoftalmitis fungi endogen
umumnya dihubungkan dengan hasil ketajaman penglihatan yang buruk, terutama jika
disebabkan oleh molds. Ablasio retina sering ditemukan sewaktu tindak lanjut. (Am J
Ophthalmol 2012;153:162-166. 2012 by Elsevier Inc. All rights reserved.)
Endoftalmitis fungi endogen merupakan kondisi okular yang serius dengan
potensi hasil penglihatan akhir yang buruk. Pertumbuhan di okular terjadi melalui
penyebaran secara hematogen dan dapat melibatkan segmen anterior dan posterior
mata. Sebagian besar pasien dengan endoftalmitis fungi endogen memiliki satu atau
lebih predisposisi kondisi sistemik, termasuk faktor risiko seperti baru dirawat di
rumah sakit, diabetes mellitus, penyakit hati, gagal ginjal, kanker, indwelling lines,
operasi sistemik, transplantasi organ, HIV/AIDS, penggunaan obat secara intravena,
hiperalimentasi dan terapi imunosupresi. Endoftalmitis fungi endogen jarang muncul
pada pasien yang sehat dan imunokompeten tanpa faktor risiko.
Banyak fungi yang telah dilaporkan sebagai penyebab endoftalmitis fungi
endogen. Yang paling umum, endoftalmitis fungi endogen dihubungkan dengan
spesies Candida atau Aspergillus. Terapi yang telah dilaporkan meliputi kombinasi
berbagai macam antifungi sistemik dan intravitreus serta vitrektomi.
Laporan ini merepresentasikan secara berturut-turut sejumlah besar kumpulan
kasus pada pasien yang diterapi pada suatu pusat kesehatan untuk endoftalmitis fungi
endogen dan meliputi isolasi fungi spesifik, strategi penatalaksanaan dan hasil
ketajaman penglihatan.
Metode
Catatan klinis dan mikrobiologis diperiksa dari semua pasien yang dirawat di
Bascom Palmer Eye Institute (BPEI) antara tanggal 1 Januari 1990 sampai 1 Juli
2009, untuk hasil kultur yang terbukti mengandung jamur endogen pada intraokular
endoftalmitis (n=51). Setelah mendapatkan daftar organisme penyebab, catatan medis
yang sesuai dikaji untuk presentasi klinis, strategi pengobatan, dan hasil. Kriteria
inklusi dari penelitian ini adalah hasil kultur positif jamur dan perjalanan klinis sesuai
dengan endofalmitis fungi endogen.
Spesimen cairan intraokular diletakkan langsung pada agar-agar cokelat, 5%
agar darah domba, dan agar Sabouraud. Agar-agar cokelat dan agar- agar darah
domba diinkubasi pada suhu 35oC selama 2 minggu. Agar Sabouraud diinkubasi pada
suhu 35oC selama 72 jam dan kemudian pada suhu 25oC selama 2 minggu. Piringan
agar diperiksa setiap hari untuk mendeteksi pertumbuhan jamur. Koloni sugestif
pertumbuhan jamur dievaluasi dengan pewarnaan Giemsa dan pewarnaan Calcofluor
putih dan dengan potongan kultur untuk mendeteksi gambaran morfologi mikroskopis
serta kondisi karakteristik. Identifikasi mikroskopis dilengkapi dengan karakteristik
koloni secara makroskopik (warna, tekstur) dan waktu untuk mendeteksi serta
dibandingkan dengan standar kunci mikologi dan buku teks. Isolasi yang tidak biasa
dikirim ke Laboratorium Pengujian Jamur (San Antonio, Texas, USA) untuk
identifikasi. Kultur dan teknik identifikasi teknik tidak berubah selama masa
penelitian. (tahun 1990 hingga 2009).
Hasil kultur dianggap positif bila ada pertumbuhan organisme yang sama pada
dua atau lebih media solid di tempat inokulasi, atau ketika organisme tumbuh pada
satu media kultur dan terlihat pada pulasan berwarna (Gram, Giemsa, atau
methenamine perak Gomori). Pengobatan dan keputusan perawatan dibuat oleh dokter
yang merawat tanpa protokol penelitian yang telah ditetapkan.
TABEL. Faktor Resiko Sistemik pada Pasien dengan Endoftalmitis Fungi
Endogen
Faktor Resiko Jumlah Kasus Faktor Resiko Jumlah Kasus
Baru dirawat di
rumah sakit
35 Pengguna kateter
urin
7
Operasi sistemik 16 Transplantasi organ 6
Penyakit jantung
endokarditis
(CAD, CABG)
12 HIV/ AIDS 3
Kanker 12 Nutrisi parenteral
total
3
Diabetes Melitus 11 Hemodialisis 2
Terapi
imunosupresi
11 Sindrome Guillian-
Barre
2
Penyakit
pernapasan
(asma, bronkitis,
pneumonia)
10 Deep vein
Thrombosis
2
Penyakit
gastrointestinal
9 Meningitis 2
Pengguna obat
intravena
9 Prematur 2
Intravenous line 9 End-stage penyakit
hati
1
AIDS= acquired immunodeficiency syndrome; CABG= coronary artery bypass
graft;
HIV= human immunodeficiency virus.
Semua pasien memiliki setidaknya satu kondisi medis sistemik yang
berhubungan. Duapuluh empat pasien memiliki 3 atau lebih faktor resiko
Hasil
Demografik :
Kriteria penelitian terdapat pada 51 pasien (65 mata). Dari 51 pasien yang
ikut serta dalam penelitian ini, 30 merupakan pria. Usia rata-rata yaitu 51 tahun,
dengan rentang usia 3 bulan hingga 92 tahun. Tiga pasien berusia kurang dari 1
tahun. Rentang follow-up yaitu 2 hari hingga lebih dari 15 tahun (median, 138
hari). Empat belas pasien mengalami endoftalmitis fungi endogen bilateral.
Waktu dari timbulnya gejala hingga pasien datang ke dokter bervariasi
dari 0 hingga 60 hari (mean, 13 hari). Tidak ada pasien yang teridentifikasi
melalui skrining rutin. Gejala okular yang paling banyak yaitu penurunan
penglihatan (50 mata, 77%), mata merah (32 mata, 49%), nyeri (22 mata, 34%),
floaters (17 mata, 26%), dan fotofobia (8 mata, 12%). Diagnosis dini
endoftalmitis dibuat pada 38 mata (58%). Kasus lainnya didiagnosis uveitis tanpa
infeksi. Pada pemeriksaan awal, pada sebagian besar mata tampak adanya
inflamasi pada segmen anterior dan posterior (46 mata, 71%). Delapan belas mata
(28%) hanya mengalami inflamasi posterior fokal, dan satu mata (2%) hanya
mengalami inflamasi anterior fokal. Diantara 14 pasien dengan endoftalmitis
bilateral, 2 pasien mengalami inflamasi difus pada 1 mata dan inflamasi fokal
pada mata lainnya.
Semua pasien memiliki setidaknya satu kondisi sistemik medis yang
berkaitan (Tabel). Dua puluh empat pasien (47%) mengalami 3 atau lebih faktor
risiko. Tiga puluh lima pasien (69%) pernah dirawat dalam 6 bulan terakhir.
Delapan pasien (16%) dirawat inap pada saat diperiksa. Enam belas pasien (31%)
dimana endoftalmitis fungi endogen terjadi tidak dirawat inap saat diperiksa.
Faktor risiko utama berupa operasi non-okular (16 pasien, 31%). Empat belas
pasien mengalami imunosupresi, baik dalam pengobatan imunosupresan (11
pasien, 22%) atau penderita HIV/AIDS (3 pasien, 6%).
Diagnosis mikrobiologi :
Semua pasien (51 orang) memiliki hasil kultur intraokular yang positif.
Prosedur diagnostik primer yang paling banyak dilakukan yaitu vitrektomi pada
37 mata, yang mendapatkan hasil kultur positif pada 34 mata (92%). Prosedur
diagnostik primer lainnya yaitu parasintesis vitreus pada 16 (28%) dari 57 mata,
yang mendapatkan hasil positif pada 7 mata (44%) dan parasintesis aquous
humor pada 4 (7%) dari 57 mata, dengan 1 (25%) hasil positif dari 4 mata yang
dilakukan kultur. Pada 12 pasien, hasil kultur aquous awal atau parasintesis
vitreus negatif, namun spesimen vitrektomi berikutnya menunjukkan hasil kultur
positif. Sampel vitrektomi menegakkan atau mengkonfirmasi diagnosis
endoftalmitis fungal endogen pada 46 mata (81%). Semua 14 pasien yang
mengalami penyakit bilateral memiliki setidaknya hasil kultur intraokular yang
positif pada satu mata, dimana 6 dari 14 pasien, kultur intraokular didapatkan dari
kedua mata namun hasil positif dari kedua mata hanya terdapat pada 1 pasien.
Yeast (38 pasien, 75%), lebih sering ditemukan dari molds (13 pasien,
25%). Yeast yang merupakan penyebab tersering yaitu Candida albicans (33
pasien, 65%). Yeast lainnya yaitu Candida tropicalis (n=3) dan Cryptococcus
neoformans (n=2). Molds yang teridentifikasi termasuk Aspergillus fumigatus
(n=6), Aspergillus glaucus (n =2), Fusarium oxysporum (n= 2),Aspergillus niger
(n=1), Aspergillus terreus (n=1), dan Cladophialophora devriesii (n=1). Hasil
pemeriksaan mikrobiologis dari pasien dengan gejala bilateral menunjukkan
spektrum yang tidak berbeda dari kasus unilateral, yaitu Candida albicans
(n=11), Aspergillus fumigatus (n=2), Candida tropicalis (n=1).
Selain hasil kultur intraokular yang positif, 11 pasien (21%) memiliki
hasil kultur positif dari spesimen non-okular. Dari hasil-hasil ini, kultur darah
menunjukkan hasil positif pada 6 pasien (55%), kultur urin menunjukkan hasil
positif pada 3 pasien (27%), kultur sputum menunjukkan hasil positif pada 2
pasien (18%), dan cairan serebrospinal menunjukkan hasil kultur positif pada 1
pasien (9%).
Terapi dan Hasil Akhir :
Pengobatan awal terdiri dari kombinasi pengobatan sistemik dan topikal
pada 22 pasien (43%). Pada pasien yang menjalankan kedua jenis pengobatan
(sistemik dan topikal), pengobatan topikal terdiri atas injeksi intravitreus pada 15
mata dan vitrektomi dengan atau tanpa lensektomi, injeksi intravitreus, atau
keduanya pada 12 mata. Dua puluh satu mata (35%) pada 18 pasien pada awalnya
hanya menjalani pengobatan topikal. Empat dari 21 mata menjalani pengobatan
injeksi intravitreus saja. Tujuh belas mata menjalani vitrektomi dengan atau tanpa
lensektomi, dengan atau tanpa injeksi intravitreus. Satu mata dengan kelainan
utama di segmen anterior mendapatkan amfoterisin intrakamera pada saat
dilakukan vitrektomi.
Sebelas pasien (22%) pada awalnya hanya diobati dengan antijamur oral
atau intravena tanpa injeksi intraokular. Tiga puluh tiga pasien menjalani
pengobatan awal dengan obat oral (flukonazole, n=28; ketokonazole, n=4; atau
vorikonazole, n=1). Lima belas pasien awalnya diobati dengan pengobatan
intravena (amfoterisin B, n=12; flukonazole, n=2; itrakonazole, n=1).
Selama masa pengobatan, 48 pasien menerima pengobatan antijamur
sistemik: 28 pasien dengan antijamur per oral saja; 9 dengan pengobatan
intravena saja dan 11 dengan kombinasi obat antijamur per oral dan intravena.
Enam belas pasien menerima lebih dari 1 jenis pengobatan antijamur. Tiga pasien
tidak menerima pengobatan sistemik apapun; namun 2 dari 3 pasien ini memiliki
follow-up yang terbatas (<2hari). Pada 2 kasus bilateral 1 mata diterapi dengan
pengobatan lokal dan sistemik sedangkan mata lainnya hanya diberikan
pengobatan sistemik saja.
Selama masa pengobatan, 50 mata menerima injeksi intravitreus baik saat
operasi ataupun pada saat di klinik. Agen yang terutama digunakan yaitu
amfoterisin B (5µg/0,1 mL; 48 mata). Tiga mata diberikan vorikonazole
intravitreus (50µg/0,1 mL). Dua puluh lima mata menerima hanya 1 dosis
amfoterisin intravitreus. Dua puluh empat mata menerima lebih dari 1 injeksi
intravitreus (rentang 2-7 injeksi; metode 2 injeksi). Pada pasien-pasien yang
menerima injeksi berulang, amfoterisin digunakan pada semua pasien kecuali 1
pasien. Satu pasien ini terinfeksi C.albicans dan menerima 2 injeksi vorikonazole
diikuti 2 injeksi amfoterisin.
Lima puluh sembilan dari 65 mata (91%) menjalani PPV selama masa
pengobatan. Tiga puluh delapan dari 59 mata menerima injeksi antijamur pada
saat PPV. Diagnosis endoftalmitis fungi endogen telah dikonfirmasi dengan
kultur intraokular yang positif sebelum operasi pada 7 orang dari pasien-pasien
ini. Obat antijamur yang digunakan yaitu amfoterisin B (36 mata) dan
vorikonazole (2 mata).
Indikasi PPV lainnya yaitu untuk menghilangkan debris inflamasi vitreus
dan memperbaiki ablasi retina. Ablasi retina terjadi pada 17 mata (29%).
Organisme penyebab pada pasien-pasien ini sesuai urutan (C.albicans, n=14;
C.tropicalis, n=1; F.oxysporum, n=1; A.fumigatus, n=1). Ablasi retina terjadi
pada waktu kurang dari 1 minggu pada 5 mata (29%) dan sisanya 12 (71%)
mengalami ablasi retina setelah 1 minggu (rentang = 11-900 hari). Ablasi retina
terjadi pada 7 mata setelah 1 bulan. Ablasi retina terjadi pada 8 dari 14 pasien (16
dari 28 mata) pada penderita endoftalmitis bilateral. Pada mata yang mengalami
ablasi retina, 12 mata (71%) mengalami inflamasi difus dan 5 (29%) mengalami
inflamasi fokal. Setelah dilakukan intervensi pembedahan, perbaikan anatomi
terjadi pada 7 dari 17 mata (42%).
Hasil pemeriksaan ketajaman penglihatan dilakukan pada 47 pasien (59
mata) pada pemeriksaan follow-up terakhir. Pada 4 pasien lainnya, ketajaman
penglihatan tidak dapat dinilai secara akurat karena usia muda atau status mental
yang terbatas. Ketajaman penglihatan dengan hasil 20/200 atau lebih baik
terdapat pada 28 dari 50 mata (56%) dengan yeast dan 5 dari 15 mata (33%)
dengan molds. Ketajaman penglihatan dengan hasil 20/50 atau lebih baik terdapat
pada 21 dari 50 mata dengan yeast (42%) dan 1 dari 15 mata dengan molds (7%).
Pada pasien dengan endoftalmitis bilateral, 17 dari 28 mata (61%) memiliki
ketajaman penglihatan sebesar 20/200 atau lebih baik dan 6 dari 28 mata (21%)
memiliki ketajaman penglihatan sebesar 20/50 atau lebih baik. Semua mata yang
menjalani enukleasi (3 mata) memiliki hasil kultur positif untuk spesies
Aspergillus. Ketajaman penglihatan pada mata dengan ablasi retina adalah 20/200
atau lebih baik pada 5 dari 17 mata (29%) dan 20/50 atau lebih baik pada 4 dari
17 mata (24%).
Diskusi
Manifestasi klinis endoftalmitis fungi endogen telah dilaporkan sebelumnya
pada beberapa laporan kasus dan beberapa kumpulan kecil kasus klinis. Beberapa
ulasan memfokuskan hanya pada endoftalmitis fungi endogen. Sebagai tambahan,
tidak semua kasus yang dilaporkan sebelumnya dikonfirmasi secara mikrobiologis
maupun secara klinis. Menurut pengetahuan kami, studi ini merupakan kumpulan
terbesar kasus endoftalmitis fungi endogen yang terbukti dengan kultur.
Ablasi retina merupakan komplikasi yang tidak jarang setelah dilakukannya
vitrektomi untuk endoftalmitis dan berhubungan dengan hasil penglihatan akhir yang
buruk. Insidensi ablasi retina di Endophthalmitis Vitrectomy Study sebesar 8%. Suatu
ulasan mengenai endoftalmitis bakteri endogen melaporkan adanya perbaikan ablasi
retina sebesar 2% namun tidak ada data yang tersedia mengenai insiden ablasi retina
setelah vitrektomi pada kasus endoftalmitis fungi endogen. Insiden keseluruhan ablasi
retina pada studi ini adalah 17 (29%) mata. Pada 7 mata, ablasi retina muncul satu
bulan setelah PPV, mengarahkan pada adanya tarikan pada bagian perifer vitreus
dengan konsekuensi robeknya retina sebagai penyebabnya. Setelah intervensi
pembedahan, kesuksesan anatomi terlihat pada 7 (42%) dari 17 mata. Pada 4 (24%)
mata, ketajaman penglihatan sebesar 20/50 atau lebih dapat tercapai.
Sebagian besar pasien menjalani vitrektomi pars plana sewaktu tindak lanjut.
Tujuan dari intervensi pembedahan ini adalah untuk mendapatkan sampel yang
adekuat dan untuk membersihkan opaksitas vitreus sehinga penglihatan dapat
dikembalikan seperti semula. Pada kumpulan kasus yang terbukti positif secara kultur
ini, vitrektomi sebagai metode diagnostik primer lebih mungkin untuk mendapatkan
hasil kultur yang positif dibandingkan dengan pengambilan cairan di bilik mata depan
ataupun bilik mata belakang tanpa vitrektomi. Vitrektomi mendapatkan hasil kultur
yang positif pada 92% mata sewaktu metode ini digunakan untuk prosedur diagnosis
awal. Prosedur diagnostik awal lain yang dapat digunakan adalah dengan parasintesis
bilik mata depan dan vitreus tanpa vitrektomi, yang mendapatkan hasil positif pada
25% dan 44% mata. Laporan yang telah diterbitkan sebelumnya juga menyatakan
bahwa sampel dari vitrektomi lebih mungkin untuk mendapat hasil yang positif pada
kultur dibandingkan dengan hanya mengambil cairan vitreus dengan parasintesis.
Karena endoftalmitis fungi endogen umumnya dimulai pada koroid, pengambilan
cairan vitreus dengan parasintesis mungkin tidak dapat mengambil sampel yang
adekuat dari rongga vitreus, terutama pada infeksi molds.
Pada studi ini, organisme penyebab endoftalmitis fungi endogen paling banyak
yang terisolasi pada kultur adalah C. albicans (33 pasien; 65%). Pada 13 pasien,
molds terisolasi. Distribusi spesies fungi ini sama dengan yang telah disebutkan pada
studi sebelumnya. Pada studi ini, amfoterisin intravitreus merupakan antijamur yang
paling banyak digunakan. Dari 3 mata yang dienukleasi, ketiganya memberikan hasil
yang positif terhadap Aspergillus. Seperti yang telah dilaporkan pada studi
sebelumnya, hasil ketajaman penglihatan pada kasus infeksi karena molds lebih buruk
daripada karena yeast. Telah dinyatakan bahwa molds cenderung menyebabkan
infeksi yang lebih menginfiltrasi dan kurang responsif terhadap terapi antijamur.
Endoftalmitis Candida endogen dapat muncul sebagai uveitis yang progresif,
yang telah dilaporkan sebanyak 50% dari kasus endoftalmitis fungi endogen pada
beberapa kumpulan kasus. Pada studi ini, diagnosis klinis endoftalmitis ditegakkan
terlebih dahulu pada 58% pasien dengan hasil kultur yang positif. Penemuan ini
menegaskan pentingnya menjalankan tes mikrobiologi dan menerapkan kecurigaan
klinis terutama pada pasien yang baru dirawat di rumah sakit, menjalani operasi
abdomen, penyalahguna obat-obatan secara intravena, atau pasien
immunocompromise. Pada pasien dengan inflamasi segmen posterior yang memburuk
tanpa penyebab yang jelas, prosedur diagnostik dapat menentukan penyebab pastinya
dan menunjang pemberian terapi yang adekuat. Meskipun demikian, tidak ada kasus
endoftalmitis fungi endogen yang teridentifikasi melalui skrining rutin pada pasien
septikemia fungi pada studi ini. Skrining okular pada pasien candidemia
direkomendasikan untuk dilakukan pada anak-anak, pada pasien yang kritis, dan
pasien dengan gangguan kesadaran atau dengan gejala okular.
Berdasarkan observasi yang dibuat pada penelitian ini, kami
merekomendasikan untuk menerapkan kecurigaan yang tinggi untuk uveitis endogen
infeksius pada pasien dengan faktor risiko yang telah teridentifikasi (Tabel) dan tanda
klinis seperti vitreitis difus, lesi inflamasi korioretina dengan inflamasi fokal pada
vitreus, atau lesi korioretina subretina. Pada pasien-pasien seperti ini, vitrektomi
diagnostik sebaiknya dipertimbangkan. Berdasarkan penemuan klinis dan hasil kultur,
terapi intravitreal yang cocok dapat diberikan. Agen antijamur oral juga dapat
dipertimbangkan, umumnya flukonasol. Injeksi intravitreus berulang sekali atau dua
kali dalam satu minggu mungkin diperlukan sampai infeksi menghilang. Pasien
sebaiknya ditindaklanjut mengenai adanya kemungkinan ablasio retina yang terjadi.
Studi ini memiliki banyak keterbatasan, termasuk desainnya yang secara
retrospektif, keterbatasan protokol yang sama untuk diagnosis dan tatalaksana, tindak
lanjut yang terbatas dan bervariasi, serta terbatasnya penggunaan antijamur yang lebih
baru seperti vorikonasol. Disamping keterbatasan tersebut, studi ini mengonfirmasi
laporan-laporan yang ada sebelumnya mengenai endoftalmitis fungi endogen, dimana
terdapat predominansi kasus Candida, hasil ketajaman penglihatan yang buruk pada
kasus molds, dan kasus ablasio retina yang cukup sering (29%) pada mata yang
terlibat. Sebagai tambahan, studi ini mendokumentasikan bahwa vitrektomi lebih
mungkin untuk mendapat hasil kultur yang positif dibandingkan dengan pengambilan
cairan di bilik mata depan dan vitreus tanpa vitrektomi. Akhirnya, studi ini
mendokumentasikan hasil akhir ketajaman penglihatan sebesar 20/50 atau lebih baik
pada 24% mata dengan ablasio retina yang berhubungan dengan endoftalmitis fungi
endogen.