essay antropologi budaya.doc

10
PERSFEKTIF ANTROPOLOGI BUDAYA DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT, BERBANGSA DAN BERNEGARA INDONESIA 1 Sesungguhnya, sebagai makhluk lingkungan (teritory being), manusia tidak pernah bisa hidup terpisah dari lingkungannya dalam arti luas. Dimanapun dan bilamanapun manusia senantiasa harus dapat membina hubungan dengan lingkungannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sekurang-kurangnya manusia harus dapat mengelola sumberdaya yang tersedia disekitarnya untuk menjamin keselamatan pada tingkat keamanan yang memadai (survival at reasonable level of security) . 2 Karena itu manusia harus mampu mengembangkan teknologi dan kearifan yang menjamin terpenuhinya kebutuhan hidup tanpa mengganggu persediaan sumberdaya dan keseimbangan lingkungan yang diperlukan sebagai penyangga. Sungguhpun demikian hubungan yang dibina manusia dengan lingkungannya itu selalu dalam ketegangan akibat perbedaan kepentingan yang dihadapi manusia dalam hidupnya. Di satu pihak kebutuhan hidup manusia cenderung terus meningkat dalam jumlah, ragam dan mutu yang mengikuti tingkat kesejahteraan mereka, di lain pihak, daya dukung lingkungan bukan tidak ada batasnya. Oleh karena itu meningkatnya intensitas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, senantiasa menimbulkan masalah 1 Disusun untuk memenuhi penugasan pembuatan Essay pada mata pelajaran Antropologi, pada Lembar Tugas Nomor LT/02/II/2006, Dep Ilpengtek, Seskoad, Bandung, Pebruari, 2006. 2 S.Budhisantoso, Prof.Dr,. Menuju Kemajuan atau Kehancuran Pembangunan tanpa mengindahkan kebudayaan”, PASKAL (Pusat Kajian Strategis Kepentingan Nasional), Jakarta, Agustus 2002, Hal-53.

Upload: nita-damayanti

Post on 02-Jan-2016

858 views

Category:

Documents


88 download

DESCRIPTION

essay

TRANSCRIPT

Page 1: ESSAY ANTROPOLOGI BUDAYA.doc

PERSFEKTIF ANTROPOLOGI BUDAYA

DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT, BERBANGSA

DAN BERNEGARA INDONESIA1

Sesungguhnya, sebagai makhluk lingkungan (teritory being), manusia tidak pernah

bisa hidup terpisah dari lingkungannya dalam arti luas. Dimanapun dan bilamanapun

manusia senantiasa harus dapat membina hubungan dengan lingkungannya untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya, sekurang-kurangnya manusia harus dapat mengelola sumberdaya yang

tersedia disekitarnya untuk menjamin keselamatan pada tingkat keamanan yang memadai

(survival at reasonable level of security).2 Karena itu manusia harus mampu

mengembangkan teknologi dan kearifan yang menjamin terpenuhinya kebutuhan hidup tanpa

mengganggu persediaan sumberdaya dan keseimbangan lingkungan yang diperlukan sebagai

penyangga.

Sungguhpun demikian hubungan yang dibina manusia dengan lingkungannya itu

selalu dalam ketegangan akibat perbedaan kepentingan yang dihadapi manusia dalam

hidupnya. Di satu pihak kebutuhan hidup manusia cenderung terus meningkat dalam jumlah,

ragam dan mutu yang mengikuti tingkat kesejahteraan mereka, di lain pihak, daya dukung

lingkungan bukan tidak ada batasnya. Oleh karena itu meningkatnya intensitas dalam

memenuhi kebutuhan hidupnya, senantiasa menimbulkan masalah yang mengancam ambang

batas daya dukung dan keseimbangan lingkungan yang seharus dipertahankan,

Sesungguhnya manusia, berdasarkan pengalamannya, mampu mempertahankan

keseimbangan lingkungannya dengan mengembangkan teknologi dan kearifan lingkungan

sebagaimana terbukti dengan kemampuan mereka bertahan hidup dan luas persebarannya di

muka bumi. Dengan mengacu pada abstraksi pengalaman yang berfungsi sebagai pedoman

dalam memahami lingkungan dan menggerakkan kegiatannya, manusia berubah

menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan yang mereka hadapi dengan

mengembangkan kehidupan yang lebih baik.

Sejarah peradaban manusia membuktikkan betapa manusia senantiasa berusaha untuk

meningkatkan kesejahteraan hiduonya dengan mengembangkan teknologi sebagai

penyambung keterbatasan jasmaninya. Akan tetapi setiap kali kesejahteraan manusia

1 Disusun untuk memenuhi penugasan pembuatan Essay pada mata pelajaran Antropologi, pada Lembar Tugas Nomor LT/02/II/2006, Dep Ilpengtek, Seskoad, Bandung, Pebruari, 2006.2 S.Budhisantoso, Prof.Dr,. Menuju Kemajuan atau Kehancuran Pembangunan tanpa mengindahkan kebudayaan”, PASKAL (Pusat Kajian Strategis Kepentingan Nasional), Jakarta, Agustus 2002, Hal-53.

Page 2: ESSAY ANTROPOLOGI BUDAYA.doc

2

meningkat berkat kemauan teknologi yang mereka kembangkan, senantiasa disusul dengan

masalah lingkungan yang ditimbulkannya. Untuk memenuhi kebutuhan hidup yang

meningkat dalam jumlah, ragam dan mutunya itu manusia terpaksa meningkatkan intensitas

pengelolaan sumberdaya disekitarnya, dipermudah dengan peralatan dan teknologi unggul

(super being) dimuka bumi dan lupa akan kearifan lingkungan yang selama ini menjadi

pedoman dalam pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan. Akibatnya penyusutan

sumberdaya dan mutu lingkunganpun tidak terhindarnkan sehingga mengancam

kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan.

Akan tetapi sebagai makhluk sosial yang berakal (Homo Sapiens), manusia tidak

kehilangan akan dan berusaha mengembangkan teknologi yang lebih canggih untuk

mengolah sumberdaya dan mengelola lingkungan demi kesejahteraan hidupnya. Pada

akhirnya manusia akan mamu meningkatkan kembali kesejahteraan hidupnya dan dilema

lama berulang, yaitu rusaknya penyangga kehidupan. Semakin hari kerusakan lingkungan

hidup itu semakin paran, sejalan dengan pesatnya kemajuan teknologi yang tidak seimbang

dengan etika dan moral yang mengendalikannya.

Berkaitan dengan hal tersebut, sesuai dengan namanya konsep pokok yang diajukan

oleh disiplin ilmu antropologi budaya adalah kebudayaan (culture). Dimana kebudayaan

dengan kata dasar “budaya” secara etimologi mengandung dua konsep utama yaitu konsep

“sosial” yang berarti hubungan antara individu di dalam suatu kelompok masyarakat, dan

konsep “budaya” yang berarti tata nilai (pranata sosial) yang merupakan hasil rasa, karsa dan

cipta manusia yang menumbuhkan gagasan-gagasan utama sebagai penggerak kehidupan

yang menghasilkan karya.3 Dengan demikian pengertian sosial budaya menunjuk pada

pergaulan hidup manusia dalam bermasyarakat diikat oleh pranata sosial yang ditandai

dengan adanya kerjasama dan keharmonisan.

Budaya sebagai pranata sosial merupakan tata nilai yang mengatur interaksi sosial

manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Pranata sosial memiliki tiga fungsi yaitu sebagai

pedoman bertindak setiap individu dalam bermasyarakat, sebagai alat pengendalian sosial,

dan sebagai alat mencapai keteraturan sosial. Sebagai pedoman bertindak, mengandung

pengertian bahwa setiap tindakan individu dalam bermasyarakat harus sesuai dengan aturan

yang berlaku. Sebagai alat pengendalian sosial, pranata sosial digunakan sebagai ukuran

apakah tindakan individu/kelompok dalam masyarakat melanggar aturan atau tidak. Apabila

tindakan individu dinilai menyimpang (tidak sesuai aturan), dengan sendirinya berdasarkan

ukuran tersebut, individu dapat diberikan sanksi. Sedangkan sebagai alat untuk mencapai

3 Yandianto, Drs. “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Penerbit M2S Bandung, September, 2001, Hal-532.

Page 3: ESSAY ANTROPOLOGI BUDAYA.doc

3

keteraturan sosial, berarti bahwa terciptanya keteraturan sosial di dalam masyarakat yang

ditandai dengan adanya kerjasama, keharmonisan, dan rendahnya frekuensi konflik baik dari

segi kualitas maupun kuantitas.

Dari pengertian konsep pokok budaya tersebut, maka konsep dan peran dari

bekerjanya kebudayaan tersebut pada kehidupan bermasyarakat adalah diwujudkan dengan

lahirnya beraneka ragam corak budaya, adat istiadat, serta kesenian dalam masyarakat yang

memerlukan upaya pelestarian demi kelangsungan hidup kebudayaan tersebut, karena dapat

mencirikan suatu bangsa dan negara. Dan ditengah derasnya pengaruh budaya negatif dari

luar, mengenai budaya ini sesuai dengan konsep ketahanan nasional dan wawasan nusantara,

bangsa Indonesia berupaya untuk mewujudkan ketahanan nasional yang dapat diartikan

sebagai ketangguhan asosial budaya yang berisi kemampuan untuk menerapkan dan

mengembangkan aspek-aspek sosial budaya sesuai fungsinya sebagai pedoman bertindak dan

pengendalian sosial untuk mencapai keteraturan sosial. Ketahanan Nasional bidang

sosial budaya yang tangguh mampu menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman,

hambatan dan gangguan yang datang dari luar maupun dari dalam, yang langsung maupun

tidak langsung membahayakan kehidupan sosial budaya bangsa dan negara Indonesia yang

berdasarkan Pancasila dan UUD 19454.

Wujud ketahanan sosial budaya tercermin dalam kehidupan beragama dan kerukunan

hidup, persatuan bangsa dan kesadaran kehidupan berbangsa, bernegara, pendidikan,

kesehatan, dan kesejahteraan sosial, kesadaran hukum, penguasaan dan pengembangan Iptek,

disiplin nasional, serta kehidupan generasi muda dan wanita, sesuai dengan kebudayaan

nasional yang dijiwai oleh Pancasila dan UUD 1945. Dan untuk mengukur tingkat ketahanan

nasional bidang sosial budaya dapat dilihat dari beberapa indikator dari variabel-variabel

seperti : Pertama, Kehidupan Beragama dan kerukunan hidup yang ditandai adanya

toleransi beragama yang tinggi, tersedianya sarana peribadatan, tidak adanya konflik antar

pemeluk agama, terjadinya perkawinan antar etnis tidak dipermasalahkan oleh masyarakat,

serta berbagai implementasi ritual keagamaan dalam kehidupan sehari-hari; Kedua,

tercptanya Persatuan bangsa dan kesadaran kehidupan berbangsa, bernegara. Pada

aspek ini, indikator yang harus dijadikan tolok ukur tingkat ketahanan sosial budaya adalah

apabila masyarakat dalam suatu wilayah masyarakatnya mengakui dan mempertahankan

NKRI, mengakui Pancasila dan UUD 1945, Siap membela negara, memiliki jiwa

kesetiakawanan sosial, dan perasaan cinta tanah air serta berupaya untuk mengembangkan

4 Departamen Strategi dan Doktrin, Naskah Depatemen tentang Ketahanan Nasional, Dep Stradok, Seskoad, Bandung, 2000. Hal-25.

Page 4: ESSAY ANTROPOLOGI BUDAYA.doc

4

bahasa nasional yakni bahasa Indonesia serta melestarikan bahasa daerahnya; Ketiga,

Pendidikan. Pada variabel pendidikan, yang harus dijadikan pedoman untuk mengukur

ketahanan sosial budaya adalah : ketersediaan Anggaran pendidikan dalam APBN maupun

APBD, Kualifikasi tenaga pendidikan, Angka Partisipasi Kasar (APK), Angka Partisipasi

Murni (APM), Rasio siswa per-sekolah, Rasio siswa per-kelas, Rasio siswa dengan guru,

rasio guru dengan sekolah, kondisi sarana pendidikan, Angka putus sekolah, kondisi

pendidikan luar sekolah, dan kondisi pendidikan dini usia (PADU); Keempat, Kesehatan.

Pada aspek kesehatan, yang harus dijadikan pedoman untuk mengukur ketahanan sosial

budaya adalah : tersedianya sarana prasarana kesehatan, tercukupinya rasio Puskesmas per-

penduduk, rasio tenaga dokter per-penduduk, rasio Paramedis per-penduduk; Kelima,

Hukum. Pada aspek hukum, yang harus dijadikan pedoman untuk mengukur tingkat

ketahanan sosial budaya adalah : adanya Sosialisasi hukum, penegakkan hukum, dan adanya

kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum (Hakim, Jaksa, Pengacara dan Polisi), serta

keberlakuan Hukum adat; Keenam, Penguasaan dan Pengembangan Iptek. Pada aspek

penguasaan dan pengembangan Iptek, indikator yang harus dijadikan pedoman untuk

mengukur tingkat ketahanan sosial budaya adalah penguasaan teknologi modern, penggunaan

teknologi tepat guna, penemuan teknologi baru, dan adanya kesadaran hak atas kekayaan

intelektual; Ketujuh, Generasi Muda dan Perempuan. Pada aspek ini, indikator yang

harus dijadikan pedoman untuk mengukur tingkat ketahanan sosial budaya adalah adanya

Organisasi kemasyarakatan-kepemudaan termasuk pemberdayaan pemuda, adanya Organisasi

perempuan, dan juga pemberdayaan perempuan; Kedelapan, Disiplin Nasional. Pada aspek

ini, indikator yang harus dijadikan pedoman untuk mengukur tingkat ketahanan sosial budaya

adalah tercipta Etos kerja yang tinggi dari seluruh aparatur pemerintahan dan sipil,

tertanamnya budaya tertib (disiplin) masyarakat, serta berjalannya etika dan sistem nilai

masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

Disamping hal tersebut diatas, kebudayaan juga memberikan warga kelompok

masyarakat pendukungnya panduan nilai moral, sikap, dan perilaku sehingga kehidupan asa

masyarakat tersebut secara keseluruhan dapat berjalan fungsional dan efektif. Namun

demikian kebudayaan juga berubah sesuai dengan perubahan masyarakat. Perubahan itu

antara lain digerakkan oleh upaya membangun, sehingga selama proses membangun tersebut

muncul kecenderungan penguatan ikatan-ikatan primordial, seperti kesukuan, etnosentris dan

eksluvitas agama. Timbulnya kecenderungan-kecenderungan tersebut lebih banyak

disebabkan adanya suatu persaingan diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat, dan

suatu kecemasan untuk diasing dalam kehidupan sosialnya. Penguatan ikatan primordial

Page 5: ESSAY ANTROPOLOGI BUDAYA.doc

5

banyak menyangkut sumber asal suku bangsa secara etnis (kaum, kerabat, suku, ras, bangsa),

serta garis keturunan (pribumi, campuran/indo); juga berdasarkan kasta, daerah atau wilayah

tempat hidup dan agama. Masing-masing kelompok memiliki adat kebiasaan, pola tingkah

laku, keyakinan religius, raison d’etre (pandangan mengenai makhluk dan kehidupan),

mentalitas, dan “way of life” sendiri. Penduduknya mempunyai sentimen-sentimen yang kuat

terhadap bumi tumpah darah dan kaumnya sendiri. Juga punya loyalitas tinggi terhadap suku

bangsa sendiri, disamping memiliki patriotisme, rasa bangga akan kebudayaan sendiri, rasa

pengabdian dan pengorbanan pada bumi Pertiwi, serta kecintaan pada bangsa dan negara.

semua unsur tersebut diatas sangat mendukung faham nasuionalisme dan perasaan bersatu

padu.5

Oleh karena sifatnya lebih internal, yaitu ditujukan ke dalam kelompok sendiri,

primordialisme pada umumnya bersifat netral dan tidak berbahaya, sentimen kesukuan dan

perbedaan etnis di masa sekarang tidak perlu dikhawatirkan sebagai ancaman, sebab masalah-

masalah perbedaan suku itu sudah banyak berkurang; bahkan banyak berubah berkat adanya

komunikasi yang lebih akrab, pertukaran informasi dan kebudayaan, perkawinan antar suku-

bangsa, kebijakan transmigrasi, dan pelayanan interinsuler yang lebih padat. Lagi pula,

kelompok primordial merupakan kelompok dasar dari setiap komunitas manusia, yang jelas

tidak mungkin untuk dihilangkan.

Pada umumnya, orang akan mereaksi sangat emosional terhadap kelompok primordial

sendiri; yaitu terhadap kawan sedaerah, kerabat sendiri, tempat kelahiran sendiri, bahasa ibu,

kebudayaan daerah sendiri, kidung berbahasa daerah, dan agama sendiri. Maka penghayatan

individu dengan sentimen-sentimen primordial itu jika sifatnya sederhana, pasti akan

membangunkan emosi-emosi positif, misalnya rasa kerinduan, nostalgia, rasa romantis sendu.

Juga mengingatkan orang pada nilai-nilai etis kesusilaan serta apresiasi pada keindahan dan

seni, yang semuanya dapat disumbangkan kepada upaya pembangunan serta integrasi bangsa.

Maka unsur primordial itu dapat direkayasa sedemikian rupa, sehingga dapat dijadikan alat

pemersatu bagi keanekaragaman budaya-budaya daerah menjadi budaya Indonesia yang adil

dan luhur.

Akan tetapi apabila primordialisme ini bersifat ekstrim, kaku, stereotype dan sempit,

maka ia akan berkembang menjadi fanatisme, chauvinisme (kegilaan kebangsaan),

radikalisme, diskriminasi, ekslusivisme, dan bermacam-macam masalah sosial yang memecah

belah persatuan dan kesatuan bangsa. Adapun sebabnya ialah : karena primordialims sempit

5 Kartini Kartono, ABRI dan Permasalahannya (Pemikiran Reflektif Peranan ABRI di Era Pembangunan, PT.Mandar Maju, Bandung, 1996, Hal-137.

Page 6: ESSAY ANTROPOLOGI BUDAYA.doc

6

tersebut banyak dimuati sentimen-sentimen yang kuat, purbasangka negatif, rasa iri, dengki,

bermusuhan, cemburu, unsur ketegangan yang eksplosif, curiga, friksi serta konflik terbuka

yang semuanya bisa menyebabkan timbulnya kerawanan sosial. Misalnya semangat

primordialisme keagamaan sempitt jelas bisa mencetuskan pengkotak-kotakan dalam sekte-

sekte yang saling berusuhan (sektarianisme), yang akan merontokkan persatuan dan kesatuan

bangsa. Sedang kita ketahui, ciri primordial kita sejak awal keberadaannya

(zaman purba) adalah rukun bersatu dan bergotong royong.

Oleh karenanya Wawasan kebangsaan Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan

UUD 1945 menuntut pada kita semua agar tidak menganggap diri super dan ekslusif, tidak

bersikap ariori dan diskriminatif terhadap sesama warganegara yang tidak sealiran dan

seagama. Juga tidak mementingkat interest sendiri dan kepentingan golongan sendiri,yang

bisa menjebloskan kita pada arogansi, suka diskriminatif dan keserakahan. Sebab pada

akhirnya sifat buruk tersebut akan mebuat kita menjadi rpibadi singulir atau pasien neurotik

berbahaya yang pantas menghuni rumah sakit jiwa.

Dari apa yang telah diuraikan diatas, dapat kita simpulkan bahwasanya konsep peran

kebudayaan tersebut pada kehidupan bermasyarakat yang diwujudkan dengan lahirnya

beraneka ragam corak budaya, adat istiadat, serta kesenian dalam masyarakat, telah

memberikan identitas diri pada suatu bangsa, sehingga perlu untuk tetap dikelola dan

dilestarikan agar tidak mudah untuk diombang-ambing oleh derasnya pengaruh kebudayaan

luar yang dapat menghilangkan identitas diri tersebut, serta dapat memunculkan

kecenderungan penguatan ikatan-ikatan primordial, seperti kesukuan, etnosentris dan

eksluvitas agama yang bila tidak terkelola dengan baik akan dapat meruntuhkan nilai-nilai

persatuan dan kesatuan bangsa. Dan oleh karenanya ketahanan di bidang kebudayaan sebagai

salah satu aspek ketahanan nasional perlu untuk terus ditumbuhkan dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia.

Bandung, 21 Pebruari 2006

Perwira Siswa

R. ANDI RODIPRIJATNA W.MAYOR INF NRP 1900014871067