essay antropologi budaya.doc
DESCRIPTION
essayTRANSCRIPT
PERSFEKTIF ANTROPOLOGI BUDAYA
DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT, BERBANGSA
DAN BERNEGARA INDONESIA1
Sesungguhnya, sebagai makhluk lingkungan (teritory being), manusia tidak pernah
bisa hidup terpisah dari lingkungannya dalam arti luas. Dimanapun dan bilamanapun
manusia senantiasa harus dapat membina hubungan dengan lingkungannya untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, sekurang-kurangnya manusia harus dapat mengelola sumberdaya yang
tersedia disekitarnya untuk menjamin keselamatan pada tingkat keamanan yang memadai
(survival at reasonable level of security).2 Karena itu manusia harus mampu
mengembangkan teknologi dan kearifan yang menjamin terpenuhinya kebutuhan hidup tanpa
mengganggu persediaan sumberdaya dan keseimbangan lingkungan yang diperlukan sebagai
penyangga.
Sungguhpun demikian hubungan yang dibina manusia dengan lingkungannya itu
selalu dalam ketegangan akibat perbedaan kepentingan yang dihadapi manusia dalam
hidupnya. Di satu pihak kebutuhan hidup manusia cenderung terus meningkat dalam jumlah,
ragam dan mutu yang mengikuti tingkat kesejahteraan mereka, di lain pihak, daya dukung
lingkungan bukan tidak ada batasnya. Oleh karena itu meningkatnya intensitas dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya, senantiasa menimbulkan masalah yang mengancam ambang
batas daya dukung dan keseimbangan lingkungan yang seharus dipertahankan,
Sesungguhnya manusia, berdasarkan pengalamannya, mampu mempertahankan
keseimbangan lingkungannya dengan mengembangkan teknologi dan kearifan lingkungan
sebagaimana terbukti dengan kemampuan mereka bertahan hidup dan luas persebarannya di
muka bumi. Dengan mengacu pada abstraksi pengalaman yang berfungsi sebagai pedoman
dalam memahami lingkungan dan menggerakkan kegiatannya, manusia berubah
menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan yang mereka hadapi dengan
mengembangkan kehidupan yang lebih baik.
Sejarah peradaban manusia membuktikkan betapa manusia senantiasa berusaha untuk
meningkatkan kesejahteraan hiduonya dengan mengembangkan teknologi sebagai
penyambung keterbatasan jasmaninya. Akan tetapi setiap kali kesejahteraan manusia
1 Disusun untuk memenuhi penugasan pembuatan Essay pada mata pelajaran Antropologi, pada Lembar Tugas Nomor LT/02/II/2006, Dep Ilpengtek, Seskoad, Bandung, Pebruari, 2006.2 S.Budhisantoso, Prof.Dr,. Menuju Kemajuan atau Kehancuran Pembangunan tanpa mengindahkan kebudayaan”, PASKAL (Pusat Kajian Strategis Kepentingan Nasional), Jakarta, Agustus 2002, Hal-53.
2
meningkat berkat kemauan teknologi yang mereka kembangkan, senantiasa disusul dengan
masalah lingkungan yang ditimbulkannya. Untuk memenuhi kebutuhan hidup yang
meningkat dalam jumlah, ragam dan mutunya itu manusia terpaksa meningkatkan intensitas
pengelolaan sumberdaya disekitarnya, dipermudah dengan peralatan dan teknologi unggul
(super being) dimuka bumi dan lupa akan kearifan lingkungan yang selama ini menjadi
pedoman dalam pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan. Akibatnya penyusutan
sumberdaya dan mutu lingkunganpun tidak terhindarnkan sehingga mengancam
kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan.
Akan tetapi sebagai makhluk sosial yang berakal (Homo Sapiens), manusia tidak
kehilangan akan dan berusaha mengembangkan teknologi yang lebih canggih untuk
mengolah sumberdaya dan mengelola lingkungan demi kesejahteraan hidupnya. Pada
akhirnya manusia akan mamu meningkatkan kembali kesejahteraan hidupnya dan dilema
lama berulang, yaitu rusaknya penyangga kehidupan. Semakin hari kerusakan lingkungan
hidup itu semakin paran, sejalan dengan pesatnya kemajuan teknologi yang tidak seimbang
dengan etika dan moral yang mengendalikannya.
Berkaitan dengan hal tersebut, sesuai dengan namanya konsep pokok yang diajukan
oleh disiplin ilmu antropologi budaya adalah kebudayaan (culture). Dimana kebudayaan
dengan kata dasar “budaya” secara etimologi mengandung dua konsep utama yaitu konsep
“sosial” yang berarti hubungan antara individu di dalam suatu kelompok masyarakat, dan
konsep “budaya” yang berarti tata nilai (pranata sosial) yang merupakan hasil rasa, karsa dan
cipta manusia yang menumbuhkan gagasan-gagasan utama sebagai penggerak kehidupan
yang menghasilkan karya.3 Dengan demikian pengertian sosial budaya menunjuk pada
pergaulan hidup manusia dalam bermasyarakat diikat oleh pranata sosial yang ditandai
dengan adanya kerjasama dan keharmonisan.
Budaya sebagai pranata sosial merupakan tata nilai yang mengatur interaksi sosial
manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Pranata sosial memiliki tiga fungsi yaitu sebagai
pedoman bertindak setiap individu dalam bermasyarakat, sebagai alat pengendalian sosial,
dan sebagai alat mencapai keteraturan sosial. Sebagai pedoman bertindak, mengandung
pengertian bahwa setiap tindakan individu dalam bermasyarakat harus sesuai dengan aturan
yang berlaku. Sebagai alat pengendalian sosial, pranata sosial digunakan sebagai ukuran
apakah tindakan individu/kelompok dalam masyarakat melanggar aturan atau tidak. Apabila
tindakan individu dinilai menyimpang (tidak sesuai aturan), dengan sendirinya berdasarkan
ukuran tersebut, individu dapat diberikan sanksi. Sedangkan sebagai alat untuk mencapai
3 Yandianto, Drs. “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Penerbit M2S Bandung, September, 2001, Hal-532.
3
keteraturan sosial, berarti bahwa terciptanya keteraturan sosial di dalam masyarakat yang
ditandai dengan adanya kerjasama, keharmonisan, dan rendahnya frekuensi konflik baik dari
segi kualitas maupun kuantitas.
Dari pengertian konsep pokok budaya tersebut, maka konsep dan peran dari
bekerjanya kebudayaan tersebut pada kehidupan bermasyarakat adalah diwujudkan dengan
lahirnya beraneka ragam corak budaya, adat istiadat, serta kesenian dalam masyarakat yang
memerlukan upaya pelestarian demi kelangsungan hidup kebudayaan tersebut, karena dapat
mencirikan suatu bangsa dan negara. Dan ditengah derasnya pengaruh budaya negatif dari
luar, mengenai budaya ini sesuai dengan konsep ketahanan nasional dan wawasan nusantara,
bangsa Indonesia berupaya untuk mewujudkan ketahanan nasional yang dapat diartikan
sebagai ketangguhan asosial budaya yang berisi kemampuan untuk menerapkan dan
mengembangkan aspek-aspek sosial budaya sesuai fungsinya sebagai pedoman bertindak dan
pengendalian sosial untuk mencapai keteraturan sosial. Ketahanan Nasional bidang
sosial budaya yang tangguh mampu menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman,
hambatan dan gangguan yang datang dari luar maupun dari dalam, yang langsung maupun
tidak langsung membahayakan kehidupan sosial budaya bangsa dan negara Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 19454.
Wujud ketahanan sosial budaya tercermin dalam kehidupan beragama dan kerukunan
hidup, persatuan bangsa dan kesadaran kehidupan berbangsa, bernegara, pendidikan,
kesehatan, dan kesejahteraan sosial, kesadaran hukum, penguasaan dan pengembangan Iptek,
disiplin nasional, serta kehidupan generasi muda dan wanita, sesuai dengan kebudayaan
nasional yang dijiwai oleh Pancasila dan UUD 1945. Dan untuk mengukur tingkat ketahanan
nasional bidang sosial budaya dapat dilihat dari beberapa indikator dari variabel-variabel
seperti : Pertama, Kehidupan Beragama dan kerukunan hidup yang ditandai adanya
toleransi beragama yang tinggi, tersedianya sarana peribadatan, tidak adanya konflik antar
pemeluk agama, terjadinya perkawinan antar etnis tidak dipermasalahkan oleh masyarakat,
serta berbagai implementasi ritual keagamaan dalam kehidupan sehari-hari; Kedua,
tercptanya Persatuan bangsa dan kesadaran kehidupan berbangsa, bernegara. Pada
aspek ini, indikator yang harus dijadikan tolok ukur tingkat ketahanan sosial budaya adalah
apabila masyarakat dalam suatu wilayah masyarakatnya mengakui dan mempertahankan
NKRI, mengakui Pancasila dan UUD 1945, Siap membela negara, memiliki jiwa
kesetiakawanan sosial, dan perasaan cinta tanah air serta berupaya untuk mengembangkan
4 Departamen Strategi dan Doktrin, Naskah Depatemen tentang Ketahanan Nasional, Dep Stradok, Seskoad, Bandung, 2000. Hal-25.
4
bahasa nasional yakni bahasa Indonesia serta melestarikan bahasa daerahnya; Ketiga,
Pendidikan. Pada variabel pendidikan, yang harus dijadikan pedoman untuk mengukur
ketahanan sosial budaya adalah : ketersediaan Anggaran pendidikan dalam APBN maupun
APBD, Kualifikasi tenaga pendidikan, Angka Partisipasi Kasar (APK), Angka Partisipasi
Murni (APM), Rasio siswa per-sekolah, Rasio siswa per-kelas, Rasio siswa dengan guru,
rasio guru dengan sekolah, kondisi sarana pendidikan, Angka putus sekolah, kondisi
pendidikan luar sekolah, dan kondisi pendidikan dini usia (PADU); Keempat, Kesehatan.
Pada aspek kesehatan, yang harus dijadikan pedoman untuk mengukur ketahanan sosial
budaya adalah : tersedianya sarana prasarana kesehatan, tercukupinya rasio Puskesmas per-
penduduk, rasio tenaga dokter per-penduduk, rasio Paramedis per-penduduk; Kelima,
Hukum. Pada aspek hukum, yang harus dijadikan pedoman untuk mengukur tingkat
ketahanan sosial budaya adalah : adanya Sosialisasi hukum, penegakkan hukum, dan adanya
kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum (Hakim, Jaksa, Pengacara dan Polisi), serta
keberlakuan Hukum adat; Keenam, Penguasaan dan Pengembangan Iptek. Pada aspek
penguasaan dan pengembangan Iptek, indikator yang harus dijadikan pedoman untuk
mengukur tingkat ketahanan sosial budaya adalah penguasaan teknologi modern, penggunaan
teknologi tepat guna, penemuan teknologi baru, dan adanya kesadaran hak atas kekayaan
intelektual; Ketujuh, Generasi Muda dan Perempuan. Pada aspek ini, indikator yang
harus dijadikan pedoman untuk mengukur tingkat ketahanan sosial budaya adalah adanya
Organisasi kemasyarakatan-kepemudaan termasuk pemberdayaan pemuda, adanya Organisasi
perempuan, dan juga pemberdayaan perempuan; Kedelapan, Disiplin Nasional. Pada aspek
ini, indikator yang harus dijadikan pedoman untuk mengukur tingkat ketahanan sosial budaya
adalah tercipta Etos kerja yang tinggi dari seluruh aparatur pemerintahan dan sipil,
tertanamnya budaya tertib (disiplin) masyarakat, serta berjalannya etika dan sistem nilai
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Disamping hal tersebut diatas, kebudayaan juga memberikan warga kelompok
masyarakat pendukungnya panduan nilai moral, sikap, dan perilaku sehingga kehidupan asa
masyarakat tersebut secara keseluruhan dapat berjalan fungsional dan efektif. Namun
demikian kebudayaan juga berubah sesuai dengan perubahan masyarakat. Perubahan itu
antara lain digerakkan oleh upaya membangun, sehingga selama proses membangun tersebut
muncul kecenderungan penguatan ikatan-ikatan primordial, seperti kesukuan, etnosentris dan
eksluvitas agama. Timbulnya kecenderungan-kecenderungan tersebut lebih banyak
disebabkan adanya suatu persaingan diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat, dan
suatu kecemasan untuk diasing dalam kehidupan sosialnya. Penguatan ikatan primordial
5
banyak menyangkut sumber asal suku bangsa secara etnis (kaum, kerabat, suku, ras, bangsa),
serta garis keturunan (pribumi, campuran/indo); juga berdasarkan kasta, daerah atau wilayah
tempat hidup dan agama. Masing-masing kelompok memiliki adat kebiasaan, pola tingkah
laku, keyakinan religius, raison d’etre (pandangan mengenai makhluk dan kehidupan),
mentalitas, dan “way of life” sendiri. Penduduknya mempunyai sentimen-sentimen yang kuat
terhadap bumi tumpah darah dan kaumnya sendiri. Juga punya loyalitas tinggi terhadap suku
bangsa sendiri, disamping memiliki patriotisme, rasa bangga akan kebudayaan sendiri, rasa
pengabdian dan pengorbanan pada bumi Pertiwi, serta kecintaan pada bangsa dan negara.
semua unsur tersebut diatas sangat mendukung faham nasuionalisme dan perasaan bersatu
padu.5
Oleh karena sifatnya lebih internal, yaitu ditujukan ke dalam kelompok sendiri,
primordialisme pada umumnya bersifat netral dan tidak berbahaya, sentimen kesukuan dan
perbedaan etnis di masa sekarang tidak perlu dikhawatirkan sebagai ancaman, sebab masalah-
masalah perbedaan suku itu sudah banyak berkurang; bahkan banyak berubah berkat adanya
komunikasi yang lebih akrab, pertukaran informasi dan kebudayaan, perkawinan antar suku-
bangsa, kebijakan transmigrasi, dan pelayanan interinsuler yang lebih padat. Lagi pula,
kelompok primordial merupakan kelompok dasar dari setiap komunitas manusia, yang jelas
tidak mungkin untuk dihilangkan.
Pada umumnya, orang akan mereaksi sangat emosional terhadap kelompok primordial
sendiri; yaitu terhadap kawan sedaerah, kerabat sendiri, tempat kelahiran sendiri, bahasa ibu,
kebudayaan daerah sendiri, kidung berbahasa daerah, dan agama sendiri. Maka penghayatan
individu dengan sentimen-sentimen primordial itu jika sifatnya sederhana, pasti akan
membangunkan emosi-emosi positif, misalnya rasa kerinduan, nostalgia, rasa romantis sendu.
Juga mengingatkan orang pada nilai-nilai etis kesusilaan serta apresiasi pada keindahan dan
seni, yang semuanya dapat disumbangkan kepada upaya pembangunan serta integrasi bangsa.
Maka unsur primordial itu dapat direkayasa sedemikian rupa, sehingga dapat dijadikan alat
pemersatu bagi keanekaragaman budaya-budaya daerah menjadi budaya Indonesia yang adil
dan luhur.
Akan tetapi apabila primordialisme ini bersifat ekstrim, kaku, stereotype dan sempit,
maka ia akan berkembang menjadi fanatisme, chauvinisme (kegilaan kebangsaan),
radikalisme, diskriminasi, ekslusivisme, dan bermacam-macam masalah sosial yang memecah
belah persatuan dan kesatuan bangsa. Adapun sebabnya ialah : karena primordialims sempit
5 Kartini Kartono, ABRI dan Permasalahannya (Pemikiran Reflektif Peranan ABRI di Era Pembangunan, PT.Mandar Maju, Bandung, 1996, Hal-137.
6
tersebut banyak dimuati sentimen-sentimen yang kuat, purbasangka negatif, rasa iri, dengki,
bermusuhan, cemburu, unsur ketegangan yang eksplosif, curiga, friksi serta konflik terbuka
yang semuanya bisa menyebabkan timbulnya kerawanan sosial. Misalnya semangat
primordialisme keagamaan sempitt jelas bisa mencetuskan pengkotak-kotakan dalam sekte-
sekte yang saling berusuhan (sektarianisme), yang akan merontokkan persatuan dan kesatuan
bangsa. Sedang kita ketahui, ciri primordial kita sejak awal keberadaannya
(zaman purba) adalah rukun bersatu dan bergotong royong.
Oleh karenanya Wawasan kebangsaan Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945 menuntut pada kita semua agar tidak menganggap diri super dan ekslusif, tidak
bersikap ariori dan diskriminatif terhadap sesama warganegara yang tidak sealiran dan
seagama. Juga tidak mementingkat interest sendiri dan kepentingan golongan sendiri,yang
bisa menjebloskan kita pada arogansi, suka diskriminatif dan keserakahan. Sebab pada
akhirnya sifat buruk tersebut akan mebuat kita menjadi rpibadi singulir atau pasien neurotik
berbahaya yang pantas menghuni rumah sakit jiwa.
Dari apa yang telah diuraikan diatas, dapat kita simpulkan bahwasanya konsep peran
kebudayaan tersebut pada kehidupan bermasyarakat yang diwujudkan dengan lahirnya
beraneka ragam corak budaya, adat istiadat, serta kesenian dalam masyarakat, telah
memberikan identitas diri pada suatu bangsa, sehingga perlu untuk tetap dikelola dan
dilestarikan agar tidak mudah untuk diombang-ambing oleh derasnya pengaruh kebudayaan
luar yang dapat menghilangkan identitas diri tersebut, serta dapat memunculkan
kecenderungan penguatan ikatan-ikatan primordial, seperti kesukuan, etnosentris dan
eksluvitas agama yang bila tidak terkelola dengan baik akan dapat meruntuhkan nilai-nilai
persatuan dan kesatuan bangsa. Dan oleh karenanya ketahanan di bidang kebudayaan sebagai
salah satu aspek ketahanan nasional perlu untuk terus ditumbuhkan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia.
Bandung, 21 Pebruari 2006
Perwira Siswa
R. ANDI RODIPRIJATNA W.MAYOR INF NRP 1900014871067