documentew
DESCRIPTION
jcnwTRANSCRIPT
LAPORAN PRAKTIKUM NUTRISI
BLOK 16: SISTEM RESPIRASI
Pembimbing : dr. Syarif Husni, MS
Disusun oleh:
Marlan P.L. Hutajulu
04011281320022
PENDIDIKAN DOKTER UMUM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2015
Skenario
Seorang penderita laki-laki dengan nama Fulan, mengeluh sesak nafas. Penderita
berumur 50 tahun, mempunyai berat badan 50 kg dan tinggi badan 170 cm. Sejak 1 minggu
sebelum masuk rumah sakit mengeluh nafsu makan menurun. Penderita ini didiagnosis
PPOK, hasil laboratorium albumin 2,5 gr%, analisis gas darah Asidosis Respiratorik, oleh
dokter pada saat ini penderita dalam perawatan Bed rest. Tetapkan dukungan nutrisi untuk
penderita dan berikan aspek edukasi!
Tujuan :
1. Mengendalikan anoreksia
2. Memperbaiki fungsi paru
3. Mengendalikan berat badan
Analisis Masalah :
1. Hitung kebutuhan kalori?
2. Tentukan fase stabilisasi dan fase pemulihan!
3. Tentukan komposisi makro dan mikronutrien pada kedua fase!
4. Bahan makanan yang dianjurkan untuk menentukan makronutrien dan mikronutrien (aspek
edukasi)?
Page 2
Bab I
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK)
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik dengan
karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif
nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap
partikel atau gas yang berbahaya (GOLD, 2009). PPOK Merujuk pada sejumlah
gangguan yang mempengaruhi pergerakan udara dari dan keluar Paru. Gangguan
yang penting adalah Bronkhitis Obstruktif, Emphysema dan Asthma Bronkiale.
PPOK adalah Suatu kondisi dimana aliran udara pada paru tersumbat secara
terus menerus. Proses penyakit ini adalah seringkali kombinasi dari 2 atau 3 kondisi
berikut ini (Bronkhitis Obstruktif Kronis, Emphysema dan Asthma Bronkiale) dengan
suatu penyebab primer dan yang lain adalah komplikasi dari penyakit primer.
(Enggram, B. 1996). Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah suatu penyakit
yang ditandai dengan adanya obstruksi aliran udara yang disebabkan oleh bronkitis
kronis atau empisema.
B. ETIOLOGI Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK)
Etiologi penyakit ini belum diketahui. Penyakit ini dikaitkan dengan faktor-
faktor risiko yang terdapat pada penderita antara lain:
1. Merokok sigaret yang berlangsung lama
2. Polusi udara
3. Infeksi peru berulang
4. Umur
5. Jenis kelamin
6. Ras
7. Defisiensi alfa-1 antitripsin
8. Defisiensi anti oksidan
Page 3
Pengaruh dari masing-masing faktor risiko terhadap terjadinya PPOK adalah saling
memperkuat dan faktor merokok dianggap yang paling dominan.
C. TANDA DAN GEJALA
1. Tanda dan gejala akan mengarah pada dua tipe pokok:
a. Mempunyai gambaran klinik dominant kearah bronchitis kronis (blue
bloater).
b. Mempunyai gambaran klinik kearah emfisema (pink puffers).
2. Tanda dan gejalanya adalah sebagai berikut:
a. Kelemahan badan
b. Batuk
c. Sesak napas
d. Sesak napas saat aktivitas dan napas berbunyi
e. Mengi atau wheeze
f. Ekspirasi yang memanjang
g. Bentuk dada tong (Barrel Chest) pada penyakit lanjut
h. Penggunaan otot bantu pernapasan
i. Suara napas melemah
j. Kadang ditemukan pernapasan paradoksal.
k. Edema kaki, asites dan jari tabuh
D. Klasifikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK)
Penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit paru obstruksi kronik adalah
sebagai berikut.
1. Bronkitis kronis.
Bronkitis merupakan definisi klinis batuk-batuk hampir setiap hari disertai
pengeluaran dahak, sekurang-kuranganya 3 bulan dalam satu tahun dan terjadi
paling sedikit selama 2 tahun berturut-turut.
Terdapat 3 jenis penyebab bronchitis akut, yaitu :
Page 4
a. Infeksi : stafilokokus, sterptokokus, pneumokokus, haemophilus
influenzae.
b. Alergi
c. Rangsang : misal asap pabrik, asap mobil, asap rokok dll
Patofisiologi
Bronchitis akut dapat timbul dalam serangan tunggal atau dapat timbul
kembali sebagai eksaserbasi akut dari bronchitis kronis. Pada infeksi saluran nafas
bagian atas, biasanya virus, seringkali merupakan awal dari serangan bronchitis akut.
Dokter akan mendiagnosa bronchitis kronis jika klien mengalami batuk atau produksi
sputum selama beberapa hari + 3 bulan dalam 1 tahun dan paling sedikit dalam 2
tahun berturut-turut.
Bronchitis timbul sebagai akibat dari adanya paparan terhadap agent infeksi
maupun non-infeksi (terutama rokok tembakau). Iritan akan menyebabkan timbulnya
respon inflamasi yang akan menyebabkan vasodilatasi, kongesti, edema mukosa dan
bronchospasme.
Page 5
2. Emfisema paru
Emfisema paru merupakan suatu definisi anatomik, yaitu suatu
perubahan anatomik paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal
saluran udara bagian distal bronkus terminalis, yang disertai kerusakan
dinding alveolus. Sesuai dengan definisi tersebut, maka jika ditemukan
kelainan berupa pelebaran ruang udara (alveolus) tanpa disertai adanya
destruksi jaringan maka keadaan ini sebenarnya tidak termasuk emfisema,
melainkan hanya sebagai "overinflation".
Patogenesis
Terdapat 4 perubahan patologik yang dapat timbul pada klien emfisema, yaitu:
a. Hilangnya elastisitas paru. Protease (enzim paru) merubah atau
merusakkan alveoli dan saluran nafas kecil dengan jalan merusakkan
serabut elastin. Akibat hal tersebut, kantung alveolar kehilangan
elastisitasnya dan jalan nafas kecil menjadi kollaps atau menyempit.
Beberapa alveoli rusak dan yang lainnya mungkin dapat menjadi
membesar.
b. Hyperinflation Paru Pembesaran alveoli mencegah paru-paru untuk
kembali kepada posisi istirahat normal selama ekspirasi.
c. Terbentuknya Bullae Dinding alveolar membengkak dan berhubungan
untuk membentuk suatu bullae (ruangan tempat udara) yang dapat
dilihat pada pemeriksaan X ray.
d. Kollaps jalan nafas kecil dan udara terperangkap Ketika klien berusaha
untuk ekshalasi secara kuat, tekanan positif intratorak akan
menyebabkan kollapsnya jalan nafas
Patofisiologi
Emfisema merupakan kelainan dimana terjadinya kerusakan pada
dinding alveolar, yang mana akan menyebabkan overdistensi permanen ruang
Page 6
udara. Perjalanan udara terganggu akibat dari perubahan ini. Kesulitan selama
ekspirasi pada emfisema merupakan akibat dari adanya destruksi dinding
(septum) diantara alveoli, kollaps jalan nafas sebagian dan kehilangan
elastisitas recoil. Pada saat alveoli dan septa kollaps, udara akan tertahan
diantara ruang alveolar (disebut blebs) dan diantara parenkim paru (disebut
bullae). Proses ini akan menyebabkan peningkatan ventilatory pada "dead
space" atau area yang tidak mengalami pertukaran gas atau darah. Kerja nafas
meningkat dikarenakan terjadinya kekurangan fungsi jaringan paru untuk
melakukan pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Emfisema juga
menyebabkan destruksi kapiler paru, lebih lanjut terjadi penurunan perfusi
oksigen dan penurunan ventilasi. Pada beberapa tingkat emfisema dianggap
normal sesuai dengan usia, tetapi jika hal ini timbul pada awal kehidupan (usia
muda), biasanya berhubungan dengan bronchitis kronis dan merokok
3. Asma
Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitivitas
cabang-cabang trakeobronkial terhadap pelbagai jenis rangsangan. Keadaan
ini bermanifestasi sebagai penyempitan saluran-saluran napas secara periodic
dan reversible akibat bronkospasme
4. Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah dilatasi bronkus dan bronkiolus kronik yang
mungkin disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan
obstruksi bronkus, aspirasi benda asing, muntahan, atau benda-benda dari
saluran pernapasan atas, dan tekanan terhadap tumor, pembuluh darah yang
berdilatasi dan pembesaran nodus limfe.
E. Patofisiologi Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK)
Fungsi paru mengalami kemunduran dengan datangnya usia tua yang
disebabkan elastisitas jaringan paru dan dinding dada makin berkurang. Dalam usia
yang lebih lanjut, kekuatan kontraksi otot pernapasan dapat berkurang sehingga sulit
bernapas. Fungsi paru-paru menentukan konsumsi oksigen seseorang, yakni jumlah
Page 7
oksigen yang diikat oleh darah dalam paru-paru untuk digunakan tubuh. Konsumsi
oksigen sangat erat hubungannya dengan arus darah ke paru-paru. Berkurangnya
fungsi paru-paru juga disebabkan oleh berkurangnya fungsi sistem respirasi seperti
fungsi ventilasi paru. Faktor-faktor risiko tersebut diatas akan mendatangkan proses
inflamasi bronkus dan juga menimbulkan kerusakan pada dinding bronkiolus
terminalis. Akibat dari kerusakan akan terjadi obstruksi bronkus kecil (bronkiolus
terminalis), yang mengalami penutupan atau obstruksi awal fase ekspirasi. Udara
yang mudah masuk ke alveoli pada saat inspirasi, pada saat ekspirasi banyak terjebak
dalam alveolus dan terjadilah penumpukan udara (air trapping).
Hal inilah yang menyebabkan adanya keluhan sesak napas dengan segala
akibatnya. Adanya obstruksi pada awal ekspirasi akan menimbulkan kesulitan
ekspirasi dan menimbulkan pemanjangan fase ekspirasi. Fungsi-fungsi paru: ventilasi,
distribusi gas, difusi gas, maupun perfusi darah akan mengalami gangguan (Brannon,
et al, 1993).
F. Faktor Risiko Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK)
PPOK yang merupakan inflamasi lokal saluran nafas paru, akan ditandai dengan
hipersekresi mucus dan sumbatan aliran udara yang persisten. Gambaran ini muncul
dikarenakan adanya pembesaran kelenjar di bronkus pada perokok dan membaik saat
merokok di hentikan. Terdapat banyak faktor risiko yang diduga kuat merupakan
etiologi dari PPOK. Faktor-faktor risiko yang ada adalah genetik, paparan partikel,
pertumbuhan dan perkembangan paru, stres oksidatif, jenis kelamin, umur, infeksi
saluran nafas, status sosioekonomi, nutrisi dan komorbiditas.
1. Genetik.
PPOK merupakan suatu penyakit yang poligenik disertai interaksi lingkungan
genetik yang sederhana. Faktor risiko genetik yang paling besar dan telah di
teliti lama adalah defisiensi α1 antitripsin, yang merupakan protease serin
inhibitor. Biasanya jenis PPOK yang merupakan contoh defisiensi α1
antitripsin adalah emfisema paru yang dapat muncul baik pada perokok
maupun bukan perokok, tetapi memang akan diperberat oleh paparan rokok.
Bahkan pada beberapa studi genetika, dikaitkan bahwa patogenesis PPOK itu
dengan gen yang terdapat pada kromosom 2q.
2. Paparan Partikel Inhalasi.
Page 8
Setiap individu pasti akan terpapar oleh beragam partikel inhalasi selama
hidupnya. Tipe dari suatu partikel, termasuk ukuran dan komposisinya, dapat
berkontribusi terhadap perbedaan dari besarnya risiko dan total dari risiko ini
akan terintegrasi secara langsung terhadap pejanan inhalasi yang didapat. Dari
berbagai macam pejanan inhalasi yang ada selama kehidupan, hanya asap
rokok dan debu-debu pada tempat kerja serta zat-zat kimia yang diketahui
sebagai penyebab PPOK. Paparan itu sendiri tidak hanya mengenai mereka
yang merupakan perokok aktif, bahkan pada perokok pasif atau dengan kata
lain environmental smokers itu sendiri pun ternyata risiko menderita PPOK
menjadi tinggi juga. Pada perokok pasif didapati penurunan VEP1 tahunan
yang cukup bermakna pada orang muda yang bukan perokok.
3. Pertumbuhan dan perkembangan paru.
Pertumbuhan dan perkembangan paru yang kemudian menyokong kepada
terjadinya PPOK pada masa berikutnya lebih mengarah kepada status nutrisi
bayi bayi pada saat dalam kandungan, saat lahir, dan dalam masa
pertumbuhannya. Dimana pada suatu studi yang besar didapatkan hubungan
yang positif antara berat lahir dan VEP1 pada masa dewasanya.
4. Stres Oksidatif.
Paparan oksidan baik dari endogen maupun eksogen terus menerus dialami
oleh paru-paru. Sel paru-paru sendiri sebenarnya telah memiliki proteksi yang
cukup baik secara enzimatik maupun non enzimatik. Perubahan keseimbangan
antara oksidan dan anti oksidan yang ada akan menyebabkan stres oksidasi
pada paru-paru. Hal ini akan mengaktivasi respon inflamasi pada paru-paru.
Ketidak seimbangan inilah yang kemudian memainkan peranan yang penting
terhadap patogenesis PPOK.
5. Jenis Kelamin.
Jenis kelamin sebenarnya belum menjadi faktor risiko yang jelas pada PPOK.
Pada beberapa waktu yang lalu memang tampak bahwa prevalensi PPOK lebih
sering terjadi pada Pria di bandingkan pada wanita, tetapi penelitian dari
beberapa negara maju menunjukkan bahwa ternyata saat ini insidensi antara
pria dan wanita ternyata hampir sama, dan terdapat beberapa studi yang
Page 9
mengatakan bahwa ternyata wanita lebih rentan untuk dirusak oleh asap rokok
dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan perubahan kebiasaan, dimana wanita
lebih banyak yang merupakan perokok saat ini.
6. Infeksi.
Infeksi, baik viral maupun bakteri akan memberikan peranan yang besar
terhadap patogenesis dan progresifitas PPOK dan kolonisasi bakteri
berhubungan dengan terjadinya inflamasi pada saluran pernafasan dan juga
memberikan peranan yang penting terhadap terjadinya eksaserbasi.
Kecurigaan terhadap infeksi virus juga dihubungkan dengan PPOK, dimana
kolonisasi virus seperti rhinovirus pada saluran nafas berhubungan dengan
peradangan saluran nafas dan jelas sekali berperan pada terjadinya eksaserbasi
akut pada PPOK. Riwayat tuberkulosis juga dihubungkan dengan di
temukannya obstruksi saluran nafas pada dewasa tua pada saat umur diatas 40
tahun.
7. Status sosioekonomi dan nutrisi.
Meskipun tidak terlalu jelas hubungannya, apakah paparan polutan baik
indoor maupun outdoor dan status nutrisi yang jelek serta faktor lain yang
berhubungan dengan kejadian PPOK, tetapi semua faktor-faktor tersebut
berhubungan erat dengan status sisioekonomi.1
8. Komorbiditas.
Asma memiliki faktor risiko terhadap kejadian PPOK, dimana didapatkan dari
suatu penelitian pada Tucson Epidemiologi Study of Airway Obstructive
Disease, bahwa orang dewasa dengan asma akan mengalami 12 kali lebih
tinggi risiko menderita PPOK.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan radiologist
Pada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan:
a. Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis yang
parallel, keluar dari hilus menuju apeks paru. Bayangan tersebut adalah
bayangan bronkus yang menebal.
Page 10
b. Corak paru yang bertambah
Pada emfisema paru terdapat 2 bentuk kelainan foto dada yaitu:
a. Gambaran defisiensi arteri, terjadi overinflasi, pulmonary oligoemia
dan bula. Keadaan ini lebih sering terdapat pada emfisema panlobular
dan pink puffer.
b. Corakan paru yang bertambah.
c. Pemeriksaan faal paru
Pada bronchitis kronik terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR yang
bertambah dan KTP yang normal. Pada emfisema paru terdapat penurunan
VEP1, KV, dan KAEM (kecepatan arum ekspirasi maksimal) atau MEFR
(maximal expiratory flow rate), kenaikan KRF dan VR, sedangkan KTP
bertambah atau normal. Keadaan diatas lebih jelas pada stadium lanjut, sedang
pada stadium dini perubahan hanya pada saluran napas kecil (small airways).
Pada emfisema kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli untuk
difusi berkurang.
2. Analisis gas darah
Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul sianosis,
terjadi vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan eritropoesis. Hipoksia
yang kronik merangsang pembentukan eritropoetin sehingga menimbulkan
polisitemia. Pada kondisi umur 55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung
kanan harus bekerja lebih berat dan merupakan salah satu penyebab payah
jantung kanan.
3. Pemeriksaan EKG
Kelainan yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah
terdapat kor pulmonal terdapat deviasi aksis kekanan dan P pulmonal pada
hantaran II, III, dan aVF. Voltase QRS rendah Di V1 rasio R/S lebih dari 1
dan V6 rasio R/S kurang dari 1. Sering terdapat RBBB inkomplet.
Page 11
4. Kultur sputum, untuk mengetahui petogen penyebab infeksi.
5. Laboratorium darah lengkap
H. PENATALAKSANAAN
1. Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah:
a. Memeperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala tidak hanya
pada fase akut, tetapi juga fase kronik.
b. Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas
harian.
c. Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat
dideteksi lebih awal.
2. Penatalaksanaan PPOK pada usia lanjut adalah sebagai berikut:
a. Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera menghentikan
merokok, menghindari polusi udara.
b. Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.
c. Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi
antimikroba tidak perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus tepat
sesuai dengan kuman penyebab infeksi yaitu sesuai hasil uji
sensitivitas atau pengobatan empirik.
d. Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator. Penggunaan
kortikosteroid untuk mengatasi proses inflamasi (bronkospasme) masih
kontroversial.
e. Pengobatan simtomatik.
f. Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.
g. Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus diberikan
dengan aliran lambat 1 - 2 liter/menit.
3. Tindakan rehabilitasi yang meliputi:
a. Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran secret
bronkus.
b. Latihan pernapasan, untuk melatih penderita agar bisa melakukan
pernapasan yang paling efektif.
Page 12
c. Latihan dengan beban oalh raga tertentu, dengan tujuan untuk
memulihkan kesegaran jasmani.
d. Vocational guidance, yaitu usaha yang dilakukan terhadap penderita
dapat kembali mengerjakan pekerjaan semula.
I. KOMPLIKASI
1. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg,
dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami
perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul
cyanosis.
2. Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang
muncul antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
3. Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus,
peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya
aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea.
4. Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus
diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering
kali berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat
juga dapat mengalami masalah ini.
5. Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis
respiratory.
6. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial.
Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak
berespon terhadap therapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu
pernafasan dan distensi vena leher seringkali terlihat
Page 13
Bab II
PEMBAHASAN
SUBJEKTIF
1. Anamnesis
a) Identitas Pasien :
Nama : Fulan
Usia : 50 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
b) Riwayat Penyakit Umum :
o Sesak Nafas
o Batuk
c) Riwayat Gizi :
o Nafsu Makan Menurun
OBJEKTIF
2. Pemeriksaan Fisik ; Keadaan Umum
3. Antropometri
4. Laboratorium
5. Pemeriksaan Fungsional
6. Analisis Aupan
1. Status metabolik Tn. A asidosis, diketahui dari skenario.
Namun untuk mengetahui apakah Tn.A mengalami asidosis respiratorik atau asidosis
metabolik perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium berupa Analisis Gas Darah yang
meliputi pH, pCO2, pO2. Pemeriksaan analisa gas darah dipakai untuk menilai
keseimbangan asam basa dalam tubuh, kadar oksigenasi dalam darah, dan kadar karbon
dioksida dalam darah. Cara diagnosa dalam pemeriksaan dijelaskan dalam bagan
dibawah ini:
Page 14
Dengan mengetahui hasil pemeriksaan analisa gas darah dapat membantu menentukan status
metabolik Tn. B.
2. Status gizi di tentukan dengan mengukur index massa tubuh Tn. A.
Dengan rumus :
IMT=
Status gizi: Kekurangan berat badan tingkat berat
Klasifikasi berdasarkan Depkes RI (1994)
Kategori IMT
Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0
Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,0 – 18,4
Normal 18,5 – 25,0
Kelebihan berat badan tingkat ringan 25,1 – 27,0
Kelebihan berat badan tingkat berat > 27,0
Page 15
Klasifikasi berdasarkan WHO (1998)
3. Jumlah kalori yang dibutuhkan Tn. A ditentukan dengan rumus:
a) Fase stabilisasi
BMR = 66,5 + (13,7 x BB) + (5 x TB) – (6,8 x U) (Laki-Laki)
= 66,5 + (13,7 x 50) + (5 x 170) – (6,8 x 50)
= 66,5 + 685 + 850 – 340
= 1221,5 kkal
KET= KEB + FS + AF
Keterangan: AF= Aktivitas Fisik, pada pasien bed rest nilanya 10%
FS= Faktor Stress, pada tuan A sedang berat 40% (20%-40%)
KET = KEB + FS + AF
KET
Page 16
Kategori BMI (kg/m2) Resiko Comorbiditas
Underweight < 18.5 kg/m2Rendah (tetapi resiko terhadap masalah-
masalah klinis lain meningkat)
Batas Normal 18.5 - 24.9 kg/m2 Rata-rata
Overweight: > 25
Pre-obese 25.0 – 29.9 kg/m2 Meningkat
Obese I 30.0 - 34.9kg/m2 Sedang
Obese II 35.0 - 39.9 kg/m2 Berbahaya
Obese III > 40.0 kg/m2 Sangat Berbahaya
Jadi, kebutuhan kalori total yang di butuhkan Tn, A sekitar 1892,25kkal/hari.
Proporsi makronutrien yang dapat diberikan pada Tn. A
Proporsi makronutrien:
Karbohidrat : 35 – 50%
Protein : 15 – 20%
Lemak : 30 – 40%
Karbohidrat 40% = 40% x 1892,25 kkal = 756,9 kkal : 4 = 189,225 gr/hari
Sumber: bubur, nasi, roti, kentang, jagung
Protein 20% = 20% x 1892,25 kkal = 378,45 kkal : 4 = 94,6 gr/hari
Sumber: telur, keju, daging, ikan
Lemak 40% = 40% x 1892,25 kkal = 756,9 kkal : 9 = 84,1 gr/hari
Sumber: susu, daging, telur, kacang-kacangan
Pemilihan karbohidrat 40% dikarenakan pasien ini dalam kondisi sulit mencerna
karbohidrat karena sesak. Sesak ini yang dapat menyebabkan makanan (karbohidrat) sulit
untuk di cerna karena dapat membuat semakin sesak. Oksigen yang dibutuhkan untuk
memecah karbohidrat menjadi energi cukup banyak. Lemak 40% untuk
menyeimbangan karbohidrat karena untuk memecah lemak hanya sedikit memerlukan
oksigen jadi lemak berfungsi sebagai pengganti energi. Protein 20% untuk
menyempurnakan makronutrien menjadi 100%. Selain itu, protein membantu anabolisme
dan membantu pembentukkan imunitas.
Mikronutrien yang dibutuhkan:
Mikronutrien: P, K, Ca, Mg, Omega 3 dan Vitamin C.
Non Nutrien: Likopen
Fosfor: Banyak terdapat pada daging, ayam, ikan, telur,kacang, susu, teri kering,
coklat, sardines, tempe, tahu, buah-buahandll.
Kalium: Banyak terkandung didalam Buah-buahan sepertipisang, sayur-sayuran,
kacang merah, kacang hijau, kacang kedelaidll.
Page 17
Kalsium: Zat ini paling banyak terkandung di dalam susu, keju,coklat, yoghurt,
sayur-sayuran hijau dll.
Magnesium: Dikandung hampir pada semua sayuran (bayam, kol,sawi) serta
ikan, serealia, dan daging.
Nutrient Spesifik
Asam lemak Ω3: Banyak didapat pada seafood (makanan lautseperti ikan,
udang, cumi-cumi, kepiting) serta kecambah, gandum,minyak ikan dll.
Vitamin C: Umumnya terkandung dalam jumlah yang besarterutama pada buah-
buahan seperti jambu biji, jeruk, nanas, bahkanpada sayur-sayuran seperti daun
singkong dll.
b) Fase pemulihan
Berat Badan (BB) ideal menurut IMT Depkes adalah 18,5 – 22,9, kemudian diambil
rentang 22.
IMT=
BB= 63,58 kg
Menurut Broca, BB ideal:
BB = (TB-100) x 90%
= (170-100) x 90%
= 63 kg
BMR = 66,5 + (13,7 x BB) + (5 x TB) – (6,8 x U) (Laki-Laki)
= 66,5 + (13,7 x 63,58) + (5 x 170) – (6,8 x 50)
= 66,5 + 871,046 + 850 – 340
= 1447,546 kkal
KET= KEB + FS + AF
Keterangan: AF= Aktivitas Fisik, pada pasien tidak bed rest 20%
FS= Faktor Stress, pada tuan A 20%
Page 18
KET = KEB + FS + AF
KET
Jadi, kebutuhan kalori total yang di butuhkan Tn, A sekitar 2026,546
kkal/hari.
Proporsi makronutrien yang dapat diberikan pada Tn. A
Proporsi makronutrien:
Karbohidrat : 35 – 50%
Protein : 15 – 20%
Lemak : 30 – 40%
Karbohidrat 55% = 55% x 2026,546 kkal = 1114,6 kkal : 4 = 278,65
gr/hari
Sumber: bubur, nasi, roti, kentang, jagung
Protein 20% = 20% x 2026,546 kkal = 405,3 kkal : 4 = 101,325
gr/hari
Sumber: telur, keju, daging, ikan
Lemak 25% = 25% x 2026,546 kkal = 506,6 kkal : 9 = 56,28 gr/hari
Sumber: susu, daging, telur, kacang-kacangan
4. Bentuk makanan : Oral, Parenteral, Enteral dan NGT
Bentuk makanan yang diberikan bisa dikombinasikan. Selama pasien sanggup diberi
makan per-oral, maka sebaiknya beri makanan pe-roral. Jika tidak bisa sepenuhnya per-
oral bisa dikombinasikan. Makanan bisa diberikan dalamporsi sedikit tetapi sering.
5. Monitoring dan Evaluasi
Monitoring: pemberian sesuai keadaan pasien. Jika tidak adekuat modifikasi
komposisi nutrient dan bentuk makanan
Page 19
Evaluasi: keadaan umum, analisis asupan, status gizi (pra maupun pasca rumah
sakit), status gastrointestinal
6. Edukasi
Bentuk makanan lunak
Porsi kecil dan sering
Istirahat sesudah makanan
Jelaskan pentingnya dukungan support nutrisi serta zat-zat atau unsur-unsur
penting dalam terapi nutrisi
Motivasi penderita untuk mengkonsumsi makanan sesuai anjuran
Pertimbangkan untuk memberikan larang atau pantangan terhadap beberapa jenis
makanan
Panduan terapi oksigen dan terapi ventilator
Management yang dapat dilakukan oleh pasien sendiri,
Support psikologis
Rehabilitasi medis
Page 20