faktor-f aktor spektakuler penyebab masalah …
TRANSCRIPT
596
FAKTOR-F AKTOR SPEKTAKULER PENYEBAB MASALAH EKOLOGI ANTARA DOMINASI HASRAT
DAN KEKABURAN PERAN SISTEM HUKUM
---------OIeh: N.H.T. Siahaan, S.H.---------l
Pandangan Imanen (HoIistis) dan Transeden)
Dalam ilmu ekologi, manusia adalah satu kesatuan terpadu dengan lingkungannya. Manusia merupakan salah satu subsistem dari ekusistem lingkungan. Antara manusia di satu pihak dengan lingkungan-lingkungan hidupnya di pihak lain dalam ilmu ekologi mempunyai hakikat satu (terintegralisasi) dan terjalin demikian rupa dalam kaitan-kaitan fungsional. Dalam kaitan fungsional, dapat kira-kira diungkapkan dengan pepatah: duduk sarna rendah, berdiri sarna t
Korelasi fungsional seperti dikatakan di atas, di kalangan masyarakat tertentu dengan jelas masih dapat kit a temui dalam praktek hidup sehari-hari. Khususnya masyarakat pedesaan, hingga kini masih terdapat pandangan yang
manusia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam lingkungannya, baik lingkungan sesamanya (sosiaI) maupun dengan lingkungan alam lainnya. Pandangan demikian dengan apa yang disebut dengan pandangan imanen atau holistis secara jelas menciptakan hubungan keserasian, keseirnbangan dan keselarasan antara manusia dengan lingkungannya. Sifat keseimbangan alam masih dapat dipertahankan berkat masyarakat masih menganut pandangan yang didasari pad a kaidah-kaidah hidup, tradisi atau kebiasaan yang bersifat mitos dan
mistis. Kebiasaan memitoskan atau meng
keramatkan alam tercermin dalam be· berapa pola kebiasaan masyarakat setempat. Misalnya, tidak boleh sembarangan membuang sesuatu benda atau sampah terhadap suatu sungai karena akibatnya bisa menimbulkan penyakit atau malapetaka. Tidak boleh menebangi pohon-pohon di tempattempat tertentu atau rtdak boleh menangkap ikan di suatu bagian-bagian sungai atau danau.
Pola-pola kebiasaan semacam ini, tidak lain maksudnya sebagai cara tidak langsung untuk mempertahankan konservasi lingkungan dan sumberdaya-sumberdaya alamo Hal ini menggambarkan, bahwa manusia sangat menaruh hormat terhadap alam dan lingkungan hidupnya karena yakin berkat alam dan lingkungannyalah ia bisa hidup dan berbuat sesuatu.
Akan tetapi, kini pandangan ini telah berubah menjadi pandangan yang transeden. Paham ini, pada umumnya cenderung memandang lingkungannya bukan lagi sebagai bagian (subsist em) yang tidak terpisahkan, bahkan lingkungannya telah dipandang sebagai objek yang dapat dieksploitir semak-
•
simal mungkin. Manusia semakin me-nutup dirinya dari hubungan keserasian, keselarasan dan keseimbangan dan seterusnya berusaha untuk memusatkan ekosistemnya pada dirinya. Pan-
Eholo(fi dan Sis/em Huhum
dangan demikian, lahir dari proses kedirian manusia yang menyadari dirinya sebagai makhluk yang dibekali akal, pikiran dan kemampuan-kemampuan lain.
Faktor-faktor inilah kemudian menjadi sumber egoisme dan individualisme. Seorang dengan orang lain mulai saling apatis, tidak mau tahu persoalan-persoalan dan situasi yang dihadapi pihak lain. Seseorang dengan tetangganya masing-masing sibuk dengan urusannya bahkan banyak yang tidak saling kenaI. Sifat dan paham ini umumnya dimiliki oleh masyarakat urban (perkotaan).
Dalam berbagai segi pergaulan unsur persaingan mulai muncul dan tajam. Bahkan semakin cenderung perilaku-perilaku yang anofmatif, asosial dan cara-cara lain yang dianggap menguntungkan dirinya dan merugikan orang lain. Sistem menianfaatkan kelemahan orang lain atau mengeksploitasi (menghisap) manusia sesama semakin terlihat di berbagai aspek. Itulah beberapa corak perilaku yang berangkat dari paham ·yang transendental.
Dari Kebutuhan Ke Keinginan
Pesatnya dunia ilmu pengetahuan dan teknologi dan begitu pula pesatnya perkembangan dan pergeseran nilai kian menciptakan bent eng kedirian manusia sebagai sistem yang lebih tinggi derajatnya dari seluruh lingkungan. Kebutuhan manusia berkembang mekar be rsama -sama dengan pertum buhan i~nu pengetahuan dan teknologi. Dari sini kemudian lahir dan berkembang berbagai keinginan yang sukar dibedakan dengan kebutuhan.
Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang menumbuhkan l11oderni-
•
597
sasi yang pesat, seolah-olah segal a sesuatu yang dieksploitir dan dikonsumir tanpa batas dan pertimbangan, tanpa kaidan-kaidah keserasian, tanpa kaidah intruksi fungsional antara manusia dan lingkungannya.
Tingkah-Iaku manusia telah membawa dampak besar terhadap ketahanan atau daya dukung lingkungan (environmental carrying capacity). Aksi dan tingkah-Iaku berupa pemenuhan
• • kebutuhan dasar dan rupa-rupa kebu-tuhan lain sampai pada keinginankeinginan yang variatif, pula tidak lepas dari loncatan modernisasi. Jika kini dibandingkan misalnya dengan cara-cara prateknologi modern seperti berburu menebang pohon, berladang, menambang barang-barang tam bang yang masih sedehana, maka tingkahlaku seperti itu tidak seberapa berpengaruh pada keseimbangan lingkungan, karena masih dapat didukung mata rantai ekosistem yang lain. Tetapi kini, praktek-praktek hidup manusia bukan lagi sekedar menutupi kebutuhan, melainkan telah berpusat pada keinginan yang serba tidak terbatas. Prof. Dr. Otto Soemarwoto, ekolog terkemuka, dalam suatu tulisannya yang berjucl.ul: Ranggawarsita dan Gajah, di Harian Kompas 22 Agustus 1981 membedakan antara kebutuhan dan keinginan dalam hubungan interaksi manusia dengan lingkungan. Kebutuhan, diartikan sebagai sesuatu yang tel.·batas dan diperlukan untuk mencapai kesehatan, keamanan dan aspek-aspek yang berkaitan sel:ara manusiawi. Sedangkan ke ingill111l , diartikan kebalikannya: tidak ada batasnya , selalu ingin lebih banyak, menanjak tiada batas (the rising demand).
Bertolak dari penger! ian yang dibe-
Desember 1987
,
598
rikan Prof. Otto di at as dapatlah kita asumsikan sekarang bahwa faktor keinginan-keinginan iIiilah yang sesungguhnya. mendominasi berbagai ragam persoalan-persoalan dunia, mulai dari persoalan-persoalan hidup individual sampai pada yang global universal. Masalah ekonomi berupa resesi, inflasi, gejala-gejala monopoli, proteksionisme, kapitalisme dan sebagainya lebih banyak berangkat dari faktor-faktor ke inginan. .Persoalan-pe rsoalan po lit ik berupa pertikaian, peperangan, pere-
,
butan paham ideologi (harmoni) pe-nindasan lawan politik, kudeta atau ekspansi adalah suasana yang didominasi keinginan. Begitu pula kebudayaan dan perilaku-perilaku menyimpang dari nilai-nilai universal.
Dampak-danlpak keinginan bukan saja terbatas pada faktor-faktor terse-
•
but di at as tetapi begitu pula pad a masalah lingkungan, sumberdaya-sumberdaya, komponen-komponen ekologi dan subsistem-subsistem yang mem-
•
pengaruhi kearifan ekologi. J ustru an-tara persoalan-persoalan yang disebut pertama dengan masalah-masalah yang disebut terakhir berbaur dalam siklus masalah yang akhirnya kian sulit dipecahkan.
Berbagai kenyataan kita saksikan adalah hasil-hasil dari nafsu keinginan yang kurang disadari dan dikendalikan. Itulah berupa pencemaran yang melanda seluruh liku-liku bumi, mulai dad belahan bumi negara-negara maju , sampai pada negeri-negeri yang miskin dan terbelakang. Sumberdaya-sumberdaya seperti minyak, gas bumi, hutan, cadangan-cadangan ikan kian menurun daya lestarinya adalah manifestasi dari pengendalian-pengendalian yang kurang sehat dan kurang kontrol, berba-
•
Hukum dan Pembangunan
gai keinginan dan hasrat-hasrat manusia. Gejala yang lain kelihatan di sini berupa bahwa yang kuatlah yang mampu memegang dan melaksanakan keinginannya. Yang bermodal besar dan berteknologi tinggi dapat mengeksploitasi kekayaan-kekayaan sumber-sumber alam dan lingkungannya. Banyaklah sekarang kita perhatikan kenyataan, yang kaya kian menjadi kaya, tetapi yang miskin kian miskin. Timbullah berbagai kesenjangan ekosistem dan ketidakserasian lingkungan hidup dalam berbagai bentuk.
•
Kesimpulan yang kita peroleh sam-pai di"'sini, ialah bahwa pergeseran dan corak serta sifat kebutuhan kepada keinginan inilah yang pada akhirnya menentukan intensitas masalah-masalah lingkungan yang kita hadapi sekarang. Sosok-sosok manusia ditandai dengan potensi-potensi keinginan yang dalam banyak kala melewati bat asbatas kewajaran. Potensi-potensi demikian menjadi ancaman terbesar bagi eksistensi ekologi yang serasi dan sela-ras. (Liliat Tabel). .
Pola Keinginan dan Ancaman Ekologis
Apa yang kita bicarakan di atas, untuk pengetahuan yang jelas, beberapa hal mengenai keinginan-keinginan yang mendominasi masalah lingkungan dapat dibagi dalam beberapa pola. Pola-pola keinginan ini didasarkan pada potensialitasnya untuk mempengaruhi keseimbangan tata ekologi.
Pola-pola tersebu t adalah sebagai •
berikut : a) Pola individual. b) Pola politik pembangunan. c) Pola negara-negara maju/negara-ne
gar a industrialisasi.
•
E"ologi dan SI.tem Hukum
Pola Individual
Sebagai disebutkan di atas bahwa setiap sosok manusia memiliki potensi-potensi memberikan dampak lingkungan yang bersumber dari keinginan. Perbuatan-perbuatan seseorang yang cenderung mempengaruhi lingkungan bisa terjadi dalam hal-hal, baik karena ketiadaan sarana-sarana penunjang dan pengontrol maupun karena secara sengaja melanggar aturan-aturan yang ada atau tidak memperdulikan
•
norma-norma yang ditentukan. Jadi pola individual ini tergolong lagi da-lam faktor-faktor berupa: .
Faktor ketiadaan perangkat-perangkat nonna yang mengatur interaksi-interaksi individu pada lingkungannya.
Misalnya seseorang pengendara bisa memasang klakson mobilnya bertalutalu sesuka hatin.ya karena tiada aturan hukum yang melarang perbuatan itu. Seseorang pemilik pabrik dapat begitu saja membuang limbah pabriknya ke selokan-selokan yang ada atau sungaisungai terdekat karena norma-norma hukum belum ada yang mengatur sistern pem buangan lim bah (effluent standard system). Penduduk di sekitar Danau Toba sampai sekarang masih saja bebas menebangi pohon-pohonan,
karenanya debit air berkurang menggerakkan turbin PLT A Asahan. Ini karena ketiadaan peraturan-peraturan yang melindungi nasib flora di sekitar danau tersebut.
Ketiadaan Sarana Pembinaan L ingkungan
Seseorang cenderung melakukan sesuatu yang tidak baik pada tata lingkungannya karena tiada alternatif-alternatif lain yang memungkinkan ia berbuat wajar pada lingkungannya.
599
Misalnya seseorang warga kota terpaksa membuang sampah ke sembarang temp at karena tiada bak-bak sampah tersedia secara memadai. Gelandangan-gelandangan kota kian banyak mendiami emperan-emperan pertoko- . an (waktu malam), kolong-kolongjembatan dan tepi-tepi sungai karena kurang tersedianya mata-mata pencaharian yang memadai. Penduduk di tepi hutan menebasi hutan karena tidak cukup lahan untuk pertanian. P~ra industriawan terpaksa membiarkan pabrik industrinya mencemarkan lingkungan atau kemungkinan membahayakan kesehatan dan keselamatan manusia karena tiadanya sarana,sarana pengolahan limbah (effluent treatment plant), saluran-saluran limbah (sewarage), sarana-sarana pencegah pencemaran berupa saringan air (filter),
alat penjernih limbah, tempat penampungan (bunker), cerobong-cerobong asap yang memadai, alat pengaman (safety) atau perlengkapan-perlengkap-an untuk melindungi para karyawan, dan lain-lain peralatan teknologi.
Masalah-masalah seperti di atas boleh jadi karena sulit atau mahalnya secara ekonomi sarana-sarana pencegahan demikian didapat. Tetapi banyak juga faktor-faktor yang lebih mengejar keuntungan ekonomi sematamata atau tidak begitu mempertimbangkan risiko-risiko yang mungkin terjadi pada lingkungan dan keselamatan manusia.
Faktor Egoisme
Pola keinginan yang kurang kendali terdorong oleh faktor yang selalu mementingkan diri sendiri (egocentris). Kepentingan dan berkenaan dengan masalah bersama kurang begitu
Desember 1987
•
600
menjadi perhatiannya. Dalam persoalan dengan masalah lingkungan, faktor egoismeboleh juga dikatakan sebagai hal cukup dominan.
Faktor egoisme bisa terdorong baik karena belum ada batas-batas norma atau etika yang jelas maupun karena sifat egoisme seseorang lebih dominan faktor-faktor norma, etika atau kewajaran/kepatutan tidaklah inenjadi halangan baginya.
. Misalnya, seseorang pemilik konsensi penebangan batu kapur, tidak mau tahu persoalan-persoalan akan abu-abu beterbangan ketika proses produksi berlangsung penduduk yang berdiam sekitar wilayah konsensi mengalami an-gangguan. Selama peraturan-peraturan belum ada atau penduduk setempat . tidak memprotes, maka sang pengusaha kerapkali mernbiarkan hal-hal seperti itu berlangsung.
Para pemegang HPH dalam beberapa hal tidak jarang peraturan-peraturan dan prosedur yang ditetapkan pemerintah dalam hal eksploitasi areal hutan. Misalnya menebang pohon-pohon di bawah diameter yang ditentukan, juga sering diberitakan, pohon-pohon kecil yang punah karena rembesan pengusaha hutan segera d·iperbaiki.
Di kota-kota besar misalnya di Jakarta , anak-anak muda sering mengendarai mobil atau sepeda motor dengan cara kebut-kebutan di jalanan yang bukan tempatnya melakukan seperti itu . Knalpot atau alat-alat penangkal suara mesin sengaja dibuka dan terjadilah pada
•
para pemakai jalan umum dan me-nirnbulkan kebisingan-kebisingan di sekitarnya.
Tentang jumlah kendaraan di kota
HUkum dan Pemban/tunan
Jakarta, kini makin lama makin besar volumenY\l. Sehingga jalan-jalan umum makin ramai dan padat oleh kendaraan-kendaraan yang kemudian sering menirnbulkan kemacetan di berbagai tempat. Anehnya kendaraan-kendaraan ini lebih banyak kepunyaan pribadi. Kenyataan mewujudkan banyak orang-orang yang memiliki mobillebih daripada ·seperlunya.
Dalam hal lain, ada lagi, di mana para pemilik berusaha menumpuk sumberdaya-sumberdaya tertentu, misalnya tanah melebihi jumlah maksimum. sesuai dengan ketentuan hukum di bidang keagrariaan (UUP A dan UU Landreform). .
Pengawasan dan Penegakan Hukum
'" Faktor pengawasan dan penegakan hukum (law enforcement) yang konsekuen sangat banyak artinya dalam usaha mempertahankan konservasi lingkungan. Benturan-benturan, dampak dan interaksi yang berlebihan pada lingkungan dapat dicegah melalui sistem-sistem pengawasan dan penegakan hukum . Tetapi sebaliknya, faktor kontrol yang lemah dan sistem enforcement yang tidak tegas akan saja menjadi peluang besar bagi masyarakat untuk menggunakan lingkungannya sekehendaknya.
Misalnya, intensitas keparahan ekosistem hutan yang kita rasakan kini banyak disumbang oleh karena ketiadaan atau kurangnya pengawasan aparat yang berwenang di lapangan terhadap para pemegang HPH dan HPHH. Begitu pula terhadap cara-cara kerja para peladang berpindah yang juga tidak kalah masalahnya adalah karena kurangny a faktor kontroI dari Departemen Pertanian atau Departemen Ke-
•
•
E"o/Olll don Si.tem Hu"um
hutanan.
Pola Politik
Politik pembangunan dimaksudkan sebagai sistem -sistem yang dilakukan -oleh suatu negara untuk memajukan pembangunan negaranya dalam berbagai aspek kebutuhan. Yang dibicara~an di sini terutama kepada negaranegara sedang berkembang, karena justru dalam kaitan politik pembangunan negara-negara berkembang terlihat beberapa masalah lingkungan. Lebih khusus lagi dibicarakan di sini, ialah di Indonesia dengan kasus-kasus tertentu.
Umumnya, negara-negara berkembang sedang giat-giatnya serta penuh ambisius melakukan pembangunan negaranya. Para pemerintah negara-negara berkembang berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial rakyat di segala bidang kehidupan dengan berbagai upaya. Keinginan untuk memajukan negaranya diwujudkan melalui usaha-usaha membuka kebijaksanaan baru untuk menarik para investor asing menanamkan modal di negaranya. Menjajagi ~ngalihan teknologi(transfer of technology). Imporisasi barang-barang yang dinilai mewujudkan kemajuan seperti kendaraankendaraan, peralatan-peralatan rumahtangga; mendayagunakan sumber-sumber alamnya untuk mendukung sistem pembangunan yang dijalankan dan lain-lain cara untuk itu.
Akan tetapi, dari berbagai upaya pembangunan, kebanyakan negara-negara sedang berkembang menghadapi kenyataan-kenyataan, berupa eksesekses yang justru tidak jarang membuat tujuan yang dicanangkan sulit tercapai. Itulah misalnya pencemaranpencemaran lingkungan yang bersum-•
601
ber dari rembesan penanaman modal seperti industri; menyusutnya sumberdaya-sumberdaya alam karena terialu memacu pertumbuhan ekonomi dengan cara oner eksploitasi; timbulnya ketidakseimbangan alam sebagai dampak dari imporisasi barang-barang luar negeri; timbulnya bahaya-bahaya lingkungan dan ancaman-ancaman keselamatan manusia sebagai efek penggunaan teknologi-teknologi asing.
Dampak dan kenyataan-kenyataan demikian, membuktikan bahwa faktor keinginan untuk kemajuan di satu pihak, dan usaha-usaha berupa kebijakan-kebijakan untuk rnencegah dan menangkal segala kemungkinankemungkinan yang merugikan, belum menjadi porsi perhatlan yang seimbang dari para pengambil keputusan di pihak lain. Belum disiapkan berbagai rupa upaya represi dan predensi, malahan belum disadari timbulnya cupa-rupa yang merugikan tat a ekologi dan tat a so sial.
Responsi Sistem Hukum
. ' Melihat itu, dapatlah disebutkan bahwa negara-negara berkembang ketara sekali mengejar target-target pertumbuhan nyata dalam arti ekonoiiii. Tetapi kurang memperhitungkan berbagai segi yang mengurangi arti tujuan yang dicanangkan. Akan halnya di negara kita, masalah-masalah umum di atas tidak terlalu jauh beda dengan pola-pola pembangunan negara berkembang.
Di berbagai dimensi kehidupan, sistern pembangunan memang telah rnampu menyentuh dan mengubah keadaan ke arah perkembangan pesat. Kalau dibandingkan umpamanya an tara kurun waktu tahun enampuluhan dengan
Desember 1987
•
•
602
sesudahnya, saat mana ketika itu berlaku paket kebijakan nasional dikeluarkan,antaranya UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, terlihat berbagai perubahan yang sangat menakjubkan. .(\lur pembangunan te-, rasa lancar di semua sektor. Kalau mi-salnya secara sederhana, jUrnlah mobil sedan di Jakarta tahun enampuluhan tidak sampai mencapai puluhan ribu buah. Tetapi, kini jumlah itu telah berlipat ganda, mencapai ratusan ribu buah. Industri yang tergolong besar hanya beberapa puluh buah. Akan tet~pi kini, telah puluhan ribu buah termasuk perusahaan-perusahaan multjnasional (MNC). Dalam hal pendapat· ani nasional (GNP) naik beratus-ratus persen. .
Akan tetapi, dari perhitungan-perhitungan pertumbuhan yang pesat itu, berdasarkan kajian dan evaluasi para pengamat, di balik persentase yang dicapai tersebut , nampak berbagai ekses yang tidak melengkapi atau malah mengurangi makna keseluruhan cita-cita nasion, !. Dan, di sini kita menyaksikan be~oagai rupa efek atau dampakdampak yang keluar dari sistem pengelolaan pembangunan yang dalam beberapa hal membawa kerugian-kerugian yang nilainya sulit ditentukan.
Sektor-sektor pembangunan yang sangat berpotensi dan tidak jarang memberikan ekses pengorbanan khususnya untuk bidang ekologi dan lmgkungan hidup ialah antara lain: - Sektor perindustrian dengan ekses
ekses pencemaran dan ancaman terhadap keselamatan jiwa manusia da,1am proses produksi.
- Sektor kehutanan dengan eksesekses menyusutnya cadangan-cadangan hutan dan rusaknya ekosis-
Hullum ·dan Pembanllunan
tern hutan dalam rangka pengelola" an konsesi hutan oleh para pemilik HPH.
- Sektor pertambangan dengan eksesekses yang bersumber dari proses eksplorasi dan eksploitasi.
- Sektor pertanian dengan ekses-ekses yang bersumber dari sistem intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian terutama persawahan.
- Sektor pemukiman dan perkotaan, berupa sampah-sampah rumahtangga sampah industri dan limbah-limbah kegiatan kota.
- Sektor transmigrasi berupa pembukaan lahan dan areal hu tan sehingga menambah jumlah lahan-Iahan kritis. Di negara kita, tingkat permasalah
an lingkungan memang belum dilakukan data perhitungan yang konkret, baik menurut kriteria ekonomi atau kriteria sosiologis. Akan tetapi, sesungguhnya dengan kondisi-kondisi yang terlihat melalui pengamatan, masalah ekologi di negeri kita sudah cukup serius.
Dari berbagai pola-pola kebijaksanaan, bisa kita sebutkan telah banyak diupayakan ikhtiar-ikhtiar yang bertujuan memperhatikan nasib lingkungan hidup terhadap pengelolaan pembangunan. Ini tercermin dari rumusan-rumusan GBHN dan Pelita mulai tahun 1973 hingga sekarang. Asasasas pengembangan lingkungan telah pula dicanangkan lew at sistem perundangan (UU No. 4 Tahun 1982-UKPPLH). Inti dari berbagai ikhtiar ini, ialah adanya sikap untuk mernadukan kepentingan pembangunan dengan kepentingan lingkungan hidup. Sistem I'engelolaan demikian dicapai berdasarkan prinsip pembangunan ber-
•
•
wawasan lingkungan (eco development oriented).
Kendati sedemikian jauh kebijakankebijakan yang sudah ditempuh oleh para pengambil keputusan, dalam hal lain muncul beberapa kebijakan yang justru mengurangl makna u tuh dari upaya-upaya tersebut di atas. Misalnya, dalam kebijakan industri. Politik industri nasional ketara sekali masih terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata-mata. Ini dapat dilihat dari pola-pola kebijakan perindustrian, serta kenyataan-kenyataan yang bisa terungkap dari praktek-praktek yang terjadi. Dalam hal perundang-un-
,
dangan umpamanya, sistem perundang-an yang ada bel urn begitu kelihatan memadai sepanjang mengenai soal-soal
_ yang berkenaan dengan akibat-akibat samping dari proses produksi. Katakanlah perhitungan biaya-biaya pencemar an atau usaha-usaha mencegah timbulnya kerusakan lingkungan dengan melengkapi perangkat-perangkat tekI;lologi yang memadai.
Beberapa perundangan sektor industri sekitar berhubungan dengan aspek ekologi masih bisa kita nilai sebagai terlalu didominasi pikiran-pikiran atau motif-motif ekonomi. Dan kurang keseimbangan dengan kepentingan-kepentingan yang bermotif ekologi. Sistem dan politik industri yang demikian dapat kita buktikan dari berbagai perundangan yang ada" di mana masih belum kelihatan sanksi hukum yang tegas terhadap pihakpihak pabrik yang merusak tata lingkungan. Tidak kita jumpai bunyi peraturan perundangan yang memberi sanksi mencabut izin industri apabila mencemarkan lingkungan misalnya. Bisa kita lihat di dalam Undang-un-
603
dang No.4 Tahun 1982 (UKPPLH) atau UU No.5 Tahun 1984 (UU Perindustrian). Jika dalam sistem perundangan ini atau tata perundangan di bawahnya merumuskan sanksi, namun dalam praktek, sanksi itu jarang diefektifkan,seakan rumusan itu hanya sekedar pajangan saja. Masmedia berkali-kali memberitakan kerusakan-ke-
• rusakan lingkungan yang bersumber -dari limbah industri, namun hampir tidak pernah diberitakan sanksi yang jelas terhadap pabrik-pabrik tersebut.
Kebijakan dan penegakan kebijakan (enforcement) dengan contoh demikian rupa menunjukkan, kita masih terlalu berat sebelah padapikiran-pikiran ekonomi nyata. Dan pengaruhpengaruh sampingan yangmencuat daripadanya, belum kita konsepkan lebih jelas dalam kaitan kebijakan maupun dalam ketegasannya. Ada baiknya, kalau ambisi-ambisi pembangunan jangan hanya didasarkan pada angka-angka pertumbuhan yang bennotif ekonomi, tetapi semua kepentingan yang masih
bersinggungan dengan aspek-aspek kehidupan termasuk tata ekoiogi, akanlah senantiasa menjadi perhltungan dan pertimbangan terpadu satu dengan lainnya.
Pola Negara-negara Maju
Salah satu persoalan mendasar tentang nasib tata ekologi dan lingkungan pada masa kini, tidak bisa dilepaskan dari kehadiran negara-negara maju. Yang kita hadapi di negara kita maupun di negeri-negeri lain secara global, adalah persoalan-persoalan lingkungan , yang sesungguhnya sudah lebih dahulu "dierami" oleh negara-negara industri, baik di negerinya sendiri, maupun di negeri-negeri berkembang
-
Desember 1987
604
(penerima teknologi dan modernisasi). Negara-negara maju menciptakan berbagai rupa ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian hebatnya, sehingga mampu mengagumkan seluruh
umat bumi. Akan tetapi, salah satu kelemahan yang belum bisa diusik hingga kini, yaitu ekses-ekses negatif teknologisasi itu. Dan inilah yang menjadi setan-setan ekologi baik di negeri pemberi teknologi itu sendiri maupun di negara-negara miskin si penerima teknologi, yang sangat ambisius untukmaju.
Bagi negara-negara membangun, masalah efek sampingan teknologisasi itu umumnya tidaklah merupakan pertimbangan penting. Bagi mereka, yang terpenting ialah kemajuan. Yaitu terlihatnya perubahan fisik dan tercapainya proses pembangunan yang lancar. Anggapan yang dominan dipikiran negara-negara berkembang, bahwa yang menjadi "pap.g1ima" pembangun
. an adalah pesatnya perkembangan teknologi. Itulah makanya negara-negara sedang, berkembang sering keliru menafsirkan definisi pembangunan itu sendiri. Ditafsirkan dengan titik berat sebelah kepada economic growth, kecemerlangan ekonomi semata-mata. Dan bagi kebanyakan negara berkembang, pembangunan harus dimulai dengan sistem open door. Yaitu, membuka pintu lebar-Iebar bagi penanaman modal asing, imporisasi dengan segala jenis barang-barang keperluan modern, dari yang cocok dipakai sampai yang samasekali janggal (karena barang masih sangat asing); pinjaman dilancarkan dari negara-negara kuat untuk mengeksploitasi sumber-sumber alamnya.
Oleh negara-negara maju, ambisiambisi negara-negara berkembang ini
••
Hukum dan Pemban~una"
disambut serta dimanfaatkan untuk lebih meningkatkan industri dan perdagangan negaranya. Segala macam keinginan negara-negara berkembang dipenuhi, seakan-akan dermawan yang murah hati. Terjadilah perubahan, di mana negara-negara berkembang dijadikan pasar pelemparan bagi barangbarang. industri yang tidak dibutuhkan. Bahkan terlihat keeenderungan,
negara-negara maju sangat genear menanamkan modal dan memindahkan sebagian aktivitas industrinya di negeri-negeri berkembang. lronisnya, aksi semacam ini tidak jarang dilakukan terutama bila aktivitas-aktlvitas produksi itu menurut kriteria negaranya tidak lagi coeok (appropriate), dioperasikan di negerinya. Misalnya, karen~ proses industri tersebut menimbulkan risiko besar, sudah usang, atau tidak lagi dibutuhkan di negaranya.
Dr. Adi Sasono (Direktur Lembaga Studi Pembangunan) mengatakan, bahwa kemurahan hati negara-negara maju berpartisipasi menyambut hasrat negara-negara berkembang untuk maju melalui sistem industtialisasi, namun dengan eatatan: - Industri itu adalah yang tergolong
throwaway industries yaitu industri yang proses produksinya sudah absolute dan tidak diperlukan lagi di negara-negara maju.
- Industri yang mengandung bahaya pencemaran dan risiko besar.
- Yang tergolong industri subsitusi imp or yang terutama menghasilkan barang-barang konsumsi bagi elite keeil yang meniru pola hidup elita di negara maju.
•
Atas dasar uraian di atas, bisa dibenarkan anggapan , bahwa yang "me-
•
•
Ekololli dan Si8t"m Hukum
nularkan" kerusakan bumi ini tennasuk ke negeri-negeri berkembang, ialah tekanan-tekanan dari ambisi-ambisi negeri maju. Seperti pernah dikecam Paus Paulus VI pada pesan akhir tahun 1977, bahwa bahkan negara-negara
. maju selalu berusaha memaksakan jenis-jenis teknologi untuk peningkatan konsumsi yang serba asing, yang akhirnya industri domestik terdesak dan kian lama tersingkir dan ludes samasekali.
Berbagai tekanan dari negara-negara maju, baik langsung atau tidak langsung, melahirkan situasi-situasi pelik di negara-negara berkembang. Yaitu, bukan saja belum mampu menggolkan tujuan hakiki pembangunannya, atau belum juga mampu mengenyahkan kemiskinan dan mu tu hidup yang rendah. Namun bahkan pula ekses-ekses pembangunan yang disumbang negaranegara maju, tidak jarang menjadi beban-beban yang berat dan berkomplikasi secara dahsyat di negara-negara berkembang.
Peristiwa Bhopal, India tahun 1984 misalnya tidak terlepas dari sikap masa bodoh, egoisme dan ambisius negara maju. Kecelakaan di Bhopal
•
•
605
ini menewaskan sekitar 1.500 orang. Dan telah mencederakan orang, seperti buta, merusak hati dan ginjal, memandulkan wanita, merusak kandungan wanita hamil, dan lain-lain sebanyak kurang lebih 500.000 penduduk, sebagai akibat bocomya tangki gas methyl icocYllnate (MIC). Perusahaan industri yang bernama Union Carbide iniadalah milik Amerika Serikat, yang menurut sumber sudah kurang me me nuhi SYlj.rat-syarat, antara lain dekat dengan pemukirnan penduduk. Juga, perusahaan ini sebetulnya di negeri asalnya, tidak lagi dibolehkan beroperasi, karena mengandung risiko keselamatan yang sangat besar.
Kalau sumber Uu benar, bagi kita sekarang tiada ala san untuk tidak m.enyesalkan sikap yang kurang bermoral tersebut, sebab bagi negara maju tersebut lebih mementingkan keuntungan ekonomi daripada keselamatan beratus-ratus ribu orang.
Kasus ini, adalah salah satu dari berbagai sebab akibat dari dampakdampak pola-pola sikap negara maju, sehingga masalah-masalah lingkungan menjadi san gat berlipat ganda untuk kita hadapi.
o
•
iJelembel' 1987
•
•
.
r::
" r:: :s .. r::
" .., E ~ r::
" ~ E :s ~
~
. \0 o \0 •
•
BAGAN POLA BENTURAN KEINGINAN
TERHADAP LINGKUNGAN HIDUP •
•
•
Kebutuhan Dasar
.
• Ilmu Pengetahuan ~
.
Teknologi
• Industrialisasi/ Modernisasi
.
Berbagai Rupa Kebutuhan Lain .
f;
Keinginan
•
Keinginan
~ Keinginan
~
Keinginan
•
Keinginan
•
Keinginan
'\ Penyu su tan Sum ber-sum ber-
Pola Individual
daya/ over Eksploitasi
pencemaran-pencemaran .
Lingkungan .
. Bahaya-bahaya • § -7 OIl Lingkungan I':: ..j Pola .Q
Politik OIl 1':: .
-7 .-Pembangunan ....l • Konsumensme
-§
1\ ..j
O! '" co ~ -7 Individu alisme
..j
7-"y Kesenjangan Sosial Pola Negara-negara .
•
r\ . Maju Pemerosotan Nilai
) Sosial
•