fenomenologi sebagai epistemologi baru dalam perencanaan kota dan permukiman
TRANSCRIPT
1
FENOMENOLOGI
SEBAGAI EPISTEMOLOGI BARU DALAM
PERENCANAAN KOTA DAN PERMUKIMAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
pada Fakultas Teknik
Universitas Gadjah Mada
Oleh:
Prof. Ir. Sudaryono, M.Eng., Ph.D
2
FENOMENOLOGI
SEBAGAI EPISTEMOLOGI BARU DALAM
PERENCANAAN KOTA DAN PERMUKIMAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
pada Fakultas Teknik
Universitas Gadjah Mada
Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar
Universitas Gadjah Mada
pada tanggal 14 Maret 2012
di Yogyakarta
Oleh:
Prof. Ir. Sudaryono, M.Eng., Ph.D
3
(halaman ini sengaja dikosongkan)
1
Bismillaahir-rohmaanir-rohiim
Yang saya hormati,
Ketua, Sekretaris dan Anggota Majelis Wali Amanat,
Ketua, Sekretaris dan Anggota Majelis Guru Besar,
Ketua, Sekretaris dan Anggota Senat Akademik,
Rektor, Wakil Rektor Senior, dan Wakil Rektor,
Para Dekan dan Wakil Dekan,
Ketua Lembaga,
Ketua dan Sekretaris Senat Fakultas,
Para Dosen, Tenaga Kependidikan dan Mahasiswa
Para Pengurus dan Anggota Keluarga Alumni Gadjah Mada,
Para Tamu Undangan dan Hadirin yang saya muliakan,
Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh
Selamat pagi dan salam sejahtera
Aum Swasti Astu
Sungguh, rasa syukur memenuhi hati kami atas Ridhlo Allah
SWT yang diberikanNya sehingga pada pagi hari ini yang penuh doa
dari para hadirin, saya berkesempatan menyampaikan pidato
pengukuhan saya sebagai Guru Besar dalam bidang ilmu Perencanaan
Kota pada Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Fakultas
Teknik Universitas Gadjah Mada, dengan judul:
FENOMENOLOGI
SEBAGAI EPISTEMOLOGI BARU DALAM
PERENCANAAN KOTA DAN PERMUKIMAN
Hadirin yang saya muliakan,
Tradisi perencanaan kota, sebenarnya sudah dimulai oleh
manusia seiring dengan usia peradaban kota yang telah dibangun
manusia sejak jaman Mesir Kuno yang ditandai oleh munculnya kota
Memphis yang dibangun oleh Raja Menes pada tahun 2.686 SM,
disusul oleh kota Thebes oleh Raja Hyksos pada tahun 1.786 SM,
2
kemudian diikuti oleh kota Luxor tempat dibangunnya kuil-kuil
Karnak pada tahun 1546 SM oleh Raja Amenhotep I (Barocas 1972).
Pada masa-masa itu, pembangunan kota telah dipandu oleh suatu
rencana kota yang telah mengikuti prinsip-prinsip penataan ruang
yang mengatur penempatan kawasan pemerintahan, kawasan hunian,
kawasan sakral dan keagamaan, kawasan militer, kawasan industri,
kawasan perdagangan dan kawasan pergudangan. Prinsip-prinsip
tersebut sesungguhnya mirip dengan prinsip-prinsip perencanaan kota
yang kita kenal sekarang sebagai modern planning yang mencakup
town planning, zoning, site planning, dan civic design (Mokhtar,
1974). Namun, dalam teks-teks perencanaan kota yang dikenal sampai saat
ini, yang disebut sebagai perencanaan moderen (modern planning) adalah
perencanaan yang muncul setelah revolusi industri (Ratclif, 1974; Hall,
2004; LeGates and Stout, 2009).
Revolusi industri dengan kredonya rasionalisasi, optimalisasi,
minimalisasi, dan maksimalisasi telah merubah cara-cara manusia
melakukan produksi benda-benda dari penggunaan tenaga manusia dan
hewan menjadi tenaga mesin (Gurrel, 1992). Perubahan cara berproduksi ini
telah melahirkan pertumbuhan dan surplus perkotaan yang tidak diduga
sebelumnya. Kota-kota yang dibangun pada masa klasik, abad pertengahan
dan masa renaisans pada akhirnya tidak siap dan tidak mampu menerima
pertumbuhan dan surplus yang luar biasa. Kota-kota yang dirancang
terutama untuk fungsi hunian tiba-tiba harus menjalankan fungsi sebagai
ruang produksi, pergudangan sekaligus pemasaran. Konsekuensi yang harus
dibayar adalah semua limbah produksi yang terdiri dari limbah cair, padat
dan gas berhamburan melimbahi udara dan tanah-tanah hunian perkotaan.
Kesehatan manusia perkotaan kemudian dikorbankan atas nama surplus dan
pertumbuhan kota. Kota-kota menjadi kumuh, penuh polusi dan tidak
nyaman lagi dihuni.
Dalam situasi krisis perkotaan seperti itu, modern planning
dengan kapasitas preskriptifnya telah menjadi penyelamat kehancuran
involutif yang mematikan kota-kota di Eropa di akhir abad 19 dan
awal abad 20. Munculnya teori zoning, yang kemudian diikuti oleh
teori Garden City oleh Ebenezer Howard pada tahun 1898, teori City
Development oleh Patrick Geddes tahun 1904, dan disusul oleh Lewis
Mumford pada tahun 1916 dengan teorinya Planning the Modern City
3
telah menjadi landasan kokoh bagi muncul dan berkembangnya modern
planning pada masa-masa berikutnya (Hall, 2004; LeGates and Stout, 2009).
Modern planning, kemudian diekspor keluar Eropa melalui matarantai
kolonialisme sebagai suatu paradigma baru perkotaan atau urbanisme.
Munculnya permukiman-permukiman baru yang menggunakan konsep
garden city seperti Kawasan Darmo di Surabaya (1916), Bandung Utara
(1917), Candi Baru di Semarang (1917), Bogor (1917), Medan Baru (1917),
Menteng dan Gondangdia (1918), dan Kota Baru Yogyakarta (1920), telah
memberikan wajah baru perkotaan di Indonesia pada pada masanya (Van
Roosmalen, 2005).
Tokoh generasi kedua dari modern planning yang sangat
berpengaruh pada perkembangan kota-kota di dunia adalah Le
Corbusier (1929) dengan teorinya yang sangat termasyhur The City of
Tomorrow and Its Planning. Le Corbusier menggunakan pendekatan
paradoks dalam perencanaan kota yang terungkap dalam kata-katanya
yang sangat terkenal: “kita harus mengatasi kemacetan di pusat kota
dengan meningkatkan kepadatan, kita harus meningkatkan sirkulasi
lalulintas di pusat kota dengan meningkatkan jumlah ruang terbuka,
melalui cara membangun kota dengan bangunan-bangunan
tinggi/vertikal di atas lahan yang kecil” (Le Corbusier, 1929: 159-178,
Hall, 2004:207). Walaupun banyak sekali rancangan-rancangan kota
yang dibuatnya tidak pernah menjadi kenyataan (Algiers, Antwerp,
Stockholm, Barcelona, Newmours), namun pemikiran Le Corbusier
telah menjadi inspirasi bagi para perencana kota dunia untuk
membangun kota secara vertikal. Peremajaan kota (urban renewal)
mendapatkan pembenarannya dalam teori Le Corbusier. Kota-kota di
dunia yang semula dibangun dengan konsep permukiman lokal (di Indonesia
dikenal dengan konsep kampung kota) dihancurkan, digusur, dan digantikan
dengan bangunan-bangunan tinggi perkantoran, apartemen, dan komersial.
Belakangan, teori Le Corbusier telah mengalami penggantian terminologi
dan kemasan menjadi superblock dan compact city.
Perencanaan kota moderen (modern planning) yang menjadi
anak kandung paradigma positivisme dan menganut filosofi physical
determinism, telah menikmati kejayaannya selama kurang lebih 100
tahun. Modern planning dengan kredo-kredo engineering telah
berhasil memandu, merubah, dan memberi solusi terhadap masalah-
4
masalah urbanisasi di kota-kota besar di dunia. Citra pasti, dapat
dipercaya, dan konsistensi yang tinggi antara rencana dan
implementasinya telah menjadikan modern planning sebagai suatu
model pembangunan dan pengarah peradaban baru kota. Modern
planning telah menjadi panglima bagi perubahan-perubahan fisikal,
spasial, dan sosial yang ditaati. Puncak pemikiran modern planning
terdapat dalam bentuknya “comprehensive rational planning” dengan
ditandai masuknya science ke dalam konsep dan kerja perencanaan
(Beauregard, 1984). Comprehensive rational planning yang
bersenyawa dengan Procedural Planning Theory dari Faludi (1973)
telah diterjemahkan ke dalam konteks perencanaan di Indonesia dalam
ujud Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW) atau Rencana
Umum Tata Ruang Kota (RUTRK).
Hadirin yang saya hormati,
Sanggahan, Kritik, dan Koreksi terhadap Modern Planning
Pada perkembangannya, paradigma modern planning telah
bergeser dari kesetiaanya semula, yakni tidak lagi setia kepada
kepentingan publik melainkan setia kepada kepentingan kapitalisme.
Fokus perencanaan modern planning yang semula pada infrastruktur
perkotaan untuk kepentingan-kepentingan publik bergeser menjadi
infrastruktur untuk jaringan pemasaran komoditas hasil produksi para
pemilik modal besar (Cooke, 1988). Dengan pergeseran fokus
perencanaan seperti itu, maka obyektifitas dan komprehensifitas
modern planning mendapatkan sanggahan, kritik dan pada akhirnya
terkoreksi oleh pandangan-pandangan yang muncul belakangan.
Modern planning disanggah karena telah mengabaikan kepentingan
dan eksistensi rakyat kebanyakan di perkotaan. Modern planning telah
berpihak kepada market dan kapitalis besar. Modern planning hanya
berfokus membangun masyarakat kelas menengah perkotaan dan
mengabaikan keberagaman masyarakat bawah perkotaan.
Di ujung senja perkembangan modern planning, ilmu
perencanaan telah terpelanting jatuh ke bawah dari tangga tertinggi
sebagai ilmu peradaban menjadi hanya sekedar ilmu kewirausahaan;
sedangkan pada dataran praksis, peran perencana meluncur terjun ke
5
bawah dari ketinggian sebagai duta peradaban menjadi hanya sekedar
teknisi saja, atau meminjam terminologi sinis dari Fainstain (1988)
hanya sekedar menjadi “deal maker” saja. Sanggahan, kritik, dan
koreksi terhadap modern planning khususnya pada procedural
planning theory akhirnya melahirkan ragam pendekatan, model dan
teori perencanaan yang disebut oleh Healy, et al. (1982) sebagai
theoretical pluralism in urban and regional planning, mencakup ragam
pendekatan: (1) incrementalism, (2) implementation and policy, (3) social
planning and advocacy planning, (4) the political economy, (5) the new
humanism, dan (6) pragmatism.
Modern planning telah menyederhanakan asumsi bahwa
terdapat hubungan yang sangat positip dan dapat dibenarkan secara
ilmiah antara pikiran yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat,
kepentingan kapitalis, dan intervensi yang dilakukan pemerintah kota
sehingga perencanaan kota diyakini akan mampu membuat kota
menjadi terpadu sesuai keinginan dan kebutuhan masyarakat. Namun
kenyataan yang terjadi sungguh sangat berbeda. Kesenjangan dan
konflik antara kepentingan masyarakat dengan kepentingan para
pemodal besar (kapitalis), serta antara kepentingan masyarakat dengan
kepentingan pemerintah seringkali dijumpai.
Kasus-kasus di bawah ini hanya sedikit contoh yang menunjukkan
adanya kesenjangan-kesenjangan tersebut: (1) konflik Taman BMW antara
Pemprov DKI dengan warga Kelurahan Papanggo dan Sunter Tanjung Priok
(Kompas.com,5-11-2008), (2) konflik antara warga Kelurahan Pluit
Penjaringan Jakarta Utara dengan Pengembang yang akan membangun
apartemen di dekatnya (Kompas.com,22-3-2009), (3) konflik antara warga
Cina Benteng Kampung Lebak Wangi yang menolak penggusuran dengan
Pemkot Tangerang (Kompas.com 13 April 2010), (4) penolakan HMI dan
LSM Kendari terhadap rencana pembangunan mesjid di tengah-tengah Teluk
Kendari (Kompas.com 24 Agustus 2010), (5) konflik antara warga yang
menolak penggusuran makam Mbah Priok dengan PT. Pelabuhan Indonesia
(Pelindo) II (Kompas.com 14-4-2010), (6) penolakan warga Kecamatan
Sumarorong, Mamasa, Sulawesi Barat terhadap rencana pembangunan
bandara (Kompas.com 15 September 2010), dan (7) konflik dan kesenjangan
pendapat antara Pemerintah Kota Solo dengan Perusahaan Daerah Citra
Mandiri Jateng perihal pembangunan mal di atas lahan Pabrik Es Saripetojo
I (Kompas.com 11-7-2011).
6
Kasus-kasus yang diajukan di atas menunjukkan adanya gap
atau kesenjangan antara pikiran dan kenyataan. Kesenjangan antara
pikiran pemerintah dengan pikiran masyarakat, kesenjangan antara
pikiran pengembang dan pemilik modal dengan pikiran masyarakat,
dan kesenjangan antara pikiran perencana dengan kenyataan yang
hidup dalam alam pikiran masyarakat. Dengan perkataan lain, terdapat
kesenjangan antara perencanaan dan pelaksanaan, antara pikiran dan
realitas empiris, dan antara teks dan konteks. Kesenjangan-
kesenjangan tersebut secara akademik dapat disebut sebagai
kesenjangan epistemologis, yakni kesenjangan dalam perihal
pendekatan dan metode dalam membangun substansi pengetahuan
perencanaan.
Kesenjangan epistemologis menunjukkan bahwa pendekatan-
pendekatan perencanaan kota yang digunakan selama ini telah
kadaluwarsa; terdapat jurang lebar antara pengetahuan perencanaan
yang “diperoleh” dan pengetahuan perencanaan yang “dihasilkan” dan
“digunakan”. Epistemologi yang telah kadaluwarso, pada akhirnya
harus ditebus dengan harga yang sangat mahal yakni hilangnya obyek
ontologis perencanaan kota yang berupa “kota” itu sendiri. Dengan
perkataan lain, perencanaan kota tidak lagi mengambil obyek kota
karena kota telah diabaikan dan ditinggalkan oleh perencanaan kota.
Beauregard (1989) menyatakan bahwa modern planning (khususnya
pada model procedural planning dan rational comprehensive
planning) telah sibuk dengan obyek barunya yang berupa planning
process, policy making, dan decision making, yang secara prosedural
menurutnya benar tetapi secara substantif ternyata kosong dan
senjang. Premis-premis preskriptif perencanaan kota menjadi asing
dengan kenyataan empiris yang ditujunya. Perencanaan hanya sekedar
teks tanpa konteks. Kekosongan preskriptif ini yang telah membawa kota-
kota bergerak tanpa pemandu pada akhirnya telah diisi oleh “satu kekuatan
tunggal raksasa” yang oleh Lefebvre (1974) disebutnya sebagai single force,
single centre, dan monocentric strategy, yang kesemuanya itu adalah alias dari
market strategy, atau lebih tepatnya adalah alias dari world market strategy. “Sebagai suatu single strategy ...... market berusaha membangun single
market dan single konsumsi yang membawa dampak destruktif berupa
keserakahan ruang melalui apa yang disebut Lefebvre (1993) sebagai
7
“consumption of space”. Melalui produksi ruang semacam itu,
manusia-manusia kota hidup dan berkehidupan dalam kendali modal.
Manusia-manusia kota “digerakkan” dan bukannya “bergerak” dalam
ruang-ruang perkotaan. Dampak meluas dari “single strategy” ini
adalah pada munculnya kondisi yang dia sebut sebagai “spatial
chaos”, yakni situasi ketika market hanya perduli terhadap ruang-
ruang serta lahan-lahan yang dikontrolnya saja, sehingga ruang-ruang
perkotaan lainnya menjadi “ruang-ruang sisa” atau menjadi “anak tiri
kota” yang dipinggirkan dan tidak diperhatikan atau dalam konsepsi
Trancik (1986) disebutnya sebagai lost space. Situasi seperti ini oleh
Habermas (1989) disebut sebagai “exclusion”, ruang yang dibuang
yang pada akhirnya justru berbalik arah memberikan “karma”nya
berupa banjir, kemacetan lalu lintas, konflik ruang, dan kecemburuan
sosial dan spasial yang memicu munculnya fenomena kriminal
perkotaan. Spatial chaos yang terjadi pada terutama kota-kota besar
merupakan produk dari apa yang disebut Lefebvre (1993) sebagai
“kontradiksi ruang” atau “contradictory space” Menurutnya, kota telah
membangun kontradiksi-kontradiksi dalam dirinya sendiri, dan
fenomena ini telah membawa manusia-manusia kota tanpa disadari
telah digerakkan oleh kontradiksi-kontradiksi ini. Manusia-manusia
kota menjadi bingung dan terasing di kotanya sendiri. Kota-kota telah
dibangun menjadi kota-kota yang “tidak appropriate”. Kota-kota
semacam ini menurutnya tidak akan mampu memberikan kontribusi
pada perubahan manusia-manusia penghuni kota menjadi manusia-
manusia yang beradab mulia, seperti disampaikannya:”Change life,
change society…. mean nothing without the production of an
appropriate space” (Sudaryono 2008:4-5).
Kesenjangan epistemologis yang berujung pada terjadinya
kekosongan preskriptif perencanaan kota pada akhirnya memerlukan
suatu pendekatan baru dalam membangun pengetahuan di dalam
perencanaan kota, sehingga pengetahuan yang “diperoleh”, “dihasilkan”,
dan “digunakan” dalam perencanaan kota merupakan suatu pengetahuan
yang teranyam, menerus, dan cocok dengan problema empiris yang
dihadapi. Bukan pengetahuan yang deduktif, linier, deterministik, dan
hegemonik yang asing dan melahirkan kesenjangan antara premis-
premis preskriptif dengan realitas empirik yang ditatapnya. Pendekatan
epistemologi baru yang diusulkan dalam kesempatan ini adalah
pendekatan fenomenologi.
8
Hadirin yang saya muliakan,
Fenomenologi: Tinjauan Filsafat
Fenomenologi, sebagai suatu aliran filsafat dikenalkan oleh
Husserl melalui bukunya yang sangat terkenal: The Crisis of
European Sciences and Transcendental Phenomenology: An
Introduction to Phenomenological Philosophy (1954). Menurut David
Carr, penterjemah buku ini dari edisi berbahasa Jerman ke edisi
berbahasa Inggris, buku ini ditulis pada tahun 1934 sampai tahun 1937
menjelang kepergiannya menghadap Sang Khalik pada tanggal 27
April 1938. Husserl (1970) mengawali bukunya dengan sangat lugas
dan terus terang dengan menyerang positivisme yang dikatakannya
telah gagal dalam mengangkat harkat dan martabat manusia: The
positivistic reduction of the idea of science to mere factual science;
the crisis of science as the loss of its meaning for life (Husserl,
1970:5). Kegagalan positivisme menurutnya terlalu menjunjung tinggi
obyektifitas-positivistik dan generalisasi sehingga ilmu-ilmu menjadi
steril dan telah mengabaikan sejarah, spiritualitas, nilai-nilai ideal, dan
norma-norma kehidupan manusia. Obyektifitas versi positivisme
sesungguhnya adalah hasil dari suatu dominasi atau hegemoni suatu
epistemologi keilmuan. Cara bekerja ilmu-ilmu positivistik yang
mengagungkan metode deduksi pada akhirnya membawa ilmu-ilmu
pada kondisi stagnan. Ilmu-ilmu hanya berputar-putar dan secara
ulang-alik hanya menguji teori-teori yang sudah tersedia (grand
theories) dan membuktikan hipotesis saja, sehingga tidak melahirkan
ilmu-ilmu baru. Ilmu-ilmu bergerak tidak kemana-mana alias tetap di
tempat.
Jalan keluar dari krisis ilmu-ilmu positivistik yang ditawarkan oleh
Husserl adalah “fenomenologi transendental” yang mengajarkan bahwa
sumber kebenaran ilmu bukanlah pada logika deduktif, melainkan pada
pengamatan langsung pada dunia nyata yang disebutnya sebagai “life-world”
atau “the world of common experience” (Husserl, 1970), atau “lived
experience” (Husserl, 1964) atau Schutz (1970) menyebutnya sebagai world
of daily life. Fenomenologi lebih mengedepankan pengamatan dan
pengalaman daripada rasio. Fenomenologi menurut Bettis (1969) merupakan
suatu metode filsafat dan bukannya suatu filsafat doktriner; dengan demikian
9
fenomenologi dapat digunakan secara luas dalam bidang-bidang penelitian
sains, agama, antropologi, ilmu alam, fisika, teknik, kedokteran, seni,
psikologi, etika, bahasa, budaya, komunitas, arsitektur, perkotaan, dan
permukiman. Menurut Ponty (1962) yang juga penerus dari Husserl,
fenomenologi adalah suatu filsafat yang mempelajari “esensi” dibalik
“eksistensi”, atau menurut Prichard (1960) fenomenologi mempelajari
“realitas” dibalik “kenampakan”, dan menurut Husserl (1964) fenomenologi
mempelajari “noema” (makna kesadaran intensional) dibalik phenomena
(nampak atau appearance).
Intisari dari ajaran para tokoh fenomenologi mulai dari Husserl
(1964), Ponti (1962), Schutz (1970), sampai Heidegger (2008)
terdapat pada beberapa kata kunci atau terminologi dan konsep
sebagai berikut: (1) transcendental phenomenology, (2) life-world,
life experience, the common experience, (3) the science of them, (4)
self-knowledge, (5) a priori of life-world, (6) life of depth, (7) epoche,
bracketing, reduction. (8) intentionality of consciousness, (9) essence,
(10) clusters of meanings, (11) textual description and structural
description, (12) intersubjectivity,
Fenomenologi sebagai metode filsafat mengajak para ilmuwan
untuk menjelajah mencapai puncak kesadaran transendental keilmuan
yang dibangunnya untuk menggapai apa yang disebut Husserl (1970)
sebagai the ultimate source of all the formation of knowledge atau
original formation of meaning. Ilmu seperti itu adalah ilmu yang
mendarat bukan ilmu yang melayang-layang di udara obyektifitas.
Untuk menggapai kesadaran transendental, ilmuwan harus mengalami
dan menyelami obyek keilmuannya secara langsung (face to face),
memasuki dan menerobos life-world (the common experience) melalui
tahap-tahap yang disebutnya sebagai reduksi fenomenologis. Bagi
Husserl, setiap kehadiran benda-benda, tindakan manusia, ruang kota,
permukiman, atau susunan perabot di dalam rumah adalah hadir
dengan kesadaran intensional atau hadir dengan kesengajaan yang
bertujuan. Baginya, tidak ada kehadiran tanpa kesadaran
(consciousness). Kesadaran yang tidak sadar dalam setiap kehadiran
sesungguhnya adalah suatu kesadaran. All consciousness is
consciousness of something (Ponti, 1962:xvii). There is no such thing as
thinking without thinking about something. There is no such thing as pure
10
willing without willing to do something. There is no such thing as pure
feeling without feeling about something (Bettis, 1969:11).
Tugas ilmuwan adalah menyingkap kesadaran yang tidak
sadar menjadi kesadaran yang sadar. Dalam konsepsi kesadaran
Husserl, ilmuwan hanyalah sekedar penyampai the science of them,
bukan sebagai pemilik. Fenomenologi mengajak para ilmuwan
bersikap rendah hati terhadap obyek keilmuan yang ditelitinya, yakni
hanya “menggali”, “mengetahui” dan “memahami” tetapi “tidak
memiliki”.
Setiap obyek keilmuan (life-world) memiliki keunikannya sendiri
(self-knowledge). Tugas ilmuwan adalah sekedar membidani kelahirannya,
memberinya nama dan mengenalkannya kepada masyarakat akademis dan
publik. Peran ilmuwan telah bergeser dari pemandu kebenaran (yang bersifat
deduktif-positivistik) menjadi penggali kebenaran (melalui kerja induktif-
eksploratif). Untuk mencapai makna dan kebenaran transendental (the
essence atau the ultimate knowledge atau epoche) maka ilmuwan harus
melakukan kerja reduksi eidetik (Husserl, 1970) untuk menyingkap
kebenaran yang secara bertahap bergerak ke atas mulai dari: (1) reduksi
fenomenologis (menyibak yang nampak, atau yang dialami dan tersaji secara
textual description), kemudian bergerak ke atas untuk menyibak structural
description untuk menuju pada (2) kesadaran intensional (intentionality of
consciousness) yang menjadi landasan (noema) bagi yang nampak
(phenomena), untuk kemudian menuju pada (3) makna tertinggi, hakekat,
esensi, yang ideal, the ultimate, yang transendental, atau epoche dari
keilmuan yang dibangunnya.
Walaupun kritik terhadap Fenomenologi pernah dilancarkan oleh
Derrida (1968) yang mengatakan bahwa yang dimaksud oleh Husserl
sebagai ideal meaning atau the ultimate meaning sebenarnya hanyalah
transendental signified (penanda transendental), namun fenomenologi telah
dipakai secara luas dalam bidang-bidang ilmu seperti: natural sciences
(Hardy and Embree, 1992), communication (Allison and Garver, 1973),
religion (Bettis, 1969), dan psikologi (Brouwer, 1988).
Di Universitas Gadjah Mada, fenomenologi mulai berkembang
dalam kegiatan perkuliahan dan penelitian sejak pertengahan 90-an
pada program pascasarjana. Khusus pada penelitian-penelitian dalam
rangka program doktor di Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan
11
FT-UGM, fenomenologi telah melahirkan teori-teori baru di bidang
perkotaan, permukiman, dan arsitektur. Joesron Alie Syahbana
(Februari, 2003) dalam penelitian yang sangat mendalam di
perkampungan kumuh Kota Semarang telah berhasil membangun
“Teori Struktur Atas (fenomena) dan Struktur Bawah (noemena)”
dalam konteks pengelolaan sanitasi lingkungan oleh masyarakat.
Rimadewi Supriharjo (November, 2004) dalam suatu penelitian yang
sangat intensif di Kawasan Ampel Surabaya, telah berhasil
menemukan “Teori Pelapisan Ruang” berkaitan dengan nilai religi,
historis, sosiologis, dan ekonomi. Dermawati D.Santoso (April, 2007)
dalam penelitiannya yang sangat mendalam serta melibatkan
hubungan personal emosional dengan para warga di Kampung
Pajeksan dan Jogonegaran Yogyakarta telah berhasil membangun
“Teori Toleransi Keruangan” dalam keterbatasan ruang di
permukiman padat kota. Edi Purwanto (Agustus, 2007) dalam
penelitiannya yang sangat bersemangat di Kawasan Malioboro
Yogyakarta telah berhasil membangun “Teori Rukun Kota”, Ruang
Perkotaan Berbasis Budaya Guyub. Suastiwi Triatmodjo (April, 2010)
dalam penelitiannya yang sangat mendalam dan penuh kontemplasi di
Kawasan Kauman Yogyakarta berhasil menemukan “Teori
Desakralisasi dan Pemufakatan Ruang”. Yohanes Djarot Purbadi
(April, 2010) dalam penelitiannya yang telah membawanya
mendapatkan gelar raja di Desa Kaenbaun Pulau Timor telah berhasil
membangun “Teori Tata Suku” yang menjadi basis Tata Spasial
Permukiman Suku Dawan. Judi Obet Waani (Agustus, 2010) melalui
penelitiannya yang mendalam dan tekun di Kawasan Titiwungen
Manado telah berhasil membangun “Teori Basudara” sebagai basis
Permukiman pasca reklamasi pantai. Djoko Wijono (Februari, 2011)
dalam penelitiannya yang sangat intensif disertai kecermatan yang
sangat tinggi di kota-kota kecil di Wilayah Yogyakarta telah berhasil
membangun “Teori Saged sebagai Spirit Arsitektur Kota Kecil”.
12
Hadirin yang saya hormati,
Fenomenologi sebagai Epistemologi Baru dalam Perencanaan
Kota dan Permukiman
Secara eksplisit penggunaan pendekatan fenomenologi dalam
perencanaan kota dan permukiman memang tidak pernah ditemukan
di dalam teks-teks teori maupun praktek perencanaan. Namun
beberapa model perencanaan yang berkembang sejak dekade 90-an
secara substansial telah menunjukkan adanya ayunan berpikir secara
fenomenologis yang menekankan pada pendekatan intersubjective dan
berfokus pada planning from within. Teori dan konsep perencanaan
berikut adalah contoh yang dapat dikedepankan: (1) “Gender in
planning” (Friedmann 1992), (2) “Communicative turn in planning
theory” (Healey, 1992), (3) “Progressive planning” (Sanyal, 1996),
(4) “Empowerment” (Friedmann, 1992-a), dan (5) “Collaborative
Planning” (Harris, 2002). Teori dan konsep tersebut menunjukkan
adanya dimensi keterhubungan antara “obyek perencanaan” (life-
world) dengan “kesadaran konsensus arah perencanaan”
(intentionality of consiousness) seperti yang ditunjukkan oleh cara
berpikir fenomenologi.
Dalam bidang perencanaan kota dan permukiman, fenomenologi
mengajarkan seorang perencana kota dan permukiman menjadi
peneliti sekaligus perencana profesional atau perencana profesional
yang memiliki kemampuan meneliti. Perencana kota diajak untuk
melakukan perjumpaan dengan obyek empiris yang diteliti dan
direncanakan (life-world) secara langsung dan menyelam. Dalam
paradigma fenomenologi, obyek perencanaan difahami sebagai realitas
plural (jamak), merupakan suatu anyaman dari agregat-agregat yang
tidak dapat dipisah-pisahkan satu terhadap lainnya, sehingga perencana
diajak untuk bekerja secara holistik, iteratif, kontekstual, sinkronik
sekaligus diakronik. Model perencanaan seperti ini pernah diusulkan
pada tahun 2001 dengan sebutan inductive planning (Sudaryono, 2001).
Fenomenologi sebagai epistemologi baru dalam perencanaan
kota dan permukiman mengajak para perencana untuk membangun
pemahaman dan sikap terhadap konsep-konsep berikut ini:
13
1) Kota sebagai hakekat ”ada”, ”mengada” dan ”berada”
Fenomenologi mengajarkan bahwa setiap kota yang berjatidiri
memiliki tiga lapis struktur hakekat yakni: (i) ”hakekat ada”, (ii)
”hakekat mengada”, dan (iii) ”hakekat berada”.”Hakekat ada”,
merupakan kesadaran tertinggi atau kesadaran transendental atau
kesadaran ideal awal mula suatu kota ”ada”. Kota Yogyakarta misalnya,
bermula dari ”ada” di dalam kesadaran transendental yang berupa
filosofi makro-kosmos yakni poros gunung-laut (Brotodiningrat, 1978).
Gunung laki-laki dari ketinggian yang terukur melelehkan limpahannya
deras menerjang ke bawah menuju laut perempuan yang bergolak untuk
melahirkan sebuah kota yang berjuluk Ngayogyokarto Hadiningrat.
Perjumpaan eksotik tersebut tersaksi dalam suatu simbol indah terukir
pada tubuh tetenger kutho yang berupa Tugu Yogya menggantikan tugu
golong gilik yang roboh pada Juni 1867 oleh gempa dahsyat yang
melanda Yogyakarta (Ricklefs, 2002). Walaupun beberapa kalangan
menyatakan bahwa Tugu yang dibangun kembali pada 1889 (22 tahun
pasaca gempa) memiliki makna berbeda dari semula (golong gilig),
namun makna makro-kosmosnya masih tetap sama dan bahkan
dipertegas atau dikukuhkan dalam ornamen yang melekat di tubuh Tugu
Yogya versi 1889 yang sampai saat ini masih bisa kita saksikan.
Filosofi makro-kosmos ini secara konsisten telah menjadi ibu
pemandu ”kesadaran mengada” atau ”hakekat mengada” dari kota
Yogyakarta. Sejak Pangeran Mangkubumi sampai saat ini, ”kesadaran
mengada” telah menjadi komitmen dari ”para pengada” Kota
Yogyakarta. ”Kesadaran mengada” sebagai proses pembangunan dan
pengembangan kota telah menjadi ”kesadaran proses” bagi pemangku
keberadaan Kota Yogyakarta. Kesadaran ini secara teguh telah
mengantar ”keberadaan” Kota Yogyakarta menyusuri lorong waktu.
”Hakekat keberadaan” Kota Yogyakarta secara spasial terlahir
dan terpandu oleh pola simbolik gunung laki-laki (Tugu) dan laut
perempuan (Panggung Krapyak-ibu). Pola simbolik kota ini telah
menjadi ”panduan” sekaligus ”pemandu” perkembangan Kota
Yogyakarta sampai saat ini, sehingga ”keberadaan” kota dari 1756
sampai 2012 menunjukkan suatu anyaman kemenerusan sekaligus
keterikatan antara ”kesadaran ada transendental”, ”kesadaran mengada
14
intensional” dan ”kesadaran berada eksistensial”. Hakekat keberadaan
Yogya terpelihara karena inti keberadaan kota terpelihara secara sadar.
Inti keberadaan Yogya adalah bentang ruang memanjang dari utara ke
selatan dan diapit oleh dua sungai yakni Code dan Winongo. Ketika
keberadaan bentang kawasan ini dilukai dengan bangunan-bangunan
tinggi menjulang, maka terlukalah Kota Yogya. Poros pandang
sinewaka dari Siti Hinggil ke Tugu memang mengajarkan kesadaran
transendental bahwa Kota Yogya adalah kota horisontal bukan kota
vertikal.
2) Kota berkembang ”dari dalam”
Fenomenologi mengajarkan bahwa kota yang berjatidiri adalah
kota yang berkembang ”dari dalam” (from within), bukan berkembang
karena transplantasi yang dipaksakan. Kota yang berkembang ”dari
dalam” adalah kota yang berkarakter dan berakar kokoh, karena
perkembangannya ”dibutuhkan dan diinginkan oleh warganya” dan di
dalam prosesnya ”mengalirkan kesadaran sejarah kotanya”. Perencanaan
kota semacam ini mirip dengan gagasan perencanaan yang diajukan oleh
Friedmann (1992-b) dan apa yang telah dilakukan oleh Wali Kota Solo
yakni perencanaan yang berawal dan berorientasi pada kesejahteraan
masyarakat, responsif dan mendukung terbentuknya konsensus-
konsensus baru atas dasar hubungan antar individu dan kelompok.
Kota yang berkembang “dari dalam” adalah kota yang setiap
tahap perkembangannya membuat warganya menjadi semakin bangga
kepada kotanya, seperti apa yang terjadi pada Kota Curitiba di Brazil.
Apa yang akan hadir, mengapa perlu hadir, dan bagaimana kehadiran
suatu komponen baru perkembangan kota merupakan suatu
kemenyatuan kesadaran intensional dari warga kota. Setiap komponen
kota yang “hadir atau berada” di Kota Curitiba adalah komponen kota
yang “mengada” dalam kesadaran masyarakat, artinya, proses
“mengada”nya dipahami dalam pikiran masyarakat karena hadirnya ide
tentang “ada” dari komponen baru merupakan hasil konsensus antara
masyarakat, pemerintah, dan pelaku pengembangan kota. Kota yang
berkembang “dari dalam” adalah kota yang tidak membuat warganya
menjadi “asing” dan “terasing” di kotanya sendiri. Fenomenologi
15
mengajarkan kepada perencana kota bahwa kota yang berkembang “dari
dalam” adalah kota yang bergerak dari “ada”, “mengada” menuju
“berada” dan bukannya terbalik.
3) Kota ”yang menerus” bukan ”kota yang tertunda”
Fenomenologi mengajarkan, bahwa perencanaan kota adalah suatu
gerakan kesadaran intensional yang membawa kota bergerak ke depan
dengan kesadaran yang sadar atas dimensi ruang dan waktu ”kemarin”,
”sekarang”, dan ”besuk”. Fenomenologi memberikan payung bersikap
bahwa perencanaan kota tidak pernah mempersilahkan impuls-impuls
spekulatif dari pragmatisme-kapitalisme yang sempit dan berjangka
pendek memandu perkembangan kota seperti yang terjadi pada kasus-
kasus ruko yang mangkrak, perumahan-perumahan baru yang kosong
dan meliar, gedung-gedung perkantoran yang sunyi dari kegiatan,
taman-taman kota yang berpagar tak terpelihara, dan kawasan-kawasan
kota lama yang terbiarkan mati.
Fenomenologi mengajak para perencana kota menciptakan ”kota
yang menerus”, karena ”kota yang menerus” adalah kota yang sehat
secara jasmani dan rohani. Kota yang menerus adalah kota yang selalu
relevan dan memiliki konteks keabadian bagi segala generasi. Kawasan
inti Kota Yogya yang terapit secara membujur oleh Kali Code dan Kali
Winongo merupakan kawasan kota yang menerus yang selalu memiliki
vitalitas tinggi untuk selalu lahir kembali berjumpa dengan berbagai
rumpun generasi. Para pamong Kota Yogya, telah mempraktekkan
pendekatan fenomenologi dalam penataan kawasan ini sejak 1756
sampai saat ini, walaupun kawasan ini sejak tahun 1980-an selalu
terancam oleh gerakan-gerakan transplantasi kota berupa proyek-proyek
bangunan tinggi yang berarsitektur sebrang alias arsitektur yang tidak
kontekstual.
Kebalikan dari ”kota yang menerus” adalah ”kota yang tertunda”,
yakni kota yang sakit karena secara jasmani salah gizi dan tidak pernah
mendapatkan siraman rohani. ”Kota yang tertunda” adalah kota hasil
transplantasi, bukan kota yang memiliki kekuatan ”ruhaniah” yang
mampu melakukan reproduksi, regenerasi, dan selalu mengupayakan
kelahirannya kembali. Fenomena kota yang tertunda bahkan cenderung
16
menuju kota yang mati, pernah ditulis oleh Jane Jacobs (1961) dalam
karyanya yang sangat terkenal ”The Death and Life of Great American
Cities” yang telah memberikan inspirasi bagi lahirnya teori ”Social
Capital” oleh Robert Putnam (1998). Dalam artikelnya, Jacobs
menggambarkan dua kasus kota yang berlawanan kondisi awal dan
perkembangan terakhirnya. Kota yang pertama adalah the North End di
Boston, yang di awal pengamatannya dua puluh tahun yang lalu
merupakan kawasan kumuh atau slum area; tetapi karena kawasan kota
ini memiliki ”ruh” (kesadaran transendental warganya) yang mewujud
dalam institusi sosial yang kokoh, maka perlahan-lahan kawasan ini
bergerak tumbuh menjadi kota yang bagus, teratur dan rapi. Sebaliknya,
kawasan kota yang kedua, yakni the Morningside Heights Area di Kota
New York, yang semula merupakan kawasan kota yang direncanakan
dengan sangat baik memiliki taman-taman kota yang indah, dikelilingi
oleh kampus Columbia University, Union Theological Seminary, the
Julliard School of Music, dan fasilitas-fasilitas sosial yang lengkap
perlahan-lahan, selama duapuluh tahun pengamatannya, menjadi
memburuk dan kemudian mati; kawasan kota ini mati karena memang
dari awalnya tidak ditiupkan ”ruh” di dalamnya. Fenomenologi
membawa kota menuju ”kota yang menerus” bukan ”kota yang
tertunda”.
4) Perencanaan sebagai suatu kerja “intersubyektif”
Dalam paradigma fenomenologi, antara “perencana” dan “obyek
perencanaan” dituntut terlibat di dalam suatu kemenyatuan yang intensif
(berlawan dengan paradigma spatial determinism yang justru
mengambil jarak terhadap obyek perencanaan). Perencana tidak hanya
sekedar dituntut mampu menggambarkan obyek perencanaannya, tetapi
juga dituntut mampu menjelaskan hakekat transendentalnya dan mampu
memperkuatnya melalui arahan-arahan preskriptif yang diusulkan.
Fenomenologi mengajarkan kepada para perencana kota untuk
menemukan ”ruh” kota dalam ujud kesadaran transendental kota dan
kemudian meniupkannya dan menguatkannya dalam proses ”mengada”
suatu kota. Dalam model kerja semacam itu, maka perencana kota dan
permukiman mengalir dalam lorong ruang dan waktu obyek yang
17
direncanakannya untuk “mengalami” dan “memahami” makna perilaku
meruang dari warga dan penghuni ruang kota dalam alur siklus perilaku
yang terulang.
Dalam model kerja “intersubyektif”, perencana kota membangun
pengetahuannya mengenai obyek yang direncanakannya dengan cara
“mengalami” obyek tersebut dan bukannya bekerja dengan
mengandalkan persepsi yang dibangun secara sepihak dengan
menggunakan teori-teori dan standard-standard perencanaan yang
tersedia. Dengan demikian, rumusan-rumusan preskriptif yang diusulkan
oleh perencana akan memiliki hunjaman akar nilai pada kedalaman
empiris yang kokoh. Perencanaan yang dihasilkan dengan model kerja
seperti ini akan menjadi perencanaan “yang hadir” dan “menghadirkan”,
bukan perencanaan yang “asing” dan “mengasingkan” warga pelaku dan
pemilik kota.
5)Perencanaan sebagai suatu kerja “preskriptif-reduktif-transendental”
Sesuai dengan kodrat atau fitrahnya, ilmu perencanaan kota dan
permukiman dilahirkan dengan memiliki sifat preskriptif (rekayasa ke
depan) sebagai sifat kodratinya. Cara kerja preskriptif yang dilakukan
oleh para perencana sangat tergantung kepada epistemologi (sudut
pandang dan cara membangun pengetahuan) yang dianutnya. Walaupun
secara substansial dan fokus perencanaan sudah banyak mengalami
pergeseran konsep sejak revolusi industri sampai saat ini, namun secara
epistemologis baru terdapat tiga perubahan besar yang terjadi, baik yang
terdapat di dalam dunia teori maupun praktek perencanaan.
Epistemologi yang pertama adalah epistemologi deduktif-
positivistik yang berjaya sejak revolusi industri sampai pada sekitar 60-
an dan atau 70-an yang telah melahirkan model-model perencanaan blue
print planning. Epistemologi ini dianggap kadaluwarsa untuk kemudian
digantikan oleh epistemologi kedua yakni epistemologi deduktif-
rasionalistik yaitu masuknya science ke dalam ilmu perencanaan yang
melahirkan model-model perencanaan scientific-rational comprehensive
planning yang kemudian pada dekade 90-an dianggap tidak mampu lagi
memberikan landasan pengetahuan sesungguhnya tentang realitas
empiris permasalahan perkotaan, sehingga terjadilah kesenjangan antara
rencana dan kenyataan. Epistemologi yang ketiga adalah epistemologi
18
communicative rationality yang dikenalkan oleh Habermas (1984) dan telah
mempengaruhi model-model perencanaan yang menekankan pada
pengambilan keputusan dan tindakan secara kolektif (collective deciding and
acting), democratic planning, dan pluralism participation. Di Indonesia
epistemologi ini digunakan dalam model perencanaan Musbang (Musyawarah
Pembangunan), perencanaan partisipatif, FGD (Focus Group Discussion).
Kritik, kesangsian, keberatan dan sanggahan yang dialamatkan kepada
epistemologi ini terfokus pada adanya dominasi pengambilan keputusan oleh
faktor gender, kekuasaan, kelas sosial, dan budaya. Dalam epistemologi ini
perencana kota “terhalang” oleh kehadiran yang termanipulasi untuk memasuki
jantung informasi sesungguhnya.
Hadirin yang saya muliakan,
Penutup
Untuk keluar dari ketiga belenggu epistemologi di atas, dalam
kesempatan yang sangat terhormat ini diajukan epistemologi ke-empat yakni
epistemologi fenomenologi yang menekankan pada cara kerja reduksi
transendental (transcendental reduction). Melalui cara kerja seperti ini, para
perencana kota diajak melakukan penyelaman untuk “mengalami ruang
perkotaan“, menyingkap helai demi helai tirai ruang perkotaan untuk
menemukan “hakekat terdalam” atau “kesadaran transendental” yang menjadi
“ruh” dari kota dan kelak digunakannya sebagai landasan nilai bagi langkah-
langkah preskriptif perencanaan yang diusulkannya. Melalui cara kerja seperti
ini, para perencana kota diantar menjadi perencana yang berkarakter serta
percaya diri dalam memperkuat dan bahkan membangun karakter atau jatidiri
kota yang direncanakannya. Dengan ungkapan yang lebih eksplisit dapat
ditekankan, bahwa fenomenologi membuka jalan sekaligus mengantar
perencana kota menjadi perencana berkarakter dan perencana yang berkarakter
akan membangun kota yang berkarakter, InsyaAllah.
Hadirin yang saya muliakan,
Di akhir pidato pengukuhan ini, ijinkanlah saya menyampaikan
rasa syukur saya kehadapan Allah SWT atas ridhloNya yang telah
memandu pikiran, jiwa, ruh, dan badan saya untuk dapat berdiri di
mimbar yang sangat terhormat dan bersejarah ini. Terimakasih disertai
19
rasa hormat yang sangat dalam disampaikan kepada Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia yang telah menetapkan saya sebagai Guru
Besar pada tanggal 31 Agustus 2010. Terimakasih dan rasa hormat juga
disampaikan kepada Bapak Rektor, Wakil Rektor Senior, Wakil Rektor,
Pimpinan dan Anggota Majelis Guru Besar, Pimpinan dan Anggota
Senat Akademik, Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Teknik, Pimpinan
dan Anggota Senat Fakultas Teknik, Ketua dan Sekretaris Jurusan
Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Ketua dan Anggota Laboratorium
Perencanaan Kota, yang telah memproses dan memberikan persetujuan
kepada saya untuk dapat memangku jabatan Guru Besar dalam Bidang
Ilmu Perencanaan Kota di Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan
Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.
Terimakasih diiringi tunduk kekaguman yang tulus dan rasa
hutang budi yang amat besar disampaikan kepada semua Guru
Akademik saya yang telah mengawali, membentuk dan mengantarkan
kehidupan akademik saya sampai saya mendapatkan kepercayaan pada
pagi hari ini untuk menyampaikan pidato pengukuhan sebagai Guru
Besar. Tunduk kekaguman dan tulus terimakasih juga disampaikan
kepada semua Guru Kehidupan yang telah memberi tahu, mengingatkan,
menunjukkan jalan, memberikan teladan, memandu dan melimpahkan
nilai-nilai kehidupan kepada saya sehingga saya terdorong terus untuk
menghargai dan menghormati kehidupan.
Kepada sahabat-sahabat dan kolega saya di semua Jurusan dan
Lembaga di Fakultas Teknik, di Senat Fakultas Teknik, di Program
Pascasarjana, di Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, di Program
Studi Perencanaan Kota dan Wilayah, di Program Studi Magister
Perencanaan Kota dan Daerah, dan di Pusat Studi Perencanaan
Pembangunan Regional disampaikan rasa terimakasih yang sangat
dalam atas dukungan dan pelajaran yang diberikan kepada saya tentang
arti dan makna kekuatan jaringan kebersamaan dan rasa saling
menghormati sebagai modal dalam membangun keilmuan dan
kehidupan akademik.
Perjumpaan saya selama kurang lebih dua tahun dan telah lewat
dengan kolega saya di Senat Fakultas Teknik dan kolega saya di Senat
Akademik UGM, serta satu tahun berjalan dengan kolega saya di
Majelis Guru Besar, telah memberikan pelajaran kepada saya tentang
20
arti penting saling menguatkan pikiran bagi penguatan dan
pengembangan kehidupan akademik dan keilmuan di Universitas
Gadjah Mada. Terimakasih atas kepercayaannya kepada saya.
Kepada seluruh keluarga besar Suhartono Sastrosasmito dan
keluarga besar Wiro Atmodjo disampaikan rasa haru dan terimakasih
yang sangat dalam atas kerukunan, dukungan, penguatan serta ketulusan
doa yang diberikan kepada saya. Sungguh, kekuatan kerukunan kalian
membuat semangat saya selalu tumbuh untuk mencintai kehidupan.
Kepada almarhum dan almarhumah orang tua saya Bapak
Suhartono Sastrosasmito dan Ibu Subarti Suhartono ”sungkem donga
dumateng Ibu lan Bapak, maturnuwun awit sedoyo tulodo, pitedah lan
donga kekiyatan ingkang sampun Ibu lan Bapak paringaken dumateng
kawulo.......!”. Kepada almarhum dan almarhumah mertua saya Bapak
Wiro Atmodjo dan Ibu Suharminah:” maturnuwun sanget Ibu lan Bapak
sampun nggulowentah bayi ingkang dalem tilar sinau wonten
monconegoro lan sedoyo donga ingkang tansah lumintu dumateng
kawulo”.
Kepada isteriku Dr. Ir. Sri Sulandari, SU dan anak-anakku
Ninggar Seganten dan Lintang Sagoro kamu bertiga adalah laso baja
yang selalu menarikku dalam menapaki takik-takik terjal tebing
kehidupan. Kamu bertiga adalah pilar yang selalu membuat diriku tegak
dalam menyusuri lorong ruang dan waktu.
Kepada para hadirin yang sangat saya muliakan, terimakasih atas
limpahan doa yang tulus, kehadiran, serta kesabarannya dalam
mengikuti pidato pengukuhan saya pagi ini. Semoga kita semua selalu
mendapatkan perlindungan dan cahaya petunjuk dan penunjuk dari
Allah SWT, amin...amin...amin ya robbal 'alamin. Akhir kata,
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
21
DAFTAR RUJUKAN
Allison, D.B. and Garver, N.(1973). Speech and Phenomena and
Other Essays on Husserl’s Theory of Signs, Northwestern
University Press, Evanston.
Barocas, C. (1972). Monuments of Civilization: Egypt, Grosset &
Dunlap, New York.
Beauregard, R.A (1984). “Between Modernity and Postmodernity: the
Ambiguous Position of U.S.Planning”, quoted by Beauregard,
R.A (1989) in Fainstain, S.S. & Campbell, S.(1996). Readings
in Planning Theory, Blackwell, Cambridge, et.seq.
Bettis, J.D (1969). Phenomenology of Religion, Harper & Row
Publisher Incorporated, New York.
Brotodiningrat, KPH (1978). Arti Kraton Yogyakarta, Museum Kraton
Yogyakarta.
Brower,M.A.W.(1988). Manusia dalam Fenomenologi, PT.Gramedia,
Jakarta.
Cooke,P.(1988).“Modernity, Posmodernity and the City”, quoted by
Beauregard (1989) in Fainstain, S.S.&Campbell(1996), et.seq.
Davidoff, P (1965). “Advocacy and Pluralism in Planning”, in
Fainstein, S.S. & Campbell, S.(1996), et.seq.
Derrida, J.(1968). “Differance”, English tranlation in Allison, D.B.
and Garver, N.(1973). Speech and Phenomena and Other Essays
on Husserl’s Theory of Signs, Northwestern University Press,
Evanston.
Fainstein, Susan S.(1988).”Urban Transformation and Economic
Development Policy”, quoted by Beauregard, R.A (1989) in
Fainstein, S.S. & Campbell, S.(1996) , et.seq.
Faludi, A (1973). Planning Theory, Pergamon Press, Oxford.
Friedmann, J (1992-a). “Feminist and Planning Theories: The
Epistemological Connection”, in Fainstein, S.S. & Campbell, S
(1996), et.seq.
Friedmann, J (1992-b). Empowerment : The Politics of Alternative
Development, Blackwell Publishers, Cambridge.
Gurel, S (1992). "Planning : Why and What?", Lecture delivered at the
Division of Human Settlements Development, AIT., Bangkok,
Thailand, February 29.
22
Habermas, J (1989). “Further Reflection on the Public Sphere”, in
Calhound Craig (1993): Habermas and the Public Sphere, The
MIT Press, Cambridge.
Habermas, J (1984). “The Theory of Communicative Action Vol I:
Reason and the Rationalisation of Society” quoted by Healy, Patsy
(1992) in Fainstain, S.S. & Campbell, S.(1996), et.seq..
Hall, P.S (2004). Cities of Tomorrow: An Intelectual History of Urban
Planning and Design in the Twentieth Century, Blackwell,
Oxford.
Hardy, L and Embree, L (1992). Phenomenology of Natural Science,
Kluwer Academic Publisher, Dordrecht.
Harris, N (2002). “Collaborative Planning: From Theoretical
Foundations to Practice Forms”, in Jones, Mark Tewdwer and
Allmendinger, Philip (2002). Planning Futures: New Directions
for Planning Theory, Routledge, London.
Healy, P., MD. G., and Thomas, J.M.(1982). Planning Theory :
Prospect For the 1980es, Pergamon Press, Oxford.
Heidegger, M (2008). Towards the Definition of philosophy: The Idea
of Philosophy and the Problem of World View, Phenomenology
and Transcendental Philosophy of Value, translated from
Germany (1919) by Sadler, T (2008), Continuum, London.
Husserl, Edmund (1964). The Phenomenology of Internal Time
Consciousness, translated from Germany Edition (1905) by
Churchill, James S (1964), Indiana University Press.
Husserl, Edmund (1965). Phenomenology and the Crisis of
Philosophy, translated from Germany Edition (1905) by Laurer,
Quentin (1965), Harper Torchbooks, New York.
Husserl, Edmund (1970). The Crisis of European Sciences and
Transcendental Phenomenology: An Introduction to
Phenomenological Philosophy, translated from Germany Ed.
(1954) by Carr,D.(1970), Northwestern Univ Press, Evanston.
Jacobs, Jane (1961). “The Death and Life of Great American Cities”,
in Fainstain,S.S. & Campbell, S.(1996), et.seq.
Le Corbusier (1929). The City of Tomorrow and Its Planning,
translated from the 8th French Edition of Urbanisme by
Frederick Etchells, third edition (1971), The Architectural Press,
London.
23
Lefebvre, H.(1974). The Production of Space, translated by Nicholson-
Smith Donald (1993), Blackwell Publishers, Oxford.
LeGates, R.T. and Stout, F.(2009). “Modernism and Early Urban
Planning”, in Birch, Eugenie L (2009). The Urban and Regional
Planning Reader, Routledge, Oxon.
Mokhtar, Ahmed Amin , in Whittick, Arnold (1974). Encyclopedia of
Urban Planning, Mc.Graw-Hill Book Company, New York.
Ponty, M.M.(1962). Phenomenology of Perception, translated by
Smith, Colin (1962), Routledge & Kegan Paul Ltd, London.
Prichard, H.A. (1960). “Appearances and Reality”, in Chisholm,
Roderick M. (1960). Realism and the Background of
Phenomenology, the Free Press a Corporation, Illinois.
Putnam, Robert D. (1998). "Social Capital: Its Importance to Housing
Development", Housing Policy Debate, Volume 9, Issue 1.
Ratcliffe, John (1974). An Introduction to Town and Country
Planning, Hutchinson & Co (publishers) Ltd, London.
Ricklefs, M.C.(2002). Yogyakarta dibawah Sultan Mangkubumi 1749-
1792 (terjemahan), Matabangsa, Yogyakarta.
Sanyal, Bishwapriya (1996). “Meaning, Not Interest: Motivation for
Progressive Planning”, in Mandelbaum, S.J., Mazza,L., and
Burchell, R.W. (1996). Explorations in Planning Theory, the
Center for Urban Policy Research, New Jersey.
Schutz, Alfred (1970). On Phenomenology and Social Relations, edited
by Wagner Helmut R. the University of Chicago Press, Chicago.
Sudaryono (2001). “Inductive Planning: Paradigma Baru Pendidikan
Perencanaan”, paper seminar, Asosiasi Sekolah Perencanaan
Indonesia (ASPI), Kampus UNDIP, Semarang, 31 Maret 2001.
Sudaryono (2008). Perencanaan Kota Berbasis Kontradiksi: Relevansi
Pemikiran H.Lefebvre dalam Produksi Ruang Perkotaan Saat Ini,
Jurnal Perencanaan Wilayah Kota, Vol.19, No.1, April 2008.
Trancik, Roger (1986). Finding Lost Space: Theories of Urban Design,
van Nostrand Reinhold Company, New York.
Van Roosmalen, Pauline, K.M.(2005). ”Expanding Grounds: The Roots
of Spatial Planning in Indonesia”, dalam Colombijn, F; Barwegen,
M; Basundoro, P; dan Khusyairi, J.A. (2005): Kota Lama Kota
Baru, Ombak, Yogyakarta.
24
BIODATA
1. Nama: Prof. Ir. Sudaryono, M.Eng., Ph.D.
2. Tempat/Tanggal Lahir: Yogyakarta, 31-1-1956
3. Jabatan: Guru Besar, 1 September 2010
3. Alamat kantor:
1) Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan
(JUTAP), Fakultas Teknik UGM.
2) Program Pascasarjana, FT-UGM
4.Email:[email protected]
5. Keluarga: Dr. Ir. Sri Sulandari, S.U. (isteri)
Ninggar Seganten
Lintang Sagoro
6. Alamat rumah: Jalan Enau 31, Perumahan Jambusari Indah,
Wedomartani, Sleman, Yogyakarta 55283.
7. Pendidikan:
1961 Taman Kanak-kanak Kuncung, Baciro, Yogyakarta
1968 SDN Demangan I, Yogyakarta
1971 SMPN 4 Yogyakarta
1974 SM Pembangunan Negeri I IKIP, Yogyakarta
1982 Jurusan Teknik Arsitektur FT-UGM
1985 Institute For Housing Stusies/BIE, Rotterdam (diploma)
1988 Asian Institute of Technology, Thailand (S2)
1993 Asian Institute of Technologi, Thailand (S3)
8. Pekerjaan:
1990-Sekarang: Dosen Jurusan T. Arsitektur dan Perencanaan UGM
2011-Sekarang: Ketua Program Pascasarjana FT-UGM
2010-2011 : Wakil Ketua Program Pascasarjana FT-UGM
2007-2010 : Anggota Senat Akademik UGM
2010-2010 : Sekretaris Komite Riset Senat Akademik UGM
2007-2010 : Sekretaris Senat Fakultas Teknik UGM
2004-2007 : Ketua Komisi I Senat Fakultas Teknik UGM
2003-2011 : Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah dan
Kota JUTAP-FT-UGM
1998-2004 : Ketua Laboratorium Perencanaan Kota FT-UGM
25
9. Publikasi:
2009- Compact Kampungs: Formal and Informal Integration in The
Context of Urban Settlements of Yogyakarta, Indonesia, Journal
of Habitat Engineering, Volume 1, Number 1.
2009- Perencanaan Kota Berbasis Kontradiksi: Relevansi Pemikiran
Henri Lefebvre dalam Produksi Ruang Perkotaan Saat Ini, Jurnal
Perencanaan Wilayah Kota, Vol.19, No.1, April 2008, pp. 1-12.
2008- Production of Space on the Basis of A Spiritual Space: A Case
Study of Parangtritis Settlements of Yogyakarta, Indonesia, Media
Teknik,No.4.Th.XXX, Edisi Nopember 2008.
2007- Pilar-pilar Tata Ruang Lokal: Studi Kasus Parangtritis, Jurnal
Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol.18/No.2, April 2007.
2006-Paradigma Lokalisme Dalam Perencanaan Spasial, Jurnal
Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol.17/No.1, April 2006.
2004- Pola dan Struktur Ruang Kawasan Agropolitan dalam Perspektip
Politikal-Ekonomi, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota,
Vol.15, No.2/Juli 2004.
2002- The Practice of Self-Help Housing Concepts in Indonesia, XXX
IAHS (International Association for Housing Science) World
Congress on Housing, University of Coimbra, Portugal, 9-13
September 2002.
1998- Planning Education and Profession in the Era of Globalization :
Retrospect and Prospect, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota,
Vol.9, No.2/Mei 1998.
1998-Pemberdayaan Desa-Kota Bagi Penanggulangan Kemiskinan di
Perdesaan, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol.9, No.1,
Januari
1997- Konsep Kemitraan di dalam Pembangunan Perumahan, Manusia
dan Lingkungan, Jurnal PPLG-UGM, No.13, Th.V.
1997- Prospek Rumah Sangat Sederhana dalam Era Globalisasi, Jurnal
Perencanaan Wilayah dan Kota-ITB, Vol.8, No.2, April 1997.
1993/6-The Future of Self-Help Housing, Ekistics, Volume 59, Number
354/355, July/August.
1990- Housing for Informal Sector Workers : The Case of Yogyakarta,
Indonesia, Habitat International Journal, Vol. 14, Num.4,
1990:75-88.