fermentasi ndc_rezky dwi_09.70.0077_universitas katolik soegijapranata
DESCRIPTION
Pada praktikum teknologi fermentasi kali ini, dilakukan pembuatan produk nata de coco. Bahan utama yang digunakan dalam praktikum ini adalah air kelapa. Menurut Widayati et al. (2002), produksi kelapa sangat melimpah namun belum dimanfaatkan secara maksimal, bahkan dapat menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan. Air kelapa dapat dibuat menjadi sumber isolat bakteri dan substrat untuk fermentasi. Air kelapa mengandung gula, protein, asam amino, serta berbagai macam vitamin dan mineral. Air kelapa dapat digunakan sebagai bahan dasar fermentasi asam-asam organik. Kelebihan dari air kelapa antara lain harganya sangat murah, mempunyai kadar kontaminasi yang lebih kecil sebab termasuk produk alami dan bukan merupakan sisa suatu proses produksi, produk samping minimum serta terjamin kontinuitas ketersediaannya. Air kelapa tersusun atas polisakarida (dekstrosa) dengan kadar gula sekitar 7-10 %. Nata berasal dari bahasa Spanyol yang artinya krim. Selain nata de coco yang berasal dari air atau sari kelapa, dikenal juga nata de pina yang merupakan krim yang berasal dari sari nanas. Krim atau nata dibentuk oleh bakteri Acetobacter xylinum melalui proses fermentasi, A. xylinum menggunakan nutrisi dalam medium air kelapa, membentuk lendir, lapisan selulosa transparan pada permukaan medium (Jagannath,et al.,(2008).TRANSCRIPT
NATA DE COCO
LAPORAN RESMI PRAKTIKUMFERMENTASI
Disusun oleh:
RezkyDwi
NIM : 09.70.0077
Kelompok A1
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2014
1. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan ketebalan lapisan nata de coco serta hasil pengamatan uji sensori
yang meliputi aroma, warna, tekstur dan rasa dari pada masing-masing kelompok dapat
dilihat pada Tabel 1. dan Tabel 2. berikut ini.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Ketebalan Lapisan Nata de Coco
KelTinggi
media awal (cm)
Ketebalan Presentase LapisanH0 H7 H14 H0 H7 H14
A1 1 0 0,9 cm 0,9 cm 0 90 % 90 %A2 1 0 1 cm 0,5 cm 0 100 % 50 %
A3 1,2 0 0,7 cm 0,5 cm 0 58,33 % 41,67 %
A4 1 0 0,8 cm 0,5 cm 0 80 % 50 %A5 1 0 1 cm 0,8 cm 0 100 % 80 %
Berdasarkan Tabel 1. dapat diketahui perubahan ketebalan lapisan nata de coco dari
hari ke-0 sampai hari ke-14. Pada hari ke-0 ketebalan nata de coco pada semua
kelompok adalah 0, yang artinya belom ada lapisan nata yang terbentuk. Pada hari ke-7
sudah mulai terbentuk lapisan nata de coco. Presentase lapisan nata de coco pada hari
ke-7 pada kelompok A1 sebesar 90%, kelompok A2 sebesar 100%, kelompok A3
sebesar 58,33%, kelompok A4 sebesar 80% dan kelompok A5 sebesar 100%. Setelah
hari ke-14 ketebalan lapisan nata de coco pada semua kelompok mengalami penurunan.
Presentase lapisan nata de coco pada hari ke-14 pada kelompok A1 sebesar 90%,
kelompok A2 sebesar 50%, kelompok A3 sebesar 41,67%, kelompok A4 sebesar 50%
dan kelompok A5 sebesar 80%.
Tabel 2. Hasil Pengamatan Uji Sensori Nata de CocoKelompok Aroma Warna Tesktur Rasa
A1 +++ ++ ++ +++A2 ++++ ++ ++ +++A3 ++++ ++ +++ +++A4 ++++ ++ +++ ++++A5 ++++ ++ +++ ++++
Keterangan :Aroma Warna Tekstur Rasa++++ : tidak asam ++++ : putih ++++ : sangat kenyal ++++ : tidak manis+++ : agak asam +++ : putih bening +++ : kenyal +++ : agak manis++ : asam ++ : putih agak bening ++ : agak kenyal ++ : manis+ : sangat asam + : bening + : tidak kenyal + : sangat manis
Berdasarkan Tabel 2. dapat dilihat hasil uji sensori nata de coco yang meliputi aroma,
warna, tekstur dan rasa dari kelima kelompok. Untuk parameter aroma, didapatkan nata
de coco pada kelompok A1 memiliki aroma agak asam, kelompok A2, A3, A4 dan A5
sama-sama memiliki aroma tidak asam. Untuk parameter warna dari nata de coco hasil
uji sensori didapatkan hasil yang sama dari semua kelompok yaitu nata de coco
berwarna putih agak bening. Parameter tekstur nata de coco pada kelompok A1 dan A2
memiliki tekstur agak kenyal, kelompok A3, A4 dan A5 memiliki tekstur kenyal. Untuk
parameter rasa nata de coco yang dihasilkan pada kelompok A1, A2 dan A3 memiliki
rasa agak manis dan pada kelompok A4 dan A5 memiliki rasa tidak manis.
2. PEMBAHASAN
Beberapa pengertian nata de coco dari beberapa sumber jurnal yang didapat. Menurut
Santosa et al. (2012), nata de coco adalah produk fermentasi dari air kelapa dengan
mikroba Acetobacter xylinum yang terdiri dari komponen selulosa. Nata de coco
memiliki bentuk padat, kokoh, kuat, berwarna putih transparan, bertekstur kenyal
dengan rasa menyerupai kolang-kaling. Produk ini sering dicampurkan ke dalam es
krim, coctail buah, sirup, dan berbagai makanan ringan lainnya (Astawan & Astawan,
1991). Menurut Anastasia et al. (2008) nata adalah selulosa yang memiliki bentuk padat
dan berwarna putih transparan. Nata memiliki tekstur kenyal dengan kandungan air
sekitar 98% dan umumnya dikonsumsi sebagai makanan ringan. Nilai nutrisi dari nata
de coco sangat rendah karena kandungan terbesarnya adalah air. Nata de coco juga
mengandung serat kasar (dietary fiber) yang sangat dibutuhkan tubuh dalam proses
fisiologi (Astawan & Astawan, 1991). Menurut Mesomya et al. (2006), nata de coco
memiliki kandungan selulosa yang tinggi, rendah lemak dan kalori, serta tidak
mengandung kolesterol. Nata de coco baik dikonsumsi untuk menjaga berat badan dan
mencegah penyakit kanker colon dan rectum. Menurut Halib et al. (2012), nata de coco
berpotensi menjadi sumber selulosa murni untuk berbagai keperluan industri.
Pada praktikum teknologi fermentasi kali ini, dilakukan pembuatan produk nata de
coco. Bahan utama yang digunakan dalam praktikum ini adalah air kelapa. Menurut
Widayati et al. (2002), produksi kelapa sangat melimpah namun belum dimanfaatkan
secara maksimal, bahkan dapat menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan. Air
kelapa dapat dibuat menjadi sumber isolat bakteri dan substrat untuk fermentasi. Air
kelapa mengandung gula, protein, asam amino, serta berbagai macam vitamin dan
mineral. Air kelapa dapat digunakan sebagai bahan dasar fermentasi asam-asam
organik. Kelebihan dari air kelapa antara lain harganya sangat murah, mempunyai kadar
kontaminasi yang lebih kecil sebab termasuk produk alami dan bukan merupakan sisa
suatu proses produksi, produk samping minimum serta terjamin kontinuitas
ketersediaannya. Air kelapa tersusun atas polisakarida (dekstrosa) dengan kadar gula
sekitar 7-10 %. Nata berasal dari bahasa Spanyol yang artinya krim. Selain nata de coco
yang berasal dari air atau sari kelapa, dikenal juga nata de pina yang merupakan krim
yang berasal dari sari nanas. Krim atau nata dibentuk oleh bakteri Acetobacter xylinum
melalui proses fermentasi, A. xylinum menggunakan nutrisi dalam medium air kelapa,
membentuk lendir, lapisan selulosa transparan pada permukaan medium (Jagannath,et
al.,(2008).
Kultur Acetobacter xylinum merupakan kultur bakteri yang digunakan sebagai starter
pada pembuatan nata. Bakteri A.xylinum membutuhkan syarat nutrisi untuk
pertumbuhannya, yaitu air 90%, protein 0,29 %, lemak 0,15 %, karbohidrat 7,27 % serta
abu 1,06 % yang tersedia pada air kelapa. Selain itu, dalam air kelapa terdapat juga
nutrisi – nutrisi berupa sukrosa, dektrosa, fruktosa dan vitamin B kompleks yang terdiri
dari asam nikotinat 0,01 ug, asam pantotenat 0,52 ug, biotin 0,02 ug, riboflavin 0,01 ug
dan asam folat 0,003 ug per ml. Nutrisi-nutrisi tersebut merangsang pertumbuhan
Acetobacter xylinum untuk membentuk nata de coco (Palungkun, 1996). Acetobacter
xylinum merupakan bakteri yang digunakan dalam pembuatan nata de coco yang
mampu mensintesis selulosa dari gula yang dikonsumsi. Nata yang dihasilkan oleh
A.xylinum berupa pelikel yang mengambang dipermukaan substratnya. Bakteri ini juga
terdapat pada produk kombucha (fermentasi dari teh). Faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan A.xylinum adalah sumber karbon, nitrogen, pH, udara (oksigen) dan
temperatur (Suwijah, 2011).
Proses pembuatan nata de coco pada praktikum ini meliputi 2 tahapan utama, yaitu
pembuatan media dan proses fermentasi. Menurut Volk & Wheeler (1993), pembuatan
media bertujuan untuk memberikan makanan, menunjang kondisi lingkungan untuk
pembiakan organisme dalam jumlah yang besar, membuat biakan penyuburan, serta
mendapatkan biakan murni. Pada praktikum ini, pertama-tama 1 liter air kelapa yang
akan digunakan disaring terlebih dahulu. Menurut Astawan & Astawan (1991), proses
penyaringan bertujuan untuk membebaskan air kelapa dari kotoran-kotoran yang masih
ada. Setelah itu, air kelapa dimasak hingga mendidih dengan tujuan membunuh mikroba
kontaminan yang ada di dalam air kelapa (Tortora et al., 1995).
Gambar 1. Penyaringan air kelapa pada pembuatan media
Air kelapa yang sudah dimasak selanjutnya ditambahkan dengan gula pasir sebanyak
10% dan diaduk hingga larut. Menurut Hayati (2003), penambahan gula bertujuan untuk
memperoleh tekstur, penampakan, dan flavor nata de coco yang ideal, serta sebagai
pengawet. Menurut Awang (1991), gula merupakan sumber karbon organik yang dapat
digunakan oleh bakteri. Jenis gula yang digunakan dalam praktikum ini adalah gula
pasir. Menurut Pambayun (2002), sumber karbon yang paling sering digunakan dalam
pembuatan nata de coco adalah sukrosa karena memiliki harga yang murah dan mudah
untuk didapatkan. Penambahan gula yang digunakan dalam praktikum ini sudah sesuai,
yaitu sebanyak 10%. Keberadaan gula yang terlalu berlebih akan membuat bakteri
Acetobacter xylinum tidak mampu memanfaatkannya secara optimal, sehingga akan ada
banyak gula yang terbuang. Konsentrasi optimum gula untuk membuat nata de coco
adalah 10%. Pada konsentrasi ini, bakteri Acetobacter xylinum dapat menghasilkan nata
yang tebal dan liat (Sunarso, 1982).
Setelah dilakukan penambahan gula, air kelapa tersebut ditambahkan ammonium sulfat
sebanyak 0,5% dari volume total air kelapa. Ammonium sulfat merupakan sumber
nitrogen. Menurut Awang (1991), syarat minimal medium yang digunakan untuk proses
fermentasi adalah mengandung unsur karbon dan nitrogen. Menurut Pambayun (2002),
nitrogen dapat mendukung pertumbuhan aktivitas bakteri pembentuk nata. Sumber
nitrogen yang digunakan dapat diperoleh dari protein maupun ekstrak yeast (nitrogen
organik), ammonium fosfat (ZA), urea dan ammonium sulfat (nitrogen anorganik).
Penggunaan ammonium fosfat dapat menghambat pertumbuhan dari Acetobacter aceti
yang merupakan bakteri pesaing Acetobacter xylinum dalam fermentasi nata .
Gambar 2. Proses pemasakan nata de coco
Setelah dilakukan penambahan sumber nitrogen, air kelapa tersebut ditambahkan
dengan asam asetat glasial hingga pH 4-5. Tahapan ini sesuai dengan teori Anastasia et
al. (2008) yang mengatakan jika untuk menciptakan pH medium yang sesuai dengan
kebutuhan Acetobacter xylinum perlu dilakukan penambahan acidulan ke dalam
medium. Menurut Jagannath et al. (2008) pada pH 4-4,2 serta diberikan penambahan
ammonium sulfat sebanyak 0,45-0,5% serta sukrosa sebanyak 10% akan terbentuk nata
yang tebal. Bakteri Acetobacter xylinum sangat cocok untuk tumbuh pada suasana asam,
yaitu sekitar pH 4,3 dan tidak dapat tumbuh pada kondisi basa (Pambayun, 2002).
Menurut Atlas (1984), pada kondisi pH 4,5; 2,5-asam ketoglukonat akan diubah
menjadi selulosa. Pengukuran pH pada praktikum ini dilakukan menggunakan pH
meter. pH yang terlalu rendah akan menyebabkan Acetobacter xylinum menggunakan
energi secara berlebih untuk mengatasi stress akibat perbedaan pH yang terlalu besar.
Hal ini menyebabkan aktivitas Acetobacter xylinum menjadi terhenti karena energi yang
tersedia telah habis (Atlas, 1984). Air kelapa yang sudah dikondisikan pH-nya
selanjutnya akan dimasak dan disaring lagi. Proses pemasakan ini bertujuan agar media
menjadi steril. Menurut Pato & Dwiloted (1994) sterilisasi bertujuan untuk membunuh
mikroorganisme yang tidak diinginkan, sedangkan proses penyaringan bertujuan untuk
mendapatkan media yang bersih bebas dari kontaminan.
Setelah dilakukan proses pembuatan media, selanjutnya dilakukan proses fermentasi.
Pada proses ini, mula-mula 100 ml media steril yang telah disiapkan dimasukkan ke
dalam wadah plastik dan diberikan penambahan 10% starter nata. Pada praktikum ini,
starter yang digunakan adalah Acetobacter xylinum. Proses penambahan starter
dilakukan secara aseptis. Penambahan starter pada praktikum ini sudah sesuai dengan
teori Rahayu et al.(1993) yang mengatakan jika jumlah inokulum yang ditambahkan
dalam pembuatan nata berkisar 1-10%. Penambahan inokulum akan menyebabkan
terjadinya pertumbuhan nata pada substrat. Menurut Fardiaz (1992), kelompok
Acetobacter bersifat anaerobik. Kelompok Acetobacter dapat mengoksidasi etanol
menjadi asam asetat. Bakteri ini dapat mengoksidasi asam amino secara lengkap
menjadi CO2 dan H2O dengan membebaskan amonia, dan terkadang akan melepaskan
H2S jika asam aminonya mengandung kelompok sulfidril.
Gambar 3. Pengukuran pH nata de coco
Setelah dilakukan penambahan inokulum, wadah tersebut digojog perlahan agar seluruh
starter bercampur homogen. Media yang sudah bercampur dengan inokulum tersebut
selanjutnya ditutup menggunakan kertas coklat dan diinkubasikan pada suhu ruang
selama 2 minggu. Selama proses inkubasi, wadah tersebut tidak boleh digoyang agar
lapisan nata yang terbentuk tidak terpisah-pisah. Tahapan dalam praktikum ini sudah
sesuai dengan teori Rahayu et al. (1993) yang mengatakan jika untuk mendapatkan nata
dengan ketebalan yang optimum dan baik, lama fermentasi berkisar 10-14 hari dan suhu
28-32°C. Selain itu menurut percobaan yang dilakukan oleh Czaja et al. (2004), pada
hari ke-16, tidak lagi tampak pertumbuhan lapisan nata oleh bakteri Acetobacter
xylinum. Hal ini menunjukkan jika proses fermentasi selama 14 hari sudah optimal.
Gambar 4. Nata de coco siap diinkubasi suhu ruang selama 2 minggu
Nata yang terbentuk pada praktikum ini berada pada permukaan cairan. Menurut
Palungkun (1996), gelembung-gelembung gas CO2 yang dihasilkan selama proses
fermentasi mempunyai kecenderungan melekat pada jaringan selulosa, sehingga
menyebabkan jaringan tersebut terangkat ke permukaan cairan. Nata yang telah
terbentuk di permukaan cairan akan turun apabila terjadi gangguan selama fermentasi,
misalnya adanya goyangan. Goyangan juga dapat memungkinkan pecahnya nata yang
terbentuk.
Proses inkubasi bertujuan untuk memberikan kesempatan pada bakteri untuk
beradaptasi, beraktitivas, dan menumbuhkan nata pada substrat dengan mengubah gula
menjadi selulosa hingga terbentuk lapisan nata de coco. Pada praktikum ini, dilakukan
pengamatan terhadap ketebalan lapisan nata yang terbentuk pada hari ke-0, hari ke-7,
dan hari ke-14. Berdasarkan Tabel 1 hasil pengamatan, dapat diketahui jika pada hari
ke-0 belum ada lapisan nata yang terbentuk pada semua kelompok. Pada hari ke-7,
terbentuk lapisan nata dengan ketinggian yang berbeda-beda pada setiap kelompok.
Setelah diukur ketinggiannya, dilakukan perhitungan presentase lapisan dengan rumus:
Presentase Lapisan : ketebalan NDCketinggian NDC awal
x100%
Setelah dilakukan perhitungan, dapat diketahui presentase lapisan nata de coco pada
hari ke-7 pada kelompok A1 sebesar 90%, kelompok A2 sebesar 100%, kelompok A3
sebesar 58,33%, kelompok A4 sebesar 80% dan kelompok A5 sebesar 100%. Setelah
hari ke-14 ketebalan lapisan nata de coco pada semua kelompok mengalami penurunan.
Presentase lapisan nata de coco pada hari ke-14 pada kelompok A1 sebesar 90%,
kelompok A2 sebesar 50%, kelompok A3 sebesar 41,67%, kelompok A4 sebesar 50%
dan kelompok A5 sebesar 80%. Presentase lapisan pada setiap kelompok berbeda-beda
dapat disebabkan karena ukuran dari wadah yang berbeda, sehingga ketinggiannya juga
berbeda. Menurut Jagannath, et al.(2008) dalam jurnalnya dikatakan bahwa ketebalan
lapisan nata yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh pH serta konsentrasi dari sukrosa
dan amonium sulfat. Ketebalan nata maksimal akan diperoleh pada kondisi pH 4,
dengan konsentrasi sukrosa sebesar 10% dan amonium sulfat sebesar 0,5%. Kondisi
nata tersebut sama dengan perlakuan dalam praktikum ini, sehingga seharusnya semua
hasil nata de coco mencapai ketebalan maksimal. Menurut Seumahu, et al. (2007),
fermentasi nata yang baik akan menghasilkan lapisan selulosa tebal (1,5-2 cm), gel
selulosa yang homogen dengan transparansi yang tinggi, sementara fermentasi nata
yang buruk akan menghasilkan busa, tipis (kurang dari 0,5 cm), lembut, gel nata
berwarna putih atau buram setelah 8 hari fermentasi.
Pembentukan lapisan nata menunjukkan adanya aktivitas dari Acetobacter xylinum pada
media air kelapa. Hal ini sesuai dengan teori Rahman (1992) yang mengatakan jika
aktivitas dari Acetobacter xylinum ditunjukkan dengan terbentuknya lapisan yang
berwarna putih, yang lama kelamaan akan semakin melebar dan memadat. Ketebalan
nata yang mengalami peningkatan dari hari ke-0 hingga hari ke-14 sudah sesuai dengan
teori Anastasia et al. (2008) yang mengatakan jika Acetobacter xylinum selama
fermentasi akan terus bekerja memecah gula yang ada dalam medium. Hal ini
menyebabkan polisakarida yaitu selulosa akan membentuk benang-benang serat yang
terus menebal membentuk jaringan kuat dan disebut pelikel nata.
Setelah dilakukan proses fermentasi selama 14 hari, nata yang terbentuk dicuci
menggunakan air mengalir dan direndam dalam aquades selama 3 hari. Setiap harinya,
aquades yang digunakan untuk merendam nata diganti dengan aquades yang baru.
Proses perendaman ini bertujuan agar nata yang dihasilkan tidak berbau asam (Rahayu
et al., 1993). Setelah direndam, nata yang terbentuk dipotong kecil-kecil dan dimasak
dengan menggunakan air gula. Setelah nata dimasak, selanjutnya dilakukan uji sensori
terhadap aroma, warna, dan tekstur nata yang terbentuk.
Gambar 5. Nata de coco Kloter A setelah dimasak
Hasil uji sensori nata de coco yang meliputi aroma, warna, tekstur dan rasa dari kelima
kelompok. Untuk parameter aroma, didapatkan nata de coco pada kelompok A1
memiliki aroma agak asam, kelompok A2, A3, A4 dan A5 sama-sama memiliki aroma
tidak asam. Aroma asam pada nata disebabkan karena pencucian nata kurang optimal
sehingga bau asam dari asam asetat glasial masih tersisa. Menurut Anastasia et al.
(2008), semakin sering penggantian aquades yang digunakan untuk merendam nata
maka aroma asam nata tersebut akan semakin berkurang.
Untuk parameter warna dari nata de coco hasil uji sensori didapatkan hasil yang sama
dari semua kelompok yaitu nata de coco berwarna putih agak bening. Hasil ini sesuai
dengan jurnal yang didapatkan dimana nata de coco memiliki bentuk padat, kokoh,
kuat, berwarna putih transparan, bertekstur kenyal dengan rasa menyerupai kolang-
kaling (Santosa et al., 2012). Menurut Rahman (1992), memungkinkan dapat terjadi
pembentukan warna kuning keruh pada nata. Hal ini menunjukkan adanya perombakan
substrat oleh bakteri. Dan menurut Rahman (1992), nata yang dihasilkan memiliki
endapan, endapan ini terbentuk karena adanya degradasi substrat oleh mikroorganisme
serta reaksi antara gula dengan nitrogen yang terlarut dalam cairan.
Pada hasil pengamatan parameter tekstur dari nata de coco pada kelompok A1 dan A2
memiliki tekstur agak kenyal, kelompok A3, A4 dan A5 memiliki tekstur kenyal.
Pengukuran tekstur dilakukan dengan cara menggigit nata yang sudah dimasak.
Menurut Anastasia et al. (2008), kekenyalan nata ditentukan dari ketebalan nata yang
dihasilkan. Semakin tinggi ketebalan serat kasar yang dihasilkan maka semakin banyak
air yang mengisi rongga-rongga antar selulosa sehingga nilai kekenyalannya semakin
turun.
Untuk parameter rasa nata de coco yang dihasilkan pada kelompok A1, A2 dan A3
memiliki rasa agak manis dan pada kelompok A4 dan A5 memiliki rasa tidak manis.
Konsentrasi gula yang digunakan pada praktikum adalah sebanyak 10%. Hal ini sesuai
dengan pendapat Sunarso (1982) yang mengatakan bahwa konsentrasi optimum gula
untuk membuat nata de coco adalah 10%. Pada konsentrasi ini, bakteri Acetobacter
xylinum dapat menghasilkan nata yang tebal dan liat. Sedangkan perbandingan rasa
agak manis dan tidak manis pada nata yang dihasilkan pada saat praktikum adalah
dipengaruhi dari panelis yang memiliki indera perasa dan penilaian rasa yang berbeda
sehingga hasilnya kurang akurat.
Berdasarkan jurnal Nurhayati (2006) dikatakan penambahan gula pada proses
pembuatan nata de coco tidak mempengaruhi berat maupun ketebalan dari nata de coco
selama fermentasi berlangsung (14 hari), dikatakan nata merupakan hasil olahan pangan
secara fermentasi dengan bantuan bakteri A.xylinum yang mana menghasilkan suatu
lapisan putih yang terapung di atasnya yang merupakan hasil dari perubahan gula
(sukrosa). Dikatakan pula bahwa penambahan gula tidak mempengaruhi suhu, derajat
keasaman (pH), kadar air, kadar serat, dan kadar protein.
Berdasarkan jurnal Suwijah (2011) ditambahkan beberapa contoh aplikasi nata yaitu
aplikasi dalam bidang medis yaitu dalam proses cetak langsung tablet (mikrokristal
selulosa) yang merupakan hasil olahan dari selulosa alami yang dapat diperoleh dari
berbagai tumbuhan maupun hasil fermentasi salah satunya nata. Karena mikrokristal
selulosa identik dengan impor dan mahal untuk dihasilkan produk tablet sehingga
pemanfaatan nata itu sendiri menjadikan mikrokristal selulosa untuk pembuatan tablet
menjadi murah. Yang kedua aplikasi dalam makanan yaitu pada penggunaan minuman,
sebagai pencuci mulut dan pada saus karena karakteristik selulosa bakteri sebagai bahan
pengental, dispersi, suspensi dan emulsi yang dapat diaplikasikan dalam makanan.
3. KESIMPULAN
Nata de coco adalah produk fermentasi dari air kelapa dengan mikroba Acetobacter
xylinum yang terdiri dari komponen selulosa.
Nata de coco memiliki bentuk padat, kokoh, kuat, berwarna putih transparan,
bertekstur kenyal dengan rasa menyerupai kolang-kaling
Proses pembuatan nata de coco meliputi 2 tahapan utama, yaitu pembuatan media
dan proses fermentasi.
Bahan utama yang digunakan dalam praktikum ini adalah air kelapa
Air kelapa tersusun atas polisakarida (dekstrosa) dengan kadar gula sekitar 7-10 %
Nata dibentuk oleh bakteri Acetobacter xylinum melalui proses fermentasi, A.
xylinum menggunakan nutrisi dalam medium air kelapa, membentuk lendir, lapisan
selulosa transparan pada permukaan medium
Acetobacter xylinum mampu mensintesis selulosa dari gula yang dikonsumsi
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan A.xylinum adalah sumber karbon,
nitrogen, pH, udara (oksigen) dan temperatur.
Sumber nitrogen seperti ammonium sulfat dapat mendukung pertumbuhan aktivitas
bakteri pembentuk nata.
Tujuan pembuatan media untuk memberikan makanan, menunjang kondisi
lingkungan untuk pembiakan organisme dalam jumlah yang besar, membuat biakan
penyuburan, serta mendapatkan biakan murni.
Tujuan penyaringan untuk membebaskan air kelapa dari kotoran-kotoran yang
masih ada.
Tujuan pemasakan air kelapa hingga mendidih adalah untuk membunuh mikroba
kontaminan yang ada di dalam air kelapa
Penambahan gula bertujuan untuk memperoleh tekstur, penampakan, dan flavor
nata de coco yang ideal, serta sebagai pengawet.
Konsentrasi gula yang digunakan pada saat praktikum adalah konsentrasi gula 10%
yang menyebabkan A.xylinum dapat menghasilkan nata yang tebal dan liat.
Syarat minimal medium yang digunakan untuk proses fermentasi adalah
mengandung unsur karbon dan nitrogen.
Bakteri Acetobacter xylinum sangat cocok untuk tumbuh pada suasana asam, yaitu
sekitar pH 4,3 dan tidak dapat tumbuh pada kondisi basa.
Nata dengan ketebalan yang optimum dan baik, lama fermentasi berkisar 10-14 hari
dan suhu 28-32°C.
Goyangan dapat menyebabkan pecahnya nata yang terbentuk.
Proses inkubasi bertujuan untuk memberikan kesempatan pada bakteri untuk
beradaptasi, beraktitivas, dan menumbuhkan nata pada substrat dengan mengubah
gula menjadi selulosa hingga terbentuk lapisan nata de coco.
Persen lapisan nata tertinggi ada pada kelompok A1 sebesar 90% dan terendah pada
kelompok A3 sebesar 41,67%.
Pembentukan lapisan nata menunjukkan adanya aktivitas dari Acetobacter xylinum
pada media air kelapa.
Proses perendaman nata dengan aquades bertujuan agar nata yang dihasilkan tidak
berbau asam.
Hasil uji sensori paramater aroma nata de coco didapatkan aroma tidak asam.
Hasil uji sensori parameter warna nata de coco yang didapatkan adalah putih agak
bening.
Hasil uji sensori parameter tekstur nata de coco yang didapatkan adalah agak
kenyal dan kenyal.
Hasil uji sensori parameter rasa nata de coco yang didapatkan adalah tidak manis
dan agak manis.
Contoh aplikasi nata yaitu pada bidang medis (pembuatan mikrokristal selulosa)
dan aplikasi pada makanan (bahan pengental, dispersi, suspensi dan emulsi).
Semarang, 4 Juni 2014 Asisten Dosen,
Rezky Dwi Chrysentia Archinitta L.M.
09.70.0077
4. DAFTAR PUSTAKA
Anastasia; Nadia; dan Afrianto Eddy. (2008). Mutu Nata de Seaweed dalam Berbagai Konsentrasi Sari Jeruk Nipis. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi II. Universitas Lampung.
Astawan, M. dan M. W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Nabati Tepat Guna Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.
Atlas, R. M. (1984). Microbiology Fundamental And Applications. Mc Milland Publishing Company. New York.
Awang, S. A. (1991). Kelapa: Kajian Sosial–Ekonomi. Aditya Media. Yogyakarta.
Czaja W.; Dwight R; and R. Malcolm Brown, Jr. (2004). Structural Investigations of Microbial Cellulose Produced in Stationary and Agitated Culture. Cellulose11: 403 411.
Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pangan 1. PT Gramedia. Jakarta.
Halib, N.; Mohd C. I. M. A.; and Ishak A. (2012). Physicochemical Properties and Characterization of Nata de Coco fromLocal Food Industries as a Source of Cellulose. Sains Malaysiana 41(2)(2012): 205–211
Hayati, M. (2003). Membuat Nata de Coco. Adi Cita Karya Nusa. Yogyakarta.
Jagannath, A; A. Kalaiselvan; S. S. Manjunatha; P. S. Raju; and A. S. Bawa. (2008). The Effect of Ph, Sucrose and Ammonium Sulphate Concentrations on The Production of Bacterial Cellulose (Nata-De-Coco) by Acetobacter Xylinum.World J Microbiol Biotechnol (2008) 24:2593–2599.
Mesomya, W; Varapat P; Surat K.; Preeya L.; Yaovadee C.; Duangchan H.; Pramote T.; and Plernchai T. (2006). Effects of Health Food from Cereal and Nata De Coco on Serum Lipids in Human. J. Sci. Technol., 28(Suppl. 1) : 23-28.
Nurhayati, S. (2006). Kajian Pengaruh Kadar Gula Dan Lama Fermentasi TerhadapKualitas Nata De Soya. Jurnal Matematika, Sains, dan Teknologi, Voume 7, Nomor 1, Maret 2006, 40 – 47.
Palungkun, R. (1996). Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya. Jakarta.
Pambayun, R. (2002). Teknologi Pengolahan Nata de Coco. Kanisius. Yogyakarta.
Pato, U. dan Dwiloted, B. (1994). Proses dan Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Nata de Coco. Sains Teks I (A): 70 – 77.
Rahayu, E. S.; R. Indriati; T. Utami; E. Harmayanti dan M. N. Cahyanto. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.
Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bandung.
Santosa, B.; Kgs. Ahmad; and Domingus T. (2012). Dextrin Concentration and Carboxy Methyl Cellulosa (CMC) in Makingof Fiber-Rich Instant Baverage from Nata de Coco. IEESE International Journal of Science and Technology (IJSTE), Vol. 1 No. 1, Mar 2012,6-11.
Seumahu, Cecilia Anna; Antonius Suwanto; Debora Hadisusanto; and Maggy Thenawijaya Suhartono. (2007). The Dynamics of Bacterial Communities During Traditional Nata de Coco Fermentation. Jurnal Mikrobiologi Indonesia Vol. 1 (2) : 65-68.
Sunarso. (1982). Pengaruh Keasaman Media Fermentasi Terhadap Ketebalan Pelikel pada Pembuatan Nata de Coco. Skripsi. UGM. Yogyakarta.
Suwijah. (2011). Pengaruh Kadar Gula, Vitamin C Dan Kadar Serat Dari Sari Buah Markisa Ungu (Passiflora Edulis Var Edulis) Pada Pembuatan Nata De Coco dengan
Menggunakan Acetobacter Xylinum. Medan.
Tortora, G.J., R. Funke & C.L. Case. (1995). Microbiology. The Benjamin / Cummings Publishing Company, Inc. USA.
Volk, W.A. & M.F. Wheeler. (1993). Mikrobiologi Dasar. Erlangga. Jakarta.
5. LAMPIRAN
5.1. Perhitungan
Persentase Lapisan Nata =
Tinggi Ketebalan NataTinggi Media Awal
x 100%
Kelompok A1
H0 Persentase Lapisan Nata =
01
x 100% = 0 %
H7 Persentase Lapisan Nata =
0,91
x 100% = 90 %
H14 Persentase Lapisan Nata =
0 .91
x 100%
= 90 %
Kelompok A2
H0 Persentase Lapisan Nata =
01
x 100% = 0 %
H7 Persentase Lapisan Nata =
11
x 100% = 100 %
H14 Persentase Lapisan Nata =
0,51
x 100%
= 50 %
Kelompok A3
H0 Persentase Lapisan Nata =
01,2
x 100% = 0 %
H7 Persentase Lapisan Nata =
0,71,2
x 100% = 58,33 %
H14 Persentase Lapisan Nata =
0,51,2
x 100%
= 41,67 %
Kelompok A4
H0 Persentase Lapisan Nata =
01
x 100% = 0 %
H7 Persentase Lapisan Nata =
0,81
x 100% = 80 %
H14 Persentase Lapisan Nata =
0,51
x 100%
= 50 %
Kelompok A5
H0 Persentase Lapisan Nata =
01
x 100% = 0 %
H7 Persentase Lapisan Nata =
11
x 100% = 100 %
H14 Persentase Lapisan Nata =
0,81
x 100%
= 80 %
5.2. Jurnal
5.3. Laporan Sementara