fh.unram.ac.id · web viewperkembangan perekonomian yang pesat, telah menghasilkan beragam jenis...
TRANSCRIPT
i
ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) TENTANG
LEMBAGA PEMBIAYAAN
(Studi Pada Pemerintahan Kota Mataram)
JURNAL ILMIAH
Oleh
INTAN SYUHADAA ZAIN
D1A014139
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2018
ii
HALAMAN PENGESAHAN JURNAL ILMIAH
ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) TENTANG
LEMBAGA PEMBIAYAAN
(Studi Pada Pemerintahan Kota Mataram)
Oleh
INTAN SYUHADAA ZAIN
D1A014139
Menyetujui,
Pembimbing Pertama,
(Prof.Dr.H.Salim HS, SH., MS)NIP.19600408198603 1 004
iii
ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) TENTANG LEMBAGA
PEMBIAYAAN (Studi Pada Pemerintahan Kota Mataram)
INTAN SYUHADAA ZAIND1A014139
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM
ABSTRAK
Tujuan penelitian untuk mengetahui penyebab sengketa konsumen, proses penyelesaian sengketa dan hasil putusan arbitrase di BPSK Kota Mataram. Dengan menggunakan metode penelitian empiris. Hasil penelitian, Pertama, penyebab sengketa konsumen di BPSK Kota Mataram adalah wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Kedua, proses penyelesaian sengketa konsumen di BPSK Kota Mataram yaitu: konsiliasi; mediasi; arbitrase. Ketiga, BPSK Kota Mataram memutuskan mengabulkan gugatan penggugat agar tergugat menyerahkan BPKB kepada penggugat. Kesimpulannya penyebab sengketa konsumen di BPSK Kota Mataram karena wanprestasi dan perbuatan melawan hukum, proses penyelesaian sengketa konsumen di BPSK Kota Mataram yaitu : konsiliasi; mediasi; arbitrase, BPSK Kota Mataram mengabulkan gugatan penggugat.
Kata Kunci: Perjanjian, Pembiayaan Konsumen, BPSK
LEGAL ANALYSIS OF BPSK MATARAM DECISIONS ON FINANCING INSTITUTIONS
(Study Of Mataram City Government)
ABSTRACT
The aim of this research is to know the cause of client’s lawsuit, the lawsuit solving process and result by BPSK Mataram arbitration verdict. By the used of empires research method, the research result shows that, First, the cause of lawsuit is breach of contract and law opposed. Second, the lawsuit solving process i.e. conciliation, mediation, arbitration. Third, BPSK Mataram decided to accept the plaintiff accusation and grant it. In conclusion, the cause of lawsuit is breach of contract and law opposed, the solving process of lawsuit i.e. conciliation, mediation, arbitration, BPSK Mataram decided to accept the plaintiff accusation and grant it.
Keywords : Consumer, Financing Agreement, BPSK
i
I. PENDAHULUAN
Perkembangan perekonomian yang pesat, telah menghasilkan beragam
jenis barang dan/atau jasa. Kemajuan teknologi dan informasi turut mendukung
perluasan ruang, gerak, arus, dan transaksi barang dan/atau jasa hingga melintasi
batas-batas wilayah negara. Konsumen pada akhirnya dihadapkan pada berbagai
pilhan jenis barang dan/atau jasa yang ditawarkan secara variatif.1 Tidak hanya
menghasilkan beragam jenis barang dan jasa, perkembangan perekonomian juga
menghasilkan beragam bentuk usaha yang dikembangkan oleh pelaku usahadalam
membantu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan akan suatu barang, salah
satunya adalah lembaga pembiayaandalam bentuk sewa guna usaha (leasing),
modal ventura (venture capital), perdagangan surat berharga (securities trade),
anjak piutang (factoring), usaha kartu kredit (credit card), pembiayaan konsumen
(consumer finance).
Dalam perkembangannya, banyak lembaga pembiayaan yang
menggunakan tata cara perjanjian dengan mengikutkan adanya jaminan fidusia
terhadap objek jaminan. Praktek sederhana dalam jaminan fidusia adalah debitur/
pihak yang punya barang mengajukan pembiayaan kepada kreditur, lalu kedua
belah pihak sama-sama sepakat menggunakan jaminan fidusia terhadap benda
milik debitur dan dibuatkan akta notaris lalu didaftarkan ke Kantor Pendaftaran
Fidusia. Kreditur sebagai penerima fidusia akan mendapat sertifikat fidusia, dan
salinannya diberikan kepada debitur. 2
1 Zulham, HukumPerlindunganKonsumen, Cet.1, Ed.1, KencanaPrenada Media Group, Jakarta, 2013, hlm. 12 Nahrowi.“PermasalahanHukumPembiayaan Leasing di Indonesia”,JurnalCitaHukum, UIN SyarifHidayatullah, Vol.1, No. 1 Juni 2013.
ii
Namun dalam faktanya, ada beberapa lembaga pembiayaan yang tidak
membuat sertifikat fidusia sesuai dengan ketentuan yang ada. Salah satunya
adalah NSC Finance, sehingga menimbulkan adanya sengketa antara pelaku usaha
dengan konsumen. Pemerintah dalam upayanya melindungi masyarakat
menetapkan pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berdasarkan
pada Pasal 49 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis dapat menarik tiga pokok
bahasan yaitu : 1. Apakah Apakah penyebab timbulnya sengketa konsumen yang
ditangani di BPSK Kota Mataram ? 2. Bagaimana proses penyelesaian sengketa
konsumen di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Mataram ?
3. Bagaimana hasil putusan arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) Kota Mataram tentang lembaga pembiayaan ?
Adapun tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui penyebab
timbulnya sengketa konsumen, proses penyelesaian sengketa, dan hasil putusan
arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Mataram tentang
lembaga pembiayaan.
Dari persoalan yang dikaji, maka penelitian ini dikategorikan sebagai
penelitianempiris dengan menggunakan pendekatan konseptual (conceptual
approach), pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan
kasus (case Approach), pendekatan sosiologis (sociological approach). Setelah
data terkumpul selanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatifdenganmetode
penarikan kesimpulan deduktif.
iii
II. PEMBAHASAN
PENYEBAB TIMBULNYA SENGKETA KONSUMEN YANG
DITANGANI BPSK KOTA MATARAM
Penyebab timbulnya sengketa konsumen yang ditangani BPSK Kota
Mataram sebagian besar karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh debitor
baik dalam keadaan tidak memenuhi prestasi, terlambat memenuhi prestasi,
memenuhi prestasi secara tidak baik, maupun melakukan sesuatu yang menurut
perjanjian tidak boleh dilakukannya. Tetapi sebaliknya ketika debitor wanprestasi,
beberapa pelaku usaha juga melakukan perbuatan melawan hukum baik dalam
keadaan melanggar undang-undang, melanggar hak orang lain, bertentangan
dengan kewajiban hukum pelaku, bertentangan dengan kesusilaan, bertentangan
dengan sikap kehati-hatian yang dianggap sepatutnya dalam masyarakat.
Wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditetapkan
dalam perikatan atau perjanjian.3 Ada empat keadaan wanprestasi, yaitu: a. Tidak
memenuhi prestasi; b. Terlambat memenuhi prestasi; c. Memenuhi prestasi secara
tidak baik; d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukannya.
Adapun akibat hukum wanprestasi diantaranya: 1). Debitur diharuskan
membayar ganti rugi (Pasal 1243 KUH Perdata); 2). Kreditur dapat minta
pembatalan perjanjian melalui pengadilan (Pasal 1266 KUH Perdata); 3). Kreditur
3 Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan, CV.NuansaAulia, Bandung, 2007, hlm. 99
iv
dapat meminta pemenuhan perjanjian atau pemenuhan perjanjian disertai ganti
rugi dan pembatalan perjanjian dengan ganti rugi (Pasal 1267 KUH Perdata).
Sedangkan pengertian perbuatan melawan hukum tidak diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Hanya dalam Pasal 1365 KUH Perdata
ditentukan syarat-syarat untuk menuntut ganti kerugian karena perbuatan
melawan hukum, jika kerugian timbul karena ada unsur kesalahan dari si pelaku.
Pasal 1365 KUH Perdata berbunyi:
“Tiap perbuatan yang melawan hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut”.
Dari rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa ketentuan Pasal 1365 KUH
Perdata, mempunyai unsur-unsur:4 a. adanya perbuatan melawan hukum yaitu
dalam arti sempit perbuatan melanggar undang-undang dan lebih luasnya
melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku,
bertentangan dengan kesusilaan, bertentangan dengan sikap kehati-hatian yang
dianggap sepatutnya dalam masyarakat; b. Adanya kesalahan; c. Adanya
kerugian; d. Adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan perbuatan.
Terkait dengan ketentuan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang
menyebutkan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka. Pasal tersebut memberikan kebebasan kepada para
pihak untuk: 1. Membuat atau tidak membuat perjanjian; 2. Mengadakan
perjanjian dengan siapapun; 3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan
persyaratannya; 4. Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan. Namun
terhadap kebebasan tersebut, ada beberapa pembatasan yang diberikan dalam 4 Ibid.,hlm. 111
v
KUH Perdata, antara lain: Pasal 1320 ayat (1); ayat (2); dan ayat (4). Pasal 1332,
Pasal 1337 dan Pasal 1338 ayat (3). Salah satu pembatasannya yaitu para pihak
tidak bebas untuk membuat kontrak yang menyangkut causa yang dilarang
undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan
ketertiban umum. Kontrak yang dibuat untuk causa yang dilarang tersebut adalah
tidak sah. Sehingga apabila tidak terpenuhinya syarat objektif suatu perjanjian
maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya bahwa dari semula perjanjian itu
dianggap tidak ada.
PROSES PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DI BPSK KOTA
MATAARAM
Proses penyelesaian sengketa konsumen di BPSK Kota Mataram dilakukan
dengan tiga cara, yaitu : 1. Konsiliasi; 2. Mediasi; 3. Arbitrase, yang awali dengan
adanya pengaduan dari konsumen baik secara lisan maupun tertulis. Tidak semua
pengaduan konsumen dapat diterima oleh BPSK Kota Mataram. Ada beberapa
bentuk pengaduan yang tidak dapat diterima oleh BPSK, yaitu: 1. Pengaduan
tersebut tidak disertai dengan bukti-bukti yang benar; 2. Tidak mengisi formulir
pengaduan secara lengkap dan benar; 3. Sengketa yang diadukan bukan
merupakan kewenangan BPSK; 4. Pengadunya bukan konsumen akhir (end
users),Pengaduan yang bersifat class action;5. Pengaduan yang bersifat legal
standing;6. Pengaduan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Jika pengaduan
diterima, pra sidang akan dilakukan dengan memanggil para pihak untuk memilih
cara penyelesaian yang diinginkan. Apabila tidak terjadi kesepakatan, BPSK tidak
vi
bisa melanjutkan pengaduan. Apabila terjadi kesepakatan maka akan berlanjut
pada sidang pertama hingga tahap putusan.
Terhadap putusan BPSK, terjadi kontradiksi antara Pasal 54 ayat (3) UUPK
dan Pasal 42 ayat (1) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
350/MPP/Kep/12/2001 menyebutkan bahwa putusan BPSK bersifat final dan
mengikat serta pelaksanaannya dapat dimintakan penetapan eksekusi pada
pengadilan negeri di tempat konsumen yang dirugikan. Sehingga tidak
dimungkinkan lagi untuk mengajukan banding atau keberatan. Sebaliknya, dalam
Pasal 56 ayat (2) UUPK, masih dibuka peluang untuk mengajukan keberatan
kepada pengadilan negeri, dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan BPSK
diberitahukan.
Menurut Wakil Ketua BPSK Kota Mataram Haerani5Pengajuan keberatan
terhadap putusan BPSK hanya diterapkan terhadap penyelesaian sengketa melalui
cara arbitrase saja, dan harus memenuhi persyaratan pembatalan putusan arbitrase
dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa. Hal ini didukung dengan dikeluarkannya
ketentuan dalam Pasal 6 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen. Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa:
“Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
5 Hasil wawancara dengan Haerani, selaku Wakil Ketua BPSK Kota Mataram, tanggal 3 Desember 2017 di sekretariat BPSK Kota Mataram.
vii
1) Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.
2) Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan.
3) Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa”.
HASIL PUTUSAN ARBITRASE BADAN PENYELESAIAN SENGKETA
KONSUMEN (BPSK) TENTANG LEMBAGA PEMBIAYAAN
Terkait dengan hasil putusan arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) tentang lembaga pembiayaan berdasarkanpada putusan
arbitrase BPSK Kota Mataram dengan perkara nomor 01/BPSK/I/2016 antara
Dedi Rizaldi dengan PT. Summit Oto Finance, yang pada pokoknya
sengketakonsumen timbul karena adanya pengalihan yang dilakukan oleh Linda
Tuti Erawati selaku debitur yang menandatangani kontrak dengan perusahaan
kepada Dedi Rizaldi. Sehingga setelah pelunasan dan konsumen hendak
melakukan pengambilan BPKB, perusahaan mempersulit konsumen dengan
alasan bahwa konsumen bukan merupakan pemilik dan nasabah sah yang
menandatangani kontrak dengan perusahaan. Karena aturan dalam pembiayaan,
pengambilan BPKB harus dilakukan oleh pemilik atas nama yang sah sesuai
dengan kontrak.
Berdasarkan perjanjian pembiayaan konsumen tersebut, tidak mengalihkan
kendaraan kepada pihak lain merupakan bentuk kewajiban debitur yang harus
dilakukan. Dan jika hal tersebut terjadi, maka jelas disebutkan dalam Pasal 10
Perjanjian Pembiayaan Konsumen di atas, merupakan bentuk cidera janji seorang
debitur. Sehingga konsekuensinya, kreditor secara sepihak dapat memutus kontrak
viii
dan kreditor berhak untuk menyatakan hutang menjadi jatuh tempo dan menuntut
pelunasan atau jika debitor tidak melunasi hutang, kreditur berhak menuntut
pengembalian atau mengambil kembali kendaraan dari debitor atau pemilik
jaminan atau pihak lain dengan cara langsung mengambil dari tempat dimana
kendaraan berada tanpa melalui suatu putusan atau penetapan pengadilan dan juga
tanpa melalui juru sita pengadilan atau peringatan lainnya. Terlebih jika
pengalihan yang dilakukan debitor tanpa sepengetahuan perusahaan dalam hal ini
finance.Sehingga, hal tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk cidera
janji/wanprestasi yang dilakukan oleh debitur.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ahyan selaku SPV SOF PT. Summit
Oto Finance Mataram, menyatakan bahwa:6
Kata “dialihkan” dalam perjanjian tersebut tidak hanya sebatas pada
pengalihan unit kendaraan bermotor saja, melainkan juga pengalihan secara
hukum yaitu pengalihan kredit maupun dokumen-dokumen kepemilikan. Pada
umumnyaover alih kredit oleh debitor diperbolehkan selama hal tersebut sesuai
dengan mekanisme yang seharusnya. Adapun mekanisme over alih kredit harus
dengan sepengetahuan kreditor dan dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis karena
nantinya proses pengalihan akan berakibat pada lahirnya perjanjian baru baik itu
perjanjian pokok maupun perjanjian fidusianya. Tetapi karena sifatnya perjanjian
ini melanjutkan, jadi debitor yang baru hanya melanjutkan kewajiban yang
diperjanjikan dalam perjanjian sebelumnya.
6 Hasil wawancara dengan Bapak Ahyan, selaku SPV SOF PT. Summit Oto Finance Mataram, tanggal 6 Desember 2017di Kantor PT. Summit Oto Finance Cabang Mataram
ix
Bapak Ahyan juga menjelaskan, bahwa perbedaannya, debitor yang baru
tidak dikenakan biaya-biaya seperti uang muka maupun biaya asuransi, debitur
hanya sebatas melanjutkan beban kewajiban debitur sebelumnya. Adapun
mekanismenya sebagai berikut: 1. Kedua belah pihak baik konsumen maupun
pihak yang akan menerima over alih harus melapor kepada perusahaan bahwa
akan dilakukannya over alih; 2. Kemudian konsumen diminta untuk membuat
pernyataan tentang pengalihan perjanjian pembiayaan tersebut; 3. Pihak yang
akan menerima over alih kredit akan di survey dan akan dilakukannya evaluasi; 4.
Setelah dilakukan survey, hasil survey akan masuk dalam analisa marketing, jika
memenuhi kriteria kredit maka over alih dapat dilakukan. Adapun syarat yang
harus dipenuhi yaitu: syarat administrasi berupa Kartu Tanda Penduduk(KTP),
Kartu Keluarga (KK) dan rekening listrik. Syarat subjektif berupa tolak ukur uji
kelayakan yang dilihat dari beberapa aspek seperti penghasilan dan karakter
nasabah; 5. Membuat perjanjian baru dengan konsumen yang baru, sehingga
secara otomatis nama pihak pertama akan di replace kepada pihak kedua.
Bapak Ahyan juga menambahkan, prihal perhitungan angsuran selanjutnya
di luar tanggung jawab perusahaan, artinya menjadi urusan pihak pertama dan
pihak kedua. Perusahaan hanya melanjutkan saja. Akibat over alih kredit tersebut,
maka semuanya akan beralih seutuhnya baik secara fidusia (didaftarkan dengan
akta fidusia yang baru) maupun perjanjian pokoknya (lahirnya perjanjian baru).
Lain halnya dengan fakta persidangan yang ditemukan di BPSK Kota
Mataram. Berdasarkan beberapa kasus yang disidangkan di BPSK Kota Mataram,
over alih kredit dilakukan oleh debitor secara lisan kepada pelaku usaha. Akan
x
tetapi, pelaku usaha tidak mengarahkan debitor untuk melakukan pengalihan
secara tertulis. Atas sepengetahuan pelaku usaha, pengalihan tetap dilaksanakan,
dimana aturannya jelas bahwa over alih kredit harus dilakukan secara tertulis.
Yang menjadi permasalahan untuk penerima over alih kredit ini, ketika pihak
kedua/ penerima over alih kredit melakukan pengambilan BPKB. Perusahaan
tidak akan memberikan BPKB tersebut karena pengambilan BPKB harus
dilakukan oleh pihak pertama yang menandatangani perjanjian dengan
perusahaan, sehingga pada sidang BPSK, debitor diminta perusahaan untuk
membuat surat pernyataan bahwasanya jika ada tuntutan balik dari pihak pertama
selaku debitor yang menandatangani perjanjian, pihak kedualah yang bertanggung
jawab.
BPSK Kota Mataram berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dan fakta
hukum yang diperoleh di persidangan memutuskan menerima gugatan penggugat
dan mengabulkan gugatan penggugat agar tergugat menyerahkan BPKB kepada
konsumen.
xi
III. PENUTUP
Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan di atas maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut: 1). Penyebab timbulnya sengketa konsumen yang
ditangani di BPSK Kota Mataram sebagian besar karena adanya wanprestasi dan
perbuatan melawan hukum. Dalam pelaksanaannya, terlepas apakah kesalahan
atau kelalaian ada pada pelaku usaha maupun konsumen, pelaku usaha tetap
berusaha bertanggung jawab dalam memberikan ganti rugi terhadap konsumen
sesuai dengan kerugian yang senyatanya berdasarkan pertimbangan yang layak
sepanjang kerugian konsumen tersebut disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan
pelaku usaha. Sebaliknya konsumen juga tetap berusaha dalam pemenunuhan
prestasinya. 2). Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 52 huruf (a) UUPK jo.
Pasal 26 sampai dengan Pasal 36 Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Republik Indonesia Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen,
yang merupakan hukum acara bagi BPSK Kota Mataram dalam menjalankan
proses penyelesaian sengketa. Penyelesaian Sengketa Konsumen dilakukan
dengan tiga cara, yaitu: a. Konsiliasi; b. Mediasi; c. Arbitrase. Kemudian terhadap
putusan BPSK menunjukkan kontradiksi antara Pasal 54 ayat (3) dan 56 ayat (2)
UUPK, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen. 3). Berdasarkan pertimbangan fakta hukum
xii
yang ditemukan dalam persidangan, BPSK Kota Mataram memutuskan gugatan
penggugat dapat diterima dan mengabulkan gugatan penggugat agar tergugat
menyerahkan BPKB kepada penggugat. Maka menurut ketentuan yang berlaku,
para pihak wajib menjalankan ketentuan dalam putusan sidang majelis BPSK.
Saran
Hendaknya konsumen lebih berhati-hati dan teliti dalam membeli,
mengkonsumsi maupun menggunakan barang/jasa dengan memperhatikan syarat-
syarat dan ketentuan yang berlaku dalam perjanjian, tidak melalaikan apa yang
telah disepakati bersama. Utamanya bagi konsumen pengguna jasa pembiayaan,
hendaknya dalam melakukan pengalihan/ over alih kredit membuat pernyataan
secara tertulis dan mengikuti mekanisme yang seharusnya. Sehingga konsumen
tidak pada posisi yang lemah. Sehingga konsumen tidak pada posisi yang lemah.
Sebaliknya terhadap pelaku usaha agar tetap memperhatikan apa yang menjadi
hak konsumen dan apa yang menjadi kewajiban dari pelaku usaha. Dan terhadap
kontradiksi Pasal 54 ayat (3) dengan Pasal 56 ayat (2) UUPK, hendaknya
pemerintah merevisi Pasal 54 dan Pasal 56 UUPK terutama ketentuan yang
mengatur mengenai pengajuan keberatan terhadap putusan BPSK yang bersifat
final dan mengikat, sehingga tidak adanya pertentangan aturan dan terciptanya
kepastian hukum yang melindungi konsumen maupun pelaku usaha.
xiii
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku, Majalah, dan Artikel
Meliala, Djaja S. Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan, CV.Nuansa Aulia, Bandung, 2007
Nahrowi.“Permasalahan Hukum Pembiayaan Leasing di Indonesia”, Jurnal Cita Hukum, Vol.1, No.1, Juni 2013 UIN Syarif Hidayatullah.
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013