fringe benefit
DESCRIPTION
fringe benefit tax planTRANSCRIPT
FRINGE BENEFIT
Lazimnya, pegawai mendapatkan imbalan berupa gaji dan imbalan lain baik yang berbentuk
uang maupun dalam bentuk remunerasi lainnya. Imbalan tersebut dikenal dengan istilah ‘benefit in
cash’ dan ‘benefit in kind’. Istilah yang pertama mengacu kepada gaji, tunjangan, dsb. yang
merupakan imbalan dalam bentuk kas baik diterima tunai, cek ataupun transfer rekening.
Sementara, istilah yang kedua mengacu kepada imbalan selain kas seperti barang, fasilitas, dan
semacamnya. Natura dan kenikmatan lebih mengacu kepada istilah kedua yang merupakan ‘benefit
in kind’ ataupun lazim dikenal dengan istilah lain berupa ‘fringe benefit’.
Pengertian fringe benefit adalah komponen imbalan jasa atau penghasilan yang tidak terkait
langsung dengan berat ringannya tugas jabatan dan prestasi kerja pegawai atau merupakan indirect
compensation (Wungu dan Brotoharsojo, 2003). Jadi kompensasi tidak langsung (fringe benefit)
merupakan kompensasi tambahan yang di berikan berdasarkan kebijaksanaan terhadap semua
karyawan dalam usaha meningkatkan kesejahteraan para karyawan.
Telah dikemukakan bahwa program kesejahteraan karyawan dapat diberikan secara materi
maupun nonmaterial. Kesejahteraan karyawan secara material berkaitan langsung dengan prestasi
karyawan, dan dapat diberikan berupa kompensasi, seperti uang transport, uang makan, uang
pensiun, tunjangan hari raya, uang jabatan, bonus, uang pendidikan, uang pengobatan, pakaian
dinas, uang cuti, dan uang kematian. Sedangkan kesejahteraan karyawan secara non material dapat
berupa pemberian fasilitas dan pelayan bagi karyawan seperti fasilitas yang di sediakan oleh pihak
perusahaan.
Bagi penerima natura dan/atau kenikmatan, imbalan tersebut jelas merupakan penghasilan
yang merupakan tambahan kemampuan ekonomis sesuai pasal 4(1) UU PPh. Akan tetapi, pasal 4(3)
huruf d UU PPh mengecualikan penghasilan tersebut dari objek pajak penghasilan. Dengan
demikian, walaupun imbalan tersebut merupakan penghasilan, akan tetapi bukan merupakan objek
pajak.
Pengecualian bukan objek pajak sesuai pasal 4(3) huruf d hanya terjadi apabila imbalan
tersebut diberikan oleh Wajib Pajak dan pemerintah. Sementara, natura dan/atau kenikmatan
tersebut akan menjadi objek pajak bagi penerima apabila diberikan oleh:
1. Bukan wajib Pajak
2. WP yang dikenakan Pajak secara final
3. WP yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sesuai pasal 15.
Karena pemberian imbalan ini merupakan biaya yang telah dikeluarkan oleh pemberi kerja,
maka isu yang timbul adalah apakah pengeluaran tersebut boleh dibiayakan menurut ketentuan
perpajakan. Berdasarkan pasal 6 ayat 1 UU PPh, pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan bisa dibiayakan untuk mengurangi penghasilan bruto. Pemberian imbalan
sehubungan dengan pekerjaan atau jasa selama berhubungan dengan mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan secara umum merupakan pengeluaran yang berhubungan dengan usaha
yang tentunya boleh dibiayakan.
Akan tetapi, secara khusus Pasal 9 ayat 1 huruf e UU PPh juga mengatur bahwa pengeluaran
dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan tersebut tidak boleh dibiayakan. Pasal 9 ayat 1 ini secara
spesifik membatasi pengeluaran atas biaya dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan sehingga pasal
6 ayat 1 yang bersifat umum tidak berlaku dalam hal ini.
Namun, pasal ini juga mengatur bahwa terdapat pengecualian atas pengeluaran yang tidak boleh
dibiayakan tersebut yaitu atas:
1. Penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai
2. Di daerah tertentu
3. Yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan
Pengecualian atas pasal 9(1)(e) ini menunjukkan bahwa atas pengeluaran yang ada di daftar
tersebut boleh dibiayakan. Hal tersebut diatur lebih detil pada Peraturan Menteri Keuangan nomor
83/PMK.03/2009. Apabila dilihat dari dua sisi yaitu dari sisi pemberi dan penerima, imbalan dalam
bentuk natura dan/atau kenikmatan ini saling berkaitan sehingga bisa dikatakan bahwa pasal 4(3)(d)
berhubungan dengan pasal 9(1)(e).
Dasar atas argumen ini adalah bahwa imbalan itu merupakan pengeluaran bagi pemberi dan
penghasilan bagi penerima. Terdapat 4 (empat) situasi yang akan dibahas. Pertama, tanpa adanya
pasal 4(3)(d) dan pasal 9(1)(e), maka imbalan tersebut akan merupakan penghasilan yang dikenai
pajak dan merupakan biaya bagi pemberi sehingga akan masuk kepada istilah yang lazim disebut
Deductable/taxable. Kedua, kalau hanya ada pasal 4(3)(d) saja tanpa 9(1)(e), maka akan terjadi
deductable/non taxable. Ketiga, kalau hanya ada pasal 9(1)(e) saja tanpa 4(3)(d), maka akan terjadi
situasi non deductable/taxable. Terakhir, pada praktiknya yang terjadi atas kedua pasal ini adalah
terjadinya situasi non deductable/non taxable.
1. Deductable/taxable
Situasi deductable/taxable berarti bahwa penghasilan dikenakan pajak pada pihak penerima
akan tetapi di sisi lain si pemberi diperbolehkan untuk mengurangkan biaya atas pengeluaran
tersebut untuk kepentingan penghitungan pajak bagi pihak pemberi. Sehingga disini pajak
dikenakan pada si penerima. Sebagai contoh adalah pemberian gaji karyawan dalam bentuk kas
yang dikenakan PPh atas karyawan (dipotong 21 dan kemudian dihitung ulang di SPT Tahunan),
sementara pemberi kerja mengurangkan biaya gaji dalam laporan keuangannya dan mengurangi
penghasilannya.
Berkenaan dengan pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan dalam bentuk natura atau
kenikmatan lain (fringe benefits), pemotongan Pajak Penghasilannya dapat ditentukan apakah pada
pihak yang memberikan (pemberi kerja) atau pada pihak yang menerima (karyawan). Dalam hal ini.
Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 menganut prinsip "deductibility-taxability" yaitu jika pada
pihak pemberi kerja pemberian tersebut boleh dikurangkan sebagai biaya, maka pada pihak
karyawan merupakan penghasilan yang dikenakan pajak. Sebaliknya, jika pada pihak karyawan
pemberian tersebut bukan merupakan penghasilan, maka pada pihak pemberi kerja tidak dapat
dikurangkan sebagai biaya. Atas aliran arus tambahan kemampuan ekonomi ini Undang-Undang
menentukan, bahwa pengenaan Pajak Penghasilan atas fringe benefits adalah pada pihak pemberi
kerja, dan dengan demikian pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan tersebut tidak boleh
dikurangkan sebagai biaya, dan pihak karyawan yang menerima dibebaskan dari pengenaan Pajak
Penghasilan, karena sudah dikenakan pada pemberi kerja.
2. Non deductable/non taxable
Situasi non deductable/ nontaxable adalah kebalikan dari situasi deductable/taxable dimana
disini beban pajak dialihkan dari sisi si penerima menjadi tanggungan si pemberi. Hal ini terjadi
karena atas penghasilan si penerima tidak dikenai pajak, sementara si pemberi tidak boleh
mengurangkan biaya tersebut sebagai pengurang penghasilan. Dengan tidak mengurangkan sebagai
biaya, maka pemberi penghasilan menanggung biaya sejumlah natura dan/atau kenikmatan yang
diberikan dan tambahan pajak atas tidak boleh dibiayakannya pengeluaran tersebut
Dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e Undang-undang PPh menyebutkan : Untuk menentukan
besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh
dikurangkan:
“Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam
bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai
serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang
berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan”
3. Non deductable/taxable
Situasi non deductable/taxable berarti bahwa penghasilan dikenai pajak pada sisi penerima
dan tidak boleh dibiayakan dari sisi pemberi. Dari sisi pemberi, dengan tidak bisa dibiayakan, maka
pemberi juga akan menanggung pajak karena adanya koreksi positif atas biaya tersebut. Sehingga,
secara aliran kas, si pemberi kehilangan biaya atas pengeluaran dan harus menambah jumlah pajak.
Situasi ini akan menimbulkan terjadinya pajak berganda. Pemberian natura pada karyawan oleh
perusahaan yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan yang dikenakan Pajak
Penghasilan berdasrakan norma penghasilan khusus (deemed profit) pemberian tersebut taxable
bagi karyawan tetapi non deductable bagi perusahaan
4. Deductable/ non taxable
Situasi deductable/ non taxable berarti bahwa penghasilan tidak dikenai pajak di sisi penerima
tetapi boleh dibiayakan pada sisi si pemberi. Implikasi dari situasi ini adalah tidak adanya pajak
yang dikenakan atas penghasilan tersebut, baik dari sisi penerima maupun dari sisi si pemberi.
Sebagai contoh adalah pemberian zakat dan sumbangan keagamaan wajib yang bukan merupakan
penghasilan bagi penerima dan boleh dibiayakan bagi si pemberi.
Hal ini sesuai dengan PMK NO 83/PMK.03/2009 pasal 2 yaitu Pemberian natura dan
kenikmatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan merupakan
penghasilan bagi Pegawai yang menerimanya adalah:
a) Pemberian atau penyediaan makanan dan/ atau minuman bagi seluruh pegawai yang
berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan.
b) Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan
dengan pelaksanaan pekerjaan di daerrlh tertentu dalam rangka menunjang kebijakan
pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah tersebut.
c) Pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan
sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya.
Sumbangan-sumbangan yang disebutkan dalam pasal 6 ayat (1) huruf i, j, k, l dan m UU PPh
serta zakat dan sumbangan wajib keagamaan lain yang diatur dalam peraturan pemerintahan
merupakan deductable bagi perusahaan namun disisi lain yaitu penerima bukan objek pajak (non
taxable).
A. Natura
Definisi natura menurut Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-03/PJ.23/1984 tentang
pengertian kenikmatan dalam bantuk natura (seri PPh pasal 21-02), kenikmatan dalam bentuk
natura adalah setiap balas jasa yang diterima atau diperoleh pegawai, karyawan, atau karyawati dan
atau keluarganya tidak dalam bentuk uang dari pemberi kerja. Di dalam Undang Undang Pajak
Penghasilan 1984 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang – Undang
Nomor 36 tahun 2008 istilah natura dapat dilihat di pasal – pasal berikut ini :
a) Pasal 4 (3) huruf d
Yang dikecualikan dari objek pajak diantaranya adalah penggantian atau imbalan
sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura
dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan
Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang
menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15;
b) Pasal 9 ayat 1
Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan :
Huruf e
penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam
bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh
pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah
tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang imbalan natura diantaranya adalah
sebagai berikut :
a) Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor PMK-83/PMK.03/2009 tentang. Penyediaan
Makanan dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai Serta Penggantian atau Imbalan dalam
Bentuk Natura dan Kenikmatan di Daerah Tertentu dan yang Berkaitan Dengan
Pelaksanaan Pekerjaan yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja;
Berdasarkan pasal-pasal yang terdapat di dalam Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor
PMK-83/PMK.03/2009 dapat diambil beberapa intisarinya sebagai berikut :
Pemberian natura dan kenikmatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan bagi Pegawai yang menerimanya adalah
:
1) Pemberian atau penyediaan makanan dan/atau minuman bagi seluruh Pegawai
yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan. Khusus untuk pegawai yang tidak
dapat menikmati makanan dan atau minuman tersebut di tempat kerja maka dapat
diberikan dalam bentuk kupon, meliputi pegawai bagian pemasaran, transportasi,
serta pegawai dinas luar lainnya.
2) Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan
berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu dalam rangka
menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah
tersebut. Natura tersebut adalah sarana dan fasilitas di lokasi kerja untuk :
1. tempat tinggal, termasuk perumahan bagi Pegawai dan keluarganya;
2. pelayanan kesehatan;
3. pendidikan bagi Pegawai dan keluarganya;
4. peribadatan;
5. pengangkutan bagi Pegawai dan keluarganya;
6. olahraga bagi Pegawai dan keluarganya tidak termasuk golf, power
boating, pacuan kuda, dan terbang layang, sepanjang sarana dan fasilitas
tersebut tidak tersedia, sehingga pemberi kerja harus menyediakannya
sendiri.
Daerah tertentu adalah daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang
layak dikembangkan tetapi keadaan prasarana ekonomi pada umumnya kurang
memadai dan sulit dijangkau oleh transportasi umum, baik melalui darat, laut
maupun udara, sehingga untuk mengubah potensi ekonomi yang tersedia menjadi
kekuatan ekonomi yang nyata, penanam modal menanggung risiko yang cukup
tinggi dan masa pengembalian yang relatif panjang, termasuk daerah perairan laut
yang mempunyai kedalaman lebih dari 50 (lima puluh) meter yang dasar lautnya
memiliki cadangan mineral.
3) Pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan
pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut
mengharuskannya. Natura tersebut meliputi pakaian dan peralatan untuk
keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (satpam), sarana antar
jemput Pegawai, serta penginapan untuk awak kapal, dan yang sejenisnya.
b) Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 252/PMK.03/2008
Pasal 5 (2) : Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 termasuk pula
penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam
bentuk apapun yang diberikan oleh:
1) Bukan Wajib pajak;
2) Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
3) Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan
khusus (deemed profit).
Dari peraturan – peraturan tersebut di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa natura dan
kenikmatan dari sisi biaya dapat dikelompokan menjadi dua yaitu natura yang sifatnya deductible
expense (diperbolehkan untuk dibiayakan) serta natura yang sifatnya non deductible expense (tidak
diperbolehkan menjadi biaya). Natura yang sifatnya deductible expense adalah pemberian makanan
dan atau minuman untuk seluruh pegawai, natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan
dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah
untuk mendorong pembangunan di daerah tersebut, dan natura dan kenikmatan yang merupakan
keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat
pekerjaan tersebut mengharuskannya. Pemberian natura dan kenikmatan di luar tiga hal tadi
merupakan non deductible expense.
Natura dari sisi penghasilan dapat dikelompokan menjadi natura yang taxable (terutang pajak
penghasilan) dan natura yang non taxable (tidak terutang pajak penghasilan). Natura sebagai
penghasilan yang sifatnya taxable (terutang pajak penghasilan) adalah penerimaan dalam bentuk
natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh
bukan Wajib pajak, Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau Wajib
Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit).
Kelompok Natura Bagi pemberi kerja Bagi pegawai Keterangan
Natura (secara umum) Non Deductible expense Non Taxable Misalnya beras, sembako dll.
Natura yg dikecualikan Deductible expense Non Taxable Makan/minum seluruh pegawai, natura
di daerah tertentu, natura wajib dalam
pelaksanaan kerja
Natura (khusus) Non Deductible expense Taxable (PPh
pasal 21)
Natura yang diberikan oleh bukan Wajib
Pajak, WP Final, WP norma
khusus/deemed profit
B. Tunjangan
Di dalam Undang Undang Pajak Penghasilan 1984 sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang – Undang Nomor 36 tahun 2008 istilah tunjangan dapat kita temui di pasal
4 ayat(1) a, yang menyatakan bahwa yang menjadi objek pajak adalah penghasilan termasuk
diantaranya penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk diantaranya gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang PPh.
Tunjangan merupakan salah satu bentuk penghasilan yang diberikan oleh pemberi kerja kepada para
pegawai tetap yang bersifat teratur dan tidak teratur, hal ini dapat dilihat di pasal 1 Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas
Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, dinyatakan di
nomor 15 bahwa Penghasilan Pegawai Tetap yang Bersifat Teratur adalah penghasilan bagi
pegawai tetap berupa gaji atau upah, segala macam tunjangan, dan imbalan dengan nama apapun
yang diberikan secara periodik berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh pemberi kerja, termasuk
uang lembur. Selain itu dinyatakan pula di di pasal 1 nomor 16 Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 252/PMK.03/2008 bahwa penghasilan pegawai tetap yang Bersifat Tidak Teratur adalah
penghasilan bagi pegawai tetap selain penghasilan yang bersifat teratur, yang diterima sekali dalam
satu tahun atau periode lainnya, antara lain berupa bonus, Tunjangan Hari Raya (THR), jasa
produksi, tantiem, gratifikasi, atau imbalan sejenis lainnya dengan nama apapun. Dengan demikian
daat ditarik kesimpulan bahwa penghasilan dalam bentuk tunjangan dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu tunjangan yang sifatnya teratur dan tunjangan yang sifatnya tidak teratur.
Beberapa contoh pemberian tunjangan oleh pemberi kerja dapat dilihat dalam tabel berikut:
Kelompok Tunjangan Nama Tunjangan
Bersifat Teratur Tunjangan Kesehatan
Bersifat Teratur Tunjangan PPh 21
Bersifat Teratur Tunjangan Beras
Bersifat Tidak Teratur Tunjangan Hari Raya (THR)
Pada sisi yang lain pemberian tunjangan oleh pemberi kerja merupakan biaya untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, hal ini dapat kita lihat di pasal 6 ayat 1
Undang Undang Pajak Penghasilan 1984 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang – Undang Nomor 36 tahun 2008, dinyatakan bahwa biaya yang secara langsung atau tidak
langsung berkaitan dengan kegiatan usaha diantaranya adalah biaya berkenaan dengan pekerjaan
atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam
bentuk uang.
Dari peraturan-peraturan pajak tersebut di atas kita dapat menyimpulkan bahwa segala macam
tunjangan merupakan penghasilan bagi pegawai tetap dan sifatnya taxable atau terutang serta wajib
dipotong Pajak Penghasilan. Tunjangan yang diberikan oleh pemberi kerja adalah biaya yang
diperbolehkan menjadi pengurang penghasilan bruto karena merupakan biaya untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan.
Jenis Tunjangan Bagi pemberi kerja Bagi pegawai Keterangan
Tunjangan Kesehatan Deductible Expense Taxable Dipotong pph pasal 21
Tunjangan Transport Deductible Expense Taxable Dipotong pph pasal 21
Tunjangan Jabatan Deductible Expense Taxable Dipotong pph pasal 21
C. Natura Yang Diberikan Dalam Bentuk Tunjangan
Dengan pertimbangan dan dalam kondisi tertentu, pihak pemberi kerja lebih cenderung
memilih pemberian penghasilan kepada pegawainya dalam bentuk tunjangan dibanding diberikan
dalam bentuk natura dan kenikmatan. Pertimbangan utamanya adalah berkaitan dengan pengakuan
biaya secara aturan pajak. Pemberian dalam bentuk tunjangan kepada para pegawai dapat diakui
sebagai pengurang penghasilan bruto untuk menghitung pajak penghasilan, sedangkan jika
diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan (yang bersifat umum) maka pengeluaran tersebut
tidak diperbolehkan menjadi pengurang penghasilan bruto. Beberapa contoh pemberian
penghasilan kepada para pegawai dalam bentuk tunjangan atau natura berikut sifatnya dari sisi
biaya dan penghasilan dapat dilihat pada tabel berikut:
Jenis Penghasilan Bagi pemberi kerja Bagi pegawai Keterangan
Beras Non Deductible Expense Non Taxable Tidak Dipotong pph pasal 21
Tunjangan Beras Deductible Expense Taxable Dipotong pph pasal 21
PPh 21 ditanggung perusahaan Non Deductible Expense Non Taxable Tidak Dipotong pph pasal 21
Tunjangan PPh 21 Deductible Expense Taxable Dipotong pph pasal 21
Pengobatan Cuma-cuma Non Deductible Expense Non Taxable Tidak Dipotong pph pasal 21
Tunjangan Kesehatan Deductible Expense Taxable Dipotong pph pasal 21
Natura yang diberikan dalam bentuk tunjangan jika berpatokan pada pasal 1 nomor 15 dan 16
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan
Pajak atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi adalah
bahwa segala macam tunjangan merupakan penghasilan yang diberikan oleh pemberi kerja kepada
pegawai tetap yang bersifat teratur maupun tidak teratur. Jika pemberi kerja memberikan
penghasilan berupa tunjangan kepada penerima penghasilan yang merupakan bukan pegawai maka
itu tidak dapat dibenarkan.
Jika kita kembali pada cerita fiktif di atas, pemberian hadiah berupa uang kepada pegawai
tetap yang menikah dapat diberi nama tunjangan misalnya tunjangan kesejahteraan maka sifatnya
deductible expense. Jika pemberi kerja memberikan hadiah perkawinan kepada selain pegawai tetap
kemudian diberi nama tunjangan maka pemberian tunjangan tersebut merupakan biaya yang tidak
diperbolehkan menjadi pengurang penghasilan bruto atau biaya yang non deductible expense karena
sifatnya merupakan sumbangan.