gambaran pola asuh pada baduta stunting...
TRANSCRIPT
i
GAMBARAN POLA ASUH PADA BADUTA STUNTING USIA 13-24
BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS NEGLASARI KOTA
TANGERANG TAHUN 2015
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh :
AL KAHFI
1111101000112
PEMINATAN GIZI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H / 2015 M
i
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Oktober 2015
Al Kahfi
ii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN GIZI
Skripsi, Oktober 2015
Al Kahfi, NIM: 1111101000112
Gambaran Pola Asuh pada Baduta Stunting Usia 13-24 Bulan di Wilayah
Kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang Tahun 2015
xix + 188 halaman, 4 tabel, 2 bagan, 1 diagram, 1 gambar, 5 lampiran
ABSTRAK
Stunting adalah bentuk dari proses pertumbuhan yang terhambat dan merupakan
masalah gizi yang perlu mendapat perhatian serta menjadi salah satu masalah
utama kesehatan masyarakat di Indonesia. Pola asuh merupakan salah satu faktor
yang dapat menyebabkan masalah gizi seperti stunting karena balita masih
tergantung terhadap pola asuh yang diterapkan keluarga dalam pemenuhan
makanan dan perawatan kesehatannya.
Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran pola asuh balita stunting usia 13-24
bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif yang dilakukan pada bulan Mei sampai Juli 2015 dengan
melakukan wawancara mendalam, observasi dan telaah dokumen. Informan dalam
penelitian ini adalah pengasuh utama, informan keluarga, kader posyandu, dan
TPG puskesmas.
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar ibu tidak memberikan ASI
eksklusif. Hal menarik yang ditemukan dalam penelitian ini yaitu, terdapat ibu
yang memberikan ASI eksklusif kepada anaknya karena sering mendapatkan
nasihat dari saudaranya yang merupakan kader posyandu. Pemberian makan balita
kurang baik dari variasi, porsi, dan frekuensi makan ditambah lagi dengan
kebiasan jajan anak yang jika tidak dituruti akan menangis. Hal menarik juga
ditemukan dalam perilaku pemberian makan dimana ketika jadwal makan anak,
ibu belum menyiapkan makanan tersebut sehingga anak menangis dan diberikan
jajan oleh ibu atau pengasuhnya. Ketika ibu memberikan makan kepada anak,
anak menjadi tidak mau karena sudah merasa kenyang dengan jajanan yang lebih
iii
banyak mengandung karbohidrat dan penyedap rasa. Penyiapan dan penyimpanan
makanan secara umum kurang baik mulai dari penyajian makan, kebersihan
individu dalam menyiapkan makanan, pemasakan, penyimpanan, dan kebiasaan
membeli makanan dari luar untuk anak. Namun terdapat perilaku baik yaitu
peralatan masak dan makan selalu dicuci terlebih dahulu kemudian ada yang
merebusnya sebelum digunakan. Perilaku pencegahan anak terhadap penyakit
kurang baik karena sebagian besar informan membiarkan anaknya main begitu
saja tanpa pengawasan. Pemberian imunisasi sudah baik namun ketika anak sakit
masih ada informan yang melakukan cara sederhana untuk mengobati anak.
Perilaku pencarian layanan kesehatan sudah baik dimana Sebagian besar informan
rutin membawa anaknya ke posyandu. Perilaku higiene dan sanitasi lingkungan
terlihat kurang baik dari sisi membersihkan kotoran anak, cuci tangan sebelum
makan, keberadaan kakus, hewan peliharaan di sekitar rumah, pengelolaan
sampah, upaya ibu menjaga anak tetap bersih, dan lingkungan anak bermain.
Namun untuk sumber air bersih, seluruh informan sudah memilikinya walaupun
ada yang tidak bisa diminum. Untuk minum, seluruh informan menggunakan air
isi ulang. Perawatan ibu ketika hamil secara umum sudah baik dalam hal
pemeriksaan kandungan, konsumsi tablet Fe, dan imunisasi TT. Terdapat
informan yang memiliki aktivitas berat selama kehamilan, seperti biasa, dan tidak
melakuakan aktivitas apapun.
Berdasarkan hasil penelitian disarankan kepada ibu atau pengasuh yang memiliki
baduta atau balita untuk rutin datang ke posyandu dan memberikan makanan
dengan memperhatikan variasi, porsi dan frekuensi yang sesuai dengan umur
anak. Ibu atau pengasuh perlu memperhatikan jadwal makan anak agar tidak
berbarengan ketika anak sedang jajan. Untuk mengatasi sulit makan pada anak,
ibu atau pengasuh perlu membuat warna dan bentuk yang menarik pada makanan.
Selain itu ibu atau pengasuh juga harus memperhatikan cara menyimpan makanan
agar tidak tercemar debu atau bakteri serta memperhatikan kebersihan anak baik
ketika bermain, makan, tidur, ataupun yang lainnya. Dalam mengatasi masalah
sampah yang masih banyak berserkan dan dibuang sembarangan, Pihak
puskesmas perlu berkoordinasi dengan kelurahan setempat dan masyarakat untuk
mengatasi masalah tersebut. Disarankan kepada pihak puskesmas untuk
memberikan pengetahuan mengenai stunting kepada kader posyandu.
Dibutuhkannya peran aktif kader posyandu dalam mensosialisasikan jadwal
posyandu kepada masyarakat. Selain itu kader juga perlu memberika pengetahuan
kepada masyarakat tentang apa itu ASI eksklusif dan manfaatnya baik bagi anak
ataupun ibu sendiri dengan cara penyampaian pesan yang ramah.
Daftar bacaan : 103 (1981-2015)
iv
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM
NUTRITION DEPARTEMENT
Undergraduate Thesis, October 2015
Al Kahfi, NIM : 1111101000112
A Picture Of Parenting Pattern Stunting Toddler Age 13-24 Months in
Puskesmas Neglasari Tangerang City in 2015
xix + 188 pages, 4 tables, 2 charts, 1 diagram, 1 picture, 5 attachments
ABSTRACT
Stunting is a form of stunted growth process and a nutritional problems that need
attention and become one of the major public health problem in Indonesia.
Parenting is one of the factors that can cause nutritional problems such as stunting
for children under five that still depend on the upbringing applied to the family in
the fulfillment of food and medical care.
This study aims to determine a picture of stunting parenting toddlers aged 13-24
months in Puskesmas Neglasari. This study used a qualitative approach conducted
from May to July 2015 with in-depth interviews, observation and document
analysis. Informants of this study are primary caregivers, family informants,
posyandu cadres, and TPG health centers.
The results showed most mothers do not breastfeeding exclusively. Interesting
things found in this research, there are mothers who exclusively breastfed to their
children as they often get advice from a cadre's brother. Feeding infants less well
than variety, portions, and the frequency of eating habits plus a snack children
will cry if not obeyed. Another interesting thing is also found in feeding behavior
whereby when the child's eating schedule, the mother had not prepared the food so
that the child was crying and no allowance is given to mothers or guardians.
When the mother feeding the child, the child becomes unwilling because they feel
full with snacks that contain more carbohydrates and flavorings. Preparation and
storage of food in general are not good from the presentation of food, the
cleanliness of the individual food preparation, cooking, storage, and their habit by
buying food from outside to their children. But there is good behavior, namely
cookware and eating always washed first and then there are boiling before use.
Prevention behaviors of children against the disease is less, because most of the
v
informants let their children plays it out of from their sight. Immunizations are
good, but when the child is sick, informants need to perform a simple way to
treat a child.
Healthcare-seeking behavior has been well, whereas the majority of informants
routinely bring their children to Posyandu. Environmental hygiene and sanitation
behavior looks less, in terms of cleaning up the child, washes the hands before
eating, where latrines, pets around the house, waste management, efforts to keep
the child's mother kept clean, and the neighborhood where the children plays. But
for a clean water source, the entire informant already have it eventhough is not
drinkable. To drink, all informants using water refills. Nursing mothers during a
pregnancy in general has been well, in terms of prenatal consumption of iron
tablet, and TT. There are informants who have heavy activity during pregnancy,
as usual, and not doing any activity.
Based on the research results suggested to the health centers and neighborhood
health center to provide counseling about the Cleanliness and Healthyness
Behavior to the public.
Based on the research, suggested to the mother or caregiver who has baduta or
toddler to regularly come to Posyandu and provide food to look at the variation,
the portion and frequency appropriate to the child's age. Mothers or caregivers
need to pay attention to the meal schedule so as not to coincide child when the
child is eating snacks. To overcome the difficulty eating in children, mother or
caregiver needs to make colors and interesting shapes on food. Besides the mother
or caregiver must also consider how to store food that is not contaminated with
dust or bacteria as well as observing good hygiene when children play, eat, sleep,
or the other. In addressing the problem of waste is still a lot of scattered and
discarded carelessly, Parties health centers need to coordinate with the local
village and community to resolve the issue. Suggested to the clinic to provide
knowledge about the cadre's stunting. Cadre's need for an active role in
disseminating to the public posyandu schedule. In addition cadres also need about
providing knowledge to the public about what it is and the benefits of exclusive
breastfeeding for a child or a mother herself with a friendly way of delivering
messages.
Reading list : 103(1981-2015)
vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Judul Skripsi
GAMBARAN POLA ASUH PADABADUTA STUNTING USIA 13-24
BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS NEGLASARI KOTA
TANGERANG TAHUN 2015
Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, September 2015
Oleh
Al Kahfi
NIM : 1111101000112
Mengetahui,
Pembimbing I Pembimbing II
Ratri Ciptaningtyas, MHS Catur Rosidati, MKM
NIP. 19840404 200912 2 007 NIP. 197502102 0081 2 013
vii
viii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Al Kahfi
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat Tanggal Lahir : Tangerang, 04 Oktober 1992
Agama : Islam
Alamat : Jalan Mushollah Al Hidayah Kampung Dongkal RT
007/03 Kelurahan Cipondoh Indah Kecamatan
Cipondoh Kota Tangerang
PENDIDIKAN FORMAL
1. 1999-2005 : MI Jamiatul Gulami Gondrong, Cipondoh
2. 2005-2008 : MTsN 8 Jakarta Barat
3. 2008-2011 : SMAN 94 Jakarta Barat
4. 2011-Sekarang : Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
ix
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah Subhaanahuu Wata‟aalaa yang
senantiasa memberikan limpahan rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “ Gambaran Pola Asuh pada
Baduta stunting usia 13-24 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Neglasari
Kota Tangerang Tahun 2015 ”. Shalawat dan salam penulis mohonkan kepada
Allah Subhaanahuu Wata‟aalaa, semoga selalu diberikan kepada Nabi
Muhammad Shallallaahu „Alaihi Wasallam beserta keluarga dan umatnya.
Aamiin.
Tidak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu tersusunnya laporan ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tuaku tercinta yang selalu mendoakan kebaikan untuk anaknya
2. Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M. Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Ib Fajar Ariyanti, SKM, M.Kes, P.hD selaku Kepala Program Studi
Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Febrianti, Msi, selaku penanggung jawab peminatan gizi
5. Ibu Ratri Ciptaningtyas, SKM, MHS, selaku dosen pembimbing I yang sangat
banyak membantu dalam penulisan skripsi ini.
6. Ibu Catur Rosidati, MKM, selaku dosen pembimbing II yang telah
memberikan arahan dengan sangat baik.
x
7. Ibu Ratna Juwita, AMG, yang telah memberikan banyak masukan dan
koreksi dalam dalam proses penelitian ini.
8. Semua staff Puskesmas Neglasari yang telah membantu penulis selama
kegiatan magang.
9. Semua baduta dan kelauarganya yang telah bersedia untuk menjadi informan
dalam penelitian ini.
10. Teman-teman yang telah membantu mulai dari pembuatan surat izin sampai
penyusunan skripsi ini.
11. Semua pihak yang telah membantu, yang tidak dapat penulis sebutkan satu-
persatu. Terima kasih.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini sangat kurang dari sempurna, sehingga
penulis mengharapkan kritik dan saran yang diberikan. Semoga laporan ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak. Aamiin.
Jakarta, Oktober 2015
Penulis
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................................... i
ABSTRAK .................................................................................................................... ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN .............................................................................. vi
RIWAYAT HIDUP PENULIS .................................................................................... viii
KATA PENGANTAR .................................................................................................. ix
DAFTAR ISI ................................................................................................................. xi
DAFTAR TABEL ........................................................................................................ xv
DAFTAR BAGAN ........................................................................................................ xvi
DAFTAR DIAGRAM .................................................................................................. xvii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................ xix
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 11
1.2 Pertanyaan Penelitian ................................................................................. 11
1.4 Tujuan Penelitian ....................................................................................... 12
1.4.1 Tujuan Umum ................................................................................ 12
1.4.2 Tujuan Khusus ............................................................................... 12
1.5 Manfaat Penelitian ..................................................................................... 13
1.6 Ruang Lingkup Penelitian .......................................................................... 14
xii
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stunting ...................................................................................................... 15
2.1.1 Pengertian ....................................................................................... 15
2.1.2 Dampak Stunting ............................................................................ 15
2.1.3 Penyebab ........................................................................................ 15
2.2 Pola Asuh ...................................................................................................... 18
2.2.1 Pemberian ASI Eksklusif ............................................................... 20
2.2.2 Pemberian MP ASI ....................................................................... 21
2.2.3 Peyiapan dan Penyajian Makan ..................................................... 27
2.2.4 Praktik Kesehatan dasar ................................................................. 30
2.2.5 Pencarian Layanan Kesehatan........................................................ 33
2.2.6 Praktik Higiene dan Sanitasi Lingkungan ...................................... 35
2.2.7 Perawatan Ibu ketika Hamil .......................................................... 39
2.2.8 Perawatan Psikososial dan Stimulasi Kognitif .............................. 44
2.3 Argumentasi Pemilihan Desain dan Analisis Informan ............................. 45
2.4 Kerangka Teori ......................................................................................... 46
BAB III KERANGKA PIKIR DAN DEFINISI ISTILAH
3.1 Kerangka Pikir ......................................................................................... 48
3.1 Definisi Istilah .......................................................................................... 50
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Metode Penelitian ..................................................................................... 52
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................. 52
xiii
4.3 Informan Penelitian .................................................................................. 52
4.4 Pengumpulan Data ..................................................................................... 54
4.4.1 Sumber Data ................................................................................ 54
4.4.2 Instrumen Penelitian ..................................................................... 55
4.5 Analisis Data ............................................................................................. 55
4.6 Validasi Data ............................................................................................ 56
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ........................................................ 58
5.2 Karakteristik Informan .............................................................................. 60
5.2.1 Informan Utama ........................................................................... 60
5.2.2 Informan Pendukung ................................................................... 62
5.3 Gambaran Pola Asuh ................................................................................ 63
5.3.1 Pemberian ASI Eksklusif ............................................................. 63
5.3.2 Pemberian MP-ASI ..................................................................... 67
5.3.3 Penyiapan dan Penyimpanan Makanan ....................................... 75
5.3.4 Praktik Kesehatan Dasar .............................................................. 81
5.3.5 Pola Pencarian Layanan Kesehatan ............................................. 87
5.3.6 Praktik Higiene dan Sanitasi Lingkungan .................................. 91
5.3.7 Perawatan Ibu ketika Hamil ......................................................... 100
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian ............................................................................. 111
6.2 Karakteristik Informan Utama .................................................................. 112
xiv
6.3 Pola Asuh
6.3.1 Pemberian ASI Eksklusif ............................................................. 117
6.3.2 Pemberian MP-ASI ...................................................................... 124
6.3.3 Penyiapan dan Penyimpanan Makanan ....................................... 132
6.3.4 Praktik Kesehatan Dasar .............................................................. 141
6.3.5 Pola Pencarian Layanan Kesehatan ............................................. 149
6.3.6 Praktik Higiene dan Sanitasi Lingkungan ................................... 157
6.3.7 Perawatan Ketika Ibu Hamil ........................................................ 163
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan ................................................................................................... 172
7.2 Saran ......................................................................................................... 175
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 180
LAMPIRAN
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Validasi Data 57
Tabel 5.1 Karakteristik Informan Utama 61
Tabel 5.2 Informan Keluarga 62
Tabel 5.3 Informan Kader Posyandu 63
xvi
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Kerangka Teori 47
Bagan 3.1 kerangka Teori 49
xvii
DAFTAR DIAGRAM
Diagram 5.1 Kunjungan Pasien Berdasarkan Jenis Pekerjaan 59
xviii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 5.1 Peta Kerawanan Pangan Kecamatan di Kota Tangerang 60
xix
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Izin Penelitian
2. Pedoman Wawancara Mendalam
3. Pedoman Observasi
4. Matriks Wawancara Mendalam
5. Matriks Hasil Observasi
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Stunting merupakan bentuk dari proses pertumbuhan yang
terhambat, dan merupakan salah satu masalah gizi yang perlu mendapat
perhatian (Picauly dan Toy, 2013). Masalah pendek (stunting) pada anak
akan menghambat perkembangan, dampak negatif ini akan berlanjut
dalam kehidupan setelahnya. Hal ini karena sekitar 70% pembentukan sel
otak terjadi sejak janin masih dalam kandungan hingga anak berumur 2
tahun. Jika otak mengalami gangguan pertumbuhan maka jumlah sel otak,
serabut sel dan penghubung sel otak akan berkurang. Hal ini menyebabkan
penurunan intelegensia, bila mencari pekerjaan maka peluang gagal tes
wawancara menjadi lebih besar, tidak mendapat pekerjaaan yang baik dan
akan menyebabkan penghasilan yang rendah serta tidak dapat mencukupi
kebutuhan pangan. Selain itu, dari aspek estetika, anak yang tumbuh
proporsional akan kelihatan lebih menarik dari anak yang pendek (Depkes,
2012).
Stunting merupakan indikator keberhasilan, kesejahteraan,
pendidikan dan pendapatan masyarakat (Depkes, 2012). Faktor asupan
makanan, pola asuh dan kesehatan yang diperoleh ibu dan anak-anaknya
memiliki dampak besar bagi kesehatan dan kesejahteraan mereka di masa
mendatang (Bappenas, 2013). Stunting memiliki dampak yang sangat luas
2
mulai dari sisi ekonomi, kecerdasan, dan kualitas yang berpengaruh
terhadap masa depan anak. Studi yang telah dilakukan menunjukkan
bahwa anak yang pendek sangat erat hubungannya dengan prestasi di
sekolah yang buruk. Anak – anak yang pendek memiliki risiko yang lebih
besar untuk tumbuh menjadi orang dewasa yang kurang berpendidikan,
miskin, kurang sehat dan lebih rentan terhadap penyakit tidak menular
(Unicef Indonesia, 2012).
Stunting merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di
Indonesia. Secara nasional prevalensi pendek pada tahun 2013 mencapai
37.2%. Angka ini lebih besar dari tahun 2010 sebesar 35.6% dan tahun
2007 sebesar 36.8%. Di Provinsi Banten, pada tahun 2007, 2010 dan 2013
prevalensi stunting masih berada diatas 30% (Depkes, 2013). Sementara
itu berdasarkan Riskesdas Provinsi Banten tahun 2007, di Kota Tangerang
prevalensi stunting sebesar 30.1% (Depkes, 2007). Jika dibandingkan
dengan batas non public health problem yang ditetapkan WHO untuk
masalah kependekan sebesar 20%, maka Kota Tangerang masih dalam
kondisi bermasalah kesehatan masyarakat (Depkes, 2010).
Penelitian Hanum dkk (2014), menunjukkan bahwa stunting lebih
banyak terjadi pada usia 48-59 bulan dengan proporsi sebesar 29.8%.
Keadaan ini mengindikasikan semakin bertambahnya umur anak, maka
akan semakin jauh dari pertumbuhan linear normal. Keadaan ini diduga
karena semakin tinggi usia anak maka kebutuhan energi dan zat gizi
semakin meningkat. Pertumbuhan anak akan semakin menyimpang dari
normal jika umur terus bertambah dan penyediaan makanan baik kuantitas
3
maupun kualitas tidak memadai. Sementara itu penelitian Zottarelli dkk
(2007), menunjukkan bahwa anak-anak yang berusia lebih dari 12 bulan
memiliki peluang lebih besar terkena stunting daripada anak yang berusia
dibawah 12 bulan.
Masalah gizi khususnya stunting pada balita disebabkan asupan
makan yang kurang memadai dan penyakit yang merupakan penyebab
langsung masalah gizi pada anak. Keadaan tersebut terjadi karena praktik
pemberian makan yang tidak tepat, penyakit infeksi yang berulang,
perilaku kebersihan dan pengasuhan yang buruk. Pada intinya, semua ini
disebabkan karena faktor kurangnya pendidikan dan pengetahuan
pengasuhan anak, penggunaan air yang tidak bersih, lingkungan yang
tidak sehat, pendapatan yang rendah dan keterbatasan akses terhadap
pangan (Unicef Indonesia, 2012).
Proporsi balita stunting lebih besar terjadi pada anak yang
mengalami diare. Anak yang pernah mengalami diare memiliki hubungan
yang bermakna dengan status gizi berdasarkan BB/U, TB/U dan BB/TB.
Pada balita yang mengalami diare akan berpeluang pendek, kurus dan gizi
kurang 1 kali lebih besar pada anak yang normal atau balita dengan status
gizi baik (Hidayat dan Fuada, 2011). Penelitian Adi dan Andrias (2011),
menunjukkan secara umum balita yang berada pada rumah tangga miskin
mempunyai persentase masalah gizi yang lebih besar. Hasil analisis
memperlihatkan hubungan yang signifikan antara status gizi stunting pada
balita dengan tingkat kemiskinan rumah tangga. Hasil ini diperkuat dengan
4
penelitian Ulfani dkk (2011) yang mengatakan semakin tinggi tingkat
kemiskinan maka prevalensi stunting semakin meningkat.
Hasil lain menunjukkan bahwa balita yang berada pada wilayah
kerawanan pangan mempunyai persentase lebih besar terhadap gangguan
gizi. Terdapatnya hubungan yang signifikan antara stunting dan
underwight dengan kategori wilayah kerawanan pangan, menunjukkan
bahwa semakin meningkatnya status kerawana pangan di suatu wilayah,
maka persentase balita stunting dan underweight semakin meningkat (Adi
dan Andrias, 2011).
Penelitian Rosha dkk (2012) menunjukkan, tingkat pendidikan ibu
dapat mempengaruhi kejadian stunting pada anak. Pendidikan ibu akan
mempengaruhi pengetahuan mengenai praktik kesehatan dan gizi sehingga
anak berada pada status gizi yang baik. Hasil analisis menunjukkan tingkat
pendidikan ibu memiliki pengaruh terhadap statsu gizi dimana ibu yang
pendidikannya kurang dari SMP berpeluang 1.56 kali memiliki anak
stunting. Angka harapan hidup merupakan dampak dari status kesehatan
dan gizi dan dapat digunakam sebagai tolak ukur dalam menentukan
derajat kesehatan anak. Dengan diketahuinya angka harapan hidup, maka
dapat pula diketahui sejauh mana perkembangan status kesehatan anak.
Angka harapan hidup di suatu wilayah dapat menunjukkan baik atau
buruknya status kesehatan yang saling terkait dengan bergagai faktor,
seperti sosial, ekonomi dan budaya (Litbang Kota Tangerang, 2011).
Pola asuh merupakan salah satu faktor yang berkaitan dengan
stunting. Penelitian Picauly dan Toy (2013), menunjukkan bahwa ibu
5
dengan pola asuh yang kurang atau rendah memiliki peluang lebih besar
anaknya terkena stunting dibandingkan ibu dengan pola asuh baik.
Berdasarkan penelitian Sab‟atmaja dkk (2010), di Lampung, Aceh,
Yogyakarta, dan Papua, peranan karakteristik ibu dan pola asuh sangat
berpengaruh terhadap status gizi balita. Hal ini karena, ibu yang memiliki
karakteristik baik dan dapat mengelola pendapatan dengan baik,
cenderung mempraktikkan pola asuh yang baik dan akhirnya akan
meningkatkan status gizi balita. Terdapat asumsi bahwa semakin tinggi
pendapatan maka akan meningkatkan pola asuh dan kesehatan masyarakat.
Pola asuh kesehatan berhubungan langsung dengan status gizi dan pola
asuh kesehatan juga berhubungan dengan status kesehatan. Artinya, pola
asuh kesehatan dapat mempengaruhi status kesehatan dan status gizi
(Sab‟atmaja dkk, 2010).
Pola asuh adalah praktik di rumah tangga yang dilihat dengan
tersedianya pangan dan perwatan kesehatan serta sumber lainnya untuk
kepentingan hidup, pertumbuhan dan perkembangan (Zeitlin, 2000).
Menurut Engle dkk (1997) dan Zeitlin (2000), pola asuh terdiri dari
perawatan bagi ibu, pemberian ASI dan MP-ASI, pengasuhan psikososial
dan stimulasi kognitif, penyajian dan penyimpanan makanan, praktik
kesehatan dasar di rumah, pola pencarian layanan kesehatan, praktik
higiene dan sanitasi lingkungan.
Penelitian yang dilakukan Renyoet dkk (2013) tentang hubungan
pola asuh dengan kejadian stunting, menunjukkan bahwa praktik
pemberian makan, rangsangan psikososial, higiene dan sanitasi
6
lingkungan, serta pemanfaatan layanan kesehatan memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap kejadian stunting pada balita. Sementara itu, penelitian
Arifin dkk (2012) tentang analisis sebaran dan penyebab stunting
menunjukkan, pemberian ASI eksklusif mempunyai hubungan yang
signifikan dan merupakan faktor paling dominan terhadap kejadian
stunting. BBLR merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
kejadian stunting, karena seringkali terjadi pada masa pertumbuhan janin
terutama pada ibu yang belum cukup umur dan kekurangan gizi selama
masa kehamilan (Bappenas, 2013). Penelitian Candra dkk (2011),
menunjukkan bahwa BBLR merupakan salah satu faktor yang paling
berpengaruh terhadap kejadian stunting selain faktor tinggi ayah dan
riwayat berat badan rendah.
Keadaan gizi balita dipengaruhi oleh pola asuh keluarga karena
balita masih tergantung dalam memenuhi asupan makan dan perawatan
kesehatannya. Sementara itu, kualitas makanan dan gizi sangat tergantung
pada pola asuh makan anak yang diterapkan oleh keluarga (Martianto dkk,
2011). Peran ibu dalam pengasuhan sangat penting karena merupakan
orang terdekat kepada anak. Pemberian makan ibu dapat mempengaruhi
tumbuh kembang anak baik secara positif maupun negatif (Fitriana dkk,
2007).
Penelitian Riyadi dkk (2011) tentang faktor faktor yang
mempengaruhi status gizi balita di Kabupaten Timor Tengah Utara
menunjukkan, pengasuhan ibu kepada anak merupakan kemampuan ibu
untuk memberikan stimulasi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan balita.
7
Hasil penelitian ini menunjukkan 27 % ibu memiliki kualitas pengasuhan
dalam kategori kurang. Secara umum terlihat bahwa ibu masih cukup
banyak melakukan kekerasan pada saat marah kepada anak dengan
mencubit, memukul dan berkata negatif.
Peranan karakteristik ibu dan pola asuh sangat menentukan
pengaruhnya terhadap status gizi balita (Sab‟atmaja dkk, 2010). Umumnya
orang tua memberikan makanan yang kurang teratur dan terkadang
memaksakan suatu makanan kepada anak. Selain itu tidak ada usaha dari
keluarga agar anak mau makan dan lebih membiarkan anak jajan
sembarangan (Lubis, 2010). Sebagian besar ibu berperilaku kurang seperti
memberikan bentuk makanan, frekuensi pemberian makanaan yang kurang
dari usia balita dan adanya anak usia 1 bulan yang diberikan nasi. Selain
itu masih ditemukan ibu yang kurang setuju gizi buruk harus segera
ditangani, memperkenalkan makanan semi cair pada bayi dan anak usia
12-24 bulan diberikan makanan lunak (Sofiyana dan Noer, 2013).
Pola asuh pemberian makan yang diterapkan juga kurang baik dan
tidak memenuhi gizi. Biasanya anak hanya diberikan makanan yang
kurang bervariasi dan hampir sama setiap harinya serta porsi yang kurang.
Makanan yang diberikan berupa nasi, tim atau bubur dengan kuah sayur
atau bumbu saja seperti kecap dan garam serta anak jarang diberikan sayur
dan buah (Veriyal, 2010). Padahal, masyarakat telah diberikan informasi
bagaimana pola asuh makan yang baik, baik melalui penyuluhan ataupun
klinik gizi melalui konseling. Tetapi karena kurangnya pemahaman dan
8
pengetahuan yang dilatar belakangi pendidikan dan ekonomi yang rendah,
keadaan tetap seperti itu dan sulit untuk merubahnya (Lubis, 2010).
Penelitian observasional yang dilakukan Adriani dan Kartika (2013)
menunjukkan, di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, perilaku ibu dalam
pemberian makan kepada bayi kurang baik. Ibu mempunyai kebiasaan
memberikan air dengan kelapa hijau yang dicampur dengan madu. Selain
itu pada saat bayi berusia 0-6 bulan anak sudah diberikan makanan lain
seperti biskuit dan telur. Konsumsi makanan balitanya pun tidak sesuai
dengan pola makan balita yang baik karena sebelum anak berusia satu
tahun sudah diberikan makanan ringan. Ketika anak tidak mau makan, ibu
hanya menggantinya dengan mie instan karena mengaku lebih disukai
balita dan lebih mengutamakan keinginan anak. Sedangkan di Kota
Semarang, ibu-ibu tidak segera memberikan ASI setelah bayi lahir, tetapi
memberikan madu atau tajin (Adriani dan Kartika, 2013).
Dalam hal pola asuh kesehatan, berdasarkan penelitian kualitatif di
Kecamatan Pagedangan Kabupaten Tangerang, terlihat ada perbedaan
antara apa yang dikatakan orang tua dengan dengan keadaan sebenarnya.
Dimana beberapa anak masih dibiarkan main ditempat yang kotor atau
bergaul dengan anak lain yang terkena penyakit infeksi, serta adanya orang
tua dan anak balitanya tidak mencuci tangan sebelum makan. Selain itu
sebagian besar orangtua tidak memberikan imunisasi kepada anaknya
karena anak dalam keadaan sakit ketika imunisasi diberikan. Ada pula
orang tua yang membawa anaknya berobat ke Puskesmas namun obat dan
vitamin yang diberikan hanya disimpan di rumah. Perilaku kurang baik
9
lain yang terjadi yaitu ibu tidak membasuh anak ketika buang air kecil dan
membiarkan anak buang air besar di halaman rumah (Veriyal, 2010).
Pada tahun 2007, berdasarkan Riskesdas Provinsi Banten, di Kota
Tangerang tercatat 30.1% balita mengalami stunting, yang berarti masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat (Depkes, 2008). Kecamatan
Neglasari dipilih menjadi tempat penelitian dengan pertimbangan
prevalensi diare pada anak di Kecamatan Neglasari paling tinggi di Kota
Tangerang yaitu 20% (Usfar dkk, 2010) dan kecamatan paling tinggi balita
gizi buruknya (Andriany dkk, 2008). Selain itu, pemilihan Kecamatan
Neglasari karena merupakan kecamatan yang jumlah penduduk miskinnya
paling besar yaitu 20.03%, kecamatan paling besar jumlah perempuan buta
hurufnya yaitu 7.64%, kecamatan dengan angka harapan hidup terendah,
dan merupakan kecamatan paling rawan pangan di Kota Tangerang
(Litbang Kota Tangerang, 2011).
Berdasarkan studi pendahuluan terhadap data sekunder mengenai
pengukuran status gizi yang dilakukan di Puskesmas Neglasari pada tahun
2014, prevalensi balita umur 13-24 bulan yang mengalami stunting sebesar
27.15%. Berdasarkan hasil wawancara kepada TPG Puskesmas Neglasari,
penyebab utama masalah gizi pada balita yaitu asupan makanan dan
penyakit infeksi. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya cakupan pemberian
ASI eksklusif, praktik pemberian makan yang kurang teratur, kurangnya
keaktifan kunjungan ke posyandu dimana rata-rata hanya mencapai 50%.
Sementara itu berdasarkan hasil observasi atau kunjungan rumah kepada
beberapa balita yang mengalami masalah gizi, perilaku ibu dalam
10
kebersihan masih kurang dan lingkungan rumah yang kurang mendukung
untuk pertumbuhan anak. Dengan demikian, perlu diteliti lebih lanjut
mengenai praktik pola asuh yang dilakukan ibu terhadap balita yang
mengalami stunting.
Mengetahui perilaku atau praktik keluarga dalam pola asuh balita
yang memiliki status gizi stunting merupakan suatu hal yang berguna
untuk merencanakan dan melakukan intervensi. Praktik atau perilaku
seseorang merupakan sesuatu yang unik, berbeda, dan tidak dapat diukur
secara kuantitatif. Agar perilaku atau praktik tersebut dapat dipahami,
maka penelitian kualitatif perlu untuk dilakukan untuk mengetahui
informasi mendalam jika dibandingkan dengan penelitian kuantitatif.
Penelitian dengan menggunakan desain kualitatif dapat mengetahui cara
pandang informan penelitian secara lebih mendalam yang mungkin tidak
bisa diwakili dengan angka-angka statistik.
Selain itu dengan metode ini peneliti dapat mengenal subyek
penelitian, bagaimana ia mengembangkan sendiri definisi atau pendapat
mereka tentang suatu masalah. Peneliti juga dapat merasakan apa yang
mereka alami ketika bergaul dengan masyarakat sehari-hari. Peneliti
sebagai instrumen dapat menilai apakah keberadaanya di suatu masyarakat
menjadi pengganggu, sehingga apabila ini tetrjadi peneliti dapat
menyadari dan mengatasinya.
11
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan studi pendahuluan, kejadian stunting baduta usia 13-24
bulan di wilayah kerja Puskesmas Negalasari masih cukup tinggi dan
merupakan masalah kesehatan masyarakat. Pola asuh merupakan faktor
yang dapat mempengaruhi status gizi balita. Penelitian ini dilakukan untuk
menggali informasi mendalam bagaimana pola asuh yang diterapkan orang
tua balita stunting. Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti
memfokuskan penelitian untuk mengetahui gambaran pola asuh pada
baduta stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari
Kota Tangerang tahun 2015.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran pemberian ASI eksklusif baduta stunting usia
13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang
tahun 2015 ?
2. Bagaimana gambaran pemberian makanan pendamping ASI baduta
stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota
Tangerang tahun 2015 ?
3. Bagaimana gambaran penyiapan dan peyimpanan makanan bagi
baduta stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas
Neglasari Kota Tangerang tahun 2015 ?
4. Bagaimana gambaran praktik kesehatan dasar di rumah bagi baduta
stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota
Tangerang tahun 2015 ?
12
5. Bagaimana gambaran pola pencarian layanan kesehatan bagi baduta
stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota
Tangerang tahun 2015 ?
6. Bagaimana gambaran praktik higiene dan sanitasi lingkungan baduta
stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota
Tangerang tahun 2015 ?
7. Bagaimana gambaran perawatan bagi ibu baduta stunting usia 13-24
bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang tahun
2015 ?
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui gambaran pola asuh baduta stunting usia 13-24
bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang tahun
2015.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui gambaran pemberian ASI eksklusif baduta stunting
usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota
Tangerang tahun 2015.
2. Mengetahui gambaran pemberian makanan pendamping ASI
baduta stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas
Neglasari Kota Tangerang tahun 2015.
13
3. Mengetahui gambaran penyiapan dan peyimpanan makanan
bagi baduta stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja
Puskesmas Neglasari Kota Tangerang tahun 2015.
4. Mengetahui gambaran praktik kesehatan dasar di rumah bagi
baduta stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas
Neglasari Kota Tangerang tahun 2015.
5. Mengetahui gambaran pola pencarian layanan kesehatan bagi
baduta stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas
Neglasari Kota Tangerang tahun 2015.
6. Mengetahui gambaran praktik higiene dan sanitasi lingkungan
baduta stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas
Neglasari Kota Tangerang tahun 2015.
7. Mengetahui gambaran perawatan bagi ibu baduta stunting usia
13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota
Tangerang tahun 2015.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Puskesmas
Sebagai masukan bagi puskesmas di tempat penelitian,
sehinggga dapat dijadikan pedoman perencanaan dalam
melakukan intervensi dan menentukan prioritas program gizi.
14
1.5.2 Bagi Masyarakat
Untuk menambah pengetahuan pada masyarakat bagaimana
pola asuh yang baik dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-
hari.
1.5.3 Bagi Peneliti Lain
Dapat dijadikan gambaran bagaimana pola asuh di tempat
penelitian dan dapat dijadikan bahan penelitian yang lebih baik.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran pola asuh balita
stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota
Tangerang tahun 2015. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada bulan
Mei sampai Juli 2015 dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Subyek
penelitian ini adalah pengasuh utama, keluarga, kader posyandu dan TPG
puskesmas. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, telaah
dokumen dan wawancara mendalam.
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Stunting
2.1.1. Pengertian
Menurut WHO (1997), stunting merupakan proses
pertumbuhan linear yang terhambat karena status kesehatan yang
kurang optimal dan atau masalah gizi. Menurut UNICEF stunting
adalah keadaan dimana tinggi seorang anak kurang dari -2 standar
deviasi dari ketinggian rata-rata untuk umur berdasarkan standar
yang ditetapkan. Menurut Onis dkk (2012), stunting didefinisikan
sebagai proporsi anak-anak yang memiliki panjang atau tinggi
badan dibawah -2 SD berdasarkan standar WHO.
2.1.2. Dampak Stunting
Masalah kurang gizi termasuk stunting dapat menyebabkan
kerusakan permanen. Hal ini terjadi bila seorang anak kehilangan
berbagai zat gizi yang penting untuk tumbuh kembangnya,
kekebalan tubuh, dan perkembangan otak yang optimum. Anak
yang mengalami gizi kurang akan menjadi kurang berprestasi di
sekolah dan kurang produktif pada saat dewasa (Depkes, 2012).
15
16
Stunting terjadi akibat kekurangan gizi berulang dalam waktu
lama pada masa janin hingga 2 tahun pertama kehidupan seorang
anak. Tingginya prevalensi BBLR akibat tingginya prevalensi KEK
pada ibu hamil. BBLR dapat meningkatkan angka kematian bayi
dan balita, gangguan pertumbuhan fisik dan mental anak, serta
penurunan kecerdasan. Anak yang stunting mempunyai resiko
kehilangan IQ 10-15 poin (Bappenas, 2013).
Ancaman rendahnya produktivitas dan kualitas sumber daya
manusia ke depan akibat stunting merupakan hal yang tidak bisa
diremehkan. Namun yang disayangkan, masyarakat belum
menyadari masalah ini karena anak yang pendek atau stunting
terlihat sebagai anak dengan aktivitas yang normal, tidak seperti
anak yang kekurangan gizi (Depkes, 2012).
2.1.3. Penyebab
Salah satu masalah gizi yang menjadi perhatian utama saat ini
adalah stunting. Menurut WHO (1997), secara populasi stunting
berhubungan dengan kondisi sosial ekonomi yang buruk dan
peningkatan risiko seringnya anak terkena penyakit serta praktik
pemberian makan yang kurang baik. Sedangkan menurut Depkes
(2012), anak yang mengalami stunting lebih banyak disebabkan
karena rendahnya asupan gizi dan penyakit yang berulang akibat
lingkungan yang tidak sehat. Masalah gizi kronis pada balita dapat
disebabkan karena asupan gizi yang kurang dalam jangka waktu
17
yang lama karena orang tua atau keluarga tidak tahu atau belum
memberikan makanan yang sesuai dengan kebutuhan gizi anak
(Depkes, 2012).
Masalah gizi disebakan banyak faktor yang saling terkait.
Penyebab yang sering terjadi karena kurangnya makanan, distribusi
pangan yang kurang baik, rendahnya praktik menyusui dan
penyapihan, praktik pengasuhan yang kurang, sanitasi, dan
penyakit (CORE, 2003). Secara garis besar masalah gizi
disebabkan karena kurangnya asupan makanan dan penyakit
infeksi. Asupan makan yang kurang dapat disebabkan karena tidak
tersedianya makanan, anak yang tidak mendapatkan makanan
bergizi seimbang dan pola asuh yang salah (Nency, 2005).
a. Tidak tersedianya makanan
Keadaan sosial ekomoni berkaitan langsung dengan
masalah ini. Data di Indonesia menunjukkan adanya
hubungan yang timbal balik antara kurang gizi dan
kemiskinan.
b. Anak yang tidak mendapat gizi seimbang
ASI adalah makanan yang terbaik bagi bayi usia 0-6
bulan. Setelah itu anak perlu diberikan makanan
pendamping agar kebutuhan gizinya terpenuhi.
c. Pola asuh makan yang salah
Pola pengasuhan berpengaruh terhadap keadaan gizi
balita. Anak yang diasuh oleh ibunya sendiri yang paham
18
akan pola asuh yang baik maka gizi anak pun akan ikut
menjadi baik.
Kaadan sakit atau penyakit infeksi pada balita menjadi
penyebab lain masalah gizi, keduanya saling terkait dan ada
hubungan timbal balik. Penyakit infeksi akan menyebabkan
masalah gizi dan masalah gizi akan memberikan pengaruh kepada
sistem ketahanan tubuh dan akhirnya memudahkan terjadinya
infeksi (Nency, 2005).
2.2. Pola Asuh
Pola asuh anak ikut berperan terhadap timbulnya masalah gizi,
hanya saja selama ini banyak anggapan di masyarakat bahwa masalah gizi
hanya dialami oleh balita dari keluarga miskin. Anggapan itu tidak
sepenuhnya benar, masalah gizi juga disebabkan karena pola asuh anak
(Nisa, 2013). Balita yang besar dalam keluarga miskin akan tumbuh sehat
apabila diasuh oleh orang tua yang memahami pentingnya kesehatan.
Salah satu contohnya, ada anak gizi buruk berasal dari orang tua yang
bekerja sepagai PNS yang berkecukupan. Hal tersebut ternyata terjadi
karena pengasuhan anak diserahkan pada nenek yang memiliki
keterbatasan pengetahuan akan pentingnya pemberian makanan bergizi
(Nisa, 2013).
Berdasarkan studi positive diviance yang dilakukan Soekirman,
diperoleh kesimpulan bahwa pola asuh berpengaruh signifikan terhadap
19
timbulnya gizi buruk. Anak yang diasuh sendiri oleh ibunya dengan kasih
sayang, mengerti tentang pentingnya ASI, posyandu, dan kebersihan,
meski dalam kondisi miskin, namun anak tetap sehat (Indriyan, 2013).
Pola asuh adalah praktik-praktik pengasuhan dan segala interaksi
yang terjadi antara orang tua dengan anak. Interaksi ini meliputi segala hal
yang diajarkan orang tua kepada anaknya dalam proses pengasuhan dan
pendidikan (Ulfah, 2008). Menurut Engle dkk (1997), pola asuh adalah
perawatan dalam rumah tangga yang menyediakan waktu, perhatian, dan
dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental dan perkembangan
sosial anak. Sedangkan menurut Zeitlin, pola asuh adalah praktik di rumah
tangga yang dilihat dengan tersedianya pangan dan perawatan kesehatan
serta sumber lainnya untuk kepentingan hidup, pertumbuhan dan
perkembangan (Zeitlin, 2000).
Upaya pencegahan terhadap masalah gizi sangat penting. Hal yang
dapat dilakukan yaitu meningkatkan kualitas makanan dan perawatan
kesehatan (WHO, 2007). Aspek kunci dalam pola asuh terdiri dari
perawatan dan perlindungan bagi ibu, pemberian ASI dan MP-ASI,
pengasuhan psikososial, penyiapan makanan, praktik higiene dan sanitasi
lingkungan, dan praktik kesehatan di rumah (Zeitlin, 2000). Menurut
Engle dkk (1997), pola asuh terdiri dari perawatan bagi ibu, pemberian
ASI, pemberian makan untuk anak, pengasuhan psikososial, penyajian
makanan, praktik higiene, dan perawatan kesehatan dirumah yang
merupakan upaya preventif berupa pemberian imunisasi dan dan
perawatan kesehatan anak.
20
2.2.1. Pemberian ASI Eksklusif
Menyusui merupakan tanggung jawab seorang ibu, kebiasaan
menyusui dan cara menyapih yang baik memegang peranan penting
dalam kesejahteraan serta pertumbuhan anak. Banyak ahli sepakat
bahwa air susu ibu lebih baik dari susu formula. Anak yang
diberikan ASI lebih rendah terhadap risiko kesakitan dan kematian
dibandingkan dengan anak yang diberikan susu formula (Mandl,
1981). ASI memiliki banyak sekali keuntungan untuk bayi, yaitu
mendapatkan status gizi optimal, meningkatkan kemampuan
kognitif, mengurangi risiko kegemukan, pencegahan terhadap
infeksi, mengurangi risiko terhadap alergi, dan menurunkan risiko
morbiditas pada anak (Almatsier, 2011).
ASI adalah makanan tebaik bagi bayi, pemberian minuman
dan makanan selainnya sampai usia 6 bulan dapat mengganggu
percernaan pada bayi. Hal ini dapat menyebabkan bayi sakit perut
ataupun diare. Jika bayi sakit, dapat membuat asupan gizi, variasi
dan ragam makanan berkurang yang akhirnya akan mengganggu
pertumbuhan balita (Adriyani dan Kartika, 2013).
Pemberian ASI mempunyai hubungan yang signifikan
dengan status gizi balita usia 6-24 bulan. Ibu yang memberikan
anaknya ASI eksklusif cenderung memiliki balita dengan status
gizi baik. Sedangkan ibu yang tidak memberikan anaknya ASI
eksklusif sebagian besar balitanya mempunyai status gizi dibawah
garis merah (Giri dkk, 2013). Penelitian Arifin dkk (2012),
21
menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusif merupakan faktor
paling dominan terhadap kejadian stunting pada balita dimana 76%
balita yang mengalami stunting tidak diberikan ASI eksklusif.
Hasil analisis penelitian tersebut menunjukkan bahwa balita dengan
ASI tidak eksklusif mempunyai risiko 3.7 kali lebih besar terkena
stunting dibandingkan balita dengan ASI eksklusif (Arifin dkk,
2012)
Penelitian Rahayu (2011) menunjukkan, kurangnya ASI dan
pemberian MP-ASI yang terlalu cepat dapat meningkatkan risiko
stunting pada periode pasca kelahiran awal. Dimana, anak yang
awalnya stunting dan tidak mendapatkan ASI eksklusif selama 6
bulan memiliki risiko 3.7 kali lebih besar untuk tetap stunting. Hal
ini diduga karena pengaruh ASI eksklusif terhadap perubahan
stunting kemungkinan disebabkan karena fungsi ASI sebagai anti
infeksi (Rahayu, 2011).
Pengambilan data terkait pemberian ASI dilakukan dengan
cara wawancara mendalam menggunakan instrumen pedoman
wawancara mendalam.
2.2.2. Pemberian MP ASI
Setelah berumur 6 bulan keatas, kebutuhan gizi bayi semakin
tinggi dan bervariasi. Pemberian ASI saja hanya dapat memenuhi
60-70% kebutuhan gizinya. Oleh karena itu, selain pemberian ASI
dubutuhkan pula makanan lain sebagai pendamping untuk
22
menunjang asupan gizi bayi. Jika makanan pendamping ASI tidak
cepat diberikan, maka masa kritis untuk mengenalkan makanan
padat yang memerlukan keterampilan mengunyah yang mulai
dilakukan pada usia 6-7 bulan dikhawatirkan akan terlewati. Akibat
yang akan dialami bayi dalam keadaan seperti ini adalah kesulitan
untuk menelan atau menolak saat diberikan makanan padat
(Khomsan dan Ridhayani, 2008).
Secara alamiah, bayi dilahirkan dengan kemampuan refleks
terhadap makanan, seperti menghisap, menelan dan mengunyah.
Pemberian MP-ASI harus disesuaikan dengan kemampuan organ
pencernaan bayi. Pertama-tama makanan yang diberikan bertekstur
cair, kental, semi padat dan terakhir makanan padat (Khomsan dan
Ridhayani, 2008). Menurut Khomsan dan Ridhayani (2008), hal-
hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian MP-ASI adalah :
a. Makanan pendamping ASI dibuat dengan makanan yang
berkualitas, sehingga kualitas gizinya terjamin.
b. Pemberian MP-ASI harus diberikan bertahap. Pada
awalnya bayi diberikan makanan cair seperti sari buah
atau bubur susu. Setelah itu, dilanjutkan dengan makanan
kental seperti bubur tepung. Kemudian dilanjutkan
dengan makanan semi padat seperti nasi tim saring dan
akhirnya diberi makanan padat seperti nasi tim.
c. Pada tahap permulaan, bayi hendaknya diperkenalkan
satu persatu jenis makanan sampai ia dapat mengenalnya
23
dengan baik dan setelah itu baru diberikan makanan lain.
Hal ini dimaksudkan agar bayi benar-benar dapat
mengenal dan menerima jenis makanan baru.
d. Orang tua perlu mengetahui ada atau tidaknya alergi
terhadap suatu jenis makanan dengan memperhatikan
respon bayi setelah makan makanan tersebut.
e. Selama masa perkenalan makanan, jangan memaksakan
bayi untuk menghabiskan makanannya, hal ini karena
bayi membutuhkan proses adaptasi. Dengan
meningkatnya usia bayi akan mendapatkan porsi yang
lebih besar.
f. Waktu pemberian makan harus disesuaikan dengan
kondisi bayi. Hal ini karena pada saat lapar saluran
pencernaan bayi lebih siap untuk menerima dan
mencerna makanan.
g. Lakukan jarak pengaturan antara pemberian susu, jangan
memberikan makanan pendamping setelah bayi minum
susu atau sebaliknya. Hal ini karena bayi akan merasa
kenyang dan tidak mau menerima makanan atau susu
yang diberikan.
Banyak penelitian yang mengatakan bahwa pemberian MP-
ASI mempunyai peran penting dalam perbaikan status gizi anak,
terutama sejak usia bayi. Pemberian MP-ASI selama 90 hari
24
menunjukkan kontribusi yang cukup signifikan terhadap energi dan
zat gizi balita. Penelitian Krisnatuti dkk (2006) tentang analisis
status gizi anak dibawah dua tahun menunjukkan bahwa pemberian
MP-ASI dapat meningkatkan status gizi baduta. Pada baduta dari
jaring pengaman sosial bidang kesehatan berpeluang 4.461 kali
berstatus gizi normal berdasarkan indikator BB/TB didandingkan
dengan baduta yang tidak mendapatkan MP-ASI (Krisnatuti dkk,
2006).
Orang tua berperan dalam perilaku makan anak, secara sadar
ataupun tidak, orang tua telah membentuk kesukaan dan gaya
makan anak. Interaksi orang tua dengan anak berpengaruh terhadap
pilihan makanan dan pengembangan pola makan anak (Soetardjo,
2011). Pemberian makanan tambahan diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Selain
itu, pemberian makanan diperlukan untuk menumbuhkan sikap
positif terhadap makanan sejak usia dini (Hermina, 1992).
Gizi seimbang adalah susunan makan sehari-hari yang
mengandung zat-zat gizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai
dengan kebtuhan tubuh dengan memperhatikan keanekaragaman
atau variasi makanan, aktivitas fisik, kebersihan, dan berat badan
ideal. Dalam memberikan makanan kepada anak variasi sangat
diperlukan. Hal ini dilakukan agar anak tidak bosan sehingga dapat
menghindarkan anak dari kesulitan makan pada usia berikutnya.
Makanan yang diberkan meliputi bahan pokok, lauk-pauk, sayur,
25
dan buah-buahan. Protein yang diberikan kepada anak diusahakan
secara bergantian sehingga semua zat gizi dapat terpenuhi
(Auliana, 2011). Variasi makanan sangat diperlukan dalam
memberikan makan kepada anak karena tidak ada satu jenis
makanan pun yang mengandung semua zat gizi yang diperlukan
tubuh (Muharyani, 2012).
Dalam pemberian makanan, selain memperhatikan variasi
makanan untuk anak, orang tua perlu memperhatikan porsi yang
diberikan kepada anak. Hal ini karena anak-anak seringkali
memerlukan waktu makan yang lebih lama daripada orang dewasa.
Untuk itu anak perlu dibujuk agar dapat mengkonsumsi makanan
dalam jumlah yang cukup, sesendok demi sesendok (CORE, 2003).
Menurut (CORE, 2003), menu yang diberikan harus :
a. Terdiri dari makanan yang bergizi dan tidak langsung
mengenyangkan anak.
b. Ikut sertakan buah, sayur, udang, minyak atau kacang-
kacangan.
c. Penyiapan makanan yang beragam kepada anak.
d. Menggunakan bahan lokal yang tersedia, sesuai musim
dan terjangkau.
e. Menggunakan bahan yang kaya akan vitamin A, besi,
dan mikronutrien lain.
f. Menggunakan produk hewani
26
g. Memastikan bahwa semua kelompok makanan ada
dalam tiap hidangan makanan, sehingga anak
mendapatkan makanan yang seimbang.
Selain itu, orang tua juga perlu memperhatikan frekuensi
pemberian makan yang sedikit tetapi sering. Hal ini karena,
Sebagian besar balita khususnya umur 3-5 tahun makan lebih dari
tiga kali sehari. Memberikan makanan 5-6 kali perhari lebih baik
karena balita memiliki perut yang kecil. Anak yang makan kurang
dari 4 kali sehari, asupan energi dan zat gizi lainnya lebih sedikit
dibandingkan dengan rata-rata anak lain yang makan 4 kali sehari
atau lebih (Soetardjo, 2011).
Jenis suatu makanan sangat menentukan status gizi balita.
Makanan yang berkualitas adalah makanan yang memberikan
komposisi yang beragam, bergizi dan seimbang. Menu yang
memadai baik secara kualitas ataupun kuantitas sangat menunjang
tumbuh kembang anak. Hal ini karena balita merupakan kelompok
rawan gizi sehingga makanan yang diberikan harus sesuai dengan
kebutuhan anak dan kemampuan alat pencernaannya (Welasasih
dan Wirjatmadi, 2012).
Pengambilan data terkait pemberian makan anak dilakukan
dengan cara wawancara mendalam dan observasi menggunakan
instrumen pedoman wawancara mendalam dan pedoman observasi.
27
2.2.3. Peyiapan dan Penyajian Makan
Susah makan pada anak merupakan masalah yang dihadapi
oleh hampir semua ibu. Terkadang anak menolak makan yang
diberikan tanpa tahu apa penyebabnya. Susah makan dapat juga
terjadi karena pemberian makan kepada anak yang sudah salah
sejak awal. Contohnya seperti pengenalan MP-ASI yang terlambat,
tidak diberikan ragam makanan, atau karena anak banyak diberikan
jajan. Mengatasai anak susah makan dapat dilakukan dengan
berbagai cara, salah satunya adalah memberikan suasana makan
yang menyenangkan, kemudian biarkan anak makan sendiri dengan
alat makannya (Auliana, 2011).
Proses penyiapan makanan mempunyai peran penting
terhadap gizi anak. Di Mali, ditemukan bahwa anak yang makan
dari piring atau mangkuk sendiri lebih baik daripada anak yang
makan bersama dari piring anggota keluarga yang lainnya (CORE,
2003).
Anak yang sudah belajar makan sendiri perlu mendapat
dukungan dari orang tua. Pada tahap ini biasanya anak akan
menghambur-hamburkan dan memainkan makanan. Bentuk
dukungan orang tua dalam membantu anak melewati tahap
perkembangan perilaku makan adalah dengan menyiapkan alat
makan khusus dengan warna dan bentuk yang menarik. Selain itu
orang tua dapat memberikan kesempatan pada anak untuk makan
28
sendiri dengan pendampingan. Hal ini perlu dilakukan karena hal
tersebut merupakan proses belajar bagi anak (Muharyani, 2012).
Dua hal yang perlu diperhatikan dalam mengolah makanan
untuk anak adalah keamanan pangan dan keutuhan zat-zat gizi
(Almatsier, 2011). Menurut Almatsier (2011) beberapa hal yang
perlu diperhatikan yaitu :
1. Makanan hendaknya digunakan dari bahan yang bermutu dan
seimbang.
2. Alat pengolahan dan alat-alat lain yang digunakan hendaknya
dalam keadaan bersih.
3. Sayur dan buah dicuci, sesudah itu dimasak dengan air
secukupnya sampai lunak.
4. Bila makanan tidak segera dimakan, makanan dibungkus dan
disimpan dalam lemari pendingin atau lemari pembeku.
5. Makanan yang dibekukan, bila hendak dimakan maka
dicairkan terlebih dahulu ke lemari pendingin.
Salah satu sumber penularan penyakit dan penyebab
terjadinya keracunan adalah makanan atu minuman yang tidak
memenuhi syarat higiene. Higienenya makanan atau minuman
dapat dipenagruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah
higiene alat masak dan makan yang digunakan dalam proses
penyediaan makan atau minuman tersebut. Alat makan menjadi
salah satu faktor dalam hal penularan penyakit, hal ini disebabkan
29
karena alat makan yang tidak bersih dan mengandung
mikroorganisme (Cahyaningsih dkk, 2009).
Selain kebersihan peralatan memasak dan makan, kebersihan
individu juga perlu diperhatikan karena merupakan salah satu
faktor penyebab timbulanya penyakit pada anak (Tjukarni dkk,
2011). Kebersihan individu yang dimaksud seperti mencuci tangan
dengan sabun sebelum menyiapkan makanan untuk anak.
Penggunaan sabun saat mencuci tangan sebelum makan akan
membantu mengurangi jumlah kuman penyakit yang masuk ke
dalam tubuh dengan cara melarutkan lemak dan menurunkan
tegangan partikel kotoran yang menempel di kulit (Sandy dkk,
2015).
Penyimpanan makanan salah satu faktor yang perlu
diperhatikan dengan baik. Penyimpanan makanan yang kurang baik
dapat menjadi sumber penyakit dengan berkembang biaknya
bakteri dalam makanan tersebut. Bakteri berkembang biak dengan
membelah diri menjadi 2 bagian. Pada temperatur 30˚ sampai 40˚
Celcius jumlahnya akan bertambah 2 kali lipat setiap 15 menit dan
dalam waktu 5 jam dapat mencapai 1 juta. Bakteri akan berhenti
berkembang biak pada suhu diatas 74˚ dan dibawah 4˚ Celcius.
Bakteri patogen berkembang biak pada suhu 37˚ Celcius sama
dengan suhu tubuh manusia. Bakteri ini dapat ditularkan melalui
makanan yang tersentuh oleh tangan kotor, lap kotor dan berdebu,
meja ataupun peralatan dapur yang kotor (Prihastuti, 2013).
30
Pengambilan data terkait penyiapan dan penyajian makanan
dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan observasi.
Instrumen yang digunakan yaitu pedoman wawancara mendalam
dan pedoman observasi.
2.2.4 Praktik Kesehatan Dasar
Orang tua dapat mencegah anak-anaknya menderita penyakit
dengan cara menjaga kebersihan rumah, memberikan imunisasi
atau vaksinasi, membawa anak yang sakit ke puskesmas,
menimbang anak secara teratur untuk mengetahui kekurangan gizi
sedini mungkin (CORE, 2003). Praktik kesehatan bagi anak dapat
berupa upaya preventif seperti pemberian imunisasi. Imunisasi
adalah cara meningkatkan kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit
dan sehingga apabila seseorang terpapar penyakit tersebut ia tidak
menjadi sakit (Matondang dkk, 2011).
Dalam rangka menurunkan kejadian penyakit pada anak,
Departemen Kesehatan melakukan program pengembangan
imunisasi. Program ini dilakukan dengan memberikan 1 kali
imunisasi BCG, 3 kali DPT, 4 kali imunisasi polio, 1 kali imunisasi
campak dan 3 kali imunisasi hepatitis B (Luciasari dkk 2011).
Imunisasi memiliki pengaruh tidak langsung terhadap status gizi
namun berkaitan penyakit infeksi (Mulyati dkk, 2008). Imunisasi
mempunyai peran meningkatkan daya tahan tubuh anak terhadap
penyakit infeksi. Anak yang tidak mendapatkan imunisasi akan
31
lenbih mudah terkena penyakit. Anak yang terkena penyakit dapat
mengalami kehilangan nafsu makan sehingga berakibat terhadap
status gizinya (Luciasari dkk, 2011).
Dari hasil analisis data Riskesdas, dapat dilihat bahwa balita
yang diimunisasi lebih banyak yang sehat jika dibandingkan
dengan balita yang tidak pernah diimunisasi (Hidayat dan Jahari,
2012). Imunisasi diberikan oleh orang perorang atau ibu yang
membawa anaknya untuk diberikan imunisasi. Tindakan seorang
ibu dalam memberikan imunisasi merupakan bentuk tanggung
jawab terhadap keluarga untuk melindungi anaknya dari serangan
penyakit menular (Achmadi, 2006).
Bagi seorang ibu, memberikan imunisasi kepada anak
merupakan hal biasa, namun memiliki makna yang mulia. Dengan
membawa anaknya untuk imunisasi seorang ibu telah memberikan
sumbangan bagi kekebalan kelompok. Dengan kata lain, imunisasi
memiliki dimensi tanggung jawab ganda, yaitu memberikan
perlidungan kepada anak agar tidak terkena penyakit menular juga
telah berkontribusi sosial yang tinggi, yaitu anak yang telah
diberikan imunisasi dan mendapat kekebalan maka akan
menghambat perkembangan penyakit di masyarakat (Achmadi,
2006).
Diare dan ISPA merupakan penyakit yang sering diderita
oleh balita dalam waktu yang lama jika tidak segera diobati.
Timbulnya masalah stunting bukan hanya terjadi karena makan
32
yang kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat
makan cukup tetapi sering mengalami diare atau demam, akhirnya
akan menyebabkan kurang gizi. Demikian pula anak yang
makanannya tidak cukup, maka daya tahan tubuhnya akan
melemah. Dalam keadaan seperti ini akan mudah diserang penyakit
infeksi yang dapat mengurangi nafsu makan yang akhirnya dapat
menderita kurang gizi (Welasasih dan Wirjatmaja, 2012).
Praktik perawatan kesehatan anak dalam keadaan sakit
merupakan satu aspek pola asuh yang dapat mempengaruhi status
gizi anak. Praktik perawatan kesehatan meliputi pengobatan
penyakit pada anak apabila anak menderita sakit dan tindakan
pencegahan terhadap timbulnya suatu penyakit. Praktik perawatan
kesehatan yang baik dapat dilakukan dengan memantau status gizi
anak, kelengkapan imunisasi, kebersihan diri anak dan lingkungan
dimana anak berada, serta upaya ibu dalam mencari pengobatan
terhadap anak yang sakit seperti ke rumah sakit, klinik, dan
puskesmas (Zeitilin, 1990 dalam Husin, 2008). Selain itu,
pengobtan penyakit pada masa kanak-kanak dan mendapatkan
bantuan profesional pada waktu yang tepat mempunyai peran
penting dalam menjaga kesehatan anak (CORE, 2003).
Menurut CORE (2003), perilaku perawatan anak yang sedang
sakit dapat dilakukan dengan :
a. Pengobatan anak yang sedang sakit dan perawatan
selama masa penyembuhan di rumah secara tepat.
33
b. Pemberian makanan dan cairan yang sesuai ketika anak
sedang sakit dan dalam masa penyembuhan.
c. Pengobatan yang tepat di rumah terhadap penyakit
ringan seperti batuk, pilek, dan demam.
d. Melanjutkan pemberian ASI dan makanan yang sesuai
ketika anak mengalami diare.
e. Penggunaan LGG (Larutan Gula Garam) atau cairan lain
di rumah untuk mencegah dehidrasi selama anak
mengalami diare.
f. Mencari bantuan tenaga kesehatan untuk pengobatan
penyakit dan luka.
Pengambilan data terkait praktik kesehatan dasar dilakukan
dengan cara wawancara mendalam dengan instrumen pedoman
wawancara mendalam. Selain itu, pengambilan data juga dengan
cara telaah dokumen dengan istrumen seperti KIA dan pencatatan
di posyandu.
2.2.5. Pola Pencarian Layanan Kesehatan
Aspek terhadap informasi gizi dan kesehatan dapat dilihat
dari keterlibatan ibu terhadap sumber informasi dan sarana
pelayanan kesehatan dan gizi terutama posyandu dan puskesmas.
Pada umumnya terdapat hubungan antara pendidikan dan
34
pengetahuan ibu terhadap akses terhadap informasi dan layanan
kesehatan dan gizi (Fema IPB dan Plan Indonesia, 2008).
Pelayanan kesehatan adalah akses anak dan keluarga terhadap
upaya pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan. tidak
terjangkaunya pelayanan kesehatan, kurang pendidikan dan
pengetahuan merupakan kendala masyarakat dan keluarga dalam
memanfatkan pelayanan kesehatan yang ada. Hal ini akan
berdampak pada status gizi anak. Makin rendah jangkauan
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, maka makin tinggi
risiko terjadinya gizi kurang (Amir, 2009).
Upaya pemeliharaan status gizi balita dapat dilakukan dengan
memanfaatkan akses pelayanan kesehatan dan penatalaksanaan
kasus secara benar dan tepat waktu dengan cara memonitor
pertumbuhan balita setiap bulan secara rutin dan teratur (Hidayat
dan Jahari, 2012). Aktifnya balita ke posyandu mempunyai
pengaruh yang besar terhadap pemantauan kesehatannya. Balita
yang aktif ke posyandu akan mendapatkan penimbangan berat
badan, pemeriksaan kesehatan, pemberian makanan tambahan dan
penyuluhan gizi. Kehadiran ke posyandu merupakan indikator
terjangkaunya pelayanan kesehatan bagi balita. Karena dengan
hadir ke posyandu balita akan mendapatkan imunisasi, dan
pemberian yang lain seperti kapsul vitamin A (Welasasih &
Wirjatmadi, 2012).
35
Penelitian Hidayat dan Jahari (2012) yang menganalisis data
Riskesdas terhadap 70210 rumah tangga, didapatkan informasi
bahwa rumah tangga balita yang memanfaatkan pelayanan
kesehatan di posyandu memiliki lebih banyak balita yang berstatus
gizi baik menurut indikator BB/U. Selain itu, didapatkan pula
informasi bahwa berdasarkan indikator BB/TB, rumah tangga yang
memanfaatkan posyandu memiliki lebih banyak balita yang tidak
kurus dibandingkan dengan balita yang tidak pernah ke posyandu.
Pengambilan data terkait pola pencarian layanan kesehatan
dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan telaah dokumen.
Instrumen yang dugunakan yaitu pedoman wawancara mendalam
tentang pola pencarian layanan kesehatan dan buku KIA serta
pencatatan di posyandu.
2.2.6 Praktik Higiene dan Sanitasi Lingkungan
Masalah gizi dapat disebabkan karena perilaku tidak higienis
yang dapat menyebabkan penyakit infeksi (WHO, 2007). Praktik
higiene anak biasanya tergantung pada perilaku yang dicontohkan
oleh ibu maupun lingkungannya. Kebiasaan higiene yang baik
perlu dibiasakan dari kecil yang diharapkan akan terus dilakukan
sampai dewasa (Fema IPB dan Plan Indonesia, 2008). Kebersihan
tubuh, makanan, dan lingkungan berperan penting dalam
pemeliharaan kesehatan anak dan upaya pencegahan terhadap
penyakit infeksi. Kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dan
36
setelah buang air besar, menjadi fokus WHO untuk mengurangi
timbulnya penyakit infeksi seperti diare (CORE, 2003).
Faktor perilaku higiene dapat berpengaruh penting terhadap
masalah gizi meskipun faktor ini bukan merupakan faktor
langsung. Perilaku higiene berpengaruh terhadap penyakit infeksi
yang umumnya dialami oleh sebagian besar balita, seperti diare dan
ISPA. Kedua penyakit ini mempunyai pengaruh langsung terhadap
status gizi balita. Jika balita mengalami penyakit ini maka nafsu
makannya akan berkurang yang menyebabkan asupan gizinya ikut
berkurang. Jika keadaan ini berlangsung dalam jangka waktu yang
lama dengan frekuensi berkali-kali maka akan berdampak pada
masalah gizi kurang (Ulfani dkk, 2011).
Faktor lingkungan sangat mempengaruhi proses tumbuh
kembang balita. Peran orang tua dalam perilaku kebersihan diri dan
sanitasi lingkungan yang sehat sangat diperlukan balita dalam
proses pertumbuhannya (Azis dan Muzakkir, 2014). Pola asuh anak
dalam higiene perorangan, kesehatan lingkungan dan keamanan
anak berkaitan dengan kemampuan ibu menjaga anak agar tetap
bersih, mendapat lingkungan yang sehat, dan terhindar dari cedera
dan kecelakaan. Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan orang tua
untuk memandikan anak, kebersihan pakaian dan bagian tubuh
anak, ganti popok ketika akan tidur. Selain itu dibutuhkan pula
kemampuan ibu untuk menjaga kebersihan pada tempat tidur anak,
kamar anak dan lingkungan anak bermain (Ayu, 2008).
37
Selain dipengaruhi kurangnya asupan gizi, masalah gizi
dipengaruhi oleh buruknya sanitasi lingkungan dan kebersihan diri.
Sanitasi lingkungan yang sehat secara tidak langsung
mempengaruhi kesehatan balita yang pada akhirnya dapat
mempengaruhi status gizinya. Berdasarkan penelitian (Hidayat dan
Fuada, 2011), proporsi balita yang mengalami masalah gizi, lebih
besar tumbuh di lingkungan yang tidak sehat. Penelitian tersebut
menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara status gizi
dengan sanitasi lingkungan. Dimana, balita yang tumbuh di
lingkungan yang tidak sehat berpeluang 1 kali lebih besar
mengalami gizi buruk dibandingkan dengan balita yang bergizi
baik. Penelitian Riyadi dkk (2011) menunjukkan, status gizi anak
bedasarkan indikator TB/U memiliki hubungan yang signifikan
dengan lingkungan fisik rumah, pengetahuan dan perilaku gizi ibu.
Jika keadaan lingkungan fisik dan sanitasi keluarga baik,
maka kondisi kesehatan orang yang ada di dalamnya pun akan ikut
baik, demikian juga sebaliknya. Selama kebersihan sumur dan
sumber air terjaga dengan baik maka risiko untuk penyebaran
penyakit menular akan semakin kecil. Keberadaan MCK yang baik
juga berperan penting untuk mencegah penyakit seperti diare dan
cacingan (Riyadi dkk, 2011). Hasil analisis data Riskesdas
menunjukkan bahwa balita yang tinggal di sanitasi lingkungan
yang sehat dan meminum air yang dimasak, memiliki status gizi
38
yang lebih baik berdasarkan indikator BB/U (Hidayat dan Jahari,
2012).
Menurut Begin dkk (1999) dalam Sab‟atmaja dkk (2010),
berkaitan dengan masalah penyakit infeksi, perhatian harus banyak
ditunjukkan pada kesehatan rumah, penyediaan air bersih, jamban
keluarga, sarana dan prasarana kesehatan serta ada tidaknya
dukungan program gizi atau kesehatan. Sanitasi lingkungan dapat
menjadi faktor pendukung berkembanganya penyakit menular
(Hidayat dkk, 2011). Sanitasi lingkungan sangat erat kaitannya
dengan ketersediaan air bersih, ketersediaan jamban, jenis lantai
rumah serta kebersihan peralatan makanan (Ernawati, 2006).
Dalam upaya menjaga kebersihan anak agar terhindar dari
penyakit hal yang perlu dilakukan menurut Depkes (2008), yaitu :
1. Mandikan anak setiap hari dua kali pada pagi dan sore hari
menggunakan sabun mandi.
2. Mencuci rambut anak dengan sampo 2-3 kali dalam satu
minggu.
3. Cuci tangan anak dengan sabun sebelum makan dan
sesudah buang air besar.
4. Gunting kuku anak ketika panjang.
5. Bersihkan rumah setiap hari dari sampai dan genangan air.
6. Jauhkan anak dari asap rokok dan asap dapur.
39
Ketersediaan tempat sampah pada suatu rumah tidak kalah
penting dibandingkan dengan sarana fisik lainnya. Setiap rumah
seharusnya memiliki tempat sampah yang memadai sebelum
dibuang ke penampungan atau dibakar. Rumah tangga yang tidak
memilki tempat sampah biasanya memasukkan sampah ke dalam
kantong plastik, karung, atau yang lainnya baru kemudian dibuang.
Tempat sampah yang tidak memadai dapat menjadi sarang penyakit
karena bau yang dikeluarkan dapat mengundang binatang atau
bakteri untuk berkembang biak dan kemudian dapat menjadi
sumber penyakit (Ersiyoma, 2012).
Pengambilan data terkait perilaku higiene dan sanitasi
lingkungan dilakukan dengan wawancara mendalam dan observasi.
Instrumen yang digunakan yaitu pedoman wawancara mendalam
dan pedoman observasi.
2.2.7. Perawatan Ibu ketika Hamil
Perawatan ibu terhadap anaknya dapat dilakukan selama
masa kehamilan dengan menyediakan lebih banyak waktu untuk
istirahat dan penambahan asupan makanan (Engle dkk, 1997).
Dalam masyarakat tradisional, diet wanita selama masa kehamilan
dan menyusui sering dihadapkan pada masalah pantangan terhadap
suatu jenis makanan. Hal ini akan menyebabkan asupan yang tidak
seimbang ditambah lagi jika makanan yang dianjurkan sulit untuk
didapat (Range dkk, 1997).
40
Proses tumbuh seorang anak yang mengalami gangguan
pertumbuhan dimulai ketika dalam rahim hingga usia 2 tahun.
Ketika anak melewati usia 2 tahun, maka sudah terlambat untuk
memperbaiki kerusakan atau kekurangan pada tahun-tahun awal
tersebut. Oleh karena itu, status kesehatan ibu merupakan penentu
penting dalam proses pertumbuhan anak. Berat anak saat lahir
adalah akibat langsung dari status kesehatan dan gizi ibu sebelum
dan saat kehamilan.
Begitu pentingnya masa kehamilan dalam menentukan
kualitas manusia, terutama pada dua tahun pertama kehidupan.
Oleh karena itu pemerintah memberikan perhatian pada anak
dibawah usia 2 tahun. Periode pertama terjadi selama 270 hari
ketika seseorang mengandung. Jika dalam peride ini sampai anak
berusia 2 tahun tidak diperbaiki maka akibat yang ditimbulkan
akan bersifat permanen dan tidak dapat dikoreksi. Pertumbuhan
bayi pada 2 tahun pertama dapat disebabkan karena status gizi anak
ketika lahir. Untuk mencegah masalah tersebut, ibu hamil perlu
mendapat asupan zat gizi makro dan mikro yang cukup (Ernawati
dkk, 2013)
Selama masa kehamilan seseorang perlu konsumsi energi dan
zat-zat gizi yang cukup untuk menopang pertumbuhan dan
kesehatan janin serta dirinya sendiri. Banyak perubahan tubuh yang
terjadi ketika masa kehamilan. Perubahan yang terjadi seperti
volume darah yang bertambah, ukuran dan kekuatan rahim
41
bertambah, otot yang lebih fleksibel, kaki yang membengkat akibat
meningkatnya hormon estrogen, dan payudara yang membesar.
Sementara itu, terjadi pertumbuhan dan perkembangan janin dalam
tubuh ibu. Perubahan-perubahan yang terjadi ini perlu disertai
dengan asupan makanan yang bergizi, aktivitas fisik secara teratur,
dan istirahat yang cukup (Almatsier, 2011).
Dalam buku Kesehatan Ibu dan Anak (Depkes 2008),
terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan ketika sedang hamil,
yaitu :
1. Periksa kehamilan secepatnya dan sesering mungkin sesuai
anjuran petugas. Hal ini untuk mengetahui secepatnya jika ada
masalah yang timbul pada kehamilan.
2. Menimbang berat badan setiap kali periksa kehamilan untuk
mengetahui berat badan yang bertambah sesuai dengan
pertumbuhan bayi dalam kandungan.
3. Meminum tablet penambah darah selama hamil untuk
mencegah ibu kekurangan darah.
4. Meminta imunisasi Tetanus Toksoid kepada petugas kesehatn
untuk mencegah penyakit tetanus pada bayi baru lahir.
5. Meminta nasihat kepada petugas kesehatan tentang makanan
yang bergizi selama hamil untuk menjaga kesehatan ibu dan
bayi.
42
6. Istirahat yang cukup minimal 1 jam pada siang hari dan
mengurangi kerja berat yang berguna untuk memulihkan
tenaga ibu.
7. Memakan makanan yang bergizi sesuai anjuran petugas
kesehatan.
8. Makan 1 piring lebih banyak dari sebelum hamil.
9. Makan makanan selingan pada pagi dan sore yang berguna
untuk menambah tenaga.
Antenatal Care atau pemeriksaan rutin saat hamil merupakan
salah satu cara mencegah terjadinya bayi lahir dengan berat badan
rendah. Kebijakan program kesehatan mensyaratkan sebaiknya
Antenatal Care paling sedikit dilakukan 4 kali selama masa
kehamilan yaitu 1 kali pada trimester I dan II, dan 2 kali pada
trimester III. Dalam pelayanannya, hal yang dilakukan adalah
penimbangan berat badan, pengukuran tekanan darah, pengukuran
tinggi fundus uteri, memberikan imunisasi tetanus toxoid lengkap,
dan memberikan tablet besi minimal 90 kali selama masa
kehamilan. Keuntungan yang didapat dari kegiatan ini sangat besar
bagi ibu karena dapat mengetahui risiko dan kompliksai sehingga
dapat segera diarahkan dirujuk ke rumah sakit (Ernawati dkk,
2011).
Anemia adalah keadaan dimana kadar Hb berada di bawah
normal dan merupakan salah satu gangguan yang paling sering
43
terjadi pada ibu hamil. Ibu hamil umumnya mengalami deplesi besi
sehingga hanya memberi sedikit besi kepada janin yang dibutuhkan
untuk metabolisme besi yang normal. Selanjutnya ibu akan menjadi
anemia pada saat kadar Hb turun sampai dibawah 11 gr/dl.
Kekurangan zat besi ini dapat menimbulkan gangguan atau
hambatan pada pertumbuhan janin baik sel tubuh maupun sel otak.
Ibu hamil yang mengalami anemia dapat meningkatkan risiko
morbiditas maupun mortalitas ibu dan bayi, kemungkinan
melahirkan bayi BBLR juga menjadi semakin besar (Lubis, 2003).
Pengambilan data terkait perawatan ibu dilakukan dengan
cara wawancara mendalam dan telaah dokumen menggunakan
pedoman wawancara mendalam dan buku KIA serta pencatatan di
posyandu.
2.2.8. Perawatan Psikososial dan Stimulasi Kognitif
Penelitian di Amerika tahun 1997 menyebutkan bahwa
suplementasi makanan selama tiga bulan saat usia bayi akan
berdampak positif pada memori anak sampai delapan tahun ke
depan. Suplementasi itu kan lebih baik jika disertai dengan
intervensi psikososial. Intervensi psikososial akan mengajari orang
tua, terutama ibu bayi bagaimana cara melatih bayi
mengembangkan kemampuan mental dan psikososialnya. Jika hal
itu dilakukan dengan baik maka akan menghasilkan generasi yang
berkualitas. Ibu yang tampak bahagia ketika mengasuh anaknya
44
seperti tersenyum, tertawa dan memperlihatkan kebahagiaan akan
memberikan pengaruh positif untuk terbentuknya anak dengan
perkembangan yang optimal (Khomsan dan Ridhayani, 2008).
Salah satu aspek perkembangan sosial dan emosi yang terjadi
pada bayi usia 1-2 tahun adalah pertumbuhan mood. Pada usia ini,
anak mulai belajar merespon apa saja yang diterima atau keadaan
yang dihadapi sesuai dengan perasaan hatinya. Salah satu
contohnya yaitu, anak akan menggelengkan kepala sebagai tanda
tidak mau makan atau akan tersenyum sebagai tanda hatinya
senang jika diajak bercanda dengan orang –orang disekitarnya
(Khomsan dan Ridhayani, 2008).
Perawatan psikososial adalah pemberian kasih sayang dan
perhatian orang tua kepada anak berupa daya tanggap dari segi
interaksi fisik, visual ataupun verbal (Engle dkk, 1997). Ketika
anak berusia 1-2 tahun rangsangan yang dapat diberikan yaitu, jika
anak sudah berjalan maka latih anak untuk menaiki tangga. Ajak
anak untuk melakukan pekerjaan sederhana seperti membersihkan
meja, membereskan maianan dan menyapu dan lain-lain.
Kemudian ajak anak untuk mencoret-coret di kertas, tunjukkan dan
sebutkan bagian tubuh anak kemudian minta anak untuk
mengulanginya, ajak anak bercerita, dan ajak anak bermain
bersama (Depkes, 2008).
45
Untuk anak yang berumur 2-3 tahun, rangsangan yang dapat
diberikan yaitu, mengajari anak berpakaian sendiri, membacakan
cerita kepada anak dengan buku bergambar, memberikan anak
makanan dari mangkuk atau pringnya sendiri, ajari anak cuci
tangan, buang air besar dan kecil pada tempatnya. Sedangkan untuk
anak berumur 3-5 tahun, rangsangan yang dapat diberikan yaitu,
meminta anak menceritakan apa yang sedang dilakukan,
mendengarkan anak ketika berbicara, jika anak gagap maka bantu
anak berbicar, berikan kesempatan anak untuk bermain dan
mencoba sesuatu yang baru serta tetap mengawasi anak (Depkes,
2008).
Hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian rangsangan
kepada anak adalah jangan lupa untuk selalu memberi pujian ketika
anak berhasil melakukan kegiatan rangsangan sesuai dengan
tingkatan umurnya (Depkes, 2008).
2.3. Argumentasi Pemilihan Desain dan Analisis Informan
Penelitian ini menggunakan desain kualitatif dengan pendekatan
eksplorasi. Analisis data yang digunakan adalah model analisis interaktif
yang dikembangkan oleh (Miles dan Huberman, 1994), yang mengatakan
bahwa analisis data kualitatif terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi
secara bersamaa, yaitu reduksi data, penyajian data, dan terakhir verifikasi
data atau penarikan kesimpulan.
46
Alasan pemilihan desain kualitatif adalah untuk memahami suatu
fenomena yang tentang apa saja yang dialami oleh informan penelitian
secara menyeluruh yang kemudian dideskripsikan dalam bentuk kata-kata.
Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendirilah atau dibantu dengan orang
lain merupakan alat utama dalam proses pengumpulan data. Hal ini
dimaksudkan untuk melakukan penyesuaian terhadap situasi atau keadaan
yang terjadi di tempat penelitian. Dengan menggunakan desain kualitatif,
kita akan lebih mudah menyesuaikan jika berhadapan dengan kenyataan
yang beragam. Selain itu, dengan menggunakan metode kualitatif, kita
dapat melihat adanya hubungan langsung antara peneliti dengan informan.
2.4. Kerangka Teori
Pola asuh menurut Zeitlin (2000), terdiri dari pemberian ASI dan
MP-ASI, penyiapan makanan, praktik higiene dan sanitasi lingkungan,
praktik kesehatan di rumah, pola pencarian pelayanan kesehatan,
perawatan bagi ibu, perawatan psikososial dan stimulasi kognitif.
Sedangkan menurut Engle dkk (1997), pola asuh terdiri dari pemberian
ASI dan dan makanan tambahan, perawatan bagi ibu, perawatan
psikososial dan stimulasi kognitif, penyajian makanan, praktik higiene,
praktik kesehatan di rumah berupa upaya preventif yang meliputi
pemberian imunisasi dan perawatan kesehatan anak. Kerangka teori
berdasarkan tinjauan pustaka, pada gambar dibawah ini :
47
Bagan 2.1
Kerangka Teori Pola Asuh
Adaptasi Zeitlin (2000) dan Engle dkk (1997)
Pola Asuh Baduta
Perawatan bagi Ibu
Pemberian ASI
Ekslusif
Pemberian Makan Balita
Perawatan Psikososial
dan Stimulasi Kognitif
Penyiapan dan
Penyimpanan Makanan
Praktik Kesehatan
Dasar
Pola
Pencarian Layanan
Kesehatan
Praktik Higiene dan
Sanitasi Lingkungan
48
BAB III
KERANGKA PIKIR DAN DEFINISI ISTILAH
3.1. Kerangka Pikir
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pola asuh ibu
terhadap balita stunting di wilayah Puskesmas Neglasari Kota Tangerang
tahun 2015. Keadaan gizi balita dapat disebabkan karena kurangnya pola
asuh yang baik kepada anak. Apabila praktik pengasuhan anak baik, maka
secara langsung akan meningkatkan status gizi anak dan menurunkan
kejadian penyakit infeksi.
Pola asuh terdiri dari pemberian ASI dan, pemberian makan
tambahan, dan penyiapan dan penyimpanan makanan, praktik kesehatan
dasar, pola pencarian layanan kesehatan, praktik higiene dan sanitasi
lingkungan, perawtan bagi ibu, perawatan psikososial dan stimulasi
kognitif. Perawatan psikososial dan stimulasi kognitif tidak diteliti karena
membutuhkan kompetensi khusus seperti ilmu psikologi.
48
49
Bagan 3.1
Kerangka Pikir Pola Asuh
Pola Asuh Baduta
Perawatan bagi Ibu
Pemberian ASI
Eksklusif
Pemberian Makanan
PendampingASI
Penyiapan dan Penyimpanan
Makanan
Praktik Kesehatan
Dasar
Pola Pencarian Layanan
Kesehatan
Praktik Higiene dan
Sanitasi Lingkungan
Stunting
50
3.1. Definisi Istilah
No. Faktor yang
Diteliti Definisi Istilah Cara Ukur Alat Ukur Sumber/Informan
1. Pemberian
ASI Eksklusif
Tidak memberikan bayi
usia 0-6 bulan makanan
atau minuman lain
termasuk air putih kecuali
obat-obatan atau vitamin
dan mineral lain
(Kemenkes, 2014).
Wawancara
mendalam
Pedoman
wawancara
mendalam
Pengasuh Utama
Keluarga
Kader Posyandu
TPG Puskesmas
2.
Pemberian
Makanan
Pendamping
ASI
Pemberian makanan selain
ASI setelah anak berusia
diatas 6 bulan yang
memperhatikan jumlah,
frekuensi serta
menggunakan berbagai
makanan untuk menutupi
kebutuhan gizi anak
dengan tetap menjaga
proses menyusui (WHO,
2014)
Wawancara
mendalam
dan
observasi
Pedoman
wawancara
mendalam
dan
pedoman
observasi
Pengasuh Utama
Keluarga
3.
Penyiapan
dan
Penyimpanan
Makanan
Perilaku ibu atau pengasuh
lain dalam hal
Penyiapan dan pemberian
makanan balita yang
meliputi pengaturan menu
makan,
penyajian dan
penyimpanan makanan,
kebiasan membeli makan
balita di luar (Lutfiana,
2013)
Wawancara
mendalam
dan
observasi
Pedoman
wawancara
mendalam
dan
pedoman
observasi
Pengasuh Utama
Keluarga
4.
Praktik
Kesehatan
Dasar
Perilaku preventif berupa
memberikan imunisasi
lengkap sebelum 1 tahun,
tatalaksana rumah tangga
ketika ada yang sakit serta
penggunaan pelayanan
kesehatan (CORE, 2003).
Wawancara
mendalam
dan telaah
dokumen
Pedoman
wawancara
mendalam
dan buku
KIA
Pengasuh Utama
Keluarga
Kader Posyandu
TPG Puskesmas
5.
Pola
Pencarian
Layanan
Kesehatan
Keterlibatan ibu terhadap
sumber informasi dan
sarana pelayanan
kesehatan dan gizi
terutama posyandu dan
puskesmas (Fema IPB dan
Plan Indonesia 2008).
Wawancara
mendalam
dan telaah
dokumen
Pedoman
wawancara
mendalam
dan buku
KIA
Pengasuh Utama
Keluarga
Kader Posyandu
TPG Puskesmas
6.
Praktik
Higiene dan
Sanitasi
lingkungan
Kemampuan ibu menjaga
anak agar tetap bersih,
mendapat lingkungan yang
sehat, dan terhindar dari
cedera dan kecelakaan
(Ayu, 2008).
Wawancara
mendalam
dan
observasi
Pedoman
wawancara
mendalam
dan
pedoman
observasi
Pengasuh Utama
Keluarga
51
No. Faktor yang
Diteliti Definisi Istilah Cara Ukur Alat Ukur Sumber/Informan
7. Perawatan
bagi Ibu
Waktu istirahat yang
cukup dan peningkatan
asupan makan selama
masa kehamilan (Engle
dkk, 1997).
Wawancara
mendalam
dan telaah
dokumen
Pedoman
wawancara
mendalam
dan buku
KIA
Ibu
Keluarga
Kader Posyandu
TPG Puskesmas
52
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk
mengeksplorasi bagaimana praktik pola asuh ibu terhadap baduta yang
mengalami stunting di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang
tahun 2015.
4.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Wilayah Puskesmas Neglasari Kota
Tangerang tahun 2015 yang memiliki wilayah kerja sebanyak 4 kelurahan,
yaitu Kelurahan Neglasari, Mekarsari, Karang Sari, dan Karang Anyar.
Penelitian ini dimulai pada bulan Mei sampai Juli tahun 2015.
4.3. Informan Penelitian
Informan utama dalam penelitian ini adalah pengasuh utama dari
baduta usia 13-24 bulan yang mengalami stunting, bukan karena penyakit
atau cacat bawaan. Informan dalam penelitian ini dipilih dengan purposive
sampling, pemilihan informan didasarkan atas kesesuaian dan kecukupan.
Kesesuaian didasarkan pada pengertahuan atau informasi yang diberikan
berhubungan dengan masalah penelitian. Sedangkan kecukupan, informasi
52
53
yang didapatkan harus mempunyai variasi dan berkaitan dengan
penelitian. Jumlah informan utama dalam penelitian ini ditetapkan 4 orang.
Pemilihan 4 informan didasarkan pada rekomendasi yang diberikan
Riemen (1986) dalam Creswell (1998) dalam Akhmadi (2009) yang
merekomendasikan jumlah informan sebanyak 3-10 orang.
Kemudian, Daymon dan Holloway (2008) menyebutkan tidak ada
aturan atau panduan ketat untuk ukuran sampel, secara umum sampel
kualitatif terdiri ats sampling kecil yang diteliti secara mendalam. Daymon
dan Holloway (2008), mengatakan bahwa yang paling sering sampel
terdiri 4 dari hingga 40 informan. Hal yang perlu mendapat garis bawah
dalam setiap penelitian kualitatif adalah kejenuhan. Sampel kecil masih
dapat diterima hingga kejenuhan terjadi, yaitu ketika tidak muncul lagi
data baru yang penting. Informan dalam penelitian ini dibagi menjadi 2,
yaitu informan utama dan informan pendukung.
1. Informan Utama
Kriteria informan utama dalam penelitian ini yaitu pengasuh utama
yang merawat baduta usia 13-24 bulan dengan status gizi stunting.
Cara mendapatkan informan utama dalam penelitian ini yaitu dengan
melihat daftar anak yang mengalami stunting dalam buku
penimbangan balita di puskesmas dan dari informasi yang diberikan
oleh TPG puskesmas bahwa terdapat 2 anak yang mengalami masalah
gizi seperti stunting dan berat badan kurang. Jumlah informan utama
dalam penelitian ini yaitu 4 orang, diambil dari 3 kelurahan yang ada
wilayah kerja Puskesmas Neglasari.
54
2. Informan Pendukung
Informan pendukung dalam penelitian ini yaitu keluarga dari baduta
yang mengalami stunting, kader posyandu dan TPG puskesmas.
4.4. Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan wawancara
mendalam, observasi, dan telaah dokumen.
1. Wawancara mendalam
Wawancara dilakukan langsung oleh peneliti dengan menggunakan
pedoman wawancara mendalam.
2. Observasi
Observasi dilakukan dengan cara mengamati langsung dan mencatat
keadaan yang berkaitan dengan masalah penelitian..
3. Telaah dokumen
Telaah dokumen dilakukan dengan cara melihat dokumen seperti
buku, laporan kegiatan atau catatan lainnya untuk memproleh
informasi terkait masalah yang diteliti.
4.4.1. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini yaitu :
1. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung baik dari
informan utama maupun informan pendukung dengan cara
wawancara mendalam dan observasi.
2. Data sekunder, yaitu data yang diproleh secara tidak langsung,
tetapi didapatkan dari telaah dokumen seperti buku KIA dan
laporan puskesmas.
55
4.4.2. Instrumen Penelitian
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu pedoman wawancara mendalam dan pedoman observasi.
Instrumen lain yang digunakan adalah alat perekam suara, kamera,
dan alat tulis.
4.5. Analisis Data
Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis
interaktif (Miles dan Huberman, 1994). Analisis interaktif terdiri dari 3
alur kegiatan yang saling berhubungan, yaitu :
1. Reduksi Data
Data yang didapatkan dalam penelitian kualitatif adalah kumpulan-
kata-kata. Setelah wawancara selesai, peneliti membuat transkrip data
dari hasil wawancara tersebut. Ketika transkrip selesai dibuat,
peneliti hanya mengambil data yag berhubungan dengan pertanyaan
penelitian. Untuk data yang tidak ada kaitannya masalah, maka dapat
disimpan dalam bentuk verbatim.
2. Penyajian Data
Data yang telah direduksi kemudian dibuat dalam bentuk matriks dan
dikategorikan berdasarkan satu variabel yang didasarkan dari pola
jawaban yang sama. Penyajian data melibatkan langkah-langkah
mengorganisasikan data yang satu dengan data yang lainnya sehingga
seluruh data yang dianalisis benar-benar dilibatkan dalam satu
56
kesatuan. Proses penyajian data dapat memudahkan proses analisis
karena data yang didapatkan terasa begitu banyak dan bertumpuk.
3. Penarikan Kesimpulan
Setelah penyajian data selesai, selanjutnya data dinalisis dengan
melihat jawaban dari masing-masing informan yang kemudian
dibandingkan dengan hasil observasi dan telaah dokumen.
4.6. Validasi Data
Validasi data dilakukan melalui teknik triangulasi. Triangulasi yang
dugunakan dalam penelitian ini yaitu triangulasi metode dan triangulasi
sumber. Triangulasi sumber dilakukan dengan wawancara kepada
informan utama dan informan pendukung. Sedangkan triangulasi metode
dilakukan dengan cara wawancara mendalam, observasi, dan telaah
dokumen. Berikut adalah gambaran validasi data yang dilakukan dalam
penelitian ini.
57
Tabel 4.1
Validasi Data
No. Faktor yang
Diteliti
Wawancara Mendalam
Observasi Telaah
Dokumen Pengasuh
Utama Keluarga
Kader
Posyandu
TPG
Puskesmas
1. Pemberian ASI √ √ √ √
2.
Pemberian
Makanan
Pendamping ASI √ √ √
3.
Penyiapan dan
Penyimpanan
Makanan √ √ √
4. Praktik Kesehatan
Dasar di Rumah √ √ √ √ √
5. Pola Pencarian
Layanan Kesehatan √ √ √ √ √
6.
Praktik Higiene
dan Sanitasi
lingkungan √ √ √
7. Perawatan bagi Ibu √ √ √ √ √
58
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
UPTD Puskesmas Neglasari berawal Pustu dibawah wilayah UPTD
Puskesmas Kedaung Wetan. Pada tahun 2003, puskesmas ini berdiri
sendiri tepatnya sejak tanggal 1 Februari. Awalnya, jumlah pegawai hanya
5 orang dan terus berkembang sampai sekarang hingga mencapai 25 orang.
Wilayah kerja Puskesmas Neglasari terdiri dari 4 kelurahan, yaitu
Kelurahan Neglasari yang memiliki 44 RT dan 8 RW, Kelurahan
Mekarsari yang terdiri dari 33 RT dan 6 RW, Kelurahan Karang Anyar
yang terdiri dari 33 RT dan 7 RW, dan terakhir Kelurahan Karang Sari
yang memiliki 52 RT dan 15 RW. Di sebelah utara, Puskesmas Neglasari
berbatasan dengan Kelurahan Selapajang dan Bandara Soekarno-Hatta,
sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Tangerang dan Kecamatan
Karawaci, sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Kedaung Wetan dan
Kecamatan Karawaci, dan sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan
Batu Sari.
Wilayah Kecamatan Neglasari merupakan daerah yang berdekatan
dengan pusat pemerintahan Kota Tangerang dan DKI Jakarta. Hal ini
memberikan pengaruh yang signifikan dalam perkembangan masyarakat di
wilayah lainnya. Karakteristik masyarakat di Kecamatan Neglasari sudah
58
59
sangat majemuk layaknya masyarakat ibukota Jakarta. Jika dilihat dari
pekerjaan berdasarkan data kunjungan pasien ke puskesmas, status
pekerjaan terbanyak adalah belum bekerja dan ibu rumah tangga. Berikut
gambarannya:
Diagram 5.1
Status Kunjungan ke Puskesmas Berdasarkan Jenis Pekerjaan
Di wilayah kerja Puskesmas Neglasari terdapat cukup banyak
warung yang menjual bahan makanan untuk keperluan sehari-hari. Selain
itu terdapat juga akses yang mudah untuk ke pasar. Namun berdasarkan
data dari Litbang Kota Tangerang tahun 2011, Kecamatan Neglasari
merupakan kecamatan paling rentan terhadap kerawanan pangan
dibanding kecamatan lainnya di Kota Tangerang. Kecamatan Neglasari
memiliki prioritas nomor 3 terhadap kerawanan pangan. Hal ini secara
umum disebabkan karena prevalensi underweight pada balita, persentase
penduduk hidup dibawah garis kemiskinan (paling tinggi), rumah tangga
tanpa akses terhadap air bersih, dan rumah tangga tanpa akses terhadap
listrik (Litbang Kota Tangerang Tahun 2011). Berikut gambarannya:
54.80%
22.80%
8.30%
7.50% 2.10%
2.90% 8.30%
Data Kunjungan Pasien Menurut Pekerjaan Tahun 2014
Belum Bekerja
IRT
Buruh
Karyawan
PNS
Pelajar/Mahasiswa
Wiraswasta
60
Gambar 5.1
Peta Kerawanan Pangan Kecamatan yang Ada di Kota Tangerang
5.2 Karakteristik Informan
5.2.1. Informan Utama
Informan utama dalam penelitian ini adalah pengasuh utama
dari baduta usia 13-24 bulan yang mengalami stunting, terdiri dari
4 informan. Keempat informan tersebut berasal dari 3 kelurahan
yang ada di bawah wilayah kerja Puskesmas Neglasari yaitu
kelurahan Karangsari, Karanganyar, dan Kelurahan Neglasari.
Informan tidak diambil dari Kelurahan Mekarsari disebabkan
karena sulitnya mencari anak usia 13-24 yang mengalami stunting
di wilayah itu dan faktor tempat yang tidak memungkinkan. Status
gizi anak diketahui berdasarkan indikator TB/U dari hasil
61
pengukuran tinggi badan yang dilakukan di puskesmas. Berikut
adalah karakteristik informan utama :
Tabel 5.1
Karakteristik Pengasuh Utama dari Baduta Usia 13-24 Bulan yang
Mengalami Stunting
Baduta Stunting Ra Ai La Al
Umur Balita dalam Bulan 13 18 20 24
Jenis Kelamin Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan
TB (Cm) 70 69.5 74.5 75
BB Lahir dalam Gram 2.100 2.200 2.700 2.300
Nama Pengasuh Utama Sh Nh Yu Y
Umur 25 25 - 25
Pendidikan SD SD SD SMA
Pekerjaan Ibu Rumah
Tangga
Ibu Rumah
Tangga
Ibu Rumah
Tangga
Ibu Rumah
Tangga
Pekerjaan Ayah Baduta Buruh Bangunan Buruh Harian
Lepas
Pegawai
Swasta
Petugas
Kebersihan
Rata- rata Penghasilan
Orant Tua Baduta Perbulan
1.200.000 1.200.000 > 2.000.000 2.500.000
Jumlah Anggota Keluarga
dalam 1 Rumah
3 4 7 4
Jumlah Balita dalam
Keluarga
1 1 1 1
Hubungan dengan Baduta Ibu Ibu Bibi Ibu Angkat
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa seluruh baduta
dalam penelitian ini memiliki jenis kelamin perempuan. Usia
baduta yang paling keci adalah 13 bulan dan paling besar berumur
24 bulan. Ketika lahir sebagian besar baduta tersebut memiliki
berat badan di bawah 2.500 gram.
Sebagian besar umur informan utama berusi 25 tahun.
separuh dari mereka mempunyai hubungan dengan anak sebagai
ibu kandung sedangkan yang lainnya merupakan ibu angkat dan
bibi dari baduta. Pekerjaan seluruh pengasuh utama dalam
penelitian ini adalah ibu rumah tangga, sebagian besar dari mereka
memilki tingkat pendidikan SD. Pekerjaan ayah baduta bervariasi
62
mulai dari buruh bangunan sampai pegawai swasta. Separuh orang
tua baduta memilki pengasilan sekitar Rp. 1.200.000 perbulan
sedangkan sisanya diatas 2.000.000. Penghasilan orang tua baduta
perbulan. Dalam keluarga, seluruh informan memilki 1 orang balita
dimana sebagian besar dari mereka memilki jumlah anggota
keluarga kurang dari 5.
5.2.2. Informan Pendukung
1. Keluarga Baduta yang Mengalami Stunting
Informan keluarga baduta yang mengalami stunting
terdiri dari 4 orang. Keempat informan tersebut adalah keluarga
terdekat yang mengetahui pola asuh yang diterapkan pengasuh
utama kepada anaknya. Berikut sedikit gambaran tentang
informan pendukung yang berasal dari keluarga terdekat :
Tabel 5.2
Informan Pendukung Keluarga
Berdasarkan tabel diatas diketahu bahwa sebagian besar
jenis informan pendukung adalah perempuan. Separuh dari
mereka adalah ibu rumah tangga dan ibu kandung dari baduta.
Karakteristik H/Sh Asm/Nh Rh/Yu S/Y
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Perempuan Perempuan
Pekerjaan Buruh Ibu rumah
tangga
Ibu rumah
tangga
Petugas
kebersihan
Hubungan dengan
Baduta stunting Ayah Nenek Ibu Kandung Ibu kandung
63
2. Kader Posyandu
Informan pendukung dalam penelitian ini juga melibatkan
kader posyandu. Kader yang dipilih adalah mereka yang
bertugas pada wilayah dimana keempat informan utama
membawa anaknya ke posyandu atau posyandu yang terdekat
dari tempat tinggal informan utama. Berikut adalah
gambarannya:
Tabel 5.3
Informan Pendukung Kader Posyandu Kader SM/Sh W/Nh T/Rh SY/Y
Nama Posyandu Teratai 1 Dahlia 1 Mawar 2 Kuntum Mekar
Lama menjadi Kader 3 tahun Lebih dari 5 tahun 10 tahun Lebih dari 5 tahun
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa masa informan
menjadi kader paling lama adalah 10 tahun sedangkan yang
paling sedikit 3 tahun.
5.3 Gambaran Pola Asuh
5.3.1. Pemberian ASI Eksklusif
Dari hasil wawancara mendalam didapatkan hasil bahwa 3
dari 4 baduta stunting tidak diberikan ASI eksklusif. Sementara
itu, 1 orang informan yang juga merupakan ibu kandung baduta
stunting mengaku telah memberikan ASI eksklusif kepada anaknya
selama 6 bulan pertama kelahiran agar anak mempunyai daya tahan
tubuh yang kuat. Berikut kutipannya :
―emm eksklusif 6 bulan. Agar daya tahan tubuhnya kuat, ya
kata bidan sih itu. Memberikan ASI selama 1 tahun karena
64
harus dagang, setelah 1 tahun dilepas mulai dari situ dia
sakit sakitan, kecilkan badannya‖ (Informan pendukung Rh)
Perilaku 1 informan yang memberikan ASI eksklusif kepada
anaknya karena sering diingatkan oleh saudaranya.. Informasi
tersebut diperoleh dari informan pendukung yang merupakan
sepupu dari salah satu informan utama yang juga merupakan kader
posyandu di wilayah tersebut. Berikut kutipannya :
―Dia ASI eksklusif, kan kita sering ingetin juga, kita kan
kader, tapi kader di RW lain, kita suruh ASI
eksklusif‖(Sepupu Rh, kader posyandu)
Sedangkan alasan ibu tidak memberikan ASI eksklusif karena
kesibukan bekerja di luar rumah, ingin meningkatkan berat badan
anak sehingga diberikan susu formula, air susu ibu yang kurang,
anak menangis saja, dan ibu mengira anak dalam keadaan lapar.
Makanan yang sering diberikan kepada anak ketika dibawah usia 6
bulan umumnya berupa makanan halus yang ditambahkan air
seperti produk X atau sejenisnya, susu formula, pisang, dan
makanan lainnya yang bertekstur lembut. Berikut kutipannya :
“Iya diberikan ASI, eee diberikan pisang ketika empat bulan,
terus cerelak saya encerin aja kaya susu, abis kayanya dia
nangis aja, air susu saya kurang ASI sayanya kurang, jadi
dia laper kali, yaudah saya kasih aja. Dianjurin sama bidan
Nur juga untuk ASI eksklusif, cuman ya diem aja, hehehehe,
lah atuh yang penting mah alus, udah itu doang. Pisang
cerelak gitu aja, pisang serelak aja sih, kalo 6 bulan kan
belom boleh dikasih bubur nasi, dibikinin itu aja, kata bidan
nur disuruh bikin tepung beras dimasak dikasih susu, gitu
aja, disuruh kaya gitu.‖ (Informan utama Sh)
65
“Ya karena kita kehalang kerja, udah kerja doang. Engga
,paling kalo misalkan kita kerja susu botol gitu sebelum kerja
paling malemnya sih ,kan pagi udah di anterin, subuh-subuh
jam 5 udah di anterin kita‖ (Informan pendukung S, ibu
kandung dari A)
Pernyataan ketiga informan yang mengaku tidak memberikan
ASI eksklusif dan 1 informan yang memberikan ASI eksklusif
memang benar. Hal tersebut diketahui berdasarkan informasi yang
didapatkan dari informan keluarga dan 1 orang kader. Menurut
TPG puskesmas perilaku ibu memberikan ASI eksklusif di
wilayahnya memang masih rendah, walaupun ada satu dua orang
yang melakukannya.
Ketika wawancara dengan salah satu informan keluarga,
ditemukan hal yang kurang baik dari petugas kesehatan seperti
dokter yang memberikan susu formula untuk diberikan kepada
anak. Berikut kutipannya:
“Pertama saya kasih air tajin, terus susu, air tajin cuman 2
hari, terus dapet susu dari dokter‖(Informan pendukung
Asm, nenek dari Ai)
Dalam hal lamanya pemberian ASI, seluruh informan
mengatakan bahwa sebaiknya ASI diberikan kepada anak hingga
umur mereka mencapai 2 tahun. Namun dalam praktik
sesungguhnya, hanya 2 dari 4 informan yang masih memberikan
ASI hingga sekarang, sedangkan 2 informan lainnya memberikan
ASI hanya sampai anak mereka mencapai umur 7 dan 12 bulan.
66
Informan yang masih memberikan ASI beralasan karena kasihan
kepada anaknya kalau dihentikan pemberiannya dan lebih memilih
anaknya berhenti sendiri meminta ASI. Sedangkan informan yang
memberikan ASI sampai usia 7 dan 12 bulan saja beralasan karena
air susunya kurang dan ibu sedang bekerja di luar rumah. Berikut
kutipannya :
―Ini masih diberikan ASI sampai sekarang, dulu aja anak
saya yang pertama sampe 2 tahun diberikan ASI. Iya masih
sampe sekarang....dianya belom berhenti ya susah, iyaaa, dia
kudu berhenti sendiri, ada yang sampe 3 tahun, 2 setengah
tahun gituuu...kalo diberhentiin sayang kasihan‖ (Informan
utama Nh)
―Sampai tujuh bulan diberikan ASI kemudian di stop dan
dikasih susu formula, Sebenernya sampai 2 tahun katanya,
karena air susu sayanya sedikit, ya saya udah coba banyakin
, sayur, Cuma sayanya ga doyan sayur, sayanya ga doyan
sayur, jadinya.....‖ (Informan utama Sh).
Berdasarkan wawancara kepada informan keluarga dan
pengasuh/momongan baduta, memang benar 2 anak masih
diberikan ASI sampai sekarang. Sedangkan 1 informan pendukung
mengatakan kalau ASI diberikan sampai sekitar usia anak 1 tahun.
Satu informan pendukung lainnya tidak mengetahui sampai berapa
lama anak diberikan ASI.
67
5.3.2. Pemberian Makanan Pendamping ASI
Pola asuh pemberian makan dalam penelitian ini meliputi
pemberian makanan selain ASI yang memperhatikan jumlah,
frekuensi, dan variasi makanan untuk mencukupi kebutuhan gizi
anak dengan tetap menjaga proses menyusui. Hasil penelitian
mengenai praktik pemberian makanan tambahan didapatkan dari
hasil wawancara mendalam kepada informan utama. Wawancara
juga dilakukan kepada informan pendukung yang merupakan
keluarga terdekat, kader posyandu, dan TPG Puskesmas Neglasari.
Selain itu, Penggalian informasi juga dilakukan dengan cara
observasi terhadap praktik pemberian makan yang dilakukan oleh
informan utama ataupun informan pendukung.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada
informan utama, didapatkan hasil bahwa semua baduta yang
mengalami stunting sudah diberikan nasi ketika umur anak sekitar
1 tahun. Selain nasi sebagai makanan pokok, anak juga lebih sering
diberikan makan dengan 1 macam lauk dan sayur untuk setiap kali
makan seperti telur yang dicampur dengan kecap, tahu, tempe,
ikan, hati ampela, ataupun ayam. Untuk sayur yang diberikan, yang
paling sering adalah sayur sop, kadang diberikan bayam, jagung,
labu siam, kangkung, sampai sayur asam. Dalam hal pemberian
sayur, ada anak yang memang memakan sayurnya dan ada pula
anak yang hanya mau memakan kuahnya saja.
68
Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa seluruh
informan masih memberikan susu kepada anak baik itu ASI
ataupun susu formula bahkan ada 1 orang anak diberikan
keduanya. Frekuensi pemberian ASI dan susu formula dalam
penelitian ini mulai dari 2 sampai diatas 5 kali pemberian. Dari 4
informan, ada 1 orang yang mengatakan sering memberikan bubur
organik yang dicampur dengan sayur dan sumber protein seperti
ayam, daging, dan hati ampela yang dibeli dari pedagang di sekitar
rumahnya. Berikut kutipannya :
―Kadang kita masak sayur, ya entar diiniin tahu kalo engga
tempe, ikan gitu. Seringnya makan bubur organik sih dia, kan
ada yang jual isinya ya menunya tiap hari beda, kalo
sekarang hari rabu menunya tomat, daging ama brokoli
gitu‖ (Informan utama Sh)
―Kalo makan dia lancar, maksudnya ya ama yang apa sih??
Yang bergizi gituuu...contohnya sayur jagung..jagung bergizi
kan.....Terus telooor, ikan, sayur-sayuran kaya sayur bayem
gitu, udah itu aja. Lancar sih makannya, susunya juga
iya..tapi dia mah susunya susu ini.. frisian flag gitu..engga-
engga mencret cocok. Nyusunya paling 2 kali, kalo lagi ga
ini sekali doang, malem ato pagi. ― (Informan utama Y)
―Dia makannya kadang , paling saya gorengin telor, kecap,
dia pengennya ama kecap. Kadang sama ikan, nasi bukan
nasi lembek, sedanglah kaya kita makan. cemilannya dapet
berapa jem saya kasih biskuit sama susu Dia kan minum susu
juga, sekarang masih nyusu, sehari bisa 4 kali.‖(Informan
utama Yu)‖(Informan utama Yu)
―Sekarang sehari tergantung kasih ASI nya, lebiiih dariii,
eee tiap hari, ada kali, kalo mao tidur, bangun tiduur, kalo
diitung yaa ada kali 10 kali.‖(Informan utama Nh)
69
Ketika wawancara dengan salah satu informan pendukung
didapat sedikit informasi yang mengatakan kalau anaknya sering
diberikan nasi dengan sayur mayur saja tanpa tambahan lain.
Berikut kutipannya:
―Menunya paling Cuma sayur-sayuran doang sih, kaya sayur
wortel, kentang sama brokoli gitu....‖(Informan pendukung
H, ayah dari baduta Ra)
Untuk pemberian buah, seluruh informan mengatakan kalau
anak jarang diberikan buah, anak diberikan buah kalau memang
sedang ada saja. Dari hasil wawancara, terdapat 1 informan yang
mengaku bahwa anaknya tidak suka buah kecuali pepaya dan jeruk.
Berikut kutipannya :
―Dia ga doyan buah, Cuma pepaya doang sama jeruk,
sayuran mah doyan dia, kaya sop-sopan, bayem, dia suka
kalo itu mah, sayurnya dimakan‖ (Informan utama Nh)
―Selingannya siang-siang buah, itu juga kalo ada, kalo lagi
ga ada.....‖ (Informan pendukung Rh)
Berdasarkan hasil observasi didapatkan gambaran bahwa
anak makan 2-3 kali dalam sehari. Terkadang 1 anak makan lebih
dari 3 kali karena anak ikut kembali makan ketika ibu atau orang
lain yang ada di rumah sedang makan. Ketika wawancara dengan
pengasuh, momongan, ayah, dan ibu kandung didapatkan hasil
bahwa anak memang suka ikut makan jika ada anggota keluarga
yang makan. Berdasarkan hasil wawancara didapatkan informasi
70
ada anak yang diberikan makan 2 kali perhari yaitu hanya pagi dan
sore saja. Tetapi ketika wawancara dengan informan pendukung
didapatkan hasil kalau anak kadang makan 3 kali sehari karena
ditambahkan makan pada waktu siang. Berikut kutipannya :
―Sehari dikasih makan 2 kali doang, pagi sore.‖(Informan
utama Nh)
―Nur kasih makan jangan banyak banyak, kalo laper kasih
lagi, 3 kali dah ama tengari kalo dia mindo.‖(Informan
pendukung Asm, ibu dari Nh)
―Sehari tiga kali makan, kadang sih kalo emang lagi
ini....lebih juga dimakannya.‖(Informan utama Y, ibu angkat
Al)
―Tiap hari engga, engga 3 kali sehari engga sering gitu,dia
maksudnya doyan makan emanya lagi makan ikut makan
gitu.‖(Informan pendukung S, ibu kandung dari Al)
―Makanan pokoknya paling 2 kali...‖(Informan utama Yu)
Dalam hal Porsi, makanan pokok yang diberikan kepada anak
seperti nasi, biasanya pengasuh utama memberikan antara 2 sampai
10 sendok makan ukuran sedang kepada baduta. Terdapat 3 baduta
yang sulit untuk makan dan tidak dihabiskan. Sedangkan 1 baduta
lainnya sangat menyukai makanan apa saja, untuk makanan pokok
seperti nasi, biasanya baduta ini menghabiskan 1 centong atau lebih
untuk setiap makannya. Berikut kutipannya :
―Ya paling sesendok makan nasinya, jadi buat dia 10 kali
suap lah, lauknya seperti telor, ayam, ikan, ati gitu. Sekarang
anak makannya lagi susah pas umur setahun tuh susah, udah
dibeliin vitamin, masih aja begitu‖ (Informan utama Sh)
71
―Kalo disuapain banyaknya paling 5 sendok, kalo makan
sendiri mah dikit doang udahan... banyaknya paling juga 2
sendk doang‖ (Informan utama Nh)
―Sedikit sih ga banyak , yah 5 suap mah ada,
iya....‖(Informan utama Yu)
―Kalo ukuran centong sih satu centong lebih sedikit setiap
kali makan dan selalu habis, pakai sayur, sayur ama ikan
yang paling sering. Dia selalu habis makannya‖ (Informan
utama Y)
Berdasarkan hasil wawancara kepada informan keluarga,
didapatkan hasil yang sama mengenai porsi anak ketika makan.
Berikut kutipannya:
―Paling juga yaah 2 sendok lah sekali mkan ga banyak-
banyak amat nasi.‖(Informan pendukung Asm, nenek dari
Ai)
―Banyaknya secentong juga ga habis....anak susah
makan.‖(Informan pendukung H, ayah dari Ra)
―Kalo misalkan saya makan dia disuapin masih mau, makan
juga lagi, mau kadang kadang Cuman itu ga banyak sesuap 2
suap paling banyak 3 suap‖ (Informan pendukung Rh)
Berdasarkan hasil observasi, lauk yang diberikan hanya 1
butir telur atau kurang, sepotong tahu, tempe, beberapa potong
bakso, dan sedikit ikan atau ayam. Terkadang ada anak yang hanya
diberikan nasi dan sayur saja tanpa tambahan lauk. Sebagaian besar
anak terlihat tidak menghabiskan makanan yang diberikan dengan
hanya beberapa suap saja kemudian meninggalkan makan yang
diberikan atau tidak mau disuapi lagi.
72
Berdasarkan observasi juga didapatkan hasil bahwa ada anak
yang pernah memakan mie instan dan ikut makan jika ada anggota
keluarga lain yang makan, baik anak itu sedang berada di rumah
ibu angkatnya ataupun ketika berada di rumah pengasuhnya.
Selama observasi berlangsung, seluruh anak tidak pernah
mengkonsumsi buah, hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh
para informan utama bahwa anak diberikan buah jika memang
sedang ada saja, waktunya tidak menentu, dan diberikan buah jika
sedang ada penjual buah potongan yang berkeliling.
Untuk sayur, porsi yang diberikan hanya sekitar 1-3 sendok
makan seperti sayur sop, bayam, dan kangkung. Bahkan, ada anak
yang susah untuk memakan sayur dan hanya mau diberikan
kuahnya saja. Berdasarkan observasi juga terlihat 2 anak jarang
diberikan sayur, hanya makanan pokok seperti nasi dan lauk saja,
sedangkan susu diberikan jika anak mau atau ada waktu khusus
seperti pagi dan sore hari.
Untuk makanan selingan, Berdasarkan hasil observasi
didapatkan gambaran bahwa anak tidak diberikan makanan
selingan. Biasanya anak dibuatkan susu ketika siang hari, bahkan
ada anak yang diberikan dot susu agar anak tertidur pada siang hari.
Ketika wawancara kepada informan utama didapatkan hasil yang
sama dimana anak hanya diberikan makanan selingan berupa roti,
itupun kalau anak sedang mau saja. Namun, terdapat perbedaan
hasil observasi dengan wawancara kepada informan utama lainnya.
73
Hasil wawancara menyebutkan Anak diberikan makanan selingan
biasanya berupa roti, wafer, dan biskuit. Berikut kutipannya:
―Makannya ringannya kalo lagi nyantai aja kaya gini suka
saya kasih kalo lagi iseng, secara umum sih 2 kali dikasih,
megangnya biskuit aja, udah gitu aja jajan biasa, wafer gitu
aja.‖(Informan utama Sh)
Untuk masalah jajan, ketika observasi berlangsung, peneliti
jarang melihat anak jajan, hanya melihat sekali sampai dua kali
saja. Hal ini karena anak lebih senang bermain dengan teman-
temannya diluar rumah, namun terkadang anak tersebut diberikan
makanan seperti permen oleh teman-temannya karena kurang
pengawasan dari orang tua. Ada anak masih terlalu kecil, sehingga
jarang meminta jajan dan hanya menyusu saja atau main di depan
rumah. Selain itu, ada 1 anak yang lebih sering menangis dan mau
dengan ibunya saja karena takut dengan kedatangan peneliti. Tetapi
peneliti juga pernah melihat anak diberikan makanan dari penjual
keliling seperti cilok oleh ibunya. Peneliti juga pernah melihat 1
anak jajan es dan sejenis kerupuk berbumbu tetapi pengasuhnya
hanya diam saja.
Berdasarkan hasil wawancara, didapatkan hasil bahwa anak
memiliki kebiasaan jajan. Makanan yang sering dibeli anak yaitu
permen, es, chiki, wafer, roti, dan biskuit. Mengenai seringnya
anak jajan, informan mengatakan kalau anak jajan terkadang saja
dan selalu diawasi, seperti dilarang beli chiki, permen, dan es.
74
Namun terkadang juga ibu menuruti keinginan anak karena anak
menangis. Berikut kutipannya:
―Jajannya kadang-anak-anak susah ya, kadang minta
permen, kadang dilarang juga karena dia kan ada
penyakitnya, permen ama ciki ga dikasih, tapi namanya anak
kecil dia bagi sendiri.(Informan Utama Yu)
―Kalo jajannya paling wafer sama biskuit, rotinya kalo lagi
mao, mao, kalo engga, engga....‖(Informan utama Nh)
―Dia jajan mulu sih kadang-kadang, tadi sih baru roti ,terus
apa sih ya tadi, roti kacang....untuk jajan Selalu diawasi,
selalu. Soalnya harus diliatin jajanya.‖(Informan utama Y)
Perilaku pemberian makan merupakan salah satu pola asuh
yang menjadi masalah di wilayah kerja Puskesmas Neglasari.
Berdsarakan hasil wawancara kepada TPG puskesmas didapatkan
informasi bahwa pemberian makan anak tidak sesuai dengan
jumlah, jadwal, dan jenis. Porsi makan yang diberikan anak kurang
dimana hanya separuhnya saja yang dimakan. Jadwal pemberian
makan merupakan hal yang paling susah diterapkan oleh ibu karena
tidak menyiapkan makan untuk anak. Ketika anak menagis dan
tidak ada makanan, anak diberikan jajan yang macam-macam,
akibatnya anak tidak mau makan lagi karena merasa sudah
kenyang. Selain dua masalah diatas, variasi pemberian makan juga
kurang dimana makanan yang diberikan hanya itu-itu saja sehingga
anak bosan dan tidak mau makan. Berikut kutipan lengkapnya:
―Terutama kurang gizi yang kita pantau mereka rata-rata
memang jadwal makan, jadi mau jam makan kasih chiki,
75
permen, es, karena kalo ga diturutin nangis, iya kan
akhirnya dikasih lah, akhirnya ketika jam makan..... Itu jam
makan itu, jam makan itu paling ...ibu itu harusnya pinter
jam makan tuh pagi siang sore, sama snack, kadang ibu ga
tepat akhirnya kan si anak laper belum tersedia makanan,
akhirnya dia jajan kan yang aneh-aneh, setelah jajan ketika
dikasih makan ga mau karena sudah merasa kenyang anak
tidak mau karena sudah kenyang dengan makanan yang tadi.
Kemudian apalagi ya, kurang penganekaragaman makanan.
Jadi itu itu aja, jadi anaknya bosen ga mau makan.
Kemudian dia harusnya makan harusnya satu porsi ternyata
masuknya ½ porsi, dia bilang itulah udah makan, Harusnya
dia lihat situasi si anak itu kalau porsinya kecil kasihlah
porsi kecil tapi sering‖(Informan pendukung RJ, TPG
Puskesmas Neglasari)
5.3.3. Penyiapan dan Penyimpanan Makanan
Pola asuh penyiapan dan penyimpanan makanan dalam
penelitian ini meliputi perilaku pengasuh dalam menyiapkan
makanan untuk anak yang meliputi pengaturan menu makan,
penyajian dan penyimpanan makanan, dan kebiasaan membeli
makanan dari luar.
Berdasarkan hasil observasi, anak diberikan menu berbeda
setiap harinya. Sebagai contoh, 1 informan ketika hari pertama
memberikan makan anak dengan sayur sop dengan bakso yang
dibeli dari rumah makan. Ketika observasi hari berikutnya
informan memberikan makan anak dengan sayur kangkung
ditambah lauknya berupa tahu. Untuk informan lainnya, ketika
observasi hari pertama anak diberikan makan dengan telur yang
ceplok dengan nasi. Observasi hari berikutnya anak dibuatkan
76
makanan berupa ikan goreng dengan sayur labu siam yang
dicampur dengan jagung.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada
informan utama, didapatkan hasil bahwa memang benar sebagian
besar informan memberikan menu yang berbeda setiap harinya.
Menu makanan yang diberikan kepada anak umumnya berupa nasi,
sayur-mayur dan lauk-pauk. Namun, anak lebih sering makan
dengan 1 jenis makanan seperti sayur sop dengan nasi atau nasi
dengan telur. Berikut kutipannya:
―Menu makannya sehari hari sayur, lauk pauk, tahu, tempe,
gitu aja, ini mah lagi ga masak, tiap hari ganti-ganti,
contohnya sayur asem, terus sayur apa....sayur
kangkung...yang paling sering sop-sopan ama tempe....‖
(Informan utama Nh)
―Sering telur, ikan, tahu, tempe kadang dikecapin‖.
(Informan utama Yu)
“Yaitu tadi nasi, nasi jenis sayur sop, bayem, telor, ya
sukanya itu variasinya itu lagi, ya sering kadang kadang sih
paling banyak saya buatin telor dadar kan karna itukan ga
ngabisin waktu, ama kecap telor dadar ma kecap masaknya
dirumah sebelum saya dagang‖ (Informan pendukung Rh)
Berdasarkan hasil observasi, dalam hal cara makan, seluruh
anak sudah makan dengan piringnya sendiri, namun 3 anak terlihat
disuapi dan 1 anak lainnya makan sendiri. Anak yang disuapai
karena masih berumur 13 bulan, sedangkan anak yang sudah
makan sendiri berumur diatas satu setengah tahun. Pengolahan
makanan yang dilakukan seluruh informan utama umumnya sama
77
dimana makanan sebelumnya dicuci terlebih dahulu dengan air
kemudian baru dimasak sampai matang.
Dalam hal penyajian makanan, makanan hanya ditaruh biasa
diatas piring atau mangkuk tanpa adanya hiasan atau model-model
makanan agar anak lebih tertarik makan. Selain itu, mengenai
kebersihan peralatan masak atau makan seluruh informan mencuci
peralatan tersebut dengan sabun sebelum digunakan.
Berdasarkan hasil wawancara mendalam kepada informan
utama didapatkan hasil yang sama dengan observasi dimana
mengenai cara makan anak, seluruh informan mengatakan anak
makan dengan piringnya sendiri, namun 3 anak masih disuapi dan
1 anak hanya mau makan sendiri. Sedangkan dalam hal pengolahan
makanan, seluruh informan mengatakan kalau sebelumnya
makanan dicuci bersih kemudian dimasak sampai matang,
walaupun terdapat 1 informan yang hanya memasak 1 minggu
sekali.
Proses penyajian yang dilakukan ibu terhadap anak
berdasarkan hasil wawancara mendalam yaitu, makanan hanya
ditaruh biasa saja diatas piring atau mangkuk tanpa ada hiasan
untuk menarik anak agar lebih mudah makan. Namun 1 informan
mengatakan kalau kadang pernah menghias makanan untuk
anaknya agar lebih tertarik. Selanjutnya untuk kebersihan peralatan
masak dan makan, seluruh informan mengatakan kalau sebelumnya
78
peralatan tersebut dicuci bersih pakai sabun. Diantara 4 informan
utama tersebut, ada 1 informan yang selalu merebus botol susu
anaknya dengan alasan untuk membunuh kuman yang menempel.
Berikut kutipannya :
―Paling dia juga suka pengennya makan sendiri, pengennya
megang sendiri, cuman diacak-acak. Sekarang masih
disuapi, nanti kalo udah bisa baru... Cara mengolah
makanan ya dicuci dulu, udah gitu baru dimasak sampai
mateng. Menyajikanya ya biasa sih, ada sih cetakannya,
paling entar cetakan buat ini kan dapetnya lagi itu beli dari
mama lemon dulu kan , kita dapet cetakan nasi buat gambar
ini. Kalo lagi iseng ya suka kita cetakin, kalo engga mah
biasa. Peralatan makan ya dicuci pakai cling, punya dia
pakai cling, kalo punya saya pakai mama lemon. Botol susu
apa, habis itu kan direbus botol susunya.(Informan utama
Sh)
Mengenai kebersihan ibu sebelum menyiapkan makanan,
Berdasarkan hasil observasi didapatkan gambaran bahwa seluruh
informan terlihat tidak mencuci tangan sebelum memberikan
makan anak. Untuk perilaku menyimpan makanan, ibu menaruhnya
di dalam rak ataupun ditaruh diatas meja. Makanan harus
dihabiskan hari itu juga karena takut menjadi basi.
Berdasarkan wawancara kepada informan utama, terdapat
kesamaan mengenai perilaku penyimpanan makanan dengan hasil
observasi. Namun, Untuk perilaku mencuci tangan sebelum makan,
terlihat adanya perbedaan dimana seluruh informan mengatakan
kalau sebelumnya tangan dicuci terlebih dahulu walaupun 2 dari 4
79
informan mengatakan kadang tidak mencuci tangan karena pakai
sendok. Dari 4 informan, 2 diantaranya mengatakan mencuci
tangan pakai sabun, sedangkan 2 informan lainnya hanya terkadang
saja pakai sabun. Berikut kutipannya :
―Ya kalo masak saya bersih dulu, cuci tangannya pake
sabun, ya biar ga kena kuman gitu, mao masak cuci tangan
dulu, kasih makan anak cuci tangan...Meyimpannya dalam
bupet, bupet itu yang ada tutupnya, tempat sayur ada
tutupnya terus taro dalem bupet....makanan langsung
dihabiskan dalam hari itu, soalnya takut basi.‖ (Informan
utama Nh)
―Kalo cuci tangan sih....soalnya kan ambil makanannya pake
sendok, cuci tangan, ya cuci tangan aja diluar, terus dilap
sampe bersih. Kalo nyimpen makanan sih taro aja diatas
sini, ditutupin.‖ (Informan utama Y)
Perilaku terakhir yang diteliti dalam penyiapan dan penyajian
makanan adalah kebiasaan ibu memberikan makanan dari luar.
Ketika observasi berlangsung peneliti tidak pernah melihat ibu
membelikan makanan dari luar karena sudah memasak sendiri. Hal
ini disebabkan karena biasanya ibu tidak memasak ketika hari sabtu
atau minggu, sedangkan observasi dilakukan diluar kedua hari
tersebut.
Namun berdasarkan hasil wawancara mendalam kepada ibu
baduta, diketahui bahwa 3 dari 4 informan sering memberikan
makanan dari luar seperti lauk dan sayur untuk makan. Ada yang
masih diberikan bubur organik karena umurnya baru 13 bulan dan
ada yang dibelikan lauk dan sayur untuk anak makan. Ketika
80
wawancara dengan salah satu informan pendukung, didapatkan
keterangan bahwa anak sudah tidak mau diberikan bubur, sekarang
sudah diberikan nasi saja. Sedangkan 1 informan lainnya
mengatakan bahwa jarang sekali membeli makanan dari luar karena
lebih memilih masak sendiri. Berikut kutipannya :
―Ya bubur juga bubur organik sih, bukan kaya bubur ayam
biasa, bubur organik gitu, bubur balita sehat. Nih kalo
misalkan saya ga masak tuh ya, beli, beli 9000, beli 3 tempat
gitu buat 3 kali makan, ya kalo bubur mah kalo kita ga
masak jadi sering, tergantung kitanya kalo kita lagi males
masak ya saya beli bubur gitu , ya paling kalo ga masaknya
itu hari sabtu, minggu hari yang itu aja‖(Informan utama Sh)
―Kadang kadang makan beli aja, saya suka beli mateng aja,
masak kadang kadang , masak sendiri seminggu 1 kali, kan
saya kerja, makanan yg sering sendiri itu sayur sop sayur
bayam‖ (Informan pendukung Rh)
―Ga pernah dibeliin dari luar, soalnya kan masak, masak
sendiri soalnya, ga ada alasan lain sih, Cuma karena masak
aja.‖(Informan utama Y).
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan pendukung,
didapatkan sedikit perbedaan dari 1 informan yang mengatakan
kalau anaknya sering dibelikan lauk dari luar. Hal tersebut juga
didukung oleh hasil observasi dimana anak jarang diberikan
makanan oleh ibunya. Ketika makan anak lebih sering diberi atau
disuapi oleh bibi yang berada di belakang atau samping rumahnya.
Berikut kutipannya:
81
―Dia sering beli, ee dia mah sering beli, buat anaknya
kadang kesini, kalau ibunya jarang masakin....Kalo yang
kecil mah dari sini aja kita masakin.‖(Informan utama Yu)
5.3.4. Praktik Kesehatan Dasar
Pola asuh kesehatan dasar dalam penelitian ini meliputi
upaya preventif yang dilakukan pengasuh berupa pemberian
imunisasi, dan bagaimana praktik ibu ketika anak sedang sakit atau
mencegah anak terkena penyakit. Pengambilan informasi dilakukan
dengan cara wawancara mendalam kepada informan utama dan
informan pendukung, melihat data hasil pemberian imunisasi yang
tercatat dalam buku seperti KIA.
Berdasarkan hasil wawancara, didapatkan hasil bahwa
Penyakit yang paling sering dan umum dialami oleh baduta
penderita stunting adalah diare dan panas, selain itu ada penyakit
lain seperti batuk, asma dan gatal-gatal yang sering baduta alami
beberapa waktu terakhir. Berikut kutipannya:
―Gitu doang batuk pilek, panas dia mah udah gitu doang, eh
ama mencret sering mencret dia mah.‖(Informan utama Sh)
―Penyakit yg sering dialami sesak napas, gatel gatel, batuk,
diare, akhir-akhir ini diare.‖(Informan Rh)
Berdasarkan wawancara dengan informan keluarga dan kader
posyandu, didapatkan informasi yang sama bahwa penyakit yang
82
sering dialami anak adalah panas, batuk, dan diare serta terdapat 1
anak yang memilki penyakit asma .
Untuk imunisasi anak, didapatkan hasil bahwa semua baduta
diimunisasi lengkap sebelum usia 1 tahun, tetapi, untuk imunisasi
tambahan yang dilakukan sekitar usia satu setengah dan dua tahun,
semua anak belum diimunisasi atau terlewat waktu melakukan
imunisasi karena tidak bisa datang ke posyandu. Berikut
kutipannya :
―Imunisasi anak Alhamdulillah kumplit, kumplit, lengkap.
Entar kan setahun tiga bulan eh setahun lima bulan ada eee
apa yah kata bidan Nur yah?? Katanya umur setahun
setengah sama 2 tahun disuntik lagi, suntik tambahan
katanya‖ (Informan utama Sh)
Berdasarkan wawancara dengan informan pendukung yang
berasal dari keluarga terdekat pengasuh utama dan 3 orang kader
posyandu, didapatkan hasil yang sama bahwa semua baduta
diimunisasi lengkap sebelum usia 1 tahun. Namun, ketika peneliti
meminta untuk melihat buku KIA yang dimiliki, 3 dari 4 informan
tidak bisa memberikan buku itu dengan alasan bukunya sudah tidak
ada, ditinggal di posyandu, dan ditaruh di kampung dan tidak bisa
diambil. Setelah dilihat, informan yang memberikan buku KIA
memang telah melakukan imunisasi dengan lengkap.
Berdasarkan hasil observasi, didapatkan gambaran bahwa 3
anak dibiarkan main tanpa pengawasan dalam keadaan sedikit
83
kotor didepan dan lingkungan rumah yang terdapat banyak sampah
serta beberapa kandang unggas, disana mereka bermain tanah,
pasir, dan bermain kotor-kotoran. Ketika bermain di luar rumah, 2
anak terlihat tidak memakai alas kaki dan suka memasukkan jari ke
dalam mulut. Mengenai jajan anak, 1 informan terkadang
memberikan jajan anak karena kalau tidak dikasih akan menangis,
1 anak terlihat jajan yang mempunyai rasa gurih seperti ciki atau
kerupuk yang berbumbu, sedangkan 2 anak lainnya terlihat jajan
permen dan es. Terdapat pula anak yang jajan dari penjual jajan
anak keliling seperti cilok ataupun basreng.
Ketika wawancara, 1 informan mengakui tempat bermain
anak memang kurang baik karena kotor, anak jarang mendapat
pengawasan, dan tidak memakai alas kaki ketika bermain. Namun,
terlihat perbedaan hasil observasi diatas dengan informasi dari 3
informan utama. Berdasarkan hasil wawancara, hal yang dilakukan
pengasuh utama agar anak tidak terkena penyakit yaitu, anak harus
dijaga makannya, jangan jajan sembarangan, lebih banyak waktu di
rumah dan tidak sering keluar rumah dengan alasan banyak virus.
Selain itu, 1 informan mengatakan untuk tetap menjaga kebersihan
anak, informan lainnya mengatakan kalau anak main harus selalu
diawasi. Berikut kutipannya :
―Kata bidan Nur sih anak jangan suka diajak main keluar, di
rumah aja, kata bidan nur gitu. Jadi kan diluar tuh banyak
virus- viruuus, kata bidan Nur gitu. Kata mencegahnya juga
kita harus ngasih jajannnya jangan sembarangan, gitu aja
sih‖ (Informan utama Sh)
84
―Eeeee, apa yah?? Makanannya sih kayanya ya, dari
makanannya harus dijaga, makannya harus bener-bener
dijaga. Jaganya diliat kalo misalkan minum ini ga cocok, apa
yang harus dia minum gitu, makanan juga begitu. Terus kalo
lagi main, main juga harus dijaga, diliat mainnya, main
kotor-kotoran atau apa gitu, kan itu juga nyebabin penyakit
juga, kalo dia main selalu diawasin, kalo engga sama
mamahnya, ya sama ayahnya‖ (Informan utama Y)
Mengenai pengawasan ketika jajan, peneliti melakukan
wawancara kepada informan keluarga. Hasil yang didapat yaitu
anak kadang jajan tidak teratur, sering jajan di penjual keliling,
anak kadang diawasi minum es tetapi terkadang dikasih pula,
terkadang anak memaksa jajan walupun dilarang.
Ketika anak jatuh sakit, yang dilakukan ibu berdasarkan
wawancara mendalam kepada informan utama adalah memberikan
penanganan pertama. Seluruh informan utama memiliki kebiasaan
yang berbeda-beda ketika menangani anak yang baru terkena
penyakit. Satu informan mengatakan hal yang pertama dilakukan
yaitu mencari obat penurun panas, ketika penyakit masih berlanjut
baru dibawa ke puskesmas atau rumah sakit terdekat. Dua
informan mengatakan langsung membawa anak ke tempat
pelayanan kesehatan seperti puskesmas atau klinik dokter karena
panik. Satu informan lainnya mengatakan melihat terlebih dahulu
penyakitnya, kemudian anak dikerik dan diminumkan paracetamol
kalau anak panas. Jika sakit masih berlanjut anak baru dibawa ke
puskesmas tetapi hal ini jarang dilakukan karena informan
85
mengaku lebih memilih diobati di rumah saja karena penyakit tidak
terlalu parah ditambah lagi dengan jarak ke puskesmas yang
lumayan jauh. Berikut kutipannya :
―Kalo anak sakit ya yang pertama saya lakuin nyari obat
turun panas kalo dia panas, kalo untuk penyakit lain,
langsung berobat ke sari asih, kalo engga ke puskesmas, gitu
aja sih saya mah‖ (Informan utama Sh)
―Liat sakitnya dulu, tergantung sakitnyaa, kalo misalkan
kaya kemaren kan mencret-mencret tuh, coba dikeriiiik, kalo
udah lumayan, oooh yaudah, paling diminumin paracetamol
kalo badannya panas. Kalo masih berlanjut baru dibawa ke
puskesmas. Ke puskesmas sih jarang, kalo sama saya sih
baru kemaren dibawa ke puskesmas, soalnya kan kalo ga
terlalu parah, paling dikasih obat aja dari rumah‖ (Informan
utama Y)
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan keluarga,
terdapat sedikit perbedaan dimana 1 informan utama mengatakan
langsung membawa anaknya ke puskesmas atau rumah sakit.
Namun informasi tersebut berbeda dengan apa yang dikatakan oleh
keluarga dimana ketika anak sakit hal yang pertama dilakukan
adalah diurut, jarang dibawa ke dokter atau rumah sakit, jika panas
belum juga turun baru kemudian anak berobat ke puskesmas.
Berikut kutipannya:
―Pertama diurut, kaga dibawa ke dokter, engga, asal udah
diurut sembuh, kadang kadang kalo panasnya ga turun baru
dibawa ke puskesmas.‖(Informan pendukung Asm, nenek
dari Ai)
86
Setelah pergi ke pelayanan kesehatan dan mendapatkan obat,
sebagian besar informan utama mengatakan kalau pemakain obat
untuk anak selalu ikut yang dianjurkan. Jika sebelum obat habis
anak sudah sembuh, maka pemakaian obat dihentikan. Informasi
diatas sama dengan apa yang dikatakan oleh informan keluarga
dimana obat yang didapat diminum sesuai anjuran, kalau anak
sudah sembuh dan obat masih tersisa maka obat dibuang atau
dipakai kembali jika anak sakit kalau obatnya masih bagus.
Namun, ada 1 informan utama yang mengatakan kalau ada
antibiotik yang diharuskan untuk dihabiskan, ketika anak sudah
sembuh maka obat tetap tidak dihabiskan. Berikut kutipannya :
―Diminum, harus diminum obatnya, Diminum obatnya
sampe habis, kalo emang dia udah selesai udah sehat masih
kesisa, yaudah ga diminumin lagi, obat sisanya dibuang‖
(Informan utama Y)
―Ya ikut anjuran aja, kadang kadang sih engga, misalkan
udh 3 kali sehari dia udh sembuh ada antibiotik yg harus
dihabisin kadang kadang saya ga abisin aja, ya gitu....‖
(Informan pendukung Rh)
Perilaku ibu diatas diperkuat dengan informasi yang
diberikan oleh informan keluarga dimana ketika mendapatkan obat,
pemakainnya sesuai dengan yang dianjurkan. Namun, untuk 1
informan yang kadang tidak menghabiskan antibiotik, informan
keluarga mengatakan tidak tahu perilaku ibu tersebut.
87
5.3.5. Pola Pencarian Layanan Kesehatan
Berdasarkan hasil wawancara mendalam, didapatkan
informasi bahwa 2 dari 4 informan selalu membawa anaknya ke
posyandu setiap bulan. Satu informan mengatakan kalau rutin
datang ke posyandu, tetapi kadang tidak datang karena lupa dengan
jadwal. Sedangkan satu informan utama yang merupakan ibu
angkat baduta mengaku belum pernah membawa anaknya ke
posyandu. Alasannya ketika sedang ada jadwal posyandu anak
selalu berada dengan ibu kandungnya. Setelah melakukan
wawancara dengan informan pendukung yang merupakan ibu
kandung anak, didapatkan informasi bahwa anak tidak rutin dibawa
ke posyandu. Alasannya karena ibu bekerja dan anak dititip di
momongan yang merupakan tetangga dekat rumah.
Setelah melakukan wawancara dengan momongan,
didapatkan hasil bahwa, anak tidak pernah dibawa ke posyandu
karena sejak pagi sampai sore anak berada dengan momongan atau
ibu angkatnya, sedangkan ibu kandung sendiri jarang mempunyai
waktu untuk anak karena kesibukan bekerja, kecuali malam hari
saja. Ketika wawancara dengan kader, kader mengatakan kalau
anak tersebut tidak pernah dibawa ke posyandu dan tidak memilki
data anak tersebut. Berikut kutipannya :
―Belom pernah siiih, iya disini mah belom pernah dibawa ke
posyandu atau ke pelayanan-pelayanan yang begitu, belom
pernah. Alesannya kalo lagi ada posyandu, anak ini lagi
sama mamahnya kayanya, udah itu aja, ga bisa bawa ke
88
posyandu karena lagi sama mamahnya. Pernah denger ada
posyandu sih, sering banget denger, tapi gituuuu, dia lagi
sama mamahnya‖ (Informan utama Y, ibu angkat dari Al)
―Bulan-bulan ini cuma kemaren doang sih kan ga begitu
rutin, masalahnya puskesmasnya siang pas kita kerja,
momongan suka suka kaga tau ,momongan . Tapi sering
sering ditempat momongan sih‖ (Informan pendukung S, ibu
kandung dari Al)
―Kagak pernah dibawa ke posyandu, orang tiap hari ama
kita, kan ibunya mah kerja, ga pernah dibawa ke posyandu..‖
(Informan pendukung YY, momongan dari A)
―Kalo orang yang ibunya sering ke posyandu dan aktif ke
posyandu, saya pasti kenal wajah anak dan ibunya walaupun
ga kenal namanya... Saya ga pernah lihat ibu ini, kalo ibu
yang sering ke posyandu, ibu itu pasti kenal kader-
kadernya...terus dia kan tadi ga kenal saya... Saya ga kenal
dia, ga punya data-data dia.‖(Informan SY, Kader posyandu
Y dan S)
Menurut sebagian besar informan, Alasan mereka datang ke
posyandu untuk kesehatan anak, agar anak gizinya tercukupi, dan
untuk meningkatkan daya tahan tubuh ketika anak dewasa. Berikut
kutipannya :
―Rutin setiap bulan sekali ke posyandu Alesannya dateng ya
biar anak sehat aja, biar gizinya cukup, ga kurang, gitu aja
sih saya mah‖ (Informan utama Sh)
Setelah melakukan wawancara dengan informan pendukung
dan kader posyandu, didapatkan hasil sama dengan apa yang
diucapkan oleh informan utama kalau memang mereka rutin datang
ke posyandu setiap bulan. Ketika peneliti meminta untuk melihat
89
buku KIA, hanya satu informan yang dapat memberikannya,
sisanya beralasan bukunya sudah tidak ada, ditinggal di posyandu,
dan hilang. Setelah dilihat memang benar ibu yang memberikan
buku KIA tersebut selalu rutin datang ke posyandu setiap bulannya.
Namun peneliti juga mendapatkan catatan kunjungan ke posyandu
informan Nh yang diperlihatkan oleh kader. Ketika dilihat memang
ibu rutin datang ke posyandu.
Berdasarkan hasil wawancara, jika terdapat masalah
kesehatan yang dialami oleh anak, 2 informan mengatakan
mengkonsultasikannya ke posyandu terdekat seperti menanyakan
cara makan yang baik untuk anak bagaimana, mengapa berat badan
anak tidak naik-naik ataupun masalah kesehatan lainnya. Informasi
tersebut diperkuat dari hasil wawancara dengan kader setempat
yang mengatakan kalau 1 informan sering bertanya mengenai
masalah yang ada pada anaknya ke bidan atau TPG.
Ketika berkonsultasi dengan pihak posyandu, 2 informan
utama tersebut mengaku tidak pernah mendapat kesulitan dalam
bertanya, terlebih kader-kader posyandu tersebut sangat ramah
kepada masyarakat. Sedangkan 2 informan utama lainnya mengaku
tidak pernah mengkonsultasikan masalah kesehatan yang dialami
anak ke posyandu ataupun puskesmas. Mereka hanya menanyakan
masalah tersebut kepada orang yang lebih pengalaman seperti
sepupu atau orang terdekat di sekitar mereka. Berikut kutipannya :
90
―Kalo kita ga tahu, kita nanya lah...nanya sama yang kasih
informasi, kita nanya, konsultasi, gimana baiknya
gitu....seringnya sih sama bidan Nur,kan kalo ketemu bidan
nur lama ngobrolnya... konsultasinya sebulan sekali, kalo
sama bu Ratna kalo kita ke puskesmas aja, Alhamdulillah
pelayanannya baik..‖ (Informan utama Sh)
―Oh engga disini kadernya ramah ramah , biasanya suka
nanya ―eh ko ga nimbang?‖ biasa bu gada yang ngajak‖ (
Informan pendukung Rh)
―Nanya aja ama yang udah yang pengalaman, yang udah
pengalaman, kaya nanya ama sepupu atau apa, ―ini gimana
sih, cara ngasih makanan biar dia ini sehat atau apa‖ gitu
aja. Ga pernah nanya langsung ke posyandu atau ke
puskesmas, soalnya posisinya kan lagi ga ke puskesmas atau
posyandu‖ (Informan utama Y)
Ketika ditanya tentang pentingnya pelayanan kesehatan untuk
anak seperti puskesmas dan posyandu, seluruh informan
mengatakan kalau posyandu dan puskesmas sangat penting untuk
menjaga kesehatan anak, menjaga kekebalan tubuh, memantau
pertumbuhan anak, dan agar anak tidak mudah terkena penyakit.
Berikut kutipannya :
―Ya penting banget sih, buat kesehatan aja, kita pengen tahu
anak tiap bulan, naek apa engga, saya kalo ga ke posyandu
diomelin mulu ama emak, ngapain sih ga ke posyandu, jadi
tiap bulan ke posyandu terus‖ (Informan utama Nh)
5.3.6. Praktik Higiene dan Sanitasi Lingkungan
Berdasarkan hasil wawancara mendalam kepada informan
utama, didapatkan hasil bahwa sumber air utama 3 dari 4 orang
91
informan berasal dari sumur gali dimana 1 informan sudah
menggunakan mesin dan 2 informan lainnya masih menggunakan
pompa sederhana. Sedangkan 1 informan lainnya menggunakan air
PAM. Keadaan sumber air yang terdapat dalam rumah tangga
pengasuh sebagian besar mengatakan airnya bagus. Satu informan
lainnya mengatakan kalau kualitas air yang ada kurang baik karena
tidak bisa diminum. Untuk keperluan minum, seluruh informan
menggunakan air isi ulang, 1 baduta yang diasuh oleh ibu angkat
dan ibu kandungnya juga menggunakan air isi ulang untuk
keperluan minum karena air di tempat ibu kandung baduta Al agak
berbau dan berwarna keruh. Berikut kutipannya :
―Sumber air dari PAM, Cuma kita kalo air minum beli aer
galon, beli aqua. Air PAM cuma untuk mandi, nyuci piring,
nyuci baju, gitu doang ― ( Informan utama Sh)
―Air minum dari galon, kalo air mandi dari kamar mandi,
airnya bersih, kalo diminum ga bisa kayanya....‖ (Informan
utama Y)
―Ya aga kaya keruh keruh gitu ya namanya air sawah
gimana sih, kan deket persawahan ,ga bisa kita, air minum
beli kita, nyuci bisa, kaya aga bau bau gitu‖ (Informan
pendukung S, ibu kandung dari A)
Namun, berdasarkan hasil observasi, ketika baduta A berada
di rumah momongannya, anak diberikan minum dari air sumur
yang dimasak terlebih dahulu. Ketika wawancara kepada ibu
tersebut, ibu menjawab memang untuk keperluan minum ibu
memasak air dari sumur.
92
Dalam hal keberadaan kakus, seluruh informan memakai
kakus yang berada dalam keadaan tertutup. Namun, 3 dari 4
informan utama memakai kakus yang dipakai bersama dan berada
di luar rumah. Dua informan memakai kakus yang dipakai bersama
dengan beberapa penghuni kontarakan yang ada di dekat rumah.
Sedangkan 1 informan lainnya memakai MCK umum, berjumlah 3
kamar mandi. Berikut kutipannya :
―WC MCK itu wc umum , dirumah sih ada tapi udah mampet
jadi di tutup. Semua orang kan wc umum ada didepan , beda
satu rumah aja dari rumah saya. Seribu sekali masuk, ada 3
wc, ga semua orang, masing masing kan punya yang ga
punya aja. Daripada di dalem kan lebih ga bagus kan,
mending diluar lumayan bayar seribu, tempatnya tertutup‖
(Informan Rh)
―Kamar mandinya disono, dibelakang situ, ama yang punya
kontarakannya, bareng-bareng ama yang punya
kontarakannya sih, ada dua. Airnya bersih, kalo diminum ga
bisa kayanya....‖(Informan utama Y)
Berdasarkan hasil observasi, terdapat 1 kamar mandi yang
terlihat tidak terurus dan kotor serta banyak sampah disekitarnya.
Sedangkan MCK umum terlihat diurus dengan baik dan
kebersihannya selalu dijaga walaupun disekitarnya banyak terdapat
kotoran hewan peliharaan seperti ayam dan bebek.
Hasil observasi juga menunjukkan 1 informan utama selalu
menampung air untuk memasak dan mencuci. Namun, di dalam
penampungan tersebut, terlihat lumut-lumut yang menempel.
Selain itu penutup tempat penampungan air tersebut terlihat sangat
93
kotor dan berkerak karena sudah terlalu lama tidak dibersihkan.
Untuk penampungan air yang digunakan mencuci piring, ibu
menaruhnya di dalam bak yang juga terlihat sedikit berlumut dan
diletakkan di belakang rumah yang berdekatan dengan selokan
serta kandang unggas milik tetangga. Selokan yang terdapat
dibelakang rumah tersebut juga digunakan untuk membuang
kotoran anak. Ketika wawancara, ibu mengatakan memang
menampung air yang akan digunakan karena harus dipompa
terlebih dahulu. Untuk kotoran anak memang dibuang di selokan
belakang rumah karena terlalu lama jika harus ke rumah nenek atau
WC kontrakan.
Berdasarkan hasil observasi didapatkan gambaran bahwa
disekitar 1 rumah informan banyak terdapat kotoran hewan seperti
ayam ataupun bebek, dimana tempat itu dijadikan tempat bermain
anak yang terlihat tidak memakai alas kaki. Selain itu terdapat 1
informan yang di depan rumahnya terdapat kandang unggas,
unggas tersebut ada yang berkeliaran di halaman rumah, bahkan
membuang kotorannya di tumpukan pasir tepat berada di luar
rumah informan yang digunakan anak untuk bermain. Dua
informan terlihat di halaman rumahnya tidak terdapat kandang
hewan. Namun, masih ada saja hewan seperti ayam yang bermain
di depan rumah. Setelah diperiksa ternyata dibelakang rumah 1
informan terdapat kandang ayam milik tetangga. Hasil tersebut
94
dikuatkan dengan hasil wawancara dari informan utama yang
memberikan informasi sesuai dengan hasil observasi.
Berdasarkan hasil observasi didapatkan gambaran bagaimana
ibu mengelola sampah. Sampah biasanya ditaruh ditempat sampah,
plastik atau karung yang ada di depan rumah. Hal tersebut juga
dikuatkan berdasarkan hasil wawancara kepada informan utama.
Untuk 2 informan, sampah yang dikumpulkan pada wadah tersebut
dalam beberapa hari ada petugas sampah yang mengangkutnya,
namun 2 informan lainnya membuang sampah yang telah
terkumpul di kebun dekat rumah, 1 informan mengatakan sampah
kemudian dibakar. Berikut kutipannya :
―Tempat sampah ada tempatnya di dalem, ada tong sampah
entar abis itu dibuang, disini mah susah, ga ada yang
ngangkut, kita buang sendiri aja di depan.‖(Informan utama
Sh)
―Sampah mah diambil tiap hari, dulu ini mah buang
sembarangan, kan kalo orang kontrakan sampah
sembarangan buang buang aja, sekarang mah ada uang
sampahnya kalo pagi diambil tiap pagi, jadi ada
dananya.‖(Informan utama Nh)
―Yaitu itu tadi di samping rumah saya tadi kan kesini MCK,
kesini ada tanah kosong belakang MCK ini, yaitu pada
buang sampah kesitu, engga, buang buang aja . Karena
sawah biar nguruk kali ya, ga sih, terhalang rumah yang
lain, iya dikumpulin dulu di dapur sama di depan baru
dibuang ke belakang, terus ada yang dibakar.‖(Informan Rh)
95
Ketika wawancara dengan informan pendukung didapatkan
informasi yang sama dengan hasil observasi mengenai pengelolaan
sampah yang dilakukan oleh pengasuh.
Untuk 1 informan, berdasarkan hasil observasi, walaupun ibu
telah mengumpulkan sampah, di sekitar halaman rumah terlihat
banyak sampah yang berserakan. Ketika sampah disapu dari dalam
rumah, tidak langsung dimasukkan ke tempat sampah atau dibuang,
tetapi dibiarkan saja di depan pintu dan banyak debu yang terdapat
dilantai. Selain itu di depan rumah terdapat banyak tumpukan
barang yang memenuhi bagian sebelah kanan rumah. Hal ini
diperkuat dengan informan pendukung Rh yang mengatakan kalau
di depan rumahnya memang terdapat semacam gudang dan banyak
hewan seperti ayam ataupun bebek yang bermain di sekitar rumah.
Ketika sampah ditaruh di tempat sampah, hewan tersebut
mengacak-acaknya kembali. Sedangkan sampah yang dibiarkan
didepan rumah disebabkan karena ibu bekerja dan anak laki-laki
yang ada di rumah tidak bisa melakukan apa-apa.
Berdasarkah hasil wawancara dengan TPG puskesmas
didapatkan informasi bahwa sampah menjadi masalah utama yang
ada di wilayah kerja Puskesmas Neglasari. Hal ini disebabkan
karena kurang berkoordinasinya pihak kelurahan dengan
puskesmas dan pihak kelurahan dengan RW serta RT yang ada di
wilayahnya. Setiap RW atau RT mempunyai petugas pengangkut
sampah tetapi kurang maksimal karena masalah gerobak. Akibat itu
96
semua banyak sampah yang berserakan karena tidak segera
diangkut, warga yang di sudu-sudut tidak mempunyai tempat
sampah sehingga sampah dibuang ke sungai. Selain itu ada 1
kelurahan yaitu Mekarsari yang di dalamnya terdapat sampah sisa
makanan yang sangat sulit dikendalikan. Menurut TPG sampah itu
dijadikan warga setempat untuk pakan babi dan pemecahan
masalahnya harus dilakukan oleh Musrenbang. Berikut kutipannya:
―Kelurahan siaga disini ada 4, udah penguatan kelurahan
siaga juga. Dengan kelurahan siaga itu kita dapetin masalah
yang ada di wilayah masing-masing terus kita cari solusinya.
Tapi disayangkannya....kan kita sebagai fasilitas saja dari
dinas, bahwa kelurahan siaga punya masyarakat wilayah itu,
kita membantu menyelasaikan masalah yang ada sesuai
kemampuan. Tapi sayangnya persepsi mereka kelurahan
siaga itu punya orang kesehatan. Rata-rata masalahnya
sampah, sampahnya jadi banyak berserakan....berserakan
dalam arti eee ga buru-buru diangkut karena ga ada
gerobak, kalo yang dipojokan-pojokan karena tidak ada
tempat sampah, terus buang sampah disungai sungai. Ada
pengangkut sampahnya, tapi kalo yang jauh dia kendalanya
dari gerobak, sebenernya masalah kecil, urusan RT dan RW.
Kenyataannya yang sepele begitu ga berjalan, berjalan sih
berjalan tapi gak maksimal. Kemudian ada sampah yang
sulit banget dikendalikan, baunya minta ampun, itu menjadi
mata pencaharian masyarakat situ, sampah itu dijual untuk
makan babi karena disini ada peternakan babi.‖(Informan
RJ, TPG Puskesmas Neglasari)
Berdasakan hasil observasi, didapatkan gambaran bahwa 2
ibu menggunakan sabun setelah membersihkan kotoran anak. Yang
menarik adalah, ketika anak dibersihkan, hanya dengan air saja.
Setelah itu ibu mencuci tangan dengan sabun, tetapi anak tidak
97
dicuci tangannya dengan sabun. Hasil itu didapatkan dari observasi
terhadap 2 informan utama. Informan lainnya ketika diobservasi
membersihkan kotoran anak tanpa sabun dan tidak mencuci tangan
setelahnya dengan sabun. Namun, berdasarkan hasil wawancara
kepada informan utama didapatkan adanya perbedaan dengan hasil
observasi. Berikut kutipannya:
―Dibersihin ,pakaian pampers, dicebokin pake sabun,
kemudian dipakein ini, pakein pampers, dikasih minyak
angin dulu di perut sama ke badan, biar anget juga
badannya.‖(Informan utama Y)
―Ya dibersihin, kita cebokin biar bersih, abis itu yaudah kita
cuci tangan pake sabun biar bersih, pake sabunnya selalu,
kan demi kesehatan, namanya kita punya anak
kecil.‖(Informan utama Nh)
Ketika observasi berlangsung peneliti tidak mendapatkan
gambaran perilaku pengasuh setelah anak buang air besar. Namun
berdasarkan hasil wawancara mendalam kepada informan utama
didapatkan hasil bahwa setelah buang air besar anak dibersihkan
oleh ibu kandungnya dengan sabun. Berikut kutipannya:
―Dia kan suka pakai pampers, dialah yang nyebokin, biasa
dibersihin, terus cuci tangan pakai sabun, pokoknya dia yang
nyebokin.‖(Informan utama Yu)
Ketika wawancara dengan informan pendukung didapatkan
informasi yang sama dengan hasil wawancara kepada informan
utama diatas dimana setelah buang air besar anak memang selalu
dibersihkan pakai sabun.
98
Untuk buang air kecil, berdasarkan hasil observasi
didapatkan gambaran bahwa 2 informan ketika anak buang air
kecil, tidak dibersihkan dengan sabun. Anak hanya dilap dengan
celana yang sebelumnya dipakai, tanpa menggunakan air. Untuk
sisa air seni yang berada di lantai, ibupun hanya mengelapnya
dengan celana yang sebelumnya dipakai mengelap anak, juga tanpa
menggunakan air. Satu anak sudah bisa meminta untuk buang air
kecil, kemudian ibu membawanya ke kamar mandi, informasi ini
didapatkan dari wawancara kepada informan pendukung yang
merupakan pengasuh anak. Ketika dirumah orangtuanya, anak
tersebut juga sudah bisa meminta untuk buang air kecil karena
umurnya yang sudah mencapai 2 tahun. Sedangkan untuk informan
lainnya, dipakaikan pampers, sehingga kalau sudah penuh pampers
tersebut diganti dengan yang baru.
Berdasarkan hasil observasi didapatkan gambaran bahwa
terdapat 1 informan utama yang sibuk bekerja sehingga anak
kurang diperhatikan, anak lebih sering dengan bibinya atau
bermain sendiri tanpa pengawasan dengan anak lain. Satu informan
pernah memberikan makanan yang sudah jatuh ke lantai tanpa
mencuci tangan terlebih dahulu, kebersihan anak juga terlihat
kurang dimana baju dan badan anak terlihat sedikit kotor. Anak
main di depan rumah yang terdapat selokan, terkadang anak
menempelkan tangannya ke tanah sedangkan ibu sedang
mengerjakan pekerjaanya. Satu informan membiarkan anaknya
99
bermain didepan rumah yang banyak kandang unggas, ketika anak
kotor dan berkeringat ibu tidak membersihkannya.
Terkadang anak tidak memakai alas kaki ketika bermain.
Satu informan lebih sering dengan anaknya, namun terkadang anak
dibiarkan main kotor seperti bermain masak-masakan di depan
rumah, terkadang anak juga tidak memakai alas kaki ketika
bermain. Hasil observasi ini diperkuat dengan informasi yang
diberikan oleh 1 orang kader yang mengatakan kebersihan anak
kurang dijaga oleh ibunya.
Hasil observasi diatas berbeda dengan informasi yang
diberikan oleh pengasuh. Dalam menjaga anak tetap bersih, seluruh
informan utama mengatakan kalau anak dijaga ketika bermain, jika
anak kotor langsung dibersihkan, menjaga pakaian anak tetap
bersih, memandikan dan merapikan anak. Berikut kutipannya:
―Ya kita jaga anak kita aja, biar nak tetap bersih ya dijaga,
pakeannya dicuci...udah gitu aja. Ya kita lakuin tergantung
kita sendiri sih, jadi kitanya juga harus rapi, kalo abis mandi
kita pakein bedak,minyak telon, gitu aja, sabun,
shampo.‖(Informan utama Sh)
―Kalo misalkan badannya kotor ya dimandiin, kalo kakinya
kotor ya dicuci kakinya, makanya ni lagi kotor nih, tar kalo
misalkan mao tidur, dibawa dulu ke kamar mandi, di cuci
dulu, pake sabun, sabun biasa siiih...(Informan Utama Y)
Mengenai keadaan rumah, berdasarkan hasil observasi
didapatkan gambaran bahwa 2 informan utama memiliki rumah
100
yang sangat sederhana dengan satu ruangan saja di dalamnya,
dimana salah satunya masih mengontrak. Satu informan menempati
rumah milik orang tuanya, terdiri dari tiga ruangan dengan sekat
tembok. Sedangkan 1 informan lainnya tinggal bersama dengan
keluarga lainnya seperti paman dan anak anagkat yang terdiri dari 7
orang. Keadaan rumah tersebut kurang terawat dimana banyak
barang-barang yang ditaruh begitu saja di dalam dan luar rumah.
Dua rumah informan terlihat kurang pencahayaan yang masuk, 2
rumah berlantaikan semen, sedangkan 2 lainnya dengan keramik.
Satu rumah mempunyai langit-langit dari bahan cor, karena
diatasnya masih ada rumah. Satu rumah mempunyai langit-langit
dari kain, sedangkan 2 rumah lainnya tidak mempunyai langit-
langit.
5.3.7. Perawatan Ibu ketika Hamil
Perawatan ibu bagi ibu ketika hamil dalam penelitian ini
adalah waktu istirahat yang cukup dan peningkatan asupan makan
selama masa kehamilan. Aspek yang diteliti yaitu pola makan ibu
selama kehamilan, pemeriksaan rutin ke pelayanan kesehatan
seperti posyandu, puskesmas atau bidan, konsumsi tablet penambah
darah dan imunisasi ketika masa kehamilan, hal apa yang dilakukan
untuk mengetahui bagaimana asupan yang baik dan benar ketika
hamil, dan bagaimana aktifitas fisik dan waktu yang diluangkan
untuk istirahat selama masa kehamilan.
101
Berdasarkan hasil wawancara dengan 2 informan utama,
didapatkan bahwa selama kehamilan 2 ibu memiliki asupan makan
yang kurang. Satu diantara mereka mengatakan kalau selama 7
bulan tidak ada asupan makan kecuali dari susu. Hal ini karena ibu
selalu muntah, karena itu ibu sempat dirawat dan diinfus di dalam
rumah. Tetapi setelah 7 bulan, ibu sangat aktif makan untuk
mengejar asupan yang selama ini kurang. Satu informan lainnya
mengatakan kalau selama kehamilan jarang makan, hal ini karena
ibu sering muntah, makanan tidak tertelan dan mempunyai
perasaan sudah kenyang . Makanan yang sering dimakan Seperti
secentong nasi, lauk-pauk seperti tempe, tahu, sayur, terkadang
ikan, bahkan kadang ibu hanya makan roti saja. Tetapi walaupun
ibu sulit makan, ibu sering memakan cemilan seperti roti dan
biskuit. Berikut kutipannya:
“Pola makan selama kehamilan kalo selama si Laila, itu saya
ga makan, ga makan, selalu muntah jadi minum susu hamil
aja selama 7 bulan aja , makanya kan dirawat terus waktu
Laila dia dari dalam perut. Ga ada masukan hanya susu ga
ada yg lain, susunya ga teratur karena selaper saya aja sih,
itu juga susah masuknya minumnya makanya kondisinya
lemah banget. setelah 7 bulan mau 9 bulan saya aktif
banget, makannya saya kejar , ya makan sayur, makan sayur
sayuran, waktu itu kebetulan suka banget sayur, mimum
minum teh manis , iya buah buahan contohnya pisang
kadang kadang jambu , saya suka yang dijus, jus alpukat.
Untuk makan waktu itu sering, sesering mungkin, mungkin 3
kali sehari, ngemil tambah, apa aja dimakan. Nasi udah,
nasi, sayur, lauk-pauk, 3 kali, terus ya ituuu, ada jus, ada teh
manis, semua yang kenyang-kenyang aja. Nasi banyaknya ya
biasa sepiring, sepiring aja, berapa centong ya, pokoknya
sepiring biasa, kaya makan biasa aja. Cemilannya biasanya
102
buah di jus, cemilan apa ya, ga suka ngemil saya, gorengan
juga ga suka, tapi kadang –kadang kue masih
mau.‖(Informan pendukung Rh)
―Kurang makannya, ga begitu iniiiii... waktu hamil mah
makannya kurang, jadi apa...kemakanan ga begitu demen,
makannya agak jarang-jarang, ga tahu sebabnya, asal
makan gitu muntah, ga ketelen, jadi ga enak...Waktu hamil
maknnya 3 kali sehari, rutin, kadang lagi mau makan, kalo
lagi engga mah engga, paling makan roti doang, kalo lagi ga
mao....Waktu hamil makan nasi paling secentong doang
udah, ga tahu tuh kenyang aja bawaannya, jadi makannya 3
kali, sekali makan secentong....lainnya sih doyan ngemil,
kalo ngemil sering, kaya wafer, biskuit....makannya nasi,
sayur, lauk-pauk, tempe, tahu, campur campur aja, kacang
panjang, jagung....nyayur mah rutin tiap hari, kalo ga
nyayur, ganti-gantian tuh sama saudara saya..ya kadang
teratur, kadang engga, kalo lagi ini mah ga makan, kalo lagi
males mah, iya makanya bayi saya ini....Cuma ada 2,1
doang, lahirnya pas 8 bulan.‖(Informan utama Nh)
Pengakuan kedua informan diatas memang benar, hal
tersebut diperkuat dengan informasi yang didapatkan dari keluarga
terdekat. Untuk 2 informan lainnya, ketika masa kehamilan
mengatakan kalau makan seperti biasa saja. Satu informan
mengatakan kalau sering dilarang makan ikan oleh mertua karena
takut gatal-gatal. Untuk susu, 1 informan jarang meminumnya
karena sering muntah. Sedangkan 1 informan lainnya mengatakan
kalau selama hamil makan berkurang, hanya 2 kali perhari dengan
porsi 1 sampai 2 centong nasi dengan lauk seperti tahu, tempe,
ikan, dan sambal. Selain itu, ibu juga jarang makan sayur, untuk
susu, ibu meminumnya sebanyak 2 kali perhari. Berikut
kutipannya:
103
―Kalo susu kita mau muntah waktu pas kita hamil, susunya
mah kita jarang jarang tapi mau muntah. Asupan seperti
biasanya aja, ya suka si di bilangin mertua jangan makan ini
jangan makan ikan, jangan sering sering nanti gatel apa apa
gitu, terus banyakin makan sayur sayuran, terus apalagi
yah....pokonya yang bau bau amis jangan lah jangan sering
sering, ya takut gatel apa apa, apalagi yah..engga sih itu
doang sih kayanya seinget aku.‖(Informan pendukung S, ibu
kandung dari La)
―Pola makan biasa, ya biasa makan mah ga banyak-banyak
amat, biasa kita makan ya gimana sih, ya menunya biasa,
saya lagi hamil jarang makan sayur, kering-keringan aja,
lauk sama sambel doang. Makannya biasa sih mah, kaya
ikan, ya pokoknya yang kering-kering lah, sambel apa, gitu
aja. Sayurnya jarang, paling nyayur sop sama sayur asem.
Waktu hamil juga minum susu, susunya prenagen, sehari 2
kali minum, sekali minum kalo ga salah waktu itu 3 sendok
untuk satu gelas. Waktu makan porsinya ya secentong dua
centong lah kalo lagi laper, lauknya paling ikan, sambel,
tahu, tempe, gitu, apa aja sih, ya namanya makan.
Banyaknya makan dua kali sehari, lagi hamil mah ga pengen
makan banget, hehehe.‖(Informan utama Sh)
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan keluarga,
terdapat sedikit perbedaan, diatas ibu mengatakan makan seperti
biasa, namun menurut informan pendukung ibu makan lebih sedikit
dari biasanya. Berikut kutipannya :
―Waktu hamil sih makannya kayanya
berkurang....‖(Informan pendukung H, suami dari Sh)
Berdasarkan hasil wawancara, 3 dari 4 informan mengatakan
kalau rutin datang ke posyandu untuk memeriksa kehamilanya.
Sedangkan 1 ibu mengaku jarang datang ke puskesmas tetapi
104
kadang datang ke bidan untuk memeriksa kehamilanya. Berikut
kutipannya:
―Meriksa kehamilan saya sebulan sekali setiap ada
posyandu, terus pas udah mau 8 bulan 9 bulan baru tuh 2
minggu sekali, rutin tuh 2 minggu sekali pas 8 bulan 9 bulan,
udah mau deket gitu. Periksanya sejak ketahuan hamil usia 3
bulan, habis itu selalu ke posyandu.‖(Informan utama Sh)
―Kalo pas hamil mah kita jarang ke puskesmas. Kalo
memantaunya mah sendiri gitu ,maksudnya dalam keadaan
hamil, biasanya ke bidan kaya berat badan yang ditimbang
gitu. Ga ga sering, berapa kali.. lupa mas. ya jarang, paling
ada berapa kali seketemunya aja sih kita, kalo kita lagi mau
kesana.‖(Informan pendukung S, ibu kandung dari Al)
Informasi 3 informan diatas diperkuat dengan hasil yang
diperoleh dari informan keluarga dan kader yang mengatakan kalau
ibu tersebut memang rutin datang ke posyandu. Namun, untuk
informan Rh, informasi yang didapat ada sedikit perbedaan. Hal ini
dimungkinkan karena ibu terkadang memeriksa kandungan ke
puskesmas, sehingga kader kurang tahu jika ibu tidak pergi ke
posyandu tetapi pergi ke puskesmas. Berikut kutipannya:
―Kalo hamil yang kemaren agak lama dia
periksa.‖(Informan T, kader posyandu Rh)
Untuk informan S, peneliti tidak bisa memperoleh informasi
dari lain pihak karena ibu sudah pisah dengan suaminya sejak
masih mengandung dan peneliti tidak bisa melihat catatan seperti
buku KIA selama informan tersebut pergi ke bidan dengan alasan
105
tidak ada atau ditinggal dikampung dan tidak bisa diambil. Selain
itu peneliti juga tidak bisa mewawancarai bidan yang dimaksud
informan tersebut karena jaraknya yang jauh. Berikut kutipannya:
―Kita, anak kedua mah di bidan sih tapi kita sih ga dirasa
sih, itu juga periksa juga jarang sih periksa juga, berapa kali
yam 2 kali pokonya jarang , ya ga kenapa-kenapa sih
pokonya jarang. Ya waktu kita pas hamil yang kedua mah
kita juga posisi lagi kerja, udah karna kerja aja. Tau tau 7
bulanm kita juga salah ngitung sih itu waktu hamil yang
kedua, lahiran sendiri lagi, bidan cuma ngeluarin temennya
doang, di becak ngelahirin sendiri yang kedua. Pas hamil
anak kedua kita ga ketauan hamilnya gitu, suami kan ga mau
anak lagi.‖(Informan pendukung S, ibu kandung Al)
Ketika wawancara dengan mantan suami S, peneliti
mendapatkan informasi bahwa ketika ibu S hamil keduanya tidak
mengetahui. Ketika suami meminta S untuk memeriksa apakah itu
hamil atau bukan, S tidak mau dengan alasan perutnya besar karena
makan banyak saja. Berikut kutipannya:
―Kurang tahu, saya ga tahu, ibu itu hamil pun saya ga tahu,
ga tahu pola makannya gimana, saya dulu tinggal di
Sangiyang....pas main ke rumah orang tua disini saya kaget
dia mau lahiran... Saya pisah dengan istri pas Alifah baru
lahir.‖(Informan pendukung D, mantan suami S)
Dalam hal konsusmsi tablet Fe dan imunisasi ketika hamil,
berdasarkan hasil wawancara dengan informan utama dan informan
pendukung didapatkan informasi bahwa 2 dari 4 informan rutin
meminum tablet Fe dan diimunisasi ketika masa kehamilan.
106
Sedangkan 1 informan diberikan tablet Fe tetapi tidak diminum
dengan alasan bau tetapi diimunisasi di posyandu. Satu informan
lainnya mengatakan mendapatkan tablet penambah darah dan
selalu dihabiskan, tetapi tidak diimunisasi ketika masa kehamilan.
Berikut kutipannya:
―Minum tablet tambah dara dari posyandu, banyaknya satu
bungkus itu kan ada sebungkus, isinya berapa ga ngitungin,
pokoknya sehari sekali aja, selama kehamilan, terus saya
diimunisasi sekali, suntik tetanus apa apa, katanya buat
kebaikan bayi juga.‖(Informan utama Sh)
―Tablet darah dikasih, tapi ga saya minum, karena bau.
Dikasihnya rutin, tapi saya Cuma simpen aja, itu banyak,
sekantong, kan setiap bulan dikasih. Saya itu selalu darah
rendah kemaren aja pas posyandu anak, saya diperiksa
90/60, tapi dikasih pil lagi, tapi saya udah kapok,tapi ditaro
di rumah aja. Imunisasi TT, 2 kali atau sekali saya lupa, ga
inget waktu itu, suntiknya di posyandu.‖(Informan
pendukung Rh)
―Dapet tambah darah gitu dapet, dari bidan, iya sampe
diabisin, diabisin. Imunisasi ga, orang kita ga ketauan
hamilnya gitu, suamikan ga mau anak lagi.‖(Informan
pendukung S, ibu kandung dari Al)
Pengakuan 3 informan utama diatas diperkuat dengan
informasi yang didapat dari informan keluarga ataupun kader
posyandu yang mengatakan kalau ibu memang rutin mendapat
tablet penambah darah, tetapi untuk diminum atau tidaknya
terdapat informan keluarga atau kader yang tidak mengetahui.
Untuk imunisasi, sebagian informan pendukung mengatakan kalau
107
memang ketiga ibu tersebut di imunisasi ketika hamil. Berikut
kutipannya:
―Dia pernah kebidan dia, ke posyandu juga dateng, udah
gitu aja, tablet darahnya juga dikasih, kalau diminum apa
engga ga tahu, yang penting dia mau dateng ke posyandu
aja. Waktu hamil kayanya iya dia diimunisasi.‖(Informan W,
kader posyandu Nh)
―Tablet darahnya kayanya jarang diminum setahu saya sih
kalo ga salah, waktu lahir dia juga kan kata orang
kebobolan...Waktu hamil kurang tahu diimunisasi apa engga,
soalnya ga pernah bilang, kan sama suaminya.‖(Informan
Yu, sepupu dari Rh)
Berdasarkan wawancara kepada informan utama, didapatkan
hasil bahwa 1 informan sering bertanya kepada bidan atau TPG
mengenai pola makan yang baik ketika hamil. Satu informan
mengatakan kalau pernah bertanya kepada bidan, namun nasihat
yang diberikan tidak dijalani. Satu informan hanya bertanya kepada
orang yang sudah berpengalaman seperti mertua. Sedangkan 1
informan lainnya menjawab tidak tahu. Berikut kutipannya:
―Rutin setiap bulan sekali ke posyandu setiap konsultasi gizi
juga dateng ke bu nana setiap hari kamis, iya setiap hari
kamis kan jadwal konsultasi gizi, yaudah terus saya dateng
kesono, nanyaaa, yaa konsultasi aja cara makan yang baik
gimanaaa gituuu. Seringnya sih sama bidan Nur,kan kalo
ketemu bidan nur lama... konsultasinya sebulan sekali, kalo
sama bu Ratna kalo kita ke puskesmas aja, alhamdulillah
pelayanannya baik. Rutin sih tanya-tanya gitu, kalo anak
ngeluh dikit ini,ini,ini, kita nanya ama bidan Nur.‖(Informan
utama Sh)
108
―Ga tahu asupan yang baik, nanya sih, tapi ga pernah bisa
dilakuin, saya mah seini aja, sebisa saya masuk,
makan.‖(Informan utama Rh)
Informasi 1 informan yang mengatakan sering bertanya ke
posyandu atau puskesmas diatas diperkuat dengan hasil wawancara
kepada informan kader, yang mengatakan kalau memang ibu sering
bertanya kepada bidan di posyandu. Sedangkan untuk 1 informan
lainnya yang pernah bertanya ke kader, berdasarkan informasi yang
didapat dari informan keluarga dan kader terlihat adanya kesamaan.
Kader dan keluarga mengatakan kalau ibu tidak bertanya, hanya
menjalani seperti biasa saja. Berikut kutipannya:
―Kayanya dia biasa aja ,dijalanain aja, ga
nanya....‖(Informan pendukung Yu, sepupu dari Rh)
―Nanya-nanya sih engga, Cuma kalo ke posyandu
rutin.‖(Informan T, kader posyandu Rh)
Untuk masalah aktivitas dan istirahat selama kehamilan,
berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa 2 ibu mempunyai
aktivitas sehari-hari seperti merapikan rumah, terkadang olahraga
seperti jalan kaki, dan istirahat siang sekitar 2 jam. Satu informan
tidak melakukan aktivitas apa-apa selama masa kehamilan karena
kondisi tubuh yang kurang baik. Sedangkan 1 informan lainnya
memiliki aktivitas sebagai petugas kebersihan, merapikan rumah,
dan istirahat sekitar 2 jam di siang hari. Berikut kutipannya:
109
―Aktivitas selama kehamilan ya biasa ngerapih rumah,
olahraga, jala-jalan aja, ya ngerapihin rumah aja gitu,
ngapain lagi, ga kerja sih, istirahat Cuma 2 kali, kalo tidur
kita tidur jam 11 entar jam 12 kita bangun, entar ga lama
lagi suka ngantuk, kita tidur lagi, asal jangan pagi-pagi aja
tidurnya katanya.‖(Informan utama Sh)
―Ya kalo lagi hamil mah makannya harus teratur, ya kita
makannya harus teratur banyak istirahat harus olahraga itu juga
kata bidannya sih begitu. Iya Cuma saya aga ini, cuma kadang
kadang suka olahraga ama suami saya.‖(Informan utama Nh)
―Ga keluar rumah selama 7 bulan, ga pernah kena sinar
matahari, infusan kan sampe dirumah waktu itu, karena udah
terlalu bosen ke rumah sakit, kondisi badannya waktu itu
lemah banget, drop waktu itu tidur terus, ga bangun-
bangun.‖(Informan utama Nh)
―Yaitu kerja, kita bawa kerja itu hamil. Waktu nyapu naik
sepeda, di waktu pas di apa kebon nanas, pas dari hamil
sampe mau merojol kerja, itu pas udah lahir juga 3 hari juga
udah kerja. Waktu itu sih waktu pas itu dari jam 5 sampe jam
11 ,udah gada lagi jam 5 sampe 11 dulunya, tapikan
sekarang 2 kali. Istirahatnya kalo abis pulang udah langsung
tiduran gitu aja, engga engga olahraga ,tapi suka suka kalo
lagi hamil suka suka jalan jalan kelapangan gitu gapake
sendal gitu.‖(Informan pendukung S, ibu kandung dari Al)
Informasi dari 3 informan pertama diatas diperkuat dengan
hasil wawancara kepada informan keluarga yang mengatakan sama
seperti yang dikatakan oleh informan utama. Dua informan
memang memilki aktivitas seperti biasa seperti merapikan rumah.
Sedangkan 1 informan lainnya memang tidak mempunyai aktivitas
apa-apa selama kehamilan karena sedang sakit. Sedangkan untuk
informan yang terakhir, peneliti sedikit mendapat informasi dari
110
informan pendukung kalau ibu memang menjadi petugas
kebersihan walaupun ketika hamil.
111
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1. Keterbatasan Penelitian
1. Informan hanya diambil dari 3 kelurahan yang ada di wilayah kerja
Puskesmas Neglasari karena untuk 1 kelurahan lain terkendala
masalah tempat.
2. Observasi tidak dilakukan sampai malam hari karena faktor tempat,
tetapi umumnya peneliti telah mendapat gambaran tentang praktik
kesehatan di rumah, pemberian makanan, penyiapan dan
penyimpanan makanan, dan praktik higiene dan sanitasi lingkungan
pada pagi, siang, dan sore hari.
3. Validasi data mengenai praktik kesehatan dasar, pencarian layanan
kesehatan dan perawatan ketika hamil dari sumber catatan seperti
buku KIA dan catatan posyandu hanya bisa dilakukan terhadap 2
informan. Informan lainnya beralasan buku itu telah hilang dan
sebagian besar kader tidak memberikan buku registrasi posyandu.
111
112
6.2. Karakteristik Informan Utama
Karakteristik informan utama dalam penelitian ini meliputi umur ibu,
pendidikan ibu, pekerjaan ibu, pekerjaan suami, pendapatan, jumlah
anggota keluarga dan jumlah balita yang ada dalam rumah tangga.
a. Umur Ibu
Umur informan utama dalam penelitian ini sebagian besar
berusia 25 tahun, sedangakan 1 informan lainnya berusia 32 tahun.
Hal ini sesuai dengan penelitian Rosha dkk (2012), dimana 56,7%
anak yang mengalami stunting berasal dari ibu yang memiliki usia
antara 20-30 tahun. Hal ini diduga karena frekuensi anak yang
memiliki ibu dengan usia 20-30 tahun lebih besar jumlahnya
dibandingkan ibu yang berusia 31-50 tahun. Selain itu, yang
menyebabkan lebih banyaknya informan berusia 20-30 tahun
karena sebagian besar informan tersebut baru memiliki 1 atau 2
anak dan menikah di usia sekitar 20 tahun. Sedangakan informan
yang berusia 32 tahun menikah pada usia sekitar 18 tahun dan telah
memilki 3 anak.
b. Pendidikan Ibu
Kategori pendidikan berdasarkan wajib belajar adalah rendah
jika tingkat pendidikan SMP kebawah dan tinggi jika SMA ke atas.
Sebagian besar informan utama mempunyai pendidikan yang
rendah (SD dan SMP). Tingkat pendidikan, terlebih pendidikan ibu
dapat berpengaruh terhadap derajat kesehatan. Hal ini disebabkan
113
karena peran ibu sangat banyak pada pembentukan kebiasaan
makan anak, karena ibulah yang mempersiapkan makanan. Dimulai
dari mengatur menu, berbelanja, memasak, menyiapakan, dan
mendistribusikan makanan.
Penelitian Rosha dkk (2012), menunjukkan bahwa ibu yang
memilki pendidikan SMP kebawah cenderung kurang dalam pola
asuh anak dan kurang baik dalam pemilihan jenis makanan untuk
anak. Hal ini karena, ibu dengan pendidikan SMP kebawah
memeilki peluang lebih kecil dalam mengakses informasi
menganai status gizi dan kesehatan anak sehingga pengetahuannya
pun berkurang. Jika tidak memilki pengetahuan maka tidak dapat
dipraktikkan dalam proses pola asuh anak yang akan berakibat
pada satatus gizi anak yang kurang baik. Hasil diatas dapat
menjelaskan penelitian ini, bahwa anak yang stunting mungkin saja
disebabkan karena faktor pendidikan ibu yang rendah.
Penyebab rendahnya pendidikan ibu mungkin disebabkan
karena kemiskinan yang ada dalam keluarga. Berdasarkan data
yang yang diambil dari Litbang Kota Tangerang tahun 2011
diketahui bahwa tingkat kemiskinan di Kecamatan Neglasari
mencapai 20.03%, jauh lebih tinggi dibandingkan kecamatan
lainnya di Kota Tangerang. Tingginya angka kemiskinan di
Kecamatan Neglasari diikuti dengan tingginya perempun buta
huruf di wilayah itu yang mencapai 7.64%. angka itu merupakan
angka tertinggi dibandingkan dengan kecamatan lainnya.
114
c. Pekerjaan Ibu
Sebagian besar informan utama dalam penelitian ini memilki
tugas sebagai ibu rumah tangga. Penelitian Rosha dkk (2012),
dimana 68.7% ibu yang tidak bekerja memiliki anak stunting. Tiga
dari dari 4 informan utama dalam penelitian ini sebagai ibu rumah
tangga diduga karena frekuensi IRT di wilayah penelitian cukup
banyak. Hal ini didukung oleh data kunjungan ke puskesmas pada
tahun 2014 yang menujukkan sebesar 22.8% pasien adalah ibu
rumah tangga.
d. Pekerjaan Suami
Dalam penelitian ini, separuh informan memiliki suami yang
bekerja sebagai buruh bangunan, 1 sebagai pegawai swasta, dan 1
lainnya sebagai petugas kebersihan. Dari 4 informan, hanya 1 yang
memiliki suami dengan penghasilan tetap yang ditetapkan
berdasarkan UMR Kota Tangerang, sedangkan 3 informan lainnya
memilki suami dengan penghasilan yang tidak tetap. Status
pekerjaan suami yang tidak tetap dimungkinkan dapat
menyebabkan kondisi ekonomi yang kurang stabil, akibatnya daya
beli untuk kebutuhan makan dan kesehatan anak akan berkurang,
sehingga anak dapat mengalami gangguan gizi sperti stunting.
Jenis pekerjaan suami dalam penelitian ini mungkin
disebabkan karena rendahnya pendidikan. Berdasarkan wawancara
diketahui sebagian besar ayah balita hanya mengenyam sampai
115
SMP. Hal ini sesuai dengan pendapat yang mengatakan bahwa
pendidikan seseorang sangat berpengaruh dengan jenis
pekerjaannya, jika pendidikannya lebih tinggi maka jenis
pekerjaannya pun akan lebih tinggi (Putri dan Setiawina, 2013).
e. Pendapatan
Menurut BPS, pendapatan rumah tangga adalah pendapatan
yang diterima oleh rumah tangga berdsangkutan baik yang berasal
dari pendapatan kepala rumah tangga maupun pendapatan anggota
keluarga lainnya (Sirusa. Bps.go.id). Berdasarkan Surat Keputusan
Gubernur Banten mengenai penetapan upah minimum
kabupaten/kota, besaran upah minumum Kota Tangerang sebesar
Rp. 2.710.000.
Dalam penelitian ini terdapat 2 keluarga yang mempunyai
pendapatan sekitar Rp. 1.200.000 perbulan. Sedangkan 2 informan
lainnya memilki pendapatan diatas Rp. 2.000.0000 dan Rp.
2.700.000 karena sudah ditetapkan sesuai UMR. Jika dibandingkan
dengan kategori pendapatan berdasarkan besaran UMR, terdapat 3
keluarga yang masih memilki pendapatan kurang. Pendapatan yang
rendah ini mungkin disebabkan karena jenis pekerjaan yang dimilki
oleh keluarga terutama suami. Pendidikan seseorang sangat
berpengaruh terhadap jenis pekerjaannya, jika pendidikannya lebih
tinggi maka jenis pekerjaannya pun akan lebih tinggi dan hal
116
tersebut akan berpengaruh terhadap pendapatan yang diperoleh
seseorang (Putri dan setiawina, 2013).
Penelitian lain mengungkapkan, bahwa pendapatan
merupakan faktor determinan terhadap satus gizi anak melalui
karekteristik ibu, pola asuh kesehatan, dan status kesehatan.
Asumsi yang dikemukakan adalah, semakin tinggi pendapatan
maka akan meningkatkan pola asuh kesehatan dan status gizi
masyarakat. Pendapatan memiliki peran utama ketika variabel lain
seperti karekteristik ibu, pola asuh kesehatan dan status kesehatan
kondisinya sudah lebih baik (Sab‟atmaja dkk, 2010).
f. Jumlah Anggota Keluarga
Jumlah anggota keluarga adalah banyaknya anggota keluarga
yang hidup bersama dalam satu rumah, satu penghasilan dan makan
berasal dari satu dapur (Nasikhah dan Margawati, 2012). Jumlah
anggota keluarga dikelompokkan menjadi 3, kecil jika kurang dari
5 orang, sedang 5-7, dan besar jika memeilki anggota keluarga
diatas 7 (Fema IPB dan Plan Indonesia, 2008). Babatunde dalam
Adi dan Andrias (2011) menyatakan, semakin besar keluarga atau
anggota keluarga maka kemungkinan tahan pangan semakin
menurun. Dengan kata lain, ruamah tangga dengan keluarga besar
cenderung mengalami rawan pangan dibanding keluarga kecil,
terlebih ditambah dengan keadaan status ekonomi miskin. Sumber
pangan keluarga pada rumah tangga miskin atau sangat miskin
117
akan lebih mudah memenuhi kebutuhan makannya jika yang harus
diberi makan jumlahnya sedikit dan sebaliknya.
6.3. Pola Asuh
6.3.1. Pemberian ASI Eksklusif
Sebagian besar informan tidak memberikan ASI eksklusif
kepada anaknya. Satu anak ketika lahir sudah diberikan makanan
cair seperti air tajin dan susu formula. Anak sudah diberikan air
tajin dan susu formula karena ketika melahirkan ibu dirawat selama
beberapa hari. Satu anak diberikan susu formula ketika berumur 3
hari. Anak diberikan susu formula karena ibu bekerja. Sedangkan
satu anak awalnya diberikan ASI saja, namun karena berat badan
anak kurang dan air susu ibu sedikit bidan atau kader menyarankan
untuk memberikan susu formula dan makanan lain seperti tepung
beras yang dicampur susu. Rendahnya pemberian ASI eksklusif di
wilayah penelitian ini sejalan dengan yang dikatakan TPG
Puskesmas Neglasari kalau pemberian ASI eksklusif di wilayah
tersebut masih rendah.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Veriyal (2010) yang
mengatakan bahwa hanya terdapat 1 informan dari balita yang
tidak mengalami peningkatan status gizi diberikan ASI eksklusif
alasan ibu tidak memberikan ASI eksklusif karena ASI tidak
keluar. Satu anak yang diberikan ASI eksklusif tetapi tetap
118
mengalami stunting dapat disebabkan karena asupan makan yang
kurang dan penyakit yang dialami anak. Berdasarkan hasil
penelitian diketahui anak memang terbilang sulit makan dan
memiliki penyakit pernapasan. Menurut (Adair dan Guilkey dalam
Rahayu, 2011), pada usia 2 tahun pertama, diare dan penyakit
pernapasan merupakan penyebab utama yang dapat meningkatkan
kejadian stunting.
Rendahnya perilaku pemberian ASI eksklusif dalam
penelitian ini mungkin disebabkan kurangnya pengetahuan tentang
ASI eksklusif oleh orang tua. Selain itu alasan yang menyebabkan
anak tidak diberikan ASI eksklusif karena ibu anak lebih megikuti
kemauan orang tua atau mertuanya agar anak diberikan makanan
lain sebelum usia 6 bulan. Informasi ini didapatkan dari kader
posyandu yang mengatakan bahwa masih banyak ibu yang tinggal
dengan orang tuanya. Sehingga terkadang perilaku ibu dalam
merawat anak ditentukan oleh orang tua atau mertuanya.
Selain itu, alasan tidak diberikannya anak ASI eksklusif
dalam penelitian ini dimungkinkan karena ketika lahir sebagian
besar anak mempunyai berat badan lahir rendah. Bayi yang lahir
rendah memerlukan tata laksana nutrisi khusus, salah satu sebabnya
adalah karena terbatasnya cadangan nutrisi tubuh. Saat ini
penatalaksanaan BBLR selalu merupakan tantangan bagi tenaga
kesehatan (Perkumpulan Perinatologi Indonesia, 2013). Ungkapan
diatas sesuai dengan apa yang dialami oleh 1 informan dimana
119
ketika berat badan anak kecil, bidan dan kader posyandu
menyarankan agar ibu memberikan makanan lain sebelum usianya
6 bulan dengan alasan menambah berat badan anak. Padahal
menurut UNICEF, makanan terbaik bagi bayi dengan berat badan
lahir rendah, termasuk bayi yang lahir prematur adalah ASI dari
ibunya sendiri.
Faktor ibu bekerja juga dapat menjadi penghalang
diberikannya anak ASI eksklusif. Dalam masa globalisasi sekarang
banyak ibu yang bekerja. Keadaan ini menjadi kendala ibu
memberikan ASI eksklusif kepada anak (IDAI, 2013). Dalam
penelitian, ibu yang bekerja memilki waktu yang kurang dengan
anak, sehingga ASI digantikan dengan susu formula dan perawatan
anak diserahkan kepada tetangga.
Alasan terakhir mengapa ibu tidak memberikan ASI eksklusif
karena ibu melahirkan katika usia kehamilan sekitar 8 bulan.
Alasan tersebut dapat dijelaskan karena bayi orang tua yang
melahirkan prematur seringkali mengalami kesulitan dalam
pemberian ASI. Bayi yang lahir prematur terkadang harus di rawat
pada ruang intensif karena belum matangnya fungsi organ. Hal
tersebut dapat menjadi hambatan, khususnya dalam pemberian ASI
(IDAI, 2013). Dalam penelitian ini, bukan anak yang dirawat
karena lahir prematur tetapi ibu. Keadaan seperti ini membuat
perawatan anak diserahkan kepada neneknya, yang dimungkinkan
juga karena kurangnya pengetahuan tentang ASI eksklusif anak
120
sudah diberikan makanan lain seperti air tajin ketika umur anak
baru beberapa hari.
Meskipun demikian, terdapat 1 informan yang memberikan
ASI eksklusif dengan alasan untuk kekebalan tubuh anak yang
lebih baik. Setelah diteliti, ternyata perilaku baik ibu tersebut
mungkin dipengaruhi oleh saudaranya yang merupakan kader
posyandu. Ketika kader tersebut diwawancarai, ia menjawab
memang benar ibu baduta sering diberikan nasihat agar anak
diberikan ASI eksklusif.
Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa perilaku seseorang
dipengaruhi oleh pengetahuan yang diberikan orang lain.
Pengetahuan mengenai pentingnya pemberian ASI eksklusif dapat
diperoleh dari kader posyandu. Hal ini terbukti dari pengalaman 1
informan yang memberikan ASI eksklusif karena mendapat
dorongan dan pengetahuan dari saudaranya yang merupakan kader
posyandu. Iswarawanti (2010), mengatakan salah satu tugas kader
adalah melakukan penyuluhan gizi serta kunjungan ke rumah ibu
menyusui dan ibu yang memiliki balita. Kader diharapkan dapat
berperan aktif dan mampu menjadi pendorong, motivator, dan
penyuluh masyarakat. Dalam mendukung pemberian ASI eksklusif,
menurut UNICEF, terdapat 4 poin mengenai peran yang dapat
dilakukan kader mengenai 10 pesan hidup sehat dalam kedaruratan.
Pertama, mendata jumlah bayi, ibu hamil dan menyusui. Kedua,
mengumpulkan ibu hamil dan ibu menyusui dalam suatu tempat
121
atau pertemuan. Ketiga, kader mendengarkan keluhan keluhan ibu
yang berkaitan dengan ASI eksklusif dan kesehatan lainnya dan
mencari solusi bersama-sama. Keempat, memberikan perhatian dan
informasi yang diperlukan kepada ibu hamil dan ibu menyusui
tersebut.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengumpulkan
ibu hamil dan menyusui adalah melakukan kegiatan kelas ibu hamil
di setiap posyandu yang kemudian menjelaskan masalah penting
dalam pola asuh seperti pentingnya pemberian ASI eksklusif.
Dengan diberikannya pengetahuan ini diharapkan ibu mau
mengikuti anjuran dan nasihat yang telah diberikan. Berdasarkan
hasil wawancara kepada salah satu kader, di wilayah posyandunya
sering diberikan penyuluhan dan kelas ibu hamil setiap bulan di
posyandu. Hasilnya, menurut bidan tersebut, cakupan perilaku
kesehatan seperti pemberian ASI eksklusif dan kedatangan anak ke
posyandu lebih tinggi atau bahkan paling tinggi dibandingkan
dengan posyandu lain di wilayah tersebut.
Mengenai lamanya pemberian ASI, 2 informan masih
memberikan ASI sampai sekarang, 1 anak berusia 18 bulan dan
akan diteruskan hingga sekitar 2 tahun. Sedangkan anak lainnya
berusia 24 bulan. Dua informan lainnya memberikan ASI sampai 7
dan 12 bulan. Global Strategy for Infant and Young Child Feeding
merekomendasikan pemberian ASI untuk dilanjutkan hingga anak
berusia 2 tahun (WHO, 2003).
122
Berdasarkan rekomendasi diatas, 2 informan sudah memilki
perilaku yang baik karena memberikan ASI sampai usia anak 2
tahun. Satu informan lain tidak memberikan ASI sampai 2 tahun
dikarenakan kesibukan ibu bekerja. Sedangkan 1 informan lainnya
tidak memberikan ASI sampai 2 tahun karena produksi ASI yang
kurang dan kurangnya dukungan dari suami. Informasi ini
diperoleh dari hasil wawancara kepada informan keluarga yang
merupakan suami dari informan utama.
Berdasarkan penjelasan diatas, dukungan orang terdekat
seperti suami dan orang tua sangat diperlukan untuk mendorong
ibu agar mau memberikan anaknya ASI eksklusif. Penelitian
Ramadhani dan Hadi (2010) mengatakan dukungan suami dapat
berperan dalam pemberian ASI eksklusif. Dalam penelitian tersebut
dijelaskan, seluruh ibu menilai perhatian yang mereka dapatkan
dari suami tidak berkurang, suami tidak pernah mengeluhkan
perubahan bentuk tubuhnya setelah melahirkan atau menyusui bayi,
bahkan sebanyak 80% ibu dalam penelitian itu mengatakan
suaminya menyarankan untuk menyusui bayi.
Lebih lanjut, penelitian Ramadhani dan Hadi (2010)
mengatakan, dukungan dari petugas kesehatan dapat
mempengaruhi dukungan suami dan pemberian ASI eksklusif. Hal
tersebut dimungkinkan karena sewaktu ibu memeriksa kehamilan,
bersalin, dan kunjungan neonatal, suami ikut mendengarkan
penjelasan petugas kesehatan mengenai ASI eksklusif dan
123
manfaatnya sehingga suami terpengaruh dan termotivasi untuk
memberikan dukungan secara maksimal kepada ibu untuk
memberikan ASI saja sampai bayi berumur 6 bulan.
Selain berasal dari petugas kesehatan, pengetahuan akan
pentingnya pemberian ASI dapat diperoleh dari pengetahuan
agama, dimana Allah SWT berfirman :
―Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan
penyusuan....‖(Al-Baqarah : 233)
Melihat ayat Al-Quran diatas, mengingatkan kepada kita
bahwa tidak hanya petugas kesehatan saja yang dapat memberikan
pengetahuan tentang pemberian ASI kepada anak. Namun, tokoh
agama seperti ustadz pun dapat memberikan pengetahuan tentang
perintah menyusui kepada masyarakat melalui ceramah ataupun
pengajian-pengajian. Islam sebagai agama yang sempurna, sudah
menganjurkan kepada para ibu untuk menyusui anaknya sampai 2
tahun. Hal ini merupakan petunjuk langsung dari Allah kepada para
ibu, sehingga tidak mungkin dapat diabaikan begitu saja. Ibu yang
mengetahui dan mengerti, tentu dengan mudah dan ringan
melaksanakan petunjuk yang terdapat dalam Al-Quran tersebut.
Untuk lebih meningkatakan pengetahuan masyarakat
terutama ibu hamil dan menyusui akan pentingnya pemberian ASI,
124
Pihak puskesmas dapat berkoordinasi dengan meminta kepada
tokoh agama setempat seperti ustadz agar memberikan materi
tentang perintah Allah yang menganjurkan pemberian ASI kepada
para ibu dalam ceramah atau pengajian-pengajian yang dilakukan.
Dalam penelitian ini 1 informan yang memberikan ASI
eksklusif kepada anaknya mungkin saja disebabkan karena suami
dari informan tersebut merupakan guru mengaji yang mungkin
mengetahui anjuran pemberian ASI dalam Al-Quran, sehingga
mendorong istrinya untuk memberikan ASI eksklusif selain
pengaruh yang diberikan oleh saudaranya yang merupakan kader
posyandu.
6.3.2. Pemberian MP-ASI
Berdasarkan hasil wawancara kepada informan utama
didapatkan gambaran bahwa makanan yang biasanya diberikan
berasal dari bahan pokok, sayur dan lauk-pauk, untuk buah anak
jarang diberikan. Namun, berdasarkan hasil wawancara pula
didapatkan hasil bahwa anak lebih sering dengan satu jenis
makanan saja seperti nasi dan telur. Berdasarkah hasil observasi
memang benar anak lebih sering makan dengan nasi ditambah lauk
pauk seperti tahu, tempe, telur ataupun ikan.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Veriyal (2010)
yang menggambarkan sebagian besar informan dalam penelitian
125
tersebut hanya memberikan makanan dengan komposisi yang
terdiri dari nasi, tim ataupun bubur, ditambah dengan kuah sayur
atau bumbu seperti kecap dan garam. Anak dalam penelitian
tersebut jarang diberikan lauk paku hewani ataupun nabati.
Keadaan seperti ini dapat menyebabkan anak kekurangan asupan
lemak dan protein. Selain itu anak juga jarang diberikan buah dan
sayur yang dapat mengganggu pemenuhan vitamin dan mineral
bagi balita.
Penelitian Makmur (2009) memiliki kesamaan dengan
penelitian ini dimana bahan makanan yang sering dibeli oleh ibu
adalah sayur-sayuran, tempe, dan tahu. Untuk ayam, daging, dan
ikan masih dianggap mahal. Berdasarkan Survei Kadarzi, bidan
mengungkapkan anak-anak dalam penelitian tersebut makan
dengan nasi dan sayur.
Untuk tumbuh dan berkembang, balita membutuhkan enam zat
gizi utama, yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan
air. Keenam zat gizi tersebut dapat diperoleh dari makanan sehari-
hari. Agar balita dapat tumbuh dan berkembang dengan baik,
makanan yang dimakan tidak boleh hanya mengenyangkan perut
saja. Dalam pemberian makan kepada balita seorang ibu atau
pengasuh perlu melakukan pengaturan agar semua zat gizi diatas
terdapat dalam menu sehari (Proverawati dan Asfuah, 2009). Menu
dapat dibuat dengan siklus 10 hari untuk menghindari kebosanan
pada anak dalam mengatasi kesulitan makan. Menu disusun dengan
126
mengacu pada ketentuan syarat diet untuk anak balita, yaitu dapat
memenuhi untuk pertumbuhan dan perkembangan, pemeliharaan
badan, dan dapat menghasilkan kalori atau dengan kata lain cukup
kualitas dan kuantitasnya (Nurhayati dan Sudewi, 2009).
Pengetahuan ibu mengenai makanan yang baik untuk anak
sudah bagus. Hal ini didasarkan pada hasil wawancara dimana
semua ibu menyebutkan bahwa makanan anak yang baik itu terdiri
dari sayur, buah, ikan, dan nasi, bahkan ada 1 ibu yang mengatakan
4 sehat 5 sempurna. Tetapi dalam praktik sehari hari pemberian
makan anak kadang hanya dengan nasi ditambah lauk atau nasi
dengan sayur saja. Keadaan seperti ini dimungkinkan karena faktor
ekonomi keluarga yang tergolong rendah, dimana kadang anak
makan seadanya saja. Hal ini diperoleh dari hasil wawancara
mendalam kepada informan utama, informan keluarga dan kader
setempat yang mengatakan bahwa faktor ekonomi merupakan hal
yang sangat berpengaruh terhadap kebiasaan makan sehari-hari.
Untuk mengatasi masalah ini diperlukan cara bagaimana
dengan keadaan ekonomi yang kurang, tetapi status gizi anak tetap
baik. Salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu dengan
dilaksanakannya pos gizi. Berdasarkan informasi yang didapat dari
salah seorang kader, dalam waktu dekat di wilayah kerja kader
tersebut akan dilakukan pos gizi, hal ini tentu sangat membantu
untuk ibu dari kondisi ekonomi dan lingkungan yang kurang
memadai agar dapat memperbaiki status gizi anak-anaknya.
127
Frekuensi pemberian makan anak dalam penelitian masih
kurang baik, dimana semua anak makan 3 kali perhari. Padahal
menurut UNICEF pemberian makanan tambahan untuk anak usia
12-24 bulan adalah 5 kali perhari. Sedangkan menurut Soetardjo
(2011), memberikan makan anak 5 sampai 6 kali perhari lebih baik
karena balita mempunyai perut yang kecil. Anak yang makan
kurang dari 4 kali perhari, memiliki asupan zat gizi lebih sedikit
dibandingkan dengan rata-rata anak lain yang makan 4 kali sehari
atau lebih. Namun berdasarkan hasil wawancara terdapat anak yang
terkadang makan 2 kali perhari karena anak sudah kenyang dengan
susu. Kemudian ada pula anak yang makan lebih dari 3 kali perhari
karena ketika bapak atau kakaknya makan anak ikut kembali
makan. Untuk anak ini, berdasarkan pengakuan dari ibu kandung,
ibu angkat, dan pengasuhnya memang sangat suka makan apa saja
dan sering ikut makan ketika ada saudaranya yang makan.
Penelitian Veriyal (2010) mengambarkan hal yang lebih tidak
baik dalam frekuensi makan kepada anak. Dalam penelitian itu
disebutkan bahwa frekuensi pemberian makan yang dilakukan
sebagian besar informan paling sering 2 kali perhari, bahkan hanya
1 kali jika sedang bepergian. Keadaan serupa digambarkan dalam
penelitian Makmur (2009), dimana frekuensi makan anak lebih
sering 2 kali sehari atau makan jika lapar saja. Dalam penelitian
tersebut digambarkan pula bahwa anak yang kurang gizi makan
hanya 2 kali perhari dan jarang meminum susu.
128
Penyebab ibu memberikan makan hanya 3 kali perhari
kepada anaknya dapat disebabkan karena kurangnya pengetahuan
frekuensi makan yang baik untuk balita. Hal ini didasarkan pada
jawaban informan yang ketika ditanya berapa kali anak makan, ibu
menjawab “makannya bagus, 3 kali sehari‖. Dalam konteks ini,
ibu mengira jika anak sudah diberikan makan 3 kali, maka itu
sudah cukup karena mengikuti kebiasaan orang dewasa.
Peran kader atau petugas kesehatan seperti bidan atau TPG
dalam memberikan pengetahuan makan yang baik kepada ibu
balita sangat diperlukan. Hal ini karena ketika wawancara
mendalam didapatkan jawaban yang sangat baik oleh salah satu
informan utama, dimana ibu tersebut mengatakan ― beri makan
anak sedikit, tapi sering, kata bidannya gitu‖. Hal yang
menyebabkan ibu mengetahui informasi tersebut karena ia selalu
rutin datang ke posyandu dan banyak bertanya kepada kader atau
bidan yang ada. Namun dalam praktiknya, ibu tersebut memberikan
makan anak hanya 3 kali perhari. Pemberian makan anak 3 kali
tersebut mungkin disebabkan karena susahnya anak makan, jadi ibu
hanya memberikan frekuensi seperti pada umumnya yaitu 3 kali
perhari.
Dalam hal porsi makan yang diberikan, didapatkan gambaran
bahwa 3 anak memilki masalah sulit makan. Ketika makan, ketiga
anak tersebut mengkonsumsi tidak lebih dari 5 suap. Namun,
terdapat 1 anak yang sangat suka makan, sekali makan anak
129
tersebut dapat menghabiskan 1 centong nasi atau lebih. Hal tersebut
didapatkan dari hasil wawancara kepada informan utama dan
informan keluarga. Ketika observasi, terdapat anak yang lebih
sering makan sendiri. Yang menjadi masalah, walaupun ibu
memberikan makanan yang terlihat cukup dari segi porsi, anak
ketika makan terlihat mengacak-ngacak makanan dan tidak
menghabiskannya. Jumlah yang dikonsumsi berdasarkan
pengamatan sekitar 2 sampai 4 sendok makan saja. Jika dilihat dari
anjuran UNICEF dalam booklet pesan utama pemberian makan
bayi dan anak, porsi sebagian besar anak termasuk kurang.
UNICEF menganjurkan banyaknya makanan untuk anak 12-24
bulan yaitu meningkatkan jumlahnya menjadi ¾ cangkir atau
sekitar 250 ml.
Hasil diatas sejalan dengan penelitian Veriyal (2010) yang
menggambarkan porsi makan 3 dari 4 balita yang tidak mengalami
peningkatan status gizi sebanyak 2 sendok makan atau sekitar 10
gram. Meskipun demikian, terdapat 1 anak yang sering diberikan
nasi sebanyak 1 centong atau sekitar 100 gram. Kurangnya asupan
makan anak mungkin disebabkan karena anak sulit makan. Sulitnya
anak makan mungkin disebabkan karena penyajian makanan yang
kurang menarik.
Selain itu, variasi makanan yang kurang bagi anak mungkin
menjadi faktor lain yang mempengaruhi sulitnya anak makan.
Dalam memberikan makanan kepada anak variasi sangat
130
diperlukan. Hal ini dilakukan agar anak tidak bosan sehingga dapat
menghindarkan anak dari kesulitan makan pada usia berikutnya
(Auliana, 2011). Variasi makanan sangat diperlukan dalam
memberikan makan kepada anak karena tidak ada satu jenis
makanan pun yang mengandung semua zat gizi yang diperlukan
tubuh (Muharyani, 2012).
Hampir semua anak memiliki kebiasaan jajan seperti chiki,
permen, es, biskuit, wafer, roti, ataupun jajanan yang dijual oleh
penjual keliling. Hasil tersebut diperoleh dengan cara wawancara
kepada informan utama. Ibu mengatakan anak jajan diawasi, tetapi
karena jika tidak diberi anak akan menangis atau tetap meminta,
maka ibu tetap memberikannya terkadang juga tidak. Berdasarkan
observasi ada 1 anak yang diberi jajan oleh teman-temannya seperti
permen. Ketika mewawancarai ibu, ibu menjawab memang benar
anak sering diberi makanan oleh temannya.
Hasil diatas sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Makmur (2009) yang mengatakan bahwa semua anak suka jajan,
dan semua ibu balita menuruti kemauan anak untuk jajan dengan
alasan untuk menghindari anak menangis.
Kebiasaan jajan pada anak dalam penelitian ini mungkin
menjadi penyebab lain anak susah makan. Kebiasaan jajan pada
anak merupakan salah satu faktor penghambat dalam upaya
perbaikan gizi (Makmur, 2009). Moehyi dalam Veriyal (2010)
131
mengatakan bahwa kebiasaan jajan pada anak mempunyai
kelamahan, jajanan biasanya banyak mengandung hidrat arang.
Jika anak terlalu sering jajan maka anak akan kenyang, hal ini
menyebabkan anak tidak mau makan nasi, kalupun mau jumlahnya
sedikit. Selain itu kebersihan jajanan sangat diragukan. Jika
keinginan anak tidak dituruiti anak akan menangis dan menolak
untuk makan. Sedangkan dari segi pendidikan, kebiasaan jajan
tidak dapat dianggap baik, apalagi jika anak sudah diberikan uang
untuk membeli makanannya sendiri.
Kunci keberhasilan dalam menanamkan pola makan yang
baik pada anak tergantung pada pengetahuan dan pengertian ibu
tentang gizi. Anak akan mencontoh makan makanan yang dimakan
oleh orang tua dan orang terdekat yang ada di sekitarnya.
Pengetahuan yang rendah pada ibu mengakibatkan ibu kurang
perhatian terhadap gizi anaknya, membiarkan kebiasaan jajan dan
membiarkan anak memilih makanan sesuai keinginanya. Hal yang
perlu dilakukan ibu dalam mengatasi masalah ini adalah membuat
menu makanan harian yang bervariasi dan tetap mengakomodir
keinginan anak namun tentu mampu memenuhi kebutuhan gizi
harian anak (Makmur, 2009).
Salah satu faktor yang mempengaruhi pola asuh pemberian
makan pendamping ASI dalam penelitian ini yaitu pengetahuan.
Pengetahuan ibu kurang dari variasi, frekuensi dan porsi makanan
yang dianjurkan. Namun, ketika terdapat ibu yang memilki
132
pengetahuan baik dalam beberapa aspek pemberian makan, karena
kondisi ekonomi yang kurang ibu tidak bisa berbuat banyak. Selain
itu sebagian besar anak dalam penelitian ini sulit untuk makan.
Faktor kemauan ibu untuk mengatasi masalah tersebut terlihat
kurang baik, dimana tidak ada cara yang dilakukan ibu untuk
mengatasi masalah tersebut.
6.3.3. Penyiapan dan Penyimpanan Makanan
Dalam penelitian ini ditemukan sebagian besar anak makan
dengan piringnya sendiri, terdapat 1 anak yang kadang makan
dengan orangtuanya, tetapi berdasarkan hasil observasi anak lebih
sering makan dengan piringnya sendiri. Sebagian besar anak masih
disuapi oleh ibu atau saudaranya, namun terdapat 1 anak yang tidak
mau disuapi. Alasan ibu masih menyuapi anak karena jika tidak
disuapi anak makan berantakan dan makanan yang dimakan lebih
sedikit.
Proses penyiapan makan kepada anak merupakan perilaku
positive deviance yang sangat penting. Penelitian di Mali
menemukan bahwa anak yang makan dengan piringnya sendiri
lebih baik daripada anak yang makan bersama dari piring anggota
keluarga lainnya (CORE, 2003). Perilaku ibu menyuapi anak sudah
baik. Hal ini disebabkan karena bila anak makan sendiri mungkin
dia hanya sedikit makan dan anak akan terganggu ketika makan.
133
Oleh sebab itu anak perlu mendapat bantuan ketika makan. Namun
bila anak tetap tidak mau dibantu dengan cara disuapi, ibu harus
menemani anak. Hal ini dilakukan untuk mengetahui seberapa
banyak anak makan, ketika masih kurang maka ibu harus berusaha
menambahnya sedikit demi sedikit (MCA Indonesia, 2014).
Dalam penelitian ini seluruh informan memilki cara memasak
yang hampir sama dimana makanan terlebih dahulu di cuci dengan
air yang kemudian dimasak hingga matang. Cara memasak penting
untuk diperhatikan karena berkaitan dengan kebersihan dan
kandungan zat gizi yang ada dalam makanan. Sebelum dimasak
makanan harus dicuci terlebih dahulu agar pestisida atupun kuman
yang menempel dapat terbuang. Cara memasak dan mengolah
makanan harus diperhatikan, proses pemasakan yang terlalu lama
pada suhu tinggi dapat menyebabkan kandungan mineral dan
vitaminnya hilang.
Cara ibu mencuci makanan sudah menunjukkan perilaku
yang baik, namun cara memasak sampai sampai matang masih
perlu diperbaiki lagi. Hasil diatas sejalan dengan penelitian (Usfar
dkk, 2010) yang menunjukkan bahwa sayuran tidak dianggap kotor
karena tidak menimbulkan bau, jadi mencuci hanya dengan air
sudah dianggap cukup. Penelitian Makmur (2009) menunjukkan
bahwa cara ibu menyiapkan makanan salah. Dalam peneltian
tersebut digambarkan bahwa sayur dipotong terlebih dahulu
sebelum dicuci, ada ibu balita yang mnomotong sayur pada malam
134
hari untuk dimasak esoknya, dan masih adanya ibu yang memasak
sayur sampai berubah warna dengan alasan rasanya lebih enak.
Perilaku ibu mencuci dan memasak makanan hingga matang
dalam penelitian ini mungkin disebabkan karena kebiasaan sehari-
hari saja tanpa mengetahui bagaimana cara memasak yang benar
agar zat gizi yang terkandung dalam makanan tidak rusak. Menurut
salah satu informan, memasak makanan seperti sayur harus sampai
matang sekali karena jika tidak matang atau setengah matang anak
tidak mau makan dan giginya baru tumbuh. Hal ini sangat berbeda
dengan hasil observasi dimana gigi anak sudah penuh semua
ditambah lagi usianya yang sudah menginjak 2 tahun.
Ketika menyajikan makanan, seluruh ibu hanya memberikan
begitu saja diatas piring atau mangkuk tanpa ada variasi dari warna
dan bentuk dari makanan yang disajikan. Penelitian ini sejalan
dengan penelitian Veriyal (2010) yang menggambarkan makanan
hanya ditaruh di mangkuk biasa atau tidak menggunakan peralatan
makan yang dapat merangsang balita untuk lebih mau makan.
Hal ini mungkin menjadi penyebab anak kurang mau makan
karena tidak adanya daya tarik yang mendorong anak untuk makan.
Penampilan makanan dari segi warna dan bentuk merupakan salah
satu pendorong yang dapat membuat seseorang lebih tertarik untuk
makan. Menurut Moehyi dalam Aula (2011) menyebutkan, warna
makanan mempunyai peran utama dalam penampilan makanan. Hal
135
ini karena, jika warna tidak menarik maka akan mengurangi minat
seseorang untuk makan. Selain warna, bentuk makanan juga perlu
diperhatikan. Makanan biasanya akan lebih menarik jika disajikan
dalam bentuk-bentuk tertentu. Bentuk makanan yang menarik ini
dapat memberikan dorongan bagi seseorang agar lebih tertarik
untuk makan.
Selain itu, warna dalam makanan juga dapat menjadi salah
satu indikator dalam menilai seimbang atau tidaknya suatu
makanan. Lebih lanjut, CORE (2003) menyebutkan bahwa bila tiga
warna berbeda seperti putih, hijau atau jingga ada dalam hidangan,
maka biasanya merupakan makanan yang seimbang. Hal ini karena
bahan makanan utama biasanya putih atau kuning, dua jenis
makanan lainnya dalam warna yang berbeda harus ditambahkan
sehingga menjadi makanan yang seimbang.
Penyajian makanan yang kurang menarik dapat disebabkan
karena kurangnya pengetahuan mengenai cara yang tepat dalam
memberikan makanan serta kurangnya kesadaran orang tua dalam
meningkatkan selera makan anak. Pendapat tersebut didukung
dengan hasil wawancara kepada salah satu nenek baduta, ketika
ditanya mengapa bentuk dan warna makanan tidak divariasikan,
ibu tersebut menjawab makanan tidak divariasikan karena nantinya
akan dimakan juga oleh anak. Padahal, cucu dari nenek tersebut
memiliki masalah sulit makan.
136
Dalam hal kebersihan peralatan masak dan makan seluruh
informan memilki perilaku yang sama yaitu mencucinya dengan
sabun. Namun ada 1 informan yang merebus botol susu atau tempat
makan anak sebelum dipakai. Perilaku ibu dalam kebersihan
peralatan masak dan memakan sudah baik. Hal ini mungkin
disebabkan karena adanya motivasi dari ibu agar anak selalu sehat
dan terhindar dari kuman penyebab penyakit. Hal tersebut
didapatkan dari hasil wawancara kepada informan utama.
Mengenai praktik higiene ibu ketika memberikan makan kepada
anak, berdasarkan hasil observasi didapatkan gambaran bahwa ibu
sering langsung memberikan makan kepada anak tanpa mencuci
tangan terlebih dahulu.
Hasil penelitian mengenai kebersihan alat masak dan makan
serta kebersihan perorangan memilki kesamaan dengan penelitian
kualitatif (Usfar dkk, 2010) di wilayah yang sama yaitu Neglasari.
Dalam penelitian tersebut dikatakan bahwa papan pemotong atau
talenan jarang dicuci karena ibu menganggpa tidak dianggap kotor
dan mengeluarkan bau tidak enak. Talenan tersebut hanya dilap
dengan handuk setelah mengiris cabai, bawang atau sayuran.
Namun untuk pemotongan menegluarkan bau seperti daging atau
ayam, papan talenan dicuci dengan air dan sabun. Praktik mencuci
botol dengan air panas jarang dilakukan, ibu hanya mencucinya
dengan sabun, namun terdapat beberapa ibu yang kemudian
merendam atau membilas dengan air panas. Beberapa ibu tidak
137
menggunakan sabun ketika mencuci botol karena alasan akan
meninggalkan bau. Alasan ibu tidak mencuci atau merebus botol
dengan air panas karena akan memakan waktu dan ada pekerjaan
lain yang harus dilakukan.
Mengenai perilaku cuci tangan ibu, dalam penelitian tersebut
digambarkan, setelah buang air besar atau memberihkan kotoran
anak, sebelum makan, dan sebelum memberikan makan kepada
anak ibu mencuci tangan dengan atau tanpa sabun. Setelah
melakukan pekerjaan rumah dan memasak ibu biasanya tidak
mencuci tangan dengan sabun. Terdapat ibu yang mencuci tangan
dengan sabun jika memegang ikan karena untuk menghilangkan
bau, tetapi tidak setelah mencuci sayuran. Paling banyak ibu yang
mencuci tangan sebelum menyusui anak dengan alasan pencegahan
penyakit dan kesehatan (Usfar dkk, 2010).
Penyebab ibu jarang mencuci tangan ketika memberikan
makan anak dalam penelitian ini mungkin karena kurangnya
pengetahuan tentang kebersihan dan kemauan untuk berperilaku
hidup bersih. Pendapat tersebut dikuatkan dengan hasil wawancara
kepada pengasuh baduta yang mengatakan ―kalau pakai sendok ga
cuci tangan‖. Penyebab lain yang mempengaruhi kebiasaan ibu
tidak mencuci tangan mungkin karena ibu mengira tangannya
bersih karena secara kasat mata tidak terlihat kotoran. Dalam
masalah ini, ibu atau pengasuh perlu diberi pengetahuan bahwa
tangan yang terlihat bersih belum tentu bersih.
138
Dalam penelitian ini seluruh informan utama menyimpan
makanan yang sudah matang di dalam rak makanan ataupun meja.
Berdasarkan hasil observasi ada ibu yang menutup makan dan ada
yang tidak bahkan ada makanan sisa kemarin yang masih akan
dimakan. Namun terdapat 1 informan yang selalu menghabiskan
makanan untuk hari itu juga, dan ketika makanan ingin dimakan
pada sore hari, ibu tersebut memanaskan terlebih dahulu dengan
alasan lebih enak dalam keadaan hangat. Untuk makanan mentah
biasanya informan hanya menaruhnya di dapur, itu pun jarang
karena biasanya bahan makanan mentah langsung dimasak hari itu
juga. Namun terdapat 1 informan yang terkadang menyimpan
makanan mentah di lemari es karena tidak dimasak.
Hasil penelitian tersebut sama dengan penelitian Usfar (2010)
yang menyebutkan bahwa semua ibu menyimpan makanan dalam
suhu kamar pada lemari yang terbuat dari kayu atu plastik karena
dapat mencegah lalat, kucing, ayam ataupun debu hinggap ke
makanan. Beberapa ibu menaruh makanan yang telah matang
diatas meja dan menutupinya dengan piring atau sejenisnya.
Selama pengamatan terlihat bahwa lemari makanan tidak ditutup
dengan benar karena ibu menganggap itu aman. Untuk makanan
sisa biasanya dibuang atau dipanaskan di sore hari. Beberapa ibu
juga mengatakan penting untuk menyimpan makanan di kulkas.
Dalam penelitian tersebut dikatakan bahwa di Kota Tangerang
sekitar 2/3 rumah telah memiliki kulkas.
139
Perilaku ibu dalam menyimpan makanan dalam penelitian ini
berpotensi menjadi sumber penyakit. Karena pertumbuhan bakteri
dapat terjadi pada suhu kamar dimana makanan disimpan. Terlebih
lagi ketika akan memakan kembali ibu tidak memanaskannya lagi
dan berdasarkan hasil observasi ada 1 informan yang keluarganya
mengambil makanan di dalam rak tanpa mencuci tangan. Perilaku
ibu tidak menyimpan makanan secara baik mungkin disebabkan
karena sebagian besar tidak mempunyai tempat penyimpanan
seperti lemari es. Kemudian, hal yang menyebakan sebagian besar
informan tidak memanaskan kembali makanan mungkin karena ibu
tidak mau memasak 2 kali. Berdasarkan hasil wawancara, terdapat
beberapa informan yang hanya memasak 1 kali di pagi hari untuk
keperluan makan pagi dan sore hari.
Dalam hal kebiasaan membeli makanan dari luar, sebagian
besar ibu sering memberikan makanan anak seperti lauk atau bubur
dari penjual di sekitar rumah. Biasanya ibu membeli makanan dari
luar ketika hari sabtu dan minggu. Namun terdapat 1 informan
yang jarang sekali melakukan hal itu karena lebih memilih untuk
masak sendiri.
Hasil diatas memilki kesamaan dengan penelitian Usfar dkk
(2010) yang meggambarkan bahwa pembelian makanan matang
adalah hal yang umum di masyarakat. Meskipun hal tersebut
dianggap tidak ekonomis namun sebagian besar ibu membelikan
bubur untuk anak sarapan. Frekuensi membeli makanan oleh ibu
140
berkisar 3 kali dalam seminggu. Salah satu faktor yang membuat
ibu membeli makanan dari luar adalah kesibukan bekerja. Beberapa
ibu berpikir bahwa membeli makanan dari luar tidak higienis tetapi
menurutnya itu kembali kepada perilaku penjual dan pembeli itu
sendiri. Berdasarkan pemaparan diatas maka hal yang perlu
dilakukan adalah mengetahui bagaimana keamanan penjual
makanan dan mengumpulkan informasi yang komprehensif
mengenai kondisi dan kebiasaan penjual ketika menjajakan
makanan dan cara penyiapannya (Usfar dkk, 2010)
Faktor ibu bekerja merupakan penyebab mengapa ibu
membeli makanan dari luar dalam penelitian ini dan penelitian
Usfar dkk (2010). Namun, dalam penelitian ini ditemukan bahwa
ibu membeli makannan dari luar karena pada hari hari tertentu
seperti sabtu atau minggu ibu tidak memasak. Selain itu, faktor
kemudahan dalam mendapatkan makanan juga mempengaruhi
perilaku ibu dalam membeli makanan. Hal yang perlu diperhatikan
oleh ibu yang sering membelikan makanan untuk anak dari luar
seperti rumah makan atau yang lainnya adalah kebersihan penjual
dalam menjajakan atau mengolah makanan. Ibu harus bisa memilih
mana tempat yang baik terutama dari segi kebersihan.
Pola asuh penyiapan dan penyimpanan makanan dalam
penelitian ini lebih menggambarkan pada kebiasaan sehari-hari saja
tanpa mengetahui mana yang baik dan mana yang kurang baik.
Ketika ibu melakukan suatu perilaku dalam penyiapan dan
141
penyimpanan makanan dan itu tidak berdampak pada kesehatan
atau masalah yang lainnya, maka ibu menganggap itu tidak apa-apa
dan kemungkinan akan dilakukan lagi walaupun memiliki risiko
yang kurang baik bagi kesehatan.
6.3.4. Praktik Kesehatan Dasar
Dalam penelitian ini diare, batuk, dan panas menjadi penyakit
yang sering dialami oleh sebagian besar anak. Sedangkan 1 anak
lainnya mempunyai penyakit asma dan gatal-gatal yang dialami
beberapa waktu terakhir. Penyebab anak sering menderita penyakit
infeksi seperti diare dalam penelitian ini mungkin disebabkan
karena sanitasi lingkungan dan kebersihan diri yang kurang baik.
Pendapat diatas dikuatkan dengan hasil observasi, dimana
lingkungan sekitar rumah memang terlihat kurang baik terlebih
untuk anak yang masih rentan terhadap penyakit. Sedangkan anak
yang sering menderita asma serta gatal-gatal mungkin disebabkan
karena debu yang banyak terdapat di sekitar rumah serta jarak
rumah dan lingkungan tempat anak bermain berdekatan dengan
tempat pembakaran sampah. Selain itu, anak ini juga sering
mengalami gatal gatal dan berdasarkan observasi, pada sebagian
tubuh anak terlihat bercak-bercak merah, hal ini mungkin
disebakan karena anak tidak pernah memakai sandal ketika
bermain di sekitar rumah.
142
Praktik pencegahan anak terhadap penyakit dalam penelitian
ini terlihat kurang baik. Secara umum terdapat banyak perbedaan
yang diucapkan ibu dengan apa yang dilakukan sehari-hari. Seluruh
informan mengatakan menjaga anak agar tetap sehat dengan cara
mengawasi ketika bermain dan menjaga makan anak. Dalam
praktiknya ibu terlihat membiarkan anak bermain sendiri, anak
terlihat kotor dan berkeringat tetapi ibu tidak melakukan apa-apa,
memberikan makan yang jatuh ke lantai tanpa dibersihkan dan
mencuci tangan.
Kemudian ada anak yang makan dengan saudaranya tanpa
mencuci tangan terlebih dahulu padahal di dalam dan luar rumah
terdapat tumpukan rongsok dan selokan yang mengeluarkan bau
kurang sedap. Selain itu ada pula anak yang sering bermain dengan
saudaranya yang mempunyai banyak penyakit infeksi di kulit.
Dalam satu kesempatan observasi terlihat saudara anak tersebut
mengambil makanan dari rumah informan utama tanpa mencuci
tangan dan makan sambil menggaruk-garuk kakinya.
Hal diatas sejalan dengan penelitian Veriyal (2010) tentang
analisis pola asuh gizi ibu terhadap balita kurang enegri protein
yang mendapat PMT-P di Puskesmas Pagedangan Kabupaten
Tangerang. Dalam penelitian tersebut digambarkan, adanya
pengetahuan dan perilaku buruk dalam hal pencegahan terhadap
penyakit infeksi, cara pemeliharaan balita, dan kesehatan
lingkungan. Praktik pencegahan terhadap penyakit yang kurang
143
baik dalam penelitian ini mungkin menjadi salah satu sebab anak
sering jatuh sakit yang kemudian dapat mengurangi nafsu makan
anak yang akhirnya anak menjadi kurang gizi.
Hal menarik ditemukan dalam penelitian ini dimana 1 anak
dirawat oleh 3 orang pengasuh. Pertama adalah ibu kandung, kedua
ibu angkat, dan yang terakhir oleh tetangga yang diberikan tugas
merawat oleh ibu kandung anak tersebut karena ketika siang hari
bekerja. Tetapi sekarang ini anak lebih banyak tinggal dengan ayah
dan ibu angkatnya. Ketika peneliti mewawancarai ibu angkat anak,
informan mengatakan kalau lingkungan di sekitar rumah ibu
kandungnya kurang baik karena banyak rongsok, jadi ketika anak
datang dari rumah ibu kandung ke ibu angkat anak sering
menderita diare. Hal senada pun dikatakan oleh ibu kandung dan
pengasuh tetangga. Kedua informan tersebut mengatakan ketika
anak datang dari rumah ibu angkat ke rumah ibu kandung atau
pengasuh tetangga, anak sering diare, hal tersebut disebabkan
karena pemberian susu atau makan dan pengawasan ketika bermain
kurang baik dari ibu angkatnya. Namun berdasarkan hasil
observasi, pernyataan ketiga informan tersebut semuanya benar.
Hal ini mungkin disebabkan karena kurang harmonisnya hubungan
antara suami, ibu kandung, dan ibu angkat, sehingga antara mereka
saling menyalahkan.
Seluruh informan utama dalam penelitian ini mengatakan
anak diimunisasi lengkap sebelum satu tahun. sebagian besar anak
144
diberikan imunisasi di posyandu namun ada yang bidan. Hal
tersebut diperkuat dengan hasil wawancara kepada informan
keluarga ataupun kader posyandu. Dalam penelitian ini terlihat,
semua anak diimunisasi lengkap tetapi mengalami stunting. Hal ini
disebabkan karena tidak semua infeksi yang umum terjadi pada
anak dapat dilakukan imunisasi sebagai preventif. Oleh karena itu,
imunisasi dasar yang lengkap pada anak tidak menjamin anak
tersebut bebas dari penyakit infeksi lainnya (Nadiyah dkk, 2014).
Terdapat hal menarik mengenai lengkapnya pemberian
imunisasi di wilayah penelitian ini. Menurut informasi yang
didapat dari kader, ketika pemberian imunisasi atau vitamin A
posyandu selalu ramai, bahkan ibu yang tidak datang selama
beberapa bulan atau tahun ke posyandu, ketika pemberian
imunisasi atau vitamin dia datang. Tetapi ketika tidak ada jadwal
pemberian seperti itu, posyandu sepi atau hanya didatangi oleh ibu-
ibu yang biasa rutin ke posyandu.
Kecenderungan lebih banyak ibu yang datang ke posyandu
ketika pemberian imunisasi atau vitamin A juga terjadi pada
penelitian Makmur (2009). Dalam penelitian itu disebutkan bahwa
sebagian besar ibu balita tidak menimbang anaknya di posyandu
kecuali pada bulan-bulan vitamin. Pada bulan tersebut hampir
semua ibu datang ke posyandu untuk memperoleh vitamin A.
145
Untuk mengatasi masalah ibu yang datang ke posyandu jika
hanya ada pemberian vitamin atau imunisasi, kader perlu berperan
aktif. Peran aktif kader dapat dilakukan dengan cara memberikan
informasi kepada masyarakat di wilayahnya mengenai jadwal
posyandu dan pentingnya posyandu untuk memantau pertumbuhan
dan perkembangan anak. Selain itu kader juga dapat
memberitahukan kepada masyarakat disekitarnya 1 hari sebelum
pelaksanaan posyandu bahwa besok akan diadakan kegiatan
posyandu sehingga masyarakat dapat menyiapkan diri untuk datang
pada esok hari. Jika pemberitahuan dilakukan tepat ketika
posyandu akan dimulai, maka banyak ibu yang tidak datang karena
informasi yang mendadak dan berada dalam suatu kegiatan seperti
berkebun dan mengerjakan pekerjaan rumah yang tidak bisa
ditinggal.
Selain memberikan imunisasi lengkap sebelum anak berusia
1 tahun, pengobtan penyakit pada masa kanak-kanak dan
mendapatkan bantuan profesional pada waktu yang tepat
mempunyai peran penting dalam menjaga kesehatan anak (CORE,
2003). Dalam penelitian ini, berdasarkan hasil wawancara kepada
informan utama dan keluarga didapatkan gambaran bahwa 2
informan lebih sering membawa anaknya ke pelayanan kesehatan
seperti puskesmas atau rumah sakit. Sedangkan 2 informan lainnya
lebih memilih cara sederhana seperti mengurut atau mengerik
146
badan anak dengan minyak. Salah satu diantara informan tersebut
juga sering memberikan obat warung ketika anak jatuh sakit.
Alasan digunakan atau tidaknya pelayanan kesehatan dalam
upaya pengobatan anak yang sakit pada penelitian ini
dimungkinkan karena jarak rumah dengan pelayanan kesehatan
terdekat seperti puskesmas serta fasilitas untuk menuju ke tempat
tersebut. Hal ini didapatkan dari hasil wawancara kepada informan
dan diperkuat berdasarkan pengamatan peneliti mengenai jarak
rumah ke puskesmas. Satu informan yang membawa anaknya
ketika sakit ke puskesmas memilki jarak rumah yang dekat dengan
puskesmas serta bisa ditempuh dengan berjalan kaki yang
memakan waktu sekitar 10 menit. Satu informan lain yang
membawa anaknya ke puskesmas memilki jarak rumah paling jauh
ke puskesmas dibanding informan lainnya, tetapi informan ini
memilki sepeda motor yang dapat mempermudah untuk datang ke
puskesmas. Sedangkan 2 informan lainnya memilki jarak rumah
yang lumayan jauh dari puskesmas serta memerlukan transportasi
umum untuk mencapai kesana.
Temuan diatas dapat dijelaskan oleh penelitian (Sartika,
2010) yang menunjukkan bahwa akses terhadap layanan kesehatan
dapat dilihat dari jarak dan waktu tempuh serta biaya yang
diperlukan untuk menuju pelayanan kesehatan. Jarak merupakan
ukuran jauh dekatnya rumah seseorang ke pelayanan kesehatan
terdekat. Jarak tempat tinggal ke tempat pelayanan kesehatan
147
merupakan salah satu penghambat dalam memamfaatkan pelayanan
kesehatan tersebut. Selain itu, penelitian Hendarwan (2005)
menyebutkan bahwa ditemukannya upaya pengobatan sendiri
seperti membeli obat di warung, toko obat, atau membuat ramuan
dan cara tradisional sendiri. Upaya coba-coba tersebut terkait
dengan mudah tidaknya menjangkau pelayanan kesehatan. Selain
itu, hal ini juga berkaitan dengan ketersediaan biaya untuk
pengobatan, karena selain biaya pengobatan perlu juga diperhatikan
biaya transportasi yang harus dikeluarkan.
Mengenai patuhnya memberikan obat untuk anak, seluruh
informan mengatakan memberikan obat kepada anak sesuai dengan
yang dianjurkan dokter. Namun, terdapat 1 informan yang
terkadang tidak mematuhi aturan yang diberikan. Contohnya adalah
ketika ibu diberikan antibiotik dan menyarankan untuk dihabiskan,
ketika anak sudah sembuh antibiotik tidak diberikan lagi. Alasan
ibu memberikan obat sesuai dengan yang dianjurkan mungkin
disebabkan karena adanya motivasi. Hal ini didasarkan pada
jawaban ibu yang mengatakan agar anak cepat sembuh jadi
diberikan obat sesuai anjuran. Penelitian Pujiyanto (2008),
menunjukkan bahwa motivasi merupakan hal yang penting dalam
mematuhi rencana atau anjuran pengobatan. Motivasi yang baik
memilki pengaruh yang kuat terhadap kepatuhan minum obat.
Apabila motivasi yang ada dalam diri seseorang kuat maka
intentitas perilaku akan semakin tinggi. Begitu pula sebaliknya,
148
intentitas perilaku akan semakin rendah jika motivasinya lemah
(Makmur, 2009).
Sedangkan alasan 1 informan yang tidak menghabiskan
antibiotik mungkin disebabkan karena perilaku ibu yang kurang
baik. Hal ini didasarkan kepada perilaku lain informan tersebut
yang kadang telah mengetahui sesuatu tetapi malas untuk
menjalankannya.
Pola asuh praktik kesehatan dasar mengenai pencegahan anak
terhadap penyakit masih kurang. Pencegahan yang masih kurang
tersebut karena biasanya ibu menganggap anak tidak apa-apa dan
penyakit yang dialami anak seperti diare dan panas lebih
disebabkan makanan yang salah atau anak mau tumbuh gigi dan
berjalan. Makanan salah yang dimaksud diatas bukan dari sisi
kebersihan tetapi ibu menganggap anak terkena diare karena makan
sambal atau minum es.
Perilaku ibu dalam pemberian imunisasi dan obat sesuai
anjuran disebabkan karena adanya keinginan agar anak sehat.
Ketika anak sakit perilaku ibu tidak membawa anak ke pelayanan
kesehatan mungkin karena jarak rumah yang cukup jauh, sarana
dan adanya pengaruh dari orang terdekat seperti orang tua.
149
6.3.5. Pola Pencarian Layanan Kesehatan
Dalam penelitian ini diare, batuk, dan panas menjadi penyakit
yang sering dialami oleh sebagian besar anak. Sedangkan 1 anak
lainnya mempunyai penyakit asma dan gatal-gatal yang dialami
beberapa waktu terakhir. Penyebab anak sering menderita penyakit
infeksi seperti diare dalam penelitian ini mungkin disebabkan
karena sanitasi lingkungan dan kebersihan diri yang kurang baik.
Pendapat diatas dikuatkan dengan hasil observasi, dimana
lingkungan sekitar rumah memang terlihat kurang baik terlebih
untuk anak yang masih rentan terhadap penyakit. Sedangkan anak
yang sering menderita asma serta gatal-gatal mungkin disebabkan
karena debu yang banyak terdapat di sekitar rumah serta jarak
rumah dan lingkungan tempat anak bermain berdekatan dengan
tempat pembakaran sampah. Selain itu, anak ini juga sering
mengalami gatal gatal dan berdasarkan observasi, pada sebagian
tubuh anak terlihat bercak-bercak merah, hal ini mungkin
disebakan karena anak tidak pernah memakai sandal ketika
bermain di sekitar rumah.
Praktik pencegahan anak terhadap penyakit dalam penelitian
ini terlihat kurang baik. Secara umum terdapat banyak perbedaan
yang diucapkan ibu dengan apa yang dilakukan sehari-hari. Seluruh
informan mengatakan menjaga anak agar tetap sehat dengan cara
mengawasi ketika bermain dan menjaga makan anak. Dalam
praktiknya ibu terlihat membiarkan anak bermain sendiri, anak
150
terlihat kotor dan berkeringat tetapi ibu tidak melakukan apa-apa,
memberikan makan yang jatuh ke lantai tanpa dibersihkan dan
mencuci tangan.
Kemudian ada anak yang makan dengan saudaranya tanpa
mencuci tangan terlebih dahulu padahal di dalam dan luar rumah
terdapat tumpukan rongsok dan selokan yang mengeluarkan bau
kurang sedap. Selain itu ada pula anak yang sering bermain dengan
saudaranya yang mempunyai banyak penyakit infeksi di kulit.
Dalam satu kesempatan observasi terlihat saudara anak tersebut
mengambil makanan dari rumah informan utama tanpa mencuci
tangan dan makan sambil menggaruk-garuk kakinya.
Hal diatas sejalan dengan penelitian Veriyal (2010) tentang
analisis pola asuh gizi ibu terhadap balita kurang enegri protein
yang mendapat PMT-P di Puskesmas Pagedangan Kabupaten
Tangerang. Dalam penelitian tersebut digambarkan, adanya
pengetahuan dan perilaku buruk dalam hal pencegahan terhadap
penyakit infeksi, cara pemeliharaan balita, dan kesehatan
lingkungan. Praktik pencegahan terhadap penyakit yang kurang
baik dalam penelitian ini mungkin menjadi salah satu sebab anak
sering jatuh sakit yang kemudian dapat mengurangi nafsu makan
anak yang akhirnya anak menjadi kurang gizi.
Hal menarik ditemukan dalam penelitian ini dimana 1 anak
dirawat oleh 3 orang pengasuh. Pertama adalah ibu kandung, kedua
151
ibu angkat, dan yang terakhir oleh tetangga yang diberikan tugas
merawat oleh ibu kandung anak tersebut karena ketika siang hari
bekerja. Tetapi sekarang ini anak lebih banyak tinggal dengan ayah
dan ibu angkatnya. Ketika peneliti mewawancarai ibu angkat anak,
informan mengatakan kalau lingkungan di sekitar rumah ibu
kandungnya kurang baik karena banyak rongsok, jadi ketika anak
datang dari rumah ibu kandung ke ibu angkat anak sering
menderita diare. Hal senada pun dikatakan oleh ibu kandung dan
pengasuh tetangga. Kedua informan tersebut mengatakan ketika
anak datang dari rumah ibu angkat ke rumah ibu kandung atau
pengasuh tetangga, anak sering diare, hal tersebut disebabkan
karena pemberian susu atau makan dan pengawasan ketika bermain
kurang baik dari ibu angkatnya. Namun berdasarkan hasil
observasi, pernyataan ketiga informan tersebut semuanya benar.
Hal ini mungkin disebabkan karena kurang harmonisnya hubungan
antara suami, ibu kandung, dan ibu angkat, sehingga antara mereka
saling menyalahkan.
Seluruh informan utama dalam penelitian ini mengatakan
anak diimunisasi lengkap sebelum satu tahun. sebagian besar anak
diberikan imunisasi di posyandu namun ada yang bidan. Hal
tersebut diperkuat dengan hasil wawancara kepada informan
keluarga ataupun kader posyandu. Dalam penelitian ini terlihat,
semua anak diimunisasi lengkap tetapi mengalami stunting. Hal ini
disebabkan karena tidak semua infeksi yang umum terjadi pada
152
anak dapat dilakukan imunisasi sebagai preventif. Oleh karena itu,
imunisasi dasar yang lengkap pada anak tidak menjamin anak
tersebut bebas dari penyakit infeksi lainnya (Nadiyah dkk, 2014).
Terdapat hal menarik mengenai lengkapnya pemberian
imunisasi di wilayah penelitian ini. Menurut informasi yang
didapat dari kader, ketika pemberian imunisasi atau vitamin A
posyandu selalu ramai, bahkan ibu yang tidak datang selama
beberapa bulan atau tahun ke posyandu, ketika pemberian
imunisasi atau vitamin dia datang. Tetapi ketika tidak ada jadwal
pemberian seperti itu, posyandu sepi atau hanya didatangi oleh ibu-
ibu yang biasa rutin ke posyandu.
Kecenderungan lebih banyak ibu yang datang ke posyandu
ketika pemberian imunisasi atau vitamin A juga terjadi pada
penelitian Makmur (2009). Dalam penelitian itu disebutkan bahwa
sebagian besar ibu balita tidak menimbang anaknya di posyandu
kecuali pada bulan-bulan vitamin. Pada bulan tersebut hampir
semua ibu datang ke posyandu untuk memperoleh vitamin A.
Untuk mengatasi masalah ibu yang datang ke posyandu jika
hanya ada pemberian vitamin atau imunisasi, kader perlu berperan
aktif. Peran aktif kader dapat dilakukan dengan cara memberikan
informasi kepada masyarakat di wilayahnya mengenai jadwal
posyandu dan pentingnya posyandu untuk memantau pertumbuhan
dan perkembangan anak. Selain itu kader juga dapat
153
memberitahukan kepada masyarakat disekitarnya 1 hari sebelum
pelaksanaan posyandu bahwa besok akan diadakan kegiatan
posyandu sehingga masyarakat dapat menyiapkan diri untuk datang
pada esok hari. Jika pemberitahuan dilakukan tepat ketika
posyandu akan dimulai, maka banyak ibu yang tidak datang karena
informasi yang mendadak dan berada dalam suatu kegiatan seperti
berkebun dan mengerjakan pekerjaan rumah yang tidak bisa
ditinggal.
Selain memberikan imunisasi lengkap sebelum anak berusia
1 tahun, pengobtan penyakit pada masa kanak-kanak dan
mendapatkan bantuan profesional pada waktu yang tepat
mempunyai peran penting dalam menjaga kesehatan anak (CORE,
2003). Dalam penelitian ini, berdasarkan hasil wawancara kepada
informan utama dan keluarga didapatkan gambaran bahwa 2
informan lebih sering membawa anaknya ke pelayanan kesehatan
seperti puskesmas atau rumah sakit. Sedangkan 2 informan lainnya
lebih memilih cara sederhana seperti mengurut atau mengerik
badan anak dengan minyak. Salah satu diantara informan tersebut
juga sering memberikan obat warung ketika anak jatuh sakit.
Alasan digunakan atau tidaknya pelayanan kesehatan dalam
upaya pengobatan anak yang sakit pada penelitian ini
dimungkinkan karena jarak rumah dengan pelayanan kesehatan
terdekat seperti puskesmas serta fasilitas untuk menuju ke tempat
tersebut. Hal ini didapatkan dari hasil wawancara kepada informan
154
dan diperkuat berdasarkan pengamatan peneliti mengenai jarak
rumah ke puskesmas. Satu informan yang membawa anaknya
ketika sakit ke puskesmas memilki jarak rumah yang dekat dengan
puskesmas serta bisa ditempuh dengan berjalan kaki yang
memakan waktu sekitar 10 menit. Satu informan lain yang
membawa anaknya ke puskesmas memilki jarak rumah paling jauh
ke puskesmas dibanding informan lainnya, tetapi informan ini
memilki sepeda motor yang dapat mempermudah untuk datang ke
puskesmas. Sedangkan 2 informan lainnya memilki jarak rumah
yang lumayan jauh dari puskesmas serta memerlukan transportasi
umum untuk mencapai kesana.
Temuan diatas dapat dijelaskan oleh penelitian (Sartika,
2010) yang menunjukkan bahwa akses terhadap layanan kesehatan
dapat dilihat dari jarak dan waktu tempuh serta biaya yang
diperlukan untuk menuju pelayanan kesehatan. Jarak merupakan
ukuran jauh dekatnya rumah seseorang ke pelayanan kesehatan
terdekat. Jarak tempat tinggal ke tempat pelayanan kesehatan
merupakan salah satu penghambat dalam memamfaatkan pelayanan
kesehatan tersebut. Selain itu, penelitian Hendarwan (2005)
menyebutkan bahwa ditemukannya upaya pengobatan sendiri
seperti membeli obat di warung, toko obat, atau membuat ramuan
dan cara tradisional sendiri. Upaya coba-coba tersebut terkait
dengan mudah tidaknya menjangkau pelayanan kesehatan. Selain
itu, hal ini juga berkaitan dengan ketersediaan biaya untuk
155
pengobatan, karena selain biaya pengobatan perlu juga diperhatikan
biaya transportasi yang harus dikeluarkan.
Mengenai patuhnya memberikan obat untuk anak, seluruh
informan mengatakan memberikan obat kepada anak sesuai dengan
yang dianjurkan dokter. Namun, terdapat 1 informan yang
terkadang tidak mematuhi aturan yang diberikan. Contohnya adalah
ketika ibu diberikan antibiotik dan menyarankan untuk dihabiskan,
ketika anak sudah sembuh antibiotik tidak diberikan lagi. Alasan
ibu memberikan obat sesuai dengan yang dianjurkan mungkin
disebabkan karena adanya motivasi. Hal ini didasarkan pada
jawaban ibu yang mengatakan agar anak cepat sembuh jadi
diberikan obat sesuai anjuran. Penelitian Pujiyanto (2008),
menunjukkan bahwa motivasi merupakan hal yang penting dalam
mematuhi rencana atau anjuran pengobatan. Motivasi yang baik
memilki pengaruh yang kuat terhadap kepatuhan minum obat.
Apabila motivasi yang ada dalam diri seseorang kuat maka
intentitas perilaku akan semakin tinggi. Begitu pula sebaliknya,
intentitas perilaku akan semakin rendah jika motivasinya lemah
(Makmur, 2009).
Sedangkan alasan 1 informan yang tidak menghabiskan
antibiotik mungkin disebabkan karena perilaku ibu yang kurang
baik. Hal ini didasarkan kepada perilaku lain informan tersebut
yang kadang telah mengetahui sesuatu tetapi malas untuk
menjalankannya.
156
Pola asuh praktik kesehatan dasar mengenai pencegahan anak
terhadap penyakit masih kurang. Pencegahan yang masih kurang
tersebut karena biasanya ibu menganggap anak tidak apa-apa dan
penyakit yang dialami anak seperti diare dan panas lebih
disebabkan makanan yang salah atau anak mau tumbuh gigi dan
berjalan. Makanan salah yang dimaksud diatas bukan dari sisi
kebersihan tetapi ibu menganggap anak terkena diare karena makan
sambal atau minum es.
Perilaku ibu dalam pemberian imunisasi dan obat sesuai
anjuran disebabkan karena adanya keinginan agar anak sehat.
Ketika anak sakit perilaku ibu tidak membawa anak ke pelayanan
kesehatan mungkin karena jarak rumah yang cukup jauh, sarana
dan adanya pengaruh dari orang terdekat seperti orang tua.
6.3.6. Praktik Higiene dan Sanitasi Lingkungan
Sebagian besar informan utama dalam penelitian ini tidak
memiliki jamban sendiri. Dua dari empat informan memakai
jamban yang dipakai bersama dengan penghuni kontrakan disekitar
kediaman mereka. Satu informan memakai jamban berupa MCK
umum, sedangkan 1 informan lainnya sudah memiliki jamban
sendiri yang terdapat di dalam rumah. Berdasarkan hasil observasi
ditemukan 1 informan utama membuang kotoran anak pada selokan
yang terdapat di belakang rumah. Kemudian dibelakang rumah
157
tersebut juga terdapat penampungan air dalam ember atau bak
tanpa tutup yang menurut informan tersebut air itu dipakai untuk
mencuci piring atau keperluan lain seperti memandikan anak.
Ketika wawancara dengan ibu tersebut, memang diakui bahwa
untuk kotoran anak sering dibuang ke selokan belakang rumah.
Penelitian Sartika (2010) menunjukkan bahwa keberadaan
jamban merupakan faktor paling berpengaruh setelah yang diikuti
oleh beberapa faktor lain seperti kebiasaan cuci tangan dan sumber
air minum terhadap status gizi TB/U. Status gizi dapat dipengaruhi
oleh lingkungan seperti faktor penyediaan pembuangan kotoran
(jamban). Peran jamban dalam hubungannya dengan status gizi
balita berkaitan dengan pencemaran air yang digunakan untuk
konsumsi rumah tangga sehari-hari. Penggunaan air yang tercemar
dapat menimbulkan penyakit sehingga mempengaruhi status gizi
(Supraptini dan Hapsari, 2011).
Air adalah kebutuhan pokok manusia. Selain pola makan dan
gizi seimbang, diperlukan juga pola hidup yang bersih. Pola hidup
yang bersih perlu didukung dengan tersedianya air bersih yang
memenuhi syarat kesehatan dalam jumlah yang cukup. Sumber air
bersih yang digunakan di rumah tangga dianggap baik jika
menggunakan salah satu dari sumber air seperti PDAM, sumur
bor/gali, ataupun mata air yang terlindungi. Penggunaan sumber air
dalam rumah tangga berkaitan dengan penyakit diare yang dapat
158
ditimbulkan dari kegiatan sehari-hari pada rumah tangga yang tidak
baik (Supraptini dan Hapsari, 2010).
Sumber minum air yang bersih merupakan faktor penting
bagi kesehatan tubuh dan mengurangi risiko penyakit infeksi
seperti diare, kolera, dan tipes. Anak-anak merupakan kelompok
yang rentan terhadap penyakit infeksi karena secara alami kekbalan
tubuhnya tergolong rendah. Kematian dan kesakitan pada anak-
anak umumnya dikaitkan dengan sumber air minum yang tercemar
dan sanitasi yang tidak memadai (Oktarina dan Sudiarti, 2013).
Seluruh informan utama dalam penelitian ini menggunakan air isi
ulang untuk kebutuhan konsumsi. Sedangkan untuk keperluan
lainnya sebagian besar informan memiliki sumber air yang
diperoleh dari sumur. Satu informan memakai air yang berasal dari
PAM.
Mengenai keberadaan hewan peliharaan di rumah atau
lingkungan sekitar rumah, sebagian besar informan utama memiliki
rumah yang berdekatan dengan hewan peliharaan seperti ayam dan
bebek. Satu informan tidak memilki hewan peliharaan, namun
berdasarkan hasil observasi ditemukan beberapa hewan seperti
ayam kadang bermain di sekitar rumah. Kriteria sanitasi
lingkungan yang sehat menurut penelitian Hidayat dan Fuada
(2011) berdasarkan pemeliharaan hewan ternak di dalam atau di
sekitar rumah, adalah sehat jika tidak memelihara hewan ternak di
rumah atau di sekitar rumah, dan sebaliknya. Keberadaan hewan
159
ternak dirumah atau sekitar rumah dapat menyebabkan pencemaran
bakteri seperti E. Coli. Hal ini dapat menyebabkan diare terutama
pada anak yang tergolong rentan karena berdasarkan hasil
observasi sebagian besar anak main di lingkungan rumah yang
terdapat banyak hewan berkeliaran atau kotorannya.
Hasil observasi menunjukkan Dua informan utama memiliki
atau terdapat kandang hewan peliharaan yang berdekatan dengan
sumur, satu diantaranya juga menyimpan air dekat kandang unggas
tersebut. Fema IPB dan Plan Indonesia (2008), mengatakan hewan
ternak yang cukup bebas berkeliaran di sekitar mata air, maka
kemungkinan tercemar terhadap beberapa bakteri berbahaya seperti
E. Coli sangat besar. Jika hal ini terjadi, maka dapat menyebabkan
timbulnya penyakit infeksi seperti diare.
Ketersediaan tempat sampah pada suatu rumah tidak kalah
penting dibandingkan dengan sarana fisik lainnya. Setiap rumah
seharusnya memiliki tempat sampah yang memadai sebelum
dibuang ke penampungan atau dibakar. Rumah tangga yang tidak
memilki tempat sampah biasanya memasukkan sampah ke dalam
kantong plastuik, karung, atau yang lainnya baru kemudian
dibuang. Tempat sampah yang tidak memadai dapat menjadi
sarang penyakit karena bau yang dikeluarkan dapat mengundang
binatang atau bakteri untuk berkembang biak dan kemudian dapat
menjadi sumber penyakit (Ersiyoma, 2012).
160
Teori diatas sejalan dengan penelitian ini. Dalam penanganan
penanganan sampah, 2 informan mengumpulkan terlebih dahulu
sampahnya kemudian dibakar. Satu informan mengumpulkan
sampah kemudian dibuang ke kebun yang ada di dekat rumah.
Sedangkan 1 informan lainnya mengumpulkan sampah kemudian
diangkut oleh petugas kebersihan. Berdasarkan hasil observasi
didapatkan bahwa hampir di seluruh informan memilki tempat
penampungan sampah baik itu plastik ataupun yang lainnya.
Namun, walaupun begitu masih ada saja sampah yang berserakan
disekitar rumah yang merupakan lingkungan anak bermain. Bahkan
1 anak terlihat begitu dekat dengan sampah karena pekerjaan
pengasuh anak tersebut adalah pemulung, sampah terdapat di luar
dan dalam rumah. Keadaan seperti ini mungkin menjadi salah satu
sebab anak terkena penyakit infeksi seperti diare.
Pengolahan sampah yang kurang baik dapat memberikan
dampak negatif bagi masayarakat dan lingkungan. Bagi masyarakat
sampah berdampak pada kesehatan yang dapat dikategorikan
menjadi dampak langsung dan tidak langsung. Dampak langsung
berupa kontak langsung dengan sampah yang beracun,
karsinogeniuk atau sampah yang mengandung kuman yang dapat
menimbulkan penyakit. Sedangkan dampak tidak languyng dapat
berupa apa yang dirasakan oleh masyarakat akibat proses
pembusukan, pembakaran ataupun pembuangan sampah (Slamet
dalam Atussoleha, 2012).
161
Satu hal yang perlu ditiru dalam hal pembuangan sampah
disini adalah adanya pemimpin atau orang yang mengarahkan
seperti RT ataupun RW untuk mengajak warga yang ada
disekitarnya agar mau tertib dalam membuang sampah. Dalam hal
ini ada 1 informan yang mengaku mengumpulkan sampah dalam 1
wadah terlebih dahulu baru kemudian diangkut oleh petugas
kebersihan. Padahal sebelumnya ibu tersebut masih kurang baik
dalam menangani sampah di rumah, dimana banyak sampah yang
berserakan. Hal tersebut diperoleh dari hasil wawancara kepada
salah satu ibu. Perilaku yang dilakukan oleh ibu ini karena adanya
anjuran dari RT setempat, bahkan kalau ibu tidak melakukan itu
maka akan terkena teguran.
Dalam penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar
informan mengatakan menggunakan sabun ketika membersihkan
kotoran anak. Namun berdasarkan hasil observasi terlihat adanya
perbedaan dimana ketika membersihkan kotoran anak hanya ibu
saja yang menggunakan sabun. Bahkan terdapat 1 informan yang
ketika membersihkan kotoran anak hanya dengan air. Lebih lanjut,
berdasarkan hasil observasi didapatkan gambaran bahwa 2
informan yang ketika anaknya buang air kecil hanya di lap dengan
celana saja. Ketika membersihkan lantaipun tetap menggunakan
celana yang sama. Hal tersebut terjadi kurang lebih 2-3 kali selama
observasi berlangsung. Masalah lain mengenai praktik kebersihan
diri yang diteliti dalam penelitian ini adalah perilaku mencuci
162
tangan sebelum menyiapkan makanan untuk anak. Namun masalah
tersebut telah dijelaskan pada subbab penyiapan dan penyimpanan
makanan sebelumnya.
Adanya sumber air bersih pada seluruh informan mungkin
disebabkan karena informan tersebut mengerti pentingnya air
bersih untuk kesehatan. Beberapa informan mengatakan air tidak
bisa diminum mungkin disebabkan karena lokasi rumah berdekatan
dengan sawah. Sedangkan tidak dibersihkannya kotoran anak
dengan sabun dalam penelitian ini mungkin disebabkan karena ibu
mengangggap dengan air kotoran sudah bersih secara kasat mata,
hal ini sama kasusnya seperti kebiasaan ibu sebelum menyiapakan
makan untuk anak.
Perilaku ibu membuang sampah yang telah dikumpulkan ke
kebun mungkin disebabkan tidak adanya sarana pembuangan
sampah dan instruksi seperti dari RT atau RW yang menganjurkan
warganya untuk membuang sampah dengan baik. Sebagian besar
informan tidak memiliki jamban dalam rumah tangga disebabkan
karena ibu tersebut masih mengontrak rumah. Banyaknya hewan
peliharaan seperti ayam dan bebek di sekitar dalam penelitian
mungkin disebabkan karena masih banyaknya warga sekitar yang
memelihara hewan tersebut dan wilayahnya yang masih bisa
dikatakan kampung. Selain itu, banyaknya lahan yang ada disekitar
rumah mungkin menjadikan warga memanfaatkannya untuk
menaruh hewan peliharaan.
163
Keadaan rumah yang masih sederhana dimana masih ada
yang terdiri dari 1 ruangan saja dalam penelitian ini mungkin
disebabkan karena faktor ekonomi. Faktor ekonomi erat kaitannya
dengan keadaan fisik rumah.
6.3.7. Perawatan Ketika Ibu Hamil
Sebagian besar ibu baduta dalam penelitian ini memilki pola
makan yang kurang baik selama masa kehamilan. Dua informan
sulit makan ketika hamil karena sering muntah, bahkan 1 diantara
mereka hanya mengkonsumsi susu selama 7 bulan. Sedangkan 2
informan lainnya memiliki pola makan sama seperti sebelum
hamil, seperti memakan nasi hanya 1 sampai 2 centong, kurang
konsumsi buah dan sayur. Bahkan, diantara mereka ada yang
dilarang memakan ikan oleh mertua selama kehamilan dengan
alasan takut gatal-gatal.
Untuk mencegah masalah ketika anak lahir, ibu hamil perlu
mendapat asupan zat gizi makro dan mikro yang cukup (Ernawati
dkk, 2013). Teori diatas dapat menjelaskan penelitian ini, dimana
seluruh ibu memilki pola makan yang kurang baik selama
kehamilan. Ketika lahir, 3 anak mengalami BBLR sedangkan 1
lainnya mempunyai berat badan lahir sebesar 2.700 gram.
Walaupun 1 anak lahir dengan normal, tetapi dari dari 3 anak yang
dilahirkan oleh ibu tersebut, anak ini memilki berat badan paling
164
rendah ketika lahir jika dibandingkan dengan 2 saudara sebelumnya
yang memilki berat lahir lebih dari 3.000 gram.
Hal menarik yang ditemukan dalam penelitian ini adalah
masih adanya makanan yang ditabukan oleh sebagian individu atau
masyarakat. Makanan yang ditabukan seperti, ketika hamil ibu
tidak boleh makan ikan karena takut gatal-gatal. Penelitian Fema
IPB dan Plan Indonesia (2008) memilki kesamaan dalam penelitian
ini. Dalam penelitian tersebut disebutkan masih adanya pantangan
atau tabu terhadap makanan yang dianut pada anak kecil, beberapa
makanan juga dianggap berpengaruh terhadap fisik dan psikis.
Penelitian lain menunjukkan hal yang sama dimana dalam
masyarakat tradisional diet wanita selama masa kehamilan dan
menyusui sering dihadapkan pada pantangan terhadap suatu jenis
makanan (Range, Naved, & Bhattarai, 1997).
Masih adanya kepercayaan dalam hal tabu kepada suatu jenis
makanan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip gizi dan jika hal
ini terus-menerus dilakukan maka dapat merugikan ststus gizi
khususnya pada balita, ibu hamil dan menyusui (Fema IPB dan
Plan Indonesia 2008). Adanya makanan yang ditabukan dalam
penelitian ini mungkin disebabkan kurangnya pengetahuan yang
dimilki oleh masyarakat terlebih lagi pada mereka yang telah
berusia lanjut. Untuk itu perlu adanya peran dari petugas kesehatan
ataupun kader posyandu yang menjelaskan kepada ibu hamil
bagaimana pola makan yang baik. Dalam penelitian ini salah satu
165
informan menganggap tabu jika mengkonsumsi ikan ketika hamil.
Tugas kader dalam masalah ini adalah menjelaskan bahwa dalam
keadaan hamil ibu mebutuhkan protein yang lebih banyak untuk
pertumbuhan janin, mengkonsumsi ikan ketika hamil merupakan
pola konsumsi yang baik dan perlu diteruskan.
Dalam penelitian ini, sebagian besar informan utama
melakukan pemeriksaan kehamilan yang rutin setiap bulan di
posyandu. Namun salah satu diantara informan tersebut ada yang
terlambat periksa, tetapi setelah itu ibu rutin datang ke posyandu.
Terjadi kecocokan informasi dari informan utama, keluarga, dan
kader bahwa memang ibu sering datang ke posyandu. Lebih dari
itu, 1 informan dapat menunjukkan buku KIA yang ketika dilihat
memang benar ibu tersebut rutin memeriksa kehamilan. Namun,
terdapat 1 informan utama yang jarang memeriksa kehamilannya,
kurang lebih hanya 2 kali selama masa kehamilan. Hal ini
disebabkan karena ibu bekerja sehingga waktu yang disediakan
untuk memeriksa kehamilan menjadi berkurang. Hal ini sejalan
dengan penelitian Yuliva dkk (2009), yang menyebutkan bahwa
keadaan kehamilan yang mestinya harus diperiksa sesuai jadwal,
mungkin menjadi sering terlupakan atau terabaikan begitu saja
karena situasi dan konsisi ibu yang disibukkan oleh pekerjaannya.
Dalam hal perilaku menimbang berat badan, frekuensinya
hampir sama dengan kedatangan ibu ke posyandu atau bidan untuk
memeriksa kehamilan. Hal ini karena, hampir bisa dipastikan
166
setiap kali ibu memeriksa kandungan pasti diiringi dengan
penimbangan berat badan. Penelitian Rindang dkk (2006)
menyebutkan bahwa pertambahan berat badan kurang dari 9 Kg
selama kehamilan mempunyai kemungkinan lebih tinggi untuk
melahirkan bayi dengan berat badan 2.500 sampai 2999 gram.
Teori diatas dapat menjelaskan penelitian ini. Berdasarakan
hasil wawancara dengan informan utama, diketahui bahwa 1
informan yang makan seperti biasa ketika hamil mengalami
penambahan berat badan dari 98 menjadi 102 Kg. Dua informan
ketika hamil mengalami penurunan berat badan, salah satu diantara
mereka turun dari 65 menjadi 58 Kg. Ketika lahir semua anak
memilki berat badan kurang dari 3.000 gram bahkan 3 diantaranya
masih dibawah 2.500 gram. Hal ini mungkin disebabkan karena
pola makan yang berkurang ketika ibu tersebut hamil seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan 1 informan lainnya
mengaku jarang sekali menimbang berat badan ketika hamil. Hal
ini sesuai dengan frekuensi pemeriksaan kehamilan yang hanya
sekitar 2 kali saja.
Dalam penelitian ini seluruh ibu mendapatkan tablet besi baik
itu dari kader maupun bidan. Dua informan mengatakan selalu rutin
meminum setiap hari, namun berdasarkan wawancara kepada
informan kelurga, diketahui bahwa salah satu dari ibu hanya
mengkonsumsi tablet besi selama 7 bulan. Setelah 7 bulan keatas
ibu tersebut tidak meminumnya karena takut anak lahir dalam
167
keadaan besar. Hal ini mungkin disebabkan karena pengetahuan
yang kurang, nyatanya ketika anak lahir hanya memiliki berat
badan 2.100 gram. Padahal menurut AKG 2014, kebutuhan besi ibu
hamil trimester III justru bertambah.
Satu informan mengaku rutin mendapatkan tablet besi tetapi
tidak pernah tertelan dengan alasan menimbulkan aroma yang
kurang disukai. Hal ini mungkin disebabkan karena gangguan yang
ada pada sistem pencernaan ibu. Hal yang sama juga terjadi ketika
makan dan minum susu, ketika sudah masuk, ibu sering
memuntahkannya kembali. Namun demikian perilaku ibu tersebut
sudah baik dengan mau mengkonsusmsi tablet besi walaupun akan
dimuntahkan kembali.
Pemberian tablet besi ketika hamil merupakan hal yang
penting untuk kesehatan ibu dan janin. Namun, hal yang perlu
diperhatikan dalam masalah ini adalah bagaimana cara petugas
kesehatan ataupun kader memastikan kapsul yang diberikan
diminum dan bukan disimpan. Salah satu cara yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan kemauan ibu hamil mengkonsumsi
tablet besi adalah memberikan pengetahuan tentang tablet besi.
Petugas kesehatan atau kader dapat menjelaskan jika ibu hamil
tidak kekurangan zat besi dan tidak mengkonsusmsi tablet besi
yang diberikan maka akan meningkatkan risiko kesakitan ataupun
kematian ibu dan bayi, pertumbuhan janin akan terhambat dan
dapat melahirkan bayi BBLR.
168
Dalam penelitian ini terdapat 3 informan utama yang
memberikan imunisasi TT 1 sampai 2 kali selama kehamilan.
Namun terdapat 1 informan yang tidak pernah mendapatkan
imunisasi tersebut ketika hamil. Sikap ibu yang mendapatkan
imunisasi mungkin disebabkan karena pengetahuan yang dimiliki.
Hal ini diperkuat dengan jawaban ketika ibu ditanya “mengapa
diimunisasi”, sebagian ibu menjawab karena untuk menjaga
kesehatan anak.
Sikap ketiga informan tersebut juga sudah baik dengan tidak
menganggap imunisasi sebagai hal yang tabu. Berdasarkan
wawancara kepada kader, di wilayah penelitian masih banyak
masyarakat yang takut memberikan imunisasi atau vitamin kepada
anak karena takut anaknya menjadi sakit seperti panas, bahkan
lumpuh. Selain itu ada juga beberapa individu yang tidak
memberika imunisasi, ketika diajak mereka menjawab ―anak saya
tidak diimunisasi, tetapi tetap hidup‖. Untuk mengatasi masalah ini
diperlukan peran petugas kesehatan seperti kader yang lebih dekat
dengan masyarakat agar memberikan pengetahuan bahwa
pemberian imunisasi atau vitamin lainnya penting untuk
meningkatkan daya tahan tubuh yang berguna untuk mencegah
terjadinya penyakit.
Berdasarkan informasi yang didapat dari informan utama,
keluarga, dan kader posyandu diketahui bahwa dalam penelitian ini
terdapat satu informan yang sering bertnya ke posyandu baik
169
kepada bidan ataupun TPG. Satu informan tidak pernah bertanya
atau meminta nasihat, 1 informan pernah bertanya namun tidak
dijalankan, sedangkan 1 informan lainnya hanya menanyakan
masalah pola makan kepada orang terdekat seperti ibu atau mertua.
Dalam buku Kesehatan Ibu dan Anak (Depkes, 2008), disebutkan
bahwa ketika hamil ada beberapa hal yang perlu dilakukan salah
satunya yaitu Meminta nasihat kepada petugas kesehatan tentang
makanan yang bergizi selama hamil untuk menjaga kesehatan ibu
dan bayi.
Satu informan yang sering bertanya tetapi tetap melahirkan
dengan masalah seperti BBLR mungkin disebabkan karena
ketidakpatuhan terhadap saran yang diberikan oleh bidan atau TPG.
Hal ini terbukti dari pola makan ibu selama kehamilan yang sama
seperti sebelum hamil, bahkan berdasarkan informasi dari informan
keluarga ibu ketika hamil makannya berkurang dari biasanya.
Padahal, menurut anjuran yang terdapat dalam buku KIA
disebutkan bahwa ketika hamil pola makan harus mengikuti saran
yang diberikan oleh petugas kesehatan dan makan 1 piring lebih
banyak dari waktu sebelum hamil (Depkes, 2008). Berbicara buku
KIA, ibu inilah satu-satunya yang memilki buku tersebut
sedangkan informan lainnya tidak mempunyai karena berbagai
alasan. Hal ini seharusnya menjadi kelebihan ibu dengan bisa
membaca beberapa pesan yang disampaikan dalam buku tersebut.
Namun dalam praktiknya ternyata ibu tidak bisa menjalankan.
170
Dalam penelitian ini 2 informan ketika hamil aktivitas
fisiknya biasa saja seperti melakukan pekerjaan rumah, namun
terkadang olahraga dengan berjalan kaki. Satu informan tidak
melakukan aktivitas apapun selama 7 bulan karena kondisi tubuh
yang kurang baik. Sedangkan 1 informan lainnya mempunyai
aktivitas fisik yang cuckup berat yaitu bekerja sebagai petugas
kebersihan dan ketika berangkat bekerja ibu menggunakan sepeda.
Penelitian Karima dan Achadi (2012), mengatakan bahwa ibu
rumah tangga yang berstatus tidak bekerja kemungkinan
mengerjakan pekerjaan rumah yang menuntut kegiatan fisik yang
cukup tinggi.
Penelitian Yuliva dkk (2009) menjelaskan temuan ini,
pekerjaan yang membutuhkan tenaga fisik yang berat menurut teori
akan mengeluarkan energi yang besar untuk dapat menyelesaikan
tugas atau pekerjaan yang dilakukannya, sehingga seorang peketrja
seperti ini membutuhkan masukan nutrisi yang besar mengingat
energi yang dikeluarjan juga besar apalagi yang melakukan
pekerjaan adalah ibu hamil. Apabila masukan nutrisi yang
dikonsumsi oleh ibu tidak mencukupi maka hal ini dapat
mengurangi energi atau kalori yang tersedia untuk janin, karena
sebagian besar energi yang diperlukan terpakai oleh pekerjaan yang
dilakukan ibu. Keadaan seperti ini merupakan salah satu faktor
yang dapat mempengaruhi berat lahir bayi yang nantinya akan
dilahirkan.
171
Pola asuh perawatan ibu ketika hamil mengenai pola makan
yang kurang baik dan adanya ibu yang tidak mengkonsumsi tablet
besi mungkin disebabkan karena adanya gangguan dalam
pencernaan ibu tersebut. Selain itu, ketidakpatuhan terhadap saran
yang diberikan dan adanya rasa tidak mau makan menjadi salah
satu penyebab pola makan ibu berkurang ketika hamil.
Baiknya perilaku sebagian besar ibu dalam memeriksa
kehamilan, pemberian imunisasi ketika hamil, konsumsi tablet besi
mungkin disebabkan karena adanya keinginan untuk sehat dan
menghindari anak dari masalah ketika dilahirkan. Sedangkan ibu
yang tidak diberikan imunisasi dan jarang memeriksa kehamilan
mungkin disebabkan karena pengetahuan dan kemauan yang
kurang ditambah lagi dengan kesibukannya bekerja.
172
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1. Simpulan
1. Pola asuh pemberian ASI eksklusif masih kurang baik dimana
sebagian besar anak tidak diberikan. Meskipun demikian, masih ada 1
informan yang memberikan anaknya ASI eksklusif selama 6 bulan.
Penyebab anak stunting tetapi diberikan ASI eksklusif mungkin
disebabkan karena masalah sulit makan dan adanya penyakit
pernapasan pada anak. Makanan yang diberikan kepada anak sebelum
usia 6 bulan adalah susu formula, air tajin, pisang, produk X, dan
bubur tepung yang dicampur susu. Dua dari 4 informan meneruskan
pemberian ASI sampai 2 tahun sedangkan 2 informan lagi hanya
sampai 7 dan 12 bulan.
2. Pola asuh pemberian makanan pendamping ASI masih kurang dari
variasi, porsi dan frekuensi pemberiannya. Variasi yang diberikan,
biasanya anak lebih sering makan dengan nasi dan satu macam lauk
seperti telur. Porsi untuk anak tidak sesuai yang dianjurkan karena
anak sulit untuk makan, jika dihitung berdasarkan suapan, banyaknya
hanya 2-5 suapan saja. Frekuensi makan yang diberikan kepada anak
banyaknya 2-3 kali pemberian makanan dalam sehari. Padahal
frekuensi makan yang baik untuk anak adalah sedikit tetapi sering
karena perut anak yang masih kecil. Kebiasaan jajan anak yang
172
173
berbarengan atau tidak diatur dengan waktu makan dan
mengkonsumsi makanan yang lebih bayak mengandung karbohidrat
dan perasa seperti vetsin menjadi masalah dalam penelitian ini karena
orang tua terpaksa menuruti kemauan anak untuk menghindari anak
menangis.
3. Pola asuh penyiapan dan penyimpanan makan secara umum kurang
baik. Terutama dalam hal penyajian makan anak yang hanya ditaruh
begitu saja diatas piring tanpa adanya variasi bentuk dan warna untuk
menarik anak makan. Kebersihan ibu dan anak saat menyiapkan dan
menyajikan makanan terlihat kurang baik karena tidak mencuci tangan
dahulu sebelum memberikan makan kepada anak, proses pemasakan
makanan yang terlalu matang, penyimpanan makanan, seringnya
membeli makanan dari luar dan variasi menu makanan yang diberikan
kepada anak. Namun terdapat perilaku baik yang ditunjukkan dari cara
anak makan yang membutuhkan proses pembelajaran, kebersihan saat
mengolah makanan dimana sebelumnya dicuci bersih, kebersihan
peralatan masak dan makan yang selalu dicuci pakai sabun dan ada
yang sampai direbus dahulu.
4. Pola asuh praktik kesehatan dasar di rumah masih kurang baik dari
segi pencegahan anak agar tidak terserang penyakit. Hal tersebut
terlihat dari ibu yang membiarkan anak main di sekitar rumah tanpa
pengawasan, kebersihan anak yang kurang diperhatikan dan terdapat
anak yang diberikan makanan yang jatuh ke lantai. Dalam hal
penanganan pertama ketika anak jatuh sakit, dua dari empat informan
174
langsung membawa anaknya yang sakit ke puskesmas atau rumah
sakit. Namun 2 informan lainnya hanya memakai cara sederhana
seperti mengurut dan mengerik. Perilaku pemberian imunisasi dan
pemakaian obat secara umum sudah baik walaupun ada 1 informan
yang kadang tidak menghabiskan obat yang seharusnya dihabiskan.
5. Pola asuh pencarian layanan kesehatan menunjukkan sikap yang baik
dimana seluruh informan mengaku penting rutin datang ke posyandu
untuk memantau pertumbuhan dan kesehatan anak. Namun, hanya 3
dari 4 informan yang rutin datang ke posyandu untuk memeriksa
anaknya setiap bulan. Dari segi pencarian informasi kesehatan yang
berguna untuk anak, hanya 1 informan yang sering berkonsultasi
kepada bidan atau TPG di posyandu atau puskesmas. Informan
lainnya mengaku hanya bertanya kepada orang yang lebih
berpengalaman seperti saudara atau orang tua.
6. Pola asuh praktik higiene dan sanitasi lingkungan secara umum masih
kurang baik. Terutama dalam hal perilaku ibu setelah anak buang air
kecil atau besar, tindakan ibu sebelum anak makan, keberadaan kakus
dan hewan peliharaan di sekitar rumah, pengelolaan sampah, upaya
ibu agar anak tetap bersih, lingkungan bermain anak, dan pengawasan
ibu ketika anak bermain. Meskipun demikian, sumber air yang
digunakan keluarga sudah baik dimana sebagian besar keluarga
mengunakan sumber air dari sumur, sedangkan 1 informan
menggunakan air PAM. Untuk kebutuhan minum, seluruh keluarga
175
menggunakan air isi ulang. Sebagian informan mengatakan air dari
sumur dirumahnya tidak bisa diminum karena kurang keruh.
7. Pola asuh perawatan ketika hamil secara umum sudah baik terutama
dalam hal pemeriksaan kandungan, konsumsi tablet penambah darah,
imunisasi TT. Dalam hal pola makan selama kehamilan dan cara
mengetahui asupan yang benar ketika hamil secara umum
menunjukkan perilaku yang kurang baik. Selama kehamilan, 2
informan hanya beraktivitas biasa seperti mengurus rumah. Namun 1
informan tidak memiliki aktivitas apapun selam kehamilan karena
sakit dan 1 informan lainnya memilki aktivitas cukup berat dimana ibu
bekerja sebagai petugas kebersihan.
7.2. Saran
1. Hasil penelitian dapat dikembangkan melalui penelitian kualntitatif
untuk mengetahui penyebab stunting dengan desain studi case control.
2. Pihak puskesmas melakukan penyuluhan, diskusi atau cara lainnya
untuk meningkatkan pengetahuan kader mengenai apa itu stunting,
penyebab dan cara mengatasinya. Pemberian pengetahuan kepada
kader dapat dilakukan dalam kegiatan rutin bulanan atau ketika TPG
dan bidan berkunjung ketika jadwal posyandu.
3. Puskesmas perlu mencetak materi pemantauan status gizi balita dan
memberikannya kepada kader agar dapat melakukan
penyuluhan/pendidikan kepada masyarakat mengenai masalah gizi
pada balita dengan lebih baik.
176
4. Perlunya kesadaran dari setiap individu dan rumah tangga untuk dapat
menjaga lingkungan, salah satunya dengan cara membuang sampah
dengan teratur dan tidak dibuang di kebun atau di sungai.
5. Peran aktif ibu atau pengasuh sangat dibutuhkan dalam pemberian
makan kepada anak. Ibu atau pengasuh dianjurakan untuk rutin datang
ke posyandu dan menanyakan kepada kader ataupun petugas
kesehatan yang ada bagaimana cara makan yang baik untuk anak
terutama dari segi porsi, frekuensi dan variasi. Selain itu jadwal
makan anak juga perlu diperhatikan agar tidak berbarengan dengan
jajan anak.
6. Perlunya peran ibu atau pengasuh untuk mencegah anak jajan yang
kurang baik dengan cara ibu atau pengasuh dapat membuat sendiri
„jajanan‟ untuk anak, sehingga anak tidak tergiur untuk jajan. Selain
itu, ibu atau pengasuh perlu mengatur waktu makan dengan selingan
yang diberikan agar jadwal makan anak tidak terganggu.
7. Untuk mengatasi masalah sulit makan pada anak, ibu atau pengasuh
dapat mengatasinya dengan salah satu cara seperti membuat bentuk
yang unik dan warna yang menarik pada makanan anak sehingga anak
lebih tertarik untuk makan.
8. Sebaiknya makanan matang langsung diberikan kepada anak.
Disarankan kepada ibu atau pengasuh agar memperhatikan cara
menyimpan makanan yang baik seperti ditutup rapat agar makanan
tidak tercemar debu ataupun bakteri yang dapat menjadi penyebab
timbulnya penyakit infeksi seperti diare. Selain itu, kebersihan saat
177
menyiapkan dan menyajikan makanan harsus diperhatikan, salah
satunya dengan mencuci tangan dengan sabun ketika akan
memberikan makan kepada anak.
9. Untuk ibu atau pengasuh agar lebih memperhatikan kebersihan anak
sehari-hari baik ketika bermain, tidur, dan ketika dimanapun anak
berada.
10. Dibutuhkannya peran aktif kader dalam mensosialisasikan jadwal
posyandu. Informasi akan dilaksanakannya posyandu sebaiknya
jangan dilakukan tepat pada saat kegiatan akan dimulai. Hal ini dapat
membuat ibu tidak datang karena informasi yang mendadak.
11. Ketika kader menemukan anak dengan status gizi stunting, maka
kader tersebut harus memberikan pesan kepada pengasuh untuk
menjaga/meningkatkan kebersihan lingkungan dan individu agar anak
tidak mudah terserang penyakit. Selain itu ketika memberikan pesan
mengenai pemberian makan, pesan utama yang perlu disampaikan
selain porsi, variasi, dan frekuensi pemberian makan yaitu, anak perlu
lebih banyak diberikan makanan sumber protein. Jika faktor ekonomi
memungkinkan untuk membeli sumber protein hewani seperti daging
dan ikan, hal itu lebih baik.
12. Kader posyandu dapat memberikan pengetahuan tentang apa yang
dimaksud ASI eksklusif dan pentingnya ASI eksklusif bagi anak.
pentingnya pemberian ASI eksklusif dengan melakukan penyuluhan
dan kunjungan rumah kepada ibu hamil dan ibu menyusui. Ketika
melakukan penyuluhan ataupun konsultasi, kader harus ikut
178
memahami keluhan mengenai pemberian ASI eksklusif, mencari
solusi terbaik bersama-sama, selain itu kader perlu memberikan
perhatian dan informasi yang diperlukan oleh ibu hamil dan menyusui
tersebut.
13. Peran untuk meningkatkan cakupan pemberian ASI tidak hanya
menjadi tugas tenaga kesehatan ataupun kader, tetapi diperlukan pula
peran suami untuk mendorong istrinya agar mau memberikan ASI
kepada anaknya. Selain itu, tokoh agama seperti ustadz pun dapat
berperan dalam masalah ini dengan memberikan ceramah ataupun
pengajian-pengajian, karena masalah ini terdapat dalam salah satu
ayat dalam Kitab Suci Al-Quran yang menganjurkan para ibu untuk
menyusui anaknya sampai usia 2 tahun.
14. Kader harus bersikap ramah dan menjaga agar tidak mengeluarkan
kata yang menyinggung perasaan jika ada ibu yang bertanya. Sikap
yang ramah dari kader dapat membuat ibu merasa dihargai dan
membuat ibu tersebut mau untuk datang kembali ke posyandu.
15. Kader posyandu atau petugas kesehatan harus bisa memastikan tablet
besi yang diberikan kepada ibu hamil benar-benar diminum dan tidak
hanya disimpan. Cara yang dapat dilakukan agar ibu mau
mengkonsumsi tablet besi tersebut yaitu dengan cara memberikan
pengetahuan mengenai dampak yang ditimbulkan jika tidak
mengkonsusmsi tablet tersebut.
16. Disarankan kepada pihak kelurahan setempat untuk meningkatkan
penanganan terhadap sampah dengan berkoordinasi kepada pihak
179
puskesmas sebagai fasilitator dan pihak RW serta RT sebagai
penggerak pada masyarakat di wilayahnya.
180
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U. F. (2006). Imunisasi : Mengapa Perlu ? seri kesehatan masyarakat
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Adi, Annis Catur., Andrias, Ririn Dwi. 2011. Balita Pada Rumah tangga Miskin
Di Kabupaten PrioritasKerawanan Pangan Di Indonesia Lebih Rentan
Mengalami Gangguan Gizi. Child Poverty and Social Protection
Conference.
Adriani, M., & Kartika, V. (2013). Pola Asuh Makan Pada Balita Dengan Status
Gizi Kurang Di Jawa Timur, Jawa Tengah Dan Kalimantan Tengah, Tahun
2011. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 2 April 2013: 185–
193, vol. 16 No. 2 April 2013, 185-193.
Akhmadi. 2009. Pengalaman Keluarga Merawat Anak Usia Sekolah dengan
Obesita yang Bersekolah di Sekolah Dasar Kota Yogyakarta. Tesis.
Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia.
Almatsier, Sunita. 2011. Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan: Gizi Bayi.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
. 2011. Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan : Gizi Menyusui.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Amir, A. (2009). Pengaruh Penyuluhan Model Pendampingan Terhadap
Perubahan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan.
Andriany, Poppy., Joelimar, Felix A., Djoharnas, Herawati. 2008. Perbedaan
Pola Kurva Keparahan Karies Gigi Susu dan Gigi Tetap serta Faktor
yang Berperan, pada Anak dengan Status Gizi Kurang dan Gizi
Baik. Indonesian Journal of Dentistry 2008; 15(3): 247- 253.
Arifin, Dedi Zaenal., Indasari, Sri Yusnita., Sukandar, Hadyana. 2012. Analisis
Sebaran dan Faktor Risiko Stunting pada Balita di Kabupaten
Purwakarta. Epidemiologi Komunitas FKUP. Diakses dari
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2013/07/pustaka_unpad_analisis_sebaran_dan_faktor_risik
o_stunting .pdf.
Atussoleha, Mutiara Imro. 2012. Hubungan Antara Status Gizi, ASI Eksklusif, dan
Faktor Lain terhadap Frekuensi Diare pada Anak Usia 10-23 Bulan di
181
Puskesmas Tugu, Depok Tahun 2012. Skripsi. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia
Aula, Lisa Ellizabet. 2011. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya
SisaMakanan pada Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Haji Jakarta.
Skripsi.UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Auliana, Rizqie. 2011. Gizi Seimbang dan Makanan Sehat untuk Anak Usia Dini.
Diakses dari http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/rizqie-
auliana-dra- mkes/gizi- seimbang-dan-makanan-sehat-untuk-anak-
usia- dini.pdf
Ayu, S. D. (2008). Pengaruh Program Pendampingan Gizi Terhadap Pola Asuh,
Kejadian Infeksi Dan Status Gizi Balita Kurang Energi Protein.
Azis, N. R. A., & H.Muzakkir. (2014). Faktor Risiko Gizi Buruk Pada Anak
Balita. Journal of Pediatric Nursing, Vol. 1(2), April 2014(63-69).
Bappenas. 2013. 1000 Hari Pertama Kehidupan, Buletin 1. Diakses dari
http://www.bappenas.go.id/files/3213/8848/0645/Buletin-
1IND_1000HPK_2013-10 03.pdf.
BPS Kota Tangerang. 2011. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kota
Tangerang. Diakses dari
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&
cad=rja&uact=8&ved=0CBwQFjAA&url=http%3A%2F%2Fsis.tangerangk
ota.go.id%2Findex.php%2Fhome%2Fdownload%2Fpublikasi_statistik%2F
51%2Ffd9c202ade938a44051 b29daa98aed49.pdf&ei=zN34VIa8FM-
yuAT6lYCABg&usg=AFQjCNF2H7DQwt2R8yD4ryqo8VY5mpUcw&sig
2=SeDXIWwDHPbMJy9jucxHHw.
Cahyaningsih, Chairani Tri., Kushadiwijaya, Haripurnomo., Tholib, Abu. 2009.
Hubungan Higiene Sanitasi dan Perilaku Penjamah Makanan dengan
Kualitas Bakteriologis Peralatan Makan di Warung Makan. Berita
Kedokteran Masyarakat Vol. 25, No. 4, Desember 2009
Candra, Aryu., Puruhita, Niken., Susanto, JC. 2011. Risk Faktor Stunting among
1-2 Years Old Children in Semarang City. Media Medika Indonesiana,
Volume 45, 206 Nomor 3, Tahun 2011.
CORE. (2003). Positive Deviance & Hearth : Sebuah Buku Panduan Pemulihan
yang Berkesinambungan Bagi Anak Malnutrisi.
Daymon, Christine., Holloway, Immy. 2008. Metode-Metode Riset Kualitatif
dalam Public Relations dan Marketing Communication. Bandung. PT
Bentang Pustaka
Depkes RI. 2005. Rencana Aksi Nasional Pencegahan Dan Penanggulangan Gizi
Buruk 2005-2009.
182
. 2008. Buku Kesehatan Ibu dan Anak, Gerakan Nasional Pemantauan
Tumbuh Kembang Anak.
. 2008. Laporan Hasil Riset Kehehatan Dasar Provinsi Banten Tahun
2007. Jakarta: Departemen Kesehatan.
. 2009. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Provinsi
Banten Tahun 2007.
. 2011. Laporan Hasil Riset Kehehatan Dasar Indonesia Tahun 2010.
Jakarta: Departemen Kesehatan.
. 2012. Umur Sama, Tinggi Badan Berbeda. Diakses dari
http://www.gizikia.depkes.go.id/terbitan/umur-samatinggi-badan-
berbeda/?print=pdf.
. 2014. Laporan Hasil Riset Kehehatan Dasar Indonesia Tahun 2013.
Jakarta: Departemen Kesehatan.
Engle, P. L., Menon, P., & Haddad, L. (1996). Care and Nutrition : Concept and
Measurement. International Food Policyresearch Institute.
Ernawati, Aeda. 2006. Hubungan Faktor Sosial Ekonomi, Higiene Sanitasi
Lingkungan, Tingkat Konsusmsi dan Infeksi dengan Status Gizi Anak usia 2-
5 Tahun di Kabupaten semarang Tahun 2003. Tesis. Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro
Ernawati, Fitrah., Kartono, Djoko., Puspitasari, Dyah Santi. 2011. Hubungan
Antenatal Care dengan Berat Badan Lahir bayi di Indonesia (Analisis
Lanjut Data Riskesdas 2010). Gizi Indon 2011 Vol. 34, No. 1, : 23-31
Ernawati, Fitrah., Rosmalina, Yuniar., Permanasari, Yurista. 2013. Pengaruh
AsupanProtein Ibu Hamil dan Panjang Badan Bayi Lahir terhadap kejadian
Stunting pada Anak Usia 12 Bulan di Kabupaten Bogor. Penelitian Gizi
dan Makanan, Vol. 36 (1), Juni 2013
Ersiyoma, Erida. 2012. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, Pola Asuh, Status Gizi,
dan Status Kesehatan Anak Balita di Wilayah Program warung Anak Sehat
(WAS) Kabupaten Sukabumi. Skripsi. Fakultas Ekologi Manusia Institut
Pertanian Bogor
Fema IPB dan Plan Indonesia. (2008). Analisis Situasi Ketahanan Pangan dan
Gizi dan Program untuk Memperkuat Ketahanan Pangan dan Memperbaiki
Status Gizi Anak di Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa
Tenggara Timur.
Fitriana., Hartoyo., Nasution, Amini. 2007. Hubungan pola asuh, status gizi dan
status kesehatan anak balita korban gempa dan tsunami di Nanggroe Aceh
Darussalam. Media Gizi dan Keluarga 31(2): 12-19.
183
Giri, M. K. W., Suryani, N., & K, P. M. (2013). Hubungan Pengetahuan Dan
Sikap Ibu Tentang Pemberian Asi Serta Pemberian Asi Eksklusif Dengan
Status Gizi Balita Usia 6–24 Bulan (Di Kelurahan Kampung Kajanan
Kecamatan Buleleng). Jurnal Magister Kedokteran Keluarga, Vol. 1 No. 1,
24-37.
Hanum, Farida., Khomsan, Ali., Heryatno, Yayat. 2014. Hubungan Asupan Gizi
Dan Tinggi Badan Ibu dengan Status Gizi Anak Balita. Jurnal Gizi dan
Pangan, Maret 2014, 9(1): 1—6.
Hendarwan, Harimat. 2005. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku
Ibu Balita dalam Pencarian Pengobatan pada Kasus-Kasus Balita dengan
Gejala Pneumonia di Kabupaten Serang. Media Litbang Kesehatan Vol.
XV, No. 3 Tahun 2005
Hermina. (1992). Keragaan Pengetahuan Gizi dan Pengetahuan Praktek
Pemberian Makanan Bayl dan Anak Dari Ibu Dengan Ballta Glzl Buruk di
Daerah Bogor dan Sekitarnya. PGM 1992, 15, 12-20.
Hidayat, T. S., & Fuada, N. (2011). Hubungan Sanitasi Lingkungan, Morbiditas
dan Status Gizi Balita di Indonesia. PGM 34(2), 34(2), 104-113.
Hidayat, T. S., & Jahari, A. B. (2012). Perilaku Pemanfaatan Posyandu
Hubungannya Dengan Status Gizi Dan Morbiditas Balita. Bul. Penelit.
Kesehatan, Vol. 40 No. 1, Maret 2012, 1-10.
Ibrahim, A. M. M., & Alshiek, M. A. H. (2010). The impact of feeding practices
on prevalence of under nutrition among 6-59 months aged children in
Khartoum. Sudanese Journal Of Public Health, vol. 5 No. 3 July 2010.
IDAI. 2013. ASI Eksklusif pada Ibu yang Bekerja. Diakses dari
http://idai.or.id/public-articles/klinik/asi/asi-eksklusif-pada-ibu-yang-
bekerja.html
2013. Pemberian ASI pada Bayi Lahir Kurang Bulan. Diakses dari
http://idai.or.id/public-articles/klinik/asi/pemberian-asi-pada-bayi-lahir
kurang-bulan.html
Indriyan, S. (2013). Gizi Buruk dan Pola Asuh Anak. iakses dari
http://pdrc.or.id/index.php?option=com_content&view=category&layout=
blog&id=66&Itemid=32&lang=en.
Iswarawanti, Dwi Nastiti. 2010. Kader Posyandu: Peranan dan Tantangan
Pemberdayaannyadalam Usaha Peningkatan Gizi Anak di Indonesia. Jurnal
Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 13, No. 04, Hal. 169-173
Juliawan, D. E., Prabandari, Y. S., & Hartini, T. N. S. (2010). Evaluasi Program
Pencegahan Gizi Buruk Melalui Promosi Dan Pemantauan Pertumbuhan
Anak Balita. Berita Kedokteran Masyarakat, vol. 26, Maret 2010.
184
Karima, Khaula., Achadi, Endang L. 2012. Status Gizi Ibu dan Berat Badan Lahir
Bayi. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7, No. 3, Oktober 2012
Kementerian Kesehatan RI. 2014. Pusat Data dan Informasi: Situasi dan Analisis
ASI Eksklusif.
Keputusan Gubernur Banten Nomor : 561/Kep.506-Huk/2014 Tentang Penetapan
Upah Minimum Kabupaten/Kota Di Provinsi Banten Tahun 2015. Diakses
dari http://betterwork.org/in-labourguide/wp-content/uploads/SK_KEP-
GUB.BANTEN_UMK2015.pdf
Khomsan, A., & Ridhayani, S. (2008). Menu Sehat untuk Tumbuh Kembang Anak
Usia 6-24 Bulan. Jakarta: PT AgroMedia Pustaka.
Krisnatuti, D., Syarief, H., Soekirman, Hardinsyah, & Saefuddin, A. (2006).
Analisis Status Gizi Anak Usia Bawah Dua Tahun (Baduta) pada Program
Jaring Pengaman Sosial Bidang kesehatan. Media Gizi dan Keluarga, 30(1),
jULI 2006, 1-14.
Lubis, Khairida Afni. 2010. Analisis Kualitatif Pola Asuh Balita Gizi Buruk di
Kecamatan Pasar Minggu dan Kecamatan Jagakarsa Kota
Administrasi Jakarta Selatan Tahun 2010. Skripsi. Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Lubis, Zulhaida. 2003. Status Gizi Ibu Hamil serta Pengaruhnya terhadap Bayi
yang Dilahirkan.
Luciasari, Erna., Permanasari, Yurusta., Almasyhuri. 2011. Faktor-Faktor
Penyimpangan Positif (Positive Deviance) Status Gizi Balita pada
Keluarga Miskin di Kabupaten Gizi- Kurang Rendahdan Tinggi di
Provinsi Sulawesi Selatan. PGM Vol. 34, No. 2, 2011
Lutfiana, Nurlaela. 2012. Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Gizi Buruk Pada Lingkungan Tahan Pangan dan Gizi (Studi Kasus Di
Puskesmas Kendal I Tahun 2012. Skripsi. Universitas Negeri
Semarang. Diakses dari . http://lib.unnes.ac.id/18287/1/6450407024.pdf.
Makmur, Asmilia. 2008. Analisis Pelaksanaan Usaha Perbaikan Gizi balita di
Posyandu Terintegrasi Taman Posyandu di Desa Kedawung Kab.
Kebumen Tahun 2008. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia
Mandl, P. E. (1981). Program-Program yang Dianjurkan Unicef untuk Meyokong
Kebiasaan Menyusui Menyusui dan Kesehatan.
Martianto, D., Riyadi, H., & Ariefiani, R. (2011). Pola Asuh Makan Pada Rumah
Tangga Yang Tahan Dan Tidak Tahan Pangan Serta Kaitannya Dengan
185
Status Gizi Anak Balita Di Kabupaten Banjarnegara. Jurnal Gizi dan
Pangan, 6(1), 51-58.
Matondang, C. S., Siregar, S. P., & Akib, A. A. P. (2011). S. Imunisasi Pedoman
Imunisasi di Indonesia. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
MCA-Indonesia. 2014. Modul Pelatihan Konseling : Pemberian Makan Bayi dan
Anak. Diakses dari http://mca-indonesia.go.id/kabar-kami/unduh-sekarang-
modul- pelatihan-pemberian-makan-bayi-dan-anak-pmba/
Miles, M. B., & Huberman, A. M. (1994). Qualitative Data Analysis. SAGE
Publication. United States Of America.
Muharyani, Putri Widita. 2012. Hubungan Praktik Pemberian Makan dalam
Keluarga dengan Kejadian Sulit Makan pada Populasi Balita di Koto
Batu Kota Palembang. Tesis. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia
Mulyati, Sri., Sandjaja., Tjandrarini, Dwi hapsari. 2008. Faktor-Faktor yang
Berhubungan dengan Kejadian Underweight pada anak usia 24-59 Bulan di
Nanggroe Aceh Darussalam. PGM Vol. 31, No. 1, 2008
Nasikhah, Roudhotun., Margawati, Ani. 2012. Faktor Risiko Kejadian stunting
pada balita Usia 24-36 Bulan di Kecamatan Semarang Timur. Journal
Of Nutrition College Vol. 1, No. 1 (2012). Diakses dari
http://ejournal- s1.undip.ac.id/index.php/jnc/article/view/738/714
Nency, Y., & Arifin, M. T. (2005). Gizi Buruk Ancaman Generasi yang Hilang.
Vol.5/XVII/November 2005, vol.5/XVII(ISSN : 2085-871X).
Nisa, F. Z. (2013). Pola Asuh Anak Salah Akibatkan Gizi Buruk. Penyampaian
Dilakukan Dalam Menyongsong Diselenggarakannya Simposium
Internasional ―Wellness, Healthy Lifestyle And Nutrition‖.
Nurhayati, Ai., Sudewi. 2009. Reka Cipta Menu Balita Sebagai Upaya Mengatasi
Sulit Makan dan Kurang Gizi Pada Balita. Media Pendidikan, Gizi dan
Kuliner, Vol. 1, No. 1, Oktober 2009
Oktarina, Zilda., Sudiarti, Trini. 2013. Faktor Risiko Stunting pada Balita 24-54
Bulan di Sumatera. Jurnal Gizi dan pangan, November 2013, 8(3)
Onis, Mercedes de., Blossner, Monika., Bprghi, Elaine. Prevalence and Trends
of Stunting Among Pre-School children, 1990-2020. Public Health
Nutrition/ Volume 15/ Issue 01/ January 2012, pp 142-148
Perkumpulan Perinatologi Indonesia. 2013. Pelatihan Penatalaksanaan Bayi
Berat Lahir Rendah. Diakses dari
http://idai.or.id/wpcontent/uploads/2013/05/Brosur- BBLR-Peb-
2013.pdf
186
Picauly, Intje., Toy, Sarci Magdalena. 2013. Analisis Determinan Dan Pengaruh
Stunting Terhadap Prestasi Belajar Anak Sekolah di Kupang dan Sumba
Timur, NTT. Jurnal Gizi dan Pangan, Maret 2013, 8(1): 55—62.
Prihastuti. 2013. Malaksanakan Prosedur Sanitasi dan Higiene di Area Kerja.
Diakses dari
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/prihastuti-ekawatiningsih
spdmpd/melaksanakan-prosedur-sanitasi-di-tempat-kerja-pkh-2010.pdf
Proverawati, Atikah., Asfuah, Siti. 2009. Buku Ajar Gizi untuk Kebidanan.
Jakarta. Nuha Medika
Pujiyanto. 2008. Faktor Sosio Ekonomi yang Mempengaruhi Kepatuhan Minum
ObatAntihipertensi. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 3, No. 3,
Desember 2008
Putri, Arya Dwiandana., Setiawina, Nyoman Djinar. 2013. Pengaruh Umur,
Pendidikan, Pekerjaan terhadap Pendapatan Rumah Tangga Miskin di
DesaBebandem. E-Jurnal Ekonomi Pembangunan Universitas Udayana Vol.
2, No. 4, April 2013
Rahayu, Leni Sri. 2011. Hubungan Pendidikan Orang Tua Dengan Perubahan
Status Stunting Dari Usia 6-12 Bulan Ke Usia 3-4 Tahun. Proseding
Penelitian Bidang Ilmu Eksakta 2011.
Range, S. K. K., Naved, R., & Bhattarai, S. (1997). Child Care Practices
Associated With Positive And Negative Nutritional Outcomes For Children
In Bangladesh: A Descriptive Analysis. Food Consumption and Nutrition
Division, International Food Policy Research Institute.
Renyoet, Brigitte Sarah., Hadju, Veni., Rochimiwati, ST Nur. 2013. Hubungan
Pola Asuh dengan Kejadian Stunting Anak Usia 6-23 Bulan di Wilayah
Pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar. Diakses dari
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/5513/Jurnal.pdf?s
equence= 1
Rindang, Elmy., Fatmah., Irawati, Anies. 2006. Hubungan Pertambahan Berat
Badan Selama Kehamilan dengan Berat Lahir Bayi di Kecamatan Sukaraja
Kabupaten Bogor Tahun 2001-2003. Gizi Indon 2006 Vol. 2
Riyadi1, H., Martianto, D., Hastuti, D., Damayanthi, E., & Murtilaksono, K.
(2011). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi Anak Balita Di
Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jurnal
Gizi dan Pangan, 2011, 6(1)(66-73).
Rosha, Bunga CH., Hardinsyah., Baliwati, Yayuk Farida. 2012. Analisis
Determinan Stunting Anak 0-23 Bulan Pada Daerah Miskin Di Jawa
Tengah Dan Jawa Timur. Panel Gizi Makan 2012, 35(1): 34-41.
187
Sab‟atmaja, S., Khomsan, A., & Tanziha, I. (2010). Analisis Determinan Positive
Deviance Status Gizi Balita Di Wilayah Miskin Dengan Prevalensi Kurang
Gizi Rendah Dan Tinggi. Jurnal Gizi dan Pangan, Juli 2010 5(2): 103 –
112, Juli 2010 5(2), 103-112.
Sandy, Samuel., Sumarni, Sri., Soeyoko. 2015. Analisisi Model FaktorRisko yang
Mempengaruhi Infeksi Kecacingan yang Ditularkan Melalui Tanah pada
Siswa sekolah Dasar di Distrik Arso kabupaten Keerom Papua. Media
Litbangkes Vol. 25, No. 1, Maret 2015
Sartika, Ratu Ayu Dewi. 2010. Analisis Pemanfaatan Program Pelayanan
Kesehatan Status Gizi Balita. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol.
5, No. 2, Oktober 2010
Soetardjo, Susirah. 2011. Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan: Gizi Anak.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Sofiyana, D., & Noer, E. R. (2013). perbedaan pengetahuan, sikap dan perilaku
ibu sebelum dan setelah konseling gizi pada balita gizi buruk. Journal Of
Nutrition college, Volume 2, nomor 1, 134-144.
Sudarma, Momon. 2008. Sosiologi untuk Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.
Supraptini., Hapsari, Dwi. 2011. Status Gizi Balita berdasarkan Kondisi
Lingkungan dan Status Ekonomi (Data Riskesdas 2007). Jurnal ekologi
Kesehatan Vol. 10, No. 2, Juni 2011
Tjukarni, Trintin., Prihatini, Sri., Hermina. 2011. Faktor Pembeda Prevalensi Gizi
Kurang dan Burukpada Balita di Daerah Tidak Miskin. Buletin Penelitian
Kesehatan Vol. 39, No. 2, 2011
Ulfah, I. M. (2008). Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat, Pengetahuan Gizi Dan Pola
Asuh Kaitannya Dengan Diare Anak Balita, Di Desa Cikarawang Bogor.
Skripsi. Program Studi Gizi Masyarakat Dan Sumberdaya Keluarga
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Ulfani, Dian Hani., Martianto, Drajat., Baliwati, Yayuk Farida. 2011. Faktor-
Faktor Sosial Ekonomi Dan Kesehatan Masyarakat Kaitannya Dengan
Masalah Gizi Underweight, Stunted, Dan Wasted Di Indonesia:
Pendekatan Ekologi Gizi. Jurnal Gizi dan Pangan, 2011, 6(1): 59–65.
UNICEF. Booklet Pesan Utama, Paket Konseling: Pemberian Makan Bayi dan
Anak. Diakses dari http://www.unicef.org/indonesia/id/PaketKonseling-
3Logos.pdf
UNICEF Indonesia. (2012). Laporan Tahunan 2012. Diakses dari
http://www.unicef.org/indonesia/id/UNICEF_Annual_Report_(Ind)_130731
.pdf.
188
Usfar, Avita A., Iswaranti, Dwi N., Davelyna Devy., Dillon, Drupadi. 2010 Food
and Personal Hygiene Perceptions and Practices among Caregivers
Whose Children Have Diarrhea: A Qualitative Study of Urban
Mothers in Tangerang, Indonesia. Journal of Nutrition Education and
Behavior Volume 42, Number 1, 2010.
Veriyal, N. (2010). Analisis Pola Asuh Ibu Terhadap Balita Kurang Energi
Protein (KEP) yang Mendapat PMT-P di Puskesmas Pagedangan
Kabupaten Tangerang Tahun 2010. Skripsi. (UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta).
Welasasih, B. D., & Wirjatmadi, R. B. (2012). Beberapa Faktor yang
Berhubungan dengan Status Gizi Balita Stunting. The Indonesian Journal of
Public Health, vol. 8, No. 3 Maret 2012, 99-104.
WHO. 1997. Child Growth Indicators and Their Interpretation.
.2003. Global Strategy for Infant and Young Child Feeding. Diakses dari
whqlibdoc.who.int/publications/2003/9241562218.pdf
.2007. Community-Based Management Of Severe Acute Malnutrition.
Geneva.
.2014. Complementary Feeding. Diakses dari
http://www.who.int/nutrition/topics/complementary_feeding/en/.
Yuliva., Ismail, Djauhar., Rumekti, Diah. 2009. Hubungan Status Pekerjaan Ibu
dengan Berat Lahir Bayi di RSUP dr. M. Djamil Padang. Berita
Kedokteran Masyarakat vol. 25, No. 2, Juni 2009
Zeitlin, M. (2000). Gizi Balita Di Negara-Negara Berkembang, Peran Pola Asuh
Anak : Pemanfaatan Hasil Studi Penyimpangan Positif Untuk Program
Gizi. Paper presented at the Widyakarya Pangan dan Gizi VII, Jakarta.
Zottareli LK., Sunil., TS., Rajaram, S. 2007. Influence of Parental and
Sosioecenomic Factor on Stunting in Children Under 5 Years in Egypt.
East Mediterr Health J. 2007 Nov-Dec;13(6):1330-42. Diakses dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1834118.
LAMPIRAN
Lampiran 2
PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM BAGI PENGASUH UTAMA
BALITA STUNTING
Karakteristik Informan
Nama :
Umur :
Pekerjaan :
Nama Anak :
Pemberian ASI Eksklusif
1. Makanan apa saja yang diberika kepada anak ketika usia 0- 6 bulan?
2. Berapa lama ASI diberikan kepada anak?
3. Mengapa ibu memberikan/ tidak memberikan ASI saja selama 6 pertama
usia anak?
Pemberian Makanan Pendamping ASI
1. Makanan apa saja yang diberikan kepada anak?
2. Bagaimana porsi atau banyaknya makanan yang diberikan kepada anak?
3. Berapa kali anak diberi makan pokok, bagaimana dengan makanan
selingannya?
4. Setiap kali makan, apakah jenis makanan yang diberikan selalu sama?
5. Makanan apakah yang baik diberikan untuk balita?
6. Bagaimana dengan pemberian ASI untuk anak?
7. Bagaimana dengan jajan anak? Apakah ibu selalu mengawasinya? Jika ya,
bagaimana mengawasinya?
Penyajian Makanan Balita
1. Bagaimana anak ibu makan, apakah satu piring dengan ibu atau tidak ?
mengapa?
2. Bagaimana ibu mengolah dan menyajikan makanan untuk anak?
3. Bagaimana praktik kebersihan ibu dan alat masak atau makan sebelum
menyajikan atau mengolah makanan?
4. Bagaimana cara ibu menaruh atau menyimpan makanan?
5. Bagaimana menu makan yang diberikan sehari-hari kepada anak?
6. Apakah ibu memasak sendiri atau membelikan makanan untuk anak?,
jelaskan!
Praktik Kesehatan Dasar
1. Penyakit apa yang sering dialami anak?
2. Bagaimana upaya yang ibu lakukan agar anak tidak jatuh sakit?
3. Bagaimana dengan pemberian imunisasi anak?
4. Apakah ibu rutin untuk memantau status kesehatan anak?
5. Bagaimana upaya yang ibu lakukan ketika anak jatuh sakit?
6. Ketika ibu mendapatkan obat, bagaimana pemakaian obat itu?
Pencarian Layanan Kesehatan
1. Apakah ibu rutin pergi ke tempat pelayanan kesehatan? Mengapa?
2. Apakah ibu berkonsultasi mengenai kesehatan dan gizi anak ketika datang
ke pelayanan kesehatan?
3. Apa hambatan yang ibu alami ketika pergi ke tempat pelayanan
kesehatan?
4. Bagaimana menurut ibu tentang pelayanan kesehatan seperti puskesmas
dan posyandu, apakah penting untuk rutin datang kesana? Mengapa?
Praktik Higiene dan Sanitasi Lingkungan
1. Darimanan sumber air yang digunakan sehari-hari? Bagaimana keadaan
air tersebut?
2. Bagaimana tindakan ibu dan balita setelah buang air besar?
3. Bagaimana tindakan ibu dan balita sebelum memberikan anak makan?
4. Bagaimana keadaan kakus?
5. Bagaimana dengan hewan peliharaan yang ada disekitar rumah ibu?
6. Bagaimana upaya ibu dalam menjaga balita agar tetap bersih?
7. Bagaimana cara ibu dalam mengelola sampah?
8. Lingkungan tempat anak bermain bagaimana?
9. Bagaimana pengawasan anak ketika bermain?
Perawatan ibu
1. Bagaimana pola makan ibu selama masa kehamilan ?
2. Bagaimana ibu memeriksakan kehamilan? Apakah rutin?
3. Bagaimana ibu memantau pertambahan berat badan ketika hamil?
4. Bagaimana dengan tablet penambah darah? Berapa banyak ibu
mengkonsumsinya selama masa kahamilan?
5. Apakah ibu melakukan imunisasi ketika hamil, jeis imunisasi apa yang
diberikan?
6. Bagaimana cara ibu mengetahui asupan yang sesuai untuk masa
kehamilan?
7. Bagaimana aktivitas ibu selama masa kehamilan? Berapa banyak waktu
istirahat?
PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM BAGI INFORMAN
KELUARGA BALITA STUNTING
Karakteristik Informan
Nama :
Umur :
Hubungan dengan anak :
Pemberian ASI Eksklusif
1. Apa saja yang diberikan ibu X kepada anak ketika usia 0- 6 bulan?
2. Berapa lama ibu X memberikan ASI kepada anaknya?
3. Apakah saudara tahu alasan ibu memberikan/ tidak memberikan ASI
saja selama 6 pertama usia anak?
Pemberian Makanan Pendamping ASI
1. Saat ini, anak diberikan makanan apa saja oleh ibunya?
2. Biasanya seberapa banyak anak diberikan makanan oleh ibu X?
3. Untuk makanan pokok, berapa kali anak diberikan oleh ibu X dalam
sehari, selingannya bagaimana?
4. Apakah makanan yang diberikan bervariasi? Jelaskan!
5. Bagaimana dengan pemberian ASI untuk anak, apakah saat ini ibu X
masih memberikannya?
6. Bagaimana anak tersebut jajan? Apakah ibu atau pengasuhnya selalu
mengawasi? Jika ya, bagaimana mengawasinya?
Penyajian Makanan Balita
1. Untuk makan anak, apakah dengan piringnya sendiri atau bersama ibu
atau pengasuhnya?
2. Bagaimana praktik ibu X saat mengolah dan menyajikan makanan
untuk anak?
3. Bagaimana dengan praktik kebersihan dan alat masak atau makan
yang digunakan ibu X sebelum menyajikan atau mengolah makanan?
4. Bagaimana ibu X menaruh atau menyimpan makanan?
5. Untuk menu makanan yang diberiakan ibu X kepada anaknya sehari-
hari bagaimana?
6. Untuk anak, apakah ibu atau pengasuh membelikanya dari luar?
Jelaskan !
Praktik Kesehatan Dasar
1. Penyakit apa yang sering dialami anak?
2. Bagaimana upaya yang ibu X lakukan agar anak tidak jatuh sakit?
3. Apakah saudara tahu pemberian imunisasi kepada anak? Jelaskan!
4. Apakah ibu X rutin untuk memantau status kesehatan anak?
5. Upaya apa yang ibu X lakukan ketika anaknya jatuh sakit?
6. Ketika ibu X mendapatkan obat untuk anak, bagaimana pemakaian
obat itu?
Pencarian Layanan Kesehatan
1. Apakah ibu X rutin pergi ke tempat pelayanan kesehatan?
2. Apakah ibu X berkonsultasi mengenai kesehatan dan gizi anak ketika
datang ke pelayanan kesehatan?
Praktik Higiene dan Sanitasi Lingkungan
1. Darimanan sumber air yang digunakan sehari-hari? Bagaimana
keadaan air tersebut?
2. Bagaimana tindakan ibu X dan balita setelah buang air besar?
3. Bagaimana tindakan ibu X dan balita sebelum memberikan anak
makan?
4. Bagaimana keadaan kakus ditempat ibu X?
5. Bagaimana dengan hewan peliharaan yang ada disekitar rumah ibu X?
6. Bagaimana upaya ibu X dalam menjaga balita agar tetap bersih?
7. Bagaimana cara ibu X dalam mengelola sampah?
8. Lingkungan tempat anak tersebut bermain bagaimana?
9. Apakah ibu X mengasawasi anaknya ketika bermain?
Perawatan ibu
1. Bagaimana pola makan ibu X selama masa kehamilan ?
2. Bagaimana ibu X memeriksakan kehamilan? Apakah rutin?
3. Apakah ibu X memantau pertambahan berat badan ketika hamil?
4. Apakah ibu X mengkonsumsi tablet penambah darah ketika hamil?
Jelaskan !
5. Apakah ibu X melakukan imunisasi ketika hamil?
6. Bagaimana cara ibu mengetahui asupan yang sesuai untuk masa
kehamilan?
7. Bagaimana aktivitas ibu selama masa kehamilan?
PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM UNTUK KADER POSYANDU
DAN TPG PUSKESMAS
1. Bagaimana perilaku pemberian ASI eksklusif di wilayah Posyandu
saudara dan wilayah kerja puskesmas ini, lebih khusus untuk saudara X
yang mengasuh anak X?
2. Penyakit apa yang paling sering dilamai balita di wilayah ini?
3. Apakah ibu X mengiminusasi anaknya di posyandu ini? Jelaskan ! untuk
TPG puskesmas, bagaimana cakupan pemberian imunisasi di wilayah ini?
4. Apakah ibu X rutin membawa anaknya ke posyandu? Jelaskan! Untuk
TPG puskesmas, bagaimana perilaku ibu dalam membawa anaknya ke
posyandu di wilayah ini?
5. Apakah ibu X mengkonsultasikan masalah kesehatan atau gizi yang ada
pada anaknya?
6. Bagaimana lingkungan di wilayah posyandu ini, terlebih untuk ibu X yang
mengasuh anak X? Untuk TPG puskesmas, bagaimana keadaan
lingkungan secara umum di wilayah ini?
7. Bagaimana perilaku memeriksa kehamilan, imunisasi ketika hamil,
konsumsi tablet Fe ibu X ketika mengandung anak X? Untuk TPG
puskesmas, bagaimana perilaku ibu memeriksa kandungan di wilayah ini?
8. Masalah apa yang ditemui terkait pola asuh anak di wilayah ini?
9. Bagaimana karakteristik pengasuh atau ibu yang ada di wilayah ini?
10. Apa masalah yang paling berpengaruh terhadap masalah gizi yang ada di
wilayah ini?
11. Apa yang dilakukan ketika mendapatkan anak dengan status gizi buruk,
untuk stunting apakah saudara pernah mengetahuinya dan penanganannya
di wilayah ini?
Lampiran 3
DAFTAR OBSERVASI
DAFTAR OBSERVASI KETERANGAN
Pemberian variasi makanan
beragam kepada anak
Pemberian porsi makan yang
sesuai umur anak
Frekuensi pemberian makan
sedikit tetapi sering (5-6 kali)
Makanan selingan anak
Jajan anak
Penggunaan peralatan masak dan
makan yang bersih
Tempat menyimpan makanan
Penyajian makanan yang menarik
Pemberian makanan dari luar
untuk anak
Penyiapan makan untuk anak
Pencucian makanan mentah
seperti buah dan sayur
Memasak makanan sampai
matang
Perilaku cuci tangan sebelum
menyiapkan makanan
Pengawasan ketika anak bermain
Penanganan ketika anak jatuh
sakit
Perilaku BAB di jamban
Perilaku cuci tangan setelah
membasuh kotoran anak
Sumber air bersih
Air dalam keadaan baik
Keberadaan hewan peliharaan di
sekitar rumah
Adanya tempat pembuangan
sampah
Lingkungan bermain anak
Lampiran 4
HASIL WAWANCARA MENDALAM
Informan Utama
Variabel
Pemberian ASI Eksklusif dan MP ASI
Informan Utama
Sh Nh Yu Y
Anak diberikan ASI
eksklusif Tidak Tidak Dia ASI saja sampai 6 bulan Tidak tahu
Alasan memberikan dan
tidak memberikan ASI
eksklusif
Anak sering menangis, air susu
ibu kurang Anak mempunyai badan kecil
Tidak tahu, mungkin untuk
daya tahan tubuhnya Tidak tahu
Makanan selain ASI yang
diberikan sebelum usia anak
6 bulan
Pisang, cerelak, tepung beras
dicampur susu Susu formula Tidak ada Tidak tahu
Lamanya anak diberikan
ASI Sampai anak berumur 7 bulan
Masih diberikan sampai
sekarang Tidak tahu Tidak tahu
Alasan masih dan tidaknya
anak diberikan ASI Air susu ibu kurang
Menunggu anak berhenti
sendiri, kasihan kepada anak Kurang lebih 10 bulan keatas Tidak tahu
Frekuensi pemberian ASI
Tidak diberikan ASI.
Diberikan susu formula kalau
anak meminta, sekali
pemberian banyaknya kira-kira
8 sendok susu
Diberikan ASI, kurang lebih
10 kali
Tidak diberikan ASI. Sekarang
diberikan susu formula kurang
lebih 3-4 kali sehari,
banyaknya kira kira 4 sendok
sekali buat
Diberikan susu kaleng kurang
lebih 2 kali sehari, sekali buat
banyaknya kira-kira 40 gram
susu kental manis
Komposisi MP ASI yang
diberikan
Bubur organik, pisang, nasi
tim, nasi biasa yang dicampur
sayur, ati, ikan, telur
Nasi tim, nasi biasa yang
dicampur sayur, lauk-pauk
seperti telur dan tempe atau
tahu
Sekarang anak sudah makan
nasi biasa, terkadang bubur
ketika pagi hari, sayur seperti
sop atu bayam, lauk sepertu
telur atau bakso
Suka makan apa saja,
seringnya telur dengan sayur
bayam atau labu siam.
Frekuensi pemberian MP 3 kali sehari 3 kali sehari 3 kali, kadang 2 kali, karena 3 kali sehari
ASI anak kenyang dengan susu
Porsi MP ASI yang
diberikan dalam sekali
makan
Kira-kira secentong ukuran 10
sendok makan setiap
pemberian
Semangkuk kecil, kalau
disuapi kira-kira 5 sendok
makan, kalau makan sendiri
lebih sedikit
5 suap sendok makan sekali
diberikan
Secentong nasi lebih sedikit,
kira-kira 125 gram nasi
Makanan selingan anak,
berapa kali diberikan dalam
sehari
Biskuit, wafer, 2 kali sehari Roti, wafer, biskuit, 1-2 kali
sehari Biskuit dan susu Roti, wafer, 1-2 kali sehari
Bagaimana jajan anak Sering beli di tukang lewat
seperti telur goreng
Kalau lagi mau jajan ya jajan,
seperti cilok di tukang lewat
Anak suka jajan permen dan
chiki Wafer, roti
Apakah selalu diawasi
jajannya
Ya, kalau jajan permen atau es
gak dikasih
Susah, karena anak semaunya
aja jajan, kalau gak dikasih
nangis
Suka dilarang, tetapi kadang
diberikan oleh temannya Selalu diawasi
Variabel
Penyiapan dan Penyimpanan Makanan
Informan Utama
Sh Nh Yu Y
Bagaimana anak makan
Anak makan dengan peralatan
makannya sendiri tetapi masih
disuapi karena kalau sendiri
akan berantakan
Anak mau makan sendiri, gak
mau disuapi
Di piring sendiri, disuapi,
kadang anak makan sendiri
Anak masih disuapi, kalau
sendiri berantakan
Bagaimana mengolah
makanan untuk anak
Dicuci, kemudian dimasak
sampai matang
Dibersihkan, dicuci, kemudian
dimasak sampai matang
Anak lebih sering makan dari
bibinya,mkarena ibu jarang
memasak
Dicuci, kemudian dimasak
sampai matang
Bagaimana penyajian
makanan untuk anak Ditaruh biasa diatas piring Biasa saja Biasa saja, ditaruh diatas piring Biasa saja
Kebersihan peralatan
makanan
Dicuci pakai sabun, kalau
botol susu direbus di air panas Dibersihkan pakai sabun
Piringnya harus bersih,
namanya anak punya penyakit Dicuci biasa pakai sabun
Kebersihan ibu saat
mengolah atau menyajikan
makanan
Sebelum nya tangan dicuci
pakai sabun
Sebelum masak dan kasih
makan ke anak tangan di cuci
dulu pakai sabun
Disisni mah cuci tangan tapi
kadang tidak, kalau ibunya sih
gak tahu
Cuci tangan aja kadang-
kadang
Menu sehari-hari yang
diberikan kepada anak
Dikasih sayur setiap hari ganti,
misal hari ini sayur sop besok
capcay
Setiap hari ganti, hari ini sayur
apa, besok ganti, yang paling
sering sayur sop sama tempe
Ganti-gantisetiap hari, seperti
sayur bayam sop. Anak sering
makan dengan telur, ikan, tahu
dan tempe yang dicampur
kecap
Ganti-ganti sekitar 3 sampai 4
hari sekali, misal hari ini sayur
jagung, besok sayur bayam
sama telur
Bagaimana menyimpan
makanan
Ditaruh di dalam lemari es,
kalau makanan matang ditaru
dalam rak
Ditaruh dalam rak, selalu
dihabiskan karena takut basi
Ditaruh di rak makan , sehari
harus sudah diganti karena
takut basi
Ditaruh diatas meja kemudian
ditutupi
Apakah membelikan
makanan dari luar Ya, bubur organik
Ya kalau lagi malas masak ,
paling sering beli sayur sop,
kadang perkedel
Kalau anak dimasakin oleh
bibinya
Jarang sekali beli dari luar
karena masak sendiri
Variabel
Praktik Kesehatan dasar
Informan Utama
Sh Nh Yu Y
Penyakit yang Paling Sering
Dialami
Diare, Batuk dan Panas Diare dan panas Asma , panas, batuk Diare dan Panas
Anak diberikan imunisasi
sebelum satu tahun Lengkap Lengkap
Imunisasi 1 bulan sekali di RW
2 Tidak tahu
Yang dilakukan agar anak
tidak terkena penyakit
Anak dijaga, jangan jajan
sembarangan
Anak dijaga kebersihanya,
diperhatikan jajannya
Kebersihanyya dijaga,
memantau anak ketika bermain
Dilarang main kotor-kotoran,
kalau kotor dicuci, dimandikan
Penanganan ketika anak
terkena penyakit
Diberi obat penurun panas
kalau panas, terus dibawa ke
puskesmas atau rumah sakit
Dibawa ke puskesmas atau
rumah sakit
Ke puskesmas terlebih dahulu,
kalau disuruh ke rumah sakit
saya pergi kesana
Lihat sakitnya dulu, kalau
diare badan anak dikerik,
diberi paracetamol kalau badan
panas, kalau masih berlanjut
dibawa ke puskesmas
Bagaimana pemakaian obat
terhadap anak
Selalu ikut anjuran dokter,
kalau disuruh dihabiskan ya
dihabiskan
Ikut anjuran kalau sudah
sembuh tidak diminum lagi
Ikut anjuran, kalau masih ada
disimpan dan kalau masih
bagus dipakai lagi
Ikut anjuran, kalau sudah
sembuh obat dibuang
Variabel
Pencarian Layanan Kesehatan
Informan Utama
Sh Nh Yu Y
Rutin pergi ke
posyandu/puskesmas
Rutin untuk konsultasi ke
bidan atau TPG Rutin setiap bulan
Rutin, kalau lupa ke
puskesmas
Tidak pernah dibawa ke
posyandu
Alasan rutin atau tidaknya
pergi ke posyandu/puskesmas
Untuk memantau pertumbuhan
anak
Untuk menjaga kesehatan dan
memantau pertumbuhan anak
Sekalian periksa kandungan Anak sedang tidak di rumah
Yang dilakukan untuk
mendapatkan informasi
kesehatan bagi anak
Konsultasi kepada bidan atau
TPG Tidak tahu
Dia sempat tanya ke posyandu Bertanya kepada orang yang
lebih pengalaman seperti
sepupu atau mertua
Kesulitan apa yang dihadapi Tidak ada Tidak tahu Tidak ada Tidak tahu
Apakah penting untuk rutin
datang ke posyandu/
puskesmas, mengapa?
Penting sekali, untuk
memantau pertumbuhan anak
Penting sekali, untuk
kesehatan anak
Penting, saya juga kan kader,
jadi sering ingatkan dia
Penting, untuk kekbalan tubuh
anak, tetapi tidak pernah
datang
Variabel
Praktik Higiene dan Sanitasi Lingkungan
Informan Utama
Sh Nh Yu Y
Sumber air yang digunakan
sehari-hari
Sumber air dari PAM, tetapi
untuk keperluan minum dan
memasak dengan air galon
Air minum dari galon,
sedangkan untuk keperluan
lainnya dari sumur pompa
yang dipakai bersama
kontarakan sekitar rumah
Sumber air dari sumur mesin,
untuk minum dari galon isi
ulang, kadang ke MCK
Air minum dari galon isi
ulang, sedangkan untuk
keperluan mandi dan mencuci
dengan sumur pompa yang
dipakai bersama dengan
pemilik kontrakan
Bagaimana keadaan air
tersebut Bagus
Bagus, bisa diminum dan
dimasak
Tidak bisa diminum karena
berkarang Tidak bisa diminum
Tindakan ibu setelah anak
buang air kecil ataupun
besar
Dibawa ke kamar mandi dan
dibersihkan kotorannya
Dibersihkan kotorannya,
setelah itu cuci tangan pakai
sabun
Dibersihkan sama ibunya
pakai sabun Dibersihkan pakai sabun
Tindakan ibu sebelum anak
makan Cuci tangan pakai sabun Cuci tangan pakai sabun
Dia mah jarang cuci tangan,
paling pakai sendok
Kalau kotor cuci tangan, kalau
pakai sendok tidak cuci tangan
Keadaan kakus Milik sendiri di dalam rumah Di luar rumah, dipakai
bersama dengan kontarakan Di MCK umum dekat rumah
Di luar rumah, dipakai
bersama dengan kontrakan
Hewan peliharaan disekitar
rumah
Tidak ada, tatapi terkadang ada
hewan seperti ayam yang
bermain disekitar rumah
Tedapat kandang ayam
dibelakang rumah, didepan
rumah banyak ayam yang
berkeliaran
Ada kandang ayam di kebun
dekat rumah
Terdapat kandang ayam dan
bebek di depan rumah, banyak
kotorannya yang berserakan
Cara mengelola sampah Ditaruh di tempat sampah yang
kemudian dibuang ke kebun
Ditaruh dikarung, kemudian
dibuang oleh petugas
Sampah banyak banget, kalau
diluar disapu terus dibuang ke
kebun dibakar, kadang dibawa
sama tukang sampah
Sampah ditaruh di kantong di
tempat sampah kemudian
diangkut lagi
Upaya ibu menjaga anak
agar tetap bersih
Anak dijaga, pakaiannya
dibersihakan, anak dimandikan
dan dirapikan
Membersihkan tangan anak
kalau kotor, dimandikan
Anak dimandikan, dicuci
tangannya kalau kotor, dijaga
ketika bermain
Dilarang main kotor-kotoran,
kalau kotor dicuci, dimandikan
Upaya yang dilakukan agar
rumah dan lingkungan
sekitar rumah tetap bersih
Dibersihkan dan disapu Dibersihakan, dipel, halaman
disapu
Disapu, disiram depan rumah
agar tidak banyak debu
Rumahnya disapu, halaman
dibersihkan
Lingkungan anak bermain
Anak bermain didepan rumah
yang terdapat selokan, kadang
anak main tanah dengan
tangannya
Main didepan rumah yang
terdapat gundukan pasir, main
masak –masakan dengan
kakanya
Banyak asap dan unggas atau
kotorannya Main didepan rumah
Apakah anak bermain selalu
diawasi
Diawasi sambil bekerja
didepan rumah
Diawasi, lebih sering bermain
dengan ibunya
Jarag diawasi karena
bergantian ngawasnya kadang
dengan bibi yang satu kadang
dengan yang lainnya
Diawasi, kalau kotor tidak
boleh main
variabel
Perawatan Ibu ketika Hamil
Informan Utama
Sh Nh Yu Y
Pola makan selama
kehamilan
Makan satu atau dua centong
nasi 3 kali sehari. Jarang
makan sayur dan buah, hanya
Kurang makan karena muntah
dan gak ketelan serta merasa
kenyang, makan 1 centong nasi
Payah, gak nafsu makan,
sering sakit mamahnya Tidak tahu
nasi dan lauk-pauk saja seperti
ikan, tahu dan tempe. Minum
susu “X” 2 kali sehari, sekali
minum banyaknya 3 sendok
makan susu.
3 kali sehari kalau sedang
rutin, kadang hanya makan roti
saja. Lauk biasanya tahu,
tempe dicampur sayur,
terkadang ikan. Suka ngemil
seperti biskuit dan wafer
Memeriksa kehamilan
Rutin 1 bulan sekali ketika ada
posyandu, ketika umur
kehamilan 8 sampai 9 bulan
menjadi 2 kali dalam sebulan
Rutin 1 bulan sekali ke bidan Kalau hamil dia periksa Tidak tahu
Memantau pertambahan
berat badan ketika hamil
Rutin memantau, awalnya 98
Kg, ketika hamil menjadi 102
Kg
Rutin menimbang, Berat badan
lebih sering turun
Kayanya ditimbang, waktu di
posyandu juga ditimbang Tidak tahu
Konsumsi tablet penambah
darah ketika hamil
Meminum tablet Fe dari
posyandu, setiap hari
dikonsumsi 1 tablet
Rutin meminum tablet Fe
sampai umur kehamilan 8
bulan
Setahu saya dia jarang minum Tidak tahu
Imunisasi ketika hamil Dimunisasi tetanus 1 kali
Diimunisasi untuk
menghindari anak dari
penyakit
Kurang tahu Tidak tahu
Cara mengetahui asupan
yang benar ketika hamil
Banyak bertanya ke bidan
karena selalu datang setiap
bulan
Tidak tahu Biasa, jalanin aja, ga bertanya-
tanya Tidak tahu
Aktivitas selama kehamilan
Merapikan rumah, olahraga
seperti jalan-jalan, istirahat
berupa tidur 2 kali sehari
Merapikan rumah, olahraga
berupa jalan kaki
Dia sering sakit, sampai 3 kali
dirawat dan diinfus di rumah Tidak tahu
Informan Pendukung (Keluarga)
variabel
Pemberian ASI Eksklusif dan MP ASI
Informan Pendukung
H/Sh Asm/Nh Rh/Yu S/Y D/Y
Anak diberikan ASI
eksklusif
Diberikan pisang ketika 5
bulan
Diberikan air tajin ketika
baru lahir
Diberikan ASI eksklusif
selama 6 bulan
Diberikan bubur, pisang
ketika masih bayi Tidak tahu
Alasan memberikan dan
tidak memberikan ASI
eksklusif
Air susunya ga ada,
untuk mengisi perut anak
Ibu sedang dirawat di
rumah sakit
Agar anak memiliki daya
tahan tubuh yang lebih
baik
Terhalang dengan
pekerjaan -
Makanan selain ASI
yang diberikan sebelum
usia anak 6 bulan
Pisang Susu formula, Sun, air
tajin Tidak ada
Pisang, bubur, nasi tim,
biskuit -
Lamanya anak
diberikan ASI Kurang lebih 1 tahun
Sampai sekarang masih
air susu ibunya
Sampai anak berumur 12
bulan Sampai sekarang -
Alasan masih dan
tidaknya anak diberikan
ASI
Air susu ibu ga ada Tidak tahu Ibu sedang bekerja
Untuk mencerdaskan
anak, kekebalan tubu,
tidak terserang penyakit
-
Frekuensi pemberian
ASI
Tidak diberikan ASI,
tetapi diberikan susu
formula kurang lebih 4
kali perhari, sekali
pemberian banyaknya
kira-kira 3 sendok makan
Ga tentu, bisa 10 kali,
soalnya sering
Kurang lebih 3 kali
dalam sehari, sekali
diberi sebanyak 4 sendok
makan susu
Diberi ASI kurang lebih 1
kali saat malam hari, kalau
susu formula kurang lebih
2 kali di momongan
Tidak tahu
Komposisi MP ASI
yang diberikan
Nasi, sayur-mayur, lauk
seperti tahu, tempe, kalau
lagi ada anak diberikan
ayam
Nasi, sayur, lauk seperti
telur, tahu, tempe dan
ikan, nasi campur kecap
Sun, buah kalau lagi ada
seperti pisang dan
pepaya, anak sampai
sekarang kurang suka
dengan nasi, kalau
makan nasi biasanya
dicampur kecap dan telur
atau sayur sop
Suka makan apa saja,
seperti nasi, telur, tempe
dan yang lainnya
Terkadang telur nasi
dan kuah sayur,
menunya sama sayur
gitu aja
Frekuensi pemberian
MP ASI 3 kali perhari 3 kali sehari 3 kali sehari
3 kali sehari, bisa lebih
karena sering ikut makan
Anak makannya
banyak, kadang lebih
dengan kaka atau orang
tuanya
dari 3 kali, dikasih
makan terus
Porsi MP ASI yang
diberikan dalam sekali
makan
Secentong tidak habis,
anak agak susah makan 2-3 sendok makan
2-3 suap endok makan
sekali diberikan
Setengah mangkuk, kira-
kira 7 suap makan 1 piring,
Makanan selingan anak,
berapa kali diberikan
dalam sehari
Paling roti, semaunya
anak saja, kurang lebih 1
kali makanan selingan
Roti, biskuit, ga tentu
berapa kalinya
Buah kalau sedang ada,
susu 1 kali disiang hari
Biskuit, tidak menentu,
kalau pergi ke warung
anak suak minta dibelikan
Sekitar secentong nasi
ditambah lauk dan
kuah sayur
Bagaimana jajan anak
Anak seperti permen, es,
dan semaunya anak jajan
saja
Jajan apa saja mau,
seperti telur goreng, Anak suka jajan permen Biskuit, permen
Jajannya cemilan
anak-anak seperti
wafer
Apakah selalu diawasi
jajannya
Diawasi, kalau es sedikit-
sedikit saja
Kurang, karena anak
lebih dari 5 ribu jajannya,
tapi ga dihabiskan
Kadang dikasih kadang
tidak
Suka diawasi, kalau
permen kadang dilarang
karena takut rusak giginya
-
Variabel
Penyiapan dan Penyimpanan Makanan
Informan Utama
H/Sh Asm/Nh Rh/Yu S/Y D/Y
Bagaimana anak makan
Anak makan disuapi,
kadang sendiri dengan
piring khusus untuk anak
Makan sendiri, disuapi
gak mau
Anak mau makan jika
disuapi, kadang berdua
dengan ibunya
Di piring sendiri, tidak
disuapi
Anak makan masih
disuapi karena
berantakan
Bagaimana mengolah
makanan untuk anak
Dicuci kemudian
dimasak sampai matang
Dibersihkan, dicuci,
kemudian dimasak
Ibu jarang masak, lebih
sering beli makanan
Dicuci, kemudian
dimasak sampai matang
Dicuci sampai bersih
ters dimasak sampai
matang
Bagaimana penyajian
makanan untuk anak
Biasa aja, paling dengan
sayur ditaruh saja Di omprekin aja Biasa saja
Biasa saja, ditaruh diatas
piring
Ditaruh aja diatas
piring
Kebersihan peralatan
makanan
Dicuci kemudian direbus
botol dan peralatan
makan anak
Dibersihkan pakai sabun Kebersihan piring dijaga
dan dicuci pakai sabun Dicuci biasa pakai sabun Pasti dicuci
Kebersihan ibu saat
mengolah atau
menyajikan makanan
Cuci tangan dahulu, pasti
pakai sabun setahu saya
Sebelum kasih makan
cuci tangan dulu pakai
sabun
Cuci tangan
Cuci tangan, kalau masak
sendiri jarang, habis
makan ya bersih-bersih
Tidak mencuci tangan
ketika memberikan
makan anak karena
pakai sendok
Menu sehari-hari yang
diberikan kepada anak
Paling hanya sayuran
saja, kalau ada uang
menunya ganti-ganti
setip hari juga
Biasa aja, kadang beli
sayur sop, kadang buat
sayur bayam sama tempe,
ikan
Paling sering diberi telur
ceplok yang nasinya
ditambahkan kecap
Beda-beda setiap hari
Menunya kadang sayur
kacang panjang,
jagung, labu siam, gitu
aja
Bagaimana menyimpan
makanan Ditaruh di dalam rak
Ditaruh dalam rak, kalau
mau dimakan lagi
dihangatkan
Ditaruh di rak makan ,
tetapi tidak terlalu rapi
Ditaruh di dalam
pemanas nasi, kalau beli
biasanya langsung
dihabiskan, ibu jarang
masak sendiri
Ditararuh diatas meja
atau di kulkas
Apakah membelikan
makanan dari luar
Paling masak sendiri,
sekarang anak sudah
tidak mau bubur organik
yang beli
Kadang beli sayur 200
buat anak, kadang masak,
kadang ambil dari rumah
saya
Sering, karena jarang
masak di rumah
Ya, paling suka anak
makan dengan ayam atau
telur
Jarang beli, anak
dimasakin terus
Variabel
Praktik Kesehatan dasar
Informan Pendukung
H/Sh Asm/Nh Rh/Yu S/Y D/Y
Penyakit yang Paling
Sering Dialami
Batuk, pilek Diare Asma, gatal-gatal, batuk Panas dan diare Umumnya pilek
Anak diberikan
imunisasi sebelum satu
tahun
Imunisasi lengkap waktu
satu tahun Lengkap semuanya Lengkap Lengkap di Sangiyang Tidak tahu
Yang dilakukan agar
anak tidak terkena
penyakit
Tidak tahu Tidak tahu Makan anak diawasi,
lebih sering di rumah
Menjaga anak ketika
bermain, dijaga pola
makannya
Jarang nyalain kipas
angin, jarang dikasih
minum es
Penanganan ketika anak
terkena penyakit
Makanannya dijaga,
jajannya dijaga
Diurut, kalau masih
panas dibawa ke
puskesmas
Panik, bawa ke dokter
Diberi obat warung,
kadang diurut, dikerik
jarang-jarang pakai
minyak dicampur
bawang. Anak jarang
Kasih obat warung
terus dikerikin pakai
bawang merah
sekali dibawa ke
puskesmas
Bagaimana pemakaian
obat terhadap anak
Ikut anjuran, kalau sudah
sembuh tidak dipakai lagi
Ikut anjuran kalau sudah
sembuh tidak diminum
lagi,kalau kambuh baru
dikasih obat kembali
Ikut anjuran, terkadang
tidak Ikut anjuran, dihabiskan Ikut anjuran
Variabel
Pencarian Layanan Kesehatan
Informan Pendukung
H/Sh Asm/Nh Rh/Yu S/Y D/Y
Rutin pergi ke
posyandu/puskesmas
Kalau dia rutin ke
posyandu
Saya yang suruh dia ke
posyandu, dia selalu
datang
Terkadang ada yang lupa
tidak datang ke posyandu
Jarang dibawa ke
posyandu
Tidak rutin ke
posyandu
Alasan rutin atau tidaknya
pergi ke
posyandu/puskesmas
Untuk periksa kesehatan,
berat badan, dan gizinya
Biar sehat badannya,
ingin tahu berapa berat-
badannya
Untuk daya tahan tubuh
anak
Ibu kandung sedang
bekerja, anak lebih
banyak sama ibu
angkatnya
-
Yang dilakukan untuk
mendapatkan informasi
kesehatan bagi anak
Cuma tanya kondisi
badan anak yang kurang
bagus
Tidak tahu
Bertanya di posyandu
mengenai berat badan
anak jika kurang
Bertanya tetangga
misalkan kenapa anak
mudah sakit
-
Kesulitan apa yang
dihadapi Tidak ada Tidak tahu Tidak ada Tidak tahu -
Apakah penting untuk
rutin datang ke posyandu/
puskesmas, mengapa?
Penting, untuk kesehatan
anak, tahu berat badan
dan gizinya, untuk
vitamin anak
Penting, untuk kesehatan
anak
Penting, untuk daya
tahan tubuh anak
Penting, untuk menjaga
kesehatan anak Penting
Variabel
Praktik Higiene dan Sanitasi Lingkungan
Informan Pendukung
H/Sh Asm/Nh Rh/Yu S/Y D/Y
Sumber air yang
digunakan sehari-hari
Air galon isi ulang untuk
minum, tetapi untuk
mencucu dan mandi
dengan air PAM
Air sumur dari pompa
Sumber air dari sumur
mesin, untuk minum dari
galon isi ulang
Air minum dari galon isi
ulang, sedangkan untuk
keperluan mandi dan
mencuci dengan sumur
mesin
Dari sumur, air minum
pakai air galon
Bagaimana keadaan air
tersebut
Kurang bagus, gak bisa
diminum
Bagus, bisa diminum dan
dimasak, lancar dan tidak
perlu beli air
Bagus, bisa untuk
diminum dan dimasak
Keruh, agak bau, tidak
bisa diminum dan
dimasak
Bersih
Tindakan ibu setelah
anak buang air kecil
ataupun besar
Paling dibersihin terus
dipakaikan celana Dibersihkan pakai sabun Dibersihkan pakai sabun
Dibersihkan di kamar
mandi
Dibersihkan pakai
sabun
Tindakan ibu sebelum
anak makan Cuci tangan Cuci tangan pakai sabun
Cuci tangan jarang pakai
sabun
Cuci tangan anak lebih
sering pakai air saja Ga cuci tangan
Keadaan kakus Milik sendiri didalam
rumah
Kakus kadang sama saya,
kadang di kontrakan
Di MCK umum dekat
rumah
Milik sendiri di dalam
kontarakan Di dalam rumah
Hewan peliharaan
disekitar rumah Tidak ada Ayam di belakang
Terdapat kandang ayam
dan bebek didepan dan
sekitar rumah, banyak
kotoran hewan tersebut
yang berserakan. Selain
itu banyak kucing yang
keluar masuk ke dalam
rumah
Terdapat kandang ayam
di pojok kontarakan -
Cara mengelola sampah
Ada tempat sampah,
kemudian dibuang ke
depan
Ditaruh dikantong
plastik, kemudian
diangkut
Ditauh ditempat sampah,
banyak sampah disekitar
rumah karena terdapat
tumpukan barang, sampah
yang ada ditempat kadang
dirusak oleh hewan seperti
ayam. Sampah yang
tekumpul dibuang di
Sampah ditaruh di tempat
sampah kemudian ada
petugas yang membawa
Ditaruh di depan
rumah kemudian
diangkut
lapangan dekat rumah
kemudian dibakar
Upaya ibu menjaga
anak agar tetap bersih
Anak dibersihkan, dijaga
mainnya agar tidak kotor
Dimandikan pakai sabun,
diganti bajunya karena
sering main masak-
masakan
Anak dimandikan, dicuci
tangannya kalau kotor,
dijaga ketika bermain
Memantau anak agar
tidak main kotor-kotoran
Diawasi ketika anak
bermain
Upaya yang dilakukan
agar rumah dan
lingkungan sekitar
rumah tetap bersih
Paling bersih-bersih,
nyapu dan ngepel
Disapu, bersih-bersih,
debu dibuang
Dibersihkan ketika pagi,
kalau siang ibu sudah
bekerja dan anak yang
sudah dewasa tidak bisa
merapikan dan
membersihkan rumah
Bersihkan rumah setiap
hari, halama rumah
disapu
Disapu, disiram biar
ga banyak debu
Lingkungan anak
bermain Di depan rumah aja
Main masak-masakan di
depan rumah, kadang
main sendiri didalam
Main didepan rumah yang
banyak sampah dan
kotoran unggas berserakan
tanpa menggunakan alas
kaki
Main di depan rumah
dengan teman-temannya,
didepan rumah terdapat
sampah yang berserakan
dan kandand unggas
Anak jarang bermain
diluar, paling sama
ibunya saja, terkadang
sama neneknya
Apakah anak bermain
selalu diawasi
Diawasi sambil duduk,
karena hanya lari-lari saja
di depan rumah
Tidak diawasi, kalau
tangannya kotor dicuci
Terkadang diawasi oleh
bibinya
Ya, dijaga agar tidak
bermain kotor-kotoran Diawasi
variabel
Perawatan Ibu ketika Hamil
Informan Pendukung
H/Sh Asm/Nh Rh/Yu S/Y D/Y
Pola makan selama
kehamilan
Waktu hamil makannya
sepertinya berkurang
Biasa aja, paling sayur sop
sama tempe, sambal
goreng, lauknya kadang-
kadang ambil dari saya
karena dia ga masak.
Kalau lagi nafsu banyak
makannya, kalau lagi ga
mood sedikit. Makannya
paling 3 kali sehari
Hanya minum susu
selama 7 bulan karena
kalau makan selalu
muntah, itupun tidak
teratur, kalau sedang
mau saja, umumnya 3
kali sehari.
Makan seperti biasa,
tidak ada pantangan,
sering makan sayur tetapi
kalau buah jarang. Suka
ngemil, lauk biasanya
telur, ikan,. Porsi makan
ketika hamil banyak dan
sering makan karena
merasa ingin makan saja
Tidak tahu
Memeriksa kehamilan Alhamdulillah rutin
diperiksa
Alhamdulillah periksa ke
bidan
Rutin sebulan sekali,
kadang ke posyandu
kadang ke bidan
Hanya 2 kali saja selama
kehamilan karena ibu
bekerja
Pernah menyuruh
untuk periksa tapi ibu
gak mau
Memantau
pertambahan berat
badan ketika hamil
Ya sering, sekalian
periksa Tidak tahu
Rutin memantau, berat
badan awal 65 Kg
menjadi 58 Kg ketika
hamil
Jarang sekali Tidak tahu
Konsumsi tablet
penambah darah ketika
hamil
Sebelum 7 bulan rutin
diminum , tetapi diatas 7
bulan tidak karena takut
anank lahir besar
Tidak tahu
Diberikan dari posyandu
atau bidan tetapi tidak
diminum dengan alasan
bau
Yang didapat dari bidan
selalu dihabiskan Tidak tahu
Imunisasi ketika hamil Imunisasi juga bagus Tidak tahu Imunisasi TT di
posyandu Tidak dimunisasi Tidak tahu
Cara mengetahui
asupan yang benar
ketika hamil
Kurang tahu Tidak tahu Bertanya kepada bidan,
tetapi tidak dilakukan
Tidak pernah, hanya ada
nasihat dari orang lain
seperti mertua
Tidak tahu
Aktivitas selama
kehamilan Seperti biasa saja
Ga ngapa-ngapain, paling
nyuci sama masak untuk
suaminya
Tidak pernah keluar
rumah selama 7 bulan
karena kondisi tubuh
yang lemah, hanya
ditempat tidur saja
Bekerja sebagai petugas
kebersihan, tidak
olahraga, tidur siang
kira-kira hanya 2 jam,
setelah itu beres-beres
rumah
Ibu bekerja di DKP
Informan Pendukung (Kader Posyandu)
variabel
Informan Kader Posyandu
SM/Sh W/Nh T/Rh/Yu SY/Y/S
Pemberian ASI eksklusif oleh
ibu balita
Tadinya eksklusif, berhubung
berat badannya kurang jadi
diberikan susu formula
Kurang begitu tahu
Kalau disini jarang, tapi kalau
ibu Rh semoga aja, soalnya
ininya(wawasan) lebih
terbuka, apalagi saudaranya
kader
Kalau disini cukup tinggi,
kalau untuk ibu S atau Y tidak
tahu
Penyakit yang Paling Sering
Dialami oleh balita
Pilek, panas Pilek, batuk Sekarang lagi demam
berdarah, diare ada tapi ga
seperti dulu, kalau anak ibu Rh
kurang begitu tahu
Disini paling batuk dan pilek,
untuk diare jarang
Anak diberikan imunisasi
sebelum satu tahun
Alhamdulillah dia lengkap
imunisasinya Imunisasi dia lengkap kayanya
Alhamdulillah lengkap, kan
kalaau baru lahir harus cepat-
cepat dibawa ke posyandu, iya
dia selalu
Tidak tahu, tetapi kalau disini
kalau pembagian vitamin dan
imunisasi yang biasanya gak
pernah datang dia datang
Pergi ke
posyandu/puskesmas
Dia ke posyandu rutin setiap
bulan
Rutin datang ke posyandu,
bulan ini datang, bulan besok
lagi
Dia selalu ke posyandu
Tidak pernah dibawa ke
posyandu, saya tidak kenal
dengan ibu dan anak serta
bapaknya tersebut, saya tidak
punya data anak itu
Yang dilakukan untuk
mendapatkan informasi
kesehatan bagi anak
Dia sering tanya-tanya ke
bidan, kadang ke TPG
Tidak, dia Cuma datang,
nimbang dan lihat
pertumbuhan anaknya
Tanya-tanya sih tidak, tapi
kalau ke posyandu rutin Tidak pernah
Keadaan lingkungan
disekitar
Lingkungannya kurang baik,
kebersihannya juga
Begitu, tempat tinggalnya juga
begitu, buat saya kasihan aja
Lingkungan rumah dia, rada
seperti inilah, rada kumuh,
kurang bersihbanyak ternak
Lingkungan disini variasi,
sepertinya kesadaran
lingkungan masih kurang,
masih banyak sampah-sampah
yang berserakan
Memeriksa kehamilan
Waktu hamil Alhamdulillah
rutin ke posyandu setiap bulan,
periksa hamil, timbang badan
Dia pernah ke bidan, ke
posyandu juga iya
Kalau hamil yang kemarin dia
agak lama periksanya, tapi dia
selalu ke posyandu
Tidak tahu, tidak ada data ibu
tersebut
Konsumsi tablet penambah
darah ketika hamil
Tablet Fe dikasih setiap bulan,
tapi ga tahu diminum apa
engga
Dikasih, tapi tidak tahu
diminum atau tidak
Diberikan dari posyandu
sebulan sekali Tidak tahu
Imunisasi ketika hamil Dia diimunisasi juga Sepertinya dia diimunisasi, dia
sering periksa ke posyandu Alhamdulillah dia imunisasi Tidak tahu
Masalah yang ditemui pada
pola asuh balita Tidak menjawab
Paling jadi masalah itu
makanan, lingkungan,
ekonomi, keadaannya begitu,
tapi yang pentingh dia mau
rutin ke posyandu
Disini pengetahuannya yang
kurang, kadang ibu malas,
yang penting kasih makan aja,
tidak dilihat lagi bergizi atau
tidak
Kalau disini ibu kerja dari pagi
sampai sore anaknya
dititipkan, ibu tidak telaten
menyuapi anak, anak dikasih
jajan sembarangan
Karakteristik pengasuh/ibu
di wilayah ini
Banyak yang bekerja, kadang
anak diasuh olehtetangga atau
neneknya, pendidikan ada
sampai SD, SMP, dan SMA
Kebanyakan ibu kerja disini,
jadi nenek yang asuh,
pendidikana disini masih
dibawah
Kalau disini 50;50 yang kerja
sama yang ibu rumah tangga,
pendidikan minimal SMP,
kebanyakan SD
Banyak ibu yang menjadi
tukang sapu disini, bisa
dikatakan 20 anak dimomong
oleh orang lain
Faktor yang paling
berpengaruh terhadap
masalah gizi di wilayah ini
Tidak menjawab Dari perekonomiannya Ekonomi, lingkungan, dan
wawasan
Ekonomi, lingkungan, pola
asuh
Apa yang dilakukan ketika
menemukan masalah gizi
pada balita
Dipantau, seminggu sekali
disuruh datang ke puskesmas,
akan diadakan pos gizi dekat-
dekat ini
Ada penyuluhan dan rumah
gizi
Dibawa ke puskesmas,
kemudia ibu itu yang rutin
datang ke puskesmas
Dipantau terlebih dahulu,
kalau keadaan masih seperti
itu baru dibawa ke puskesmas,
melakukan pendekatan kepada
orang tua balita
Pernakah ibu mendengar
istilah stunting/pendek,
adakah program untuk
mengatasinya
Tidak tahu Tidak tahu Tidak tahu Tidak tahu
Informan Pendukung (TPG puskesmas)
variabel Informan Kader Posyandu
RJ
Pemberian ASI eksklusif oleh ibu
balita
ASI eksklusif itu di Puskesmas Neglasari dari F1 gizi rendah kenyataannya, Disini mah asi ekslusif rendah, D/S
rendah, Fe rendah
Penyakit yang Paling Sering
Dialami oleh balita
ISPA, diare
Pergi ke posyandu/puskesmas Cakupannya sudah naik sekitar 60% karena untuk saat ini sangat digembar-gemborkan melalui penyuluhan
Perilaku memeriksa kehamilan Sekarang ini rutin datang ke KIA atau posyandu karena ada maunya yaitu guna medapatkan rujukan
Keadaan lingkungan disekitar
Seandainya ada 8 anak, yang tidak bersih sekali sebnyak 2 orang, Lingkungan masing-masing beda, Penelitian PHBS
rumah tangga di Karang Sari sistemnya random kita ambil 7 RW, setiap RW kita ambil 3 RT kalo ga salah. Rata-rata
tidak ber-PHBS salah satu penyebabnya karena merokok di dalam rumah. Selain itu sampah juga merupakan salah satu
masalah yang ditemui di wilayah kerja Puskesmas Neglasari karena kurangnya koordinasi dari RT sampai kelurahan.
Sampah biasanya tidak segera diangkut, banyak yang berserakan, kalau yang di pojok-pojokan karena tidak ada tempat
sampah maka dibuang ke sungai
Masalah yang ditemui pada pola
asuh balita Pemberian makan tidak sesuai jadwal, jumlah, dan jenis serta faktor ekonomi
Faktor yang paling berpengaruh
terhadap masalah gizi di wilayah
ini
Pola asuh pemberian makan yang tidak tepat, ke posyandu ya, dapat buku ya, menimbang anak ya, tetapi kalau anak
nangis tetap saja diberikan jajan sehingga anak makan tidak teratur
Apa yang dilakukan ketika
menemukan masalah gizi pada
balita
Kunjungan rumah kemudian disuruh datang ke posyandu dan puskesmas dengan rutin
Pernakah ibu mendengar istilah
stunting/pendek, adakah program
untuk mengatasinya
Pendek
Lampiran 5
HASIL OBSERVASI
DAFTAR OBSERVASI
KETERANGAN
Ra Ai La Al
Pemberian variasi makanan beragam
kepada anak
Anak makan dengan nasi
dan sayur saja seperti sayur
sop, anak makan dengan
nasi dan lauk saja seperti
ayam dan bakso, anak
diberikan susu formula yang
didapat dari puskesmas
Anak makan dengan nasi
dan sayur sop, anak makan
dengan nasi, sayur
kangkung dan tahu, anak
masih diberikan ASI
Anak makan dengan sayur sop
yang ditambahkan bakso, anak
makan dengan telur dan ayam
yang ditambahkan kecap, anak
diberikan susu formula
Anak makan dengan nasi dan
telur, anak makan dengan
sayur jagung dan ikan, anak
ikut memakan mie bersama
ayahnya, anak makan nasi
dengan tempe goreng
Pemberian porsi makan yang sesuai
umur anak
Anak diberikan nasi sekitar
10 sendok makan dan sayur
sekitar 3-4 sendok makan
ada yang pakai lauk dan ada
yang tidak, tetapi tidak
dihabiskan
Anak diberikan makan
sekitar 1 centong nasi, 2
sendok sayur, dan
sepotong lauk seperti tahu
Anak diberikan makan sekitar
1 centong nasi, sepotong lauk
seperti telur dan 1 kali
diberikan sayur tetapi tidak
dihabiskan karena anak pergi
bermain
Anak makan sekitar 1 centong
lebih sedikit nasi,
ditambahkan lauk seperti
sepotong telur, tempe dan
ikan, anak juga diberikan
sayur
Frekuensi pemberian makan sedikit
tetapi sering (5-6 kali)
Ketika observasi anak 2 kali
makan 1 kali menyusui
Ketika observasi anak
diberikan 2 kali makan dan
2 kali ASI
Ketika observasi anak 2 kali
makan 2 kali minum susu
Ketika observasi anak 2 kali
makan tetapi kadang ikut
makan lagi ketika ada anggota
rumah tangga yang makan
Makanan selingan anak Tidak diberikan Tidak diberikan Tidak diberikan Tidak diberikan
Jajan anak Tidak jajan Jajan dari penjual keliling
dan warung nenek
Diberikan jajan permen oleh
teman-temannya Jajan es, kerupuk berbumbu
Penggunaan peralatan masak dan
makan yang bersih
Dicuci sebelum digunakan,
untuk botol susu setelah Dicuci sebelum digunakan Dicuci sebelum digunakan Dicuci sebelum digunakan
dicuci kemudian direbus
Tempat menyimpan makanan Makanan disimpan dalam
rak, tidak ditutupi
Makanan ditaruh diatas
meja, ditutupi
Makanan disimpan didalam
rak, tidak ditutupi
Makanan ditaruh diatas meja,
tidak ditutupi
Penyajian makanan yang menarik
Ditaruh biasa diatas piring,
ketika peneliti melakukan
observasi ibu berusaha
mencari pencetak makanan
yang berbentuk hewan
Makanan ditaruh biasa saja
diatas piring
Makanan ditaruh biasa saja
diatas piring
Makanan ditaruh biasa saja
diatas piring
Pemberian makanan dari luar untuk
anak - - - -
Penyiapan makan untuk anak
Anak makan dengan
piringnya sendiri, masih
disuapi
Anak makan dengan
piringnya sendiri, anak
makan sendiri, tetapi
disuapi juga
Anak makan dengan piringnya
sendiri, masih disuapi, terlihat
sekali makan sendiri tetapi
tidak dihabiskan
Anak makan dengan piringnya
sendiri, masih disuapi
Pencucian makanan mentah seperti
buah dan sayur Dicuci Dicuci Dicuci Dicuci
Memasak makanan sampai matang Sampai matang Sampai matang Dimasak sampai matang Dimasak sampai matang
sekali
Perilaku cuci tangan sebelum
menyiapkan makanan Tidak mencuci tangan Tidak mencuci tangan Tidak mencuci tangan Tidak mencuci tangan
Pengawasan ketika anak bermain
Diawasi, tetapi ibu
terkadang lengah karena
setiap hari bekerja di depan
rumah, anak terlihat main
tanah dan berada dekat
selokan, anak juga terlihat
memasukkan jarinya ke
dalam mulut ketika bermain,
ibu sekali terlihat
memberikan makanan yang
jatuh ke lantai kepada anak,
anak terlihat sedikit kotor
Anak bermain dengan
ibunya karena takut
dengan peneliti, tetapi
terlihat anak dibiarkan
main tanah di depan rumah
dengan teman-temannya,
anak sekali terlihat tidak
memakai alas kaki ketika
bermain
Anak main tanpa pengawasan
dari orang tua atau
saudaranya. Anak selalu tidak
memakai alas kaki ketika
bermain dan sering terlihat
memasukkan jarinya ke dalam
mulut
Anak beberapa kali terlihat
main dekat kandang unggas,
anak sering tidak memakai
alas kaki ketika bermain,
tubuh anak terlihat sedikit
kotor dan keluar keringat
Penanganan ketika anak jatuh sakit - - - -
Perilaku BAB di jamban Di dalam rumah Di luar rumah, dipakai
bersama dengan kontrakan Di MCK umum
Di luar rumah, dipakai
bersama dengan kontrakan
Perilaku cuci tangan setelah
membasuh kotoran anak
Dibersihkan hanya dengan
air saja, ketika anak buang
air kecil, anak hanya di lap
dengan celana yang terkena
air seni, kemudian celana itu
kembali digunakan untuk
mengelap lantai yang
terkena air seni anak tersebut
Dibersihkan dengan air,
kemudian ibu mencuci
tangan pakai sabun tetapi
anak tidak, ketika anak
buang air kecil, anak hanya
dilap dengan celana yng
terkena air seni, kemudian
celana itu digunakan
kembali untuk mengelap
lantai yang terkena air seni
anak
-
Dibersihkan dengan air,
setelah itu ibu mencuci tangan
pakai sabun tetapi anak tidak
Sumber air bersih
Air minum dari galon isi
ulang sedangkan untuk
mencuci, mandi dari PAM
Air minum dari galon isis
ulang sedangkan untuk
mencuci dan mandi dari
sumur pompa
Air minum dari galon isi ulang
sedangkan untuk mencuci dan
mandi
Air minum dari galon isi ulang
sedangkan untuk mandi dan
mencuci dari sumur pompa
Air dalam keadaan baik Baik Bagus Agak keruh Bagus
Keberadaan hewan peliharaan di
sekitar rumah
Tidak ada, namun tedapat
unggas yang terlihat bermain
di sekitar rumah
Terdapat kandang unggas
dibelakang rumah dekat
dengan penampungan air
Terdapat kandang unggas di
depan dan samping dekat
rumah
Terdapat kandang unggas di
depan rumah
Adanya tempat pembuangan sampah
Sampah ditaruh di tempat
sampah dalam rumah
kemudian setelah penuh
dibuang ke kebun
Sampah ditaruh dalam
karung atau kantong
plastik yang digantung di
pohon depan rumah,
setelah beberapa hari
diambil oleh petugas
kebersihan setempat
Sampah ditaruh di tempat
sampah di dalam dan luar
rumah, setelah penuh dibuang
ke kebun dekat rumah
kemudian dibakar
Sampah diataruh ditempat
sampah yang dilapisi plastik,
dalam beberapa hari diambil
oleh petugas kebersihan
setempat
Lingkungan bermain anak
Anak bermain di depan
rumah yang yang terdapat
selokan
Anak bermain di depan
rumah tetapi ketika
observasi anak lebih sering
dengan ibunya di dalam
rumah
Anak bermain di depan rumah
yang banyak terdapat kotoran
hewan serta asap pembakaran
sampah
Anak bermain di depan rumah
yang terdapat gundukan pasir,
ada hewan seperti kucing yang
membuang kotorannya di
dalam pasir