gambaran umum wilayahg
DESCRIPTION
hTRANSCRIPT
A. Gambaran umum wilayah:
1. Administrasi
Secara administratif terdiri dari 1 kota dan 4 kabupaten, 78 kecamatan dan 438 kelurahan/desa, yaitu
a. Kota Yogyakarta (luas 32,50 km2, 14 kecamatan, 45 kelurahan)
b. Kabupaten Bantul (luas 506,85 km2, 17 kecamatan dan 75 desa)
c. Kabupaten Kulon Progo(luas 586,27 km2, 12 kecamatan dan 88 desa)
d. Kabupaten Gunungkidul (luas 1.485,36 km2, 18 kecamatan, 144 desa)
e. Kabupaten Sleman (luas 574,82 km2, 17 kecamatan dan 86 desa).
2. Luas Wilayah : 3.185,80 km2
3. Batas Wilayah
a. Sebelah Timur Laut berbatasan dengan Kabupaten Klaten
b. Sebelah Tenggara berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri
c. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Purworejo
d. Sebelah Barat Laut berbatasan dengan Kabupaten Magelang
4. Kondisi Geografi
Menurut altitude, Provinsi DIY terbagi menjadi daerah dengan ketinggian < 100 m, 100-500 m dan 500– 1.000 m
(sebagian besar di Kabupaten Bantul), 1.000–2000 m diatas permukaan laut terletak di Kabupaten Sleman. Secara
fisiografi, DIY dapat dikelompokkan menjadi empat satuan wilayah :
a. Satuan fisiografi Gunungapi Merapi, mulai dari kerucut gunung hingga bentang lahan vulkanik, meliputi Sleman, Kota
Yogyakarta dan sebagian Bantul. Daerah kerucut dan lereng gunung api merupakan daerah hutan lindung sebagai
kawasan resapan air daerah bawahan. Wilayah ini 9 memiliki luas kurang lebih 582,81 km2 dengan ketinggian 80 –
2.911 m.
b. Satuan Pegunungan Seribu Gunungkidul, merupakan kawasan perbukitan batu gamping dan bentang karst tandus dan
kurang air permukaan, di bagian tengah merupakan cekungan Wonosari yang terbentuk menjadi Plato Wonosari.
Wilayah pegunungngan ini memiliki luas kurang lebih 1.656,25 km2 dengan ketinggian 150-700 m.
c. Satuan Pegunungan di Kulon Progo bagian utara, merupakan bentang lahan struktural denudasional dengan topografi
berbukit, kemiringan lereng curam dan potensi air tanah kecil. Luas wilayah ini mencapai kurang lebih 706,25 km2
dengan ketinggian : 0 – 572 m
d. Satuan Dataran Rendah, merupakan bentang lahan fluvial (hasil proses pengendapan sungai) yang didominasi oleh
dataran aluvial, membentang mulai dari Kulon Progo sampai Bantul yang berbatasan dengan Pegunungan Seribu.
Wilayah ini memiliki luas 215,62 km2 dengan ketinggian 0 – 80 m.
Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki iklim tropis dengan curah hujan berkisar 0,00 mm – 13,00 mm per hari. Suhu udara
rata-rata berkisar antara 21-350oC. Kelembaban udara berkisar antara 30 - 97 persen dan tekanan udara 1.005,3 mb –
1.017,2 mb dengan arah angin antara 180 derajat – 240 derajat dan kecepatan angin antara 0 knot sampai 29 knot Wilayah
DIY mempunyai potensi bencana alam, terutama berkaitan dengan bahaya geologi yang meliputi:
a. Gunung Merapi, mengancam wilayah Kabupaten Sleman bagian utara dan wilayah sekitar sungai yang berhulu di
puncak Merapi
b. Gerakan tanah/batuan dan erosi, berpotensi terjadi pada lereng 10 Pegunungan Kulon Progo (bagian utara dan barat),
lereng Pengunungan Selatan (Gunungkidul) dan bagian timur (Bantul)
c. Bahaya banjir, terutama berpotensi mengancam daerah pantai selatan Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Bantul
d. Bahaya kekeringan berpotensi terjadi di wilayah Kabupaten Gunungkidul bagian selatan, khususnya kawasan karst
e. Bahaya tsunami, berpotensi di pantai selatan Kulon Progo, Bantul, dan Gunungkidul, khususnya pada elevasi kurang
dari 30 m dpl
f. Bahaya gempa bumi (tektonik, vulkanik) berpotensi terjadi di seluruh wilayah DIY. Gempa tektonik berpotensi di
tumbukan lempeng dasar Samudra Indonesia di sebelah selatan DIY
g. Bahaya angin puting beliung, berpotensi terjadi di seluruh wilayah Provinsi DIY.
5. tata guna lahan
Pengelolaan sumberdaya alam yang tidak berkelanjutan dan mengabaikan kelestarian fungsi lingkungan hidup
menyebabkan daya dukung lingkungan menurun dan ketersediaan sumberdaya alam menipis. Kawasan hutan dengan luas
23,54% dari luas wilayah DIY kurang mencukupi sebagai standar lingkungan hidup. Menurunnya daya dukung dan
ketersediaan sumberdaya alam juga terjadi karena kemampuan iptek yang rendah sehingga tidak mampu mengimbangi laju
pertumbuhan penduduk. Pencemaran air, udara, dan tanah juga masih belum tertangani secara tepat karena semakin
pesatnya aktivitas pembangunan yang kurang memperhatikan aspek kelestarian fungsi lingkungan. Untuk itu, kebijakan
pengelolaan lingkungan hidup secara tepat akan dapat mendorong perilaku masyarakat untuk menerapkan prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan agar tidak terjadi krisis sumberdaya alam, khususnya krisis air, krisis pangan, dan krisis
energi. Laju kerusakan lingkungan dan pencemaran lingkungan yang terjadi baik di perkotaan maupun pedesaan terus
terjadi. Kerusakan sumberdaya alam dan penurunan mutu lingkungan secara drastis tersebut menyebabkan perubahan
tatanan dan fungsi lingkungan hidup. Hal ini menyebabkan munculnya 11 ancaman global seperti perubahan iklim global,
rusaknya keanekaragaman hayati, serta meningkatnya produksi gas rumah kaca.
B. Analisis Derajat/Masalah Kesehatan
1. Morbiditas
a. Pola penyakit
Pola penyakit Penyakit menular yang selalu masuk dalam sepuluh besar penyakit di Puskesmas selama beberapa tahun
terakhir adalah ISPA, penyakit saluran nafas (Bronchitis, Asma, Pneumonia), dan diare. Sementara untuk Balita, pola
penyakit masih didominasi oleh penyakit-penyakit infeksi.
b. Pola Penyakit Menular Penyakit–penyakit yang sudah menurun seperti tuberkulosa paru dan malaria, masih memiliki
potensi untuk meningkat kembali (re-emerging) mengingat kondisi perilaku dan lingkungan (fisik, ekonomi, sosial,
budaya) masyarakat yang kurang mendukung. Kondisi tergambar dari masih belum tereliminasinya berbagai penyakit
tersebut dan masih tingginya faktor risiko baik perilaku maupun lingkungn di masyarakat. Di sisi lain penyakit endemis
seperti DBD sampai saat ini masih tetap menjadi ancaman.
1) DBD Tingkat kematian penyakit DBD (case fatality rate) pada tahun 2011 lebih rendah dari rata-rata nasional. Data
program P2M tahun 2011 menunjukkan bahwa CFR (case fatality rate / angka kematian) DBD DIY sebesar 0,5
(nasional < 1) dengan incident rate/angka insidensi tahun 2011 sebesar 28,8 / 100.000 penduduk.
Pada tahun 2011 angka insidensi mengalami penurunan menjadi 28,8 / 100.000 penduduk sementara untuk angka
kematian / CFR mengalami penurunan menjadi 0,5 dari keseluruhan kasus. Meskipun mengalami penurunan namun
kasus dan kematian akibat penyakit DBD masih masuk dalam kategori tinggi. Jumlah kasus DBD pada tahun 2011
dilaporkan sebanyak 985 kasus, dengan jumlah kematian sebanyak 5 kasus. Kasus DBD pada Tahun 2011
mengalami penurunan dibandingkan tahun 2010 yaitu sebanyak 985 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 5
yaitu di kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta sebanyak masing-masing 2 kasus dan di Kabupaten Gunungkidul 1
kasus kematian. Meskipun angka kejadian DBD mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya, namun
tingginya prevalensi penyakit DBD tidak terlepas dari masih tingginya faktor risiko penularan di masyarakat seperti
angka bebas jentik yang masih di bawah 95% yaitu baru 64,46% pada tahun 2008 dan 71,8% pada tahun 2009 dan
pada tahun 2011 angka bebas jentik sebesar 86,62 rumah yang bebas dari jentik Aedes aegypti.
2) TBC Kualitas pengobatan TBC di DIY berdasarkan laporan program P2M, meskipun dari tahun ke tahun terus
meningkat namun tetap masih rendah yaitu angka kesembuhan baru mencapai 84,07% (target 85%). Permasalahan
lain adalah penemuan penderita yang masih rendah dimana pada tahun 2009 baru mencapai 52,6% (target 70%).
Angka tersebut masih belum beranjak membaik dengan capaian di tahun 2010 yang baru mencapai 53,3%.
Sedangkan pada tahun 2011 menurun menjadi sebesar 50,8 % dengan target yang tetap yaitu sebesar 70%.
Penderita TBC yang tidak sembuh atau penderita yang tidak memperoleh pengobatan karena belum ditemukan,
merupakan sumber penular yang mengancam pencapaian derajad kesehatan mengingat penyakit TBC disamping
bisa menimbulkan kematian yang tinggi juga menjadi prekursor 38 berbagai penyakit dengan fatal lain seperti
HIV/AIDS, penyakit paru obstruksi, dan lain sebagainya. Sementara itu kematian dan kesakitan akibat penyakit
infeksi saluran pernafasan, menjadi penyebab kematian terbesar dan memiliki kecenderungan peningkatan.
Penyakit TBC memegang peran penting kasus kesakitan dan kematian penyakit saluran pernafasan tersebut dan
bertanggungjawab terhadap kecenderungan peningkatannya mengingat sifat penularan dan perilaku masyarakat
3) Malaria Penyakit malaria telah menurun dengan sangat signifikan dalam lima tahun terakhir. Namun demikian
masih ditemukan adanya kasus penularan indigenous malaria Kabupaten Kulonprogo. Total kasus (indigenous dan
non indigenous) tahun 2011 terlaporkan sejumlah 166 kasus terbanyak berasal dari Kabupaten Kulonprogo yang
mencapai 159 kasus. Angka API / AMI per 100 penduduk tahun 2011 di Provinsi DIY kurang dari 0.01. Hasil
pengamatan program P2M memperlihatkan bahwa episentrum KLB malaria masih dijumpai di wilayah
Kulonprogo. Sementara belum baiknya kondisi lingkungan dan peningkatan pemanasan global dikhawatirkan akan
tetap memberikan peluang yang tinggi bagi perkembangan penyakit ini. Pada tahun 2011 tidak ada kematian akibat
penyakit malaria di Provinsi DIY.
4) HIV/AIDS DIY saat ini telah menempati urutan ke 17 provinsi dengan penderita penyakit HIV/AIDS terbesar.
Penularan telah berubah dengan dominasi dari jarum suntik pengguna narkoba. Penderita HIV/AIDS terbanyak
adalah kelompok usia 20-26 tahun. Laporan program P2M menunjukkan bahwa penemuan kasus HIV/AIDS masih
rendah yaitu dari target semula sebesar 2000 hanya mampu dicapai 1508 kasus. Dari 1508 kasus yang ditemukan
sejumlah 586 kasus diantaranya telah memasuki fase AIDS sedangkan sisanya masih dalam fase HIV positif.
Sementara itu pada tahun 2011 terdapat 41 kematian akibat AIDS yang meliputi 19 penderita laki-laki dan 22
penderita perempuan. Laporan kabupaten / kota menunjukkan jumlah kasus baru HIV/AIDS pada tahun 2011
sebesar 132 kasus dengan kasus tertinggi HIV/AIDS adalah di Kota Yogyakarta sementara terendah adalah di
Kabupaten Gunungkidul.
5) Filariasis dan Leptospirosis Kasus filariasis pada tahun 2011 ditemukan hanya ditemukan di Kabupaten
Gunungkidul di Provinsi DIY sebanyak 6 kasus yang meliputi laki-laki 1 kasus dan perempuan 5 kasus. Sedangkan
kasus Leptospirosis tidak ditemukan kasus baru di Provinsi DIY. Dibandingkan dengan tahun 2008, kasus
leptospirosis pada tahun 2009 mengalami peningkatan yaitu sebesar 93 kasus dengan jumlah kematian 6 kasus.
Sedangkan tahun 2008 tercatat jumlah 11 kasus, dan jumlah kematian 2 meninggal. Sedangkan tahun 2010
terlaporkan 230 kasus dengan kematian yang menigkat tajam menjadi 23 kasus
6) Kusta Penderita penyakit kusta di DIY jumlahnya kecil. Berdasarkan laporan Kabupaten / kota Tahun 2011 jumlah
penderita penyakit kusta yang berhasil diidentifikasi mencapai 44 orang (4 PB dan 40 MB). Angka yang dilaporkan
tersebut hampir sama dibandingkan laporan tahun 2009 yang mencapai jumlah 45 orang dan tahun 2010 sejumlah
31 orang. Sedangkan angka penemuan kasus baru penyakit kusta (NCDR) sebesar 1 per 100.000 penduduk. Salah
satu yang menjadi catatan penting dikaitkan dengan penderita kusta adalah tingkat pencapaian pengobatan yang
berhasil mencapai 100% di tahun 2011.
7) Pneumonia Balita Pneumonia pada balita banyak dijumpai di Provinsi DIY. Pada tahun 2011 dilaporkan terdapat
1.739 kasus pneumonia pada balita yang ditangani dari perkiraan 34.575 kasus pneumonia. Laporan dari berbagai
sarana pelayanan kesehatan pemerintah menunjukkan bahwa pada tahun 2010 dilaporkan sebanyak 1.813, tahun
2009 dilaporkan sebanyak 1.189 kasus, tahun 2008 ditemukan sejumlah 783 kasus Pneumonia Balita.
8) Diare Penderita diare di puskesmas di kabupaten / kota setiap tahun jumlahnya cukup tinggi. Namun demikian hal
ini belum dapat menggambarkan prevalensi keseluruhan dari penyakit diare karena banyak dari kasus tersebut yang
tidak terdata oleh sarana pelayanan kesehatan (pengobatan sendiri atau pengobatan di praktek swasta). Laporan
profil kabupaten / kota menunjukkan bahwa selama kurun tahun 2011 jumlah balita yang menderita diare dan
memeriksakan ke sarana pelayanan kesehatan mencapai 64.857 dari perkiraan kasus sebanyak 150.362 balita diare,
sementara tahun 2010 mencapai 55.880 balita dilaporkan menderita diare.
9) Penyakit bisa dicegah dengan Imunisasi Program imunisasi telah dijalankan sejak lama di seluruh wilayah
Indonesia dan telah mencapai hasil yang cukup baik. Provinsi DIY merupakan wilayah yang memiliki tingkat
pencapaian kinerja dalam program imunisasi yang terbaik di Indonesia. Seluruh desa (100%) di tahun 2011 yang
ada di Provinsi DIY telah masuk dalam kategori desa UCI (Universal Coverage Immunization) yaitu suatu indikasi
yang menggambarkan bahwa desa tersebut penduduknya telah menjalankan imunisasi. Hasil pencapaian program
imunisasi juga terlihat dari berbagai kasus penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi yang relatif kecil
dibandingkan dengan wilayah lain. Laporan kabupaten / kota memperlihatkan bahwa pada tahun 2011 ditemukan
satu kasus penyakit campak 140 kasus (terbanyak di Kabupaten Sleman) dengan masing-masing penderita laki-laki
dan perempuan sama yaitu sebanyak 70 kasus. Sementara kasus polio dan hepatitis pada tahun 2011 tidak
ditemukan. Demikian halnya dengan kasus tetanus dan pertusis. Untuk kasus difteri ditemukan 1 kasus di
Kulonprogo pada tahun 2011. Di sisi lain pencapaian program imunisasi penyakit campak menunjukkan bahwa
cakupan masih belum mencapai 100% (tahun 2011 97,81%, tahun 2010: 101 %, tahun 2009 sebesar 99,09% dan
tahun 2008 : 92,57%).
10) New Emerging Disease Hasil laporan kabupaten / kota menunjukkan bahwa di 5 kabupaten/kota telah terdeteksi
unggas (>1 jenis) positif Avian Influenza. Potensi penyakit Avian Influenza masih terbuka lebar dengan masih
buruknya pemahaman dan perilaku masyarakat untuk melakukan pencegahan.Beberapa penyakit baru lain seperti
Influanza H1N1, SARS dan lain sebagainya akan tetap mengancam dengan semakin tingginya tingkat mobilitas
penduduk antar wilayah dan belum baiknya pola perilaku sehat masyarakat.
c. .Penyakit Tidak Menular Seiring dengan peningkatan status ekonomi, perubahan gaya hidup dan efek samping
modernisasi, maka problem penyakit tidak menular pun cenderung meningkat. Beberapa penyakit tersebut diantaranya
adalah Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah (kardiovaskuler), Diabetes Mellitus, Kanker, Gangguan Jiwa. Sejak
tahun 1997 data menunjukkan bahwa, pola kematian yang tercatat di rumah sakit – rumah sakit di DIY telah mulai
menunjukkan pergeseran. Jenis penyakit penyebab kematian terbanyak dari semula penyakit-penyakit menular menjadi
kematian akibat penyakit yang masuk dalam kategori penyakit tidak 44 menular. Perkembangan lebih lanjut semakin
menunjukkan dominasi penyakit tersebut sebagai penyebab kematian di DIY. Pada beberapa tahun yang akan datang,
jumlah penderita penyakit tidak menular akan semakin meningkat. Hal ini disebabkan jumlah penduduk usia tua
semakin bertambah. Keadaan ini mengakibatkan bertambahnya kebutuhan akan longterm care. Data pada saat ini
memperlihatkan bahwa pola penyakit pada semua golongan umur telah mulai didominasi oleh penyakit-penyakit
degeneratif, terutama penyakit yang disebabkan oleh kecelakaan, neoplasma, kardiovaskuler dan Diabetes Mellitus
(DM). Penyakit yang berhubungan dengan organ paru juga menjadi penyakit yang perlu diwaspadai di DIY. Hasil
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan bahwa penyakit paru termasuk asma selalu masuk 10
penyebab langsung dan tidak langsung kesakitan dan kematian utama di Indonesia termasuk DIY. Hasil survai
kesehatan daerah (Surkesda th 2010) menunjukkan bahwa propinsi DIY masuk dalam lima besar provinsi dengan kasus
hipertensi terbanyak. Suhu udara yang panas dan meningkatnya asap kendaraan bermotor di Yogyakarta
mengakibatkan beberapa parameter pencemaran udara sudah memasuki taraf waspada. Hasil pantauan kualitas udara
oleh Kantor 45 Penanggulangan Dampak Lingkungan Kota Yogyakarta menunjukkan beberapa kadar zat berbahaya di
udara melebihi batas baku mutu udara. Selain itu juga jumlah perokok di Yogyakarta pada hasil berbagai survey
termasuk Susenas, telah mencapai lebih dari 30%. Hasil survey Dinas Kesehatan Provinsi DIY tahun 2006 dan 2008
memperlihatkan bahwa antara 56% rumah tangga di DIY tidak bebas asap rokok. Sedngkan pada hasil Riskesdas tahun
2010 kasus hipertensi di Provinsi DIY mencapai 35,8 % diatas rata-rata seluruh Indonesia yang mencapai 31,7%.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, intra cranial injury (kecelakaan) telah menempati urutan kedua terbanyak
sebagai penyebab kematian dan menunjukkan kecenderungan peningkatan. Kecelakaan lalu lintas di DIY mulai tahun
1994 sampai dengan tahun 2002 mengalami peningkatan yang cukup besar. Jumlah kasus untuk periode tahun 2000
sampai dengan tahun 2002 tercatat 112 kecelakaan meningkat menjadi 691 kecelakaan saat ini. Selama tahun 2008
kecelakaan telah merenggut nyawa 292 orang dan 3766 orang menderita luka berat dan ringan. Jumlah kecelakaan lalu
lintas tahun 2009 ada 4.384 kasus, dengan jumlah kematian sebesar 201 orang meninggal dan 6.822 mengalami luka
berat dan ringan, kondisi tersebut meningkat tajam dibandingkan dengan tahun 2008 ditinjau dari jumlah korban luka
berat maupun ringan. Mencegah kematian dini akibat kecelakaan bagaimanapun tidak lagi hanya menjadi tugas
Kepolisian tetapi menjadi tugas semua pihak seperti kesehatan. Meskipun sampai saat ini data mengenai tingkat risiko
kematian yang ditimbulkan dari kecelakaan dari sektor kesehatan belum dimiliki, namun peran sistem rujukan dan
penanganan pra rujukan diyakini akan memiliki peran besar menurunkan angka risiko kematian dini tersebut.
Meningkatnya penyakit degeneratif disertai dengan masih berkembangnya penyakit-penyakit infeksi akan
menyebabkan beban ganda pembangunan kesehatan di Propinsi DIY.
2. mortalitas
a. Angka Kematian Ibu Kematian ibu telah menunjukkan penurunan signifikan dalam kurun waktu 30 tahun terakhir.
Secara Nasional angka kematian ibu di Provinsi DIY juga tetap menempati salah satu yang terbaik. Meskipun demikian
angka yang dicapai tersebut masih relatif tinggi jika dibandingkan dengan berbagai wilayah di Asia Tenggara.
Berdasarkan data dari BPS, angka kematian ibu dalam 4 tahun terakhir menunjukkan penurunan yang cukup baik.
Angka terakhir yang dikeluarkan oleh BPS adalah tahun 2008, di mana angka kematian ibu di DIY berada pada angka
29 104/100rb kelahiran hidup, menurun dari 114/100rb kelahiran hidup pada tahun 2004. Sedangkan pada tahun 2011,
jumlah kasus kematian ibu yang dilaporkan kabupaten/kota pada tahun 2011 mencapai 56 kasus, meningkat
dibandingkan tahun 2010 sebanyak 43 kasus. Meskipun angka kematian ibu terlihat kecenderungan penurunan, namun
terjadi fluktuasi dalam 3 – 5 tahun terakhir, bahkan berdasarkan jumlah kasusnya dilaporkan mengalami peningkatan.
Target MDG’s di tahun 2015 untuk angka kematian Ibu nasional adalah 102/100rb kelahiran hidup, dan untuk DIY
relatif sudah mendekati target, namun masih memerlukan upaya yang keras dan konsisten dari semua pihak yang
terlibat.
b. Angka Kematian Bayi Angka Kematian Bayi (AKB) di D.I. Yogyakarta dari tahun 2010 sesuai hasil sensus penduduk
tahun 2010 yang telah dihitung oleh BPS Provinsi DIY adalah : laki-laki sebesar 20 bayi per 1000 kelahiran hidup,
sedangkan perempuan sebesar 14 per 1000 kelahiran hidup. Hasil sensus penduduk yang dihimpun dari data BPS dapat
digambarkan sejak tahun 1971 sampai 2010 seperti pada gambar berikut : 30 Sumber: BPS Provinsi DIY. Hasil sensus
penduduk sejak tahun 1971 sampai dengan sensus tahun 2010 menunjukkan bahwa terjadi penurunan yang sangat
signifikans angka kematian bayi dari 102 bayi per 1000 kelahiran hidup sampai 17 bayi per 1000 kelahiran hidup pada
tahun 2010 (sesuai hasil sensus penduduk). Sedangkan menurut proyeksi BPS dari hasil sensus penduduk tahun 2000
pada kurun waktu 2000- 2005 (5 tahun) penurunan AKB rata-rata per tahun adalah 3,9%. Sedangkan untuk periode
tahun 2005 -2010 penurunan AKB rata-rata per tahun adalah 2,5% dan periode 2010 - 2015 adalah 1,7%. Periode tahun
2020 - 2025 diperkirakan tidak terjadi penurunan karena tingkat kematian yang sudah sangat kecil (“hardrock”) yang
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang sangat sulit untuk dikendalikan diantaranya faktor genetik. Sebagaimana gambaran
perkembangan angka kematian ibu, angka kematian bayi di DIY juga mengalami penurunan yang sangat signifikan jika
dibandingkan dengan sebelum tahun 1990. Laporan kabupaten / kota menunjukkan bahwa pada tahun 2011 terjadi
sebanyak 419 bayi meninggal dengan berbagai sebab. Angka kematian bayi tahun 2011 masih tetap / sama dengan
tahun sebelumnya yaitu 17 per 1000 kelahiran hidup. 31 Angka Kematian Bayi tahun 2011 jauh lebih baik
dibandingkan 20 tahun sebelumnya yang mencapai 62 / 1000 kelahiran hidup (tahun 1980). Dengan pola penurunan
tersebut maka diprediksikan pada tahun 2013 angka kematian bayi di DIY diharapkan akan mencapai 16 / 1000
kelahiran hidup. Pola penurunan dan kenaikan angka kematian bayi sensitif terhadap berbagai faktor lain. Seperti yang
terlihat pada periode tahun 1997 sampai dengan 1999 dimana terjadi krisis multidimensi yang berdampak secara tidak
langsung kepada peningkatan angka kematian bayi di DIY. Secara Nasional, target MDG’s untuk angka kematian bayi
pada tahun 2015 ditargetkan akan menurun menjadi dua pertiga dari kondisi tahun 1999 (dari 25/1000 kelahiran hidup
menjadi 16/1000 kelahiran hidup). 3.1.5. Angka Kematian Balita Angka kematian balita memiliki kecenderungan
penurunan yang cukup baik. Tahun 1971 tercatat tingkat kematian balita yang sangat tinggi yaitu mencapai 152 / 1000
kelahiran hidup. Angka tersebut secara berangsur turun dan 20 tahun kemudian menjadi 54/1000 kelahiran hidup,tahun
2002 sudah mencapai 30 / 1000 kelahiran hidup dan data tahun 2010 telah mencapai angka 19/1000 kelahiran hidup.
Gambar 6 : Angka Kematian Balita Propinsi DIY Tahun 1971 - 2010 (Sumber Sensus, SDKI, Supas, Profil Depkes,
Profil Dinkes DIY) 32 Pola penurunan sedikit mengalami pola yang berbeda pada kisaran tahun 1997 sampai dengan
2002 yang kemungkinan disebabkan oleh adanya krisis multi dimensi di Indonesia. Laporan kabupaten / kota tahun
2011 menunjukkan jumlah kematian anak balita sebanyak 50 kasus. Dengan pola penurunan sejak tahun 1971 tersebut
maka diprediksikan di tahun 2013 angka kematian balita akan mencapai 16/1000. Secara Nasional target MDG’s untuk
angka kematian balita pada tahun 2015 ditargetkan akan menurun menjadi dua pertiga dari kondisi tahun 1999.
C. Analisis Lingkungan Kesehatan
1. Fisik
a. Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor rata-rata 13% per tahun dan kendaraan pribadi 28% per tahun yang
didominasi oleh sepeda motor. Angkutan umum sebesar 20% dan kendaraan barang sebesar 15%.
b. Volume lalu-lintas melebihi kapasitas jalan, penyalahgunaan ruas jalan dan tingginya penggunaan kendaraan pribadi
menyebabkan kemacetan lalu-lintas, terutama di jaringan jalan pusat kota. Dampak peningkatan volume kendaraan dan
perilaku pengendara juga terjadai pada tingkat risiko kecelakaan yang semakin tinggi. Intra cranial injury (kecelakaan)
telah menempati urutan kedua terbanyak sebagai penyebab kematian. Kecelakaan lalu lintas di DIY mengalami
peningkatan cukup besar.
c. Telah dilakukan perubahan manajemen angkutan umum dengan konsep buy the service sebagai upaya memperbaiki
pelayanan serta jalur kereta api ganda yang menghubungkan Stasiun Solo Balapan- Stasiun Tugu Yogyakarta-Stasiun
Kutoarjo.
d. Bandara internasional baru direncanakan telah beroperasi di wilayah Kabupaten Kulonprogo pada tahun 2019. Kegiatan
operasional penerbangan akan meningkat sangat tinggi demikian pula dengan animo maskapai penerbangan untuk
membuka jalur penerbangan. Keberadaan bandara akan lebih maju lagi dengan adanya pengembangan jalur angkutan
terintegrasi antara darat, laut, dan udara.
2. Sosial
Penyandang masalah kesejahteraan sosial cenderung meningkat yang ditunjukkan oleh besarnya jumlah pengangguran dan
kelompok marginal seperti anak terlantar/ jalanan, tuna susila, pengemis, gelandangan, korban bencana alam, korban tindak
kekerasan dan lain sebagainya. Khusus untuk korban bencana mengalami penurunan signifikan sehubungan dengan telah
selesainya permasalahan paska gempa bumi. Lembaga / organisasi serta infrastruktur untuk penanganan dan pengelolaan
masalah kesejahteran sosial masih kurang memadai. Partisipasi dan kesadaran masyarakat dalam penanganan masalah
kesejahteran sosial masih perlu ditingkatkan. Berbagai kelompok dan organisasi sosial seperti Satgasos Penanggulangan
Bencana Alam masih memerlukan pembinaan dan fasilitasi.
3. Kimia
Saat ini masih banyak limbah cair industri yang dibuang langsung ke sistem air limbah terpusat atau ke lingkungan sekitar
tanpa ada pengolahan. Cakupan pelayanan air limbah terpusat baru mencapai 4% (di Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta).
Total cakupan pelayanan limbah dan sanitasi berkisar 51.8%
4. air bersih
a. Sumber daya air utama di DIY adalah Wilayah Sungai Progo-Opak-Oyo yang berasal dari daerah aliran sungai (DAS)
Progo, Opak dan Serang. Sumberdaya air dimanfaatkan untuk irigasi, kebutuhan rumah tangga, industri, tenaga listrik
dan penggelontoran kota.
b. Kebutuhan air untuk rumah tangga dipenuhi melalui sistem air pipa PDAM, sumur dan hidran umum. Pemanfaatan air
untuk penggelontoran dilakukan dalam sistem penggelontoran sanitasi perkotaan dengan air permukaan.
c. Terjadi penurunan kuantitas dan kualitas air sebagai akibat terganggunya fungsi hidrologi sebagai dampak penggunaan
tanah/alih fungsi lahan dan pengelolaan tanah yang tidak dikendalikan di daerah tangkapan air. Selain itu juga terjadi
pemakaian air yang tidak 23 efisien, terutama untuk keperluan irigasi dan kolam ikan.
5. Sampah
a. Pelayanan pengangkutan sampah masih rendah. Pelayanan pengangkutan sampah di Tempat Pembuangan akhir (TPA)
baru mencapai sekitar 35% dari total produksi sampah.
b. Cakupan sistem drainase mencapai sekitar 53.42%. Sistem ini mengandalkan keberadaan sungai-sungai yang melintas
sebagai drainase induk yang cenderung meningkatkan terjadinya pencemaran air sungai.
c. Permasalahan pembangunan sampah dan drainase, antara lain pencemaran lingkungan dan jumlah sampah, terbatasnya
lahan tempat pembuangan akhir, tidak berfungsinya saluran drainase.
D. Analisis Perilaku Kesehatan
1. Kepercayaan
a. Komposisi pemeluk agama di DIY tahun 2010 terdiri dari 92,03% agama Islam, 4,94% agama Katholik, 2,7% agama
Kristen, 0,17% agama Hindu dan 0,15% agama Budha.
b. Kerukunan antar umat beragama berkembang dengan baik, ditunjukkan oleh tidak berkembangnya konflik agama antar
pemeluk agama.
c. Jumlah jamaah haji DIY yang berangkat pada tahun 2010/1430 H sebanyak 3.165 orang atau meningkat 2,86%
dibanding tahun sebelumnya. Berdasarkan asal jamaah, sebagian besar berasal dari Kabupaten Sleman, Bantul dan
Kota Yogyakarta masing-masing sebesar 38,8%, 27,90% dan 15,89%.
2. Perilaku
3. kebiasaan
E. Analisis Kependudukan
1. Jumlah Penduduk
a. Jumlah penduduk laki-laki 1.735.514 jiwa
b. Jumlah perempuan 1.777.557 jiwa
c. Total keselruhan 3.513.071 jiwa.
2. Kepadatan :
Kabupaten atau kota Luas Wilayah Kepadatan Penduduk Per Km2
Km2 Presentase
Kulonprogo 586,28 18,40 663
Bantul 506,85 15,91 1.798
Gunung Kidul 1.485,36 46,63 455
Sleman 574,82 18,04 1.902
Yogyakarta 32,5 1,02 11.958
Provinsi DIY 3.185,81 100,00 1.085
3. Pertumbuhan
Pertumbuhan penduduk pada tahun 2010 sebesar 1,02 persen relatif lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan tahun
sebelumnya. Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman memiliki angka pertumbuhan diatas angka provinsi, masing-masing
sebesar 1,55% dan 1,92%. Rerata kepadatan penduduk DIY pada tahun 2009 sekitar 1.078,08 jiwa per km2. Sedangkan
pada tahun 2010 meningkat menjadi 1.085 jiwa per km2 dengan kepadatan tertinggi di Kota Yogyakarta (11.958 jiwa/km2)
terendah di Kabupaten Gunungkidul (455 jiwa/km2). Permasalahan ketimpangan kepadatan tersebut diperkuat dengan
ketimpangan potensi sumber daya dimana Gunungkidul adalah salah satu kabupaten di DIY yang memiliki kesuburan
lahan kurang dan keterbatasan suplai air
4. proporsi muda/tua,
penduduk usia produktif adalah yang paling mendominasi disamping mulai meningkatnya penduduk usia lanjut. Laju
pertumbuhan di DIY merupakan salah satu yang terkecil di Indonesia (1,02%). Hal ini dapat diartikan sebagai keberhasilan
program kependudukan dan pergeseran prinsip dari masalah kuantitas menuju kualitas. Ditinjau dari sisi distribusi
penduduk menurut usia, terlihat kecenderungan yang semakin meningkat pada penduduk usia >65 tahun dan menurunnya
jumlah penduduk usia 0 – 14 tahun dari tahun 2003-2008. Hal tersebut mengindikasikan telah terjadinya pergeseran
struktur penduduk yang ditandai dengan tumbuhnya struktur penduduk tua. Sementara dependency ratio penduduk usia
produktif terhadap penduduk usia non produktif mencapai 46 (paling rendah di Kota Yogyakarta sebanyak 36% dan paling
tinggi di kabupaten Gunung Kidul sebesar 55%.
F. Analisis Program dan Pelayanan Kesehatan:
1. Sarana yankes
No Kabupaten/kota Puskesma
s
Puskesmas
dengan
Tempat
Tidur
Puskesmas
Non
Tempat
Tidur
Pustu Polindes/poskesdes Puskesmas
ter
sertifikasi
ISO
1 Kota Yogyakarta 18 3 15 10 0 3
2 Bantul 27 16 11 68 16 1
3 Gunung Kidul 30 14 16 107 30 6
4 Kulon Progo 21 5 16 62 40 1
5 Sleman 25 4 21 71 86 19
6 Provinsi 321 42 79 318 172 30
Akses masyarakat Yogyakarta terhadap sarana pelayanan kesehatan telah cukup baik. Salah satunya diperlihatkan dari
aksesibilitas jarak jangkauan. Hasil survey Dinas Kesehatan Provinsi pada tahun 2008, dimana menunjukkan bahwa
lebih dari 80% penduduk DIY hanya berjarak 1-5 km terhadap puskesmas dan lebih dari 70% penduduk hanya
berjarak 1-5 km terhadap rumah sakit dan dokter praktek swasta. Tidak ditemukan penduduk yang memiliki jarak
tempuh lebih dari 10 km terhadap sarana pelayanan puskesmas, dokter praktek swasta dan bidan, yang menunjukkan
mudahnya akses jarak jangkauan penduduk terhadap sarana pelayanan. Aksesibilitas jarak jangkauan terhadap sarana
pelayanan kesehatan cukup merata antar kabupaten kota. Penduduk DIY di setiap Kabupaten / Kota pada umumnya
berada pada kisaran 1-5 km terhadap Puskesmas. Rumah Sakit di Provinsi DIY menurut jumlah Rumah Sakit Umum
dan Khusus adalah sebagai berikut : Jumlah Rumah Sakit Umum : 44 RS (RS Pemerintah 7, TNI/Polri 3 dan RS
Swasta sebanyak 34 RS). Jumlah Rumah Sakit Jiwa sebanyak 2 RS, Rumah 52 Sakit Ibu & Anak sebanyak 8 RS dan
jumlah Rumah Sakit Khusus lainnya sebanyak 9 RS. Sarana kefarmasian pada tahun 2011 tercatat jumlah Apotik
sebanyak 455 buah, jumlah toko obat 51 buah dan jumlah industri kecil obat tradisionil sebanyak 64 buah.
2. cakupan program
a. Perbaikan Gizi Masyarakat Upaya perbaikan gizi masyarakat ditujukan untuk meningkatkan mutu gizi perseorangan
dan masyarakat, dalam rangka mencapai tujuan program gizi yaitu meningkatkan kesadaran gizi keluarga yang
selanjutnya akan meningkatkan status gizi masyarakat. Pemantauan pertumbuhan balita merupakan alat untuk
mengetahui status gizi anak balita. Salah satu kegiatan berbasis masyarakat yang melaksanakan pemantauan
pertumbuhan terhadap balita adalah posyandu. Karena itu, peran serta masyarakat dengan mengikutsertakan balitanya
untuk ditimbang di posyandu memberikan andil yang sangat besar terhadap pencapaian indikator ini. Pada tahun 2011,
di Provinsi DIY tingkat partisipasi masyarakat dalam penimbangan di Posyandu (D/S) berkisar antara 70 – 79 % di
semua kab/kota, partisipasi tertinggi di Kabupaten Kulonprogo mencapai 79% dan partisipasi terendah di Kota
Yogyakarta sebesar 72,6%. Dengan demikian terlihat bahwa masih ada masyarakat yang belum membawa anak
balitanya untuk ditimbang di posyandu. Sedangkan dari segi pencapaian hasil penimbangan yang dilihat dari balita
yang naik berat badan saat ditimbang (N/D), terlihat bahwa capaian di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman masih
< 50%, Kabupaten Bantul dan Kulonprogo 50 – 59% sedangkan Kabupaten Gunungkidul 60 – 69%. Capaian
pemberian kapsul vitamin A untuk bayi mencapai 98,60% sedangkan untuk balita mencapai 98,10%. Distribusi
vitamin A kepada bayi dan balita merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan status gizi bayi dan balita. Dari
hasil tersebut terlihat telah mencapai tingkat cakupan yang cukup baik namun belum mencapai target 100%. Anemia
merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kematian ibu melahirkan. Angka anemia ibu hamil di Provinsi DIY pada
tahun 2011 sebesar 53 18,90%, menurun dibanding pada tahun 2010 sebesar 20,95%, dapat dilihat pada grafik di
bawah. Berdasarkan kondisi di kabupaten/kota, angka anemia bumil tertinggi yaitu Kabupaten Bantul 25,60% dan
terendah di Kabupaten Sleman 10,19%. Prevalensi ibu hamil anemia di Provinsi DIY ini sudah berada di bawah 20%,
yang artinya sudah di bawah nilai ambang batas masalah gizi sebagai masalah kesehatan masyarakat.
b. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Kualitas pelayanan kesehatan di DIY yang cukup baik, salah satunya tergambar
dari proporsi persalinan yang ditangani oleh tenaga kesehatan. Cakupan persalinan yang ditolong tenaga kesehatan
pada tahun 2011 di Provinsi DIY berdasarkan laporan kabupaten/kota telah mencapai 99,73%, Angka tersebut
meningkat dibandingkan tahun 2010 sebesar 97,69%. Salah satu upaya dalam menurunkan kematian ibu adalah dengan
meningkatkan cakupan pemeriksaan kehamilan (ANC: antenatal care) oleh tenaga kesehatan. Indikator yang
digunakan untuk memantau cakupan pemeriksaan kehamilan tersebut adalah cakupan ibu hamil yang pertama kali
mendapat pelayanan antenatal (K1) yang merupakan indikator akses, dan cakupan ibu hamil yang telah memperoleh
pelayanan antenatal minimal empat kali sesuai distribusi waktu dan sesuai standar (K4) yang menggambarkan tingkat
perlindungan ibu hamil di suatu wilayah. Capaian K1 dan K4 di Provinsi DIY pada tahun 2011 masing-masing sebesar
99,98 % dan 89,31%. Dengan cakupan K1 dan K4 yang sudah cukup tinggi tersebut, upaya peningkatan pelayanan
kesehatan utamanya untuk ibu hamil di 56 Provinsi DIY pada masa yang akan datang adalah meningkatkan kualitas
pelayanan, yaitu pelayanan antenatal yang lengkap dan sesuai standar. Diharapkan dengan kualitas ANC yang baik
akan dapat mendeteksi secara dini adanya kelainan yang terjadi pada masa kehamilan, dan mencegah kejadian
komplikasi. Meskipun demikian dari hasil capaian tersebut, terlihat masih ada kesenjangan antara K1 dan K4 yang
cukup jauh. Cakupan penanganan ibu hamil yang mengalami komplikasi (PKO) pada tahun 2011 di Provinsi DIY,
berdasar data yang diperoleh dari kabupaten/kota yaitu sebesar 70,44%. Namun, cakupan tersebut tidak bisa
menggambarkan kondisi yang sebenarnya di masyarakat karena denominator yang digunakan adalah perkiraan jumlah
bumil risiko tinggi, yaitu 20% dari jumlah bumil. Dari hasil diskusi dan pertemuan yang dilakukan dengan kab/kota,
disimpulkan bahwa semua kasus komplikasi yang terjadi pada ibu hamil sudah ditangani. Kunjungan nifas
menggambarkan jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan terhadap ibu, mulai 6 jam sampai 42 hari setelah
melahirkan. Pada tahun 2011, ibu nifas yang telah memperoleh pelayanan minimal tiga kali sesuai distribusi waktu dan
sesuai standar (KF3) mencapai 88,96%, meningkat dari tahun 2010 sebesar 86,18%. Dari hasil capaian tersebut,
terlihat kesenjangan yang cukup jauh antara capaian persalinan oleh tenaga kesehatan (Pn) dengan kunjungan nifas
lengkap (KF3). Dengan demikian terlihat bahwa masih ada ibu hamil yang tidak mendapatkan pelayanan kesehatan
pada masa nifas, walaupun sudah melahirkan dengan bantuan tenaga kesehatan. Diharapkan, kesenjangan antara K1
dan K4 dapat diturunkan dan capaian K4 dan KF3 dapat lebih meningkat di masa yang akan datang sehingga dapat
memberikan andil dalam penurunan AKI. Gambaran K1, K4, persalinan nakes dan KF3 dapat dilihat pada gambar di
bawah.
c. Pembinaan Kesehatan Lingkungan Kondisi perumahan di Provinsi DIY dari hasil pemantauan yang dilakukan oleh
kabupaten / kota menunjukkan bahwa baru 64,65% yang masuk dalam kategori rumah sehat. Program pemantauan
sendiri baru mampu menjangkau sejumlah 38,89% dari target yangdiharapkan. Meskipun demikian beberapa
parameter rumah sehat pada masyarakat di DIY menunjukkan telah cukup baik diantaranya adalah pemanfaatan air
bersih (94%) dan jamban sehat (75%). Prosentase penduduk yang mempunyai akses air minum di DIY telah mencapai
90,09% (terendah di Bantul 81%) sedangkan prosentase kualitas air minum memenuhi syarat sebesar 62,02%
(terendah di Gunung Kidul 20%). Prosentase penduduk yang menggunakan jamban masih sebesar 78,78%. Parameter
tempat sampah sehat dan air limbah sehat masih perlu ditingkatkan yang diperlihatkan dari capaian yang baru 50,23%
untuk tempat sampah sehat dan 65,47% untuk pengelolaan limbah sehat.
d. Perilaku Hidup Sehat Masyarakat DIY Kesehatan merupakan aset masa depan dan merupakan modal terciptanya hidup
yang sejahtera. Agar status kesehatan dapat diraih, perlu dilakukan upaya pencegahan penyakit, di antaranya pada
tingkat pertama adalah melakukan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Pola PHBS ini hendaknya dilaksanakan
oleh seluruh masyarakat yang ada di berbagai tempat / tataran yaitu di tempat umum, di tempat kerja, di sekolah, di
institusi kesehatan, dan di rumah tangga. PHBS di rumah tangga adalah upaya memberdayakan anggota rumah tangga
agar tahu, mau dan mampu melaksanakan PHBS serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan di masyarakat.
Berdasarkan evaluasi, maka pada perkembangannya indikator PHBS tatanan rumah tangga mulai ditingkatkan
kualitasnya. Dari 10 indikator yang semula masih menggunakan stratifikasi sehat I – IV, maka secara nasional sudah
ditingkatkan kualitas indikatornya menjadi 10 indikator yang sifatnya komposit/gabungan, sehingga 10 indikator
PHBS tatanan rumah tangga semua harus terpenuhi. Sepuluh indikator PHBS rumah tangga tersebut adalah persalinan
ditolong oleh tenaga kesehatan, pemberian ASI eksklusif, balita ditimbang, penggunaan air bersih, cuci tangan,
penggunaan jamban, pemberantasan jentik, konsumsi buah dan sayur, aktivitas fisik dan tidak merokok di dalam
rumah. Provinsi DIY telah menerapkan indikator tersebut sebagai evaluasi pada tatanan PHBS rumah tangga mulai
tahun 2010. Hasil pencapaian tahun 2011, dari 341.362 rumah tangga yang dipantau menunjukkan sebanyak 31,40%
rumah tangga telah menerapkan PHBS, seperti terlihat pada gambar di bawah. Dari capaian tersebut, yang memberikan
kontribusi terendah dan masih menjadi masalah kesehatan pada umumnya adalah tidak merokok di dalam rumah yang
baru mencapai 46,67%, bayi diberi ASI eksklusif sebesar 77,70%, konsumsi buah dan sayur sebesar 83,35% dan
aktifitas fisik sebesar 87,48%.
7.Daftar Masalah