gambaran umum wilayahg

31
A. Gambaran umum wilayah: 1. Administrasi Secara administratif terdiri dari 1 kota dan 4 kabupaten, 78 kecamatan dan 438 kelurahan/desa, yaitu a. Kota Yogyakarta (luas 32,50 km2, 14 kecamatan, 45 kelurahan) b. Kabupaten Bantul (luas 506,85 km2, 17 kecamatan dan 75 desa) c. Kabupaten Kulon Progo(luas 586,27 km2, 12 kecamatan dan 88 desa) d. Kabupaten Gunungkidul (luas 1.485,36 km2, 18 kecamatan, 144 desa) e. Kabupaten Sleman (luas 574,82 km2, 17 kecamatan dan 86 desa). 2. Luas Wilayah : 3.185,80 km2 3. Batas Wilayah a. Sebelah Timur Laut berbatasan dengan Kabupaten Klaten b. Sebelah Tenggara berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri c. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Purworejo d. Sebelah Barat Laut berbatasan dengan Kabupaten Magelang 4. Kondisi Geografi

Upload: licolicoli

Post on 31-Jan-2016

218 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

h

TRANSCRIPT

Page 1: Gambaran umum wilayahg

A. Gambaran umum wilayah:

1. Administrasi

Secara administratif terdiri dari 1 kota dan 4 kabupaten, 78 kecamatan dan 438 kelurahan/desa, yaitu

a. Kota Yogyakarta (luas 32,50 km2, 14 kecamatan, 45 kelurahan)

b. Kabupaten Bantul (luas 506,85 km2, 17 kecamatan dan 75 desa)

c. Kabupaten Kulon Progo(luas 586,27 km2, 12 kecamatan dan 88 desa)

d. Kabupaten Gunungkidul (luas 1.485,36 km2, 18 kecamatan, 144 desa)

e. Kabupaten Sleman (luas 574,82 km2, 17 kecamatan dan 86 desa).

2. Luas Wilayah : 3.185,80 km2

3. Batas Wilayah

a. Sebelah Timur Laut berbatasan dengan Kabupaten Klaten

b. Sebelah Tenggara berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri

c. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Purworejo

d. Sebelah Barat Laut berbatasan dengan Kabupaten Magelang

4. Kondisi Geografi

Menurut altitude, Provinsi DIY terbagi menjadi daerah dengan ketinggian < 100 m, 100-500 m dan 500– 1.000 m

(sebagian besar di Kabupaten Bantul), 1.000–2000 m diatas permukaan laut terletak di Kabupaten Sleman. Secara

fisiografi, DIY dapat dikelompokkan menjadi empat satuan wilayah :

a. Satuan fisiografi Gunungapi Merapi, mulai dari kerucut gunung hingga bentang lahan vulkanik, meliputi Sleman, Kota

Yogyakarta dan sebagian Bantul. Daerah kerucut dan lereng gunung api merupakan daerah hutan lindung sebagai

Page 2: Gambaran umum wilayahg

kawasan resapan air daerah bawahan. Wilayah ini 9 memiliki luas kurang lebih 582,81 km2 dengan ketinggian 80 –

2.911 m.

b. Satuan Pegunungan Seribu Gunungkidul, merupakan kawasan perbukitan batu gamping dan bentang karst tandus dan

kurang air permukaan, di bagian tengah merupakan cekungan Wonosari yang terbentuk menjadi Plato Wonosari.

Wilayah pegunungngan ini memiliki luas kurang lebih 1.656,25 km2 dengan ketinggian 150-700 m.

c. Satuan Pegunungan di Kulon Progo bagian utara, merupakan bentang lahan struktural denudasional dengan topografi

berbukit, kemiringan lereng curam dan potensi air tanah kecil. Luas wilayah ini mencapai kurang lebih 706,25 km2

dengan ketinggian : 0 – 572 m

d. Satuan Dataran Rendah, merupakan bentang lahan fluvial (hasil proses pengendapan sungai) yang didominasi oleh

dataran aluvial, membentang mulai dari Kulon Progo sampai Bantul yang berbatasan dengan Pegunungan Seribu.

Wilayah ini memiliki luas 215,62 km2 dengan ketinggian 0 – 80 m.

Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki iklim tropis dengan curah hujan berkisar 0,00 mm – 13,00 mm per hari. Suhu udara

rata-rata berkisar antara 21-350oC. Kelembaban udara berkisar antara 30 - 97 persen dan tekanan udara 1.005,3 mb –

1.017,2 mb dengan arah angin antara 180 derajat – 240 derajat dan kecepatan angin antara 0 knot sampai 29 knot Wilayah

DIY mempunyai potensi bencana alam, terutama berkaitan dengan bahaya geologi yang meliputi:

a. Gunung Merapi, mengancam wilayah Kabupaten Sleman bagian utara dan wilayah sekitar sungai yang berhulu di

puncak Merapi

b. Gerakan tanah/batuan dan erosi, berpotensi terjadi pada lereng 10 Pegunungan Kulon Progo (bagian utara dan barat),

lereng Pengunungan Selatan (Gunungkidul) dan bagian timur (Bantul)

c. Bahaya banjir, terutama berpotensi mengancam daerah pantai selatan Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Bantul

d. Bahaya kekeringan berpotensi terjadi di wilayah Kabupaten Gunungkidul bagian selatan, khususnya kawasan karst

Page 3: Gambaran umum wilayahg

e. Bahaya tsunami, berpotensi di pantai selatan Kulon Progo, Bantul, dan Gunungkidul, khususnya pada elevasi kurang

dari 30 m dpl

f. Bahaya gempa bumi (tektonik, vulkanik) berpotensi terjadi di seluruh wilayah DIY. Gempa tektonik berpotensi di

tumbukan lempeng dasar Samudra Indonesia di sebelah selatan DIY

g. Bahaya angin puting beliung, berpotensi terjadi di seluruh wilayah Provinsi DIY.

5. tata guna lahan

Pengelolaan sumberdaya alam yang tidak berkelanjutan dan mengabaikan kelestarian fungsi lingkungan hidup

menyebabkan daya dukung lingkungan menurun dan ketersediaan sumberdaya alam menipis. Kawasan hutan dengan luas

23,54% dari luas wilayah DIY kurang mencukupi sebagai standar lingkungan hidup. Menurunnya daya dukung dan

ketersediaan sumberdaya alam juga terjadi karena kemampuan iptek yang rendah sehingga tidak mampu mengimbangi laju

pertumbuhan penduduk. Pencemaran air, udara, dan tanah juga masih belum tertangani secara tepat karena semakin

pesatnya aktivitas pembangunan yang kurang memperhatikan aspek kelestarian fungsi lingkungan. Untuk itu, kebijakan

pengelolaan lingkungan hidup secara tepat akan dapat mendorong perilaku masyarakat untuk menerapkan prinsip-prinsip

pembangunan berkelanjutan agar tidak terjadi krisis sumberdaya alam, khususnya krisis air, krisis pangan, dan krisis

energi. Laju kerusakan lingkungan dan pencemaran lingkungan yang terjadi baik di perkotaan maupun pedesaan terus

terjadi. Kerusakan sumberdaya alam dan penurunan mutu lingkungan secara drastis tersebut menyebabkan perubahan

tatanan dan fungsi lingkungan hidup. Hal ini menyebabkan munculnya 11 ancaman global seperti perubahan iklim global,

rusaknya keanekaragaman hayati, serta meningkatnya produksi gas rumah kaca.

B. Analisis Derajat/Masalah Kesehatan

1. Morbiditas

a. Pola penyakit

Page 4: Gambaran umum wilayahg

Pola penyakit Penyakit menular yang selalu masuk dalam sepuluh besar penyakit di Puskesmas selama beberapa tahun

terakhir adalah ISPA, penyakit saluran nafas (Bronchitis, Asma, Pneumonia), dan diare. Sementara untuk Balita, pola

penyakit masih didominasi oleh penyakit-penyakit infeksi.

b. Pola Penyakit Menular Penyakit–penyakit yang sudah menurun seperti tuberkulosa paru dan malaria, masih memiliki

potensi untuk meningkat kembali (re-emerging) mengingat kondisi perilaku dan lingkungan (fisik, ekonomi, sosial,

budaya) masyarakat yang kurang mendukung. Kondisi tergambar dari masih belum tereliminasinya berbagai penyakit

tersebut dan masih tingginya faktor risiko baik perilaku maupun lingkungn di masyarakat. Di sisi lain penyakit endemis

seperti DBD sampai saat ini masih tetap menjadi ancaman.

1) DBD Tingkat kematian penyakit DBD (case fatality rate) pada tahun 2011 lebih rendah dari rata-rata nasional. Data

program P2M tahun 2011 menunjukkan bahwa CFR (case fatality rate / angka kematian) DBD DIY sebesar 0,5

(nasional < 1) dengan incident rate/angka insidensi tahun 2011 sebesar 28,8 / 100.000 penduduk.

Pada tahun 2011 angka insidensi mengalami penurunan menjadi 28,8 / 100.000 penduduk sementara untuk angka

kematian / CFR mengalami penurunan menjadi 0,5 dari keseluruhan kasus. Meskipun mengalami penurunan namun

kasus dan kematian akibat penyakit DBD masih masuk dalam kategori tinggi. Jumlah kasus DBD pada tahun 2011

dilaporkan sebanyak 985 kasus, dengan jumlah kematian sebanyak 5 kasus. Kasus DBD pada Tahun 2011

mengalami penurunan dibandingkan tahun 2010 yaitu sebanyak 985 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 5

yaitu di kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta sebanyak masing-masing 2 kasus dan di Kabupaten Gunungkidul 1

kasus kematian. Meskipun angka kejadian DBD mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya, namun

tingginya prevalensi penyakit DBD tidak terlepas dari masih tingginya faktor risiko penularan di masyarakat seperti

angka bebas jentik yang masih di bawah 95% yaitu baru 64,46% pada tahun 2008 dan 71,8% pada tahun 2009 dan

pada tahun 2011 angka bebas jentik sebesar 86,62 rumah yang bebas dari jentik Aedes aegypti.

2) TBC Kualitas pengobatan TBC di DIY berdasarkan laporan program P2M, meskipun dari tahun ke tahun terus

meningkat namun tetap masih rendah yaitu angka kesembuhan baru mencapai 84,07% (target 85%). Permasalahan

Page 5: Gambaran umum wilayahg

lain adalah penemuan penderita yang masih rendah dimana pada tahun 2009 baru mencapai 52,6% (target 70%).

Angka tersebut masih belum beranjak membaik dengan capaian di tahun 2010 yang baru mencapai 53,3%.

Sedangkan pada tahun 2011 menurun menjadi sebesar 50,8 % dengan target yang tetap yaitu sebesar 70%.

Penderita TBC yang tidak sembuh atau penderita yang tidak memperoleh pengobatan karena belum ditemukan,

merupakan sumber penular yang mengancam pencapaian derajad kesehatan mengingat penyakit TBC disamping

bisa menimbulkan kematian yang tinggi juga menjadi prekursor 38 berbagai penyakit dengan fatal lain seperti

HIV/AIDS, penyakit paru obstruksi, dan lain sebagainya. Sementara itu kematian dan kesakitan akibat penyakit

infeksi saluran pernafasan, menjadi penyebab kematian terbesar dan memiliki kecenderungan peningkatan.

Penyakit TBC memegang peran penting kasus kesakitan dan kematian penyakit saluran pernafasan tersebut dan

bertanggungjawab terhadap kecenderungan peningkatannya mengingat sifat penularan dan perilaku masyarakat

3) Malaria Penyakit malaria telah menurun dengan sangat signifikan dalam lima tahun terakhir. Namun demikian

masih ditemukan adanya kasus penularan indigenous malaria Kabupaten Kulonprogo. Total kasus (indigenous dan

non indigenous) tahun 2011 terlaporkan sejumlah 166 kasus terbanyak berasal dari Kabupaten Kulonprogo yang

mencapai 159 kasus. Angka API / AMI per 100 penduduk tahun 2011 di Provinsi DIY kurang dari 0.01. Hasil

pengamatan program P2M memperlihatkan bahwa episentrum KLB malaria masih dijumpai di wilayah

Kulonprogo. Sementara belum baiknya kondisi lingkungan dan peningkatan pemanasan global dikhawatirkan akan

tetap memberikan peluang yang tinggi bagi perkembangan penyakit ini. Pada tahun 2011 tidak ada kematian akibat

penyakit malaria di Provinsi DIY.

4) HIV/AIDS DIY saat ini telah menempati urutan ke 17 provinsi dengan penderita penyakit HIV/AIDS terbesar.

Penularan telah berubah dengan dominasi dari jarum suntik pengguna narkoba. Penderita HIV/AIDS terbanyak

adalah kelompok usia 20-26 tahun. Laporan program P2M menunjukkan bahwa penemuan kasus HIV/AIDS masih

rendah yaitu dari target semula sebesar 2000 hanya mampu dicapai 1508 kasus. Dari 1508 kasus yang ditemukan

sejumlah 586 kasus diantaranya telah memasuki fase AIDS sedangkan sisanya masih dalam fase HIV positif.

Page 6: Gambaran umum wilayahg

Sementara itu pada tahun 2011 terdapat 41 kematian akibat AIDS yang meliputi 19 penderita laki-laki dan 22

penderita perempuan. Laporan kabupaten / kota menunjukkan jumlah kasus baru HIV/AIDS pada tahun 2011

sebesar 132 kasus dengan kasus tertinggi HIV/AIDS adalah di Kota Yogyakarta sementara terendah adalah di

Kabupaten Gunungkidul.

5) Filariasis dan Leptospirosis Kasus filariasis pada tahun 2011 ditemukan hanya ditemukan di Kabupaten

Gunungkidul di Provinsi DIY sebanyak 6 kasus yang meliputi laki-laki 1 kasus dan perempuan 5 kasus. Sedangkan

kasus Leptospirosis tidak ditemukan kasus baru di Provinsi DIY. Dibandingkan dengan tahun 2008, kasus

leptospirosis pada tahun 2009 mengalami peningkatan yaitu sebesar 93 kasus dengan jumlah kematian 6 kasus.

Sedangkan tahun 2008 tercatat jumlah 11 kasus, dan jumlah kematian 2 meninggal. Sedangkan tahun 2010

terlaporkan 230 kasus dengan kematian yang menigkat tajam menjadi 23 kasus

6) Kusta Penderita penyakit kusta di DIY jumlahnya kecil. Berdasarkan laporan Kabupaten / kota Tahun 2011 jumlah

penderita penyakit kusta yang berhasil diidentifikasi mencapai 44 orang (4 PB dan 40 MB). Angka yang dilaporkan

tersebut hampir sama dibandingkan laporan tahun 2009 yang mencapai jumlah 45 orang dan tahun 2010 sejumlah

31 orang. Sedangkan angka penemuan kasus baru penyakit kusta (NCDR) sebesar 1 per 100.000 penduduk. Salah

satu yang menjadi catatan penting dikaitkan dengan penderita kusta adalah tingkat pencapaian pengobatan yang

berhasil mencapai 100% di tahun 2011.

7) Pneumonia Balita Pneumonia pada balita banyak dijumpai di Provinsi DIY. Pada tahun 2011 dilaporkan terdapat

1.739 kasus pneumonia pada balita yang ditangani dari perkiraan 34.575 kasus pneumonia. Laporan dari berbagai

sarana pelayanan kesehatan pemerintah menunjukkan bahwa pada tahun 2010 dilaporkan sebanyak 1.813, tahun

2009 dilaporkan sebanyak 1.189 kasus, tahun 2008 ditemukan sejumlah 783 kasus Pneumonia Balita.

8) Diare Penderita diare di puskesmas di kabupaten / kota setiap tahun jumlahnya cukup tinggi. Namun demikian hal

ini belum dapat menggambarkan prevalensi keseluruhan dari penyakit diare karena banyak dari kasus tersebut yang

tidak terdata oleh sarana pelayanan kesehatan (pengobatan sendiri atau pengobatan di praktek swasta). Laporan

Page 7: Gambaran umum wilayahg

profil kabupaten / kota menunjukkan bahwa selama kurun tahun 2011 jumlah balita yang menderita diare dan

memeriksakan ke sarana pelayanan kesehatan mencapai 64.857 dari perkiraan kasus sebanyak 150.362 balita diare,

sementara tahun 2010 mencapai 55.880 balita dilaporkan menderita diare.

9) Penyakit bisa dicegah dengan Imunisasi Program imunisasi telah dijalankan sejak lama di seluruh wilayah

Indonesia dan telah mencapai hasil yang cukup baik. Provinsi DIY merupakan wilayah yang memiliki tingkat

pencapaian kinerja dalam program imunisasi yang terbaik di Indonesia. Seluruh desa (100%) di tahun 2011 yang

ada di Provinsi DIY telah masuk dalam kategori desa UCI (Universal Coverage Immunization) yaitu suatu indikasi

yang menggambarkan bahwa desa tersebut penduduknya telah menjalankan imunisasi. Hasil pencapaian program

imunisasi juga terlihat dari berbagai kasus penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi yang relatif kecil

dibandingkan dengan wilayah lain. Laporan kabupaten / kota memperlihatkan bahwa pada tahun 2011 ditemukan

satu kasus penyakit campak 140 kasus (terbanyak di Kabupaten Sleman) dengan masing-masing penderita laki-laki

dan perempuan sama yaitu sebanyak 70 kasus. Sementara kasus polio dan hepatitis pada tahun 2011 tidak

ditemukan. Demikian halnya dengan kasus tetanus dan pertusis. Untuk kasus difteri ditemukan 1 kasus di

Kulonprogo pada tahun 2011. Di sisi lain pencapaian program imunisasi penyakit campak menunjukkan bahwa

cakupan masih belum mencapai 100% (tahun 2011 97,81%, tahun 2010: 101 %, tahun 2009 sebesar 99,09% dan

tahun 2008 : 92,57%).

10) New Emerging Disease Hasil laporan kabupaten / kota menunjukkan bahwa di 5 kabupaten/kota telah terdeteksi

unggas (>1 jenis) positif Avian Influenza. Potensi penyakit Avian Influenza masih terbuka lebar dengan masih

buruknya pemahaman dan perilaku masyarakat untuk melakukan pencegahan.Beberapa penyakit baru lain seperti

Influanza H1N1, SARS dan lain sebagainya akan tetap mengancam dengan semakin tingginya tingkat mobilitas

penduduk antar wilayah dan belum baiknya pola perilaku sehat masyarakat.

c. .Penyakit Tidak Menular Seiring dengan peningkatan status ekonomi, perubahan gaya hidup dan efek samping

modernisasi, maka problem penyakit tidak menular pun cenderung meningkat. Beberapa penyakit tersebut diantaranya

Page 8: Gambaran umum wilayahg

adalah Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah (kardiovaskuler), Diabetes Mellitus, Kanker, Gangguan Jiwa. Sejak

tahun 1997 data menunjukkan bahwa, pola kematian yang tercatat di rumah sakit – rumah sakit di DIY telah mulai

menunjukkan pergeseran. Jenis penyakit penyebab kematian terbanyak dari semula penyakit-penyakit menular menjadi

kematian akibat penyakit yang masuk dalam kategori penyakit tidak 44 menular. Perkembangan lebih lanjut semakin

menunjukkan dominasi penyakit tersebut sebagai penyebab kematian di DIY. Pada beberapa tahun yang akan datang,

jumlah penderita penyakit tidak menular akan semakin meningkat. Hal ini disebabkan jumlah penduduk usia tua

semakin bertambah. Keadaan ini mengakibatkan bertambahnya kebutuhan akan longterm care. Data pada saat ini

memperlihatkan bahwa pola penyakit pada semua golongan umur telah mulai didominasi oleh penyakit-penyakit

degeneratif, terutama penyakit yang disebabkan oleh kecelakaan, neoplasma, kardiovaskuler dan Diabetes Mellitus

(DM). Penyakit yang berhubungan dengan organ paru juga menjadi penyakit yang perlu diwaspadai di DIY. Hasil

Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan bahwa penyakit paru termasuk asma selalu masuk 10

penyebab langsung dan tidak langsung kesakitan dan kematian utama di Indonesia termasuk DIY. Hasil survai

kesehatan daerah (Surkesda th 2010) menunjukkan bahwa propinsi DIY masuk dalam lima besar provinsi dengan kasus

hipertensi terbanyak. Suhu udara yang panas dan meningkatnya asap kendaraan bermotor di Yogyakarta

mengakibatkan beberapa parameter pencemaran udara sudah memasuki taraf waspada. Hasil pantauan kualitas udara

oleh Kantor 45 Penanggulangan Dampak Lingkungan Kota Yogyakarta menunjukkan beberapa kadar zat berbahaya di

udara melebihi batas baku mutu udara. Selain itu juga jumlah perokok di Yogyakarta pada hasil berbagai survey

termasuk Susenas, telah mencapai lebih dari 30%. Hasil survey Dinas Kesehatan Provinsi DIY tahun 2006 dan 2008

memperlihatkan bahwa antara 56% rumah tangga di DIY tidak bebas asap rokok. Sedngkan pada hasil Riskesdas tahun

2010 kasus hipertensi di Provinsi DIY mencapai 35,8 % diatas rata-rata seluruh Indonesia yang mencapai 31,7%.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, intra cranial injury (kecelakaan) telah menempati urutan kedua terbanyak

sebagai penyebab kematian dan menunjukkan kecenderungan peningkatan. Kecelakaan lalu lintas di DIY mulai tahun

1994 sampai dengan tahun 2002 mengalami peningkatan yang cukup besar. Jumlah kasus untuk periode tahun 2000

Page 9: Gambaran umum wilayahg

sampai dengan tahun 2002 tercatat 112 kecelakaan meningkat menjadi 691 kecelakaan saat ini. Selama tahun 2008

kecelakaan telah merenggut nyawa 292 orang dan 3766 orang menderita luka berat dan ringan. Jumlah kecelakaan lalu

lintas tahun 2009 ada 4.384 kasus, dengan jumlah kematian sebesar 201 orang meninggal dan 6.822 mengalami luka

berat dan ringan, kondisi tersebut meningkat tajam dibandingkan dengan tahun 2008 ditinjau dari jumlah korban luka

berat maupun ringan. Mencegah kematian dini akibat kecelakaan bagaimanapun tidak lagi hanya menjadi tugas

Kepolisian tetapi menjadi tugas semua pihak seperti kesehatan. Meskipun sampai saat ini data mengenai tingkat risiko

kematian yang ditimbulkan dari kecelakaan dari sektor kesehatan belum dimiliki, namun peran sistem rujukan dan

penanganan pra rujukan diyakini akan memiliki peran besar menurunkan angka risiko kematian dini tersebut.

Meningkatnya penyakit degeneratif disertai dengan masih berkembangnya penyakit-penyakit infeksi akan

menyebabkan beban ganda pembangunan kesehatan di Propinsi DIY.

2. mortalitas

a. Angka Kematian Ibu Kematian ibu telah menunjukkan penurunan signifikan dalam kurun waktu 30 tahun terakhir.

Secara Nasional angka kematian ibu di Provinsi DIY juga tetap menempati salah satu yang terbaik. Meskipun demikian

angka yang dicapai tersebut masih relatif tinggi jika dibandingkan dengan berbagai wilayah di Asia Tenggara.

Berdasarkan data dari BPS, angka kematian ibu dalam 4 tahun terakhir menunjukkan penurunan yang cukup baik.

Angka terakhir yang dikeluarkan oleh BPS adalah tahun 2008, di mana angka kematian ibu di DIY berada pada angka

29 104/100rb kelahiran hidup, menurun dari 114/100rb kelahiran hidup pada tahun 2004. Sedangkan pada tahun 2011,

jumlah kasus kematian ibu yang dilaporkan kabupaten/kota pada tahun 2011 mencapai 56 kasus, meningkat

dibandingkan tahun 2010 sebanyak 43 kasus. Meskipun angka kematian ibu terlihat kecenderungan penurunan, namun

terjadi fluktuasi dalam 3 – 5 tahun terakhir, bahkan berdasarkan jumlah kasusnya dilaporkan mengalami peningkatan.

Target MDG’s di tahun 2015 untuk angka kematian Ibu nasional adalah 102/100rb kelahiran hidup, dan untuk DIY

relatif sudah mendekati target, namun masih memerlukan upaya yang keras dan konsisten dari semua pihak yang

terlibat.

Page 10: Gambaran umum wilayahg

b. Angka Kematian Bayi Angka Kematian Bayi (AKB) di D.I. Yogyakarta dari tahun 2010 sesuai hasil sensus penduduk

tahun 2010 yang telah dihitung oleh BPS Provinsi DIY adalah : laki-laki sebesar 20 bayi per 1000 kelahiran hidup,

sedangkan perempuan sebesar 14 per 1000 kelahiran hidup. Hasil sensus penduduk yang dihimpun dari data BPS dapat

digambarkan sejak tahun 1971 sampai 2010 seperti pada gambar berikut : 30 Sumber: BPS Provinsi DIY. Hasil sensus

penduduk sejak tahun 1971 sampai dengan sensus tahun 2010 menunjukkan bahwa terjadi penurunan yang sangat

signifikans angka kematian bayi dari 102 bayi per 1000 kelahiran hidup sampai 17 bayi per 1000 kelahiran hidup pada

tahun 2010 (sesuai hasil sensus penduduk). Sedangkan menurut proyeksi BPS dari hasil sensus penduduk tahun 2000

pada kurun waktu 2000- 2005 (5 tahun) penurunan AKB rata-rata per tahun adalah 3,9%. Sedangkan untuk periode

tahun 2005 -2010 penurunan AKB rata-rata per tahun adalah 2,5% dan periode 2010 - 2015 adalah 1,7%. Periode tahun

2020 - 2025 diperkirakan tidak terjadi penurunan karena tingkat kematian yang sudah sangat kecil (“hardrock”) yang

dipengaruhi oleh faktor-faktor yang sangat sulit untuk dikendalikan diantaranya faktor genetik. Sebagaimana gambaran

perkembangan angka kematian ibu, angka kematian bayi di DIY juga mengalami penurunan yang sangat signifikan jika

dibandingkan dengan sebelum tahun 1990. Laporan kabupaten / kota menunjukkan bahwa pada tahun 2011 terjadi

sebanyak 419 bayi meninggal dengan berbagai sebab. Angka kematian bayi tahun 2011 masih tetap / sama dengan

tahun sebelumnya yaitu 17 per 1000 kelahiran hidup. 31 Angka Kematian Bayi tahun 2011 jauh lebih baik

dibandingkan 20 tahun sebelumnya yang mencapai 62 / 1000 kelahiran hidup (tahun 1980). Dengan pola penurunan

tersebut maka diprediksikan pada tahun 2013 angka kematian bayi di DIY diharapkan akan mencapai 16 / 1000

kelahiran hidup. Pola penurunan dan kenaikan angka kematian bayi sensitif terhadap berbagai faktor lain. Seperti yang

terlihat pada periode tahun 1997 sampai dengan 1999 dimana terjadi krisis multidimensi yang berdampak secara tidak

langsung kepada peningkatan angka kematian bayi di DIY. Secara Nasional, target MDG’s untuk angka kematian bayi

pada tahun 2015 ditargetkan akan menurun menjadi dua pertiga dari kondisi tahun 1999 (dari 25/1000 kelahiran hidup

menjadi 16/1000 kelahiran hidup). 3.1.5. Angka Kematian Balita Angka kematian balita memiliki kecenderungan

penurunan yang cukup baik. Tahun 1971 tercatat tingkat kematian balita yang sangat tinggi yaitu mencapai 152 / 1000

Page 11: Gambaran umum wilayahg

kelahiran hidup. Angka tersebut secara berangsur turun dan 20 tahun kemudian menjadi 54/1000 kelahiran hidup,tahun

2002 sudah mencapai 30 / 1000 kelahiran hidup dan data tahun 2010 telah mencapai angka 19/1000 kelahiran hidup.

Gambar 6 : Angka Kematian Balita Propinsi DIY Tahun 1971 - 2010 (Sumber Sensus, SDKI, Supas, Profil Depkes,

Profil Dinkes DIY) 32 Pola penurunan sedikit mengalami pola yang berbeda pada kisaran tahun 1997 sampai dengan

2002 yang kemungkinan disebabkan oleh adanya krisis multi dimensi di Indonesia. Laporan kabupaten / kota tahun

2011 menunjukkan jumlah kematian anak balita sebanyak 50 kasus. Dengan pola penurunan sejak tahun 1971 tersebut

maka diprediksikan di tahun 2013 angka kematian balita akan mencapai 16/1000. Secara Nasional target MDG’s untuk

angka kematian balita pada tahun 2015 ditargetkan akan menurun menjadi dua pertiga dari kondisi tahun 1999.

C. Analisis Lingkungan Kesehatan

1. Fisik

a. Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor rata-rata 13% per tahun dan kendaraan pribadi 28% per tahun yang

didominasi oleh sepeda motor. Angkutan umum sebesar 20% dan kendaraan barang sebesar 15%.

b. Volume lalu-lintas melebihi kapasitas jalan, penyalahgunaan ruas jalan dan tingginya penggunaan kendaraan pribadi

menyebabkan kemacetan lalu-lintas, terutama di jaringan jalan pusat kota. Dampak peningkatan volume kendaraan dan

perilaku pengendara juga terjadai pada tingkat risiko kecelakaan yang semakin tinggi. Intra cranial injury (kecelakaan)

telah menempati urutan kedua terbanyak sebagai penyebab kematian. Kecelakaan lalu lintas di DIY mengalami

peningkatan cukup besar.

c. Telah dilakukan perubahan manajemen angkutan umum dengan konsep buy the service sebagai upaya memperbaiki

pelayanan serta jalur kereta api ganda yang menghubungkan Stasiun Solo Balapan- Stasiun Tugu Yogyakarta-Stasiun

Kutoarjo.

d. Bandara internasional baru direncanakan telah beroperasi di wilayah Kabupaten Kulonprogo pada tahun 2019. Kegiatan

operasional penerbangan akan meningkat sangat tinggi demikian pula dengan animo maskapai penerbangan untuk

Page 12: Gambaran umum wilayahg

membuka jalur penerbangan. Keberadaan bandara akan lebih maju lagi dengan adanya pengembangan jalur angkutan

terintegrasi antara darat, laut, dan udara.

2. Sosial

Penyandang masalah kesejahteraan sosial cenderung meningkat yang ditunjukkan oleh besarnya jumlah pengangguran dan

kelompok marginal seperti anak terlantar/ jalanan, tuna susila, pengemis, gelandangan, korban bencana alam, korban tindak

kekerasan dan lain sebagainya. Khusus untuk korban bencana mengalami penurunan signifikan sehubungan dengan telah

selesainya permasalahan paska gempa bumi. Lembaga / organisasi serta infrastruktur untuk penanganan dan pengelolaan

masalah kesejahteran sosial masih kurang memadai. Partisipasi dan kesadaran masyarakat dalam penanganan masalah

kesejahteran sosial masih perlu ditingkatkan. Berbagai kelompok dan organisasi sosial seperti Satgasos Penanggulangan

Bencana Alam masih memerlukan pembinaan dan fasilitasi.

3. Kimia

Saat ini masih banyak limbah cair industri yang dibuang langsung ke sistem air limbah terpusat atau ke lingkungan sekitar

tanpa ada pengolahan. Cakupan pelayanan air limbah terpusat baru mencapai 4% (di Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta).

Total cakupan pelayanan limbah dan sanitasi berkisar 51.8%

4. air bersih

a. Sumber daya air utama di DIY adalah Wilayah Sungai Progo-Opak-Oyo yang berasal dari daerah aliran sungai (DAS)

Progo, Opak dan Serang. Sumberdaya air dimanfaatkan untuk irigasi, kebutuhan rumah tangga, industri, tenaga listrik

dan penggelontoran kota.

b. Kebutuhan air untuk rumah tangga dipenuhi melalui sistem air pipa PDAM, sumur dan hidran umum. Pemanfaatan air

untuk penggelontoran dilakukan dalam sistem penggelontoran sanitasi perkotaan dengan air permukaan.

c. Terjadi penurunan kuantitas dan kualitas air sebagai akibat terganggunya fungsi hidrologi sebagai dampak penggunaan

tanah/alih fungsi lahan dan pengelolaan tanah yang tidak dikendalikan di daerah tangkapan air. Selain itu juga terjadi

pemakaian air yang tidak 23 efisien, terutama untuk keperluan irigasi dan kolam ikan.

Page 13: Gambaran umum wilayahg

5. Sampah

a. Pelayanan pengangkutan sampah masih rendah. Pelayanan pengangkutan sampah di Tempat Pembuangan akhir (TPA)

baru mencapai sekitar 35% dari total produksi sampah.

b. Cakupan sistem drainase mencapai sekitar 53.42%. Sistem ini mengandalkan keberadaan sungai-sungai yang melintas

sebagai drainase induk yang cenderung meningkatkan terjadinya pencemaran air sungai.

c. Permasalahan pembangunan sampah dan drainase, antara lain pencemaran lingkungan dan jumlah sampah, terbatasnya

lahan tempat pembuangan akhir, tidak berfungsinya saluran drainase.

D. Analisis Perilaku Kesehatan

1. Kepercayaan

a. Komposisi pemeluk agama di DIY tahun 2010 terdiri dari 92,03% agama Islam, 4,94% agama Katholik, 2,7% agama

Kristen, 0,17% agama Hindu dan 0,15% agama Budha.

b. Kerukunan antar umat beragama berkembang dengan baik, ditunjukkan oleh tidak berkembangnya konflik agama antar

pemeluk agama.

c. Jumlah jamaah haji DIY yang berangkat pada tahun 2010/1430 H sebanyak 3.165 orang atau meningkat 2,86%

dibanding tahun sebelumnya. Berdasarkan asal jamaah, sebagian besar berasal dari Kabupaten Sleman, Bantul dan

Kota Yogyakarta masing-masing sebesar 38,8%, 27,90% dan 15,89%.

2. Perilaku

3. kebiasaan

E. Analisis Kependudukan

1. Jumlah Penduduk

a. Jumlah penduduk laki-laki 1.735.514 jiwa

b. Jumlah perempuan 1.777.557 jiwa

Page 14: Gambaran umum wilayahg

c. Total keselruhan 3.513.071 jiwa.

2. Kepadatan :

Kabupaten atau kota Luas Wilayah Kepadatan Penduduk Per Km2

Km2 Presentase

Kulonprogo 586,28 18,40 663

Bantul 506,85 15,91 1.798

Gunung Kidul 1.485,36 46,63 455

Sleman 574,82 18,04 1.902

Yogyakarta 32,5 1,02 11.958

Provinsi DIY 3.185,81 100,00 1.085

3. Pertumbuhan

Pertumbuhan penduduk pada tahun 2010 sebesar 1,02 persen relatif lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan tahun

sebelumnya. Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman memiliki angka pertumbuhan diatas angka provinsi, masing-masing

sebesar 1,55% dan 1,92%. Rerata kepadatan penduduk DIY pada tahun 2009 sekitar 1.078,08 jiwa per km2. Sedangkan

pada tahun 2010 meningkat menjadi 1.085 jiwa per km2 dengan kepadatan tertinggi di Kota Yogyakarta (11.958 jiwa/km2)

terendah di Kabupaten Gunungkidul (455 jiwa/km2). Permasalahan ketimpangan kepadatan tersebut diperkuat dengan

ketimpangan potensi sumber daya dimana Gunungkidul adalah salah satu kabupaten di DIY yang memiliki kesuburan

lahan kurang dan keterbatasan suplai air

4. proporsi muda/tua,

penduduk usia produktif adalah yang paling mendominasi disamping mulai meningkatnya penduduk usia lanjut. Laju

pertumbuhan di DIY merupakan salah satu yang terkecil di Indonesia (1,02%). Hal ini dapat diartikan sebagai keberhasilan

Page 15: Gambaran umum wilayahg

program kependudukan dan pergeseran prinsip dari masalah kuantitas menuju kualitas. Ditinjau dari sisi distribusi

penduduk menurut usia, terlihat kecenderungan yang semakin meningkat pada penduduk usia >65 tahun dan menurunnya

jumlah penduduk usia 0 – 14 tahun dari tahun 2003-2008. Hal tersebut mengindikasikan telah terjadinya pergeseran

struktur penduduk yang ditandai dengan tumbuhnya struktur penduduk tua. Sementara dependency ratio penduduk usia

produktif terhadap penduduk usia non produktif mencapai 46 (paling rendah di Kota Yogyakarta sebanyak 36% dan paling

tinggi di kabupaten Gunung Kidul sebesar 55%.

F. Analisis Program dan Pelayanan Kesehatan:

1. Sarana yankes

No Kabupaten/kota Puskesma

s

Puskesmas

dengan

Tempat

Tidur

Puskesmas

Non

Tempat

Tidur

Pustu Polindes/poskesdes Puskesmas

ter

sertifikasi

ISO

1 Kota Yogyakarta 18 3 15 10 0 3

2 Bantul 27 16 11 68 16 1

3 Gunung Kidul 30 14 16 107 30 6

4 Kulon Progo 21 5 16 62 40 1

5 Sleman 25 4 21 71 86 19

6 Provinsi 321 42 79 318 172 30

Akses masyarakat Yogyakarta terhadap sarana pelayanan kesehatan telah cukup baik. Salah satunya diperlihatkan dari

aksesibilitas jarak jangkauan. Hasil survey Dinas Kesehatan Provinsi pada tahun 2008, dimana menunjukkan bahwa

lebih dari 80% penduduk DIY hanya berjarak 1-5 km terhadap puskesmas dan lebih dari 70% penduduk hanya

Page 16: Gambaran umum wilayahg

berjarak 1-5 km terhadap rumah sakit dan dokter praktek swasta. Tidak ditemukan penduduk yang memiliki jarak

tempuh lebih dari 10 km terhadap sarana pelayanan puskesmas, dokter praktek swasta dan bidan, yang menunjukkan

mudahnya akses jarak jangkauan penduduk terhadap sarana pelayanan. Aksesibilitas jarak jangkauan terhadap sarana

pelayanan kesehatan cukup merata antar kabupaten kota. Penduduk DIY di setiap Kabupaten / Kota pada umumnya

berada pada kisaran 1-5 km terhadap Puskesmas. Rumah Sakit di Provinsi DIY menurut jumlah Rumah Sakit Umum

dan Khusus adalah sebagai berikut : Jumlah Rumah Sakit Umum : 44 RS (RS Pemerintah 7, TNI/Polri 3 dan RS

Swasta sebanyak 34 RS). Jumlah Rumah Sakit Jiwa sebanyak 2 RS, Rumah 52 Sakit Ibu & Anak sebanyak 8 RS dan

jumlah Rumah Sakit Khusus lainnya sebanyak 9 RS. Sarana kefarmasian pada tahun 2011 tercatat jumlah Apotik

sebanyak 455 buah, jumlah toko obat 51 buah dan jumlah industri kecil obat tradisionil sebanyak 64 buah.

2. cakupan program

a. Perbaikan Gizi Masyarakat Upaya perbaikan gizi masyarakat ditujukan untuk meningkatkan mutu gizi perseorangan

dan masyarakat, dalam rangka mencapai tujuan program gizi yaitu meningkatkan kesadaran gizi keluarga yang

selanjutnya akan meningkatkan status gizi masyarakat. Pemantauan pertumbuhan balita merupakan alat untuk

mengetahui status gizi anak balita. Salah satu kegiatan berbasis masyarakat yang melaksanakan pemantauan

pertumbuhan terhadap balita adalah posyandu. Karena itu, peran serta masyarakat dengan mengikutsertakan balitanya

untuk ditimbang di posyandu memberikan andil yang sangat besar terhadap pencapaian indikator ini. Pada tahun 2011,

di Provinsi DIY tingkat partisipasi masyarakat dalam penimbangan di Posyandu (D/S) berkisar antara 70 – 79 % di

semua kab/kota, partisipasi tertinggi di Kabupaten Kulonprogo mencapai 79% dan partisipasi terendah di Kota

Yogyakarta sebesar 72,6%. Dengan demikian terlihat bahwa masih ada masyarakat yang belum membawa anak

balitanya untuk ditimbang di posyandu. Sedangkan dari segi pencapaian hasil penimbangan yang dilihat dari balita

yang naik berat badan saat ditimbang (N/D), terlihat bahwa capaian di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman masih

< 50%, Kabupaten Bantul dan Kulonprogo 50 – 59% sedangkan Kabupaten Gunungkidul 60 – 69%. Capaian

pemberian kapsul vitamin A untuk bayi mencapai 98,60% sedangkan untuk balita mencapai 98,10%. Distribusi

Page 17: Gambaran umum wilayahg

vitamin A kepada bayi dan balita merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan status gizi bayi dan balita. Dari

hasil tersebut terlihat telah mencapai tingkat cakupan yang cukup baik namun belum mencapai target 100%. Anemia

merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kematian ibu melahirkan. Angka anemia ibu hamil di Provinsi DIY pada

tahun 2011 sebesar 53 18,90%, menurun dibanding pada tahun 2010 sebesar 20,95%, dapat dilihat pada grafik di

bawah. Berdasarkan kondisi di kabupaten/kota, angka anemia bumil tertinggi yaitu Kabupaten Bantul 25,60% dan

terendah di Kabupaten Sleman 10,19%. Prevalensi ibu hamil anemia di Provinsi DIY ini sudah berada di bawah 20%,

yang artinya sudah di bawah nilai ambang batas masalah gizi sebagai masalah kesehatan masyarakat.

b. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Kualitas pelayanan kesehatan di DIY yang cukup baik, salah satunya tergambar

dari proporsi persalinan yang ditangani oleh tenaga kesehatan. Cakupan persalinan yang ditolong tenaga kesehatan

pada tahun 2011 di Provinsi DIY berdasarkan laporan kabupaten/kota telah mencapai 99,73%, Angka tersebut

meningkat dibandingkan tahun 2010 sebesar 97,69%. Salah satu upaya dalam menurunkan kematian ibu adalah dengan

meningkatkan cakupan pemeriksaan kehamilan (ANC: antenatal care) oleh tenaga kesehatan. Indikator yang

digunakan untuk memantau cakupan pemeriksaan kehamilan tersebut adalah cakupan ibu hamil yang pertama kali

mendapat pelayanan antenatal (K1) yang merupakan indikator akses, dan cakupan ibu hamil yang telah memperoleh

pelayanan antenatal minimal empat kali sesuai distribusi waktu dan sesuai standar (K4) yang menggambarkan tingkat

perlindungan ibu hamil di suatu wilayah. Capaian K1 dan K4 di Provinsi DIY pada tahun 2011 masing-masing sebesar

99,98 % dan 89,31%. Dengan cakupan K1 dan K4 yang sudah cukup tinggi tersebut, upaya peningkatan pelayanan

kesehatan utamanya untuk ibu hamil di 56 Provinsi DIY pada masa yang akan datang adalah meningkatkan kualitas

pelayanan, yaitu pelayanan antenatal yang lengkap dan sesuai standar. Diharapkan dengan kualitas ANC yang baik

akan dapat mendeteksi secara dini adanya kelainan yang terjadi pada masa kehamilan, dan mencegah kejadian

komplikasi. Meskipun demikian dari hasil capaian tersebut, terlihat masih ada kesenjangan antara K1 dan K4 yang

cukup jauh. Cakupan penanganan ibu hamil yang mengalami komplikasi (PKO) pada tahun 2011 di Provinsi DIY,

berdasar data yang diperoleh dari kabupaten/kota yaitu sebesar 70,44%. Namun, cakupan tersebut tidak bisa

Page 18: Gambaran umum wilayahg

menggambarkan kondisi yang sebenarnya di masyarakat karena denominator yang digunakan adalah perkiraan jumlah

bumil risiko tinggi, yaitu 20% dari jumlah bumil. Dari hasil diskusi dan pertemuan yang dilakukan dengan kab/kota,

disimpulkan bahwa semua kasus komplikasi yang terjadi pada ibu hamil sudah ditangani. Kunjungan nifas

menggambarkan jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan terhadap ibu, mulai 6 jam sampai 42 hari setelah

melahirkan. Pada tahun 2011, ibu nifas yang telah memperoleh pelayanan minimal tiga kali sesuai distribusi waktu dan

sesuai standar (KF3) mencapai 88,96%, meningkat dari tahun 2010 sebesar 86,18%. Dari hasil capaian tersebut,

terlihat kesenjangan yang cukup jauh antara capaian persalinan oleh tenaga kesehatan (Pn) dengan kunjungan nifas

lengkap (KF3). Dengan demikian terlihat bahwa masih ada ibu hamil yang tidak mendapatkan pelayanan kesehatan

pada masa nifas, walaupun sudah melahirkan dengan bantuan tenaga kesehatan. Diharapkan, kesenjangan antara K1

dan K4 dapat diturunkan dan capaian K4 dan KF3 dapat lebih meningkat di masa yang akan datang sehingga dapat

memberikan andil dalam penurunan AKI. Gambaran K1, K4, persalinan nakes dan KF3 dapat dilihat pada gambar di

bawah.

c. Pembinaan Kesehatan Lingkungan Kondisi perumahan di Provinsi DIY dari hasil pemantauan yang dilakukan oleh

kabupaten / kota menunjukkan bahwa baru 64,65% yang masuk dalam kategori rumah sehat. Program pemantauan

sendiri baru mampu menjangkau sejumlah 38,89% dari target yangdiharapkan. Meskipun demikian beberapa

parameter rumah sehat pada masyarakat di DIY menunjukkan telah cukup baik diantaranya adalah pemanfaatan air

bersih (94%) dan jamban sehat (75%). Prosentase penduduk yang mempunyai akses air minum di DIY telah mencapai

90,09% (terendah di Bantul 81%) sedangkan prosentase kualitas air minum memenuhi syarat sebesar 62,02%

(terendah di Gunung Kidul 20%). Prosentase penduduk yang menggunakan jamban masih sebesar 78,78%. Parameter

tempat sampah sehat dan air limbah sehat masih perlu ditingkatkan yang diperlihatkan dari capaian yang baru 50,23%

untuk tempat sampah sehat dan 65,47% untuk pengelolaan limbah sehat.

d. Perilaku Hidup Sehat Masyarakat DIY Kesehatan merupakan aset masa depan dan merupakan modal terciptanya hidup

yang sejahtera. Agar status kesehatan dapat diraih, perlu dilakukan upaya pencegahan penyakit, di antaranya pada

Page 19: Gambaran umum wilayahg

tingkat pertama adalah melakukan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Pola PHBS ini hendaknya dilaksanakan

oleh seluruh masyarakat yang ada di berbagai tempat / tataran yaitu di tempat umum, di tempat kerja, di sekolah, di

institusi kesehatan, dan di rumah tangga. PHBS di rumah tangga adalah upaya memberdayakan anggota rumah tangga

agar tahu, mau dan mampu melaksanakan PHBS serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan di masyarakat.

Berdasarkan evaluasi, maka pada perkembangannya indikator PHBS tatanan rumah tangga mulai ditingkatkan

kualitasnya. Dari 10 indikator yang semula masih menggunakan stratifikasi sehat I – IV, maka secara nasional sudah

ditingkatkan kualitas indikatornya menjadi 10 indikator yang sifatnya komposit/gabungan, sehingga 10 indikator

PHBS tatanan rumah tangga semua harus terpenuhi. Sepuluh indikator PHBS rumah tangga tersebut adalah persalinan

ditolong oleh tenaga kesehatan, pemberian ASI eksklusif, balita ditimbang, penggunaan air bersih, cuci tangan,

penggunaan jamban, pemberantasan jentik, konsumsi buah dan sayur, aktivitas fisik dan tidak merokok di dalam

rumah. Provinsi DIY telah menerapkan indikator tersebut sebagai evaluasi pada tatanan PHBS rumah tangga mulai

tahun 2010. Hasil pencapaian tahun 2011, dari 341.362 rumah tangga yang dipantau menunjukkan sebanyak 31,40%

rumah tangga telah menerapkan PHBS, seperti terlihat pada gambar di bawah. Dari capaian tersebut, yang memberikan

kontribusi terendah dan masih menjadi masalah kesehatan pada umumnya adalah tidak merokok di dalam rumah yang

baru mencapai 46,67%, bayi diberi ASI eksklusif sebesar 77,70%, konsumsi buah dan sayur sebesar 83,35% dan

aktifitas fisik sebesar 87,48%.

7.Daftar Masalah