gel lidah buaya untuk pengawet tomat
DESCRIPTION
XXXTRANSCRIPT
74
SKRIPSI
APLIKASI GEL LIDAH BUAYA (Aloe vera L.) SEBAGAI EDIBLE
COATING PADA PENGAWETAN TOMAT
(Lycopersicon esculentum Mill.)
Oleh :
ANDINY KISMARYANTI
F24103124
2007
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Andiny Kismaryanti. F24103124. Aplikasi Gel Lidah Buaya (Aloe vera L.) sebagai Edible Coating pada Pengawetan Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.). Di bawah bimbingan Slamet Budijanto. 2007
RINGKASAN
Permintaan produk sayuran dalam bentuk sayuran segar dan fresh cut (siap masak) terus meningkat baik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Pasar luar negeri dan pasar modern (supermarket, hypermarket, hotel dan restoran) menuntut adanya sayuran segar yang mempunyai kualitas yang baik yaitu penampilan baik, relatif tahan lama dan tidak cepat layu selama penyimpanan baik dalam bentuk sayuran segar maupun dalam bentuk fresh cut. Kualitas tersebut hanya mungkin dipenuhi dengan adanya penanganan pasca panen yang baik termasuk usaha melakukan upaya untuk dapat memperpanjang tingkat kesegaran. Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan di atas adalah dengan melakukan coating. Aloe vera telah dilaporkan mengandung beberapa senyawa bioaktif yang bersifat antimikroba serta mampu menyembuhkan luka pada jaringan, sehingga berpeluang untuk dijadikan bahan untuk aplikasi coating. Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh edible coating Aloe vera untuk mempertahankan kesegaran sayuran dalam bentuk utuh.
Penelitian ini dilakukan beberapa tahap yaitu (i) percobaan pembuatan gel Aloe vera (ii) pengujian pengaruh umur simpan gel terhadap mutu coating, (iii) formulasi gel Aloe vera L. untuk aplikasi coating pada tomat, serta (iv) penentuan umur simpan tomat segar dengan perlakuan Aloe vera gel coating, pengemasan, dan suhu. Aplikasi gel lidah buaya sebagai edible coating pada pengawetan tomat segar dapat menghambat penurunan mutu tomat akibat proses pematangan yang cepat setelah panen. Aplikasi ini lebih efektif jika dipadukan dengan pengemasan dan penyimpanan suhu dingin daripada penyimpanan pada suhu ruang. Gel lidah buaya yang digunakan adalah gel lidah buaya yang langsung diolah segera setelah panen dilakukan. Formulasi yang paling baik untuk digunakan sebagai edible coating adalah gel lidah buaya murni tanpa penambahan apapun. Penyimpanan pada suhu dingin mampu memperpanjang umur simpan tomat hingga 5 hari, sedangkan penyimpanan pada suhu ruang mampu memperpanjang umur simpan tomat hingga 3 hari. Penyimpanan pada suhu dingin (1°C) tidak membuat tomat yang telah dilapisi dengan gel lidah buaya dan dikemas dengan plastik PVC mengalami chilling injury. Edible coating dari gel lidah buaya memiliki kemampuan mereduksi jumlah mikroba awal pada permukaan tomat, yakni sebesar 2.2 X 107 koloni/cm2 sebelum dilapisi gel lidah buaya menjadi 1.8 X 106 koloni/cm2 setelah dilapisi, sedangkan jumlah kapang dari sebesar 5.4 X 104 koloni/ cm2 menjadi 2.2 X 104 koloni/cm2, namun aktivitas anti-mikroba dan anti-kapang dari gel lidah buaya tersebut tidak mampu menghilangkan mikroba penyebab penyakit antraknosa.
75
Andiny Kismaryanti. F24103124. Aplikasi Gel Lidah Buaya (Aloe vera L.) sebagai Edible Coating pada Pengawetan Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.). Di bawah bimbingan Slamet Budijanto. 2007
RINGKASAN
Permintaan produk sayuran dalam bentuk sayuran segar dan fresh cut (siap masak) terus meningkat baik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Pasar luar negeri dan pasar modern (supermarket, hypermarket, hotel dan restoran) menuntut adanya sayuran segar yang mempunyai kualitas yang baik yaitu penampilan baik, relatif tahan lama dan tidak cepat layu selama penyimpanan baik dalam bentuk sayuran segar maupun dalam bentuk fresh cut. Kualitas tersebut hanya mungkin dipenuhi dengan adanya penanganan pasca panen yang baik termasuk usaha melakukan upaya untuk dapat memperpanjang tingkat kesegaran. Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan di atas adalah dengan melakukan coating. Aloe vera telah dilaporkan mengandung beberapa senyawa bioaktif yang bersifat antimikroba serta mampu menyembuhkan luka pada jaringan, sehingga berpeluang untuk dijadikan bahan untuk aplikasi coating. Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh edible coating Aloe vera untuk mempertahankan kesegaran sayuran dalam bentuk utuh.
Penelitian ini dilakukan beberapa tahap yaitu (i) percobaan pembuatan gel Aloe vera (ii) pengujian pengaruh umur simpan gel terhadap mutu coating, (iii) formulasi gel Aloe vera L. untuk aplikasi coating pada tomat, serta (iv) penentuan umur simpan tomat segar dengan perlakuan Aloe vera gel coating, pengemasan, dan suhu. Aplikasi gel lidah buaya sebagai edible coating pada pengawetan tomat segar dapat menghambat penurunan mutu tomat akibat proses pematangan yang cepat setelah panen. Aplikasi ini lebih efektif jika dipadukan dengan pengemasan dan penyimpanan suhu dingin daripada penyimpanan pada suhu ruang. Gel lidah buaya yang digunakan adalah gel lidah buaya yang langsung diolah segera setelah panen dilakukan. Formulasi yang paling baik untuk digunakan sebagai edible coating adalah gel lidah buaya murni tanpa penambahan apapun. Penyimpanan pada suhu dingin mampu memperpanjang umur simpan tomat hingga 5 hari, sedangkan penyimpanan pada suhu ruang mampu memperpanjang umur simpan tomat hingga 3 hari. Penyimpanan pada suhu dingin (1°C) tidak membuat tomat yang telah dilapisi dengan gel lidah buaya dan dikemas dengan plastik PVC mengalami chilling injury. Edible coating dari gel lidah buaya memiliki kemampuan mereduksi jumlah mikroba awal pada permukaan tomat, yakni sebesar 2.2 X 107 koloni/cm2 sebelum dilapisi gel lidah buaya menjadi 1.8 X 106 koloni/cm2 setelah dilapisi, sedangkan jumlah kapang dari sebesar 5.4 X 104 koloni/ cm2 menjadi 2.2 X 104 koloni/cm2, namun aktivitas anti-mikroba dan anti-kapang dari gel lidah buaya tersebut tidak mampu menghilangkan mikroba penyebab penyakit antraknosa.
76
APLIKASI GEL LIDAH BUAYA (Aloe vera L.) SEBAGAI EDIBLE
COATING PADA PENGAWETAN TOMAT
(Lycopersicon esculentum Mill.)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
ANDINY KISMARYANTI
F24103124
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
77
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
APLIKASI GEL LIDAH BUAYA (Aloe vera L.) SEBAGAI EDIBLE
COATING PADA PENGAWETAN TOMAT
(Lycopersicon esculentum Mill.)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
ANDINY KISMARYANTI
F24103124
Dilahirkan pada tanggal 22 Maret 1986
Di Jakarta
Tanggal lulus: 22 Agustus 2007
Menyetujui,
Bogor, Agustus 2007
Dr.Ir. Slamet Budijanto, M.Agr
Dosen Pembimbing Akademik
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc
Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
78
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 22
Maret 1986 sebagai anak pertama dari tiga
bersaudara dari pasangan H. Anwar Pasyah
dan Hj. Saniaty Hadarie. Penulis memiliki
dua orang bernama Nindya Andika Putri dan
Nadya Khoirunnisa. Pendidikan Sekolah
ditempuh dari tahun 1990-1991 di TK
Yasporbi, lalu pada tahun 1991-1997 di SD Bhakti Jakarta, kemudian melanjutkan
Sekolah Menengah Pertama di SLTPN 111 Jakarta hingga tahun 2000. pada
tahun 2000-2003 penulis melanjutkan Sekolah Menengah Umum di SMU N 78
Jakarta hingga tamat.
Penulis diterima sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor pada tahun
2003 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis merupakan anggota HIMITEPA
selama periode 2005 – 2006. Pelatihan dan seminar yang pernah diikuti penulis
adalah seminar dan pelatihan HACCP (Hazard Analytical Critical Control Point)
yang diselenggarakan oleh Mbrio, seminar Keamanan Pangan, seminar Pangan
Halal, seminar Entreptreneurship, dan seminar FGW Student Forum Milk and
Milk Product.
79
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbi’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kepada
Allah SWT pemilik jiwa dan raga ini atas Ridho serta atas rahmat dan karunian-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini merupakan laporan hasil penelitian yang penulis lakukan
sebagai syarat mendapatkan gelar sarjana di Instutut Pertanian Bogor, berjudul
“Aplikasi Gel Lidah Buaya (Aloe vera L.) sebagai Edible Coating pada
Pengawetan Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.)” yang telah dilaksanakan
dari bulan Januari 2007 sampai Agustus 2007 di Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan, FATETA-IPB.
Selama kegiatan penelitian maupun penulisan skripsi ini tentu tak lepas
dari bantuan berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak (H. Anwar Pasyah), ibu (Hj. Saniaty Hadarie), dan adik-adikku
(Nindya dan Nadya) yang tak pernah bosan memberi bimbingan,
dorongan (material, spiritual), doa serta limpahan kasih sayang yang tak
akan pernah terbalas.
2. Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr, sebagai dosen pembimbing akademik
yang telah banyak memberi bimbingan dan dukungan selama penulis
menjalani pendidikan dan selama penulis melakukan tugas akhir sampai
penulisan skripsi ini.
3. Dr. Ir. Sukarno, Msi, sebagai dosen penguji yang telah banyak memberi
bimbingan selama penulis menjalani sidang skripsi.
4. Dr. Ir. M. Arpah, Msi, sebagai dosen penguji yang telah banyak memberi
bimbingan selama penulis menjalani sidang skripsi.
5. Teman seperjuangan dan sebimbingan Rucitra W, Andal K, mba Ofi, mba
Olly, dan Irma Pratiwi.
6. Teman-teman terbaikku, Evanda, Annisa, Ocha, Riska, Andiny, Wati,
Insani, Irma bo, Abdy, Indach dan Dian, serta sahabat-sahabat terbaikku
Dila, Intan, Hanny, Nera, Tika, Rita, dan Gabby atas dukungannya,
perhatian, serta kasih sayang disaat susah maupun senang, terima kasih
80
atas segala kenangan indah yang pernah ada kawan, kisah kita adalah
sebuah kisah klasik untuk masa depan.
7. Teman-teman TEP ,TIN ,38, 39, 40 dan 41
8. Teman-teman ITP 39 dan 40, Oneth, Erik, Nooy, Arie, Tillo, Chitra,
Wayan, Ade, Mona, Adiput, Steph, Tatan, Denang, Gilang, Aca, Ryal,
Widi, Teddy, Meiko, Kanin, Martin, Aji, especially buat golongan D,
Andal, Dian, Sarwo, Usman, Arga, Andreas, Agus, Santo, Ekus, Angel,
Lasty, Gading, Maya, Anis, Ika, Mae, Bos Mardi, Intan, Nana, Pau2,
Dhea, Andrea, atas segala kegembiraan disaat praktikum dan kuliah.
9. Ubaidillah Trianto, atas segala dukungan dan perhatian kepada penulis.
10. Temen-temen di Fits, mbak Febri, mbak Iin, mas Jejen, mas Narto, mas
Harsono, mang Ujang dan temen-temen lainnya. Terimakasih atas semua
bantuan yang telah diberikan.
11. Semua teknisi dan laboran. Pak Sobirin, Pak Koko, Pak Rojak, Teh Ida,
Bu Rubiyah, Pak Mul, Mas Edy, Bu Antin. Terima kasih atas bantuannya.
12. Penghuni Dwi Regina (Dhilah, Velma, Nila, Revi, Elis, Anny, Lisya,
Chitra, Upil, Yanti, Lina, Era) yang telah memberikan dukungan dan
menciptakan lingkungan yang kondusif bagi penulis sehingga
memudahkan dalam penyelesaian skripsi ini.
13. Dosen IPB dan ITP-FATETA periode 2003-2007 atas segala pengajaran
dan pendidikan serta kasih sayang yang telah diberikan kepada penulis.
Semoga skripsi hasil penelitian akhir ini dapat memberika banyak manfaat
bagi yang memerlukannya. Akhirnya kritik dan saran sangat penulis harapkan
demi perbaikan tulisan selanjutnya. Serta mohon ma’af atas segala kesalahan dan
kekurangan dalam skripsi ini.
Bogor, Agustus 2007
Penulis
81
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................. iii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. ix
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG ...................................................................... 1
B. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ..................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. TOMAT ............................................................................................ 3
1. Botani Tomat ................................................................................. 3
2. Pasca Panen Tomat ........................................................................ 5
B. ALOE VERA ..................................................................................... 10
C. EDIBLE COATING ............................................................................ 13
D. EDIBLE FILM BERDASARKAN POLISAKARIDA ..................... 14
E. ISOLAT PROTEIN KEDELAI ......................................................... 15
F. INTERAKSI PROTEIN-POLISAKARIDA ..................................... 19
G. PLASTICIZER .................................................................................... 20
H. PENGEMASAN ............................................................................... 21
I. PENYIMPANAN ............................................................................... 23
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT ....................................................................... 25
B. METODOLOGI PENELITIAN ........................................................ 25
1. Pembuatan Gel dari Pelepah Daun Aloe vera L ........................... 25
2. Pengujian Umur Simpan Gel terhadap Mutu Coating .................. 27
3. Formulasi Gel Aloe vera L.
Untuk Aplikasi Coating Pada Tomat ............................................ 29
4. Penentuan Umur Simpan Tomat Segar dengan Perlakuan
Aloe vera Gel Coating, Pengemasan, dan Suhu ........................... 29
82
Halaman
C. METODE ANALISIS ....................................................................... 30
1. Analisis Sifat Fisik ........................................................................ 30
2. Analisis Sifata Kimia .................................................................... 30
3. Uji Mikrobiologi ........................................................................... 31
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pembuatan Edible Coating dari Gel Lidah Buaya .............................. 32
2. Pengujian Umur Simpan Gel terhadap Mutu Coating ........................ 35
3. Formulasi Gel Aloe vera L.
Untuk Aplikasi Coating Pada Tomat .................................................. 39
4. Penentuan Umur Simpan Tomat Segar dengan Perlakuan
Aloe vera Gel Coating, Pengemasan, dan Suhu ................................ 42
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN .................................................................................. 67
B. SARAN .............................................................................................. 68
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 69
LAMPIRAN................................................................................................... 74
83
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Kandungan dan komposisi buah tomat tiap 100 gr
bahan yang dapat dimakan ............................................................ 4
Tabel 2. Komponen bioaktif yang terkandung pada Aloe vera L ............... 12
Tabel 3. Komposisi asam amino produk-produk protein kedelai ............... 17
Tabel 4. Hasil uji mikrobiologi pada tomat segar ....................................... 64
Tabel 5. Hasil uji mikrobiologi pada tomat segar
yang telah dilapisi gel lidah buaya ............................................... 64
84
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Perbandingan tingkat kematangan tomat berdasarkan warna................................................................. 7 Gambar 2. Struktur moleku acemannan..................................................... 13 Gambar 3. Struktur molekul protein kedelai........................................... 19
Gambar 4. Diagram alir pembuatan gel Aloe vera..................................... 27 Gambar 5. Diagram alir pengaplikasian Aloe vera coating pada tomat.... 28
Gambar 6. Perlakuan pemanasan dan penambahan asam pada gel lidah buaya........................................................................................ 34 Gambar 7. Grafik pengaruh umur simpan gel (1 hari) Terhadap persentase susut bobot tomat.................................... 36 Gambar 8. Grafik pengaruh umur simpan gel (2 hari) Terhadap persentase susut bobot tomat.................................... 36 Gambar 9. Grafik pengaruh umur simpan gel (6 hari) Terhadap persentase susut bobot tomat.................................... 37 Gambar 10. Grafik pengaruh umur simpan gel (7 hari) Terhadap persentase susut bobot tomat.................................. 37 Gambar 11. Grafik perbandingan laju respirasi antara tomat yang dilapisi dan yang tidak........................................... 38 . Gambar 12. Grafik perbandingan persentase susut bobot tomat pada berbagai formula coating................................................ 40 . Gambar 13. Kerusakan fisik pada buah tomat.......... ................................ 42 Gambar 14a. Grafik pengaruh pelapisan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap susut bobot tomat selama penyimpanan. 44 Gambar 14b. Grafik perbandingan rata-rata susut bobot pada tomat dengan perlakuan pelapisan gel , pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21............................... .. 44
85
Halaman
Gambar 15a. Grafik pengaruh pelapisan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap kelunakan tekstur tomat selama penyimpanan............................................................. 47 Gambar 15b. Grafik perbandingan rata-rata kelunakan tekstur pada tomat dengan perlakuan pelapisan gel , pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0..................................... 47 Gambar 15c. Grafik perbandingan rata-rata kelunakan tekstur pada tomat dengan perlakuan pelapisan gel , pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21................................... 48 Gambar 16a. Grafik pengaruh pelapisan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap total padatan terlarut tomat selama penyimpanan............................................................. 51 Gambar 16b. Grafik perbandingan rata-rata total padatan terlarut pada tomat dengan perlakuan pelapisan gel , pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0..................................... 51 Gambar 16c. Grafik perbandingan rata-rata total padatan terlarut pada tomat dengan perlakuan pelapisan gel , pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21................................... 52 Gambar 17a. Grafik pengaruh pelapisan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap derajat keasaman tomat selama penyimpanan............................................................. 53 Gambar 17b. Grafik perbandingan rata-rata derajat keasaman pada tomat dengan perlakuan pelapisan gel , pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0..................................... 54 Gambar 17c. Grafik perbandingan rata-rata derajat keasaman pada tomat dengan perlakuan pelapisan gel , pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21................................... 54 Gambar 18a. Grafik pengaruh pelapisan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap warna merah tomat selama penyimpanan............................................................. 57 Gambar 18b. Grafik perbandingan rata-rata warna merah pada tomat dengan perlakuan pelapisan gel , pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0..................................... 57
86
Halaman Gambar 18c. Grafik perbandingan rata-rata warna merah pada tomat dengan perlakuan pelapisan gel , pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21................................... 58 Gambar 19a. Grafik pengaruh pelapisan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap warna kuning tomat selama penyimpanan............................................................. 59 Gambar 19b. Grafik perbandingan rata-rata warna kuning pada tomat dengan perlakuan pelapisan gel , pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0..................................... 59 Gambar 19c. Grafik perbandingan rata-rata warna kuning pada tomat dengan perlakuan pelapisan gel , pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21................................... 60 Gambar 20a. Grafik pengaruh pelapisan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap kecerahan warna tomat selama penyimpanan............................................................. 61 Gambar 20b. Grafik perbandingan rata-rata kecerahan warna pada tomat dengan perlakuan pelapisan gel , pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0..................................... 61 Gambar 20c. Grafik perbandingan rata-rata kecerahan warna pada tomat dengan perlakuan pelapisan gel , pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21................................... 62 Gambar 21. Tomat yang terkena penyakit antraknosa................................ 66
Gambar 22. Chilling injury: Pencoklatan pada bibit................................... 66
87
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Data susut bobot tomat (%) dengan perlakuan pelapisan gel lidah buaya pada umur tertentu........................ 74 Lampiran 2. Data susut bobot tomat yang diberi perlakuan pelapisan dengan berbagai formula gel .................................. 76 Lampiran 3. Data hasil pengamatan pada percobaan penentuan umur simpan tomat dengan perlakuan pelapisan gel lidah buaya, pengemasan, serta penyimpanan pada suhu berbeda. ........................................... 81 Lampiran 4. Data susut bobot tomat pada hari ke-0 dan hari ke-21 ........... 84
Lampiran 5. Data kelunakan tekstur tomat pada hari ke-0 dan hari ke-21. 85
Lampiran 6. Data total padatan terlarut tomat pada hari ke-0 dan hari ke-21 ......................................................... 86 Lampiran 7. Data derajat keasaman tomat pada hari ke-0 dan hari ke-21. . 87
Lampiran 8. Data nilai kecerahan warna tomat pada hari ke-0 dan hari ke-21 .......................................................... 88 Lampiran 9. Data warna merah tomat (skala a) pada hari ke-0 dan hari ke-21 .......................................................... 89 Lampiran 10. Data warna kuning tomat (skala b) pada hari ke-0 dan hari ke-21 .......................................................... 90 Lampiran 11. Tabel hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan susut bobot tomat pada perlakuan penyimpanan gel lidah buaya untuk aplikasi coating............. 91 Lampiran 12. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap susut bobot tomat dengan berbagai perlakuan formula coating. ..................................... 92 Lampiran 13. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap susut bobot tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21 ........... 94
88
Halaman Lampiran 14. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kelunakan tekstur tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0............... 95 Lampiran 15. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kelunakan tekstur tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21 ............ 96
Lampiran 16. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap total padatan terlarut tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0.................................................................... 97 Lampiran 17. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap total padatan terlarut tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21 ........................................................................ 98 Lampiran 18. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap derajat keasaman tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0 .......................................................................... 99 Lampiran 19. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap derajat keasaman tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21 ........................................................................ 100 Lampiran 20. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kemerahan warna tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0 .......................................................................... 101 Lampiran 21. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kemerahan warna tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21......................................................................... 102 Lampiran 22. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kekuningan warna tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0.......................................................................… 103 Lampiran 23. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kekuningan warna tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21…...................................................................... 104
89
Halaman
Lampiran 24. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kecerahan warna tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0…………………………………........……… 105 Lampiran 25. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kecerahan warna tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21....................................................................... 106
90
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sayuran merupakan sumber vitamin, mineral, dan serat gizi yang
dibutuhkan oleh masyarakat. Seiring dengan perkembangan jaman,
kesadaran masyarakat akan kesehatan serta pentingnya nilai gizi dalam
makanan yang mereka konsumsi semakin meningkat. Kesadaran masyarakat
akan pola hidup sehat menyebabkan kebutuhan akan sayuran meningkat
juga. Peningkatan ini dapat dilihat dari semakin tingginya permintaan akan
sayuran yang bermutu tinggi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat baik di
dalam maupun di luar negeri. Pasar luar negeri dan pasar modern
(supermarket, hypermarket, hotel dan restoran) menuntut adanya sayuran
segar yang bermutu tinggi, yakni memiliki penampakan baik, relatif tahan
lama, dan tidak cepat layu selama penyimpanan. Kualitas sayuran tersebut
hanya mungkin dipenuhi dengan adanya penanganan pasca panen yang baik
termasuk usaha untuk dapat memperpanjang tingkat kesegaran.
Ada berbagai cara yang dapat dilakukan untuk menghambat
kerusakan sayuran antara lain dengan cara melakukan modifikasi kemasan
sayuran dan penyimpanan dengan suhu rendah. Salah satu cara yang juga
dapat dilakukan untuk memperpanjang masa simpan sayuran, namun tetap
dapat mempertahankan mutu, adalah dengan mengaplikasikan edible film
pada sayuran tersebut. Edible film sangat berpotensi untuk meningkatkan
shelf life dari sayuran karena secara teori pengaplikasian edible film akan
membentuk suatu coating yang mampu berperan sebagai barrier agar tidak
kehilangan kelembaban, bersifat permeabel terhadap gas-gas tertentu, serta
mengontrol migrasi komponen-komponen larut air yang dapat menyebabkan
perubahan pigmen dan komponen nutrisi sayuran ( Krochta, et al., 1994).
Pengaplikasian edible coating yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah pembuatan edible film yang berasal dari gel tanaman Aloe vera. Aloe
vera merupakan tanaman serbaguna yang akhir-akhir ini, selain digunakan
sebagai bahan baku industri shampoo (kosmetik), juga mulai diolah menjadi
aneka produk makanan. Aloe vera juga telah dilaporkan mengandung
91
beberapa senyawa bioaktif yang bersifat antimikroba dan dapat
menyembuhkan luka jaringan sehingga diharapkan pada pengaplikasian gel
Aloe vera sebagai edible coating mampu mempertahankan mutu serta
memperpanjang masa simpan sayuran tersebut. Aplikasi gel Aloe vera
sebagai edible coating telah dicoba sebelumnya pada buah anggur dengan
menggunakan gel Aloe vera yang dilarutkan dengan sejumlah air (Valverde,
et al., 2005). Sayuran yang akan dijadikan sebagai objek penelitian ini
adalah sayuran tomat karena mudah untuk ditanam, bersifat responsif
terhadap berbagai perlakuan eksperimen, dan sangat berpotensi untuk
dikomersialkan baik didalam maupun luar negeri.
B. TUJUAN DAN MANFAAT
a. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mempelajari pembuatan edible film
dari gel tanaman lidah buaya ( Aloe vera L. ) dan pengaruhnya
terhadap tomat serta untuk mempertahankan mutu dan
memperpanjang masa simpan tomat tersebut.
b. Manfaat Penelitian
Dengan dilakukannya penelitian ini, diharapkan diperoleh
teknologi proses penanganan pasca panen sayuran yang dapat
diaplikasikan pada skala usaha kecil menengah sehingga dapat
meningkatkan daya saing produk sayuran Indonesia di pasar global.
92
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. TOMAT
1. Botani Tomat
Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) merupakan
tumbuhan setahun yang biasanya tumbuh di dataran tinggi. Tanaman
tomat memiliki morfologi seperti semak atau tanaman perdu dan
tingginya dapat mencapai 2 m. Daerah perakaran dapat mencapai 1.5
m, warna batang hijau dan permukaannya ditutupi oleh bulu. Daun
tomat merupakan daun majemuk dengan jumlah 5-9 helai, berbentuk
oval, sisi-sisinya bergerigi dan menyirip dengan ukuran panjang 15-30
cm serta lebar 10-25 cm. Bunga tomat bersifat hemafrodit dengan lima
helai kelopak berwarna hijau dan lima helai mahkota bunga yang
berwarna kuning (Salasa, 2005)
Menurut Tugiyono (1993), berdasarkan bentuk buahnya
tomat komersial dibedakan atas beberapa tipe, yakni tomat biasa
(Lycopersicon commune) yang buahnya berbetuk bulat pipih dan tidak
teratur, tomat kentang (Lycopersicon grandifolium) dengan buah yang
berbentuk padat, besar, dan menyerupai apel berukuran kecil, tomat
gondol (Lycopersicon validium) dengan buah yang berbentuk agak
lonjong, keras, dan berkulit tebal, serta tomat apel (Lycopersicon
pyriforme) dengan buah yang berbentuk bulat, kuat, sedikit keras, dan
menyerupai apel.
Secara sistematis, tanaman tomat dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Sub-divisi : Angiospermae
Kelas : Dycotiledone
Ordo : Tubiflorae
Famili : Solanaceae
Genus : Lycopersicon
Spesies : Lycopersicon esculentum Mill.
93
Tanaman tomat dapat tumbuh dengan baik jika ditanam
pada tanah yang gembur, mengandung banyak humus, dan sedikit
mengandung pasir, kadar keasamannya (pH) antara 5-6, serta dengan
pengairan yang cukup. Suhu yang sesuai untuk pertumbuahan tanaman
tomat adalah 20-30° C pada siang hari dan 18-24° C (Rubatzky dan
Yamaguchi, 1997).
Tomat merupakan sayuran buah yang banyak dikonsumsi
oleh manusia, baik dalam keadaan segar maupun setelah diolah
terlebih dahulu, karena banyak mengandung vitamin, mineral, dan
antioksidan. Kandungan zat gizi pada buah tomat secara lengkap dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan dan komposisi buah tiap 100 gram bahan yang
dapat dimakan*
*Sumber : Direktorat Gizi Depkes RI (1981)
Menurut SNI Tomat Segar No. 01-3162-1992, standar mutu
buah tomat segar komersial didasarkan, antara lain, pada bobot,
ukuran, warna, tingkat kematangan, kotoran, dan kebusukan.
Kandungan Zat
Gizi
Macam Tomat
Buah muda Buah masak Sari buah
Energi (kal)
Protein (g)
Lemak (g)
Karbohidrat (g)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Zat besi (mg)
Vitamin A (SI)
Vitamin B1 (mg)
Vitamin C (mg)
Air (g)
23
2
0.70
2.30
5
27
0.50
320
0.07
30
93
20
1
0.30
4.20
5
27
0.50
1500
0.06
40
91
15
1
0.20
3.50
7
15
0.40
600
0.06
10
94
94
2. Pasca-panen Tomat
Pemanenan buah tomat pada umumnya dilakukan saat
tanaman berumur 70-100 hari setelah tanam. Waktu pemanenan ini
juga ditentukan berdasarkan varietas, tujuan pemasaran, dan waktu
pengangkutan. Setelah panen, tomat lebih mudah mengalami
kerusakan, baik secara fisik maupun kimia. Produksi tomat di
Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun, tetapi jumlah
tomat yang rusak, selama penyimpanan dan pengangkutan,
mencapai 50% dari produksi tomat pertahunnya (Tugiyono, 1993).
Oleh karena itu, parameter-parameter yang mempengaruhi proses
pemasakan buah selama penyimpanan dan pengangkutan setelah
panen perlu diperhatikan untuk mempertahankan standar mutu
buah tomat komersial siap konsumsi. Standar mutu buah tomat
pasca-panen amat dipengaruhi oleh faktor biologis dan faktor
lingkumgan selama proses pematangannya. Faktor biologis
meliputi laju respirasi, produksi etilen, serta laju transpirasi
(kehilangan air). Faktor lingkungan meliputi suhu, kelembaban,
dan komposisi atmosfer sekitar.
Respirasi merupakan suatu proses pemecahan unsur-unsur
organik seperti karbohidrat, protein dan lemak menjadi energi.
Pemecahan substrat dasar ini menggunakan oksigen (O2) dan
menghasilkan karbondioksida (CO2). Laju respirasi berbanding
lurus dengan laju penurunan mutu produk yang dipanen. Respirasi
dipengaruhi oleh faktor lingkungan dimana produk tersebut
disimpan, misalnya cahaya, tekanan bahan kimia seperti fumigan,
radiasi, tekanan air, tingkat pertumbuhan, patogen perusak.
Sedangkan faktor yang paling penting dalam pasca panen adalah
suhu, komposisi atmosfir, dan tekanan fisik (Saltveit, 1996).
Pantastico (1986), melaporkan bahwa laju respirasi
merupakan petunjuk yang baik untuk mengetahui daya simpan
95
buah setelah panen karena dapat menggambarkan proses
metabolisme buah. Pola respirasi buah dibagi menjadi dua
kelompok, yakni buah klimakterik dan buah non-klimakterik. Buah
tomat termasuk buah dengan pola respirasi klimakterik, yaitu pola
respirasi yang ditandai dengan terjadinya peningkatan laju respirasi
dan produksi etilen secara cepat dan bersamaan selama proses
pematangan (Rhodes, 1986). Menurut Muchtadi dan Sugiyono
(1992), laju respirasi rendah selama periode pra-klimakterik, lalu
selama periode klimakterik laju respirasi akan meningkat dengan
cepat hingga maksimum dan pematangan buah pun dimulai.
Kemudian, laju respirasi akan turun kembali pada saat memasuki
fase pasca klimakterik, proses sintesis praktis terhenti, proses
dekomposisi menjadi aktif, dan buah mulai mengalami
pembusukan. Puncak respirasi klimakterik tomat terjadi pada
tingkat merah jambu tua (Pantastico, 1986).
Etilen merupakan suatu gas yang dihasilkan secara alami
dari metabolisme tanaman dan dapat mempengaruhi proses
fisiologis tanaman tersebut. Produksi etilen erat kaitannya dengan
aktivitas respirasi, yakni apabila produksi etilen meningkat maka
aktivitas respirasi juga akan meningkat, yang ditandai dengan
meningkatnya penyerapan oksigen (Kartasaputra, 1989). Etilen
dapat menginduksi perubahan dalam permeabilitas dari membran
mitokondria, sehingga menyebabkan peningkatan pergerakan dari
ATP. Peningkatan pergerakan ATP ini dapat menginduksi
beberapa reaksi yang dapat meningkatkan laju respirasi.
Peningkatan laju respirasi yang terjadi akan meningkatkan kembali
produksi etilen pada buah, namun ada satu fase tertentu di dalam
proses pematangan buah tersebut dimana produksi etilen akan
menurun (Salasa, 2005).
Buah tomat akan mengalami perubahan-perubahan, baik
secara fisik maupun kimia, seiring dengan proses pematangannya.
96
Perubahan kimia yang terjadi selama proses pematangan antara
lain :
1. Perubahan warna
Warna hijau pada buah tomat yang belum matang
merupakan warna dari klorofil hasil fotosintesis selama masa
pematangan buah (Hobson dan Davies, 1971). Ketika
memasuki tahap pematangan, tomat akan memproduksi lebih
banyak pigmen karoten dan xantofil sehingga warnanya lebih
terlihat jingga seiring dengan semakin menurunnya kandungan
klorofil. Warna buah akan semakin merah seiring dengan
semakin matangnya buah tomat tersebut, hal ini terjadi karena
produksi komponen likopen yang juga semakin meningkat
(Hobson dan Davies, 1971). Pengelompokan warna buah tomat
berdasarkan tingkat kematangannya dapat dilihat pada Gambar
1 di bawah ini.
Gambar 1. Perbandingan tingkat kematangan tomat berdasarkan
warna
2. Perubahan karbohidrat menjadi gula
Karbohidrat yang terkandung dalam buah tomat akan
terhidrolisis menjadi glukosa, fruktosa, dan sukrosa selama
proses pematangan buah, namun setelah itu kandungan gulanya
akan menurun karena telah melewati batas kematangannya
(Hobson dan Davies, 1971).
Green Breakers Turning Pink Light Red Red
Fase
hijau
Fase
masak
hijau
Fase pecah
warna
Fase matang
97
3. Perubahan kandungan asam-asam organik
Asam-asam organik yang terkandung dalam buah tomat
akan semakin berkurang seiring dengan proses pematangan
tomat, hal ini dikarenakan sel buah tomat yang sudah
berkurang kemampuannya untuk memproduksi asam-asam
tersebut. Selain itu, asam-asam organik ini juga akan berkurang
selama penyimpanan (Barkey, 1998).
4. Perubahan kandungan asam amino
Selama proses pematangan, total asam amino bebas
relatif tetap, namun kandungan asam aspartat dan asam
glutamat meningkat tajam (Hobson dan Davies, 1971).
5. Perubahan kandungan protein (Hobson dan Davies, 1971).
Kandungan total nitrogen pada tomat selama pematangan
dilaporkan secara berbeda-beda. Yu et al. (1967) melaporkan
bahwa total nitrogen akan meningkat seiring dengan pematangan,
tetapi data yang diberikan oleh para peneliti ini tidak konsisten.
Rowan et al. (1958) menyatakan bahwa sebelum respirasi
mencapai puncaknya, kandungan total nitrogen tomat akan
meningkat namun akan segera turun drastis segera setelah puncak
respirasinya. Data bukti objektif penelitian yang dilakukan oleh
Rowan et al. ini juga masih tidak konsisten
6. Perubahan komponen volatil
Substansi pereduksi komponen volatil akan meningkat
seiring dengan proses pematangan buah (Hobson dan Davies,
1971).
98
7. Pembusukan akibat adanya kontaminasi mikroba
Mikroba kontaminan yang sering terdapat pada buah
tomat segar antara lain Enterobacter, Alternaria, Penicillium,
Cladosporium, Fusarium, dan Bortrytis cinerea (Beuchat,
1998).
Transpirasi adalah proses keluarnya air dari jaringan
tanaman yang merupakan penyebab utama dari kerusakan sayuran
sehingga kesegaran sayuran akan menurun. Kehilangan air dapat
menyebabkan penyusutan secara kualitas dan kuantitas sayuran
(kekerutan, pelunakan, hilangnya kerenyahan, dan susut bobot).
Laju transpirasi dipengaruhi faktor internal meliputi karakteristik
morfologi, rasio luas permukaan dan volume, luas permukaan yang
terinfeksi maupun tingkat kematangan dan faktor eksternal atau
lingkungan meliputi suhu, kelembaban, pergerakan udara (angin)
maupun tekanan udara.
Selain faktor biologis di atas, faktor lingkungan juga
memegang peranan penting untuk mengendalikan kerusakan buah
tomat akibat proses pematangan. Suhu merupakan faktor
lingkungan/eksternal yang sangat mempengaruhi laju penurunan
mutu sayuran. Setiap peningkatan suhu 100 C di atas batas
optimum, kecepatan penurunan mutu dapat meningkat 2 – 3 kali
lipat. Suhu juga mempengaruhi produksi etilen, laju respirasi, dan
transpirasi. Kisaran suhu yang sering digunakan dalam
penangangan pasca panen adalah 0–30oC, dimana peningkatan
suhu menyebabkan respirasi meningkat. Pengontrolan suhu dalam
rangka pengendalian laju respirasi dari produk sangat penting
sehubungan dengan usaha memperpanjang umur simpan dari
komoditas yang disimpan.
Kelembaban akan berpengaruh pada laju transpirasi buah,
tergantung dari suhu dan laju pergerakan udara disekitarnya.
Pengaturan komposisi atmosfer, seperti pengurangan oksigen (O2)
99
dan peningkatan karbondioksida (CO2), selama penyimpanan dapat
mengurangi laju respirasi dan reaksi metabolik lainnya, misalnya
dengan mengaplikasikan Modified Atmosphere Packaging (MAP)
atau Controlled Atmosphere Storage (CAS).
B. ALOE VERA
Aloe vera (lidah buaya) merupakan tanaman yang banyak tumbuh
pada iklim tropis ataupun subtropis dan sudah digunakan sejak berabad-
abad lalu karena fungsi pengobatannya. Secara sistematis, tumbuhan lidah
buaya ini diklasifikasikan sebagai berikut :
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Asparagales
Famili : Asphodelaceae
Genus : Aloe L.
Spesies : Aloe vera L.
Aloe vera L. memiliki ciri-ciri morfologi pelepah daun yang
runcing dan permukaan yang lebar, berdaging tebal, tidak bertulang,
mengandung getah, permukaan pelepah daun dilapisi lilin, bersifat
sukulen, berat rata-rata per pelepah adalah sekitar 0.5-1 kg. Produktivitas
tanaman lidah buaya ini di Kalimantan mencapai 6-7 ton per hektar setiap
kali panen. Masa panen lidah buaya sekitar 10-12 bulan setelah tanam
(BST) sehingga dalam satu tahun tanaman ini dapat dipanen sebanyak 4
kali (3 bulan sekali). Tanaman lidah buaya ini akan terus menghasilkan
pelepah daun hingga 7-8 tahun.
Yaron (1991), melaporkan bahwa pelepah tanaman Aloe vera L. ini
terdiri dari beberapa bagian utama, yakni mucilage gel dan exudate
(lendir). Bagian utama mucilage gel terdiri atas berbagai macam
polisakarida (glucomannan, acetylated glucomannan, acemannan,
galactogalacturan, dan galactoglucoarabinomannan), mineral (calcium,
magnesium, potassium, sodium, iron, zinc, dan chromium), protein (enzim
pectolytic, aloctin dan lectin (glikoprotein), serta jenis protein lain), ß-
100
sitosterol, hidrokarbon rantai panjang, dan ester. Bagian utama exudate
(lendir) terdiri atas yellow sap (lendir berwarna kuning) dan lendir tidak
berwarna. Yellow sap mengandung berbagai komponen seperti
anthraquinone beserta turunannya, aloin (barbaloin), dan aloe-emodin,
sedangkan lendir tidak berwarna mengandung berbagai jenis komponen
fenolik. Struktur molekul acemannan dapat dilihat pada Gambar 2.
Setelah diteliti lebih lanjut ternyata zat-zat yang terkandung dalam
gel Aloe vera tersebut memiliki aktivitas antara lain sebagai anti-mikroba,
penurun kolesterol darah, anti-diabetes, anti-kanker, anti-virus, mencegah
chilling injury, serta dapat menyembuhkan luka dan mencegah peradangan
(anti-inflammatory) (Reynolds dan Dweck, 1999). Aktivitas anti-
inflammatory pada gel lidah buaya ini disebabkan adanya senyawa
mannosa-6-phosphat yang terkandung didalam acemannan lidah buaya
tersebut (Davis et al, 1994). Kandungan senyawa lectin (glikoprotein)
serta acemannan dalam gel lidah buaya ternyata juga dapat menghambat
pertumbuhan sel-sel tumor pada tikus seperti yang telah diteliti oleh
Winters et al. (1981). Fungsionalitas zat terkandung dalam Aloe vera L. ini
juga makin diperkuat dengan adanya penelitian dari Mousa et al. (1999),
yang menyatakan bahwa gel tanaman ini bersifat anti-fungal terhadap
Penicillium digitatum, Penicillium expansum, Bortrytis cinerea, Alternaria
alternate, Aspergillus niger, C. herbarum, dan Fusarium moniliforme.
Komponen bioaktif yang terkandung dalam Aloe vera L. dapat dilihat pada
Tabel 3.
101
Tabel 2. Komponen bioaktif yang terkandung pada Aloe vera L.
*Sumber : Reynolds dan Dweck (1999).
Kini, penggunaan gel Aloe vera telah diaplikasikan di industri
pangan sebagai ingridien pangan fungsional, dan salah satunya dengan
menjadikan gel Aloe vera sebagai bahan untuk membentuk edible coating
alami. Hasil penelitian Valverde et al. (2005) membuktikan bahwa gel
Aloe vera sebagai edible coating dapat berperan baik dalam menahan laju
respirasi dan beberapa perubahan fisiologis akibat proses pematangan pada
buah anggur selama penyimpanan.
Berdasarkan penelitian mereka, edible coating lidah buaya bersifat
higroskopis sehingga mampu menjaga kelembaban dinding sel buah.
Coating dari gel ini juga bersifat permeabel terhadap transfer gas dan air,
serta dapat mencegah chilling injury. Gel lidah buaya ini juga terbukti
dapat mereduksi aktivitas enzim pada dinding sel buah anggur sehingga
mengurangi reaksi browning dan pelunakan tekstur. Selain itu, senyawa
antimikroba yang terkandung dalam gel lidah buaya ternyata mampu
mencegah proliferasi mikroba pada buah anggur tersebut. Umur simpan
buah anggur tersebut akan bertambah ± 4 hari jika disimpan pada suhu
Komponen bioaktif Fungsionalitas
Acemannan
Anti-inflammatory, wound healing, anti-kanker, anti-virus, UV sunburn
Glikoprotein Anti-diabetes, anti-kanker
Aloe emodin Anti-kanker, anti-mikroba
Lectin Anti-inflammatory, wound healing, anti-kanker
Barbaloin dan komponen fenolik
Anti-mikroba
Alomicin Anti-kanker
102
20° C, sedangkan jika disimpan pada suhu 1° C maka umur simpan buah
anggur tersebut akan bertambah hingga ± 28 hari.
Gambar 2. Struktur molekul Acemannan.
C. EDIBLE COATING
Teknik pengawetan buah dan sayuran dengan penggunaan edible
coating sebenarnya sudah dilakukan sejak abad ke-13 di China dimana
buah-buahan pada jaman itu dicelupkan kedalam cairan lilin panas dengan
tujuan fermentasi. Kini, aplikasi edible film digunakan pada buah-buahan
dan sayuran untuk mengurangi terjadinya kehilangan kelembaban,
memperbaiki penampilan, berperan sebagai barrier yang baik (bersifat
selective permeable) untuk pertukaran gas dari produk ke lingkungan atau
sebaliknya, serta memiliki fungsi sebagai antifungal dan antimikroba
(Krochta, et al., 1994). Selain untuk memperpanjang umur simpan, film
atau selaput banyak digunakan karena tidak membahayakan kesehatan
manusia, dapat dimakan serta mudah diuraikan alam (biodegradable).
Edible film dan coating dapat juga diberi warna dan flavor seperti yang
diinginkan. Beberapa edible film komersial Jepang tersedia dalam berbagai
warna dan juga diperkaya dengan vitamin serta zat-zat gizi lainnya untuk
melakukan perbaikan gizi tanpa merusak keutuhan produk pangan
(Rimadianti, 2007)
Menurut Krochta, et al. (1994), secara umum ada tiga kelompok
materi yang biasa digunakan untuk pembuatan film atau coating, yakni
103
protein, polisakarida, dan lipid (termasuk lilin, emulsifier, serta
turunannya). Formulasi yang dibuat harus terdiri dari komponen-
komponen yang memenuhi kriteria GRAS (Generally Recognized As
Safe).
Menurut Donhowe dan Fennema (1994), metode untuk aplikasi
coating pada buah dan sayuran terdiri dari beberapa cara, yakni metode
pencelupan (dipping), pembusaan, penyemprotan (spraying), penuangan
(casting), dan aplikasi penetesan terkontrol. Metode dipping merupakan
metode yang paling banyak digunakan terutama untuk sayuran, buah,
daging, dan ikan, dimana melalui metode ini produk akan dicelupkan
kedalam larutan yang digunakan sebagai bahan coating.
D. EDIBLE FILM BERDASARKAN POLISAKARIDA
Aplikasi edible coating dengan menggunakan bahan dasar
polisakarida banyak digunakan terutama pada buah dan sayuran karena
memiliki kemampuan bertindak sebagai membran permeabel yang selektif
terhadap pertukaran gas CO2 dan O2 sehingga dapat memperpanjang umur
simpan karena respirasi buah dan sayuran tersebut menjadi berkurang
(Krochta, et al., 1994). Penggunaan polisakarida ini biasanya
dikombinasikan dengan beberapa bahan kimia lainnya yang memiliki
fungsi pendukung dalam memperpanjang umur simpan. Misalnya
penambahan asam askorbat dapat mengurangi aktivitas polifenol oksidase
karena asam askorbat mencegah proses polimerisasi sehingga proses
pencoklatan dapat dicegah. Penambahan potassium sorbat akan berperan
sebagai antimikroba, atau penambahan kalsium klorida untuk
memperbaiki tekstur.
Polisakarida larut air merupakan senyawa polimer berantai panjang
yang dilarutkan kedalam air untuk mendapatkan viskositas larutan yang
cukup kental (Glincksman, 1984). Komponen-komponen inilah yang akan
berperan untuk mendapatkan kekerasan, kerenyahan, kepadatan, kualitas
ketebalan, viskositas, adhesivitas, kemampuan pembentukan gel, serta
mouthfeel yang baik. Selain itu, senyawa ini sangat ekonomis bila
104
digunakan untuk industri karena mudah didapat dan nontoxic (Krochta, et
al., 1994). Golongan polisakarida yang banyak digunakan sebagai bahan
pembuatan edible film antara lain selulosa, pati dan turunannya, seaweed
extracts, exudate gums, serta seed gums. Film polisakarida yang rendah
kalori dan bersifat nongreasy dapat digunakan untuk memperpanjang
umur simpan buah dan sayuran dengan cara mencegah dehidrasi, oksidasi,
serta terjadinya browning pada permukaan, mengontrol komposisi gas
CO2 dan O2 dalam atmosfer internal sehingga mampu mengurangi laju
respirasi (Krochta et al., 1994).
Gel Aloe vera berpotensi untuk diaplikasikan dalam teknologi
edible coating, karena gel tersebut terdiri dari polisakarida yang
mengandung banyak komponen fungsional yang mampu menghambat
kerusakan pasca panen produk pangan segar, seperti acemannan yang
memiliki aktivitas antiviral, antidiabetes, antikanker, dan antimikroba,
serta meningkatkan proliferasi sel-sel yang terluka. Selain itu, gel Aloe
vera juga mampu menjaga kelembaban dengan cara mengontrol
kehilangan air dan pertukaran komponen-komponen larut air (Dweck dan
Reynolds, 1999). Gel Aloe vera memiliki struktur yang alami sebagai gel
sehingga mudah untuk diaplikasikan sebagai edible film serta murah, tetapi
kendalanya adalah reologi gel Aloe vera yang mudah menjadi encer
sehingga harus ditambahkan filler dari bahan alami lain untuk
mempertahankan konsistensi gelnya.
E. ISOLAT PROTEIN KEDELAI
Protein adalah suatu senyawa makromolekul yang terdiri dari
rantai residu asam amino yang dihubungkan dengan ikatan peptida dan
memiliki berat molekul lebih besar dari 10.000 Da. Selain asam amino,
protein juga mengandung komponen asam amino seperti lemak,
karbohidrat, vitamin, dan lain-lain. Senyawa protein ini merupakan
komponen utama dari kedelai. Protein kedelai terdapat dalam jaringan
kotiledon biji kedelai, dan pada tingkat subseluler protein tersebut
105
terdistribusi didalam bagian-bagian sel yang disebut sebagai protein tubuh
serta tersebar pula di sekitar sitoplasma (Wibowo, 1996).
Protein kedelai dapat digolongkan sebagai globulin cadangan dan
protein biologis aktif (Meyer dan Williams, 1977). Globulin disebut
sebagai protein cadangan karena tidak memiliki aktivitas biologis,
sedangkan protein lainnya merupakan enzim-enzim intraseluler
(lipoksigenase, urease, amilase), hemaglutinin, protein inhibitor, dan
lipoprotein membran (Kinsella, 1979). Sampai kini protein kedelai belum
sepenuhnya teridentifikasi. Komponen utama dari protein cadangan inilah
yang berpengaruh terhadap mutu produk pangan yang dihasilkan terutama
sifat fisik dan nilai gizinya (Mori et al., 1981).
Penggunaan protein kedelai dalam industri pangan dibedakan
menjadi tiga kelompok berdasarkan kandungan proteinnya, yakni tepung
atau bubuk, konsentrat protein, dan isolat protein kedelai. Isolat potein
kedelai merupakan bentuk protein kedelai yang paing murni karena
kandungan proteinnya melebihi 90%, dan produk ini hampir bebas dari
karbohidrat, serat, serta lemak sehingga sifat fungsionalnya jauh lebih baik
bila dibandingkan dengan konsentrat protein ataupun tepung bubuk
kedelai (Wolf, 1975).
Kinsella (1976) melaporkan bahwa protein kedelai terbagi menjadi
empat bagian berdasarkan sifat sedimentasinya, yakni (a) fraksi 2S; terdiri
dari anti-tripsin dan sitokinin (8%), (b) fraksi 7S; terdiri dari
lipoksigenase, amilase, dan globulin (35%), (c) fraksi 11S; terutama terdiri
dari globulin (52%), serta (d) fraksi 15S; terdiri dari polimer protein (5%).
Protein kedelai adalah protein yang paling lengkap susunan asam
aminonya, dengan kualitas protein yang hampir menyamai kualitas protein
hewani (Wilson et al., 1975). Protein kedelai mempunyai susunan asam
amino esensial yang menyerupai susunan asam amino esensial protein
susu (Smith dan Circle, 1980), sedangkan menurut Liener (1978)
kandungan asam amino esensial protein kedelai tidak berbeda jauh dengan
komposisi asam amino standar FAO/WHO, dimana asam amino metionin
106
sebagai pembatas. Komposisi asam amino produk-produk protein kedelai
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi asam amino produk-produk protein kedelai*
*Wolf dan Cowan (1996).
Menurut Hurrel (1980), protein merupakan komponen yang
paling aktif dari kebanyakan bahan pangan. Protein dapat bereaksi
dengan gula pereduksi, lemak, zat-zat hasil oksidasi, dan lain-lain.
Hal ini dapat menyebabkan turunnya nilai gizi, munculnya flavor
yang tidak diinginkan, reaksi browning, bahkan timbulnya zat
toksik. Kemampuan protein untuk mengikat komponen pangan lain
penting untuk formulasi makanan ikatan ini menyebabkan gaya
adhesi, pembentukan serat dan film, serta peningkatan viskositas.
Sifat fungsional protein dapat didefinisikan sebagai sifat-sifat
fisiko-kimia di luar sifat nutrisi yang memungkinkan protein
menyumbang karakteristik tertentu pada suatu makanan (Cheftel et
Asam amino g asam amino dalam 16 g N tepung konsentrat isolat
Esensial :
Lisin Metionin
Sistin Triptofan Treonin Isoleusin Leusin
Fenilalain Valin
Non-esensial : Arginin Histidin Tirosin Serin
Glutamat Aspartat Glisin Alanin Prolin
Nitrogen
6.9 1.6 1.6 1.3 4.3 5.1 7.7 5.0 5.4
8.4 2.6 3.9 5.6
21.0 12.0 4.5 4.5 6.3 2.1
6.3 1.4 1.6 1.5 4.2 4.8 7.8 5.2 4.9
7.5 2.7 3.9 5.7
19.8 12.0 4.4 4.4 5.2 1.9
6.1 1.1 1.0 1.4 3.7 4.9 7.7 5.4 4.8
7.8 2.5 3.7 5.5 20.5 11.9 4.0 3.9 5.3 2.0
107
al., 1985), yang didasarkan pada perilaku komponen protein bila
berinteraksi dengan komponen lain di dalam sistem pangan yang
kompleks selama persiapan, pengolahan, penyimpanan, hingga
konsumsi (Philips dan Beuchat, 1981).
Sifat-sifat fungsional protein dapat diklasifikasikan menjadi
tiga kelompok utama, yaitu (1) sifat hidrasi (interaksi protein-air)
seperti daya ikat air, kebasahan, swelling, daya lekat, kekentalan,
dan kelarutan, (2) sifat yang berhubungan dengan interaksi potein-
protein seperti pembentukan gel, serta (3) sifat-sifat permukaan
seperti emulsifikasi, pembentukan buih, dan tegangan permukaan
(Cheftel et al., 1985).
Sifat-sifat fungional protein dipengaruhi oleh tiga faktor,
yakni faktor intrinsk, lingkungan, dan perlakuan selama proses.
Faktor intrinsik protein meliputi komposisi protein, bentuk protein,
serta jumlah dan keragaman komponen penyusun protein. Faktor
lingkungan meliputi ketersediaan air, ion, lemak, gula, suhu, dan
pH lingkungan. Perlakuan selama proses yang dapat
mempengaruhi sifat fungsional protein adalah pemanasan,
pengeringan, pendinginan, serta modifikasi protein. Sifat-sifat
fungsional ini sangat potensial untuk dimanfaatkan dalam industri
pangan seperti daya ikat air, kekentalan, emulsifikasi, serta
kemampuan untuk membuat film dan gel (Kinsella, 1979).
Lapisan film atau coating dari isolat protein adalah hasil
polimerisasi protein dan evaporasi pada permukaan antara coating
dan udara. Molekul protein pada coating dibentuk melalui ikatan
disulfida, interaksi hidrofobik, dan ikatan hidrogen. Rantai protein
hdirofobik lebih mengarah ke bagian luar, sedangkan rantai protein
hidrofobik mengarah ke bagian dalam larutan coating (Okamoto,
1978). Fraksi 11S dan 7S dari protein kedelai memiliki
kemampuan membentuk polimer (polimerisasi). Hal ini
mengindikasikan bahwa polimerisasi dari protein berfungsi untuk
menyediakan tempat terjadinya ikatan disulfida. Pemanasan akan
108
membantu terjadinya polimerisasi protein kedelai dengan
menghancurkan struktur protein sehingga gugus sulfidril dan grup
hidrofobik dapat keluar dari struktur tersier protein. Selain itu,
kondisi alkali juga membantu polimerisasi karena alkali dapat
memutuskan rantai polipeptida dan mendorong pertukaran
sulfidril-disulfida (Kelley dan Pressey, 1966). Gambar struktur
protein kedelai dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur protein kedelai
F. INTERAKSI PROTEIN-POLISAKARIDA DALAM PEMBUATAN
EDIBLE COATING
Karbohidrat secara alami dapat sedikit berinteraksi dengan protein.
Menurut Farnum et al. (1976), interaksi antara protein dan karbohidrat
dapat terjadi karena adanya pembentukkan ikatan ionik dan hidrogen di
dalam struktur film, sedangkan Samanth et al. (1993), menjelaskan bahwa
interaksi polisakarida-protein dapat terjadi karena pembentukan kompleks
elektrostatik. Contohnya pada polisakarida anionik, CMC, akan berekasi
kuat pada pH 6 dengan mioglobin daripada dengan Bovine Serum Albumin
(BSA), dimana pada pH tersebut mioglobin bermuatan positif sedangkan
BSA bermuatan negatif. Ketergantungan muatan ini menyarankan adanya
keterlibatan grup karboksilat dari polisakarida dan residu asam amino
yang bermuatan positif seperti έ-amino, α-amino, guanidium, dan imidizol.
109
Kekuatan interaksi yang sebenarnya sangat tergantung pada jumlah dan
distribusi sisi-sisi tersebut. Proses denaturasi akibat pemanasan atau
penambahan alkali dapat menyebabkan jumlah sisi-sisi tersebut meningkat
karena terbebaskan dari strukturnya sehingga dapat memaksimalkan
interaksi dan menghasilkan kompleks yang stabil (Imeson et al., 1977).
G. PLASTICIZER
Plasticizer didefinisikan sebagai substansi non-volatil, memiliki
titik didih yang tinggi, dan jika ditambahkan ke dalam suatu materi dapat
mengubah sifat fisik dan/atau sifat mekanik materi tersebut. Plasticizer
diteorikan dapat mengurangi gaya intermolekuler sepanjang rantai
polimer, sehingga mengakibatkan fleksibilitas edible film meningkat,
namun juga mengakibatkan turunnya permeabilitas film tersebut (Banker,
1966).
Sedangkan menurut Lieberman dan Gilbert (1973), senyawa poliol
seperti gliserol dan sorbitol efektif sebagai plasticizer karena
kemampuannya mengurangi ikatan hidrogen internal pada ikatan
intermolekuler sehingga dapat melunakkan struktur film, meningkatkan
mobilitas rantai biopolimer, dan memperbaiki sifat mekanik film. Gliserol
dan sorbitol adalah bahan humektan, dan bagian dari aksi plasticizing
berasal dari kemampuan mereka untuk menahan air pada edible film
tersebut.
Gliserol adalah senyawa alkohol polihidrat dengan tiga buah gugus
hidroksil dalam satu molekul. Rumus kimia gliserol adalah C3H8O3
dengan nama kimia 1,2,3-propanatriol. Gliserol memiliki berat molekul
92.10 gr/mol, massa jenis 1.23 g/cm3, titik didihnya 204°C, berbentuk
cair, tidak berbau, tidak berwarna, higroskopis, dan dapat larut dalam air
serta alkohol (Kumalasari, 2005). Gliserol dihasilkan sebagai produk
samping dalam pembuatan sabun. Penambahan gliserol dalam pembuatan
edible film akan meningkatkan fleksibilitas dan permeabilitas film
terhadap gas, uap air, serta gas terlarut. Selain itu, gliserol juga befungsi
sebagai penyerap air dan pembentuk kristal (Kumalasari, 2005).
110
Sorbitol atau biasa disebut D-glusitol (C6H14O6) merupakan gula
alkohol hasil reduksi dari karbohidrat yang memiliki gugus poliol. Sorbitol
biasanya dijadikan sebagai gula pengganti pada makanan diet karena
memiliki rasa yang tidak begitu manis, yakni 60% dari manis gula
sukrosa. Sorbitol juga banyak digunakan sebagai cryoprotectant pada
pembuatan surimi. Sorbitol mudah larut air dan mempunyai sifat sangat
stabil terhadap asam, enzim, dan suhu mencapai 14°C (Kumalasari, 2005).
McHugh et al. (1994), menyebutkan bahwa mereka telah meneliti
pengaruh plasticizer seperti gliserin (gliserol), sorbitol, dan polietilen
glikol (PEG) pada edible film dari protein whey. Penelitian tersebut
membuktikan bahwa, sorbitol memberikan fleksibilitas tertinggi per unit
peningkatan permeabilitas uap air di antara semua plasticizer yang
diamati. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan plasticizer untuk
mengikat air ke dalam sistem edible film tersebut antara lain komposisi,
bentuk, serta ukuran dari plasticizer yang digunakan (Krochta, 1994).
H. PENGEMASAN
Pengemasan sayuran segar adalah suatu usaha menempatkan
sayuran segar ke dalam suatu wadah yang memenuhi syarat, dan dengan
tujuan agar mutunya tetap atau hanya mengalami sedikit penurunan
(Sacharow dan Griffin, 1980). Menurut Hardenburg (1975), pengemasan
sayuran segar dapat mengurangi kehilangan kandungan air (pengurangan
berat) sehingga dapat mencegah terjadinya dehidrasi, terutama bila
digunakan bahan pengemas yang kedap uap air. Kehilangan kandungan air
yang cukup tinggi pada komoditas sayuran akan menyebabkan kelayuan
dan kisut sehingga kesegaran sayuran tersebut akan berkurang serta
memberikan penampakan tekstur yang kurang baik. Oleh karena itu,
pengemasan sayuran harus diarahkan pada penghambatan proses respirasi,
transpirasi, pengendalian perubahan-perubahan fisiko-kimia, dan
kontaminasi mikroorganisme. Penggunaan plastik sebagai bahan
pengemas sayuran sudah banyak digunakan, selain karena terbukti efektif
111
untuk mempertahankan mutu, juga dapat membuat penampilan komoditas
sayuran menjadi lebih menarik (Hall et al., 1975).
Bahan yang dikemas dengan plastik film permeabel merupakan
sistem yang dinamis, dan meliputi dua proses yang terjadi secara
serempak, yaitu proses respirasi serta penyerapan gas yang berhubungan
dengan respirasi tersebut. Oksigen secara terus-menerus digunakan oleh
buah untuk respirasi dan menghasilkan gas CO2, uap air, C2H4, gas-gas
volatil lain, serta energi panas. Hal ini mengakibatkan perbedaan
kandungan O2 antara bagian dalam dan luar kemasan sehingga O2 mulai
terserap masuk ke dalam kemasan. Sebaliknya, kandungan CO2 dan gas-
gas lain di dalam kemasan semakin bertambah dan dalam waktu yang
bersamaan akan merebes keluar kemasan karena terjadi perbedaan
konsentrasi CO2 antara luar dan dalam kemasan (Henig, 1972). Kemudian
Geeson et al. (1985) menegaskan bahwa perubahan konsentasi O2 dan
CO2 tersebut pada suatu saat akan mencapai suatu kondisi kesetimbangan
sehingga tidak lagi terjadi perubahan komposisi O2 dan CO2.
Sifat film kemasan yang cocok untuk penyimpanan buah-buahan
dan sayuran terutama untuk pembentuk atmosfer di dalam kemasan adalah
film-film yang lebih permeabel terhadap O2 daripada CO2. Akan tetapi,
film-film yang banyak tersedia di pasaran lebih permeabel terhadap CO2
daripada O2, sehingga laju akumulasi CO2 dari respirasi lebih sedikit
daripada laju penyusutan O2 (Hall et al., 1975). Menurut Hardenburg
(1975), untuk menghindarkan kemungkinan kerusakan akibat akumulasi
CO2 dan penyusutan O2 atau kemungkinan timbulnya bau serta rasa yang
tidak diinginkan, film-film tersebut harus dilubangi. Hal ini perlu
dilakukan karena dalam kemasan yang tertutup rapat semua O2 bebas akan
segera terpakai habis sehingga respirasi sayuran/buah menjadi anaerobik
dan terbentuk zat-zat seperti alkohol serta CO2 (Hall et al., 1975). Plastik PVC (Polivinil klorida) merupakan bahan kemasan yang
pada umumnya dibuat dari polimer vinil klorida. PVC dapat dibuat
menjadi plastik kemasan yang kaku ataupun fleksibel. Sifat-sifat umum
PVC antara lain memiliki warna yang transparan sampai keruh,
112
permeabilitasnya terhadap uap air yang rendah, tahan terhadap minyak,
mempunyai kekuatan tarik yang tinggi dan tidak mudah sobek, serta dapat
dipengaruhi oleh panas dan sinar ultraviolet (Hanlon, 1971). Menurut
penelitian Supriyanto (1987), kemasan film plastik PVC yang digunakan
untuk mengemas tomat segar memiliki mutu (penampakan) yang lebih
baik bila dibandingkan dengan kemasan film plastik PE (Polietilen) dan
PP (Polipropilen).
I. PENYIMPANAN
Penyimpanan adalah suatu cara menempatkan sayuran, baik yang
sudah dikemas maupun belum, dalam suatu ruangan dan pada suhu serta
kelembaban tertentu untuk proses-proses selanjutnya (Soedibyo, 1985).
Penyimpanan buah-buahan dan sayuran segar dapat memperpanjang umur
simpan serta mempetahankan mutunya (Pantastico et al., 1975). Umur
simpan dapat diperpanjang dengan pengendalian mikroorganisme yang
mungkin timbul setelah panen, mengatur komposisi udara dalam ruang
penyimpanan, penyinaran, dan pendinginan. Penyimpanan dingin
merupakan cara yang paling umum dan ekonomis untuk penyimpanan
jangka panjang bagi produk holtikultura. Penyimpanan dingin biasanya
dilakukan pada suhu dibawah 15°C. Faktor yang perlu diperhatikan dalam
penyimpanan dingin adalah penggunaan temperatur terbaiknya (optimum).
Penyimpanan dingin dapat mengurangi :
1. Kegiatan respirasi dan reaksi metabolisme lainnya,
2. Proses penuaan (aging) karena adanya pematangan, pelunakan
(softening), dan perubahan-perubahan warna serta tekstur,
3. Kehilangan air dan pelayuan,
4. Kerusakan karena bakteri, kapang, dan ragi,
5. Proses pertumbuhan yang tidak dikehendaki, seperti pertunasan
(spouting).
Suhu yang direkomendasikan pada penyimpanan dingin untuk
tomat matang adalah 7-10° C (Batz, 1993). Pantastico (1986), menyatakan
bahwa penyimpanan tomat matang pada suhu 7-10° C dengan kelembaban
113
85-90% dapat mempertahankan mutu tomat selama 1-3 minggu. Fields
(1977), menyatakan bahwa penyimpanan pada suhu 10° C merupakan
suhu yang paling baik untuk penyimpanan tomat karena kerusakan yang
dialami tomat paling minimum.
Bahan yang didinginkan pada suhu lebih rendah dari suhu
optimumnya, dalam tingkat tertentu akan mengalami kerusakan yang
dikenal dengan kerusakan dingin (chilling injury). Gejala kerusakan dingin
terlihat dari adanya kegagalan pematangan, pematangan tidak normal,
pelunakan prematur, kulit terkelupas, pencoklatan pada bibit, peningkatan
pembusukan akibat luka, dan kehilangan citarasa khas. Sensitivitas bahan
terhadap kerusakan dingin berkurang sejalan dengan peningkatan
kematangan bahan (Scoot, 1993).
114
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. ALAT DAN BAHAN
Alat-alat yang digunakan dalam proses aplikasi edible film dari gel
Aloe vera pada sayuran selada adalah wearing blend, timbangan digital halus,
baskom, kulkas, sendok pengaduk, sendok makan, sumpit, sarung tangan
plastik, masker, bunsen, gelas plastik, wadah styrofoam, plastik pembungkus,
talenan plastik, wadah ukuran besar, pisau, serta saringan. Alat-alat yang
digunakan dalam analisis adalah pipet tetes, pipet volumetrik 10 ml, 5ml, dan
2 ml, gelas piala ukuran 100 dan 400 ml, cawan alumunium, cawan porselen,
cawan petri, gelas ukur 10 ml, 100 ml, dan 300 ml, erlenmeyer 100 ml, 300
ml, dan 1000 ml, neraca analitik, inkubator 30 °C, penetrometer, chromameter
Minolta CR-300, pH-meter, refraktometer, hockey stick, toples, dan tabung
reaksi.
Bahan-bahan utama yang digunakan dalam proses aplikasi edible
coating dari gel Aloe vera pada buah tomat adalah tomat segar yang
didapatkan dari pasar induk Kemang Bogor, daun Aloe vera, klorin, air
matang, alkohol 70%, aquades, sorbitol, gliserol, dan isolat protein. Bahan-
bahan yang digunakan untuk analisis antara lain aquades, media PCA, PDA,
dan NA cair, serta larutan pengencer.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan beberapa tahap yaitu (i) percobaan
pembuatan gel Aloe vera (ii) pengujian umur simpan gel terhadap mutu
coating, (iii) formulasi gel Aloe vera L. untuk aplikasi coating pada tomat,
serta (iv) penentuan umur simpan tomat segar dengan perlakuan Aloe vera
gel coating, pengemasan, dan suhu. Secara lebih terperinci tahapan
penelitian dijelaskan di bawah ini.
1. Pembuatan Gel dari Pelepah Daun Aloe vera L.
Tahap percobaan ini bertujuan mengembangkan cara
pembuatan gel dengan sifat coating yang baik. Pada tahap ini,
dilakukan pembuatan gel Aloe vera berdasarkan pembuatan minuman
115
Aloe vera menurut He et al. (2003) dan memodifikasinya dengan
memberikan berbagai perlakuan seperti pencucian, pemanasan, serta
penambahan asam. Optimasi teknik pencucian dilakukan untuk
menghilangkan lendir berwarna kuning yang dapat menurunkan mutu
gel, seperti terjadinya perubahan warna gel menjadi lebih kuning dan
timbulnya bau tidak sedap. Perlakuan pemanasan dengan suhu 80°C
selama 5 menit dan penambahan asam sitrat sebanyak 4% yang juga
disertai pemansan dilakukan untuk mengurangi jumlah mikroba awal
gel Aloe vera. Parameter yang diamati adalah penampakannya secara
fisik, meliputi warna, bau, serta kekentalan. Prosedur pembuatan gel
Aloe vera dibuat berdasarkan hasil yang didapatkan dari tahap ini, dan
dapat dilihat pada Gambar 4.
@
Daun Aloe vera
Sortasi dan pencucian dengan air mengalir
Perendaman dalam larutan klorin 200 ppm selama 30
menit
Pembilasan dengan air matang
Trimming dan Filleting
Pembilasan dengan air matang untuk menghilangkan yellow sap (lendir berwarna kuning)
Optimasi pencucian
116
@
Gambar 4. Diagram alir pembuatan gel Aloe vera
2. Pengujian Umur Simpan Gel terhadap Mutu Coating
Percobaan ini bertujuan mengetahui daya tahan gel selama
penyimpanan pada suhu <10°C dalam refrigerator hingga 7 hari.
Selain itu, percobaan ini juga dilakukan untuk mengetahui pengaruh
penyimpanan gel tersebut terhadap mutu coating gel yang
diaplikasikan pada buah tomat segar. Coating dilakukan dengan
metode pencelupan (dipping). Parameter yang diamati adalah susut
bobot dan penurunan tingkat kesegaran yang terjadi pada tomat selama
penyimpanan pada suhu ruang. Data dari hasil pengukuran tersebut
kemudian diuji secara statistik menggunakan tabel ANOVA metode
Duncan, dan dibantu dengan media pengolahan SPSS. Diagram alir
pencelupan tomat ke dalam larutan coating dapat dilihat pada Gambar
5.
Pemanasan atau Penambahan disertai Pemansan
Gel Aloe vera
Penghancuran dengan crusher
Pengemasan dan Penyimpanan
117
Gambar 5. Diagram alir pengaplikasian Aloe vera edible coating pada buah tomat
Coating gel dengan berbagai formula
Penirisan
Buah tomat
Pengamatan secara periodik
Coating dengan teknik pencelupan
Pengemasan dan penyimpanan pada
suhu ruang dan dingin
Pencucian
Buah tomat bersih
118
3. Formulasi Gel Aloe vera L.untuk Aplikasi Coating pada Tomat
Tahap ini bertujuan melihat pengaruh coating gel Aloe vera
dengan penambahan isolat protein, gliserol, dan sorbitol yang
diaplikasikan pada buah tomat, sehingga dihasilkan edible coating
yang baik. Buah tomat segar dicelupkan ke dalam empat formula
larutan coating yang berbeda, yakni (a) larutan gel Aloe vera murni
(tanpa penambahan), (b) larutan gel Aloe vera dengan penambahan
isolat protein 1%, (c) larutan gel Aloe vera dengan penambahan isolat
protein 1% dan gliserol 2%, serta (d) larutan gel Aloe vera dengan
penambahan isolat protein 1% dan sorbitol 2 ml/45 ml ISP.
Pengamatan dilakukan terhadap parameter susut bobot buah tomat
selama penyimpanan pada suhu ruang dan melihat penurunan tingkat
kesegaran buah tersebut. Data dari hasil pengukuran tersebut kemudian
diuji secara statistik menggunakan tabel Univariate Analysis of
Variance dan uji lanjut Duncan yang dibantu dengan media
pengolahan SPSS. Formula gel terbaik yang didapatkan dari tahapan
ini akan digunakan pada tahap selanjutnya.
4. Penentuan Umur Simpan Tomat Segar dengan Perlakuan Aloe vera
Gel Coating, Pengemasan, dan Suhu
Tahapan ini bertujuan mengetahui pengaruh kemasan dan
kondisi suhu penyimpanan yang paling optimum untuk buah tomat
segar yang telah di-coating dengan formula larutan terpilih hasil
penelitian tahap tiga di atas. Setelah dicelup ke dalam larutan coating,
buah tomat tersebut dikemas dalam styrofoam dan dibungkus dengan
plasticized PVC, kemudian disimpan pada suhu ruang serta suhu 1°C.
Pengamatan dilakukan terhadap susut bobot, perubahan warna, tekstur,
perubahan kandungan gula (°B), perubahan pH, dan total mikroba
selama penyimpanan. Data dari hasil pengukuran tersebut kemudian
diuji secara statistik menggunakan tabel ANOVA metode Duncan, dan
dibantu dengan media pengolahan SPSS.
119
C. METODE ANALISIS
1. Analisis Sifat Fisik
a. Susut Bobot (Katamsi, 2004)
Pengukuran susut bobot dilakukan secara gravimetri, yaitu
membandingkan selisih bobot sebelum penyimpanan dengan sesudah
penyimpanan. Rumus :
% Susut bobot = Bobot awal – Bobot akhir x 100%
Bobot awal
b. Warna (Jowitt et al., 1987)
Warna permukaan buah tomat selama penyimpanan diukur dengan
kromameter Minolta CR-300. Skala yang digunakan adalah skala L*a*b
dan Yxy dengan ulangan pengukuran sebanyak tiga kali setiap sampel.
c. Tingkat Kelunakan Tekstur Tomat
Tingkat kelunakan tekstur tomat diukur dengan alat penetrometer
semi-digital dengan menggunakan probe tertentu. Permukaan buah tomat
akan ditusuk jarum probe dengan kecepatan dan berat yang tetap selama
10 detik, sehingga kedalaman lubang yang diakibatkan oleh penusukan
tersebut akan menyatakan kelunakan tekstur buah tomat tersebut.
2. Analisis Sifat Kimia
a. Derajat Keasaman (pH) (AOAC, 1995)
Pengukuran derajat keasaman menggunakan pH meter. Sebelum
digunakan alat distandardisasi dahulu dengan menggunakan larutan buffer
pH 4. Sekitar 25 ml sampel dimasukkan ke dalam gelas piala. Elektroda
pH meter dicelupkan ke dalam sampel, kemudian dilakukan pembacaan
pH sampel setelah dicapai nilai yang tetap.
b. Total Padatan Terlarut (TPT)
Pengukuran TPT menggunakan Hand Refractometer (0-39˚Brix).
Sebelum digunakan alat dibersihkan terlebih dahulu dengan alkohol dan
120
dilap hingga kering. Sampel yang akan diukur kemudian diletakkan
secukupnya pada tempat pembacaan. Kemudian nilai TPT ditunjukkan
oleh angka yang didapat pada batas garis biru dan putih.
3. Uji Mikrobiologi (Fardiaz, 1988)
a. Uji Total Mikroba (TPC)
Sampel di-swab dengan luas permukaan tertentu, kemudian hasil
swab tersebut dimasukkan kedalam larutan pengencer sebanyak 10 ml.
Sebanyak 1 ml sampel yang telah diencerkan dimasukkan ke dalam
masing-masing dua cawan petri (duplo) steril yang selanjutnya dituangkan
media PCA steril yang telah didinginkan hingga suhunya 47-50 °C
sebanyak 10-15 ml dan digoyangkan secara mendatar diatas meja supaya
contoh menyebar rata. Cawan berisi agar yang sudah membeku diinkubasi
dengan posisi terbalik pada suhu 30°C selama 2 hari. Total bakteri
ditetapkan dengan SPC (Standard Plate Count).
Koloni per cm2 =
Jumlah koloni/cawan x 10 x 1 Luas permukaan yang di-swab (cm2)
b. Uji Kapang Khamir
Sampel di-swab dengan luas permukaan tertentu, kemudian hasil
swab tersebut dimasukkan kedalam larutan pengencer sebanyak 10 ml.
Sebanyak 1 ml sampel yang telah diencerkan dimasukkan ke dalam
masing-masing dua cawan petri (duplo) steril yang selanjutnya dituangkan
media APDA steril yang telah didinginkan hingga suhunya 47-50 °C
sebanyak 10-15 ml dan digoyangkan secara mendatar diatas meja supaya
contoh menyebar rata. Cawan berisi agar yang sudah membeku diinkubasi
dengan posisi terbalik pada suhu 30°C selama 2 hari. Total bakteri
ditetapkan dengan SPC (Standard Plate Count).
Koloni per cm2 =
Jumlah koloni/cawan x 10 x 1 Luas permukaan yang di-swab (cm2)
121
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pembuatan Edible Coating dari Gel Lidah Buaya (Aloe vera L.)
Larutan edible coating dibuat dari gel yang terdapat di dalam
pelepah daun lidah buaya. Prosedur pembuatan larutan ini merupakan
modifikasi dari proses pembuatan minuman sari lidah buaya dari metode
yang telah dilakukan oleh He et al. (2003). Metode ini telah dibuat
sedemikian rupa sehingga proses pembuatannya menjadi cukup sederhana,
namun tetap mempertahankan mutu serta komponen-komponen bioaktif
alami yang terdapat di dalam gel tersebut. Selain itu, metode ini juga
telah memenuhi HACCP sehingga kualitas dan keamanan gel yang
dihasilkan cukup terjamin. Dalam pembuatan edible coating dari gel lidah
buaya ini, tahapan yang dilakukan hanya sampai proses homogenisasi saja
dan gel lidah buaya yang telah dihasilkan dari proses tersebut langsung
dikemas, kemudian disimpan.
Tahap pembuatan edible coating dari gel lidah buaya ini dimulai
dari pemilihan (sortasi) pelepah daun lidah buaya. Pemilihan pelepah daun
ini berdasarkan penampakan fisiknya antara lain, tingkat kematangan yang
dapat dilihat dari warna daun yang sudah hijau (tidak kuning), ukuran
daun, ada atau tidaknya kotoran atau penyakit, serta kerusakan fisik seperti
patah atau luka pada jaringan luar daun. Pelepah daun ini harus sudah
diproses dalam jangka waktu 36 jam setelah dipanen untuk menghindari
degradasi komponen-komponen bioaktif yang terkandung didalamnya
(Roberts, 1997). Setelah disortasi, tahapan selanjutnya adalah mencuci
pelepah daun tersebut untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang
menempel pada permukaan daun. Kemudian, pelepah daun lidah buaya ini
direndam dalam larutan klorin dengan konsentrasi 200 ppm selama 30
menit. Tahap perendaman berfungsi untuk mengurangi cemaran mikroba
pada permukaan daun sehingga diharapkan tidak akan ada kontaminasi
silang ke dalam gel lidah buaya yang akan dihasilkan. Setelah direndam,
daun lidah buaya tersebut dibilas dengan air matang untuk menghilangkan
sisa-sisa larutan klorin yang menempel, sehingga tidak ada lagi bau klorin
122
yang menyengat. Di beberapa negara selain Indonesia, seperti USA dan
Uni Eropa tidak memperbolehkan senyawa klorin digunakan sebagai
bahan pencuci untuk komoditi pangan, oleh karena itu senyawa klorin ini
sebaiknya diganti dengan desinfektan pencuci lainnya yang diperbolehkan
FDA, seperti penggunaan asam sitrat dan senyawa anti-mikroba alami
lainnya, untuk mencuci pelepah daun lidah buaya. Hal ini akan menjadi
sangat penting apabila komoditi pangan yang dilapisi dengan gel lidah
buaya ini diekspor ke negara-negara yang sangat ketat peraturannya
mengenai syarat keamanan seperti penggunaan desinfektan klorin untuk
digunakan sebagai pencuci produk pangan tersebut.
Tahapan selanjutnya adalah trimming dan filleting daun lidah
buaya. Pada proses ini, bagian pangkal, ujung, serta sisi-sisi daun yang
berduri, dan semua kulit daun dibuang dengan menggunakan pisau.
Pembuangan bagian-bagian tersebut perlu dilakukan untuk menghilangkan
yellow sap (senyawa anthraquinone beserta turunannya) dan dari proses ini
diharapkan hasil potongan gel lidah buaya tanpa kulit yang bersih. Namun,
seringkali yellow sap ini masih belum hilang secara sempurna sehingga
dapat mengkontaminasi gel lidah buaya yang dihasilkan. Oleh karena itu,
ada 2 hal yang harus dilakukan, yakni dengan membasuh ujung-ujung
bekas sayatan selama tahap filleting, serta membilas bagian pangkal gel
yang telah didapatkan dengan air matang. Yellow sap penting untuk
dihilangkan karena jika gel yang telah dihasilkan masih tercemar oleh
yellow sap ini maka warna gelnya akan berubah menjadi kekuningan,
baunya menjadi tidak sedap, memiliki efek laxative, serta dapat
mempengaruhi umur simpan dari gel tersebut. Pada tahap percobaan ini
belum diopltimalkan cara mendapatkan gel lidah buaya dengan rendemen
yang sesedikit mungkin. Hal ini cukup penting mengingat banyaknya
kandungan senyawa bioaktif dalam gel lidah buaya tersebut yang dapat
mempengaruhi mutu dari coating gel yang dihasilkan, sehingga
kehilangan lendir (tidak berwarna) dan terbuangnya bagian mucilage gel
lidah buaya selama proses trimming dan filleting perlu diminimalisasi.
123
Potongan gel lidah buaya yang dihasilkan dari tahapan di atas
kemudian dihancurkan dengan menggunakan wearing blender selama
tidak lebih dari 10 menit. Jika proses penghancuran berlangsung terlalu
lama maka akan terjadi reaksi pencoklatan enzimatis dalam gel lidah
buaya tersebut dan warnanya akan menjadi berubah. Dari tahap ini,
didapatkan larutan gel lidah buaya yang sudah siap untuk dijadikan
coating. Larutan gel lidah buaya tersebut kemudian dikemas dan disimpan
pada suhu dingin (5°C).
Pada tahap ini, dilakukan juga percobaan pemanasan dan
penambahan asam sitrat pada larutan gel lidah buaya yang telah dihasilkan
dengan tujuan untuk mereduksi mikroba yang terdapat dalam larutan gel
tersebut sehingga dapat memperpanjang umur simpannya. Perlakuan
pemanasan dilakukan pada suhu 80°C selama 5 menit dan perlakuan
penambahan asam sitrat sebanyak 4% dilakukan setelahnya. Hasil yang
didapatkan dari percobaan ini dapat dilihat pada Gambar 6 dibawah ini.
(a) Larutan gel lidah buaya tanpa perlakuan
(b) Larutan gel lidah buaya (c) Larutan gel lidah buaya
dengan pemanasan dengan penambahan asam
Gambar 6. Perlakuan pemanasan dan penambahan asam pada gel
lidah buaya.
124
Berdasarkan gambar hasil penampakan fisik kedua perlakuan di
atas dapat disimpulkan bahwa kedua perlakuan tersebut tidak efektif untuk
digunakan karena merusak mutu larutan gel lidah buaya yang dihasilkan.
Hal ini terlihat dari adanya endapan yang terjadi pada kedua perlakuan di
atas serta adanya perubahan warna larutan menjadi kecoklatan pada
perlakuan pemanasan. Endapan ini terjadi akibat pemanasan sehingga
meyebabkan degradasi komponen polisakarida karena putusnya ikatan
ionik yang mendukung struktur polisakarida tersebut. Warna coklat
terbentuk karena proses pemanasan mempercepat reaksi pencoklatan
enzimatis yang terjadi pada larutan gel (Blanshard dan Mitchell, 1979).
Terbentuknya endapan menyebabkan kekentalan larutan gel menjadi
berkurang drastis sehingga tidak lagi dapat membentuk lapisan edible
coating yang baik.
2. Pengaruh Umur Simpan Larutan Gel terhadap Mutu Coating.
Komposisi komponen-komponen bioaktif yang terkandung dalam
gel lidah buaya tergantung pada musim,iklim, serta tanah tempat tanaman
ini ditanam. Satu faktor penting yang harus diperhatikan adalah
penanganan pelepah daun pasca panen karena proses dekomposisi
komponen didalamnya sudah dimulai sejak pelepah daun tersebut
dipotong dari tanaman induknya. Proses dekomposisi ini terjadi akibat
reaksi enzimatis dan aktivitas mikroba alami yang ada pada daun tersebut
(Coats, 1979). Pada larutan gel yang telah diekstraksi, kehilangan aktivitas
berbagai komponen bioaktif yang terkandung dalam lidah buaya menjadi
lebih sedikit bila dibandingkan ketika komponen tersebut masih ada di
dalam bentuk pelepah daunnya (He et al., 2003). Oleh karena itu, pada
percobaan ini dilakukan pengujian penyimpanan larutan gel yang telah
diekstraksi dari lidah buaya terhadap mutu coating yang dihasilkan ketika
diaplikasikan pada buah tomat. Penyimpanan gel dilakukan pada suhu
<10°C selama 7 hari. Tomat-tomat tersebut kemudian disimpan pada suhu
125
ruang dan diamati selama 4 hari. Parameter yang diamati pada tomat untuk
melihat mutu coating yang dihasilkan adalah susut bobot.
00.5
11.5
22.5
33.5
44.5
1 2 3
Hari ke-
Susu
t bob
ot (%
) �
Tomat utuh kontrol 1Tomat utuh kontrol 2Tomat utuh dgn aloe 1Tomat utuh dgn aloe 2
Gambar 7. Grafik pengaruh umur simpan gel lidah buaya (1 hari) terhadap persentase susut bobot tomat
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
1 2 3
Hari ke-
Susu
t bob
ot (%
)
Tomat utuh kontrol 1Tomat utuh kontrol 2Tomat utuh dgn aloe 1Tomat utuh dgn aloe 2
Gambar 8. Grafik pengaruh umur simpan gel lidah buaya (2 hari) terhadap persentase susut bobot tomat
126
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1 2 3
Hari ke-
Sus
ut b
obot
(%)
Tomat utuh kontrol 1Tomat utuh kontrol 2Tomat utuh dgn aloe 1Tomat utuh dgn aloe 2
Gambar 9. Grafik pengaruh umur simpan gel lidah buaya (6 hari) terhadap persentase susut bobot tomat
00.20.40.60.8
11.21.41.61.8
2
1 2 3
Hari ke-
Sus
ut b
obot
(%)
tomat kontrol 1tomat kontrol 2tomat aloe 1tomat aloe 2
Gambar 10. Grafik pengaruh umur simpan gel lidah buaya (7 hari) terhadap persentase susut bobot tomat
Berdasarkan keempat grafik diatas, dapat diketahui bahwa semakin
lama larutan gel lidah buaya disimpan maka kualitas gel tersebut sebagai
edible coating akan semakin menurun. Hal ini terlihat dari semakin
menurunnya kemampuan gel tersebut untuk menahan laju kehilangan
127
bobot yang terjadi. Gambar 7 memperlihatkan bahwa susut bobot yang
terjadi pada tomat yang dilapisi gel lidah buaya lebih sedikit bila
dibandingkan dengan tomat yang tidak dilapisi (kontrol). Kemudian, pada
Gambar 8 - 10 mulai terlihat bahwa kemampuan coating gel untuk
menahan susut bobot pada tomat yang dilapisi mulai berkurang karena
susut bobot tomat yang dilapisi tersebut ternyata menjadi lebih tinggi
daripada kontrolnya. Sehingga, dari hasil percobaan di atas dapat
disimpulkan bahwa penyimpanan gel berpengaruh terhadap mutu coating
yang dihasilkan dan coating gel yang paling baik untuk diaplikasikan pada
tomat adalah gel yang langsung digunakan segera setelah diekstrak dari
pelepah daun yang baru dipanen.
Hasil analisis ragam (Lampiran 11) menunjukkan bahwa perlakuan
pelapisan tomat dengan menggunakan gel lidah buaya pada Gambar 7
tidak berbeda nyata dengan tomat yang tidak dilapisi. Hal ini dapat
diperkuat oleh data perbandingan respirasi antara buah tomat yang dilapisi
dengan yang tidak, pada penyimpanan di suhu ruang, seperti terlihat pada
Gambar 11 di bawah ini.
0.00000
0.10000
0.20000
0.30000
0.40000
0.50000
0.60000
0.70000
0.80000
0.90000
1 2 3 4 5 6
Hari ke-
Laju
res
pira
si Tomat aloe 1Tomat aloe 2Tomat kontrol 1Tomat kontrol 2
Gambar 11. Grafik perbandingan laju respirasi pada suhu ruang antara tomat yang dilapisi gel lidah buaya dan yang tidak
128
Dari tabel ini terlihat bahwa laju respirasi antara tomat yang
dilapisi dan yang tidak ternyata tidak terlalu berbeda. Hasil analisis ragam
yang telah dilakukan terhadap data ini pun menunjukkan bahwa perlakuan
pelapisan tomat dengan gel lidah buaya tidak berbeda nyata dengan tomat
yang tidak dilapisi (Olly, 2007). Sehingga dari percobaan ini dapat pula
disimpulkan bahwa perlakuan pelapisan tomat dengan gel lidah buaya
yang disimpan pada suhu ruang tidak terlalu efektif untuk
mempertahankan mutu tomat tersebut.
3. Formulasi Gel Aloe vera L.untuk Aplikasi Coating pada Tomat
Tahap percobaan ini dilakukan berdasarkan hasil tahapan
percobaan sebelumnya yang menyatakan bahwa edible coating dari gel
lidah buaya tidak cukup efektif untuk diaplikasikan pada tomat yang
disimpan pada suhu ruang, sehingga diperlukan adanya penambahan zat-
zat tertentu yang diperkirakan mampu memperbaiki kinerja coating dari
gel lidah buaya tersebut. Zat-zat yang akan ditambahkan antara lain isolat
protein kedelai, gliserol, dan sorbitol. Pada tahap percobaan ini, buah
tomat segar dicelupkan kedalam empat formula larutan coating yang
berbeda, yakni (a) larutan gel Aloe vera murni (tanpa penambahan), (b)
larutan gel Aloe vera dengan penambahan isolat protein 1%, (c) larutan
gel Aloe vera dengan penambahan isolat protein 1% dan gliserol 2%, serta
(d) larutan gel Aloe vera dengan penambahan isolat protein 1% dan
sorbitol 1 ml. Pengamatan dilakukan terhadap parameter susut bobot buah
tomat selama penyimpanan pada suhu ruang dan melihat penurunan
tingkat kesegaran pada buah tersebut secara visual.
129
0
0.5
1
1.5
2
2.5
0 2 4 6 8 10 12
Per 3 hari
Susu
t bob
ot (%
)
KontrolAloe 100Aloe ispAloe isp gliserolAloe isp sorbitolLinear (Kontrol)Linear (Aloe isp gliserol)Linear (Aloe isp)Linear (Aloe 100)Linear (Aloe isp sorbitol)
Gambar 12. Grafik perbandingan persentase susut bobot tomat pada berbagai formula edible coating
Grafik di atas menunjukkan bahwa garis regresi formula (a) berada
pada urutan paling bawah yang berarti bahwa formula coating yang
terbaik untuk menahan susut bobot tomat adalah dengan menggunakan gel
lidah buaya murni. Tetapi, jika dilihat lebih jelas, garis regresi formula (a)
dan (b) hampir berhimpit bila dibandingkan dengan garis regresi formula
yang lain. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji statistik untuk mengetahui
apakah ada perbedaan di antara kedua formula tersebut. Berdasarkan hasil
analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan (Lampiran 12) yang telah
dilakukan, ternyata, formula (a) dan (b) berbeda nyata terhadap formula
(c), (d), dan kontrol. Formula (a) dan (b) tidak berbeda nyata satu sama
lain, tetapi formula (a) lebih baik daripada formula (b) jika dilihat dari
urutan pada hasil uji lanjut Duncan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
formula gel lidah buaya murni lebih mampu menahan laju kehilangan
bobot daripada formula gel lidah buaya yang telah ditambahkan dengan
isolat protein kedelai. Selain itu, ditinjau dari keterjangkauan, gel murni
lidah buaya lebih mudah didapatkan dan diproses, bila dibandingkan
dengan harus formula lainnya yang harus menambahkan bahan-bahan
yang tidak bisa dibeli di sembarang tempat dan tidak terjangkau harganya.
Formula dengan penambahan sorbitol lebih besar susut bobotnya bila
dibandingkan dengan penambahan gliserol, hal ini dikarenakan sifat
130
plasticizer sorbitol yang lebih baik sehingga kekentalan larutan pun
menjadi berkurang lebih banyak bila dibandingkan dengan gliserol.
Kekentalan larutan gel untuk coating berkurang karena aktivitas
plasticizer tersebut yang mampu mengurangi ikatan hidrogen internal pada
gel lidah buaya sehingga lapisan yang terbentuk menjadi lebih tipis dan
tidak dapat lagi menahan laju kehilangan bobot tomat tersebut.
Pada tahap sebelumnya, telah disimpulkan bahwa perlakuan
pelapisan tomat dengan gel lidah buaya tidak berbeda nyata dengan tomat
yang tidak dilapisi selama disimpan pada suhu ruang, tetapi pada tahap ini
diketahui bahwa tomat dengan pelapisan berbeda nyata dengan tomat
tanpa pelapisan. Hal ini mungkin terjadi karena perbedaan varietas dan
umur sampel tomat yang digunakan. Tomat yang digunakan pada tahap
sebelumnya sudah memiliki tingkat kematangan yang tinggi (warnanya
lebih merah) ketika akan dilapisi dengan gel, sedangkan tomat yang
digunakan pada tahap ini tingkat kematangannya lebih rendah (warnanya
masih kuning-kehijauan). Oleh karena itu, respirasi pada tomat yang
kematangannya sudah tinggi sulit untuk dibendung oleh lapisan gel lidah
buaya tersebut sehingga menyebabkan susut bobotnya pun menjadi sulit
untuk ditahan.
Penurunan tingkat kesegaran juga diamati secara visual.
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, beberapa ulangan sampel
tomat kontrol serta tomat yang dilapisi dengan formula (b), (c), (d),
mengalami kerusakan fisik internal yang dimulai pada hari penyimpanan
ke-20, namun kerusakan ini tidak terjadi pada tomat yang dilapisi dengan
gel lidah buaya murni. Kerusakan internal pada tomat biasanya disertai
dengan adanya guratan-guratan pada permukaan buah yang merupakan
pertanda bahwa jaringan buah kehabisan air. Keadaan jaringan yang
kehabisan air ini akan semakin berkurang seiring dengan semakin
matangnya buah tersebut, tetapi kerusakan internal yang cukup serius tetap
terjadi. Kerusakan permanen pada jaringan lokular ini menyebabkan
jaringan tersebut gagal membuat dirinya menjadi sel-sel yang lebih
bersifat gelatinous yang pada umumnya normal terjadi selama pematangan
131
buah. Kemudian pada jaringan lokular yang tidak terlalu rusak, proses
gelatinisasi sel ini berlangsung tidak sempurna sehingga akan membentuk
benang-benang tebal berwarna gelap pada jaringan tersebut (McColloch
1962 dalam Mohsenin). Benang- benang tebal yang berwarna gelap itu
seperti yang terlihat pada Gambar 13 di bawah ini.
Gambar 13. Kerusakan fisik pada buah tomat
4. Penentuan Umur Simpan Tomat Segar dengan Perlakuan Aloe vera
Gel Coating, Pengemasan, dan Suhu
Sayuran dan buah-buahan melangsungkan proses kehidupannya
dengan melakukan respirasi. Proses respirasi ini tidak hanya berlangung
ketika mereka berada di pohon saja, tetapi juga setelah dipanen mereka
terus melakukan respirasi. Proses respirasi yang terus berlangsung setelah
buah atau sayuran dipanen ini menyebabkan perubahan fisik dan kimia
yang dapat mempengaruhi kualitas buah atau sayuran itu sendiri. Oleh
karena itu, untuk mempertahankan mutu buah atau sayuran harus
dilakukan penanganan pasca panen yang tepat, agar kerusakan tomat
selama penyimpanan dapat diminimalkan. Beberapa upaya yang dapat
dilakukan untuk menjaga mutu buah agar tetap baik adalah dengan
menggunakan kemasan, edible coating, dan penyimpanan buah tersebut
pada suhu optimumnya.
Tahapan percobaan ini bertujuan mengetahui pengaruh kemasan
dan kondisi suhu penyimpanan yang paling optimum untuk buah tomat
segar yang telah di-coating dengan formula larutan terpilih dari tahap
percobaan sebelumnya. Tomat segar dicelup ke dalam larutan gel lidah
132
buaya murni kemudian diletakkan pada styrofoam berukuran kecil dan
dikemas dengan kemasan plasticized PVC. Setelah itu, tomat-tomat, baik
yang telah dilapisi maupun tidak, dan tomat-tomat, baik yang dikemas
maupun tidak setelah pencelupan ke dalam larutan gel, disimpan pada
suhu ruang dan suhu 1°C. Parameter yang diamati antara lain susut bobot,
perubahan warna, kekerasan tekstur, perubahan °Brix (total gula), dan
perubahan pH (kadar keasaman). Hasil yang didapatkan dari percobaan ini
akan dianalisis dengan menggunakan analisis ragam dan uji lanjut Duncan.
1. Susut Bobot
Respirasi yang terjadi pada buah merupakan proses biologis
dimana oksigen diserap untuk membakar bahan-bahan organik
dalam buah untuk menghasilkan energi dan diikuti oleh
pengeluaran sisa pembakaran berupa gas karbondioksida dan air.
Air, gas yang dihasilkan, dan energi berupa panas akan mengalami
penguapan sehingga buah tersebut akan menyusut beratnya.
Menurut Wills (1981), faktor yang mempengaruhi kehilangan air
pada buah antara lain adalahh luas berbanding volume buah
tersebut, lapisan alami permukaan buah, dan kerusakan mekanis
pada kulit buah. Pemberian perlakuan pelapisan yang
dikombinasikan dengan pengemasan dan suhu penyimpanan
diharapkan dapat menekan laju kehilangan bobot yang terjadi.
133
0
2
4
6
8
10
0 5 10 15 20 25 30
Waktu penyimpanan (hari)
Sus
ut b
obot
(%)
Tomat kontrol dikemas (suhuruang)Tomat dengan aloe dikemas(suhu ruang)Tomat kontrol tdk dikemas(suhu ruang)Tomat dengan aloe tdkdikemas (suhu ruang)Tomat kontrol dikemas (suhudingin)Tomat dengan aloe dikemas(suhu dingin)Tomat kontrol tdk dikemas(suhu dingin)Tomat dengan aloe tdkdikemas (suhu dingin)
Gambar 14a. Grafik pengaruh pelapisan dengan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap persentase susut bobot tomat selama penyimpanan
012
3456
789
Tomat kontrolyang dikemas
Tomat denganaloe yangdikemas
Tomat kontrol Tomat denganaloe
Perlakuan
Susu
t bob
ot (%
)
Suhu ruangSuhu dingin
Gambar 14b. Grafik perbandingan rata-rata susut bobot pada tomat dengan
perlakuan pelapisan gel, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21
Pada Gambar 14a, dapat dilihat bahwa susut bobot yang
dialami oleh buah tomat meningkat selama penyimpanan. Hal ini
terjadi karena tomat merupakan buah yang memiliki pola respirasi
klimakterik. Pada buah yang bersifat klimakterik, respirasi akan
134
terus meningkat seiring dengan semakin matangnya buah tersebut
sehingga mengakibatkan susut bobot buah juga semakin meningkat
terutama ketika buah tersebut telah mencapai puncak
klimakteriknya.
Gambar 14b menceritakan bahwa nilai susut bobot tomat
yang disimpan pada suhu ruang di hari ke-21 memiliki susut bobot
yang lebih besar bila dibandingkan dengan tomat yang disimpan
pada suhu dingin (1°C). Perbandingan nilai susut bobot antara
tomat yang disimpan pada suhu ruang dan suhu dingin ini,
membuktikan bahwa suhu dingin dapat mempertahankan tomat
dari kehilangan bobot akibat proses respirasi dan transpirasi.
Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan (Lampiran 13)
yang telah dilakukan terhadap data pada Gambar 14b ini
menunjukkan bahwa perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu
berbeda nyata terhadap susut bobot. Susut bobot yang dialami
tomat yang dilapisi gel lidah buaya, dikemas, dan disimpan pada
suhu dingin tidak berbeda nyata dengan tomat yang hanya dilapisi
dengan gel saja, tomat kontrol yang disimpan pada suhu dingin,
serta tomat yang dilapisi dengan gel lidah buaya namun disimpan
pada suhu ruang. Tomat dengan pelapisan gel lidah buaya,
pengemasan, penyimpanan pada suhu dingin memiliki susut bobot
yang paling kecil daripada keempat perlakuan lainnya diatas. Hal
ini berarti bahwa perlakuan tersebut mampu menghambat respirasi
dengan baik sehingga penyusutan pada bobot buah pun dapat
dihambat pula.
Tomat yang dilapisi dengan gel lidah buaya dan disimpan
pada suhu ruang tidak berbeda nyata dengan tomat kontrol yang
dikemas dan disimpan pada suhu dingin. Kedua perlakuan ini
berbeda nyata dengan keempat perlakuan yang telah disebutkan
diatas. Selain itu, perlakuan ini juga berbeda nyata dengan tomat
yang dikemas di suhu ruang serta tomat kontrol yang disimpan
pada suhu ruang. Tomat yang dikemas di suhu ruang serta tomat
135
kontrol yang disimpan pada suhu ruang.ini tidak berbeda nyata satu
dengan yang lainnya, tetapi berbeda nyata dengan tomat yang
dilapisi gel lidah buaya, dikemas, dan disimpan pada suhu dingin
tidak berbeda nyata dengan tomat yang hanya dilapisi dengan gel
saja, tomat kontrol yang disimpan pada suhu dingin, serta tomat
yang dilapisi dengan gel lidah buaya namun disimpan pada suhu
ruang. Tomat yang tanpa pelapisan dan pengemasan yang disimpan
pada suhu ruang memilki susut bobot yang terbesar.
Berdasarkan hasil percobaan ini dapat disimpulkan bahwa
pelapisan tomat dengan gel lidah buaya berpengaruh nyata
terhadap susut bobot jika dikombinasikan dengan adanya
pengemasan, baik pada suhu ruang maupun suhu dingin. Begitu
pula dengan perlakuan suhu, penyimpanan tomat pada suhu yang
berbeda berpengaruh nyata terhadap susut bobot jika
dikombinasikan dengan kemasan dan gel lidah buaya, dimana pada
suhu yang lebih rendah susut bobot dapat dihambat. Hal ini berarti
bahwa gel lidah buaya mampu membentuk lapisan yang cukup
baik untuk menghambat proses respirasi dan tranpirasi, terutama
jika dikombinasikan dengan pengemasan dan perlakuan suhu
rendah yang tepat.
2. Kelunakan Tekstur
Nilai kelunakan tekstur akan semakin bertambah seiring
dengan proses pematangan buah, sehingga dapat mengakibatkan
penurunan mutu dari buah tomat yang disimpan. Nilai kelunakan
yang rendah menunjukkan bahwa buah masih keras dan belum
terlalu matang, sedangkan nilai kelunakan yang tinggi
menunjukkan bahwa buah sudah semakin matang. Penurunan nilai
kekerasan ini terjadi akibat degradasi pektin yang tidak larut air
(protopektin) dan berubah menjadi pektin yang larut dalam air. Hal
ini mengakibatkan menurunnya daya kohesi dinding sel yang
136
mengikat dinding sel yang satu dengan dinding sel yang lain
(Winarno, 1981)
0
5
10
15
20
25
0 10 20 30
Waktu penyimpanan (hari)
Nila
i kel
unak
an to
mat
(mm
/10
sec)
Tomat kontrol yangdikemas (suhu ruang)Tomat dengan aloe yangdikemas (suhu ruang)Tomat kontrol tdk dikemas(suhu ruang)Tomat dengan aloe tdkdikemas (suhu ruang)Tomat kontrol yangdikemas (suhu dingin)Tomat dengan aloe yangdikemas (suhu dingin)Tomat kontrol tdk dikemas(suhu dingin)Tomat dengan aloe tdkdikemas (suhu dingin)
Gambar 15a. Grafik pengaruh pelapisan dengan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap kelunakan tekstur tomat selama penyimpanan
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Tomat kontrolyang dikemas
Tomat denganaloe yangdikemas
Tomat kontrol Tomat denganaloe
Perlakuan
Nila
i kel
unak
an to
mat
(mm
/10
sec)
Suhu ruangSuhu dingin
Gambar 15b. Grafik perbandingan rata-rata kelunakan tekstur pada tomat dengan
perlakuan pelapisan gel, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0
137
0
5
10
15
20
25
Tomat kontrolyang dikemas
Tomat denganaloe yangdikemas
Tomat kontrol Tomat denganaloe
Perlakuan
Nila
i kel
unak
an to
mat
(mm
/10
sec)
Suhu ruangSuhu dingin
Gambar 15c. Grafik perbandingan rata-rata kelunakan tekstur pada tomat dengan perlakuan pelapisan gel, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21
Gambar 15a menunjukkan bahwa kelunakan tekstur tomat
akan semakin bertambah seiring dengan semakin matangnya tomat
tersebut. Tomat diberi perlakuan pelapisan, pengemasan, dan
penyimpanan pada suhu yang berbeda untuk melihat pengaruhnya
terhadap penghambatan kelunakan tekstur yang terjadi. Parameter
kelunakan tekstur diamati selama 21 hari untuk tomat-tomat yang
disimpan pada suhu ruang dan tomat-tomat yang disimpan pada
suhu dingin diamati selama 28 hari.
Gambar 15c memperlihatkan bahwa kelunakan tekstur yang
terjadi pada tomat-tomat yang disimpan di suhu ruang lebih besar
bila dibandingkan dengan tomat yang disimpan di suhu dingin. Hal
ini berarti bahwa pada suhu dingin proses metabolisme dan
aktivitas enzim dalam proses pemecahan pektin dan hemiselulosa
menjadi terhambat.
Pada Gambar 15c terlihat bahwa tomat kontrol yang
disimpan pada suhu ruang mengalami kelunakan yang paling
besar. Tomat kontrol yang dikemas dan disimpan pada suhu ruang
138
mengalami kelunakan tekstur yang lebih kecil bila dibandingkan
dengan perlakuan sebelumnya. Selanjutnya, tomat kontrol tanpa
kemasan yang disimpan pada suhu dingin mengalami kelunakan
tekstur yang lebih kecil daripada tomat kontrol kemas yang
disimpan pada suhu ruang. Kemudian, tomat kontrol yang dikemas
dan disimpan pada suhu dingin mengalami kelunakan tekstur yang
lebih kecil daripada tomat kontrol tanpa kemasan yang disimpan
pada suhu dingin. Tomat yang dilapisi dengan gel, dikemas, dan
disimpan pada suhu ruang mengalami kelunakan tekstur yang lebih
kecil daripada tomat kontrol yang dikemas dan disimpan pada suhu
dingin. Selain itu, tomat yang dilapisi dengan gel, dikemas, dan
disimpan pada suhu dingin lebih kecil kelunakan teksturnya
daripada tomat yang dilapisi dengan gel, dikemas, dan disimpan
pada suhu ruang. Tomat yang dilapisi dengan gel lidah buaya, baik
yang disimpan pada suhu ruang maupun suhu dingin, dengan tomat
yang juga dilapisi gel dan dikombinasikan dengan kemasan dan
penyimpanan suhu dingin memiliki nilai kelunakan tekstur yang
tampaknya tidak berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Hasil analisis ragam (Lampiran 14) terhadap data pada
Gambar 15b telah dilakukan dan hasilnya menunjukkan bahwa
pada hari ke-0, perlakuan pelapisan, pengemasan, dan
penyimpanan pada suhu berbeda tidak memberikan pengaruh yang
nyata terhadap kelunakan tekstur yang terjadi pada tomat.
Hasil analisis ragam (Lampiran 15) yang dilakukan
terhadap data kelunakan tekstur pada hari penyimpanan ke-21
menunjukkan bahwa pada suhu dingin pelapisan tomat dengan gel
lidah buaya berpengaruh nyata terhadap kelunakan tekstur yang
dialami oleh tomat tersebut. Pada suhu ruang, pelapisan tomat
dengan gel lidah buaya berpengaruh nyata terhadap kelunakan
tekstur. Pengemasan tomat tidak berpengaruh nyata terhadap
kelunakan tekstur jika dikombinasikan dengan pelapisan gel lidah
buaya, tetapi berpengaruh nyata pada tomat yang tidak dilapisi gel
139
lidah buaya, baik pada penyimpanan suhu ruang maupun suhu
dingin, dimana pengemasan mampu menghambat kelunakan
tekstur lebih baik daripada yang tidak dikemas. Perlakuan suhu
berpengaruh nyata terhadap kelunakan tekstur jika tomat tidak
dilapisi dengan gel lidah buaya, dimana suhu dingin mampu
menghambat kelunakan tekstur lebih baik dari suhu ruang.
Perlakuan yang mengalami kelunakan tekstur paling besar adalah
tomat tanpa pelapisan dan tanpa kemasan yang disimpan pada suhu
ruang. Sedangkan, perlakuan yang mengalami kelunakan tekstur
yang paling kecil adalah tomat yang dilapisi, dikemas, dan
disimpan pada suhu dingin.
Berdasarkan hasil percobaan di atas dapat disimpukan
bahwa pelapisan tomat dengan gel lidah buaya dapat menghambat
kelunakan tekstur. Hal ini menunjukkan bahwa pelapisan dengan
gel lidah buaya mampu mereduksi kerja enzim yang dapat
mengubah protopektin menjadi pektin larut air sehingga dapat
menahan laju kelunakan tekstur yang terjadi. Perlakuan pelapisan
ini akan lebih optimal jika dikombinasikan dengan pengemasan
dan penyimpanan suhu dingin. Perlakuan pelapisan dan
pengemasan dapat menutup stomata buah dengan tepat sehingga
menghambat laju respirasi. Suhu dingin dapat mempertahankan
keutuhan dinding sel dan turgor sel lebih baik sehingga kekerasan
buah dapat dipertahankan.
3. Perubahan Total Gula (°B)
Secara umum total padatan terlarut (total gula) mengalami
peningkatan pada tahap pematangan buah tomat. Hal ini
disebabkan karena terhidrolisisnya pati menjadi glukosa, fruktosa,
dan sukrosa, setelah itu akan terjadi fase penurunan total padatan
terlarut karena telah melewati batas kematangannya. Nilai total
padatan terlarut yang tinggi menunjukkan bahwa buah lebih cepat
140
mengalami proses perombakan pati yang menandai proses
pematangan juga berlangsung cepat (Wolfe, 1993).
00.5
11.5
22.5
33.5
44.5
0 10 20 30
Waktu penyimpanan (hari)
Tota
l pad
atan
terla
rut (
%B
)
Tomat kontrol yangdikemas (suhu ruang)Tomat dengan aloe yangdikemas (suhu ruang)Tomat kontrol tdk dikemas(suhu ruang)Tomat dengan aloe tdkdikemas (suhu ruang)Tomat kontrol yangdikemas (suhu dingin)Tomat dengan aloe yangdikemas (suhu dingin)Tomat kontrol tdk dikemas(suhu dingin)Tomat dengan aloe tdkdikemas (suhu dingin)
Gambar 16a. Grafik pengaruh pelapisan dengan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap perubahan total padatan terlarut tomat selama penyimpanan
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
Tomat kontrolyang dikemas
Tomat denganaloe yangdikemas
Tomat kontrol Tomat denganaloe
Perlakuan
Tota
l pad
atan
terla
rut (
%B)
Suhu ruangSuhu dingin
Gambar 16b. Grafik perbandingan rata-rata total padatan terlarut pada tomat
dengan perlakuan pelapisan gel, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0
141
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
Tomat kontrolyang dikemas
Tomat denganaloe yangdikemas
Tomat kontrol Tomat denganaloe
Perlakuan
Tota
l pad
atan
terl
arut
(%B
)
Suhu ruangSuhu dingin
Gambar 16c. Grafik perbandingan rata-rata total padatan terlarut pada tomat
dengan perlakuan pelapisan gel, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21
Gambar 16a menunjukkan bahwa waktu penyimpanan
berpengaruh terhadap total padatan terlarut yang terjadi pada buah
tomat. Pengamatan selama 21 hari pada suhu ruang dan 28 hari
pada suhu dingin memperlihatkan bahwa total padatan terlarut
akan meningkat hingga buah mencapai puncak fase klimakteriknya
dan akan menurun kembali setelah puncak klimakterik berakhir.
Gambar 16b menunjukkan pengaruh perlakuan pelapisan
gel lidah buaya, pengemasan, dan penyimpanan pada suhu yang
berbeda terhadap total padatan terlarut tomat pada penyimpanan
hari ke-0. Hasil analisis ragam (Lampiran 16) yang dilakukan
terhadap data dari histogram tersebut menyatakan bahwa perlakuan
yang diberikan pada tomat-tomat tersebut tidak berpengaruh nyata
terhadap perubahan total padatan terlarut. Begitu pula dengan data
yang terdapat pada Gambar 16c, melalui analisis ragam (Lampiran
17) yang telah dilakukan, menyatakan bahwa perlakuan yang
diberikan kepada tomat-tomat tersebut tidak berpengaruh nyata
terhadap perubahan total padatan terlarut pada hari penyimpanan
142
ke-21. Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1989), buah tomat
tergolong dalam buah-buahan klimakterik yang selama
pertumbuhan dan pematangan sel kenaikan kandungan gulanya
sangat sedikit atau tidak ada sama sekali.
4. Perubahan pH
Nilai pH pada buah berkaitan dengan asam organik yang
terkandung didalamnya. Penurunan keasaman ditandai dengan
kenaikan nilai pH. Nilai pH yang rendah berarti asam-asam
organik yang terdapat di dalam buah masih dalam keadaan baik.
Kenaikan nilai pH ini disebabkan oleh menurunnya pembentukan
asam-asam dan penurunan kandungan asam organik selama
penyimpanan. Perubahan keasaman tomat berbeda tergantung pada
tingkat kematangan dan suhu penyimpanan (Winarno dan Aman,
1981).
0
1
2
3
4
5
6
0 5 10 15 20 25 30
Waktu penyimpanan (hari)
Dera
jat k
easa
man
(pH)
)
Tomat kontrol yang dikemas(suhu ruang)Tomat dengan aloe yangdikemas (suhu ruang)Tomat kontrol tdk dikemas(suhu ruang)Tomat dengan aloe tdkdikemas (suhu ruang)Tomat kontrol yang dikemas(suhu dingin)Tomat dengan aloe yangdikemas (suhu dingin)Tomat kontrol tdk dikemas(suhu dingin)Tomat dengan aloe tdkdikemas (suhu dingin)
Gambar 17a. Grafik pengaruh pelapisan dengan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap perubahan derajat keasaman tomat selama penyimpanan.
143
4.3
4.35
4.4
4.45
4.5
4.55
Tomat kontrolyang dikemas
Tomat denganaloe yangdikemas
Tomat kontrol Tomat denganaloe
Perlakuan
Der
ajat
kea
sam
an (p
H)
Suhu ruangSuhu dingin
Gambar 17b. Grafik perbandingan rata-rata derajat keasaman pada tomat dengan
perlakuan pelapisan gel, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0
4
4.2
4.4
4.6
4.8
5
5.2
5.4
Tomat kontrolyang dikemas
Tomat denganaloe yangdikemas
Tomat kontrol Tomat denganaloe
Perlakuan
Dera
jat k
easa
man
(pH)
Suhu ruangSuhu dingin
Gambar 17c. Grafik perbandingan rata-rata derajat keasaman pada tomat dengan
perlakuan pelapisan gel, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21
144
Gambar 17a menunjukkan bahwa derajat keasaman (pH)
tomat akan semakin bertambah seiring dengan semakin matangnya
tomat tersebut. Tomat diberi perlakuan pelapisan, pengemasan, dan
penyimpanan pada suhu yang berbeda untuk melihat pengaruhnya
terhadap penghambatan kenaikan pH yang terjadi. Kemudian tomat
tersebut diamati selama 21 hari untuk penyimpanan pada suhu
ruang, serta 28 hari untuk penyimpanan pada suhu dingin. Pada
grafik tersebut perubahan pH tiap-tiap perlakuan tampak hampir
sama, oleh karena itu perlu dilakukan uji pembedaan dengan
menggunakan analisis ragam pada data parameter pH di hari
penyimpanan tertentu.
Gambar 17b dan 17c memperlihatkan bahwa kenaikan pH
yang terjadi pada tomat-tomat yang disimpan di suhu ruang lebih
besar bila dibandingkan dengan tomat yang disimpan di suhu
dingin. Hal ini berarti bahwa pada suhu dingin proses respirasi
dapat dihambat selama penyimpanan sehingga kenaikan juga dapat
dihambat.
Hasil analisis ragam (Lampiran 18) yang dilakukan
terhadap data pada histogram 17b menunjukkan bahwa perlakuan
yang diberikan kepada tomat-tomat tersebut tidak berpengaruh
nyata terhadap kenaikan pH pada penyimpanan hari ke-0.
Hasil analisis ragam (Lampiran 19) yang dilakukan
terhadap data kenaikan pH pada hari penyimpanan ke-21
menunjukkan bahwa pada suhu dingin pelapisan tomat dengan gel
lidah buaya berpengaruh nyata terhadap kenaikan pH yang dialami
oleh tomat tersebut. Pada suhu ruang, pelapisan tomat dengan gel
lidah buaya berpengaruh nyata terhadap kenaikan pH. Pengemasan
tomat tidak berpengaruh nyata terhadap kenaikan pH jika
dikombinasikan dengan pelapisan gel lidah buaya, tetapi
berpengaruh nyata pada tomat yang tidak dilapisi gel lidah buaya,
baik pada penyimpanan suhu ruang maupun suhu dingin, dimana
pengemasan mampu menghambat kenaikan pH lebih baik daripada
145
yang tidak dikemas. Perlakuan suhu berpengaruh nyata terhadap
kenaikan pH jika tomat tidak dilapisi dengan gel lidah buaya,
dimana suhu dingin mampu menghambat kenaikan pH lebih baik
dari suhu ruang. Perlakuan yang mengalami kenaikan pH paling
besar adalah tomat tanpa pelapisan dan tanpa kemasan yang
disimpan pada suhu ruang. Sedangkan, perlakuan yang mengalami
kenaikan pH yang paling kecil adalah tomat yang dilapisi,
dikemas, dan disimpan pada suhu dingin.
Berdasarkan hasil percobaan di atas dapat disimpukan
bahwa pelapisan tomat dengan gel lidah buaya dapat menghambat
kenaikan pH. Perlakuan pelapisan ini akan lebih optimal jika
dikombinasikan dengan pengemasan dan suhu penyimpanan
dingin.
5. Perubahan Warna
Pengamatan terhadap perubahan warna pada semua sampel
tomat dilakukan dengan menggunakan chromameter. Interpretasi
data mengenai warna diterjemahkan melalui skala L*a*b. L
menyatakan nilai kecerahan warna tomat, skala a menyatakan
warna merah-kuning, sedangkan skala b menyatakan warna
kuning-biru. Selama pematangan buah tomat, nilai a akan semakin
meningkat dan nilai b akan semakin menurun. Hal ini terjadi
karena seiring dengan proses pematangannya, buah tomat akan
memproduksi lebih banyak likopen sehingga produksi akan
karoten dan xantofil menjadi berkurang dan menyebabkan warna
tomat menjadi semakin merah (Hulme, 1971).
146
05
101520253035404550
0 5 10 15 20 25 30
Waktu penyimpanan (hari)
Nila
i a
Tomat kontrol dikemas (suhuruang)Tomat dengan aloe dikemas(suhu ruang)Tomat kontrol tdk dikemas(suhu ruang)Tomat dengan aloe tdk dikemas(suhu ruang)Tomat kontrol dikemas (suhudingin)Tomat dengan aloe dikemas(suhu dingin)Tomat kontrol tdk dikemas(suhu dingin)Tomat dengan aloe tdk dikemas(suhu dingin)
Gambar 18a. Grafik pengaruh pelapisan dengan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap perubahan warna merah tomat selama penyimpanan
0
5
10
15
20
25
30
Tomat kontrolyang dikemas
Tomat denganaloe yangdikemas
Tomat kontrol Tomat denganaloe
Perlakuan
Nila
i a Suhu ruangSuhu dingin
Gambar 18b. Grafik perbandingan rata-rata perubahan warna merah tomat dengan
perlakuan pelapisan gel, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0
147
05
101520253035404550
Tomat kontrolyang dikemas
Tomat denganaloe yangdikemas
Tomat kontrol Tomat denganaloe
Perlakuan
Nila
i a
Suhu ruangSuhu dingin
Gambar 18c. Grafik perbandingan rata-rata perubahan warna merah tomat
dengan perlakuan pelapisan gel, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21
Gambar 18a memperlihatkan bahwa semakin lama
disimpan maka semakin besar pula perubahan warna merah yang
terjadi pada buah tomat seiring dengan proses pematangannya.
Histogram pada Gambar 18b dan Gambar 18c menceritakan bahwa
pada hari penyimpanan ke-0 hingga hari ke-21, tomat-tomat
dengan berbagai perlakuan yang disimpan pada suhu dingin, nilai
a-nya tidak berubah terlalu banyak bila dibandingkan dengan
tomat-tomat yang disimpan pada suhu ruang. Pada suhu ruang
terjadi peningkatan warna merah, sedangkan warna merah tomat
yang disimpan pada suhu dingin justru menurun.
Hasil analisis ragam (Lampiran 20) yang dilakukan
terhadap data pada histogram Gambar 18b menyatakan bahwa
berbagai perlakuan yang diberikan pada tomat tidak memberikan
pengaruh yang nyata pada perubahan warna tomat pada hari ke-0.
Begitu pula dengan hasil analisis ragam (Lampiran 21) yang
dilakukan terhadap data pada histogram Gambar 18c menunjukkan
bahwa pada hari penyimpanan ke-21, perlakuan pelapisan dengan
gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu penyimpanan tidak
148
memberikan pengaruh yang nyata terhadap perubahan warna
merah tomat.
0
10
20
30
40
50
60
0 5 10 15 20 25 30
Waktu penyimpanan (hari)
Nila
i bTomat kontrol dikemas (suhuruang)Tomat dengan aloe dikemas(suhu ruang)Tomat kontrol tdk dikemas(suhu ruang)Tomat dengan aloe tdkdikemas (suhu ruang)Tomat kontrol dikemas (suhudingin)Tomat dengan aloe dikemas(suhu dingin)Tomat kontrol tdk dikemas(suhu dingin)Tomat dengan aloe tdkdikemas (suhu dingin)
Gambar 19a. Grafik pengaruh pelapisan dengan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap perubahan warna kuning tomat selama penyimpanan
37
37.5
38
38.5
39
39.5
40
40.5
Tomat kontrolyang dikemas
Tomat denganaloe yangdikemas
Tomat kontrol Tomat denganaloe
Perlakuan
Nila
i b Suhu ruangSuhu dingin
Gambar 19b. Grafik perbandingan rata-rata perubahan warna kuning tomat
dengan perlakuan pelapisan gel, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0
149
0
10
2030
40
50
60
Tomat kontrolyang dikemas
Tomat denganaloe yangdikemas
Tomat kontrol Tomat denganaloe
Perlakuan
Nila
i b
Suhu ruangSuhu dingin
Gambar 19c. Grafik perbandingan rata-rata perubahan warna kuning tomat
dengan perlakuan pelapisan gel, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21
Hasil analisis ragam (Lampiran 22 dan 23) yang dilakukan
terhadap data pada histogram Gambar 19b dan 19c menyatakan
bahwa berbagai perlakuan yang diberikan pada tomat tidak
memberikan pengaruh yang nyata pada perubahan warna kuning
tomat, baik pada hari penyimpanan ke-0 maupun hari penyimpanan
ke-21. Berdasarkan hasil percobaan tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa perlakuan pelapisan dengan gel lidah buaya,
pengemasan, dan suhu penyimpanan tidak memberikan pengaruh
yang nyata terhadap perubahan warna tomat.
150
0
10
20
30
40
50
60
70
0 5 10 15 20 25 30
Waktu penyimpanan (hari)
Nila
i kec
erah
an (s
kala
L)
Tomat kontrol dikemas (suhuruang)Tomat dengan aloe dikemas(suhu ruang)Tomat kontrol tdk dikemas(suhu ruang)Tomat dengan aloe tdk dikemas(suhu ruang)Tomat kontrol dikemas (suhudingin)Tomat dengan aloe dikemas(suhu dingin)Tomat kontrol tdk dikemas(suhu dingin)Tomat dengan aloe tdk dikemas(suhu dingin)
Gambar 20a. Grafik pengaruh pelapisan dengan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap kecerahan warna tomat selama penyimpanan
0
10
20
30
40
50
60
70
Tomat kontrolyang dikemas
Tomat denganaloe yangdikemas
Tomat kontrol Tomat denganaloe
Perlakuan
Nila
i kec
erah
an (s
kala
L)
Suhu ruangSuhu dingin
Gambar 20b. Grafik perbandingan rata-rata kecerahan warna tomat dengan
perlakuan pelapisan gel, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0
151
48
50
52
54
56
58
60
Tomat kontrolyang dikemas
Tomat denganaloe yangdikemas
Tomat kontrol Tomat denganaloe
Perlakuan
Nila
i kec
erah
an (s
kala
L)
Suhu ruangSuhu dingin
Gambar 20c. Grafik perbandingan rata-rata kecerahan warna tomat dengan
perlakuan pelapisan gel, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21
Gambar 19a menunjukkan pengaruh waktu penyimpanan
terhadap perubahan nilai kecerahan pada tomat yang diberi
perlakuan pelapisan gel lidah buaya, pengemasan, dan
penyimpanan suhu yang berbeda. Gambar 19b dan 19c,
menceritakan mengenai perubahan kecerahan yang terjadi pada
tomat dengan berbagai perlakuan pada hari ke-0 dan ke-21.
Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan (Lampiran 25)
pada data histogram Gambar 19c menyatakan bahwa perlakuan
suhu, pelapisan, dan pengemasan berpengaruh nyata terhadap
perubahan nilai kecerahan tomat. Nilai kecerahan terendah terdapat
pada tomat yang diberi perlakuan pelapisan gel lidah buaya,
pengemasan, dan penyimpanan pada suhu ruang, sedangkan nilai
kecerahan tertinggi terdapat pada tomat kontrol tanpa pelapisan
dan pengemasan yang disimpan pada suhu dingin. Tomat yang
disimpan pada suhu dingin memiliki nilai kecerahan yang lebih
tinggi bila dibandingkan dengan yang disimpan pada suhu ruang.
Selain itu, kombinasi perlakuan pelapisan dan pengemasan pada
suhu dingin dapat menghambat penurunan nilai kecerahan. Adanya
152
kombinasi perlakuan pengemasan, pelapisan, dan suhu
penyimpanan yang tepat akan mengurangi metabolisme komponen
warna yang dapat mengurangi nilai kecerahan.
Tomat tanpa pelapisan dan pengemasan yang disimpan
pada suhu dingin memiliki nilai kecerahan yang paling tinggi
dikarenakan tomat tersebut mulai mengalami chilling injury yang
menyebabkan kegagalan pematangan dan metabolisme pigmen
sehingga tidak terjadi perubaha warna yang signifikan untuk
merubah nilai kecerahan warna dari permukaan tomat tersebut.
Chilling injury ini terjadi karena suhu yang digunakan untuk
menyimpan tomat tersebut adalah 1°C. Suhu tersebut bukanlah
suhu yang optimum untuk menghambat proses respirasi dan
pematangan buah tomat, sehingga tomat-tomat yang disimpan pada
suhu dingin pada tahap ini sulit untuk memproduksi pigmen dan
menyebabkan nilai kecerahan warnanya masih lebih tinggi bila
dibandingkan dengan tomat yang disimpan pada suhu ruang.
Kombinasi dengan pengemasan dan pelapisan akan melindungi
tomat dari chilling injury, seperti yang terlihat pada tomat yang
dilapisi gel lidah buaya, baik yang dikemas maupun tidak,
memiliki nilai kecerahan yang lebih rendah daripada tomat tanpa
pelapisan dan pengemasan yang disimpan pada suhu dingin.
Pengamatan terhadap tomat yang disimpan pada suhu ruang berhenti
dilakukan pada hari ke-21 karena semua tomat kontrol untuk pengamatan tersebut
sudah rusak. Penyimpanan pada suhu ruang masih menyisakan beberapa sampel
tomat dengan 2 kali ulangan yang dilapisi gel lidah buaya, baik yang dikemas
maupun yang tidak, selama 3 hari kedepan. Sebelum akhirnya rusak akibat
kontaminasi mikroba. Aktivitas antimikroba pada edible coating dari gel lidah
buaya ini diuji dengan menggunakan metode swab. Uji mikrobiologi ini dilakukan
pada 2 sampel, yakni tomat segar dan tomat segar yang telah dilpaisi dengan gel
lidah buaya. Hasil uji mikrobiologi dapat dilihat pada Tabel 4 dan 5 di bawah ini.
153
Tabel 4. Hasil uji mikrobiologi pada permukaan buah tomat segar
Tingkat
pengenceran
Total bakteri (koloni/ml) Total kapang-khamir
(koloni/ml)
Cawan Cawan
1 2 1 2
10-1 TBUD TBUD 227 211
10-2 TBUD TBUD 33 33
10-3 TBUD TBUD 1 0
10-4 100 114 0 0
Total 2.2 X 107 5.4 X 104
Tabel 5. Hasil uji mikrobiologi pada permukaan buah tomat segar yang
telah dilapisi gel lidah buaya.
Tingkat
pengenceran
Total bakteri (koloni/ml) Total kapang-khamir
(koloni/ml)
Cawan Cawan
1 2 1 2
10-1 TBUD TBUD 115 103
10-2 TBUD TBUD 19 17
10-3 92 88 3 1
10-4 0 0 0 0
Total 1.8 X 106 2.2 X 104
Pengamatan terhadap tomat yang disimpan pada suhu dingin berhenti
dilakukan pada hari ke-28 akibat chilling injury dan penyakit antraknosa yang
dialami oleh tomat kontrol. Chilling injury merupakan kerusakan yang biasa
terjadi apabila suatu komoditi buah ataupun sayuran disimpan pada suhu rendah
untuk memperpanjang masa simpannya setelah pemanenan. Gejala fisik yang
154
mengindikasikan terjadinya kerusakan dingin (chilling injury) ini bervariasi
tergantung dari suhu dan lama penyimpanan, komoditas, tingkat kematangan
komoditas dan keadaan jaringannya, serta faktor lingkungan seperti cahaya, angin,
air, dan komponen nutrisi (Saltveit, 1990). Semakin lama komoditas disimpan
dalam suhu rendah maka gejala kerusakan dinginnya akan semakin cepat timbul.
Chilling injury yang dialami oleh tomat-tomat ini dicirikan dengan adanya
pencoklatan pada bibit, kehilangan citarasa tomat yang khas, serta kegagalan
pematangan. Kehilangan citarasa yang khas dari tomat akibat kerusakan dingin
terjadi karena adanya peningkatan siklus glikolisis sehingga terjadi pengumpulan
hasil-hasil fermentasi sampingan seperti ethanol dan asam laktat yang
menyebabkan penyimpangan bau.
Antraknosa merupakan penyakit yang sering terjadi pada tumbuhan. Pada
umumnya penyakit ini menyerang bagian daun dan buah dari tanaman tersebut.
Penyakit ini disebabkan oleh kapang jenis Colleothricum dengan penampakan
fisik menyerupai lebam-lebam hitam pada tanaman yang dijangkitinya. Jika
dilihat hasil uji mikrobiologi pada alinea di atas terlihat bahwa gel lidah buaya
mampu mengeliminasi sejumlah mikroba, tetapi kandungan anti-mikroba dan
anti-fungal lidah buaya tidak mampu menghilangkan mikroba penyakit
antraknosa. Penyakit ini sebenarnya dapat ditanggulangi dengan cara mencuci
terlebih dahulu buah atau sayur sebelum dicelupkan ke dalam gel lidah buaya
untuk kemudian dikonsumsi.
Penyimpanan pada suhu dingin masih menyisakan beberapa sampel tomat
dengan 2 kali ulangan yang dilapisi gel lidah buaya, baik yang dikemas maupun
yang tidak, selama 5 hari kedepan hingga tomat-tomat tersebut mengalami
pembusukan akibat chilling injury dan penyakit antraknosa yang dialami.
155
Gambar 21. Tomat yang terkena penyakit antraknosa
Gambar 22. Chilling Injury : Pencoklatan pada bibit
156
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Aplikasi gel lidah buaya sebagai edible coating pada pengawetan
tomat segar dapat menghambat kerusakan mutu tomat akibat proses
pematangan yang cepat setelah panen. Aplikasi ini lebih efektif jika
dipadukan dengan pengemasan dan penyimpanan suhu dingin daripada
penyimpanan pada suhu ruang. Gel lidah buaya yang digunakan adalah gel
lidah buaya yang langsung diolah segera setelah panen dilakukan. Formulasi
yang paling baik untuk digunakan sebagai edible coating adalah gel lidah
buaya murni tanpa penambahan apapun.
Penyimpanan pada suhu dingin mampu memperpanjang umur simpan
tomat hingga 5 hari, sedangkan penyimpanan pada suhu ruang mampu
memperpanjang umur simpan tomat hingga 3 hari. Penyimpanan pada suhu
dingin (1°C) tidak membuat tomat yang telah dilapisi dengan gel lidah buaya
dan dikemas dengan plastik PVC mengalami chilling injury.
Edible coating dari gel lidah buaya memiliki kemampuan mereduksi
jumlah mikroba awal pada permukaan tomat, yakni sebesar 2.2 X 107
koloni/cm2 sebelum dilapisi gel lidah buaya menjadi 1.8 X 106 koloni/cm2
setelah dilapisi, sedangkan jumlah kapang dari sebesar 5.4 X 104 koloni/ cm2
menjadi 2.2 X 104 koloni/cm2, namun aktivitas anti-mikroba dan anti-kapang
dari gel lidah buaya tersebut tidak mampu menghilangkan mikroba penyebab
penyakit antraknosa.
157
B. SARAN
Penelitian mengenai edible coating dari gel lidah buaya ini masih memiliki
banyak kekurangan mulai dari pembuatan hingga ke proses aplikasinya. Oleh
karena itu, optimasi proses pencucian dengan menggunakan bahan pencuci
selain klorin serta trimming dan filleting agar didapatkan rendemen dengan
kehilangan senyawa bioaktif yang terkandung dalam gel lidah buaya ini perlu
dilakukan lebih mendalam. Selain itu, pada penelitian ini hanya dilakukan
kombinasi dengan satu macam kemasan dan suhu dingin (1°C) saja, sehingga
belum tercapai hasil yang optimum untuk mampu menahan penurunan mutu
yang terjadi pada tomat, oleh karena itu perlu diadakan penelitian dengan
menggunakan bebrbagai kemasan serta penyimpanan pada suhu optimum
(10°C). Apilkasi pelapisan dengan gel lidah buaya dapat pula dilakukan pada
jenis buah atau sayuran lain. Kemampuan gel lidah buaya untuk mereduksi
kerja enzim pada permukaan buah dapat diterapkan pada produk-produk fresh
cut yang mudah mengalami browning atau reaksi enzimatis lainnya.
Gel lidah buaya memiliki banyak komponen aktif yang terkandung
didalamnya, sehingga pengembangan produk-produk, selain sebagai edible
coating, dari gel lidah buaya ini sebaiknya dieksplorasi lebih jauh untuk dapat
memaksimalkan potensi-potensi tersebut dan menambah nilai jual tanaman
lidah buaya.
158
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association Analytical Chemistry, Inc., Washington D. C.
Barkey, Silvya S. 1998. Aplikasi Edible Film Khitosan dari Kulit Udang Windu (Panaeus monodon) pada Penyimpanan Buah Tomat. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Banker, G.S. 1966. Film coating, theory and practice. Journal of Pharmacological Science. Vol 55, pp 81-83 [ 30 Juli 2007].
Beuchat, L.R. 1998. Surface Decontamination of Fruits and Vegetables Eaten Raw. WHO. Switzerland.
Cheftel, J.C, Cug, J.I., dan D. Lorient. 1985. Amino Acids, Peptides, and Proteins. Di dalam O.R. Fennema (ed) Food Chemistry. Marcell Dekker, Inc. New York.
Davis, R.H., DiDonato, J.J., Hartman, G.M., Haas, R.C. 1994. Anti-inflammatory and wound healing activity of a growth substance in Aloe vera. Journal of The American Pediatric Medical Association. Vol. 84, pp 77-81.
Donhowe IG, Fennema O. 1994. Edible films and coatings: characteristics, formation, definitions, and testing methods. Di dalam . Krochta JM, Baldwin EA, Carriedo MN (eds) Edible Coating and Film to Improve Food Quality. Technomic Publishing Company. Inc. Pennsylvania.
Farnum, C., Stanley, D.W., dan J.I. Gray. 1976. Protein-lipid interactions in soy films. Di dalam H. Kristanoko: Pengaruh Penambahan CMC dan Sorbitol Terhadap Karakteristik Fisik Edible Film dari Ekstrak Protein Bungkil Kedelai. Skripsi Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Geeson, J.D., Brown, M.K., Madison, K., Shepherd, J., dan F. Guaraldi. 1985. Modified Atmosphere Packaging to Extend Shelf Life of Tomatoes. Di dalam T.S. Rahayu: Pemgaruh Suhu, Jenis Kemasan Plastik, dan Modifikasi Atmosfir Terhadap Mutu Kacang Panjang Selama Penyimpanan. Skripsi Jurusan Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Glincksman, M. 1984. Food Hydrocolloids. Di dalam H. Halid: Mmepelajari Pengaruh Penambahan Isolat Potein Keelai Terhadap Beberapa Sifat Fisik Edible Coatings dari Kappa-Karagenan. Skripsi Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
159
Gontard, N., Gulibert. S., dan J.I. Cuq. 1983. Water and gliserol as plasticizer affect mechanical and water vapor barrier properties of an edible wheat gluten film. Journal of Food Science. Vol 58(1), pp 206-210 [30 Juli 2007]
Hall, C.W., R.E. Hardenburg, dan Er. B. Pantastico.1975. Pengemasan untuk konsumen dengan plastik. Di dalam Pantastico. Er. B (eds) Fisiologi Pasca Panen. Gajah Mada Universiity Press. Yogyakarta.
Hanlon, J.F. 1971. Handbook of Package Engineering. McGraw Hill Book Co. USA.
Hardenburg, R.E. 1975. Dasar-dasar Pengemasan. Di dalam Pantastico. Er. B (eds) Fisiologi Pasca Panen. Gajah Mada Universiity Press. Yogyakarta.
He, Qian., et al. 2003.Quality And Safety Assurance In The Processing Of Aloe vera Gel Juice. Food Control Journal. Vol 16, pp 95-104. [21 Mei 2007].
Henig, Y.S. 1972. Storage Stability and Quakity of Produce Packaged in Polymeric Films. Di dalam Norman dan Salunkhe (eds) Postharvest Biology and handling of Fruit and Vegetables. The AVI Publishing Co. Inc. Westport. Connecticut.
Hobson, G.E dan J.N. Davies. 1971. The Tomato. Di dalam Hulme A.C (eds) The Biochemistry of Fruit and Product. Vol II. Academic Press. London.
Hurrel, R.F. 1980. Interaction of Food Component during Processing. Di dalam G.G. Birch dan K.J. Parker (eds) Food and Health: Science and Technology. Applied Scince Publisher. London.
Jowitt, R., Felix, E., Michael, K., Brian, M., dan R. Michael.1987. Physical Properties of Foods 2. Elsevier Applied Science. London.
Kadek Kumalasari. 2005. Pembuatan dan karakterisasi edible film dari pati bonggol pisang dengan penambahan plasticizer gliserol dan propilen glikol. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kelley, J.J. dan R. Pressey. 1966. Syudies with soybean protein and fiber formation. Di dalam H. Halid: Mempelajari Pengaruh Penambahan Isolat Potein Keelai Terhadap Beberapa Sifat Fisik Edible Coatings dari Kappa-Karagenan. Skripsi Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kinsella, J.E. 1979. Fungsional Pengolahan Kedelai Menjadikan Makanan Bermutu. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Krochta, J.M., Baldwin, E.A., dan M. Nisperos-Carriedo. 1994. Edible Coatings and Films to Improve Food Quality. Technomic Publishing Co. Inc. Lancaster. Basel.
160
Lieberman, E.R., dan S.G. Gilbert.1973. gas permeation of collagen films as affected by cross-linkage, moisture, and plasticizer content. Di dalam H. Kristanoko: Pengaruh Penambahan CMC dan Sorbitol Terhadap Karakteristik Fisik Edible Film dari Ekstrak Protein Bungkil Kedelai. Skripsi Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Liener, I.E. 1978. Nutritional Value of Food Protein Products. Di dalam A.K. Smith dan S.J. Cicle (eds) Soybean: Chemistry and Technology. The AVI Publishing Co. Inc. Westport. Connesticut.
McHugh, T.H. dan J.M. Krochta. 1994. Sorbitol vs gliserol plasticized whey protein edible films: integrated oxygen permeability and tensile strength evaluation. Di dalam H. Kristanoko: Pengaruh Penambahan CMC dan Sorbitol Terhadap Karakteristik Fisik Edible Film dari Ekstrak Protein Bungkil Kedelai. Skripsi Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Meyer, E.W. dan L.D. William. 1977. Chemical Modification of Soy Protein. Di dalam R.E. Feeney dan J.R. Whittaker (eds) Food Protein. American Chemical Society. Washington DC.
Mohsenin, Nuri N. 1970. Physical Properties of Plant and Animal Materials. Gordon and Birch Publishers. Australia.
Mousa , A.S.M., Ali, M.I.A, Shalaby, N.M.M, dan M.H.A. Elgamal. 1999. Antifungal effects of different plant extracts and their major components of selected Aloe species. J. Phytother. Res. Vol 13, pp 401-407 [20 Februari 2007.]
Mori, T., S. Utsumi, H. Inaba, K. Kitamura, dan K. Harada. 1981. Differences in sub-unit composition if glycinin among soybeen cultivars. Journal of Agricultural and Food Chemistry. Vol 29, pp 22-23 [30 Juni 2007].
Muchtadi, T dan Sugiyono. 1989. Petunjuk Laboratrium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Depdikbid Dirjen PAU Pangan dan Gizi. IPB. Bogor.
Nur Rimadianti. 2007. Karakteristik Edible Film dari Isinglass dengan penambahan sorbitol sebagai plasticizer. Skripsi Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Okamoto, S. 1978. Factors affecting protein film formation. Di dalam H. Halid: Mempelajari Pengaruh Penambahan Isolat Potein Kedelai Terhadap Beberapa Sifat Fisik Edible Coatings dari Kappa-Karagenan. Skripsi Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor
161
Pantastico, E. B., A.K. Mattoo, dan C.T. Phan. 1986. Respirasi dan Puncak Respirasi. Di dalam Fisiologi Pasca Panen. Gajah Mada University Press. Jakarta.
Philips, R.D. dan L.R. Beuchat. 1981. Enzyme Modification. Of Protein. Di dalam J.P. Cherry (ed) Protein Functionalty in Food. American Chemical Society. Washington DC.
Rhodes. 1986. Peranan etilen dalam pemasakan buah. Di dalam Pantastico, Er. B. Fisiologi Pasca Panen, Penanganan, dan Pemanfaatan Buah-buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Subtropika. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Reynolds, T and A.C. Dweck. 1999. Aloe vera leaf gel: a review update. Journal of Ethnopharmacology. Vol 68, pp 3-37. [21 Mei 2007].
Robert, H.D. 1997. Aloe vera: A scientific approach. Di dalam He et al. (eds) Quality And Safety Assurance In The Processing Of Aloe vera Gel Juice. Food Control Journal. Vol 16, pp 95-104. [21 Mei 2007].
Samanth, S.K., R.S. Singhal, P.R. Kurkani, dan D.V. Rege. 1993. Protein-polysaccharide interactions: a new approach in food formulations. International Journal of Food Science and Technology. Vol. 28, pp 547-562 [23 Juli 2007].
Sacharow, S. dan R.C. Griffin. 1980. Principles pf Food Packaging. AVI Publishing Co. Westport, Connecticut.
Smith, A.K. dan S.J. Circle. 1980. Chemical Composition of The Seed. Di dalam Allan et al. (eds) Soybean Chemistry and Technology Vol I. AVI Publishing Co. Inc. Westport. Connecticut.
Soedibyo, M. dan A.B. Rosmani. 1986. Respirasi, Fungsi, dan Peranannya pada Penanganan Segar Buah-buahan dan Sayur-sayuran. Di dalam C.N. Anggrahini: Mempelajari Pengaruh Kemasan Plastik PVC Dilubangui Terhadap Perubahan Sifat Fisik dan Akumulasi CO2 Hasil Respirasi dari Paprika. Skripsi Jurusan Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Supriyanto, T. 1987. Perilaku Peubah dan Parameter Teknik Sistem Pemyimpanan tomat Segar dengan MAP. Skripsi Jurusan Mekanisasi Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tugiyono. 1993. Bertanam Tomat. Penebar Swadaya. Jakarta.
Valverde, J.M., et al. 2005. Novel Edible Coating Based on Aloe vera Gel to Maintain Table Grape Quality and Safety. Journal of Agricultural and Food Chemistry. Vol.53, pp 7807-7813 [20 Februari 2007].
162
Wibowo, Josephine T. 1996. Pengaruh Penambahan Isolat Protein Kedelai Terhadap Karakteristik Edible Coating dari Low Methoxy Pectins. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Wilson, E.D., Fisher, K.H., dan M.E. Fuqua. 1975. Principle of Nutrition. John Willey and Sons, Inc. New York.
Winters, W.D., Benavides, R., dan W.J. Clouse. 1981. Effects of aloe extracts on human normal and tumor cells in vitro. Economic Botany. Vol. 35, pp 89-95.
Winarno, F.G dan M. Aman. 1981. Fisiologi Lepas Panen. Sastra Budaya. Jakarta.
Whistler, R.L. dan J.R. Daniel.1985. Carbohydrate. Di dalam O.R. Fennema (ed) Food Chemistry. Marcell Dekker, Inc. New York.
Wolf, W.J. dan J.C. Cowan. 1971. Soybean as a food source. Critical Review Food Technology Journal. Vol 2, pp 81-158 [18 Juli 2007].
Wolf, W.J. 1975. Soy Protein for Fabricated Foods. Di dalam G.E. Inglet (ed) Fabricated Foods. AVI Publ.Co.Inc. Westport. Connecticut.
Wolfe, T.K. dan Kipps, M.S. 1953. Production of Field Crops. A Textbook of Agronomy. McGraw-Hill Book Company, Inc. New York.
Yaron, A. 1991. Aloe vera: chemical and physical properties and stabilization. Di dalam T. Reynolds dan A.C. Dweck (eds). Aloe vera leaf gel: a review update. Journal of Ethnopharmacology. Vol 68, pp 3-37. [21 Mei 2007]
163
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data susut bobot tomat (%) dengan perlakuan pelapisan gel lidah
buaya pada umur tertentu.
Lampiran 1.a. Data susut bobot tomat ( %) dengan pelapisan gel lidah buaya yang
berumur 1 hari.
Perlakuan Ulangan Susut bobot tomat
Hari ke-
1 2 3
1. Tomat kontrol
2. Tomat dengan
pelapisan gel lidah
buaya
1
2
1
2
0.797365
0.970374
0.777469
0.739552
1.485235
1.655408
1.631087
1.230056
2.874025
4.167485
3.063258
2.290403
Lampiran 1.b. Data susut bobot tomat ( %) dengan pelapisan gel lidah buaya yang
berumur 2 hari.
Perlakuan Ulangan Susut bobot tomat
Hari ke-
1 2 3
1. Tomat kontrol
2. Tomat dengan
pelapisan gel lidah
buaya
1
2
1
2
1.339506
1.420176
1.529497
1.521208
1.617251
1.71386
1.880811
1.916789
2.627905
2.997661
2.903857
2.887015
164
Lampiran 1.c. Data susut bobot tomat ( %) dengan pelapisan gel lidah buaya yang
berumur 6 hari.
Perlakuan Ulangan Susut bobot tomat
Hari ke-
1 2 3
1. Tomat kontrol
2. Tomat dengan
pelapisan gel lidah
buaya
1
2
1
2
0.623778
0.528889
0.97095
1.113915
0.665168
0.541734
1.027912
1.188067
0.490427
0.37321
0.55125
0.801568
Lampiran 1.d. Data susut bobot tomat ( %) dengan pelapisan gel lidah buaya yang
berumur 7 hari.
Perlakuan Ulangan Susut bobot tomat (%)
Hari ke-
1 2 3
1. Tomat kontrol
2. Tomat dengan
pelapisan gel lidah
buaya
1
2
1
2
0.671141
0.796424
1.554899
0.838409
0.802365
0.81101
1.738286
1.228364
1.401182
1.405505
1.869143
1.614182
165
Lampiran 3.h. Data susut bobot rata-rata tomat dengan perlakuan suhu dingin,
pelapisan dengan gel, dan pengemasan.
Perlakuan Rata-rata susut bobot tomat (%)
Hari ke-
0 7 14 21 28
Suhu
dingin
Dikemas Kontrol 0 1.71 6.16 5.06 2.76
Coating 0 3.26 2.33 2.68 4.06
Tidak
dikemas
Kontrol 0 7.47 6.45 3.85 3.91
Coating 0 4.31 4.90 3.69 2.81
Lampiran 3.i. Data nilai kelunakan tekstur rata-rata tomat dengan perlakuan suhu
dingin, pelapisan dengan gel, dan pengemasan.
Perlakuan Rata-rata susut bobot tomat (%)
Hari ke-
0 7 14 21 28
Suhu
dingin
Dikemas Kontrol 7.12 10.12 11.97 14.8 13.69
Coating 8.13 9.72 11.06 11.58 13.21
Tidak
dikemas
Kontrol 4.87 10.33 12.97 16.94 18.36
Coating 6.49 9.53 11.34 11.78 13.5
Lampiran 3.j. Data nilai perubahan total padatan terlarut rata-rata tomat dengan
perlakuan suhu dingin, pelapisan dengan gel, dan pengemasan.
Perlakuan Rata-rata susut bobot tomat (%)
Hari ke-
0 7 14 21 28
Suhu
dingin
Dikemas Kontrol 3.2 3.4 3.225 3.125 3
Coating 3.05 3.1 3.075 3 3
Tidak
dikemas
Kontrol 3 3.2 3.2 3.1 2.925
Coating 3.05 3.125 3.05 3 3
166
Lampiran 3.k. Data nilai perubahan derajat keasaman rata-rata tomat dengan
perlakuan suhu dingin, pelapisan dengan gel, dan pengemasan.
Perlakuan Rata-rata susut bobot tomat (%)
Hari ke-
0 7 14 21 28
Suhu
dingin
Dikemas Kontrol 4.45 4.513 4.58 4.558 4.695
Coating 4.44 4.44 4.485 4.49 4.65
Tidak
dikemas
Kontrol 4.3875 4.5025 4.58 4.565 4.615
Coating 4.415 4.46 4.553 4.53 4.58
Lampiran 3.l. Data nilai kecerahan rata-rata warna tomat dengan perlakuan suhu
dingin, pelapisan dengan gel, dan pengemasan.
Perlakuan Rata-rata susut bobot tomat (%)
Hari ke-
0 7 14 21 28
Suhu
dingin
Dikemas Kontrol 58.22 51.83 54.49 53.11 55.69
Coating 51.87 53.55 54.87 58.62 59.02
Tidak
dikemas
Kontrol 53.68 54.42 60.26 64.52 58.02
Coating 54.59 52.97 57.59 58.47 56.48
Lampiran 3.m. Data nilai a rata-rata warna tomat dengan perlakuan suhu dingin,
pelapisan dengan gel, dan pengemasan.
Perlakuan Rata-rata susut bobot tomat (%)
Hari ke-
0 7 14 21 28
Suhu
dingin
Dikemas Kontrol 13.39 31.62 34.09 39.56 36.26
Coating 25.89 31.15 35.36 34.21 35.59
Tidak
dikemas
Kontrol 25.69 31.01 34 37.3 29.67
Coating 24.32 32.12 34.11 30.59 30.8
167
Lampiran 3.n. Data nilai b rata-rata warna tomat dengan perlakuan suhu dingin,
pelapisan dengan gel, dan pengemasan.
Perlakuan Rata-rata susut bobot tomat (%)
Hari ke-
0 7 14 21 28
Suhu
dingin
Dikemas Kontrol 39.18 37.95 41 36.8 43.37
Coating 38.12 39.81 44.37 44.99 45.59
Tidak
dikemas
Kontrol 39.89 41.56 47.52 47.88 44.25
Coating 39.21 39.10 45.30 45.80 45.16
168
Lampiran 4 . Data susut bobot tomat pada hari ke-0 dan hari ke-21.
Perlakuan Ulangan Susut bobot (%)
Hari ke-
21
Suhu ruang Dikemas Kontrol 1 8.06
2 7.11
X ± SD 7.62 ± 0.51
Coating 1 4.08
2 3.74
X ± SD 3.91 ± 0.17
Tidak
dikemas
Kontrol 1 8.64
2 7.94
X ± SD 8.35 ± 0.41
Coating 1 4.811
2 4.34
X ± SD 4.58 ± 0.24
Suhu dingin Dikemas Kontrol 1 3.29
2 4.81
X ± SD 5.06 ± 0.25
Coating 1 2.56
2 2.80
X ± SD 2.68 ± 0.12
Tidak
dikemas
Kontrol 1 4.12
2 3.57
X ± SD 3.85 ± 0.28
Coating 1 4.87
2 2.65
X ± SD 3.69 ± 1.04
169
Lampiran 5 . Data kelunakan tekstur tomat pada hari ke-0 dan hari ke-21.
Perlakuan Ulangan Susut bobot (%)
Hari ke-
0 21
Suhu ruang Dikemas Kontrol 1 4.88 21.18
2 6.02 18.36
X ± SD 5.45 ± 0.57 19.72 ± 1.46
Coating 1 10.8 13.48
2 7.58 11.12
X ± SD 9.19 ± 1.61 12.3 ± 1.18
Tidak
dikemas
Kontrol 1 5.9 21.86
2 5.2 21.82
X ± SD 5.55 ± 0.35 21.84 ± 0.02
Coating 1 5.66 12.64
2 6.3 11.3
X ± SD 5.98 ± 0.32 11.97 ± 0.67
Suhu dingin Dikemas Kontrol 1 5.9 15.44
2 8.34 14.16
X ± SD 7.12 ± 1.22 14.8 ± 0.64
Coating 1 9.28 10.72
2 6.98 12.44
X ± SD 8.13 ± 1.15 11.58 ± 0.86
Tidak
dikemas
Kontrol 1 3.54 15.72
2 6.2 18.16
X ± SD 4.87 ± 1.33 16.94 ± 1.19
Coating 1 6 12.3
2 6.98 11.26
X ± SD 6.49 ± 0.49 11.78 ± 0.52
170
Lampiran 6. Data total padatan terlarut tomat pada hari ke-0 dan hari ke-21.
Perlakuan Ulangan Susut bobot (%)
Hari ke-
0 21
Suhu ruang Dikemas Kontrol 1 3 2.95
2 2.5 2.5
X ± SD 2.75 ± 0.25 2.725 ±
0.225
Coating 1 2 3
2 2.9 2.5
X ± SD 2.45 ± 0.45 2.75 ± 0.25
Tidak
dikemas
Kontrol 1 2.5 2.825
2 2.95 2.375
X ± SD 2.725 ± 0.225 2.6 ± 0.275
Coating 1 2.65 2.6
2 3.05 2.75
X ± SD 2.85 ± 0.2 2.675 ±
0.075
Suhu dingin Dikemas Kontrol 1 3.35 3
2 3.05 3.25
X ± SD 3.2 ± 0.15 3.125 ±
0.875
Coating 1 3.2 3
2 2.9 3
X ± SD 3.05 ± 0.15 3 ± 0
Tidak
dikemas
Kontrol 1 3.05 3.2
2 2.95 3
X ± SD 3 ± 0.05 3.1 ± 0.1
Coating 1 3.1 2.95
2 3 3.05
X ± SD 3.05 ± 0.05 3 ± 0.05
171
Lampiran 7. Data derajat keasaman tomat pada hari ke-0 dan hari ke-21.
Perlakuan Ulangan Susut bobot (%)
Hari ke-
0 21
Suhu ruang Dikemas Kontrol 1 4.545 5.3
2 4.405 5.29
X ± SD 4.475 ± 0.72 5.295 ± 0.005
Coating 1 4.515 4.52
2 4.525 4.53
X ± SD 4.52 ± 0.005 4.525 ± 0.005
Tidak
dikemas
Kontrol 1 4.425 5.3
2 4.36 5.32
X ± SD 4.393 ±
0.033
5.31 ± 0.01
Coating 1 4.4 4.53
2 4.55 4.53
X ± SD 4.475 ±
0.075
4.53 ± 0
Suhu dingin Dikemas Kontrol 1 4.42 4.545
2 4.48 4.57
X ± SD 4.45 ± 0.03 4.558 ± 0.012
Coating 1 4.485 4.455
2 4.395 4.525
X ± SD 4.44 ± 0.045 4.49 ± 0.035
Tidak
dikemas
Kontrol 1 4.315 4.59
2 4.46 4.54
X ± SD 4.388 ±
0.073
4.565 ± 0.025
Coating 1 4.475 4.53
2 4.355 4.53
X ± SD 4.415 ± 0.06 4.53 ± 0
172
Lampiran 8. Data nilai kecerahan warna tomat pada hari ke-0 dan hari ke-21.
Perlakuan Ulangan Susut bobot (%)
Hari ke-
0 21
Suhu ruang Dikemas Kontrol 1 50.60 50.12
2 55.57 55.86
X ± SD 52.79 ± 0.42 52.99 ± 0.23
Coating 1 54.11 48.86
2 54.94 50.00
X ± SD 54.52 ± 0.41 49.44 ± 0.42
Tidak
dikemas
Kontrol 1 53.32 49.49
2 49.83 59.56
X ± SD 51.58 ± 1.75 54.53 ± 5.03
Coating 1 55.53 58.78
2 54.24 63.36
X ± SD 54.88 ± 0.54 61.07 ± 2.29
Suhu dingin Dikemas Kontrol 1 56.44 51.59
2 59.99 54.62
X ± SD 58.22 ± 1.77 53.11 ± 1.81
Coating 1 51.18 60.00
2 52.56 57.24
X ± SD 51.87 ± 0.69 58.62 ± 1.38
Tidak
dikemas
Kontrol 1 52.94 64.88
2 54.43 64.16
X ± SD 53.68 ± 0.75 64.52 ± 0.36
Coating 1 57.63 57.90
2 51.56 59.04
X ± SD 54.59 ± 3.03 58.47 ± 0.57
173
Lampiran 9. Data warna merah tomat (skala a) pada hari ke-0 dan hari ke-21.
Perlakuan Ulangan Susut bobot (%)
Hari ke-
0 21
Suhu ruang Dikemas Kontrol 1 15.14 36.04
2 15.47 47.18
X ± SD 15.31 ± 0.16 41.61 ± 5.57
Coating 1 22.73 38.18
2 10.92 37.41
X ± SD 16.83 ± 5.91 37.79 ± 0.38
Tidak
dikemas
Kontrol 1 22.15 40.67
2 24.82 45.95
X ± SD 23.49 ± 1.33 43.31 ± 2.64
Coating 1 10.05 32.7
2 14.12 37.1
X ± SD 12.09 ± 2.03 34.9 ± 2.2
Suhu dingin Dikemas Kontrol 1 6.87 39.19
2 19.9 39.93
X ± SD 13.39 ± 6.51 39.56 ± 0.37
Coating 1 29.74 34.65
2 22.03 33.77
X ± SD 25.89 ± 3.85 34.21 ± 0.44
Tidak
dikemas
Kontrol 1 29.35 33.07
2 22.03 41.53
X ± SD 25.69 ± 3.66 37.3 ± 4.23
Coating 1 22.85 27.08
2 25.79 34.1
X ± SD 24.32 ± 1.47 30.59 ± 3.51
174
Lampiran 10. Data warna kuning tomat (skala b) pada hari ke-0 dan hari ke-21.
Perlakuan Ulangan Susut bobot (%)
Hari ke-
0 21
Suhu ruang Dikemas Kontrol 1 40.36 32.9
2 39.39 47.02
X ± SD 39.89 ± 0.5 39.96 ± 7.06
Coating 1 39.22 31.7
2 39.58 35.6
X ± SD 39.4 ± 0.18 33.65 ± 1.95
Tidak
dikemas
Kontrol 1 39.94 33.62
2 39.36 39.54
X ± SD 39.65 ± 0.29 36.58 ± 2.96
Coating 1 39.35 45.81
2 40.42 46.62
X ± SD 39.89 ± 0.53 46.22 ± 0.4
Suhu dingin Dikemas Kontrol 1 39.32 35.95
2 39.03 37.65
X ± SD 39.18 ± 0.15 36.8 ± 0.85
Coating 1 38.71 45.95
2 37.53 44.04
X ± SD 38.12 ± 0.59 44.99 ± 0.95
Tidak
dikemas
Kontrol 1 39.35 47.28
2 40.43 48.48
X ± SD 39.89 ± 0.54 47.88 ± 0.6
Coating 1 39.72 45.9
2 38.69 45.69
X ± SD 39.21 ± 0.52 45.80 ± 0.11
175
Lampiran 11. Tabel hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan susut bobot tomat
pada perlakuan penyimpanan gel lidah buaya untuk aplikasi
coating.
ANOVA SSTBBT
Sum of Squares df
Mean Square F Sig.
Between Groups .781 3 .260 1.045 .424
Within Groups 1.994 8 .249
Total 2.775 11 SSTBBT Duncan
SAMPEL N
Subset for alpha = .05
1 4 3 1.00998
487 1 3 1.22379
675 3 3 1.28024
228 2 3 1.71261
970 Sig. .144
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. Keterangan : 1= tomat kontrol (1) 2.= tomat kontrol (2) 3 = tomat dengan pelapisan gel lidah buaya berunur 1 hari (1) 4 = tomat dengan pelapisan gel lidah buaya berunur 1 hari (2)
176
Lampiran 12. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap susut bobot
tomat dengan berbagai perlakuan formula coating.
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SSTBBT
Source
Type III Sum of Squares df
Mean Square F Sig.
Corrected Model 5.552(a) 14 .397 32.503 .000
Intercept 73.913 1 73.913 6058.370 .000
SAMPEL .751 4 .188 15.380 .000 HARI 4.801 10 .480 39.352 .000 Error .488 40 .012 Total 79.953 55 Corrected Total 6.040 54
a R Squared = .919 (Adjusted R Squared = .891) SSTBBT Duncan SAMPEL N
Subset 1 2
2 11 1.00388665
3 11 1.03873193
5 11 1.19848527
1 11 1.27438643
4 11 1.28079024
Sig. .464 .106 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .012. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 11.000. b Alpha = .05.
177
SSTBBT Duncan HARI N
Subset 1 2 3 4 5
10 5 .62207907
9 5 .63025265
7 5 1.04087509
6 5 1.04903422
5 5 1.07342745
3 5 1.29395470
4 5 1.30866145
1.30866145
1 5 1.36802300
1.36802300
2 5 1.38001821
1.38001821
11 5 1.45372129
1.45372129
8 5 1.53177002
Sig. .907 .665 .270 .063 .271 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .012. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000. b Alpha = .05. Keterangan : 1 = kontrol 2 = tomat dengan gel lidah buaya 3 = tomat dengan gel lidah buaya dan ISP 1 % 4 = tomat dengan gel lidah buaya, ISP 1%, dan gliserol 1%
5 = tomat dengan gel lidah buaya, ISP 1%, dan sorbitol 2 ml/45 ml ISP
178
Lampiran 13. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap susut bobot
tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu
penyimpanan pada hari ke-21.
ANOVA SSTBBT
Sum of Squares df
Mean Square F Sig.
Between Groups 54.223 7 7.746 17.029 .000
Within Groups 3.639 8 .455
Total 57.862 15
SSTBBT Duncan SAMPEL N
Subset for alpha = .05 1 2 3
6 2 2.68106435
8 2 3.75745000
3.75745000
7 2 3.84377650
3.84377650
2 2 3.91059200
3.91059200
4 2 4.57803850
5 2 5.05380050
1 2 7.58802150
3 2 8.28617350
Sig. .125 .112 .331 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
179
Lampiran 14. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kelunakan
tekstur tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu
penyimpanan pada hari ke-0.
ANOVA KLUNAKN
Sum of Squares df
Mean Square F Sig.
Between Groups 30.268 7 4.324 2.172 .150
Within Groups 15.924 8 1.990
Total 46.191 15
KLUNAKN Duncan
SAMPEL N
Subset for alpha = .05 1 2
7 2 4.87000 1 2 5.45000 3 2 5.55000 4 2 5.98000 5.980008 2 6.49000 6.490005 2 7.12000 7.120006 2 8.13000 8.130002 2 9.19000Sig. .067 .068
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
180
Lampiran 15. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kelunakan
tekstur tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu
penyimpanan pada hari ke-21.
ANOVA KLUNAKN
Sum of Squares df
Mean Square F Sig.
Between Groups 225.838 7 32.263 19.363 .000
Within Groups 13.330 8 1.666
Total 239.168 15
KLUNAKN Duncan SAMPEL N
Subset for alpha = .05 1 2 3 4
6 2 11.58000
8 2 11.78000
4 2 11.97000
2 2 12.30000
5 2 15.55000
7 2 17.25000
17.25000
1 2 19.77000
19.77000
3 2 21.84000
Sig. .612 .224 .087 .147 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
181
Lampiran 16. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap total padatan
terlarut tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu
penyimpanan pada hari ke-0.
ANOVA B
Sum of Squares df
Mean Square F Sig.
Between Groups .802 7 .115 1.130 .429
Within Groups .811 8 .101
Total 1.614 15
B Duncan
SAMPEL N
Subset for alpha = .05
1 2 2 2.450003 2 2.725001 2 2.750004 2 2.850007 2 3.000006 2 3.050008 2 3.050005 2 3.20000Sig. .063
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
182
Lampiran 17. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap total padatan
terlarut tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu
penyimpanan pada hari ke-21.
ANOVA B
Sum of Squares df
Mean Square F Sig.
Between Groups .749 7 .107 1.986 .178
Within Groups .431 8 .054
Total 1.181 15
B Duncan
SAMPEL N
Subset for alpha = .05 1 2
3 2 2.60000 4 2 2.67500 2.675001 2 2.72500 2.725002 2 2.75000 2.750008 2 3.00000 3.000006 2 3.07500 3.075005 2 3.12500 3.125007 2 3.20000Sig. .072 .072
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
183
Lampiran 18. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap derajat
keasaman tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan
suhu penyimpanan pada hari ke-0.
ANOVA PH
Sum of Squares df
Mean Square F Sig.
Between Groups .029 7 .004 .705 .671
Within Groups .047 8 .006
Total .076 15 PH Duncan
SAMPEL N
Subset for alpha = .05
1 7 2 4.387503 2 4.392508 2 4.415006 2 4.440005 2 4.450001 2 4.475004 2 4.475002 2 4.52000Sig. .147
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
184
Lampiran 19. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap derajat
keasaman tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan
suhu penyimpanan pada hari ke-21.
ANOVA PH
Sum of Squares df
Mean Square F Sig.
Between Groups 1.784 7 .255 472.808 .000
Within Groups .004 8 .001
Total 1.788 15
PH Duncan SAMPEL N
Subset for alpha = .05 1 2 3
6 2 4.49000 2 2 4.52500 4.52500 4 2 4.53000 4.53000 8 2 4.53000 4.53000 5 2 4.55750 7 2 4.56500 1 2 5.295003 2 5.31000Sig. .144 .148 .536
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
185
Lampiran 20. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kemerahan
warna tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu
penyimpanan pada hari ke-0.
ANOVA A
Sum of Squares df
Mean Square F Sig.
Between Groups 470.412 7 67.202 2.365 .126
Within Groups 227.365 8 28.421
Total 697.777 15
A Duncan
SAMPEL N
Subset for alpha = .05 1 2
4 2 12.08500
5 2 13.38500
13.38500
1 2 15.30500
15.30500
2 2 16.82500
16.82500
3 2 23.48500
23.48500
8 2 24.32000
24.32000
7 2 25.69000
6 2 25.88500
Sig. .068 .064 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
186
Lampiran 21. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kemerahan
warna tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu
penyimpanan pada hari ke-21.
ANOVA A
Sum of Squares df
Mean Square F Sig.
Between Groups 240.571 7 34.367 1.870 .200
Within Groups 147.052 8 18.382
Total 387.623 15
A Duncan
SAMPEL N
Subset for alpha = .05 1 2
8 2 30.59000
6 2 34.21000
34.21000
4 2 34.90000
34.90000
7 2 37.30000
37.30000
2 2 37.79500
37.79500
5 2 39.56000
39.56000
1 2 41.61000
3 2 43.31000
Sig. .090 .087 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
187
Lampiran 22. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kekuningan
warna tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu
penyimpanan pada hari ke-0.
ANOVA B
Sum of Squares df
Mean Square F Sig.
Between Groups 301.256 7 43.037 2.249 .139
Within Groups 153.117 8 19.140
Total 454.373 15
B Duncan
SAMPEL N
Subset for alpha = .05 1 2
2 2 33.65000
3 2 36.58000
36.58000
1 2 39.96000
39.96000
5 2 43.37000
43.37000
7 2 44.24500
44.24500
8 2 45.16000
6 2 45.59000
4 2 46.21500
Sig. .055 .078 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
188
Lampiran 23. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kekuningan
warna tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu
penyimpanan pada hari ke-21.
ANOVA B
Sum of Squares df
Mean Square F Sig.
Between Groups 4.981 7 .712 1.820 .210
Within Groups 3.128 8 .391
Total 8.109 15 B Duncan
SAMPEL N
Subset for alpha = .05 1 2
6 2 38.12000
5 2 39.17500
39.17500
8 2 39.20500
39.20500
2 2 39.40000
39.40000
3 2 39.65000
39.65000
1 2 39.87500
4 2 39.88500
7 2 39.89000
Sig. .053 .315 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
189
Lampiran 24. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kecerahan
warna tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu
penyimpanan pada hari ke-0.
ANOVA L
Sum of Squares df
Mean Square F Sig.
Between Groups 62.361 7 8.909 1.437 .310
Within Groups 49.598 8 6.200
Total 111.959 15
L Duncan
SAMPEL N
Subset for alpha = .05 1 2
3 2 51.57800
6 2 51.86850
1 2 52.78500
52.78500
7 2 53.68350
53.68350
2 2 54.52200
54.52200
8 2 54.59650
54.59650
4 2 54.88650
54.88650
5 2 58.21700
Sig. .250 .079 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
190
Lampiran 25. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kecerahan
warna tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu
penyimpanan pada hari ke-21.
ANOVA L
Sum of Squares df
Mean Square F Sig.
Between Groups 342.252 7 48.893 4.467 .026
Within Groups 87.560 8 10.945
Total 429.813 15
L Duncan SAMPEL N
Subset for alpha = .05 1 2 3
2 2 49.43500
1 2 52.99300
52.99300
5 2 53.10800
53.10800
3 2 54.52850
54.52850
8 2 58.47000
58.47000
6 2 58.62150
58.62150
4 2 61.07300
61.07300
7 2 64.51850
Sig. .186 .055 .124 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
191
Lampiran 2. Data susut bobot tomat yang diberi perlakuan pelapisan dengan berbagai formula gel.
Perlakuan
Susut bobot tomat (%)
Hari ke-
3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33
1. Tomat kontrol
2. Tomat + gel lidah buaya
3. Tomat + gel lidah buaya
+ ISP 1 %
4. Tomat + gel lidah buaya
+ ISP 1 % + gliserol 2%
5. Tomat + gel lidah buaya
+ ISP 1 % + sorbitol 2
ml/45 ml ISP
1.34
1.16
1.24
1.67
1.42
1.59
1.52
1.91
1.54
1.43
1.46
1.07
1.14
1.48
1.32
1.49
1.25
1.15
1.42
1.36
1.15
0.95
0.93
1.24
1.10
1.15
0.94
0.19
1.17
1.06
1.12
0.91
0.92
1.19
1.07
1.60
1.29
1.32
1.92
1.53
0.71
0.56
0.62
0.58
0.68
0.68
0.53
0.55
0.73
0.62
1.72
1.35
1.45
1.15
1.60
192
Lampiran 3. Data hasil pengamatan pada percobaan penentuan umur simpan tomat dengan perlakuan pelapisan gel lidah buaya,
pengemasan, serta penyimpanan pada suhu berbeda.
Lampiran 3.a. Data susut bobot rata-rata tomat dengan perlakuan suhu ruang, pelapisan dengan gel, dan pengemasan.
Perlakuan Rata-rata susut bobot tomat (%)
Hari ke-
0 3 6 9 12 15 18 21
Suhu
ruang
Dikemas Kontrol 0 6.75 3.54 4.31 8.94 8.32 1.69 7.63
Coating 0 5.46 4.12 2.78 3.63 4.74 5.02 3.91
Tidak
dikemas
Kontrol 0 8.97 5.83 6.83 5.57 4.97 5.60 8.35
Coating 0 5.15 6.56 6.87 4.90 4.07 5.44 4.58
193
Lampiran 3.b. Data nilai kelunakan tekstur rata-rata tomat dengan perlakuan suhu ruang, pelapisan dengan gel, dan pengemasan.
Perlakuan Rata-rata susut bobot tomat (%)
Hari ke-
0 3 6 9 12 15 18 21
Suhu
ruang
Dikemas Kontrol 5.45 11.26 11.65 11.8 12.28 12.79 12.87 19.77
Coating 9.19 10.24 10.57 10.9 11.04 12.87 11.63 12.3
Tidak
dikemas
Kontrol 5.55 11.17 12.55 12.84 13.06 11.63 13.63 21.84
Coating 5.98 9.48 9.77 10.02 10.78 13.63 11.65 11.97
Lampiran 3.c. Data nilai perubahan total padatan terlarut rata-rata tomat dengan perlakuan suhu ruang, pelapisan dengan gel, dan
pengemasan.
Perlakuan Rata-rata susut bobot tomat (%)
Hari ke-
0 3 6 9 12 15 18 21
Suhu
ruang
Dikemas Kontrol 2.75 3 3.05 .75 3.5 3.225 3 2.725
Coating 2.45 2.5 3.25 3.25 3 3 3 2.75
Tidak
dikemas
Kontrol 2.725 3.075 3.825 3.775 3.325 3 3 2.6
Coating 2.85 3.025 3.725 4 3 3 3 2.675
194
Lampiran 3.d. Data nilai perubahan derajat keasaman rata-rata tomat dengan perlakuan suhu ruang, pelapisan dengan gel, dan pengemasan.
Perlakuan Rata-rata susut bobot tomat (%)
Hari ke-
0 3 6 9 12 15 18 21
Suhu
ruang
Dikemas Kontrol 4.475 4.618 4.685 4.605 4.605 5.36 4.64 4.295
Coating 4.52 4.64 4.64 4.63 4.575 4.995 4.525 4.525
Tidak
dikemas
Kontrol 4.393 4.573 4.69 4.625 4.645 5.345 4.68 5.31
Coating 4.475 4.605 4.663 4.598 4.595 5.02 4.575 4.53
Lampiran 3.e. Data nilai kecerahan rata-rata warna tomat dengan perlakuan suhu ruang, pelapisan dengan gel, dan pengemasan.
Perlakuan Rata-rata susut bobot tomat (%)
Hari ke-
0 3 6 9 12 15 18 21
Suhu
ruang
Dikemas Kontrol 52.79 50.38 48.71 47.80 50.08 52.84 51.43 52.99
Coating 54.52 53.73 49.69 50.64 50.41 50.48 51.00 49.44
Tidak
dikemas
Kontrol 51.58 52.63 51.01 50.98 47.53 53.89 53.40 54.53
Coating 54.88 55.98 47.39 50.56 50.22 51.80 52.91 61.07
195
Lampiran 3.f. Data nilai a rata-rata warna tomat dengan perlakuan suhu ruang, pelapisan dengan gel, dan pengemasan.
Perlakuan Rata-rata susut bobot tomat (%)
Hari ke-
0 3 6 9 12 15 18 21
Suhu
ruang
Dikemas Kontrol 15.31 31.14 33.97 37.73 36.74 40.66 37.59 41.61
Coating 16.83 27.94 36.45 36.25 37.25 38.6 38.2 37.79
Tidak
dikemas
Kontrol 23.49 35.35 36.95 40.22 38.31 41.18 40.50 43.31
Coating 12.09 24.25 40.14 35.63 37.58 39.26 39.22 34.9
Lampiran 3.g. Data nilai b rata-rata warna tomat dengan perlakuan suhu ruang, pelapisan dengan gel, dan pengemasan.
Perlakuan Rata-rata susut bobot tomat (%)
Hari ke-
0 3 6 9 12 15 18 21
Suhu
ruang
Dikemas Kontrol 39.89 35.36 33.97 34.04 34.97 35.83 33.67 39.96
Coating 39.4 38.46 35.09 37.42 35.10 33.97 34.49 33.65
Tidak
dikemas
Kontrol 39.65 36.12 37.73 36.95 32.71 38.16 38.57 36.58
Coating 39.89 40.96 32.21 37.60 37.12 35.77 35.29 46.22
Jurnal Skripsi 2007 Fakultas Teknologi Pertanian, IPB
APLIKASI GEL LIDAH BUAYA (Aloe vera L.) SEBAGAI EDIBLE COATING PADA
PENGAWETAN TOMAT (Lycopersicon esculentum Mill.)
Slamet Budijanto1) dan Andiny Kismaryanti2)
1) Dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Institut Pertanian Bogor 2) Sarjana Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor
Abstrak Permintaan akan produk sayuran dan buah yang semakin meningkat, menuntut adanya
sayuran dan buah segar yang memiliki kualitas yang baik. Kualitas tersebut hanya mungkin dipenuhi melalui penanganan pasca panen yang baik serta upaya untuk memeperpanjang tingkat kesegaran. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan enggunaan edible coating. Aloe vera dilaporkan banyak mengandung senyawa bioaktif seperti antimikroba serta memiliki sifat pembentukan gel yang baik, sehingga berpotensi untuk dijadikan sebagai edible coating. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mempelajari aplikasi Aloe vera gel sebagai edible coating pada tomat. Berdasarkan pengamatan, Aloe vera edible coating pada tomat segar dapat menghambat penurunan mutu tomat akibat proses pematangan yang cepat setelah panen. Aplikasi ini lebih efektif jika dipadukan dengan pengemasan dan penyimpanan suhu dingin daripada penyimpanan pada suhu ruang. Gel lidah buaya yang digunakan adalah gel lidah buaya yang langsung diolah segera setelah panen. Formulasi yang paling baik untuk digunakan sebagai edible coating adalah gel lidah buaya murni tanpa penambahan apapun. Penyimpanan pada suhu dingin mampu memperpanjang umur simpan tomat hingga 5 hari, sedangkan penyimpanan pada suhu ruang mampu memperpanjang umur simpan tomat hingga 3 hari. Penyimpanan pada suhu dingin (1°C) tidak membuat tomat yang telah dilapisi dengan gel lidah buaya dan dikemas dengan plastik PVC mengalami chilling injury. Edible coating dari gel lidah buaya memiliki kemampuan mereduksi jumlah mikroba awal pada permukaan tomat, yakni sebesar 2.2 X 107 koloni/cm2 sebelum dilapisi gel lidah buaya menjadi 1.8 X 106 koloni/cm2 setelah dilapisi, sedangkan jumlah kapang dari sebesar 5.4 X 104
koloni/ cm2 menjadi 2.2 X 104 koloni/cm2, namun aktivitas anti-mikroba dan anti-kapang dari gel lidah buaya tersebut tidak mampu menghilangkan mikroba penyebab penyakit antraknosa. Kata kunci:
PENDAHULUAN Latar Belakang
Sayuran merupakan sumber vitamin, mineral, dan serat gizi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Seiring dengan perkembangan jaman, kesadaran masyarakat akan kesehatan serta pentingnya nilai gizi dalam makanan yang mereka konsumsi semakin meningkat. Kesadaran masyarakat akan pola hidup sehat menyebabkan kebutuhan akan sayuran meningkat juga. Peningkatan ini dapat dilihat dari semakin tingginya permintaan akan sayuran yang bermutu tinggi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat baik di dalam maupun di luar negeri. Pasar luar negeri dan pasar modern (supermarket, hypermarket, hotel dan
restoran) menuntut adanya sayuran segar yang bermutu tinggi, yakni memiliki penampakan baik, relatif tahan lama, dan tidak cepat layu selama penyimpanan. Kualitas sayuran tersebut hanya mungkin dipenuhi dengan adanya penanganan pasca panen yang baik termasuk usaha untuk dapat memperpanjang tingkat kesegaran.
Ada berbagai cara yang dapat dilakukan untuk menghambat kerusakan sayuran antara lain dengan cara melakukan modifikasi kemasan sayuran dan penyimpanan dengan suhu rendah. Salah satu cara yang juga dapat dilakukan untuk memperpanjang masa simpan sayuran, namun tetap dapat mempertahankan mutu, adalah dengan mengaplikasikan edible film pada
sayuran tersebut. Edible film sangat berpotensi untuk meningkatkan shelf life dari sayuran karena secara teori pengaplikasian edible film akan membentuk suatu coating yang mampu berperan sebagai barrier agar tidak kehilangan kelembaban, bersifat permeabel terhadap gas-gas tertentu, serta mengontrol migrasi komponen-komponen larut air yang dapat menyebabkan perubahan pigmen dan komponen nutrisi sayuran (Krochta, et al., 1994).
Pengaplikasian edible coating yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pembuatan edible film yang berasal dari gel tanaman Aloe vera. Aloe vera merupakan tanaman serbaguna yang akhir-akhir ini, selain digunakan sebagai bahan baku industri shampoo (kosmetik), juga mulai diolah menjadi aneka produk makanan. Aloe vera juga telah dilaporkan mengandung beberapa senyawa bioaktif yang bersifat antimikroba dan dapat menyembuhkan luka jaringan sehingga diharapkan pada pengaplikasian gel Aloe vera sebagai edible coating mampu mempertahankan mutu serta memperpanjang masa simpan sayuran tersebut. Aplikasi gel Aloe vera sebagai edible coating telah dicoba sebelumnya pada buah anggur dengan menggunakan gel Aloe vera yang dilarutkan dengan sejumlah air (Valverde, et al., 2005). Sayuran yang akan dijadikan sebagai objek penelitian ini adalah sayuran tomat karena mudah untuk ditanam, bersifat responsif terhadap berbagai perlakuan eksperimen, dan sangat berpotensi untuk dikomersialkan baik didalam maupun luar negeri.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan mempelajari pembuatan edible film dari gel tanaman lidah buaya ( Aloe vera L. ) dan pengaruhnya terhadap tomat serta untuk mempertahankan mutu dan memperpanjang masa simpan tomat tersebut.
METODOLOGI
Bahan
Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah tomat segar (Lycopersicon esculentum Mill.), daun lidah buaya (Aloe vera L.), klorin, air matang, alkohol 70%, aquades, sorbitol, gliserol, isolat protein, aquades, media PCA, PDA, asam tartarat, serta larutan pengencer.
Alat Alat yang dibutuhkan dalam penelitian
ini adalah wearing blend, timbangan digital halus, baskom, kulkas, sendok pengaduk, sendok makan, sumpit, sarung tangan plastik, masker, bunsen, gelas plastik, wadah styrofoam, plastik pembungkus, talenan plastik, wadah ukuran besar, pisau, saringan, neraca analitik, inkubator 30 °C, penetrometer, chromameter Minolta CR-300, pH-meter, refraktometer, tabung reaksi, cawan petri, pipet volumetrik.
Metode
Penelitian ini dilakukan beberapa tahap yaitu (1) percobaan pembuatan gel Aloe vera (2) pengujian umur simpan gel terhadap mutu coating, (3) formulasi gel Aloe vera L. untuk aplikasi coating pada tomat, serta (4) penentuan umur simpan tomat segar dengan perlakuan Aloe vera gel coating, pengemasan, dan suhu.
1. Pembuatan gel dari pelepah daun Aloe
vera L. Tahap percobaan ini bertujuan
mengembangkan cara pembuatan gel dengan sifat coating yang baik. Pada tahap ini, dilakukan pembuatan gel Aloe vera berdasarkan pembuatan minuman Aloe vera menurut He et al. (2003) dan memodifikasinya dengan memberikan berbagai perlakuan seperti pencucian, pemanasan, serta penambahan asam. Optimasi teknik pencucian dilakukan untuk menghilangkan lendir berwarna kuning yang dapat menurunkan mutu gel, seperti terjadinya perubahan warna gel menjadi lebih kuning dan timbulnya bau tidak sedap. Perlakuan pemanasan dengan suhu 80°C selama 5 menit dan penambahan asam sitrat sebanyak 4% yang juga disertai pemanasan dilakukan untuk mengurangi jumlah mikroba awal gel Aloe vera. Parameter yang diamati adalah penampakannya secara fisik, meliputi warna, bau, serta kekentalan.
2. Pengujian pengaruh umur simpan gel
Aloe vera L. Untuk aplikasi coating pada tomat.
Percobaan ini bertujuan mengetahui daya tahan gel selama penyimpanan pada suhu <10°C dalam refrigerator hingga 7 hari. Selain itu, percobaan ini juga dilakukan untuk
mengetahui pengaruh penyimpanan gel tersebut terhadap mutu coating gel yang diaplikasikan pada buah tomat segar. Coating dilakukan dengan metode pencelupan (dipping). Parameter yang diamati adalah susut bobot dan penurunan tingkat kesegaran yang terjadi pada tomat selama penyimpanan pada suhu ruang. Data dari hasil pengukuran tersebut kemudian diuji secara statistik menggunakan tabel ANOVA metode Duncan, dan dibantu dengan media pengolahan SPSS.
3. Formulasi gel Aloe vera L. untuk
aplikasi coating pada tomat. Tahap ini bertujuan melihat
pengaruh coating gel Aloe vera dengan penambahan isolat protein, gliserol, dan sorbitol yang diaplikasikan pada buah tomat, sehingga dihasilkan edible coating yang baik. Buah tomat segar dicelupkan ke dalam empat formula larutan coating yang berbeda, yakni (a) larutan gel Aloe vera murni (tanpa penambahan), (b) larutan gel Aloe vera dengan penambahan isolat protein 1%, (c) larutan gel Aloe vera dengan penambahan isolat protein 1% dan gliserol 2%, serta (d) larutan gel Aloe vera dengan penambahan isolat protein 1% dan sorbitol 2 ml/45 ml ISP. Pengamatan dilakukan terhadap parameter susut bobot buah tomat selama penyimpanan pada suhu ruang dan melihat penurunan tingkat kesegaran buah tersebut. Data dari hasil pengukuran tersebut kemudian diuji secara statistik menggunakan tabel Univariate Analysis of Variance dan uji lanjut Duncan yang dibantu dengan media pengolahan SPSS. Formula gel terbaik yang didapatkan dari tahapan ini akan digunakan pada tahap selanjutnya.
4. Formulasi gel Aloe vera L. untuk
aplikasi coating pada tomat. Tahapan ini bertujuan
mengetahui pengaruh kemasan dan kondisi suhu penyimpanan yang paling optimum untuk buah tomat segar yang telah di-coating dengan formula larutan terpilih hasil penelitian tahap tiga di atas. Setelah dicelup ke dalam larutan coating, buah tomat tersebut dikemas dalam styrofoam dan
dibungkus dengan plasticized PVC, kemudian disimpan pada suhu ruang serta suhu 1°C. Pengamatan dilakukan terhadap susut bobot, perubahan warna, tekstur, perubahan kandungan gula (°B), perubahan pH, dan total mikroba selama penyimpanan. Data dari hasil pengukuran tersebut kemudian diuji secara statistik menggunakan tabel ANOVA metode Duncan, dan dibantu dengan media pengolahan SPSS.
a. Susut bobot
Pengukuran susut bobot dilakukan secara gravimetri, yaitu membandingkan selisih bobot sebelum penyimpanan dengan sesudah penyimpanan. Rumus :
% Susut bobot = a - b x 100% a a = bobot awal b = bobot akhir b. Kelunakan tekstur Tingkat kelunakan tekstur
tomat diukur dengan alat penetrometer semi-digital dengan menggunakan probe tertentu. Permukaan buah tomat akan ditusuk jarum probe dengan kecepatan dan berat yang tetap selama 10 detik, sehingga kedalaman lubang yang diakibatkan oleh penusukan tersebut akan menyatakan kelunakan tekstur buah tomat tersebut.
c. Warna Warna permukaan buah tomat
selama penyimpanan diukur dengan kromameter Minolta CR-300. Skala yang digunakan adalah skala L*a*b dan Yxy dengan ulangan pengukuran sebanyak tiga kali setiap sampel.
d. Derajat keasaman (pH) Pengukuran derajat keasaman
menggunakan pH meter. Sebelum digunakan alat distandardisasi dahulu dengan menggunakan larutan buffer pH 4. Sekitar 25 ml sampel dimasukkan ke dalam gelas piala. Elektroda pH meter dicelupkan ke dalam sampel, kemudian dilakukan pembacaan pH sampel setelah dicapai nilai yang tetap.
e. Total Padatan Terlarut (TPT) Pengukuran total padatan
terlarut (TPT) menggunakan Hand Refractometer (0-39˚Brix). Sebelum digunakan alat dibersihkan terlebih dahulu dengan alkohol dan dilap hingga kering. Sampel yang akan diukur kemudian diletakkan secukupnya pada tempat pembacaan. Kemudian nilai TPT ditunjukkan oleh angka yang didapat pada batas garis biru dan putih.
f. Uji Mikrobiologi Sampel di-swab dengan luas
permukaan tertentu, kemudian hasil swab tersebut dimasukkan kedalam larutan pengencer sebanyak 10 ml. Sebanyak 1 ml sampel yang telah diencerkan dimasukkan ke dalam masing-masing dua cawan petri (duplo) steril yang selanjutnya dituangkan media PCA steril (untuk total uji total mikroba) dan APDA steril (untuk uji kapang-khamir) yang telah didinginkan hingga suhunya 47-50 °C sebanyak 10-15 ml dan digoyangkan secara mendatar diatas meja supaya contoh menyebar rata. Cawan berisi agar yang sudah membeku diinkubasi dengan posisi terbalik pada suhu 30°C selama 2 hari. Total bakteri ditetapkan dengan SPC (Standard Plate Count).
Koloni per cm2 = Jumlah koloni/cawan x 10 x 1 n
n = luas permukaan yang di-swab
(cm2) HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pembuatan gel dari pelepah daun Aloe
vera L. Tahap pembuatan edible coating
dari gel lidah buaya ini dimulai dari pemilihan (sortasi) pelepah daun lidah buaya. Pemilihan pelepah daun ini berdasarkan penampakan fisiknya antara lain, tingkat kematangan yang dapat dilihat dari warna daun yang sudah hijau (tidak kuning), ukuran daun, ada atau tidaknya kotoran atau penyakit, serta kerusakan fisik seperti patah atau luka pada jaringan luar daun. Pelepah daun ini harus sudah diproses dalam jangka waktu
36 jam setelah dipanen untuk menghindari degradasi komponen-komponen bioaktif yang terkandung didalamnya (Roberts, 1997). Setelah disortasi, tahapan selanjutnya adalah mencuci pelepah daun tersebut untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang menempel pada permukaan daun. Kemudian, pelepah daun lidah buaya ini direndam dalam larutan klorin dengan konsentrasi 200 ppm selama 30 menit. Tahap perendaman berfungsi untuk mengurangi cemaran mikroba pada permukaan daun sehingga diharapkan tidak akan ada kontaminasi silang ke dalam gel lidah buaya yang akan dihasilkan. Setelah direndam, daun lidah buaya tersebut dibilas dengan air matang untuk menghilangkan sisa-sisa larutan klorin yang menempel, sehingga tidak ada lagi bau klorin yang menyengat. Di beberapa negara selain Indonesia, seperti USA dan Uni Eropa tidak memperbolehkan senyawa klorin digunakan sebagai bahan pencuci untuk komoditi pangan, oleh karena itu senyawa klorin ini sebaiknya diganti dengan desinfektan pencuci lainnya yang diperbolehkan FDA, seperti penggunaan asam sitrat dan senyawa anti-mikroba alami lainnya, untuk mencuci pelepah daun lidah buaya. Hal ini akan menjadi sangat penting apabila komoditi pangan yang dilapisi dengan gel lidah buaya ini diekspor ke negara-negara yang sangat ketat peraturannya mengenai syarat keamanan seperti penggunaan desinfektan klorin untuk digunakan sebagai pencuci produk pangan tersebut.
Tahapan selanjutnya adalah trimming dan filleting daun lidah buaya. Pada proses ini, bagian pangkal, ujung, serta sisi-sisi daun yang berduri, dan semua kulit daun dibuang dengan menggunakan pisau. Pembuangan bagian-bagian tersebut perlu dilakukan untuk menghilangkan yellow sap (senyawa anthraquinone beserta turunannya) dan dari proses ini diharapkan hasil potongan gel lidah buaya tanpa kulit yang bersih. Namun, seringkali yellow sap ini masih belum hilang secara sempurna sehingga dapat mengkontaminasi gel lidah buaya yang dihasilkan. Oleh karena itu, ada 2 hal yang harus dilakukan, yakni dengan membasuh ujung-ujung bekas sayatan selama tahap filleting, serta membilas
bagian pangkal gel yang telah didapatkan dengan air matang. Yellow sap penting untuk dihilangkan karena jika gel yang telah dihasilkan masih tercemar oleh yellow sap ini maka warna gelnya akan berubah menjadi kekuningan, baunya menjadi tidak sedap, memiliki efek laxative, serta dapat mempengaruhi umur simpan dari gel tersebut. Pada tahap percobaan ini belum diopltimalkan cara mendapatkan gel lidah buaya dengan rendemen yang sesedikit mungkin. Hal ini cukup penting mengingat banyaknya kandungan senyawa bioaktif dalam gel lidah buaya tersebut yang dapat mempengaruhi mutu dari coating gel yang dihasilkan, sehingga kehilangan lendir (tidak berwarna) dan terbuangnya bagian mucilage gel lidah buaya selama proses trimming dan filleting perlu diminimalisasi.
Potongan gel lidah buaya yang dihasilkan dari tahapan di atas kemudian dihancurkan dengan menggunakan wearing blender selama tidak lebih dari 10 menit. Jika proses penghancuran berlangsung terlalu lama maka akan terjadi reaksi pencoklatan enzimatis dalam gel lidah buaya tersebut dan warnanya akan menjadi berubah. Dari tahap ini, didapatkan larutan gel lidah buaya yang sudah siap untuk dijadikan coating. Larutan gel lidah buaya tersebut kemudian dikemas dan disimpan pada suhu dingin (5°C).
Pada tahap ini, dilakukan juga percobaan pemanasan dan penambahan asam sitrat pada larutan gel lidah buaya yang telah dihasilkan dengan tujuan untuk mereduksi mikroba yang terdapat dalam larutan gel tersebut sehingga dapat memperpanjang umur simpannya. Perlakuan pemanasan dilakukan pada suhu 80°C selama 5 menit dan perlakuan penambahan asam sitrat sebanyak 4% dilakukan setelahnya. Berdasarkan pengamatan, pada gel dengan perlakuan pemanasan dan perlakuan penambahan asam yang disertai pemanasan, terdapat endapan dan terjadi perubahan warna larutan gel menjadi kecoklatan. Endapan ini terjadi akibat pemanasan sehingga meyebabkan degradasi komponen polisakarida karena putusnya ikatan ionik yang mendukung struktur polisakarida tersebut. Warna coklat terbentuk karena proses pemanasan mempercepat reaksi pencoklatan enzimatis yang terjadi pada
larutan gel (Blanshard dan Mitchell, 1979). Terbentuknya endapan menyebabkan kekentalan larutan gel menjadi berkurang drastis sehingga tidak lagi dapat membentuk lapisan edible coating yang baik.
B. Pengujian pengaruh umur simpan gel
Aloe vera L. Untuk aplikasi coating pada tomat.
Komposisi komponen-komponen bioaktif yang terkandung dalam gel lidah buaya tergantung pada musim,iklim, serta tanah tempat tanaman ini ditanam. Satu faktor penting yang harus diperhatikan adalah penanganan pelepah daun pasca panen karena proses dekomposisi komponen didalamnya sudah dimulai sejak pelepah daun tersebut dipotong dari tanaman induknya. Proses dekomposisi ini terjadi akibat reaksi enzimatis dan aktivitas mikroba alami yang ada pada daun tersebut (Coats, 1979). Pada larutan gel yang telah diekstraksi, kehilangan aktivitas berbagai komponen bioaktif yang terkandung dalam lidah buaya menjadi lebih sedikit bila dibandingkan ketika komponen tersebut masih ada di dalam bentuk pelepah daunnya (He et al., 2003). Oleh karena itu, pada percobaan ini dilakukan pengujian penyimpanan larutan gel yang telah diekstraksi dari lidah buaya terhadap mutu coating yang dihasilkan ketika diaplikasikan pada buah tomat. Penyimpanan gel dilakukan pada suhu <10°C selama 7 hari. Tomat-tomat tersebut kemudian disimpan pada suhu ruang dan diamati selama 4 hari. Parameter yang diamati pada tomat untuk melihat mutu coating yang dihasilkan adalah susut bobot.
00.5
11.5
22.5
33.5
44.5
1 2 3
Hari ke-
Sus
ut b
obot
(%)
�
Tomat utuh kontrol 1Tomat utuh kontrol 2Tomat utuh dgn aloe 1Tomat utuh dgn aloe 2
Gambar 1. Grafik pengaruh umur simpan gel lidah buaya (1 hari) terhadap persentase susut bobot tomat.
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
1 2 3
Hari ke-
Sus
ut b
obot
(%)
Tomat utuh kontrol 1Tomat utuh kontrol 2Tomat utuh dgn aloe 1Tomat utuh dgn aloe 2
Gambar 2. Grafik pengaruh umur simpan gel lidah buaya (2 hari) terhadap persentase susut bobot tomat.
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1 2 3
Hari ke-
Sus
ut b
obot
(%)
Tomat utuh kontrol 1Tomat utuh kontrol 2Tomat utuh dgn aloe 1Tomat utuh dgn aloe 2
Gambar 3. Grafik pengaruh umur simpan gel lidah buaya (6 hari) terhadap persentase susut bobot tomat.
00.20.40.60.8
11.21.41.61.8
2
1 2 3
Hari ke-
Sus
ut b
obot
(%)
tomat kontrol 1tomat kontrol 2tomat aloe 1tomat aloe 2
Gambar 4. Grafik pengaruh umur simpan gel lidah buaya (7 hari) terhadap persentase susut bobot tomat. Berdasarkan keempat grafik
diatas, dapat diketahui bahwa semakin lama larutan gel lidah buaya disimpan maka kualitas gel tersebut sebagai edible coating akan semakin menurun. Hal ini terlihat dari semakin menurunnya kemampuan gel tersebut untuk menahan laju kehilangan bobot yang terjadi. Gambar 1 memperlihatkan bahwa susut bobot yang terjadi pada tomat yang dilapisi gel lidah buaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan tomat yang tidak dilapisi (kontrol). Kemudian, pada Gambar 2 - 4 mulai terlihat bahwa kemampuan coating gel untuk menahan susut bobot pada tomat yang dilapisi
mulai berkurang karena susut bobot tomat yang dilapisi tersebut ternyata menjadi lebih tinggi daripada kontrolnya. Sehingga, dari hasil percobaan di atas dapat disimpulkan bahwa penyimpanan gel berpengaruh terhadap mutu coating yang dihasilkan dan coating gel yang paling baik untuk diaplikasikan pada tomat adalah gel yang langsung digunakan segera setelah diekstrak dari pelepah daun yang baru dipanen. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pada suhu ruang perlakuan pelapisan tomat dengan menggunakan gel lidah buaya pada Gambar 1 tidak berbeda nyata dengan tomat yang tidak dilapisi.
C. Formulasi gel Aloe vera L. Untuk
alpikasi coating pada tomat. Tahap percobaan ini dilakukan
berdasarkan hasil tahapan percobaan sebelumnya yang menyatakan bahwa edible coating dari gel lidah buaya tidak cukup efektif untuk diaplikasikan pada tomat yang disimpan pada suhu ruang, sehingga diperlukan adanya penambahan zat-zat tertentu yang diperkirakan mampu memperbaiki kinerja coating dari gel lidah buaya tersebut. Zat-zat yang akan ditambahkan antara lain isolat protein kedelai, gliserol, dan sorbitol. Pada tahap percobaan ini, buah tomat segar dicelupkan kedalam empat formula larutan coating yang berbeda, yakni (a) larutan gel Aloe vera murni (tanpa penambahan), (b) larutan gel Aloe vera dengan penambahan isolat protein 1%, (c) larutan gel Aloe vera dengan penambahan isolat protein 1% dan gliserol 2%, serta (d) larutan gel Aloe vera dengan penambahan isolat protein 1% dan sorbitol 1 ml. Pengamatan dilakukan terhadap parameter susut bobot buah tomat selama penyimpanan pada suhu ruang dan melihat penurunan tingkat kesegaran pada buah tersebut secara visual.
0
0.5
1
1.5
2
2.5
0 2 4 6 8 10 12
Per 3 hari
Sus
ut b
obot
(%)
KontrolAloe 100Aloe ispAloe isp gliserolAloe isp sorbitolLinear (Kontrol)Linear (Aloe isp gliserol)Linear (Aloe isp)Linear (Aloe 100)Linear (Aloe isp sorbitol)
Gambar 5. Grafik perbandingan persentase susut bobot tomat pada berbagai formula edible coating. Grafik di atas menunjukkan
bahwa garis regresi formula (a) berada pada urutan paling bawah yang berarti bahwa formula coating yang terbaik untuk menahan susut bobot tomat adalah dengan menggunakan gel lidah buaya murni. Tetapi, jika dilihat lebih jelas, garis regresi formula (a) dan (b) hampir berhimpit bila dibandingkan dengan garis regresi formula yang lain. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji statistik untuk mengetahui apakah ada perbedaan di antara kedua formula tersebut. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan yang telah dilakukan, ternyata, formula (a) dan (b) berbeda nyata terhadap formula (c), (d), dan kontrol. Formula (a) dan (b) tidak berbeda nyata satu sama lain, tetapi formula (a) lebih baik daripada formula (b) jika dilihat dari urutan pada hasil uji lanjut Duncan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa formula gel lidah buaya murni lebih mampu menahan laju kehilangan bobot daripada formula gel lidah buaya yang telah ditambahkan dengan isolat protein kedelai. Selain itu, ditinjau dari keterjangkauan, gel murni lidah buaya lebih mudah didapatkan dan diproses, bila dibandingkan dengan harus formula lainnya yang harus menambahkan bahan-bahan yang tidak bisa dibeli di sembarang tempat dan tidak terjangkau harganya. Formula dengan penambahan sorbitol lebih besar susut bobotnya bila dibandingkan dengan penambahan gliserol, hal ini dikarenakan sifat plasticizer sorbitol yang lebih baik sehingga kekentalan larutan pun menjadi berkurang lebih banyak bila dibandingkan dengan gliserol. Kekentalan larutan gel untuk coating berkurang karena aktivitas plasticizer tersebut yang mampu mengurangi ikatan hidrogen internal pada gel lidah buaya
sehingga lapisan yang terbentuk menjadi lebih tipis dan tidak dapat lagi menahan laju kehilangan bobot tomat tersebut.
Pada tahap sebelumnya, telah disimpulkan bahwa perlakuan pelapisan tomat dengan gel lidah buaya tidak berbeda nyata dengan tomat yang tidak dilapisi selama disimpan pada suhu ruang, tetapi pada tahap ini diketahui bahwa tomat dengan pelapisan berbeda nyata dengan tomat tanpa pelapisan. Hal ini mungkin terjadi karena perbedaan varietas dan umur sampel tomat yang digunakan. Tomat yang digunakan pada tahap sebelumnya sudah memiliki tingkat kematangan yang tinggi (warnanya lebih merah) ketika akan dilapisi dengan gel, sedangkan tomat yang digunakan pada tahap ini tingkat kematangannya lebih rendah (warnanya masih kuning-kehijauan). Oleh karena itu, respirasi pada tomat yang kematangannya sudah tinggi sulit untuk dibendung oleh lapisan gel lidah buaya tersebut sehingga menyebabkan susut bobotnya pun menjadi sulit untuk ditahan. Penurunan tingkat kesegaran juga diamati secara visual. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, beberapa ulangan sampel tomat kontrol serta tomat yang dilapisi dengan formula (b), (c), (d), mengalami kerusakan fisik internal yang dimulai pada hari penyimpanan ke-20, namun kerusakan ini tidak terjadi pada tomat yang dilapisi dengan gel lidah buaya murni. Kerusakan internal pada tomat biasanya disertai dengan adanya guratan-guratan pada permukaan buah yang merupakan pertanda bahwa jaringan buah kehabisan air. Keadaan jaringan yang kehabisan air ini akan semakin berkurang seiring dengan semakin matangnya buah tersebut, tetapi kerusakan internal yang cukup serius tetap terjadi. Kerusakan permanen pada jaringan lokular ini menyebabkan jaringan tersebut gagal membuat dirinya menjadi sel-sel yang lebih bersifat gelatinous yang pada umumnya normal terjadi selama pematangan buah. Kemudian pada jaringan lokular yang tidak terlalu rusak, proses gelatinisasi sel ini berlangsung tidak sempurna sehingga akan membentuk benang-benang tebal berwarna gelap pada jaringan tersebut (Mohsenin, 1962).
D. Penentuan umur simpan tomat segar dengan perlakuan Aloe vera gel coating, pengemasan, dan suhu.
Sayuran dan buah-buahan melangsungkan proses kehidupannya dengan melakukan respirasi. Proses respirasi ini tidak hanya berlangung ketika mereka berada di pohon saja, tetapi juga setelah dipanen mereka terus melakukan respirasi. Proses respirasi yang terus berlangsung setelah buah atau sayuran dipanen ini menyebabkan perubahan fisik dan kimia yang dapat mempengaruhi kualitas buah atau sayuran itu sendiri. Oleh karena itu, untuk mempertahankan mutu buah atau sayuran harus dilakukan penanganan pasca panen yang tepat, agar kerusakan tomat selama penyimpanan dapat diminimalkan. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga mutu buah agar tetap baik adalah dengan menggunakan kemasan, edible coating, dan penyimpanan buah tersebut pada suhu optimumnya.
Tahapan percobaan ini bertujuan mengetahui pengaruh kemasan dan kondisi suhu penyimpanan yang paling optimum untuk buah tomat segar yang telah di-coating dengan formula larutan terpilih dari tahap percobaan sebelumnya. Tomat segar dicelup ke dalam larutan gel lidah buaya murni kemudian diletakkan pada styrofoam berukuran kecil dan dikemas dengan kemasan plasticized PVC. Setelah itu, tomat-tomat, baik yang telah dilapisi maupun tidak, dan tomat-tomat, baik yang dikemas maupun tidak setelah pencelupan ke dalam larutan gel, disimpan pada suhu ruang dan suhu 1°C. Parameter yang diamati antara lain susut bobot, perubahan warna, kekerasan tekstur, perubahan °Brix (total gula), dan perubahan pH (kadar keasaman). Hasil yang didapatkan dari percobaan ini akan dianalisis dengan menggunakan analisis ragam dan uji lanjut Duncan. 1. Susut Bobot
Respirasi yang terjadi pada buah merupakan proses biologis dimana oksigen diserap untuk membakar bahan-bahan organik dalam buah untuk menghasilkan energi dan diikuti oleh pengeluaran sisa pembakaran berupa gas karbondioksida dan air. Air, gas yang dihasilkan, dan energi berupa panas akan mengalami penguapan
sehingga buah tersebut akan menyusut beratnya. Menurut Wills (1981), faktor yang mempengaruhi kehilangan air pada buah antara lain adalahh luas berbanding volume buah tersebut, lapisan alami permukaan buah, dan kerusakan mekanis pada kulit buah. Pemberian perlakuan pelapisan yang dikombinasikan dengan pengemasan dan suhu penyimpanan diharapkan dapat menekan laju kehilangan bobot yang terjadi.
Gambar 6. Grafik pengaruh pelapisan dengan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap persentase susut bobot tomat selama penyimpanan.
Pada Gambar 6, dapat dilihat bahwa susut bobot yang dialami oleh buah tomat meningkat selama penyimpanan. Hal ini terjadi karena tomat merupakan buah yang memiliki pola respirasi klimakterik. Pada buah yang bersifat klimakterik, respirasi akan terus meningkat seiring dengan semakin matangnya buah tersebut sehingga mengakibatkan susut bobot buah juga semakin meningkat terutama ketika buah tersebut telah mencapai puncak klimakteriknya. Pada suhu ruang di hari ke-21 memiliki susut bobot yang lebih besar bila dibandingkan dengan tomat yang disimpan pada suhu dingin (1°C). Perbandingan nilai susut bobot antara tomat yang disimpan pada suhu ruang dan suhu dingin ini, membuktikan bahwa suhu dingin dapat mempertahankan tomat dari kehilangan bobot akibat proses respirasi dan transpirasi. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu berbeda nyata terhadap susut bobot. Susut bobot yang dialami tomat yang
0
2
4
6
8
10
0 5 10 15 20 25 30
Waktu penyimpanan (hari)Su
sut b
obot
(%)
Tomat kontrol dikemas (suhuruang)Tomat dengan aloe dikemas(suhu ruang)Tomat kontrol tdk dikemas(suhu ruang)Tomat dengan aloe tdkdikemas (suhu ruang)Tomat kontrol dikemas (suhudingin)Tomat dengan aloe dikemas(suhu dingin)Tomat kontrol tdk dikemas(suhu dingin)Tomat dengan aloe tdkdikemas (suhu dingin)
dilapisi gel lidah buaya, dikemas, dan disimpan pada suhu dingin tidak berbeda nyata dengan tomat yang hanya dilapisi dengan gel saja, tomat kontrol yang disimpan pada suhu dingin, serta tomat yang dilapisi dengan gel lidah buaya namun disimpan pada suhu ruang. Tomat dengan pelapisan gel lidah buaya, pengemasan, penyimpanan pada suhu dingin memiliki susut bobot yang paling kecil daripada keempat perlakuan lainnya diatas. Hal ini berarti bahwa perlakuan tersebut mampu menghambat respirasi dengan baik sehingga penyusutan pada bobot buah pun dapat dihambat pula. Tomat yang dilapisi dengan gel lidah buaya dan disimpan pada suhu ruang tidak berbeda nyata dengan tomat kontrol yang dikemas dan disimpan pada suhu dingin. Kedua perlakuan ini berbeda nyata dengan keempat perlakuan yang telah disebutkan diatas. Selain itu, perlakuan ini juga berbeda nyata dengan tomat yang dikemas di suhu ruang serta tomat kontrol yang disimpan pada suhu ruang. Tomat yang dikemas di suhu ruang serta tomat kontrol yang disimpan pada suhu ruang.ini tidak berbeda nyata satu dengan yang lainnya, tetapi berbeda nyata dengan tomat yang dilapisi gel lidah buaya, dikemas, dan disimpan pada suhu dingin tidak berbeda nyata dengan tomat yang hanya dilapisi dengan gel saja, tomat kontrol yang disimpan pada suhu dingin, serta tomat yang dilapisi dengan gel lidah buaya namun disimpan pada suhu ruang. Tomat yang tanpa pelapisan dan pengemasan yang disimpan pada suhu ruang memilki susut bobot yang terbesar. Berdasarkan hasil percobaan ini dapat disimpulkan bahwa pelapisan tomat dengan gel lidah buaya berpengaruh nyata terhadap susut bobot jika dikombinasikan dengan adanya pengemasan, baik pada suhu ruang maupun suhu dingin. Begitu pula dengan perlakuan suhu, penyimpanan tomat pada suhu yang berbeda berpengaruh nyata terhadap susut bobot jika dikombinasikan dengan kemasan dan gel lidah buaya, dimana pada suhu yang lebih rendah susut bobot dapat dihambat. Hal ini berarti bahwa gel lidah buaya mampu membentuk lapisan yang cukup baik untuk menghambat proses respirasi dan tranpirasi, terutama jika dikombinasikan
dengan pengemasan dan perlakuan suhu rendah yang tepat. 2. Kelunakan Tekstur Nilai kelunakan tekstur akan semakin bertambah seiring dengan proses pematangan buah, sehingga dapat mengakibatkan penurunan mutu dari buah tomat yang disimpan. Nilai kelunakan yang rendah menunjukkan bahwa buah masih keras dan belum terlalu matang, sedangkan nilai kelunakan yang tinggi menunjukkan bahwa buah sudah semakin matang. Penurunan nilai kekerasan ini terjadi akibat degradasi pektin yang tidak larut air (protopektin) dan berubah menjadi pektin yang larut dalam air. Hal ini mengakibatkan menurunnya daya kohesi dinding sel yang mengikat dinding sel yang satu dengan dinding sel yang lain (Winarno, 1981).
Gambar 7. Grafik pengaruh pelapisan dengan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap kelunakan tekstur tomat selama penyimpanan. Gambar 7 menunjukkan bahwa
kelunakan tekstur tomat akan semakin bertambah seiring dengan semakin matangnya tomat tersebut. Berdasarkan pengamatan, kelunakan tekstur yang terjadi pada tomat-tomat yang disimpan di suhu ruang lebih besar bila dibandingkan dengan tomat yang disimpan di suhu dingin. Hal ini berarti bahwa pada suhu dingin proses metabolisme dan aktivitas enzim dalam proses pemecahan pektin dan hemiselulosa menjadi terhambat. Tomat kontrol yang dikemas dan disimpan pada suhu ruang mengalami kelunakan tekstur yang lebih kecil bila dibandingkan dengan perlakuan sebelumnya. Selanjutnya, tomat kontrol tanpa kemasan yang disimpan pada suhu dingin mengalami kelunakan tekstur yang lebih
0
5
10
15
20
25
0 10 20 30
Waktu penyimpanan (hari)
Nila
i kel
unak
an to
mat
(mm
/10
sec)
Tomat kontrol yangdikemas (suhu ruang)Tomat dengan aloe yangdikemas (suhu ruang)Tomat kontrol tdk dikemas(suhu ruang)Tomat dengan aloe tdkdikemas (suhu ruang)Tomat kontrol yangdikemas (suhu dingin)Tomat dengan aloe yangdikemas (suhu dingin)Tomat kontrol tdk dikemas(suhu dingin)Tomat dengan aloe tdkdikemas (suhu dingin)
kecil daripada tomat kontrol kemas yang disimpan pada suhu ruang. Kemudian, tomat kontrol yang dikemas dan disimpan pada suhu dingin mengalami kelunakan tekstur yang lebih kecil daripada tomat kontrol tanpa kemasan yang disimpan pada suhu dingin. Tomat yang dilapisi dengan gel, dikemas, dan disimpan pada suhu ruang mengalami kelunakan tekstur yang lebih kecil daripada tomat kontrol yang dikemas dan disimpan pada suhu dingin. Selain itu, tomat yang dilapisi dengan gel, dikemas, dan disimpan pada suhu dingin lebih kecil kelunakan teksturnya daripada tomat yang dilapisi dengan gel, dikemas, dan disimpan pada suhu ruang. Tomat yang dilapisi dengan gel lidah buaya, baik yang disimpan pada suhu ruang maupun suhu dingin, dengan tomat yang juga dilapisi gel dan dikombinasikan dengan kemasan dan penyimpanan suhu dingin memiliki nilai kelunakan tekstur yang tampaknya tidak berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hasil analisis ragam telah dilakukan dan hasilnya menunjukkan bahwa pada hari ke-0, perlakuan pelapisan, pengemasan, dan penyimpanan pada suhu berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kelunakan tekstur yang terjadi pada tomat. Sedangkan, pada hari penyimpanan ke-21 menunjukkan bahwa pada suhu dingin pelapisan tomat dengan gel lidah buaya berpengaruh nyata terhadap kelunakan tekstur yang dialami oleh tomat tersebut. Pada suhu ruang, pelapisan tomat dengan gel lidah buaya berpengaruh nyata terhadap kelunakan tekstur. Pengemasan tomat tidak berpengaruh nyata terhadap kelunakan tekstur jika dikombinasikan dengan pelapisan gel lidah buaya, tetapi berpengaruh nyata pada tomat yang tidak dilapisi gel lidah buaya, baik pada penyimpanan suhu ruang maupun suhu dingin, dimana pengemasan mampu menghambat kelunakan tekstur lebih baik daripada yang tidak dikemas. Perlakuan suhu berpengaruh nyata terhadap kelunakan tekstur jika tomat tidak dilapisi dengan gel lidah buaya, dimana suhu dingin mampu menghambat kelunakan tekstur lebih baik dari suhu ruang. Perlakuan yang mengalami kelunakan tekstur paling besar adalah tomat tanpa pelapisan dan tanpa kemasan
yang disimpan pada suhu ruang. Sedangkan, perlakuan yang mengalami kelunakan tekstur yang paling kecil adalah tomat yang dilapisi, dikemas, dan disimpan pada suhu dingin. Berdasarkan hasil percobaan di atas dapat disimpukan bahwa pelapisan tomat dengan gel lidah buaya dapat menghambat kelunakan tekstur. Hal ini menunjukkan bahwa pelapisan dengan gel lidah buaya mampu mereduksi kerja enzim yang dapat mengubah protopektin menjadi pektin larut air sehingga dapat menahan laju kelunakan tekstur yang terjadi. Perlakuan pelapisan ini akan lebih optimal jika dikombinasikan dengan pengemasan dan penyimpanan suhu dingin. Perlakuan pelapisan dan pengemasan dapat menutup stomata buah dengan tepat sehingga menghambat laju respirasi. Suhu dingin dapat mempertahankan keutuhan dinding sel dan turgor sel lebih baik sehingga kekerasan buah dapat dipertahankan. 3. Total Gula.
Secara umum total padatan terlarut (total gula) mengalami peningkatan pada tahap pematangan buah tomat. Hal ini disebabkan karena terhidrolisisnya pati menjadi glukosa, fruktosa, dan sukrosa, setelah itu akan terjadi fase penurunan total padatan terlarut karena telah melewati batas kematangannya. Nilai total padatan terlarut yang tinggi menunjukkan bahwa buah lebih cepat mengalami proses perombakan pati yang menandai proses pematangan juga berlangsung cepat (Wolfe, 1993).
Gambar 8. Grafik pengaruh pelapisan dengan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap perubahan total padatan terlarut tomat selama penyimpanan.
Gambar 8 menunjukkan bahwa waktu penyimpanan berpengaruh terhadap total padatan terlarut yang
00.5
11.5
22.5
33.5
44.5
0 10 20 30
Waktu penyimpanan (hari)
Tota
l pad
atan
terla
rut (
%B
)
Tomat kontrol yangdikemas (suhu ruang)Tomat dengan aloe yangdikemas (suhu ruang)Tomat kontrol tdk dikemas(suhu ruang)Tomat dengan aloe tdkdikemas (suhu ruang)Tomat kontrol yangdikemas (suhu dingin)Tomat dengan aloe yangdikemas (suhu dingin)Tomat kontrol tdk dikemas(suhu dingin)Tomat dengan aloe tdkdikemas (suhu dingin)
terjadi pada buah tomat. Pengamatan selama 21 hari pada suhu ruang dan 28 hari pada suhu dingin memperlihatkan bahwa total padatan terlarut akan meningkat hingga buah mencapai puncak fase klimakteriknya dan akan menurun kembali setelah puncak klimakterik berakhir. Berdasarkan pengamatan dan hasil analisis ragam yang telah dilakukan, baik pada penyimpanan hari ke-0 maupun hari ke-21, maka dapat disimpulkan bahwa perlakuan yang diberikan pada tomat-tomat tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan total padatan terlarut. Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1989), buah tomat tergolong dalam buah-buahan klimakterik yang selama pertumbuhan dan pematangan sel kenaikan kandungan gulanya sangat sedikit atau tidak ada sama sekali.
4. Derajat Keasaman
Nilai pH pada buah berkaitan dengan asam organik yang terkandung didalamnya. Penurunan keasaman ditandai dengan kenaikan nilai pH. Nilai pH yang rendah berarti asam-asam organik yang terdapat di dalam buah masih dalam keadaan baik. Kenaikan nilai pH ini disebabkan oleh menurunnya pembentukan asam-asam dan penurunan kandungan asam organik selama penyimpanan. Perubahan keasaman tomat berbeda tergantung pada tingkat kematangan dan suhu penyimpanan (Winarno dan Aman, 1981).
0
1
2
3
4
5
6
0 5 10 15 20 25 30
Waktu penyimpanan (hari)
Dera
jat k
easa
man
(pH
))
Tomat kontrol yang dikemas(suhu ruang)Tomat dengan aloe yangdikemas (suhu ruang)Tomat kontrol tdk dikemas(suhu ruang)Tomat dengan aloe tdkdikemas (suhu ruang)Tomat kontrol yang dikemas(suhu dingin)Tomat dengan aloe yangdikemas (suhu dingin)Tomat kontrol tdk dikemas(suhu dingin)Tomat dengan aloe tdkdikemas (suhu dingin)
Gambar 9. Grafik pengaruh pelapisan dengan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap perubahan derajat keasaman tomat selama penyimpanan. Gambar 17a menunjukkan
bahwa derajat keasaman (pH) tomat akan semakin bertambah seiring dengan semakin matangnya tomat tersebut. Tomat diberi perlakuan pelapisan,
pengemasan, dan penyimpanan pada suhu yang berbeda untuk melihat pengaruhnya terhadap penghambatan kenaikan pH. Kenaikan pH yang terjadi pada tomat-tomat yang disimpan di suhu ruang lebih besar bila dibandingkan dengan tomat yang disimpan di suhu dingin. Hal ini berarti bahwa pada suhu dingin proses respirasi dapat dihambat selama penyimpanan sehingga kenaikan juga dapat dihambat.
Hasil analisis ragam yang dilakukan menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan kepada tomat-tomat tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap kenaikan pH pada penyimpanan hari ke-0. Sedangkan, pada hari penyimpanan ke-21 menunjukkan bahwa pada suhu dingin pelapisan tomat dengan gel lidah buaya berpengaruh nyata terhadap kenaikan pH yang dialami oleh tomat tersebut. Pada suhu ruang, pelapisan tomat dengan gel lidah buaya berpengaruh nyata terhadap kenaikan pH. Pengemasan tomat tidak berpengaruh nyata terhadap kenaikan pH jika dikombinasikan dengan pelapisan gel lidah buaya, tetapi berpengaruh nyata pada tomat yang tidak dilapisi gel lidah buaya, baik pada penyimpanan suhu ruang maupun suhu dingin, dimana pengemasan mampu menghambat kenaikan pH lebih baik daripada yang tidak dikemas. Perlakuan suhu berpengaruh nyata terhadap kenaikan pH jika tomat tidak dilapisi dengan gel lidah buaya, dimana suhu dingin mampu menghambat kenaikan pH lebih baik dari suhu ruang. Perlakuan yang mengalami kenaikan pH paling besar adalah tomat tanpa pelapisan dan tanpa kemasan yang disimpan pada suhu ruang. Sedangkan, perlakuan yang mengalami kenaikan pH yang paling kecil adalah tomat yang dilapisi, dikemas, dan disimpan pada suhu dingin.
Berdasarkan hasil percobaan di atas dapat disimpukan bahwa pelapisan tomat dengan gel lidah buaya dapat menghambat kenaikan pH. Perlakuan pelapisan ini akan lebih optimal jika dikombinasikan dengan pengemasan dan suhu penyimpanan dingin.
5. Warna
Pengamatan terhadap perubahan warna pada semua sampel tomat dilakukan dengan menggunakan
chromameter. Interpretasi data mengenai warna diterjemahkan melalui skala L*a*b. L menyatakan nilai kecerahan warna tomat, skala a menyatakan warna merah-kuning, sedangkan skala b menyatakan warna kuning-biru. Selama pematangan buah tomat, nilai a akan semakin meningkat dan nilai b akan semakin menurun. Hal ini terjadi karena seiring dengan proses pematangannya, buah tomat akan memproduksi lebih banyak likopen sehingga produksi akan karoten dan xantofil menjadi berkurang dan menyebabkan warna tomat menjadi semakin merah (Hulme, 1971).
Gambar 10. Grafik pengaruh pelapisan dengan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap perubahan warna merah tomat selama penyimpanan.
0
10
20
30
40
50
60
0 5 10 15 20 25 30
Waktu penyimpanan (hari)
Nila
i b
Tomat kontrol dikemas (suhuruang)Tomat dengan aloe dikemas(suhu ruang)Tomat kontrol tdk dikemas(suhu ruang)Tomat dengan aloe tdkdikemas (suhu ruang)Tomat kontrol dikemas (suhudingin)Tomat dengan aloe dikemas(suhu dingin)Tomat kontrol tdk dikemas(suhu dingin)Tomat dengan aloe tdkdikemas (suhu dingin)
Gambar 11. Grafik pengaruh pelapisan dengan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap perubahan warna kuning tomat selama penyimpanan.
0
10
20
30
40
50
60
70
0 5 10 15 20 25 30
Waktu penyimpanan (hari)
Nila
i kec
erah
an (s
kala
L)
Tomat kontrol dikemas (suhuruang)Tomat dengan aloe dikemas(suhu ruang)Tomat kontrol tdk dikemas(suhu ruang)Tomat dengan aloe tdk dikemas(suhu ruang)Tomat kontrol dikemas (suhudingin)Tomat dengan aloe dikemas(suhu dingin)Tomat kontrol tdk dikemas(suhu dingin)Tomat dengan aloe tdk dikemas(suhu dingin)
Gambar 12. Grafik pengaruh pelapisan dengan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap kecerahan warna tomat selama penyimpanan. Berdasarkan hasil yang
didapatkan dari pengamatan dan analisis ragam, diketahui bahwa perlakuan yang diberikan pada tomat tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap perubahan warna merah dan kuning tomat selama 21 hari. Hal ini berarti bahwa perlakuan pelapisan, pengemasan, dan penyimpanan suhu rendah tidak mampu menahan perubahan warna yang terjadi selama penyimpanan akibat pematangan.
Gambar 12 menunjukkan pengaruh waktu penyimpanan terhadap perubahan nilai kecerahan pada tomat yang diberi perlakuan pelapisan gel lidah buaya, pengemasan, dan penyimpanan suhu yang berbeda. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan menyatakan bahwa pada hari penyimpanan ke-21 perlakuan suhu, pelapisan, dan pengemasan berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai kecerahan tomat. Nilai kecerahan terendah terdapat pada tomat yang diberi perlakuan pelapisan gel lidah buaya, pengemasan, dan penyimpanan pada suhu ruang, sedangkan nilai kecerahan tertinggi terdapat pada tomat kontrol tanpa pelapisan dan pengemasan yang disimpan pada suhu dingin. Tomat yang disimpan pada suhu dingin memiliki nilai kecerahan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan yang disimpan pada suhu ruang. Selain itu, kombinasi perlakuan pelapisan dan pengemasan pada suhu dingin dapat menghambat penurunan nilai kecerahan. Adanya kombinasi perlakuan pengemasan, pelapisan, dan suhu penyimpanan yang tepat akan mengurangi metabolisme komponen warna yang dapat mengurangi nilai kecerahan.
05
101520253035404550
0 5 10 15 20 25 30
Waktu penyimpanan (hari)
Nila
i a
Tomat kontrol dikemas (suhuruang)Tomat dengan aloe dikemas(suhu ruang)Tomat kontrol tdk dikemas(suhu ruang)Tomat dengan aloe tdk dikemas(suhu ruang)Tomat kontrol dikemas (suhudingin)Tomat dengan aloe dikemas(suhu dingin)Tomat kontrol tdk dikemas(suhu dingin)Tomat dengan aloe tdk dikemas(suhu dingin)
Tomat tanpa pelapisan dan pengemasan yang disimpan pada suhu dingin memiliki nilai kecerahan yang paling tinggi dikarenakan tomat tersebut mulai mengalami chilling injury yang menyebabkan kegagalan pematangan dan metabolisme pigmen sehingga tidak terjadi perubaha warna yang signifikan untuk merubah nilai kecerahan warna dari permukaan tomat tersebut. Chilling injury ini terjadi karena suhu yang digunakan untuk menyimpan tomat tersebut adalah 1°C. Suhu tersebut bukanlah suhu yang optimum untuk menghambat proses respirasi dan pematangan buah tomat, sehingga tomat-tomat yang disimpan pada suhu dingin pada tahap ini sulit untuk memproduksi pigmen dan menyebabkan nilai kecerahan warnanya masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan tomat yang disimpan pada suhu ruang. Kombinasi dengan pengemasan dan pelapisan akan melindungi tomat dari chilling injury, seperti yang terlihat pada tomat yang dilapisi gel lidah buaya, baik yang dikemas maupun tidak, memiliki nilai kecerahan yang lebih rendah daripada tomat tanpa pelapisan dan pengemasan yang disimpan pada suhu dingin.
6. Uji Mikrobiologi
Berdasarkan pengamatan, edible coating dari gel lidah buaya ini memiliki kemampuan mereduksi jumlah mikroba awal pada permukaan tomat, yakni sebesar 2.2 X 107 koloni/cm2 sebelum dilapisi gel lidah buaya menjadi 1.8 X 106 koloni/cm2 setelah dilapisi, sedangkan jumlah kapang dari sebesar 5.4 X 104 koloni/ cm2 menjadi 2.2 X 104 koloni/cm2, namun aktivitas anti-mikroba dan anti-kapang dari gel lidah buaya tersebut tidak mampu menghilangkan mikroba penyebab penyakit antraknosa.
KESIMPULAN
Aplikasi gel lidah buaya sebagai edible coating pada pengawetan tomat segar dapat menghambat kerusakan mutu tomat dan akan lebih efektif jika dipadukan dengan pengemasan dan penyimpanan suhu dingin daripada penyimpanan pada suhu ruang. Gel lidah buaya yang digunakan adalah gel lidah buaya yang langsung diolah segera setelah panen.
Penyimpanan pada suhu dingin mampu memperpanjang umur simpan tomat hingga 5 hari dan mencegah chilling injury, sedangkan penyimpanan pada suhu ruang mampu memperpanjang umur simpan tomat hingga 3 hari. Edible coating dari gel lidah buaya memiliki kemampuan mereduksi jumlah mikroba awal pada permukaan tomat, yakni sebesar 2.2 X 107 koloni/cm2 sebelum dilapisi gel lidah buaya menjadi 1.8 X 106
koloni/cm2 setelah dilapisi, sedangkan jumlah kapang dari sebesar 5.4 X 104 koloni/ cm2 menjadi 2.2 X 104 koloni/cm2, namun aktivitas anti-mikroba dan anti-kapang dari gel lidah buaya tersebut tidak mampu menghilangkan mikroba penyebab penyakit antraknosa.
DAFTAR PUSTAKA
He, Qian., et al. 2003.Quality And Safety Assurance In The Processing Of Aloe vera Gel Juice. Food Control Journal. Vol 16, pp 95-104. [21 Mei 2007].
Krochta, J.M., Baldwin, E.A., dan M. Nisperos-Carriedo. 1994. Edible Coatings and Films to Improve Food Quality. Technomic Publishing Co. Inc. Lancaster. Basel.
Mohsenin, Nuri N. 1970. Physical Properties of Plant and Animal Materials. Gordon and Birch Publishers. Australia.
Muchtadi, T dan Sugiyono. 1989. Petunjuk Laboratrium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Depdikbid Dirjen PAU Pangan dan Gizi. IPB. Bogor.
Robert, H.D. 1997. Aloe vera: A scientific approach. Di dalam He et al. (eds) Quality And Safety Assurance In The Processing Of Aloe vera Gel Juice. Food Control Journal. Vol 16, pp 95-104. [21 Mei 2007].
Valverde, J.M., et al. 2005. Novel Edible Coating Based on Aloe vera Gel to Maintain Table Grape Quality and Safety. Journal of Agricultural and Food Chemistry. Vol.53, pp 7807-7813 [20 Februari 2007].
Winarno, F.G dan M. Aman. 1981. Fisiologi Lepas Panen. Sastra Budaya. Jakarta
Wolfe, T.K. dan Kipps, M.S. 1973. Production of Field Crops. A Textbook of Agronomy. McGraw-Hill Book Company, Inc. New York.
196