genealogi humanisme nurcholish madjid
TRANSCRIPT
GENEALOGI HUMANISME NURCHOLISH MADJID
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri (UIN) Sayrif Hidayatullah Jakarta
Sebagai Syarat untuk Memeroleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh :
Aan Solehah
NIM: 1111033100052
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FALSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H./2018 M.
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI
Vokal Panjang
Arab Indonesia Inggris
ā ā آ
ī ī ٳى
ū ū ٲو
Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris
ṭ ṭ ط A a ا
ẓ ẓ ظ B b ب
‘ ‘ ع T t ت
gh gh غ Ts th ث
f f ف J j ج
q q ق ḥ ḥ ح
k k ك Kh kh خ
l l ل D d د
m m م Dz dh ذ
n n ن R r ر
w w و Z z ز
h h ه S s س
’ ’ ء Sy sh ش
y Y ي ḍ ḍ ص
h H ة ṣ ṣ ض
v
ABSTRAK
Nurcholis Madjid adalah seorang Intelektual Muslim Indonesia. Sebagai
pemikir pembaharu Islam di Indonesia, banyak gagasan-gagasan Cak Nur yang
terkenal. Gagasannya yang paling terkenal tentang kemodernan, sekularisasi,dan
inklusivisme. Penelitian ini berupaya menggali aspek lain dari pemikiran
Nurcholish Madjid, yaitu pemikiran keagamaan yang berkenaan dengan manusia.
Adapun fokus penelitian ini mengenai genealogi humanisme Cak Nur. Bagaimana
genealogi humanism Cak Nur?
Penelitian ini merupakan studi kepustakaan dengan menggunakan metode
analisis-deskriptif. Data yang terkumpul dari berbagai referensi kemudian
dideskrpsikan dan dianalisis secara cermat. Telaah terhadap humanisme
Nurcholish Madjid didekati dengan metode analisis-deskriptif. Berpijak pada
prinsip teologis yaitu, pertama, prinsip Ketuhanan (keimanan), kedua, prinsip
persamaan harkat dan martabat manusia, dan ketiga, prinsip kebebasan atau
kemerdekaan manusia. Dari ketiga prinsip inilah, sebagai upaya menciptakan
manusia yang menegakkan keadilan, terbuka, bermusyawarah dan egaliter.
Hasil dari penelitian ini menemukkan bahwa asal usul pemikiran
humanism Nurcholish Madjid berdasarkan pedoman terhadap ayat-ayat Alquran.
Dimana dalam Alquran menjelaskan mengenai bermusyawarah, dan meneggakan
keadilan.
Dengan musyawarah antar sesama warga masyarakat merupakan hakikat
kaum beriman. Sedang menegakkan keadilan merupakan bagian dari sunatullah.
Dengan demikian Alquran mengajarkan paham keharusan manusia berserah diri
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kata Kunci : Genealogi, humanisme, bermusyawarah, menegakkan keadilan.
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji dan rasa syukur kepada Allah Swt yang atas izin-Nya penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar
Sarjana Agama (S. Ag) pada Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas
Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan salam untuk Nabi
Muhammad Saw yang telah menuntun manusia kejalan yang benar, dari zaman
kegelapan menuju zaman terang benderang.
Skripsi yang berjudul “Genealogi Humanisme Nurcholish Madjid” ini mampu
penulis selesaikan dengan bantuan banyak pihak. Karya ini dipersembahkan untuk
tetehku tercinta (Nurseha) yang senantiasa mendo’akan dan menyemangati dan
ibunda (almarhumah Roiyah) Insyallah sudah tenang di alam sana, ayahanda
tersayang yang selalu mendoakan.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Masri Mansoer,
M.A., selaku dekan Fakultas Ushuluddin. Terima kasih kepada Dra. Tien Rahmatin
M.A., selaku ketua Prodi Aqidah dan Filsafat Islam. Terima kasih kepada Dr. Abdul
Hakim Wahid, M.A., selaku sekretaris Prodi Aqidah dan Filsafat Islam. Terima kasih
juga kepada segenap dosen serta seluruh staf dan karyawan yang berada di
lingkungan Fakultas Ushuluddin yang semuanya telah memberi dukungan dengan
berbagai fasilitas kepada penulis. Khusus untuk penulisan skripsi ini, penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen Pembimbing, Drs.
vii
Agus Darmaji, M.Fils. beliau telah memberi bimbingan, arahan, kritik, dan
mengoreksi tulisan ini dengan sangat cermat demi kesempurnaan skripsi ini.
Terima kasih juga kepada Kepala Sekolah SMK Mutiara Bangsa Drs.
Miftahussalam yang senantiasa mendo’akan, suami tercinta Muhammad Iko, S.E
yang banyak sekali membantu dalam penyelesaian karya tulis ini, juga do’a cinta,
semangat dan bimbingannya, buah hatiku Ghina Anindya yang sabar dan anteng di
tinggal ke kampus, kakak-kakak dan teteh-teteh yang mendo’akan dan menyemangati
suhendi, Rosihudin, Nurseha, Khusnawati, Nurasiah, Hamdah dan adikku Hamidah.
Selanjutnya untuk segenap civitas UIN, teman-teman seperjuangan Aqidah dan
Filsafat Islam 2011 yang luar biasa.
Ciputat, 17 Juli 2018
Aan Solehah
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………………………. i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN……………………………………… ii
LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………… iii
PEDOMAN TRANSLITERASI………………………………... …..…… iv
ABSTRAK………………………………………………………. ………. v
KATA PENGANTAR…………………………………………. ………… vi
DAFTAR ISI…………………………………………………… ………… viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………………………. 1
B. Batasan atau Rumusan Masalah………………………………….... 6
C. Kajian Pustaka……………………………………………….. ……. 7
D. Metode Penelitian…………………………………………………... 9
E. Sistematika Penulisan………………………………………………. 10
BAB II BIOGRAFI NURCHOLISH MADJID
A. Latar Belakang Keluarga dan Pendidikannya………..………. .. 12
B. Karya-karya…………………………………………………….. 18
BAB III HUMANISME SECARA UMUM
A. PengertianHumanisme……………………………………………... 24
B. Aliran-aliranHumanisme…………………………………………… 29
C. HumanismeSebagaiIdeologi………………………………………. 36
BAB IV GENEALOGI HUMANISME NURCHOLISH MADJID
A. Prinsip Humanisme Nurcholish Madjid…………………………..... 39
1. Prinsip Ketuhanan (Keimanan)………………………………..... 39
2. Persamaan Harkat dan Martabatmanusia…………………….... 44
3. Kebebasan Manusia………………………………….................. 51
B. Lingkungan Sosial dan Alquran yang berpengaruh terhadap pemikiran
humanism Nurcholis Madjid…………….………………................ 56
1. Keluarga………………………………………………………… 56
2. Al-Qur’an……………………………………………………….. 57
C. Kritik Atas Pemikiran Nurcholis Mdjid…………………………..... 65
ix
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………………… 69
B. Saran-saran…………………………………………………………. 70
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Humanisme sebagai sebuah aliran kefilsafatan yang menempatkan
“kebebasan” manusia, baik berfikir, bertindak dan bekerja,1. Secara sederhana,
humanisme dapat dipahami sebagai upaya meneguhkan sisi kemanusiaan.2
Humanisme juga dipahami sebagai untuk memfokuskan jalan keluar mengenai
masalah-masalah atau isu-isu yang berhubungan dengan manusia.
Dalam pemikiran kefilsafatan , manusia dipahami sebagai subyek dan
sekaligus obyek. Interaksi antara sesama manusia, interaksi manusia ketika
berhadapan dengan alam sekitar dan Sang Pencipta dianggap sebagai kekuatan
lebih dan utama yang melahirkan berbagai macam pemikiran tentang siapa itu
manusia. Orientasi alam pikiran manusia pada masa Yunani Kuno bertumpu pada
kosmis “kosmosentrise”. Dari pola pikir inilah muncul pemikiran bahwa segala
sesuatu yang ada berawal dari sebuah titik dari bagian alam, air, api udara bahkan
atom dinisbatkan sebagai sebuah cikal bakal dari adanya kehidupan.3
Pada abad pertengahan pemikiran mulai bergeser, dari kesadaran yang
fokus kepada dataran moralitas dan keyakinan agama (teosentrisme) pada dataran
ini kewenangan ada ditangan gereja dan pada masa ini alam dihayati sebagai
1 Lash Scott,, “Posmoderinisme sebagai Humanisme? Wilayah Urban dan Teori Sosial”,
dalam Bryan Turner, Teori-teori social Modernitas dan Posmodernitas” terj. Imam Baehaqi dan
Ahmad Baidhowi, (Jogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 54. 2 Hasan Hanafi, dkk. Islam dan Humanisme Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah
Krisis Humanisme Universal. (Semarang: Pustaka Pelajar, 2007), h. v. 3 Muhammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: UI Press dan Tinta Mas), h. 5-6.
2
karya tuhan dan selain tuhan mendapatkan maknanya dalam tuhan.4. Setelah
dihadapkan kepada berbagai persoalan, maka hegimoni Gereja sebagai pemegang
kendali tumbang dan lahirlah kesadaran baru mengenai kodrat manusia yang
bebas dan rasional, dimana pemikiran dan kesadaran tersebut bersifat
antroposentrisme, yaitu menjadikan manusia sebagai pusat pemikiran dan bukan
tuhan lagi.
Alam pikiran humanisme-antroposentris merupakan fondasi utama
kehidupan masyarakat dan kebudayaan modern, sejak Eropa Barat memasuki
babak baru Era Pencerahan (Renaissance) dan Aufklarung.5 pada abad ke-16 dan
kemudian diikuti Revolusi Industri pada abad ke-18. Alam pikiran pencerahan itu
bertumpu pada nilai-nilai utama kemanusiaan (humanisme) seperti
Individualisme, kebebasan, persaudaran, dan kesamaan yang berakibat pada
manusia (antroposentris). Sejak zaman ini humanisme-antroposentris menjadi
semacam agama baru dalam kebudayaan modern, yang menyebar dan diadopsi
oleh Negara-negara lain, kemudian melahirkan petaka dan keterasingan bagi
manusia itu sendiri, disebabkan oleh arogansi untuk membangun kebudayaan dan
peradaban umat manusia tanpa bingkai agama dan Tuhan. tuhan bahkan telah
lama “terkubur” jauh-jauh dari kehidupan manusia sejak Nietzsche
memproklamasikan “Tuhan telah mati”6, atau ketika Sartre menyebarkan
4 Mudji Sutrisno, Paradigma Humanisme, Driyakarya, XXI No 4, 1994/ 1995, h. 1-2.
5 Alinv Tofvler, Gelombng Ketiga, (Jakart: Pantja Simpti, 1990), h. 1-5.
Immanuel Kant (1784-1804) berkata bahwa: Aufklarung (zaman pencerahan) adalah “jalan keluar”
yng membebaskan mausia dari ketidakdewasaan, yakni situasi manusia yang masih
menggantungkan dirinya pada otoritas luar dirinya, yang dengan sendirinya merasa bersalah, entah
otoritas itu atas nama tradisi, Negara atau dogma agama. 6 Harold H. Titus, dkk, (eds), Livivng Issues in Philosophy, terj. H. M. Roshidi,
Persoalan-persoalan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h..390.
3
eksistensialisme ateis,7 atau juga ketika Ludwig Feurbach dengan dogma ilmu
pengetahuan dan filsafat tentang “Tuhan sebagai hasil konstruksi pemikiran
manusia”.
Demikianlah akar permasalahan dan sumber prahara kehidupan modern,
yang bermula dari pendewaan rasio manusia dan materi. Dalam paham
humanisme-antroposentris menolak kehadiran alam pikiran keagamaan dan hal-
hal yang bersifat supranatural, karena ia dianggap sebagai belenggu kebebasan
dan kemerdekaan manusia, kemudian hal itu menjadi benih-benih munculnya
Humanisme.
Kerja dari humanisme ini adalah mencoba memanusiakan manusia
(humanisasi) sebagai manusia, yang selama ini manusia yang hanya dipahami
sebagai seonggok ‘objek’ atau minimal benda tanpa mempunyai kekuatan dan
kemampuan apa-apa melalui realitas.8
Dalam konteks ini, nama Hugo Grotius patut diajukan sebagai salah satu
referensi. Ia adalah penganut humanisme sejati yang berusaha mencari dasar baru
bagi hukum alam dalam diri manusia sendiri. Manusia, kata Grotius memiliki
kemampuan untuk mengerti segala-galanya secara rasional melalui pemikirannya
menurut hukum-hukum matematika. Manusia dapat menyusun daftar hukum alam
dengan menggunakan prinsip-prinsip a priori yang dapat diterima secara umum.
7 Harold H. Titus, dkk, (eds), Livivng Issues in Philosophy, terj. H. M. Roshidi,
Persoalan-persoalan Filsafat, h. 395. 8 Muhammad Adib, Filsafat Ilmu (Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu
Pengetahuan. (Jogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011), h. 53.
4
Hukum alam tersebut oleh Grotius dipandang sebagai hukum yang berlaku secara
real sama seperti hukum positif.9
Gerakan humanisme percaya akan kemampuan manusia, yang mempunyai
hasrat intelektual dan penghargaan akan disiplin intelektualnya. Spirit humanisme
hadir dalam agama yang mengajarkan pada penganutnya untuk menghormati
orang lain. Oleh sebab itu kekerasan atas nama agama dikarenakan tidak
seimbangnya antara semangat keberagamaan dan kemampuan untuk memahami
ajaran agama. Seharusnya semangat keberagamaan itu harus disertai dengan
pemahaman yang mendalam akan dimensi esoteris dari agama. Dengan demikian
sebenarnya tidak terlalu sulit untuk memberikan legitimasi bagi hadirnya spirit
humanisme dalam agama.10
Hanya saja, banyak yang menilai bahwa humanisme
akan mengganggu stabilitas agama, dengan alasan bahwa manusia dapat menggali
ajaran-ajaran budi pekerti dari renungan rasional tanpa harus merujuk atau
mengikatkan dirinya kepada agama tertentu. Dari sini kemudian muncul
kekhawatiran manusia akan kembali kepada keasliannya yaitu hidup tanpa busana
sebagaimana asalnya manusia ketika dilahirkan ibunya. Pandangan seperti inilah
yang menghambat laju humanisme sebagai sebuah tata nilai yang inheren dalam
rahim agama.
Padahal, humanisme dalam Islam misalnya, hanya akan berjalan dalam
garis dialog antara Allah, manusia, dan sejarahnya. Dalam proses ini akan
melahirkan suatu bentuk pembebasan manusia dari keterkukungngan. Sejarah
pembebasan dan penyelamatan kemanusiaan atau humanitas adalah core atau inti
9 Hasan Hanafi, dkk, Islam dan Humanisme : h. Vi.
10 Hasan Hanafi, dkk, Islam dan Humanisme : h. Vii.
5
dari kehadiran agama. Bersandingnya Islam dan humanisme akan sangat
dipengaruhi oleh bagaimana agama itu dipahami. Jika agama selalu diwarnai
dengan semangat kepatuhan, ketundukan dan pengabdian kepada Tuhan, maka
humanisme jelas akan “menantang” keperkasaan Tuhan. Tetapi jika Islam
dimaknai dalam konteks historisnya, maka akan muncullah benang merah bahwa
sesungguhnya Islam dan agama lainnya bertujuan untuk advokasi manusia.
Pemikiran filsafat humanisme ini meliputi beberapa hal yakni pandangan
tentang hakekat manusia, pandangan tentang kebebasan dan otonomi manusia dan
pandangan tentang diri dan konsep diri11
.
Sebagaimana diketahui, Kitab Suci mengajarkan prinsip bahwa semua
orang yang beriman adalah saudara. Kemudian diperintahkan agar antara sesama
orang beriman yang berselisih selalu diusahakan ishlâh (rekonsiliasi) dalam
rangka taqwa kepada Allah dan usaha mendapatkan rahmat-Nya. Pengajaran
tentang persaudaraan itu kemudian langsung dilanjutkan dengan petunjuk tentang
prinsip utama dan pertama bagaimana memelihara Ukhûwah Islâmîyah yang
sangat disayangkan agaknya bagian cukup besar kaum beriman sendiri tidak
banyak memperhatikan yaitu hendaknya tidak ada suatu kelompok di antara kaum
beriman, pria maupun wanita, yang merendahkan kelompok yang lain, kalau
mereka yang direndahkan itu lebih baik daripada mereka yang merendahkan.
Al-Qur’an sebagai worldview seorang muslim merupakan dasar dari
humanisme Islam. Penafsiran terhadap ayat-ayat yang berbicara tentang
kebebasan, persaudaraan dan persamaan, dalam konteks keindonesiaan, sedikit
11
Jean Paul Sartre, Eksistensialisme dan Humanisme, terj. Yudhi Murtanto (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002), h.103.
6
banyak akan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Indonesia yang plural,
baik dalam segi agama, ras maupun budaya yang berbeda-beda.
Di Indonesia, Nurcholish Madjid yang tergolong sebagai pemikir New-
modernisme, merupakan salah satu yang pemikiran dan gagasannya banyak
menjadi rujukan berbagai kalangan dan juga dikenal sebagai tokoh yang concern
dan committed terhadap berbagai persoalan kebangsaan, terutama penyangkut
persoalan pluralism bangsa, agama dan kemanusiaan.12
Pemikir yang membahas
humanisme. Meskipun Nurcholish Madjid tidak menyebutkan istilah tersebut
secara eksplisit pada sejumlah karyanya, tetapi pada beberapa pemikirannya,
humanisme menjadi pembahasan yang cukup kompleks. Menurut Madjid,
humanisme adalah pengangkatan harga diri manusia. Yang mana merupakan
sebuah tema sentral ajaran Nabi suci hal ini disampaikan dalam khutbah
perpisahan (Hijjat al-Wada’) kira-kira dua bulan sebelum beliau wafat. Dalam
sebuah hadis diriwayatkan oleh al-Bukhari, Nabi suci diriwayatkan berkata dalam
khutbahnya:
Wahai manusia hari apakah ini?” Semua menjawab: ”Ini adalah hari yang
suci.”Dia berkata, “tanah apakah ini?”semua menjawab: “ini adalah tanah
suci.” Dia berkata, “Bulan apakah ini?” Semua menjawab: “Ini adalah
bulan suci”. Dia berkata, “Oleh karena itu hidupmu, hartamu, dan
kehormatanmu adalah suci bagi kamu semua, seperti kalian pada hari ini,
pada hari yang suci, ditanah suci dan di bulan yang suci.”(Nabi saw
mengulangi perkataan ini beberapa kali. Dan kemudian Dia mengangkat
kepalanya, seraya berkata) : “Ya Tuhan apakah aku sudah menyampaikan
pesan? Ya Tuhan apakah aku sudah menyampaikan pesan? “ (Ibnu Abbas
Radiallahu anhuma berkata, “Demi Dia yang jiwaku ada ditanganNya,
khutbah itu benar-benar pernyataannya (Nabi) yang terakhir bagi
masyarakatnya”). (Nabi saw berkata lebih lanjut), “barang siapa yang
datang harus menyampaikan (pesan ini) kepada yang tidak datang, dan
12
Jaluddin Rahmad, dkk,. Nurcholish Madjid, Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai
Guru Bangsa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 102.
7
jangan kembali menjadi orang tidak beiman setelahku, saling mencekiki
leher orang lain.13
Nurcholish Madjid menekankan Islam sebagai agama kemanusiaan dan hal
itu semakin nyata dan aktual saat ini karena ditantang oleh kehadiran kelompok
berpaham fundamentalis yang gemar melakukan pembunuhan tanpa
memperdulikan rasa kemanusiaan.
Atas dasar pandangan Islam sebagai agama kemanusiaan itulah maka
secara fitrah, manusia memiliki kebebasan untuk berfikir. Tidak hanya
mengajarkan tentang kebebasan berfikir secara intelektual tapi juga bagaimana
berfikir secara spiritual. Nurcholish Madjid menjelaskan:
Tuhan menganugerahkan kemampuan spiritual dan intelektual kepada
manusia yang membuatnya mampu memahami dan mendayagunakan
segala sesuatu disekelilingnya, disimbolisasikan dalam ajaran Tuhan
kepada Adam mengenai sifat benda-benda. Tuhan kemudian menempatkan
benda-benda tersebut di hadapan malaikat dan menantang mereka untuk
mengatakan apa-apa yang mereka ketahui mengenai sifat-sifat benda-
benda itu jika mereka benar14
Kebebasan adalah anugerah Tuhan yang paling penting untuk manusia
sebagai persiapan kedudukannya sebagai khalifah. Islam memandang bahwa
fungsi kekhalifahan manusia tidak mungkin terwujud dengan baik, atau dalam
bahasa yang lebih singkat, bumi ini akan rusak manakala hak-hak dasar
kemanusiaan tidak terjaga dengan baik. Jadi undang-undang tentang perlindungan
Bumi itu sangat berwatak Qur’ani dan manusiawi, karena jelas yang dituju adalah
keselamatan jiwa.
13
Hadis Riwayat al-Bukhari (Mausu’ah al-Hadis al-Syarif. CD Room Computer
Program. Cairo, Sakhr, version 1, 2, 1995 14
Nurcholish Madjid, Humanisme dan Islam:Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah
Krisis Humanisme Universal, h. 19.
8
Berdasarkan argumentasi logis Cak Nur, menghendaki manusia yang
telah dibekali kemampuan yang mendasar menjalankan kehidpan dengan penuh
kebebasan untuk memilih jalan hidupnya, setelah kita menanamkan keyakinan
kepada Zat yang memberikan kehidupan kepada makhluk yang mengisi jagat raya
ini.15
Dan dengan menjadikan ridha Tuhan dan penyerahan diri kepada-Nya secara
total, maka dengan sendirinya sebagai hamba Tuhan yang beriman akan selalu
mengikuti perintahNya yang sarat dengan nilai kemanusiaan seperti, tidak
bersikap sombong, tidak secara berlebihan ataupun berkekurangan dalam
menggunakan hartanya yang kesemuanya itu menurut Cak Nur adalah jenis rasa
kemanusiaan dan tanggung jawab sosial yang tinggi.16
Dengan demikian bagi penulisa sangat penting untuk melakukan penelitian
lebih lanjut tentang gagasan genealogi humanisme Nurcholish Madjid ini.
Sesungguhnya konsep humanisme Cak Nur itu sangat relean bila dikaitkan dalam
konteks zaman modern sekarang ini, mengingat penduduk Indonesia mayoritas
Muslim, dengan demikian penulis akan menggali lebih dalam dari mana
pemikiran humanisme Cak Nur.
B. Batasan dan Rumusan Masalah.
Dalam penelitian ini, penulis tidak akan mengkaji seluruh aspek pemikiran
Nurcholish Madjid, namun hanya dibatasi seputar konsep humanismenya. Adapun
rumusan masalah yang diajukan sebagai berikut:
Bagaimanakah Genealogi humanisme Nurcholish Madjid?
15
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. Iiv. 16
Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan. (Jakarta: Paramadina, 1999), Cet, Ke-
5, h. 32-33.
9
Adapun judul yang penulis ajukan dalam skripsi ini, berdasarkan latarb
elakang masalah yang telah diuraikan di muka adalah Genealogi Humanisme
Nurcholish Madjid. Humanisme disini adalah aspek dari sisi humanismenya itu
sendiri. Dan untuk pengertiannya yang menyatakan bahwa manusia mempunyai
hak atau kapasitas untuk mengambil inisiatif dalam kehidupannya di dunia ini
berlandaskan prinsip dasar ajaran agama yakni Surga (Tuhan) sebagai norma ideal
bagi kehidupan peradaban manusia, di mana pada saat yang bersamaan ia harus
memiliki komitmen untuk merealisasikan norma-norma ideal tersebut dalam
praktek kehidupan nyatanya di atas muka bumi ini. 17
Genealogi sendiri adalah
dari mana asal mula pemikiran humanisme Cak Nur.
C. Tinjauan Pustaka
Sepanjang pengetahuan dan kajian pustaka yang penulis lakukan, terdapat
beberapa karya tulis, baik berbentuk skripsi, tesis maupun karya buku utuh yang
telah mengkaji lebih dahulu terkait dengan pemikiran Nurcholish Madjid. Namun
demikian, berdasarkan analisis penulis, dari seluruh kajian ilmiah tersebut, belum
ada satu pun penelitian yang mengangkat konsep genealogi humanisme Nurcholis
Madjid. Untuk menunjukan asumsi tersebut, maka di sini penulis akan
menguraikan satu persatu, namun hanya sebagian saja yang penulis anggap sudah
cukup mewakili beberapa karya lainnya. Pertama, adalah buku dalam bunga
rampai yang ditulis Sukidi dengan judul Teologi Inklusif Cak Nur (Jakarta: PT.
Kompas Media Nusantara, 2001). Dalam buku tersebut, Sukidi menguraikan
tentang bagaimana pemikiran teologi Cak Nur berdasarkan perspektif filsafat
17
The Encyclopedia of Philosophy.(ed) Paul Endwards (London: Macmillan Publishing
& The Free Press, 1967), Vol. 3 & 4, p.71.
10
perenial, yang kemudian Sukidi mengistilahkan dengan “Teologi Inklusif Cak
Nur”. Menurut analisis Sukidi, bangunan epistemologi teologi Cak Nur berangkat
dari asumsi bahwa al-Islâm adalah sebagai sikap pasrah ke hadirat Tuhan, di mana
sikap pasrah inilah menjadi karakteristik pokok semua agama yang benar. Di sini
terlihat jelas sekali bahwa Sukidi hanya melihat tauhid Nurcholish Madjid dari sisi
inklusifnya saja terhadap agama-agama lain. Kedua, tulisan Mahmud Afifi,
Teologi Islam Agama-agama: Analisa Kritis Pemikiran Nurcholish Madjid (tesis,
UIN Jakarta, 2003). Dalam pembahasan tesis itupun hanya ingin melihat sejauh
mana keabsahan pandangan teologi Nurcholish Madjid tentang agama-agama,
dilihat dari kacamata doktrin Islam (Alqur’an) serta relevansi dalam konteks saat
ini. Terakhir, adalah Sutisna dengan judul Pluralisme dalam Pemikiran
Nurcholish Madjid (Skripsi, UIN Jakarta, 2004). Tak jauh berbeda dari
pembahasan sebelumnya, penelitian inipun masih berkutat pada pandangan
teologi Pluralisme Nurcholish Madjid, yang tidak ada bedanya dengan beberapa
penelitian-penelitian sebelumnya,
Berdasarkan data-data tersebut, apa yang ingin dikaji penulis dalam
penelitian ini tentunya sangatlah berbeda. Perbedaan itu dikarenakan penelitian ini
lebih memfokuskan pada kajian konsep genealogi humanisme Nurcholish Madjid
yang menurut dugaan kuat sementara penulis apakah benar konsep humanisme
Cak Nur itu adalah pemikirannya sendiri atau hanya mengutip tokoh lain, oleh
karenanya, adalah sebuah keharusan ilmiah dan intelektual melakukan penelitian
lebih lanjut untuk mengkaji kebenaran hipotesis tersebut. Dalam konteks itu pula,
masih terbuka lebar bagi penulis untuk melakukan penelitian (skripsi) ini, di
11
samping itu juga belum ada yang meneliti sebelumnya sebagaimana telah penulis
tunjukan di muka.
D. Metode Penelitian.
Dalam penelitian skripsi ini, penulis menggunakan metodologi penelitian
kepustakaan (Library Research) dengan mengacu kepada karya primer Nurcholish
Madjid dan beberapa karya sekunder yang ada relevansinya dengan penelitian ini.
Sebagian karya Nurcholish Madjid yang menjadi rujukan utama dalam penelitian
ini adalah Islam Agama Kemanusiaan: membangun Tradisi dan Visi Baru Islam
Indonesia (Jakarta: paramadina, 1995) dan Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta:
Paramadina, 1995) sebagai karya magnum-opusnya dan beberapa karya lain yang
ditulis olehnya. Di samping itu pula, penulis juga menggunakan beberapa karya
pendukung lainnya, yang memiliki kaitan dan relevansi yang cukup signifikan
dalam penyempurnaan penelitian skripsi ini.
Adapun pendekatan metodologi penelitian ini bersifat deskriptif dan
analitis kritis. Pendekatan deskriptif ini mengandalkan sebuah uraian yang cermat
dan objektif berdasarkan beberapa sumber yang digunakan. Artinya, penelitian ini
ingin mengungkapkan pemikiran humanisme yang memiliki nilai-nilai
kemanusiaan apa adanya. Sedangkan pendekatan analitis kritis adalah
menganalisa serta menilai secara kritis keseluruhan data yang telah diperoleh
melalui pendekatan deskriptif tersebut, sehigga dapat terungkap akan kekuatan
dan begitu juga kelemahan dari konsep Genealogi Humanisme Nurcholis Madjid.
12
Mengenai teknik penulisan di sini penulis mengacu kepada buku pedoman
Akademik. Program Strata 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2011/2012.
Sedangkan mengenai transliterasi dalam penulisan skripsi ini mengacu pada
system transliterasi Jurnal Ilmu Ushuluddin yang diterbitkan HIPIUS (Himpunan
peminat Ilmu Ushuluddin).
E. Sistematika Penulisan
Pembahasan dalam penelitian ini menggunakan system bab per bab, antara
satu dengan bab yang lain merupakan kesinambungan dan saling terkait. Bab
pertama berisikan pendahuluan yang menjelaskan tentang latar belakang
penelitian, perumusan masalah, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
Bab kedua, penulis akan membahas tentang biografi Nurcholish Madjid,
yakni latar belakang kehidupan, pendidikan dan karya-karyanya.
Bab ketiga, penulis akan membahas humanisme yang di dalamnya
memuat pengertian humanisme, aliran humanisme dan humanisme sebagai
ideologi.
Melangkah ke bab yang inti yakni bab empat, genealogi humanisme
menurut Nurcholish Madjid yang memuat mengenai prinsip humanisme Madjid,
lingkungan sosial dan Alquran sebagai landasan pemikiran Humanisme Madjid.
Serta kritik atas pemikiran Madjid
13
Bab kelima, berisi penutup. Dalam bab ini peneliti akan memberikan
kesimpulan tentang hasil dan beberapa saran.
14
BAB II
BIOGRAFI NURCHOLISH MADJID
A. Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan
Nurcholish Madjid adalah seorang intelektual Muslim garda depan, dan
juga seorang guru bangsa yang mampu mengemas Islam dalam denyut
humanisme serta humanitas,1 sehingga benih-benih pemikirannya banyak
dijadikan solusi oleh sebagian masyarakat Indonesia atas masalah-masalah
kemanusiaan maupun keagamaan.
Nurchoilsh Madjid dilahirkan tepat pada tanggal 17 Maret 1939 M (26
Muharram 1358 H).2 Di sudut kampung kecil Desa Mojoanyar, Jombang, Jawa
Timur. Cak Nur yang biasa disapa, genap pada usia 66 tahun kembali ke
pangkuan Ilahi, senin 29 Agustus 2005, bertepatan dengan tanggal 24 Rajab 1426
H, pukul 14.05 WIB.3 Sebelumnya Cak Nur menjalani operasi lever di Cina dan
dilanjutkan ke Rumah Sakit Singapura, sampai ia kembali menjalani perawatan
intensif di Rumah Sakit Pondok Indah hingga akhirnya beliau menghembuskan
nafas terakhirnya.4
Sebagaimana anak-anak pada umumnya, Nurcholish oleh ayahanda
tercinta Abdul Madjid dan ibundanya Nyai Fathonah disekolahkan di Sekolah
Rakyat (SR) yang dilaksanakan pada pagi hari dan sore harinya Cak Nur belajar di
1 Muhammad Wahyuni Nafis dan Acmad Rifki, Kesaksian Intelektual: Mengiringi Guru
Bangsa, (Jakarta: Paramadina, 2005), cet. I., h. X. 2 http://id.wikipedia.org/wiki:/Nurcholish Madjid. Kamis, 16 Juni 2016.
3 Muhammad Wahyuni Nafis dan Achmad Rifki, Kesaksian Intelektual: Mengiringi Guru
Bangsa, h. 1. 4http://www.tokohIndonesia.com/ensiklopedia/n/Nurcholish-Madjid/indexs.shtml. Kamis,
16 Juni 2016.
15
Madrasah al-Wathoniyyah yang didirikan oleh ayahnya sendiri, bertempat di
kediamannya di Desa Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur.5 Sejak di madrasah
itulah Abdul Madjid (salah seorang murid kesayangan KH. Hasyim Asyari)
mengetahui kecerdasan otak anaknya dari beberapa prestasi pelajaran yang sering
mendapat nilai tertinggi di sekolahnya, tentunya ini sangat, membuat bahagia hati
sang ayah atas prestasi anaknya dalam menjalankan tugas sebagai seorang pelajar.
Setelah tamat dari sekolah dasarnya pada usia 14 tahun lebih kurang, atau
sekitar tahun 1955 sang ayah menganjurkan untuk melanjutkan pendidikannya di
Dâr al-‘Ulûm Rejoso Jombang, Cak Nur pun yang memiliki cita-cita menjadi
seorang masinis kereta api itu mematuhi apa yang dianjurkan ayahnya. Tapi
selang dua tahun kemudian, Nurcholish merasa tidak kerasan di Pesantren yang
tidak begitu jauh dari tempat kediamannya itu. Konon tidak betahnya Nurholish
dikarenakan sering ia mendapat ejekan dari teman-temannya, sebagian guru-
gurunya dan juga sebagian orang di Desanya; “masa anak tokoh Masyumi
mondok di Pesantren (NU) sih..! yang santrinya dan juga guru-gurunya pakai
sarung?’. Demikian ungkapan yang sering terlontar padanya. Cak Nur pun merasa
tidak nyaman dengan kata-kata ejekan itu, akhirnya ia dipindahkan ke KMI
(Kulliyyatul Mu’allimin al-Islamiyyah) pesantren dâr as-Salam Gontor Ponorogo,6
sebuah institusi pendidikan yang menghargai pluralitas madzhab dan juga sistem
pendidikan satu-satunya dipulau Jawa yang telah menerapkan pendidikan sistem
modern yang seirama perkembangan zaman, karena pesantren Dâr as-Salam
5 Marwan Saridjo, Cak Nur. Diantara Sarung dan Dasi &Musdah tetap Berjilbab,
(Jakarta: Yayasan Ngali Aksara, 2005), cet. I. hal.2-3 6 Marwan Saridjo, Cak Nur: Di antara Sarung dan Dasi&Musdah Mulia tetap Berjilbab,
h. 4.
16
mengajarkan dua bahasa bertaraf internasional, yakni bahasa Inggris dan bahasa
Arab. Dan tidak lagi kegiatan belajar mengajarnya menggunakan sistem
tradisional seperti sorogan.7
Kemudian Cak Nur melanjutkan pendidikannya ke salah satu perguruan
tinggi di Jakarta yang sekarang berubah nama menjadi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta (dulu IAIN) setelah mengakhiri pendidikan pesantrennya, yang selesai
pada tahun 1961. Ia masuk pada Fakultas Adab, Jurusan Sastra Arab. Pada tahun
1968 ia menyandang gelar Sarjana Muda dengan predikat terbaik tentunya setelah
melalui kerja keras dan sungguh-sungguh serta keuletannya dalam belajar sebagai
seorang pelajar yang sadar akan statusnya itu8.
Semenjak menjadi mahasiswa, Nurcholish Madjid seorang mahasiswa
yang aktif dalam gerakan kemahasiswaan dan ia secara langsung maupun tidak
langsung mampu menunjukkan kemampuan akademisnya itu pada dirinya,
keluarganya, juga teman-teman seperjuangannya. Beberapa gerakan
kemahasiswaan yang ia geluti adalah HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) cabang
Ciputat, sampai akhirnya ia terpilih menjadi ketua umum PB HMI, ia juga aktif di
Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT), kiprahnya di persatuan ini
sampai ia selesai kuliahnya (1968). Keaktifannya dalam sebuah organisasi terus ia
geluti, karena baginya sebuah organisasi merupakan medium pencerdasan
generasi penerus perjuangan bangsa Indonesia, dan selain itu juga baginya peran
7 Muhammad Wahyuni Nafis dan Achmad Rifki, Kesaksian Intelektual, h. 223.
8 Muhammad Wahyuni Nafis dan Achmad rifki, Kesaksian Intelektual, h. 223.
17
sebuah organisasi adalah sebagai wadah untuk pengembangan diri dan sarang
latihan menjadi seorang pemimpin. 9
Julukan Intelektual Muda telah melekat dalam diri Cak Nur, dikarenakan
gagasan-gagasannya yang brilian tentang keagamaan banyak yang dianggap
sebagai alternativ pencerahan intelektual dan yang selalu menjadi cubitan kecil
dalam pemahaman tokoh keagamaan. Cak Nur punya keinginan melanjutkan
studinya untuk menambah khazanah keilmuannya, Cak Nur pun menemukan jalan
licin ketika tahun 1973 dua orang intelektual sekaliber internasional berkunjung
ke Indonesia dalam rangka mencari peserta seminar dan loka karya,10
Dengan
tema “Islam dan Tantangan Peradaban ke Depan”, yang bertempat di University
of Chicago, yang dipromotori oleh Ford Fondation. Nama kedua intelektual itu
adalah Fazlur Rahman dan Leonard Binder. Sebelumnya kedua intelektual itu
telah memilih HM. Rasjidi (tokoh Masyumi) sebagai peserta loka karya dan
seminar itu, namun karena umurnya yang tidak lagi muda maka pilihan pun
beralih pada aktivis HMI itu, yakni Nurcholish Madjid. Pilihan kedua intelektual
itu tidak serta merta beralih begitu saja, tentunya Nurcholish menjadi alternatif
dari pilihan itu berkat pemikiran-pemikirannya yang selalu dalam konteks
kebangsaan dan kenegaraan, juga gagasan keagamaannya (keislaman) yang
membuat namanya dikenal orang khususnya kaum akademisi.
9 Muhammad Wahyuni Nafis dan Achmad rifki, Kesaksian Intelektual, h. 223.
10 Breg Berton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 2000), cet. 1,
h. 84.
18
Untuk menjadi peserta seminar dan loka karya di Negeri Paman Sam itu
Nurcholish harus terlebih dulu menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS)11
sebagai
persyaratan menjadi peserta. Setelah persyaratan itu terpenuhi dan keadaan fisik
pun memadai akhirnya berangkatlah anak bangsa yang berprestasi itu ke luar
negeri untuk menambah khazanah keilmuan dan pengalamannya.
Program seminar dan loka karya usai, timbullah keinginan Madjid untuk
tinggal lebih lama di Chicago untuk menimba ilmu di sana, Madjid pun memohon
pada Leonard binder (salah satu intelektual panitia loka karya dan seminar) untuk
melanjutkan studinya di Pascasarjana University of Chicago. Leonard Binder
akhirnya mengabulkan permohonan Madjid untuk belajar ke Universitas itu.
Awalnya Nurcholish dalam kajian politiknya di bawah bimbingan Leonard,
namun Fazlur Rahman membujuknya terlebih dulu untuk mengambil kajian
keislaman di bawah bimbingannya. Dengan sebab itulah banyak pemikirannya
dipengaruhi dari pemikiran Fazlur Rahman sendiri, yaitu tentang konsep Neo-
Modernisme yang diintrodusir oleh intelektual muslim asal Pakistan itu.
Nurcholish Madjid mengakhiri studi doktoranya (Ph. D) di Universitas
Chicago, Illinois, Amerika Serikat pada tahun 1984 dengan disertasi tentang
Filsafat dan Kalam Ibnu Taymiyyah (‘Ibn Taymiyya on Kalam and Falsafah: A
Problem of Reason and Revelation in Islam) predikat Summa Cum Laude pun
diraihnya.
Layaknya seorang muslim pulang dari tanah suci, kembalinya Nurcholish
dari Chicago pada tahun 1984, lebih dari seratus orang menyambutnya di Bandar
11
Sutisna, “Pluralisme dalam Pemikiran Nurcholish Madjid", (Jakarta: Perpustakaan
Utama UIN, 2004. h. 26.
19
Udara Internasional Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Menyambut kedatangan
seorang intelektual yang telah melakukan pendalaman keilmuan di negeri yang
konon sekuler itu, para tokoh Indonesia pun tidak mau ketinggalan, diantaranya:
Fahmi Idris, Soegeng Sarjadi, AM Fatwa, dan para tokoh lainnya.12
Kembali Nurcholish ke tanah air, tanpa berlama-lama santai setelah
menjalani proses penggemblengan yang luar biasa dalam perjalanan
pendidikannya, ia pun langsung berbenah diri menatap dan berusaha memberikan
yang terbaik untuk bangsanya dengan kontribusi pemikirannya terhadap
permasalahan-permasalahan kemasyarakatan, kenegaraan dan keagamaan yang
tidak menentu. Langkah-langkah yang ia lakoni untuk bangsa ini, diantaranya;
menjadi staf ahli IPSK-LIPI (1984-2005), mendirikan Yayasan Wakaf
Paramadina (1985-2005), menjadi anggota Komnas HAM RI (1993-2005),
pengajar Pascasarjana IAIN (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (1985-2005),
anggota Dewan Pers Nasional (1990-1998), wakil ketua dewan penasehat ICMI
(1990-1995), Fellow, Eisenhower Fellowship, Piladelphia, Amerika Serikat
(1990), anggota MPR-RI (1987-1992 dan 1992-1997), serta pernah menjadi
Profesor Tamu, McGill University, Montreal, Kanada, tahun 1991-1992.
Nurcholish Madjid sebagai tokoh pembaharu dan cendikiawan muslim
Indonesia sudah tidak lagi berada di tengah-tengah kita (meninggal dunia) dan
kepergiannya merupakan suatu kehilangan besar bagi bangsa Indonesia khususnya
dan umumnya bagi anak bangsa dari berbagai Agama, berbagai suku, merasa
kehilangan Cak Nur dalam arti yang sebenarnya, demikian sehabatnya Amin Rais
12
http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedia/n/Nurcholish-Madjid/index.shtml. Kamis.
16 Juni 2016.
20
mengungkapkan,13
Pemikiran-pemikiran Madjid terasa masih menggema di
kalangan akademisi maupun kalangan ilmuwan, karena banyak dari pemikirannya
masih tetap dan terus diperbincangkan, dikritisi dan diaktualisasikan dalam
kehidupan selanjutnya, entah itu dalam kancah perpolitikan maupun sosial
keagamaan.
B. Karya- karya
Nurcholish Madjid tidak bedanya dengan pemikir-pemikir lainnya, bahwa
setiap buah pemikirannya tertuang dalam goresan tinta. Buku adalah sarana untuk
mengenalkan dan menyampaikan ide dan gagasannya kepada manusia-manusia
yang gandrung dengan disiplin ilmu yang dimiliknya, dan bukulah yang pantas
untuk menggoreskan tinta pemikiran seorang tokoh. Oleh karena itulah,
Nurcholish berusaha mengabadikan pemikirannya di setiap lembaran-lembaran
dalam buku.
Adapun buku-buku yang sudah diterbitkan di Indonesia merupakan
kompilasi dari artikel, makalah bahan kuliah, bahan ceramah dan materi khutbah
yang pernah ditulisnya. Lain halnya dengan Khazanah Intelektual Islam, karena
buku itu merupakan suntingan karya-karya pemikir muslim klasik yang sudah
diterjemahkan Nurcholish ke dalam bahasa Indonesia. Dalam pembahasan ini,
karya-karya Nurcholish tidak bisa diungkapkan secara keseluruhan, namun hanya
sebagian saja karyanya yang dianggap sudah cukup mewakili. Adapun karya-
karyanya antara lain.
13
Muhammad Wahyuni Nafis dan Achmad Rifki, Kesaksian Intelektual, h. 79.
21
Khazanah Intelektual Islam, buku terbitan PT. Bulan Bintang, Jakarta
1984 ini adalah langkah awal mengabdikan pemikirannya lewat tulisan disaat
Nurcholish melewati hari-harinya di Chicago University, Amerika Serikat.
Maksud buku suntingan ini adalah untuk memperkenalkan bidang pemikiran yang
merupakan salah satu segi kejayaan Islam bagi para generasi Islam dan para
pembaca lainnya. Selain itu dalam buku ini Nurcholish juga memperkenalkan
kepada para pembaca tentang corak pemikiran para tokoh klasik. Adapun tokoh-
tokoh yang disebutkan Cak Nur dalam buku ini adalah: al-Kindi (258 H/870 M),
al-Asy’ari (w. 300 H/913 M), al-Farabi (w. 337 H/950 M), Ibn Sina (370 H-428
H/980 M-1037 M), al-Ghazali (w. 505 H/111 M), Ibn Rusyd (w. 594 H/1198 M),
Ibn Taymiyyah (w. 728 H/1328 M), Ibn Khaldun (w. 808 H/1406 M), Jamaluddin
al-Afghani (1255 H-1315 H/1839 M-1897 M), dan Muhammad Abduh (1262 H-
1323 H/1845 M-1905 M). penulis tegaskan kembali tentang buku ini, seperti yang
diungkapkan Nurcholish sendiri bahwa buku ini hanya sekedar pengantar
pemikiran kepada kajian yang lebih luas dan mendalam tentang khazanah
kekayaan pemikiran Islam.
Islam Komodernan dan Keindonesiaan, buku ini pertama kali diterbitkan
oleh penerbit Mizan, Bandung 1987. Dalam isi buku ini membincangkan tentang
permasalahan-permasalahan dan juga isu-isu yang aktual saat itu, dan di sisi lain
juga kontribusi penulis buku ini dalam mewujudkan beberapa solusi keagamaan
dan keindonesiaan, sekitar 70-an permasalahan-permasalahan menjadi wacana
yang menggegerkan dan penuh dengan pandangan-pandangan yang controversial.
22
Dengan sebab itulah, buku ini telah mengalami beberapa kali cetak ulang, yakni
sampai mengalami cetak ulang hingga 12 kali.
Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, (paramadina adalah
penerbit dari buku ini, Jakarta 1992). Nurcholish Madjid dalam buku ini
menyinggung lembaga pendidikan tradisional pesantren. Kritikan Nurcholish
tertuju pada kurikulum pesantren yang ada di Indonesia. Menurutnya, bahwa
materi keagamaan masih mendominasi di lingkungan pesantren yang disajikan
hanya dan selalu dalam bahasa Arab, seperti fiqh, ‘Aqa’id, Nahwu-Sharaf.
Padahal menurutnya, ada yang lebih penting pada tataran praktis di saat seorang
muslim beriteraksi dengan sesama, yakni semangat religiusitas dan juga tasawuf
yang merupakan inti dari kurikulum keagamaan. Sedangkan di sisi lain,
pengetahuan umum kenyataannya masih dilaksanakan secara setengah-setengah,
akibatnya kemampuan santri sangat terbatas dan kurang mendapat pengakuan dari
masyarakat dalam ilmu-ilmu eksak. Dalam buku ini tidak hanya tulisan
Nurcholish yang membicarakan lembaga tradisional pesantren tapi juga tulisannya
Malik Fadjar serta laporan tim kompas.
Islam, Doktrin dan Peradaban, sebuah telaah kritis tentang masalah
keimanan, kemanusiaan, dan kemodernan. Diterbitkan oleh penerbit Paramadina
1992. Dalam buku ini, Nurcholish Madjid memaparkan tentang bagaimana
manusia mempunyai tujuan hidup yang transendental berdasarkan iman yang
dinyatakan dalam bentuk amal, kebajikan sosial, menciptakan masyarakat egaliter
dan inklusif dalam mencari kebenaran dan keadilan. Sebenarnya, buku ini hanya
kumpulan sebagian makalah dari kelompok kajian agama yang diselenggarakan
23
oleh Yayasan Wakaf Paramadina yang diadakan sekali dalam sebulan dengan
beranggota 200 orang.
Islam; Agama Peradaban, Membangun Makna dan Relevansi Doktrin
Islam dalam Sejarah. Paramadina 1995. dalam buku ini yang menjadi tema besar
adalah pada reinterprestasi dan rekonstruksi ajaran pokok Islam yang selama ini
telah mengalami pendangkalan dan salah kaprah umat dalam memandang
ajarannya, mengakibatkan umat mengidentikkan dengan hasil penafsiran Ulama
semata. Nurcholish Madjid dalam buku ini menghendaki agar umat Islam
Indonesia khususnya menjadi Islam bisa kembali menjadi ajaran yang lebih
aspiratif terhadap perubahan dan perkembangan zaman.
Pintu-Pintu menuju Tuhan. Paramadina 1994. Isi buku ini merupakan
kumpulan tulisan Nurcholish Madjid yang tercecer, yang telah dimuat pada
Harian Pelita dan Majalah Tempo. Di sini Nurcholish menjelaskan bahwa umat
Islam jangan hanya melihat satu pintu untuk menuju Tuhan, karena Islam telah
menyediakan banyak pintu untuk menuju dan meraih perkenaan Tuhan.
Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam
Indonesia, Jakarta, Paramadina 1995. Kajian pokok dalam buku ini ada pada
pembahasan tentang wajah Islam yang kosmopolit dan universal, yang
menampilkan nilai humanisme, keadilan, inklusivitas, pluralitas juga egaliter,
tetapi pada saat yang bersamaan menampilkan Islam yang menampung nilai-nilai
dan kultur parsial. Sehingga Islam sebagai ajaran yang universal dan kosmopolit
tetap menjadi ajaran yang relevan di setiap perjalanan zaman.
24
Tradisi Islam, Peran dan Fungsi dalam Pembangunan di Indonesia,
Jakarta, Paramadina 1997. dalam buku ini memuat pikiran-pikiran Nurcholish
Madjid tentang peran Intelektual Indonesia dalam membangun sumber daya
manusia yang siap memasuki era industrialisasi dan era tinggal landas.
Masyarakat Religius, buku terbitan Paramadina 1997 ini mengetengahkan
tentang Islam dan konsep kemasyarakatan, komitmen pribadi dan sosial, dan
konsep pendidikan agama Islam di lingkungan keluarga. Dalam hal itu,
Nurcholish menerangkannya dengan bahasa yang sederhana dan menarik, tapi
tidak berarti subtansi permasalahan diabaikan.
Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, 1999. Dalam buku ini Nurcholish
mengetengahkan gagasan politiknya, demokrasi, kebangsaan dan kenegaraan. Ia
menyampaikan persoalan-persoalan tersebut dengan persoalan-persoalan
kontemporer yang tengah menghadang bangsa Indonesia, seperti cita-cita politik
bangsa dan persoalan keadilan.
Selain buku-buku di atas yang sudah dipaparkan, masih banyak pula karya
Nurcholish yang sudah beredar di pasaran dan tidak sempat dimuat dalam bab ini.
Buku-buku itu antara lain: Pesan –Pesan Takwa Nurcholish Madjid, Atas Nama
Pengalaman Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi, Dialog Keterbukaan
Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, Perjalanan
Religius Umrah dan Haji, Kaki Langit Peradaban Islam, Islam Kerakyatan dan
Keindonesiaan, Dialog Ramadhan dan Fiqh Lintas Agama.
Berdasarkan uraian tentang beberapa karya dan buah pikiran Nurcholish
Madjid di atas, dapatlah disimpulkan bahwa Cak Nur sosok pemikir yang handal
25
dan julukan pun melekat padanya, yakni seorang teolog, filosof, sejarawan,
konseptor dan pembaharu yang selalu mengedapankan toleransi pada setiap
perbedaan dan menjaga nilai-nilai kemanusiaan yang berpijak pada ajaran Islam.
26
BAB III
HUMANISME SECARA UMUM
A. Pengertian Humanisme
Adanya banyak pengertian mengenai humanisme membuat penulis merasa
perlu menjabarkan beberapa pengertian yang berbeda. Dalam kamus bahasa
Inggris Humanisme (humanism) memiliki arti perikemanusiaan.1Sedangkan
dalam kamus Bahasa Indonesia humanisme berarti suatu doktrin yang menekan
kepentingan-kepentingan kemanusiaan dan ideal.2 Humanisme berasal dari latin,
humanis; manusia, dan isme berarti paham atau aliran. Humanus bersifat
manusiawi sesuai dengan kodrat manusia.Pengertian humanisme adalah
pandangan yang menekankan martabat manusia dan kemampuannya.3
Humanisme juga berasal dari kata humanitas yang kemudian diberi
akhiran isme menjadi humanisme yang menunjukan istilah aliran atau paham.4
Dalam kamus bahasa Indonesia kontemporer, humanisme adalah paham yang
mempunyai tujuan menumbuhkan rasa perikemanusiaan dan bercita-cita untuk
menciptakan pergaulan hidup manusia yang lebih baik.5
1John M. Echol dan Hasan Shadiliy, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta, Gramedia, 2003)
cet. Xxv, h. 306. 2Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya, Arkola,
1994), h. 234. 3 Mangunhardjana, A., Isme-isme Dalam Etika dari A sampai Z, (Yogyakarta: Kansius,
1997), h. 93. 4Zainal Abidin, Filsafat Manusia, Memahami Manusia Melalui Filsafat, cet.I (Bandung:
Rosda Karya, 2000), h.41. 5Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer, Edisi
Pertama (Jakarta: Modern English Press, 1991), h. 541.
27
Istilah humanisme atau bisa disebut juga humaniora ini diterapkan pada
system pendidikan sebagai upaya untuk menjadikan manusia lebih manusiawi
dengan memberikan pendidikan menurut ide manusia sebagai konsekuensi dari
pandangan hidup mereka.Humanisme yang merupakan cabang ilmu bertujuan
untuk mencapai kemanusiaan sesungguhnya, manusia yang lebih berbudaya.
Dalam pengertian , humanisme adalah ilmu bahasa dan sastra Latin dan Yunani.
Sekarang humanisme memasuki ilmu pengetahuan meliputi ilmu agama, filsafat,
bahasa, sastra, pendidikan, sejarah, dan seni.6
Dari sekian banyaknya pengertian, istilah humanisme baru di pakai pada
abad ke 19.Oleh aliran Eksistensialisme di Jerman. Sebelum Abad ke 19 atau
sekitar Abad ke 14 humanisme telah menjadi gerakan filsafat yang lahir di Italia
dan kemudian berkembang ke seluruh pelosok Eropa.7
Beberapa yang melatarbelakangi lahirnya humanisme dari adanya rasa
kemanusiaan dan penegasan bahwa manusia adalah makhluk yang diberi
kebebasan memilih serta memandang yang terbaik oleh Tuhan, untuk itu terlihat
kurang jelas bila pengertian tentang humanisme belum dikemukakan.
Adanya banyak pengertian mengenai humanisme membuat penulis merasa
perlu menjabarkan beberapa pengertian yang berbeda.Dalam kamus bahasa
inggris Humanisme (humanism) memiliki arti perikemanusiaan.8Sedangkan dalam
kamus Bahasa Indonesia humanisme berarti suatu doktrin yang menekan
6Liz Wiwiek, W, jilid.6 (Jakarta: PT. Cipta adi Pusaka, 1989), h. 496.
7 Harun Hardiwijono,Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta, Kansius, 1989 h. 42
8 John M. Echols dan Hasan Shadiliy, Kamus Inggris-Indonesia, h. 306
28
kepentingan-kepentingan kemanusiaan dan ideal.9 Humanisme juga memberikan
anggapan bahwa individu yang rasional sebagai nilai yang paling tinggi, sebagai
sumber nilai terakhir, serta memberikan pengabdian kepada pemupukan untuk
perkembangan kreatif dan perkembangan moral individu secara rasional, tanpa
mengacu pada konsep-konsep mengenai hal-hal yang di luar kacamata inderawi.10
Sedangkan pengertian humanisme dalam Encyclopedia of Britanica,
mengartikan sebagai manusia yang mempunyai wewenang untuk menjalankan
kehidupannya.
Humanisme berarti adanya pemujaan terhadap kemanusiaan.Ini terlihat
pada budaya kesustraan dan penghidupan kembali sastra klasik yang
menekankan terhadap individu dan semangat kritis serta menitikberatkan
pada karakteristik dari Renaissance yang sekuler.Bisa juga paham
kemanusiaan, atau sebuah doktrin, tingkah laku, atau jalan hidup yang
memusatkan diri pada nilai-nilai dan manusia.Pengertian ini dapat dilacak
pada paham filsafat yang menampik supernaturalisme dan menekankan
pada kebebasan seseorang yang bernilai dalam kapasitas untuk
merealisasikan diri dengan akal sehat.11
K. Bertens dalam bukunya menuliskan pengertian tentang humanisme.
Bertens mengatakan bahwa humanisme sebagai gerakan para “humanis” pada
zaman Renaissance; teori pengenalan filsuf Inggris F. Schiller; pandangan etis
yang melihat perspektif manusia saja; dan pendapat yang menyoroti manusia
menurut aspek yang lebih tinggi.12
dengan demikian terlihat bahwa manusia
makhluk yang bisa menentukan masa depannya sendiri tanpa harus bergantung
9Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya, Arkola,
1994), h. 234 10
Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta, Gramedia), 2002, cet. III, h. 29 11
Enscyclopedia of Britanica 2003 Ultimate Reference Suite CD-Rom, (Inggris, 2003),
dictionary 2, h. 1 12
K. Bertens, Panorama Filsafat Barat, (Jakarta : PT. Gramedia ), h. 30
29
pada sesuatu di luar dirinya, inilah salah satu paham yang melahirkan humanisme
dengan melewati proses dialektika politik, budaya, agama, sosial dan lainnya.
Berbagai pengertian dan pemahaman tentang humanisme berada dalam
pemaknaan yang beragam sesuai dengan konteks dan perjalanan pemahaman
hidup manusia, mungkin terlihat dari beberapa pemahaman tentang humanisme di
atas lebih pada penekanan ide-ide kemanusiaan yang menjunjung tinggi nilai
persaudaraan kemanusiaan, kreatifitas untuk menciptakan prestasi kemanusiaan,
penghormatan terhadap nilai-nilai dan hak asasi manusia.
Humanisme sebagai suatu gerakan intelektual dan kesusastraan pada
prinsipnya merupakan aspek dasar dari gerakan Renaisanse (abad ke 14-16 M.)
tujuan gerakan humanisme adalah melepaskan diri dari belenggu kekuasaan
Gereja dan membebaskan akal budi dari kungkungannya yang mengikat. Maka
dalam batasan-batasan tertentu, segala bentuk kekuatan dari luar yang
membelenggu kebebasan manusia harus segera dipatahkan.13
Kebebasan merupakan tema terpenting dari humanisme, tetapi bukan
kebebasan yang absolut, atau kebebasan yang hanya sebagai antitesis dari
determinisme abad pertengahan yang dilakukan oleh orang-orang Gereja
pada waktu itu, tapi bukan berarti Humanisme pada waktu itu menentang
tentang adanya kekuasaan Tuhan. Namun, mereka percaya bahwa di balik
kekuasaan Tuhan, masih banyak peluang bagi manusia untuk menentukan
jalan hidupnya, mengembangkan potensi dan memilih masa depannya
sendiri, tanpa terbelenggu oleh kodrat atau ketakutan terhadap murka
Tuhan.”14
Dalam perkembangannya humanisme tidak hanya sebagai penggerak
pembebasan zaman Renainsans dan pemanusiaan doktrin-doktrin filsafat,
13
Zainal Abidin, Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat, h. 41. 14
Zainal Abidin, Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat, h. 41.
30
melainkan telah menjangkau ilmu-ilmu pengetahuan, Gagasan Wilhelm Dilthey
(1833-1911) tentang Geissteswissenchaften. Istilah Geissteswissenchaften,Dilthey
mengartikan Geist sebagai pengalaman manusiawi yang diekspresikan atau
diobjektivasikan ke dalam bentuk karya, tindakan, lembaga dan ucapan manusia.
Termasuk ekspresi sosial, gerak isyarat, kata atau bahasa, karya seni, dan produk-
produk manusia lainnya seperti universitas, pasar, hukum atau tradisi. Tugas dari
Geissteswissenchaften, adalah mengungkap dan memahami makna-makna yang
terkandungdalam ekspresi-ekspresi tersebut melalui suatu metode yang disebut
versehen. Disiplin-disiplin keilmuan yang menurut Dilthey menggunakan metode
ini adalah apa yang biasanya kita sebut ilmu-ilmu sosial misalnya ekonomi
psikologi, antropologi budaya, sosiologi, ilmu hukum, ilmu politik.15
Konsep Dilthey tentang manusia berbau humanisme. Menurut dia gejala
manusia adalah unik dengan tidak terbatas, sehingga tidak dapat disejajarkan
begitu saja dengan gejala-gejala alam yang lain. Manusia adalah subjek, bukan
objek. Manusia adalah Roh (Geisth), yang tidak dapat diobjektifkan secara
sewenang-wenang tanpa menghapus kerohaniannya. Manusia adalah makhluk
yang bukan hanya masuk dalam kategori “alam”, tetapi “hidup”. Manusia hidup
dengan pengalaman-pengalamannya, ide-idenya, nilai-nilainya, imajinasi-
imajinasinya, harapan-harapannya. Menggunakan metodeilmu-ilmu alam pada
gejala manusia, hanya akan menghapuskan keunikan, subjektivitas dan
kerohaniaan manusia.16
B. Aliran Humanisme
15
Zainal Abidin, Filsafat Manusia Memahami Manusia lewat Filsafat, h. 44-45. 16
Zainal Abidin, Filsafat manusia : Memahami Manusia Melalui Filsafat, h. 48.
31
Dalam sejarah, tradisi humanisme telah mengalami perubahan yang pada
mulanya bersama sama dengan agama, yakni selama zamanrenaissance.17
Pada
zaman renaissance atau zaman pencerahan ini masa dimana keyakinan yang
tradisional coba dipadukan dengan kesadaran baru tentang kemampuan manusia
untuk berpikir, ragu ragu dan berbeda pendapat.Gerakan pencerahan ini terjadi di
Jerman, Prancis, dan Inggris, serta berkembang cepat ke Amerika.18
Abad ke-20, pada abad ini paham humanisme telah lepas dari kaitannya
dengan kebudayaan Eropa, khususnya Yunani dan Romawi kuno.19
Terjadi
perubahan sikap kemanusiaan yang luar biasa besar dibandingkan abad-abad
sebelumnya, di satu sisi manusia telah mencapai puncak sebagai sebuah gerakan
yang mendudukan manusia pada keluhuran dan kemuliaan martabatnya. Di sisi
lain tradisi agama-agama besar sekalipun akar dari humanisme modern, justru
pada akhirnya tidak memperlihatkan pengormatan yang cukup mengesankan
terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Hal inilah membuat terpecahnya gerakan
maupun aliran humanisme.20
1. Humanisme Sekuler
Sekuler berasal dari bahasa latinsaeculum yang mengandung makna ganda
yaitu abad dan dunia. Dalam kenyataan sehari-hari kata sekuler diartikan sebagai
17
Hasan Hanafi, dkk, Islam dan Humanisme : Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah
Krisis Humanisme Universal, h. 186. 18
Johanes P. Wisok, Humanisme Sekuler (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), h.90. 19
Franzs Magnis Suseno, Humanisme Religius VS Humanisme Sekuler (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), h. 210. 20
Sylvester, AntiHumanisme (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), h. 261.
32
jauh dari hidup keagamaan, bukan wilayah ruhani dan suci, melainkan urusan
keduniawiaan dan kebendaan.21
Tidak heran ketika muncul istilah humanisme
sekuler maka orang mengenalnya dengan humanisme atheis.
Humanisme sekuler mengalami zaman keemasan pada abad pencerahan
dan Abad Pemikiran Matthev Arnold yang melukiskan peradaban pada masa ini
sebagai “The humanization a man in Society” (humanisasi manusia dalam
masyarakat). Abad ini ditandai oleh keoptimisan orang Barat bahwa manusia
mampu memecahkan berbagai persoalan kemanusiaan tanpa agama. Humanisme
sekuler meyakini bahwa setiap manusia mempunyai kemampuan menggali
pengalaman hidupnya sendiri dan menarik banyak pelajaran, nilai dan makna
yang penting dari petualangannya itu.22
Humanisme sekuler meyakini bahwa Tuhan tidak ikut campur dengan
urusan manusia yang ada di dunia, keyakinan ini membuat mereka mengabaikan
kehadiran Tuhan.Tuhan bagi mereka hanyalah imajinasi yang tak sampai oleh
akal manusia.
Para humanis sejak masa Voltaire, seperti Thomas Paine, Karl Marx, Paul
Kurtz.Mereka secara fundamental menentang agama, mereka melihat agama
sebagai sumber dari hampir semua masalah di dunia.Bagi mereka, orang-orang
21
Franzs Magnis Suseno, menalar Tuhan (Yogyakarta: Galang Press, 2006), h. 55. 22
Johanes P. Wisok, Humanisme Sekuler (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), h. 100.
33
relijius itu bersifat otoriter, fanatik dan tahayul.Mereka lebih peduli kepada
kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia sekarang ini.23
Karena para humanis memiliki penilaian yang besar terhadap akal,
rasionalitas dan metode ilmiah yang sangat tinggi selama beberapa abad.Maka
pada abad zaman pencerahan, para humanis menentang agama sebab bagi mereka
agama tampak berlawanan dengan akal.Beberapa pemimpin menerima tahayul
yang tidak logis berkenaan dengan masalah kematian dan keajaiban.Sedangkan
para humanis melihat sebuah kekuatan besar untuk mengembangkan kehidupan
manusia melalui menerapan akal, teknologi kedokteran dan bentuk pemerintahan
yang demokratis. Adanya beberapa jenis elektronik yang kita miliki saat ini
seperti computer, televise merupakan hasil dari penerapan akal.24
2. Humanisme Religius
Humanisme religius merupakan humanisme yang bercorak teosentris
(Tuhan sebagai pusat segalanya). Humanisme religius bisa dari pihak Islam dan
Kristen maupun dari agama lain. Humanisme ini berkembang untuk mengimbangi
humanisme sekuler yang berkembang di dunia, karena apabila humanisme sekuler
tidak diimbangi maka peran agama akan hilang secara perlahan.
Marcel A Boiserd berpendapat bahwa Islam lebih dari sekedar ideology,
karena Islam merupakan humanisme transendetal yang diciptakan masyarakat
khusus dan melahirkan suatu tindakan moral yang sukar untuk ditempatkan dalam
23
Hasan Hanafi, dkk, Islam dan Humanisme : Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah
Krisis Humanisme Universal, h. 187. 24
Hasan Hanafi, dkk, Islam dan Humanisme : Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah
Krisis Humanisme Universal, h. 195.
34
rangka yang dibentuk oleh filsafat Barat.Humanisme tidak mengesampingkan
monoteisme mutlak yang sebenarnya dan memungkinkan untuk
memperkembangkan kebajikan.25
Humanisme dalam pandangan Islam harus dipahami sebagai suatu konsep
dasar kemanusiaan yang tidak berdiri dalam posisi bebas.hal ini mengandung
pengertian bahwa makna penjabaran memanusiakan manusia itu harus selalu
terkait secara teologis. Dalam konteks inilah Al-Qur’an memandang manusia
sebagai wakil Allah di Bumi, untuk memfungsikan ke-khalifah-annya Allah telah
melengkapi manusia dengan intelektual dan spiritual.Manusia memiliki kapasitas
kemampuan dan pengetahuan untuk memilih, karena itu kebebasan merupakkan
pemberian Allah yang paling penting dalam upaya mewujudkan fungsi
kekhalifahannya.26
Kisah dan kejadian adam a.s dalam Al-Qur’an adalah pernyataan
humanisme yang paling dalam dan maju. Adam mewakili seluruh manusia di
Bumi, ia adalah esensi umat manusia, manusia dalam pengertian filosofis dan
bukan dalam pengertian biologis.27
Humanisme dalam Islam ditempatkan pada posisi yang sangat tinggi,
sebab penghargaan terhadap manusia dan kemanusiaan (humanisme) ditentukan
langsung oleh Allah. Islam menjelaskkan manusia sebagai satu-satunya makhluk
25
Marcel A. Boisard, Humanisme Dalam Islam, terj. H. M. Rasjidi (Jakarta: Bulan
Bintang, 1982), h. 151. 26
Hasan Hanafi, dkk, Islam dan Humanisme : Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah
Krisis Humanisme Universal, h. IX. 27
Ali Syari’ati, Tentang Sosiologi Islam, terj. Saifullah Wahyuddin (Yogyakarta: Ananda ,
1982), h. 111.
35
yang dijadikan-Nya “sebaik-baiknya” dan ditempatkan dalam posisi “paling
istimewa” diantara mahkluk yang lain. Oleh karena itu, manusia wajib
menempatkan martabat manusia dan kemanusiaan pada tempat yang “sebaik-
baiknya”.28
Humanisme dalam Islam berarti secara otomatis membincangkan tentang
humanisme religius, humanisme dalam Islam tidak bisa lepas dari konsep
habluminal-nâsi. Manusia hidup di bumi ini tidak lain mengemban amanat Tuhan
sebagai khalifah-Nya yang memiliki seperangkat tanggungjawab, dalam hal ini
tanggungjawab tersebut lebih ditekankan pada tanggungjawab sosial dan
tanggungjawab lingkungan hidup.
Tanggung jawab manusia inilah yang kemudian menempatkan humanisme
tertinggi dalam Islam (humanisme religius) dalam artian dimensi illahiyah masih
melekat erat pada potensi penciptaannya yang membedakan konsep humanisme-
humanisme lain yang kebetulan muncul dari Barat, seperti humanisme Yunani
yang dikembangkan atas dasar naturalisme yang berlebihan, terlalu mendewakan
manusia dengan segala sifat naluriyahnya.29
Menurut Nurcholish Madjid bahwa agama Ibrahim terdapat wawasan
kemanusiaan yang berdasarkan konsep dasar bahwa manusia dilahirkan dalam
keadaan fitri, karena fitrahnya tersebut manusia memiliki sifat kesucian, yang
kemudian dinyatakan dalam sikap-sikap yang suci dan baik kepada
28
Mochtar Effendy, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Buku II, (Palembang: Universitas
Sriwijaya, 2001), h. 353. 29
Seyyed Hossein Nasr, The Heart Of Islam; Pesan-pesan Universal Islam Untuk
Kemanusiaan, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2003), h. 337.
36
sesamanya.Dan hakikat dasar kemanusiaanya itu merupakan sunnatullah karena
adanya fitrah manusia dari Allah dan perjanjian primordial antara manusia dengan
Allah.30
Dengan sifat fitrah manusia sebagai makhluk yang diciptakan Allah
sehingga manusia mampu menjadi khalifah di muka Bumi, maka Allah juga
menitipkan kelebihan yang lainnya kepada manusia yaitu kelebihan berfikir
rasional dan kreatif.Sebagaimana yang diungkapkan oleh seorang kristiani.
Claude Geffre sebagai seorang Kristiani mengatakan bahwa manusia
secara autentik tidak akan merasa cukup hanya dengan ketentuan-ketentuan
rasionalitas dan kecukupan materealistis, karenanya ia akan selalu mencari
perspektif baru yang memberi tempat bagi imajinasi, kreativitas, dan simbolisme
bagi kebahagiaannya. Baginya humanisme tidak hanya sekedar ilmu
kemanusiaan, ilmu social, sastra dan filsafat.Lebih dari itu humanisme
mengajarkan untuk bertuhan dan beragama dengan baik.31
Selama ini humanisme religius hanya dipahami dengan humanisme Islam,
padahal sebenarnya religius juga berarti theis, bertuhan, meyakini adanya
kekuatan supranatural.Dalam sub bab ini penulis hanya mengutip pemikiran
humanismeIslam dan Kristen, karena humanisme yang banyak digaungkan adalah
humanisme model Barat yang diwakili oleh agama Kristen, dan humanisme
model Timur yang diwakili oleh Islam.
30
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 51. 31
Corliss Lamont, The Philosophy of humanisme, ( New York: Humanist Press, 1997), h.
7-8
37
Bagi humanisme religius keberadaan Tuhan sangat dominan, pemikiran
mereka berangkat dari paham agama mereka.Mereka percaya bahwa Tuhan
mempunyai konsep yang luar biasa tentang manusia, tetapi terkadang karena
manusia terlalu berpikir jauh dan dalam sehingga mereka lupa bahwa essensi
semuanya ada pada Tuhan. Humanismedan agama tidak dapat dipisahkan, karena
agama sendiri itulah humanisme, dan humanisme itu juga agama.Agama
mengajarkan banyak tentang kemanusiaan, dan humanisme dalam ajaranya
mengandung nilai-nilai agama.
C. Humanisme sebagai ideologi
Segala sesuatu yang erat hubungannya dengan apa yang kita sebut ideologi
merupakan produk dari pemikiran manusia di suatu tempat tertentu dan pada
waktu tertentupula, artinya implikasi dari pemahaman terhadap pemikiran tersebut
memiliki dimensi yang berbeda apabila mengalami proses penyebaran, terutama
proses reinterpretasi.
Pada masa Yunani klasik, humanisme ini mewujudkan dalam paideia,
yaitu sistem pendidikan Yunani klasik yang dimaksudkan untuk menerjemahkan
visi tentang manusia ideal. Pada abad pertengahan, pandangan terhadap
humanisme mengalami sedikit pembaharuan melalui pandangan st. Agustinus
yang memandang manusia tidak sekedar mahluk kodrati, tetapi juga makhluk
adikodrati, imanen dan transend. Paideia Yunani Klasik menurut Bartolomeus
merupakan akar daripada humanisme abad pertengahan, dimana paideia memang
dipahami sebagai sistem pendidik dengan visi yang jelas, yakni mengupayakan
38
manusia ideal, manusia ideal dalam pandangan Yunani Klasik adalah manusia
yang mengalami keselarasan jiwa dan badan, suatu kondisi di mana manusia
mencapai eudaimonia (kebahagiaan).32
Islam itu menampakkan dirinya sebagai hukum yang mengatur segala
aspek kehidupan orang mukmin, maka dengan sendirinya juga merupakan suatu
kode yang formal dan memaksa. Hukum islam nampak dalam fenomena
individual dan kelompok, sosial dan politik. Kekuatannya yang memaksa
tersembunyi dalam esensi keagamaannya. Dengan konsepsinya tentang Tuhan dan
manusia, Islam nampak sekali bersifat egalitaris. Seorang muslim tak dapat
menghayati agamanya selain “dibawah pandangan Tuhan” sikap menentang
memisahkan yang spiritual dan duniawi, mendorong orang Muslim untuk
menghormati hukum moral, bukan secara mekanis atau lahiriah, akan tetapi
berdasarkan pilihan merdeka yang telah mendorongnya untuk memeluk agama
Islam. Dengan begitu Islam nampak sebagai suatu agama yang sempurna dan
sistem yang komplit. Islam lebih besar daripada sekedar ideologi, karena ia
merupakan humanisme transendental yang menciptakan masyarakat khusus dan
melahirkan suatu tindakkan moral yang sukar untuk ditempatkan dalam rangka-
rangka yang dibentuk oleh filsafat Barat. Humanisme Islam tidak
mengesampingkan monoteisme mutlak akan tetapi melewatinya lebih dan
memberikan kepada manusia keagungan yang sebenarnya dan memungkinkan
untuk memperkembangkan kebijakannya. Dalam waktu yang sama, Islam
menganjurkan kepada manusia untuk mengutamakan hal-hal yang bersifat
32
Penyempurnaan ideal pikiran dan tubuh manusia
39
spiritual dan mengambil faedah secara wajar dari kekayaan dunia yang diberikan
oleh Tuhan sebagai bukti sifat pemurah-Nya33
Menurut Ali Syari’ati, seseorang berangkat dari memahami Islam sebagai
sebuah ideology, bukanlah spesialisasi ilmiah, melainkan perasaan yang dimiliki
seseorang berkenaan dengan mazhab pemikiran sebagai satu sistem keyakinan dan
bukan sebagai kebudayaan. Ini berarti memahami Islam sebagai sebuah ide dan
bukan sebagai sekumpulan ilmu.Ini berarti memahami Islam sebagai suatu
gerakan kemanusiaan, historis dan intelektual, bukan sebagai gudang informasi
teknis dan ilmiah.34
33
Marsel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, h. 151-152. 34
Ali Syari’ati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi. (Bandung: Mizan, 1995), h. 18.
41
BAB IV
GENEALOGI HUMANISME NURCHOLISH MADJID
A. Prinsip Humanisme Nurcholish Madjid
Islam sebagai agama datang untuk mengubah masyarakat menuju kualitas
hidup yang lebih baik, seperti dicerminkan dengan tingkat ketaatan yang tinggi
kepada Allah, pengetahuan tentang syari’at, dan terlepasnya umat dari beban
kemiskinan, kebodohan dan sebagainya, serta berbagai macam belengu yang
memasung kebebasan mereka.1 Berpijak pada prinsip teologis Nurcholish Madjid
meyakini sebagai pengaktualisasikannya kedalam semangat kemanusiaan, yakni
prinsip ketuhanan (keimanan), persamaan harkat dan martabat manusia, dan
prinsip kebebasan atau manusia yang egaliter, terbuka dan adil secara sosial.2
1. Prinsip Ketuhanan (keimanan).
Meyakini sekaligus menyadari bahwa hanya Tuhan Yang Satu dan Maha
Esa-lah yang patut disembah merupakan salah satu aspek yang paling mendasar
sekaligus otentik dari ajaran Islam.yakni tauhid. Secara teologis, konsep dasar ini
dengan tegas dan gamblang memiliki pijakan dasarnya yang cukup kuat di dalam
Al-quran.3Sedangkan secara filosofis meyakini bahwa manusia makhluk-Nya
yang jauh dari kesempurnaan dan bersifat nisbi.Dengan demikian, tidak ada satu
1Jalaluddin Rakhmata, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 2004), Cet. Ke-12, h. 43-44.
2Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. xxi.
3Lihat (QS: 112: 1)
42
pun wujud Tuhan-Tuhan yang patut disembah dan pantas untuk dimintai
pertolongan serta inayahnya kecuali Tuhan Yang Maha Esa.
Tuhan yang sebenarnya adalah Maha Esa, Maha Hadir dalam hidup ini
yang senantiasa mengawasi gerak langkah kita; Yang perkenan atau ridha-Nya
harus dijadikan orientasi hidup dalam bimbingan hati nurani yang sesuci-sucinya
mengikuti jalan yang lurus; yang merupakan asal dan tujuan hidup manusia dan
seluruh yang ada. (Nurcholish Madjid).4
Dalam kalimat syahadat “Asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh, menyatakan
Nurcholish madjid, persaksian yang pertama itu mengandung apa yang secara
masyur dikenal sebagai rumusan peniadaan dan peneguhan, negasi dan
konfirmasi. Dengan negasi itu kita membaskan diri dari setiap keyakinan yang
palsu; membelenggu serta merenggut martabat kemanusiaan kita sebagai makhluk
Allah yang paling mulia.Adapun konfirmasi itu kita tetap menyatakan kepada
wujud Maha Tinggi yang sebenarnya.5 Dengan demikian, bagi Madjid tidaklah
cukup dengan hanya megimani adanya Tuhan, tapi pada saat yang bersamaan
menjadi sesuatu yang bukan Tuhan itu sendiri sebagai tuhannya, yang pada
hakikatnya tidak memiliki sifat keilahiaan yang dalam term agama disebut dengan
musyrik, yaitu menyekutukan Tuhan dengan selain-Nya.
Dengan demikian berdasarkan penjelasan tersebut sebagai
konsekuensinya, menurut Madjid kita harus sepenuhnya bersandar kepada-
4 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan kemoderanan, Cet, Ketiga, (Jakarta: paramadina, 1995), h.
Ii 5Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. Ii.
43
Nya.Bergantung dan menaruh kepercayaan serta berpandangan positif kepada-
Nya. Ini semua, lebih lanjut Madjid berargumen, merupakan kebalikan diametral
dari sikap kaum musyrik berdasarkan al-Zumar ayat 38.
Dan jika engkau (Muhammad) bertanya kepada mereka (kaum musyrik)
siapa yang menciptakan langit dan bumi pasti mereka menjawab
Allah.Katakan (kepada mereka); apakah kamu memperhatikan sesuatu
yang kamu berseru kepadanya selain alah itu? Jika Allah menghendaki
marabahaya kepadaku, apakah mereka (berhala-berhala) itu dapat
menghilangkan marabahaya itu? Atau jika Dia (Allah) menghendaki
rahmat bagiku, apakah mereka menahan rahmat itu? Katakanlah lebih
lanjut, cukuplah bagiku Allah saja dan kepada-Nyalah mereka yang mau
bersandar.6
Jadi, menurut Nurcholish Madjid, percaya akan adanya Tuhan sebagai
Wujud Tertinggi yang dijadikan kekuatan supra-rasional dalam kehidupan
manusia, tidak cukup makna tauhid hanya dengan mengimani akan keberadaan-
Nya, tapi lebih daripada itu adalah mempercayai bahwa Allah itu dalam kualitas-
Nya sebagai satu-satunya yang bersifat keilahian dan sama sekali tidak
memandang adanya kualitas serupa kepada sesuatu apa pun yang lain. Oleh sebab
itu, apabila kita berhasil mewujudkan itu semua dalam diri kita, maka kita benar-
benar telah ber-tauhid, demikian Madjid berkata.
2. Persamaan Hartkat dan Martabat Manusia
Ajaran egalitarianisme atau persamaan manusia dalam agama Islam kuat
sekali, bahwa manusia semuanya sama. 7seluruh makhluk beriman kepada Allah,
Tuhan Yang Maha Esa(rabbânîyah), yaitu tata nilai yang dijiwai oleh kesadaran
6Nurcholish madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Cet. V. (Jakarta : Paramadina, 1999), h.
4-5. 7Budhy Munawar –Rachman, Elza Peldi Taher. @fileCaknur: Banyak Jalan Munuju
Tuhan, h. 135.
44
bahwa hidup ini berasal dari dan menuju Tuhan ( Innâlî-lâh-i wa innâ ilayh-
râji’ûn), “sesungguhnya kita berasal dari Tuhan dan kita akan kembali kepada-
Nya”, maka Tuhan adalah “sangkaanparan” asal dan tujuan hidup (hurip),
seluruh makhluk8.
Manusia sebagai puncak ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, kemudian
diangkat menjadi wakil di bumi. Karena itu manusia harus berbuat sesuatu yang
bisa dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya., baik di dunia ini maupun di
Pengadilan Illahi di akhirat kelak. Manusia meskipun mempunyai kedudukan
yang tinggi diantara makhluk lain, tidak menutup kemungkinan bahwa manusia
pun bisa menjadi manusia yang berpotensi menjadi makluk terendah.9 Didalam
kitab suci menerangkan:
sungguh Kami (Tuhan) telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya, kemudian Kami kembalikan menjadi yang serendah-
rendahnya, kecuali mereka yang beriman dan berbuat baik (Q.S. al-
Tin/95:4-6).
Seseorang demi kesejahteraan dan keselamatan dirinya di dunia dan di
akhirat, mereka harus bersikap berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
berbuat baik kepada sesama. Contohnya sikap berserah diri yang diajarkan oleh
agama Nabi Ibrahim a.s., mengajarkan manusia untuk berserah diri dengan
sepenuh hati, tulus dan damai (islâm) kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sikap
berserah diri sepenuhnya kepada Tuhan itu menjadi inti dan hakikat agama dan
keagamaan yang benar10
.
8 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 3.
9Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 4.
10Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 4.
45
Sikap berserah diri kepada Tuhan itu secara inheren mengandung berbagai
konsekuensi. Yaitu konsekuensi dalam bentuk pengakuan yang tulus bahwa
Tuhanlah satu-satunya sumber otoritas yang serba mutlak. Pengakuan ini
merupakan kelanjutan logis hakikat konsep ketuhanan. Yaitu bahwa Tuhan adalah
Wujud Mutlak, yang menjadi sumber semua wujud yang lain. Maka semua wujud
yang lain adalah nisbi belaka, sebagai bandingan atau lawan dari Wujud serta
Hakikat atau Dzat yang mutlak.
Sikap berserah diri kepada Tuhan merupakan jalan lurus menuju kepada-
Nya, karena sikap itu berada dalam lubuk hati yang paling dalam pada diri
manusia sendiri, dalam semangat berserah diri itulah adanya kerinduan kepada
Kebenaran yang paling dalam, yang dalam bentuk tertingginya ialah hasrat
bertemu Tuhan. Dan untuk berada dekat atau bertemu dengan Tuhan
diperlukannya usaha yang terus menerus dan penuh kesungguhan.Ini diwujudkan
dengan merentangkan garis lurus antara diri manusia dan Tuhan.11
Salah satu kelanjutan logis prinsip ketuhanan itu ialah paham persamaan
manusia. Yakni seluruh umat manusia, dari segi harkat dan martabat asasinya,
adalah sama. Tidak seorang pun dari sesama manusia berhak merendahkan atau
menguasai harkat dan martabat manusia lain, misalnya dengan memaksakan
kehendak dan pandangannya kepada orang lain. Bahkan seorang utusan Tuhan
tidak berhak melakukan pemaksaan itu. Seorang utusan Tuhan hanya untuk
menyampaikan kebenaran (balâgh, tablîgh) kepada umat manusia, bukan untuk
memaksakan kebenaran kepada mereka.
11
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 4.
46
Karena manusia tidak mungkin mengetahui Kebenaran Mutlak,
pengetahuan manusia itu betapa pun tingginya, tetap terbatas. Karena itu setiap
orang dituntut untuk bersikap rendah hati guna bisa mengakui adanya
kemungkinan orang lain yang mempunyai pengetahuan lebih tinggi. Manusia
harus selalu memastikan diri bahwa senantiasa ada Dia Yang Mahatahu. Maka
manusia dituntut untuk bisa saling mendengarkan sesamanya, dan saling
mengingatkan apa yang benar dan baik.
Manusia adalah makhluk yang dimuliakan Tuhan di muka bumi, baik di
daratan maupun di lautan. Maka manusia dituntut agar saling menghargai
sesamanya dan melahirkan kewajiban saling bermusyawarah dalam segala
perkara. Musyawarah menjadi keharusan karena manusia mempunyai kekuatan
dan kelemahan yang tidak sama dari individu ke individu yang lain. Kekuatan dan
kelemahan dalam bidang yang berbeda beda membuat individu-individu manusia
berlebih dan berkurang dan itu tidak mengganggu kesamaan manusia dalam
harkat dan martabat. 12
Egalitarianisme, landasan demokrasi. Demokrasi dengan musyawaroh
yang benar sebagai landasannya itu tidak akan terwujud tanpa pandangan
persamaan manusia atau egalitarianisme yang kuat, dan akan kandas oleh adanya
stratifikasi sosial yang kaku dan apriori dalam system-sistem paternalistik dan
feodalistik.13
Manusia merupakan puncak ciptaan Tuhan dan makhluk-Nya yang
tertinggi. ini melukiskan betapa tinggiya harkat dan martabat kemanusiaan. Tetapi
12
Nurcholish madjid, Doktrin Islam dan Peradaban, h. 7 13
Budhy Munawar –Rachman, Elza Peldi Taher. @fileCaknur: Banyak Jalan Munuju
Tuhan, h. 135.
47
dalam rangkaian firman itu pula disebutkan bahwa manusia bisa menurun
derajatnya menjadi serendah-rendahnya makhluk, kecuali mereka yang beriman
dan berbuat kebaikan.14
Perjuangan memperoleh dan mempertahankan harkat dan martabat
kemanusiaan merupakan ciri dominan deretan pengalaman hidup manusia sebagai
makhluk sosial. Al-Qur’an mengakui “ketinggian martabat manusia” yang berarti
Tuhan memuliakan manusia diatas makhluk-makhluk-Nya yang lain. 15
Tuhan adalah sebagai satu-satunya sumber otoritas kebenaran tertinggi.
Dengan ungkapan lain, tidak ada seorang anak manusia pun sebagai makhluk
ciptaan-Nya yang nisbi tersebut mengklaim secara mutlak serta memonopoli
kebenaran bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Tatkala seseorang mengklaim
hanya dirinya yang paling benar, pada saat bersamaan menganggap orang lain
salah sepenuhnya, maka pada hakikatnya orang tersebut telah terjebak dalam
kemusyrikan. Tipikal orang semacam inilah yang dalam istilah Cak Nur disebut
thagut atau tiran, yaitu sikap yang selalu ingin memaksakan kehendak kepada
orang lain tanpa memberi peluang kepada orang itu untuk melakukan
pertimbangan bebas.16
Dalam pandangan Cak Nur, belenggu atau tiran yang seringkali membuat
manusia congkak dan angkuh terhadap kebenaran yang datang dari luar dirinya
adalah ”hawanafsu”.17
Hawa nafsu ini pula yang menjadi sumber pandangan-
pandangan subjektif yang dengan sendirinya juga menghalangi seseorang dalam
14
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 3. 15
Marcel A. Boisard. Humanisme dalam Islam.(Jakarta: Bulan Bintang 1980), h. 116. 16
Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, h. 126. 17
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h.81
48
melihat kebenaran. Secara tidak sadar orang tersebut pada hakikatnya telah
menjadikan hawa nafsu-nya sebagai tuhan yang selalu ia taati. Disebabkan
karakter dasar dari hawa nafsu itu sendiri yang bersifat tiran dan membelenggu
kebebasan seseorang menuju pada kebenaran yang sesungguhnya, maka pada
gilirannya ia akan terkurung di dalam sangkar kesesatan dan kenaifan. Bahkan,
orang itu pun akan lebih bersikap tertutup dan fanatik yang menyebabkan dirinya
bersikap reaktif terhadap segala sesuatu yang datang dari luar, tanpa
mempertanyakan maupun merefleksikan terlebih dahulu kemungkinan kebenaran
yang terkandung di dalamnya.18
.
Karena itu, Cak Nur menandaskan, setiap bentuk pengaturan hidup sosial
manusia yang melahirkan kekuasaan mutlak adalah bertentangan dengan jiwa
tauhid. Pengaturan hidup dengan menciptakan kekuasaan mutlak pada sesama
manusia adalah tidak adil dan beradab. Sikap pasrah secara mutlak kepada Tuhan
Yang Maha Esa mensyaratkan akan kehidupan tatanan sosial yang adil, terbuka
dan demokratis sebagaimana telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. 19
Konsekuensi lain yang dapat ditarik adalah timbulnya paham akan
persamaan manusia yang egaliter dan sejajar antara satu dengan yang lainnya.
Yakni dilihat dari sisi harkat dan martabatnya yang asasi sebagai pangkal
humanisme atau kemanusiaan di dalam pandangan Islam. Karena itu, tidak
seorang pun berhak merendahkan atau menguasai harkat serta martabat manusia
lain. Seperti memaksakan kehendak dan pandangannya terhadap orang lain. 20
18
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 86. 19
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 4 20
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 191-
193
49
Dengan begitu, maka setiap orang memiliki hak dan kebebasannya
masing-masing, sehingga ia menjadi makhluk moral dalam artian manusia
memiliki tanggung jawab atas pilihan dan tindakkan yang dilakukannya
berdasarkan petunjuk agama dan akal-pikirannya . baik di dunia ini maupun di
akhirat kelak. Menurut Cak Nur, hal ini mengasumsikan bahwa setiap pribadi
manusia memiliki hak dasarnya untuk memilih dan menentukan prilaku moral dan
etisnya. Tanpa kebebasan tersebut, adalah tidak logis bagi manusia itu sendiri
untuk dimintai pertanggung jawabannya. Inilah salah satu kemuliaan tertinggi,
sekaligus yang membedakan derajatnya dan martabat manusia dengan makhluk
Tuhan lainnya.
Oleh sebab itu, demi harkat dan martabatnya, manusia harus
menghambakan dirinya kepada Tuhan Yang maha Esa. Dalam gambaran
grafisnya, demikian Cak Nur berujar, manusia harus melihat ke atas hanya kepada
Tuhan yang Maha Esa, dan kepada alam harus melihat ke bawah. Sedangkan
kepada sesamanya manusia harus melihat secara mendatar atau horizontal. Hanya
dengan itu, cak Nur kembali menandaskan, manusia menemukan dirinya yang fitri
dan alami sebagai makhluk dengan martabat dan harkat yang tinggi.21
Dengan unkapan lain. Manusia menemukan kepribadiaanya yang utuh dan
integral serta otentik, hanya jika ia memusatkan orientasi transendentalnya kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Sebaliknya, apabila manusia menempatkan harkat serta
martabatnya kepada sesamanya, apalagi pada objek semacam gejala alam, maka ia
akan kehilangan kebebasannya. Pada gilirannya, berakibat pula pada hilangnya
21
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 97.
50
kesempatan dan kemungkinan mengembangan diri ke tingkat yang setinggi-
tingginya.
Jadi, menurut Cak Nur, dengan menempelkan tauhid sebagai landasan
dasar orientasi kehidupan manusia yang dalam bahasa sehari-hari menjadikan
ridha Tuhan sebagai titik tolak segala perbuatannya; Tuhan sebagai asal sekaligus
tujuan hidupnya.22
Maka manusia telah menempatkan dirinya berdasarkan
fitrahnya yang otentik dan merdeka dari segala macam bentuk tiran yang
membelenggu pribadi manusia itu sendiri, sekaligus menghalangi menuju jalan
yang lurus, yaitu jalan yang diridhai-Nya dengan segenap cahaya kebenaran yang
terkandung di dalamnya.
3. Kebebasan Manusia
Kebebasan merupakan anugerah Tuhan yang paling penting untuk manusia
karena sebagai persiapanawal khalifah dan sebagai karunia Tuhan yang pertama
dan utama sejak masa primordial, menguatkan kehormatannya sebagai khalifah
Tuhan. Akan tetapi kebebasan itu dibatasi oleh kemampuan manusia membedakan
yang benar dan salah, bukan untuk melanggar larangan23
.Kebebasanmanusia
dibatasi oleh ketentuan moral.24
Yakni makhluk yang bertanggung jawab
sepenuhnya atas segala perbuatan yang dipilihnya dengan sadar, yang saleh
maupun yang jahat. Tuhan pun tetap memberi kebebasan kepada manusia untuk
menerima atau menolak petunjuk-Nya, tentu saja risiko yang harus ditanggung
22
Nurcholish madjid, Islam Doktrin Peradaban, h. 97-98. 23
Nurcholish Madjid, Islam dan Humanisme: Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah
Krisis Humanisme Universal, h. 20. 24
Ali Syari’ati, Humanisme:antara Islam dan Mazhab Barat, terj. Afif Muhamad, cet.2,
(Bandung: Pustaka Hidayah,1996), h. 233.
51
manusia sendiri sesuai dengan pilihannya itu. Justru manusia mengada melalui
dan didalam kegiatan amalnya. Dalam amal itulah manusia mendapat eksistensi
dan esensi dirinya, dan di dalam amal yang ikhlas manusia menemukan tujuan
penciptaan dirinya, yaitu kebahagiaan karena “pertemuan” dengan Tuhan, dengan
mendapat ridhla-Nya.25
Terkait dengan kebebasan adalah janji primodial antara Tuhan dengan
manusia bahwa manusia harus mengikuti jalan lurus, yakni menyembah hanya
kepada Tuhan dengan penuh keikhlasan kepada-Nya, serta menolak jalan sesat.
Contohnya ketika Tuhan membuat perjanjian dengan Adam, tetapi Adam dan
Hawa tidak tahan dengan godaan setan sehingga mereka melanggar larangan
Tuhan, melanggar batas kebebasan dengan mendekati pohon terlarang, mencicipi
buahnya. Konsekuensinya Adam dan Hawa dikeluarkan dari taman dengan
terhina, dari sinilah terjadi perseteruan yang kuat antara setan dengan manusia.
Tetapi Tuhan Maha Pengasih dan akhirnya memberikan petunjuk (kalimat)
kepada Adam dan Hawa sebagai “jaring pengaman spiritual” mereka dalam
menggunakan kebebasannya secara merdeka dan mereka belajar memahaminya,
karena Tuhan kemudian kembali pada mereka.Petunjuk atau kalimatmerupakan
kontinuasi dan reafirmasi perjanjian primordial. Qur’an menyebutkan bahwa
perjanjian tersebut juga dibuat dengan setiap individu manusia, anak cucu Adam
(BaniAdam) sebelum mereka terlahir ke dunia,untuk mengingatkan mereka akan
25
Nurcholish Madjid, Doktrin Islam dan Peradaban, h. 6.
52
semua tugas mereka kepada Tuhan, supaya mereka tidak lagi dan menolak
tanggungjawab di Hari Pembalasan. 26
Kebebasan itu bersifat individual bukan kolektif. Sehingga seseorang
berhak melakukan apapun baik itu benar atau salah sampai akhirnya seseorang itu
bisa mempertanggugjawabkan perbuatannya. Bahkan Rosulullah pun dilarang
oleh Allah swt dalam memaksakan keyakinan seseorang, dalam firmannya:
jika Allah menginginkan mereka semua yang ada dimuka bumi ini beriman!
Akankah kamu memaksa manusia dari keinginannya untuk beriman?27
Lanjut lagi dalam firman Tuhan bahwasanya Allah tak pernah
memaksakan kepercayaan seseorang.
Tidak ada paksaan dalam agama. Kebenaran berbeda dari kesalahan, siapa pun
yang menolak kejahatan dan beriman kepada Allah telah memperoleh
kepercayaan yang dipegangnya yang tak akan pernah hancur. Dan Tuhan Maha
Mendengar dan Maha Mengetahui segala sesuatu.28
Karena Tuhan tidak pernah memaksakan keyakinan seseorang maka Tuhan
membebaskan manusia dalam memilih keyakinan atau agamanya. Perlu diketahui bahwa
manusia itu mempunyai sifat murni dengan demikian secara fitrah manusia akan mencari
jalan kembali kepada Tuhannya, dalam beribadah kepada Tuhanlah manusia menemukan
kebahagiaan dan kehormatannya, seperti perasaan bahagia karena berhasil kembali
menemukan kebenaran yakni kembali kepada Tuhannya.29
26
Nurcholish Madjid, Islam dan Humanisme: Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah
Krisis Humanisme Universal, h. 21. 27
Qur’an surat Yunus/10:99 28
Qur’an Al-Baqaroh/2:48. 29
Nurcholish Madjid, Islam dan Humanisme: Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah
Krisis Humanisme Universal, h. 27.
53
Prinsip kebebasan beragama itu adalah menjaga semua peribadatan keagamaan,
Yahudi atau Kristen juga Muslim dan semua yang dibangun untuk kegunaan
agama.Karena nilai tertinggi kehidupan manusia diingat dalam peribatannya.30
Pada hari pembalasan, manusia akan disidang oleh Allah untuk
mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang dilakukanny didunia. Semua orang
akan sibuk dengan urusannya masing-masing karena dosa seseorang tidak akan
ditanggung yang lainnya.
Karena itu kehidupan yang utuh, integral dan memenuhi fungsi
kekalifahan kemanusiaan universal di bumi, berpangkal dari kebebasan nurani.
Yaitu kebebasan dari setiap bentuk pemaksaan, sekalipun pemaksaan yang
dilakukan atas nama kebenaran yang jelas benar dan baik. 31
seorang manusia
harus dibiarkan dengan bebas bereksprimen dengan kebebasan untuk menerima
atau menolak sesuatu baik dan buruk, benar dan salah dengan kesediaan
menanggung resikonya sendiri, juga baik dan buruk, bahagia dan sengsara. Sebab
yang benar telah jelas berbeda dari yang salah, yang sejati telah jelas berlainan
dari yang palsu. Manusia dalam suasana kebebasan dan kejujuran hati nuraninya
akan mampu membedakan, menangkap dan mengikuti mana yang benar dari yang
salah, sejati dari yang palsu.32
Kebebasan sebagai prinsip dari dasar terciptanya pengawasan dan
pengimbangan masih harus dilanjutkan dan dilengkapi dengan jiwa, semangat dan
kemampuan menahan diri dan tabah hati untuk menerima kenyataan-kenyataan
30
Nurcholish Madjid, Islam dan Humanisme: Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah
Krisis Humanisme Universal, h. 28. 31
Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius.(Jakarta: Paramadina, 1997), h. 72. 32
Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius, h. 73.
54
yang mungkin bertentangan dengan kepentingan diri sendiri, yaitu kenyataan-
kenyataan yang akan membawa kebaikan bersama. Yaitu dengan cara menepis
kepentingan diri sendiri dan mendahulukan kepentingan orang banyak. Karena
memang keterbukaan dan kebebasan yang sejati selalu memerlukan sikap-sikap
bertanggungjawab.33
Kemakmuran, ilmu pengetahuan, dan kebebasan akan lebih jauh
mengukuhkan dampak-dampak langsung organisasi yang terteknikalisasikan
dalam membuat tingkat kemampuan masyarakat yang tinggi dan yang terus-
menerus bertambah, seperti kemampuan untuk menghasilkan barang-barang,
untuk menemukan fakta-fakta, dan untuk mengorganisasi kehidupan manusia ke
arah Tujuan apa pun yang menampakkan diri. Termasuk Tujuan itu adalah
pengembangan agama dan pelaksanaannya dalam kehidupan.34
Kebebasan juga mempunyai sifat yang positif, sifat positif kebebasan yang
di ungkapkan Nurcholish Madjid yaitu “ Dalammasyarakat bebas, tidak akan
terjadi bahaya kelaparan”, begitu bunyi sebuah ungkapan optimis tentang efek
positif kebebasan. Ungkapan itu benar, paling tidak pada dua tingkatan
pengertian. Tingkatan pertama ialah, bahwa dengan kebebasan maka akan tumbuh
mekanisme pengawasan sosial terhadap setiap segi kehidupan dalam Negara.
Pengertian tingkat kedua, bahwa suasana bebas adalah pendukung utama bagi
33
Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius, h. 78. 34
Budhy Munawar –Rachman, Elza Peldi Taher. @fileCaknur: Banyak Jalan Munuju
Tuhan. h. 93.
55
terciptanya iklim kreativitas dan produktivitas warga masyarakat di segala bidang
kegiatan.35
B. Keluarga dan Lingkungan Sosial yang Berpengaruh terhadap
Pemikiran Humanisme Nurcholish Madjid.
1. Keluarga.
Keluarga merupakan suatu pendidikan pertama dan utama, yang
eksistensinya sangat menentukan akan masa depan suatu kehidupan
keluarga.36
Ayah Nurcholis merupakan kiai dan aktivis politik terpandang di
Mojoanyar dan memiliki lembaga pendidikan tingkat dasar, yaitu Madrasah al-
Wathaniyah (sekolah patriot). Setelah lulus dari sekolah dasar beliau melanjutkan
pendidikn pada tingkat menengah (SMP) dipesantren Darul Ulum, Rejoso,
Jombang pada tahun 1954. Dan ia hanya mampu bertahan kurang lebih dua tahun.
Karena ada salah seorang kiai tidak menghargai dan selalu menyindir-
dirinya.Akhirnya Nurcholish dipimdahkan ke Pesantren Gontor yang sangat
modern oleh ayahnya. Kemoderanan Gontor itu terletak pada berbagai kegiatan,
system, orientasi, metodologi pendidikan dan pengajarannya serta materi
pelajarannya. Dari sinilah akar epistemologi yang tertanam dalam kesadaran
Nurcholish sebagai alumnus Pesantren Gontor.37
35
Budhy Munawar –Rachman, Elza Peldi Taher. @fileCaknur: Banyak Jalan Munuju
Tuhan. h. 132. 36
Syafiah Sukaimi, “Peran Orang tua dalam pembentukan kepribadian anak:
perkembangan psikologi perkembangan islam, marwah. Vol. Iii ( 1 juni 2013), h. 1-2. 37
Mohammad Monib Islah Bahrawi, Islam dan Hak-Hak Asasi Manusia Dalam
Pandangan Nurcholish Madjid. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011), h. 26-28.
56
2. Al-Quran
Secara teologis humanisme harus dipahami sebagai konsep dasar
kemanusiaan yang tidak berdiri sendiri.Ia mempunyai makna atau penjabaran
“memanusiakan manusia”. Di dalam Al-quran manusia dipandang sebagai
“wakil” atau “khalifah” Allah di bumi.Dengan diberikannya pengetahuan
intelektual dan spiritual untuk menjalankan fungsi kekhalifahannya.38
1. Melakukan Musyawarah.
Manusia didalam al-Qur’an diciptakan Allah untuk menjadi khalifah diatas
bumi, dan manusia tidak dibedakan menurut latarbelakang kesukuan maupun jenis
kelamin, semuanya setara dihadapan Allah dan manusia memiliki kemampuan
dan pengetahuan untuk memilih dalam kebebasan berpikir dan bertindak.Selain
itu manusia juga diminta untuk melakukan musyawarah dan berlaku adil serta
tidak boleh sombong.
Dalam ajaran Islam, Musyawarah adalah salah satu asas kemasyrakatan
yang sedemikian pentingnya menurut Cak Nur. Dikatakan demikian, dikarenakan
sampai ada satu surah dalam Alquran yang diberi nama Syûrâ(QS. No. 42), yang
erat sekali kaitanya dengan musyawarah. Biasanya, masih menurut Cak Nur,
dalam system Alquran, hal yang menonjol atau meninggalkan kesan yang
mendalam suatu surah, itulah yang digunakan asar untuk member nama surah
yang bersangkutan.39
Jadi, Bagi Cak Nur, prinsip Musyawarah adalah salah satu
38
Nurcholish Madjid, Islam dan Humanisme: Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah
Krisis Humanisme Universal. Ix-x. 39
Nurcholis Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, h. 252
57
isu sentral yang dibicarakan dalan Alquran. Karena ia merupakan isu sentral,
maka dengan sendirinya prinsip musyawarah merupakan elemen terpenting yang
asasi dan harus diwujudkan dalam konteks kehidupan bermasyarakat.
Asumsi yang mendasari bahwa prinsip musyawarah sebagai elemen yang
asasi dalam kemasyarakatan tersebut bukanlah tanpa dasar.Salah satu alasanya
adalah berangkat dari sebuah premis teologis yang menyatakan bahwa manusia
sejak dalam kehidupannya dalam alam ruhani, berjanji untuk mengakui
Tuhan.Yang Maha Esa sebagai pusat orientasi hidupnya.Karena manusia sendiri
dari awal telah mengakui Tuhan Yang Maha Esa, hasilnya adalah kelahiran
manusia dalam kesucian asal (fitrah).Oleh karena kesucian asalnya, maka manusia
adalah makhluk yang hanîf, yakni, selalu merindukan dan secara alami memihk
kepada yang benar dan baik. Oleh karena itu fithrî dan hanîf, maka dengan
sendirinya dia mempunyai potensi untuk benar dan baik sebagai potensi original
manusia tersebut yang dibawa sejak lahir40
Kata musyawarah itusendiri yang berasal dari bahasa Arab Musyâwarah,
yang secara etimologis mengandung arti “saling member isyarat,” yakni saling
member isyarat tentang apa yan benar dan baik; jadi bersifat timbale balik. Dasar
watak manusia yang fitrî dan hanîf tersebut, dengan selalu berpotensi untuk benar
dan baik itulah, menjadi dasar hak seseorang untuk didengar
pendapatnya.Kemudian hak itu terefleksikan dalam adanya kewajiban dan spirit
dasar dari musyawarah.
40
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, h. 192-193.
58
Cak Nur menjelaskan, meskipun manusia itu fitrî dan hanîf, namun dia
juga bersifat lemah dan terbatas.Ini, kata Cak Nur tidak mungkin pasti dan
selamanya baik dan benar.Manusia hanya potensi baik dan benar.Maka agar
potensi baik dan benar itu menjadi aktual, seorang manusia tidak boleh hanya
mengandalkan kemampuan dirinya sendiri. Dia harus menyertai orang lain dalam
mencari kebenaran dan itulah yang disebut dengan musyawarah.41
Musyawarah antara sesama warga masyarakat merupakan hakikat kaum
beriman. Hal ini di uraikan Cak Nur sesuai dengan apa yang digambarkan dalam
Alquran.42
Maka apapun yang diberikan kepadamu, hanyalah guna kesenangan
hidup di dunia ini, Tapi yang ada pada Allah, lebih baik dan lebih lestari
bagi mereka yng bertawakal kepada Tuhan mereka, dan bagi mereka yang
menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji, dan jika mereka marah
tetap member maaf, dan bagi mereka yang menyahut (menerima dengan
baik) seruan Tuhan mereka, lagi pula menegakkan shalat, dan urusan
sesame mereka adalah musyawarah sesame mereka dan mereka
mendermakan sebagian rizki yang Kami anugrahkan kepada mereka, dan
bagi mereka yang ditimpa kezhaliman, mereka membela diri (QS. 42:36).
Karena manusia adalah makhluk sosial, maka berdasarkan ayat tersebut,
Cak Nur juga ingin menandaskan bahwa bermusyawarah, sikap terbuka, lapang
dada, penuh pengertian dan kesedian untuk senantiasa memberi maaf secara wajar
dan pada tempatnya, merupakan elemen dasar yang harus dimiliki oleh setiap
individu dalam bermusyawarah. Tanpa sikap-sikap terpuji tersebut, maka yang
lahir adalah egoisme, otoriterianisme, tiranisme, dan lain-lain yang serba berpusat
kepada kepentingan diri sendiri dengan mengabaikan kepentingan orang lain.
41
Nurcholis Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan. h. 253. 42
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, h.198.
59
2. Menegakkan Keadilan.
Dalam Alquran surat Al-maidah ayat 7. Manusia diminta untuk
menegakkan keadilan, yang berbunyi, “ Dan langit pun ditinggikan oleh-Nya, dan
ditetapkan-Nya (hukum) keseimbangan (al-mîzân). Maka hendaknya kamu (umat
manusia) janganlah melanggar (hukum) keseimbangan itu, serta tegakkanlah
timbangan dengan jujur, dan janganlah merugikan (hukum) keseimbangan.”43
Jadi, berdasarakan pernyataan Alquran tersebut, menurut Madjid, segala
tindakan yang melanggar prinsip keadilan tersebut adalah sama saja melawan
hukum kosmos.44
Ini berarti keberatan terhadap tindakan ketidakadilan itu, tidak
hanya datang dari orang yang dirugikan saja, tapi juga seluruh alam raya ini.
Penciptaan manusia dalam agama yaitu manusia dilahirkan dalam keadaan
suci yang disebut fitrah.Karena fitrah-nya itu manusia memiliki sifat dasar
kesucian, yang kemudian harus dinyatakan dalam sikap-sikap yang suci dan baik
kepada sesamanya.Seperti, keadilan, keterbukan, toleransi dan lain
sebagainya.Jadi, menegakkan keadilan merupakan dorongan dasar naluriah
manusia sebagai makhluk Tuhan yang bersifat fitrah.
Menurut Madjid, kesucian manusia itu sendiri merupakan kelanjutan dari
perjanjian primordial manusia dengan Tuhanya. Yaitu suatu ikatan perjanjian
antara manusia dan Tuhan sebelum ia dilahirkan ke muka bumi ini. Perjanjian
tersebut ialah persaksian bahwa Dialah satu-satu-Nya Pelindung dan Pemelihara
baginya. Maka, masih menurut Madjid manusia dan jin pun tidaklah diciptakan
43
QS. Al-Maidah, 07 44
Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan., h. 40-41.
60
Allah kecuali hanya tunduk dan menyembah kepada-Nya, yakni menganut paham
Ketuhanan Yang Maha Esa atau tauhid.45
Tentunya salah satu konsekuensi kebertauhidan manusia tersebut adalah
menegakkan keadilan sosial.Karena menegakkan keadilan merupakan hakikat
dasar kemanusiaan itu sendiri. Mereka yang melakukan tindakan dzalim dan
berlaku sewenang-wenang terhadap orang lain, maka dengan sendirinya telah
mencederai hakikat kemanusiaanya itu sendiri.
Kemestian menegakkan keadilan merupakan bagian dari Sunatullah.Dalam
pandangan Madjid. Sebagai Sunatullah, kemestian menegakkan keadilan adalah
kemestian yang merupakan hukum objektif, tidak tergantung kepada kamauan
pribadi siapa pun juga dan tidak akan berubah. Karena hakikatnya yang objektif
dan tidak berubah itu, siapa pun yang menegakkan keadilan pasti akan melahirkan
malapetaka.46
Oleh sebab itu, banyak dictum Alquran yang menegakkan keadilan
harus dilakukan kepada siapa pun tanpa paandang bulu.Bahkan, upaya semacam
itu disebutkan dalam Alquran sebagai perbuatan yang paling mendekati taqwa
kepada Allah swt.
Maka jelaslah, bagi seseorang ataupun masyarakat yang membiarkan
segala bentuk pratek kedzaliman dan anti-keadilan sosial berlangsung, mereka
akan dihancurkan oleh Tuhan. demikian pula kewajiban memperhatikan kaum
tertindas maupun terlantar. Pengabaian terhadapnya, akan berakibat pada
kehancuran masyarakat itu sendiri.
45
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan. h. 179. 46
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan. h. 184.
61
Madjid lebih jauh lagi menandaskan, mereka yang melakukan kedzaliman
dan menindas kepada mereka yang lemah. Niscaya mereka akan menjadi musuh
Nabi SAW. Kelak dihari kiamat. Nabi dalam pidatonya sebelum wafat, beliau
bersabda:
Wahai sekalian manusia! Ingatlah Allah! Ingatlah Allah, dalam agamamu
dan amanatmu sekalian. Ingatlah Allah! Ingatlah Allah, berkenaan
dengan orang-orang yang kamu kuasai dengan tangan kananmu! Berilah
mereka makan seperti yang kamu makan, dan berilah mereka pakaian
seperti yang kamu pakai! Dan janganlah bebani mereka dengan beban
yang mereka tidak sanggup menanggungnya. Sebab sesungguhnya mereka
adalah daging, darah dan makhluk seperti halnya kamu sekalian sendiri.
Awas, barang siapa bertindak dzalim kepada mereka, maka akulah
musuhnya di hari kiamat, dan Allah adalah Hakimnya.47
Singkatnya, menegakkan keadilan dalam konteks kehidupan sosial
khususnya, dan berbagai tindakan lainnya, baik lahir maupun batin pada
umumnya dalah sebuah keharusan dan keniscayaan yang tidak dapat di tawar-
tawar lagi.
Pokok pangkal kebenaran universal tersebut yang dengan sendirinya juga
kebenaran tunggal adalah paham Ketuhanan Yang Maha Esa atau
Tauhid.Konsekuensi terpenting dari kemurnian tauhid ini, demikian Madjid
berujar, ialah pemutusan sikap pasrah sepenuhnya hanya kepada Allah; Tuhan
yang Maha Esa, tanpa kemungkinan member peluang kepada sesuatu apapun
selain diri-Nya.Inilah al-Islâm, yang menjadi intisari semua agama yang benar,
demikian dengan tegas Madjid berucap.48
Dalam pada itu, bagi Madjid dengan
47
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, h. 185. 48
Nurcholish madjid, Islam Doktrin Peradaban, h. 181.
62
mengutip pandangan Ibn Taymiyyah49
hal itu juga menunjukkan bahwa al-Islam
dalam maknanya yang generik juga adalah inti dan saripati semua agama para
nabi dan rasul.al-Islâm adalah spirit dasar dari kebertauhidan seorang Muslim
yang dalam konteks formal keagamaan diwujudkan dengan tidak menyembah
kepada siapapun selain diri-Nya, Dzat Yang Maha Esa. Jadi, bagi mereka
sekalipun secara formal adalah seorang muslim, tapi jika dalam kehidupan praksis
kesehariannya bertentangan dengan semangat tauhid atau al-Islâm itu sendiri,
maka ia bukanlah Muslim sejati dengan sendirinya tertolak.
Berdasarkan argumentasi-argumentasi diatas tersebut, maka menurut
Madjid, Alquran mengajarkan paham kemajemukan keagamaan dalam artian
bahwa semua agama diberi kebebasan untuk hidup, dengan resiko yang akan
ditanggung oleh pengikut agama itu masing=masing, baik secara pribadi maupun
kelompok. Bagi Madjid, semua agama pada prinsipnya mempunyai dasar yang
sama, yaitu keharusan manusia berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa,
sehingga semuanya akan bermuara kepada satu ‘titik pertemuan, yang dalam
istilah Madjid disebut “kalimahsawa” 50
pandangan Madjid ini didasarkan dari
Firman Tuhan: “ katakanlah,” Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu
kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, yaitu kita
tidak menyembah kecuali Allah dan kita tidak mempersekutukan Dia dengan
49
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 182. 50
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 184.
63
sesuatu apapun dan sebagian kita tidak menjadikan sebagian Tuhan selain Allah.
51
Ayat yang selanjutanya, mengutip firman Allah, yang berbunyi, “tidak
boleh ada paksaan dalam agama. Sungguh telah nyata(berbeda) kebenaran dari
kesesatan. Barang siapa menolak tirani dan percaya kepada Allah, maka sungguh
dia telah berpegang dengan tali yang kukuhyang tidak akan lepas. Allah Maha
Mendengar dan Maha Mengetahui.”52
Madjid menegaskan bahwa pemaksaan
agama terhadap orang lain kepada agama tertentu merupakan tindakan yang
sangat dilarang dan bertentangan dengan ajaran dasar Islam itu sendiri. Bagi
Madjid, berdasarkan ayat tersebut, manusia harus diberikan kebebasan untuk
memilih suatu agama. Hal ini dikarenkan manusia sudah dianggap dewasa,
sehingga dapat menentukan jalannya sendiri yang benar dan tidak perlu dipaka-
paksa.53
Dengan kata lain, manusia saat ini adalah mereka yang telah tercerahkan
serta mempunyai kemampuan dan tanggung jawab sendiri berdasarkan
rasionalitas dan pengetahuannya.
C. Kritik atas Pemikiran Nurcholish Madjid.
Secara epitemologis, Nampak sekali konsistensi bangunan pemikiran
Nurcholish Majid tersebut.Konsistensinya itu dapat telihat dari hampir semua
gagasan-gagasan pokok yang dikeluarkannya tersebut tidak lepas dari bingkai
ketauhidan.Madjid demikian sapaannya selalu menjadikan tauhid sebagai premis
dasar umum bangunan pemikirannya.Kebebasan dan kemerdekaan manusia,
51
QS. Imran : 64. 52
QS. Al-Baqarah : 256. 53
Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, h. 218.
64
keadilan, egaliterianisme, inkluvivme, pliralisme, toleransi dan keterbukaan
adalah sederet ide-ide pokok humanism Madjid, yang merupakan hasil deduksi
dari defvinisi tauhid yang dirumuskannya sendiri.
Gagasan-gagasan Madjid yang sarat dengan nilai-nilai humanis tersebut,
tentunya cukup khas.Karena ide-ide yang disuguhkan oleh Madjid itu masih
jarang sekali jika dikatakan tidak ada terpikirkan ataupun terumuskan secara
sistematis oleh inteletual-intelektual Muslim-Indonesia selama ini.Selain itu
gagasan-gagasan yang dihadirkan oleh Madjid selalu berangkat dan tidak lepas
dari nilai-nilai ketauhidan yang diyakininya sebagai landasan sekaligus orientasi
kehidupan di dunia ini.Artinya, Madjid mampu mengusung gagasan-gagasan yang
bersifat humanistik tersebut, tanpa harus terjerambab ke dalam paham humanism
sekuler yang mengebiri nilai-nilai keagamaan dan menganggapnya sebagai
sumber belenggu kebebasan dan kemerdekaan manusia sebagaimana yang terjadi
di dunia Barat.
Namun demikian, konsep pemikiran Madjid tidak lepas dari kritik dan
adanya kelemahan.Tidak ada penjelasan metodologis yang utuh dan komprehensif
dan secara akademis pandangan Madjid sepenuhnya belum bisa
dipertanggungjawabkan. Seperti dalam karya-karyanya, termasuk magnumopus-
nya, Islam Doktrin dan Peradabansecara sistematis, terpdu maupun integral
tentang apa dan bagaimana metodologi yang digunakan olehnya dalam
membangun ide-ide dasarnya. Dalam menguraikan gagasannya, Madjid terkesan
hanya mengutip sana-sini pendapat orang lain, seperti Ibn Taimiyyah, Robert N.
bellah, Yusuf Ali ataupun Muhammad Assad, yang kemudian disistematiskan dan
65
diambil benang merahnya untuk menopong gagasan yang diusungnya.
Singkatnya, tidak ada basis metodologis yang utuh, padu dan jelas, yang tentunya
secara akademis hal itu lebih bisa dipertanggung jawabkan.
Pada tataran prakasis, tidak semua ide-ide Madjid itu (seperti inklusivisme
dan pluralism agama) dengan mudah bisa diterima khalayak public Indonesia
begitu saja, mengingat masih banyaknya tingkat ekonomi maupun pendidikan
masyarakat kita yang relative rendah dan terbelakang.Hal itu disebabkan ide-ide
Madjid sendiri yang cenderung “elitis’ dan “abstrak,” sehingga tidak mudah
dicerna dan dikonsumsi kecuali oleh mereka yang notabene kalangan
berpendidikan menengah ke atas.Artinya, jika Madjid menginginkan ide-idenya
tersebut sebagai perjuangan kulturaisasi nilai-nilai keislaman dalam konteks
keindonesian, mampu tampil sebagai tawaran-tawaran cultural yang produktif,
konstruktif serta mampu menyatakan diri sebagai pembawa kebaikan untuk umat
manusia, sepertinya sulit sekali terwujud. Kenyaaan ini bisa dilihat dengan betapa
banyaknya konflik sosial yang diselimuti tindak kekerasan, baik atas nama agama
ataupun komunal, hamper sebagian besar dilakukan oleh mereka yang secara
ekonomi maupun pendidikan relative rendah dan terbelakang.
Sungguhpun begitu, apa yang telah digagas dan diperjuangkan oleh
mendiang Nurcholish Madjid tersebut, sudah sepatutnya diapresiasi dan dihargai.
Tak dapat dipungkiri, Madjid, dengan seabrek gagasan pembaharuannya itu
sedikit banyak telah memberikan kontribusi cukup signifikan bagi kekayaan
khazanah wacana keislaman Indonesia kita hingga detik ini.
69
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan apa yang telah diuraikan, maka jawaban dari rumusan
masalah dalam penelitian skripsi ini, dapat disimpulkan bahwa humanisme yang
dikonsepkan oleh Nurcholish Madjid sama dengan apa yang dikhendaki oleh
Islam yakni manusia memiliki kebebasan dalam bekerja, bertindak, berfikir,
bermasyarakat dan beragama. Dengan kebebasan manusia mampu meningkatkan
harkat dan martabatnya serta memperoleh keadilan sosial.
Manusia dalam kehidupan bermasyarakat bebas melakukan apapun apakah
itu perbuatan baik atau buruk, hanya saja dalam konsep humanism ini yang
dimaksudkan kebebasan adalah bebas dalam melakukan perbuatan baik sesuai
yang disyariatkan agama tanpa melanggar ketentuan yang telah dibuat oleh
Tuhan. Di hari pembalasan nanti manusia akan dihisab atas segala perbuatan-
perbuatan manusia selama hidup di dunia.
BagiMadjd, genealogi humanism merupakan paham berdasarkan takwa
kepada Allah swt yang sudah dijelaskan dalam Alquran. Karena secara fitrah
manusia merindukan kembali kepada Tuhannya, dengan cara beribadahlah
manusia menemukan kebahagiaan karena bertemu dengan Tuhan.
70
B. Saran-Saran
Berdasarkan atas pemaparan mengenai bangunan pemikiran konsep
humnime mendiang Nurcholish Madjid yang sarat dengan nilia-nilai
kemanusiaan, maka penulis memberikan saran-saran berikut ini:
1. Perlu pengembangan pemikiran Madjid kepada cakupan yang lebih
luas dan juga lebih mudah untuk dipahami oleh khalayak publik Indonesia,
yang tidak hanya dinikmati kalangan pendidikan kelas menengah keatas.
2. Perlu dikembangankan kajian yang lebih intensif mengenai
bangunan pemikiran konsep humanisme Madjid. Dengan itu tindakkan-
tindakkan yang secara langsung maupun tak langsung merendahkan harkat
dan martabat kemanusiaan tidak lagi terjadi dibumi pertiwi ini. Berharap
masyarakat tidak lagi terjadi perendahan nilai-nilai kemanusiaan.
Wallahua’lam.
71
DAFTAR PUSTAKA
ReferensiBuku;
Abidin, Zainal Filsafat Manusia, Memahami Manusia Melalui Filsafat,
cet.I Bandung: Rosda Karya, 2000.
Adib, Muhammad Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan
Logika Ilmu Pengetahuan. Jogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011.
A Mangun hardjana, ,Isme-isme Dalam Etika dari A sampai Z,
Yogyakarta: Kansius, 1997.
Askari,Jon Avery Hasan Menuju Humanisme Spiritual: Kontribusi
Perspektif Muslim Humanis. Surabaya: RisalahGusti
Baidhowi, Jogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Bagus, Loren Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia 2002, cet. III
Bertens, K. Panorama Filsafat Barat Jakarta, Gramedia Pustaka, 1987.
Berton Breg, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Jakarta: Paramadina,
2000, cet. 1
Boisard Marsel A., Humanisme dalam Islam, Jakarta: PT. Internasa, 1980.
Dalam diskusi Kajian Titik Temu Nurcholish Madjid Society pada kamis
16/10 di Omah Btari Sri.
Davies Toni, Humanism London: Routledge: 1997.
Enscyclopedia of Britanica 2003 Ultimate Reference Suite CD-
Rom,Inggris, 2003 dictionary 2,
Echols John M. dan Shadiliy Hasan Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta,
Gramedia, 2003 cet. Xxv.
Hardiwijono Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta, Kansius,
1989.
Hanafi, Hasan dkk, Islam dan Humanisme : Aktualisasi Humanisme Islam
di Tengah Krisis Humanisme Universal, Semarang: Pustaka
Pelajar, 2007.
72
Iqbal, Muhammad The Reconstruction of Religious Thougt in Islam
Lahore: Asyraf Publication, 1971.
IslahBahrawi Mohammad Monib, Islam danHak-Hak Asasi Manusia
Dalam Pandangan Nurcholish Madjid. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2011.
Madjid, Nurcholish Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: paramadina,
2005.
______ ,Masyarakat Religius. Jakarta: Paramadina, 1997.
______, Islam Agama Kemanusiaan,Jakarta: Paramadina, 1995.
______, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Cet. V.Jakarta : Paramadina, 1999
Muzairi, Filsafat Umum, Yogyakarta: Sukses Offset, 2009
Nafis Muhammad Wahyuni dan Acmad Rifki, Kesaksian Intelektual:
Mengiringi Guru Bangsa, (Jakarta: Paramadina, 2005), cet. I., h.
X.
Partanto Pius A dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer,
Surabaya, Arkola, 1994
Scott Lash Posmoderinisme sebagai Humanisme? Wilayah Urban dan
TeoriSosial, dalam Bryan Turner, Teori-teori social
Modernitasdan Posmodernitas” terj. Imam Baehaqi dan Ahmad.
Sartre,Jean Paul Eksistensialisme dan Humanisme, terj.YudhiMurtanto
Yogyakarta: PustakaPelajar, 2002.
Salim PeterdanYennLoena C. Gabel, The Encyclopedia of Americana.
U.S.A.: Grolier Incoporated, 1998, jilid. 14
Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer, Edisi Pertama.
Jakarta: Modern English Press, 1991
Saridjo, Marwan CakNur. Diantara Sarung dan Dasi & Musdah tetap
Berjilbab, (Jakarta: Yayasan Ngali Aksara, 2005, cet. I.
Syafiah Sukaimi, “Peran Orang tua dalam pembentukan kepribadian
anak: perkembangan psikologi perkembangan islam, marwah.
Vol. Iii .1 juni 2013
73
Sutisna, “Pluralisme dalam Pemikiran Nurcholish Madjid”, Jakarta:
Perpustakaan Utama UIN, 2004.
Syari’ati Ali, Humanisme:antara Islam dan Mazhab Barat, terj. Afif
Muhamad, cet.2, (Bandung: Pustaka Hidayah,1996.
The Encyclopedia of Philosophy.(ed) Paul Endwards London: Macmillan
Publishing & The Free Press, 1967, Vol. 3 & 4, p.71.
Wiwiek, Liz W, jilid. 6. Jakarta: PT. Ciptaa diPusaka, 1989.
Q.S. al-Hujurat: 10-13.
Referensi Website;
http://id.wikipedia.org/wiki:/NurcholishMadjid
http://www.tokohIndonesia.com/ensiklopedia/n/Nurcholish-
Madjid/indexs.shtml.
.