hak seksual prmpuan dn hiv
TRANSCRIPT
-
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
1/75
Laporan Akhir Penelitian
HAK SEKSUAL PEREMPUAN DAN HIV/AIDS:Studi pada Perempuan Muda (15-24 tahun)
di Tiga Kota di Jawa Barat
Oleh:Pusat Kajian Gender dan Seksualitas
FISIP UIGedung C lantai 3 FISIP
Telp/fax: 7863517
email: [email protected]; [email protected]
mailto:[email protected]:[email protected]:[email protected]:[email protected]:[email protected] -
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
2/75
Tim peneliti
Ketua : Irwan M. HidayanaAnggota : Ida Ruwaida Noor
Diana Pakasi
1
-
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
3/75
2
KATA PENGANTAR
Penelitian ini merupakan bagian dari program Komisi Penanggulangan AIDSNasional (KPAN) yang didasari oleh pemikiran bahwa penanggulangan epidemi HIV
dan AIDS di Indonesia perlu ditunjang oleh data-data yang akurat, valid danterpercaya agar perancangan kebijakan dan program menjadi lebih baik, efisien danefektif. Kami berharap penelitian yang telah dilakukan ini dapat memenuhi tujuantersebut. Namun kami pun sadar pasti masih ada sejumlah keterbatasan dalampenelitian ini baik dari segi metodologis, analisis, penyajian dan rekomendasi. Kamiterbuka terhadap kritik, saran dan komentar terhadap laporan penelitian ini.
Penelitian yang kami lakukan ini hanyalah bagian kecil dari spektrumpersoalan HIV dan AIDS di Indonesia yang begitu luas dan kompleks. Kami menelititentang pemaknaan hak seksual dan resiko seksual pada perempuan muda (15-24tahun) dalam konteks penanggulangan epidemi HIV di tiga kota di J awa Barat yaituKarawang, Sukabumi dan Tasikmalaya. Secara spesifik, penelitian ini berkaitandengan program PMTCT (prevention mother-to-child transmission) yang salah satupilarnya adalah pencegahan HIV pada perempuan usia reproduktif.
Dalam pelaksanaan penelitian ini kami bekerja sama dengan berbagai pihak.Pertama, kami mengucapkan terima kasih atas kepercayaan yang diberikan olehKPAN dan HCPI (HIV Cooperation Program for Indonesia) untuk melakukanpenelitian ini dengan dana hibah serta masukan-masukan dalam pengembanganproposal dan penulisan laporan. Secara khusus, rasa terima kasih kami sampaikankepada Mas Dede Oetomo dan Mas Danny Yatim selaku mentor; Prof. Budi Utomodan Dr. Suriadi Gunawan sebagai penanggungjawab program penelitian KPAN-HCPI.
Ucapan terima kasih yang tulus kami sampaikan kepada tim penelitian dilapangan: Mahacakri Sirindorn, Didah, dan Neng Ulya di Karawang; Maya, IntanBangun Lestari, Dria Arfani dan Ani Nuraeni di Sukabumi; Endah Sulistyowati, EvaPatimah, Mira Lestari, Kiki Zakiyatusyahidah, dan Sri Wahyuni di Tasikmalaya.Demikian juga kepada J oko Kristiyanto, S.Sos dari Merkurius Foundation(Sukabumi), Bonan Sanggabuana, SH dari Badan Narkotika Kabupaten (Karawang),Rizal dari Mitra Citra Remaja dan Cecep dari Yakin (Tasikmalaya) yang telahmemfasilitasi kegiatan penelitian maupun validasi penelitian, kami mengucapkanterima kasih yang sebesar-besarnya atas kerjasama yang baik. Semoga kita bisabekerja sama kembali di waktu yang mendatang.
Terima kasih yang tak terhingga kami tujukan kepada para responden dan
informan yang telah bersedia meluangkan waktu untuk diwawancarai di tengah-tengah kesibukan mereka. Demikian juga kepada sejumlah individu yang tidak dapatkami sebut namanya satu per satu atas segala bantuannya selama kami melakukanpenelitian di lapangan.
Laporan penelitian ini mungkin mengandung kesalahan-kesalahan yang tidakkami sadari dan itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab kami.
Depok, 12 Februari 2010
Tim peneliti
-
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
4/75
3
Daftar isiHalaman
Bab1 Pendahuluan1.1. Latar belakang 4
1.2 Masalah penelitian 71.3. Tujuan penelitian 101.4. J astifikasi 101.5. Metode penelitian 11
Bab 2 Ajang penelitian: Karawang, Sukabumi dan Tasikmalaya2.1. Karakteristik sosial budaya 162.2. Respon terhadap kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS 172.3. Karakteristik kelompok perempuan muda (15-24 tahun) 19
Bab 3 Gender dan membangun relasi dalam pergaulan3.1. Remaja perempuan dan pubersitas 223.2. Remaja perempuan dan bebogohan (pacaran) 273.3. Remaja perempuan dan pernikahan 33
Bab 4 Pengetahuan kesehatan reproduksi dan resiko seksual4.1. Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi 374.2. Pengetahuan tentang resiko seksual 45
Bab 5 Hak Seksual, negosiasi seksual dan resiko seksual5.1. Persepsi tentang hak seksual 53
5.2. Persepsi tentang keperawanan 605.3. Negosiasi seksual dan resiko seksual 62
Bab 6 Kesimpulan dan rekomendasi6.1. Kesimpulan 686.2. Rekomendasi 70
Referensi 73
-
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
5/75
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Berdasarkan laporan UNAIDS, Indonesia termasuk salah satu negara di Asia
yang pertumbuhan kasus HIV/AIDS yang relatif cepat. Dari laporan tentang kasus
AIDS, pada tahun 2004 hanya 16 provinsi yang melaporkan adanya kasus AIDS. Di
tahun 2007 laporan datang dari 32 provinsi. J umlah kumulatif kasus AIDS yang
dilaporkan juga meningkat cukup tajam, yaitu dari 2.682 kasus pada tahun 2004,
menjadi 11.141 kasus hingga akhir Desember 2007.1 Departemen Kesehatan
memperkirakan bahwa populasi yang rawan tertular HIV pada tahun 2006 sebesar
193.070 orang, dan diestimasikan sampai akhir 2007 di Indonesia terdapat 193.000
ODHA (Orang dengan HIV/AIDS)2 dengan sekitar 25% di antaranya adalah
perempuan. 3
Grafik 1: Tren Total Kasus AIDS selama 10 Tahun terakhir4
1Source: Country report on the follow-up to the Declaration of Commitment on HIV/AIDS 2006-2007, p. 18
2 Dalam satu dekade terakhir angka HIV pada kelompok resiko tinggi (terutama pekerja seks dan penasun) meningkattajam. Namun angka prevalensi pada sub-populasi perilaku beresiko telah melebihi 5 persen. Bahkan di Papua, HIV/AIDStelah masuk pada populasi umum (usia 15-49 tahun) dengan prevalensi 2,4 persen. Prevalensi HIV/AIDS pada pendudukusia 15-29 tahun diperkirakan masih di bawah 0,1 persen.3 Berdasar hasil survei dan sejumlah kajian terhadap kelompok-kelompok rentan, diestimasikan 90.000 130.000 yangterinfeksi yang tahun 2002, 25% di antaranya adalah perempuan (Riono dan Jazant 2004:79).4
Source: Country report, p. 18
4
-
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
6/75
5
Bila tidak ada peningkatan upaya penanggulangan yang berarti, maka pada tahun
2010 jumlah kasus AIDS diproyeksikan akan menjadi 400.000 orang dengan
kematian 100.000 orang. Pada 2015 menjadi 1.000.000 orang dengan kematian
350.000 orang. Kebanyakan penularan terjadi pada sub populasi beresiko kepada
isteri atau pasangan seksualnya. Pada akhir tahun 2015 diperkirakan akan terjadi
penularan HIV secara kumulatif pada lebih dari 38.500 anak yang dilahirkan dari ibu
yang HIV positif. Hal ini menunjukkan bahwa HIV dan AIDS telah menjadi ancaman
serius bagi bangsa Indonesia.
Namun upaya penanggulangan yang telah dilakukan selama ini masih
terkonsentrasi pada kelompok perilaku beresiko tinggi seperti pengguna napza
suntik, pekerja seks, dan pelanggan seks.5 Upaya pencegahan perlu diperluas,
terutama untuk mencegah agar HIV tidak semakin menyebar pada masyarakat luas.
Pendekatan yang berfokus pada kelompok beresiko tinggi juga riskan menciptakan
stereotipe kelompok yang dianggap beresiko tinggi tsb. Lebih dari itu, pendekatan ini
cenderung mengasumsikan kelompok lainnya di luar kelompok beresiko tinggi --
dalam kondisi relatif aman atau kurang beresiko. Faktanya, perempuan adalah
salah satu kelompok yang rentan beresiko terinfeksi, bukan hanya karena faktor
biologis yang lebih rentan dari laki-laki. Namun, perempuan secara sosial dan
kultural juga kurang berdaya untuk mempraktikkan metode seks yang aman dan
nyaman untuk dirinya. Faktor ekonomi juga mengkondisikan kerentanan
perempuan.6 Berdasarkan berbagai penelitian, kelompok usia remaja merupakan
usia yang paling rentan terinfeksi, yang kemudian dalam jangka waktu tertentu,
perempuan remaja akan menjadi ibu hamil, yang kehamilannya dapat mengancam
kelangsungan hidup janin/bayi.
Deklarasi UNGASS telah memberikan perhatian khusus pada perempuan,
remaja dan anak, khususnya anak perempuan, sebagai kelompok yang paling
rentan. Deklarasi juga menegaskan bahwa kerentanan mereka hanya akan bisa
direduksi melalui upaya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan (UN
2001). Seperti diketahui, kualitas hidup (derajat kesehatan) perempuan merupakan
6 BerdasarkanHuman Development Report (HDR) 2001 hingga HDR 2006, tingkat daya beli (purchasing power parity atauPPP) perempuan tidak mengalami peningkatan yang signifikan, dengan nilai berkisar pada angka US$ 2.000 setiaptahunnya. Sementara itu PPP laki-laki mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun, dengan nilai dua kali
lipat lebih dibandingkan PPP perempuan. Indikator ini menunjukkan bahwa kesenjangan gender (gender gap) dalam PPPsangat tinggi.
-
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
7/75
6
salah satu penentu capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM/HDI), juga Indeks
Pembangunan Gender (IPG/GDI). Berdasarkan Indonesia Human Development
Report : skorHDI 65.8 (2002, 111/117) meningkat jadi 71.1 (2004) menjadi 72.8
(2006). GDI 2002, nilai 59.2 (81/177), menjadi 65.1 (2005), kemudian menjadi 65.3
(2006). Data tersebut menunjukkan masih adanya kesenjangan gender yang
terefleksi dari lebih rendahnya skor GDI dari HDI, meski harus diakui kondisinya
membaik. Peningkatan IPM dan IPG, dimungkinkan jika setidaknya menfokuskan
pada 3 komponen yakni : (1) angka melek huruf perempuan (2) angka partisipasi
sekolah perempuan pada tingkat pendidikan primer, sekunder dan tersier dan (3)
angka harapan hidup perempuan.
Dalam konteks masyarakat plural seperti Indonesia, maka upaya
penanggulangan HIV dan AIDS pada perempuan dan remaja perlu memperhatikan
situasi dan konteks di mana mereka hidup karena mereka bukanlah kelompok
homogen, melainkan sangat heterogen dilihat dari kelompok usia, jenis kelamin,
status sosial ekonomi, geografi (kota, pulau, provinsi, dll.), latar belakang budaya,
dan lain-lain. Oleh sebab itu, dimungkinkan adanya model pendekatan yang locally
and culturally sensitive atas penanggulangan HIV-AIDS, khususnya pada kelompok
perempuan dan anak/remaja perempuan. Mengingat dalam konteks desentralisasi,
upaya pemberdayaan perempuan dan eliminasi ketimpangan atau kesenjangan
gender diharapkan selayaknya juga mendapat prioritas. Melalui desentralisasi
terbuka peluang struktural untuk terjadi peningkatan kapasitas, kebersamaan
(equity) atau keadilan sosial serta memberi kewenangan pada masyarakat,
termasuk perempuan, untuk mengatur dirinya (empowerment). 7Dalam konteks ini,
kebijakan otonomi daerah (otoda) menghendaki adanya penguatan akar budaya
lokal serta menumbuhkan partisipasi seluruh potensi masyarakat lokal, karena
kebijakan ini berasumsi bahwa potensi kearifan lokal yang ada di masyarakat harus
dibangkitkan. Kebijakan pembangunan di tingkat lokal sudah semestinya
disesuaikan dengan situasi lokal dan memperhitungkan sumberdaya-sumberdaya
lokal, serta sensitif terhadap isu-isu lokal baik ekonomi, budaya, politik dan sosial.
7 Kebijakan desentralisasi mendukung keterlibatan aktif masyarakat untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat lokaldalam proses pembangunan politik, sosial, budaya dan ekonomi. Dalam rangka meningkatkan pemberdayaan masyarakat,maka agenda program pemerintah dalam Propenas 2000-2004 adalah (1) Program Penguatan Organisasi Masyarakat ; (2)Program Pemberdayaan Masyarakat Miskin ; dan (3) Program Peningkatan keswadayaan masyarakat. Dikutip dari
Community Empowerment Program with Civil Society in Indonesia (CEP), diterbitkan atas kerjasama sekretariat PKPM-BAPPENAS-JICA, 2004, hal; 7.
-
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
8/75
7
Kebijakan tersebut tidak hanya sensitif tapi juga partisipatif dan merupakan buah
kerja sinergi antara pemerintah dan aktor non pemerintah.8 Sejalan dengan itu,
Rencana Aksi Nasional (RAN) Penanggulangan HIV dan AIDS 2007-2010 telah
merumuskan untuk merespon epidemi HIV dan AIDS, dengan mengedepankan
prinsip-prinsip kemudahan akses untuk semua, terutama pada delapan sasaran
kunci; pemilihan prioritas program, sasaran dan wilayah; pelayanan komprehensif
sedekat mungkin; peran pemerintah daerah dan KPA (Komite penanggulangan
AIDS); serta kemitraan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga
donor, dan masyarakat madani.
1.2. Masalah penelitian
Dalam konteks pencegahan epidemi HIV/AIDS, penelitian ini terkait dengan
upaya PMTCT (prevention mother-to-child transmission) atau pencegahan
penularan HIV dari ibu ke anak. Dalam PMTCT dikenal sebuah pendekatan
continuum of care yang mencakup 4 prong9 yaitu:
Prong 1: pencegahan HIV pada perempuan usia reproduktif
Prong 2: pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan pada perempuan HIV positif
Prong 3: pencegahan penularan HIV dari ibu seropositif kepada bayinya
Prong 4: perawatan, dukungan dan pengobatan (CST) bagi ibu HIV positif yang baru
melahirkan dan keluarganya.
Penelitian ini berada dalam ranah Prong 1 yang menjangkau perempuan muda yang
berusia 15-24 tahun sebagai bagian dari kelompok perempuan usia reproduktif.
Penelitian mengenai kesehatan reproduksi remaja khususnya perilaku seksual --
sudah cukup sering dilakukan di beberapa wilayah di Indonesia sejak tahun 1980-an
hingga awal dasawarsa abad 21 ini. Meskipun terdapat perbedaan dalam
pendekatan, metode dan kerangka analisis namun secara umum penelitian-
penelitian terdahulu memperlihatkan bahwa kaum remaja semakin toleran terhadap
hubungan seks pranikah dan semakin terpapar dengan informasi yang terkait
8 Sebagai informasi, menurut PBB, 1/3 dari penduduk dunia adalah penduduk miskin, dan 70% di antara mereka adalahperempuan. Untuk negara berkembang, disinyalir separuh penduduk miskin adalah perempuan. Sedangkan data diIndonesia, menurut BPS, tahun 1999 jumlah Gakin sekitar 7.87 juta, dan 0.96 juta dikepalai perempuan, yang 40% diantara mrereka berpendidikan rendah bahkan buta huruf. Oleh sebab itu, tidak salah jika Human Development Report,UNDP, tahun 1995 menyebutkan bahwa Poverty has a women face. (Jurnal Perempuan, no.42, 2005)
9
Lihat Pedoman Nasional Pencegahan HIV dari ibu ke anak tahun 2006. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
-
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
9/75
8
seksualitas dari beragam media massa baik di perkotaan maupun di pedesaan
(Arida, 2005; Hanum 1997; Indraswari 1999; Khisbiyah et.al 1997; Laksmiwati 1999;
Saifuddin dan Hidayana 1999; Widjanarko 1999; Sarwono 1981). Namun kami
menyadari sepenuhnya bahwa budaya remaja tidaklah homogen karena dipengaruhi
oleh faktor gender, usia, status sosial ekonomi, geografi dan budaya.
Penelitian ini tidak mengkaji tentang perilaku seksual perempuan muda, tetapi
kepada konteks dan makna dari seksualitas dan resiko yang berhubungan dengan
seks (sex-related risk). Lebih spesifik, studi ini akan mengkaji kesadaran akan hak-
hak seksual dan resiko seksual pada kelompok perempuan muda di kota
menengah dan kota kecil, yang diharapkan bisa dijadikan dasar atau landasan
pengembangan intervensi program di wilayah tersebut. Asumsi dasarnya adalah
konstruksi seksualitas tidak bisa dilepaskan dengan konstruksi sosial budaya
tentang laki-laki dan perempuan serta relasi gender, dan konstruksi ini berpengaruh
pada kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual perempuan dan laki-laki.
Pengertian hak dan kesehatan seksual tertuang pada Pasal 96 Platform Aksi dari
Konferensi Perempuan Sedunia di Beijing tahun 1995 yaitu:
Hak-hak asasi perempuan mencakup hak untuk memiliki kontrol danmemutuskan secara bebas dan bertanggung jawab atas masalah-masalahyang berhubungan dengan seksualitas mereka, termasuk kesehatan seksualdan reproduksi, bebas dari paksaan, diskriminasi, dan kekerasan. Hubunganyang setara antara perempuan dan laki-laki dalam masalah-masalah relasiseksual dan reproduksi, termasuk penghormatan sepenuhnya bagi integritasseseorang, mensyaratkan saling menghormati, persetujuan dan tanggungjawab bersama bagi perilaku seksual dan konsekuensi-konsekuensinya(dikutip dari Petchesky 2003: 38)
Sekalipun istilah hak seksual tidak digunakan secara eksplisit dalam Platform Aksi
tersebut, namun penjabaran di atas menunjukkan unsur-unsur hak seksual bagi
setiap orang.
Dalam penelitian ini kesadaran terhadap hak-hak seksual10 akan difokuskan
pada hak terlindung dari paksaan, diskriminasi dan kekerasan dan hak terlindung
10 Hak seksual meliputi hak memiliki kontrol atas seksualitas, hak atas informasi tentang seksualitas, hak terlindung daripraktik yang membahayakan, hak terlindung dari paksaan, diskriminasi dan kekerasan, hak terlindung dari PMS danHIV/AIDS, dan hak atas kepuasan seksual
-
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
10/75
9
dari PMS dan HIV/AIDS. Kedua hak tersebut terkait dengan persoalan kesehatan
seksual yaitu seks aman dan seks tidak aman (safe and unsafe sex), seks yang
diinginkan dan seks yang tidak diinginkan (wanted and unwanted sex) serta seks
dengan kekerasan dan seks atas dasar konsensus (coercive and consensual sex).
Kesehatan seksual di sini diartikan sebagai kehidupan seks yang memuaskan,
bebas dari kekerasan, ketakutan dan rasa sakit, termasuk relasi seksual yang saling
mengasihi.
Persepsi terhadap resiko seksual khususnya terhadap penularan PMS dan
HIV penting diketahui karena akan mempengaruhi praktik-praktik seksual
perempuan muda. Konsep resiko dalam konteks penanggulangan HIV/AIDS adalah
konsep yang abstrak dan tidak mudah dipahami sehingga perlu diejawantahkan
secara spesifik dalam penelitian ini. Penggunaan istilah resiko dalam program-
program HIV/AIDS seringkali menjadi problematik. Istilah yang diterjemahkan dari
bahasa Inggris tersebut acapkali tidak mudah dipahami oleh kelompok-kelompok
yang menjadi sasaran intervensi program, terutama yang berpendidikan rendah.
Tambahan pula, istilah resiko secara implisit mempunyai konotasi yang cenderung
negatif.
Teori sexual script atau skenario seksual (Simon 1996) adalah sentral
dalam penelitian ini. Teori ini menjelaskan bahwa penting untuk membedakan antara
persepsi dan perilaku yang terkait dengan faktor situasional untuk memahami
tindakan seksual. Ada tiga aspek yang harus dicermati yaitu skenario individu
(makna individual sebagai hasil interpretasi terhadap skenario budaya), skenario
antar-pribadi dan skenario budaya. Ketiga skenario ini saling berkelindan dalam
situasi dan konteks sosial tertentu yang kemudian terwujud dalam tindakan seksual.
Kami akan melihat bagaimana skenario-skenario tersebut dirumuskan dan
digunakan dan bagaimana skenario tersebut terwujud dalam perilaku atau
performance dalam ruang publik dan privat.
Secara metodologis, ketertarikan pada kota menengah dan kecil ini lebih
didasarkan pada anggapan bahwa skala kota tidak bisa menjadi dasar asumsi
rendahnya tingkat penyebaran HIV/AIDS. Oleh sebab itu signifikan dibahas tentang
bagaimanakah inisiatif lokal dalam memanfaatkan sumberdaya luar maupun lokal?
Hal ini menjadi pembelajaran penting untuk diungkap dan dipahami, termasuk
perspektif gender dan perempuan yang melandasinya, utamanya menyangkut
-
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
11/75
10
bagaimana perempuan lokal memaknai hak-hak seksualnya, mengontrol
seksualitasnya, dan menyuarakan kepentingan/kebutuhannya. Kajian ini menjadi
penting dan strategis dalam konteks masyarakat Indonesia yang patriarkis, di mana
skenario budaya lebih melekatkan identitas perempuan dengan status
perkawinannya, dan perempuan lebih dituntut mengedepankan kewajiban-
kewajibannya dibandingkan haknya. Ada tiga pertanyaan utama yang ingin dijawab
melalui penelitian ini:
1. Bagaimanakah pemaknaan hak seksual dan resiko seksual terhadap PMS
dan HIV/AIDS di kalangan perempuan muda serta sumber pengetahuannya?
2. Apa tantangan dan peluang dalam mengontrol dan menyuarakan hak-hak
tersebut: baik pada level individual, antar-pribadi, dan komunitas?
3. Bagaimanakah strategi perempuan dalam mengontrol dan menyuarakan
hak-hak seksualnya?
1.3. Tujuan penelitian
1. Mendapatkan gambaran akses perempuan akan informasi menyangkut hak-
hak seksual dan resiko seksual terhadap PMS dan HIV/AIDS
2. Mendapatkan pemahaman tentang pemaknaan remaja perempuan akan hak
seksual dan resiko seksual terhadap PMS dan HIV/AIDS, termasuk sumber
pengetahuannya
3. Memahami strategi perempuan dalam mengontrol dan menyuarakan hak
seksualnya dan mengurangi resiko seksual.
1.4. Jastifikasi
Penelitian ini merupakan sebuah upaya untuk menghasilkan rekomendasi yang
bersifat praktis dan terapan dengan maksud:
1. Perlunya mengembangkan Program Pendidikan Seksualitas yang responsif
gender dan mampu memberdayakan perempuan;
2. Pengembangan program yang locally and culturally sensitive agar remaja
perempuan dapat lebih terbuka berbicara tentang seks dan seksualitas
3. Memberikan bahan rancangan kampanye publik tentang hak-hak seksual
perempuan, a.l: pemasaran sosial, pelatihan, ketrampilan dll.
-
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
12/75
11
4. Mengkondisikan iklim di masyarakat untuk lebih terbuka membincang isu hak
seksual dan resiko seksual.
1.5. Metode Penelitian
Pendekatan Penelitian
Sejalan dengan pertanyaan dan tujuan penelitian yang lebih bersifat eksploratif,
maka studi ini lebih dominan menggunakan pendekatan kualitatif. Pada dasarnya
kajian ini bersifat triangulasi baik dari perspektif maupun metode pengumpulan
data. Tim Peneliti berlatar belakang inter-disipliner (antropolog, sosiolog, hukum).
Sedangkan data akan dijaring baik dengan metode/teknik kualitatif (wawancara
mendalam/case study, diskusi kelompok terarah, dan pengamatan/observasi), juga
metode kuantitatif (survei). Data kualitatif merupakan data utama penelitian ini,
sedangkan data kuantitatif lebih merupakan data penunjang.
Pemilihan Lokasi Penelitian
Studi dilakukan di J awa Barat yang usia kawin perempuan cenderung lebih
rendah daripada wilayah lain, kecuali J awa Timur. J ones (2001:68) menyatakan
bahwa usia saat menikah perempuan desa di J awa Barat adalah antara 15 sampai
18 tahun pada awal abad 20. Pola ini cukup stabil dan hanya sedikit meningkat
(kurang dari 1 tahun) pada akhir tahun 60-an dan awal 70-an. Gadis yang menikah
pada usia muda hidup dalam lingkungan yang patriarkal, akses terbatas kepada
sumber-sumber daya, tidak punya otonomi dan tidak punya pengaruh dalam
penentuan usia kawin. Nikah dini, nikah yang dijodohkan dan struktur keluarga
menyumbang pada tingkat perceraian di wilayah ini. J ones, Asari dan Djuartika
(1994: 395-396) mengungkapkan laju perceraian di J awa Barat pada pertengahan
tahun 60-an adalah 59 dari 100 perkawinan. Survei Fertilitas Indonesia tahun 1976
menunjukkan seperempat dari seluruh perkawinan di J awa Barat berakhir dengan
perceraian dalam waktu 26 bulan. Pada akhir tahun 80-an tingkat perceraian
tertinggi masih terpusat di Indramayu dan kabupaten sekitarnya (J ones 1997:100).
J ones (2001) menyatakan bahwa usia nikah termuda ada pada dua kelompok
populasi yaitu J awa Barat dan Madura di J awa Timur. Kepatuhan yang kuat pada
ajaran Islam dan rendahnya pendidikan dianggap berkontribusi kepada fenomena
nikah dini.
-
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
13/75
12
Adapun studi difokuskan di kota menengah, dengan anggapan bahwa skala
kota tidak bisa menjadi dasar asumsi rendahnya tingkat penyebaran HIV/AIDS.
Berdasarkan kriteria BPS mengenai kelas kota, Kota Kecil adalah kota dengan
jumlah penduduk antara 20.000 sampai 100.000 jiwa, sedangkan Kota Sedang
adalah kota dengan jumlah penduduk 100.000 sampai 500.000 jiwa dan Kota Besar
berpenduduk 500.000 sampai 1 juta jiwa11. Untuk itu dipilih secara purposive 3
kota, yakni: Karawang, Sukabumi dan Tasikmalaya, yang ketiganya termasuk 100
kabupaten/kota akselerasi program HIV/AIDS, dan menunjukkan jumlah kasus
AIDS yang kontras. Penetapan kota studi juga dikaitkan dengan konteks sosial
budaya, di mana wilayah utara J awa Barat dianggap lebih culturally loose
dibandingkan wilayah tengah dan selatan sekalipun sama-sama berbudaya Sunda.
Sukabumi termasuk wilayah tengah, khususnya Sukabumi Utara. Wilayah ini
merupakan wilayah antara dua kota besar yakni: J akarta dan Bandung. Sedangkan
Tasikmalaya mewakili wilayah selatan, yang relatif kental dengan nilai-nilai
religiusitas (ditandai dengan banyaknya pesantren) dan budaya Sunda yang halus.
Di masing-masing kota penentuan lokasi penelitian didasarkan atas beberapa
kriteria yaitu heterogenitas dari segi status sosial ekonomi, adanya penduduk asli
dan pendatang (dari etnis yang berlainan) serta berada di pusat kota. Berdasarkan
informasi dari mitra lokal, data statistik dan orientasi lapangan, maka ditentukanlah
satu kelurahan di setiap kota. Di Karawang, kelurahan Nagasari, kecamatan
Karawang Barat terpilih sebagai lokasi penelitian yang sebagian wilayahnya
merupakan pusat perekonomian dan dikelilingi oleh pemukiman penduduk yang
cukup padat. Setelah berdiskusi dengan pihak kelurahan setempat, secara purposif
dipilih wilayah Babakan Cianjur (BBC) yaitu RW 28 dan 29 sebagai ajang penelitian.
Kelurahan Kebonjati, kecamatan Cikole dipilih sebagai lokasi penelitian di kota
Sukabumi karena berada di pusat kota, terdapat pusat perekonomian, dan dihuni
oleh penduduk yang heterogen. Berdasarkan saran dari pihak kelurahan, maka
dipilihlah RW 01, 08 dan 07 sebagai sasaran penelitian. Di kota Tasikmalaya,
kelurahan Nagarawangi, kecamatan Cihideung dipilih sebagai lokasi penelitian
dengan dua RW terpilih yaitu RW 05 dan 06.
11Lihat Widiantono, D.J dan Soepriadi, I. Menakar Kinerja Kota-kota di Indonesia , Bulletin Penataan Ruang, edisi Januari-
Februari 2009 diakses dari http://bulletin.penataanruang.net/view/_printart.asp?idart=120pada tanggal 17 November 2009
http://bulletin.penataanruang.net/view/_printart.asp?idart=120http://bulletin.penataanruang.net/view/_printart.asp?idart=120 -
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
14/75
13
Proses Pengumpulan Data
Penelitian lapangan dilakukan selama 30 hari kerja. Pada bulan J uli-Agustus
2009 penelitian dilakukan di Karawang, sedangkan bulan September-Oktober 2009
penelitian serentak di Sukabumi dan Tasikmalaya. Pengumpulan data di Sukabumi
dan Tasikmalaya sempat terhenti 2 hari karena terjadinya gempa yang cukup besar
di wilayah tersebut. Peneliti menyewa kamar di lingkungan RW yang menjadi lokasi
penelitian di setiap kota dan tinggal selama sebulan. Dengan demikian peneliti dapat
melakukan pengamatan langsung dan menjalin komunikasi yang baik dengan
masyarakat sekitar, terutama dengan tokoh masyarakat dan kelompok perempuan
muda sebagai sasaran penelitian.
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah perempuan muda yang berusia
15 24 tahun, dengan memperhatikan latar belakang pendidikan, pekerjaan dan
status marital. Untuk survei, populasinya adalah perempuan usia 15-24 tahun, baik
belum menikah, menikah maupun janda; sekolah, lulus sekolah maupun putus
sekolah; bekerja dan tidak bekerja.
1) Sampel dan survei
Di tingkat RW, kerangka sampel dibuat berdasarkan KK yang ada di setiap
RT. Peneliti dan asisten peneliti mendatangi setiap ketua RT di RW terpilih untuk
mendapatkan kerangka sampel. Selanjutnya sampel ditarik secara stratifikasi non
proporsional berdasarkan status perkawinan, selanjutnya responden dipilih secara
acak sistematik untuk responden belum menikah dan sampling total untuk
responden menikah. Sampling total bagi perempuan yang menikah dilakukan karena
jumlahnya kurang dari 1/3 dari perempuan yang belum menikah di tiga wilayah
penelitian (lihat bab 2). J umlah sampel adalah 75 responden di setiap kota. Survei
merupakan langkah pertama pengumpulan data dalam penelitian ini.
Wawancara dengan kuesioner dilakukan oleh asisten peneliti dan
pewawancara di bawah supervisi peneliti. Pewawancara melakukan uji coba
wawancara terlebih dahulu sebelum turun ke lokasi penelitian untuk mewawancarai
responden. Dalam sehari, pewawancara dibatasi mewawancarai maksimal 5
responden. Kuesioner hasil wawancara kemudian diserahkan kepada peneliti untuk
diperiksa dan apabila ada kekurangan atau kesalahan maka pewawancara diminta
memperbaikinya. Setiap hari pewawancara, asisten peneliti dan peneliti bertemu
untuk mendiskusikan masalah-masalah yang ditemui di lapangan, misalnya
-
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
15/75
14
responden yang gagal ditemui, penolakan responden untuk wawancara,
ketidakjelasan jawaban dalam kuesioner dll.
2) Diskusi kelompok terarah (FGD)
Dua kelompok perempuan yaitu yang menikah/janda dan yang belum
menikah menjadi peserta FGD secara terpisah. Diskusi kelompok terarah dilakukan
terhadap kedua kelompok tersebut masing-masing dua kali. FGD pertama
memfokuskan pada persepsi tentang gender, relasi pertemanan dan relasi pacaran.
Sedangkan FGD yang kedua menyoroti pendapat peserta terhadap hak-hak seksual
perempuan. Peserta FGD diidentifikasi dari responden survei berdasarkan observasi
dari pewawancara. Beberapa sebelum FGD dilakukan, surat undangan disebarkan
kepada calon peserta FGD dan kemudian dikonfirmasi oleh asisten peneliti melalui
SMS atau telpon. FGD dilakukan di ruang kelas madrasah yang ada dalam
lingkungan RW setempat. Rata-rata peserta pada setiap FGD adalah 6-8 orang.
FGD juga dilakukan terhadap satu kelompok bapak (tokoh masyarakat) dan
kelompok ibu (PKK) untuk mendapatkan informasi umum tentang konteks
masyarakat setempat serta persepsi orangtua terhadap pergaulan sosial remaja dan
kaum muda.
3) Wawancara mendalam
Wawancara mendalam dilakukan terhadap pada 3 perempuan muda lajang, 3
perempuan muda menikah dan 3 perempuan janda. Namun realitas di lapangan
memperlihatkan bahwa cukup sulit mendapat informan perempuan muda yang
berstatus janda, sehingga hanya dapat dilakukan terhadap 1 atau 2 informan di
setiap lokasi penelitian. Informan untuk wawancara mendalam diupayakan
perempuan muda yang tidak masuk dalam sampel survei. Namun apabila ditemukan
kasus unik dari responden survei misalnya menikah usia dini atau pernah
mengalami kekerasan atau hamil sebelum menikah maka dipilih menjadi informan
penelitian.
Manajemen dan analisis data
1) Data kuantitatif
Kuesioner yang telah terisi secara benar selanjutnya diberikan kepada operator
data entry untuk diolah dengan SPSS versi 15.0. Sebelum data dimasukkan ke
komputer, semua kuesioner difotokopi demi keamanan penyimpanan data. Selesai
pemasukan data, kemudian dilakukan cleaning data berdasarkan tabel frekuensi dari
-
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
16/75
15
seluruh variabel. Selanjutnya data kuantitatif dianalisis secara univariat dan bivariat
terhadap sejumlah variabel sebagai pendukung analisis data kualitatif.
2) Data kualitatif
Seluruh rekaman wawancara mendalam dan FGD disimpan ke dalam komputer
dan dipisahkan berdasarkan lokasi penelitian. Transkripsi wawancara mendalam
dan FGD dilakukan secara verbatim meskipun terkadang terdapat kesulitan apabila
informan berbicara atau menggunakan bahasa Sunda di tengah wawancara atau
FGD. Kesulitan juga terjadi kalau suara informan terdistorsi oleh suara-suara lain
seperti suara kendaraan bermotor, suara anak menangis dll. Selanjutnya peneliti
membuat matriks untuk melakukan perbandingan antar kasus, khususnya antara
perempuan yang belum menikah dan yang menikah, berdasarkan sejumlah tema
tertentu yang muncul dari wawancara mendalam dan FGD. Analisis hasil wawancara
mendalam dan FGD juga didukung dengan catatan lapangan peneliti ketika
melakukan wawancara, termasuk di dalamnya observasi peneliti terhadap proses
wawancara.
Dalam rangka verifikasi data, hasil sementara penelitian ini telah
dipresentasikan di hadapan sejumlah instansi terkait di wilayah penelitian.
Tujuannya adalah mendapatkan masukan terhadap hasil penelitian agar dapat
memperkaya penulisan laporan akhir dan rekomendasi. Di tiga kota tersebut
beberapa instansi yang hadir adalah KPAD, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan
Nasional, Dinas Sosial, Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB, Bidang Kesra
Pemerintah Daerah, pihak kelurahan setempat, dan LSM yang bergerak dalam
HIV/AIDS dan isu perempuan.
Etika Penelitian
Dalam konteks masyarakat Indonesia pada umumnya, isu hak seksual masih
merupakan hal yang tabu dan sensitif, bahkan dikonotasikan sebagai gagasan yang
radikal. Ini merupakan tantangan baik secara substansial maupun metodologis. Oleh
sebab itu, pendekatan ke komunitas lebih mengusung isu kesehatan masyarakat,
khususnya menyangkut kesehatan reproduksi remaja perempuan. Kemasan ini
lebih mudah diterima dan lebih mudah mendapatkan ijin penelitian. Berkenaan
dengan kesensitifan topik penelitian, maka adanya informed consent dari sumber
data menjadi prioritas.
-
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
17/75
16
BAB 2
AJANG PENELITIAN:KOTA KARAWANG, KOTA SUKABUMI DAN KOTA TASIKMALAYA
2.1. Karakterist ik sosial budaya
Secara umum, masyarakat J awa Barat dapat digolongkan ke dalam 3
kelompok yang berbeda yaitu masyarakat Banten di bagian barat, masyarakat
Priangan yang hidup di dataran tinggi bagian selatan dan masyarakat pesisir di
bagian pantai utara atau Pantura (J ones 2001:69-70). Secara budaya mereka
adalah orang Sunda yang memiliki keragaman religiusitas, bahasa, seni, dan juga
karakter atau watak. Masyarakat Priangan (Tasikmalaya, Garut, Bandung)merupakan pendukung kebudayaan Sunda yang dianggap halus, misalnya dari
segi bahasa dan kesenian tradisional dengan warna Islam yang kental serta
cenderung hirarkis dan ortodoks. Pada masa kolonial Belanda daerah Priangan
menjadi tempat pelaksanaan Preangerstelsel yaitu perkebunan kopi yang dimulai
tahun 1677. Itulah masa dimulainya integrasi sosial budaya masyarakat Priangan ke
dalam ekonomi dan sistem nasional. Sukabumi yang sebenarnya berada cukup jauh
dari jantung Priangan, juga terpengaruh oleh perkembangan sistem perkebunan ini.
Sementara wilayah Banten (Serang, Cilegon, Pandeglang, Lebak) lebih didominasi
oleh budaya Sunda yang lebih kasar dengan wajah Islam yang konservatif. Lain
lagi masyarakat pesisir Pantura (Karawang, Subang, Indramayu) menampilkan
kultur Sunda yang telah bercampur dengan unsur budaya J awa pesisir seperti
Indramayu dan Cirebon. Masyarakat pesisir pun lebih bersikap egaliter dan terbuka
serta tidak benar-benar Islam apabila dibandingkan dengan Sunda Priangan dan
Banten.
Apabila mencermati pranata perkawinan, J ones (2001) menyatakan bahwa
pada awal abad 20 usia saat menikah di kalangan gadis pedesaan di J awa Barat
adalah antara 15 dan 18 tahun. Pola ini cukup stabil dan hanya meningkat sedikit
pada awal 1970-an. Perkawinan usia dini, perkawinan yang dijodohkan dan struktur
keluarga menyumbang terjadinya perceraian yang cukup tinggi di J awa Barat. Studi
oleh J ones (1997) memperlihatkan bahwa pada pertengahan tahun 1960-an terjadi
59 perceraian untuk setiap 100 perkawinan yang menempatkan J awa Barat sebagai
-
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
18/75
17
salah satu daerah dengan angka perceraian tertinggi di dunia bersama Kelantan
(Malaysia). Survei Fertilitas Indonesia tahun 1976 mengungkapkan seperempat dari
seluruh perkawinan di J awa Barat berakhir dengan perceraian dalam waktu 26 bulan
(J ones, Asari and Djuartika 1994: 395-396). Laju perceraian kemudian menurun
pada tahun 1970-an dan J ones (1997) berpendapat bahwa ini terjadi karena
meningkatnya usia nikah perempuan, meluasnya pendidikan dan meningkatnya
kebebasan memilih pasangan sendiri.
Perkembangan wilayah perkotaan yang pesat dalam dua dasawarsa terakhir
di J awa Barat tentu membawa banyak perubahan sosial budaya pada masyarakat
Sunda. Dari segi pertumbuhan penduduk, Tasikmalaya, Sukabumi dan Karawang
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tasikmalaya sudah dapatdikategorikan sebagai kota besar, sementara Sukabumi dan Karawang tergolong
kota menengah. Transformasi dari masyarakat agraris ke masyarakat perkotaan
dapat terlihat dari jenis mata pencaharian penduduknya yang semakin beragam,
tingkat pendidikan yang meningkat, heterogenitas penduduk dari segi etnis dan
mobilitas penduduk yang tinggi karena sarana transportasi yang memadai.
Sebagai kota yang berkembang dari wilayah agraris, maka masih ada wilayah
kota yang berupa sawah atau kebun yang secara perlahan-lahan beralih fungsi
menjadi pemukiman atau tempat usaha (ruko, restoran dll). Lokasi penelitian secara
purposif memang memilih wilayah yang paling berciri perkotaan sebagaimana
diuraikan dalam bab 1. Kelurahan Nagasari (Karawang), kelurahan Kebonjati
(Sukabumi) dan kelurahan Nagarawangi (Tasikmalaya) berada di pusat kota yang
cukup ramai karena dekat dengan pasar dan pertokoan. Pemukiman penduduk di
tiga kelurahan ini sebagian berada di antara gang-gang yang hanya dapat dilalui
oleh sepeda motor. Sekalipun demikian, masih terdapat rumah-rumah yang memiliki
halaman cukup lebar. Sebagian pemukiman lagi berada di tepi jalan yang dapat
dilalui kendaraan roda empat. Karena berada di pusat kota, maka lokasi penelitian
merupakan wilayah kota tua yang dihuni oleh penduduk asli dan sebagian
pendatang yang sudah puluhan tahun menetap. Memang semakin banyak
pendatang di wilayah ini terutama karena alasan pekerjaan. Karawang yang
dikembangkan sebagai kawasan industri mendorong meningkatnya pendatang dari
wilayah lain di J awa Barat maupun propinsi lainnya.
-
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
19/75
18
.
2.2. Respon terhadap masalah kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS
Ketiga kota tersebut termasuk dalam program akselerasi penanggulangan
HIV/AIDS di 100 kabupaten/kota yang dicanangkan oleh Departemen Kesehatan RI
pada tahun 2005. Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) di tiga wilayah ini
juga telah terbentuk, meskipun terdapat perbedaan dalam intensitas pelaksanaan
tupoksinya. Secara nasional, propinsi J awa Barat berada pada peringkat teratas
dalam hal jumlah kumulatif kasus AIDS yang dilaporkan hingga Desember 200812,
diikuti oleh DKI J akarta dan J awa Timur. Untuk jumlah kasus HIV/AIDS yang
dilaporkan di tiga kota penelitian adalah sebagai berikut: Kota Tasikmalaya
sebanyak 213 kasus13, Kota Sukabumi sebesar 234 kasus14 (s/d Oktober 2009),
dan Kabupaten Karawang sebanyak 171 kasus (s/d Desember 2008)15. Dalam
kaitannya dengan program PMTCT sebanyak 23 bayi lahir dari ibu yang HIV positif
di Sukabumi, dan ada belasan bayi di Karawang
Dari ketiga kota tersebut, baru kota Tasikmalaya yang telah mengeluarkan
Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS no.2/
2008. Penanggulangan epidemi HIV/AIDS memang tidak pernah terlepas dari
sejumlah isu yang seringkali kontroversial seperti pelacuran, kecanduan narkoba,
perilaku seksual yang permisif, orientasi seksual dll. Selain itu KPAD memiliki peran
koordinasi yang tidak mudah karena harus berhubungan dengan sejumlah instansi
pemerintah dan non-pemerintah untuk secara sinergis menanggulangi epidemi yang
lebih luas.
Peranan LSM atau ornop menjadi penting dalam upaya penanggulangan
HIV/AIDS. Di tiga kota ini, sejumlah LSM telah berkecimpung dalam berbagai isu
penanggulangan HIV/AIDS terutama menjangkau kelompok-kelompok yang
dianggap beresiko tinggi dalam penularan PMS dan HIV/AIDS. Di Karawang
misalnya Yayasan Pelita Ilmu telah hadir sejak tahun 1996 ketika ada bayi yang
12StatistikKasusHIV/AIDSIndonesias/dDesember2008diaksesdariwww.aidsina.orgtanggal22November
2009
13PikiranRakyat,22Mei2009
13InformasidariSekretarisKPAKotaSukabumi,9November2009
14
Republika
Newsroom,
26
Februari
2009
http://www.aids-ina.org/http://www.aids-ina.org/http://www.aids-ina.org/http://www.aids-ina.org/ -
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
20/75
19
dilahirkan oleh perempuan yang HIV positif, Yayasan Kita-kita yang mendampingi
perempuan pekerja seks, Pantura Plus yang melakukan program harm reduction
bagi penasun atau pun Himpunan Abiasa untuk kelompok gay dan LSL. Di
Sukabumi dan Tasikmalaya ada Rumah Cemara yang mendampingi penasun, atau
Srikandi Pasundan yang menjangkau kelompok waria. Ada pula yang bergerak
dalam pendampingan perempuan pekerja seks. Di Sukabumi ada Merkurius
Foundation yang melakukan pencegahan HIV/AIDS pada masyarakat umum. LSM-
LSM ini tidak hanya menjangkau kelompok resiko tinggi dan masyarakat luas tetapi
juga melakukan advokasi kepada pemerintah daerah untuk mendorong kebijakan-
kebijakan dalam bidang HIV/AIDS misalnya ketersediaan ARV di rumah sakit,
layanan metadhone di puskesmas, layanan PMTCT, layanan VCT gratis dll.
Masalah HIV/AIDS tidak dapat dilepaskan dari masalah kesehatan reproduksi
perempuan. PMS dan HIV/AIDS merupakan salah satu elemen dalam program
kesehatan reproduksi yang perlu mendapatkan perhatian serius karena selama ini
penanggulangan HIV/AIDS cenderung berjalan terpisah dari penanganan masalah
kesehatan reproduksi dan juga sebaliknya. Program kesehatan reproduksi lebih
menekankan kepada persoalan sekitar KIA dan KB dan kurang mengintegrasikan
HIV/AIDS ke dalamnya. Sebagai contoh, dalam sebuah pertemuan dengan bidan-
bidan desa di Karawang nyata sekali pengetahuan dan pemahaman para bidan
tentang PMS dan HIV/AIDS masih terbatas. Dalam kegiatan validasi hasil sementara
penelitian di Sukabumi awal November 2009, seorang dokter puskesmas
memberikan contoh ada seorang bidan di Cianjur yang terinfeksi HIV setelah ia
menolong persalinan seorang ibu hamil yang HIV positif. Ini menunjukkan bahwa di
kalangan tenaga kesehatan pun masih ada keterbatasan pemahaman tentang
HIV/AIDS yang berimplikasi resiko penularan kepada tenaga kesehatan. Dalam
konteks kebijakan di tingkat lokal, pemerintah daerah Kabupaten Tasikmalaya pada
bulan Agustus 2009 menelurkan Perda Kesehatan Reproduksi yang bertujuan untuk
pemberdayaan perempuan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.16
2.3. Karakterist ik responden
16
http://www.kabarindonesia.com/berita.php
,
7
Agustus
2009,
diakses
pada
tanggal
18
November
2009
http://www.kabarindonesia.com/berita.phphttp://www.kabarindonesia.com/berita.php -
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
21/75
Kajian di 3 (tiga) kota, berkenaan dengan latar belakang daerah asal (tempat
lahir) menunjukkan bahwa kota Tasikmalaya merupakan wilayah yang cenderung
homogen, mengingat sebagian besar responden (97,3%) mengaku dari
Tasilkmalaya. Sementara di kota Karawang maupun Sukabumi, proporsi pendatang
lebih besar karena yang mengaku dari kota tersebut 89,3%. Berdasarkan usia,
kategori responden yang masih tergolong anak-anak (kurang dari 18 tahun) lebih
menonjol di Sukabumi (56%) dibanding Karawang (42,7%) dan Tasikmalaya (33%).
Meski demikian, di ketiga kota komposisi penduduk dengan usia muda (< 18 tahun)
lebih menonjol.
20
ri pendidikan
menen
Ciri masyarakat kota adalah
meningkatnya aspirasi pendidikan.
Temuan lapangan pada dasarnya
belum dapat menunjukkan kondisi
sebenarnya menyangkut aspirasi
pendidikan masyarakat di ketiga kota,
mengingat rentang usia responden antara
15 hingga 24 tahun, sehingga sebagian
responden ketika penelitian dilakukan
sedang/ masih duduk di bangsu
sekolah/kuliah. Meski demikian, pola di
ketiga kota relatif mencerminkan kondisi
masyarakat Indonesia pada umumnya, yakni
yang berpendidikan rendah (tidak
tamat/tamat SD dan sederajat) masih relatif
besar, sekitar 10%, sedangkan yang berpendidikan tinggi (akademi/PT/Universitas)
masih kecil (kurang dari 10%), dan sebagian besar masuk katego
0
20
40
60
20 th
usia responden
K ar aw an g Su kab umi Tas ik mal aya
0
10
20
30
40
50
SD/Sdrjt SLTA/Sdrjt
Pendidikan
Karawang Sukabumi Tasikmalaya
gah (SLTP/SLTA).
Di kalangan responden yang sudah bekerja (Karawang 37,3%; Sukabumi
20%; dan Tasikmalaya 34,7%), ada temuan menarik menyangkut besaran
pendapatan per bulan, jika diperbandingkan data antar kota. Sebagian besar
-
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
22/75
21
dengan modal manusia
un beralasan membantu ibu
di rumah. Ini menjadi fenomena umum di ketiga kota.
responden di Karawang (63%) mengaku berpendapatan diatas Rp. 1.000.000,-.
Sedangkan di Sukabumi justru lebih banyak (60%) berpendapatan kurang dari
Rp.500.000,-. Untuk Tasikmalaya, relatif berimbang antara yang berpendapatan
kurang dari 500 ribu rupiah (50%) dengan mereka yang per bulannya kisaran
pendapatannya 500 ribu hingga 1 juta rupiah (46,2%). Temuan ini tentunya tidak
bisa dilepaskan dari karakteristik pekerjaan yang digeluti. Untuk Karawang sebagian
besar (57,1%) bekerja sebagai pegawai swasta, ada 3,6% PNS (Pegawai Negeri
Sipil), dan 7,1 % sebagai guru. Selebihnya ada 10,7% sebagai buruh, dan 21,4%
sebagai karyawan/pekerja toko. Kecenderungan ini berbeda dengan kota
Sukabumi, yang mana justru sebagian besar 46,7% bekerja sebagai penjaga toko.
Pekerjaan lain yang menonjol adalah guru (26,7%). Di Tasikmalaya mirip dengan
Sukabumi di mana 33,3% bekerja sebagai penjaga toko, sedangkan yang menyebut
dirinya sebagai karyawan/pekerja swasta mencapai 29,6%, dan PNS 7,4%. Dari
karakteristik pekerjaan yang digeluti responden, setidaknya menunjukkan sebagian
besar terserap di sektor pekerjaan yang cenderung informal dan ini tidak terlepas
(human capital)nya, khususnya tingkat pendidikan.
Kecenderungan masih terbatasnya modalitas manusia juga tercermin dari
aktivitas responden yang berstatus tidak bekerja, dan sudah tidak lagisekolah/kuliah. Sebagian di antara mereka berstatus ibu rumahtangga,
pengangguran, dan atau sedang mencari kerja, kalaup
-
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
23/75
22
BAB 3
GENDER DAN MEMBANGUN RELASI DALAM PERGAULAN
Salah satu ciri urbanized society ditandai rasionalitas warga kotanya dalam
cara pandang, sikap dan perilaku. Ciri lainnya adalah dari karakteristik demografis,
termasuk usia menikah yang cenderung semakin meningkat, bahkan persentase
warga kota yang melajang menunjukkan peningkatan. Bab ini menyajikan dan
mendiskusikan pandangan perempuan muda tentang gender dan bagaimana
mereka membangun relasi gender melalui pertemanan, pacaran, dan pernikahan.
Mencermati konteks sosial dari relasi gender ini penting agar kita lebih memahami
cara pandang dan perilaku perempuan muda terkait dengan hak seksual dan resiko
seksual yang akan dibahas pada bab-bab berikutnya.
3.1. Remaja dan Pubersitas
Hal ini juga tercermin di ketiga kota penelitian, yang mana temuan
menunjukkan bahwa persentase yang menikah di bawah usia 25 tahun relatif kecil,
yakni Karawang 25,3%, Sukabumi 22,7%, dan Tasikmalaya 26,7%. Pengamatan
lapangan juga memperkuat indikasi sedikitnya jumlah perempuan yang tercatatsudah menikah pada rentang usia 15-24 tahun. Meski ada beberapa pihak yang
menginformasikan adanya remaja perempuan yang sudah menikah, namun
sebagian besar sumber cenderung membatasi informasi tentang realitas tersebut. Di
sisi lain, remaja perempuan yang sudah menikahpun lebih bersikap menutup diri.
Kondisi ini setidaknya menunjukkan adanya kontrol sosial atas usia menikah,
khususnya pada kelompok perempuan. Yakni, adanya stigma pada perempuan yang
menikah pada usia remaja (di bawah 20 tahun), utamanya menyangkut pendorongatau alasan menikah. Seorang ketua RW di Karawang memaparkan bahwa
sebetulnya ada warganya (perempuan) yang nikah di bawah usia 20 tahun, namun
mereka cenderung enggan membuka diri pada orang yang tak dikenal karena
umumnya nikah di bawah tangan (nikah secara agama). Sepengetahuan ketua RW,
hal ini disebabkan ada petugas KUA (modin) yang hanya mau menikahkan jika
calon mempelai perempuan berusia setidaknya 20 tahun, sesuai dengan aturan
-
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
24/75
yang ada.17 Kalaupun tidak, yang dilakukan sebagian warganya adalah
memanipulasi usia calon mempelai. Praktek nikah di usia muda juga bisa ditemui di
wilayah lainnya, misalnya di Sukabumi, berdasarkan keterangan Pak Yayan, suami
informan Anik, di lingkungan RW-nya banyak anak muda yang menikah karena si
perempuan terlanjur hamil saat pacaran. Menurut Anik, warga pun sudah tidak
terlalu kaget dengan adanya perempuan remaja yang hamil di luar nikah, dan juga
tidak menganggapnya sebagai satu penyimpangan. Meski diakui, justru ada
kecenderungan si remaja dan keluarganyalah yang terkadang merasa malu dan
menutup diri, apalagi jika kehamilan tersebut dialami saat usia sekolah (SLTP
ataupun SLTA).
Terlepas masih adanya perkawinan usia muda bahkan dini, realitas sosial diketiga kota menunjukkan bahwa kecenderungan nikah di usia muda relatif
memudar, bahkan cenderung meruntuhkan anggapan tentang wilayah J awa Barat
yang dikenal dengan tradisi kawin dininya (lihat bab 2). Kecenderungan ini diperkuat
dengan data usia responden (kelompok yang sudah menikah) dengan lama
pernikahannya.
Diagram 3.1. Data lama menikah responden di tiga kota penelitian
33,3
33,3
LamaNikahdiSukabumi
Sebagian besar responden menikah berusia di atas 21 tahun, sementara berdasar
usia/lama perkawinannya belum mencapai 2 (dua) tahun, kecuali di Tasikmalaya.
17 Ketika akan dikonfirmasi pada Pak Modin/Petugas KUA, beliau tidak bersedia di
wawancara atau memberikan data.
23
-
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
25/75
24
Data di Tasikmalaya menunjukkan bahwa responden yang usia perkawinannya
sudah lebih dari 2 tahun mencapai 49%, sementara di Karawang hanya 26,3% dan
Sukabumi 33,3%. Ini mengindikasikan bahwa di Tasikmalaya, usia nikah di
Tasikmalaya lebih rendah/muda dibanding dua kota lainnya. Penelitian mutakhir dari
J ones dan Gubhaju (2008) memperlihatkan bahwa meningkatnya usia kawin
perempuan di J awa Barat cukup signifikan dalam satu dasawarsa terakhir. Kedua
peneliti tersebut menduga perubahan ini disebabkan oleh kuatnya pengaruh
kosmopolitanisasi pada populasi di sekitar Bandung dan J akarta, serta efek dari
migrasi di dalam provinsi J awa Barat sendiri. Berkenaan dengan meningkatnya usia
nikah di kalangan perempuan, untuk kasus Karawang ditengarai juga terkait dengan
tradisi patrilokal, yakni setelah menikah status istri ikut di mana suami berdomisili.
Meningkatnya usia nikah, khususnya di kalangan perempuan, tentu
berimplikasi pada lebih panjangnya masa remaja, termasuk masa pergaulan muda
mudi. Karenanya studi ini juga mencari tahu bagaimana pergaulan mereka di saat
remaja atau pra nikah (premarital relations). Pertanyaan ini terlontar mengingat
salah satu indikator pubertas adalah berkembangnya ketertarikan secara seksual,
termasuk juga dorongan/hasrat seksual. Data kualitatif, baik wawancara mendalam
maupun FGD, menunjukkan bahwa perempuan remaja umumnya mulai tertarik pada
lawan jenis saat usia 12-13 tahun, atau saat duduk di Sekolah Dasar (kelas 6)
maupun Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (kelas 1). Seperti yang pengalaman
sejumlah informan berikut ini:
Sinah mengaku mulai menyukai lawan jenis justru saat duduk di bangkusekolah dasar, dan bukan saat ia sudah puber atau haid. Biasanya Sinahmulai suka jika si anak laki-laki menyukainya lebih dulu, jadi ikut terbawa,begitu kata Sinah sambil mengenang masa kecilnya. Apalagi kalau adateman yang mencomblangin atau menjodohkan dirinya dengan anak laki-laki
yang kebetulan ia suka, maka perasaannya akan ikut melambung karenasenang dan deg-degan (22 tahun, Lajang, Tasikmalaya)
Umur eee...kelas 2-an deh, 2 SMP... Iya, udah mulai ada rasa gitu, kaloketemu orangnya suka salting gitu. temen SMP, sekelas (Gina, 16 tahun,lajang, Sukabumi)
Naksir kakak kelas waktu kelas 1 SMP. Awalnya ikut-ikutan teman bilamelihat laki-laki itu senang, seperti fans bertemu idola, deg-degan, berharapdia kenal sama kita. Pura-pura duduk di sebelahnya, trus lama-lama jadikenal dan jadi teman. Pura-pura tanya tentang upacara (Nisa, 18 tahun,lajang, Karawang)
-
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
26/75
25
Dari pengalaman sejumlah informan, rasa tertarik pada lawan jenis
merupakan tolak ukur peralihan masa anak ke masa remaja, atau pubersitas.
Perkembangan secara psiko-sosial ini biasanya terjadi bersamaan atau seiring
dengan perubahan secara fisik. Berdasar hasil survey ciri pubersitas secara fisik
adalah: payudara membesar, tumbuh rambut di ketiak dan kelamin, menstruasi, dll.
Berkenaan dengan reaksi responden atas pubertas fisik, sebagian responden
menyikapi dengan rasa biasa saja, misalnya seperti yang dipaparkan Endah (17
tahun, belum menikah)di Karawang.
Endah mulai menstruasi pada kelas 6 SD, saat itu teman-teman Endah sudahada yang mengalami menstruasi lebih dulu, sehingga Endah tidak kaget lagi.
Namun Endah merasa sangat canggung dengan kondisinya saat itu. Endah,yang saat itu masih tomboy sering kali diejek temannya karena jalannya yangmengangkang.
Pengalaman yang sama juga dialami oleh Gina (16 tahun) di Tasikmalaya. .
Gina pertama kali mendapat haid di usia 12 tahun, yakni kelas 6 SD.Perasaannya pada waktu itu biasa saja, tidak merasa kaget karena sedariawal dia telah diberi pengertian oleh ibunya bahwa sebagai seorangperempuan, kelak dia akan mendapatkan haid,
Berbeda dengan Endah, ada juga remaja perempuan yang cemas bahkan takut
dengan perubahan fisik yang terjadi pada dirinya, diantaranya remaja lajang baik
Nisa di Karawang (18 tahun), maupun Cinta di Tasikmalaya, usia 19 tahun.
Nisa dapet menstruasi di kelas 2 SMP, 12 tahun. Kaget, nanya sama mamadan mama jelaskan kalo cewe pasti menstruasi, mama ajarkan pakainya.Meskipun sebelumnya di sekolah-sekolah ada promosi pembalut dandiajarkan cara pakainya. Tapi tetap aja kaget meski teman juga udah padadapet. Teman-teman usia 9/10 tahun sudah pada mens
Cinta mendapat haid pertama kali saat kelas 2 SMP, kira-kira berusia 14tahun kala itu. Perasaan Citra campur aduk antara takut dan bingung atasapa yang terjadi pada tubuhnya.
Sementara Asih di Tasikmalaya cenderung tertutup, bahkan tidak memberikan
informasi tentang awalnya menstruasinya pada ibunya arau keluarga terdekatnya.
Wah takut teh. Nah pas itu kan mau sholat Dzuhur, terus ke toilet, Lho kok
kayak gini? Apa ini?, oh ternyata ini yang namanya haid, ini yang namanya
-
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
27/75
26
menstruasi gitukan. Nah waktu itu gak bilang-bilang, karena takut dibilangapa-apa, padahal gak apa-apa kan sebenarnya, hehe. Nah pas waktu itu tapisaya diem aja, tapi pas waktu sholat ditanya sama mama, udah shalatbelum? Karena waktu itu masih dikontrol shalatnya sama mama. Ahg..itudiem aja, kan kalau bilang udah nah kan belum soalnya lagi haid. Tapi kalau
bilang belum ntar ditanya lagi kenapa, jadi ya udah diem aja (Asih, 22 tahun,menikah, Tasikmalaya)
Keberagaman reaksi atas perubahan fisik ini, pada dasarnya ditentukan oleh
kesiapan remaja secara mental. Sejumlah informan yang mengaku tidak kaget atau
biasa saja (misalnya Endah dan Gina), lebih dikarenakan sebelumnya sudah
mempunyai pengetahuan/pemahaman tentang akan datangnya pubersitas fisik ini,
khususnya menstruasi dan membesarnya payudara. Sumber informasi adalah ibu,
juga saudara perempuan, dan teman. Sementara perempuan remaja seperti Ginamaupun Nisa bereaksi cemas dan takut karena minim pengetahuan. Karenanya
perubahan fisik yang dialaminya disampaikan kepada ibunya dan atau kakak
perempuannya, ataupun orang yang dianggap dekat dan nyaman untuk berbagi.
Bahkan ada remaja yang seperti Asih di Tasikmalaya, yang cenderung menutup diri,
kalaupun pada akhirnya menginformasikan pada orang terdekat, lebih karena
ketakutan bahkan ketahuan.
Endah mengaku Ibunya telah memberitahukan padanya bahwa kelak setiapperempuan akan mengalami menstruasi. Ketika payudara Endah membesarEndah pun tidak sungkan untuk menanyakan kepada Ibunya mengenaikondisi payudaranya yang besar sebelah. Sekalipun demikian, sesungguhnyaEndah tidak merasa dekat dengan Ibunya. Ia merasa hingga kini lebih dekatdengan bibinya, Ia lebih nyaman bercerita mengenai menstruasinya kepadabibinya bahkan Endah diajarkan bagaimana menggunakan pembalut olehbibinya. (Endah, 17 tahun, lajang, Karawang)
Dalam kebingungannya, ia menceritakan hal tersebut pada sang bunda.
Akhirnya Cinta merasa lega setelah sang bunda menjelaskan bahwa darah ituadalah darah haid dan ia akan mendapatkannya setiap bulan. (Cinta, 19tahun, Tasikmalaya)
Sementara berkenaan dengan pubersitas secara emosional/psiko-sosial, yang
utama adalah mulai tumbuhnya ketertarikan pada orang lain/lawan jenis, lebih
banyak responden menyampaikan atau berbagi pengalaman pada teman, sedang
sebagian responden pada kakaknya. Ada juga yang mencurahkan perasaan dan
pengalamannya menyangkut pacar dengan ibunya. Namun umumnya remaja
perempuan lebih nyaman bercerita pada teman perempuan yang dianggap sebagai
-
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
28/75
27
sahabat dan teman curhat (curahan hati) mereka. Adapun topik yang dicurhatkan
seputar masalah pacar, dan keluarga, juga sekolah/studi. Menyangkut curhat, laki-
laki punya kecenderungan yang berbeda menurut Lis, informan FGD di Sukabumi,
..kalau laki-laki cenderung tidak suka curhat dan lebih cuek. Ditambahkan oleh Rita
bahwa laki lebih cuek dan tertutup.
3.2. Remaja dan bebogohan (pacaran)
Berkenaan dengan pengalaman pacaran, pengakuan responden di Karawang
menyangkut usia pertama pacaran menunjukkan bahwa sebagian besar (81,2%)
mulai berpacaran pada usia kurang dari 17 tahun. Sedangkan yang mengaku
pacaran ketika berusia 1719 tahun hanya 13%, apalagi di atas usia 19 tahun,
5,8%. Kecenderungan pacaran di usia yang masih terkategori remaja juga terjadi di
Sukabumi, bahkan lebih menonjol (94%). Sedangkan di Tasikmalaya,
persentasenya lebih rendah bahkan dibanding Karawang, yakni hanya 75,8%, meski
yang mengaku pacaran pertama kali pada usia lewat 19 tahun juga sedikit (3%).
Desi pertama kali berpacaran pada usia 18 tahun, ketika dia bekerja di mall.Namun, pacarnya tersebut bukanlah temannya sesama pekerja di mall,melainkan dia berkenalan saat sedang main ke mall. Laki-laki tersebut
berusia 24 tahun, tinggal di Bhayangkara, dan bekerja sebagai buruh dipabrik sepatu. Mereka saling berkenalan setelah beberapa kali bertemu dimall. Mereka awalnya berkenalan dan mengobrol saja layaknya teman,namun karena setiap hari laki-laki tersebut mengunjungi mall untuk PDKTdengan Desi, maka mereka pun akhirnya berpacaran. Desi menilaikepribadian laki-laki ini baik sehingga dia mau berpacaran dengannyawalaupun baru beberapa minggu dikenalnya. Hubungan berpacaran merekatidaklah lama, yakni hanya enam bulan saja karena Desi mengaku tidakmempunyai waktu untuk pacarnya itu karena setiap hari harus masuk kerjasehingga sang pacar pun akhirnya meninggalkannya (Desi, 20 tahun, lajang,Sukabumi)
Anik mulai berpacaran pada saat usia 16 tahun, yakni kelas 1 SMU. Padasaat itu Anik berpacaran dengan teman sekelasnya. Selama berpacarandengan teman sekelasnya itu, menurut Anik perasaannya sering malu karenapada waktu itu sering diejek atau dijahili dengan teman-teman lainnya dikelas. Namun, kelebihannya mempunyai pacar yang sekelas dengan dirinyaadalah sering bertemu, bisa lebih sering mengobrol, curhat, membicarakanmasalah pribadi, keluarga, dan juga pelajaran sekolah. Selain itu, dia jugasenang karena setiap pulang ke sekolah selalu bersama dengan pacarnyatersebut. (Anik, 23 tahun, menikah, Sukabumi)
-
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
29/75
28
Sementara pengalaman Endah di Karawang justru mulai berpacaran di usia relatif
belia.
Pertama kali Endah berpacaran pada saat kelas 1 SMP. Didukung oleh
teman-temannya, Endah pun menyatakan perasaannya (nembak) kepadaEka, anak laki-laki yang disukainya, di depan kelas. Ia mengaku saat itu salahtingkah sehingga saat teman-temannya mendorong Endah untuk mencium,Endah pun melakukannya, namun setelah itu Endah merasa sangat malusehingga Endah langsung lari ke kelasnya. Pengalaman berpacaran pertamainilah yang pada akhirnya membuat Endah menjadi lebih feminin setelah Ekamemutuskan Endah karena tidak menyukai sikap Endah yang terlalu tomboy.(Endah, 17 tahun, lajang, Karawang)
Temuan ini menegaskan bahwa bebogohan di saat usia remaja muda,
belasan tahun, merupakan fenomena yang melekat pada kehidupan remaja. Bahkan
jika ditanyakan aspirasi mereka tentang usia yang pantas bagi perempuan untuk
mulai berpacaran, menunjukkan kesesuaian dengan pengalaman pribadi sebagian
besar responden. Responden di Karawang (56%) berpendapat bahwa usia yang
dianggap pantas bagi perempuan untuk berpacaran adalah sekitar 15-17 tahun.
Hanya 18,7% yang berpendapat berusia kurang dari 15 tahun. Dari pengalaman
responden di Karawang 81,7% mengaku berpacaran sebelum usia 17 tahun.
Temuan di Karawang ini berkecenderungan sama dengan 2 (dua) kota lainnya,
Sukabumi dan Tasikmalaya, yakni rata-rata usia pertama kali berpacaran adalah 15-
16 tahun. Hanya sebagian kecil yang berpacaran di bawah usia 15 tahun, karena
memaknai atau menganggap masih anak-anak. Berikut data yang mencoba melihat
pendapat tentang usia pantas berpacaran untuk perempuan dikaitkan dengan usia
responden berpacaran untuk pertama kali.
Tabel 3.2. Pendapat Responden tentang Usia Pantas Berpacaranberdasarkan usia responden saat pertama kali berpacaran
Usia Saat Berpacaran Pertama kali (%)Usia perempuan
yang pantasuntuk berpacaran
Tasikmalaya Karawang Sukabumi
< 17tahun
17-19tahun
> 19tahun
< 17tahun
17-19tahun
> 19tahun
< 17tahun
17-19tahun
> 19tahun
< 15 tahun 18 - - 23,2 - - 28,6 - -
15 17 tahun 62 57,1 - 62,5 33,3 50 52,4 50 -
> 17 tahun 20 42,9 100 14,3 66,7 50 19,0 50 100
-
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
30/75
29
Tabel 3.2. setidaknya mengindikasikan bahwa ada konsistensi antara pendapat
responden tentang usia pantas berpacaran bagi perempuan dengan pengalaman
mereka sendiri. Berkenaan dengan kepantasan secara sosial perempuan
berpacaran ini, data kualitatif memperkuat temuan survey, yang mana bagi remaja
perempuan usia 15 tahun keatas, akan cenderung malu jika belum punya pacar.
Rasa malu ini sudah mulai berkembang saat duduk di bangku SLTP, bahkan
semakin menguat ketika di SLTA. Ini menjadi fenomena khas di ketiga kota. Salah
satu informan FGD di Sukabumi, Dwi, siswi kelas 3 Sekolah Kejuruan menyatakan
bahwa ketika duduk di bangku SD ia hanya sebatas naksir atau tertarik saja. Tapi
ketika SLTP kelas 2, informan mengaku mulai berpacaran dengan kakak kelasnya,
bahkan kemudian pernah dekat dengan siswa SLTA. Istilah pacaran di Sukabumi,
sepengetahuan Anik (23 th, menikah) dikenal dengan bebogohan, namun di antara
teman-temannya lebih menggunakan istilah bahasa Inggris, khususnya untuk
panggilan pacar (baik laki-laki dan perempuan) yakni someone special, my girl
friend, atau my boyfriend.
Berdasar pengalaman informan, berpacaran dimulai setidaknya sejak ada
ketertarikan seksual, umumnya terjadi di jenjang SLTP, khususnya saat duduk di
kelas 2 (atau kini kelas 8). Kecenderungan ini seolah menjadi pola umum di
Sukabumi, juga di Karawang. Sementara di Tasikmalaya, sedikit lebih lambat,
namun tidak bisa dikategorikan berpola berbeda. Konsepsi pacaran menurut Indah,
salah seorang informan di Sukabumi yang belum nikah adalah:
....pacaran itu lebih ke sikap, tingkah laku, kegemarannya dia, jadi pacaranhanya untuk mengenal lebih dekat
Ya hanya untuk senang-senang aja, karena kan masih SMA ya. Jadikayaknya belum dari hati banget. Ya hanya merasa nyaman aja. Banyakkecocokan, tapi gak pengen terlalu jauhlah (Anik, 23 tahun, nikah, Sukabumi)
Kalo monyet-monyetan biasa aja yang penting jalan, terus gampangmisalkan ada yang naksir terus terima aja. Kalo sudah terus biasa aja gitu.Kalo sekarang serius itu lebih penting, setia gitu (Ratih, 21 tahun, lajang,Karawang)
J ika dibandingkan pola pacaran pada perempuan, cenderung berbeda
dengan laki-laki. Bagi sebagian informan, laki-laki berpacaran pertama kali pada
-
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
31/75
30
saat usia relatif lebih dewasa dibanding dengan perempuan. Dari FGD
teridentifikasi bahwa kalau untuk remaja laki-laki, menurut Indah (19 tahun, lajang)
Laki-laki gitu dech.... agak telat gitu untuk naksir, beda kaya cewek. Sementara
Veni, siswi SMKN bidang otomotif, menambahkan bahwa laki-laki kalau menaksir
seseorang Engga keliatan, lebih cuek. Sedangkan Yeni, yang bekerja sebagai
guru TK dan sedang kuliah di UT, melihat bahwa remaja pria kelas 3 SMP/SLTP
juga sudah mulai pacaran. Pendapat informan ini tampaknya mendukung data
survey, yaitu usia yang dianggap pantas bagi laki-laki berpacaran adalah 17 tahun
ke atas (Karawang 76%; Sukabumi 71,2%; Tasikmalaya 84%). Gagasan ini
setidaknya merefleksikan idealisasi yang berkembang pada remaja putri bahwa
karakteristik pasangan/laki-laki dalam berpacaran, yakni lebih tua/dewasa. Hal ini
juga tercermin ketika ditanyakan tentang usia yang pantas bagi laki-laki untuk
menikah, yakni usia 25 tahun atau lebih (Karawang 84%; Sukabumi 76%; dan
Tasikmalaya 89,3%).
Di Sukabumi, menurut Yeni, informan yang berkuliah di UT sekaligus juga
guru, jika perempuan sudah berusia 25 tahun ke atas, maka orangtua mulai resah.
Mereka terus mencoba mengenalkan ke sejumlah pihak untuk mencari jodoh.
Namun dirinya mengaku tidak terlalu dipaksa orangtua untuk cepat menikah.
Informan lain, Dwi menegaskan bahwa yang penting harus ada ikhtiar, tapi tidak
terlalu berlebihan. Pada kondisi tertentu, berkenaan dengan masalah pacar atau
jodoh ini mereka akan berkeluh kesah pada pihak-pihak tertentu, misalnya teman,
atau sahabat. Namun, ada kecenderungan perempuan Sukabumi lebih banyak
menjaga citra berkenaan dengan dirinya, termasuk punya tidaknya pasangan. Hal ini
tampaknya berlaku pada kelompok dewasa, karena untuk remaja memiliki pacar
dianggap sebagai bagian dari eksistensi diri. Seperti paparan seorang informan
berikut, ...Kalo untuk saat ini belum punya pacar, soalnya belum ada yang srek aja,
tapi sebagian besar temen-temen di sekolah udah punya pacar bahkan ada yang
lebih dari satu. Dengan demikian, pacaran dianggap sebagai kebutuhan, sesuai
paparan sejumlah peserta FGD di Sukabumi berikut ini:
Soalnya sebagian orang banyak yang ngomongin, kalau tidak punya pacardapat julukan ... istilah kerennya jomblo, ijo lumut, jomblo forever
Diledekin sama temen-temen sebagai jomblo, tapi kalo untuk saya sendirisih enjoy aja
-
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
32/75
31
Sama aja, tapi engga terlalu diolok-olok lebih menghargai dengan pura-puraengga tahu kalo lagi jomblo
Ada beberapa yang bilang engga laku, toh kalo buat saya sih kalo emang
udah ada jodohnya engga akan kemana. Soalnya Allah udah menentukanuntuk kita. Tapi beda sama laki-laki kalo jomblo engga terlalu diekspose, bedabanget kaya perempuan
Pada sebagian perempuan, masa pacaran ketika SMA merupakan masa untuk
membangun hubungan jangka panjang yaitu pernikahan. Pada beberapa
perempuan lajang yang bekerja, berpacaran merupakan upaya untuk mencari
pasangan hidup yang akan menuju jenjang pelaminan.
Dulu Neneng belum sayang, tapi akhirnya dijalani saja karena lama-lamabisa cinta juga. Sekarang sudah nyaman. Selama sama dia belum pernah
selingkuh. Kenal dari adik, ke rumah, trus mama suka karena anaknya sopan.
Karena keluarga suka bikin ortu bahagia ya udah dijalanin aja. Kenapa milih
dia, awal-awal karena lagi jomblo aja. Temen-temen malah binggung karena
jauh dari mantan-mantan sebelumnya. Sekarang gak ganteng. Pacar yang
sekarang ramah kepada semua orang, tapi gak muna, tanggung jawab.
Belum nikah udah bisa nafkahin (Neneng, 18 tahun, lajang, Karawang).
Peran pacar juga menarik diungkap, ketika keberadaannya diperbandingkan
dengan peran sahabat. Menurut Dwi, ....kalo ke pacar itu ada perasaan memiliki,
tapi kalo ke sahabat engga ada perasaan lebih intinya kalo sama sahabat tidak ada
rasa suka atau cinta. Karenanya bagi Gina, penting untuk memiliki keduanya, kalo
aku... sahabat cowo punya satu, tapi aku juga punya pacar. Sementara informan
lainnya juga melihat resiko dari punya sahabat laki-laki, yakni dicemburui pacar
sahabat. Intan berkata, ....punya banyak temen/sahabat cowo resikonya
pacar/cewe nya temen cowo aku malah jadi suka cemburu?. Uniknya ada informan
yang punya lebih banyak sahabat laki-laki dibanding perempuan, namun belum
punya pacar. Di tengah arus berpacaran, ada sebagian remaja yang menolak
berpacaran dalam konsepsi yang dikenal umum saat ini.
Saya tidak setuju dengan adanya pacaran, karena bukan merupakankegiatan yang manfaat sekalipun hal itu diberikan adanya naluri untuk salingmenyukai (tapi bukan ke arah yang negatif), rasa suka itu memang ada(naluriah) tapi bagaimana kita menjaganya untuk seseorang yang sudah tepatdan diridoi oleh Allah (menurut ketentuan Allah wanita yang baik untuk laki-
laki yang baik). Tapi untuk masalah kriteria saat ini sedang dalam proses
-
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
33/75
32
untuk pendekatan yang akan dikenalkan melalui guru ngaji. (Lani, 19 tahun,lajang, Sukabumi)
Pandangan Lani ini, bisa dikatakan merupakan gagasan yang bersifat tidak umum,
mengingat seolah ada anggapan sosial budaya yang berkembang di masyarakat
bahwa pacaran itu merupakan sebuah hal yang wajar dan alamiah. Bahkan remaja
yang tidak punya pacar ataupun tidak pernah pacaran distigma sebagai remaja yang
kurang pergaulan, bahkan perempuan jomblo (tidak laku). Ini penuturan Imah (20
tahun, menikah) di Karawang, ...pacaran di usia SMA sudah biasa, anak yang pada
usia SMA belum pernah berpacaran biasanya dianggap kuper dan pada akhirnya
bila ada yang nembak lebih baik diterima supaya punya pacar dan tidak dianggap
kuper (kurang pergaulan). Anggapan ini mengindikasikan pacaran telah menjadi
bagian dari tahapan siklus kehidupan manusia yang seolah harus dilewati.
Selain berpacaran secara fisik, ada pula informan yang mempunyai
pengalaman berkencan melalui dunia maya yaitu chatting. Berkenalan dan apabila
merasa cocok berlanjut hingga saling curhat (curahan hati). Kencan dalam dunia
maya tidak selalu dilanjutkan dengan kopdaratau kopi darat alias bertemu muka.
Terkadang mereka mengalami pelecehan seksual secara visual juga. Seorang
informan, Desi (20 tahun, lajang) dari Sukabumi mengatakan
...di warnet gitu, ada itu mah apa ya, ah namanya juga dunia maya. Saya
mah nggak dianggap ya kaya dunia maya gitu, e kenapa ya kalo di dunia
maya gitu kaya omes-omes gitu, otak mesum-mesum gitu. Curhat sih,
sama.. sama ada yang suka mempertontonkan itu di kamera. Becandanya
mah misalnya ngirim foto nih kita. Kita mah ngirim foto beneran kita, dia mah
ah ngirim yang kaya jorok-jorok gitu dikirim...
Data kualitatif menunjukkan bahwa pola berpacaran di kalangan remaja diketiga kota boleh dikatakan sudah permisif. Berikut cuplikan pengalaman Imah (20
tahun) di Karawang yang telah menikah dan memiliki dua anak.
Sewaktu SMP, Imah pernah berpacaran dengan orang yang lebih dewasa(anak buah ayahnya), Ia pernah dicium hingga diraba sekwilda (sekitarwilayah dada). Pacarnya Imah ini sangat berani dan agresif. Imah biasanyamenghindar karena takut bila sudah mulai ke arah yang lebih jauh. Imahmengaku pacaran dengan laki-laki ini tidak sampai berhubungan seks. Orangtua Imah melarangnya untuk berpacaran dengan laki-laki ini, akhirnya Imah
memilih sembunyi-sembunyi kabur dari rumah tiap kali menemui pacarnya.
-
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
34/75
33
Imah bercerita kepada temannya mengenai aktivitas seksual yangdilakukannya, namun temannya bereaksi biasa aja karena ternyata temanImah telah melakukan aktivitas yang lebih jauh dengan pacarnya. Ketikaberpacaran dengan Asep, Imah juga pernah disuruh pegang alat kelamin olehAsep, meskipun Imah takut namun Imah pada akhirnya melakukannya
dengan benar-benar terpaksa karena ingin memuaskannya. Aktivitas seksualyang biasanya terjadi pada saat pacaran biasanya laki-laki itu yang memulaikarena Imah malu untuk meminta lebih dulu.
Sementara Endah (17 tahun, belum menikah) di Karawang mengaku telah 20 kali
menjalani pacaran. Ketika pacaran di bangku SMP, ia hanya mengobrol, pegangan
tangan, rangkulan, dan cium pipi. Pacar Endah pernah memintanya untuk ciuman
bibir namun ia menolak dan langsung memutuskan hubungan. Informan mengaku
pernah berciuman bibir, bahkan pernah dipaksa untuk memegang alat kelamin
pacarnya. Pada awalnya ia tidak mau, namun setelah dibujuk barulah Endah mau
meskipun terpaksa. Ia merasa enjoy sebatas ciuman dan pegang-pegangan.
Namun bila mulai merambah ke wilayah vagina, Endah menyatakan takut terbawa
suasana, karena ia pernah kecolongan. Caranya untuk menolak adalah dengan
memegang tangan pasangannya dan mengatakan tidak mau untuk berhubungan
lebih jauh. Ia sendiri melihat anak-anak sekarang jauh lebih berani dibandingkan
dengan generasinya. Menurutnya anak SD sekarang sudah mengetahui ML/making
love atau senggama padahal Endah sendiri ketika SMP dulu masih takut untuk
ciuman karena sepengetahuan dia saat itu ciuman bisa menyebabkan hamil. Bagi
Endah, seks adalah berhubungan intim antara perempuan dan laki-laki. Seks
merupakan kegiatan yang menyimpang dan tidak boleh dilakukan bila dilakukan oleh
orang yang belum ada ikatan.
3.3. Remaja dan Pernikahan
Berkenaan dengan gagasan ideal usia nikah perempuan, data menunjukkanbahwa usia ideal atau yang dianggap pantas adalah 20 tahun atau lebih (Karawang
89,3%; Sukabumi 92%; dan Tasikmalaya 89,3%). Data ini ditopang juga dengan
harapan responden yang belum menikah, yang menargetkan akan menikah di usia
setidaknya 20 tahun. Di Karawang usia yang menonjol sebagai target menikah
adalah 24 tahun (23,6%), sedangkan di Sukabumi adalah 23 tahun (30,9%),
demikian juga di Tasikmalaya, usia 23 tahun (37,7%). Namun jika dilihat
berdasarkan usia menikah dari responden yang berstatus menikah, maka target usia
-
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
35/75
34
nikah perempuan ini relatif lebih tinggi karena kondisi nyata sebagian perempuan di
Karawang (33,3%) menikah saat usia 21 tahun. Kondisi ini berbeda dengan dua kota
lainnya, di mana menikah di bawah usia 20 tahun masih dominan (Sukabumi 50%;
Tasiklmalaya 60,9%). Harapan atas usia nikah ini terkait dengan persepsi tentang
kepantasan bagi laki maupun perempuan untuk punya anak. J ika perempuan
sebagian besar responden menyatakan usia 22-23 tahun, bahkan di Tasikmalaya
pada usia 25-an tahun. Sedangkan laki-laki dianggap pantas punya anak jika
berusia 25-26 tahun, bahkan 27 tahun. Temuan survey menunjukkan bahwa pada
kelompok responden yang sudah menikah, ternyata ada temuan yang mempertegas
adanya pergeseran cara pandang tentang usia nikah pada perempuan perkotaan.
Hal ini ditunjukkan dari besarnya persentase responden yang berpendapat usia
pantas menikah adalah di atas 19 tahun, dan tampaknya sebagian besar dari
mereka menikah pada usia yang dianggap pantas tersebut.
Tabel 3.3. Pendapat Responden tentangUsia Pantas Menikah berdasarkan Usia Saat Nikah
Usia Saat Menikah (%)
Usia perempuan ygpantas untuk
Menikah
Tasikmalaya Karawang Sukabumi
< 21
tahun
21-24
tahun
>24
tahun
< 21
tahun
21-24
tahun
>24
tahun
< 21
tahun
21-24
tahun
>24
tahunKurang dr 17 tahun - - - - - - 6,3 - -
17 19 tahun 11,8 - - - 16,7 - 12,5 - 5,3
Lebih dari 19 tahun 88,2 100 100 100 83,3 (5) - 81,3 100 94,7
Meski survey tidak menjaring data usia suami saat menikah dengan
responden, namun temuan kualitatif menunjukkan bahwa sebagian besar menikah
dengan laki-laki yang lebih tua. Beberapa informan juga tidak mempunyai kriteria
yang sulit tentang pasangan/calon suami, menurut mereka yang penting baik dan
lebih dewasa. Realitas ini semakin menegaskan bahwa pasangan ideal adalah jika
perempuan lebih muda usia dibanding laki-laki. Berkenaan dengan gagasan ini,
dalam FGD terungkap bahwa hal ini memang selayaknya demikian karena masih
berkembang gagasan budaya bahwa perempuan menikah lebih cepat lebih baik.
Selain karena faktor prestise sosial, juga karena pemikiran perempuan dianggap
lebih cepat tua, termasuk persoalan fertilitasnya. Sementara usia laki-laki, menurut
-
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
36/75
35
Yeni salah satu informan, ...cowo harus lebih tua usianya jadi lebih dewasa.
Kedewasaan ini ditandai dengan kematangan secara psikis (sebagai pelindung),
sosial (kepala keluarga),ndan ekonomi (pencari nafkah). Menurut pengakuan
sebagian informan pada dasarnya tidak ada kriteria usia yang secara eksplisit
disyaratkan, juga oleh keluarga, tapi setidaknya: kelakuan baik (tidak suka
nongkrong, mabuk); harus seagama; tidak suka ngerokok; engga begitu banyak
nuntut.
Konstruksi sosial budaya tentang laki dan perempuan tampaknya cukup
melekat di masyarakat. Hal ini setidaknya terefleksi melalui data kualitatif, yang
mana perbedaan laki dan perempuan secara biologis dianggap sebagai hal yang
juga mendasari perbedaan secara biologis pada sejumlah hal, misalnya :
- dari segi fisik laki-laki badannya lebih besar, perempuan lebih kecil.
- perempuan sangat berbeda dengan laki-laki, perempuan lebih menggunakan
perasaan sedangkan laki-laki lebih menggunakan logika.
- laki-laki lebih kuat dan besar badannya dibandingkan dengan perempuan,
hanya kalau perempuan dari segi fisik ada bagian tubuh yang menonjol,
seperti: payudara.
Hasil FGD menunjukkan bahwa kegiatan laki-laki berbeda dengan perempuan, baik
di rumah maupun di luar rumah. Kalau di rumah perempuan membantu ibu dalam
mengurus adik, membersihkan rumah, menyiapkan makanan, dll. Sementara laki-
laki lebih banyak bermain, paling mengantar ibu.
....kalau cowok lebih cuek dan susah di suruh, tapi kadang-kadang juga (Lis,16 tahun, lajang, Karawang)
..... anak cowok biasanya suka nganter ibu. (Rita, 17 tahun, lajang, Karawang)
Pernyataan ini setidaknya menyiratkan bahwa gagasan subyektif tentang laki dan
perempuan, baik pada usia remaja maupun dewasa.
Pada kelompok dewasa, perbedaan peran laki dan perempuan sangat
ditandai dengan anggapan bahwa perempuan bertanggungjawab pada masalah
rumahtangga dan anak, sedangkankan suami mencari nafkah. Hal ini tercermin dari
sejumlah informan FGD yang menikah, karena menikah dan punya anak maka
memutuskan berhenti bekerja. Kondisi ini banyak ditemui di Sukabumi, Karawang
maupun Tasikmalaya. Salah satu alasan pokok yang dikemukakan adalah ..sibuk
-
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
37/75
36
urus anak. Kesibukan ini akan terbantu jika responden/informan tinggal dengan
keluarga besar, atau setidaknya ada yang membantu. Namun mengingat sebagian
besar dari strata bawah, maka berhenti kerja menjadi pilihan meski dengan resiko
pendapatan keluarga berkurang demi anak dan rumahtangga, juga suami.
Berkenaan dengan jumlah anak maka teridentifikasi bahwa jumlah anak yang
diharapkan responden rata-rata 2 (dua) orang. Kalaupun suami punya harapan
yang berbeda tentang jumlah anak, maka sebagian responden di Karawang (37,3%)
lebih akan mengikuti pendapat suami, dan uniknya ada 34,7% yang mencoba
mempertahankan keinginan. Meski ada 26,6% yang bermaksud mengutarakan
keinginan pada suami untuk kemudian mendiskusikannya. Temuan di Karawang ini
juga ditemui di Tasikmalaya bahkan cenderung lebih menonjol kepatuhan istri pada
suami, yakni mengikuti kemauan suami (41,3%), mempertahankan keinginan
21,3%, dan mengutarakan pada suami dan mendiskusikan mencapai 34,7%.
Berbeda dengan Sukabumi, yang justru sebagian besar responden (41,4%) akan
mengutarakan keinginan pada suami. Meski yang mengikuti pendapat suami juga
cukup besar yakni 25,3%, dan ada 22,7% yang akan mempertahankan
keinginannnya. Nampak bahwa kepatuhan pada suami lebih menonjol di Karawang
dan Tasikmalaya, dibanding dengan Sukabumi. Meski demikian di ketiga kota,
perempuan melibatkan suami dalam pengambilan keputusan.
-
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
38/75
37
BAB 4
PENGETAHUAN KESEHATAN REPRODUKSI DAN RESIKO SEKSUAL
Pada bab ini akan diuraikan pengetahuan responden dan informan penelitian
mengenai kesehatan reproduksi dan resiko seksual yang dihadapi oleh mereka.
Pengetahuan perempuan muda tentang kesehatan resproduksi dan resiko seksual
merupakan hal penting, mengingat meningkatnya penundaan usia pernikahan di
kalangan perempuan muda yang menyebabkan lebih lamanya mereka menjalani
masa aktif secara seksual sebelum pernikahan, seperti yang telah dipaparkan pada
bab III. Sementara itu, informasi tentang kesehatan reproduksi dan seksual masih
dianggap hanya relevan untuk perempuan yang telah menikah, misalnya
pengetahuan tentang kontrasepsi. Hal tersebut diasumsikan berpengaruh terhadap
akses perempuan muda untuk mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi
dan resiko seksual. Dalam konteks tersebut, penelitian ini berusaha memotret
pengetahuan perempuan muda di Karawang, Sukabumi, dan Tasikmalaya tentang
kesehatan reproduksi dan seksual. Pada penelitian ini, pengetahuan kesehatan
reproduksi mencakup pengetahuan mengenai pubertas khususnya menstruasi,
metode dan alat kontrasepsi, dan perlindungan terhadap kehamilan yang tidak
diinginkan. Pada bab ini selain uraian tentang pengetahuan kesehatan reproduksi
dan persepsi terhadap resiko seksual, juga akan dipaparkan pengalaman responden
seputar pubertas, khususnya mesntruasi serta kebutuhan informasi tentang
kesehatan reproduksi berdasarkan pandangan responden penelitian.
4.1. Pengetahuan Kesehatan Reproduksi
Berdasarkan hasil survei terhadap responden di ketiga kota, mayoritasresponden (>75%) menyatakan usia menstruasi pertama kali berkisar antara 12-14
tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden memasuki usia masa
pubertas yang normal. Meskipun demikian, sebagian besar responden terkesan
tidak siap untuk mengalami perubahan-perubahan fisik dan hormonal akibat
pubertas. Hal tersebut ditunjukkan dari pendapat responden di ketiga kota yang
sebagian besar merasa kaget (>50%) ketika pertama kali mengalami menstruasi.
Untuk perubahan fisik lainnya seperti payudara yang membesar, jawaban yang
-
7/28/2019 Hak Seksual Prmpuan Dn Hiv
39/75
38
dikemukakan responden terbanyak di ketiga lokasi penelitian setelah biasa saja
adalah kaget. Perasaan kaget yang dialami oleh mayoritas responden dapat
merupakan refleksi dari kurangnya informasi yang diberikan pada remaja seputas
pubertas, khususnya menstruasi.
Kurangnya pengetahuan responden tentang menstruasi juga tercermin dari
masih banyaknya mitos-mitos seputar menstruasi yang direproduksi dan diajarkan
pada responden penelitian. Di Kota Sukabumi misalnya, ketika responden diminta
untuk menyebutkan hal-hal yang tidak boleh dilakukan saat menstruasi, jawaban
terbanyak (54%) adalah tidak boleh memakan nanas dan ketimun serta meminum
air es.
Kondisi yang sama juga ditemukan di Kota Tasikmalaya, mayoritas
responden (55%) menjawab tidak boleh memakan makanan yang pedas, tidak boleh
tidur siang karena darah menstruasi akan naik menuju mata, dan tidak boleh
meminum air es. Orang tua atau saudara perempuan ketika mengajari atau
menasehati responden dan informan penelitian ini mereproduksi mitos-mitos budaya
seputar menstruasi yang tidak berkaitan dengan kesehatan reproduksi. Hal ini
ditunjukkan oleh pemaparan beberapa informan berikut ini:
Ngga boleh minum air kelapa, ngga boleh melakukan seks (Cinta, 19 tahun,lajang, Tasikmalaya)
Ngga boleh gunting kuku dan rambut, ngga boleh mandi lewat dari jamempat sore (Rita, 16 tahun, lajang, Tasikmalaya)
Karena kondisi Tasikmalaya yang merupakan kota santri, maka nasehat
seputar mestruasi yang diberikan Ibu untuk anak peremuannya cenderung yang
berkaitan dengan agama pula. Hal ini ditunjukkan melalui informan berikut:
Nggak boleh sholat, ngga boleh ngaji, ngga boleh pegang Quran, ngga bolehmasuk masjid, karena nanti darahnya berceceran gimana (Yayah, 24 tahun,janda, Tasikmalaya)
Hal yang serupa ditemukan di Sukabumi:
Dilarang minum air es, keramas, gunting kuku, dan harus mengumpulkanrambut yang rontok untuk dibersihkan selesai haid (dengan mandi ha