herpes zoster oftalmikus
DESCRIPTION
herpesTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Latar Belakang
Herpes zoster oftalmikus adalah infeksi virus herpes zoster yang
menyerang bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari cabang
oftalmikus saraf trigeminus (N.V) yang ditandai dengan erupsi herpetik
unilateral pada kulit.1
Insidensi herpers zoster terjadi pada 20 % populasi dunia dan 10 %
diantaranya adalah herpes zoster oftalmikus.2 Penyakit ini cukup berbahaya
karena dapat menimbulkan penurunan visus.Virus Varicella zoster dapat laten
pada sel syaraf tubuh dan pada frekuensi yang kecil di sel non-neuronal satelit
dari akar dorsal, berhubung dengan saraf tengkorak dan saraf autonomic
ganglion, tanpa menyebabkan gejala apapun. Infeksi herpes zoster biasanya
terjadi pada pasien usia tua dimana specific cell mediated immunity pada
umumnya menurun seiring dengan bertambahnya usia atau pasien yang
mengalami penurunan system imun seluler. Morbiditas kebanyakan terjadi
pada individu dengan imunosupresi (HIV/AIDS), pasien yang mendapat
terapi dengan imunosupresif dan pada usia tua.
Herpes zoster oftalmik merupakan bentuk manifestasi lanjut setelah
serangan varicella.virus ini dapat menyerang saraf cranial V. Pada nervus
trigeminus, bila yang terserang antara pons dan ganglion gasseri, maka akan
terjadi gangguan pada ketiga cabang nervus V (cabang oftalmik, maksilar,
mandibular) akan tetapi yang biasa terkena adalah ganglion gasseri dan yang
terganggu adalah cabang oftalmik.
Bila cabang oftalmik yang terkena, maka terjadi pembengkakan kulit di
daerah dahi, alis, dan kelopak mata disertai kemerahan yang dapat disertai
vesikel, dapat mengalami supurasi, yang bila pecah akan menimbulkan
sikatriks. 4 Bila cabang nasosiliar yang terkena, kemungkinan komplikasi
pada mata sekitar 76 %. Jika saraf ini tidak terkena maka resiko komplikasi
pada mata hanya sekitar 3,4%.
Virus herpes zoster bisa dorman atau menetap (laten) pada ganglion N.V
dan reaktivasinya didahului oleh gejala prodormal seperti demam, malaise,
sakit kepala dan nyeri pada daerah saraf yang terkena tapi sebelumnya
terbentuk lesi kulit. Kulit kelopak mata dan sekitarnya berwarna merah dan
bengkak diikuti terbentuknya vesikel, kemudian menjadi pustule lalu pecah
menjadi krusta. Jika krusta lepas akan meninggalkan jaringan sikatrik.
B. Definisi
Herpes zoster oftalmikus adalah infeksi virus herpes zoster yang
menyerang bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari cabang
oftalmikus saraf trigeminus (N.V) yang ditandai dengan erupsi herpetik
unilateral pada kulit.
C. Epidemiologi
Insidensi herpers zoster terjadi pada 20 % populasi dunia dan 10 %
diantaranya adalah herpes zoster oftalmikus.
D. Manifestasi klinik
Biasanya penderita herpes zoster oftalmik pernah mengalami penyakit
varisela beberapa waktu sebelumnya. Dapat terjadi demam atau malaise dan
rasa nyeri yang biasanya berkurang setelah timbulnya erupsi kulit, tetapi rasa
nyeri ini kadang-kadang dapt berlangung berbulan-bulan bahkan bertahun-
tahun.
Secara subyektif biasanya penderita datang dengan rasa nyeri serta
edema kulit yang tampak kemerahan pada daerah dahi, alis dan kelopak atas
serta sudah disertai dengan vesikel. Secara obyektif tampak erupsi kulit pada
daerah yang dipersarafi cabang oftalmik nervus trigeminus. Erupsi ini
unilateral dan tidak melewati garis median. Rima palpebra tampak
menyempit bila kelopak atas mata mengalami pembengkakan. Bila cabang
nasosiliar nervus trigeminus yang terkena , maka erupsi kulit terjadi pada
daerah hidung dan rima palpebra biasanya tertutup rapat. Bila kornea atau
jaringan yang lebih dalam terkena maka timbul lakrimasi, mata silau dan sakit
dan penderita tampak kesakitan yang parah. Kelainan mata berupa bercak-
bercak atau bintik-bintik putih kecil yang tersebar di epitel kornea yang
dengan cepat sekalimelibatkan stroma. Bila infeksi mengenai jaringan mata
yang lebih dalam dapt menimbulkan iridosiklitis disertai sinekia iris serta
menimbulkan glaucoma sekunder. Komplikasi lain adalah paresis otot
penggerak mata serta neurirtis optic.
E. Diagnosis banding
Diagnosis banding herpes zoster oftalmikus antara lain bell’s palsy, luka
bakar, episkliritis, erosi kornea persisten pada herpes simpleks.2
F. Penegakan diagnosis
Penegakan diagnosis sebagian besar dilihat dari adanya riwayat
menderita cacar air, manifestasi nyeri dan gambaran ruam kulit seperti vesikel
dengan karakteristik distribusi sesuai dermatom. Jika gambaran lesi kulit
tidak begitu jelas maka dibutuhkan pemeriksaan penunjang laboratorium.
Tekhnik polymerase chain reaction (PCR) adalah tekhnik pemeriksaan yang
paling sensitif dan spesifik karena dapat mendeteksi varicella-zoster virus
DNA yang terdapat dalam cairan vesikel. Kultur virus juga dapat dilakukan
namun sensitifitasnya rendah. Pemeriksaan lain yaitu direct
immunofluorescence assay.7
G. Penatalaksanaan
Strategi pengobatan pada infeksi akut herpes zoster oftalmikus yaitu
antivirus, kortikosteroid sistemik, antidepresan, dan analgesic yang adekuat.
Jika tidak diobati dengan adekuat dapat terjadi kerusakan permanen pada
mata termasuk inflamasi yang kronik, nyeri yang mengganggu (neuralgia
pasca herpes) dan hilangnya tajam pengelihatan.
Obat antivirus diindikasikan dalam pengobatan herpes zoster yang akut.2,9
Yang termasuk antivirus adalah famsiklovir, acyclovir. Obat ini signifikan
untuk menurunkan nyeri akut, menghentikan progresi virus dan pembentukan
vesikel, mengurangi insiden episkleritis rekuren, keratitis, iritis dan
mengurangi neuralgia pasca herpetic jika dimulai dalam 72 jam onset ruam.
Yang sering digunakan adalah asiklovir 5x800 mg perhari selama 7 hari
diikuti 2-3 minggu kemudian. Jika kondisi pasien berat dianjurkan dirawat
dan diberikan terapi asiklovir 5-10 mg/kgBB IV 8 jam selama 8-10 hari.
Lesi kulit dapat diobati dengan kompres hangat dan salep antibiotic.
Terapi local untuk lesi pada mata seperti keratitis, iridosiklitis, dan skleritis
dapat digunakan steroid topical dan siklopegik. Untuk mencegah infeksi
sekunder dapat digunakan antibiotic tetes atau salep.
Pemberian kortikosteroid diberikan sebagai pencegahan komplikasi-
komplikasi di mata. Pada semua jenis herpes zoster diberikan kortikosteroid
sistemik untuk mengurangi neuralgia, juga neuralgia post herpetikum. Obat
yang sering digunakan adalah prednisone dengan dosis 20-60 mg per hari
dalam dosis tebagi 2-4 selama 2-3 minggu dan dilakukan tapering off bila
gejala berkurang terutama pada pasien dengan umur lebih dari 60 tahun.
Analgesik seperti asetaminopen, asam menefenamat, aspirin dan NSAID
untuk mengontrol rasa nyeri. Artifial tears untuk lubrikasi kornea dan
konjungtiva terutama pada neurotrodik keratopati dan defek epithelial
persisten. Pada pasien dengan sikatrik kornea yang luas mungkin diperlukan
tindakan keratoplasti.
H. Komplikasi
1. Myelitis. Merupakan komplikasi di luar mata yang pernah dilaporkan oleh
Gordon dan Tucker, demikian juga encephalitis dan hemiplegi walaupun
jarang ditemukan tetapi pernah dilaporkan. Hal ini diperkirakan karena
penjalaran virus ke otak.
2. Conjunctiva. Pada mata komplikasi yang dapat timbul adalah chemosis
yang ada hubungannya dengan pembengkakan palpebra. Pada saat ini
biasanya disertai dengan penurunan sensibilitas cornea dan kadang-
kadang oedema cornea yang ringan. Dapat juga timbul vesikel-vesikel di
conjunctiva tetapi jarang terjadi ulserasi. Pernah dilaporkan adanya
canaliculitis yang ada hubungannya dengan zoster.
3. Cornea. Bila comea terkena maka akan timbul infiltrat yang berbentuk
tidak khas dengan batas yang tidak tegas , tetapi kadang-kadang
infiltratnya dapat menyerupaiherpes simplex. Proses yang terjadi pada
dasamya berupa keratitis profunda yang bersifat khronis dan dapat
bertahan beberapa minggu setelah kelainan kulit sembuh. Akibat
kekeruhan comea yang terjadi maka visus akan menurun.
4. Iris. Adanya laesi diujung hidung sangat penting untuk diperhatikan
karena kemungkinan besar iris akan ikut terkena mengingat n. nasociliaris
merupakan cabang dari n.ophthalmicus yang juga menginervasi daerah
iris, corpus ciliaze dan cornea. Iritis/iridocyclitis dapat merupakan
penjalaran dari keratitis ataupun berdiri sendiri. Iritis biasanya
ringan,jarang menimbulkan eksudat, pada yang berat kadang-kadang
disertai dengan hypopion atau secundair glaucoma. Akibat dari iritis ini
sering timbul sequele berupa iris atropi yang biasanya sektoral. Pada
beberapa kasus dapat disertai massive iris atropi dengan kerusakan
sphincter pupillae.
5. Sclera. Scleritis merupakan komplikasi yang jarang ditemukan, biasanya
merupakan lanjutan dari iridocyclitis. Pada sclera akan terlihat nodulus
dengan injeksi lokal yang dapat timbul beberapa bulan sesudah
sembuhnya laesi di kulit. Nodulusnya bersifat khronis, dapat bertahan
beberapa bulan, bila sembuh akan meninggalkan sikatrik dengan
hyperpigmentasi. Scleritis ini dapat kambuh lagi.
6. Ocular palsy. Dapat timbul bila mengenai N III, N IV, N V1, N III dan N
IV dapat sekaligus terkena. Pernah pula dilaporkan timbulnya
ophthalmoplegi totalis dua bulan setelah menderita herpes zoster
ophthalmicus. Paralyse dari otot-otot extra-oculer ini mungkin karena
perluasan peradangan dari N Trigeminus di daerah sinus cavemosus.
Timbulnya paralyse biasanya dua sampai tiga minggu setelah gejala
permulaan dari zoster dirasakan, walaupun ada juga yang timbul
sebelumnya. Prognosa otot-otot yang pazalyse pada umumnya baik dan
akan kembali normal kira-kira dua bulan kemudian.
7. Retina. Kelainan retina yang ada hubungannya dengan zoster jarang
ditemukan. Kelainan tersebut berupa choroiditis dan perdazahan retina,
yang umumnya disebabkan adanya retinal vasculitis.
8. Optic neuritis. Optic neuritis juga jazang ditemukan; tetapi bila ada dapat
menyebabkan kebutaan karena timbulnya atropi n. opticus. Gejalanya
berupa scotoma sentral yang dalam beberapa minggu akan terjadi
penurunan visus sampai menjadi buta. 3,8,10
I. Prognosis
Prognosis bonam bila ditatalaksana secara cepat dan adekuat.
Daftar pustaka
1. Siregar RS.Penyakit Virus. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi
ke-2. Jakarta: EGC, 2005;84-7.
2. Herpes zoster from http://www.emedicine.com/oph[disc257.htm,2006
3. Herpes zoster from www.optometry.co.uk
4. Ilyas, Sidarta. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2000
5. Khurana AK. Comprehensive Ophtalmology. Fourth edition, India;
2007:103-106
6. Trigeminal Nerve fromhttp://www.gudangmateri.com/2010/03/trigeminal-
nerve.html
7. Roxas M,ND.Herpes zoster and Post Herpetic Nauralgia: Diagnosis and
Therapeutic Consideration
8. Herpes Zoster Information from http://www.emedicinehealth.com/articles
9. Saad Shakh MD, Christopher NTAMD, Evaluation and Management of
Herpes Zoster Ophthalmicus from http://www.aafp.org/afp/contents.html
10. Herpes Zoster Ophthalmicus in handbook of Ocular Disease Management
from http://www.revotom.com/handbook/hbhome.html
11. Hodge, W. G., 2000, Penyakit Virus, dalam Vaughan, D. G., Asbury, T. dan
Riodan, P., Oftalmologi Umum, Widya Medika, Jakarta : 336.
1. Definisi
Herpes zoster merupakan infeksi umum yang disebabkan oleh Human Herpes
Virus 3 (Varisela Zoster Virus), virus yang sama menyebabkan varisela (chicken
pox). Virus ini termasuk dalam famili Herpes viridae, seperti Herpes Simplex,
Epstein Barr Virus, dan Cytomegalovirus.1
Herpes Zoster Oftalmikus (HZO) merupakan hasil reaktivasi dari Varisela Zoster
Virus (VZV) pada Nervus Trigeminal (N.V). Semua cabang dari nervus tersebut
bisa terpengaruh, dan cabang frontal divisi pertama N.V merupakan yang paling
umum terlibat. Cabang ini menginervasi hampir semua struktur okular dan
periokular.2
Blefarokonjungtivitis pada HZO ditandai dengan hiperemis dan konjungtivitis
infiltratif disertai dengan erupsi vesikuler yang khas sepanjang penyebaran
dermatom N.V cabang oftalmikus. Konjungtivitis biasanya papiler, tetapi pernah
ditemukan folikel, pseudomembran, dan vesikel temporer, yang kemudian
berulserasi. Lesi palpebra mirip lesi kulit di tempat lain, bisa timbul di tepi
palpebra ataupun palpebra secara keseluruhan, dan sering menimbulkan parut.3
Lesi kornea pada HZO sering disertai keratouveitis yang bervariasi beratnya,
sesuai dengan status kekebalan pasien. Keratouveitis pada anak umumnya
tergolong jinak, pada orang dewasa tergolong penyakit berat, dan kadang-kadang
berakibat kebutaan.3
2. Etiologi
Herpes zoster disebabkan oleh Varisela Zoster Virus (VZV). VZV mempunyai
kapsid yang tersusun dari 162 sub unit protein dan berbentuk simetri isohedral
dengan diameter 100 nm. Virion lengkapnya berdiameter 150-200 nm, dan hanya
virion yang berselubung yang bersifat infeksius. Infeksiositas virus ini dengan
cepat dapat dihancurkan oleh bahan organik, deterjen, enzim proteolitik, panas,
dan lingkungan dengan pH yang tinggi.4 HZO merupakan reaktivasi dari VZV di
N.V divisi oftalmik (N.V1).5
3. Epidemiologi
HZO khas mempengaruhi 10-20 % populasi. HZO biasanya berpengaruh pada
usia tua dengan meningkatnya pertambahan usia. Dari data insiden terjadinya
HZO pada populasi Caucasian adalah 131 : 100.000. Populasi American-Afrika
mempunyai insiden 50 % dari Caucasian. Alasan untuk perbedaan ini tidak
sepenuhnya dipahami. Kebanyakan kasus HZO disebabkan reaktivasi dari virus
laten.6
Lebih dari 90 % dewasa di Amerika terbukti mempunyai serologi yang terinfeksi
VZV. Dari hasil tahunan, insiden dari herpes zoster bervariasi, dari 1,5 – 3, 4
kasus per 1000 orang. Faktor resiko dari perkembangan oleh herpes zoster adalah
menyusutnya sel mediated dari sistem imun yang berhubungan dengan
perkembangan usia. Insiden HZO pada usia 75 tahun ke atas melebihi 10 kasus
per 1.000 orang per tahun, dan risiko seumur hidup diperkirakan 10-20 %.5
Faktor risiko lain untuk herpes zoster diperoleh dari hambatan respon sel mediated
imun, seperti pada pasien dengan obat imunosupresif dan HIV, dan yang lebih
spesifik dengan AIDS. Pada kenyataannya, risiko relatif dari herper zoster
sedikitnya 15x lebih besar dengan HIV dibandingkan tanpa HIV.5
HZO terdapat 10-25 % dari semua kasus herpes zoster. Resiko komplikasi
oftalmik pada pasien herpes zoster tidak terlihat berhubungan dengan umur, jenis
kelamin, atau keganasan dari ruam kulit.5
4. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi timbulnya herpes zoster oftalmikus ini adalah:7
a. Kondisi imunocompromise (penurunan imunitas sel T)
- Usia tua
- HIV
- Kanker
- Kemoterapi
b. Faktor reaktivasi
- Trauma lokal
- Demam
- Sinar UV
- Udara dingin
- Penyakit sistemik
- Menstruasi
- Stres dan emosi
5. Patogenesis
Seperti herpes virus lainnya, VZV menyebabkan infeksi primer (varisela/ cacar
air) dan sebagian lagi bersifat laten, dan ada kalanya diikuti dengan penyakit yang
rekuren di kemudian hari (zoster/ shingles). Infeksi primer VZV menular ketika
kontak langsung dengan lesi kulit VZV atau sekresi pernapasan melalui droplet
udara. Infeksi VZV biasanya merupakan infeksi yang self-limited pada anak-anak,
dan jarang terjadi dalam waktu yang lama, sedangkan pada orang dewasa atau
imunosupresif bisa berakibat fatal. Pada anak-anak, infeksi VZV ini ditandai
dengan adanya demam, malaise, dermatitis vesikuler selama 7-10 hari, kecuali
pada infeksi primer yang mengenai mata (berupa vesikel kelopak mata dan
konjungtivitis vesikuler). VZV laten mengenai ganglion saraf dan rata-rata 20 %
terinfeksi dan bereaktivasi di kemudian hari.8
HZO timbul akibat infeksi N.V1. Kondisi ini akibat reaktivasi VZV yang
diperoleh selama masa anak-anak. Varisela zoster adalah virus DNA yang
termasuk dalam famili Herpes viridae. Selama infeksi, virus varisela berreplikasi
secara efisien dalam sel ganglion. Bagaimanapun, jumlah VZV yang laten per sel
terlalu sedikit untuk menentukan tipe sel apa yang terkena. Imunitas spesifik sel
mediated VZV bertindak untuk membatasi penyebaran virus dalam ganglion dan
ke kulit.6
Kerusakan jaringan yang terlihat pada wajah disebabkan oleh infeksi yang
menghasilkan inflamasi kronik dan iskemik pembuluh darah pada cabang N. V.
Hal ini terjadi sebagai respon langsung terhadap invasi virus pada berbagai
jaringan. Walaupun sulit dimengerti, penyebaran dermatom pada N. V dan daerah
torak paling banyak terkena.6
Tanda-tanda dan gejala HZO terjadi ketika N.V1 diserang virus, dan akhirnya
akan mengakibatkan ruam, vesikel pada ujung hidung (dikenal sebagai tanda
Hutchinson), yang merupakan indikasi untuk resiko lebih tinggi terkena gannguan
penglihatan. Dalam suatu studi, 76 % pasien dengan tanda Hutchinson
mempunyai gangguan penglihatan.6
6. Manifestasi Klinis
Adapun manifestasi klinis HZO ini, antara lain:7
a. Prodormal (didahului ruam sampai beberapa hari)
- Nyeri lateral sampai mengenai mata
- Demam
- Malaise
- Sakit kepala
- Kuduk terasa kaku
Gejala-gejala di atas terjadi pada 5 % penderita, terutama pada anak-anak, dan
timbul 1-2 hari sebelum terjadi erupsi.
b. Dermatitis
c. Nyeri mata
d. Lakrimasi
e. Perubahan visual
f. Mata merah unilateral
Gejala-gejala mata yang dapat dilihat yaitu:
- Kelopak mata
HZO sering mengenai kelopak mata. Hal ini ditandai dengan adanya
pembengkakan kelopak mata, dan akhirnya timbul radang kelopak, yang disebut
blefaritis, dan bisa timbul ptosis. Kebanyakan pasien akan memiliki lesi vesikuler
pada kelopak mata, ptosis, disertai edema dan inflamasi. Lesi pada palpebra mirip
lesi kulit di tempat lain.9
- Konjungtiva
Konjungtivitis adalah salah satu komplikasi terbanyak pada HZO. Pada
konjungtiva sering terdapat injeksi konjungtiva dan edema, dan kadang disertai
timbulnya petechie. Ini biasanya terjadi 1 minggu. Infeksi sekunder akibat S.
aureus bisa berkembang di kemudian hari.9
- Sklera
Skleritis atau episkleritis mungkin berupa nodul atau difus yang biasa menetap
selama beberapa bulan.9
- Kornea
Komplikasi kornea kira-kira 65 % dari kasus HZO. Lesi pada kornea sering
disertai dengan keratouveitis yang bervariasi beratnya sesuai dengan kekebalan
tubuh pasien. Komplikasi pada kornea bisa berakibat kehilangan penglihatan
secara signifikan. Gejalanya adalah nyeri, fotosensitif, dan gangguan visus. Hal
ini terjadi jika terdapat erupsi kulit di daerah yang disarafi cabang-cabang N.
nasosiliaris.3
Berbeda dengan keratitis pada HSV yang bersifat rekuren dan biasanya hanya
mengenai epitel, keratitis HZV mengenai stroma dan uvea anterior pada awalnya,
lesi epitelnya keruh dan amorf, kecuali kadang-kadang ada pseudodendrit linear
yang mirip dendrit pada HSV. Kehilangan sensasi pada kornea selalu merupakan
ciri mencolok dan sering berlangsung berbulan-bulan setelah lesi kornea tampak
sudah sembuh.3
Keratitis epithelial : gejala awal, berupa punctat epitel. Multipel, lesi vocal dengan
fluoresen atau rose Bengal. Lesi ini mengandung virus keratitis stroma. Ini
merupakan reaksi imun selama serangan akut dan memungkinkan perpindahan
virus dari ganglion. Keratitis stroma kronik bisa menyerang vaskularisasi,
keratopati, penipisan kornea dan astigmatisme.9
- Traktus uvea
Sering menyebabkan peningkatan TIO. Tanpa perawatan yang baik penyakit ini
bisa menyebabkan glaukoma dan katarak.9
- Retina
Retinitis pada HZO digambarkan sebagai retinitis nekrotik dengan perdarahan dan
eksudat, oklusi pembuluh darah posterior, dan neuritis optik. Lesi ini dimulai dari
bagian retina perifer.9
7. Komplikasi
Hampir semua pasien akan pulih sempurna dalam beberapa minggu, meskipun
ada beberapa yang mengalami komplikasi. Hal ini tidak berhubungan dengan
umur dan luasnya ruam, tetapi bergantung pada daya tahan tubuh penderita. Ini
akan terjadi beberapa bulan atau beberapa tahun setelah serangan awal.
- Komplikasi mata terjadi pada 50 % kasus. Nyeri terjadi pada 93% dari pasien
tersebut, 31% nya masih ada sampai 6 bulan berikutnya. Pengaruh itu semua,
terjadi anterior uveitis pada 92% dan keratitis 52%. Pada 6 bulan, 28% mengenai
mata dengan uveitis kronik, keratitis, dan ulkus neuropatik.
- Komplikasi mata yang jarang, termasuk optik neuritis, retinitis, dan kelumpuhan
nervus kranial okuler. Ancaman ganguan penglihatan oleh keratitis neuropatik,
perforasi, glaukoma sekunder, posterior skleritis, optik neuritis, dan nekrosis
retina akut.10
- Komplikasi jangka panjang, bisa berhubungan dengan lemahnya sensasi dari
kornea dan fungsi motor palpebra. Ini beresiko pada ulkus neuropati dan
keratopati. Resiko jangka panjang ini juga terjadi pada pasien yang memiliki
riwayat HZO, 6-14% rekuren.10
- Infeksi permanen zoster oftalmik bisa termasuk inflamasi okuler kronik dan
kehilangan penglihatan.10
8. Diferensial Diagnosis6
a. Kondisi yang memperlihatkan penampakan luar yang sama
- Herpes simplek
- Ulkus blefaritis
b. Kondisi yang menyebabkan penyebaran nyeri
- Tic Douloureux
- Migrain
- Pseudotumor orbita
- Selulitis orbita
- Nyeri akibat sakit gigi
c. Kondisi yang menyebabkan inflamasi stromal kornea
- Epstein-Barr Virus
- Mumps
- Sipilis
9. Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis laboratorium terdiri dari beberapa pemeriksaan, yaitu:11
a. Pemeriksaaan langsung secara mikroskopik
Kerokan palpebra diwarnai dengan Giemsa, untuk melihat adanya sel-sel raksasa
berinti banyak (Tzanck) yang khas dengan badan inklusi intranukleus asidofil
b. Pemeriksaaan serologik
c. Isolasi dan identifikasi virus
10. Penatalaksanaan
Sebagian besar kasus herpes zoster dapat didiagnosis dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Cara terbaru dalam mendiagnosis herpes zoster adalah dengan
tes DFA (Direct Immunofluorence with Fluorescein-tagged Antibody) dan PCR
(jika ada), terbukti lebih efektif dan spesifik dalam membedakan infeksi akibat
VZV dengan HSV. Tes bisa dilanjutkan dengan kultur virus.2
Pasien dengan herpes zoster oftalmikus dapat diterapi dengan Acyclovir ( 5 x 800
mg sehari) selama 7-10 hari. Penelitian menunjukkan pemakaian Acyclovir,
terutama dalam 3 hari setelah gejala muncul, dapat mengurangi nyeri pada herpes
zoster oftalmikus. Onset Acyclovir dalam 72 jam pertama menunjukkan mampu
mempercepat penyembuhan lesi kulit, menekan jumlah virus, dan mengurangi
kemungkinan terjadinya dendritis, stromal keratitis, serta uveitis anterior.1,5,10
Terapi lain dengan menggunakan Valacyclovir yang memiliki bioavaibilitas yang
lebih tinggi, menunjukkan efektivitas yang sama terhadap herpes zoster
oftalmikus pada dosis 3 x 1000 mg sehari. Pemakaian Valacyclovir dalam 7 hari
menunjukkan mampu mencegah komplikasi herpes zoster oftalmikus, seperti
konjungtivitis, keratitis, dan nyeri. Pada pasien imunocompromise dapat
digunakan Valacyclovir intravena. Untuk mengurangi nyeri akut pada pasien
herpes zoster oftalmikus dapat digunakan analgetik oral.1,5,10
Untuk mengobati berbagai komplikasi yang ditimbulkan oleh herpes zoster
oftalmikus disesuaikan dengan gejala yang ditimbulkan. Pada
blefarokonjungtivitis, untuk blefaritis dan konjungtivitisnya, diterapi secara
paliatif, yaitu dengan kompres dingin dan topikal lubrikasi, serta pada indikasi
infeksi sekunder oleh bakteri (biasanya S. aureus). Pada keratitis, jika hanya
mengenai epitel bisa didebridemant, jika mengenai stromal dapat digunakan
topikal steroid, pada neurotropik keratitis diterapi dengan lubrikasi topikal, serta
dapat digunakan antibiotik jika terdapat infeksi sekunder bakteri.1,2,9,10