hizbut tahrir indonesia

Upload: november-john-paul-manik

Post on 10-Oct-2015

35 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Hizbut Tahrir sebagai gerakan Transnasional

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

1.1.1 Latar Belakang MasalahAktor-aktor politik Islam yang terlibat dalam panggung politik di Indonesia pasca reformasi semakin kompleks. Tidak hanya organisasi-organisasi Islam lokal tetapi juga organisasi yang berafiliasi dengan jaringan politik Islam internasional seperti Al Qaeda, Salafi/Wahabi, Ikhwanul Muslimin, Jamaah Tabligh, dan Hizbut Tahrir. Keberadaan mereka sebagai bentuk gerakan transnasional keagamaan memberikan warna tersendiri bagi perpolitikan Indonesia.Hizbut Tahrir Indonesia merupakan bentuk dari gerakan transnasional keagamaan karena Hizbut Tahrir Indonesia merupakan bagian dari Hizbut Tahrir secara internasional yang didirikan oleh Taqiyudin An Nabhani di Al Quds pada tahun 1953. Secara global, Hizbut Tahrir saat ini aktif di 40 negara di berbagai belahan dunia di wilayah Timur Tengah, Afrika, Asia Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan di negara-negara Barat.[footnoteRef:2] [2: Cohen, Ariel.Hizbut-Tahrir: An Emerging Threat to U.S. Interests in Central Asia. The Heritage Foundation. 30 May 2003. Yang diakses dari http://www.heritage.org/ research/reports/2003/05/hizb-ut-tahrir-an-emerging-threat-to-us-interests-in-central-asia pada tanggal 2 Maret 2014.]

Pemahaman Islam yang dibawa Hizbut Tahrir dari tempat asalnya ke Indonesia, bagi sebagian pihak, dinilai merupakan suatu ancaman bagi keutuhan Indonesia yang mempunyai tingkat pluralitas yang tinggi.[footnoteRef:3] Hal ini beralasan karena paham Islamisme Hizbut Tahrir cenderung kaku dalam berinteraksi dengan nilai-nilai lokal atau pun nilai-nilai Barat yang masuk ke Indonesia. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang melakukan asimilasi antara budaya lokal dan nilai-nilai Islam dan menghasilkan Islam yang khas ke-Indonesia-an. [3: Bagi sebagian pihak, Hizbut Tahrir dianggap sebagai sarana untuk mempererat silahturahmi sesama Muslim. Bagi sebagian pihak lainnya, seperti NU, menganggap Hizbut Tahrir ancaman bagi keutuhan NKRI yang telah banyak ditulis oleh tokoh-tokoh besar NU dalam karya seperti buku ilusi negara Islam.]

Hizbut Tahrir adalah organisasi yang mempertahankan khas keislamannya dengan menempatkan nilai-nilai Islam sebagai anti tesis terhadap nilai-nilai Barat yang mendominasi dunia. Hizbut Tahrir berpandangan bahwa pemikiran-pemikiran Barat hanya akan membuat umat Islam semakin terpuruk. Oleh karena itu, Hizbut Tahrir berusaha mengembalikan umat Islam pada nilai-nilai Islam dan menerapkannya secara menyeluruh dalam berbagai aspek kehidupan serta menolak pemikiran-pemikiran non-Islam. Berdasarkan tulisan William E. Shepard typologi ideologi Islam Hizbut Tahrir termasuk dalam label Islam radikal.[footnoteRef:4] [4: William E. Shepard. Islam and Ideology: Toward Typology. International Journal of Middle East Studies. Vol. 19. No. 3 (Aug., 1987). Hal. 9-12]

Hizbut Tahrir mempunyai tujuan besar yaitu menyatukan seluruh identitas Islam di seluruh dunia di bawah satu otoritas tunggal khilafah Islamiyah yang dalam kehidupannya menerapkan hukum Islam secara menyeluruh seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad pada abad ketujuh. Alasan inilah membuat Hizbut Tahrir dilarang di beberapa negara seperti di Arab Saudi, Jerman, Turki, Rusia, Kazakstan dan Bangladesh karena pemahaman Hizbut Tahrir dianggap radikal karena dapat membahayakan eksistensi negara tersebut.Meskipun pemahaman dan tujuan Hizbut Tahrir di seluruh dunia adalah sama tetapi metode Hizbut Tahrir dalam prakteknya di setiap negara berbeda-beda, tergantung pada situasi politik negara dimana Hizbut Tahrir berada. Hizbut Tahrir tercatat pernah melakukan kudeta di Yordania pada tahun 1969 dan 1971, di Irak pada tahun 1976, di Mesir tahun 1974 dan di Tunisia pada tahun 1970-an. Oleh karena itu, Hizbut Tahrir menjadi organisasi terlarang di negara tersebut.[footnoteRef:5] [5: Ashad Said Ali. 2012. Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi. Jakarta: LP3S]

Di Indonesia, Hizbut Tahrir pertama kali dibawa oleh ulama HT asal Australia yang bernama Abdurahman Albagdadi. Albagdadi datang ke Indonesia dalam memenuhi undangan dari Pesantren Al-Ghazali di Cirebon pada tahun 1982. Pada saat itu terjadi pengawasan ketat atas setiap pergerakan politik di Indonesia oleh pemerintah. Selain itu terdapat aturan yang mewajibkan seluruh organisasi di Indonesia berlandaskan Pancasila. Hal ini tentunya bertentangan dengan pemikiran Hizbut Tahrir yang menganggap tidak menerima ideologi selain Islam dan lebih memilih bergerak secara bawah tanah dengan mengadakan pengajian secara diam-diam di masjid-masjid, kampus, dan rumah-rumah masyarakat untuk menyebarkan pemahamannya.Seiring perkembangan politik di Indonesia, Hizbut Tahrir mulai mendapatkan tempat dan ruang untuk bergerak. Transisi politik Indonesia pada tahun 1998, yang disebut sebagai era Reformasi, menjadi tonggak penting bagi Indonesia karena momen tersebut melahirkan demokrasi serta menandakan runtuhnya sistem sentralisasi dan ototarian Era Orde Baru. Banyak kebijakan dibuat yang sejalan dengan semangat demokrasi, diantaranya adalah pergantian dari hegemonic system party menjadi sistem multi partai, dihapusnya UU No. 8 tahun 1985 dan amandemen UUD 1945 pasal 28E ayat 3. Perubahan tersebut menjadi dasar bagi kebebasan berpolitik di Indonesia yang pada masa sebelumnya dibatasi oleh pemerintah Orde Baru. Hal ini menjadi kesempatan emas dan ruang yang luas bagi politik Islam atau Islamisme untuk tumbuh di Indonesia, termasuk Hizbut Tahrir.Kehadiran demokrasi di Indonesia turut mempengaruhi metode pergerakan Hizbut Tahrir. Pada tanggal 29 Juni 2011, Hizbut Tahrir mendeklarasikan dirinya sebagai partai politik Islam yang menamai dirinya dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) meskipun demikian mereka tidak pernah mengikuti pemilu.[footnoteRef:6] Dalam pergerakan politiknya, Hizbut Tahrir Indonesia menggunakan kebebasan dalam berdemokrasi seperti mendirikan media massa sendiri dalam rangka menggiring opini publik untuk mendukung khilafah dan menolak nilai-nilai non Islam. Selain itu juga, Hizbut Tahrir mengadakan seminar-seminar besar untuk menyebarkan pemahammnya seperti Koferensi Khilafah. [6: BBC. 2011. Hizbut Tahrir Nyatakan Diri Partai Politik. Yang diakses dari http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2011/06/110629_hizbutahrir.shtml?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter pada tanggal 2 Maret 2014.]

Keberadaan Hizbut Tahrir di Indonesia menjadi tantangan bagi Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia di era Reformasi karena paham khilafah Islamiyah Hizbut Tahrir dapat menjadi anti tesis bagi Pancasila dan konsep nation-state di Indonesia yang telah dianggap final. Hal ini menjadi menarik karena perbenturan pemikiran antara nilai Islam dan nilai lokal Indonesia memasuki babak baru dengan panggung yang baru tetapi tetap berakar pada permasalahan yang sama.[footnoteRef:7] Sama seperti yang dikatakan Samuel Huttington dan Kurshid Ahmad menggambarkan Islam dalam kontemplasi politik global sebagai berbenturan peradaban dan pemikiran antara Islam dan nilai-nilai Barat dalam mempertahankan status quo dari masing-masing pemikiran.[footnoteRef:8] [7: Jeffrey Haynes. Transnational Religious Actors and International Order. Perspective. Vol. 17, No. 2. 2009] [8: Samuel Hutington. 1993. The Clash of Civilization?. Foreign Affairs. Vol. 71, No. 3. Lihat juga Khurshid Ahmad. 1983. Nature of Islamic resurgence in "Voices of resurgent Islam". Oxford University Press]

Dari pemaparan singkat ini, maka penulis mengambil judul permasalahan yaitu GERAKAN POLITIK ISLAM HIZBUT TAHRIR INDONESIA ERA PASCA REFORMASI

1.2Perumusan MasalahIslam, bagi pemeluknya, bukan hanya suatu ajaran yang mengatur ritual dalam hubungan suatu individu dan Tuhan-nya semata tetapi Islam juga mengatur segala aspek kehidupan bagi umatnya yang berdasarkan Al Quran dan Hadist. Jadi, Islam tidak mengenal konsep sekulerisme. Namun demikian, dalam implementasi nilai-nilai Islam sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan dimana Islam itu tumbuh. Hal ini yang menyebabkan perbedaan dalam corak dan gerakan politik Islam di seluruh dunia. Sebagai contoh, corak Islam di Indonesia dan di Palestina sangat jauh berbeda. Hal ini juga dipengaruhi oleh ijtihad terhadap nilai-nilai Islam.Pemahaman Hizbut Tahrir tidak bisa terlepas dari pandangan Taqiyuddin An-Nabhani terhadap Islam dan lingkungannya. Taqiyuddin merupakan tokoh utama dibalik beridirinya Hizbut Tahrir. Dasar pemikiran Taqiyuddin dalam mendirikan Hizbut Tahrir adalah rasa prihatinnya atas penjajahan tanah Palestina oleh Barat serta mulai pudarnya nilai-nilai Islam dan terpuruknya negara-negara mayoritas Islam yang disebabkan oleh budaya dan pemikiran-pemikiran Barat yang menguasai dunia Islam. Lebih jauh, Taqiyuddin berpendapat penjajahan yang dilakukan oleh Barat pada masa Kolonial masih berlangsung hingga saat ini dengan menggunakan kapitalisme dan demokrasi yang telah membuat negara-negara Islam terpuruk dan mengalami ketertinggalan dari Barat.Taqiyuddin percaya dengan kembali kepada nilai-nilai Islam dan meninggalkan paham yang berasal dari Barat akan membuat negara-negara Islam bangkit dari keterpurukan. Hal ini dapat diwujudkan dengan membentuk khilafah dan dipercaya sebagai solusi dari permasalahan yang dihadapi oleh negara-negara Islam serta dapat mengembalikan kejayaan Islam seperti masa Nabi Muhammad pada abad ketujuh. Oleh karena itu, Hizbut Tahrir dalam tujuan besarnya adalah berupaya mendirikan khilafah dunia dimana umat Islam di seluruh dunia bersatu dalam satu komando yang disebut sebagai darul Islam serta menjalankan hukum-hukum Islam secara menyeluruh seperti Islam pada masa khilafah. Selain itu juga, Hizbut Tahrir mempunyai pandangan anti-Barat.[footnoteRef:9] [9: Ali, Ashad Said. 2012. Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi. Jakarta: LP3S]

Pemahaman Taqiyuddin ini tidak berbeda dengan Sayid Qutb dan Al Mawduddi yang termasuk dari pemahaman Islam radikal. Baik Qutb, Mawduddi, dan Taqiyuddin menilai ijtihad sebagai nilai mutlak dan bukan dijadikan sebagai gerbang dalam menerima nilai-nilai Barat. Mereka berusaha untuk mempertahankan kekhasan Islam dengan menerapkan nilai-nilai Islam secara menyeluruh dalam kehidupan, seperti yang dikatakan oleh Sayid Qutb bahwa Islam merupakan agama yang fleksibel tetapi tidak berubah. Ini berarti Islam dijadikan sebagai sumber hukum yang mengatur kehidupan publik dan kehidupan personal. Mawduddi menambahkan bahwa Islam dapat dijadikan sebagai paham tandingan ditengah-tengah dominasi Barat.[footnoteRef:10] [10: William E. Shepard. Ibid.]

Politik Islam yang diasung oleh Hizbut Tahrir Indonesia bertujuan untuk mewujudkan tatanan sosial, ekonomi dan politik yang islami. Hal ini merupakan tantangan bagi Indonesia mengingat Indonesia merupakan negara dengan penduduk pemeluk agama Islam terbesar di dunia dan Indonesia juga merupakan negara yang memiliki tingkat pluralitas kebudayaan, suku, bangsa, dan agama yang tinggi. Untuk memelihara persatuan dalam tingkat pluralitas yang tinggi, Indonesia menetapkan Pancasila sebagai dasar negara. Sistem pemerintahan yang diterapkan Indonesia berupa religius sekuler yang tercermin dari bunyi sila pertama dari Pancasila yang menyebutkan Tuhan Yang Maha Esa sebagai arti dari ketuhanan yang luas.[footnoteRef:11] [11: Istilah religius sekuler diambil dari tulisan William E. Shepard yang berarti pemisahan negara dan agama di dalam kehidupan publik, namun konstitusi negara mengakui adanya Ketuhanan. Meskipun demikian, Ketuhanan disini diartikan secara luas dan tidak berdasarkan agama tertentu. Lihat William E. Shepard. Islam and Ideology: Toward Typology. International Journal of Middle East Studies. Vol. 19. No. 3 (Aug., 1987).]

Secara umum gerakan politik Hizbut Tahrir ingin mendirikan dan membangun kembali kejayaan Khilafah di dunia dan melakukan pemurnian agama bagi kaum Islam di dunia terhadap pengaruh-pengaruh politik, agama, budaya dan kebiasaan Barat. Maka dari pemaparan diatas, penulis mencoba mengarahkan penelitian ini dan mengajukan pertanyaan peneilitian Bagaimana Gerakan Politik Islam Hizbut Tahrir Indonesia Era Pasca Reformasi?

Ruang LingkupPenelitian ini difokuskan terhadap tingkat analisa dari penelitian, yaitu gerakan politik Islam Hizbut Tahrir Indonesia. Penelitian ini dibatasi waktu yaitu Indonesia pada era reformasi.Tujuan PenelitianPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih dalam mengenai gerakan politik Islam Hizbut Tahrir Indonesia pada era reformasi. Tujuan penelitian dapat diuraikan sebagai berikut:1. Mengetahui secara mendalam mengenai Hizbut Tahrir Indonesia.2. Mengetahui sistem politik di Indonesia pada era reformasi.3. Mengetahui peran Hizbut Tahrir di dalam pentas politik Indonesia.Kegunaan PenelitianDalam penelitian ini penulis dapat memberikan informasi dan pemikiran bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Dengan adanya penelitian ini, penulis memaparkan permasalahan penelitian dengan tepat agar lebih mudah dipahami serta dapat menambah pengetahuan sekaligus dan dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan bahan yang berguna dalam memperluas khazanah ilmu pengetahuan serta dapat menjadi sumber informasi bagi pihak-pihak yang melakukan penelitian yang sama dan sebagai sarana pengembangan ilmu yang diperoleh penulis selama mengikuti pendidikan di Perguruan Tinggi.1.3 Kerangka TeoriDi antara fenomena yang disadari oleh sebagian pengkaji teori-teori politik secara umum, adalah: adanya hubungan yang erat antara timbulnya pemikiran-pemikiran politik dengan perkembangan kejadian-kejadian historis. Jika fenomena itu benar bagi suatu jenis atau madzhab pemikiran tertentu, dalam bidang pemikiran apapun, hal itu bagi pertumbuhan dan perkembangan teori-teori politik Islam amatlah jelas benarnya. Teori-teori ini terutama pada fase-fase pertumbuhan pertamanya berkaitan amat erat dengan kejadian-kejadian sejarah Islam. Hingga hal itu harus dilihat seakan-akan keduanya adalah seperti dua sisi dari satu mata uang. Atau dua bagian yang saling melengkapi satu sama lain. Sifat hubungan di antara keduanya berubah-ubah: terkadang pemikiran-pemikiran itu tampak menjadi penggerak terjadinya berbagai kejadian, dan terkadang pula kejadian-kejadian itu menjadi pendorong atau rahim yang melahirkan pendapat-pendapat itu. Kadang-kadang suatu teori hanyalah sebuah bias dari kejadian yang berlangsung pada masa lalu. Atau suatu kesimpulan yang dihasilkan melalui perenungan atas suatu pendapat yang telah diakui pada masa sebelumnya. Atau bisa pula hubungan itu berbentuk lain.Karena adanya hubungan antara dua segi ini, segi teoretis dan realistis, maka jelaslah masing-masing dari kedua hal itu tidak dapat dipahami tanpa keberadaan yang lain. Metode terbaik untuk mempelajari teori-teori ini adalah dengan mengkajinya sambil diiringi dengan realitas-realitas sejarah yang berkaitan dengannya. Secara berurutan sesuai dengan fase-fase perkembangan historisnya yang sekaligus merupakan runtutan alami dan logisnya. Sehingga dapat dipahami hakikat hubungan yang mengkaitkan antara dua segi, dapat memperjelas pendapat-pendapat, dan dapat menunjukkan bumi yang menjadi tempat tumbuhnya masing-masing pemikiran hingga berbuah, dan mencapai kematangannya. Dalam penelitian ini, penulis mencoba mengkaji permasalahan diangkat dengan menggunakan teori Politik Islam. Banayk pendapat para ahli mengenai perkembangan politik Islam, pada kesempatan ini penulis mencoba mengupas perkembangan Hizbut Tahrir di Indonesia menggunakan teori teori Politik Islam yang disampaikan oleh Olivier Roy dalam bukunya The Failure of Political Islam, Kurshid Ahmad dalam bukunya The Nature of Islamic Resurgence, M Ayoob dalam bukunya Political Islam Image and Reality dan William E Shepard dalam bukunya Islam and Ideology Toward Typologi.Asumsi telah menginspirasi banyak diskusi di Barat mengenai politik Islam selama dekade terakhir dan setengah-terutama karena 9/11. Ini adalah: satu, bahwa Islam politik, seperti Islam itu sendiri, adalah monolitik; dua, bahwa politik Islam sebagai agama kekerasan; dan, tiga, bahwa pembauran agama dan politik adalah unik untuk Islam. Asumsi ini adalah palsu. Selain itu, meskipun argumen dapat dibuat bahwa ada sejumlah varietas politik Islam transnasional, manifestasi transnasional seperti membentuk bagian yang sangat kecil dari kegiatan sebagaimana dimaksud Islam.Kita harus mulai dengan definisi istilah "Politik Islam," atau "Islamisme," yaitu, Islam sebagai ideologi politik dan bukan sebagai konstruk agama atau teologi. Pada tingkat yang paling dasar, penganut Politik Islam percaya bahwa "Islam sebagai badan iman memiliki sesuatu yang penting untuk mengatakan tentang bagaimana politik dan masyarakat harus diatur dalam dunia Muslim kontemporer dan diterapkan dengan cara tertentu."[footnoteRef:12] Namun, generalisasi ini tidak tidak membawa kita lebih jauh dalam menjelaskan kegiatan politik yang dilakukan atas nama Islam. Definisi yang lebih analitis berguna adalah bahwa yang diberikan oleh ilmuwan politik Guilian Denoeux, yang menulis Islamisme sebagai "bentuk instrumentalization Islam oleh individu, kelompok dan organisasi yang mengejar tujuan politik. Ini memberikan tanggapan politik terhadap tantangan sosial saat ini dengan membayangkan masa depan, fondasi yang beristirahat pada penempatan kembali, konsep diciptakan kembali dipinjam dari tradisi Islam. "[footnoteRef:13] [12: Fuller, Graham. 2003. The Future of Political Islam. New York: Palgrave, 2003 halaman. xi.] [13: Denoeux Guilain. 2002. The Forgotten Swamp: Navigating Political Islam, Middle East Policy, vol. 9. Hal 61.]

Penempatan kembali dari masa lalu, "penemuan tradisi" dalam hal romantis dari gagasan mitos zaman keemasan terletak di jantung instrumentalisasi dari Islam. Ini adalah penemuan tradisi yang menyediakan alat untuk de-historicizing Islam dan memisahkannya dari berbagai konteks di mana ia telah berkembang selama masa seribu empat ratus tahun. Dari konteks ini Islam memungkinkan Islamis dalam teori untuk mengabaikan milieus sosial, ekonomi, dan politik di mana komunitas Muslim ada. Hal Ini menyediakan Islamis alat ideologis yang kuat yang dapat mereka gunakan untuk "membersihkan" masyarakat Muslim dari "kekotoran" dan "penambahan-penambahan" yang tak terelakkan dari proses sejarah, tetapi yang mereka lihat sebagai alasan penurunan Muslim. Namun, konteks memiliki cara menegaskan kembali dirinya atas teori abstrak ketika upaya dilakukan untuk menempatkan teori dalam praktek. Ini adalah apa yang telah terjadi dengan Islamisme. Dalam prakteknya, tidak ada dua Islamisms yang sama karena mereka ditentukan oleh konteks di mana mereka beroperasi. Apa yang bekerja di Mesir tidak akan bekerja di Indonesia. Apa yang bekerja di Arab Saudi tidak akan bekerja di Turki. Siapa pun akrab dengan keragaman Muslim dunia-nya, karakteristik sosial-ekonomi, budaya, sistem politik, dan lintasan dari pembangunan-intelektual terikat untuk menyadari bahwa manifestasi politik Islam, seperti praktek Islam itu sendiri, adalah berpengaruh pada konteks tertentu, hasil interpenetrasi ajaran agama dan budaya lokal, termasuk budaya politik.[footnoteRef:14] [14: Olivier Roy, The Failure of Political Islam, dalam Carol Volk [Cambridge, MA: Harvard University Press, 1996], p. vii]

Memang benar bahwa ada kosa kata Islam yang melampaui batas-batas politik. Namun, kosakata ini biasanya digunakan untuk melayani tujuan tertentu dalam pengaturan diskrit. Dengan demikian, meskipun idiom Islam mungkin tampak sama di mana-mana bagi pengamat, hal itu berbeda dari pengaturan ke pengaturan. Sebagai antropolog Dale Eickelman dan James Piscatori ilmuwan politik mencatat, politik menjadi "Muslim" dengan "seruan ide dan simbol, yang Muslim dalam konteks yang berbeda mengidentifikasi sebagai 'Islam.[footnoteRef:15] [15: Eickelman Dale F. dan James Piscatori,. 1996. Muslim Politics . Princeton, NJ: Princeton University Press. hal. 4]

Ini menjadi jelas bahwa imajinasi politik Islam sangat ditentukan oleh konteks ketika kita melihat wacana politik dan, yang lebih penting, kegiatan berbagai gerakan Islam. Jamaat-i-Islami adalah gerakan spesifik Pakistan dan Gerakan Islamic Salvation adalah gerakan spesifik di Aljazair. Strategi dari Ikhwanul Muslimin, yang didirikan di Mesir dan memiliki cabang di berbagai negara Arab, berbeda dari satu negara ke negara. Varian Mesir, Yordania, dan Suriah telah mengadopsi strategi politik yang sangat berbeda dalam menanggapi tantangan lokal. Memang, induk organisasi di Mesir sendiri telah bermutasi dari waktu ke waktu, kepemimpinannya di awal 1980-an tegas menolak ide-ide yang lebih radikal dan militan yang terkait dengan Sayyid Qutb, ideolog utamanya dari tahun 1960-an. Penerimaan Islam sebagai bagian integral pembentukan identitas di sebagian besar negara-negara Muslim mungkin dihindari, tetapi hal itu membuka gerbang untuk intrusi Islam ke dalam proses politik postkolonial. Daya tarik politik Islam meningkat sebagai mana elit pemerintahan gagal mewujudkan janji-janji mereka pada kemajuan ekonomi, partisipasi politik, dan martabat pribadi untuk populasi yang muncul dari perbudakan kolonial. Hal ini di era ini, dari tahun 1950 hingga tahun 1970-an, bahwa politik Islam, seperti yang kita kenal sekarang. Abul Ala Mawdudi di Pakistan dan Sayyid Qutb di Mesir, baik pendukung negara Islam dan penentang nasionalisme sekuler, menjadi intelektual pembawa standar yang paling utama. RADICAL Islamisme oleh "Islamisme radikal" atau sering disebut "fundamentalis." Bentuk ini ditampilkan oleh Sayed Abul A'la Maududi dan tulisan-tulisan berikutnya oleh Sayyid Qutb,[footnoteRef:16] dan dalam derajat hanya sedikit lebih rendah oleh Imam Khomeini dan para pemimpin Iran lainnya. Seperti modernis, tetapi bahkan makin keras, Islam radikal mengklaim bahwa Islam adalah untuk semua aspek sosial maupun kehidupan pribadi. Mereka setuju dengan kaum modernis bahwa Islam adalah fleksibel dan Islami "takhayul" harus dihilangkan. Mereka juga menerima kebutuhan untuk ijtihad mutlak, tetapi mereka cenderung kurang dalam melakukan itu dan mereka menekankan bahwa hal itu harus dilakukan dengan cara yang otentik Islam, bukan sebagai sarana rahasia meniru Barat. Mawdudi mengatakan, "Tujuan dan objek ijtihad bukanlah untuk menggantikan hukum Tuhan dengan hukum buatan manusia. tujutan nyatanya adalah untuk memahami UU MA."[footnoteRef:17] Sayyid Qutb mengatakan bahwa Islam adalah "fleksibel" tetapi tidak "berubah-ubah" dan menekankan bahwa "jika ada teks otoritatif (nass), maka teks yang menentukan dan tidak ada ruang untuk ijtihad. Jika tidak ada nass, kemudian datang waktu untuk ijtihad, harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan metode Allah sendiri . " [16: Shepard William E. 2009. Islam and Ideology Toward Typologi. Cambridge Unicersity Press. Inggris. Hal 314] [17: Ahmad Khursid. 1975. The Islamic Law and Constitution, Edisi ke 5 .slamic Publications Ltd.. Lahore .hal. 72.]

Secara konsisten dengan hal ini, Islam radikal cenderung menerima lebih dari ijtihad masa lalu para ulama dan kurang menekankan kegagalan masyarakat dalam masa pra-modern dan distorsi yang disebabkan oleh colonialism Barat. Dalam hal ini tampak serupa dengan tujuan awal Hizbut Tahrir berdiri yaitu Hizbut Tahrir bermaksud membangkitkan kembali umat Islam dari kemerosotan yang amat parah, membebaskan umat dari ide-ide, sistem perundang-undangan, dan hukum-hukum kufur, serta membebaskan mereka dari cengkeraman dominasi dan pengaruh negara-negara Negara Barat. Hizbut Tahrir bermaksud juga membangun kembali Daulah Khilafah Islamiyah di muka bumi, sehingga hukum yang diturunkan Allah SWT dapat diberlakukan kembali. Mereka juga sangat menekankan kekhasan Islam. Mawdudi menolak untuk mereka yang ingin mengidentifikasi Islam dengan "demokrasi," "komunisme", atau "diktator" dengan alasan bahwa hasil identifikasi tersebut dari "keyakinan bahwa kita sebagai umat Islam bisa mendapatkan kehormatan atau rasa hormat kecuali kita mampu menunjukkan bahwa agama kita menyerupai kepercayaan modern. "[footnoteRef:18] Mereka cenderung menolak istilah-istilah seperti" sosialisme Islam, "dan Khomeini bahkan menolak untuk memasukkan kata" demokrasi "dalam nama Republik Islam Iran.[footnoteRef:19] Sebaliknya, Mujahidin-i Khalq, misalnya, berbicara tentang "Demokrasi Republik Islam Iran." Perhatian untuk kekhasan dapat memanifestasikan dirinya dalam sebuah desakan hukum Islam jelas berbeda, seperti hukuman hadd. Lebih halus, meskipun, kekhasan dicapai dengan menekankan bahwa Islam secara keseluruhan adalah sistem yang berbeda dan terintegrasi, sehingga bahkan jika unsur-unsur individu tampaknya tidak khas, tempat mereka di sistem Islam membuat mereka berbeda. konsisten dengan pendekatan ini, beberapa mengatakan bahwa hukuman seperti memotong tangan pencuri harus dilakukan pada hanya setelah masyarakat yang benar-benar Islam diberlakukan.[footnoteRef:20] [18: Ibid. Hal 118] [19: Algar Hamid.1981. Islam and Revolution, Hamid Algar. Mizan Press, Berkeley. Hal 55] [20: Mitchell, R. P. 1969. The Society of the Muslim Brothers Oxford University Press, Londin. Hal 240-41.]

Sesuai dengan keprihatinan ini untuk kebenaran dan kekhasan, Islam radikal kurang dalam penekanan pada apologetik. Dalam prakteknya ini mungkin hanya perbedaan tingkatan, tetapi niat itu lebih dari itu. Mawdudi dan Sayyid Qutb melihat "inferioriti kompleks" dalam modernis apologetics.[footnoteRef:21] terutama, mereka cenderung tanpa kompromi pada minoritas non-Muslim. Mawdudi secara terbuka menyerang "persamaan di depan hukum" sebagai seorang sham dan pembela ketentuan Islam untuk status dzimmi.[footnoteRef:22] Lebih dari yang lain, kelompok Islam radikal menekankan pentingnya menempatkan syariat ke dalam praktek. Hal ini tidak hanya untuk diketahui dan dihormati, tetapi hukum yang akan diberlakukan dan dipatuhi. Aktivitas Hizbut Tahrir adalah mengemban dakwah Islam dalam rangka melakukan transformasi sosial di tengah-tengah situasi masyarakat yang rusak sehingga diubah menjadi masyarakat Islam. Hal ini sejalan dengan konsep yang di munculkan oleh qutb tentang menekankan semua aspek Islam terhadap semua subjek masyarakat, bukan hanya masyarakat Islam tapi seluruh masyarakat yang berada dalam wilayah mayoritas Islam seperti di Indonesia. Hizbut Tahrir ,encoba Upaya untuk menempuh hal ini dengan tiga cara: [21: Loc.cit Mawdudi, The Islamic Law, Hal 118] [22: Ibid. Hal 265-268]

1. Mengubah ide-ide yang ada saat ini menjadi ide-ide Islam. Dengan begitu, ide-ide Islam diharapkan dapat menjadi opini umum di tengah-tengah masyarakat, sekaligus menjadi persepsi mereka yang akan mendorong mereka untuk merealisasikan dan mengaplikasikan ide-ide tersebut sesuai dengan tuntutan Islam.2. Mengubah perasaan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat menjadi perasaan Islam. Dengan begitu, mereka diharapkan dapat bersikap ridha terhadap semua perkara yang diridhai Allah, dan sebaliknya, marah dan benci terhadap semua hal yang dimurkai dan dibenci oleh Allah.3. Mengubah interaksi-interaksi yang terjadi di tengah masyarakat menjadi interaksi-interaksi yang Islami, yang berjalan sesuai dengan hukum-hukum Islam dan pemecahan-pemecahannya. Seluruh aktivitas atau upaya yang dilakukan Hizbut Tahrir di atas adalah aktivitas atau upaya yang bersifat politisdalam makna yang sesungguhnya. Artinya, Hizbut Tahrir menyelesaikan urusan-urusan masyarakat sesuai dengan hukum-hukum serta pemecahannya secara syar. Sebab, secara syar, politik tidak lain mengurus dan memelihara urusan-urusan masyarakat (umat) sesuai dengan hukum-hukum Islam dan pemecahannya.

DI Iran, hal ini, pada kenyataannya, adalah beban utama Khomeini di dalam pemerintahan.[footnoteRef:23] Islam Pada titik ini, meskipun, ada variasi yang signifikan dari strategi. Beberapa lebih bersedia untuk menerima pendekatan gradualis undang-undang Islam dan untuk bekerja sama dengan orang-orang dari pendekatan ideologis lainnya. Di Mesir pada tahun 1984, beberapa Ikhwanul Muslimin terpilih ke parlemen sebagai anggota Wafd, partai sekuler terkemuka era pra-Nasser. Islam radikal lain yang lebih berorientasi aksi kekerasan atau revolusioner, seperti dalam revolusi Iran atau pembunuhan Anwar Sadat. [23: Loc.cit.Islam and Revolution. Hal 27-165]

Islam radikal masih sangat modern dan banyak menerima pengaruh dari Barat. Dalam beberapa hal ini tidak mengherankan karena muncul terutama sebagai reaksi terhadap tren westernisasi, dan reaksi biasanya mengambil beberapa karakteristik terhadap apa mereka bereaksi. Paling jelas, ia tidak memiliki kesulitan menerima teknologi material modern, seperti peran perekam kaset dalam revolusi Iran dan benturan senjata modern dalam perang Iran-Irak secara dramatis digambarkan. Bahkan, hadits yang dikutip di atas oleh 'Azzam ("Kau tahu tentang hal-hal duniawi terbaik Anda") mengacu pada konteks untuk penyerbukan kurma, soal teknologi pertanian. Di luar ini, bagaimanapun, Islam radikal telah mampu menerima dan menggunakan secara efektif banyak metode modern organisasi politik dan sosial yang berasal dari Barat dan beradaptasi pada setidaknya beberapa ide politik Baratdan simbolnya. Republik Islam Iran memiliki partai politik, pemilu, dan parlemen, dan "Crusade for Construction" (Jihad-i Sazandegi) setidaknya mengingatkan Peace Corps US Domestik. Organisasi pemuda dan koperasi dikembangkan oleh Ikhwanul Muslimin di Mesir sebagai contoh lain. Dalam ranah konsep ideologis, Khomeini mungkin telah menolak "demokrasi" tapi dia menerima "republik," dan kemampuan para pemimpin Iran untuk menggunakan dunia populis dan ketiga retorika revolusioner terkenal. Mawdudi mengatakan bahwa "Muslim adalah judul Partai Revolusioner Internasional yang diselenggarakan oleh Islam" dan jihad yang mengacu pada "perjuangan revolusioner," sementara Sayyid Qutb berbicara dalam konteks semacam itu menggambarkan Islam sebagai "proklamasi universal pembebasan manusia. "Meskipun Islam radikal mencoba untuk menghindari mengikuti model Barat, model ini tidak diragukan lagi sangat berpengaruh pada mereka dan menyebabkan beberapa variasi di antara mereka. Jadi Mawdudi kadang-kadang dikatakan lebih "kapitalis" dan Sayyid Qutb lainnya "sosialis," dan perbedaan serupa tampaknya telah muncul di Iran. Terutama penting adalah kenyataan bahwa Islam radikal menerima gagasan kemajuan. Dengan semangat mereka untuk mengikuti Sunnah Nabi, mereka umumnya dituduh ingin memutar balik waktu ke abad ketujuh Saudi, tapi ini adalah kesalahpahaman serius. Mereka tidak hanya menginginkan kemajuan tetapi bersikeras bahwa Islam adalah cara untuk mendapatkannya. Khomeini, misalnya, menjelaskan Islam sebagai "Progres-sive,"[footnoteRef:24] dan Mawdudi mengatakan, "kita dapat mempercepat perjalanan selanjutnya untuk kemajuan hanya pada kekuatan nilai-nilai moral yang diucapkan oleh Islam." Bahkan, jauh dari mencerminkan penolakan gagasan kemajuan, semangat mereka mencerminkan penerimaan itu, karena ide kemajuan memotong tanah dari bawah salah satu pembenaran tradisional yang paling umum untuk tidak bertindak, pandangan bahwa penurunan historis lebih atau kurang tak terelakkan sehingga ideal "zaman keemasan" Nabi tidak dapat direalisasikan di kemudian waktu. Radikal Islamis pasti ingin membatalkan banyak efek dari "kemajuan," gaya Barat tapi ini tidak sama dengan ingin memutar kembali jarum jam. [24: Ibid hal30]

Aktivisme sosial dan politik Islam radikal juga memperlihatkan orientasi jauh lebih duniawi daripada di kalangan umat Islam yang saleh di masa lalu, dan mereka mencolok ditandai oleh apa yang disebut Weber "asketisisme duniawi batin." Hal ini harus disimpan dalam perspektif, meskipun. Mereka tidak peduli untuk hal-hal dunia lain, dan sampai batas tertentu penekanan mereka pada hal-hal duniawi adalah fungsi dari fakta bahwa hal ini terutama dalam lingkup duniawi bahwa sekularisme telah menyebut Islam dipertanyakan. Kemampuan Islam radikal Syi'ah, khususnya, untuk menggabungkan perhatian dunia lain dengan tindakan duniawi dalam kemartiran telah secara dramatis menunjukkan di jalan-jalan kota dan di medan perang. Aktivitas politik Hizbut Tahrir ini juga tampak dalam upayanya melakukan pergolakan pemikiran dan perjuangan politiknya. Pergolakan pemikiran Hizbut Tahrir ini dapat terlihat dalam upayanya untuk senantiasa melakukan perlawanan terhadap ide-ide dan aturan-aturan kufur serta penentangannya terhadap ide-ide yang salah, akidah-akidah yang rusak, atau pemahaman-pemahaman yang keliru. Semua itu dilakukan dengan berupaya membongkar kerusakannya, menampakkan kekeliruannya, dan menjelaskan solusi hukum-hukum Islam dalam masalah tersebut.Sementara itu, perjuangan politik Hizbut Tahrir dapat terlihat dalam upayanya menentang orang-orang imperialis Barat dalam rangka melepaskan umat Islam dari belenggu kekuasaan mereka, membebaskan umat Islam dari tekanan dan pengaruhnya,serta mencabut akar-akar pemikiran, kebudayaan, politik, ekonomi, maupun militer dari seluruh negeri-negeri Islam.Dengan demikian, aktivitas Hizbut Tahrir secara keseluruhan merupakan aktivitas yang bersifat politik, baik di lingkungan sistem kekuasaan yang tidak Islami ataupun di dalam naungan sistem pemerintahan Islam. Dapat dicatat dalam melewati "Protestan" dua lainnya kecenderungan Islam radikal. Salah satunya adalah kecenderungan yang jelas untuk mendesak sebuah etos kerja "Weberian", dan yang lainnya adalah kecenderungan untuk "menyederhanakan" simbol system Islam dengan berkonsentrasi pada unsur-unsur dasar tertentu. Kedua saham dengan modernisme Islam, tetapi dalam kasus yang terakhir motivasi berbeda. Sedangkan modernisme menyederhanakan sistem simbol untuk kepentingan "fleksibilitas," Islam radikal melakukannya lebih untuk kepentingan keaslian. Melihat dasar-dasar seperti di bawah ancaman, ia berharap untuk memperkuat mereka dan berhubungan dengan segala sesuatu lebih tegas kepada mereka. Bahkan, jarak kecenderungannya mungkin lebih "merasionalisasi" daripada untuk menyederhanakan sistem simbol. Kecenderungan untuk melihat Islam sebagai "sistem" juga modern. Secara tradisional, ketentuan politik Syariah dipahami sebagai perintah kewajiban pada penguasa bukan sebagai "sistem".[footnoteRef:25] terkait dengan ini adalah kecenderungan kuat untuk "reify" Islam, yang WC Smith berpendapat adalah fenomena modern. "modernitas" dari Islam radikal terkait dengan fakta bahwa dalam dunia Sunni Islam radikal cenderung menjadi "orang awam," dan dengan demikian mungkin tidak begitu menyadari sepenuhnya sebagai ulama dari kompleksitas dan sumber daya dari tradisi masa lalu. Di antara Syi'ah, di sisi lain, telah dipimpin oleh ulama, sebagian karena "gerbang ijtihad" tidak ditutup antara Syi'ah. Hal ini mungkin telah membuat ShiCi ulama sedikit lebih fleksibel dalam penafsiran, tetapi lebih penting lagi telah memberikan mereka otoritas lebih atas pengikut mereka dan memungkinkan mereka untuk menjaga independensi jauh lebih besar dari pemerintah westernisasi daripada yang mungkin untuk rekan-rekan Sunni mereka. Fakta bahwa Islam radikal Syi'ah adalah ulama yang dipimpin berarti bahwa ia memiliki rootage lebih besar dalam tradisi masa lalu dan cenderung dalam arah "neo-tradisionalis". [25: Hodgson, Marshall . 1974. The Venture of Islam, Conscience and History in a World Civilization, Vol. 3, The Gunpowder Empires and Modern Times . University of Chicago Press. Chicago. Hal 389.]

1.4 Definisi KonsepsionalDefinisi gerakan politik dalam buku Kamus Istilah Politik Kotemporer adalah suatu siasat politik untuk mengadakan perubahan-perubahan pada lembaga politik oleh partai.[footnoteRef:26] Gerakan politik merupakan feed back dalam suatu sistem politik. Hal ini sejalan dengan pengertian gerakan politik dalam ilmu komunikasi yaitu gerakan politik merupakan suatu reaksi dari masyarakat terhadap aksi dari pemerintah dalam suatu tatanan politik negara. [26: Akbar Kaelola. 2009. Kamus Istilah Politik Kotemporer. Jogja:Cakrawala.]

Gerakan politik yang berdasarkan dan bertujuan dalam menegakan nilai-nilai Islam maka gerakan politik tersebut adalah gerakan politik Islam. Dalam beberapa literatur, gerakan politik Islam dibagi menjadi beberapa macam gerakan politik tetapi mempunyai tujuan yang sama, yaitu menegakan syariat Islam. Ada tiga macam gerakan politik Islam diantaranya fundamentalis, revival, dan pan Islam. Khilafah adalah suatu sistem pemerintahan yang pernah diterapkan oleh Nabi Muhammad ketika hijrah ke Madinah yang kemudian dilanjutkan oleh para sahabat nabi. Dasar dari sistem pemerintahan khilafah adalah Al Quran dan Hadist dan tidak mengenal konsep sekulerisme. Khilafah adalah kepemimpinan umat dalam suatu daulah Islam yang universal di muka bumi yang dipimpin oleh khalifah yang telah di-baiat oleh umat.

1.5 Definisi Operasional1. NegaraMenurut Harold D. Laswell, definisi negara dapat dirumuskan dalam dalam kalimat who gets what, when, and how?. Berdasarkan definisi tersebut maka pengertian negara ditekankan pada aspek fungsionalnya. Indonesia setelah era Orba, identifikasi negara mengalami perubahan yang sangat drastis. Jika pada era Orba Pancasila dijadikan alat legitimasi oleh negara dalam mencapai tujuannya maka pada era reformasi fungsi Pancasila dikembalikan kembali sebagai ideologi negara. Selain itu juga, negara menjamin kebebasan masyarakatnya untuk mengeluarkan pendapat, berserikat dan berkumpul. Dengan demikian dapat dikatakan Indonesia menerapkan sistem demokrasi konstitusi. Namun, dalam kenyataanya dalam berdemokrasi masyarakat Indonesia belum dewasa. Hal ini dapat dilihat dari masih kuatnya pengaruh tokoh dalam masyarakat dalam suatu organisasi kemasyarakatan sehingga aspirasi yang disuarakan sering kali merupakan kepentingan individu. Selain itu, fungsi negara yang seharusnya menjadi wadah bagi masyarakat untuk mencapai tujuannya menjadi alat untuk mencari keuntungan ekonomi melalui birokrasi.2. IslamPertama-tama harus dibedakan antara Islam sebagai doktrin, dengan Islam sebagai sebuah Umat. Hal ini sama seperti membedakan Islam ambengan dan Islam santri pada masyarakat Jawa. Pada dasarnya sifat Islam adalah hadir dimana-mana dengan menjadikan Islam sebagai pedoman hidup. Karena sifanya inilah terjadi perbedaan pandangan terhadap Islam oleh umat Islam sendiri yang dipengaruhi oleh faktor sosiologis, kultural, dan intelektual.[footnoteRef:27] Hal ini akan mempengaruhi posisi Islam dalam politik, apakah Islam dipandang sebagai doktrin yang memerlukan itjihad yang rumit dan memandang nilai-nilai Islam perlu diterapkan dalam politik atau memandang Islam sebagai agama yang universal. [27: Edi Asnawi. 2013. Ibid.]

Dalam penelitian ini Islam di posisikan dalam pengertian society (masyarakat). Jadi, yang termasuk dalam umat Islam disini adalah yang berada dalam society. Hal ini sesuai dengan konsep negara yang demokrasi dimana Islam dipandang sebagai society mempunyai kekuatan untuk menekan negara dan adanya pergesekan antar kelompok masyarakat lainnya dalam mencapai tujuannya.

1.6HipotesisBerdasarkan pada rumusan masalah dan mengacu pada kerangka teori yang penulis ajukan, penulis merumuskan hipotesa bahwa Gerakan Politik Islam Hizbut Tahrir Indonesia Dipengaruhi Oleh Keadaan Sistem Politik Indonesia.Penelitian ini terdiri dua variabel, yaitu variabel independen dan dependen. Variabel independen dalam penelitian ini adalah sistem politik Indonesia pasca reformasi dengan indikator sebagai berikut:1. Amandemen UUD 1945 pasal 28E ayat 3 memberikan ruang kepada setiap warga negara untuk menyuarakan pendapat dan memberi kebebasan untuk berserikat dan berkumpul.2. Demokrasi dan globalisasi berpengaruh besar terhadap keadaan sistem politik Indonesia.3. Indonesia memiliki tingkat pluralitas yang tinggi, hal ini berimbas pada mudahnya gesekan antar kepentingan yang terjadi di Indonesia.Sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah gerakan politik Islam Hizbut Tahrir dengan indikator sebagai berikut:1. Gerakan politik Islam dari Hizbut Tahrir berdasarkan dari pemahaman Islam dari pemikiran Taqiyuddin sebagai tokoh pendirinya.2. Hizbut Tahrir berpandangan bahwa pemikiran yang tidak berdasarkan Al Quran dan Hadist adalah haram termasuk demokrasi dan Pancasila.3. Hizbut Tahrir menolak konsep sekulerisasi.

1.7Jenis PenelitianPenelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif. Tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah menggambarkan realita empirik di balik fenomena secara mendalam, rincian dan tuntas. Keirl dan Miller dalam Moleong menjelaskan penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan, manusia, kawasannya sendiri, dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan peristilahannya.[footnoteRef:28] [28: Lexy J Moleong. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya]

Adapun jenis penelitian berdasarkan tingkat eksplanasinya adalah penelitian deskriptif. Menurut Whitney dalam Moh. Nazir bahwa metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan-hubungan, kegiatain-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena.[footnoteRef:29] [29: Moh. Nazir. Ph. D. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia]

1.8Teknik Pengumpulan DataTeknik yang digunakan adalah menghubungkan teori dengan data-data yang didapatkan melalui riset perpustakaan (library research). Data-data tersebut didapatkan dari buku-buku, jurnal, majalah, surat kabar dan sumber lainnya (document analysis). Selain itu, penulis juga menggunakan sarana internet dalam proses pengumpulan data yang berkaitan dan relevan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.1.9Sistematika PenulisanPenulisan terhadap penelitian akan dituangkan dalam sistematika yang tersusun dalam lima bab yang masing-masing terdiri dari sub bab. Sistematika dimaksud adalah sebagai berikut: Bab I merupakan Bab Pendahuluan, yang terdiri dari sub bahasan: Latar belakang; permasalahan; tujuan penelitian; kerangka pemikiran; asumsi dan hipotesa; metode penelitian; dan sistematika penulisan.Bab II merupakan Bab Sistem Politik Indonesia Pasca Reformasi yang terdiri dari sub bahasan demokrasi, Pancasila, sistem politik Orde Baru dan Reformasi, pergerakan politik Islam pada Orde Baru dan Reformasi.Bab III merupakan Bab Hizbut Tahrir yang terdiri dari sub bahasan sejarah hizbut tahrir, pemikiran politik Islam hizbut tahrir, sejarah masuknya Hizbut Tahrir ke indonesia.Bab IV merupakan Bab Gerakan Politik Hizbut Tahrir Indonesia yang terdiri dari sub bahasan Konferensi Khilafah, penggiringan opini menggunakan media massa.Bab V merupakan Bab Penutup, yakni berisi kesimpulan hasil penelitian.

9