hubungan antara body condition score (bcs) sapi …repository.ub.ac.id/5463/1/ahmad fadeli.pdf ·...

44
HUBUNGAN ANTARA BODY CONDITION SCORE (BCS) SAPI PERAH FRIESIAN HOLSTEN DENGAN SERVICE PER CONCEPTION DAN PRODUKSI SUSU DI MARGO UTOMO BANYUWANGI SKRIPSI Oleh: AHMAD FADELI 125050100111142 PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017

Upload: others

Post on 23-Oct-2020

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • HUBUNGAN ANTARA BODY CONDITION

    SCORE (BCS) SAPI PERAH FRIESIAN

    HOLSTEN DENGAN SERVICE PER

    CONCEPTION DAN PRODUKSI SUSU DI

    MARGO UTOMO BANYUWANGI

    SKRIPSI

    Oleh:

    AHMAD FADELI

    125050100111142

    PROGRAM STUDI PETERNAKAN

    FAKULTAS PETERNAKAN

    UNIVERSITAS BRAWIJAYA

    MALANG

    2017

  • HUBUNGAN ANTARA BODY CONDITION

    SCORE (BCS) SAPI PERAH FRIESIAN

    HOLSTEN DENGAN SERVICE PER

    CONCEPTION DAN PRODUKSI SUSU DI

    MARGO UTOMO BANYUWANGI

    Skripsi

    Oleh:

    Ahmad Fadeli

    125050100111142

    Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk

    memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas

    Peternakan Universitas Brawijaya

    PROGRAM STUDI PETERNAKAN

    FAKULTAS PETERNAKAN

    UNIVERSITAS BRAWIJAYA

    MALANG

    2017

  • Hubungan Antara Body Condition Score (BCS) Sapi Perah

    Friesien Holstein (FH) Dengan Service per Conception

    (S/C) dan Produksi Susu di Margo Utomo Banyuwangi

    SKRIPSI

    Oleh: Ahmad Fadeli

    NIM. 125050100111142

    Prof. Dr. Agr. Sc. Ir. Suyadi, MS. NIP. 19620403 198701 1 001

    Telah dinyatakan lulus dalam ujian Sarjana Pada Hari/Tanggal : Senin /3 April 2017

    Tanda Tangan Tanggal

    Pembimbing Utama: Dr.Ir.Puguh Surjowardojo, MP NIP. 19571216 198403 1 001

    .......................

    ....................

    Pembimbing Pendamping: Dr. Ir. Tri Eko Susilorini, MP NIP. 19580711 198601 2 002

    .......................

    ....................

    . Penguji 1 Dr. Ir. Nurul Isnaini, MP NIP. 19660306 199002 2 001

    .......................

    ....................

    . Penguji 2 Ir.Hari Dwi Utami,MS,M.Appl.Sc,PhD NIP. 19610311 198601 2 001

    .......................

    ....................

    Penguji 3 Dr. Ir. Mardjuki, M.Sc NIP. 19630604 198903 1 001

    ......................

    ..................

    Mengetahui, Dekan Fakultas Peternakan

    Universitas Brawijaya

  • Tanggal :

    Identitas Tim Penguji

    1. Penguji dari bidang minat Produksi Ternak

    NAMA : Dr. Ir. Nurul Isnaini, MP

    NIP : 19660306 199002 2 001

    NIDN

    : 0006036607

    2. Penguji dari bidang minat Nutrisi dan Makanan

    Ternak

    NAMA : Dr. Ir. Mardjuki, M.Sc

    NIP

    : 19630604 198903 1 001

    NIDN

    : 0004066311

    3. Penguji dari bidang minat Sosial Ekonomi Peternakan

    NAMA : Ir.Hari Dwi Utami,MS,M.Appl.Sc,PhD

    NIP : 19610311 198601 2 001

    NIDN : 0011036117

  • SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

    Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

    Nama : Ahmad Fadeli

    NIM : 125050100111142

    Fakultas : Peternakan

    dengan ini menyatakan bahwa judul Skripsi

    “Hubungan Antara Body Condition Score (BCS) Sapi Perah Friesien Holstein (FH) Dengan Service per Conception

    (S/C) dan Produksi Susu di Margo Utomo Banyuwangi.”

    benar bebas dari plagiat, dan apabila pernyataan ini

    terbukti tidak benar maka saya bersedia menerima

    sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.

    Demikian surat pernyataan ini saya buat untuk

    dipergunakan sebagaimana mestinya.

    Malang, 6 Agustus 2017

    Ahmad Fadeli

    NIM. 125050100111142

  • DAFTAR RIWAYAT HIDUP

    1. Data Pribadi

    1. Nama Lengkap : Ahmad Fadeli

    2. Tempat, Tanggal Lahir : Jombang, 04 Agustus

    1994

    3. Jenis Kelamin : Laki-laki

    4. Agama : Islam

    5. Status : Belum menikah

    6. No Telp/hp : 085746982165

    7. E-mail : [email protected]

    2. Riwayat Pendidikan

    1. Tahun 2006 Lulus MI Al-Hidayah Jombang

    2. Tahun 2009 Lulus SMPI Al-Aqobah Jombang

    3. Tahun 2012 Lulus MAN Rejoso Darul ‘Ulum Jombang

    4. Tahun 2017 dinyatakan Sarjana Peternakan (S.Pt) di

    Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya

  • KATA PENGANTAR

    Puji syukur penulis ucapkan kepada Alloh SWT, sehingga

    penulis dapat melaksanakan penelitian sekaligus menyelesaikan

    penulisan skripsi. Skripsi yang berjudul “Hubungan Body Condition

    Score (BCS) Sapi Perah Friesian Holsten terhadap Service Per

    Conception dan Produksi Susu di Margo Utomo Banyuwangi”

    disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

    Peternakan Universitas Brawijaya.

    Terimakasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang

    telah membantu dan mendukung penulis dalam skripsi. Oleh karena

    itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :

    1. Kedua orang tua serta seluruh anggota keluarga tercinta yang

    selalu memberikan dukungan do’a dan dukungan moral

    serta materil sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan

    ini.

    2. Dr. Ir. Puguh Surjowardojo, MP., sekalu pembimbing utama

    dan Dr. Ir. Tri Eko Susilorini, MP., selaku pembimbing

    pendamping, atas segala bimbingan dan sarannya selama

    pelaksanaan hingga penulisan skripsi ini.

    3. Prof. Dr. Agr. Sc. Ir. Suyadi, MS., selaku Dekan Fakultas

    Peternakan Universitas Brawijaya, Malang.

    4. Dr. Ir. Tri Eko Susilorini, MP., selaku Ketua dan Dr. Ir. Sri

    Wahyuningsih, M.Si., selaku sekretaris bagian Produksi

    Ternak yang telah banyak membina kelancara proses studi.

    5. Teman-temanku Fakultas Peternakan angkatan 2012 yang

    tidak bisa saya sebutkan satu persatu atas dukungan dan

    semangatnya selama penulis menyelesaikan tugas akhir.

    Akhir kata penulis berharap semoga laporan skripsi ini dapat

    bermanfaat bagi semua pihak serta mampu memberikan kontribusi

    bagi pembangunan peternakan.

  • Malang, 19 Juni 2017

    Penulis

  • RELATIONSHIP BETWEEN BODY CONDITION SCORE

    (BCS) DAIRY CATTLE FRIESIAN HOLSTEN (FH) WITH

    SERVICE PER CONCEPTION AND MILK PRODUCTION

    AT MARGO UTOMO BANYUWANGI

    Ahmad Fadeli1), Puguh Surdowardojo2) and Tri Eko Susilorini2)

    1) Student of Animal Husbandry Faculty, Brawijaya University 2) Lecturer of Animal Husbandry Faculty, Brawijaya University

    Email: [email protected]

    ABSTRACT

    Study was carried at Margo utomo, subdistrict Kalibaru

    Banyuwangi. The aim of this research was to determine the correlation

    Body Condition Score with Servive per Conception and milk

    production of Dairy Cattle Friesian Holsten, the material used 50

    heads of Dairy Cattle Friesian Holsten. samples were selected with

    purposive sampling.Data collection included primary and secondary

    data. Variables in primary data included the Body Condition Score

    (BCS), Service Per Conception (S/C) and milk production. Data was

    analyzed by correlation and regression analysies. Results showed that

    BCS was positively and lowest relationship with S/C whereas it was

    positively and lowest relationship with milk production. Therefore,

    BCS only explaned about 0.012% of S/C and 0.32% of milk

    production.

    Keywords : Regression, Correlation, BCS, S/C, milk production.

  • HUBUNGAN ANTARA BODY CONDITION SCORE (BCS)

    SAPI PERAH FRIESIAN HOLSTEIN (FH) DENGAN SERVICE

    PER CONCEPTION DAN PRODUKSI SUSU DI MARGO

    UTOMO BANYUWANGI

    Ahmad Fadeli1), Puguh Surjowardojo2) dan Tri Eko Susilorini2)

    1) Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya 2) Dosen Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya

    E-mail : [email protected]

    RINGKASAN

    Keberhasilan usaha perkembangbiakan sangat terkait dengan

    tingkat produktifitas dan reproduksi. Banyak faktor yang

    mempengaruhi reproduksi diantaranya angka kawin per kebuntingan

    atau Service per Conception (S/C), produksi susu, dan penilaian

    kondisi tubuh atau Body Condition Score (BCS). Body

    Condition Score adalah metode untuk memberi nilai kondisi tubuh

    ternak baik secara visual maupun perabaan pada timbunan lemak

    tubuh dibawah kulit sekitar pangkal ekor, tulang punggung dan

    pinggul (Susilorini, Sawitri dan Muharlien, 2007). BCS memiliki

    hubungan dengan reproduksi ternak, seperti kesuburan, kebuntingan,

    proses kelahiran, laktasi, semua akan mempengaruhi system

    reproduksi. Berbagai kelompok hewan bentuk tubuh (ukuran), usia,

    jenis kelamin dan keturunan juga akan memiliki pengaruh yang kuat

    pada sistem reproduksi. Menurut Arianto (2007), terdapat hubungan

    antara BCS dengan S/C, yaitu semakin tinggi nilai BCS menunjukkan

    semakin tingi pula nilai S/C pada sapi betina, selain itu memberikan

    kestabilan produksi susu pada sapi.

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan BCS

    terhadap angka kawin perkebuntingan dan jarak beranak di Margo

    Utomo Resort Banyuwangi. Penelitian ini diharapkan dapat

    mailto:[email protected]

  • digunakan oleh peternak untuk memilih induk sapi yang mempunyai

    nilai BCS ideal sehingga efisien dan dapat meningkatkan produktifitas

    ternak. Selain itu juga sebagai acuan dalam pengembangan usaha sapi

    perah di Margo Utomo Resort Banyuwangi.

    Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah induk sapi

    perah FH sebanyak 50 ekor yang diambil secara acak di Margo Utomo

    Resort, Desa Kalibaru, Banyuwangi pada tanggal 18 Maret – 18 Mei

    2016. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei

    dengan pengumpulan data primer dan skunder, dengan pengambilan

    sample 50 ekor induk sapi perah FH. Penentuan lokasi dan sample

    penelitian secara purposive sampling yaitu pemilihan subyek

    didasarkan atas ciri atau sifat-sifat tertentu yang sudah diketahui

    sebelumnya serta mengacu pada pengambilan sample dengan sengaja

    untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Pengambilan data primer

    dilakukan dengan cara pengamatan dan wawancara dengan pihak

    pengelola Margo Utomo Farm, sedangkan data skunder didapat dari

    penanggung jawab kandang. Variable yang di amati meliputi BCS,

    angka kawin perkebunting (S/C). Analisis data yang digunakan dalam

    penelitian ini adalah korelasi dan regresi sederhana.

    Berdasarkan penelitian didapatkan hasil hubungan antara

    BCS dengan S/C dengan nilai koefisien korelasi sebesar (r)= 0,011

    yang artinya memiliki hubungan yang sangat rendah terhadap S/C.

    Koefisien deteminasi (R2) = 0,012% artinya nilai tersebut

    menunjukkan bahwa BCS sapi perah memberikan kontribusi sebesar

    0,012% terhadap S/C, sisanya 99,98% berasal dari faktor lain.

    Hubungan cukup rendah antara BCS dengan produksi susu pada masa

    laktasi. Nilai koefisien korelasi sebesar (r)= 0,057 yang artinya ada

    hubungan yang rendah antara BCS terhadap produksi susu pada masa

    laktasi. Koefisien deteminasi (R2) = 0,32% artinya nilai tersebut

    menunjukkan bahwa BCS sapi perah bunting tua memberikan

    kontribusi sebesar 0,32% terhadap produksi susu pada masa laktasi,

    sisanya 99,68% berasal dari faktor lain.

  • DAFTAR ISI

    Halaman

    RIWAYAT HDUP i

    KATA PENGANTAR iii

    ABSRACT v

    RINGKASAN vii

    DAFTAR ISI xi

    DAFTAR TABEL xiii

    DAFTAR GAMBAR xv

    DAFTAR LAMPIRAN xvii

    BAB I PENDAHULUAN ................................................ 1

    1.1 Latar Belakang 1

    1.2 Rumusan Masalah 7

    1.3 Tujuan Penelitian 7

    1.4 Manfaat Penelitian 7

    1.5 Kerangka Pikir 8

    1.6 Hipotesis 11

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA 13

    2.1 Sapi Perah FH (Friesian Holetein) 13

    2.2 Rekording Sapi Perah 14

    2.3 Body Condition Score (BCS) 16

    2.4 Angka Kawin Per Kebuntingan 21

    2.5 Produksi Susu 23

    BAB III MATERI DAN METODE 27

    3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 27

    3.2 Materi Penelitian 27

    3.3 Metode Penelitian 27

    3.4 Prosedur Penelitian 29

    3.5 Variabel Pengamatan 30

    3.6 Analisis Data 31

    3.7. Batasan Istilah ...................................................... 34

    BAB IV PEMBAHASAN 37

  • 4.1 Keadaan dan Sejarah Lokasi Penelitian 37

    4.2 Hubungan Antara BCS dengan S/C dan Produksi Susu

    Sapi Perah 40

    4.2.1 Hubungan BCS dengan S/C 41

    4.2.2Hubungan BCS dengan Produksi Susu 45

    BAB V PENUTUP 49

    5.1 Kesimpulan 49

    5.2 Saran 49

    DAFTAR PUSTAKA 51

    LAMPIRAN 57

  • DAFTAR TABEL

    Tabel Halaman

    1. Analisis Sidik Ragam .................................................... 32

    2. Hubungan Antara Body Condition Score (BCS) sapi

    perah Friesian Holstein (FH) dengan Servive per

    Conception (S/C) dan produksi susu Margo Utomo

    Banyuwangi .................................................................. 41

  • DAFTAR GAMBAR

    Gambar Halaman

    1. Bagan kerangka pikir 10

    2. Penilaian BCS pada sapi perah 16

    3. Kurva BCS, produksi susu dan konsumsi pakan berdasarakan

    periode laktasi dan periode kering 21

    4. Grafik hubungan BCS dengan produksi kolostrum 29

    5. Grafik hubungan antara bobot lahir dan produksi susu 44

    6. Grafik pengaruh BCS terhadap produksi susu .............. 47

  • DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran Halaman

    1. Analisis sidik ragam ..................................................... 57

    2. Data Inseminasi, S/C, BCS dan CI ................................ 58

    3. Data Rekapitulasi BCS, S/C, dan Produksi Susu .......... 60

    4. Korelasi BCS dengan S/C.............................................. 62

    5. Regresi BCS dengan S/C ............................................... 65

    6. Korelasi BCS dengan Produksi Susu............................. 67

    7. Regresi BCS dengan Produksi Susu .............................. 71

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Masa depan suatu peternakan sapi perah tergantung pada program produksi Sapi baru atau pedet

    dan kontinuitas produksi susu. Adapun kedua target ini dapat diterapkan dengan baik di lapangan

    melalui perawatan kondisi sapi. Kesalahan dalam perawatan kondisi sapi akan berdampak besar bagi

    kelangsungan peternakan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

    Produksi sapi baru sendiri menjadi bagian penting di peternakan karena sebagai bagian dari

    program produksi untuk regenerasi ternak. Usaha peternakan sapi, produksi sapi baru atau pedet

    memerlukan perhatian dan ketelitian yang tinggi. Kesalahan pada pemeliharaan dan perawatan sapi

    misalnya pada pemberian pakan dan perawatan kondisi sapi induk dapat menyebabkan produksi sapi

    pedet menjadi sangat rendah. Produksi sapi baru/pedet yang rendah, kualitas nutrisi yang dimiliki

    indukan kepada pedet juga buruk sehingga menyebabkan pemberian nurtrisi bagi pedet buruk dan

    tingkat kehamilan sapi selanjutnya menjadi tidak menentu. Angka kawin per kebuntingan atau Service

    Per Conception (S/C) menjadi poin penting dalam menunjang produksi sapi baru guna meregenerasi

    sapi yang di budi daya sehingga prospek jangka panjang peternakan bisa terjaga dengan stabil.

    Pada kasus peternakan sapi Friesian Holstein (FH), rendahnya produksi pedet menjadi salah

    satu kendala sulit berkembangnya suatu peternakan. Hal ini disebabkan karena rendahnya regenerasi

    sapi perah baru. Sapi FH sendiri adalah sapi perah yang umum dipelihara di Indonesia. Bangsa sapi ini

    berasal dari negeri Belanda dan dikenal sebagai FH dan saat ini merupakan bangsa sapi perah terbesar

    yaitu 90% dari jumlah total sapi perah yang ada di dunia. Sapi FH merupakan tipe perah yang memiliki

    produksi tinggi dibandingkan dengan sapi perah lainnya (Dudi dkk, 2006). Kondisi ini menjadi sangat

    disayangkan jika peternakan sapi jenis unggul seperti Sapi FH tidak mendapatkan perhatian yang baik.

    Sementara itu, produksi susu merupakan terget jangka pendek yang harus dipenuhi guna

    memberikan keuntungan materi yang dapat membantu menjaga kelangsungan peternakan sapi.

    Produksi susu merupakan salah satu prioritas produksi karena kemampuan sapi FH dalam memproduksi

    susu cukup tinggi. Rata-rata produksi susu sapi perah FH mencapai 5750 – 6250 kg/tahun (Mukhtar,

    2006). Sudono dkk. (2003) menambahkan bahwa pada umumnya produktivitas sapi FH di Indonesia

    masih rendah, dimana produksi susu rata-rata 10 liter/ekor/hari atau kurang lebih 3.050 kg/laktasi.

    Produksi susu yang rendah ini disebabkan mutu ternak rendah ataupun makanan yang diberikan baik

    kualitas maupun kuantitasnya kurang baik. Kemampuan sapi perah menghasilkan susu merupakan sifat

    yang menurun dan berbeda pada setiap bangsa. Antar bangsa dalam spesies yang sama mempunyai

    karakteristik masing-masing, baik dalam besar dan postur tubuhnya, warna bulunya, sifat produksi,

    reproduksi, dan ciri-ciri lainnya, sehingga nampak jelas perbedaannya (Makin, 2011).

    Salah satu faktor yang mempengaruhi sistem reproduksi sapi dan produksi susu sapi adalah

    Body Condition Score atau biasa disebut BCS. BCS adalah metode untuk memberi nilai kondisi tubuh

    ternak baik secara visual maupun dengan perabaan pada timbunan lemak tubuh di bawah kulit sekitar

    pangkal ekor, tulang punggung, dan pinggul. BCS juga menggambarkan sejumlah energi metabolik

    yang tersimpan sebagai lemak subcutan dan otot pada ternak (Montiel dan Ahuja, 2005) selain itu BCS

    digunakan untuk mengevaluasi manajemen pemberian pakan, menilai status kesehatan individu ternak

    dan membangun kondisi tubuh ternak pada waktu manajemen ternak yang rutin (Budiawan, Nur Ihsan

    dan Wahjuningsih, 2015). BCS juga dapat digunakan untuk memprediksi dini status kesenjangan energi

    sapi perah selama awal laktasi. BCS telah terbukti menjadi alat praktis yang penting dalam menilai

    kondisi tubuh ternak, karena BCS adalah indicator sederhana terbaik dari cadangan lemak yang

    tersediayang dapat digunakan oleh ternak dalam periode apapun (Susilorini, Sawitri dan Muharlein,

    2007).

  • BCS digunakan untuk menginterpretasikan cadangan lemak tubuh. Cadangan lemak ini

    digunakan untuk menutupi kekurangan energi dari pakan saat melahirkan dan produksi susu.

    Pengukuran BCS dapat dinilai dengan angka, nilai dari angka 1 sampai angka 5. Nilai 1

    menginterpretasikan tubuh ternak sangat kurus. Nilai 2 menginterpretasikan kondisi ternak kurus. Nilai

    3 menginterpretasikan kondisi tubuh ternak sedang. Nilai 4 menginterpretasikan kondisi tubuh ternak

    gemuk. Nilai 5 menginterpretasikan nilai tubuh ternak sangat gemuk. Penilaian BCS ternak yang ideal

    tergantung pada tujuan pemeliharaan. Ternak yang dipelihara untuk ternak pedaging/ penggemukan

    maka BCS tubuh semakin besar maka akan semakin baik. Ternak dengan tujuan pembibitan tidak

    memerlukan kondisi tubuh yang terlalu gemuk. Ternak yang cocok untuk bibit yang ideal adalah

    mempunyai nilai kondisi tubuh ternak nilai 3 atau ternak tidak terlalu gemuk dan tidak terlalu kurus

    (Syaifudin. 2013)

    Pemeliharaan kondisi tubuh secara ideal sesuai dengan status fisiologis laktasi sekaligus untuk

    mempersiapkan fase laktasi berikutnya. Perhitungan BCS sangat diperlukan untuk mengetahui berapa

    besar jumlah nutrisi yang diberikan agar kondisi sapi dalam keadaan optimal saat partus berikutnya.

    Terutama selama periode kebuntingan mulai awal hingga melahirkan harus benar benar diperhatikan,

    karena kegagalan mempertahankan perubahan BCS yang cepat selama awal kebuntingan menunjukkan

    adanya masalah kesehatan atau manajemen pemberian pakan. BCS sebaiknya selalu dipantau terutama

    pada saat akan dikawinkan, saat pemeriksaan kebuntingan, melahirkan, setelah melahirkan, akhir

    laktasi dan saat pengeringan (Rodenburg, 2004). Perubahan keseimbangan energi yang terjadi selama

    laktasi akan berpengaruh terhadap BCS (Coffey et al. 2003). Sapi perah setelah beranak akan

    mengalami peningkatan konsumsi pakan yang lambat, peningkatan produksi susu yang cepat, dan

    terjadi peningkatan mobilisasi cadangan lemak tubuh untuk memenuhi kekurangan konsumsi pakan

    akibat peningkatan kebutuhan produksi susu pada awal laktasi (Domeq et al. 1997).

    BCS pada sapi sangat berpengaruh terhadap reproduksi ternak seperti S/C serta menjaga

    kestabilan produksi susu sapi. Angka kawin per kebuntingan atau S/C adalah angka yang menunjukkan

    berapa kali perkawinan atau inseminasi buatan yang dibutuhkan oleh ternak sampai menghasilkan

    kebuntingan. Sementara itu, produksi susu sapi adalah jangka waktu antara satu kelahiran dengan

    kelahiran berikutnya atau sebelumnya atau interval waktu diantara dua kejadian beranak yang

    berurutan. Pengoptimalan BCS diasumsikan bahwa asupan nutrisi bagi indukan terpenuhi dan S/C

    menjadi lebih baik dan produksi susu tetap stabil pula.

    Selain itu BCS yang ideal juga berpengaruh terhadap hormon-hormon reproduksi seperti FSH,

    LH. Ternak yang kondisi tubuhnya sangat kurus memiliki cadangan lemak yang kurang, sehingga akan

    mengganggu system reproduksi dan sebaliknya akan mengakibatkan kesulitan saat melahirkan, (Cisse,

    Baye, Sane, Correa, and Diaye, 1992). Berdasarkan penelitian sebelumnya, diketahui bahwa hubungan

    BCS terhadap sistem reproduksi mempunyai pengaruh yang cukup signifikan, dimana BCS sapi yang

    terlalu tinggi dan terlalu rendah akan memberikan dampak terhadap S/C. Selain itu BCS yang terlalu

    tinggi akan membutuhkan angka kawin yang cukup tinggi. Hal tersebut dikarenakan BCS yang terlalu

    rendah dimana timbunan lemak yang sangat sedikit berpengaruh terhadap energi yang dibutuhkan

    ternak untuk proses pembentukan hormone-hormon reproduksi. Nilai BCS yang terlalu tinggi dengan

    timbunan lemak yang sangat banyak juga tidak baik, karena dapat menghambat mekanisme kerja

    hormone reproduksi. Taylor dan Field (2004) menyatakan bahwa setelah beranak, sapi kesulitan

    menyediakan nutrisi untuk produksi susu karena konsumsi pakan terbatas, sehingga cadangan lemak

    yang ada dibawah jaringan kulit digunakan untuk memenuhinya. Peternak sapi tidak begitu

    memperhatikan BCS padahal sesuai penjelasan di atas, BCS atau skor tubuh ternak memiliki pengaruh

    cukup besar terhadap sistem reproduksi sapi ternak, terutama pada S/C serta diasumsikan dapat menjaga

    kestabilan produksi susu sapi. Pengoptimalan BCS diasumsikan bahwa asupan nutrisi bagi indukan

    terpenuhi dan S/C menjadi lebih baik pula dan produksi susu sapi tetap terjaga. Jika S/C dan produksi

  • susu menjadi lebih baik maka kelangsungan bisnis jangka pendek dan jangka panjang suatu peternakan

    dapat terjaga.

    Berdasarkan kondisi tersebut, peneliti merasa perlu melakukan penelitian untuk mencari tahu

    hubungan BCS terhadap S/C dan produksi susu dan untuk mendukung pengembangan kualitas sapi

    perah dan meningkatkan keuntungan peternakan di masa yang akan datang serta menjaga

    keberlangsungan produksi susu sapi gunamembantu kelangsungan bisnis peternakan jangka pendek.

    Peternakan sapi perah FH Margo Utomo, Banyuwangi sebagai lokasi penelitian karena pada peternakan

    ini pengukuran BCS masih belum optimal. Hal ini ditunjukkan dari penerapan pemberian pakan dan

    asupan gizi indukan sapi perah di peternakan ini yang meskipun sudah teratur tapi masih belum

    dilakukan berdasarkan pengukuran yang spesifik. Jumlah sampel yang cukup banyak pada peternakan

    ini juga menjadi alasan pemilihan lokasi penelitian ini karena dirasa mampu memberikan gambaran

    umum hubungan BCS terhadap S/C dan produksi susu sapi perah. Selain itu, pemilihan jenis sapi sapi

    perah FHsebagai sampel dilakukan dengan alasan karena sapi jenis ini adalah jenis sapi unggul yang

    memiliki potens tinggi sehingga diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran

    pengembangan kualitas sapi perah di masa yang akan datang. Atas dasar latar belakang tersebut, maka

    dilakukan studi berjudul “Hubungan Body Condition Score (BCS) Sapi Perah Friesian Holstein

    terhadap Servive per Conception dan Produksi Susu Margo Utomo Banyuwangi.

    1.2 Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan tersebut, maka dapat dirumuskan

    permasalahan yaitu sebagai berikut:

    1. Bagaimana hubungan Body Condition Score (BCS) dengan Servive per Conception (S/C) pada

    induk sapi perah FH.

    2. Bagaimana hubungan BCS dengan produksi susu pada induk sapi perah FH.

    1.3 Tujuan Penelitian

    Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

    1. Untuk mengetahui hubungan Body Condition Score (BCS) dan Servive per Conception (S/C)pada

    induk sapi perah FH.

    2. Untuk mengetahui hubungan BCS dengan produksi susu pada induk sapi perah FH.

    1.4 Manfaat Penelitian

    1. Penelitian ini dapat digunakan oleh peternak sebagai acuan untuk memilih induk sapi perah yang

    memiliki nilai Body Condition Score (BCS) ideal sehinga lebih efisien dan meningkatkan

    produktifitas sapi perah.

    2. Diharapkan dapat di jadikan sebagai acuan dalam pengembangan usaha sapi perah di Margo

    Utomo, Banyuwangi, guna peningkatan produktifitas sapi perah.

    1.5 Kerangka Pikir

    Sapi perah yang umum dipelihara di Indonesia adalah bangsa sapi FH. Bangsa sapi ini berasal

    dari negeri Belanda dan dikenal sebagai Holstein Friesian disingkat Holstein sedangkan di Eropa

    terkenal dengan nama Friesian, dan saat ini merupakan bangsa sapi perah terbesar yaitu 90% dari

    jumlah total sapi perah yang ada di dunia. Sapi FH merupakan tipe perah yang memiliki produksi tinggi

    dibandingkan dengan sapi perah lainnya (Dudi, Rahmat dan Dhalika, 2006). Sapi FH memiliki

    karakteristik yang berbeda dengan sapi lainnya, yaitu bulunya berwarna hitam dengan bercak putih,

    bulu bagian bawah dari bagian carpus (bagian kaki) berwarna putih atau hitam dari bagian atas turun

    kebawah, mempunyai ambing yang kuat dan besar, kepala panjang dan sempit dengan tanduk pendek

    dan menjurus ke depan.

  • Keberlangsungan usaha peternakan ditentukan oleh beberapa faktor seperti angka regenerasi

    sapi dan produksi susu, selain itu manajemen pakan yang buruk akan mengakibatkan inefisensi

    reproduksi. Pengukuran secara sederhana terhadap ternak yang mengalami kekurangan pakan ataupun

    kelebihan pakan menggunakan metode BCS. Menurut Arianto (2007), terdapat hubungan antara BCS

    dengan S/C, yaitu semakin tinggi nilai BCS menunjukkan semakin tingi pula nilai S/C pada sapi betina,

    selain itu memberikan kestabilan produksi susu pada sapi. Menurut penelitian sebelumnya, Winugroho

    (2002) tubuh induk sapi perah yang terlalu kurus tidak hanya mengurangi produksi susu, tetapi juga

    memperlambat gejala birahinya.Kondidsi tubuh induk erat kaitannya dengan cadangan energi dan

    berhubungan dengan gizi yang diserap dalam tubuh. Nutrisi yang terkandung dalam ransum pakan dan

    cadangan energy tubuh induk mempengaruhi munculnya estrus post partum. Menurut Winugroho

    (2002), energi tubuh yang cukup dibutuhkan untuk memproduksi Letuiting Hormone (LH) hormone ini

    berfungsi untuk merangsang pertumbuhan folikel (mengaktifkan fungsi ovarium) sehingga terjadi

    estrus post-partum.Sejauh ini untuk informasi hubungan dari beberapa faktor tersebut yaitu angka S/C,

    produksi susu dan BCS masih sangat kurang, BCS dijadikan acuan atau sebagai cerminan dari pakan

    yang di konsumsi (manajemen pakan) untuk efisiensi reproduksi sehingga dapat meningkatkan

    produktifitas. Oleh karena itu perlu dikaji tentang hubungan BCS terhadap S/C pada induk sapi perah

    FH. Kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. dibawah ini.

    Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

    BCS

    BCS adalah nilai kondisi tubuh yang

    didasarkan pada estimasi visual timbunan

    lemak tubuh dibawah kulit sekitar pangkal

    ekor, tulang punggung, tulang rusuk dan

    pinggul.

    Skor BCS adalah 1-5, dimana :

    Nilai BCS 1 = sangat kurus Nilai BCS 5 = sangat gemuk

    Service preconception (S/C)

    adalah angka yang menunjukkan

    berapa kali perkawinan yang

    dibutuhkan ternak untuk

    menghasilkan kebuntingan.

    Digunakan untuk mengevaluasi manajemen pemberian pakan, menilai status

    kesehatan individu ternak dan membangun kondisi tubuh ternak pada waktu

    manajemen ternak yang rutin (Budiawan, Nur Ihsan dan Wahjuningsih, 2015).

    Produksi susu merupakan

    jumlah susu yang dihasilkan

    oleh sapi perah

    Keberlangsungan peternakan

  • 1.6. Hipotesis

    Hipotesis penelitian ini adalah Body Condition Score (BCS) pada sapi FH laktasi memberikan

    pengaruh terhadap Service per Conception dan produksi Susu.

  • BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Sapi Friesian Holstein (FH)

    Sapi perah yang umum dipelihara di Indonesia adalah bangsa sapi Holstein Friesian (FH).

    Bangsa sapi ini berasal dari negeri Belanda dan dikenal sebagai Holstein Friesian disingkat Holstein

    sedangkan di Eropa terkenal dengan nama Friesian, dan saat ini merupakan bangsa sapi perah terbesar

    yaitu 90% dari jumlah total sapi perah yang ada di dunia. Sapi FH merupakan tipe perah yang memiliki

    produksi tinggi dibandingkan dengan sapi perah lainnya (Dudi dkk, 2006). Disnak Jabarprov (2009)

    menambahkan bahwa bangsa sapi perah yang umum dipelaihara adalah bangsa sapi FH dan mulai

    diintroduksikan sejak tahun 1800-an oleh pemerintah Belanda. Saat ini populasinya mencapai 106,489

    ekor. Sapi FH memiliki karakteristik yang berbeda dengan sapi lainnya, yaitu bulunya berwarna hitam

    dengan bercak putih, bulu bagian bawah dari bagian carpus (bagian kaki) berwarna putih atau hitam

    dari bagian atas turun kebawah, mempunyai ambing yang kuat dan besar, kepala panjang dan sempit

    dengan tanduk pendek dan menjurus ke depan.

    Bobot badan ideal sapi FH betina dewasa adalah 682 kg dan jantan dewasa adalah 1.000 kg.

    Ciri-ciri sapi FH murni yaitu mempunyai bulu berwarna hitam dan putih dengan batas-batas warna yang

    jelas. Sapi ini juga memiliki lingkungan yang dingin antara 11ºC sampai 23ºc dengan kelembaban 55%

    (Dudi dkk, 2006). Populasi sapi perah betina yang hanya 78,95% (444.000 ekor) menghasilkan produksi

    susu segar sebanyak 5.881.700.000 liter/tahun pada tahun 2013 namun produksi ini belum memenuhi

    kebutuhan susu masyarakat Indonesia. (Zainudin dkk, 2003). Ditambahkan Tawaf (2010) Produksi susu

    yang dihasilkan oleh sapi perah FH di Indonesia berkisar antara 3000-4000 liter per laktasi. Hal ini

    sama dengan pendapat Sudono, Rosdiana dan Setiawan (2003) bahwa produksi susu sapi perah rata-

    rata di Indonesia 10liter/ekor/hari atau lebih kurang 3.050 kg/laktasi.

    Rendahnya produktifitas susu sapi perah juga dipengaruhi oleh umur induk sapi perah yang

    berkaitan dengan status fisiologi sapi perah tersebut. Semakin bertambahnya umur induk diikuti oleh

    kenaikan angka ovulasi yang menyebabkan produktivitas mencapai optimal dan akan mengalami

    penurunan secara perlahan seiring dengan usia ternak yang semakin tua (Zainudin dkk, 2003).

    1.2 Rekording Sapi Perah

    Pada usaha peternakan sapi perah di Indonesia hingga saat ini masih banyak para peternak yang

    kurang peduli terhadap pentingnya memperhatikan efisiensi reproduksi, mereka masih terfokus kepada

    usaha meningkatkan produksi susu semata. Bila ditinjau dari sudut ekonomi sebetulnya semakin tinggi

    efisiensi reproduksi, maka akan semakin kecil biaya yang diperlukan untuk proses produksi. Ditemui

    kendala dalam meningkatkan produksi susu khususnya. Kendala dimaksud adalah masih rendahnya

    tingkat efisiensi reproduksi yang ditandai dengan panjangnya jarak beranak akibat dari beberapa hal

    diantaranya adalah masih tingginya jumlah perkawinan untuk memperoleh satu kebuntingan (s/c),

    belum sesuai dengan apa yang diharapkan, untuk itu perlu dilakukan upaya peningkatan efisiensi

    reproduksi, salah satu diantaranya melalui kawin tepat waktu. Tujuan utama pemeliharaan sapi perah

    adalah produksi susu yang tidak terlepas dari faktor reproduksi ternak, karena produksi susu dihasilkan

    setelah ternak bunting dan melahirkan anak.

    Parameter yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi efisiensi reproduksi ternak yaitu S/C,

    Days Open (DO) dan variabel tambahan Calving Interval (CI) serta parameter pelengkap seperti data

    rekording kelahiran ternak berupa jenis kelamin pedet yang dilahirkan, dan bobot lahir pedet (Atabany,

    Purwanto, Toharmat, dan Anggraeni, 2011). Menurut Hastono dan Umi (2008) untuk memudahkan

    petani dalam melakukan menejemen perkawinan pada ternak yang dipeliharanya, maka pencatatan

    reproduksi ternak mutlak diperlukan. Hal–hal yang perlu dicatat adalah sebagai berikut :

  • 1. Siklus berahi, jika sapi perah induk yang dipelihara memiliki siklus berahi antara 18–24 hari,

    maka sapi perah induk tersebut memiliki sisitem reproduksi yang normal dengan rataan 21 hari.

    2. Lama berahi, rata–rata 7 jam dengan kisaran 33 menit sampai 36 jam.

    3. Waktu mengawinkan, pentingnya catatan ini adalah peternak dapat mengetahui apakah

    ternaknya sudah bunting atau belum, dengan melihat apakah sapi perah induk tidak minta kawin

    kembali (NR) dalam waktu 28– 35 atau 60–90 hari setelah dikawinkan. Penetuan keberhasilan

    kebuntingan dengan melihat ada tidaknya berahi pada 90 hari setelah sapi induk dikawinkan

    kemudian dilakukan palpasi reektal.

    4. Waktu kelahiran, catatan ini penting, untuk mengetahui umur sapi perah anak yang dilahirkan

    secara tepat dan akurat, selain itu berguna untuk menentukan umur penyapihan dan waktu

    mengawinkan kembali sapi perah induk setelah beranak agar jarak beranak dapat diperpendek.

    2.3 Body Condition Score (BCS)

    Body Condition Score (BCS) adalah nilai kondisi tubuh yang didasarakan pada estimasi visual

    timbunan lemak tubuh dibawah kulit sekitar pangkal ekor, tulang punggung, tulang rusuk dan pinggul

    lemak, dapat digunakan untuk prediksi dini status kesenjangan energy sapi perah selama awal laktasi.

    Penilaian kondisi tubuh ternak, terutama untuk sapi perah di Indonesia masih jarang dilakukan sehingga

    untuk kondisi peternakan sapi perah rakyat sangat penting (Hayati, dkk, 2002). Penilaian kondisi tubuh

    dilakukan dengan cara pengamatan dan perabaan di daerah deposit lemak, yaitu seperti pada daerah

    punggung dan seperempat bagian sapi paling belakang. Selain itu juga dilakukan perabaan pada daerah

    penonjolan tulang pada pangkal ekor dan areal pinggang (loin), pangkal ekor, serta pinggang.

    sebagaimana penjelasan pada Gambar 2.

    Gambar 2 : Daerah untuk pengamatan BCS

    Skor 0-5 diberikan atas dasar lemak yang dapat dirasakan pada daerah pelvis dan Sacralis. Skor

    0 menggambarkan sapi yang sangat kurus, skor 5 untuk sapi yang sangat gemuk. Secara umum telah

    disetujui bahwa induk sapi perah harus mempunyai rata-rata BCS antara 2,5-3,5 saat melahirkan

    (Webster, 1987). Penilaian BCS pada sapi perah dirancang untuk menaksirkan kondisi induk selama

    siklus produksi. Kondisi tubuh merupakan gambaran cadangan lemak tubuh yang ada pada ternak.

    Cadangan ini dapat dimanfaatkan oleh ternak pada saat ternak tidak mampu memenuhi kebutuhan

    energi. Sapi-sapi yang berproduksi tinggi hal ini normal selama awal laktasi, namun dapat juga terjadi

    saat sapi sakit, pakan dengan kualitas rendah, atau penyerapan zat makanan yang terbatas (Rodenburg,

    2004). Listiani (2006) menyebutkan bahwa kondisi ternak tubuh berhubungan berhubungan dengan

    beberapa keadaan reproduksi. Kondisi tubuh induk sapi oleh para peneliti diberikan score atau penilaian

    SKT (Skor Kondisi Tubuh) berkisar dari kondisi sangat kurus sampai sangat gemuk, lebih lanjut

    dinyatakan bahwa BCS sapi perah daapt memberikan status petunjuk nutrisi dan kinerja reproduksinya.

    Induk dengan BCS lebih baik sebelum atau sesudah beranak akan mempunyai kinerja setelah beranak

    yang lebih baik pula.

    Skor kondisi tubuh sangat berpengaruh terhadap performa reproduksi. Listiani (2006) sapi yang

    memiliki BCS 4,5–5,5 mempunyai performa reproduksi yang lebih baik dibandingakn dengan sapi yang

    memilik BCS dibawahnya atau diatasnya, menurut Whittier and Stevens (1993) BCS dapat dibagi 3

  • yaitu kurus untuk nilai 1-3, sedang untuk nilai 4-6 dan nilai 7-9 gemuk. Kondisi kurus dicirikan dengan

    penonjolan tulang punggung, pinggul, rusuk dan pangkal ekor cekung dan dalam. Kondisi sedang

    apabila tulung punggung dan rusuk tidak tampak, tulang pinggul nampak sedikit dan pangkal ekor

    sedikit cekung. Sementara kondisi gemuk apabila tidak terdapat penonjolan tulang punggung, rusuk,

    pinggul serta pangkal ekor tidak cekung.

    Sukandar, Purwanto dan Anggraeni (2009) Penilaian kondisi tubuh dilakukan dengan cara

    pengamatan dan perabaan terhadap deposit lemak pada bagian tubuh ternak, yaitu bagian punggung dan

    seperempat bagian belakang.Seperti pada bagian processus spinosus, processus spinosus ke processus

    transversus, processus transversus, tuber coxae (hooks), antara tuber coxae dan tuber ichiadicus (pins),

    antara tuber coxae kanan dan kiri, dan pangkal ekor ke tuber ichiadicus dengan nilai 1-5. (nilai 1=kurus,

    nilai 3=sedang, nilai 5=sangat gemuk) skala 0,25. Penilaian BCS pada sapi perah dapat dilihat pada

    Gambar 3.

    Montiel and Ahuja (2005), BCS adalah cara yang efektif untuk mengukur, dengan penglihatan

    dan menyentuh, jumlah energy metabolic disimpan sebagai lemak subcutan dan otot pada binatang.

    BCS menyumbang sekitar 80% dari variasi dalam carcass lemak dalam daging sapi. Reproduksi dan

    kondisi tubuh (status gizi) saling berkaitan karena BCS sangat mempengaruhi produksi dalam tubuh

    sapi. Dominguez (1995), BCS berpengaruh sangat besar terhadap system reproduksi. BCS yang rendah

    menunjukkan perkembanga folikel yang lebih sedikit pada fase luteal dan cenderung rendah pada

    tingkat ovulasi dibanding yang memiliki BCS yang lebih tinggi. BCS adalah alat yang dapat digunakan

    untuk memantau hewan dan menentukan apakah status gizi yang memadai atau tidak. Faktor gizi yang

    berdampak pada kesuburan dan parameter reproduksi. Menurut Renquist, Oltjen, Sainz and Calvert

    (2006), BCS sangat mempengaruhi tingkat kebuntingan, mempertahankan siklus tahunan pada sapi

    yaitu berkembang biak dan sebagai alat prediktif yang efektif untuk menigkatkan pertumbuhan anak

    sapi dan mempertahankan kinerja reproduksi. Menurut Ezanno, Ickowicz and Lancelot (2005), BCS

    merupakan cerminan daripada konsumsi pakan sapi untuk menunjang kinerja reproduksi dan sebagai

    indicator kinerja produktifitas sapi.

    Menurut Waltner (1993), standar rataan nilai BCS sapi perah periode kering sebesar 3,50 –

    4,00. Penn State (2004) merekomendasi bahwa rataan BCS minimum pada periode kering adalah 3,25.

    Energi berlebih saat periode kering penting untuk mengembalikan kondisi tubuh dan bobot badan yang

    hilang selama laktasi. Menurut Stevenson (2001) bahwa kondisi tubuh saat periode kering memerlukan

    waktu untuk penyesuain, ketika BCS kurang optimal maka pemberian pakan berenergi tinggi harus

    ditingkatkan selama pertengahan sampai akhir laktasi.

    Fase puncak produksi mengalami penurunan dari saat awal laktasi. Nilai BCS pada fase ini

    menjadi 2.981+0.268. Nilai ini sedikit lebih besar dari rekomendasi ideal yang dikeluarkan Penstate

    (2004) yaitu sebesar 2.75. Nilai BCS pada fase ini mengalami penurunan dari fase awal laktasi.

    Penurunan nilai BCS yang terjadi pada fase puncak produksi disebabkan karena produksi yang tinggi

    tidak diimbangi dengan pakan yang cukup untuk menunjang produksi susu. Mobilisasi atau

    metabolisme cadangan lemak yang terdeposit dalam tubuh dilakukan untuk memenuhi kekurangan

    energi dari pakan.

    National research council (NRC) (2001) menjelaskan sapi perah 60 hari pasca partus akan

    mengalami penurunan BCS antara 0.5-1.00 atau BCS berada pada kisaran 2.50-3.00. Menurut Brosteret

    al. (1998) perubahan BCS secara umum akan turun selama 2-3 bulan pasca melahirkan.

  • BCS 1 BCS 2 BCS 3 BCS 4 BCS 5

    Gambar 3 : Performa BCS 1-5

    2.4 Angka Kawin Per Kebuntingan

    Angka kawin per kebuntingan atau Service Per Conception (S/C) adalah angka yang

    menunjukkan berapa kali perkawinan atau inseminasi buatan yang dibutuhkan oleh ternak sampai

    menghasilkan kebuntingan. Angka kawin perkebuntingan dapat menggambarkan tingkat kesuburan

    ternak didalam suatu peternakan.

    Angka kawin perkebuntingan = Jumlah total perkawinan

    Jumlah ternak yang bunting

    Berapa kali perkawinan pada induk sehingga menghasilkan kebuntingan disebut dengan S/C.

    Nilai S/C diperoleh dari banhyaknya service atau pelayanan IB debagi dengan jumlah sapi yang

    bunting. Menurut Affandy, dkk (2003) nilai S/C normal berkisar antara 1,6 - 2,0 kali. Angka konsepsi

    merupakan cara penilaian fungsi daya fertilisasi dari contoh semen. Angka konsepsi dipengaruhi oleh

    banyak faktor, diantaranya fertilitas dan kualitas semen, ketrampilan inseminator, ketepatan deteksi

    birahi untuk dilakukan IB serta kemungkinan adanya gangguan reproduksi atau kesehatan hewan

    betina. Smith dan Becker (2006) menyatakan bahwa selang perkawinan lebih dari 35 hari memberikan

    ketepatan deteksi berahi tidak lebih dari 60%. Selain itu juga di jelaskan oleh Hardjopranjoto (1995)

    yang menyatakan bahwa bahwa adanya gangguan reproduksi dapat terlihat apabila persentase jumlah

    induk yang membutuhkan lebih dari 3 kali perkawinan untuk mencapai suatu kebuntingan lebih dari

    30%.

    Jumlah inseminasi per kebuntingan atau S/C adalah jumlah pelayanan inseminasi yang

    dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadinya kebuntingan atau konsepsi. Nilai S/C yang normal

    berkisar antara 1,6 sampai 2,0. (Toelihere, 1985) Menurut Nuryadi dan Wahjuningsih (2011) nilai S/C

  • yang rendah sangat penting dalam arti ekonomis, baik dalam perkawinan alam maupun melalui IB.

    Nilai S/C dianggap tidak baik apabila melebihi angka 2,0 karena hal ini menunjukkan gambaran

    reproduksi yang tidak efisien dan akan merugikan secara ekonomis.

    Menurut Astuti (2004) menyatakan semakin rendah nilai S/C maka semakin tinggi nilai

    fertilitasnya, sebalikya semakin tinggi nilai S/C akan semakin rendah tingkat fertilitasnya. S/C rendah

    maka nilai kesuburan sapi betina semakin tinggi dan apabila nilai S/C tinggi, maka semakin rendah

    tingkat kesuburan sapi-sapi betina tersebut. Ghazali (2013) menyebutkan bahwa S/C memiliki

    hubungan terhadap BCS, pada kondisi tubuh tertentu dapat mempengaruhi nilai S/C, kondisi tubuh

    yang kurus akan berdampak pada proses reproduksi yang tidak efisien.

    Semakin besar nilai S/C semakin rendah tingkat kesuburannya. Tingginya nilai S/C disebabkan

    karena keterlambatan peternak maupun petugas IBdalam mendeteksi birahi serta waktu yang tidak tepat

    untuk di IB. Keterlambatan IB menyebabkan kegagalan kebuntingan. Selain faktor manusia faktor

    kesuburan ternak juga sangat berpengaruh, betina keturunan bangsa exotik cenderung kesuburannya

    rendah bila di IB, akantetapi akan lebih baik bila dikawinkan secara alam (mnggunakan pejantan

    pemacek). Perlu diperhatikan terjadinya inbreeding mengingat program IB sudah berkembang mulai

    tahun 1976, sehingga tingkat kesuburan menjadi menurun (Hastuti, 2008).

    2.5 Produksi Susu

    Susu didefinisikan sebagai suatu sekresi normal dari kelenjar susu hewan mamalia yang tidak

    ditambah atau dikurangi komponen-komponen lain. Sapi perah termasuk ruminan dengan memiliki

    empat perut berupa rumen, retikulum, omasum, dan abomasum dan fungsi utamanya adalah

    menghasilkan susu. Susu dihasilkan oleh kelenjar ambing. Ambing terdiri dari dua bagian terpisah kiri

    dan kanan yang dipisahkan oleh membran dan diperkuat oleh ligamen serta melekat memanjang pada

    tubuh sapi. Bagian kiri dan kanan dibagi oleh selaput membran menjadi kuartir depan dan belakang (De

    Laval, 2005). Kuartir belakang menghasilkan susu sebanyak 60% dari total produksi susu sehari

    (Ensminger, 1991).

    Sudono dkk. (2003) menambahkan bahwa pada umumnya produktivitas sapi FH di Indonesia

    masih rendah, dimana produksi susu rata-rata 10 liter/ekor/hari atau kurang lebih 3.050 kg/laktasi.

    Produksi susu yang rendah ini disebabkan mutu ternak rendah ataupun makanan yang diberikan baik

    kualitas maupun kuantitasnya kurang baik. Kemampuan sapi perah menghasilkan susu merupakan sifat

    yang menurun dan berbeda pada setiap bangsa. Demikian juga antar bangsa dalam spesies yang sama

    mempunyai karakteristik masing-masing, baik dalam besar dan postur tubuhnya, warna bulunya, sifat

    produksi, reproduksi, dan ciri-ciri lainnya, sehingga nampak jelas perbedaannya (Makin, 2011).

    Sapi FH mampu menghasilkan lebih tinggi susu dibandingkan bangsa sapi perah lainya. Di

    Amerika dan Inggris sapi perah Fries Hollands menghasilkan susu sebanyak 8.000 kg setahun

    merupakan hal yang biasa. Karena, ada sapi perah Fries Hollands yang dapat menghasilkan susu antara

    12.000-15.000 kg (DeLaval, 2005). Di negara asalnya produksi susu sapi Fries Hollands berkisar 6.000-

    7.000 l dalam satu masa laktasi (Blakely dan Bade, 1985). Sedangkan, di Indonesia sapi Fries Hollands

    menghasilkan susu sebanyak 2.500-5.000 l per laktasi (Siregar, 1992). Produksi susu sapi Fries

    Hollands di Jawa Barat, Indonesia mencapai 4.239,5; 4.665; 5.063,5; 5.581,5; dan 4.697 l per ekor

    untuk laktasi 1, 2, 3, 4, dan 5 (Proyek Pembibitan Ternak Sapi Perah, Sapi Potong, Domba, Unggas,

    dan Hewan Kesayangan di Masyarakat Jawa Barat, 2002).

    Puncak produksi sendiri adalah titik di mana sapi mencapai level produksi susu tertinggi pada

    masa laktasi yang sedang berjalan. Produksi susu sapi laktasi pertama adalah sebesar 70,75% dari sapi

    dewasa, dan sapi laktasi ke dua menghasilkan susu sebanyak 90% sapi dewasa. Waktu untuk mencapai

    puncak dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya bangsa, nutrisi, dan kemampuan. Hasil tinggi puncak

    umumnya berarti total hasil lebih tinggi (DeLaval, 2005).

  • Menurut Tanuwiria (2008) menggambarkan bahwa produksi susu pada sapi perah awal laktasi

    umumnya meningkat secara dramatis, mencapai puncaknya pada minggu keempat sampai kedelapan

    setelah beranak, setelah itu menurun perlahan. Selama dua bulan pertama laktasi produksi susu

    mencapai 145 persen dari rataan produksi satu periode laktasi, pada bulan ketiga dan keempat turun

    menjadi 120 persen, dan pada bulan kelima dan keenam produksi susunya sama dengan rataan satu

    periode laktasi. Sedangkan pada bulan ketujuh dan kedelapan produksi susu menjadi 78 persennya, dan

    menjelang beranak menjadi kurang dari 70 persen dari rataan produksi susu. Tingginya produksi susu

    pada minggu keempat sampai kedelapan umumnya tidak diimbangi oleh tingginya konsumsi bahan

    kering ransum. Konsumsi bahan kering ransum pada tiga minggu awal laktasi lebih rendah 15 persen

    dari normal, kemudian meningkat dan mencapai puncaknya pada minggu ke 10 sampai 14 setelah

    beranak, yaitu 30-60 persen lebih tinggi dari sapi kering kandang.

    Induk menghasilkan susu setelah beranak. Minggu pertama setelah beranak, produksi susu

    meningkat secara bertahap, mencapai puncaknya pada 1-2 bulan setelah beranak. Setelah itu terjadi

    penurunan dan berlanjut sampai sapi perah dikeringkan atau berhenti berproduksi (Ball dan Peters,

    2004). Produksi susu pada satu masa laktasi dimulai dari satu titik dan meningkat untuk kira-kira selama

    3-6 minggu ( Reaves dan Henderson, 1963; Damron, 2003). Selanjutnya pertambahan produksi susu

    sedikit menurun dan mencapai puncaknya pada 35-50 hari setelah beranak. Setelah puncak dilalui

    produksi susu menurun dan berhenti karena sapi perah dikeringkan (Siregar, 1990). Dari laktasi pertama

    produksi susu terus meningkat sampai sapi perah tersebut mencapai dewasa tubuh umur 6-8 tahun atau

    rata-rata 7 tahun. Kemudian, produksi susu menurun sampai sapi perah diapkir kira-kira pada umur 12

    tahun.

    Puncak produksi susu untuk sapi dara 3,15-6,3 kg lebih tinggi dari rataan produksi susu harian.

    Pada laktasi kedua dan selanjutnya produksi susu dapat mencapai 6,75-13,5 lebih tinggi dari rataan

    produksi harian. Puncak produksi dapat dicapai antara 5-10 minggu setelah beranak, setelah puncak

    produksi tercapai umumnya terjadi penurunan rataan produksi susu dapat mencapai 10-15%. Pada akhir

    laktasi penurunan dapat terjadi sekitar 12-20%. Laju penurunan dapat ditekan dengan cara memberikan

    pakan dan pengelolaan yang baik (Despal dkk., 2008).

  • BAB III

    MATERI DAN METODE PENELITIAN

    3.1. Lokasi dan waktu penelitian

    Penelitian dilaksanakan di Margo Utomo Resort, Desa Kalibaru, Banyuwangi, yang

    dilaksanakan mulai tanggal 18 Maret – 18 Mei 2016.

    3.2. Materi Penelitian

    Materi yang digunakan sebanyak 50 ekor induk sapi Perah FH pada laktasi kedua dan ketiga.

    Ternak yang digunakan adalah milik Margo Utomo Resort yang berada di desa Kalibaru, Banyuwangi.

    Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelas ukur volume 1 liter dipakai untuk mengukur

    produksi susu selama pengamatan sapi perah. Tali meteran ukuran 150 cm untuk mengukur lingkar

    badan sapi dan ember digunakan untuk tempat kolostrum saat pemerahan.

    3.3. Metode penelitian

    Penelitian ini menggunakan metode pengamatan, yaitu pengambilan data dengan sengaja

    (purposive sampling). Penentuan lokasi dan sample penelitian secara purposive sampling yaitu

    pemilihan subyek didasarkan atas ciri atau sifat-sifat tertentu yang sudah diketahui sebelumnya serta

    mengacu pada pengambilan sample dengan sengaja untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Pengamatan

    secara langsung di peternakan Margo Utomo Resort serta menilai BCS. Data yang diambil yaitu data

    yang diperoleh langsung dari responden meliputi BCS dan data sekunder yaitu recording reproduksi

    yang tersedia di farm tersebut. Penilaian BCS dilakukan sekitar satu minggu sebelum melahirkan.

    Pengukuran BCS digunakan standar Webster (1987), adapun kriterianya sebagai berikut:

    1. 0 (sangat kurus)

    Kulit tipis, tidak ada jaringan yang dapat diraba antara tulang dan kulit.

    2. 1 (kurus)

    Otot-otot pada os ishiadicum dan vertebrae pars coccygealis tampak cekung, tidak ada

    jaringan leak yang dapat diraba tetapi hanya kulit yang dapat dilipat dan digerakkan dengan

    bebas.

    3. 2 (cukup)

    Semua tulang dapat diraba dengan mudah, otot-otot sekitar os ischiadicum cekung dan

    terdapat sedikit jaringan lemak.

    4. 3 (bagus)

    Semua tulang dapat diraba tetapi dilapisi dengan baik oleh jaringan lemak.

    5. 4 (gemuk)

    Ada timbunan jaringan lemak di bawah kulit. Pelvis dapat diraba dengan tekanan yang

    keras tetapi vetebrae pars sacralis dan vertebrae pars coccygealis tidak dapat diraba.

    6. 5 (sangat gemuk)

    Pada daerah os ishiadicum tertimbun jaringan lemak, daerah pelvis tidak dapat diraba

    walaupun dengan tekanan yang keras.

  • 3.4 Prosedur Penelitian

    Gambar 4. Pelaksanaan penelitian

    3.5 Variabel pengamatan

    Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

    1. Nilai BCS

    Pengambilan data BCS dinilai berdasarkan metode Montel dan Ahuja (2005) yaitu

    menggunakan skala 1 – 5 pada saat periode kering mendekati kelahiran (2 bulan prepartum)

    disertai foto standar ternak sapi perah. Penilaian BCS ini dilakukan dengan cara pengamatan

    dan perabaan terhadap deposit lemak pada bagian tubuh ternak, yaitu pada bagian punggung

    dan seperempat bagian belakang, seperti pada bagian processus spinosus, processus spinosus

    ke processus transversus, processus transversus, legok lapar, tuber coxae (hooks), antara tuber

    coxae dan tuber ischiadicus (pins), antara tuber coxae kanan dan kiri, dan pangkal ekor ke

    tuber ischiadicus dengan skor 1-5 (skor 1=sangat kurus, skor 3= sedang, dan skor 5= sangat

    gemuk).

    2. Service per conception (S/C)

    Service per conception adalah suatu angka yang menunjukan berapa banyak ternak

    diinseminasi untuk mendapatkan hasil kebuntingan, dihitung dari jumlah pelayanan (servise)

    inseminasi yang dilakukan pada ternak betina sampai terjadi kebuntingan (Nurjanah, 2015).

    Rumus untuk mengitung S/C adalah sebagai berikut:

    Persiapan Penelitian

    Pra Penelitian

    (Survey Lokasi Penelitian)

    Kegiatan Penelitian

    Kegiatan Penelitian

    Koleksi Data

    Evaluasi Data

    Melengkapi data yang

    kurang

    Pasca Penelitian

    Pengolahan Data

    HASIL

    Pembuatan Laporan

  • 𝑆/𝐶 =𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐼𝐵 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑎𝑖 𝑡𝑒𝑟𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑘𝑒𝑏𝑢𝑛𝑡𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛

    𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑎𝑠𝑒𝑝𝑡𝑜𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑢𝑛𝑡𝑖𝑛𝑔

    3. Produksi susu

    Produksi susu (liter) merupakan banyaknya susu yang dihasilkan setiap ekor sapi perah

    selama laktasi kedua dan ketiga. Jumlah produksi susu yang diperoleh melalui pengukuran satu

    hari produksi (pagi dan sore hari) dan diukur pada masa pengambilan data

    3.6 Analisis data

    Penelitian ini menggunakan analisis regresi linier sederhana dan analisis korelasi dengan

    bantuan program SPSS 16.0. Analisis korelasi untuk mengetahui kerataan antara Body Condition Score

    (BCS) dengan angka kawin perkebuntingan dan produksi susu menggunakan rumus koefisien korelasi

    menurut Supranto (1986), sebagai berikut :

    n∑xy - ∑x∑y

    r =

    √(𝒏∑𝒙𝟐 − (∑𝒙)𝟐)(𝒏∑𝒚𝟐 − (∑𝒚)𝟐)

    Uji sidik ragam regresi dilakukan untuk mengetahui tingkat signifikasi BCS dengan angka

    kawin perkebuntingan dan jarak beranak, adapun rumus yang digunakan untuk menghitung F hitung

    adalah sebagai berikut :

    JK Regresi = b { ∑𝑥𝑦 − (∑x)(∑y) }

    n

    JK Total = ∑y2 – (∑y)2

    n

    JK Galat = JK total – JK Regresi

    Tabel 1. Analisis Sidik Ragam

    SK Db JK KT Fhit Ftab

    0,05 0,01

    Regresi 1 JKR KTR = JKR

    1

    KTregresi

    KTsisa

    Galat n-1 JKG KTG = JKG

    (n-2)

    Total N – 1JKT

    Koefisien determinasi adalah suatu alat utama untuk mengetahui sejauh mana tingkat hubungan

    antara variable X dan Y. Koefisien determinasi dirumuskan sebagai berikut :

    JK Regresi

    R2 = X 100%

    JK Total

    Sugiono (2011) manfaat dari hasil analisis regresi adalah untuk mebuat keputusan naik dan

    menurunnya variable terikat dapat dilakukan melalui peningkatan variable bebas atau tidak. Supranto

    (1986) menambahkan untuk memperkirakan hubungan antara dua variable pertama membuat asumsi

    terlebih dahulu mengenai bentuk hubungan yang dinyatakan dalam fungsi berikut :

  • Y= a + bX

    Dimana :

    X = BCS sapi perah

    Y = Angka kawin perkebuntingan atau jarak beranak

    a = Intersep (konstanta)

    b = Koefisien regresi

  • 3.7 Batasan istilah

    1. Body Condition

    Score

    (BCS)

    : Nilai kondisi tubuh yang didasarkan

    pada estimasi visual timbunan lemak

    tubuh di bawah kulit sekitar pangkal

    ekor, tulang punggung, tulang rusuk,

    dan pinggul, kemudian dibandingkan

    dengan gambar.

    2. Sapi perah FH : Sapi perah yang umum dipelihara di

    Indonesia adalah bangsa sapi FH.

    Bangsa sapi ini berasal dari negeri

    Belanda dan dikenal sebagai Holstein

    Friesian disingkat Holstein

    sedangkan di Eropa terkenal dengan

    nama Friesian, dan saat ini

    merupakan bangsa sapi perah terbesar

    yaitu 90% dari jumlah total sapi perah

    yang ada di dunia. Sapi FH

    merupakan tipe perah yang memiliki

    produksi tinggi dibandingkan dengan

    sapi perah lainnya.

    3. Service per

    Conception

    : Angka yang menunjukkan berapa

    kali perkawinan atau inseminasi

    buatan yang dibutuhkan oleh ternak

    sampai menghasilkan kebuntingan.

    Angka kawin perkebuntingan dapat

    menggambarkan tingkat kesuburan

    ternak didalam suatu peternakan.

    4. Produksi susu

    harian

    : Jumlah produksi susu yang diperoleh

    melalui pengukuran satu hari

    produksi (pagi dan sore hari) dan

    diukur pada masa pengambilan data

  • BAB IV

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1 Keadaan dan Sejarah Lokasi Penelitian

    Margo Utama Resort yang terletak di Desa Kalibaru, Kecamatan Kalibaru, Banyuwangi,

    merupakan sebuah resort bergaya Eropa yang mempunyai sejarah cukup panjang di dunia pariwisata

    Banyuwangi. Kisah bermula di tahun 1943, saat H.R.M. Moestadjab, pendiri Margo Utomo mewarisi

    tanah dari ayahnya. Pada awal berdirinya, resort ini bukanlah hotel, tetapi hanyalah sebuah perkebunan

    yang luas dengan dipadu peternakan sapi perah skala kecil (karena jumlah sapinya masih sedikit). Total

    ada sekitar 100 ekor sapi disini, dan semuanya berjenis Friesian Holstein, jenis sapi perah asli Eropa

    yang dikenal memiliki produksi harian susu terbanyak. Sejarahnya, pada awal berdirinya resort ini, Pak

    Moestadjab mendapat hadiah anak sapi betina jenis Friesian Holstein dari rekannya di Belanda.

    Kemudian sapi ini dikawinkan dengan pejantan lokal dan akhirnya berkembang biak hingga banyak

    seperti sekarang ini.

    Tahun 1975, harga dari semua produk perkebunan terjun bebas. Hal ini membuat Pak

    Moestadjab sempat kesulitan untuk melanjutkan usaha perkebunannya. Sampai pada akhirnya dia

    mendapatkan ide cemerlang untuk menggabungkan konsep perkebunan dan wisata. Dimulai dari

    memanfaatkan kamar di rumahnya sendiri untuk menerima tamu, Pak Moestadjab memulai usahanya

    tersebut. Usaha ini ternyata berkembang sangat pesat dan hingga saat ini Margo Utomo telah memilik

    51 kamar. Pak Moestadjab meninggal di tahun 2000, disusul kemudian istrinya di tahun 2008. Kini

    anak mereka, Bu Endang Mariana yang melanjutkan perjuangan Margo Utomo.

    Informasi yang disampaikan oleh Bapak Asmuni, Manajer dari peternakan, pemerahan susu

    dilakukan dua kali sehari, yakni mulai jam 7 pagi hingga jam 7 sore. Pemerahan dilakukan dengan cara

    modern, yaitu dengan alat pemerah susu, bukan dengan tangan. Satu ekor sapi menghasilkan antara 5

    hingga 20 liter susu per hari. Saat ini dari 130 ekor sapi, ada sekitar 50 sapi yang produktif menghasilkan

    susu. Semua produk susu dan turunannya seperti keju, digunakan sepenuhnya untuk menjamu tamu

    yang menginap di Margo Utomo Resort yang kebanyakan adalah wisatawan asing. Sisanya baru dijual

    ke daerah Banyuwangi, Jember hingga Bali.

    Sapi perah yang dipelihara di Indonesia tepatnya di Margo Utomo Resort ini adalah jenis

    Holstein yang pada awalnya diimpor dari Belanda yang memiliki kondisi suhu lingkungan dingin. Oleh

    karena itu pemeliharaan sapi perah Holstein pada umumnya terkonsentrasi di dataran tinggi, tetapi

    kemudian berkembang ke daerah dataran rendah. Usaha ternak sapi perah di dataran rendah yang

    semakin berkembang memerlukan dukungan upaya peningkatan dan perbaikan di berbagai aspek

    termasuk pemuliaan ternak yaitu melalui pembentukan sapi perah yang cocok untuk kondisi dataran

    rendah. Salah satu strategi program pemuliaan dalam rangka menyediakan bibit unggul sapi perah yang

    cocok dengan kondisi dataran rendah dapat dilakukan melalui persilangan antara sapi perah FH dengan

    sapi lokal. Menurut Siregar (2001), sapi PFH merupakan hasil persilangan (grading-up) antara sapi

    perah FH dengan sapi lokal. Di Indonesia sapi jenis FH ini dapat menghasilkan susu 20 liter/hari, tetapi

    rata-rata produksi 10 liter/hari atau 3.050 kg susu 1 kali masa laktasi. Sapi jantan jenis FH ini dapat

    mencapai berat badan 1.000 kg, dan berat badan ideal betina adalah 635 kg. Di Amerika sapi FH ini

    dapat memproduksi lebih dari 7.000 kgsusu dalam 1 kali masa laktasi (Sudono dkk.,2003).

    Produktifitas ternak dipengaruhi oleh faktor genetic dan lingkungan (iklim, penyakit dan

    manajemen), selain itu juga dipengaruhi oleh kualitas dan keseimbangan pakan. Pemberian pakan yang

    mencukupi kebutuhan sapi dari segi kualitas dan kuantitas akan mengoptimalkan system reproduksi

    dan mencukupi kebutuhan hidup pokok sapi tersebut. Pakan yang diberikan selama kegiatan penelitian

    terdiri dari hijauan yang meliputi tebon jagung yang masih hijau kemudian di cooper dan juga

    konsentrat yang meliputi ampas tahu,dan bungkil kelapa. Rata-rata Pemberian hijauan sebanyak

    http://www.banyuwangikab.go.id/http://www.banyuwangikab.go.id/

  • 10kg/ekor yang diberikan sebanyak tiga kali sehari (pagi, siang dan sore) setelah pemerahan susu.

    Ampas tahu diberikan sebanyak 2-3kg/ekor, dan bungkil kelapa sebanyak 2kg/ekor/hari yang diberikan

    sebanyak dua kali sehari, yaitu pagi sebelum pemerahan dan sore sebelum pemerahan. Pemberian

    minum dilakukan secara ad libitum apabila air dalam bak minum habis maka akan diberikan air lagi.

    Kandang yang digunakan bertipe Head to Head dengan tipe atap monitor, jumlah kandang

    utama sebanyak dua buah dengan satu kandang produksi dan satu kandang pembibitan. Kapasitas

    kandang produksi sebanyak 50 ekor sapi, sedangkan kandang pembibitan sebanyak 70-80 ekor sapi

    bakalan. Selain itu juga terdapat kandang pemerahan modern sebanyak satu buah dengan kapasitas 8

    ekor sapi. Sanitasi dari semua kandang sangat maksimal, setiap saat ketika sapi buang kotoran maka

    pegawai langsung membersihkan kandang, sehingga kandang terlihat sangat bersih dan tidak berbau.

    Manajemen sanitasi kandang yang baik ini sangat berpengaruh besar sehingga dari 50 ekor sapi yang

    produksi hanya terdapat 1 ekor sapi yang terkena mastitis, itupun sudah dalam tahap penyembuhan.

    Sistem pemberian pakan di peternakan Sapi Perah Margo Utama Banyuwangi ini dilakuka pada

    pagi sebelum dilakukan pemerahan dengan pemberian makanan konsentrat pada Sapi berupa ampas

    tahu dan bungkil kopi. Setelah itu, barulah dilakukan pemerahan susu sapi menggunakan mesin. Setelah

    pemerahan sapi diberi asupan tanaman hijau berupa daun jagung dan tebon mudayang sudah di cowper.

    Pemberian pakan konsentrat dilakukan 2 kali sehari yakni pagi dan sore sebelum pemerahan. Sementara

    pemberian hijauan dilakukan 3 kali sehari yakni setelah pemerahan, siang hari, dan sore hari setelah

    pemerahan.

    4.2 Hubungan Antara BCS dengan (S/C) dan Produksi Susu Sapi Perah

    Adapun perhitungan hasil penelitian hubungan Body Condition Score (BCS) sapi perah

    Friesian Holstein (FH) terhadap Servive per Conception (S/C) dan produksi susu Margo Utomo

    Banyuwangi adalah sebagai berikut:

  • Tabel 2. Hubungan Antara Body Condition Score (BCS) sapi perah Friesian Holstein (FH) dengan

    Servive per Conception (S/C) dan produksi susu Margo Utomo Banyuwangi

    No Keterangan Persaman

    Regresi R Kategori

    1. Hub. BCS

    dengan S/C

    Y1 =

    31,20+0,02X1

    0,011% Berpengaruh/

    berbanding

    lurus

    2. Hub.BCS

    dengan

    Produksi

    Kolostrum

    Y2 =

    17,95+0,01X2

    0,057% Berpengaruh/

    berbanding

    lurus

    4.2.1 Hubungan BCS dengan S/C

    Angka kawin per kebuntingan atau Service Per Conception(S/C) adalah angka yang

    menunjukkan berapa kali perkawinan atau inseminasi buatan yang dibutuhkan oleh ternak sampai

    menghasilkan kebuntingan. Angka kawin perkebuntingan dapat menggambarkan tingkat kesuburan

    ternak didalam suatu peternakan. Body Condition Score (BCS) sangat penting dalam menunjang sistim

    reproduksi. Ternak yang kondisi tubuhnya sangat kurus memiliki cadangan lemak yang kurang,

    sehingga mengakibatkan rendahnya tingkat reproduksi sapi. BCS sapi perah di lokasi penelitian

    dikelompokkan berdasarkan nilai BCS yang menggunakan skala 1-5 namun yang dapat di lokasi

    terdapat nilai BCS 2-5 (ada empat kelompok BCS, yaitu 2, 3, 4 dan 5, maka hasil analisis statistik pada

    Lampiran 7. Analisis regresi yang berguna untuk mendapatkan pengaruh variabel X (angka BCS)

    terhadap variabel Y (angka S/C). Pengolahan data dengan menggunakan analisis regresi linier

    sederhana, dilakukan beberapa tahapan untuk mencari hubungan antara variabel independen dan

    dependen. Adapun pengolahan data penelitian dilakukan dengan menggunakan software Microsoft

    Excell 2013.

    Berdasarkan hasil analisis korelasi pada Lampiran 8. dapat diketahui bahwa BCS sapi perah

    memiliki hubungan nyata terhadap S/C. Berdasarkan hasil analisis pada Lampiran 8. menunjukkan

    bahwa BCS sapi perah memiliki hubungan signifikan terhadap S/C. Adanya hubungan antara BCS

    bunting tua dan bobot lahir pedet diduga karena kualitas nutrisi yang dikonsumsi sapi induk. Hal ini

    sebanding dengan pendapat dari Ihsan (2010) yang menyebutkan bahwa tinggi rendahnya S/C pada

    tempat penelitian jika memang hanya dalam angka kecil dipengaruhi oleh BCS yang ada, sehingga

    dapat dikatakan ada faktor lain yang berpengaruh terhadap S/C. Faktor lain yang dimaksud seperti

    halnya breed; lingkungan yang meliputi suhu, kelembapan ataupun tiupan angin; faktor lain yang

    mempengaruhi tingginya S/C yaitu: (1) Kualitas semen di tingkat peternak menurun, (2) kondisi

    resipien yang tidak baik karena faktor genetic atau faktor fisiologis dan kurang pakan BCS, (3) deteksi

    berahi yang kurang tepat, (4) ketreampilan inseminator yang perlu ditingkatkan. Menurut Ihsan (2010)

    penyapihan anak yang terlambat, sehingga induk mengalami days open sangat lama,yang selanjutnya

    berdampak pada jarak beranak yang semakin panjang. Jadi keberhasilan IB atau S/C dipengaruhi banyk

    faktor, diantaranya adalah kualitas semen, ketrampilan inseminator dan faktor pakan pakan yang

    beberapa dari sekian banyak dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya S/C,

    karena pakan merupakan refleksi dari BCS dengan S/C dalam perhitungan statistic tersebut

    berhubungan sangat nyata meskipun tingkat keeratannya rendah.

    Hasil perhitungan persamaan regresinya BCS terhadap S/C adalah Y1 = 31,20+0,02X1, dimana

    Y1 adalah S/C dan X1 adalah BCS sapi perah. Hasil tersebut menunjukkan hubungan cukup rendah

    antara BCS dengan S/C sapi perah. Nilai koefisien korelasi sebesar (r)= 0,011 yang artinya ada

    hubungan cukup rendah antara BCS dengan bobot lahir pedet. Koefisien deteminasi (R2) = 0,02%

    artinya nilai tersebut menunjukkan bahwa BCS sapi perah memberikan kontribusi sebesar 0,012%

  • terhadap S/C sapi perah, sisanya 99,98% berasal dari faktor lain. Hal ini sebanding dengan pendapat

    Hardjopranoto (1995), umumnya yang mempengaruhi kesuburan betina atau gangguan reproduksi pada

    ternak disebabkan faktor genetic, manajemen pengelolaan pakan dan faktor lingkungan. Zaki (2014),

    menambahkan S/C tinggi disebabkan oleh manajemen perkawinan yang buruk. Pengaruh yang dari

    hubungan BCS sapi perah terhadap S/C dapat dilihat pada grafik dibawah ini:

    Gambar 5. Grafik Pengaruh BCS terhadap S/C

    Semakin besar nilai S/C semakin rendah tingkat kesuburannya. Tingginya nilai S/C diduga

    disebabkan karena keterlambatan peternak maupun petugas IBdalam mendeteksi birahi serta waktu

    yang tidak tepat untuk di IB. Keterlambatan IB menyebabkan kegagalan kebuntingan. Selain faktor

    manusia faktor kesuburan ternak juga sangat berpengaruh, betina keturunan bangsa exotik cenderung

    kesuburannya rendah bila di IB, akantetapi akan lebih baik bila dikawinkan secara alam (mnggunakan

    pejantan pemacek). Perlu diperhatikan terjadinya inbreeding mengingat program IB sudah berkembang

    mulai tahun 1976, sehingga tingkat kesuburan menjadi menurun. (Hastuti, 2008) Menurut Astuti (2004)

    menyatakan semakin rendah nilai S/C maka semakin tinggi nilai fertilitasnya, sebalikya semakin tinggi

    nilai S/C akan semakin rendah tingkat fertilitasnya. Apabila S/C rendah, maka nilai kesuburan sapi

    betina semakin tinggi dan apabila nilai S/C tinggi, maka semakin rendah tingkat kesuburan sapi-sapi

    betina tersebut. Ghazali (2013) S/C memiliki hubungan terhadap BCS, pada kondisi tubuh tertentu

    dapat mempengaruhi nilai S/C, kondisi tubuh yang kurus akan berdampak pada proses reproduksi yang

    tidak efisien.

    4.2.2 Hubungan BCS dengan Produksi Susu

    Body Condition Score (BCS) sangat penting dalam menunjang produksi susu sapi perah. BCS

    adalah metode pengukuran kritis terhadap keefektifan sistem pemberian pakan pada sapi perah,

    bertujuan untuk mengetahui pencapaian standar kecukupan cadangan lemak tubuh yang akan

    mempengaruhi penampilan produksi susu, dan efisiensi reproduksi. BCS merupakan salah satu faktor

    yang sangat mempengaruhi tingkat produksi susu sapi perah, semakin ideal atau tepat nilai BCS sapi

    perah pada tiap periode hidupnya akan berpengaruh terhadap produksi susu sapi perah.

    Berdasarkan hasil analisis korelasi pada Lampiran 9. dapat diketahui bahwa BCS sapi perah

    memiliki hubungan nyata terhadap produksi susu pada masa laktasi. Berdasarkan hasil analisis pada

    Lampiran 4, menunjukkan bahwa BCS sapi perah memiliki hubungan signifikan terhadap produksi susu

    pada masa laktasi. Adanya hubungan antara BCS bunting tua dan bobot lahir pedet diduga karena

    kualitas nutrisi yang dikonsumsi sapi induk. Body Condition Score merupakan salah satu faktor yang

    sangat mempengaruhi tingkat produksi susu sapi perah, semakin ideal atau tepat nilai BCS sapi perah

    y = 0,0058x + 1,7009R² = 0,0001

    0

    0,5

    1

    1,5

    2

    2,5

    0 1 2 3 4 5 6

    An

    gka

    S/C

    angka BCS

  • pada tiap periode hidupnya akan berpengaruh terhadap produksi susu sapi perah. Hal ini sesuai dengan

    pendapat Arbel (2001) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi produksi susu antara lain: bangsa sapi

    perah (breeds), faktor individu, faktor keturunan (genetik), faktor umur (periode laktasi), lama laktasi,

    faktor kebuntingan, faktor siklus estrus, faktor hormonal, faktor musim, temperatur lingkungan,

    frekuensi pemerahan, kecepatan pemerahan, pergantian pemerah, faktor pakan (kualitas dan nutrisi),

    faktor obat-obatan, dan faktor penyakit. Rusdiana dan Sejati (2009) menyakatan bahwa masa laktasi

    merupakan masa sapi edang menghasilkan susu, yakni selama 10 bulan antara saat beranak dan masa

    kering kandang. Sapi laktasi yang sedang bunting akan mengurangi produksi susu karena adanya

    pengaruh hormon yang mengurangi sekresi susu dan peningkatan kebutuhan zat-zat makanan untuk

    pertumbuhan dan hidup pokok dari fetus. Dalam hal ini pemberian pakan dan nutrien pada masa-masa

    tertetu dalam siklus sapi akan mempengaruhi produksi susu. Hal ini diduga berhubungan erat dengan

    BCS sapi yang bersangkutan.

    Berdasarkan perhitungan pada Lampiran 10. dihasilkan persamaan regresi Y2 = 17,95+0,01X2,

    dimana Y2 adalah bobot lahir pedet dan X2 adalah BCS bunting tua. Hasil tersebut menunjukkan

    hubungan cukup rendah antara BCS dengan produksi susu pada masa laktasi. Nilai koefisien korelasi

    sebesar (r)= 0,057 yang artinya ada hubungan cukup rendah antara BCS terhadap produksi susu pada

    masa laktasi. Koefisien deteminasi (R2) = 0,32% artinya nilai tersebut menunjukkan bahwa BCS sapi

    perah memberikan kontribusi sebesar 0,32% terhadap produksi susu pada masa laktasi, sisanya 99,68%

    berasal dari faktor lain. Siregar (2003) menyebutkan bahwa kemampuan sapi dalam memproduksi susu

    sendiri sangat bervariasi. Hal ini tergantung pada karakteristik dan keturunan yang berbeda pada

    masing-masing jenis dan individu sapi. Faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas produksi sapi

    perah terutama adalah bangsa atau jenis sapi, lama bunting, masa laktasi, besar sapi, estrus atau birahi,

    umur sapi, selang beranak, masa kering, frekuensi pemerahan, dan tata laksana pemberian pakan

    (Siregar, 2003).

    Pengaruh cukup rendah antara BCS dengan produksi susu pada masa laktasi sapi diduga

    disebabkan karena kondisi resipien yang tidak baik karena faktor genetic atau faktor fisiologis dan

    kurang pakan BCS. Selain itu sistem pemberian pakan dirasa perlu dilakukan perubahan agar nutrisi

    sapi induk dapat terpenuhi dan mendukung produksi susu. Grafik pengaruh BCS terhadap produksi susu

    pada masa laktasi sebagai berikut:

    Gambar 6. Grafik pengaruh BCS terhadap produksi susu

    y = 0,0212x + 18,968R² = 2E-05

    0

    5

    10

    15

    20

    25

    30

    35

    0 1 2 3 4 5 6

    Oro

    du

    ksi S

    usu

    angka BCS

  • BAB V

    KESIMPULAN DAN SARAN

    5.1 Kesimpulan

    Berdasarakan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa :

    1. Diketahui bahwa terdapat hubungan yang sangat rendah antara BCS dengan S/C. Nilai koefisien

    korelasi sebesar (r)= 0,011 yang artinya ada hubungan cukup rendah antara BCS dengan S/C.

    Koefisien deteminasi (R2) = 0,012% artinya nilai tersebut menunjukkan bahwa BCS sapi perah

    memberikan kontribusi sebesar 0,012% terhadap S/C, sisanya 99,98% berasal dari faktor lain.

    2. Diketahui bahwa terdapat hubungan yang rendah sebesar (r)= 0,057 yang artinya ada hubungan

    cukup rendah antara BCS terhadap produksi susu pada masa laktasi. Koefisien deteminasi (R2) =

    0,32% artinya nilai tersebut menunjukkan bahwa BCS sapi perah bunting tua memberikan

    kontribusi sebesar 0,32% terhadap produksi susu pada masa laktasi, sisanya 99,68% berasal dari

    faktor lain.

    5.2 Saran

    Untuk meningkatkan efisiensi reproduksi pada induk sapi perah FH diharapkan memperhatikan

    manajemen pemeliharaan seperti pakan, deteksi berahi yang tepat, dan penyapihan pedet dan BCS sapi

    perah yang baik di kisaran angka 2-5.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Affandhy, Situmorang, L.P. Prihandini, P.W. Wijono, D.B. dan Rasyid, A. 2003. Performa

    Reproduksi dan Pengelolaan Sapi potong Induk Pada Kondisi Peternakan Rakyat. Pros.

    Seminar Inovasi Teknologi peternakan dan veteriner. Bogor, 29-30 September 2003. Puslitbang

    Peternakan.

    Arianto, F. 2007. Body Condition Score (BCS) dan Service Per Conception (S/C) Beberapa Bangsa

    Cross Breed Sapi Potong Pada Tingkatan Umur Berbeda. Fakultas Peternakan. Universitas

    Muhammadiyah Malang.http://skripsi.umm.ac.id/files/disk1/176/jiptummpp-gdl-s1-2007-

    fibriarian-8756-PENDAHULU-N.pdf. Diakses pada 2 Juni 2016.

    Aryogi, A. Rasyid dan Maryono. 2006. Performans Sapi Silangan Peranakan Ongole Pada Kondisi

    Pemeliharaan Di Kelompok Peternak Rakyat.

    http://peternakan.litbang.deptan.go.id/publikasi/semnas/pro06-23.pdf. Diakses pada 2 Juni

    2016.

    Astuti, M. 2004. Potensi Keragaman Sumberdaya Genetik Sapi Peranakan Ongole (PO). Jurnal

    Wartazoa 14(3) 96-106.

    Atabany, A., B. P. Purwanto, T. Toharmat, dan Anggraeni. 2011. Hubungan Masa Kosong dengan

    Produktivitas pada Sapi Perah Friesian Holstein di Baturraden, Indonesia. Jurnal Of

    Animal Science And Tecnology. 34 (2): 77-82.

    Budiawan, A. Nur Ihsan, M. dan Wahjuningsih, S. 2015. Hubungan Body Condition Score dengan

    Service Per Conception dan Calving Interval Sapi Peranakan Ongole di Babat, Lamongan.

    J. Ternak Tropika Vol. 16, No.1: 34-40.

    Cisse, M., Baye, M.M. Sane, I. Correa, A and Diaye, I.N. 1992. Seasonal Changes in Body Condition

    of the senegales Sahel Goat: Relathionship to Reproductive Performance. In:Proc. Of the

    2nd Biennial Conference of the African Small Ruminant Research Network AICC, Arusha,

    Tanzania, 7-11 December, 1992, P.175-178.

    Coffey MP, Simm G, Hill WG, Brotherstone S. 2003. Genetic evaluation of dairy bulls for daughter

    energy balance profiles using linier types scores and body condition score analyzed using

    random regression. J Dairy Scy. 86: 2205-2212.

    Domeq JJ, Skidmore AL, Lloid JW, Kaneene JB. 1997. Relationship between body condition score

    and milk yield in a large dairy herd of heigh yielding Holstein cows. J Dairy Sci. 80: 101-

    112.

    Dominguez. 1995. Effect of Body Condition, Reproductive Status and Breed on Follicular

    Population and Oocyte Quality in Cows. J. Theriogeonology. 43:1405-1418.

    Ezanno, P., Ickowicz, A and Lancelot, R. 2005. Reltionships Between N’Dama Cow Body Condition

    Score and Production Performance Under An Extensive Range managemen system in

    southern Senegal: calf weight gain, milk production, probability of pregnancy, and

    juvenile mortality. J. Livestock Production Science. 92: 291-306.

    Ghazali, F.H. 2013. Performance Body Condition Score (BCS) dan Service per Conception (S/C)

    sapi potong peranakan Ongole yang diinseminasi Buatan. Fakultas Peternakan. Universitas

    Padjadjaran. Sumedang.

    http://peternakan.litbang.deptan.go.id/publikasi/semnas/pro06-23.pdf

  • Hadisutanto, B. 2008. Studi tentang beberapa Performans Reproduksi pada Berbagai Paritas

    Induk dalam Formulasi Masa Kosong (Days Open) Sapi Perah Fries Holland.

    http://politani.com. Diakses pada 3 Juni 2016.

    Hafez, E.S.E. 2000. Cattle and Bufallo Reproductive Cycle Reproduction in Farm Animal. 7th

    Edition. Lea and Febinger. Philadelpia.

    Hayati, S., Yuniardi, A. Gozali, A.2002. Hubungan Antara Pre-partum Body Condition Score

    Dengan Panjangnya Puncak Laktasi Sapi Perah FH di BPT-HMT Baturraden. Jurnal

    Peternakan Halaman 39-46. Fakultas Peternakan Universitas Jendral Soedirman. Purwokerto.

    Listiani, D. 2006. Pemberian PGF2a Pada Sapi Peranakan Ongole yang Mengalami Gangguan

    Kor[us Luteum Persisten. Tesis. Pasca Sarjana. Fakultas Peternakan. Universitas

    Diponegoro. Semarang.

    Lardy, G. 2000. Managing Your Cow Herd Trough Body Condition Scoring, Beef Cattle Specialist

    NDSU Extension Service. Departement of Animal and Range Sciences.

    Latief, A., D.P. Rahardja dan M. Yusuf. 2004. Meningkatkan Efisiensi Reproduksi Sapi Potonh

    Melalui Percepatan Munculnya Birahi Post Partum. Jurusan Produksi Ternak. Universitas

    Hasanudin. Makasar.

    Montiel, F., and C. Ahuja. 2005. Body Condition and Suckling as Factors influencing the duration

    of Pospartum anestrus in cattle: a review. J. Animal Reproduction Science. 85 : 1-26.

    Nurjanah, Ika. 2016. Keberhasilan Inseminasi Buatan Menggunakan Semen Beku Dan Semen

    Cair Pada Sapi Peranakan Ongole. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.

    Malang.

    Nuryadi dan S. Wahjuningsih. 2011. Penampilan Reproduksi Sapi Peranakan Ongole dan

    Peranakan Limousin di Kabupaten Malang. Jurnal Ternak Tropika 12(1) : 76-81.

    Renquist, B.J., J.W. Oltjen, R.D. Sainz and C.C. Calvert. 2006. Relationship Between Body Condition

    Score And Production Of Multiparaous Beef Cows. J. Livestock Science. 104 : 147-155.

    Rianto dan Sularno. 2005. Penampilan Produksi Sapi Peranakan Ongole dan Sapi Peranakan

    Ongole X Limousin Yang mendapat Pakan Rumput Raja dan Ampas Bir. Diakses tanggal

    4 Juni 2014.

    Rodenburg. J. 2002. Body Condition Score Of Dairy Cattle. Agriculture Of Food Ontario.

    http://omafra.govon.ca.english/livestock/dairy/fact/00-109.htm. Diakses pada 7 Februari

    2016.

    Sugiono. 2011. Statistik Untuk Penelitian. Alfabeta: Bandung.

    Supranto, J.M.A. 1986. Statistik Teori dan Aplikasi. Erlangga : Jakarta Pusat.

    Susilorini, T.E., M.E. Sawitri dan Muharlien. 2007. Budi Daya 22 Ternak Potensial. Penebar

    Swadaya: Jakarta.

    Tawaf,R.2010.SapiPerahFriesHolland.http://www.nusantaraku.org/forum/animal-forum/126720-

    sapi-perah-fries-holland.pdf. Diakses pada 28 Februari 2016.

    Taylor RE, Field TG. 2004. Scientific farm Animal Production. An Introduction to animal

    science.Upper Saddle River, New Jersey (US): Perason Prentice hall.

    http://politani.com/

  • Webster, J. 1987. Understanding The dairy cow. BSP Profesional Book. Oxford London. Edinburg.

    Whittier, J.C. and B. Steevens. 1993. Body Condition Scoring of Beef and Dairy Animal. G2230.

    University of Missouri Cooperative Extension.

    Winugroho, M. 2002. Strategi Pemberian Pakan Tambahan Untuk Memperbaiki Efisiensi

    Reproduksi Induk Sapi. Balai Penelitian Ternak. Jurnal Litbang Pertanian 21(1) : 19-23.

    Zainuddin, M. Nur Ihsan. Dan Suyadi. 2003. Efisiensi reproduksi sapi perah PFH pada berbagai

    umur di CV. Milkindo Berka Abadi Desa Tegalsari Kecamatan Kepanjen Kabupaten

    Malang. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 24(3): 32- 37.

    Zaki, A. 2014. Hubungan Antara Periode Laktasi Dengan Body Condition Score (BCS) dan

    Produksi Sapi Perah Friesian Holstein di BBPTU-SP Baturraden Purwokerto. Fakultas

    Peternakan. Institute Pertanian.

  • Bagian Depan.pdfBAB I.pdfBAB II.pdfBAB III.pdfBAB IV.pdfBAB V.pdfDAFTAR PUSTAKA.pdf