hubungan jantung koroner
DESCRIPTION
dengan sexualitasTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jantung
2.1.1 Anatomi Jantung
Jantung terletak di dalam rongga mediastinum dari rongga dada diantara
kedua paru. Terdapat selaput yang mengitari jantung yang disebut perikardium,
terdiri dari dua lapisan:
a. Perikardium parietalis : lapisan luar melekat pada tulang dada dan paru
b. Perikardium visceralis : Lapisan permukaan jantung / epikardium
Diantara kedua lapisan ini terdapat cairan perikardium.(3.4)
Jantung merupakan organ utama dalam sistem kardiovaskuler. Jantung
dibentuk oleh organ-organ muscular, apex, dan basis cordis, atrium kanan dan kiri
serta ventrikel kanan dan kiri. Ukuran jantung kira-kira panjang 12 cm, lebar 8-9
cm dan tebal kira-kira 6 cm. berat jantung sekitar 7-15 ons atau 200 sampai 425
gram dan sedikit lebih besar dari kepalan tangan. Setiap harinya jantung berdetak
100.000 kali dan dalam masa periode itu jantung memompa 2000 galon darah
atau setara bila dihitung dengan liter maka akan didapatkan 7.571 darah.(4)
Posisi jantung terletak diantara kedua paru dan berada ditengah-tengah
dada, bertumpu pada diaphragma thoracis dan berada kira-kira 5 cm diatas
processus xiphoideus. Pada tepi kanan cranial berada pada tepi cranialis pars
cartiliginis costa III dextra, 1 cm dari tepi lateral sternum. Pada tepi kanan caudal
berada pada tepi cranialis pars cartiliginis costa VI dextra, 1 cm dari tepi lateral
sternum. Tepi kiri cranial jantung berada pada tepi caudal pars cartiliginis costa II
sinistra di tepi lateral sternum, tepi kiri caudal berada pada ruang intercostalis 5,
kira-kira 9 cm di kiri linea medioclavicularis. Dinding jantung terdiri dari 3
lapisan yaitu :
a. Lapisan luar (epikardium)
b. Lapisan tengah (miokardium)
c. Lapisan dalam (endokardium)(3.4)
Jantung terdiri dari 4 ruang, yaitu 2 berdinding tipis disebut atrium
(serambi) dan 2 berdinding tebal disebut ventrikel (bilik).
A. Atrium
1) Atrium kanan berfungsi sebagai penampung darah rendah oksigen
dari seluruh tubuh. Kemudian darah dipompakan ke ventrikel
kanan melalui katub dan selanjutnya ke paru.
2) Atrium kiri menerima darah yang kaya oksigen dari kedua paru
melalui 4 buah vena pulmonalis. Kemudian darah mengalir ke
ventrikel kiri melalui katub dan selanjutnya ke seluruh tubuh
melalui aorta.
B. Ventrikel
Merupakan alur otot yang disebut trabekula. Alur yang menonjol
disebut muskulus papilaris ujungnya dihubungkan dengan tepi daun
katub atrioventrikuler oleh serta yang disebut korda tendinae.
Ventrikel terdiri :
1) Ventrikel kanan menerima darah dari atrium kiri dan dipompakan
ke paru melalui arteri pulmonalis.
2) Ventrikel kiri menerima darah dari atrium kiri dan dipompakan ke
seluruh tubuh melalui aorta.
Kedua ventrikel dipisahkan oleh sekat yang disebut septum ventrikel
yang memisahkan antara ventrikel kanan dan ventrikel kiri.(3.4)
4
Gambar 2. 1. Ruang Jantung
Jantung juga mempunyai katup, yaitu :
a. Katup atrioventrikuler
Terletak antara atrium dan ventrikel. Katup yang terletak
diantara atrium kanan dan ventrikel kanan mempunyai 3 buah daun
katup (trikuspid). Sedangkan katup yang terletak diantara atrium
kiri dan ventrikel kiri mempunyai dua buah daun katup (mitral).
Memungkinkan darah mengalir dari atrium ke ventrikel pada fase
diastole dan mencegah aliran balik pada fase sistolik.(4)
b. Katup semilunar
1) Katup pulmonal terletak pada arteri pulmonalis dan memisahkan
pembuluh ini dari ventrikel kanan.
2) Katup aorta terletak antara ventrikel kiri dan aorta.
Kedua katup ini mempunyai bentuk yang sama terdiri dari 3 buah
katup yang simetris. Dan katup ini memungkinkan darah mengalir dari
masing-masing ventrikel ke arteri selama sistole dan mencegah aliran
balik pada waktu diastole. Pembukaan katup terjadi pada waktu
masing0masing ventrikel berkontraksi, dimana tekanan ventrikel lebih
tinggi dari tekanan di dalam pembuluh darah arteri.(4)
5
Gambar 2.2. Katup Jantung
Pembuluh darah koroner terdiri dari :
a. Arteri
Dibagi menjadi dua:
1) Left Coronary Arteri (LCA) : left main kemudian bercabang besar
menjadi: left anterior decending arteri (LAD), left circumplex arteri
(LCX).
2) Right Coronary Arteri (RCA)
b. Vena : vena tebesian, vena kardiaka anterior, dan sinus koronarius.(4)
Gambar 2.3. Anatomi Pembuluh Darah Koroner
6
Keterangan :
1. Arteri Koroner Kanan
2. Left Anterior Descending (LAD)
3. Left Circumflex (LCX)
4. Vena Cava Superior
5. Vena Cava Inferior
6. Aorta
7. Artery Pulmonal
8. Vena Pulmonalis
9. Atrium Kanan
10. Ventrikel Kiri
11. Atrium Kiri
12. Ventrikel Kanan
13. Muskulus Papilaris
14. Chordae Tendinaeae
15. Katup Tricuspidalis
16. Katup Mitral
17. Katup Pulmonalis
Lingkaran sirkulasi pada sistem kardiovaskular dibagi atas dua bagian
besar yaitu sirkulasi sistemik dan sirkulasi pulmonalis.
a. Sirkulasi sistemik
1) Mengalirkan darah ke berbagai organ
2) Memenuhi kebutuhan organ yang berbeda
3) Memerlukan tekanan permukaan yang besar
4) Banyak mengalami tahanan
5) Kolom hidrostatik panjang
b. Sirkulasi pulmonal
1) Hanya mengalirkan darah ke paru
2) Hanya berfungsi untuk paru
7
3) Mempunyai tekanan permulaan yang rendah
4) Hanya sedikit mengalami tahanan
5) Kolom hidrostatik pendek
c. Sirkulasi koroner
Sirkulasi koroner meliputi seluruh permukaan jantung dan membawa
oksigen untuk miokardium melalui cabang-cabang miokardial yang
kecil. Aliran darah koroner meningkat pada :
1) Aktifitas
2) Denyut jantung
3) Rangsang sistem syaraf simpatis(4)
2.1.2 Fisiologi (Sistem Konduksi Jantung)
Di dalam otot jantung terdapat jaringan khusus yang menghantarkan aliran
listrik. Jaringan tersebut mempunyai sifat khusus:
a. Otomatisasi : menimbulkan impuls / rangsang secara spontan
b. Irama : pembentukan rangsang yang teratur
1) Daya konduksi : kemampuan untuk menghantarkan
2) Daya rangsang : kemampuan bereaksi terhadap rangsang(4.5)
Perjalanan impuls rangsang dimulai dari:
a. Nodus SA (sino atrial): traktus iternodal, Brachman bundle
b. Nodus AV (atrio ventrikel)
c. Bundle of HIS (bercabang menjadi dua: kanan dan kiri): Right bundle branch,
Left bundel brach.
d. Sistem Purkinje(4.5)
Terdapat tiga variabel yang mempengaruhi volume sekuncup (stroke
volume) :
a. Beban awal (Preload)
1) Derajat dimana otot jantung diregangkan sebelum ventrikel kiri
berkontraksi (ventrikel end diastolic volume).
8
2) Berhubungan dengan panjang otot jantung, regangan dan volume.
3) Semakin regang serabut otot jantung pada batas tertentu semakin kuat
kontraksi.
b. Beban akhir (Afterload)
1) Tahanan yang harus dihadapi saat darah keluar dari ventrikel kiri
2) Beban untuk membuka katup aorta dan mendorong darah selama fase
sistolik
3) Systemic vascular resistance (SVR)
c. Kontraktilitas
Hukum Frank – Straling: dalam batas fisiologis jantung akan memompakan
semua darah dari vena menuju ke aorta tanpa ada bendungan atau afterload
sama dengan preload.
1) Makin besar volume sewaktu diastole semakin besar jumlah darah yang
dipompakan ke aorta.
2) Dalam batas-batas fisiologis jantung memompakan darah ke seluruh tubuh
dan kembali ke jantung
3) Besar kecilnya volume darah yang dipompakan oleh jantung tergantung
pada jumlah darah yang mengalir kembali ke jantung.(4)
2.1.3 Penyakit Jantung Koroner
2.1.3.1 Defenisi
1. American Hearth Association (AHA), mendefenisikan Penyakit Jantung
Koroner (PJK) atau sering juga disebut penyakit arteri koroner adalah istilah
umum untuk penumpukan plak di arteri jantung yang dapat menyebabkan
serangan jantung. Penumpukan plak pada arteri koroner ini disebut dengan
aterosklerosis koroner.(6)
2. Penyakit jantung koroner dalam suatu keadaan akibat terjadinya penyempitan,
penyumbatan atau kelainan pembuluh nadi koroner. Penyakit jantung koroner
diakibatkan oleh penyempitan atau penyumbatan pembuluh darah koroner.
Penyempitan atau penyumbutan ini dapat menghentikan aliran darah ke otot
jantung yang sering ditandai dengan rasa nyeri.(7)
9
3. Penyakit jantung koroner adalah keadaan tersumbatnya sirkulasi ke jantung
dan timbul nekrosis, biasaya ditandai dengan nyeri hebat, sering kali disertai
pucat, berkeringat, mual, sesak nafas, dan pusing serta kelainan elektrografi
meliputi perubahan gelombang Q, segmen ST, dan gelombang T.(8)
4. Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyakit jantung dan pembuluh darah
yang disebabkan karena penyempitan arteri koroner. Penyempitan pembuluh
darah terjadi karena proses aterosklerosis atau spasme atau kombinasi
keduanya. Aterosklerosis yang terjadi karena timbunan kolesterol dan jaringan
ikat pada dinding pembuluh darah secara perlahan-lahan (35), hal ini sering
ditandai dengan keluhan nyeri pada dada.(2)
2.1.3.2 Epidemiologi
Penyakit Jantung Koroner tidak hanya menyerang laki-laki saja, wanita juga
beresiko terkena PJK mekipun kasusnya tidak sebesar laki-laki. Pada orang yang
berumur 65 tahun ke atas, ditemukan 20% PJK pada laki-laki dan 12% pada
wanita. Pada tahun 2002, WHO memperkirakan bahwa sekitar 17 juta orang
meninggal tiap akibat penyakit kardiovaskuler, terutama PJK (7,2 juta) dan stroke
(5,5 juta). (9)
Tanda dan gejala PJK banyak dijumpai pada individu-individu dengan usia
yang lebih tua, secara patogenesis permulaan terjadinya PJK terjadi sejak usia
muda namun kejadian ini sulit untuk diestimasi. Diperkirakan sekitar 2% - 6%
dari semua kejadian PJK terjadi pada individu dibawah usia 45 tahun.(10)
Secara umum angka kejadian penyakit jantung dan pembuluh darah di
Indonesia belum diteliti secara akurat. Di amerika serikat pada tahun 1996
dilaporkan kematian akibat penyakit jantung mencapai 959.277 penderita, ykni
41,4 % dari seluruh kematian. Setiap hari 2600 penduduk meninggal akibat
penyakit ini. Dari jumlah tersebut 476.124 kematian disebabkan oleh Penyakit
Jantung Koroner.(11)
10
2.1.3.3 Etiologi
Penyakit jantung koroner adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh
penyempitan atau penyumbatan arteri yang mengalirkan darah ke otot jantung.
Penyakit jantung koroner adalah ketidak seimbangan antara demand dan supplay
atau kebutuhan dan penyediaan oksigen otot jantung dimana terjadi kebutuhan
yang meningkat atau penyediaan yang menurun, atau bahkan gabungan diantara
keduanya itu, penyebabnya adalah berbagai faktor.(4)
Denyut jantung yang meningkat, kekuatan berkontraksi yang meninggi,
tegangan ventrikel yang meningkat, merupakan beberapa faktor yang dapat
meningkatkan kebutuhan dari otot-otot jantung. Sedangkan faktor yang
mengganggu penyediaan oksigen antara lain, tekanan darah koroner meningkat,
yang salah satunya disebabkan oleh artheroskerosis yang mempersempit saluran
sehingga meningkatkan tekanan, kemudian gangguan pada otot regulasi jantung
dan lain sebagainya.(4)
Faktor resiko penyakit jantung koroner terdiri dari:
1. Faktor resiko yang tidak dapat diubah
a. Usia
Kerentanan terhadap penyakit ini meningkat seiring bertambahnya
usia. Namun demikian jarang timbul penyakit serius sebelum usia 40
tahun hingga 60 tahun, insiden meningkat lima kali lipat.(4.12)
b. jenis kelamin
Secara keseluruhan resiko lebih besar pada laki-laki dibandingkan
perempuan. Perempuan agaknya relatif lebih kebal terhadap penyakit ini
sampai usia setelah menopouse, dan kemudian menjadi sama rentannya
seperti pada laki-laki. Efek perlindungan estrogen dianggap menjelaskan
adanya imunitas wanita pada usia sebelum menopouse, tetapi pada usia
sebelum menopouse, tetapi pada kedua jenis kelamin dalam usia 60 hingga
70-an frekuensi MI menjadi setara.(4.12)
c. Riwayat keluarga
Faktor familial dan genetika mempunyai peranan bermakna dalam
patogenesis PJK, hal tersebut dipakai juga sebagai pertimbangan penting
11
dalam diagnosis, penatalaksanaan dan juga pencegahan PJK. Penyakit
jantung koroner kadang-kadang bisa merupakan manifestasi kelainan gen
tunggal spesifik yang berhubungan dengan mekanisme terjadinya
aterosklerotik. (4.12)
Riwayat keluarga PJK pada keluarga yang langsung berhubungan
darah yang berusia kurang dari 70 tahun merupakan faktor risiko
independent untuk terjadinya PJK, dengan rasio odd dua hingga empat
kali lebih besar dari pada populasi control. PJK keluarga menandakan
adanya predisposisi genetik pada keadaan ini.(4.12)
Terdapat beberapa bukti bahwa riwayat keluarga yang positif dapat
mempengaruhi usia onset PJK pada keluarga dekat. The Reykjavik Cohort
Study menemukan bahwa pria dengan riwayat keluarga menderita PJK
mempunyai risiko 1,75 kali lebih besa untuk menderita PJK (RR=1,75;
95% CI 1,59-1,92) dan wanita dengan riwayat keluarga menderita PJK
mempunyai risiko 1,83 kali lebih besar untuk menderita PJK (RR=1,83;
95% CI 1,60-2,11) dibandingkan dengan yang tidakmempunyai riwayat
PJK.(4.12)
2. Faktor resiko yang dapat diubah
a. Lipid
Dislipidemia diyakini sebagai faktor risiko mayor yang dapat
dimodifikasi untuk perkembangan dan perubahan secara progresif atas
terjadinya PJK. Kolesterol ditranspor dalam darah dalambentuk
lipoprotein, 75 % merupakan lipoprotein densitas rendah (low density
liproprotein/LDL) dan 20 % merupakan lipoprotein densitas tinggi (high
density liproprotein/HDL). (4.12.13)
Kadar kolesterol HDL-lah yang rendah memiliki peran yang baik
pada PJK dan terdapat hubungan terbalik antara kadar HDL dan insiden
PJK. Pada laki-laki usia pertengahan (45 s.d 65 tahun) dengan tingkat
serum kolesterol yang tinggi (kolesterol : > 240 mg/dL dan LDL
kolesterol : > 160 mg/dL) risiko terjadinya PJK akan meningkat.
Pemberian terapi dengan pravastatin dapat menurunkan rata-rata kadar
12
LDL kolesterol sebesar 32 %, pasien yang mendapatkan pengobatan
dengan pravastatin terhindar dari kejadian PJK sebesar 24 %
dibandingkan dengan kelompok placebo. (4.12.13)
Selain itu juga studi yang dilakukan para ahli menyebutkan bahwa
asam lemak omega-3 dapat menurunkan kolesterol LDL, mengurangi
kadar trigliserid dan meningkatkan kolesterol HDL. Beberapa vitamin
diduga mempunyai efek protektif terhadap aterosklerosis, salah satunya
adalah vitamin C dan E sebagai anti oksidan guna mencegah oksidasi
lipid pada plak.(4.12.13)
b. Hipertensi Sistemik
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kalalembang dan Alfrienti
dengan judul “Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit
jantung koroner di RSU Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan”
menyimpulkan bahwa 4 (empat) faktor risiko yang mempunyai pengaruh
bermakna (p < 0,05) adalah tekanan darah (hipertensi), umur, riwayat PJK
pada orang tua dan olah raga. Risiko PJK secara langsung berhubungan
dengan tekanan darah, untuk setiap penurunan tekanan darah disatolik
sebesar 5 mmHg risiko PJK berkurang sekitar 16 %. (4.12.13)
Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi
terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri, sebagai akibatnya terjadi
hipertropi ventrikel untuk meningkatkan kekuatan kontraksi. Kebutuhan
oksigen oleh miokardium akan meningkat akibat hipertrofi ventrikel, hal
ini mengakibat peningkatan beban kerja jantung yang pada akhirnya
menyebabkan angina dan infark miokardium. (4.12.13)
Disamping itu juga secara sederhana dikatakan peningkatan
tekanan darah mempercepat aterosklerosis dan arteriosclerosis, sehingga
rupture dan oklusi vaskuler terjadi 20 tahun lebih cepat daripada orang
normotensi. (4.12.13)
13
c. Merokok
Merokok merupakan faktor risiko mayor untuk terjadinya penyakit
jantung, termasuk serangan jantung dan stroke, dan juga memiliki
hubungan kuat untuk terjadinya PJK sehingga dengan berhenti merokok
akan mengurangi risiko terjadinya serangan jantung. Merokok sigaret
menaikkan risiko serangan jantung sebanyak 2 sampai 3 kali. Sekitar 24
% kematian akibat PJK pada laki-laki dan 11 % pada perempuan
disebabkan kebiasaan merokok. (4.12.13)
Meskipun terdapat penurunan yang progresif proporsi pada populasi
yang merokok sejak tahun 1970-an, pada tahun 1996 sebesar 29 % laki-
laki dan 28 % perempuan masih merokok. Salah satu hal yang menjadi
perhatian adalah prevalensi kebiasaan merokok yang meningkat pada
remaja, terutama pada remaja perempuan. Orang yang tidak merokok dan
tinggal bersama perokok (perokok pasif) memiliki peningkatan risiko
sebesar 20 – 30 % dibandingkan dengan orang yang tinggal dengan bukan
perokok. (4.12.13)
Risiko terjadinya PJK akibat merokok berkaitan dengan dosis dimana
orang yang merokok 20 batang rokok atau lebihdalam sehari memiliki
resiko sebesar dua hingga tiga kali lebih tinggi daripada populasi umum
untuk mengalami kejadian PJK. Peran rokok dalam patogenesis PJK
merupakan hal yang kompleks, diantaranya :
1) Timbulnya aterosklerosis.
2) Peningkatan trombogenesis dan vasokonstriksi (termasuk spasme
arteri koroner)
3) Peningkatan tekanan darah dan denyut jantung.
4) Provokasi aritmia jantung.
5) Peningkatan kebutuhan oksigen miokard.
6) Penurunan kapasitas pengangkutan oksigen.
7) Risiko terjadinya PJK akibat merokok turun menjadi 50 % setelah
satu tahun berhenti merokok dan menjadi normal setelah 4 tahun
berhenti. Rokok juga merupakan faktor risiko utama dalam
14
terjadinya : penyakit saluran nafas, saluran pencernaan, cirrhosis
hepatis, kanker kandung kencing dan penurunan kesegaran jasmani.(4.12.13)
Manfaat penghentian kebiasaan merokok lebih sedikit
kontroversinya dibandingkan dengan diit dan olah raga. Tiga
penelitian secara acak tentang kebiasaan merokok telah dilakukan
pada program prevensi primer dan membuktikan adanya penurunan
kejadian vaskuler sebanyak 7-47% pada golongan yang mampu
menghentikan kebiasaan merokoknya dibandingkan dengan yang
tidak. Oleh karena itu saran penghentian kebiasaan merokok
merupakan komponen utama pada program rehabilitasi jantung
koroner.(4.12.13)
d. Obesitas
Terdapat saling keterkaitan antara obesitas dengan risiko
peningkatan PJK, hipertensi, angina, stroke, diabetes dan merupakan
beban penting pada kesehatan jantung dan pembuluh darah. Data dari
Framingham menunjukkan bahwa apabila setiap individu mempunyai
berat badan optimal, akan terjadi penurunan insiden PJK sebanyak 25 %
dan stroke/cerebro vascular accident (CVA) sebanyak 3,5 %. (4.12.13)
Penurunan berat badan diharapkan dapat menurunkan tekanan
darah, memperbaiki sensitivitas insulin, pembakaran glukosa dan
menurunkan dislipidemia. Hal tersebut ditempuh dengan cara mengurangi
asupan kalori dan menambah aktifitas fisik. Disamping pemberian daftar
komposisi makanan , pasien juga diharapkan untuk berkonsultasi dengan
pakar gizi secara teratur. Diabetes Mellitus Penderita diabetes menderita
PJK yang lebih berat, lebih progresif, lebih kompleks, dan lebih difus
dibandingkan kelompok control dengan usia yang sesuai. (4.12.13)
Diabetes mellitus berhubungan dengan perubahan fisik-pathologi
pada system kardiovaskuler. Diantaranya dapat berupa disfungsi
endothelial dan gangguan pembuluh darah yang pada akhirnya
meningkatkan risiko terjadinya coronary artery diseases (CAD). Kondisi
15
ini dapat mengakibatkan terjadinya mikroangiopati, fibrosis otot jantung,
dan ketidaknormalan metabolisme otot jantung. (4.12.13)
Risiko terjadinya PJK pada psien dengan NIDDM adalah dua
hingga empat kali lebih tinggi daripada populasi umum dan tampaknya
tidak terkait dengan derajat keparahan atau durasi diabetes, mungkin
karena adanya resistensi insulin dapat mendahului onset gejala klinis 15 –
25 tahun sebelumnya. Sumber lain mengatakan bahwa, pasien dengan
diabetes mellitus berisiko lebih besar (200%) untuk terjadinya
cardiovasculair diseases dari pada individu yang tidak diabetes. (4.12.13)
Diabetes, meskipun merupakan faktor risiko independent untuk
PJK, juga berkaitan dengan adanya abnormalitas metabolisme lipid,
obesitas, hipertensi sistemik dan peningkatan trombogenesis (peningkatan
tingkat adhesi platelet dan peningkatan kadar fibrinogen). Hasil coronary
artery bypass grafting (CABG) jangka panjang tidak terlalu baik pada
penderita diabetes, dan pasien diabetic memiliki peningkatan mortalitas
dini serta risiko stenosis berulang pasca angioplasty koroner.(4.12.13)
e. Hiperhomosistein
Peningkatan kadar homosistein dalam darah akhir-akhir ini telah
ditegakkan sebagai faktor risiko independen untuk terjadinya trombosis
dan penyakit vaskuler. Hiperhomosisteinemia ini akan lebih
meningkatkan lagi kejadian aterotrombosis vaskuler pada individu dengan
faktor risiko yang lain seperti kebiasaan merokok dan hipertensi. Lebih
dari 31 penelitian kasus kontrol dan potong lintang yang melibatkan
sekitar 7000 penderita didapatkan hiperhomosisteinemia pada 30 %
sampai 90 % penderita aterosklerosis dan berhubungan dengan
peningkatan risiko penyakit jantung koroner. (4.12.13)
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Bambang Irawan dkk,
tentang “Hiperhomosisteinemia sebagai faktor risiko PJK” yang
dilakukan di RS Sardjito –Yogyakarta dengan desain penelitian kasus
kontrol, pada n case 50 orang dan n control 50 orang, didapatkan 74%
penderita PJK dari kelompok kasus dan 36% penderita PJK dari
16
kelompok kontrol. Hiperhomosisteinemia merupakan faktor risiko yang
signifikan terhadap terjadinya PJK (OR 5,06; 95% CI: 2,15-11,91;
p<0,01).(4.12.13)
2.1.3.4 Patofisiologi
Aterosklerosis adalah suatu kondisi yang menganggu arteri sedang dan
besar, ditandai dengan penebalan dinding arteri yang berhubungan dengan
akumulasi lipid yang dapat berujung dengan kalsifikasi, kemudian dapat menjadi
ruptur akibat kelemahan dinding yang akan merangsang koagulasi darah untuk
membentuk suatu trombus yang akan menghambat perfusi ke jaringan. Plak
aterosklerosis terdiri dari berbagai macam lipoprotein, matriks ekstraseluler
(kolagen, proteoglikan, glikosaminoglikan), kalsium, sel-sel otot polos, sel-sel
inflamasi, dan angiogenesis Aterosklerosis merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas di negara berkembang. Manifestasi klinis utamanya
yaitu penyakit kardiovaskular dan stroke, diperkirakan akan menjadi global killer
pada tahun 2020.(4)
Proses pembentukan aterosklerosis bukan hanya melibatkan akumulasi
lipid akibat diet saja, tetapi penelitian-penelitian terakhir menyebutkan bahwa ini
merupakan suatu kondisi inflamasi kronik, yang melibatkan lipid, trombosis,
komponen dinding vaskular, dan sel-sel imun . Jadi, aterosklerosis merupakan
penyakit inflamasi dimana terjadi interaksi antara komponen sistem imun dengan
faktor-faktor metabolik yang nantinya akan menginisiasi dan mengaktivasi lesi di
dinding arteri. Proses pembentukan ini sudah mulai terjadi sejak balita sampai
usia tua, ataupun timbul manifestasi lebih dini berupa kejadian akut
kardiovaskular .(4)
Dalam perjalanannya ada beberapa mekanisme yang terlibat dalam proses
inflamasi aterosklerosis, yaitu : disfungsi endotel, akumulasi lipid di subintima,
penarikan leukosit dan sel-sel otot polos ke subintima, pembentukan foam cells.
Proses inflamasi di endotel yang menjadi dasar proses aterosklerosis akan
menyebabkan aktivasi atau disfungsi endotel yang mengakibatkan infiltrasi
17
lipoprotein, retensi dan modifikasi disertai dengan pemanggilan sel-sel inflamasi. (4)
Aterosklerosis diawali dengan pembentukan fatty streak, secara
makroskopis terlihat diskolorisasi bagian dalam arteri berupa warna kuning tanpa
adanya protrusi ke intralumen sehingga tidak akan menganggu blood flow. Pada
awalnya stressor akan menyebabkan disfungsi endotel, yang nantinya akan
menyebabkan influks dan modifikasi lipid di subintima, dimana akan terjadi suatu
proses inflamasi yang mendukungya untuk selanjutnya menarik sel-sel leukosit di
darah dan membentuk suatu foam cells.(4)
Disfungsi endotel, dapat terjadi akibat faktor fisik maupun kimiawi. Faktor
fisik yang diistilahkan dengan physical stress sering terjadi pada arteri dengan
banyak cabang, sedangkan pada arteri dengan aliran yang lebih lurus (laminar
flow) lebih menguntungkan, karena akan menghasilkan vasodilator endogen
(NO), penghambat agregasi platelet, substansi anti-inflamasi, dan anti-oksidan
yang bersifat protektif terhadap bahan kimiawi dan keadaan iskemik. Hal
sebaliknya dijumpai pada arteri yang bercabang, akan terjadi gangguan
mekanisme ateroprotektif . (4)
Untuk faktor kimiawi, seperti : rokok, dislipidemia, dan diabetes, yang
juga merupakan faktor risiko aterosklerosis, menyebabkan oxidative stress melalui
produksi oksigen reaktif terutama anion superoksida yang akan berinteraksi
dengan molekul-molekul intrasel dari endotel untuk mempengaruhi fungsi sintesis
dan metabolisme yang berujung pada proses inflamasi. Akibat daripada disfungsi
endotel ini adalah : (1) gangguan fungsi endotel sebagai barier, (2) pelepasan
sitokin-sitokin pro-inflamasi, (3) peningkatan produksi molekul adhesi yang
berfungsi menarik leukosit, (4) pelepasan substansi vasoaktif (prostasiklin dan
NO), (5) menganggu fungsi antitrombotik. (4)
Sebagai akibat gangguan fungsi barier oleh endotel, LDL akan masuk ke
lapisan intima (difasilitasi oleh kadar LDL yang tinggi dalam darah). Kemudian
LDL terakumulasi dan berikatan dengan proteoglikan (matriks ekstraseluler). Hal
ini ditingkatkan oleh hipertensi, yang akan menambah produksi LDL-binding
18
proteoglikan oleh sel-sel otot polos. Modifikasi terjadi melalui proses oksidasi
dengan aktivitas oksigen reaktif dan enzim pro-oksidan yang dihasilkan endotel
teraktivasi, serta dapat berasal dari makrofag yang masuk ke lapisan subdendotel.
Pada pasien diabetes LDL dimodifikasi melalui reaksi glikosilasi, yaitu reaksi
non-enzimatis antara glukosa dan protein. Semua modifikasi ini berperan dalam
proses inflamasi, dimana mLDL (modified LDL) akan membantu influks dari
leukosit dan pembentukan foam cell. (4)
Endotel yang teraktivasi juga akan mengeluarkan beberapa sinyal seperti
leukocyte adhesion molecules/LAM (VCAM-1, ICAM-1, E-Selectin, P-Selectin),
kemoreaktan (MCP-1, IL-8, IFN-inducible protein 10), dimana kedua faktor ini
akan menyebabkan diapedesis sel-sel inflamasi terutama monosit dan limfosit T
ke lapisan subintima. LDL yang telah dimodifikasi sebelumnya (mLDL) akan
merangsang endotel dan sel-sel otot polos untuk menghasilkan sitokin-sitokin pro-
inflamasi yang berperan dalam menginduksi pelepasan LAM dan sinyal-sinyal
kemoreaktan tersebut.(4)
Setelah monosit masuk kelapisan subintima, maka sel ini akan
berdiferensiasi menjadi makrofag dan meng-uptake mLDL melalui reseptor yang
bernama scavenger receptors yang ada dipermukaan makrofag sehingga terbentuk
foamy cell. Walaupun influks mLDL kedalam makrofag ini merupakan bentuk
pertahanan (menghentikan pelepasan sitokin oleh mLDL bebas di subintima),
tetapi sel-sel makrofag yang berisi kolestrol ini justru terperangkap dalam lokasi
plak, yang akan menambah ukuran dari plak itu tersebut (4)
Setelah pembentukan fatty streak yang diinisiasi kejadian disfungsi
endotel, maka tahapan selanjutnya adalah proses awal progresi plak yang diawali
dari migrasi sel-sel otot polos dari lapisan media ke lapisan subintima (lokasi
tempat proses inflamasi terjadi) hingga terjadi pembentukan fibrous cap yang
mengelilingi foamy cell.(4)
Pada tahap awal progresi awal plak (remodeling) belum terjadi gangguan
aliran yang signifikan, karena pertumbuhan plak kearah luar lumen, namun
apabila terus berlanjut remodeling akan menyebabkan penyempitan kearah lumen
19
dan barulah muncul manifestasi klinis akibat gangguan aliran koroner Teori
terdahulu menyebutkan bahwa perkembangan plak ini terjadi secara gradual dan
berlanjut terus-menerus, tetapi bukti terbaru menunjukan bahwa proses
perkembangan ini dapat terhenti akibat ruptur dari plak, dengan atau tanpa
manifestasi klinis. Manifestasi klinis dapat tidak terlihat akibat plak yang ruptur
yang kecil membentuk trombus yang kecil pula, selanjutnya melalui platelet yang
teraktivasi akan menghasilkan PDGF dan heparinase yang akan membantu proses
penyembuhan plak yang ruptur. (4)
Proses selanjutnya yang dapat terjadi adalah proses rupturnya plak akibat
degradasi dan penurunan matriks (integritas plak) oleh sel inflamasi dan nekrosis
sel-sel otot polos, yang dapat berlanjut dengan pembentukan trombus sebagai
mekanisme utama kejadian sindrom koroner akut.(4)
Kebutuhan oksigen yang melebihi kapasitas suplai oksigen oleh pembuluh
darah yang mengalami gangguan menyebabkan terjadinya iskemia miokardium
lokal. Umumnya gangguan suplai oksigen ini adalah akibat adanya aterosklerosis
di oembuluh darah koroner. Iskemia yang bersifat sementara akan menyebabkan
perubahan reversible pada tingkat sel dan jaringan , menekan fungsi miokardium.
Berkurangnya kadar oksigen mendorong miokardium untuk mengubah
metabolisme aerob menjadi metabolisme anaerob. Metabolisme anaerob melalui
jalur glikolitik jauh lebih tidak efisien apabila dibandingkan dengan metabolisme
aerob melalui fosforilasi oksidatif dan siklus Krebs. Pembentukan fosfat berenergi
tinggi menurun cukup besar. (4)
Hasil akhir metabolisme aerob (yaitu asam laktat) akan tertimbun sehingga
menurunkan pH sel. Gabungan efek hipoksia, berkurangnya energi yang tersedia.
Serta asidosis dengan cepat mengganggu fungsi ventrike kiri. Kekuatan kontraksi
daerah miokardium yang terserang berkurang; serabut-serabutnya memendek, dan
daya serta kecepatannya berkurang. Selain itu, gerakan dinding segmen yang
mengalami iskemia menjadi abnormal; bagian tersebut akan menonjol keluar
setiap kali ventrikel berkontraksi. (4)
20
Berkurangnya daya kontraksi dan gangguan gerakan jantung
menyebabkan perubahan hemodinamika. Perubahan hemodinamika bervariasi
sesuai ukuran segmen yang mengalami iskemia, dan derajat respon refleks
kompensasi sistem saraf otonom. Menurunnya fungsi ventrikel kiri dapat
mengurangi curah jantung dengan berkurangnya volume sekuncup (jumlah darah
yang dikeluarkan setiap kali jantung berdenyut). Berkurangnya pengosongan
ventrikel saat sistol akan memperbesar volume ventrikel. (4)
Akibatnya tekanan jantung kiri akan meningkat; tekanan akhir diastolik
ventrikel kiri dan tekanan baji dalam kapiler paru-paru akan meningkat. Tekanan
semakin meningkat oleh perubahan daya kembang dinding jantung akibat
iskemia. Dinding yang kurang lentur semakin memperberat peningkatan tekanan
pada volume ventrikel tertentu. Pada iskemia, manifestasi hemodinamika yang
sering terjadi adalah peningkatan ringan tekanan darah dan denyut jantung
sebelum timbul nyeri. Terlihat jelas bahwa pola ini merupakan respons
kompensasi simpatis terhadap berkurangnya fungsi miokardium. (4)
Dengan timbulnya nyeri, sering terjadi perangsangan lebih lanjut oleh
katekolamin. Penurunan tekanan darah merupakan tanda bahwa miokardium yang
terserang iskemia cukup luas atau merupakan suatu respon vagus. Iskemia
miokardium biasanya disertai oleh dua perubahan EKG akibat perubahan
elektrofisiologi sel, yaitu gelombang T terbalik dan depresi segmen ST. suatu
varian angina lainnya (disebut juga Angina Prinzmetal) disebabkan oleh spasme
arteri koroner yang berkaitan dengan eleveasi segmen ST.(4)
Serangan iskemia biasanya reda dalam beberapa menit apabila
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen sudah diperbaiki.
Perubahan metabolik, fungsional, hemodinamik, dan elektrokardiografik yang
terjadi semuanya bersifat reversible. Angina pektoris adalah nyeri dada yang
menyertai iskemia miokardium. Mekanisme pasti bagaimana iskemia dapat
menyebabkan nyeri masih belum jelas. Agaknya reseptor saraf nyeri terangsang
21
oleh metabolit yang tertimbun atau oleh suatu zat kimia antara yang belum
diketahui , atau oleh stres mekanik lokal akibat kelainan kontraksi miokardium.(4)
Nyeri biasanya digambarkan sebagai suatu tekanan substernal, kadang-
kadang menyebar turun ke sisi medial lengan kiri. Tangan yang menggenggam
dan diletakan di atas sternum melukiskan pola angina klasik. Akan tetapi, banyak
pasien tak pernah mengalami angina yang khas; nyeri angina dapat menyerupai
nyeri karena gangguan pencernaan atau sakit gigi. (4)
Umumnya, angina dipicu oleh aktivitas yang meningkatkan kebutuhan
oksigen miokardium, seperti latihan latihan fisik, dan hilang dalam beberapa
menit setelah istirahat atau pemberian nitrogliserin. Angina yang lebih jarang
yaitu angina Prinzmetal lebih sering terjadi pada waktu istirahat daripada waktu
bekerja, dan disebabkan oleh spasme setempat pada arteria epikardium.
Mekanisme penyebab masih belum diketahui jelas. Penderita diabetes sering
mengalami “iskemia tersembunyi” dan “infark miokardium tersembunyi” akibat
neuropati otonom.(4)
Iskemia yang berlangsung lebih dari 30-45 menit akan menyebabkan
kerusakan sel ireversibel serta nekrosis atau kematian otot. Bagian miokardium
yang mengalami infark atau nekrosis akan berhenti berkontraksi secara permanen.
Jaringan yang mengalami infark dikelilingi oleh suatu daerah iskemik yang
berpotensi dapat hidup. Ukuran infark akhir bergantung pada nasib daerah
iskemik tersebut. Bila pinggir daerah ini mengalami nekrosis maka besar daerah
infark ini akan bertambah besar, sedangkan perbaikan iskemia akan akan
memperkecil daerah nekrosis. (4)
Perbaikan daerah iskemia dan pemulihan aliran darah koroner dapat
tercapai dengan pemberian obat trombolitik atau angioplasti koroner transluminal
perkutaneus primer. Apabila terjadi perbaikan arah iskemia, maka nekrosis aerah
iskemik meningkatkan ukuran infark. Infark miokard biasanya menyerang
ventrikel kiri. Infark transmural mengenai seluruh tebal dinding yang
bersangkutan, seangkan infark subendokardial terbatas pada separuh bagian dalam
22
miokardium. Infark digambarkan lebih lanjutsesuai letaknya pada dinding
ventrikel. (4)
Infark miokardium jelas akan menurunkan fungsi ventrikel karena otot
yang nekrosis kehilangan daya kontraksi sedang otot yang iskemia disekitarnya
juga mengalami gangguan daya kontraksi. Secara fungsional infark miokardium
akan menyebabkan perubahan-perubahan seperti pada iskemia yaitu : daya
kontraksi menurun, gerakan inding abnormal, perubahan daya kembang dinding
ventrikel, pengurangan volume sekuncup, pengurangan fraksi injeksi, peningkatan
volume akhir sistolik dan akhir diastolik ventrikel, dan peningkatan tekanan akhir
diastolik ventrikel kiri. Infark miokardium biasanya berkaitan dengan trias
diagnostik yang khas: penampilan pasien, perubahan EKG, dan peningkatan
biomarker kimiawi.(4)
2.1.3.5 Gejala Klinik
Penyakit jantung koroner sering ditandai dengan nyeri dada tipikal
(angina). Sifat nyari dada angina sebagai berikut :
a. Lokasi: substermal, retrostermal dan prekordial. Sifat nyeri: rasa sakit,
seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa
diperas, dan dipelintir.
b. Penjalaran ke: leher, lengan kiri, mandibula, gigi,
punggung/interskapula,
c. dan dapat juga ke lengan kanan.
d. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat.
e. Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah
makan
f. Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin.
g. Hati-hati pada pasien diabetes mellitus, kerap pasien tidak mengeluh
nyeri dada akibat neuropati diabetik.(14)
Rasa nyeri muncul karena jantung kekurangan darah dan supplay oksigen.
Gejala ini lain menyertai jantung koroner akibat penyempitan pembuluh nadi
23
jantung adalah rasa tercekik (angina pectoris). Kondisi ini timbul secara tidak
terduga dan hanya timbul jika jantung dipaksa bekerja keras. Misal fisik dipaksa
bekerja keras atau mengalami tekanan emosional.(14)
Menurut PERKI, manifestasi klinik PJK diklasifikasikan sebagai berikut.:
a. Angina pektoris stabil: nyeri dicetuskan oleh pencetus dengan gradasi yang
sama, hilang dengan istirahat atau obat nitrat sublingual.
b. Sindroma Koroner Akut (SKA)
1) Angina pektoris tidak stabil
Angina tipikal yang timbul saat istirahat dan berkepanjangan biasanya
lebih dari 20 menit. Diagnosis ditegakkan atas dasar adanya keluhan
angina tipikal yang dapat disertai perubahan EKG spesifik tanpa disertai
peningkatan marker jantung.
2) Sindrom Koroner Akut tanpa elevasi segmenh ST
Pada prinsipnya gejalanya sama dengan angina tidak stabil, diagnosis
ditegakkan bila terdapat angina dan tidak ditemukan elevasi segmen
Stpada perekaman EKG namun terdapt peningkatan marker jantung, dan
berlanjut pada infark miokard tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI)
3) Sindrom Koroner Akut dengan elevasi segmen ST
Karakteristik utamanya adalah angina tipikal dan perubahan EKG dengan
gambaran elevasi segmen ST> terdapat peningkatan marker jantung,
sehingga berlangsung menjadi infark miokard dengan elevasi segmen ST
(STEMI).(14.15)
2.1.3.6 Diagnosa
Langkah pertama dalam pengelolaan PJK ialah penetapan diagnosis pasti.
Diagnosis yang tepat amat penting, karena bila diagnosis PJK telah dibuat di
dalamnya terkandung pengertian bahwa penderitanya mempunyai kemungkinan
akan dapat mengalami infark atau kematian mendadak. Diagnosis yang salah
selalu mempunyai konsekuensi buruk terhadap kualitas hidup penderita. Pada
orang-orang muda, pembatasan kegiatan jasmani yang tidak pada tempatnya
24
mungkin akan dinasihatkan. Selain itu kesempatan mereka untuk mendapat
pekerjaan mungkin akan berkurang. (14.16)
Bila hal ini terjadi pada orang-orang tua, maka mereka mungkin harus
mengalami pensiun yang terlalu dini, harus berulang kali di rawat di rumah sakit
atau harus makan obat-obatan yang potensial toksin untuk jangka waktu lama. Di
lain pihak, konsekuensi fatal dapat terjadi bila adanya PJK tidak diketahui atau
bila adanya penyakit-penyakit jantung lain yang menyebabkan angina pektoris
terlewat dan tidak terdeteksi. (14.16)
Cara diagnostik
Tabel 1 memperlihatkan cara-cara diagnostik PJK yang terpeenting, baik
yang di saat ini ada atau yang di masa yang akan datang potensial akan
mempunyai peranan besar. Dokter harus memilih pemeriksaan apa saja yang
dilakukan terhadap menderita untuk mencapai ketepatan diagnostik yang
maksimal dengan resiko dan biaya yang seminimal mungkin. (14.16)
Tabel 2.1. Cara-Cara Diagnostik
1. Anamnesis
Nyeri dada angina seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, identifikasi
faktor pencetus dan atau faktor resiko.
2. Pemeriksaan fisik
Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi faktor pencetus
dan kondisi lain sebagai konsekuensi dari PJK. Hipertensi tak terkontrol,
takikardi, anemis, tirotoksikosis, stenosis aorta berat (bising sistolik), dan
kondisi lain, seperti penyakit paru. Dapat juga ditemukan retinopati
hipertensi/diabetik. Keadaan disfungsi ventrikel kiri/tanda-tanda gagal jantung
(hipotensi, murmur dan gallop S3) menunjukkan prognosis yang buruk.
Adanya bruit di karotis atau penyakit vaskuler perifer menunjukkan bahwa
pasien memiliki kemungkinan juga penderita penyakit jantung koroner (PJK).
3. Laboratorium
Leukositosis /normal, anemia, gula darah tinggi/normal, dislipidemia, SGOT
25
meningkat, jika cek enzim jantung maka meningkat Enzim Jantung Penanda
Infark Miokardium 12-24 jam
4. Foto dada : Kardiomegali, aortosklerosis, edema paru
5. Pemeriksaan jantung non-invasif
- EKG istirahat
- Uji latihan jasmani (treadmill)
- Uji latihan jasmani kombinasi pencitraan:
a. Uji latihan jasmani ekokariografi (Stress Eko)
b. Uji latihan jasmani Scintigrafi Perfusi Miokard
c. Uji latihan jasmani Farmakologik Kombinasi Teknik Imaging
- Ekokardiografi istirahat
- Monitoring EKG ambulatoar
- Teknik non-invasif penentuan klasifikasi koroner dan anatomi koroner:
a. Computed Tomography
b. Magnetic Resonanse Angiography
6. Pemeriksaan invasif menentukan anatomi koroner
- Arteriografi koroner
- Ultrasound intra vaskular (IVUS)
2.1.3.7 Penatalaksanaan
1. Terapi non farmakologi
Selain intervensi dari farmakologi, tuan Danu juga harus mendapat
intervensi non farmakologi berupa menghindari faktor – faktor predisposisi
yang dapat di modifikasi antara lain : Merubah gaya hidup, memberhentikan
kebiasaan merokok dan olah raga, Olah raga dapat meningkatkan kadar HDL
kolesterol dan memperbaiki kolateral koroner sehingga risiko PJK dapat
dikurangi. Olah raga bermanfaat karena
a. memperbaiki fungsi paru dan pemberian O2 ke miokard
b. menurunkan BB sehingga lemak tubuh yang berlebihan berkurang
bersamasama dengan menurunnya LDL kolesterol
26
c. menurunkan kolesterol, trigliserid dan kadar gula darah pada penderita
DM
d. menurunkan tekanan darah
e. meningkatkan kesegaran jasmani
f. Diet, tuan Danu memiliki kadar total kolestrol yang meninggi sehingga
membutuhkan pengaturan diet : Diet merupakan langkah pertama dalam
penanggulangan hiperkolesterolemi serta dapat menurunkan berat badan.
Beberapa petunjuk diet untuk menurunkan kolesterol:
1) makanan harus mengandung rendah lemak terutama kadar lemak jenuh
tinggi
2) mengganti susunan makanan yang mengandung lemak jenuh dengan
lemak tak jenuh
3) makanan harus mengandung rendah kolesterol
4) memilih makanan yang tinggi karbohidrat atau banyak tepung dan
serat
5) makanan mengandung sedikit kalori bila berat badan akan diturunkan
pada obesitas dan memperbanyak olah raga(4.14)
2. Terapi Farmakologi
A. Trombolitik
Trombolitik jarang menjadi pilihan dibandingkan dengan
percutaneous coronary intervention (PCI). Menurut studi GISSI-1 dan
ISIS-2, tindakan ini masih memberi keuntungan memperbaiki hasil
akhir pada Lansia yang mengalami ST-elevation myocardial infarction
(STEMI) dibandingkan tanpa tindakan revaskularisasi. (Jokhadar,
2009) Konsensus ACC/AHA menyebutkan bahwa trombolitik dapat
digunakan pada Lansia STEMI bila tidak ada kontraindikasi dan PCI
tidak tersedia.(4.14)
Untuk meminimalkan efek samping tersering trombolitik yaitu
perdarahan ntraserebral, maka dipilih golongan tissue plasminogen
activator (tPA) seperti tenecteplase atau alteplase. Dosis yang
27
diberikan setengah dari dosis standar ditambah terapi antikoagulan. (4.14)
B. Anti agregasi trombosit
Aspirin atau clopidogrel dapat dipakai pada saat akut maupun
setelah fase akut terlewati, tanpa penyesuaian dosis. Studi mengenai
kombinasi 2 obat tersebut pada sampel Lansia masih belum ada namun
tetap diberikan terutama pada mereka yang terpasang stent hingga
terjadi endotelialisasi komplit. (4.14)
Konsensus ACC/AHA dan ESC merekomendasikan
glycoprotein (GP) IIb/IIIa pada kasus NSTEMI yang beresiko tinggi
tanpa memandang usia. Pemberian obat ini harus dihitung berdasarkan
berat badan penderita dan harus disesuaikan dengan keadaan fungsi
ginjal penderita. (4.14)
Kecepatan infus eptifibatide disesuaikan apabila klirens
kreatinin penderita <50ml/menit menjadi 1μg/kg/menit sedangkan
tirofiban disesuaikan bila klirens kreatinin <30ml/menit menjadi
6μg/kg bolus dan infus 0,05μg/kg/menit.(4.14)
C. Antikoagulan
Penggunaan heparin lebih ditoleransi dibandingkan heparin
berat molekul rendah dalam hal kejadian perdarahan intracranial.
(Hanon, 2009) Dosis antikoagulan tersebut dihitung berdasarkan berat
badan penderita. Selain itu pemberian heparin terfraksi juga harus
disesuaikan apabila klirens kreatinin penderita <30ml/menit, menjadi
1mg/kg subkutan tiap 24jam. Jenis antikoagulan baru yaitu direct
antitrombotics secara teori lebih unggul daripada heparin berat
molekul rendah tetapi penelitian mengenai keamanan dan efikasi pada
Lansia masih belum ada. (4.14)
D. Penghambat Reseptor Beta
28
Penghambat reseptor beta masih memberi keuntungan pada
penderita Lansia dan direkomendasikan sebagai terapi lini pertama
terutama pada kasus disfungsi ventrikel kiri, setelah menyingkirkan
kontraindikasi seperti dekompensasi jantung, asma dan penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK). (4.14)
Monitor tekanan darah, denyut jantung dan EKG secara ketat
diperlukan pada pemberian penghambat reseptor beta. Dosis yang
diberikan tidak memerlukan penyesuaian dosis namun perlu dipilih
jenis penghambat reseptor beta yang lama kerja pendek, diberikan
mulai dosis kecil dan dititrasi sampai mencapai target denyut jantung
60x/menit. (4.14)
E. Penghambat Renin-Angiostensin
Penghambat system renin-angiostensin baik angiostesin
converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiostensin receptor blocker
(ARB) memberi manfaat jangka pendek dan jangka panjang bagi
penderita PJK Lansia. Masing-masing memberi manfaat yang sama
bila diberikan tunggal maupun dikombinasikan. Menurut studi
Valsartan in Acute Myocardial Infarction (VALIANT) efek samping
yang terjadi lebih sering pada penderita yang mendapat kombinasi
ACEI dan ARB. Saat pemberian, monitor ketat terhadap fungsi ginjal
dan elektrolit sangat diperlukan bagi penderita PJK Lansia. (14)
F. Nitrat
Golongan nitrat direkomendasikan oleh ACC/AHA pada
penderita PJK Lansia berdasarkan studi GISSI-3 yang menggunakan
nitrat transdermal yang diberikan selama 24 jam sejak awitan keluhan
dikaitkan dengan penurunan angka kematian, gagal jantung dan
disfungsi ventrikel kiri selama 6 bulan pertama sebesar 12%.
Walaupun demikian, penggunaan nitrat lain tetap bermanfaat pada
29
Lansia karena efeknya terhadap preload, afterload dan penurunan
iskemia berulang, tanpa melupakan potensi efek hipotensinya. (14)
G. Hydroxymethylglutaryl Coenzyme A Reductase Inhibitors (Statin)
Efek pleiotropik statin secara teori bermanfaat bagi Lansia
karena efeknya terhadap fungsi endotel dan proses inflamasi.
Penggunaan statin untuk mencegah kejadian infark miokard berulang
serta kematian bermanfaat lebih besar pada Lansia dibandingkan
dengan dewasa muda. Hal ini didukung oleh beberapa penelitian yaitu
Myocardial Ischemia Reduction with Aggressive Cholesterol Lowering
(MIRACL) dan Pravastatin or atorvastatin Evaluation and Infection
Theraphy (PROVE-IT). (14)
2.2 Organ Reproduksi Manusia
2.2.1 Anatomi
2.2.1.1 Organ reproduksi pria
Organ reproduksi pria mempunyai dua fungsi reproduksi,yaitu reprodusi
sel kelamin dan pelepasan sel-sel saluran sel kelamin wanita. Organ reproduksi
pria terdiri atas empat bagian utama yaitu testis, vas defferens, kantor sperma dan
penis.(3.17)
Dibedakan menjadi organ kelamin luar dan organ kelamin dalam.
1. Organ reproduksi luar terdiri dari :
a. Penis merupakan organ kopulasi yaitu hubungan antara alat kelamin jantan
dan betina untuk memindahkan semen ke dalam organ reproduksi betina.
Penis diselimuti oleh selaput tipis yang nantinya akan dioperasi pada saat
dikhitan/sunat.
b. Scrotum merupakan selaput pembungkus testis yang merupakan pelindung
testis serta mengatur suhu yang sesuai bagi spermatozoa.
2. Organ reproduksi dalam terdiri dari :
a. Testis merupakan kelenjar kelamin yang berjumlah sepasang dan akan
menghasilkan sel-sel sperma serta hormon testosteron. Dalam testis banyak
30
terdapat saluran halus yang disebut tubulus seminiferus. Testis berfungsi
sebagai tempat pembentukan sel sperma dan hormon kelamin (testosteron).
b. Epididimis merupakan saluran panjang yang berkelok yang keluar dari
testis. Berfungsi untuk menyimpan sperma sementara dan mematangkan
sperma.
c. Vas deferens merupakan saluran panjang dan lurus yang mengarah ke atas
dan berujung di kelenjar prostat. Berfungsi untuk mengangkut sperma
menuju vesikula seminalis.
d. Saluran ejakulasi merupakan saluran yang pendek dan menghubungkan
vesikula seminalis dengan urethra.
e. Urethra merupakan saluran panjang terusan dari saluran ejakulasi dan
terdapat di penis. (3.17)
Kelenjar pada organ reproduksi pria
a. Vesikula seminalis merupakan tempat untuk menampung sperma sehingga
disebut dengan kantung semen, berjumlah sepasang. Menghasilkan getah
berwarna kekuningan yang kaya akan nutrisi bagi sperma dan bersifat
alkali. Berfungsi untuk menetralkan suasana asam dalam saluran
reproduksi wanita.
b. Kelenjar Prostat merupakan kelenjar yang terbesar dan menghasilkan
getah putih yang bersifat asam.
c. Kelenjar Cowper’s/Cowpery/Bulbourethra merupakan kelenjar yang
menghasilkan getah berupa lender yang bersifat alkali. Berfungsi untuk
menetralkan suasana asam dalam saluran urethra. (3.17)
31
Gambar 2.4. Organ Reproduksi Pria
2.2.1.2 Organ Reproduksi Wanita
Dibedakan menjadi organ kelamin luar dan organ kelamin dalam.
1. Organ reproduksi luar terdiri dari :
a. Vagina merupakan saluran yang menghubungkan organ uterus dengan
tubuh bagian luar. Berfungsi sebagai organ kopulasi dan saluran persalinan
keluarnya bayi sehingga sering disebut dengan liang peranakan. Di dalam
vagina ditemukan selaput dara. berfungsi sebagai organ persetubuhan dan
untuk melahirkan bayi. Organ tersebut mempunyai banyak lipatan sehingga
pada saat melahirkan dapat mengembang. Dalam vagina terdapat lendir
yang dihasilkan oleh dinding vagina dan oleh suatu kelenjar, yaitu kelenjar
bartholin.
b. Vulva merupakan suatu celah yang terdapat di bagian luar dan terbagi
menjadi 2 bagian yaitu :
c. Labium mayor merupakan sepasang bibir besar yang terletak di bagian luar
dan membatasi vulva.
d. Labium minor merupakan sepasang bibir kecil yang terletak di bagian
dalam dan membatasi vulva (3.18)
32
2. Organ reproduksi dalam terdiri dari :
a. Ovarium merupakan organ utama pada wanita. Berjumlah sepasang dan
terletak di dalam rongga perut pada daerah pinggang sebelah kiri dan
kanan. Berfungsi untuk menghasilkan sel ovum dan hormon wanita seperti
estrogen yang berfungsi untuk mempertahankan sifat sekunder pada
wanita, serta juga membantu dalam prosers pematangan sel ovum dan
progesterone yang berfungsi dalam memelihara masa kehamilan.
Ovarium berjumlah sepasang dan berfungsi menghasilkan sel telur (ovum).
ovarium terletak di rongga perut tepatnya didaerah pinggang kiri dan
kanan. Ovarium diselubungi oleh kapsul pelindung dan mengandung
beberapa volikel. Setiap volikel mengandung satu sel telur. Folikel
merupakan struktur, seperti bulatan-bulatan yang mengelilingi oosit dan
berfungsi menyediakan makanan dan melindungi perkemangan sel telur.
Sel telur yang telah masak akan lepas dari ovarium. Peristiwa itu disebut
ovulasi. (3.18)
b. Fimbriae merupakan serabut/silia lembut yang terdapat di bagian pangkal
ovarium berdekatan dengan ujung saluran oviduct. Berfungsi untuk
menangkap sel ovum yang telah matang yang dikeluarkan oleh ovarium.
c. Infundibulum merupakan bagian ujung oviduct yang berbentuk
corong/membesar dan berdekatan dengan fimbriae. Berfungsi menampung
sel ovum yang telah ditangkap oleh fimbriae.
d. Tuba fallopi merupakan saluran memanjang setelah infundibulum yang
bertugas sebagai tempat fertilisasi dan jalan bagi sel ovum menuju uterus
dengan bantuan silia pada dindingnya.
e. Oviduct merupakan saluran panjang kelanjutan dari tuba fallopi. Berfungsi
sebagai tempat fertilisasi dan jalan bagi sel ovum menuju uterus dengan
bantuan silia pada dindingnya. Oviduk berjumlah sepasang dan berfungsi
menggerakan ovum kearah rahim dengan gerakan Peristaltik. Ujungnya
berbentuk lorong berjumbal (fimbrae).
f. Uterus merupakan organ yang berongga dan berotot. Berbentuk seperti buah
pir dengan bagian bawah yang mengecil. Berfungsi sebagai tempat
33
pertumbuhan embrio. Tipe uterus pada manusia adalah simpleks yaitu
dengan satu ruangan yang hanya untuk satu janin. Uterus mempunyai 3
macam lapisan dinding yaitu :
a) Perimetrium yaitu lapisanyang terluar yang berfungsi sebagai pelindung
uterus.
b) Miometrium yaitu lapisan yang kaya akan sel otot dan berfungsi untuk
kontraksi dan relaksasi uterus dengan melebar dan kembali ke bentuk
semula setiap bulannya.
c) Endometrium merupakan lapisan terdalam yang kaya akan sel darah
merah. Bila tidak terjadi pembuahanmaka dinding endometrium inilah
yang akan meluruh bersamaan dengan sel ovum matang.
g. Cervix merupakan bagian dasar dari uterus yang bentuknya menyempit
sehingga disebut juga sebagai leher rahim. Menghubungkan uterus dengan
saluran vagina dan sebagai jalan keluarnya janin dari uterus menuju saluran
vagina.
h. Saluran vagina merupakan saluran lanjutan dari cervic dan sampai pada
vagina.
i. Klitoris merupakan tonjolan kecil yang terletak di depan vulva. Sering
disebut dengan klentit. (3.18)
Gambar 2.5 Organ Reproduksi Wanita
34
2.2.2 Fisiologi
Siklus Respon Seksual
1. Fase Perangsangan (Fase Eksitasi)
Perangsangan terjadi sebagai hasil dari rangsangan, bisa berbentuk
fisik maupun psikis. Terkadang, fase perangsangan ini berlangsung singkat
dan segera masuk ke fase plateau. Namun, tak jarang pula fase perangsangan
berlangsung secara lambat dan bertahap, sehingga memerlukan waktu yang
lebih lama. Pemacu rangsangan seksual dapat berasal dari rangsangan erotis
maupun nonerotis, seperti pandangan, suara, bau, lamunan, pikiran, mimpi,
dan lain sebagainya.
2. Fase Plateau (Fase Gaieah Seksual)
Berikut adalah beberapa hal yang terjadi selama fase plateau :
a. Kebangkitan seksual mencapai derajat tinggi, tepatnya sebbelum mencapai
ambang batas yang diperlukan untuk terjadinya orgasme
b. Terjadi peningkatan tekanan darah, frekuensi pernapasan, frekuensi nadi,
dan ketegangan otot-otot tertentu.
3. Fase orgasme (Fase Puncak Seksual)
Orgasme adalah perasaan kepuasan seksual yang bersifat fisik dan
psikologis dalam aktivitas seksual sebagai akibat pelepasan memuncaknya
ketegangan seksual (sexual tension) setelah terjadi fase rangsangan yang
memuncak pada fase plateau. Perlu diketahui bahwa fase orgasme dapat
berlangsung tanpa adanya stimulasi fisik yang nyata, misalnya melalui
berbagai bentuk fantasi seksual.
4. Fase resolusi
Pada fase resolusi, perubahan anatomik dan faal alat kelamin serta luar alat
kelamin yang telah terjadi akan kembali ke keadaan asal. (19)
2.2.2.1 Aktivitas Seksual Pria
1. Ereksi penis
Ereksi disebabkan karena impuls parasimpatis yang melepaskan nitric
oxide dan atau peptide intestinal vasoaktif selain asetilkolin. Selama ereksi,
35
jaringan arteri memasok darah sekurang-kurangnya 100-140 ml. Pada puncak
ereksi, tekanan intrakavernosa melebihi tekanan sistolik.25
2. Lubrikasi
Selama perangsangan seksual, serabut saraf parasimpatis juga menyebabkan
glandula uretral dan bulbouretral mensekresi cairan mukosa yang mengalir
melewati uretra.
3. Emisi dan ejakulasi
Emisi adalah pergerakan semen ke dalam uretra. Ejakulasi merupakan proses
terdorongnya semen keluar dari uretra di saat orgasme. 16
4. Resolusi
Pada fase terahir terjadi konstriksi otot polos trabekuler dan vasokonstriksi
arteriol yang memasok darah ke jaringan erektil. Terjadi aliran darah keluar
dari sinus venosus sehingga penis menjadi lemas atau flaksid. Fase ini
diperantarai oleh saraf adrenergik simpatis.
Mekanisme fungsi seksual melibatkan beberapa unsur : libido, ereksi dan
ejakulasi. Disfungsi seksual dapat terjadi akibat gangguan fungsi tersebut dan
kombinasinya. Oleh beberapa peneliti, proses ereksi dan detumesens diringkaskan
menjadi beberapa fase, yaitu:
1. Fase 0, yaitu fase flaksid. Pada keadaan lemas, yang dominan adalah pengaruh
sistem saraf simpatik. Otot polos arteriola ujung dan otot polos kavernosum
berkontraksi. Arus darah ke korpus kavernosum minimal dan hanya untuk
keperluan nutrisi saja. Kegiatan listrik otot polos kaverne dapat dicatat,
menunjukkan bahwa otot polos tersebut berkontraksi. Arus darah vena terjadi
secara bebas dari vena subtunika ke vena emisaria.
2. Fase 1, merupakan fase pengisian laten. Setelah terjadi perangsangan seks,
sistem saraf parasimpatik mendominan, dan terjadi peningkatan aliran darah
melalui arteria pudendus interna dan arteria kavernosa tanpa ada perubahan
tekanan arteria sistemik. Tahanan perifer menurun oleh berdilatasinya arteri
helisin dan arteri kavernosa. Penis memanjang, tetapi tekanan intrakavernosa
tidak berubah.
36
3. Fase 2, fase tumesens (mengembang). Pada orang dewasa muda yang normal,
peningkatan yang sangat cepat arus masuk (influks) dari fase flaksid dapat
mencapai 25 - 60 kali. Tekanan intrakavernosa meningkat sangat cepat.
Karena relaksasi otot polos trabekula, 6 daya tampung kaverne meningkat
sangat nyata menyebabkan pengembangan dan ereksi penis. Pada akhir fase
ini, arus arteria berkurang
4. Fase 3 merupakan fase ereksi penuh. Trabekula yang melemas akan
mengembang dan bersamaan dengan meningkatnya jumlah darah akan
menyebabkan tertekannya pleksus venula subtunika ke arah tunika albuginea
sehingga menimbulkan venoklusi. Akibatnya tekanan intrakaverne meningkat
sampai sekitar 10 - 20 mmHg di bawah tekanan sistol.
5. Fase 4, atau fase ereksi kaku (rigid erection) atau fase otot skelet. Tekanan
intakaverne meningkat melebih tekanan sistol sebagai akibat kontrasi volunter
meningkat melebihi tekanan sistol sebagai akibat kontrasi volunter ataupun
karena refleks otot iskiokavernosus dan otot bulbokavernosus menyebabkan
ereksi yang kaku. Pada fase ini tidak ada aliran darah melalui arteria
kavernosus.
6. Fase 5, atau fase transisi. Terjadi peningkatan kegiatan sistem saraf simpatik,
yang mengakibatkan meningkatnya tonus otot polos pembuluh helisin dan
kontraksi otot polos trabekula. Arus darah arteri kembali menurun dan
mekanisme venoklusi masih tetap diaktifkan.
7. Fase 6 yang merupakan fase awal detumesens. Terjadi sedikit penurunan
tekanan intrakaverne yang menunjukkan pembukaan kembali saluran arus
vena dan penurunan arus darah arteri.
8. Fase 7 atau fase detumesens cepat. Tekanan intrakaverne menurun dengan
cepat, mekanisme venoklusi diinaktifkan, arus darah arteri menurun kembali
seperti sebelum perangsangan, dan penis kembali ke keadaan flaksid. (12.19)
37
2.2.2.2 Aktivitas Seksual Wanita
a. Perangsangan aksi seksual wanita
Rangsangan seksual setempat pada wanita terjadi kurang lebih sama seperti
pada pria. Dimana keberhasilan kinerja dari aksi seksual wanita bergantung
baik pada rangsangan fisik maupun pada rangsangan seksual setempat.
b. Ereksi wanita dan pelumasan
Jaringan erektil yang mirip dengan jaringan erektil penis terletak disekitar
introitus dan meluas ke klitoris. Dimana jaringan erektil ini seperti pada penis
dikendalikan oleh saraf simpatis. Sinyal dari saraf parasimpatis juga
menyebabkan kelenjar bartholin menyekresikan mukus yang berfungsi
sebagai pelumas dalam hubungan seksual.
c. Orgasme wanita
Fase orgasme ini terpusat di daerah klitoris, vagina, dan uterus. Pada puncak
fase orgasme, otot-otot di sekitar vagina, uterus, perut bagian bawah dan anus
mengalami kontraksi secara ritmis. Kontraksi pada detik-detik pertama sangat
kuat. Dan perlu diketahui bahwa wanita dapat mengalami orgasme berulang
kali sebelum masuk ke fase resolusi.
d. Fase resolusi
Vagina, klitoris dan daerah sekitarnya kembali normal. (1.5)
2.2.3 Disfungsi Seksual
2.2.3.1 Defenisi
1. Disfungsi seksual merujuk terhadap adanya gangguan pada salah satu atau
lebih aspek fungsi seksual.(1)
2. Disfungsi seksual adalah ketidakmampuan untuk menikmati secara penuh
hubungan seksual.(20)
38
2.2.3.2 Etiologi
Sebagaimana telah kita ketahui bersama, disfungsi seksual dapat terjai
pada pria ataupun wanita. Berdasarkan etiologinya (penyebab penyakit), disfungsi
seksual dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni disfungsi seksual yang
disebabkan oleh faktor fisik dan disfungsi seksual yang disebabkan oleh faktor
psikis.(1.12)
1. Disfungsi seksual karena faktor fisik
Gangguan organik atau fisik dapat terjadi pada organ, bagian-bagian badan
tertentu atau fisik secara umum. Bagian tubuh yang sedang terganggu dapat
menyebabkan disfungsi seksual dalam berbagai tingkat . Faktor fisik yang
sering mengganggu seks pada usia tua sebagian karena penyakit-penyakit
kronis yang tidak jelas terasa atau tidak diketahui gejalanya dari luar. Makin
tua usia makin banyak orang yang gagal melakukan koitus atau senggama.
Kadang-kadang penderita merasakannya sebagai gangguan ringan yang tidak
perlu diperiksakan dan sering tidak disadari.(1.12)
Dalam Product Monograph Levitra (2003) menyebutkan berbagai faktor
resiko untuk menderita disfungsi seksual sebagai berikut.
a. Gangguan vaskuler pembuluh darah
Gangguan vaskular adalah segala kondisi yang mempengaruhi
peredaran darah. Ini mencakup penyakit-penyakit arteri-arteri, vena-vena,
dan pembuluh-pembuluh limfa, termasuk juga gangguan atau kekacauan-
kekacauan darah yang mempengaruhi sirkulasi. Kondisi inilah yang juga
akan mempengaruhi sirkulasi darah pada saat terjadi ereksi. Kekurangan
sirkulasi darah ini juga akan menyebabkan nimpotensi.
Penyakit-penyakit vaskuler yang memicu disfungsi seksual ini diantaranya
adalah aterosklerosis, penyakit jantung iskemik, penyakit vaskuler perifer
(pembuluh darah tepi), inkompetensi vena, dan penyakit kavernosus.
b. Penyakit sistemik
39
Penyakit sistemik ini meliputi diabetes melitus, hipertensi (HTN),
hiperlipidemia (kelebihan lemak darah).
c. Gangguan neurologis
Gangguan neurologis ini dapat disebabkan oleh adanya penyakit-
penyakit ataupun trauma tertentu yang mempengaruhi otak dan sistem
persarafan. Misalnya penyakit serebral (otak), trauma spinal (tulang
belakang), penyakit medula spinalis neuropati, dan trauma nervus
pudendus.
Sebagian besar gangguan neurologis akan menyebabkan masalah
perilaku pada manusia. Orang-orang dalam kondisi ini, tentu saja
perilakunya berbeda dengan orang-orang alam kondisi normal. Kebiasaan
yang dapat terjadi sebagai gangguan neurologis adalah kemarahan,
kebingungan, keraguan, masa bodoh, tindakan tergesa-gesa, bimbang,
cemas, gelisah, dan lain-lain.
Gangguan neurologis tersebut juga dapat mempengaruhi
perilakunya dalam beraktivitas seksual. Bisa saja secara medis, elaki ini
fungsi ereksinya sempurna dan tidak ada masalah kesehatan. Namun pada
gangguan neurologis tersebut, perilakunya bisa saja menyimpang dan
akhirnya berakibat terjadinya disfungsi seksual.
d. Gangguan hormonal
Hormon memiliki peran yang sangat penting dalam metabolisme
tubuh dan kinerja organ secara keseluruhan. Demikian pula dalam hal
ereksi. Terdapat hormon-hormon penting yang berperan. Apabila hormon-
hormon tersebut terganggu keseimbangannya, dapat menyebabkan
terjadinya gangguan ereksi.
Penyakit-penyakit dengan gangguan pada hormonal diantaranya adalah
hypogonadism, hyperprolactinemia (meningkatnya prolaktin di dalam
darah), hyperthyroidism atau hypothyroidism, Cushing’s syndrome, dan
40
penyakit addison. Penyakit – penyakit tersebut menyebabkan menurunnya
libido (gairah seks) sehingga membuat fungsi ereksi tidak berjalan
sempurna.
e. Gangguan anatomi penis
Contohnya adalah penyakit peyronie (penis bengkok), hipospadia (meatus
urethra berada pada dorsal penis), dan epispadia (meatus urethra berada di
ventral penis)
f. Faktor lain seperti prostatektomi, merokok, alkohol, obesitas, dan obat-
obatan.
Merokok akan membawa nikotin dan zat vasokonstriktor
(penyempit pembuluh darah) lainnya sehingga dapat menutup aliran
pembuluh darah
Penggunaan obat dalam jangka panjang dan terus menerus akan
mempengaruhi metabolisme dan kadar hormon tertentu di dalam tubuh.
Menurut penelitian, beberapa obat-obatan anti depresan dan psikotropika
juga dapat mengakibatkan terjadinya disfungsi seksual, antara lain:
barbiturat,benzodiazepin, selective serotonin seuptake inhibitors (SSRI),
lithium, tricyclic antidepressant.(1.12)
2. Disfungsi sexual karena faktor psikis (Psikoseksual)
Kondisi fisik orang yang masih muda, terutama organ-organ tubuhnya,
masih kuat dan normal sehingga jarang sekali menyebabkan terjadinya
disfungsi seksual. Karena itulah, sebagian besar disfungsi seksual pada orang
yang masih muda disebabkan oleh faktor psikoseksual. Yang dimaksud faktor
psikoseksual ialah semua faktor kejiwaan yang terganggu dalam diri penderita.
Gangguan ini mencakup gangguan jiwa misalnya depresi, anxietas
(kecemasan) yang menyebabkan disfungsi seksual. (1.12)
Tetapi apapun etiologinya, penderita akan mengalami problem psikis,
yang selanjutnya akan memperburuk fungsi seksualnya. Dalam hal ini,
41
disfungsi seksual yang dialami pria pun bisa menimbulkan disfungsi seksual
pada wanita pasangannya. Masalah psikis meliputi perasaan bersalah, trauma
hubungan seksual, kurangnya pengetahuan tentang seks, keluarga yang tidak
harmonis dan lain sebagainya. (1.12)
2.2.3.3 Macam-Macam Disfungsi Seksual
1) Gangguan Dorongan Seksual (GDS)
Dorongan seksual dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu hormon testosteron,
kesehatan tubuh, faktor psikis dan pengalaman seksual sebelumnya. Jika di
antara faktor tersebut ada yang menghambat atau faktor tersebut terganggu,
maka akan terjadi GDS (Pangkahila, 2007), berupa:
a. Dorongan seksual hipoaktif
The Diagnostic and Statistical Manual-IV memberi definisi
dorongan seksual hipoaktif ialah berkurangnya atau hilangnya fantasi
seksual dan dorongan secara persisten atau berulang yang menyebabkan
gangguan yang nyata atau kesulitan interpersonal.
b. Gangguan eversi seksual
Timbul perasaaan takut pada semua bentuk aktivitas seksual
sehingga menimbulkan gangguan. Masalah ini bisa timbul akibat trauma
masa lalu, kekerasan seksual, atau kekerasan fisik yang lama, sehingga
keinginan berhubungan intim menjadi sirna. Kendati tidak mudah memulai
dari awal aktivitas hubungan intim akan membantu mengurangi sedikit
demi sedikit masalah ini.(1.12.21)
Diduga lebih dari 15 persen pria dewasa mengalami dorongan seksual
hipoaktif. Pada usia 40-60 tahun, dorongan seksual hipoaktif merupakan keluhan
terbanyak. Pada dasarnya GDS disebabkan oleh faktor fisik dan psikis, antara lain
adalah kejemuan, perasaan bersalah, stres yang berkepanjangan, dan pengalaman
seksual yang tidak menyenangkan.(1.12.21)
2) Gangguan Ereksi
42
Disfungsi ereksi (DE) berarti ketidakmampuan mencapai atau
mempertahankan ereksi penis yang cukup untuk melakukan hubungan seksual
dengan baik. Disfungsi ereksi disebut primer bila sejak semula ereksi yang
cukup unutuk melakukan hubungan seksual tidak pernah tercapai. Sedang
disfungsi ereksi sekunder berarti sebelumnya pernah berhasil melakukan
hubungan seksual, tetapi kemudian gagal karena sesuatu sebab yang
mengganggu ereksinya.(1.12.21)
Pada dasarnya DE dapat disebabkan oleh faktor fisik dan faktor psikis.
Penyebab fisik dapat dikelompokkan menjadi faktor hormonal, faktor
vaskulogenik, faktor neurogenik, dan faktor iatrogenik Faktor psikis meliputi
semua faktor yang menghambat reaksi seksual terhadap rangsangan seksual
yang diterima. Walaupun penyebab dasarnya adalah faktor fisik, faktor psikis
hampir selalu muncul dan menyertainya.(1.12.21)
3) Disfungsi Orgasme
Disfungsi orgasme adalah terhambatnya atau tidak tercapainya orgasme
yang bersifat persisten atau berulang setelah memasuki fase rangsangan
(excitement phase) selama melakukan aktivitas seksual. (1.12.21)
Hambatan orgasme dapat disebabkan oleh penyebab fisik yaitu penyakit
SSP seperti multiple sklerosis, parkinson, dan lumbal sympathectomy.
Penyebab psikis yaitu kecemasan, perasaan takut menghamili, dan kejemuan
terhadap pasangan. Pria yang mengalami hambatan orgasme tetap dapat ereksi
dan ejakulasi, tapi sensasi erotiknya tidak dirasakan. (1.12.21)
1) Fitur-fitur gangguan orgasme meliputi:
Keterlambatan atau tidak terjadinya orgasme yang persisten atau berulang
kali terjadi menyusul fase perangsangan seksual normal.
Distres yang signifikan atau kesulitan interpersonal karena
ketidakmampuan ini.
Ketidakmampuan ini bukan lebih menjadi bagian menjadi penentu bagi
gangguan lain (misalnya: gangguan suasan perasaan, kecemasan, kognitif)
43
dan bukan disebabkan karena efek-efek fisiologis obat atau pengalahgunan
obat.(1.12.21)
2) Gangguan Ejakulasi
a. Ejakulasi dini
Ada beberapa pengertian mengenai ejakulsi dini (ED). ED merupakan
ketidakmampuan mengontrol ejakulasi sampai pasangannnya
mencapai orgasme, paling sedikit 50 persen dari kesempatan
melakukan hubungan seksual. Berdasarkan waktu, ada yang
mengatakan penis yang mengalami ED bila ejakulasi terjadi dalam
waktu kurang dari 1-10 menit. Untuk menentukan seorang pria
mengalami ED harus memenuhi ketentuan sebagai berikut : ejakulasi
terjadi dalam waktu cepat, tidak dapat dikontrol, tidak dikehendaki
oleh yang bersangkutan, serta mengganggu yang bersangkutan dan
atau pasangannya .(1.12)
ED merupakan disfungsi seksual terbanyak yang dijumpai di
klinik, melampaui DE. Survei epidemiologi di AS menunjukkan
sekitar 30 persen pria mengalami ED. Ada beberapa teori penyebab
ED, yang dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu penyebab psikis dan
penyebab fisik. Penyebab fisik berkaitan dengan serotonin. Pria
dengan 5-HT rendah mempunyai ejaculatory threshold yang rendah
sehingga cepat mengalami ejakulasi. Penyebab psikis ialah kebiasaan
ingin mencapai orgasme dan ejakulasi secara tergesa-gesa sehingga
terjadinya ED.(1.12)
b. Ejakulasi terhambat
Berlawanan dengan ED, maka pria yang mengalami ejakulasi
terhambat (ET) justru tidak dapat mengalami ejakulasi di dalam
vagina. Tetapi pada umumnya pria dengan ET dapat mengalami
ejakulasi dengan cara lain, misalnya masturbasi dan oral seks, tetapi
sebagian tetap tidak dapat mencapai ejakulasi dengan cara apapun.
44
Dalam 10 tahun terakhir ini hanya 4 pasien datang dengan keluhan
ET. Sebagian besar ET disebabkan oleh faktor psikis, misalnya
fanatisme agama sejak masa kecil yang menganggap kelamin wanita
adalah sesuatu yang kotor, takut terjadi kehamilan, dan trauma
psikoseksual yang pernah dialami. (1.12)
4) Dispareunia
Dispareunia adalah suatu kondisi timbulnya rasa sakit pada alat
kelamin atau area kelamin saat hubungan seksual berlangsung, dan ini
merupakan salah satu gangguan seksual yang tanpa disadari pernah
dialami oleh pasangan suami istri. Salah satu penyebab dispareunia ini
adalah infeksi pada kelamin. Jika dibiarkan tanpa penanganan yang tepat,
infeksi tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan disfungsi seksual yang
lebih buruk lagi. Karena itu dispareunia tidak boleh dianggap remeh.
Selain itu, dispareunia yang berkepanjangan juga dapat menghambat
aktivitas seksual dengan pasangan dan akan sangat menyiksa, baik psikis
maupun mental individu yang bersangkutan, serta sangat berpotensi terjadi
penularan infeksi kepada pasangan bila dispareunia disebabkan oleh
infeksi. (1.12)
Kasus dispareunia pada pria memang tidak sebanyak seperti kasus yang
ditemukan pada wanita. Namun, bagi pria yang mengalaminya, tidak boleh
menganggap remeh beberapa faktor yang menimbulkan rasa sakit saat
berhubungan tersebut. Sebab, apabila dibiarkan berlangsung lama, akan
mengakibatkan ejakulasi dini dan disfungsi ereksi. Pada pria, dispareunia hampir
bisa dipastikan dikarenakan penyakit atau gangguan fisik berupa infeksi pada
penis, buah zakar, saluran kencing, kelenjar prostat, atau kelenjar kelamin lainnya.
Apabila dispareunia tersebut disebabkan oleh infeksi kelamin, maka bisa
menimbulkan gejala lain, seperti alat vital membengkak dan terluka, terasa sakit
saat kencing, mengeluarkan nanah saat kencing atau speDisfungsi seksual baik
yang terjadi pada pria ataupun wanita dapat dapat mengganggu keharmonisan
45
kehidupan seksual dan kualitas hidup, oleh karena itu perlu penatalaksanaan yang
baik dan ilmiah. (1.12)
Prinsip penatalaksanaan dari disfungsi seksual pada pria dan wanita adalah
sebagai berikut):
a. Membuat diagnosa dari disfungsi seksual
b. Mencari etiologi dari disfungsi seksual tersebut
c. Pengobatan sesuai dengan etiologi disfungsi seksual
d. Pengobatan untuk memulihkan fungsi seksual, yang terdiri dari pengobatan
bedah dan pengobatan non bedah (konseling seksual dan sex theraphy, obat-
obatan, alat bantu seks, serta pelatihan jasmani). (1.12)
Pada kenyataannya tidak mudah untuk mendiagnosa masalah disfungsi seksual.
Diantara yang paling sering terjadi adalah pasien tidak dapat mengutarakan
masalahnya semua kepada dokter, serta perbedaan persepsi antara pasien dan
dokter terhadap apa yang diceritakan pasien. Banyak pasien dengan disfungsi
seksual membutuhkan konseling seksual dan terapi, tetapi hanya sedikit yang
peduli (1.12)
Oleh karena masalah disfungsi seksual melibatkan kedua belah pihak yaitu
pria dan wanita, dimana masalah disfungsi seksual pada pria dapat menimbulkan
disfungsi seksual ataupun stres pada wanita, begitu juga sebaliknya, maka perlu
dilakukan dual sex theraphy. Baik itu dilakukan sendiri oleh seorang dokter
ataupun dua orang dokter dengan wawancara keluhan.(1.12)
2.2.3.4 Tanda-tanda terjadinya disfungsi seksual
1. Pada Pria
a. Terjadinya penurunan libido
b. Obesitas
c. Mempunyai penyakit impoten
d. adanya penyakit infeksi, seperti TBC, hepatitis, sehingga hilangnya kadar
hormon estrogen
46
2. Pada Wanita
a. penurunan gairah seksual
b. terjadinya gangguan orgasme akibat kecemasan atau trauma seksual
c. terjadinya dispareunia, ini adalah akibat vagina yang mengering
d. terjadinya vaginismus, ini adalah vagina menjadi berkerut saat beraktivitas
e. stres dan lelah (1.12)
2.2.3.5 Diagnosis
Diagnosis DE dapat ditegakkan melalui pemeriksaan berikut ini:
1. Anamnesa
Dalam anamnesis perlu ditanyakan tentang penyakit-penyakit seperti diabetes
melitus, hiperkolesterolemia, hiperlipidemia, penyakit jantung, merokok,
alkohol, obat-obatan, operasi yang pernah dilakukan, penyakit tulang
punggung, dan penyakit neurologik dan psikiatrik. (1.12)
Pada diagnosis pasien DE harus digali riwayat seksual, penyakit yang pernah
diderita dan psikoseksual. Pada pria yang mengalami DE ditanyakan hal–hal
di bawah ini :
a. Gangguan ereksi dan gangguan dorongan seksual
b. Ejakulasi, orgasme dan nyeri kelamin
c. Fungsi seksual pasangan
d. Faktor gaya hidup : merokok, alkohol yang berlebihan dan
penyalahgunaan narkotika
e. Penyakit kronis
f. Trauma dan operasi daerah pelvis / perineum / penis
g. Radioterapi daerah penis
h. Penggunaan obat – obatan
i. Penyakit saraf dan hormonal
j. Penyakit psikiatrik dan status psikologik (1.12)
DE dapat dibedakan dengan jelas dari masalah seksual lainnya seperti
ejakulasi, libido dan orgasme. Pada penelusuran riwayat penyakit harus
ditanya tentang hipertensi, hiperlipidemia, depresi, penyakit neurologis,
47
diabetes melitus, gagal ginjal, penyakit adrenal dan tiroid. Riwayat trauma
panggul pembedahan pembuluh darah tepi juga harus ditanyakan karena hal
tersebut merupakan faktor resiko impotensi. (1.12)
Pencatatan daftar obat yang dikonsumsi juga harus diperhatikan,
karena sekitar 25% dari semua kasus DE terkait dengan obat–obatan.
Pengguanaan alkohol yang berlebihan dan narkotika.(1.12)
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda hipogonadisme (termasuk testis
kecil, ginekomasti dan berkurangnya pertumbuhan rambut tubuh dan janggut)
memerlukan perhatian khusus.9 Pemeriksaan penis dan testis dikerjakan untuk
mengetahui ada tidaknya kelainan bawaaan atau induratio penis. Bila perlu
dilakukan palpasi transrektal dan USG transrektal. Tidak jarang DE
disebabkan oleh penyakit prostat jinak ataupun prostat ganas atau prostatitis. (1.12)
Pemeriksaan rektum dengan jari (digital rectal examination), penilaian
tonus sfingter ani, dan bulbo cavernosus reflex (kontraksi muskulus
bulbokavernous pada perineum setelah penekanan glands penis) untuk menlai
keutuhan dari sacral neural outflow. Nadi perifer dipalpasi untuk melihat
adanya tanda-tanda penyakit vaskuler.20 Dan untuk melihat komplikasi
penyakit diabetes.(1.12)
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang dapat menunjang diagnosis DE antara
lain: kadar serum testosteron pagi hari (perlu diketahui, kadar ini sangat
dipengaruhi oleh kadar luteinizing hormone). Pengukuran kadar glukosa dan
lipid, hitung darah lengkap (complete blood count), dan tes fungsi ginjal.
Sedangkan pengukuran vaskuler berdasarkan injeksi prostaglandin E1 pada
corpora penis, duplex ultrasonography, biothensiometry, atau nocturnal penile
tumescence tidak direkomendasikan pada praktek rutin/sehari-hari namun
dapat sangat bermanfaat bila informasi tentang vascular supply diperlukan,
48
misalnya, untuk menentukan tindakan bedah yang tepat (implantation of a
prosthesis vs. penile reconstruction).(1.12)
2.2.3.6 PENATALAKSANAAN
Dalam terapi DE, yang menjadi sasaran terapi (bagian yang akan diterapi)
adalah ereksi penis. Berdasarkan sasaran yang diterapi, maka tujuan terapi adalah
meningkatkan kualitas dan kuantitas ereksi penis yang nyaman saat berhubungan
seksual. Kualitas yang dimaksud adalah kemampuan untuk mendapatkan dan
menjaga ereksi. Sedangkan kuantitas yang dimaksud adalah seberapa lama waktu
yang dibutuhkan untuk menjaga ereksi (waktu untuk tiap-tiap orang berbeda
untuk mencapai kepuasan orgasme, tidak ada waktu normal dalam ereksi). (1.12)
Sebelum memilih terapi yang tepat, perlu diketahui penyebab atau faktor
risiko pada pasien yang berperan dalam menyebabkan munculnya DE. Hal ini
terkait dengan beberapa penyebab DE yang terkait. Dengan demikian, jika
diketahui penyebab DE yang benar maka dapat diberikan terapi yang tepat pula.
Terapi untuk DE dapat dibedakan menjadi dua yaitu terapi tanpa obat
(nonfarmakologis pola hidup sehat dan menggunakan alat ereksi seperti vakum
ereksi) dan terapi menggunakan obat (farmakologis). (1.12)
Yang pertama kali harus dilakukan oleh pasien DE adalah harus
memperbaiki pola hidup menjadi sehat. Beberapa cara dalam menerapkan pola
hidup sehat antara lain olah raga, menu makanan sehat (asam amino arginin,
bioflavonoid, seng, vitamin C dan E serta makanan berserat), kurangi dan hindari
rokok atau alkohol, menjaga kadar kolesterol dalam tubuh, mengurangi berat
badan hingga normal), dan mengurangi stres. Jika dengan menerapkan pola hidup
sehat pasien sudah mengalami peningkatan kepuasan ereksi, maka pasien tidak
perlu menggunakan obat.(1.12)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam manajemen DE menyangkut
terapi psikologi, terapi medis dan terapi hormonal yaitu :
a. Terapi psikologi yaitu terapi seks atau konsultasi psikiatrik, percobaan terapi
(edukasi, medikamentosa oral / intrauretral, vacum constricsi device).
49
b. Terapi medis yaitu terapi yang disesuaikan dengan indikasi medisnya
c. Terapi hormonal yaitu jika tes laboratoriumnya abnormal seperti kadar
testoteron rendah , kadar LH dan FSH tinggi maka diterapi dengan pengganti
testoteron. Jika Prolaktin tinggi, maka perlu dipertimbangkan pemeriksaan
pituitary imaging dan dikonsulkan.(1.2)
2.3 Hubungan Penyakit Jantung Koroner dengan Seksualitas
Aterosklerosis adalah penyakit vaskuler sistemik dan merupakan penyebab
terbanyak dari disfungsi ereksi pada laki-laki usia lanjut. Disfungsi ereksi
memiliki beberapa faktor resiko yang sama dengan penyakit kardiovaskuler, yaitu
aterosklerosis, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes melitus, merokok, dan obesitas.
Hasil penelitian terbaru menyimpulkan bahwa disfungsi ereksi merupakan
indikator akan adanya penyakit kardiovaskuler.(4.12)
Disfungsi endotelial diduga memiliki peran penting terhadap hubungan
anatara disfungsi ereksi dan penyakit kardiovaskuler. Perubahan yang terjadi pada
relaksasi otot polos yang dimediasi NO terjadi pada penderita aterosklerosis. Hal
ini mendukung konsep bahwa aterosklerosis yang terjadi pada pembuluh darah
arteri di penis mencerminkan hal yang sama pada arteri koroner.(4)
Dewasa ini vaskulopati dianggap adalah penyebab utama dari terjadinya
disfungsi ereksi, dan disfungsi ereksi dianggap sebagai manifestasi paling awal
dari terjadinya penyakit vaskuler. Seseorang yang menderita disfungsi ereksi
harus dicurigai menderita vaskulopati sampai terbukti sebaliknya. Laki-laki yang
memiliki faktor resiko terjadinya penyakit kardiovaskuler, seperti hipertensi,
merokok, dislipidemia, diabetes, dan obesitas, dianggap memiliki faktor resiko
yang tinggi untuk menderita disfungsi ereksi. (12)
Disfungsi endotel dianggap sebagai penyebab utama terjadinya disfungsi
endotel dan penyakit aterosklerosis. Laki-laki yang menderita disfungsi ereksi
tanpa adanya tanda-tanda klinis penyakit kardiovaskuler terbukti mengalami
penurunan aliran darah akibat vasodilatasi pada arteri brankialis sebagai respon
dari pemberian nitrogliserin sublingual. Kejadian ini mengindikasikan adanya
50
adanya disfungsi endotel dan relaksasi otot polos yang abnormal. Disfungsi
endotelial telah terbukti sebagai perubahan fungsional awal yang menandakan
kemungkinan terjadinya aterosklerosis pada serebrovaskuler, koroner, dan sistem
sirkulasi perifer. (4.12)
Penyakit vaskular seperti penyakit jantung koroner mempengaruhi
peredaran darah yang juga dapat mempengaruhi pada saat terjadi ereksi. Selama
ereksi, jaringan arteri memasok darah sekurang-kurangnya 100-140 ml. Pada
puncak ereksi, tekanan intrakavernosa melebihi tekanan sistolik.25 mmHG. Pada
keadaan penyakit jantung koroner yang dapat menyebabkan nekrosis otot jantung
akan berakibat pada adanya gangguan venoocclusion (macet atau tersumbatnya
pembuluh darah vena) sehingga aliran dipembuluh darah arteri tidak memadai
atau tidak mampu mempertahankan ereksi yang sedang terjadi.(4.12)
Disfungsi seksual pada pasien penyakit jantung koroner juga dapat dipicu
adanya perasaan takut akan timbulnya nyeri saat berhubungan. Umumnya, angina
atau nyeri tersebut dipicu oleh aktivitas yang meningkatkan kebutuhan oksigen
miokardium, seperti karena latihan fisik. Perasaan takut tersebut dapat
menimbulkan gangguan psikologis seperti stres atau anxietas (cemas) sehingga
terjadi gangguan pelepasan NO (Nitrit Oxide) sehingga tidak timbul ereksi.(4.12)
Obat jantung yang dikonsumsi seperti Gemfibrozil dan digoxin juga
berdampak pada aktivitas seksual karena penggunaan obat dalam jangka panjang
dan terus menerus akan mempengaruhi metabolisme dan kadar hormon tertentu di
dalam tubuh.(12)
51