hubungan kondisi lingkungan terhadap ... kondisi lingkungan terhadap struktur komunitas...
TRANSCRIPT
HUBUNGAN KONDISI LINGKUNGAN TERHADAP
STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI SUNGAI
BELUMAI KABUPATEN DELI SERDANG PROVINSI
SUMATERA UTARA
ERNI DIAN FISESA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Hubungan Kondisi
Lingkungan Terhadap Struktur Komunitas Makrozoobentos di Sungai Belumai
Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014
Erni Dian Fisesa
NIM C251110201
RINGKASAN
ERNI DIAN FISESA. Hubungan kondisi lingkungan terhadap struktur
komunitas makrozoobentos di Sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang Provinsi
Sumatera Utara. Dibimbing oleh ISDRADJAD SETYOBUDIANDI dan
MAJARIANA KRISANTI.
Sungai Belumai merupakan salah satu sungai di Kabupaten Deli Serdang
Provinsi Sumatra Utara. Aktivitas yang ada di sepanjang aliran Sungai Belumai
meliputi aktivitas industri, aktivitas rumah tangga, maupun aktivitas pertanian.
Sungai Belumai dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat untuk kegiatan mandi,
cuci, kakus (MCK). Masyarakat yang menggunakan air sungai tersebut rentan
terjangkit penyakit diantaranya iritasi kulit dan iritasi mata. Sungai Belumai
memiliki komponen lingkungan sangat penting bagi kehidupan masyarakat di
sekitar Sungai, akibat adanya peningkatan kegiatan pembangunan seperti masukan
dari limbah industri, limbah perkotaan, dan air limpasan dari pertanian yang
terbawa oleh arus telah memberikan dampak terhadap penurunan kualitas air
Sungai Belumai. Tingginya aktivitas-aktivitas tersebut telah mempengaruhi
komposisi dan kelimpahan spesies makrozobentos di Sungai Belumai. Hanya
jenis-jenis yang sifatnya toleran terhadap lingkungan yang masih dapat bertahan
hidup. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menganalisis hubungan kondisi
lingkungan dengan struktur komunitas makrozoobentos.
Penelitian ini dilakukan di Sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang
Provinsi Sumatera Utara, di 4 stasiun selama 3 bulan, dengan interval waktu 1
bulan sekali. Penentuan stasiun, berdasarkan pertimbangan dari beban masukan
yang berbeda dari setiap lokasi, sehingga ditetapkan tiga kecamatan yang menjadi
lokasi pengambilan sampel, yaitu stasiun 1 di kecamatan STM Hilir, stasiun 2 dan
stasiun 3 di Kecamatan Tanjung Morawa, stasiun 4 di Kecamatan Batang Kuis.
Sampel yang dikumpulkan terdiri dari parameter fisika yaitu suhu, arus,
kedalaman, kekeruhan dan tipe substrat. Parameter kimia yaitu pH, DO, COD dan
TOM. Parameter biologi yaitu makrozoobentos.
Makrozoobentos yang ditemukan selama penelitian di Sungai Belumai
terdiri atas 3 kelas (Gastropoda, Insekta dan Oligochaeta). Stasiun 1 jumlah genus
yang diperoleh selama pengamatan ada 5 genus yaitu Branchiura sp., Chironomus
sp., Lumbricus sp., Melanoides sp., dan Bellamya sp. Jumlah genus yang
diperoleh selama penelitian di stasiun 2 ada 4 genus yaitu Branchiura sp.,
Lumbricus sp., Limnodrilus sp., dan Goniobasis sp. Stasiun 3 jumlah genus yang
diperoleh selama penelitian ada 5 genus yaitu Branchiura sp, Lumbricus sp.,
Limnodrilus sp., Goniobasis sp., dan Tubifex sp. Stasiun 4 jumlah genus yang
diperoleh selama penelitian ada 6 genus yaitu Branchiura sp., Lumbricus sp.,
Limnodrilus sp., Goniobasis sp., Chironomus sp., dan Goniobasis sp. Jenis
penyebaran yang merata dari setiap stasiun terlihat dari Kelas Oligochaeta yaitu
Branchiura sp. dan Lumbricus sp. Persentase dari komposisi dari masing-masing
kelas adalah kelas Oligochaeta 79%, kelas Gastropoda 17%, kelas Insekta 4%.
Kelas Oligochaeta memiliki persentase tertinggi yaitu 79 %. Tingginya
persentasi keberadaan dari Kelas Oligochaeta mengindikasikan Sungai Belumai
telah tercemar. organisme dari kelas Oligochaeta bersifat toleran dan mampu
bertahan pada kondisi lingkungan yang mengandung bahan organik tinggi.
Keanekaragaman makrozoobentos di Sungai Belumai berdasarkan analisis kurva
k-dominan menunjukkan semakin ke arah hilir keanekaragaman menurun. Dilihat
dari pengelompokan stasiun berdasarkan analisis Bray-Curtis untuk
Makrozoobentos dan Dissimilarity Pearson untuk parameter fisika-kimia,
menghasilkan dua dendrogram yang menunjukkan kemiripan. Kedua dendrogram
tersebut menunjukkan adanya pengelompokan yaitu stasiun 1 berbeda terhadap
stasiun 2, 3, 4. Adanya kelompok tersebut dikarenakan perbedaan masukan bahan
pencemar dari perumahan, industri, perkotaan maupun.
Hasil pengukuran parameter fisika kimia di Sungai Belumai yaitu: Suhu (28 oC - 29
oC), Kedalaman (2,5 m - 3,1 m), Kecepatan Arus (0,31 m/s - 0,58 m/s),
Kekeruhan (163,57 NTU – 242,60 NTU), pH (6,6 – 6,9), DO (6,6 mg/L – 7,01
mg/L), COD (35,64 mg/l – 42,01 mg/l), TOM (14,72 %l – 15,90 mg/l). Hasil
pengukuran dari beberapa parameter tersebut terlihat nilai kekeruhan sangat
tinggi, tingginya nilai kekeruhan disebabkan oleh masukan dari arah hulu yang
dibawa oleh arus serta adanya kegiatan disekitar sungai masuk ke dalam perairan
melalui rembesan air hujan. Kandungan COD di sepanjang aliran sungai untuk
kebutuhan air minum menurut PP No. 82 Tahun 2001 telah melewati ambang
batas yang diperbolehkan yaitu untuk kelas 1 kandungan COD yang
diperbolehkan < 10 mg/L. Tingginya nilai COD di perairan disebabkan dari bahan
pencemar yang masuk ke perairan khususnya bahan pencemar organik dari limbah
rumah tangga, industri, pertanian dan budidaya perairan.
Kata kunci: Sungai Belumai, Kualitas air sungai, Keanekaragaman
Makrozoobentos
SUMMARY
ERNI DIAN FISESA. Environmental conditions related to community
structure of macrozoobenthos in Belumai River District of Deli Serdang, North
Sumatera Province. Supervised by ISDRADJAD SETYOBUDIANDI dan
MAJARIANA KRISANTI.
Belumai River is one of the rivers in Deli Serdang Regency, North Sumatra
Province. Activity along Belumai River basin includes the activity of industrial,
domestic and agricultural activities. The Belumai River used by some people for
bathing, washing, toilet (MCK). People who use the river water susceptible of
contracting diseases including skin irritation and eye irritation. Belumai River
environment has a very important component of people lives around the river.
Increasing of development activities such as input from industrial waste, urban
sewage and runoff of agricultural water carried by the currents have an impact on
water quality degradation Belumai River. The high activities have affected the
composition and abundance of species makrozobentos in the Belumai River. Only
those species that are tolerant of the environment can still survive. The purpose of
this research is to analyze the relationship environmental conditions with
community structure of macrozoobenthos.
This research was conducted in Belumai River Deli Serdang Regency,
North Sumatra Province, on 4 stations for 3 months, with a time interval of 1
month. Determination of the station, based on consideration of the different input
load from any location, thus defined three sub-districts into the sampling site,
which is 1 station in the district of STM Hilir, station 2 and station 3 in the
District of Tanjung Morawa, and 4 station in the District of Batang Quiz. Samples
collected consisted of physical parameters, namely temperature, currents, depth,
turbidity, and type substrate. Chemical parameters namely pH, DO, COD and
TOM. Macrozoobenthos was collected as biological parameter.
Macrozoobenthos were found during research in Belumai River consists of
3 classes (gastropods, insects and Oligochaeta). Station 1 genus number obtained
during the observation that there are 5 genera : Branchiura sp., Chironomus sp.,
Lumbricus sp., Melanoides sp., and Bellamya sp. Station 2 genus number
obtained during the observation that there are 4 genera : Branchiura sp.,
Lumbricus sp., Limnodrilus sp., and Goniobasis sp. Station 3 genus number
obtained during the observation that there are 5 genera : Branchiura sp,
Lumbricus sp., Limnodrilus sp., Goniobasis sp., and Tubifex sp. Station 4 genus
number obtained during the observation that there are 6 genera : Branchiura sp.,
Lumbricus sp. , Limnodrilus sp., Goniobasis sp., Chironomus sp., and Goniobasis
sp. Type uniform distribution of each station is visible from the class Oligochaeta
Branchiura sp., and Lumbricus sp. The percentage of the composition of each
class is the Oligochaeta 79%, Gastropoda 17%, and Insects 4%.
Oligochaeta has the highest percentage with 79%. The high percentage
indicates the existence of a class Oligochaeta Belumai River has been polluted.
Oligochaeta are a tolerant organisms and able to withstand environmental
conditions containing high organic matter. Diversity of macrozoobenthos in
Belumai River based on analysis of k-dominant curve shows that the diversity
decreases in the downstream direction. seen from the station groupings based on
the analysis of Bray-Curtis Dissimilarity for macrozoobenthos and Pearson for
physico-chemical parameters, resulting in two dendrogram which shows
similarities. Both the dendrogram showed distinct groupings that station 1 to
station 2, 3, 4. The existence of these groups due to differences in the input of
pollutants from residential, industrial, and urban.
The results of chemical physics parameters in the River Belumai were :
temperature (28 - 29 o C), depth (2,5 - 3,1 m), current velocity (0,31 - 0,58 m / s ),
Turbidity (163,57 – 242,60 NTU), pH (6,6 - 6,9), DO (6,6 - 7,01 mg / L), COD
(35,64 - 42,01 mg / L), and TOM (14,72 -15,90 %). There was shows that
turbidity was very high caused supposed it by input from the upstream as the
activities around the river into the water through rain water seepage. Organic
content as seen from COD value has exceeded the threshold limits for drinking
water (class 1), according to Governmant Regulation (PP) No. 82/2001, has
passed the threshold exposure limits for class 1 is allowed COD content of <10
mg/L. The high value of COD in water was almost certainly come from
contaminants that enter the waters, i.e. organic pollutants from domestic sewage,
industrial, agriculture and aquaculture waste.
Keywords: Belumai River, river water quality, diversity of
macrozoobenthos
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
HUBUNGAN KONDISI LINGKUNGAN TERHADAP
STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI SUNGAI
BELUMAI KABUPATEN DELI SERDANG PROVINSI
SUMATERA UTARA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
ERNI DIAN FISESA
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc
Judul Tesis : Hubungan Kondisi Lingkungan terhadap Struktur Komunitas
Makrozoobentos di Sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang
Provinsi Sumatera Utara
Nama : Erni Dian Fisesa
NIM : C251110201
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc
Ketua
Dr Majariana Krisanti, SPi MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Perairan
Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr
Tanggal Ujian: 24 Januari 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah
Hubungan Kondisi Lingkungan Terhadap Struktur Komunitas Makrozoobentos di
Sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc
dan Ibu Dr Majariana Krisanti, SPi MSi selaku pembimbing. Terima kasih penulis
ucapkan kepada bapak Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc selaku penguji luar komisi,
Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada papa,
mama, kakak dan abang-abang ku, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan
kasih sayang yang telah kalian berikan. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada seluruh teman-teman yang telah membantu terlaksananya
penelitian ini selama dilapangan dan teman-teman SDP 2011 yang telah
memberikan semangat dan dukungannya hingga Tesis ini selesai.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2014
Erni Dian Fisesa
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 1
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
2 TINJAUAN PUSTAKA 3
3 METODE PENELITIAN 8
Waktu dan Tempat 8
Metode dan Analisis Data 12
Prosedur Analisis Data 13
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 14
HASIL 14
Gambaran Umum Kawasan Penelitian 14
Fisika dan Kimia Perairan Sungai Belumai 16
Struktur Komunitas Makrozoobentos 21
PEMBAHASAN 23
Hubungan parameter Fisika-Kimia dan Makrozoobentos 23
Struktur Komunitas Makrozoobentos 24
Kurva k-dominansi 25
Strategi pengelolaan sumberdaya perairan di Sungai Belumai ........ 26
5 SIMPULAN DAN SARAN 26
Keimpulan 26
Saran 26
DAFTAR PUSTAKA 26
LAMPIRAN 31
DAFTAR TABEL
1 Lokasi stasiun penelitian berdasarkan karakteristik beban masukan ke
Sungai Belumai 8
2 Metode Pengukuran Parameter Fisika Kimia dan Biolog 11
3 Nilai rata-rata parameter fisika Sungai Belumai 15
4 Jumlah individu yang ditemukan di Sungai Belumai 20
DAFTAR GAMBAR
1 Pendekatan masalah dalam mengkaji hubungan kondisi lingkungan
terhadap struktur komunitas makrozoobentos 2
2 Peta lokasi penelitian Sungai Belumai 9
3 Lokasi stasiun penelitian 10
4 Ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys sp.) di Sungai Belumai 14
5 Nilai rata-rata suhu pada stasiun pengamatan 15
6 Sebaran nilai rata-rata kekeruhan pada stasiun pengamatan 16
7 Sebaran nilai rata-rata pH pada stasiun pengamatan 17
8 Sebaran nilai rata-rata DO pada stasiun pengamatan 17
9 Sebaran nilai rata-rata COD & TOM pada stasiun pengamatan 18
10 Sebaran nilai substrat pada stasiun pengamatan 19
11 Dendogram Pengelompokan stasiun berdasarkan fisika-kimia dan
makrozoobentos 22
12 Persentasi jumlah makrozoobentos 23
13 Kurva k-dominansi makrozoobentos 24
DAFTAR LAMPIRAN
1 Gambar Lokasi Sungai Belumai di setiap stasiun 33
2 Spesies Yang Ditemukan di Luar menggunakan jaring lempar dan
tangguk 34
3 Kegiatan di Sekitar Sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang, Provinsi
Sumatera Utara 35
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sungai Belumai merupakan salah satu sungai di Kabupaten Deli Serdang
Provinsi Sumatra Utara. Sungai ini melewati tiga kecamatan yaitu Kecamatan
Sinembah Tanjung Muda Hilir (STM Hilir), Kecamatan Tanjung Morawa, dan
Kecamatan Batang Kuis. Sepanjang aliran Sungai Belumai terdapat berbagai
macam aktivitas seperti perumahan, perindustrian, maupun pertanian.
Pembuangan limbah secara terus menerus dalam jumlah yang berlebih ke dalam
perairan akan mempengaruhi kualitas perairan terutama kondisi fisik dan kimia
perairan yang selanjutnya berdampak pada degradasi lingkungan perairan. Barros
et al. (2008) mengatakan bahwa aktivitas antropogenik berpotensi mempengaruhi
sistem kualitas lingkungan perairan, seperti masuknya limbah domestik, limbah
padat, kegiatan pertanian, kegiatan industri dan aktivitas lainnya. Angradi dan
Jicha (2010) mengatakan terdapat banyak penyebab penurunan kualitas air di
perairan sungai, yang berasal dari buangan industri dan perkotaan, berupa limbah
logam berat, serta masukan nutrien yang berasal dari limbah pemukiman dan
pertanian.
Tingginya masukan limbah yang masuk ke Sungai Belumai telah
memberikan dampak terhadap perubahan kualitas perairan. Salah satu dampak
terjadinya penurunan kualitas air di Sungai Belumai terlihat dari penggunaan
masyarakat terhadap sungai tersebut. Hasil penelitian Batubara (2011)
menunjukkan bahwa masyarakat yang sering memanfaatkan Sungai Belumai
sebagai wadah untuk mandi, cuci, kakus (MCK) lebih rentan terjangkit penyakit.
Selain dampak pada kesehatan masyarakat, degradasi kualitas fisika kimia
perairan juga berdampak pada organisme perairan. Wawancara yang dilakukan
kepada beberapa masyarakat yang ada disekitar Sungai Belumai, menghasilkan
informasi bahwa telah terjadi penurunan dalam jumlah dan jenis organisme yang
ada di Sungai Belumai. Nichols (2003) menyatakan bahwa adanya aktivitas
manusia seperti masukan limbah ke dalam perairan mempengaruhi komposisi dan
kelimpahan spesies makrozobentos yang terlihat relatif konstan.
Kualitas dari suatu perairan dapat dilihat dari dampak yang diberikan
terhadap organisme yang ada di dalamnya. Salah satu organisme yang dapat
dijadikan indikator untuk melihat kualitas lingkungan perairan adalah
makrozoobenthos. Menurut Sauco et al. (2010) spesies dasar termasuk
makrozoobentos dapat mendeteksi adanya stressor (pencemar) di perairan, dengan
demikian makrozoobentos dapat dijadikan sebagai indikator pencemaran perairan,
yang berhubungan dengan pencemaran sedimen oleh bahan beracun dan
berbahaya
Perumusan Masalah
Peningkatan aktivitas masyarakat yang ada di sekitar Sungai Belumai baik
aktivitas industri, domestik maupun aktivitas pertanian telah meningkatkan
jumlah limbah yang masuk ke perairan. Tingginya masukan limbah ke perairan
tersebut diduga telah memberikan dampak pada perubahan kualitas perairan. Dari
aspek kesehatan, masyarakat telah merasakan adanya dampak dari perairan sungai
2
terhadap gangguan iritasi mata dan alergi yang timbul di sekitar daerah sungai,
sedangkan dampak secara ekologi dapat dirasakan oleh masyarakat melalui
penurunan hasil tangkapan ikan. Beberapa jenis ikan telah jarang ditemukan di
Sungai Belumai. Akan tetapi selama ini belum dapat dipastikan apa yang
menyebabkan perubahan kualitas air tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya
pemantauan terhadap status kualitas perairan sungai, sehingga dapat dijadikan
landasan awal dalam pengelolaan sungai.
Makrozoobentos merupakan salah satu organisme perairan yang dapat
dijadikan indikator dalam penentuan status kualitas perairan, hal ini dikarenakan
sifat dari makrozoobentos yang cenderung hidup menetap di dasar perairan yang
mobilitas pergerakannya relatif rendah, sehingga perubahan kualitas perairan akan
memberikan dampak terhadap makrozoobenthos yang tergolong sensitif terhadap
pencemaran. Hering et al. (2003) mengatakan dalam pengamatan kualitas air
berdasarkan sistem biologi banyak menggunakan biota makrozoobentos, yang
digunakan untuk mengkaji dan mengidentifikasi kualitas perairan. Identifikasi
menggunakan biota mekrozoobentos relatif lebih sederhana dan mereka tersebar
secara luas di banyak tipe sungai. Hubungan kondisi lingkungan terhadap struktur
komunitas makrozoobentos, diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai
kondisi Sungai Belumai serta diharapkan dapat menduga sumber dari bahan
pencemar yang memberikan dampak pada sungai. Sehingga dapat dijadikan
langkah awal dalam pengelolaan perairan sungai dan meminimalisir pencemaran
limbah (Gambar 1).
Gambar 1 Pendekatan masalah dalam mengkaji hubungan kondisi lingkungan terhadap
struktur komunitas makrozoobentos
Kondisi Lingkungan
Sungai Belumai
(-)
Hidrologi
Kegiatan
antropogenik
Kualitas Air
Struktur komunitas
Makrozoobentos
Substrat
Makrozoobentos
Lingkungan
Perairan
komunitas
Makrozoobentos
(+)
3
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menganalisis hubungan kondisi
lingkungan dengan struktur komunitas makrozoobentos.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi baru mengenai
kualitas perairan Sungai Belumai. Sehingga data ini dapat dipergunakan sebagai
salah satu dasar acuan untuk pemantauan pencemaran dalam pembangunan dan
pengelolaan di sekitar sungai agar tercapai pemanfaatan sumberdaya perairan
yang rasional dan berwawasan lingkungan.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Ekosistem Sungai
Sungai sebagai salah satu komponen lingkungan yang memiliki fungsi
penting bagi kehidupan manusia termasuk untuk menunjang pembangunan
perekonomian. Akan tetapi sebagai akibat adanya peningkatan kegiatan
pembangunan di berbagai bidang maka baik secara langsung ataupun tidak
langsung akan mempunyai dampak terhadap kerusakan lingkungan termasuk
didalamnya pencemaran sungai (Yudo 2010). Ekosistem sungai sangat rentan
terhadap pengaruh perubahan fisik, kimia dan bakteri. Perubahan-perubahan ini
penting dalam perencanaan kawasan yang berpengaruh kepada kesehatan manusia
yang bertempat tinggal di sekitar atau sepanjang sungpai (Niewolak 1999).
Perairan sungai adalah suatu perairan yang didalamnya dicirikan dengan
adanya aliran yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir.
Poi de Neiff et al. (2006) in Zilli et al. (2008) mengatakan pada habitat perairan
sungai, vegetasi tepian (riparian dan makrofita) berperan penting sebagai sumber
bahan organik, baik sebagai allochtonous dan autochthonous maupun sebagai
faktor penyusun kestabilan komunitas makrozoobentos.
Chopra et al. (2012) mengatakan sungai mempunyai peran dalam membawa
limbah industri, limbah perkotaan, pupuk dan air limpasan dari pertanian yang
terbawa oleh arus. Welch (1980) arus mempengaruhi transport sedimen dan
mengikis substrat dasar perairan sehingga dapat dibedakan menjadi substrat batu,
pasir, liat, ataupun debu.
Odum (1994) mengatakan pH merupakan faktor pembatas bagi organisme
yang hidup di suatu perairan. Perairan dengan pH yang terlalu tinggi atau rendah
akan mempengaruhi ketahanan hidup organisme yang hidup didalamnya. Effendi
(2003) menambahkan bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap
perubahan pH dan menyukai kisaran pH sekitar 7 – 8,5. Pescod (1973) juga
mengatakan bahwa nilai pH dipengaruhi oleh beberapa parameter, antara lain
aktivitas biologi, suhu, kandungan oksigen, dan adanya ion-ion. Dari hasil
aktivitas biologi dihasilkan CO2 yang merupakan hasil respirasi, CO2 inilah yang
akan membentuk buffer atau penyangga untuk menyangga kisaran pH di perairan
agar tetap stabil. Peningkatan suhu menyebabkan terjadinya peningkatan
4
dekomposisi bahan organik oleh mikroba (Effendi 2003). Semakin tinggi suhu di
perairan keberadaan oksigen (DO) semakin kecil, pada batas-batas tertentu dapat
bersifat toksik.
Kondisi Kawasan Penelitian
Kabupaten Deli Serdang secara geografis, terletak diantara 2°57’ - 3°16’ LU
dan 98°33’ - 99°27’ BT, dengan luas wilayah 2.497,72 Km2 dari luas Propinsi
Sumatera Utara. Kabupaten Deli Serdang dikenal sebagai salah satu daerah dari
25 Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten yang memiliki
keanekaragaman sumber daya alam yang besar sehingga merupakan daerah yang
memiliki peluang investasi cukup menjanjikan dan pemerintahannya berpusat di
Kota Medan (PEMKAB Deli Serdang 2012). Kabupaten Deli Serdang terdapat 5
(lima) Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu DAS Belawan, DAS Deli, DAS
Belumai, DAS Percut, dan DAS Ular, dengan luas areal 378.841 ha, yang
kesemuanya bermuara ke Selat Malaka dengan hulunya berada di Kabupaten
Simalungun, dan Kabupaten Karo. Pada umumnya sub DAS ini dimanfaatkan
untuk mengairi areal persawahan sebagai upaya peningkatan produksi pertanian
(USAID & ESP 2006).
BPS Deli Serdang (2012) mengatakan bahwa ada berbagai industri di
Kabupaten Deli Serdang baik industri skala besar, menengah dan kecil yang
menjadi andalan di Kabupaten Deli Serdang, jumlah industri yang ada di
Kabupaten Deli Serdang mencapai 12.397 unit. Untuk wilayah Kecamatan
Tanjung Morawa diantaranya industri keramik, industri obat nyamuk dan mie
instan, industri batu bata, Industri pembuatan kacamata, industri jam, industri
mebel kayu, dan industri tekstil.
Pencemaran Perairan
Stein et al. (2002) mengatakan aktivitas manusia telah memiliki pengaruh
besar pada sistem sungai di seluruh dunia. Pola perubahan sungai yang secara
dramatis telah merubah pola aliran musiman, dan mengurangi hubungan antara
sungai dan masukan dari daratan. Butiuc-Keul et al. (2011) mengatakan zat-zat
beracun bisa masuk ke danau, sungai dan air lainnya, baik yang terlarut maupun
yang mengendap di dasar yang mengakibatkan pencemaran perairan. Pencemaran
bisa berasal dari limbah industri (timah, tembaga, nikel, pelastik dll), limbah
rumah tangga, limbah pertanian dan perkebunaan. Selain itu, adanya fragmentasi
habitat memberikan pengaruh terhadap proses keseimbangan ekosistem sungai
(Zwick 1992).
Adibroto (2002) zat pencemar sungai dapat dibagi menjadi : 1) Organisme
patogen (bakteri, virus dan protozoa), 2) Zat hara tanaman (garam-garam nitrat
dan fosfat yang larut dalam air), yang berasal dari penguraian limbah organik jika
berlebihan dapat mengakibatkan eutrofikasi, 3) Limbah organik biodegradable
(limbah cair domestik, limbah pertanian, limbah perternakan, limbah rumah
potong hewan, limbah industri) yang dalam proses dekomposisi oleh
mikroorganisme (biasanya bakteri dan jamur untuk kemudian menjadi zat-zat
inorganik) memerlukan oksigen hingga nilai BOD (Biochemical Oxygen
Demand) dari suatu badan air tinggi, 4) Bahan anorganik yang larut dalam air
5
(asam, garam, logam berat dan senyawa-senyawanya, anion seperti sulfida, sulfit
dan sianida),5) Bahan-bahan kimia yang larut dan tidak larut (minyak, plastik,
pestisida, pelarut, PCB, fenol, formaldehida dan lain-lain). Zat-zat tersebut
merupakan penyebab yang sangat beracun bahkan pada konsentrasi yang rendah
(< 1 ppm), 6) Zat-zat / bahan-bahan radioaktif, 7) Pencemaran termal; biasanya
dalam bentuk limbah air panas yang berasal dari kegiatan suatu pembangkit
tenaga. Pencemaran ini dapat mengakibatkan naiknya temperatur air,
meningkatkan rasio dekomposisi dari limbah organik yang biodegradable dan
mengurangi kapasitas air untuk menahan oksigen 8) Sedimen (suspended solid);
merupakan partikel yang tidak larut atau terlalu besar untuk dapat segera larut.
Kecenderungan sedimen untuk tinggal di dasar air tergantung pada ukurannya,
Partikel yang melayang di dalam air disebut colloidal solid dan air yang banyak
mengandung colloidal solid terlihat seperti air susu. Jumlah sedimen
mempengaruhi turbiditas air, dan kualitasnya mempengaruhi warna. Beberapa
dari hasil penelitian, mengatakan bahwa tingginya tingkat pencemaran sungai
lebih disebabkan oleh aktivitas di sekitar sungai. Trofisa (2011) mengatakan
Sungai Ciliwung mengalami penurunan dari hulu ke hilir, sumber-sumber
pencemar di DAS Ciliwung Kota Bogor yaitu limbah dari domestik/rumah
tangga, industri, peternakan dan pertanian. Yeanny (2007) mengatakan adanya
kegiatan pemukiman, industri, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan
pertambakan di Sungai Belawan mempengaruhi lingkungan sehingga
mengganggu kehidupan organisme air, berdasarkan indeks keanekaragaman
organisme makrozoobentos di sungai tersebut tergolong rendah. Asra (2009),
mengatakan sebagian besar masyarakat mendirikan rumah di sepanjang aliran
Sungai Kumpeh. Masyarakat memanfaatkan Sungai Kumpeh untuk kehidupan
sehari-harinya, seperti kebutuhan air untuk minum, mandi, cuci dan kakus. Dari
hasil pengamatan di lapangan diamati bahwa limbah rumah tangga penduduk
mengalir ke sungai Kumpeh, hal ini menyebabkan kandungan bahan bahan
pencemar pada sungai tersebut tinggi.
Jenis-jenis Pencemaran Sungai
Yudo (2010) mengatakan pencemaran sungai umumnya berasal dari limbah
domestik maupun limbah non domestik seperti limbah dari perumahan,
perkantoran, pabrik dan industri. Umumnya aktivitas antropogenik berpotensi
mempengaruhi sistem kualitas lingkungan perairan, seperti limbah domestik,
limbah padat, pertanian, industri dan aktivitas lainnya (Barros et al. 2008).
Air limbah dari sektor rumah tangga umumnya dibuang pada pagi hari
hingga sore hari dan mencapai puncaknya pada sekitar pukul 07.00 – 10.00 dan
16.00 – 20.00. Sekitar 60% - 80% dari total air yang digunakan dalam rumah
tangga dibuang sebagai limbah cair. Limbah tersebut secara langsung maupun
tidak akan mencapai badan air, sehingga mempengaruhi kualitas badan air
(Sudarmadji, 1995 in Nurmayanti, 2002). Pemakaian deterjen yang berlebihan
akan mencemari lingkungan. Deterjen sangat berbahaya bagi lingkungan perairan
yang dapat menimbulkan ganggunan kesehatan seperti kanker. Deterjen sulit
terdegradasi dan akhirnya terakumulasi di alam, komposisi kimia deterjen
umumnya terdiri dari beberapa bahan penyusun antara lain sulfaktan Alkil Benzen
Sulfonat dan senyawa fosfat, yang dapat menurunkan nilai pH dan oksigen
6
terlarut diperairan dan pada akhirnya akan berdampak pada biota perairan (Susana
dan Ricky 2009). Keberadaan deterjen yang berlebih diperairan sangat
berbahaya bagi lingkungan karena bersifat karsinogen, menimbulkan bau dan
menimbulkan pertumbuhan tak terkendali bagi eceng gondok dan menyebabkan
pendangkalan sungai (Ariffin et al. 2007 in Maryani 2010).
Pratiwi (2010) mengatakan pencemaran lingkungan akibat industri tekstil
adalah berupa pencemaran debu dan limbah cair yang berasal dari tumpahan dan
air cucian tempat pencelupan larutan kanji dan proses pewarnaan. Kandungan
limbah yang dihasilkan tergantung dari pewarna dan sulfur, limbah-limbah yang
dihasilkan akan dialirkan ke kolam-kolam penampungan dan selanjutnya di buang
ke sungai. Selain industri tekstil, industri kertas juga memberikan dampak
terhadap pencemaran sungai. Industri kertas merupakan salah satu industri yang
mengeluarkan air limbah dalam jumlah besar dan mengandung bahan pencemar
yang cukup tinggi. Namun disisi lain, industri kertas merupakan salah satu
industri penting di indonesia yang cukup besar kontribusinya terhadap pendapatan
negara dari nilai ekspornya (Kristaufan et al. 2010). Nurhayati dan Imam
Mahmudin (2012) mengatakan limbah industri pulp dan kertas terdiri atas tiga
fase yaitu fase cair, padat dan gas. Setiap fase limbah tersebut diolah dengan cara
diminimalisasi konsentrasinya dengan berbagai metode pengolahan limbah.
Pencemaran air oleh industri pulp dan kertas dapat merugikan di bidang ekonomi
dan sosial, seperti adanya bahan-bahan pengotor pada perairan, sehingga
menyebabkan perairan tersebut tidak dapat dimanfaatkan. Selanjutnya Isyuniarto
et al. (2007) mengatakan bahwa limbah cair industri kertas pada umumnya
berwarna putih susu kecoklatan dengan busa yang memenuhi permukaan air
sungai. Hal ini disebabkan karena limbah mengandung selulosa (bahan dasar
pulp), bila tertimbun di dasar sungai atau lahan terbuka akan menimbulkan bau
busuk.
Makrozoobentos
Makrozoobentos memegang beberapa peran penting di suatu perairan
seperti dalam proses dekomposisi dan mineralisasi material organik yang
memasuki perairan (Lind 1985). Malmqvist (2002) mengatakan bahwa pergerakan
hewan invertabrata di sungai dipengaruhi oleh sejumlah faktor dengan rentang
yang berbeda-beda. Stein et al. (2002) mengatakan tingkat aktivitas manusia yang
tinggi dapat mempengaruhi perubahan kondisi lingkungan. Perubahan hidrologi,
geomorfologi dan biologi yang berubah terus menerus baik gangguan dari dalam
maupun dari luar yang mempercepat penurunan kualitas air. Organisme dasar
termasuk makrozoobentos memiliki peranan penting dalam menghubungkan
antara proses kimia dan fisika pada sedimen-permukaan perairan dan kolom air,
seperti proses degradasi bahan organik, metabolisme, dan penyebaran bahan
pencemar seperti logam berat dan minyak (Wild et al. 2004).
Masing-masing jenis dari makrozoobentos akan memberikan respon yang
berbeda terhadap kondisi lingkungan, namun spesies yang dapat hidup pada suatu
kondisi ekstrim akan menderita stres fisiologi sehingga dapat digunakan sebagai
indikator biologi (Sastrawijaya 1991). Selain itu Angradi dan Jicha
(2010)menyatakan bahwa organisme makrozoobentos memberikan respon yang
7
berbeda terhadap perbedaan jenis masukan limbah ke perairan seperti logam berat,
bahan organik, dan TSS.
Picard et al. (2003) menyatakan bahwa perbedaan musim mempengaruhi
kepadatan spesies dan struktur komunitas makrozoobentos, hal ini dikarenakan
perbedaan ketinggian permukaan air. Menurut Horsak et al. (2009) menyatakan
bahwa, adanya kanalisasi dan perubahan fisik sungai lainnya juga mempengaruhi
struktur komunitas makrozoobentos, hal ini dikarenakan proses kanalisasi
mempengaruhi kondisi penumpukan sedimen, sehingga berpengaruh terhadap
biota yang hidup di sedimen tersebut. Pengaruh interaksi antara biota
makrozoobentos dengan bahan pencemar, terutama pestisida yang berasal dari
buangan limbah pertanian dapat menyebabkan kematian biota tersebut. Selain itu,
keberadaan predator juga menjadi faktor lainnya yang mempengaruhi hilangnya
atau menurunnya jumlah makrozoobentos (Pestana et al. 2009).
Makrozoobentos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan
Makroinvertebrata yang hidup di sungai yang berdekatan dengan kawasan
pertanian, sehingga secara terus-menerus mendapat masukan limbah pertanian
berupa pestisida. Hal ini jika terjadi tanpa terkendali dalam jangka waktu yang
panjang, akan mengakibatkan hilang biodiversitas perairan termasuk hilangnya
komunitas makrozoobentos (Tilman et al. 2001). Keberadaan hewan avertebrata
bentik tentunya sangat dipengaruhi oleh faktor perairan, terutama fisika, kimia,
dan biologis. Faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi sebaran dan jumlah
hewan per-satuan luas tertentu. Faktor-faktor tersebut dapat menjadi faktor
pembatas dalam penggunaan hewan avertebrata bentik sebagai bioindikator
(Wardhana 1999). Pengamatan kualitas air berdasarkan sistem biologi banyak
menggunakan biota makrozoobentos, yang digunakan untuk mengkaji dan
mengidentifikasi kualitas perairan. Identifikasi menggunakan biota
mekrozoobentos relatif lebih sederhana dan mereka tersebar secara luas di banyak
tipe sungai (Hering et al. 2003). Identifikasi makroinvertebrata perairan untuk
tingkatan famili, sudah cukup dapat digunakan untuk mengidentifikasi
permasalahan lingkungan secara dini, yang kemudian di dukung melalui analisis
kimia dan fisika perairan (Armitage et al. 1983).
Menurut Pastuchova (2006) perairan dengan kondisi oksigen yang baik
ditemukan komunitas makrozoobentos yang lebih beragam. Wood et al. (2001)
menyatakan bahwa perbedaan aliran sungai dan temperatur mempengaruhi
struktur habitat dan komunitas makrozoobentos, karena biota merespon adanya
perbedaan kondisi perairan. Organisme makrozoobentos memberikan respon yang
berbeda terhadap perbedaan jenis masukan limbah ke perairan seperti logam berat,
bahan organik, dan TSS (Angradi dan Jicha 2010).
Sebagai bioindikator pencemaran organik, kelompok hewan avertebrata,
terutama yang berukuran makroskopis memiliki beberapa kelebihan jika
dibandingkan dengan organisme lainnya. Kelompok ini relatif hidup menetap
dalam waktu yang cukup lama pada berbagai kondisi air. Beberapa jenis
diantaranya dapat memberikan tanggapan terhadap perubahan kualitas air
sehingga dapat memberikan petunjuk terjadinya pencemaran. Selain itu hewan
bentik relatif mudah dikoleksi dan diidentifikasi (Wardhana 1999). Pestana et al.
(2009) pengaruh interaksi antara biota makrozoobentos dengan bahan pencemar,
terutama pestisida yang berasal dari buangan limbah pertanian dapat
8
menyebabkan kematian biota tersebut. Selain itu, keberadaan predator juga
menjadi faktor lainnya yang mempengaruhi hilangnya atau menurunnya jumlah
makrozoobentos.
3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang
Provinsi Sumatera Utara (Gambar 2). Pengambilan sampel dilakukan dari bulan
Maret sampai Mei 2013, di 4 stasiun sebanyak 3 kali pengulangan, selama 3 bulan
dengan interval waktu 1 bulan. Penentuan stasiun, berdasarkan pertimbangan dari
beban masukan yang berbeda dari setiap lokasi, sehingga ditetapkan tiga
kecamatan yang menjadi lokasi pengambilan sampel, yaitu stasiun 1 di kecamatan
STM Hilir, stasiun 2 dan di Kecamatan Tanjung Morawa dan stasiun 4 di
Kecamatan Batang Kuis. Jarak antar stasiun ditentukan berdasarkan pertimbangan
dari penentuan stasiun berdasarkan perbedaan beban masukan limbah (Tabel 1).
Tabel 1 Lokasi stasiun penelitian berdasarkan karakteristik beban masukan ke
Sungai Belumai
Lokasi Koodinat Jarak antar stasiun Kriteria stasiun pengamatan
Stasiun 1 3°26'6.27"LU-
98°44'23.55"BT
Stasiun 1 ke
stasiun 2 yaitu +
11,8 km.
Merupakan daerah kawasan
yang sedikit terdapat aktivitas.
Stasiun ini digunakan sebagai
kawasan yang dianggap masih
sedikit mendapatkan beban masukan
bahan pencemar. Berada di
Kecamatan STM Hilir.
Stasiun 2 3°31'4.03"LU-
98° 47'6.72" BT
Stasiun 2 ke
stasiun 3 yaitu +
2 km.
Merupakan daerah perkotan,
perumahan, dan daerah lokasi
Perusahaan Daerah Air Minum.
Stasiun ini dijadikan perwakilan dari
masukan bahan pencemar kegiatan
aktivitas masyarakat. Berada di
Kecamatan Tanjung Morawa.
Stasiun 3 3°32'58.45" LU-
98° 47'19.06"BT
Stasiun 3 ke
stasiun 4 yaitu +
4,8 km.
Merupakan kawasan industri.
Stasiun ini dijadikan perwakilan dari
masukan bahan pencemar dari
limbah industri. Berada di
Kecamatan Tanjung Morawa.
Stasiun 4 3°34'23.43" LU-
98°48'13.49" BT
Merupakandaerah
permukiman penduduk dan
pertanian. Stasiun ini dijadikan
perwakilan dari masukan bahan
pencemar dari limbah pertanian.
Berada di Kecamatan Batang Kuis.
9
Gam
bar
2. P
eta
Lok
asi
Pen
elit
ian S
ungai
Bel
um
ai
10
Gambar 3. Lokasi stasiun penelitian
Stasiun 1
Stasiun 2
11
Stasiun 3
Stasiun 4
12
Metode dan Analisis Data
Parameter fisika yang diukur adalah suhu, arus, kedalaman, kekeruhan dan
tipe substrat. Dengan pertimbangan bahwa suhu yang tinggi dapat menurunkan
konsentrasi oksigen sedangkan peningkatan suhu dapat memicu organisme untuk
mengkonsumsi oksigen lebih banyak. Kecepatan Arus air diukur untuk
mengetahui kemampuan badan air membawa bahan pencemar. Tipe substrat
dilihat untuk mengetahui jenis substrat apakah berlumpur, berpasir atau berbatu
yang dihubungkan dengan keberadaan makrozoobentos, kecepatanan arus,
kekeruhan dan kedalaman.
Parameter kimia yang diukur adalah pH, DO, COD dan TOM. Sebagian
besar organisme di perairan sangat sensitif terhadap perubahan pH, DO
merupakan jumlah oksigen yang terlarut di air dalam mg/l yang berasal dari
proses fotosintesis maupun difusi dari udara. Penurunan oksigen terlarut, pH dan
suhu dapat bersifat toksik terhadap lingkungan. Toksisitas NH3 akan meningkat
jika terjadi penurunan oksigen terlarut, pH, dan suhu. Pengukuran parameter
fisika, kimia merujuk pada standar metode pengukuran kualitas air dari American
Public Health Association (2012), dan biologi menggunakan buku identifikasi dari
Pennak (1953) dan Brinkhurst (1971). Pengukuran parameter fisika, kimia,
biologi serta alat dan metode yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2.
Pada masing-masing stasiun, dilakukan pengambilan sampel air dan
sedimen baik parameter fisika, kimia dan biologi. Pengambilan parameter kualitas
air pada setiap stasiun ditetapkan dua sub stasiun yang mewakili alur kiri dan
kanan sungai sesuai dengan arah aliran air yang mengarah ke muara di 4 stasiun.
Sampel air diambil 250 ml kemudian dimasukkan ke dalam botol sampel dan
diberi label. Pada label diberi keterangan mengenai nama sampel, lokasi
pengambilan, tanggal, jam, dan kondisi cuaca.
Tabel 2 Metode pengukuran parameter fisika kimia dan biologi.
Parameter Satuan Alat/metode Keterang
Fisika :
- Suhu oC Termometer in situ
- Arus m/detik Benda terapung in situ
- Lebar Sungai M Tali meteran in situ
- Kedalaman M Tongkat berkala/visual in situ
- Kekeruhan NTU Turbidity ex situ
- Tipe substrat % Segitiga Miler ex situ
Kimia :
- pH air - pH meter in situ
- DO mg/L Titrimetrik-Winkler in situ
- COD mg/L Titrimetrik ex situ
- TOM (sedimen) % Gravimetrik ex situ
Biologi
- Makrozoobentos ind/m2 Peterson Grab in situ
Sampel sedimen diambil 1 kg pada masing-masing stasiun kemudian
dimasukkan ke dalam plastik yang telah diberi label. Sampel diambil
13
menggunakan Peterson Grab yang memiliki luas bukaan 25 cm x 25 cm (625
cm2). Sampel dikeringkan-anginkan kemudian dianalisis lebih lanjut untuk
parameter tekstur dan kandungan bahan organik.
Sampel yang telah diberi label dimasukan ke dalam ice box dan dibawa ke
laboratorium untuk di analisis. Beberapa parameter ada yang dilakukan
pengukuran dianalisis di lapangan (in situ) dan dianalisis di laboratorium (ex situ).
Analisis dilakukan di Laboratorium Sentral Pertanian USU (Substrat, DHL, dan
TOM) dan Laboratorium PUSLIT USU (COD dan Kekeruhan) Laboratorium Bio
Mikro, Manajemen Sumberdaya Perairan, IPB (identifikasi Makrozoobentos).
Pengambilan sampel makrozoobentos pada tiap sub stasiun diambil empat
kali pengulangan. Masing-masing stasiun diambil pada bagian tepi kanan dan tepi
kiri, dengan cara menjatuhkan Peterson Grab sebanyak 4 kali secara acak yang
dianggap telah mewakili tiap lokasi. Pengulangan pengambilan makrozoobentos
tersebut diharapkan telah dapat mewakili tiap-tiap lokasi. Pengambilan sampel
dilakukan dengan menggunakan Peterson Grab yang memiliki luas bukaan
25cmx25cm (625 cm2), kemudian diayak lalu disortir serasah dan substrat
sedimennya dengan air kemudian disaring dengan menggunakan saringan
makrozoobentos berukuran 250 μm. Selanjutnya sampel dimasukan ke dalam
kantong plastik dan diawetkan dengan formalin 10%, lalu diberi label lokasi
pengambilan sampel dan dibawa ke Laboratorium. Setiap habitat pada setiap
stasiun di foto, di identifikasi kondisi lingkungannya serta tipe substratnya dan
hitung jumlah individunya berdasarkan jenis. Penentuan jenis dilakukan dengan
bantuan buku identifikasi makrozoobentos dari Pennak (1953), Brinkhurst (1971).
Prosedur Analisis Data
Analisis Parameter Fisika Kimia Perairan
Parameter fisik-kimia perairan yang terukur dianalisis secara dekskriptif
yaitu membandingkan parameter kualitas air dengan baku mutu air menurut PP RI
No. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemar
air kelas I, II, III dan IV. Dimana kelas I adalah untuk bahan baku air minum;
kelas II untuk prasarana/sarana rekreasi; kelas III untuk kegiatan perikanan dan
pertanian; kelas IV untuk kebutuhan penyiraman tanaman. Analisis parameter
kualitas air dikaji dengan pola perbandingan. Data yang sudah diperoleh
kemudian disajikan dalam bentuk grafik dan tabel.
Hubungan antara parameter fisika-kimia dengan Makrozoobentos
Parameter fisik-kimia perairan yang terukur dan jumlah total individu yang
ditemukan dari makrozoobentos disajikan dalam bentuk dendrogram. Penampilan
dendrogram menggunakan Analisis statistik XLSTAT 2013 yaitu analisis data
Agglomerative hierarchical clustering (AHC) bagian Dissimilarity Pearson untuk
parameter fisika kimia dan Bray and Curtis distance untuk parameter biologi.
Kurva k-dominansi
Analisis keanekaragaman makrozoobentos menggunakan analisis grafik k-
dominansi dengan memplotkan persentasi kelimpahan komulatif dengan rangking
14
spesies dalam skala logaritmik. (Lambshed et al. 1983 in Setyobudiandi et al.
2009). Dalam kurva ini sumbu x merupakan kurva rangking spesies dan sumbu y
merupakan persentasi komulatif dari jumlah spesies ke-i.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL Gambaran Umum Kawasan Penelitian
Deli Serdang merupakan salah satu kabupaten yang berada di kawasan
pantai timur Sumatra Utara. Salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Deli
Serdang adalah Kecamatan Tanjung Morawa. Secara geografis Kecamatan
Tanjung Morawa berada pada 03030”-11
060” LU dan 98
046”- 103
075” BT dengan
ketinggian 30 m dari permukaan laut (BPS Deli Serdang 2012). Salah satu sungai
yang ada di Kecamatan Tanjung Morawa adalah Sungai Belumai. Batas daerah
aliran Sungai Belumai adalah Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Melaka,
Sebelah Selatan berbatasan dengan Daerah Aliran sungai Ular, Sebelah Barat
berbatasan dengan Daerah Aliran sungai Batang Kuis dan Sebelah Timur
berbatasan dengan Daerah Aliran sungai Ular.
BPDAS Wampu Sei Ular menerangkan bahwa berdasarkan hasil analisa
Sistem Informasi Geografis dan survey Lapangan, DAS Belumai terbagi atas 5
kecamatan yaitu Kecamatan Batang Kuis, Kecamatan Sibiru-biru, Kecamatan
STM hulu, Kecamatan STM Hilir dan Kecamatan Tanjung Morawa. Dalam
penelitian ini, peneliti hanya mengambil 2 kecamatan yaitu stasiun 1 di
Kecamatan STM Hilir dan Stasiun 2, 3, dan 4 di Kecamatan Tanjung Morawa.
Jenis-jenis kegiatan yang ada di sepanjang aliran Sungai Belumai yaitu
Stasiun I hanya dijumpai beberapa perumahan warga yang jarak antar rumah agak
berjauhan dan sedikit terdapat aktivitas masyarakat, sedangkan pertengahan dari
Stasiun 1 menuju ke Stasiun 2 dijumpai Tempat Pembuangan Akhir Sampah
(TPA) untuk Wilayah Kecamatan Tanjung Morawa dan Penambangan Pasir.
Stasiun II terdapat Instalasi Pengolahan Air Minum (IPA), rumah sakit PTPN II
dan Pertokoan. Stasiun 2 merupakan akses Jalan lintas Sumatra dan juga pusat
kota Tanjung Morawa. Stasiun 3 dan 4 terdapat pabrik sarung tangan, pabrik
kertas, pabrik kayu, pabrik pengecoran logam maupun industri rumah tangga.
Aktivitas yang terjadi pada setiap stasiun dapat menyebabkan penurunan terhadap
kualitas air Sungai Belumai, dan hal ini juga dapat berdampak pada perubahan
terhadap morfologi sungai, pencemaran dan erosi. Melcher et al. (2012)
mengatakan eksploitasi yang dilakukan secara intensif oleh manusia, seperti
aktivitas pertanian, urbanisasi, penggalian sungai, pembendungan, dan
penangkapan ikan, akan mempengaruhi morfologi sungai, pencemaran dan
perubahan aliran air, perubahan habitat, fragmentasi hidrologi, hubungan biotik,
dan erosi.
Di Sepanjang aliran Sungai Belumai banyak dijumpai berbagai kegiatan
aktifitas masyarakat maupun industri (Lampiran 2). Salah satu pabrik yang
melakukan pembuangan limbah cair di Sungai Belumai yaitu PT. MS PMA tbk,
yang bergerak dalam bidang pembuatan sarung tangan. Surat Kabar Harian
Andalas tanggal 15 Juli 2013 memberitakan dari hasil wawancara dengan Zainal
15
Abidin, salah seorang pemerhati lingkungan hidup, PT. MS PMA tbk. membuang
limbah cair berwarna putih ke Sungai Belumai dan pada waktu tertentu pabrik
juga mengeluarkan warna yang lain. Hal tersebut diduga dapat mengganggu
kehidupan ekosistem sungai di sekitarnya. Berdasarkan hasil pengamatan di
lapangan, diperoleh bukti bahwa ikan dominan yang tertangkap disekitar pabrik
yaitu ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys sp.) dengan ukuran rata-rata yang cukup
besar, dengan panjang rata-rata sekitar 40 cm, Gambar 4. Selain jenis ikan sapu-
sapu, ada beberapa jenis organisme yang tertangkap pada saat samling diantaranya
ikan betok dan udang di temukan di sekitar penelitian (Lampiran 1).
Stasiun I merupakan daerah perbukitan, di sepanjang tepi sungai terdapat
batu-batu besar dengan substrat berbatu. Jenis pohon yang ada di sekitar stasiun 1
adalah Kelapa, Nipah, Sawit, Bambu, Gelegah (tebu hutan), Kapas, dan Durian.
Di daerah ini juga ada terdapat 5 kolam pembesaran ikan mas dan petani peternak
ayam telur + 200 meter dari tepi sungai dengan jumlah 40 ribu ekor. Stasiun 2,
terdapat pemukiman penduduk, perkotaan dan rumah sakit PTPN II. Jarak antara
rumah dengan pingir sungai + 10 m, dan jarak rumah sakit ke tepi sungai berjarak
+ 20 m. Selain itu di tepi sungai juga dibuat kafe yang berjarak 5 m dari pingir
sungai, serta pertokoan berjarak 25 m dari tepi sungai. Jenis tumbuhan yang ada di
sekitar stasiun pengamatan yaitu Pinang, Pisang, Papaya, Gelegah, dan rumput
liar.
Stasiun 3, pada bagian kanan dan kiri sungai terdapat beberapa pabrik, dan
perumahan. Jarak dari pabrik ke pingir sungai + 5 m, dan perumahan penduduk
sekitar + 15 m dari pingir sungai. Jenis tumbuhan yang ada di sekitar lokasi
pengamatan yaitu Bambu, Pisang, Gelegah, dan Durian. Stasiun 4, pada stasiun
ini masih ditemukan pabrik dengan jarak + 10 m dari tepi sungai. Beberapa rumah
penduduk ditemukan berjarak + 3 m dari tepi sungai. Pepohonan yang ditemukan
yaitu Melinjo, Kelapa, Pisang, Bambu, dan Gelegah.
Fisika dan Kimia Perairan Sungai Belumai
Parameter fisika kimia merupakan parameter-parameter penting yang
dapat menujang kehidupan organisme di perairan. Niewolak (1999), menyatakan
ekosistem sungai sangat rentan terhadap pengaruh perubahan fisika, kimia dan
bakteri. Nilai masing-masing stasiun hasil pengukuran parameter fisika kimia
perairan Sungai Belumai dapat dilihat pada Tabel 3.
Gambar 4 Ikan Sapu-sapu (Pterygoplichthys sp) di Sungai Belumai
16
Hasil pengukuran parameter fisika-kimia di Sungai Belumai, beberapa
parameter kualitas air menunjukkan adanya peningkatan konsentrasi yang cukup
tinggi. Konsentrasi COD telah melewati baku mutu yang diperbolehkan dalam PP
RI No. 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian
pencemaran air.
Tabel 3 Nilai rata-rata parameter fisika Sungai Belumai
Parameter Satuan Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV FISIKA
Suhu air oC 28 28 29 29
Kec. Arus m/detik 0.49 0.43 0.58 0.31 Lebar sungai M 21.67 20.14 20.50 23.33 Kedalaman M 2.7 2.5 2.6 3.1 Kekeruhan NTU 163.57 242.60 219.66 219.16
KIMIA pH - 6.7 6.6 6.9 6.7 DO mg/L 7.01 7.56 7.42 6.60 COD mg/L 35.64 42.01 39.86 39.42 TOM % 14.80 14.72 15.79 15.90 Substrat
Liat % 10 11 10 12 Debu % 82 76 74 62 Pasir % 8 13 16 26
Suhu
Suhu air pada setiap stasiun berkisar 280C-29
0C (Gambar 5). Berbedaan
nilai tersebut diduga disebabkan karena perbedaan waktu pengambilan maupun
perbedaan kondisi lingkungan di setiap stasiun. Suhu yang relatif rendah
didapatkan pada pengambilan sampel di pagi hari sekitar pukul 08.00 WIB dan
suhu tertinggi didapatkan pada pengambilan sampel siang hari sekitar pukul 12.00
WIB, namun demikian suhu rata-rata dari setiap stasiun terlihat relatif sama.
Peningkatan suhu air akan mempengaruhi reaksi kimia dan berhubungan dengan
penurunan kualitas air dan status ekologi air tawar (Whitehead et al. 2009).
Gambar 5 Sebaran nilai rata-rata suhu pada stasiun pengamatan
17
Kekeruhan
Sebaran nilai kekeruhan di setiap stasiun pengamatan mengalami
peningkatan nilai kekeruhan, hal ini disebabkan oleh waktu pengambilan sampel
air dimana waktu penggambilan dilakukan pada saat satu hari setelah hujan
sehingga nilai kekeruhan meningkat. Stasiun 1, memiliki nilai konsentrasi
kekeruhan yang rendah dan semakin meningkat ke arah hilir yaitu Stasiun 2,3, dan
4 (Gambar 6). Tingginya nilai kekeruhan di bagian hilir dari masukan arah hulu
yang dibawa oleh arus serta adanya kegiatan disekitar sungai yang masuk ke
dalam perairan melalui rembesan air hujan. Manan (2010) mengatakan Sungai
Metro Malang telah mengalami penurunan kualitas perairan akibat adanya
masukan bahan organik dan tingginya tingkat kekeruhan. Nilai kekeruhan di
Sungai Metro Malang mengalami peningkatan ke arah hilir, dimana semakin ke
arah hilir beban masukan semakin tinggi sehingga tingkat kekeruhan semakin
meningkat.
Gambar 6 Sebaran nilai rata-rata kekeruhan pada stasiun pengamatan
Nilai pH
Nilai pH menunjukkan derajat asam dan basa suatu perairan. Kemampuan
air untuk mengikat atau melepaskan sejumlah ion hidrogen akan menunjukkan
apakah larutan tersebut bersifat asam atau basa. Dalam air yang besih nilai pH
akan bersiifat netral dan biasanya ditunjukkan angka 7, dimana didalam air yang
bersih jumlah konsentrasi ion H+
dan OH- yang berada dalam keseimbangan.
Apabila terjadi peningkatan terhadap ion hidrogen akan menyebabkan nilai pH
turun sehingga disebut larutan asam sedangkan apabila ion hidrogen menurun
akan menyebabkan nilai pH naik dan disebut dengan basah. Menurut Yisa dan
Jimoh 2010 menjelaskan bahwa pH perairan adalah indikator penting dari
penentuan kualitas air dan peningkatan pencemaran di sungai. Organisme air
dapat hidup pada suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran
toleransi antara asam lemah.
Nilai pH dari setiap stasiun berkisar antara 6,6-6,9 (Tabel 3). Nilai pH
yang terukur selama penelitian menunjukkan kisaran yang tidak begitu bervariasai
antar stasiun maupun antar ulangan (Gambar 7). Boyd (1988) mengatakan
semakin besar kandungan bahan organik akan mengakibatkan perairan bersifat
18
asam karena kandungan bahan organik yang tinggi menyebabkan bakteri pengurai
membutuhkan oksigen yang tinggi dalam perairan dan melepaskan CO2 yang
tinggi. pH air kurang dari 5 dan lebih besar dari 9 biasanya perairan tersebut telah
tercemar berat sehingga kehidupan biota air akan terganggu dan tidak layak
digunakan untuk keperluan rumah tangga. Berdasarkan PP RI no.82 tahun 2001
kisaran pH tersebut masih memenuhi baku mutu kualitas air, kisaran pH yang
diperbolehkan yaitu 6-9.
Oksigen terlarut (DO)
Nilai oksigen terlarut di Sungai Belumai yang diperoleh masih mendukung
kehidupan Makrozoobentos di perairan. Dilihat dari gambar 8, nilai DO di stasiun
2 lebih tinggi kemungkinan disebabkan oleh kondisi di sekitar sungai dan waktu
pengambilan.
Gambar 8 Sebaran nilai rata-rata DO pada stasiun pengamatan
Stasiun 2 merupakan lokasi yang padat penduduk, di pinggiran sungai telah
ditemukan banyak perumahan masyarakat. Pohon-pohan yang di pinggiran sungai
telah beralih fungsi menjadi lokasi perumahan yang menyebabkan proses difusi
DO dari udara ke perairan lebih tinggi akibat dari bukaan lahan. Selain itu
tingginya DO di stasiun 2 dipengaruhi oleh waktu pengambilan, sampel di ambil
pada pukul + 11.00 Wib, dimana pada waktu tersebut proses fotosintesis
Gambar 7 Sebaran nilai rata-rata pH pada stasiun pengamatan
19
meningkat dibandingkan pada stasiun lainnya. Rendahnya nilai DO stasiun 4 lebih
disebabkan oleh tingginya bahan organik yang masuk ke perairan sehingga
sebagian besar oksigen dikonsumsi oleh mikroorganisme dalam proses
metabolisme bahan organik. Pradhan et al. (2005) dari hasil penelitian di Sungai
Bagmati Nepal, bahwa tingginya nilai DO di Sungai Bagmati disebabkan oleh
kecepatan arus sehingga proses aerasi meningkat, dan penurunan oksigen
disebabkan oleh masukan beban pencemar.
Chemical Oxygen Demand (COD) dan Total Organik Matter (TOM)
Pengukuran Chemical Oxygen Demand (COD) di air dan Total Organik
Matter (TOM) di sedimen bertujuan untuk mengetahui gambaran dari kandungan
bahan organik yang ada diperairan. Menurut Buckman dan Brady (1982) bahan
organik merupakan bagian dari penyusun komponen sedimen yang berasal dari
sisa-sisa makhluk hidup. Jumlah dari bahan organik yang ada diperairan dapat
menentukan tingkat kesuburan dari perairan itu sendiri. Salah satunya masukkan
bahan organik tersebut bisa dari masukan run-off daratan dan proses pembusukan
organisme yang telah mati. Kandungan bahan organik di Sungai Belumai dapat
dilihat dari pengukuran COD di air dan TOM di sedimen. Nilai rata-rata COD
untuk setiap stasiun berkisar 35.64 mg/l-42.01mg/l, dan nilai rata-rata TOM
berkisar antara 14.72-15.90 % (Gambar 9).
Gambar 9 Sebaran nilai rata-rata COD & TOM pada stasiun pengamatan
Dilihat dari Gambar 9, konsentrasi kandungan bahan organik baik di
permukaan (COD) maupun di dasar (TOM) pada stasiun 1 lebih sedikit
dibandingkan stasiun 2, 3, 4. Rendahnya kandungan bahan organik di hulu karena
daerah tersebut lebih sedikit mendapatkan masukan bahan pencemar organik
dibandingkan dengan stasiun yang lainya. Semakin kearah hilir tingkat masukan
bahan organik semakin tinggi yaitu dari limbah perumahan, perkotaan maupun
industri di sekitar sungai. Menurut Al shami et al. (2009) tingginya nilai COD di
perairan disebabkan oleh banyaknya bahan-bahan pencemar yang masuk ke
perairan khususnya bahan pencemar organik dari limbah rumah tangga, industri,
persawahan dan budidaya perairan. Effendi (2003) mengatakan dari hasil
UNESCO/WHO/UNEP, bahwa Nilai COD pada perairan tidak tercemar biasanya
kurang dari 20 mg/l, sedangkan pada perairan yang tercemar dapat lebih dari 200
mg/l. Berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 kelas 1, yang diperuntukkan sebagai
20
sarana air minum, nilai COD yang diperbolehkan yaitu < 10 mg/L. berdasarkan
pertimbangan tersebut maka stasiun 2 yang terdapat kegiatan PDAM telah
melewati ambang batas baku mutu yang telah ditetapkan, dimana kandungan
COD yang diperoleh yaitu 42,01 mg/L.
Tekstur substrat
Pungukuran tekstur substrat dilakukan untuk melihat hubungan antara jenis
substrat dengan kelimpahan makrozoobentos. Dahuri (1993), menyatakan bahwa
tekstur tanah adalah perbandingan relatif dari berbagai gabungan besar partikel tanah
dalam suatu massa tanah, terutama perbandingan antara fraksi-fraksi liat, debu dan pasir.
Keadaan sedimen merupakan faktor pembatas distribusi bentos dimana menurut
Dudgeon (1984) bahwa sedimen yang terganggu kestabilannya pada musim hujan,
sangat mempengaruhi keberadaan bentos. Hasil pengukuran tekstur substrat
(Gambar 10) di Sungai Belumai menggunakan segitiga Millar terdiri dari tiga
fraksi yaitu persen liat, debu, dan pasir. Dari masing masing stasiun berdasarkan
persentasi yang didapat, stasiun 1 tergolong kedalam pasir berlempung, dan
stasiun 2, 3, dan 4 tergolong lempung berpasir. Odum (1971) menjelaskan bahwa
pengendapan partikel lumpur di dasar perairan tergantung arus. Apabila arus kuat
maka partikel yang mengendap adalah partikel berukuran lebih besar, sebaliknya
pada tempat yang arusnya lemah, maka yang akan mengendap adalah lumpur
halus.
Struktur Komunitas Makrozoobentos
Makrozoobentos yang ditemukan selama penelitian di Sungai Belumai
terdiri atas 3 kelas (Gastropoda, Insekta dan Oligochaeta). Stasiun I jumlah genus
yang di peroleh selama pengamatan ada 5 genus yaitu Branchiura sp.,
Chironomus sp., Lumbricus sp., Melanoides sp., dan Bellamya sp. Stasiun II
jumlah genus yang diperoleh selama penelitian ada 4 genus yaitu Branchiura sp.,
Gambar 10 Sebaran nilai substrat pada stasiun pengamatan
21
Lumbricus sp., Limnodrilus sp., dan Goniobasis sp. Stasiun 3 jumlah genus yang
diperoleh selama penelitian ada 5 genus yaitu Branchiura sp, Lumbricus sp,
Limnodrilus sp, Goniobasis sp, dan Tubifex sp. Stasiun 4 jumlah genus yang
diperoleh selama penelitian ada 6 genus yaitu Branchiura sp., Lumbricus sp.,
Limnodrilus sp., Goniobasis sp., Chironomus sp., dan Goniobasis sp. Jenis
penyebaran yang merata dari setiap stasiun terlihat dari Kelas Oligochaeta yaitu
Branchiura sp., dan Lumbricus sp. (Tabel 4).
Tabel 4 Jumlah individu yang ditemukan di Sungai Belumai
Kelas Spesies Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4
Gastropoda Bellamya sp. 2 0 0 0
Goniobasis sp 0 19 8 2
Melanoides sp. 4 0 0 0
Oligochaeta Branchiura sp. 2 5 15 48
Limnodrilus sp. 0 8 9 21
Lumbricus sp. 4 24 3 20
Tubifex sp. 0 0 3 2
Insekta Chironomus sp. 5 0 0 3
Kelas Gastropoda khususnya jenis Melanoides sp., dan Bellamnya sp. hanya
dijumpai pada bagian hulu. Bagian hulu dari Sungai Belumai memiliki kecepatan
arus yang relatif deras dan banyak terdapat batu-batu besar dan banyak ditumbuhi
pepohonan di tepi sungai, serta masyarakat banyak bercocok tanam, sehingga
mempercepat peningkatan bahan organik. Meningkatnya bahan organik tersebut
dapat memberikan nutrisi bagi organisme makrozoobentos. Kecepatan arus yang
sangat tinggi dapat menghayutkan makrozoobentos yang tidak melekat kuat di
bebatuan, maka dari itu kelompok dari Gastropoda seperti Melanoides sp., dan
Bellamya sp. yang hidupnya melekat di bebatuan dapat mempertahankan diri pada
arus yang deras.
Sastrawijaya (1991) mengatakan jenis Chironomous sp. tergolong sebagai
indikator pencemaran berat dan dapat hidup pada kondisi oksigen yang terbatas
seperti di daerah yang mengalami pencemaran organik tinggi. Ciri-ciri dari
Chironomous sp. yaitu Larva dengan proleg di thorax pertama, segmen-segmen di
perut tanpa penonjolan di bagian depan. Tubuh agak sedikit kaku, dengan
diameter yang sama, bentuk kepala sangat berkarakter, anal gill seperti sosis di
segmen terakhir, warna merah cerah dan jenis tersebut tergolong kedalam jenis
organisme yang toleran terhadap bahan pencemar.
Siahaan et al. ( 2012) mengatakan kepadatan Branchiura sp., dan
Lumbriculus sp. yang sangat tinggi di Sugai Cisadane mengindikasikan adanya
pencemaran organik. Branchiura sp memiliki ciri-ciri 25 - 40 % posterior tubuh
terdapat insang ventral dan dorsal pada tiap ruasnya, jumlah insang 40 – 140
pasang, panjang tubuh 20 – 185 mm dan ciri-ciri dari Lumbriculus sp. yaitu
reproduksi seksual, bentuk setae meruncing, berwarna merah kecoklatan dengan
panjang kurang dari 8 cm, Setae di bagian posterior dari clitellum bifurcate,
mempunyai beberapa rambut / setae.
Menurut Hawkes (1979), meningkatnya kandungan bahan organik di
perairan maka akan meningkatkan pula jenis-jenis yang tahan terhadap perairan
22
tercemar salah satunya adalah jenis Tubifex sp. Sastrawijaya (1991) mengatakan
makrozoobentos pada ekosistem perairan sungai dari spesies Tubifex sp. dan
Melanoides sp. merupakan spesies indikator yang dicirikan dengan oksigen
terlarut (DO) rendah dan partikel tersuspensi tinggi. Cacing yang panjangnya
antara 30 – 100 mm dimana ujung anteriornya selalu terbenam di dasar perairan,
berwarna merah, pink, kadang terbungkus suatu selubung (pipa) yang ujung
posteriornya dilambaikan untuk memperoleh oksigen. setae di bagian dorsal
berbeda dengan yang di bagian ventral, karena setae di bagian ventral selalu
bercabang dua sedangkan bagian dorsal bercabang dua atau tiga, mampu hidup
dalam kondisi anaerob selama 48 hari pada suhu 0 – 20C. Organisme ini tergolong
kedalam jenis organisme yang toleran terhadap bahan pencemar. Melanoides sp.
memiliki ciri-ciri cangkang menara kecil dengan spire yaang panjang dan gelung
terakhir sedang, berwarna coklat kekuningan atau coklat kehijauan, tinggi 30-35
mm, diameter sampai 10-12 mm, dihiasi bintik-bintik coklat tua kehitaman,
permukaan umum beralur lingkar, seluk 10-15, seluk akhir agak besar, seluk
bagian puncak berusuk tegak. Umbilikus tertutup dan hampir selalu dilingkari
sabuk coklat kehitaman, mulut bundar telur dilingkari sabuk coklat hitam.
Edmonson (1963) mengatakan ciri-ciri dari jenis Goniobasis sp. yaitu
ukuran tubuh berkisar antara 2-3 cm, tipe cangkang memanjang, bewarna coklat
dengan garis-garis coklat, cangkang kecil, bagian permukaan cangkang
bergelombang, memiliki 5 garis pertautan. Celah mulut sempit dengan tipe apeks
tumpul. Hutchinson (1993), menyatakan jenis Goniobasis sp. melimpah pada
perairan dengan substrat dasar yang berbatu dan berpasir.
PEMBAHASAN
Hubungan parameter Fisika-Kimia dan Makrozoobentos
Butcher et al. (2003) menyatakan kesehatan suatu perairan adalah gambaran
dari integritas parameter fisika, kimia, dan biologi dari suatu perairan.
Berdasarkan nilai parameter fisika-kimia, dan biologi (makrozoobentos) pada
setiap stasiun pengamatan diperoleh kesamaan pengelompokan habitat (Gambar
11). Nilai masing-masing stasiun dari hasil pengukuran parameter fisika kimia
perairan Sungai Belumai menunjukkan adanya pola kemiripan antara parameter
fisika-kimia dengan biologi (makrozoobentos). Hal ini menunjukkan bahwa
parameter fisika kimia yang diukur mempunyai pengaruh terhadap keberadaan
makrozoobentos di perairan Sungai Belumai.
Arus dapat mengakibatkan ketidak seimbangan dasar perairan. Pergerakan
air yang lambat menyebabkan partikel-partikel halus mengendap sehingga detritus
melimpah, dan Arus yang kuat dapat mengakibatkan ketidak seimbangan dasar
perairan yang lunak. Penurunan kualitas air terjadi seiring peningkatan laju
sedimentasi sehingga menurunkan kualitas habitat biota akuatik (Wohl 2006).
Nilai kekeruhan juga mempengaruhi keberadaan dari jenis organisme akuatik,
tingginya nilai kekeruhan di Sungai Belumai kemungkinan yang menyebabkan
keanekaragaman makrozoobentos dari jenis yang sifatnya intoleran tidak
ditemukan, tingginya kekeruhan di perairan mempersulit penetrasi cahaya untuk
menembus dasar perairan sehingga proses fotosintesis tidak berjalan dengan
sempurna yang mengakibatkan kandungan oksigen semakin berkurang sehingga
23
jenis-jenis organisme akuatik yang menjadi faktor pembatas adalah oksigen akan
ikut berkurang. Rachman dan Winanto (2009), mengatakan dengan adanya zat-
zat yang tersuspensi dalam perairan akan menimbulkan kekeruhan pada perairan,
sehingga menurunkan produktivitas organisme akuatik.
Hubungan yang tampak antara komunitas makrozoobentos dengan
parameter kualitas air dari Gambar 11, dengan menarik garis putus-putus pada
dendrogram fisika-kimia di 0,3 % dan dendrogram makrozoobentos di 60% dapat
di golongkan menjadi 2 kelompok. Faktor yang mempengaruhi pengelompokan
tersebut diantaranya ketidaksamaan nilai Kekeruhan. Nilai kekeruhan di
kelompok A lebih rendah dari pada kelompok B, dimana hal tersebut dapat
mempengaruhi keberadaan makrozoobentos. Sesuai dengan hasil yang
ditampilkan pada dendogram makrozoobentos dimana yang membedakan
pengelompokan tersebut yaitu dari jenis organisme yang bersifat fakultatif. Jenis-
jenis yang bersifat fakultatif yang diantaranya jenis Bellamnya sp., dan
Melanoides sp. tidak ditemukan.
Dilihat berdasarkan beban masukan di sekitar Sungai Belumai yang
menyebabkan perbedaan pengelompokan tersebut dapat dikatakan karena
perbedaan beban masukan. Semakin tinggi beban pencemar yang masuk ke
perairan akan menurunkan kualitas perairan, penurunan kualitas perairan tersebut
akan mempengaruhi keberadaan organisme akuatik khususnya organisme
makrozoobentos. Masukan beban pencemar di kelompok B yaitu dari limbah
perumahan, industri, perkotaan maupun pertanian menyebabkan penurunan
keanekaragaman makrozoobentos dari jenis-jenis yang bersifat intoleran maupun
fakultatif.
Struktur Komunitas Makrozoobentos
Persentase dari komposisi dari masing-masing kelas adalah kelas
Oligochaeta 79%, kelas Gastropoda 17%, kelas Insekta 4%. Jumlah jenis
makrozoobentos yang ditemukan pada setiap stasiun berbeda-beda (Tabel 4),
perbedaan jumlah individu yang ditemukan pada setiap stasiun kemungkinan
dapat disebabkan oleh jumlah beban masukan bahan organik, perbedaan jenis
substrat, serta pengaruh dari perubahan kondisi lingkungan. Adanya peningkatan
Gambar 11 Pengelompokan stasiun berdasarkan fisika-kimia (kiri) dan
makrozoobentos (kanan)
24
aktivitas manusia yang menghasilkan sumber polusi organik secara terus menerus
masuk ke dalam perairan akan berpengaruh terhadap distribusi dan kelimpakan
makrozoobentos. Populasi bentos dapat terus bertambah selama pemasukan bahan
makanan terjamin serta kondisi substrat dasar perairan yang mendukung.
Kelas Oligochaeta memiliki persentase tertinggi yaitu 79 %. Gaufin 1958 in
Wihlm (1975) mengatakan Organisme toleran adalah organisme yang tumbuh dan
berkembang dalam kisaran toleransi lingkungan yang luas sehingga mampu
berkembang mencapai kepadatan tertinggi dalam perairan yang tercemar sedang
maupun tercemar berat. Jenis organisme tolean terhadap bahan pencemar
diantaranya dari kelas oligochaeta seperti Chironomous riparium, Limnodrillus
sp., dan Tubifex sp. Kelompok Oligochaeta merupakan petunjuk adanya
pencemaran organik yang sering digunakan sebagai bioindikator ekosistem sungai
yang tercemar. Setiawan (2009) mengatakan dari Kelas Oligochaeta bersifat
toleran dan mampu bertahan pada kondisi lingkungan yang mempunyai bahan
organik tinggi serta memiliki kemampuan osmoregulasi yang baik, sehingga ia
dapat menyesuaikan diri terhadap kondisi ekstrim.
Kurva k-dominansi
Berdasarkan hasil yang ditampilkan oleh dendrogram analisis kluster
(Gambar 11), kelompok A memiliki ketidaksamaan habitat terhadap kelompok B.
Lambshead et al. 1983 in Warwick 1986, menyatakan untuk mengetahui
kemungkinan adanya perubahan komunitas organisme pada suatu perairan, dapat
dilakukan menggunakan kurva k-dominansi. Kurva k-dominansi merupakan suatu
kurva yang menggambarkan profil dari keanekaragaman dan dominansi jenis.
Setyobudiandi et al. (2009), mengatakan stasiun yang memiliki komunitas bentos
dengan keanekaragaman lebih tinggi cenderung berada di posisi lebih dibawah
dari stasiun yang memiliki komunitas bentos dengan keanekaragaman lebih
rendah dari gambar yang ditampilkan oleh kurva k-dominansi. Dari penjelasan
tersebut Dapat dikatakan bahwa Sungai Belumai, berdasarkan hasil analisis kurva
k-dominansi (Gambar 13) terlihat kelompok A tingkat Keanekaragaman lebih
tinggi dari pada kelompok B.
Keanekaragaman kelompok A lebih tinggi, menandakan kondisi
lingkungan tersebut masih cukup baik, komunitas tergolong stabil dan belum
Gambar 12 Persentasi jumlah makrozoobentos
25
memperlihat tekanan ekologis. Tingginya Dominasi jenis di kelompok B,
menggambarkan kondisi peraikan tidak stabil mengakibatkan terjadinya ketidak
seimbangan ekosistem yang disebabkan oleh adanya tekanan dari lingkungan.
Gambar 13 Kurva k-dominansi makrozoobentos
Tingginya dominansi jenis di kelompok B dari Kurva k-dominansi
dikarenakan kelompok B memiliki jenis organisme yang tahan terhadap bahan
pencemar. Nilai dominansi tersebut meningkat seiring dengan peningkatan
aktivitas yang ada di sekitar sungai yang mengakibatkan banyaknya masukan
bahan pencemar. Kelompok B merupakan daerah yang padat aktivitas yaitu
daerah pusat pertokoan, perumahan, industri dan rumah sakit berada di daerah
tersebut. Odum (1994), menyatakan keanekaragaman jenis dipengaruhi oleh
pembagian atau penyebaran individu dalam tiap jenisnya, karena suatu komunitas
walaupun banyak jenisnya tetapi apabila penyebaran individunya tidak merata
maka keanekaragaman jenis dinilai rendah.
Tingginya aktivitas yang ada di sekitar sungai menyebabkan adanya
individu tertentu yang dapat bertahan hidup, sehingga jumlahnya lebih banyak.
Suatu spesies dapat menjadi dominan di lingkungannya karena adanya faktor
fisika, kimia serta habitat yang cocok bagi organisme tersebut. Masukan bahan
organik yang tinggi dan didukung oleh kondisi substrat lumpur berpasir
menyebabkan organisme dari kelas oligochaeta mampu beradaptasi dengan baik.
Berdasarkan pengukuran substrat dengan bahan organik yang diperoleh yang
dihubungkan terhadap kelimpahan makrozoobentos maka rendahnya kelimpahan
makrozoobentos pada substrat pasir berlempung disebabkan oleh rendahnya
jumlah bahan organik di setiap stasiun. Ardi (2002) in Rosyadi (2009)
mengatakan bahwa substrat berpasir umumnya miskin akan organisme, tidak
dihuni oleh kehidupan makroskopik, selain itu kebanyakan benthos pada daerah
berpasir mengubur diri dalam substrat. Dapat diduga bahwa dari hasil penelitian
ini, substrat lempung berpasir lebih disukai oleh makrozoobentos Oligochaeta
dibandingkan pasir berlempung. Keberadaan dari kelas Oligochaeta mencapai
79%.
26
Strategi pengelolaan sumberdaya perairan di Sungai Belumai
Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai dampak pencemaran
sungai, menurunkan limbah domestik, limbah industri dan limbah pertanian yang
masuk kesungai, dan meningkatkan jumlah tumbuhan di sekitar sungai yang dapat
menahan air hujan agar tidak langsung masuk kesungai, serta pembangunan tata
kota yang ramah lingkungan.
5 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengukuran parameter kualitas air di Sungai Belumai,
perubahan kualaitas air di setiap stasiun tidak berbeda, tetapi pada kondisi
makrozoobentos memiliki perbedaan, sehingga perubahan kondisi kualitas air
tidak mengindikasikan perubahan struktur komuniras makrozoobentos.
Kemungkinan yang menyebabkan perbedaan struktur komunitas makrozoobentos
tersebut lebih di sebabkan oleh kandungan substrat dan keberadaan bahan organik.
SARAN
Perlu adanya monitoring secara berkala oleh pemerintah Kabupaten Deli
Serdang melalui Badan Lingkungan Hidup maupun para peneliti yang terkait
terhadap kondisi lingkungan Sungai, seperti kondisi fisika, kimia dan biologi
khususnya makrozoobentos untuk menentukan tingkat pencemaran perairan
Sungai Belumai.
DAFTAR PUSTAKA
[APHA] American Public Health Association. 2012. Standard Methods for The
Examination of Water and Waste Water. Ed ke-22.
Adibroto T.A. 2002. Pengembangan Teknologi Lingkungan Dalam Pengelolaan
DAS Yang Berkelanjutan. Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol. 3 No. 1,: 33-42.
Al-Shami, SA, Che Salmah MR, Abu HA, Suhaila AH, Siti Azizah MN. 2011.
Influence of agricultural, industrial, and anthropogenic stresses on the
distribution and diversity of macroinvertebrates in Juru River Basin, Penang,
Malaysia. Elsevier journal of Ecotoxicology and Environmental Safety.
DOI:10.1002/rra.2594.
Angradi, TR. and Jicha TM. 2010. Mesohabitat-specific macroinvertebrate
assemblage responses to water quality variation in mid-continent (North
America) great rivers. Ecological Indicators. 10: 943–954.
Armitage PD, Moss D, Wright JF, Furse MT. 1983. The Performance of a New
Biological Water Quality Score System Based on Macroinvertebrates Over a
Wide Range of Polluted Running-Water Sites. Water Research. 17: 333-347.
Asra R. 2007. Makrozoobentos Sebagai Indikator Biologi Dari Kualitas Air Di
Sungai Kumpeh Dan Danau Arang-Arang Kabupaten Muaro Jambi.
Biospecies, Volume 2.
Barros F, Hatje V, Figueiredo MB, Magalha˜es WF, Do´ rea HS, Emı´dio ES.
2008. The structure of the benthic macrofaunal assemblages and sediments
27
characteristics of the Paraguaçu estuarine system, NE, Brazil. Estuarine,
Coastal and Shelf Science. 78 (2008): 753–762.
Batubara S.R. 2011. Hubungan Kualitas dan Pengguna Air Sungai Belumai
Dengan Keluhan Kesehatan Pada Pengguna Air di Kecamatan Tanjung
Morawa. Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatra Utara. Tesis.
Boyd CE. 1988. Water Quality Management for Pond Fish Culture. New York.:
Elsevier Scientific Publishing Company.
BPDAS Wampu Sei Ular. Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Wampum
Sei Ular. Direktorat jendral rehabilitasi lahan dan perhutanan social
departemen kehutanan pepublik Indonesia.Http://Bpdaswu.Com/?Page_Id=72.
Diakses 13 juni 2013.
BPS Kabupaten Deli Serdang, 2012. Jumlah Penduduk dan Tenaga kerja di
Kabupaten Deli Serdang.
Brinkhurst RO. 1971. A guide for the identification of British aquatic oligochaeta.
University of Toronto. Scientific Publication No. 22. Second edition. pp 58.
Buckman, H. O. dan N. C, Brady. 1982. Ilmu Tanah. Bhatara Karya Aksara.
Jakarta. 788 hlm.
Butcher JT, Stewart PM, Simon TP. 2003. A benthic community index for
streams in the lake and forests ecoregion. Ecol indic. 3: 181-193.
Butiuc-Keul, L. Momeu, C. Craciunas, C. Dobrota, S. Cuna , G. 2012. Physico-
chemical and biological studies on water from Aries River (Romania). Journal
of Environmental Management. 95: S3-S8.
Chopra G, Anita Bhatnagar and Priyanka Malhotra. 2012. Limnochemical
characteristics of river Yamuna in Yamunanagar, Haryana, India.. Academic
Journals. 4:4, pp. 97-104.
Dahuri R., N. S, Putra, Zairion dan Sulistiono. 1993. Metode dan Teknik Analisis
Biota Perairan. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup. Lembaga Penelitian IPB.
bogor. 207 hal.
Dudgeon, D. 1984. Longitudinal and Temporal Changes in Functional
Organisation of Macroinvertebrate Communities in the Lam Tsuen River,
Hong Kong, Hydrobiologia 111: 207-217.
Edmonson, W. T. 1963. Fresh Water Biology. Second Edition. Jhon Willey &
Sons, inc. New York.
Edmonson, W. T. 1963. Fresh Water Biology. Second Edition. Jhon Willey &
Sons, inc. New York.
Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air: Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Kanisius.
Harian Andalas. 15 juli 2013. PT MS Tbk Buang Limbah Cair Sembarangan di
SungaiBelumai. http://harianandalas.com/Sumatera-Utara/PT-MS-Tbk Buang
Limbah-Cair-Sembarangan-di Sungai-Belumai. diakses 19 juli 2013.
Hawkes HA. 1979. Invertebrates as Indicator of River Water Quality. In : Jamers
A. and Evision L, editor. Biological Indicator of Water Quality. Toronto
Canada : John Willey and Sons.
Hering D, Buffagni A, Moog O, Sandin L, Sommerhäuser M, Stubauer I, Feld C,
Johnson R, Pinto P, Skoulikidis N, Verdonschot P, Zahrádková S. 2003. The
Development of a System to Assess the Ecological Quality of Streams Based
28
on Macroinvertebrates –Design of the Sampling Programme within the AQEM
Project. Internat. Rev. Hydrobiol. 88: 345-361.
Horsak M, Bojkova´ J, Zahra´dkova´ S, Omesova´ M, Helesˇic J. 2009. Impact of
reservoirs and channelization on lowland river macroinvertebrates: A case
study from Central Europe. Limnologica. 39: 140–151.
Hutchinson, W .T. 1993. A Treatise on Lymnology. Edited by Yuette. Jhon Willey
& Sons, Inc. New York. Pp.1-6.
Hutchinson, W .T. 1993. A Treatise on Lymnology. Edited by Yuette. Jhon Willey
& Sons, Inc. New York. Pp.1-6.
Isyuniarto, Widdi Usada, Agus purwadi (2007). Degradasi limbah cair industri
kertas menggunakan oksidan ozon dan kapur. Prosiding PPI - PDIPTN 2007.
Pustek Akselerator dan Proses Bahan – BATAN, Yogyakarta.
Kristaufan J.P, Sri Purwati, Yusup Setiawan 2010. Wastewater Treatment Of
Board Paper Industry By Up-Flow Anaerobic Sludge Blanket (Uasb) And
Activated Sludge. Berita Selulosa . Vol. 45, No. 1: 22 – 31.
Lind OT. 1985. Handbook of Common Methods in Limnology. CV Mosby. St.
Louis.
Malmqvist B. 2002. Aquatic invertebrates in riverine landscapes. Ecology and
Environmental Science, Umea University. Blackwell Science Ltd. Freshwater
Biology. 47: 679–694.
Manan A. 2010. Penggunaan Komunitas Makrozoobenthos Untuk Menentukan
Tingkat Pencemaran Sungai Metro, Malang, Jawa Timur Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Tesis.
Maryani Y, Indar K, Mega Y.R, Hayatun N. 2010. Uji Aktivitas Beberapa Katalis
Pada Proses Degradasi Senyawa Aktif Deterjen Secara Fotokatalisi. Seminar
Rekayasa Kimia dan Proses. ISSN : 1411-4216.
Melcher AH, Ouedraogo R, Schmutz S. 2012. Spatial and seasonal fish
community patterns in impacted and protected semi-arid rivers of Burkina faso.
Ecol Eng. 48: 117-129.
Nichols FH. 2003. Interdecadal change in the deep Puget Sound benthos.
Hydrobiologia.493: 95–114.
Niewolak S. 1999. Bacteriological Monitoring of River Water Quality in the
North Area of Wigry National Park. Polish Journal of Environmental Studies.
9(4): 291-299.
Nurhayati dan Imam Mahmudin. 2012. Pengolahan limbah cair kertas dan pulp
Dengan menggunakan aerasi dan tekanan filter Karbon aktif. Jurnal Ilmiah
Fakultas Teknik LIMIT’S. Vol.8 No.1.
Nurmayanti. 2002. Kontribusi Limbah domestik terhadap Kualitas Air Kaligarang
Semarang. Program Pasca Sarjana Universitas Gajahmada. Yogyakarta.
Odum EP. 1994. Dasar-dasar ekologi. Edisi ke-3. Gajah Mada Universitas Press:
Yogyakarta, Indonesia.
Pastuchova Z. 2006. Macroinvertebrate assemblages in conditions of low-
dischargestreams of the Cerova´ vrchovina highland in Slovakia. Limnologica.
36: 241–250.
Pemerintahan Kabupaten Deli Serdang 2012. Profil dan Batas Administrasi
Kabupaten Deli Serdang.
Pennak RW. 1953. Fresh Water Invertabrates Of The United States. The Ronald
Press Company.769 pp.
29
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 82 tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Pescod NB. 1973. Investigation of Inland Water and Estuaries. New York:
Reinhold Pubilshing Corporation.
Pestana JLT, Loureiro S, Baird DJ, Soares AMVM. 2009. Fear and loathing in the
benthos: Responses of aquatic insect larvae to the pesticide imidacloprid in the
presence of chemical signals of predation risk. Aquatic Toxicology. 93: 138–
149.
Picard CS, Arlhac D, Alliot E. 2003. Responses of a Mediteranean soft bottom
community to short-term (1993–1996)hydrological changes in the Rhone
river.Marine Environmental Research. 55: 409–427.
Pradhan B, Rajan Bajracharya. Lokap Rajbhandari. 2005. Water Quality
Classification Model in the Hindu Kush-Himalayan Region: The Bagmati
River in Kathmandu Valley, Nepal. Submitted to ICIMOD. Joint Collaboration
of MENRIS and WHEM Program. Department of Community Medicine &
Family Health Institute of Medicine, Tribhuvan University Kathmandu, Nepal.
Pratiwi Y, 2010. Penentuan Tingkat Pencemaran Limbah Industri Tekstil
Berdasarkan Nutrition Value Coeficient Bioindikator. Teknik Lingkungan
Institut Sains & Teknologi AKPRIND. Yogyakatra. Jurnal Teknologi, vol. 3
no 2. 129-137.
Rachman, B., Winanto, T. 2009. Pengaruh Kedalaman Terhadap Proses Pelapisan
Inti Bulat pada Kerang Kijing Taiwan. Jurnal Biologi Indonesia, 6 (11): 9-15.
Rosyadi, Nasution, s., Thamrin. 2009. Distribusi dan Kelimpahan
Makrozoobenthos di Sungai Singingi Riau. 2009:3 (1). Jurnal Lingkungan.
ISSN 1978-5283.
Sastrawijaya AT. 1991. Pencemaran Lingkungan. PT Rineka Cipta. Jakarta.
Sauco S, Eguren G, Heinzen H, Defeo O. 2010. Effects of herbicides and
freshwater discharge on water chemistry, toxicity and benthos in a Uruguayan
sandy beach.Marine Environmental Research. 70 (2010): 300-307.
Setiawan D, 2009. Studi Komunitas Makrozoobenthos di Perairan Hilir Sungai
Lematang Sekitar Daerah Pasar Bawah Kabupaten Lahat. Jurnal
Penelitian Sains. 09:12-14.
Setyobudiandi I, Sulistiono, Fredinan Y, Cecep K, Sigid H, Ario D, Agustinus S,
Bahtiar. 2009. Sampling dan analisis data perikanan dan kelautan. Cetakan 1.
Fakultas Perikanan dan Kelautan Institute Pertanian Bogor. 313 hal.
Siahaan R, Andry Indrawan, Dedi Soedharma, Lilik B.Prasetyo. 2012.
Keanekaragaman Makrozoobentos sebagai Indikator Kualitas Air Sungai
Cisadane, Jawa Barat – Banten. Jurnal Bioslogos. Vol.2.
Stein J.L., J.A. Stein, H.A. Nix. 2002. Spatial analysis of anthropogenic river
disturbance at regional and continental scales: identifying the wild rivers of
Australia. Center for Resource and Environmental Studies, Australian National
University, Canberra, ACT 0200, Australia. Elsevier Science.
Susana T. dan Ricky R. 2009. Dampak Deterjen Terhadap Foraminifera di
Kepulauan Seribu Bagian selatan, Teluk Jakarta. Pusat Penelitian Osianografi-
LIPI. Jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, 35:335-352.
Tilman D, Fargione J, Wolff B, D’Antonio C, Dobson A, Howarth R, Schindler
D, Schlesinger WH, Simberloff D, Swackhamer D. 2001.
30
Forecastingagriculturally driven global environmental change.Science. 292
(2001): 281–284.
Trofisa D. 2011. Kajian Beban Pencemaran dan Daya Tampung Pencemaran
Sungai Ciliwung di Segmen Kota Bogor. Departemen Konservasi Sumberdaya
Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Skripsi.
USAID & ESP 2006. United states agency international development (USAID)
and Environmental Services Program (ESP), Corporate Plan PDAM Tirtanadi
Sumatera Utara 2006-2010. This publication was produced by Development
Alternatives, Inc. for the United States Agency for International Development
under Contract No. 497-M-00-05-00005-00.
Wardhana W. 1999. Perubahan Lingkungan Perairan dan Pengaruhnya Terhadap
Biota Akuatik. Jurusan Biologi FMIPA-UI, Depok 16424.
Warwick, RM. 1986. A new method for detecting pollution effects on marine
macrobentihic communities. Mar. Biol. 92s:557-562.
Welch EB. 1980. Ecological Effect of Wastewater. Cambridge University
Press. Cambridge. London: New York New Rochelle.
Whitehead P.G., r. L. Wilby, r. W. Battarbee, m. Kernan & A. J. Wade. 2009. A
review of the potential impacts of climate change on surface water quality.
Hydrological Sciences–journal–des Sciences Hydrologiques, 54(1).
Wild C, Huettel M, Klueter A, Kremb SG, Rasheed MYM, Jorgensen BB. 2004.
Coral mucus functions as an energy carrier and particle trap in the
reefecosystem. Nature. 428 (2008): 66–70.
Wilhm JL. 1975. Biological indicator of pollution. Dalam: Whitton BA (eds).
River Ecology. Blackwell Scientific Publications, Oxford, pp 375-402
Wohl E. 2006. Human Impacts to Mountain Streams. Geomorphology. 79: 217-
248.
Wood PJ, Hannah DM, Agnew MD, & Petts GE. 2001. Scales of hydroecological
variability within aground water-dominated stream. Regulated Rivers:
Research and Management. 17 (2001): 347–367.
Yeanny MS. 2007. Keanekaragaman makrozoobentos di muara Sungai Belawan.
Jurnal Biologi Sumatera. Hlm. 37 – 41. ISSN 1907-5537. Vol. 2, No. 2.
Yisa J. and T. Jimoh. 2010. Analytical Studies On Water Quality Index Of River
Landzu. Department of chemistry, federal university of technology, minna,
niger state, nigeria. American Journal of Applied Sciences. 7(4):453-458.
Yudo S, 2010. Kondisi Kualitas Air Sungai Ciliwung Di Wilayah Dki Jakarta
Ditinjau Dari Paramater Organik, Amoniak, Fosfat, Deterjen Dan Bakteri
Coli. Pusat Teknologi Lingkungan, Badan pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT). Vol 6. No. 1.
Zilli FL, Montalto L, Marchese MR. 2008. Benthic invertebrate assemblages and
functional feeding groups in the Parana´ River floodplain (Argentina).
Limnologica. 38 (2008): 159–171.
Zwick P. 1992. Stream habitat fragmentation-a threat to biodiversity. Biodiversity
and Conservation. 1: 80–97.
31
LAMPIRAN
32
Lampiran 1 Gambar Lokasi Sungai Belumai di setiap stasiun
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Stasiun 4
33
Lampiran 2 Spesies yang ditemukan di luar menggunakan jaring lempar dan tangguk
Kedua jenis ikan ini
terdapat pada stasiun 4
menggunakan jala lempar,
pada saat hujan.
Udang diambil menggunakan
jaring lempar, udang tersebut
tertangkap pada stasiun 1.
34
Lampiran 3 Kegiatan di Sekitar Sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara
Budidaya ikan Mas (Stasiun 1) Penyetruman ikan (Stasiun 2)
TPA (Stasiun 2)
Tempat pembesaran ayam (Stasiun 1)
PT. Charoen Pokphand Jaya Farm (Stasiun 3)
Perakit mesin minyak kelapa sawit (Stasiun 3)
35
Pengolahan kertas (Stasiun 3)
Rumah sakit PTPN 2 Tg. Morawa (Stasiun 2)
PDAM Tirtanadi di Limau Manis (Stasiun 2)
PT. Tirta Lyonaise Medan (Stasiun 2)
Rumah Makan di pinggir Sungai (stasiun 2)
36
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Binjai Serbangan, tanggal 05 Maret 1987 dari ayah
Eddy Fauzi dan ibu Mardiah Penulis merupakan putri ke lima dari lima
bersaudara. Pada tahun 2005 penulis lulus dari SMAN 1 Tanjung Morawa dan
pada tahun yang sama memasuki Universitas Riau (UR), melalui jalur SPMB
pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas perikanan dan
Ilmu Kelautan, lulus pada tahun 2009. Penulis Berkesempatan melanjutkan
pendidikan magister pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
Sekolah Pasca Sarajana IPB tahun 2011.