hubungan konsentrasi serum vitamin d (25(oh)d) dengan densitas massa tulang...
TRANSCRIPT
HUBUNGAN KONSENTRASI SERUM VITAMIN D (25(OH)D) DENGAN
DENSITAS MASSA TULANG CALCANEAL PADA LANSIA DI KLINIK
PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT RENI JAYA UIN SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA TAHUN 2017
Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA KEDOKTERAN
OLEH :
Ning Indah Permata Sari Herman
NIM.11141030000090
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN DAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
Laporan penelitian ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan
untuk memenuhi salah satu percyarutan memperoleh gelar strata I di
LIIN Syarif Hidayatullah Jakarla.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jika di kemudian hari terbuldi bahwa karyaini bukan Y,aryaasli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat,4 Agustus 2017
l.
2.
J-
Ning Indah Permata Sari Herman
HUBUNGAN KONSENTRASI SERUM VITAN,IIN D (25(OH)D) DENGANDENSITAS NIASSA TULANG CALCANEAL PADA LANSIA DI KLINIK
PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT UIN SYARIFHIDAYATULLAH JAKARTA TAHUN 2017
Laporan penelitian
Diajukan kepada Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter,
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked)
Oleh :
Ning Indah Permata Sari Herman
NrM. 1114r030000090
Pembimbing 2
+,dr. Achmad Zaki,Sp. OT, M.Epid
NIP. 19780507 200501 I 005aAyat Rahayu, Sp. Rad, M. Kes
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN DAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI .
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438H t20t7}{
NIp. tqo+0909 199603 1 oo1
ill
Pembimbing 1
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan penelitian berjudul HUBUNGAN KONS ENTRAS I SERUM VITAMIN
D (25(OH)D) DENGAN DENSITAS MASSA TULANG CALCANEAL PADA
LANSIA DI KLINIK PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT UIN
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA TAHUN 2017 yangdiajukan oleh Ning
Indah Permata Sari Herman (NIM : 11141030000090), telah diujikan dalam sidang
di Fakultas Kedokteran dan Ilmu kesehatan pada 4 Agustus 2017. Laporan
penelitian ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Kedokteran (S.Ked) pada Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter.
Ciputat,4 Agustus 2017
DEWAN PENGUJI
Ketua Sidang
dr. Achmad Zaki, Sp. OT, M.EpidNIP. 19780507 200501 1 005
rdjikoen, Sp.OT3 199103 1 003
IV
dr. Achmad Zaki, Sp. OT, M.EpidNIP. 19780507 200501 1 005
PIMPINAN FAKULTAS
'at Rahayu, Sp. Rad, M. Kes
NIP. 19640909 199603 1 001
l-dr. Mustika tuggiunL P,rt..Biomed
rodi PSKPD
Pembimbing I Pembimbing 2
;s-.u, Ph.D, FICS, FACS9121103 200604 1 001
dr. Nouva
v
KATA PENGANTAR
Assalammualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh,
Alhamdulillahirobbil ‘alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT,yang telah memberikan nikmat, kesehatan jasmani dan rohani, serta petunjuk dan
kekuatan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan tepat waktu.
Shalawat serta salam tidak lupa penulis panjatkan kepada baginda besar Nabi Muhammad
S.A.W yang telah mengantarkan ke zaman yang terang benderang seperti saat ini.
Penulisan skrikpsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat agar dapat
memperoleh gelar Sarjana Kedokteran pada Program Studi Kedokteran dan Profesi
Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul
yang penulis ajukan dalam penelitian ini adalah “Hubungan Konsentrasi Serum
Vitamin D (25(OH)D) dengan Densitas Massa Tulang Calcaneal pada Lansia di
Klinik Pelayanan Kesehatan Masyarakat Reni Jaya UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Tahun 2017”.
Selama proses penyusunan dan penulisan skripsi ini, penulis tidak terlepas dari
bantuan, bimbingan, dukungan morriil maupun material serta nasihat dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan rasa bahagia penulis ingin menyampaikan
rasa syukur dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang
terhormat, diantaranya :
1. Prof. Dr. H. Arief Sumantri, M.Kes selaku dekan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. dr. Nouval Shahab, Sp.U, Ph.D, FICS, FACS selaku ketua Program Studi
Kedokteran dan Pendidikan Dokter (PSKPD) FKIK UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
3. dr. Achmad Zaki, Sp.OT, M.Epid selaku pembimbing I yang telah
memberikan bimbingan, dukungan, serta dengan bijaksana selalu
meluangkan waktunya untuk dapat membimbing penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
4. dr. Ayat Rahayu, Sp.Rad selaku pembimbing II yang telah
memberikan bimbingan dan senantiasa memberikan masukan-masukan
vi
yang baik kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian ini dengan baik.
5. drg.Putri Herliana yang telah memberi bimbingan dan dukungan
kepada penulis selama proses penyusunan laporan penelitian ini.
6. Bapak Chris Adhiyanto, MBiomed, PhD selaku penanggung jawab
riset PSKPD angkatan 2014.
7. Staf dosen PSKPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan ilmu pengetahuan serta pengalaman hidup sebagai bekal
bagi penulis untuk ke depannya menjadi dokter yang berguna bagi
nusa dan bangsa.
8. Staf Klinik Pelayanan dan Kesehatan Masyarakat (KPKM) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan banyak bantuan kepada
penulis selama pengambilan data penelitian ini, dan teruntuk kak Ayu
Pradipta serta Mbak Fitri terima kasih banyak atas segala bantuan,
bimbingan, dan dukungannya selama ini.
9. Ibu Nenden Muchtar selaku Ketua Perkumpulan Lansia Tangerang
Selatan, serta Ibu-ibu dan Bapak-bapak responden yang saya hormati.
Terima kasih atas segala bantuan dan kerjasamanya selama ini.
10. Teruntuk kedua orang tua penulis yang terkasih, Bapak Kolpol (Purn)
Herman Rasjid, SmiK dan Ibu Djulieasma yang selalu mendukung,
memotivasi, dan selalu memberikan waktunya selama 24 jam penuh
kepada penulis. Tak lupa doa dan nasihat-nasihat yang selalu tercurah
dan selalu mengingatkan penulis untuk sholat tepat waktu. Terima
kasih banyak atas segala kasih dan sayang yang telah diberikan selama
ini.
11. Untuk ketiga kakakku dan kakak iparku tersayang, Ning Intan Kartika
Sari, S.E, Alm. Muhammad Anton Herman, dr. Ning Widya Putri
Herman, dan Budi Darwoto, S.T yang selalu mendukung serta
memberikan nasihat yang baik kepada penulis. Terima kasih karena
telah menjadi panutan yang terbaik bagi penulis.
12. Para keponakan penulis, Fadilla Bunga Aqilla, Muhammad Hafidz
Arkaan, Ruana Bay Cinta Dinanti karena kehadiran mereka yang
vii
selalu memotivasi penulis untuk selalu menjadi panutan yang baik
serta terima kasih karena telah menjadi mood-booster penulis. Tidak
lupa bibiku, Ibu Narsih terima kasih sebanyak-banyaknya.
13. Saudara-saudara tercinta yang telah memberikan dorongan, doa, serta
semangat terima kasih kuucapkan.
14. Teman-teman risetku Gebry Nadira Rambe, Amalina Fitrasari, Asiah
Muthia, Alvin Zulmaeta, dan Maulana Hafiez Rambe yang selalu
mendukung dan membantu penulis sehingga kita dapat sama-sama
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Terima kasih atas segala
kesabaran, waktu yang diluangkan, serta dukungan selama ini. Tetap
semangat kawan-kawanku, sebentar lagi insyaAllah kita akan menjadi
dokter! Amiin.
15. Serta teman-teman terdekatku, Gebry Nadira Rambe yang selalu sabar
dalam menghadapi penulis dan selalu senantiasa membantuku dikala
penulis sedang menghadapi berbagai kendala, Nadira Farid yang selalu
menjadi penghibur dikala kejenuhan melanda, serta Shallyna
Nurfadiah Sakinah yang selalu senantiasa mendukung dan mendorong
penulis untuk selalu percaya diri. Terima kasih atas dukungannya.
16. Kak Yesha, yang telah membantu penulis dalam mengolah data SPSS.
Terima kasih atas kesabaran dan bimbingannya.
17. Teman-teman sejawat PSKPD UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
CAROTIS terima kasih atas semangat dan pembelajarannya selama
ini. Kebersamaan serta bantuan yang diberikan sangat berarti bagi
penulis selama ini.
18. Kak Sarah Attauhidah dan Kak Khoiron terima kasih karena telah
membantu.
19. Teman-teman CIMSA, OFFICIAL CIMSA UIN 2017/2018 , serta
SCORA terima kasih atas segala doa, dukungan, serta pengertiannya
selama ini.
20. Serta semua pihak yang telah banyak membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
viii
Akhir kata penulis ucapkan semoga Allah SWT memberikan balasan dan
pahala berlipat ganda kepada Bapak, Ibu, serta teman-teman sekalian.Untuk
perbaikan kedepannya, kritik serta saran yang membangun akan penulis terima
dengan baik. Semoga penulisan skripsi ini dapat membawa manfaat kepada umat
manusia, terutama dalam bidang kesehatan lansia.
Ciputat, 4 Agustus 2017
Penulis
ix
ABSTRAK
.
ABSTRACT
Ning Indah Permata Sari Herman. Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter. Hubungan Konsentrasi Serum Vitamin D (25(OH)D) dengan Densitas Massa Tulang Calcaneal pada Lansia di Klinik Pelayanan Kesehatan Masyarakat Reni Jaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017
Latar Belakang: Osteoporosis adalah suatu penyakit sistemik yang ditandai dengan penurunan densitas massa tulang. Salah satu faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya osteoporosis adalah defisiensi vitamin D.
Tujuan: Mengetahui hubungan konsentrasi serum Vitamin D dengan densitas massa tulang calcaneal lansia tahun 2017.
Metode:Penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross-sectional dianalisis dengan Chi- Square. Jumlah sampel sebanyak 60 orang. Konsentrasi serum vitamin D diambil melalui pengambilan darah pasien,untuk menilai densitas massa tulang diukur menggunakan Hologic Sahara Quantitative Ultrasound. Data diolah dengan menggunakan SPSS versi 22.
Hasil: Dari 60 orang lansia terdiri dari wanita 43 orang (71,7%), pria 17 orang (28,3%). Hasil penilaian konsentrasi vitamin D, 20 orang (33,3%) masuk kedalam kelompok sufisien (>50-125nmol/L), 31 orang (51,7%) kelompok insufisien (25-50nmol/L), dan kelompok defisien sebanyak 9 orang (15,0%). Terdapat 19 responden (31,7%) mengalami osteopenia, 41 responden (68,3%) osteoporosis, dan responden normal tidak ada. Dilakukan analisis bivariat dengan uji korelasi Chi square dan didapatkan hasil p value 0,159 dengan nilai r : 0,07.
Kesimpulan:Hubungan konsentrasi serum vitamin D dengan densitas massa tulang tidak signifikan.
Kata Kunci : Konsentrasi Serum Vitamin D, Densitas Massa Tulang, Calcaneal, QUS, Lansia
Ning Indah Permata Sari Herman. Medicine and Physician Profession Study Program. The Corelations between Consentration of Vitamin D (25(OH)D) Serum with Calcaneal Bone Mass Density on Elderly at Klinik Pelayanan Kesehatan Masyarakat Reni Jaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2017
Background: Osteoporosis is a systemic disease characterized by lower bone mass density. One of many risk factors can caused osteoporosis such as deficiency vitamin D.
Aim: to know the corelations between concentration of vitamin D (25(OH)D) serum with calcaneal bone mass density on elderly in 2017.
Method: this research using descriptive analitic method with cross sectional approaches, analyzed using Chi-Square with amount of 60 samples . The vitamin D (25(OH)D) serum taken by patient’s blood while to assest the calcaneal bone mass density we used Hologic Sahara Quantitative Ultrasound. Data were analyzed using SPSS version 22.
Result: the amount of total samples were 60 consist of 43 women (71,7%), 17 man (28,3%). The result of concentration vitamin D serum respondents were 20 respondents (33,3%) had sufficient level of vitamin D, 31 respondents (51,7%) into category insufficient (25-50nmol/L), and 9 respondents (15,0%) had defficient level of vitamin D. 19 respondents (31,7%) osteopenia, 41 respondents (68,3%) osteoporosis, and there weren’t normal respondent. This data analyzed by bivariat analysis with chi square correlations test and p-value score 0,159 with r-score:0,07.
Conclutions:the correlations between concentrations of vitamin D (25(OH)D) serum with bone mass density wasn’t significant.
Key Words:concentrations of vitamin D (25(OH)D) serum, bone mass density, calcaneal, qus, elderly
x
DAFTAR ISI
LEMBAR COVER ..............................................................................................
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...........................................
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................
KATA PENGANTAR .........................................................................................
ABSTRAK ...........................................................................................................
DAFTAR ISI .......................................................................................................
DAFTAR TABEL ...............................................................................................
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................
DAFTAR SINGKATAN ....................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................
1.1.Latar belakang ..................................................................................... 1.2.Rumusan masalah ................................................................................ 3 1.3.Hipotesis .............................................................................................. 3 1.4.Tujuan penelitian ................................................................................. 3
1.4.1. Tujuan umum ..................................................................... 3 1.4.2. Tujuan khusus .................................................................... 3
1.5.Manfaat Penelitian ............................................................................... 3 1.5.1. Bagi institusi ...................................................................... 3 1.5.2. Bagi masyarakat ................................................................ 4 1.5.3. Bagi peneliti ...................................................................... 4 1.5.4. Bagi peneliti lain ............................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 5
2.1.Landasan teori ................................................................................ 5 2.1.1. Anatomi dan fungsi tulang ................................................ 5
2.1.2. Jenis tulang ........................................................................ 6 2.1.3. Histologi dan fisiologi tulang ............................................ 8 2.1.4. Osteoporosis ......................................................................11 2.1.4.1. Definisi .....................................................11 2.1.4.2. Etiologi dan faktor risiko .........................12 2.1.4.3. Klasifikasi dan patofisiologi ....................13 2.1.4.4. Pendekatan klinis .....................................16
i
ii
iii
iv
v
ix
x
xiii
xiv
xv
xvi
1
1
xi
2.1.5. Pemeriksaan densitometri .................................................18 2.1.6. Dual energy x-ray absorptiometry ....................................19 2.1.7. Quantitative ultrasound ..................................................... 21 2.1.8. Vitamin D .......................................................................... 21 2.1.8.1. Sintesis dan metabolisme ....................... 21
2.1.8.2. Fungsi dan pengaruh vitamin D terhadap tulang ................................................................... 23
2.2.Kerangka teori ................................................................................... 24 2.3.Kerangka konsep ............................................................................... 25 2.4.Definisi operasional ........................................................................... 26
BAB III METODE PENELITIAN ....................................................................28
3.1.Desain penelitian ................................................................................ 28 3.2.Waktu dan tempat penelitian .............................................................. 28 3.3.Populasi dan sampel penelitian .......................................................... 28 3.4.Jumlah sampel penelitian ................................................................... 28 3.5.Teknik pengambilan sampel penelitian .............................................. 30 3.6.Kriteria sampel penelitian ................................................................ 30
3.6.1. Kriteria inklusi ............................................................... 30 3.6.2. Kriteria eksklusi ............................................................. 30
3.7.Alat dan bahan ................................................................................. 30 3.8.Alur kerja penelitian ........................................................................ 31 3.9.Cara kerja penelitian ........................................................................ 32 3.10. Identifikasi variabel ................................................................... 32
3.10.1. Variabel terikat .............................................................. 32 3.10.2. Variabel bebas ............................................................... 32
3.11. Rencana manajemen data ............................................................. 33 3.11.1. Pengolahan data ............................................................... 33 3.11.2. Analisis data .................................................................... 33
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................34
4.1.Karakteristik responden ..................................................................... 34 4.1.1. Usia responden ................................................................. 34 4.1.2. Jenis kelamin responden .................................................. 35 4.1.3. Indeks massa tubuh responden ........................................ 36 4.1.4. Densitas massa tulang calcaneal responden .................... 38 4.1.5. Konsentrasi serum vitamin D responden ......................... 39
4.2.Korelasi antara konsentrasi serum vitamin D dengan densitas massa tulang calcaneal responden dalam bentuk estimated heel T-score ............................................................................................... 40
4.3.Faktor-faktor lain yang mempengaruhi densitas massa tulang calcaneal ............................................................................................ 43
4.4.Keterbatasan penelitian ..................................................................... 46
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 47
xii
5.1.Simpulan ............................................................................................ 47 5.2.Saran .................................................................................................. 47
BAB VI KERJASAMA PENELITIAN .............................................................49
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................50
LAMPIRAN .........................................................................................................53
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1. Usia responden ..................................................................................
Tabel 4.2. Jenis kelamin responden ...................................................................
Tabel 4.3. Indeks massa tubuh responden ..........................................................
Tabel 4.4. Densitas massa tulang calcaneal responden .....................................
Tabel 4.5. Konsentrasi serum vitamin D (25(OH)D) responden .......................
Tabel 4.6. Korelasi antara konsentrasi serum vitamin D (25(OH)D) dengan densitas massa tulang calcaneal dalam bentuk estimated heel T-score...................................................................................................
Tabel 4.7. Hasil tabulasi silang antara konsentrasi serum vitamin D (25(OH)D) dengan densitas massa tulang calcaneal dalam bentuk estimated heel T-Score ......................................................................
Tabel 4.8. Hasil analisis regresi logistik biner ...................................................
Tabel 4.9. Pengaruh usia terhadap densitas massa tulang calcaneal..................
Tabel 4.10. Pengaruh jenis kelamin terhadap densitas massa tulang calcaneal............................................................................................
Tabel 4.11. Pengaruh indeks massa tubuh terhadap densitas massa tulang calcaneal ............................................................................................
Tabel 4.12. Pengaruh konsentrasi serum vitamin D (25(OH)D) dengan densitas massa tulang calcaneal.......................................................................
34 35
36
38
39
40
41
42
43
43
44
45
xiv
DAFTAR GRAFIK
Grafik 4.1. Usia responden ..................................................................................
Grafik 4.2. Jenis kelamin responden ...................................................................
Grafik 4.3. Indeks massa tubuh responden ..........................................................
Grafik 4.4. Densitas massa tulang calcaneal responden .....................................
Grafik 4.5. Konsentrasi serum vitamin D (25(OH)D) responden .......................
35
36
37
39
40
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Anatomi tulang panjang ....................................................................
Gambar 2.2. Tulang kompak dan spongiosa ..........................................................
Gambar 2.3. Histologi dan fisiologi tulang ............................................................
Gambar 2.4. Gambaran tulang normal dan tulang osteoporosis ............................
Gambar 2.5. Patogenesis osteoporosis tipe 1..........................................................
Gambar 2.6. Kriteria diagnostik osteoporosis berdasarkaan nilai T-score WHO ..
Gambar 2.7. Quantitative ultrasound (QUS) .........................................................
Gambar 2.8. Pembentukan vitamin D pada kulit ...................................................
Gambar 2.9. Metabolisme vitamin D .....................................................................
5
7
8
12
14
20
21
22
22
xvi
DAFTAR SINGKATAN
IMT Indeks Massa Tubuh
QUS Quantitative Ultrasound
WHO World Health Organization
BMD Bone Mass Density
DMT Densitas Massa Tulang
KPKM Klinik Pelayanan Kesehatan Masyarakat
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Alat dan Bahan Penelitian .................................................................
Lampiran 2. Proses Pengambilan Darah dan Pemeriksaan DMT .........................
Lampiran 3. Hasil Analisis Penelitian ...................................................................
Lampiran 4. Surat Etik ...........................................................................................
Lampiran 5. Surat Izin Penelitian ..........................................................................
Lampiran 6. Lembar Informed Consent..................................................................
Lampiran 7. Lembar Data Penelitian Responden ..................................................
Lampiran 8. Curriculum Vitae ..............................................................................
53
55
57
63
64
65
66
67
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dewasa ini jumlah penduduk lansia di Indonesia semakin meningkat
setiap tahunnya. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia,
angka Umur Harapan Hidup (UHH) penduduk Indonesia pada tahun 2000 adalah
64,5 tahun dengan persentase populasi lansia 7,18%, sedangkan pada tahun 2010
angka ini meningkat menjadi 69,43 tahun dengan persentase populasi lansia
sebesar 7,56% (Badan Pusat Statistik, 2014)1. Seiring dengan peningkatan
tersebut, hal ini dapat mempengaruhi ketahanan fisik, kesehatan, kehidupan sosial,
serta pola hidup individu. Salah satu dari sekian banyak perubahan yang dapat
mempengaruhi kehidupan lansia antara lain perubahan fisik yang dimana dapat
ditandai dengan terjadinya penurunan massa tulang2.
Seiring dengan meningkatnnya UHH di Indonesia berbagai kasus penyakit
degeneratif mengalami peningkatan setiap tahunnya di antaranya adalah
osteoporosis. Menurut hasil data dari Pusat Penelitian Data dan Pengembangan
Gizi Departemen Kesehatan RI tahun 2014, angka kejadian osteoporosis di
Indonesia mencapai 19,7% dimana persentase populasi osteoporosis di berbagai
provinsi Indonesia terbesar adalah di provinsi Sumatera Selatan (27,7%) dan
persentase terkecil berada di provinsi Kalimantan Timur (10,5%)3.
Osteoporosis yang berarti tulang berpori atau dikenal dengan istilah
keropos tulang adalah sebuah penyakit dimana densitas dan kualitas dari tulang
menurun4, sehingga rawan untuk terjadi fraktur atau patah tulang. Penyakit ini
merupakan penyakit dengan penyebab multifaktoral. Berbagai faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya osteoporosis antara lain indeks massa tubuh yang rendah,
menopause, penggunaan obat-obatan yang dapat mempengaruhi perkembangan
tulang, dan diet nutrisi yang kurang seimbang4.
Peran nutrisi sangat besar dalam pertumbuhan dan perkembangan tulang.
Seperti halnya kalsium yang merupakan mineral utama dalam pembentukan
2
tulang yang diperlukan untuk mengatur kontraksi dan relaksasi otot, terlibat dalam
transmisi saraf, membantu pembekuan darah, serta mengatur hormon-hormon dan
faktor pertumbuhan4. Dalam melaksanakan tugasnya, kalsium yang ada di saluran
cerna akan dibantu oleh vitamin D untuk ditingkatkan absorpsinya di saluran
cerna, selain itu vitamin D juga akan membantu mengontrol penyimpanan kalsium
di tulang5. Karena peran keduanya cukup penting, apabila seseorang mengalami
defisiensi atau kekurangan nutrisi terutama kalsium dan vitamin D maka proses
pertumbuhan dan perkembangannya dapat terganggu. Seperti lansia misalnya,
diatas umur 50 tahun jumlah kandungan kalsium dalam tubuh akan menyusut
sebanyak 30% dan kehilangan akan mencapai 50% pada usia 70 tahun sehingga
kemungkinan untuk mengalami penurunan densitas masa tulang semakin besar6.
Berdasarkan hasil penelitian Mir Sadat Ali, Abdulmohsen H. Al Elq, dkk
mengenai pengaruh vitamin D terhadap densitas massa tulang dan osteoporosis
menunjukan bahwa terdapat hubungan yang positif antara vitamin D dengan
densitas massa tulang yang rendah pada pria dan wanita Saudi Arabia usia muda
dan usia lanjut (≥50 tahun) dimana pasien yang tergolong kedalam kelompok
insufisiensi vitamin D terdapat 84,2% wanita dan 88,9% pria usia muda dan 83.3%
wanita dan 80% pria usia lanjut memiliki densitas massa tulang yang rendah7.
Untuk itu, pengaruh vitamin D terutama dalam memperlambat proses
terjadinya osteoporosis sangatlah dibutuhkan. Vitamin D ini mampu memelihara
kesehatan tulang dengan cara meningkatkan penyerapan mineral kalsium dari
sistem pencernaan. Namun, seiring bertambahnya usia kemampuan untuk
melakukan penyerapan vitamin D dalam tubuh berkurang sehingga terkadang
dapat menimbulkan defisiensi. Oleh karena itu, International Osteoporosis
Foundation mengkategorikan defisiensi vitamin D sebagai faktor risiko yang
dapat diubah sebagai faktor risiko yang mendukung terjadinya osteoporosis4.
Penelitian tentang penilaian faktor risiko mengenai kadar serum vitamin D
(25(OH)D) terhadap densitas massa tulang pada lansia ini sebelumnya belum
pernah dilakukan khususnya di daerah KPKM Reni Jaya, Pamulang tahun 2017.
3
1.2.Rumusan Masalah
1.2.1. Apakah terdapat hubungan konsentrasi serum vitamin D (25(OH)D)
terhadap densitas massa tulang calcaneal pada lanjut usia di Klinik
Pelayanan Kesehatan Masyarakat (KPKM) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2017?
1.3.Hipotesis
1.3.1. Terdapat hubungan antara konsentrasi serum vitamin D (25(OH)D)
terhadap densitas massa tulang calcaneal pada lansia di KPKM Reni Jaya,
Pamulang.
1.4.Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan umum
Mengetahui adanya hubungan antara konsentrasi serum vitamin D
(25(OH)D) terhadap densitas massa tulang calcaneal pada lansia di
KPKM Reni Jaya, Pamulang.
1.4.2 Tujuan khusus
1.4.2.1 Mengetahui konsentrasi serum vitamin D (25(OH)D) pada lansia
di KPKM Reni Jaya, Pamulang.
1.4.2.2 Mengetahui kondisi kepadatan massa tulang pasien lansia
berdasarkan T-score melalui pemeriksaan tulang calcaneal dengan
menggunakan alat Quantitative Ultrasound (QUS) di KPKM Reni
Jaya, Pamulang.
1.5.Manfaat Penelitian
1.5.1. Bagi institusi
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi manfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahun institusi khususnya terkait hubungan konsentrasi serum
vitamin D (25(OH)D) terhadap densitas massa tulang pada lansia di
KPKM Reni Jaya, Pamulang tahun 2017.
b. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh peneliti selanjutnya untuk dapat
melanjutkan penelitian ini khususnya dalam hal hubungan antara
4
konsentrasi serum vitamin D (25(OH)D) terhadap densitas massa tulang
pada lansia di KPKM Reni Jaya, Pamulang tahun 2017.
c. Sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya mengenai hubungan antara
konsentrasi serum vitamin D (25(OH)D) terhadap densitas massa tulang
pada lansia di KPKM Reni Jaya, Pamulang tahun 2017.
1.5.2. Bagi masyarakat
a. Dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai berbagai
macam faktor risiko terjadinya osteoporosis dan penurunan densitas massa
tulang.
b. Dapat memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai pemeriksaan
densitas massa tulang dan hasil nilai T-score beserta intepretasinya.
d. Dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai hubungan
antara konsentrasi serum vitamin D (25(OH)D) terhadap densitas massa
tulang pada lansia.
1.5.3. Bagi peneliti
a. Dapat memberikan manfaat, pengalaman, dan pengetahuan dalam hal
penelitian deskriptif analitik.
b. Dapat mengaplikasikan ilmu yang telah dipelajari selama masa pra-klinik
ke dalam penelitian ini.
1.5.4. Bagi peneliti lain
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan
referensi bagi peneliti lain untuk dapat meneruskan penelitian ini di masa
yang akan datang.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasaan Teori
2.1.1. Anatomi dan fungsi tulang
Tulang merupakan sekumpulan jaringan ikat yang mengalami
proses mineralisasi6 karena proses tersebut tulang menjadi keras sehingga
dapat membentuk rangka tubuh yang berguna untuk menopang tubuh.
Selain berfungsi sebagai penopang tubuh, tulang memiliki fungsi sebagai
tempat melekatnya otot untuk dapat membantu melakukan gerak pasif.
Oleh karena tulang memiliki bentuk yang keras dan berbentuk tetap tulang
dapat melindungi organ-organ interna dari trauma mekanik. Kemudian, di
bagian tengah tulang terdiri atas jaringan-jaringan hematopoetik yang
berguna untuk melakukan pembentukan berbagai sel darah
(hematopoiesis). Tulang juga merupakan tempat untuk menyimpan serta
mengatur kalsium dan fosfat8.
Gambar 2.1. Anatomi tulang panjang9
Sumber : Solomon L. In: Jamieson G, Naish F, editors.
Apley’s System of Orthopaedics and Fractures. 9th Ed.
India: Replika Press; 2010.
6
Pada gambar 2.1. menggambarkan bagian-bagian khas dari tulang
panjang. Bagian-bagian tersebut terbagi atas tiga bagian yaitu diafisis atau
disebut juga dengan bagian batang tulang yang merupakan bagian tengah
daripada tulang yang berbentuk menyerupai silinder. Pada bagian ini
tersusun atas tulang kortikal dan memiliki kekuatan yang cukup besar.
Metafisis adalah bagian tulang yang letaknya diantara bagian diafisis dan
epifisis. Memiliki bentuk yang melebar di dekat ujung atau akhir batang
tulang dan terutama disusun oleh tulang trabekular yang banyak
mengandung akan sel-sel hematopoetik. Metafisis berguna untuk
menopang dan menyediakan daerah yang luas untuk perlekatan tendon dan
ligamen pada epifisis8. Epifisis merupakan bagian ujung atau akhir dari
tulang yang ditutupi oleh tulang rawan artikular dan langsung berbatasan
dengan sendi tulang panjang yang bersatu dengan metafisis sehingga
pertumbuhan tulang panjang terhenti8.Pada bagian lempeng epifisis,
merupakan tempat pertumbuhan longitudinal pada anak-anak dan ketika
dewasa bagian ini akan menghilang.
2.1.2. Jenis tulang
Tulang dapat dibagi atas beberapa jenis :
a. Berdasarkan struktur basis, terbagi dua
- Makroskopik
Terbagi atas dua macam, tulang kortikal (bagian luar
tulang) yang dimana substansi tulang dengan rasio celah tulang
memiliki kuantitas yang lebih besar dimana didalamnya banyak
terdapat jaringan tulang dan sedikit ruang yang kosong. Tulang
spongiosa (bagian dalam tulang) merupakan bagian dari tulang
dimana substansi tulang dengan rasio celah tulang memiliki
kuantitas yang lebih kecil. Artinya, dalam bagian ini terdapat
banyak celah ruang kosong dan memiliki sedikit jaringan tulang10.
7
- Mikroskopik,
Terbagi atas dua macam, Tulang beranyam terbentuk
apabila tulang berkembang secara cepat. Seperti pada janin
yang sedang berkembang, penyembuhan fraktur, atau pada
tumor pembentuk tulang7. Substansia Lamellar, merupakan
tulang yang berkembang secara lambat, memiliki struktur
yang kuat dan membentuk tulang dewasa7. Tulang ini
tersusun dalam dua bentuk yaitu, substansia corticalis atau
substansia compacta yang menyusun 80% skeleton,
menjadi sebagian besar corpus tulang panjang12. Substansia
trabecularis atau substansia medullaris ditemukan berada
bersentuhan dengan sel-sel sumsum tulang diantara bagian
ujung tulang panjang korteks dan corpus vertebrae12. Pada
substansia ini, kolagen dan matriks terlihat seperti lembaran
yang strukturnya sejajar dengan permukaan tulang.
b. Berdasarkan bentuk12
- Tulang panjang, contoh : tulang femur, tulang humerus
- Tulang pendek, contoh : tulang metacarpalia, tulang metatarsalia
- Tulang pipih, contoh : tulang costae
Gambar 2.2. Tulang kompak dan spongiosa11
Sumber : Sherwood, L. Fisiologi manusia:dari sel ke sistem edisi 8. Jakarta. EGC.2014.
8
- Tulang tak beraturan, contoh : tulang vertebrae
2.1.3. Histologi dan fisiologi tulang
Pada lempeng epifisis terdiri atas beberapa zona lapisan yang
menggambarkan pertumbuhan tulang. Lapisan sel paling atas yang
letaknya berdekatan dengan epifisis dikenal dengan daerah sel istirahat.Di
bawah daerah sel istirahat terdapat zona proliferasi yang berfungsi sebagai
tempat untuk melakukan pembelahan sel dan memulai pertumbuhan
tulang. Sel-sel tersebut akan mendorong ke arah batang tulang menuju area
hipertrofi dimana secara metabolik akan menjadi tidak aktif.setelah itu,
sel-sel tersebut akan menuju ke arah daerah kalsifikasi tambahan dimana
tulang akan menjadi keras akibat penyimpanan mineral dalam kolagen dan
proteoglikan13.
Gambar 2.3. Histologi dan fisiologi tulang11
Sumber : Sherwood, L. Fisiologi manusia:dari sel ke sistem edisi 8. Jakarta. EGC.2014.
Tulang memiliki sifat yang keras dan kuat guna untuk menopang tubuh.
Diperlukan suatu jaringan yang dinamis untuk menunjangnya. Dalam jaringan
tersebut terdapat sel-sel penyusunnya diantaranya osteoblas, osteosit, dan
osteoklas13. Osteoblas sendiri berperan dalam proses pembentukan tulang
9
sedangkan osteoklas berperan dalam proses penghancuran tulang dimana
keduanya saling mempengaruhi dan diatur dalam suatu sistem yang seimbang.
Osteoblas, yang mana bertugas untuk membangun tulang bekerja melalui
proses osteofikasi ia bekerja dengan cara membentuk kolagen tipe I dan
proteoglikan sebagai matriks tulang atau jaringan osteoid. Saat sel-sel
berkembang dalam keadaan aktif menghasilkan osteoid, osteoblas akan
mensekresikan fosfatase alkali dalam jumlah besar yang mana memiliki peranan
penting dalam proses pengendapan kalsium dan fosfat menuju ke matriks tulang13.
Osteosit, merupakan suatu sel-sel tulang dewasa yang bertugas sebagai
tempat melakukan pertukaran kimiawi pada tulang yang padat. Osteoklas, yang
memiliki sifat berlawanan arah dengan osteoblas dan osteosit memiliki peran
sebagai penghancur tulang. Ia bekerja dengan cara mengeluarkan enzim-enzim
proteolitik yang berguna untuk memecahkan matriks dan mengeluarkan senyawa-
senyawa asam agar kalsium dan fosfat terlepas dari tulang dan keluar menuju
peredaran darah13.
Berbagai faktor risiko yang dapat mempengaruhi proses pertumbuhan dan
penghancuran tulang antara lain sebagai berikut :
1. Hormon yang berhubungan dalam pengaturan kalsium dan vitamin D,
diantaranya :
a. Hormon paratiroid (PTH), merupakan hormon yang disekresikann oleh
kelenjar paratiroid. Dimana hormon ini memiliki peranan penting
dalam proses pengaturan kadar kalsium dalam darah. Apabila dalam
darah tubuh seseorang mengandung kadar kalsium yang rendah, maka
hormon paratiroid bersama-sama dengan bentuk aktif dari vitamin D
bekerja dengan cara mengaktifkan kelenjar tiroid untuk dapat
meningkatkan sekresinya. Adapun efek yang dapat ditimbulkan dari
sekresi hormon paratiroid antara lain sebagai berikut :
• Dalam ginjal, ia memainkan peranan penting pada parenkim
dan tubulus renalis. Pada bagian parenkim, hormon tersebut
akan mengubah metabolit vitamin D yang tidak aktif (25-
10
hydroxycholecalciferol [25-OHD] menjadi suatu komponen
metabolit yang aktif 1,25-dihydroxycholecalciferol [1,25-
(OHD)2D]. Kemudian dalam tubulus renalis, ia akan
melakukan peningkatan reabsorpsi kalsium dan menurunkan
reabsorpsi fosfat.
• Dalam tulang, hormon ini akan memberikan stimulus untuk
melakukan proses penghancuran tulang (resorpsi) oleh
osteoklas sehingga menyebabkan kadar fosfat dan kalsium
dalam darah mengalami peningkatan dan kadar fosfat dan
kalsium dalam tulang jadi menurun. Dalam memulai proses
resorpsi tulang, hormon ini bekerja dengan berdasarkan target
aksinya. Terdapat dua target aksi yaitu terhadap RANK-L
(Receptor Activator of Nuclear Factor-Kappa ß Ligand) dan
terhadap OPG (Osteoprotegerin)9.
b. Hormon kalsitriol (1,25-dihydroxycholecalciferol), merupakan hormon
bentuk aktif dari vitamin D yang dikonversi oleh enzim di ginjal dan
hati. Hormon ini memiliki fungsi dalam peningkatkan proses resorpsi
tulang melalui osteclastogenesis11 dan membantu dalam peningkatan
absorpsi kalsium dan fosfat dalam usus14.
c. Hormon kalsitonin, disekresi oleh sel C kelenjar tiroid yang
memainkan peranan penting dalam menurunkan kadar kalsium dalam
plasma11.
2. Hormon-hormon lainnya :
a. Hormon pertumbuhan (Growth hormone/GH), merupakan hormon
yang diproduksi oleh kelenjar pituitari. Selain berfungsi dalam
pertumbuhan, hormon ini memainkan peranannya dalam proses
pembentukan tulang. Seiring dengan bertambahanya usia seseorang,
sekresi hormon pertumbuhan ini akan berkurang sehingga
pertumbuhan dapat berhenti.
b. Hormon kortisol, merupakan hormon yang diproduksi oleh kelenjar
adrenal. Hormon ini memiliki fungsi yang berlawanan dengan hormon
pertumbuhan yaitu ia bekerja menghambat pembentukan tulang.
11
Akibat dari hal ini menyebabkan absorpsi kalsium di intestinal
mengalami penurunan dan menyebabkan peningkatan eksresi di
tubulus ginjal. Selain itu, hormon ini memiliki efek langsung terhadap
stimulasi ekspresi RANK-L dan menghambat ekspresi OPG di
osteoblas9.
c. Hormon tiroid, memainkan peranan penting dalam peningkatan
metabolisme sel, sintesis protein, serta membantu dalam proses
regulasi pertumbuhan tulang panjang.
d. Hormon seks, hormon ini terdiri atas hormon estrogen dan testosteron.
Hormon ini memiliki peranan penting pada tulang. Pada wanita, yang
memiliki hormon estrogen hormon ini memiliki efek positif dalam
menghambat osteoklas dalam proses penghancuran tulang. Selain itu
estrogen juga akan menstimulasi peningkatan absorpsi kalsium di
intestinal dan osteoblas14. Sedangkan testosteron memiliki efek yang
baik dalam penghambatan resorpsi tulang dan menstimulasi
pembentukan tulang.
2.1.4. Osteoporosis
2.1.4.1. Definisi
Menurut buku Ilmu Penyakit Dalam Ed. Osteoporosis yang berarti
tulang berporus adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh
penurunan densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang
sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah15.
Sedangkan menurut Nation Institue of Health (NIH), osteoporosis
adalah suatu penyakit yang ditandai dengan densitas massa tulang yang
rendah serta penurunan jaringan tulang yang dapat mengarah menuju pada
kerapuhan tulang sehingga dapat meningkatkan risiko patah tulang
terutama pada pinggul, tulang belakang, dan pergelangan tangan maupun
kaki16.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa osteoporosis merupakan
penyakit tulang sistemik yang yang ditandai dengan penurunan massa
12
tulang, mikroarsitektur yang memburu, serta densitas massa tulang yang
menurun yang dapat menyebabkan kerapuhan dan patah.
2.1.4.2. Etiologi dan faktor risiko
Osteoporosis merupakan penyakit dengan etiologi multifaktoral
yang artinya banyak faktor yang dapat menyebabkan osteoporosis. faktor-
faktor tersebut dikelompokan menjadi tiga bagian, yaitu faktor yang dapat
diubah (modifiable risk) dan faktor yang tidak dapat diubah (non
modifiable risk)4.
a. Faktor yang dapat diubah
Pada dasarnya faktor yang dapat diubah berasal dari kebiasaan dan
pola hidup sehari-hari. Seperti halnya kebiasaan merokok,
mengkonsumsi alkohol, indeks massa tubuh yang rendah, gizi yang
kurang baik, kelainan makan seperti anorexia, jarang berolahraga,
konsumsi kalsium dalam jumlah yang rendah, defisiensi vitamin D,
dan riwayat jatuh.
Faktor-faktor diatas dapat dicegah serta dapat dikendalikan
kejadiannya. Salah satunya dengan tidak melakukan kebiasaan
merokok dan mengkonsumsi alkohol, makan-makanan gizi seimbang,
melakukan aktifitas fisik secara teratur, dan lain sebagainya.
Gambar 2.4. Gambaran tulang normal dan tulang osteoporosis4
Sumber : International Osteoporosis Foundation. Osteoporosis and You. www.iofbonehealth.org diakses : 25/2/2016.2014:2,10
13
b. Faktor yang tidak dapat diubah
Beberapa faktor yang pengaruhnya tidak dapat diubah dapat
berasal dari faktor usia, wanita, riwayat keluarga mengalami patah
tulang dengan mudah, riwayat patah tulang sebelumnya, menopause
dini, histerektomi, penggunaan obat glukokortikoid jangka panjang,
dan terkena penyakit hipogonadisme primer/sekunder pada laki-laki.
Faktor-faktor diatas kejadiannya tidak dapat diubah sepenuhnya.
Apabila seseorang memiliki risiko untuk mengalami osteoporosis
maka hal preventif yang dapat dilakukan adalah untuk menjaga
kestabilan tubuh agar terhindar dari fraktur.
2.1.4.3. Klasifikasi dan patofisiologi
a) Osteoporosis Primer
Osteoporosis jenis ini umumnya bersifat idiopatik atau tidak dapat
diketahui penyebabnya. Osteoporosis primer terbagi menjadi dua tipe :
1) Osteoporosis Tipe I (Post Menopause)
Patofisiologi yang berperan dalam osteoporosis tipe
I ini terjadi saat setelah seorang wanita mengalami
menopause. Setelah menopause, proses resorpsi tulang
meningkat serta peningkatan pesat terjadi diawal masa
menopause. Akibat dari hal ini terjadi penurunan densitas
tulang yang ditandai dengan petanda resorpsi tulang dan
formasi tulang yang menunjukan adanya peningkatan bone
turnover15. Saat wanita mengalami menopause, maka
estrogen dalam tubuhnya akan menurun. Fungsi dari
estrogen ini adalah untuk menurunkan produksi sitokin oleh
bone marrow stromal cells dan sel-sel mononuklear, seperti
IL-1, IL-6, dan TNF-α dimana tugasnya adalah untuk
meningkatkan kerja dari osteoklas. Oleh karena itu,
14
penurunan estrogen dapat menyebabkan peningkatan
produksi sitokin sehingga menstimulasi kerja osteoklas.
Selain peningkatan kerja dari osteoklas, menopause
juga dapat memberikan efek pada kemampuan absorbsi
kalsium di usus dan meningkatkan ekskresi kalsium di
ginjal15. Selain itu, menopause juga memberikan berbagai
efek pada sintesis protein terutama yang membawa
1,25(OH)2 D. Hal ini menyebabkan tingginya kadar PTH
dalam darah dan membuat kejadian osteoporosis bertambah
parah.
Gambar. 2.5. Patogenesis osteoporosis tipe 1
Sumber : Sudoyo AW, Setiohadi B,Alwi I, Simadibrata M, Setiati S.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 5. Jakarta: Interna, 2009
2) Osteoporosis Tipe II (Senile)
Ketika seseorang memasuki periode delapan dan
sembilan dekade pada masa hidupnya hal ini akan berpengaruh
pada kondisi tubuh seseorang salah satunya adalah tulang. Pada
tulang, terjadi ketidakseimbangan proses remodelling tulang
dimana proses resorpsi tulang mengalami peningkatan
15
sedangkan proses pembentukan tulang tidak berubah atau pun
menurun15. Hal tersebut akan menyebabkan perubahan pada
struktur tulang sehingga dapat berdampak pada ketahanan
tulang dan dapat menyebabkan tulang seseorang menjadi rapuh
dan berujung pada fraktur. Sehingga penurunan densitas massa
tulang seseorang menjadi faktor risiko dari terjadinya kejadian
osteoporosis.
Sampai saat ini belum diketahui penyebab pasti penurunan
densitas massa tulang pada orang tua, yang baru diketahui
adalah penurunan ini terjadi karena pengaruh dari penurunan
kadar estrogen dan IGF-1. Selain itu, defisiensi kalsium dan
vitamin D merupakan salah satu faktor lainnya yang
menyebabkan terjadinya kejadian osteoporosis. Hal ini karena
kurangnya paparan sinar matahari, kurang mengkonsumsi
makan-makanan yang kaya akan kalsium dan vitamin D, dll.
Selain itu defisiensi estrogen, defisiensi protein, penurunan
hormon-homon pertumbuhan, dan faktor lain seperti genetik,
lingkungan (merokok, alkohol, penggunaan obat-obatan dalam
jangka lama) memerankanan peranan penting dalam penurunan
densitas massa tulang dikehidupannya.
b) Osteoporosis Sekunder
Berbeda dengan osteoporosis primer yang penyebabnya
idiopatik, osteoporosis sekunder penyebabnya diketahui dan ada
yang mendasari terjadinya hal tersebut. Osteoporosis sekunder
dapat terjadi pada orang dewasa dan anak-anak. Hal ini dapat
terjadi pada anak-anak dengan juvenile rheumatoid arthritis,
penggunaan obat-obatan kortikosteroid jangka panjang, keganasan,
dan sebagainya. Hal tersebutlah yang dapat membuat penurunan
densitas massa tulang yang cukup hebat.
16
2.1.4.4. Pendekatan Klinis
Untuk dapat menegakan diagnosis osteoporosis, terdapat beberapa
pendekatan klinis yang dapat digunakan untuk menyingkirkan berbagai
jenis osteoporosis. untuk itu diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan
radiologi, dan jika diperlukan dapat dilakukan biopsi.
I. Anamnesis
Anamnesis memegang peranan penting dalam
mendiagnosis berbagai penyakit pada seseorang. Seperti halnya
dengan penyakit lain, anamnesis untuk mengevaluasi kejadian
osteoporosis sangat dibutuhkan agar dapat menegakan diagnosis.
Tanda-tanda yang dapat ditanyakan pada pasien antara lain riwayat
trauma dan fraktur, seperti imobilisasi dalam waktu yang lama,
kemudian penurunan tinggi badan pada orang tua, riwayat
konsumsi obat-obatan yang diminum dalam jangka panjang seperti
obat glukokortikoid, hormon tiroid, konvulsa, heparin, antasid
yang mengandung alumunium, sodium-fluorida, dan bifosfonat
etidronat15. Sedangkan pada anak-anak perlu ditanyakan riwayat
pertumbuhan dan perkembangan anak.
Selain itu, faktor lain seperti paparan sinar matahari, asupan
nutrisi seperti kalsium, fosfor, dan vitamin D perlu ditanyakan
pula. Kebiasaan melakukan aktifitas fisik bersifat weight bearing,
alkohol dan merokok, riwayat penyakit yang sekiranya
berhubungan dengan kejadian osteoporosis seperti penyakit ginjal,
saluran cerna, endokrin, hati, dan pankreas perlu ditanyakan. Pada
wanita perlu ditanyakan riwayat haid, menarche, menopause, serta
penggunaan obat kontrasepsi. Riwayat osteoporosis pada keluarga
dan penyakit metabolik yang bersifat herediter perlu diperhatikan.
17
II. Pemeriksaan Fisik
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan fisik
adalah menilai tinggi badan, berat badan, cara berjalan apakah ada
kelainan seperti kifosis, lordosis, ataupun skoliosis. Perlu
diperhatikan pula apakah ada deformitas pada tulang, nyeri,
ataupun kelainan-kelainan lainnya.
Menurut A.W.Sudoyo dalam bukunya berjudul Ilmu
Penyakit Dalam FKUI Edisi V, dalam pemeriksaan fisik pasien
yang didiagnosis osteoporosis terdapat tanda yang khas seperti
kifosis dorsal atau gibbus (Dowager’s hump) dan penurunan tinggi
badan. Selain itu didapatkan tanda protuberansia abdomen, spasme
otot paravertebral dak kulit yang tipis (tanda Mc-Conkey)15.
III. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Biokimia Tulang
Menurut A.W.Sudoyo dalam bukunya berjudul Ilmu
Penyakit Dalam FKUI Edisi V, beberapa pemeriksaan
biokimia tulang yang dapat digunakan antara lain
pemeriksaan kalsium (kalsium total serum, kadar ion
kalsium, kalsium dalam urin), fosfat urin, osteokalsin urin,
PTH, dan vitamin D15.
Sedangkan untuk menentukan turnover tulang,
dapat dilakukan pemeriksaan petanda yang terdiri dari
petanda formasi Bone Specific Alkaline Phospatase
(BSAP), Osteokalsin (OC), dan petanda resorpsi seperti
hidroksipirolin urin, free and total pyridinolines (Pyd)15.
Petanda tersebut memiliki manfaat seperti dapat
memprediksi kehilangan massa tulang, risiko fraktur,
menyeleksi pasien yang membutuhkan anti resorptif, dan
evaluasi efektivitas terapi15.
18
b. Pemeriksaan Radiologis
Pada pemeriksaan X-Ray tulang belakang
menunjukan adanya kompresi pada salah satu atau beberapa
corpus vertebra. Selain itu terdapat gambaran khas seperti
adanya penipisan korteks dan daerah trabekular15. Selain itu
pemeriksaan densitometri dapat digunakan untuk menilai
densitas massa tulang.
2.1.5. Pemeriksaan densitometri
Pemeriksaan densitometri merupakan pemeriksaan untuk mengukur massa
tulang sehingga dapat diidentifikasi seberapa besar penurunan massa tulang yang
terjadi pada seseorang. pada tahun 1994, WHO merekomendasikan pemeriksaan
densitas massa tulang sebagai suatu upaya untuk mendeteksi kejadian
osteoporosis pada populasi pasca menopause17. Hal ini disebabkan karena
densitometri merupakan pemeriksaan yang akurat dan persis untuk menilai
densitas massa tulang sehingga dapat digunakan untuk menilai faktor prognosis,
prediksi fraktur, dan bahkan sampai diagnosis osteoporosis15. Berbagai metode
yang dapat digunakan untuk menilai densitas massa tulang antara lain :
a. Single-Photon Absorptiometry (SPA) & Dual-Photon Absorptiometry
(DPA)
Single-Photon Absorptiometry (SPA) secara kuantitatif hanya dapat
mengukur densitas massa tulang (BMD) pada tulang perifer18. Hal ini
disebabkan kaarena alat ini memancarkan unsur radioisotop I yang
memiliki energi photon rendah dimana berkas kolimasi yang dipancarkan
akan menembus komponen jaringan lunak yang tidak tebal seperti distal
radius dan kalkaneus15. Sehingga alat ini tidak dapat digunakan untuk
mengukur kepadatan massa tulang pada tulang sentral19.
Dual-Photon Absorptiometry (DPA) memiliki metode yang sama
dengan SPA yang membedakan adalah sumber energi yang mempunyai
photon dengan 2 tingkat energi yang berbeda, hal ini berguna untuk
mengatasi tulang dan jaringan lunak yang cukup tebal sehingga dapat
dipakai untuk evaluasi bagian-bagian tubuh dan tulang yang mempenuyai
19
struktur geometri komplek seperti pada daerah leher, femur, dan
vertebra15.
Kekurangan dari SPA dan DPA terdapat pada penggunaan
radioisotopnya yang harus diganti setiap 6 bulan sekali, waktu
pemeriksaan yang memakan waktu lama (15-30 menit) akibat radioisotop
yang rendah sehingga pasien yang menggunakan alat tersebut mudah
berpindah dan menyebabkan kalkulasi menjadi tidak akurat20.
b. Dual Energy X-Ray Absorptiometry (DXA)
Berbeda dengan kedua metode diatas, DXA menggunakan energi
yang rendah namun sumber energi yang didapatkan yaitu sinar X-ray yang
dihasilkan dari tabung sinar X sehingga hasil didapatkan dengan cepat20.
Pengukuran dilakukan pada tulang aksial, perifer, maupun total body
sehingga metode ini merupakan metode paling sering digunakan dalam
diagnosis osteoporosis karena memiliki tingkat akurasi dan presisi yang
tinggi15. Hasil yang diukur dapat berupa T-score dan Z-score.
c. Quantitative Computer Tomography (QCT)
QCT merupakan alat densitometri yang dianggap paling ideal
karena dapat mengukur densitas tulang secara volumetrik (g/cm2) dan
penggunaan metode ini berguna untuk mengukur densitas tulang
belakang15.
d. Quantitative Ultrasound (QUS)
Merupakan suatu metode untuk mengukur densitas massa tulang
dengan menggunakan gelombang ultrasonik pada tulang calcaneus21.
Penggunaan metode ini dianggap baik dan penggunaannya praktis. Hasil
yang diukur sama dengan DXA namun tidak dalam satuan gr/cm2.
2.1.6. Dual Energy X-Ray Absorptiometry (DXA)
DXA merupakan salah satu metode yang akurat dalam mengevaluasi
osteoporosis. Sehingga metode ini digunakan sebgai baku emas dalam penegakan
diagnosis osteoporosis. Alat ini dapat mengukur bagian-bagian tulang seperti
tulang belakang (L1-L4), tulang panggul (femoral neck, total femoral neck,
20
trochanter), tulang lengan bawah, hingga seluruh tubuh15. Adapun hasil yang
didapat dari pengukuran DXA ini dapat berupa: (1) densitas mineral tulang pada
area yang dinilai satuan bentuk gram per cm2, (2) kandungan mineral tulang
dalam satuan gram, (3) perbandingan hasil densitas massa tulang dengan nilai
normal rata-rata densitas massa tulang orang seusia dan dewasa muda yang
dinyatakan dalam persentase, (4) perbandingan hasil densitas massa tulang
dengan nilai normal rata-rata densitas massa tulang orang seusia dan dewasa muda
yang dinyatakan dalam skor standar deviasi (T-score atau Z-score).
Perhitungan T-score ditujukan untuk populasi muda dimana hal ini
digunakan untuk menilai risiko fraktur pada osteoporosis dengan cara
menghitung hasil densitas massa tulang pasien dikurangi nilai normal rata-rata
densitas tulang populasi muda dibagi SD densitas massa tulang rata-rata populasi
muda, sedangkan Z-score ditujukan untuk populasi orang seusia pasien dengan
cara menghitung hasil densitas massa tulang pasien dikurangi nilai normal rata-
rata densitas massa tulang populasi orang seusia pasien dibagi SD densitas massa
tulang rata-rata orang seusia pasien15.
Dalam pemeriksaan menggunakan DXA, terdapat klasifikasi diagnostik
WHO dimana kriteria ini merujuk pada pengukuran BMD pada tulang belakang,
panggul, dan lengan. Pada kriteria ini tidak dapat digunakan pada pengukuran
dengan menggunakan metode densitometri lain seperti QUS. Berikut adalah
klasifikasi diagnostik WHO :
Gambar 2.6. Kriteria diagnosis osteoporosis berdasarkan nilai T-Score WHO4
Sumber : International Osteoporosis Foundation. Osteoporosis and You.
www.iofbonehealth.org diakses : 25/2/2016.2014:2,10
21
2.1.7. Quantitative Ultrasound (QUS)
QUS merupakan salah satu dari berbagai macam metode untuk
mendiagnosis kejadian osteoporosis. Alat ini menggunakan gelombang ultrasonik
dengan frekuensi antara 200 kHz dan 1,5 Mhz dan dapat mengukur densitas
massa tulang calcaneus, phalanges atau multi-site systems. Kelebihan dari metode
ini adalah non invasif, non radiasi, mudah dibawa, ukurannya kecil, harga alat
yang lebih murah, dan biaya operasional untuk menggunakan alat ini lebih murah
dibandingkan dengan DXA22. Disamping itu, beberapa kekurangan pada alat ini
antara lain hasil pengukuran yang ditampilkan dalam QUS tidak akurat dan kerap
berubah-ubah sehingga untuk dijadikan sebagai alat untuk mendiagnosis cukup
sulit.
Gambar 2.7. Quantitative ultrasound (QUS)29
Sumber : Anonim.Diakses Juli 2017, diunduh dari: http://fusionmedical.com.sg/bone/.
2.1.8. Vitamin D
2.1.8.1. Sintesis dan metabolisme23
Vitamin D merupakan senyawa yang disintesis di kulit. Di kulit
terdapat suatu zat perantara dalam sintesis kolesterol bernama 7-
Dehidrokolesterol, senyawa ini akan mengalami reaksi nonenzimatik
apabila terpajan oleh sinar ultraviolet sehingga akan menghasilkan
senyawa yaitu pravitamin D. Pravitamin D ini kemudian akan menjalani
22
reaksi lebih lanjut dan dalam beberapa jam akan membentuk kolekalsiferol
yang kemudian akan diserap ke dalam aliran darah (Gambar. 2.8.)
Gambar 2.8. Pembentukan vitamin D pada kulit23
Kolekalsiferol akan mengalami dua kali hidroksilasi untuk
menghasilkan metabolit aktif, 1,25-dihidroksivitamin D (Kalsitriol)
(Gambar 2.9). Ergokalsiferol dari makanan yang diperkaya mengalami
hidroksilasi serupa untuk menghasilkan erkalsitriol. Di hati, kolekalsiferol
dihidroksilasi menjadi bentuk turunan 25-hidroksi, yaitu kalsidiol.
Kemudian senyawa ini dibebaskan ke sirkulasi dalam keadaan terikat pada
globulin pengikat vitamin D yang merupakan bentuk simpanan utama
vitamin ini. Di ginjal, kalsidiol mengalami 1-hidroksilasi untuk
menghasilkan metabolit aktif 1,25-dihidroksi-vitamin D (kalsitriol) untuk
menghasilkan metabolit yang mungkin inaktif, 24,25-dihidroksivitamin D.
Gambar 2.9. Metabolisme Vitamin D23
Sumber : Murray RK, Graner DK, Rodwell VW. Biokimia Harper Edisi
29. Jakarta: EGC.2014.
Sumber : Murray RK, Graner DK, Rodwell VW. Biokimia Harper Edisi
29. Jakarta: EGC.2014.
23
2.1.8.2 Fungsi dan Pengaruh Vitamin D terhadap Tulang23
Fungsi utama vitamin D adalah untuk mengontrol homeostasis
kalsium dan selanjutnya metabolisme vitamin D akan diatur oleh faktor-
faktor yang berespon terhadap konsentrasi kalsium dan fosfat plasma.
Kalsitriol sendiri yang merupakan metabolit aktif akan bekerja dengan
cara mengurangi sintesis dirinya sendiri dengan cara menginduksi 24-
hidroksilase dan menekan 1-hidroksilase di ginjal.
Berdasarkan fungsi utamanya, untuk mencapai terealisasinya hal
tersebut kalsitriol memiliki tiga cara untuk mencapainya yaitu dengan; (1)
meningkatkan penyerapan kalsium diusus, (2) mengurangi ekskresi
kalsium (dengan cara merangsang penyerapan di tubulus distal ginjal), (3)
memobilisasi mineral tulang. Selain itu, kalsitriol berperan dalam sekresi
insulin, sintesis dan sekresi hormon paratiroid dan tiroid, inhibisi
pembentukan interleukin oleh limfosit T aktif dan immunoglobulin oleh
limfosit B aktif, diferensiasi sel prekursor monosit, dan modulasi
proliferasi sel.
24
2.2 Kerangka Teori4,15
Faktor risiko osteoporosis
Lanjut Usia
Faktor yang dapat diubah
Faktor yang tidak dapat diubah
Meningkatkan risiko fraktur
Penurunan densitas massa tulang
Gangguan fungsi osteoblas
Indeks Massa Tubuh
Defisiensi Kalsium
Defisiensi vitamin D
Penurunan sekresi estrogen
& IGF 1
Penurunan aktivitas fisik
Penurunan absorbsi
Ca di usus
Osteoporosis
25
2.3 Kerangka Konsep
Konsentrasi serum vitamin D (25(OH)D)
Densitas Massa Tulang Calcaneal
Faktor :
1. Usia 2. Indeks Massa
Tubuh 3. Jenis Kelamin
26
2.4 Definisi Operasional
N
o Variabel Definisi Pengukur Alat Ukur
Cara
Pengukuran Skala Pengukuran SCORE
1.
Densitas
Massa
Tulang
Calcaneal
Pengukuran
osteoporosis
diukur
berdasarkan
densitas massa
tulang yang
dinilai melalui
tulang
calcaneus
responden.
Peneliti
Quanti-
tative
ultrasound
(QUS)
Bagian
Calcaneal
pasien
dimasukan ke
dalam QUS
kemudian
perhitungan
dimulai dan
diakhiri
dengan
keluarnya
hasil berupa
T-score.
Kategorik
T-score alat QUS29
1. Normal : ≥ 3,0 SD
2. osteopenia : 1,89-
3,0 SD
3. osteoporosis : ≤
1,9 SD
2.
Konsentrasi
serum
vitamin D
Konsentrasi
serum Vitamin
D(25(OH)D)
yang
terkandung
dalam darah.
Laboran dan
Peneliti
Chemo-
lumninescen
immuno
assay
Pengambilan
sampel darah
dilakukan
pada pagi hari
setelah puasa
makan 12 jam
pada malam
sebelumnya
Kategorik
1. Sufisien
(>50-125
nmol/l)
2. Insufisien
(25-50
nmol/l)
3. Defisien
(<25
nmol/l)
Sumber : (Heaney &
Weaver 2003)
(Holick 2004)
3.
Usia
Keterangan
umur
kronologis
(dalam tahun).
Peneliti
Wawancara
Kategori
1. Lansia awal : 60-
69 tahun
2.Lansia Madia : 70-
79 tahun
27
Sumber : Badan
Pusat Statistik, 2013
4.
Jenis
Kelamin
Jenis kelamin
responden
yang dibagi
menjadi
kelompok laki-
laki dan
perempuan
Peneliti
Kuisioner
Wawancara
Nominal
1. Laki-laki
2. Perempuan
5.
Indeks
Massa
Tubuh
Keterangan
angka yang
didapatkan
dari rasio berat
badan terhadap
tinggi badan.
Peneliti
Timbangan
dan meteran
Berat badan
(kg) dibagi
dengan
kuadrat tinggi
badan (m2)
Kategorik
1.Underweight : <17
kg/m2
2.Normoweight:
17,0 – 18,4 kg/m2
3.Overweight : 18,5-
25,0 kg/m2
4.Obesitasitas tipe 1
: 25,1-27,0 kg/m2
28
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah cross-sectional untuk mengetahui
hubungan konsentrasi serum vitamin D (25(OH)D) dengan densitas massa
tulang calcaneal pada lansia di KPKM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2017.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu : Februari-Mei 2017
Tempat : KPKM Reni Jaya, Pamulang
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi target : Semua individu dengan usia ≥ 60 tahun
Populasi terjangkau : Semua individu dengan usia ≥ 60 tahun yang
datang berobat ke KPKM Reni Jaya, Pamulang
Sampel : Semua individu dengan usia ≥ 60 tahun yang
berada di sekitar KPKM Reni Jaya, Pamulang dan
datang ke KPKM serta diperiksa konsentrasi serum
vitamin D (25(OH)D) dan densitas massa
tulangnya.
3.4 Jumlah Sampel Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode analitik
korelatif dengan perhitungan sebagai berikut :
n = { 𝐙𝛂+𝐙𝛃
𝟎,𝟓𝐥𝐧 [𝟏+𝐫𝟏−𝐫]}2 + 3
29
Keterangan :
Zα = deviat baku alfa
Zẞ = deviat baku beta
r = korelasi minimal yang dianggap bermakna
Kesalahan tipe I ditetapkan sebesar 5%, hipotesis dua arah
sehingga Zα nilainya adalah 1,64. Kesalahan tipe II ditetapkan sebesar
10% maka ditetapkan bahwa Zẞ nilainya adalah 1,28. Korelasi minimal
yang dianggap bermakna ditetapkan sebesar 0,43.
n = { 𝐙𝛂+𝐙𝛃
𝟎,𝟓𝐥𝐧 [𝟏+𝐫𝟏−𝐫]}2 + 3
= {(𝟏,𝟔𝟒+𝟏,𝟐𝟖)
𝟎,𝟓𝐥𝐧 [𝟏+𝟎,𝟒𝟏−𝟎,𝟒]
}2 + 3
= { (𝟐,𝟗𝟐)
𝟎,𝟓𝐥𝐧 [𝟏,𝟒𝟑𝟎,𝟓𝟕]
}2 + 3
= { (𝟑,𝟐𝟒𝟐)
𝟎,𝟓𝐥𝐧 [𝟏,𝟒𝟑𝟎,𝟓𝟕]
}2 + 3
= { (𝟑,𝟐𝟒𝟐)𝟎,𝟓𝐥 𝐧𝟐,𝟓𝟎
}2 + 3
= {(𝟑,𝟐𝟒𝟐)𝟎,𝟒𝟓
}2 + 3
= (7,20)2 + 3
= 51,89 + 3
= 54,89 Besar sampel minimal
30
Dengan demikian, besar sampel minimal yang dibutuhkan dalam
penelitian ini sebesar 55 orang.
3.5 Teknik Pengambilan Sampel Penelitian
Teknik sampling yang digunakan peneliti dalam penelitian ini
adalah consecutive sampling, yaitu menjadikan setiap pasien yang datang
berobat ke KPKM Reni Jaya sebagai sampel dimana pasien tersebut
masuk kedalam kriteria inklusi subjek penelitian.
3.6 Kriteria Sampel Penelitian
3.6.1 Kriteria inklusi :
1. Usia ≥ 60 tahun
2. Lansia yang datang ke KPKM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.6.2 Kriteria eksklusi :
1. Lansia yang rutin mengkonsumsi obat-obatan glukokortikoid
2. Lansia yang menderita keganasan
3. Lansia yang menderita penyakit endokrin
3.7 Alat dan Bahan
1. Peralatan cek darah untuk mengukur konsentrasi serum vitamin D
(25(OH)D)
2. Bolpoin, Kertas
3. Laptop
4. Densitometri Quantitative ultrasound (HOLOGIC SAHARA
Clinical Bone Sonometer)
5. Program software Statistical Package for the Social Sciences 22
(SPSS 22)
31
3.8 Alur Kerja Penelitian
Persiapan penelitian
Perizinan ke KPKM Reni Jaya, Pamulang
Diskusi dengan ketua KPKM Reni Jaya, Pamulang terkait waktu pelaksanaan yang
tepat untuk dilakukannya penelitian
Melakukan pemeriksaan berat badan
dan tinggi badan
Pengambilan sampel darah pasien
Penyajian dan analisa data
Melakukan informed consent, wawancara, dan pengisian kuisioner
Pemeriksaan konsentrasi serum vitamin D (25(OH)D) pada darah pasien
Pengiriman sampel ke laboratorium Prodia
Pengukuran densitas massa tulang dengan alat QUS yang dilakukan oleh peneliti
Hasil pemeriksaan diterima oleh peneliti
32
3.9 Cara Kerja Penelitian
1. Melakukan persiapan penelitian di Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Mengurus surat perizinan untuk melakukan penelitian di KPKM Reni
Jaya, Pamulang.
3. Melakukan diskusi dengan ketua KPKM Reni Jaya, Pamulang terkait
waktu pelaksaan yang tepat untuk dilakukannya penelitian.
4. Melakukan pendataan pasien lansia yang rutin datang ke KPKM Reni
Jaya, Pamulang.
5. Melakukan informed consent kepada responden
6. Melakukan pemeriksaan berat badan dan tinggi badan.
7. Melakukan cek darah untuk menilai konsentrasi serum vitamind D
(25(OH)D).
8. Melakukan pemeriksaan densitas massa tulang pada tulang calcaneus
dengan menggunakan alat densitometri Hologic Sahara Quantitative
Ultrasound.
9. Melakukan dokumentasi dan perekapan data yang didapat.
10. Mengolah data yang ada dengan menggunakan program SPSS pada
komputer.
11. Melakukan analisis data dari hasil program SPSS.
3.10 Identifikasi Variabel
3.10.1 Variabel terikat (dependen)
Densitas massa tulang calcaneus yang digambarkan dengan nilai estimated
heel T-score dalam skala kategorik.
3.10.2 Variabel bebas (independen)
Konsentrasi serum vitamin D (25(OH)D) yang digambarkan dalam skala
kategorik.
33
3.11 Rencana Manajemen Data
3.11.1 Pengolahan data
1. Coding, pemberian kode pada masing-masing data yang sesuai dengan
kriteria masing-masing.
2. Entry, memasukan data yang ada ke dalam program komputer.
3. Editing, memilah kelengkapan jawaban dan tulisan yang jelas.
3.11.2 Analisis data
Setelah dilakukan pengolahan data menggunakan program SPSS versi 22
pada komputer, penulis melakukan analisis data menggunakan analisis
bivariat dengan tujuan untuk mengetahui hubungan kedua variabel. Dimana
kedua variabel tersebut terdiri atas konsentrasi serum vitamin D (25(OH)D)
dimana bertindak sebagai variabel independen dan densitas massa tulang pada
tulang calcaneus bertindak sebagai variabel dependen.
Pada saat melakukan uji analisis bivariat, penulis menggunakan uji Chi-
square untuk mengetahui hubungan antara kedua variabel karena kedua
variabel tergolong kedalam jenis data kategorik sehingga didapatkan data P-
Value. Sementara untuk menilai uji korelasi penulis menggunakan uji
korelasi Spearman sehingga data yang didapatkan adalah nilai r.
Selain melakukan uji analisis bivariat, penulis melakukan uji analisis
multivariat dengan tujuan untuk melihat faktor-faktor lain yang dapat
mempengaruhi hubungan kedua variabel diatas.
34
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan di KPKM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
terletak di Reni Jaya, Pamulang. Penelitian berlangsung dari bulan Februari-Mei
2017 dimana data yang diambil menggunakan data primer. Responden dalam
penelitian ini berjumlah 60 orang lansia yaitu usia ≥60 tahun yang datang ke
KPKM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah bersedia untuk dijadikan
sebagai responden. Data yang diambil berupa konsentrasi serum vitamin D yang
diambil melalui darah pasien yang bekerjasama dengan laboratorium Prodia serta
pemeriksaan densitas massa tulang calcaneal yang dinilai dengan melihat
estimated heel T-score responden dengan menggunakan alat Hologic Sahara
Quantitative Ultrasound (QUS).
4.1. Karakteristik Responden
4.1.1. Usia responden
Tabel 4.1. Usia responden
KATEGORI FREKUENSI (n) PERSENTASE (%)
Lansia Muda (60-69
tahun)
46 76,7
Lansia Madia (70-79
tahun)
14 23,3
Total 60 100
Hasil data yang didapat dari responden, yaitu lansia usia ≥60 tahun
terdapat 46 orang (76,7%) lansia muda , dengan rentang usia 60-69 tahun dan 14
orang (23,3%) lansia madya yang berusia 70-79 tahun. Dimana usia tertua yaitu
76 tahun dengan rata-rata usia 65,90 (SD = 4,686). Data ini diperoleh dari hasil
wawancara langsung dengan responden.
35
Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa risiko peningkatan
densitas massa tulang kerap meningkat sesuai dengan pertumbuhan seseorang.
Hal ini sejalan dengan penelitian (Prihatin dkk, 2010) dengan menggunakan studi
cross sectional yang menyatakan bahwa osteoporosis sebagaian besar diderita
pada usia ≥ 55 tahun dengan hubungan yang bermakna (p<0,05) sehingga
semakin tua seseorang kecenderungan untuk mengalami risiko osteoporosis
semakin besar1. Hal ini dapat terjadi karena proses mineralisasi tulang cenderung
berhenti saat usia >25 tahun dan mengalami ketetapan hingga usia 40 tahun
(Tandra dkk, 2009)2. Oleh karena itu, faktor usia sangat berpengaruh terhadap
densitas massa tulang setiap individu.
Grafik 4.1. Usia Responden
4.1.2. Jenis Kelamin Responden
Tabel 4.2. Jenis kelamin responden
KATEGORI FREKUENSI (n) PERSENTASE (%)
Laki-laki 17 28,3
Perempuan 43 71,7
Total 60 100
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
60-69 tahun 70-79 tahun
Frek
uens
i
Usia
frekuensi
frekuensi2
36
Hasil data yang didapat, dari 60 orang responden terdapat 17 orang
(28,3%) responden dengan jenis kelamin laki-laki dan 43 orang (71,7%)
responden dengan jenis kelamin perempuan. Data ini diambil melalui proses
wawancara dengan responden. Dari penelitian ini proporsi perempuan menempati
tempat terbanyak dibandingkan pria. Untuk itu didapatkan bahwa risiko
penurunan densitas massa tulang lebih banyak terjadi pada wanita. Hal ini dapat
terjadi karena pengaruh dari faktor homonal dimana penurunan kadar estrogen
terjadi pasca menopause3.
Grafik 4.2 Jenis kelamin responden
4.1.3. Indeks Massa Tubuh (IMT) Responden
Tabel 4.3. Indeks massa tubuh responden
KATEGORI FREKUENSI (n) PERSENTASE (%)
IMT kurang (<17) 2 3,3
IMT Normal (17-18,4) 1 1,7
IMT Overweight (18,5-
25,0)
31 51,7
IMT Obese 1 (25,1-27) 26 43,3
Total 60 100
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Perempuan Laki-laki
Frek
uens
i
Jenis Kelamin
Frekuensi
Frekuensi2
37
Pengukuran indeks massa tubuh responden dilakukan dengan
menggunakan pengukuran berat badan dan tinggi badan di KPKM Reni Jaya. Alat
yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa timbangan digital dan meteran.
Data ini diambil dengan menghitung jumlah indeks massa tubuh responden yaitu
berat badan dibagi dalam satuan kilogram (kg) dibagi dengan tinggi badan dalam
satuan meter persegi (m2).
Hasil data yang didapat dari responden, dari 60 orang responden terdapat 2
orang (3,3%) yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) kurang (<17 kg/m2), 1
orang (1,6%) memiliki IMT normal (18,5-25,0 kg/m2), 31 orang (51,7%)
memiliki IMT berlebih atau overweight (18,5-25,0 kg/m2), dan selebihnya 26
orang (43,3%) orang memiliki IMT obesitas tipe 1 (25,1-27 kg/m2).
Grafik 4.3. Indeks massa tubuh responden
0
5
10
15
20
25
30
35
underweight normoweight overweight obesitas tipe 1
Frek
uens
i
Indeks massa tubuh
Frekuensi
38
4.1.4. Densitas Massa Tulang Calcaneal Responden
Tabel 4.4. Densitas massa tulang calcaneal responden
KATEGORI FREKUENSI (n) PERSENTASE (%)
(-1,89) -(+3,0) SD 19 31,7
≤ (-1,9) SD 41 68,3
Total 60 100
Hasil data yang diukur dari tulang calcaneal responden, dari 60 orang
responden terdapat 19 orang (31,7%) dikategorikan osteopenia dengan nilai t-
score (1,89)-(3,0) SD dan 46 orang (68,3%) dikategorikan osteoporosis dengan
nilai T-score dalam rentang ≤ (-1,9). Sedangkan responden yang memiliki
densitas massa tulang yang normal tidak ada.
Data ini diambil secara langsung oleh peneliti melalui pengukuran tulang
calcaneal dengan menggunakan alat Hologic Sahara Quantitative Ultrasound.
Dari pengukuran tersebut terdapat tiga hasil yang diberikan yaitu T-score,
QUI/STF, dan estimated heel T-score. Namun, hasil yang diambil adalah dengan
melihat nilai estimated heel T-score karena memiliki cut off value yang sama
berdasarkan klasifikasi osteoporosis menurut WHO.
Dari intepretasi di atas dapat dikatakan sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Andriani,2016 yang menggambarkan bahwa kepadatan massa
tulang terbanyak terjadi pada pasien tidak normal yaitu sebanyak 101 orang.
Namun kelompok terbanyak yang memiliki densitas massa tulang yang lebih
besar adalah osteopenia sebanyak 57 orang (51,8%) dibandingkan kelompok
osteoporosis sebanyak 44 orang (40%)4.
39
Grafik 4.4. Densitas massa tulang calcaneal responden
4.1.5. Konsentrasi Serum Vitamin D (25(OH)D
Tabel 4.5. Konsentrasi Serum Vitamin D (25(OH)D) Responden
KATEGORI FREKUENSI (n) PERSENTASE (%)
Sufisien (>50-125
nmol/l)
20 33,3
Insufisien (25-50 nmol/l)
31 51,7
Defisien (<25 nmol/l) 9 15,0
Total 60 100
Konsentrasi serum vitamin D diambil melalui pengambilan darah pasien
dengan bekerjasama dengan laboratorium Prodia. Saat pengambilan data, pasien
telah bersedia. Konsentrasi serum vitamin D diukur dalam satuan nmol/L. Dari 60
responden, terdapat 20 orang (33,3%) masuk dalam kategori sufisien, 31 orang
(51,7%) masuk dalam kategori insufisien, dan sisanya sebanyak 9 orang (15,0%)
masuk dalam kategori defisiensi. Dari penelitian ini, sejalan dengan hasil
penelitian Siti Setiati dkk, 2015 mengenai determinan diagnostik klinis defisiensi
vitamin D pada wanita berusia > 50 tahun dengan menggunakan model penelitian
cross sectional dimana hasil terbanyak didapatkan pada kelompok insufisiensi
pada lansia yaitu sebanyak 75,8%, kelompok defisiensi sebanyak 15,8% dan
subjek yang mempunyai kadar vitamin D sufisien sebanyak 8,3%5.
0
10
20
30
40
50
Osteopenia OsteoporosisFr
ekue
nsi
Densitas massa tulang calcaneal
Frekuensi
40
Grafik 4.5. Konsentrasi serum vitamin D (25(OH)D) responden
4.2. Korelasi antara Konsentrasi Serum Vitamin D (25(OH)D) dengan
Densitas Massa Tulang Calcaneal dalam Bentuk estimated heel T-Score
Tabel 4.6. Korelasi antara konsentrasi serum vitamin D (25(OH)D) dengan
densitas massa tulang calcaneal dalam bentuk estimated heel T-Score
Untuk mengetahui hubungan konsentrasi serum vitamin D (25(OH)D)
dengan estimated heel T-score pada responden digunakan analisis bivariat dimana
kedua variabel tergolong kedalam jenis data kategorik. Untuk itu uji analisis yang
digunakan adalah uji Chi square karena data ini menggunakan tabel 2x3 maka,
hasil dilihat dari nilai Pearson Chi-Square sehingga didapatkan nilai p-value
sebesar 0,159 dimana Ho diterima. Hal ini menunjukan bahwa hubungan antara
konsentrasi serum vitamin D (25(OH)D) dengan densitas massa tulang calcaneal
dalam bentuk estimated heel T-score tidak signifikan.
0
5
10
15
20
25
30
35
Sufisien Insufisien Defisien
Frek
uens
i
Konsentrasi serum vitamin D
Frekuensi
KORELASI P VALUE TANDA KOEFISIEN
KORELASI (r)
Konsentrasi serum
Vitamin D (25(OH)D)
dengan Densitas Massa
Tulang Calcaneal
0,159 (+)
Positif
0,07
41
Untuk mengetahui nilai korelasi antara serum vitamin D (25(OH)D)
dengan densitas massa tulang calcaneal responden, penulis menggunakan uji
korelasi Spearman sehingga didapatkan nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,07
yang artinya hubungan antara dua variabel sangat lemah. Tanda positif
menunjukkan hasil antara dua variabel adalah sebanding yang artinya hubungan
antara dua variabel menyatakan bahwa responden dengan konsentrasi serum
vitamin D (25(OH)D) yang tinggi memiliki hasil densitas massa tulang yang
tinggi juga.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Mir Sadat Ali, dkk,
2011 yang menyatakan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara
konsentrasi serum vitamin d level dengan densitas massa tulang dimana
digambarkan dari kelompok responden yang tergolong dalam kelompok
insufisiensi, terdapat 84,2% wanita dan 88,9% pria memiliki densitas massa
tulang yang rendah dan ditemukan tidak ada yang memiliki densitas massa tulang
yang normal7.
Tabel 4.7. Hasil tabulasi silang antara konsentrasi serum vitamin D (25(OH)D)
dengan densitas massa tulang calcaneal dalam bentuk estimated heel T-Score
Pada penelitian ini, hasil dari data tabulasi silang di atas menggambarkan
bahwa terdapat 5 orang (25%) responden dengan konsentrasi serum vitamin d
sufisien (50-125nmol/L) yang memiliki densitas massa tulang antara (-1,89)-
(+3,0). Sedangkan 15 orang dengan konsentrasi serum vitamin D sufisien
memiliki densitas ≤-1,9 SD.
KORELASI Kategori
Densitas Massa Tulang Calcaneal (T-score)
Total (-1,89)-(+3,0) ≤-1,9 SD
Konsentrasi serum Vitamin D
(25(OH)D) dengan Densitas
Massa Tulang Calcaneal
Sufisien 5 (25%) 15 (75,0%) 20 (100,0%)
Insufisien 13 (41,9%) 18 (58,1%) 31 (100,0%)
Defisien 1 (11,1%) 8 (88,9%) 9 (100,0%)
Total 19 41 60
42
Data lainnya menggambarkan bahwa responden yang tergabung dalam
kelompok insufisien sebanyak 13 orang (41,9%) dimana memiliki densitas
massa tulang antara (-1,89)-(+3,0) serta 18 orang (58,1%) dengan konsentrasi
serum vitamin D insufisien memiliki densitas ≤-1,9 SD.
Intepretasi terhadap responden yang memiliki konsentrasi serum vitamin
D defisien dengan densitas massa tulang antara (-1,89)-(+3,0) ada sebanyak 1
orang (11,1%). Sedangkan 8 orang (88,9%) lainnya yang memiliki konsentrasi
serum vitamin D defisien dengan densitas massa tulang ≤-1,9 SD ada sebanyak 8
orang (88,8%).
Dari data di atas dapat dikatakan bahwa hasil dari tabulasi silang dapat
menjawab Ho, namun tidak dapat melihat pengaruh antara 2 variabel. Untuk
mengetahui seberapa besar risiko yang ditimbulkan serta untuk mengetahui ada
tidaknya faktor perancu maka digunakan uji analisis regresi logistik biner.
Tabel 4.8. Hasil analisis regresi logistik biner
Hasil data tabel di atas menggambarkan bahwa responden yang tergolong
dalam kelompok sufisien memiliki kecenderungan 0,426 kali dibandingkan
dengan responden kelompok defisien untuk memiliki kecenderungan mengalami
osteoporosis dengan nilai T-score ≤-1,9 SD dengan p-value sebesar 0,525.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa hubungan antara konsentrasi serum vitamin D
seseorang dengan densitas massa tulang calcaneal pada lansia tidak signifikan.
Konsentrasi Serum
Vitamin D
B Exp (B) SIG
Konsentrasi Serum
Vitamin D Sufisien
(-0,807) 0,426 0,525
Konsentrasi Serum
Vitamin D Insufisien
(-1,746) 0,175 0,121
43
4.3 Faktor-faktor Lain yang Mempengaruhi Densitas Massa Tulang
Calcaneal
Beberapa faktor perancu yang mungkin dapat mempengaruhi densitas
massa tulang antara lain ada usia, jenis kelamin, dan indeks massa tubuh. Untuk
mengetahui faktor perancu yang dapat mempengaruhi variabel digunakan uji
analisis regresi biner. Setelah dilakukan uji regresi logistik biner, didapatkan hasil
data sebagai berikut :
1. Pengaruh usia dengan densitas massa tulang calcaneal
Tabel 4.9. Pengaruh usia terhadap densitas massa tulang calcaneal
Hasil data tabel di atas menggambarkan bahwa responden dengan usia
60-69 tahun memiliki kecenderungan 1,554 kali dibanding responden yang
berusia 70-79 tahun untuk memiliki kecenderungan mengalami osteoporosis
dengan nilai T-score ≤-1,9 SD dengan p-value sebesar 0,594. Sehingga dapat
diasumsikan bahwa variabel yang lainnya adalah konstan serta berdasarkan dari
hasil uji statistik di atas menyatakan bahwa pengaruh usia tidak memberikan
pengaruh yang signifikan dengan densitas massa tulang calcaneal pada lansia.
2. Pengaruh jenis kelamin dengan densitas massa tulang calcaneal
Tabel 4.10. Pengaruh jenis kelamin terhadap densitas massa tulang calcaneal
Hasil data tabel di atas menggambarkan bahwa responden dengan jenis
kelamin laki-laki memiliki kecenderungan 0,621 kali dibandingkan dengan
responden dengan jenis kelamin perempuan untuk memiliki kecenderungan
USIA B Exp (B) SIG
60-69 tahun (0,441) 1,554 0,594
Jenis Kelamin B Exp (B) SIG
Laki-laki (-0,476) 0,621 0,530
44
mengalami osteoporosis dengan nilai T-score ≤-1,9 SD dengan p-value sebesar
0,530. Sehingga dapat diasumsikan bahwa variabel lainnya adalah konstan serta
berdasarkan dari hasil uji statistik di atas menyatakan bahwa jenis kelamin tidak
memberikan pengaruh yang signifikan dengan densitas massa tulang calcaneal
pada lansia.
3. Pengaruh indeks massa tubuh dengan densitas massa tulang calcaneal
Tabel 4.11. Pengaruh indeks massa tubuh terhadap densitas massa tulang
calcaneal
Intepretasi dari data di atas menggambarkan bahwa responden yang
memiliki indeks massa tubuh pada kelompok overweight (>18,5-25,0 kg/m2)
memiliki kecenderungan 1,130 kali dibandingkan dengan responden dengan
indeks massa tubuh pada kelompok obesitas tipe 1 sehingga memiliki
kecenderungan untuk mengalami osteoporosis dengan nilai T-score ≤-1,9 SD
dengan p-value sebesar 0,837.
Intepretasi dari data di atas menggambarkan bahwa responden yang
memiliki indeks massa tubuh pada kelompok normal (17,0-18,4 kg/m2) memiliki
kecenderungan 555868948,9 kali dibandingkan dengan responden dengan indeks
massa tubuh pada kelompok obesitas tipe 1 sehingga memiliki kecenderungan
untuk mengalami osteoporosis dengan nilai T-score ≤-1,9 SD dengan p-value
sebesar 0,999.
Intepretasi dari data di atas menggambarkan bahwa responden yang
memiliki indeks massa tubuh pada kelompok underweight (<17kg/m2) memiliki
kecenderungan 1,130 kali dibandingkan dengan responden dengan indeks massa
Indeks Massa Tubuh B Exp (B) SIG
Underweight (<17kg/m2) 0,123 1,130 0,837
Normal (17,0-18,4 kg/m2) 20,136 555868948,9 0,999
Overweight(25,1-27,0
kg/m2)
0,123 1,130 0,837
45
tubuh pada kelompok obesitas tipe 1 sehingga memiliki kecenderungan untuk
mengalami osteoporosis dengan nilai T-score ≤-1,9 SD dengan p-value sebesar
0,837.
Sehingga dapat diasumsikan bahwa variabel yang lainnya adalah konstan
serta berdasarkan dari hasil uji statistik di atas menyatakan bahwa indeks massa
tubuh tidak memberikan pengaruh yang signifikan dengan densitas massa tulang
calcaneal pada lansia.
4. Pengaruh konsentrasi serum vitamin D (25(OH)D) dengan densitas massa
tulang calcaneal
Tabel 4.12. Pengaruh konsentrasi Serum Vitamin D (25(OH)D) dengan densitas
massa tulang calcaneal
Intepretasi dari data di atas menggambarkan bahwa responden yang
memiliki konsentrasi serum vitamin D pada kelompok sufisien (>50-125nmol/L)
memiliki kecenderungan 0,446 kali dibandingkan dengan responden kelompok
defisien (<25nmol/L) sehingga memiliki kecenderungan untuk mengalami
osteoporosis dengan p-value sebesar 0,525.
Intepretasi dari data di atas menggambarkan bahwa responden yang
memiliki konsentrasi serum vitamin D pada kelompok insufisien (25-50nmol/L)
memiliki kecenderungan 0,175 kali dibandingkan dengan responden kelompok
defisien (<25nmol/L) sehingga memiliki kecenderungan untuk mengalami
osteoporosis dengan p-value sebesar 0,121.
Sehingga dapat diasumsikan bahwa variabel yang lainnya adalah konstan
serta berdasarkan dari hasil uji statistik di atas menyatakan konsentrasi serum
Konsentrasi Serum
Vitamin D
B Exp (B) SIG
Sufisien (>50-125nmol/L) (-0,807) 0,446 0,525
Insufisien (25-50nmol/L) (-1,746) 0,175 0,121
46
vitamin D (25(OH)D) tidak memberikan pengaruh yang signifikan dengan
densitas massa tulang calcaneal pada lansia.
4.4 Keterbatasan Penelitian
1. Transportasi, menjadi kendala bagi responden untuk ikut turut hadir dalam
penelitian ini karena responden yang sudah memasuki usia lanjut
mengalami kesulitan datang ke KPKM Reni Jaya dan ditambah rumah
responden yang jaraknya cukup jauh dari KPKM Reni Jaya.
2. Hasil pemeriksaan alat densitometri QUS tidak dapat dicetak sehingga
peneliti tidak dapat melihat hasil dalam bentuk fisik.
3. Parameter yang digunakan masih belum terstandardisasi dalam menilai
densitas massa tulang menggunakan alat QUS.
4. Proses pengambilan sampel darah yang dilakukan oleh pihak Prodia
sehingga peneliti tidak dapat mengetahui lebih lanjut mengenai alat dan
reagen yang digunakan.
47
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Pada penelitian ini, tidak didapatkan hasil yang bermakna antara
konsentrasi serum vitamin D (25(OH)D) dengan densitas massa tulang calcaneal
lansia di KPKM Reni Jaya, Pamulang tahun 2017 dengan nilai P-value 0,159 dan
nilai korelasi (r) 0,07, dimana hal ini menunjukan bahwa konsentrasi serum
vitamin D (25(OH)D) tidak memberikan pengaruh secara signifikan dengan
densitas massa tulang calcaneal pada lansia setelah dikontrol dengan cofounding
factor yaitu usia, jenis kelamin, dan IMT.
5.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan peneliti terdapat beberapa
saran, yang diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Bagi Masyarakat
1) Bagi lansia, khususnya bapak/ibu yang terdiagnosis osteopororsis
untuk menghindari kejadian yang dapat memperparah osteoporosis
seperti fractur, dll. Dan tatalaksana segera apabila telah
mengalaminya.
2) Bagi lansia, yang memiliki faktor risiko osteoporosis untuk
mencoba melakukan deteksi dini diinstansi-instansi kesehatan
terdekat guna menghindari risiko lebih lanjut dari osteoporosis,
serta senantiasa untuk membiasakan diri melakukan aktivitas fisik
ringan, berjemur, dan hindari risiko jatuh.
3) Bagi remaja dan dewasa muda, untuk selalu menjauhi faktor risiko
terjadinya osteoporosis dan memenuhi asupan kalsium serta
vitamin D sedini mungkin. Selain itu, perbanyak aktifitas fisik agar
dapat menguatkan tulang dan hindari risiko fractur , jauhi rokok
dan konsumsi alkohol, serta hindari mengkonsumsi obat-obatan
glukortikoid dalam jangka lama.
48
b. Bagi Peneliti Lain
1) Bagi peneliti lain, disarankan untuk melanjutkan penelitian yang
dilakukan oleh penulis serta menambah jumlah responden ya.
2) Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk menggunakan alat
diagnostik yang sesuai dengan standar baku WHO yaitu DXA
untuk mempertajam hasil diagnosa osteoporosis pada pasien.
3) Untuk penelitian selanjutnya, ada baiknya untuk melakukan
edukasi preventif untuk pasien terutama terkait kesehatan tulang.
c. Bagi Pemerintah
1) Sebaiknya diadakan screening untuk mendeteksi osteoporosis
pada instansi kesehatan primer. Serta menyiapkan alatnya agar
lansia dapat mengetahui lebih dini terkait penyakit ini dan lebih
waspada terhadap kejadiannya.
2) Sebaiknya disediakan alat-alat untuk mendeteksi osteoporosis pada
lansia di instansi kesehatan primer dengan alat-alat sederhana
seperti quantitative ultrasound.
49
BAB VI
KERJASAMA PENELITIAN
Riset ini merupakan bagian kerjasama riset mahasiswa dan kelompok riset
Osteoarthritis dan Osteoporosis pada lansia di KPKM Reni Jaya UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang dibiayai oleh dr. Achmad Zaki, Sp.OT, M.Epid serta
dibawah bimbingannya.
50
50
DAFTAR PUSTAKA
1. Badan Pusat Statistik.. Statistik Penduduk Lanjut Usia 2014 Hasil Survei Sosial
Ekonomi Nasional.Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2015.
2. Marjan, A. Q dan Marliyati, S.A. Hubungan antara pola konsumsi pangan dan
aktivias fisik dengan kejadian osteoporosis pada lansia di panti wedha bogor.
Jurnal gizi dan pangan.2013; 8)2):123-128
3. Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI. InfoDATIN Data dan Kondisi Penyakit
Osteoporosis di Indonesia. Jakarta. Puslitbang. 2015
4. International Osteoporosis Foundation. Osteoporosis and You. [diakses pada
25/2/2016] diunduh dari www.iofbonehealth.org.2014:2,10.
5. Vera, Setiati siti, Govinda Arya. Determinan diagnostik klinis defisiensi vitamin
D pada wanita berusia lebih dari 50 tahun. [dikutip pada Juli 2017] diunduh
dari www.jurnalpenyakitdalam.com/index.php/jpdi/article/download/94/90
6. Hall JE, Guyton AC. Guyton dan hall buku ajar fisiologi kedokteran.2014. 12.
7. Sadat-Ali M, Al Elq AH, Al-Turki HA, Al-Mulhim FA, Al-Ali AK.
Influence of vitamin D levels on bone mineral density and osteoporosis.
Annals of Saudi Medicine. [diakses pada Juli 2017] dikutip
dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3221132/
8. Yulia C, Darningsih S. Hubungan kalsium dengan ricketsia, osteomalcia, dan
osteoarthritis. [diakses pada Juli 2017].Diunduh
dari: http://file.upi.edu/Direktori/FPTK/JUR._PEND._KESEJAHTERAAN-
KELUARGA/198007012005012CICA-
YULIA/HUBUNGAN_KALSIUM_DENGAN_RICKETSIA.pdf.
9. Solomon L. In: Jamieson G, Naish F, editors. Apley’s System of
Orthopaedics and Fractures. 9th Ed. India: Replika Press; 2010. 10. Kuchuk NO, va Schoor NM, Pluijm SM, Chinese A, Lips P. Vitamin D status,
parathyroid function, bone turnover, and BMD in post menopausal women with
osteoporosis: global perspective. Journal of Bone and Mineral Research 2009;
24:693-701.
11. Sherwood, L. Fisiologi manusia:dari sel ke sistem edisi 8. Jakarta.
EGC.2014.
12. Swales C, Ni;strode C. At a glance reumatologi, ortopedi, dan trauma edisi
kedua. Erlangga, 2015.
51
13. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit edisi 6
; alih bahasa, Brahm U.Pendit [et.all]. Jakarta. EGC, 2005.
14. U.S. Department of Health and Human Services. Bone health and
osteoporosis: a report of the surgeon general. Rockville MD: U.S.
Department of Health and Human Services, Office of The Surgeon
General. 2004. [dikutip : Juli 2017] diunduh
dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK45513/
15. Sudoyo AW, Setiohadi B,Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Edisi 5. Jakarta: Interna, 2009.
16. Anonim.2015.OsteoporosisOverview.[diakses pada Januari 2017]
Diunduh:https://www.niams.nih.gov/help_info/bone/osteoporosis/overvie
w.asp
17. Assessment of fracture risk and its application to screening for post-
menopausal osteoporosis. Report of a WHO Study Group. World Health
Organ Tech Rep Ser 843:1=129,1994.
18. Cameron JR, Sorensosn J: Measurement of bone mineral in vivo : An
improved method. Science 142:230-232,1963.
19. Godwin PN:Methodologies for the measurement of bone density and their
precision and accuracy. Semin Nucl Med 17:293-304, 1987
20. Kwang J. Chun. Bone densitometry. Semin Nucl Med 41:220-228,2011.
21. Langton CM and Njeh CF (2008). The measurement of broadband
ultrasonic attenuation in calcallous bone—a review of the science and
technology. IEEE Trans Ultrason Ferroelectr Freq Control 55, 1546-1554.
22. Jenkins DK. Assessing bone mass with QUS-2 calcaneal ultrasonometer.
[diakses pada Juli 2017] diunduh pada
: http://biomedx.com/bones/docs/QUS-2_Review.pdf.
23. Murray RK, Graner DK, Rodwell VW. Biokimia Harper Edisi 29. Jakarta:
EGC.2014.
24. Prihatini, S., Mahirawati, VK,.Jahari, A.B., Sudiman,H.,2010. Faktor
Determinan Risiko Osteoporosis di Tiga Provinsi di Indonesia. Media
Litbang Kesehatan, Volume XX Nomor 2:91-99. [diakses pada Juni 2017]
52
diunduh
dari: http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/article/view/787
25. Tandra, H. Osteoporosis Mengenal, Mengatasi, dan Mencegah Tulang
Keropos. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 2009.
26. Compston J, Cooper A, Cooper C, Francis R, Kanis JA, Marsh D, et al.
Guideline for the diagnosis and management of osteoporosis in
postmenopausal women and men from the age of 50 years in the UK.
London: National Osteoporosis Guideline Group. 2014
27. Andriana, Ria. 2016. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepadatan
tulang pada lansia awal di puskesmas pisangan tangerang selatan tahun
2016. 28. Syahrial, D. Elnovriza. Pengaruh Asupan Zat Gizi dan Aktivitas Fisik terhadap
Kesehatan tulang pada wanita usia 40-65 tahun di puskesmas nanggalo kota
padang. Jurnal kesehatan masyarakat. 2011; (5):2 [diakses Juni 2017] diunduh
dari : http://jurnal.fkm.unand.ac.id/index.php/jkma/article/view/154/151
29. Anonim.Diakses Juli 2017, diunduh
dari: http://fusionmedical.com.sg/bone/.
53
LAMPIRAN
Lampiran 1. Alat dan Bahan Penelitian
54
(lanjutan)
55
Lampiran 2. Proses Pengambilan Darah dan Pemeriksaan Densitas Massa Tulang
56
(Lanjutan)
57
Lampiran 3. Hasil Analisis Penelitian
A. Analisis Deskriptif
1.
58
(Lanjutan)
59
(Lanjutan)
60
(Lanjutan)
B. Hasil Analisis Bivariat
61
(Lanjutan)
62
(Lanjutan)
C. Hasil Analisis Multivariat
63
Lampiran 4. Surat Etik
Riset ini merupakan bagian kerjasama riset mahasiswa dan kelompok riset Osteoarthritis dan Osteoporosis pada lansia di KPKM Reni Jaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang dibiayai oleh dr. Achmad Zaki, Sp.OT, M.Epid serta dibawah bimbingannya.
64
Lampiran 5. Surat Izin Penelitian
65
Lampiran 6. Lembar Informed Consent
Penelitian yang Berjudul
HUBUNGAN KONSENTRASI SERUM VITAMIN D (25(OH)D) DENGAN
DENSITAS MASSA TULANG CALCANEAL PADA LANSIA DI KLINIK
PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT RENI JAYA UIN SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA TAHUN 2017
Assalamu’alaikum wr wb
Saya Ning Indah Indah Permata Sari Herman, mahasiswi S1 Program Studi
Kedokteran dan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta bersama dengan kelompok riset dari KPKM Reni Jaya
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di bawah bimbingan dr.Achmad Zaki, Sp.OT,
M.Epid sedang melaksanakan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui
hubungan konsentrasi vitamin D dengan densitas massa tulang calcaneal pada
lansia. Penelitian ini sebagai salah satu prasyarat bagi saya untuk menyelesaikan
studi S1 di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Melalui penelitian ini dapat diketahui pencegahan terhadap salah satu faktor risiko
yang menyebabkan osteporosis, yaitu defisiensi vitamin D. Semua informasi dari
responden akan kami jaga kerahasiannya. Oleh karena itu, kami mohon kesediaan
Bapak/Ibu untuk bersedia menjadi responden penelitian kami.
Jika Bapak/Ibu bersedia menjadi responden penelitian kami, silakan mengisi
identitas dan tanda tangan di bawah ini.
Terima kasih atas perhatian dan ketersediaan Bapak/Ibu sekalian
Wassalam’alaikum wr wb
Yang menyetujui
Peneliti Responden
( ) ( )
66
Lampiran 7. Lembar Data Penelitian Responden
HUBUNGAN KONSENTRASI SERUM VITAMIN D (25(OH)D) DENGAN
DENSITAS MASSA TULANG CALCANEAL PADA LANSIA DI KLINIK
PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT RENI JAYA UIN SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA TAHUN 2017
Identitas Subjek Penelitian
Nama :
Usia :
Jenis kelamin :
Alamat :
Nomor telp. :
Pemeriksaan Fisik
Indeks Massa Tubuh : BB : kg
TB : cm
IMT : kg/m2
Pemeriksaan Laboratorium
Vitamin D : nmol/L
Pemeriksaan Densitas Massa Tulang Calcaneal (Densitometri)
Estimated Heel T-score :
67
Lampiran 8. CurriculumVitae
CURRICULUM VITAE
Nama : Ning Indah Permata Sari Herman
Nama panggilan : Ning
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, Tanggal lahir : Kuala Tungkal, 10 November 1996
Usia : 20 tahun 8 bulan
Golongan darah : O
Agama : Islam
Alamat :
Telfon/Hp : 021-74700451 / 081318266214
Email : [email protected]
Pendidikan
a. TK : TK Islam Nurul Huda
b. SD : SD Islam Al Syukro Ciputat
c. SMP : SMP Islam Al Syukro Ciputat
d. SMA : SMA Avicenna Cinere
e. Universitas :
Pengalaman Organisasi
1. Ketua OSIS SMP Islam Al Syukro 2009-2010
2. Wakil Ketua Osis II SMA Avicenna Cinere 2012-2013
3. Ketua Palang Merah Remaja SMA Avicenna Cinere 2012-2013
: Perum. Taman Kedaung Jl. Taman Melati XIV blok B5/23 Kedaung, Pamulang, RT/RW 003/007, Kota Tangerang Selatan 15415
Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
68
(Lanjutan)
4. Binsis (Bina Siswa) Paskibra SMA Avicenna Cinere 2014
5. Bendahara Umum Flamboyan Cup & Flamboyan Festival SMA
Avicenna Cinere 2014
6. VICE SCORA CIMSA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2015-
2016
7. Sekretaris CIMSA Anniversary Project Jakarta 2016
8. Human Resources Development Director CIMSA UIN 2016-2017
9. Security and Transport Team YCTA : ICEBERG 2017
10. Supervisor of Training New Trainer CIMSA Regio 3 2017
Penghargaan
1. Juara 1 Lomba Debat Bahasa Indonesia Kota Depok tahun 2013
2. Best SCORANGELS Periode 3 CIMSA UIN 2015/2016