hubungan proses pembelajaran dengan prestasi belajar siswa di
TRANSCRIPT
TINJAUAN PUSTAKA
Proses Pembelajaran
Dalam Ketentuan Umum UU Sisdiknas 2003 pasal 1 nomor 20 dinyatakan
bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan
sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Proses pembelajaran dalam konteks
pendidikan formal merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam
penyelenggaraan proses belajar mengajar mulai dari perencanaan sampai kepada
evaluasi.
Rangkaian kegiatan tersebut meliputi tujuan yang dirumuskan dalam standar
kompetensi dan indikator pencapaian, penentuan materi pembelajaran, kegiatan
belajar mengajar, pemilihan metoda dan media yang akan digunakan, waktu yang
dibutuhkan serta evaluasi pembelajaran.
Hal penting yang harus diperhatikan dalam berlangsungnya proses belajar
adalah kondisi internal siswa yang meliputi fisik dan psikis serta terjalinnya
interaksi antara guru dengan siswa. Dalam interaksi ini peranan guru sebagai figur
utama di sekolah sangat besar karena kedudukannya sebagai orang dewasa lebih
memiliki pengalaman, lebih memahami nilai-nilai, pengetahuan dan keterampilan.
Peranan siswa sebagai peserta didik lebih banyak menerima pengaruh dan sebagai
pengikut.
Najati (2000:174-205) mengemukakan bahwa metode belajar dalam Al-
Qur’an meliputi peniruan, pengalaman praktis serta berfikir, sedangkan prinsip-
prinsip belajar dalam Al-Qur’an meliputi 6 hal yaitu dorongan (motivasi),
pengulangan, perhatian, partisipasi aktif (active learning), distribusi belajar
(tenggang waktu untuk beristirahat) serta bertahap dalam merubah perilaku
(proses belajar bukanlah suatu pekerjaan yang instant). Dalam hal peniruan,
orang tua/pendidik merupakan figur utama yang akan dijadikan panduan oleh
anak didik dalam bertindak dan berperilaku, sehingga perilaku orang tua/pendidik
merupakan ujung tombak bagi pembentukan perilaku anak didik.
Bandura (1977:11-12) mengemukakan bahwa proses belajar meliputi
kegiatan yang terjadi melalui reciprocal interaction (hubungan timbal balik),
modeling (peniruan) dari orang dewasa kepada peserta didik, serta vicarious
12
experience (pengalaman melalui pengamatan terhadap perilaku orang lain). Lebih
jauh Bandura dan Walters (Mustafa,2005:1)) menyarankan bahwa kita belajar
banyak perilaku melalui peniruan, bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement)
sekalipun yang kita terima. Kita bisa meniru beberapa perilaku hanya melalui
pengamatan terhadap perilaku model, dan akibat yang ditimbulkannya atas model
tersebut. Proses belajar semacam ini disebut "observational learning" -
pembelajaran melalui pengamatan. Di sinilah letak peran penting orang tua dan
guru sebagai teladan dan figur terbaik bagi anak-anak didiknya.
Berbeda dengan Bandura, Bloom (Winkle, 1987:170) mengemukakan
bahwa proses belajar tidak hanya melalui peniruan tetapi banyak aspek lain dari
individu yang menjadi kekuatan untuk belajar. Bloom menyatakan bahwa proses
pertumbuhan dan perkembangan manusia didukung oleh berbagai kemampuan
atau aspek-aspek kepribadian yang dimiliki oleh setiap manusia yaitu aspek
kognitif meliputi pengetahuan, penerapan, pemahaman, analisa sintesa dan
evaluasi; aspek afektif yang mencakup penerimaan, partisipasi, penentuan sikap,
organisasi dan pembentukan pola hidup; serta aspek psikomotorik yang mencakup
persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan yang terbiasa, gerakan yang
kompleks, penyesuaian dan kreativitas.
Dalam bagian lain dikemukakan pula bahwa aspek dinamik-afektif manusia
memiliki kemampuan untuk melakukan aktivitas berdasarkan hasrat/
kehendaknya, tidak selalu merupakan hasil peniruan. Dengan demikian meskipun
secara sosial manusia cenderung pada peniruan seperti yang dikemukakan
Bandura di atas, tetapi dengan menggunakan kemampuan kognitif dan dinamik-
afektifnya manusia dapat mengambil keputusan untuk melakukan atau tidak
melakukan suatu aktivitas. Dalam proses pendidikan hal ini merupakan hak
peserta didik untuk mengembangkan kemampuan dirinya.
Proses pembelajaran saat ini, yang disosialisasikan dengan nama Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) membuka peluang bagi siswa untuk dapat
mengembangkan kemampuan dirinya tersebut. Siswa merupakan subyek didik
yang memiliki peran aktif dalam sebuah kegiatan pembelajaran. Proses ini dikenal
dengan sebutan student centered learning (pembelajaran terpusat pada siswa).
13
Dalam proses belajar ini siswa lebih dihargai pribadinya sebagai manusia yang
memiliki kehendak sebagaimana yang dikemukakan oleh Carl R. Rogers (1969).
Rogers (1969) lebih menekankan kepada grup/kelas bukan berorientasi pada
kebebasan pribadi, artinya dengan membuat iklim belajar yang bebas sehingga
para pelajar termotivasi serta dapat berinteraksi dengan lingkungan sosialnya
dengan nyaman . Teori ini lebih mementingkan aspek non biologis, yaitu
eksplorasi pikiran dan perhatian pelajar.
Interaksi yang terjalin antara siswa dengan lingkungannya lebih beralasan
karena siswa mau menjalin interaksi tersebut serta karena stimulus positif yang
diberikan oleh guru. Dengan demikian siswa dapat lebih banyak memperoleh
pengalaman belajar yang berkesan sehingga akan bertahan lebih lama dalam
ingatannya. Kondisi ini memungkinkan siswa untuk memperoleh prestasi yang
lebih baik ketimbang siswa yang hanya duduk diam dan mendengarkan.
Najati (2000:203) mengemukakan bahwa praktek tidak hanya penting
dalam mempelajari keahlian yang bercorak gerakan saja, tetapi juga dalam ilmu-
ilmu teoritis dan dalam mempelajari perilaku moral, keutamaan, nilai-nilai dan
tata krama perilaku sosial. Lebih lanjut dikemukakan hasil suatu kajian
eksperimental, bahwa orang-orang yang membaca sendiri huruf dan kalimat yang
ada di hadapannya lebih cepat dalam menghafalnya ketimbang orang-orang lain
yang hanya mendengarkan pelatih membacakan huruf dan kalimat itu dan pada
saat yang sama melihat huruf dan kalimat itu di layar film yang ada di depan
mereka.
Terkait dengan hasil eksperimen di atas, Maslow (Mangkunegara, 2000:94)
memberikan 5 klasifikasi kebutuhan yang harus dipenuhi berdasarkan prioritas
tuntutannya yaitu :
1. Kebutuhan faal (materi), yaitu kebutuhan fisiologis agar manusia bisa
hidup, misalnya : makan, minum, pakaian, perumahan dan kesehatan
2. Kebutuhan rasa aman, misalnya : mengunci rumah, berjalan di tempat
yang aman, menyimpan barang-barang berharga dengan baik, dan lain-lain
3. Kebutuhan sosial, sayang menyayangi, misalnya : berumah tangga,
bergaul dengan orang lain, berteman, saling mengunjungi, dan lain-lain.
14
4. Kebutuhan untuk dihargai, misalnya : dihormati, menunjukkan egonya,
menjaga harga dirinya, dan lain-lain
5. Kebutuhan akan realisasi diri, yaitu kebutuhan untuk menunjukkan
keberadaan diri dan kemampuannya.
Konsep ini menyatakan bahwa jika kebutuhan yang paling urgen yaitu pada
tingkat pertama belum terpenuhi, maka individu tidak akan melangkah untuk
memenuhi kebutuhan pada tingkat yang berikutnya. Dalam perkembangan ilmu
pendidikan yang sesuai dengan rumusan hasil Konferensi Pendidikan Islam
(1977) dan tujuan Pendidikan Nasional, maka konsep Maslow di atas perlu
dilengkapi dengan pemenuhan kebutuhan spiritual (kebutuhan akan adanya
Tuhan). Kebutuhan ini akan merupakan bagian integral dari tiap-tiap tingkatan
kebutuhan di atas, tidak mendahului satu dengan yang lainnya.
Sehubungan dengan proses belajar, maka kebutuhan pada tingkat keempat
dan kelima menjadi sangat penting untuk diperhatikan oleh para pendidik dan
orang tua sehingga para siswa dapat memperoleh pengalaman belajar yang
memadai. Percobaan seperti dikemukakan oleh Najati di atas cukup membuktikan
pentingnya partisipasi aktif dalam proses pembelajaran yang didasarkan atas suri
tauladan (contoh) yang baik dari pendidik dan orang tua.
Peran aktif siswa dalam pembelajaran ini sudah dikembangkan dalam
sebuah metode pembelajaran yang dikenal dengan Quantum Learning (Belajar
Sukses) dan Quantum Teaching (Mengajar Sukses) yang diluncurkan oleh Bobbi
DePorter, dkk (1999). Dalam metode ini siswa sungguh-sungguh dihargai dan
diakui eksistensinya, dikembangkan kemampuan intelegensinya, disentuh
emosinya, sehingga tumbuh kreativitas dan rasa percaya diri yang dapat
membantunya menuju keberhasilan belajar.
Selain partisipasi aktif dari para siswa, prinsip pengajaran yang efektif
adalah penggunaan pendekatan atau metode dan media yang bervariasi,
"pendekatan multi metode-multi media". Dengan menggunakan metode dan media
yang bervariasi, perbedaan individual siswa dapat terlayani, di samping
pembelajaran menjadi lebih menarik karena sering terjadi pergantian kegiatan
(Sukmadinata, 2004:197).
15
Guru sebagai motivator (pendorong), desainer (perancang), fasilitator
(penyedia bahan dan peluang belajar), katalisator (penghubung), guidance
(pemandu) serta penunjuk di mana informasi itu berada dan bagaimana
memahami dan menyajikan hasil informasi tersebut, dan sebagai evaluator
(penilai) serta justificator (pembenar) dalam perannya, hanya menyiapkan sebuah
rencana pembelajaran yang sesuai dengan kapasitas siswa, memberikan arahan
kepada siswa untuk dapat melaksanakan kegiatan sesuai dengan rencana yang
telah dipersiapkannya. Untuk dapat melaksanakan tugas ini diperlukan
keterampilan dan kreativitas dalam mendesain proses pembelajaran sehingga
hasilnya maksimal.
Sehubungan dengan fungsi guru di atas, Hamalik (2004:73) mengemukakan
tentang beberapa hal penting yang harus dikuasai dan dilakukan oleh guru dalam
proses pembelajaran, sebagai berikut :
1. Menguasai landasan kependidikan
2. Menguasai bahan pengajaran
3. Menyusun program pengajaran
4. Melaksanakan program pengajaran
5. Menilai hasil dan proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan.
Sardiman (2001:48) mengemukakan bahwa secara makro guru dituntut
untuk dapat mengorganisasikan komponen-komponen yang terlibat di dalam
proses belajar-mengajar, sehingga diharapkan terjadi proses pengajaran yang
optimal. Sebagai visualisasi dapat dilihat dalam gambar 1. berikut :
2
1 4 5 6
3
Gambar 1. Proses Pembelajaran
Instrumental input/
masukan alat
Raw input/ masukan
mentah
Proses pengajaran Hasil
langsung
Hasil
akhir
Lingkungan
16
Keterangan :
1. Masukan mentah : siswa/subyek belajar
2. Masukan alat : terdiri dari tenaga, fasilitas, kurikulum, sistem administrasi dan lain-lain.
3. Lingkungan, termasuk antara lain keluarga, masyarakat dan sekolah.
4. Proses pengajaran : merupakan proses interaksi antara unsur raw input, instrumental
input dan juga pengaruh lingkungan.
5. Hasil langsung : merupakan tingkah laku siswa setelah belajar melalui proses belajar-
mengajar, sesuai dengan materi/bahan yang dipelajarinya.
6. Hasil akhir : merupakan sikap dan tingkah laku siswa setelah ada di masyarakat.
Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran diperlukan peningkatan aktivitas
dan kreativitas peserta didik, karena pada dasarnya hasil pembelajaran terbaik
adalah yang diperoleh melalui pengalaman. Namun dalam pelaksanaannya sering
kali tidak disadari, bahwa masih banyak kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan
justru menghambat aktivitas dan kreativitas peserta didik. Guru pada umumnya
kurang menyenangi situasi di mana peserta didik banyak bertanya mengenai hal-
hal yang berada di luar konteks yang dibicarakannya (Mulyasa, 2004:106).
Gibbs (Mulyasa, 2004:106) mengemukakan bahwa berbagai penelitian
menyimpulkan bahwa kreativitas dapat dikembangkan dengan memberi
kepercayaan, komunikasi yang bebas, penghargaan diri dan pengawasan yang
tidak terlalu ketat. Hasil penelitian tersebut dapat ditransfer dalam proses
pembelajaran.
Widada (Mulyasa, 2004:107) mengemukakan bahwa di samping penyediaan
lingkungan yang kreatif, guru dapat menggunakan pendekatan sebagai berikut :
1. Self esteem approach (pengembangan kesadaran akan harga diri).
2. Creative approach (mengembangkan problem solving, brainstorming,
inquiry dan role playing).
3. Value clarification and moral development approach (pengembangan
potensi pribadi melalui pendekatan holistik dan humanistik menuju self
actualization..
4. Multiple talent approach (pengembangan seluruh potensi peserta didik).
5. Inquiry approach (pengembangan potensi untuk menemukan konsep
atau prinsip ilmiah).
6. Pictorial ridle approach (pendekatan untuk mengembangkan motivasi
dan minat peserta didik).
17
7. Synetics approach (mengembangkan kompetensi peserta didik untuk
membuka intelegensi dan kreativitasnya).
Melalui metode yang dapat mengembangkan seluruh kompetensi siswa,
pengembangan potensi diri siswa berjalan lebih cepat dari pada proses yang
selama ini digunakan di sekolah-sekolah yang masih cenderung bersifat teacher
centered. Di sekolah yang menggunakan pendekatan seperti dikemukakan Widada
di atas, serta didukung dengan pendekatan individual, emosional dan spiritual,
para siswa berkembang lebih cepat, aktif, kreatif serta kritis dalam menyikapi
sesuatu hal. Hal ini sangat relevan dengan karakteristik siswa yang memang
sedang berkembang pesat.
Proses pembelajaran dapat berlangsung dengan baik apabila dirancang
sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik siswa serta memenuhi komponen-
komponen pembelajaran yang meliputi tujuan, materi, kegiatan, pendekatan
pembelajaran yang digunakan, metode dan media yang disesuaikan serta evaluasi
yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Selain itu hal penting yang tidak
boleh diabaikan adalah bahwa diperlukan ketulusan dan kreativitas guru untuk
mendesain suasana belajar yang dapat membuat siswa merasa nyaman dan
senang, sehingga materi pelajaran lebih mudah diserap.
Proses pembelajaran yang bersifat student centered memberi peluang
kepada para siswa untuk lebih meningkatkan prestasi belajarnya. Kegiatannya
tidak terpusat pada materi tetapi pada proses sebagaimana dikemukakan oleh
pakar pendidikan Islam Mahmud Yunus (1992:72) bahwa penguasaan terhadap
metodologi pengajaran lebih penting dari pada pemberian materi pelajaran (al-
thariqah ahamm min al-madah). Materi yang sama apabila disampaikan dengan
metode yang berbeda maka akan diperoleh hasil yang berbeda pula.
Namun demikian, keseimbangan antara materi (isi) dan proses tetap harus
menjadi perhatian mengingat kedua kompenen tersebut sangat penting dan
berhubungan sangat erat. Perhatian terhadap isi bertujuan agar para siswa
memiliki bekal pengetahuan yang cukup, sedangkan perhatian terhadap proses
bertujuan agar para siswa merasakan suasana yang menyenangkan ketika belajar
sehingga memperoleh kemudahan dalam menyerap dan memahami isi.
18
Sehubungan dengan usaha pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional secara
holistik, maka penanaman nilai-nilai spiritual (iman dan taqwa) dalam proses
pembelajaran sudah merupakan sebuah kebutuhan yang harus mendapat perhatian.
Penyelenggaraan kurikulum terpadu yaitu keterpaduan antara Iptek (Imu
pengetahuan dan teknologi) dan Imtaq (Iman dan Taqwa) sangat relevan dengan
bab II pasal 3 UU Sisdiknas. Melalui keterpaduan ini dirancang sebuah prestasi
belajar siswa yang tidak hanya mengedepankan satu aspek saja yaitu kognitif,
tetapi keseimbangan antara aspek kognitif, afektif dan psikomotor, sekaligus
internalisasi nilai-nilai dalam ajaran agama dalam satu kesatuan proses dan hasil
yang utuh dan terkendali.
Shariati (Agustian, 2001:xviii) mengemukakan bahwa manusia adalah
makhluk dua-dimensional yang membutuhkan penyelarasan kebutuhan
kepentingan dunia-akhirat. Oleh sebab itu manusia harus memiliki konsep
duniawi atau kepekaan emosi dan intelegensia yang baik (EQ / Emotional
Quotient plus IQ / Intellegence Quotient) dan penting pula penguasaan rukhiyah
vertikal atau Spiritual Quotient (SQ).
Pendapat Shariati bahwa manusia memiliki kebutuhan akan keberadaan
Tuhan di atas sejalan dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur'an Surat Al-A'raaf
: 172 yang artinya sebagai berikut :
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka
menjawab : “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan :
“Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap (keesaan Tuhan)”.
Saat ini proses pembelajaran dengan pendekatan active learning yang
diperkaya dengan pembinaan emosi dan spiritual baru diterapkan di sekolah-
sekolah tertentu, khususnya Sekolah Islam Terpadu (SIT). Di sekolah-sekolah ini
SDM-nya dibekali dengan wawasan yang cukup melalui penyelenggaraan
pelatihan secara periodik. Materi pelajaran diberikan secara terpadu, maksudnya
adalah materi-materi pelajaran umum disampaikan melalui pendekatan emosional
spiritual dengan menyentuh aspek keimanan dan ketakwaan serta pembentukan
akhlak siswa.
19
Guru yang berfungsi sebagai fasilitator, motivator, katalisator, serta
mediator membawa siswa untuk mengenal Sang Pencipta serta melaksanakan
ajaran-ajaran-Nya melalui ilmu pengetahuan dan pengalaman. Proses ini
dilakukan untuk memberi makna pada materi pelajaran, dihubungkan dengan
nilai-nilai kehidupan yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntunan agama.
Karakteristik Anak Sekolah Dasar
Dalam psikologi perkembangan masa anak memasuki sekolah dasar
dikategorikan pada usia 6 -12 tahun disebut sebagai masa bersekolah. Dalam hal
perkembangan intelektual, Piaget (Hurlock,1992:162) menyebutnya sebagai masa
concrete operations (operasional konkrit). Masa saat konsep yang pada awal masa
kanak-kanak merupakan konsep yang samar-samar sekarang menjadi konkrit dan
tertentu. Oleh sebab itu pembelajaran pada masa ini mengharuskan para pendidik
untuk memperagakan dan memberi contoh konkrit, sehingga anak memperoleh
kejelasan dari apa yang ingin dicapai guru.
Pada usia ini anak diharapkan memperoleh dasar-dasar pengetahuan yang
dianggap penting untuk keberhasilan penyesuaian diri pada kehidupan masa
dewasanya. Oleh sebab itu peletakan dasar pengetahuan yang tepat melalui
stimulasi positif dari pendidik sangat dibutuhkan. Para pendidik juga memandang
periode ini sebagai periode kritis dalam dorongan berprestasi, suatu masa saat
anak membentuk kebiasaan sukses, tidak sukses atau sangat sukses.
Hurlock (1992:166) mengemukakan bahwa kebiasaan anak untuk bekerja di
bawah, di atas atau sesuai dengan kemampuannya cenderung menetap sampai
dewasa. Penelitian telah membuktikan bahwa tingkat perilaku berprestasi pada
masa kanak-kanak mempunyai korelasi yang tinggi terhadap perilaku berprestasi
pada masa dewasa. Hal ini akan terjadi tidak hanya di bidang akademik tetapi di
bidang-bidang lain pun akan demikian.
Kebiasaan ini menuntut para pendidik untuk peka terhadap perilaku anak
sedini mungkin, sehingga apabila ditemukan anak didik berada pada kebiasaan
yang kurang baik dapat segera diantisipasi. Para pendidik dapat membimbing dan
mengarahkan anak didik untuk melakukan kebiasaan yang baik, minimal sesuai
20
dengan kemampuan yang dimilikinya. Ini berarti bahwa kesuksesan di masa
datang dapat dirancang dari sekarang.
Havighurst (1974:19) mengemukakan bahwa periode ini ditandai dengan
tiga karakteristik yang memberinya dorongan kuat untuk keluar kepada
lingkungan yang lebih luas. Ketiga karakteristik tersebut adalah : (1) kepercayaan
diri seorang anak untuk keluar dari rumah menuju kepada peer group-nya, (2)
kepercayaan secara fisik untuk masuk ke dalam dunia permainan dan
keterampilan yang memerlukan kekuatan fisik (otot), dan (3) kepercayaan mental
untuk memasuki dunia orang dewasa berupa konsep-konsep, logika, simbolisme
dan komunikasi.
Havighurst mengemukakan bahwa tugas-tugas perkembangan pada periode
ini yang akan menjadi modal dasar bagi perkembangannya untuk berprestasi di
masa yang akan datang. Tugas perkembangan tersebut meliputi :
1. Mempelajari keterampilan fisik yang dibutuhkan untuk bermain.
2. Membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai makhluk yang
sedang tumbuh.
3. Belajar menyesuaikan diri dengan teman-teman seusianya.
4. Mulai mengembangkan peran sosial pria atau wanita yang tepat.
5. Mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar untuk membaca,
menulis dan berhitung.
6. Mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan untuk kehidupan
sehari-hari.
7. Mengembangkan hati nurani, pengertian moral, tata dan tingkatan nilai.
8. Mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok sosial dan lembaga-
lembaga.
9. Mencapai kebebasan pribadi.
Namun demikian, sekalipun setiap manusia ingin menguasai segala tugas
perkembangannya dengan tepat, pada kenyataannya tidak semua orang dapat
mencapainya. Terdapat beberapa faktor penting yang mempengaruhi penguasaan
tugas-tugas perkembangan yaitu :
1. Yang menghalangi
• Tingkat perkembangan yang mundur
21
• Tidak adanya kesempatan untuk mempelajari tugas-tugas
perkembangan atau tidak ada bimbingan untuk menguasainya
• Tidak ada motivasi
• Kesehatan yang buruk
• Cacat tubuh
• Tingkat kecerdasan yang rendah
2. Yang membantu
• Tingkat perkembangan yang normal atau diakselerasikan
• Adanya kesempatan untuk mempelajari tugas-tugas perkembangan dan
adanya bimbingan untuk menguasainya
• Motivasi
• Kesehatan yang baik dan tidak ada cacat tubuh
• Tingkat kecerdasan yang tinggi
• Kreativitas
Tugas-tugas perkembangan menurut Havighurst tersebut, pada poin 1 (satu)
sampai dengan poin 8 (delapan) merupakan tahap-tahap perkembangan yang
wajar pada anak, namun perlu dicermati pada tugas perkembangan poin 9
(sembilan). Sebagai bangsa yang beragama dan bermoral hendaknya para orang
tua dan pendidik (guru) mewaspadai kebebasan yang dikehendaki oleh anak
sehingga tidak keluar dari ruang lingkup tatanan sosial, moral dan agama.
Melihat tugas-tugas perkembangan seperti dikemukakan di atas, selayaknya
orang tua dan pendidik berusaha sebaik-baiknya untuk dapat memberi
kesempatan dan dukungan agar anak dapat mempelajari dan melaksanakan tugas-
tugas perkembangannya dengan tepat serta menghindarkan anak dari faktor-faktor
yang menghambat.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Belajar
Keberhasilan belajar seseorang tidak hanya ditentukan oleh faktor
intelegensi semata. Hasil penelitian menyatakan bahwa setinggi-tingginya, IQ
menyumbang 20 persen saja bagi faktor-faktor yang menentukan sukses dalam
22
hidup, maka yang 80 persen diisi oleh kekuatan-kekuatan lain (Golemen,
1997:44).
Kekuatan-kekuatan lain tersebut dapat berupa kesehatan fisik, kondisi
emosi yang dapat menggambarkan kesiapan siswa dalam menghadapi berbagai
hambatan dalam belajar, keseluruhan proses pembelajaran, juga termasuk kondisi
spiritual yang dapat menjadi motivasi yang sangat kuat sehingga seseorang mau
berusaha mencapai kesuksesan dengan cara yang baik dan benar. Kekuatan-
kekuatan tersebut dapat menjadi positif manakala diberikan arahan dan bimbingan
oleh pendidik.
Goleman (1997:45) juga mengemukakan bahwa yang mendukung
kesuksesan belajar adalah kecerdaan emosional yang memiliki ciri-ciri seperti
kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi;
mengendalikan dorongan hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan
kemampuan berfikir; berempati dan berdo’a. Kemampuan tersebut dapat
dikembangkan pada anak-anak, apabila diupayakan terus menerus untuk
mengajarkannya.
Syah (1995:87) menyatakan bahwa ada tiga faktor yang dapat
mempengaruhi keberhasilan belajar yaitu faktor internal siswa, faktor eksternal
siswa dan faktor pendekatan belajar yang digunakan oleh siswa.
1. Faktor internal yaitu segala sesuatu yang berasal dari dalam diri siswa.
Faktor ini meliputi dua hal yaitu : (a) aspek fisiologis, yaitu kondisi umum
jasmani siswa. Kondisi tubuh siswa yang lemah, sedang dalam keadaan
tidak sehat, dapat menurunkan kualitas kemampuan siswa sehingga materi
yang dipelajari tidak dapat diserap dengan baik. (b) aspek psikologis, yaitu
kondisi psikis siswa yang di antaranya meliputi tingkat dan tipe
kecerdasan, sikap siswa, bakat siswa, minat siswa dan motivasi.
2. Faktor eksternal yaitu segala sesuatu yang berada di luar diri siswa yang
turut mempengaruhi keberhasilan belajar siswa. Faktor eksternal ini
meliputi lingkungan sosial dan lingkungan non sosial yang meliputi faktor
alam serta instrumen. Faktor sosial adalah lingkungan keluarga, sekolah
dan masyarakat sedangkan non sosial meliputi faktor alam, yaitu kondisi
alam yang berupa cuaca atau iklim, dan faktor instrumen meliputi
23
kurikulum, program, sarana (fasilitas) . ‘Ulwan (1990:35) menyatakan
bahwa selamatnya masyarakat serta kuat dan kokohnya bangunan tidak
terlepas dari sehatnya anggota masyarakat dan cara mempersiapkannya.
Pernyataan ini mengandung makna bahwa kondisi masyarakat yang sehat
yaitu terdidik, berakal dan bijak turut mempengaruhi keberhasilan sebuah
usaha pendidikan
3. Pendekatan Belajar. Pendekatan ini sangat berkaitan erat dengan motivasi
belajar siswa. Pendekatan belajar yang dimaksud meliputi ;
(1) Surface yaitu pendekatan permukaan. Maksudnya adalah siswa belajar
hanya berorientasi untuk mencapai kelulusan semata. Siswa memiliki
pendekatan belajar ini pada umumnya motivasi belajarnya rendah,
berapa pun hasil yang dicapai tidak terlalu penting meskipun hanya
dapat mencapai kelulusan dengan nilai minimal. Belajar bagi para
siswa di wilayah ini hanya merupakan pemenuhan kewajiban yang
harus dilakukan oleh anak pada usia sekolah serta memenuhi
keinginan orang tua.
(2) Deep yaitu pendekatan mendalam. Maksudnya adalah siswa belajar
dengan motivasi ingin mendalami pengetahuan karena merasa
membutuhkannya. Pendekatan ini berdampak kepada hasil belajar
yang biasanya cenderung baik karena diawali dengan motivasi yang
baik. Siswa yang melakukan pendekatan belajar ini biasanya telah
memiliki motivasi intrinsik yang cukup baik. Ia faham dengan makna
belajar bagi pemenuhan kewajiban terhadap Tuhan karena belajar pun
dapat menjadi ibadah dan secara sosial belajar dapat pula
meningkatkan kualitas hidupnya dalam masyarakat demi menjelang
masa depannya (Q.S. Al-Mujadalah :11)
(3) Achieving yaitu pendekatan kemampuan tinggi. Pendekatan ini
dilakukan oleh siswa dengan target mencapai hasil setinggi-tingginya
karena ada ambisi tertentu yang ingin diraih. Sisi positif dari
pendekatan ini adalah siswa akan berusaha sebaik-baiknya demi
mencapai prestasi terbaik, misalnya dengan harapan dapat diterima di
perguruan tinggi terbaik dan memperoleh pekerjaan di sebuah instansi
24
yang dapat memberinya jabatan serta kesejahteraan besar. Pendekatan
jenis ini memiliki dampak negatif yaitu apabila siswa gagal meraih
ambisinya maka dapat berakibat terjadinya depresi yang
membahayakan kelangsungan pendidikan dan masa depannya.
Faktor yang dominan dalam mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam
belajar berbeda antara seorang siswa dengan siswa yang lain. Tentang pendekatan
belajar yang digunakan seseorang juga tergantung pada apakah motivasi
belajarnya termasuk intrinsik atau ekstrinsik. Faktor motivasi tersebut juga
merupakan pengaruh dari pola didik yang diterapkan oleh orang tua dan guru
kepada anak didik.
Proses pembelajaran yang dikondisikan dengan memperhatikan tujuan
secara universal, memperhatikan berbagai kebutuhan siswa serta ditunjang
dengan kompetensi profesional dari seorang pendidik maka akan membuahkan
hasil yang baik. Sebaliknya jika proses pembelajaran hanya memperhatikan salah
satu aspek dari seluruh aspek mental yang dimiliki siswa maka hasil yang akan
diperolehnya pun tidak akan dapat mencapai tujuan universal yang telah
ditetapkan.
Akibatnya hasil pendidikan menjadi tidak seimbang, di satu sisi terbangun
kemampuan siswa yang tinggi, tetapi sisi-sisi lain tidak tersentuh. Hal ini akan
menjadi penyebab kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan tidak mencapai
apa yang diharapkan yaitu manusia yang bermartabat, yang berakhlak mulia dan
berilmu pengetahuan, sesuai dengan tujuan yang ditetapkan dalam UU Sisdiknas
2003.
U m u r
Umur bagi seorang anak Sekolah Dasar, menggambarkan kesiapan mental
dan kematangan dalam belajar. Secara logika, dengan bertambahnya umur
seorang siswa, maka bertambah tingkat kematangan dan kesiapan mental dalam
belajar yang sesuai dengan jenjang kelas yang ditempuhnya.
Dalam UU SISDIKNAS No 20 tahun 2003 Bab 7 Pasal 34 tentang Wajib
Belajar disebutkan bahwa : "Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat
mengikuti program wajib belajar."
25
Padmowihardjo (1994:36) menyatakan bahwa umur bukan merupakan
faktor psikologis, tetapi apa yang diakibatkan oleh umur adalah faktor psikologis.
Disebutkan bahwa terdapat dua faktor yang menentukan kemampuan seseorang
berhubungan dengan umur. Pertama, adalah mekanisme belajar dan kematangan
otak, organ-organ sensual, dan otot organ-organ tertentu. Kedua, adalah
akumulasi pengalaman dan bentuk-bentuk proses belajar yang lain. Dengan
demikian umur merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan aktivitas
otak dan otot manusia.
Secara psikologis, para ahli psikologi pun menyatakan bahwa umur yang
dianggap matang secara mental untuk memasuki jenjang SD ini adalah 6 tahun.
Hurlock (1992:146) mengatakan bahwa hal yang wajib untuk anak berusia enam
tahun di Amerika adalah masuknya anak ke kelas satu SD. Hurlock juga
menyatakan bahwa pada umur tersebut anak diharapkan memperoleh dasar-dasar
pengetahuan yang dianggap penting untuk keberhasilan penyesuaian diri pada
kehidupan dewasa, dan mempelajari berbagai keterampilan penting tertentu, baik
keterampilan kurikuler maupun ekstra kurikuler.
Jenis Kelamin
Terdapat perbedaan yang jelas antara laki-laki dan perempuan, baik secara
fisik maupun psikis. Dalam hal fisik, laki-laki memiliki postur, daya tahan dan
kekuatan tubuh yang lebih besar dibandingkan perempuan. Hal ini sudah
dirasakan bahkan oleh anak-anak sendiri. Nolan (1977; Hurlock, 1992:167)
menyatakan : "Secara diam-diam anak-anak belajar dari televisi bahwa anak laki-
laki lebih berharga dari pada anak perempuan." Anggapan tersebut merupakan
stereotip yang berkembang di masyarakat secara turun temurun. Di sisi lain, anak
perempuan dengan kelemah lembutan fisiknya, memiliki kekuatan lain yang tidak
dimiliki oleh laki-laki dalam tugas-tugas tertentu.
Dalam hal psikis, proses kematangan anak perempuan cenderung lebih
cepat dari pada anak laki-laki. Hal ini seiring dengan percepatan pertumbuhan
fisiknya yang mana pada masa anak-anak menjelang remaja, secara fisik anak
perempuan lebih cepat pertumbuhannya.
26
Selain perbedaan fisik dan psikis tersebut, juga terdapat perbedaan tingkah
laku yang mencolok antara anak laki-laki dan perempuan. Di rumah atau pun di
sekolah, anak laki-laki lebih sering melanggar peraturan dari pada anak
perempuan. Hal ini dapat disebabkan karena mereka merasa dirinya lebih kuat dan
juga pada umumnya orang tua lebih memberi kebebasan dalam bergerak kepada
anak laki-laki.
Sebuah penelitian di Amerika Serikat (Hurlock, 1992:167) tentang
perilaku masalah anak di sekolah menunjukkan buruknya perilaku anak laki-laki
dari pada anak perempuan dalam hal penyesuaian diri dan perhatian yang kurang
dari rata-rata. Hal ini merupakan keadaan yang dapat berdampak terhadap prestasi
belajarnya.
M i n a t
Dalam kehidupan manusia akan selalu berkomunikasi atau berhubungan
dengan orang lain, benda, situasi atau aktivitas-aktivitas yang terdapat di
sekitarnya. Dalam berhubungan tersebut ada kemungkinan individu bersikap
menerima, membiarkan atau menolaknya. Apabila individu tersebut menaruh
minat, maka ia akan menyambut dan bersikap positif terhadap obyek tersebut dan
melanjutkan dengan hubungan lebih jauh. Namun jika tidak berminat maka ia
cenderung akan menghindarinya dan bersikap negatif terhadap obyek tersebut.
Shaleh & Wahab (2004:262) menyatakan secara sederhana, minat dapat
diartikan sebagai suatu kecenderungan untuk memberikan perhatian dan bertindak
terhadap orang, aktivitas atau situasi yang menjadi obyek dari minat tersebut
dengan disertai perasaan senang.
Crow & Crow (Shaleh & Wahab,2004:264) berpendapat ada tiga faktor
yang menjadi timbulnya minat yaitu :
1. Dorongan dari dalam diri individu, misalnya dorongan untuk makan,
rasa ingin tahu terhadap sesuatu
2. Motif sosial, misalnya minat terhadap pakaian timbul karena adanya
persetujuan atau penerimaan dan perhatian orang lain
3. Faktor emosional, minat mempunyai hubungan yang erat dengan emosi.
Bila seseorang memperoleh sukses pada suatu aktivitas, maka akan
27
menimbulkan perasaan senang, dan hal tersebut akan memperkuat minat
terhadap aktivitas tersebut.
Hurlock (1992:107) membahas bahwa minat yang berkembang pada anak
usia sekolah sangat mempengaruhi perilaku tidak saja selama periode ini tetapi
juga sesudahnya. Menurutnya minat yang muncul dalam tingkah laku anak tidak
dapat diabaikan begitu saja. Minat yang muncul pada akhir masa kanak-kanak
dapat diterangkan sebagai berikut :
1. Minat mempengaruhi bentuk dan intensitas cita-cita. Misalnya saja
seorang anak yang menaruh minat pada masalah kesehatan dan fungsi
tubuh manusia, akan bercita-cita menjadi perawat atau dokter.
2. Minat dapat dan memang berfungsi sebagai pendorong yang kuat.
3. Prestasi selalu dipengaruhi oleh jenis dan intensitas minat seseorang .
Misalnya anak yang berminat pada pelajaran matematika akan berusaha
keras untuk mendapat nilai baik dalam mata pelajaran itu, sedangkan anak
yang kurang berminat cenderung kurang berhasil pada bidang ini.
4. Minat yang terbentuk pada masa kanak-kanak sering kali menjadi minat
seumur hidup karena minat menimbulkan kepuasan. Anak cenderung
mengulang kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan minatnya dan
dengan demikian menjadi kebiasaan yang dapat menetap sepanjang hidup.
Misalnya minat melukis atau minat pada musik bag orang dewasa
biasanya berasal dari minat pada masa kanak-kanaknya.
Minat-minat yang umum pada masa kanak-kanak yang dikemukakan oleh
Hurlock yaitu minat terhadap penampilan, pakaian, nama dan julukan, agama,
tubuh manusia, kesehatan, seks, sekolah, pekerjaan masa depan, simbol status dan
otonomi diri. Minat-minat tersebut semuanya dapat mengarah kepada tercapainya
cita-cita yang berhubungan dengan perilaku mereka ketika masa kanak-kanak.
Demikian pula halnya dalam kegiatan belajar di sekolah, biasanya setiap
siswa menunjukkan adanya minat terhadap salah satu bidang studi atau rumpun
bidang studi, dan juga terhadap kegiatan ekstrakurikuler tertentu. Minat tersebut
akan berpengaruh terhadap prestasi belajar karena dengan minat yang kuat
mendorong seseorang melakukan sesuatu dengan bersungguh-sungguh.
28
Motivasi
Stanford (Mangkunegara, 2000:93) mengemukakan definisi motivasi adalah
sebagai suatu kondisi yang menggerakkan manusia ke arah suatu tujuan tertentu.
Motivasi dapat pula diartikan sebaga energi untuk membangkitkan dorongan
dalam diri
Dalam kehidupan, sering didapatkan manusia yang melakukan pekerjaan
dengan bersungguh-sungguh, tetapi banyak pula yang santai, bahkan tidak sedikit
yang tidak berbuat apa pun. Dengan demikian, maka akan berbeda pula sesuatu
yang diperoleh, tergantung kepada seberapa besar tingkat usaha yang
dilakukannya. Hal itu disebabkan karena adanya motivasi dalam diri seeorang.
Sehubungan dengan kegiatan belajar yang dilakukan oleh para siswa di
sekolah, Padmowihardjo (1994:52), mengemukakan bahwa motivasi belajar
adalah setiap usaha yang dilakukan untuk menimbulkan motif pada diri seseorang
untuk belajar.
Dalam sebuah Studi Motivasi McClelland (Mangkunegara, 2000:97)
mengemukakan adanya tiga macam kebutuhan manusia yaitu :
1. Need for Achievment, yaitu kebutuhan untuk berprestasi yang merupakan
refleksi dari dorongan akan tanggung jawab untuk pemecahan masalah.
2. Need for Affiliation, yaitu kebutuhan untuk berafiliasi yang merupakan
dorongan untuk berinteraksi dengan orang lain, berada bersama orang lain,
tidak mau melakukan sesuatu yang merugikan orang lain.
3. Need for Power, yaitu kebutuhan untuk kekuasaan yang merupakan
refleksi dari dorongan untuk mencapai otoritas untuk memiliki pengaruh
terhadap orang lain.
Berkaitan dengan prestasi akademik, dari ketiga motivasi tersebut yang
paling menopang adalah motivasi berprestasi, karena motivasi ini dilandasi oleh
persaingan di antara teman untuk memperoleh nilai yang tinggi.
Motivasi berprestasi sebagai motivasi yang mendorong individu untuk
mencapai keberhasilan dalam bersaing dengan suatu ukuran keunggulan (standard
of excellence). Ukuran keunggulan ini dapat berupa prestasinya sendiri
sebelumnya, dapat pula berupa prestasi orang lain. Apabila individu
menggunakan prestasinya sendiri di masa lampau sebagai ukuran keunggulan
29
yang dipakai, maka ukuran keunggulan ini disebut “autonomous standards”, dan
bila memakai prestasi orang lain sebagai ukuran keunggulan disebut “social
comparision standard”.
Menurut McClelland motivasi berprestasi adalah usaha gigih untuk
mencapai keberhasilan dalam segala aktivitas kehidupan. Selain itu McClelland
juga mengartikan motivasi berprestasi sebagai “standar of excellent”. Motivasi
berprestasi merupakan kecenderungan dalam individu untuk mencapai prestasi
secara optimal.
Motivasi berprestasi merupakan hasil belajar yang diperoleh dari
pengalaman emosional, terutama berkaitan dengan usaha untuk menghasilkan
sesuatu secara sempurna. Timbulnya motivasi berprestasi adalah dari lingkungan
keluarga, di mana pola asuh, gaya hidup, cara orang tua mendidik, serta latar
belakang pendidikan orang tua memberi pengaruh pada timbulnya motivasi
berprestasi.
McClelland (1953:68) mengemukakan bahwa latar belakang keluarga
mempengaruhi pembentukan motivasi berprestasi anak. Motivasi berprestasi
kemudian berkembang terus setelah individu berinteraksi dan mendapat
pengalaman dari lingkungan yang lebih luas, dan motivasi akan berkembang
dengan cepat setelah seseorang merasa terus berkompetisi dengan orang lain.
Maka faktor persaingan sangat berperan dalam perkembangan motivasi
Rohwer (Mangkunegara, 2000:84) mengemukakan dua jenis motivasi
yaitu :
1. Motivasi intrinsik berasal dari dorongan untuk bertindak secara efisien
dan kebutuhan untuk berprestasi secara baik (excellence). Komponen
motivasi berprestasi intrinsik adalah sebagai berikut :
(1) Dorongan ingin tahu
Rasa ingin tahu yang kuat mampu mendorong seseorang untuk
melaksanakan tugas yang menantang dan sulit, tetapi mampu untuk
diselesaikan. Dan ini merupakan ciri orang yang memiliki motivasi
berprestasi yang tinggi. Sedangkan orang yang memiliki motivasi
berprestasi rendah cenderung memiliki rasa ingin tahu yang rendah
dan untuk menyelesaikan tugas yang sulit cenderung tidak selesai.
30
Kemampuan menyelesaikan tugas yang sulit merupakan cerminan
dorongan rasa ingin tahu yang berasal dalam diri (intrinsik)
(2) Tingkat Aspirasi
Tingkat aspirasi seseorang turut menentukan tingkat motivasi dalam
belajar. Level aspirasi merupakan perkiraan standar diri mengenai
perasaan berhasil atau gagal dalam melakukan sesuatu. Seseorang
yang memperkirakan dirinya berhasil melakukan sesuatu tujuan akan
berusaha untuk mencapai tujuan tersebut. Orientasi keberhasilan dan
kegagalan sangat penting bagi setiap mahasiswa, karena mereka
memperkirakan hasil yang akan dicapainya
2. Motivasi ekstrinsik, motivasi ekstrinsik ini berkembang dalam kaitan
dengan perilaku yang ditujukan untuk kehidupan sosial. Adapun ciri-ciri
motivasi ekstrinsik adalah:
(1) Faktor kecemasan dalam berprestasi
Kecemasan sering dikaitkan dengan 3 hal berikut ini: a) pengalaman
kegagalan, b) rangsangan fisik (phsyiological arousal), dan c) keadaan
kognisi. Tiga faktor yang mempengaruhi kecemasan ini mempunyai
pengaruh terhadap hasil belajar seseorang. Pengalaman gagal sering
mengakibatkan terjadinya tekanan emosi. Akibat kecemasan terhadap
fisik adalah keluarnya keringat yang berlebihan, gangguan fungsi
pencernaan. Sedangkan pengaruh kecemasan terhadap kognisi tampak
pada rasa khawatir terhadap kegagalan, menyalahkan diri sendiri
(2) Pencapaian tujuan karena dorongan dari luar
Pencapaian tujuan merupakan keadaan kognitif yang paling
menentukan keberhasilan belajar seseorang bila dibandingkan dengan
elemen lain. Pencapaian tujuan karena pengharapan penerimaan orang
lain, misalnya dengan mendapat pujian atau hadiah dari orang lain.
(3) Standar hasil yang ditetapkan oleh faktor luar
Penetapan standar keberhasilan dalam motivasi ekstrinsik bukan dari
dalam dirinya, namun ditetapkan oleh orang lain karena takut
kehilangan perhatian orang lain.
(4) “Self regulation succses” karena pengaruh orang lain.
31
Mengulangi tugas-tugas yang gagal dipecahkan, mengerjakan tugas
yang lebih sulit setelah berhasil memecahkan suatu tugas, usaha untuk
berhasil ini lebih didorong oleh orang lain, bukan oleh dirinya sendiri.
Motivasi yang berkembang pada anak Sekolah Dasar pada umumnya
diawali dengan motivasi ekstrinsik yaitu pencapaian tujuan karena pengharapan
penerimaan dari luar (dalam hal ini orang tua dan guru). Orang tua memotivasi
dengan cara memberikan hadiah bila anaknya berhasil dan memberikan sanksi
bila anaknya ternyata gagal. Motivasi intrinsik akan muncul kemudian seiring
dengan perkembangan kemampuan kognitif serta pengalaman belajar yang
menyenangkan sehingga memunculkan dorongan rasa ingin tahu yang besar.
Mangkunegara (2000:104) mengatakan bahwa terdapat 2 faktor yang
sangat mempengaruhi motivasi berprestasi, yaitu tingkat kecerdasan (IQ) dan
kepribadian. Artinya orang yang mempunyai motivasi berprestasinya tinggi bila
memiliki kecerdasan yang memadai dan kepribadian yang dewasa mampu
mencapai prestasi maksimal.
Pendidikan Dalam Keluarga
Keluarga merupakan unit masyarakat terkecil tempat tumbuh dan
berkembangnya cikal bakal generasi manusia yang akan datang. Di dalam sebuah
keluarga tertumpu tanggung jawab pembinaan dan pendidikan yang pertama dan
utama yang peran utamanya adalah ayah dan ibu. Keduanya memiliki fungsi yang
setara dalam hal memberikan pendidikan terbaik bagi putra-putrinya.
Banyak hal di dalam keluarga yang merupakan faktor-faktor penentu
keberhasilan pendidikan di antaranya adalah faktor keutuhan atau keharmonisan
keluarga, perhatian, kasih sayang, pemenuhan segala kebutuhan fisik, tingkat
pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, serta status sosial ekonomi dalam
pandangan masyarakat. Jika suasana dalam keluarga itu baik dan menyenangkan,
maka anak akan tumbuh dengan baik pula. Jika tidak, maka tentu akan
terhambatlah pertumbuhan anak tersebut. (Daradjat, 1994:47).
'Ulwan (1990:55) menyatakan bahwa salah satu tanggung jawab terpenting
menurut pandangan mayoritas pendidik adalah tanggung jawab pendidikan
intelektual. Maksudnya adalah bagaimana orang tua dapat menumbuhkan sikap
32
terlibat dalam mengembangkan kebudayaan dan ilmu serta memusatkan otak
mereka untuk memahami konsep secara maksimal, pengetahuan secara kritis,
kebijakan yang berimbang dan persepsi yang matang lagi sehat.
Orang tua yang memiliki wawasan pendidikan dan pengalaman yang baik
akan lebih memberikan perhatian serta bimbingan bagi perkembangan pendidikan
putra-putrinya. Melalui perhatian dan bimbingan dari kedua orang tua maka
motivasi belajar anak dapat ditumbuh kembangkan secara positif.
Mengingat situasi dan kondisi saat ini, yaitu di mana tingkat pendidikan
tinggi yang dimiliki oleh orang tua berdampak kepada tingginya tingkat kesibukan
orang tua di luar rumah sehingga sedikit sekali waktu perjumpaan dengan anak,
maka yang lebih dibutuhkan saat ini adalah kualitas dari setiap perjumpaan
tersebut. Keterbatasan waktu dapat digantikan dengan muatan komunikasi yang
efektif dan efisien, sehingga kebutuhan anak untuk mendapat perhatian dan
bimbingan tetap dapat dipenuhi.
Kompetensi Guru
Kompetensi merupakan suatu kemampuan yang dimiliki seseorang tentang
suatu bidang tertentu berdasarkan latar belakang pendidikan yang dimilikinya.
Kompetensi juga merupakan modal utama bagi seseorang untuk dapat
menjalankan profesinya sesuai dengan kapasitas yang dimiliki sehingga suatu
pekerjaan dapat dilaksanakan dengan cara profesional. Tanpa kompetensi
seseorang akan mengalami hambatan dalam melaksanakan tugas-tugas yang
diembannya.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Purwadarminta) kompetensi
berarti (kewenangan) kekuasaan untuk menentukan atau memutuskan sesuatu hal.
Pengertian dasar kompetensi (competency) yaitu kemampuan atau kecakapan.
Kepmendiknas No.045/U/2002 mendefinisikan kompetensi sebagai
tindakan cerdas, penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat
untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melakukan tugas-tugas di bidang
pekerjaan tertentu.
Elemen-elemen kompetensi yang dikemukakan dalam Kepmendiknas
No.045/U/2002 di atas adalah : (1) landasan kepribadian; (2) penguasaan ilmu dan
33
keterampilan; (3) kemampuan berkarya; (4) memiliki sikap dan keterampilan
dalam berkarya berdasarkan ilmu yang dikuasai; dan (5) pemahaman kaidah
kehidupan bermasyarakat seuai dengan keahlian berkarya.
Ditjen Dikti (1982) mengemukakan bahwa kompetensi guru diklasifikasikan
menjadi tiga kelompok yaitu : “kompetensi pribadi, kompetensi profesi dan
kompetensi kemasyarakatan.”
Mulyasa (2004:37) memberikan definisi bahwa kompetensi merupakan
perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan
dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. McAshan (Mulyasa, 2004:38)
mengemukakan bahwa kompetensi :
“...is a knowledge, skills, and abilities or capabilities that the person
achieves, which become part of his or her being to the exent he or she can
satisfactorily perform particular cognitive, afective and psychomotor
behaviors”.
Guru professional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian
khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan
fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Profesi ini memerlukan
persyaratan khusus. Ali (Usman, 2003:15) menyatakan beberapa persyaratan
khusus yang harus dimiliki seorang guru antara lain sebagai berikut :
1. Menuntut adanya keterampilan yang mendasar tentang konsep dan teori
ilmu pengetahuan yang mendalam.
2. Menekankan pada suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan
bidang profesinya.
3. Menuntut adanya tingkat pendidikan keguruan yang memadai.
4. Adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang
dilaksanakannya.
5. Memungkinkan perkembangan sejalan dengan dinamika kehidupan.
Usman (2003:15), menambahkan persyaratan yang harus dipenuhi adalah
sebagai berikut :
1. Memiliki kode etik,
2. Memiliki klien/obyek layanan yang tetap,
3. Diakui oleh masyarakat karena memang diperlukan jasanya.
34
Hamalik (2004:73) mengemukakan bahwa dalam melaksanakan tugasnya,
setiap guru wajib memiliki 3 kompetensi yang meliputi kompetensi profesional,
kompetensi kepribadian dan kompetensi kemasyarakatan. Secara teoritis ketiga
jenis kompetensi tersebut dapat dipisah-pisah satu sama lain, akan tetapi secara
praktis sesungguhnya merupakan keterpaduan yang tak dapat dipisah-pisahkan.
Guru yang terampil mengajar tentunya harus pula memiliki kepribadian yang baik
dan mampu melakukan social adjusment dalam masyarakat.
Kompetensi yang dimaksud dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Kompetensi Profesional, meliputi :
(1) Menguasai landasan kependidikan
a) Mengenal tujuan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan
nasional.
b) Mengenal fungsi sekolah dalam masyarakat
c) Mengenal prinsip-prinsip psikologi pendidikan yang dapat
dimanfaatkan dalam proses belajar mengajar.
(2) Menguasai bahan pengajaran
a) Menguasai bahan pengajaran kurikulum pendidikan dasar dan
menengah
b) Menguasai bahan pengayaan.
(3) Menyusun program pengajaran
a) Menetapkan tujuan pembelajaran
b) Memilih dan mengembangkan bahan pembelajaran
c) Memilih dan mengembangkan strategi belajar mengajar memilih
dan mengembangkan media pengajaran yang sesuai
d) Memilih dan memanfaatkan sumber belajar
(4) Melaksanakan program pengajaran
a) Menciptakan iklim belajar mengajar yang tepat
b) Mengatur ruangan belajar
c) Mengelola interaksi belajar mengajar
(5) Menilai hasil dan proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan.
a) Menilai prestasi murid untuk kepentingan pengajaran
b) Menilai proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan
35
2. Kompetensi Pribadi dan Kemasyarakatan, meliputi :
(1) Mengembangkan Kepribadian
a) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
b) Berperan dalam masyarakat sebagai warga negara yang berjiwa
baik
c) Mengembangkan sifat-sifat terpuji yang dipersyaratan bagi
jabatan guru
(2) Berinteraksi dan berkomunikasi
a) Berinteraksi dengan teman sejawat untuk meningkatkan
kompetensi serta kemampuan professional
b) Berinteraksi dengan masyarakat untuk menunaikan misi
pendidikan
(3) Melaksanakan bimbingan dan penyuluhan
a) Membimbing siswa yang mengalami kesulitan belajar
b) Membimbing murid yang berkelainan atau berbakat khusus.
(4) Melaksanakan administrasi sekolah
a) Mengenal pengadministrasian kegiatan sekolah
b) Melaksanakan kegiatan administrasi sekolah.
(5) Melaksanakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran.
a) Mengkaji konsep dasar penelitian ilmiah
b) Melaksanakan penelitian sederhana
Tanpa mengabaikan kemungkinan adanya perbedaan tuntutan kompetensi
profesional yang disebabkan oleh adanya perbedaan lingkungan sosial kultural
dari setiap institusi sekolah sebagai indikator, Hamalik (2004:78) juga
mengemukakan bahwa guru dinilai kompeten secara profesional apabila :
1. Mampu mengembangkan tanggung jawab dengan sebaik-baiknya.
Tanggung jawab yang dimaksud meliputi tanggung jawab moral, tanggung
jawab dalam bidang pendidikan di sekolah, tanggung jawab dalam bidang
kemasyarakatan dan tanggung jawab dalam bidang keilmuan.
2. Mampu melaksanakan peran dan fungsnya dengan berhasil. Peran dan
fungsi tersebut adalah sebagai pendidik dan pengajar, sebagai anggota
masyarakat, sebagai pemimpin, dan sebagai pelaksana administrasi ringan.
36
3. Mampu bekerja dalam usaha mencapai tujuan pendidikan (tujuan
instruksional) sekolah yang meliputi bidang pengetahuan, keterampilan
serta nilai dan sikap.
4. Mampu melaksanakan peranannya dalam proses belajar mengajar dalam
kelas yaitu sebagai perencana dan pengelola kelas secara keseluruhan.
Selain kompetensi yang bersifat profesional diatas, secara pribadi guru
yang berkompeten akan lebih mampu menciptakan lingkungan belajar yang
efektif, menyenangkan dan akan lebih mampu mengelola kelasnya sehingga
belajar pada siswa berada pada tingkat optimal (Hamalik, 2004). Yang lebih
penting dari itu semua bahwa faktor motivasi dan ketulusan guru dalam
menjalankan tugas juga merupakan faktor penentu keberhasilan belajar siswa.
Zakiah Darajat (Zainuddin, 1990:56) menyatakan
“Faktor terpenting bagi seorang guru adalah kepribadiannya dan
kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan
pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah menjadi perusak dan
penghancur bagi hari depan anak didik, terutama bagi anak didik yang
masih kecil (tingkat sekolah dasar) dan mereka mengalami guncangan
jiwa (tingkat menengah)”.
Al-Ghazali, salah seorang filosof muslim abad ke 11 Masehi
mengemukakan berbagai pandangannya mengenai karakter erta persyaratan
sebagai seorang guru, di antara yang beliau kemukakan dapat disarikan oleh
Zainuddin (1990:57) sebagai berikut :
� Bertabiat dan perilaku seorang pendidik.
� Minat dan perhatian terhadap proses belajar mengajar.
� Memiliki kecakapan dan keterampilan mengajar.
� Bersikap ilmiah dan cinta terhadap kebenaran.
Prestasi Belajar
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (DEPDIKBUD, 1999:787) prestasi
diartikan sebagai “penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang
dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau
nilai angka yang diberikan oleh guru”. Berbagai definisi lain kemudian banyak
dikemukakan oleh para ahli pendidikan yang menyangkut prestasi.
37
Arikunto (1998:19) mengemukakan bahwa prestasi mencerminkan
sejauhmana siswa telah dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan di setiap
bidang studi. Gambaran prestasi siswa dapat dinyatakan dengan angka (0 s.d 10).
Arifin (1989:46) menyatakan bahwa prestasi belajar merupakan hasil dari suatu
usaha, kemampuan dan sikap seseorang dalam menyelesaikan suatu hal di bidang
pendidikan.
Bloom (Winkel, 1987:149-154) menyatakan bahwa prestasi belajar
menyangkut tiga domain (ranah) kemampuan yaitu pertama yang berhubungan
dengan kecerdasan intelektual, pemahaman, dan penalaran disebut dengan
domain kognitif, kedua adalah yang berhubungan dengan perasaan, sikap
terhadap suatu hal serta pembentukan pola hidup disebut dengan domain afektif,
dan ketiga adalah yang berhubungan dengan keterampilan, kemampuan fisik
motorik yang disebut dengan domain psikomotorik.
Pada tiap-tiap ranah dalam Taksonomi Bloom di atas terdapat komponen-
komponen yang merupakan rangkaian sistematis dalam proses pembelajaran.
Berikut ini diuraikan masing-masing komponen tersebut :
1. Ranah kognitif (cognitive domain) menurut Bloom dan kawan-kawan terdiri
dari :
(1) Pengetahuan, sebagai komponen pertama dalam ranah kognitif mencakup
ingatan akan hal-hal yang pernah dipelajari dan disimpan dalam ingatan.
Hal-hal itu dapat meliputi fakta, kaidah dan prinsip, serta metode yang
diketahui. Pengetahuan yang disimpan dalam ingatan digali pada saat
dibutuhkan melalui bentuk mengingat (recall) atau mengenal kembali
(recognition).
(2) Pemahaman merupakan kemampuan untuk menangkap makna dan arti
dari bahan yang dipelajari. Adanya kemampuan ini dinyatakan dalam
menguraikan isi pokok dari suatu bacaan, mengubah data yang disajikan
dalam bentuk tertentu ke bentuk lain, seperti menjelaskan kembali isi
sebuah cerita.
(3) Penerapan merupakan kemampuan untuk menerapkan suatu kaidah atau
metode bekerja pada suatu kasus yang konkret dan baru.
38
(4) Analisa yaitu kemampuan merinci suatu kesatuan di dalam bagian-bagian
sehingga struktur keseluruhan dan organisasinya dapat dipahami.
(5) Sintesa yaitu kemampuan untuk membentuk suatu kesatuan atau pola baru.
Bagian-bagian dihubungkan satu sama lain sehingga tercipta bentuk baru.
Adanya kemampuan ini dinyatakan dalam membuat suatu rencana seperti
penyusunan satuan pelajaran atau proposal penelitian ilmiah.
(6) Evaluasi merupakan kemampuan untuk membentuk suatu pendapat
mengenai suatu atau beberapa hal, bersama dengan pertanggung jawaban
pendapat itu, yang berdasarkan kriteria tertentu. Kemampuan ini
dinyatakan dalam memberikan sesuatu.
2. Ranah afektif (affective domain) menurut taksonomi Kratwohl, Bloom dan
kawan-kawan terdiri dari lima komponen meliputi:
(1) Penerimaan mencakup kepekaan yang akan adanya suatu perangsang dan
kesediaan untuk memperhatikan rangsangan itu, seperti buku pelajaran
atau penjelasan yang diberikan oleh guru.
(2) Partisipasi mencakup kerelaan untuk memperhatikan secara aktif dan
berpartisipasi dalam suatu kegiatan. Kesediaan itu dinyatakan dalam
memberikan suatu reaksi terhadap rangsangan yang disajikan.
(3) Penilaian/penentuan sikap mencakup kemampuan untuk memberikan
penilaian terhadap sesuatu dan membawa diri sesuai dengan penilaian itu.
(4) Organisasi mencakup kemampuan untuk membentuk suatu sistem nilai
sebagai pedoman dan pegangan dalam kehidupan.
(5) Pembentukan pola hidup mencakup kemampuan untuk menghayati nilai-
nilai kehidupan sedemikian rupa, sehingga menjadi milik pribadi
(internalisasi) dan menjadi pegangan nyata dan jelas dalam mengatur
kehidupannya sendiri. Kemampuan itu dinyatakan dalam pengaturan hidup
di berbagai bidang, seperti mencurahkan waktu secukupnya pada tugas
belajar/bekerja, tugas membina kerukunan keluarga, tugas beribadat, tugas
menjaga kesehatan dirinya sendiri dan lain sebagainya.
3. Ranah psikomotorik (psycomotoric domain) menurut klasifikasi Simpson
meliputi 7 komponen :
39
(1) Persepsi mencakup kemampuan untuk mengadakan diskriminasi yang
tepat antara dua perangsang atau lebih, berdasarkan pembedaan antara ciri-
ciri fisik yang khas pada masing-masing rangsangan. Adanya kemampuan
ini dinyatakan dalam suatu reaksi yang menunjukkan kesadaran akan
hadirnya rangsangan (stimulasi) dan perbedaan antara rangsangan-
rangsangan yang ada.
(2) Kesiapan mencakup kemampuan untuk menempatkan dirinya dalam
keadaan akan memulai suatu gerakan atau rangkaian gerakan. Kemampuan
ini dinyatakan dalam bentuk kesiapan jasmani dan mental, seperti dalam
mempersiapkan diri untuk menggerakkan kendaraan yang ditumpangi,
setelah menunggu beberapa lama di depan lampu lalu lintas yang berwarna
merah.
(3) Gerakan terbimbing mencakup kemampuan untuk melakukan suatu
rangkaian gerak-gerik, sesuai dengan contoh yang diberikan (imitasi).
(4) Gerakan yang terbiasa mencakup kemampuan untuk melakukan suatu
rangkaian gerak-gerik dengan lancar, karena sudah dilatih secukupnya,
tanpa memperhatikan lagi contoh yang diberikan.
(5) Gerakan kompleks mencakup kemampuan untuk melaksanakan suatu
keterampilan, yang terdiri atas beberapa komponen, dengan lancar, tepat
dan efesien.
(6) Penyesuaian pola gerakan mencakup kemampuan untuk mengadakan
perubahan dan menyesuaikan pola gerak-gerik dengan kondisi setempat
atau dengan persyaratan khusus yang berlaku. Misalnya seorang pemain
tenis yang menyesuaikan pola permainannya dengan gaya bermain dari
lawannya atau dengan kondisi lapangan.
(7) Kreativitas mencakup kemampuan untuk melahirkan pola-pola gerak-
gerik yang baru, seluruhnya atas dasar prakarsa dan inisiatif sendiri. Hanya
orang-orang yang berketrampilan tinggi dan berani berpikir kreatif, akan
mampu mencapai tingkat kesempurnaan ini, seperti kadang-kadang dapat
disaksikan dalam pertunjukan tarian di lapisan es dengan diiringi musik.
Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar mengajar
merupakan kegiatan utama. Oleh sebab itu berhasil tidaknya pencapaian tujuan
40
pendidikan tergantung kepada bagaimana keterlaksanaan proses belajar mengajar
tersebut serta sejauh mana faktor-faktor pendukung, khususnya guru dapat
menjalankan perannya secara maksimal.
Setiap proses belajar mengajar akan selalu berakhir dengan perolehan hasil
belajar atau yang biasa disebut dengan prestasi belajar. Prestasi dapat diketahui
melalui sebuah kegiatan evaluasi yaitu pada saat seorang pembelajar (peserta
didik) harus menggali kembali informasi-informasi yang telah diperolehnya.
Untuk lebih jelas tentang berlangsungnya sebuah proses belajar, maka
digambarkan dalam suatu diagram sederhana yang dikemukakan oleh Winkel
(1987:295) berikut ini:
Fiksasi Retensi Evokasi
(encoding) (storage) (retrieval)
fase konsentrasi fase mengolah fase menyimpan fase menggali fase prestasi
(fase 2) (fase 3) (fase 4) (fase 5) (fase 6)
Keluar Keluar Lupa
Gambar 2. Proses mencapai prestasi
Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa prestasi akan dicapai setelah
melalui suatu rangkaian kegiatan otak dalam sebuah proses belajar. Diawali
dengan adanya motivasi sebelum memasuki fase konsentrasi, untuk mencapai
prestasi diperlukan proses mengolah informasi (encoding), menyimpan (storage)
setelah itu baru dapat dilakukan penggalian informasi yang hasilnya dapat dilihat
dalam bentuk prestasi. Setinggi apa prestasi dicapai tergantung kepada kelancaran
dalam melalui setiap fase tersebut.
Prestasi berhubungan erat dengan kapasitas kecerdasan seseorang. Howard
Garder (1985) seorang tokoh psikologi populer mengemukakan hasil
penelitiannya yang menunjukkan bahwa setiap manusia memiliki 8 kecerdasan.
Teorinya dikenal dengan sebutan Multipple Intellegence (Kecerdasan Majemuk).
41
Teori Kecerdasan Majemuk (Garder; Amstrong, 2003 : 2-4) membangun
konteks yang tepat untuk memahami kemampuan kognitif siswa. Kurikulum KM
dapat dirancang untuk mencakup seluruh tingkat kompleksitas kognitif Bloom. 8
Kecerdasan Majemuk yang dimiliki manusia tersebut meliputi :
1. Kecerdasan Linguistik, yaitu kemampuan menggunakan kata secara
efektif, baik secara lisan maupun tulisan. Misalnya sastrawan, wartawan,
editor.
2. Kecerdasan Matematis-Logis, yaitu kemampuan menggunakan angka-
angka dengan baik dan melakukan penalaran dengan benar. Misalnya
ilmuwan, pemrogram komputer, ahli logika.
3. Kecerdasan Spasial, yaitu kemampuan mempersepsi dunia spasial-visual
secara akurat dan mentransformasikan persepsi tersebut. Misalnya
seniman, arsitek, dekorator.
4. Kecerdasan Kinestetis-Jasmani, yaitu keahlian menggunakan seluruh
tubuh untuk mengekspresikan ide dan perasaan serta keterampilan tangan
untuk menciptakan atau mengubah sesuatu. Misalnya, aktor, atlet, penari,
pengrajin, pematung, dan lain-lain
5. Kecerdasan Musikal, yaitu kemampuan menangani bentuk-bentuk musikal
dengan cara mempersepsi, membedakan, menggubah dan
mengekspresikan misalnya : pendengar musik, kritikus musik, komposer
dan penyanyi.
6. Kecerdasan Interpersonal, yaitu kemampuan mempersepsi dan
membedakan suasana hati, maksud, motivasi serta perasaan orang lain.
7. Kecerdasan Intrapersonal, yaitu kemampuan memahami diri sendiri dan
bertindak berdasarkan pemahaman tersebut.
8. Kecerdasan Naturalis, yaitu keahlian mengenali dan mengkategorikan
spesies flora dan fauna di lingkungan sekitar.
Teori ini berpendapat bahwa setiap manusia memiliki potensi pada setiap
kecerdasan di atas, namun demikian pada umumnya hanya akan ada satu atau dua
kecerdasan saja yang dominan dimiliki oleh seseorang. Dari sini munculllah ahli-
ahli dalam berbagai bidang. Berdasarkan pandangan ini maka akan diperoleh
42
seseorang yang cerdas dalam bidang eksak belum tentu cerdas pula dalam bidang
sosial. Atau seseorang yang kecerdasan kognitifnya mendominasi biasanya pada
kecerdasan yang lain agak berkurang.
Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa
sebenarnya setiap orang adalah cerdas dan memiliki potensi untuk berprestasi
pada bidangnya masing-masing. Untuk itu diperlukan dukungan dari lingkungan
tempat individu tersebut tumbuh dan berkembang.