hubungan seni dan moralitas

Upload: ikin-salikin-iskandar

Post on 13-Jul-2015

603 views

Category:

Documents


37 download

TRANSCRIPT

PENDAHULUAN

Seniman atau seorang desainer berangkat dari pemahaman tentang konsep yang terbaca dari pengalaman kedekatannya dengan lingkungan untuk menuangkan imajinasinya. Imajinasi yang menurut Sartre (1972) merupakan alam kesadaran untuk membayangkan sebuah tempat yang dihuni oleh kesamaankesamaan yang merupakan kumpulan imaji, telah mengalirkan sejumlah gagasan untuk berkarya. Gagasan dari seorang pencipta karya visual misalnya, itulah yang dituntut untuk memiliki muatan tidak hanya yang berasal dari citra diri, ekspresi diri maupun sekedar tuntutan komersial, namun mampu membuka ruang demi terciptanya kultur kehidupan yang lebih baik. Dalam hal muatan sendiri, Kant memberikan penilaian atas karya tidak lepas dari cara pandang dimana realitas tidaklah terletak pada dunia yang diartikan sebagai kumpulan objek-objek, namun realitas terbentuk dalam benak manusia yang merekonstruksi semua gejala dalam relasi-relasi logis. Muatan-muatan yang ada dalam realitas manusia inilah yang diharapkan tergambar dalam karyakarya seninya. Secara umum pemikiran dalam seni adalah untuk menghasilkan suatu karya yang mengandung muatan adalah simbolik, metaforik, pengekspresian diri, memanipulasi suatu objek serta mempunyai kesan dan pesan tertentu. Hal tersebut merupakan gambaran-gambaran tentang realitas dan penerjemahan apa yang dilihat di dunia dalam bentuk karya visual. Hubungan antara manusia dengan kehidupan dan lingkungannya serta keberadaan manusia itu sendirilah yang diasosiasikan seni sebagai karya manusia yang bermuatan dunia.

1

Pola hubungan yang dekat, permainan rasa, intuisi dan eksekusi visual menempatkan karya seni mempunyai keragaman daya-daya dan kapasitas serta kemungkinan-kemungkinan yang dimiliki manusia untuk mengungkapkannya secara simbolik. Seni dikatakan sebagai ungkapan yang bersifat simbolik, karena gejala dan unsur kehadirannya mempunyai petunjuk pada konsep-konsep yang dihidupi oleh komunitas maupun masyarakat tertentu. Hal demikianlah yang membuat sebuah karya seni berpijak pada kekuatan konsep dari simbolisasi secara fenomenologis dan mengakibatkan sebuah karya seni harus mampu mengantarkan orang atau penikmat ke suatu kumpulan makna. Karya seni lukis, seni patung, seni grafis hingga yang bersifat reproduktif massal seperti film dan iklan adalah karya visual yang terbentuk dari muatanmuatan. Muatan yang biasanya bernilai pada kebenaran, kejujuran, adi luhung, dan seterusnya dianggap memberikan nilai batas pada karya visual. Nilai kesadaran yang seolah-olah ada kekuatan yang mengatasi (transendental) menggerakkan muatan-muatan memiliki benang merah dari semua aktivitas berkaryanya, yaitu hasrat atau keinginan manusia. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa setiap manusia mempunyai pijakan pada hasrat dengan syarat. Dengan demikian, maka setiap karya visual menjadi alat untuk mengatasnamakan seni demi mengejar hasrat manusia. Karya-karya yang condong pada kekerasan, pornografi dan segala hal manipulasi pada akhirnya harus berhadap-hadapan dengan muatan yang menuntut kebenaran, keadilan, pencerahan dan sebagainya. Segala macam keharusan atau ketetapan yang sering muncul pada tuntutan karya visual menimbulkan representasi pada karakteristik visual. Hal

2

inilah yang disebut Derrida sebagai keterbatasan dalam berkarya seni. Derrida melihat batas akhirnya direduksi menjadi pertanyaan yang bersifat dikotomis sehingga melahirkan pertanyaan baik atau burukkah? Aku atau kamu? Hari ini atau kemarin? Padahal batas dapat direpresentasikan sebagai akhir yang memulai sesuatu atau sebaliknya sebagai totalitas. Dengan pengenalan batas pula, maka sebenarnya kita senantiasa berada pada fenomena yang tak terputuskan dan tak menentu dimana terjadi banyak ruang yang bisa diapresiasikan dalam karya seni visual. Bentuk dan isi yang dipersoalkan tidak menjadi yang lebih penting, karena semua mempunyai kesempatan penafsiran yang sama sesuai dengan sifat menginterpretasi yang sarat dengan ribuan makna. Tulisan ini bertujuan untuk menggali secara ilmiah, bahwa karya seni adalah sebuah kemungkinan-kemungkinan tentang representasi makna. Seni yang dilahirkan dari situasi estetik tidak serta merta menjadi sebuah tuduhan negatif ketika karya tersebut menyinggung atau masuk kepada norma-norma tertentu dalam masyarakat tanpa ada penggalian makna dari kaidah-kaidah seni juga. Lebih spesifiknya, hubungan seni dengan moralitas jadi sorotan utama tulisan ini.

HUBUNGAN SENI DENGAN MORALITAS Pengertian umum, seperti diterangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah moral adalah: (i) ajaran baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb; akhlak; budi pekerti; susila; atau (ii) kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dsb; isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dalam perbuatan; serta

3

(iii) ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita. Namun demikian, dalam prakteknya, tak semua orang membuka kamus. Kebanyakan diantara kita memahami moral melulu dalam pengertian (i) sebagai tata nilai yang baik dan luhur, tanpa menyadari lagi bahwa pengertian itu berkaitan dengan (iii) sumbersumber ajaran kesusilaan yang representasikan melalui suatu narasi. Pengertian moral bahkan sering terlupakan juga berarti sebagai (ii) kondisi mental atau perasaan yang direpresentasikan sebagai ungkapan atau perbuatan. Ihwal representasi itulah yang menghubungkan persoalan seni dengan moral. Sejarah persoalan tentang relasi seni dan nilai-nilai moral telah berlaku panjang. Masalah ini tak hanya mencakup soal bagaimana penilaian moral berlaku bagi seni atau karya seni, tetapi juga berlakunya persoalan penilaian moral seni. Dalam tradisi padangan estetik yang berlaku hingga kini, terdapat dua kutub yang sering diposisikan sebagai sikap yang bertentangan. Terutama melalui perkembangan prinsip-prinsip seni dan penciptaan seni yang kemudian dianggap memiliki sikap otonom, maka berkembang kepercayaan bahwa penilaian moral tentang seni berlaku terpisah dengan penilaian moral tentang pengalaman dan prektek kehidupan. Seni dianggap memiliki wilayah moralnya secara tersendiri, dan hanya bisa diuji melalui caranya sendiri secara khas. Pandangan ini disebut sebagai sikap nominalisme, didukung kaum nominalis, yang berkembang terutama seiring dengan pertumbuhan prinsip-prinsip modernisme dalam seni. Pandang yang lebih tradisional, disebut sebagai sikap utopisme; dan kaum utopis menganggap bahwa moral seni justru berkaitan dengan perkembangan nilai-nilai dalam pengalaman hidup. Kedua pandangan ini sebenarnya memiliki

4

titik pijakan yang sama, yang berusaha menempatkan posisi penting seni dam moral dalam peningkatan kesadaran manusia tentang nilai-nilai hidup. Dalam perkembangan seni hingga saat itu, kedua pandangan itu tak lagi dilihat sebagai dua kutub yang seolah berbeda sama sekali dan tidak memiliki hubungan satu dengan lainnya, selain justru sebagai aspek-aspek dualitas yang saling memperkaya makna kesatuannya. Pada hubungan seni dan moral, sebenarnya terdapat aspek lain yang turut memperkaya pembicaraan tentang kaitan diantara keduanya, yaitu: kebebasan. Baik kaum nominalis maupun utopis sama-sama mensyaratkan pembicaraan tentang kebebasan. Kaum utopis percaya bahwa seni berkaitan dengan ontologi fiksi dan representasi, dengan demikian maka seni dan karya seni dianggap memiliki kapasitas untuk menunjukkan bahwa dunia dan segala pengalaman hidup itu bisa berlaku sebagai hal yang terjadi sebaliknya, atau: lebih baik. Maka seni dan ekspresi seni dianggap berlaku sebagai unsur yang akan mampu menghidupkan imajinasi setiap orang tentang nilai-nilai moral, dengan demikian seni berlaku membebaskan (beban) seseorang yang tumbuh dari pengalaman hidupnya. Bagi kaum nominalis, cara menghidupkan kebebasan imajinasi seni secara khusus dan khas yang paling mendapatkan perhatian. Imajinasi estetis tak hanya menggerakan kebebasan para seniman menyatakan representasi tentang nilai-nilai moral, tetapi juga menghidupkan kebebasan pihak yang menanggapi nilai-nilai moral melalui karya seni tersebut. Tentu saja, ihwal kebebasan estetis ini berlaku sebagai nilai pengalaman yang khusus, yang memisahkan pengalaman dan praktek hidup yang langsung dengan nilai-nilai pencapaian yang ditempuh

5

melalui seni dan ekspresi seni. Kaum nominalis mendukung pentingnya aspek imajinasi estetik ini sebagai pra-kondisi penting bagi penilaian moral dan sikap otonom yang bersifat politis. Dalam kurun perkembangan seni hingga masa kini, termasuk juga berlangsung di Indonesia, kedua cara pandang itu telah menjadi warisan sikap yang berlaku saling terpaut. Segi-segi sikap tertentu yang tumbuh dari masingmasing cara pandangan tersebut kini telah berlaku campur, dan tidak seluruhnya terjelaskan secara tegas dan ketat. Berkembangnya persepsi tentang seni dan moral, juga kaitan diantara keduanya, dalam berbagai manifestasi karya seni menunjukkan bahwa kedua merupakan implementasi dari sikap-sikap yang berlaku kultural. Persepsi tentang nilai-nilai seni, moral dan kebebasan berlaku dalam berbagai varian praktek kultural yang berbeda-beda, keseluruhannya bercampur serta mengandung kerangka hidup nilai-nilai yang berlaku secara umum sekaligus juga khusus; universal juga personal; global tapi juga lokal. Namun demikian, setidaknya, pengamatan terhadap sensitivitas ekpresi seni yang menunjukkan persepsi umum yang menyatakan anggapan bahwa seni, sepanjang seseorang menganggapnya penting, akan selalu berlaku pada sisi nilai-nilai kebebasan. Kebebasan moral dan kebebasan seni merupakan dua pokok yang tak lagi bisa dianggap terpisah secara, sebagaimana halnya kita maklum bahwa bagaimanapun seni susah untuk bisa dipisahkan dari berbagai manifestasi nilai dan praksis hidup. Pandangan kaum nominalis, yang sering disalah artikan sebagai kaum elitis yang memarjinalkan pengalaman hidup, pada dasarnya juga

6

bermaksud

memuliakan

nilai-nilai

pengalaman

hidup

yang

seolah-olah

disangkalnya. Kebebasan juga yang menentukan penilaian seseorang tentang nilai-nilai moral, karena pada prakteknya nilai-nilai tersebut hadir serta tumbuh secara jamak dalam berbagai kerangka budaya dan peradaban. Dalam prakteknya, seni merepresentasikan respon seseorang terhadap nilai-nilai. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari setiap orang tentu akan memiliki apa yang disebut sebagai alasan bagi tindakan keseharian (every day reasoning), menyangkut

pengetahuan kita tentang bahasa keseharian serta berbagai makna dari asosiasi verbalnya. Alasan-alasan tersebut tentu bersifat kultural, dikumpulkan serta berlaku sebagai hasil dari pengalaman keseharian aktivitas sosial dan berbagai perhitungan tentangnya. Diantara alasan bagi tindakan keseharian tersebut juga berlaku alasan-alasan moral (moral reasoning), sebagai praksis yang mendapatkan dasar pembenarannya dari sumber-sumber kepercayaan nilai yang dipahami setiap orang. Pada prakteknya, praksis moral ini berlaku sebagai keputusan yang secara terus-menerus dihadapkan pada pilihan-pilihan. Seni mengajarkan makna kebebasan untuk menyatakan pilihan tersebut. Dalam perkembangan praktek seni rupa Indonesia sumber-sumber rujukan moral terutama berasal dari kepercayaan-kepercayaan agama dan budaya, melalui berbagai media narasi dan bentuk-bentuk simbolik yang mewakilinya. Seiring kemajuan modernitas Indonesia, muncul dan berkembang berbagai narasi lain kemudian jadi rujukan moral, selain narasi yang telah jadi tradisi. Narasinarasi lain ini tak hanya bersumber pada keyakinan religi dan keyakinan budaya lokal saja, tetapi juga merujuk pada kelangsungan tata nilai yang besifat

7

global

muncul sebagai isu-isu mengenai, misalnya: keseimbangan ekosistem

dunia, perdamaian dunia, keadilan sosial, gaya hidup global, mitologi peradaban manusia, dll. Dalam implementasinya, berbagai rujukan tersebut bercampur dan berinteraksi. Dalam manifestasi karya-karya seni, relasi seni dan moral dinyatakan dalam tiga strategi atau cara penyampaian, yaitu: (a) pernyataan tentang nilainilai keutaman dan kebaikan (goodness) hidup; (b) pernyataan melalui humor; dan (c) pernyataan yang mempertanyakan serta penyampaikan kritik. Nilai-nilai keutamaan dan kebaikan adalah manifestasi yang berlaku umum di Indonesia menyatakan soal keyakinan hidup seseorang tentang makna kehidupan yang semestinya dijalani setiap orang. Representasi karya-karya dalam cara ini menyampaikan, baik secara langsung maupun tidak langsung, persoalan moral sebagai arah rujukan makna-makna yang bisa digali pada karya-karya yang dikerjakan oleh para seniman. Asumsi yang mendasari pengerjaan karya-karya ini menempatkan alasan atau jawaban moral tertentu sebagai landasasan penggalian makna-makna dari persoalan yang menjadi daya tarik maupun tantangan bagi para seniman untuk dihadapi. Pernyataan melalui cara humor adalah fenomena yang umum dan berlangsung dalam berbagai bentuk peradaban di dunia. Dalam prakteknya, pernyataan humor ini disampaikan dengan cara yang berbeda-beda, dipengaruhi oleh kebiasaan, tradisi, maupun kode-kode budaya yang berlainan. Namun demikian, akan selalu terdapat ragam benang merah yang kadang mampu menunjukkan persinggungan jenis selera humor satu peradaban dengan peradaban yang lainnya. Humor, bagaimanapun, adalah manifestasi dari versi

8

lain terhadap versi (penilaian, persepsi tentang kenyataan) yang dianggap umum dan telah dilumrahkan. Humor adalah sebuah sub-versi. Humor dan lelucon adalah sebentuk penyimpangan, bahkan bisa berlangsung sebagai manifestasi dari sesuatu di luar aturan: jadi semacam kekuatan dis-order. Representasi humor sering dikaitkan, dalam maknanya, sebagai bentuk perlawanan. Sesungguhnya, tidak selamanya berlaku semacam itu. Representasi humor justru tidak menunjukkan secara pasti pembelaan pada satu sisi pandangan tertentu (misalnya sebagai hal yang berlawanan dengan versi atau order yang resmi), selain hanya menunjukkan kandungan ketidaksepahaman dengan versi resmi. Humor bisa dianggap sebagai representasi ketidak-sepahaman (discord) namun tanpa pernyataan konflik. Karya-karya yang menunjukkan kritik dan pernyataan yang

mempertanyakan adalah versi lain dari representasi tentang ketidak-sepahaman. Dalam manifestasi sikap tersebut karya-karya dengan cara ini mengajukan ekspresi seni dalam posisi untuk mempertanyakan situasi atau berbagai persepsi tentang realitas yang telah dianggap berlaku umum. Lebih jauh, karya-karya tersebut bahkan menunjukkan sikap tidak percaya. Representasi karya-karya yang menunjukkan sikap percaya dan tidak percaya tentang berbagai kenyataan dan persepsi tentang situasi hidup ini bisa dinyatakan secara langsung (berterus terang) maupun secara tidak langsung (dalam tipuan penyataan). Ketiga cara untuk menyatakan hubungan seni dan moral ini, tentu saja, tidak bisa dipilah-pilahkan secara tegas dan ketat. Sebaliknya, lebih banyak karya-

9

karya yang mengandung satu aspek cara secara menonjol namun tetap juga memiliki kaitan dengan cara-cara yang lainnya. Millenium kedua diakhiri dengan rusaknya worldview konvensional. Kini segala bentuk worldview dipaksa merumuskan dirinya secara baru. Millenium ketiga diawali dengan suasana relativistis penuh ketidakpastian di segala bidang. Ini membawa perubahan radikal pula dalam cara manusia memahami diri, seni dan moralitas. Perubahan ini tidak bisa dilihat lagi secara oposisional, melainkan lebih tepat sebagai kompleksifikasi jaringan-jaringan tekstual yang hibrida dan tumpang tindih.

1. Rusaknya Worldview Cyber-culture melahirkan: demokrasi elektronik, pluralisme perspektif, kemampuan mengorganisasi diri pada kelompok-kelompok kecil (lokal-global), transparansi komunikasi hingga melabrak segala tabu, ekstensifikasi dunia batin (privat-anonim), perayaan insting purba (basic instinct). The End of Ideology: otoritas sistem-sistem gagasan besar (filsafat, ilmu,agama) diragukan. Kultur menjadi polifonik. Tak ada lagi jembatan yang pasti antara inner dan outer world. Tak ada lagi sistem tunggal yang merekat berbagai pengalaman yang fragmentaris. Tak jelas lagi kapan kita merasa berhasil, gagal, berdosa, bersalah. Tak jelas lagi kepada apa kita mesti loyal dan untuk apa.

Konsep tentangRealitas: disadari kini, tiap klaim tentang fakta, dari sains sekalipun, selalu interpretif alias ber-aspek fiktif, konstruksi manusia yang dibentuk oleh bahasa. Dalam media, percampuran fakta dan fiksi lebih

10

dimungkinkan lagi akibat sistem kode digital (hyperreality). Konsep Newtonian tentang materi kini diragukan. Materi itu ternyata seperti bisa memilih: tampil sebagai sesuatu yang berposisi atau suatu momentum, seolah ia memiliki inteligensi dan kehendak bebas, bukan benda mati. Struktur semesta sepertinya adalah struktur yang inteligen, merupakan jaringan kompleks yang tiap bagiannya mampu mengorganisasi diri secara spontan terhadap tiap perubahan terkecil sekalipun. Kebenaran: sesuatu yang tak terukur, instabil, relasional. Segala klaim tentang kebenaran adalah cara manusia memahami kebenaran itu, bukan sang kebenaran itu sendiri. Istilah obyektif dan absolut kini terasa anakronistik.

2. Kaburnya Konsep 'Diri' Struktur pemahaman/pengalaman tentang diri dibentuk oleh kultur, oleh sistem-sistem semiotik tertentu. Ketika sistem-sistem itu tidak lagi tunggal, menjadi polifonik-plural, maka diri pun tak jelas lagi substansinya. Kecenderungan memiliki materi dan mengidentifikasi diri dengannya adalah isyarat kekosongan itu. Diri menjadi aneka jenis relasi, bagai aktor yang tampil dalam berbagai peran, polimorf (polymorphous versatility, R.J.Lifton; Homeless mind,P.Berger; Nomadic Subject,G.Deleuze). Diri adalah kolase grotesque, dipaksa membentuk intelligibilitas dari berragam serpihan teks yang serba tak jelas konteksnya (aneka berita dan imaji) dan dari aneka relasi yang tak jelas maknanya. Diri adalah ibarat kumpulan cerpen yang kita tulis dan edit sendiri.

11

Momen-momen penting dalam hidup (lahir, nikah, kerja, mati,dst.) tak lagi cukup diberi arti oleh ritus-ritus konvensional. Ada kerinduan akan makna yang mendalam namun skeptik terhadap segala bentuk pretensi kedalaman, lebih suka merayakan permukaan. Ada keterpesonaan tanpa alasan, ada kemarahan tanpa sasaran.

3. Seni, hari ini Dari representasi mimetik dunia luar, seni telah bergeser kian ke dalam, menjadi representasi dunia dalam, lalu memperkarakan hakekat representasi, medium dan materi itu sendiri, menjadi sangat konseptual. Seperti sulit bergerak lagi, ia lantas menyatu dengan yang banal, bermain dengan ironi , pastiche dan parodi, atau menikmati sunyi (dalam musik: dari tonal ke atonal, ke bunyi, ke sunyi). Kini, seni dipaksa merumuskan kembali hakekat hubungannya dengan kehidupan nyata sehari-hari. Ada pergeseran signifikan dari idealisme simple-harmony ke

disharmonious-harmony; dari perenial-ahistorical ke time-binding; dari purism ke hybrid-semiosis. Kategori-kategori lama tak lagi memadai untuk memahami segala fenomena ini. Dalam situasi serba permisif,penuh pencarian dan percampuran, bentukbentuk kesenian kerap tampil dalam sosok-sosok patologis, mengejutkan,dan tak lagi berurusan dengan keindahan, justru dalam rangka merogoh interioritas kemanusiaan dan kebudayaan yang serba kehilangan pilar ini. Pada titik ini hubungan seni dan moralitas kerap menjadi problematis.

12

Karya seni tetap berpotensi membantu memperdalam pemahaman tentang kehidupan, tentang apa sesungguhnya yang kita ketahui dan apa yang sesungguhnya kita rasakan. Ia bisa juga memberikan cara-cara baru merangkai pengalaman-pengalaman yang fragmentaris. Kerap untuk itu ia menggunakan cara-cara ekstrim yang mengejutkan ataupun tidak senonoh, sebab dengan cara lain ia kehilangan daya provokatifnya. Tapi moralitas bukanlah hanya perkara kesantunan, ia adalah soal pemahaman lebih mendalam tentang apa sesungguhnya yang manusiawi dan yang tidak. Dalam hal ini, karya seni bisa tidak senonoh namun dengan itu pemahaman moral kita dijernihkan dan diperdalam, karenanya ia secara moral tetap bisa disebut baik. Tapi betul juga bahwa karya seni bisa memberi wajah indah pada kenyataan moral yang buruk. Indah tak selalu identik dengan secara moral baik. Indah bisa identik dengan jahat juga.Tapi bahkan seni jenis ini pun ada perlunya ditelaah, agar kita lebih memahami apa sesungguhnya yang kita tolak itu; agar lebih memahami manusia secara lebih jauh lagi; agar lebih memahami ambiguitas fenomen seni itu sendiri. Siasat pencekalan karya atas nama kesantunan hanya akan membuat kita tetap dangkal dan kekanak-kanakan. Yang perlu adalah mengkaji intensi si seniman dan barangkali membatasi konteks apresiasinya.

13

FILSAFAT ESTETIKA Dalam melakukan analisis mengenai estetika visual serta aspek-aspek yang mendasari penciptaan karya yang dibuat secara eforia sehingga tidak mengindahkan nilai-nilai dalam moralitas yang bermuatan kebenaran, keadilan dan kesucian, maka pendekatan lebih diarahkan kepada nilai dan sifat keindahan itu sendiri sesuai pola dalam filsafat estetika. Filsafat berhubungan dengan spekulasi dan analisis, filsafat juga bersifat selalu bertanya, analitis, kritis dan evaluatif. Cara pandang ini menunjukkan bahwa filsafat adalah kegiatan yang bersifat integratif atau kegiatan yang mengarah pada sintesis berbagai macam unsur ke dalam keseluruhan yang bersifat koheren dan terpadu. Dengan pendekatan filosofis dapat diusahakan untuk mengerti pendirian suatu pendapat dan norma-norma yang dipakai seorang pengamat dalam menilai karya seni. Pendekatan filosofis juga tidak selalu memberikan jawaban tunggal tetapi bisa bersifat multiinterpretatif. Kemudian pengintegrasian dilakukan dengan mendekatkan keimanan kepada Tuhan sebagai dasar pemikiran, bahwa semua imajinasi dan ide yang bertujuan baik dan mulia adalah ciptaan-Nya, maka perlu diupayakan dalam setiap proses berkarya nilai kebenaran, keadilan dan kesucian patut dijunjung tinggi dalam membangun peradaban manusia yang lebih baik.

MORALITAS DALAM BERKARYA Keprihatinan moral dan persoalan-persoalan moral menjadi mengemuka dalam perkembangan budaya global yang menampikkan nilai kemanusiaan. Di sini digunakan kata moral dalam pengertian filsafat kewajiban. Moral

14

digunakan untuk merujuk hal yang benar atau salah serta bagaimana kita bertindak dan berpikir sesuai dengan prinsip betul dan salah. Immanuel Kant, yang terkenal dengan teori kewajiban (imperative) menyatakan karya seni yang memenuhi unsur kehendak baik adalah karya seni yang baik menurut dirinya tanpa pamrih dan tanpa syarat. Dalam dunia manusia melawan nafsu-nafsu dirinya, maka kehendak bisa dilakukan dengan maksudmaksud tertentu yang tidak baik pada dirinya. Kant kemudian membedakan antara tindakan yang sesuai dengan kewajiban dan tindakan yang dilakukan demi kewajiban. Yang pertama, menurutnya tidak berharga secara moral dan disebut hanya memenuhi legalitas, sedang yang kedua bernilai moral dan disebut moralitas. Pandangan inilah yang kemudian disebut sebagai imperatif moralitas. Pandangannya tersebut mulai dikritik karena memunculkan rigorisme moral (rigor = keras, kaku, ketat), karena Kant menolak dorongan hati (belas kasih, setia kawan, dsb) sebagai tindakan moral. Kemudian untuk menjelaskan hal itu, Kant sebenarnya ingin mengatakan bahwa dalam moralitas yang penting adalah pelaksanaan kewajiban meski kadang tidak mengenakkan hati. Dorongan hati macam itu bisa saja baik, tapi moralitas tidak terletak padanya. Karya visual tercipta dari beberapa proses yang tidak terlalu mengikat dan sesuai dengan bakat kepribadian masing-masing seniman atau desainer. Proses penciptaan karya yang lazim dipakai tersebut adalah teori milik Graham Wallas dalam buku The Art of Thought . Proses tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

15

Gambar 1. Alur penciptaan karya model Graham Wallas Dalam proses demikian, keadaan dalam menciptakan karya seni tidak selalu tergantung pada urutan di atas. Proses berjalan dan kerap yang terjadi adalah kreator visual telah melangsungkan tahap elaborasi (perluasan) saat tibatiba pada tahap inspiration (ilham) muncul ilham baru. Maka bisa ditebak eksekusi karya pun berubah tanpa benar-benar melalui pemikiran yang mendalam. Kondisi demikian menyebabkan terjadinya banyak lubang sehingga karya visual belum benar-benar terseleksi dengan baik. Komunikasi yang diharapkan antara pembuat dengan pengamat pun tidak berjalan dengan baik melalui karyanya. Selain itu tidak adanya control terhadap karya yang memungkinkan memunculkan pola kekerasan, percabulan dan nilai-nilai yang keluar dari moral tidak bisa diminimalisasikan dalam proses berkarya tersebut. Pada proses inkubasi seharusnya bisa saja diminimalisasi dengan melakukan proses seleksi ide, namun hal tersebut jarang dilakukan karena pada tahap memperoleh ide (inspiration), hal tersebut bias tergeser oleh ide lain yang seharusnya diikutkan serentak pada tahap inkubasi. Untuk meminimalisasikan karya yang cenderung tidak sesuai dengan konsep moralitas yang tidak memunculkan nilai kebenaran, keadilan dan kesucian ada proses penciptaan karya yang penulis tawarkan, yaitu:

16

Gambar 2. Alur penciptaan karya terseleksi Bagan di atas menjelaskan alur penciptaan karya berdasarkan kematangan ide serta kematangan dalam mengeksekusi secara visual.

Penggambaran visual yang tidak cerdas (kekerasan digambarkan secara vulgar, percabulan yang secara vulgar ditawarkan) bisa ditangkal sedini mungkin dalam tahap seleksi ide. Sehingga ketika ide yang seharusnya suci, mulia dan membangun bisa benar-benar dieksekusi secara visual. Nyeni tidak harus keluar dari nilai moral atau asal beda, namun karya seni yang bagus dan mempunyai nilai estetika yang tinggi adalah karya yang mampu menimbulkan impact di masyarakat, yaitu tetap menawarkan kepada masyarakat ekspresi diri, kepekaan lingkungan dan tetap dapat menghibur dalam bahasa moralitas hubungan manusia dengan Tuhan. Ingat massa adalah bagian yang juga terpenting dalam proses penciptaan karya seni.

17

REFERENSI Djelantik, A.A.M. Estetika Sebuah Pengantar. Cetakan Kedua. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2001. Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004. Sartre, Jean Paul. Psikologi Imajinasi. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2002. Sumaryono, E. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Cetakan ke-5 (edisi revisi). Yogyakarta: Kanisius, 1999. Piliang, Yasraf Amir. Prolog: Seni, Nation-state, Identitas dan Tantangan Budaya Global dalam Aspek-Aspek Seni Visual Indonesia: Identitas dan Budaya Massa. Edisi I. Yogyakarta Yayasan Seni Cemeti, 2002. Tester, Keith. Media, Budaya dan Moralitas. Jogjakarta: Kreasi Wacana, 2003. Verhaak, C. dan Haryono Imam. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995. Wicandra, Obed Bima. Relasi paradigmatik ikon kristiani dalam poster propaganda Kuba. Jurnal Nirmana. Volume 6 Nomor 1. Januari, 2004. Wiryomartono, Bagoes P. Pijar-Pijar Penyingkap Rasa: Sebuah Wacana Seni dan Keindahan dari Plato sampai Derrida. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001. Sumber Website:

1. http://quote.robertgenn.com/getquotes.php?catid=344 2. http:// quote.robertgenn.com/authsearcrh.php?name=rumi 3. Caroline Turner,Internasionalism and regionalism : Paradoxes of identity, dlm, Caroline Turner, ed. TRADITION AND CHANGE: Contemporary Art of Asia and the Pacific (Brisbane : University of Queensland Press, 1993), hlm.xiii-xiv 4. Arthur Danto, Introduction ; Modern, Postmodern and Contemporary, dalam AFTER THE END OF ART: Contemporary Art and The Pale of History (Princeton, New Jersey : Princeton University Press, 1997) hlm.5 5. Lht. Paul Mattick, ART IN ITS TIME, Tehories and Practices of Modern Aesthetics (London & New York : Routledge, 2003), hlm. 12 6. Lht. Ignas Kleden, Moralitas, Seni, dan Perubahan sosial, Jurnal Kebudayaan KALAM,1998 7. http://bambarto.blogspot.com/2008/06/seni-pergeseran-nilai-dan-moralitas.html

18

MAKALAH(Disusun dalam Upaya Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Seni)

Disusun oleh:

Nama NIM Jurusan

: IDAYAT RUSLAN : 1022228 : KARAWITAN

SEKOLAH TINGGI SENI INDONESIA (STSI) BANDUNG 2011

19