hukum agraria - edu.shallman.co file3 landasan hukum tanah nasional tidak memberikan definisi atau...
TRANSCRIPT
2
BAB I
PENDAHULUAN
I. Istilah Hukum Agraria
Sebelum memaparkan mengenai hukum agraria, akan disinggung terlebih
dahulu mengenai istilah agraria. Istilah agraria atau sebutan agraria dikenal
dalam beberapa bahasa. Dalam bahasa Belanda, dikenal dengan kata akker
yang berarti tanah pertanian, dalam bahasa Yunani kata agros yang juga berarti
tanah pertanian1 Dalam bahasa Latin, ager berarti tanah atau sebidang tanah,
agrariu berarti perladangan, persawahan dan pertanian.2 Dalam bahasa Inggris,
agrarian berarti tanah untuk pertanian.3 Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia agraria berarti urusan pertanian atau tanah pertanian.4 Dalam Black
Law Dictionary arti agraria adalah segala hal yang terkait dengan tanah, atau
kepemilikan tana terhadap suatu bagian dari suatu kepemilikan tanah (agraria
is relating to land, or land tenure to a division of landed property).5
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043), atau yang
lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang merupakan
1 42Urip Santoso, Hukum Agraria dan hak-hak Atas Tanah, Jakarta: Kencana, 2009, Hal 1.2 Prent K Adisubrata, J. Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Latin Indonesia, Semarang:Yayasan Kanisius, 1960.3 bid.4 45Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga, CetakanKeempat, Jakarta: Balai Pustaka, 2007, Hal 13.5 ryan A. Gadner, Black’s Law Dictionary: Eighth Edition, USA: West Publishing Co,2004, Hal 73.
3
landasan hukum tanah nasional tidak memberikan definisi atau pengertian
mengenai istilah agraria secara tegas. Walaupun UUPA tidak memberikan
definisi atau pengertian secara tegas tetapi dari apa yang tercantum dalam
konsideran, pasal-pasal dan penjelasanya dapat disimpulkan bahwa pengertian
agaria dan hukum agraria dipakai dalam arti yang sangat luas.6 Pengertian
agraria meliputi bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya.7
Pengertian-pengertian mengenai agraria secara umum berkaitan dengan
tanah atau tanah pertanian karena dari istilah yang muncul dalam bahasa latin
yang hampir sama penyebutannya dengan Agraria yakni Agrarius yang berarti
tanah untuk pertanian. Dapat dipahami tentunya mengingat pada saat itu tanah
begitu luasnya dan hanya digunakan sebagai tempat untuk pertanian, karena
saat itu yang menyangkut mengenai tanah dan yang perlu diatur adalah tanah
pertanian. Tanah Pertanian pada saat itu adalah faktor terpenting dari kegiatan
ekonomi. Istilah agraria dalam bahasa Inggris yakni Agrarian lebih luas lagi
yakni tanah dan yang berkaitan dengan tanah dan juga terdapat pengertian
bahwa tanah juga didefinisikan sebagai tanah untuk penghunian dalam bidang
perumahan. Pengertian dalam bahasa Inggris lebih luas dari pengertian
sebelumnya yang digunakan dalam bahasa latin. Hal ini dikarenakan dalam
perkembangannya tanah tidak hanya digunakan untuk pertanian, tetapi seiring
meningkatnya pertumbuhan penduduk maka tanah juga dibutuhkan untuk
permukiman dan penghunian rakyat.
Dalam UUPA, pengertian agraria menjadi lebih luas lagi dari pengertian
dalam teks bahasa Inggris. Pembuat undang-undang memasukan faktor sumber
6 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-UndangPokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya, Op. Cit., Hal 67 bidi
4
daya alam dalam definisi agraria, menurut penulis hal tersebut dimaksudkan
untuk membuat landasan hukum terhadap kekayaan sumber daya alam
Indonesia. Jadi bila ingin memanfaatkannya kekayaan sumber daya alam
tersebut, negara harus ikut berperan dalam pengaturanya sesuai dengan jiwa
Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
Selanjutnya mengenai pengertian hukum agraria, terdapat juga beberapa
pendapat ahli dan definisi mengenai hal tersebut. Menurut Black Law’s
Dictionary, agrarian law is the body of law governing the ownership, use, and
distribution of rural land.8 Agrarian laws digunakan juga untuk menunjukan
kepada perangkat peraturan-peraturan hukum yang bertujuan mengadakan
pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan
dan pemilikannya. Definisi lain dari hukum agraria yang dalam bahasa belanda
disebut dengan agrarisch recht, merupakan istilah yang dipakai dalam
lingkungan administrasi pemerintahan. Agrarisch recht di lingkungan
administrasi pemerintahan dibatasi pada perangkat peraturan perundang-
undangan yang memberikan landasan hukum bagi para penguasa dalam
melaksanakan kebijakan di bidang pertanahan9
Pengertian hukum agraria dalam UUPA adalah dalam arti pengertian yang
luas bukan hanya merupakan satu perangkat bidang hukum, tetapi merupakan
kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-masing mengatur hak-hak
penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu yang termasuk pengertian
agraria. Kelompok tersebut terdiri atas:
1. hukum tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah
8 Bryan A. Gadner, Black’s Law Dictionary: Eighth Edition, Loc. Cit.9 Bid, hal 5
5
dalam arti permukaan bumi;
2. hukum air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air;
3. hukum pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas
bahanbahan galian yang dimaksudkan dalam undang-undang di
bidang pertambangan;
4. hukum perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas
kekayaan alam yang terkandung di dalam air;
5. hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang
angkasa (bukan Space Law), yang mengatur hak-hak
penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa
yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 UUPA.10
Beberapa ahli memberikan pendapat mengenai pengertian hukum agraria,
yakni:
1. E. Utrecht memberikan pengertian yang sama pada hukum
agraria dan hukum tanah, tetapi dalam arti yang sempit
meliputi bidang hukum administrasi negara, menurutnya,
hukum agraria dan hukum tanah menjadi bagian hukum tata
usaha negara yang menguji perhubungan-perhubungan hukum
istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat
yang bertugas mengurus soal-soal tentang agraria, melakukan
tugas mereka itu.11
2. Subekti/Tjitrosoedibjo memberikan arti yang luas pada hukum
10 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang PokokAgraria, Isi dan Pelaksanaanya, Op. Cit., Hal., 811 56E Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: PT Penerbitan dan Balai BukuIchtiar, 1961, Hal 162, 305, 321, dan 459.
6
agraria yaitu,:
agraria adalah urusan tanah dan segala apa yang ada di
dalamnya dan diatasnya, seperti telah daiatur dalam dalam
Undang-Undang Pokok Agraria, LN 1960-104. hukum
agraria ( agrarisch recht Bld.) adalah keseluruhan dari pada
ketentuan-ketentuan hukum, baik hukum perdata maupun
hukum tata negara (staatsrecht) maupun pula hukum tata
usaha negara (administratif recht) yang mengatur
hubunganhubungan antara orang termasuk badan hukum,
dengan bumi, air, dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah
negara dan menagatur pula wewenang-wewenang yang
bersumber pada hubungan tersebut.12
3. J . Valkhof memberikan pengertian agrarisch recht bukan
semua ketentuan hukum yang berhubungan dengan pertanian,
melainkan hanya yang mengatur lembaga-lembaga hukum
mengenai penguasaan tanah. Mengenai yang dibicarakan
adalah hukum agraria tersendiri adalah atas pertimbangan,
bahwa melihat obyek yang diaturnya ketentuan-ketentuan
hukum yang bersangkutan merupakan suatu kesatuan yang
sistematis.13
Dalam kepustakaan hukum negara Uni Soviet terdapat tulisan G.
Aksenyonok, yang terjemahannya berjudul Land law. Land Law dirumuskan
sebagai suatu cabang hukum yang mandiri dari hukum Soviet Sosialis yang
12 Subekti dan Tjitrosoedibjo, Kamus Hukum, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1969.13 Arie Sukanti Sumantri, Op. Cit., Hal 6
7
mengatur seluruh hubungan hukum yang timbul dari nasionalisasi tanah
sebagai milik Negara.14
Pengertian hukum agraria ternyata berbeda satu sama lain ketika berkaitaN
dengan hukum maka ada penekanan agraria akan dibawa kepada fokus
tertentu sesuai dengan konteks ideologi suatu bangsa pada saat itu. Dalam
lingkungan Pendidikan Tinggi Hukum, sebutan Hukum Agraria umumnya
dipakai dalam arti Hukum Tanah (dalam bahasa inggris disebut Land Law
atau The Law of Real Property), yaitu suatu cabang Tata Hukum Indonesia
yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah.15
Istilah agrarian berasal dari kata Akker (Bahasa Belanda), Agros (Bahasa
Yunani) berarti tanah pertanian, Agger (Bahasa Latin) berarti tanah atau
sebidang tanah, Agrarius (Bahasa Latin) berarti perladangan, persawahan,
pertanian, Agrarian (Bahasa Inggris) berarti tanah untuk pertanian.
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia agraria berarti urusan pertanahan
atau tanah pertanian juga urusan pemilikan tanah, dalam bahasa inggris
agrarian selalu diartikan tanah dan dihubungkan usaha pertanian, sedang dalam
UUPA mempunyai arti sangat luas yaitu meliputi bumi, air dan dalam batas-
batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung
didalamnya.
Tanah sangat vital peranannya bagi semua kehidupan di bumi karena tanah
mendukung kehidupan tumbuhan dengan menyediakan hara dan air sekaligus
sebagai penopang akar. Struktur tanah yang berongga-rongga juga menjadi
14 Fundamentals of Soviet Law”, Moscow: Foreign Languages Publishing House, tth.15 Arie Sukanti Sumantri, Op. Cit., Hal 6
8
tempat yang baik bagi akar untuk bernafas dan tumbuh. Tanah juga menjadi
habitat hidup berbagai mikroorganisme. Bagi sebagian besar hewan darat,
tanah menjadi lahan untuk hidup dan bergerak.
Hukum agraria dalam arti sempit yaitu merupakan bagian dari hukum
agrarian dalam arti luas yaitu hukum tanah atau hukum tentang tanah yang
mengatur mengenai permukan atau kulit bumi saja atau pertanian
Hukum agraria dalam arti luas ialah keseluruhan kaidah-kaidah hukum
baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur mengenai bumi, air dan
dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang
terkandung didalamnya.Hukum agraria memberi lebih banyak keleluasaan
untuk mencakup pula di dalamnya berbagai hal yang mempunyai hubungan
pula dengannya, tetapi tidak melulu mengenai tanah
Menurut Black Law’s Dictionary, hukum agraria adalah hukum yang
mengatur kepemilikan, penggunaan, dan distribusi tanah pedesaan. Agrarian
laws juga menunjuk pada perangkat peraturan hukum yang bertujuan
mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan
penguasaan dan pemilikannya.
Hukum agraria dalam bahasa Belanda disebut Agrarisch recht yang
merupakan istilah yang dipakai dalam lingkungan administrasi pemerintahan.
Dengan demikian Agrarisch recht dibatasi pada perangkat peraturan
perundang-undangan yang memberikan landasan bagi para penguasa dalam
melaksanakan kebijakan di bidang pertanahan.
9
Menurut Soedikno Mertokusumo, hukum agraria adalah keseluruhan
kaidah-kaidah hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang
mengatur agraria. Bachsan Mustofa menjabarkan kaidah hukum yang tertulis
adalah hukum agraria dalam bentuk hukum undang-undang dan peraturan-
peraturan tertulis lainnya yang dibuat oleh negara, sedangkan kaidah hukum
yang tidak tertulis adalah hukum agraria dalam bentuk hukum adat agraria
yang dibuat oleh masyarakat adat setempat dan yang pertumbuhan,
perkembangan serta berlakunya dipertahankan oleh masyarakat adat yang
bersangkutan.
Menurut Soebekti dan R. Tjitrosoedibio, hukum agraria (Agrarisch recht),
adalah keseluruhan dari ketentuan-ketentuan hukum, baik hukum perdata,
maupun hukum tata negara (Staatsrecht ) maupun pula hukum tata usaha
negara (Administratifrecht ) yang mengatur hubungan-hubungan antara orang
termasuk badan hukum dengan bumi, air dan ruang angkasa dalam seluruh
wilayah negara dan mengatur pula wewenang-wewenang yang bersumber pada
hubungan-hubungan tersebut.
Boedi Harsono menyatakan Hukum Agraria bukan hanya merupakan satu
perangkat bidang hukum. Hukum Agraria merupakan satu kelompok berbagai
bidang hukum, yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas
sumber-sumber daya alam tertentu yang termasuk pengertian agraria.
Kelompok berbagai bidang hukum tersebut terdiri atas
a. Hukum Tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah, dalam
arti permukaan bumi.
10
b. Hukum Air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air.
c. Hukum Pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-
bahan galian yang dimaksudkan oleh Undang-undang Pokok
Pertambangan.
d. Hukum Perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan
alam yang terkandung di dalam air.
e. Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-unsur dalam Ruang
Angkasa, mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur
dalam ruang angkasa yang dimaksudkan oleh Pasal 48 UUPA.
Utrecht memberikan pengertian yang sama pada hukum agraria dan hukum
tanah, tetapi dalam arti yang sempit meliputi bidang hukum administrasi
negara. Menurutnya, hukum agraria dan hukum tanah menjadi bagian hukum
tata usaha negara yang menguji perhubungan-perhubungan hukum istimewa
yang diadakan sehingga memungkinkan para pejabat yang bertugas mengurus
soal-soal tentang agraria melakukan tugas mereka.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum agraria merupakan
keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis, yang mengatur agraria, baik dalam pengertian sempit yang hany
mencakup permukaan bumi (tanah) maupun dalam pengertian luas, mencakup
bumi, air, ruanag angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
11
Sumber:
1. Effendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia Suatu Telaah dari Sudu
Pandang Praktisi Hukum, Cet. III (Jakarta: Rajawali, 1991)
2. Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline 1.3, dalam
http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi
3. Effendi Perangin, 401 Pertanyaan dan Jawaban tentang Hukum Agraria,
Cet. I (Jakarta: Rajawali, 1986)
4. Bernhard Limbong, Hukum Agraria Nasional, Cet. I (Jakarta: Margaretha
Pustaka, 2012)
5. Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Cet. V (Jakarta:
Kencana, 2009)
Soal-soal:
1. Sebutkan asal-usul istilah hukum agraria
2. Uraikan pengertian Hukum Agraria dalam arti sempit dan luas
3. Jelaskan Hukum Agraria menurut beberapa ahli
4. Menurut Boedi Harsono hukum agraria merupakan kelompok-kelompok
berbagai bidang hukum. Jelaskan bidang-bidang kelompok tersebu
12
BAB II
PENGERTIAN HUKUM TANAH
Tanah merupakan salah satu asset Negara Indonesia yang sangat
mendasar, karena Negara dan bangsa hidup dan berkembang di atas
tanah. Masyarakat Indonesia memposisikan tanah pada kedudukan yang
sangat penting, karena merupakan factor utama dalam peningkatan
produktivitas agraria. Dalam terminology asing tanah disebut dengan
land, soil (Inggris), adama (Semit) dan dalam leumah (Sunda); petak,
bumi (Dayak); rai (Tetum). Perbedaan istilah tersebut terjadi bukan
sekedar karena adanya perbedaan bahasa, namun lebih dari itu yakni
karena perbedaan pemaknaan tanah oleh manusia yang menguasai atau
menggunakannya beberapa terminology daerah disebut dengan siti,
bhumi, lemah (Jawa); palemah (Bali); taneuh. Perbedaan istilah tersebut
terjadi bukan sekedar karena adanya perbedaan bahasa, namun lebih dari
13
itu yakni karena perbedaan pemaknaan tanah oleh manusia yang
menguasai atau menggunakannya
Sebutan tanah dalam bahasa Indonesia dapat dipakai dalam berbagai
arti. Maka dalam penggunaannya perlu diberi batasan, agar diketahui
dalam arti apa istilah tersebut digunakan. Dalam pengertian hukum,
tanah telah diberi batasan resmi. Tanah adalah permukaan bumi
sebagaimana dalam Pasal 4 UUPA bahwa, atas dasar hak menguasai dari
Negara…ditentukan adanya macammacam hak atas permukaan bumi,
yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunya oleh
orang-orang…
Dengan demikian jelaslah, bahwa tanah dalam pengertian yuridis
adalah permukaan bumi, sedang hak atas tanah adalah hak atas sebagian
tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran
panjang dan lebar.16 Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang
dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA, adalah untuk digunakan
atau dimanfaatkan. Sehingga diberikannya dan dipunyainya tanah
dengan hak-hak tersebut dalam UUPA tidak akan bermakna jika
penggunaannya terbatas hanya pada tanah sebagai permukaan bumi saja.
Untuk keperluan apapun tidak bisa tidak, pasti diperlukan juga
penggunaan sebagian tubuh yang ada di bawahnya dan air serta ruang
yang ada diatasnya. Oleh karena itu bahwa hak-hak atas tanah bukan
hanya memberi wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu
16 Boedi Harsono, Undang-Undang Pokok Agraria, Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaannya,BagianPertama, Jilid I.Djambatan, Jakarta, 2003,hal 18.
14
permukaan bumi yang bersangkutan, yang disebut tanah, tetapi juga
tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada di
atasnya.
Dengan demikian maka yang dipunyai dengan hak atas tanah itu
adalah tanahnya dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi.
Tetapi wewenang menggunakan yang bersumber pada hak tersebut
diperlukan hingga meliputi juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang
ada di bawah tanahdan air serta ruang yang ada diatasnya.17
Pada perspektif filsafat, tanah mempunyai hubungan sangat
fundamental dengan manusia. Di dalam istilah agama manusia dari Allah
dan akan kembali kepada Allah kepada dasarnya yaitu tanah. Karena
sesuai dengan asal proses penciptaan manusia adalah berasal dari tanah,
maka akhir hidupnya akan kembali pada tanah dari tanah kembali ke
tanah. Dengan demikian bahwa hubungan antara manusia dan atau
masyarakat dengan tanah ini bersifat abadi. Pengertian lebih lanjut
bahwa sesungguhnya sumber ekonomi dan sumber-sumber politik
didalam masyarakat adalah tanah, dalam pengertian yang luas termasuk
turun-turunan pemanfaatannya.18
Dalam National Land Code Malaysia (1965) dan Land Titles Act
Singapura (1993) tanah disebut land dan yang dimaksud adalah juga
17 5 Boedi Harsono, Hukum agrarian Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang PokokAgraria, Isi danPelaksanaannya, Jilid 1, Djambatan, Jakarta, 2003, hal 8718 Joyo Winoto, Laporan Seminar Nasional “Penataan Ulang Kelola Sumber Daya Agraria SebagaiUpayaPeningkatan Kualitas Daya Dukung Lingkungan dan Kemakmuran Rakyat, Universitas Jember, 16April 2006, hal 8.
15
permukaan bumi, tetapi diperluas hingga meliputi juga hak atas tubuh
bumi di bawah dan ruang udara di atasnya dalam batas-batas keperluan
yang wajar, jadi ada persamaan hakiki dengan pengertian tanah dalam
arti yuridis dalam UUPA. Namun terdapat perbedaan juga mengenai
pemilikan bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah. Malaysia dan
Singapura menggunakan asas accessie (Asas perlekatan yakni bangunan
dan tanaman yang ada di atas tanah dan merupakan satu kesatuan dengan
tanah dan merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan). Berbeda
dengan hukum tanah Indonesia yang menggunakan asas hukum adat
yang disebut asas pemisahan horizontal (horizontale scheiding) yakni
bangunan dan tanaman bukan merupakan bagian dari tanah, sehingga
perbuatan hukum mengenai tanah tidak dengan sendirinya meliputi
bangunan dan tanaman yang ada diatasnya. Jika perbuatan hukumnya
dimaksudkan meliputi, maka secara tegas hal itu harus dinyatakan dalam
akta.
Dalam hukum adat, tanah mempunyai arti religious magis dengan
konsepsi komunalistik religious, yang memungkinkan penguasaan tanah
secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi,
sekaligus mengandung unsure kebersamaan. Konsepsi dalam hukum
adat tersebut dituangkan dalam UUPA (lihat Pasal 1 dan 2 UUPA),
artinya dalam hukum tanah nasional seluruh permukaan bumi adalah
tanah bersama rakyat Indonesia, namun dimungkinkan bagian dari tanah
bersama itu dikuasai secara individual dengan hak atas tanah yang
bersifat pribadi sekaligus mengandung unsure kebersamaan.
16
Makna tanah bagi manusia tidak terbantahkan. Ia tidak hanya
memberi fungsi ekonomis, politis, namun juga cultural,
kehormatan/identitas/harga diri. Tanah tidak semata-mata berarti benda
dalam arti fisiknya, namun diatasnyalah dibangun ruang social, berbagai
hubungan dijalin, persaingan terjadi, penguasaan dominan dan politik
dikontestasikan.
Hak atas tanah menjadi pemicu dan penyebab, pembentuk dan
pengendali perubahan ditengah-tengah masyarakat nasional
Internasional. Menurut Syahyuti, tanah merupakan sumber agraria yang
mengandung 2 (dua) aspek utama yaitu: aspek kepemilikan dan
penguasaan, dan aspek penggunaan dan pemanfaatan.19 Secara hakiki,
makna dan posisi strategis tanah dalam kehidupan masyarakat Indonesia,
tidak saja mengandung aspek fisik, tetapi juga aspek social, ekonomi,
budaya, politik, pertahanan-keamanan dan aspek hukum.
Secara filosofis, tanah cenderung diartikan sebagai land dan bukan
soil, sehingga tanah dipandang dalam visi multidimensional.20 Heru
Nugroho, menyebutkan tanah bagi masyarakat memiliki makna
multidimensional:
1. Dari sisi ekonomi tanah merupakan sarana produksi yang dapat
mendatangkan kesejahteraan.
2. Secara politis tanah dapat menentukan posisi seseorang dalam
pengambilan keputusan masyarakat.
19 7 Syahyuti, Nilai-nilai Kearifan pada Konsep Penguasaan Tanah Menuruut Hukum Adat diIndonesia, JurnalForum Penelitian Agro Ekonomi, Vol 24 No. 2 Juli 2006, hal 14.20 Agum Gumelar, Reformasi Pertanahan, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 3.
17
3. Sebagai budaya yang dapat menentukan tinggi rendahnya status
social pemiliknya.
4. Tanah bermakna sacral karena berurusan dengan warisan dan
masalah-masalah transedental.21
Menyadari pentingnya manfaat tanah bagi manusia, sekaligus
merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, maka
pemerintah dalam berbagai kebijakan berupaya untuk mengatur
pemanfaatan, peruntukan dan penggunaan tanah demi kemaslahatan
umat manusia di Indonesia.
Di Indonesia masalah sumber daya agraia (dalam arti luas) diatur
dalam konstitusi sebagaimana Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Pasal ini
secara prinsip memberi landasan hukum bahwa bumi dan air serta
kekayaan alam yang terkandung didalamnya, kewenangan pengaturan
tanah seluruhnya diserahkan kepada Negara sebagai suatu organisasi
kekuasaan dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran
rakyat. Lebih lanjut tanah diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun
1960 Tentang Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disingkat UUPA) dan
Peraturan Pelaksananya. Diharapkan dari penguasaan tersebut akan
berdampak pada kepastian hukum, perlindungan hukum, keadilan dan
kemakmuran bagi rakyat.
Dalam perspektif hukum, tanah dikaji berdasarkan hak-hak
penguasaan tanah sebagai suatu system hukum. Artinya bagaimana
21 9Heru Nugroho, Reformasi Politik Agraria Mewujudkan Pemberdayaan Hak-hak atas Tanah,Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2002, Hal. 99.
18
hukum memandang persoalan pertanahan berkaitan dengan hakhak
penguasaan atas tanah dalam suatu system. Sebagai suatu system maka
hak atas tanah harus dilihat sebagai suatu nilai. Karena hukum sebagai
perwujudan nilai-nilai, maka pengaturan penguasaan dan pemilikan
tanah mengandung arti bahwa kehadirannya adalah untuk melindungi
dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, maka
penguasaan dan pemilikan hak atas tanah harus dilindungi. Pengkajian
hak atas tanah dari perspektif ilmu hukum berarti membahas hak atas
tanah dari aspek penguasaan dan pemilikannya.
Kedudukan tanah dalam tata nilai yang berbeda-beda tersebut apabila
ditinjau dari kajian filsafat ilmu hukum, maka tanah mengandung nilai
yang berbeda-beda, tergantung pada tempat dan waktu dimana tata nilai
itu tumbuh dan berkembang. Perbedaan tata nilai tersebut
mengakibatkan perbedaan system hukum tanah. Selain itu, pengaruh
factor ekonomi, politik dan hukum telah mengakibatkan kecenderungan
untuk memaksakan tata nilai tertentu pada tata nilai lain, yang berujung
pada dekonstruksi dan rekonstruksi system hukum tanah tertentu.
Dengan pendekatan filsafat Hukum akan dicari hakikat dari tanah dan
hak atas tanah serta apa yang ada dibelakang tanah dan hak atas tanah,
serta menyelidiki kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai.
Dengan demikian secara filsafati, penguasaan dan pemilikan tanah sarat
dengan muatan nilai yang melatarbelakangi lahirnya norma hukum yang
mengatur penguasaan dan pemilikan atas tanah yang didalamnya
terdapat kewenangan, hak dan kewajiban serta kekuasaan. Filsafat ilmu
19
hukum merupakan terminology yang digunakan untuk memahami
hukum tanah sebagai realita utuh dengan pendekatan holistic yang
didalamnya mengandung tiga aspek yaitu:
(1) aspek keadilan, keadilan adalah kesamaan hak untuk semua
orang dalam penguasaan dan pemilikan tanah;
(2) aspek tujuan keadilan atau finalitas, yaitu menentukan isi
hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang
hendak dicapai atas penguasaan dan pemilikan tanah yakni
masyarakat yang adil dan makmur;
(3) aspek kepastian hukum atau legalitas, yaitu menjamin bahwa
hukum tanah dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus
ditaati dan memberikan kepastian hukum.
Tanah adalah bagian terpenting dalam kehidupan manusia, tanah
menyangkut kehidupan dan tujuan dari kematian. Tanah dalam
kaitanya dengan Indonesia tentunya memiliki makna yang sangat
istimewa. Mengingat Indonesia adalah negara yang dari dulu hingga
kini terkenal. Tanah sangat penting maka tidak heran apabila kemudian
kita mengenal istilah tanah air, tanah tumpah darah, bumi persada,
tanah pusaka dan ibu pertiwi.22
Tanah adalah apa yang menjadi dasar bagi penciptaan manusia,
sementara sebagian lainya mengenal tanah adalah sebagai bahan
bangunan. Tanah merupakan suatu harga diri dan warisan, yang
22 Bernhard Limbong, Hukum Agraria Nasional: Himpunan Peraturan-peraturan HukumTanah, (Jakarta : Margaretha Pustaka, 2013) hlm 1
20
dengan nyawa pun harus kita pertaruhkan. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia23, tanah dapat diartikan :
1. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali
2. Keadaan bumi di suatu tempat
3. Permukaan bumi yang diberi batas
4. Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir,
batu cadas dan sebagainya)
Luasnya arti dan pemahaman masyarat tentang tanah maka
dilahirkanlah Hukum Tanah. Pokok pengertian tanah tertata dalam satu
susunan undang-undang yaitu Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).
Menurut UUPA sendiri, tanah memiliki arti yang berbeda, arti tanah
dalam UUPA ini dijelaskan oleh Boedi Harsono, menurut Budi
Harsono24 pengertian tanah berdasarkan apa yang dimaksud dalam
Pasal 4 UUPA, “Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang
dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas
permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain serta badan-badan hukum” bahwa hak menguasai dari negara
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang
disebut tanah. Tanah dalam pengertian yuridis dapat diartikan sebagai
permukaan bumi.
Lahirnya UUPA tentu bukan tanpa sebab, secara umum, lahirnya
23 Tim Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi keempat, (Jakarta: PusatBahasa, 2008), hlm.20.
24 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undangPokok Agraria Isi dan Pelaksanannya, (Jakarta : Djambatan, 2005), hlm. 18.
21
suatu aturan hukum tidak lepas dari sejarah bangsa itu sendiri. Von
Savigny mengatakan das Recht wird nich gamacht, est is und wird mit
dem Volke (hukum tidak dibuat, hukum ada dan lahir menyatu dengan
bangsa)25.UUPA lahir karena hukum barat yang selama ini mengatur
tentang tanah, dinilai tidak sesuai lagi dengan spirit dan rechtiide (cita
hukum) bangsa Indonesia.
Lahirnya UUPA membawa suatu suasana baru dalam perjalan
bangsa Indonesia yang kala itu tengah menemukan kemerdekaanya.
Mengingat begitu fundamentalnya peran UUPA, maka dalam
pembuatanya UUPA didasari atas 3 tujuan yaitu :
1. Meletakan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria
Nasional, yang merupakan alat untuk membawa kemakmuran,
kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat
tani dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur
2. Meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan
kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
3. Meletakan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum
mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
ketiga tujuan tersebut maka munculah 5 Prinsip yang secara garis
besar mendasarkan pada kemanusiaan dan kesejahteraan. Prinsip-
prinsip itu adalah (1) Nasionalisme (2) tanah dan sumber-sumber
agraria lainya memiliki fungsi sosial – bukan komersial (3) anti
25 L.J. Van Apeldroon, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta : Sinar Harapan,1983) hlm. 141
22
ekploitasi terhadap manusia dan monpoli (4) landreform populis (5)
dan perencanaan agraria26. UUPA tentunya bisa kita pahami memililiki
tujuan untuk mementingkan kepentingan bangsa dibandingkan
kepentingan ekploitasi. UUPA juga mengutamakan kesejahteraan
rakyat yang dalam hal ini melalui tanah di bandingkan mengutamakan
nilai ekonomis tanah. Prinsip-prinsip sosialis yang dibangun oleh
UUPA ini tentunya adalah buah hasil dari pahitnya masa penjajahan
Sebagai hukum tanah nasional yang baru dalam materi muatan yang
terdapat dalam UUPA mengandung tujuan, konsepsi, asas, sistem dan isi.
Materi muatan tersebut dimaksudkan agar hukum tanah nasional harus:27
a. berdasarkan hukum adat tentang tanah
Hukum adat adalah sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia
karena hukum adat merupakan hukum asli bangsa Indonesia.
Walaupun demikian hukum adat tersebut harus disempurnakan
dari kekurangan yang ada sehingga dapat memenuhi
perkembangan zaman
b. Sederhana
Yang dimaksud dengan sederhana adalah sesuai dengan tingkat
pengetahuan bangsa Indonesia yakni dengan memilih hukum adat
sebagai dasar hukum yang baru
c. Menjamin Kepastian Hukum
Kepastian hukum ini dibutuhkan karana masalah agararia
berkaitan
26 Bernhard Limbong, Op.cit, hlm 3327 Ibid., Hal 162-163
23
dengan kegiatan ekonomi yang memerlukan pembuktian yang
jelas dan
pasti dalam kegiatan-kegiatanya.
d. Sesuai dengan nilai agama
Tidak boleh bertentangan dengan norma-norma agama yang telah
lama tertanam dalam masyarakat Indonesia
e. memberi kemungkinan agar bumi, air, dan ruang angkasa dapat
mencapai fungsinya dalam membangun masyarakat yang adil dan
makmur;
Pembangunan nasional tentu membutuhkan tanah sebagai faktor
produksi, untuk memenuhi kebutuhan akan tanah bagi keperluan
pembangunan maka perlu digunakan secara efesien dan diperlukan
pengaturan, pengendalian, dan pembinaan oleh pemerintah. Hal-
hal tersebutmemerlukan landasan hukum yang harus dituangkan
dalam hukum tanah yang efisien dan efektif.
f. Sesuai dengan masyarakat Indonesia
UUPA harus sesuai dengan kepentingan seluruh rakyat Indonesia
bukan kepentingan sebagian kelompok atau golongan
g. Sesuai dengan kebutuhan perkembangan zaman dalam bidang
agraria;
UUPA harus memberikan kemungkinan untuk dapat
menyelesaikan
persoalan-persoalan dimasa depan.
h. Mewujudkan Pancasila
24
i. pelaksanaan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 dan Manifesto
Politik Republik Indonesia sesuai dengan pidato Presiden tanggal
17 Agustus 1960;
Yang dimaksud adalah UUPA mengembalikan bangsa Indonesia
ke jalur yang benar dalam revolusi nasioanal, dalam bidang agraria
kebijaksanaannya adalah persoalan tanah yang diwariskan oleh
zaman Belanda harus segera diakhiri terutama mengenai hak
eigendom
j. melaksanakan ketentuan dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945.
UUPA merupakan pelaksanan dari pasal 33 UUD NRI Tahun
1945, oleh karenanya didalam UUPA harus dijiwai konsepsi yang
tertuang dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945
Dasar filosofis dari dibentuknya suatu aturan hukum, selain untuk
mengatur dalam menertibkan masyarakat, juga yang paling penting adalah
memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Hukum merupakan instrument
agar keadilan bisa dicapai sesuai dengan harapan public. Namun, proses
penegakan keadilan melalui instrument hukum selalu diterpa dilemma yang tak
berkesudahan . Masalah keadilan telah ditelaah sejak zaman Yunani kuno,
berasal dari pemikiran tentang sikap atau perilaku manusia terhadap sesamanya
dan terhadap lingkungannya.28 Keadilan terhadap penguasaan dan pemilikan
hak atas tanah adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu
tanah.
28 14 Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan HAM, Mandar Maju, Bandung, 2011, hal.97
25
Menurut John Rawls guru besar Universitas Harvard bahwa keadilan
adalahkebajikan utama dalam institusi social, sebagaimana halnya kebenaran
pada system pemikiran. Oleh karena itu untuk memenuhi rasa keadilan maka
pemerintah melalui UUD 1945 dan UUPA telah menentukan Pasal 7 UUPA;
larangan penguasaan tanah yang melampaui batas, Pasal 10 …setiap pemegang
hak atas tanah wajib mengusahakan tanahnya secara aktif. Menurut Rawls,
situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga
paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah. Hal ini terjadi
kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin
maksimum minimum bagi golongan orang yang paling lemah. Artinya situasi
masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untuk yang paling
tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil. Kedua,
ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang.
Maksudnya, supaya kepada semua orang diberikan peluang yang sama besar
dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang
berdasarkan ras, kulit, agama dan perbedaan lain yang bersifat primordial,
harus ditolak.
Lebih lanjut John Rawls menegakkan bahwa program penegakan
keadilan yang berdimensi kerakyatan harusla memperhatikan dua prinsip
keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas
kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap
orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan social ekonomi yang
terjadi sehingga dapat member keuntungan yang bersifat timbal balik bagi
setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak
26
beruntung.
Oleh karena itu sudah saatnya Indonesia dalam hal terjadi sengketa
pertanahan menggunakan hukum progresif yaitu ketentuan pertanahan yang
memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan atas tanah, keadilan substansif dan
strategi pembangunan hukum yang rensponsif, sehingga dapat membuat
trobosan baru terhadap masalah-masalah konkrit sengketa pertanahan. Yakni
memberlakukan UU sepanjang itu diyakini member rasa keadilan dan
menggali keadilan sendir dari denyut kehidupan masyarakat jika UU yang ada
tidak member rasa keadilan
Dilihat pengertian geologis-agronomis, tanah ialah lapisan lepas
permukaan bumi yang paling atas. Yang dimanfaatkan untuk menanami
tumbuh-tumbuhan disebut tanah garapan, tanah pekarangan, tanah pertanian,
tanah perkebunan. Sedangkan yang digunakan untuk mendirikan bangunan
disebut tanah bangunan
Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam pasal 4 ayat 1 UUPA, yaitu:
“Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam
pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang
disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-
orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta
badan-badan hukum”.
Tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan hak-hak
atas tanah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang terbatas,
27
berdimensi dua panjang dan lebar. Sedangkan Ruang dalam pengertian yuridis,
yang terbatas, berdimensi tiga, yaitu panjang, lebar dan tinggi yang dipelajari
dalam Hukum Tata Ruang.
Pasal 4 ayat (2) UUPA, kepada pemegang hak atas tanah diberi wewenang
untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi
dan air serta ruang yang di atasnya sekadar diperlukan untuk kepentingan
langsung yang berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas
menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Yang dimaksud dengan Hak Atas Tanah adalah hak yang memberi wewenang
kepada pemegang haknya untuk mempergunakan atau mengambil manfaat dari
tanah yang dihakinya. Kata “mempergunakan” berarti hak atas tanah itu
digunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan. Perkataaan “mengambil
manfaat” berarti tanah itu digunakan untuk kepentinga bukan mendirikan
bangunan, misalnya , pertanian, perikanan, peternakan dan perkebunan.
Effendi Perangin menyatakan bahwa Hukum Tanah adalah keseluruhan
peraturan-peraturan hokum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang
mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang merupakan lembaga-lembaga
hukum dan hubungan-hubungan hokum yang kongkret.
Objek Hukum Tanah adalah Hak Penguasaan Atas Tanah, yang berarti hak
yang berisi serangkaian wewenang, kewajiban, dan atau larangan bagi
pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki.
Objek hukum tanah adalah hak-hak penguasaan atas tanah. Yang dimaksud
dengan hak penguasaan atas tanah adalah hak yang berisi serangkaian
28
wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat
sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Objek hukum tanah adalah hak
penguasaan atas tanah yang dibagi menjadi hak penguasaan atas tanah sebagai
lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum yang konkret.
Sebagai lembaga hukum, hak penguasaan atas tanah ini belum dihubungkan
dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subjek atau
pemegang haknya. Sebagai hubungan hukum yang konkret, hak penguasaan
atas tanah ini sudah dihubungkan dengan hak tertentu sebagai obyeknya dan
orang atau badan hukum tertentu sebagai subjek atau pemegang haknya
Hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional yaitu hak
bangsa Indonesia, hak menguasai dari negara, hak ulayat masyarakat hukum
adat, dan hak-hak perseorangan. Hak bangsa Indonesia merupakan hak
penguasaan atas tanah yang tertinggi dan menjadi sumber bagi hak-hak
penguasaan atas tanah yang lainnya. Rumusan Pasal 1 ayat (1) UUPA
menyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari
seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Itu artinya,
tanah di seluruh wilayah Indonesia adalah hak bersama dari bangsa Indonesia.
Terkait hak menguasai negara, konsepsinya secara normatif diatur dalam
Pasal 2 UUPA. Hak ini tidak memberikan kewenangan untuk menguasai secara
fisik tetapi semata-mata sebagai kewenangan publik. Negara diberikan
kewenangan untuk mengatur tanah dan unsur-unsur sumber daya alam lainnya
yang merupakan kekayaan nasional. Perincian kewenangan negara tersebut
diatur dengan jelas dalam ayat (2), yang mencakup:
29
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, persediaan, dan
pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut.
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubunngan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan
ruang angkasa.
Hak ulayat merupakan seperangkat wewenang dan kewajiban suatu
masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang ada dalam
wilayah masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pengakuan terhadap hak
ulayat ini ditegaskan dalam Pasal 3 UUPA. Substansinya ialah bahwa
keberadaan hak ulayar diakui sepanjang hak ulayat itu masih hidup dan
pelaksanaannya tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan UUPA serta
kepentingan pembangunan.
Hak-hak perseorangan meliputi hak-hak atas tanah, hak atas tanah wakaf, hak
jaminan atas tanah, dan hak milik atas satuan rumah susun. Hak atas tanah
yang bersumber dari hak menguasai dari negara atas tanah dapat diberikan
kepada perseorangan baik kepada warga negara Indonesia maupun warga
negara asing, sekelompok orang secara bersama-sama, dan badan hukum, baik
badan hukum privat maupun badan hukum publik.
30
Sumber:
1. Effendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia Suatu Telaah dari Sudu
Pandang Praktisi Hukum, Cet. III (Jakarta: Rajawali, 1991)
2. Effendi Perangin, 401 Pertanyaan dan Jawaban tentang Hukum Agraria,
Cet. I (Jakarta: Rajawali, 1986)
3. Bernhard Limbong, Hukum Agraria Nasional, Cet. I (Jakarta: Margaretha
Pustaka, 2012)
4. Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Cet. V (Jakarta:
Kencana, 2009)
Soal-soal:
1. Jelaskan pengertian hukum tanah menurut UUPA
2. Jelaskan pengertian hukum tanah menurut Effendi Perangin
3. Uraikan apa yang dimaksud dengan hak penguasaan atas tanah
4. Negara diberikan hak untuk mengatur tanah. Jelaskan!
31
BAB III
RUANG LINGKUP AGRARIA
I. Ruang Lingkup Umum
Ruang lingkup hukum agraria yang akan dipaparkan secara umum
adalah lingkup hukum agraria yang berkaitan dengan pengertian
hukum agraria dalam bahasa umum, pengertian agraria dalam
lingkungan administrasi pemerintahan, dan pengertian agraria dalam
pendidikan tinggi hukum di Indonesia. Lingkup hukum agraria dalam
pengertian bahasa umum tidak selalu dipakai dalam arti yang sama.
Perbedaan tersebut tentunya tergantung konteks tempat dan waktu.
Sebagai perbandingan adalah definisi yang berbeda antara definisi
dalam bahasa Latin dan bahasa Inggris sebagaimana yang telah
diuraikan sebelumnya.
Lingkup hukum agraria berkaitan dengan pengertian hukum
agraria dalam administrasi pemerintahan di Indonesia. Sebutan agraria
dilingkungan administrasi pemerintahan dipakai dalam arti tanah, baik
tanah pertanian maupun non pertanian. Hukum agraria dalam
lingkungan administrasi pemerintahan dibatasi pada perangkat
peraturan perundang-undangan yang memberikan landasan hukum
bagi para penguasa dalam melaksankan kebijakan di bidang
pertanahan29
Lingkup pengertian agraria dan hukum agraria dalam UUPA
29 oedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-UndangPokok Agraria…Op., Cit, Hal 69
32
meliputi, bumi air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya,
bahkan meliputi ruang angkasa, yaitu ruang diatas bumi dan air yang
mengandung tenaga dan unsurunsur dalam ruang angkasa guna usaha-
usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hal-hal lain yang
bersangkutan dengan itu.30 Bumi memiliki pengertian permukaan
bumi yang disebut tanah atau tubuh bumi dibawahnya serta yang
berada dibawah air.31 Dengan demikian pengertian tanah meliputi
permukaan bumi yang ada di daratan dan permukaan bumi yang ada
di bawah air termasuk air laut.32 Dari kesimpulan tersebut dapat
diuraikan lingkup agraria sebagai berikut:
a. bumi meliputi juga landas kontinen Indonesia. Landas
kontinen adalah dasar laut dan tanah dibawahnya diluar
perairan wilayah Republik Indonesia sebagaimana diatur
dalam Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 sampai
kedalaman 200 meter atau lebih, dimana masih mungkin
diselenggarakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan
alam.33
b. Pengertian air adalah Air adalah semua air yang terdapat
pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah,
Termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air
30 Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Op. Cit.,Pasal 4831 bid., Pasal 1 ayat 4 jo Pasal 4 ayat 1.32 64Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang PokokAgraria…Op., Cit, Hal., 733 65Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Landas Kontinen Indonesia. Undang UndangNomor 1 Tahun 1973,LN No.1 Tahun 1973 TLN No. 2994 , Pasal 1 huruf a.
33
hujan, dan air laut yang berada di darat.34
c. Kekayaan alam yang tekandung didalam bumi termasuk
minyak bumi, gas alam, mineral, dan batubara. Minyak
bumi adalah adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon
yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer
berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral
atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses
penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan
hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari
kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha
Minyak dan Gas Bumi. Sedangkan gas bumi adalah adalah
hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi
tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang
diperoleh dari proses penambangan Minyak dan Gas
Bumi.35
Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk
di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta
susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk
batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu. Sedangkan
batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang
terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan36
34 Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Sumber Daya Air. Undang-Undang Nomor 7Tahun 2004, LN No.32 Tahun 2004 TLN No. 4377, Pasal 1 angka 135 Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Miyak dan Gas Bumi . Undang-Undang Nomor22 Tahun 2001,LN No.136 Tahun 2001 TLN No. 3260, Pasal 1 angka 1 dan angka 236 68Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Mineral dan Batubara . Undang-Undan Nomor4 Tahun 2009, LN No.4 Tahun 2009 TLN No. 4959 , Pasal 1 angka 2 dan angka 3
34
d. Kekayaan yang terkandung di dalam air adalah ikan beserta
lingkungan sumber dayanya. Ikan adalah segala jenis
organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya
berada di dalam lingkungan perairan. Sedangkan
Lingkungan sumber daya ikan adalah perairan tempat
kehidupan sumber daya ikan, termasuk biota dan faktor
alamiah sekitarnya.37
e. Dalam kaitanya dengan keakayaan alam di dalam tubuh
bumi dan air terdapat suatu wilayah yang dikenal dengan
Zona Ekonomi Eksklusif yaitu, Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut
wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan
undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia
yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya dan air di
atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur
dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.38
f. Pengertian agraria dalam UUPA pada hakikatnya sama
dengan pengertian ruang39 pengertian ruang adalah wadah
yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,
termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan
wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup,
37 69Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31Tahun 2004 Tentang Perikanan. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, LN No.154Tahu 2009TLN No. 5073, Pasal 1 angka 3 dan angka 4.38 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia . Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983,LN No.44 Tahun 1983 TLN No. 2152 , Pasal 2.39 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang PokokAgraria…, Op., Cit, Hal 8.
35
melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan
hidupnya.
Dalam pendidikan tinggi hukum di Indonesia, hukum agraria
disajikan sebagai mata kuliah yang mempelajari hukum tanah baik
yang meliputi aspek hukum publik maupun perdata. Mata kuliah
hukum Agraria yang mempelajari hukum tanah sebagai suatu bidang
yang mandiri. Sebagai suatu bidang mata kuliah yang mandiri karena
tidak terlepas dari kelahiran UUPA yang mengakhiri kebhinekaan
hukum yang mengatur bidang pertanahan dan menciptakan perangkat
hukum yang berstruktur tunggal. Lahirnya UUPA mewujudkan
kesatuan di bidang hukum tanah bukan saja hukumnya yang
diunifikasi tetapi juga hak-hak atas tanah dan hak-hak jaminan atas
tanah yang ada yang bersumber pada hukum sebelumnya. Hak-hak
tersebut hampir semuanya diubah menjadi hak yang baru yang diatur
dalam UUPA. Dengan diciptakannya hukum tanah yang tunggal oleh
UUPA merupakan perubahan yang mendasar. UUPA membawa
perubahan-perubahan pada tatanan konsep, isi dan struktur susunan
hukum tanah nasional. Hal tersebut telah membawa bangsa Indonesia
menghadapi hal-hal yang baru pada bidang pertanahan baik persoalan
hukum maupun persolan politik. Hal-hal dan persolan tersebut
tentunya perlu dipelajari, diteliti, dikaji, dan ditemukan
pemecahannya, maka mata kuliah agraria sangat berperan
melaksanakan hal tersebut.
36
Mata kuliah hukum agraria sejak awal dikelola dan dikembangkan
menjadi mata kuliah baru yang mempelajari ketentuan-ketentuan
hukum tanah sebagai satu kesatuan sistem dalam tata hukum
Indonesia.40
Dengan demikian bahwa tanah dalam pengertian yuridis adala
permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagaian
tertentu permukaan bumi, yang berbatas dimensi dua dengan ukuran
panjang da lebar. Sedangkan ruang dalam pengertian yuridis, yang
berbatas berdimensi tiga, yaitu panjang, lebar, dan tinggi.
Yang dimaksud dengan hak atas tanah adalah hak yang memberi
kewenangan kepada pemegang hak untuk mepergunakan dan
mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya sesuai dengan
peraturan perundangundangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2)
UUPA pemegang hak atas tanah diberi wewenang untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi
dan air serta ruang yang ada ditasnya sekedardiperlukan untuk
kepentingan langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu
dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan peraturan hukum lain
yang lebih tinggi.
Adapun Hukum tanah sendiri adalah:
Keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, ada yang tertulis ada pula
yang tidak tertulis, yang semuanya mempunyai obyek pengaturan
yang sama, yaitu hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembag-
40 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang PokokAgraria…, Op., Cit., Hal 11
37
lembaga hukum dan sebagai hubungan-hubungan hukum konkret,
beraspek publik dan perdata, yang dapat disusun dan dipelajari secara
sistematis, hingga keseluruhanya menjadi satu kesatuan yang
merupakan satu sistem.41
Obyek hukum tanah adalah penguasaan atas tanah. Yang dimaksud
hak penguasaan atas tanah adalah hak yang berisi serangkaian
wewenang kewajiban dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk
berbuat sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat yang
merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolak
ukur pembeda diantara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur
dalam hukum tanah.42 Hierarki
hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional,
adalah:
a. Hak Bangsa Indonesia, terdapat dalam Pasal 1, sebagai hak
penguasaan atas tanah yang tertinggi, beraspek perdata dan
publik.
b. Hak Menguasai Negara yang disebut dalam Pasal 2 hanya
beraspek publik.
c. Hak Ulayat Masyarakat Hukum adat, terdapat dalam Pasal
3, beraspek publik dan perdata.
d. Hak-Hak Perorangan/Individual, Yang hanya beraspek
perdata, terdiri dari:
41 Ibid, hal 31.42I ibid, hal 24
38
1. Hak-hak atas tanah, sebagai hak-hak individual yang
semuanya secara langsung ataupun tidak langsung
bersumber pada Hak Bangsa, yang terdapat dalam Pasal
16 dan Pasal 53 UUPA.
2. Wakaf yaitu hak milik yang sudah diwakafkan Pasal 49
UUPA.
3. Hak jaminan atas tanah yang disebut Hak Tanggungan
dalam Pasal 25,
Pasal 33, Pasal 39, dan Pasal 51 UUPA.
II. Ruang Lingkup UUPA
Ruang Lingkup UUPA yang dimaksud adalah struktur materi yang
diatur dalam UUPA itu sendiri. UUPA terdiri dari lima
pengelompokan, empat bab, 58 Pasal dan 9 Pasal besar. Dari struktur
tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut::
a. Kelompok Pertama
1) Bab I mengenai Dasar-Dasar dan Ketentuan- Ketentuan
Pokok. Dalam bab ini diatur mengenai:
a) Obyek pengaturan agraria dalam wilayah Indonesia.
Obyek yang dimaksud adalah seluruh bumi, air dan
ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya.
b) Penguasaan negara terhadap kekayaan alam
sebagaimana yanag dimaksud dalam Pasal 33 ayat
(3) UUD NRI Tahun 1945.
39
c) Pengakuan terhadap hak-hak ulayat dan yang serupa
dengan hal itu dalam masyarakat hukum adat
sepanjang masih ada eksistensinya serta harus
mengindahkan unsure-unsur hukum agama. Hak-
hak tersebut harus berdasarkan kepentingan
persatuan bangsa dan demi kepentingan nasional
dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan lain yang lebih tinggi.
d) Penentuan macam-macam hak menguasai atas tanah
oleh negara.
e) Fungsi sosial hak atas tanah
f) Pembatasan kepemilikan atas tanah
g) Hak warga negara Indonesia yang mempunyai
kesempatan memperoleh sesuatu hak atas tanah.
h) Pengusahaan dibidang agraria yang bwerdasarkan
atas kepentingan bersama untuk kepentingan
nasional.
2) Bab II mengenai Hak-Hak Atas Tanah, Air dan Ruang
Angkasa serta Pendaftaran Tanah. Dalam bab ini
terbagi dalam beberapa bagian, yakni:
a) Bagian I Ketentuan-ketentuan umum, yang berisi:
i. Jenis hak atas tanah.
ii. Jenis haka atas air dan ruang angkasa.
iii. Pemabatasan luas tanah maksimum yang boleh
40
dimiliki.
b) Bagian II Pendaftaran Tanah, yang berisi:
i. Pendaftaran tanah dilakukan oleh pemerintah. Hal
ini dilakukan untuk menjamain kepastian
hukum.
ii. Cakupan pendaftaran tanah.
c) Bagian III Hak Milik, yang berisi:
i. Kedudukan
ii. Subyek hukum.
iii. Cara perolehan, peralihan, dan hapusnya
penguasaan.
iv. Jaminan hutang
d) Bagian IV Hak Guna Usaha, yang berisi:
i. Kedudukan
ii. Subyek hukum.
iii. Cara perolehan, peralihan, dan hapusnya
penguasaan.
iv. Jangka waktu
v. Jaminan hutang
e) Bagian V Hak Guna Bangunan, yan berisi:
i. Kedudukan
ii. Subyek Hukum
iii. Cara Perolehan, peralihan, dan hapusnya
41
penguasaan
iv. Jangka waktu
v. Jaminan Hutang
f) Bagian VI Hak Pakai, yang berisi
i. Kedudukan.
ii. Subyek hukum.
iii. Cara perolehan dan peralihan pengusaan.
iv. Jangka waktu.
g). Bagian VII Hak Sewa Bangunan
i. Kedudukan.
ii. Subyek hukum.
iii. Cara perjanjian dan pembayaran
h) Bagian VIII Hak membuka tanah dan memungut hasil
hutan
i). Bagian IX Hak guna air, pemeliharaan dan
penangkapan ikan
j). Bagian X Hak guna ruang angkasa
k). Bagian XI hak-hak tanah untuk keperluan suci
l). Ketentuan lain-lain, Berisi pengaturan lebih lanjut
kepada peraturan pelaksana mengeni pengusaan hak-
hak atas tanah dan pembebanan hak tanggungan
terhadap penguasaan hak atau tanah yang diatur
dengan undang-undang.
42
3) Bab III mengenai Ketentuan Pidana, tindak pidana dalam UUPA
adalah pelanggaran
4). Bab IV Ketentuan-Ketentuan Peralihan, berisi:
a) pengaturan peralihan yakni selama peraturan pelaksanaa UUPA
belum terbentuk maka peraturan-peraturan yan menyangkut
bumi,air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hak-
hak atas tanah yang ada, baik yang tertulis maupun tidak tertulis
pada saat UUPA berlaku masih berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan UUPA
b) Pengaturan peralihan mengenai hak milik yakni selama
undangundang mengenai Hak Milik belum terbentuk maka yang
berlaku dalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan
peraturan-peraturan yang lainnya mengenai hak atas tanah sepanjang
tidak bertentangan dengan UUPA
c) Pengaturan peralihan mengenai masih berlakunya ketentuan
Hypotheek dan Credietverband sebagai pelengkap ketentuan
mengenai hak tanggungan
b. Kelompok Kedua mengenai ketentuan-ketentuan konversi
i. Pasal I mengeni konversi hak eigendom
ii. Pasal II mengenai hak-hak atas tanah atau yang mirip dengan hak
milik yang ada sebelum UUPA akan diatur lebih lanjut oleh
Menteri Agraria.
iii. Pasal III mengenai konversi hak erfpacht
43
iv. Pasal IV mengenai konversi concessive.
v. Pasal V mengenai konversi hak postal dan hak erfpacht untuk
perumahan
vi. Pasal VI mengenai hak-hak atas tanah atau yang mirip dengan hak
pakai yang ada sebelum UUPA akan diatur lebih lanjut oleh
Menteri Agraria.
vii. Pasal VII mengenai konversi hak gogolan.
viii. Pasal VIII konversi terhadap hak guna bangunan pada hak
eigendom, hak yang mirip dengan hak milik, hak opstal, dan hak
erfpacht berlaku ketentuan hak guna bangunan dalam UUPA;
Konversi terhadap hak guna usaha pada hak yang mirip dengan hak
milik, hak erfpacht, dan hak concessive berlaku ketentuan hak guna
usaha dalam UUPA
ix. Pasal IX hal-hal yang perlu diatur lebih lanjut dalam ketentuan
konversi daitur oleh Menteri agraria
c. Kelompok Ketiga mengatur perubahan susunan pemerintahan desa
untuk menyelenggarakan UUPA diatur dengan undang-undang.
d. Kelompok Keempat mengatur hak dan wewenang atas bumi dan air
dari swapraja atau bekas swapraja yang masih ada beralih kepada
negara dan diatur dengan peraturan pemerintah
e. Kelompok Kelima menyatakan berlakunya UUPA
44
BAB V
POLITIK HUKUM AGRARIA NASIONAL
1. Zaman Belanda
Masa kolonial Belanda (1870-1942), sejak berlakunya Agrarische Wet
(1870) pemerintah kolonial Belanda menerbitkan ordonansi (Staatblad 1823
No. 164) yang menetapkan penyelenggaraan kadastral ditugaskan kepada
Kadastral Dienst yang pejabatnya diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur
Jenderal. Pada masa ini bagi orang Belanda dan timur asing urusan
pertanahannya yang meliputi surat keputusan hak atas tanah diterbitkan oleh
Bupati, Residen, dan/atau Gubernur, dan kadaster yang bersifat peta dan
informasi dikerjakan oleh Kehakiman, serta balik nama oleh pengadilan,
sedangkan bagi pribumi urusan pertanahannya cukup dilaksanakan oleh
administrasi desa/ kelurahan.
Pengaruh politik pertanahan terlihat dari tindakan / perbuatan yang
dilakukan pemerintah. Politik tersebut dimulai pada tahun 1830 (Perang
Napoleon di Eropa) diantara politik yang diterapkan oleh bangsabangsa Barat
antara lain :
a. Cultuure stelsel
b. Agrarische Wet
c. Agrarische Besluit
45
Dalam perkembangannya antara Agrarische Wet dan Agrarische Besluit
ada yang mengatakan domein verklaring. Domein verklaring adalah dijelaskan
pada pasal 1 Agrarische wet menyebutkan tanah yang tidak bisa dibuktikan
atas kepemilikan (Eigendom/eigenaar). Oleh karena itu UU atau Agrarische
wet yang dikeluarkan oleh bangsa belanda tersebut hukum belanda tersebut
berisi ketentuan–ketentuan yang sangat berpihak kepada kepentingan –
kepentingan perusahaan swasta swasta. Namun ada juga melindungi
kepentingan orang Indonesia asli tapi melalui beberapa cara :
a. Memberi kesempatan bagi orang Indonesia asli untuk memperoleh hak
eigendom agraris atas tanahnya sehingga dapat dihipotikkan.
b. memperbolehkan rakyat meyewakan tanah kepada orang asing untuk
rakyat yang berekonomi lemah mendapat perlindungan terhadap orang
yang berekonomi kuat.
Secara global agrarische wet bertujuan memberikan kemungkinan kepada
modal asing untuk berkembang di Indonesia dengan hak erfracht (HGU)
selama 75 tahun, tanah dengan hak opstal (HGB). Hak sewa, hak pinjam
pakai.Jadi jelas disini pemerintah belanda berwenang memberikan hak tersebut
adalah pemilik/eigenaar dan karenanya negara dinyatakan sebagai pemilik
tanah.
Masa Penjajahan Jepang (1942-1945). Kadastral Dienst diganti namanya
menjadi Jawatan Pendaftaran Tanah dan tetap di bawah Departemen
Kehakiman. Pada masa ini berlaku pelarangan pemindahan hak atas benda
tetap/tanah (Osamu Sierei No. 2 Tahun 1942), dan penguasaan tanah-tanah
46
partikelir oleh Pemerintahan Dai Nippon dihapus.43 Pada prinsipnya, urusan
pertanahan dilaksanakan seperti zaman kolonial Belanda.
Domein verklaring, dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak perlu
membuktikan haknya dalam proses perkara sebaliknya pihak lainlah yang
selalu membuktikan haknya itu. Jadi nyata ketentuan yang selalu
membebankan kewajiban pembuktian kepada rakyat itu, artinya tidak
mempunyai keadilan. Oleh karena itu pernyataan domein verklaring tahun
1870 tidak dapat dipertahankan lagi dalm NKRI. Sesungguhnya dalam
pembelian hak atas tanah negara, negara tidak perlu bertindak sebagai eigenaar
(kepemilikan) cukup bila UU memberi wewenang kepadanya untuk berbuat
sesuatu kepada penguasa atau overheid, UUPA berpendapat sama dengan ini
terlihat dalam pendirian bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan didalam
pasal 33 UUD 1945 tidak ada tempatnya negara bertindak sebagai pemilik
tanah dan adalah lebih tepat jika negara bertindak sebagao badan penguasa
begitu juga dalam larangan pengasingan hak atas tanah ditegaskan dalam Stb.
1875 Jo no. 179 menegaskan segala perjanjian yang bertujuan penyerahan atas
tanah maka dilakukan atas kesepakatan para pihak tapi dalam kenyataannya
Belanda melakukan pelanggaran (wanprestasi) dengan demikian sangat jelas
sekali politik hukum agraria yang pernah diterapkan di indonesia jelas tidak
memihak kepada rakyat tetapi sangat menguntungkan kepada perusahaan –
perusahaan swasta belanda yang ada di Indonesia pada saat itu. Oleh karena itu
setelah 17 Agustus 1945 pemerintah di indonesia berusaha merubah sistem
hukum agraria belanda dengan menyesuaikan dari hukum negeri sendiri. Usaha
43 Baru pada masa kemerdekaan, berdasarkan Keputusan Presiden nomor 190 tahun 1957 JawatanPendaftaran tanah ini dialihkan ke dalam tugas Kementerian Agraria
47
ini baru berhasil dengan keluarnya UU no. 5 tahun 1960 artinya setelah 15
tahun indonesia merdeka dalam pasal 2 dijelaskan bahwa atas dasar ketentuan
dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut
bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung
didalamnya, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi
seluruh rakyat indonesia.
2. Pasca Kolonial
Pada tahun 1950 arah kebijakan kolonial belanda sudah dikatakan
berubah dari tahun sebelumnya karena para ahli hukum kita mulai belajar
di negara belanda itu sendiri, itupun berbagai cara dilakukan oleh bangsa
belanda
untuk menarik ahli-ahli hukum indonesia agar mau menambah
ilmu pengetahuan di negara belanda walaupun dengan secara halus dan
lain sebagainya, karena politik belanda sebelumnya datang ke Indonesia
bukan untuk menjajah namun belanda datang ke Indonesia adalah untuk
berdagang, namun pada tahun 1602 terjadi persaingan dagang antara
Inggris, perancis dan jepang tapi karena belanda duluan yang menjajah di
indonesia maka belandalah menerobos ke dalaam sistem tatanan hidup
bermasyarakat. Sehingga VOC yang pada mulanya sebagai serikat dagang
akhirnya bermaksud untuk yang lainnya, diantara tugas VOC itu ialah :
1. Mengurus anak – anak negeri
Untuk itu belanda membuat KUHD yang kita kenal dengan WvK (Wet
boek van Kopenhandle). WvK dibentuk tidak lain adalah untuk
48
kepentingan dagang di indonesia, maka politik dagang yang muncul
berubah menjadi politik etik, karena:
a. Balas jasa bertujuan agar dapat mengeruk keuntungan belanda
membuat bangunan untuk bumiputra sebagai uang pelicin.
b. Karena dilihat dari segi politik hukum. Dengan demikian pula
dapat kita lihat untuk melancarkan program – program kolonial
maka tahun 1929 dibuatlah adat recht oleh Van vollen Hoven.
Sedangkan pada tahun 1931 dibuat KUHP berlaku untuk orang
eropa daratan, tahun 1938 dibuat KUHP untuk orang belanda
sedangkan tahun 1948 dibuat KUHP untuk orang indonesia.
2. Kalau kita hubungkan Domein verklaring dengan UUD 1945 pasal 33
ayat 3 dan peraturan menteri agraria no. 5 tahun 1999 menjelaskan :
1. Pelepasan hak atas tanah, UU no. 20 /1961
2. Penyerahan hak atas tanah, Keppres no. 55 / 1963
3. Pencabutan hak atas tanah, pasal 18 UUPA sedangkan untuk tanah
tanah rakyat yang dikuasai oleh pemerintah harus di HGUkan dan
tanah – tanah tersebut bisa dikembalikan kepada rakyat berdasarkan
pasal 33 ayat 3 UUD 1945.
3. Pembentukan Hukum Tanah Nasional
Hukum Agraria dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pengaturan
Dasar Pokok Pokok Agraria (UUPA) digunakan dalam arti yang
sangat luas. Walaupun tidak dinyatakan dengan tegas, tetapi dari apa
yang tercantum dalam konsiderannya, pasal-pasal dan penjelasannya
dapatlah disimpulkan bahwa pengertian agraria meliputi bumi, air
49
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dalam batas-batas
seperti yang ditentukan dalam Pasal 48, bahkan meliputi juga ruang
angkasa.
Dalam pemakaian sebutan agraria dalam arti yang demikian luasnya,
maka dalam pengertian UUPA Hukum Agraria bukan hanya
merupakan satu perangkat bidang hukum. Hukum agraria merupakan
suatu kelompok berbagai bidang hukum yang masing-masing
mengatur hak-hakatas sumber-sumber daya alam tertentu.
Hukum tanah bukanlah mengatur tanah dalam segala
aspeknya. Ia hanya mengatur salah satu aspek yuridis yang disebut
hak-hak penguasaan atas tanah dapat disusun menjadi satu
kesatuan yang merupakan satu sistem yang disebut hukum tanah.
Ketentuanketentuan hukum tanah itu pun dapat dipelajari dengan
menggunakan suatu sistematika yang khas dan masuk akal.
Menurut Lichfield bahwa bagi seorang sarjana hukum, tanah
merupakan suatu yang nyata yaitu berupa permukaan fisik bumi
serta apa yang ada di atasnya, buatan manusia yang disebut
“Fixtures”. Biarpun demikian perhatian kita lebih tertarik pada
pemilikan dan penguasaan tanah serta perkembangannya. Objek
perhatian hukumnya bukan tenahnya melainkan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang berkenaan dengan tanah yang dimiliki
dan dikuasai dalam berbagai bentuknya, meliputi kerangka hukum
dan institusionalnya, pemindahan serta pengawasannya oleh
masyarakat. Yang dimaksud dengan hukum tanah adalah
50
keseluruhan dari peraturanperaturan hukum yang mengatur hak
dan kewajiban yang bersumber pada hak perseorangan dan badan
hukum mengenai tanah yang dikuasainya atau dimilikinya. Untuk
diketahui bahwa hukumnya dapat ditemukan pada Pasal 4 ayat 1
UUPA. Dalam Pasal 4 ayat 1 UUPA, ditentukan :
“Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud
dalam Pasal 2 ditentukan bahwa adanya macam-macam hak atas
permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada
dan dipunyai oleh orang-orang lain serta badan hukum”.
Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-
hak yang disediakan oleh UUPA adalah untuk digunakan atau
dimanfaatkan. Diberikan dan dipunyainya tanah dengan hak-hak
tersebut tidak akan bermakna, jika penggunaannya terbatas hanya
pada tanah sebagai permukaan bumi saja. untuk keperluankeperluan
apapun tidak bisa tidak, pasti diperlukan juga penggunaan sebagian
tubuh bumi yang di bawahnya dan air serta ruang angkasa yang ada
di atasnya. Oleh karena itu, bahwa hakhak atas tanah bukan hanya
memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu
permukaan bumi yang bersangkutan yang disebut tanah tetapi juga
tubuh buni yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada di
atasnya.
Dengan demikian makna yang dipunyai dengan hak atas
tanah itu adalah tanahnya, dalam arti sebagian tertentu dari
51
permukaan bumi. Tetapi memang menggunakan yang bersumber
pada hak tersebut diperluas hingga meliputi juga penggunaan
sebagian tubuh bumi yang ada di bawah tanah air serta ruang yang
ada di atasnya. Tubuh bumi dan air serta ruang yang dimaksudkan
itu bukan kepunyaan pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.
Ia hanya dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (2) dengan katakata :
sekedar diperlukan untuk
kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah
itu, dalam batas-batas menurut undangundang pokok agraria dan
peraturan-peratura lain yang lebih tinggi.
Konsep dan pokok aturan hukum agraria yang termuat
dalam UUPA merupakan produk hukum dan cerminan kebijakan
pemerintahan saat itu, yakni orde lama. UUPA ditujukan guna
pembaruan hukum agraria saat itu, namun belum cukup waktu dan
terlaksana apa yang diprogramkan, kepemimpinan negara
berpindah pada rezim orde baru yang memiliki pola kepemimpinan
yang berbeda. Sebagaimana diketahui masa orde baru adalah masa
pertumbuhan sehingga seluruh kebijakan sangat propertumbuhan.
Meskipun banyak kebijakan pembangunan dan pelaksanaannya
yang berbeda dengan semangat UUPA namun dengan berbagai
tafsiran disediakan perangkat peraturan pelaksana UUPA yang
memungkinkan pemerintah orde baru menjalankan kebijakannya di
bidang pertanahan, yang sangat pro pemodal dengan segala
52
akibatnya terhadap masyarakat banyak.44
Hukum agraria nasional kemudian mengalami perubahan
seiring peralihan kepempinan negara pada orde reformasi. Tampak
ada tekad untuk mengadakan perombakan yang mendasar pada
kebijakan nasional di bidang ekonomi. Selain UUPA dan berbagai
peraturan perundang-undangan baik yang setingkat (undang-
undang) maupun peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
(peraturan pemerintah, keputusan/peraturan presiden,
keputusan/peraturan menteri), pengaturan dan kebijakan di bidang
agraria juga didukung oleh beberapa Ketetapan MPR, seperti TAP
MPR No.XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi
Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya
Nasional yang Berkeadilan; Serta Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan TAP MPR No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Konsepsi Hukum Tanah Nasional dan ketentuan-ketentuan
dalam UUPA telah menjadi dasar pijak pembangunan Nasional
selama kurun waktu hampir setengah abad. Berbagai peraturan
perundang-undangan baik berbentuk undangundang, maupun
peraturan pelaksanaannya dalam pertimbangan hukumnya merujuk
kepada UUPA sebagai dasar hukum tanah nasional. Undang-
undang terkait agraria seperti kehutanan, pertambangan, sumber
44 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan…, Op. Cit, Hal 243- 244
53
daya alam, sumber daya air, dan penataan ruang menjadikan dasar-
dasar hukum dalam UUPA sebagai suatu pertimbangan hukum di
dalam aturan-aturan undang-undang tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa posisi hukum tanah nasional
sangat signifikan dan terkait dengan kepentingan antar dan
berbagai sektor dan bidang hukum lainnya. Namun demikian fakta
menunjukkan bahwa ada ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan
dalam berbagai peraturan perundangan di bidang hukum agraria
khususnya dan yang terkait dengan agraria lainnya. Harmonisasi
terkait dengan harmonis dan selarasnya (tidak bertentangannya)
suatu peraturan perundang-undangan yang secara horizontal
memiliki tingkat hirarkhi yang sama, sementara sinkronisasi
mengarah pada hubungan vertikal antara satu peraturan
perundangan dengan peraturan perundangan yang lain yang lebih
tinggi atau lebih rendah tingkatanya dalam hirarkhi peraturan
perundangundangan.
Selain perangkat peraturan perundang-undangan di bidang
hukum agraria yang saling bertentangan dan tumpang tindih,
berbagai persoalan terkait tanah dalam pengelolaan berbagai
sumber daya agraria yang berlangsung selama ini telah
menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan
struktur. penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya
serta menimbulkan berbagai konflik. Persoalan keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum menjadi suatu unsur yang tidak
54
tercapai dalam berbagai kebijakan pertanahan, sehingga
menimbulkan berbagai konflik dan menjauhkan masyarakat dari
rasa keadilan. Kondisi ini kemudian memunculkan suatu komitmen
politik dari parawakil rakyat sehingga setelah melalui tahapan yang
panjang, berliku dan beragam ditetapkanlan suatu ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat mengenai pembaruan agraria dan
pengelolaan sumber daya alam. Kebijakan nasional yang
dikeluarkan oleh MPR dengan TAP MPR No.IX/MPR/2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
inilah kemudian menjadi tonggak awal adanya pembaruan hukum
agraria sebagai bagian dari pembaruan agraria secara keseluruhan.
Beberapa catatan penting dalam TAP MPR
No.IX/MPR/2001 terkait dengan pembangunan hukum agraria
nasional yakni:
a. Adanya fakta bahwa yuridis bahwa peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan
pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam
saling tumpang tindih dan bertentangan.45
b. TAP MPR No.IX/MPR/2001 ini ditujukan sebagai
landasan peraturan perundang-undangan mengenai
pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya
alam.46
45 Lihat Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan MPR No.IX/MPR/2001tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Konsideran Menimbang Hurufd.46 Ibid, Pasal 1
55
c. Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang
berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka
tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta
keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat
Indonesia.47
d. Dalam operasionalisasi pembaruan agraria terutama
dalam kaitannya dengan perundang-undangan, terdapat
prinsip-prinsip yang harus dijadikan dasar yakni:48
1) prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2) prinsip penghormatan kepada hak asas manusia;
3) prinsip penghormatan supremasi hukum dan
pengakomodasian prularisme hukum dalam unifikasi
hukum;
4) prinsip kesejahteraan rakyat;
5) prinsip keadilan;
6) prinsip keberlanjutan;
7) prinsip pelaksanaan fungsi sosial, kelestarian dan
fungsi ekologis;
8) prinsip keterpaduan dan koordinasi antarsektor;
9) prinsip pengakuan dan penghormatan hak
masyarakat hukum adat dan keragaman budaya
47 Ibid, Pasal 248 Ibid Pasal 4
56
bangsa;
10) prinsip keseimbangan hak dan kewajiban negara,
pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota,
dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan
individu;
11) prinsip desentralisasi.
e. Bahwa dalam rangka pelaksanaan prinsip-prinsip diatas,
salah satu arah kebijakan utama yang harus dilakukan
dalam pembaruan agraria adalah melakukan pengkajian
ulang terhadap berbagai peraturan perundangundangan
yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi
kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan
perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-
prinsip diatas.49
f. MPR menugaskan DPR RI bersama Presiden RI untuk
segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan
agraria dan pengelolaan sumber daya alam dengan
menjadikan Ketetapan ini sebagai landasan dalam setiap
pembuatan kebijakan; dan semua undang-undang dan
peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan
Ketetapan ini harus segera dicabut, diubah, dan/atau
diganti.50
49 Ibid, Pasal 5.50 Ibid, Pasal 6.
57
Sebelum dikeluarkannya TAP MPR tentang Pembaruan
Agraria pada
tahun 2001, salah satu arahan kebijakan pembangunan di bidang
ekonomi dalam GBHN 1999-2004 adalah mengembangkan kebijakan
pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan dan penggunaan tanah
secara adil, transparan, dan
produktif mengutamakan hak-hak rakyat setempat, termasuk hak
ulayat dan masyarakat adat, serta berdasarkan tata ruang wilayah yang
serasi dan seimbang.91Ditegaskan pula bahwa salah satu ciri sistem
ekonomi kerakyatan adalah pemanfaatan dan penggunaan tanah dan
sumber daya alam lainnya, seperti hutan, laut, air, udara, dan mineral
secara adil, transparan dan produktif dengan mengutamakan hak-hak
rakyat setempat, termasuk hak ulayat masyarakat adat dengan tetap
menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Untuk melaksanakan amanat GBHN 1999-2004, program
pembangunan
prioritas untuk mempercepat pengembangan wilayah di bidang
pertanahan adalah
dengan “Program Pengelolaan Pertanahan”. Tujuan dari program ini
adalah mengembangkan administrasi pertanahan untuk meningkatkan
pemanfaatan dan penguasaan tanah secara adil dengan mengutamakan
hak-hak rakyat setempat termasuk hal ulayat masyarakat hukum adat
dan meningkatkan kapasitas kelembagaan pengelolaan pertanahan di
pusat dan daerah. Sasaran yang ingin dicapai adalah adanya kepastian
58
hukum terhadap hak milik atas tanah; dan terselenggaranya pelayanan
pertanahan bagi masyarakat secara efektif oleh setiap pemerintah
daerah dan berdasarkan pada peraturan dan kebijakan pertanahan yang
berlaku secara nasional.
Kegiatan pokok yang dilakukan adalah (1) peningkatan pelayanan
pertanahan di daerah yang didukung sistem informasi pertanahan yang
andal; (2) penegakan hukum pertanahan secara konsisten; (3) penataan
penguasaan tanah agar sesuai dengan rasa keadilan; (4) pengendalian
penggunaan tanah sesuai dengan rencana tata ruang wilayah termasuk
pemantapan sistem perizinan yang berkaitan dengan pemanfaatan
ruang atau penggunaan tanah didaerah; dan (5) pengembangan
kapasitas kelembagaan pertanahan di pusat dan daerah.
Terlihat bahwa agenda pembangunan di bidang agraria dalam
program pembanguan nasional (Propenas 2000-2004) belum
menyentuh ranah pembangunan di bidang hukum agraria, sehingga
tetap kiranya kehadiran TAP MPR No.IX/MPR/2001 sebagai awal
pembaruan hukum di bidang agraria.
Namun disayangkan amanat pembaruan hukum sebagaimana
diamanatkan dalam TAP MPR tersebut tidak mendapat respon dari
pihak pemerintah maupun DPR. Hal ini dapat dilihat dari tidak
terwujudnya satu undang-undangpun sebagaimana diamanatkan dalam
TAP MPR tersebut.
Politik hukum pemerintahan pasca 2001 belum memberi dukungan
yang real terhadap ide pembaruan hukum agraria. Baru dalam program
59
perencanaan di bidang perundang-undangan secara nasional yang
dilakukan dengan instrumen yang disebut Pengertian Program
Legislasi Nasional (Prolegnas) pada periode 2005-2009, terdapat
beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU) yang disinyalir
merupakan RUU yang akan dibentuk dalam rangka pelaksanaan
pembaruan hukum agraria sebagaimana dimaksud. Prolegnas menurut
UU Nomor 10 tahun 2004 adalah instrumen perencanaan program
pembentukan undang-undang yang disusun secara berencana, terpadu,
dan sistematis.51 Pengertian ini menunujukkan bahwa prolegnas
merupakan instrumen mekanisme perencanaan hukum, yakni para
pembentuk undang-undang (DPR dan Pemerintah) merencanakan
pembangunan materi hukum melalui perundang-undangan melalui
suatu program yang terencana, terpadu dan tersistematis.
Beberapa RUU terkait dengan pembaruan hukum agraria dalam
dafta Prolegnas 2005-2009 antara lain:
a. RUU Hak Milik atas Tanah (nomor urut 67).
b. RUU tentang Pengambilalihan Lahan untuk Kepentingan Umum
(nomor urut 68).
c. RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Pokok-Pokok Agraria ((nomor urut 69).
Bahkan RUU tentang Perubahan atas UUPA masuk dalam daftar
prioritas tahunan Prolegnas 2005. Walaupun ternyata target ini tidak
tercapai sehingga pad tahun 2006, RUU tentang Perubahan atas UUPA
51 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan PeraturanPerundang-undangan, Op. Cit., Pasal 1 angka 9
60
kembali diagendakan untu diselesaikan melalui prolegnas prioritas
tahun 2006. Agenda perubahan pada tahun 2006 inipun tidak
terlaksana. Pada tahun 2007, pemerintahan Soesilo Bambang
Yudhoyono justru menarik rencana perubahan atas UUPA dan secara
resmi disepakati oleh pemerintah (diwakili oleh BPN) dan DPR
(Komisi II) dalam rapat kerja di DPR pada tanggal 29 Januari 2007.
Dengan ditariknya RUU Perubahan atas UUPA, kemudian
Pemerintah mengusulkan beberapa RUU sebagai tindak lanjut
pembaruan hukum agraria yakni RUU tentang Pertanahan, RUU
Reforma Agraria, RUU tentang Pengadaan Tanah guna Pelaksanaan
Pembangunan bagi Kepentingan Umum dalam Usulan Prolegnas 2010-
2014 kepada DPR. Namun berdasarkan hasil pembahasan bersama
Pemerintah (Kementerian Hukum dan HAM, c.q. Kepala BPHN) dan
DPR (Badan Legislasi), disepakati beberapa RUU di bidang hukum
agraria dalam Prolegnas jangka menengan 2010-2014 antara lain
sebagai berikut:
1. RUU Pengambilalihan Tanah untuk Kepentingan Pembangunan
(nomor urut 30).
2. RUU Pertanahan (nomor urut 65).
3. RUU Pengadilan Keagrarian (nomor urut 160).
4. RUU Perubahan Hak tanggungan atas tanah beseta benda-benda
yang berkaitan dengan tanah (nomor urut 193).
5. RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 56/Prp/
Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (nomor
61
urut 197).
Memasuki periode kedua (tahun 2011), tidak satupun dari kelima
RUU tersebut yang masuk dalam prioritas tahunan baik pada Prolegnas
2010, maupun 2011. Hal ini menunjukkan bagaimana sikap politik
hukum pemerintahan saat ini terhadap isu pembaruan hukum agraria.
Dalam dua masa jabatan ini, pembaruan hukum agraria belum menjadi
prioritas meskipun untuk potret politik hukum dan agenda
pembangunan materi hukum jangka menengah 2010-2014 beberapa
RUU di bidang hukum agraria tersebut telah diagendakan.
Sumber:
Budi Harsono, , Hukum Agraria Indonesia, (Djambatan: Jakarta,
1986)
Gautama, Sudargo,. Tafsiran UndangUndang Pokok Agraria.
(Bandung: Aditya. 1990)
Notonegora, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia
(Jakarta: Djambatan. 1984)
Perlindungan, A.P, Bunga Rampai Hukum Agraria serta
Landreform, Bagian I. (Bandung: Mandar Maju¸1989.)
Perlindungan, A.P, 1991. Komentar atas Undang-Undang Pokok
Agraria. Bandung: Mandar Maju.
Santoso, Urip, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah. (Jakarta:
Penada Media, 2005).
62
Soal-soal:
1. Apa tujuan dari agrarische wet?
2. Bagaimanakah situasi hukum tanah di zaman di zaman kolonial
3. Jelaskan alasan pembentukan hukum tanah nasioan sebagai
sebuah sistem
63
BAB VI
HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH
Tanah adalah sumber kehidupan. Hubungan tanah dan manusia yang
sedemikian ini, membuat perubahan-perubahan dalam tata susunan pemilikan dan
penguasaan tanah, yang pada gilirannya juga memberikan pengaruh kepada pola
hubungan antar manusia sendiri, dan yang menjadi masalah bukan tanah itu
sendiri tetapi terjadinya penguasaan tanah yang timpang, dimana ada yang tidak
menguasai, dan di pihak lain ada yang menguasai dalam satuan jumlah yang
sangat besar.
Dapat dipahami bahwa tanah merupakan sesuatu yang bernilai bagi manusia.
Bernilainya tanah terkait dengan banyak aspek. Aspek Ekonomi, budaya, politik,
Hankamnas, social yang merupakan tempat tumbuh kembangnya nilai-nilai
tersebut. Sehingga perbedaan waktu, tempat dan ruang akan berakibat pada
adanya perbedaan tata nilai terhadap tanah.
Dalam UUPA tercantum nilai filosofis tentang penguasaan dan pemilikan
tanah, konsideran huruf c menyatakan bahwa hukum agraria nasional harus
mewujudkan penjelmaan dari pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan,
kebangsaan, kerakyatan dan keadilan social, sebagai asas kerohanian Negara dan
cita-cita bangsa sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
Penjelasan umum UUPA juga menjelaskan:
Hukum agraria yang baru itu harus memberi kemungkinan akan
tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang
dimaksudkan di atas dan harus sesuai pula dengan kepentingan
rakyat dan Negara serta memenuhi keperluannya menurut
64
permintaan zaman dalam segala soal agrarian. Lain dari pada itu
hukum agrarian nasional harus mewujudkan penjelmaan dari asas
kerokhanian, Negara dan cita-cita bangsa yaitu Ketuhanan Yang
Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan
Keadilan social serta khususnya harus merupakan pelaksanaan dari
pada ketentuan dalam Pasal 33 UUD dan GBHN yang tercantum
dalam manifesto politik RI tanggal 17 Agustus 1945 dan
ditegaskan di dalam pidato presiden tanggal 17 Agustus 1945.
Berdasarkan nilai yang terkandung di atas, sebenarnya UUPA melalui
kewenangan yang ada pada Negara menginginkan masyarakat Indonesia yang
berkeadilan social terhadap penguasaan dan pemilikan atas sumber daya alam.
Keinginan demikian dilatarbelakangi pengalaman pada masa penjajahan bahwa
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya telah diambil penjajah
untuk kepentingan Negara penjajah.
Pengertian penguasaan dan menguasai dapat dipakai dalam arti fisik, juga
dalam arti yuridis. Juga beraspek perdata dan beraspek public.. Penguasaan
yuridis dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi
kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang
dihaki. Tetapi ada juga penguasaan yuridis yang biarpun memberi kewenangan
untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan
fisiknya dilakukan pihak lain. Misalnya kalau tanah yang dimiliki disewakan
kepada pihak lain dan penyewa yang menguasainya secara fisik. Atau tanah
tersebut dikuasai secara fisik oleh pihak lain tanpa hak. Dalam hal ini pemilik
tanah berdasarkan hak penguasaan yuridisnya, berhak untuk menuntut
65
diserahkannya kembali tanah yang bersangkutan secara fisik kepadanya.
Dalam sejarahnya pemilikan hak atas tanah di Indonesia mengalami berbagai
perubahan. Ketika jumlah penduduk masih sedikit dan jumlah tanah tak terbatas,
maka tanah hanyalah sekadar komoditi yang diolah dan dimanfaatkan untuk
kepentingan individu dan tidak diperjualbelikan/diperdagangkan. Seiring
bertambahnya penduduk, maka tanah mulai diperjualbelikan. Ada asas penawaran
dan permintaan. Kepemilikan tanah berubah dari konsep land as commodity
menjadi land a property.
Semula, hak atas tanah bersifat mutlak. Tanah memberikan berbagai hak pada
pemiliknya. Ada hak untuk mengolah dan memanfaatkan tanah, ada hak untuk
menikmati penggunaan tanah termasuk udara diatasnya, hak untuk memperoleh
keuntungan financial dari tanah, hak untuk menjual, menghibahkan dan
mewariskan kepada orang lain, hak untuk membangun. Hak yang mutlak tersebut
mulai dibatasi. Hak milik atas tanah, yang memberikan hak untuk menikmati dan
berbuat bebas terhadap tanah, demi kepentingan umum hak itu bahkan mungkin
dicabut. Kepentingan umum mulai menuntut perhatian, sehingga pemilikan tanah
berubah menjadi land social property.
UUPA tidak mengatur ihwal tanahnya, melainkan soal hak atas permukaan
bumi saja. Jadi, tidak termasuk seluruh bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya. Tanah yang dimaksud dalam UUPA tidak sama dengan
tanah yang dimaksud dalam KUHPer sebagai benda tak bergerak, tetapi tanah
dalam UUPA memiliki asas yang sangat spesifik dan merupakan kultur budaya
bangsa Indonesia. Dengan adanya asas yang meliputi atas tanah di Indinesia,
maka tanah Indonesia tidak sepenuhnya mempunyai sifat-sifat kebendaan sebagai
66
benda tidak bergerak berdasarkan KUHPer.
UUPA melalui Negara menentukan macam-macam hak atas tanah yang
diberikan kepada orang maupun kepada badan huku tetapi semua hak atas tanah
tersebut mempunyai fungsi social, artinya mengandung unsure kebersamaan dan
keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Oleh karena itu
setiap pemegang hak atas tanah akan terlepas dari hak penguasaan Negara karena
kepentingan nasional berada diatas kepentingan individu atau kelompok, meski itu
bukan berarti bahwa kepentingan individu atau kelompok dapat dikorbankan
begitu saja dengan alasan untuk kepentingan umum, karena sewaktu-waktu
Negara memerlukan tanah tersebut untuk kepentingan umum, pemilik tanah wajib
melepaskan hak tanah tersebut dengan kompensasi gantirugi.
Dalam UUPA terdapat unsure komunalistik religious artinya ketentuan hukum
Indonesia melihat bahwa tanah itu adalah milik bersama yang diberikan oleh sang
pencipta guna kesejahteraan masyarakat, berarti Indonesia mengatur prinsip
Negara kesejahteraan . Sebagai Negara kesejahteraan, Negara Indonesia
mengikuti asas bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan atau
menyimpang dari peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. Karena itu Negara
memiliki tugas dan tanggung jawab khusus yaitu memberikan keadilan dalam
penguasaan dan pemilikan hak atas tanah sesuai dengan falsafah Pancasila.
Sebutan nama hak atas tanah dalam UUPA merupakan nama lembaga-lembaga
baru, yang bukan merupakan kelanjutan dari lembaga-lembaga hak-hak atas tanah
dari perangkat-perangkat hukum tanah yang lama. Lembaga-lembaga hak atas
tanah yang lama sejak berlakunya UUPA tanggal 24 September 1960 dan
terjadinya unifikasi hukum tanah, sudah tidak ada lagi. Sedangkan hak-hak atas
67
tanah yang lama sebagai hubungan hukum konkret sejak 24 September 1960
dikonversi oleh UUPA atau diubah menjadi salah satu hak yang baru dari hukum
tanah nasional. Hak atas tanah dalam hukum tanah nasional isinya memberi
kewenangan kepada pemegang haknya untuk mempergunakan tanah yang dihaki.
Ini yang merupakan kewenangan umum artinya merupakan isi tiap hak atas tanah.
Kewenangan ini pun ada pembatasannya. Kewenangan mempergunakan tanah
dalam arti permukaan bumi tersebut, secara wajar diperluas hingga meliputi juga
sebagian tubuh bumi yang ada dibawahnya dan sebagian ruang yang ada
diatasnya, karena tidak mungkin untuk keperluan apapun yang digunakan hanya
tanahnya saja yang berupa permukaan bumi itu. Demikian juga mengenai air yang
ada diatas maupun didalam bumi di bawah tanah yang dihaki. Pemegang hak atas
tanah boleh menggunakannya untuk keperluan pribadinya, misalnya untuk
keperluan sehari-hari bagi kegiatan rumah tangga dan usahanya, dalam batas-
batas kewajaran. 52
Perluasan kewenangan tersebut berarti isi hak atas tanah dalam pengertian
yuridis merupakan hak atas permukaan bumi, yang berdimensi dua, dalam
penggunaannya tanah berarti ruang yang berdimensi tiga. Yang diperluas hingga
meliputi sebagian tubuh bumi, sebagian ruang dan air tersebut adalah
penggunaannya, bukan pemilikannya. Penggunaan tubuh bumi lepas dari
hubungannya dengan penggunaan tanah yang bersangkutan.
Oleh karena itu selain kewenangan-kewenangan yang ada pada hak atas tanah,
hak atas tanah juga berisikan kewajiban-kewajiban untuk menggunakan dan
memelihara potensi tanah yang bersangkutan. Dalam UUPA kewajiban-kewajiban
52 Boedi Harsono, Op Cit, hal. 293
68
tersebut, yang bersifat umum, artinya berlaku terhadap setiap hak atas tanah
yakni:
1. Pasal 6, yang menyatakan, bahwa; semua hak atas tanah
mempunyai fungsi social;
2. Pasal 15 dihubungkan dengan Pasal 52 ayat 1 tentang
kewajiban memelihara tanah yang dihaki; dan
3. Pasal 10 khusus mengenai tanah pertanian, yaitu kewajiban
bagi pihak yang mempunyainya untuk mengerjakan atau
mengusahakan tanahnya sendiri secara aktif.
Selain ditentukan dalam pasal tersebut di atas, dalam menghadapi kasus-
kasus konkret perlu diperhatikan juga kewajiban-kewajiban yang secara khusus
dicantumkan dalam surat keputusan pemberian haknya atau dalam surat
perjanjiannya serta dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan demikian landasan penyusunan UUPA adalah tata nilai
kolektivitas sebagaiman hasil penelitian Van Vollenhoven. Sebagai sebuah
undang-undang pokok, maka nilai kolektivitas yan terdapat dalam UUPA
dimaksudkan agar menjiwai undang-undang lain yang mengatur tentan agrarian
dan juga undang-undang yang terkait dengan keagrariaan. Namun sebagaimana
dikataka Hoogvelt, pertentangan nilai antara kolektivisme dengan individualism
juga senantiasa mewarnai perkembangan dan pembangunan hukum agrarian
nasional.53 Menurut Nurhasan Ismail, bahwa peralihan periode orde lama ke orde
baru hingga tahun 2005 telah menggiring peralihan dari nilai social kolektivitas ke
53 2 Ankie M.Hoogvelt, Sosiologi Masyarakat sedang Berkembang, Rajawali, Jakarta, 1985, hal. 87
69
nilai social individualistic.54
Di samping itu nilai kolektivisme dimaksudkan untuk memberi arahan
agar kepentingan bersama atau sebagian masyarakatlah yang mendapat perhatian
dalam pengaturan norma hukum. Nilai kolektivisme didasarkan pada pandangan
bahwa keberadaan masyarakat secara keseluruhan lebih penting dibandingkan
dengan keberadaan individu. Menurut Van Vollenhoven bahwa diseluruh wilayah
Indonesia terdapat 19 kelompok besar lingkaran hukum adat (rechtskring) yang
bercirikan kolektivisme, yaitu sesuatu yang membedakannya dari lembaga hukum
yang ada di Eropa. Ciri kolektivisme tersebut mewujud dalam institusi hak ulayat
yang oleh Van Vollenhoven disebut dengan beschikkingsrecht.
Beschikkingngsrecht merupakan hak yang dipunyai oleh sebuah masyarakat
hukum (rechtsgemeenschap). Di atas beschikkingsrecht tersebut, anggota suatu
masyarakat hukum mempunyai hak untuk mengusahakannya, dan kewenangan
mengusahakan itu dibatasi oleh kepentingan umum semasyarakat hukum tersebut.
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa pola kolektivitas tersebut mengakui
adanya hak individu, namun hak individu itu dibatasi oleh hak kolektivitas
sebagai sesuatu hak yang tinggi. Disamping nilai koletivisme, UUPA juga
mengandung nilai religious sebagaimana pernyataan, bahwa bumi, air dan ruang
angkasa Indonesia, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya,
merupakan Karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia (lihat Pasal
1 ayat (1) UUPA). Dalam kenyataannya timbul ketidakserasian atau ketimpangan
atas nilai yang terkandung dalam UUPA yaitu ketimpangan dalam hal penguasaan
sumber agrarian; ketidakserasian dalam hal peruntukan sumber-sumber agrarian
54 3 Nurhasan Ismail, Perkembangan Hukum Pertanahan, Pendekatan Ekonomi Politik, PenerbitHuma , Jakarta, 2007,hal 37.
70
(tanah), ketidakserasian antara persepsi dan konsepsi mengenai agrarian; serta
ketidakserasian antara berbagai produk hukum, sebagai akibat dari pragmatisme
dan kebijakan sektoral.
Keempat macam kondisi tersebut di atas memang menjadi dominan dalam
Negara RI. Keempat hal tersebut juga pada dasarnya sekaligus menjadi sumber
utama dari berbagai masalah turunanya, seperti konflik agraia, kemiskinan, dan
pengangguran. Selain itu dapat ditambahkan pula tantangan yang kian menambah
kerumetan permasalahan dibidang agrarian dimana kenyataannya timbul
ketidakadilan dalam penguasaan dan pemilikan tanah.
UUPA mengatur dan juga menetapkan susunan atau dalam
bahasa ilmiah dikenal dengan hierarki, terkait hak-hak penguasaan
atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional kita, hierarki itu dimulai
dari:
a. Hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam Pasal 1, sebagai
hak penguasaan atas tanah tertinggi, beraspek perdata dan
publik.
b. Hak Menguasai dari negara yang disebutkan dalam Pasal 2
semata-mata beraspek publik.
c. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang disebutkan dalam
Pasal 3, beraspek perdata publik.
d. Hak-hak perseorangan/individual, semuanya beraspek perdata,
terdiri atas:
1. Hak-hak atas tanah sebgai hak individual yang
71
semuanya secara langsung ataupun tidak langsung
bersumber pada hak bangsa, yang disebut dalam Pasal
16 dan 53.
2. Wakaf, yaitu hak milik yang sudah diwakafkan dalam
Pasal 49.
3. Hak jaminan atas tanah yang disebut Hak
Tanggungan dalam Pasal 25, 33, 39, dan 51.
Semua hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian
wewenang, kewajiban serta larangan yang mengikat bagi pemegang
haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki.
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 berisi “Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Terlihat cukup jelas bahwa dalam hubungannya dengan bumi, air,
dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya, selaku organisasi kekuasaan seluruh rakyat, negara
bertindak dalam kedudukannya sebagai Kuasa dan Petugas Bangsa
Indonesia55. Dalam melaksanakan tugas tersebut, ia merupakan
organisasi kekuasaan rakyat tertinggi, sebagai petugas bangsa
tersebut sesuai dengan teori trias politica bukan hanya Penguasa
Legislatif dan Eksekutif saja, tetapi juga penguasa Yudikatif. Hak
menguasai dari negara adalah sebutan yang diberikan oleh UUPA
kepada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara negara
55 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 2008) hlm 232
72
dan tanah Indonesia, yang dirinci isi dan tujuannya alam Pasal 2 ayat
(2) dan (3) UUPA: 56
Pasal 2
1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1,
bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai
oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal
ini memberi wewenang untuk :
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan
ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang
mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara
tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai
sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan,
kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara
hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
56 Ibid hlm 268
73
4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya
dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan
masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut
ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Rincian kewenangan untuk mengatur, menentukan dan
menyelenggarakan berbagai macam kegiatan dalam Pasal 2 tersebut,
oleh UUPA diberikan suatu interpretasi otentik mengenai Hak menguasai
dari negara yang dimaksudkan oleh UUD 1945, sebagai hubungan
hukum yang bersifat publik semata-mata.
Hak menguasai dari negara yang meliputi semua tanah tanpa
terkecuali. Hak menguasai dari negara tidak memberi kewenangan untuk
menguasai tanah secara fisik dan menggunakannya seperti hak atas
tanah, karena sifatnya semata-mata hukum publik, sebagaimana yang
dirumuskan dalam Pasal 2 UUPA. Negara memerlukan tanah untuk
melaksanakan tugasnya, tanah yang bersangkutan akan diberikan
kepadanya oleh negara selaku badan penguasa, melalui Lembaga
Pemerintah yang berwenang. Tanah diberikan kepada lembaga tersebut
dengan satu hak atas tanah, untuk dikuasai secara fisik dan digunakan,
bukan sebagai badan penguasa yang mempunyai Hak Menguasai, tetapi
sebagai badan hukum seperti halnya perorangan dan badan-badan hukum
74
perdata yang diberi dan menjadi pemegang hak atas tanah. 57
Hak menguasai dari negara tidak dapat dipindahkan kepada pihak
lain. Tetapi tanah negara dapat diberikan dengan sesuatu hak atas tanah
kepada pihak lain. Pemberian hak atas tanah negara kepada seseorang
atau badan hukum bukan berarti melepaskan hak menguasai tersebut dari
tanah yang bersangkutan. Tanah tersebut tetap ada dalam penguasaan
negara, negara tidak melepaskan kewenangannya hanya saja
kewenangan negara terhadap tanah-tanah yang sudah diberikan dengan
sesuatu hak kepada pihak lain menjadi terbatas, sampai batas
kewenangan yang merupakan isi hak yang diberikan
Pengertian “penguasaan” dan “menguasai dapat dipakai dalam arti fisik, juga
dalam arti yuridis. Juga beraspek perdata dan beraspek publik. Penguasaan dalam
arti yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum
dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk
menguasai secara fisik tanah yang dihaki, misalnya pemilik tanah
mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihaki, tidak diserahkan
kepada pihak lain.
Ada penguasaan yuridis, biarpun memberi kewenangan untuk menguasai tanah
yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisik dilakukan oleh
pihak lain. Misalnya, seseorang memiliki tanah tidak mempergunakan tanahnya
sendiri melainkan disewakan kepada pihak lain, dalam hal ini secara yuridis tanah
57 Ibid, hlm 25
75
tersebut dimiliki oleh pemilik tanah, akan tetapi secara fisik dilakukan oleh
penyewa tanah. Ada juga penguasaan secara yuridis yang tidak memberi
kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik. Misalnya,
kreditor (bank) memgang jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan yuridis
atas tanah yang dijadikan agunan (jaminan), akan tetapi secara fisik penguasaan
tanahnya tetap ada pada pemegang hak atas tanah. Penguasaan yuridis dan fisik
atas tanah ini dipakai dalam aspek privat, sedangkan penguasaan yuridis yang
beraspek publik, yaitu penguasaan atas tanah sebagaimana yang disebutkan
dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA.
Dalam tiap hukum tanah terdapat pengaturan mengenai berbagai hak
penguasaan atas tanah. Dalam UUPA misalnya diatur dan sekaligus ditetapkan
tata jenjang atau hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah
Nasional kita, Yaitu:
1. Hak Bangsa Indonesia Atas Tanah
Hak bangsa Indonesia atas tanah ini merupakan hak penguasaan atas tanah
yang tertinggi dan meliputi semua tanah yang ada dalam wilayah negara,
yang merupakan tanah bersama, bersifat abadi dan menjadi induk bagi hak-
hak penguasaan yang lain atas tanah
2. Hak menguasai Tanah dari Negara
Hak ini bersumber pada hak bangsa Indonesia atas tanah, yang hakikatnya
merupakan penugasan pelaksanaan tugas kewenangan bangsa yang
mengandung hukum publik. Tugas mengelola seluruh tanah bersama ini
76
dikuasakan sepenuhnya kepada NKRI sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat (Pasal 2 ayat (1) UUPA).
Hak menguasai dari negara memberikan wewenang (Pasal 2 ayat (2)
UUPA):
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan,
dan ruang angkasa;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan
ruang angkasa.
3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Hak ini diatur dalam Pasal 3 UUPA. Yang dimaksud hak ulayat masyarakat
hukum adat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat
hukum adapt, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dala lingkungan
wilayahnya.
Menurut Boedi Harsono, Hak ulayat masyarakat hukum adat dinyatakan
masih apabila memenuhi 3 unsur, yaitu:
a. masih adanya suatu kelompok orang sebagai warga suatu persekutuan
hukum adapt tertentu, yang merupakan suatu masyarakat hukum adat.
b. masih adanya wilayah yang merupakan ulayat masyarakat hukum
adat tersebut, yang disadari sebagai kepunyaan bersama para
warganya.
77
c. masih ada penguasa adat yang pada kenyataannya dandiakui oleh
para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, melakukan
kegiatan sehari-hari sebagai pelaksana hak ulayat.
4. Hak-hak atas Tanah
Hak ini termasuk salah satu hak-hak perseorang atas tanah. Hak-hak
perseorang atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada
pemegang haknya (perseorangan, sekelompok orang secara bersama-sama,
badan hukum) untuk memakai, dalam arti menguasai, menggunakan dan atau
mengambil manfaat dari bidang tanah tertentu. Dasar hukumnya adalah
Pasal 4 ayat (1) UUPA.
Hak perseorangan atas tanah berupa hak atas tanah ( Pasal 16 dan 53
UUPA), wakaf tanah hak milik (Pasal 49 ayat (3) UUPA), hak tanggungan
atau hak jaminan atas tanah (Pasal 25, 33, 39 dan 51 UUPA) dan hak milik
atas satuan rumah susun (Pasal 4 ayat (1) UUPA).
Meskipun bermacam-macam, tetapi hak penguasaan atas tanah berisikan
serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemegang haknya
untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. sesuatu yang boleh,
wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan
itulah yang menjadi kriterium atau tolak ukur pembeda diantara hak-hak
penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah.
78
Sumber :
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2008).
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah (Jakarta: Prenada
Media Group, 2010)
Soal:
1. Jelaskan apa yang dimaksud hak-hak penguasaan atas tanah.
2. Apa yang dimaksud hak bangsa Indonesia atas tanah.
3. Jelaskan pengertian hak ulayat dalam Pasal 3 UUPA dan sebutkan ciri-
cirinya menurut Budi Harsono
4. Sebutkan wewenang hak menguasai dari negara
5. Apa yang dimakasud hak-hak atas tanah perseorangan. Jelaskan!
79
BAB VII
HAK-HAK ATAS TANAH
Salah satu hak penguasaan atas tanah adalah hak perorangan yang terbagi menjadi
hak-hak atas tanah, wakaf dan hak jaminan atas tanah. Menurut ketentuan Pasal
16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahu 1960 Tentang Dasar Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA), hak-hak atas tanah terdiri dari beberapa jenis, yaitu:
a. Hak Milik
b. Hak Guna Usaha
c. Hak Guna Bangunan
d. Hak Pakai
e. Hak Sewa
f. Hak membuka tanah
g. Hak memungut hasil tanah
h. Hak-hak lain
1. Hak atas Tanah
Ketentuan Pasal 33 ayat (3) menyebutkan bahwa “Bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Ketentuan Pasal 33 ayat (3) ini melahirkan konsepsi hak penguasaan
negara atas sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Penjabaran lebih lanjut amanah Pasal 33 UUD 1945
dibentuklah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Ketentuan Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA). Menurut
80
Maria SW Sumardjono berkenaan dengan hubunga antara Pasal 33
ayat (3) UUD 1945 dengan UUPA menyatakan:58
Harus diakui, UUPA merupakan karya besar yang terbit tahun
1960, pada tahap awal penyelenggaraan negara, di tengah konflik
politik dan mendesaknya kebutuhan akan suatu undang-undang
yang memberi jaminan keadilan terhadap akses untuk
memperoleh dan memanfaatkan sumber daya agraria (SDA)
berupa bumi, air, kekayaan alam, dan sebagainya. Menilik
namanya, obyek pengaturan UUPA meliputi semua hal yang
terkait dengan SDA (tanah, air, hutan, tambang, dsb), tetapi
kenyataannya UUPA baru mengatur hal-hal yang berhubungan
dengan pertanahan saja. Dari 67 Pasal UUPA, 53 Pasal mengatur
tentang tanah
Obyek pengaturan yang belum diselesaikan UUPA ditindaklanjuti
berbagai sektor melaluiberbagai undang-undang sektoral. Undang-
undang itu terutama diterbitkan dalam rangka memenuhi kebutuhan
pragmatis guna mengakomodasi pertumbuhan ekonomi. Berbagai
undang-undang sektoral itu UU No 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan
diperbarui dengan UU No. 41 Tahun 1999, UU No. 11 Tahun 1967
tentang Pertambangan, UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan
direvisi dengan UU No. 7 Tahun 2004, dan undang-undang lainnya
menyusul. Pembentukan UU sektoral tidak berlandaskan prinsip-
prinsip yang telah diletakkan UUPA. Pada gilirannya, kedudukan
58 Maria SW Sumarjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, KompasGramedia, Jakarta, 2008, hal. 95.
81
UUPA didegradasi menjadi UU sektoral yang hanya mengatur
pertanahan. Selain itu, meski berbagai undang-undang sektoral
mengacu Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, namun substansinya pada
umumnya memiliki karakteristik yang tidak sesuai dengan falsafah
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Karena karakteristik
peraturan perundang-undangan sektoral: (1) orientasi pada eksploitasi,
mengabaikan konservasi dan keberlanjutan fungsi SDA, digunakan
sebagai alat pencapaian pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan
pendapatan dan devisa negara; (2) lebih berpihak pada pemodal besar;
(3) ideologi penguasaan dan pemanfaatan SDA terpusat pada negara
sehingga bercorak sentralistik; (4) pengelolaan SDA yang sektoral
berdampak terhadap koordinasi antar sektor yang lemah; (5) tidak
mengatur perlindungan hak asasi manusia (HAM) secara
proporsional.
Oleh karena itu dalam rangka terbitnya Undang-Undang
Pertanahan, masalah kepemilikan tanah menjadi penting. Perlu ada
kejelasan dan kepastian mengenai hak atas tanah dan konsep
kepemilikan tanah di Indonesia.
Tanah adalah bagian terpenting dalam kehidupan manusia, tanah
menyangkut kehidupan dan tujuan dari kematian. Tanah dalam kaitanya
dengan Indonesia tentunya memiliki makna yang sangat istimewa.
Mengingat Indonesia adalah negara yang dari dulu hingga kini terkenal
agraris. Sebegitu pentingnya makna tanah, maka tidak heran apabila
kemudian kita mengenal istilah tanah air, tanah tumpah darah, bumi
82
persada, tanah pusaka dan ibu pertiwi.59
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 pada dasarnya telah
menghapus sistem hukum pertanahan yang bersifat dualistis. Di satu pihak
UUPA telah mencabut berlakunya peraturan perundang-undangan
pertanahan produk pemerintah Hindia Belanda, baik yang bersifat Hukum
Publik seperti Agrarische Wet, Agrarische Besluit dan lain-lain, maupun
yang bersifat Hukum Privat mengenai bumi, air, ruang angkasa serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dengan beberapa
pengecualian yang diatur dalam Buku II KUH Perdata Indonesia. Di lain
pihak UUPA telah memilih Hukum Adat sebagai Dasar Hukum Agraria
Nasional seperti yang termuat dalam konsideran dan telah dirumuskan
dalam Pasal 5 UUPA.
UUPA mengatur dan sekaligus ditetapkan mengenai jejang atau
urutan hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional
antara lain yaitu :
1. Hak Bangsa Indonesia;
2. Hak Menguasai dari Negara;
3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat;
4. Hak-hak Perorangan / Individu
Semua hak penguasaan atas larangan yang berisikan serangkaian
wewenang, kewajiban dan/atau tanah yang di haki. “Sesuatu” yang boleh,
wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan
itulah yang menjadi kriterium atau tolak pembeda di antara hak-hak
59 Bernhard Limbong, Op.Cit. hlm 1
83
penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah.60 Adanya Hak
Menguasai dari Negara sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1)
UUPA, yaitu bahwa :
“Atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal
sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu
pada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai
organisasi kekuasaan seluruh masyarakat”.
Ketentuan dasar tersebut maka negara berwenang untuk
menentukan hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh dan atau
diberikan kepada perseorangan dan badan hukum yang memenuhi
persyaratan yang ditentukan.
Kewenangan tesebut diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, yang
menyatakan bahwa :
“Atas dasar Hak Menguasai dari Negara sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam ha
katas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan
hukum”.
60 Ramli Zein, Hak Pengelolaan Dalam Sistem UUPA, (Jakarta : Rineka Cipta,1994), hlm24
84
Tanah selain tentang nilai-nilai luhur, keberadaan tanah pun sangat
penting bagi kelangsungan hidup manusia. Aturan-aturan mengenai
hukum tanah sangat penting untuk mengaturnya. Hal ini tentunya adalah
suatu upaya perlindungan kepada individu terhadap tanahnya. Adanya
payung hukum yang mengatur mengenai hukum tanah dimaksudkan
untuk menghindari pemilik tanah dari upaya kesewenang-wenangan
pihak lain. 61Hukum tanah dalam hal ini tidak hanya menjadi harapan,
akan tetapi juga pegangan dalam mempertahankan hak atas tanah.
Hak atas tanah terdiri dari berbagai macam pilihan hak. Hak-hak
tersebut bisa diperoleh melalui permohonan, kesepakatan, transaksi dan
perbuatan hukum yang diatur di dalam perundang-undangan.
Hak atas tanah hanya ada dua, yaitu:
1. Hak yang dikuasai oleh perseorangan atau badan hukum
2. Hak yang dikuasai oleh negara62
dari dua hak tersebut dapat diletakan hak-hak lainya sesuai
kebutuhan dan kegunaan tanah tersebut. Seperti hak milik, hak guna
usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai dll.
2. Macam-macam Hak atas Tanah
Negara menentukan hak-hak atas tanah sebagaimana diatur dalam
Pasal 16 ayat (1) UPPA, yaitu :
61 Jimmy Joses Sembiring, Panduan Mengurus Sertifikat Tanah, (Jakarta : Visi Media,2010) hlm 6
62 Op.cit, hlm 6
85
1. Hak Milik;
2. Hak Guna Usaha;
3. Hak Guna Bangunan;
4. Hak Pakai;
5. Hak Sewa;
6. Hak Membuka Tanah;
7. Hak Memungut Hasil Hutan;
Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas
yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang serta hak-hak yang
sifatnya sementara sebagaimana disebut dalam Pasal 53.
Macam-macam tanah itu memiliki penjelasan sebagai berikut.
a. Hak Milik
1. Pengertian Hak Milik
Hak Milik yang merupakan salah satu macam hak atas tanah yang dikenal
dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Pengertian Hak Milik
berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA menentukan bahwa :
“Hak milik adalah hak yang turun temurun, terkuat dan terpenuh yang
dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan Pasal 6”
Hak Milik bersifat turun-menurun maksudnya bahwa Hak Milik atas tanah
tersebut tidak hanya berlangsung selama hidup pemegang Hak milik atas
tanah, tetapi dapat juga dilanjutkan oleh ahli warisnya apabila pewaris
meninggal dunia, oleh karena itu Hak Milik jangka waktunya tidak
86
terbatas. Hak Milik bersifat terkuat maksudnya bahwa Hak Milik
merupakan induk dari macam hak atas tanah lainnya dan dapat dibebani
oleh hak atas tanah lainnya, seperti Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.
Hak Milik bersifat terpenuh maksudnya Hak Milik menunujuk luas
wewenang yang diberikan kepada pemegang Hak Milik dalam
menggunakan tanahnya baik untuk usaha pertanian maupun untuk
mendirikan bangunan.
Hak Milik bersifat turun temurun, terkuat dan terpenuh bukan berarti
bahwa Hak Milik merupakan hak yang mutlak, tidak terbatas dan tidak
dapat diganggu gugat. Hal ini Ini dimaksudkan untuk membedakan Hak
Milik dengan hak-hak atas tanah lainnya yang dimiliki oleh individu.
Dengan kata lain, Hak Milik merupakan hak yang paling kuat dan paling
penuh diantara hak-hak atas tanah lainnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 6
UUPA, semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, sehingga Hak
Milik juga mempunya fungsi social, artinya bahwa Hak Milik yang
dipunyai subjek hak (pemegang hak) tidak boleh dipergunakan semata-
mata untuk kepentingan pribadi. Fungsi sosial dari Hak Milik harus ada
keseimbangan antara kepentingan pemerintah dengan masyarakat.
Hak milik adalah hak terkuat terhadap suatu tanah. Hak milik tidak
dapat di ganggu gugat dan sifatnya mutlak. Sesuai definisi Pasal 20 ayat
(1) UUPA “hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang
dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat dengan Pasal 6.”
Makna dari kata “terkuat dan terpenuh” dalam pengertian hak
milik tidak berarti hak yang absolut dan tidak dapat diganggu
87
gugat, karena harus mengingat pasal 6. Pasal 6 sendiri
mengatakan bahwa “tanah memiliki fungsi sosial”. Dengan
begitu artinya, kepemilikan tanah suatu saat bisa dilepaskan
demi kepentingan yang lebih besar. Pembedaan kata itu hanya
memiliki maksud bahwa hak milik itu lebih kuat dibanding hak-
hak atas tanah lainya
Pasal 21 UUPA menyebutkan bahwasanya, hak milik
dapat dimiliki oleh, Warga Negara Indonesia dan Badan hukum
yang bergerak di bidang sosial dan keagamaan, sepanjang
tanahnya dipergunakan untuk hal itu.
Bagi warga Indonesia, hak milik atas sebidang tanah
dapat terjadi berdasarkan hukum adat atau peraturan dari
pemerintah63. Terjadinya hak atas tanah menurut adat biasanya
bersumber pada pembukaan hutan yang merupakan tanah ulayat
suatu masyarakat hukum adat. Sementara itu tanah ulayat yang
terjadi melalui penetapan pemerintah, biasanya melalui syarat
yang telah ditentukan oleh pemerintah64.
a. Subyek Hak Milik
Berdasarkan ketentuan Pasal 21 UUPA, maka yang dapat mempunyai
Hak Milik adalah:
a) Hanya warga Negara Indonesia dapat mempunyai Hak Milik
63 Ibid, Hlm 864 Jayadi Setiabudi, Tata Cara Mengurus Tanah Rumah Serta Segala Perizinananya,
(Jakarta : PT Suka Buku, 2012) hlm 14
88
b) Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat
mempunyai Hak Milik dan syarat-syaratnya.
c) Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-Undang ini
memperoleh Hak Milik karena Pewarisan tanpa wasiat atau
percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara
Indonesia yang mempunyai Hak Milik setelah berlakunya Undang-
Undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu
dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diperolehnya hak tersebut
atau hilangnya kewarganegaraan tersebut. Jika sesudah jangka waktu
itu lampau Hak Milik tidak dilepaskan, maka hak itu hapus karena
hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan bahwa
hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.
d) Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesia juga
memperoleh kewarganegaran asing maka ia tidak dapat mempunyai
tanah dengan hak miik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3)
Pasal ini.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka hanya warga negara Indonesia
tunggal yang dapat mempunyai Hak Milik, orang asing tidak
diperbolehkan untuk mempunyai Hak Milik. Orang asing dapat
mempunyai tanah dengan Hak Pakai yang luasnya terbatas.
b. Terjadinya Hak Milik
89
Mengenai terjadinya Hak Milik diatur dalam Pasal 22 UUPA menentukan
bahwa:
a) Terjadinya Hak Milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan
Pemerintah
Pasal 3 UUPA yang menyatakan:
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2
pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari
masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-
Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”
Ketentuan tersebut berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat
dalam hukum agraria sehingga dengan disebutnya hak ulayat dalam
UUPA, yang pada hakekatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka
pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan, sepanjang hak
tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat
hukum yang bersangkutan. Kepentingan sesuatu masyarakat hukum
harus tunduk pada kepentingan nasional dan Negara sehingga
pelaksanaan hak ulayat harus sesuai dengan kepentingan nasional dan
Negara.
90
b) Selain menurut cara sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 Pasal
ini Hak Milik
1) Penetapan Pemerintah menurut cara dan syarat-syarat yang
ditetapkan dengan Peraturan Perundang-undangan.
Terjadinya Hak Milik menurut Penetapan Pemerintah maksudnya
dengan mengajukan permohonan Hak Milik. Mengenai syarat-
syarat permohonan Hak Milik diatur dalam Pasal 8 ayat (1)
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan
Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan yang
menyatakan bahwa Hak Milik dapat diberikan kepada:
“a. Warga Negara Indonesia
b. Badan-badan hukum yang ditetapkan oleh Pemerintah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yaitu:
1) Bank Pemerintah
2) Badan Keagamaan dan Badan Sosial yang ditunjuk oleh
Pemerintah.”
Permohonan Hak Milik atas tanah Negara pada Pasal 9 ayat (2)
diajukan secara tertulis yang memuat:
“1. Keterangan mengenai permohonan
91
a. Apabila perorangan: nama, umur, kewarganegaraan,
tempat tinggal dan pekerjaannya serta keterangan
mengenai isteri/suami dan anaknya yang masih menjadi
tanggungannya;
b. Apabila badan hukum: nama, tempat kedudukan, akta
atau peraturan pendiriannya, tanggal dan nomor surat
keputusan pengesahannya oleh pejabat yang berwenang
tentang penunjukannya sebagai badan hukum yang dapat
mempunyai Hak Milik berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis
dan data fisik:
a. Dasar penguasaan atau alas haknya dapat berupa sertpikat,
girik, surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan
pelunasan tanah dan rumah dan atau tanah yang yang telah
dibeli dari Pemerintah, putusan pengadilan, akta PPAT,
akta pelepasan hak, dan surat-surat bukti perolehan tanah
lainnya;
b. Letak, batas-batas dan luasnya (jika ada Surat Ukur atau
Gambar Situasi sebutkan tanggal dan nomornya);
c. Jenis tanah (pertanian/non pertanian)
d. Rencana penggunaan tanah;
e. Status tanahnya (tanah hak atau tanah negara);
3. Lain-lain:
92
a. Keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-
tanah yang dimiliki oleh pemohon, ternasuk bidang tanah
yang dimohon;
b. Keterangan lain yang dianggap perlu.”
2) Ketentuan Undang-Undang,
Pasal 1 ketentuan-ketentuan konversi UUPA menentukan:
“Hak eigendom atas tanah yang ada pada mulai berlakunya
Undang-Undang ini sejak saat tersebut menjadi Hak Milik,
kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai
yang tersebut dalam Pasal 21”.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka hak eigendom dapat
dikonversi menjadi Hak Milik dengan syarat berdasarkan
ketentuan Pasal 21 UUPA yaitu hanya warga Negara Indonesia
tunggal yang dapat mempunyai Hak Milik.
4. Peralihan Hak Milik
Beralihnya Hak Milik diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UUPA yang
menyatakan bahwa:
“Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”.
93
Hak Milik dapat beralih maksudnya bahwa Hak Milik dapat berpindah
haknya dari subjek hak kepada subjek hak lain karena adanya peristiwa
hukum, misalnya karena pewarisan, sedangkan hak Milik dapat
dialihkan maksudnya Hak Milik dapat berpindah kepada subjek hak
lain karena adanya perbuatan hukum, misalnya karena jual-beli, tukar-
menukar, hibah. Ketentuan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 mengatur bahwa:
“Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun
melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam
perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali
pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika
dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Peralihan hak atas tanah yang terjadi karena perbuatan hukum hanya
dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT.
5. Pendaftaran Hak Milik
Mengenai pendaftaran Hak Milik diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UUPA
menetukan bahwa:
94
“Hak Milik, demikian setiap peralihan, hapusnya dan pembebanan
dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan
yang dimaksud dalam Pasal 19”
Maksud Pasal 23 ayat (1) UUPA ini adalah untuk setiap terjadi
peralihan, hapus dan pembebanan Hak Milik didaftarkan menurut
ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 UUPA serta
ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
6. Pembebanan Hak Milik Atas Tanah
Pasal 25 UUPA menentukan bahwa:
“Hak Milik dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak
Tanggungan”
Berdasarkan Pasal 25 UUPA, Hak Milik dapat dibebani Hak
Tanggungan, maka tanah yang dibebani Hak Tanggungan tetap
dipegang oleh pemiliknya apabila pemilik tanah tidak dapat melunasi
hutangnya dalam jangka waktu yang telah diperjanjikan kepada
Kreditur, tanah yang dijadikan jaminan utang tersebut bukan berarti
otomatis menjadi milik Kreditur melainkan akan dilelang yang hasil
dari pelelangan tersebut digunakan untuk melunasi utang tersebut.
Selain dapat dibebani Hak Tanggunan, Hak Milik juga dapat dibebani
95
hak-hak atas tanah lainnya. Hak-hak atas tanah yang dapat dibebani di
atas Hak Milik adalah Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, yang
pembebanannya dituangkan dalam Akta PPAT yakni Akta Pembebanan
Hak Milik dengan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang
sebelumnya terdapat perjanjian antara subjek hak pemegang Hak Milik
dengan calon subjek hak pemegang hak atas tanah yang aka nada sdi
atas tanah Hak Miliki tersebut.
7. Hapusnya Hak Milik
Hak Milik atas tanah dapat hapus dari subjek hak pemeganh hak atas
tanah seperti yang telah ditentukan di dalam Pasal 27 UUPA yaitu
apabila:
a. Tanah jatuh kepada Negara, karena:
1) Pencabutan hak
Maksudnya, pengambilan tanah kepunyaan subjek hak pemegang
Hak Milik oleh Negara secara paksa, yang mengakibatkan hak atas
tanah itu menjadi hapus dikarenakan untuk kepentingan umum, hal
tersebut berdasarkan pada Pasal 18 UUPA. Pencabutan hak atas
tanah ini dengan memberikan ganti kerugian yang layak dan
berdasarkan tata cara yang diatur dengan peraturan perundang-
undangan.
2) Penyerahan dengan sukarela (pelepasan)
96
Penyerahan dengan sukarela maksudnya bahwa subjek hak
melepaskan hak atas tanah yang dimilikinya kepada Negara
dengan tanpa adanya ganti kerugian yang diterimanya. Hak atas
tanah yang dilepaskan tersebut makan akan menjadi tanah
Negara.
3) Ditelantarkan
Ditelantarkan artinya bahwa tanah tersebut sengaja tidak
dipergunakan sesuai keadaan atau sifat dan tujuan daripada
haknya. Hal ini berdasarkan pada penjelasan Pasal 27 UUPA
4) Dipegang oleh subjek hak yang tidak berhak
Maksudnya bahwa Hak Milik ini dimiliki oleh subjek hak bukan
haknya untuk memiliki Hak Milik, yakni WNA dan badan
hukum. Hal tersebut diatur dalam Pasal 21 ayat 3 dan Pasal 26
ayat 2 UUPA.
b. Tanahnya musnah
Hal ini dapat terjadi karena obyeknya (tanah) tidak ada lagi
karena terjadinya bencana alam.
8. Terjadinya Hak Milik
Melalui 3 cara disebutkan dalam Pasal 22 UUPA:
a) Hak milik atas tanah yang terjadi menurut hukum adat
Hak Milik Atas Tanah yang terjadi menurut hukum adat
adalah Hak milik atas tanah terjadi dengan jalan pembukaan
tanah (pembukaan hutan) atau terjadi karena timbulnya lidah
tanah (Aanslibing)
97
b) Hak milik atas tanah terjadi karena penetapan pemerintah
Hak Miliki atas Tana terjadi karena penetapan pemerintah
adalah hak milik atas tanah yang terjadi disini berasal dari
tanah Negara. Hak milik atas tanah ini terjadi kerena
permohonan pemberian hak milik atas tanah oleh pemohon
dengan memenuhi prosedur dan persyaratan yang telah
ditentukan oleh BPN
c) Hak milik atas tanah terjadi kerena ketentuan undang-undang
Hak milik atas tanah terjadi kerena ketentuan undang-undang
adalah Hak milik atas tanah ini terjadi karena undang-
undanglah yang menciptakannya sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 1, Pasal II, dan pasal III dan pasal VII ayat(1)
Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.
2. Hak Guna Usaha
1. Pengertian
Perbedaan antara hak milik dan hak guna usaha adalah
masalah jangka waktu. Hak guna usaha sifatnya sementara,
sedangkan hak milik, hak atas tanah permanen. Hak guna usaha
memiliki beberapa kesamaan dengan hak milik. Yaitu sama-
sama tidak bisa dimiliki oleh warga Negara asing sesuai dengan
Pasal 55 UUPA. Sementara ketentuan hukum mengenai hak
guna usaha diatur dalam Pasal 28 UUPA.
98
Hak guna usaha lebih diperuntukan untuk kepentingan
komersil, seperti pertanian, perikanan atau pertenakan.
Mengenai jangka waktunya, hak guna usaha memilii jangka
waktu paling lama 20 tahun. Hak guna usaha pun dapat
digunakan sebagai jaminan hak tanggungan. 65Hal ini diatur
dalam Pasal 33 UUPA yang menyebutkan bahwa “hak guna
usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak
tanggungan”.
Ketentuan mengenai Hak guna usaha disebutkan dalam
Pasal 16 ayat 1 huruf b UUPA. Secara khusus diatur dalam pasal
28 sampai dengan pasal 34 UUPA. Hak untuk mengusahakan
tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu
sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, guna perusahaan
pertanian, perikanan atau peternakan. PP No. 40 tahun 1996
menambah guna perusahaan perkebunan
2. Luas Hak Guna Usaha
Adalah perseorangan luas minimal 5 hektar dan luas maksimal
25 hektar Badan hukum luas minimal 5 hektar dan luas
maksimal ditetapkan oleh kepala Badan Pertanahan nasional
(pasal 28 ayat 2 UUPA jo. Pasal 5 PP No. 40 tahun 1996)
3. Subjek Hak Guna Usaha
65 Jimmy Joses Sembiring, Op cit hlm 13
99
Pasal 30 UUPA jo. Pasal 2 PP No. 40 tahun 1996 dijelaskan,
bahwa :
a) warga Negara Indonesia
b) badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia (badan hukum Indonesia)
4. Asal Tanah Hak Guna Usaha
Asal Tanah Hak Guna Usaha adalah:
a) Tanah Negara
b) Penetapan Pemerintah
HGU yang terjadi disini berasal dari tanah Negara. Hak milik
atas tanah ini terjadi kerena permohonan pemberian hak
milik atas tanah oleh pemohon dengan memenuhi prosedur
dan persyaratan yang telah ditentukan oleh BPN
5. Jangka waktu HGU
Terdiri dari dua dasar hukum, yaitu:
a) Manurut Pasal 29 UUPA Pertama kali paling lama 35 tahun
dan dapat diperpanjang paling lama 25 tahun
b) Pasal 8 No 40 Tahun 1996 Pertama kali paling lama 35 tahun
diperpanjang 25 tahun dan diperbaharui 25 tahun
6. Kewajiban Pemegang Hak Guna Usaha
asal 12 ayat 1 PP No. 40 tahun 1996, pemegang hak Guna Usaha
berkewajiban untuk :
a) Membayar uang pemasukan kepada Negara
100
b) Melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan, dan
atau peternakan sesuai peruntukan dan persyaratan
sebagaimana ditetapkan dalam pemberian keputusan
pemberian haknya
c) Mengusahakan sendiri tanah hak guna usaha dengan baik
sesuai dengan kelayakan usaha berdasarkan criteria yang
ditetapkan oleh instansi teknisi
d) Membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan
fasilitas tanah yang ada dalam lingkungan areal hak guna
usaha
e) Memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber
daya alam dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan
hidup sesuai dengan peraturan perundang-undagan yang
berlaku
f) Menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai
penggunan hak Guna Usaha
g) Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak
guna Usaha kepada Negara sesudah Hak Guna Usaha
tersebut hapus
h) Menyerahkan sertifikat hak guna usaha yang telah hapus
kepada kepala kantor pertanahan
7. Hak Pemegang Hak Guna Usaha
Berdasarkan Pasal 14 PP No. 40 tahun 1996 adalah Pemegang
hak guna usaha berhak menguasai dan mempergunakan tanah
101
yang diberikan dengan hak guna usaha untuk melaksanakan
usaha dibidang pertanian, perkebunan, perikanan, dan atau
peternakan
8. Hapusnya Hak Guna Usaha
Pasal 34 UUPA menjelaskan bahwa
a) jangka waktunya berakhir
b) dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu
syarat tidak dipenuhinya
c) dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya
berakhir
d) dicabut untuk kepentingan umum
e) ditelantarkan
f) tanahnya musnah
g) ketentuan dalam pasal 30 ayat 2
Menurut Pasal 17 PP 40 tahun 1996 faktor-faktor penyebab
hapusnya hak guna usaha dan berakibat tanahnya menjadi tanah
Negara adalah:
a) berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam keputusan
pemberian atau perpanjangannya
b) dibatalkan oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka
waktunya berakhir karena tidak dipenuhinya kewajiban-
kewajiban pemegang hak atau dilanggarnya ketentuan-
ketentuan yang telah ditetapkan dalam keputusan pemberian
102
hak, dan adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap
c) dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum
jangka waktunya berakhir
d) hak guna usahanya dicabut
e) anahnya ditelantarkan
f) Tanahnya musnah
g) pemegang hak guna usaha tidak memenuhi syarat sebagai
pemegang hak guna usaha.
Pasal 18 PP No 40 tahun 1996 mengatur konsekuensi hapusnya
hak guna usaha bagi pemegang Hak guna usaha:
a) Apabila hak guna usaha hapus dan tidak dapat diperpanjang
atau diperbaharui, bekas pemegang hak wajib membongkar
bangunan-bangunan dan benda-benda yang ada diatas tanah
bekas hak guna usaha tersebut kepada Negara dalam batas
waktu yang ditetapkan oleh Menteri Agraria/Kepala BPN
b) apabila bangunan, tanaman, dan benda-benda tersebut diatas
diperlukan untuk melangsungkan atau memulihkan
pengusahaan tanahnya, maka kepada pemegang hak
diberikan ganti rugi yang bentuk dan jumlahnya diatur lebih
lanjut dengan keputusan presiden
c) pembongkaran bangunan dan benda-benda diatas tanah hak
guna usaha dilaksanakan atas biaya bekas pemegang hak
guna usaha
103
d) jika bekas pemegang hak guna usaha lalai dalam memenuhi
kewajiban tersebut , maka bangunan dan benda-benda yang
ada diatas tanah bekas hak guna usaha dibongkar oleh
pemerintah atas biaya pemegang hak guna usaha
3. Hak Guna Bangunan
1. Pegertian
Pasal 35 UUPA menyebutkan bahwa :
Hak guna bangunan yaitu hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri,
dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat
diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun
Hak guna bangunan atau HGB adalah hak untuk mendirikan
dan mempunyai bangunan atas tanah. Bangunan tersebut bisa berupa
rumah sebagai tempat hunian ataupun kepentingan tempat usaha
seperti rumah toko atau perkantoran, pusat olah raga, bangunan
tempat kegiatan pariwisata serta bangunan-bangunan lainnya. Objek
tanah yang dapat diberikan HGB dapat berupa: tanah negara, tanah
Hak Pengelolaan, dan tanah Hak Milik. Pasal 21 PP No. 40 Tahun
1996 menyatakan bahwa tanah yang dapat diberikan dengan Hak
Guna Bangunan adalah :
(a) tanah negara;
(b) tanah Hak Pengelolaan; dan
104
(c) tanah Hak Milik. Deskripsi yang lebih rinci mengenai
objek HGB ini akan diuraikan pada bagian Objek HGB.
Jangka waktu HGB maksimal adalah 30 tahun, sehingga kalau
dalam jangka waktu tersebut belum digunakan untuk mempunyai
atau mendirikan bangunan, maka HGB tersebut seyogianya tidak
dapat diperpanjang. Pasal 35 ayat (2) UUPA menyatakan: “Atas
permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta
keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat
1” dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. ‘Dapat
diperpanjang’ atau ‘dapat diperbaharui’ berarti bahwa perpanjangan
atau pembaruan HGB hanya dapat dilakukan jika dipenuhi berbagai
persyaratan perpanjangan atau pembaruan.
Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan
atas tanah yang bukan miliknya sendiri,dengan jangka waktu paling
lama 30 tahun (Pasal 35 ayat 1 UUPA)
2. Asal Tanah Hak Guna Bangunan
a) Pasal 37 UUPA menegaskan hak guna bangunan terjadi pada
tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik
orang lain
b) Pasal 21 PP No.40 tahun 1996 menegaskan tanah yang
dapat diberikan dengan hak guna bangunan adalah tanah
Negara, tanah hak pengelolaan atau tanah hak milik.
3. Subjek Hak Guna Bangunan
Menurut Pasal 36 UUPA jo Pasal 21 PP No. 40 tahun 1996:
105
a) warga Negara Indonesia
b) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia (badan hukum Indonesia)
4. Terjadinya Hak Guna Bangunan
a) Hak Guna Bangunan Atas Tanah Negara
Hak guna bangunan ini terjadi dengan keputusan pemberian
hak yang diterbitkan oleh BPN berdasarkan pasal 4, pasal 9
dan pasal 14 PERMEN Agraria / kepala BPN No.3 tahun
1999 dan prosedur terjadinya HGB ini diatur dalam Pasal 32
sampai dengan Pasal 48 Permen agrarian /Kepala BPN No.9
tahun 1999
b) Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Pengelolaan
Hak guna bangunan ini terjadi dengan keputusan pemberian
hak usul pemegang hak pengelolaan yang diterbitkan oleh
BPN berdasarkan pasal 4, PERMEN Agraria / kepala BPN
No.3 tahun 1999 dan prosedur terjadinya HGB ini diatur
dalam Permen agrarian /Kepala BPN No.9 tahun 1999
c) Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik
Hak guna bangunan ini terjadi dengan pemberian oleh
pemegang hak milik dengan akta yang dibuat oleh PPAT.
5. Jangka Waktu Hak Gunan Bangunan
a) Hak Gunan Bangunan Atas Tanah Negara
Hak guna bangunan ini berjangka waktu untuk pertama kali
30 tahun dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama
106
20 tahun dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling
lama 30 tahun
b) Hak Gunan Bangunan Atas Tanah Hak Pengelolaa
Hak guna bangunan ini berjangka waktu untuk pertama kali
30 tahun dapat diperpanjanguntuk jangka waktu paling lama
20 tahun dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling
lama 30 tahun
c) Hak Gunan Bangunan ATAS Tanah Hak Milik
Hak guna bangunan ini berjangka waktu paling lama 30
tahun, tidak dapat diperpanjang jangka waktu. Namun atas
kesepakatan antara pemilik tanah dengan pemegang hak
guna bangunan dapat diperbaharui dengan pemberian hak
guna bangunan yang baru dengan akta yang dibuat PPAT
dan wajib didaftarkan pada Kantor pertanahan kabupaten
/kota setempat
6. Kewajiban Pemegang Hak Guna Bangunan
Hal ini dijelaskan dalam Pasal 30 dan Pasal 31 PP No 40 Tahun
1996, yaitu:
a) membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara
pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian
hakny
b) menggunakan tanah sesuai dengan dengan peruntukkannya
dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan
perjanjian pemberiannya
107
c) memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada
diatasnya serta menjaga lingkungan hidup
d) menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan hak guna
bangunan kepada Negara, pemegang hak pengelolaan atau
pemegang hak milik sesudah hak guna bangunan dihapus
e) menyerah kan hak guna bangunan yang telah dihapus kepada
kepala kantor pertanahan
f) membagi jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi
pekarangan atau bidang tanah yang terkurung oleh tanah hak
guna bangunan tersebut
7. Hak Pemegang Hak Guna Bangunan
a) menguasai dan mempergunakan tanah selama waktu tertentu
b) mendirikan dan mempunyai bangunan untuk keperluan
pribadi atau usahanya
c) mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain
d) membebani dengan hak tanggungan
8. Hapusnya Hak Gunan Bangunan
Hal ini disebabkan oleh:
a) jangka waktunya berakhir
b) dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir kerena suatu
syarat tidak dipenuhi
c) dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya
berakhir
d) dicabut untuk kepentingan umum
108
e) ditelantarkan
f) tanahnya musnah
g) ketentuan dalam pasal 36 ayat 2
Faktor-faktor Penyebab Hapusnya Hak Gunan Bangunan adalah:
a) berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam keputusan
pemberian atau perpanjangan atau dalam perjanjian
pemberiannya
b) dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak
pengelolaan atau pemegang hak milik sebelum jangka
waktunya berakhir,
c) dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum
jangka waktunya berakhir
d) hak guna bangunannya dicabut
e) ditelantarkan
f) tanahnya musnah
g) pemegang hak guna bangunan tidak memenuhi syarat
sebagai pemegang hak guna bangunan. Hal ini tidak dipenuhi
karena:
1) berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam
keputusan pemberian atau perpanjangan atau dalam
perjanjian pemberiannya
109
2) dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak
pengelolaan atau pemegang hak milik sebelum jangka
waktunya berakhir,
3) dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya
sebelum jangka waktunya berakhir
4) hak guna bangunannya dicabut
5) ditelantarkan
6) tanahnya musnah
7) pemegang hak guna bangunan tidak memenuhi syarat
sebagai pemegang hak guna bangunan
9. Akibat Hapusnya Hak Gunan Bangunan
a) hapusnya hak guna bangunan atas tanah Negara
mengakibatkan tanah menjadi tanah Negara
b) hapusnya hak guna bangunan atas tanah hak pengelolaan
mengakibatkan tanahnya kembali kepada pemegang hak
pengelolaan
c) hapusnya hak guna bangunan atas tanah hak milik
mengakibatkan tanahnya kembali kedalam penguasaan
pemilik tanah
10. Konsekuensi Pemegang Hak Gunan Bangunan atas Hapusnya
HGB
a) apabila hak guna bangunan hapus dan tidak dapat
diperpanjang atau diperbaharui, bekas pemegang hak wajib
110
membongkar bangunan-bangunan dan benda-benda yang ada
diatasnya dan menyerahkan tanahnya kepada negara dalam
keadaan kosong selambat-lambatnya dalam waktu satu
tahun sejak hapusnya hak guna bangunan
b) apabila bangunan, tanaman, dan benda-benda tersebut diatas
diperlukan, maka kepada pemegang baik pemegang hak guna
bangunan diberikan ganti rugi yang bentuk dan jumlahnya
diatur lebih lanjut dengan keputusan presiden
c) pembongkaran bangunan dan benda-benda diatas tanah hak
guna usaha dilaksanakan atas biaya bekas pemegang hak
guna bangunan
d) jika bekas pemegang hak guna bangunan lalai dalam
memenuhi kewajiban tersebut , maka bangunan dan benda-
benda yang ada diatas tanah bekas hak guna bangunan
dibongkar oleh pemerintah atas biaya pemegang hak guna
bangunan
e) apabila hak guna bangunan atas tanah hak pengelolaan atau
atas tanah hak milik hapus , maka bekas pemegang hak guna
bangunan wajib menyerahkan tanahnya kepada pemegang
hak pengelolaan atau pemegang hak milik dan memenuhi
ketentuan yang sudah disepakati dalam perjanjian
penggunaan tanah hak pengelolaan atau perjanjian hak guna
bangunan atas tanah hak milik
111
d. Hak Pakai
1. Pengertian
Hak pakai adalah hak untuk memanfaatkan, dan/atau
mengumpulkan hasil dari tanah yang secara langsung dikontrol
oleh negara atau tanah yang dimiliki oleh individu lain yang
memberi pemangku hak dengan wewenang dan kewajiban
sebagaimana dijabarkan didalam perjanjian pemberian hak. 66Suatu
hak pakai dapat diberikan untuk jangka waktu tertentu, atau selama
tanah dipakai untuk suatu tujuan tertentu, dengan gratis, atau untuk
bayaran tertentu, atau dengan imbalan pelayanan tertentu. Selain
diberikan kepada warga negara Indonesia, hak pakai juga dapat
diberikan kepada warga negara asing yang tinggal di Indonesia.
Dalam kaitannya dengan tanah yang langsung dikontrol oleh
negara, suatu hak pakai hanya dapat dipindahkan kepada pihak lain
jika mendapatkan ijin dari pejabat yang berwenang. Ketentuan hak
pakai disebutkan dalam Pasal 16 ayat 1 huruf d UUPA secara
khusus diatur dalam pasal 41 sampai dengan pasal 43 UUPA.
Hak pakai menurut pasal 41 ayat 1 UUPA adalah hak untuk
menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi
wewenang dan kewajiban yangditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau
dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian
66 Jimmy Joses Sembiring, Op.cit, hlm 17
112
sewa menyewa atau perjanjian pengolaha tanah, segala sesuatu asal
tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA.
2. Subyek Hak Pakai
a. Warga Negara Indonesia
b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia
c. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia
d. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia
Sedankan menurut Pasal 39 PP Nomor 40 Tahun 1996, yaitu
a. warga Negara Indonesia
b. badan hukum yang didrikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia
c. Departemen, lembaga pemerintah Non Departemen dan
pemerintah daerah
d. Badan-badan keagaman dan social
e. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia
f. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia
g. Perwakilan Negara asing dan perwakilan badan Internasional
3. Asal Tanah Hak Pakai
Menurut pasal 41 ayat 1 UUPA menyebutkan bahwa asal tanah hak pakai
adalah tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang
lain .Menurut pasal 41 PP No. 40 tahun 1996 menyebutkan tanah yang
dapat diberikan dengan hak pakai adalah tanah Negara, tanah hak
pengelolaan atau tanah hak milik.
113
4. Terjadinya Hak pakai
a. Hak pakai atas tanah Negara
Hak pakai ini diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh
Badan Pertanahan Nasional. Hak pakai ini terjadi sejak keputusan
pemberian hak pakai didaftarkan kepada kepala Kantor
pertanahan Kabupaten/kota setempat untuk dicatat dalam buku
tanah dan diterbitkan sertifikat sebagai tanda bukti
b. Hak pakai atas tanah hak pengelolaan
Hak pakai ini diberikan dengan keputusan pemberian hak pakai
oleh BPN berdasarkan usul pemegang hak pakai. Hak pakai ini
terjadi sejak keputusan pemberian hak pakai didaftarkan kepada
kepala Kantor pertanahan Kabupaten/kota setempat untuk dicatat
dalam buku tanah dan diterbitkan sertifikat sebagai tanda bukti
c. Hak pakai atas tanah hak milik
Hak pakai ini terjadi dengan pemberian tanah oleh pemilik tanah
dengan akta yang dibuat PPAT. Akta PPAT ini wajib didaftarkan
ke kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatatkan
dalam buku tanah.
5. Jangka Waktu Hak Pakai
Pasal 41 ayat 2 UUPA tidak menentukan secara tegas berapa lama
jangka waktu hak pakai. Pasal ini hanya menentukan bahwa hak
114
pakai dapat diberikan selama jangka waktu tertentu atau selama
tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu
Dalam PP 40 tahun 1996 jangka waktu hak pakai diatur dalam pasal
45 sampai pasal 49:
a. Hak pakai atas tanah Negara
Hak pakai ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama
25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama
20 dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 25
tahun
b. Hak pakai atas tanah pengelolan
Hak pakai ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama
25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama
20 dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 25
tahun
c. Hak pakai atas tanah hak milik
Hak pakai ini diberikan untuk jangka waktu paling lama 25
tahun dan tidak dapat diperpanjang lagi.
6. Kewajiban Pemegang Hak Pakai:
a) membayar uang pemasukan Negara yang jumlah dan cara
pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian
haknya, perjanjian penggunaan tanah hak pengelolaan atau
dalam perjanjian pemberian hak pakai atas tanah hak milik
115
b) menggunakan tanah sesuai dengn peruntukannya dan
persyaratan sebagaimana diterapkan dalam keputusan
pemberiannya, atau perjanjian pemberian hak pakai atas tanah
hak milik
c) memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada
diatasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup
d) Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan hak pakai
kepada Negara,pemegang hak pengelolaan atau pemilik tanah
sesudah hak pakai tersebut hapus
e) menyerahkan sertifikat hak pakai yang telah hapus kepada
kepala kantor pertanahan kabupaten/kota setempat
f) memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain
bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung oleh tanah
hak pakai
7. Hak Pemegang Hak Pakai
a) menguasai dan mempergunakan tanah selama waktu tertentu
untuk keperluan pribadi atau usahanya
b) memindahkan hak pakai kepada pihak lain
c) membebaninya dengan hak tanggungan
d) menguasai dan mempergunakan tanah untuk jangka waktu
yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk
keperluan tertentu
8. Hapusnya Hak Pakai:
116
a) berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam
keputusan pemberian atau perpanjangan atau dalam perjanjian
pemberiannya
b) dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak
pengelolaan atau pemilik tanah sebelum jangka waktu
berakhir
c) dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum
jangka waktu berakhir
d) hak pakainya dicabut
e) ditelantarkan
Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak
pengelolaan atau pemilik tanah sebelum jangka waktu berakhir,
karena:
a) tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak pakai
dan atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan dalam hak pakai
b) idak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban
yang tertuang dalam perjanjian pemberian hak pakai antara
pemegang hak pakai dengan pemilik tanah atau perjanjian
penggunaan hak pengelolaan
c) putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap
Konsekuensi hapusnya pemegang hak pakai menurut pasal 57 PP
No. 40 tahun 1996:
117
a) apabila hak pakai atas tanah Negara hapus dan tidak
diperpanjang dan diperbaharui maka bekas pemegang hak
pakai wajib membongkar bangunan dan benda benda yang
ada diatasnya dan menyerahkan tanahnya kepada Negara
dalam keadaan kosong selambat lambatnya dalam waktu 1
tahun sejak hapusnya hak pakai
b) dalam hal bangunan dan benda-benda tersebut masih
diperlukan kepada bekas pemegang hak pakai diberikan ganti
rugi
c) jika bekas pemegang hak pakai lalai dalam memenuhi
kewajiban membongkar hak pakai, maka bangunan dan
benda-benda yang ada diatasnya dibongkar oleh pemerintah
atas biaya pemegang hak pakai
e. Hak Milik atas Satuan Bangunan Bertingkat
Hak milik atas satuan bangunan bertingkat, adalah hak milik
atas suatu bangunan tertentu dari suatu bangunan bertingkat yang
tujuan peruntukan utamanya digunakan secara terpisah untuk
keperluan tertentu dan masing-masing mempunyai sarana
penghubung ke jalan umum yang meliputi antara lain suatu bagian
tertentu atas suatu bidang tanah bersama. Hak milik atas satuan
bangunan bertingkat terdiri dari hak milik atas satuan rumah susun
dan hak milik atas bangunan bertingkat lainnya.
f. Hak Sewa
118
1. Pengertian
Hak sewa, suatu badan usaha atau individu memiliki hak sewa
atas tanah berhak memanfaatkan tanah yang dimiliki oleh pihak
lain untuk pemanfaatan bangunan dengan membayar sejumlah
uang sewa kepada pemiliknya. Pembayaran uang sewa ini dapat
dilakukan sekaligus atau secara bertahap, baik sebelum maupun
setelah pemanfaat lahan tersebut. 67Hak sewa atas tanah dapat
dimiliki oleh warga negara Indonesia, warga negara asing, badan
usaha termasuk badan usaha asing. Hak sewa tidak berlaku diatas
tanah negara. Ketentuan disebutkan dalam pasal 16 ayat 1 huruf e
UUPA, secara khusus diatur dalam pasal 44 dan pasal 45 UUPA.
Menurut pasal 44 ayat 1 UUPA:
Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas
tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang
lain untuk keperluan bangunan dengan membayar kepada
pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.
3. Objek Hak Sewa
67 Jayadi Setiabudi, op cit, hlm 43
119
Hak atas tanah yang dapat disewakan kepada pihak lain adalah
hak milik dan objek yang disewakan oleh pemilik tanah kepada
pihak lain(pemegang hak sewa bangunan) adalah tanah bukan
bangunan
4. Pemegang Hak Sewa Bangunan
a) warga negara Indonesia
b) orang asing yang berkedudukan di Indonesia
c) badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
bekedudukan di Indonesia (badan hukum Indonesia)
d) badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia
5. Jangka Waktu Hak Sewa
UUPA tidak mengatur secara tegas jangka waktu hak sewa untuk
bangunan, jangka waktu diserahkan kepada kesepakatan antara
pemilik tanah dengan pemegang hak sewa untuk bangunan
6. Hapusnya Hak sewa untuk bangunan
a) jangka waktunya berakhir
b) dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir dikarenakan
pemegang hak sewa untuk bangunan tidak memenuhi syarat
sebagai pemegang hak sewa untuk bangunan
c) dilepaskan oleh pemegang hak sewa untuk bangunan
sebelum jangka waktunya berakhir
d) hak milik atas tanah dicabut untuk kepentingan umum
e) tanahnya musnah
120
g. Hak Untuk Membuka Tanah dan Hak Untuk Memungut Hasil Hutan
Hak untuk membuka tanah dan hak untuk memungut hasil
hutan, hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan hanya
bisa didapatkan oleh warga negara Indonesia dan diatur oleh
Peraturan Pemerintah. Menggunakan suatu hak memungut hasil
hutan secara hukum tidaklah serta merta berarti mendapatkan hak
milik (right of ownership) atas tanah yang bersangkutan. Hak untuk
membuka lahan dan memungut hasil hutan merupakan hak atas
tanah yang diatur didalam hukum adat.
h. Hak Tanggungan
Hak tanggungan, hak tanggungan tercantum dalam Undang-
Undang No. 4 Tahun 1996 sehubungan dengan kepastian hak atas
tanah dan objek yang berkaitan dengan tanah (Security Title on
Land and Land-Related Objects) dalam kasus hipotek.
Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak tersebut diatas yang akan
ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara
sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53 UUPA ;
a. Hak gadai
1. Pengertian
Hak gadai (gadai tanah) adalah hubungan antara seseorang
dengan tanah kepunyaan orang lain,yang telah menerima
121
uang gadai daripadanya. Selama uang gadai belum
dikembalikan, tanah tersebut dikuasai oleh pemegang gadai.
Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi pemegang gadai.
Pengembalian uang gadai atau lazim disebut penebusan
tergantung kepada kemauan atau kemampuan pemilik tanah
yang menggadaikan.
2. Pihak-pihak
a) pemilik tanah pertanian disebut pemberi gadai
b) pihak yang menyerahkan uang kepada pemberi gadai
adalah penerima (pemegang) gadai
3. Perbedaan Hak Gadai dengan Gadai Hukum Perdata
Hak gadai tanah terdapat satu perbuatan hukum yang berupa
perjanjian penggarapan tanah pertanian oleh orang yang
memberikan uang gadai, sedangkan gadai menurut hukum
perdata terdapat dua perbuatan hukum yang berupa perjanjian
pinjam meminjam uang sebagai perjanjian pokok dan
penyerahan benda bergerak sebagai jaminan sebagai
perjanjian ikutan.
4. Jangka Waktu
a) hak gadai (gadai tanah) yang lamanya tidak ditentukan
b) hak gadai (gadai tanah) yang lamanya ditentukan
5. Hak Gadai Tanah yang lamannya tidak ditentukan
Dalam hak gadai (gadai tanah)tidak ditentukan lamanya, maka
pemilik tanah pertanian tidak boleh melakukan penebusan
122
sewaktu-waktu. Dalam hak gadai (gadai tanah)ini. Pemilik
tanah baru dapat menebus tanahnya kalau jangka waktu yang
diperjanjikan dalam hak gadai (gadai tanah ) berakhir.
5. Ciri-ciri Hak Gadai Menurut Hukum Adat
a) hak menebus tidak mungkin kadaluwarsa
b) pemegang gadai selalu berhak untuk mengulanggadaikan
tanahnya
c) pemegang gadai tidak boleh menuntut supaya tanahnya
segera ditebus
d) anah yang digadaikan tidak bisa secara otomatis menjadi
milik pemegang gadai bila tidak ditebus
6. Sifat dan Ciri-ciri Hak Gadai
a) hak gadai (gadai tanah) jangka waktunya terbatas artinya
pada suatu waktu akan hapus
7. hak gadai (gadai tanah ) tidak berakhir dengan meninggalnya
pemegang gadai
8. Hak gadai (gadai tanah) dapat dibebani dengan hak-hak tanah
yang lain
9. hak gadai (gadai tanah) dengan persetujuan pemilik tanahnya
dapat dialihkan kepada pihak ketiga, dalam arti bahwa
hubungan gadai yang semula menjadi putus dan digantikan
dengan hubungan gadai yang baru antara pemilik dengan
pihak ketiga (memindahkan gadai atau doorverpanden)
123
10. hak gadai (gadai tanah) tidak menjadi hapus jika hak atas
tanahnya dialihkan kepada pihak lain
11. selama hak gadai (gadai tanah)nya berlangsung makaatas
persetujuan kedua belah pihak uang gadainya dapat ditambah
(mendalami gadai)
12. sebagai lembaga,hak gadai (gadai tanah) pada waktunya akan
hapus
b. Hak usaha bagi hasil
1. Pengertian
Hak usaha bagi hasil adalah hak seseorang atau badan hukum
(yang disebut penggarap) untuk menyelenggarakan usaha
pertanian di atas tanah kepunyaan pihak lain (yang disebut
pemilik) dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara
kedua belah pihak menurut imbangan yang telah disepakati
2. Mekanisme bagi hasil
Perjanjian bagi hasil harus dibuat secara tertulis di muka
Kepala desa, disaksikan oleh minimal dua orang saksi, dan
disahkan oleh camat setempat serta diumumkan dalam
kerapatan desa yang bersangkutan
3. Tujuan bagi Hasil
a. Agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarap
dilakukan atas dasar yang adil;
124
b. Dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
dari pemilik dan penggarap agar terjamin pula kedudukan
hukum yang layak bagi penggarap;
c. Dengan terselenggaranya apa yang disebut pada a dan b
diatas, maka bertambahlah kegembiraan bekerja bagi para
petani penggarap, hal mana akan berpengaruh baik pada
caranya memelihara kesuburan dan mengusahakan
tanahnya.
4. Sifat dan ciri-ciri bagi hasil
a. Perjanjian bagi hasil jangka waktunya terbatas
b. Perjanjian bagi hasil tidak dapat dialihkan kepada pihak
lain tanpa izin pemilik tanahnya
c. Perjanjian bagi hasil tidak hapus dengan berpindahnya hak
milik atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain
d. Perjanjian bagi hasil tidak hapus jika penggarap
meninggal dunia, tetapi hak itu hapus jika pemilik
tanahnya meninggal dunia
e. Perjanjian bagi hasil didaftar menurut peraturan khusus
(diKantor Kepala desa)
f. Sebagai lembaga perjanjian bagi hasil ini pada waktunya
akan dihapus
5. Jangka waktu bagi hasil
Jangka waktu hak usaha bagi hasil hanya berlaku satu
(1)tahun dan dapat diperpanjang, akan tetapi perpanjangan
125
jangka waktunya tergantung pada kesediaan pemilik tanah,
sehingga bagi penggarap tidak ada jaminan untuk dapat
menggarap dalam waktu yang layak
Selain itu menurut UU Nomor 2 Tahun 1960:
a) Lamanya jangka waktu perjanjian bagi hasil untuk
tanah sawah sekurang-kurangnya 3 tahun dan untuk
tanah kering sekurang-kurangnya 5 tahun
b) Perjanjian tidak terputus karena pemindahan hak
milik atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain
c) Jika penggarap meninggal dunia, maka perjanjian
bagi hasil itu dilanjutkan oleh ahli warisnya dengan
hak dan kewajiban yang sama
d) Pemutusan perjanjian bagi hasil sebelum berakhirnya
jangka waktu perjanjian hanya dimungkinkan apabila
jika ada persetujuan kedua belah pihak yang
bersangkutan dan hal itu dilaporkan kepada kepala
desa
6. Hak dan Kewajiban Pemilik Tanah
a) Hak pemilik tanah
b) Berhak atas bagian hasil tanah yang ditetapkan atas
dasar kesepakatan oelh kedua belah pihak dan berhak
menuntut pemutusan hubungan bagi hasil jika ternyata
kepentingannya dirugikan penggarap
c) Kewajiban pemilik tanah
126
d) Menyerahkan tanah garapan kepada penggarap dan
membayar pajak atas tanah yang garapan yang
bersangkutan
7. Hak dan Kewajiban Penggarap tanah
a) Selama perjanjian bagi hasil berlangsung berhak untuk
mengusahakan tanah yang bersangkutan dan menerima
bagian dari hasil tanah itu sesuai dengan imbangan yang
ditetapkan atas dasar kesepakatan oleh kedua belah pihak
b) Kewajiban penggarap
c) Mengusahakan tanah tersebut dengan baik, menyerahkan
bagian hasil tanah yang menjadi hak pemilik tanah,
memenuhi beban yang menjadi tanggungannya dan
menyerahkan kembali tanah garapannya kepada pemilik
tanah dalam keadaan baik setelah berakhirnya jangka
waktu perjanjian bagi hasil
8. Hapusnya Hak Usaha Bagi Hasil
a) jangka waktunya berakhir
b) atas persetujuan kedua belah pihak , perjanjian bagi hasil
diakhiri
c) pemilik tanahnya meninggal dunia
d) adanya pelanggaran oleh penggarap terhadap larangan
dalam perjanjian bagi hasil
e) tanahnya musnah
127
c. Hak menumpang
1. Pengertian
UUPA tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud hak
menumpang
Menurut Boedi harsono, Hak menumpang adalah hak yang
memberi wewenang kepada seseorang untuk mendirikan dan
menempati rumah diatas tanah pekarangan milik orang lain.
2. Cara terjadi
Hak menumpang biasanya terjadi atas dasar kepercayaan oleh
pemilik tanah kepada orang lain yang belum mempunyai
rumah sebagai tempat tinggal dalam bentuk tidak tertulis,
tidak ada saksi dan tidak diketahui oleh perangkat
desa/kelurahan,sehingga jauh dari kepastian hukum dan
perlindungan hukum bagi kedua belah pihak.
3. Sifat dan Ciri-ciri
a) tidak mempunyai jangka waktu yang pasti karena
sewaktu-waktu dapat dihentikan
b) hubungan hukumnya lemah yaitu sewaktu-waktu dap at
diputuskan oleh pemilik tanah jika ia memerlukan tanah
tersebutpemegang hak menumpang tidak wajib
membayar sesuatu (uang sewa)kepada pemilik tanah
c) tidak wajib didaftarkan ke kantor pertanahan
128
d) bersifat turun temurun artinya dapat dilanjutkan oleh ahli
warisnya
e) Tidak dapat dialihkan kepada pihak lain yang bukan ahli
warisnya
d. Hak sewa tanah pertanian
1. Pengertian
UUPA tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud
dengan hak sewa tanah pertanian. Hak sewa tanah
pertanian adalah suatu perbuatan hukum dalam bentuk
penyerahan penguasaan tanah pertanian oleh pemilik tanah
kepada pihak lain (penyewa)dalamjangka waktu tertentu
dan sejumlah uang sebagai sewa yang ditetapkan atas dasar
kesepakatan kedua belah pihak
2. Cara Terjadinya
Hak sewa tanah pertanian bisa terjadi dalam bentuk
perjanjian yang tidak tertulis atau tertulis yang memuat
unsure-unsur para pihak, objek, uang sewa, jangka waktu
hak dan kewajiban bagi pemilik tanah pertanian dan
penyewa.
3. Hapusnya hak sewa
a) jangka waktunya berakhir
129
b) hak sewanya dialihkan kepada pihak lain tanpa
persetujuan dari pemilik tanah kecuali hal itu
diperkenankan oleh pemilik tanah
c) hak sewanya dilepaskan secara sukarela oleh penyewa
d) hak atas tanah dilepaskan secara oleh penyewa
e) hak atas tanah tersebut dicabut untuk kepentingan umum
f) tanahnya musnah
Sumber:
Santoso, Urip, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah. (Jakarta:
Penada Media, 2005).
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Jakarta: Djambatan,
2008)
Soal-soal:
1. Jelaskan pengertian Pengertian Hak Milik berdasarkan ketentuan Pasal
20 ayat (1) UUPA.
2. Bagaimana mekanisme terjadinya Hak Milik menurut Hukum Adat
3. Apa sebab hapusnya Hak Milik?
4. Apas syarat hapusnya HGB?
5. Faktor-faktor pengalihan HGU?
131
BAB VIII
PENDAFTARAN TANAH
1. Pengertian
Tanah merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan
manusia. Baik pada masa zaman batu hingga era globalisasi dewasa ini. Nilai
ekonomis serta filosofis yang berbau teologis membuat tanah menjadi begitu
penting. Di mulai dari sekedar tempat tinggal, pelataran hingga kegunaan
resepsi acara adatpun seluruhunya memerlukan benda tidak bergerak yang
disebut tanah. Betapa kompleksnya values tanah membuat sebagian besar
masyarakat rela memberikan nyawanya demi hak milik atas tanah.68
Tanah sebagai aspek yang sangat penting, maka perlu dikelola dengan
baik dan benar sesuai dengan keadilan. Hal ini untuk menjaga dan melindungi
tanah sebagai bagian dari masyarakat. Dalam rangka untuk menjamin
pelaksanaan pengelolaan pertanahan nasional agar tercipta pengelolaan yang
adil, maka dibentuklah lembaga khusus yang berweanang menangani masalah
perihal pertanahan, yaitu Badan Pertanahan Nasional Republik (BPN RI).
Kini, BPN menjadi pusat dan sentral dalam pengelolaan segala hal yang
berkaitan dengan bidang agraria atau pertanahan.
Salah satu tugas yang paling penting adalah BPN melalui
kebijakannya bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pendaftaran tanah.
68 Bernard Limbong, Hukum Agraria Nasional: Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah,(Jakarta : Margaretha Pustaka, 2013) hlm 1
132
Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah, menjelaskan bahwa tujuan pendafaftaran tanah adalah:
a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum
kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah
susun, dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah
dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang
bersangkutan
b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat
memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan
perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-
satuan rumah susun yang sudah terdaftar.
c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Proses yang peling signifikan adalah pendaftaran tanah. Pelaksanaan
pendaftaran tanah membuat para pihak yang bersangkutan dapat dengan
mudah mengetahui status atau kedudukan hukum daripada tanah-tanah
tertentu yang dihadapinya akan luas dan batas-batas, siapa pemiliknya dan
beban-beban apa yang ada diatasnya.69 Dengan demikian akan
mendapatkan kepastian hak kepemilikan tanah dan karena dengan
pendaftaran tanah akan diterbitkan alat bukti hak yang disebut dengan
sertifikat hal atas tanah.
69 Eddy Ruchiyat, Sistem Pendaftaran Tanah Sebelum dan Sesudah Berlakuya UUPA, (Bandung :Armicho, 1989). hlm.37.
133
Pendaftaran hak atas tanah merupakan keharusan pasca melakukan
transaksi jual beli atas tanah, baik itu transaksi jual beli, penukaran,
penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan
perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak
kepada pihak lain. Dalam rangka untuk mendapatkan kepastian hak
kepemilikan tanah dan karena dengan pendaftaran tanah akan diterbitkan
alat bukti hak yang disebut dengan sertifikat hak atas tanah.
Pendaftaran tanah selain kewajiban pemerintah juga merupakan
kewajiban bagi yang mempunyai hak-hak atas tanah, dengan maksud agar
mereka mendapat kepastian hukum tentang haknya itu dan memang
kewjiban itu perlu ditegaskan, kalau tidak, mungkin yang mempunyai hak
tersebut tidak mengetahui kewajibannya atau melalaikan kewajiban itu,
padahal secara keseluruhan usaha pendaftaran tanah yang dibebankan
kepada pemerintah dan sudah mengeluarkan tenaga dan biaya yang banyak
itu akan menjadi sia-sia tanpa adanya dukungan dari orang-orang yang
mempunyai hak tersebut diatas.70
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria yang diundangkan pada tanggal 24 September 1960,
yang dikenal UUPA, merupakan pelaksanaan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Sebelum berlakunya UUPA, hanya bagi tanah yang tunduk pada hukum
Barat misal Hak Eigendom, Hak Erfpacht, Hak Opstal, dilakukan
pendaftaran tanah yang bertujuan untuk memberikan jaminan kepastian
hukum dan kepadanya diberikan tanda bukti dengan suatu akta yang
70 Djoko Prakoso dan Budiman Adi Purwanto, Eksistensi PRONA Dalam PelaksanaanMekanisme Fungsi Agraria,(Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985), hlm 14.
134
dibuat oleh Pejabat Balik Nama. Tanah-tanah hak pribadi tidak terjadi oleh
kegiatan pendaftaran tanah.
Tanah yang sudah didaftarkan harus memiliki bukti otentik yang
tentunya dalam bentuk tertulis. Bukti otentik tersebut dibuat dalam bentuk
sertipikat atas tanah yang didalamnya terdiri dari Salinan Buku Tanah dan
Surat Ukur. Penerbitan sertipikat atas tanah secara yuridis berarti negara
mengakui kepemilikan atas tanah terhadap mereka yang namanya terdaftar
dalam sertipikat tanah tersebut. Pihak lain tidak dapat mengganggu gugat
kepemilikan atas tanah tersebut.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 Pasal 1 yang dimaksud
pendaftaran tanah adalah rangakaian kegiatan yang dilakukan oleh
Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan, dan teratur meliputi
pengumpulan, pengolahan, pembukuan, penyajian, serta pemeliharaan data
fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, bidang-bidang tanah
dan satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya
bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas
satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
pendaftaran tanah, tujuan pendaftaran tanah adalah :
d. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum
kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah
susun, dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat
membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan
135
e. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat
memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan
hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah
susun yang sudah terdaftar.
f. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Pelaksanaan pendaftaran tanah membuat para pihak yang
bersangkutan dapat dengan mudah mengetahui status atau kedudukan
hukum daripada tanah-tanah tertentu yang dihadapinya akan luas dan
batas-batas, siapa pemiliknya dan beban-beban apa yang ada diatasnya.71
Realisasi untuk mewujudkan pendaftaran tanah, sebagaimana
dimaksud Pasal 19 UUPA awalnya dikeluarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1961 kemudian diubah dengan ditetapkan dan
diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1961, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 mendapat pengaturan
secara lengkap dan rinci dalam Peraturan Menteri Negara Agraria atau
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 sebagai
ketentuan pelaksanaannya.72
71 Eddy Ruchiyat, Sistem Pendaftaran Tanah Sebelum dan Sesudah Berlakuya UUPA,(Bandung : Armicho, 1989). hlm.37.
72 M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Hukum Agraria, (Jakarta :Sinar Grafika, 2003), hlm. 82.
136
Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang dimaksud dengan
pendaftaran tanah adalah :
“Rangkaian kegiatan yang harus dilakukan oleh Pemerintah
secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur meliputi
pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta
pemeliharaan data serta fisik dan yuridis dalam bentuk peta dan
daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah
susun, termasuk pemberian sertipikat sebagai surat tanda bukti
haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak
milik atas satuan rumah rumah susun serta hak-hak tertentu yang
membebaninya.”
Dalam hukum adat sendiri sebelumnya lembaga pendaftaran tanah
tidak dikenal. Keberadaan lembaga pendaftaran tanah adalah dalam rangka
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat yang sudah berubah situasi
dan kebutuhannya. Hak-hak atas tanah dibukukan dalam buku tanah dan
diterbitkan sebagai tanda bukti pemilik tanahnya. Pemindahan hak, seperti
jual beli, tukar menukar, dan hibah yang telah selesai dilakukan, diikuti
juga dengan pendaftaran di Kantor Pertanahan. Hal tersebut dimaksudkan
untuk memberikan alat bukti yang lebih kuat dan lebih luas daya
pembuktiannya daripada akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), yang
telah membuktikan terjadinya pemindahan hak yang dilakukan.
Lembaga pendaftaran ini tidak dikenal dalam hukum adat karena
semula memang tidak diperlukan dalam lingkungan pedesaan yang
137
lingkup teritorial maupun personalnya terbatas. Dalam lingkungan
pedesaan yang demikian itu para warganya saling mengenal dan
mengetahui siapa yang mempunyai tanah yang mana dan siapa yang
melakukan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai tanah miliknya
yang kenyataannya memang tidak sering terjadi.73
2. Dasar Hukum Pendaftaran Tanah
Undang-undang Pokok Agraria adalah sebuah undang-undang yang
memuat dasar-dasar pokok dibidang agraria yang merupakan landasan
bagi usaha pembaruan Hukum Agraria guna memberikan jaminan
kepastian hukum bagi masyarakat dalam memanfaatkan fungsi tanah dan
hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan akan tanah. Untuk mencapai
tujuan tersebut Undang-Undang Pokok Agraria telah mengatur
pendaftaran tanah dalam Pasal 19 ayat (1) yang berbunyi :
“untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan
pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah”.
Pendaftaran tanah tersebut dalam pasal 19 undang-undang pokok
agrarian ayat (1) meliputi :
1. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah.
2. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.
3. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.
73 Boedi Harsono, Op.Cit. hlm 210
138
Untuk memperoleh kepastian hukum mengenai tanah harus
diketahui dimana letaknya, bagaimana batas-batasnya, beberapa luasnya,
bangunan dan tanaman apa yang ada diatasnya, status tanahnya, siapa
pemegang haknya dan tidak adanya pihak lain. Sebagaimana diketahui
bahwa pendaftaran tanah yang diperintahkan Pasal 19 Undang-Undang
Pokok Agraria adalah untuk menjamin kepastian hak dan kepastian hukum
atau recht cadastre atas tanah. Pasal-pasal lain dalam undang-undang
pokok agrarian yang menentukan tentang pendaftaran tanah, yaitu :
a. Pasal 23 ayat (2) menyatakan bahwa :
“Pendaftaran termasuk dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian
yang kuat mengenai hapusnya Hak milik serta sahnya peralihan dan
pembebanan hak tersebut.”
b. Pasal 32 ayat (2) menyatakan bahwa :
“Pendaftaran termasuk dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian
yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya Hak Guna Usaha,
kecuali dalam hal hak tersebut hapus karena jangka waktunya
berakhir.”
c. Pasal 38 ayat (2) menyatakan bahwa :
“Pendaftaran termasuk dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian
yang kuat mengenai hapusnya Hak Guna Bangunan serta sahnya
peralihan hak tersebut, kecuali dalam hal hak tersebut hapus karena
jangka waktunya berakhir.”
139
Sedangkan untuk peraturan pelaksanaanya terdapat dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah
dan mendapat pengaturan secara lengkap dan rinci dalam Peraturan
Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3
Tahun 1997, tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah yang selanjutnya disebut
Peraturan Menteri Nomor 3 Tahun 1997.
3. Obyek Pendaftaran Tanah
Berdasarkan hak menguasai dari Negara, maka Negara dalam hal
ini adalah pemerintah dapat memberikan hak-hak atas tanah kepada
seseorang, beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum.
Pemberian hak itu berarti pemberian wewenang untuk mempergunakan
tanah dalam batas-batas yang diatur oleh peraturan perundangan. Dari
uraian diatas dapat diketahui bahwa diberikannya hak-hak atas tanah
tersebut dalam jenis hak yang berlainan, keberadaan hak-hak atas tanah
yang bermacam-macam itu merupakan obyek yang harus didaftar.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 obyek
pendaftaran tanah meliputi :
1. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha,
hak guna bangunan dan hak pakai;
2. Tanah Hak Pengelolaan;
3. Tanah Wakaf;
4. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun;
140
5. Hak Tanggungan;
6. Tanah Negara.
Berbeda dengan obyek pendaftaran tanah yang lain dalam hal tanah
Negara pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah
yang bersangkutan dalam daftar tanah. Untuk tanah yang lain didaftar
dengan membukukannya dalam peta pendaftaran dan buku tanah serta
menerbitkan sertipikat sebagai surat tanda bukti haknya.74
Sumber:
Bernard Limbong, Hukum Agraria Nasional: Himpunan Peraturan-peraturan
Hukum Tanah, (Jakarta : Margaretha Pustaka, 2013)
Eddy Ruchiyat, Sistem Pendaftaran Tanah Sebelum dan Sesudah Berlakuya
UUPA, (Bandung : Armicho, 1989).
Djoko Prakoso dan Budiman Adi Purwanto, Eksistensi PRONA Dalam
Pelaksanaan Mekanisme Fungsi Agraria,(Jakarta : Ghalia Indonesia,
1985).
Eddy Ruchiyat, Sistem Pendaftaran Tanah Sebelum dan Sesudah Berlakuya
UUPA, (Bandung : Armicho, 1989)
M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Hukum Agraria,
(Jakarta : Sinar Grafika, 2003)
74 Ibid. Hlm 479-480