hukum kebanksentralan - bi.go.id · hukum persaingan usaha (tinjauan pada perjanjian yang dilarang)...
TRANSCRIPT
BU
LETIN H
UK
UM
KEB
AN
KSEN
TRA
LAN
Volume 12, N
omor 2, Juli - D
esember 2015
HUKUM KEBANKSENTRALAN
BULETIN ISSN : 1693 - 3265Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
Implikasi Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring
Pengaman Sistem Keuangan terhadap Fungsi Bank Indonesia sebagai Lender Of Last Resort
Kajian Normatif terhadap Perjanjian Nominee Hak atas Tanah di Indonesia
Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang)
Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia
Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Juli - Desember 2015
Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Juli - Desember 2015
Volume 12, Nomor 2, Juli – Desember 2015
BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALANDepartemen Hukum Bank Indonesia
PelindungDeputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia
Penanggung JawabRosalia Suci H., Libraliana Badilangoe, Sukarelawati Permana, Imam Subarkah
Pemimpin RedaksiSukarelawati Permana
Sekretaris RedaksiPulih Widayaningrum
Dewan RedaksiAgus Susanto P., Amsal Chandra Appy, Amy Rachmi Budiati, Bambang Sukardi Putra, Endang R. Budi Astuti,
Hari Sugeng Raharjo, Panji Achmad, Pulih Widayaningrum, Rika S. Dewi, Teddy Yusuf
Redaksi PelaksanaDivisi Legislasi dan Penelitian Hukum, Departemen Hukum, Bank Indonesia
Mitra BestariProf. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S., Prof. Dr. Marsudi Triatmojo, S.H., LL.M., Sri Hariningsih, S.H., M.H.,
Dr. Lastuti Abubakar, S.H., M.H., Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M., Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M., Sri Widiastuti, S.H., LL.M., Chandra Murniadi, S.H., LL.M., Agus Santoso S.H., LL. M, Dr. Dian Ediana Rae, S.H. LL.M, Wahyudi Santoso, S.H. M.Kn,
Iwan Setiawan, S.H., LL.M, Safari Kasiyanto S.H., LL.M
Penanggung Jawab PelaksanaDivisi Legislasi dan Penelitian Hukum, Departemen Hukum, Bank Indonesia
Penanggung Jawab DistribusiDivisi Informasi Hukum dan Manajemen Intern, Departemen Hukum, Bank Indonesia
Buletin Hukum Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Departemen Hukum Bank Indonesia. Isi/materi tulisan dan hasil penelitian dalam Buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia.
Mulai tahun 2015, Buletin Hukum Kebanksentralan terbit secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali. Peminat Buletin ini dapat menghubungi Divisi Informasi Hukum dan Manajemen Intern, Gedung D Lt. 7, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, email: [email protected].
Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah, serta resensi buku berkenaan dengan hukum kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Divisi Legislasi dan Penelitian Hukum, Gedung D Lt. 7, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, email: [email protected]. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, redaksi memberikan uang jasa penulisan.
“Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih menu publikasi, kemudian
pilih sub menu Hukum Kebanksentralan.”
i
Pembaca Buletin Yang Berbahagia, dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa di akhir semester
kedua tahun 2015 ini Redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan
Volume 12 No. 2 Tahun 2015. Dalam Buletin Hukum Kebanksentralan kali ini dimuat 1 (satu) artikel dari penulis internal
Bank Indonesia yaitu Kuwat Wijayanto, S.H., M.H. dengan judul Implikasi Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan terhadap Fungsi Bank Indonesia
sebagai Lender of Last Resort. Selain itu, dimuat pula 3 (tiga) artikel dari penulis eksternal Bank Indonesia yaitu Kajian
Normatif terhadap Perjanjian Nominee Hak atas Tanah di Indonesia, yang ditulis oleh Made Oka Cahyadi Wiguna, S.H.,
M.Kn., Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang) yang ditulis oleh Muhar Junef, S.H., M.H.,
dan Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia, yang ditulis oleh Nuribadah,
S.H., M.H., dan Dr. Yulia, S.H., M.H.
Sebagaimana terbitan Buletin sebelumnya, Buletin kali ini juga akan menyajikan pengkinian informasi mengenai
produk peraturan perundang-undangan Bank Indonesia yang terbit dari bulan Juli sampai dengan Desember 2015,
yang terdiri atas Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia Ekstern, beserta ringkasannya.
Besar harapan kami, informasi yang dimuat dalam Buletin ini akan memperkaya wacana dan kajian dalam rangka
pengembangan ilmu hukum, serta memberikan akses informasi bagi pembaca dalam menelusuri dan mencari regulasi
yang diterbitkan oleh Bank Indonesia.
Selamat membaca.
Jakarta, Desember 2015
Redaksi
DARI MEJA REDAKSI
iii
Halaman
Dari Meja Redaksi................................................................................................................................... i
Daftar Isi................................................................................................................................................. iii
Implikasi Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang
Jaring Pengaman Sistem Keuangan terhadap Fungsi Bank Indonesia sebagai Lender Of Last Resort......... 1 - 13
Kuwat Wijayanto, S.H., M.H.
Kajian Normatif terhadap Perjanjian Nominee Hak atas Tanah di Indonesia ............................................. 15 - 24
Made Oka Cahyadi Wiguna, S.H.,M.Kn
Hukum Persaingan Usaha (Tinjauan pada Perjanjian yang Dilarang)......................................................... 25 - 52
Muhar Junef, S.H., M.H.
Pembatasan Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam Sistem Hukum Agraria Indonesia........................... 53 - 64
Nuribadah, S.H., M.H., dan Dr. Yulia, S.H., M.H.
Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Juli – Desember 2015....................... 65 - 69
Departemen Hukum, Bank Indonesia
Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Juli – Desember 2015................. 71 - 155
Departemen Hukum, Bank Indonesia
BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN
VOLUME 12, NOMOR 2, JULI - DESEMBER 2015
A. Latar Belakang
Dalam keadaan atau situasi segenting atau sedarurat
apapun fungsi-fungsi negara atau kekuasaan negara
tidak boleh absen. Kekuasaan negara harus tetap
tampil untuk melakukan tindakan yang dipandang
perlu guna menanggulangi, mengamankan dan
melindungi rakyat serta kepentingan negara itu
sendiri. Oleh sebab itu menjadi penting suatu negara
mempunyai pengaturan yang bersifat antisipatif atau
membuka ruang bagi suatu pengaturan untuk
menghadapi keadaan tidak normal atau situasi darurat
yang serba mendesak.
Terkait hal tersebut, UUD 1945 telah memberikan
ruang bagi suatu pengaturan dalam menghadapi
kondisi yang tidak normal, yaitu di dalam Pasal 12
yang mengatur bahwa “Presiden menyatakan keadaan
bahaya, syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya
ditetapkan dengan undang-undang”, dan di dalam
Pasal 22 ayat (1) yang mengatur bahwa “Dalam hal
ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak
menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang”.
Dalam rumusan kedua pasal tersebut terdapat dua
terminologi hukum yang digunakan untuk
menggambarkan situasi yang tidak normal, yaitu
“keadaan bahaya” dan “hal ihwal kegentingan yang
memaksa”. Dalam praktek keseharian, kedua istilah
tersebut dapat dianggap memiliki pengertian yang
sama, namun dari sisi hukum dapat dibedakan dan
mengandung konsekuensi yang berbeda. Segala
sesuatu yang “membahayakan” (dalam suatu tatanan
negara) tentu selalu memiliki sifat yang menimbulkan
“kegentingan yang memaksa”, tetapi segala “hal
ihwal kegentingan yang memaksa” tidak selalu
“membahayakan”, sehingga “hal ihwal kegentingan
yang memaksa” pada dasarnya bermakna lebih luas
dari “membahayakan”. Oleh sebab itu penetapan
suatu peraturan pemerintah sebagai penganti
undang-undang sebagaimana dimaksud Pasal 22
ayat (1) UUD 1945 tidak harus didahului oleh suatu
deklarasi keadaan bahaya.1
Pada triwulan ke-empat tahun 2008, dengan
mempertimbangkan kondisi makro ekonomi global
dan domestik, Pemerintah memandang perekonomian
Indonesia memasuki kondisi yang mengkhawatirkan.
Dengan mengacu kepada Pasal 22 UUD 1945, maka
Pemerintah menerbitkan 3 (tiga) Peraturan Pengganti
Undang-Undang (Perpu), yaitu:
1
IMPLIKASI PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 4
TAHUN 2008 TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN TERHADAP FUNGSI BANK INDONESIA
SEBAGAI LENDER OF LAST RESORT
Disusun oleh:
Kuwat Wijayanto, S.H., M.H.
1 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal.206
1. Perpu No. 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang No. 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia. Perpu ini diterbitkan
dilatarbelakangi oleh keterbatasan kepemilikan
surat berharga perbankan sebagai secondary
reserve yang dapat diagunkan kepada Bank
Indonesia dikaitkan dengan peran sebagai Lender
of Last Resort. Untuk itu, Perpu ini mengubah
syarat agunan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek
(FPJP) sebagaimana diatur di dalam Pasal 11
Undang-Undang No. 23 Tahun 1999, yang semula
hanya berupa surat berharga yang bernilai tinggi
dan mudah dijual, menjadi sebagai berikut :
“...surat berharga dan/atau tagihan yang
diterbitkan oleh Pemerintah atau badan hukum
lain yang mempunyai peringkat tinggi berdasarkan
hasil penilaian lembaga pemeringkat yang
kompeten dan sewaktu-waktu dengan mudah
dapat dijual ke pasar untuk dijadikan uang tunai
dan aset kredit kolektibilitas lancar...”.
2. Perpu No. 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No.24 Tahun 2004 tentang
Lembaga Penjamin Simpanan. Perpu ini diterbitkan
mengingat adanya kebutuhan peningkatan
cakupan penjaminan terhadap simpanan nasabah
bank untuk menjaga kepercayaan masyarakat
terhadap perbankan. Dengan Perpu ini, jumlah
simpanan yang dijamin oleh Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS) diubah dari Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah) juta menjadi
Rp2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) untuk
setiap nasabah pada satu bank.
3. Perpu No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman
Sistem Keuangan. Perpu ini diterbitkan untuk
memperjelas Protokol Manajemen Krisis (PMK)
Sistem Keuangan Indonesia, terutama terkait
dengan otoritas yang berkepentingan dan
pengaturan mengenai hak dan kewajiban,
mengingat belum selesainya penyusunan
Rancangan Undang-Undang tentang Jaring
Pengaman Sistem Keuangan. Dalam konsiderans
pertimbangan penerbitan Perpu ini disebutkan
bahwa Perpu dimaksud diterbitkan dalam upaya
menghadapi ancaman krisis keuangan yang
berpotensi membahayakan stabilitas sistem
keuangan dan perekonomian nasional atau
menghadapi krisis keuangan, perlu ditetapkan
suatu landasan hukum yang kuat dalam rangka
pencegahan dan penanganan krisis. Adanya
landasan hukum yang kuat tersebut akan
membuat mekanisme koordinasi antar lembaga
yang terkait dalam pembinaan sistem keuangan
nasional, serta mekanisme pengambilan keputusan
dalam tindakan pencegahan dan penanganan
krisis dapat dilakukan secara terpadu, efisien dan
efektif.2
Jaring Pengaman Sistem Keuangan adalah suatu
mekanisme pengamanan sistem keuangan dari krisis
yang mencakup pencegahan dan penanganan krisis,
dan bertujuan untuk menciptakan dan memelihara
stabilitas sistem keuangan. Dengan demikian, jaring
pengaman sistem keuangan pada pokoknya
mencakup pencegahan dan penanganan krisis.
Pencegahan krisis tersebut meliputi tindakan mengatasi
permasalahan:
a. Bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang
berdampak sistemik3;
b. Bank yang mengalami permasalahan solvabilitas
atau kegagalan pelunasan Fasilitas Pendanaan
Darurat (FPD)4 yang berdampak sistemik; dan
c. Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) yang
mengalami kesulitan likuiditas dan masalah
solvabilitas yang Berdampak Sistemik.
2
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
2 Konsideran Menimbang dan Penjelasan Umum Perpu Nomor 4 Tahun 2008
3 Berdampak Sistemik adalah suatu kondisi sulit yang ditimbulkan oleh suatu bank, Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB), dan/atau gejolak pasar keuangan yang apabila tidak diatasi dapat menyebabkan kegagalan sejumlah bank dan/atau LKBB lain sehingga menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap sistem keuangan dan perekonomian nasional, vide Pasal 1 angka 4 Perpu No. 4 Tahun 2008.
4 Fasilitas Pembiayaan Darurat, yang selanjutnya disebut FPD, adalah fasilitas pembiayaan dari Bank Indonesia yang dijamin oleh Pemerintah kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas yang Berdampak Sistemik dan berpotensi Krisis namun masih memenuhi tingkat solvabilitas, vide Pasal 1 angka 5 Perpu No. 4 Tahun 2008.
Sementara penanganan krisis meliputi tindakan
mengatasi permasalahan:
a. Bank yang mengalami kesulitan likuiditas dan/atau
solvabilitas yang secara individu berdampak
sistemik atau bank yang secara individu tidak
berdampak sistemik tetapi secara bersama-sama
dengan bank lain berdampak sistemik, pada
kondisi krisis5; dan
b. LKBB yang mengalami permasalahan solvabilitas
yang berdampak sistemik.
Untuk mencapai tujuan jaring pengaman sistem
keuangan tersebut, dibentuk Komite Stabilitas Sistem
Keuangan (KSSK) yang anggotanya terdiri dari Menteri
Keuangan sebagai Ketua merangkap Anggota dan
Gubernur Bank Indonesia sebagai anggota.
KSSK berfungsi menetapkan kebijakan dalam rangka
pencegahan dan penanganan krisis, dan
menyampaikan laporan mengenai pencegahan dan
penanganan krisis kepada Presiden.
Perpu pada dasarnya merupakan produk hukum yang
bersifat “sementara” atau “belum selesai”, karenanya
harus diselesaikan menjadi sebuah Undang-Undang,
baik undang-undang yang mengesahkan Perpu (dalam
hal Perpu disetujui DPR), atau undang-undang yang
mencabut Perpu (dalam hal Perpu ditolak atau tidak
mendapat persetujuan DPR).6
Filosofi tersebut dapat dilihat pada Penjelasan Pasal
22 UUD 1945 (sebelum amandemen), bahwa
“…Aturan sebagai ini memang perlu diadakan agar
supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh
pemerintah dalam keadaan yang genting, yang
memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan
tepat. Meskipun demikian, pemerintah tidak akan
terlepas dari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
Oleh karena itu, peraturan pemerintah dalam pasal
ini, yang kekuatannya sama dengan undang-undang
harus disahkan pula oleh Dewan Perwakilan Rakyat.”
Persetujuan DPR ini sangat penting karena DPR lah
yang memiliki kekuasaan legislatif, dan secara obyektif
menilai ada tidaknya kegentingan yang memaksa.
Subyektifitas Presiden dalam menafsirkan “hal ihwal
kegentingan yang memaksa” yang menjadi dasar
diterbitkannya Perpu, akan dinilai DPR apakah benar
terjadi, atau akan terjadi, kegentingan yang memaksa
itu. Persetujuan DPR ini hendaknya dimaknai
memberikan atau tidak memberikan persetujuan
(menolak). Apabila DPR memberikan persetujuan,
Perpu akan ditetapkan menjadi Undang-Undang.
Namun sebaliknya, apabila DPR menolak maka Perpu
dinyatakan tidak berlaku dan harus dicabut.7
Sesuai ketentuan tersebut, Pemerintah menyampaikan
Perpu Nomor 4 Tahun 2008 kepada Dewan Perwakilan
Rakyat untuk dibahas dalam sidang paripurna, dan
tidak mendapat persetujuan dalam Rapat Paripurna
tanggal 30 September 2009.8
Selanjutnya untuk memberikan kepastian hukum
dan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, dalam hal Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang tidak
mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat,
Presiden mengajukan rancangan undang-undang
tentang pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang yang dapat mengatur segala akibat
hukum dari pencabutan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang.
3
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
5 Krisis adalah suatu kondisi sistem keuangan yang sudah gagal secara efektif menjalankan fungsi dan perannya dalam perekonomian nasional, vide Pasal 1 angka 2 Perpu No. 4 Tahun 2008.
6 Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar RI tahun 1945, pada pokoknya mengatur bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat pada persidangan yang berikut. Jika tidak mendapat persetujuan, maka Peraturan Pemerintah itu harus dicabut.
7 Yuli Harsono, Polemik Penolakan RUU JPSK, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b557621e5e83/polemik-penolakan-perpu-jpsk-br-oleh-yuli-harsono, diakses tanggal 6 November 2014.
8 Konsiderans Menimbang huruf b, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2015 Tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan.
Pada tanggal 6 Agustus 2015 disahkan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2015 Tentang Pencabutan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem
Keuangan, yang pada pokoknya berisi dua hal:
1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman
Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 149, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4907) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;
2. Keputusan yang telah ditetapkan oleh Komite
Stabilitas Sistem Keuangan dalam rangka
melaksanakan tugas dan wewenangnya
berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang
Jaring Pengaman Sistem Keuangan tetap sah dan
mengikat.
Melihat begitu pentingnya fungsi bank sentral sebagai
Lender of Last Resort, terutama untuk mencegah
terjadinya krisis di sistem keuangan, dalam tulisan ini
akan diulas mengenai implikasi pencabutan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem
Keuangan terhadap fungsi Bank Indonesia sebagai
Lender of Last Resort, serta konsep transparansi dan
pertanggungjawaban dalam pelaksanaan fungsi
Lender of Last Resort, dan pembagian peran dan
kewenangan masing-masing pihak yang terlibat
(Pemerintah, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan
dan Lembaga Penjamin Simpanan), khususnya dalam
kondisi krisis.
B. Krisis Sistem Keuangan
Dalam dua dekade terakhir, setidaknya dua krisis
keuangan besar terjadi, yaitu Krisis Keuangan Asia
Timur 1997 dan Krisis Keuangan Global 2008. Jika
krisis pada tahun 1997 disebabkan oleh kurangnya
transparansi dan kredibilitas pemerintah yang
menyebabkan distorsi struktural dan kebijakan, gejolak
ekonomi tahun 2008 terutama dipicu oleh inovasi
yang cepat dalam produk keuangan seperti praktek
sekuritisasi9 dan “credit default swap”10. Hal ini
diperburuk oleh spekulasi properti dan peringkat
kredit yang tidak akurat. Pada kedua kasus,
perkembangan krisis menyebar ke benua-benua lain
dan, dalam waktu singkat, menjadi krisis global karena
efek menular di tengah sistem keuangan yang
terintegrasi secara global dan persebaran informasi
yang cepat.11
Krisis perbankan di Indonesia, selain merupakan dari
krisis nilai tukar, juga disebabkan oleh rentannya
sistem perbankan Indonesia, yang ditandai dengan
kurang kuatnya permodalan, manajemen yang kurang
menerapkan good governance, serta tidak kukuhnya
kelembagaan, lemahnya pengaturan dan pengawasan
di tengah-tengah pesatnya pertumbuhan
perekonomian dan berlangsungnya integrasi keuangan
internasional.12
Lemahnya sektor perbankan Indonesia, meskipun
telah mengalami restrukturisasi disebabkan setidak-
tidaknya oleh tiga hal: (1) pertumbuhan jumlah bank
yang amat pesat sebagai hasil kebijakan deregulasi
Tahun 1988 yang tidak disertai dengan ketentuan
prudensial dan pengawasan yang memadai oleh bank
4
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
9 Sekuritisasi merupakan suatu proses transformasi aset yang tidak likuid menjadi surat berharga yang dapat diperdagangkan sesuai dengan kebutuhan para investor. Dengan demikian, perusahaan akan mendapatkan dana dengan jaminan atau menyerahkan aset keuangan yang dimilikinya dan kemudian diterbitkan suatu surat berharga oleh pihak lain yang dikenal dengan sebutan sebagai special purpose vehicle atau entitas yang bertindak sebagai mediator antara pihak yang membutuhkan dana dengan investor (pihak-pihak yang bersedia menyerahkan dana). Walaupun sekuritisasi banyak ragamnya, namun seringkali istilah sekuritisasi di-identikkan dengan Asset Backed Securities yang di bahasa Indonesia dikenal dengan nama Efek Beragun Aset (lihat: Tim Studi Perdagangan Efek Beragun Aset - Badan Pengawas Pasar Modal, Studi Tentang Perdagangan Efek Beragun Aset, 2003).
10 credit default swap adalah jenis yang paling sederhana dari turunan kredit (credit derivatives). Ini merupakan perjanjian antara dua pihak yang secara sederhana digambarkan bahwa salah satu pihak sebagai penanggung (menjual asuransi) dan pihak lainnya membeli asuransi terhadap risiko gagal bayar (default) dari pihak ketiga (Richard K. Skora, The Credit Default Swap, 1998).
11 Arisyi F. Raz, et al, Krisis Keuangan Global dan Pertumbuhan Ekonomi: Analisa dari Perekonomian Asia Timur, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Bank Indonesia, Oktober 2012, hal. 38
12 Kusumaningtuti SS, Peranan Hukum dalam Penyelesaian Krisis Perbankan di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hal.2
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
sentral; (2) lemahnya penerapan good governance di
sektor perbankan karena, antara lain konsentrasi
kepemilikan yang amat tinggi; dan (3) terjadinya
economic boom dan integrasi keuangan internasional
yang mengakumulasi tingkat kerentanan sistem
perbankan Indonesia.13
Di akhir tahun 2007, diskusi tentang instabilitas
finansial14 menghangat seiring dengan meningkatnya
risiko resesi ekonomi pada perekonomian Amerika
Serikat yang ditandai dengan runtuhnya perusahaan-
perusahaan keuangan besar seperti Lehman Brothers
Holdings Inc yang dinyatakan bangkrut dan beberapa
perusahaan lainnya yang mengalami kesulitan
likuiditas. Penyebabnya adalah terjadinya krisis
di pasar finansial yang bersumber dari masalah kredit
perumahan berkualitas rendah atau subprime
mortgage. Pengaruh yang ditimbulkan dari gejolak
di pasar finansial Amerika Serikat sangatlah besar
bagi dinamika perekonomian global.
Setelah bank investasi, Lehman Brothers Inc, pada 15
september 2008 mengajukan proteksi kebangkrutan,
dimana sebelumnya Pemerintah AS menolak untuk
mem-bail-out-nya, kebangkrutan masih menghantui
perusahaan-perusahaan lainnya di Wall Street. Apalagi
sejumlah perusahaan finansial yang selama ini
dipercaya kuat juga mengalami kesulitan keuangan.
Perusahaan pesaing Lehman, Merrill Lynch misalnya,
sudah diambil oleh Bank of America senilai US $ 50
Miliar (lima puluh miliar dolar Amerika). Perusahaan
raksasa lainnya, American International Group (AIG)-
salah satu perusahaan asuransi terbesar di dunia saat
ini, yang harga sahamnya anjlok hingga 60,8%
disuntikkan dana sebesar US $ 85 milliar dan sebagai
hasilnya 79,9% saham perusahaan asuransi itu
dikuasai Pemerintah Amerika Serikat.15
Hal tersebut secara langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi stabilitas sistem finansial di Indonesia,
antara lain secara tidak langsung menurunkan
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga
perbankan. Hal tersebut ditandai dengan
meningkatnya kepanikan masyarakat dalam menyikapi
krisis, walaupun krisis dimaksud belum secara langsung
berdampak pada sektor perbankan dan pasar modal
di Indonesia. Sementara kepercayaan masyarakat
merupakan salah satu prasyarat utama yang diperlukan
untuk menciptakan sistem perbankan yang stabil.
Keberadaan aset bank dalam bentuk kepercayaan
masyarakat sangat penting dijaga.16
C. Kerangka Hukum Penanganan Krisis Sistem
Keuangan
Memperhatikan hal-hal tersebut di atas diperlukan
langkah-langkah tertentu untuk mengantisipasi
terjadinya guncangan terhadap kinerja dan fungsi
5
13 Pangestu, Mari Elka, The Indonesian Bank Crisis and Restructuring: Lesson and Implication for Other Developing Countries, G-24 Discussion Paper Series No.23-United Nation Conference on Trade and Development, November 2003, hal.2.
14 Instabilitas finansial (financial instability) didefinisikan sebagai perubahan drastis harga-harga aset-aset finansial. Pada dasarnya aset-aset finansial menyangkut produk-produk finansial seperti saham, obligasi, mortgage, futures, serta berbagai bentuk surat berharga dan produk derivatif (derivative products) lainnya. Instabilitas tersebut terjadi akibat fluktuasi sektor finansial yang terlalu besar sehingga menimbulkan ketidakstabilan (instabilitas) yang dapat menganggu kesinambungan sektor-sektor ekonomi lainnya. Sektor finansial menjadi “transmisi” yang paling efektif memunculkan gejolak dan krisis. Meskipun sumber dari krisis tidak selalu harus dimulai dari suatu masalah di pasar finansial itu sendiri. Jika krisis masih terisolasi pada sektor finansial saja, maka dapat dikatakan situasi belum menjalar pada krisis ekonomi. Sedangkan krisis adalah suatu kondisi dimana berbagai langkah pengendalian sudah tidak lagi mampu menahan gejolak pada sektor finansial, yang segera berdampak pada perekonomian secara umum dan mempengaruhi kehidupan masyarakat luas. Secara sederhana dipahami bahwa instabilitas (finansial) bersifat permanen, dan krisis adalah konsekuensi logis dari kondisi instabilitas tersebut. (Prasetyantoko, Bencana Finansial, Stabilitas sebagai Barang Publik, Penerbit Kompas, Jakarta, 2008, hal 11).
15 Widhiyanto, Fajar, Krisis Mengalir Sampai Jauh, Majalah Investor, November 2008, Vol. X. No.185, hal 31.
16 Kepercayaan masyarakat sangat penting bagi bank, paling tidak karena dua alasan : pertama, meningkatkan efisiensi penggunaan bank dan efisiensi intermediasi, dan kedua, mencegah terjadinya bank runs and panic. Disamping itu, kepercayaan masyarakat tersebut diperlukan karena bank tidak memiliki uang tunai yang cukup untuk membayar kewajibannya kepada seluruh nasabahnya sekaligus. Demikian bank terekspose kepada kemungkinan terjadinya kekurangan dana apabila nasabah penyimpan menarik simpanannya pada bank. Keinginan nasabah penyimpan menarik simpanannya tersebut terjadi apabila mereka kehilangan kepercayaannya kepada bank. (Zulkarnain Sitompul, Dana Nasabah Bank: Suatu Gagasan Tentang Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia, Program Pascasarjana Fakultas Hukum IU, Jakarta, 2002 hal. 2 dan hal 13).
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
intermediasi perbankan dan upaya untuk menjaga
kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Bahwa
pada saat ini perubahan kondisi perekonomian yang
semakin memburuk dikhawatirkan dapat mengganggu
kondisi keuangan perbankan, yang pada akhirnya
membahayakan stabilitas sistem keuangan dan
perekonomian nasional. Landasan hukum yang kuat
diperlukan sehingga mekanisme koordinasi antar
lembaga yang terkait dalam pembinaan sistem
keuangan nasional, serta mekanisme pengambilan
keputusan dalam tindakan pencegahan dan
penanganan krisis sehingga dapat dilakukan secara
terpadu, efisien, dan efektif.17
Landasan hukum dimaksud ditetapkan dalam
kebijakan Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 2 Tahun 2008
Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Perpu ini
ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring
Pengaman Sistem Keuangan. Dalam Perpu ini diatur
mengenai ruang lingkup Jaring Pengaman Sistem
Keuangan yang meliputi pencegahan krisis (crisis
prevention) dan penanganan krisis (crisis management).
Pencegahan krisis dilakukan melalui penanganan
kesulitan likuiditas dan masalah solvabilitas dari bank
dan lembaga keuangan bukan bank (LKBB) yang
berdampak sistemik18, yaitu antara lain dengan
memberikan Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD) bagi
bank atau LKBB yang mengalami kesulitan likuiditas.
Perpu menurut Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945
adalah jenis peraturan yang memiliki hierarki setingkat
dengan Undang-Undang. Namun Perpu ini ditetapkan
oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan memaksa
yang harus segera diatasi, karena pada saat itu Presiden
tidak dapat mengaturnya dengan Undang-Undang,
yang untuk membentuknya memerlukan waktu yang
relatif lebih lama dan melalui prosedur yang bermacam-
macam.19
Sebagai peraturan darurat, Perpu mengandung
pembatasan-pembatasan. Pertama: Perpu hanya
dikeluarkan dalam hal ikhwal kegentingan yang
memaksa. Dalam praktik hal ikhwal kegentingan
yang memaksa sering diartikan secara luas. Tidak
hanya terbatas pada keadaan yang mengandung
suatu kegentingan atau ancaman, tetapi termasuk
juga kebutuhan yang dipandang mendesak. Siapakah
yang menentukan kegentingan yang memaksa itu?
Karena kewenangan menetapkan Perpu ada pada
Presiden, Presidenlah yang secara hukum menentukan
kegentingan yang memaksa. Kedua, Perpu hanya
berlaku untuk jangka waktu yang terbatas.
Presiden–paling lambat dalam masa sidang DPR
berikutnya- harus mengajukan Perpu ke DPR untuk
memperolah persetujuan. Apabila disetujui DPR,
Perpu berubah menjadi undang-undang. Kalau tidak
disetujui, Perpu tersebut harus segera dicabut.20
Undang-Undang Dasar membedakan antara Perpu
dengan Peraturan Pemerintah, karena Perpu diatur
dalam Bab tentang DPR sedangkan DPR adalah
pemegang kekuasaan untuk membentuk Undang-
Undang, maka materi Perpu seharusnya adalah materi
yang menurut UUD diatur dengan Undang-Undang
dan bukan materi yang melaksanakan Undang-
Undang sebagaimana Peraturan Pemerintah. Apabila
terjadi kekosongan Undang-Undang namun terjadi
situasi dan kondisi yang bersifat mendesak yang
membutuhkan aturan hukum in casu Undang-Undang
maka Pasal 22 UUD 1945 menyediakan pranata
6
17 Penjelasan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 4 Tahun 2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan.
18 Berdampak sistemik adalah suatu kondisi sulit yang ditimbulkan suatu bank, Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB), dan/atau gejolak pasar keuangan yang apabila tidak diatasi dapat menyebabkan kegagalan sejumlah bank dan/atau LKBB lain sehingga menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap sistem keuangan dan perekonomian nasional (Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.4 Tahun 2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan).
19 Kusumaningtuti. SS, Op Cit, hal. 81. 20 Nazriya, Riri, Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menguji Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 17 Juli 2010, hal. 388.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
khusus dengan member wewenang kepada Presiden
untuk membuat Peraturan Pemerintah (sebagai)
Pengganti Undang-Undang. Dengan demikian Perpu
diperlukan apabila:21
1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak
untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat
berdasarkan Undang-Undang;
2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum
ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau
ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi
dengan cara membuat Undang-Undang secara
prosedur biasa karena akan memerlukan waktu
yang cukup lama sedangkan keadaan yang
mendesak tersebut perlu kepastian untuk
diselesaikan.
Perpu melahirkan norma hukum dan sebagai norma
hukum baru akan dapat menimbulkan: (a) status
hukum baru, (b) hubungan hukum baru, dan (c)
akibat hukum baru. Norma hukum tersebut lahir sejak
Perpu disahkan dan nasib dari norma hukum tersebut
tergantung kepada persetujuan DPR untuk menerima
atau menolak norma hukum Perpu, namun demikian
sebelum adanya pendapat DPR untuk menolak atau
menyetujui Perpu, norma hukum tersebut adalah sah
dan berlaku seperti undang-undang.22
Menurut Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, Perpu harus
segera dimintakan persetujuan DPR dalam persidangan
yang berikut. Persetujuan DPR ini sangat penting
karena DPR lah yang memiliki kekuasaan legislatif,
dan secara obyektif menilai ada tidaknya kegentingan
yang memaksa. Subyektifitas Presiden dalam
menafsirkan “hal ihwal kegentingan yang memaksa”
yang menjadi dasar diterbitkannya Perpu, akan dinilai
DPR apakah benar terjadi, atau akan terjadi,
kegentingan yang memaksa itu. Persetujuan DPR ini
hendaknya dimaknai memberikan atau tidak
memberikan persetujuan (menolak). Apabila DPR
memberikan persetujuan, Perpu akan ditetapkan
menjadi Undang-Undang. Namun sebaliknya, apabila
DPR menolak maka Perpu dinyatakan tidak berlaku
dan harus dicabut.23
Salah satu isu krusial yaitu apa yang dimaksud dengan
“dalam persidangan DPR yang berikut”, apakah
persis masa sidang DPR setelah Perpu diterbitkan,
atau masa sidang kapan saja setelah Perpu diterbitkan.
Bila membaca pandangan AALF van Dullemen dalam
bukunya Staatsnoodrecht en Democratie, masa sidang
tersebut harusnya dimaknai sebagai masa sidang
yang dilakukan persis setelah Perpu diterbitkan.
Dalam praktik, ketentuan masa sidang itu tidak punya
acuan yang baku.24
Selanjutnya Pasal 22 ayat (3) UUD 1945 mengatur
bahwa jika tidak mendapat persetujuan DPR, maka
Perpu tersebut harus dicabut. UUD tidak mengatur
lebih lanjut bagaimana mekanisme pencabutan Perpu
tersebut. Dalam teori perundang-undangan, sebuah
peraturan perundang-undangan hanya dapat
dinyatakan tidak berlaku dengan peraturan setingkat
atau peraturan yang lebih tinggi atau melalui putusan
pengadilan.25
Mekanisme pencabutan Perpu lebih lanjut diatur
dalam Pasal 25 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004, bahwa
“Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang ditolak DPR maka Presiden mengajukan RUU
tentang pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang tersebut yang dapat mengatur pula
segala akibat dari penolakan tersebut.”
Terkait dengan penyelesaian krisis masa lalu, terdapat
dua hal yang perlu dirumuskan sebagai politik hukum
7
21 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Perpu No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.3 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hal. 19.
22 Ibid, hal. 20.
23 Yuli Harsono, Op Cit.
24 Saldi Isra, Eksistensi Perppu dalam Sistem Perundang-undangan, Bahan Presentasi, April 2011, hal. 13.
25 Ibid, hal. 15.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
atas upaya yang telah diambil Bank Indonesia dan
Pemerintah dalam penyelamatan sistem perbankan
nasional di masa krisis, yaitu:26
Pertama, politik hukum berkenaan dengan perlunya
penyusunan perangkat aturan yang ditujukan untuk
menanggulangi krisis atau systemic risk yang norma
hukumnya dirumuskan secara berbeda dari perangkat
aturan yang mengatur kegiatan usaha bank dalam
keadaan normal. Sebagaimana telah dikemukakan
bahwa sampai dengan saat ini Indonesia belum
memiliki perangkat aturan yang ditujukan untuk
menanggulangi krisis atau systematic risk yang
normanya berbeda dari perangkat aturan yang
mengatur kegiatan usaha bank dalam keadaan normal.
Perangkat hukum di bidang keuangan dan perbankan
yang ada hanya dapat digunakan sebagai aturan
dalam keadaan normal saja. Agar tindakan yang
diambil oleh otoritas yang berwenang dalam mengatasi
krisis dapat dipertanggungjawabkan secara hukum,
maka selain perangkat hukum yang mengatur kondisi
normal perlu disusun pula perangkat hukum yang
melandasi kerangka kerja (framework) manajemen
krisis yang bersifat strategis (crisis strategy
management);
Kedua, politik hukum terhadap fungsi lender of last
resort oleh Bank Indonesia sebagai upaya
penyelamatan sistem perbankan dan perekonomian
nasional. Selain diperlukannya penyusunan perangkat
hukum dalam kerangka kerja manajemen krisis,
kiranya perlu dirumuskan pula komitmen politik
hukum berkenaan dengan tindakan yang telah
diambil Bank Indonesia dan Pemerintah dalam rangka
penyelamatan sistem perbankan nasional di masa
krisis. Hal ini penting agar tindakan/kebijakan yang
telah diambil yang bersifat emergency pada masa
abnormal (krisis perbankan) dengan tujuan untuk
menyelamatkan sistem perbankan/perekonomian
dapat dihilangkan sifat melawan hukumnya.
Dalam kaitannya dengan upaya menghadapi ancaman
krisis keuangan global yang dapat membahayakan
stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional,
diperlukan substansi hukum sebagai suatu landasan
hukum yang kuat sehingga mekanisme koordinasi
antar lembaga yang terkait dalam pembinaan sistem
keuangan nasional, serta mekanisme pengambilan
keputusan dalam tindakan pencegahan dan
penanganan krisis dapat dilakukan secara terpadu,
efisien dan efektif.
Pada waktu menghadapi ancaman krisis keuangan
global tahun 2008, landasan hukum dimaksud
ditetapkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang tentang Jaring Pengaman
Sistem Keuangan, yang bertujuan untuk menciptakan
dan memelihara stabilitas sistem keuangan.27
D. Bank Indonesia Sebagai Lender of Last Resort
Secara tradisional, salah satu tugas utama bank sentral
adalah meliputi penyediaan bantuan likuiditas kepada
sektor keuangan yang dikenal dengan Lender of Last
Resort. Sejarah Lender of Last Resort tidak terlepas
dari sejarah keberadaan bank sentral. Fungsi bank
sentral sebagai Lender of Last Resort telah dikenal
sejak akhir abad ke-19 dan peranan tersebut semakin
menonjol, terutama sejak runtuhnya sistem standar
emas (gold standard) pada pertemuan Bretton Woods
pada tahun 1973.
Pada dasarnya Lender of Last Resort adalah pemberian
fasilitas pinjaman kepada bank yang mengalami
kesulitan likuiditas dan berfungsi untuk menghindarkan
8
26 Nasution, Anwar, “Stabilitas Sistem Keuangan: Urgensi, Implikasi Hukum Dan Agenda Ke Depan”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Bank Indonesia, Vol 2, Desember 2003, hal. 9
27 Jaring Pengaman Sistem Keuangan secara umum ditujukan untuk menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan melalui pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan dan sistem pembayaran, penyediaan fasilitas lender of last resort, program penjaminan simpanan, serta pencegahan dan penanganan Krisis. Namun demikian, mengingat pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan dan sistem pembayaran, penyediaan fasilitas lender of last resort, serta program penjaminan simpanan telah diatur dalam Undang-Undang tersendiri maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini hanya mengatur masalah pencegahan dan penanganan Krisis. (Vide Penjelasan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan).
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
krisis keuangan yang sistemik. Mengingat resiko
sistemik yang terjadi di perbankan dapat menimbulkan
dampak negatif terhadap perekonomian, maka
terdapat konsesus bahwa perlunya menciptakan
suatu mekanisme untuk mencegah terjadinya krisis
tersebut dengan intervensi langsung dari bank
sentral/pemerintah dengan menyediakan fasilitas
pinjaman kepada bank dalam rangka menutupi
liquidity mismatch.28
Kesulitan likuiditas dimaksud adalah berjangka pendek
dimana institusi keuangan tidak bisa memperoleh
likuiditas dengan normal dan harga yang wajar. Dalam
perkembangannya, Lender of Last Resort juga berfungsi
untuk menghindarkan krisis keuangan yang sistemik.
Mengingat risiko sistemik yang terjadi di perbankan
dapat menimbulkan dampak negatif terhadap
perekonomian, maka terdapat konsensus bahwa perlu
diciptakan mekanisme untuk mencegah terjadinya
krisis. Hal ini dilakukan melalui intervensi langsung
dari bank sentral/pemerintah dengan menyediakan
fasilitas pinjaman kepada bank dalam rangka menutupi
liquidity missmatch.
Dalam undang-undang yang mengatur mengenai
Bank Indonesia sebelumnya, yaitu Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, fungsi
Bank Indonesia sebagai lender of last resort diatur di
dalam Pasal 32 ayat (3) dan ayat (4) sebagai berikut:
(3)Bank (Bank Indonesia) dapat pula memberikan
kredit likuiditas kepada bank-bank untuk mengatasi
kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat.
(4)Pemberian kredit bank dibatasi oleh rencana kredit
yang bersangkutan.
Aturan yang memberikan kewenangan kepada Bank
Indonesia sebagaimana diatur dalam pasal 32 ayat
(3) dan ayat (4) di atas mensyaratkan bahwa setiap
tahun Bank Indonesia harus bisa memprediksikan
kesulitan likuiditas yang akan dihadapi oleh bank,
sehingga artinya dalam keadaan normal Bank
Indonesia harus mampu merencanakan jumlah
pemberian kredit kepada bank yang mengalami
kesulitan likuiditas. Pengaturan ini menjadikan Bank
Indonesia berada dalam situasi yang dilematis ketika
harus melaksanakan fungsinya sebagai lender of last
resort guna menghadapi bank run dalam situasi
sistemik. Hal ini terjadi pada krisis ekonomi pada
tahun 1997/1998, karena saat itu yang terjadi bukan
sekedar kesulitan likuiditas individual bank yang dapat
diprediksikan sebelumnya oleh Bank Indonesia,
melainkan penarikan dana besar-besaran dan seketika
oleh masyarakat sebagai akibat krisis kepercayaan
(domestik dan internasional) terhadap perbankan
nasional yang tidak pernah terprediksikan.
Setelah reformasi dan Bank Indonesia menjadi lembaga
bank sentral yang independen berdasarkan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia, fungsi lender of last resort diatur dalam
pasal 11 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) sebagai berikut:
(1)Bank Indonesia dapat memberikan kredit atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah untuk
jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari
kepada Bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan
jangka pendek Bank yang bersangkutan.
(2)Pelaksanaan pemberian kredit atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib dijamin oleh Bank penerima
dengan agunan yang berkualitas tinggi dan mudah
dicairkan yang nilainya minimal sebesar jumlah
kredit atau pembiayaan yang diterimanya.
(3)Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan
Peraturan Bank Indonesia.
Sesuai penjelasan dari pasal 11 ayat (1), (2) dan (3),
pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah kepada Bank hanya dilakukan untuk mengatasi
kesulitan bank karena adanya ketidaksesuaian antara
arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan
arus dana keluar (mismatch). Jangka waktu paling
lama 90 (sembilan puluh) hari merupakan jangka
9
28 Freixas, 1999, dalam Iman Sugema & Iskandar Simorangkir, Peranan The Lender Of Last Resort (LOLR) Terhadap Perekonomian: Suatu Kajian Empiris Terhadap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Jakarta, Juni 2004, hal. 54.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
waktu maksimum yang dimungkinkan termasuk
perpanjangannya. Apabila kredit atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah tidak dapat dilunasi pada
saat jatuh tempo, Bank Indonesia sepenuhnya berhak
mencairkan agunan yang dikuasainya sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Agunan
berkualitas tinggi dan mudah dicairkan meliputi surat
berharga dan atau tagihan yang diterbitkan oleh
Pemerintah atau badan hukum lain yang mempunyai
peringkat tinggi berdasarkan hasil penilaian lembaga
pemeringkat yang kompeten dan sewaktu-waktu
dengan mudah dijual ke pasar untuk dijadikan uang
tunai.
Pembatasan jangka waktu maksimum 90 (sembilan
puluh) hari adalah untuk mencegah terjadinya
penyalahgunaan kredit atau pembiayaan dimaksud,
yang pada gilirannya dapat mengganggu efektifitas
pengendalian moneter. Sedangkan bank yang dapat
memperoleh bantuan likuiditas adalah bank yang
memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia, misalnya secara nyata berdasarkan informasi
yang diperoleh Bank Indonesia bahwa bank yang
bersangkutan mengalami kesulitan likuiditas jangka
pendek, memiliki agunan yang cukup dan apabila
diperlukan akan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
terhadap kondisi bank tersebut.
Fungsi lender of last resort Bank Indonesia
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
23 tahun 1999 ternyata dirasakan masih terbatas
karena hanya untuk membantu mengatasi kesulitan
likuiditas bank dalam kondisi normal. Hal ini belum
mencakup fungsi lender of last resort yang dapat
digunakan dalam kondisi darurat atau krisis.
Bersamaan dengan amandemen Undang-Undang
Bank Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 3
tahun 2004, pasal yang berkaitan dengan lender of
last resort termasuk yang diamandemen dengan
menambahkan dua ayat yaitu ayat (4) dan ayat (5)
pada pasal 11, berbunyi sebagai berikut:
(4)Dalam hal suatu Bank mengalami kesulitan
keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi
mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem
keuangan, Bank Indonesia dapat memberikan
fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya
menjadi beban Pemerintah.
(5)Ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan
mengenai kesulitan keuangan Bank yang
berdampak sistemik, pemberian fasilitas
pembiayaan darurat, dan sumber pendanaan yang
berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara diatur dalam undang-undang tersendiri,
yang ditetapkan selambatlambatnya akhir tahun
2004.
Berdasarkan pasal 11 ayat (4) tersebut, Bank Indonesia
dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang
pendanaannya menjadi beban pemerintah, dalam hal
suatu bank mengalami kesulitan keuangan yang
berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan
krisis yang membahayakan sistem keuangan.
Mekanisme ini merupakan bagian dari konsep jaring
pengaman sektor keuangan (financial safety net) yang
akan diatur dalam undang-undang tersendiri. Undang-
undang dimaksud adalah Undang-Undang tentang
Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang
diamanatkan untuk dibentuk paling lambat akhir
tahun 2004.
Selanjutnya di dalam Pasal II Undang-Undang Nomor
3 tahun 2004 tersebut diatur bahwa sepanjang
Undang-undang sebagaimana dimaksud pada Pasal
11 ayat (5) belum ditetapkan maka pengaturan hal-
hal sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (5)
tersebut dituangkan dalam nota kesepakatan antara
Pemerintah dan Bank Indonesia.
Dalam pelaksanaannya, pada tanggal 17 Maret 2004,
Gubernur Bank Indonesia dengan Menteri Keuangan
menandatangani Nota Kesepakatan mengenai
ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan
terkait kesulitan keuangan bank yang berdampak
sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat, dan
sumber pendanaan yang berasal dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
10
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
E. Implikasi Atas Pencabutan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008
Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
mengamanatkan pengaturan lender of last resort
untuk diatur di dalam undang-undang tersendiri,
sebagai bagian dari kerangka jaring pengaman sistem
keuangan. Keberadaan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008
tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan berfungsi
sebagai dasar hukum bagi Pemerintah dan otoritas
lainnya untuk mengambil kebijakan dan langkah-
langkah pencegahan dan penanganan krisis.
Paska dicabutnya Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tersebut,
terjadi kekosongan substansi hukum sebagai dasar
bagi otoritas dimaksud untuk menetapkan dan
melaksanakan kebijakan dalam rangka pencegahan
dan penanganan krisis, terutama bagi Bank Indonesia
dalam menjalankan fungsinya sebagai lender of last
resort, terutama terkait pemberian FPD.
Kewenangan Bank Indonesia untuk memberikan FPD
diatur berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/31/PBI/2008 tentang Fasilitas Pembiayaan Darurat
Bagi Bank Umum. Peraturan Bank Indonesia dimaksud
merupakan salah satu peraturan pelaksanaan dari
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2008. Hal tersebut dapat dilihat pada
konsiderans Peraturan Bank Indonesia tersebut yang
mencantumkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 sebagai salah
satu dasar pertimbangannya. Selain itu, substansi
pengaturan Peraturan Bank Indonesia dimaksud
merupakan penjabaran lebih lanjut dari substansi
pengaturan di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang dimaksud, antara lain:
a. FPD yang diberikan dalam rangka pencegahan
krisis diberikan oleh Bank Indonesia dan dijamin
oleh Pemerintah, sedangkan FPD dalam rangka
penanganan krisis pendanaannya berasal dari
Pemerintah yang diberikan melalui Bank Indonesia.
b. Sumber pendanaan dalam rangka pencegahan
dan penanganan krisis terkait dengan pemberian
FPD menjadi beban APBN melalui penerbitan SBN
atau tunai oleh Pemerintah.
c. Untuk meyakinkan akuntabilitas dan transparansi,
proses pengambilan keputusan dalam penetapan
dampak atau risiko sistemik dan pemberian FPD
kepada Bank dilakukan secara bersama (joint
decision) oleh Menteri Keuangan dan Bank
Indonesia melalui Komite Stabilitas Sistem
Keuangan.
Dengan dicabutnya Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring
Pengaman Sistem Keuangan, Peraturan Bank Indonesia
Nomor 10/ 31 /PBI/2008 tentang Fasilitas Pembiayaan
Darurat menjadi tidak memiliki payung peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dalam krisis sistemik, lender of last resort harus menjadi
bagian integral dari suatu strategi manajemen krisis
yang komprehensif dan dirumuskan secara baik. Perlu
adanya pengecualian risiko sistemik dalam pemberian
lender of last resort kepada sistem perbankan. Syarat-
syarat pembayaran dapat dilonggarkan untuk
mendukung pelaksanaan program restrukturisasi bank
yang sistemik. Dalam krisis sistemik pengungkapan
proses lender of last resort dapat menjadi alat penting
manajemen krisis. Peraturan fasilitas lender of last
resort harus menetapkan dengan jelas prinsip-prinsip
pokok dan kriteria spesifik mengenai krisis sistemik
dan atau potensi kegagalan suatu bank yang dapat
mengarah pada krisis sistemik. Untuk meyakinkan
proses pengambilan keputusan yang efektif dan
akuntabilitas, harus terdapat kerangka dan prosedur
lender of last resort yang jelas. Disamping itu, untuk
meyakinkan akuntabilitas, perlu dipelihara kelengkapan
laporan dan dokumentasi.29
11
29 Batunanggar, Sukarela, Jaring Pengaman Keuangan: Kajian Literatur dan Praktiknya di Indonesia, Buletin Hukum Perbankan Dan Kebanksentralan Volume 4, Nomor 3, Desember 2006, hal. 6.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
Prosedur yang tepat, kejelasan akuntabilitas dan
kewenangan serta aturan disclosure akan
meningkatkan stabilitas keuangan, mengurangi moral
hazard, dan melindungi lender of last resort dari
pengaruh politik yang tinggi.30
Tidak adanya payung hukum setingkat undang-
undang yang mengatur mengenai jaring pengaman
sistem keuangan, berimplikasi pada kekosongan
substansi hukum yang diperlukan untuk membentuk
konstruksi yang sempurna bagi Bank Indonesia untuk
melaksanakan fungsi lender of last resort. Dengan
kondisi yang demikian, dalam hal terjadi krisis di
sistem keuangan dan terdapat bank yang mengalami
kesulitan likuiditas dan berdampak sistemik, Bank
Indonesia berada pada posisi yang sulit untuk
menjalankan fungsi sebagai lender of last resort.
Substansi pengaturan lender of last resort dalam
undang-undang harus sejalan dengan Pasal 11 ayat
(4) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009, bahwa dalam hal suatu bank mengalami
kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan
berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan
sistem keuangan, Bank Indonesia dapat memberikan
FPD yang pendanaannya menjadi beban APBN.
F. Penutup
Sebagai sebuah sistem, stabilitas keuangan harus
dilakukan secara utuh. Oleh karena itu, dalam menjaga
stabilitas sistem keuangan secara menyeluruh
diperlukan kerangka kerjasama antara lembaga terkait,
yaitu Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan,
Pemerintah, serta Lembaga Penjamin Simpanan.
Keberadaan kelembagaan otoritas di sistem keuangan
Indonesia saat ini dapat dikatakan masih bersifat
tambal sulam. Lahirnya suatu lembaga baru didasarkan
pada reaksi atas keadaan yang terjadi. Sehingga
diperlukan suatu cetak biru yang memuat arsitektur
sistem keuangan Indonesia terkait dengan posisi Bank
Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Lembaga Penjamin
Simpanan, dan Pemerintah dalam penanganan krisis,
termasuk pertanggungjawaban keuangan negara.
Untuk mendukung konstruksi hukum penanganan
krisis sistem keuangan, diperlukan pula harmonisasi
antara peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai langkah-langkah penanganan
krisis dengan peraturan perundang-undangan lainnya
yang bersifat sebagai penunjang, antara lain undang-
undang yang mengatur mengenai keuangan Negara,
perlu untuk mengakomodir bahwa keuangan yang
digunakan dalam penanganan krisis merupakan biaya
penanganan krisis, tidak diperlakukan sebagai kerugian
negara, melainkan diperlakukan sebagai biaya yang
harus dikeluarkan demi mencegah krisis yang lebih
luas lagi.
12
30 Dong He, Emergency Liquidity Support Facilities, IMF Working Paper No. 00/79, April 2000, dalam Batunanggar, Ibid.
Asshiddiqie, Jimly, Hukum Tata Negara Darurat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.
Batunanggar, Sukarela, Jaring Pengaman Keuangan: Kajian Literatur dan Praktiknya di Indonesia, Buletin Hukum Perbankan
Dan Kebanksentralan Volume 4, Nomor 3, Desember 2006.
Isra, Saldi, Eksistensi Perppu dalam Sistem Perundang-undangan, Bahan Presentasi, April 2011.
Kusumaningtuti SS, Peranan Hukum dalam Penyelesaian Krisis Perbankan di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009.
Nasution, Anwar, “Stabilitas Sistem Keuangan: Urgensi, Implikasi Hukum Dan Agenda Ke Depan”, Buletin Hukum
Perbankan dan Kebanksentralan, Bank Indonesia, Vol 2, Desember 2003.
Nazriya, Riri, Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Jurnal
Hukum Nomor 3 Vol. 17 Juli 2010.
Pangestu, Mari Elka, The Indonesian Bank Crisis and Restructuring: Lesson and Implication for Other Developing Countries,
G-24 Discussion Paper Series No.23-United Nation Conference on Trade and Development, November 2003.
Prasetyantoko, Bencana Finansial, Stabilitas sebagai Barang Publik, Penerbit Kompas, Jakarta, 2008.
Raz, Arisyi F., Tamarind P. K. Indra, Dea K. Artikasih, Syalinda Citra, Krisis Keuangan Global dan Pertumbuhan Ekonomi:
Analisa dari Perekonomian Asia Timur, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Bank Indonesia, Oktober 2012.
Sitompul, Zulkarnain, Dana Nasabah Bank: Suatu Gagasan Tentang Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia,
Program Pascasarjana Fakultas Hukum IU, Jakarta, 2002.
Sugema, Iman, & Simorangkir, Iskandar, Peranan The Lender Of Last Resort (LOLR) Terhadap Perekonomian: Suatu Kajian
Empiris Terhadap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Jakarta, Juni
2004.
Widhiyanto, Fajar, Krisis Mengalir Sampai Jauh, Majalah Investor, November 2008, Vol. X. No.185.
DAFTAR PUSTAKA
13
A. PENDAHULUAN
Indonesia sebagai Negara yang memiliki berbagai
potensi kekayaan alam, budaya, dan adat istiadat
menjadikannya sebagai tujuan pariwisata dan investasi
yang menjanjikan. Dampak dari perkembangan
tersebut adalah banyaknya warga Negara asing yang
datang ke Indonesia baik untuk sekedar berwisata
maupun untuk berinvestasi.
Banyaknya Warga Negara Asing yang datang ke
Indonesia membawa dampak positif terhadap
pertumbuhan perekonomian. Namun, tidak dapat
dipungkiri bahwa kondisi tersebtut juga sekaligus
membawa dampak negatif. Salah satu dampak
negatifnya adalah meningkatnya kebutuhan terhadap
tanah guna mendukung perkembangan investasi dan
pariwisata sedangkan ketersediaan tanah tidak
sebanding dengan kebutuhan. Hal ini menyebabkan
nilai ekonomis dari tanah menjadi tinggi dan banyak
masyarakat lokal yang tergiur untuk menjual tanahnya
dengan bayaran yang sangat tinggi. Sebagai tujuan
pariwisata dan investasi yang baik, menyebabkan
Warga Negara Asing yang datang ke Indonesia banyak
yang ingin menetap di Indonesia dan ingin mempunyai
hak milik atas tanah yang dapat diperuntukkan sebagai
tempat tinggal maupun tempat untuk menjalankan
investasinya.
15
KAJIAN NORMATIF TERHADAP PERJANJIAN NOMINEE HAK ATAS TANAH Di INDONESIA
Disusun oleh:
Made Oka Cahyadi Wiguna, S.H.,M.Kn.1
Email : [email protected]
Abstrak
Indonesia sebagai salah satu Negara tujuan investasi dan tujuan wisata, selain memberikan dampak positif, juga
berdampak negatif. Banyak warga negara asing yang ingin datang dan tinggal serta ingin mempunyai aset berupa hak
milik atas tanah di Indonesia, yang berdasarkan hukum positif di Indonesia, keinginan tersebut tidak dibenarkan. Keinginan
tersebut acapkali diwujudkan dengan membuat perjanjian nominee hak milik atas tanah. Substansi dari perjanjian nominee
adalah pengalihan secara tidak langsung kepemilikan atas tanah kepada warga negara asing.
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, Warga Negara Asing atau badan hukum asing tidak
diperbolehkan mempunyai hak milik atas tanah di Indonesia. Perjanjian nominee bertentangan dengan ketentuan KUH
Perdata dan juga tidak sesuai dengan tujuan, konsepsi, prinsip-prinsip, sistem dan isi ketentuan UUPA sebagai hukum
positif yang mengatur mengenai pertanahan. Oleh karena itu, perjanjian tersebut bukan merupakan suatu alternatif bagi
warga negara asing untuk dapat memiliki hak milik atas tanah di Indonesia.
Kata kunci: Perjanjian Nominee, Hak Atas Tanah.
1 Pengajar di Universitas Pendidkan Nasional (UNDIKNAS) Denpasar.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
Dalam peraturan perundang-undangan, yang
dimaksud dengan warga Negara asing adalah setiap
orang yang bukan Warga Negara Indonesia
diperlakukan sebagai orang asing.2 Ketentuan
tersebut merupakan a’contrario dari siapa saja yang
dikategorikan sebagai warga Negara Indonesia
berdasarkan peraturan perundang-undangan.3
Secara normatif, Warga Negara Asing yang ingin
memiliki hak milik atas tanah di Indonesia, tidak
terakomodasi oleh peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 21 ayat 1 Undang-undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (UUPA) mengatur bahwa hanya Warga Negara
Indonesia yang dapat mempunyai hak milik. Untuk
menyiasati ketentuan tersebut, banyak fenomena
Warga Negara Asing menikah dengan Warga Negara
Indonesia atau menggunakan perjanjian nominee
sebagai landasan agar Warga Negara Asing tersebut
dapat menguasai dan menggunakan tanah seolah-
olah sebagai pemilik dari tanah tersebut.
Secara umum, perjanjian nominee dikenal sebagai
perjanjian yang dibuat antara Warga Negara Asing
selaku pemilik modal dengan Warga Negara
Indonesia yang akan digunakan namanya untuk
mengatasnamakan suatu hak milik atas tanah.
Sehingga perjanjian semacam ini dikatakan suatu
perjanjian simulasi atau perjanjian yang keadaan
dalam perjanjiannya bukanlah keadaan yang
sebenarnya. Keberadaan perjanjian nominee ini
menjadi sebuah fenomena hukum empiris di
masyarakat. Fenomena ini kemudian marak dijadikan
suatu cara atau alternatif bagi Warga Negara Asing
untuk dapat memiliki tanah di Indonesia.
B. Konsep Perjanjian Nominee Ditinjau dari
KUHPerdata
Perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum dimana
seseorang atau lebih mengikatkan dirinya kepada
seseorang atau lebih lainnya, yang mana tujuan dari
pengikatan diri tersebut adalah untuk melakukan
sesuatu yang disepakati bersama dan apabila tidak
dilaksanakannya atau tidak dipenuhinya hal yang
telah disepakati akan menimbulkan suatu akibat
hukum berupa denda atau sanksi tertentu. Pada
dasarnya, perjanjian adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih.4
Berdasarkan dari rumusan pasal tersebut, perjanjian
melahirkan kondisi dimana satu orang atau lebih
mempunyai kewajiban memenuhi prestasi (debitor)
dan satu orang atau lebih berhak atas prestasi tersebut
(kreditor).5 Perjanjian dapat dibuat secara cuma-cuma
atau atas beban.6 Perjanjian yang dibuat dengan
cuma-cuma menyebutkan hanya terdapat satu pihak
yang berprestasi sedangkan perjanjian atas beban
mensyaratkan keduabelahpihak mempunyai kewajiban
untuk berprestasi (kontraprestasi).7
Dalam membuat perjanjian, terdapat 4 (empat) syarat
yang harus dipenuhi oleh para pihak. Kesepakatan
mereka yang membuat perjanjian merupakan salah
satu unsur yang harus terpenuhi dalam membuat
suatu perjanjian. Akan tetapi, kesepakatan bukanlah
satu-satunya syarat yang harus dipenuhi untuk
membuat suatu perjanjian, karena terdapat beberapa
syarat lain yang harus dipenuhi yaitu antara lain:8
16
2 Ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
3 Ketentuan Pasal 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
4 Ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
5 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2008, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta: RajaGrafindo Persada), hlm.92
6 Ketentuan Pasal 1314 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
7 Ahmadi Miru dan Sakka Pati, 2009, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai Pasal 1456 BW, (Jakarta: RajaGrafindo Persada), hlm.64.
8 Ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
(agreement) ;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
(capacity) ;
3. Suatu hal tertentu (certainty of terms);
4. Suatu sebab yang halal (considerations).
Syarat yang disebutkan pada no 1 dan 2 merupakan
syarat subyektif sedangkan syarat no 3 dan 4 adalah
syarat obyektif dari suatu perjanjian. Dengan adanya
ketentuan tersebut, akan menimbulkan konsekuensi
hukum apabila syarat-syarat di atas tidak dipenuhi
oleh mereka yang membuat perjanjian. Adapun
konsekuensi tersebut adalah batalnya perjanjian yang
dibuat.
Pembatalan yang dimaksud tersebut terbagi ke dalam
2 (dua) hal pokok, yaitu batal demi hukum, karena
tidak memenuhi syarat obyektif akibatnya perjanjian
atau perbuatan hukum dianggap tidak pernah terjadi
dan pembatalan yang kedua adalah dapat dibatalkan,
karena tidak memenuhi syarat subyektif namun
pembatalan ini baru dianggap batal apabila telah ada
putusan dari Hakim.9
Salah satu syarat penting yang harus dipenuhi dalam
membuat suatu perjanjian adalah suatu sebab atau
causa yang halal. Suatu sebab yang halal yang
dimaksud bukanlah apa yang menjadi penyebab atau
motivasi dari para pihak untuk membuat suatu
perjanjian, melainkan substansi dari perjanjian itu
sendiri.10 Substansi dari perjanjian merupakan
kehendak dari para pihak yang mengadakan perjanjian
dan kehendak tersebut akan selalu berkembang
mengikuti perkembangan segala aspek kehidupan.
Perkembangan investasi yang melibatkan warga
negara asing dengan tanah misalnya, menyebabkan
substansi perjanjian mengarah kepada perjanjian
nominee yang kontroversial.
Menurut Miggi Sahabati, nominee adalah seseorang
yang ditunjuk oleh pihak lain untuk mewakilinya
dalam melakukan suatu perbuatan hukum tertentu
sesuai dengan kesepakatan para pihak dan perbuatan
hukum yang dilakukan oleh nominee terbatas pada
apa yang telah diperjanjikan sebelumnya dengan
pihak pemberi kuasa”.11
Jika menyimak pengertian dari nominee tersebut
terdapat unsur kesepakatan di dalamnya. Kesepakatan
ini terjadi antara warga Negara asing dengan warga
Negara Indonesia. Dalam hal ini warga Negara
Indonesia selaku nominee mewakili kepentingan dari
warga Negara asing selaku pemilik modal atau
beneficial owner untuk membeli dan terbatas bertindak
hanya untuk mengatasnamakan hak milik atas tanah
di Indonesia yang dibeli oleh pihak asing tersebut.
Sedangkan untuk penguasaan dan penggunaan tanah
tersebut diberikan kepada warga Negara asing tanpa
dibatasi.
Menurut Maria S.W Sumardjono secara umum
substansi perjanjian nominee adalah sebagai berikut:12
1. Perjanjian Pemilikan Tanah (PPT) dan Pemberian
Kuasa
Dalam PPT pihak WNI mengakui bahwa tanah
HM (hak milik) yang terdaftar atas namanya
bukanlah miliknya, tetapi milik WNA yang telah
menyediakan dana untuk pembelian tanah HM
beserta bangunan. Selanjutnya pihak WNI memberi
kuasa yang tidak dapat ditarik kembali kepada
pihak WNA untuk melakukan segala tindakan
hukum terhadap tanah HM dan bangunan.
17
9 Komariah, 2005, Hukum Perdata, Cetakan keempat, (Malang: Universitas Muhammadiyah Press), hlm.175.
10 Ibid, hlm.208-209.
11 Miggi Sahabati, 2011, “Perjanjian Nominee dalam Kaitannya Dengan Kepastian Hukum Bagi Pihak Pemberi Kuasa Ditinjau Dari Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang Tentang Penanaman Modal, Undang-Undang Kewarganegaraan”, (Tesis Pasca Sarjana Tidak Diterbitkan, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta), hlm.25-26.
12 Maria S.W Sumardjono, 2008, Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak atas Tanah Beserta Bangunan bagi Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing, Cetakan Kedua, (Jakarta : Kompas Media Nusantara), hlm. 15.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
2. Perjanjian Opsi
Pihak WNI memberikan opsi untuk membeli tanah
HM dan bangunan kepada pihak WNA, karena
dana untuk pembelian tanah HM dan bangunan
itu disediakan pihak WNA.
3. Perjanjian Sewa-menyewa
Pada prinsipnya dalam perjanjian ini diatur tentang
jangka waktu sewa berikut opsi untuk
perpanjangannya beserta hak dan kewajiban pihak
yang menyewakan (WNI) dan penyewa (WNA).
4. Kuasa untuk Menjual
Berisi pemberian kuasa dengan hak substitusi dari
pihak WNI (pemberi kuasa) kepada pihak WNA
(penerima kuasa) untuk melakukan perbuatan
hukum menjual atau memindahkan tanah HM
dan bangunan.
5. Hibah Wasiat
Pihak WNI menghibahkan tanah HM dan bangunan
atas namanya kepada pihak WNA.
6. Surat Pernyataan Ahli Waris
Istri pihak WNI dan anaknya menyatakan bahwa
walaupun tanah HM dan bangunan terdaftar atas
nama suaminya, tetapi suaminya bukanlah pemilik
sebenarnya atas tanah HM dan bangunan tersebut.
Berdasarkan penjelasan tersebut nampak jelas adanya
motivasi dari perjanjian tersebut adalah untuk
mengalihkan hak milik atas tanah secara tidak
langsung kepada warga Negara asing. Jika dicermati
inti substansi perjanjian tersebut jelas tersurat adanya
suatu pelanggaran hukum. Dikaji secara yuridis,
substansi perjanjian nominee di atas memberikan
kewenangan kepada warga negara asing untuk
menguasai tanah selayaknya pemegang hak milik
atau dapat digolongkan memberikan hak milik atas
tanah secara tidak langsung dapat dikatakan tidak
memenuhi syarat suatu causa atau sebab yang halal.
Dengan tidak terpenuhinya syarat obyektif tersebut,
maka konsekuensi yuridis terhadap perjanjian
nominee adalah batal demi hukum. Menurut Achmad
Busro, “jika perjanjian tidak memenuhi syarat obyektif
yaitu suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal
sebenarnya sejak awal perjanjian tersebut dibuat,
perjanjian tersebut telah dianggap tidak pernah lahir
atau rechts wegenietig”.13 Dikatakan batal demi
hukum karena substansinya melanggar ketentuan
yang diatur dalam UUPA yaitu:
1. Hanya warga Negara Indonesia dapat mempunyai
Hak milik.14
2. Setiap jual beli, penukaran, penghibahan,
pemberian dengan wasiat dan perbuatan-
perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung
atau tidak langsung memindahkan hak milik
kepada orang asing, kepada seorang warga
Negara yang disamping kewarganegaraan
Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing
atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang
ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam
Pasal 21 ayat 2, adalah batal demi hukum dan
tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan,
bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya
tetap berlangsung serta semua pembayaran yang
telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut
kembali.15
Perjanjian nominee merupakan salah satu bentuk
perjanjian tidak bernama atau perjanjian innominaat.
Dikatakan sebagai perjanjian innominaat karena tidak
diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPer). Oleh karena itu, setiap orang bebas
membuat perjanjian serta sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya.16 Ketentuan
tersebut memberikan peluang kepada setiap orang
dapat membuat perjanjian apapun sesuai dengan
asas pacta sunt servanda. Akan tetapi, kebebasan
yang diberikan tersebut tetap mempunyai batasan-
batasan tidak dapat bertentangan terhadap undang-
undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.17
18
13 Achmad Busro, 2012, Hukum Perikatan Berdasar Buku III KUHPerdata, Cetakan ke 2, (Yogyakarta: Penerbit - Percetakan Pohon Cahaya), hlm.93.
14 Ketentuan Pasal 21 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.
15 Ketentuan Pasal 26 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.
16 Ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
17 Ketentuan Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
C. Perjanjian Nominee Bertentangan Dengan UUPA
Maraknya fenomena perjanjian nominee atas hak
milik atas tanah di Indonesia menjadikan bangsa
Indonesia seolah-olah sebagai orang asing di negerinya
sendiri karena banyak tanah di wilayah Indonesia
yang “dimiliki” oleh orang asing sedangkan warga
Negara Indonesia hanya menjadi pemilik di atas kertas
saja. Kenyataan tersebut bertentangan dengan hukum
positif yang berlaku. Padahal jika bertumpu pada Ius
Consitutum, orang asing tidak dapat mempunyai hak
milik atas tanah di Indonesia.
Penguasaan hak-hak atas tanah di Indonesia dapat
diartikan penguasaan secara fisik dan secara yuridis.
Penguasaan secara yuridis mempunyai pengertian
penguasaan yang dilandasi oleh suatu hak yang diatur
dalam ketentuan perundang-undangan untuk dapat
menguasai tanah secara fisik. Dalam pelaksanaan
perjanjian nominee warga Negara asing menguasai
tanah secara fisik, namun tidak dilandasi oleh suatu
hak atau batasan-batasan yang diatur secara normatif
dalam perundang-undangan.
Memberikan pemilikan tanah kepada warga Negara
asing tanpa mengacu kepada peraturan perundang-
undangan, secara tidak langsung merupakan wujud
dari penghidupan kembali keadaan pada masa sebelum
berlakunya UUPA, yaitu pada masa berlakunya hukum
agraria kolonial. Keadaan tersebut bertentangan
dengan tujuan, konsepsi, asas, sistem dan isi dari
ketentuan UUPA sebagai hukum agraria nasional.
1. Bertentangan Dengan Tujuan UUPA
Dalam pembentukannya, UUPA mempunyai tujuan
yang diharapkan dapat bermanfaaat bagi rakyat
Indonesia. Adapun tujuan yang dimaksud adalah
untuk membawakan kemakmuran bagi rakyat,
mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam
hukum pertanahan dan memberikan kepastian
hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat.18
Tujuan tersebut merupakan perintah langsung
dari Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia yang merupakan landasan
konstitusional pembentukan UUPA. Dimana dalam
ketentuan tersebut menegaskan Bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
yang diletakkan dalam penguasaan Negara itu
digunakan untuk mewujudkan sebesar-besarnya
kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Berdasarkan tujuan tersebut jelas dapat disimak
bahwa tujuan dari dibentuknya UUPA adalah
untuk memberikan kemakmuran bagi bangsa
Indonesia bukan sebaliknya seperti dalam perjanjian
nominee, yang mendapatkan kemakmuran dan
kesejahteraan adalah warga negara asing yang
menjadi beneficial owner sedangkan warga Negara
Indonesia yang menjadi nominee tidak dapat
menikmati apapun dari tanah yang diatasnamakan
menggunakan namanya. Sekali tiga uang dengan
kemakmuran rakyat yang terabaikan, maraknya
fenomena perjanjian nominee berdampak
terhadap kepastian hukum hak atas tanah juga
akan terabaikan.
2. Bertentangan Terhadap Konsepsi Hukum
Tanah Nasional
Menurut Boedi Harsono konsepsi hukum tanah
nasional adalah komunalistik religius yaitu
konsepsi yang diadopsi dari hukum adat yang
memungkinkan penguasaan tanah secara
individual, dengan hak-hak atas tanah yang
bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur
kebersamaan.19 Dalam hukum tanah nasional
seluruh tanah dalam wilayah Indonesia adalah
tanah bersama rakyat Indonesia yang merupakan
karunia Tuhan Yang Maha Esa. Berdasarkan
konsepsi hukum tanah nasional tersebut dapat
dikonstruksikan bahwa hanya bangsa Indonesia
yang mendapatkan tempat dalam kepunyaan
19
18 Ketentuan dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960.
19 Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, Jilid 1, Jakarta: Djambatan, hlm.181.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
bersama atas seluruh tanah di wilayah Indonesia
dan mempunyai hubungan yang bersifat abadi.
Sedangkan dalam perjanjian nominee, secara
tidak langsung memberikan tempat bagi orang
asing untuk dapat memiliki tanah di Indonesia.
Jelas hal tersebut tidak sejalan dengan konsepsi
tersebut.
3. Bertentangan Terhadap Asas-Asas UUPA
Keberadaan perjanjian nominee di Indonesia pada
dasarnya bertentangan dengan asas yang
terkandung dalam UUPA. Dalam UUPA terdapat
azas nasionalisme yaitu asas yang menyatakan
hanya warga Negara Indonesia yang dapat
mempunyai hubungan hukum sepenuhnya
dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya. Termasuk
dalam asas tersebut adalah hanya warga negara
Indonesia yang dapat mempunyai hak milik atas
tanah di Indonesia. Asas tersebut mengharuskan
hanya warga Negara Indonesia, baik laki-laki atau
perempuan dan tidak membeda-bedakan kesukuan
maupun keturunan yang dapat mempunyai hak
milik atas tanah. Larangan pengasingan tanah di
Indonesia dan kepemilikan tanah kepada orang
asing di Indonesia disebut juga dengan asas gronds
verponding verbood.20 Disamping itu terdapat
asas kebangsaan yang menyebutkan bahwa
hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air
serta ruang angkasa adalah hubungan yang bersifat
abadi.21 Oleh karena itu, tidak ada suatu tindakan
maupun alasan apapun yang dapat mengakhiri
hubungan yang bersifat abadi tersebut termasuk
melalui perjanjian nominee.
4. Bertentangan Dengan Sistematika Hukum
Tanah Dalam UUPA
Pembangunan hukum tanah nasional yang
berdasarkan hukum adat pada dasarnya
mempunyai semangat, jiwa dan tujuan untuk
menciptakan kesejahteraan, kebahagiaan dan
kemakmuran bagi bangsa Indonesia. Oleh karena
itu sendi-sendi kolonial yang berlaku pada zaman
sebelum terbentuknya UUPA dihilangkan dalam
penyusunan UUPA. Penyusunan hukum tanah
nasional yang menggunakan hukum adat dalam
pembentukan konsepsinya telah melahirkan suatu
sistem yang disebut dengan sistematika hukum
tanah nasional.
Susunan sistematika hukum tanah nasional
tersebut menurut Boedi Harsono terlihat dari
sistem hak-hak penguasaan atas tanah dalam
hukum tanah nasional, yang dimulai dengan:
1. Hak Bangsa Indonesia;
2. Hak Menguasai dari Negara atas tanah yang
bersumber pada Hak Bangsa;
3. Hak Ulayat;
4. Hak-hak Penguasaan Individual terdiri atas:
a. Hak-hak atas tanah;
b. Wakaf;
c. Hak Jaminan atas tanah yang disebut Hak
Tanggungan.22
Sistematika di atas mendeskripsikan bahwa
semangat dari UUPA adalah mengutamakan
kemakmuran dam kesejahteraan bangsa
Indonesia. Dalam hal pemberian hak milik secara
tidak langsung kepada warga Negara asing, yang
mendapatkan kesejahteraan dan kemakmuran
adalah warga Negara asing. Hal tersebut jelas
tidak sejalan dengan apa yang diinginkan dalam
penyusunan sistematika hukum tanah nasional.
5. Bertentangan Dengan Isi UUPA
Secara yuridis, perjanjian nominee tidak
terakomodasi dalam peraturan perundang-
undangan di Indonesia. Bahkan jika dicermati,
substansi dari perjanjian tersebut bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan hukum dalam UUPA.
20
20 Irma Devita, Konsekwensi Penggunaan Nama Orang Lain (Nominee Arrangement) Untuk PT Ataupun Property di Indonesia, 20 Agustus 2011, http://irmadevita.com/.
21 Ketentuan Pasal 1 ayat 3 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960. 22 Boedi Harsono, Op.Cit, hlm.208.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
Ketentuan mengenai subyek hukum yang dapat
mempunyai hak milik adalah hanya warga Negara
Indonesia,23 sedangkan dalam perjanjian nominee
terdapat pemberian hak milik kepada orang asing
secara tidak langsung. Akibat hukum dari
pemberian secara tidak langsung semacam itu
adalah batal demi hukum dan tanahnya jatuh
kepada Negara.24
Penggunaan tanah hak milik oleh orang lain
hanya dapat dilaksanakan dengan memberikan
pembatasan-pembatasan yang telah ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan.25
Pembatasan seperti yang telah disebutkan di atas,
tidak akan pernah ditemukan dalam perjanjian
nominee. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya
semangat dan tujuan dibuatnya perjanjian tersebut
adalah untuk memberikan kepemilikan tanah
kepada orang asing selaku pihak beneficial owner.
D. Hak Atas Tanah Bagi Orang Asing di Indonesia
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa warga Negara
asing tidak dapat mempunyai hak milik atas tanah di
Indonesia baik secara langsung maupun tidak
langsung. Akan tetapi oleh peraturan perundang-
undangan warga Negara asing yang berkedudukan
di Indonesia masih diberikan kesempatan untuk
mendapatkan suatu hak atas tanah di Indonesia dalam
bentuk Hak Sewa26 ataupun dalam bentuk Hak Pakai27
dengan jangka waktu tertentu sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Hak Pakai dapat diberikan terhadap tanah Negara
berdasarkan keputusan pemberian hak oleh pejabat
yang berwenang, terhadap tanah pengelolaan
berdasarkan pemberian hak oleh pejabat yang ditunjuk
atas usul pemegang hak pengelolaan dan terhadap
tanah hak milik dengan dasar pemberian hak oleh
pemegang hak milik.28 Dalam perkembangannya
semakin banyak orang asing yang datang ke Indonesia
dan turut serta dalam pembangunan nasional. Oleh
karena itu, pemerintah ingin mengakomodasi
kedatangan mereka terkait untuk tempat hunian
dalam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun
1996 tentang Pemilikan Rumah Tinggal Atau Hunian
Oleh Orang Asing Berkedudukan di Indonesia.
Berdasarkan ketentuan di atas, orang asing dapat
mempunyai rumah tinggal atau hunian di atas tanah
Hak Pakai tanah Negara atau yang dikuasai dengan
hak milik berdasarkan perjanjian dengan pemegang
hak atas tanah. Selain itu, orang asing juga dapat
mempunyai satuan rumah susun yang dibangun di
atas tanah Hak pakai tanah Negara.29 Menyimak
penjelasan di atas, orang asing yang berkedudukan
di Indonesia dan mempunyai pengaruh terhadap
pembangunan nasional telah diberikan pilihan hukum
untuk dapat menguasai tanah sesuai dengan haknya.
Hal tersebut ditentukan demikian adalah untuk
terwujudnya apa yang menjadi tujuan UUPA yaitu
untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
Indonesia sesuai dengan amanat konstitusi serta
merupakan wujud kepastian hukum yang diberikan
kepada warga Negara asing yang berkedudukan di
Indonesia terlebih yang mempunyai pengaruh bagi
pembangunan nasional. Dengan terwujudnya apa
yang menjadi tujuan dari UUPA, maka secara tidak
langsung dapat mewujudkan apa yang menjadi tujuan
hukum yaitu untuk mencapai ketertiban dan keadilan.
Terwujudnya apa yang menjadi tujuan hukum tersebut
memberikan efek positif bagi setiap orang termasuk
warga Negara asing akan merasa aman untuk
berwisata maupun berinvestasi di Indonesia.
21
23 Ketentuan Pasa 21 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.
24 Ketentuan Pasal 26 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.
25 Ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.
26 Ketentuan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.
27 Ketentuan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.
28 Ketentuan Pasal 42 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996.
29 Ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
E. SIMPULAN
Setelah mengkaji perjanjian nominee dari sudut
pandang hukum positif, berikut ini akan disampaikan
kesimpulan bahwa perkembangan investasi dan
pariwisata di Indonesia, melahirkan satu jenis perjanjian
baru, yaitu perjanjian nominee hak milik atas tanah.
Perjanjian tersebut sejatinya tidak dibenarkan oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia.
Pertentangan tersebut terkait terhadap keabsahan
perjanjian nominee ditinjau dari syarat causa yang
halal yaitu melanggar ketentuan tidak dibenarkannya
pemindahan hak milik secara langsung maupun tidak
langsung kepada warga Negara asing sebagaimana
yang disyaratkan dalam UUPA. Akibatnya, perjanjian
tersebut batal demi hukum. Disamping itu, perjanjian
nominee tidak sesuai dengan tujuan, konsepsi, asas,
sistem dan isi dari ketentuan UUPA sebagai hukum
positif yang mengatur pertanahan nasional. Warga
Negara asing yang berkedudukan di Indonesia telah
diberikan kesempatan untuk menguasai tanah di
Indonesia dengan Hak Pakai atas tanah.
22
Abdul Latif dan Hasbi Ali, 2010, Politik Hukum, Cetakan Pertama, Jakarta: Sinar Grafika.
Achmad Busro, Hukum Perikatan Berdasar Buku III KUHPerdata, Cetakan ke 2, Yogyakarta: Penerbit-Percetakan Pohon
Cahaya, 2012.
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, 2009, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai Pasal 1456 BW, Jakarta: Raja
Grafindo Persada).
Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan
Pelaksanaannya, Jilid 1, Jakarta: Djambatan.
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2008, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Komariah, 2005, Hukum Perdata, Cetakan keempat, Malang: Universitas Muhammadiyah Press.
Maria S.W Sumardjono, 2008, Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak atas Tanah Beserta Bangunan bagi Warga Negara
Asing dan Badan Hukum Asing, Cetakan Kedua, (Jakarta: Kompas Media Nusantara).
Munir Fuady, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Cetakan I, (Jakarta: Kencana).
Soerjono Soekanto, 2012, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Cetakan ke 11, (Jakarta: Raja Grafindo).
Miggi Sahabati, 2011, “Perjanjian Nominee dalam Kaitannya Dengan Kepastian Hukum Bagi Pihak Pemberi Kuasa
Ditinjau Dari Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang Tentang Penanaman Modal, Undang-Undang
Kewarganegaraan”, (Tesis Pasca Sarjana Tidak Diterbitkan, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta), hlm.25-
26.
Irma Devita, Konsekwensi Penggunaan Nama Orang Lain (Nominee Arrangement) Untuk PT Ataupun Property di Indonesia,
20 Agustus 2011, http://irmadevita.com/.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
DAFTAR PUSTAKA
2923
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing
Berkedudukan di Indonesia.
24
HUKUM PERSAINGAN USAHA (Tinjauan pada Perjanjian yang dilarang)
(Business Competition Law) (Review on the Agreement Forbidden)
Disusun oleh:
Muhar Junef
Abstrac
Business competition law in indonesia adult this is very interesting to guilty special on the agreement forbidden
because the business competition law very important to protect small and medium enterprises which suspected during
this as economic engine of indonesian micro who able to survive in the middle of a storm of economic crisis and monetary.
Business competition and businesses require strict regulation of the government so it can run in fair to all parties. The
purpose of this research is to see whether the implementation of law No.5 1999 are in compliance with the expected
or are still not as expected and factors what caused it. Methods used is normative research method. The results of research
found that the implementation of competition law venture undertaken not sufficiently effective, when viewed from
changes in the structure and unmannerly business doers that is in the industry. While the factors that affect the
implementation of a legal product, that can affect the effectiveness of competition law is a factor of the implementation
of the substance of laws and factors related to law enforcement officials as well as cultural factors law. Thus the success
of the implementation of an act of competition also a lot depends on how well the concept and the value of competition
policy related to the process of making interwoven in between the community. Need to actively in order to provide input,
to the regulations prepared by the government is contrary to the values that were in business competition in law.
Keywords: Business competition law.
Abstrak
Hukum persaingan usaha di Indonesia dewasa ini sangat menarik untuk diteliti khususnya pada perjanjian yang
dilarang, karena hukum persaingan usaha sangat penting untuk melindungi usaha kecil dan menengah yang ditengarai
selama ini sebagai motor penggerak ekonomi mikro Indonesia yang mampu bertahan di tengah badai krisis ekonomi
dan moneter. Persaingan bisnis dan usaha memerlukan peraturan yang ketat dari pemerintah agar dapat berjalan secara
adil untuk semua pihak. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat apakah implementasi UU No.5 Tahun 1999 selama
ini telah sesuai dengan yang diharapkan ataukah masih belum sesuai dengan yang diharapkan dan faktor apa yang
menyebabkannya. Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif. Hasil penelitian menemukan bahwa
implementasi dari hukum persaingan usaha yang dilakukan belum cukup efektif, bila dilihat dari perubahan struktur dan
prilaku pelaku usaha yang ada di dalam industri. Sedangkan faktor yang mempengaruhi implementasi dari suatu produk
hukum, yang dapat mempengaruhi efektifitas dari implementasi hukum persaingan adalah faktor substansi undang-
undang dan faktor aparatur penegak hukum terkait serta faktor budaya hukum. Dengan demikian keberhasilan
implementasi suatu Undang-undang Persaingan juga banyak tergantung dari seberapa baik konsep dan nilai persaingan
terkait dengan proses pembuatan kebijakan yang terjalin di antara masyarakat. Perlu secara aktif dalam memberikan
masukan kepada perintah, agar regulasi yang disusun oleh pemerintah tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang terdapat
di dalam hukum persaiangan usaha.
Kata kunci: hukum persaingan usaha.
25
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
PENDAHULUAN
Kebijakan pembangunan ekonomi yang kita jalankan
selama tiga dasawarsa ini, selain menghasilkan banyak
kemajuan, yang ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi
yang tinggi, juga masih banyak melahirkan tantangan
atau persoalan pembangunan ekonomi yang belum
terpecahkan. Di samping itu, ada kecenderungan
globalisasi perekonomian dan dinamika serta
perkembangan usaha swasta sejak awal tahun 1990-an.
(Tresia Elmondo Hutabarat:
http/http://tresia3lm0nd0.blogspot.com/2012/07/hukum-
persaingan-usaha.html).
Peluang-peluang usaha yang telah diciptakan oleh
penguasa pada waktu itu dalam kenyataannya belum
membuat seluruh masyarakat mampu dan dapat
berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai sektor
ekonomi. Hal ini dikarenakan perkembangan usaha
swasta di satu sisi, dimana diwarnai oleh berbagai bentuk
kebijakan penguasa yang kurang tepat, sehingga pasar
menjadi terdistorsi. Di sisi lain, sebagian besar
perkembangan usaha swasta pada kenyataannya
merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha
yang tidak sehat atau curang. (Ibit, Tresia Elmando
Hutabarat).
Fenomena yang demikian telah berkembang dan
didukung oleh adanya hubungan antara pengambil
keputusan dan para pelaku usaha, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Hal ini semakin memperburuk
keadaan karena penyelenggaraan ekonomi nasional
kurang memperhatikan amanat Pasal 33 Undang-Undang
Dasar 1945, dan cenderung menunjukkan corak yang
sangat monopolistik. Dimana para pengusaha yang dekat
dengan elite kekuasaan mendapatkan kemudahan-
kemudahan yang berlebihan, sehingga menimbulkan
kesenjangan sosial. Munculnya konglomerasi dan
sekelompok kecil pengusaha kuat yang tidak didukung
oleh semangat kewirausahaan sejati merupakan salah
satu faktor yang mengakibatkan ketahanan ekonomi
menjadi sangat rapuh dan tidak mampu bersaing.
(Hikmahanto Juwana, 1999:4).
Sebuah undang-undang yang secara khusus mengatur
persaingan dan antimonopoli sudah sejak lama dipikirkan
oleh para pakar, partai politik, lembaga swadaya
masyarakat, serta instansi pernerintah. Pada tahun 1995
Partai Demokrasi Indonesia mengusulkan konsep
Rancangan Undang-undang tentang Antimonopoli.
Demikian pula Departernen Perdagangan yang bekerja
sama dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia
pernah membuat naskah akademik Rancangan Undang-
Undang tentang Persaingan Sehat di Bidang Perdagangan.
Namun disayangkan semua usulan dan inisiatif tersebut
tidak mendapat tanggapan yang positif, karena pada
masa-masa itu belum ada komitmen maupun political
will dari elite politik yang berkuasa untuk mengatur
masalah persaingan usaha (Ibid, Hikmahanto Juwana,
1999:4).
Pada era pasar bebas saat ini, kita dituntut untuk mampu
bersaing dengan mengandalkan kekuatan sendiri. Lebih
ironis lagi, perilaku dari pelaku-pelaku bisnis kita, yaitu
para konglomerat yang telah memperoleh perlakuan
istimewa dari penguasa tersebut, ternyata sangat tidak
bertanggung jawab, dan tidak mau berbuat positif untuk
memperbaiki kondisi ekonomi nasional yang sangat
parah. Kondisi semacam ini mengharuskan pemerintah
mencari bantuan dari donor-donor lain, baik yang bersifat
kolektif maupun negara per negara. Ketergantungan
pada bantuan asing, ini mengharuskan pemerintah
mengikuti berbagai persyaratan yang disepakati bersama,
semuanya meletakkan Indonesia pada posisi yang lemah.
Walau demikian, dalam hal-hal tertentu, banyak hal
yang berkaitan dengan persyaratan utang luar negeri
itu yang mengandung hikmah, yaitu mengakselerasi
pembuatan undang-undang yang sebenarnya sudah
lama didambakan, yang dalam kondisi normal tidak
akan dibentuk dalam waktu singkat, pada umumnya ini
telah terjadwal di dalam Letter/Intents antara Indonesia
dengan IMF (Muladi 1998:35-36).
Di samping itu merupakan tuntutan nasional, Undang-
Undang Persaingan Usaha (Fair Competition Law) juga
merupakan tuntutan atau kebutuhan rambu-rambu
yuridis dalam hubungan bisnis antarbangsa. Dari sisi
kehidupan nasional jelas bahwa basis kultural (asas
26
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
kekeluargaan) dan konstitusional (demokrasi ekonomi)
kita memang sama sekali menolak praktik-praktik
monopolistik dalam kehidupan ekonomi yang merugikan
rakyat. Dari sisi hubungan antarbangsa pun, apalagi
dengan munculnya fenomena globalisasi ekonomi yang
mengandung makna, semakin meningkatnya
ketergantungan antarbangsa di berbagai bidang
kehidupan (ekonomi), mengharuskan berbagai bangsa
menaati rambu-rambu (peraturan) baku dalam bisnis
antarbangsa, sebagai konsekuensi WTO, APEC, AFTA,
NAFTA, EC, dan lain sebagainya (ibid, Muladi, 1998:36).
Untuk itulah, akhirnya harus ada campur tangan Negara
(government regulation) untuk mengembangkan dan
memelihara kondisi persaingan. Bahkan globalisasi
menciptakan atmosfer yang kondusif untuk persaingan
yang menembus batas-batas negara, yang membutuhkan
harmonisasi kebijakan yang sering dinamakan "super
national of regional standards". Bahkan Masyarakat
Ekonomi Eropa (EC) juga masih terus mengembangkan
apa yang dinamakan "Minimum Competition Policy
Requirements Within the Framework of the GATT".
Di lingkungan ASEAN pun, tanpa mengesampingkan
divergensi struktur institusional ekonomi, politik, dan
sosial, para ahli sudah mulai berpikir tentang perlunya
pengembangan di samping hukum persaingan nasional
dan harmonisasi peraturan-peraturan komersial, termasuk
hukum persaingan di antara masyarakat ASEAN (opcit,
Muladi, 1998:36).
Beberapa negara sudah mengatur rambu-rambu
persaingan usaha yang sehat dalam hukum nasional
masing-masing. Amerika Serikat untuk pertama kali pada
tahun 1890 telah mengatur persaingan usaha yang sehat
dalam Act to Protect Trade and Commerce Against
Unlawful Restraints and Monopolies (Sherman Act), yang
beberapa kali telah disempurnakan, terakhir dengan
Robinson Patrnan Act tahun 1936. Demikian pula di
Jepang, untuk pertama kali pengaturan persaingan usaha
dituangkan dalam Shiteki dokusen no kinshi oyobi kosei
torihiki ni kansuru horitsu (Law concerning the prohibilition
of private monopoly and preservation offair trade), yang
beberapa kali mengalami perubahan. Bagi Negara Jerman,
pengaturan persaingan usaha dapat dijumpai dalam Act
to Unfair Competition 1909. Negara Filipina juga telah
mengatur persaingan usaha ini dalam Penal Code-nya.
Sedangkan Negara negara yang tergabung dalam
Masyarakat Ekonomi Eropa, sudah pasti tunduk dan
mengikuti kerentuan pengaturan hukum persaingan
usaha yang telah diatur bersama dalam Treaty on the
European Union. Sedangkan Indonesia, pengaturan
persaingan usaha baru terwujud pada tahun 1999 saat
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
disahkan.
Kelahiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut
ditunjang pula dengan tuntutan masyarakat akan reformasi
total dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara,
termasuk penghapusan kegiatan monopoli di segala
sektor. Dibandingkan dengan proses pembentukan
undang-undang pada umumnya, proses pembentukan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 termasuk tidak
lazim. Perbedaan ini terletak pada pihak yang mengajukan
rancangan undang-undang. Selama ini dalam praktik
kenegaraan kita, rancangan undang-undang disiapkan
dan diajukan oleh pemerintah untuk kemudian dibahas
bersama-sama DPR. Tetapi tidak demikian dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Adapun yang
mempersiapkan rancangannya adalah DPR yang kemudian
menggunakan hak inisiatifnya mengajukan rancangan
undang-undang. Rancangan Undang-Undang ini
dipersiapkan selama kurang lebih 4 bulan oleh Kelompok
Kerja Program Legislasi Nasional DPR Bidang Ekonomi
Keuangan dan Industri Pembangunan dengan judul
Rancangan Undang-Undang tentang Larangan Praktik
Monopoli, tanpa ada kata-kata "Persaingan Tidak Sehat".
Sebenarnya pemerintah, dalam hal ini Departemen
Perindustrian dan Perdagangan, telah mempersiapkan
rancangan undang-undang yang mengatur masalah
persaingan dengan judul Rancangan Undang-Undang
tentang Persaingan Usaha. Kemudian Pemerintah dan
DPR menyepakati Rancangan Undang-Undang yang
dipersiapkan oleh DPR itulah yang digunakan.
(Hikmahanto Juwana, 1999:4).
Dari konsiderans menimbang Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999, dapat diketahui falsafah yang melatar depani
27
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
kelahirannya dan sekaligus memuat dasar pikiran perlunya
disusun undang-undang tersebut. Setidaknya memuat
tiga hal, yaitu:
1. Bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan
kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
2. Bahwa demokrasi dalam bidang ekonomi
menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi
setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam
proses produksi dan pemasaran barang dan/atau jasa,
dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien,
sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi
dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar;
3. Bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus
berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar,
sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan
kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu,
dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang telah
dilaksanakan oleh Negara Republik Indonesia terhadap
perjanjian-perjanjian internasional.
Sementara itu Penjelasan Umum Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 juga menyatakan antara lain
"Memperhatikan situasi dan kondisi tersebut di atas,
menuntut kita untuk mencermati dan menata kembali
kegiatan usaha di Indonesia, agar dunia usaha dapat
tumbuh serta berkembang secara sehat dan benar,
sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat serta
terhindarnya pemusatan kekuatan ekonomi pada
perorangan atau kelompok tertentu, antara lain dalam
bentuk praktik monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat yang merugikan masyarakat, yang bertentangan
dengan cita-cita keadilan sosial. Oleh karena itu, perlu
disusun undang-undang tentang larangan praktik
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang
dimaksudkan untuk menegakkan aturan hukum dan
memberikan perlindungan yang sama bagi setiap pelaku
usaha di dalam upaya untuk menciptakan persaingan
usaha yang sehat. Undang-undang ini memberikan
jaminan kepastian hukum untuk lebih mendorong
percepatan pembangunan ekonomi dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan umum, serta sebagai
implementasi dari semangat dan jiwa Undang-Undang
Dasar 1945".
Dengan demikian kelahiran Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan
kepastian hukum dan perlindungan yang sama kepada
setiap pelaku usaha dalam berusaha, dengan cara
mencegah timbulnya praktik-praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha yang tidak sehat lainnya dengan harapan
dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif, di mana
setiap pelaku usaha dapat bersaing secara wajar dan
sehat. Untuk itu diperlukan aturan hukum yang pasti
dan jelas yang mengatur larangan praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat lainnya.
Kehadiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sebagai
tool/social control and a tool/social engineering. Sebagai
"alat kontrol sosial", Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 berusaha menjaga kepentingan umum dan
mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha
tidak sehat. Selanjutnya sebagai "alat rekayasa sosial",
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 berusaha untuk
rneningkatkan efisiensi ekonomi nasional, mewujudkan
iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan
usaha yang sehat, dan berusaha menciptakan efektivitas
dan efisiensi dalam kegiatan usaha (Ayudha D. Prayoga
et al. (Ed.), 2000:52-53).
Apabila cita-cita ideal tersebut dapat dioperasionalkan
dalam kehidupan nyata, Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 akan membawa nilai positif bagi perkembangan
iklim usaha di Indonesia, yang selama ini dapat dikatakan
jauh dari kondisi ideal. Sekurang-kurangnya, Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 secara tidak langsung
akan memaksa pelaku usaha untuk lebih efisien dalam
mengelola usahanya, karena Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 juga menjamin dan memberi peluang yang
besar kepada pelaku usaha yang ingin berusaha (sebagai
akibat dilarangnya praktik monopoli dalam bentuk
penciptaan barrier toentry). Hal ini berarti bahwa hanya
pelaku usaha yang efisienlah yang dapat bertahan di
pasar (Ayudha D. Prayoga et al. (Ed.), 2000:53).
Dampak positif lain dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 adalah terciptanya pasar yang tidak terdistorsi,
sehingga menciptakan peluang usaha yang semakin
besar bagi para pelaku usaha. Keadaan ini akan memaksa
28
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
para pelaku usaha untuk lebih inovatif dalam menciptakan
dan memasarkan produk (barang dan jasa) mereka. Jika
hal ini tidak dilakukan, para konsumen akan beralih
kepada produk yang lebih baik dan kompetitif. Ini berarti
bahwa, secara tidak langsung Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 akan memberikan keuntungan bagi
konsumen dalam bentuk produk yang lebih berkualitas,
harga yang bersaing, dan pelayanan yang lebih baik.
Namun perlu diingat bahwa Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 bukan merupakan ancaman bagi perusahaan-
perusahaan besar yang telah berdiri sebelum undang-
undang ini diundangkan, selama perusahaan-perusahaan
tersebut tidak melakukan praktik-praktik yang dilarang
oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (Ayudha D.
Prayoga et al. (Ed.), 2000:53-54).
Di samping mengikat para pelaku usaha, Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 mengikat pemerintah untuk tidak
mengeluarkan peraturan-peraturan yang bersifat
memberikan kemudahan dan fasilitas istimewa kepada
para pelaku usaha tertentu yang bersifat monopolistik.
Akibatnya, dunia usaha Indonesia menjadi tidak terbiasa
dengan iklim kompetisi yang sehat, yang pada akhirnya
menimbulkan kerugian yang harus ditanggung oleh
seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, kehadiran
Undang-Undang No 5 Tahun 1999 diharapkan mampu
mengikat pemerintah untuk lebih objektif dan profesional
dalam mengatur dunia usaha di Indonesia. Di samping
itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga dapat
meningkatkan kepercayaan masyarakat internasional
terhadap Indonesia, sehingga mereka akan menarik untuk
menanamkan modalnya di Indonesia. Peningkatan
kepercayaan ini dikarenakan adanya jaminan untuk
berkompetisi secara sehat (Ayudha D. Prayoga et al. (Ed.),
2000:54-55).
PERMASALAHAN
Berdasarkan uraian pendahuluan di atas maka
permasalahan penelitian ini adalah : (1) bagaimana
implementasi UU No. 5 tahun 1999 saat ini; (2) faktor-
faktor apa yang mempengaruhi efektifitas implementasi
undang-undang tersebut.
METODOLOGI
Berdasarkan permasalah dan latar belakang diatas maka
metode penelitian yang dilakukan menggunakan
pendekatan yuridis normatif (Soerjono Sukamto & Sri
Mamuji 1979 : 15) yakni UU Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat sebagai sumber utama, dan referensi
dokumen lain sebagai pendukung yang terkait seperti
hasil penelitian sebelumnya, serta data dari berbagai
media, baik cetak maupun elektronik. Tradisi penelitian
dengan menggunakan laporan media massa, khususnya
surat kabar dan internet, semakin berkembang pesat
selama beberapa dasawarsa terakhir, terutama dibidang
kajian tindakan kolektif dan gerakan sosial. Penggunaan
surat kabar sebagai sumber data dipandang penting
terutama dalam situasi dimana sumber-sumber alternatif,
seperti statistik yang dikeluarkan pemerintah dipandang
kurang memadai.
PEMBAHASAN
I. Implementasi Hukum Persaingan Usaha
Bagi negara berkembang seperti Indonesia,
implementasi hukum persaingan usaha (Ditha
Wiradiputra: htt://arditobhina.com) bukanlah pekerjaan
yang mudah. Terlebih masih adanya anggapan di
kalangan Negara berkembang yang mengatakan
bahwa implementasi hukum persaingan usaha yang
berlebihan dapat mengganggu aktifitas bisnis pelaku
usaha, dan kurang menguntungkan bagi perusahaan-
perusahaan nasional, ditambah biaya yang dibutuhkan
dalam proses investigasi dugaan praktek anti
persaingan juga tidaklah murah. (Won-Joo-Kim:2006).
Maria Vagliasindi (Maria Vagliasindi: 2004:6) dalam
kajiannya menyimpulkan bahwa implementasi efektif
dari hukum persaingan merupakan tugas yang sulit,
serta memerlukan tingkat pengetahuan dan keahlian
yang tinggi. Kondisi struktur awal yang terjadi dalam
ekonomi transisi dari proteksi ke liberalisasi, khususnya
pada negara berkembang membuat implementasi
hukum persaingan menjadi tugas yang lebih
29
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
menantang daripada implementasi hukum persaingan
pada negara maju. Hambatan masuk yang timbul
dari konsentrasi pasar yang tinggi; kontrol dan
kepemilikan pemerintah; hambatan administratif,
semuanya tinggi di ekonomi transisi. Dan tidak hanya
itu, menurut Luis Tineo implementasi hukum
persaingan usaha juga tidak akan terlepas dari tekanan
secara politik maupun sosial. (Luis Tinie : 2000 : 5)
Selanjutnya tahun 2015 ini, usia dari Undang-undang
No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Pesaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5 Tahun
1999) telah mencapai lebih dari enam belas tahun
tahun. Sehingga alangkah baiknya jika dilakukan
suatu evaluasi terhadap bagaimana efektifitas dari
penegakkan atau implementasi UU No.5 Tahun 1999,
dan evaluasi tersebut bertujuan untuk melihat apakah
implementasi UU No.5 Tahun 1999 selama ini telah
sesuai dengan yang diharapkan ataukah masih belum
sesuai dengan yang diharapkan. Namun untuk melihat
bagaimana efektifitas dari penegakkan hukum
persaingan usaha terhadap berbagai sektor industri
yang ada bukanlah tugas yang mudah dan juga tidak
dapat dilakukan dalam jangka waktu yang relatif
singkat.
Hukum persaingan usaha di Indonesia dewasa ini
belum sepenuhnya dapat diaplikasikan dengan baik.
Sejatinya, hukum persaingan usaha sangat penting
untuk melindungi usaha kecil dan menengah yang
ditengarai selama ini sebagai motor penggerak
ekonomi mikro Indonesia yang mampu bertahan di
tengah badai krisis ekonomi dan moneter di tahun
1997-1998. Apa yang terjadi jika sistem monopoli
terus berjalan tanpa kendali? Jawabannya, kebanyakan
dari kita (baca: para konsumen) merugi. Mengapa?
Dengan sistem monopoli, perusahaan dapat
menaikkan harga dengan membatasi jumlah keluaran
produksi. Persaingan bisnis dan usaha memerlukan
peraturan yang ketat dari pemerintah agar dapat
berjalan secara adil untuk semua pihak. Faktanya,
dalam analisis ekonomi terdapat beberapa bentuk
usaha dalam struktur pasar yang tidak menyokong
terbentuknya persaingan usaha yang sehat dan justru
berpotensi memangkas bisnis atau usaha dari pihak
lain. Inilah yang disebut dengan praktik monopoli,
bentuk usaha yang anti-kompetisi. (Tsany Ratna
Dewi,tsany(dot)trd (at)gmail(dot)com).
Pemberlakuan hukum kompetisi di beberapa negara
maju telah berjalan sangat progresif, misalnya Sherman
Act di Amerika Serikat yang telah mengatur antitrust
policy sejak tahun 1890. Di luar negeri Paman Sam,
hukum kompetisi (competition law) kawasan Uni
Eropa menjadi hukum primer yang harus ditaati semua
anggotanya. Artinya, jika terdapat hukum usaha yang
bertentangan dengan hukum kompetisi Uni Eropa,
hukum Uni Eropa-lah yang menjadi acuan utama. Di
negara Jerman, kesadaran akan pentingnya hukum
pembatasan kompetisi (dalam bahasa Jerman disebut
Gesetz gegen Wettbewerbsbeschränkungen,
selanjutnya disingkat (GWB), tumbuh subur setelah
Perang Dunia II. Sebagaimana di berbagai negara
lainnya, hukum bisnis GWB berkembang seiring
tumbuh suburnya industrialisasi. Hukum tersebut
makin dirasa penting pada masa Nationalsozialismus
(NAZI) berkeyakinan bahwa ekonomi harus terus
berjalan dalam keadaan perang, hingga berlanjut
pada tahun 1933 melalui Zwangskartellgesetz dan
di 1942 menjadi Marktaufsichtverordnung. Perjuangan
juga diwujudkan lewat hukum memerangi kartel,
Dekartellierungsgesetze di tahun 1947 yang
membebaskan kompetisi di Jerman. Pada tahun 1958,
GWB menjadi hukum persaingan usaha di Jerman
hingga saat ini.
Bagaimana di Indonesia? Di era Soeharto, undang-
undang mengenai hukum persaingan usaha tidak
mendapatkan tempat karena berpotensi mematikan
usaha-usaha yang dijalankan kroni Soeharto. Bisnis
yang dijalankan bukan dengan merit system melainkan
berdasarkan pada konsesi dan priviledge dari rezim
Soeharto semata. Pasca-reformasi, upaya penggodokan
undang-undang persaingan usaha mulai digagas.
Menilik konstelasi hukum bisnis di dunia internasional
yang demikian ketat, suatu keharusan bagi Indonesia
sebagai salah satu negara yang bergaul dalam etika
bisnis internasional untuk memiliki kode etik usaha
30
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
yang jelas. Akhirnya, pada tahun 1999, Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
diterbitkan. Langkah berikutnya bagi Indonesia
menghadapi perdagangan bebas di masa mendatang
adalah mengharmonisasikan hukum yang mengatur
hubungan ekonomi dan bisnis antarbangsa
sebagaimana kesepakatan Final Act Uruguay Round
yang menjadi acuan dari pembentukan World Trade
Organization (WTO).
Hukum kompetisi berupaya untuk memproteksi pelaku
usaha dari praktek-praktek yang merugikan pelaku
usaha lain dan konsumen. Namun demikian, supremasi
hukum persaingan usaha tersebut masih memerlukan
sosialisasi dan kajian mendalam tentang haluan
jelasnya. Antitrust policy di Amerika berpegang teguh
pada proteksi pelaku usaha dari praktek monopoli,
sementara GWB di Jerman dirancang untuk
melindungi bisnis kecil dan menengah serta hukum
kompetisi di Uni Eropa dibuat untuk melindungi
konsumen dari perilaku anti kompetisi. Belajar dari
kekuatan hukum di wilayah-wilayah negara maju
tersebut, hukum persaingan usaha di Indonesia harus
pula memiliki garis besar haluannya sendiri yang pada
akhirnya mampu menjadi pelindung bagi pelaku
usaha sekaligus bagi konsumen. Refleksi hukum dan
ekonomi dari Uni Eropa dan Jerman mungkin dapat
menjadi pelajaran tersendiri bagi hukum persaingan
usaha di Indonesia yang terbilang masih muda.
Namun peraturan perundang-undangan yang dibuat
harus benar-benar bertitik tolak dari amanat dan
untuk kepentingan masyarakat banyak, yaitu bangsa
Indonesia sebagaimana diamanatkan pada Pembukaan
UUD 1945, sehingga peraturan perundang-undangan
yang dibuat akan memiliki politik hukum yang jelas,
tegas dan nyata, mudah dibuat, diterima, tersosialisasi
dengan baik, mempunyai daya laku efektif, mudah
penegakannya, tidak tertutup untuk perubahan sesuai
dengan kebutuhan jaman, dapat menjadi pedoman
dan ada kesesuaian antara teori dan doktrin dengan
kehidupan nyata, serta dapat dipertanggungjawabkan
dengan tingkat integritas moral yang baik.
Ada 8 (delapan) rekomendasi yang diperhatikan dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan
terhadap titik pokok permasalahan dan pembangunan
hukum tersebut (Agus Brotosusilo, 2012, hal 101),
diantaranya sebagai berikut:
1. Pembangunan politik hukum yang peka, aspiratif
dan progresif, kreatif dan inovatif mewujudkan
cita-cita. Dengan politik hukum yang benar dan
tepat akan menjawab pertanyaan akan dibawa
kemana negara dan bangsa ini, dan akan dibawa
kemana produksi nasional kita.
2. Pembangunan komunikasi hukum, pemakaian
bahasa hukum dan pemanfaatan infokom yang
mutakhir secara maksimal untuk modernisasi.
Komunikasi hukum disini adalah antara masyarakat
dengan legislator, antara pemerintah dan DPR,
dan antara masyarakat, pemerintah, dan DPR.
Komunikasi hukum ini akan berlangsung secara
terus menerus sehingga akan memudahkan dalam
pengawasan penerapan dan penegakannya
sampai dengan dilakukannya revisi atau bahkan
pencabutan berlakunya kegiatan hukum tertentu.
3. Pemberdayaan fungsi legislasi dan penemuan atau
penciptaan hukum. Pemberdayaan fungsi legislasi
dimaksudkan agar lembaga legislasi dapat terus
menerus melanjutkan pembuatan hukum berikut
revisi-revisi atau amandemennya secara terus
menerus secara berkelanjutan (substansi). Sebab,
kegiatan legislasi adalah kegiatan yang terus
menerus. Memperhatikan keberadaan anggota-
anggota DPR yang secara periodik berganti-ganti,
maka keberadaan BPHN dalam menjaga
kesinambungan program legislasi sebenarnya
mempunyai kedudukan dan peran yang sangat
strategis. Agar bisa lebih maksimal sesuai dengan
namanya, BPHN sebenarnya lebih tepat jika berdiri
sendiri langsung di bawah Presiden dan menjadi
lembaga setingkat kementerian yang mempunyai
tugas pokok dan fungsi mempersiapkan semua
naskah Rancangan Undang-Undang (RUU) dan
naskah akademik sekaligus sebagai mitra yang
31
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
menjembatani hubungan lembaga legislasi dengan
masyarakat dan pemangku kepentingan, termasuk
kalangan akademisi sesuai bidangnya masing-
masing.
4. Peningkatan sosialisasi hukum yang merata dan
efektif. Mengingat adanya asas hukum bahwa
setiap orang dianggap taat hukum, dan tidak ada
alasan pemaaf bagi orang yang tidak tahu hukum,
maka sudah selayaknya upaya sosialisasi hukum
wajib dilakukan bukan hanya sekedar dengan
mengumumkannya dalam Lembaran Negara,
melainkan juga dalam setiap peraturan perundang-
undangan yang diterbitkan juga mengatur adanya
kewajiban untuk melakukan sosialisasi secara luas
dan memadai.
5. Penerapan hukum yang ikhlas dan cerdas serta
non diskriminatif. Untuk memastikan bahwa setiap
peraturan perundang-undangan yang dibuat dan
diundangkan akan dipatuhi dan dilaksanakan oleh
para pihak perlu adanya kegiatan untuk mengawasi
penerapan hukum tersebut oleh otoritas atau
kementerian teknis yang berkaitan. Tanpa adanya
pengawasan dan kontrol lain bagi para pihak akan
menyebabkan tingkat kepatuhan hukum rendah.
Selain pengawasan penerapan hukum oleh otoritas
atau kementerian terkait, kebijakan diwajibkannya
badan-badan untuk dilakukan audit hukum oleh
auditor hukum independen perlu menjadi bagian
ketentuan peraturan setiap peraturan perundang-
undangan guna mengukur tingkat kepatuhan
hukum oleh para subyek hukum terutama yang
berbentuk badan usaha, baik yang berbadan
hukum maupun tidak berbadan hukum. Dengan
dilakukannya kewajiban audit hukum, akan
meningkatkan kualitas kepatuhan hukum (rules
compliance) dan good (corporate) governance,
dan terwujud tingkat kesadaran hukum yang
tinggi.
6. Penegakan hukum yang berkeadilan untuk
menjamin kepastian hukum dan memperbaiki
citra hukum dan para penegak hukum.
7. Pendidikan, penelitian, dan penegakan hukum.
8. Pembinaan integritas moral, spiritualitas, religi
hukum para insan yudikatif, insan hukum.
Untuk pembahasan lebih lanjut dengan batasan judul
penelitian ini akan membahas mengenai UU No. 5
Tahun 1999 mengenai masalah perjanjian yang
dilarang. Perumusan pengertian "perjanjian" dapat
dijumpai pula dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999. Pasal 1 angka 7 Undang Undang Nomor 5
Tahun 1999 mengartikan "perjanjian" adalah suatu
perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk
mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelakuusaha
lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak
tertulis. Berdasarkan perumusan pengertian tersebut,
dapat disimpulkan unsur-unsur perjanjian menurut
konsepsi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
meliputi: a. perjanjian terjadi karena suatu perbuatan;
b. perbuatan tersebut dilakukan oleh pelaku usaha
sebagai para pihak dalam perjanjian; c. perjanjiannya
dapat dibuat secara tertulis atau tidak tertulis; d.
tidak menyebutkan tujuan perjanjian.
Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
juga menggunakan kata "perbuatan". Pasal 1313
merumuskan pengertian perjanjian sebagai suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih. Para ahli menganggap rumusan perjanjian
menurut Pasal 1313 tersebut selain kurang lengkap
juga terlalu luas. Perjanjian lahir karena ada persetujuan
atau kesepakatan di antara para pihak, bukan
persetujuan sepihak saja. Pengertian perbuatan di
sini juga tidak terbatas, mencakup perbuatan secara
sukarela dan perbuatan yang bersifat melawan hukum.
Dengan demikian, baik Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata maupun Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 sama-sama merumuskan pengertian perjanjian
dalam pengertian yang luas.
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,
subjek hukum di dalam perjanjian tersebut adalah
"pelaku usaha", Pasal 1 angka 5 Undang-Undang
32
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan, yang dimaksudkan
dengan "pelaku usaha" adalah setiap orang
perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri
maupun bersama-sama melalui perjanjian,
menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam
bidang ekonomi. Dengan demikian, berdasarkan
perumusan yang diberikan Pasal 1 angka 5 tersebut,
subjek hukum di dalam perjanjian bisa berupa orang
perseorangan atau badan usaha yang berbadan
hukum atau bukan badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara. Badan usaha dimaksud adalah
badan usaha yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiaran usaha dalam wilayah hukum
Negara Republik Indonesia. Dengan kata lain, badan
usaha asing tidak dapat dijerat dengan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Pasalnya, hanya badan usaha yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan usaha dalam
wilayah hukum Negara Republik Indonesia yang
dapat dijerat dengan Undang-Undang Nornor 5
Tahun 1999. Demikian pula, baik Batang Tubuh
maupun Penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 tidak menjelaskan lebih lanjut apakah orang
perseorangan di sini juga harus berkedudukan atau
melakukan kegiatan usaha (bisnis) di dalam wilayah
hukum negara Republik Indonesia atau tidak. Hal ini
berbeda dengan hukum Antitrust Amerika Serikat
yang memungkinkan pelaku usaha asing terkena
hukum antitrust, kalau membuat efek negatif
terhadap perdagangan dalam negeri Amerika Serikat
(Ayudha D. Prayoga, et al. (Ed.), 2000:75).
Perjanjian yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 7
tersebut adalah perjanjian sepihak. Namun, tidak
berarti hanya perjanjian sepihak yang terkena Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999. Harus dipahami bahwa
perjanjian sepihak saja sudah dapat terkena Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999. Jangkauan berlakunya
sangat menguntungkan (Ayudha D. Prayoga, et al.,
(Ed.), 2000:76).
Di Australia istilah perjanjian (contract) dalam hukum
persaingan pada prinsipnya diartikan sebagaimana
istilah contract biasa, yang mensyaratkan adanya
consideration yang berarti masing-masing pihak saling
memberikan sesuatu. Karenanya perjanjian sepihak
tidak bisa dilaksanakan. Bahkan istilah "arrangement"
dan "understanding" yang dipakai di dalam hukum
persaingannya rnengharuskan adanya meeting of the
minds antara para pihak yang berarti bukan bersifat
sepihak, walaupun artinya menunjukkan sesuatu yang
lebih ringan dari perjanjian biasa. Di Amerika Serikat
istilah "agreement" yang mencakup "contract",
"combination", atau "conspiracy" menurut Section
1 dari the Sherman Act mengharuskan adanya
tindakan bersama-sarna dari dua orang atau lebih
untuk membentuknya, sedangkan tindakan bersama
(concerted action) hanya bisa dibenarkan apabila
mereka mempunyai unity of purpose, atau
understanding, atau telah terjadi meeting of minds
di antara mereka (Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.),
2000:76-77).
Pengertian perjanjian sepihak menurut Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 ternyara mirip dengan
pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yang juga dianggap
mempunyai kelemahan. Mungkin kelemahan di dalam
Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini
dianggap tidak begitu penting, terbukti dengan tidak
adanya usaha untuk memperbaikinya. Namun
"kelemahan" pengertian perjanjian menurut Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak bisa dianggap
tidak penting, karena ia akan memungkinkan lebih
mudahnya orang terkena pidana di dalam perjanjian-
perjanjian yang per se illegal. Kalau perjanjian sepihak
tidak dilarang, keadaan ini akan disalahgunakan,
sehingga akan terjadi perjanjian sepihak yang ditaati
oleh pihak pihak yang sebenarnya tidak terikat yang
akhirnya merusak persaingan. Hal ini bisa diarasi
dengan menambah suatu ketentuan lain seperti
persengkongkolan. Dengan ini, walaupun pasal
perjanjian tidak bisa diberlakukan, mereka akan
terkena ketentuan yang terakhir ini (bandingkan
Ayudha D. Prayoga et al., (Ed.), 2000:77).
33
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
Di Amerika Serikat, ketentuan larangan "conspiracy"
telah bias mengatasi kesukaran pembuktian ada
tidaknya perjanjian. Demikian pula di Australia, istilah
"arrangement" atau "understanding" telah bisa
mengatasi kesukaran yang serupa. Selain
menggunakan istilah "contract", Jepang juga
menggunakan istilah "agreement" atau "any other
concerted action" agar memperluas berlakunya hukum
antimonopolinya (Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.),
2000:77).
Perjanjian-Perjanjian yang Dilarang.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terdapat
11 macam perjanjian yang dilarang untuk dibuat oleh
pelaku usaha dengan pelaku usaha lain, sebagaimana
diatur dalam Pasal 4 sampai' dengan Pasal 16.
Perjanjian-perjanjian yang dilarang dibuat tersebut
dianggap sebagai praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha yang tidak sehat, Apabila perjanjian-
perjanjian yang dilarang ini ternyata tetap dibuat oleh
pelaku usaha, maka perjanjian yang demikian diancam
batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada,
karena yang dijadikan sebagai objek perjanjian adalah
hal-hal yang tidak halal yang dilarang oleh undang-
undang. Dari Pasal 1320 dan Pasal 1337 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdara, dapat diketahui salah satu
syarat sah suatu perjanjian adalah adanya suatu sebab
yang halal, yaitu apabila tidak dilarang oleh undang-
undang atau tidak berlawanan dengan kesusilaan
dan ketertiban umum. Selanjutnya, Pasal 1135 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menentukan, suatu
perjanjian yang dibuat tapi terlarang tidak mempunyai
kekuatan atau dianggap tidak pernah ada.
Perjanjian-perjanjian yang dilarang dan termasuk
"praktik monopoli" di antara Pasal 4 sampai dengan
Pasal 16 adalah perjanjian-perjanjian yang diatur
dalam Pasal-pasal 4, 9, 13, dan 16; selebihnya adalah
perjanjian-perjanjian yang dikategorikan melanggar
"persaingan usaha tidak sehat". Meskipun keempat
pasal di atas, yaitu Pasal-pasal 4, 9, 13, dan 16
termasuk perjanjian yang dianggap mengakibatkan
praktik monopoli, tetapi keempat pasal itu pun
menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat
menimbulkan "persaingan usaha tidak sehat". Tak
peduli apakah akibat yang ditimbulkan itu bersifat
kumulatif atau bersama-sama (terjadi praktik monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat), maupun alternatif
atau salah satu dari praktik monopoli atau persaingan
usaha tidak sehat saja (Insan Budi Maulana, 2000:18).
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 telah
merumuskan pengertian "praktik monopoli" dan
"persaingan usaha tidak sehat". Pasal 1 angka 2
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 merumuskan
pengertian "praktik monopoli" adalah pemusatan
kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha
yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau
pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu,
sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat
dan dapat merugikan kepentingan umum. Dari bunyi
Pasal 1 angka 2 tersebut, jelas bahwa yang dikatakan
sebagai praktik monopoli adalah apabila ada perilaku
yang menguasai produksi tertentu sehingga
menimbulkan persaingan usaha dan hal itu dapat
menimbulkan kerugian bagi kepentingan umum.
Pengertian "pemusatan kekuatan ekonomi"
dikemukakan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999, yaitu penguasaan yang nyata
atas suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih
pelaku usaha, sehingga dapat menentukan harga
barang dan/atau jasa. Dengan demikian dari bunyi
Pasal 1 angka 3 sudah jelas bahwa salah satu indikator
yang dapat digunakan untuk menentukan telah terjadi
suatu peristiwa pernusatan kekuatan ekonomi adalah
apabila telah terjadi "penguasaan atas suatu pasar
secara nyata", sehingga harga barang diperdagangkan
dan/atau jasa yang ditawarkan kepada konsumen
tidak lagi didasarkan pada mekanisrne pasar, melainkan
ditentukan sendiri oleh seseorang atau beberapa
pelaku usaha yang telah menguasai pasar yang
bersangkutan. Kemudian pengertian "persaingan
usaha tidak sehat" dirumuskan dalam Pasal 1 angka
6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu
persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan
kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang
dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara jujur atau
34
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Berdasarkan bunyi Pasal 1 angka 6 jelas bahwa telah
terjadi persaingan usaha atau bisnis tidak sehat atau
keurang bila antarpelaku usaha menjalankan kegiatan
produksi dan/atau pemasaran barang dan/arau jasa
dilakukan secara tidak jujur, melawan hukum, atau
menghambat persaingan usaha.
Dari Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999, terdapat beberapa perjanjian
yang dilarang, sebagai berikut: oligopoli (Pasal 4);
penetapan harga (Pasal 5); diskriminasi harga dan
diskon (Pasal 6 sampai dengan Pasal8); pembagian
wilayah (Pasal 9); pernboikotan (Pasal 10); kartel (Pasal
11); trust (Pasal 12); oligopsoni (Pasal 13); integrasi
vertikal (Pasal14); perjanjian tertutup (Pasal 15);
perjanjian dengan luar negeri (Pasal 16).
Perjanjian Oligopoli; Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 meneantumkan larang oligopoli.
Dalam Pasal 4 ayat (1) UndangUndang Nomor 5
Tahun 1999 dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk
seeara bersama-sama melakukan penguasaan produksi
dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat. Berdasarkan ketentuan
Pasal 4 ayat (1) jelaslah bahwa undang-undang hanya
melarang oligopoli yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan
usaha tidak sehat. Indikator yang terakhir ini harus
dibuktikan. Ini berarti dengan sendirinya sepanjang
penguasaan produksi dan/ atau pemasaran barang
dan/atau jasa tersebut tidak mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli dan/arau persaingan usaha tidak
sehat, maka usaha tersebut tidak dilarang oleh
undang-undang.
Lebih lanjut, Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 menjelaskan pengertian penguasaan
produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat
tersebut, yaitu apabila dua atau tiga pelaku usaha
atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari
75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu
jenis barang atau jasa tertentu. Dengan demikian
berdasarkan kerentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat
disimpulkan bahwa pelaku usaha dilarang mengadakan
perjanjian secara bersama-sama untuk melakukan
penguasaan produksi dan/atau pernasaran barang
dan/atau jasa lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen)
pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu,
karena perjanjian tersebut dapat menimbulkan praktik
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang
dapat merugikan kepentingan umum. Dalam hal ini
pembentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
juga mengadakan pembedaan produk atas barang
dan jasa. Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 menyatakan, barang adalah setiap
benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik
bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat
diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau
dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.
Kemudian pengertian jasa dikemukakan dalam Pasal
1 angka 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,
yaitu setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau
prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk
dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.
Berdasarkan Pasal 4 ini, perjanjian oligopoli dilarang
apabila dapat merugikan persaingan, jadi bukan per
se illegal. Hal ini menarik karena larangan oligopoli
hanya dimasukkan dalam kategori perjanjian yang
dilarang, yang dapat mempersempit eakupan larangan
tersebut mengingat keterbatasan arti perjanjian
(Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:78).
Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat oligopoli
di samping bisa terkena Section 1 dari the Sherman
Act, juga bisa terjerat Section 2-nya yang menggunakan
ungkapan "combine or conspire to monopolize".
Penggunaan istilah "combination" atau "conspiracy"
dalam hal ini lebih realistis mengingat oligopoli banyak
dilakukan tanpa adanya contract yang formal. Oligopoli
bias terjadi dengan implicit verbal negotiation, di
samping karena adanya tacit collusion. Penggunaan
35
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
kata combination atau conspiracy dalam hal ini lebih
bisa menjerat para oligopolis walaupun mereka juga
hams mempunyai unity of purpose atau understanding
atau telah terjadi meeting of minds di antara mereka
(Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:78).
Perjanjian Harga Horizontal (Price Fixing): Pasal
5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang
pelaku usaha untuk mengadakan perjanjian dengan
pesaingnya untuk menetapkan harga aras suatu
barang dan/atau jasa yang harus dibayar konsumen
atau pelanggannya. Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa
pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan
pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga
atas suatu barang dan/arau jasa yang harus dibayar
oleh konsumen atau pelanggan pada pasar
bersangkutan yang sama. Berdasarkan kerentuan
Pasal 5 ayat (1) ini, pelaku usaha dilarang mengadakan
perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya guna
menetapkan suatu harga tertentu atas suatu barang
dan/atau jasa yang akan diperdagangkan pada pasar
yang bersangkutan, sebab perjanjian seperti itu akan
meniadakan persaingan usaha di antara pelaku usaha
yang mengadakan perjanjian tersebut.
Price fixing oleh Australia (Section 45A dari the Trade
Practices Act 1974) dan Amerika Serikat (Section 1
the Sherman Act 1890) dianggap sebagai "naked
restraint of trade with no purpose except the stifling
of competition". Oleh karena itu hal ini dianggap
per se illegal. Kita nampaknya rnengikuti anggapan
kedua Negara ini. Dalam Pasal 5 ayat (1) tersebut
dikatakan perjanjian penetapan harga horizontal
dilarang tanpa melihat efek negatif dari perjanjian
tersebut terhadap persaingan. Karena perjanjian price
fixing ini per se illegal, tinggi-rendahnya harga yang
ditetapkan menjadi tidak relevan. Dengan kata lain,
walaupun efek negatif terhadap persaingan usaha
kecil, perjanjian price fixing tetap dilarang. Hal ini
berarti pula bahwa market power para pihak juga
tidak relevan, walaupun kenaikan harga lebih
mungkin terjadi apabila market share mereka besar
(Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:7980).
Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah
"konsumen akhir" dan "konsurnen antara".
Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat
akhir suatu produk, sedangkan konsumen antara
adalah konsumen yang menggunakan suatu produk
sebagai bagian dari proses produksi suatu produk
lainnya. Pengertian konsumen yang dirumuskan
dalam Undang-Undang Nomoi 5 Tahun 1999 adalah
konsumen akhir. Dalam Pasal 1 angka 15 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan, yang
dimaksud dengan konsumen adalah setiap pemakai
dan/atau pengguna barang dan/atau jasa, baik untuk
kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan
pihak lain. Kemudian pengertian konsumen ini
dikemukakan pula dalam Pasal 1 angka 2 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, yaitu setiap orang memakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik
bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan. Berdasarkan rumusan tersebut,
maka pengertian konsumen terbatas pada pemakai
atau pengguna barang dan/atau jasa untuk
keperluannya, baik untuk keperluan diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain
dan tidak unruk diperdagangkan (Rachmadi Usman,
2000:202-203).
Pengertian mengenai pasar bersangkutan menjadi
sangat penting artinya dalam menentukan ada-
tidaknya monopolisasi, meskipun penentuan dari
pasar bersangkutan sangat relatif (Ahmad Yani dan
Gunawan Widjaja, 1999: 14). Dalam hal ini, Pasal 1
angka 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
mengartikan pasar bersangkutan" sebagai pasar yang
berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran
tertentu oleh pelaku usaha atas barang dal atau jasa
yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang
dan/atau jasa tersebut.
Untuk menentukan relevansi atau kedudukan dari
suatu pasar bersangkutan, pada umumnya orang
mencoba untuk melakukan pendekatan sensitivitas
produk tersebut dalam wilayah pemasaran produk
36
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
yang sudah berjalan. Salah satu yang dapat dipakai
adalah pendekatan elasticity of demand. Dari
pendekaran tersebut dapat diketahui sampai seberapa
jauh sensitivitas suatu produk terhadap perubahan
harga, yang dinyatakan dengan persentase perubahan
kebutuhan atau persentase perubahan harga (Ahmad
Yani dan Gunawan Widjaja, 1999:15).
Meskipun tidak sederhana, untuk rnenilai relevansi
dan keterkaitannya dengan produk kornpetitor,
diperkenalkan konsep cross elasticity demand (CED)
antara kedua produk yang saling dikaitkan.
Nilai CED diperoleh dari nilai persentase perubahan
kebutuhan dari satu produk dibagi dengan nilai
persentase perubahan harga dari produk lain yang
sedang dibandingkan. Jika nilai CED-nya negatif
berarti kedua produk dalam pasar tersebut saling
melengkapi. Dan jika nilai CED-nya positif dengan
angka yang relatif besar, kedua produk tersebut
merupakan produk yang saling berkompetisi dalam
pasar yang ada (Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja,
1999:15). Adakalanya penentuan pasar bersangkutan
tidak dapat diterapkan secara an sich. Berbagai
pertimbangan, khususnya yang berhubungan dengan
"karakteristik" pasar yang berbeda satu dengan yang
lain juga sangat mempengaruhi. Oleh karena itu
dikenal pula istilah penentuan pasar geografis yang
relevan untuk menilai kompetisi produk yang ada
dalam pasar tersebut (Ahmad Yani dan Gunawan
Widjaja, 1999:15).
Untuk perjanjian tertentu seperti yang disebut dalam
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999, tidak ada larangan price fixing, sepanjang hal
tersebut tidak menimbulkan persaingan usaha yang
tidak sehat dengan pesaing-pesaing bisnisnya. Pasal
5 ayat (2) tersebut menyatakan bahwa ketentuan
larangan price fixing sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tidak berlaku bagi suatu perjanjian yang
dibuat dalam suatu usaha patungan (joint venture),
contohnya PT X dan PT Y mengadakan suatu usaha
patungan dengan mendirikan PT A, di mana PT X
dan PT Y diperkenankan untuk menentukan sendiri
besarnya harga jual barang yang diproduksi PT A
tersebut; dan suatu perjanjian yang didasarkan
undang-undang yang berlaku, contohnya penentuan
harga jual bahan bakar minyak (BBM) yang dilakukan
oleh Pemerintah.
Dalam hal ini tidak dijelaskan joint venture seperti
apa yang bias dikecualikan. Memang joint venture
antara pihak-pihak yang tidak saling bersaing tidak
menyebabkan efek antikompetitif. Tetapi, bila usaha
patungan seperti ini membuat collateralrestraint
yakni perjanjian yang membatasi kompetisi di masa
datang antara para pihak usaha ini bisa menghadapi
risiko tuntutan pelanggaran hukum persaingan. Joint
venture antara para pesaing jelas dapat mengurangi
persaingan, kecuali kalau bentuk kerja sama ini dibuat
untuk memenuhi kebutuhan pasar yang tidak pernah
atau tidak akan dipenuhi oleh masing-masing pihak
secara individual. Kita tidak bisa mengatakan bahwa
semua perjanjian dalam joint venture tidak akan
merugikan persaingan; perlu dijelaskan lagi, dalam
perjanjian joint venture yang bagaimana yang
dikecualikan (Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), ?
000:87).
Sebagai perbandingan, di Australia, Section 45A (2)
dan (4) mengecualikan perjanjian-perjanjian dalam
joint venture dari ketentuan larangan price fixing.
Pengecualiannya hanya dari larangan per se illegal-
nya. Artinya, kalau akhirnya terbukti mempunyai
tujuan atau efek yang antikompetitif perjanjian price
fixing dalam joint venture tersebut tetap dilarang.
Di samping itu, harus dipenuhi syarat-syarat tertentu
untuk dapat memanfaatkan fasilitas ini (Ayudha D.
Prayoga, et al., (Ed.), 2000:87).
Di Amerika Serikat, menurut the Export Trading
Company Act 1982, untuk rnendapatkan imunitas
terbatas dari hukum antitrust, joint venture yang
melakukan ekspor harus memenuhi syarat tidak akan
mengurangi persaingan dan perdagangan di dalam
atau perdagangan ekspor Amerika Serikat, tidak
menaikkan, menstabilisasikan, atau menekan harga
di Amerika Serikat secara tidak wajar, tidak
37
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
menimbulkan cara kompetisi yang tidak sehat dengan
pesaing-pesaing, dan lain-lain. Di samping itu the
Department of Justice dan the Federal Trade
Commission telah memberikan semacam guidelines
bagi joint venture tertentu lainnya yang akan
menikmati imunitas terbatas dari hukum antitrust
(Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:87-88)
Di Uni Eropa, joint venture pada dasarnya dianggap
selalu mengurangi dan/atau merugikan persaingan,
sehingga melanggar Pasal 85 (1) the Treaty of Rome.
Walaupun demikian, the Eropa Union Commission
bisa memberikan pengecualian menurut Pasal 85 (3)
dengan syarat bentuk usaha ini dapat memperbaiki
dan/atau mengembangkan produksi dan distribusi
barang atau jasa, atau mendorong kemajuan
teknologi dan ekonomi dengan memungkinkan
masyarakat konsumen memperoleh bagian yang adil
dari keuntungan yang dihasilkan dan yang tidak
menyebabkan terjadinya pembatasan dan hambatan
terhadap persaingan dari produk yang bersangkutan
(Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:88).
Diskriminasi Harga clan Diskon: Larangan
penetapan diskriminasi (price discrimination)
disebutkan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 tersebut menyatakan bahwa pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan
pembeli yang satu harus membayar dengan harga
yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh
pembeli lain untuk barang dan/atau jasa yang sama.
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 tersebut, diskriminasi
harga dilarang apabila pelaku usaha membuat suatu
perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar
harga yang tidak sama atau berbeda dengan harga
yang harus dibayar pembeli lain untuk barang dan/atau
jasa yang sama, karena hal ini dapat menimbulkan
persaingan usaha yang tidak sehat di kalangan pelaku
usaha atau dapat merusak persaingan usaha.
Pada pasar tertentu, produsen dapat menetapkan
harga yang mungkin menghasilkan laba yang jauh
lebih tinggi dari apa yang dihasilkan jika produsen
hanya rnenetapkan satu harga untuk semua
konsumen. Strategi penetapan harga yang berbeda
ini juga dapat merusak persaingan usaha. Salah
satunya menerapkan diskriminasi harga. Dalam hal
ini terdapat tiga jenis dan tingkatan strategis
diskriminasi harga, di mana setiap tingkatan menuntut
informasi yang berbeda mengenai konsumen, yaitu:
Diskriminasi harga sempurna, di mana produsen akan
menetapkan harga yang berbeda untuk setiap
konsumen. Seriap konsumen akan dikenakan harga
tertinggi yang sanggup dibayarnya. Dengan
menerapkan strategi ini, produsen akan menyerap
seluruh surplus konsumen, sehingga dapat mencapai
laba yang paling tinggi. Strategi ini hanya dapat
diimplementasikan pada kasus tertentu saja, karena
menuntut produsen untuk mengetahui dengan tepat
berapa jumlah maksimum yang ingin dibayarkan
oleh konsumen untuk jumlah barang yang
ditawarkan; Pada situasi di mana produsen tidak
dapat mengindentifikasi maksimum harga yang dapat
dikenakan untuk setiap konsumen, atau situasi
dimana produsen tidak dapat melanjutkan struktur
harga yang sama untuk tambahan unit penjualan,
maka produsen dapat menerapkan strategi
diskriminasi tingkat harga kedua, di mana produsen
akan menerapkan sebagian dari surplus konsumen.
Pada strategi ini produsen menerapkan harga yang
berbeda untuk setiap pembelinya berdasarkan jumlah
barang yang dibeli. Pembeli yang bersedia membeli
barang lebih banyak diberikan harga per unit yang
lebih murah. Makin sedikit barang yang dibeli, harga
per unitnya semakin mahal. Strategi ini banyak
dilakukan pada penjualan grosir atau pasar swalayan
besar; Bentuk terakhir diskriminasi harga umumnya
diterapkan produsen yang mengerahui bahwa
perrnintaan atas produk mereka beragam secara
sistematik berdasarkan karakteristik konsumen dan
kelompok demografis. Pada kondisi ini, produsen
dapat memperoleh keuntungan dengan mengenakan
tarif yang berbeda untuk setiap kelompok konsumen
yang berbeda (Ayudha D. Prayoga. et al., (Ed.), 2000:
94-95).
38
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
Demikian pula pelaku usaha dilarang menetapkan
harga di bawah biaya marginal (predatory price). Pasal
7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan
bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pe1aku usaha pesaingnya untuk menetapkan
harga di bawah pasar, yang dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Berdasarkan
ketentuan Pasal 7 tersebut, perjanjian penetapan
harga di bawah biaya marginal yang dilarang adalah
perjanjian yang dibuat pelaku usaha dengan pelaku
usaha pesaingnya dengan tujuan menetapkan harga
di bawah pasar atau di bawah biaya rata-rata, yang
membawa akibat timbulnya persaingan usaha yang
tidak sehat. Pada satu sisi, penetapan harga di bawah
biaya marginal akan menguntungkan konsumen
dalam jangka pendek, tetapi dipihak lain akan sangat
merugikan pesaing (produsen lain). Predatory pricing
ini sebenarnya merupakan hasil dari perang harga
tidak sehat antara pe1aku usaha dalam rangka
merebut pasar. Strategi yang tidak sehat ini pada
umumnya beralasan bahwa harga yang ditawarkan
merupakan hasil kinerja peningkatan efisiensi
perusahaan.
Oleh karena itu, hal ini tidak akan segera terdeteksi
sampai pesaing dapat mengukur dengan tepat berapa
harga terendah yang sesungguhnya dapat ditawarkan
pada konsumen (di mana harga = biaya marginal).
Strategi ini akan menyebabkan produsen menyerap
pangsa pasar yang lebih besar, yang dikarenakan
berpindahnya konsumen pada penawaran harga yang
lebih rendah. Sementara produsen pesaing akan
kehilangan pangsa pasarnya. Pada jangka yang lebih
panjang, produsen pelaku predatory pricing akan
dapat bertindak sebagai monopolis (Ayudha D.
Prayoga, et al. (Ed.), 2000: 100).
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
melarang pelaku usaha untuk rnembuat perjanjian
dengan pelaku usaha lain yang rnemuat persyaratan
bahwa penerima barang dan/atau jasa tidak akan
menjual atau memasok kembali barang dan/atau
jasa yang telah diterimanya, dengan harga yang lebih
rendah daripada harga yang telah diperjanjikan,
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan
usaha tidak sehat. Berdasarkan ketentuan Pasal 8
ini, pelaku usaha (supplier) dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha lain (distributor)
untuk menetapkan harga vertikal (resale price
maintenance), di mana penerima barang dan/atau
jasa selaku distributornya tidak boleh menjual atau
memasok kembali barang dan/atau jasa yang telah
diterimanya dari supplier tersebut dengan harga yang
lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan
sebelumnya antara supplier dan distributor, sebab
hal itu akan dapat menimbulkan persaingan usaha
tidak sehat. Salah satu alasan diadakan perjanjian
resale price maintenance ini adalah untuk menghindari
intra-brand competition di antara para distributor,
yang bisa mengancam stabilitas jaringan ecerannya.
Di samping itu, mungkin supplier ingin juga
mempertahankan persepsi para konsumen terhadap
kualitas produknya. Resale price maintenance bisa
juga terjadi ketika melaksanakan price fixing dari
kartel di antara para retailer. Hal ini dilakukan karena
sulit untuk melaksanakannya dengan perjanjian resale
price maintenance. Mungkin juga supplier menetapkan
resale price maintenance untuk melaksanakan
perjanjian price fixing di antara supplier ini dengan
supplier lain (Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:80).
Dari bunyi Pasal 8 terlihat bahwa perjanjian penetapan
harga vertikal hanya dilarang apabila dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan tidak sehat.
Artinya, berbeda dari price fixing, ia bukan per se
illegal. Tidak diketahui mengapa ada perbedaan
semacam ini, padahal keduanya sama-sama mengenai
harga yang merupakan faktor terpenting di dalam
persaingan, dan persaingan harga merupakan tujuan
paling utama dari hukum persaingan (Ayudha D.
Prayoga, et al., (Ed.), 2000:80).
Sebagai perbandingan, Amerika Serikat dan Australia
mengkategorikan baik price fixing maupun resale
price maintenance sebagai per se illegal. Baik price
fixing maupun resale price maintenance sama-sama
merugikan persaingan dan konsumen. Salah satu
39
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
perbedaan antara keduanya adalah di dalam resale
price maintenance ada korban yang lebih langsung,
yakni retailer yang tergeser karena tidak menyukai
resale price maintenance tersebut. Pengalaman di
Australia menunjukkan bahwa resale price maintenance
lebih mudah dibuktikan daripada price fixing, karena
biasanya retailer (yang biasanya sukar memberikan
diskon) tersebut akan melaporkan dan memberikan
bukti-bukti langsung (Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.),
2000:80-81).
Perjanjian Pembagian Wilayah: Perjanjian price
fixing bukan satu-satunya cara mengontrol harga.
Cara lain yang walaupun tidak secara langsung dapat
mengontrolnya, yakni perjanjian di antara pelaku
usaha untuk tidak saling berkompetisi satu sama lain.
Caranya, mereka membagi wilayah pemasaran barang
atau jasa mereka. Ada banyak perjanjian pembagian
wilayah ini, pertama, pelaku usaha dapat membagi
pasar secara geografis; kedua, membagi jenis atau
kelas pelanggan atau konsumen (misalnya wholesalers
or retailers); dan ketiga, mereka bisa membagi pasar
berdasarkan jenis produk yang dikeluarkan (misalnya
peralatan video profesional dan alat video amatir)
(Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:81).
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
melarang pelaku usaha untuk mengadakan perjanjian
pembagian wilayah (market allocation), baik yang
bersifat vertikal atau horizontal. Dalam Pasal 9 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa
pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan
pelaku usaha pesaingnya dengan tujuan membagi
wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang
dan/atau jasa, sehingga mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli dan /atau persaingan usaha tidak
sehat.
Berdasarkan Pasal 9 ini, perjanjian pembagian wilayah
yang terkena larangan adalah jika isi perjanjian
pembagian wilayah yang dimaksud bertujuan membagi
wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap suatu
produk barang dan/atau jasa, dimana perjanjian itu
dapat menimbulkan praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat. Perjanjian ini dilarang
karena pelaku usaha meniadakan atau mengurangi
persaingan dengan cara membagi wilayah pasar atau
alokasi pasar. Wilayah pemasaran di sini dapat berarti
wilayah negara Republik Indonesia atau bagian wilayah
negara Republik Indonesia, misalnya provinsi,
kabupaten/kota, atau wilayah regional yang lain.
Membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar itu
berarti membagi wilayah untuk memperoleh atau
memasok barang, jasa atau barang, dan jasa tertentu.
Perjanjian seperti ini dapat menimbulkan praktik
monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat.
Dari ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 dapat disimpulkan bahwa perjanjian
pembagian wilayah tidak termasuk per se illegal; oleh
karena itu perjanjian yang demikian hanya dilarang
apabila dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat
(bandingkan Ayudha D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000:81).
Hal ini berbeda dengan ketentuan di Amerika Serikat
yang menganggapnya sebagai per se illegal. Pada
umumnya memberlakukan market allocation sama
dengan price fixing. Perjanjian price fixing
memungkinkan setiap pesaing menjual produknya
pada harga monopoli tanpa rasa takut bahwa yang
lain akan menurunkan harga. Market allocation
memungkinkan hal yang sama, karena setiap pesaing
tidak menghadapi persaingan berhubungan dengan
konsumen yang dilayani, sehingga ia bebas
menetapkan harga monopoli. Sebaliknya, ada
kernungkinan pembagian wilayah pemasaran ini
membuat produksi atau pemasaran menjadi lebih
efisien. Para pesaing dapat bersepakat untuk tidak
memproduksi produk-produk tertentu atau
meninggalkan wilayah-wilayah tertentu dan
memfokuskan pada produk-produk atau wilayah-
wilayah tertentu yang lain untuk mencapai economies
al scale dan spesialisasi. Dengan kata lain, efisiensi
yang lebih besar akan tercapai. Namun, efisiensi
semacam ini baru bisa tercapai dengan adanya
perjanjian antar pesaing (Ayudha D. Prayoga, et al.,
(Ed.), 2000: 81-82).
40
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
Pemboikotan: Pelaku usaha juga dilarang untuk
membuat perjanjian untuk melakukan pemboikotan
(boycott). Pemboikotan ini merupakan perjanjian
horizontal antara pelaku usaha pesaing untuk menolak
mengadakan hubungan dagang dengan pelaku usaha
lain. Larangan membuat perjanjian pemboikotan ini
diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999, yang rnenetapkan: (1) Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha
lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk
tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
(2) Pelaku usaha dilarang rnernbuat perjanjian dengan
pelaku usaha pesaingnya untuk menolak menjual
setiap barang dan/atau jasa dari pelaku usaha lain,
sehingga perbuatan tersebut: a) merugikan atau dapat
diduga merugikan pelaku usaha lain ; atau b)
membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau
membeli setiap barang dan/atau jasa dari pasar
bersangkutan.
Pemboikotan seperti yang diatur dalam Pasal 10
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dapat
menutup akses kepada input yang diperlukan oleh
pesaing-pesaing lain (bandingkan Ayudha D. Prayoga,
et al., (Ed.), 2000:84). Sebagai perbandingan, di
Australia, boycott ini-yang oleh Section 4D Trade
Practices Act 1974 disebut juga sebagai exclusionary
provisions-dilarang secara mutlak, terlepas dari
dampaknya terhadap persaingan (Ayudha D. Prayoga,
et al., (Ed.), 2000:84).
Dari bunyi Pasal 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999, dapat diketahui kalau Indonesia ternyata tidak
mutlak menganutnya seperti yang dilakukan Australia.
Pasal 10 ayat (1) memang tidak mensyaratkan adanya
dampak negatif dari perjanjian pemboikotan tersebut.
Akan tetapi ayat (2) pasal yang sama mensyaratkan
adanya kerugian yang diderita pelaku usaha lain
sebagai akibat pemboikotan atau halangan
perdagangan barang dan/atau jasa di pasar
bersangkutan. Namun demikian, tidak berarti harus
ada syarat dampak negatif terhadap persaingan,
karena terpenuhinya syarat di dalam ayat (2) tersebut.
Tidak berarti persaingan pasti akan berkurang
(bandingkan Ayudha 6, Prayoga, et al., (Ed.), 2000:
84).
Kartel: Seringkali suatu industri hanya mempunyai
beberapa pemain yang mendominasi pasar. Keadaan
demikian dapat mendorong mereka untuk mengambil
tindakan bersama dengan tujuan memperkuat
kekuatan ekonomi mereka dan mempertinggi
keuntungan. Ini akan mendorong mereka untuk
membatasi tingkat produksi maupun tingkat harga
melalui kesepakatan bersama di antara mereka.
Kesemuanya dimaksudkan untuk menghindari
terjadinya persaingan yang merugikan mereka sendiri.
Kalau berpegang pada teori monopoli, suatu kelompok
industri yang mempunyai kedudukan oligopolis akan
mendapat keuntungan yang maksimal bila mereka
secara bersama berlaku sebagai monopolis. Dalam
praktiknya, kedudukan oligopolis ini diwujudkan
melalui apa yang disebut asosiasi-asosiasi. Melalui
asosiasi ini mereka dapat mengadakan kesepakatan
bersama mengenai tingkat produksi, tingkat harga,
wilayah pemasaran, dan sebagainya (Agus Sardjono,
1998: 26-27), yang kemudian melahirkan kartel, yang
dapat pula mengakibatkan terciptanya praktik
monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat.
Kamus Hukum Ekonomi ELIPS (1997:21) mengartikan
kartel (cartel) sebagai "persekongkolan atau
persekutuan di antara beberapa produsen produk
sejenis dengan maksud untuk mengontrol produksi,
harga, dan penjualannya, serta untuk memperoleh
posisi monopoli. Dengan demikian, kartel rnerupakan
salah satu bentuk monopoli, di mana beberapa pelaku
usaha (produsen) bersatu untuk mengontrol produksi,
menentukan harga, dan/atau wilayah pemasaran atas
suatu barang dan/atau jasa, sehingga di antara mereka
tidak ada lagi persaingan. Larangan membuat
perjanjian kartel ini dicantumkan dalam Pasal 11
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang
menetapkan bahwa pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha saingannya yang
bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur
produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau
jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
41
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
Dari Pasal 11 tersebut dapat dilihat bahwa hukum
Negara-negara Barat tidak banyak rnempengaruhi
ketentuan pasal ini.
Di Amerika Serikat, Australia, dan Uni Eropa, kartel
dianggap sebagai per se illegal. Di Amerika Serikat,
sebagaimana price fixing, kartel disebut sebagai
naked restraint yang mempunyai tujuan tunggal
untuk mempengaruhi tingkat harga dan output.
Oleh karena itu, wajar apabila Section 1 the Sherman
Act memperlakukannya sebagai per se illegal. Artinya,
perjanjian kartel sendiri yang dilarang tanpa melihat
kewajaran tingkat harga yang disepakati, tanpa
melihat market power para pihak, bahkan tanpa
melihat apakah perjanjian kartel tersebut sudah
dilaksanakan atau belum. Negara Australia dengan
Section 45 jo. 4D (1) dan 45A (1) dari the Trade
Practices Act 1974 juga mengategorikan kartel
sebagai per se illegal. Begitu juga Uni Eropa, dengan
Article 85 dari the Treaty of Rome (Ayudha D. Prayoga,
et al. (Ed.), 2000:82).
Alasan mengapa kartel dianggap sebagai per se illegal
di negara-negara Barat terletak pada kenyataan bahwa
price fixing dan perbuatan-perbuatan kartel yang lain
benar-benar mempunyai dampak negatif terhadap
harga dan output jika dibandingkan dengan dampak
pasar yang kompetitif. Sedangkan kartel jarang sekali
menghasilkan efisiensi, atau efisiensi yang dihasilkan
sangat kecil dibandingkan dampak negatif dari
tindakan-tindakannya.
Suatu kartel yang berhasil akan mengeluarkan
keputusan-keputusan tentang harga dan output seperti
layaknya keputusan-keputusan yang dikeluarkan
sebuah perusahaan tunggal yang memonopoli.
Akibatnya, pertama, kartel mendapatkan keuntungan-
keuntungan monopoli dari para konsumen yang terus
menerus membeli barang atau jasa dengan harga
kartel; dan kedua, terjadi penempatan sumber secara
salah yang diakibatkan oleh pengurangan output
karena para konsumen seharusnya mernbeli dengan
harga yang kompetitif, selain terbuangnya sumber
daya untuk mempertahankan keberadaan kartel itu
sendiri (Ayudha D. Prayoga, et aI., (Ed.) , 2000: 82-
83).
Pada sisi lain, kartel juga bisa memberi keuntungan,
Oleh karena itu, keberadaan dan tumbuh-kembangnya
diperbolehkan sepanjang hal ini memberikan
keuntungan bagi masyarakat banyak. Selain itu,
kartel juga dapat membentuk stabilitas dan kepastian
tingkat produksi, tingkat harga, dan wilayah
pemasaran (yang sama) di antara para pelaku usaha
yang tergantung dalam asosiasi tertentu. Dengan
sendirinya pasar menjadi tidak kornpetitif lagi dan
karenanya akan merugikan konsumen. Kalau kita
perhatikan bunyi ketentuan Pasal 11 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999, perjanjian kartel yang dilarang
adalah perjanjian tingkat produksi, tingkat harga,
dan/arau wilayah pemasaran atas suatu barang, jasa,
atau barang dan jasa, yang dapat berdampak pada
terciptanya monopolisasi dan/atau persaingan usaha
tidak sehat dengan pelaku usaha saingannya.
Larangan yang terdapat dalam Pasal 11 tersebut
tidak mengkategorikan kartel sebagai per se illegal,
sebab kartel masih dirnungkinkan sepanjang tidak
menimbulkan praktik monopolisasi dan/atau
persaingan usaha yang tidak sehat, yang merugikan
masyarakat dan konsumen (bandingkan Ayudha D.
Prayoga, et al., (Ed.), 2000:83). Indonesia kelihatannya
mengikuti Jepang yang mensyaratkan adanya
"substantial restraint of competition" yang "contrary
to the publicinterest" di dalam larangan terhadap
kartel. Perjanjian kartel baru ilegal kalau sudah
dipraktikkan dan ternyata mengurangi persaingan
secara substansial. Namun, the Fair Trade Commission
di Jepang telah mengambil jalan tengah dengan
rnengambil tindakan ketika peserta kartel telah
melakukan langkah-langkah awal untuk
melaksanakan perjanjian kartel. Dengan begitu telah
dibuat suatu anggapan, begitu peserta mulai
melaksanakan kartel, kartel itu pasti mengurangi
persaingan secara substansial seandainya tidak
diberhentikan atau dilarang (Ayudha D. Prayoga, et.
al., (Ed.), 2000: 84).
42
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
Trust: Pasal 12 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
melarang pelaku usaha membuat perjanjian trust,
yang melahirkan praktik monopoli dan/atau persaingan
usaha tidak sehat. Dalam Pasal 11, Ini dinyatakan:
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan
pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan
membentuk gabungan perusahaan atau perseroan
yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan
mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing
perusahaan atau perseroan anggotanya, yang
bertujuan untuk mengontrol produksi dan/ atau
pemasaran atas barang dan/atau jasa, sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat.
Berdasarkan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 ini, perjanjian trust yang dilarang
adalah perjanjian untuk rnelakukan kerja sama
dengan cara membentuk apa yang dinamakan trust,
yakni gabungan dari beberapa perusahaan atau
perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga
dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-
masing perusahaan atau perseroan yang digabungkan
tadi, dengan rujuan menciptakan stabilisasi dan
kepastian tingkat produksi, dan/atau tingkat
pemasaran yang sama atas suatu barang, jasa, atau
barang dan jasa, dan dengan sendirinya akan dapat
menciptakan monopolisasi; dengan demikian pasar
menjadi tidak kompetitif lagi, sebab di antara pelaku
usaha tidak ada persaingan usaha lagi. Dalam
persaingan yang semakin tajam dan borderless
economy yang berlaku dewasa ini, efisiensi menjadi
kunci keberhasilan suatu perusahaan berada di dalam
pasar. Atas tuntutan efisiensi, semakin banyak
perusahaan yang dapat muncul dan bertahan di
dalam pasar bila hanya mengerjakan sebagian dari
produk jadi. Karenanya, ketentuan Pasal 11 itu kurang
tegas. Akibat yang sudah dapat diperkirakan adalah
keinginan perusahaan untuk melakukan merger,
strategic alliance akan melemah, apalagi bila dengan
tindakan yang dimaksudkan untuk menguasai pangsa
pasar tersebut kemungkinan akan melanggar rambu-
rambu penguasaan pasar yang dianggap baik.
Bagaimanapun juga ketegasan dalam undang-undang
sangat dibutuhkan agar para pelaku pasar bersedia
memenuhinya (Pande Raja Silalahi, 1999: 12).
Oligopsoni: Demikian pula pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian oligopsoni, di mana keadaan
pasar yang permintaannya dikuasai oleh pelaku usaha
tertentu. Larangan ini dicantumkan dalam Pasal 12
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang
menyatakan: (1) Pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan
untuk secara bersarna-sama menguasai pembelian
atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan
harga atas barang dan/atau jasa dalam pasar yang
bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak
sehat. (2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap
secara bersamasama menguasai pembelian dan/arau
penerimaan pasokan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) apabila 2 (dua) atau 3 (riga) pelaku usaha
atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih 75%
(tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis
barang atau jasa tertentu.
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 11
tersebut, dapat disimpulkan yang terkena larangan
membuat perjanjian oligopsoni adalah perjanjian
yang dibuat pelaku usaha yang satu dengan pelaku
usaha lain, yang bertujuan: secara bersama-sarna;
menguasai pembelian dan/atau penerimaan pasokan
atas suatu barang, jasa, atau barang dan jasa tertentu;
dapat mengendalikan harga atas barang, jasa, atau
barang dan jasa dalam pasar yang bersangkutan;
menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen)
pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Pangsa pasar adalah persentase nilai jual atau beli
barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku
usaha pada pasar bersangkutan dalam kalender
tertentu; perjanjian yang dibuat tersebut ternyara
dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Berarti
perjanjian oligopsoni tidak akan dilarang sepanjang
tidak menimbulkan monopolisasi dan/atau tetap
menciptakan pasar kompetiif dan/atau tidak
merugikan masyarakat.
43
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
Integrasi Vertikal: Praktik integrasi vertikal yang
dilakukan beberapa pelaku usaha termasuk perjanjian
yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999. Dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk
yang termasuk dalam rangkaian produksi barang
dan/atau jasa tertenru yang mana setiap rangkaian
produksi merupakan hasil pengolahan atau proses
lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun
tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat dan/atau merugikan
masyarakat. Dari ketencuan Pasal 14 ini jelas bahwa
yang dimaksud dengan integrasi vertikal adalah
penguasaan produksi atas sejumlah produk, yang
termasuk dalam rangkaian proses produksi atas
barang tertentu, mulai dari hulu sampai hilir, atau
proses yang berlanjut atas suatu layanan jasa tertentu
oleh pelaku usaha tertentu. Meskipun praktik integrasi
vertikal ini dapat menghasilkan barang dan/atau jasa
dengan harga murah, hal itu dapat menimbulkan
persaingan usaha tidak sehat yang dapat merusak
sendi-sendi perekonomian masyarakat. Oleh karena
itu, praktik integrasi vertikal dilarang oleh Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 sepanjang menimbulkan
persaingan usaha tidak sehat dan/atau merugikan
masyarakat.
Dengan adanya Pasal 14 ini, berbagai bidang usaha
yang mungkin sangat menguntungkan dan efisien
dilakukan di Indonesia justru tidak dapat dikerjakan.
Integrasi vertikal suatu usaha tidak selalu buruk,
malah sebenarnya usaha integrasi dilakukan untuk
meningkatkan efisiensi. Integrasi yang dilakukan di
masa lalu mungkin buruk dan beberapa di antaranya
merugikan masyarakat karena dalam banyak hal
integrasi tersebut hanya dapat dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan tertentu-sehingga merugikan
kelompok masyarakat tertentu pula (Pande Raja
Silalahi, 1999: 12-13).
Perjanjian Tertutup: Perjanjian tertutup termasuk
perjanjian yang dilarang dibuat pelaku usaha. Pasal
15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang
pelaku usaha unruk membuat perjanjian tertutup
dengan pelaku usaha lainnya. Dalam Pasal 15
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan:
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan
pelaku usaha lain yang mernuat persyaratan bahwa
pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya
akan memasok atau tidak memasok kembali barang
dan/atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan/atau
pada tempat tertentu. (2) Pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pihak lain yang menukar
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang
dan/atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang
dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok. (3)
Pelaku usaha dilarang rnernbuat perjanjian mengenai
harga atau potongan harga tertentu atas barang
dan/atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa
pelaku usaha yang menerima barang dan/atau jasa
dari pelaku usaha pemasok a) harus bersedia membeli
barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok;
atau b) tidak akan membeli barang dan/atau jasa
yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang
menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri: Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha
untuk membuat perjanjian dengan pihak luar negeri
jika perjanjian tersebut dapat menimbulkan praktik
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
Hal ini dinyatakan dalam Pasal 16 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 bahwa pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri
yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan
usaha tidak sehat. Dari Pasal 16 ini dapat disimpulkan
bahwa perjanjian dengan pihak luar negeri yang
dilarang adalah yang dibuat pelaku usaha dengan
perjanjian yang memuat ketentuan-ketentuan tidak
wajar atau dapat menimbulkan praktik monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
44
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
II. Faktor yang Mempengaruhi Efektifitas
Implementasi Undang-Undang
Sebelum penelitian ini masuk pada pembahasan
efektifitas implementasi hukum persaingan usaha,
maka lebih dahulu membahas pemikiran dari
Lawrence M Friedman mengenai faktor yang dapat
mempengaruhi implementasi dari suatu produk
hukum, yang dapat mempengaruhi efektifitas dari
implementasi hukum persaingan, hal ini bisa jadi
tidak bisa diabaikan begitu saja, misalnya dari Segi
Hukum Indonesia.
Lawrence M. Friedman (Lawrence: 6-10) pernah
mengatakan bahwa efektifitas dari implementasi dari
suatu produk hukum ditentukan oleh tiga faktor,
yaitu: pertama; faktor substansi atau materi dari
undang-undangnya sendiri, dalam hal ini Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999, kedua; faktor aparatur
penegak hukum yang terkait, seperti KPPU, polisi,
jaksa dan hakim, dan ketiga adalah faktor budaya
hukum yang ada di masyarakat.
1.Faktor Substansi Undang-undang.
Substansi atau materi dari suatu produk peraturan
perundangan merupakan faktor yang cukup
penting untuk diperhatikan dalam penegakkan
hukum, tanpa substansi atau materi yang baik
dari suatu peraturan perundangan rasanya sangat
sulit bagi aparatur penegak hukum untuk dapat
menegakkan peraturan perundangan secara baik
pula, dan hal tersebut sangat ditentukan atau
dipengaruhi ketika proses penyusunan suatu
peraturan perundangan dilakukan. Suatu produk
peraturan perundangan dapat dikatakan baik
apabila hal-hal yang diatur dalam peraturan
perundangan tersebut dirumuskan secara jelas,
tegas, sistematis dan mudah untuk dimengerti
oleh semua pihak, sehingga tidak menimbulkan
penafsiran yang berbeda-beda bagi setiap orang
yang membaca peraturan perundangan tersebut.
Dalam faktor substansi Undang-undang ini
terdapat beberapa hal utama yang kemungkinan
dapat mempengaruhi implementasi hukum
persaingan usaha terhadap industri ritel yaitu:
tujuan undang-undang dan perumusan pasal
undang-undang.
a. Tujuan Undang-undang
Salah satu metode yang yang biasanya
digunakan untuk melihat efektifitas
implementasi suatu produk hukum secara
sederhana adalah dengan cara melihat apakah
tujuan yang menjadi dasar dari pembentukan
produk hukum tersebut telah dapat diwujudkan
dalam kenyataan ataukah tidak. Jika tujuan
yang menjadi dasar dari pembentukan suatu
produk hukum tersebut telah dapat diwujudkan
dalam kenyataan maka dapat dikatakan
implementasi dari produk hukum tersebut
telah efektif, dan sebaliknya apabila tujuan
yang menjadi dasar dari pembentukan produk
hukum tersebut belum dapat direalisasikan
maka dapat dikatakan implementasi dari
produk hukum tersebut belum cukup efektif.
Tetapi cara diatas sepertinya tidak dapat dengan
mudah digunakan untuk melihat efektifitas
dari UU No. 5 Tahun 1999, karena UU No. 5
Tahun 1999 memiliki tujuan pembentukan
yang lebih dari satu, dan terkadang antara
tujuan yang satu dengan tujuan yang lain
dapat saling bertentangan dalam prakteknya.
(R. Shyam Khemani: 1998: 4).
Sebagai gambaran, Pasal 3 UU No. 5 Tahun
1999 memiliki empat tujuan yang ingin dicapai
dari pembentukannya, yaitu: 1) menjaga
kepentingan umum dan meningkatkan
efesiensi ekonomi nasional sebagai salah satu
upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat; 2) mewujudkan iklim usaha yang
kondusif melalui pengaturan persaingan usaha
yang sehat sehingga menjamin adanya
kepastian berusaha yang sama bagi pelaku
usaha besar, pelaku usaha menengah, dan
pelaku usaha kecil; 3) mencegah praktek
45
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha;
dan 4) terciptanya efektifitas dan efesiensi
dalam kegiatan usaha.
Kemudian antara tujuan menciptakan efesiensi
dan efektifitas dalam kegiatan usaha dengan
tujuan mewujudkan iklim usaha yang kondusif
melalui pengaturan persaingan usaha yang
sehat sehingga menjamin adanya kepastian
berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar,
pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha
kecil, terkadang dalam suatu penanganan
perkara bisa dapat saling bertentangan.
Dimana perusahaan yang memiliki tingkat
efesiensi yang tinggi dalam suatu ketika dapat
menghambat pelaku usaha lain khususnya
yang lebih kecil untuk dapat masuk kedalam
pasar. Jika hal ini terjadi tidaklah mudah untuk
memilih tujuan yang mana yang harus
diprioritaskan terlebih dahulu.
b. Perumusan Pasal Undang-undang.
Sebagaimana yang telah diketahui, sebagian
besar norma hukum yang dirumuskan di dalam
pasal-pasal UU No. 5 Tahun 1999 dirumuskan
secara rule of reason, dengan perumusan
pasal secara rule of reason ini dapat ditafsirkan
bahwa setiap perbuatan atau perilaku pelaku
usaha yang membatasi persaingan bukanlah
perbuatan atau perilaku yang mutlak dilarang,
(Robert H. Bork: 1979:34) atau dengan kata
lain jika merujuk kepada pasal-pasal rule of
reason dalam UU No.5 Tahun 1999, pelaku
usaha dapat melakukan perbuatan atau
perilaku yang dapat membatasi persaingan
asalkan tidak menimbulkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat. Sehingga konsekuensinya akan banyak
pelaku usaha yang akan mencoba melakukan
praktek yang diatur di dalam pasal-pasal yang
dirumuskan secara rule of reason ini, dengan
alasan bahwa praktek yang mereka lakukan
tidak mengakibatkan timbulnya praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Dan kemudian adanya pelaku usaha yang
dihukum dikarenakan telah melanggar pasal-
pasal yang terdapat di dalam UU Nomor 5
Tahun 1999, tidak secara otomatis akan
membuat pelaku usaha lain yang melakukan
hal yang sama akan juga mendapatkan
hukuman. Karena pelaku usaha tersebut
melakukan hal yang sama seperti yang telah
dilakukan oleh pelaku usaha yang telah
dihukum sebelumnya, tetapi perbuatan atau
perilakunya mungkin tidak mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat.
Oleh karena itu jangan pernah berharap bahwa
semakin banyak perkara yang ditangani oleh
KPPU, dan juga semakin berat hukuman yang
dijatuhkan oleh KPPU kepada setiap pelaku
usaha yang terbukti melanggar UU Nomor 5
Tahun 1999, akan membuat semakin sedikit
pelaku usaha yang melanggar ketentuan yang
terdapat di dalam UU Nomor 5 Tahun 1999.
2. Faktor Aparatur Penegak Hukum yang terkait
Peranan aparatur penegak hukum juga tidak
kalah pentingnya dalam menentukan tingkat
keberhasilan penegakkan suatu peraturan
perundangan, baik buruknya aparatur penegak
hukum dapat menentukan baik buruknya pula
suatu penegakkan peraturan perundangan. Suatu
peraturan perundang yang baik terkadang tidak
dapat ditegakkan secara baik, apabila yang
menegakkan peraturan perundangan tersebut
adalah aparatur penegak hukum yang tidak baik
atau cakap. Dan hal tersebut dapat dipengaruhi
oleh banyak hal, di antaranya rendahnya tingkat
pemahaman dari aparatur penegak hukum
terhadap substansi suatu peraturan perundangan.
Kemudian diberlakukannya suatu peraturan
perundang-undang yang mempunyai maksud dan
tujuan baik belum tentu memberikan suatu
manfaat yang nyata bagi masyarakat, apabila
46
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
tidak ditegakkan secara konsisten dan bertanggung
jawab aturan-aturan hukum yang ada di dalamnya.
Karena suatu peraturan perundang-undangan
pada dasarnya hanyalah rangkaian kalimat (Aydha
D Prayoga 1999: 125) yang tidak akan memberikan
makna tanpa adanya mekanisme penegakkan
hukum yang jelas dan pelaksanaan yang konsisten
dari aparatur penegak hukumnya.(Abdul Hakim
G Nusantara dan Benny K Harman 1999:105)
Salah satu masalah utama yang sulit diatasi di
Indonesia sampai saat ini adalah masalah dalam
penegakkan hukum (law enforcement), karena
sebaik apapun suatu peraturan perundang-
undangan hanya akan menjadi ”macan kertas”
yang tidak akan membuat takut bagi siapapun
untuk tidak mematuhinya, apabila tidak ada
penegakkan hukum yang konsisten dan
bertanggung jawab dari para aparatur penegak
hukum, seperti yang telah dikemukan
sebelumnya. Sehingga sekarang Indonesia dapat
dikatakan tidak hanya sedang mengalami krisis
ekonomi yang berkepanjangan, tetapi juga sedang
mengalami krisis kepercayaan terhadap lembaga
penegak hukum yang ada.
3. Faktor Budaya Hukum
Selanjutnya faktor budaya hukum tidak dapat
diabaikan begitu saja dalam menentukan sukses
atau tidaknya penegakkan suatu produk peraturan
perundangan, meskipun materi suatu peraturan
perundangan itu baik, dan dilengkapi oleh aparatur
hukum yang cakap dalam menegakkannya, tanpa
adanya budaya hukum yang kondusif di masyarakat
rasanya akan sangat sulit bagi suatu produk
peraturan perundangan dapat berjalan secara
efektif. Sedangkan budaya hukum itu sendiri
tercermin dalam sikap warga masyarakat yang
sangat dipengaruhi oleh sistem nilai yang dianut
oleh masyarakat. Respon masyarakat terhadap
penerapan hukum yang mengatur perilaku (dalam
hal ini Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999)
akan sangat dipengaruhi oleh sistem nilai yang
dianutnya. Apabila produk hukum yang mengatur
mengacu pada sistem nilai tertentu dihadapkan
pada masyarakat yang menganut sistem nilai dan
memiliki budaya hukum yang berbeda, bukan hal
yang aneh bila penerapan produk hukum tersebut
akan mengalami kesulitan. (Ine Minara S Ruly
2004: 9) Kemudian keberhasilan implementasi
suatu Undang-undang Persaingan juga banyak
tergantung dari seberapa baik konsep dan nilai
persaingan terkait dengan proses pembuatan
kebijakan yang terjalin di antara masyarakat. Pada
tahap awal, instansi yang bertanggung jawab
dalam menegakkan undang-undang persaingan
juga dianggap perlu untuk berkonsentrasi pada
penciptaan budaya persaingan. (ibid: 7).
Salah satu contoh yang diatur dalam UU Nomor
5 Tahun 1999 adalah mengenai Perjanjian-
Perjanjian yang Dikecualikan.
Di beberapa negara, Undang-Undang Anti
monopoli kerapkali mengesampingkan beberapa
tindakan hukum sehingga tindakan tersebut tidak
dapat dikenakah sanksi. Dengan kata lain, tindakan
itu tidak dianggap sebagai suatu pelanggaran
(Insan Budi Maulana, 2000:61). Demikian pula
dengan negara Indonesia. Selain mengadakan
pengecualian berlakunya pasal tertentu terhadap
ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,
ternyata undang-undang ini juga mengadakan
pengecualian berlakunya semua ketentuan di
dalamnya terhadap perjanjian-perjanjian tertentu.
Pengecualian dari ketentuan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 ini diatur dalam Pasal 50
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang
menyatakan bahwa pengecualian dari ketentuan
Undang-undang ini adalah a. Perbuatan dan/arau
perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; atau b.
Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas
kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek
dagang, hak cipta, desain produk industri,
rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang,
serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;
atau Perjanjian penetapan standar teknis produk
47
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
barang dan/atau jasa yang tidak mengekang
dan/atau menghalangi persaingan; atau Perjanjian
dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat
ketentuan untuk memasok kembali barang
dan/atau jasa dengan harga yang lebih rendah
daripada harga yang telah diperjanjikan; atau
Perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan
atau perbaikan standar hidup masyarakat luas;
atau Perjanjian internasional yang telah diratifikasi
oleh Pemerintah Republik Indonesia; atau Perjanjian
dan/atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor
yang tidak menggangu kebutuhan dan/atau
pasokan dalam negeri; atau Pelaku usaha yang
tergolong usaha kecil; atau Kegiatan usaha koperasi
yang secara khusus bertujuan untuk melayani
anggotanya.
Disayangkan bahwa Penjelasan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tidak menjelaskan perjanjian-
perjanjian tersebut lebih lanjut. Padahal pasal
pengecualian ini penting, terutama bagi pelaku
usaha yang ingin mernanfaatkannya. Di samping
ketidakjelasannya, dikhawatirkan hal ini juga dapat
menibulkan penyalahgunaan (bandingkan Ayudha
D. Prayoga, et 'aI., (Ed.), 2000:85). Bahkan ada
yang mengkritiknya sebagai suatu inkonsistensi
(Hikrnahanto Juwana, 1999:28).
Pemerintah dapat saja menyalahgunakan
kekuasaan yang dimilikinya, begitu juga dengan
pelaku usaha yang berkolusi dengan pernerintah
untuk membuat ketentuan yang antipersaingan
usaha, yang kemudian oleh pernerintah
dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-
undangan. Selama Orde Baru berkuasa, praktik
monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak
sehat selalu dilegalisir melalui peraturan
perundang-undangan.
Amerika Serikat mengenal istilah "state action
doctrine", artinya peraturan antitrust hanya berlaku
dalam dunia bisnis selama tidak digunakan untuk
melaksakan peraturan Negara bagian. Namun,
peraturan negara bagian yang anti kompetitif bisa
tidak sah karena bertentangan dengan Konstirusi,
yakni mengganggu perdagangan secara tidak
wajar; Amandemen Pertarna Konstitusi; atau
undang-undang Pemerintah Federal, seperti Federal
Trade Commission Act atau Hukum Paten (Ayudha
D.Prayoga, et al. (Ed.), 2000:85).
Jika memperhatikan fakta pengecua-lian dari Pasal
50, para perancang undang-undang telah keliru
memahami perundang-undangan di bidang hak
atas kekayaan intelekrual (HaKI), sekarang disingkat
KI (Kekayaan Intelektual). Selain itu, isi pasal
tersebut tidak sesuai dengan realitas yang terjadi
di masyarakat Eropa, Jepang, dan Jerman, yang
juga rnengarur larangan-larangan perjanjian lisensi,
know how, merek, dan waralaba, apabila perjanjian
itu bertentangan dengan prinsip-prinsip persaingan
jujur (Insan Budi Maulana, 2000:6465). Bahkan
secara internasional posisi Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 kurang menguntungkan. Ketika
masyarakat internasional mulai curiga adanya
kemungkinan dampak negatif dari praktik-praktik
perlisensian di bidang KI terhadap persaingan,
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 bersikap
sebaliknya, yaitu mengecualikan berlakunya
ketentuan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999
terhadap perjanjian yang berkaitan dengan KI
(Ayudha D. Prayoga, et al. (Ed.), 2000: 86).
Terbukti dalam Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2)
Agreement on Related Aspects of Intellectual
Property Rights (Persetujuan TRIPs) sebagai bagian
Final Act Uruguay Round dinyatakan: (1) Members
agree that some licensing practices or conditions
pertaining to intellectual property rights which
restrain competition may have adverse effects on
trade may impede the transfer and dissemination
of technology. (2) Nothing in this Agrement shall
prevent Members from specifying in their national
legislation licencing practices or conditions that
may in particular cases constitute an abuse of
intellectual property rights having an adverse effect
on competition in the relevant market. As provided
above, a Member may adopt, consistently with
48
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
the other provisions of this Agreement, appropriate
measures to prevent or control such practices,
which may include /or example exclusive grantback
conditions, conditions preventing challenges to
validity and coercive package licensing, in the light
of the relevant laws and regulated ofthe Member.
Dari Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) Persetujuan
TRIPs tersebut, dapat diketahui negara-negara
anggota WTO sepakat bahwa beberapa praktik
perlisensian atau persyaratan-persyaratan yang
berkaitan dengan KI dapat menghambat
persaingan usaha yang dapat berakibat buruk
terhadap perdagangan dan dapat menghambat
pengalihan dan penyebaran teknologi. Karenanya
tidak tertutup kemungkinan bagi negara-negara
anggota WTO untuk menetapkan dalam peraturan
perundang-undangannya praktik-praktik
perlisensian atau persyaratan-persyaratan
perlisensian yang dalam hal-hal tertentu
merupakan penyalahgunaan KI yang berakibat
buruk terhadap persaingan dalam pasar
bersangkutan. Bahkan negara-negara anggota
WTO dapat menetapkan langkah-langkah untuk
mencegah atau mengendalikan praktik-praktik
perlisensian atau persyaratan-persyararan yang
dalam hal-hal tertentu merupakan penyalahgunaan
dari KI, seperti persyaratan untuk memberikan
hak ekskulsif secara timbal balik, persyaratan
untuk mencegah diajukannya sanggahan
mengenai keabsahan dan pemaksaan paket lisensi,
sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-
undangan terkait yang berlaku di negara-negara
anggota WTO tersebut. Dengan demikian jelaslah
bahwa pembuatan perjanjian yang berkaitan
dengan bidang KI tidak boleh berlawanan dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 atau
mengikuti ketentuan-ketentuan khusus perlisensian
yang telah diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan KI.
Khusus untuk kekecualian ketentuan bahwa usaha
kecil dan koperasi memang diatur oleh undang-
undang tersendiri telah mengundang perdebatan
tersendiri. Ada negara yang memang memberikan
pengecualian terhadap koperasi, misalnya di
Jepang. Tetapi usaha kecil dan menengah serta
koperasi yang dikecualikan akan menciptakan
proteksi sepihak dengan tidak mengikutsertakannya
dalam undang-undang ini. Hal itu akan
menghambat pertumbuhan usaha kecil dan
menengah itu sendiri. Di samping itu, melihat
kondisi koperasi yang ada pada saat ini di Indonesia,
hail ini juga dapat menimbulkan kerancuan dan
peluang bagi pelaku usaha untuk menggunakan
pasal pengecualian dalam berusaha; tujuannya
adalah melegalisir tindakannya dengan
bersembunyi di belakang wujud koperasi (Ayudha
D. Prayoga, et al., (Ed.), 2000: 124).
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas, maka
penulis menarik kesimpulan, dimana implementasi dari
hukum persaingan usaha secara umum dan perjanjian
yang dilarang secara khusus yang dilakukan belum cukup
efektif, bila dilihat dari perubahan struktur dan prilaku
pelaku usaha yang ada di dalam industri khususnya yang
berkaitan dengan perjanjian: oligopoli (Pasal 4); penetapan
harga (Pasal 5); diskriminasi harga dan diskon (Pasal 6
sampai dengan Pasal 8); pembagian wilayah (Pasal 9);
pernboikotan (Pasal 10); kartel (Pasal 11); trust (Pasal
12); oligopsoni (Pasal 13); integrasi vertikal (Pasal14);
perjanjian tertutup (Pasal 15); perjanjian dengan luar
negeri (Pasal 16). Sedangkan faktor yang mempengaruhi
implementasi dari suatu produk hukum, yang dapat
mempengaruhi efektifitas dari implementasi hukum
persaingan adalah faktor substansi undang-undang dan
faktor aparatur penegak hukum terkait serta faktor
budaya hukum. Dengan demikian keberhasilan
implementasi suatu Undang-undang Persaingan juga
banyak tergantung dari seberapa baik konsep dan nilai
persaingan terkait dengan proses pembuatan kebijakan
yang terjalin di antara masyarakat.
Saran
Perlu dilakukan penelitian yang mendalam mengenai:
Pasal 4) s.d (Pasal 16) UU Nomor 5 Tahun 1999 untuk
49
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
masukan kepada perintah, agar regulasi yang disusun
oleh pemerintah tidak bertentangan dengan nilai-nilai
yang terdapat di dalam hukum persaiangan usaha.
50
Abdul Hakim G Nusantara dan Benny K Harman, Analisa dan Perbandingan Undang-Undang Antimonopoli: Undang-
Undang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Jakarta: PT Elex Media Komputindo,
1999).
Agus Brotosusilo, 2012, Laporan Akhir Tim Pengkajian Hukum tentang Peran Hukum Nasional Dalam Mendorong
Peningkatan Produk Nasional di dalam Negeri Pada Era Perdagangan Bebas. Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia RI Badan Pembindaan Hukum Nasional, Jakarta, 2012.
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 1999. Monopoli. Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.
Ayudha D Prayoga et al, ed., Persaingan Usaha Dan Hukum Yang Mengaturnya Di Indonesia (Jakarta: ELIPS, 1999).
Ayudha-D. Prayoga et al. (Ed.). 2000. Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di Indonesia. Jakarta : Proyek
ELIPS. Badan Pembinaan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan.
Hikmahanto Juwana. 1999. "Menyambut Berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1999: Beberapa Harapan dalam Penerapannya
oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha". Hukum dan Pembangunan Nomor 4 Tahun XXIX. Jakarta: Fakultas
Hukum Universitas Indonesia.
Hikmahanto Juwana. 1999. "Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi dalam Perspektif Hukum Persaingan dan UU No. 5/1999".
Newsletter Nomor 38 Tahun X. Jakarta: Yayasan Pusat Pengkajian Hukum.
Hikmahanto Juwana. 1999. "Interpretasi UU No. 5/1999 dengan Menggunakan Standar Internasional", dalam Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Perspektif Internasional. Newsletter Nomor 39 Tahun
X. Jakarta: Yayasan Pusat Pengkajian Hukum.
Indonesia, Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
UU No. 5, LN No.33 tahun 1999.
Insan Budi Maulana, 2000, Catatan Singkat UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Ine Minara S. Ruky, “Implementasi Kebijakan Persaingan Melalui Hukum Persaingan dan Liberalisasi Perdagangan”,
Desertasi Doktor, Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004.
Lawrence M. Friedman, American Law an Introduction, (New York: W.W. Norton and Co.).
DAFTAR PUSTAKA
51
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
Luis Tineo, “Indonesia: Promoting Effecinet Markets Trhrough the Effective Implementation of the New Competition
Law,” (makalah disampaikan pada International Conference Competition Policy & Economic Growth: Issues &
Options, Jakarta-Surabaya, 22-23 May & 25 May 2000).
Maria Vagliasindi, “Competition Across Transition Economies: an Enterprise-level Analsis of The Main Policy and Structural
Determinants.” Working paper No. 68, European Bank. Londan, 2001. dikutif dari Ine Minara S. Ruky, “Implementasi
Kebijakan Persaingan Melalui Hukum Persaingan dan Liberalisasi Perdagangan”, Desertasi Doktor, Program
Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004.
Muladi. 1998. "Menyosong Keberadaan UU Persaingan Sehat di Indonesia", dalam UU Antimonopoli Seperti Apakah
yang Sesungguhnya Kita Butuhkan? Newsletter Nomor 34 Tahun IX. Jakarta: Yayasan Pusat Pengkajian Hukum.
Pande Raja Silalahi, 1999. “Marger Konsolidasi, dan Akuisisi dari Sudut Perbankan berdasarkan UU No. 5/1999”. Newsleter
Nomor 38 Tahun X Jakarta, Yayasan Pusat Pengkajian Hukum.
R. Shyam Khemani (project director). A Framework for the Design and Implementation of Competition Law and Policy.
Washington, D.C: World Bank, OECD, 1998.
Robert H. Bork, The Antitrust Paradox: A Policy at War with Itself (New York: Basic Books, Inc. Publishers, 1978)
Stephen Martin, Industrial Economic: Analysis and Public Policy (New Jersey: Prentice Hall, 1993) .
Ditha Wiradiputra, Mengkaji Efektifitas Implementasi Hukum Persaingan Usaha Terhadap Industri Ritel; diakses tanggal
3 Juni 2015 melalui htt://arditobhina.com.downlot.php?file.
Tresia Elmondo Hutabatat, Hukum Persaingan Usaha, diakses tanggal 3 Juni 2015 melalui http://tresia3lm0nd0.blogspot.
com/2012/07/hukum-persaingan-usaha.html.
Tsany Ratna Dewi, Supremasi Hukum Persaingan: tsany(dot)trd(at)gmail (dot)com. Diakses tgl 3 juni 2015 melalui
http://majalah1000guru.net/2013/02/supremasi-hukum/).
Won-Joon Kim, “Korea’s Experiences in Adoption & Enforcement of Competition Law and Implication for Developing
Countries,” makalah disampaikan pada 2nd ASEAN CONFERENCE ON COMPETITION LAW & POLICY yang
diselenggarakan oleh KPPU, Sekretariat ASEAN dan ASEAN Consultative Forum for Competition, di Bali pada
tanggal 14-16 Juni 2006.
52
A. Latar Belakang
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
1945), menyebutkan bahwa, ”Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
bagi kemakmuran rakyat”. Pasal 33 ayat (3) tersebut
dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 33 alinea 4 UUD
1945 yang berbunyi, bahwa: “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah
pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu, harus
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat”.
Aturan ini merupakan amanat pemberian kewenangan
bagi negara dalam mengatur dan mengelola
pertanahan di Indonesia. Dalam amandemen UUD
1945 menambahkan ayat (5) bagi menjelaskan
pelaksanaan ketentuan, yaitu: ”ketentuan lebih lanjut
mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-
undang”. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA),3 adalah
langkah negara dalam mengatur dan mengelola
sistem hukum tanah di Indonesia.4
53
PEMBATASAN HAK MENGUASAI NEGARA ATAS TANAH DALAM SISTEM HUKUM AGRARIA INDONESIA
Disusun oleh:
Nuribadah1, Yulia2
Abstrak
Pembatasan hak menguasai negara atas tanah diperlukan agar kewenangan negara tidak merugikan rakyatnya.
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sebagai dasar bagi Undang-undang Pokok Agraria, telah membatasi penguasaan Negara
untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, termasuk dalam penguasaan negara atas tanah. Di samping itu juga,
UUPA disusun berdasarkan konsepsi Hukum Adat. Artikel ini mengkaji pembatasan hak menguasai Negara atas tanah
dalam UUPA, juga mengkaji konsepsi hak menguasai Negara atas tanah yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat. Hasilnya, pembatasan hak menguasai Negara telah ditegaskan dalam UUPA bahwa melalui tujuan penguasaan
tanah, hak-hak perseorangan dan badan hukum serta hak ulayat. UUPA juga telah mencerminkan nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat, namun masih terdapat permasalahan nasional ketika elemen hukum adat dimasukkan dalam UUPA
karena keberagaman masyarakat hukum adat di Indonesia. Disarankan bahwa merevisi UUPA sebagai salah satu cara
mengecilkan jumlah permasalahan tanah secara nasional.
Kata Kunci: Hak Menguasai Negara, Pembatasan, Hukum Adat, Hak Ulayat
1 Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh-Lhokseumawe. Jl. Jawa Blang Pulo Lhokseumawe, Aceh, Email: [email protected].
2 Dosen Fakultas Hukum dan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Malikussaleh.
3 Lembaran Negara 1960-104. Ini bertumpu pada konsideran bahwa hukum agraria merupakan wujud dari ketuhanan yang maha esa, perikemanusian, kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan sosial sebagai azas kerohanian Negara dan cita-cita bangsa seperti yang tercantum sebagai dasar Negara dalam pembukaan UUD 1945
4 Dalam hal ini pemerintah sebagai wakil dalam penyelenggaraan dan pengelolaan pertanahan di Indonesia.
UUPA mengisyaratkan bagi pembuat undang-undang
dalam membentuk hukum tanah nasional jangan
sampai mengabaikan akses rakyat Indonesia terhadap
tanah, melainkan harus mengindahkan unsur-unsur
yang bersandar pada hukum agama.5 Hak penguasaan
negara atas tanah di dalam Pasal 2 UUPA memberikan
kewenangan pada Negara untuk: (i) mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang
angkasa; (ii) menentukan dan mengatur hubungan
hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang
angkasa; (iii) menentukan dan mengatur hubungan
hukum antara orang dan perbuatan-perbuatan hukum
mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Pasal 2 UUPA tersebut telah memberi ruang lingkup
penguasaan negara atas tanah, bahwa bagi mengatur
dan mengelola bumi, air dan ruang angkasa dalam
penggunaannya bagi rakyat Indonesia. Kewenangan
pemegang hak menguasai Negara atas tanah, pada
azasnya ada pada pemerintah pusat,6 sebagaimana
dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 2 UUPA, namun
dapat diberikan penguasaan kepada kepala-kepala
daerah dan masyarakat adat di dalam Pasal 4 UUPA.
Ruang lingkup pengeuasaan Negara atas tanah yang
demikian adalah suatu pembatasan hak menguasai
Negara atas tanah.
Hak menguasai Negara atas tanah dalam
kenyataannya, banyak penguasaan tanah oleh
perusahaan-perusahaan swasta dalam melakukan
usaha-usaha pertanian, pertambangan dan
perkebunan.7 Melalui hak menguasai negara atas
tanah, negara telah memberikan dan memfasilitasi
penguasaan tanah oleh perusahaan. Hal ini terlihat
perusahaan-perusahaan swasta di bidang pertanian,
pertambangan dan perkebunan yang semakin
menguasai tanah-tanah masyarakat hukum adat.
Padahal, UUPA sebagai peraturan induk agraria telah
mengatur penguasaan Negara atas tanah.
Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan menganalisis
pembatasan hak menguasai negara atas tanah dalam
Hukum Agraria Indonesia. Selanjutnya juga akan
menganalisis tentang konsepsi hak menguasai negara
atas tanah yang harus mencerminkan nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat.
B. Pembatasan hak Menguasai Negara Dalam
Hukum Agraria Nasional
1. Makna hak menguasai negara atas tanah
Pemahaman hak menguasai Negara atas tanah
pada azasnya telah diatur dalam Pasal 33 UUD
1945 yang dijabarkan dalam UUPA. Pasal 2 telah
dengan tegas menyatakan ruang lingkup
kewenangan yang dimiliki Negara terhadap tanah.
Kewenangan ini tidak dapat dinyatakan sebagai
suatu pemilikan oleh Negara, karena Negara hanya
diberikan tugas dalam mengatur dan mengelola.
Makna “dikuasai negara” meliputi penguasaan
oleh negara secara luas yang bersumber dan
diturunkan dari konsep kedaulatan rakyat Indonesia
atas bumi, air dan kekayaan yang terkandung di
dalamnya”. UUD 1945 memberikan mandat
kepada negara untuk menjalankan fungsinya
dalam membuat kebijakan (beleid), pengaturan
(regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan
pengawalan (toezichthoudensdaad) oleh negara.8
Menurut Van Vollenhoven bahwa, ”... sebenarnya
hak negara atas tanah untuk mengatur dan
sebagainya itu tidak lain daripada kekuasaan
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
54
5 Muhammad Yamin, Abdul Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Cetakan I, 2008. hal. 19.
6 Al Marliah, Hak Menguasai tanah dari Negara: Suatu Tinjauan dari Hukum Agraria, Jurnal Wacana Paramarta, 69-87.
7 http://www.academia.edu/6377303/hukum tanah sebagai suatu sistem hukum.
8 V. I. Williamson Nalle, ‘Hak Menguasai Negara Atas Mineral Dan Batubara Pasca Berlakunya Undang-Undang Minerbaol’, (2012) 9(3) Jurnal Konstitusi, 473-494, hlm 491; N. Dahlan., Pemerintahan Daerah, Durat Bahagia, Jakarta, 2006; I. Saleh, Ketertiban dan Pengawasan, Haji Mas Agung, Jakarta,1998, hlm.1.
negara terhadap segala sesuatu; dan tanah adalah
suatu speciment, suatu hal khusus saja; jika di
dalam hal ini kita perlu memberi bentuk lain maka
sudah barang tentu tidak boleh mengurangkan
dan mengubah kedudukan negara terhadap segala
sesuatu itu.”9
Hak menguasai negara atas tanah dapat juga kita
konstruksikan dalam pengertian politis, yaitu10:
a. Memberikan hak seseorang atau badan yaitu
melalui lembaga konversi atas tanah-tanah
bekas BW dan bekas Hukum Adat dan atas
tanah-tanah yang dikuasai oleh pemerintah
daerah otonom ataupun dikuasai oleh
lembaga-lembaga pemerintahan.
b. Memberikan hak-hak baru yang ditetapkan
oleh UUPA seperti hak milik, hak guna usaha,
hak guna bangunan, dan hak pakai.
c. Mengesahkan sesuatu perjanjian yang dibuat
antara seorang pemegang hak milik dengan
orang lain untuk menimbulkan suatu hak lain
di atasnya, seperti yang kita kenal Hak Guna
Bangunan diatas Hak Milik dan Hak Pakai di
atas Hak Milik (Pasal 19 Peraturan Pemerintah
No. 10 Tahun 1961).
Dalam pengertian demikian, Negara dapat
mengatur dan mengelola tanah melalui pemberian
hak dan pengesahan pengalihan hak. Negara
juga mendapat amanat melalui hak bangsa dalam
rumusan Pasal 1 ayat (1) UUPA, bahwa seluruh
wilayah adalah kesatuan tanah air dari seluruh
rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa
Indonesia. Hal ini berarti bahwa tanah diseluruh
wilayah Indonesia adalah hak bersama dari bangsa
Indonesia (aspek perdata) dan bersifat abadi, yaitu
seperti hak ulayat pada masyarakat hukum adat.
Dengan demikian, hak bangsa Indonesia
mengandung 2 (dua) unsur yaitu:
a. Unsur kepunyaan bersama yang bersifat
perdata, tetapi bukan berarti hak kepemilikan
dalam arti yuridis, tanah bersama dari seluruh
rakyat Indonesia yang telah bersatu menjadi
bangsa Indonesia.
b. Unsur tugas kewenangan yang bersifat publik
untuk mengatur dan memimpin pengguasaan
dan penggunaan tanah yang dipunyai bersama
tersebut.
Apabila unsur perdata sifatnya abadi dan tidak
memerlukan campur tangan kekuasaan politik
untuk melaksanakanya, tugas kewajiban yang
termasuk hukum publik tidak mungkin
dilaksanakan sendiri oleh rakyat. Oleh karena itu,
penyelenggaraanya dilakukan oleh bangsa
Indonesia sebagai pemegang hak dan pengemban
amanat yang pada tingkatan tertinggi diserahkan
kepada Negara Republik Indonesia sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat.11
Penyebutan secara tegas kewenangan negara
atas tanah dengan hak menguasai oleh negara
tetap lebih bersifat positif, karena dengan
penyebutan itu berarti dilakukan ”penegasan”
bahwa hak menguasai oleh negara melekat pada
seluruh tanah yang ada dalam lingkungan hukum
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Di dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA secara tegas pula
dijabarkan isi kewenangan dari hak menguasai
oleh negara tersebut. Salah satu isinya adalah
’mengatur dan menyelenggarakan persediaan
tanah’. Substansi Pasal 2 ayat (2) dapat ditafsirkan
termasuk persediaan tanah bagi kelangsungan
pembangunan untuk kepentingan umum.
Pengadaan tanah bagi persediaan tanah dapat
dilakukan secara sukarela (voluntary) seperti jual
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
55
9 Boedi Harsono, Hukum Agraria Hukum Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, 1999, hlm. 13.
10 Ibid.11 Al Marliah, Hak Menguasai Tanah Dari Negara: Suatu Tinjauan dari
Hukum Agraria, Jurnal Wacana Paramarta, 69-87
beli, penyerahan atau pelepasan hak; atau dapat
pula dilakukan secara wajib (compulsory) seperti
pencabutan hak dan nasionalisasi.12
Pengadaan tanah secara wajib pada hakikatnya
merupakan cara paksa (sepihak), maka pengaturan
pengadaan tanah secara wajib harus dilakukan
atas dasar undang-undang. Secara teoritis,
terjadinya hak menguasai oleh negara yang
ditegaskan dalam konstitusi adalah karena
pelimpahan unsur publik dari hak bangsa sebagai
hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dalam
hukum tanah nasional (Pasal 1 UUPA). Ketika yang
dilimpahkan adalah unsur publik, maka secara
otomatis isi kewenangan hak menguasai oleh
negara pun semata-mata berunsur publik
sebagaimana yang secara eksplisit tampak pada
Pasal 2 ayat (2) UUPA.
Kewenangan dalam menguasai negara melahirkan
hubungan hukum Negara dengan tanah di bawah
kekuasaannya. Kekuasaan hukum yang dijalankan
Negara terhadap tanah yang dipergunakan untuk
kepentingan umum sama halnya dengan
hubungan hukum khusus antara negara dengan
tanah-tanah ini, sama dengan kekuasaan yang
dilakukan negara terhadap tanah-tanah yang lain
secara tidak terbatas. Hubungan hukum ini
menempatkan negara mempunyai kekuatan
dalam mengatur tanah dan dapat memberikan
sanksi bagi pihak-pihak yang melanggar kebijakan
pemerintah sebagai wakil negara.13
Oleh karena itu, hak menguasai negara harus
dilihat sebagai kewajiban Negara sebagai pemiliki
kekuasaan yang mengembangkan tugas
menciptakan kesejahteraan rakyat. Kedudukan
negara sebagai badan penguasa dan pemilik
kekuasaan adalah pemaknaan pola hubungan
antara individu dalam masyarakat dalam konsep
hukum adat. Jadi, di dalamnya mengandung hak
dan kewajiban yang melahirkan kekuasan,
wewenang bahkan daya paksa.14
2. Pengaturan dan Pembatasan Hak Menguasai
Negara atas Tanah dalam UUPA
Pengaturan hak menguasai negara dalam Pasal 2
ayat (2) UUPA hanya bersifat deklaratif dalam
mengelola bumi, air dan ruang angkasa
sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Itu merupakan azas penguasaan negara atas bumi,
air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam
yang terkandung didalamnya itu pada tingkat
tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat yang diatur dalam Pasal
2 ayat (1) UUPA. Pasal ini memberi wewenang
untuk:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan
bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-
hubungan hukum antara orang-orang dengan
bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-
hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai
bumi, air dan ruang angkasa.
Pada ayat (3) Wewenang yang bersumber pada
hak menguasai dari negara tersebut pada ayat (2)
pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar
kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan,
kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat
dan negara hukum Indonesia yang merdeka
berdaulat, adil dan makmur. Hak menguasai negara
dipegang pemerintah pusat sebagaimana diatur
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
56
12 Baihaqi, Landasan Yuridis Terhadap Aturan Hukum tentang Pengadan Tanah un tuk Kepentingan Umum, Jurnal Ilmiah Peuradeun, (2) 02, Mei 2014.
13 Winahyu Erwinigsih, Pelaksanaan pengaturan Hak Mengguasai Negara atas tanah Menurut UUD 1945, Jurnal Hukum, Ed Khusus, Vol 16, Oktober 2009, 118-136.
14 Winahyu Erwinigsih, Pelaksanaan pengaturan Hak Mengguasai Negara atas tanah Menurut UUD 1945, Jurnal Hukum, Ed Khusus, Vol 16, Oktober 2009, 118-136.
dalam Pemikiran tentang hak menguasai negara
atas tanah berangkat dari pembaukaan alinea
ke-4 UUD 1945, dari pemahaman itu pemerintah
memiliki tangun jawab sekaligus tugas utama
untuk melindungi segenap bangsa indonesia dan
seluruh tumpah darah indonesia, kata “tumpah
darah” memiliki makna “tanah air”. Tanah air
Indonesia memiliki arti, bumi, air dan kekayaan
alam yang ter kandung didalamnya. Begitu juga
Pemerintah daerah dapat mempunyai hak itu
apabila ada pelimpahan wewenang dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Ketentuan dalam penjelasan pada ayat (4) adalah
bersangkutan dengan azas ekonomi dan
medebewind dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Soal agraria menurut sifatnya
dan pada azasnya merupakan tugas Pemerintah
Pusat (pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar).
Dengan demikian maka pelimpahan wewenang
untuk melaksanakan hak penguasaan dari negara
atas tanah itu adalah merupakan medebewind.
Segala sesuatunya akan diselenggarakan menurut
keperluannya dan sudah barang tentu tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan nasional.
Wewenang dalam bidang agraria dapat merupakan
sumber keuangan bagi daerah itu.
Kekuasaan negara atas tanah, juga diperlukan
dalam bidang pertanahan untuk mengendalikan
negara dari tekanan perusahaan-perusahaan
swasta nasional atau asing. Saat ini dapat jelas
terlihat, banyak perusahaan-perusahaan swasta
nasional dan asing yang melakukan penguasaan
tanah melalui Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak
Guna Bangunan (HGB) sampai 80 atau 90 tahun.
Kondisi demikian, menyebabkan negara harus
bersikap tegas sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi atas tanah.
Hak menguasai negara juga dapat tercermin pada
Pasal 18 UUPA, bahwa untuk kepentingan umum,
termasuk kepentingan bangsa dan negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak atas tanah
dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian
yang layak dan menurut cara yang diatur dengan
Undang-Undang. Oleh karena itu, tergambarkan
bahwa betapa besarnya hak menguasai Negara
dalam UUPA.
Pada sisi lainya, hak menguasai negara atas tanah
perlu dibatasi agar pemegang hak menguasai
negara terhindar dari potensi pengunaan secara
sewenang-wenang. Pembatasan tidak dimaksudkan
untuk mengkerdilkan kekuasaan negara, karena
pada prinsipnya, negara mempunyai kekuasaan
yang besar untuk menata wilayahnya termasuk
menata tugas-tugas pemerintahan di bidang
pertanahan. Jadi, termasuk pula bagi menjalankan
amanat penguasaan untuk sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat Indonesia.
UUPA telah membuat suatu pembatasan secara
umum melalui Penjelasan Umum UUPA, yaitu:
(a) tujuan dari hak menguasai oleh negara itu
sendiri;
(b)hak atas tanah seseorang dan badan hukum;
dan
(c) hak-hak ulayat masyarakat hukum adat yang
secara faktual masih eksis.
Tujuan dari hak menguasai oleh negara adalah
untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat
dalam rangka masyarakat adil dan makmur (Pasal
2 ayat (2) UUPA). Hak menguasai oleh negara
tidak diperbolehkan digunakan untuk memenuhi
kepentingan kelompok tertentu, seperti penguasa
sebagaimana ‘Domein Negara’ di zaman
Pemerintah Hindia Belanda.15 Selain itu, yang
dimaksud dengan rakyat Indonesia dalam hal ini
meliputi yang ada sekarang dan yang akan datang.
Oleh karena itu, pelaksanaan hak menguasai oleh
negara harus dalam perspektif transgenerasi dan
berkesinambungan.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
57
15 Al Marliah, Hak Menguasai Tanah Dari Negara: Suatu Tinjauan dari Hukum Agraria, Jurnal Wacana Paramarta, 69-87.
Para penyelenggara negara pada masa Orde Lama
cukup konsisten pada amanat konstitusi yang
ingin mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat melalui politik agraria. Hal ini tercermin
dari kebijakan-kebijakan yang diambil bagi
kesejahteraan masyarakat, misalnya kebijakan
program landreform. Perkembangan selanjutnya,
pengaturan hak menguasai negara dalam
peraturan keagrariaan dan sumber daya alam
berlangsung tanpa arah yang jelas. Jika dicermati,
sistem pengaturan hak penguasaan atas sumber-
sumber agraria di Indonesia, berseberangan
dengan UUPA yang merupakan induk dari semua
aturan keagrariaan dan sumberdaya alam.
Sebagai contoh, hak penguasaan atas kekayaan
alam yang terkandung di dalam tubuh bumi pun
diatur di dalam Pasal 8 UUPA. Dalam Pasal 8
UUPA ditentukan: ”Atas dasar hak menguasai
dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal
2 diatur pengambilan kekayaan alam yang
terkandung dalam bumi, air dan ruang angkasa”.
Seharusnya, undang-undang yang mengatur
tentang pertambangan menjadikan Pasal 8 UUPA
ini sebagai landasan penyusunannya. Namun
kenyataan, hampir semua undang-undang
sektoral mengenai keagrariaan dan sumberdaya
alam disusun tanpa mengindahkan UUPA. Dengan
perkataan lain, UUPA “dipetieskan”, memang
bukan “dipetimatikan”. UUPA secara normatif
masih berlaku sebagai undang-undang bagi
keagrariaan, namun dalam praktiknya tidak diacu
dalam penyusunan undang-undang sektoral
lainnya, seperti kehutanan, perairan, dan
pertambangan. Para pendukung pemetiesan
UUPA berdalih bahwa politik perundang-
undangan Indonesia tidak mengenal “undang-
undang payung” sehingga tidak ada kewajiban
hukum untuk menjadikan UUPA sebagai acuan
penyusunan undang-undang sektoral.
Jika selama pemerintahan Orde Baru (terutama
sekitar 10 tahun menjelang berakhirnya) tampak
hak menguasai oleh negara dimanfaatkan untuk
memacu pertumbuhan ekonomi. Kebijakan Agraria
berubah seiring dengan perubahan paradigma
pembangunan yang bertumpu pada pemilik modal
(betting on the strong). Keberpihakan kepada
pemilik modal inilah maka berbagai perundang-
undangan sektoral produk Orde Baru
“dikondisikan” untuk mendahulukan kepentingan
si empunya modal daripada rakyat pada umumnya.
Kondisi ini terkesan lebih berpihak kepada para
pengusaha yang sesungguhnya merupakan
penyimpangan dari tujuan hak menguasai negara
atas tanah.16
Harapannya, keberpihakkan kepada si empunya
modal akan mendorong pada peningkatan
kesejahteraan rakyat juga (trickle down effect).
Akibatnya, politik hukum perundang-undangan
sektoral ini akhirnya berwatak pragmatis
mendukung kepentingan si pemilik modal yang
dipercaya akan menjadi pahlawan kemakmuran.
Berbagai kebijakan Pemerintah Orde Baru
ditujukan untuk memfasilitasi kepentingan usaha
para pemilik modal. Meskipun pada akhirnya
catatan sejarah menunjukkan bahwa ketika
negara ini dalam keadaan ‘sangat membutuhkan’
modal pembangunan, si pemilik modal tidak
dapat membuktikan dirinya sebagai pahlawan
kemakmuran.
Pendayagunaan hak menguasai oleh negara
yang bersifat populis sekarang ini tidak boleh
mengurangi kemampuan rakyat Indonesia di
masa mendatang untuk menikmati tujuan dari
hak menguasai oleh negara. Hal ini adalah tekad
pemerintahan reformasi untuk melakukan
pemberdayaan ekonomi dengan kembali kepada
tujuan pembentukkan UUPA yang sarat dengan
semangat kerakyatan. Tujuan hak menguasai
negara yang bersifat populistik itu menjadi
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
58
16 Winahyu Erwinigsih, Pelaksanaan pengaturan Hak Mengguasai Negara atas tanah Menurut UUD 1945, Jurnal Hukum, Ed Khusus, Vol 16, Oktober 2009, 118-136.
pembatas bagi tindakan penyelenggara negara
dalam mengambil kebijakan dan pembangunan
pertanahan,17 yang mendasari pada landreform.
Hak atas tanah seseorang dan badan hukum juga
merupakan pembatasan hak menguasai negara.
Penjelasan UUPA menyatakan bahwa terhadap
tanah-tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu
hak, kekuasaan negara atas tanah lebih luas dan
penuh daripada atas tanah-tanah yang sudah
dilekati hak oleh seseorang atau badan hukum.
Dengan perkataan lain, negara lebih leluasa
menjalankan kekuasaannya atas tanah yang
masih berstatus tanah negara, sedangkan bagi
tanah-tanah yang sudah dilekati hak, kekuasaan
negara atas tanah itu menjadi terbatas, misalnya:
dalam keadaan biasa tidak boleh mengambil
tanah tersebut tanpa persetujuan dari si empunya
dan dalam keadaan memaksa pencabutan hak
atas tanah harus dengan ganti-kerugian yang
layak.
Pelekatan fungsi sosial terhadap hak menguasai
negara atas adalah aturan yang rancu karena
ketentuan Pasal 6 UUPA telah menentukan bahwa
semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial;
yang lahir dari konsep bahwa semua hak atas
tanah yang mempunyai kewenangan privat
berasal dari hak bangsa sebagai “Hak Bersama
Bangsa Indonesia”. Oleh karena itu, menurut
penulis azas fungsi sosial lahir dari semangat
untuk membatasi hak menguasai negara atas
tanah, maka semua hak atas tanah yang bersifat
pribadi juga dilekatkan fungsi sosial. Namun, hak
menguasai negara adalah kewenangan yang
bersifat publik pada hakikatnya memang ditujukan
untuk mewujudkan fungsi kebersamaan dari
seluruh rakyat Indonesia.
C. Konsepsi Hak Menguasai Negara dan Nilai-Nilai
dalam Masyarakat
1. Konsepsi Hukum Tanah dalam UUPA dan
Hukum Adat
Konsepsi hukum tanah nasional di dalam UUPA
merupakan konsepsi Hukum Adat. Boedi Harsono
menyebutkan konsepsi hukum tanah nasional
adalah komunalistik religius, yang memungkinkan
penguasaan tanah secara individual, dengan hak-
hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus
mengandung kesamaan.18 Konsepsi ini masih
relevan (dan harus tetap) dipertahankan untuk
masa kini maupun untuk masa yang akan datang,
oleh karena konsepsi ini merupakan penjabaran
dari sila-sila Pancasila di bidang pertanahan serta
harus dijabarkan lebih lanjut dalam politik
pertanahan nasional sebagaimana yang digariskan
dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.19
Dalam Konsideran UUPA menyebutkan bahwa
Hukum Agraria Nasional berdasarkan asas Hukum
Adat, yang sederhana dan menjamin kepastian
bagi seluruh masyarakat hukum Indonesia, dengan
tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar
pada Hukum Agraria. Oleh karena itu,
pembangunan hukum tanah nasional harus
dilakukan dalam bentuk penuangan norma-norma
Hukum Adat dalam peraturan perundang-
undangan menjadi hukum yang tertulis. Hal ini
diperkenankan selama Hukum Adat yang
bersangkutan tetap berlaku penuh, serta
menunjukkan adanya hubungan fungsional antara
Hukum Adat dan hukum tanah nasional.
Hukum Adat yang dipakai sebagai Hukum Agraria
adalah Hukum Adat yang telah dihilangkan sifat
kedaerahannya dan diberi sifat nasional, dalam
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
59
17 Al Marliah, Hak Menguasai Tanah Dari Negara: Suatu Tinjauan dari Hukum Agraria, Jurnal Wacana Paramarta, 69-87.
18 Budi Harsoeno, Hak Atas tanah Dalam Hukum Nasional, Buletin Land Media Pengembangan Kebijakan Pertanahan (LMPDP) edisi 04, Agustus-Oktober 2007, 4-6.
19 Alvi Syahrin, Beberapa Masalah Hukum, PT.Sofmedia, Cetakan Pertama, 2009, hal. 45.
hubungannya dengan prinsip Persatuan Bangsa
dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hukum
Adat yang dahulu hanya mementingkan suku
dan masyarakat dan hukumnya sendiri harus
diteliti. Boedi Harsono mengemukakan bahwa
penggunaan norma Hukum Adat sebagai
pelengkap hukum tanah yang tertulis, haruslah
tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan
UUPA.20 Oleh itu, asas Hukum Adat yang disaneer,
yaitu bahwa Hukum Adat yang dipakai sebagai
dasar hukum agraria adalah Hukum Adat yang
sudah dibersihkan dari segi-segi negatifnya.
Menurut Soedarjanto, terdapat beberapa elemen
hukum adat yang dimasukkan dalam hukum
agrarian nasional, yaitu21:
a. Konsep tanah negara sebagai tanah ulayat
pada tingkat nasional.
b. Konsep fungsi social hak atas tanah, sampai
pada kemungkinan dicabut haknya sebagai
manifestasi hubungan masyarakat dengan
individu.
c. Badan Pertanahan Nasional yang mengambil
peran sebagai Kepala Masyarakat Adat dengan
mengambil keputusan-keputusan penting
mengenai tanah atas nama Negara, misalnya
memberikan hak, memperbaharui dan
membatalkannya.
Kedudukan tanah dalam hukum adat adalah
penting, disebabkan oleh dua hal, yaitu22:
a. Karena sifatnya, yaitu benda yang tidak
berubah wujudnya dalam keadaan tertentu
juga akan lebih menguntungkan.
b. Karena faktanya merupakan tempat tinggal
persekutuan, member penghidupan kepada
persekutuan, di mana warga persekutuan
meninggal, juga tempat tinggal roh para leluhur
persekutuan.
Demikian hal dengan kedudukan tanah dalam
UUPA, di mana juga tanah merupakan kekayaan
terpenting pembangunan nasional. Oleh karena
itu, cukup sinergis ketika UUPA melakukan
penyesuaian konsep dengan Hukum Adat dalam
melakukan unifikasi Hukum Agraria Nasional.
Namun, dalam pelaksanaanya menimbulkan
permasalahan karena karakteristik mayarakat
hukum adat pada tingkat nasional sangat berbeda,
misalnya dalam aspek hubungan masyarakat,
aspek kontrol sosial, dan sebagainya.23
2. Hak menguasai Negara dan Hak Ulayat
Langkah yang dilakukan dalam membuat unifikasi
Hukum Agraria Nasonal yang berlandaskan Hukum
Adat, maka termasuklah hak menguasai negara
berasal dari konsep hak ulayat. Hak ulayat
masyarakat hukum adat yang ditegaskan dalam
Penjelasan UUPA bahwa hak menguasai tanah
oleh negara dibatasi oleh keberadaan hak ulayat
masyarakat hukum adat yang secara faktual masih
ada. Sekiranya kepentingan umum menginginkan
hak ulayat, maka perolehan tanahnya hanya dapat
dilakukan setelah masyarakat hukum adat
pemegang hak tersebut “didengar pendapatnya”
dalam arti diajak bermusyawarah dan diberikan
recognitie. Tegasnya, dalam keadaan biasa, tidak
bisa memperoleh tanah ulayat tanpa adanya
persetujuan dari masyarakat hukum adat
pemegang hak ulayat tersebut.24
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
60
20 Boedi Harsono, Hukum Agraria Hukum Indonesia, Sejarah pembentukan UUPA, isi, dan pelaksanaanya, Jilid 1 hukum tanah nasional, Djambatan, Jakarta, 1999, hal. 209.
21 J. Soedarjanto, Perspektif Penguasaan tanah di Indonesia, Buletin Land Media Pengembangan Kebijakan Pertanahan (LMPDP) edisi 04, Agustus-Oktober 2007, 8-10.
22 Suroyo Wignjodipuro, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, Jakarta.
23 J. Soedarjanto, Perspektif Penguasaan tanah di Indonesia, Buletin Land Media Pengembangan Kebijakan Pertanahan (LMPDP) edisi 04, Agustus-Oktober 2007, 8-10.
24 Budi Harsoeno, Hak Atas tanah Dalam Hukum Nasional, Buletin Land Media Pengembangan Kebijakan Pertanahan (LMPDP) edisi 04, Agustus-Oktober 2007, 4-6.
Hak ulayat dan yang serupa dengan itu dari
masyarakat hukum adat (untuk selanjutnya disebut
hak ulayat), adalah kewenangan yang menurut
hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum
adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan
lingkungan hidup para warganya untuk mengambil
manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah
dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup
dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan
secara lahiriah dan batiniah turun menurun dan
tidak terputus antara masyarakat hukum adat
tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
Pasal 3 UUPA menegaskan bahwa, ‘dengan
mengingat ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 UUPA,
pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa dengan
itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat. Diikuti
dalam Pasal 5 UUPA, hukum agraria yang berlaku
adalah hukum adat. Seperti yang tercantum dalam
pasal 5 yaitu: Hukum agraria yang berlaku atas
bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional dan negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia
serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum
dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan
perundangan lainnya, segala sesuatu dengan
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada
hukum agama.
Dalam Penjelasan umum angka III (i) UUPA, dengan
sendirinya hukum agraria yang baru harus sesuai
dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia.
Dengan demikian hukum agraria nasional akan
didasarkan pada Hukum Adat, sebagai hukum
yang asli, yang disempurnakan yang sesuai dengan
kepentingan masyarakat dalam negara modern
dan hubungannya dengan internasional serta
disesuaikan dengan sosialisme Indonesia. Oleh itu,
UUPA telah dengan tegas menyebutkan pengakuan
Hukum Adat sebagai landasan penyusunan UUPA.
Langkah mengakomodir hukum adat dalam UUPA
merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat. Hukum adat adalah pedoman
masyarakat adat dalam berkehidupan yang
memberikan nilai-nilai positif dalam menjaga
hubungan-hubungan dalam masyarakat hukum
adat. Nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
bersifat dinamis yang berarti berkembang sesuai
dengan perkembangan zaman, akibatnya
hukumpun berkembang sesuai dengan nilai-nilai
yang hidup di dalam masyarakat. Konsep hukum
yang ada, konsep hak menguasai negara atas
tanah yang berlaku saat ini bukanlah muncul
secara tiba-tiba, melainkan hasil dari suatu proses
perkembangan terus-menerus.25 Demikian pula,
UUPA dengan mendasari pada Hukum Adat, maka
telah mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat yang terus berkembang.
C. PENUTUP
Hak menguasai negara atas yang ditegaskan dalam
konstitusi negara adalah karena pelimpahan unsur
publik dari hak bangsa sebagai hak penguasaan atas
tanah yang tertinggi dalam hukum tanah nasional.
Oleh karena pelimpahan mengandung unsur publik,
maka secara otomatis isi kewenangan hak menguasai
negara pun semata-mata berunsur publik sebagaimana
yang secara eksplisit (Pasal 2 ayat (2) UUPA).
Hak menguasai negara atas tanah memberikan
kewenangan negara untuk mengatur dan
menyelenggarakan persediaan tanah, artinya negara
dapat membuat peraturan-peraturan pelaksana UUPA,
misalnya peraturan tentang pengadaan tanah untuk
kepentingan umum.
Mengingat luasnya hak menguasai negara atas tanah,
maka UUPA telah membatasi hak menguasai negara
atas tanah melalui tujuan penguasaan tanah, hak
atas tanah seseorang dan badan hukum, dan hak
ulayat. Sebagaimana dijabarkan dalam beberapa pasal
dan penjelasan umum UUPA. Pembatasan tersebut
2961
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
25 Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogjakarta, 1978, hal. 17
masih perlunya pengawasan dari berbagai elemen
yang berkepentingan, sehingga hak menguasai negara
dapat terlaksana sebagaimana amanat UUPA.
Selanjutnya, konsepsi hak menguasai negara atas
tanah di dalam UUPA juga telah sinergis dengan nilai-
nilai yang hidup dalam masyarakat, misalnya berkaitan
hak ulayat, penguasaan tanah yang bersifat
komunalistik, di mana melalui hak menguasai negara
sebagai hak bersama bangsa Indonesia. Namun
demikian, pelaksanaan konsep hukum adat dalam
tingkat nasional mengalami permasalahan, karena
keberagaman masyarakat hukum adat di Indonesia.
Oleh itu disarankan, perlu adanya reformasi UUPA
yang berkaitan dengan penguasaan tanah yang
mampu meminimalisir permasalahan-permasalahan
tanah termasuk dalam mengakomodir konsep hukum
adat.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
62
Al Marliah, Hak Menguasai Tanah Dari Negara: Suatu Tinjauan dari Hukum Agraria, Jurnal Wacana Paramarta, 69-87
Baihaqi, Landasan Yuridis Terhadap Aturan Hukum tentang Pengadan Tanah un tuk Kepentingan Umum, Jurnal Ilmiah
Peuradeun, (2) 02, Mei 2014.
Boedi Harsono, Hukum Agraria Hukum Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi, dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum
Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, 1999.
Boedi Harsono, Hak Atas tanah Dalam Hukum Nasional, Buletin Land Media Pengembangan Kebijakan Pertanahan
(LMPDP) edisi 04, Agustus-Oktober 2007.
J. Soedarjanto, Perspektif Penguasaan tanah di Indonesia, Buletin Land Media Pengembangan Kebijakan Pertanahan
(LMPDP) edisi 04, Agustus-Oktober 2007, 8-10
Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah oleh Negara, Paradigma Baru untuk Reformasi Agraria, Yogyakarta, 2007
Muhammad Feri Fadelai et al, Analisa Yuridis Hah menguasai Negara atas Tanah menurut UUPA, Jurnal Artikel Ilmiah
Hasil Penelitian Mahasiswa, I91) 2014, 1-18.
N. Dahlan., Pemerintahan Daerah, Durat Bahagia, Jakarta, 2006; I. Saleh, Ketertiban dan Pengawasan, Haji Mas Agung,
Jakarta,1998
Purwopranoto, Penuntut Tentang Hukum Tanah, Astana Buku “ ABEDE”, Semarang
P.M, Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik, Dalam Majalah Hukum Universitas Airlangga, Yuridika No. 6 Tahun 1994
Sudiyat, Iman, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogjakarta, 1978
Soekanto, Soerjano dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2007
Suroyo Wignjodipuro, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, Jakarta
Syahrin, Alvi, Cet. I, Beberapa Masalah Hukum, PT. Sofmedia, 2009
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
DAFTAR PUSTAKA
2963
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
64
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
V. I. Williamson Nalle, ‘Hak menguasai negara atas mineral dan batubara pasca berlakunya undang-undang minerbaol’,
(2012) 9 (3) Jurnal Konstitusi, 473-494.
Winahyu Erwinigsih, Pelaksanaan pengaturan Hak Mengguasai Negara atas tanah Menurut UUD 1945, Jurnal Hukum,
Ed Khusus, Vol 16, Oktober 2009, 118-136
Yamin, Muhammad, Abdul Rahim Lubis, Cet. I, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, 2008.
DAFTAR PERATURAN BANK INDONESIA (PBI) JULI - DESEMBER 2015
65
Nomor Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia (TLNRI)
Satker PerihalPeraturan
Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik
Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing
Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik
Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing
Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing
Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika
Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008 tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara
Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/11/PBI/2010 tentang Operasi Moneter
Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional
No.
DPM
DPM
DPM
DPM
DPD
DPSP
DPSP
DPM
DKEM
LN: 201; TLN: 5736
LN: 202; TLN: 5737
LN: 223; TLN: 5743
LN: 224; TLN: 5744
LN: 264; TLN: 5753
LN: 273; TLN: 5762
LN: 274; TLN: 5763
LN: 275; TLN: 5764
LN: 286; TLN: 5769
17/13/PBI/2015
17/14/PBI/2015
17/15/PBI/2015
17/16/PBI/2015
17/17/PBI/2015
17/18/PBI/2015
17/19/PBI/2015
17/20/PBI/2015
17/21/PBI/2015
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
Nomor Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia (TLNRI)
Satker PerihalPeraturan
Kewajiban Pembentukan Countercyclical Buffer
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri
Rekening Giro di Bank Indonesia
No.
DKMP
DSta
DPTP
LN: 373; TLN: 5813
LN: 374; TLN: 5814
LN: 416; TLN: 5832
17/22/PBI/2015
17/23/PBI/2015
17/24/PBI/2015
10.
11.
12.
66
DAFTAR SURAT EDARAN (SE) BANK INDONESIA JULI - DESEMBER 2015
67
1. 17/19/DPUM 08-07-2015 DPUM Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/35/DPAU tanggal 29 Agustus 2013 perihal Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
2. 17/20/DPM 28-08-2015 DPM Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/14/DPM perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik
3. 17/21/DPM 28-08-2015 DPM Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/15/DPM perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing
4. 17/22/DPSP 31-08-2015 DPSP Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/46/DPSP tanggal 20 November 2013 perihal Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara
5. 17/23/DPM 30-09-2015 DPM Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/14/DPM tanggal 17 September 2014 perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik
6. 17/24/DSta 12-10-2015 DSta Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/3/DSta tanggal 6 Maret 2015 perihal Pelaporan Kegiatan Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelola Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank
7. 17/25/DKMP 12-10-2015 DKMP Rasio Loan to Value atau Rasio Financing to Value untuk Kredit atau Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor
8. 17/26/DSta 15-10-2015 DSta Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Selain Utang Luar Negeri
9. 17/27/DKMP 20-10-2015 DKMP Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank
10. 17/28/DKMP 20-10-2015 DKMP Sertifikat Perdagangan Komoditi Berdasarkan Prinsip Syariah Antarbank
Tanggal Satker PerihalPeraturanNo.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
11. 17/29/DPM 26-10-2015 DPM Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/23/DPM tanggal 24 Desember 2014 perihal Operasi Pasar Terbuka
12. 17/30/DPSP 13-11-2015 DPSP Penyelenggaraan Setelmen Dana Seketika melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement
13. 17/31/DPSP 13-11-2015 DPSP Penyelenggaraan Penatausahaan Surat Berharga melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System.
14. 17/32/DPSP 13-11-2015 DPSP Tata Cara Lelang Surat Berharga Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Berharga Negara
15. 17/33/DPSP 13-11-2015 DPSP Tata Cara Penggunaan Fasilitas Likuiditas Intrahari
16. 17/34/DPSP 13-11-2015 DPSP Perlindungan Nasabah dalam Pelaksanaan Transfer Dana melalui Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement
17. 17/35/DPSP 13-11-2015 DPSP Batas Nilai Nominal Transfer Dana melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement dan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia
18. 17/36/DPM 16-11-2015 DPM Penyelenggaraan Sistem Bank Indonesia - Electronic Trading Platform
19. 17/37/DPM 16-11-2015 DPM Operasi Pasar Terbuka
20. 17/38/DPM 16-11-2015 DPM Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta, dan Lembaga Perantara, dalam Operasi Moneter
21. 17/39/DPM 16-11-2015 DPM Koridor Suku Bunga (Standing Facilities)
22. 17/40/DPM 16-11-2015 DPM Tata Cara Transaksi Reverse Repurchase Agreement Surat Berharga Syariah Negara dengan Bank Indonesia dalam rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah
23. 17/41/DPM 16-11-2015 DPM Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga Syariah Negara dengan Bank Indonesia dalam rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah
24. 17/42/DPM 16-11-2015 DPM Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga Syariah Negara dengan Bank Indonesia dalam rangka Standing Facilities Syariah
25. 17/43/DPM 16-11-2015 DPM Tata Cara Transaksi Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah dalam Rupiah (FASBIS)
Tanggal Satker PerihalPeraturanNo.
68
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
26. 17/44/DPM 16-11-2015 DPM Tata Cara Penerbitan Sertifikat Bank Indonesia Syariah melalui Lelang
27. 17/45/DPM 16-11-2015 DPM Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement Sertifikat Bank Indonesia Syariah dengan Bank Indonesia dalam rangka Standing Facilities Syariah
28. 17/46/DPM 16-11-2015 DPM Tata Cara Pembelian dan Penjualan Surat Berharga Syariah Negara Secara Outright dari Bank Indonesia di Pasar Sekunder dalam rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah
29. 17/47/DKEM 30-11-2015 DKEM Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/17/DKMP tanggal 26 Juni 2015 perihal Perhitungan Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional
30. 17/48/DPD 07-12-2015 DPD Penerbitan, Tata Cara Lelang, dan Penatausahaan Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing
31. 17/49/DPM 21-12-2015 DPM Perubahan Keempat atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/14/DPM tanggal 17 September 2014 perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik
32. 17/50/DPM 21-12-2015 DPM Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/15/DPM tanggal 17 September 2014 perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing
33. 17/51/DKSP 30-12-2015 DKSP Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP tanggal 13 April 2009 perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu
34. 17/52/DKSP 30-12-2015 DKSP Implementasi Standar Nasional Teknologi Chip dan Penggunaan Personal Identification Number Online 6 (Enam) Digit untuk Kartu ATM dan/atau Kartu Debet yang Diterbitkan di Indonesia
Tanggal Satker PerihalPeraturanNo.
69
71
DAFTAR PERATURAN BANK INDONESIA (PBI)BESERTA RINGKASAN
PERIODE JULI - DESEMBER 2015
I. Latar Belakang dan Tujuan
Perkembangan terkini kondisi pasar valuta asing domestik menimbulkan tantangan terhadap upaya pencapaian tujuan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai Rupiah yang salah satunya tercermin dari stabilitas nilai tukar Rupiah. Salah satu tantangan yang muncul adalah tingginya permintaan masyarakat terhadap valuta asing untuk kegiatan yang tidak terkait secara langsung dengan kegiatan perdagangan dan investasi. Tantangan ini menyebabkan diperlukannya kebijakan di pasar valuta asing domestik untuk mendorong permintaan valuta asing yang sehat dengan tetap mendukung aktivitas ekonomi pelaku pasar.
II. Materi Pengaturan
1. Threshold untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui Transaksi Spot yang diwajibkan memiliki Underlying Transaksi diturunkan dari USD100,000 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) menjadi USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan per Nasabah.
2. Dalam hal nilai nominal Underlying Transaksi tidak dalam kelipatan USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat) maka terhadap nilai nominal Underlying Transaksi dimaksud dapat dilakukan pembulatan ke atas dalam kelipatan USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat).
Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik
1. 17/13/PBI/2015 25-08-2015
Perihal RingkasanNo. Peraturan Berlaku
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
72
I. Latar Belakang dan Tujuan
Perkembangan terkini kondisi pasar valuta asing domestik menimbulkan tantangan terhadap upaya pencapaian tujuan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai Rupiah yang salah satunya tercermin dari stabilitas nilai tukar Rupiah. Salah satu tantangan yang muncul adalah adanya ketidakseimbangan supply-demand di pasar valuta asing domestik di tengah tingginya tekanan terhadap nilai tukar negara-negara emerging. Tantangan ini menyebabkan diperlukannya kebijakan di pasar valuta asing domestik untuk menahan dampak dari ketidakseimbangan tersebut melalui upaya untuk mendorong permintaan valuta asing yang sehat dengan tetap mendukung aktivitas ekonomi pelaku pasar.
II. Materi Pengaturan
1. Threshold untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Pihak Asing kepada Bank melalui Transaksi Spot yang diwajibkan memiliki Underlying Transaksi diturunkan dari USD100,000 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) menjadi USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan per Pihak Asing.
2. Dalam hal nilai nominal Underlying Transaksi tidak dalam kelipatan USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat) maka terhadap nilai nominal Underlying Transaksi dimaksud dapat dilakukan pembulatan ke atas dalam kelipatan USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat).
I. Latar Belakang dan Tujuan
PBI ini diterbitkan dalam rangka mendorong peningkatan supply valas di pasar valas domestik sehingga dapat mendorong kegiatan perekonomian. Selain itu kebijakan ini juga sebagai upaya Bank Indonesia dalam mempercepat pendalaman pasar keuangan di pasar valas domestik serta sebagai respon terhadap perkembangan pasar keuangan global .
Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing
Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik
2.
3.
17/14/PBI/2015
17/15/PBI/2015
25-08-2015
07-10-2015
Perihal RingkasanNo. Peraturan Berlaku
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
II. Materi Pengaturan
1. Peningkatan threshold transaksi tanpa Underlying Transaksi, khusus untuk penjualan valuta asing melalui transaksi forward (forward jual), dari sebelumnya USD 1 juta menjadi USD 5 juta per transaksi per nasabah.
2. Penambahan jenis Underlying Transaksi, khusus untuk penjualan valuta asing melalui transaksi forward (forward jual), yaitu termasuk pula kepemilikan dana valas di dalam dan luar negeri.
3. Penyelesaian transaksi forward jual dengan nominal transaksi paling banyak sebesar threshold dan/atau transaksi forward jual dengan Underlying Transaksi kepemilikan dana valas di dalam dan luar negeri wajib dilakukan dengan cara perpindahan dana pokok secara penuh (full delivery settlement).
4. Penegasan transaksi pinjaman (loan)/kredit yang belum ditarik, antara lain berupa standby loan dan undisbursed loan, tidak termasuk sebagai Underlying Transaksi Valas terhadap Rupiah.
5. Penegasan bahwa dalam melakukan transaksi Valas terhadap Rupiah bank wajib memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan Rupiah.
6. Penegasan bahwa dokumen tagihan dalam valuta asing dari transaksi yang diwajibkan menggunakan Rupiah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak dapat menjadi dokumen Underlying Transaksi.
I. Latar Belakang dan Tujuan
PBI ini diterbitkan dalam rangka mendorong peningkatan supply valas di pasar valas domestik sehingga dapat mendorong kegiatan perekonomian. Selain itu kebijakan ini juga sebagai upaya Bank Indonesia dalam mempercepat pendalaman pasar keuangan di pasar valas domestik serta sebagai respon terhadap perkembangan pasar keuangan global .
Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing
4. 17/16/PBI/2015 07-10-2015
Perihal RingkasanNo. Peraturan Berlaku
73
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
II. Materi Pengaturan
1. Peningkatan threshold transaksi tanpa Underlying Transaksi, khusus untuk penjualan valuta asing melalui transaksi forward (forward jual), dari sebelumnya USD 1 juta menjadi USD 5 juta per transaksi per nasabah.
2. Penambahan jenis Underlying Transaksi, khusus untuk penjualan valuta asing melalui transaksi forward (forward jual) dan transfer rupiah kepada rekening yang dimiliki Pihak Asing, yaitu termasuk pula kepemilikan dana valas di dalam dan luar negeri.
3. Penyelesaian transaksi forward jual dengan nominal transaksi paling banyak sebesar threshold dan/atau transaksi forward jual dengan Underlying Transaksi kepemilikan dana valas di dalam dan luar negeri wajib dilakukan dengan cara perpindahan dana pokok secara penuh (full delivery settlement).
4. Penegasan transaksi pinjaman (loan)/kredit yang belum ditarik, antara lain berupa standby loan dan undisbursed loan, tidak termasuk sebagai Underlying Transaksi Valas terhadap Rupiah.
5. Penegasan bahwa dalam melakukan transaksi Valas terhadap Rupiah bank wajib memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan Rupiah.
6. Penegasan bahwa dokumen tagihan dalam valuta asing dari transaksi yang diwajibkan menggunakan Rupiah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak dapat menjadi dokumen Underlying Transaksi.
I. Latar Belakang dan Tujuan
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009, Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah.
Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing
5. 17/17/PBI/2015 10-11-2015
Perihal RingkasanNo. Peraturan Berlaku
74
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
Sehubungan dengan tujuan dimaksud, Bank Indonesia melaksanakan tugas antara lain menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. Dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia terkait kebijakan moneter diperlukan penguatan cadangan devisa yang antara lain dilakukan melalui penerbitan SBBI Valas. Selain itu, penerbitan SBBI Valas diharapkan pula dapat mendukung pendalaman pasar keuangan, khususnya pada pasar valas domestik antara lain melalui pembentukan suku bunga acuan (reference rate) untuk surat berharga valas berjangka pendek, perluasan cakupan investor, dan sebagai alternatif instrumen investasi di pasar valas domestik.
II. Materi Pengaturan
1. Definisi Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing yang selanjutnya disebut SBBI Valas adalah surat berharga dalam valuta asing yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek.
2. Penduduk dan/atau bukan penduduk dapat memiliki SBBI Valas di Pasar Perdana melalui pengajuan pembelian SBBI Valas kepada Peserta Lelang yang telah ditunjuk oleh Bank Indonesia atau di Pasar Sekunder melalui mekanisme pasar.
3. Adapun ketentuan untuk Peserta Lelang SBBI Valas, diatur sebagai berikut:a. Peserta Lelang terdiri atas Bank dan/atau pihak
lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.b. Peserta Lelang dapat mengikuti transaksi lelang
SBBI Valas untuk kepentingan diri sendiri dan/atau pihak lain.
c. Bank Indonesia menetapkan persyaratan bagi Peserta Lelang.
d. Ketentuan lebih lanjut mengenai Peserta Lelang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia
4. Pokok-Pokok Pengaturan antara lain:a. Tujuan Penerbitan SBBI Valas;b. Karakteristik SBBI Valas;c. Mekanisme Penerbitan (Peserta Lelang,
Kepemilikan, dan Pelaksanaan Lelang);d. Penatausahaan SBBI Valas, termasuk pelunasan
pokok;e. Pengenaan Sanksi
Perihal RingkasanNo. Peraturan Berlaku
75
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
I. Latar Belakang
1. Adanya menyempurnakan penyelenggaraan Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS dalam rangka peningkatan efisiensi dan kemampuan mitigasi risiko dengan menerapkan prinsip-prinsip pada Principles for Financial Market Infrastructures (PFMI’s) yang dikeluarkan oleh Committee on Payment and Financial Market Infrastructures dan International Organization of Securities Commission (CPMI-IOSCO).
2. Memperkuat infrastruktur sistem pembayaran dan sistem keuangan yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia melalui implementasi Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (Sistem BI-ETP) yang terintegrasi dengan Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS) dan Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS).
3. Menyempurnakan pengaturan mengenai kewajiban dan tanggung jawab Peserta pengirim dalam meneruskan perintah transfer dana melalui Sistem BI-RTGS serta kewajiban dan tanggung jawab Peserta penerima untuk meneruskan dana kepada nasabahnya dalam rangka pengingkatan perlindungan kepada nasabah penguna Sistem BI-RTGS.
Untuk memberikan landasan hukum yang komprehensif dalam penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS, Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Bank Indonesia No.17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika.
II. Materi Pengaturan
1. Penyelenggaraan transaksi, penatausahaan Surat Berharga, dan setelmen dana seketika dilakukan melalui 3 (tiga) sistem yaitu Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS.
2. Pokok-pokok pengaturan mengenai penyelenggaraan Sistem BI-ETP antara lain sebagai berikut:
Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika
6. 17/18/PBI/2015 16-11-2015
Perihal RingkasanNo. Peraturan Berlaku
76
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
a. Sistem BI-ETP merupakan infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transaksi yang dilakukan secara elektronik.
b. Transaksi melalui Sistem BI-ETP terdiri atas:1) Transaksi Dengan Bank Indonesia, yaitu
transaksi yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka kegiatan operasi moneter, operasi moneter syariah, dan/atau transaksi Surat Berharga Negara untuk dan atas nama Pemerintah, serta transaksi lainnya yang dilakukan dengan Bank Indonesia.
2) Transaksi Pasar Keuangan, yaitu transaksi Surat Berharga dan transaksi pinjam meminjam secara konvensional atau yang dipersamakan berdasarkan prinsip syariah dalam rangka transaksi pasar uang dan/atau transaksi Surat Berharga di pasar sekunder.
c. Penyelenggara Sistem BI-ETP adalah Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan Moneter.
d. Pihak yang dapat menjadi Peserta Sistem BI-ETP adalah Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan, Bank, perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing, perusahaan efek, dan lembaga lain yang disetujui oleh Penyelenggara.
3. Pokok-pokok pengaturan mengenai penyelenggaraan BI-SSSS antara lain sebagai berikut:a. BI-SSSS merupakan infrastruktur yang
digunakan sebagai sarana penatausahaan Transaksi Dengan Bank Indonesia, penatausahaan Transaksi Pasar Keuangan, dan penatausahaan Surat Berharga yang dilakukan secara elektronik.
b. Kegiatan penatausahaan melalui BI-SSSS mencakup kegiatan pencatatan kepemilikan, kliring dan setelmen, serta pembayaran kupon/bunga atau imbalan dan nilai pokok/nominal atas hasil transaksi Surat Berharga dan hasil transaksi tanpa Surat Berharga.
Perihal RingkasanNo. Peraturan Berlaku
77
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
c. Penyelenggara BI-SSSS adalah Bank Indonesia c.q. Departemen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran.
d. Pihak yang dapat menjadi Peserta BI-SSSS adalah Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, Bank, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, perusahaan efek, dan lembaga lain yang disetujui oleh Penyelenggara.
4. Pokok-pokok pengaturan mengenai penyelenggaraan Sistem BI-RTGS antara lain sebagai berikut:a. Sistem BI-RTGS merupakan infrastruktur yang
digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik yang setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara individual.
b. Penyelenggara BI-SSSS adalah Bank Indonesia c.q. Departemen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran.
c. Pihak yang dapat menjadi Peserta Sistem BI-RTGS adalah Bank Indonesia, Bank, penyelenggara kliring dan/atau penyelenggaraan setelmen, dan lembaga lain yang disetujui oleh Penyelenggara.
d. Dalam rangka meningkatkan perlindungan kepada nasabah pengguna Sistem BI-RTGS, antara lain diatur hal-hal sebagai berikut:1) menetapkan batas paling banyak biaya
transaksi yang dikenakan oleh Peserta kepada nasabah;
2) adanya kewajiban Peserta pengirim untuk mengirimkan instruksi Setelmen dana paling lama 1 (satu) jam sejak Peserta pengirim melakukan pengaksepan atas perintah transfer dana dari nasabah.
3) adanya kewajiban Peserta penerima untuk meneruskan dana kepada nasabah penerima sesegera mungkin atau paling lama 1 (satu) jam sejak instruksi Setelmen dana diterima oleh Peserta penerima.
e. Dalam rangka memitigasi risiko penyelenggaraan Sistem BI-RTGS, di dalam Sistem BI-RTGS menyediakan fasilitas pengelolaan risiko likuiditas dan risiko kredit untuk Peserta Sistem BI-RTGS.
Perihal RingkasanNo. Peraturan Berlaku
78
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
79
5. Bank Indonesia menetapkan sanksi administratif berupa (i) teguran tertulis; (ii) kewajiban membayar; dan/atau (iii) penurunan status kepesertaan, apabila Peserta tidak memenuhi ketentuan yang diatur dalam PBI ini.
6. Terdapat beberapa ketentuan dalam PBI ini yang akan diberlakukan pada tahun 2016, yaitu:a. Kewajiban penyampaian laporan berkala oleh
Peserta dan sanksi atas kewajiban penyampaian laporan berkala mulai berlaku untuk periode laporan tahun 2016.
b. Ketentuan mengenai sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran:1) Batas waktu pengiriman instruksi Setelmen
dana oleh Peserta pengirim kepada Peserta penerima;
2) Batas waktu penerusan dana oleh Peserta penerima kepada nasabah penerima; dan
dalam penyelenggaraan Sistem BI-RTGS mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2016.
c. Ketentuan batas paling banyak yang dikenakan Peserta kepada nasabah dalam penyelenggaraa Sistem BI-RTGS mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2016.
1. Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini merupakan perubahan kedua atas PBI Nomor 10/13/PBI/2008 Tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara, yang sebelumnya telah diubah dengan PBI Nomor 15/9/PBI/2013.
2. Perubahan PBI ini dilakukan untuk mengakomodasi penggunaan infrastruktur yang dikembangkan oleh Bank Indonesua dalam rangka mendukung peran Bank Indonesia sebaga agen lelang.
3. Pokok-pokok perubahan dalam PBI ini meliputi:a. Perluasan pihak yang dapat menjadi Sub-Registry
yaitu dengan menambahkan Bank Indonesia sebagai pihak yang dapat menjadi Sub-Registry; dan
b. Perubahan sarana pelaksanaan lelang Surat Berharga Negara yang sebelumnya menggunakan sarana Bank Indonesia Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS) menjadi menggunakan sarana yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
c. Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggal 16 November 2015.
Perihal RingkasanNo. Peraturan Berlaku
Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008 tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara
7. 17/19/PBI/2015 16-11-2015
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
I. Latar Belakang
Penerbitan ketentuan ini dilakukan dalam rangka mengakomodasi upaya penguatan infrastruktur transaksi Operasi Moneter yang dilakukan Bank Indonesia serta mendukung efektifitas dan keselarasan pengaturan kebijakan moneter dan sistem pembayaran.
II. Materi Pengaturan
1. Penambahan pengaturan terkait dasar perhitungan pengenaan sanksi kewajiban membayar atas batalnya transaksi Operasi Moneter dilakukan berdasarkan nilai transaksi pada saat first leg.
2. Penambahan pengaturan bahwa pengenaan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan Operasi Moneter tidak berlaku untuk transaksi Repo Lending Facility Peserta Operasi Moneter yang berasal dari transaksi Fasilitas Likuiditas Intrahari yang tidak lunas.
3. Perubahan terminologi Pialang Pasar Modal menjadi Perusahaan Efek.
I. Latar Belakang
1. Kondisi stabilitas makroekonomi yang semakin baik dan laju inflasi yang terkendali memberikan ruang untuk dilakukan pelonggaran moneter.
2. Namun tantangan dari sisi eksternal masih tinggi seiring dengan ketidakpastian di pasar keuangan global, terutama karena kemungkinan kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (Fed Fund Rate) dan keberagaman kebijakan moneter yang ditempuh oleh Bank Sentral Eropa, Jepang, dan Tiongkok.
3. Mengingat tantangan eksternal tersebut, maka ruang pelonggaran kebijakan moneter dimanfaatkan melalui penurunan GWM Primer dalam Rupiah yang diharapkan dapat meningkatkan kapasitas pembiayaan perbankan untuk mendukung kegiatan ekonomi.
Perihal RingkasanNo. Peraturan Berlaku
Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/11/PBI/2010 tentang Operasi Moneter
Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional
8.
9.
17/20/PBI/2015
17/21/PBI/2015
12-11-2015
01-12-2015
80
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
II. Materi Pengaturan
1. Penurunan rasio kewajiban Giro Wajib Minimum (GWM) dalam Rupiah menjadi sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen) dari Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam Rupiah.
2. Kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM Primer dalam Rupiah bagi Bank yang melakukan merger atau konsolidasi tetap sebesar 1% (satu persen) untuk jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak merger atau konsolidasi berlaku efektif. Dengan pemberian kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM Primer dalam Rupiah sebesar 1% (satu persen) tersebut maka GWM Primer dalam Rupiah yang wajib dipenuhi oleh Bank yang semula sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen) berubah menjadi sebesar 6,5% (enam koma lima persen).
3. Penurunan bagian tertentu dari pemenuhan kewajiban GWM Primer dalam Rupiah yang mendapat jasa giro menjadi sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari DPK dalam Rupiah. Adapun jasa giro tetap sebesar 2,5% (dua koma lima persen) yang merupakan tingkat bunga efektif tahunan (effective annual rate).
Latar Belakang Pengaturan:
- Dalam rangka mencegah peningkatan risiko sistemik dari pertumbuhan kredit yang berlebihan dan menyerap kerugian yang dapat ditimbulkan, diperlukan adanya tambahan modal sebagai penyangga berupa countercyclical buffer;
- Untuk memperjelas pengaturan mengenai countercyclical buffer sebagai salah satu instrumen makroprudensial.
Substansi Pengaturan:
1. Bank wajib membentuk Countercyclical Buffer mulai 1 Januari 2016.
2. Bank Indonesia menetapkan besaran Countercyclical Buffer dalam kisaran antara 0% sampai dengan 2,5% dari Aset Tertimbang Menurut Risiko bank. Besaran Countercyclical Buffer yang ditetapkan Bank Indonesia
Perihal RingkasanNo. Peraturan Berlaku
Kewajiban Pembentukan Countercyclical Buffer
10. 17/22/PBI/2015 23-12-2015
81
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
tersebut wajib dibentuk oleh bank bersama dengan pembentukan penyangga modal lainnya yaitu Capital Conservation Buffer dan Capital Surcharge untuk Domestic Systemically Important Bank (D-SIB) yang telah diatur dalam ketentuan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM).
3. Bank Indonesia dapat menetapkan besaran kisaran Countercyclical Buffer yang berbeda dari kisaran sesuai dengan perkembangan kondisi makroekonomi, sistem keuangan di Indonesia, dan/atau kondisi perekonomian global.
4. Untuk pertama kali, besaran Countercyclical Buffer ditetapkan sebesar 0% mulai 1 Januari 2016.
5. Pembentukan tambahan modal berupa Countercyclical Buffer wajib dipenuhi dengan komponen Modal Inti Utama (Common Equity Tier 1).Khusus bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, pembentukan Countercyclical Buffer wajib dipenuhi dengan komponen pembentukan capital conservation buffer yang berlaku bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank.
6. Bank Indonesia melakukan evaluasi besaran Countercyclical Buffer paling kurang 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan.
7. Hasil evaluasi menjadi dasar untuk menetapkan besaran dan waktu pemberlakuan Countercyclical Buffer, yang dapat berupa:a. Tetap pada besaran Countercyclical Buffer yang
berlaku; ataub. Perlunya penyesuaian besaran Countercyclical
Buffer.8. Pengumuman besaran Countercyclical Buffer
a. Dalam hal berdasarkan evaluasi ditetapkan bahwa besaran Countercyclical Buffer tidak berubah maka Bank Indonesia mengeluarkan pengumuman di laman (website) Bank Indonesia.
b. Dalam hal berdasarkan evaluasi perlu ditetapkan perubahan Countercyclical Buffer maka Bank Indonesia menerbitkan Surat Edaran Bank Indonesia mengenai perubahan besaran dan waktu pemberlakuan Countercyclical Buffer.
9. Bank Indonesia menetapkan penyesuaian Countercyclical Buffer sebagai berikut:
Perihal RingkasanNo. Peraturan Berlaku
82
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
a. Kenaikan besaran Countercyclical Buffer berlaku paling cepat 6 (enam) bulan dan paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak ditetapkan.
b. Penurunan besaran Countercyclical Buffer berlaku sejak ditetapkan.
10.PBI ini berlaku sejak tanggal diundangkan.
1. Latar BelakangDiperlukan penguatan pemantauan atas kegiatan penarikan devisa utang luar negeri dalam rangka meningkatkan pemanfaatan devisa utang luar negeri sebagai sumber dana yang berkesinambungan bagi pembangunan ekonomi nasional.
2. Pokok-pokok Perubahana. Ketentuan terkait kewajiban penerimaan DULN:
1) Penambahan ketentuan dimana nilai setiap penarikan ULN harus sama dengan nilai setiap DULN yang diterima melalui bank devisa dalam negeri. Ketentuan nilai akumulasi penerimaan DULN harus sama dengan nilai komitmen ULN tetap berlaku.
2) Penambahan ketentuan yang mengharuskan pelapor menginformasikan secara benar penerimaan DULN-nya ke bank devisa dalam negeri.
3) Memperjelas cakupan ULN yang termasuk dalam kewajiban penerimaan DULN.
b. Ketentuan terkait sanksi:1) Penambahan sanksi administratif berupa
teguran tertulis dan/atau pemberitahuan kepada kreditur/instansi berwenang.
2) Sanksi terkait ketentuan nilai akumulasi penerimaan DULN harus sama dengan nilai komitmen ULN dihapuskan, yang digantikan dengan sanksi terkait ketentuan nilai setiappenarikan ULN harus sama dengan nilai setiap DULN yang diterima melalui bank devisa dalam negeri.
3) Penambahan ketentuan pembebasan sanksi denda jika pelapor dapat membuktikan DULN telah diterima melalui bank devisa dalam negeri dalam batas waktu yang ditentukan Bank Indonesia.
Perihal RingkasanNo. Peraturan Berlaku
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri
11. 17/23/PBI/2015 02-01-2016
83
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
4) Dihapuskannya sanksi keterlambatan bagi pelapor DULN yang terlambat menyampaikan dokumen pendukung berupa bukti penarikan DULN.
5) Ketentuan terkait sanksi mulai berlaku untuk penarikan ULN yang dilakukan sejak tanggal 1 Maret 2016.
c. Penambahan ketentuan yang memungkinkan BI mengambil kebijakan tertentu jika terjadi permasalahan dalam penerapan kewajiban penerimaan DHE dan DULN yang berdampak strategis.
d. Penarikan DULN yang berasal dari perjanjian ULN yang ditandatangani sebelum berlakunya PBI ini tetap mengacu pada PBI No.16/10/PBI/2014 sampai dengan berakhirnya perjanjian ULN dimaksud, kecuali untuk penarikan DULN yang berasal dari penambahan plafon ULN karena adanya perubahan perjanjian (amandemen) yang ditandatangani setelah berlakunya PBI ini.
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2016.
1. Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini merupakan PBI yang mencabut PBI Nomor 2/24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia dengan Pihak Ekstern yang telah mengalami empat kali perubahan pada tahun 2001, 2004, 2005 dan 2009. Perubahan PBI dimaksud sebagai berikut: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000
tanggal 17 November 2000 tentang Hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern;
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/11/PBI/2001 tanggal 20 Juni 2001 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000;
c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/16/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern;
Perihal RingkasanNo. Peraturan Berlaku
Rekening Giro di Bank Indonesia
12. 17/24/PBI/2015 30-12-2015
84
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
d. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/48/PBI/2005 tanggal 16 November 2005 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern;
e. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/32/PBI/2009 tanggal 30 September 2009 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern.
2. PBI ini diterbitkan untuk mengakomodir beberapa pengaturan yang belum diatur dalam PBI sebelumnya (PBI Hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia dengan Pihak Ekstern) dan untuk merumuskan kembali pengaturan mengenai rekening giro sesuai dengan situasi dan kondisi saat ini.
3. Pokok-pokok dalam PBI ini meliputi:1) ketentuan Umum; 2) kepemilikan rekening giro; 3) hubungan hukum 4) kewajiban dan tanggung jawab pemilik rekening giro; 5) fasilitas rekening giro; 6) sarana penyetoran dan penarikan; 7) pembukaan rekening giro; 8) penyetoran ke rekening giro; 9) penarikan rekening giro; 10) perubahan terkait rekening giro; 11) pembatasan kegiatan terkait rekening giro; 12) penutupan rekening giro; 13) laporan; 14) biaya; 15) keadaan tidak normal dan/atau keadaan darurat; 16) lain-lain; 17) sanksi; dan 18) ketentuan penutup.
Perihal RingkasanNo. Peraturan Berlaku
85
87
DAFTAR SURAT EDARAN BANK INDONESIA BESERTA RINGKASAN
PERIODE JULI - DESEMBER 2015
Substansi Pengaturan:
I. Pokok-pokok pengaturan terdiri dari:a. Penyusunan rencana pemberian Kredit
atau Pembiayaan UMKMb. Pencapaian rasio dan kualitas Kredit atau
Pembiayaan UMKM.c. Insentif dalam rangka mendorong
penyaluran Kredit atau Pembiayaan UMKM.
d. Tata cara penilaian pemberian penghargaan dalam rangka pemberian insentif kepada Bank Umum yang menyalurkan Kredit atau Pembiayaan UMKM
e. Pelatihan kepada pelaku UMKM oleh bank Umum syariah
f. Penyampaian laporan.g. Tata cara pengenaan sanksi.
II. Penyusunan rencana pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM.Bank Umum menyusun rencana pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM dengan memperhatikan tahapan pencapaian rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM terhadap total Kredit atau Pembiayaan yang telah ditetapkan, sebagai berikut:a. Tahun 2015, paling rendah 5% (lima
persen); b. Tahun 2016: paling rendah 10% (sepuluh
persen); c. Tahun 2017: paling rendah 15% (lima
belas persen); dan d. Sejak tahun 2018 : paling rendah 20%
(dua puluh persen).
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/35/DPAU tanggal 29 Agustus 2013 perihal Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
1. 17/19/DPUM 08-07-2015
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
DPUM
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
88
III.Pencapaian rasio dan kualitas Kredit UMKM Digunakan dalam Perhitungan Giro Wajib Minimum Loan to Funding Ratio (GWM LFR)Pencapaian rasio pemberian Kredit UMKM yang disertai kualitas kredit yang terjaga oleh Bank Umum konvensional dapat menjadi faktor untuk memperoleh kelonggaran batas atas loan to funding ratio target atau pengurangan jasa giro sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai giro wajib minimum dalam Rupiah dan valuta asing bagi Bank Umum konvensional.
IV. Insentif dalam rangka mendorong penyaluran Kredit atau Pembiayaan UMKMInsentif diberikan kepada Bank Umum yang menyalurkan Kredit atau Pembiayaan UMKM dalam bentuk pelatihan untuk Pejabat Kredit/Account Officer, pelatihan kepada Pendamping/Pembina Usaha Mikro dan Usaha Kecil (UMK), fasilitasi Pemanfaatan Pemeringkatan Kredit (Credit Rating) untuk Usaha Kecil dan Usaha Menengah (UKM), serta publikasi dan pemberian penghargaan (award).
V. Tata cara penilaian pemberian penghargaan dalam rangka pemberian insentif kepada Bank Umum yang menyalurkan kredit atau pembiayaan UMKMBank Indonesia memberikan penghargaan kepada Bank Umum yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Memiliki pencapaian rasio Kredit atau
Pembiayaan UMKM sesuai dengan tahapan yang ditetapkan;
b. Memiliki rasio NPL/NPF total Kredit atau Pembiayaan kurang dari 5% (lima persen);
c. Memiliki rasio NPL/NPF Kredit atau Pembiayaan UMKM kurang dari 5% (lima persen); dan
d. Memenuhi tema dan kriteria yang ditetapkan.
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
Untuk proses penilaian pemberian penghargaan dalam rangka pemberian insentif kepada Bank Umum yang menyalurkan kredit atau pembiayaan UMKM, Bank Indonesia dapat membentuk tim penilai, atau bekerjasama dengan pihak ketiga sebagai pendukung penilaian.
Proses penilaian dilakukan sebagai berikut:a. Penetapan tema dan periode penilaian
oleh Bank Indonesia;b. Pengumuman tema dan periode penilaian
oleh Bank Indonesia;c. Pembentukan tim penilai atau penunjukan
pihak ketiga sebagai pendukung penilaian;d. Proses penilaian oleh Bank Indonesia atau
tim penilai; dane. Penetapan dan pengumuman pemenang
oleh Bank Indonesia.
VI.Pelatihan kepada pelaku UMKM oleh Bank Umum syariahBank Umum Syariah yang tidak mencapai realisasi Pembiayaan UMKM sesuai rasio yang ditetapkan wajib menyelenggarakan pelatihan kepada pelaku UMKM. Jumlah dana yang dialokasikan dalam rangka pelatihan paling sedikit 2% (dua persen) dari selisih antara kewajiban pencapaian rasio Pembiayaan UMKM dengan realisasi pencapaian rasio Pembiayaan UMKM pada setiap akhir tahun berjalan, dengan jumlah paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Penyelenggaraan pelatihan kepada UMKM dilaporkan kepada Bank Indonesia paling lambat 30 September tahun berikutnya. Topik pelatihan yang dapat diselenggarakan oleh Bank Umum syariah antara lain mengenai aspek keuangan, aspek pemasaran, aspek produksi, dan aspek kelembagaan, dengan metode pelatihan dalam bentuk klasikal, magang, studi banding, promosi, atau pendampingan.
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
89
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
VII.Penyampaian laporanBank Umum menyampaikan laporan realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui kerja sama pola executing secara offline melalui sarana elektronik berupa email (secured email) setiap triwulan untuk posisi Maret, Juni, September, dan Desember dan diterima Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah berakhirnya triwulan bersangkutan. Penyampaian laporan realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui kerja sama pola executing secara offline dilakukan sampai dengan tersedianya sistem pelaporan secara online. Adapun penyampaian laporan dimaksud, diatur sebagai berikut:a. Pelaporan realisasi pemberian Kredit atau
Pembiayaan UMKM melalui kerja sama pola executing secara offline dinyatakan terlambat apabila laporan diterima Bank Indonesia setelah batas akhir waktu penyampaian laporan sampai dengan 5 (lima) hari kerja berikutnya setelah batas waktu tersebut:
b. Dinyatakan tidak menyampaikan laporan apabila laporan realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui kerja sama pola executing belum diterima Bank Indonesia sampai dengan berakhirnya batas waktu keterlambatan penyampaian laporan.
c. Dalam hal penyampaian laporan melalui email tidak dapat dilakukan, Bank Umum menyampaikan laporan dalam bentuk hardcopy dan softcopy (compact disc/USB).
d. Bank Umum menyampaikan secara tertulis data nama petugas, penanggung jawab laporan dan alamat email pengirim laporan realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui kerjasama pola executing paling lambat tanggal 15 Juli 2015.
e. Bank Umum melakukan pengkinian terhadap perubahan data nama petugas, penanggung jawab laporan dan alamat email pengirim laporan.
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
90
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
f. Laporan realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui kerja sama pola executing digunakan untuk perhitungan pencapaian rasio dan NPL/NPF Kredit atau Pembiayaan UMKM sebagai berikut:1) Posisi akhir bulan Maret digunakan
untuk perhitungan pencapaian rasio dan NPL/NPF Kredit atau Pembiayaan UMKM bulan Mei, Juni, dan Juli.
2) Posisi akhir bulan Juni digunakan untuk perhitungan pencapaian rasio dan NPL/NPF Kredit atau Pembiayaan UMKM bulan Agustus, September, dan Oktober.
3) Posisi akhir bulan September digunakan untuk perhitungan pencapaian rasio dan NPL/NPF Kredit atau Pembiayaan UMKM bulan November, Desember, dan Januari.
4) Posisi akhir bulan Desember digunakan untuk perhitungan pencapaian rasio dan NPL/NPF Kredit atau Pembiayaan UMKM bulan Februari, Maret, dan April.
5) Untuk pertama kali penyampaian laporan realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui kerja sama pola executing secara offline dilakukan untuk posisi Juni 2015, yang selambat-lambatnya disampaikan tanggal 31 Juli 2015.
g. Kewajiban penyampaian laporan realisasi pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM melalui kerja sama pola executing secara offline berakhir setelah adanya surat pemberitahuan dari Bank Indonesia.
VIII.Tata cara pengenaan sanksiTata cara pengenaan sanksi dilakukan sebagai berikut:a. Informasi mengenai pengenaan sanksi
disampaikan kepada Bank Umum yang bersangkutan dengan tembusan kepada otoritas pengawas bank.
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
91
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
b. Apabila penerimaan laporan secara offline dari Bank Umum melampaui batas waktu keterlambatan, maka Bank Umum dikenakan sanksi kewajiban membayar karena dinyatakan tidak menyampaikan laporan yang pengenaannya tidak diakumulasikan dengan sanksi kewajiban membayar karena keterlambatan pelaporan.
c. Pengenaan sanksi kewajiban membayar oleh Bank Umum dilakukan dengan cara pendebetan rekening giro Bank Umum yang ada di Bank Indonesia.
I. Latar Belakang dan Tujuan
Perkembangan terkini kondisi pasar valuta asing domestik menimbulkan tantangan terhadap pencapaian tujuan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai Rupiah, yang salah satunya tercermin dari stabilitas nilai tukar Rupiah. Salah satu tantangan yang muncul adalah tingginya permintaan masyarakat terhadap valuta asing untuk kegiatan yang tidak terkait secara langsung dengan kegiatan perdagangan dan investasi. Dalam merespons tantangan ini, Bank Indonesia telah menerbitkan PBI No.17/13/PBI/2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Indonesia Nomor 16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik. Selanjutnya, Surat Edaran ini diterbitkan sebagai pedoman teknis dalam melaksanakan PBI tersebut.
II. Materi Pengaturan
Threshold untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui Transaksi Spot yang diwajibkan memiliki Underlying Transaksi diturunkan dari USD100,000 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) menjadi USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan per Nasabah.
Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/14/DPM perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik
2. 17/20/DPM 28-08-2015
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
DPM
92
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
I. Latar Belakang dan Tujuan
Perkembangan terkini kondisi pasar valuta asing domestik menimbulkan tantangan terhadap pencapaian tujuan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai Rupiah, yang salah satunya tercermin dari stabilitas nilai tukar Rupiah. Salah satu tantangan yang muncul adalah tingginya permintaan masyarakat terhadap valuta asing untuk kegiatan yang tidak terkait secara langsung dengan kegiatan perdagangan dan investasi. Dalam merespons tantangan ini, Bank Indonesia telah menerbitkan PBI No.17/13/PBI/2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Indonesia Nomor 16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik. Selanjutnya, Surat Edaran ini diterbitkan sebagai pedoman teknis dalam melaksanakan PBI tersebut.
II. Materi Pengaturan
Threshold untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui Transaksi Spot yang diwajibkan memiliki Underlying Transaksi diturunkan dari USD100,000 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) menjadi USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan per Nasabah.
1. Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) ini merupakan perubahan kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia No.15/46/DPSP tanggal 20 November 2013 perihal Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara.
Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/15/DPM perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah Antara Bank dengan Pihak Asing
Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/46/DPSP tanggal 20 November 2013 perihal Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara
3.
4.
17/21/DPM
17/22/DPSP
28-08-2015
31-08-2015
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
DPM
DPSP
93
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
2. Perubahan dalam SEBI ini dilakukan terkait penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.118/PMK.08/2015 tentang Penjualan Surat Utang Negara dalam Mata Uang Rupiah dan Valuta Asing di Pasar Perdana Domestik dengan cara Private Placement, yang mencabut PMK No.192/PMK.08/2O13 tentang Penjualan Surat Utang Negara Dengan Cara Private Placement Di Pasar Perdana Domestik.
3. Dalam PMK No.118/PMK.08/2015, penjualan Surat Utang Negara (SUN) dalam valuta asing dapat dilakukan secara private placement, sehingga dalam rangka penatausahaan SUN dalam valuta asing perlu diatur mengenai mekanisme pelaksanaan setelmen hasil penjualan SUN dalam valuta asing dengan cara private placement.
4. SEBI ini mengatur mengenai mekanisme pelaksanaan setelmen hasil penjualan SUN dalam valuta asing secara private placement, sebagai berikut: a. Peserta Transaksi atau Bank Pembayar
dapat melakukan penyediaan dana dengan melakukan penyetoran dana dalam denominasi Dollar Amerika Serikat (USD) ke rekening giro di bank koresponden Bank Indonesia di New York (Federal Reserve Bank of New York) paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal setelmen SUN dalam valuta asing.
b. Setelmen dana dilakukan dengan mendebit Rekening Giro valuta asing Peserta Transaksi dan/atau Bank Pembayar serta mengkredit Rekening Giro valuta asing Pemerintah di Bank Indonesia sebesar nilai setelmen.
c. Setelmen Surat Berharga dilakukan dengan mengkredit Rekening Surat Berharga Peserta Transaksi dan/atau Sub-Registry sebesar total nilai nominal SUN dalam valuta asing.
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
94
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
I. Latar Belakang dan Tujuan
Perkembangan terkini kondisi pasar valuta asing domestik menimbulkan tantangan terhadap pencapaian tujuan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai Rupiah, yang salah satunya tercermin dari stabilitas nilai tukar Rupiah. Salah satu tantangan yang muncul adalah tingginya permintaan masyarakat terhadap valuta asing untuk kegiatan yang tidak terkait secara langsung dengan kegiatan perdagangan dan investasi. Dalam merespons tantangan ini, Bank Indonesia telah menerbitkan PBI No.17/13/PBI/2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Indonesia Nomor 16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik. Selanjutnya, Surat Edaran ini diterbitkan sebagai pedoman teknis dalam melaksanakan PBI tersebut.
II. Materi Pengaturan
1. Penegasan terkait threshold untuk pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui Transaksi Spot yang diwajibkan memiliki Underlying Transaksi diturunkan dari USD100,000 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) menjadi USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan per Nasabah. Sedangkan untuk threshold pembelian valuta asing terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui transaksi derivatif tidak berubah yaitu sebesar USD100,000 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan per Nasabah.
2. Threshold transaksi valas terhadap Rupiah diberlakukan secara terpisah berdasarkan jenis transaksi, yaitu spot atau derivatif.
Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/14/DPM tanggal 17 September 2014 perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik
5. 17/23/DPM 30-09-2015
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
DPM
95
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
I. Latar Belakang dan Tujuan
a. Penyelarasan dengan ketentuan Kewajiban Penggunaan Rupiah di Negara Kesatuan Republik Indonesia (PBI 17/3/PBI/2015 dan SE No. 17/11/DKSP).
b. Mengakomodasi praktik kegiatan usaha yang umum terkait kegiatan project financing dan struktur kepemilikan usaha.
II. Pokok-pokok Perubahan
a. Penambahan pengaturan pelaporan terkait Piutang Usaha, dimana untuk Piutang Usaha kepada Penduduk yang kontrak atau perjanjiannya ditandatangani sejak tanggal 1 Juli 2015 dapat diakui sebagai Aset Valuta Asing sepanjang:1) Berkaitan dengan proyek infrastruktur
strategis dan mendapatkan surat persetujuan Bank Indonesia; atau
2) Transaksi yang mendasarinya diperkenankan dilakukan dalam Valuta Asing sebagaimana diatur dalam ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. Penambahan pengaturan pelaporan terkait Kewajiban Valuta Asing:1) Kewajiban Valuta Asing yang sedang
dalam proses rollover, revolving, atau refinancing dapat tidak diperhitungkan sebagai Kewajiban Valuta Asing sepanjang transaksi yang mendasarinya sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
2) Kewajiban Valuta Asing dalam rangka project financing yang akan jatuh waktu sampai dengan 6 (enam) bulan ke depan dapat tidak diperhitungkan sebagai Kewajiban Valuta Asing selama telah dibiayai oleh penarikan ULN
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/3/DSta tanggal 6 Maret 2015 perihal Pelaporan Kegiatan Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank
6. 17/24/DSta 30-12-2015
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
DSta
96
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
dalam Valuta Asing dan transaksi yangmendasarinya sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c. Penyesuaian klasifikasi Kewajiban Valuta Asing untuk utang sewa pembiayaan (financial lease) dari kelompok kewajiban valuta asing lainnya menjadi pinjaman (loan agreement).
d. Penyesuaian pengaturan pelaporan informasi Peringkat Utang untuk korporasi joint venture yang baru berdiri, dimana pemenuhan Peringkat Utang dapat menggunakan Peringkat Utang pemegang saham terbesar yang memiliki hubungan kepemilikan langsung (direct shareholders).
e. Penyesuaian pedoman pelaporan sesuai perubahan yang disebutkan pada poin a s.d. d di atas.
f. Penyesuaian Prosedur Atestasi terhadap Laporan KPPK sesuai perubahan yang disebutkan pada poin a s.d. c di atas.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 12 Oktober 2015.
I. Latar Belakang Pengaturan:
SEBI ini diterbitkan dengan pertimbangan bahwa perlu diatur ketentuan pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/10/PBI/2015 tentang Rasio Loan to Value atau Rasio Financing to Value untuk Kredit atau Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5706) dalam bentuk SEBI.
II. Substansi Pengaturan:
1. Pokok-pokok pengaturan SE mengenai LTV/FTV dan Uang Muka meliputi beberapa hal berikut:
Rasio Loan to Value atau Rasio Financing to Value untuk Kredit atau Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor
7. 17/25/DKMP 12-10-2015
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
DKMP
97
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
98
a. Besaran rasio LTV untuk Kredit Properti (KP) dan rasio FTV untuk Kredit Properti (KP) Syariah sebagaimana tabel berikut:
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
I
Tipe Properti(m2) II III
Rumah Tapak
Tipe > 70 80% 70% 60%
Tipe 22 - 70 - 80% 70%
Tipe ² 21 - - -
Rumah Susun
Tipe > 70 80% 70% 60%
Tipe 22 - 70 90% 80% 70%
Tipe ² 21 - 80% 70%
Ruko/Rukan - 80% 70%
KP & KP Syariah
Kredit Properti & Kredit Properti Syariah Akad Murabahah & Istishna
I
Tipe Properti(m2) II III
Rumah Tapak
Tipe > 70 85% 75% 65%
Tipe 22 - 70 - 80% 70%
Tipe ² 21 - - -
Rumah Susun
Tipe > 70 85% 75% 65%
Tipe 22 - 70 90% 80% 70%
Tipe ² 21 - 80% 70%
Ruko/Rukan - 80% 70%
KP & KP Syariah
Kredit Properti Syariah Akad MMQ & IMBT
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
99
b. Besaran uang muka untuk kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor (KKB dan KKB Syariah) sebagaimana tabel berikut:
2. Persyaratan penerapan rasio LTV/FTV yang sebagaimana dimaksud dalam angka 1 sebagai berikut:• Bank harus memiliki rasio
kredit/pembiayaan bermasalah terhadap total kredit/pembiayaan secara bruto (gross) kurang dari 5%;
• Bank harus memiliki rasio kredit/pembiayaan properti terhadap total kredit/pembiayaan properti secara bruto (gross) kurang 5%; dan
• Bank harus memiliki rasio kredit/pembiayaan kendaraan bermotor bermasalah terhadap total kredit/pembiayaan bermotor secara bruto (gross) kurang dari 5%.
3. Apabila Bank tidak dapat memenuhi persyaratan rasio kredit/pembiayaan bermasalah, maka rasio LTV/FTV dan uang muka menjadi sebagai berikut:
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
KonvensionalJenis Kendaraan
Syariah
Roda 2 20% 20%
Roda 3 atau lebih non produktif 25% 25%
Roda 3 atau lebih produktif 20% 20%
Bank
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
100
Sementara, besaran uang muka untuk kredit/pembiayaan bermotor menjadi sebagai berikut:
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
I
Tipe Properti(m2) II III
Rumah Tapak
Tipe > 70 70% 60% 50%
Tipe 22 - 70 - 70% 60%
Tipe ² 21 - - -
Rumah Susun
Tipe > 70 70% 60% 50%
Tipe 22 - 70 80% 70% 60%
Tipe ² 21 - 70% 60%
Ruko/Rukan - 70% 60%
KP & KP Syariah
Kredit Properti & Kredit Properti Syariah Akad Murabahah & Istishna
I
Tipe Properti(m2) II III
Rumah Tapak
Tipe > 70 80% 75% 60%
Tipe 22 - 70 - 80% 70%
Tipe ² 21 - - -
Rumah Susun
Tipe > 70 80% 75% 60%
Tipe 22 - 70 90% 80% 70%
Tipe ² 21 - 80% 70%
Ruko/Rukan - 80% 70%
KP & KP Syariah
Kredit Properti Syariah Akad MMQ & IMBT
KonvensionalJenis Kendaraan
Syariah
Roda 2 25% 25%
Roda 3 atau lebih non produktif 30% 30%
Roda 3 atau lebih produktif 20% 20%
Bank
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
4. Tata cara penilaian agunan a. Tata cara penilaian agunan ditetapkan
sebagai berikut:1) Apabila Kredit atau Pembiayaan untuk
1 (satu) atau beberapa debitur atau nasabah secara keseluruhan pada proyek yang sama sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) maka nilai agunan didasarkan pada taksiran yang dilakukan oleh penilai intern Bank atau penilai independen; dan
2) Apabila Kredit atau Pembiayaan untuk 1 (satu) atau beberapa debitur atau nasabah secara keseluruhan pada proyek yang sama di atas Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) maka nilai agunan didasarkan pada taksiran yang dilakukan oleh penilai independen.
b.Proyek yang sama adalah properti yang berada pada area yang sama dan dibangun oleh pengembang yang sama, yaitu Rumah Tapak, Rumah Susun, Rumah Kantor atau Rumah Toko, dihitung untuk masing-masing unit.
5. Dalam hal Bank akan memberikan KP atau KP Syariah dengan Properti yang akan dibiayai belum tersedia secara utuh maka terdapat jaminan yang diberikan oleh pengembang kepada Bank baik yang berasal dari pengembang sendiri atau pihak lain yang dapat digunakan untuk menyelesaikan kewajiban pengembang apabila Properti tidak dapat diselesaikan dan/atau tidak dapat diserahterimakan sesuai perjanjian.
6. Jaminan yang diberikan oleh pengembang kepada Bank dapat berupa aset tetap, aset bergerak, bank guarantee, standby letter of credit, dan/atau dana yang dititipkan dan/atau disimpan dalam escrow account di Bank pemberi Kredit atau Pembiayaan.
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
101
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
7. Dana yang dititipkan dan/atau disimpan dalam escrow account di Bank pemberi Kredit atau Pembiayaan adalah dana yang ditahan di Bank atas nama pengembang yang digunakan untuk menyelesaikan pembangunan Properti.
8. Laporan Perkembangan Pembangunan Properti a. Dalam hal Bank memberikan KP atau KP
Syariah dengan Properti yang Belum Tersedia Secara Utuh maka pencairan KP atau KP Syariah dimaksud hanya dapat dilakukan secara bertahap sesuai perkembangan pembangunan Properti yang dibiayai.
b.Perkembangan pembangunan Properti yang dibiayai didasarkan atas laporan perkembangan pembangunan Properti yang berasal dari: 1)Pengembang, apabila Kredit atau
Pembiayaan untuk 1 (satu) atau beberapa debitur atau nasabah secara keseluruhan pada proyek yang sama bernilai sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); atau
2)Penilai independen, apabila Kredit atau Pembiayaan untuk 1 (satu) atau beberapa debitur atau nasabah secara keseluruhan pada proyek yang sama bernilai di atas Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
9. Perhitungan Rasio Kredit Bermasalah (NPL) atau Rasio Pembiayaan Bermasalah (NPF) dan Rasio Kredit Properti Bermasalah (NPL KP) atau Rasio Pembiayaan Properti Syariah Bermasalah (NPF KPS)
10.Mengingat LBU dan LSMK belum dapat memberikan informasi yang diperlukan untuk menghitung rasio KP bermasalah dan rasio KP Syariah bermasalah, Bank menyampaikan laporan offline mengenai KP/KP Syariah kepada Bank Indonesia sampai dengan batas waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
102
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
11.Bank yang melanggar ketentuan mengenai besaran Rasio LTV atau Rasio FTV dan Uang Muka KKB atau KKB Syariah, pemberian Kredit atau Pembiayaan untuk Uang Muka, pemberian Kredit atau Pembiayaan untuk Properti yang dibiayai belum tersedia secara utuh dan tidak menyampaikan dan/atau tidak melaksanakan action plan dikenakan sanksi kewajiban membayar sebagaimana tercantum dalam Pasal 22 Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/10/PBI/2015 tentang Rasio Loan to Value atau Rasio Financing to Value untuk Kredit atau Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor.
I. Latar Belakang
Perubahan atas SEBI No.15/5/DSM dilatarbelakangi oleh penyesuaian terhadap aplikasi pelaporan LLD-LBB yang telah diselesaikan tahun 2014. Penyesuaian ini bersifat teknis dan tidak merubah cakupan laporan/informasi yang disampaikan. Inti perubahan aplikasi ini adalah adanya notifikasi pada aplikasi yang memberikan informasi keterkaitan antara data yang disampaikan dalam satu form dengan data di form lainnya.
2. Pokok-pokok Perubahan
a. Ditambahkannya aturan mengenai keterkaitan antar form pelaporan di pedoman pelaporan kegiatan lalu lintas devisa selain utang luar negeri dalam lampiran V, seperti keterkaitan antara form C0002 (Transaksi Perdagangan Barang dan Jasa, serta Transaksi Internasional Lainnya) dengan form C0005-C0006 (Piutang Usaha), serta antara form C0002 (Transaksi Perdagangan Barang dan Jasa, serta Transaksi Internasional Lainnya) dengan form C0021-C0022 (Ekuitas).
Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Selain Utang Luar Negeri
8. 17/26/DSta Sejak periode laporan bulan Mei 2016 yang disampaikan bulan Juni 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
DSta
103
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
b. Ditambahkannya tata cara pelaporan bagi pelapor baru dimana pelapor yang baru pertama kali menyampaikan Laporan harus menyampaikan surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran III dan melengkapi data profil Pelapor LLD sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV.
c. Ditambahkannya Cakupan Umum profil pelapor dalam batang tubuh SE. Hal ini selaras dengan detil penjelasan yang ada di pedoman pelaporan kegiatan lalu lintas devisa selain utang luar negeri dalam Lampiran V dimana profil pelapor dijelaskan secara rinci sebelum penjelasan mengenai jenis laporan.
d. Penyesuaian deskripsi sandi transaksi di pedoman pelaporan kegiatan lalu lintas devisa selain utang luar negeri dalam Lampiran V sehingga sejalan dengan deskripsi sandi tujuan transaksi dalam pelaporan lalu lintas devisa bank.
e. Penyesuaian alamat laporan dan koreksinya secara offline serta nomor telepon helpdesk sesuai dengan struktur organisasi BI yang berlaku saat ini.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak periode laporan bulan Mei 2016 yang disampaikan pada bulan Juni 2016.
I. Latar Belakang dan Tujuan
Dalam rangka memberikan pengaturan lebih lanjut atas Peraturan Bank Indonesia No.17/4/PBI/2015 tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah (PUAS), Bank Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Bank Indonesia tentang Instrumen PUAS berupa Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (SIMA). Surat Edaran ini memberikan informasi antara lain mengenai karakteristik serta mekanisme penerbitan dan penyelesaian transaksi SIMA.
Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank
9. 17/27/DKMP 20-10-2015
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
DKMP
104
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
II. Materi Pengaturan
1. Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) yang membutuhkan likuiditas dapat menerbitkan Instrumen PUAS berupa SIMA kepada peserta PUAS (Bank Umum Konvensional/BUK, BUS atau UUS lainnya).
2. SIMA diterbitkan dalam rupiah maupun valuta asing menggunakan Akad Mudharabah yang berjangka waktu 1 (satu) hari (overnight) sampai 1 (satu) tahun, dengan nominal maksimal sebesar nilai aset yang menjadi dasar penerbitannya (aset yang memiliki imbal hasil tidak tetap maupun aset yang memiliki imbal hasil tetap).
3. SIMA diterbitkan tanpa warkat dan tidak dapat dialihkan sebelum jatuh waktu.
4. BUS atau UUS yang menerbitkan SIMA menginformasikan nilai nominal, jangka waktu investasi, nisbah bagi hasil, jenis aset yang menjadi dasar penerbitan SIMA, indikasi imbal hasil, dan waktu pembayaran imbal hasil kepada peserta PUAS yang membeli SIMA.
5. Penyelesaian transaksi SIMA baik pada saat pembelian SIMA, pembayaran kembali nominal SIMA, dan pembayaran imbal hasil SIMA dilakukan melalui transfer dana.
6. Transaksi SIMA dapat dilakukan secara langsung atau melalui Perusahaan Pialang Pasar Uang.
7. Transaksi SIMA wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai laporan harian bank umum.
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
105
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
I. Latar Belakang dan Tujuan
Dalam rangka memberikan pengaturan lebih lanjut atas Peraturan Bank Indonesia No.17/4/PBI/2015 tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah (PUAS), Bank Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Bank Indonesia tentang Instrumen PUAS berupa Sertifikat Perdagangan Komoditi Berdasarkan Prinsip Syariah Antarbank (SiKA). Surat Edaran ini memberikan informasi antara lain mengenai karakteristik serta mekanisme penerbitan dan penyelesaian transaksi SiKA.
II. Materi Pengaturan
1. Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) yang membutuhkan likuiditas dapat menerbitkan Instrumen PUAS berupa SiKA kepada peserta PUAS (Bank Umum Konvensional/BUK, BUS atau UUS lainnya).
2. SiKA diterbitkan atas dasar transaksi jual beli kepemilikan komoditi menggunakan akad Murabahah yang berjangka waktu 1 (satu) hari (overnight) sampai 1 (satu) tahun, dengan nominal maksimal sebesar nilai perdagangan komoditi yang menjadi dasar penerbitannya yang dibuktikan dengan Surat Penguasaan Atas Komoditi Tersetujui (SPAKT).
3. SiKA diterbitkan dalam rupiah, tanpa warkat, tidak dapat dialihkan sebelum jatuh waktu, dan didasarkan pada komoditi yang halal dan tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan.
4. Komoditi dalam hal ini adalah komoditi selain indeks dan valuta asing yang telah dipastikan ketersediaannya untuk ditransaksikan di Bursa Berjangka Jakarta (Jakarta Futures Exchange).
5. BUS atau UUS yang menerbitkan SiKA menginformasikan nilai nominal perdagangan komoditi sesuai SPAKT, marjin, dan jangka waktu pembayaran.
Sertifikat Perdagangan Komoditi Berdasarkan Prinsip Syariah Antarbank
10. 17/28/DKMP 20-10-2015
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
DKMP
106
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
6. Penyelesaian transaksi SiKA dilakukan melalui transfer dana.
7. Transaksi SiKA dapat dilakukan secara langsung atau melalui Perusahaan Pialang.
8. Transaksi SiKA wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai laporan harian bank umum.
III.Latar Belakang dan Tujuan
1. Penyempurnaan aturan Minimum Holding Period (MHP) Sertifikat Bank Indonesia (SBI)Di tengah kondisi berkurangnya supply valuta asing di domestik, perlu diberikan tambahan insentif penanaman modal guna meningkatkan minat non-residen untuk menanamkan modal asing di Indonesia yang pada akhirnya bertujuan untuk mengurangi tekanan terhadap nilai tukar Rupiah. Untuk itu perlu dilakukan penyempurnaan pengaturan mengenai MHP SBI dalam rangka mengelola aliran masuk modal asing
2. Pengaturan terkait Transaksi Forward dengan Metode LelangPeningkatan permintaan transaksi valuta asing di pasar forward di tengah kondisi supply forward yang terbatas telah memberikan tekanan depresiasi terhadap nilai tukar Rupiah di pasar spot. Dalam rangka menyeimbangkan supply dan demand di pasar forward, maka perlu dilakukan pengaturan terkait transaksi forward yang dilakukan dengan metode lelang untuk mendukung upaya mengelola persepsi pelaku pasar terhadap pergerakan nilai tukar ke depan.
Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/23/DPM tanggal 24 Desember 2014 perihal Operasi Pasar Terbuka
11. 17/29/DPM 26-10-2015
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
DPM
107
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
IV.Materi Pengaturan
1. Menurunkan MHP SBI dari yang semula 1 bulan (28 hari) menjadi 1 minggu (7 hari).
2. Pengaturan terkait MHP SBI 1 minggu meliputi:a. Pemilik SBI dilarang mentransaksikan
SBI yang dimiliki dengan pihak lain dalam jangka waktu 1 minggu, yaitu 7 hari kalender sejak tanggal setelmen pembelian.
b. Pelarangan transaksi SBI selama periode MHP berlaku antara lain untuk transaksi repo, transaksi outright, hibah, dan pengagunan, kecuali transaksi tersebut dilakukan dengan Bank Indonesia.
c. Untuk transaksi SBI yang memiliki second leg, berlaku ketentuan sebagai berikut:1) Untuk transaksi tanpa perpindahan
kepemilikan misalnya transaksi repo collateralized borrowing, pengagunan (pledge) dan securities lending and borrowing, pemilik SBI dapat langsung mentransaksikan kembali SBI tersebut setelah jatuh waktu second leg.
2) Untuk transaksi dengan perpindahan kepemilikan misalnya transaksi repo sell and buyback, diatur:a. Dalam hal second leg transaksi
repo sell and buyback berhasil dilakukan, SBI dapat ditransaksikan kembali oleh penjual repo 1 minggu atau 7 hari kalender sejak tanggal setelmen second leg.
b. Dalam hal second leg transaksi repo sell and buyback tidak berhasil dilakukan, SBI dapat ditransaksikan kembali oleh pembeli repo 1 minggu atau 7 hari kalender sejak tanggal setelmen first leg.
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
108
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
d. Transaksi atas SBI yang dilakukan setelah berlakunya Surat Edaran ini yang merupakan bagian dari transaksi yang telah dilakukan sebelum Surat Edaran ini berlaku, tunduk pada ketentuan mengenai MHP SBI selama 1 bulan atau 28 hari kalender sejak tanggal setelmen pembelian sampai dengan transaksi tersebut jatuh waktu sebagaimana diatur pada Surat Edaran BI No.16/23/DPM tanggal 24 Desember 2014 perihal Operasi Pasar Terbuka.
9. Transaksi Forward dilakukan dalam rangka mendukung pengelolaan likuiditas dalam mencapai sasaran operasional kebijakan moneter.
10.Karakteristik Transaksi Forward adalah:a. Menggunakan valuta asing Dolar
Amerika Serikat;b. Waktu penyerahan dana (tenor)
dilakukan lebih dari 2 hari kerja dan paling lama 12 bulan yang dinyatakan dalam hari, dihitung 1 hari setelah tanggal transaksi sampai dengan tanggal setelmen.
c. Kurs spot yang digunakan adalah JISDOR.
11.Transaksi Forward dilakukan dengan mekanisme lelang melalui sarana dealing system dengan metode harga tetap (fixed rate tender) atau harga beragam (variable rate tender)
12.Transaksi Forward dapat dilakukan pada setiap hari kerja yang ditetapkan Bank Indonesia dengan window time antara pukul 08.00 WIB sampai dengan 16.00 WIB yang diumumkan melalui Sistem LHBU dan/atau sarana lainnya.
13.Transaksi Forward dapat diajukan paling banyak 2 kali untuk masing-masing tenor yang ditawarkan dan dapat diajukan secara langsung dan/atau melalui Lembaga Perantara dengan pengajuan penawaran paling sedikit sebesar USD 1 juta dan selebihnya dengan kelipatan USD 1 juta.
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
109
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
14.Koreksi atas pengajuan penawaran Transaksi Forward hanya dapat dilakukan sebanyak 1 kali dalam window time transaksi. Informasi nama Peserta OPT dan tenor Transaksi Forward tidak dapat dilakukan koreksi.
15.Peserta OPT dan Lembaga Perantara dilarang membatalkan penawaran yang telah diajukan kepada Bank Indonesia.
16.Bank Indonesia dapat menolak penawaran Transaksi Forward apabila Peserta OPT tidak memiliki counterparty limit yang cukup.
17.Bank Indonesia dapat menetapkan bahwa tidak ada pemenang lelang Transaksi Forward.
18.Pengumuman hasil penetapan pemenang lelang secara keseluruhan dilakukan melalui Sistem LHBU dan/atau sarana lainnya.
19.Peserta OPT dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai Operasi Moneter apabila Peserta OPT terlambat menyelesaikan kewajiban setelmen Transaksi Forward.
20.Setelmen Transaksi Forward dilakukan pada hari kerja berikutnya apabila pada tanggal setelmen Transaksi Forward ditetapkan sebagai hari libur oleh Pemerintah.
I. Latar Belakang
Dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan setelmen dana melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS) agar lebih aman dan efisien, Bank Indonesia melakukan penyempurnaan atas penyelenggaraan Sistem BI-RTGS yang telah digunakan sejak tahun 2000. Penyempurnaan Sistem BI-RTGS dilakukan antara lain dalam rangka:a. Meningkatkan pengelolaan likuiditas bagi
Peserta agar lebih efisien;b. Menyediakan layanan Setelmen Dana atas
transaksi dalam valuta asing;
Penyelenggaraan Setelmen Dana Seketika melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement
12. 17/30/DPSP 16-11-2015
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
DPSP
110
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
c. Adanya kebutuhan untuk standardisasi agar dapat terhubung dengan infrastruktur lain di pasar/sistem keuangan domestik maupun cross-border.
Dengan adanya penyempurnaan tersebut, Bank Indonesia mengatur kembali ketentuan penyelenggaraan Sistem BI-RTGS dengan menerbitkan Surat Edaran Bank Indonesia No.17/30/DPSP perihal Penyelenggaraan Setelmen Dana Seketika Melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (SEBI Sistem BI-RTGS) yang merupakan ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No. 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika.
II. Materi Pengaturan
1. Materi yang diatur dalam SEBI Sistem BI-RTGS mencakup kepesertaan, operasional Sistem BI-RTGS, biaya, penanganan Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat, pemantauan kepatuhan Peserta, dan sanksi.
2. Pokok-pokok penyempurnaan ketentuan yang ditur dalam SEBI Sistem BI-RTGS ini, antara lain sebagai berikut:a. Penambahan fasilitas manajemen
likuiditas dalam rangka meningkatkan efisiensi dalam penggunaan likuiditas Peserta.
b. Pelaksanaan setelmen dalam valuta asing antara lain dalam rangka mengakomodir penyelesaian transaksi surat berharga dalam valuta asing.
c. Penetapan standardisasi platform dengan mengacu standar yang berlaku secara internasional, untuk mempersiapkan standardisasi agar dapat terhubung dengan infrastruktur lain di pasar/sistem keuangan domestik maupun cross-border.
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
111
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
d. Penambahan kewajiban Peserta dalam penyediaan jaringan komunikasi data dari back-up site ke Bank Indonesia dan penambahan lokasi guest bank oleh Penyelenggara sebagai sarana back-up bagi Peserta, sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan penanganan Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat.
e. Penetapan batas maksimal biaya transfer dana melalui Sistem BI-RTGS yang dapat dibebankan kepada nasabah, dalam rangka meningkatkan perlindungan terhadap nasabah pengguna Sistem BI-RTGS.
3. Dengan diberlakukannya SE Sistem BI-RTGS ini maka:a. Surat Edaran Bank Indonesia
No.10/9/DASP tanggal 5 Maret 2008 perihal Prinsip-prinsip Penyelenggaraan dan Pengawasan Sistem BI-RTGS;
b. Surat Edaran Bank Indonesia No.12/1/DASP tanggal 21 Januari 2010 perihal Penyelenggaraan Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement sebagaimana diubah dengan SEBI No.16/18/DPSP tanggal 28 November 2014 perihal Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/1/DASP Tanggal 21 Januari 2010 perihal Penyelenggaraan Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement; dan
c. Surat Edaran Bank Indonesia No.10/12/DASP tanggal 5 Maret 2008 perihal Penetapan Biaya Penggunaan Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement dan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia Dalam Rangka Penerapan Treasury Single Account, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
4. SEBI Sistem BI-RTGS ini mulai berlaku pada tanggal 16 November 2015
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
112
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
I. Latar Belakang
Dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan penatausahaan Surat Berharga melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS) agar lebih aman dan efisien, Bank Indonesia melakukan penyempurnaan atas penyelenggaraan BI-SSSS yang telah digunakan sejak 2004. Penyempurnaan BI-SSSS antara lain dalam rangka:a. Mengakomodasi kebutuhan Peserta dalam
mengelola likuiditas dalam rangka efisiensi likuiditas.
b. Mengakomodasi kebutuhan penatausahaan dan setelmen atas transaksi Surat Berharga dalam valuta asing;
c. Mengakomodasi kebutuhan penambahan mekanisme setelmen transaksi melalui BI-SSSS;
d. Mengakomodasi kebutuhan Peserta dalam mengelola Surat Berharga yang dijadikan sebagai jaminan (collateral management);
e. Mengakomodasi dinamika di pasar/sistem keuangan global/domestik termasuk perubahan kebijakan dari BI dan Pemerintah;
f. Mengakomodasi kebutuhan untuk terhubung dengan infrastruktur lain di pasar/sistem keuangan baik domestik maupun cross-border; dan
g. Meningkatkan penanganan Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat.
Dengan adanya penyempurnaan tersebut, Bank Indonesia mengatur kembali ketentuan penyelenggaraan BI-SSSS dengan menerbitkan Surat Edaran Bank Indonesia No.17/ /DPSP perihal Penyelenggaraan Penatausahaan Surat Berharga melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System (SEBI BI-SSSS) yang merupakan ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No. 17/ /PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika.
Penyelenggaraan Penatausahaan Surat Berharga melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System.
13. 17/31/DPSP 16-11-2015
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
DPSP
113
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
II. Materi Pengaturan
1. Materi yang diatur dalam SEBI BI-SSSS mencakup kepesertaan, operasional BI-SSSS, biaya, penanganan Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat, pemantauan kepatuhan Peserta, dan sanksi.
2. Pokok-pokok penyempurnaan ketentuan yang diatur dalam SEBI BI-SSSS ini, antara lain sebagai berikut:a. Pelaksanaan setelmen transaksi melalui
BI-SSSS dilakukan berdasarkan tingkat prioritas dalam rangka efisiensi likuiditas.
b. Pelaksanaan penatausahaan dan setelmen transaksi Surat Berharga dalam valuta asing antara lain dalam rangka mengakomodasi penyelesaian transaksi Surat Berharga dalam valuta asing.
c. Penambahan mekanisme setelmen transaksi melalui BI-SSSS secara Delivery versus Delivery.
d. Penambahan fasilitas collateral management bagi Peserta.
e. Penambahan jenis transaksi yang pelaksanaan setelmennya melalui BI-SSSS dalam rangka mengakomodir perkembangan transaksi di pasar/sistem keuangan.
f. Penetapan standardisasi dengan mengacu standar yang berlaku secara internasional, untuk mempersiapkan keterhubungan baik domestik maupun cross-border.
g. Penambahan kewajiban Peserta dalam penyediaan jaringan komunikasi data dari back-up site ke Bank Indonesia dan penambahan lokasi guest bank sebagai sarana back-up bagi Peserta, sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan penanganan Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat.
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
114
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
3. Dengan diberlakukannya SEBI BI-SSSS ini maka:a. SEBI No.12/28/DASP tanggal 10
November 2008 perihal Penyelenggaraan Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System; dan
b. SEBI No.13/32/DASP tanggal 23 Desember 2011 perihal Perizinan, Pelaporan, dan Pengawasan Sub-Registry, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
4. SEBI BI-SSSS ini mulai berlaku pada tanggal 16 November 2015.
I. Latar Belakang
Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) ini diterbitkan sebagai peraturan pelaksanaan dari PBI No.17/19/PBI/2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia No.10/13/PBI/2008 Tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara, serta dalam rangka mengakomodasi kebutuhan bisnis dalam implementasi Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) dan Bank Indonesia-Scripless Securites Settlement System (BI-SSSS) serta Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (BI-ETP).
II. Materi Pengaturan
1. Penyederhanaan ketentuan dengan menggabungkan materi 2 (dua) ketentuan terkait lelang dan penatausahaan Surat Berharga Negara (SBN) yaitu;a. SEBI No.15/46/DPSP tanggal 20
November 2013 perihal Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara sebagaimana telah diubah terakhir dengan SEBI No.17/22/DPSP tanggal 31 Agustus 2015; dan
Tata Cara Lelang Surat Berharga Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Berharga Negara
14. 17/32/DPSP 16-11-2015
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
DPSP
115
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/14/DASP tanggal 18 April 2012 perihal Tata Cara Penerbitan dan Penatausahaan Surat Berharga Syariah Negara,
ke dalam satu SEBI perihal Tata Cara Lelang Surat Berharga Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Berharga Negara.
2. Penyesuaian materi pengaturan antara lain sebagai berikut:a. Menyempurnakan beberapa definisi;b. Menambahkan mekanisme
penatausahaan SUN Valas pada BI-SSSS;
c. Mengakomodasi penggunaan infrastruktur yang dikembangkan oleh Bank Indonesia untuk pelaksanaan lelang dan transaksi SBN dalam Rupiah dan transaksi operasi moneter di Bank Indonesia yang semula menggunakan BI-SSSS menjadi menggunakan Sistem BI-ETP; dan
d. Mengakomodasi perubahan nomenklatur organisasi Kementerian Keuangan.
3. Penataan ulang (re-grouping) pengaturan agar struktur SEBI lebih sistematis.
Pokok-pokok pengaturan dalam Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) ini adalah sebagai berikut:1. Fasilitas Likuiditas Intrahari yang selanjutnya
disingkat FLI adalah fasilitas pendanaan yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada Bank Peserta Sistem BI-RTGS baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah dalam rangka mengatasi kesulitan pendanaan yang terjadi selama jam operasional Sistem BI-RTGS dan/atau pada saat Setelmen dana atas hasil perhitungan dalam penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia.
2. Bank Peserta Sistem BI-RTGS dapat mengunakan FLI apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Tata Cara Penggunaan Fasilitas Likuiditas Intrahari
15. 17/33/DPSP 16-11-2015
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
DPSP
116
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
a. Memiliki Surat Berharga berupa:• Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat
Deposito Bank Indonesia (SDBI), dan/atau Surat Berharga Negara (SBN) dalam mata uang Rupiah, untuk Peserta Sistem BI-RTGS berupa Bank Umum; dan
• Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) dan/atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dalam mata uang Rupiah, untuk Peserta Sistem BI-RTGS berupa Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
b. Berstatus aktif sebagai Bank Peserta Sistem BI-RTGS, Peserta BI-SSSS. dan Bank Peserta SKNBI.
3. Pengunaan FLI dilakukan melalui mekanisme transaksi repurchase agreement (repo) dengan menggunakan Surat Berharga milik Bank yang bersangkutan yang tercatat pada BI-SSSS dalam Rekening Surat Berharga yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
4. Surat Berharga yang direpokan dalam rangka penggunaa FLI harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:a. Tidak sedang diagunkan kepada Bank
Indonesia atau pihak lain; b. Memiliki sisa jangka waktu jatuh tempo
(maturity date) sebagai berikut:1) Untuk SBI, SBIS, dan SDBI, memiliki
sisa jangka waktu paling singkat 5 (lima) hari kalender pada saat penggunaan FLI; dan
2) Untuk SBN, memiliki sisa jangka waktu paling singkat 6 (enam) hari kalender pada saat penggunaan FLI.
5. Pelunasan FLI dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut: a. Bank Peserta Sistem BI-RTGS harus
melunasi penggunaan FLI pada hari penggunaan FLI.
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
117
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
b. Bank Peserta Sistem BI-RTGS dapat melakukan pelunasan untuk setiap penggunaan FLI sepanjang jam operasional sampai dengan batas akhir periode cut-off warning Sistem BI-RTGS, yang dilakukan melalui BI-SSSS sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan BI-SSSS.
c. Dalam hal sampai dengan batas akhir periode cut-off warning Sistem BI-RTGS Bank Peserta Sistem BI-RTGS belum melunasi FLI, Bank Indonesia menerbitkan instruksi Setelmen dana dalam rangka pelunasan FLI pada awal periode pre cut-off Sistem BI-RTGS.
6. Bank Indonesia mengenakan biaya atas penggunaan FLI yang dibebankan ke Rekening Setelmen Dana milik Bank Peserta Sistem BI-RTGS pada hari kerja berikutnya setelah penggunaan FLI.
7. Bank Peserta Sistem BI-RTGS yang tidak dapat melunasi penggunaan FLI, terhadap nilai FLI yang tidak dapat dilunasi tersebut diberlakukan sebagai transaksi lending/financing facility dengan Bank Indonesia.
1. Surat Edaran ini merupakan ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No.17/18/PBI/2015 tanggal 12 November 2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika.
2. Surat Edaran Bank Indonesia ini antara lain memuat materi pengaturan sebagai berikut: a. Tata cara pengisian perintah transfer dana. b. Tanggung jawab Peserta pengirim.c. Tanggung jawab Peserta penerima.d. Kewajiban pembayaran jasa, bunga, atau
kompensasi kepada nasabah.e. Pengumuman biaya dan jam layanan
nasabah; danf. Tata cara pengenaan sanksi.
3. Dalam rangka peningkatan perlindungan kepada nasabah pengguna Sistem BI-RTGS, dalam Surat Edaran ini ditetapkan:
Perlindungan Nasabah dalam Pelaksanaan Transfer Dana melalui Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement
16. 17/34/DPSP 16-11-2015
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
DPSP
118
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
a. Batas waktu meneruskan instruksi Setelmen Dana oleh Peserta pengirim kepada Peserta penerima, yaitu sesegera mungkin atau paling lama 1 (satu) jam sejak pengaksepan perintah transfer dana; dan
b. Batas waktu meneruskan dana oleh Peserta penerima kepada nasabah penerima, yaitu sesegera mungkin atau paling lama 1 (satu) jam sejak instruksi Setelmen Dana diterima oleh Peserta penerima.
4. Peserta pengirim/Peserta penerima yang tidak mematuhi ketentuan mengenai batas waktu penerusan perintah transfer dana atau penerusan dana sebagaimana dimaksud pada angka 3, Peserta pengirim/Peserta penerima dikenakan sanksi kewajiban membayar sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika.
Pokok-pokok pengaturan dalam Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) ini adalah sebagai berikut:1. Dalam rangka menjaga kelancaran
penyelesaian transfer dana melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS) dalam masa awal implementasi penyempurnaan Sistem BI-RTGS, terhitung sejak tanggal 16 November 2015 sampai dengan 30 Juni 2016 nilai nominal transfer dana antar Bank Peserta Sistem BI-RTGS untuk kepentingan nasabah dibatasi di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) per instruksi Setelmen Dana.
2. Penerapan kebijakan batas nilai nominal transfer dana antar Bank Peserta Sistem BI-RTGS untuk kepentingan nasabah tidak akan mengurangi kecepatan layanan transfer dana kepada masyarakat. Hal ini mengingat mulai tanggal 16 November 2015 sampai dengan 30 Juni 2016, nilai nominal transfer dana melalui SKNBI tidak dibatasi. Dengan demikian, masyarakat tetap dapat menerima dana secara cepat karena setelmen dana dalam layanan
Batas Nilai Nominal Transfer Dana melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement dan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia
17. 17/35/DPSP 16-11-2015
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
DPSP
119
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
transfer dana melalui SKNBI dilakukan sebanyak 5 kali per hari yakni pada pukul 09.00 WIB, 11.00 WIB, 13.00 WIB, 15.00 WIB, dan 16.15 WIB.
3. Terhitung sejak tanggal 1 Juli 2016, batas nilai nominal transfer dana melalui Sistem BI-RTGS dan SKNBI ditetapkan sebagai berikut:a. Batas nilai nominal transfer dana antar
Bank Peserta Sistem BI-RTGS untuk kepentingan nasabah adalah di atas Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per instruksi Setelmen Dana.
b. Batas nilai nominal transfer dana antar Peserta yang dapat diperhitungkan dalam layanan transfer dana dalam SKNBI dibatasi paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus jura rupiah) per transaksi.
4. Dengan berlakunya SEBI ini maka:a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
7/47/DASP tanggal 13 Oktober 2005 perihal Batasan Nilai Nominal Per Transaksi Antar Bank untuk Kepentingan Nasabah melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement Sehubungan dengan Hari Libur Nasional Tertentu; dan
b. Ketentuan mengenai batas nilai nominal transfer dana yang dapat diperhitungkan dalam layanan transfer dana melalui SKNBI sebagaimana dimaksud dalam butir VI.A.5 Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/13/DPSP tanggal 5 Juni 2015 perihal Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal Oleh Bank Indonesia, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Ringkasan:1. Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading
Platform (Sistem BI-ETP) adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana Transaksi yang dilakukan secara elektronik.
2. Transaksi melalui Sistem BI-ETP mencakup:a. Transaksi Dengan Bank Indonesia, yaitu
transaksi dilakukan oleh Penyelenggara Sistem BI-ETP secara lelang atau nonlelang dalam rangka kegiatan Operasi Moneter,
Penyelenggaraan Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform
18. 17/36/DPM 16-11-2015
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
DPM
120
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
Operasi Moneter Syariah, dan/atau transaksi SBN untuk dan atas nama Pemerintah.
b. Transaksi Pasar Keuangan, yaitu transaksi yang dilakukan oleh Peserta dengan mekanisme bilateral antar-Peserta antara lain:1) Transaksi Surat Berharga yang dilakukan
dalam rangka pasar uang dan/atau transaksi surat berharga di pasar sekunder yang antara lain terdiri dari transaksi Repurchase Agreement (Repo) dengan perpindahan kepemilikan Surat Berharga atau tanpa perpindahan kepemilikan Surat Berharga, transaksi jual beli Surat Berharga secara putus (outright), dan transaksi pinjam meminjam Surat Berharga (transaksi securities lending and borrowing);
2) Transaksi pinjam meminjam tanpa menggunakan surat berharga yang dilakukan dalam rangka pasar uang.
3. Pihak yang dapat menjadi Peserta Sistem BI-ETP, yaitu:a. Bank Indonesia;b. Kementerian Keuangan;c. Lembaga Penjamin Simpanan;d. Bank;e. Perusahaan pialang pasar uang Rupiah
dan valuta asing; f. Perusahaan efek; dang. Lembaga lain yang disetujui oleh Bank
Indonesia, sepanjang kepesertaan lembaga lain tersebut antara lain didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau pertimbangan pengembangan pasar keuangan di Indonesia.
4. Untuk dapat menjadi Peserta, pihak bersangkutan harus memiliki peran sebagai berikut:1. Penerbit Surat Berharga;2. Peserta Operasi Moneter atau peserta
Operasi Moneter Syariah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter dan operasi moneter syariah;
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
121
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
2. Peserta Operasi Moneter atau peserta Operasi Moneter Syariah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter dan operasi moneter syariah;
3. Lembaga perantara sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Operasi Moneter dan Operasi Moneter Syariah;
4. Peserta transaksi SBN di pasar perdana sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai lelang surat utang negara dalam mata uang Rupiah dan valuta asing di pasar perdana domestik dan penerbitan dan penjualan surat berharga syariah negara di pasar perdana dalam negeri dengan cara lelang;
5. Peserta Transaksi Pasar Keuangan; dan/atau6. Peran lain yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia antara lain didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, pertimbangan pengembangan pasar keuangan di Indonesia dan/atau pertimbangan teknis.
5. Prosedur untuk memperoleh persetujuan sebagai Peserta 1. Permohonan menjadi Peserta
Calon Peserta menyampaikan surat permohonan tertulis untuk menjadi Peserta kepada Penyelenggara Sistem BI-ETP.
2. Pemberian persetujuan prinsip Penyelenggara Sistem BI-ETP dapat melakukan pemeriksaan lokasi calon Peserta untuk memastikan kesesuaian informasi dalam dokumen yang disampaikan dan kesiapan infrastruktur Sistem BI-ETP serta memberikan persetujuan prinsip atau penolakan atas permohonan yang diajukan calon Peserta.
3. Pemenuhan persyaratan administrasi Calon Peserta yang telah memperoleh persetujuan prinsip menyampaikan kelengkapan dokumen administrasi.
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
122
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
4. Persiapan penggunaan Sistem BI-ETP1) Penandatanganan Perjanjian 2) Instalasi Aplikasi dan Pelatihan3) Pengujian Kesiapan Penggunaan
Sistem BI-ETP4) Persetujuan Operasional Sistem BI-ETP5) Dalam hal calon Peserta telah
memenuhi seluruh persyaratan Penyelenggara Sistem BI-ETP memberikan persetujuan operasional keikutsertaan sebagai Peserta dan tanggal efektif operasional sebagai Peserta melalui surat untuk Peserta yang bersangkutan.
6. Status kepesertaan dalam Sistem BI-ETP bagi Peserta dibedakan menjadi:a. Aktif
Peserta dengan status aktif dapat melakukan seluruh kegiatan operasional Sistem BI-ETP sesuai dengan peran Peserta yang bersangkutan.
b. Dibekukan 1) Peserta dengan status dibekukan tidak
dapat mengirimkan perintah Transaksi melalui Sistem BI-ETP.
2) Peserta dengan status dibekukan tetap memperoleh informasi yang terdapat dalam Sistem BI-ETP.
3) Perubahan status menjadi dibekukan antara lain dapat dilakukan sebagai persiapan penutupan kepesertaan Sistem BI-ETP.
c. Ditutup 1) Peserta dengan status ditutup tidak
dapat melakukan seluruh kegiatan operasional Sistem BI-ETP karena telah dihentikan kepesertaan dalam Sistem BI-ETP.
2) Peserta dengan status ditutup tidak bisa diaktifkan kembali sebagai Peserta.
7. Waktu operasional Sistem BI-ETPa. Penyelenggara Sistem BI-ETP menetapkan
waktu operasional penyelenggaraan Sistem BI-ETP yang mencakup hari operasional dan jam operasional.
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
123
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
b. Hari operasional Sistem BI-ETP adalah setiap hari kerja, kecuali ditetapkan lain oleh Penyelenggara Sistem BI-ETP.
c. Jam operasional Sistem BI-ETP sebagai berikut:1) Jam buka Sistem BI-ETP pada pukul
06.30 WIB.2) Jam Transaksi:
a) Transaksi Dengan Bank Indonesia mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang antara lain mengatur mengenai operasi moneter, operasi moneter syariah, lelang surat berharga negara di pasar perdana dan penatausahaan surat berharga negara.
b) Transaksi Pasar Keuangan pada pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 17.30 WIB, dengan pengaturan sebagai berikut:(1)Transaksi dengan underlying
surat berharga yang ditatausahakan di BI-SSSS:(a) Dalam hal setelmen
dilakukan pada hari yang sama dengan tanggal transaksi, maka transaksi paling lambat dilakukan sampai dengan pukul 16.30 WIB;
(b)Dalam hal setelmen dilakukan setelah tanggal transaksi, maka transaksi paling lambat dilakukan sampai dengan pukul 17.30 WIB;
(2)Transaksi tanpa underlying surat berharga yang ditatausahakan di BI-SSSS paling lambat dilakukan sampai dengan pukul 17.30 WIB;
(3) Jam tutup Sistem BI-ETP pada pukul 18.30 WIB atau sama dengan jam tutup BI-SSSS.
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
124
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
8. Peserta melakukan pengoperasian Sistem BI-ETP berdasarkan kewenangan level user Sistem BI-ETP yang terdiri dari level administrator, operator dan supervisor.
9. Penyelenggara Sistem BI-ETP memberikan 1 (satu) Digital Certificate Hard Token untuk setiap user Digital Certificate Hard Token yang dilengkapi antara lain dengan user name dan personal identification number (PIN). Peserta menggunakan Digital Certificate Hard Token untuk mengakses dan melakukan transaksi melalui Sistem BI-ETP. Masa aktif Digital Certificate Hard Token ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun sejak tanggal efektif berlakunya.
10.Penyelenggara Sistem BI-ETP mengenakan biaya terhadap Peserta atas penggunaan Sistem BI-ETP yang meliputi antara lain: a. Biaya Transaksi b. Biaya penggunaan Administrative Message c. Biaya penggunaan Fasilitas Guest Bank d. Biaya penambahan atau penggantian
Digital Certificate Hard Token.11.Penyelenggara Sistem BI-ETP melakukan
pemantauan kepada Peserta secara berkesinambungan. Pemantauan dapat dilakukan dengan metode pemantauan langsung dan/atau pemantauan tidak langsung.
12.Penyelenggara Sistem BI-ETP dapat mengenakan sanksi terkait Penyelenggaraan Sistem BI-ETP terhadap Peserta berupa sanksi teguran tertulis, sanksi kewajiban membayar, dan sanksi perubahan status kepesertaan.
1. Penerbitan Surat Edaran Bank Indonesia ini dilatarbelakangi oleh upaya penguatan infrastruktur transaksi Operasi Moneter, yaitu Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (Sistem BI-ETP).
2. Operasi Pasar Terbuka (OPT) dilakukan dalam rangka pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia melalui :- Penerbitan SBI;- Penerbitan SDBI;- Transaksi Repo;
Operasi Pasar Terbuka19. 17/37/DPM 16-11-2015
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
DPM
125
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
- Transaksi Reverse Repo;- Transaksi pembelian dan penjualan SBN
secara outright di pasar sekunder;- Transaksi valas terhadap SBN;- Transaksi Term Deposit Rupiah;- Transaksi Term Deposit valas;- Transaksi Swap dengan metode lelang;
dan- Transaksi Forward dengan metode lelang
3. Peserta OPT adalah Bank yang memenuhi persyaratan sebagai peserta Operasi Moneter sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan persyaratan Surat Berharga, Peserta dan Lembaga Perantara dalam Operasi Moneter.
4. SBI diterbitkan secara lelang dalam rangka absorpsi likuiditas Rupiah di pasar uang dengan jangka waktu paling singkat 1 bulan dan paling lama 12 bulan. Lelang SBI dilakukan pada hari kerja yang ditetapkan Bank Indonesia.
5. SDBI diterbitkan secara lelang dalam rangka absorpsi likuiditas Rupiah di pasar uang dengan jangka waktu paling singkat 1 bulan dan paling lama 12 bulan.
6. Bank Indonesia melakukan monitoring, pengawasan tidak langsung, dan/atau pengawasan langsung atas pelaksanaan ketentuan terkait minimum holding period (MHP) SBI oleh Peserta OPT dan Sub-Registry serta terkait larangan memindahtangankan atau mentransaksikan SDBI yang dimiliki dengan pihak selain Bank. Minimum holding period (MHP) SBI ditetapkan 1 (satu) minggu, yaitu 7 (tujuh) hari kalender sejak tanggal setelmen pembelian.
7. Transaksi Repo dilakukan dalam rangka injeksi likuiditas Rupiah di pasar uang dengan jangka waktu paling singkat 1 hari dan paling lama 12 bulan. Transaksi Repo dapat dilakukan dengan menggunakan underlying Surat Berharga dalam Rupiah atau Surat Berharga dalam valuta asing.
8. Transaksi Reverse Repo dilakukan dalam rangka absorpsi likuiditas rupiah di pasar uang dengan jangka waktu paling singkat 1 hari dan paling lama 12 bulan.
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
126
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
9. Transaksi pembelian dan penjualan SBN dilakukan dalam rangka injeksi/absorpsi likuiditas rupiah di pasar uang serta dalam rangka menjaga ketersediaan SBN yang diperlukan sebagai instrumen Operasi Moneter dalam pencapaian sasaran operasional kebijakan moneter Bank Indonesia. Bank Indonesia melakukan transaksi pembelian dan penjualan SBN secara outright dengan mekanisme lelang atau non lelang.
10.Transaksi valas terhadap SBN dilakukan dalam rangka mendukung pengelolaan likuiditas dalam mencapai sasaran operasional kebijakan moneter.
11.Transaksi Term Deposit Rupiah dilakukan dalam rangka absorpsi likuiditas Rupiah di pasar uang dengan jangka waktu paling singkat 1 hari dan paling lama 12 bulan.
12.Transaksi Term Deposit valas dilakukan dalam rangka mendukung pengelolaan likuiditas dalam mencapai sasaran operasional kebijakan moneter dengan jangka waktu paling singkat 1 hari dan paling lama 12 bulan. Lelang Term Deposit valas dilakukan pada hari kerja yang ditetapkan Bank Indonesia.
13.Transaksi Swap dengan metode lelang dilakukan dalam rangka mendukung pengelolaan likuiditas dalam mencapai sasaran operasional kebijakan moneter dengan jangka waktu paling singkat 1 hari dan paling lama 1 tahun.
14.Transaksi Forward dengan metode lelang dilakukan dalam rangka mendukung pengelolaan likuiditas dalam mencapai sasaran operasional kebijakan moneter dengan waktu penyerahan dana (tenor) dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja dan paling lama 12 (dua belas) bulan.
15.Transaksi OPT dilakukan melalui Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (Sistem BI-ETP) atau sarana dealing system yang ditetapkan Bank Indonesia.
16.Sanksi dikenakan terhadap:a. Peserta OPT yang tidak dapat memenuhi
kewajiban setelmen transaksi OPT dalam Rupiah.
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
127
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
b. Peserta OPT yang tidak dapat memenuhi kewajiban setelmen transaksi OPT dalam valuta asing.
c. Bank dan/atau Sub-Registry yang tidak memenuhi ketentuan kewajiban minimum holding period (MHP) SBI.
d. Bank dan/atau Sub-Registry yang melanggar ketentuan terkait larangan memindahtangankan atau mentransaksikan SDBI dengan pihak selain Bank.
17.Surat Edaran terdahulu beserta perubahannya, yaitu:a. Surat Edaran Bank Indonesia
No.16/23/DPM tanggal 24 Desember 2014 perihal Operasi Pasar Terbuka;
b. Surat Edaran Bank Indonesia No.17/8/DPM tanggal 20 Mei 2015 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia No.16/23/DPM tanggal 24 Desember 2014 perihal Operasi Pasar Terbuka; dan
c. Surat Edaran Bank Indonesia No.17/29/DPM tanggal 26 Oktober 2015 perihal Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia No.16/23/DPM tanggal 24 Desember 2014 perihal Operasi Pasar Terbuka, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
I. Latar Belakang
Penerbitan ketentuan ini dilakukan dalam rangka penguatan infrastruktur transaksi Operasi Moneter yang dilakukan Bank Indonesia melalui penyediaan Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (Sistem BI-ETP) sebagai sarana transaksi Operasi Moneter.
II. Materi Pengaturan
1. Kriteria Surat Berharga dalam mata uang Rupiah yang dapat dipergunakan dalam Operasi Moneter adalah diterbitkan oleh Bank Indonesia, dan/atau Negara Republik Indonesia, tercatat di BI-SSSS dan tidak sedang diagunkan.
Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta, dan Lembaga Perantara, dalam Operasi Moneter
20. 17/38/DPM 16-11-2015
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
DPM
128
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
2. Kriteria Surat Berharga dalam valuta asing yang dapat dipergunakan dalam Operasi Moneter adalah diterbitkan oleh pemerintah negara lain yang bank sentralnya memiliki kerjasama dengan Bank Indonesia antara lain dalam bentuk cross border collateral arrangement, sesuai denominasi asal negara penerbit, tercatat pada aktiva peserta Operasi Moneter yang tercatat pada rekening surat berharga milik peserta Operasi Moneter di lembaga kustodian yang disepakati, memiliki peringkat investasi (investment grade) dan tidak sedang diagunkan.
3. Jenis Surat Berharga yang memenuhi kriteria untuk dapat dipergunakan dalam Operasi Moneter adalah SBI, SDBI, SBN dan Surat berharga jangka pendek atau jangka panjang yang diterbitkan oleh pemerintah negara lain (sovereign bond).
4. Harga SBI dan SDBI ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan mempertimbangkan antara lain rata-rata tertimbang tingkat diskonto saat penerbitan dan sisa jangka waktu setiap seri SBI dan SDBI.
5. Harga SBN dan surat berharga dalam valuta asing ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan mempertimbangkan antara lain harga pasar masing-masing jenis dan seri SBN serta surat berharga dalam valuta asing (sovereign bond).
6. Haircut SBI dan SDBI ditetapkan sebesar 0% (nol persen), haircut SUN ditetapkan sebesar 5% (lima persen), haircut SBSN ditetapkan sebesar 6,5% (enam koma lima persen), haircut surat berharga dalam valuta asing (sovereign bond) sebagaimana diumumkan oleh Bank Indonesia pada tanggal pelaksanaan transaksi.
7. Peserta Operasi Moneter yang dapat mengikuti Operasi Moneter dalam Rupiah adalah Bank yang berstatus aktif sebagai peserta di Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan Sistem BI-RTGS, tidak sedang dikenakan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan Operasi Moneter, harus
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
129
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
memiliki rekening giro di Bank Indonesia dan harus memiliki rekening surat berharga di BI-SSSS.
8. Peserta Operasi Moneter yang dapat mengikuti transaksi Operasi Moneter dalam valuta asing adalah Bank devisa yang tidak sedang dikenakan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan Operasi Moneter, harus memiliki rekening giro valuta asing di Bank Indonesia dan/atau harus memiliki rekening surat berharga di lembaga kustodian yang ditunjuk Bank Indonesia, untuk transaksi Operasi Moneter dengan Surat Berharga dalam valuta asing yang tidak ditatausahakan di Bank Indonesia.
9. Lembaga perantara yang dapat melakukan transaksi OPT untuk kepentingan peserta Operasi Moneter adalah pialang pasar uang Rupiah dan valuta asing dan perusahaan efek yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagai dealer utama.
10.Persyaratan lembaga perantara adalah berstatus aktif sebagai peserta Sistem BI-ETP dan tidak sedang dikenakan sanksi terkait izin usaha oleh otoritas pengawas yang berwenang.
Latar Belakang
Penerbitan ketentuan ini dilakukan dalam rangka penguatan infrastruktur transaksi Operasi Moneter yang dilakukan Bank Indonesia melalui penyediaan Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (Sistem BI-ETP) sebagai sarana transaksi Operasi Moneter.
Materi Pengaturan
1. Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana Rupiah (Lending Facility) dari Bank Indonesia kepada Bank dan penempatan dana Rupiah (Deposit Facility) oleh Bank di Bank Indonesia dalam rangka Operasi Moneter.
Koridor Suku Bunga (Standing Facilities)
21. 17/39/DPM 16-11-2015
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
DPM
130
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
2. Standing Facilities disediakan Bank Indonesia pada setiap hari kerja Bank Indonesia, termasuk pada hari kerja terbatas Bank Indonesia.
3. Pengajuan transaksi Standing Facilities dilakukan melalui Sistem BI-ETP, dengan mekanisme sebagai berikut:a. Lending Facility dilakukan dengan cara
repurchase agreement surat berharga sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati dengan mekanisme nonlelang.
b. Deposit Facility dilakukan dengan cara penempatan dana Rupiah oleh Bank secara berjangka di Bank Indonesia dengan mekanisme nonlelang.
4. Sistem BI-ETP adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transaksi dengan Bank Indonesia dan transaksi pasar keuangan yang dilakukan secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga dan setelmen dana seketika.
5. Window time Standing Facilities diatur sebagai berikut:a. Lending Facility dari pukul 16.00 WIB
sampai dengan pukul 18.00 WIB atau waktu lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan
b. Deposit Facility dari pukul 16.00 WIB sampai dengan pukul 17.30 WIB atau waktu lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
6. Terhadap pembatalan transaksi Standing Facility, Bank dikenakan sanksi berupa:a. Teguran tertulis, dengan tembusan kepada
Otoritas Jasa Keuangan;b. Kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu
per sepuluh ribu) dari nilai transaksi Bank yang dinyatakan batal, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Dalam hal transaksi memiliki second leg, maka nilai transaksi yang dinyatakan batal yang dijadikan dasar perhitungan sanksi
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
131
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
kewajiban membayar adalah nilai transaksi pada saat first leg;
c. sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan Operasi Moneter selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut apabila transaksi Operasi Moneter, yang meliputi transaksi Operasi Pasar Terbuka dan transaksi Standing Facilities, batal untuk ketiga kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan.
7. Setelmen Standing Facilities dilakukan pada tanggal transaksi (same day settlement) pada awal periode pre cut-off Sistem BI-RTGS.
8. Setelmen Standing Facilities jatuh waktu dilakukan pada tanggal jatuh waktu, yaitu sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS.
Ringkasan:
1. Penerbitan Surat Edaran Bank Indonesia ini dilatarbelakangi oleh upaya penguatan infrastruktur transaksi Operasi Moneter, yaitu Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (Sistem BI-ETP).
2. Transaksi Reverse Repurchase Agreement (Reverse Repo) SBSN merupakan transaksi pembelian Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) oleh Bank (Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah) dari Bank Indonesia, dengan janji penjualan kembali oleh Bank sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. Transaksi ini dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka absorpsi perbankan syariah dalam rangka Operasi Moneter Syariah.
3. Transaksi Reverse Repo SBSN dilakukan dengan menggunakan akad al bai’ (jual beli) yang disertai dengan janji (al wa’d) oleh Bank kepada Bank Indonesia, dalam dokumen terpisah, untuk menjual kembali SBSN dalam jangka waktu dan harga tertentu yang disepakati.
Tata Cara Transaksi Reverse Repurchase Agreement Surat Berharga Syariah Negara dengan Bank Indonesia dalam rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah
22. 17/40/DPM 16-11-2015
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
DPM
132
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
4. Transaksi Reverse Repo SBSN dapat dilakukan dengan menggunakan SBSN Jangka Panjang dan/atau SBSN Jangka Pendek pada setiap hari kerja yang ditetapkan Bank Indonesia dengan jangka waktu paling singkat 1 (satu) hari hari dan paling lama 12 (dua belas) bulan.
5. Untuk dapat mengikuti Transaksi Reverse Repo SBSN, Bank harus memenuhi persyaratan antara lain:a. Memiliki Financing to Deposit Ratio (FDR)
paling kurang 80%;b. Berstatus aktif sebagai peserta Sistem BI-
ETP, BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS;c. Tidak sedang dikenakan sanksi
penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMS;
d. Harus memiliki Rekening Giro di Bank Indonesia; dan
e. Harus memiliki Rekening Surat Berharga pada BI-SSSS
6. Selain memenuhi persyaratan di atas, Bank harus menandatangani Janji (Wa’d) Untuk Menjual Kembali SBSN Dalam Rangka Transaksi Reverse Repo SBSN yang dilengkapi dokumen-dokumen pendukung yang disyaratkan.
7. Transaksi Reverse Repo SBSN dilakukan dengan mekanisme lelang melalui Sistem BI-ETP dengan metode harga tetap (fixed rate tender) atau harga beragam (variable rate tender).
8. Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang Transaksi Reverse Repo SBSN paling lambat sebelum window time melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU, dan/atau sarana lainnya yang ditetapkan Bank Indonesia.
9. Bank dapat mengajukan penawaran Transaksi Reverse Repo SBSN secara langsung untuk kepentingan diri sendiri dan/atau melalui Lembaga Perantara melalui Sistem BI-ETP dalam window time yang ditetapkan.
10.Bank mengajukan penawaran meliputi nilai nominal transaksi untuk lelang dengan metode fixed rate tender atau nilai nominal transaksi dan Marjin Transaksi Reverse Repo SBSN untuk lelang dengan metode variable rate tender.
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
133
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
11.Pengajuan penawaran kuantitas dari Bank dan Lembaga Perantara paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan selebihnya dengan kelipatan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan pengajuan penawaran Marjin Transaksi Reverse Repo SBSN dilakukan dengan kelipatan sebesar 0,01% (satu per sepuluh ribu).
12.Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang Transaksi Reverse Repo SBSN setelah window time ditutup.
13.Bank Indonesia melakukan setelmen first leg paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah pengumuman hasil lelang Transaksi Reverse Repo SBSN dan Bank wajib memiliki dana di Rekening Giro yang mencukupi untuk setelmen first leg.
14.Pada tanggal Transaksi Reverse Repo SBSN jatuh waktu (second leg), BI-SSSS secara otomatis melakukan setelmen second leg sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS dan Bank wajib memiliki jenis dan seri SBSN yang mencukupi dalam Rekening Surat Berharga untuk setelmen second leg.
15.Dalam hal Bank gagal melakukan setelmen second leg maka Transaksi Reverse Repo SBSN diperlakukan sebagai transaksi pembelian secara outright oleh Bank dan Bank Indonesia tidak membayarkan Marjin Transaksi Reverse Repo SBSN kepada Bank.
16.Dalam hal terjadi pembatalan setelmen Transaksi Reverse Repo SBSN, Bank dikenakan sanksi berupa: a. Teguran tertulis, b. Kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu
per sepuluh ribu) dari nilai Transaksi Reverse Repo SBSN yang dinyatakan batal, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); dan
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
134
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
c. Dalam hal Bank melakukan transaksi OMS yang dinyatakan batal sebanyak 3 (tiga) kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, Bank dikenakan sanksi berupa penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMS selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut.
17.Dalam hal terjadi pembatalan Transaksi Reverse Repo SBSN second leg dan dalam hal harga pasar SBSN pada saat second leg lebih tinggi dari harga pada transaksi first leg, Bank dikenakan sanksi tambahan berupa kewajiban membayar sebesar selisih harga pada transaksi second leg dan harga pada transaksi first leg, setelah dikalikan dengan nominal SBSN yang di-reverse repo-kan.
18.Surat Edaran terdahulu, yaitu Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/27/DPM tanggal 1 Desember 2011 perihal Tata Cara Transaksi Reverse Repo Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Dengan Bank Indonesia Dalam Rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Ringkasan:
1. Penerbitan Surat Edaran Bank Indonesia ini dilatarbelakangi oleh upaya penguatan infrastruktur transaksi Operasi Moneter, yaitu Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (Sistem BI-ETP).
2. Repurchase agreement (Repo) SBSN Operasi Pasar Terbuka (OPT) Syariah merupakan instrumen yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk injeksi likuiditas perbankan syariah dalam rangka Operasi Moneter Syariah (OMS).
3. Akad yang digunakan dalam Repo SBSN OPT Syariah adalah akad al bai’ (jual beli) yang disertai dengan al wa’d (janji) oleh Bank (Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah) kepada Bank Indonesia untuk membeli kembali SBSN.
4. Repo SBSN OPT Syariah dapat dilakukan pada setiap hari kerja yang ditetapkan Bank Indonesia dengan jangka waktu Repo SBSN OPT Syariah paling singkat 1 (satu) hari dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam hari.
Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga Syariah Negara dengan Bank Indonesia dalam rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah
23. 17/41/DPM 16-11-2015
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
DPM
135
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
5. Repo SBSN OPT Syariah dilakukan melalui mekanisme lelang, baik lelang fixed rate tender maupun variable rate tender.
6. Bank dapat mengikuti Repo SBSN OPT Syariah untuk kepentingan sendiri, dengan memenuhi syarat : a. Berstatus aktif sebagai peserta Sistem BI-
ETP, BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS; b. Tidak sedang dikenakan sanksi
penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMS;
c. Harus memiliki Rekening Giro di Bank Indonesia; dan
d. Harus memiliki Rekening Surat Berharga di BI-SSSS.
7. Bank dapat mengajukan penawaran Repo SBSN OPT Syariah secara langsung dan/atau melalui Lembaga Perantara.
8. Lembaga Perantara adalah pialang pasar uang Rupiah dan valuta asing, dan perusahaan efek yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagai dealer utama. Lembaga Perantara mengajukan penawaran untuk kepentingan Bank dan harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Berstatus aktif sebagai peserta Sistem BI-
ETP; dan b. Tidak sedang dikenakan sanksi terkait izin
usaha oleh otoritas pengawas yang berwenang.
9. SBSN yang dapat di-repo-kan memenuhi syarat sebagai berikut: a. SBSN Jangka Panjang dan/atau SBSN
Jangka Pendek; b. Tercatat di BI-SSSS; c. Tidak sedang diagunkan; dan d. Memiliki sisa jangka waktu paling singkat
3 (tiga) hari kerja pada saat second leg Repo SBSN OPT Syariah.
10.Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang Repo SBSN OPT Syariah melalui Sistem BI-ETP paling lambat sebelum window time dengan pelaksanaan lelang dapat dilakukan antara pukul 08.00 WIB sampai dengan 16.00 WIB.
11.Pengajuan penawaran Repo SBSN OPT Syariah antara lain meliputi:
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
136
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
a. Nilai nominal, jenis dan seri SBSN yang di-repo-kan, untuk lelang dengan metode fixed rate tender; atau
b. Nilai nominal, jenis dan seri SBSN yang di-repo-kan dan Marjin Repo SBSN, untuk lelang dengan metode variable rate tender.
12.Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang Repo SBSN OPT Syariah setelah window time ditutup secara individual kepada pemenang lelang melalui Sistem BI-ETP dan secara keseluruhan melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU dan/atau sarana lainnya.
13.Setelmen Repo SBSN OPT Syariah dilakukan melalui BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS dengan ketentuan sebagai berikut : a. Setelmen first leg
Bank wajib memiliki jenis dan seri SBSN di Rekening Surat Berharga yang mencukupi untuk setelmen first leg yang dilakukan paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah pengumuman hasil lelang.
b. Setelmen second leg 1) Setelmen second leg dilakukan secara
otomatis di BI-SSSS pada tanggal Repo SBSN OPT Syariah jatuh waktu (second leg), sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan sebelum periode cut off warning Sistem BI-RTGS.
2) Bank wajib memiliki dana di Rekening Giro Rupiah yang mencukupi untuk setelmen second leg.
14.Dalam hal Bank gagal melakukan setelmen second leg, maka transaksi Repo SBSN OPT Syariah diperlakukan sebagai transaksi penjualan secara outright oleh Bank.
15.Atas pembatalan Repo SBSN OPT Syariah karena tidak terpenuhinya kewajiban setelmen, Bank dikenakan sanksi: a. Sanksi teguran tertulis; b. Kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu
per sepuluh ribu) dari nilai transaksi Repo SBSN OPT Syariah yang dinyatakan batal, paling sedikit sebesar Rp10.000.00,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
137
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
c. Dalam hal Bank melakukan transaksi OMS yang dinyatakan batal sebanyak 3 (tiga) kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, Bank dikenakan sanksi berupa penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMS selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut; dan
d. Sanksi tambahan dalam hal terjadi kegagalan setelmen second leg dan harga SBSN pada saat second leg lebih rendah dari harga SBSN pada transaksi first leg.
16.Surat Edaran terdahulu, yaitu Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/32/DPM tanggal 7 November 2012 perihal Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement (Repo) Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dengan Bank Indonesia Dalam Rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
1. Penerbitan Surat Edaran Bank Indonesia ini dilatarbelakangi oleh upaya penguatan infrastruktur transaksi Operasi Moneter, yaitu Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (Sistem BI-ETP).
2. Transaksi Repurchase Agreement (Repo) SBSN merupakan transaksi penjualan SBSN oleh Bank kepada Bank Indonesia dengan janji pembelian kembali oleh Bank sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati dalam rangka Standing Facilities Syariah.
3. Akad yang digunakan dalam Repo SBSN adalah akad al bai’ (jual beli) yang disertai dengan al wa’d (janji) oleh BUS/UUS kepada Bank Indonesia untuk membeli kembali SBSN dalam jangka waktu dan harga tertentu yang disepakati.
4. Repo SBSN dilakukan melalui mekanisme non lelang, dengan jangka waktu Repo SBSN adalah 1 hari kerja (overnight).
5. Bank dapat mengikuti Repo SBSN, dengan memenuhi persyaratan: a. Berstatus aktif sebagai peserta Sistem BI-
ETP, BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS;b. Tidak sedang dikenakan sanksi penghentian
sementara untuk mengikuti kegiatan OMS;
Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga Syariah Negara dengan Bank Indonesia dalam rangka Standing Facilities Syariah
24. 17/42/DPM 16-11-2015
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
DPM
138
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
c. Harus memiliki Rekening Gir di Bank Indonesia; dan
d. Harus memiliki Rekening Surat Berharga di BI-SSSS.
6. SBSN yang dapat di-repo-kan memenuhi syarat sebagai berikut: a. SBSN Jangka Panjang dan/atau SBSN
Jangka Pendek; b. Tercatat di BI-SSSS; c. Tidak sedang diagunkan; dan d. Memiliki sisa jangka waktu paling singkat
3 (tiga) hari kerja pada saat second leg Repo SBSN.
7. Window time Repo SBSN adalah pukul 16.00 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB pada setiap hari kerja. Bank dapat mengajukan Repo SBSN melalui Sistem BI-ETP yang meliputi antara lain nilai nominal, jenis dan seri SBSN yang di-repo-kan.
8. Atas Repo SBSN, Bank Indonesia menetapkan Marjin Repo SBSN yaitu tingkat keuntungan (profit rate) dalam setahun (per annum) yang disepakati oleh para pihak yang melakukan transaksi Repo SBSN. Bank Indonesia menetapkan Marjin Repo SBSN sebesar BI-Rate yang berlaku pada tanggal transaksi ditambah marjin tertentu.
9. Setelmen dilakukan melalui BI-SSSS dengan ketentuan sebagai berikut : a. Setelmen first leg
1) Setelmen first leg dilakukan pada tanggal transaksi (sameday settlement) pada awal periode pre cut-off Sistem BI-RTGS.
2) Bank wajib menyediakan jenis dan seri SBSN yang di-repo-kan dalam jumlah yang cukup untuk setelmen first leg.
b. Setelmen second leg 1) Setelmen second leg dilakukan pada
tanggal Repo SBSN jatuh waktu (second leg) dan BI-SSSS secara otomatis melakukan setelmen second leg sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan sebelum periode cut off warning Sistem BI-RTGS.
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
139
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
2) Bank wajib menyediakan saldo Rekening Giro dalam jumlah yang cukup untuk setelmen second leg.
10.Dalam hal Bank tidak dapat memenuhi kewajiban setelmen second leg, transaksi Repo SBSN diperlakukan sebagai transaksi penjualan secara outright oleh Bank.
11.Atas pembatalan Repo SBSN karena tidak terpenuhinya kewajiban setelmen, Bank dikenakan sanksi: a. Sanksi teguran tertulis; b. Kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu
per sepuluh ribu) dari nilai transaksi Repo SBSN yang dinyatakan batal, paling sedikit sebesar Rp10.000.00,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
c. Dalam hal Bank melakukan transaksi OMS yang dinyatakan batal sebanyak 3 (tiga) kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, Bank dikenakan sanksi berupa penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMS selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut; dan
d. Sanksi tambahan dalam hal terjadi kegagalan setelmen second leg dalam hal harga SBSN pada saat second leg lebih rendah dari harga SBSN pada transaksi first leg.
12.Surat Edaran terdahulu, yaitu Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/28/DPM tanggal 27 September 2012 perihal Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement (Repo) Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Dengan Bank Indonesia Dalam Rangka Standing Facilities Syariah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
I. Latar Belakang Penerbitan ketentuan ini dilakukan dalam rangka penguatan infrastruktur transaksi Operasi Moneter Syariah yang dilakukan Bank Indonesia melalui penyediaan Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (Sistem BI-ETP) sebagai sarana transaksi Operasi Moneter.
Tata Cara Transaksi Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah dalam Rupiah (FASBIS)
25. 17/43/DPM 16-11-2015
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
DPM
140
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
II. Materi Pengaturan
1. FASBIS merupakan instrumen yang digunakan Bank Indonesia untuk absorbsi likuiditas perbankan syariah dalam rangka OMS.
2. Peserta transaksi FASBIS adalah Bank.3. Persyaratan Bank yang dapat mengajukan
transaksi FASBIS sebagai berikut: a. Berstatus aktif sebagai peserta Sistem
BI-ETP, BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS;b. Tidak sedang dikenakan sanksi
penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMS;
c. Harus memiliki Rekening Giro di Bank Indonesia; dan
d. Harus memiliki Rekening Surat Berharga pada BI-SSSS.
4. Bank mengajukan transaksi FASBIS melalui Sistem BI-ETP.
5. Sistem BI-ETP adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transaksi dengan Bank Indonesia dan transaksi pasar keuangan yang dilakukan secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga dan setelmen dana seketika.
6. FASBIS dilakukan dengan mekanisme nonlelang pada setiap hari kerja Bank Indonesia, termasuk pada hari kerja terbatas Bank Indonesia.
7. Window time transaksi FASBIS ditetapkan dari pukul 16.00 WIB sampai dengan pukul 17.30 WIB atau waktu lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
8. Bank Indonesia melakukan setelmen dana transaksi FASBIS pada tanggal transaksi (same day settlement) pada awal periode pre cut-off Sistem BI-RTGS.
9. Setelmen transaksi FASBIS jatuh waktu dilakukan pada tanggal jatuh waktu, yaitu sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS.
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
141
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
I. Latar Belakang
Penerbitan ketentuan ini dilakukan dalam rangka penguatan infrastruktur transaksi Operasi Moneter Syariah yang dilakukan Bank Indonesia melalui penyediaan Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (Sistem BI-ETP) sebagai sarana transaksi Operasi Moneter.
II. Materi Pengaturan
1. SBIS merupakan instrumen yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk absorpsi likuiditas perbankan syariah dalam rangka OMS.
2. Bank secara langsung dan/atau melalui Pialang mengajukan penawaran pembelian SBIS kepada Bank Indonesia melalui Sistem BI-ETP dalam window time yang ditetapkan.
3. Sistem BI-ETP adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transaksi dengan Bank Indonesia dan transaksi pasar keuangan yang dilakukan secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga dan setelmen dana seketika.
4. Persyaratan Bank yang dapat mengajukan penawaran pembelian SBIS kepada Bank Indonesia adalah sebagai berikut: a. Memiliki FDR paling kurang 80%
(delapan puluh per seratus) berdasarkan perhitungan Otoritas Jasa Keuangan yang diterima oleh Bank Indonesia;
b. Berstatus aktif sebagai peserta Sistem BI-ETP, BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS;
c. Tidak sedang dikenakan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMS;
d. Harus memiliki Rekening Giro di Bank Indonesia; dan
e. Harus memiliki Rekening Surat Berharga pada BI-SSSS.
Tata Cara Penerbitan Sertifikat Bank Indonesia Syariah melalui Lelang
26. 17/44/DPM 16-11-2015
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
DPM
142
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
5. Persyaratan Pialang yang dapat mengajukan penawaran pembelian SBIS untuk kepentingan Bank adalah sebagai berikut : a. Berstatus aktif sebagai peserta Sistem
BI-ETP; danb. Tidak sedang dikenakan sanksi terkait
izin usaha oleh otoritas pengawas yang berwenang.
6. Window time lelang SBIS dapat dilakukan antara pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB atau waktu lain yang ditetapkan Bank Indonesia.
7. Bank Indonesia melakukan setelmen hasil lelang SBIS paling lama 1 (satu) hari kerja setelah pengumuman hasil lelang SBIS.
8. Setelmen pelunasan SBIS jatuh waktu dilakukan pada tanggal jatuh waktu SBIS, yaitu sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS.
I. Latar Belakang
Penerbitan ketentuan ini dilakukan dalam rangka penguatan infrastruktur transaksi Operasi Moneter Syariah yang dilakukan Bank Indonesia melalui penyediaan Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (Sistem BI-ETP) sebagai sarana transaksi Operasi Moneter.
II. Materi Pengaturan
1. Repo SBIS merupakan instrumen yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk injeksi likuiditas perbankan syariah dalam rangka OMS.
2. Repo SBIS dilakukan dengan mekanisme non lelang pada setiap hari kerja Bank Indonesia, termasuk pada hari kerja terbatas Bank Indonesia melalui Sistem BI-ETP.
Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement Sertifikat Bank Indonesia Syariah dengan Bank Indonesia dalam rangka Standing Facilities Syariah
27. 17/45/DPM 16-11-2015
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
DPM
143
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
3. Sistem BI-ETP adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transaksi dengan Bank Indonesia dan transaksi pasar keuangan yang dilakukan secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga dan setelmen dana seketika.
4. Persyaratan Bank yang dapat mengajukan Repo SBIS sebagai berikut: a. Berstatus aktif sebagai peserta Sistem
BI-ETP, BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS;b. Tidak sedang dalam masa pengenaan
sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMS;
c. Harus memiliki Rekening Giro di Bank Indonesia; dan
d. Harus memiliki Rekening Surat Berharga pada BI-SSSS.
5. Window time Repo SBIS ditetapkan dari pukul 16.00 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB atau waktu lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
6. Setelmen first leg dilakukan pada hari transaksi (same day settlement) pada awal periode pre cut-off sistem BI-RTGS.
7. Setelmen second leg dilakukan pada tanggal Repo SBIS jatuh waktu, yaitu sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS.
1. Penerbitan Surat Edaran Bank Indonesia ini dilatarbelakangi oleh upaya penguatan infrastruktur transaksi Operasi Moneter, yaitu Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (Sistem BI-ETP).
2. Bank Indonesia melakukan transaksi pembelian dan penjualan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) secara outright di pasar sekunder dalam rangka absorpsi likuiditas dan/atau injeksi likuiditas serta dalam rangka menjaga ketersediaan SBSN yang diperlukan sebagai instrumen Operasi Moneter Syariah (OMS) dalam mencapai sasaran operasional kebijakan moneter Bank Indonesia.
Tata Cara Pembelian dan Penjualan Surat Berharga Syariah Negara Secara Outright dari Bank Indonesia di Pasar Sekunder dalam rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah
28. 17/46/DPM 16-11-2015
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
DPM
144
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
3. Bank (Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah) yang dapat mengikuti transaksi, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:a. Berstatus aktif sebagai peserta Sistem BI-
ETP, BI-SSSS dan Sistem BI-RTGS; b. Tidak sedang dikenakan sanksi
penghentian sementara untuk mengikuti OMS;
c. Harus memiliki Rekening Giro Rupiah di Bank Indonesia; dan
d. Harus memiliki Rekening Surat Berharga pada BI-SSSS
4. Bank Indonesia dapat melakukan transaksi pembelian dan penjualan SBSN secara outright di pasar sekunder pada setiap hari kerja yang ditetapkan Bank Indonesia, melalui mekanisme lelang atau non lelang, serta mencakup SBSN Jangka Panjang dan/atau SBSN Jangka Pendek. a. Transaksi Lelang
1) Transaksi secara lelang dilakukan melalui Sistem BI-ETP dengan metode harga tetap (fixed rate tender) atau harga beragam (variable rate tender) antara pukul 08.00-16.00 WIB atau waktu lain yang ditetapkan Bank Indonesia sesuai dengan pengumuman Bank Indonesia.
2) Pengajuan penawaran lelang dilakukan melalui Sistem BI-ETP secara langsung dan/atau melalui Lembaga Perantara. Penawaran yang diajukan Lembaga Perantara hanya untuk kepentingan Bank. Penawaran dimaksud mencakup nilai nominal, untuk lelang dengan metode fixed rate tender atau nilai nominal dan yield atau harga SBSN, untuk lelang dengan metode variable rate tender.
3) Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang penjualan dan pembelian SBSN setelah window time ditutup secara individual kepada pemenang lelang melalui Sistem BI-ETP (mencakup nilai nominal dan yield atau harga yang dimenangkan) dan secara keseluruhan melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU,
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
145
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
dan/atau sarana lainnya (berupa nominal seluruh penawaran yang dimenangkan, SOR dan/atau rata-rata tertimbang tingkat yield)
b. Transaksi Non LelangTransaksi dilakukan oleh Bank Indonesia dengan counterparty Bank atau Lembaga Perantara melalui Sistem BI-ETP atau sarana dealing system yang ditetapkan Bank Indonesia.
5. Bank wajib memiliki dana di Rekening Giro Rupiah yang mencukupi untuk setelmen pembelian SBSN secara outright di pasar sekunder dari Bank Indonesia atau memiliki jenis dan seri SBSN di Rekening Surat Berharga yang mencukupi untuk setelmen penjualan SBSN secara outright di pasar sekunder kepada Bank Indonesia.
6. Setelmen transaksi dilakukan paling lama 2 (dua) hari kerja melalui Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS secara delivery versus payment (DVP) dengan mekanisme transaksi per transaksi (gross to gross).
7. Dalam hal Bank tidak memiliki jenis dan seri SBSN di Rekening Surat Berharga atau tidak memiliki dana di Rekening Giro Rupiah yang mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen pembelian dan penjualan SBSN secara outright di pasar sekunder yang dilakukan sampai dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS sehingga mengakibatkan kegagalan setelmen, transaksi dinyatakan batal dan Bank dikenakan sanksi berupa:a. Teguran tertulis;b. Kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu
per sepuluh ribu) dari nilai transaksi pembelian dan penjualan SBSN secara outright di pasar sekunder yang dinyatakan batal, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
146
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
c. Dengan tidak mengurangi sanksi sebagaimana dimaksud pada huruf b dalam hal Bank melakukan transaksi OMS yang dinyatakan batal sebanyak 3 (tiga) kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, Bank dikenakan sanksi berupa penghentian sementara untuk mengikuti OMS selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut.
8. Surat Edaran terdahulu, yaitu: Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/6/DPM tanggal 13 Februari 2012 perihal Tata Cara Pembelian dan Penjualan Surat Berharga Syariah Negara Secara Outright Dari Bank Indonesia di Pasar Sekunder Dalam Rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Latar Belakang Pengaturan:
Sehubungan dengan diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/21/PBI/2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, maka perlu dilakukan perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/17/DKMP tanggal 26 Juni 2015 perihal Perhitungan Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional.
Substansi Pengaturan:
1. Perubahan Bagian II Tata Cara Perhitungan GWM Primer, dimana kewajiban GWM Primer dalam Rupiah diturunkan dari 8% menjadi sebesar 7,5% dari Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam Rupiah. Perubahan ini juga berdampak pada beberapa contoh perhitungan GWM dalam Lampiran.
2. Perubahan Lampiran III mengenai Contoh Perhitungan GWM dalam Rupiah dan Perhitungan Sanksi Kewajiban Membayar.
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/17/DKMP tanggal 26 Juni 2015 perihal Perhitungan Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional
29. 17/47/DKEM 01-12-2015
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
DKEM
147
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
• Penyesuaian contoh perhitungan pemenuhan GWM dalam Rupiah, baik GWM Primer, GWM Sekunder maupun GWM LFR sebagai dampak dari penurunan kewajiban Giro Wajib Minimum (GWM) dalam Rupiah dari 8% menjadi 7,5% dari DPK dalam Rupiah.
• Penyesuaian contoh perhitungan jasa giro bagi bank yang dapat memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam rupiah dan contoh perhitungan sanksi bagi bank yang tidak dapat memenuhi kewajiban GWM dalam Rupiah.
3. Perubahan Lampiran IV mengenai Contoh Perhitungan GWM bagi Bank yang Melakukan Merger. Penyesuaian contoh perhitungan pemenuhan GWM dalam Rupiah, baik GWM Primer, GWM Sekunder maupun GWM LFR sebagai dampak dari penurunan kewajiban Giro Wajib Minimum (GWM) dalam Rupiah dari 8% menjadi 7,5% dari DPK dalam Rupiah bagi Bank yang melakukan merger, baik sebelum merger maupun setelah merger berlaku efektif.
I. Latar Belakang dan Tujuan:
Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/17/PBI/2015 tanggal 10 November 2015 tentang Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 264, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5753), perlu mengatur ketentuan pelaksanaan mengenai penerbitan, tata cara lelang, dan penatausahaan Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia.
II. Ringkasan:
1. Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing yang selanjutnya disebut SBBI Valas adalah surat berharga dalam valuta
Penerbitan, Tata Cara Lelang, dan Penatausahaan Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing
30. 17/48/DPD 07-12-2015
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
DPD
148
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
asing yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek.
2. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional dan telah memperoleh izin dari otoritas yang berwenang untuk melakukan kegiatan usaha perbankan dalam valuta asing.
3. Peserta Lelang adalah Bank yang memenuhi ketentuan dan persyaratan sebagai berikut:a. Tidak sedang dikenakan sanksi
penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan transaksi Lelang SBBI Valas;
b. Harus memiliki akses sistem Lelang SBBI Valas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
c. Harus memiliki Rekening Giro Valas di Bank Indonesia;
d. Harus memiliki Rekening Surat Berharga di BI-SSSS; dan
e. wajib menyediakan dana yang cukup di Rekening Giro Valas untuk penyelesaian kewajiban pada waktu penyelesaian transaksi.
4. Materi yang diatur mencakup, antara lain:a. Penerbitan SBBI Valas;b. Tata Cara Lelang SBBI Valas yang
mencakup ketentuan dan persyaratan, pelaksanaan lelang SBBI Valas, penetapan pemenang lelang SBBI Valas, pengumuman hasil lelang, dan kondisi gangguan di Peserta Lelang;
c. Tata Cara Penatausahaan SBBI Valas yang mencakup ketentuan dan persyaratan, pelaksanaan setelmen di pasar perdana dan pasar sekunder, dan pelunasan pokok SBBI Valas;
d. Tata Cara Pengenaan Sanksi.
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
149
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
I. Latar Belakang dan Tujuan:
Perkembangan terkini pasar keuangan global dan pasar valuta asing domestik menjadi tantangan terhadap pencapaian tujuan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai Rupiah. Untuk itu, melalui penerbitan PBI No.17/15/PBI/2015 tanggal 7 Oktober 2015 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/16/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik, Bank Indonesia berupaya untuk mendorong keseimbangan permintaan dan penawaran valuta asing di pasar valas domestik dalam rangka mendukung stabilitas nilai tukar Rupiah. Selanjutnya, Surat Edaran ini diterbitkan sebagai pedoman teknis dalam melaksanakan PBI tersebut.
II. Materi Pengaturan:
1. Peningkatan threshold penjualan valuta asing melalui transaksi forward tanpa underlying transaksi, dari sebelumnya USD 1 juta menjadi USD 5 juta atau ekuivalennya per transaksi per nasabah. Sementara threshold penjualan valuta asing melalui transaksi option tetap sebesar USD 1 juta.
2. Pelarangan investasi dalam bentuk Surat Berharga Bank Indonesia dalam valuta asing sebagai underlying pembelian valuta asing terhadap Rupiah baik melalui transaksi spot dan/atau transaksi derivatif.
3. Penjabaran pengaturan penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward dan transfer Rupiah kepada pihak asing dengan underlying transaksi berupa kepemilikan dana valuta asing di dalam negeri dan di luar negeri.
4. Penjabaran pengaturan transaksi valuta asing terhadap Rupiah dengan underlying transaksi berupa pemberian kredit.
Perubahan Keempat atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/14/DPM tanggal 17 September 2014 perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik
31. 17/49/DPM 21-12-2015
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
DPM
150
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
5. Penjabaran atas penyelesaian transaksi forward jual dengan nominal transaksi paling banyak sebesar threshold dan/atau transaksi forward jual dengan underlying transaksi kepemilikan dana valas di dalam dan luar negeri yang wajib dilakukan dengan cara perpindahan dana pokok.
6. Penegasan dan penjabaran atas kewajiban untuk memenuhi ketentuan penggunaan Rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
7. Pengaturan agar bank harus menerapkan prosedur dan sistem pengendalian dokumen.
8. Penyempurnaan jenis dokumen underlying transaksi.
I. Latar Belakang dan Tujuan:
Perkembangan terkini pasar keuangan global dan pasar valuta asing domestik menjadi tantangan terhadap pencapaian tujuan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai Rupiah. Untuk itu, melalui penerbitan PBI No.17/16/PBI/2015 tanggal 7 Oktober 2015 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/17/PBI/2014 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing, Bank Indonesia berupaya untuk mendorong keseimbangan permintaan dan penawaran valuta asing di pasar valas domestik dalam rangka mendukung stabilitas nilai tukar Rupiah. Selanjutnya, Surat Edaran ini diterbitkan sebagai pedoman teknis dalam melaksanakan PBI tersebut.
II. Materi Pengaturan:
1. Peningkatan threshold penjualan valuta asing melalui transaksi forward tanpa underlying transaksi, dari sebelumnya USD 1 juta menjadi USD 5 juta atau ekuivalennya per transaksi per pihak asing maupun per posisi (outstanding) per bank.
Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/15/DPM tanggal 17 September 2014 perihal Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing
32. 17/50/DPM 21-12-2015
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
DPM
151
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
2. Pelarangan investasi dalam bentuk Surat Berharga Bank Indonesia dalam valuta asing sebagai underlying pembelian valuta asing terhadap Rupiah baik melalui transaksi spot dan/atau transaksi derivatif.
3. Penjabaran pengaturan penjualan valuta asing terhadap Rupiah melalui transaksi forward dan transfer Rupiah kepada pihak asing dengan underlying transaksi berupa kepemilikan dana valuta asing di dalam negeri dan di luar negeri.
4. Penjabaran pengaturan transaksi valuta asing terhadap Rupiah dengan underlying transaksi berupa pemberian kredit.
5. Penjabaran atas penyelesaian transaksi forward jual dengan nominal transaksi paling banyak sebesar threshold dan/atau transaksi forward jual dengan underlying transaksi kepemilikan dana valas di dalam dan luar negeri yang wajib dilakukan dengan cara perpindahan dana pokok
6. Penegasan dan penjabaran atas kewajiban untuk memenuhi ketentuan penggunaan Rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
7. Pengaturan agar bank harus menerapkan prosedur dan sistem pengendalian dokumen.
8. Penyempurnaan jenis dokumen underlying transaksi.
1. Ketentuan ini merupakan perubahan ketiga terhadap Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP tanggal 13 April 2009 perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu.
2. Terdapat dua besaran materi perubahan yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini, yaitu mengenai batas paling banyak nilai nominal dana yang dapat digunakan untuk bertransaksi (transfer dan tarik tunai) melalui mesin ATM serta penggunaan teknologi magnetic stripe pada kartu ATM dan/atau Kartu Debet tertentu.
Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP tanggal 13 April 2009 perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu
33. 17/51/DKSP 30-12-2015
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
DKSP
152
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
153
3. Terkait batas paling banyak nilai nominal dana yang dapat digunakan untuk bertransaksi melalui mesin ATM, dilakukan perubahan sebagai berikut: a. Batas paling banyak nilai nominal dana
yang dapat digunakan untuk bertransaksi melalui mesin ATM baik menggunakan Kartu ATM atau Kartu Kredit adalah sebesar:1. Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
tiap rekening dalam 1 (satu) hari untuk Kartu ATM atau Kartu Kredit yang menggunakan teknologi magnetic stripe; atau
2. Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) tiap rekening dalam 1 (satu) hari untuk Kartu ATM atau Kartu Kredit yang menggunakan teknologi chip.
b. Batas paling banyak nilai nominal dana yang dapat ditransfer antara Penerbit Kartu ATM melalui mesin ATM adalah sebesar:1. Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta
rupiah) tiap rekening dalam satu hari untuk Kartu ATM yang menggunakan teknologi magnetic stripe, atau
2. Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tiap rekening dalam satu hari untuk Kartu ATM yang menggunakan teknologi chip.
4. Terkait penggunaan teknologi magnetic stripe untuk Kartu ATM dan/atau Kartu Debet yang diterbitkan di Indonesia, diatur bahwa teknologi magnetic stripe hanya dapat digunakan untuk Kartu ATM dan/atau Kartu Debet yang diterbitkan atas dasar rekening simpanan tertentu.
1. Ketentuan ini mencabut Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No.13/22/DASP tanggal 18 Oktober 2011 perihal Implementasi Teknologi Chip dan Penggunaan Personal Identification Number pada Kartu ATM dan/atau Kartu Debet yang diterbitkan di Indonesia sebagaimana telah diubah dengan SEBI No.14/23/DASP tanggal 31 Agustus 2012.
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
Implementasi Standar Nasional Teknologi Chip dan Penggunaan Personal Identification Number Online 6 (Enam) Digit untuk Kartu ATM dan/atau Kartu Debet yang Diterbitkan di Indonesia
34. 17/52/DKSP 30-12-2015 DKSP
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
2. Dua besaran materi ketentuan yang diatur dalam SEBI ini adalah penerapan standar nasional teknologi chip dan PIN online 6 (enam) digit untuk Kartu ATM dan/atau Kartu Debet, serta kepemilikan dan pengelolaan standar nasional tersebut.
3. Terkait penerapan standar nasional Kartu ATM dan/atau Kartu Debet, diatur sebagai berikut:a. Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara
Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir Kartu ATM dan/atau Kartu Debet wajib menggunakan standar nasional teknologi chip dan PIN online 6 (enam) digit.
b. Penerbitan kartu dengan teknologi magnetic stripe hanya dapat dilakukan untuk rekening yang diperjanjikan memiliki saldo paling banyak Rp5.000.000,- (lima juta rupiah).
c. Batas waktu pelaksanaan kewajiban penggunaan standar nasional teknologi chip untuk seluruh Kartu ATM, Kartu Debet, terminal ATM, terminal Electronic Data dan/atau kartu Debet dengan magnetic stripe, dilaksanakan paling lambat tanggal 31 Desember 2021.
d. Batas waktu penggunaan PIN online 6 (enam) digit sebagai berikut: - Untuk Kartu ATM/Debet yang
menggunakan teknologi magnetic stripe, kewajiban penggunaan PIN online 6 (enam) digit paling lambat 30 Juni 2017.
- Untuk Kartu ATM/Debet yang menggunakan teknologi chip, kewajiban penggunaan PIN online 6 (enam) digit paling lambat 31 Desember 2021.
e. Untuk memastikan pelaksanaan implementasi dapat berjalan dengan baik, diatur tahapan implementasi yang harus dilakukan sebagai berikut:
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
154
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 12, Nomor 2, Juli - Desember 2015
f. Mulai 1 Januari 2022 seluruh transaksi Kartu ATM dan/atau Kartu Debet domestik wajib diproses dengan menggunakan standar nasional dan PIN online 6 (enam) digit, kecuali untuk kartu yang masih diperbolehkan menggunakan magnetic stripe.
g. Pemrosesan Kartu ATM dan/atau Kartu Debet internasional dapat dilakukan di Indonesia sesuai dengan teknologi dan sarana autentifikasi yang berlaku untuk kartu tersebut.
4. Terkait kepemilikan dan pengelolaan standar nasional, diatur sebagai berikut:a. Dalam rangka melindungi kepentingan
publik dalam penggunaan standar nasional Kartu ATM dan/atau Kartu Debet, kepemilikan standar nasional tersebut berada di Bank Indonesia.
b. Bank Indonesia menunjuk pihak lain yang telah memenuhi persyaratan yang ditentukan untuk mengelola standar nasional teknologi chip Kartu ATM dan/atau Kartu Debet.
Perihal RingkasanNo. Peraturan Tanggal Satker
155
• Persiapan host & back and system selesai.
• Pengadaan terminal ATM/EDC baru dapat wajib memproses standar nasional dan PIN online 6 digit
• Kartu ATM/Debit yang menggunakan teknologi magnetic stripe wajib menggunakan PIN online (enam) digit.
• Seluruh kartu ATM/Debit
serta terminal ATM dari
FDC telah mengampretasi
standart nasional dan PIN
online 6 digit.
• Teknologi magnetic stripe
hanya untuk kartu
ATM/Debit tertentu.
• Kartu ATM/Debit
• Kartu internasional dapat
diproses dengan jaringan
internasional.
30 Juni 2017 1 Jan 2019 1 Jan 2021
1 Jan 2020 31Des 2021
Tahapan Migrasi Kartu (min) dan PIN online 6 (enam) digit
30% kartu
50% kartu
80% kartu