hukum membujang 1

8
Hukum Membujang Bolehkah membujang dengan alasan untuk membaktikan sepenuhnya hidup untuk dakwah ? Membujang (tabattul) hukumnya makruh. Berdasarkan hadist dari Qatâdah yang menuturkan riwayat dari al- Hasan, yang bersumber dari Samurah: ِ لُ ّ تَ بَ ّ ت ل اْ نَ ع ىَ هَ نَ مَ ّ لَ سَ وِ هْ يَ لَ عُ َ ّ ى اَ ّ لَ صِ َ ّ اَ ّ ىِ بَ نَ ّ نَ & ا“Bahwa Nabi SAW telah melarang hidup membujang.” (HR Ahmad no. 19329) Tabattul maknanya adalah memutuskan untuk tidak menikah (memutuskan untuk terus membujang) dan menjauhkan diri dari kenikmatan pernikahan, semata-mata untuk focus beribadah saja.(Sistem Pergaulan dalam Islam hal. 176, Faidhul qadhir 6/393) Selain itu terdapat hadist dari Abu Yahya, Nabi bersada: ا ت م س لي ف ح ك ت ن م ل ف ح ك ت ن لان را س و م كان ن مArtinya: siapa saja yang diberikan kemudahan (muusir) untuk menikah tapi dia tidak menikah maka di tidak termasuk golongan kami (HR. Baihaqi 7/78, al mu’jam al kabiir 22/366, al mua’jam al aushath 1/538)

Upload: viky-arifiansyah

Post on 26-Jun-2015

238 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Hukum Membujang 1

Hukum Membujang

Bolehkah membujang dengan alasan untuk membaktikan sepenuhnya

hidup untuk dakwah ?

Membujang (tabattul) hukumnya makruh. Berdasarkan hadist dari Qatâdah

yang menuturkan riwayat dari al-Hasan, yang bersumber dari Samurah:

�ِل� �ُّت �َب الُّت َع�ْن �َه�ى َن �َم� َّل َو�َس� ِه� �ْي َع�َّل �ِه� الَّل َص�َّل�ى �ِه� الَّل �َّي� �َب َن َّن�� َأ

“Bahwa Nabi SAW telah melarang hidup membujang.” (HR Ahmad no.

19329)

Tabattul maknanya adalah memutuskan untuk tidak menikah (memutuskan untuk

terus membujang) dan menjauhkan diri dari kenikmatan pernikahan, semata-mata

untuk focus beribadah saja.(Sistem Pergaulan dalam Islam hal. 176, Faidhul

qadhir 6/393)

Selain itu terdapat hadist dari Abu Yahya, Nabi bersada:

فَّلْيسمنا ينكح فَّلَم ينكح الَّن موَسرا كاَّن مْن

Artinya: siapa saja yang diberikan kemudahan (muusir) untuk menikah

tapi dia tidak menikah maka di tidak termasuk golongan kami (HR. Baihaqi 7/78,

al mu’jam al kabiir 22/366, al mua’jam al aushath 1/538)

Dalam hadist di atas memang terdapat kecaman “tidak termasuk golongan

kami” dan bagi orang yang mampu namun tidak menikah. Namun kecaman ini

tidak bersifat tegas (ghairu jazm) karena terdapat indikasi (qarinah) bahwa Nabi

saw mendiamkan sebagain sahabat yang mampu namun tidak menikah. Maka dari

sini dapat ditarik kesimpulan bahwa hokum membujang bagi orang yang mampu

adalah makruh, tidak haram.(Taisirul wushuli ilal ushul hal. 18)

Ukuran mampu adalah kelonggaran ekonomi. Imam al baihaqi pada saat

mensyarah hadist diatas menyatakan bahwa yang dimaksuh muusir adalah kaya

Page 2: Hukum Membujang 1

dan memiliki kelonggaran harta (Syu’abul iman lil baihaqi 11/461, Ma’rifatu ash

shahabah li Abi Nai’im 21/120).

Dari hadist ini juga dapat ditarik pemahaman sebaliknya (mafhum

mukhalafah) bahwa bagi orang yang tidak memiliki kesiapan ekonomi (harta)

maka baginya tidaklah makruh untuk membujang/tidak menikah. Karena pada

hadist ini terdapat mafhun syarat berupa huruf syarat “man” barang siapa. Padahal

mafhum syarat adalah salah satu bentuk mafhum mukhalafah (al wadhih fi ushulil

fiqh hal. 303)

Dalam kontek inilah Nabi mensyaratkan mampu untuk dapat menikah

sekaligus memberikan solusi praktis apabila tidak mampu menikah yaitu dengan

berpuasa. Nabi saw bersabda:

� �الَّص�وِم ِب ِه� �ْي ف�َع�َّل �ِط�ْع ُّت �ْس ي �َم ل َو�م�ْن َو�ْج �َز� �ُّت ْي ف�َّل �اَء�َة� َب ال �َم ك م�ن �ِط�اَع� ُّت اَس م�ْن �اِب� َب الَّش� ر� م�َعَّش� �ا ي

اَء5 َو�َج� �ِه� ل �ِه� �َن ف�ِإ

Artinya: Wahai para pemuda siapasaja yang mampu dari kalian maka

menikahlah dan jika tidak mampu (hendaklah) baginya berpuasa, karena puasa

baginya adalah perisai (Hr. Bukhari no. 4677 dan Muslim no. 2486)

Atas dasar ini maka dakwah tidaklah dapat menjadi alasan mubahnya

untuk membujang. Maka apabila seseorang pengemban dakwah yang mampu

secara ekonomi namun tidak menikah maka dia telah melakukan kemakruhan.

Sedangkan apabila memang dia tidak mampu untuk menikah maka mubah

baginya untuk membujang.

Namun yang perlu diingat bahwa seseorang harus yakin bahwa Allah

SWTlah yang Maha mengatur rizki. Bahkan Allah SWT berfirman:

م�ْن �ِه� الَّل �َه�َم� �ْغن ي اَء� ف�َق�ر� �وا �وَن �ك ي �َّن ِإ �َم �ك �م�اِئ َو�ِإ �َم �اِد�ك َع�َب م�ْن �ِح�ْيْن� َو�الَّص�ال �َم ك م�ن �ام�ى ي� اَأْل ك�ِح�وا �َن َو�َأ

�ِه� ْع5 ف�ْضَّل َو�اَس� �ِه� َو�الَّل

�ْيَم5 َع�َّل

Page 3: Hukum Membujang 1

Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-

orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan

hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan

memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya)

lagi Maha Mengetahui (QS. An Nur [24]: 32)

Dan dari Abû Hurayrah RA dari Nabi SAW, beliau bersabda:

فَّي : َوالمجاهد ، اَأْلِداَء يريد الذي المكاتب يَعْينَهَم َأَّن الَّلِه َعَّلى حق ثالثة

يْسُّتَعف َأَّن يريد َوالناكح ، الَّلِه َسَبْيِل

“Ada tiga golongan orang yang wajib bagi Allah untuk menolong mereka:

mukâtab (budak yang mempunyai perjanjian dengan tuannya untuk menebus

dirinya sehingga merdeka) yang ingin membayar tebusan dirinya, seorang

mujahid (yang sedang berperang) di jalan Allah; orang yang menikah karena ingin

menjaga kehormatan; dan (HR al-Hâkim dan Ibn Hibbân)

Oleh karenanya, Islam melarang umatnya hidup membujang laiknya para pendeta. Hidup hanya untuk memuaskan dimensi jiwa saja dan meninggalkan proyek berkeluarga dengan anggapan bahwa berkeluarga akan menjadi penghalang dalam mencapai kepuasan batin. Hal ini merupakan bentuk penyimpangan fitrah manusia yang berkaitan dengan unsur biologis.

Berkeluarga dalam Islam merupakan sunnatullah yang berlaku untuk semua makhluk (kecuali malaikat), baik manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Bahkan ditekankan dalam ajaran Islam bahwa nikah adalah sunnah Rasulullah saw. yang harus diikuti oleh umat ini. Nikah dalam Islam menjadi sarana penyaluran insting dan libido yang dibenarkan dalam bingkai ilahi. Agar kita termasuk dalam barisan umat ini dan menjadi manusia yang memenuhi hak kemanusiaan, maka tidak ada kata lain kecuali harus mengikuti Sunnah Rasul, yaitu nikah secara syar’i. Meskipun ada sebagian Ulama yang sampai wafatnya tidak sempat berkeluarga. Dan ini bukan merupakan dalih untuk melegalkan membujang seumur hidup. Adapun hukumnya sendiri –menurut ulama– bertingkat sesuai faktor yang menyertainya. Coba perhatikan beberapa nash di bawah ini:

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-

Page 4: Hukum Membujang 1

Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.” (An-Nisa: 1)

Ada beberapa faktor yang mendasari urgensinya pembentukan keluarga dalam Islam sebagaimana berikut:

1. Perintah Allah swt.

Membentuk dan membangun mahligai keluarga merupakan perintah yang telah ditetapkan oleh Allah swt. dalam beberapa firman-Nya. Agar teralisasi kesinambungan hidup dalam kehidupan dan agar manusia berjalan selaras dengan fitrahnya. Kata “keluarga” banyak kita temukan dalam Al-Quran seperti yang terdapat dalam beberapa ayat berikut ini;

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (Asy-Syu’ara’: 214)

“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan Bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. kami tidak meminta rezki kepadamu, kamilah yang memberi rezki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (Thaha: 132)

2. Membangun Mas’uliah Dalam Diri Seorang Muslim.

Sebelum seorang berkeluarga, seluruh aktivitasnya hidupnya hanya fokus kepada perbaikan dirinya. Mas’uliah (tanggung jawab) terbesar terpusat pada ucapan, perbuatan, dan tindakan yang terkait dengan dirinya sendiri. Dan setelah membangun mahligai keluarga, ia tidak hanya bertanggungjawab terhadap dirinya saja. Akan tetapi ia juga harus bertanggungjawab terhadap keluarganya. Bagaimana mendidik dan memperbaiki istrinya agar menjadi wanita yang shalehah. Wanita yang memahami dan melaksanakan hak serta kewajiban rumah tangganya. Bagaimana mendidik anak-anaknya agar menjadi generasi rabbani nan qurani. Coba kita perhatikan beberapa hadits berikut ini:

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Sesungguhnya Allah Ta’ala akan meminta pertanggungjawaban kepada setiap pemimpin atas apa yang dipimpinnya, apakah ia menjaga kepemimpinannya atau melalaikannya, sehingga seorang laki-laki ditanya tentang anggota keluarganya.”

Page 5: Hukum Membujang 1

(Hadits gharib dalam Hilayatul Auliya, 9/235, diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam Isyratun Nisaa’, hadits no 292 dan Ibnu Hibban dari Anas dalam Shahihul Jami’, no.1775; As-Silsilah Ash-Shahihah no.1636).

3. Langkah Penting Membangun Masyarakat Muslim

Keluarga muslim merupakan bata atau institusi terkecil dari masyarakat muslim. Seorang muslim yang membangun dan membentuk keluarga, berarti ia telah mengawali langkah penting untuk berpartisipasi membangun masyarakat muslim. Berkeluarga merupakan usaha untuk menjaga kesinambungan kehidupan masyarakat dan sekaligus memperbanyak anggota baru masyarakat.

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)

Dari Anas r.a. berkata: “Rasulullah saw. memerintahkan kami dengan “ba-ah” (mencari persiapan nikah) dan melarang membunjang dengan larangan yang sesungguhnya seraya bersabda: “Nikaihi wanita yang banyak anak dan yang banyak kasih sayang. Karena aku akan berlomba dengan jumlah kamu terhadap para nabi pada hari kiamat.” (Imam Ahmad, dishahihkan Ibnu Hibban. Memiliki “syahid” pada riwayat Abu Dawud, An-Nasaai dan Ibnu Hibban dari hadits Ma’qil bin Yasaar)

4. Mewujudkan Keseimbangan Hidup

Orang yang membujang masih belum menyempurnakan sisi lain keimanannya. Ia hanya memiliki setengah keimanan. Bila ia terus membujang, maka akan terjadi ketidakseimbangan dalam hidupnya, kegersangan jiwa, dan keliaran hati. Untuk menciptakan keseimbangan dalam hidupnya, Islam memberikan terapi dengan melaksanakan salah satu sunnah Rasul, yaitu membangun keluarga yang sesuai dengan rambu-rambu ilahi. Rasulullah saw. bersabda:

Menikah juga bisa menjaga keseimbangan emosi, ketenangan pikiran, dan kenyamanan hati. Rasulullah saw. bersabda:

Dari Abdullah berkata: Rasulullah saw. bersabda kepada kami: “Wahai para pemuda, barangsiapa dari kalian yang memiliki kemampuan, maka hendaklah ia menikah. Karena sesungguhnya menikah itu akan menundukkan pandangan dan memelihara farji (kemaluan). Barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa. Karena puasa itu merupakan benteng baginya. (Imam Muslim)