ii · anak di provinsi papua barat, usia 0 khususnya pada oap2 perlu menjadi prioritas pembangunan...

36
i

Upload: others

Post on 19-Oct-2020

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i

ii

iii

Policy Paper

STRATEGI PENINGKATAN

PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN ANAK

UNTUK ORANG ASLI PAPUA (OAP)

DI PROVINSI PAPUA BARAT

Tim Peneliti:

Widayatun

Zainal Fatoni

Yuly Astuti

Mochammad Wahyu Ghani

Puji Hastuti

Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK)

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Jakarta, 2019

iv

Policy Paper

STRATEGI PENINGKATAN

PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN ANAK

UNTUK ORANG ASLI PAPUA (OAP)

DI PROVINSI PAPUA BARAT

Tim Peneliti: Widayatun Zainal Fatoni Yuly Astuti Mochammad Wahyu Ghani Puji Hastuti

vi + 28 hlm; 21 x 29,7 cm l Desember 2019

Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (IPSK-LIPI)

v

DAFTAR ISI

Ringkasan Eksekutif……………………………………………………………. 1

I. Pengantar ……………………………………………………………………. 2

II. Kondisi dan Permasalahan Kesehatan Ibu dan Anak

di Provinsi Papua Barat ………………………………………………… 5

III. Permasalahan Struktural dan Sosial-Kultural Pelayanan

Kesehatan Ibu dan Anak ………………………………………………. 7

IV. Strategi Peningkatan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak

di Papua Barat: Berdasarkan Siklus Hidup dari Hulu ke

Hilir ………………………………………………………………………….... 13

V. Rekomendasi ………………………………………………………………. 15

Daftar Pustaka ……………………………………………………………………. 19

Lampiran …………………………………………………………………………… 20

vi

1

Policy Paper

STRATEGI PENINGKATAN PELAYANAN

KESEHATAN IBU DAN ANAK

UNTUK ORANG ASLI PAPUA (OAP)

DI PROVINSI PAPUA BARAT

Oleh Tim Peneliti: Widayatun, Zainal Fatoni, Yuly Astuti, Mochammad Wahyu Ghani, dan Puji Hastuti1

Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

(IPSK-LIPI)

Ringkasan Eksekutif

Masalah kesehatan ibu dan anak Orang Asli Papua (OAP) merupakan bagian Hak

Asasi Manusia (HAM), maka pemenuhan terhadap pelayanan kesehatan ibu dan anak

OAP di Papua Barat merupakan pemenuhan terhadap HAM. Policy Paper ini

bertujuan memberikan strategi alternatif untuk peningkatan pelayanan kesehatan ibu

dan anak di Provinsi Papua Barat. Pelayanan kesehatan ibu dan anak menghadapi

berbagai tantangan yang terkait dengan keterbatasan aspek struktural dan sosial-

kultural. Aspek struktural dimanifestasikan dalam bentuk sarana dan prasarana

kesehatan serta permasalahan kelembagaan dan regulasi. Sedangkan hambatan dari

aspek sosial-kultural terkait dengan pengguna layanan kesehatan dari OAP, yakni: adat

dan kebiasaan yang terkait dengan perilaku kesehatan ibu dan anak mulai dari usia

remaja, saat kehamilan, saat persalinan, hingga masa menyusui. Terhadap

permasalahan tersebut direkomendasikan secara struktural dan sosial-kultural dengan

menggunakan pendekatan dari hulu ke hilir berdasarkan siklus hidup untuk

meningkatkan pelayanan.

1 Ucapan terima kasih disampaikan kepada seluruh anggota tim PN Papua, terutama Dra.

Haning Romdiati, MA dan Prof. Dr. Henny Warsilah, serta berbagai narasumber yang

telah memberikan masukan dalam penyusunan policy paper ini.

2

I. Pengantar

Permasalahan kesehatan ibu dan

anak di Provinsi Papua Barat,

khususnya pada OAP2 perlu menjadi

prioritas pembangunan dan terkait

dengan pemenuhan HAM (lihat UUD

1945 Pasal 28H Ayat 1, UU Nomor 39

Tahun 1999 tentang HAM, dan UU

Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan). Kesehatan ibu dan anak

bahkan merupakan bagian dari

instrumen HAM internasional,

misalnya dalam Konvensi Internasional

tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan

Budaya pada Pasal 12 Ayat 1 serta

Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi

Manusia Pasal 25 Ayat 1 dan 2. Dalam

instrumen HAM internasional tersebut,

dinyatakan secara tegas bahwa ibu dan

anak-anak berhak mendapat perawatan

dan bantuan istimewa/khusus.

Pentingnya pelayanan kesehatan

ibu dan anak bagi OAP

dilatarbelakangi oleh kondisi sosial

demografi OAP yang masih berada

2 Dalam pendataan suplemen Sensus

Penduduk 2010 di Provinsi Papua Barat, OAP

mencakup: (1) Penduduk yang kedua orang

tuanya bersuku Papua; (2) Penduduk yang

ayahnya Papua, tetapi ibunya NonPapua; (3)

Penduduk yang ayahnya NonPapua, tetapi

ibunya Papua; (4) Penduduk NonPapua yang

kawin dengan penduduk Papua; (5)

Penduduk NonPapua yang secara adat

diangkat keret/marga Papua; (6) Penduduk

NonPapua yang diterima dan diakui sebagai

penduduk asli Papua; dan (7) Penduduk

NonPapua yang sudah tinggal di Papua

selama 35 tahun lebih (BPS, 2010:8).

pada struktur umur muda. Pada tahun

2010, persentase OAP pada kelompok

usia 0-4 tahun sebesar 13,1 persen,

paling tinggi dibandingkan kelompok

usia lainnya. Demikian pula persentase

perempuan usia reproduksi (15-49

tahun) mencapai 62,6 persen.

Meskipun data tersebut adalah

cerminan kondisi pada hampir satu

dekade yang lalu, diperkirakan kondisi

pada saat ini belum berubah secara

signifikan.3

Berbagai indikator kesehatan ibu

dan anak di Provinsi Papua Barat

masih jauh di bawah angka rata-rata

nasional. Menurut Survei Demografi

dan Kesehatan Indonesia Tahun 2012

(SDKI 2012), Angka Kematian Bayi

(AKB) di Provinsi Papua Barat lebih

dari dua kali angka nasional dan

Angka Kematian Balita (AKABA)

hampir tiga kali angka nasional.

Demikian pula dengan Angka

Kematian Ibu (AKI) diperkirakan juga

tinggi, terutama ibu usia muda.

Rendahnya kondisi kesehatan ibu dan

anak di provinsi ini salah satunya

disebabkan oleh kurangnya

pemanfaatan pelayanan kesehatan

yang ada, baik di tingkat fasilitas

kesehatan dasar maupun di tingkat

fasilitas kesehatan rujukan.

3 Hal ini diindikasikan oleh angka fertilitas total (Total Fertility Rate atau TFR) yang masih tinggi (3,2 anak per wanita pada tahun 2017) (BKKBN, 2018), turun sedikit dari 3,7 anak per wanita pada tahun 2012 (BPS, BKKBN, Kemenkes, & ICF International, 2013).

3

Gambaran

Kesehatan Ibu

dan Anak

Papua

Barat Indonesia

Angka Kematian

Bayi (AKB)

74/1.000

(2012)

34/1.000

(2012)

Angka Kematian

Balita (AKABA)

109/1.000

(2012)

43/1.000

(2012

Angka Kematian

Ibu (AKI)

233/100.000

(2017)

*dilaporkan

305/100.000

kelahiran

(2015)

Prevalensi Balita

Gizi Buruk dan

Kurang

19,2 persen

(2018)

17,7 persen

(2018)

Prevalensi Balita

Stunting

27,8 persen

(2018)

30,8 persen

(2018)

Sumber: BPS, BKKBN, Kemenkes, & ICF

International, 2013; Kementerian

Kesehatan RI, 2019; Dinas Kesehatan

Provinsi Papua Barat, 2018.

Ada dua faktor yang

memengaruhi pemanfaatan pelayanan

kesehatan, yaitu: yang berasal dari

penyedia layanan (supply side) dan

pengguna layanan (demand side). Faktor

penyedia layanan diantaranya adalah

kebijakan dan program, ketersediaan

infrastruktur (sarana dan prasarana

kesehatan serta sarana pendukung),

tenaga kesehatan, dan kualitas

pelayanan. Sedangkan dari sisi

pengguna/masyarakat, faktor yang

memengaruhi untuk memanfaatkan

fasilitas kesehatan seperti kondisi

sosial, budaya, dan ekonomi

masyarakat (Kusuma, Cohen,

McConnell, & Berman, 2016; UNICEF

Indonesia, 2012).

Secara struktural, upaya

pembangunan kesehatan di Papua

Barat juga semakin dimasifkan dengan

dikeluarkannya Instruksi Presiden

(Inpres) Nomor 9 Tahun 2017 tentang

Percepatan Pembangunan

Kesejahteraan di Provinsi Papua dan

Provinsi Papua Barat. Pada bagian

keempat Inpres tersebut, secara spesifik

disebutkan perlunya Kementerian

Kesehatan mempercepat peningkatan

akses dan kualitas pelayanan kesehatan

melalui, antara lain: 1). Pelaksanaan

program peningkatan kesehatan ibu

dan anak serta pengendalian

reproduksi remaja; 2). Pencegahan dan

pengendalian penyakit; 3). Penyediaan

tenaga kesehatan strategis serta

penguatan sistem pelayanan kesehatan

dasar dan rujukan; 4). Peningkatan

gerakan masyarakat hidup sehat; dan

5). Pelayanan kesehatan jarak jauh

dengan memanfaatkan teknologi

komunikasi (telemedicine).

Dalam konteks struktur anggaran,

peningkatan pelayanan kesehatan di

Provinsi Papua Barat bersumber dari

dana Otonomi Khusus (Otsus), Dana

Alokasi Khusus (DAK), dan dana

dekonsentrasi. Dana Otsus untuk

bidang kesehatan ditetapkan sebesar 15

persen dari total dana yang diperoleh

provinsi. Dari 15 persen tersebut,

sebesar 80 persen untuk

kabupaten/kota, sisanya (20 persen)

diatur oleh pemerintah provinsi. Sejak

tahun 2018, dana Otsus untuk bidang

kesehatan di tingkat kabupaten/kota

bertambah menjadi 90 persen dan

hanya 10 persen yang diserahkan

kepada pemerintah provinsi. DAK

dialokasikan untuk pembangunan fisik

dan non fisik. Pembangunan fisik

diantaranya adalah afirmasi untuk

4

pembangunan Puskesmas dan Rumah

Sakit Pratama di Daerah Tertinggal,

Perbatasan dan Kepulauan (DTPK)

serta peralatan pendukungnya.

Sementara itu, pembangunan nonfisik

disalurkan untuk Bantuan Operasional

Kesehatan (BOK), Akreditasi

Puskesmas, serta Jaminan persalinan

(Jampersal).

Berbagai kebijakan, program, dan

dukungan sumber pendanaan untuk

meningkatkan pelayanan kesehatan ibu

dan anak di Provinsi Papua Barat telah

banyak diupayakan, namun capaian

peningkatan kondisi kesehatan ibu dan

anak masih belum optimal. Selain AKI,

AKB, dan AKABA yang masih tinggi,

kondisi kesehatan balita juga belum

menunjukkan perkembangan yang

cukup berarti. Prevalensi balita gizi

kurang dan buruk mencapai 19,2

persen, di atas angka nasional.

Prevalensi balita yang pendek dan

sangat pendek (stunting) angkanya

sedikit di bawah angka nasional, yaitu

sekitar 27,8 persen.

Berdasarkan permasalahan

tersebut, Kedeputian Bidang Ilmu

Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan

– Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia (IPSK-LIPI) melalui Tim

Prioritas Nasional (PN) Papua

melakukan penelitian yang bertujuan

merumuskan strategi untuk

meningkatkan pelayanan kesehatan

Orang Asli Papua (OAP). Kajian

difokuskan di Kabupaten Tambrauw

dan Kabupaten Sorong, serta didukung

pengumpulan data/informasi di Kota

Sorong, di ibukota provinsi (Kota

Manokwari), dan di tingkat pusat

(Jakarta). Kabupaten Tambrauw

mewakili wilayah Provinsi Papua Barat

yang mayoritas penduduknya adalah

OAP dengan kondisi sarana dan

prasarana (infrastruktur) kesehatan

masih terbatas.

Metode pengumpulan data

dilakukan melalui wawancara terbuka,

diskusi terpumpun (focus group

discussion atau FGD), dan observasi

(pengamatan). Wawancara terbuka

dilakukan dengan ibu hamil, ibu

menyusui, tokoh perempuan, tokoh

masyarakat, tokoh agama, tokoh adat,

petugas kesehatan, pengelola

Puskesmas. Wawancara terbuka juga

dilakukan dengan berbagai pemangku

kepentingan di tingkat provinsi dan

kabupaten/kota diantaranya: Badan

Perencanaan Pembangunan Daerah

(Bappeda), Dinas Kesehatan, serta

Dinas Kependudukan dan

Pemberdayaan Perempuan. FGD yang

dilakukan di Jakarta, Manokwari, dan

Kota Sorong melibatkan berbagai

narasumber dari berbagai pemangku

kepentingan seperti Badan

Perencanaan Pembangunan Nasional

(Bappenas), Kementerian Kesehatan,

serta akademisi dan pemerhati Papua.

5

II. Kondisi dan Permasalahan Kesehatan Ibu dan Anak di Provinsi

Papua Barat

Data statistik tentang kondisi

kesehatan ibu dan anak yang spesifik

pada OAP di Provinsi Papua Barat

belum tersedia. Oleh karena itu, kajian

ini menggunakan data Indeks

Pembangunan Kesehatan Masyarakat

(IPKM Tahun 2013 dan 2018) dan data

publikasi pendataan penduduk asli

Papua pada Sensus Penduduk Tahun

2010. Data IPKM dikorelasikan dengan

data persentase OAP di masing-

masing kabupaten/kota di Provinsi

Papua Barat. Dari hasil penghitungan

korelasi antara data IPKM dan data

persentase penduduk OAP didapatkan

gambaran tentang pemetaan kondisi

IPKM, termasuk didalamnya indeks

kesehatan ibu dan anak serta indeks

pelayanan kesehatan menurut

kabupaten/kota di Provinsi Papua

Barat.

Indeks Kesehatan Reproduksi

Indeks kesehatan reproduksi4 di

Provinsi Papua Barat menunjukkan

peningkatan dari 0,34 menjadi 0,45

selama kurun waktu 2013 sampai 2018.

Namun kenaikan tersebut belum dapat

melampaui kenaikan indeks di tingkat

4 Indikator untuk mengukur indeks kesehatan

reproduksi adalah: Penggunaan alat kontrasepsi (MKJP), yaitu proporsi Pasangan Usia Subur (PUS) umur 15-49 tahun yang menggunakan alat kontrasepsi dengan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP); Pemeriksaan kehamilan (K4: 1-1-2), yaitu proporsi Wanita Usia Subur (WUS) 10-54 tahun yang melakukan pemeriksaan kehamilan oleh tenaga kesehatan dengan frekuensi minimal 1 kali pada trimester pertama, minimal 1 kali pada trimester kedua, dan minimal 2 kali pada trimester ketiga (K4); Kurang Energi Kronis (KEK) pada WUS, yaitu proporsi WUS umur 15-49 tahun (hamil dan tidak hamil) yang KEK.

6

nasional5. Hal ini menggambarkan

bahwa kondisi kesehatan reproduksi

Provinsi Papua Barat pada tahun 2018

lebih rendah dari kondisi kesehatan

reproduksi secara umum di Indonesia

pada tahun 2013.

Pemetaan indeks kesehatan

reproduksi menunjukkan pola bahwa

kabupaten dengan persentase OAP

tinggi cenderung mempunyai indeks

kesehatan reproduksi yang rendah.

Pada tahun 2013, terdapat empat

kabupaten yang persentase penduduk

OAP-nya cukup tinggi dengan indeks

kesehatan reproduksi rendah.

Keempat kabupaten tersebut adalah:

Tambrauw, Maybrat, Sorong Selatan,

dan Raja Ampat. Pada tahun 2018,

terdapat sedikit pergeseran;

Kabupaten Raja Ampat, yang pada

tahun 2013 indeks kesehatan

reproduksinya di bawah rata rata

provinsi, naik cukup signikan dan

berada di atas rata rata provinsi.

Sebaliknya, indeks kesehatan

reproduksi di Kabupaten Teluk

Wondama yang pada tahun 2013

berada di atas rata-rata provinsi

menurun menjadi di bawah rata rata

provinsi pada tahun 2018.

Indeks Kesehatan Balita

Perkembangan indeks kesehatan

balita6 di Provinsi Papua Barat lebih

5 Indeks kesehatan reproduksi di tingkat nasional tahun 2013 sebesar 0,45 dan tahun 2018 adalah 0,57.

6 Indeks kesehatan balita disusun berdasarkan enam indikator, yaitu: Balita gizi buruk dan kurang; Balita sangat pendek dan pendek; Balita gemuk; Penimbangan balita,

lambat dari perkembangan indeks

kesehatan reproduksi. Selama lima

tahun terakhir indeks hanya naik

sebesar 0,02. Pada tahun 2013 indeks

kesehatan balita Provinsi Papua Barat

sebesar 0,58 naik menjadi 0,60 pada

tahun 2018. Enam kabupaten dengan

persentase OAP cukup tinggi (di atas

53 persen) mempunyai indeks

kesehatan balita yang rendah. Hasil

pemetaan ini memberikan implikasi

perlunya lebih memperhatikan

pengembangan inovasi program dan

kegiatan untuk meningkatkan

kesehatan balita di enam kabupaten

yang mempunyai proporsi penduduk

OAP tinggi, terutama Kabupaten

Teluk Wondama, Tambrauw, dan

Maybrat.

Indeks Pelayanan Kesehatan

Ketersediaan pelayanan

kesehatan menjadi salah satu faktor

yang memengaruhi perilaku kesehatan

ibu dan pengasuhan anak. Untuk

mengetahui kondisi pelayanan

kesehatan pada suatu daerah telah

dikembangkan indeks pelayanan

kesehatan yang merupakan subindeks

dari IPKM7. Indeks pelayanan

Kunjungan Neonatal (KN1), dan imunisasi dasar lengkap

7 Indikator yang digunakan untuk mengukur

indeks pelayanan kesehatan adalah:

Persalinan oleh tenaga kesehatan di fasilitas

kesehatan, Proporsi kecamatan dengan

kecukupan jumlah dokter per penduduk,

Proporsi desa dengan kecukupan posyandu

per desa, Proporsi desa dengan kecukupan

jumlah bidan per penduduk, dan

Kepemilikan Jaminan Pelayanan Kesehatan.

7

kesehatan di Provinsi Papua Barat

pada periode 2013-2018 mengalami

peningkatan dari 0,32 menjadi 0,38.

Nilai indeks pelayanan kesehatan di

provinsi ini tahun 2018 sama dengan

nilai indeks pelayanan kesehatan di

Indonesia tahun 2013. Artinya kondisi

pelayanan kesehatan di Papua Barat

tahun 2018 sama dengan kondisi

pelayanan kesehatan secara umum di

Indonesia pada tahun 2013.

Hasil pemetaan indeks pelayanan

kesehatan berdasarkan persentase

penduduk OAP pada tiap

kabupaten/kota menunjukkan pola

yang sama dengan indeks kesehatan

balita dan kesehatan reproduksi.

Kabupaten dengan persentase OAP

tinggi mempunyai indeks pelayanan

kesehatan rendah. Dari 6 kabupaten

yang mempunyai persentase

penduduk OAP tinggi (di atas rata rata

provinsi 53 persen), terdapat 4

kabupaten dengan indeks pelayanan

kesehatan rendah (di bawah rata rata

provinsi 0,32). Keempat kabupaten

tersebut adalah: Kabupaten

Tambrauw, Sorong Selatan, Maybrat,

dan Manokwari.

III. Permasalahan Struktural dan Sosial-Kultural Pelayanan

Kesehatan Ibu dan Anak

Keterbatasan dan Tantangan

Struktural Pelayanan Kesehatan

Ibu dan Anak

Pelayanan kesehatan ibu dan

anak di Provinsi Papua Barat masih

menghadapi keterbatasan dan

tantangan yang terkait dengan kondisi

geografis yang sulit dijangkau,

persebaran penduduk yang tidak

merata, rendahnya ketersediaan

infrastruktur, akses informasi yang

terbatas, dan keterbatasan sumber

daya kesehatan yang dapat

menjangkau wilayah terpencil.

Tingginya biaya operasional

pelayanan dan belum optimalnya

dukungan pemerintah daerah juga

berpengaruh terhadap pelayanan

kesehatan. Berbagai tantangan dan

keterbatasan tersebut sudah

terindentifikasi sejak lama dan sampai

sekarang masih dihadapi.

Sebagai upaya meningkatkan

kualitas dan kuantitas pelayanan

Puskesmas, pemerintah memberikan

Dana Alokasi Khusus (DAK) Afirmasi

Puskesmas untuk membangun

Puskesmas secara komprehensif yang

meliputi gedung Puskesmas, Instalasi

Pengolahan Air Limbah (IPAL), air

bersih, ambulans, genset, jaringan

komunikasi, dan rumah tenaga

kesehatan. Untuk mewujudkan

Puskesmas yang komprehensif

tersebut dibutuhkan lahan yang

luasnya memadai. Akibatnya,

8

Puskesmas cenderung dibangun di

wilayah yang jauh dari pemukiman

penduduk dengan infrastruktur jalan

dan sarana transportasi (moda

angkutan) terbatas. Selain itu,

pembangunan Puskesmas yang jauh

dari pemukiman penduduk

berimplikasi pada keterbatasan sarana

pendukung pelayanan, seperti

ketersediaan air, listrik, dan jaringan

komunikasi serta perumahan bagi

rumah tenaga kesehatan.

Pembangunan Puskesmas di wilayah

yang jauh dari pemukiman penduduk

juga menimbulkan adanya ancaman

dan gangguan keamanan yang

memengaruhi kenyamanan petugas

kesehatan.

Puskesmas di Provinsi Papua

Barat, khususnya di Kabupaten

Tambrauw dan Sorong, masih

menghadapi persoalan klasik, yaitu

kekurangan tenaga kesehatan.

Permenkes Nomor 75 Tahun 2014

tentang Pusat Kesehatan Masyarakat

menyatakan bahwa Puskesmas

sekurang kurangnya mempunyai 1

(satu) dokter umum, 1 (satu) dokter

gigi, 5 (lima) perawat, dan 4 (empat)

bidan serta tenaga kesehatan lainnya,

seperti tenaga laboratorium, gizi, dan

farmasi. Namun pada kenyataannya,

beberapa Puskesmas di Kabupaten

Sorong dan Tambrauw hanya dilayani

oleh bidan dan perawat. Kekurangan

tenaga kesehatan ini antara lain terkait

dengan keterbatasan fasilitas

perumahan dan sarana pendukung

lainnya yang menyebabkan

permintaan pindah tugas oleh petugas

kesehatan dari Puskesmas di daerah

terpencil ke Puskesmas yang wilayah

kerjanya dekat dengan daerah

perkotaan. Kondisi ini menyebabkan

distribusi petugas kesehatan di tingkat

kabupaten menjadi timpang. Petugas

kesehatan di Puskesmas yang terletak

di pinggiran perkotaan memiliki

kelebihan tenaga kesehatan.

Sebaliknya, Puskesmas yang ada di

wilayah terpencil dan sangat terpencil

mengalami kekurangan tenaga

kesehatan.

Sosial-Kultural Pemanfaatan

Pelayanan Kesehatan Ibu dan

Anak

Faktor sosial budaya yang

memengaruhi perilaku kesehatan ibu

dan anak dalam mengakses dan

mendapatkan pelayanan kesehatan di

Provinsi Papua Barat sangat kompleks

dan terjadi pada tahapan kehidupan,

mulai dari remaja, ibu hamil, ibu

bersalin, sampai dengan ibu menyusui

(pasca persalinan). Pengaruh faktor

adat istiadat dan budaya pada setiap

tahapan kehidupan berimplikasi pada

kondisi kesehatan perempuan pada

setiap siklus kehidupan, yang pada

akhirnya bermuara pada kondisi

kesehatan ibu dan anak.

Faktor sosial budaya yang memengaruhi perilaku kesehatan

ibu dan anak sangat kompleks dan terjadi pada setiap tahapan siklus hidup: dari remaja, ibu hamil, ibu

bersalin dan ibu menyusui.

9

Masa Remaja

Permasalahan penduduk usia

remaja yang sedang menjadi perhatian

di Provinsi Papua Barat adalah

meningkatnya kasus pernikahan dini.

Badan Kependudukan dan Keluarga

Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi

Papua Barat merilis data tentang

pernikahan dini, yaitu terdapat 44

diantara 1.000 remaja perempuan

berusia 15-19 tahun di Papua Barat

pernah menikah atau melakukan

hubungan seks pranikah. Ini sejalan

dengan pernyataan Kementerian

Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak (KPPPA), melalui

Menteri Yohana Susan Yembise, yakni

perkawinan anak di Papua dan Papua

Barat cukup tinggi. Di beberapa

daerah ditemui anak-anak usia 10-16

sudah menikah (Erdianto, 2018).

Pernikahan dini berdampak pada

kesehatan reproduksi perempuan

karena secara mental dan fisik belum

siap untuk hamil. Kehamilan risiko

tinggi yang mengancam keselamatan

ibu dan janin terjadi pada perempuan

yang hamil terlalu muda dan terlalu

tua. Mahalnya biaya mas kawin

menjadi kendala bagi pasangan untuk

menikah walaupun mereka telah

melakukan seks pranikah. Terdapat

praktik adat untuk tidak menikahkan

kedua belah pihak sebelum maskawin

dibayarkan oleh pihak laki-laki. Jika

terjadi hubungan seks pranikah atau

perceraian, maka pihak perempuan

yang akan menanggung akibatnya

(Widjoyo, 2012). Kondisi dan praktik

adat ini menyebabkan beban

perempuan semakin berat. Jika

seorang perempuan muda hamil dan

belum dinikahkan karena terhambat

dengan mahalnya maskawin, maka dia

akan menjadi orang tua tunggal untuk

anaknya. Ketidakmampuan ekonomi

dan kurangnya pengetahuan tentang

pentingnya menjaga kesehatan selama

kehamilan menjadi kendala bagi

perempuan untuk mengakses

pelayanan kesehatan selama

kehamilan, seperti pemeriksaan

kehamilan dan pemenuhan gizi selama

hamil.

Perkawinan usia dini dan seks pranikah di Papua Barat cukup

tinggi, menjadikan beban perempuan semakin berat dan

berdampak pada perilaku dalam mengakses pelayanan kesehatan.

Masa Kehamilan

Secara umum, perempuan hamil

di Kabupaten Sorong dan Tambrauw

masih melakukan aktifitas di ladang,

mulai dari menanam hingga

memanen, kemudian menjual hasil

ladang atau mengolahnya menjadi

bahan makan untuk keluarga.

Padatnya waktu untuk bekerja di

kebun dan mempersiapkan makanan

untuk keluarganya menyebabkan ibu

hamil kurang mempunyai waktu

untuk berkunjung ke Posyandu atau

Puskesmas untuk memeriksakan

kehamilannya. Ibu hamil di Papua

Barat juga mempunyai pandangan

10

bahwa bekerja keras hingga hamil tua

akan mempermudah proses kelahiran.

Interpretasi tentang ibu hamil,

melahirkan, dan nifas di Papua Barat

diperoleh dari pemahaman dan

pengetahuan kebudayaan secara turun

temurun. Pengetahuan tersebut

didasarkan atas perilaku leluhur dan

orang tua mereka sejak dahulu sampai

sekarang. Kehamilan adalah suatu

proses alamiah dan bukan suatu

penyakit. Oleh karenanya, ibu hamil

harus taat pada pantangan-pantangan

secara adat, dan bila dilanggar akan

menderita sakit. Apabila ibu

mengalami gangguan pada

kehamilannya, biasanya dukun

perempuan akan melakukan

penyembuhan dengan membacakan

mantera dan diberikan ramuan

tradisional yang bersifat rahasia dan

diperoleh secara turun temurun

(Dumatubun, 2002). Hasil kajian di

Kabupaten Tambrauw dan Sorong

menunjukkan bahwa pantangan-

pantangan terkait ibu hamil tersebut

masih diyakini oleh sebagian

penduduk yang tinggal di wilayah

pegunungan. Hasil penelitian juga

mengonfirmasi temuan studi

sebelumnya, ibu hamil yang tinggal di

wilayah pegunungan memilih untuk

mencari pertolongan ke dukun.

Masa Persalinan

Beberapa studi sebelumnya

menemukan pengaruh budaya dan

kebiasaan terkait dengan persalinan di

kalangan masyarakat Papua Barat

yang masih dipercaya dan diterapkan

dalam kehidupan sehari-hari. Seiring

dengan perkembangan informasi dan

teknologi, berbagai kebiasaan dan

budaya tersebut bervariasi ada yang

mengalami pergeseran, tetapi ada pula

yang masih dipegang teguh oleh

masyarakat (Alwi, 2007). Seperti

halnya dengan kepercayaan penduduk

terhadap manfaat pengobatan

tradisional yang ditemukan di

Kabupaten Tambrauw. Umumnya

penduduk cenderung lebih percaya

pada dukun (biasanya adalah orang

yang masih memiliki hubungan

keluarga atau kerabat) untuk

membantu persalinan. Adanya

keyakinan persalinan sangat dekat

kaitannya dengan organ reproduksi,

maka hanya orang terdekat yang

diperbolehkan membantu proses

tersebut, karena menyangkut organ

tubuh yang bersifat pribadi. Dalam hal

ini masyarakat menganggap tabu

untuk membuka paha (yang

dipertimbangkan sebagai organ tubuh

yang sangat pribadi) kepada orang

luar (termasuk tenaga kesehatan).

Masyarakat meyakini bahwa proses persalinan menyangkut organ tubuh yang bersifat pribadi, hanya orang

terdekat yang diperbolehkan membantu. Tenaga kesehatan dianggap sebagai orang luar.

Kepercayan lainnya yang

diperoleh berdasarkan pengalaman

hidup para orang tua yang secara

turun temurun adalah “setiap anak

11

mempunyai hari, tanggal, dan jam

kelahirannya sendiri”. Kepercayaan

ini masih dipegang oleh sebagian

masyarakat Kokoda yang tinggal di

Mayamuk dan Aimas. Oleh karena itu,

masyarakat meyakini siapapun dapat

menolong persalinan, tidak harus

dilakukan oleh tenaga kesehatan, dan

bayi akan lahir selamat. Jika ibu atau

bayi meninggal, hal tersebut sudah

menjadi kehendak Tuhan

(“Fatalistik”).

Kebiasaan bersalin di rumah

dengan bantuan dukun telah menjadi

tradisi turun temurun bagi hampir

seluruh perempuan hamil di Papua

Barat.Walaupun tradisi tersebut sudah

mulai bergeser karena makin

tersedianya fasilitas dan tenaga

kesehatan, terutama di wilayah

perkotaan serta wilayah yang sudah

terbuka aksesnya. Proses melahirkan

di rumah dan ditolong oleh dukun

pada sebagian masyarakat Papua Barat

mengikuti serangkaian aturan yang

berbeda-beda menurut suku. Salah

satu aturan adat tersebut adalah

pemotongan tali pusat setelah bayi

dilahirkan dianggap sebagai suatu

proses sakral. Oleh karena itu,

pelaksanaannya harus menunggu

kehadiran orang yang dituakan,

seperti mama (ibu kandung), mama

mertua (ibu mertua), dan orang yang

dianggap berpengaruh dalam

keluarga. Prosesi pemotongan tali

pusat seperti ini masih ditemukan di

kalangan Suku Abun di Distrik Kwoor,

Kabupaten Tambrauw. Berdasarkan

Pedoman Pelayanan Kesehatan

Neonatal Esensial, pemotongan dan

pengikatan tali pusat sebaiknya

dilakukan sekitar 2 (dua) menit setelah

bayi lahir. Hal ini bermanfaat untuk

memberikan waktu yang cukup untuk

tali pusat mengalirkan darah dan zat

besi yang terdapat dalam plasenta ke

bayi (Kemenkes, 2010). Adanya

budaya menunggu kehadiran keluarga

(umumnya lebih dari 2 menit)

berpotensi mengakibatkan gangguan

kesehatan pada bayi, seperti risiko

penyakit kuning pada bayi.

Pasca Persalinan

Kepercayaan dan keyakinan yang

masih dilakukan dalam kehidupan

sehari hari terkait dengan pengasuhan

anak, diantaranya bayi tidak boleh ke

luar kamar sebelum berusia 2 bulan.

Alasannya, bayi masih „bau amis‟ dan

„akan mudah diganggu oleh makhluk

halus‟ apabila belum berusia dua

bulan di bawa ke luar rumah.

Kepercayaan ini menjadi hambatan

untuk melakukan pemeriksaan

neonatal, yaitu pemeriksaan dan

pemantauan perkembangan kesehatan

bayi yang dianjurkan oleh Kemenkes.

Selain itu, sebagian masyarakat masih

mempraktikkan pantangan makan

untuk bayi dan ibu menyusui. Praktik

ini menjadi hambatan bagi bayi dan

balita untuk mendapatkan asupan gizi

yang diperlukan.

Permasalahan sosial lainnya di

Papua Barat yang saat ini sedang

menjadi perhatian dan menjadi

sorotan dari KPPPA adalah

meningkatnya kasus kekerasan

12

terhadap perempuan. Dari data tindak

kekerasan di seluruh Indonesia,

Provinsi Papua Barat dan Papua

menempati urutan tertinggi

(http://rri.co.id).

Tindak kekerasan terhadap perempuan di Papua Barat cukup tinggi.

Berdampak pada kondisi fisik dan psikis perempuan serta memengaruhi perilaku kesehatannya.

Tindak kekerasan ini disebabkan

oleh berbagai faktor pemicu yang

tidak terlepas dari faktor sosial budaya

dan ekonomi. Kekerasan terhadap

perempuan dan anak di Papua Barat

bersumber dari adat dan konstruksi

tradisional tentang kesetaraan gender.

Konstruksi adat melemahkan posisi

perempuan di dalam keluarga,

misalnya, pembagian kerja domestik

yang tidak adil, sistem denda,

maskawin, serta eksklusi perempuan

dari proses pengambilan keputusan di

dalam adat. Konflik di “dalam rumah”

juga seringkali mengakibatkan

kekerasan dalam rumah tangga oleh

orang-orang terdekat, terutama para

suami dan saudara laki-laki. Berbagai

tindak kekerasaan terhadap

perempuan yang terjadi di Papua

Barat juga terkait dengan

meningkatnya peredaran uang di

masyarakat sebagai dampak dari

adanya berbagai dukungan dana yang

tersedia. Banyaknya dana bantuan

yang diterima masyarakat

dimanfaatkan dengan cara yang salah,

yakni membelanjakannya untuk

membeli minuman keras (Widjoyo,

2012). Berbagai media juga sudah

banyak yang mempublikasikan

adanya kaitan antara kebiasaan

minum minuman keras dan kasus

kekerasan dalam rumah tangga

(https://www.republika.co.id).

Kekerasan terhadap perempuan

dalam rumah tangga juga berdampak

pada kesehatan ibu dan anak. Hal

tersebut terkait dengan kesehatan fisik

dan mentalnya selama masa

kehamilan dan menyusui. Ibu hamil

selain perlu memelihara kesehatan

fisiknya melalui pemeriksaan rutin

selama kehamilan, juga perlu menjaga

kesehatan emosional untuk

mempersiapkan persalinan dengan

baik. Adanya kekerasan rumah tangga

akan menyebabkan kondisi kesehatan

fisik dan mental ibu hamil menjadi

terganggu dan berpengaruh pada

kesehatan bayi yang ada dalam

kandungan.

Isu kesetaraan gender menjadi aspek mendasar dari eksistensi faktor sosial budaya yang memengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan yang terjadi di setiap tahapan siklus hidup.

Faktor sosial budaya yang

memengaruhi pemanfaatan pelayanan

kesehatan terjadi pada setiap tahapan

siklus hidup perempuan (remaja, ibu

hamil, bersalin, dan menyusui) di

Papua Barat. Isu ketidaksetaraan

gender menjadi aspek mendasar dari

eksistensi faktor sosial budaya yang

13

berkembang di masyarakat. Ketiadaan

otonomi perempuan dalam

pengambilan keputusan berdampak

terhadap kesehatan diri perempuan

dan anaknya.

IV. Strategi Peningkatan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di

Papua Barat: Berdasarkan Siklus hidup dari Hulu ke Hilir

Permasalahan kesehatan ibu

dan anak di Papua Barat sangat

kompleks, dimulai dari kondisi remaja

putri, ibu hamil, melahirkan dan pasca

melahirkan (masa nifas). Faktor yang

mempengaruhi perilaku kesehatan ibu

beragam, meliputi akses terhadap

fasilitas kesehatan dasar dan rujukan,

kondisi sosial budaya masyarakat

(adat, kepercayaan, keyakinan) terkait

kehamilan, persalinan dan

pengasuhan anak serta posisi

perempuan di dalam keluarga dan

masyarakat (otonomi perempuan).

Oleh karena itu, pendekatan

pelayanan kesehatan ibu dan anak

perlu menggunakan pendekatan

continuum of care (siklus hidup) dari

hulu ke hilir.

Program di Sektor Hulu

Program dan kegiatan di hulu

ditujukan untuk mengatasi hambatan

tidak langsung dan mendasar yang

memengaruhi masyarakat dalam

mengakses pelayanan kesehatan.

Hambatan yang bersifat tidak

langsung adalah masih kentalnya

faktor sosial budaya (adat, kebiasaan

dan kepercayaan) terkait dengan

kehamilan, pemeriksaan kehamilan,

persalinan dan pasca persalinan yang

masih diyakini oleh masyarakat.

Persoalan mendasar yang menjadi

kendala pemanfaatan pelayanan

kesehatan ibu dan anak di Papua Barat

adalah isu gender, khususnya otonomi

perempuan dalam pengambilan

keputusan terkait kesehatan diri dan

anaknya.

Program di Hilir

Program di hilir bertujuan untuk

meningkatkan pelayanan klinis di

fasilitas kesehatan dasar (Puskesmas)

dan rujukan (Rumah Sakit) untuk

memberikan pelayanan kesehatan

dasar, reproduksi untuk remaja, ibu

hamil, melahirkan, pasca kelahiran.

Upaya peningkatan pelayanan

kesehatan di hilir menemui beberapa

kendala, diantaranya: kondisi

geografis yang sulit dengan prasarana

jalan dan transportasi yang terbatas;

ketersediaan sarana penunjang

pelayanan (listrik, air dan jaringan

komunikasi) yang masih terbatas,

belum memadainya alat kesehatan dan

obat-obatan serta keterbatasan

kuantitas dan kualitas tenaga

kesehatan sesuai dengan standar

pelayanan kesehatan di Puskesmas.

14

Pemangku Kepentingan

Pemangku kepentingan utama

dalam hal ini adalah Bappenas,

Kementerian Kesehatan RI dan

jajarannya di tingkat provinsi,

kabupaten/kota, dan KPPPA serta

sektor terkait lainnya. Namun, dalam

pelaksanaannya berfokus pada

kegiatan yang ada di tingkat

kabupaten/kota. Fokus ini penting

karena berbagai tindakan operasional

berada di level kabupaten/kota. Di

tingkat kabupaten/kota Dinas

Kesehatan berkoordinasi dengan

pemerintah daerah (Kepala Daerah,

DPRD), Bappeda dan sektor terkait

lainnya. Pemerintah provinsi dan

pusat berperan sangat penting sebagai

pendukung kebijakan, penyedia

dana/anggaran, pendistribusian

sumber daya manusia petugas

kesehatan, pembimbingan teknis, serta

manajemen pengelolaan program.

Strategi Peningkatan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di Papua Barat

Berdasarkan Siklus Hidup dari Hulu ke Hilir

Intervensi Program dan Kegiatan :

Bersifat promotif dan preventif untuk mengatasi permasalahan

kesehatan terkait sosial-budaya (adat, kepercayaan dan keyakinan)

dan sistem sosial di masyarakat, isu gender (posisi perempuan dalam

keluarga dan masyarakat), otonomi perempuan.

Hulu

Pemangku Kepentingan:

Pemerintah Pusat (Bappenas), Pemerintah Provinsi, Pemerintah

Daerah Kabupaten/Kota (Kepala Daerah, DPRD, Bappeda), KPPPA

dan jajarannya, Dinas Kesehatan, Lintas sektor, akademisi, organisasi

profesi, LSM dan tokoh masyarakat (formal, adat dan agama).

Remaja Perempuan Ibu Hamil Ibu Bersalin Ibu Menyusui

Intervensi Program dan Kegiatan:

Bersifat klinis untuk mengatasi permasalahan untuk

meningkatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak

Pembangunan infrastruktur kesehatan dan pendukungnya

Hilir

Pemangku Kepentingan:

Kemenkes, Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota bersama dengan Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota

Sumber: Dikembangkan berdasarkan Sines dkk., 2006; Trisnantoro, 2011.

15

Strategi peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan anak di Papua Barat:

Menggunakan pendekatan siklus hidup dari hulu ke hilir.

Partisipatif. Mengakomodasi unsur lokal. Kemitraan dengan pemangku

kepentingan.

Kemitraan

Untuk mendapatkan hasil yang

optimal dan mengingat

keterbatasan sumber dana dan

sumber daya manusia, dalam

pelaksanaanya diperlukan

kemitraan dengan pemangku

kepentingan lainnya, seperti

akademisi, organisasi profesi,

organisasi pemuda, kelompok

pemerhati kesehatan, lembaga

swadaya masyarakat, dunia usaha

dan tokoh masyarakat lokal

(agama, adat) untuk mengatasi

permasalahan kesehatan ibu dan

anak di Provinsi Papua Barat.

V. Rekomendasi

Pelayanan kesehatan ibu dan

anak diajukan dalam dua level, yakni

level struktural dan level sosial

kultural, baik dari sisi penyedia

maupun pengguna layanan, serta

dengan memperhatikan pendekatan

siklus hidup. Level struktural untuk

mengatasi permasalahan kesehatan

ibu dan anak di sektor hilir, sedangkan

level sosial-kultural untuk

menindaklanjuti berbagai faktor yang

memengaruhi kesehatan ibu dan anak

di sektor hulu.

Level Struktural

Sebagai upaya untuk mengatasi

permasalahan-permasalahan terkait

faktor yang memengaruhi pelayanan

kesehatan ibu dan anak di Provinsi

Papua Barat, beberapa rekomendasi

diusulkan untuk menjadi

pertimbangan dalam penyusunan

kebijakan. Ada beberapa program dan

kegiatan yang harus dilaksanakan

dalam jangka pendek (0-5 tahun),

yaitu untuk mengatasi masalah di

hilir.

Keterbatasan prasarana dan

sarana kesehatan dan pendukungnya

(jalan, alat transportasi, ketersediaan

air listrik, jaringan komunikasi,

kekurangan tenaga kesehatan dan

distribusinya yang tidak merata)

adalah prioritas yang harus dikerjakan

dalam waktu yang pendek:

Pemerintah Kabupaten/Kota

merencanakan dan mengalokasikan

dana pembangunan jalan

(kabupaten, kampung/desa) untuk

mempermudah akses masyarakat

16

dan petugas kesehatan terhadap

tempat pelayanan kesehatan.

Pemerintah Kabupaten/Kota

menjamin ketersediaan dan suplai

listrik, air, dan jaringan komunikasi

di fasilitas kesehatan (Pukesmas,

Pustu, dan Polindes). Selain itu,

Puskesmas juga harus terkoneksi

dengan jaringan telekomunikasi

untuk terlaksananya program

pelayanan kesehatan melalui

telemedicine (USG dan EKG).

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

menjamin ketersediaan dan

kelengkapan alat kesehatan dan

obat (jumlah dan kualitas) di

fasilitas kesehatan, seperti

Puskesmas, Pustu, Polindes.

Penyediaan alat USG di Puskesmas

menjadi salah satu kebutuhan

mendesak agar kejadian komplikasi

kehamilan dapat dicegah.

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

melanjutkan kebijakan insentif dan

penyediaan rumah tinggal bagi

petugas kesehatan di wilayah

terpencil dan sangat terpencil,

sebagai upaya meningkatkan daya

tarik bagi tenaga kesehatan untuk

menjalankan tugas di wilayah

terpencil dan sangat terpencil.

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

secara periodik melaksanakan

“rolling” (perputaran) tenaga

kesehatan untuk ditempatkan di

Puskesmas yang terpencil dan

sangat terpencil.

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

meningkatkan kerjasama dengan

Fakultas Kedokteran di berbagai

universitas dan Organisasi Profesi

(IDI) untuk pelayanan kesehatan di

wilayah masing-masing, misalnya

dalam bentuk bakti sosial atau

pengabdian masyarakat.

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

meningkatkan kerjasama dengan

perusahaan swasta yang potensial

dalam penyediaan dana Corporate

Social Responsibility (CSR) untuk

pelayanan kesehatan di wilayahnya.

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

meningkatkan kerjasama

(kemitraan) dengan Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM),

kelompok organisasi pemuda,

organisasi keagamaan untuk

kegiatan pembimbingan dan

pendampingan di masyarakat

dalam meningkatkan pemanfaatan

pelayanan kesehatan ibu dan anak.

Kemitraan antarpemangku

kepentingan yang telah dilakukan

melalui kegiatan Posyandu dan

pemberdayaan kader kesehatan di

beberapa kampung di Distrik

Klamono, Kabupaten Sorong dapat

menjadi pembelajaran (lesson

learned) bahwa program pelayanan

kesehatan ibu dan anak mampu

memberikan hasil yang optimal

apabila dilakukan melalui

kemitraan dan melibatkan

masyarakat lokal dalam

pelaksanaannya.

17

Level Sosial Kultural

Tantangan besar faktor sosial –

budaya terkait dengan pemanfaatan

pelayanan kesehatan memerlukan

“politicall will” dari pemerintah pusat

dan daerah. Penyusunan kebijakan

dan program jangka menengah dan

panjang harus melibatkan berbagai

pemangku kepentingan, dimulai

dengan penyusunan desain kesehatan

ibu dan anak, dilanjutkan dengan peta

jalan (Road Map) kebijakan dan

program yang melibatkan pemerintah

dan masyarakat:

Badan Perencanaan Pembangunan

Nasional (Bappenas) menyusun

desain pembangunan sektor

kesehatan dengan fokus perhatian

pada kesehatan ibu dan anak di

Provinsi Papua Barat melalui proses

dialog yang inklusif, sehingga

semua pihak merasa memiliki dan

berkomitmen untuk melaksanakan

mandat desain pembangunan

tersebut. Desain pembangunan

berisi tentang peta masalah dan

target kerja yang dimulai dari

perencanaan, pelaksanaan,

pengawasan, dan evaluasi program

dan kegiatan pelayanan kesehatan

ibu dan anak.

Kementerian Kesehatan

menurunkan desain pembangunan

sektor kesehatan, khususnya untuk

ibu dan anak, dalam peta jalan

kesehatan ibu dan anak lima

tahunan yang melibatkan

pemerintahan provinsi,

kabupaten/kota, serta antar

kementerian terkait. Peta jalan

meliputi perbaikan regulasi terkait

pelayanan kesehatan ibu dan anak,

program pendampingan

masyarakat yang berkelanjutan

terkait dengan pemanfaatan

pelayanan kesehatan ibu dan anak.

Pemerintah Provinsi bersama

dengan DPRD dan pemangku

kepentingan lain menyusun rencana

tindak lanjut untuk mengatasi

permasalahan terkait dengan

pernikahan dini, seks pranikah dan

kekerasan terhadap perempuan.

Pemerintah Provinsi bekerja sama

dengan DPRD menindaklanjuti

inisiasi penyususunan rancangan

peraturan daerah khusus

(Raperdasus) tentang perlindungan

perempuan dan anak.

Pemerintah Provinsi dan

Pemerintah Kabupaten/Kota

bekerja sama dengan KPPPA dan

jajarannya di tingkat provinsi dan

kabupaten melakukan kampanye

kepada masyarakat tentang

penundaan usia kawin pertama dan

menghindari hubungan seks

pranikah serta kekerasan dalam

rumah tangga (KDRT) melalui

koran, radio, TV, spanduk/poster

serta media sosial (catatan:

kampanye dikemas dalam bahasa

dan dialek lokal).

Pemerintah Kabupaten/Kota

bekerja sama dengan KPPPA dan

jajarannya di tingkat provinsi dan

kabupaten melakukan advokasi

18

kepada Organisasi Perangkat

Daerah (OPD), tokoh masyarakat,

tokoh agama, tokoh adat , dan

tokoh perempuan mengenai

pentingnya penundaaan usia kawin

pertama, bahaya hubungan seks

pranikah, kekerasan dalam rumah

tangga dan implikasinya terhadap

kesehatan dan dampaknya terhadap

kesehatan ibu dan anak.

Pemerintah Kabupaten/Kota,

KPPPA dan jajarannya di daerah

bekerja sama dengan akademisi,

kelompok profesi, kelompok

pemuda, tokoh masyarakat (adat,

agama) dan pemerhati perempuan

(Lapepa) dalam menyusun rencana

program dan kegiatan yang

bertujuan untuk merespons dan

menindaklanjuti isu terkait dengan

perkawinan dini, seks pranikah dan

kekerasan terhadap perempuan.

19

Daftar Pustaka

Alwi, Q. (2007). Tema budaya yang

melatarbelakangi perilaku ibu-ibu

penduduk Asli dalam pemeliharaan

kehamilan dan persalinan di

Kabupaten Mimika. Buletin Kesehatan,

35(3): 137-147.

Balitbangkes Kemenkes. (2014). Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat Tahun 2013. Jakarta: Balitbangkes Kemenkes.

Balitbangkes Kemenkes. (2019). Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat Tahun 2018. Jakarta: Balitbangkes Kemenkes.

BKKBN. (2018). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2017. Jakarta: BKKBN.

BPS, BKKBN, Kemenkes, & ICF International. (2013). Indonesia Demographic and Health Survey 2012. Jakarta: BPS, BKKBN, Kemenkes, & ICF International.

Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat. (2018). Profil Kesehatan Provinsi Papua Barat 2017. Manokwari: Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat.

Dumatubun, A.E. (1999). Rapid ethnographic assesment: pengembangan KIE dalam rangka penurunan Angka Kematian Ibu di Kecamatan Prafi dan Kecamatan Bintuni, Kabupaten Manokwari. Jayapura: UNICEF-PMD.

Dumatubun, A.E. (2002). Kebudayaan,

Kesehatan Orang Papua. Perspektif

Antropologi Kesehatan, 1(1).

Erdianto, K. (2018). Menteri Yohana: Di

Papua, banyak anak usia 10-16 tahun

sudah menikah. Dikutip dari

https://pemilu.kompas.com/read/20

18/02/01/13042541/menteri-yohana-

di-papua-banyak-anak-usia-10-16-

tahun-sudah-menikah.

http://rri.co.id/post/berita/641359/nasi

onal/menteri_yohana_akui_kasus_ke

kerasan_terhadap_perempuan_di_pa

pua_dan_papua_barat_tertinggi_di_i

ndonesia.html.

https://www.republika.co.id/berita/nasi

onal/daerah/14/10/02/ncsjdq-

minuman-keras-pemicu-utama-kdrt-

papua.

Kementerian Kesehatan RI. (2019). Profil

Kesehatan Indonesia 2018. Jakarta:

Kementerian Kesehatan RI.

Kusuma, D., Cohen, J., McConnell, M.,

Berman, P. (2016). Can cash transfers

improve determinants of Maternal

Mortality? Evidence from the

Household and Community

Programs in Indonesia. Social Science

and Medicine, 10(20).

Sines, E., A, Tinker., J Ruben. (2006). The Maternal–Newborn–Child Health Continuum of Care: A Collective Eff ortto Save Lives. Bulletin Save The Children. March 2006: 1–6.

Trisnantoro, L. (2011). Strategi luar biasa untuk penurunan kematian ibu dan bayi. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, 14(4): 175-176.

UNICEF Indonesia. (2012). Ringkasan

kajian kesehatan ibu dan anak. In U.

Indonesia (Ed.).

Widjoyo, M. (2012). Perempuan Papua di

era Otonomi Khusus. Masyarakat

Indonesia, 38(2): 297-327.

20

Lampiran 1

Indeks Kesehatan Anak, Indeks Kesehatan Reproduksi dan Indeks Pelayanan Kesehatan, Provinsi Papua Barat, Tahun 2013 dan 2018

Sumber: Balitbang Kemenkes, 2014; Balitbang Kemenkes, 2019.

Lampiran 2 Indeks Kesehatan Anak, Provinsi Papua Barat, Tahun 2018

Sumber: Balitbang Kemenkes, 2019.

IndeksKesehatan Anak

IndeksKesehatan

Reproduksi

IndeksPelayananKesehatan

0,58

0,34 0,32

0,6

0,45

0,37

2013 2018

0,42

0,48

0,52

0,57

0,55

0,55

0,64

0,68

0,63

0,57

0,51

0,54

0,71

0,6

0,64

Maybrat

Tambrauw

Sorong Selatan

Teluk Wondama

Raja Ampat

Manokwari

Fak Fak

Kaimana

Teluk Bintuni

Sorong

Manokwari Selatan

Pegunungan Arfak

Kota Sorong

Papua Barat

Indonesia

21

Lampiran 3

Indeks Kesehatan Reproduksi, Provinsi Papua Barat, Tahun 2018

Sumber: Balitbang Kemenkes, 2019.

Lampiran 4

Indeks Pelayanan Kesehatan, Provinsi Papua Barat, Tahun 2018

Sumber: Balitbang Kemenkes, 2019.

Maybrat

Tambrauw

Sorong Selatan

Teluk Wondama

Raja Ampat

Manokwari

Fak Fak

Kaimana

Teluk Bintuni

Sorong

Manokwari Selatan

Pegunungan Arfak

Kota Sorong

Papua Barat

Indonesia

0,36

0,33

0,35

0,43

0,53

0,51

0,44

0,47

0,52

0,49

0,46

0,26

0,4

0,44

0,58

Maybrat

Tambrauw

Sorong Selatan

Teluk Wondama

Raja Ampat

Manokwari

Fak Fak

Kaimana

Teluk Bintuni

Sorong

Manokwari Selatan

Pegunungan Arfak

Kota Sorong

Papua Barat

Indonesia

0,37

0,21

0,37

0,42

0,4

0,32

0,42

0,4

0,47

0,34

0,35

0,2

0,36

0,37

0,44

22

Lampiran 5 Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak,

Provinsi Papua Barat, Tahun 2018

Sumber: Balitbang Kemenkes, 2019

48,1

65,8

59,9

33,4

74,1

84,1

80,6

57,9

Pemeriksaan Kehamilan (K4)

Pemeriksaan Neonatal (KN1)

Penimbangan Balita

Cakupan Imunisasi

Indonesia Papua Barat

23

Lampiran 6 Faktor Sosial-Budaya yang Menjadi Hambatan dalam

Mengakses/Mendapatkan Pelayanan Kesehatan dan Implikasinya Terhadap Perilaku Kesehatan Ibu dan Anak Menurut Siklus Hidup, Provinsi Papua Barat

Siklus Hidup

Faktor Sosial–Budaya Terkait Perilaku Kesehatan

Perilaku Kesehatan Ibu dan Anak

Remaja Perempuan

Pernikahan muda, hubungan seks pranikah

Menjadi orang tua tunggal (banyak kasus tidak menikah secara adat, agama, dan negara) karena terkendala dengan tingginya harga maskawin

Secara ekonomi belum mandiri, menjadi beban orang tua dan keluarga

Hamil dan melahirkan pada usia yang masih muda (berpotensi menjadi kehamilan berisiko tinggi)

Pemeriksaan kehamilan cenderung tidak rutin/tidak memeriksakan (malu, kurang pengetahuan tentang pentingnya pemeriksaan kehamilan)

Asupan gizi yang kurang selama hamil (anemia ibu hamil) yang berisiko melahirkan bayi BBLR (berat badan lahir rendah) selanjutnya berpotensi menjadi balita stunting

Ibu Hamil

Pengadaan dan pengolahan makanan sehari-hari menjadi tanggung jawab perempuan

Ibu hamil masih melakukan pekerjaan berat (berkebun, mengangkat beban)

Pemeriksaan kehamilan sepenuhnya menjadi tanggung jawab perempuan

Pencarian pengobatan modern (di fasilitas kesehatan) menjadi pilihan setelah pengobatan tradisional

Kehamilan adalah proses alamiah, jika ada permasalahan kehamilan dipercaya karena melanggar aturan adat atau mendapat kutukan roh halus

Ibu hamil tidak mempunyai waktu memeriksakan kehamilan karena bekerja di ladang (menginap)

Ibu hamil menganggap tidak ada masalah dengan kehamilan, sehingga tidak perlu memeriksakan kehamilan secara rutin terutama terjadi pada ibu hamil yang memiliki lebih dari satu anak

Tidak/kurang ada partisipasi laki-laki dalam mendukung pemeriksaan kehamilan

Ibu hamil tidak/kurang memeriksakan kehamilan ke petugas kesehatan dan lebih memilih pergi ke dukun atau pengobatan tradisional

Dalam keadaan darurat pengobatan tradisional dapat memperlambat pertolongan petugas kesehatan, yang kadang berakibat fatal bagi si ibu dan janin/bayi dalam kandungan

Ibu Bersalin

Perempuan tabu membuka paha di hadapan orang yang tidak dikenal, kecuali anggota keluarga dan dukun yang sudah dikenal (biasanya masih memiliki hubungan keluarga)

Kepercayaan bahwa setiap bayi sudah punya hari, tanggal, dan jam lahirnya sendiri

Dukun bayi berperan penting dalam

Melahirkan lebih cenderung meminta tolong ke dukun karena tenaga kesehatan dianggap sebagai orang luar

Tenaga kesehatan menjadi alternatif yang kedua setelah dukun

Persalinan sebagai sesuatu proses yang alamiah, sehingga siapapun yang menolongnya, kalau sudah waktunya lahir, bayi akan lahir selamat jika si bayi

24

membantu proses kelahiran (turun-temurun)

Memotong tali pusat menunggu orang yg dituakan dalam keluarga.

Ari-ari atau plasenta tidak boleh ditarik tetapi dibiarkan keluar dengan sendirinya

atau ibu meninggal memang sudah dikehendaki oleh Tuhan (“Fatalistik”)

Pemotongan tali pusat bayi yang terlalu lama berpotensi menimbulkan penyakit kuning pada bayi

Pengeluaran ari-ari atau plasenta yang tidak segera dilakukan dapat menyebabkan pendarahan dan kematian pada ibu bersalin

Petugas kesehatan sulit mengambil tindakan karena berhadapan dengan tetua adat dan dukun

Ibu Pasca Persalinan

Anak selama 2 (dua) bulan tidak boleh keluar dari kamar

Kebiasaan dan pola pemberian makanan untuk bayi dan anak

Pantangan makan untuk bayi dan ibu menyusui

Menjadi kendala bagi ibu dan bayi untk mendapatkan pemeriksaan pasca persalinan (neonatal)

Kalau ada masalah yang serius/parah baru melakukan pemeriksaan ke petugas kesehatan

Bayi tidak mendapatkan ASI eksklusif (sudah diberikan makanan tambahan sebelum usia 6 bulan) serta memengaruhi kualitas ASI

Pemberian makanan tambahan yang tidak sesuai dengan umur dan kurang memenuhi asupan gizi yang diperlukan berpotensi mengakibatkan anemia pada bayi salah satu penyebab kurang gizi pada bayi/balita (termasuk stunting)

Remaja Perempuan, Ibu Hamil, Ibu Bersalin, Ibu Pasca Persalinan dan Bayi

Posisi Perempuan dalam keluarga dan masyarakat (perempuan subordinat laki laki) mengakibatkan perempuan tidak mempunyai peran terhadap pengambilan keputusan dalam rumah tangga dan tidak ada kontrol atau akses untuk melaksanakan keputusan yang diambil laki-laki

Kekerasan dalam rumah tangga yang cenderung meningkat bersumber dari adat dan konstruksi tradisional tentang gender

Konstruksi adat melemahkan posisi perempuan di dalam keluarga dan menyebabkan eksklusi perempuan dari proses pengambilan keputusan di dalam adat serta menimbulkan konflik dan kekerasan

Terbatasnya akses perempuan untuk pengambilan keputusan menjadi kendala untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai pada saat membutuhkan (pemeriksaan kehamilan, persalinan, dan pasca persalinan)

Perempuan tidak punya akses dan kontrol terhadap pemeliharaan kesehatan dirinya sendiri dan anaknya

Menjadi kendala bagi perempuan untuk mencari dan mendapatkan akses terhadap pelayanan kesehatan selama kehamilan, persalinan, dan pasca persalinan

Kekerasan terhadap perempuan berdampak pada kesehatan ibu dan anaknya (kesehatan fisik dan mental ibu selama kehamilan dan menyusui yang pada gilirannya akan berpengaruh pula pada kesehatan bayi)

25

Lampiran 7 Strategi Peningkatan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Dari Sisi Penyedia

Layanan, Sektor Hilir di Provinsi Papua Barat

Jangka waktu: pendek (0-5 tahun)

Aspek Strategi Pemangku Kepentingan

Geografis wilayah dan topografi (akses) Pembangunan fasilitas kesehatan

(puskesmas) jauh dari permukiman penduduk kampung dan tidak didukung dengan keberadaan sarana transportasi umum yang memadai

Pembangunan fasilitas puskesmas yang jauh dari pemukiman kurang didukung dengan adanya rumah dinas untuk tempat tinggal, keamanan, dan kenyamanan petugas kesehatan, sehingga para petugas kurang maksimal dalam memberikan pelayanan kesehatan di puskesmas

Penduduk di daerah perbukitan dan pergunungan banyak yang belum mengakses pelayanan kesehatan

Melibatkan masyarakat dalam menentukan lokasi puskesmas agar mudah diakses (dekat dari permukiman)

Akses menuju puskesmas juga difasilitasi sarana transportasi yang membuat penduduk mudah mengakses puskesmas serta dilengkapi dengan tempat tinggal yang memadai untuk petugas puskesmas

Dukungan dana dan sarana transportasi (baik transportasi darat maupun transportasi air) untuk melakukan Pelayanan Kesehatan Bergerak dengan waktu yang lebih rutin

Dinas Kesehatan

Bappeda

Dinas Perhubungan

Kepala distrik/kepala kampung

CSR perusahaan

LSM

Kuantitas dan kualitas SDM Beberapa jenis tenaga kesehatan

kurang terpenuhi dalam pelaksanaan program Nusantara Sehat

Perbedaan insentif yang cukup besar antara tenaga Nusantara Sehat dan petugas kesehatan di puskesmas menyebabkan mereka kurang terlibat dalam proses transfer of knowledge, sehingga dikhawatirkan setelah program berhenti dan pelayanan kesehatan akan kembali seperti kondisi sebelumnya

Kapabilitas manajerial kurang dimiliki oleh sebagian pimpinan puskesmas, termasuk dalam

Meningkatkan minat tenaga kesehatan tertentu untuk ditempatkan di daerah terpencil di Provinsi Papua Barat melalui pemberian insentif yang memadai serta jaminan keamanan dan keselamatan

Sistem “rolling” untuk petugas kesehatan. Petugas kesehatan secara periodik (jangka waktu tertentu) diputar atau ditempatkan di puskesmas terpencil dan sangat terpencil

Memastikan proses transfer of knowledge berlangsung dalam program Nusantara Sehat

Meningkatkan kemampuan

Dinas Kesehatan

Bappeda

Puskesmas

26

menentukan/merencanakan kebutuhan dan memilih prioritas program serta pendekatannya

manajerial pimpinan puskesmas dalam merencanakan kebutuhan dan mengalokasikan sumber daya/dana yang ada

Sarana Pendukung Program pelayanan kesehatan

berbasis telemedicine kurang memperhatikan kondisi ketersediaan sarana pendukung (sarana teknologi/informasi)

Ketiadaan listrik masih menjadi kendala dalam penyelenggaraan kesehatan ibu dan anak, khususnya dalam mengoperasikan alat kesehatan (mesin USG)

Kebutuhan alat transportasi (ambulans) untuk merujuk ibu dan bayi ke rumah sakit di Kota Sorong

Program pelayanan kesehatan berbasis telemedicine juga dilengkapi dengan sarana teknologi komunikasi/ informasi yang memadai, contohnya USG telemedicine, konsultasi dengan dokter spesialis obstetri dan ginekologi, konsultasi dengan dokter spesialis anak melalui sarana telemedicine

Penyediaan USG portable dengan baterai (harga jauh lebih murah dibandingkan dengan mesin USG fixed). Selain itu, USG portable dapat dibawa oleh petugas kesehatan ketika melakukan Pelayanan Kesehatan Bergerak

Kerjasama dengan kepala distrik/kepala kampung dalam memanfaatkan dana desa untuk merujuk kasus kegawatdaruratan kehamilan ke rumah sakit. Kemitraan penyediaan sarana transportasi juga dapat dikerjasamakan dengan dana CSR perusahaan maupun LSM

Dinas Kesehatan

Bappeda

Dinas Komunikasi dan Informasi

Puskesmas

CSR perusahaan

LSM

27

Lampiran 8

Strategi Peningkatan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Menurut Siklus Hidup:

Program dan Kegiatan yang dilaksanakan di Sektor Hulu di Provinsi Papua Barat

Jangka Waktu: Menengah dan Panjang (5-10 tahun)

Siklus Hidup

Faktor Sosial–Budaya Terkait Perilaku

Kesehatan

Program/Kegiatan Promotif dan Preventif

Pemangku Kepentingan

Remaja Perempuan

Pernikahan muda, hubungan seks pranikah, meningkat memengaruhi kesehatan reproduksi (terlalu muda hamil dan melahirkan)

Menjadi orang tua tunggal (banyak kasus tidak menikah secara adat, agama dan negara) karena terkendala dengan tingginya harga maskawin

Secara ekonomi belum mandiri, menjadi beban orang tua dan keluarga

Advokasi kepada OPD, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh perempuan mengenai pentingnya penundaaan usia kawin pertama dan bahayanya hubungan seks pranikah serta implikasinya terhadap kesehatan perempuan sebagai calon ibu

Bappenas, KPPPA, Pemerintah Provinsi dan Sektor terkait Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan, Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten

Bappeda

Lapepa (Lembaga Adat Perempuan Papua)

Akademisi

Organisasi profesi (IDI, IBI)

Penyuluhan tentang pentingnya penundaan perkawinan dan menghindari seks pranikah dan dampaknya terhadap kesehatan perempuan melalui acara keagamaan dan pertemuan kampung

Tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh perempuan

Lapepa (Lembaga Adat Perempuan Papua)

LSM

Lembaga pemerhati perempuan

Kampanye ke masyarakat tentang penundaan usia kawin pertama dan menghindari seks pranikah melalui pelatihan, koran, radio, TV, spanduk/poster serta media sosial (catatan: kampanye dikemas dalam bahasa dan dialek lokal)

Bappenas, KPPPA, Pemerintah Provinsi dan Sektor terkait Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan, Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten

Bappeda

TV/Radio/Media lokal

Ibu hamil

Pengadaan dan pengolahan makanan sehari-hari menjadi tanggung jawab perempuan Ibu hamil masih melakukan pekerjaan

Advokasi pada tokoh masyarakat (tokoh adat, tokoh agama) mengenai:

Pentingnya menjaga kesehatan (fisik dan psikis) ibu hamil untuk menghadapi persalinan

KPPPA, Pemerintah Provinsi dan Sektor terkait Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan, Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten

28

berat (berkebun, mengangkat beban)

Pemeriksaan kehamilan sepenuhnya menjadi tanggung jawab perempuan

Pencarian pengobatan modern (di fasilitas kesehatan) dilakukan setelah pengobatan tradisional

Obat tradisional masih diutamakan dan sebagian menjadi rahasia tiap suku

Kehamilan adalah proses alamiah, jika ada permasalahan kehamilan dikarenakan melanggar aturan adat atau mendapat kutukan roh halus

agar bayi lahir sehat dan ibunya selamat

Keterlibatan laki-laki dalam menjaga kesehatan ibu hamil dan menyusui

Pentingnya mendukung upaya memanfaatkan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan untuk pemeriksaan kehamilan dan pengobatan lainnya

Pentingnya memanfaatkan pengobatan tradisional yang digabungkan dengan pengobatan modern

Penyuluhan/sosialisasi dan pelatihan kepada masyarakat tentang:

Pentingnya menjaga kesehatan (fisik dan psikis) ibu hamil untuk menghadapi persalinan agar bayi lahir sehat dan ibunya selamat

Keterlibatan laki laki dalam menjaga kesehatan ibu hamil dan menyusui.

(Media: acara keagamaan, pertemuan kampung, kegiatan lain)

Tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh perempuan

Lapepa (Lembaga Adat Perempuan Papua)

LSM

Lembaga pemerhati perempuan

Ibu pada Masa Persalinan

Perempuan tabu membuka paha dihadapan orang yang tidak dikenal, kecuali anggota keluarga dan dukun yg sudah dikenal

Kepercayaan bahwa setiap bayi sudah punya hari/tanggal/ jam lahirnya sendiri

Dukun bayi berperan penting dalam membantu proses kelahiran (turun temurun)

Memotong tali pusat menunggu orang yang dituakan dalam keluarga

Advokasi, diskusi, dialog dengar pendapat dengan tokoh masyarakat (tokoh adat, tokoh agama, dukun) tentang:

Adanya adat istiadat dan kepercayan terkait dengan persalinan dan pasca persalinan (pengasuhan anak) yang perlu untuk ditinjau kembali untuk mendukung peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan anak

Bagaimana upaya yang perlu dilakukan ke depan menurut mereka.

Dinas Kesehatan

Sektor terkait Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan

Bappeda

Lapepa (Lembaga Adat Perempuan Papua)

Akademisi

Organisasi profesi (IDI, IBI)

29

Ibu pada Masa Pasca Persalinan

Anak selama 2 (dua) bulan tidak boleh keluar dari kamar

Kebiasaan dan pola pemberian makanan untuk bayi dan anak

Pantangan makan untuk bayi dan ibu menyusui

Komunikasi, Informasi dan Edukasi dan kegiatan pendampingan di lapangan (Pilot Project) yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak

Contoh: kegiatan pendampingan dan penguatan Posyandu yang dilakukan oleh Yayasan Anak Persada Sehat di Distrik Klamono

Dinas Kesehatan bermitra dengan LSM, Organisasi Profesi, Pemerhati masalah kesehatan

Remaja Perempua, Ibu Hamil, Ibu Bersalin, Ibu dan Bayi (Faktor Mendasar)

Posisi perempuan dalam keluarga dan masyarakat (perempuan sub ordinat laki laki) tidak mempunyai peran terhadap pengambilan keputusan dan tidak ada kontrol atau akses untuk melaksanakan keputusan

Kekerasan dalam rumah tangga yang cenderung meningkat, bersumber dari adat dan konstruksi tradisional tentang gender

Konstruksi adat melemahkan posisi perempuan di dalam keluarga, dan menyebabkan eksklusi perempuan dari proses pengambilan keputusan di dalam adat, menimbulkan konflik dan kekerasan

Advokasi, diskusi, dialog dengar pendapat kepada OPD, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat (tiga

tungku), dan tokoh perempuan tentang ketimpangan gender, kekerasan terhadap perempuan dan dampaknya bagi kesehatan ibu dan anak

Dialog untuk menyusun alternatif strategi untuk mengatasi permasalahan tersebut

Bappenas, KPPPA, Pemerintah Provinsi dan Sektor terkait Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan, Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten

Bappeda

Bappeda

Lapepa (Lembaga Adat Perempuan Papua)

Akademisi

Organisasi profesi (IDI, IBI)

Penyuluhan/sosialisasi dan kegiatan pendampingan kepada masyarakat yang bertujuan untuk memberikan penyadaran tentang kesetaraan gender dan kekerasan dalam rumah tangga dan dampaknya terhadap kesehatan ibu dan anak

Media: acara keagamaan, pertemuan kampung , kegiatan lain

Tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, tokoh perempuan

Lapepa (Lembaga Adat Perempuan Papua)

LSM

Lembaga pemerhati perempuan

Kampanye tentang kesetaraan gender dan kekerasan terhadap perempuan dikemas sesuai dengan konteks lokal

Media: TV, Radio, Koran Lokal, Spanduk/poster serta media sosial dan dikemas dalam bahasa dan dialek lokal

Dinas Kesehatan

Sektor terkait Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan

Bappeda

Lapepa (Lembaga Adat Perempuan Papua)

Akademisi

Organisasi profesi (IDI, IBI)

30