ii. tinjauan pustaka · 2015-09-03 · ... dan menyakinkan adanya kesamaan sosio, politik dan...

40
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembangunan Berkelanjutan 2.1.1. Konsep dan Definisi Dalam proses pembangunan yang dilakukan pemerintah pada kurun waktu tahun 1970-an sampai dengan pertengahan tahun 1990-an masih dititikberatkan pada pembangunan ekonomi tanpa mempertimbangkan aspek- aspek lainnya. Hal ini mengakibatkan adanya ketimpangan pembangunan antara di wilayah perkotaan dan perdesaan. Pembangunan berkelanjutan menerapkan konsep keadilan antar generasi yang diadopsi oleh seluruh masyarakat di dunia walaupun dengan fokus dan penafsiran yang berbeda-beda. Pembangunan berkelanjutan adalah suatu proses pembangunan dengan ekploitasi sumberdaya, arahan investasi, dan perubahan kelembagaan yang seluruhnya dibuat konsisten dengan kebutuhan saat ini dan juga kebutuhan yang akan datang (Khanna et al. 1999). Menurut Leach dan Scooness (1997), masyarakat dilihat sebagai unit yang tepat dan peduli serta mampu secara kolektif dalam menghadapi lingkungan. Menurut Robin et al. (1997), pembangunan berkelanjutan harus berdasarkan pada solusi tingkat lokal yang diperoleh dari inisiatif masyarakat. Pembangunan berkelanjutan adalah kerangka berpikir yang telah menjadi wacana secara internasional. Kerangka berpikir ini pada tahun 1992 dalam Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro disepakati oleh semua Negara di dunia termasuk Indonesia untuk dlgunakan sebagai panduan. Program Aksi Dunia hasil konferensi tersebut di kenal sebagai Agenda 21. Dalam agenda tersebut Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP (2000) menyatakan bahwa kerangka berpikir pembangunan berkelanjutan pada intinya adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa haras menghalangi pemenuhan kebutuhan generasi masa datang. Melalui kerangka berpikir pembangunan berkelanjutan, maka setiap negara, wilayah dan daerah dapat mengembangkannya sendiri, baik cara maupun prioritas permasalahannya yang akan diatasi dan potensi yang akan dikembangkan. Bond et al. (2001) menyatakan bahwa berkelanjutan (sustainability) didefinisikan sebagai pembangunan dari kesepakatan multidimensional untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik untuk semua orang. Pembangunan ekonomi, sosial dan proteksi lingkungan adalah saling memperkuat dalam pembangunan berkelanjutan.

Upload: vuongminh

Post on 13-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

15

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembangunan Berkelanjutan

2.1.1. Konsep dan Definisi Dalam proses pembangunan yang dilakukan pemerintah pada kurun

waktu tahun 1970-an sampai dengan pertengahan tahun 1990-an masih

dititikberatkan pada pembangunan ekonomi tanpa mempertimbangkan aspek-

aspek lainnya. Hal ini mengakibatkan adanya ketimpangan pembangunan antara

di wilayah perkotaan dan perdesaan. Pembangunan berkelanjutan menerapkan

konsep keadilan antar generasi yang diadopsi oleh seluruh masyarakat di dunia

walaupun dengan fokus dan penafsiran yang berbeda-beda. Pembangunan

berkelanjutan adalah suatu proses pembangunan dengan ekploitasi sumberdaya,

arahan investasi, dan perubahan kelembagaan yang seluruhnya dibuat konsisten

dengan kebutuhan saat ini dan juga kebutuhan yang akan datang (Khanna et al.

1999). Menurut Leach dan Scooness (1997), masyarakat dilihat sebagai unit

yang tepat dan peduli serta mampu secara kolektif dalam menghadapi

lingkungan. Menurut Robin et al. (1997), pembangunan berkelanjutan harus

berdasarkan pada solusi tingkat lokal yang diperoleh dari inisiatif masyarakat.

Pembangunan berkelanjutan adalah kerangka berpikir yang telah menjadi

wacana secara internasional. Kerangka berpikir ini pada tahun 1992 dalam

Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro disepakati oleh semua Negara

di dunia termasuk Indonesia untuk dlgunakan sebagai panduan. Program Aksi

Dunia hasil konferensi tersebut di kenal sebagai Agenda 21. Dalam agenda

tersebut Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP (2000)

menyatakan bahwa kerangka berpikir pembangunan berkelanjutan pada intinya

adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa haras

menghalangi pemenuhan kebutuhan generasi masa datang. Melalui kerangka

berpikir pembangunan berkelanjutan, maka setiap negara, wilayah dan daerah

dapat mengembangkannya sendiri, baik cara maupun prioritas permasalahannya

yang akan diatasi dan potensi yang akan dikembangkan. Bond et al. (2001)

menyatakan bahwa berkelanjutan (sustainability) didefinisikan sebagai

pembangunan dari kesepakatan multidimensional untuk mencapai kualitas hidup

yang lebih baik untuk semua orang. Pembangunan ekonomi, sosial dan proteksi

lingkungan adalah saling memperkuat dalam pembangunan berkelanjutan.

16

Bosshard (2000) mengemukakan pendekatan secara komprehensif menuju

pembangunan berkelanjutan harus mempertimbangkan lima prinsip kriteria yaitu:

(1) abiotik lingkungan, (2) biotik lingkungan, (3) nilai-nilai budaya, (4) sosiologi

dan (5) ekonomi. Dalam hubungannya untuk memproteksi lingkungan, maka

konsekuensi intervensi manusia dalam pemanfaatan dan manipulasi sumber

daya lingkungan harus diantisipasi. Jika hal ini tidak dilakukan maka dapat

mengakibatkan degradasi lingkungan yang akan merongrong pembangunan

ekonomi (Greenland, 1992). Selanjutnya, sebagai konsep pembangunan yang

berkelanjutan dan lingkungan yang baik, maka harus dapat memenuhi kebutuhan

sekarang tanpa mengurangi tuntutan generasi mendatang dalam mencukupi

kebutuhannya sendiri (Meyer dan Harger, 1996).

Menurut Marten (2001), pembangunan berkelanjutan dapat didefinisikan

sebagai pemenuhan kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kecukupan

kebutuhan generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan tidak berarti

berlanjutnya pertumbuhan ekonomi, karena tidak mungkin ekonomi tumbuh jika

ia tergantung pada keterbatasan kapasitas sumber daya alam yang ada.

Beberapa sumber daya alam seperti deposit mineral termasuk non-renewable

dan sumber daya alam seperti makanan, dan air adalah renewable.

World Commision on Environment and Development (1987)

mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang

memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi

mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Dalam naskah tersebut

terkandung dua gagasan penting yaitu :

- Gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan esensial kaum miskin sedunia

yang harus diprioritaskan.

- Gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan

organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan.

Kebutuhan masa mendatang menurut Greenland dan Szabolcs (1994), adalah

bahwa dunia masa mendatang bergantung pada cara keterkaitan antara

pertumbuhan penduduk, pengelolaan sumberdaya energi dan proteksi

lingkungan secara harmonis.

Definisi lain juga dikemukakan oleh Hanley (2001), bahwa pembangunan

berkelanjutan menjadi bagian penting sebagai suatu pendekatan nasional dan

internasional untuk mengintegrasikan ekonomi, lingkungan sosial dan etika

sehingga kualitas kehidupan yang baik bagi generasi sekarang dan generasi

17

mendatang dapat dipenuhi. Pemahaman lain terhadap konsep berkelanjutan

dikemukakan oleh Roderic dan Meppem (1997), bahwa berkelanjutan

memerlukan pengelolaan tentang (1) skala keberlanjutan ekonomi terhadap

dukungan sistem ekologi, (2) pembagian distribusi sumberdaya dan kesempatan

antara generasi sekarang dan yang akan datang secara berimbang/adil, dan (3)

efisiensi dalam pengalokasian sumberdaya. Dalam kajian ini Djojohadikusumo

(1994) mengemukakan bahwa penafsiran tentang pembangunan berkelanjutan

yang diartikan sebagai daya upaya untuk memenuhi kebutuhan generasi kini

tanpa mengorbankan kebutuhan generasi-generasi mendatang. Dengan kata

lain, proses pembangunan harus bisa berlangsung secara terus-menerus dan

sambung-menyambung.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut diatas, secara umum dapat diartikan

bahwa pembangunan berkelanjutan suatu pendekatan pembangunan yang tidak

bertentangan antara tujuan dan sasaran dalam kebijakan pembangunan ekonomi

dan kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup untuk memenuhi kebutuhan

masa kini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang.

2.1.2. Prinsip - Prinsip Pembangunan Berkelanjutan Berdasarkan publikasi Our Common Future, banyak upaya telah

dilakukan untuk mengembangkan pedoman dan prinsip-prinsip pembangunan

berkelanjutan. Pertimbangannya adalah bahwa tanpa pedoman atau prinsip,

tidak mungkin ditentukan apakah suatu kebijakan atau kegiatan dapat dikatakan

berkelanjutan, atau apakah suatu prakarsa konsisten dengan pembangunan

berkelanjutan.

Mitchell (1997) menyatakan bahwa prinsip keberlanjutan antara lain:

1) Prinsip lingkungan/ekologi, yaitu melindungi sistem penunjang kehidupan,

memelihara integritas ekosistem, dan mengembangkan dan menerapkan

strategi preventif dan adoptif untuk menanggapi ancaman perubahan

lingkungan global.

2) Prinsip sosial politik, yaitu mempertahankan skala fisik dari kegiatan manusia

dibawah daya dukung atmosfer, mengenali biaya lingkungan dari kegiatan

manusia, dan menyakinkan adanya kesamaan sosio, politik dan ekonomi

dalam transisi menuju masyarakat yang berkelanjutan.

Menurut Plessis (1999), pada awalnya pembangunan berkelanjutan

hanya diarahkan untuk mengatasi konflik antara proteksi lingkungan dan

sumberdaya alam untuk menjawab kebutuhan pembangunan yang berkembang.

18

Selanjutnya disadari bahwa pembangunan berkelanjutan tidak mungkin tercapai

tanpa mempertimbangkan perubahan ekonomi dan sosial seperti pengurangan

tingkat kemiskinan dan keseimbangan sosial.

Pembangunan berkelanjutan juga harus memenuhi kebutuhan generasi

sekarang tanpa mengorbankan pemenuhi kebutuhan generasi mendatang. Hal

ini perlu dijaga keseimbangannya terhadap tiga persyaratan prinsip yaitu: (1)

kebutuhan masyarakat (the social objective), (2) effisiensi dalam mengelola

keterbatasan sumber daya alam (the economic objective) dan, (3) perlu

mengurangi beban ekosistem untuk melestarikan lingkungan (the environmental

objective) (Chemical Industry dan Chemistry, 2005).

Pembangunan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan

hidup. Interaksi antara pembangunan dan lingkungan hidup membentuk sistem

ekologi. Dalam hubungan ini Soemarwoto (2001) mengemukakan bahwa faktor

lingkungan diperlukan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan.

Faktor lingkungan tersebut meliputi: pertama, terpeliharanya proses ekologi yang

esensial, kedua, tersedianya sumber daya yang cukup, dan ketiga, lingkungan

sosial-budaya dan ekonomi yang sesuai.

Sitorus (2004) mengemukakan pokok-pokok pikirannya bahwa

pembangunan berkelanjutan perlu menjadi pertimbangan karena ada

keterbatasan planet bumi dalam empat asumsi dasar yaitu:

1) terbatasnya cadangan sumber-sumber yang tidak dapat diperbaharui

(non-renewable resources),

2) terbatasnya kemampuan lingkungan untuk dapat menyerap polusi

3) terbatasnya lahan yang dapat ditanami

4) terbatasnya produksi per satuan luas lahan, atau batasan fisik

terhadap pertumbuhan penduduk dan kapital.

Sitorus (2004) selanjutnya menyatakan bahwa ciri-ciri pembangunan

yang tidak berkelanjutan antara lain adalah:

1) Prakarsa biasanya dimulai dari pusat

2) Proses penyusunan program bersifat statis dan didominasi oleh pendapat

pakar dan teknokrat

3) Mekanisme kelembagaan bersifat top-down

19

2.1.3. Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Dalam hal pengelolaan sumberdaya alam, telah disepakati secara global

mengenai bagaimana seharusnya sumberdaya alam dikelola agar berkelanjutan

sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan manusia dan kegiatan ekonomi.

Kesepakatan ini jelas bahwa pengelolaan sumberdaya alam harus

mempertimbangkan ketiga aspek sekaligus yakni ekonomi, ekologi, dan sosial.

Sejalan dengan hal ini, upaya mengubah pola konsumsi dan produksi yang tidak

berkelanjutan menjadi hal utama untuk mendukung upaya perlindungan daya

dukung ekosistem dan fungsi lingkungan sebagai prasyarat peningkatan

kesejahteraan masyarakat generasi sekarang dan yang akan datang.

Konsep pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi,

dan sosial yang disebut dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable

development) telah disepakati secara global sejak diselenggarakannya united

nation conference on the human environment di Stockholm tahun 1972.

Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat

memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang

akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya (WCED, 1987). Komisi

Burtland menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan bukanlah suatu kondisi

yang kaku mengenai keselarasan, tetapi lebih merupakan suatu proses

perubahan yang mana eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi

perkembangan teknologi, dan perubahan institusi dibuat konsisten dengan masa

depan seperti halnya kebutuhan saat ini. Dalam rangka mengoperasionalkan

paradigma pembangunan berkelanjutan, World Bank telah menjabarkan konsep

pembangunan berkelanjutan dalam bentuk kerangka segitiga pembangunan

berkelanjutan (sustainable development triangle) seperti pada Gambar 3.

Menurut kerangka tersebut, suatu kegiatan pembangunan (termasuk

pengelolaan sumberdaya alam dan berbagai dimensinya) dinyatakan

berkelanjutan jika kegiatan tersebut secara ekonomi, ekologi, dan sosial bersifat

berkelanjutan (Serageldin, 1996). Berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa

suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi,

pemeliharaan kapital, dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara

efisien.

Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti bahwa kegiatan tersebut

harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung

20

lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati.

Berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan

hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas

sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat,

identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan.

Gambar 3. Segitiga konsep pembangunan berkelanjutan

Dalam kaitan dengan kebijakan pemerintah, agar segenap tujuan

pembangunan berkelanjutan ini dapat tercapai, maka dalam konteks hubungan

antara tujuan sosial dan ekonomi diperlukan kebijakan ekonomi yang meliputi

intervensi pemerintah secara terarah, pemerataan pendapatan, penciptaan

kesempatan kerja, dan pemberian subsidi bagi kegiatan pembangunan yang

memerlukannya. Pada konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekologi,

strategi yang perlu ditempuh adalah partisipasi masyarakat dan swasta serta

konsultasi.

Implementasi konsep pembangunan berkelanjutan telah diterapkan pada

banyak negara dan oleh berbagai lembaga dengan mengembangkan indikator

keberlanjutan antara lain Center for international Forestry Research (CIFOR) mengembangkan sistem pembangunan kehutanan berkelanjutan dengan

mengintegrasikan aspek ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Charles

(2001) mengembangkan sistem pembangunan perikanan berkelanjutan dengan

21

memadukan keberlanjutan ekologi, keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial,

dan keberlanjutan kelembagan. FAO mengembangkan indikator keberlanjutan

untuk pembangunan wilayah berdasarkan aspek ekologi, ekonomi, sosial,

kelembagaan, teknologi, dan pertahanan keamanan.

Secara operasional, pembangunan berkelanjutan sinergi dengan

pengelolaan lingkungan. Pengelolaan lingkungan didefinisikan sebagai upaya

terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan

penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan,

pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup (UU 23/1997). Definisi ini

menegaskan bahwa pengertian pengelolaan lingkungan mempunyai cakupan

yang luas, karena tidak saja meliputi upaya-upaya pelestarian lingkungan

melainkan juga mencegah proses terjadinya degradasi lingkungan, khususnya

melalui proses penataan lingkungan.

Upaya-upaya pengelolaan lingkungan di Indonesia harus dilakukan tidak

saja bersifat kuratif, melainkan juga bersifat preventif. Di masa depan, upaya-

upaya yang lebih bersifat preventif harus lebih diprioritaskan, dan hal ini

menuntut dikembangkannya berbagai opsi pengelolaan lingkungan, baik melalui

opsi ekonomi maupun melalui proses-proses peraturan dan penataan

penggunaan lahan (Setiawan, 2003).

2.2. Pengembangan Wilayah

Pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan wilayah di Indonesia

sangat beragam karena dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model

pengembangan wilayah serta tatanan sosial-ekonomi, sistem pemerintahan dan

administrasi pembangunan. Pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan

tanpa memberikan perhatian pada pemerataan menyebabkan dampak negatif

terhadap lingkungan, bahkan menghambat pertumbuhan itu sendiri (Akil, 2003).

Dalam kontek ini mulai dirasakan perlunya pendekatan yang meninjau kota-desa

kawasan produksi serta prasarana pendukungnya sebagai satu kesatuan

wilayah. Dalam hubungan ini, kegiatan ekonomi kota dan desa (sub urban)

adalah saling tergantung (interdependent) dalam kontek perubahan penduduk

jangka panjang dan tenaga kerja (Voith, 1998). Pengembangan wilayah dengan

memperhatikan potensi pertumbuhan akan membantu meningkatkan

pertumbuhan ekonomi berkelanjutan melalui penyebaran penduduk lebih

rasional, meningkatkan kesempatan kerja dan produktivitas (Mercado, 2002).

22

Kasikoen (2005) menyatakan bahwa ada keterkaitan pembangunan

perkotaan dan perdesaan dimana keterkaitan ini diekspresikan dalam bentuk

fisik, sosial, ekonomi, politik dan idiologi yang sekaligus untuk mengatasi adanya

ketidakseimbangan pembangunan di perkotaan dan perdesaan.

Kesenjangan pelaksanaan program pembangunan di dalam mencapai

tujuannya, bukanlah semata-mata kegagalan dalam penyelenggaraannya namun

lebih kepada kebijakan yang diterapkan. Pada beberapa dekade yang lalu, cara

pandang pembangunan lebih berorientasi pada laju pertumbuhan ekonomi

dengan basis peningkatan investasi dan teknologi yang menimbulkan krisis yang

sampai saat ini masih dirasakan. Penekanan pembangunan yang hanya pada

pertumbuhan ekonomi yang menimbulkan masalah disampaikan juga oleh

Djajadiningrat (1997). Titik berat pembangunan semata-mata pada pertumbuhan

ekonomi dapat menyebabkan kerusakan lingkungan alam yang tidak dapat

diperbaiki. Lingkungan alam juga merupakan unsur penting dari pertumbuhan

ekonomi, dan apabila lingkungan alam turun melebihi daya dukungnya, maka

ekonomi akan kehilangan daya untuk tumbuh. Menurut Shukla (2000), melalui

perencanaan wilayah (regional planning) dapat mencapai kedua-duanya yaitu

pembangunan dan keberlanjutan, jawaban ini dapat diuraikan sebagai berikut;

- Perencanaan wilayah akan membantu pemanfaatan sumberdaya lokal yang

ada, sumber daya fisik serta teknologi

- Perencanaan wilayah akan membantu pembuatan perencanaan dimana akan

mengisi kebutuhan lokal

- Perencanaan wilayah membantu mengurangi pembangunan yang

kurang berimbang antar dan dalam wilayah.

Kini telah banyak disadari bahwa pengalaman membangun selama ini

telah menimbulkan dampak/masalah yang semakin besar dan komplek

sehingga cenderung menimbulkan kesenjangan antara wilayah perkotaan dan

perdesaan. Sejalan dengan pernyataan di atas, Erwidodo (1999) menyatakan

bahwa kesenjangan pertumbuhan antara wilayah perkotaan dan perdesaan telah

memunculkan permasalahan kompleks antara lain meningkatnya arus migrasi

penduduk desa ke kota, meningkatnya kemiskinan masyarakat dan "pengurasan"

sumber daya alam.

Ada beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya "pengurasan"

tersebut. Pertama, terbukanya akses ke daerah perdesaan seringkali mendorong

kaum elit kota, pejabat pemerintah pusat, dan perusahaan-perusahaan besar

23

untuk mengeksploitasi sumberdaya yang terdapat di desa. Masyarakat desa

sendiri tidak berdaya karena secara politik dan ekonomi para pelaku eksploitasi

sumberdaya tersebut memiliki posisi tawar yang jauh lebih kuat. Kedua, kawasan

perdesaan sendiri umumnya dihuni oleh masyarakat yang kualitas SDM-nya

kurang berkembang. Kondisi ini mengakibatkan ide-ide dan pemikiran modern

dari kaum elit kota sulit untuk didesiminasikan. Oleh karena itu sebagian besar

aktivitas pada akhirnya lebih bersifat enclave dengan mendatangkan banyak

SDM dari luar yang dianggap lebih mempunyai keterampilan dan kemampuan.

Menurut Basri (1999), bahwa rendahnya tingkat sosial ekonomi

masyarakat perdesaan dipengaruhi oleh:

1) Kondisi sosial ekonomi rumah tangga masyarakat yang mempengaruhi

kapasitas individu, keluarga, dan kelompok masyarakat dalam melakukan

interaksi sosial dan proses produksi;

2) Struktur kegiatan ekonomi sektoral yang menjadi dasar lapangan usaha dan

pendapatan rumah tangga atau masyarakat;

3) Potensi daya dukung regional (geographical setting) seperti kondisi geografis,

sumberdaya alam serta infrastruktur yang mempengaruhi pola kegiatan

produksi dan distribusi;

4) Kelembagaan sosial ekonomi masyarakat yang mendukung interaksi sosial

dan jaringan kerja produksi dan pemasaran pada skala lokal, regional dan

global.

Berdasarkan pernyataan tersebut maka masalah utama dalam

pembangunan wilayah perdesaan adalah kebijakan yang kurang berpihak

terhadap masyarakat perdesaan dan rendahnya kemampuan sumber daya

manusia dalam mengelola sumber-sumber daya alam guna pembangunan

masyarakat perdesaan.

Miyoshi (1997) mengemukakan pendapat Friedman dan Douglas, bahwa

strategi pembangunan perdesaan yang cocok adalah supaya memperhatikan

hal-hal sebagai berikut yaitu: (1) sektor pertanian harus dipandang sebagai

leading sektor; (2) kesenjangan pendapatan dan kondisi kehidupan antara kota

dan desa harus dikurangi; (3) small scale production untuk pemasaran lokal

harus dilindungi melawan kompetisi dari pengusaha besar. Pembangunan rural

small enterprise sangat penting untuk mengembangkan pusat-pusat

pertumbuhan atau kota kecil yang berperan sebagai pusat pemasaran desa-desa

di sekitarnya.

24

Akibat dari kegagalan pembangunan yang disebabkan oleh terjadinya

urban bias di atas, pembangunan di wilayah perdesaan mengalami kekurangan

investasi modal, dampaknya telah menimbulkan kehilangan kesempatan kerja

bagi masyarakat perdesaan. Dalam kondisi seperti ini posisi tawar masyarakat

perdesaan menjadi semakin lemah sehingga pengambilan keputusan

pembangunan menjadi tersentralisasi di kota-kota tanpa menghiraukan kondisi

perdesaan. Pembangunan di perdesaan semakin terpuruk sedangkan

pertumbuhan ekonomi kota-kota relatif semakin besar yang diikuti dengan

eksploitasi sumberdaya di wilayah perdesaan. Keadaan ini mendorong terjadinya

kerusakan-kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang pada

gilirannya berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat luas, baik di wilayah

perdesaan maupun di kawasan perkotaan sendiri. Kondisi di atas terjadi antara

lain karena investasi-investasi di wilayah perdesaan baik secara fisik (material

capital: man-made and natural), sumberdaya manusia (human capital) dan

sumberdaya sosial (social capital) dan kebijaksanaan pengembangan teknologi

tidak diiakukan secara tepat dan memadai, bahkan di masa yang lalu terkesan

banyak diabaikan.

Makin meluasnya masalah-masalah sejenis di sebagian besar negara-

negara berkembang, mengakibatkan para pakar pembangunan mulai berpikir

untuk mencari solusi bagi pembangunan daerah perdesaan. Pembangunan yang

berimbang secara: spasial menjadi penting karena dalam skala makro hal ini

menjadi prasyarat bagi tumbuhnya perekonomian nasional yang lebih efisien,

berkeadilan dan berkelanjutan.

Berkenaan dengan hal tersebut, Rustiadi (2003), mengatakan bahwa

pengembangan wilayah harus mengandung prinsip-prinsip: (1) mengedepankan

peran serta masyarakat dan memprioritaskan untuk menjawab kebutuhan

masyarakat. Pemerintah lebih berperan sebagai fasilitator pembangunan dari

pada sebagai pelaksana. (2) Menekankan aspek proses dibandingkan

pendekatan-pendekatan yang menghasilkan produk-produk perencanaan berupa

master plan dan sejenisnya.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007, tentang Penataan

Ruang, bahwa proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan

pengendalian ruang yang merupakan suatu sistem yang terkait satu sama

lainnya. Rencana Tata Ruang sebagai acuan dalam pembangunan daerah pada

era otonomi ini perlu dilaksanakan dengan pendekatan pengembangan wilayah

25

bukan lagi pendekatan sektor sebagaimana dilakukan pada masa lalu. Menurut

Hull (1998), perencanaan tata ruang merupakan suatu mekanisme integratif

untuk mengkoordinasikan berbagai strategis pembangunan.

Pendekatan pengembangan wilayah harus dilakukan dengan penetapan

struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang yang disusun berdasarkan

karakteristik, potensi, kebutuhan daerah, kepentingan stakeholders, daya dukung

daerah serta mempertimbangkan perkembangan dinamika pasar dan dampak

arus globalisasi. Menurut Rondinelli (1985), ada tiga konsep dalam

pengembangan wilayah yaitu: (1) kutub-kutub pertumbuhan (growth pole); (2)

integrasi fungsi (functional integration), dan (3) pendekatan pendesentralisasian

wilayah (decentralized territorial approaches).

Selanjutnya Chen dan Salih (1978), mengemukakan bahwa mengadopsi

pendekatan kutub-kutub pertumbuhan (growth pole approach) oleh negara-

negara ketiga merefleksikan dua bentuk pemikiran yang bijaksana yaitu:

pertama, industrialisasi dengan teknologi modern dapat didesentralisasikan

manfaatkannya pada daerah perdesaan, kedua, keterpaduan pada tingkat

nasional melalui strategi kutub-kutub pertumbuhan dapat memecahkan masalah

pembangunan regional. Pendekatan pembangunan agropolitan merupakan

bagian dari pada pengembangan wilayah skala kawasan merupakan senergitas

pembangunan antara kota-desa (urban rural development).

Dalam rangka mewujudkan kemandirian pembangunan perdesaan yang

didasarkan pada potensi wilayah desa itu sendiri dan keterkaitan dengan

perekonomian kota harus bisa diminimalkan, maka pendekatan agropolitan dapat

menjadi salah satu pendekatan pembangunan perdesaan. Agropolitan yang

dilakukan di wilayah penelitian merupakan aktivitas pembangunan yang

terkonsentrasi di wilayah perdesaan dengan jumlah penduduk antara 50.000

sampai 150.000 orang, sehingga kegiatan ini menjadi relevan dengan wilayah

perdesaan karena pada umumnya sektor pertanian dan pengelolaan

sumberdaya alam memang merupakan mata pencaharian utama dari sebagian

besar masyarakat perdesaan, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat

(1996).

2.3. Agropolitan

Pendekatan pembangunan perdesaan ditujukan untuk mewujudkan

kemandirian pembangunan perdesaan yang didasarkan pada potensi wilayah itu

sendiri, dimana ketergantungan dengan perekonomian kota harus bisa

26

diminimalkan. Agropolitan menjadi relevan dengan wilayah perdesaan karena

pada umumnya sektor pertanian dan pengelolaan sumber daya alam memang

merupakan mata pencaharian utama sebagian besar masyarakat perdesaan.

Konsep pengembangan agropolitan muncul dari permasalahan adanya

ketimpangan pembangunan wilayah antara kota sebagai pusat kegiatan dan

pertumbuhan ekonomi dengan wilayah perdesaan sebagai pusat kegiatan

pertanian. Proses interaksi ke dua wilayah selama ini secara fungsional ada

dalam posisi saling memperlemah. Wilayah perdesaan dengan kegiatan utama

sektor primer, khususnya pertanian, mengalami produktivitas yang selalu

menurun dan tertinggal, di sisi lain wilayah perkotaan sebagai tujuan pasar dan

pusat pertumbuhan menerima beban berlebih sehingga memunculkan

ketidaknyamanan akibat permasalahan-permasalahan sosial (konflik, kriminal,

dan penyakit) dan lingkungan (pencemaran dan buruknya sanitasi lingkungan

permukiman). Hubungan yang saling memperlemah ini secara agregat akan

berdampak kepada penurunan produktivitas wilayah secara keseluruhan.

Berkembangnya kota sebagai pusat-pusat pertumbuhan ternyata tidak

memberikan efek penetesan ke bawah (trickle down effect), tetapi justru

menimbulkan efek pengurasan sumberdaya dari wilayah perdesaan di sekitarnya

(backwash effect). Urban bias terjadi akibat kecenderungan pembangunan yang

mendahulukan pertumbuhan ekonomi melalui kutub-kutub pertumbuhan (growth

poles) yang semula meramalkan bakal terjadinya penetesan (tricle down effect)

dari kutub-pusat pertumbuhan ke wilayah hinterland-nya, ternyata net-effect-nya

malah menimbulkan pengurasan besar (masive backwash effect). Oleh

karenanya dapat dikatakan bahwa dalam bidang ekonomi telah terjadi transfer

neto sumberdaya dari wilayah pedesaan ke kawasan perkotaan secara besar-

besaran.

Dalam konteks wiiayah yang lebih luas, maka disparitas wilayah bisa pula

diiihat dari ketimpangan wilayah dalam satu wilayah kabupaten, provinsi,

regional, bahkan nasional. Ketimpangan wilayah dalam satu wilayah administratif

akan mendorong terjadinya pemekaran wilayah administratif. Hal ini telah dan

sedang terjadi proses pemekaran wilayah adminstratif dengan munculnya

kabupaten-kabupaten baru dan provinsi-provinsi baru. Secara nasional, sempat

muncul ancaman disintegrasi akibat ketimpangan pembangunan wilayah.

Percepatan pembangunan Kawasan Timur Indonesia (KTI) adalah salah satu

27

jawaban pemerintah untuk mengatasi kesenjangan yang mencolok

pembangunan nasional dibanding Kawasan Barat Indonesia (KBI).

Dari berbagai alternatif model pembangunan, konsep agropolitan

dipandang sebagai konsep yang menjanjikan teratasinya permasalah

ketidakseimbangan perdesaan-perkotaan selama ini. Secara singkat, agropolitan

adalah :

1. Suatu model pembangunan yang mengandalkan desentralisasi,

mengandaikan pembangunan infrastruktur setara kota di wiiayah pedesaan,

sehingga mendorong terbentuknya kota-kota di wilayah perdesaan. Dari

berbagai alternatif model pembangunan, pendekatan agropolitan dipandang

sebagai konsep yang dapat mengatasi permasalahan ketidakseimbangan

perdesaan - perkotaan selama ini. Kawasan agropolitan tidak ditentukan oleh

batasan administratif pemerintahan (desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten)

tetapi lebih ditentukan dengan memperhatikan economic of scale dan

economic of scope.

2. Bisa menanggulangi dampak negatif pembangunan seperti yang selama ini

terjadi yaitu migrasi desa-kota (urbanisasi) yang tak terkendali, polusi,

kemacetan lalu lintas, pengkumuhan kota, kehancuran masif sumberdaya

alam, pemiskinan desa dll.

3. Menekankan transformasi desa-desa dengan memperkenalkan unsur-unsur

urbanisme ke dalam lingkungan pedesaan yang spesifik.

4. Mendorong peningkatan produktivitas perdesaan secara ekonomi, sosial, dan

kelembagaan dengan memperhatikan kelestarian sumberdaya alam dan

lingkungan.

Pendekatan agropolitan bisa mendorong penduduk perdesaan tetap

tinggal di pedesaan melalui investasi di wilayah perdesaan. Melalui agropolitan

diharapkan dapat tercapai tujuan akhir pembangunan yaitu tercipta daerah yang

mandiri dan otonom, dan karenanya dapat mengurangi kekuasaan korporasi

transnasional atas wilayah lokal. Kepentingan lokal seperti ini akan dapat

menjadi pengontrol kekuasaan pusat ataupun korporasi yang bersifat sub-

ordinatif.

Pengembangan agropolitan diperlukan untuk lebih mengembangkan

potensi perdesaan sehingga lebih mandiri, hal tersebut ditujukan untuk:

Mereduksi pengurasan kekayaan desa (sentra produksi) ke kota besar.

28

Menghidupkan ekonomi perdesaan/kerakyatan dengan memberdayakan

potensi perdesaan/kerakyatan sehingga rnengurangi ketergantungan kepada

kota besar.

Mengurangi kemacetan/aglomerasi baik pasar modal, industri, transportasi

dll. ) kota-kota besar yang merusak lingkungan

Agropolis dikembangkan sebagai kekuatan yang mampu mendorong,

menghela dan melayani daerah-daerah pertumbuhan

Mengembangkan sistem dan usaha agribisnis dalam suatu kawasan terpiiih

dalam rangka pemerataan pembangunan dan hasilnya.

2.3.1. Pengertian Agropolitan terdiri dari kata "agro" yang berarti pertanian dan "politan

(polis)" yang berarti kota. Sehingga agropolitan dapat diartikan sebagai kota

pertanian atau kota di daerah lahan pertanian atau pertanian di daerah kota

(Departemen Pertanian, 2002). Hasan (2003) mengemukakan bahwa kegiatan

kota tani berbasis budidaya pertanian, konservasi sumberdaya alam dan

pengembangan potensi daerah dengan bingkai pembangunan berwawasan

lingkungan, yang merupakan suatu upaya untuk menghindari kesalahan

pembangunan masa lalu.

Menurut Saefulhakim (2004), "agro" bermakna "tanah yang dikelola" atau

"budidaya tanaman", yang kemudian digunakan untuk menunjuk berbagai

aktivitas berbasis pertanian. "Metropolis" bermakna " a central point or principal"

Agro - metropolis bermakna lokasi pusat pelayanan sistem kawasan sentra-

sentra aktivitas ekonomi berbasis pertanian. Kawasan agropolitan adalah

kawasan terpilih dari kawasan agribisnis atau sentra produksi pertanian terpilih

yang pada kawasan tersebut, terdapat kota pertanian (agropolis) yang

merupakan pusat pelayanan (Badan Pengembangan SDM Pertanian, 2003).

2.3.2. Batas Kawasan Agropolitan

Pendekatan pembangunan perdesaan melalui konsep agropolitan

dikembangkan oleh Friedman dan Douglass (1975). Keduanya bahkan

menekankan pentingnya pendekatan agropolitan dalam pengembangan

perdesaan di kawasan Asia dan Afrika. Pendekatan agropolitan menggambarkan

bahwa pembangunan perdesaan (rural development) secara beriringan dapat

dilakukan dengan pembangunan wilayah perkotaan (urban development) pada

tingkat lokal. Dalam konteks pengembangan agropolitan terdapat tiga issue

29

utama yang perlu mendapat perhatian, yaitu: (1) akses terhadap lahan pertanian

dan penyediaan pengairan, (2) desentralisasi politik dan wewenang administratif

dari tingkat pusat dan tingkat lokal, dan (3) perubahan paradigma atau kebijakan

pembangunan nasional untuk lebih mendukung diversifikasi produk pertanian.

Melihat kota - desa sebagai fungsi - fungsi politik dan administrasi, pendekatan

pengembangan agropolitan di banyak negara lebih cocok dilakukan pada skala

kabupaten (Douglass, 1998).

Menurut Friedman dan Douglass (1975), tujuan pembangunan

agropolitan adalah menciptakan "cities in the field" dengan memasukkan

beberapa unsur penting dari gaya hidup kota ke dalam daerah perdesaan yang

berpenduduk padat dan mempunyai ukuran tertentu. Agropolitan district

merupakan satuan yang tepat untuk membuat suatu kebijakan pembangunan

ruang, melalui desentralisasi perencanaan dan pengambilan keputusan

(decentralized). Agropolitan districts dapat dikembangkan pada perdesaan

dengan kepadatan penduduk tinggi atau peri-urban untuk meningkatkan standar

hidup, meningkatkan kesempatan tenaga kerja, dan mengurangi tingkat migrasi

ke kota (Friedman, 1996).

Implikasi hal tersebut menyebabkan kota-desa berperan sebagai site

utama untuk fungsi politik dan administrasi, transformasi wewenang dari pusat ke

daerah (desentralisasi) dan demokratisasi. Sebagai bagian dari perubahan

politik, hal tersebut akan berdampak terhadap perencanaan pembangunan

perdesaan mengenai bagaimana upaya-upaya melaksanakan pembangunan

kapasitas lokal (local capacity building) dan partisipasi masyarakat dalam suatu

program yang menumbuhkan manfaat mutual bagi masyarakat perdesaan dan

perkotaan.

Selanjutnya Mercado (2002) mengemukakan bahwa gambaran

agropolitan adalah pertama, skala geografinya relatif kecil. Kedua, proses

perencanaan dan pengambilan keputusan berdasarkan partisipasi dan aksi

koperatif pada tingkat lokal. Ketiga, diversifikasi tenaga lokal termasuk pertanian

dan kegiatan non pertanian. Keempat, pemanfaatan teknologi dan sumberdaya

setempat. Kelima, berfungsi sebagai urban-rural industrial.

Dengan luasan skala kabupaten akan memungkinkan hal-hal sebagai

berikut: (1) akses lebih mudah bagi masyarakat untuk menjangkau kota, (2)

cukup luas untuk meningkatkan dan mengembangkan wilayah pertumbuhan

ekonomi (scope of economic growth) dan cukup luas dalam upaya

30

pengembangan diversifikasi produk dalam rangka mengatasi keterbatasan

pemanfaatan desa sebagai unit ekonomi, dan (3) pengetahuan lokal (local

knowledge) akan mudah dimanfaatkan dalam proses perencanaan jika proses itu

dekat dengan rumah tangga dan produsen perdesaan.

Pendekatan pembangunan perdesaan tersebut ditangani oleh berbagai

stakeholders secara terpadu sesuai tanggung jawab bidang masing-masing.

Menurut Misra (1980), pendekatan pembangunan harus dilakukan secara

komprehensif dan terpadu untuk meningkatkan produktivitas, meningkatkan

kualitas hidup penduduk perdesaan dan meningkatkan pembangunan bertumpu

pada masyarakat. Pendekatan pembangunan tersebut disarankan agar

dilaksanakan melalui enam elemen dasar yaitu: (1) pembangunan pertanian

dengan padat karya (labour intensive), (2) menciptakan lapangan kerja, (3)

membangun industri kecil/industri rumah tangga pada wilayah pertanian, (4)

gotong-royong masyarakat setempat dan partisipasi dalam membuat keputusan,

(5) mengembangkan hirarki pembangunan kota untuk mendukung pembangunan

perdesaan, dan (6) kelembagaan yang tepat untuk koordinasi multisektor.

Menurut Rustiadi (2004) pengembangan agropolitan memerlukan

terjadinya re-organisasi pembangunan ekonomi wilayah perdesaan. Hal ini

dapat dilakukan melalui strategi peningkatan kesempatan kerja dan peningkatan

pendapatan. Strategi tersebut memerlukan beberapa dukungan kebijakan agar

mampu meningkatkan kinerja ekonomi perdesaan, seperti antara lain redistribusi

asset, terutama yang menyangkut lahan dan kapital.

Di Indonesia, pembangunan agropolitan yang sifatnya masih rintisan telah

dilaksanakan dalam lima tahun terakhir ini. Program ini merupakan kerjasama

antara Depertemen Pertanian dengan Departemen Kimpraswil.

Departemen Pertanian bertanggung jawab terhadap penyiapan lokasi garapan

dan penyuluhan sedangkan Departemen Kimpraswil sesuai dengan core bisnis-

nya membangun prasarana dan sarana yang diperlukan untuk mendukung

keberhasilan program agropolitan. Dalam pelaksanaannya belum didukung

adanya kebijakan secara nasional melainkan hanya berupa Pedoman Umum

Pengembangan Kawasan Agropolitan dan Pedoman Program Rintisan

Pengembangan Kawasan Agropolitan, yang dikeluarkan oleh Departemen

Pertanian.

Dalam pelaksanaanya, belum semua stakeholders yang diharapkan ikut

bersama-sama secara terpadu menangani program agropolitan ini. Saat ini baru

31

beberapa instansi saja yang secara aktif menangani program ini. Adalah tidak

mungkin kalau untuk keberhasilan program ini hanya bertumpu pada peran

pemerintah, tetapi juga diperlukan keterlibatan masyarakat, swasta, dan

pemerintah secara bersama-sama dan bermitra untuk menyepakati program-

program yang dibutuhkan untuk dilaksanakan secara terencana dan

berkesinambungan.

2.4. Pembangunan Agribisnis yang Berkelanjutan Berbasis Sumberdaya Lokal

Pembangunan agribisnis di Indonesia dapat dikatakan merupakan sektor

yang paling mampu bertahan dan mampu menikmati keuntungan yang berlipat

ganda apabila nilai tukar rupiah terhadap dolar menurun. Kondisi ini terjadi

karena pengembangan kegiatan agribisnis relatif kurang mengandalkan bahan

baku yang berasal dari komponen impor, artinya kegiatan agribisnis

menggunakan sebanyak mungkin komponen input yang dapat dihasilkan di

dalam negeri. Pada sisi lain, output kegiatan agribisnis sebagian besar adalah

jenis barang-barang yang merupakan kebutuhan mendasar bagi kelanjutan

kehidupan manusia yang berupa kebutuhan pangan, sandang, papan,

kosmetika, kesehatan, dan sebagainya. Perbandingan rendahnya harga beli

input dan tingginya nilai jual output kegiatan agribisnis menyebabkan keuntungan

ideal yang dapat diperoleh oleh para pengusaha agribisnis di Indonesia.

Akan tetapi apabila kita mengkaji lebih jauh pengelolaan usaha-usaha

agribisnis yang terjadi selama ini di Indonesia, umumnya kurang memperhatikan

manfaat yang dapat diperoleh dalam jangka panjang. Orientasi usaha agribisnis

yang dilakukan oleh banyak pengusaha di Indonesia selama ini, baik petani kecil

yang mengelola usaha skala kecil atau pengusaha besar yang mengelola lahan

pertanian pada skala yang amat luas, cenderung kurang memperhatikan pola

pengusahaan kegiatan agribisnis yang berkelanjutan.

Kegiatan agribisnis memang berbasiskan pada sumber daya yang

renewable (dapat diperbaharui), tetapi lahan usaha (tanah, hutan, air) sebagai

sarana produksi yang mendasar untuk mengembangkan kegiatan agribisnis juga

mempunyai daya dukung yang juga terbatas jika tidak diperhatikan usaha-usaha

pengelolaannya agar tetap lestari. Keberhasilan agribisnis tidak hanya

diindikasikan oleh kontinuitas dan peningkatan produksi agribisnis, tetapi juga

bagaimana agar agribisnis tersebut dapat memberikan manfaat yang merata bagi

32

semua pelaku dalam sistem agribisnis secara kontinyu dan menjaga kelestarian

lingkungan.

Ada dua kelemahan mendasar dalam pengembangan usaha di sektor

pertanian Indonesia selama ini. Pertama, adalah keuntungan hanya dinikmati

oleh sekelompok pengusaha yang memiliki modal besar dan aksesibilitas

terhadap berbagai sumber daya pokok maupun pendukung usaha (perbankan,

pasar, informasi harga dan teknologi); dan kedua, terjadinya eksploitasi besar-

besaran terhadap sumber daya sehingga menyebabkan terjadinya

ketidakseimbangan lingkungan.

Dalam perencanaan kebijakan pembangunan perekonomian Indonesia,

khususnya dalam pengembangan agribisnis, maka penting diperhatikan strategi

kegiatan yang berusaha semaksimal mungkin untuk mengoptimalkan potensi

sumber daya lokal yang ada (sumber daya alam dan sumber daya sosial-

budaya) dan memperhatikan kelestarian lingkungan. Dalam kegiatan penge-

lolaan usaha pertanian yang dilakukan oleh para petani pada zaman dahulu,

banyak kepercayaan atau strategi memanfaatkan sumber daya alam yang

sangat memperhatikan terjaganya kelestarian lingkungan. Contoh untuk hal

tersebut adalah menggunakan pupuk tanaman yang berasal dari sisa tanaman

atau kotoran hewan, menghindari melakukan eksploitasi sumber daya alam di

wilayah pegunungan, upaya memberantas hama dan penyakit tanaman tanpa

menggunakan zat-zat kimia tetapi dengan menggunakan cara-cara

pemberantasan secara alami, dan banyak lagi cara-cara lainnya yang seringkali

dipandang kurang rasional oleh pengikut teori modernisasi.

Optimalisasi pemanfaatan sumber daya lokal bagi pengembangan agri-

bisnis di Indonesia merupakan strategi terbaik dalam mendukung pertumbuhan

perekonomian masyarakat secara adil dan berkelanjutan. Kekayaan alam

Indonesia cukup besar untuk dapat mendukung keberlangsungan hidup seluruh

rakyat Indonesia, tetapi kuncinya adalah bagaimana mengelola semua itu secara

benar, agar manfaatnya tidak hanya dinikmati oleh sekelompok orang dalam

jangka pendek.

Pengembangan agribisnis merupakan suatu strategi pembangunan

pertanian di Indonesia yang berusaha meningkatkan nilai tambah dan daya saing

komoditas pertanian Indonesia di pasaran domestik dan internasional. Namun

penting diperhatikan berbagai upaya yang dapat mencegah eksploitasi yang

berlebihan terhadap sumber daya alam Indonesia dan mengabaikan

33

pengembangan usaha yang selaras dengan lingkungan alam serta lingkungan

sosial.

Berbagai kasus pengembangan agribisnis beberapa komoditas

kehutanan dan perkebunan yang telah banyak dilakukan selama ini umumnya

berorientasi pada peningkatan produksi dan produktivitas komoditas yang

dihasilkan dalam jangka pendek, sehingga kurang memperhatikan daya dukung

sumber daya alam, manusia dan kelembagaan lokal yang ada di wilayah

pengembangan usaha tersebut. Oleh karena itu tidak mengherankan jika cukup

banyak kegiatan agribisnis yang tidak berumur panjang, melakukan eksploitasi

sumber daya yang berlebihan atau menimbulkan konflik dengan masyarakat di

sekitar lokasi (Tampubolon, 2002).

2.5. Agribisnis Sapi Potong

Istilah agribisnis pertama kali muncul tahun 1950-an sebagai istilah yang

digunakan terhadap gugus industri (cluster industry) yang melakukan

pendayagunaan sumberdaya hayati (Pambudy et al. 2001). Berdasarkan

pendekatan etimologis, pengertian agribisnis adalah usaha dagang yang

berbasis pada semua kegiatan yang memanfaatkan tanah atau lahan sebagai

basis budidaya (agri berarti tanah atau lahan dan bisnis berarti usaha dagang).

Dengan demikian, agribisnis sapi potong berarti pemanfaatan tanah atau lahan

sebagai usaha perdagangan sapi potong. Namun, pengertian agribisnis saat ini

tIdak hanya terbatas pada pengertian berdasarkan etiomologis, akan tetapi telah

meluas seiring dengan tuntutan aspirasi dan tantangan global dikaitkan dengan

semangat modernisasi dan aktualisasi kehidupan di berbagai bidang.

Menurut Djajalogawa dan Pambudy (2003), agribisnis sapi potong

diartikan sebagai "suatu kegiatan bidang usaha sapi potong yang menangani

seluruh aspek siklus produksi secara seimbang dalam suatu paket kebijakan

yang utuh melalui pengelolaan pengadaan, penyediaan dan penyaluran sarana

praduksi, kegiatan budidaya, pengelolaan pemasaran dengan melibatkan semua

stakeholders (pemangku kepentingan) dengan tujuan untuk mendapatkan

keuntungan yang seimbang dan proporsional bagi kedua belah pihak (petani-

peternak, perusahaan swasta dan pemerintah)". Sistem agribisnis sapi potong

merupakan kegiatan yang mengintegrasikan pembangunan sektor pertanian

secara simultan (dalam arti luas) dengan pembangunan industri dan jasa terkait

dalam suatu kluster industri (industrial cluster) sapi potong yang mencakup

34

empat subsistem. Keempat subsistem tersebut menurut Saragih (2000) adalah

sebagai berikut:

1) Subsistem agribisnis hulu (upstream off-farm agribusiness), yaitu kegiatan

ekonomi (praduksi dan perdagangan) yang menghasilkan sapronak seperti

bibit sapi potong, pakan ternak, industri obat-obatan, dan inseminasi buatan;

2) Subsistem agribisnis budidaya sapi potong (on-farm agribusiness) yaitu,

kegiatan ekonomi yang selama ini kita sebut sebagai usaha ternak sapi

potong;

3) Subsistem agribisnis hilir (downstream off-farm agribusiness), yaitu kegiatan

ekonomi yang mengolah dan memperdagangkan hasil usaha ternak. Ke

dalam subsistem ini termasuk industri pemotongan ternak, industri

pengalengan dan pengolahan daging, dan industri pengolahan kulit;

4) Subsistem jasa penunjang (supporting institution), yaitu kegiatan yang

menyediakan jasa bagi agribisnis sapi potong seperti perbankan, asuransi,

koperasi, trasportasi, penyuluhan, poskeswan, kebijakan pemerintah,

lembaga pendidikan dan penelitian.

Menurut Irawan dan Pranadji (2002), agribisnis merupakan sistem

terpadu yang meliputi empat bagian (subsistem) yaitu:1) Subsistem pengadaan

dan distribusi sarana/prasarana produksi yang akan dipergunakan sebagai input

produksi pada subsistem budidaya, 2). Subsistem produksi atau usaha tani, yang

akan menghasilkan produk pertanian primer, misalnya daging, beras, dan jagung

dan lain-lain, 3). Subsistem pengolahan hasil dan pemasaran, dan 4). Subsistem

pelayanan pendukung, berupa fasilitas jalan, kredit, kebijakan pemerintah, dan

lain-lain. Dengan demikian dapat diartikan secara substansial pengertian sistem

agribisnis dari kedua teori tersebut tidak ada perbedaan. Sebagai suatu sistem,

keempat subsistem agribisnis sapi potong beserta usaha-usaha di dalamnya

berkembang secara simultan dan harmonis, sebagaimana disajikan pada

Gambar 4.

35

2.5.1. Subsistem agribisnis hulu

Subsistem agribisnis hulu (upstream off-farm agribusiness) dari sistem

agribisnis sapi potong mencakup kegiatan ekonomi (produksi dan perdagangan)

yang menghasilkan sarana produksi peternakan, seperti bibit, pakan ternak,

industri obat-obatan, dan lain-lain. Kegiatan pada subsistem ini memiliki peranan

penting dalam pengembangan sistem agribisnis terutama bibit. Skala usaha atau

jumlah pemilikan induk sapi untuk pembibitan umumnya kecil, berkisar antara 1 -

3 ekor per petani. Kecilnya usaha ini karena merupakan usaha rumah tangga,

dengan modal, tenaga kerja, dan manajemen seluruhnya atau sebagian besar

berasal dari keluarga petani yang serba terbatas. Karena kecilnya pemilikan

ternak, usaha pembibitan umumnya hanya sebagai usaha sampingan.

Ada dua macam teknik reproduksi ternak yang sudah dikembangkan di

Indonesia untuk menghasilkan bibit, yaitu inseminasi buatan (IB) dan kawin alam.

Di antara kedua teknik reproduksi tersebut, IB semakin popular di kalangan

masyarakat petani ternak. Hal ini disebabkan oleh tingginya permintaan akan

ternak terutama ternak besar. Menurut Hadi dan llham (2002), ada beberapa

permasalahan dalam. industri pembibitan ternak di Indonesia, antara lain; 1).

Angka pelayanan kawin per kebuntingan (service per conception - S/C) masih

cukup tinggi, mencapai 2.6, 2). Masih terbatasnya fasilitas pelayanan IB yang

Subsistem Agribisnis Hulu

Sistem produksi dan distribusi sarana dan alat-alat peternakan : Bibit/Induk/Semen Pakan/Konsentrat Obat Hewan Lahan Kandang Tenaga Kerja

Subsistem Agribisnis Budidaya

Sistem kegiatan produksi peternakan primer, penanganan dan pemasaran produk-produk primer : Pengolahan lahan Antisipasi iklim/cuaca Pencegahan penyakit Pemberantasan penyakit Pembelian Sapronak Kegiatan produksi

Subsistem Agribisnis Hilir

Sistem pengumpulan produk primer peternakan, pengolahan produk, distribusi dan pemasaran produk olahan (segar, beku, kaleng dan sebagainya) sampai ke konsumen akhir

Subsistem Lembaga Penunjang

Penyedian sarana usaha (agrisupport) dan pengaturan iklim usaha (agriclimate) Prasarana (jalan, pasar, kelompok peternak, koperasi, lembaga keuangan, dan lain-lain) Sarana (transportasi, informasi, kredit, peralatan, dan lain-lain) Kebijakan (RUTR, Makro, Mikro, dan lain-lain) Penyuluhan

Gambar 4. Lingkup pembangunan agribisnis sapi potong

36

tersedia baik ketersediaan semen beku, tenaga inseminator dan masalah

transportasi, 3). Jarak beranak (calving interval) masih terlalu panjang, dan 4).

Tingginya tingkat kematian (mortality rate) pedet pra sapih, bahkan ada yang

mencapai 50%. Rendahnya produktivitas ternak dalam hal pembibitan seperti ini

menyebabkan kebutuhan ternak yang bermutu belum dapat terpenuhi. Hal ini

sekaligus mencerminkan masih lemahnya program perbaikan mutu genetik, yang

mengharuskan kita tetap mengimpor ternak dalam jumlah yang cukup besar.

Pakan ternak dapat disediakan dalam bentuk hijauan dan konsentrat.

Satu hal yang terpenting adalah pakan tersebut dapat memenuhi kebutuhan

protein, karbohidrat, lemak vitamin, dan mineral. Hijauan untuk pakan ternak

dapat berasal dari rumput alam atau limbah pertanian dan perkebunan. Berbagai

hasil penelitian merekomendasikan jerami dan dedak (bekatul) serta limbah

perkebunan kelapa sawit (pelepah, daun, tandan kosong, serat perasan, dan

bungkil) merupakan sumber pakan yang cukup baik untuk ternak sapi potong

(Sarwono dan Arianto, 2002) dan (Dwiyanto et al. 2003). Teknologi pengolahan

pakan menjadi aspek penting untuk keberlangsungan usaha agribisnis sapi

potong. Ketergantungan pakan hijauan yang bersumber dari rumput alam akan

menghadapi kendala pada saat musim kering.

2.5.2. Subsistem agribisnis budidaya

Pada subsistem agribisnis budidaya (on-farm agribusiness), menurut

Prasetyo (1994) ada dua kegiatan utama, yaitu kegiatan pengembangbiakan

(reproduksi) dan penggemukan. Kegiatan budidaya ternak untuk tujuan

penggemukan sudah banyak dilakukan, baik dalam skala usaha kecil (petani)

maupun dalam bentuk perusahaan besar. Faktor yang penting untuk diperhatikan

dalam usaha budidaya peternakan adalah manajemen pemberian pakan.

Pemberian pakan pada ternak peliharaan dibedakan menjadi dua golongan yaitu

pakan perawatan, untuk mempertahankan hidup dan kesehatan dan pakan

produksi untuk pertumbuhan dan pertambahan berat badan.

2.5.3. Subsistem Agribisnis Hilir

Subsistem agribisnis hilir (downstream off-farm agribusiness) dari sistem

agribisnis peternakan adalah kegiatan ekonomi yang mengolah dan

memperdagangkan hasil usaha ternak. Ke dalam subsistem ini termasuk industri

37

pemotongan ternak, industri pengalengan dan pengolahan daging, industri

pengolahan kulit dan lain-lain.

Pengembangan teknologi proses dan produk pada subsistem hilir

diarahkan untuk peningkatan efisiensi, pengembangan diversifikasi teknologi

prosesing untuk menghasilkan diversifikasi produk, meminimumkan waste dan

pollutan, dan pengembangan teknologi produk. Sapi potong menghasilkan

produk utama yaitu daging dan jeroan. Produk samping yaitu kulit, tulang,

tanduk, darah, lemak, lidah, dan otak serta limbah yakni isi rumen dan kotoran.

Hampir semua bagian sapi potong dapat dijadikan sebagai produk bermanfaat

yang bisa dimakan dan tidak bias dimakan, seperti disajikan dalam pohon

industri pada Gambar 6.

Menurut llham et al. (2002), keragaan saluran tataniaga ternak dan

daging sapi menunjukkan bahwa sebagian besar konsumen akhir adalah

konsumen daging segar. Pola umum saluran tataniaga daging dapat dilihat pada

Gambar 5. Konsumen membeli daging dengan harga eceran jika membeli dari

pengecer, atau harga produsen jika membeli dari pejagal/distributor. Kelompok

konsumen daging segar terdiri dari; konsumen rumah tangga, rumah

makan/restoran, hotel, tukang baso, dan lain-lain.

Gambar 5. Pola umum saluran tataniaga ternak dan daging

Pedagang

Peternak Penjagal/Pemotong

Pengecer

Konsumen

38

Gamb

ar 6.

Poh

on in

dustr

i sap

i poto

ng (ju

doam

idjojo

, 198

0; Pa

lupi, 1

986;

Purn

omo,

1997

; WW

W.ris

tek.go

.id, 2

00; D

ewan

Iptek

dan I

ndus

tri Su

mbar

, 200

1;

Asta

wan ,

2004

; Usk

a, 20

04; W

ahyo

no da

n Mar

zuki,

2004

; Mur

tidjo,

2005

; www

.Hala

lguide

.info

[09-0

1-20

09]

39

2.5.4. Subsistem agribisnis lembaga penunjang

Subsistem agribisnis lembaga penunjang (supporting institution)

merupakan subsistem yang sangat berperan terhadap ketiga subsistem

agribisnis lainnya. Subsistem ini akan memberikan dukungan secara

kelembagaan dalam pengembangan sistem agribisnis secara keseluruhan. Ada

beberapa lembaga yang berperan di dalam sub sistem lembaga penunjang untuk

pengembangan sistem agribisnis berbasis lingkungan seperti perbankan,

asuransi, koperasi, transportasi, penyuluhan, poskeswan, kebijakan pemerintah,

lembaga pendidikan dan penelitian, dan lain-lain.

Pelayanan kesehatan hewan perlu mendapat perhatian dalam upaya

pengembangan sistem agribisnis peternakan karena hal tersebut berkaitan

dengan tingkat produktivitas ternak. Kesehatan ternak menjadi faktor penentu

tingkat produktifitas ternak, karena kondisi kesehatan ternak terkait dengan

pertambahan berat badan dan waktu yang diperlukan untuk mencapai usia

dewasa kelamin. Ternak yang tidak sehat akan terganggu pertumbuhannya

sehingga produktifitasnya menjadi rendah. Aplikasi teknologi kesehatan hewan

berupa pelayanan kesehatan hewan seperti pencegahan dan pemberantasan

penyakit menular, pemberian vitamin/probiotik, pemberian obat cacing,

pemeriksaan kesehatan reproduksi dan lain sebagainya memerlukan pos

kesehatan hewan (poskeswan) yang difasilitasi oleh pemerintah dan didukung

oleh tenaga teknis di bidang kesehatan hewan (Dokter Hewan dan paramedis

kesehatan hewan).

Koperasi merupakan salah satu lembaga yang juga perlu mendapat

perhatian dalam upaya pengembangan sistem agribisnis peternakan, mengingat

petani ternak sebagai pelaku mayoritas dan utama dalam sistem ini memiliki

kemampuan yang lemah dalam hal permodalan, akses informasi, dan aplikasi

teknologi (Yusdja et al. 2002). Koperasi dapat menjadi media bagi petani ternak

untuk secara bersama-sama membangun usahanya secara terintegrasi dari

subsistem hulu sampai subsistem hilir, agar petani ternak dapat memperoleh nilai

tambah yang lebih baik. Saat ini, koperasi yang bergerak di kalangan peternak

sapi potong memang belum berkembang sebaik koperasi yang bergerak di

kalangan peternak sapi perah, misalnya Gabungan Koperasi Susu Indonesia

(GKSI).

Khusus aspek permodalan, pihak perbankan masih menganggap bahwa

usaha kegiatan agribisnis sapi potong sebagai usaha yang belum mendapatkan

40

prioritas untuk mendapatkan bantuan kredit usaha. Hal ini dikarenakan, pihak

perbankan masih menganggap bahwa agribisnis sapi potong beresiko tinggi

(high risk) dan rendah dalam hal pendapatan (low return) (Karim 2002). Namun

menurut Thohari (2003) ada beberapa sumber pembiayaan yang dapat

dimanfaatkan untuk mendukung pengembangan agribisnis sapi potong antara

lain adalah: kredit taskin, modal ventura, pemanfaatan laba BUMN, pegadaian,

kredit BNI, kredit komersial perbankan (kupedes dari BRI, swamitra dari Bukopin,

kredit usaha kecil dari: BNI, Bank Danamon, Bll, Bank Mandiri, kredit BCA, kredit

pengusaha kecil dan mikro (KPKM) dari Bank Niaga, kredit modal kerja dari Bank

Agro Niaga), dan pemanfaatan lembaga keuangan mikro (LKM) di pedesaan.

Dalam rangka pengembangan sistem agribisnis maka prasarana jalan

merupakan faktor yang menentukan tingkat aksesibilitas dalam suatu kawasan.

Aksesibilitas kawasan akan mempengaruhi kinerja sosial dan ekonomi

masyarakat. Di sisi lain, tingginya sumbangan terhadap perekonomian wilayah

dari suatu daerah akan mendorong pemerintah untuk membangun infrastruktur

jalan menuju kawasan agribisnis. Prasarana jalan merupakan prasarana vital

untuk mengembangkan perekonomian di wilayah. Terbangunnya jalan

kabupaten (antar kecamatan) dan antar desa akan memudahkan pengangkutan

hasil pertanian dan peternakan berupa barang produksi dan konsumsi.

Prasarana jalan merupakan kebutuhan prioritas dalam pengembangan agribisnis

di wilayah perdesaan.

2.6. Pembangunan Peternakan Di Era Otonomi Daerah

Program pembangunan peternakan sebagai bagian dari program

pembangunan sektor pertanian mengarah langsung kepada pemberdayaan

petani ternak, koperasi, dan swasta. Mekanisme pelaksanaannya dilakukan

melalui pelimpahan wewenang (dekosentrasi) dan penyerahan wewenang

(desentralisasi) kepada daerah kabupaten/kota sebagai pencerminan dari

kebijakan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Undang-

undang No 32 Tahun 2004, Undang-undang No. 25 Tahun 1999 serta PP No. 25

Tahun 2000, merupakan landasan yuridis formal dalam penataan peran dan

tanggung jawab pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dalam

pembangunan peternakan.

Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 dan 25 Tahun 1999 kemudian

dituangkan ke dalam PP No. 25 Tahun 2000 dijelaskan batas kewenangan

41

antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya

bidang peternakan. Menurut Dirjen Bina Produksi Peternakan (2002) secara rinci

pemetaan kewenangan di bidang peternakan berdasarkan tugas dan fungsi

pengembangan peternakan dapat dilihat pada Tabel 1.

Berdasarkan peta kewenangan sesuai dengan pelaksanaan otonomi

daerah, maka penyebaran dan pengembangan ternak menjadi kewenangan

pemerintah daerah. Oleh karena itu maka penyebaran ternak gaduhan yang

bersumber dari dana APBN yang semula merupakan aset pemerintah pusat,

dengan telah diberlakukannya PP No. 25 Tahun 2000, secara otomatis aset

tersebut menjadi milik pemerintah daerah.

Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 417 Tahun 2001 tentang

pedoman umum penyebaran dan pengembangan ternak pemerintah telah

didasarkan pada semangat otonomi daerah yang tercermin dari tujuan program

tersebut, yaitu untuk membentuk kawasan peternakan, menciptakan

keseimbangan pembangunan antar wilayah, optimalisasi sumberdaya alam untuk

meningkatkan pendapatan peternak, dan meningkatkan populasi dalam rangka

pemberdayaan masyarakat peternak.

2.6.1. Pembangunan Peternakan Sapi Potong. Peranan sub-sektor peternakan pada perekonomian Indonesia menurut

Bachtiar (1991) dipengaruhi oleh indikator yang digunakan. Suatu wilayah

mempunyai potensi pengembangan komoditi pertanian (peternakan) pada

kawasan strategis dan sentra produksi antara lain karena adanya sejumlah

populasi ternak yang dikaitkan dengan kepadatan ternak, luas area untuk

pengembangan ternak, sarana dan prasarana pendukung, tingkat produktivitas

atau efisiensi usaha dan adanya peluang pasar. Penentuan wilayah potensi

kurang tepat bila dikaitkan dengan batas administrasi, seperti penetapan potensi

wilayah peternakan didasarkan pada prinsip tata ruang daerah. Populasi ternak

dijadikan indikator untuk melihat pengaruh jumlah populasi ternak terhadap

variabel-variabel jumlah penduduk, produk domestik regional bruto (PDRB) per

kapita, luas padang rumput, luas tegalan/ladang dan luas sawah dari berbagai

data populasi ternak di seluruh Indonesia.

42

Tabel 1. Batas kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan sumberdaya peternakan.

Tingkat Pusat Tingkat Provinsi Tingkat Kabupaten/Kota

Penetapan kebijakan tata ruang peternakan

Pembinaan & pengembangan kelembagaan peternakan

Perumusan model pengembangan kelembagaan ekonomi peternakan seperti koperasi, kelembagaan pemasaran dan pengembangan usaha.

Analisis dan pelayanan informasi pasar

Promosi ekspor komoditas ternak unggulan daerah.

Analisis dan pelayanan informasi peluang investasi. Analisis pola pengembangan usaha peternakan di kawasan agroekologi. Penetapan tata ruang untuk peternakan di wilayah provinsi. Pemantauan dan pengawasan penerapan standar-standar teknis eksplorasi, eksploitasi, konservasi, rehabilitasi dan pengelolaan sumberdaya alam hayati serta tata ruang untuk peternakan di wilayah provinsi.

Identifikasi potensi, pemetaan tata ruang dan pemanfaatan lahan untuk penyebaran dan pengembangan peternakan.

Bimbingan dan pengawasan penyebaran & pengembangan serta redistribusi ternak.

Bimbingan dan pengawasan ternak oleh swasta.

Penyebaran & pengembangan serta redistribusi ternak pemerintah.

Pelaksanaan promosi komoditas peternakan.

Pembinaan dan pengembangan kemitraan petani ternak dan pengusaha.

Bimbingan kelembagaan usaha peternakan, manajemen usaha, analisis usaha, dan pemasaran hasil peternakan.

Bimbingan eskplorasi, eksploitasi, konservasi, rehabilitasi, dan pengelolaan sumberdaya alam hayati peternakan.

Bimbingan teknis pengembangan lahan, konservasi tanah dan air dan rehabilitasi lahan kritis di kawasan peternakan.

Sumber : Dirjen Bina Produksi Peternakan, 2002

Populasi ternak sapi ternyata hanya dipengaruhi oleh variabel luas sawah

dan erat perkembangannya dengan usaha tani padi sawah. Penduduk dan

PDRB mempunyai hubungan kuat hanya terhadap jumlah ternak dan usaha

ternak yang bersifat tradisional. Jumlah dan usaha ternak tidak akan berkembang

tanpa penduduk walaupun areal tersedia. Dalam hal ini Bachtiar (1991)

menyatakan sebagai berikut.

43

1. Semakin tinggi tingkat pendapatan per kapita, maka semakin kecil jumlah

ternak. Hal ini menunjukan bahwa usaha peternakan hanya berkembang di

wilayah yang relatif miskin, padahal tambahan pendapatan dari sektor lain

belum terbuka. 2. Kebijaksanaan pemerintah untuk mendorong kegiatan investasi swasta

sangat diperlukan terutama kebijakan deregulasi untuk menekan biaya

produksi/harga input dan penyediaan informasi potensi suatu daerah perlu

dikembangkan untuk menarik investor di bidang peternakan. 3. Usaha peternakan rakyat di wilayah yang relatif belum berkembang

perekonomiannya berpotensi besar ditingkatkan teknologinya, sehingga

dapat memberikan sumber pendapatan yang lebih menarik. Semakin tinggi

pendapatan per kapita di suatu wilayah, semakin berkurang populasi

ternaknya, jumlah penduduk dan areal sawah akan menentukan konsentrasi

ternak yang dikembangkan dengan memanfaatkan areal padang rumput dan

membentuk usaha peternakan yang berskala besar dan intensif.

Perkembangan peternakan dapat dilihat dari tingkat pertumbuhan atau

kemandirian kelompok ternak di suatu kawasan pengembangan. Kondisi

kawasan peternakan ditentukan oleh tingkat pertumbuhan berdasarkan

perkembangan agroekosistem. Dirjen Bina Produksi Peternakan (2002) membagi

tingkat kawasan pertumbuhan/kemandirian kelompok ternak, yaitu kawasan

baru, kawasan binaan, dan kawasan mandiri.

1. Kawasan baru. Merupakan daerah atau wilayah kosong ternak atau jarang

ternak yang memiliki potensi untuk pengembangan peternakan. Peternak

telah memiliki usaha tani lain di samping peternakan. Kelompok belum

terbentuk atau sudah ada akan tetapi belum memiliki kelembagaan yang kuat

(kelompok pemula). Tersedia lahan untuk bahan pakan ternak, limbah

pertanian yang dapat digunakan sebagai salah satu sumber bahan makanan

ternak dan peran pemerintah pada pelayanan, pengaturan dan pengawasan.

2. Kawasan Binaan. Merupakan perkembangan lebih lanjut dari kawasan baru

setelah memenuhi berbagai persyaratan yang ditentukan untuk kawasan

binaan. Wilayah telah berkembang sesuai dengan pengembangan dan

peningkatan kemampuan kelompok dari kelompok pemula menjadi kelompok

madya dan masing-masing kelompok telah memiliki populasi minimal dengan

skala usaha yang ekonomis. Telah dirintis adanya kerjasama antar kelompok

44

dalam bentuk usaha bersama agribisnis (KUBA). Telah dirintis pendirian unit-

unit pelayanan, unit-unit pengembangan sarana dan unit pemasaran. Peran

pemerintah sama seperti pada kawasan baru, namun peran pelayanan mulai

sudah berkurang.

3. Kawasan Mandiri. Merupakan lanjutan dari perkembangan kawasan binaan

yang telah lebih maju dan berkembang dalam suatu wilayah yang lebih luas.

Terdapat kelompok petani yang meningkat kemampuannya menjadi

kelompok lanjut dan telah bekerjasama antara beberapa kelompok dalam

wadah KUBA (kelompok usaha bersama agribisnis), dan dapat

dikembangkan beberapa KUBA dan saling bekerja sama. Terdapat populasi

minimal dengan skala usaha yang ekonomis per kepala keluarga, per

kelompok, per KUBA dan perkembangan populasi minimal untuk satu

kawasan. Terdapat unit-unit pelayanan, unit-unit pengembangan sarana

produksi dan unit pemasaran yang efisien, sehingga ada kemandirian petani

peternak, kelompok KUBA dan kawasan. Pada kawasan mandiri peran

pemerintah hanya dalam pengaturan dan pengawasan. Berdasarkan standar kawasan agribisnis peternakan (Tim Fapet IPB,

2002) pengembangan peternakan pada suatu kawasan harus menghasilkan

produk yang berkualitas. Kualitas tersebut antara lain dapat dilihat dari kualitas

daging sapi yang ditentukan oleh jumlah kandungan lemaknya, bobot total

daging dan lemak sapi ditentukan oleh bobot karkasnya, menurut Priyanto et al.

(1997) bobot karkas segar merupakan indikator yang akurat dalam memprediksi

bobot total daging yang dihasilkan.

Peningkatan kualitas hasil sapi potong juga dipengaruhi oleh pakan yang

diberikan selama proses pemeliharaan atau budidaya ternak sapi. Sapi potong

yang diberikan pakan yang sesuai, mempunyai kandungan lemak lebih rendah

serta serat-serat yang sangat lembut dibanding jenis ternak besar lainnya dan

disukai konsumen. Priyanto et al. (1999) menyatakan bahwa daging sapi lebih

disukai karena kelembutan, mempunyai sedikit kandungan lemak dan sejumlah

kandungan air daging.

Penggemukkan sapi menggunakan pakan tambahan Boosdext menurut

Sarwono dan Arianto (2001) dapat efektif meningkatkan pertambahan bobot sapi

dalam waktu dua sampai tiga bulan dan serat-serat daging sapi yang dihasilkan

sangat lembut, sedangkan menggunakan Starbio dan Bioplus membutuhkan

waktu lebih lama, yaitu enam sampai delapan bulan pemeliharaan. Penggunaan

45

teknologi Boosdext menghasilkan daging yang berkualitas dengan kandungan

lemak yang rendah, yaitu sebesar 1,68 persen (Uje, 1999; Hadi, 2000; Hadi dan

Sediono, 2000). Pemberian pakan tambahan seperti Starbio, Bioplus dan

Bossdext digunakan untuk mengatur keseimbangan mikroorganisme di dalam

rumen (alat pencernaan).

Menurut Priyanto et al. (1999) nilai jual produk daging sapi di pasaran

bervariasi sesuai dengan segmentasi pasar dan tingkat kualitasnya. Daging sapi

mempunyai nilai ekonomi (mutu maupun harga) lebih tinggi dibandingkan dengan

hasil temak besar/kecil lainnya (Sugeng, 2001).

2.6.2. Kendala dan Peluang Pengembangan Sapi Potong

Perkembangan sapi potong di suatu wilayah, secara umum harus

memperhatikan tiga faktor, yaitu pertimbangan teknis, sosial dan ekonomis.

Pertimbangan teknis mengarah pada kesesuaian pada sistem produksi yang

berkesinambungan, ditunjang oleh kemampuan manusia, dan kondisi

agroekologis. Pertimbangan sosial mempunyai arti bahwa eksistensi ternak di

suatu daerah dapat diterima oleh sistem sosial masyarakat dalam arti tidak

menimbulkan konflik sosial. Sedangkan pertimbangan ekonomis mengandung

arti bahwa ternak yang dipelihara harus menghasilkan nilai tambah bagi

perekonomian daerah serta bagi pemeliharanya sendiri (Santosa, 2001).

Selanjutnya dikatakan bahwa disamping ketiga faktor tersebut terdapat faktor lain

yang mempengaruhi perkembangan peternakan secara eksternal diantaranya

infrastruktur, keterpaduan dan koordinasi lintas sektoral, perkembangan

penduduk serta kebijakan pengembangan wilayah atau kebijakan pusat dan

daerah. Pengembangan sistem budidaya sapi potong melalui pola-pola integrasi,

pada dasarnya mengikuti prinsip-prinsip ekosistem alami dengan cara

memanfaatkan sumberdaya lokal yang tersedia dan ramah lingkungan

(environmental friendly) sehingga tercipta suatu keseimbangan yang dinamis dan

meningkatkan produktivitas. Karena yang menjadi ciri ekosistem alami adalah

adanya keanekaragaman, adanya ketergantungan dan keterkaitan, adanya

keseimbangan yang dinamis, adanya harmonisasi dan stabilisasi, serta adanya

manfaat dan produktivitas (Sutjahjo 2004)

Menurut Atmadilaga (1975), hambatan-hambatan dalam usaha

meningkatkan produksi ternak pada umumnya disebabkan oleh masalah yang

kompleks dan bersifat biologis, ekologis, serta sosioekonomis. Hal ini akan

46

berpengaruh terhadap produktivitas secara kuantitatif terutama ternak yang

bersifat tradisional.

Dalam pembangunan peternakan nasional, peternakan rakyat ternyata

masih memegang peranan sebagai aset terbesar, tetapi sampai saat ini

tipologinya masih bersifat sambilan (tradisional) yang dibatasi oleh skala usaha

kecil, teknologi sederhana, dan produknya berkualitas rendah (Soehadji, 1995).

Hal tersebut diperkuat oleh Sudrajat (2000) yang menyatakan bahwa beberapa

kendala yang dijumpai dalam pengembangan sapi potong adalah : (1)

Penyempitan lahan pangonan, (2) kualitas sumberdaya manusia rendah, (3)

produktivitas ternak rendah, (4) akses ke pemodal sulit. (5) koordinasi lintas

sektoral belum kondusif, dan (5) penggunaan teknologi masih rendah.

Sebagai suatu sistem, pengembangan peternakan pada saat ini masih

menghadapi berbagai kendala. Menurut Santosa (2001) secara nasional kita

dihadapkan kepada persoalan-persoalan sebagai berikut.

Harga obat hewan yang semakin tinggi.

Kesulitan untuk memperoleh bibit.

Kesulitan untuk akses ke sumber modal.

Rendahnya nilai tambah yang diperoleh peternak.

Rendahnya angka kelahiran dan masih tingginya angka kematian ternak.

Masih tingginya angka pemotong ternak betina produktif.

Manajemen pakan yang kurang baik.

Masih rendahnya tingkat keberhasilan teknologi IB.

Belum ada upaya pemanfaatan limbah pertanian sebagai sumber pakan dan

kotoran ternak sebagai pupuk organik secara intensif.

Adapun faktor-faktor yang menjadi pendorong bagi pengembangan sapi

potong di Indonesia adalah : (I) permintaan pasar terhadap daging sapi semakin

meningkat, (2) Ketersediaan tenaga kerja cukup besar, (3) Kebijakan pemerintah

mendukung, (4) Hijauan dari sisa pertanian tersedia sepanjang tahun, (5) Usaha

peternakan sapi lokal tidak terpengaruh krisis. Kendala dan peluang

pengembangan peternakan pada suatu wilayah dapat digunakan sebagai acuan

dalam menentukan strategi pengembangan sapi potong di wilayah tersebut.

2.6.3. Strategi Pengembangan Sapi Potong Sejak dikeluarkannya UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,

maka semua kegiatan pembangunan yang menggunakan, memanfaatkan, dan

47

mengelola sumberdaya alam yang berada di darat, laut dan udara harus

menyesuaikan dengan rencana penataan ruang sebagai suatu strategi nasional

dalam memanfaatkan, menggunakan kekayaan sumberdaya alam dan

mendorong pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara

nasional dan berkelanjutan.

Pengembangan sapi potong merupakan upaya untuk meningkatkan

produksi ternak secara kuantitas maupun kualitas, meningkatkan kecernaan

bahan pakan, membangun sistem agribisnis peternakan, mengembangkan

penggunaan sumberdaya tersedia, dan lebih jauh dapat meningkatkan nilai

tambah bagi peternak sebagai pengelola usaha peternakan tersebut. Gurnadi

(1998) menganjurkan bahwa dalam pengembangan ternak di suatu daerah,

maka perlu diukur potensi sumberdaya yang tersedia. Sumberdaya tersebut

mencakup ketersediaan lahan dan pakan, tenaga kerja, dan potensi ternak yang

akan dikembangkan. Potensi tersebut ditentukan oleh tersedianya tanah

pertanian, kesuburan tanah, iklim, topografi, ketersediaan air, dan pola pertanian

yang ada. Usaha untuk mencapai tujuan pengembangan ternak tersebut dapat

dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu (1) pendekatan teknis dengan

meningkatkan kelahiran, menurunkan kematian, mengontrol pemotongan ternak,

dan perbaikan genetik ternak, (2) pendekatan terpadu yang menerapkan

teknologi produksi, manajemen ekonomi, pertimbangan sosial budaya, serta

pembentukkan kelompok peternak yang bekerja sama dengan instansi-instansi

terkait, (3) Pendekatan agribisnis dengan tujuan mempercepat pengembangan

peternakan melalui integrasi dari keempat aspek yaitu input produksi (lahan,

pakan, plasma nutfah, dan sumberdaya manusia), proses produksi. pengolahan

hasil, dan pemasaran.

Sistem produksi ternak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

sistem pertanian secara umum. Menurut Preston dan Leng (1987) tujuan dasar

yang harus diperhatikan dalam pengembangan sapi potong dengan sistem

usaha tani lain adalah:

1. Untuk mengoptimalkan produktivitas pertanian dan peternakan

dengan menggunakan input yang tersedia

2. Untuk memadukan antara beberapa jenis tanaman, ternak, limbah

peternakan dan pertanian sehingga semua bagian saling memanfaatkan.

Pemeliharaan ternak merupakan salah satu komponen dalam usaha tani

dan ternak ini akan terintegrasi dengan komoditi lain yang diusahakan oleh

48

petani. Menurut Sabrani et al. (1981) problema yang dihadapi dalam

pengembangan ternak sistem tradisional adalah ketepatan pengalokasian

sumberdaya. Selanjumya dijelaskan bahwa bila usaha ternak skala kecil yang

berorientasi pada usaha keluarga maka program pengembangan ternak tersebut

didasarkan pada sistem pertanian secara terpadu.

Sistem pertanian terpadu (integrated farming system) adalah suatu usaha

dalam bidang pertanian dimana terjadi keterkaitan input-output antar komoditas

pertanian, keterkaitan antar kegiatan produksi dengan pra produksi dan pasca

produksi, serta antara kegiatan pertanian dengan kegiatan manufaktur dan jasa

(Rusono, 1999). Selanjutnya dijelaskan bahwa keterpaduan merupakan hal

penting maka suatu sistem pertanian terpadu membutuhkan dan mensyaratkan

sumberdaya manusia yang berkualitas serta mampu dalam menata aliran input-

output sedemikian rupa sehingga kombinasi input-output yang dihasilkan adalah

kombinasi optimum yang menghasilkan manfaat yang besar bagi petani.

Tanaman pangan atau hortikultura tidak hanya menghasilkan pangan

sebagai produk utama, tetapi menghasilkan produk sampingan atau limbah

ikutan misalnya jerami padi, ampas tahu, limbah tanaman kacang tanah dan

sebagainya. Dengan cara sederhana limbah tersebut dapat diubah menjadi

pangan yang bermutu (daging) melalui sapi potong, sehingga biaya pakan

produksi ternak dapat ditekan. Disamping menghasilkan produk utama berupa

daging, sapi potong menghasilkan kotoran (feses) yang diolah dengan cara

sederhana dapat menjadi komoditas ekonomis atau digunakan sebagai pupuk

sehingga dapat menopang kegiatan produksi tanaman pangan dan secara

langsung mengurangi biaya pengadaan pupuk, dan pada akhirnya keterpaduan

tersebut dapat meningkatkan tambahan pendapatan petani peternak (Suharto,

1999).

Beberapa manfaat integrasi ternak pada usaha pertanian yaitu :

1. Meningkatkan pemberdayaan sumberdaya lokal (domestic based resources)

2. Optimalisasi hasil usaha

3. Penciptaan produk-produk baru hasil diversifikasi usaha

4. Penciptaan kemandirian petani sehingga tidak tergantung pinjaman luar

5. Meningkatkan pendapatan petani peternak

6. Menciptakan lapangan kerja yang menyerap banyak tenaga kerja pedesaan

49

Pengembangan sistem usaha tani terpadu merupakan salah satu

pendekatan dalam memanfaatkan keragaman sumberdaya alam. Bila

dikembangkan dengan tepat maka sistem usaha tani terpadu dapat menjadi pilar

pembangunan pertanian modern dan berkelanjutan. Supaya sistem usaha tani

terpadu dapat berkembang, maka aspek-aspek yang perlu diperhatikan adalah

(1) sifat usaha tani, (2) sumberdaya manusia, (3) skala usaha, (4) sarana dan pra

sarana, (5) kemitraan dan hubungan antar subsistem agribisnis, (6) orientasi

usaha, dan (7) kelestarian sumberdaya dan lingkungan (Rusono, 1999).

2.7. Penggunaan Model

Menurut Manetsch and Park (1997) model adalah suatu penggambaran

abstrak dari sistem dunia nyata (riil), yang akan bertindak seperti dunia nyata

untuk aspek-aspek tertentu. Model yang baik akan memberikan gambaran

perilaku dunia nyata sesuai dengan permasalahan dan akan meminimalkan

perilaku yang tidak signifikan dari sistem yang dimodelkan.

Model dan manipulasinya melalui proses simulasi adalah alat yang

sangat bermanfaat dalam sistem analisis. Model dapat digunakan sebagai

representasi sebuah sistem yang sedang dikerjakan atau menganalisis sistem

yang sudah dilakukan. Dengan menggunakan model dapat dihasilkan desain

atau keputusan operasional dalam waktu yang singkat dan biaya yang murah

(Blanchord dan Fabrycky, 1981). Menurut Kholil (2005), untuk dapat

menyelesaikan permasalahan dengan pendekatan kesisteman, harus diawali

dengan berpikir sistemik (system thinking), sibernetik (goal oriented), holistik dan

efektif.

Dari terminologi penelitian operasional, secara umum model didefinisikan

sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah objek atau situasi aktual.

Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung

serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat, oleh karena itu suatu model

adalah suatu abstraksi dari realitas, maka pada wujudnya kurang komplek dari

pada realitas itu sendiri (Eriyatno, 2003).

Menurut Muhammadi et al. (2001) model adalah suatu bentuk yang dibuat

untuk menirukan suatu gejala atau proses. Model dapat dikelompokkan menjadi

model kuantitatif, kualitatif dan model ikonik. Model kualitatif adalah model yang

berbentuk gambar, diagram atau matrik. Model ikonik adalah model yang

mempunyai bentuk fisik sama dengan barang yang ditirukan.

50

Menurut Meadows (1982) model adalah usaha memahami beberapa segi

dari dunia kita yang sangat beraneka ragam sifatnya, dengan cara memilih

sekian banyak pengamatan dan pengalaman masa lalu untuk memecahkan

masalah yang sedang dihadapi. Sedangkan menurut Hall dan John (1977),

model adalah penggambaran atau lukisan tentang sebagian dari kenyataan.

Model harus dicek dengan kondisi sebenarnya (dunia nyata) untuk meyakinkan

bahwa penggambaran dari dunia nyata dalam pemodelan akurat atau tidak.

Selanjutnya Ruth dan Hannon (1997) mengemukakan bahwa model adalah

pusat pemahamannya terhadap dunia karena model dapat mempresentasikan

dan manipulasi fenomena nyata. Dengan membangun model dapat memahami

pengaruh positif terhadap keputusan alternatif dalam kinerja ekonomi,

pengelolaan sumber daya alam dan kualitas lingkungan. Model merupakan suatu

alat yang penting untuk menciptakan pengetahuan baru. Dari berbagai pendapat

tersebut diatas, maka model secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu

bentuk peniruan dan penyederhanaan dari suatu gejala, proses atau benda

dalam skala yang lebih kecil skalanya.

2.8. Analisis Kebijakan Partowidagdo (1999) menyatakan bahwa analisis kebijakan adalah ilmu

yang menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan publik. Produk

analisis kebijakan adalah nasehat. Kebijakan yang diambil akan mempunyai

biaya dan manfaat tertentu. Kebijakan tersebut dapat relatif menguntungkan

suatu kelompok dan relatif merugikan kelompok lain. Selanjutnya menurut Vining

dan Weimer (1998) analisis kebijakan adalah nasehat yang berorientasi pada

klien yang relevan dengan kebijakan publik dan disampaikan dengan nilai-nilai

sosial, tapi kenyataannya tidak semua nasehat adalah analisis kebijakan, jadi

untuk menentukan nasehat tersebut, perlu lebih spesifik dan terkait dengan

kebijakan publik.

Analisis kebijakan pada dasarnya mencakup tiga hal utama, yaitu

bagaimana merumuskan kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi

kebijakan (Dwijowijoto, 2003). Setiap kebijakan dirumuskan untuk tujuan

tertentu yaitu mengatur sistem yang sedang berjalan untuk mencapai tujuan (visi

dan misi) bersama yang telah disepakati. Dengan demikian, analisis kebijakan

adalah tindakan yang diperlukan untuk dibuatnya sebuah kebijakan, baik

51

kebijakan yang baru sama sekali atau kebijakan yang baru sebagai konsekuensi

dari kebijakan yang ada.

Analisis kebijakan merupakan suatu keharusan bagi perumus kebijakan,

namun tidak terlalu ditekankan pada implementasi kebijakan dan lingkungan

kebijakan. Pada implementasi kebijakan dan lingkungan biasanya dilakukan

evaluasi. Namun demikian, evaluasi kebijakan merupakan bagian dari analisis

kebijakan yang lebih berkenaan dengan prosedur dan manfaat dari kebijakan.

Meski analisa kebijakan lebih fokus kepada perumusan, pada prinsipnya setiap

analisis kebijakan pasti mencakup evaluasi kebijakan karena analisis kebijakan

menjangkau sejak awal proses kebijakan, yaitu menemukan isu kebijakan,

menganalisa faktor pendukung kebijakan, implementasinya, peluang evaluasi,

dan kondisi lingkungan kebijakan.

Analisis kebijakan pada dasarnya adalah menemukan langkah strategis

untuk mempengaruhi sistem. Ada dua pilihan skenario yang dapat dilakukan

untuk mempengaruhi kinerja sistem yaitu: (1) kebijakan fungsional, skenario

dengan tindakan yang mempengaruhi fungsi dari unsur sistem tanpa merubah

sistem; dan (2) kebijakan struktural, skenario dengan tindakan yang akan

menghasilkan sistem yang berbeda (Aminullah, 2004).

Tujuan dari analisis kebijakan adalah menganalisis dan mencari alternatif

kebijakan yang dapat dipakai sebagai dasar pengambilan keputusan bagi

penentu kebijakan. Analisis kebijakan adalah ilmu yang menghasilkan informasi

yang relevan dengan kebijakan publik. Produk analisis kebijakan adalah nasehat

sehingga seorang analis kebijakan hanyalah penasehat kebijakan bukan penentu

kebijakan. Oleh karena itu seorang analis kebijakan memerlukan hal-hal sebagai

berikut.

1. Harus tahu bagaimana mengumpulkan, mengorganisasi dan

mengkomunikasikan informasi dalam situasi dimana terdapat keterbatasan

waktu dan akses.

2. Membutuhkan perspektif (pandangan) untuk melihat masalah-masalah sosial

yang dihadapi dalam konteksnya.

3. Membutuhkan kemampuan teknik agar dapat memprediksi kebijakan yang

diperlukan di masa yang akan datang dan mengevaluasi alternatif kebijakan

dengan lebih baik.

52

4. Harus mengerti institusi dan implementasi dari masalah yang diamati untuk

dapat meramalkan akibat dari kebijakan yang dipilih, sehingga dapat

menyusun fakta dan argumentasi secara lebih efektif.

5. Harus mempunyai etika (moral).

Muhammadi et al. (2001) menyatakan bahwa analisis kebijakan adalah

pekerjaan intelektual memilah dan mengelompokkan upaya atau untuk

memperoleh pengetahuan tentang cara-cara yang strategis dalam

mempengaruhi sistem mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam sistem dinamis

untuk menyederhanakan sistem dalam analisis kebijakan digunakan simulasi

model. Ada dua tahap simulasi model untuk analisis kebijakan yaitu: (1)

pengembangan kebijakan alternatif, yaitu suatu proses berpikir kreatif untuk

menciptakan ide-ide baru tentang tindakan yang diperlukan dalam rangka

mempengaruhi sistem untuk mencapai tujuan, baik dengan cara merubah model

maupun tanpa merubah model; dan (2) analisis kebijakan alternatif, suatu upaya

untuk menentukan alternatif kebijakan yang terbaik dengan mempertimbangkan

perubahan sistem serta perubahan lingkungan ke depan.

Analisis kebijakan diambil dari berbagai macam disiplin dan profesi yang

tujuannya bersifat deskriptif, evaluatif dan preskriptif. Sebagai disiplin ilmu

terapan, analisis kebijakan meminjam tidak hanya ilmu sosial dan perilaku tetapi

juga administrasi publik, hukum, etika dan berbagai macam cabang analisis

sistem dan matematika terapan. Analisis kebijakan dapat diharapkan untuk

menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal mengenai tiga

macam pertanyaan: (1) nilai yang pencapaiannya merupakan tolok ukur utama

untuk melihat apakah masalah telah teratasi, (2) fakta yang keberadaannya

dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian nilai-nilai, dan (3) tindakan

yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilai-nilai.

Analisis kebijakan pada dasarnya adalah suatu upaya untuk mengetahui

apa yang sesungguhnya dilakukan pemerintah, mengapa mereka melakukan hal

tersebut dan apa yang menyebabkan mereka melakukannya dengan cara yang

berbeda-beda. Analisis kebijakan merupakan suatu proses pencarian kebenaran

yang bermuara pada penggambaran dan penjelasan mengenai sebab-sebab dan

akibat dari tindakan pemerintah.

Ada tiga jenis analisis kebijakan, yaitu: (1) analisis prospektif, (2) analisis

retrospektif, dan (3) analisis terintegrasi (Dunn, 1994). Analisis prospektif

merupakan analisis kebijakan yang terkait dengan produksi dan transformasi

53

informasi sebelum tindakan kebijakan dilakukan. Analisis retrospektif, sebaliknya

berkaitan dengan produksi dan transformasi informal setelah tindakan kebijakan

dilakukan. Sedangkan analisis terintegrasi adalah analisis kebijakan yang secara

utuh mengkaji seluruh daur kebijakan dengan menggabungkan analisis

prospektif dan retrospektif.

2.9. Hasil Penelitian Terdahulu

Ada beberapa hasil penelitian dan tulisan ilmiah yang membahas tentang

kegiatan budidaya sapi potong khususnya di Indonesia dan pendekatan

pembangunan berkelanjutan sebagai metode untuk melakukan studi terhadap

suatu sumberdaya alam secara keberlanjutan. Kusumawati (1999) dalam

penelitiannya tentang pengaruh nilai tukar rupiah/USD terhadap usaha

penggemukan dan perdagangan sapi potong di Indonesia menyimpulkan bahwa

usaha penggemukan dan perdagangan sapi potong di Indonesia dengan cara

impor bibit/bakalan tidak layak untuk dikembangkan jika kondisi nilai tukar

rupiah/USD tidak stabil. Peneliti menyarankan kepada pemerintah untuk

membuat kebijakan percepatan pengembangan bibit/bakalan bermutu dengan

menggunakan teknologi inseminasi buatan dan transfer embrio untuk

mengurangi ketergantungan kepada bibit/bakalan impor.

Himawan, (2001) dalam penelitiannya yang berjudul strategi

pengembangan ternak sapi berorientasi agribisnis dalam rangka meningkatkan

ketahanan pangan di Provinsi Riau, dengan menggunakan metode analisis

lingkungan eksternal dan internal berdasarkan konsep manajemen strategi,

menyimpulkan bahwa untuk pengembangan budidaya ternak sapi di Propinsi

Riau harus dilakukan dengan pendekatan kawasan dengan sistem integrasi.

Susilo (2003), melakukan studi di Kepulauan Seribu dengan judul

Keberlanjutan Pembangunan Pulau-pulau Kecil: Studi Kasus Kelurahan Pulau

Panggang dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Dengan

menggunakan pendekatan konsep pembangunan berkelanjutan, yang

bersangkutan menyusun nilai indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya di

wilayah studi. Berdasarkan hasii analisis dengan metode MDS disimpulkan

bahwa pengelolaan sumberdaya di Pulau Panggang dan Pulau Pari termasuk ke

dalam kategori "cukup" berkelanjutan.

Mersyah (2005) dalam penelitiannya yang berjudul desain sistem

budidaya sapi potong berkelanjutan untuk mendukung pelaksanaan otonomi

54

daerah di Kabupaten Bengkulu Selatan dengan menyusun nilai indeks

keberlanjutan menggunakan MDS disimpulkan bahwa budidaya sapi potong di

Kabupaten Bengkulu Selatan kurang berkelanjutan. Untuk itu pengembangan

sistem budidaya sapi potong berkelanjutan dapat dilakukan dengan strategi

moderat-optimistik.