ii tinjauan pustaka 2.1 cabai rawit menurut cahyono (2003 ...repository.ub.ac.id/1390/3/bab...
TRANSCRIPT
1
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Cabai Rawit
Menurut Cahyono (2003), klasifikasi cabai rawit yaitu:
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Asteridae
Ordo : Solanales
Famili : Solanaceae
Genus : Capsicum
Spesies : Capsicum frutescens L.
Cabai rawit mempunyai tinggi yang dapat mencapai 150 cm. Batangnya
bercabang banyak. Semakin banyak cabang, umumnya buah atau bunganya
semakin banyak. Posisi bunga tegak dan berwarna kuning kehijauan.
Panjang mahkota bunga 0,6-0,8 cm dan lebarnya 0,3-0,4 cm. Tanaman
cabai rawit dapat hidup sampai 2-3 tahun dan cabai rawit dapat dipanen
pada umur 4 bulan dengan selang waktu 1-2 minggu sekali (Cahyono,
2003).
Cabai rawit mempunyai tingkat kepedasan 0,1-1% dibandingkan dengan
cabai merah. Rasa pedas disebabkan oleh kandungan Kapsaisin dan
dihidroKapsaisin. Karena rasa pedasnya, cabai rawit biasanya digunakan
sebagai bumbu masakan. Selain itu, cabai rawit juga biasanya digunakan
sebagai bahan baku obat-obatan dan farmasi (Cahyono, 2003).
Gambar 2.1 Cabai Rawit (Elizabeth, 2008)
2
2.1.1 Perbedaan Karakteristik Fisik Cabai Rawit Berbeda Genotip
a. Cabai Rawit Genotip G2
Warna buah cabai rawit genotip G2 saat muda yaitu kuning kehijauan dan
saat matang yaitu merah. Buah berbentuk memanjang (elongate). Permukaan
buah agak berkerut (semiwrinkled), irisan melintang agak berlekuk (slightly
corrugated). Panjang buah sekitar 3,53±0,30 cm, lebar yaitu 1,08±0,07 cm dan
berat sekitar 1,20±0,16 g. Cabai rawit G2 memiliki panjang tangkai buah sekitar
3,11±0,26 cm, tebal dinding buah 0,69±0,14 mm. Bentuk pangkal buah tumpul
(obtuse), tidak memiliki leher buah dan ujung buah lancip (pointed) (Rosita,
2016).
Gambar 2.2 Cabai Rawit G2
b. Cabai Rawit Genotip G4
Buah cabai rawit genotip G4 berbentuk memanjang (elongate). Warna buah
saat muda yaitu kuning kehijauan dan saat matang yaitu merah. Buah cabai rawit
G4 memiliki panjang sekitar 4,09±0,25 cm, lebar 0,94±0,07 cm dan berat
1,34±0,14 g. Pangkal buah berbentuk tumpul (obtuse), tidak terdapat leher buah
dan ujung buah lancip (pointed). Selain itu, panjang tangkai buah cabai rawit G4
yaitu 3,11±0,26 cm dan tebal dinding buah yaitu 0,77 mm (Rosita, 2016).
Gambar 2.3 Cabai Rawit G4
3
c. Cabai Rawit Genotip G13
Cabai rawit genotip G13 adalah salah satu cabai rawit asal Malang. Saat
muda buahnya berwarna hijau muda, dan saat masak buah berwarna merah.
Bentuk buah cabai rawit G13 yaitu memanjang (elongate), pelekatan buah
berbentuk tumpul (obtuse),dan terdapat leher buah. Selain itu, genotip G13
memiliki ujung buah lancip (pointed), tidak ada tambahan ujung buah (absent),
dan permukaan buah agak berkerut (semiwrinkle) (Ratih, 2016).
Gambar 2.4 Cabai Rawit G13
2.1.2 Kandungan Gizi
Cabai rawit mengandung zat gizi yang cukup lengkap, yakni protein, lemak,
karbohidrat, mineral, vitamin dan zat lainnya seperti oleoresin, Kapsaisin,
bioflavonoid, minyak atsiri, karotenoid (kapsantin, kapsorubin, karoten, dan
lutein). Cabai rawit juga mengandung flavonoid, antioksidan , dan serat kasar.
Kandungan gizi buah cabai rawit dapat secara lengkap dilihat pada tabel 2.1
Tabel 2.1. Komposisi Gizi Buah Cabai Rawit per 100 g
No Jenis Zat Kadar
1 Kalori 40 kkal 2 Protein 1,87 g 3 Lemak 0,44 g 4 Karbohidrat 8,81 g 5 Air 88,02 g 6 Serat 1,5 g 7 Kalsium 14 mg 8 Fosfor 43 mg 9 Zat Besi 1,03 mg
10 Vitamin A 952 IU 11 Vitamin C 76,4 mg
Sumber: USDA (2016)
4
2.1.3 Kandungan Senyawa Fitokimia dalam Cabai Rawit
a. Kapsaisin
Kapsaisin adalah kapsaisinoid yang termasuk golongan alkaloid. Kapsaisin
((E)-N-[(4-hydroxy-3-methoxyphenyl)methyl]-8-methylnon-6-enamide) merupakan
komponen aktif pada tanaman cabai yang larut lemak dan bersifat hidrofobik.
Kapsaisin dapat menimbulkan rasa pedas pada cabai. Kapsaisin adalah
metabolit sekunder yang memiliki berbagai manfaat bagi tubuh seperti
mengurangi rasa sakit dan mencegah kanker (Luo et al., 2011). Selain itu,
kapsaisin memiliki aktivitas antimikroba dan antivirulensi. Penelitian Jones
(1997), menunjukkan kapsaisin dapat menghambat aktivitas pertumbuhan H.
pylori dengan konsentrasi diatas 10 μg ml−1. Kapsaisin menunjukkan aktivitas
anti-virulensi melawan Vibrio cholerae, Staphylococcus aureus, and
Porphyromonas gingivalis (Chatterjee et al., 2010; Kalia et al., 2012; and Zhou et
al., 2014)
Kapsaisin dapat mempengaruhi sel mikroba dengan berpenetrasi ke dalam
sel. Komponen dinding sel suatu mikroba akan menentukan keberhasilan
kapsaisin dalam melakukan penetrasi. Hal ini dikarenakan sifat dari kapsaisin
yang larut dalam lemak dan sukar larut dalam air. Kapsaisin juga menghambat
sintesis protein serta merusak DNA (Pamungkas, 2008). Kapsaisin secara
langsung menghambat sintesis protein dengan berkompetisi dengan tirosin
dalam sistem sel. Kapsaisin dapat menyebabkan DNA strand-breakage yang
mempengaruhi fungsi sel sehingga sel akan mati (Cochereau et al., 1997).
Gambar 2.5 Kapsaisin (Astuti, 2011)
b. Fenol
Fenol adalah senyawa yang memiliki satu atau lebih gugus hidroksil yang
menempel di cincin aromatik. Senyawa fenol memiliki paling sedikit satu gugus
fenol. Fenol berbentuk kristal yang tidak berwarna dan memiliki bau yang khas.
Senyawa fenol dapat mengalami oksidasi sehingga dapat berperan sebagai
reduktor (Hoffman et al., 1997). Fenol bersifat lebih asam bila dibandingkan
dengan alkohol, tetapi lebih basa daripada asam karbonat karena fenol dapat
5
melepaskan ion H+ dari gugus hidroksilnya. Lepasnya ion H+ menjadikan anion
fenoksida C6H5O (Fessenden dan Fessenden, 1992).
Senyawa fenol di tanaman memiliki sifat antimikroba dan bekerja sinergis
dengan antibiotik (Bello, 2015). Mekanisme senyawa fenol dalam menghambat
mikroorganisme melibatkan penghambatan enzim oleh senyawa yang
teroksidasi. Selain itu, melalui reaksi grup sulfihidril atau interaksi non spesifik
lainnya dengan protein (Cowan, 1999).
Gambar 2.6 Fenol (Carey, 2006)
c. Flavonoid
Flavonoid terdiri dari senyawa polifenol yang memiliki struktur benzo-Ɣ-
piranon. Flavonoid memiliki dua cincin benzen yang dipisahkan oleh sebuah unit
propana dan diturunkan dari senyawa flavon. Flavonoid merupakan golongan
senyawa yang mudah larut dalam air. Flavonoid dapat ditemukan pada tanaman
dalam bentuk glikosida dengan struktur rumit. Flavonoid adalah senyawa
hidroksilat fenol dan disintesa oleh tanaman untuk merespon infeksi mikroba
(Kumar, 2013).
Ekstrak tanaman yang banyak mengandung flavonoid akan memiliki aktivitas
antimikroba. Aktivitas penghambatan mikroorganisme oleh flavonoid melalui
beberapa mekanisme. Misalnya membentuk kompleks dengan protein melalui
ikatan hidrogen, efek hidrofobik, dan pembentukan ikatan kovalen. Mekanisme
penghambatan mikroba lainnya adalah dengan menginaktivasi enzim,
menghambat sintesis asam nukleat, menghambat metabolisme sel dan protein
jalur transport protein (Kumar, 2013).
Gambar 2.7 Struktur Dasar Flavonoid (Pietta, 2000)
6
2.2 Ekstrasi Gelombang Mikro (Microwave)
Ekstraksi adalah proses penarikan kandungan senyawa aktif yang terdapat
pada tanaman menggunakan bahan pelarut yang sesuai dengan kelarutan
komponen aktifnya. Prinsip dari ekstraksi adalah perpindahan massa komponen
zat ke dalam pelarut, dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka
kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut (Voight, 1994). Proses ekstraksi
menerapkan prinsip like dissolve like yaitu senyawa yang memiliki kepolaran
sama dengan pelarut akan tertarik keluar. Oleh karena itu, ekstraksi
menggunakan pelarut polar untuk menarik senyawa polar dan pelarut non polar
untuk menarik senyawa senyawa non-polar dalam pelarut non-polar (Voight,
1994). Salah satu metode ektraksi yang sering digunakan adalah ekstraksi
menggunakan gelombang mikro.
Ekstraksi menggunakan gelombang mikro memanfaatkan energi yang
dihasilkan dari gelombang mikro. Energi gelombang mikro akan memanaskan
molekul bahan melalui interaksi konduksi ion dan rotasi dipol dengan medan
elektromagnetik. Interaksi tersebut akan menghasilkan panas untuk
memanaskan dan menguapkan air dari sel bahan. Pemanasan akan
menyebabkan tekanan pada dinding sel meningkat sehingga sel membengkak
dan pecah (Calinescu et al., 2001). Kerusakan sel menyebabkan mudahnya
senyawa target untuk keluar dan terekstraksi (Jain et al., 2009). Namun,
penggunaan suhu tinggi tidak cocok untuk senyawa target yang bersifat
termolabil (Calinescu et al., 2001)
Radiasi gelombang mikro pada suhu tinggi akan menghidrolisis ikatan ester
pada konstituen dinding sel tanaman, yaitu selulosa. Selulosa akan berubah
menjadi fraksi terlarut dalam waktu yang singkat. Selain itu, suhu tinggi
menyebabkan peningkatan dehidrasi selulosa dan penurunkan kekuatan
mekanis selulosa. Hal tersebut menyebabkan pelarut lebih mudah mengakses
senyawa target dalam sel (Mandal et al., 2007).
Proses ekstraksi menggunakan gelombang mikro lebih efektif dibandingkan
metode ekstraksi konvensional yang menggunakan konduksi, konveksi, maupun
radiasi untuk mentransfer energi ke dalam matriks bahan (Thostenson, 1990).
Keuntungan lain dalam menggunakan metode MAE adalah mengurangi waktu
ekstraksi, mengurangi penggunaan pelarut, dan, meningkatkan rendemen dan
kualitas bahan, karena diproses pada suhu lebih rendah sehingga dapat
7
menghemat energi hingga 70% dibandingkan dengan metode ekstraksi
konvensional (Yuan, 2012).
Adanya interaksi yang kuat antara ion dengan medan listrik dari gelombang
mikro akan menyebabkan peningkatan suhu yang tak terduga. Peningkatan suhu
akan meningkatkan reaksi. Hal ini menyebabkan adanya resiko overheating saat
reaksi menggunakan pelarut bersifat asam kuat, basa kuat, ataupun pelarut yang
memiliki kekuatan ionik tinggi. Oleh karena itu, dilakukan modifikasi pada
microwave dengan menambahkan kondensor, pengatur suhu, dan labu ekstraksi
untuk mengurangi resiko overheating (Fini, 1999).
Gambar 2.8 Modifikasi Microwave (Jayanta, 2016)
2.3 Faktor yang mempengaruhi ekstraksi
Keoptimalan proses ektrasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
a. Ukuran partikel padatan
Ukuran partikel padatan yang semakin kecil akan meningkatkan luas
permukaan. Peningkatan luas permukaan akan memperbesar kemungkinan
kontak antara partikel padatan dengan pelarut. Hal ini terjadi karena ukuran
padatan yang kecil akan memperpendek lintasan kapiler proses difusi sehingga
perpindahan massa ekstraksi akan berlangsung lebih cepat. Pengecilan ukuran
dapat dilakukan dengan penggerusan ataupun pemberian tekanan (Mc Cabe,
2005).
b. Sifat senyawa
Sifat senyawa akan menentukan jenis pelarut yang digunakan. Senyawa
yang memiliki kepolaran yang sama akan lebih mudah tertarik atau terlarut
dengan pelarut yang memiliki tingkat kepolaran yang sama. Hal ini dikarenakan
prinsip ekstraksi adalah like dissolve like (Voight, 1994).
8
c. Temperatur yang tinggi
Temperatur yang tinggi akan menyebabkan peningkatan kecepatan difusi,
kelarutan dari larutan, dan penurunan viskositas pelarut. Viskositas pelarut yang
rendah memungkinkan peningkatan kelarutan dari larutan. Temperatur yang
digunakan harus dapat disesuaikan dengan kelarutan pelarut, stabilitas pelarut,
tekanan uap pelarut, dan selektifitas pelarut (Sulihono, 2012).
d. Struktur padatan
Struktur padatan yang berpori memungkinkan terjadinya difusi internal
solute dari permukaan padatan ke pori-pori padatan tersebut. Difusivitas adalah
parameter yang menunjukkan kemampuan solute berpindah secara difusi.
Semakin besar difusivitas bahan padatan maka semakin cepat pula difusi internal
yang terjadi dalam padatan tersebut (Skoog, 2002).
e. Waktu ekstraksi
Waktu ekstraksi juga menentukan ekstraksi suatu senyawa. Semakin lama
waktu ekstraksi, maka semakin lama waktu kontak antara pelarut dan solute
sehingga proses ekstraksi berjalan optimal. Ketika proses ekstraksi sudah terjadi
kesetimbangan maka solven sudah tidak mampu lagi mengekstrak solut
sehingga peningkatan waktu ekstraksi tidak efisien dalam segi ekonomi
(Sulihono, 2012).
2.4 Etanol
Etanol (C2H5OH) adalah cairan yang tidak berwarna dan berbau khas alkohol.
Etanol merupakan pelarut organik yang dapat meningkatkan permeabilitas
dinding sel simplisia sehingga proses ekstraksi menjadi lebih efisien dalam
menarik komponen polar hingga semi polar (Siedel, 2008). Keuntungan lain
dari pelarut etanol adalah etanol memiliki kelarutan yang tinggi dan bersifat
inert sehingga tidak bereaksi dengan komponen lainnya (Susanti et al,
2012). Etanol tidak beracun dan tidak berbahaya (Myres dan Rusty, 2007).
Selain itu, etanol dapat bercampur dengan air dalam segala perbandingan,
selektif dalam menghasilkan jumlah senyawa aktif yang optimal dan panas
yang diperlukan untuk pemekatan lebih sedikit sebab etanol mudah untuk
diuapkan dimana titik didih etanol yang rendah yaitu 78,5°C (Ramadhan dan
Haries, 2010).
Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan efektivitas etanol
sebagai pelarut pada ekstraksi cabai rawit. Penelitian yang dilakukan Goci
9
(2013), menunjukkan bahwa etanol dan metanol adalah pelarut terbaik untuk
ekstraksi kapsaisin pada cabai jika dibandingkan dengan asetonitril. Penelitian
yang dilakukan Roxana (2014), menunjukkan etanol sebagai pelarut terbaik jika
dibandingkan dengan aseton, metanol, dan asetonitril. Dari penelitian yang
dilakukan, etanol lebih efektif dalam mengekstraksi karena faktor disipasi dan
konstanta yang dimiliki.
Tabel 2.2 Konstanta Fisik dan Faktor Disipasi Pelarut
Pelarut Konstanta dielektrik
a (ε ′)
Faktor disipasi tan δ (×10
−4 )
Titik didih b (
oC) Viskositas
c
(cP)
Aseton 20,7 5,555 56 0,30 Asetonitril 37,5 82 Etanol 24,3 2,500 78 0,69 Heksana 1,89 69 0,30 Metanol 32,6 6,400 65 0,54 2-Propanol 19,9 6,700 82 0,30 Air 78,3 1,570 100 0,89 Etil asetat 6,02 5,316 77 0,43 Haksana-aseton (1:1)
52
Sumber: Jassie (1997)
Keterangan: a Ditentukan pada suhu 20
oC
b
Ditentukan pada 101,4 kPa
c Ditentukan pada suhu 25
oC
Faktor penting yang digunakan untuk menentukan pelarut adalah konstanta
dielektrik dan faktor disipasi yang dimiliki pelarut tersebut. Konstanta dielektrik
akan menentukan kemampuan bahan untuk berinteraksi dengan energi
elektromagnetik. Konstanta dielektrik juga digunakan untuk mengukur efisiensi
dari energi gelombang mikro yang terserap untuk diubah menjadi energi panas.
(Acierno, 2004). Faktor disipasi digunakan untuk mengukur kemampuan matriks
bahan dalam menyerap energi gelombang mikro dan mendisipasikan panas ke
sekeliling molekul sehingga pemanasan berjalan lebih efisien (Mandal, 2007).
2.5 Antibakteri
Antibakteri adalah senyawa yang mampu menghambat pertumbuhan
mikroorganisme (bakteristatik) atau membunuh mikroorganisme (bakterisida).
Antibakteri adalah zat yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan
digunakan untuk kepentingan pengobatan infeksi pada manusia dan hewan
10
(Fitrial, 2009). Setiap senyawa antibakteri memiliki perbedaan aktivitas
penghambatan terhadap bakteri
2.5.1 Mekanisme Penghambatan oleh Senyawa Antibakteri
Menurut Poelongan (2006), senyawa antibakteri memiliki beberapa
mekanisme penghambatan kerja, yaitu:
a. Bereaksi dengan membran sel
Integritas membran sel dapat terganggu dengan adanya komponen bioaktif.
Komponen bioaktif dapat menyebabkan kebocoran materi intraseluler.
Contohnya senyawa fenol dapat mengakibatkan lisis sel dan meyebabkan
denaturasi protein, menghambat pembentukan protein sitoplasma dan asam
nukleat, dan menghambat ikatan ATP-ase pada membran sel
b. Menginaktivasi enzim
Senyawa antibakteri dapat mengganggu kerja enzim. Kerja enzim terganggu
disebabkan karena senyawa antimikroba memiliki spesifitas yang sama dengan
ikatan komplek yang menyusun struktur enzim. Ketika kerja enzim terganggu,
akan diperlukan energi yang besar untuk melangsungkan aktivitasnya. Oleh
karena itu, energi untuk pertumbuhan berkurang sehingga aktivitas
mikroorganisme terhambat
c. Menginaktivasi fungsi material genetik
Komponen bioaktif dapat mengganggu pembentukan asam nukleat (RNA
danDNA) sehingga menyebabkan terganggunya transfer informasi genetik.
Transfer informasi genetik yang mengalami gangguan akan menyebabkan
inaktivasi atau kerusakan materi genetik sehingga mengganggu proses
pembelahan sel
d. Mengganggu pembentukan dinding sel
Mekanisme ini disebabkan karena adanya akumulasi komponen lipofilat yang
terdapat pada dinding atau membran sel sehingga menyebabkan perubahan
komposisi penyusun dinding sel. Akumulasi senyawa antibakteri dipengaruhi oleh
bentuk tak terdisosiasi
11
2.5.2 Faktor yang Mempengaruhi Kerja Antibakteri
Beberapa faktor yang mempengaruhi keefektifan antibakteri menurut Pelczar
dan Chan (1998), yaitu
a. Konsentrasi senyawa antibakteri
Semakin tinggi konsentrasi senyawa antibakteri maka semakin tinggi aktivitas
antibakterinya. Hal tersebut menunjukkan semakin banyak bakteri yang aktivitas
pertumbuhannya semakin terhambat
b. Jumlah mikroorganisme
Semakin banyak jumlah mikroorganisme maka semakin lama waktu yang
dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme
c. Suhu
Peningkatan suhu dapat meningkatkan keefektifan suatu senyawa antibakteri.
Hal ini dikarenakan senyawa kimia menghambat pertumbuhan bakteri melalui
reaksi kimia. Reaksi kimia akan mengalami peningkatan kecepatan akibat
peningkatan suhu
d. Spesies mikroorganisme
Spesies mikroorganisme memiliki ketahanan tertentu terhadap senyawa
antimikroba. Misalnya bakteri gram negatif lebih resisten terhadap senyawa
antimikrob daripada gram positif. Gram negatif lebih resisten karena memiliki
membran luar yang terdiri dari liposakarida. Membran ini adalah perlindungan
pertama sel bakteri terhadap masuknya senyawa antibakteri bersifat lipofilik.
Selain itu, adanya porin melindungi sel dari senyawa antibateri yang bersifat
hidrofilik
2.5.3 Pengujian Antibakteri
Pengujian aktivitas antibakteri adalah tahapan untuk mengetahui kemampuan
suatu senyawa antibakteri dalam menghambat pertumbuhan mikroba. Pengujian
aktivitas antimikroba dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya yaitu
metode difusi. Metode difusi agar dilakukan dengan mengukur diameter zona
bening (clear zone). Adanya diameter zona bening menunjukkan respon
penghambatan pertumbuhan bakteri oleh suatu senyawa antimikroba. Syarat
jumlah bakteri untuk uji kepekaan/sensitivitas yaitu 105-108 CFU/mL (Hermawan
dkk., 2007). Metode difusi agar dibedakan menjadi dua yaitu difusi cakram dan
sumuran.
12
Metode difusi cakram adalah metode untuk menentukan aktivitas senyawa
antimikroba. Cakram yang berisi senyawa antimikroba diletakkan pada media
agar. Media agar yang digunakan sudah dinokulasikan dengan mikroorganisme
uji. Senyawa antimikroba pada cakram akan berdifusi ke dalam agar dan
menghambat aktivitas mikroorganisme. Penghambatan aktivitas mikroorganisme
ditunjukkan oleh adanya zona bening (Pratiwi, 2008). Keunggulan metode ini
adalah mudah, murah, memiliki kemampuan untuk menguji aktivitas senyawa
antimikroba pada berbagai jenis mikroorganisme (Kreger, 1980).
Metode difusi sumuran adalah metode yang digunakan secara luas untuk
mengevaluasi aktivitas antimikroba dari ekstrak tanaman. Metode ini memiliki
kemiripan dengan difusi cakram. Media agar yang sudah diinokulasikan dengan
mikroorganisme, akan dibuat lubang sumuran dengan borer steril dengan
diameter 6-8 mm. Ekstrak sebanyak 20-100 µl akan dimasukkan ke dalam
sumuran (Balouiri, 2016). Penelitian Valgas (2007) menunjukkan bahwa diameter
zona bening yang menggunakan metode difusi sumuran lebih besar daripada
difusi cakram. Hal ini menunjukkan sensitivitas pembacaan aktivitas senyawa
antimikroba lebih baik menggunakan metode difusi sumuran.
Tabel 2.3 Klasifikasi Respon Hambatan Pertumbuhan Mikroba
Diameter Zona Bening Respon Hambatan Pertumbuhan
< 5 mm Lemah 5 – 10 mm Sedang 10 – 20 mm Kuat
> 20 mm Sangat kuat
Sumber: Suryawiria (1978)
13
2.5.4 Escherichia coli
Menurut Sembel (2015), klasifikasi E.coli yaitu
Superdomain : Phylogenetica
Filum : Proterobacteria
Kelas : Gamma proteobacteria
Ordo : Enterobacteriales
Family : Enterobacteriaceae
Genus : Escherichia
Spesies : Escherichia coli
E.coli adalah anggota family Enterobacteriaceae. E coli memiliki ukuran sel
dengan panjang 2,0 – 6,0 µm dan lebar 1,1 – 1,5 µm. E. coli berbentuk batang,
bersifat fakultatif anaerobik, tidak memiliki spora, dan merupakan bakteri gram
negatif (Sembel, 2015). E.coli dapat mereduksi nitrat menjadi nitrit. E.coli juga
dapat memfermentasi laktosa. Kebayakan strain E.coli dapat memfermentasi D-
manitol, D-sorbitol, dan L-arabinosa, maltosa, D-xylosa, trehalosa, dan D-
manosa. Namun strain E.coli patogen tidak dapat memfermentasinya. Umumnya
E.coli dapat tumbuh pada rentang pH 5,5-8. Beberapa strain E.coli penyebab
diare dapat hidup pada pH 2 (FAO, 2012).
E. coli biasanya hidup dalam saluran pencernaan manusia dan hewan
berdarah panas. E.coli dapat digunakan sebagai indikator kontaminasi fekal
untuk menilai kebersihan air dan makanan. Kebanyakan strain E.coli tidak
berbahaya tetapi terdapat beberapa serotipe yang bersifat patogen. E.coli yang
bersifat patogen dapat dibedakan dengan e.coli lainnya karena kemampuannya
untuk menyebabkan penyakit melalui beberapa mekanisme yaitu menghasilkan
toksin, menginfeksi host sel, mengganggu metabolisme sel dan merusak
jaringan (FAO, 2012).
Pada tahun 2011 terjadi kasus outbreak di Jerman yang disebabkan oleh
infeksi EHEC (enterohaemorrhagic E. coli). Kasus outbreak tersebut
menyebabkan 4321 korban dengan 50 orang meninggal dunia. Kasus ini
disebabkan karena konsumsi kacang-kacangan yang terkontaminasi dengan
bakteri tersebut (FAO, 2012).
14
Gambar 2.9 E.coli (Juliantana, 2008)
2.5.5 Salmonella typi
Menurut Breuner (1984), klasifikasi S.typi adalah
Phylum : Eubacteria
Class : Prateobacteria
Ordo : Eubacteriales
Family : Enterobacteriaceae
Genus : Salmonella
Species : Salmonella enterica
Subspesies : enteric (I)
Serotipe : typhi
Salmonella typi adalah bakteri berbentuk basil yang bersifat fakultatif anaerob.
S. typi tumbuh pada suhu antara 5-47 0C, dengan suhu optimum 35-37 0C dan
tumbuh pada pH 4,1- 9,0 dengan pH optimum 6,5-7,5. S. typi berukuran 0.7 – 1.5
x 2-5 μm, bersifat katalase positif, oxidase negatif, dan dapat memfermentasi
glukosa dengan membentuk gas dan asam. S. typhi tidak menggunakan sitrat
sebagai sumber karbon, tidak dapat melakukan dekarboksilasi terhadap ornitin,
dan tidak memfermentasi rhamnosa (Breuner, 1984).
S. typi menyebabkan penyakit infeksi yang disebut dengan salmonellosis.
Gejala salmonellosis adalah diare, muntah dan nyeri perut. Gejala lainnya adalah
demam tipoid. Diperkirakan demam tifoid terjadi sebanyak 60.000 hingga
1.300.000 kasus dengan sedikitnya 20.000 kematian per tahun. Gejala
salmonelisis akan muncul setelah 12-36 jam terinfeksi dan inkubasi penyakit
sekitar 2-7 hari (Suwandono et al., 2005).
Bakteri Salmonella dapat ditularkan dari hewan yang menderita salmonellosis
atau karier ke manusia, melalui bahan pangan seperti telur, daging, susu, atau
air minum dan bahan-bahan lainnya yang tercemar oleh ekskresi hewan atau
penderita atau sebaliknya (animal and human carrier). Sumber penularan
Salmonella yang lainnya melalui makanan yang mengandung bahan dari telur
15
tercemar Salmonella misalnya kue-kue, es krim, martabak dan lainnya, yang
kurang sempurna dimasak atau setengah matang, telur mentah yang dicampur
pada hidangan penutup (Dharmojono, 2001).
Gambar 2.10 S. typi (Suwandono et al., 2005)
2.5.6 Shigella dysenteriae
Menurut Breneur (1984),klasifikasi S. dysenteriae yaitu:
Kingdom : Bacteria
Filum : Proteobacteria
Kelas : Gammaproteobacteria
Ordo : Enterobacteriales
Famili : Enterobactericeae
Genus : Shigella
Spesies : Shigella dysenteriae
Shigella adalah bakteri gram negatif, berbentuk basil, non motil, dan
termasuk famili Enterobacteriacae. Bakteri ini bersifat fakultatif anaerob, tidak
menghasilkan spora, tidak memiliki kapsul, tumbuh pada pH 7,4 dan suhu 10-
40oC namun suhu optimum pertumbuhan yaitu 37oC. Bakteri ini menghasilkan
sitotoksin (shiga toksin) yang bersifat nefrotoksik, sitotoksik dan enterotoksik
sehingga menyebabkan sel epithelium mukosa usus menjadi nekrosis (WHO,
2005).
Shigellosis adalah penyakit endemik yang paling banyak menyebabkan diare
berdarah di negara berkembang. Setiap tahunnya terdapat 80 juta kasus diare
berdarah dan sekitar 700.000 kasus kematian akibat diare berdarah di seluruh
dunia. Kejadian luar biasa karena Shigella dysenteriae biasanya terjadi di
lingkungan padat penduduk, daerah kumuh dengan sanitasi yang buruk,
higienitas yang rendah, dan air yang terkontaminasi. Shigella dapat ditularkan
melalui konsumsi makanan yang terkontaminasi atau meminum air yang
terkontaminasi (WHO, 2005).
16
Gambar 2.11 Shigella dysenteriae (Kulkel, 2015)
2.5.7 Staphylococcus aureus
Klasifikasi Breuner (1984), Staphylococcus aureus yaitu:
Domain : Bacteria
Kerajaan : Eubacteria
Filum : Firmicutes
Kelas : Bacilli
Ordo : Bacillales
Famili : Staphylococcaceae
Genus : Staphylococcus
Spesies : S. aureus
Staphylococcus aureus adalah bakteri yang berasal dari famili
Staphylococcaceae. S. aureus memiliki sel berbentuk bulat berdiameter 0,7-1,2
μm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur seperti buah anggur,
fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak bergerak. Bakteri ini tumbuh
pada suhu optimum 37 ºC, tetapi membentuk pigmen paling baik pada suhu
kamar (20-25 ºC) (Jawetz, 2005).
Staphylococcus aureus adalah patogen utama pada manusia. Sebagian
bakteri Staphylococcus merupakan flora normal pada kulit, saluran pernafasan,
dan saluran pencernaan makanan pada manusia. Infeksi oleh S. aureus ditandai
dengan kerusakan jaringan yang disertai abses. Beberapa penyakit infeksi yang
disebabkan oleh S. aureus adalah bisul, jerawat, impetigo, dan infeksi luka.
Infeksi yang lebih berat diantaranya pneumonia, mastitis, plebitis, meningitis,
infeksi saluran kemih, osteomielitis, dan endokarditis. S. aureus juga merupakan
toksik (Steven et al, 2015).
17
Gambar 2.12 S. aureus di Kulit Manusia (Dennis, 2015)
2.5.8 Listeria monocytogenes
Menurut FSA (2013),Klasifikasi Listeria monocytogenes yaitu
Kingdom : Bacteria
Filum : Firmicutes
Kelas : Bacilli
Ordo : Bacillales
Familia : Listeriaceae
Genus : Listeria
Species : Listeria monocytogenes
Bakteri Listeria merupakan bakteri gram positif yang dapat tumbuh baik di
tempat aerob maupun anaerob. Listeria hidup dimana-mana, di tanah, air, dan di
pakan ternak. Bakteri ini tidak membentuk spora, dan cukup resisten terhadap
panas, asam dan garam serta tahan terhadap suhu pembekuan (4oC – 10o C) .
Bakteri ini tumbuh pada pH 4.0–9.6, Aw 0.90, dan suhu optimal pertumbuhannya
30–37°C (FSA, 2013).
Listeria monocytogenes adalah suatu bakteri yang dapat menyebabkan
infeksi serius dan fatal pada bayi, anak-anak, orang sakit dan lanjut usia, serta
orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah. Orang sehat juga dapat
terinfeksi bakteri Listeria, dengan gejala jangka pendek yang muncul seperti
demam tinggi, sakit kepala , pegal, mual, sakit perut dan diare. Infeksi Listeria
dapat menyebabkan keguguran pada perempuan hamil (FDA, 2012).
Bakteri Listeria monocytogenes merupakan salah satu agen penyebab
foodborne disease yaitu penyakit yang muncul akibat masuknya mikroorganisme
patogen ke dalam tubuh yang melalui makanan. Bakteri ini dapat menyebabkan
infeksi dan penyakit listeriosis. Listeria menjadi salah satu organisme penyebab
terjadinya kasus KLB keracunan pangan yang terjadi di dunia, tercatat sekitar
2600 kasus keracunan pangan per tahun yang disebabkan oleh Listeria. Listeria
18
juga dapat menyebabkan kematian. Tingkat kematian di antara bayi yang baru
lahir yang terinfeksi L. monocytogenes adalah 25-50 persen (BPOM, 2015).
Gambar 2.13. L. monocytogenes (Dennis, 2015)
2.5.9 Bacillus cereus
Menurut Bottone (2010), Klasifikasi B.cereus yaitu:
Domain : Bacteria
Filum : Firmicutes
Kelas : Bacilli
Ordo : Bacillales
Famili : Bacillaceae
Genus : Bacillus
Species : Bacillus cereus
Bacillus cereus adalah bakteri gram positif berbentuk batang, berukuran 1 x 3-
4 µm, bersifat fakultatif anaerob, motil, dan membentuk spora. B. cereus adalah
bakteri yang tumbuh pada suhu 20°C-40°C, dan mampu beradaptasi dengan
kondisi lingkungan ekstrim. Bakteri ini tersebar luas di alam dan biasanya
ditemukan di tanah sebagai organisme saprotik. Bakteri ini merupakan mikroflora
di serangga (Bottone, 2010).
Bakteri ini dapat mudah mengontaminasi makanan seperti tumbuhan, telur,
daging, dan produk susu. Bakteri ini menyebabkan 2,5% intoksikasi foodborne
karena mensekresikan entrotoksin dan toksin emesis. Keracunan makanan
terjadi ketika makanan dibiarkan tanpa dimasukkan ke dalam kulkas selama
beberapa jam sebelum dikonsumsi. Sisa spora dari bakteri ini akan tumbuh
kembali setelah makanan dingin (Bottone, 2010).
Ketika enterotoksin tertelan akan menyebabkan gejala diare. Gejala mirip
dengan gejala keracunan makanan yang disebabkan oleh Clostridium
perfringens. Gejala tersebut adalah diare berair, kram perut, dan rasa sakit mulai
terjadi 6-15 jam setelah konsumsi makanan yang terkontaminasi. Rasa mual
19
mungkin menyertai diare, tetapi jarang terjadi muntah (emesis). Pada sebagian
besar kasus, gejala-gejala ini tetap berlangsung selama 24 jam. Gejala-gejala
keracunan makanan tipe ini mirip dengan gejala keracunan makanan yang
disebabkan oleh Staphylococcus aureus (Bottone, 2010).
Gambar 2.14 B. cereus (Dennis, 2015)
2.5.10 Perbedaan Gram Positif dan Negatif
Menurut Golan (2008), gram negatif memiliki tiga lapisan pada permukaannya
yaitu membran sitoplasma, dinding sel (peptidoglikan), dan lapisan terluar yang
mengandung lipoposakarida. Berbeda dengan gram positif yang memiliki struktur
lebih sederhana dan tidak memiliki lapisan terluar. Oleh karena itu, gram positif
akan berwarna ungu pada pewarnaan gram sedangkan bakteri gram negatif
akan berwarna pink. Perbedaan lain antara gram negatif dan positif dapat dilihat
pada tabel 2.4
Tabel 2.4 Perbedaan Gram Positif dan Negatif
Ciri Perbedaan Relatif
Gram Positif Gram Negatif
Struktur dinding sel Tebal (15-80 nm)
Berlapis tunggal
Tipis (10-15 nm)
Berlapis tiga (multi) Komposisi dinding sel Kandungan lipid rendah
(1-4%)
Peptidoglikan ada sebagai lapisan tunggal, peptidoglikan merupakan komponen utama yang memiliki berat kering >50% dan terdapat asam tekoat
Kandungan lipid tinggi (11-22%)
Jumlah peptidoglikan sekitar 10% dari berat kering dan tidak terdapat asam tekoat
Kerentanan terhadap penisilin
Lebih rentan Kurang rentan
Resistensi terhadap gangguan fisik
Lebih resisten Kurang resisten
Sumber: Pelczar (2010)