ii. tinjauan pustaka 2.1. perlindungan dan pengelolaan...
TRANSCRIPT
17
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah: upaya
sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan
hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan hidup
yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan,
pengawasan, dan penegakan hukum, (UUPPLH No. 32 Tahun 2009).
2.2. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu
Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan pe-
ngelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumber daya,
dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna
mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Keterpaduan
(integration) mengandung tiga dimensi: sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan
ekologis (Dahuri et al, 2008)
Keterpaduan secara sektoral berarti bahwa perlu ada koordinasi tugas,
wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat
pemerintah tertentu (horizontal integration)', dan antar tingkat pemerintahan dari
mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, sampai tingkat pusat (vertical
integration).
Keterpaduan dari sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa di dalam
pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar pendekatan
interdisiplin ilmu (interdisciplinary approaches), yang melibatkan bidang ilmu:
ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang relevan. Hal ini
diperlukan karena wilayah pesisir pada dasarnya terdiri dari sistem sosial yang
terjalin secara kompleks dan dinamis serta pada dasarnya tersusun dari berbagai
macam ekosistem (mangrove, terumbu karang, estuarin, pantai berpasir, dan
lainnya) yang satu sama lain saling terkait, tidak berdiri sendiri. Perubahan atau
kerusakan yang menimpa satu ekosistem akan menimpa pula ekosistem lainnya.
Selain itu, wilayah pesisir juga dipengaruhi oleh berbagai macam kegiatan
manusia maupun proses-proses alamiah yang terdapat di lahan atas (upland areas)
18
maupun laut lepas (oceans). Kondisi empiris seperti ini mensyaratkan bahwa
pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu (PWPLT) harus
memperhatikan segenap keterkaitan ekologis (ecological linkages) tersebut yang
dapat mempengaruhi suatu wilayah pesisir.
Mengingat bahwa suatu pengelolaan (management) terdiri dari tiga tahap
utama: perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi; maka nuansa
keterpaduan tersebut perlu diterapkan sejak tahap perencanaan sampai evaluasi.
2.2.1. Perencanaan terpadu
Perencanaan terpadu dimaksudkan untuk mengkoordinasikan dan
mengarahkan berbagai aktivitas dari dua atau lebih sektor dalam perencanaan
pembangunan dalam kaitannya dengan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan,
(Dahuri et al, 2008). Perencanaan terpadu biasanya dimaksudkan sebagai suatu
upaya secara terprogram untuk mencapai tujuan yang dapat mengharmoniskan
dan mengoptimalkan antara kepentingan untuk memelihara lingkungan,
keterlibatan masyarakat, dan pembangunan ekonomi. Seringkali, keterpaduan juga
diartikan sebagai koordinasi antara tahapan pembangunan di wilayah pesisir dan
lautan yang meliputi: pengumpulan dan analisis data, perencanaan, implementasi,
dan kegiatan konstruksi (Sorensen, 1990) diacu dalam Dahuri et al, (2008).
Dalam konteks perencanaan pembangunan sumber daya alam yang lebih
luas, Hanson (1988) diacu dalam Dahuri et al, (2008) mendefinisikan perencanaan
sumber daya secara terpadu sebagai suatu upaya secara bertahap dan terprogram
untuk mencapai tingkat pemanfaatan sistem sumber daya alam secara optimal
dengan memperhatikan semua dampak lintas sektoral yang mungkin timbul.
Dalam hal ini yang dimaksud dengan pemanfaatan optimal adalah suatu cara
pemanfaatan sumber daya pesisir dan lautan yang dapat menghasilkan keuntungan
ekonomis secara berkesinambungan untuk kemakmuran masyarakat. Kemudian,
Lang (1986) diacu dalam Dahuri et al (2008) menyarankan bahwa keterpaduan
dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam, seperti pesisir dan lautan,
hendaknya dilakukan pada tiga tataran (level): teknis, konsultatif, dan koordinasi.
Pada tataran teknis, segenap pertimbangan teknis, ekonomis, sosial, dan
lingkungan hendaknya secara seimbang atau proporsional dimasukkan kedalam
19
setiap perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sumber daya pesisir dan
lautan.
Pada tataran konsultatif, segenap aspirasi dan kebutuhan para pihak yang
terlibat (stakeholders) atau terkena dampak pembangunan sumber daya pesisir dan
lautan hendaknya diperhatikan sejak tahap perencanaan sampai pelaksanaan.
Tataran koordinasi mensyaratkan diperlukannya kerjasama yang harmonis antar
semua pihak yang terkait dengan pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan, baik
itu pemerintah, swasta, maupun masyarakat umum.
2.2.2. Keterpaduan ekologis
Antara lahan atas (daratan) dan laut, secara keruangan dan ekologis
wilayah pesisir memiliki keterkaitan. Hal ini disebabkan karena wilayah pesisir
merupakan daerah pertemuan antara daratan dan laut. Karena keterkaitan kawasan
tersebut, maka pengelolaan kawasan pesisir dan laut tidak terlepas dari
pengelolaan lingkungan yang dilakukan di kedua kawasan tersebut. Berbagai
dampak lingkungan yang mengenai kawasan pesisir dan laut adalah akibat
dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan yang dilakukan di lahan
atas seperti penggunaan lahan permukiman, peternakan, perkebunan, kehutanan,
industri, perkantoran dan sebagainva, demikian juga dengan kegiatan yang
dilakukan di laut lepas, seperti kegiatan pengeboran minyak lepas pantai dan
perhubungan laut (Dahuri, 2008)
Pengendalian pencemaran yang diakibatkan oleh antropogenik di hulu
tidak dapat hanya dilakukan di kawasan di pesisir saja, melainkan harus dilakukan
mulai dari sumber dampaknya. Oleh karena itu, pengelolaan di wilayah pesisir
harus diintegrasikan dengan wilayah daratan dan laut serta daerah aliran sungai
menjadi satu kesatuan dan keterpaduan pengelolaan. Pengelolaan yang baik di
wilayah pesisir akan terganggu jika tidak diimbangi dengan perencanaan DAS
yang baik pula.
2.2.3. Keterpaduan sektor
Wilayah pesisir merupakan perairan yang sangat penting, baik
dipandang dari segi ekologis dan ekonomis serta merupakan penopang sistem
ekologi dari biota laut. Banyaknya instansi atau sektor-sektor pelaku
20
pembangunan yang bergerak dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut,
maka akibatnya, seringkali terjadi tumpang tindih pemanfaatan sumberdaya
pesisir dan laut antar satu sektor dangan sektor lainnya. Oleh karena itu, supaya
pengelolaan sumberdaya alam di kawasan pesisir dapat dilakukan secara optimal
dan berkesinambungan, maka dalam perencanaan pengelolaan harus
mengintegrasikan semua kepentingan sektoral. Kegiatan suatu sektor tidak
dibenarkan mengganggu, apalagi sampai mematikan kegiatan sektor lain.
Keterpaduan sektoral ini, meliputi keterpaduan secara horisontal (antar sektor)
dan keterpaduan secara vertikal (dalam satu sektor). Oleh karena itu, pengelolaan
di kawasan pesisir secara terpadu sangat perlu dilakukan untuk menghindari
benturan dan tingkat kepentingan antara stakeholder (Mukhtasor, 2007)
2.2.4. Keterpaduan disiplin ilmu
Karasteristik wilayah pesisir dan laut adalah unik, baik sifat dan
karakteristik ekosisitem pesisir, maupun sifat dan karasteristik sosial budaya
masyarakat pesisir. Sehingga dalam mengkaji wilayah pesisir dan laut tidak hanya
diperlukan satu disiplin ilmu saja tetapi dibutuhkan berbagai disiplin ilmu yang
menunjang sesuai dengan karakteristik pesisir dan lautan tersebut. Dengan sistem
dinamika perairan pesisir yang khas, dibutuhkan disiplin ilmu khusus pula, seperti
ilmu hidrologi, ilmu perairan, hidrooseanografi, dinamika oseanografi, perikanan,
ilmu pertanian, ilmu MIPA, ekologi, keteknikan, hukum, sosiologi, dan ilmu
kebijakan lingkungan disertai keragaman analisis (Dahuri 2005)
2.2.5. Keterpaduan sistem
Dalam beberapa hal, perubahan yang terjadi bukanlah sesuatu yang
mudah untuk dipelajari karena keterkaitan antar komponen yang sangat kompleks.
Sebagai contoh, pembuangan limbah secara langsung ke badan perairan secara
terus ke sungai, akan mengakibatkan perubahan fisik,kimia, dan biologi di sungai
maupun di pesisir. Hal tersebut menyebabkan perubahan fungsi sungai dan pesisir
sehingga menyebabkan pencemaran atau degradasi ekosistem pesisir. Selain itu
akan mempengaruhi aspek ekonomi dan sosial.
Perubahan yang bersifat kompleks membuat pengelola tidak hanya
mempelajari sebagian dari perubahan tersebut, tetapi harus mempelajarinya secara
21
menyeluruh, karena keterkaitan antar komponen yang satu dengan lainnya. Oleh
sebab itu, dalam menangani suatu masalah, harus menyelesaikannya tidak hanya
pada suatu tempat kejadian dan waktu tertentu, namun pada skala yang lebih luas
baik secara spasial maupun temporal. Pada kasus pembuangan limbah di atas,
dampaknya tidak langsung terjadi seketika, namun dapat terjadi pada masa yang
akan datang setelah bahan pencemar mencapai titik kritis tertentu (Hartisari, 2007)
Pendekatan sistem merupakan cara pandang yang bersifat menyeluruh
(holistic) yang memokuskan pada integrasi dan keterkaitan antar komponen.
Pendekatan ini dapat mengubah cara pandang dan pola berpikir dalam menangani
permasalahan dengan menggunakan model yang merupakan penyerhanaan dari
sebuah sistem (Eriyatno, 2003)
2.2.6. Keterpaduan kebijakan
Kebijakan muncul dan diperlukan dalam masyarakat yang relatif maju
dan menghadapi permasalahan yang kompleks dalam mengatur perilaku anggota
masyarakat dalam aktivitas tertentu. Oleh karena itu kebijakan dapat
menghasilkan suatu perubahan yang nampaknya tidak mungkin terjadi menjadi
mungkin
Tidak mudah mendefinisikan kata kebijakan, hal ini disebabkan adanya
berbagai tafsiran dan persepsi dari masyarakat umum dalam percakapan sehari-
hari. Menurut Dunn, W, (2003) bahwa, analisis kebijakan (Policy Analysis) adalah
aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan
kebijakan. Dalam arti historis yang paling luas, analisis kebijakan sebagai suatu
pendekatan terhadap pemecahan masalah sosial dimulai pada satu tonggak sejarah
ketika pengetahuan secara sadar digali untuk memungkinkan dilakukannya
pengujian secara eksplisit kemungkinan menghubungkan pengetahuan dan
tindakan. Sedangkan ilmu kebijakan (Policy Sciences), suatu istilah dan orientasi
terhadap ilmu sosial yang dikembangkan oleh Harold D. Lasswell dkk sebelum
dan setelah perang dunia II adalah: ilmu yang berorientasi pada masalah
kontekstual, multidisiplin, dan secara eksplisit bersifat normatif. Ilmu kebijakan
dirancang untuk menyoroti masalah fundamental dan yang seringkali diabaikan
yang muncul ketika warga Negara dan pengambil kebijakan menyesuaikan
22
dengan perubahan-perubahan sosial dan transformasi politik dan kebijakan yang
terus menerus untuk melayani tujuan-tujuan demokrasi. Kemudian menurut E.S
Quade dalam Dunn, W (2003) bahwa analisis kebijakan adalah suatu bentuk
analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga
dapat memberi landasan dari pusat pembuat kebijakan dalam membuat keputusan.
Keterpaduan kebijakan sangat esensial untuk menjamin konistensi dari
program pengelolaan pesisir terpadu dalam konteks kebijakan pemerinah pusat
dan daerah serta untuk memelihara koordinasi. Tujuan akhir adalah
mengintegrasikan program pengelolaan pesisir secara terpadu ke dalam rencana
pembangunan ekonomi dan strategi penyuluhan pesisir harus dapat merupakan
perubahan yang terjadi di wilayah pesisir dan konsisten dengan tujuan
pembangunan ekonomi nasional
Untuk mewujudkan pengelolaan terpadu, para stakeholder yang terkait
dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan harus mengetahui
kegiatan apa saja yang dapat dan tidak dapat dipadukan, dan bagaimana cara
memadukannya (Aunuddin et al. 2001) diacu dalam Rofiko, (2005)
2.2.7. Keterpaduan stakeholder
Suatu keterpaduan bisa berhasil bila diterapkan atau ditunjang oleh
keterpaduan dari pelaku dan pengelola pembangunan di kawasan pesisir di laut
(stakeholder). Pelaku pembangunan dan pengelola sumber daya alam wilayah
pesisir dan laut antara lain terdiri dari pemerintah pusat dan daerah), masyarakat
pesisir, swasta/investor dan juga lembaga swadaya masyarakat yang masing-
masing mempunyai tingkat kepentingan dalam pemanfaatan sumber daya alam di
pesisir. Perencanan pengelolaan terpadu harus mengakomodir segenap
kepentingan pelaku pembangunan sumber daya pesisir dan laut. Oleh karena itu.
perencanaan pengelolaan pembangunan harus menggunakan pendekatan dua arah,
yaitu pendekatan "top down" dan pendekatan "bottom up" (Dahuri, 2005)
Pengelolaan secara terpadu merupakan dimensi yang sangat penting
dalam sistem pengeloalan sumberdaya pesisir dan laut, tidak hanya dari segi
kecocokan secara internal antara kebijakan dan program aksi, antar proyek dan
program, tetapi juga antara perencanaan dan pelaksanaan. Berdasarkan jenis
23
keterpaduan dapat dibedakan atas tiga jenis, yaitu keterpaduan sistem,
keterpaduan fungsi dan keterpaduan kebijakan.
2.2.8. Keterpaduan fungsional
Keterpaduan fungsional diperlukan dalam pengelolaan pesisir dan
lautan yang berkaitan dengan hubungan antara berbagai kegiatan pengelolaan
seperti koordinasi mengenai program dan proyek supaya sesuai dengan tujuan dan
sasaran pengelolaan. Keterpaduan juga mengupayakan supaya tidak terjadi
duplikasi proyek diantara stakeholder yang terlibat, tetapi saling melengkapi.
Keterpaduan fungsional merupakan salah satu bentuk efektif dalam penyusunan
zonasi pesisir yang mengalokasikan pemanfaatan sumberdaya secara spesifik.
2.3. Perencanaan secara sektoral
Perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara sektoral biasanya
berkaitan dengan hanya satu macam pemanfaatan sumber daya atau ruang pesisir
oleh satu instansi pemerintah untuk memenuhi tujuan tertentu, seperti perikanan
tangkap, tambak, pariwisata, pelabuhan, atau industri minyak dan gas.
Pengelolaan semacam ini dapat menimbulkan konflik kepentingan antar sektor
yang berkepentingan yang melakukan aktivitas pembangunan pada wilayah
pesisir dan lautan yang sama. Selain itu, pendekatan sektoral semacam ini pada
umumnya tidak atau kurang mengindahkan dampaknya terhadap yang lain,
sehingga dapat mematikan usaha sektor lain. Contohnya kegiatan industri yang
membuang limbahnya ke lingkungan pesisir dapat mematikan usaha tambak,
perikanan tangkap, pariwisata pantai dan membahayakan kesehatan manusia
(Dahuri 2005)
2.4. Dimensi pembangunan berkelanjutan.
Pembangunan berkelanjutan adalah: Pembangunan yang berdasarkan
pada azas pertumbuhan ekonomi, pelestarian lingkungan hidup dan stabilitas
sosial untuk meningkatkan kesejahteraan manusia, baik generasi saat ini maupun
generasi mendatang tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dan
ekosistem (Sutjahjo 2007). Kemudian menurut UU nomor. 32 tahun 2009 tentang
perlindungan pengelolaan lingkungan hidup, bahwa pembangunan berkelanjutan
adalah: upaya sadar terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial,
24
dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin kebutuhan
lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup
generasi masa kini dan generasi masa depan.
Di sisi lain menurut Djajadiningrat (2001) pembangunan berkelanjutan
adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi
kemampuan generasi mendatang. Kemudian lebih lanjut disebutkan bahwa
keberlanjutan (sustainability) adalah "memberikan/meninggalkan kepada generasi
yang akan datang kesempatan sebanyak mungkin selain yang telah kita miliki."
Dengan mengartikan kesempatan sebagai kekayaan per kapita atau modal tentang
hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan. Dalam
konsep ini, terkandung dua gagasan penting yaitu: gagasan kebutuhan esensial
untuk memberlanjutkan kehidupan manusia dan gagasan keterbatasan yang
bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan
lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari depan.
PBBL
(PSDA & LH)
TUJUAN SOSIAL:
1. Pemberdayaan
2. Peranserta
3. Kebersamaan
4. Mobilitas
5. Identitas budaya
6. Pembinaan Kelembagaan
7. Pengentasan kemiskinan
TUJUAN EKOLOGIS:
1. Identitas & tingkat keutuhan ekosistem
2. Pelestarian keanekaragaman hayati
3. Daya dukung SDA & LH
4. IPTEK-bersih (ramah LH & hemat SDA)
5. Tanggapan isyu global
TUJUAN EKONOMI:
1. Pertumbuhan
2. Pemerataan
3. Eko-efisiensi
4. Stabilitas
TRI- SISTIM DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN
BERWAWASAN LINGKUNGAN (PBBL)
Gambar 4 . Konsep Pembangunan Berkelanjutan
(sumber : Sutjahjo, 2007)
25
2.4.1. Dimensi ekologis
Pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir secara berkelanjutan berarti
bagaimana mengelola segenap kegiatan pembangunan yang terdapat di suatu
wilayah yang berhubungan dengan wilayah pesisir agar total dampaknya tidak
melebihi kapasitas fungsionalnya. Setiap ekosistem alamiah, termasuk wilayah
pesisir, memiliki 4 fungsi pokok bagi kehidupan manusia: (1) jasa-jasa pendukung
kehidupan, (2) jasa-jasa kenyamanan, (3) penyedia sumber daya alam, dan (4)
penerima limbah (Ortolano, 1984) diacu dalam Dahuri et al, (2008).
Jasa-jasa pendukung kehidupan (life support services) mencakup
berbagai hal yang diperlukan bagi eksistensi kehidupan manusia, seperti udara dan
air bersih serta ruang bagi berkiprahnya segenap kegiatan manusia. Jasa-jasa
kenyamanan (amenity services) yang disediakan oleh ekosistem alamiah adalah
berupa suatu lokasi beserta atributnya yang indah dan menyejukkan yang dapat
dijadikan tempat berekreasi serta pemulihan kedamaian jiwa. Ekosistem alamiah
juga menyediakan sumber daya alam yang dapat dikonsumsi langsung atau
sebagai masukan dalam proses produksi. Sedangkan fungsi penerima limbah dari
suatu ekosistem adalah kemampuannya dalam menyerap limbah dari kegiatan
manusia, hingga menjadi suatu kondisi yang aman. Dari keempat fungsi
ekosistem alamiah tersebut, dapat dimengerti bahwa kemampuan dua fungsi yang
pertama sangat bergantung pada dua fungsi yang terakhir. Hal ini berarti bahwa
jika kemampuan dua fungsi terakhir dari suatu ekosistem alamiah tidak dirusak
oleh kegiatan manusia, maka fungsinya sebagai pendukung kehidupan dan
penyedia jasa-jasa kenyamanan dapat diharapkan tetap terpelihara (Ortolano,
1984) diacu dalam Dahuri et al, (2008).
Berdasarkan keempat fungsi ekosistem di atas, secara ekologis terdapat
tiga persyaratan yang dapat menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan,
yaitu: (1) keharmonisan spasial, (2) kapasitas asimilasi, dan (3) pemanfaatan
berkelanjutan. Keharmonisan spasial (spatial suitability) mensyaratkan, bahwa
dalam suatu wilayah pembangunan, seperti Pantai Timur Kalimantan, Pulau
Batam, dan Pantai Utara Jawa Barat, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan
bagai zona pemanfaatan, tetapi harus pula dialokasikan untuk zona preservasi dan
26
konservasi. Contoh daerah preservasi adalah daerah pemijahan ikan (spawning
ground) dan jalur hijau pantai. Dalam zona preservasi ini tidak diperkenankan
adanya kegiatan pembangunan, kecuali penelitian. Sementara itu, beberapa
kegiatan pembangunan, seperti pariwisata alam, pemanfaatan hutan bakau dan
perikanan secara berkelanjutan (sustainable basis) dapat berlangsung dalam zona
konservasi.
2.4.2. Dimensi sosial ekonomi
Dimensi ekologis seperti diuraikan di atas pada dasarnya menyajikan
informasi tentang daya dukung (kemampuan suplai) sistem alam wilayah pesisir
dalam menopang segenap kegiatan pembangunan dan kehidupan manusia.
Dengan demikian, agar pembangunan wilayah pesisir dapat berkelanjutan, maka
pola dan laju pembangunan harus dikelola sedemikian rupa, sehingga total
permintaannya (demand) terhadap sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan
tidak melampaui kemampuan suplai tersebut. Kualitas dan jumlah permintaan
tersebut ditentukan oleh jumlah penduduk dan standar (kualitas) kehidupannya.
Oleh karena itu, selain mengendalikan jumlah penduduk, kebijakan yang
mendesak untuk dilakukan adalah mengurangi kesenjangan antara kaya dan
miskin.
Secara sosial ekonomi budaya konsep pembangunan berkelanjutan
mensyaratkan, bahwa manfaat (keuntungan) yang diperoleh dari kegiatan
penggunaan suatu wilayah pesisir serta sumber daya alamnya harus diprioritaskan
untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk sekitar kegiatan (proyek) tersebut,
terutama mereka yang ekonomi termasuk lemah, guna menjamin kelangsungan
pertumbuhan ekonomi wilayah itu sendiri. Untuk negara berkembang, seperti
Indonesia, prinsip ini sangat mendasar, karena banyak kerusakan lingkungan
pantai misalnya penambangan batu karang, penebangan mangrove, penambangan
pasir pantai dan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, berakar
pada kemiskinan dan tingkat pengetahuan yang rendah dari para pelakunya.
Keberhasilan Pemda Dati I Propinsi Bali dalam menanggulangi kasus
penambangan batu karang, dengan menyediakan usaha budi daya rumput laut
sebagai alternatif mata pencaharian bagi para pelakunya, adalah merupakan salah
27
satu contoh betapa relevannya prinsip ini bagi kelangsungan pembangunan di
Indonesia.
2.4.3. Dimensi sosial politik
Pada umumnya permasalahan (kerusakan) lingkungan bersifat
eksternalitas. Artinya pihak yang menderita akibat kerusakan tersebut bukanlah
pembuat kerusakan, melainkan pihak lain, yang biasanya masyarakat miskin dan
lemah. Misalnya, pendangkalan bendungan dan saluran irigasi serta peningkatan
frekuensi dan magnitude banjir suatu sungai akibat penebangan hutan yang
kurang bertanggung jawab di daerah hulu. Demikian juga dampak pemanasan
global akibat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer yang sebagian
besar disebabkan oleh negara-negara industri.
Ciri khas lain dari kerusakan lingkungan adalah, bahwa akibat dari
kerusakan ini biasanya muncul setelah beberapa waktu. Contohnya, pencemaran
perairanTeluk Minamata di Jepang terjadi sejak tahun 1940-an. Tetapi penyakit
minamata dan itai-itai baru timbul pada awal 1960-an (Silent Spring).
Mengingat karakteristik permasalahan lingkungan tersebut, maka
pembangunan berkelanjutan hanya dapat dilaksanakan dalam sistem dan suasana
politik yang demokratis dan transparan. Tanpa kondisi politik semacam ini,
niscaya laju kerusakan lingkungan akan melangkah lebih cepat ketimbang upaya
pencegahan dan penanggulangannya.
2.4.4. Dimensi hukum dan kelembagaan
Pada akhirnya pelaksanaan pembangunan berkelanjutan mensyaratkan
pengendalian diri dari setiap warga dunia untuk tidak merusak lingkungan dan
bagi kelompok the haves dapat berbagi kemampuan dan rasa dengan saudaranya
yang masih belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, sambil mengurangi
budaya konsumerismenya. Persyaratan yang bersifat personal ini dapat dipenuhi
melalui penerapan sistem peraturan dan perundang-undangan yang berwibawa
dan konsisten, serta dibarengi dengan penanaman etika pembangunan
berkelanjutan pada setiap warga dunia. Di sinilah peran sentuhan nilai-nilai
keagamaan akan sangat berperan.
28
2.5. Kebijakan pembangunan dan lingkungan
Komisi Bruntland mengidentifikasikan 7 tujuan penting untuk kebijakan
pembangunan berkelanjutan yaitu: 1) memikirkan kembali makna pembangunan;
2) merubah kualitas pertumbuhan (lebih menekankan pada pembangunan dari
pada sekedar pertumbuhan; 3) memenuhi kebutuhan dasar akan lapangan kerja,
makanan, energi, air dan sanitasi; 4) menjamin terciptanya keberlanjutan pada
satu tingkat pertumbuhan penduduk tertentu; 5) mengkonservasi dan
meningkatkan sumber daya; 6) mengubah arah teknologi dan mengelola resiko; 7)
memadukan pertimbangan lingkungan dan ekonomi dalam pengambilan
keputusan.
Dari tujuh tujuan tersebut, ada dua hal penting yang membutuhkan
perhatian disini yaitu 1) Walaupun komisi menyadari bahwa pertumbuhan adalah
penting untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, pembangunan berkelanjutan
merupakan sesuatu yang lebih dari sekedar pertumbuhan. Untuk itu, merubah
hakekat pertumbuhan merupakan suatu keharusan, terutama untuk mengurangi
sifat materialistisnya, membuat lebih hemat energi, dan keseimbangan manfaat. 2)
Adanya keterpaduan antara pertimbangan lingkungan dan ekonomi sebagai
strategi utama pembangunan berkelanjutan.
2.6. Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
Pasca Our cammon future, banyak upaya telah dilakukan untuk
mengembangkan pedoman dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
Tanpa prinsip, tidak mungkin menentukan apakah suatu kebijakan atau kegiatan
dapat dikatakan berkelanjutan. Betapapun banyak tantangan dalam
mengembangkan suatu model umum, adanya pedoman umum tetap dibutuhkan
yang kemudian dapat dimodifikasi untuk setiap kondisi dan waktu yang berbeda.
2.7. Teluk
2.7.1. Degradasi teluk oleh aktivitas manusia
Masalah utama perubahan kuantitas dan kualitas air teluk adalah : 1)
pencemaran teluk dan sekitarnya, 2) berkurang dan rusaknya lahan basah
sekeliling Teluk, 3) pembangunan dan struktur sipil di sungai tanpa
memperhitungkan keberlanjutan biota teluk, dan 4) perubahan drastis tata ruang
dan tata guna lahan di daerah tangkapan air. Dampak langsung dari pengrusakan
29
lingkungan di sekitar teluk adalah turunnya kualitas fisik-kimia, dan biologi dan
dampak tidak langsung adalah turunnya kemampuan daya dukung ekosistim teluk
untuk mendukung produktivitas perairan. Dampak akibat turunnya daya dukung
perairan adalah: 1) berkurangnya produksi perikanan, 2) tercemarnya air dan 3)
pendangkalan teluk yang mengakibatkan kendala transportasi air pada musim
kemarau dan banjir pada musim hujan. Berbagai ancaman ini berdampak pada
kegiatan ekonomi dan kelestarian sumberdaya alam. Dahuri (2005)
mengemukakan bahwa faktor sumber pencemar perairan adalah limbah domestik
perkotaan (domestic –urban wastes), limbah cair perkotaan (urban stormwater),
limbah cair pemukiman (sewage) pertambangan, limbah industri (industrial
wastes), limbah pertanian (agriculture wastes), limbah perikanan budidaya dan air
limbah pelayaran (shipping waste water). Buangan limbah industri ke tanah dan
/atau permukaan badan air mengakibatkan sumberdaya air (air tanah dan air
permukaan) tidak stabil untuk dimanfaatkan. Karenanya perlu pengolahan
kembali (reuse) air limbah agar dapat digunakan dalam berbagai hal seperti
irigasi.
2.7.2. Fungsi ekosistim teluk bagi kehidupan manusia
Teluk terjadi karena peristiwa alami untuk menampung dan menyimpan
air yang berasal dari hujan, mata air, dan atau sungai. Atau teluk adalah badan air
alami berukuran besar yang dikelilingi oleh daratan. Teluk bisa berupa cekungan
yang terjadi karena peristiwa alam yang kemudian menampung dan menyimpan
air yang berasal dari hujan, mata air, rembesan, dan atau air sungai.
Teluk memilki fungsi sebagai transportasi air, sumber perikanan, juga
merupakan tempat hidup berbagai biota air, pengatur tata air, dan pengendali
banjir. Pendangkalan teluk, pencemaran, eutrofikasi, introduksi spesies asing,
eksploitasi sumberdaya, dan terjadinya konflik pemanfaatan air teluk telah
menjadi isu dan permasalahan teluk di Indonesia dan tempat lainnya.
Teluk merupakan kawasan yang sangat penting bagi perekonomian
masyarakat karena potensial untuk tujuan wisata, sarana transportasi, perikanan.
Keberadaan teluk meski ditujukan untuk meningkatkan kondisi ekonomi
masyakarat, ternyata dapat menimbulkan persoalan ekologis dan sosial. Hal ini
menyebabkan perlunya prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan teluk.
30
Permasalahan utama yang dihadapi oleh ekosistem teluk adalah tekanan
pencemaran dari kegiatan industri, pertanian, perikanan, pariwisata, rumah tangga,
dan introduksi spesies asing. Banyak teluk mengalami eutrofikasi dan
pendangkalan akibat erosi, serta kehilangan spesies endemik akibat masuknya
spesies asing yang memangsa spesis lain.
Bagi manusia kepentingan teluk jauh lebih berarti dibandingkan dengan
luas daerahnya. Keberadaan ekosistem teluk memberikan fungsi yang
menguntungkan bagi kehidupan manusia (rumah tangga, industri, dan perikanan).
Beberapa fungsi penting ekosistem ini, sebagai berikut: 1) sebagai tempat
berlangsungnya siklus hidup jenis flora/fauna yang penting, 2) sebagai sumber air
yang dapat digunakan langsung oleh masyarakat sekitarnya (perikanan); 3)
sebagai tempat penyimpanan kelebihan air yang berasal dari air hujan, aliran
permukaan, sungai-sungai atau dari sumber-sumber air bawah tanah; 3)
memelihara iklim mikro, dimana keberadaan ekosistem teluk dapat
mempengaruhi kelembapan dan tingkat curah hujan setempat; 4) sebagai sarana
tranportasi untuk memindahkan hasil-hasil pertanian dari tempat satu ke tempat
lainnya; 5) sebagai sarana rekreasi dan objek pariwisata.
Teluk juga digunakan manusia untuk berbagai keperluan, misalnya untuk
rekreasi, perikanan, dan pengendalian air limbah. Sebagai sumber air paling
praktis, teluk sudah menyediakannya melalui terkumpulnya air secara alami
melalui aliran permukaan yang masuk ke teluk, aliran sungai-sungai yang menuju
ke teluk dan melalui aliran di bawah tanah yang secara alami mengisi cekungan
dimuka bumi ini. Bentuk fisik Teluk Youtefa pun memberikan daya tarik sebagai
tempat membuang yang praktis. Jika kita membiarkan semua demikian, maka
akan mengakibatkan Teluk Youtefa tak akan bertahan lama berada di muka bumi.
Ekosistem teluk tidak dikelola sebagaimana mestinya, sebaliknya untuk
memenuhi kepentingan manusia, lingkungan sekitar, teluk diubah untuk
dicocokkan dengan cara hidup dan cara bermukim manusia.
31
2.8. Pemantauan kualitas air
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004
mengelompokkan kualitas air menjadi beberapa kelas menurut peruntukannya.
Menurut Mason (1993) yang diacu dalam Effendi (2003), pemantauan kualitas air
suatu perairan memiliki tiga tujuan utama sebagai berikut:1) Environmental
Surveillance, yakni tujuan untuk mendeteksi dan mengukur pengaruh yang
ditimbulkan oleh suatu pencemar terhadap kualitas lingkungan dan mengetahui
perbaikan kualitas lingkungan setelah pencemar tersebut dihilangkan ;2)
Establishing Water-Quality Criteria, yakni tujuan untuk mengetahui hubungan
sebab akibat antara perubahan variabel – variabel ekologi perairan dengan
parameter fisika dan kimia, untuk mendapatkan baku mutu kualitas air; 3)
appraisal of Resources, yakni tujuan untuk mengetahui gambaran kualitas air pada
suatu tempat secara umum.
Pada hakekatnya, pemantauan kualitas air pada perairan umum memiliki
tujuan sebagai berikut; 1) mengetahui nilai kualitas air dalam bentuk parameter
fisika, kimia, dan biologi; 2) membandingkan nilai kualitas air tersebut dengan
baku mutu sesuai dengan peruntukanya.
2.8.1. Air permukaan (surface water)
Air tawar berasal dari dua sumber, yaitu air permukaan (surface water)
dan air tanah (groud water). Air permukaan adalah air yang berada di sungai,
teluk, waduk, rawa, dan badan air lain, yang tidak mengalami infiltrasi ke bawah
tanah. Air tanah yang mengalirkan air ke suatu badan air disebut watersheds atau
drainage basins. Air yang mengalir dari daratan menuju suatu badan air disebut
limpasan permukaan (surface run off); dan air yang mengalir di sungai menuju
laut disebut aliran air sungai (river run off). Sekitar 69 % air yang masuk ke
sungai berasal dari hujan, pencairan es/salju, dan sisanya berasal dari air tanah.
Wilayah di sekitar daerah aliran sungai yang menjadi tangkapan air disebut
catchment basin.
Perairan permukaan diklasifikasikan menjadi dua kelompok utama, yaitu
badan air tergenang (standing waters atau lentik) dan badan air mengalir (flowing
waters).
32
2.8.2. Perairan tergenang (lentik)
Perairan tergenang meliputi, kolam, waduk (reservoir), rawa (wetland),
dan sebagainya. Perairan tergenang (lentik), biasanya mengalami stratifikasi
secara vertikal akibat perbedaan intensitas cahaya dan perbedaan suhu pada kolam
air yang terjadi secara vertikal.
2.9. Estuari
2.9.1. Pengertian estuari
Estuari adalah luasan badan air pantai setengah tertutup yang berhubungan
langsung dengan laut terbuka, jadi sangat terpengaruh oleh gerakan pasang surut
air laut yang bercampur dengan air tawar dari buangan air daratan. Clark, (1974).
Kemudian menurut Dahuri et al, (2008) Estuari adalah teluk di pesisir, tempat air
tawar dan air laut bertemu dan bercampur. Kebanyakan estuari didominasi oleh
substrat berlumpur. Substrat berlumpur ini merupakan endapan yang dibawa oleh
air tawar dan air laut. Di antara partikel yang mengendap di estuari kebanyakan
bersifat organik. Akibatnya substrat ini kaya akan bahan organik. Bahan inilah
yang menjadi cadangan makanan yang besar bagi organisme estuari.
Clark (1974) mengemukakan bahwa ekosistem estuari bernilai ekonomis
tinggi karena terdiri dari kombinasi bentuk dan fungsinya yang secara sendiri-
sendiri maupun secara kombinasi memiliki fungsi sebagai berikut: 1) struktur fisik
yang setengah tertutup: melindungi wilayah badan air dari gaya gelombang dan
memberikan kesempatan pada tumbuhan unluk dapat berakar, tumbuh dan
menjerat/menampung biota dan nutrient, 2) perairan yang dangkal:
memungkinkan cahaya matahari untuk tembus ke dalam estuari sehingga
mendukung tumbuhnya tumbuhan rawa dan biota rawa pasang surut, serta
menghalangi predator laut yang biasanya menghindari perairan dangkal, 3)
Salinitas: aliran air tawar dapat menimbulkan perbedaan salinitas yang lebih
tinggi dan lebih berat sehingga menimbulkan aliran yang terstratifikasi, 4)
sirkulasi: menjadi suatu transport system yang menguntungkan bagi kehidupan
strata rendah, karena dengan aliran yang terstratifikasi tadi, aliran permukaan ke
luar (ke arah laut) dan aliran dasar masuk ke wilayah estuari serta memungkinkan
organisme berkumpul dalam suatu habitat melalui proses adaptasi. 5) arus
33
pasang surut: energi pasang surut menjadi tenaga pengubah yang kuat; aliran arus
pasang surut memindahkan nutrient dan kehidupan, mengencerkan dan
membuang limbah; irama pasang surut berfungsi sebagai regulator yang penting
bagi penyediaan makanan dan perkembang biakan kehidupan. 6) gudang nutrient:
mekanisme penjerat di wilayah estuarin berfungsi sebagai penyimpan nutrisi,
contohnya adalah rawa dan padang lamun menyimpan nutrient untuk dilepaskan
secara perlahan-lahan sebagai detritus.
Ada tiga komponen fauna di estuaria yaitu fauna lautan, air tawar dan
payau atau estuari. Komponen fauna yang terbesar didominasi oleh fauna lautan,
Jumlah organisme yang menghuni estuari lebih sedikit jika dibandingkan dengan
organisme yang hidup di perairan tawar atau laut. Sedikitnya jumlah spesies ini
disebabkan oleh fluktuasi kondisi lingkungan, terutama fluktuasi salinitas yang
sangat besar sehingga hanya beberapa spesies saja yang mampu bertahan hidup di
estuari. Selain miskin dalam jumlah organisme, estuari juga miskin akan flora.
Perairan estuari sangat keruh sehingga tumbuhan mencuat saja yang dapat
tumbuh.
Parameter lingkungan utama untuk ekosistem estuari adalah (1) aliran
sungai, seperti limbah, toksikan, sedimen dan nutrient; (2) sifat-sifat fisik air laut,
seperti pasang, surut arus laut dan gelombang.
2.9.2. Kawasan estuari
Sebagian besar daerah pesisir di Teluk Youtefa dipengaruhi oleh
keberadaan estuari. Beberapa daerah yang memiliki kawasan estuari antara lain:
kawasan estuari DAS kali acai, Siborghoni, Entrop, Hanyaan. Kawasan muara
sungai rentan terhadap kerusakan dan perubahan baik alami maupun akibat
kegiatan manusia. Muara yang terletak di daerah perkotaan, industri dan daerah
pemukiman seringkali mendapat tekanan yang besar. Nybakken (1982), dan Clark
(1974) melihat estuari dari tiga aspek, yaitu komposisi fauna, vegetasi estuari, dan
plankton estuari. Ada tiga komponen fauna di estuari; komponen fauna laut, air
tawar. dan air payau (estuari).
Menurut Koesoebiono (1991), hewan air yang hidup di wilayah estuari terjadi
atas: 1) spesies-spesies yang endemik (tinggal di estuari sepanjang hidupnya)
34
seperti berbagai macam kerang, kepiting, dan berbagai jenis ikan. 2) spesies yang
tinggal untuk sementara waktu di estuari, seperti larva beberapa jenis udang dan
ikan yang setelah dewasa bermigrasi ke laut bebas. 3). beberapa spestes ikan yang
menggunakan estuari sebagai jalur imigrasi dari laut ke sungai dan sebaliknya
seperti ikan sidat dan salmon. Lebih lanjut disebutkan bahwa tumbuhan estuari
terdiri atas tumbuhan berakar seperti mangrove yang tumbuh di daerah pasang
surut dan bermacam lamun (sea grass), serta ganggang makro (sea weed) yang
tumbuh di dasar perairan. Selain itu, terdapat pula ganggang yang berukuran
mikroskopis yang hidup sebagai plankton nabati yang hidup melekat menyelimuti
daratan-daratan lumpur yang tampak pada waktu air surut atau melekat pada
daun-daun.
Estuari mempunyai beberapa macam tipe dan defmisi. Hal ini disebabkan
oleh beberapa bentuk geomorfologis garis pantai, yang bentuknya seperti estuari
semi tertutup, estuari dataran pesisir atau rawa, estuari tipe tektonik, teluk dangkal
yang sering dianggap sebagai estuari. Nybakken (1992) mendefinisikan bahwa
estuari (aestus, air pasang) adalah lingkungan pantai berbentuk teluk yang
sebagian tertutup atau semi tertutup, dan tejadi pertemuan dan percampuran antara
air tawar dan air laut. Hutabarat dan Evans (2008) menyebutkan bahwa estuari
merupakan daerah percampuran antara air sungai atau tawar dan air laut, daerah
ini mempunyai salinitas rendah dibanding dengan laut terbuka. Jadi defmisi di
atas memberi pengertian bahwa adanya hubungan bebas antara laut dengan
sumber air tawar, paling sedikit selama setahun. proses percampuran sangat
kompleks. Air tawar yang berasal dari sungai mempunyai densitas yang lebih
kecil dibanding air laut dan cenderung mengapung di atas permukaan air laut. Di
daerah estuari terdapat dinamika salinitas yang berlangsung secara tetap yang
berhubungan dengan gerakan air pasang surut. Massa air tawar yang masuk ke
estuari pada waktu surut mengakibatkan salinitas rendah. Pada saat air pasang,
massa air laut masuk ke dalam estuari dan bercampur dengan air tawar,
akibatnya salinitas dalam estuari meningkat.
Wilayah estuari dapat juga dibagi menjadi tiga bagian: 1) estuari bagian
mulut sungai yang berhubungan dengan air tawar dan dipengaruhi oleh pasang
35
surut harian, 2) estuari bagian tengah dan terjadi percampuran air tawar dan air
laut dengan baik. 3) estuari yang berhubungan langsung dengan laut bebas. Pada
masing-masing wilayah estuari memiliki kondisi salinitas, suhu, oksigen terlarut
dan bahan sedimen serta biologis yang bervariasi sehingga menyebabkan
ekosistem estuari menjadi lebih kompleks. Estuari merupakan bagian dari sungai
yang dipengaruhi oleh pasang surut. Muara sungai berfungsi sebagai pengeluaran
atau pembuangan air hujan yang berlebihan melalui mulut sungai ke laut. Karena
letaknya diujung hilir, maka debit aliran air di muara lebih bcsar dibanding air
sungai di hulu. Pengaruh pasang surut terhadap sirkulasi aliran di estuari dapat
sampai jauh ke hulu sungai dan hal ini tergantung dengan tinggi pasang surut,
debit air sungai dan karakteristik.
Estuari dipengaruhi oleh massa air tawar yang mengalir dari sungai ke laut
dan pergerakan air pasang surut secara teratur ke dalam dan ke luar estuari. Aliran
pasang surut dan air tawar yang bersumber dari aliran air sungai maupun air laut
yang menghasilkan arus dan aliran-aliran sekunder dengan kecepatan rendah, hal
ini menyebabkan terjadinya proses percampuran air tawar dengan air laut yang
menghasilkan salinitas bervariasi dalam wilayah estuari. Oleh karena itu, air tawar
yang bersumber dari sungai dan air pasang-surut air laut merupakan faktor yang
penting dalam ekosistem estuari. Percampuran kedua massa air tersebut
menghasilkan suatu wilayah (zona) air yang bersalinitas rendah.
Klasifikasi estuari dibagi menjadi beberapa tipe berdasarkan gradient
salinitas dan proses pencampurannya yaitu (1) estuarin posttif pada musim hujan,
curah hujan sangat tinggi dan jumlah debit air tawar yang memasuki wilayah
estuarin lebih besar. Pada bagian tertentu di kolom air secara vertikal di wilayah
estuari mempunyai salinitas tinggi di dekat dasar dan salinitas rendah di dekat
permukaan. Kondisi estuari yang demikian disebut estuari positif (estuari baji
garam), yang tejadi karena percampuran. Baji garam yang mencolok sampai
homogen menghasilkan salinitas yang sama secara vartikal dari permukaan
sampai dasar pada tiap titik tertentu, akan tetapi kondisi pasang surut dan aliran
air sungai diwilayah estuari dapat berubah-ubah karena pengaruh musim
(Nyabakken 1992). (2) estuari negatif pada musim kemarau, curah hujan sangat
36
rendah dan jumlah debit air tawar yang memasuki estuarin jauh berkurang serta
kecepatan penguapan tinggi, maka masalah ini dapat menghasilkan estuari negatif,
dan biasanya air laut masuk sampai beberapa kilometer kearah hulu, dalam estuari
yang demikian, air laut ke luar dan masuk melalui permukaan dan selanjutnya
mengalami sedikit pengeceran karena bercampur dengan air tawar yang terbatas
jumlahnya. Bila kecepatan penguapan tinggi dapat rnenyebabkan permukaan air
di wilayah estuari menjadi hipersalin. Air hipersalin lebih berat dari air laut dan
tenggelam ke dasar serta bergerak ke luar estuari bersama dengan arus dasar (3).
estuari netral, yang tejadi karena sumber air tawar dari sungai dan hujan seimbang
dengan penguapan.
Pritehard (1967) diacu dalam Rofiko (2005) mengklasifikasikan estuari ke
dalam empat tipe berdasarkan sirkulasi air: (1) Tipe A (Salt wedge estuaries,
estuari baji garam). Tipe estuari ini memiliki stratifikasi salinitas yang tinggi. (2).
tipe B (Partially mixed estuaries, estuari campuran sebagian). Tipe estuari ini
memiliki stratifikasi salinitas sedang (moderat). (3). tipe C (Vertically
homogeneous esiuarine estuari homogen secara sempuma atau homogen vertikal).
Tipe estuari ini memiliki gradien salinitas ke arah samping. (4). tipe D
(Sectionally homogeneous esiuarine or Fjord, estuari homogen terpisah-pisah).
Tipe estuari ini memiliki gradian salinitas membujur dan memiliki hubungan
sirkulasi massa air laut dan air tawar yang tertutup serta menghasilkan perubahan
salinitas yang menyebar ke segala arah.
Duxbury dan Dexbury (1993) mengklasifikasikan karakteristik masing-
masing tipe estuari sebagai berikut : (1) Salt wedge estuaries memiliki karateristik
sebagai berikut: arus sungai sebagai pencampur utama, percampuran air laut
terjadi dari dasar ke permukaan, stratifikasi densitas air laut dengan jelas, gradian
salinitas terjadi secara vertikal, melintang atau membujur, tingkatan kekeruhan
sangat tinggi. (2) Well mixed estuaries: angin dan pasang surut sebagai
pencampur utama, arus pasang bergerak memasuki sungai dan terjadi
percampuran oleh turbulensi arus, tidak terdapat stratifikasi densitas air laut
dengan jelas, gradian salinitas terjadi secara melintang dan membujur. tingkat
kekeruhan tinggi. (3) Partially mixed estuaries: arus sungai, angin dan pasang
37
surut merupakan pencampur utama, air laut bergerak dan bagian bawah ke atas,
sehingga terjadi percampuran pada bagian atas, tidak terdapat stratifikasi densitas
air laut. gradien salinitas terjadi secara melintang atau vertikal dan membujur,
tingkat kekeruhan sedang. (4) Fjord, arus sungai, pasang surut dan angin
merupakan air bagian dasar cenderung lebih homogen dan relatif tetap.
Secara ekologis estuari dapat dianggap sebagal wilayah (zona) peralihan
atau ekoton antara habitat air tawar dan habitat air laut, akan tetapi banyak dari
sifat fisika, kimia dan biologinya yang utarna tidak bersifat peralihan, melainkan
unik. Ke arah daratan wilayah ini dipengaruhi oleh pasang surut, gelombang laut,
angin laut intrusi air laut, sedangkan ke arah laut dipengaruhi oleh kegiatan
alamiah dan manusia di wilayah daratan dan laut seperti air sungai yang
bersumber dari aliran permukaan (run off), sedimentasi, bahan beracun dan
pencemar lainnya. Keadaan sifat fisika, kimia dan biologis di estuari juga
bervariasi dan dipengaruhi oleh musim. Dinamika ekosistem estuari laut dan darat
di seluruh wilayah Indonesia ini berpengaruh terhadap faktor-faktor biotik dan
abiotik: salinitas, suhu air, total padatan tersuspensi, musim, massa air,
sumberdaya ikan dan organisme makanan alami (Kennish 1992)
2.9.3. Hidrodinamika perairan estuari
Zona pertemuan atau peralihan antara air laut dan air tawar disebut estuari.
Di sepanjang estuari pergerakan air dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan
aliran air sungai. Pasang surut merupakan gaya eksternal utama yang
membangkitkan pergerakan massa air serta pola perubahan tinggi muka air secara
dinamis. Akibat pasang surut, arus dapat mempengaruhi pergeseran salinitas dan
kekeruhan di sepanjang daerah estuari. Kondisi pada saat pasang akan
menyebabkan salinitas dan bahan tersuspensi bergerak ke hulu dan saat surut
menuju hilir. Hidrodinamika perairan secara umum berperan dalam proses-proses
seperti pencampuran (mixing) penyebaran dan proses sedimentasi (Benoit, 1971).
Pasang surut (pasut) dapat menyebabkan terjadinya arus pasang surut yang
menimbulkan turbulensi. Proses pengadukan akan semakin besar bila perairan
tidak terlalu luas dan pencampuran bisa terjadi ke semua arah dan lapisan.
Interaksi air laut dan air tawar akan mempengaruhi sirkulasi massa air dan
38
pencampuran yang dibangkitkan oleh perbedaan densitas. Pasang surut
mempengaruhi proses pencampuran melalui geseran (friction) ketika pasang surut
mengalir melewati dasar perairan. Geseran tersebut menimbulkan turbulensi yang
pada akhirnya akan menimbulkan proses pencampuran. Kedalaman estuari akan
mempengaruhi terbentuknya ombak, perairan estuari yang dangkal dengan mulut
estuari yang sempit akan memperkecil atau meredam energi gelombang, sehingga
estuari menjadi suatu daerah yang tenang.
2.9.4. Pengaruh iklim terhadap hidrodinamika estuari
Secara geografis wilayah Indonesia terletak diantara dua benua Asia dan
Australia serta diapit oleh Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Oleh karena
itu iklim dan kondisi wilayah laut dan darat kepulauan di Indonesia dipengaruhi
oleh kedua benua dan samudera tersebut.
Angin pasat timur laut yang berhembus ke wilayah barat Indonesia disertai
musim kemarau (panas) di wilayah barat Indonesia, sedangkan ketika angin pasat
barat laut berhembus ke wilayah timur Indonesia yang disertai musim hujan.
Ketika kegiatan angin pasat timur laut atau tenggara (kemarau) mulai berhembus
dengan kuat kondisi salinitas air laut mulai meningkat (>35%) dan lebih tinggi
dibandingkan salinitas air laut pada angin musim pasat barat laut (hujan). Pada
musim barat (hujan) salinitas di perairan laut menurun seiring dengan tingginya
curah hujan (Nopember-Juni) di wilayah kepulauan di Indonesia, terutama
disekitar pantai pulau-pulau besar. Sirkulasi massa air yang berasal dari Samudera
Hindia maupun Samudera Pasifik dan melintasi laut kepulauan Indonesia pada
musim timur dan musim barat disebut Arlindo (Arus Lintas Indonesia). Sirkulasi
massa air tersebut terjadi secara bergantian antara musim barat dan timur, dan
masing-masing sekali dalam setahun. Sirkulasi arus tersebut merupakan sirkulasi
massa air dunia. Sirkulasi, angin dan arus massa air yang melintasi kepulauan
Indonesia dan mempengaruhi iklim darat dan laut di Indonesia.
2.9.5. Sumber pencemaran estuari
Sumber pencemar di estuari dapat bersumber dari kegiatan : industri,
pertambangan, pertanian dalam arti luas. Pencemaran lingkungan yang bersumber
dari antropogenik tersebut dapat berupa gas, cair dan padat, serta logam beracun
39
terikat pada sedimen. Jadi kegiatan manusia modern merupakan sumber
antropogenik yang mencemari lingkungan estuari, demikian pula halnya pada
lingkungan darat dan udara.
Kegiatan alamiah dapat menjadi sumber logam dalam air, akan tetapi
dalam konsentrasi yang rendah, seperti kegiatan gunung merapi dibawah laut dan
kegiatan bakteria (biogeokimia) serta erosi. Proses alamiah bukan sumber
pencemaran lingkungan estuari maupun laut.
2.9.6. Pengaruh pencemaran terhadap lingkungan estuari
Pencemaran estuari dan laut merupakan suatu ancaman yang benar-benar
harus ditangani secara serius. Karena hal ini sudah banyak kejadian terbukti
bahwa pencemaran laut, pantai dan estuari yang bersumber dari kegiatan kapal-
kapal pengangkut yang bermuatan bahan beracun dalam jumlah yang besar dan
tenggelam ke dasar laut. Kemudian terbawa oleh arus, angin dan gelombang ke
pantai, estuari dan menjadi sumber penyebab kematian organisme, tetapi hal yang
sangat membahayakan adalah terakumulasinya zat kimia beracun dalam sedimen.
Zat kimia beracun yang terakumulasi pada sedimen di daerah estuari baru terurai
oleh bakteri dalam jangka cukup lama. Akibatnya dalam selang waktu penguratan
tersebut terjadi kematian organisme laut dan kerusakan ekosistem estuari
(Hutabarat dan Evans 2008). Estuari berfungsi dan berperan sebagai habitat dan
lokasi pemijahan organisme laut dan air tawar. Pengaruh zat kimia beracun yang
terakumulasi dalam sedimen dapat menyebabkan kematian telur dan anak-anak
ikan dan menurunkan mutu produk perikanan.
Ikan lebih sensitif terhadap pencemaran Cd, Pb dan Hg dibanding dengan
krustase dan spesies bentuk lainnya. Cd, Pb dan Hg merupakan logam non
essensial yang umumnya diketahui sebagai "logam beracun". Oleh karena itu
kehadirannya secara berlebihan sangat membahayakan keseimbangan ekosistem.
Berbagai upaya pencegahan pencemaran dan cara pemantauan melalui indikator-
indikator biologis dan kimia sering dilakukan, (Cornwell, DA, Davis, ML, (1998).
Hal tersebut diperlukan karena kita masih belum cukup punya pengetahuan dan
pengalaman mengenai ekosistem laut dan estuari serta pengaruh pencemaran
logam terhadap kehidupan organisme pada tingkat yang membahayakan
40
(Hutabarat dan Evans 2008). Pengaruh letal logam beracun lebih mudah
terdeteksi, tetapi sub letal jarang terdeteksi karena terakumulasi dalam sedimen
dan jaringan organ ikan. Pada konsentrasi tertentu, pengaruh negatif baru muncul
setelah berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun terakumulasi dalam tubuh ikan,
organisme lainnya, lingkungan dan manusia. Pengaruh logam beracun terhadap
ikan dan manusia muncul dalam waktu yang relatif beda, tetapi pada manusia baru
muncul gangguannya setelah 30 tahun sejak terakumulasi dalam jaringan dan
organ tubuh. Jadi pada konsentrasi tertentu akan menyebabkan keracunan pada
jaringan dan organ sasaran yang lebih spesifik. Keracunan Hg terhadap manusia
baru terlihat (tremor) dan terasa pengaruhnya antara 10-20 tahun.
2.9.7. Pencemar logam di estuari
Pada umumnya logam asli tidak larut dalam air dan lingkungan perairan
sebagai ion-ion yang larut dalam air. Sedangkan spesies-spesies organologam
seringkali memperlihatkan bentuk yang menonjol dari bioakumulasinya oleh
senyawa-senyawa, Cornel D, (1998). Cd terlarut dalam air laut atau air payau
adalah dalam bentuk ion Cd. Logam Cd tersebut berasosiasi secara kuat dengan
ion-ion klorida (Cl) dalam air Iaut, Darmono (2001). Konsentrasi dan bentuk Cd
dalam perairan sewaktu-waktu berubah-ubah oleh antropogenik. Sekitar 65-90 %
Cd dalam perairan berbentuk ion-ion senyawa-senyawa logam. Kompleks Cd
dengan bahan organik terlarut lebih dominan dan konsentrasi paling tinggi terjadi
pada musim panas (73-84 %). Di dalam perairan, konsentrasi yang paling tinggi
terdapat di lapisan permukaan (57-76 %), kemudian di dasar (46-63 %).
Hg yang larut dalam air laut dan payau dalam bentuk ion-Ion Hg2+
dan
terjadi paling banyak dalam bentuk Hg (OH)2 dan HgCl2. Ion-ion halida kompleks
Hg dapat terbentuk sebagai (HgCl4)2-
yang terdapat dalam larutan. Hg dapat
membentuk Hg kompleks yang stabil dengan senyawa-senyawa organik yang
terdapat dalam air payau, terutama protein dan asam humik yang mengandung
sulfur. Hg yang masuk ke ekosistem perairan estuari dapat berubah menjadi
senyawa anorganik melalui oksidasi. Hg anorganik dapat berubah bentuk menjadi
Hg organik melalui sistern anaerobik oleh bakteria tertentu di dalam sedimen
dasar perairan. Degradasi Hg terjadi melalui proses lambat hingga berubah
41
menjadi anorganik. Dalam batas tertentu Hg dapat diabsorbsi oleh partikel-
partikel organik dalam sedimen dan pada kondisi anaerobik
2.9.8. Salinitas estuari
Distribust salinitas dalam estuari dan laut dipengaruhi oleh densitas air.
Densitas (kepadatan) itu sendiri dipengaruhi oleh suhu, dipengaruhi oleh sirkulasi
air laut, penguapan, aliran air sungai, evaporasi dan hujan. Habitat ikan estuari
merupakan lingkungan yang bersalinitas dinamis dibanding dengan laut bebas.
Hal ini disebabkan oleh pengaruh aliran air tawar dari sungai-sungai. Dinamika
salinitas di estuarin berpengaruh terhadap konsentrasi ion-ion Cd2+
, Pb2+
Hg2+,
.
Na+ dan Cl
- dalam darah ikan estuarin, ion-ion Ca
2+ konsentrasinya rendah dan
pemanfaatan dilakukan secara efesien. Tekanan (stress) salinitas pada ikan estuari
menyebabkan perubahan dalam elektrolit plasma darah. Salinitas permukaan laut
terbuka, bervariasi antara 33-37 0/00 dengan nilai rata-rata 35
0/00.
2.10. Beban pencemar dan kapasitas asimilasi
Beban pencemar adalah jumlah total bahan pencemar yang masuk ke
lingkungan dalam hal ini perairan, baik langsung maupun tidak langsung dalam
kurun waktu tertentu. Beban pencemar berasal dari berbagai aktivitas manusia
misalnya industri dan rumah tangga. Besarnya beban masukan limbah sangat
tergantung dari aktivitas manusia di sekitar perairan dan di bagian hulu sungai
yang mengalir ke arah laut (Suharsono, 2005). Kuantitas beban pencemar selain
ditentukan oleh aktivitas manusia, juga dipengaruhi oleh kondisi pasang surut
wilayah pantai. Beban masukan limbah sangat kecil saat terjadinya pasang karena
air sungai akan tertahan oleh peningkatan massa air pantai (Hadi, 2005). Kondisi
sebaliknya terjadi yaitu beban limbah ke kawasan pantai akan lebih besar pada
saat surut tiba. Hal ini karena aliran dapat menembus masuk tanpa terhalang oleh
massa air laut. Perhitungan beban pencemar dapat dilakukan dengan mengalikan
konsentrasi dengan debit aliran sungai dalam satuan waktu tertentu. Sebelumnya
debit aliran sungai dapat diperoleh dengan mengalikan luas penampang aliran
sungai dengan kecepatan aliran sungai.
Menurut Nemerow (1991) kapasitas asimilasi didefinisikan sebagai
kemampuan air atau sumber air dalam menerima pencemaran limbah tanpa
42
menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai
peruntukannya. Suatu bahan pencemar misalnya logam berat ketika memasuki
perairan akan mengalami tiga macam fenomena, yaitu penyebaran, pengenceran
dan pengendapan.
Perhitungan kapasitas asimilasi dapat dilakukan dengan beberapa metode,
salah satunya dengan menggunakan hubungan antara kualitas air dan beban
pencemar limbah. Kapasitas asimilasi dapat ditentukan dengan cara memplotkan
nilai-nilai kualitas suatu perairan pada kurun waktu tertentu dengan beban limbah
yang dikandungnya ke dalam grafik. Kemudian mereferensikan dengan nilai baku
mutu yang diperuntukkan bagi biota laut (Rajab, 2005). Nilai yang diperoleh dari
titik perpotongan pada grafik inilah yang dimaksud dengan kapasitas asimilasi.
2.11. Pencemaran laut
Secara umum pencemar di perairan laut berupa minyak, bahan-bahan
kimia, limbah dan sampah, (Nybakken, 1992). Minyak akan melapisi permukaan
laut yang dapat mengganggu proses kehidupan biota laut. Bahan-bahan pencemar
seperti bahan kimia meliputi logam-logam berat serta pestisida, kemudian limbah
sampah umumnya berasal dari aktivitas domestik dan industri. Pada umumnya
pencemaran laut seringkali terjadi secara fisika, kimiawi maupun biologis, banyak
menghasilkan racun bagi biota laut dan manusia. Sebagai contoh racun-racun dari
limbah industri misalnya logam berat, zat-zat organik minyak bumi, zat-zat
petrokimia dan pestisida (Palar, 1994). Pada kondisi demikian maka sumberdaya
perikanan sangat terancam keberadaannya dengan masuknya zat-zat tersebut ke
laut maupun teluk.
2.12. Pasang surut
Nontji A, (2007) mengemukakan bahwa pasang surut sering disingkat
pasut yaitu gerakan naik turunnya muka air laut secara berirama yang disebabkan
oleh gaya tarik bulan dan matahari. Matahari mempunyai massa 27 juta kali lebih
besar dari massa bulan, tetapi jaraknya sangat jauh dari bumi (rata-rata 149,6 juta
km). Sedangkan bulan, sebagai satelit kecil, jaraknya sangat dekat ke bumi (rata-
rata 381.160 km). Dalam mekanika alam semesta, jarak lebih menentukan dari
pada massa. Sedangkan menurut Dahuri, et al, (2008) bahwa Pasang surut (pasut)
43
adalah proses naik turunnya muka laut secara hampir periodik karena gaya tarik
benda-benda angkasa, terutama bulan dan matahari. Naik turunnya muka laut
dapat terjadi sekali sehari (pasut tunggal), atau dua kali sehari (pasut ganda).
Sedangkan pasut yang berperilaku di antara keduanya disebut sebagai pasut
campuran. Untuk memprediksi kondisi pasut dengan akurasi yang baik diperlukan
pengetahuan tentang pasut yang cukup memadai. Karena itu diperlukan data
pengukuran paling sedikit selama 15 hari, atau selama 18,6 tahun jika ingin
mendapat hasil yang akurasinya tinggi.
Hutabarat dan Evans, (2008) mengemukakan bahwa air pada bagian
ujung pantai yang berbatasan dengan lautan tidak pernah diam pada suatu
ketinggian yang tetap, tetapi selalu bergerak naik dan turun sesuai dengan siklus
pasang. Permukaan air laut perlahan-lahan naik sampai pada ketinggian
maksimum, peristiwa ini dinamakan pasang tinggi (high water), setelah itu turun
sampai kepada suatu ketinggian minimum yang disebut pasang rendah (low
water). Kemudian permukaan air akan mulai bergerak naik lagi. Perbedaan
ketinggian permukaan antara pasang tinggi dan pasang rendah dikenal sebagai
tinggi pasang (tidal range). Sifat khas dari naik turunnya permukaan air ini terjadi
campuran setiap hari di Teluk Youtefa sehingga terdapat dua periode pasang
tinggi dan dua periode pasang rendah.
Pasang surut air laut terjadi karena perubahan gaya tarik menarik antara
bulan dan matahari terhadap perputaran bumi. Pada saat pasang tinggi, pengaruh
perubahan muka air dan arus pasang surut merupakan faktor dalam evolusi
pesisir. Pada teluk dan estuari, pergantian pasang dan surut yang ada dalam
pergerakan arus disebut arus pasang surut, pada saat muka air turun maka timbul
arus surut (ebb current) Strahler, (1998) diacu dalam Rofiko, (2005). Aliran ini
berhenti saat pasang surut berada pada titik terendah.
Arus pasang dan surut yang dibangkitkan oleh gelombang memiliki
fungsi penting disepanjang garis pantai. Strahler, (1998) diacu dalam Rofiko,
(2005) mengemukan bahwa fungsi tersebut adalah 1) arus yang mengalir ke luar
masuk teluk melalui inlet yang sempit akan menggerus inlet tersebut dengan kuat.
Hal ini akan menjadi inlet terbuka, meskipun kecendrungan proses drifiing pantai
44
akan menutup inlet dengan pasir. 2) arus pasang surut membawa material halus
dan tanah liat dalam bentuk suspense. Sedimen halus tersebut terbawa oleh aliran
yang memasuki teluk, atau dari lumpur dasar yang terbawa oleh gaya gelombang
badai. Sedimen tersebut kemudian tenggelam ke dasar teluk atau estuarin dan
berakumulasi membentuk lapisan-lapisan serta perlahan-lahan mengisi
teluk/estuarin tersebut yang di dalamnya terdapat materi organik. Semakin lama,
sedimen pasang surut memenuhi teluk maka menghasilkan daratan lumpur yang
terdiri dari endapan lumpur dan tanah liat. Kemudian tumbuh tumbuhan yang
memiliki toleransi terhadap kadar garam yang tinggi, akan menjebak sedimen
lebih banyak lagi, sehingga daratan terbentuk sampai sebatas arus pasang menjadi
rawa air asin atau tawar. Ekosistem mangrove biasanya terbentuk di daerah
pasang surut tersebut.
Bentuk pasang surut perairan laut yang terdapat di perairan Indonesia tidak
sama. Pada wilayah tertentu, kondisi pasang surut dalam satu hari dapat terjadi
satu kali atau dua kali pasang surut. Menurut Triatmodjo (1999), diacu dalam
Rofiko, (2005) bahwa pasang surut perairan laut di wilayah Indonesia dapat
dibedakan dalam empat tipe :
1. Pasang surut harian ganda (semi diurnal tide). Tipe pasang surut ini dalam
sehari terjadi dua kali air pasang dan dua kali surut dengan tinggi yang hampir
sama dan pasang surut tersebut terjadi berurutan secara teratur. Periode pasang
surut rata-rata 12 jam 24 menit. Pasang surut tersebut terdapat di Selat Malaka
sampai Laut Andaman.
2. Pasang surut harian tunggal (diurnal tide). Tipe pasang surut ini dalam sehari
terjadi satu kali pasang dan satu kali surut. Periode pasang terjadi selama 24 jam
50 menit. Pasang surut tipe ini tejadi di perairan selat Karimata.
3. Pasang surut campuran cenderung ke harian ganda (mixed tide prevailing semi
diurnal). Tipe pasang surut ini dalam sehari terjadi dua kali air pasang dan dua
kali air surut akan tetapi tinggi dan periodenya berbeda. Tipe pasang surut jenis
ini banyak terdapat di perairan Indonesia Tirnur.
4. Pasang surut campuran cenderung ke harian tunggal (mixed tide prevailing
diurnal). Tipe pasang surut ini dalam sehari terjadi satu kali pasang dan satu kali
45
air surut, akan tetapi kadang-kadang untuk beberapa waktu terjadi dua kali pasang
dan dua kali surut dengan tinggi dan periode yang sangat berbeda. Tipe pasang
surut jenis ini terdapat di perairan Kalimantan dan pantai utara Jawa Barat.
Variasi salinitas di wilayah estuarin berpengaruh terhahap proses
pengaturan osmosis pada setiap individu spesies ikan estuarin. Variasi salinitas
dalam estuarin dipengaruhi oleh besar kecilnya curah hujan bulanan dan musiman.
Estuarin dan pantainya merupakan wilayah yang kaya unsur hara dan bahan
organik dan memiliki produktivitas tinggi, sehingga makanan alami untuk
berbagai spesies ikan tersedia dengan baik. Ikan dan organisme estuarin dikontrol
oleh salinitas dan suhu perairan. Di dalam ekosistem perairan estuarin spesies-
spesies ikan air tawar menempati kolom air lapisan atas, spesies-spesies ikan laut
menempati kolom air lapisan bawah, sedangkan spesies-spesies ikan estuarin
murni menempati kolom air yang bercampur air tawar dan air laut (front).
Pada musim barat kelompok-kelompok spesies ikan laut lebih banyak
tinggal dan bergerombol di lapisan permukaan laut antara kedalaman 0-100 m.
Gerombolan spesies ikan tersebut bermigrasi ke arah pantai. Arus pasang yang
bergerak ke wilayah pantai dan estuarin mempunyai peranan penting terhadap
distribusi salinitas, organisme makanan ikan serta partikel-partikel pasif.
Distribusi spesies ikan ke wilayah estuarin dipengarahi oleh perubahan
hidrodinamika estuarin dan arus laut ke arah pantai dan estuarin. Distribusi
spesies dibatasi oleh faktor salinitas, suhu, oksigen terlarut, pH dan sedimen. Jika
terjadi perubahan fisika dan kimia serta organisme makanan memberi respon
terhadap organisme secara keseluruhan. Ikan estuarin dipengaruhi oleh parameter
fisika dan kimia air, total padatan tersuspensi berpengaruh pada kecerahan air.
2.13. Gelombang
Romimohtarto K, (2001) mengemukakan bahwa gelombang sebagian
ditimbulkan oleh dorongan angin di atas permukaan laut, dan waktu yang
digunakan untuk menempuh jarak dari satu titik serupa dari satu gelombang
ketitik berikutnya dinamakan periode gelombang. Permukaan laut, hampir tidak
pernah terlihat tenag sempurna, selalu saja adanya gelombang berupa riak kecil,
tetapi sering kali juga gelombang yang besar. Nontji A, (2007) mengemukakan
46
bahwa setiap gelombang mempunyai 3 unsur yaitu panjang, tinggi, dan periode.
Panjang gelombang ialah jarak mendatar antara dua puncak yang berurutan, tinggi
gelombang adalah jarak menegak antara puncak dan lembah, sedangkan periode
gelombang adalah waktu yang diperlukan oleh dua puncak yang berurutan untuk
melalui suatu titik.
Antara panjang gelombang dan tinggi gelombang tidak terdapat suatu
hubungan yang pasti. Akan tetapi gelombang yang mempunyai panjang yang jauh
akan mempunyai kemungkinan mencapai gelombang yang tinggi pula. Apabila
kita mengamati perambatan gelombang di laut, seolah-olah tampak air laut
bergerak maju beserta dengan gelombangnya. Tetapi kenyataannya sebenarnya
tidaklah demikian. Pada perambatan gelombang, yang bergerak maju sebenarnya
adalah bentuknya saja, partikel airnya sendiri hampir tidak bergerak maju. Untuk
membuktikan ini cukup dengan mengamati gerakan sepotong kayu terapung di
laut. Potongan kayu akan bergerak naik turun mengikuti gelombang yang
melaluinya tetapi kayu tidak hampir tidak beranjak dari tempatnya semula,
kalaupun maju hanya sedikit sekali.
Umumnya gelombang yang diamati di laut disebabkan oleh hembusan
angin. Ada 3 faktor yang menentukan besarnya gelombang yang disebabkan oleh
angin yakni kuatnya hembusan, lamanya hembusan dan jarak tempuh angin. Jarak
tempuh angin ialah bentang air terbuka yang dilalui angin. Sekali gelombang telah
terbentuk oleh angin maka gelombang tersebut akan merambat terus sampai jauh,
umumnya jauh melampaui daerah angin yang menyebabkannya
Dalam garis besarnya, gelombang atau ombak yang pecah dapat dibagi
menjai dua macam yakni ombak terjun dan ombak landai. Ombak terjun kerapkali
terlihat di pantai yang dasar lautnya terjal. Ombak semacam ini menggulung
tinggi lalu jatuh dengan hempasan hebat dan bunyi gemuruh. Ombak landai
terbentuk di pantai yang dasar lautnya landai. Sewaktu ombak menyerbu ke
pantai, pada bagian depannya terdapat sebaris buih yang senantiasa berjatuhan.
Ombak landai ini selamanya berada dalam keadaan hampir pecah, tetapi tidak
benar-benar pecah. Berkurangnya kedalaman air tidak secara mendadak
menyebabkan gelombang bergulung ke pantai sampai agak jauh sebelum benar-
benar pecah. Ombak semacam inilah yang digemari para pemain selancar karena
memberi kesempatan untuk meluncur dengan jarak paling jauh.
47
Gelombang yang terhempas ke pantai melepaskan energinya dipantai.
Makin tinggi gelombang makin besar tenaganya memukul ke pantai. Pasir laut
atau terumbu karang yang membuat dangkalnya suatu perairan berfungsi sebagai
peredam pukulan gelombang. Oleh sebab itu pengambilan pasir laut, pengambilan
atau perusakan terumbu karang memberikan kesempatan lebih besar bagi
gelombang untuk menggempur dan merusak kestabilan garis pantai. Ukuran besar
kecilnya gelombang umumnya ditentukan berdasarkan tinggi gelombang. Tinggi
gelombang bisa hanya beberapa millimeter saja tetapi juga bisa sampai puluhan
meter. Rekor gelombang tertinggi yang pernah tercatat di dunia adalah 34 meter di
samudra Pasifik yang diukur oleh kapal angkatan laut Amerika “Ramapo” 3
Februari 1933, Nontji A, (2007).
2.14. Sistem
Sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan
terorganisir untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan (Manetsch dan
Park 1979 dalam Eriyatno 1999 dan Forrester 1976). Disiplin akademik dan ilmu
pengetahuan mempunyai pandangan masing – masing. Para ilmuwan dimasing –
masing disiplin mengembangkan beragam model yang seringkali tidak konsisten,
parsial, temporal dan bersifat diskrit (tidak berkesinambungan). Kenyataan yang
mendasar dari persoalan aktual adalah kompleksitas, dimana unitnya adalah
keragaman. Oleh karena keragaman yang begitu besar tidak mungkin dikaji atau
dikendalikan oleh satu atau dua metode spesifik saja. Dalam hal ini, teori sistem
mempertanyakan bahwa kesisteman adalah suatu meta – konsep atau meta – disiplin;
dimana formalitas dan proses dari keseluruhan disiplin ilmu dan pengetahuan sosial;
dapat dipadukan dengan berhasil (Gigh 1993 dan Carnavayal 1992 dalam Kholil
2005). Karena pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui
pemahaman yang utuh, maka diperlukan suatu kerangka fikir baru yang terkenal
sebagai pendekatan sistem (System Approach). Dalam pendekatan sistem umumnya
ditandai oleh dua hal, yaitu : 1) mencari semua faktor penting dalam mendapatkan
solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah, 2) dibuat suatu model kuantitatif
untuk membantu keputusan secara rasional. Untuk dapat bekerja secara sempurna
suatu pendekatan sistem mempunyai delapan unsur yang meliputi 1) metodologi
untuk perencanaan dan pengelolaan, 2) suatu tim yang multidisipliner, 3)
pengorganisasian, 4) disiplin untuk bidang yang non kuantitatif, 5) teknik model
48
matematik, 6) teknik simulasi, 7) teknik optimasi, 8) aplikasi komputer (Eriyatno
1999).
Perilaku sistem diartikan sebagai status sistem dalam suatu periode waktu
tertentu, dimana perubahan status sistem tersebut diamati melalui dinamika
outputnya. Status sistem dapat berkeadaan transien yaitu adanya perubahan output di
setiap satuan waktu atau berkeadaan berkeseimbangan (steady state) yaitu adanya
keseimbangan aliran masuk dan keluar. Status sistem juga berkaitan dengan apakah
tertutup (closed system) dimana interaksi dengan lingkungan sangat kecil sehingga
bisa diabaikan, dan atau terbuka (open system) dimana paling sedikit satu elemennya
berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam kenyataan sistem tertutup tidak pernah
ada, hanya ada dalam anggapan dan kajian analisis (Muhamadi, Aminulah, dan
Soesilo 2001). Berdasarkan sifatnya sistem dapat dibagi menjadi dua yaitu sistem
dinamik dan sistem statis (Djojomartono dan Pramudya 1983 diacu dalam Kholil
2005). Sistem dinamik memiliki sifat yang berubah menurut waktu, jadi merupakan
fungsi dari waktu. Sistem dinamik ditandai dengan adanya ”time delay” yang
menggambarkan ketergantungan out put terhadap variabel input pada periode waktu
tertentu. Sedangkan sistem statis adalah sistem yang nilai out putnya tidak
tergantung pada nilai inputnya. Secara lengkap karakteristik pendekatan sistem
adalah : 1) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit, 2) dinamis, dalam
arti faktor yang ada berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan, dan
3) probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan
maupun rekomendasi (Eriyatno 1999).
Penyelesaian persoalan melalui pendekatan sistem menekankan pada tiga
filosofi dikenal dengan SHE, yaitu Sibernetik (goal oriented), Holistik dan
Efektivitas. Sibernetik (goal oriented) artinya dalam penyelesaian permasalahan
tidak berorientasi pada ”problem oriented”, tetapi lebih ditekankan pada ” apa
tujuan” dari penyelesaian masalah tersebut. Efektivitas maksudnya sebuah sistem
yang telah dikembangkan haruslah dapat dioperasikan. Oleh karena itu sistem
haruslah merepresentasikan kondisi nyata yang sebenarnya terjadi, dan holistik
mengharuskan merepresentasikan penyelesaian permasalahan secara utuh,
menyeluruh dan terpadu.
49
2.15. Pengembangan analisis sistem
2.15.1. Tahapan pendekatan sistem
Masalah pengelolaan Teluk Youtefa harus melibatkan banyak pihak yaitu
masyarakat, industri, usaha, pemerintah, dinas perikanan, dinas kehutanan, dinas
kesehatan, dinas pariwisata, dan LSM. Karena Teluk Youtefa merupakan suatu
sistem yang terdiri dari sumber daya yaitu sumber daya alam, sumber daya
manusia, sumber daya buatan, sumber daya dana yang merupakan satu kesatuan
dan saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu dalam
pengelolaan Teluk Youtefa perlu pendekatan sistem dengan memperhatikan
keterpaduan dan keberlanjutan.
Melihat banyaknya pihak yang terlibat, maka masalah pengelolaan Teluk
Youtefa menjadi masalah yang kompleks. Alternatif pendekatan yang cocok
adalah pendekatan holistik yang melibatkan seluruh pihak secara terpadu.
Pendekatan sistem dengan multidisiplin ilmu merupakan alternatif terbaik bagi
penyelesaian masalah pengelolaan Teluk Youtefa yang kompleks tersebut. Hal ini
karena melalui pendekatan sistem, akan dapat diidentifikasi kebutuhan seluruh
pihak terkait (stakeholder), sehingga dapat dicari satu penyelesaian holistik dan
terpadu yang dapat memberikan hasil lebih efektif.
Dalam pendekatan sistem dilakukan beberapa tahap proses yang terdiri
dari analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pemodelan
sistem, verifikasi dan validasi model serta implementasi. Pelaksanaan semua
tahapan tersebut dalam satu ketentuan kerja merupakan analisis sistem (Eriyatno
1999 dan Hartisari 2007). Sistem model dinamik merupakan salah satu
pendekatan sistem yang memiliki beberapa keunggulan antara lain : 1) dapat
menyederhanakan model masalah yang kompleks menjadi lebih sederhana, dan 2)
adanya umpan balik (feed back) dalam model (Muhamadi 2000 dan Kholil 2005).
Dalam pengembangan model dinamik, penggunaan perangkat lunak (soft ware
tool) computer sangat diperlukan. Melalui perangkat lunak powersim dapat
dilakukan simulasi terhadap model yang telah dikembangkan untuk melihat trend
(pola) sistem pada masa yang akan datang seiring perubahan waktu. Sehingga
perubahan (perbaikan) yang diperlukan untuk mendapatkan sistem model yang
50
diinginkan dapat dilakukan. Ada dua jenis perbaikan yang dapat dilakukan : a)
perbaikan struktural, yakni dengan melakukan penyempurnaan model
(menambah/mengurangi), dan b) perbaikan fungsional, yakni dengan melakukan
penyempurnaan unsur – unsur sistem. Ada dua pertimbangan dasar yang harus
dipikirkan dalam melakukan perbaikan (baik perbaikan struktural maupun
fungsional), yaitu: a) feasibility b) desirability. Feasibility menekankan bahwa
perbaikan dilakukan agar model dapat dilaksanakan dalam dunia nyata (real
world), sedangkan desirability menekankan perbaikan model dilakukan agar dapat
didukung oleh semua unsur dan sumber daya.
2.15.2. Analisis kebutuhan
Analis kebutuhan merupakan tahap awal dari rangkaian proses
pengembangan sistem model. Analisis kebutuhan bertujuan untuk
mengidentifikasi kebutuhan setiap pelaku (aktor) yang terlibat dalam pengelolaan
Teluk Youtefa berdasarkan kajian pustaka/empiris, stakeholder yang terlibat
disajikan dalam Tabel 3. Berdasarkan aktor yang terlibat, ada dua jenis kebutuhan
yang terkait dengan pengelolaan Teluk Youtefa : a) kebutuhan masing – masing
individu (individual needs) yang dapat mengarah pada conflict of interest, dan
kebutuhan bersama (common needs) yang menjadi masalah bersama (common
problem).
Pemodelan sistem Analisis kebutuhan
Mulai
Formulasi masalah
Identifikasi sistem
A Selesai
Verifikasi dan validasi
Implementasi
A
Gambar 5. Pendekatan sistem (Hartisari 2007)
51
Tabel 3. Analisis kebutuhan Aktor/Stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan
Teluk Youtefa. No Aktor/Stakeholder Kebutuhan
1
Masyarakat nelayan
1) Kualitas dan kesejahteraan sumberdaya/manusia meningkat
2) Harga jual ikan hasil tangkapan menguntungkan
3) Produktivitas nelayan meningkat
4) Terbukanya lapangan pekerjaan
5) Tersedianya lahan untuk usaha budidaya ikan
6) Produksi budidaya KJA meningkat
7) Pemasaran yang baik dengan harga yang tinggi
8) Peningkatan pendapatan dan kontuinitas permintaan
9) Tersedianya sarana produksi dan harga jual ikan yang tinggi
10) Tersedianya sarana & prasarana perikanan yang memadai
11) Tidak tercemar dan dangkal teluk
12) Pemukiman diatas Teluk
2 Masyarakat umum
1) Stabilitas politik lokal yang kondusif
2) Lingkungan teluk yang bersih.
3 LMA, Ondoapi,
Kepala suku
1) Produktivitas tangkapan ikan meningkatk lokal yang kondusif
2) Tidak terjadi pencemaran
3) Teluk lestari dan berkelanjutan
4
Dinas perikanan
1) Fungsi teluk lestari
2) Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat/nelayan
3) Terbuka lapangan kerja
4) Kontunuitas produksi ikan
5
Dinas kehutanan
1) Fungsi hutan lestari
2) Tidak adanya aktivitas perambahan hutan dan erosi
diminimalkan
6
Dinas kesehatan
1) Produksi ikan terjamin mutunya
2) Kesehatan lingkungan masyarakat terjamin
3) Gizi masyarakat terjamin
7
Dinas pariwisata
1) Sarana rekreasi/ekowisata
2) Nilai estetika teluk baik
3) Pendapatan daerah naik
8 Lembaga keuangan
1) Keamanan dan keuntungan usaha
2) Resiko kegagalan pengembalian pinjaman modal kecil
9 Pengusaha
1) Kemitraan dan ketersediaan bahan baku
2) Daya saing kompetitif, dan iklim usaha yang kondusif
10
LSM
1) Lingkungan sehat dan tidak ada konflik soaial
2) Transparansi dan pemerintahan yang bersih
3) Keamanan, dan kesejahteraan masyarakat meningkat
11 Jasa tranportasi
1) Keamanan berusaha
2) Kerjasama pedagang atau nelayan
12 Perguruan tinggi
1) Kegiatan penelitian
2) Kegiatan praktek lapangan
2.15.3. Formulasi Masalah
Formulasi masalah dibuat karena adanya konflik kepentingan (conflict of
interest) diantara para stakeholder terhadap ketersediaan suatu sumberdaya dalam
mencapai tujuan system (Eriyatno 2003). Berdasarkan analisis kebutuhan tersebut,
maka dalam upaya pengelolaan teluk secara lestari, ada permasalahan yang
mengancam kelangsungan teluk adalah:
52
1. Rusaknya fungsi ekologis: rusaknya fungsi ekologis TeluktahYoutefa dapat
disebabkan oleh meningkatnya beban pencemaran, dan sedimentasi sehingga
menyebabkan turunya kualitas air teluk. Hal ini akan menyebabkan rusaknya
fungsi ekologis teluk sebagai: 1) sumber plasma nuftah; 2) tempat berlangsungnya
siklus hidup jenis flora/fauna; 3) Tempat hidup biota air; 4) pengendali banjir; 5)
rekreasi/wisata; 6) tempat penyimpanan kelebihan air yang berasal dari air hujan,
aliran permukaan, sungai-sungai atau dari sumber-sumber air bawah tanah; 7)
memelihara iklim mikro, dimana keberadaan ekosistem teluk dapat
mempengaruhi kelembaman dan tingkat curah hujan setempat; 8) sarana
tranportasi
2. Lemahnya regulasi: lemahnya regulasi dalam pengelolaan teluk disebabkan
oleh belum ditegakkannya undang – undang, sehingga aktivitas pencemaran di
teluk dan perambahan hutan di sekitar teluk terus berlangsung.
3. Gangguan keslingmas: meningkatnya limbah cair (faeces-tinja) rumah tangga,
hotel dan restoran akan meningkatkan bakteri E. Coli serta akan membawa
penyakit pada ikan dan ketika ikan dikonsumsi masyarakat akan membawa
penyakit pada masyarakat akhirnya akan mengganggu keslingmas.
4.Lemahnya sumberdaya manusia: Meningkatnya aktivitas masyarakat terhadap
pengrusakan hutan dan pencemaran di sekitar teluk disebabkan oleh: sumber daya
manusia yang tidak memiliki wawasan tentang pentingnya pelestarian lingkungan,
rendahnya tingkat pendidikan, dan lemahnya prilaku sosial (kesadaran
masyarakat).
2.15.4. Identifikasi sistem
Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan
dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan masalah yang harus dipecahkan
dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut. Tujuan identifikasi sistem tersebut
adalah untuk memberikan gambaran tentang hubungan antra faktor-faktor yang
saling mempengaruhi dalam kaitannya dengan pembentukan suatu sistem.
Menurut Marimin (2004) identifikasi sistem dapat digambarkan dalam bentuk
diagram sebab akibat dan diagram input output (black box) (Gambar 6). Diagram
sebab akibat merupakan interkoneksi antar peubah – peubah penting yang
diturunkan dari identifikasi kebutuhan dan masalah yang telah diformulasikan
53
pada suatu sistem tertutup (closed-loop system) untuk melihat interaksi antar
komponen sistem terkait.
Gambar 6. Diagram input output model pengelolaan Teluk Youtefa
2.16. Sistem Dinamik
Sistem dinamik merupakan sebuah pendekatan yang menyeluruh dan
terpadu, yang mampu menyederhanakan masalah yang rumit tanpa kehilangan
esensi atau unsur utama dari obyek yang menjadi perhatian (Muhamadi, 2001).
Metodologi sistem dinamik dibangun atas dasar tiga latar belakang disiplin yaitu
manajemen tradisional, teori umpan balik atau cybernetic, dan simulasi komputer.
Prinsip dan konsep dari ketiga disiplin ini dipadukan dalam sebuah metodologi
INPUT LINGKUNGAN
UU No.32 Tahun 2009
PP. 51 Tahun 2004
PP No. 82 Tahun 2001
INPUT TAK TERKONTROL
Limbah non point
Debit air
Beban limbah
Partisipasi masyarakat
OUTPUT YANG DIKEHENDAKI
Teluk lestari
Kualitas air memenuhi baku mutu
Beban pencemaran menurun
INPUT TERKONTROL
Implementasi peraturan
Jumlah hotel, retoran, dan pemukiman
disekitar Teluk
Sistem dan kapasitas kelembagaan
Pertumbuhan dan distribusi penduduk
Komitmen dukungan PEMDA
OUTPUT YANG TIDAK DIKEHENDAKI
Kualitas air terus menurun
Jumlah beban limbah meningkat
Penurunan kesehatan masyarakat
Penurunan hasil ikan (kualitas &
kuantitas)
MANAJEMEN PENGELOLAAN
MODEL PENGELOLAAN TELUK YOUTEFA
TERPADU SECARA BERKELANJUTAN
54
untuk memecahkan permasalahan manajerial secara holistik, menghilangkan
kelemahan dari masing – masing disiplin, dan menggunakan kekuatan setiap disiplin
untuk membentuk sinergi.
Validasi model sistem dinamik pada dasarnya adalah suatu proses
membangun kepercayaan pada kegunaan model sebagai alat bantu analisis dan
perancangan kebijakan. Dalam proses validasi ini, sebuah model tidak akan dapat
dinyatakan valid secara absolut, jika tidak terdapat bukti bahwa model dapat
merepresentasikan suatu realita dengan benar – benar mirip secara absolut, sehingga
dengan melakukan proses pengujian model sistem dinamik terhadap bukti – bukti
empiris akan meningkatkan kepercayaan seseorang terhadap model. Pengujian
terhadap model sistem dinamik secara umum dapat dibagi menjadi tiga katagori
utama sebagai berikut:
Validasi struktur, yaitu pengujian relasi antar variabel yang ada di dalam model,
dan disesuaikan dengan keadaan pada sistem yang sebenarnya.
Validasi perilaku, yaitu pengujian terhadap kecukupan struktur model dengan
melakukan penilaian terhadap perilaku yang dihasilkan model;
Validasi implikasi kebijakan, yaitu pengujian terhadap perilaku model terhadap
berbagai rekomendasi kebijakan.
Menurut Kholil (2005), pengembangan model dinamik secara garis besar terdiri dari
4 tahap, yaitu :
1) Tahap seleksi konsep dan variabel
Pada tahap ini dilakukan pemilihan konsep dan variabel yang memiliki
relevansi cukup nyata terhadap model yang akan dikembangkan. Dengan kerangka
berfikir sistem (system thinking) dilakukan pemetaan pengetahuan (cognitif map),
yang bertujuan untuk mengembangkan model abstrak dari keadaan yang sebenarnya.
Kemudian dilanjutkan dengan penelaahan secara teliti dan mendalam terhadap
asumsi – asumsi, serta konsistensinya terhadap variabel dan parameter berdasarkan
hasil diskusi dengan pakar. Variabel yang dinyatakan tidak konsisten dan kurang
relevan dibuang.
2) Konstruksi model (tahap pengembangan model)
55
Model abstrak yang telah dikembangkan, direpresentasikan (dibuat)
kedalam model dinamiknya dengan bantuan soft ware tool Powersim versi 2.5
berbasis sistem operasi windows. Model yang telah dibuat kemudian dilakukan
validasi dan verifikasi model simulasi.
3) Tahap analisis sensivitas
Tahap ini dilakukan untuk mengetahui variabel mana yang mempunyai
pengaruh nyata terhadap model, sehingga perubahan variabel tersebut akan
mempengaruhi model secara keseluruhan. Variabel – variabel yang kurang (tidak)
berpengaruh dalam model dihilangkan, dan sebaliknya perhatian dapat difokuskan
pada variabel kunci.
4) Analisis kebijakan
Kegiatan ini dilakukan dengan memberikan perlakuan khusus terhadap
model melalui intervensi struktural atau fungsional, tujuannya untuk mendapatkan
alternatif kebijakan terbaik berdasarkan simulasi model.
Gambar 7. Garis besar pengembangan model dinamik
Diagram input-output merepresentasikan input lingkungan, input
terkendali dan tak terkendali, output dikehendaki dan tak dikehendaki, serta
manajemen pengendalian. Sedangkan parameter rancangan sistem dipresentasikan
sebagai kotak gelap (black box) pada tengah diagram, yang menunjukkan
terjadinya proses transformasi input menjadi output. Diagram input-output desain
sistem pengelolaan Teluk Youtefa (Gambar 8).
Konsep sistem
Permasalahan
Diagram sebab akibat
Konstruksi model
Validasi
Simulasi
Analisis kebijakan
OK ? Tidak
Selesai
56
Konsep sistem dinamik
Sistem dinamik merupakan salah satu metode yang bisa digunakan
untuk mengilustrasikan sistim dinamika yang kompleks serta menganalisis
implikasi-implikasi relatif dari suatu kebijakan. Sistem dinamik mengkaji sistem
sebagai suatu kesatuan yang terdiri dari berbagai elemen-elemen yang saling
berinteraksi dan menentukan kinerja sistem secara keseluruhan. Model sistem
dinamik dapat memberikan informasi lebih mendetail yang berguna untuk
mengungkap mekanisme yang tersembunyi dan memperbaiki kinerja sistem
secara keseluruhan. Sistem dinamik dikenal variabel level, variabel rate, dan
variabel auxiliary. Gambar 9, merupakan contoh gambaran umum diagram alir
model dinamik dengan aplikasi powersim studio 2.5.
Level merupakan hasil akumulasi dari aliran-aliran dalam diagram alir dan
menyatakan kondisi sistem setiap saat. Persamaan powersim untuk aliran level
adalah:
Init LEV = kondisi awal; flow LEV = -dt*(RK) + dt*(RM)
dengan: LEV = level (unit); RM = rate (laju) masukan;
RK = rate (laju) keluaran; dt = interval waktu simulasi (satuan waktu)
Init = initial, nilai awal; flow = aliran untuk variabel level.
Rate merupakan suatu aliran yang menyebabkan bertambah atau berkurangnya
suatu level. Rate terdiri dari 2 jenis, yaitu rate masuk dan rate keluar. Rate masuk
akan menambah akumulasi di dalam suatu level dan dilambangkan dengan katub
dan panah yang menuju level, sedangkan rate keluar ditunjukkan dengan katub
Proses
UMPAN
BALIK
Input Lingkungan
Input Tak Terkontrol
Input Terkontrol
Output Yang
Diinginkan
Output Yang Tak
Diinginkan
Gambar 8. Diagram input-output sistem (Hartisari 2007)
57
yang dihubungkan dengan panah yang sink. Simbul awan menunjukkan source
dan sink suatu material mengalir ke dalam atau keluar level.
Aliran dalam powersim dilambangkan dengan tanda panah yang tegas. Aliran ini
merupakan penghubung antar sejumlah variabel dalam suatu sistem. Jika aliran
informasi keluar dari level, aliran tersebut tidak akan mengurangi akumulasi yang
terdapat di dalam level.
Variabel auxiliary adalah suatu penambahan informasi yang dibutuhkan dalam
merumuskan persamaan atau variabel rate, atau suatu variabel yang membantu
untuk memformulasikan variabel rate. Variabel auxiliary digambarkan dengan
suatu lingkaran penuh. Simbul belah ketupat dalam powersim menggambarkan
konstanta, yaitu suatu besaran yang nilainya tetap selama proses simulasi.
2.17. Pengembangan model dinamik
Sistem Dinamik menawarkan dua keuntungan yaitu: (1) relatif mudah
untuk menggabungkan antara pemahaman kualitatif dengan data kuantitatif; (2)
Simulasi bisa dilakukan pada saat ketersediaan data tidak memadai untuk
melakukan analisis data statistik. Pengkajian dalam pendekatan sistem
seyogyanya memenuhi tiga karakteristik, yaitu: (1) kompleks, dimana interaksi
antar elemen cukup rumit; (2) dinamis, dalam arti faktor yang terlibat ada yang
berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan; dan (3) probabilistik,
Gambar 9. Diagram alir model sistem dinamik
menggunakan program powersim
58
yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun
rekomendasi (Eriyatno 1999).
2.18. Uji validasi dan sensitivitas model
Untuk menguji kebenaran sebuah model dengan kondisi obyektif
dilakukan uji validasi. Ada dua uji validasi: validasi struktur dan validasi kinerja.
Validasi struktur dilakukan untuk memperoleh keyakinan konstruksi model valid
secara ilmiah. Sedangkan validitas kinerja untuk memperoleh keyakinan sejauh
mana model sesuai dengan kinerja sistem nyata (keadaan yang sebenarnya).
Validitas struktur meliputi dua pengujian, yakni validitas konstruksi dan validitas
kestabilan. Validitas konstruksi melihat apakah konstruksi model yang
dikembangkan sesuai dengan teori. Sedangkan uji validitas kestabilan dilakukan
dengan menguji konsistensi antara model agregat dan model rinci.
2.18.1. Uji validasi kinerja :
Validitas kinerja dilakukan dengan cara pengujian menggunakan statistik
AME (Absolute Mean Eror) dan AVE (Absolute Variation Eror). Nilai batas
penyimpangan yang dapat diterima adalah < 10%.
Tabel 4. Konversi rumus statistik ke persamaan powersim
No Rumus Statistik Persamaan Powersim
1 Penyimpangan means absolut (AME)
AME = (Si-Ai) Ai
Si = Si N
Ai = AiN
E1 = abs(Sr-Ar)/Ar
Sr = integrate (S)/t(n) – t(0))
Ar = integrate (A)/t(n)-t(0))
2 Penyimpangan variasi absolut (AVE)
AVE = Ss-Sa Sa
Ss = ((Si – Si)2 N)
Sa = ((Ai – Ai)2 N)
E2 = abs(Ss-Sa)Sa
Ss=sqrt (integrate ((S-Sr)^2)(t(n)-t(0)))
Sa=sqrt (integrate((A-Ar)^2)(t(n)-t(0)))
Keterangan :
A = nilai aktual ^2 = pangkat dua
S = nilai simulasi n = waktu
N = interval waktu pengamatan sqrt = akar
Sa = deviasi nilai aktual integrate = sigma fungsi waktu
Ss = deviasi nilai simulasi S = nilai simulasi; Abs = nilai absolut
2.18.2. Uji sensitivitas
Untuk mengetahui kekuatan (robustness) model dalam dimensi waktu
dilakukan uji sentivitas, dengan menggunakan fungsi – fungsi sepeti IF, STEP,
GRAPH, dan PULSE (Davidesen 1994 dalam Kholil 2005). Uji sensitivitas
59
dilakukan untuk mengetahui respon model terhadap stimulus, tujuannya untuk
menemukan alternatif tindakan baik untuk mengakselerasi kemungkinan pencapaian
positif, maupun untuk mengantisipasi dampak negatif. Uji sensitivitas dilakukan
dengan dua macam (Muhamadi, 2001) : 1) Intervensi fungsional, yakni dengan
memberikan fungsi – fungsi khusus terhadap model, dan 2) intervensi struktural,
yakni dengan mempengaruhi hubungan antar unsur atau struktur model, dengan cara
mengubah struktur modelnya.
2.19. Analisis kebijakan
Analisis kebijakan dilakukan untuk mempengaruhi sistem agar sesuai
dengan apa yang diinginkan (Davidsen, 1994 dalam Kholil, 2005). Dalam sistem
dinamis analisis kebijakan dilakukan terhadap hasil simulasi model (Muhamadi,
2001). Ada dua tahap analisis kebijakan yaitu : pengembangan kebijakan alternatif
dan analisis kebijakan alternatif. Pengembangan kebijakan alternatif adalah suatu
proses berfikir kreatif menciptakan ide – ide baru untuk mempengaruhi sistem agar
mencapai tujuan yang diinginkan, baik dengan cara mengubah parameter maupun
struktur modelnya. Sementara itu analisis kebijakan alternatif dilakukan untuk
memilih satu kebijakan terbaik dari beberapa alternatif kebijakan yang ada, dengan
mempertimbangkan perubahan sistem lama ke sistem baru, serta perubahan
lingkungan ke depan.
2.20. Pengembangan model kelembagaan
Pengembangan model kelembagaan pengelola Teluk Youtefa terpadu
didasarkan atas hasil analisis kelembagaan dengan menggunakan metoda ISM
(Interpretative structural modelling) yang dikembangkan oleh Saxena (1992)
dalam Eriyatno (1999). Data pada teknis ISM adalah kumpulan pendapat dari
pakar panelis sewaktu menjawab tentang keterkaitan antar elemen. Pengembangan
model kelembagaan ini bertujuan untuk membangun alternatif institusi pengelola
Teluk Youtefa yang tepat, sesuai dengan karakteristik daerah, perkembangan
masyarakat dan peraturan yang berlaku.
Elemen – elemen yang dipilih dalam melakukan analisis kelembagaan ini
adalah elemen yang berperan secara dominan dalam menentukan keberhasilan
pengelolaan Teluk Youtefa.
60
Menurut Saxena (1992) dalam Eriyatno (1999) program dapat dibagi
menjadi sembilan elemen, yaitu (1) sektor masyarakat yang terpengaruhi, (2)
kebutuhan dari program, (3) kendala utama, (4) perubahan yang dimungkinkan,
(5) tujuan dari program, (6) tolok ukur untuk menilai setiap tujuan, (7) Aktivitas
yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan, (8) ukuran aktivitas guna
mengevaluasi hasil yang dicapai oleh setiap aktivitas, dan (9) lembaga yang
terlibat dalam pelaksanaan program. Dalam melakukan analisis kelembagaan
elemen – elemen yang akan digunakan adalah elemen yang dominan yang
dikonsultasikan dengan pakar. Pakar dalam hal ini adalah yang memiliki a)
pengetahuan tentang Teluk Youtefa, b) pengetahuan tentang model dinamik dan
c) skill, d) Sikap (etika dan moral – attitude)
Menurut Marimin (2004), analisis terhadap model kelembagaan ini pada
dasarnya untuk menyusun hierarki setiap sub elemen pada elemen yang dikaji,
dan kemudian membuat klasifikasi ke dalam 4 sektor, untuk menentukan sub
elemen mana yang termasuk ke dalam variabel Autonomous (sektor 1), dependent
(sektor 2), linkage (sektor 3) atau independent (sektor 4)
IV III
I II
Driver
pow
er
Dependence
Gambar 10 Matriks DP-D
61
Sektor 1 : Weak driver – weak dependent variables (autonomous); Sektor 2 : Weak driver –
strongly dependent variables (dependent); Sektor 3 : Strong driver – strongly dependent variables
(linkage); Sektor 4 : Strong drive weak dependent variables (independent)
Gambar 11. Diagram alir analisis kelembagaan dengan metode ISM
Teknis ISM merupakan salah satu teknik permodelan sistem untuk
menangani kebiasaan yang sulit diubah dari perencana jangka panjang yang sering
menerapkan secara langsung teknik penelitian operasional dan atau aplikasi
statistik deskriptif. Tahapan dalam melakukan ISM dibagi menjadi dua bagian,
yaitu Penyusunan hirarki dan klasifikasi sub elemen (Eriyatno, 2003).
a. Penyusunan hierarki
• Program yang sedang ditelaah penjenjangan strukturnya dibagi menjadi elemen-
elemen di mana setiap elemen selanjutnya diuraikan menjadi sejumlah sub
elemen.
• Menentapkan hubungan kontekstual antara sub elemen yang terkandung adanya
suatu pengarahan (direction) dalam terminologi sub ordinat yang menuju pada
perbandingan berpasangan (oleh pakar). Jika jumlah pakar lebih dari satu maka
dilakukan perataan. Penilaian hubungan kontekstual pada matriks perbandingan
berpasangan menggunakan simbol:
Mulai
Input analisis kelembagaan (konsultasi ke pakar):
(1) Kendala utama, (2) Tujuan, (3) Tolak ukur, (4)
Lembaga yang terlibat, (5) Kebutuhan.
Analisis kelembagaan pengelola Teluk Youtefa, berdasarkan elemen – elemen
yang dikaji dengan metode ISM
OK
? Output : Hirarki sub elemen untuk setiap elemen yang dikaji dan klasifikasi
sub elemen pada setiap elemen
62
V jika eij = 1 dan eji = 0;
V = sub elemen ke-i harus lebih dulu ditangani dibandingkan subelemen ke-j
A jika eij = 0 dan eji = 1;
A = sub elemen ke-j harus lebih dulu ditangani dibandingkan subelemen ke-i
X jika eij = 1 dan eji = 1; X = kedua sub elemen harus ditangani bersama
O jika eij = 0 dan eji = 0;
O = kedua sub elemen bukan prioritas yang ditangani
Pengertian nilai eij = 1 adalah ada hubungan kontekstual antara sub elemen ke-i
dan ke-j, sedangkan nilai eji = 0 adalah tidak ada hubungan kontekstual antara sub
elemen ke-i dan ke-j.
• Hasil olahan tersebut tersusun dalam structural self interaction matrix (SSIM).
SSIM dibuat dalam bentuk tabel reachability matrix (RM) dengan mengganti V,
A, X dan O menjadi bilangan 1 dan 0.
2.21. Permodelan
Menurut Robert (1983) yang diacu dalam Kholil (2005)
mengemukakan bahwa model merupakan perwakilan atau abstraksi dari sebuah
obyek atau situasi aktual yang menggambarkan hubungan antar variabel dalam
sebuah system. Model dianggap baik bila dapat merepresentasikan realitas yang
sebenarnya sederhana, (Eriyatno 1999). Secara umum ada 3 bentuk model: 1).
Model ikotonik yaitu model miniatur dari keadaan yang sebenarnya, seperti model
pesawat terbang, model mobil, dan model rumah. 2) model analog, yaitu model
suatu proses atau sifat, seperti proses grazing yang dapat dicontohkan pemotongan
rumput dengan mesin. Model ini sifatnya sederhana dan sering dipakai pada
situasi khusus seperti untuk proses pengendalian mutu industri (operating
characteristic curve). 3) model simbolik yaitu suatu model yang menggunakan
simbol-simbol matematika pada analisa system sebagai penelitian ilmiah yang
sering digunakan adalah model simbolik dan model matematika.
Pengembangan model dibutuhkan beberapa langkah yaitu: 1) problem
definition, 2) system conceptualization, 3) model representation, 4) model
behavior, 5) model evaluation, 6) policy analysis and model use. Tahapan system
conceptualization merupakan bagian yang paling crusial, karena kegagalan dalam
tahap ini akan memberikan pengaruh pada tahap-tahap berikutnya. model
63
representation merupakan tahap pembuatan model melalui kode-kode program
seperti kedalam bahasa dynamic. model behavior dan model evaluation secara
umum merupakan tahap untuk mengetahui perilaku model dan sensivitas model
bila dilakjukan perubahan terhadap nilai parameter. Kemudian model merupakan
tahap implementasi dari model telah dianggap logis dan diuji kebenarannya.
Kholil, (2005) mengemukakan bahwa pembuatan model harus dimulai
dari bentuk yang paling sederhana dengan cara mendefenisikan permasalahan
secara hati - hati, digunakan analisis sensitifitas untuk membantu menentukan
rincian model dan selanjutnya untuk penyempurnaan dilakukan dengan
penambahan variabel secara gradual sehingga diperoleh model yang logis dan
dapat merepresentasikan keadaan sebenarnya
Pada suatu sistem, bahwa perubahan unsur akan mempengaruhi unsur
lainnya dan bisa menjadi kendala terhadap perilaku sistem. Oleh sebab itu perlu
dipahami sifat hubungan antar elemen yang terkait (relation of an entity toward
other entities) dan sifat hubungan terhadap perilaku total sistem (relation to the
whole)
Eriyatno (1999) mengemukakan bahwa faktor input terdiri dari: input
yang terkontrol (controllable overt inputs) dan input yang tak terkontrol
(uncontrollable overt inputs). Kemudian output terdiri dari: output yang
dikehendaki (desirable out puts) dan output yang tak dikehendaki (undesirable
outputs). Input lingkungan (environmental input) merupakan faktor yang
berpengaruh pada bagian proses dari sebuah sistem output yang tak dikehendaki
(undesirable output) akan menjadi unpan balik (feed back) bagi sistem. Adanya
umpan balik ini perlu dilakukan manajemen sistem sehingga dapat dikendalikan
dan menjadi input bagi sistem (Eriyatno, 1999 diacu dalam Kholil, 2005). Dengan
demikian maka dampak perubahan yang terjadi akibat berubahnya elemen lain
dapat diprediksi, sehingga hal-hal yang perlu diambil untuk pengendalian sistem
dapat diantisipasi lebih awal.
64
2.22. Simulasi
Menururt Robert, (1983) yang diacu dalam Kholil, (2005)
mengemukakan bahwa seimulasi adalah cara untuk menirukan keadaan yang
sesungguhnya. Sedangkan menurut Manetsch dan Park, (1977) yang diacu dalam
Kholil, (2005) bahwa simulasi sebagai suatu teknik dalam pemodelan untuk
mendapatkan suatu solusi dari suatu model matematik yang disusun menurut
asumsi yang spesifik dengan input model dan nilai-nilai parameter yang telah
ditentukan dimana simulasi adalah jawaban acceptable. Masalah yang penuh
dengan ketidakpastian yang sulit dipecahkan dengan metode analitis, akan dapat
dipecahkan melalui simulasi, pendekatan simulasi merupakan alternatif dari
pendekatan sistem.
Menururt Robert, (1983) yang diacu dalam Kholil, (2005) bahwa
penyelesaian permasalahan dengan menggunakan teknik pendekatan simulasi
memiliki beberapa keuntungan yaitu 1) membagi sistem menjadi komponen-
komponen yang dapat dideteksi perilakunya, 2) dapat dipergunakan untuk melihat
interaksi dari tiap-tiap komponen, 3) bila terjadi perubahan salah satu variabel
input mempengaruhi secara keseluruhan terhadap sistem dapat diketahui.