v. hasil dan pembahasan 5.1. kondisi eksisting...
TRANSCRIPT
99
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Kondisi eksisting perairan Teluk Youtefa
Evaluasi terhadap kondisi eksisting di perairan laut Teluk Youtefa dilakukan
dengan cara membandingkan hasil analisis parameter fisik dan kimia air dari sampel
air laut yang diambil dengan kriteria mutu kualitas air yang berlaku yaitu mengacu
pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 51 tahun 2004 tentang baku
mutu air laut, maka berdasarkan keputusan tersebut dalam penelitian ini sebagai
pembanding digunakan kriteria mutu air untuk biota laut. Nilai yang dipergunakan
merupakan hasil tabulasi dari nilai rata-rata pada kondisi pasang dan surut. Baku
mutu acuan yang digunakan mengacu pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk biota laut. Data
lengkap nilai rata-rata kualitas air perairan Teluk Youtefa pada saat pasang (P) dan
surut (S) dapat dilihat pada gambar 26 – 33 dan lampiran 1.
5.1.1. Suhu air
Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh penutupan awan, suhu udara,
sirkulasi udara, dan kedalaman air. Suhu air memiliki efek langsung dan tidak
langsung dihampir semua aspek ekologi perairan serta mempunyai kaitan erat
dengan kualitas perairan. Peningkatan suhu menyebabkan penurunan kelarutan gas
dalam air (Haslam, 1995 diacu dalam Effendy, 2003). Suhu perairan yang tinggi
akan meningkatkan kelarutan senyawa senyawa kimia dan mempengaruhi dampak
polutan pada kehidupan akuatik. Suhu perairan juga dapat berpengaruh terhadap
kecepatan reaksi reaksi kimia yang berlangsung dalam air, tutupan vegetasi dan
kekeruhan air.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai suhu perairan Teluk Youtefa
pada saat pasang berkisar antara 25,4 – 280C. Nilai suhu tertinggi ditemukan di
stasiun 5 dan 6, nilai terendah di stasiun 3. Pada saat surut nilai suhu hampir sama
disemua lokasi sampling yaitu 32 0C (gambar 26). Hal tersebut terjadi diduga pada
saat sampling kondisi cuaca sangat cerah antara pukul 12.00-14.00. Nilai rata-rata
suhu pada saat pasang dan surut berkisar antara 28,50C -30
0C, dengan nilai rata-rata
keseluruhan 26,18 0C (lampiran 1). Hasil pengukuran suhu ini sesuai dengan hasil
100
penelitian kerjasama antara Universitas Negeri Papua dengan Dinas Perikanan dan
Kelautan Provinsi Papua (2006) bahwa rentang suhu perairan Teluk Youtefa 29 0C–
32, 8 0C atau rata-rata 31,21
0C dengan 10 titik pengamatan
Hal ini sesuai dengan pendapat Romimohtarto dan Juwana (2011) yang
menyatakan bahwa suhu air laut bisa mencapai suhu 33 0C. Perbedaan suhu pada
setiap stasiun pengamatan dipengaruhi oleh suhu udara, tutupan vegetasi, intensitas
cahaya matahari, dan cuaca pada saat pengukuran.
Secara umum suhu air perairan Teluk Youtefa memenuhi kriteria mutu air (KMA)
yang dapat digunakan untuk perikanan laut.
5.1.2. Total padatan tersuspensi (TSS)
Padatan tersuspensi total (total suspended solid atau TSS) adalah bahan
bahan tersuspensi (diameter >1µm). TSS terdiri atas lumpur, bahan organik dan
anorganik, pasir halus serta jasad jasad renik, yang terutama disebabkan oleh kikisan
tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai total padatan tersuspensi air di
perairan Teluk Youtefa pada saat pasang berkisar antara 45 – 236 mg/l (gambar 27)
dengan nilai rata-rata keseluruhan adalah 142,11 mg/l. Nilai TSS tertinggi ditemukan
di stasiun pantai abe 236 mg/l dan nilai terendah di stasiun 2 entrop 45 mg/l.
Kemudian nilai padatan tersuspensi pada saat surut berkisar antara 133-348 dengan
nilai rata-rata keseluruhaan adalah 241,56 mg/l. Nilai tertinggi ditemukan di stasiun
4 pantai abe, nilai terendah ditemukan di stasiun 2 entrop. Nilai TSS pada saat
Lokasi pengamatan
0C
Gambar 26 Kualitas air Teluk Youtefa berdasarkan parameter suhu pasang surut
101
pasang dan surut berkisar antara 45 mg/l-348 mg/l dengan rata-rata 191,72 mg/l.
Nilai tersebut telah melampaui baku mutu air laut untuk biota laut. Hal ini berarti
dapat menyebabkan menurunnya laju fotosintesis fitoplankton, sehingga bisa
menyebabkan produksi primer perairan menurun. Menurut Whardhana. (2001)
bahwa air yang mengandung bahan buangan disertai dengan warna gelap, akan
mengurangi penetrasi sinar matahari ke dalam air. Kemudian menurut Adedokun et
al. (2008) diacu dalam Suwari. (2010), bahwa padatan tersuspensi yang tinggi akan
mempengaruhi biota diperairan dan mengurangi pasokan oksigen terlarut dalam
badan air. Abel (1989) mengemukakan bahwa peningkatan kekeruhan perairan akan
mengurangi atau mencegah potosintesis maupun produktifitas tanaman. Banyaknya
kadar TSS di Teluk Youtefa disebabkan banyaknya partikel-partikel tersuspensi
yang terdiri dari pasir, lumpur, pasir halus maupun jasad renik terutama akibat
adanya kikisan tanah atau akibat erosi yang terbawa ke badan air melalui beberapa
sungai yang bermuara ke Teluk Youtefa. Hal ini sesusi dengan pendapat Effendi
(2003) bahwa TSS terdiri dari lumpur dan pasir halus. Hal yang sama juga
dikemukakan Saeni (1989) bahwa tingginya kadar padatan tersuspensi disebabkan
buangan industri yang belum mengalami pengolahan. Untuk mengurangi kadar TSS
diperairan dapat dilakukan dengan memanfaatkan biomassa yang ada. Seperti yang
dilakukan Cossellu M, (2010), bahwa pemanfaatan serat alga dapat mengurangi
sedimen dan bahan organik di beberapa teluk. Hasil pengukuran TSS perairan
Teluk Youtefa ditunjukkan pada gambar 27
Gambar 27 Kualitas air Teluk Youtefa berdasarkan parameter TSS pasang surut
mg/l
Lokasi pengamatan
BM = 20
102
5.1.3. Derajat keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu parameter penting dalam
penentuan kualitas air. pH mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia. Senyawa
amonium yang dapat terionisasi banyak ditemukan pada perairan yang memiliki pH
rendah. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai
nilai pH sekitar 7-8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan,
misalnya nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah. Toksisitas logam memperlihatkan
peningkatan pada pH rendah.
Nilai pH menunjukkan tingkat keasaman atau kekuatan asam dan basa
dalam air. Besarnya pH mempengaruhi kelarutan dan bentuk senyawa kimia dalam
badan air serta pH juga mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia. Perubahan
pH dalam air akan mempengaruhi perubahan dan aktivitas biologis. Menurut
Adeyemo et al (2008) diacu dalam Suwari, (2010), bahwa pertumbuhan organisme
perairan dapat berlangsung dengan baik pada kisaran pH 6,5-8,2. Kategori pH
dikatakan buruk jika hasil uji laboratorium mendekati nilai ≤ 6 (bersifat asam) atau
mendekati nilai ≥ 9 (bersifat basa)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai pH air pada saat pasang di
perairan Teluk Youtefa berfluktuasi disetiap stasiun. Nilai terendah 7,2 di stasiun 4
dan 7 abe pantai dan pantai abe, nilai tertinggi 7,5 di stasiun 2,3,8,9, dan nilai pH
rata-rata adalah 7,4. Kemudian nilai pH pada saat surut berkisar antara 7,1-7,6. Nilai
tertinggi di stasiun 3 entrop adalah 7,6, nilai terendah di stasiun 4 pantai abe adalah
7,2. Nilai tersebut masih sesuai dengan baku mutu air laut untuk biota laut yaitu 7 –
8,5. Nilai pH perairan Teluk Youtefa pada sembilan stasiun pada saat pasang dan
surut berkisar antara 7,1 – 7,6 (gambar 28). Nilai rata-rata pada saat pasang dan surut
adalah 7,4. Hal ini menunjukkan bahwa perairan Teluk Youtefa masih berada dalam
kisaran yang dapat ditolerir untuk organisme akuatik.
103
Fluktuasi nilai pH dapat dipengaruhi beberapa hal antara lain akibat limbah organik
yang dapat membebaskan karbon dioksida jika mengalami proses penguraian.
Kemudian juga dapat disebabkan pengaruh masukan pencemar yang bersifat
fluktuatif.
5.1.4. Kandungan oksigen terlarut (DO)
Oksigen terlarut merupakan parameter penting yang dibutuhkan oleh
semua organisme, seperti ikan. Penurunan oksigen dalam perairan akan sangat
berbahaya bagi kehidupan organisme akuatik. Kebanyakan ikan pada beberapa
perairan tercemar mati bukan karena daya racun bahan buangan secara langsung,
akan tetapi karena kekurangan oksigen dalam perairan akibat digunakan untuk
proses degradasi bahan organik oleh mikroorganisme. Connel dan Miller. (1995)
diacu dalam Selanno (2009), mengemukakan bahwa sebagian besar dari zat
pencemar yang menyebabkan oksigen terlarut berkurang adalah limbah organik. Lee
et al. (1978) mengemukakan bahwa kandungan oksigen terlarut pada suatu perairan
dapat digunakan sebagai indikator kualitas perairan.
Gambar 28 Kualitas air Teluk Youtefa berdasarkan parameter pH pasang surut
Lokasi pengamatan
BM = 7,5-
8,5
104
Hasil penelitian menunjukkan bahwa oksigen terlarut pada sembilan stasiun di
perairan Teluk Youtefa pada saat pasang berkisar antara 2,60 mg/l – 6,00 mg/l
(gambar 29) dengan nilai rata-rata 5,17 mg/l atau sesuai dengan baku mutu. Nilai
kandungan oksigen terlarut di perairan Teluk Youtefa pada sembilan stasiun lebih
tinggi di stasiun delapan (5,80 mg/l), sedangkan nilai terendah terdapat di stasiun
empat (2,60 mg/l). Nilai rata-rata pada saat pasang dan surut adalah 4,89 mg/l
(lampiran 1). Nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian UNIPA
(2006) yaitu 2,20 mg/l pada stasiun yang sama (stasiun 4). Kemudian nilai DO pada
saat surut berkisar antara 1,67 mg/l - 5,75 mg/l dengan rata-rata 4,61 mg/l. Nilai
tertinggi terdapat di stasiun 7 (5,75 mg/l, nilai terendah terdapat di stasiun 4 (1,67
mg/l). Rendahnya nilai oksigen terlarut diduga akibat pengaruh limbah (effluent)
organik yang berasal dari limbah domestik yang masuk ke dalam perairan teluk
melalui dua sungai (sungai acai dan sungai siborghoni) yang secara geografis sangat
berdekatan muaranya (± 50 m). Hal ini sesuai dengan pendapat Saeni (1989) bahwa
oksigen terlarut berkurang akibat digunakan dalam penghancuran bahan organik.
Kemudian penurunan kadar oksigen terlarut dapat terjadi karena adanya
penambahan beban pencemaran organik dalam jumlah besar, yang disebabkan oleh
buangan limbah cair yang melebihi kemampuan self purification teluk dan adanya
bahan kimia yang dapat teroksidasi oleh oksigen. Kandungan oksigen terlarut yang
rendah menunjukkan bahwa kondisi sungai secara umum telah tercemar oleh bahan
organik. Limbah domestik, pertanian, sampah yang dibuang ke sungai dan menuju
Gambar 29. Kualitas air Teluk Youtefa berdasarkan parameter DO Pasang surut
Lokasi pengamatan
mg/l
BM>5
105
teluk menjadi penyebab utama tingginya tingkat pencemaran. Hal ini sesuai dengan
pendapat Emily et al (2010) bahwa kadar oksigen terlarut 2, 0 mg/l di Teluk
Greenwich Rhode Island USA sangat rendah akibat limbah, pellet dan
peningkatan sedimen. Kemudian menurut Lee et al, (1978) bahwa tingkat
pencemaran perairan akibat bahan buangan organik dapat dievaluasi berdasarkan
konsentrasi oksigen terlarut dan BOD5. Sedangkan menurut Clark (2003) bahwa
konsentrasi bahan organik yang tinggi di perairan akan menyebabkan tingginya
pemakaian oksigen terlarut diperairan menurun
5.1.5. Kandungan oksigen biokimia (BOD)
BOD merupakan gambaran kadar bahan organik, yaitu jumlah oksigen yang
dibutuhkan oleh mikroba aerob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi
karbondioksida dan air. BOD menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh
proses respirasi mikroba aerob yang terdapat dalam botol BOD yang diinkubasi pada
suhu 200C selama lima hari dalam keadaan tanpa cahaya.
BOD digunakan sebagai cara untuk mengindikasikan pencemaran organik di
perairan. Semakin banyak bahan organik yang terdapat dalam perairan, maka
semakin besar nilai oksigen yang dibutuhkan, sehingga nilai BOD semakin besar
yang mengindikasikan tingginya tingkat pencemaran.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai BOD pada saat pasang berkisar
antara 7,92 mg/l - 21,0 mg/l (gambar 30) dengan nilai rata-rata keseluruhan 9,7 mg/l.
Nilai tertinggi terdapat di stasiun 4 (21,0 mg/l), nilai terendah terdapat di stasiun 7
Gambar 30. Kualitas air Teluk Youtefa berdasarkan parameter BOD pasang surut
Lokasi pengamatan
mg/l
BM 20
106
(7,92 mg/l). Kemudian pada saat surut berkisar antara 8,21 mg/l – 28 mg/l. Nilai
tertinggi terdapat di stasiun 4, terendah di stasiun 7. Nilai rata-rata pada saat pasang
dan surut adalah 10,33 mg/l (lampiran 1). Berdasarkan baku mutu kualitas air nilai
ambang batas BOD untuk biota laut adalah 20 mg/l (Keputusan Mennteri
Lingkungan Hidup RI nomor 51 tahun 2004) masih berada dibawah ambang batas
atau baku mutu. Hal ini sesuai dengan pendapat Effendi (2003) bahwa perairan yang
memiliki nilai BOD lebih dari 20 mg/l dianggap telah mengalami pencemaran. Nilai
BOD yang tinggi secara tidak langsung memberikan petunjuk tentang kandungan
bahan-bahan organik yang tersuspensikan. Nilai BOD yang rendah mencerminkan
rendahnya kegiatan mikroorganisme di dalam air. Kandungan nilai BOD di perairan
Teluk Youtefa diduga dipengaruhi bahan buangan organik dan aktivitas organisme
pengurai, dipengaruhi oleh suhu, keberadaan mikroba, serta jenis dan kandungan
bahan organik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Yetti et al, (2011) bahwa
peningkatan kadar BOD di perairan dapat disebabkan banyaknya sampah organik
yang mencemari perairan. Kemudian menurut Lee et al (1978) bahwa indikator
BOD merupakan indikator penting dalam menentukan tingkat pencemaran perairan.
5.1.6. Nitrat dan amonia
Nitrat adalah bentuk utama nitrogen diperairan alami dan merupakan
nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman. Nitrat dihasilkan dari proses oksidasi
senyawa nitrogen di perairan. Pembuangan kotoran biasanya mengandung nitrat
dalam jumlah yang besar. Unsur ini merupakan nutrien bagi tanaman, sehingga
meningkatkan kelimpahan fitoplankton di perairan. Pengkayaan ini akan
menguntungkan zooplankton dan memperbanyak jumlah rantai-rantai makanan
lainnya (Clark, 1986). Dijelaskan bahwa jika bahan buangan organik dirombak oleh
bakteri tidak hanya karbondioksida dan air, tetapi juga nitrogen dilepaskan sebagai
bahan anorganik yang secara alami terkandung dalam komponen protein hewan dan
tanaman.
107
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar nitrat di perairan Teluk
Youtefa pada saat pasang 0,004 mg/l – 0, 026 mg/l (gambar 31). Nilai nitrat tertinggi
terdapat pada stasiun empat (0,026 mg/l) dan terendah pada stasiun satu (0,004)
dengan nilai rata-rata keseluruh an 0,27 mg/l. Kemudian kadar nitrat pada saat surut
berkisar antara 0,004 mg/l-0,34 mg/l. Nilai tertinggi terdapat di stasiun 4 (0,34 mg/l),
nilai terendah terdapat di stasiun 6 (0,004 mg/l dengan nilai rata-rata 0,05 mg/l. Nilai
rata-rata pada saat pasang dan surut adalah 0,012 mg/l (lampiran 1). Nilai tersebut
telah melampaui baku mutu air laut untuk biota laut. Kelimpahan nutrien di suatu
perairan, akan menimbulkan masalah terjadinya blooming populasi mikroorganisme
yang dapat mengurangi kadar oksigen dalam perairan. Aktifitas masyarakat dan
tekanan penduduk dalam memanfaatkan teluk sebagai tempat penampungan limbah
berpotensi meningkatkan nilai nitrat di perairan.
Gambar 32. Kualitas air Teluk Youtefa berdasarkan parameter NH3 pasang surut
Lokasi pengamatan
mg/l
BM 0,3
Gambar 31. Kualitas air Teluk Youtefa berdasarkan parameter NO3 pasang surut
Lokasi pengamatan
mg/l
BM 0,008
108
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar amonia perairan Teluk Youtefa
pada saat pasang berkisar antara 0,03 mg/l - 0,24 mg/l dengan nilai rata-rata 0,08
mg/l. Nilai tertnggi terdapat di lokasi 4 (0,24 mg/l), nilai terendah terdapat di lokasi 7
(0,03 mg/l). Kemudian pada saat surut nilai amoniak berkisar antara 0,05 – 0,26 mg/l
(gambar 32). Nilai tertinggi terdapat di lokasi 4 (0,26 mg/l), nilai terendah terdapat di
lokasi 7 (0,05 mg/l). Nilai rata-rata antara pasang dan surut adalah 0,087 mg/l
(lampiran 1). Amonia bebas yang tidak terionisasi bersifat toksik bagi organisme
akuatik. Menururt Effendi (2003), toksisitas amonia terhadap organisme akuatik
dipengaruhi oleh pH, kadar oksigen terlarut, dan suhu. Pada pH rendah amonia
bersifat racun jika jumlahnya banyak, sedangkan pada kondisi pH tinggi amonia
akan bersifat racun meskipun kadarnya rendah. Abel (1989) mengemukakan bahwa
amonia sangat beracun bagi organisme.
Secara umum, kadar amonia di perairan Teluk Youtefa belum melampaui
nilai baku mutu yang mensyaratkan nilai amonia maksimum 0,3 mg/l. Maka dapat
disimpulkan bahwa perairan Teluk Youtefa mengindikasikan tidak terjadi
pencemaran air oleh amonia.
5.1.7. Kadar fospat
Senyawa fosfat merupakan anion yang tidak dikehendaki dalam suatu
perairan karena bisa menjadi faktor pembatas eutrofikasi dan dapat mengakibatkan
efek negatif bagi proses kehidupan akuatik. Kandungan fosfat yang tinggi dalam
perairan dapat menyebabkan eutrofikasi yakni meningkatnya pertumbuhan alga dan
menurunkan kadar oksigen terlarut dalam air. Senyawa fosfor di perairan dapat
bersumber dari buangan hewan, pelapukan tumbuhan, erosi tanah, limbah industri,
limbah domestik, dan limbah pertanian.
mg/l
Lokasi pengamatan
Gambar 33 Kualitas air Teluk Youtefa berdasarkan parameter PO4 pasang surut
109
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar fosfat (P-PO4) di perairan Teluk
Youtefa pada saat pasang berkisar 0,001 mg/l – 0,3 mg/l (gambar 33), nilai tertinggi
terdapat di lokasi 4 (0,3 mg/l), nilai terendah terdapat di lokasi 2 (0,001 mg/l),
dengan nilai rata-rata keseluruhan 0,21 mg/l. Kemudian nilai fosfat pada saat surut
berkisar antara 0,03 mg/l – 0,5 mg/l. Nilai tertinggi terdapat di stasiun 4 (0,5 mg/l),
nilai terendah terdapat di stasiun ,7,dan 8 masing-masing 0,03 mg/l. Nilai rata-rata
antara pasang dan surut adalah 0,08 mg/l (lampiran 1). Berdasarkan KMA baku
mutu air laut untuk biota laut yang mempersyaratkan kadar fosfat maksimum 0,015,
maka dapat disimpulkan bahwa dari 9 stasiun pengamatan perairan Teluk Youtefa
pada saat pasang dan surut tidak memenuhi baku mutu. Sumber P-PO4 di perairan
Teluk Youtefa diduga bersumber dari limbah domestik terutama detergen dan
kotoran manusia, dan limbah pertanian. Hal ini sesuai dengan pendapat Garcia,
(2010) bahwa di teluk Lorenzo Spayol Utara terjadi proses eutrofikasi sehingga
menghasilkan ganggang akibat peningkatan fosfat. Fosfat dapat masuk ke perairan
Teluk Youtefa melalui saluran sungai.
Gambar 36. Tumpukan sampah di
Sungai Acai
bermuara di perairan Teluk
Youtefa
Gambar 37. WC penduduk yang
bermukim di atas perairan Teluk
Youtefa
Gambar 34. Muara Sungai Sibhorgoni
(Kondisi Air Laut Surut)
Gambar 35. Muara Sungai Acai
Kondisi Air Laut Pasang
110
Gambar 34 memperlihatkan kondisi air berwarna kemerah-merahan akibat
banyaknya sedimen dari hulu. Kemudian gambar 35 memperlihatkan kondisi air
berwarna hitam akibat tingginya pasokan limbah domestik dari hulu. Mukhtasor.
(2007) mengemukakan bahwa pencemaran dapat membahayakan ekosistem laut
karena ekosistem dan biota perairan sangat rentan terhadap bahan pencemar.
5.2. Status mutu air dan indeks pencemaran perairan Teluk Youtefa
5.2.1. Metode indeks storet
Pendekatan menggunakan metode indeks storet digunakan untuk
menganalisis status pencemaran yang sebenarnya telah terjadi di Teluk Youtefa.
Nilai maksimum, minimum, dan rata-rata yang dipergunakan merupakan hasil
tabulasi dari nilai rata-rata setiap lokasi/stasiun pada saat pasang dan surut.
Menentukan status kualitas air atau indeks mutu lingkungan perairan
Teluk Youtefa adalah menggunakan metode STORET. Indeks kualitas air –
STORET (IKA-STORET) adalah suatu nilai yang dapat menggambarkan tentang
kondisi kualitas air dari data mentah tentang kualitas air yang kemudian
ditransformasikan menjadi suatu indeks. Metode indeks STORET dapat
menggambarkan secara menyeluruh tentang kondisi umum kualitas air Teluk
Youtefa. Data parameter fisika dan kimia air berdasarkan hasil pengamatan
dibandingkan dengan nilai baku mutu air laut untuk biota laut yang mencakup nilai
minimum, rata-rata, dan maksimum setiap parameter yang kemudian diberi skor
penilaian dan disesuaikan dengan tingkat pencemarannya. Baik buruknya kualitas
perairan dapat diketahui dengan melihat parameter-parameter yang tidak memenuhi
baku mutu sesuai dengan yang ditetapkan. Hasil evaluasi kualitas air Teluk Youtefa
berdasarkan indeks Storet disajikan pada lampiran 2, sedangkan status mutu
perairan Teluk Youtefa menururt sistem STORET disajikan pada tabel 16 dan
gambar 38.
Tabel 16. Status mutu kualitas air menururt sistem nilai STORET Teluk Youtefa.
No Lokasi/Stasiun Skor Klasifikasi
1 Entrop -26 Tercemar sedang
2 Pantai abe -33 Tercemar berat
3 Abepantai/Nafri -17 Tercemar sedang
111
Berdasarkan representasi masing-masing parameter pada tabel 16
memperlihatkan kondisi status mutu perairan Teluk Youtefa menurut sistem nilai
storet tidak dapat ditolerir lagi oleh biota laut atau perairan ini dalam status tercemar.
Kondisi tersebut bagi kegiatan perikanan dan budidaya yang sering dilakukan pada
perairan ini adalah sangat beresiko. Oleh karena itu, kondisi ini akan menjadi
perhatian semua pihak pengguna teluk untuk lebih berhati-hati memanfaatkan
sumberdaya laut di dalamnya. Tingginya pemanfaatan ruang perairan teluk seperti
saat ini, tentu mengindikasikan adanya pencemaran di Teluk Youtefa. Kondisi dan
kenyataan seperti ini, memacu semua pihak untuk berupaya melakukan penanganan
secara serius pendekatan kelembagaan dan teknologi yang tepat untuk penanganan
masalah pencemaran harus dilakukan dengan komitmen yang jelas dan tegas.
Kondisi mutu air untuk pantai abe cendrung menururn dibanding mutu air di
entrop dan abepantai (gambar 38), dengan status mutu air bervariasi mulai dari
tercemar ringan hingga tercemar berat. Nilai indeks STORET di lokasi entrop
adalah -26 (lampiran 2), lokasi pantai abe adalah -33 (lampiran 2-a), dan lokasi
abepantai adalah -17 (lampiran 2-b). Parameter yang memberikan kontribusi
rendahnya nilai indeks STORET di lokasi abepantai adalah fosfat, TSS, dan nitrat.
Kemudian di lokasi pantai abe yang memberikan kontribusi rendahnya nilai indeks
STORET adalah fosfat, nitrat, TSS, DO, dan BOD. Sedangkan yang memberikan
Gambar 38. Skor indeks STORET perairan Teluk
Youtefa
Entro
p Pantai
abe
Abepantai
112
kontribusi bagi rendahnya nilai indeks STORET di lokasi entrop adalah fosfat, nitrat,
DO, dan TSS. Berdasarkan nilai indeks STORET, jika parameter yang digunakan
untuk mengevaluasi tingkat pencemaran kurang dari 10 parameter, maka sudah
cukup untuk menyatakan bahwa perairan Teluk Youtefa dalam kondisi buruk jika
terdapat tiga parameter kimia yang nilai konsentrasi minimum, maksimum dan rata-
ratanya telah melampauai baku mutu.
5.2.2. Indeks pencemaran Teluk Youtefa
Pada penelitian ini tingkat pencemaran air Teluk Youtefa relatif terhadap
parameter kualitas air yang diijinkan sesuai dengan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup nomor 51 tahun 2004 didasarkan pada hasil analisis parameter
fisik dan kimia yakni total padatan tersuspensi, derajat keasaman, amoniak total,
kandungan oksigen biokimia, kandungan oksigen terlarut, nitrat, dan fospat.
Hasil analisis kualias air kemudian dibandingkan dengan baku mutu air
sesuai dengan peruntukannya menggunakan langkah-langkah penentuan indeks
pencemaran. Perairan akan semakin tercemar untuk suatu peruntukan (j) jika nilai
(Ci/Lij)R dan atau (Ci/Lij)M lebih besar dari 1,0. Tingkat pencemaran suatu badan air
akan semakin besar jika nilai maksimum Ci/Lij dan atau nilai rata-rata Ci/Lij makin
besar. Perhitungan indeks pencemaran air Teluk Youtefa dapat dilihat pada lampiran
3 dan rangkuman hasil perhitungan indeks pencemaran disajikan pada tabel 17.
Tabel 17. Indeks pencemaran Teluk Youtefa pada sembilan titik pengamatan
No Stasiun Ci/Lij IP Kategori
Rerata Maks
1 Entrop 1 2,91 6,25 4,87 Cemar ringan
2 Entrop 2 1,67 3,15 2,51 Cemar ringan
3 Entrop 3 2,24 6,09 4,58 Cemar ringan
4 Pantai Abe 1 3,84 7,27 5,81 Cemar sedang
5 Pantai abe 2 1,99 5,15 3,90 Cemar ringan
6 Pantai abe 3 2,11 6,33 48,8 Cemar ringan
7 Abepantai 1 1,92 6,63 4,88 Cemar ringan
8 Abepantai 2 1,73 5,76 4,25 Cemar ringan
9 Abepantai 3 3,05 6,21 4,89 Cemar ringan
113
Berdasarkan hasil perhitungan indeks pencemaran pada tabel 17 di atas dan
nilai indek pencemaran Sumitomo dan Nemerow, menunjukkan bahwa perairan
Teluk Youtefa telah mengalami pencemaran pada tingkat ringan hingga sedang oleh
beberapa parameter fisika dan kimia. Kondisi ini berbeda dengan status mutu air
berdasarkan indeks STORET. Parairan Teluk Youtefa berdasarkan indeks STORET
berada dalam tercemar sedang dan tercemar berat. Perbedaan ini menunjukkan
bahwa indeks pencemaran Sumitomo dan Nemerow memiliki toleransi yang cukup
besar terhadap pencemaran. Tabel 17 juga menunjukkan bahwa untuk zona entrop 2
tingkat pencemaran paling rendah dengan nilai indeks pencemaran 2,51. Nilai indeks
pencemaran tertinggi berada pada zona pantai abe 1 dengan nilai indeks pencemaran
5,81 (tercemar sedang).
Tingkat pencemaran air di perairan Teluk Youtefa kategori cemar ringan dan
cemar sedang. Tingkat pencemaran tertinggi berada pada stasiun 4 yaitu pantai
abe. Hal tersebut terjadi diduga disebabkan pada stasiun 4 ada dua muara sungai
yang bermuara (Sibhorgoni dan Acai) ke perairan Teluk Youtefa jaraknya relatif
berdekatan yaitu ± 50 meter, dan pada daerah aliran sungai tersebut banyak
menerima masukan limbah domestik, pertanian, dan dampak galian C.
5.3. Beban pencemaran, kapasitas asimilasi, flushing time perairan Teluk Youtefa
5.3.1 Beban pencemaran muara sungai di sekitar Teluk Youtefa
Beban pencemaran menggambarkan suatu unsur pencemar yang
terkandung dalam air atau air limbah. Sumber pencemar di Teluk youtefa adalah air
limbah domestik, dan air limbah pertanian. Bahan pencemar tersebut masuk ke
Teluk Youtefa melalui beberapa cara pengalirannya seperti saluran drainase
kemudian ke sungai dan selanjutnya terbawa ke Teluk Youtefa.
Beban pencemaran dihitung untuk mengetahui dan mengidentifikasi
sumber pencemar, jenis pencemar dan besarnya nilai beban pencemar yang masuk
ke perairan Teluk Youtefa. Kemudian dilanjutkan dengan menghitung debit air
sungai dengan konsentrasi parameter kualitas air yang diteliti. Beban pencemaran
114
yang diamati adalah beban pencemaran mulai tahun 2008 – 2011 pada masing
masing sungai (Tabel 18 dan Lampiran 4-7.)
Tabel 18. Beban pencemaran sungai tahun 2008 sampai tahun 2011 (ton/bulan Parameter 2008 2009 2010 2011
TSS 442,61 959,71 1329,77 1626,17
BOD 61,41 104,84 121,27 144,40
COD 150,93 279,49 501,72 700,36
NH3 3,03 5,32 6,45 8,53
NO3 5,64 10,14 15,87 23,33
PO4 3,89 8,29 9,12 16,56 5.3.2. Kapasitas asimilasi perairan Teluk Youtefa
Gambaran umum kondisi perairan sungai dan perairan Teluk Youtefa
dengan pendekatan beberapa parameter, baik parameter pendukung maupun
parameter indikator, ternyata belum dapat memastikan bagaimana kondisi kualitas
lingkungan perairan Teluk Youtefa yang sebenarnya. Oleh karena itu analisis beban
pencemaran dan analisis kapasitas asimilasi diharapkan dapat menjawab
permasalahan lingkungan yang telah terjadi selama ini, khususnya di perairan Teluk
Youtefa. Analisis kapasitas asimilasi didasarkan pada analisis hubungan antara
kualitas air dengan beban limbahnya. Nilai kapasitas asimilasi diperoleh berdasarkan
grafik hubungan antara konsentrasi masing-masing parameter bahan pencemar di
perairan pesisir Teluk Youtefa dengan beban pencemaran tersebut di muara sungai
yang bermuara ke Teluk Youtefa. Kemudian nilai hasil perhitungan dari beban
limbah dan konsentrasi masing-masing parameter dibandingkan dengan nilai baku
mutu untuk biota laut dan budidaya laut.
Tabel 19. Kapasitas asimilasi perairan Teluk Youtefa Tahun 2011
No Parameter Fungsi y R2 Beban Kapasitas
Pencemaran Asimilasi
(ton/bln) (ton/bln)
1. PO4 y = 0,008 + 0,103x 0,92 16.16 12
2. BOD y = 0,0481 + 0.668x 0,93 144.40 27
3. NH3 y = 0,009 + 0,013x 0,95 8.53 54
4. COD y = 0,0938 + 53.069x 0,94 700.36 286
5. NO3 y = 0,0011 + 0,0034x 0,99 23.33 9087
6. TSS y = 0,0344 + 30,98x 0,92 1626.27 2354
115
Hasil analisis perhitungan regresi menggunakan minitab 14 dapat dilihat pada
lampiran 8
5.3.2.1. Kandungan oksigen biokimia (BOD).
Penyebab utama tingginya konsentrasi BOD di dalam perairan adalah
bahan-bahan buangan seperti kotoran hewan, kotoran manusia, tanaman-tanaman
yang mati, limbah domestik, dan pemotongan daging. Hasil analisis beban
pencemaran BOD atau kebutuhan oksigen biologi dari sungai bervariasi masing
masing sungai. Beban pencemaran terbanyak bersumber dari sungai Acai dibanding
sungai Siborgoni, sungai PTC entrop dan sungai Hanyaan
Hasil perpotongan garis regresi (gambar 39) dengan garis baku mutu
menghasilkan perpotongan nilai kapasitas asimilasi sebesar 27 ton/bulan. Hasil
analisis hubungan konsentrasi BOD di laut dengan beban pencemaran organik
indikator BOD di sungai menunjukkan adanya hubungan yang signifikan. Hubungan
tersebut ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi model regresi R2 = 0,935 atau
93 % variasi sampel konsentrasi BOD dijelaskan oleh beban BOD. Persamaan
regresinya adalah Y = 0,0481 + 0.668x (dimana P-value = 0,033 < α = 0,05, mean
square error (MSE) atau varian residual (S2 sebesar 0,2992 dan standart deviasi
(s) = 0,546, yang berarti ada kesesuaian model regresi dengan data yang ada
(signifikan). Variasi sampel konsentrasi BOD dijelaskan oleh beban BOD, artinya
bahwa besarnya akumulasi beban BOD di laut merupakan kontribusi dari sungai-
sungai yang bermuara ke perairan Teluk Youtefa. Akan tetapi bila analisis
Y = 0,0481x+0,668
R2 = 0,935
Gambar 39. Grafik pendugaan beban pencemaran dan kapasitas asimilasi di
Teluk Youtefa dengan indikator BOD Tahun 2008 - 2011
Y = 0,0481X + 0,668 R2 = 0,935
116
dilanjutkan dengan grafik pendugaan beban pencemaran dengan kapasitas
asimilasi ternyata dari indikator BOD, perairan Teluk Youtefa belum tercemar
karena nilai kapasitas asimilasinya belum terlampaui.
5.3.2.2. Total padatan tersuspensi (TSS)
Berbagai aktivitas manusia di darat dapat memberikan masukan partikel
ke laut yang kemudian larut dalam kolom air dan akan terukur sebagai total
suspended solid. Hasil analisis beban pencemaran total suspended solid atau padatan
tersuspensi total dari sungai bervariasi masing masing sungai. Beban pencemaran
terbanyak bersumber dari sungai Acai dibanding sungai Sibhorgoni, sungai PTC dan
sungai Hanyaan.
Hasil analisis hubungan konsentrasi padatan tersuspensi total di laut dengan
beban pencemaran organik indikator padatan tersuspensi total di sungai
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan. Hubungan tersebut ditunjukkan
oleh nilai koefisien determinasi model regresi R2 = 0,924 atau atau 92,4 % variasi
sampel konsentrasi TSS dijelaskan oleh beban TSS. Persamaan regresinya adalah Y
= 0,0344 + 130,98x (dimana P-value = 0,039 < α = 0,05, mean square error
(MSE) atau varian residual (S2 sebesar 37,97 dan standart deviasi (s) = 6,16,
yang berarti ada kesesuaian model regresi dengan data yang ada (signifikan).
Gambar 40. Grafik pendugaan beban pencemaran dan kapasitas asimilasi di
Teluk Youtefa dengan indikator TSS tahun 2008 - 2011
Y = 0,0344X+130,98
R2 = 0,924
117
Variasi sampel konsentrasi TSS dijelaskan oleh beban TSS, artinya bahwa
beban pencemaran di perairan Teluk Youtefa merupakan implementasi dari
masukan beban pencemaran organik TSS dari sungai. Hal ini memperkuat
simpulan dari Kartahadimadja dan Pariwono (1994) bahwa padatan tersuspensi
perairan Teluk Pelabuhan ratu diduga karena semakin banyaknya padatan
tersuspensi yang dibawa oleh air sungai ke muara yang kemudian disebarkan oleh
gerakan aliran di muara dan arus arus laut ke perairan pantai serta daerah laut
yang lebih jauh.
Berdasarkan perhitungan (gambar 40) diperoleh perpotongan garis regresi
dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar
2.354 ton/bulan. Selanjutnya analisis pendugaan kapasitas asimilasi ternyata
berada di atas baku mutu, sehingga pendekatan parameter TSS untuk menduga
pencemaran organik dapat menjelaskan bahwa pengaruh masukan dari darat
konsentrasi bahan-bahan pencemar di laut sudah terlihat menunjukkan hubungan
yang signifikan. Berdasarkan grafik pendugaan beban pencemaran dengan
kapasitas asimilasi ternyata dari indikator TSS, perairan Teluk Youtefa telah
tercemar karena nilai kapasitas asimilasinya telah terlampaui.
5.3.2.3. Amonia (NH3)
Amonia bersifat mudah larut dalam air, banyak digunakan dalam
proses produksi urea, industri bahan kimia, serta industri bubur kertas. Sumber
amonia di perairan adalah pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan
nitrogen anorganik yang terdapat di dalam tanah dan air yang berasal dari
dekomposisi bahan organik oleh mikroba. Tinja dari biota akuatik yang merupakan
limbah aktivitas metabolisme juga banyak mengeluarkan amonia. Amonia yang
terdapat dalam mineral masuk ke badan air melalui erosi tanah.
118
Hasil analisis hubungan konsentrasi amoniak di laut dengan beban pencemaran
organik indikator amoniak di sungai menunjukkan adanya hubungan yang
signifikan. Hubungan tersebut ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi model
regresi R2 = 0,954 atau 95,4 % variasi sampel konsentrasi amoniak dijelaskan oleh
beban amoniak. Penentuan nilai kapasitas asimilasi digunakan persamaan regresi Y=
0,009 + 0,013x (dimana P-value = 0,024 < α = 0,05, mean square error (MSE)
atau varian residual (S2 sebesar 0,00003 dan standart deviasi (s) = 0,005, yang
berarti ada kesesuaian model regresi dengan data yang ada (signifikan). Nilai
koefisien determinasi model regresi (R2 = 95,4) artinya 95,4 % variasi sampel
konsentrasi NH3 dijelaskan oleh beban NH3
Grafik pendugaan nilai kapasitas asimilasi (gambar 41) memperlihatkan
bahwa kondisi perairan Teluk Youtefa belum tercemar dengan indikator amoniak
karena nilai kapasitas asimilasinya belum terlampaui (54). Kondisi ini
memperlihatkan bahwa perairan Teluk Youtefa belum tercemar bahan organik
amoniak karena nilai kapasitas asimilasinya belum terlampaui
5.3.2.4. Nitrat (NO3)
Untuk mengetahui berapa besar beban pencemaran organik dengan
indikator NO3 yang masuk ke perairan Teluk Youtefa melalui perairan sungai yang
bermuara ke teluk dilakukan analisis beban pencemaran. Hasil analisis beban
pencemaran nitrat dari sungai bervariasi masing masing sungai. Beban pencemaran
terbanyak bersumber dari sungai Acai dibanding sungai Sibhorgoni, sungai PTC dan
sungai Hanyaan
Gambar 41. Grafik pendugaan beban pencemaran dan kapasitas asimilasi di
Teluk Youtefa dengan indikator NH3 Tahun 2008 - 2011
Y = 0,009 x + 0,013
R2 = 0,95
119
Hasil analisis hubungan konsentrasi nitrat di laut dengan beban pencemaran
organik indikator nitrat di sungai menunjukkan adanya hubungan yang signifikan.
Hubungan tersebut ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi model regresi R2 =
0,99 atau 99 % variasi sampel konsentrasi nitrat dijelaskan oleh beban nitrat.
persamaan regresi Y = 0,0011 + 0,0034x (dimana P-value = 0,004< α = 0,05,
mean square error (MSE) atau varian residual (S2 sebesar 0,00000087 dan
standart deviasi (s) = 0,00093, yang berarti ada kesesuaian model regresi dengan
data yang ada (signifikan).
Grafik pendugaan nilai kapasitas asimilasi (gambar 42) memperlihatkan
bahwa kondisi perairan Teluk Youtefa telah tercemar dengan indikator Nitrat
karena nilai kapasitas asimilasinya telah terlampaui. Kondisi ini memperlihatkan
bahwa perairan Teluk Youtefa telah tercemar bahan organik. Kondisi seperti ini
kemungkinan bisa mengakibatkan terakumulasinya limbah domestik di perairan
Teluk Youtefa.
Aktifitas penggunaan pupuk untuk kegiatan pertanian oleh penduduk
sekitar bantaran sungai juga berpotensi dalam menyumbangkan nitrat di perairan.
Ketersediaan nitrogen yang diperlukan untuk mensintesa protein tumbuhan
diketahui berasal dari senyawa organik maupun dari anorganik termasuk nitrat.
5.3.2.5. Fosfat (PO4)
Posfat merupakan anion yang tidak diinginkan dalam air, karena
keberadaannya menjadi faktor pembatas eutrofikasi dan menimbulkan efek negatif
Gambar 42. Grafik pendugaan beban pencemaran dan kapasitas asimilasi di
Teluk Youtefa dengan indikator NO3 tahun 2008 - 2011
Y = 0,0011 x + 0,0034
R2= 0,99
120
bagi kehidupan ekosistem akuatik. Effendi (2003) mengemukakan bahwa posfat
merupakan fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuh-tumbuhan
Hasil analisis hubungan konsentrasi posfat di laut dengan beban pencemaran
organik indikator posfat di sungai menunjukkan adanya hubungan yang signifikan.
Hubungan tersebut ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi model regresi R2 =
0,92 atau 92 % variasi sampel konsentrasi posfat dijelaskan oleh beban posfat.
Persamaan regresinya adalah Y = 0,008 + 0,103x (dimana P-value = 0,039 < α =
0,05, mean square error (MSE) atau varian residual (S2 sebesar 0,00026 dan
standart deviasi (s) = 0,016, yang berarti ada kesesuaian model regresi dengan
data yang ada (signifikan). Nilai koefisien determinasi model regresi (R2 = 92,4)
artinya 92,4 % variasi sampel konsentrasi PO4 dijelaskan oleh beban PO4. Dari
gambar 43 terlihat bahwa kondisi perairan Teluk Youtefa telah tercemar dengan
parameter fosfat karena kapasitas asimilasinya telah terlampaui (12).
5.3.2.6. Kebutuhan oksigen kimiawi COD
Kebutuhan oksigen kimiawi (COD) menggambarkan jumlah total
oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik
yang dapat didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar
didegradasi secara biologis (non biodegradable) menjadi CO2 dan H2O.
Gambar 43. Grafik pendugaan beban pencemaran dan kapasitas asimilasi di
Teluk Youtefa dengan indikator PO4 tahun 2008 - 2011
Y = 0,008 x + 0,103
R2 = 0,92
121
Hasil analisis hubungan konsentrasi COD di laut dengan beban pencemaran
organik indikator COD di sungai menunjukkan adanya hubungan yang signifikan.
Hubungan tersebut ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi model regresi R2 =
0,93 atau 93 % variasi sampel konsentrasi COD dijelaskan oleh beban COD.
Persamaan regresinya adalah Y = 0,093 + 53,06x (dimana P-value = 0,032 < α =
0,05, mean square error (MSE) atau varian residual (S2 sebesar 52,2 dan
standart deviasi (s) = 7,22 yang berarti ada kesesuaian model regresi dengan data
yang ada (signifikan). Nilai koefisien determinasi model regresi (R2 = 93) artinya
93 % variasi sampel konsentrasi COD dijelaskan oleh beban COD. Dari gambar
44 terlihat bahwa kondisi perairan Teluk Youtefa telah tercemar dengan parameter
COD karena kapasitas asimilasinya telah terlampaui (286).
5.3.3. flushing time (Waktu dirus)
Waktu dirus atau flushing time adalah waktu pembilasan dari massa air
tawar oleh air laut, merupakan sala satu aspek dari proses pencampuran yang penting
untuk mengetahui penyebaran dari suatu bahan yang dibuang atau ditimbun
diperairan pantai atau perairan laut, dengan asumsi laju air tawar yang didirus sama
dengan limpasan sungai. Maka untuk kasus tertentu, seperti perairan teluk atau
perairan semi tertutup lainnya, perairan tersebut dapat dianggap sebagai baskom
yang sederhana, dimana pada bagian hulunya limpasan air tawar dari sungai yang
masuk, sedangkan pada bagian hilirnya terjadi aliran dua lapis yaitu massa air dari
perairan teluk mengalir ke laut lepas dilapisan permukaan dan massa air laut
mengalir masuk ke teluk dilapisan bawah permukaan (Dahuri, 2008).
Gambar 44. Grafik pendugaan beban pencemaran dan kapasitas
asimilasi di Teluk Youtefa dengan indikator COD tahun 2008-2011
Y = 0,093+53,06
R2 = 0,93
122
Laut memiliki luas dan volume air yang sangat besar, sehingga biasanya
dijadikan sebagai tempat pembuangan bahan-bahan yang tidak berguna. Begitu juga
dengan daerah estuari selalu digunakan untuk tempat penampungan berbagai jenis
limbah khsusnya limbah cair dari daerah hulu maupun sekitarnya. Oleh karena itu
selama perkembangan penduduk serta industri yang semakin bertambah, bisa
menimbulkan masalah serius terhadap badan perairan. Oleh karena itu untuk
pengelolaan ekosistem estuari sangat diperlukan dengan pendekatan konsep flushing
time, (Tomezak, 2000 diacu dalam Selanno, 2009). Konsep flushing time digunakan
untuk mengevaluasi dimana, bagaimana dan berapa kuantitas substansi yang dapat
terbuang ke laut lepas. Kemudian dapat digunakan sebagai petunjuk untuk
menangani kecelakaan tumpahan minyak atau bahan racun.
Berdasarkan hasil analisis, bahwa nilai flushing time total ke empat sungai
yang ada di Teluk Youtefa adalah 7,69 jam, sedangkan rata-ratanya adalah 1,92 jam
(tabel 20). Maka dengan demikian dalam waktu 7,69 jam massa air laut dapat
membilas massa air tawar dari sungai-sungai tersebut. Demikian halnya dengan nilai
flushing time sungai PTC sangat kecil (0,58 jam) dibanding dengan sungai lainnya.
Oleh karena itu dengan nilai waktu dirus yang kecil tersebut, maka penyebaran
bahan-bahan buangan yang berasal dari setiap muara sungai ke laut akan relatif
cepat. Hal ini dapat dilihat pada penyebaran nilai tertinggi maupun terendah
parameter yang diukur ternyata menyebar pada beberapa tempat yang berbeda-beda.
Tabel 20. Nilai flushing time menggunakan pendekatan Dahuri, et al (2008)
Nama Sungai t2 t2 t2
V(S2-S1)/S2R V(S2-S1)/S2R V(S2-S1)/S2R
(detik) (jam) (jam)
S. Acai 3074,62 0,85406 0,85
S. Sibhorgoni 18.469,62 5,13046 5,13
S. PTC 2.118,15 0,58837 0,58
S. Hanyaan 4.027,50 1,11875 1,11
Total FT 27.689,89 7,69163 7,69
Rerata 6.922,47 1,92 1,92
123
Keterangan: S2 = Rata-rata salinitas air laut tiap musim
S1 = Rerata salinitas air sungai tiap musim
R atau Q = debit rerata tiap musim untuk tiap sungai
V (m3) = Vol air DAS dari perkalian luas penampang (m
2) x
kedalaman segmen DAS (m).
5.3.3.1. Pengaruh flushing time (waktu dirus) terhadap sedimentasi
Sedimen yang masuk ke dalam kolom air penyebarannya dipengaruhi
oleh faktor-faktor oseanografi perairan misalnya kecepatan arus. Apabila kecepatan
arus dalam teluk besar, maka akan membantu membawa atau memindahkan partikel
sedimen menjauhi sumber. Partikel-partikel sedimen akan tersebar secara horizontal
dan vertikal pada kolom air, tergantung pada kecepatan arus yang mengatur proses
pencampuran massa air. Kemudian sebaliknya jika kecepatan arusnya rendah, maka
partikel sedimen tersebut cendrung mengendap pada muara-muara sungai atau pada
pantai.
Pendekatan lain untuk melihat seberapa cepat kemungkinan partikel-
partikel sedimen yang masuk ke laut itu menyebar, dapat dijelaskan menggunakan
perhitungan waktu dirus (flushing time). Berdasarkan hasil penelitian diperoleh
bahwa makin kecil nilai waktu dirus maka semakin cepat bahan partikel halus akan
terbawa ketempat lain. Faktor lain yang cukup berpengaruh juga adalah karakteristik
sungai. Secara umum sungai-sungai yang bermuara ke Teluk Youtefa merupakan
sungai-sungai kecil, sehingga volume air yang masuk ke laut dengan cepat dapat
terbilas, khususnya untuk bahan sedimen melayang akan mudah ketempat lain, tetapi
bahan sedimen besar secara gravitasi akan tenggelam dan mengendap pada dasar
badan air.
5.3.3.2. Pengaruh flushing time (waktu dirus) terhadap kapasitas asimilasi
Nilai flushing time dapat digunakan sebagai petunjuk bagaimana bahan
yang masuk dari sungai dapat dengan cepat terbilas dan terbawa menjauh dari
sumbernya. Dalam hubungannya dengan kemampuan suatu ekosistem untuk
menerima limbah, maka nilai waktu dirus ini juga sangat mempengaruhi. Makin
kecil nilai waktu dirus, maka makin cepat juga bahan atau bahan pencemar tercanpur
di perairan. Maka dengan demikian kapasitas asimilasi suatu perairan juga makin
besar.
124
Kemudian kemungkinan terakumulasi bahan pencemar dalam kolom air
juga akan terus bertambah karena peningkatan kegiatan di perairan Teluk Youtefa.
Oleh karena itu, semakin besar kemampuan teluk untuk mengasimilasi bahan-bahan
pencemar yang masuk bukan berarti memberikan kesempatan untuk membuang
bahan pencemar ke dalam teluk, tetapi informasi ini menjadi masukan bagi
pengembangan wilayah perairan Teluk Youtefa dengan kegiatan pengelolaan limbah
sehingga memenuhi baku mutu suatu peruntukan, sehingga beban masukan dapat
dikendalikan dan tidak melebihi kapasitas asimilasinya.
Kondisi pasang surut (gambar 45) memperlihatkan bahwa pada waktu
pengambilan sampel pagi hari (antara jam 6.00-7.00) menunjukkan pasang tertinggi
(amplitudo) antara 120 -130 cm, dan surut terendah terjadi antara jam 12.00-14.00
5.4. Strategi pengendalian pencemaran Teluk Youtefa
Hasil analisis menggunakan metode Storet dan metode Indeks Pencemaran,
bahwa status perairan Teluk Youtefa telah tercemar ringan sampai berat. Hal ini
menandakan bahwa kapasitas asimilasi ekosistem Teluk Youtefa telah terlampaui
oleh sebagian beban pencemaran (pollution lood) yang masuk ke dalam teluk.
Strategi pengurangan terhadap bertambahnya beban pencemaran menjadi alternatif
pilihan yang harus dilakukan.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Waktu (jam)
Gambar 45. Kondisi pasang surut dan waktu pengembilan sampel
air laut
: Waktu pengambilan sampel. : Pasang dan surut
Tinggi (cm)
125
5.4.1. Pendekatan kelembagaan
Kelembagaan adalah wadah kerjasama antar stakeholder untuk
pengendalian pencemaran perairan Teluk Youtefa. Kelembagaan pengendalian
pencemaran perairan bertujuan untuk mempersiapkan bentuk kelembagaan yang
lebih tepat dalam kaitannya dengan implementasi otonomi daerah, meningkatkan
koordinasi antar sektor/dinas Kota Jayapura dalam merencanakan dan melaksanakan
aktivitas pengendalian pencemaran tidak bersifat parsial dan sektoral.
Pengurangan beban pencemaran memiliki peran yang cukup penting secara
kelembagaan. Pendekatan ini lebih pada koordinasi lintas instansi terkait dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya dalam pengawasan lingkungan. Tugas
pengelolaan lingkungan perairan dari setiap instansi terkait meliputi penyusunan dan
perencanaan kebijakan, kesamaan visi dan kordinasi lintas sektoral, pembangunan
prasarana pengolahan limbah, pemantauan dan evaluasi, pengaturan perizinan, dan
pengaturan denda.
Pengawasan terhadap lingkungan hidup di wilayah Kota dilaksanakan
secara langsung atau tidak langsung oleh pejabat pengawas lingkungan hidup untuk
mengetahui tingkat ketaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap
ketentuan peraturan perundangan dibidang lingkungan hidup
5.4.2. Pendekatan hukum
Mengatasi permasalahan degradasi lingkungan hidup akibat pencemaran
dapat dilakukan melalui pendekatan hukum. Status perairan Teluk Youtefa yang
tercemar ringan sampai berat membutuhkan instrumen-instrumen untuk mengurangi
beban pencemaran. Instrumen yang bisa digunakan dalam pendekatanm hukum
yaitu 1) Menggunakan baku mutu air laut, sehingga mutu air limbah yang dibuang
ke badan perairan tidak melebihi baku mutu peruntukannya; 2) Penerapan
penggunaan baku butu air limbah (buangan) untuk menilai kualitas parameter fisik,
parameter kimia, dan parameter biologi air sebelum dibuang ke badan perairan
sehingga tidak menyebabkan pencemaran lingkungan.
5.4.3. Komitmen dan dukungan pemerintah daerah dalam penegakan hukum.
Komitmen pemerintah daerah untuk penegakan hukum merupakan salah
satu aspek utama dalam peningkatan pentaatan selain pemanfaatan instrumen-
126
instrumen lainnya. Hal ini dapat dilakukan melalui sistem pengawasan pembuangan
limbah cair/padat yang lebih ketat dan penegakan hukum. Pemerintah daerah perlu
melakukan pengawasan pembuangan air limbah ke badan perairan, dan melakukan
pemantauan secara berkala.
5.4.4. Pendekatan sosial budaya
Pendekatan sosial budaya penting diperhatikan untuk mengurangi beban
pencemaran yang masuk kedalam perairna Teluk Youtefa. Metode pendekatan ini
dilakukan berdasarkan pada pemikiran bahwa hubungan manusia dan lingkungan
salah satu kunci untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Persepsi masyarakat
terhadap peningkatan kualitas lingkungan hidup sangat membantu memulihkan
kondisi lingkungan hidup dari degradasi dan penanggulangan pencemaran.
Pendekatan sosial budaya untuk mengurangi beban pencemaran dapat
dilakukan dengan menyadarkan masyarakat tentang bahaya pencemaran bagi
manusia, organisme, serta kerugian ekonomi yang bisa terjadi, dan penurunan nilai
estetika, melakukan gerakan bersih pantai secara berkelanjutan.
5.4.5. Pendekatan ekonomi
Mengurangi beban pencemaran dapat dilakukan dengan metode pendekatan
ekonomi yaitu 1) insentif positif berupa subsidi, keringanan pajak, kemudahan untuk
mengakses bank sehingga bisa memacu aktifitas ekonomi berwawasan lingkungan.
Insentif dapat diberikan untuk mencegah aktivitas yang merusak lingkungan hidup,
2) Disinsentif yaitu kebijakan yang menghasilkan pendapatan atau pajak dan
pungutan untuk mencegah aktivitas yang tidak berwawasan lingkungan. Kemudian
penetapan pajak dan pungutan sebagai harga atas terjadinya pencemaran lingkungan
sebagai cerminan pelayanan masyarakat terhadap kerusakan lingkungan hidup.
5.4.6. Pendekatan penataan ruang wilayah Teluk Youtefa secara terpadu
Metode pengendalian bahan pencemar/mengurangi beban pencemaran di
perairan Teluk Youtefa dapat dilakukan melalui pendekatan penataan ruang terpadu
serta arah pengembangan wilayah yang sesuai termasuk langkah-langkah
pengendalian terhadap pencemaran lingkungan hidup. Brackhahu (2001)
mengemukakan bahwa rencana tata ruang merupakan alat yang dapat digunakan
127
untuk koordinasi antar pemerintah lokal, provinsi, serta sektor, dan para pemangku
kepentingan.
Dalam rangka pengembangan Kota Jayapura khsusnya perairan Teluk
Youtefa, dan untuk menghindari tumpang tindih pemanfaatan ruang teluk, maka
pemerintah daerah menyusun rencana tata ruang wilayah yang lebih menekankan
pada sektor perikanan dan pariwisata sehingga arahannya lebih mengarah pada
perlindungan ekosistem perairan.
5.4.7. Pembuatan zonasi Teluk Youtefa
Pengendalian pencemaran perairan Teluk Youtefa dapat dilakukan dengan
pendekatan penetapan kawasan yaitu: 1) memberikan perlindungan bagi kawasan
bagian bawah, 2) kawasan pelindung sempadan pantai yang proporsional dengan
bentuk dan kondisi pantai, minimal 100 meter dari pasang tertinggi ke arah darat,
kemudian kawasan sumber air atau daerah aliran sungai, kawasan bencana alam, dan
kawasan lindung.
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan tahun 2002 menyebutkan 3
kriteria khusus penetapan kawasan lindung yaitu:
1. Aspek sosial terdiri dari unsur; a) tingkat dukungan masyarakat terhadap kawasan
lindung yang direncanakan; b) kesehatan masyarakat, sejauh mana kawasan
lindung mengatasi dampak pencemaran; c) rekreasi; d) estetika; e) konflik
kepentingan; f) keamanan; g) aksesibilitas; h) kesadaran publik
2. Aspek ekologis terdiri dari: a) keragaman hayati; b) kealamian; c) ketergantungan
spesies terhadap lokasi; d) keterwakilan; e) keunikan; f) integritas; g)
produktivitas; h) kerentanan.
3. Aspek ekonomi terdiri dari: a) spesies penting; b) kepentingan perikanan; c)
manfaat ekonomi dan pariwisata; d) ancaman.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa kualitas perairan Teluk Youtefa dapat
menurun bukan hanya berdampak pada penurunan kualitas air saja, tetapi dapat
berdampak pada ekosistem teluk secara umum.
Kriteria lain yang bisa digunakan adalah penetapan kawasan budidaya
perikanan misalnya KJA untuk budidaya jenis biota tertentu dengan beberapa
pertimbangan seperti arus pantai, faktor keamanan, pasang surut, salinitas, suhu,
128
kandungan oksigen terlarut, kandungan logam berat, substrat, kecerahan, dan
batimetri, mudah akses ke pasaran mudah dijangkau dengan transportasi.
5.4.8. Pengendalian limbah rumah tangga
Pengendalian pencemaran tidak tuntas apabila hanya menerapkan satu
metode saja, tetapi harus menggunakan berbagai metode. Pengendalian pencemaran
yang bersumber dari aktivitas rumah tangga dapat dilakukan dengan berbagai
metode yang dikenal dengan sistem pengelolaan sampah terpadu. Sistem ini
mengkombinasikan pendekatan pengurangan sampah (reduce), daur ulang (recycle)
dan penggunaan kembali (reuse), pembakaran (inceneration), pengkomposan, dan
pembuangan akhir (landfilling)
Pengelolaan ssampah terpadu dapat dilakukan pada sumbernya yaitu
pemilahan (sorting) dengan cara memilah sampah organik, anorganik, dan sampah
B3. Sampah dapat dimanfaatkan kembali, didaur ulang, sampah organik dapat
memilki nilai ekonomis dijadikan kompos maupun pakan ternak. Sedangkan sampah
berbahaya harus ditangani secara khusus.
Selain pengendalian sampah, limbah cair merupakan limbah pemicu
pencemaran. Limbah ini dapat ditangani melalui instalasi pengolah limbah untuk
permukiman, restoran, dan hotel.
5.4.9. Pengendalian limbah industri
Supaya air buangan dari industri memenuhi baku mutu, dapat menggunakan
teknologi bersih (clean technology) diantaranya: 1) melakukan penghematan
terhadap bahan baku, 2) minimalisasi limbah, 3) pencegahan melalui kelayakan
lingkungan, 4) daur ulang (recycle), 4) Penggunaan (reuse), 5 Recovery,
pemungutan bahan-bahan buangan yang masih mempunyai nilai ekonomnis lalu
diproses kembali untuk tujuan tertentu, 6) Instalasi pengolahan air limbah.
5.4.10. Pengendalian limbah pertanian
Limbah pertanian yang tidak terkendali dapat menurunkan kualitas
lingkungan akibat tingginya konsentrasi nitrat dan fosfat. Supaya tidak terjadi
peningkatan bahan pencemar dari limbah pertanian maka dapat dilakukan strategi
pengurangan pemanfaatan pupuk N dan P. Kemudian menjadikan limbah ternak
129
menjadi pupuk sebagai pengganti pupuk kimia, serta mendaur ulang sisa atau limbah
hayati
5.5. Elemen kunci model kelembagaan pengelolaan Teluk Youtefa
Pengembangan model kelembagaan pengelolaan Teluk Youtefa didasarkan
atas hasil analisis kelembagaan dengan menggunakan metode Interpretative
structural modelling. Analisis terhadap model kelembagaan ini pada dasarnya untuk
menyusun hierarki setiap sub elemen pada elemen yang dikaji.
Elemen elemen dan sub elemen yang dipilih dalam pengembangan model
pengelolaan Teluk Youtefa ini adalah berdasarkan hasil diskusi dari beberapa ahli
seperti dari pemerintah, perguruan tinggi, dan masyarakat. Adapun elemen dan sub
elemen yang teridentifikasi dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa
adalah sebagai berikut
5.5.1. Elemen kendala dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa
Pengelolaan Teluk Youtefa perlu memperhatikan secara menyeluruh dari
berbagai aspek, yaitu aspek ekologi, ekonomi, dan aspek sosial budaya. Pengelolaan
aspek tersebut diperlukan secara terpadu dengan pendekatan sistem yang melibatkan
masyarakat umum, lembaga masyarakat adat, ondoapi, kepala suku, pemerintah,
pengusaha, dan nelayan.
Pemahaman mengenai Teluk Youtefa tidak hanya sebagai tempat eksploitasi
saja karena memiliki nilai ekonomi yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat
pengguna, atau hanya sebagai tempat penampungan bahan buangan dari teluk
maupun dari hulu, serta hanya menampung limpahan air melalui media sungai, tetapi
harus dilestarikan, dilindungi, dan diberikan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran
hukum. Elemen kendala dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa
baik langsung maupun tidak langsung diidentifikasi 10 sub elemen seperti disajikan
pada tabel 21. Kemudian analisis hirarki disajikan pada gambar 46, dan gambar 47
dikelompokkan 4 sektor yaitu autonomous, dependent, linkage, dan independent.
Hasil olahan Interpretative Structural Modelling (ISM) disajikan pada lampiran 9.
130
Tabel 21. Elemen kendala dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa
Elemen kunci kendala utama dalam pengembangan model pengelolaan
Teluluk Youtefa (gambar 46) adalah Kurangnya komitmen stakeholder mengenai
pengelolaan lingkungan (1), Adanya perbedaan visi antar stakeholder (2),
Program kerja yang tidak terpadu (3), Konflik kepentingan (8), Kurangnya
dukungan LMA, ondoapi, kepala suku pada program pembangunan (10),
Diagram hirarki gambar 46 menggambarkan bahwa sesuai dengan pendapat
pakar, yang menjadi kendala utama dalam pengembangan model pengelolaan Teluk
Youtefa dimulai dari Kurangnya komitmen stakeholder mengenai pengelolaan
lingkungan (1), adanya perbedaan visi antar stakeholder (2), Dukungan
masyarakat kurang (3), Konflik kepentingan (8), Kurangnya dukungan LMA,
Sub Elemen:
1. Kurangnya komitmen stakeholder mengenai pengelolaan lingkungan (KKSPL)
2. Perbedaan tujuan antar stakeholder (PTS)
3. Program kerja yang tidak terpadu (PKTT)
4. Kualitas sumberdaya manusia yang terbatas (KSMT)
5. Kurang kordinasi dengan baik mengenai program kerja antara stakeholder (KKMPKS)
6. Lemahnya kerjasama dalam penanganan limbah (LKPL)
7. Penegakan hukum lingkungan yang lemah (PHLL)
8 Konflik kepentingan (KK)
9. Dukungan masyarakat kurang (DMK)
10. Kurangnya dukungan LMA, Ondoapi, Kepala suku
6 (LKPL)
4 (KSMT) 7 (PHLL)
5 (KKMPKS)
9 (DMK) Level - 1
Level - 2
Level- 3
Level - 4
Gambar 46. Diagram hirarki subelemen kendala utama dalam
pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa
1 (KKSPL) 2 (PTS) 3 (PKTT) 8 (KK) 10 (KPLMAOKS) Level - 5
131
ondoapi, kepala suku pada program pembangunan (10). Sub elemen level tersebut
(level 5) menjadi elemen penggerak utama dan mempengaruhi sub elemen
berikutnya. Menurut Dahuri, (2005) bahwa permasalahan yang terjadi di pesisir
tidak hanya disebabkan aktifitas di pesisir saja, tetapi juga disebabkan aktifitas di
hulu. Oleh sebab itu, untuk pengelolaan pesisir harus dilakukan secara terpadu dan
bersama-sama dari berbagai aspek dengan pendekatan perencanaan, satu sistem
manajemen, artinya bahwa diperlukan persamaan visi, komitmen pengelolaan,
dukungan masyarakat untuk menghindari konflik, serta dukungan kualitas dan
kuantitas sumber daya manusia.
Elemen kendala lainnya yang menjadi elemen kunci dalam pengembangan
model pengelolaan Teluk Youtefa adalah lemahnya kerjasama dalam penanganan
limbah pada level ke-4. Bentuk pelanggaran hukum atau lemahnya penegakan
peraturan di sekitar Teluk Youtefa adalah adanya pembuangan limbah padat dan
limbah cair ke teluk melalui 4 sungai yang bermuara ke Teluk Youtefa tanpa
diolah. Hal tersebut sangat bertentangan dengan Undang Undang nomor 32 tahun
2009 mengenai Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup (UPPLH).
Berdasarkan wawancara pakar dan fakta dilapangan, bahwa Teluk Youtefa
dibagian timur semakin berkembang permukiman ke arah laut yang didahului
melalui penimbunan. Kemudian banyak permukiman di kawasan teluk yang tidak
sesuai dengan tata ruang Kota Jayapura.
Gambar 47 dikelompokkan sub elemen berdasarkan Driver power (DP) dan
Dependent (D) terdiri dari 10 sub elemen dan dikelompokkan kedalam 4 sektor. Dari
gambar tersebut terlihat bahwa yang masuk dalam sektor dependent adalah kualitas
sumberdaya manusia yang terbatas, kurang Kordinasi dengan baik mengenai
program kerja antara stakeholder, lemahnya kerjasama dalam penanganan limbah,
penegakan hukum lingkungan yang lemah, dukungan masyarakat kurang. Hal ini
memberikan makna bahwa kelima sub elemen dependent tersebut sangat
tergantung pada sistem dan tidak mempunyai kekuatan penggerak yang besar atau
kekuatan penggeraknya lemah, atau kelima sub elemen tersebut merupakan
variabel tak bebas yang akan dipengaruhi sub elemen lainnya dalam sistem.
132
Kurangnya komitmen stakeholder mengenai pengelolaan lingkungan,
Perbedaan tujuan antar stakeholder, program kerja yang tidak terpadu, konflik
kepentingan, kurangnya dukungan LMA, ondoapi, kepala suku berada pada sektor
independent, sub elemen ini memiliki kekuatan penggerak yang besar dalam
mengkaji kendala pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa. Sektor ini
tidak dipengaruhi oleh sistem tetapi mempengaruhi. Sub elemen ini hampir
mendekati garis batas sektor independent dan linkage. Oleh sebab itu selain
memiliki penggerak yang besar dalam mengkaji kendala pengembangan model
pengelolaan Teluk Youtefa, ada indikasi bisa masuk dalam sektor linkage.
5.5.2. Elemen tujuan dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa
Elemen tujuan dibutuhkan oleh pemerintah sebagai arah kebijakan
dibidang pengelolaan Teluk Youtefa supaya pengelolaannya sesuai dengan tujuan.
Adapun tujuan pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa terdiri dari 12 sub
elemen seperti terlihat pada tabel 22. Hasil olahan Interpretative Structural
Modelling (ISM) disajikan pada lampiran 9-A.
Dependenc
e
Dri
ver
Pow
er
1, 2, 3, 8, 10
4, 7
5
6
9
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Gambar 47. Matriks diver power dan dependence elemen kendala utama dalam
pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa
Pengembangan Model Pengelolaan Teluk Youtefa
KKSPL
PTS
PKTT
KK KPLMAOKS
LKPL
KSMT PHLL
KKMPKS
DM
K
133
Tabel 22. Elemen tujuan dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa
Struktur hierarki disajikan dalam gambar 48 terdiri dari 4 level. Sebagai
elemen kunci dari tujuan pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa adalah
komitmen yang tegas pengelolaan Teluk Youtefa dan anti pencemaran (1),
kesamaan persepsi pengelolaan Teluk Youtefa (2), meningkatkan dukungan
masyarakat berbasis LMA, Ondoapi, Kepala suku (3), meningkatkan kerjasama
dalam penanganan limbah (4), membangun kordinasi yang baik dengan
masyarakat (5) pada level ke-4. Hal ini berarti bahwa perlu diawali oleh komitmen
yang tegas. Sub elemen level ke-4 ini menjadi penggerak utama dan
mempengaruhi sub elemen level berikutnya.
Isnugroho, (2001) yang diacu dalam Walukow AF, (2009) mengemukakan bahwa
untuk pengendalian air supaya tidak tercemar dapat dilakukan melalui
penanggulangan pencemaran untuk menghindari meluasnya pencemaran, dan
pencegahan kerusakan sumberdaya yang dilakukan melalui penetapan perijinan
pembuangan air limbah cair berdasarkan suatu rencana induk kualitas air menuju
kualitas air sesuai baku mutu. Berbagi keahlian maupun pengalaman ditujukan
untuk memperoleh partisipasi masyarakat dalam pengembangan sumberdaya air.
Kemudian menurut Swanson RL, (2010), bahwa pengurangan bahan
pencemaran supaya tidak meluas dapat dilakukan mulai dari titik peralihan secara
agresif. Metode lain yang dapat digunakan adalah Instrumen regulasi (pengaturan)
sebagai salah satu metode yang dapat digunakan untuk waktu yang akan datang
. Sub Elemen
1. Komitmen yang tegas pengelolaan Teluk Youtefa dan anti pencemaran (KPTYAP)
2. Kesamaan tujuan pengendalian pencemaran Teluk Youtefa (KTPPTY)
3. Meningkatkan dukungan masyarakat berbasis LMA, Ondoapi, Kepala suku (MDLMAOKS)
4. Meningkatkan kerjasama dalam penanganan limbah (MKPL)
5. Membangun kordinasi yang baik dengan masyarakat (MKDM)
6. Semua elemen masyarakat dan Pemerintah mentaati aturan (SEMPMA)
7. Konservasi di hulu dan di teluk (KHTY)
8. Pengendalian bahan pencemar dari kegiatan antropogenik (PBPKA)
9. Memperluas wilayah perbaikan lingkungan (MWPL)
10. Terbentuknya desa percontohan pelestari teluk (TDPPT)
11. Memperpendek jalur bahan pencemar (MJBP)
12. Pengembangan sistem informasi (PSI)
134
sebagai kontrol terhadap pencemaran dan dapat digunakan/mencari
petunjuk yang sama dari bagian lain (Takahiro Hosono T, et al. 2010)
Savanije (1997) dalam Walukouw (2009) mengemukakan bahwa aspek
keberlanjutan dalam pengelolaan sumberdaya air dapat meliputi keberlanjutan
aspek sosial yakni masyarakat memiliki rasa tanggung jawab. Kemudian sub
elemen kunci berikutnya adalah semua elemen masyarakat dan pemerintah
menaati aturan.
Dri
ver
Pow
er
1, 2, 3, 4, 5
6
7, 8, 9, 10, 11
12
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Gambar 49. Matriks driver power dan dependence elemen tujuan dalam
pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa
Pengembangan Model Pengelolaan Teluk Youtefa
Dependence
KPTYAP
KTPPTY
MDMLMAOKS
MKPL
MKDM SEMPMA
MJBP KHTY
PBPKA MWPL
TDPPT
PSI
Gambar 48. Diagram hirarki subelemen tujuan dalam
pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa
Pengembangan Model Pengelolaan Teluk Youtefa
1 (KPTYAP) 5 (MKDM) 4 (MKPL) 3 (MDMLMAOKS) 2 (KTPPTY)
7 (KHTY) 11 (MJBP) 10 TDPPT) 9 (MWPL)
8 (PBPKA)
6 (SEMPMA)
12 (PSI)
Level - 1
Level -2
Level - 3
Level -4
135
Gambar 49 memperlihatkan bahwa sub elemen tujuan dalam pengembangan
model pengelolaan Teluk Youtefa berdasarkan driver power dan dependence ke 12
sub elemen yang masuk kedalam sektor dependent adalah konservasi di hulu dan di
teluk (7), pengendalian bahan pencemar dari kegiatan antropogenik (8),
memperluas wilayah perbaikan lingkungan (9), terbentuknya desa percontohan
pelestari teluk (10), memperpendek jalur bahan pencemar (11), dan
pengembangan sistem informasi (12). Hal ini memberikan makna bahwa ke enam
sub elemen tujuan pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa sangat
tergantung pada sistem dan tidak mempunyai kekuatan penggerak yang besar,
atau ke enam sub elemen tersebut merupakan variable tak bebas yang akan
dipengaruhi sub elemen lainnya dalam sistem. Sub elemen komitmen yang tegas
pengelolaan Teluk Youtefa dan anti pencemaran (1), kesamaan persepsi
pengelolaan Teluk Youtefa (2), meningkatkan dukungan masyarakat berbasis
LMA, Ondoapi, Kepala suku (3), meningkatkan kerjasama dalam penanganan
limbah (4), membangun kordinasi yang baik dengan masyarakat (5), semua
elemen masyarakat mentaati aturan (6) berada di sektor independent, berarti sub
elemen ini memiliki kekuatan penggerak yang besar dalam mendukung tujuan
pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa (tabel 22). Malone (1994),
mengemukakan suatu tujuan dapat tercapai apabila ada interaksi berbagai aktor
(pemerintah dan masyarakat) yang terlibat selalu ada kordinasi.
5.5.3. Elemen tolok ukur keberhasilan dalam pengembangan model pengelolaan
Teluk Youtefa
Tolok ukur diperlukan dalam pengembangan model pengelolaan Teluk
Youtefa agar dapat diketahui perkembangan pembangunan dan permasalahan dalam
meningkatkan pembangunan secara berkelanjutan. Perkembangan dan permasalahan
pembangunan diharapkan dapat diinformasikan secara berkala dan terbuka kepada
masyarakat khususnya masyarakat Kota Jayapura.
Sub elemen tolok ukur keberhasilan dalam pengembangan model
pengelolaan Teluk Youtefa terdiri dari 16 sub elemen, struktur hierarki dijabarkan
pada gambar 50. Pada gambar terlihat bahwa yang menjadi elemen kunci dalam
136
tolok ukur keberhasilan dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa
adalah peningkatan pola pikir masyarakat (6), Dukungan yang kuat dari LMA,
ondoapi, kepala suku (8), managemen transfortasi teluk yang baik (11),
terlaksananya kesamaan tujuan di lapangan (14), stabilitas politik lokal yang
kondusif (15), managemen pengolahan limbah (16). Sub elemen level ke-5 ini
menjadi sub elemen kunci dan mempengaruhi sub elemen pada level berikutnya.
Hasil olahan Interpretative Structural Modelling (ISM) disajikan pada Lampiran 9-B
Tabel 23. Elemen tolok ukur keberhasilan dalam pengembangan model pengelolaan
Teluk Youtefa
Sub elemen level berikutnya sebagai elemen kunci tolok ukur keberhasilan
dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa adalah keragaman biota
dan tumbuhan laut (1), menurunnya jumlah bahan pencemar cair yang melebihi
baku mutu (2), menurunnya laju erosi dan sedimen teluk (3), Manajemen wisata
yang baik (4), menurunnya konflik kepentingan (5).
Elemen:
1. Keragaman biota dan tumbuhan laut (KBTL)
2. Menurunnya jumlah bahan pencemar cair yang melebihi baku mutu
(MJBPMBM)
3. Menurunnya laju erosi dan sedimen teluk (MLEST)
4. Managemen wisata yang baik (MWB)
5. Menurunnya komplik kepentingan (MKK)
6. Peningkatan pola pikir masyarakat (PPPM)
7. Peningkatan pendapatan masyarakat (PPM)
8. Dukungan yang kuat dari LMA, ondoapi, dan kepala suku
(DKLMAOKS)
9. Fasilitas TPA yang memadai (FTPAM)
10. Pengaturan terhadap penyebaran dan kepadatan penduduk (PTPKP)
11. Manajemen transportasi teluk yang baik (MTTB)
12. Pengolahan limbah cair pemukiman (PLCP)
13. Adanya pengolahan limbah padat dari sumber (APLPS)
14. Terlaksananya kesamaan tujuan di lapangan (TKTL)
15. Stabilitas politik lokal yang kondusif (APLK)
16. Manajemen pengolahan limbah (MPL)
137
Sub elemen dikelompokkan kedalam 4 sektor yaitu autonomous, dependent,
independent, dan linkage. Berdasarkan nilai driver porwer dan dependence, pada
gambar 51 bahwa sub elemen yang masuk dalam sektor dependence adalah sub
elemen peningkatan pendapatan masyarakat (7), Fasilitas TPA yang memadai (9),
Pengaturan terhadap penyebaran dan kepadatan penduduk (10), pengolahan
limbah cair pemukiman (12), adanya pengolahan limbah padat dari sumber (13).
Hal ini memberikan makna bahwa ke lima sub elemen pada sektor dependence ini
lebih banyak dipengaruhi oleh sistem kekuatan penggeraknya lemah.
Sub elemen yang masuk dalam sektor linkage adalah keragaman biota dan
tumbuhan laut (1), menurunnya jumlah bahan pencemar cair yang melebihi baku
mutu (2), menurunnya laju erosi dan sedimen teluk (3), manajemen wisata yang
baik (4), menurunnya konflik kepentingan (5). Sub elemen ini sangat dipengaruhi
elemen-elemen lain, sifatnya labil, harus dikaji secara hati-hati dalam mengkaji
tolok ukur keberhasilan dalam pengembangan model pengeloklaan Teluk Youtefa
karena akan memberikan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya
bisa memperbesar dampak tersebut.
Sub elemen yang masuk dalam sektor independent adalah perubahan pola
pikir masyarakat, dukungan yang kuat dari LMA, ondoapi, kepala suku, kemudian
Level -5
Gambar 50. Diagram hirarki subelemen tolok ukur keberhasilan dalam
pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa
Pengembangan Model Pengelolaan Teluk Youtefa
6 (PPPM) 16 (MPL) 15 (SPLK) 14 (TKTL) 11 (MTJB) 8 (DKLMAOKS)
Level -2
Level -4
Level -1
Level -3
12 (PLCP) 13 (APLPS)
9 (FTPAM) 10 (PTPKP)
7 (PPM)
5 (MKK) 4 (MWB) 2 (MJBPMBM) 1 (KBTL) 3 (MLEST)
138
mengurangi vahan pencemar yang melebihi baku mutu, terlaksananya kesamaan
tujuan di lapangan, dan pengolahan limbah cair permukiman. Sub elemen ini
memiliki kekuatan penggerak yang besar dalam sistem, tidak dipengaruhi tapi
mempengaruhi sistem dalam mencapai tolok ukur yang kuat dalam
pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa.
5.5.4. Elemen lembaga yang terlibat dalam pengembangan model pengelolaan
Teluk Youtefa
Kartodiharjo, et al (1999) diacu dalam Walukow AF, (2009)
mengemukakan bahwa kelembagaan adalah seperti organisasi atau wadah, yang
mengandung pengertian tentang norma-norma, tata cara, aturan, atau prosedur yang
mengatur hubungan antar manusia, bahkan kelembagaan merupakan sistem yang
kompleks, rumit, dan abstrak. Sehingga perlu dianalisis mengenai lembaga yang
terlibat dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa
Elemen lembaga yang terlibat dalam pengembangan model
pengelolaan Teluk Youtefa terdiri dari 19 sub elemen seperti terlihat pada Tabel 24.
Kemudian diagram hirarki disajikan pada gambar 52. Hasil olahan Interpretative
Structural Modelling (ISM) disajikan pada Lampiran 9-C.
Dependence
Dri
ver
Pow
er
Gambar 51. Matriks driver power dan dependence elemen tolok ukur keberhasilan
dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa
Pengembangan Model Pengelolaan Teluk Youtefa
1, 2, 3, 4, 5
6, 8, 11, 14, 15,
16
7
9, 10
12, 13
0
1
2
3
45
6
7
8
9
10
11
1213
14
15
16
17
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
PPP
M DKLMA
OKS MTJB TKTL SPLK MPL
PLCP
APLPS
FTPAM PTPKP PPM
KBTL MJBPMBM MLEST MWB
MKK
139
Tabel 24. Elemen lembaga yang terlibat dalam pengembangan model pengelolaan
Teluk Youtefa.
Lembaga yang terlibat dan menjadi elemen kunci dalam pengembangan model
pengelolaan Teluk Youtefa adalah Dinas kelautan dan perikanan, Badan
perencanaan pembangunan daerah, Badan lingkungan hidup daerah, Dinas pekerjaan
umum, dan Balai konservasi sumberdaya alam. Menurut Mochtar, (2001) diacu
dalam Walukow AF, (2009) bahwa pengelolaan air maupun sumber-sumber air
belum ada suatu bentuk badan pengelolaan yang baku.
Dalam Undang-Undang Sumberdaya Air nomor 7 tahun 2004, bahwa
Pengelolaan sumber daya air diperlukan penetapan setiap wilayah sungai yang
menjadi acuan dalam perencanaan tata ruang meliputi perlindungan dan pelestarian
sumber air, pengawetan air, pengelolaan kualitas air, dan pengendalian pencemaran.
Pengelolaan sumber daya air agar dapat memberikan kualitas pelayanan yang
baik, maka diperlukan suatu kelembagaan dan peraturan dibidang pengelolaan air
dan sumber air. Kemudian memerlukan data dan informasi air dan sumber air yang
lengkap dan akurat. Upaya pengaturan kuantitas dan kualitas air diperlukan aspek
non fisik yaitu aspek kelembagaan, karena aspek kelembagaan memiliki wewenang
Sub Elemen:
1. Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP)
2. Dinas Pariwisata (DP)
3. Dinas pekerjaan umum (DPU)
4. Balai konservasi sumber daya alam (BKSDA)
5. Masyarakat umum (MU)
6. Dinas Perindustrian (DIP)
7. Pengusaha (hotel, keramba, restauran, budidaya, dll) (P)
8. Tokoh agama (TA)
9. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA)
10 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
11 Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD)
12 Perguruan Tinggi (PT)
13 Dinas Kebersihan (DK)
14 Dinas Kesehatan (DKES)
15 Lembaga masyarakat adat, ondoapi, kepala suku (LMAOKS)
16 Dinas Pertanian (DEPTAN)
17 Pengusaha (P)
18 Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Mamberamo (BPDASM)
19 Camat/Lurah/RT (CLRT)
140
dalam pengaturan dan kebijakan. Sistem pengelolaan air dan sumber air pada masa
yang akan datang, selain menyangkut masalah fisik, pendanaan, juga masalah
kelembagaan seperti peraturan, sumber daya manusia, pelatihan akan semakin
berperan dan diperlukan guna pemanfaatan air dan sumber air secara benar, dan
efisien. Oleh sebab itu, untuk mengantisipasi diperlukan persiapan untuk
menanggulangi permasalahan sumber air yaitu mengembangkan perangkat hukum
dan keterpaduan pengelolaan secara berkelanjutan.
Hasil penelitian menunjukkan (Gambar 52) bahwa sub elemen dari lembaga
yang terlibat dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa dimulai dari
Dinas kelautan dan perikanan (1), Badan perencanaan pembangunan daerah (9),
Badan lingkungan hidup daerah (11), LMA, ondoapi, kepala suku (15), dan
pengusaha (17). Sub elemen (level ke-4) menjadi elemen kunci dan mempengaruhi
sub elemen pada level berikutnya. Kemudian sub elemen yang terlibat lainnya juga
merupakan elemen kunci dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa
adalah Dinas pariwisata (2), DPU (3), Balai konservasi sumberdaya alam (4),
masyarakat umum (5), Dinas pertanian (16), dan Balai pengelolaan daerah aliran
sungai mamberamo (level ke-3)
Pengelolaan Teluk Youtefa oleh masyarakat yang bermukim di teluk dapat
dilakukan dalam bentuk partisipasi masyarakat adat, Ondoapi, dan Kepala suku,
dimana kelompok konservasi dapat berada dalam pengawasan adat. Tujuannya
adalah untuk menghindari teluk dari pencemaran dan kerusakan. Hal ini diperkuat
Gambar 52. Diagram hirarki subelemen lembaga yang terlibat dalam
pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa
Pengembangan Model Pengelolaan Teluk Youtefa
1 (DKP) 9 (BAPPEDA) 11 (BLHD) 15 (LMAOKAS) 17 (P)
Level -3
Level -4
3 (DPU) 4 (BKSDA) 5 (MU) 16 (DEPTAN) 18 (BPDASM) 2 (DP)
Level -1
Level -2
7 (P) 8 (TA) 12 (PT) 13 (DK) 19 (CLRT) 6 (DIP)
10 (LSM)) 14 (DKES)
141
oleh Maragos, (1995) diacu dalam Dahuri, (2008) mengemukakan bahwa program
pengelolaan wilayah pesisir di Hawai Amerika Serikat melibatkan partisipasi
masyarakat dengan proyek-proyek husus seperti Community based management
planning diutamakan yang dibiayai oleh Negara bagian Hawai.
Berdasarkan wawancara dengan masyarakat dan survey lapang, bahwa di
pesisir Teluk Youtefa banyak ditemukan sampah plastik di dasar perairan dan
terapung. Sampah sampah tersebut sangat mengganggu transportasi karena sering
melilit di ujung mesin terutama pada saat air surut. Oleh karena itu, masyarakat
merasa sangat dirugikan dengan peristiwa peristiwa tersebut.
Pada Gambar 53 di atas dikelompokkan berdasarkan Driver Power (DP) dan
Dependence (D) yang terdiri dari 19 sub elemen, dikelompokkan kedalam 4 sektor.
Dari gambar tersebut menunjukkan bahwa yang masuk dalam Dependence adalah
delapan sub elemen yaitu Dinas perindustrian, Pengusaha, Tokoh agama, Lembaga
swadaya masyarakat, Perguruan tinggi, Dinas kebersihan, Dinas kesehatan, dan
camat/Lurah/RT. Sub elemen tersebut memberikan makna sangat tergantung pada
sistem dan tidak mempunyai kekuatan penggerak yang besar, lebih banyak
dipengaruhi perilaku sistem (driver power relatif rendah atau lemah) dibanding
sektor Independent dan sektor linkage.
Sub elemen pada sektor linkage terdiri dari 6 sub elemen yaitu Dinas
pariwisata, DPU, Balai konservasi sumberdaya alam, masyarakat umum, Dinas
pertanian, dan Balai pengelolaan daerah aliran sungai. Sub sub elemen linkage ini
harus dikaji secara hati hati dalam mengkaji lembaga yang terlibat dalam
DKP DP
DKP
DP DPU BKSDA MU
DEPTAN
N
CLRT
Dependence
Dri
ver
Pow
er
1, 9, 11, 15, 17
2, 3, 4, 5, 16,
18
6, 7, 8, 12, 13,
19
10, 14
0123456789
1011121314151617181920
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Gambar 53. Matriks diver power dan dependence elemen lembaga yang
terlibat dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa
Pengembangan Model Pengelolaan Teluk Youtefa
DKP
BAPPEDA
BLHD LMAOKS P
DP DPU BKSDA MU
DEPTAN BPDASM
LSM
DKES DIP
P TA PT DK
CLRT
142
pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa, karena rentan dipengaruhi yang
lain, sifatnya labil, sangat dipengaruhi elemen-elemen lain, tingkat dependence di
atas rata-rata (tinggi) tapi juga mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap
sistem.
Sub elemen dinas kelautan dan perikanan, badan perencanaan pembangunan
daerah, Badan lingkungan hidup daerah, LMA, ondoapi, kepala suku, dan pengusaha
berada pada sektor Independent. Sub elemen ini memiliki kekuatan penggerak yang
besar, tidak dipengaruhi, tapi mempengaruhi sistem dalam mencapai pengembangan
model pengelolaan Teluk Youtefa.
5.5.5. Elemen kebutuhan dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa
Pengelolaan Teluk youtefa memerlukan dukungan berbagai elemen agar
pengelolaan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan pemerintah. Sub elemen
kebutuhan dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa terdiri dari
delapan sub elemen seperti terlihat pada tabel 25. Hasil analisis interpretative
stuctural modelling disajikan pada Lampiran 9-D.
Tabel 25. Elemen kebutuhan program dalam pengembangan model pengelolaan
Teluk Youtefa
Gambar 54 menunjukkan bahwa sub elemen kebutuhan dalam pengembangan
model pengelolaan Teluk Youtefa diawali dari aspek stabilitas politik lokal yang
kondusif pada level ke-4. Sub elemen ini merupakan sub elemn kunci dan
mempengaruhi sub elemen level berikutnya. Kemudian yang menjadi sub elemen
kunci berikutnya adalah dukungan kuat LMA, ondoapi, kepala suku. Obyek wisata
serta transportasi teluk yang tersedia. Membutuhkan ketegasan pengendalian
pencemaran teluk dan kebutuhan keterpaduan program. Menurut wawancara
Sub Elemen:
1 Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (MKSDM)
2 Stabilitas politik lokal yang kondusif (SPLK)
3 Manajemen usaha perikanan yang pro rakyat (MUPPR)
4 Pendanaan dari pemerintah dan swasta (PPS)
5 Dukungan kuat dari LMA, ondoapi, kepala suku (DLMAOKS)
6 Obyek wisata yang baik dan transfortasi teluk (OWBTT)
7 Ketegasan pengendalian pencemaranTeluk Youtefa (KPPTY)
8 Kebutuhan keterpaduan program (KKP)
143
langsung dengan dinas perikanan dan kelautan, bahwa selain sebagai transportasi
dan obyek wisata juga sebagai daerah pengembangan perikanan.
Menurut dinas kelautan dan perikanan Kota Jayapura (20110), bahwa jumlah
keramba jaring apung mengalami pertambahan secara signifikan tahun 2009
sebanyak 208, dan tahun 2010 sebanyak 290. Peningkatan tersebut karena adanya
sumbangan dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) untuk para
petani nelayan di Teluk Youtefa.
Berdasarkan driver power dan dependence pada gambar 55 bahwa sub elemen
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, manajemen usaha perikanan yang
pro rakyat, dan pendanaan dari pemerintah dan swasta masuk dalam sektor
dependent. Hal ini memberikan makna bahwa sub elemen pada sektor dependent
ini sangat tergantung pada sistem dan tidak mempunyai kekuatan penggerak yang
besar (kekuatan penggeraknya lemah) atau sub elemen tersebut merupakan
variabel tak bebas yang akan dipengaruhi sub elemen lainnya dalam sistem
2 (SPLK)
5 (DLMAOKS) 8 (KKP) 7 (KPPTY) 6 (OWBTT)
4 (PPS) 1 (MKSDM)
3 (MUPPR) Level -1
Level -2
Level -3
Level -4
Gambar 54 Diagram hirarki sub elemen kebutuhan dalam pengembangan
model pengelolaan Teluk Youtefa
Dependence
Dri
ver
Pow
er
Gambar 55. Matriks driver power dan dependence elemen kebutuhan dalam
pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa
Pengembangan Model Pengelolaan Teluk Youtefa
1, 4
2
3
5, 6 7, 8
0
1
2
3
4
5
6
7
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
SPLK
DLMAOKS OWBTT
KPPT
Y
KKP
MKSDM PPS MUPPR
144
Sub elemen stabilitas politik lokal yang kondusif, butuh dukungan kuat dari
LMA, ondoapi, kepala suku, obyek wisata yang baik dan transportasi teluk,
membutuhkan ketegasan pengendalian pencemaran teluk, serta kebutuhan
keterpaduan program berada pada sektor independent. Hal ini berarti bahwa sub
elemen tersebut memiliki kekuatan penggerak yang besar dalam sistem, tidak
dipengaruhi tapi mempengaruhi sistem dalam kebutuhan pengembangan model
pengelolaan Teluk Youtefa.
5.6. Pemodelan sistem pengelolaan Teluk Youtefa
Pemodelan sistem merupakan penyederhanaan dari sebuah obyek atau
situasi untuk menemukan peubah-peubah penting dan tepat serta hubungan antar
peubah dalam sistem berdasarkan hasil pendekatan kotak gelap (black box). Pada
diagram kotak gelap sistem pengelolaan Teluk Youtefa (Gambar 6) tampak bahwa
dalam sistem tersebut masukan/input yang mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan
Teluk Youtefa adalah input lingkungan, input terkontrol, dan input tak terkontrol.
Input lingkungan mencakup peraturan perundangan. Input terkontrol merupakan
input yang dapat dikendalikan pelaksanaan manajemennya dalam sistem untuk
menghsilkan output yang dikehendaki, sedangkan input tidak terkontrol merupakan
masukan yang tidak dapat dikontrol.
Output yang dikehendaki dari pelaksanaan sistem yaitu teluk lestari,
kualitas air memenuhi baku mutu, beban pencemaran menurun. Kemudian output
yang tidak dikehendaki adalah kualitas air terus menururn, jumlah beban limbah
meningkat, kesehatan masyarakat menururn kualitas dan kuantitas tangkapan ikan
menurun. Model pengelolaan Teluk Youtefa disusun oleh beberapa sub model yaitu
1) Su model dinamik sumber pencemar, 2) Sub model dinamik beban pencemaran,
dan 3) Sub model dinamik kualitas air. Simulasi dilakukan selama periode 30 tahun
mulai tahun 2006-2036 dan terdiri dari skenario medel sebagai berikut; Melakukan
suatu kebijakan untuk penurunan fraksi pertambahan jumlah penduduk yang
berdampak pada berkurangnya limbah KJA, limbah ternam babi, limbah ternak sapi,
limbah fases manusia, jumlah limbah padat, jumlah beban limbah cair BCOD.
Kemudian menurunkan fraksi total beban pencemaran untuk menurunkan limbah.
145
Tujuan utama penelitian ini adalah membangun model dinamik pengelolaan
Teluk Youtefa secara terpadu. Model ini disusun merdasarkan tiga sub model yaitu
1) Model sumber pencemar yaitu bersumber dari kegiatan di hulu yang masuk ke
Teluk Youtefa melalui empat sungai dan kegiatan di atas teluk, 2) sub model beban
pencemar, dan 3) Sub model kualitas air Teluk Youtefa. Gambaran hubungan umum
ketiga sub model tersebut disajikan pada Gambar 56 sebagai berikut:
5.6.1. Model
Model sumber pencemar perairan Teluk Youtefa terdiri dari sub model
limbah ternak sapi, sub model limbah ternak babi, sub model limbah padat, sub
model limbah cair (beban BCOD), sub model KJA, dan sub model limbah faeses
manusia. Sub sub model tersebut dibuat secara parsial, kemudian diintegrasikan
menjadi satu model pencemar perairan Teluk Youtefa yang merupakan sebagai total
akumulasi sumber pencemar yang masuk ke Teluk Youtefa.
Sub model dalam sistem pengelolaan Teluk Youtefa merupakan bagian
pemodelan untuk mengetahui variabel-variabel lingkungan seperti jumlah populasi,
permasalahan limbah dan pencemaran Teluk Youtefa terhadap keberlanjutan sistem.
Gambar 56. Model sumber pencemar, beban
pencemar, dan kualitas air Teluk Youtefa
Sub Model Sumber
Pencemar (SMSP)
1. Penduduk & sampah
2. Penduduk & beban BCOD
3. Limbah ternak babi
4. Limbah ternak Sapi
5. Limbah KJA
6. Limbah fases manusia
Sub Model Beban
Pencemar (SMBP)
BOD, COD, TSS, NH3-N, NO3-
N, PO4-P
Sub Model Kualitas Air
TY (SMKA-TY
Kapasitas
Asimilasi TY
BOD, COD, TSS, NH3-N, NO3-
N, PO4-P
146
Hubungan variabel-variabel lingkungan tersebut kemudian disajikan dalam diagram
sub model seperti ditunjukan pada gambar 57.
Berdasarkan diagram sub model pengelolaan Teluk Youtefa (Gambar 57)
diketahui bahwa total beban pencemaran Teluk Youtefa merupakan akumulasi dari
beban pencemaran limbah padat penduduk, limbah cair penduduk, limbah ternak
sapi, limbah ternak babi, limbah KJA, dan limbah faeses manusia yang bermukim di
atas teluk. Peningkatan beban pencemaran limbah domestik sangat dipengaruhi oleh
peningkatan volume limbah yang besarnya sangat dipengaruhi tingkat pemakaian air
dan aktivitas membuang limbah domestik oleh masyarakat yang bermukim disekitar
Teluk Youtefa. Kemudian beban pencemaran ternak sangat dipengaruhi oleh jumlah
ternak sapi dan ternak babi. Sedangkan limbah KJA sangat dipengauhi oleh jumlah
ikan dan pakan yang diberikan pada ikan.
Secara keseluruhan total beban pencemaran Teluk Youtefa akan sangat
mempengaruhi kapasitas asimilasi Teluk Youtefa atau kemampuan Teluk Youtefa
mereduksi beban pencemaran akibat pembuangan limbah domestik, limbah ternak
LAHAN_TERP_4
LUAS_LHN_TIPA_RMH_3
LUAS_LAHAN_4
FRAK_PENC_4
FPENG_LAHAN_3
INDEKSW_3
KEB_BANGUNAN_4
PENC_4LBH_CAIR_4
LBH_PADAT_4
FAK_KR_3
LAJU_4
JM_PDD_EX_39
FRAK_LBHCAIR_3
FRAK_PDD_3
FR_LBH_PADAT_4
FR_BABI
FR_TINJAA
LBH_TINJA_EX INJA_ORG
INDEKS_PDTY
LBH_BABI_EX
INDEKS_BABI
LBH_TIAP_BABI
LBH_KJA_EX
FR_KJA
LBH_EKOR
INDEK_KJA
FR_SAPI
INDEK_SAPI
LBH_TIAP_SAPI
LBH_SAPI_EX
Gambar 57 Diagram sub model pengelolaan Teluk Youtefa
147
sapi dan ternak babi, limbah KJA, maupun limbah faeses manusia yang bermukim di
atas perairan Teluk Youtefa.
5.6.2. Analisis trend sistem
Tahap analisis trend sistem dilakukan untuk mengeksplorasi perilaku sistem
dalam jangka panjang ke depan (2006-2036) melalui simulasi model. Perilaku
simulasi ditetapkan selama 30 tahun, dalam kurun waktu simulasi disajikan
perkembangan yang mungkin terjadi pada variabel-variabel yang akan dikaji.
Variabel-variabel yang akan disimulasikan adalah trend penduduk. Jumah penduduk
dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk secara alami diantaranya adanya kelahiran
Pada Gambar 58 kurva pertumbuhan penduduk memperlihatkan trend
pertumbuhan positif (positive growth) naik mengikuti kurva sigmoid pada tahun
simulasi 2006 sampai tahun 2036 (30 tahun yang akan datang). Hal ini disebabkan
laju tingkat kelahiran lebih besar dibanding dengan laju tingkat kematian. Namun
demikian, laju pertambahan penduduk ini akan diimbangi oleh adanya kematian dan
migrasi sehingga dapat menyebabkan terjadinya pertumbuhan negative (negative
growth).
Pada tahun 2006, penduduk abepura dan sekitarnya berjumlah 65.769 jiwa
dan meningkat menjadi 102.262,57 jiwa pada tahun 2019 (Tabel 26). Pada tahun
2020 sampai akhir simulasi tahun 2036 pertumbuhan penduduk mulai mencapai
keseimbangan tertentu. Laju pertumbuhan penduduk ini sangat mempengaruhi
kebutuhan lahan untuk penggunaan tertentu seperti lahan untuk pemukiman, lahan
pertanian, lahan fasilitas dan penggunaan lainnya. Melihat laju pertumbuhan
penduduk dan tingkat ketersediaan lahan yang semakin berkurang (gambar 59), serta
kebutuhan lahan yang semakin meningkat (Gambar 60) setiap tahun,
TAHUN
JM
_P
DD
_E
X
2,006 2,012 2,018 2,024 2,030 2,036
70,000
80,000
90,000
100,000
Gambar 58. Trend populasi penduduk
148
mengindikasikan bahwa pada suatu saat, laju pertumbuhan penduduk tersebut akan
menuju pada suatu titik keseimbangan tertentu (stable equilibrium) dan selanjutnya
mengalami penurunan. Fenomena model ini dapat disebut mengikuti pola dasar
(archetype) limit to growth dalam sistem dinamik (Meadon, 1897 diacu dalam
Thamrin, 2009).
Pertumbuhan jumlah penduduk menyebabkan pertumbuhan kebutuhan
penggunaan lahan, dalam hal ini terjadi hubungan timbal balik positif (positive
feetback) antara pertumbuhan penduduk dan kebutuhan lahan melalui proses
reinforcing. Namun karena keterbatasan luas lahan menyebabkan pertambahan luas
lahan pada suatu waktu tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan penduduk,
sehingga ketersediaan lahan untuk suatu penggunaan tertentu dapat ditingkatkan
untuk memenuhi kebutuhan penduduk, namun ketersediaan lahan untuk penggunaan
lainnya mengalami penurunan sebagai akibat terjadinya konversi lahan. Ini terlihat
pada hasil simulasi model dimana pertumbuhan luas lahan untuk kebutuhan
pemukiman terjadi penurunan ketersediaan. Fenomena ini memperlihatkan adanya
hubungan timbal balik negatif (negative feetback) melalui proses balancing. Dalam
hal ini komponen daya dukung lingkungan akan menjadi faktor pembatas yang dapat
menekan laju peningkatan kebutuhan lahan. Hasil simulasi disajikan pada gambar 59
berikut.
Peningkatan jumlah penduduk akan memberikan tekanan terhadap
lingkungan yaitu terjadinya peningkatan kebutuhan lahan untuk tujuan penggunaan
lahan untuk pemukiman, lahan fasilitas, dan pemanfaatan lainnya. Hal ini akan
berdampak terhadap penurunan daya dukung lingkungan dan peningkatan kerusakan
lingkungan. Hubungan ini merupakan hubungan timbal balik (negative feetback
Gambar 59. Trend lahan tersedia
01 Jan 2006 01 Jan 2016 01 Jan 2026 01 Jan 2036200
400
600
800
1.000
1.200
1.400
LH
N_
TS
D
Time LHN_TSD
01 Jan 2006
01 Jan 2016
01 Jan 2026
01 Jan 2036
1.344,08
804,75
481,83
288,49
149
melalui proses balancing. Terjadinya kerusakan lingkungan akan berpengaruh
terhadap keberlanjutan perairan Teluk Youtefa.
5.6.3. Validasi
5.6.3.1. Validasi struktur
Menurut Muhammadi, (2001) bahwa pengujian validasi dilakukan untuk
memperoleh kenyakinan sejauh mana keserupaan struktur model mendekati strukur
nyata. Secara empirik bahwa pertambahan total sumber pencemar dipengaruhi
beberapa sumber pencemar yang bersumber dari limbah timbulan sampah, limbah
01 Jan 2006 01 Jan 2016 01 Jan 2026 01 Jan 2036
13
26
39
52
65
LHN
MU
KIM
TH
N Time LHNMUKIMTHN
01 Jan 2006
01 Jan 2016
01 Jan 2026
01 Jan 2036
13,44
22,10
36,35
59,77
Gambar 60. Trend pengunaan lahan
Tabel 26. Populasi penduduk dan jumlah sumber pencemar tahun 2006 – 2036
Time
2,006
2,007
2,008
2,009
2,010
2,011
2,012
2,013
2,014
2,015
2,016
2,017
2,018
2,019
2,020
2,021
2,022
2,023
2,024
2,025
2,026
2,027
2,028
2,029
2,030
2,031
2,032
2,033
2,034
2,035
2,036
JM_PDD_EX LBH_PADAT_EX LBH_CAIR_EX LBH_BABI_EX LBH_SAPI_EX LBH_KJA_EX LBH_TINJA_EX
65,769.00 1,973.07 1,302.23 646.65 3,136.10 6.91 5.00
68,169.89 2,045.10 1,346.29 670.26 3,250.59 7.16 5.19
70,798.20 2,123.95 1,394.39 696.10 3,375.91 7.43 5.39
73,672.99 2,210.19 1,446.87 724.37 3,512.99 7.74 5.60
76,664.46 2,299.93 1,501.32 753.78 3,655.64 8.05 5.83
79,777.37 2,393.32 1,557.82 784.39 3,804.07 8.38 6.07
82,934.82 2,488.04 1,614.97 815.43 3,954.63 8.71 6.31
86,132.17 2,583.96 1,672.67 846.87 4,107.09 9.04 6.55
89,346.76 2,680.40 1,730.53 878.47 4,260.38 9.38 6.80
92,571.36 2,777.14 1,788.42 910.18 4,414.14 9.72 7.04
95,589.60 2,867.69 1,842.46 939.85 4,558.06 10.04 7.27
98,373.00 2,951.19 1,892.19 967.22 4,690.78 10.33 7.48
100,612.09 3,018.36 1,932.10 989.24 4,797.55 10.56 7.65
102,262.57 3,067.88 1,961.48 1,005.46 4,876.25 10.74 7.78
103,352.97 3,100.59 1,980.87 1,016.19 4,928.24 10.85 7.86
103,861.60 3,115.85 1,989.90 1,021.19 4,952.50 10.91 7.90
104,266.25 3,127.99 1,997.09 1,025.17 4,971.79 10.95 7.93
104,565.57 3,136.97 2,002.40 1,028.11 4,986.06 10.98 7.95
104,822.87 3,144.69 2,006.97 1,030.64 4,998.33 11.01 7.97
105,037.81 3,151.13 2,010.78 1,032.75 5,008.58 11.03 7.99
105,253.19 3,157.60 2,014.60 1,034.87 5,018.85 11.05 8.01
105,469.01 3,164.07 2,018.43 1,036.99 5,029.14 11.07 8.02
105,685.28 3,170.56 2,022.27 1,039.12 5,039.45 11.10 8.04
105,901.99 3,177.06 2,026.11 1,041.25 5,049.79 11.12 8.06
106,119.15 3,183.57 2,029.96 1,043.38 5,060.14 11.14 8.07
106,336.74 3,190.10 2,033.82 1,045.52 5,070.52 11.17 8.09
106,554.79 3,196.64 2,037.68 1,047.67 5,080.92 11.19 8.11
106,773.28 3,203.20 2,041.56 1,049.81 5,091.33 11.21 8.12
106,992.22 3,209.77 2,045.44 1,051.97 5,101.77 11.23 8.14
107,211.61 3,216.35 2,049.32 1,054.12 5,112.24 11.26 8.16
107,431.45 3,222.94 2,053.22 1,056.29 5,122.72 11.28 8.17
150
faeses manusia yang bermukim di teluk, limbah ternak babi, limbah ternak sapi,
limbah KJA, dan limbah cair BCOD penduduk. Peningkatan jumlah sumber
pencemar akan meningkatkan total beban pencemar pada perairan Teluk Youtefa.
Berdasarkan hasil simulasi terhadap sub model dinamik sumber
pencemar memperlihatkan bahwa peningkatan jumlah penduduk diikuti oleh
peningkatan total beban pencemar secara eksponensial (Tabel 26). Penelitian ini
memperkuat simpulan dari Cornwel, (1998) bahwa sumber titik pencemar dapat
bersumber dari limbah domestik, limbah industri, limbah pertanian, dan limpasan
limbah perkotaan.
5.6.3.2. Validasi kinerja/(output model)
Validasi kinerja/output model adalah aspek pelengkap dalam metode
berpikir sistem yang bertujuan untuk memperoleh kenyakinan sampai sejauh mana
kinerja model sesuai dengan kinerja sistem nyata sehingga memenuhi syarat sebagai
model ilmiah yang taat fakta atau bisa diterima secara akademik. Validasi kinerja
dilakukan dengan membandingkan data hasil keluaran model yang dibangun dengan
data empiris untuk melihat sejauh mana perilaku kinerja model sesuai dengan data
empiris. Barlas (1996) mengemukakan bahwa validasi kinerja atau output model
bertujuan untuk memperoleh keyakinan sejauh mana kinerja model sesuai
(compatible) dengan kinerja sistem nyata sehingga memenuhi syarat sebagai model
ilmiah yang taat fakta.
Metode pengujian validasi kinerja dapat dilakukan menggunakan uji
statistik antara lain absolute mean error (AME), absolute variation error (AVE)
dengan batas penyimpangan < 10 % (Muhammadi et al, 2001). AME adalah
penyimpangan nilai rata-rata hasil simulasi terhadap nilai aktual, sedangkan AVE
adalah penyimpangan nilai variasi simulasi terhadap aktual. Validasi kinerja
dilakukan terhadap model sumber pencemar (co model) yaitu total sumber pencemar
dan jumlah penduduk yang menjadi sumber utama terjadinya pencemaran, serta
model beban pencemaran (main model) yaitu total beban pencemar. Hasil simulasi
terhadap ketiga model menunjukkan adanya kemiripan antara hasil simulasi dengan
data empiris (aktual).
151
Hasil validasi kinerja/output model sumber pencemar untuk variabel
jumlah penduduk dengan menggunakan rumus AME, AVE, masing-masing adalah
0,0188 (1,88 %), 0,0185 (1,85 %), dengan demikian nilai-nilai tersebut berada pada
batas kriteria pengujian <10 % (Gambar 61)
Gambar 61 menunjukkan bahwa trend pertumbuhan penduduk sejak tahun
2006 hingga tahun 2011 antara data simulasi dengan data faktual relatif sama. Jika
dilihat dari nilai AME dan AVE yang sangat rendah, maka dapat dikatakan bahwa
dinamika pertumbuhan jumlah penduduk dalam model telah dapat menggambarkan
dinamika pertumbuhan penduduk secara aktual di lapangan.
Validasi kinerja pada model total sumber pencemar untuk variable total
sumber pencemar dengan menggunakan rumus AME adalah 0,035 (3,5 %) dan AVE
adalah 0,021 (2,1 %), dengan demikian nilai-nilai tersebut berada pada batas kriteria
pengujian Hasil simulasi dan aktual untuk variabel total sumber pencemar disajikan
pada Gambar 62.
Gambar 61. Grafik perbandingan perkembangan jumlah penduduk
hasil simulasi dengan kondisi eksisting
2006 2007 2008 2009 2010 2011 TAHUN
152
Gambar 62 simulasi perbandingan total sumber pencemar periode tahun
2006 hingga periode tahun 2011 perilaku kurva relatif sama antara nilai faktual
dengan nilai simulasi, serta nilai AME dan AVE yang rendah. Hal tersebut
menggambarkan dinamikan sumber pencemar dalam model telah dapat
menggambarkan dinamika pertumbuhan sumber limbah di lapangan dan model total
sumber pencemar berdasarkan validasi kinerja dikatakan valid.
Kemudian hasil validasi kinerja model beban pencemar khususnya variabel
total beban pencemar dengan menggunakan rumus AME adalah 0,06 (6,0 %), AVE
adalah 0,07 (7 %), dengan demikian nilai-nilai tersebut berada pada batas kriteria
pengujian. Hasil simulasi dan aktual untuk variabel total beban pencemar ditujukan
pada gambar 63
Gambar 63 menunjukkan bahwa trend perbandingan total beban
pencemaran pada awal tahun 2006 dan tahun 2007 relatif sama antara data faktual
dan data simulasi. Pada tahun 2007 hingga tahun 2010 menunjukkan perilaku kurva
TAHUN
Nilai_Faktuali1
Nilai_Simulas il2
2,006 2,007 2,008 2,009 2,010 2,011
7,000
7,500
8,000
8,500
12
12
1
2
1 2
1 2
1
Gambar 62 Grafik perbandingan total sumber pencemar hasil simulasi
dan aktual
TAHUN
Nilai_Faktuali1
Nilai_s imulas il2
2,006 2,007 2,008 2,009 2,010 2,011
1,600
1,700
1,800
1,900
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
Gambar 63. Grafik perbandingan total beban pencemar
hasil simulasi dan aktual
153
yang cukup berbeda antara simulai dan dan data faktual, dimana data simulasi
cendrung lebih rendah dibandingkan dengan data faktual. Namun demikian pada
tahun 2011 jumlah total beban pencemaran hasil simulasi relatif sama dengan total
beban pencemaran faktual, walaupun pada beberapa titik ada perbedaan, akan tetapi
jika dilihat pada nilai AME dan AVE yang rendah, dinamika total beban pencemar
dalam model telah dapat menggambarkan dinamika pertumbuhan beban pencemar
faktual dilapangan.
5.6.4. Verifikasi model
5.6.4.1. Verifikasi model total sumber beban pencemar
Pada total sumber pencemar dilakukan verifikasi model dengan tujuan
untuk mengetahui perilaku sistem model sehingga dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan untuk pengambilan kebijakan (policy) sehingga bisa melakukan
langkah-langkah strategis berkaitan dengan pengelolaan pesisir Teluk Youtefa.
Hasil simulasi (gambar 64 dan lampiran 10) selama periode 30 tahun
mendatang (2006-2036) terjadi peningkatan jumlah penduduk. Hal tersebut akan
menyebabkan peningkatan jumlah limbah. Fraksi pertumbuhan jumlah penduduk
selama ini adalah 4,1 %. Penurunan fraksi pertumbuhan jumlah penduduk dari 4,1 %
menjadi 3,5 % memberikan pengaruh penurunan yang nyata terhadap level (stock)
dan laju (rate).
Hasil simulasi menunjukkan bahwa dengan menurunkan fraksi
pertumbuhan jumlah penduduk ternyata dapat menurunkan jumlah penduduk dari
107.431,45 jiwa menjadi 95.452,38 jiwa pada tahun 2036 gambar 64.a). Jika tidak
ada intervensi kebijakan terhadap pembatasan pertambahan penduduk maka hasil
simulasi menunjukkan pertumbuhan yang pesat selama periode simulasi. Jika tidak
ada upaya untuk menurunkan jumlah penduduk, maka pertambahan penduduk akan
terus meningkat maka bisa menyebabkan overshoot. Peningkatan jumlah penduduk
tersebut akan menemui masalah dalam penanganan limbah, hal ini memberikan
petunjuk bahwa masalah limbah memiliki bentuk struktur archetype tragedy of the
commons yaitu banyak pelaku yang berlomba tapi akhirnya menemui masalah
154
Peningkatan jumlah limbah padat diakibatkan peningkatan jumlah penduduk
Peningkatan jumlah limbah padat diakibatkan peningkatan jumlah penduduk
periode 2006 – 2036. Hasil simulasi menunjukkan bahwa jumlah limbah padat
meningkat dari 2.143,02,10 ton menjadi 3.422,15 ton pada akhir simulasi, namun
karena adanya penurunan fraksi penduduk maka jumlah limbah padat berkurang dari
3.222,94 ton menjadi 3.054,48 ton pada akhir simulasi artinya limbah padat
berkurang sebanyak 167,92 ton (gambar 64.b)
Trend total sumber pencemar disajikan pada gambar 65 dan lampiran 11
1. Trend total sumber pencemar limbah padat
Limbah padat yang semakin meningkat disebabkan oleh meningkatnya
jumlah penduduk. Hasil simulasi menunjukkan bahwa jumlah limbah padat
TAHUN
LB
H_
PA
DA
T_
EX
2,006 2,012 2,018 2,024 2,030 2,036
2,000
2,500
3,000
TAHUN
LB
H_C
AIR
_E
X
2,006 2,012 2,018 2,024 2,030 2,036
1,400
1,600
1,800
2,000
TAHUN
LB
H_
BA
BI_
EX
2,006 2,012 2,018 2,024 2,030 2,036
700
800
900
1,000
TAHUN
LB
H_
SA
PI_
EX
2,006 2,012 2,018 2,024 2,030 2,036
3,500
4,000
4,500
5,000
TAHUN
LB
H_
KJA
_E
X
2,006 2,012 2,018 2,024 2,030 2,036
7
8
9
10
11
TAHUN
LB
H_T
INJA
_E
X
2,006 2,012 2,018 2,024 2,030 2,036
5
6
7
8
a b
c d
e f
Gambar 65. Trend total sumber pencemar
TAHUN
JM_PDD_AKTUAL1
JM_PDD_SIMULASI2
2,006 2,012 2,018 2,024 2,030 2,036
70,000
80,000
90,000
100,000
1 2
1 2
12
12
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2 2
TAHUN
LBH_PADAT_EX1
LBH_PADAT312
2,006 2,012 2,018 2,024 2,030 2,036
2,000
2,500
3,000
12 1
21 2
1 21
21
21
21
21
a b
Gambar 64 Trend penduduk dan limbah padat berdasarkan fraksi
155
mengalami peningkatan dari 1.973,07 ton menjadi 3.222,94 ton pada akhir simulasi
(gambar 65.a / lampiran 11). Semakin meningkat jumlah limbah padat, akan
berdampak buruk pada ekosistem Teluk Youtefa. Berdasarkan fakta di lapangan,
bahwa banyak sampah padat yang terapung maupun tenggelam di perairan Teluk
Youtefa. Hal ini menjadi keluhan-keluhan dari para nelayan maupun pengguna
teluk. Berdasarkan fakta juga pada saat peneliti melakukan pengambilan sampel air
menggunakan jasa transportasi perahu tempel, sering berhenti karena limbah
terutama limbah plastik terlilit di putaran mesin perahu.
2. Trend total sumber pencemar limbah cair
Ditjen Cipta Karya, (2006) dalam (Suwari (2009) mengemukakan bahwa
kebutuhan air setiap orang per hari adalah 144 liter. Sedangkan air buangan adalah
80 % pemakaian air atau 115,2 liter/orang/hari. Sehingga total debit air buangan
penduduk di wilayah kali acai, sibhorgoni, hanyaan dan PTC Kota Jayapura adalah
9.129,95 m3/hari.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa pada periode 2006 – 2016 beban
pencemaran limbah cair BCOD meningkat dari 1.302,23 ton menjadi 1.892,67 ton.
Nilai pencemaran limbah cair BCOD terus mengalami peningkatan sampai ahir
simulasi yaitu 2.127,14 ton (gambar 65.b / lampiran 11)
3. Trend total sumber pencemar limbah ternak babi
Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan meningkatnya jumlah peternak
babi, jumlah babi, maupun limbah tinja babi. Menurut Setiawan (2007) bahwa
kotoran dari seekor ternak babi dewasa terdiri dari 1,59 kg/hari, dan 2,72 kg/hari
kotoran padat. Hasil simulasi menunjukkan limbah babi meningkat dari 646,65 ton
menjadi 1.056,29 ton (gambar 65.c / lampiran 11)
4. Trend total sumber pencemar limbah ternak sapi
Setiawan (2007) mengemukakan bahwa jumlah kotoran dari seekor ternak
sapi dewasa terdiri dari 23,59 kg/hari kotoran padat dan sebanyak 9,07 kg/hari
kotoran cair. Berdasarkan hasil simulasi diperoleh bahwa jumlah limbah sapi
meningkat dari 3.136,10 ton menjadi 5.122,72 ton pada akhir simulasi (gambar 65.d
/ lampiran 11)
156
5. Trend total sumber pencemar limbah KJA
Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan meningkatnya KJA dan limbah
KJA. Hasil simulasi menunjukkan bahwa jumlah limbah KJA meningkat dari 6,91
ton menjadi 11,28 ton. (gambar 65.e / lampiran 11). Limbah tersebut dapat dikurangi
dari pakan ikan yang mengandung nutrien. Hongguang M, et al. 2010.
mengemukakan bahwa untuk mengurangi limbah di perairan dapat diatasi dengan
mengurangi masukan nutrient, atau menggunakan model jaringan penggabungan
bagian sistem fisik dan biologi sehingga kualitas air tetap terkelola dengan baik.
6. Trend total sumber pencemar limbah tinja manusia
Peningkatan jumlah penduduk disekitar Teluk Youtefa disertai juga
peningkatan jumlah limbah faeses di Teluk Youtefa. Menurut Sasimartoyo (2001)
diacu dalam Walukow (2009) bahwa rata-rata massa limbah faeses manusia setiap
hari 1.141 gram atau sebanding dengan 0,4164 ton/tahun. Limbah tersebut terdiri
dari 85 gram tinja, dan 1.055 gram urine. Hasil simulasi menunjukkan bahwa jumlah
limbah faeses meningkat dari 5,00 ton menjadi 8,17 ton pada akhir simulasi pada
tahun 2036 (gambar 65.f /lampiran 11).
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat yang bermukim di teluk,
bahwa semua membuang limbah tinja ke teluk. Kondisi ini bisa meningkatkan
limbah tinja dan menurunkan nilai estetika teluk.
157
5.6.4.2. Verifikasi model beban pencemar
Semakin meningkat total beban sumber pencemar, akan meningkatkan beban
pencemaran BOD. Hasil simulasi pada periode 2006 – 2036 menunjukkan bahwa
beban pencemaran BOD meningkat dari 54,16 ton menjadi 964,75 ton. Nilai ini
berada di atas nilai kapasitas asimilasi BOD 27, artinya bahwa pada periode tersebut
air di perairan Teluk Youtefa tidak mampu menerima beban pencemaran BOD dan
telah menurunkan kualitas air sesuai dengan peruntukannya. Kondisi ini tentu sangat
mengganggu keseimbangan ekologi perairan Teluk Youtefa, sehingga dibutuhkan
penanganan terhadap sumber pencemar BOD melalui intervensi kebijakan dan
penguatan kelembagaan (gambar 67 lampiran 12). Supriharyono (2000)
mengemukakan bahwa tingkat kerusakan akibat pencemaran dapat dipengaruhi oleh
konsentrasi bahan pencemar, jenis dan sifat kimia, serta kepekaan suatu ekosistem
terhadap pencemar
LAHAN_TERP_4
LUAS_LHN_TIPA_RMH_3
LUAS_LAHAN_4
FRAK_PENC_4
FPENG_LAHAN_3
INDEKSW_3
KEB_BANGUNAN_4
PENC_4LBH_CAIR_4
LBH_PADAT_4
FAK_KR_3
LAJU_4
INDEK_SAPI
INDEKS_BABI
INDEK_KJA
INDEKS_PDTY
FR_BABI
FR_KJA
FR_TINJAA
LBH_TIAP_BABI
LBH_TIAP_SAPIJM_PDD_EX_39
FR_LBH_PADAT_4
FRAK_LBHCAIR_3
INJA_ORG
LBH_EKOR
FRAK_PDD_3
LBH_SAPI_EX
LBH_KJA_EX
LBH_TINJA_EX
FR_SAPI
LBH_BABI_EX
TBSP
LBH_PADAT_EX
LBH_CAIR_EX
LBH_SAPI_EXLBH_BABI_EX
LBH_KJA_EX
LBH_TINJA_EX
Gambar 66 Sub model penduduk dan total sumber pencemar
158
Nitrat adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien
utama bagi pertumbuhan tanaman maupun alga (Effendi 2003). Semakin meningkat
total sumber pencemaran, maka akan mempengaruhi peningkatan beban pencemaran
nitrat. Hasil simulasi menunjukkan bahwa beban pencemaran nitrat pada periode
2006 - 3036 meningkat dari 2,96 ton menjadi 380,22 ton (gambar 67.b/lampiran 12).
Nilai ini masih di bawah nilai kapasitas asimilasi nitrat yaitu 9087 ton. Hal tersebut
menandakan bahwa pada periode tersebut air di perairan Teluk Youtefa masih
mampu menerima pencemaran limbah yang masuk tanpa terjadi penurunan kualitas
air yang ditetapkan sesuai peruntukannya.
Posfat merupakan anion yang tidak diinginkan dalam air, karena
keberadaannya menjadi faktor pembatas eutrofikasi dan menimbulkan efek negatif
bagi kehidupan ekosistem akuatik. Effendi (2003) mengemukakan bahwa posfat
merupakan fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuh-tumbuhan. Fosfor banyak
terdapat sebagai pupuk, sabun atau detergen, bahan industri keramik, minyak
pelumas, produk minuman dan makanan dan sebagainya. Keberadaan fosfor secara
berlebihan yang disertai dengan keberadaan nitrogen dapat menimbulkan
perkembangan algae di perairan.
Total beban sumber pencemar dapat mempengaruhi peningkatan beban
pencemaran PO4. Hasil simulasi menunjukkan bahwa beban pencemaran PO4 pada
periode 2006 – 2009 meningkat dari 9,40 ton menjadi 12,03 ton. Nilai ini belum
terlampaui nilai kapasitas asimilasi, artinya bahwa pada periode tersebut perairan
Teluk Youtefa masih mampu menerima beban pencemaran fosfat. Tetapi pada
periode 2010 sampai akhir simulasi beban pencemaran meningkat menjadi 110,02
01 Jan 2006 01 Jan 2016 01 Jan 2026 01 Jan 203620
160
300
440
580
720
860
1.000
BP_BOD_1
KONKAPAASIMi_3
01 Jan 2006 01 Jan 2016 01 Jan 2026 01 Jan 2036
0
2.000
4.000
6.000
8.000
BP_NO3_1
KONKAPAASI_5
a b
Gambar 67. Nilai kapasitas asimilasi dan perkembangan beban pencemaran
BOD, dan NO3
159
ton. Artinya bahwa pada periode tersebut perairan Teluk Youtefa tidak mampu lagi
menerima beban pencemaran posfat. (gambar 68.a/lampiran 12).
Senyawa amoniak banyak digunakan dalam proses industri kimia, proses
produksi urea. Sumber amonia di perairan adalah hasil pemecahan nitrogen organik
dan nitrogen anorganik, dan hasil limbah tinja dari biota akuatik. Kemudian sumber
lain adalah reduksi gas nitrogen yang bersumber dari proses difusi udara atmosfer,
dan limbah domestik masuk ke dalam air melalui erosi tanah (Effendi 2003).
Peningkatan total sumber pencemar akan mempengaruhi peningkatan beban
pencemar amonik. Hasil simulasi menunjukkan bahwa beban pencemaran amoniak
pada periode 2006-2030 meningkat dari 2,58 ton menjadi 48,17 ton. Nilai tersebut
masih berada di bawah nilai kapasitas asimilasi. Artinya bahwa perairan Teluk
Youtefa masih mampu menerima beban limbah amoniak. Tetapi pada periode 2031
hingga akhir simulasi menjadi 100,17 ton (gambar 68.b/lampiran 12). Kondisi
tersebut menunjukkan bahwa perairan Teluk Youtefa tidak mampu menerima beban
pencemaran limbah hingga akhir simulasi, sehingga menurunkan kualitas air yang
ditetapkan sesuai dengan peruntukannya.
COD merupakan komponen kimia yang memiliki sumbangan beban
pencemaran ke dalam perairan Teluk Youtefa. COD atau kebutuhan oksigen
kimiawi menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi
bahan organik secara kimia, baik yang dapat didegradasi secara biologis maupun
yang sukar didegradasi menjadi karbon dioksida dan air.
Peningkatan total beban sumber pencemar akan mempengaruhi peningkatan
beban pencemar COD. Hasil simulasi menunjukkan bahwa beban pencemaran COD
periode 2006-2036 meningkat dari 471,32 ton menjadi 1465,04 ton. Nilai tersebut
Gambar 68 Nilai kapasitas asimilasi dan perkembangan beban
pencemaran PO4 dan NH3
01 Jan 2006 01 Jan 2016 01 Jan 2026 01 Jan 2036
0
50
100
BP_PO4_1
KONKAPAASIM
01 Jan 2006 01 Jan 2016 01 Jan 2026 01 Jan 2036
20
40
60
80
100
BP_NH3_1
KONKAPAASIM1
KA= 12 KA= 54
a b
160
berada di atas nilai kapasitas asimilasi, artinya bahwa perairan Teluk Youtefa tidak
mampu menerima beban pencemaran COD pada periode tersebut. (gambar
69.a/lampiran 12). sehingga terjadi penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai
dengan peruntukannya. Hal tersebut berdampak pada penurunan daya dukung
perairan Teluk Youtefa, sehingga dibutuhkan intervensi kebijakan.
Padatan tersuspensi terdiri atas partikel partikel tersuspensi berupa pasir,
lumpur halus serta jasad renik terutama yang disebabkan oleh kikisan dari tanah
yang terangkut ke dalam air. Peningkatan total sumber pencemar akan
mempengaruhi peningkatan beban pencemar padatan tersuspensi. Hasil simulasi
menunjukkan (gambar 69.b/lampiran 12) bahwa beban pencemaran padatan
tersuspensi pada periode 2006 -2036 meningkat dari 1.089,55 ton menjadi 1.783,32
ton. Nilai tersebut masih berada di bawah nilai kapasitas asimilasi, artinya bahwa
perairan Teluk Youtefa masih mampu menerima beban pencemar TSS pada periode
tersebut tanpa menurunkan kualitas air sesuai dengan peruntukannya.
01 Jan 2006 01 Jan 2016 01 Jan 2026 01 Jan 2036
400
800
1.200
1.600
BP_COD_1
KONKAPAASIM_1
Gambar 69 Nilai kapasitas asimilasi dan perkembangan beban pencemaran
COD, dan TSS
01 Jan 2006 01 Jan 2016 01 Jan 2026 01 Jan 2036
1.500
2.000
BP_TSS_2
KONKAPAASI
a b
KA = 286 KA = 2354
161
5.6.4.3. Verifikasi model kualitas air Teluk Youtefa
Total beban sumber pencemar mempengaruhi peningkatan beban
pencemaran posfor di perairan Teluk Youtefa. Hasil simulasi menunjukkan bahwa
rata-rata konsentrasi posfor pada periode 2006 – 2036 terjadi peningkatan posfor dari
0,72 mg/l menjadi 8,44 mg/l. (gambar 71.a/lampiran 13). Nilai konsentrasi posfor
mulai dari awal simulasi sampai akhir simulasi berada diatas baku mutu yaitu 0,015
TSS
COD
BOD
NO3
PO4
NH3
PO4
KONKAPAASI
BP_PO4_1
TB_Penc
KONKAPAASIM1
BP_NH3_1
KONKAPAASIM
KONKAPAASI_5
BP_NO3_1
KONKAPAASIM_1
BP_COD_1
KONKAPAASIMi_3
BP_BOD_1
BP_TSS_2
KAPAASIM
KAPAASIM_1
KAPAASIM1
FRNO3_vs_TOTSP_1FRBOD_vs_TOTSP_1
LJCOD
KAPAASIM_6
JMNO3_vs_TOTSP_1
KAPAASIM_4
KAPAASIM_2
JMTSS_vs_TOTSP_2
JMCOD_vs_TOTSP_1
FRCOD_vs_TOTSP_1
JMBOD_vs_TOTSP_1
FRPO4_vs_TSP_1
JMPO4_vs_TSP_1JMNH3_vs_TOTSP_1
Fr_NH3_vs_TOTSP_1
LJTSSS
LJBOD
LJPO4
LJNO3
LJNH3
FRTSS_VS_TOSP
TBSPENCEXTBSPENCEX
TBSPENCEX
TBSPENCEX
TBSPENCEX
TBSPENCEX
Gambar 70 Sub model beban pencemaran
01 Jan 2006 01 Jan 2016 01 Jan 2026 01 Jan 20360
2
4
6
8
KUA_PO4
KONBAMU_PO4
01 Jan 2006 01 Jan 202650
250
450
650
850
1.050
1.250
KUA_TSS
KONBAMU_TSS
BM = 0,015 BM = 20
a b
Gambar 71. Trend konsentrasi dan nilai baku mutu PO4, dan TSS
162
Pertambahan total beban pencemaran akan mempengaruhi peningkatan
konsentrasi TSS di Teluk Youtefa. Hasil simulasi menunjukkan bahwa rata-rata
konsentrasi TSS pada periode 2006 – 2036 meningkat dari 140 mg/l menjadi
1.244,95 mg/l, telah melampaui baku mutu TSS (gambar 71.b/lampiran 13). Kondisi
ini menurunkan kualitas perairan Teluk Youtefa. Semakin meningkat konsentrasi
beban pencemaran TSS akan memperburuk kondisi perairan Teluk Youtefa.
Peningkatan konsentrasi beban pencemaran COD dipengaruhi oleh total
sumber pencemar yang masuk ke perairan Teluk Youtefa. Hasil simulasi
menunjukkan bahwa rata-rata konsentrasi COD pada periode 2006-2025 meningkat
dari 1,30 mg/l menjadi 65,18 mg/l (gambar 72.a/lampiran 13). Nilai ini berada di
bawah nilai baku mutu COD yaitu 80 mg/l. Tetapi pada periode tahun 2026 sampai
akhir simulasi meningkat dari 80,11 mg/l menjadi 629,88 mg/l. Nilai ini berada di
atas nilai baku mutu.
Peningkatan total sumber pencemar mempengaruhi semakin meingkatnya
total beban pencemar amoniak di perairan Teluk Youtefa. Hasil simulasi
menunjukkan bahwa pada periode 2006-2018 konsentrasi amoniak meningkat dari
0,0051 mg/l menjadi 0,03 mg/l (gambar 72.b/lampiran 13). Nilai ini masih dibawah
nilai baku mutu amoniak yaitu 0,3 mg/l. Konsentrasi amoniak terus mengalami
peningkatan pada periode 2019 sampai akhir simulasi dari 0,04 menjadi 0,58 mg/l.
Total sumber pencemar yang semakin meningkat mempengaruhi peningkatan
total beban pencemar Teluk Youtefa. Hasil simulasi menunjukkan bahwa pada
periode 2006 – 2018 konsentrasi BOD meningkat dari 4,89 mg/l menjadi 18,47
mg/l. Nilai ini masih dibawah nilai baku mutu BOD yaitu 20 mg/l. Nilai konsentrasi
01 Jan 2006 01 Jan 2016 01 Jan 2026 01 Jan 2036
0
100
200
300
400
500
600
KUA_COD
KONBAMU_COD
01 Jan 2006 01 Jan 2016 01 Jan 2026 01 Jan 20360,0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
KUA_NH3
KONBAMUNH3
BM = 80 BM = 0,3
a b
Gambar 72. Trend konsentrasi dan nilai baku mutu COD dan NH3
163
BOD terus meningkat melebihi baku mutu pada periode akhir simulasi yaitu menjadi
135,621mg/l (gambar 73.a/lampiran 13).
Semakin meningkat total sumber pencemar akan mempengaruhi peningkatan
konsentrasi total beban pencemar nitrat di teluk. Hasil simulasi menunjukkan pada
periode 2006 – 2011 rata-rata konsentrasi nitrat meningkat dari 0,0022 mg/l menjadi
0,0075 mg/l (gambar 73.b/lampiran 13). Nilai ini berada di bawah nilai baku mutu
nitrat yaitu 0,008 mg/l, artinya bahwa Teluk Youtefa masih mampu menerima
beban pencemar nitrat. Tetapi pada periode sampai akhir simulasi konsentrasi nitrat
meningkat menjadi 3,08 mg/l. Nilai ini berada di atas baku mutu nitrat yaitu 0,008
mg/l, artinya bahwa Teluk Youtefa tidak mampu lagi menerima beban pencemaran
nitrat, sehingga kualitas air akan terus memburuk sehingga tidak sesuai dengan
peruntukannya.
Hasil simulasi pada gambar 73 di atas menunjukkan bahwa rata-rata nilai
konsentrasi kualitas air perairan Teluk Youtefa pada periode 2006 sampai akhir
simulasi cendrung berada di atas nilai baku mutu air laut untuk biota laut dalam
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 51 tahun 2004. Hal tersebut
membuktikan bahwa kondisi total sumber pencemar harus selalu dikontrol melalui
intervensi kebijakan, penguatan kelembagaan, sehingga tidak menurunkan kondisi
perairan Teluk Youtefa.
Brush MJ (2010) mengemukakan bahwa model dinamik yang digunakan
dapat berhasil untuk memprediksi kualitas air di Teluk Narragansett, RI (USA)
berdasarkan kontribusi makroalga, dan menguji sensivitas individu.
Gambar 73 Trend konsentrasi dan nilai baku mutu BOD dan NO3
01 Jan 2006 01 Jan 2016 01 Jan 2026 01 Jan 20360
50
100
KUA_BOD
KONBAMU_BOD
01 Jan 2006 01 Jan 2016 01 Jan 2026 01 Jan 2036
0
1
2
3
KUA_NO3
KONBAMUNO3
BM = 20 BM = 0,008
a b
164
Pertambahan penduduk mempengaruhi peningkatan total sumber pencemar
dan total beban pencemar. Hal ini akan berdampak buruk bagi keberlanjutan perairan
Teluk Youtefa atau daya dukung teluk ( gambar 75).
5.6.5. Penyusunan skenario pengelolaan Teluk Youtefa.
Hasil identifikasi dan pembagian sumber pencemar berdasarkan
pengaruhnya dalam pembentukan sistem dianalisis lebih lanjut dengan bantuan
pakar untuk mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dalam
TSSCOD
BOD
NO3
PO4NH3
FRPO4_vs_TOTSP_2
BP_PO4_1
TB_Penc
KONBAMU_PO4
KUA_PO4
KONBAMU_BOD KONBAMUNO3
KONBAMU_COD
KONBAMU_TSS
KUA_NO3
KUA_COD
KUA_BOD
KUA_TSS
BP_NO3_1
BP_COD_1
BP_BOD_1
BP_TSS_2
LJPO4_TOTSP
LJNO3_TSPLJBOD_TOTSP
LJCOD_TOTSPLJTSS_TOTSP
FRTSS_vs_TOTSP_3
JMCOD_vs_TOTSP_2
BAMU_COD
JMBOD_vs_TOTSP_2
FRCOD_vs_TOTSP_2
BAMUNO3
FRBOD_vs_TOTSP_2FRNO3_vs_TOTSP_2
JMNO3_vs_TOTSP_2
JMTSS_vs_TOTSP_3
BAMUBOD
BAMU_PO4
BAMU_TSS
JMPO4_vs_TOTSP_2
KONBAMUNH3
KUA_NH3
LJNH3_TOTSP
BaAMU_NH3
FRNH3_vs_TOTSP_2
JMNH3_vs_TOTSP_2
BP_NH3_1
Gambar 74 Sub model kualitas air
01 Jan 2006 01 Jan 2016 01 Jan 2026 01 Jan 2036
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
DA
YA
_D T
Y
Gambar 75 Hubungan populasi penduduk dengan
daya dukung lingkungan
165
pengelolaan Teluk Youtefa dalam bentuk skenario. Pembentukan skenario
didasarkan pada kondisi atau keadaan pada identifikasi pakar dan stakeholders.
Berdasarkan total sumber pencemar yang teridentifikasi dalam
pengelolaan Teluk Youtefa dapat diidentifikasi beberapa skenario yang mungkin
bisa terjadi pada masa yang akan datang. Diperoleh tiga skenario dalam pengelolaan
Teluk Youtefa yaitu (1). skenario pesimis/SP, (2). skenario moderat/SM, (3).
skenario optimis/SO.
Skenario yang disusun dihubungkan dengan model, dilakukan interpretasi
kondisi faktor kedalam variabel model. Dalam hal ini dilakukan beberapa perubahan
pada variabel tertentu dalam model sehingga skenario dapat disimulasikan.
Tabel 27 Skenario intervensi parameter model
Sub model Kondisi eksisting Skenario pesimis Skenario moderat Skenario optimis
Penduduk Laju pertumbuhan Laju pertumbuhan Laju pertumbuhan Laju pertumbuhan
Penduduk penduduk penduduk penduduk
4,1 % 4,6 % 3,8% 3,3 %
Limbah cair Kondisi eksisting Laju peningkatan Laju pengurangan Laju pengurangan
5 % 10 % 50 %
Limbah padat Kondisi eksisting Laju peningkatan Laju pengurangan Laju pengurangan
5 % 10 % 60 %
Limbah babi Kondisi eksisting Laju peningkatan Laju pengurangan Laju pengurangan
5 % 15 % 50 %
Limbah sapi Kondisi eksisting Laju peningkatan Laju pengurangan Laju pengurangan
5 % 10 % 60 %
Berdasarkan tabel 27 di atas, bahwa skenario optimis merupakan keadaan
yang mungkin baik dan terjadi pada masa depan yang perlu diperhitungkan dengan
penuh pertimbangan sesuai dengan keadaan dan sumber daya yang ada, serta
didukung dengan kenyakinan, komitmen, dukungan semua pihak dalam pengelolaan
Teluk Youtefa dapat seimbang antara aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi.
Skenario optimis dibangun berdasarkan keadaan (state) sumber pencemar
kunci tersebut sudah berjalan dengan skala baik untuk skenario optimis. Skenario
moderat dengan skala cukup baik. Kemudian skenario pesimis dibangun atas dasar
kondisi saat ini (existing condition), dengan pengertian bahwa walaupun sudah
melakukan usaha pengelolaan tetapi belum mengutamakan faktor-faktor penting
yang seharusnya terlebih dahulu dilaksanakan sehingga tidak memiliki arah
pengelolaan Teluk Youtefa yang memiliki visi jauh kemasa yang akan datang.
166
5.6.6. Skenario intervensi model
Analisis kebijakan dilakukan dengan cara melakukan perubahan-perubahan
terhadap parameter sistem dalam model. Analisis kebijakan merupakan bagian dari
uji sensivitas model yaitu refleksi atau respon kinerja model terhadap suatu stimulus
kebijakan. Stimulus kebijakan diberikan dengan memberikan perlakuan tertentu
pada unsur atau struktur model. Jika trend kinerja model masih terkendali dan
mantap, bukan berarti tidak diperlukan intervensi, karena lingkungan sistem masa
datang terus berubah. Dampak perubahan intervensi kebijakan bersifat dinamis dan
bersifat non linier. Analisis kebijakan juga dimaksudkan untuk memahami pola
kebijakan ataupun perubahan faktor eksternal yang menjadi masukan sistem. Dalam
analisis kebijakan ini, akan dilihat bagaimana pengaruh perubahan-perubahan
parameter atau kebijakan terhadap perkembangan variabel-variabel yang dikaji
Uji sensivitas model yaitu dengan membuat skenario-skenario model untuk
pengembangan perencanaan dan agenda kebijakan kedepan. Semua skenario
tersebut disimulasikan, kemudia dilakukan penajaman untuk mendapatkan hal-hal
yang diinginkan. Hasil analisis simulasi tiap skenario akan dipakai untuk membuat
peringkat skenario yang mencerminkan urutan skenario yang lebih tepat dan menjadi
pilihan dalam menyusun suatu kebijakan.
Penyusunan skenario bertujuan untuk memprediksi kemungkinan yang akan
terjadi pada masa yang akan datang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Skenario dikembangkan dengan melakukan simulasi intervensi terhadap variabel
penduduk, limbah cair, limbah padat, dan limbah ternak babi, serta limbah sapi.
Skenario yang dikaji adalah berbagai alternatif intervensi yang dapat dikategorikan
sebagai skenario pesimis, moderat, dan optimis.
5.6.6.1. Intervensi fungsional
5.6.6.1.1. Beban limbah cair BCOD
Simulasi model dilakukan terhadap skenario di atas (tabel 27), untuk
mengetahui perilakunya masing-masing. Kajian dilakukan terhadap peubah yang
dianggap menentukan arah kebijakan pengelolaan Teluk Youtefa pada masa yang
akan datang yaitu hasil simulasi beban limbah cair BCOD Teluk Youtefa dari tiga
skenario. Ke tiga skenario memberikan hasil yang berbeda pada peubah yang
167
dikaji, secara umum perbedaan antar skenario mulai tampak berbeda sampai ahir
simulasi. Hasil simulasi skenario beban limbah cair BCOD Teluk Youtefa disajikan
pada gambar 76 dan lampiran 14.
Berdasarkan simulasi model total sumber pencemaran limbah cair BCOD
Teluk Youtefa untuk setiap skenario bahwa terjadi perbedaan diantara ke tiga
skenario yang digunakan. Skenario pesimis dan skenario moderat memberikan
tingkat pencemaran yang tinggi dibandingkan dengan skenario optimis. Skenario
optimis memiliki proyeksi tingkat pencemaran yang rendah dan berada dibawah
tingkat pencemaran kondisi eksisting. Gambaran umum proyeksi beban pencemaran
masing-masing skenario adalah sebagai berikut:
1. Skenario Pesimis (SP)
Pada tahun 2006 total sumber pencemaran limbah cair BCOD Teluk Youtefa
adalah 1.302,23 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 2.095,95
ton, tahun 2024 adalah 2.194,54 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami
peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 2.255,90 ton. Peningkatan total
sumber pencemar limbah cair BCOD di Teluk Youtefa skenario pesimis berdasarkan
skenario model adalah yang paling tinggi jika dibandingkan dengan kedua skenario
lainnya.
2. Skenario Moderat (SM)
Pada tahun 2006 total sumber pencemaran limbah cair BCOD Teluk Youtefa
adalah 1.302,23 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 1.932,10
TAHUN
LBH_CAIR_EXI1
LBHCAIRSP462
LBHCAIRSM383
LBHCAIRSO334
2,006 2,012 2,018 2,024 2,030 2,036
1,400
1,600
1,800
2,000
2,200
12
3 4
12
3 4
12 34
123
4
12
3
4
12
3
4
12
3
4
12
4
2
4
2
4
2
4
2
Gambar 76. Prediksi jumlah limbah cair BCOD di Teluk Youtefa hasil
simulasi skenario sampai tahun 2036
168
ton, tahun 2024 adalah 2.006,97 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami
peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 2.053,22 ton. Peningkatan total
sumber pencemar limbah cair BCOD di Teluk Youtefa skenario moderat
berdasarkan skenario model adalah yang paling tinggi jika dibandingkan dengan
skenario optimis.
3. Skenario Optimis (SO)
Pada tahun 2006 total sumber pencemaran limbah cair BCOD Teluk Youtefa
adalah 1.302,23 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 1.835,74
ton, tahun 2024 adalah 1.897,40 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami
peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 1.935,32 ton. Peningkatan total
sumber pencemar limbah cair BCOD di Teluk Youtefa skenario optimis berdasarkan
skenario model adalah rendah jika dibandingkan dengan skenario moderat.
5.6.6.1.2. Limbah KJA
Berdasarkan simulasi model total sumber pencemaran limbah KJA Teluk
Youtefa untuk setiap skenario bahwa tidak terjadi perbedaan yang mencolok diantara
ke tiga skenario yang digunakan mulai simulasi sampai tahun 2036. Skenario
pesimis dan skenario moderat memberikan tingkat pencemaran yang tinggi
dibandingkan dengan skenario optimis. Skenario optimis memiliki proyeksi tingkat
pencemaran yang rendah dan berada dibawah tingkat pencemaran kondisi eksisting
(gambar 77 dan lampiran 15).
TAHUN
LBH_KJA_EX1
LBHKJASP462
LBHKJASM383
LBHKJASO334
2,006 2,012 2,018 2,024 2,030 2,036
7
8
9
10
11
12
12
34
1
2 3
4
12 3
4
123
4
12
3
4
12
3
4
12
3
4
2
4
2
4
1
2 2
4
Gambar 77. Prediksi jumlah beban limbah KJA di Teluk Youtefa hasil
simulasi skenario sampai tahun 2036
169
Gambaran umum proyeksi beban pencemaran masing-masing skenario
adalah sebagai berikut:
1. Skenario pesimis (SP)
Pada tahun 2006 total sumber pencemaran KJA Teluk Youtefa adalah 6,91
ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 11,11 ton, tahun 2024
adalah 11,64 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami peningkatan hingga
akhir simulasi tahun 2036 yaitu 11,96 ton. Peningkatan total sumber pencemar KJA
di Teluk Youtefa skenario pesimis berdasarkan skenario model adalah yang paling
tinggi jika dibandingkan dengan kedua skenario lainnya.
2. Skenario moderat (SM)
Pada tahun 2006 total sumber pencemaran KJA Teluk Youtefa adalah 6,91
ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 10,25 ton, tahun 2024
adalah 10,64 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami peningkatan hingga
akhir simulasi tahun 2036 yaitu 10,89 ton. Peningkatan total sumber pencemar KJA
di Teluk Youtefa skenario moderat berdasarkan skenario model adalah yang paling
tinggi jika dibandingkan dengan skenario pesimis
3. Skenario optimis (SO)
Pada tahun 2006 total sumber pencemaran KJA Teluk Youtefa adalah 6,91
ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 9,74 ton, tahun 2024
adalah 10,06 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami peningkatan hingga
akhir simulasi tahun 2036 yaitu 10,26 ton. Pengurangan total sumber pencemar KJA
di Teluk Youtefa skenario optimis berdasarkan skenario model adalah tinggi jika
dibandingkan dengan skenario lainnya.
5.6.6.1.3. Limbah ternak babi
Berdasarkan simulasi model total sumber pencemaran limbah ternak babi
Teluk Youtefa untuk setiap skenario bahwa tidak terjadi perbedaan yang mencolok
diantara ke tiga skenario yang digunakan mulai simulasi sampai ahir simulasi tahun
2036. Skenario pesimis dan skenario moderat memberikan tingkat pencemaran yang
tinggi dibandingkan dengan skenario optimis. Skenario optimis memiliki proyeksi
tingkat pencemaran yang rendah dan berada dibawah tingkat pencemaran kondisi
eksisting (78 dan lampiran 16).
170
Gambaran umum proyeksi beban pencemaran masing-masing skenario
adalah sebagai berikut:
1. Skenario pesimis (SP)
Pada tahun 2006 total sumber pencemaran limbah ternak babi Teluk
Youtefa adalah 646,65 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah
1.040,79 ton, tahun 2024 adalah 1.089,76 ton. Total sumber pencemaran terus
mengalami peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 1.120,22 ton.
Peningkatan total sumber pencemar limbah ternak babi di Teluk Youtefa skenario
pesimis berdasarkan skenario model adalah yang paling tinggi jika dibandingkan
dengan keduga skenario lainnya.
2. Skenario moderat (SM)
Pada tahun 2006 total sumber pencemaran limbah ternak babi Teluk
Youtefa adalah 646,65 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah
959,44 ton, tahun 2024 adalah 996,61 ton. Total sumber pencemaran terus
mengalami peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 1.019,58 ton.
Peningkatan total sumber pencemar limbah ternak babi di Teluk Youtefa skenario
moderat berdasarkan skenario model adalah yang paling tinggi jika dibandingkan
dengan skenario optimis.
3. Skenario optimis (SO)
Pada tahun 2006 total sumber pencemaran limbah ternak babi Teluk
Youtefa adalah 646,65 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah
923,62 ton, tahun 2024 adalah 942,20 ton. Total sumber pencemaran terus
mengalami peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 961,03 ton.
TAHUN
LBH_BABI_EX1
LBHBABISP462
LBHBABISM383
LBHBABIS0334
2,006 2,012 2,018 2,024 2,030 2,036
700
800
900
1,000
1,100
12
3 4
123 4
12 34
123
4
12
34
12
34
123
2 2
3
Gambar 78 Prediksi jumlah beban limbah babi di Teluk Youtefa hasil
simulasi skenario sampai tahun 2036
171
Pengurangan total sumber pencemar limbah babi di Teluk Youtefa skenario optimis
berdasarkan skenario model adalah tinggi jika dibandingkan dengan skenario
pesimis dan moderat.
5.6.6.1.4. Limbah ternak sapi
Berdasarkan simulasi model total sumber pencemaran limbah ternak sapi
Teluk Youtefa untuk setiap skenario bahwa tidak terjadi perbedaan yang mencolok
diantara ke tiga skenario yang digunakan mulai simulasi sampai akhir simulasi tahun
2036. Skenario pesimis dan skenario moderat memberikan tingkat pencemaran yang
tinggi dibandingkan dengan skenario optimis. Skenario optimis memiliki proyeksi
tingkat pencemaran yang rendah dan berada dibawah tingkat pencemaran kondisi
eksisting (79 dan lampiran 17).
Gambaran umum proyeksi beban pencemaran masing-masing skenario
adalah sebagai berikut:
1. Skenario pesimis (SP)
Pada tahun 2006 total sumber pencemaran limbah sapi Teluk Youtefa adalah
3.136,10 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 5.047,59 ton,
tahun 2024 adalah 5.285,04 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami
peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 5.432,80 ton. Peningkatan total
sumber pencemar limbah sapi di Teluk Youtefa skenario pesimis berdasarkan
skenario model adalah yang paling tinggi jika dibandingkan dengan kedua skenario
lainnya.
2. Skenario moderat (SM)
TAHUN
LBH_SAPI_EX1
LBHSAPISP462
LBHSAPISM3
LBHSAPISO334
2,006 2,012 2,018 2,024 2,030 2,036
3,500
4,000
4,500
5,000
5,500
12
3 4
12
3 4
12 34
123
4
12
34
12
34
12
34
21
22
22
Gambar 79 Prediksi jumlah beban limbah sapi di Teluk Youtefa
hasil simulasi skenario sampai tahun 2036
172
Pada tahun 2006 total sumber pencemaran limbah ternak sapi Teluk Youtefa
adalah 3.136,10 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 4.653,01
ton, tahun 2024 adalah 4.833,30 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami
peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 4.944,69 ton. Peningkatan total
sumber pencemar limbah ternak sapi di Teluk Youtefa skenario moderat berdasarkan
skenario model adalah yang paling tinggi jika dibandingkan dengan skenario optimis
3. Skenario optimis (SO)
Pada tahun 2006 total sumber pencemaran limbah sapi Teluk Youtefa
adalah 3.136,10 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 4.420,95
ton, tahun 2024 adalah 4.569,43 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami
peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 4.660,76 ton. Pengurangan total
sumber pencemar limbah ternak sapi di Teluk Youtefa skenario optimis berdasarkan
skenario model adalah tinggi jika dibandingkan dengan skenario pesimis dan
moderat.
5.6.6.1.5. Limbah padat
Berdasarkan simulasi model total sumber pencemaran limbah padat Teluk
Youtefa untuk setiap skenario bahwa tidak terjadi perbedaan yang mencolok diantara
ke tiga skenario yang digunakan mulai simulasi sampai akhir simulasi tahun 2036.
Skenario pesimis dan skenario moderat memberikan tingkat pencemaran yang tinggi
dibandingkan dengan skenario optimis. Skenario optimis memiliki proyeksi tingkat
pencemaran yang rendah dan berada dibawah tingkat pencemaran kondisi eksisting
(gambar 80 dan lampiran 18).
Gambaran umum proyeksi beban pencemaran masing-masing skenario
adalah sebagai berikut:
TAHUN
LBH_PADAT_EX1
LBHPADATS462
LBHPADATSM383
LBHPADATSO334
2,006 2,012 2,018 2,024 2,030 2,036
2,000
2,500
3,000
3,500
12
34
12
3 4
12 34
123
4
12
34
12
34
123
2 2 2
Gambar 80 Prediksi jumlah beban limbah padat di Teluk Youtefa hasil simulasi skenario
sampai tahun 2036
173
1. Skenario pesimis (SP)
Pada tahun 2006 total sumber pencemaran limbah padat Teluk Youtefa
adalah 1.973,07 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 3.175,67
ton, tahun 2024 adalah 3.325,07 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami
peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 3.418,03 ton. Peningkatan total
sumber pencemar limbah padat di Teluk Youtefa skenario pesimis berdasarkan
skenario model adalah yang paling tinggi jika dibandingkan dengan kedua skenario
lainnya.
2. Skenario moderat (SM)
Pada tahun 2006 total sumber pencemaran limbah padat Teluk Youtefa
adalah 1.973,07 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 2.927,43
ton, tahun 2024 adalah 3.040,86 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami
peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 3.110,94. Peningkatan total
sumber pencemar limbah padat di Teluk Youtefa skenario moderat berdasarkan
skenario model adalah yang paling tinggi jika dibandingkan dengan skenario optimis
3. Skenario optimis (SO).
Pada tahun 2006 total sumber pencemaran limbah padat Teluk Youtefa
adalah 1.973,07 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 2.818,16
ton, tahun 2024 adalah 2.874,85 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami
peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 2.932,30 ton. Pengurangan total
sumber pencemar limbah padat di Teluk Youtefa skenario optimis berdasarkan
skenario model adalah tinggi jika dibandingkan dengan skenario pesimis dan
moderat.
5.6.6.1.6. Tinja Penduduk
Berdasarkan simulasi model total sumber pencemaran limbah tinja
penduduk Teluk Youtefa untuk setiap skenario bahwa tidak terjadi perbedaan yang
mencolok diantara ke tiga skenario yang digunakan mulai simulasi sampai akhir
simulasi tahun 2036. Skenario pesimis dan skenario moderat memberikan tingkat
pencemaran yang tinggi dibandingkan dengan skenario optimis. Skenario optimis
memiliki proyeksi tingkat pencemaran yang rendah dan berada dibawah tingkat
pencemaran kondisi eksisting (gambar 81 dan lampiran 19).
174
Gambaran umum proyeksi beban pencemaran masing-masing skenario
adalah sebagai berikut:
1. Skenario pesimis (SP)
Pada tahun 2006 total sumber pencemaran limbah tinja penduduk di Teluk
Youtefa adalah 5,00 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 8,05
ton, tahun 2024 adalah 8,43 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami
peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 8,67 ton. Peningkatan total
sumber pencemar limbah tinja di Teluk Youtefa skenario pesimis berdasarkan
skenario model adalah yang paling tinggi jika dibandingkan dengan kedua skenario
lainnya.
2. Skenario moderat (SM)
Pada tahun 2006 total sumber pencemaran limbah tinja penduduk di Teluk
Youtefa adalah 5,00 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 7,42
ton, tahun 2024 adalah 7,71 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami
peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 7,89 ton. Peningkatan total
sumber pencemar limbah tinja penduduk di Teluk Youtefa skenario moderat
berdasarkan skenario model adalah yang paling tinggi jika dibandingkan dengan
skenario optimis.
3. Skenario optimis (SO)
Pada tahun 2006 total sumber pencemaran limbah tinja penduduk di Teluk
Youtefa adalah 5,00 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 7,05
ton, tahun 2024 adalah 7,29 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami
peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 7,44 ton. Peningkatan total
TAHUN
LBH_TINJA_EX1
LBHTINJASP462
LBHTINJASM383
LBHTINJASO334
2,006 2,012 2,018 2,024 2,030 2,036
5
6
7
8
12
34
1
2 3
4
1
2
34
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
2
4
1
2
4
2
4 4
Gambar 81. Prediksi jumlah beban limbah tinja penduduk di Teluk Youtefa
hasil simulasi skenario sampai tahun 2036
175
sumber pencemar limbah tinja di Teluk Youtefa skenario optimis berdasarkan
skenario model adalah rendah jika dibandingkan dengan skenario pesimis dan
moderat.
Hasil simulasi model total sumber beban pencemar menunjukkan bahwa
skenario optimis berdampak terhadap penurunan limbah cair BCOD pada kondisi
eksisting dari 2.127,14 ton menjadi 1.935,32 ton, limbah KJA pada kondisi eksisting
berkurang dari 11,28 ton menjadi 10,89 ton, limbah ternak babi pada kondisi
eksisting berkurang dari 5.122,72 ton menjadi 4.660,76 ton, dan limbah sapi pada
kondisi eksisting berkurang dari 5.122,72 ton menjadi 4.660,76 ton, limbah padat
pada kondisi eksisting berkurang dari 3.222,94 ton menjadi 2.932,30 ton, limbah
tinja penduduk pada kondisi eksisting berkurang dari 8,17 ton menjadi 7,74 ton.
5.6.6.2. Intervensi struktural
5.6.6.2.1. Limbah cair BCOD
Berdasarkan simulasi model beban pencemaran limbah BCOD Teluk
Youtefa untuk setiap skenario bahwa terjadi perbedaan yang mencolok antara
skenario moderat dengan skenario optimis yang digunakan mulai simulasi sampai
tahun 2036. Skenario optimis dan skenario moderat memberikan tingkat pencemaran
yang rendah dibandingkan dengan skenario pesimis. Skenario optimis berada
dibawah tingkat pencemaran kondisi eksisting (gambar 82 dan lampiran 20).
Gambaran umum proyeksi beban pencemaran masing-masing skenario
adalah sebagai berikut:
Gambar 82 Prediksi jumlah beban limbah BCOD di Teluk
Youtefa hasil simulasi skenario sampai tahun 2036
TAHUN
LBH_CAIR_EXI1
INTSTRUKSP5_12
INTERSTRUKSM10_13
INSTRCAIR504
2,006 2,012 2,018 2,024 2,030 2,036
1,000
1,500
2,000
12
3
4
12 3
4
12 3
4
123
4
123
4
1 2
3
4
1 23
4 4 4 4 4 4 4
176
1. Skenario pesimis (SP)
Pada tahun 2006 total beban pencemaran limbah cair BCOD di Teluk
Youtefa adalah 1.367,34 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah
2.057,23 ton, tahun 2024 adalah 2.2140,60 ton. Total beban pencemaran terus
mengalami peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 2.192,25 ton.
Peningkatan total beban pencemar limbah cair BCOD di Teluk Youtefa skenario
pesimis berdasarkan skenario model adalah yang paling tinggi jika dibandingkan
dengan kedua skenario lainnya.
2. Skenario moderat (SM)
Pada tahun 2006 total beban pencemaran limbah cair BCOD di Teluk
Youtefa adalah 1.172,01 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah
1.861,90 ton, tahun 2024 adalah 1.945,27 ton. Total sumber pencemaran terus
mengalami peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 1.996,92 ton.
Peningkatan total beban pencemar limbah cair BCOD di Teluk Youtefa skenario
moderat berdasarkan skenario model adalah yang paling tinggi jika dibandingkan
dengan skenario optimis.
3. Skenario optimis (SO)
Pada tahun 2006 total beban pencemaran limbah cair BCOD di Teluk
Youtefa adalah 651,12 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah
1.341,01 ton, tahun 2024 adalah 1.424,38 ton. Total beban pencemaran terus
mengalami peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 1.476,03 ton.
Pengurangan total beban pencemar limbah cair BCOD di Teluk Youtefa skenario
optimis berdasarkan skenario model adalah tinggi jika dibandingkan dengan pesimis.
5.6.6.2.2. Limbah padat
Berdasarkan simulasi model beban pencemaran limbah padat untuk setiap
skenario bahwa terjadi perbedaan yang mencolok antara skenario moderat dan
skenario optimis yang digunakan mulai simulasi sampai tahun 2036. Skenario
optimis memberikan tingkat pencemaran yang rendah dibandingkan dengan kedua
skenario lainnya. Skenario optimis memiliki proyeksi tingkat pencemaran yang
rendah dan berada dibawah tingkat pencemaran kondisi eksisting (gambar 83 dan
lampiran 21).
177
Gambaran umum proyeksi beban pencemaran masing-masing skenario
adalah sebagai berikut:
1. Skenario pesimis (SP)
Pada tahun 2006 total beban pencemaran limbah padat adalah 2.071,72 ton,
dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 3.117,01 ton, tahun 2024
adalah 3.243,34 ton. Total beban pencemaran terus mengalami peningkatan hingga
akhir simulasi tahun 2036 yaitu 3.321 ton (gambar 83/lampiran 21). Peningkatan
total beban pencemar limbah sampah skenario pesimis berdasarkan skenario model
adalah yang paling tinggi jika dibandingkan dengan kedua skenario lainnya.
2. Skenario moderat (SM)
Pada tahun 2006 tot98al beban pencemaran limbah padat di Teluk Youtefa
adalah 1.652,75 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 2.698,04
ton, tahun 2024 adalah 2.824,37 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami
peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 2.902,62 ton (gambar
83/lampiran 21). Peningkatan total beban pencemar limbah padat skenario moderat
berdasarkan skenario model adalah yang paling tinggi jika dibandingkan dengan
skenario optimis.
3. Skenario optimis (SO)
Pada tahun 2006 total beban pencemaran limbah padat adalah 789,23 ton,
dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 1.834,52 ton, tahun 2024
adalah 1.960,85 ton. Total beban pencemaran terus mengalami peningkatan hingga
akhir simulasi tahun 2036 yaitu 2.039,10 ton (gambar 83/lampiran 21). Pengurangan
TAHUN
LBH_PADAT_EX1
INTERSTRUKSP52
INTERSTRUKSM103
INTERSTRUKSO604
2,006 2,012 2,018 2,024 2,030 2,036
1,000
1,500
2,000
2,500
3,000
12
3
4
12
3
4
12
3
4
12
3
4
1 2
3
4
1 2
3
4
1 2
3
4
1 2
3
4
3
4
3
4
3
4 4 4
Gambar 83 Prediksi jumlah beban limbah padat di Teluk
Youtefa hasil simulasi skenario sampai tahun 2036
178
total beban pencemar limbah padat skenario optimis berdasarkan skenario model
adalah tinggi jika dibandingkan dengan kedua skenario lainnya.
5.6.6.2.3. Limbah ternak babi
Berdasarkan simulasi model beban pencemaran limbah babi untuk setiap
skenario bahwa terjadi perbedaan yang mencolok antara skenario moderat dan
skenario optimis yang digunakan mulai simulasi sampai tahun 2036. Skenario
optimis memberikan tingkat pencemaran yang rendah dibandingkan dengan kedua
skenario lainnya. Skenario optimis memiliki proyeksi tingkat pencemaran yang
rendah dan berada dibawah tingkat pencemaran kondisi eksisting (gambar
84/lampiran 22).
Gambaran umum proyeksi beban pencemaran masing-masing skenario
adalah sebagai berikut:
1. Skenario pesimis (SP)
Pada tahun 2006 total beban pencemaran limbah babi adalah 678,65 ton,
dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 1.021,24 ton, tahun 2024
adalah 1.062,62 ton. Total beban pencemaran terus mengalami peningkatan hingga
akhir simulasi tahun 2036 yaitu 1.088,29 ton. Pengurangan total beban pencemar
limbah babi skenario pesimis berdasarkan skenario model adalah yang paling rendah
jika dibandingkan dengan kedua skenario lainnya.
2. Skenario moderat (SM)
Pada tahun 2006 total beban pencemaran limbah babi di Teluk Youtefa
adalah 549,65 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 892,24 ton,
tahun 2024 adalah 931.11 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami
peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 959,29 ton. Pengurangan total
TAHUN
LBH_BABI_EX_21
INTERSRUK_SP52
INTSTRUKSM15_13
INSTRUKSO_504
2,006 2,012 2,018 2,024 2,030 2,036
400
600
800
1,000
12
3
4
12
3
4
12
3
4
12
3
4
1 2
3
4
1 2
3
4
1 2
3
4
3
4
1
3
4
3
4 4 4
Gambar 84 Prediksi jumlah beban limbah babi di Teluk
Youtefa hasil simulasi skenario sampai tahun 2036
179
beban pencemar limbah babi skenario moderat berdasarkan skenario model adalah
yang paling rendah jika dibandingkan dengan skenario optimis.
3. Skenario optimis (SO)
Pada tahun 2006 total beban pencemaran limbah babi adalah 323,32 ton, dan
mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 665,91 ton, tahun 2024 adalah
707,31 ton. Total beban pencemaran terus mengalami peningkatan hingga akhir
simulasi tahun 2036 yaitu 731,96 ton. Pengurangan total beban pencemar limbah
babi skenario optimis berdasarkan skenario model adalah tinggi jika dibandingkan
dengan kedua skenario lainnya.
Untuk mengurangi limbah dari ternak babi dapat dilakukan mulai dari
sumbernya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Swanson RL, et al. (2010) bahwa
untuk pengelolaan limbah dapat dilakukan mulai titik peralihan (seperti sungai) dan
pemerintah harus secara agresif mengurangi atau membatasi bahan pencemar dari
ternak. Lebih lanjut disebutkan bahwa pemerintah akan mengalami kegagalan
membatasi bahan pencemar apabila tidak dilakukan pengurangan mulai dari titik-
titik peralihan. Pemerintah mempunyai tanggung jawab melakukan pengelolaan
secara berkesinambungan, harus mampu melakukan tindakan secara spontan, dan
Secara sosial tidak diperlukan perdebatan, pertengkaran untuk melakukan
pengelolaan.
5.6.6.2.4. Limbah ternak sapi
Berdasarkan simulasi model beban pencemaran limbah sapi untuk setiap
skenario bahwa terjadi perbedaan yang mencolok antara skenario moderat dan
skenario optimis yang digunakan mulai simulasi sampai tahun 2036. Skenario
optimis memberikan pengurangan tingkat pencemaran yang tinggi dibandingkan
dengan kedua skenario lainnya. Skenario optimis memiliki proyeksi penurunan
tingkat pencemaran yang tinggi dan berada dibawah tingkat pencemaran kondisi
eksisting (gambar 85/lampiran 23).
TAHUN
LBH_SAPI_EX_21
INSTRSP52
INSTRSM103
INSTRKSO6042,006 2,012 2,018 2,024 2,030 2,036
2,000
3,000
4,000
5,000
12 3
4
12 3
4
12
3
4
1 23
4
1 23
4
1 2
4 4 4 4 4 4 4 4
Gambar 85 Prediksi jumlah beban limbah sapi di Teluk
Youtefa hasil simulasi skenario sampai tahun 2036
180
Gambaran umum proyeksi beban pencemaran masing-masing skenario
adalah sebagai berikut:
1. Skenario pesimis (SP)
Pada tahun 2006 total beban pencemaran limbah sapi adalah 3.292,91 ton,
dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 4.954,36 ton, tahun 2024
adalah 5.155,14 ton. Total beban pencemaran terus mengalami peningkatan hingga
akhir simulasi tahun 2036 yaitu 5.279,53 ton. Pengurangan total beban pencemar
limbah sapi skenario pesimis berdasarkan skenario model adalah yang paling sedikit
jika dibandingkan dengan kedua skenario lainnya.
2. Skenario moderat (SM)
Pada tahun 2006 total beban pencemaran limbah sapi adalah 2.822,49 ton,
dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 4.483,94 ton, tahun 2024
adalah 4.684,72 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami peningkatan hingga
akhir simulasi tahun 2036 yaitu 4.809,11 ton. Pengurangan total beban pencemar
limbah sapi skenario moderat berdasarkan skenario model adalah yang paling sedikit
jika dibandingkan dengan skenario optimis.
3. Skenario optimis (SO)
Pada tahun 2006 total beban pencemaran limbah sapi adalah 1.254,44 ton,
dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 2.915,89 ton, tahun 2024
adalah 3.116,87 ton. Total beban pencemaran terus mengalami peningkatan hingga
akhir simulasi tahun 2036 yaitu 3.241,06 ton. Pengurangan total beban pencemar
limbah sapi skenario optimis berdasarkan skenario model adalah tinggi jika
dibandingkan dengan kedua skenario lainnya.
Jika dibandingkan antara intervensi fungsional terhadap pertumbuhan
penduduk dan intervensi struktural terhadap beban pencemaran memberikan hasil
yang sangat berbeda terhadap pengurangan beban pencemaran dari kondisi eksisting
ke skenario optimis yaitu
1. Limbah cair BCOD dengan melakukan intervensi fungsional hingga ahir
simulasi berkurang dari 2.127,14 ton menjadi 1.935,32 ton, sedangkan intervensi
struktural berkurang dari 2.127 ton menjadi 1.476,03 ton.
181
2. Limbah babi dengan melakukan intervensi fungsional hingga ahir simulasi
berkurang dari 1.056,29 ton menjadi 961,03 ton, sedangkan intervensi struktural
berkurang dari 1.056,29 ton menjadi 732,96 ton.
3. Limbah sapi dengan melakukan intervensi fungsional hingga ahir simulasi
berkurang dari 5.122,72 ton menjadi 4.660,76 ton, sedangkan intervensi
struktural berkurang dari 5.122,72 ton menjadi 3.241,06 ton.
4. Limbah padat dengan melakukan intervensi fungsional hingga ahir simulasi
berkurang dari 3.222,94 ton menjadi 2.932,30 ton, sedangkan intervensi
struktural berkurang dari 3.222,94 ton menjadi 2.039,10 ton.
5.7. Analisis kebijakan alternatif pengelolaan Teluk Youtefa
Berdasarkan hasil analisis kondisi eksisting terhadap parameter fisik-
kimia perairan Teluk Youtefa menunjukkan bahwa beberapa parameter seperti TSS,
NO3 telah melampaui ambang batas KMA untuk biota air laut. Hal tersebut juga
mengindikasikan bahwa pencemaran bahan organik dari limbah domestik menjadi
sumber pencemar utama yang perlu mendapat prioritas penanganan dalam upaya
pengelolaan Teluk Youtefa. Hasil analisis status kualitas perairan juga menunjukkan
bahwa perairan Teluk Youtefa berada dalam kondisi tercemar sedang sampai
tercemar berat, maka memerlukan upaya penurunan total sumber pencemar dan total
beban pencemara. Oleh sebab itu untuk mengurangi total sumber pencemaran dan
beban pencemaran serta pemulihan perairan Teluk Youtefa perlu dirumuskan
beberapa strategi kebijakan dalam upaya pengelolaan Teluk Youtefa. Ada beberapa
strategi kebijakan pengelolaan Teluk Youtefa, namun yang penting adalah
mengurangi atau mereduksi total sumber pencemar dari sumbernya, cara
pengumpulan, maupun pembersihan limbah domestik.
Strategi kebijakan pengelolaan Teluk Youtefa disesuaikan dengan hasil
skenario berdasarkan expert judgment dan disesuaikan dengan hasil simulasi model
yang ada. Oleh sebab itu kebijakan yang diambil adalah diprioritaskan skenario
optimis, karena skenario tersebut dapat menggambarkan keberlanjutan perairan
Teluk Youtefa pada masa yang akan datang.
Adapun strategi kebijakan pengelolaan Teluk Youtefa berdasarkan
prioritas pada masing-masing faktor pengungkit (leverage factor) sebagai berikut.
1. Kebijakan penyebaran penduduk
182
Distribusi penduduk antar wilayah kecamatan seyogyanya diatur dalam
Perda RTRW Kota Jayapura. Untuk mewujudkan optimalisasi rencana pemanfaatan
ruang sesuai daya dukung lingkungan, maka model strategi penyebaran penduduk di
Kota Jayapura sampai tahun 2036 syogyanya dibatasi. Asumsi pertumbuhan
penduduk 4,1 % pada skenario pesimis diprediksi pada tahun 2036 berjumlah
107.431 jiwa atau sekitar 3.545 jiwa pertahun.
2. Kebijakan pengendalian laju pertumbuhan penduduk
Kebijakan pengendalian laju pertumbuhan penduduk bisa dilaksanakan
seperti metode di RRC dengan cara paksa bahwa satu anak cukup dan wajib
sterilisasi, tetapi di Indonesia kebijakan keluarga berencana masih bersifat persuasif.
Melakukan pemberian layanan keluarga berencana dan jaminan persalinan secara
gratis untuk 2 anak, menunda masa perkawinan, program yustisi kependudukan dan
mengaktifkan kembali program transmigrasi. Kebijakan lain adalah dukungan
program penciptaan lapangan kerja baru di daerah pedesaan dan antar pemerintah di
daerah.
Kemudian diperlukan program terpadu sehingga pertumbuhan ekonomi antar
wilayah tidak timpang sehingga distribusi migrasi penduduk lebih proporsional,
program tersebut dilakukan pada 30 tahun kedepan. Mendukung kebijakan nasional
untuk menurunkan laju pertumbuhan penduduk. Kebijakan ini layak atau dapat
dilaksanakan karena secara teoritis dan historis, terbukti Indonesia telah berhasil
menurunkan laju pertumbuhan penduduk. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia
adalah 1,5% pertahun pada periode 1930 – 1961; kemudian 2,1% per tahun periode
1961 – 1971 dan 2,3% per tahun periode 1971 – 1980, serta 1,3% periode 1980
sampai sekarang. (Soerjani et al 2008). Menurut Menteri kordinator kesehatan
keseharan rakyat dengan adanya revitalisasi program keluarga nasional, angka itu
diharapkan bisa ditekan menjadi 1,1% per tahun.
Program keluarga berencana pada era pemerintahan Presiden Soeharto
mengalami kesuksesan dan diakui dunia Internasional. Hal tersebut dibuktikan,
program keluarga berencana Indonesia mendapat penghargaan dari Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Kemudian Indonesia sebagai tempat belajar delegasi
Internasional dalam pengelolaan program keluarga berencana, seperti delegasi dari
Vietnam, Kamboja, Yaman, Kenya dan Etiopia. Tahun 1988 hingga 2008 sedikitnya
183
5000 peserta dari negara asing pernah belajar pengelolaan program keluarga
berencana di Indonesia.
3. Kebijakan minimasi limbah
Kebijakan minimasi limbah dapat dilakukan dengan cara implementasi
peraturan mengenai pencemaran. Pengurangan total sumber pencemar dan total
beban pencemaran dari sumbernya dapat dilakukan melalui penerapan peraturan
pencemaran air oleh para stakeholders. Upaya yang bisa dilakukan adalah reduksi
beban pencemaran melalui penetapan daya tampung beban pencemaran, membuat
peraturan daerah agar penegakan hukum terhadap pelaku pencemaran dapat
ditegakkan dengan konsisten; mewajibkan penegakan hukum terhadap usaha-usaha
yang terbukti nyata menimbulkan pencemaran terhadap Teluk Youtefa; mewajibkan
usaha yang membuang air limbah ke Teluk Youtefa untuk memiliki kelayakan
lingkungan; dan rencana tata ruang wilayah kota untuk bangunan disesuaikan
dengan kesesuaian lahan. Kemudian adanya komitmen yang tegas dari pemerintah
daerah.
Berdasarkan hasil analisis bahwa status kualitas air perairan Teluk Youtefa
kategori tercemar sedang dan berat, artinya bahwa membutuhkan perhatian dari
pemerintah daerah untuk melaksanakan upaya pengendalian pencemaran perairan
Teluk Youtefa secara baik, dan konsisten. Dukungan pemerintah daerah dapat
berupa: memperketat sistem perijinan pembuangan limbah; penegakan hukum yang
dapat dilakukan melalui sistem pengawasan pembuangan limbah cair domestik ke
badan air/saluran dengan cara memasang meteran air untuk menghindari
pembuangan air limbah yang berlebihan serta memberi sanksi secara tegas kepada
pengusaha yang mencemari perairan. Pengetatan baku mutu limbah cair untuk
kegiatan komersial. Dalam hal ini dukungan pemerintah daerah dapat berupa
bantuan teknologi pengolahan limbah, pengadaan sarana dan prasarana kerja
operasional dalam sistem informasi pengendalian pencemaran air, fasilitas
pengolahan limbah cair, instalasi pengolahan air limbah (IPAL) komunal, MCK
umum, dan fasilitas sanitasi lainnya. Kemudian melakukan pemantauan dan evaluasi
secara berkala perubahan mutu air Teluk Youtefa. Hal tersebut dapat dilakukan
dengan menetapkan kualitas parameter fisik, kimia dan biologi pencemar air melalui
184
monitoring terhadap konsentrasi pencemar. Selanjutnya melakukan program kerja
pengendalian pencemaran air jangka pendek, menegah, dan jangka panjang.
Kebijakan lain adalah sistem dan kapasitas kelembagaan, diperlukan
koordinasi yang efektif agar setiap sektor dalam menyusun program yang dibuat
tidak bersifat parsial dan sektoral, sehingga menghindari terjadi tumpang tindih
bahkan yang saling tidak mendukung (dalam pemberian ijin antara perindusrian
pemberi ijin dan badan lingkungan hidup daerah pemberi ijin pembuangan limbah
cair).
Strategi kebijakan terkait sistem dan kapasitas kelembagaan adalah
meningkatkan keterpaduan pengelolaan melalui peningkatan koordinasi antar sektor
yang terkait yaitu: memperbaiki kualitas kinerja badan lingkungan hidup Kota
Jayapura dan instansi terkait dalam kegiatan pemantauan kualitas limbah
industri/domestik dan sumber air. Pembentukan forum koordinasi yang melibatkan
seluruh dinas terkait kegiatan pengelolaan perairan Teluk Youtefa untuk menyusun
kerangka keberlanjutan kelembagaan meliputi visi, misi, tujuan, sasaran, serta
strategi pengelolaan, termasuk didalamnya program implementasi kebijakan dalam
jangka pendek, menengah, dan jangka panjang; Pemberdayaan masyarakat melalui
kerjasama dengan lembaga adat, ondoapi, perguruan tinggi, dan dunia usaha;
Pengembangan sistem monitoring dan evaluasi penncemaran air yang diintegrasikan
dengan sistem informasi lingkungan Teluk Youtefa dari aspek biofisik dan sosial
ekonomi masyarakat untuk acuan dalam pengambilan keputusan pengelolaan Teluk
Youtefa.
Kebijakan lain agar dimensi pembangunan berkelanjutan Teluk Youtefa
dapat terlaksana diperlukan perhatian pada dimensi ekologis, bahwa sumberdaya
yang ada dikelola agar total dampaknya tidak melebihi kapasitas. Teluk Youtefa
yang berfungsi juga sebagai penerima limbah dari berbagai ekosistem memerlukan
peningkatan kemampuan dalam menyerap limbah dari kegiatan manusia sehingga
menjadi suatu kondisi yang aman. Salah satu syarat yang dapat menjamin
tercapainya keberlanjutan Teluk Youtefa adalah keharmonisan spasial, kapasitas
asimilasi, dan pemanfaatan berkelanjutan.
Kemudian dimensi sosial ekonomi, menyajikan informasi tentang daya
dukung Teluk Youtefa bahwa pembangunan harus dikelola sehingga total
permintaan (demand) terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan tidak
185
melampaui kemampuan suplai. Oleh karena itu, selain mengendalian jumlah
penduduk, kebijakan yang mendesak dilakukan adalah mengurangi kesenjangan
kesejahteraan masyarakat, artinya bahwa secara sosial ekonomi konsep
pembangunan berkelanjutan mensyaratkan bahwa manfaat yang diperoleh dari
pemanfaatan suatu wilayah diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
Selain dimensi ekologi dan sosial ekonomi, diperlukan dimensi sosial
politik, hukum dan kelembagaan. Pada umumnya pihak yang menderita akibat
kerusakan bukanlah pembuat kerusakan melainkan pihak lain atau masyarakat
miskin dan lemah dan dampak dari suatu kerusakan atau pencemaran biasanya
muncul setelah beberapa waktu. Oleh karena itu, kondisi politik yang demokratis
dan transparan mutlak diperlukan. Pada akhirnya pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan mensyaratkan pengendalian diri setiap warga Kota Jayapura untuk
tidak merusak Teluk Youtefa. Persyaratan yang bersifat personal ini dapat dipenuhi
melalui penerapan sistem peraturan dan perundang-undangan yang berwibawa dan
konsisten, serta diikuti dengan penanaman etika pembangunan berkelanjutan pada
setiap warga masyarakat.