ii. tinjauan pustaka teori kelembagaan...

22
8 II. TINJAUAN PUSTAKA Teori Kelembagaan (Institutional Theory) Scot dalam Hessels dan Terjesen (2008) menyatakan bahwa kelembagaan merupakan struktur sosial yang telah mencapai ketahanan tertinggi dan terdiri dari budaya kognitif, normatif, dan regulatif yang sarat dengan perubahan. Elemen-elemen ini secara bersama- sama mempengaruhi kegiatan dan sumber daya untuk memberikan stabilitas dan makna bagi kehidupan sosial. Dalam upaya memberikan stabilitas ini maka sebuah lembaga perlu memperhatikan unsur-unsur seperti rules, norms, cultural benefit, peran dan sumber daya material. Hal inilah yang dapat membentuk komitmen organisasi dalam memberikan stabilitas melalui berbagai kebijakan dan program yang ada. Teori kelembagaan menggambarkan hubungan antara organisasi dengan lingkungannya; tentang bagaimana dan mengapa organisasi menjalankan sebuah struktur dan proses serta bagaimana konsekuensi dari proses kelembagaan yang dijalankan tersebut (Meyer dan Rowan, 1977). Scott (2008) dalam Villadsen (2011) menyatakan bahwa teori ini dapat digunakan untuk menjelaskan peran dan pengambilan keputusan dalam organisasi bahwa struktur, proses dan peran organisasi seringkali dipengaruhi oleh keyakinan dan aturan yang dianut oleh lingkungan organisasi. Misalnya organisasi yang berorientasi pada

Upload: phamcong

Post on 22-Apr-2018

220 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: II. TINJAUAN PUSTAKA Teori Kelembagaan …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6078/2/T2_932012013_BAB II...Indonesia belum memiliki perspektif gender. ... Informasi Regional) sehingga

8

II. TINJAUAN PUSTAKA

Teori Kelembagaan (Institutional Theory)

Scot dalam Hessels dan Terjesen (2008) menyatakan

bahwa kelembagaan merupakan struktur sosial yang

telah mencapai ketahanan tertinggi dan terdiri dari

budaya kognitif, normatif, dan regulatif yang sarat

dengan perubahan. Elemen-elemen ini secara bersama-

sama mempengaruhi kegiatan dan sumber daya untuk

memberikan stabilitas dan makna bagi kehidupan

sosial. Dalam upaya memberikan stabilitas ini maka

sebuah lembaga perlu memperhatikan unsur-unsur

seperti rules, norms, cultural benefit, peran dan sumber

daya material. Hal inilah yang dapat membentuk

komitmen organisasi dalam memberikan stabilitas

melalui berbagai kebijakan dan program yang ada.

Teori kelembagaan menggambarkan hubungan

antara organisasi dengan lingkungannya; tentang

bagaimana dan mengapa organisasi menjalankan

sebuah struktur dan proses serta bagaimana

konsekuensi dari proses kelembagaan yang dijalankan

tersebut (Meyer dan Rowan, 1977). Scott (2008) dalam

Villadsen (2011) menyatakan bahwa teori ini dapat

digunakan untuk menjelaskan peran dan pengambilan

keputusan dalam organisasi bahwa struktur, proses

dan peran organisasi seringkali dipengaruhi oleh

keyakinan dan aturan yang dianut oleh lingkungan

organisasi. Misalnya organisasi yang berorientasi pada

Page 2: II. TINJAUAN PUSTAKA Teori Kelembagaan …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6078/2/T2_932012013_BAB II...Indonesia belum memiliki perspektif gender. ... Informasi Regional) sehingga

9

layanan publik, dalam pengambilan keputusan

sudah tentu dipengaruhi oleh keyakinan dan aturan

yang berlaku di pemerintah pusat, pemerintah

daerah dan lingkungan masyarakat. Berangkat dari

hal ini, maka dapat dijelaskan bahwa organisasi

sebagai pihak yang menerapkan kebijakan harus

memiliki komitmen yang kuat dalam menjalankan

tugasnya agar tujuan akhir dari sebuah kebijakan

dapat tercapai.

Teori ini menjadi penjelas yang kuat dan populer

bagi tindakan individu maupun organisasi yang

disebabkan oleh faktor eksogen, eksternal, sosial,

ekspektasi masyarakat, dan lingkungan (Ridha dan

Basuki, 2012). Faktor-faktor ini cenderung

menunjuk pada hubungan organisasi dengan pihak

eksternal, seperti domain Negara (state), sektor

swasta (private), akademisi dan masyarakat (society).

Organisasi pemerintah selaku pihak internal

memiliki legitimasi untuk

mempertanggungjawabkan penyelenggaraan

pemerintahannya kepada pihak eksternal.Dengan

demikian dalam menjalankan fungsinya, organisasi

rentan juga terhadap tekanan eksternal.

Bagi organisasi pemerintah, secara umum yang

diutamakan adalah legitimasi dan kepentingan

politik. Organisasi yang mengutamakan legitimasi

akan memiliki kecenderungan untuk berusaha

Page 3: II. TINJAUAN PUSTAKA Teori Kelembagaan …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6078/2/T2_932012013_BAB II...Indonesia belum memiliki perspektif gender. ... Informasi Regional) sehingga

10

menyesuaikan diri pada harapan eksternal atau sosial

(DiMaggio dan Powell 1983; Ashworth et al., 2009).

Penyesuaian pada harapan eksternal atau sosial

mengakibatkan timbulnya kecenderungan organisasi

untuk memisahkan kegiatan internal mereka dan

berfokus pada sistem yang sifatnya simbolis pada pihak

eksternal (Meyer dan Rowan, 1977). Secara tidak

langsung, kemauan organisasi tersebut telah

menggambarkan kuatnya komitmen organisasi

tersebut. Misalnya, jika masyarakat mengharapkan

untuk menegakkan kesetaraan gender dalam seluruh

aspek pembangunan maka idelnya organisasi harus

mewujudkan hal tersebut demi kepentingan

legitimasinya di mata masyarakat.

Seperti yang dikemukakan oleh Meyer dan Rowan

(1977) bahwa banyak posisi, kebijakan, program dan

prosedur internal organisasi dipengaruhi oleh opini

publik, pandangan konstituen, pengetahuan sah

melalui sistem pendidikan, prestise sosial, hukum, dan

pengadilan. Inti dari pandangan tersebut adalah

perilaku dan keputusan yang diambil oleh organisasi

cenderung dipengaruhi oleh institusi yang ada di luar

organisasi. Organisasi akan berupaya untuk

menyesuaikan diri dengan harapan eksternal untuk

mempertahankankan eksistensi dan legitimasinya. Hal

ini memang merupakan bentuk pengabdian organisasi

pemerintah terhadap masyarakat. Namun, organisasi

Page 4: II. TINJAUAN PUSTAKA Teori Kelembagaan …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6078/2/T2_932012013_BAB II...Indonesia belum memiliki perspektif gender. ... Informasi Regional) sehingga

11

ini pun harus memiliki komitmen yang kuat agar

mendukung dirinya untuk pencapaian tujuan suatu

kebijakan, seperti kesetaraan gender. Jika

organisasi tidak memiliki komitmen yang kuat maka

secara perlahan harapan-harapan eksternal tersebut

dapat menjadi seperti tekanan bagi organisasi

karena sepanjang waktu organisasi harus

menyesuaikan praktiknya dengan harapan

eksternal. Tekanan seperti inilah yang disebut

tekanan eksternal. Tekanan eksternal dapat

dijadikan sebagai variabel yang memoderasi

(mengganggu) hubungan antara komitmen

organisasi dengan kinerja penyusunan ARG.

Isomorfisme Kelembagaan (Institutional Isomorphism)

Hawley (1968) dalam DiMaggio dan Powell (1983)

menyatakan bahwa isomorfisme (isomorphism)

adalah proses yang mendorong satu unit dalam

suatu populasi untuk menyerupai unit yang lain

dalam menghadapi kondisi lingkungan yang sama.

Dorongan ini dapat bersifat memaksa atau menekan

organisasi (coercive).Penelitian terbaru telah

menunjukkan bagaimana organisasi publik menjadi

subjek tekanan institusional yang mendalam

sehingga menyebabkan pada umumnya organisasi

publik menjadi lebih mirip (Ashworth et al., 2009).

Tekanan institusional ini dapat dicerminkan melalui

Page 5: II. TINJAUAN PUSTAKA Teori Kelembagaan …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6078/2/T2_932012013_BAB II...Indonesia belum memiliki perspektif gender. ... Informasi Regional) sehingga

12

banyaknya peraturan perundang-undangan dan

kebijakan pemerintah. Banyaknya peraturan ini dapat

mengganggu komitmen organisasi dalam penerapan

suatu praktik yang baru. Apalagi dalam kondisi

ketidakpastian, organisasi banyak yang memilih untuk

meniru (mimetic) praktek organisasi lain bukan karena

memahami esensi penerapan praktik tersebut. Tekanan

institusional inilahyang membawa organisasi publik

pada sebuah kesamaan praktik atau isomorfisme.

Dengan kata lain, kemiripan praktik yang terjadi di

pemerintahan dapat disebabkan oleh adanya peraturan

dari pemerintah pusat.

Coercive isomorphism adalah respon terhadap

tekanan dari organisasi lain di mana organisasi kita

bergantung serta tekanan untuk memenuhi harapan

masyarakat. Respon ini dapat berarti bahwa proses

penerapan peraturan atau penyesuaian menuju

kesamaan terjadi dengan suatu paksaan. Perasaan

terpaksa ini juga datang dari pengaruh politik dan

masalah legitimasi. Mimetic isomorphism terjadi jika

organisasi bercita-cita untuk meniru proses,

strukturdan praktek organisasi lain. Ini merupakan

respon terhadap situasi ketidakpastian di mana

organisasi berada di bawah tekanan untuk

meningkatkan kinerja, tetapi tidak mengetahui

bagaimana cara untuk mencapai tujuan ini. Normative

isomorphism diasosiasikan dengan profesionalisasi dan

Page 6: II. TINJAUAN PUSTAKA Teori Kelembagaan …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6078/2/T2_932012013_BAB II...Indonesia belum memiliki perspektif gender. ... Informasi Regional) sehingga

13

menangkap tekanan normatif yang muncul di

bidang tertentu. Jadi kemiripan terjadi atas dasar

tekanan yang dikaitkan dengan

profesionalisme(DiMaggio dan Powell, 1983).

Penyusunan Anggaran Responsif Gender

Pengertian Gender

Gender adalah segala sesuatu yang

diasosiasikan dengan jenis kelamin seseorang,

termasuk juga peran, tingkah laku, preferensi, dan

atribut lainnya yang menerangkan kelaki-lakian

atau kewanitaan di budaya tertentu (Baron and

Byrne, 1979 dalam Kestari, 2011). Hal serupa

dikatakan oleh Kessler dan McKenna (1978) dalam

Kestari (2011), bahwa gender adalah sesuatu yang

dilihat sebagai “psychological, social, and

culturalaspects of maleness and femaleness”. Gender

tidak dibawa sejak lahir melainkan dipelajari

melalui sosialisasi. Oleh sebab itu, gender dapat

berubah. Proses sosialisasi yang membentuk

persepsi diri dan aspirasi semacam ini dinamakan

sosialisasi gender (gendersocialization).

Pengertian Anggaran Responsif Gender

Secara umum, anggaran Pemerintah Daerah di

Indonesia belum memiliki perspektif gender.

Anggaran tersebut lebih merupakan alokasi

keuangan yang bersifat aggregate sehingga faktor

Page 7: II. TINJAUAN PUSTAKA Teori Kelembagaan …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6078/2/T2_932012013_BAB II...Indonesia belum memiliki perspektif gender. ... Informasi Regional) sehingga

14

manusia secara sosial dan budaya yang berbeda,

disamakan tanpa terpikirkan. Hal ini kemudian

menghasilkan kebijakan yang bias sehingga dampak

yang muncul seringkali tidak mendatangkan manfaat

setara bagi perempuan dan laki-laki. Oleh karena itu,

pembangunan belum sungguh-sungguh ditujukan

untuk meningkatkan kesejahteraan dan

memperhatikan kesenjangan gender (Mundayat, 2006

dalam Kestari, 2011).

ARG merupakan sistem penganggaran yang

mengakomodasikan keadilan bagi perempuan dan laki-

laki dalam memperoleh akses dan manfaat yang setara,

serta berpartisipasi dalam mengambil keputusan dan

mengontrol sumber daya (PPRG Bappeda Kota Salatiga,

2013). Menurut Budlender et al (2006), ARG

merupakan alat untuk memfasilitasi suatu usaha

berdampak gender dalam anggaran pemerintah. ARG

menambahkan item E ke-4 yaitu equity ke dalam tiga E

penganggaran: efficiency, effectivenes dan economy.

ARG tidak menambah beban kerja pemerintah namun

memperkuat apa yang dilakukan pemerintah

(Budlender, 2011 dalam Kestari 2011).

Definisi konsep ARG di atas kemudian

dikembangkan oleh PATTIRO (Pusat Telaah dan

Informasi Regional) sehingga sesuai dengan konteks di

Indonesia, di mana kemiskinan ada di mana-mana

(Sundari, 2008 dalam Kestari, 2011). ARG adalah

Page 8: II. TINJAUAN PUSTAKA Teori Kelembagaan …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6078/2/T2_932012013_BAB II...Indonesia belum memiliki perspektif gender. ... Informasi Regional) sehingga

15

anggaran yang berpihak kepada masyarakat,

memprioritaskan pembangunan manusia] dan

meresponi kebutuhan yang berbeda antara laki-laki

dan perempuan. Implementasi ARG dapat

meresponi kebutuhan berdasarkan lokasi geografis

(desa-kota), kemampuan yang berbeda (normal-

penyandang cacat), dan kelompok umur (anak,

remaja, lansia). Berdasarkan konsep ARG ini, maka

definisi ARG yang digunakan dalam penelitian ini

adalah anggaran yang berpihak kepada seluruh

kelompok masyarakat, yang memberi keadilan bagi

perempuan dan laki-laki dalam memperoleh akses,

manfaat, partispasi dan kontrol terhadap sumber

daya serta kesetaraan terhadap kesempatan dan

peluang dalam memilih dan menikmati hasil

pembangunan.

Kinerja Penyusunan Anggaran Responsif Gender

Prawirosentono (1999) menyatakan bahwa

kinerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh

seseorang atau sekelompok orang di dalam satu

organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung

jawab masing-masing untuk mencapai tujuan

organisasi.Kinerja mencakup beberapa variabel

yang berkaitan yaitu input, perilaku-perilaku

(proses), output dan outcome(dampak).

Menurut Budlender (2006), proses penyusunan

anggaran responsif gender (ARG) merupakan

Page 9: II. TINJAUAN PUSTAKA Teori Kelembagaan …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6078/2/T2_932012013_BAB II...Indonesia belum memiliki perspektif gender. ... Informasi Regional) sehingga

16

serangkaian aktivitas penentuan kebijakan untuk

pengalokasian anggaran ke dalam program pemerintah,

yang memenuhi kebutuhan dan kepentingan kelompok

sosial yang berbeda secara merata. Sedangkan

Rostanty (2007) menyebutnya sebagai strategi untuk

mengurangi kesenjangan gender dalam pembangunan

dengan menggunakan perspektif gender dalam proses

pengalokasian anggaran. Kedua definisi ini memiliki

arti bahwa proses penyusunan ARG idealnya harus

menjamin perempuan dan laki-laki dalam memperoleh

akses (acces), kontrol (control), manfaat dan partisipasi

secara merata dalam pengambilan keputusan dan

menikmati hasil pembangunan.

Berdasarkan definisi di atas, maka peneliti

menyimpulkan bahwa kinerja penyusunan anggaran

responsif gender merupakan tingkat capaian

pengalokasian anggaran ke dalam program pemerintah

yang memenuhi kebutuhan dan kepentingan kelompok

sosial yang berbeda secara merata. UNIFEM (United

Nation Development Fund for Women) menyebutkan

bahwa ARG memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. ARG bukan anggaran terpisah bagi laki-laki atau

perempuan;

2. Fokus pada kesetaraan gender dan PUG dalam

semua aspek penganggaran;

3. Meningkatkan keterlibatan aktif dan partisipasi

stakeholder perempuan;

Page 10: II. TINJAUAN PUSTAKA Teori Kelembagaan …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6078/2/T2_932012013_BAB II...Indonesia belum memiliki perspektif gender. ... Informasi Regional) sehingga

17

4. Monitoring dan evaluasi belanja dan penerimaan

pemerintah dilakukan dengan responsif gender;

5. Meningkatkan efektivitas penggunaan sumber-

sumber untuk mencapai kesetaraan gender dan

pengembangan sumber daya manusia;

6. Menekankan pada re-prioritas daripada

meningkatkan keseluruhan belanja pemerintah;

7. Melakukan re-orientasi dari program-program

dalam sektor-sektor dari pada menambah angka

pada sektor-sektor khusus.

Suatu anggaran bisa dikatakan responsif gender

jika memenuhi kriteria umum anggaran responsif

gender. Kriteria ini disusun berdasarkan target-

target dalam MDGs (Millenium Development

Goals)dan CEDAW (Convention on the Elimination

ofAll Forms of Discrimination Against Women) yang

dapat dijabarkan lebih lanjut ke dalam program dan

kegiatan daerah yang sesuai dengan kebutuhan

daerah tersebut. Kriteria umum ARG mencakup

(Sundari et al, 2008 dalam Kestari, 2011):

1. Memprioritaskan pembangunan manusia;

2. Memprioritaskan upaya untuk mengurangi

kesenjangan gender;

3. Memprioritaskan upaya penyediaan pelayanan

publik yang berkualitas bagi masyarakat;

4. Memprioritaskan upaya peningkatan daya beli

masyarakat.

Page 11: II. TINJAUAN PUSTAKA Teori Kelembagaan …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6078/2/T2_932012013_BAB II...Indonesia belum memiliki perspektif gender. ... Informasi Regional) sehingga

18

Secara umum, tujuan penyusunan ARG adalah

memastikan apakah perempuan dan laki-laki

diperlakukan adil dan setara dalam memperoleh akses,

kontrol, partisipasi dan memperoleh manfaat (AKPM)

yang sama dalam pembangunan. Akses yaitu peluang

atau kesempatan dalam memperoleh atau

menggunakan sumber daya tertentu. Kontrol yaitu

penguasaan, wewenang atau kekuatan untuk

mengambil keputusan. Partisipasi yaitu keikutsertaan

seseorang/kelompok dalam suatu kegiatan dan atau

pengambilan keputusan. Manfaat yaitu kegunaan

sumber daya yang dapat dinikmati secara optimal.

Pengintegrasian perspektif gender menjadikan

perencanaan lebih tepat sasaran dan efektif, karena

didahului oleh analisis determinan sosial dan perspektif

gender.Sebuah anggaran dikatakan responsif gender

jika proses penyusunan melibatkan langkah-langkah

sebagai berikut:

Teknik atau cara mengintegrasikan gender dalam

proses penyusunan anggaran dapat dilakukan dengan

langkah sebagai berikut (Rinusu, 2006:59):

a. Mengidentifikasi masalah yang dihadapi laki-laki

dan perempuan dan menyusun prioritas

kebutuhannya.

b. Menetapkan program dan proyek sesuai hasil

pemetaan kebutuhan yang telah diidentifikasi

dan disepakati bersama dengan masyarakat.

Page 12: II. TINJAUAN PUSTAKA Teori Kelembagaan …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6078/2/T2_932012013_BAB II...Indonesia belum memiliki perspektif gender. ... Informasi Regional) sehingga

19

c. Menetapkan perkiraan anggaran untuk

membiayai program dan proyek.

d. Mengukur keberhasilan pelaksanaan program

dan proyek, apakah mempunyai manfaat dan

dampak terhadap perubahan masyarakat

sebelum dan sesudah proyek diberlakukan.

Selain itu, teknik pengintegrasian gender dalam

proses penyusunan anggaran dapat dilakukan

dengan langkah seperti berikut:

a. Melakukan analisis gender untuk mengetahui peran

dan relasi gender yaitu perempuan dan laki-laki

yang mempengaruhi status dan kebutuhan mereka;

b. Melakukan perencanaan kebijakan, program, dan

kontrol terhadap upaya promotif, preventif, kuratif,

dan rehabilitatif yang setara antara perempuan dan

laki-laki sehingga perempuan dan laki-laki sesuai

dengan status dan kebutuhan mereka;

c. Menyusun anggaran berdasarkan hasil analisis

gender untuk mencapai target indikator kinerja

Page 13: II. TINJAUAN PUSTAKA Teori Kelembagaan …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6078/2/T2_932012013_BAB II...Indonesia belum memiliki perspektif gender. ... Informasi Regional) sehingga

20

program dan kegiatan yang adil terhadap

perempuan dan laki-laki;

d. Menjadi alat monitoring dan evaluasi untuk

mengetahui keberhasilan pelaksanaan program dan

kegiatan, khususnya dalam menurunkan kesenjangan

status antara perempuan dan laki-laki.

Dengan demikian, dengan pemahaman yang benar

mengenai pengarusutamaan gender maka proses

penyusunan ARG pun dapat terlaksana dengan benar

dan pada akhirnya menghasilkan kinerja yang baik.

Capaian dari penyusunan ARG dapat berupa dokumen

anggaran yang telah mengakomodasi kebutuhan gender

yang berbeda. Berhasil atau tidaknya sebuah proses

penyusunan ARG dapat terlihat pada kinerja yang

dihasilkan. Aliran terakhir dari proses

pengarusutamaan gender dalam anggaran pemda ini

adalah tercapainya kesejahteraan masyarakat secara

merata dan berkurangnya kesenjangan gender.

Komitmen Organisasi

Komitmen Organisasi didefinisikan sebagai kuatnya

keinginan untuk tetap sebagai anggota organisasi,

bekerja keras sesuai sasaran organisasi, serta

menerima nilai dan tujuan organisasi (Luthans,

2005).Dengan kata lain, sikap yang merefleksikan

loyalitas karyawan pada organisasi dan proses

berkelanjutan di mana anggota organisasi

Page 14: II. TINJAUAN PUSTAKA Teori Kelembagaan …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6078/2/T2_932012013_BAB II...Indonesia belum memiliki perspektif gender. ... Informasi Regional) sehingga

21

mengekspresikan perhatian dan keberhasilannya

terhadap organisasi. Komitmen organisasi biasanya

tumbuh disebabkan oleh individu dalam organisasi

yang memiliki ikatan emosional terhadap

organisasi. Ikatan emosional tersebut meliputi

dukungan moral dan penerimaan nilai yang ada

untuk mengabdi pada organisasi.

Setiap organisasi perlu memiliki komitmen yang

tinggi dalam penyelenggaraan tugasnya sehingga

tidak mudah dipengaruhi oleh nilai lingkungan yang

bertentangan. Komitmen organisasi dapat

diasosiasikan dengan normative isomorphism.

Normative isomorphismmenggambarkan bahwa

organisasi secara profesional mengerti tentang

norma, peraturan atau regulasi yang ada (DiMaggio

and Powell, 1983). Sehingga walaupun norma dan

regulasi tersebut bersifat menekan namum anggota

organisasi tetap mematuhinya sebagai bentuk

pengabdiannya kepada organisasi. Hal ini

merupakan bentuk komitmen individu dalam

organisasi tersebut.

Organisasi berada dalam lingkungan yang

majemuk dan dinamis sehingga terkadang dapat

terpengaruholeh norma serta aturan yang telah

lama berlaku di lingkungan tersebut. Untuk itu,

dibutuhkan komitmen yang tinggi agar organisasi

dapat tetap berpraktik sesuai norma dan regulasi,

Page 15: II. TINJAUAN PUSTAKA Teori Kelembagaan …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6078/2/T2_932012013_BAB II...Indonesia belum memiliki perspektif gender. ... Informasi Regional) sehingga

22

dengan tujuan mengabdi bagi organisasi.Bagi

organisasi publik, norma tersebut dapat berasal dari

pemerintah pusat, pemerintah daerah dan lingkungan

masyarakat. Aturan-aturan ini bersifat dinamis, dapat

berubah seiring meningkatnya kebutuhan organisasi.

Namun terkadang perubahan tersebut juga

mempengaruhi pertumbuhan organisasi. Hal ini sesuai

dengan yang dinyatakan oleh Dacin et al (2002) bahwa

perubahan dalam institusi atau organisasi dapat

berdampak pada masalah komitmen dan integritas

organisasi tersebut. Paine (1994) menyatakan bahwa

strategi integritas merupakan sesuatu yang lebih luas,

lebih dalam dan lebih menuntut daripada inisiatif

kepatuhan atas hukum. Kepatuhan atas hukum dan

peraturan akan terwujud bila diikuti oleh komitmen

organisasi yang tinggi.

Institusionalisasi merupakan proses penetapan

suatu karakter yang ditentukan dengan nilai-nilai dan

prinsip-prinsip yang berlaku bagi organisasi (Selznick,

1992 dalam Dacin, 2002). Kesetaraan gender

merupakan salah satu nilai (Inpres No 9 tahun 2000)

yang harus dipegang oleh organisasi dalam

penyusunan ARG untuk menunjang pembangunan

yang berkeadilan gender. Oleh sebab itu, ARG perlu

diterapkan dalam sebuah organisasi publik. Penerapan

ARG membutuhkan komitmen yang tinggi dari

organisasi. Komitmen organisasi yang tinggi akan

Page 16: II. TINJAUAN PUSTAKA Teori Kelembagaan …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6078/2/T2_932012013_BAB II...Indonesia belum memiliki perspektif gender. ... Informasi Regional) sehingga

23

mendorong organisasi untuk berusaha keras

mencapai tujuan organisasi (Porter et. al.,

1974).Pemda sebagai pelaku dalam penyusunan

anggaran perlu memiliki komitmen yang kuat untuk

mendukung penyusunan ARG (Diop-Tine,2002).

Sawer (2002) dalam Rubin dan Bartle (2005)

menyatakan bahwa kurangnya komitmenorganisasi

menjadi alasanutama tidak optimalnya kinerja

penyusunan ARG.

Hasil penelitian sebelumnya yang ditemukan

oleh Karim (2006) dalam Nordiana (2009) bahwa

komitmen organisasi berpengaruh signifikan

terhadap kinerja penyusunan ARG. Komitmen ini

terwujudkan melalui tersedianya data terpilah

gender, adanya kepekaan gender dari perencana

dan pembuat keputusan, kesadaran dari pengambil

kebijakan.

Berdasarkan teori dan uraian di atas, dapat

diduga bahwa kinerja penyusunan ARG sangat

bergantung pada besarnya komitmen organisasi.

Semakin tinggi komitmen organisasi maka

kinerjapenyusunan ARG semakin baik, artinya

semakin menghasilkan anggaran yang responsif

gender; menjawab kebutuhan gender secara merata.

Untuk itu, dirumuskan hipotesis pertama sebagai

berikut:

Page 17: II. TINJAUAN PUSTAKA Teori Kelembagaan …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6078/2/T2_932012013_BAB II...Indonesia belum memiliki perspektif gender. ... Informasi Regional) sehingga

24

H1: Komitmen organisasi berpengaruh positif terhadap

kinerja penyusunan anggaran responsif gender.

Tekanan Eksternal

Tekanan eksternal adalah suatu daya dari luar

organisasi yang membatasi ruang gerak organisasi

sehingga dapat menurunkan tingkat kemampuan,

menimbulkan kejenuhan dan rasa tertekan bagi

organisasi dalam melaksanakan tugas (Frumkin and

Galaskiewicz, 2004). Menurut Olivier Nay (2011)

tekanan eksternal dapat dirasakan melalui banyaknya

peraturan legal, budaya birokrasi organisasi, adanya

klaim/tuntutan langsung pemangku kepentingan

(mitrakebijakan, organisasimasyarakat, masyarakat,

pihak swasta). Tekanan eksternal memaksakan

organisasi untuk melakukan suatu tindakan demi

memenuhi harapan eksternal.Halini menunjukkan

bahwa organisasi yang mengutamakan legitimasi

cenderung menerima tekanan dari lingkungannya

sehingga tekanan eksternal ini yang memastikan cara

organisasi berpraktik (DiMaggio dan Powell, 1983).

Coercive isomorphism terjadi karena tekanan dari

pihak ekternal, seperti organisasi lain dan masyarakat.

Hal inimerupakan hasil dari tekanan formal dan

informal yang diberikan pada organisasi oleh organisasi

lain di mana organisasi bergantung dalam menjalankan

fungsinya. Coercive isomorphism juga dapat berasal dari

pengaruh politik dan kebutuhan untuk legitimasi

Page 18: II. TINJAUAN PUSTAKA Teori Kelembagaan …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6078/2/T2_932012013_BAB II...Indonesia belum memiliki perspektif gender. ... Informasi Regional) sehingga

25

(DiMaggio dan Powell, 1983). Kekuatan koersif ini

terkait dengan tekanan yang diberikan oleh

peraturan pemerintah atau lembaga lain untuk

mengadopsi suatu struktur atau sistem (Ashworth

et al., 2009). Adanya peraturan ini ditujukan untuk

mengatur praktik yang ada agar menjadi lebih baik.

Di sisi lain, peraturan ini pun dapat menyebabkan

adanya kecenderungan organisasi untuk

memperoleh legitimasi (legitimate coercive) (scott,

2004), sehingga hanya menekankan aspek-aspek

positif agar organisasi terlihat baik oleh pihak

eksternal. Perubahan organisasi yang didasari

kekuatan koersif dapat menyebabkan organisasi

lebih mempertimbangkan pengaruh politik daripada

teknis (Ashworth et al., 2009).

Tekanan yang diberikan melalui peraturan dan

kebijakan menjadi sebuah saranabagi pemerintah

kota dalam penyelenggaraan tugasnya. Namun

terkadang semakin banyak tekanan yang diberikan

dapat berakibat pada kejenuhan pemerintah kota

dalam penerapan suatu praktik. Tekanan melalui

peraturan yang lebih dipengaruhi oleh legitimasi

akan mengakibatkan praktik-praktik yang terjadi

dalam organisasi hanya bersifat formalitas yang

ditujukan untuk memperoleh legitimasi, dan tidak

didukung oleh kesadaran yang kuat.

Page 19: II. TINJAUAN PUSTAKA Teori Kelembagaan …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6078/2/T2_932012013_BAB II...Indonesia belum memiliki perspektif gender. ... Informasi Regional) sehingga

26

Berkaitan dengan penyusunan ARG, berhasil atau

tidaknya proses penyusunan ARG ini bergantung pada

seberapa banyak tekanan yang datang dari pihak-pihak

eksternal. Hasil penelitian Frumkin and Galaskiewicz

(2004) menemukan bahwa tekanan yang semakin kuat

dapat menyebabkan organisasi merasa jenuh,

mengganggu komitmen organisasi sehingga tidak

berusaha keras bekerja dalam hal ini untuk menyusun

ARG. Dengan kata lain, tekanan eksternal yang tinggi

dapat mengganggu komitmen organisasi untuk

mencapai kinerja penyusunan ARG. Demikian pula

halnya, dengan rendahnya tekanan eksternal, diduga

dapat mendukung komitmen organisasi untuk

mencapai kinerja penyusunan yang baik.

Berdasarkan teori dan uraian di atas, dapat

dirumuskan hipotesis kedua sebagai berikut:

H2: Tekanan eksternal memoderasi hubungan komitmen

organisasi dengan kinerja penyusunan anggaran

responsif gender.

Komitmen organisasi yang tinggi dapat mendukung

pencapaian kinerja penyusunan ARG yang tinggi pula

jika tekanan eksternal yang dirasakan rendah, dan

sebaliknya tidak mendukung pencapaian kinerja

penyusunan ARG jika tekanan eksternalnya tinggi.

Ketidakpastian Lingkungan

Ketidakpastian Lingkungan didefinisikan sebagai

rasa ketidakmampuan individu untuk memprediksi

Page 20: II. TINJAUAN PUSTAKA Teori Kelembagaan …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6078/2/T2_932012013_BAB II...Indonesia belum memiliki perspektif gender. ... Informasi Regional) sehingga

27

sesuatu yang terjadi di lingkungannya secara

akurat (Darlis, 2002). Luthans (2005)

mendefinisikannya sebagai situasi seseorang yang

terkendala untuk memprediksi situasi di sekitar

sehingga mencoba untuk melakukan sesuatu dalam

menghadapinya. Duncan (1972) dalam Darlis (2002)

mendefinisikannya sebagai keterbatasan individu

dalam menilai probabilitas gagal atau berhasil

keputusan yang disebabkan karena kesulitan

memprediksi kemungkinan di masa depan. Seperti

yang dikemukakan Fisher (1996) dalam Darlis

(2002) bahwa pada kondisi ketidakpastian tinggi,

maka individu sulit memprediksi kegagalan dan

keberhasilan dari keputusan yang dibuatnya.

Ketidakpastian lingkungan dapat dikaitkan

dengan isomorfisme mimetik. Isomorfisme mimetik

adalah kecenderungan organisasi untuk

memodelkan dirinya pada praktik organisasi lain

(DiMaggio dan Powell, 1983) yang muncul sebagai

tanggapan terhadap suatu ketidakpastian

lingkungan (Mizruchi dan Fein, 1999). Isomorfisme

mimetik dapat ditunjukkan dengan cara meniru

praktik terbaik di lapangan (benchmarking) dan

pelaku dalam organisasi yang berpengalaman

(leading players) (Tuttle and Dillard, 2007).

Ketidakpastian ini dapat disebabkan oleh hal di

dalam maupun di luar organisasi, seperti

Page 21: II. TINJAUAN PUSTAKA Teori Kelembagaan …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6078/2/T2_932012013_BAB II...Indonesia belum memiliki perspektif gender. ... Informasi Regional) sehingga

28

perubahan peraturan atau kebijakan yang cepat dalam

satu rentang waktu tertentu serta adanya perbedaan

peraturan. Ketidakpastian mengakibatkan organisasi

mengubah proses dan struktrurnya. Hasil penelitian

Govindarajan (1984) menemukan bahwa perubahan

proses dan struktur yang seringkali terjadi dapat

mengganggu komitmen organisasi dalam melaksanan

tugasnya. Dengan demikian ketidakpastian lingkungan

ini turut mempengaruhi komitmen organisasi dalam

mencapai kinerja penyusunan ARG.

Perubahan proses dan struktur organisasi sebagai

respon terhadap ketidakpastian lingkungan tidaklah

mudah. Ketidaksiapan organisasi terhadap suatu

perubahan peraturan dapat mengakibatkan rendahnya

pemahaman organisasi terhadap peraturan yang baru.

Dalam situasi yang tidak pasti ini, pemimpin organisasi

akan memutuskan bahwa respon terbaik yang dapat

dilakukan adalah dengan meniru organisasi yang

mereka anggap berhasil (Mizruchi dan Fein, 1999).

Implementasi ARG telah menjadi perhatian

pemerintah sejak awal era reformasi pada tahun 2000,

dengan adanya UU terkait pengarusutamaan gender.

Telah ada banyak peraturan yang dibuat pemerintah

untuk menyukseskan jalannya amanat ARG ini, namun

fakta menunjukkan bahwa masih terdapat kesenjangan

gender di masyarakat (Nordiana, 2009; Kestari, 2011;

Sopanah, 2012). Ketidakpastian yang terjadi di

Page 22: II. TINJAUAN PUSTAKA Teori Kelembagaan …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6078/2/T2_932012013_BAB II...Indonesia belum memiliki perspektif gender. ... Informasi Regional) sehingga

29

lingkungan pemerintahan melalui perubahan

peraturan dan tumpang tindihnya peraturan dapat

membuat organisasi merasa jenuh sehingga

berdampak pada upaya atau komitmen organisasi

dalam menerapkan peraturan-peraturan tersebut.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa baik atau

tidaknya kinerja penyusunan ARG dapat

bergantung pada kepastian lingkungan organisasi

tersebut.

Berdasarkan teori dan uraian di atas maka

dapat dirumuskan hipotesis ketiga sebagai berikut:

H3: Ketidakpastian lingkungan memoderasi hubungan

komitmen organisasi dengam kinerja penyusunan

anggaran responsif gender.

Ketidakpastian lingkungan yang tinggi dapat

mengganggu komitmen organisasi dalam proses

penyusunan ARG. Komitmen organisasi yang tinggi

mendukung pencapaian kinerja penyusunan ARG yang

tinggi pula apabila tingkat ketidakpastian lingkungan

rendah. Sebaliknya komitmen organisasi yang rendah

tidak dapat mendukung pencapaian kinerja

penyusunan ARG yang tinggi apabila tingkat

ketidakpastian lingkungan tinggi.