iii. kerangka pemikiran dan hipotesis 3.1. kerangka ... · inti dari model becker-gardner dengan...
TRANSCRIPT
III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
3.1. Kerangka Teoritis
3.1.1. Proses Pembuatan Kebijakan Publik
Setiap proses pembuatan kebijakan publik di negara demokrasi dilakukan
melalui interaksi strategis antar kelompok, termasuk yang memperjuangkan
kepentingan publik dan kelompok yang berusaha mencapai kepentingan pribadi.
Proses tersebut melibatkan kekuatan ekonomi dan politik sebelum menghasilkan
resolusi kebijakan seperti terlihat pada gambar berikut (Rausser and Roland,
2009).
Struktur Kepemerintahan (Governance Structures)
Ekonomi Politik
(Political Economics)
Seleksi Instrumen Kebijakan (Policy Instrument Selection)
Sumber: Rausser and Roland, 2009
Gambar 12. Proses Pembuatan Kebijakan dan Konsekuensi
Distribusi kekuatan Politik (Distribution of Political power)
Implementasi Kebijakan (Policy Implementation)
Konsekuensi Ekonomi (Economic Consequences)
Restrukturisasi Insentif dan Penyesuaian Pasar
(Restructured Incentives and Market Adjustment)
Insiden Kebijakan (Policy Incidance)
Secara historis elemen pada kotak di sisi kanan diagram merupakan domain
dari ilmu politik (political science), sementara kotak di sebelah kiri merupakan
domain ilmu ekonomi. Pada bagian atas dari kotak sebelah kanan terdapat struktur
kepemerintahan yang menetapkan rancangan konstitusional mengenai aturan-
aturan pemilihan umum, sistem hukum, kepemilikan, ekonomi dan perdagangan,
atau landasan bagi pembuatan aturan-aturan lainnya. Struktur pemerintahan dan
tata kelola negara juga menentukan lingkup mekanisme umpan balik politik
(political feedback mechanism) dari kelompok-kelompok yang dipengaruhi oleh
kebijakan publik tersebut. Namun secara umum struktur tersebut menetapkan
batas yang mewadahi keterkaitan antara ekonomi dan politik dan hingga beberapa
dekade terakhir ekonom berusaha menghasilkan penjelasan teoritis maupun
empiris mengenai keterkaitan antara struktur pemerintahan, ekonomi politik dan
penetapan kebijakan pertanian (Rausser and Roland, 2009).
Analisis ekonomi politik mencari penjelasan mengenai pemilihan dan
implementasi sebuah kebijakan publik. Hubungan saling terkait tersebut dalam
proses pembuatan kebijakan menempatkan instrumen sebagai variabel endogen
yang merupakan fungsi dari aktivitas birokrasi dan pemangku kepentingan lain
(stakeholders), dan kelompok-kelompok kepentingan, sebagai agen yang
mewakili pemangku kepentingan, merupakan unit analisisnya. Dalam kaitan
dengan proses pembuatan kebijakan, berbagai kelompok kepentingan bersaing
dengan mengorbankan waktu, energi, dan uang yang dikeluarkan untuk
melakukan lobi dan menghasilkan tekanan guna mempengaruhi rancangan atau
pun implementasi sebuah kebijakan (Rausser and Roland, 2009). Kompetisi
tersebut menghasilkan kebijakan yang bias terhadap kelompok tertentu yang
tercermin dari meningkatnya bobot politik kelompok (Swinnen and Zee, 1993).
3.1.2. Model Becker-Gardner
Model ekonomi politik kebijakan pertanian, termasuk kebijakan tarif dan
kuota, terbagi ke dalam dua kelompok utama. Pertama adalah voting model
dimana kebijakan pertanian yang distortif merupakan manifestasi dari program
yang dijanjikan dalam kampanye pemilihan umum. Model kedua adalah interest
group model yaitu kebijakan yang terjadi (observed policy) merupakan hasil
kompetisi dari berbagai kelompok kepentingan dengan kelompok sebagai
demander kebijakan melakukan tekanan politik atau lobi terhadap supplier
kebijakan (pemerintah) yang membuat kebijakan menguntungkan kelompoknya
(Dutt and Mitra, 2009; Zee, 1997). Pada penelitian ini digunakan pendekatan
interest group model (model Becker-Gardner) karena besarnya tekanan atau lobi
yang dilakukan berbagai asosiasi produsen gula sementara penduduk yang terlibat
dalam produksi gula relatif kecil sehingga kebijakan pergulaan tidak tepat didekati
melalui electoral channel.
Menurut model Becker-Gardner setiap kebijakan mencerminkan kompetisi
antara berbagai kelompok kepentingan yang berusaha mendapatkan manfaat dan
atau menghindari beban dari suatu kebijakan atau regulasi. Meskipun terdapat
berbagai variasi bentuk kebijakan namun luaran dari setiap kebijakan tersebut
adalah menghasilkan subsidi tidak langsung (indirect subsidi) atau pajak tidak
langsung (indirect tax) terhadap anggota berbagai kelompok kepentingan tersebut.
Pembatasan impor gula misalnya akan menghasilkan semacam subsidi kepada
pabrik gula, yang pada saat bersamaan mengurangi surplus konsumen yang serupa
dengan pengenaan pajak tidak langsung terhadap konsumen gula (Stevens, 1993;
Sarker, et al., 1993).
Inti dari model Becker-Gardner dengan demikian terletak pada kompetisi
menghasilkan pengaruh politik (political influence) yang bemuara pada siapa
mendapatkan subsidi dan berapa banyak, dan siapa yang menanggung pajak. Jika
subsidi dan pajak masing-masing dinyatakan dengan S dan T, maka fungsi
pengaruh politik (I) dinyatakan sebagai,
(3.1)
dimana ps dan pt adalah jumlah tekanan politik yang diberikan oleh masing-
masing kelompok yang mendapatkan subsidi (s) dan yang menanggung pajak (t),
dan (ns/nt) adalah ukuran relatif kelompok. Jika kedua kelompok memiliki
kepentingan yang saling bertentangan maka masing-masing kelompok akan
menghasilkan tekanan melalui sejumlah lobi terhadap para pembuat keputusan.
Keseimbangan tingkat tekanan politik tercapai ketika masing-masing kelompok
menghasilkan tekanan yang efisien menurut sudut pandang masing-masing
(Stevens, 1993).
Upaya swasembada gula Indonesia dilakukan dengan membuat berbagai
regulasi pembatasan impor, subsidi input, stabilisasi harga dan berbagai kebijakan
produksi dan kelembagaan lainnya yang hakikatnya merupakan subsidi terhadap
produsen. Pada sisi lain kebijakan-kebijakan tersebut merupakan pajak terhadap
konsumen gula. Oleh karena itu kedua kelompok memproduksi tekanan politik
melalui kontribusi dana kampanye, lobi, dan pengeluaran lain dari uang dan
waktu (mi), yaitu:
pi = pi(mi,ni), dan i = S,T (3.2)
dimana mi = ai ni, dengan ai mencerminkan kontribusi per kapita.
Gambar 13 menyajikan hubungan kontribusi per kapita dengan ukuran
kelompok (group size) dalam menentukan kontribusi politik. Efektivitas tekanan
politik kelompok kepentingan bukan saja tergantung pada manfaat yang akan
diterima anggota kelompok tetapi juga ditentukan oleh apakah kelompok dapat
mengatasi persoalan free riding di dalam kelompok tersebut.
Pada gambar 13 fungsi ah menunjukkan kontribusi per kapita tinggi,
umumnya terjadi jika outcome merupakan barang privat dan manfaat hanya
dinikmati oleh anggota yang memberikan kontribusi. Sementara itu fungsi aw
mewakili kontribusi per kapita rendah yang umumnya terjadi jika outcome
memenuhi karakteristik barang publik dimana anggota dapat menikmati manfaat
meskipun tidak memberikan kontribusi tekanan politik. Pada kasus barang publik
diperlukan banyak konsumen (misal a1) untuk mendapatkan tingkat kontribusi
Sumber: Stevens, 1993
Gambar 13. Dua Sumber Tekanan Politik
mi
Jumlah anggota (ni) a2 a1
Kontribusi per kapita rendah (aw)
Kontribusi per kapita tinggi (ah) Kontribusi politik (mi)
politik (m1) yang sama dengan kontribusi per kapita tinggi namun dengan anggota
relatif sedikit (a2) (Stevens, 1993)..
3.1.3. Keseimbangan Ekonomi Politik
Model Becker-Gardner sangat populer dikalangan peneliti ekonomi
pertanian terutama dalam memberikan penjelasan tentang kekuatan politik
(political power) berbagai kelompok kepentingan pada setiap proses pembuatan
kebijakan. Penentuan bobot politik tersebut dapat menggunakan metodologi
revealed preference dengan bantuan Fungsi Preferensi Politik (FPP).
Sarker et al., (1993), menggunakan model FPP sederhana dengan dua
kelompok kepentingan yaitu produsen dan konsumen, menggambarkan kondisi
keseimbangan setelah kedua kelompok kepentingan melakukan lobi dan tekanan
politik untuk mempengaruhi kebijakan agar menguntungkan kelompok masing-
masing. Keberhasilan relatif kelompok tergantung pada sejumlah karakteristik
tertentu yang menentukan efektifitas lobi. Oleh karena itu model yang digunakan
memperlakukan bobot politik sebagai varibel endogenous.
W = θPS(t) + CS(t), (3.3)
PS/ t > 0, dan CS/ t < 0.
Bobot politik θ tergantung pada efektivitas relatif pengeluaran lobi oleh masing-
masing kelompok kepentingan, EP untuk kelompok produsen, dan EC untuk
kelompok konsumen sehingga,
θ = θ(EP, EC), (3.4)
dan θ/ EP > 0, sementara θ/ EC < 0.
Sejumlah pilihan yang dihadapi pemerintah direpresentasikan oleh kurva
transformasi surplus (surplus transformation curve, STC) TE0K yang dihasilkan
dari berbagai kebijakan yang mempengaruhi harga output. Misalkan E0 adalah
hasil dari stuktur pasar persaingan sempurna (tidak ada intervensi pemerintah)
maka jika terdapat kebijakan dukungan harga, PS > P0, akan menghasilkan
kombinasi PS dan CS yang menguntungkan produsen, dan Ē merupakan surplus
tertinggi yang dapat diperoleh produsen (Sarker, et al., 1993).
Gambar 14 menampilkan beberapa kurva indiferen politik (political
indifference curve, PICi) yang mewakili FPP atau W dengan θ>1. Misalkan untuk
memaksimumkan nilai W, dengan θ=1, kebijakan akan memberikan hasil
kemakmuran (total surplus) pada pasar kompetitif E0. Sementara itu aktivitas lobi
produsen menyebabkan peningkatan bobot politik produsen (θ>1) dan
menghasilkan PIC yang relatif mendatar sehingga meyinggung STC di titik E*
yang meningkatkan surplus produsen dan mengurangi surplus konsumen.
Pemerintah memilih level kebijakan t, kondisional terhadap �, untuk
memaksimumkan W. Kondisi ordo pertama dari masalah ini menyatakan bahwa
t, pilihan optimal, ditentukan oleh θ seperti ditunjukan oleh persamaan berikut,
W/ t = θPS’(t) + CS’(t) = 0. (3.5)
Dengan teorema fungsi implisit diperoleh,
(3.6)
dimana menyatakan nilai optimum kebijakan. Kondisi ordo kedua untuk
mendapatkan interior solution adalah,
. (3.7)
Kondisi ordo pertama pada persamaan (3.3) mengimplikasikan bahwa
tingkat substitusi marjinal antara surplus produsen dan surplus konsumen sama
dengan inverse dari bobot politik relatif kedua kelompok kepentingan. Hal ini
berarti pemerintah menetapkan level kebijakan t untuk menyeimbangkan
penambahan dengan kehilangan bobot politik diantara kedua kelompok. Dari
kondisi ordo pertama tersebut juga diperoleh (Sarker, et al., 1993):
(3.8)
Sumber: Sarker et al., 1993
Gambar 14. Keseimbangan Ekonomi Politik
Dengan demikian nilai optimum variabel kebijakan t bervariasi tergantung pada
bobot politik relatif. Karena PS = PS(t), t = t(θ) and θ = θ(EP,EC), maka PS dan CS
masing-masing tergantung pada (EP,EC).
Pilihan optimal untuk Ei menyamakan manfaat marjinal dengan biaya
marjinal lobi. Jadi segala sesuatu yang meningkatkan manfaat marjinal atau
menurunkan biaya marjinal lobi akan meningkatkan pengeluaran lobi kelompok.
Akibatnya dari perspektif kelompok yang bersangkutan kebijakan akan
menguntungkan mereka. Keberhasilan upaya lobi tidak saja tergantung pada
pengeluaran yang dilakukan kelompok, tetapi juga ditentukan oleh tingkat
aktivitas lobi kelompok lain. Hal ini berarti terdapat hubungan strategis diantara
keputusan-keputusan lobi kelompok (Sarker, et al., 1993).
Jika proses lobi strategis ini diasumsikan mengikuti permainan tanpa
kerjasama Cournot-Nash (non-cooperative Cournot-Nash game) maka masing-
masing kelompok beranggapan aktivitas lobi yang mereka lakukan tidak
mempengaruhi perilaku lobi kelompok lain. Pada kondisi keseimbangan pilihan
pengeluaran lobi masing-masing kelompok adalah optimal pada pilihan
pengeluaran lobi kelompok lain yang tertentu. Perilaku strategis masing-masing
kelompok disajikan pada gambar 15 berikut, dimana RP dan RC secara berurutan
mencerminkan kurva reaksi produsen dan konsumen (Sarker, et al., 1993).
Masing-masing kurva menjelaskan bagaimana pilihan pengeluaran optimal
lobi Ei oleh satu kelompok tergantung pada pengeluaran lobi kelompok lain dan
kondisi keseimbangan awal terjadi pada titik e0. Penurunan biaya marjinal lobi
oleh produsen (atau meningkatnya manfaat marjinal lobi) menyebabkan
pergeseran ke atas dari kurva reaksi produsen RP dan menghasilkan keseimbangan
baru di titik e1, yang menunjukkan peningkatan pengeluaran lobi oleh produsen
dan penurunan pengeluaran lobi oleh kelompok konsumen. Hasilnya adalah
peningkatan bobot politik produsen θ, yang berarti merubah arah kebijakan yang
lebih menguntungkan produsen yaitu meningkatnya surplus produsen dan
mengurangi surplus konsumen dibanding pada kondisi keseimbangan awal
(Sarker, et al., 1993).
Sumber: Sarker et al., 1993
Gambar 15. Hasil Komparasi Statik Peningkatan Efisiensi Lobi
3.1.4. Kerangka Pemikiran Penelitian
Kerangka pemikiran diawali dengan penggunaan FPP yang dihadapi
pemerintah. Dengan fungsi ini pemerintah bertujuan memaksimumkan
kemakmuran sosial yang merupakan penjumlahan tertimbang dari surplus
produsen, surplus konsumen, dan pengeluaran pemerintah yang masing-masing
ditimbang berdasarkan bobot politik masing-masing kelompok. Gambar 16
menyajikan kerangka pemikiran penelitian menggunakan pressure group model
atau lobbying model (model Becker-Gardner) dengan tanda positif dan negatif
menunjukkan arah hubungan antar variabel penelitian secara teoritis.
Petani tebu dan pabrik gula memiliki produktivitas rendah karena
menghasilkan gula melalui proses produksi yang tidak efisien. Akibatnya gula
yang dihasilkan tidak kompetitif, namun sebagian besar petani dan pabrik gula
tidak ingin meninggalkan bisnisnya dalam produksi tebu dan gula. Mereka
kemudian menjalin kontak dengan para pembuat kebijakan untuk mempengaruhi
proses pembuatan dan implementasi kebijakan. Agar aktivitas lobi dan tekanan
politik lebih efektif maka petani membentuk organisasi petani tebu seperti
APTRI, BK-APTRI, KPTR (Koperasi Petani Tebu Rakyat) dan PPTR (paguyuban
petani tebu rakyat) dengan melibatkan politisi daerah dan pusat dalam struktur
dan jaringan organisasinya sehingga petani tebu semakin kuat menyuarakan
kepentingan ekonominya. Hal yang sama dilakukan kelompok konsumen yang
terdiri dari pengusaha makanan dan minuman serta rumahtangga pengkonsumsi
gula. Namun karena berbagai persoalan yang dihadapi maka efektifitas lobi
konsumen relatif rendah sehingga kebijakan pergulaan cenderung bias terhadap
kepentingan kelompok produsen.
Gambar 16. Kerangka Pemikiran Penelitian
Keterangan : Kelompok kepentingan dan elemennya
: Variabel penelitian
: Hubungan antar variabel penelitian
: Arah aktivitas lobi
: Aliaran barang atau hubungan kelembagaan
GKM/GKB : gula kristal mentah/baku (raw sugar)
GKR : gula kristal rafinasi (refined sugar)
GKP : gula kristal rafinasi (white crystal sugar)
WP : bobot politik produsen
WC : bobot politik konsumen
WG : bobot politik pemerintah (atau pembayar pajak)
Biaya yang ditanggung konsumen semakin besar manakala struktur pasar
gula domestik bersifat oligopolistik karena produsen gula dapat menentukan harga
gula domestik melalui pengaturan jumlah produksi terutama ketika harga gula
dunia turun. Pembatasan impor di tengah adanya market power menyebabkan
harga gula domestik menjadi relatif mahal bagi konsumen namun mereka tetap
menerima karena untuk melakukan aksi kolektif menolak kebijakan memerlukan
biaya yang lebih besar dari pada manfaat yang dapat diperoleh secara individual.
Akibatnya konsumen bersikap abai (ignorance) terhadap kebijakan pergulaan
nasional meskipun itu merugikan mereka. Selain itu karena hasil dari sebuah
kebijakan umumnya bercirikan barang publik yaitu non rival dan non excludable
maka setiap aksi kolektif akan memunculkan perilaku free ride dari sebagian
anggotanya. Semakin besar ukuran kelompok maka terdapat kecenderungan
semakin tingginya aksi free riding tersebut.
Pada sisi lain, kelompok produsen lebih terorganisir dengan membentuk
berbagai asosiasi produsen gula sehingga kontribusi masing-masing anggota
dalam memproduksi tekanan politik dapat diidentifikasi dan diukur (selective
insentive). Itulah sebabnya lobi yang dilakukan oleh kalangan produsen dalam
mempengaruhi proses pembuatan kebijakan gula lebih efektif dibanding
kelompok konsumen. Lobi dan tekanan politik yang dilakukan produsen
dimaksudkan untuk mendapatkan rente ekonomi melalui pembuatan kebijakan
yang menguntungkan kelompoknya. Oleh karena itu terdapat hubungan positif
antara aktivitas lobi dengan besarnya rente ekonomi gula. Karena rente ekonomi
juga berasal dari aktivitas impor maka terdapat hubungan negatif antara aktivitas
lobi dengan pencapaian swasembada. Konsekuensinya adalah terdapat hubungan
negatif antara pencapaian swasembada dengan besarnya rente ekonomi.
Sejumlah penelitian mengenai perilaku memburu rente (rent seeking
behaviour) menunjukkan bahwa perusahaan yang sangat tidak efisien sekalipun
dapat tetap bertahan dan memperoleh untung besar jika diproteksi dengan tarif
dan subsidi lainnya. Untuk memproduksi kebijakan yang bias ke produsen
tersebut maka produsen melakukan aktivitas perburuan rente dan mengeluarkan
sejumlah biaya untuk menghasilkan tekanan politik dan lobi terhadap pembuat
kebijakan agar kebijakan yang dihasilkan menguntungkan diri dan kelompoknya.
Dampak total dari perilaku memburu rente ini sangat serius karena kerugian yang
ditimbulkannya sangat besar. Biaya sosial akibat akivitas perburuan rente di India
mencapai 7% dari GNP, Turki 15% dari GNP perdagangan, USA 3-13% dari
GNP, UK 7% dari GCP (gross corporate product), dan Kenya 38% dari GDP
perdagangan (Mueller, 2003). Untuk negara berkembang seperti Indonesia biaya
sosial perburuan rente tentu lebih besar lagi bila melihat aktivitas checks and
balances sebagai kontrol terhadap pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik
tidak berjalan dengan baik.
Kompleksitas pergulaan nasional semakin bertambah dengan adanya
regulasi yang mengatur segmentasi peruntukan gula. Gula kristal rafinasi (GKR)
hanya boleh digunakan untuk industri makanan dan minuman sementara gula
kristal putih (GKP) untuk konsumen rumahtangga. Persoalannya adalah beberapa
kepala daerah yang tidak memiliki petani tebu dan industri gula (misalnya
Kalimantan Selatan dan Bali) memberi rekomendasi yang membolehkan GKR di
jual ke konsumen rumahtangga untuk mengatasi kelangkaan gula. Penegakan
aturan kemudian menimbulkan konflik kepentingan antara kepentingan ekonomi
daerah dengan kebijakan pemerintah pusat.
3.2. Kerangka Konseptual
3.2.1. Kegagalan Pasar dan Kegagalan Pemerintah
Kegagalan pasar, merupakan kosep teori ekonomi dimana alokasi barang
dan jasa pada sistim pasar bebas tidak mencerminkan terjadinya efisiensi.
Kegagalan pasar berhubungan dengan informasi, persaingan tidak sempurna,
eksternalitas dan barang publik. Adanya kegagalan pasar sering digunakan
sebagai justifikasi intervensi pemerintah pada pasar tertentu. Menurut teori
ekonomi-kesejahteraan ketidaksempurnaan pasar dapat dikoreksi melalui
pengeluaran dan regulasi publik hanya jika ia didasarkan pada sebuah
perencanaan ilmiah (rational and scientific planning). Akan tetapi intervensi
pemerintah justru seringkali menyebabkan alokasi sumberdaya menjadi semakin
tidak efisien dibanding dengan tanpa intervensi (Nedergaard, 2006).
Gambar 17. Keterkaitan Kegagalan Pasar dengan Kegagalan Pemerintah
“Ketidaksempurnaan” pada Sistem Ekonomi:
Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan
“Ketidaksempurnaan” pada Sistem Politik:
Pendekatan Ekonomi Politik
Kegagalan Pasar (market failure)
1. Sisi Penawaran:
Produsen(Petani dan PG) 2. Sisi Permintaan: Konsumen
Kegagalan Pemerintah (government failure)
1. Sisi Permintaan:
Produsen dan Konsumen 2. Sisi Penawaran: Politisi dan Birokrat
Sumber: diadaptasi dari Nedergaard (2006)
Seperti halnya kegagalan pasar (market failure) yang tidak berarti pasar gagal
menghasilkan solusi efisien yang diinginkan pada tingkat harga tertentu,
kegagalan pemerintah pun tidak berarti pemerintah gagal menciptakan solusi yang
diinginkan. Kegagalan pemerintah (government failure) lebih dimaksudkan untuk
menjelaskan persoalan sistematis yang menghalangi pemerintah menghasilkan
solusi yang efisien terhadap suatu persoalan. Lagi pula intervensi pemerintah
dapat terjadi tidak hanya pada persoalan kegagalan pasar, karena seringkali suatu
kelompok kepentingan justru menghendaki solusi pemerintah meskipun tersedia
solusi melalui mekanisme pasar yang lebih efisien (Stiglitz, 2008).
Gambar 17 menjelaskan intervensi pemerintah untuk mengatasi kegagalan
pasar justru menimbulkan kegagalan pemerintah yang kemudian memperburuk
kondisi kegagalan pasar pada tahap berikutnya. Unit analisis pada sistim ekonomi
adalah para pembuat keputusan individual yang terdiri dari produsen pada sisi
penawaran dan konsumen pada sisi permintaan. Model ekonomi mikro
permintaan dan penawaran pada sistim ekonomi tersebut dipadukan dengan unit
pembuat kebijakan pada sistem politik yang terdiri dari politisi dan birokrat serta
partner politiknya yaitu produsen dan konsumen gula sebagai peminta kebijakan,
dengan kepentingannya masing-masing. Kepentingan individualistik inilah yang
menjadi fondasi model penelitian.dimana politisi dan birokrat sebagai supplier
kebijakan di satu pihak berhadapan dengan produsen dan konsumen gula sebagai
demander kebijakan di lain pihak. Seperti pada teori mikroekonomi neoklasik,
semua pihak pada sistem politik akan memaksimumkan fungsi utiliti masing-
masing yaitu produsen (revenue), konsumen (daya beli), politisi (suara untuk
terpilih kembali) atau birokrat (kekuasaan dan pendapatan).
Pada tingkat ekonomi mikro, adanya kegagalan pasar pada sistem ekonomi
menyebabkan berbagai aktor ekonomi berpotensi menjadi pencari rente dalam
sistem politik yang juga tidak sempurna untuk kemudian menciptakan kegagalan
pemerintah (government failure) sehingga mempengaruhi kondisi ekonomi mikro
lebih lanjut. Hal ini berarti menambah tingkat kegagalan pasar pada sistem
ekonomi. Model tersebut menunjukkan terdapat hubungan kausalitas struktural
antara faktor dalam sistem ekonomi dengan faktor dalam sistim politik. Namun
demikian tidak ada otomatisasi dalam model karena tidak semua produsen yang
menghadapi kegagalan pasar akan mendapatkan rente ekonomi. Keseimbangan
politik antara supplier dan demander kebijakan ditentukan oleh besarnya
pengeluaran lobi dari sisi permintaan dan bagaimana distribusinya diantara
politisi, birokrat, produsen dan konsumen (Nedergaard, 2006).
3.2.2. Penentuan Bobot Politik
Kenyataan bahwa informasi mengenai pengeluaran lobi oleh berbagai
kelompok kepentingan di satu negara tidak tersedia mengakibatkan estimasi
langsung bobot politik relatif masing-masing kelompok tidak dapat dilakukan.
Alternatifnya adalah dengan mengunakan pendekatan tidak langsung revealed
preference untuk memperoleh bobot implisit berdasarkan harga yang teramati.
Berdasarkan pendekatan ini pemerintah memaksimumkan fungsi preferensi
politik (FPP) dan menunjukkan preferensinya melalui kebijakan yang dipilih
(Sarker, et al., 1993).
Pada penelitian ini kelompok kepentingan sebagai unit analisis dibagi
kedalam tiga kelompok yaitu produsen, konsumen, dan pemerintah. Penentuan
bobot politik dari masing-masing kelompok mengacu pada hasil derivasi FPP
seperti yang dilakukan Lee and Kennedy (2007). Jika PS, PD dan PW masing-
masing menyatakan harga di tingkat produsen, konsumen, dan dunia (border
price), maka manfaat neto bagi produsen pada harga PS, bukannya PW, adalah
sebesar perubahan surplus produsen dan besarnya manfaat bagi konsumen yang
berasosiasi dengan deviasi harga PW ke PD dinyatakan sebagai perubahan surplus
konsumen. Sementara itu pengeluaran neto pemerintah (GE) dinyatakan sebagai:
)()( MPQPQPGE WDDSS +−= βα (3.9)
dengan QS, QD, dan M secara berurutan menyatakan tingkat produksi, konsumsi,
dan impor neto, dan α, serta β menyatakan proporsi pembelian dan penjualan
gula yang dilakukan pemerintah (Lee and Kennedy, 2007). Jika pemerintah tidak
melakukan pembelian, penjualan dan impor gula maka GE = 0. Fungsi preferensi
politik yang dimaksimumkan dinyatakan sebagai:
))]}.()(([)]()({[(
)()(
,
SDWDDSSG
P
PC
P
PP
PP
PSPDPPDPPSPW
PPDWPPSW
MaxFPP
d
W
S
W
DS
−+−+
∂+∂= ∫∫βα
(3.10)
Kebijakan yang optimal diperoleh dengan menderivasikan fungsi PPF terhadap
masing-masing harga produsen (PS) dan harga konsumen (PD) sehingga memenuhi
ordo pertama maksimisasi berikut:
0))(('))(( =−−+=∂∂
SWSGGPSS
PPPSWWWPSP
PPF αα (3.11)
.0))(('))(( =−−−=∂∂
WDDGGCDD
PPPDWWWPDP
PPF ββ
Agar tetap konsisten dengan maksimisasi fungsi tujuan maka matriks Hessian
yang diperoleh dari turunan kedua adalah negative semi definite pada nilai optimal
PS dan PD (Lee and Kennedy, 2007). Jika hubungan fungsional antara bobot
politik dengan harga telah diketahui maka formula penentuan harga domestik
endogen (endogenous domestic price determination) untuk produsen (PS) dan
konsumen (PD) dinyatakan sebagai
G
GP
S
SWS W
WWPSPSP
Pα
αα
)()()(* +
′−= (3.12)
.
)()()(*
G
GC
D
DWD W
WWPDPDP
Pβ
ββ
−′
−= (3.13)
Kedua persamaan tersebut menunjukkan bahwa bobot politik produsen,
konsumen, dan pemerintah berperan dalam penentuan harga gula. Jika
diasumsikan elastisitas penawaran dan permintaan adalah konstan maka rentang
harga optimal yang dinyatakan sebagai persentase dari harga optimal (optimal
price wedge) adalah sebagai berikut:
,111
*
*
G
GP
S
W
S
WS
WWW
PP
PPP
Aαα
εα+
−⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −=
−= (3.14)
.111
*
*
G
GC
D
W
D
WD
WWW
PP
PPP
Bββ
ηβ−
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−=
−= (3.15)
Rentang harga optimal sebagai persentase dari harga produsen (A) dan dari harga
konsumen (B) merupakan hubungan sederhana dari bobot politik, harga,
parameter proporsionalitas, dan elastisitas penawaran (ε), dan elastisitas
permintaan (η). Persamaan tersebut mengindikasikan peran potensial bobot politik
pada setiap intervensi kebijakan harga gula yang dilakukan pemerintah. Jika
pembuat keputusan menaikkan bobot politik pemerintah (WG) maka price wedge
produsen meningkat namun price wedge konsumen menurun. Hal ini berarti
peningkatan price wedge produsen terjadi atas pengorbanan konsumen (Lee and
Kennedy, 2007).
Derivasi bobot politik untuk masing-masing kelompok kepentingan
dilakukan setelah terlebih dahulu diadakan normalisasi pembobotan. Jika
1=== GCP WWW merepresentasikan tidak adanya intervensi pemerintah, maka
bobot relatif dari masing-masing kelompok kepentingan memenuhi
3=++ GCP WWW .
Untuk penyederhanaan dibangun nilai X dan Y berdasarkan persamaan
sedemikian rupa hingga,
⎭⎬⎫
⎩⎨⎧
+⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −+
−=
εα111
S
W
S
WS
PP
PPP
X (3.16)
,111⎭⎬⎫
⎩⎨⎧
+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−+
−=
ηβ D
W
D
WD
PP
PPP
Y
dan dari persamaan optimal price wedge, persamaan (3.14) dan (3.15) serta
persamaan normalisasi pembobotan diperoleh,
.
13
YXWG βηαε +−
= (3.17)
Melalui substitusi persamaan (3.17) ke persamaan (3.14) dan (3.15) maka
diperoleh WP, WC, dan WG sebagai berikut:
YXXWP βηαε
αε+−
−=
13
(3.18)
YXYWC βηαε
βη+−
=1
3 (3.19)
CPG WWW −−= 3 . (3.20)
Dari persamaan (3.18) dan (3.19) diketahui bahwa
,0<∂∂α
PW ,0>∂∂ε
PW ,0>∂∂β
CW .0<∂∂η
CW
Hal ini mengindikasikan bahwa pembuat keputusan memiliki tendensi untuk
menambah bobot kemakmuran bagi produsen dan konsumen jika masing-masing
kurva penawaran dan permintaan relatif elastis. Sementara itu pengaruh
proporsionalitas menunjukkan bahwa pemerintah memberikan bobot kemakmuran
kecil pada produsen jika parameter α relatif tinggi, dan hal sebaliknya terjadi
untuk kelompok konsumen (Lee and Kennedy, 2007).
3.2.3. Spesifikasi Fungsi Permintaan dan Penawaran Gula
Dari persamaan (3.18) dan (3.19) diketahui bahwa untuk menghitung bobot
politik masing-masing kelompok kepentingan diperlukan informasi mengenai
elastisitas permintaan dan elastisitas penawaran terhadap harga sendiri (own price
elasticities). Karena struktur pasar gula mengindikasikan adanya kekuatan pasar
dalam penentuan harga maka pada penelitian ini digunakan model oligopolistik
Bresnahan-Lau persamaan (2.15) dan (2.17) untuk mendapatkan informasi yang
dibutuhkan tersebut seperti dilakukan Steen and Salvanes (1999).
Fungsi permintaan
,0 εαααα ++++= PZZPQ PZZP (3.21)
Fungsi biaya marjinal
WQMC WQ βββ ++= 0 (3.22)
Relasi penawaran1
,0 η
ααλβββ +⎥
⎦
⎤⎢⎣
⎡+
−++=Z
QWQPPZP
WQ
(3.23) Keterangan
Q = kuantitas, P = harga, Z = vektor variabel eksogen, harga barang substitusi, dan pendapatan. α = vektor parameter yang diestimasi, dan ε = demand error term. W = variabel eksogen pada sisi penawaran seperti harga faktor produksi, β = parameter fungsi penawaran, dan η = supply error term.
Jika αP dan αPZ diketahui (diestimasi melalui persamaan permintaan 3.21),
maka λ dapat diidentifikasi. Misalkan Q*= -Q/(αP + αPZ Z), maka λ diidentifikasi
sebagai koefisien Q*. Dalam hal ini penyertaan variabel rotasi PZ dalam fungsi
perintaan sangat krusial2. Pengeluaran variabel PZ dari persamaan permintaan
menjadikan Q*= -Q/αP sehingga tidak dapat dibedakan dengan Q pada persamaan
relasi penawaran. Implikasi ekonomi dari penyertaan variabel rotasi ini adalah
fungsi permintaan tidak dapat dipisahkan dari variabel Z (Steen and Salvanes,
1999).
3.2.4. Ketidakstasioneran dan Akar Unit
Literatur mengenai akar unit mulai mengemuka sejak Nelson and Polser
(1982) mempublikasikan sebuah artikel yang mengatakan sebagian besar data seri
ekonomi makro mengandung akar unit. sehingga hal tersebut harus diperhatikan
pada setiap analisis kebijakan ekonomi.
1Pada tingkat industry perusahaan berusaha memaksimumkan keuntungan yang dinyatakan sebagai dimana D-1(Q) adalah inverse demand function, C(Q) adalah fungsi biaya. (untuk
penyederhanaan Z, W, α, dan β dikeluarkan dari persamaan). Kondisi ordo pertama untuk maksimisasi keuntungan adalah atau
Perusahaan menerima porsi keuntungan λ sehingga sama dengan persamaan dan
2Keluarkan PZ dari fungsi permintaan sehingga persamaan relasi penawaran menjadi dimana Relasi penawaran masih teridentifikasi namun kita tidak mengetahui apakah yang ditelusuri tersebut adalah P=MC atau MR=MC.
Terdapat perbedaan substansial antara data stasioner dengan data tidak stasioner
sehingga implikasinya pun berbeda. Jika data tidak stasioner dianalisis dengan
regresi standar (misalnya OLS) maka terdapat persoalan serius yang diakibatkan
oleh nilai variance dan standar error yang sangat besar. Untuk mengatasi data
yang tidak stasioner tersebut peneliti umumnya melakukan differencing data guna
menghilangkan random walk dan trend yang menyebabkan ketidak-stasioneran
data. Namun demikian jika menggunakan data difference maka peneliti
kehilangan informasi mengenai hubungan jangka panjang dari variabel-variabel
yang dianalisis.
Engle dan Granger (1987) memperkenalkan konsep kointegrasi
(cointegration) untuk mengatasi data tidak stasioner tersebut sekaligus tetap
mendapatkan informasi hubungan jangka panjang antar variabel karena first
differencing tidak diperlukan untuk mendapatkan stasioneritas data. Namun
demikian sebelum dilakukan uji kointegrasi terlebih dahulu dilakukan pengujian
terhadap adanya akar unit (unit root) yang terkandung pada data time series
tersebut.
Sebuah data time series dikatakan covariance stationary jika nilai rata-rata
(mean) data seri tersebut tertentu dan tidak tergantung terhadap waktu (time
independent), dan pada setiap periode waktu data seri memiliki rata-rata yang
sama (Verbeek, 2000),
E(xt) = E(xt-s) = x
Variance dari data seri juga tertentu dan tidak dipengaruhi waktu,
Var(xt) = Var(xt-s) = atau .
Autocovariance tertentu dan tidak dipengaruhi waktu,
dengan adalah konstan dan stasioner.
Jika ketiga kondisi terpenuhi maka data seri memenuhi weak stationarity.
Namun jika probabilitas distribusi P(x1, ….., xt) juga stasioner maka data seri
dikatakan strictly stationary. Jika data seri xt stasioner maka untuk t, j, dan s,
Jika probabilitas distribusi data time series berubah dengan berjalannya waktu
maka data time seri tersebut dikatakan tidak stasioner dan sebagian besar data
ekonomi time series adalah tidak stasioner dalam level (variabel sebelum
dilakukan differencing). Salah satu cara mengatasinya adalah dengan
menghilangkan pengaruh waktu melalui proses detrending. Dengan cara ini
variabel ekonomi diregresikan terhadap waktu dan menggunakan nilai rasidualnya
sebagai detrended series. Jika hasilnya adalah stasioner maka variabel tersebut
dikatakan sebagai detrending stationary variable karena proses trend strationary
terjadi karena adanya deterministic trend. Cara kedua adalah dengan melakukan
differencing terhadap variabel yang tidak stasioner dan menggunakannya sebagai
detrended series. Jika stasioneritas tercapai setelah dilakukan differencing maka
variabel tersebut dikatakan sebagai difference stationary, dan sebuah proses
difference stationary adalah random walk karena mengandung stochastic trend.
Engle and Granger (1987) memberikan cara untuk menguji stisioneritas dari
seri individu dengan menggunakan statistik Dickey-Fuller (DF) dan Augmented
Dickey-Fuller (ADF). Pengujian in berdasarkan t statistic terhadap δ yang
diperoleh dari hasil regresi dengan OLS terhadap masing-masing seri, yaitu,
(3.24)
(3.25)
dimana lag length k untuk menjamin bahwa et secara empiris adalah white noise.
H0 : X adalah I(1) dan Ha adalah I(0). H0 ditolah jika nilai t statistic dari δ adalah
negatif dan significant dibandingkan dengan nilai kritis yang digunakan untuk
menguji stasioneritas.
Jika properti stasioneritas data seri individual telah dilalui maka kombinasi
linear dari seri yang terintegrasi perlu diuji untuk mengetahui adanya kointegrasi.
Jika kombinasi linear dari seri individual yang non stasioner menghasilkan seri
data yang stasioner maka diantara variabel terdapat kointegrasi yang berarti
terdapat hubungan atau keseimbangan jangka panjang diantara variabel. Jika tidak
terintegrasi maka regresi I(1) variabel terhadap variabel lainnya akan semu
(spurious), namun menghasilkan R2 tinggi dan cenderung menolak H0 tidak
adanya korelasi meskipun tidak terdapat hubungan antara variabel tersebut
3.2.5. Kointegrasi dan Mekanisme Perbaikan Kesalahan
Kointegrasi semakin mendapat perhatian terutama pada analisis untuk
menjelaskan hubungan atau keseimbangan jangka panjang, dan hubungan
keseimbangn terjadi jika varibel-variabel yang terdapat di dalam model
terkointegrasi. Kondisi yang diperlukan untuk terjadinya kointegrasi adalah data
seri dari masing-masing veriabel menunjukkan properti statistik yang sama yaitu
terintegrasi pada ordo yang sama yang ditunjukkan oleh adanya hubungan atau
kombinasi linear dari seri data yang terkointegrasi tersebut. Suatu variabel
dikatakan terintegrasi dengan ordo I(0) jika ia stasioner dalam level (stationary in
level form) yaitu memiliki variance dan autokorelasi konstan dengan berjalannya
waktu (Tambi, 1999). Namun demikian sebagian besar data seri ekonomi
cenderung mengikuti proses stokastik yang tidak stasioner, yaitu:
(3.26)
dengan α adalah konstant drift, β=1, dan et adalah komponen kesalahan (error
term). Jika et memiliki nilai rata-rata nol, variance konstan dan covariance nol
maka Xt adalah random walk dan dikatakan terintegrasi dengan ordo I(1). Variabel
Xt terintegrasi karena merupakan penjumlahan dari nilai dasar X0 (base value) dan
perbedaan X sampai waktu t. Karena β adalah unity (satu) maka X dikatakan
memilki akar unit (unit root), dan jika X tidak stasioner maka variance menjadi
tidak terbatas (infinite) dan setiap goncangan (shock) tidak menuju pada nilai rata-
ratanya (mean level). Satu data seri yang tidak stasioner perlu dilakukan
differencing untuk membuatnya stasioner. Xt dikatakan terintegrasi dengan ordo
Dx atau Xt~I(D) jika memerlukan differencing Dx kali untuk membuatnya stasioner
(Tambi, 1999).
Prosedur untuk menguji kointegrasi melalui dua tahap yaitu: (1) OLS
standar yang dilakukan pada level variabel untuk mendapatkan ordo integrasi dari
kombinasi linear tertentu. Nilai estimasi e diperoleh melalui
(3.27)
dengan H0 bahwa e mengandung unit root sehingga merupakan random walk diuji
dengan Ha bahwa ia stasioner dengan uji DF dan ADF. Uji DF dilakukan
berdasarkan OLS untuk regresi
dan uji ADF yang analog dengan uji DF didasarkan pada regresi dengan OLS
berikut
(3.28)
dimana et adalah estimasi tahap pertama dari nilai lag difference residual error
dan panjang lag k untuk mendapatkan white noise empiris (Tambi, 1999).
Model data seri yang memiliki hubungan keseimbangan jangka panjang
namun memiliki divergensi jangka pendek dapat diakomodasi dengan representasi
perbaikan kesalahan (error-correction representation). Model mekanisme
perbaikan kesalahan menangkap dinamika jangka pendek dan membuatnya
konsisten dengan dinamika jangka panjang. Hal ini dilakukan melalui tahap (2)
dari prosedur Engel-Granger yaitu mengestimasi model perbaikan kesalahan
dimana residual dari regresi keseimbangan kointegrasi digunakan sebagai regresor
perbaikan kesalahan (EC dengan lag period) pada model dinamik, yang
dinyatakan sebagai,
(3.29)
dengan menyatakan perubahan tingkat keseimbangan yang diinginkan
(desired equilibrium level) dan merupakan bentuk lag dari persamaan
hubungan jangka panjang. Persamaan perbaikan kesalahan diestimasi dengan
memasukkan regresor ECt-1 untuk menangkap dinamika jangka pendek (Tambi,
1999).
3.2.6. Model Oligopolistik Dinamik
Pasar dengan sendirinya bersifat dinamis dan perusahaan memiliki
kemampuan untuk mempengaruhi struktur dan juga tingkat persaingan (degree of
competition). Dengan mempengaruhi struktur maka harga dan atau kuantitas
menjadi veriabel keputusan yang strategis. Oleh karena itu dalam penelitian ini
digunakan model dinamik dengan mekanisme perbaikan kesalahan (error
correction mechanism, ECM). Pertimbangan utama penggunaan pendekatan
dinamik adalah untuk mengetahui dinamika jangka pendek sekaligus mengatasi
persoalan data yang tidak stasioner karena regresi terhadap data yang tidak
stasioner akan menghasilkan informasi hubungan jangka panjang yang semu
(spurious). Kerangka model ECM memungkinkan untuk mengakomodasikan
deviasi terhadap keseimbangan jangka panjang sebagai akibat random shock,
kekakuan harga, kontrak dan juga perubahan musiman dari penawaran dan
permintaan (Steen and Salvanes, 1999). Dengan menyertakan lag dari variabel
endogen, model ECM memungkinkan untuk menganalisis faktor dinamis
kebiasaan (habit) dari sisi permintaan, seperti juga adanya adjustment cost yang
ditanggung produsen pada sisi penawaran. Dengan demikian ECM mengatasi dua
persoalan sekaligus yaitu masalah statistik dinamika jangka pendek data dan
mengakomodasi pentingnya faktor dinamis seperti kebiasaan dan biaya
penyesuaian (adjustment cost).
Model oligopolistik dinamik untuk fungsi permintaan persamaan (3.21) menjadi,
dengan dan (3.30)
Sementara itu model relasi penawaran dinamik dari persamaan (3.23) adalah,
dengan , dan (3.31)
3.3. Hipotesis
Aktivitas lobi oleh kelompok produsen dapat meningkatkan produksi melalui
pengaruhnya terhadap harga output maupun biaya faktor. Kebijakan kuota dan
tarif impor gula meningkatkan harga gula di dalam negeri sehingga produsen
mendapatkan insentif untuk meningkatkan produksi. Namun tidak seperti pada
pasar kompetitif, pada struktur pasar oligopolistik dengan market power produsen
berproduksi pada perceived MR = MC yang menghasilkan output lebih kecil
dibandingkan output pasar kompetitif namun produsen mendapatkan rente
ekonomi karena menerima harga di atas harga paritas impor. Sementara itu
importir menerima rente ekonomi sebagai akibat pembatasan jumlah importir
karena importir membeli dengan harga dunia dan menjualnya di pasar domestik
dengan harga lebih tinggi. Hal ini tidak sulit dilakukan karena importir gula
umumnya adalah prosesor dan produsen gula yang mendapat lisensi impor
melalui fasilitas importir produsen dan importir terdaftar. Oleh karena itu,
berdasarkan proposisi tersebut diajukan tiga hipotesis untuk diuji kebenarannya.
1. Terdapat hubungan negatif antara aktivitas lobi yang dilakukan para produsen
gula dengan tingkat swasembada yang dicapai.
2. Terdapat hubungan positif antara aktivitas lobi produsen dengan biaya sosial
perburuan rente.
3. Terdapat hubungan negatif antara pencapaian swasembada dengan besarnya
rente ekonomi.
3.4. Ikhtisar
Pada Bab 3 dibangun kerangka pemikiran yang dibagi menjadi kerangka
teoritis dan kerangka konseptual. Pada bagian pertama disajikan kristalisasi teori
yang secara umum telah diulas pada bab sebelumnya yang menjadi landasan
berfikir untuk penelitian ini. Bagian ini diawali dengan uraian mengenai proses
pembuatan kebijakan dan keterkaitan antar elemen yang menjadi domain ilmu
ekonomi dengan elemen yang menjadi domain ilmu politik. Dalam memberikan
penjelasan terhadap proses pembuatan kebijakan ini terdapat dua pilihan teori
ekonomi politik yang tersedia yaitu voting model dan interest group model. Ketika
kebijakan pergulaan cenderung protektif sementara jumlah produsen gula relatif
kecil maka hal ini mengindikasikan kebijakan pergulaan tidak tepat didekati
melalui electoral channel. Oleh karena itu bagian ini menguraikan secara rinci
kerangka kerja model kelompok kepentingan yang oleh Becker disebut dengan
pressure group model sementara Gardner menggunakan istilah lobbying model.
Oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan istilah model Becker-Gardner
sebagai operasionalisasi dari model kelompok kepentingan seperti dilakukan oleh
Sarker, et al. (1993). Ketika kerangka teoritis model kelompok kepentingan secara
umum telah diperoleh maka ia kemudian digunakan untuk membangun kerangka
pemikiran penelitian.
Setelah kerangka pemikiran penelitian yang sekaligus menjadi model teoritis
telah dibangun maka pada bagian berikutnya disajikan kerangka konseptual
penelitian sebagai cara mengoperasionalkan model teoritis tersebut. Pada bagian
ini disajikan berbagai kerangka konseptual penelitian untuk memberikan
penjelasan terhadap kompleksitas pergulaan nasional. Secara spesifik, interaksi
antara produsen dan konsumen gula dijelaskan pada sistem ekonomi dalam
kaitannya dengan produsen dan konsumen kebijakan pada sistem politik.
Untuk menjelaskan bekerjanya pasar kebijakan pada sistem politik maka
diperkenalkan variabel bobot politik sebagai proksi dari kemampuan lobi berbagai
kelompok kepentingan di industri gula. Namun karena penentuan bobot politik
memerlukan informasi mengenai elastisitas permintaan dan penawaran gula pada
struktur pasar gula dalam negeri yang oligopolistik maka dibangun model
permintaan dan penawaran gula berdasarkan model oligopolistik Bresnahan-Lau.
Persoalan muncul karena data ekonomi rentang waktu (time series) yang
digunakan umumnya bersifat non stasioner pada level namun stasioner pada beda
pertama. Oleh karena itu untuk menghindari hasil estimasi yang semu (spurious)
maka model oligopolistik Bresnahan-Lau dimodifikasi menjadi bentuk dinamik
melalui mekanisme perbaikan kesalahan (error correction mechanism).