impetigo bulosa
TRANSCRIPT
PENDAHULUAN
Impetigo adalah infeksi kulit yang menyebabkan terbentuknya lepuhan-
lepuhan kecil berisi nanah (pustula). Impetigo paling sering menyerang
anak-anak, terutama yang kebersihan badannya kurang dan bisa muncul
di bagian tubuh manapun, tetapi paling sering ditemukan di wajah,
lengan dan tungkai. Pada dewasa, impetigo bisa terjadi setelah penyakit
kulit lainnya. Impetigo bisa juga terjadi setelah suatu infeksi saluran
pernapasan atas misalnya flu atau infeksi virus lainnya.
Istilah impetigo berasal dari bahasa Latin yang berarti serangan, dan
telah digunakan untuk menjelaskan gambaran seperti letusan
berkeropeng yang biasa nampak pada daerah permukaan kulit. Ada dua
tipe impetigo, yaitu impetigo bullosa dan impetigo non-bullosa. Impetigo
non-bullosa disebut juga impetigo krustosa atau impetigo kontagiosa.
Sumber infeksi yang sering ditemukan pada anak-anak adalah berasal
dari hewan peliharaan, kuku yang kotor, dan penularan dari teman
sekolahnya. Sedangkan pada orang dewasa, penularan penyakit dapat
diperoleh dari tempat cukur, salon kecantikan, kolam renang dan tertular
dari anak.
Impetigo krustosa merupakan bentuk pioderma yang paling
sederhana.dan terbatas pada daerah epidermis atau superfisialis kulit.
Dasar infeksi adalah kurangnya hygiene dan terganggunya fungsi kulit.
Masa inkubasi atau waktu terkena penyakit ini sampai tampak gejalanya
memakan waktu 1 sampai 3 hari. Itupun tergantung pada kondisi tubuh
pasien
Insiden impetigo ini terjadi hampir di seluruh dunia dan pada umumnya
menyebar melalui kontak langsung. Paling sering menyerang anak-anak
usia 2-5 tahun, namun tidak menutup kemungkinan untuk semua umur
dimana frekuensi laki-laki dan wanita sama. Sebuah penelitian di Inggris
menyebutkan bahwa insiden tahunan dari impetigo adalah 2.8 % terjadi
pada anak-anak usia di bawah 4 tahun dan 1.6 persen pada anak-anak
usia 5 sampai 15 tahun. Impetigo nonbullous atau impetigo krustosa
meliputi kira-kira 70 persen dari semua kasus impetigo. Kebanyakan
kasus ditemukan di daerah tropis atau beriklim panas serta pada negara-
negara yang berkembang dengan tingkat ekonomi masyarakatnya masih
tergolong lemah atau miskin.
Organisme penyebab dari impetigo krustosa adalah Staphylococcus
aureus selain itu, dapat pula ditemukan Streptococcus beta-hemolyticus
grup A (Group A betahemolytic streptococci (GABHS) yang juga
diketahui dengan nama Streptococcus pyogenes). Sebuah penelitian di
Jepang menyatakan peningkatan insiden impetigo yang disebabkan oleh
kuman Streptococcus grup A sebesar 71% dari kasus, dan 72% dari
kasus tersebut ditemukan pula Staphylococcus aureus pada saat isolasi
kuman.
Staphylococcus dominan ditemukan pada awal lesi. Jika kedua kuman
ditemukan bersamaan, maka infeksi streptococcus merupakan infeksi
penyerta. Kuman S. pyogenes menular ke individu yang sehat melalui
kulit, lalu kemudian menyebar ke mukosa saluran napas. Berbeda
dengan S. aureus, yang berawal dengan kolonisasi kuman pada mukosa
nasal dan baru dapat ditemukan pada isolasi kuman di kulit pada sekitar
11 hari kemudian.
Pada impetigo krustosa non bullous, infeksi ditemukan pada bagian
minor dari trauma (misalnya : gigitan serangga, abrasi, cacar ayam,
pembakaran). Trauma membuka protein-protein di kulit sehingga bakteri
mudah melekat, menyerang dan membentuk infeksi di kulit. Pada
epidermis muncul neutrophilic vesicopustules. Pada bagian atas kulit
terdapat sebuah infiltrate yang hebat yakni netrofil dan limfosit. Bakteri
gram-positif juga ada dalam lesi ini.
Eksotoksin Streptococcus pyrogenic diyakini menyebabkan ruam pada
daerah berbintik merah, dan diduga berperan pada saat kritis dari
Streptococcal toxic shock syndrome. Kira-kira 30% dari populasi bakteri
ini berkoloni di daerah nares anterior. Bakteri dapat menyebar dari
hidung ke kulit yang normal di dalam 7-14 hari, dengan lesi impetigo
yang muncul 7-14 hari kemudian.
Gejala
Bintik-bintik merah yang kecil menjadi lepuh yang berisi nanah dan
berkeropeng; biasanya pada muka, tangan atau kepala. Impetigo
berawal sebagai luka terbuka yang menimbulkan gatal, kemudian
melepuh, mengeluarkan isi lepuhannya lalu mengering dan akhirnya
membentuk keropeng.
Besarnya lepuhan bervariasi, mulai dari seukuran kacang polong
sampai seukuran cincin yang besar. Lepuhan ini berisi carian
kekuningan disertai rasa gatal.
Penyakit ini biasanya asimetris yang ditandai dengan lesi awal
berbentuk makula eritem pada wajah, telinga maupun tangan yang
berubah dengan cepat menjadi vesikel berisi cairan bening atau
pustul dengan cepat dan dikelilingi oleh suatu areola inflamasi, bila
mengering akan mengeras menyerupai batu kerikil yang melekat di
kulit. Jika diangkat maka daerah tempat melekatnya tadi nampak
basah dan berwarna kemerahan.
Tahap ini jarang terlihat karena kulit vesikel sangat tipis dan mudah
rupture. Pada dasar vesikel terdapat eksudasi, jika mengering akan
menjadi krusta warna kuning. Lesi awalnya kecil (ukuran kira-kira 3-
10 mm), tapi kemudian dapat membesar. Bila lesi sembuh tidak akan
meninggalkan bekas. Lesi bias annular, circinata atau bundar
menyerupai Tinea circinata. Lesi satelit dapat terbentuk di sekitar lesi
utama yang disebabkan oleh adanya autoinoculation.
Tanda khas dari impetigo krustosa ini adalah warna kemerahan
seperti madu atau kuning keemasan ’honey-colored’. Pada daerah
tropis umumnya terjadi pada anak-anak yang kurang gizi, erupsinya
bias luas dan bereaksi lambat terhadap terapi. Umumnya terjadi pada
daerah-daerah tubuh yang terbuka seperti wajah, mulut, telapak
tangan atau leher.
Tidak disertai gejala umum. Tempat predileksi di muka, yakni di
sekitar lubang hidung dan mulut karena dianggap sumber infeksi dari
daerah tersebut. Kelainan kulit berupa eritema dan vesikel yang cepat
memecah sehingga jika penderita datang berobat, yang terlihat ialah
krusta tebal berwarna kuning seperti madu. Jika dilepaskan tampak
erosi di bawahnya. Sering krusta menyebar ke perifer dan sembuh di
bagian tengah.
Streptokkus yang menginfeksi anak-anak dan yang lebih tua tidak
berbeda dengan yang terkena/menyebar pada populasi yang lain,
walaupun perlu dipertimbangkan bahwa tingkat infeksi yang lebih
serius bias berbeda dari kedua kelompok umur tersebut. Keluhan
utama adalah rasa gatal. Lesi awal berupa macula eritematosa
berukuran 1 – 2 mm, segera berubah menjadi vesikel atau bula.
Karena dinding vesikel tipis, mudah pecah dan mengeluarkan secret
seropurulen kuning kecoklatan. Selanjutnya mengering membentuk
krusta yang berlapis-lapis. Krusta mudah dilepaskan, di bawah krusta
terdapat daerah erosif yang mengeluarkan secret sehingga krusta
kembali menebal.
Bisa terjadi pembengkakan kelenjar getah bening di sekitar daerah
yang terinfeksi.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa dan gambaran klinis
dari lesi. Kultur dilakukan bila terdapat kegagalan pengobatan dengan
terapi standar, biopsy jarang dilakukan. Biasanya diagnose dari
impetigo dapat dilakukan tanpa adanya tes laboratorium. Namun
demikian, apabila diagnosis tersebut masih dipertanyakan, tes
mikrobiologi pasti akan sangat menolong.
Laboratorium rutin Pada pemeriksaan darah rutin, lekositosis
ringan hanya ditemukan pada 50% kasus pasien dengan impetigo.
Pemeriksaan urinalisis perlu dilakukan untuk mengetahui apakah
telah terjadi glomerulonefritis akut pasca streptococcus (GNAPS),
yang ditandai dengan hematuria dan proteinuria.
Pemeriksaan imunologis Pada impetigo yang disebabkan oleh
streptococcus dapat ditemukan peningkatan kadar anti
deoksiribonuklease (anti DNAse) B antibody.
Pemeriksaan mikrobiologis Eksudat yang diambil di bagian bawah
krusta dan cairan yang berasal dari bulla dapat dikultur dan dilakukan
tes sensititas. Hasil kultur bisa memperlihatkan S. pyogenes, S.
aureus atau keduanya. Tes sensitivitas antibiotic dilakukan untuk
mengisolasi metisilin resistar. S. aureus (MRSA) serta membantu
dalam pemberian antibiotic yang sesuai. Pewarnaan gram pada
eksudat memberikan hasil gram positif. Pada blood agar koloni kuman
mengalami hemolisis dan memperlihatkan daerah yang hemolisis di
sekitarnya meskipun dengan blood agar telah cukup untuk isolasi
kuman, manitol salt agar atau medium Baierd-Parker egg Yolk-
tellurite direkomendasikan jika lesi juga terkontaminasi oleh organism
lain. Kemampuan untuk mengkoagulasi plasma adalah tes paling
penting dalam mengidentifikasi S. aureus. Pada sheep blood agar, S.
pyogenes membentuk koloni kecil dengan daerah hemolisis
disekelilingnya. Streptococcus dapat dibedakan dari Staphylokokkus
dengan tes katalase. Streptococcus memberikan hasil yang negative.
Penanganan
Perawatan Umum : memperbaiki higien dengan membiasakan
membersihkan tubuh dengan sabun, memotong kuku dan senantiasa
mengganti pakaian. Perawatan luka dan tidak saling tukar menukar
dalam menggunakan peralatan pribadi (handuk, pakaian, dan alat
cukur)
Sistemik Pengobatan sistemik di indikasikan jika terdapat factor
yang memperberat impetigo seperti eczema. Untuk mencegah infeksi
sampai ke ginjal maka di anjurkan untuk melakukan pemeriksaan
urine. Bakteri pun di uji untuk mengetahui ada tidaknya resistensi
antibiotic. Pada impetigo superficial yang disebabkan streptococcus
kelompok A, penisilin adalah drug of choice. Penisilin oral yang
digunakan adalah potassium Phemmoxymethylpenicilin. Bila resisten
bias digunakan oxacilin dengan dosis 2,5 gr/ hari dan dosis untuk
anak-anak disesuaikan dengan umur. Dapat juga digunakan
eritromisin dosis 1,5 – 2,0 g yang diberikan 4 kali sehari.
Penisilin V oral (250mg per oral) efektif untuk streptokokkus atau
staphylokokkus aureus non-penisilin. Penisilin semi sentetis, methicin,
atau oxacilin (500mg setiap 4-6 jam) diberikan untuk staphylokokkus
yang resisten terhadap penisilin eritromisin (250mg 4 kali sehari)
lebih efektif dan aman, di gunakan pada pasien yang sensitive
terhadap penisilin.
Antibiotik oral Antibiotik oral diberikan bila : Erupsi memberat dan
semakin meluas. Anak lain yang terpapar infeksi atau bila bentuk
nephritogenik telah berlebihan, Terapi oral diberikan bila pengobatan
topical meragukan atau pada kasus yang disertai folliculitis
Topikal Pengobatan topikal dilakukan apabila krusta dan sisa
impetigo telah dibersihkan dengan cara mencucinya menggunakan
sabun antiseptic dan air bersih. Untuk krusta yang lebih luas dan
berpotensi menjadi lesi sebaiknya menggunakan larutan antiseptic
atau pun bubuk kanji. Dapat menggunakan asam salisil 3-6% untuk
menghilankan krusta. Bila krusta hilang maka penyebaranya akan
terhenti. Pustule dan bula didrainase. Bila dasar lesi sudah terlihat,
sebaiknya diberikan preparat antibiotic pada lesi tersebut dengan
hati-hati sebanyak 4 kali sehari. Preparat antibiotik juga dapat
digunakan untuk daerah yang erosive. Misalnya menggunakan krim
neomycin yang mengandung clioquinol 0,5%-1% atau asam salisil 3%-
5%
Komplikasi
Infeksi dari penyakit ini dapt tersebar keseluruh tubuh utamanya pada
anak-anak.
Jika tidak di obati secara teratur, maka penyakit ini dapat berlanjut
menjadi glomerulonefritis (2-5%) akut yang biasanya terjadi 10 hari
setelah lesi impetigo pertama muncul, namun bias juga terjadi setelah
1-5 minggu kemudian.
Prognosis
Secara umum prognosis dari penyakit ini adalah baik jika dilakukan
pengobatan yang teratur, meskipun dapat pula komplikasi sistemik
seperti glomerulonefritis dan lain-lain.
Lesi mengalami perbaikan setelah 7-10 hari pengobatan.
Pencegahan
Mencuci tangan dengan teliti. Infeksi bisa dicegah dengan
memelihara kebersihan dan kesehatan badan. Goresan ringan atau
luka lecet sebaiknya dicuci bersih dengan sabun dan air, bila perlu
olesi dengan zat anti-bakteri.
Hindari kontak dengan cairan yang berasal dari lepuhan di kulit
Hindari pemakaian bersama handuk, pisau cukur atau pakaian dengan
penderita
Selalu mencuci tangan setelah menangani lesi kulit.
Referensi
Cole C, Gazewood J. Diagnosis and treatment of impetigo. Am Fam
Physician. Mar 15 2007;75(6):859-64.
Moulin F, Quinet B, Raymond J, Gillet Y, Cohen R. [Managing children
skin and soft tissue infections]. Arch Pediatr. Oct 2008;15 Suppl
2:S62-7.
Hirschmann JV. Impetigo: etiology and therapy. Curr Clin Top Infect
Dis. 2002;22:42-51.
Moran GJ, Amii RN, Abrahamian FM, Talan DA. Methicillin-resistant
Staphylococcus aureus in community-acquired skin infections. Emerg
Infect Dis. Jun 2005;11(6):928-30.
Kuniyuki S, Nakano K, Maekawa N, Suzuki S. Topical antibiotic
treatment of impetigo with tetracycline. J Dermatol. Oct
2005;32(10):788-92.
Treating impetigo in primary care. Drug Ther Bull. Jan 2007;45(1):2-4
Broccardo CJ, Mahaffey S, Schwarz J, et al. Comparative proteomic
profiling of patients with atopic dermatitis based on history of eczema
herpeticum infection and Staphylococcus aureus colonization. J
Allergy Clin Immunol. Jan 2011;127(1):186-93, 193.e1-11.
Yamasaki O, Tristan A, Yamaguchi T, et al. Distribution of the
exfoliative toxin D gene in clinical Staphylococcus aureus isolates in
France. Clin Microbiol Infect. Jun 2006;12(6):585-8.
Daskalaki M, Rojo P, Marin-Ferrer M, Barrios M, Otero JR, Chaves F.
Panton-Valentine leukocidin-positive Staphylococcus aureus skin and
soft tissue infections among children in an emergency department in
Madrid, Spain. Clin Microbiol Infect. Jan 2010;16(1):74-7.
Geria AN, Schuartz RA. Impetigo Update: New Challenges in the Era
of Methicillin Resistance. Cutis. 2010;85(2):65-70.
Geng W, Yang Y, Wu D, et al. Molecular characteristics of community-
acquired, methicillin-resistant Staphylococcus aureus isolated from
Chinese children. FEMS Immunol Med Microbiol. Apr 2010;58(3):356-
62.
Liu Y, Kong F, Zhang X, Brown M, Ma L, Yang Y. Antimicrobial
susceptibility of Staphylococcus aureus isolated from children with
impetigo in China from 2003 to 2007 shows community-associated
methicillin-resistant Staphylococcus aureus to be uncommon and
heterogeneous. Br J Dermatol. Dec 2009;161(6):1347-50.
Loffeld A, Davies P, Lewis A, Moss C. Seasonal occurrence of
impetigo: a retrospective 8-year review (1996-2003). Clin Exp
Dermatol. Sep 2005;30(5):512-4.
Koning S, Verhagen AP, van Suijlekom-Smit LW, et al. Interventions
for impetigo.Cochrane Database Syst Rev. 2004;CD003261.
Razmjou RG, Willemsen SP, Koning S, et al. Determinants of regional
differences in the incidence of impetigo. Environ Res. Jul
2009;109(5):590-3.
Spurling G, Askew D, King D, Mitchell GK. Bacterial skin infections–an
observational study. Aust Fam Physician. Jul 2009;38(7):547-51.
Patrizi A, Raone B, Savoia F, Ricci G, Neri I. Recurrent toxin-mediated
perineal erythema: eleven pediatric cases. Arch Dermatol. Feb
2008;144(2):239-43.
George A, Rubin G. A systematic review and meta-analysis of
treatments for impetigo.Br J Gen Pract. Jun 2003;53(491):480-7.
Koning S, Verhagen AP, van Suijlekom-Smit LW, Morris A, Butler CC,
van der Wouden JC. Interventions for impetigo. Cochrane Database
Syst Rev. 2004;CD003261.
Stevens DL, Bisno AL, Chambers HF, et al. Practice guidelines for the
diagnosis and management of skin and soft-tissue infections. Clin
Infect Dis. Nov 15 2005;41(10):1373-406.
Brown J, Shriner DL, Schwartz RA, Janniger CK. Impetigo: an
update. Int J Dermatol. Apr 2003;42(4):251-5.
George A, Rubin G. A systematic review and meta-analysis of
treatments for impetigo.Br J Gen Pract. Jun 2003;53(491):480-7.
Mancini AJ. Bacterial skin infections in children: the common and the
not so common.Pediatr Ann. Jan 2000;29(1):26-35.
American Academy of Pediatrics. Group A Streptococcal infections. In:
Pickering LK, Baker CJ, Kimberlin DW, Long SS, eds. Red Book: 2009
Report of the Committee on Infectious Diseases. 28th ed. Elk Grove
Village, Ill: American Academy of Pediatrics; 2009:616-28.
Ludlam H, Cookson B. Scrum kidney: epidemic pyoderma caused by a
nephritogenic Streptococcus pyogenes in a rugby team. Lancet. Aug 9
1986;2(8502):331-3.
Belgemen T, Suskan E, Dogu F, Ikinciogullari A. Selective
immunoglobulin M deficiency presenting with recurrent impetigo: a
case report and review of the literature. Int Arch Allergy Immunol.
2009;149(3):283-8.
Sarabi K, Khachemoune A. Tinea capitis: a review. Dermatol Nurs.
Dec 2007;19(6):525-9; quiz 530.
Popovich D, McAlhany A. Accurately diagnosing commonly
misdiagnosed circular rashes. Dermatol Nurs. Aug 2008;20(4):294-
300.
Gorani A, Oriani A, Cambiaghi S. Seborrheic dermatitis-like tinea
faciei. Pediatr Dermatol. May-Jun 2005;22(3):243-4.
Hayakawa K, Hirahara K, Fukuda T, Okazaki M, Shiohara T. Risk
factors for severe impetiginized atopic dermatitis in Japan and
assessment of its microbiological features.Clin Exp Dermatol. Jul
2009;34(5):e63-5.
Rashid R, Hymes S. Folliculitis, follicular mucinosis, and papular
mucinosis as a presentation of chronic myelomonocytic
leukemia. Dermatol Online J. May 15 2009;15(5):16.
Scheinfeld N. A Primer In Topical Antibiotics For The Skin And Eyes. J
Drugs Dermatol. 2008;7(4):409-415.
Wilkinson RD, Carey WD. Topical mupirocin versus topical neosporin
in the treatment of cutaneous infections. Int J Dermatol. Sep
1988;27(7):514-5.
Bass JW, Chan DS, Creamer KM, et al. Comparison of oral cephalexin,
topical mupirocin and topical bacitracin for treatment of
impetigo. Pediatr Infect Dis J. Jul 1997;16(7):708-10.
Silverberg N, Block S. Uncomplicated skin and skin structure
infections in children: diagnosis and current treatment options in the
United States. Clin Pediatr (Phila). Apr 2008;47(3):211-9.
Koning S, van der Wouden JC, Chosidow O, et al. Efficacy and safety
of retapamulin ointment as treatment of impetigo: randomized double-
blind multicentre placebo-controlled trial. Br J Dermatol. May
2008;158(5):1077-82.
Jacobs MR. Retapamulin: a semisynthetic pleuromutilin compound for
topical treatment of skin infections in adults and children. Future
Microbiol. Dec 2007;2(6):591-600.
Jones RS. Expert advice on erasing the MRSA threat. Pract Dermatol.
2005;34-7.
Woodford N, Afzal-Shah M, Warner M, Livermore DM. In vitro activity
of retapamulin against Staphylococcus aureus isolates resistant to
fusidic acid and mupirocin. J Antimicrob Chemother. Oct
2008;62(4):766-8.
Boyd B, Castañar J. Retapamulin. Drugs Future. 2006;31:107.
Oranje AP, Chosidow O, Sacchidanand S, et al. Topical retapamulin
ointment, 1%, versus sodium fusidate ointment, 2%, for impetigo: a
randomized, observer-blinded, noninferiority study. Dermatology.
2007;215(4):331-40.
Drug and Therapeutics Bulletin. Retapamulin for impetigo and other
infections. Drug Ther Bull. Oct 2008;46(10):76-9.
Denton M, O’Connell B, Bernard P, Jarlier V, Williams Z, Henriksen
AS. The EPISA study: antimicrobial susceptibility of Staphylococcus
aureus causing primary or secondary skin and soft tissue infections in
the community in France, the UK and Ireland. J Antimicrob
Chemother. Mar 2008;61(3):586-8
O’Neill AJ, Larsen AR, Skov R, Henriksen AS, Chopra I.
Characterization of the epidemic European fusidic acid-resistant
impetigo clone of Staphylococcus aureus. J Clin Microbiol. May
2007;45(5):1505-10.
Bernard P. Management of common bacterial infections of the
skin. Curr Opin Infect Dis. Apr 2008;21(2):122-8.
Yang LP, Keam SJ. Retapamulin: a review of its use in the
management of impetigo and other uncomplicated superficial skin
infections. Drugs. 2008;68(6):855-73.
Deshpande LM, Fix AM, Pfaller MA, Jones RN. Emerging elevated
mupirocin resistance rates among staphylococcal isolates in the
SENTRY Antimicrobial Surveillance Program (2000): correlations of
results from disk diffusion, Etest and reference dilution
methods. Diagn Microbiol Infect Dis. Apr 2002;42(4):283-90.
Laurent F, Tristan A, Croze M, et al. Presence of the epidemic
European fusidic acid-resistant impetigo clone (EEFIC) of
Staphylococcus aureus in France. J Antimicrob Chemother. Feb
2009;63(2):420-1; author reply 421.
Alsterholm M, Flytström I, Bergbrant IM, Faergemann J. Fusidic acid-
resistant Staphylococcus aureus in impetigo contagiosa and
secondarily infected atopic dermatitis. Acta Derm Venereol.
2010;90(1):52-7.
Gelmetti C. Local antibiotics in dermatology. Dermatol Ther. May-Jun
2008;21(3):187-95.
Langner A, Chu A, Goulden V, Ambroziak M. A randomized, single-
blind comparison of topical clindamycin + benzoyl peroxide and
adapalene in the treatment of mild to moderate facial acne
vulgaris. Br J Dermatol. Jan 2008;158(1):122-9.
Capizzi R, Landi F, Milani M, Amerio P. Skin tolerability and efficacy
of combination therapy with hydrogen peroxide stabilized cream and
adapalene gel in comparison with benzoyl peroxide cream and
adapalene gel in common acne. A randomized, investigator-masked,
controlled trial. Br J Dermatol. Aug 2004;151(2):481-4.