implementasi sanksi administrasi laporan hasil...
TRANSCRIPT
i
IMPLEMENTASI SANKSI ADMINISTRASI LAPORAN HASIL
KEKAYAAN PENYELENGGARA NEGARA TERHADAP
TERCIPTANYA PEMERINTAHAN YANG BERSIH DAN
BEBASDARI KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME
(Analisis Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
Dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, danNepotisme)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum(S.H.)
Oleh:
AHMAD FARHAN NAZHIRI
NIM: 1112048000048
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
ii
iii
iv
v
ABSTRAK
AHMAD FARHAN NAZHIRI NIM 1112048000048 IMPLEMENTASI
SANKSI ADMINISTRASI LAPORAN HASIL KEKAYAAN
PENYELENGGARA NEGARA TERHADAP TERCIPTANYA
PEMERINTAHAN YANG BERSIH, BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI,
DAN NEPOTISME (UJI EVALUASI UNDANG-UNDANG NOMOR 28
TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN NEGARA YANG
BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN
NEPOTISME)Program Studi Ilmu Hukum, (Hukum Kelembagaan Negara),
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1440 H/ 2019 M.X+ 88 Halaman 11 Halaman Lampiran
LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) merupakan sebuah
Instrument dalam pencegahan atau pendeteksi adanya Tindak Pidana Korupsi
yang ada di Indonesia. Melaui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme maka LHKPN telah berjalan selama 20 Tahun. Namun dalam
perjalanannya tersebut masih terdapat ditemukannya Tindak Pidana Korupsi di
Lingkungan Pemerintahan di Indonesia
Sanksi Administrasi yang terdapat di Undang-Undang dianggap terlalu lemah
sehingga membuat Para Penyelenggara Negara masih banyak yang melalaikan
kewajibannya dalam hal melaporkan harta kekayaannya kepada publik.
Penelitian ini merupakan penelitian Preskriptif yaitu mengevaluasi apakah
Sanksi-sanksi Administrasi yang diberikan oleh Undang-Undang tersebut sudah
tepat atau belum. Penelitian ini menggunakan Metode Kualitatif dengan
pendekatan Normatif yang dipadukan dengan pendekatan Empiris.Pengkajian
penelitian ini meliputi Peraturan-Peraturan yang ada dengan sumber pendukung
seperti buku-buku, jurnal hukum, dan wawancara dengan lembaga yang terkait
dengan penelitian ini.
Hasil temuan penelitian ini menunjukan bahwa Sanksi Administrasi yang
ditetapkan di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme sudah tepat. Kesadaran Para Penyelenggara Negara masih lemah
terhadap keterbukaan harta kekayaan kepada publik. Bentuk Sanksi Administrasi
yang diberikan oleh Pimpinan dari setiap-setiap Instansi untuk para Aparatur di
bawahnya yang diwajibkan melaporkan LHKPN masih banyak dinilai lemah.
Kata Kunci : Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara,
HartaKekayaan,Good Governance,Komisi Pemberantasan
Korupsi, Teori Kepatuhan Hukum.
Pembimbing Skripsi : 1. Dr. Alfitra, S.H., M.Hum.
: 2. Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum.
Daftar Pustaka : Tahun 1972 Sampai 2019
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamiin, Puji Syukur atas kehadirat Allah SWT atas
limpahan nikmat dan karuniaNya peneliti dapat diberikan kesempatan untuk
menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa juga shalawat serta salam peneliti haturkan
kepada junjungan alam baginda Nabi Muhammad SAW karena berkat beliaulah
yang telah mengjari kita bahwa pentingnya sebuah ilmu dalam kehidupan kita.
Alhamdulillah dengan segenap rasa syukur peneliti dapat menyelesaikan
penelitian ini yang berjudul :
“IMPLEMENTASI SANKSI ADMINISTRASI LAPORAN HASIL
KEKAYAAN PENYELENGGARA NEGARA TERHADAP
TERCIPTANYA PEMERINTAHAN YANG BERSIH DAN BEBAS DARI
KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME”(Uji Evaluasi Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme)dalam rangka menyelesaikan salah
satu syarat menyelesaikan studi untuk menempuh gelar Sarjana Hukum di
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Pada kesempatan ini juga, perkenankan peneliti memberikan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang sudah membantu
menyelesaikan skripsi ini, kepada yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum
dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Seketaris Ilmu Hukum dengan
arahannya dalam proses penyusunan skripsi ini.
3. Dr. Alfitra, S.H., M.H. dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum.yang telah
berkenan menjadi pembimbing skripsi dengan kesabaran memberikan
vii
masukan, ilmu dan ketelitiannya untuk proses penyususnan skripsi ini
sehingga peneliti dapat menyelesaikannya dengan baik dan benar.
4. Biro Humas KPK dan Unit LHKPN KPK yang telah meluangkan waktu
untuk memberikan beberapa informasi terkait data yang sangat dibutuhkan
dalam menunjang proses penelitian skripsi ini, dengan dengan adanya data
tersebut penelitian pada skripsi ini dapat diselesaikan dan dapat
dipertanggung jawabkan kebenarannya.
5. Pimpinan Pusat Perpustakaan UIN dan Kepala Urusan Perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
karena telah memberikan fasilitas buku-buku dan referensi yang dibutuhkan
dalam proses penyusunan dan penelitian skripsi ini.
6. Pihak-pihak yang sudah banyak memberikan bantuan secara tidak langsung
dalam proses penyusunan penelitian ini.
Akhir Kata, peneliti ucapkan banyak terima kasih kepada para pihak yang telah
membantu peneliti menyusun skripsi. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
peneliti serta para pembacanya di masa yang akan datang.
Jakarta, 17 Juli 2019
Peneliti
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI ................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iv
ABSTRAK ........................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah. ................... 6
1. Identifikasi Masalah ............................................................. 6
2. Pembatasan Masalah ............................................................ 6
3. Perumusan Masalah ............................................................. 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 7
1. Tujuan Penelitian ................................................................. 7
2. Manfaat Penelitian ............................................................... 7
D. Metode Penelitian........................................................................ 8
1. Tipe Penelitian ..................................................................... 8
2. Pendekatan Masalah ............................................................ 9
3. Sumber Data ......................................................................... 9
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ................................... 10
5. Teknik Pengolahan dan Analisis .......................................... 10
6. Teknik Penulisan .................................................................. 11
E. Kerangka Konseptual .................................................................. 11
1. Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara ................. 11
2. Sanksi ................................................................................... 12
3. Good Governance ................................................................ 12
4. Clean Governance................................................................ 12
F. Sistematika Penulisan ................................................................... 13
ix
BAB II TINJAUAN UMUM PEMERINTAHAN YANG BERSIH
DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME
A. Kerangka Teori............................................................................ 15
1. Negara Hukum ....................................................................... 15
2. Kepatuhan Hukum .................................................................. 16
3. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik ........................... 21
B. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu .......................................... 27
BAB III KETENTUAN TENTANG KEWAJIBAN LAPORAN
HASIL KEKAYAAN PENYELENGGARAAN NEGARA
A. Latar Belakang Lahirnya Laporan Hasil Kekayaan
Penyelenggara Negara ................................................................. 29
B. Instrumen Dalam Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara
Negara ......................................................................................... 33
C. Mekanisme dan Sanksi yang Terdapat di Laporan Hasil
Kekayaan Penyelenggara Negara ................................................ 37
1. Pejabat Negara dan Penyelenggara Negara Wajib
Lapor ...................................................................................... 37
2. Tata Cara dan Mekanisme Pelaporan Laporan Hasil
Kekayaan Penyelenggara Negara ........................................... 39
3. Sanksi Terhadap Pejabat Negara dan Penyelenggara Negara
Tidak Lapor Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara
Negara .................................................................................... 44
D. Pelaporan Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara .......
..................................................................................................... 45
BAB IV IMPLEMENTASI LAPORAN HASIL KEKAYAAN
PENYELENGGARA NEGARA TERHADAP
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN YANG BERSIH
DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME
A. Penerapan Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara
terhadap terciptanya Good and Clean Governance .................. 59
x
B. Penerapan Sanksi Terhadap Pelaksanaan Instrumen dan Upaya
Penegakan Hukum dalam Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara ................................................................. 68
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 80
B. Rekomendasi ........................................................................... 81
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 83
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada umumnya, hukum diartikan sebagai kaedah-kaedah mengenai
tingkah laku orang perorangan di dalam masyarakat yang mempunyai sanksi
yang dipaksakan.Oleh karenanya, hukum bersifat memaksa.Hukum pada
dasarnya muncul untuk mengatur dan menyerasikan pelaksanaan kepentiang
yang berbeda-beda dalam anggota masyarakat.1Melihat adanya manfaat
keteraturan yang timbul di masyarakat, pemerintah yang berwenang
(legislatif) membentuk sebuah peraturan hukum yang mana peraturan hukum
tersebut diakui dan sah untuk dijalankan oleh setiap komponen negara.
Perundang-undangan sebagai salah satu sumber hukum tertulis,
mempunyai kelebihan dari norma-norma sosial yang lain, karena undang-
undang dapat dikaitkan dengan kekuasaan tertinggi dalam suatu negara, oleh
sebab itu undang-undang memiliki kekuatan yang mengikat dan memaksa
untuk setiap komponen negara tersebut.2Undang-undang itu sendiri
merupakan hukum yang sengaja dibentuk oleh pemerintah yang berwenang
dalam pembuatan undang-undang (legislative).Sehingga negara-negara yang
bertumpu dalam mengatur kehidupan bernegaranya pada hukum atau
undang-undang maka negara tersebut termasuk negara hukum
(rechtsstaat).Sehingga pemerintah sebagai komponen negara, wajib mentaati
peraturan yang telah diciptakan demi terwujudnya kemaslahatan yang dicita-
citakan oleh negara.
Dinamika kekuasaan menjadi sebuah ladang dalam mencari suatu
keuntungan untuk pribadi maupun kelompok yang berkuasa, sehingga
perebutan Kekuasaan menjadi hal yang biasa dalam dinamika pemerintahan
di Indonesia. Perebutan kekuasaan tersebut justru mengarah kepada perbuatan
yang kotor dan cendrung merugikan negara yang berdampak sangat besar
terhadap berkurangnya kesejahteraan rakyat. Perbuatan yang dilakukan oleh
1 Ahmad Sukardja. Hukum Tata Negara Dan Administrasi Negara Dalam Prespektif Fikih
Siyasah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 10 2 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006), h.85
2
pejabat negara tersebut tidak jarang mengarah kepada kesewenang-wenangan
yang menyebabkan terjadinya pelanggaran hak-hak orang lain (despotisme)
dan berujung kepada Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Kamus Umum Belanda yang berbahasa Indonesia yang disusun oleh
Wijowasito, corruptie yang juga disalin menjadi corruption dalam bahasa
Belanda mengandung arti perbuatan korup, penyuapan.3 Dapat dikatakan juga,
bahwa koupsi adalah penggunaan kekuasaan publik untuk kepentingan
pribadi. Kekuasaan publik merupakan kekuasaan yang diberikan oleh publik,
sedangkan arti publik bisa berarti masyarakat, atau kelompok-kelompok yang
terdapat di masyarakat tersebut.4Dilihat dari peningkatan dan masih kurangnya
hukum pidana yang telah ada, pembaruan undang-undang dalam menangani
fenomena tersebut sangat diperlukan khususnya dalam kalangan
pemerintahan.sebab dilihat dari akibat yang ditimbulkan sangatlah serius,
maka korupsi sudah bukan lagi permasalahan biasa namun sudah dapat
dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dan
pemberantasannya diperlukan penanganan yang luarbiasa (extraordinary
measure) dengan instrumen hukum yang luar biasa (extraordinary
instrument).5 Dapat disimpulkan, korupsi, kolusi dan nepotisme merupakan
perbuatan yang kotor, merusak dan menciderai sebuah tatanan nilai sosial
yang mana di tempat tersebut terjadi sebuah sirkulasi dalam menjalankan
sebuah roda pemerintahan, pengembangan dan pembangunan negara.
Melihat hal tersebut pemerintah menciptakan sebuah instrumen yang
dirancang untuk mengantisipasi terjadinya sebuahpenyimpangan moral atau
korupsi dikalangan pejabat pemerintahan tersebutyaitu Laporan Hasil
Kekayaan Penyelenggara Negara (Asset Declaration). Instrumen ditanamkan
asas-asas umum pemerintahan yang layak sebagaimana yang tertuang dalam
3 Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama Kpk Kajian Yuridis UURI Nomor 30
Tahun 1999 juncto UURI Nomor 20 Tahun 2001 Versi UURI Nomor 30 Tahun 2002 juncto UURI
Nomor 46 Tahun 2009, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h.23 4 Reza A.A Wattimena, Filasafat Anti-Korupsi, Membedah Hasrat Kuasa, Pemburuan
Kenikmatan, dan Sisi Hewani Manusia di Balik Korupsi, (Yogyakarta: Kanisius (Anggota IKAPI),
2012), h.10 5 H.Elwi Danil, Korupsi Konsep,TtindakPidana, dan Pemberantasannya,(Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2011), h.76.
3
Pasal 3 dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme tersebut.Secara tidak langsung peraturan tersebut dapat
membentuk para pejabat negara memiliki watak dan mental
bertanggungjawab, adil, dan jujur.
Dalam perjalanan LHKPN latar belakang ini peneliti mencoba
mengangkat kasus dugaan suap Rendra Kresna Bupati Malang. Berdasarkan
data KPK memiliki kekayaan sebesar 3,2 Miliar Rupiah. Rendra telah menjadi
Politisi selama 20 tahun mulai dari DPRD sampai menjadi Bupati Malang.
Jika ditelusri melalui LHKPN, harta kekayaan Rendra tersebut pada Tahun
2001 sebesar Rp. 767.248.850,00 saat itu beliau menjadi Legislator. Rendra
lalu terpilih menjadi Ketua DPD Golkar Kab. Malang dan dari Kursi Legislatif
menjadi Eksekutif, yaitu Bupati Malang periode 2005-2010.Total harta
kekayaannya yang dilaporkan pada tahun 2005 silam sebesar Rp.
1.234.487.787,00 . Saat menjabat sebagai Bupati Malang periode tahun 2010-
2015, LHKPN yang dilaporkan pada tahun 2010 dilaporkan mencapai Rp.
1.972.388.907,00. Setahun berikutnya laporan harta Rendra melonjak tajam
sebesar Rp. 3.087.392.729,00. Tahun 2014 Rendra kembali melaporkan harta
kekayaan untuk mencalonkan dirinya menjadi Bupati Malang 2016-2021
dengan harta kekayaan sejumlah Rp. 3.222.448.981,00 sehingga membuat
tanda tanya mengenai sumber harta kekayaanya.6 Walaupun Rendra menepis
anggapan dirinya telah melakukan suap dan telah bersikap jujur serta terbuka
atas harta kekayannya, namun peneliti menyimpulkan bahwa penelusuran
harta kekayaan penyelenggara merupakan salah satu cara dalam mengukur
harta kekayaan Penyelenggara Negara tersebut layak untuk diperiksa dan
mempertanggung jawabkan harta kekayaannya.
Namun keberadaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
6Diaksess pada tanggal 26 Agustus 2019 pukul 17:30 dari laman website Liputan6.com “Saat
Harta Kekayaan Bupati Malang Melonjak Tajam, Kok Bisa?”13 Oktober 2018 (10:02) WIB oleh Zainul Arifin,https://www.liputan6.com/regional/read/3666350/saat-harta-kekayaan-bupati-malang-melonjak-tajam-kok-bisa?utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.0&utm_referrer=
4
Nepotisme saat ini dipertanyakan. Sebab masih banyaknya temuan-temuan
Tindak Pidana Korupsi di lapangan membuat Peraturan tersebut dinilai gagal
dalam menciptakan Pemerintahan yang baik dan bersih dari Tindak Pidana
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Kegagalan Undang-Undang tersebut
disebabkan oleh masih banyaknya Para Penyelenggara Negara yang
melalaikan kewajibannya dalam melaporkan harta kekayaannya kepada
pubilk, dalam hal ini pelaporan harta tersebut dikelola oleh KPK.
KPK melaporkan melalui website resminya yaitu “Ikhtisar Kepatuhan
LHKPN” pada Tahun 2018 menunjukan bahwa banyaknya para
Penyelenggara Negara yang belum taat untuk melaporkan hasil kekayaan
mereka kepada negara. Data tersebut dapat kita lihat dari table berikut ini:7
Bidang Wajib
Lapor
LHKPN
Sudah
Lapor
LHKPN
Belum
Lapor
LHKPN
Kepatuhan
(%)
Eksekutif 261.263 46.447 214.816 17,78 (%)
Yudikatif 23.860 2.947 20.913 12,35 (%)
Legislatif –
MPR
2 1 1 50,00 (%)
Legislatif –
DPR
523 39 484 7,46 (%)
Legislatif –
DPD
136 82 54 60,29 (%)
Legislatif –
DPRD
16.312 1.626 14.686 9,97 (%)
Pemilu
Legislatif DPR
RI
537 28 509 5,21 (%)
7KPK(Komisi Pemberantasan Korupsi), E-LHKPN Transparansi itu mudah, Data tersebut
berhasil diunduh pada tanggal 22/02/2019 (12:00:23 WIB) melaluli laman
websitehttps://elhkpn.kpk.go.id/portal/user/petakepatuhan (data tersebut dapat sedikit berubah
pada setiap jamnya)
5
Pemilu
Legislatif DPD
RI
704 548 156 77,84 (%)
Pemilu
Legislatif
DPRD
5.445 457 4.988 8,39 (%)
BUMN/BUMD 27.854 5.124 22.730 18,40 (%)
Total 336.636 57.299 279.337 17,02 (%)
Berdasarkan tabel ”Ikhtisar Kepatuhan LHKPN” tersebut dapat
disimpulkan bahwa pada tahun 2018 sebanyak 336.636 para Penyelenggara
Negara yang wajib lapor LHKPN sebanyak 57.299 sudah melaporkan LHKPN
dan sebanyak 279.337 belum melaporkan LHKPN. Kesimpulannya hanya
sebesar 17,02% kepatuhan para Penyelenggara Negara dalam melaporkan
harta kekayaannya. Dengan kata lain Undang-Undang 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme tersebut belum berjalan dengan baik.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tersebut menjelaskan sanksi
yang diterima atas kelalaian tersebut hanya mendapatkan Sanksi Administrasi.
Sanksi Administrasi tersebut dinilai tidak jelas bentuknya seperti apa dan
dinilai sangat lemah untuk membuat para Penyelenggara Negara patuh
terhadap LHKPN sabagai mana yang diatur di dalam Undang-Undang
tersebut. Mengingat bahwa LHKPN merupakan hal yang penting dalam
memberantas korupsi di Indonesia, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih
dalam lagi mengenai permasalahan berdasarkan latar belakang tersebut, yaitu
mewujudkan suatu tata pemerintahan yang jujur, bersih, dan bertanggung
jawab melalui laporan hasil kekayaan Penyelenggara Negara sebagai sistem
dalam mendeteksi sebuah pelanggaran moral yaitu perbuatan korupsi
dikalangan pejabat pemerintahan. Peneliti mengambil tema “Implementasi
Sanksi Administrasi Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara
terhadap Terciptanya Pemerintahan yang Bersih, Bebas dari Korupsi,
6
Kolusi, dan Nepotisme” (Analisis Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Koupsi, Kolusi
dan Nepotisme).
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Melihat latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat
diambil dan ditarik beberapa identifikasi masalah, yaitu:
a. Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara diatur dalam Undang-
undang yang merupakan alat dalam mengatur kehidupan bernegara
yang wajib dipatuhi oleh semua komponen Negara, sehingga dengan
tidak dilaksanakannya kewajiban oleh beberapa pejabat negara dalam
melaporkan harta kekayaannya, maka peraturan tersebut menjadi
tumpul.
b. Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara merupakan sebuah
sistem dalam mendeteksi awal terjadinya sebuah kasus tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara, tetapi dengan adanya
kelalaian terhadap pelaksanaannya menyebabkan terbukanya peluang
untuk para pejabat negara tersebut melakukan tindak pidana korupsi.
c. Sanksi Administrasi yang ada dinilai masih lemah karena masih belum
bisa menjerat para Penyelenggara Negara yang lalai terhadap
kewajibannya melaporkan LHKPN.
d. Pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan
nepotisme merupakan cita-cita Nasional dari Negara Indonesia
sehingga LHKPN merupakan salah satu indikator penting dalam
mewujudkannya, namun apabila tidak berjalan mustahil cita-cita
tersebut akan terwujudkan.
2. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan tidak terlalu melebar maka peneliti hanya membatasi
masalah pada para Penyelenggara Negara yang tidak melaporkan LHKPN
kepada KPK dalam rentan waktu 2016 sampai dengan 2018, peneliti hanya
mencari tahu bagaimanakah bentuk Sanksi Administratif yang sebenarnya
7
diterapkan di lapangan sebagai akibat hukum dari tidak melaporkannya
LHKPN tersebut.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan di atas,peneliti
merumuskan masalah bahwa fungsi Undang-Undang sebagai norma atau
alat pengatur tidak berjalan dengan baik, sehingga berdasarkan hal tersebut
peneliti membuat beberapa uraian pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimanakah implementasi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme dalam praktek penyelenggaraan negara
menciptakan pemerintah yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi,
dan nepotisme?
b. Bentuk sanksi seperti apakah yang dibutuhkan untuk Penyelenggara
Negara agar mau menjalakan kewajibanya melaporkan harta
kekayaannya kepada publik?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang diuraikan di atas maka
penelitian ini bertujuan untuk:
a. Untuk mengetahui Implentasi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dalam praktik penyelenggaraan
negara menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi,
kolusi, dan nepotisme.
b. Untuk mengtahui bentuk sanksi apakah untuk penyelenggara negara
dalam praktek penyelenggaraan negara agar mau menjalankan
kewajibannya melaporkan harta kekayaannya kepada publik.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian dalam penelitian skripsi ini, dapat berkontribusi
baik secara teoritis maupun secara praktis, adapun penjabarannya sebagai
berikut:
8
a. Manfaat teoritis
Secara teoritis ini diharapakan dapat menambah pengetahuan dan
wawasan serta memberikan suatu pemahaman dan kontribusi dalam
menanggapi msalah hukum, khususnya tentang sanksi administrasi
laporan hasil kekayaan penyelenggara negara terhadap terciptanya
pemerintahan yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme
b. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis dari penelitian ini dapat diharapkan menjadi
bahan pertimbangan bagi pemerintahan dalam membuat kebijakan-
kebijakan dan konsekuensi hukum yang berkaitan dengan urgensi
pengaturan sanksi laporan hasil kekayaan penyelenggara negara
terhadap terciptanya pemerintahan yang bersih, bebas dari korupsi,
kolusi, dan nepotisme.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Seperti kebanyakan penelitian hukum lainnya penelitian hukum yang
digunakan peneliti yaitu metode Kualitatif. Pada penulisan penelitian ini,
peneliti membuatnya dengan bersifat Preskriptif yaitu penelitian yang
digunakan untuk mendapatkan beberapa rekomendasi tentang LHKPN
pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999.8 Rekomendari tersebut
ditujukan terkait kendala-kendala dan mencari tahu tentang sanksi seperti
apakah yang baik untuk menjerat para Penyelenggara Negara agara mau
melaporkan LHKPN.
Pada penelitian ini juga peneliti melakukan penekatan normatif,
peraturan perundang-undangan merupakan objek utama serta menjadi
bahan primer dalam penelitian yang dilakukan.9Penelitian normatif
meliputi penelitian tentang asas, sistematika, taraf singkronisasi,
perbandingan, dan sejarah hukum.Salah satu contoh yang dikemukakan
oleh Sumitro, Penelitian berupa inventarisasi perundang-undangan yang
8Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Perss, 1986), h.10
9 Fahmi Muhammad, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Lembaga Penelitian
UIN SyarifHidayatullah, 2010), h. 38
9
berlaku, berupaya mencari asas-asasdasar falsafah dari perundang-
undangan tersebut, atau penelitian yang berupa usaha penemuan hukum
yang sesuai dengan suatu kasus tertentu.10
2. Pendekatan Masalah
Penelitian ini menggunakan pendekatan yang berdasarkan tipe
kualitatif. Maka untuk pendekatan yang dilakukan oleh peneliti,
menggunakan pendekatan melalui Undang-Undang (statue approach)
sehingga dalam mengkaji laporan hasil kekayaan penyelenggara negara
melalui perundang-undangan yang membentuknya. Pendekatan secara
konsep (conceptual approach) yaitu mengkaji laporan hasil kekayaan
penyelenggara negara melalui konsep-konsep yang sudah ada.
3. Sumber Data
a. Bahan Hukum Primer
Bahan sumber hukum primer merupakan bahan hukum yang
bersifat mendasar atau autoritatif. Sehingga merupakan bahan hukum
yang menjadi pedoman dalam melakukan penelitian. Terutama yang
terkait dengan implikasi laporan hasil kekayaan penyelenggara negara,
seperti:
1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan
Negara Bebas dan Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi;
3) Peraturan KPK Nomor 07 Tahun 2016 Tentang Tata Cara
Pendaftaran, Pemeriksaan dan Pengumuman Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan yang bersumber dari
segala sesuatu yang bukan merupakan sumber hukum resmi.Bahan
hukum sekunder ini biasanya merupakan sumber-sumber yang dapat
10
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2008).
h. 86
10
menjelaskan bahan hukum primer yang berkaitan dengan penelitian
ini.Bahan hukum sekunder tersebut berupa buku-buku yang ditulis
oleh para ahli hukum tata negara, jurnal-jurnal hukum, tesis dan
pendapat para sarjana yang berkaitan dengan penelitian ini.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier merupakan bahan yang memberikan
petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder seperti kamus hukum, encyclopedia, dan lain-lain.11
Adanya sumber tersier tersebut maka dapat membantu penulis dalam
menjabarkan bahan hukum primer dan bahan sekunder dalam
melakukan penelitian ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Upaya mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan Metode
dokumentasi, metode ini dimaksudkan dengan mencari hal-hal atau
variabel berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, media online,
majalah, prasasti, notulen, rapat, agenda, dan sebagainya.12
Pengumpulan
tersebut menghasilkan kumpulan-kumpulan bahan penelitian baik yang
merupakan bahan penelitian yang bersifat primer, sekunder maupun
tersier. Kemudian diklasifikasikan sesuai dengan pembahasan dari
penelitian tersebut, setelah itu semua data ditelaah, dikaitkan, dan
dianalisis antara yang satu dengan yang lain sampai menemukan
kesimpulan.
5. Teknik Pengolahan dan analisis
Teknik pengolaan data dan analisis yang akan digunakan dengan
menguraikan dan menghubungkan bahan primer, sekunder, dan tersier
sedemikianrupa. Tampilan penulisan penelitian ini menjadi lebih
sistematis dan mampu menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
Pengolaan penelitian ini dengan menggunakan penulisan secara deduktif
11
Johnny Ibrahim,Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2008), h. 296 12
M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatfi,(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007),
h. 201.
11
yaitu menarik kesimpulan dari yang bersifat masalah yang umum kepada
hal yang bersifat konkret yang tengah dihadapi.Setelah itu dilakukan
analisis penelitian terhadap implikasi laporan hasil kekayaan
penyelenggara negara terhadap terciptanya pemerintahan yang bersih,
bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
6. Teknik Penulisan
Penulisan penelitian ini berdasarkan buku pedoman penulisan skripsi yang
dikeluarkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tahun 2017.
E. Kerangka Konseptual
1. LHKPN (Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara)
LHKPN merupakan sebuah instrument yang digunakan sebagai alat
Preventif atau pendeteksi awal terjainya sebuah tindak pidana korupsi i
Inonesia yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
Tentang Penyelenggaran Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme. Lebih lanjut diatur dalam Peraturan Komisi
Pemberantasan Korupsi Nomor 07 Tahun 2016 Tentang Tata Cara
Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara.
Prinsip yang ditanam dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
tersebut, memuat Asas Kepastian Hukum, Asas Tertib Penyelenggara
Negara, Asas Kepentingan Umum, Asas Keterbukaan, Asas
Proporsionalitas, Asas Profesionalitas, dan Asas Akuntabilitas. Asas-asas
ini merupakan asas-asas yang harus ada dalam menciptakan sebuah
pemerintahan yang baik dan bersih (Good and Clean Governance), oleh
karena itu mengingat asas ini termuat di dalam peraturan yang salah
satunya mengatur Instrument pencegahan tindak pidana korupsi, maka
sudah sewajarnya Negara Indonesia mengharapkan sebuah pemerintahan
yang baik, bersih, dan bebas dari tindak pidana Korupsi.
12
2. Sanksi
Sanksi merupakan suatu cara menerapkan suatu norma atau aturan.
Sanksi hukum adalah sanksi-sanksi yang digariskan atau diotorisasi oleh
hukum. Setiap peraturan-peraturan hukum mengandung atau menyiratkan
sebuah statemen mengenai konsekuensi-konsekuensi dari hukum
tersebut. Konsekuensi inilah yang disebut dengan sanksi-sanksi , janji-
janji atau ancaman. Sebagian besar energi sosial hukum dan investasi
masyarakat mengenai hukum mengacu pada dukungan pada dukungan
kepada sistem sanksi yang menekan atau mengancam.13
3. Good Governance
Mengenai pengertian good governance, dalam pengartiannya apabila
dilihat secara konseptual, kata baik (good) dalam istilah kepemerintahan
(governance) yang baik (good governance) maka memiliki dua arti
pemahaman, yaitu yang pertama sebuah nilai yang menjunjung tinggi
keinginan/kehendak rakyat, serta nilai-nilai yang dapat meningkatkan
kemampuan rakyat dalam upayanya mencapai tujuan nasional yaitu
adanya kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial.
Kedua, aspek fungsional dari para penyelenggara negara yang efektif dan
efisien dalam melaksanakan tugasn-tugasnya untuk mecapai tujuan
tersebut.14
Di Indonesia, Lembaga Administrasi Negara memberikan
sebuah pandangan mengenai good governance, yaitu penyelenggaraan
pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, efisien dan
efektif, melalui “kesenergian” interaksi yang konstruktif diantara
domain-domain negara, masyarakat dan sektor swasta.15
4. Clean Governance
Pemerintahan di dalam suatu negara dapat dikatakan baik (Good
Governance) apabila pemerintahan tersebut lahir dari pemerintahan yang
13
Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Prespektif Ilmu Sosial, (Bandung: Nusa Media,
2017, h.93 14
Sedarmayanti, Good Governance “Kepemerintahan yang Baik”,(Bandung: Penerbit
Mandar Maju, 2012), h.3 15
BPKP-LAN, Akuntabilitas dan Good Governance, (Jakarta: LANRI, 2000), h.18
13
bersih (Clean Government). Hal tersebut berarti bahwa, pemerintahan
yang baik dapat terwujud apabila Pejabat Negara atau Penyelenggara
Negara dapat berkerja dilandaskan pada prinsip transparansi dan
akuntabilitas terhadap tugas dan fungsi dari jabatannya. Mengingat hal
tersebut Penyelenggara Negara sudah seharusnya menjalankan tugas
yang dimilikinya dengan penuh rasa tanggung jawab agar cita-cita
mewujudkan pemerintahan yang terbebas dari korupsi, kolusi, dan
nepotisme dapat terwujud.16
F. Sistematika Penulisan
Penulisan Penelitian ini memilki sistematika yang tersdiri dari 5 (lima)
BAB dan beberapa Sub-BAB di setiap BAB. Seperti halnya dengan penulisan
penelitian lainnya sistematika penulisan ini dimulai dari BAB Pendahuluan
yang menjabarkan awal penelitian ini kemudian dilanjutkan dengan BAB-
BAB selanjutnya. Penulis akan menjabarkan Penelitian ini dengan sistematika
sebagai berikut:
BAB I: Bab ini menjelaskan tentang sistematika awal dalam penulisan
penelitian ini. Sistematika yang tertuang dalam BAB
Pendahuluan ini sebagai berikut, Latar Belakang, Identifikasi
Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan
Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika
Penulisan.
BAB II: Bab ini penelitiakan membahas tentang teori-teori yang menjadi
dasar pembentukan dan prinsip-prinsip dasar dalam pelaksanaan
dari Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara.
Ditambahkan juga pada bab ini mengkaji tentang tinjauan
(review) kajian terdahulu untuk mendukung pemikiran di dalam
penelitian ini dan memastikan tidak ada persamaan pemikiran di
antara penelitian ini dengan penelitian pihak lain.
16
Sajiono, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, (Yogyakarta: Laksbang
Pressindo, 2008), h. 150
14
BAB III: Bab ini peneliti hendak menjabarkan secara umum tentang
ketentuan normatif yang menyangkut kewajiban Penyelenggara
Negara dalam melaporkan harta kekayaannya berdasarkan
Undang-Undang yang berlaku.
BAB IV : Bab ini peneliti hendak menjelaskan tentang penerapan dari
pelaksanaan laporan hasil kekayaan penyelenggara negara
selama ini dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dan
bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Peneliti juga mencoba
untuk mengkaji sanksi apa yang tepat untuk penelitian ini.
BAB V : Bab ini merupakan bab Penutup yang berisi tentang kesimpulan
dan rekomendasi peneliti dari hasil penelitian.
15
BAB II
TINJAUAN UMUM
PEMERINTAHAN YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI,
KOLUSI, DAN NEPOTISME
A. Kerangka Teori
1. Negara Hukum
Negara hukum diartikan sebagai sebuah konsep negara, di mana
pemerintah yang berkuasa dan rakyat sebagai unsur yang dipimpinya
semuanya tunduk pada aturan hukum (rechtstaat). Hukum tersebut
ditonjolkan sebagai pengusa agar pemerintah tidak bertindak sewenang-
wenang atau menyalahgunakan kekuasaannya (Abuse of Power),
kemudian hukum juga bertujuan untuk mencegah rakyat bertindak
sesuka hatinya.1Peran hukum di sini sangat penting dalam menjalankan
kehidupan bernegara, keseimbangan dan persamaan kedudukan di
hadapan hukum sangat diutamakan terlebih kedua unsur negara tersebut
memiliki hak dan kewajibannya masing-masing yang harus dijaga.
Pada masa Jhon Locke muncul sampai dengan masa Montesquieu
yaitu sebuah pemikiaran mengenai sebuah kekuasaan negara harus
bisa dikontrol atau iawasi dan bahkan dibatasi dengan mengajukan
konsep pembagian kekuasaan (distributor of power) atau pemisahan
kekuasaan (separationof power). Dengan pembatasan kekuasaannya
dibagi menjadi tiga cabang kekuasaan (Trias Politica) yang diharapkan
tidak ada lagi kekuasaan yang seweang-weanang dari penguasa.2
Pembagian ini juga bertujuan dalam memudahkan kinerja dan fungsi
dari masing-masing bidang pengelolaan negara.
Jhon Locke mengatakan bahwa tentang hak-hak manusia lahir
secara alamiah telah membawa hak untuk hidup, hak kemerdekaan, dan
hak milik. Bahkan lebih lanjut Jhon Locke beranggapan bahwa keadaan
alamiah atau hak-hak manusia secara alamiah memang suah ada
1 Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, IlmuNegara, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007),
h. 91 2Aminuddin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan, (Jakarta: Pramedia Group, 2016), h. 33
16
mendahului berdirinya suatu negara.3 Berdasarkan hal tersebut, sudah
seharusnya negara yaitu pemerintah menjaga keberlangsungan hidup
rakyatnya. Menjaga keberlangsungan hidup rakyat sama halnya engan
menjaga kesejahteraan rakyatnya.
Pembidangan masing-masing tugas dan fungsinya dijelaskan oleh
Montesquieu pemisahan bidang tersebut dibagi menjadi 3 yaitu,
Kekuasaan Legislatif yang membentuk Undang-Undang, Kekuasaan
Yudikatif yang menjatuhi hukuman atas kejahatan dan menjadi
penengah dalam sebuah sengketa,dan Kekuasaan Eksekutif sebagai
pelaksana Undang-Undang atau kebijakan pemerintah.4Dewasa ini
meskipun pembagian kekuasaan telah dilakukan namun, kecendrungan
dalam bertindak sewenang-wenang oleh penguasa tidak dapat
dihilangkan begitu saja. Sudah sewajibnya pembagian kekuasaan
tersebut dilakukan menjadi tiga cabang kekuasaan bidang yang
diharapkan penguasa dapat bertinak bijak dan tidak melakukan tindakan
kesewenang-wenangan. Bahkan dalam perkembangannya saat ini
pembagian tersebut dilengkapi dengan suatu sistem mekanisme
perimbangan kekuasaan yang ikenal dengan istilah “check and balance
system”. Kekuasaan dari bidang-bidang yang ada haruslah saling
mengecek dan mengimbangi antara satu bidang dengan bidang yang
lainnya, agar tidak ada bidang yang lebih tinggi dari bidang lainnya
karena kedudukan bidang-bidang tersebut sama hanya saja yang
membeakan yaitu fungsi dan tugasnya saja.5
2. Kepatuhan Hukum
Hukum diartikan sebagai aturan atau norma di mana membuat
perbuatan-perbuatan masyarakatnya atau subjek hukum tersebut
memiliki sebuah pola.6 Negara pada dasarnya membuat sebuah hukum
3Aminuddin Ilmar,Hukum Tata Pemerintahan, ... h. 53
4Azhary, Negara Hukum Inonesia Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-Unsurnya,
(Jakarta: UI-Pers, 1995), h.28 5Aminuddin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan, ... h. 59
6„Abd al-Hamid Hakim, al-Bayan, (Jakarta: Sa‟adiyah Putra, 1972), h. 10.
17
dalam memastikan tidak adanya salah satu pihak yang mendominasi
antara yang satu dengan yang lainnya.
Sejalan dengan penjelasan tersebut hukum tidak hanya mengikat
kepada masyarakatnya saja namun hukum juga seharusnya mengikat
kepada semua elemen dalam negara tersebut. Khususnya dalam hal ini
pemerintah atau Penyelenggara Negara sebagai pelaksana dari pembuat
kebijakan maupun sebagai pihak yang bertanggung jawab terlaksananya
tujuan nasional dalam kehidupan bernegara dari negara tersebut.
Diperlukannya upaya penegakan hukum yang merupakan proses untuk
menegakan atau memfungsikan norma-norma hukum secara nyata
dalam berprilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum
dalam masyarakat dan bernegara.7
Ketaatan hukum atau kepatuhan hukum, pada dasarnya melibatkan
dua variable, yaitu adalah hukum dan manusia yang menjadi objek dari
pengaturan hukum tersebut. Peraturan hukum tidak hanya dilihat dari
fungsi hukum menjadi sebuah peraturan hukum tetapi juga fungsi
manusia sebagai sasaran untuk menjalankan peraturan hukum tersebut,
sehingga kepatuhan hukum tidak hanya dijabarkan tentang hadirnya
peraturan hukum tersebut namun juga kesediaan manusia yang diatur
oleh peraturan hukum tersebut.8Melihat hal tersebut kedua komponen
dasar tersebut harus bergerak dengan beriringan, dengan demikian
keduanya dapat mendukung kepatuhan hukum tersebut dapat terwujud
dengan baik.
Seseorang atau kelompok masyarakat akan taat atau patuh pada
suatu kaidah hukum disebabkan oleh beberapa hal yaitu
7 Jimly Asshidiqie,Penegakan HUkum jurnal ini diakses pada laman
httpscholar.google.co.idscholar_urlurl=http%3A%2F%2Fwww.academia.edu%2Fdownload%2F3
1812599%2FPenegakan_Hukum.pdf&hl=id&sa=T&oi=ggp&ct=res&cd=6&d=106869644002487
61702&ei=AItZXOm-KtaMyQTkwKLQBg&scisig=AAGBfm2tEXjPYyOn3vMIPB4W1V_ pada
tanggal 30 Januari 2019. 8Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah,
(Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), h. 207
18
a. Seseorang telah diberikan indoktrinir sejak kecil terhadap kaidah
hukum yang hidup dalam suatu kelompok masyarakat sehingga
secara tidak langsung orang harus berbuat sesuai dengan apa yang
perintah maupun dilarang oleh hukum. Seseorang telah dikenalkan
dan diajarkan untuk mematuhi nilai-nilai sesuai dengan adat
istiadat budaya pada tempat tinggalnya. Tanpa disadari atau tidak,
seseorang menjalankan suatu kaidah secara terus menerus akan
suka rela menjalankan kaidah tersebut.
b. Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk sosial yang selalu
membutuhkan teman ataupun manusia lainnya dalam berinteraksi
demi melangsungkan hidupnya. Proses interaksi sosial tersebut
menuntut seseorang harus mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku di
dalam kelompok masyarakat tersebut. Proses sosialisasi tersebut
lama-kelamaan membuat seseorang akan terbiasa dalam menjalani
kaidah-kaidah hukum di dalam masyarakat. Sama halnya seperti
sebelumnya sebuah kebiasaan dan secara sadar maupun tidak sadar
orang tersebut akan patuh dengan sendirinya terhadap peraturan
tersbut.
c. Pada dasarnya manusia cendrung memiliki rasa untuk hidup pantas
dan teratur, namun tolak ukur pantas dan teratur bersifat relatif
antara seseorang yang satu dengan orang lainnya, sehingga
diperlukan sebuah takaran untuk menyatukan presepsi mengenai
ukuran pantas dan teratur dalam mengatur sebuah hubungan
kehidupan bermasyarakat. Tolak ukur tersebutlah yang lahir
menjadi sebuah kaidah-kaidah hukum yang wajib dipatuhi setiap
orang dalam kelompok masyarakat dan salah satu factor seseorang
mematuhi sebuah peraturan hukum yaitu kegunaan dari kaidah
tersebut.
d. Salah satu sebab seseorang patuh terhadap kaidah hukum adalah
sebagai identifikasi seseorang dalam suatu kelompok. Setiap
kelompok masyarakat mempunyai kaidah-kaidah tertentu yang
19
wajib dipatuhi oleh anggotanya. Seseorang juga dapat mematuhi
kelompok tersebut menganggap kelompok tersebut lebih dominan
dari kelompok lainnya, sehingga seseorang cendrung ingin
mengadakan identifikasi terhadap dirinya kepada kelompoknya
tadi.9
Proses sosialisasi terhadap sebuah lingkungan kelompok
masyarakat memiliki peranan yang besar terhadap perubahan seseorang
dalam keadaan sadar maupun tidak sadar mematuhi dan menjalankan
sebuah kaidah atau peraturan hukum yang hidup dalam kelompok
masyarakat tersebut.
H.C Kelman berpendapat bahwa kepatuhan hukum dapat
dibedakan menjadi tiga jenis dan menurut prosesnya kepatuhannya,
a. Compliance, kepatuhan hukum yang berdasarkan kepada sebuah
harapan di mana seseorang berharap mendapatkan sebuah imbalan
dan/atau usaha diri agar terhindar dari resiko sanksi hukuman yang
mungkin dijatuhkan apabila seseorang tersebut salah bertindak.
Kepatuhan hukum seperti ini terjadi bukan didsarkan kepada
kesadaran dan keyakinan pada tujuan atau nilai dari sebuah kaidah
hukum tersebut, lebih kepada adanya pengendalian yang dominan
dari pemegang kekuasan. Kepatuahn hukum dapat terlaksana
dengan baik apabila adanya sebuah pengawasan yang lebih ketat
terhadap pelaksanan kaidah-kaidah hukum tersebut.
b. Identification, kepatuhan hukum yang disebabkan bukan karena
intrinsiknya, namun dikarenakan agar keanggotaan seseorang
tersebut tetap terjaga di dalam masyarakat serta menjaga hubungan
yang baik dengan Aparat Hukum yang memiliki kewenangan
menjalankan hukum tersebut. Dalam arti lain orang tersebut dapat
mengambil keuntungan dari menjalankan norma tersebut. Proses
identifikasi pada kelompoknya tersebut akan memunculkan nilai
9Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-masalah
Sosial,.(Bandung: Alumni, 1982) h. 54
20
positif pada orang tersebut. Adanya upaya yang dilakukan oleh
orang tersebut untuk mengatasi perasaan khawatirnya terhadap
kekecewaan tertentu, dengan metode menguasai objek frustasi
tersebut dengan mengadakan identifikasi.
c. Internalization, seseorang mematuhi kaidah-kaidah hukum
dikarenakan kepatuhan tadi memiliki imbalan yang diterima oleh
seseorang tersebut. Hasil dari proses tersebut di dasarkan pada
motivasi secara intrinsik. Kekuatan dari proses ini adalah orang
tersebut percaya kepada tujuan dan dampak positif dari sebuah
norma, tidak didasarkan terhadap perasaan atau nilai-nilai
kelompok masyarakatnyamaupun pemegang kekuasaan.10
Adanya ketiga jenis dasar seseorang dalam mematuhi sebuah
norma atauran hukum tersebut, maka semakin mempermudah para
penegak hukum dan pemerintah negara dalam mengoptimalkan sebuah
norma peraturan hukum yang hendak diterapkan nantinya dalam
kehidupan bernegara.
Aturan hukum atau perundang-undangan dapat dikatakan tidak
efektif untuk diterapkan sehingga terdapat keteumpulan dalam suatu
penegakan hukum.Hal tersebut dapat terjadi apabila sebagian besar
warga masyarakatnya sudah tidak menaati peraturan hukum.Apabila
sebagian besar ketaatan warga masyarakatnya kepada peraturan hukum
atau perundang-undangan hanya bersifat compliance atau identification
maka kualitas efektivitas dari aturan perundang-undangan itu masih
dapat dipertanyakan, walaupun warga mayarakatnya terlihat sangat taat
kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.11
Artinya sebuah
hukum diterapkan memiliki sebuah nilai yang positif dalam hal
substansi, dengan kata lain sebuah hukum dapat berjalan dengan baik
10
Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-masalah
Sosial,... h. 227 11
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence),(Jakarta: Kencana,
2012), h. 349
21
apabila seseorang yang menjalankannya sadar akan nilai tersebut dan
berupaya menjaganya.
3. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik
Pembangunan Negara Indonesia tidak terlepas dari pembangunan
sistem Pemerintahan yang baik dan bersih (Good and Clean
Governance). Untuk mencapai sistem pemerintahan tersebut maka
diperlukannnya AAUPB dalam penerapannya di ranah pemerintahan.
Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) dapat
memiliki sebuah arti sebagaimana dikemukanan oleh Muin Fahmal,
bahwa asas umum pemerintahan yang layak merupakan rambu-rambu
bagi para Penyelenggara Negara ataupun Pejabat Administrasi negara
dalam menjalankan tugasnya. Rambu-rambu tersebut dibutuhkan agar
pelaksaan penyelenggaraan negara tetap pada koridor hukum yang
sesungguhnya.12
Penjalasan tersebut ini membuat sebagian besar
AAUPB merupakan sebuah rambu atau koridor bagi pemerintah dalam
menjalankan roda pemerintahan apabila dilihat dari sebagian besar
AAUPB masih berbentuk asas-asas yang tidak tertulis, abstrak dan
masih dapat dikembangkan berdasarkan budaya kehidupan di dalam
masyarakat, sehingga dalam pengambilan keputusan maupun sebuah
kebijakan pemerintah dapat bertindak bijaksana dan efektif untuk
menjamin keselarasan anatara pemerintah dengan masyarakat.13
Hal ini
menjadi acuan sekaligus untuk mencegah para Penyelenggara Negara
melakukan perbuatan dalam memberikan sebuah kebijakan berdasarkan
hak dan wewenangnya sesuai dengan tujuan dari peraturan Perundang-
Undangan dan sesuai nilai-nilai dari budaya yang terdapat di tengah-
tengah masyarakat tersebut.
Menyamakan AAUPB dengan norma hukum tidak tertulis akan
dapat menimbulkan suatu permasalahan kesalahpahaman, pada
12
Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-asas Umum
Pemerintahan yang Baik, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010), h. 151 13
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, (Jakarta: PT Rajagrafindo, 2013),
h. 235
22
dasarnya dalam kontek ilmu hukum “asas” dengan “norma” memiliki
perbedaan, yaitu asas (prinsip/ide) merupakan pemikiran yang umum
dan abstrak, sedangkan norma merupakan sebuah aturan konkret yang
merupakan penjabaran dari ide (asas) dan harus memiliki sebuah
sanksi.14
P ada kenyataannya SF. Marbun berpendapat bahwa norma
yang berlaku dalam kehidupan masyarakat pada dasarnya merupakan
peraturan hukum, sebab hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis
merupakan sebuah aturan yang mengatur sebuah kehidupan manusia
bagaimana seharusnya berbuat.15
Artinya sebuah hukum dibentuk baik
tertulis maupun tidak tertulis berdasarkan cita-cita dari masyarakat
negara itu sendiri, sehingga sudah seharusnya sebuah peraturan
Perundang-Undangannya yang sifatnya menyangkut tentang
masyarakat umum haruslah memuat asas-asas atau prinsip-prinsip di
dalam AAUPB tersebut.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi
Pemerintahan menjelaskan di dalam Pasal 10 Ayat (1) mengenai Asas-
Asas Umum Pemerintahan yang Baik yaitu,
a. Kepastian Hukum,
b. Kemanfaatan,
c. Ketidak Berpihakan,
d. Kecermatan,
e. Tidak Menyalahgunakan Wewenang,
f. Keterbukaan,
g. Kepentingan Umum, dan
h. Pelayanan yang Baik.
Kuntjoro Purbopranoto mengemukakan dalam bukunya,
melengkapi AAUPB yang ada pada Negara Belanda dengan
mengadopsinya ke dalam konteks Indonesia, yang sebagian terdapat di
dalam peraturan Perundang-Undangan pada Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
14
Ateng Syafrudin, Asas-asas Pemerintahan yang Layak Pegangan bagi Pengabdian
Kepala Daerah, (Bandung: PT Citra Aditya Bhakti,1991), h. 65 15
SF. Marbun, Pembentukan, Pemberlakuan, dan Peranan Asas-asas Umum Pemerintahan
yang Layak dalam Menjelmakan Pemerintahan yang Baik dan Bersih di Indonesia, Disertasi,
(Bandung: Universitas Padjajaran, 2001), h. 72
23
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Apabila dijabarkan di
antara yaitu,
a. Asas kepastian hukum (principle of legal security) adalah asas
yang menjadi landasan dalam menjaga dan menghormati hak-
hak yang telah dimiliki seseorang berdasarkan keputusan badan
atau Pejabat Negara.16
Setiap tindakan akan mendapatkan
konsekuensi yang harus dilaksanakan oleh yang bersalah.
b. Asas keseimbangan (principle of proportionality) adalah asas
yang mengutamakan keseimbangan antara hukuman yang dapat
diberikan kepada seorang pegawai yang bersangkutan.17
Terhadap pelanggaran atau kealpaan yang sama namun
diperbuat oleh orang yang berbeda akan dikenakan sanksi yang
sama, dan sesuai dengan kriteria yang terdapat di dalam
peraturan perundang-undangan.18
Dalam memberikan putusan
maupun hukuman Badan atau yang pihak yang berwenang
harus bertindak objektif.
c. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principle of
equality) Asas ini mengandung pengertian bahwa Badan
Pemerintahan atau pejabat yang berwenang mengambil tindakan
yang sama terhadap setiap kasus yang sama, walaupun pada di
lapangan tidak selalusuatu kasus memiliki kesamaan yang
absolute antara satu kasus dengan kasus lainnya, Badan
Instansiatau Pejabat yang berwenangharus dapat mengambil
kebijakan terhadap kasus-kasus yang tengah dihadapi.19
16
Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-asas Umum
Pemerintahan yang Baik,...h. 159 17
Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan
Administrasi Negara, (Bandung: Alumni, 1975), h. 31 18
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi,...h. 246 19
Philipus M. Hadjon, Norma Hukum Sebagai Norma Kewenangan dan Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik (AAUPB) dalam Rangka Perlindungan Hukum Bagi Rakyat
(Tersangka/Terdakwa), dalam Dwi Windu KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana): Problematika Penegakan Hukumnya, (Surabaya: Fakultas Hukum Universitas Airlangga,
1998), h. 271
24
d. Asas bertindak cermat (principle of carefulness) bahwa seorang
Badan Instansi atau Pejabat yang berwenang dalam mengambil
keputusan haruslah bertindak secara hati-hati dan cermat agar
keputusan yang diberikan tepat sasaran terhadap kasus yang
hendak di selesaikan, sehingga dalam penerapannya nanti
kebijakan tersebut tidak menimbulkan kerugian pada penerima
keputusan ataupun masyarakat.20
e. Asas motivasi dalam setiap keputusan (principle of motivation)
ini mengutamakan bahwa setiap keputusan yang akandiambil
oleh Badan Instansi yang berwenangharus berdasarkan sebuah
alasan atau motivasi yang cukup adil dan jelas.21
f. Asas larangan mencampuradukan kewenangan (principle of
non-misuse of competence) berkaitan tentang larangan bagi
Penyelenggara Negara menyalahgunakan kewenangan atas
kekuasaannya (Abuse of Power) untuk tujuan lain selain
daripada tujuan yang telah ditetapkan kepada kewenangan
tersebut.22
g. Asas permainan yang layak (principle of fair play). Asas ini
memberikan kesempatan seseorang dalam mencari penjelasan
dan keadilan serta memberikan kesempatan untuk melakukan
pembelaan dirinya dengan memberikan argumentasi-
argumentasi sebelum dijatuhkannya putusan atau ketetapan
administrasi.23
Instansi atau Pejabat yang bersangkutan tidak
boleh menghalang-halangi seseorang mendapatkan keputusan
yang baik untuknya.
h. Asas keadilan dan kewajaran yaitu, Pejabat Negara hendaknya
memiliki sebuah pertimbangan yang baik saat akan mengambil
20
S.F. Marbun, Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi di Indonesia, (Yogyakarta:
Liberty, 1997), h. 360 21
S.F. Marbun, Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi di Indonesia,... h.377 22
Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-asas Umum
Pemerintahan yang Baik,... h.161 23
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi,... h. 255
25
sebuah keputusan dan tidak boleh memberikan keputusan yang
sewenang-wenang. Asas keadilan berfungsi sebagai landasan
berfikir seorang Pejabat Negara ataupun Badan Instansi dalam
mempertimbangkan sebuah tindakan yang proposional, sesuai,
seimbang, dan selaras dengan hak seseorang penerima
keputusan. Asas kewajaran menjadi sebuah landasan para
Pejabat Negara ataupun Badan Instansi yang memperhatikan
aspek nilai-nilai yang hidup di tengah-tengah masyarakat baik
dari sudut pandang agama, moral, adat istiadat, maupun nilai-
nilai lainnya.24
i. Asas meniadakan akibat keputusan yang batal, yaitu Asas yang
menghilangkan atau membersihkan nama seseorang ketika
putusan atas orang tersebut dicabut oleh Pengadilan walaupun
orang tersebut terbukti bersalah. Ini juga berdampak orang
tersebut diperbolehkan kembali mendapatkan haknya atau
bekerja dan dikembalikan pada jabatan atau posisi
sebelumnya.25
j. Asas kepercayaan dan menanggapi pengharapan yang wajar
ini menuntut agar Pejabat Negara dalam bertindak haruslah
menimbulkan dan memberikan sebuah harapan-harapan yang
baik untuk warga negara. Ketika Pejabat yang memberikan
harapan tersebut telah tersampaikan kepada masyarakat maka
Pejabat tersebut tidak boleh ingkar terhadap ucapannya.26
k. Asas perlindungan atas pandangan (cara) hidup pribadi , bahwa
Pejabat Negara dituntut agar dapat memberikan perlindungan
hukum kepada setiap warganya. Asas ini menjunjung tinggi
24
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi,... h. 258 25
Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-asas Umum
Pemerintahan yang Baik,... h. 163 26
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi,...h.259
26
perbedaan atau Demokrasi yang ada di tengah-tengah
masyarakatnya.27
l. Asas kebijaksanaan, bahwa Pejabat Negara dalam menjalankan
tugas dan pekerjaannya diberikan sebuah keleluasaan dan
kebebasan dalam memberikan kebijaksaan pada permasalahan
yang dihadapinya tanpa harus selalu mengikuti setiap peraturan
hukum yang ada (Dieskresi). Hal tersebut disebabkan bahwa
Undang-Undang tidak bersifat Dinamis dan tidak selalu
membawa jawaban atas semua permasalahan baru yang timbul
ditengah-tengah masyarakat.28
m. Asas Penyelenggaraan kepentingan umum, Pejabat Berwenang
dalam menjalankan tugasnya harus dapat mengambil sebuah
keputusan atas kebijaksanaannya yang mengutamakan
kepentingan yang mencangkup semua aspek kehidupan orang
banyak. Asas tersebut merupakan sebuah konsekuensi negara
dalam upayanya mewujudkan konsepsi negara hukum modern
(welfare state), yang membuat Pemerintah sebagai
Penyelenggara Negara harus bertanggung jawab dalam
mewujudkan bestuurszorg (kesejahteraan umum) bagi seluruh
warga negaranya.29
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi
Pemerintahan pada Pasal 4 mengenai ruang lingkup administrasi
Pemerintahan dalam Undang-Undang meliputi semua aktivitas Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam lingkup lembaga Eksekutif, Yudikatif,
Legislatif, dan Pemerintahan yang disebutkan di dalam UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau Undang-Undang. Pada Pasal 7 Ayat
(1) menyebutkan bahwa Pejabat pemerintah berkewajiban menyelenggarakan
27
Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-asas Umum
Pemerintahan yang Baik,...h. 163 28
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi,...h. 262 29
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi,...h.263
27
Administrasi Pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-
Undangan, kebijakan pemerintah, dan AAUPB.
Keinginan Negara Indonesia memiliki pemerintahan yang baik dan
bersih sudah seharusnya didukung oleh sebuah hokum dan sebuah alat paksa
dalam membuat Penyelenggara Negara taat pada sebuah aturan. Dalam
Undang-Undang tersebut terdapat beberapa jenis Sanksi Administrasi. Pada
Pasal 81 yang dimaksud Sanksi Administrasi ringan yaitu teguran secara
lisan, teguran tertulis, dan penundaan kenaikan pangkat, golongan, dan
kenaikan pangkat lainnya. Sanksi Administrasi sedang yaitu pembayaran
uang paksa dan/atau ganti rugi, pemberhentian sementara dengan
memperoleh hak-hak jabatan, atau pemberhentian sementara tanpa
memperoleh hak-hak jabatan. Sanksi Administrasi berat yaitu pemberhentian
namun masih mendapatkan hak keuangan dan fasilitas lainnya,
pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas
lainnya, pemberhentian tetap dengan memperoleh hak keuangan dan fasilitas
lainnya ditambah dengan publikasi di media massa, dan memperoleh
pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak keuangan dan fasilitas lainnya
serta dipublikasikan di media massa.
B. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Karya tulis ini, peneliti mengambil rujukan dari beberapa sumber-sumber
yang sudah ada sebelumnya. Sumber-sumber yang dimaksud di antaranya
jurnal, skripsi, dan penelitian lainnya yang terkait dengan penelitian ini.
Keterkaitan antara sumber rujukan dengan sumber rujukan tetapi fokus
permasalahan yang dimunculkan oleh penulis penelitian ini berbeda dengan
sumber rujukan.
1. Skripsi yang ditulis oleh Nurul Nazmi Laily Lubis pada Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara tahun 2018 dengan
judul Implementasi Program Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara Berbasis Elektronik Bagi Para Pejabat
Struktural Pada Pemerintahan Kota Tebing Tinggi. Skripsi ini
bertujuan mendeskripsikan bagaimana tingkat kepatuhan para
28
Penyelenggara Negara di wilayah Kota Tebing Tinggi dalam melaporkan
harta kekayaannya dengan menggunakan E-LHKPN. Penelitian yang
dilakukan pada skripsi tersebut dan yang dilakukan oleh peneliti
memiliki kesamaan yaitu adanya ketidak patuhan Penyelenggara Negara
dalam melaporkan LHKPN. Berbeda hal terkait masalah penelitian yang
lebih spesifik di mana skripsi tersebut lebih bertujuan mendeskripsikan
Implementasi dari penggunaan E-LHKPN, namun penelitian yang dibuat
oleh peneliti lebih spesifik mencari tahu sanksi apakah yang tepat bagi
Penyelenggara Negara agar memiliki kesadaran pentingnya pelaporan
LHKPN.30
2. Jurnal Hukum yang ditulis Sjahruddin Rasul dengan judul Penerapan
Good Govenance Di Indonesia dalam Upaya Pencegahan Tindak
Pidana Korupsi. Jurnal Hukum tersebut mendeskripsikan bahwa upaya
untuk menghentikan bertumbuhnya tindak pidana korupsi dengan
menerapkan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Jurnal dan
skripsi yang diteliti oleh meneliti sama-sama mengusung konsep Good
Governancce dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih dari
korupsi. Perbedaan yang mencolok pada keduanya yaitu terletak pada
konsep penggunaan instrumen LHKPN pada penelitian ini.31
30
Skripsi Nurul Nazmi Laily Lubis, FISIP, Universitas Sumatera Utara tahun 2018 ,
Implementasi Program Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara Berbasis Elektronik
Bagi Para Pejabat Struktural Pada Pemerintahan Kota Tebing Tinggi Diakses pada tanggal 2 Agustus 2019 (21:40 WIB) http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/6195
31Sjahruddin Rasul, Penerapan Good Governance di Indonesia dalam Upaya Pencegahan
Tindak Pidana Korupsi, pada jurnal yang berjudul Mimbar Hukum, Volume 21, Nomor 3, tahun
2009, jurnal ini diakses pada laman website http://journal.ugm.ac.idjmharticleview1627610822
29
BAB III
KETENTUAN TENTANG KEWAJIBAN LAPORAN HASIL KEKAYAAN
PENYELENGGARA NEGARA
A. Latar Belakang lahirnya LHKPN (Laporan Hasil Kekayaan
Penyelenggara Negara).
Akibat terjadinya kecurangan-kecurangan dalam penyalahgunaan
kekuasaan (abuse of power) dikalangan Pemerintahan, telah merugikan
negara yang berdampak luas dalam hal ini menghambat negara dalam
mensejahterakan rakyatnya. Penyalahgunaan kekuasaan ini yang kerap terjadi
yaitu seperti penyelewengan uang negara oleh para Penyelenggara Negara
atau tindak pidana korupsi.
Kamus Al-Munawwir kata korupsi diartikan juga risywah (penyuapan),
khiyanat (pencurian), fasad (kerusakan), ghulul (penggelapan), suht
(tertutup), dan bathil (kebohongan).1Seperti yang di jelaskan dalam Kamus
Al-Bisri kata korupsi diartikan dengan kata risywah (penyuapan), ihtilas
(pencopetan), dan fasad.2Kamus Besar Bahasa Indonesia kata korupsi
diartikan sebgai perbuatan yang buruk, rusak, gemar menggunakan barang
atau uang yang dititipkan(diamanahkan) kepadanya tanpa adanya
pertanggung jawaban, dan dapat disogok atau disuap dengan adanya
kekuasaan yang dimilikinya untuk kepentingan pribadi. Apabila dilihat dalam
arti terminologinya korupsi adalah penggelapan atau penyelewengan uang
negara ataupun uang perusahaan untuk kepentingan pribadi, orang lain
ataupun kelompoknya.3 Kesimpulan dari beberapa ahli bahasa tersebut, bila
disimpulkan Korupsi memiliki arti sebuah perbuatan menyimpang manusia
baik secara individu atapun berkelompok yang merugikan negara ataupun
perusahaan swasta.Dampak negatif yang ditimbulkan oleh perilaku
menyimpang (korupsi) tersebut, maka negara pun dalam hal ini pemerintah
1 Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, ( Yogyakarta: PonPes
Al-Munawwir Krapyak, 1984), h. 537 2 Adib Bisri dan Munawir AF, Kamus Al-Bisri,(Surabaya: Pustaka Progresif, 1999), h. 161
3 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1995), h. 527
30
Negara Indonesia pun membentuk suatu badan independen (auxiliary organs)
dalam memberantas tindak pidana korupsi yang terjadi di kalangan para
Penyelenggara Negara. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) merupakan
lembaga independen negara yang bertugas dalam menindak lanjuti Pasal 10
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Menanggapi petunjuk
dari Undang-Undang tersebut, maka dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang
kemudian dipertegas di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tersebut.
KPK bukan merupakan lembaga peradilan (Yudikatif) terpadu yang
terdapat di Indonesia, namun dalam hal tanggung jawab yang diberikan baik
berupa tugas dan wewenang komisi tersebut merupakan salah satu lembaga
penegak hukum, yang khusus dalam menangani perbuatan tindak pidana
korupsi, kolusi dan neptisme di Indonesia yang sebagaimana telah diatur
dalam Undang-undang KPK, adanya kekuatan hukum tersebut maka KPK
dapat lebih kosentrasi dalam upayanya dalam pemebrantasan tindak pidana
korupsi di Indonesia dapat berjalan lebih maksimal..4Salah Satu tugas yang
melatar belakangi berdirinya KPK yaitu adanya keharusan setiap pejabat
negara dalam melaporkan setiap harta kekayaannya melalui sebuah sistem
yang dinamakan dengan Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara.
Diatur Pasal 1 Ayat (7) dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
Tentang Penyelenggaraan Pemerintah yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme, yang berbunyi,
“Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara yang selanjutnya
disebut Komisi Pemeriksa adalah lembaga independen yang bertugas
untuk memeriksa kekayaan Penyelenggara Negara dan mantan
Penyelenggra Negara untuk mencegah praktek korupsi, kolusi, dan
nepotisme”.
Melihat Pasal 1 Ayat (7) pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
tersebut, upaya pemberantasan korupsi tidak hanya dilakukan dengan cara
4 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktik dan
Masalahnya, (P.T. Alumni: Bandung, 2007), h. 23
31
yang represif namun juga dengan upaya preventif yang mencegah tumbuhnya
korupsi maupun perilaku koruptif di masa mendatang. KPK berupaya dalam
menjalankan fungsinya melakukan berbagai kegiatan pencegahan meliputi
pendaftaran dan pemeriksaan LHKPN, gratifikasi, pendidikan, pelayanan
masyarakat dan penelitian.5Berdasarkan hal tersebut, maka pelaksanan
LHKPN menjadi sebuah kewajiban yang harus di jalankan setiap Pejabat
Negara ataupun Penyelenggara Negara.
LHKPN merupakan sistem yang dibentuk berupa formulir yang berisikan
tentang informasi dari harta kekayaan para Penyelenggara Negara.
Sebagaimana diterangkan dalam Ketentuan Umum pada Pasal 1 Ayat (3) dan
Ayat (4) pada Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 07 Tahun
2016 Tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara menerangkan bahwa,
Dalam Pasal 1 Ayat (3) tertulis yang dimaksud dengan
“Harta Kekayaan adalah benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud
atau tidak berwujud, termaksud hak dan kewajiban lainnya yang dapat
dinilai dengan uang yang dimiliki oleh Penyelenggara Negara beserta
istri/suami dan anak yang masih dalam tanggungan Penyelengagara
Negara, baik atas nama Penyelenggara Negara ataupun orang lain, yang
diperoleh sebelum dan selama Penyelenggara Negara memangku
jabatan”.
Kemudian dalam Pasal 1 Ayat (4) menerangkan bahwa
“Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara untuk selanjutnya
disebut dengan LHKPN adalah laporan dalam bentuk cetak dan/atau
bentuk lainnya tentang uraian dan rincian informasi mengenai Harta
Kekayaan, data pribadi, termasuk penghasilan, pengeluaran dan data
lainnya atas Harta Kekayaan Penyelenggara Negara”.
Terdapat beberapa pembagian LHKPN dengan beberapa jenis format
formulir dengan kebutuhan penyelidikan yang berbeda. Format tersebut
diantaranya Model KPK-A, dan Model KPK-B. Model KPK-A merupakan
formulir tanda terima penyerahan data Laporan Harta Kekayaan
Peneyelenggara Negara kepada KPK.Berbeda dengan isi Model KPK-A,
5 Coruption Education Commission-Republik Indonesia, Laporan Tahunan (Annual Report)
2006, (Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006), h. 5.2
32
Model KPK-B di mana Model KPK-B berisi tentang perubahan informasi-
informasi dari Penyelenggara Negara.
Setiap Penyelenggara Negara wajib melaporkan dan mengumumkan
harta kekayaannya sebelum, selama, dan sesudah masa jabatannya, sesuai
dengan Pasal 5 Ayat(2) dan (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun
1999.Pengelolaan LHKPN tersebut meliputi pendaftaran, pemeriksaan dan
pengumuman.Termasuk sejumlah kegiatan pendukung seperti pendataan dan
bimbingan teknis pengisian LHKPN yang diselenggarakan oleh KPK.6 Para
Penyelenggara Negara haruslah memahami, meneliti, dan memberikan
informasi yang sebenar-benarnya dalam mengisi LHKPN tersebut.
Pada tanggal 31 Desember 2016, Formulir Model KPK-A dan Model
KPK-B diganti dengan menggunakan E-LHKPN (Elektronik Laporan Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara).7Formulir yang digunakan hanya satu jenis
formulir untuk setiap jenis pelaporan.KPK meniadakan pelaporan
menggunakan media cetak.Penyampaian dapat disampaikan secara On Line
maupun Off Line melalui Excel ataupun melalui Email
[email protected] jenis dokumen yang diwajibkan untuk
dilaporkan seperti halnya Surat Kuasa dan Surat Pernyataan dapat
disampaikan secara off line dengan dikirimkan secara manual.8 Sejalan
dengan Pasal 6 Ayat (1) Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 07
Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan
Harta Kekayaan Penyelenggara Negara berbunyi bahwa,
“penyampaian LHKPN sebagaimana yang diamksud Pasal 4 dan Pasal 5
dapat diserahkan secara langsung atau melalui media lain yang
ditentukankan oleh KPK”.
6Coruption Education Commission-Republik Indonesia, Laporan Tahunan (Annual Report)
2006...h. 5.2 7 Diakses pada hari dan tanggal Selasa, 6 November 2018, pukul 9:17, pada halaman web
http://kepegawaian.dephub.go.id/portal/download/file/NzEx 8Diakses pada hari dan tanggal Selasa, 6 November 2018, pukul 10:31, pada halaman web
https://www.kpk.go.id/id/layanan-publik/laporan-harta-kekayaan-penyelenggaraan-
negara/faq/111-statistik/lhkpn
33
B. Instrument dalam LHKPN (Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara
Negara).
Pada Pasal10 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme berbunyi,
“Untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih bebas dari
korupsi, kolusi, dan nepotisme, Presiden selaku Kepala Negara
membentuk Komisi Pemeriksa”.
Di dalam Undang-Undang yang sama tugas dan wewenang diperkuat
kembali pada Pasal 17 Ayat (1) dan Ayat (2). Pasal 17 Ayat (1) berbunyi
“Komisi Pemeriksa memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan
pemeriksaan terhadap kekayaan Penyelenggara Negara.” Pasal 17 Ayat (2)
kemudian menjelaskan sebagaimana yang dimaksud oleh Ayat (1) tersebut
adalah:
1. “Melakukan pemantauan dan klarifikasi atas harta kekayaan
Penyelenggara Negara;
2. Meneliti laporan atau pengaduan masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat, atau instansi pemerintah tentang dugaan adanya korupsi,
kolusi dan nepotisme dari para Penyelenggara Negara;
3. Melakukan penyelidikan atas inisiatif sendiri mengenai harta kekayaan
Penyelenggara Negara berdasarkan petunjuk adanya korupsi, kolusi,
dan nepotisme terhadap Penyelenggara Negara yang bersangkutan;
4. Mencari dan memperoleh bukti-bukti, menghadirkan saksi-saksi
untukpenyelidikan Penyelenggara Negara yang diduga melakukan
korupsi, kolusi dan nepotisme atau meminta dokumen-dokumen dari
pihak-pihak yang terkait dengan penyelidikan harta kekayaan
Penyelenggara Negara yang bersangkutan;
5. Jika dianggap perlu, meminta bukti kepemilikan sebagian atau seluruh
harta kekayaan Penyelenggara Negara yang diduga diperoleh dari hasil
korupsi, kolusi, dan nepotisme selama menjabat sebagai Penyelenggara
Negara, juga meminta pejabat yang berwenang membuktikan dugaan
tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.”
Pada beberapa Pasal di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
tersebut dijelaskan tugas, wewenang, dan kewajiban dalam hal pendaftaran,
pemeriksaan, serta pengumuman hasil laporan harta kekayaan Penyelenggara
34
Negara,Pasal 6 Huruf d pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
TentangKomisi Pemberantasan Korupsi, berbunyi,
“Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: d. melakukan
pecegahan tindak pidana korupsi.”
Lebih lanjut pada Pasal 13 Huruf a dengan memperkuat wewenang dan
kewajiban KPK sebagai lembaga pemeriksa LHKPN yang berbunyi
“melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap Laporan Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara”.
Mekanisme dan tata cara pelaporan LHKPN diatur lebih lanjut pada
Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 07 Tahun 2016 Tentang
Tata Cara Pendaftaran, Pemeriksaan, dan Pengumuman Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara.
Upaya KPK dalam upayanya peningkatan akurasi pengawasan data dan
kemudahan dalam pelaporan harta kekayaan oleh para Penyelenggara Negara
dalam penyampaian LHKPN, KPK memperbaiki sistem pusat data LHKPN
dan peningkatan kordinasi dengan berbagai instansi lain.9 Upaya tersebut
diharapkan dapat dengan mudah pelaporan LHKPN serta tidak ada alasan lagi
para Penyelenggara Negara tidak melaporkan harta kekayaannya kepada
KPK. Upaya tersebut antara lain:
1. KPK telah berhasil melaksanakan “Penggalangan Komitmen” terhadap
hampir seluruh instansi pusat dengan diwakili oleh 75 perwakilan
pimpinan instansi. Kegiatan yang dilaksanakan berupaworkshop Aplikasi
Wajib Lapor LHKPN dan tata cara pemakaian Aplikasi Wajib Lapor
yang baru, dengan tujuan mendukung/mempermudahkan Penyelenggara
Negara wajib lapor LHKPN melaporkan harta kekayaannya kepada
koordinator instansi. KPK juga telah berkerjasama dengan Kementrian
Pemberdayagunaan Aparatur Negara (Men-PAN) dengan menerbitkan 2
Surat Edaran Men-PAN kepada institusi eksekutif untuk menetapkan
9Coruption Education Commission-Republik Indonesia, Laporan Tahunan (Annual Report)
2006,...h. 5.6
35
Jabatan Wajib Lapor, dan menunjuk koordinator pengelola LHKPN
serta memberikan sanksi bagi Penyelenggara yang tidak patuh.
2. Perbaikan administrasi LHKPN dengan DMS (document management
sistem), dengan mengirimkan surat peringatan kepada Penyelenggara
Negara mengenai ketidakpatuhan pelaporan serta meminta kelengkapan
dokumen pendukung, maupun perbaikan pengisian LHKPN.
3. Penggantian sistem aplikasi lama (warisan KPKPN) dengan
menggunakan aplikasi yang canggih dan aman serta terintegrasi dengan
DMS dan aplikasi wajib lapor (yang digunakan juga oleh koordinator
instansi), sehingga mempermudah pemantauan pelaporan LHKPN.
4. Pengumuman LHKPN dengan mengirimkan Nomor Harta Kekayaan
(NHK) kepada Penyelenggara Negara, mengirimkan poster pengumuman
LHKPN kepada Setda, Sekum, Sekjen atau yang setara, serta membuat
konfrensi pers untuk mengumumkan kekayaan para mentri/pejabat
setingkat menteri.
5. Menyempurnakan formulir LHKPN untuk mempermudahkan pengisian,
mencetak CD multimedia, dan menyediakan fasilitas download peraturan
tentang LHKPN melalui website KPK.
6. Telah melakukan bimbingan teknis pada instansi pusat dan instansi
daerah di semua bidang baik eksekutif, legislatif, yudikatif, dan
BUMN/BUMD. Total peserta 19.810 Peneyelenggara Negara. peserta
berasal dari MA, Kejagung, Depkeu (Dirjen Pajak dan Bea Cukai di
seluruh Indonesia), BUMN (pertamina ,BNI, Mandiri, dll), BPK dari
seluruh Indonesia, kator-kantor Imigrasi, Depdiknas, Dephub,
Deplu(Bintek kepada para calon Duta Besar) dan Depkominfo.
7. KPK melakukan pengelolaan secara khusus untuk pemilihan Kepala
Daerah Langsung(Pilkada), Pemilihan Umum, Menteri dan Pejabat
tinggi.10
10
Coruption Education Commission-Republik Indonesia, Laporan Tahunan (Annual Report)
2006, ... h. 5.7
36
Upaya KPK dengan menggandeng instansi-instansi yang terkait,
dilakukan dengan membentuk jaringan Koordinator pada setiap instansi agar
Penyelenggara Negara dapat terpantau dengan baik oleh KPK dalam hal
pelaporan Harta Kekayaan para Penyelenggara Negara yang berstatus Wajib
Lapor Harta Kekayaan.
Hubungan antara Penyelenggara Negara diatur di dalam Pasal 7 pada
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999. Di mana pada Pasal 7 Ayat (1)
Hubungan antar Penyelenggara Negara dilaksanakan dengan cara menaati
Norma-Norma kelembagaan, kesopanan, kesusilaan, dan etika yang
berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Ayat (2)
menjelaskan bahwa hubungan antar Penyelenggara Negara sebagaimana
dimaksud Ayat (1) berpegang teguh sebagaimana dimaksud Pasal (3) dan
ketentuan perundang-unangan yang berlaku.
Kemudian peran serta masyarakat dimuat di dalam Pasal 8 sampai
dengan Pasal 9. Pasal 8 Ayat (1) menyebutkan bahwa peran serta masyarakat
dalam penyelenggaraan negara merupakan hak dan tanggung jawab
masyarakat untuk ikut bertanggungjawab penyelenggaraan negara yang
bersih. Ayat (2) pada Pasal tersebut hubungan antar penyelenggara
masyarakat dilaksanakan berpegang teguh sebagaimana yang dimaksud pada
Pasal (3). Pasal 9 Ayat (1) peran serta masyarakat yang dimaksud Pasal (8)
diwujudkan dalam bentuk:
a. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang
Penyelenggara Negara.
b. Hak untuk memperoleh dan mendapatkan pelayanan yang sama
dan adil dari Penyelenggara Negara.
c. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab
terhadap kebijakan Penyelenggara Negara.
d. Hak memperoleh perlinungan hukum dalam hal:
1) Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksu huruf a, b, dan c.
2) Diminta hadir dalam penyelidikan, penyidikan dan sidang
pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, dan saksi ahli sesuai
dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Pada Ayat (2) dalam Pasal 9 tersebut hak sebagaimana yang dimaksud
pada Ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-
Undangan yang berlaku dengan menaati norma agama dan norma sosial
37
lainnya. Ayat (3) menjelaskan bahwa ketentuan mengenai tata cara pelaksaan
peran serta masyarakat dalam penyelenggara negara diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah.
Kerjasama tersebut dibenarkan dalamPeraturan KPK Nomor 07 Tahun
2016, yaitu dalam Pasal 19 Ayat (1),(2), dan (3). Pada Ayat (1) KPK dapat
melakukan kerjasama dengan lembaga/instansi terkait pelaksanaan Peraturan
komisi ini. Kemudian pada Ayat (2) KPK membuka akses dan menerima
informasi publik terkait Harta Kekayaan Penyelenggara Negara yang telah
diumumkan sesuai dengan tata cara permintaan data yang ditetapkan oleh
KPK. Lebih lanjut pada Ayat (3) dalam menjalankan tugas dan fungsi
pendaftaran dan pengumuman LHKPN, KPK dapat meminta
lembaga/instansi terkait untuk membentuk Unit Pengelola LHKPN.
Peran serta masyarakat dicantumkan pada Pasal 20. Pada Pasal (1)
masyarakat dapat memberikan data/informasiatau keterangankepada KPK
terkait engan harta kekayaan Penyelenggara Negara. Ayat (2) menjelaskan
ata/informasi atau keteranganyang dapat dipertanggungjawabkan. Kemudian
Ayat (3) masyarakat dapat memperoleh akses data/informasiterkait harta
kekayaan Penyelenggara Negara yang telah diumumkan sesuai dengan tata
cara permintaan data yang telah ditetapkan KPK. Terakhir Ayat 4
menjelaskan bahwa KPK tidak bertanggungjawab atas penyalahgunaan
informasiatas pemberian akses kepada masyarakat sebagaimana yang
dimaksud pada Ayat (3).
C. Mekanisme dan Sanksi yang Terdapat di LHKPN (Laporan Hasil
Kekayaan Penyelenggara Negara).
1. Pejabat Negara dan Penyelenggara Negara Wajib Lapor LHKPN
Sebagaimana tertulis dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
bahwa setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk melaporkan dan
mengumumkan harta kekayaannyasebelum dan setelah menjabat dalam
jabatannya yang mengharuskannya melaporkan harta kekayaannya, hal
tersebut tertuang dalam Pasal 5 Ayat (3) yang berbunyi,
38
“Para Penyelenggara Nagara yang wajib melaporkan meliputi Pejabat
Negara pada Lembaga tertinggi Negara, Pejabat Negara pada
Lembaga tinggi Negara, Menteri, Gubernur, Hakim, Pejabat Negara
yang lain sesuai dengan peraturan prundang-undangan yang berlaku,
dan Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya
dengan Penyelenggara Negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.”
Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1999.Lebih lanjut maksud Pejabat lain yang memiliki fungsi
strategis yaitu antara lain,
“Direksi, Komisaris dan Pejabat Struktural lainnya sesuai pada Badan
Usaha Milik Negaradan Badan Usaha Milik Daerah; Pimpinan Bank
Indonesia; Pimpinan Perguruan Tinggi; Pejabat Eselon 1 dan pejabat
lainnya yang disampaikan di lingkungan sipil, militer, dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia; Jaksa; Penyidik; Panitera Pengadilan; dan
Pemimpin dan Bendaharawan Proyek (yang pada sumber diusulkan
untuk dihapuskan).11
”
Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi. Berdasarkan Instruksi tersebut maka
Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN) menerbitkan Surat Edaran
Nomor: SE/03/M.PAN/01/2015 Tentang Laporan Hasil Kekayaan
Penyelenggara Negara yang mewajibkan jabatan-jabatan lainnya untuk
menlaporkan harta kekayaannya.
“Jabatan-jabatan tersebut antara lain, Pejabat Eselon II dan pejabat
lain yang disamakan di lingkungan instansi pemerintahan dan/atau
Lembaga Negara; Semua Kepala Kantor di lingkungan Departemen
Keuangan; Pemeriksa Bea Cukai; Pemeriksa Pajak; Auditor; Pejabat
yang mengeluarkan perijinan; Pejabat/Kepala Unit Pelayanan
Masyarakat; dan Pejabat Pembuat Regulasi.”
Kemudian lebih lanjut MenPAN mengeluarkan kembali Surat Edaran
Nomor: SE/05/M.PAN/04/2005 dengan perihal yang sama. Surat Edaran
tersebut meminta agar masing-masing Pimpinan Instansi dimintai untuk
mengeluarkan Surat Keputusan tentang penetapan jabatan-jabatan
rawankorupsi, kolusi, dan nepotisme di lingkungan masing-masing
11
Diakses pada tanggal 21 Januari 2019 pada website https://www.kpk.go.id/id/layanan-
publik/laporan-harta-kekayaan-penyelenggaraan-negara
39
Instansi yang di wajibkan melaporkan LHKPN kepada KPK.12
Peraturan
KPK Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman
dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara negara dalam Pasal 1
Ayat (2) Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan
fungsi Eksukutif, Legislatif, atau Yudikatif dan Pejabat lain yang fungsi
dan tugas pokoknya berkaitan dengan Penyelenggara Negara atau pejabat
publik lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
2. Tata Cara dan Mekanisme Pelaporan LHKPN
Tugas dan wewenang KPK diterangkan di dalam Pasal 17-18 di dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999. Pada Pasal 17 Ayat (1)
menjelaskan bahwa Komisi Pemeriksa mempunyai tugas dan wewenang
dalam untuk melakukan pemeriksaan terhadap kekayaan Penyelenggara
Negara. Ayat (2) mendetailkan tugas dan wewenang Komisi Pemeriksa
sebagaimana Ayat (1) adalah,
1) Melakukan pemantauan dan klarifikasi atas harta kekayaan
Penyelenggara Negara,
2) Meneliti laporan dan pengaduan masyarakat, lembaga swadaya,
atau instansi pemerintah tentang dugaan adanya korupsi, kolusi,
dan nepotisme dari para Penyelenggara Negara.
3) Melakukan penyelidikan atas inisiatif sendiri mengenai harta
kekayaan Penyelenggara Negara berdasarkan petunjuk adanya
korupsi, kolusi dan nepotisme terhadap Penyelengara yang
bersangkutan,
4) Mencari dan memperoleh bukti-bukti, menghadirkan saksi-saksi
untuk penyelidikan Penyelenggara Negara yang diduga
melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme atau meminta
dokumen-dokumen dari pihak yang terkait dengan penyelidikan
harta kekayaan Penyelengara Negara yang bersangkutan,
5) Jika dianggap perlu, selain meminta bukti kepemilikan sebagian
atau seluruh harta kekayaan Penyelenggara Negara yang diduga
diperoleh dari korupsi,kolusi, dan nepotisme selama menjabat
sebagai Penyelenggara Negara, juga meminta Pejabat yang
berwenang membuktikan dugaan tersebut sesuai dengan
ketentuan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
12
Diakses pada tanggal 21 Januari 2019 pada website https://www.kpk.go.id/id/layanan-
publik/laporan-harta-kekayaan-penyelenggaraan-negara
40
Ayat (3) pemeriksaan harta kekayaan penyelenggara negara
sebagaimana yang dimaksud dalam Ayat (1) dilakukan sebelum, selama,
dan setelah yang bersangkutan menjabat. Kemudian Ayat (4) Ketentuan
mengenai tata cara pemeriksaan kekayaan Penyelenggara Negara
sebagaimana dimaksud Ayat (2) dan (3) diatur dengan ketentuan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 18 pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tersebut, pada
Ayat (1) berbunyi hasil pemeriksaan Komisi Pemeriksa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 disampaikan kepada Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Ayat (2) khusus hasil
pemeriksaan atas harta kekayaan Penyelenggara Negara yang dilakukan
oleh Subkomisi Yudikatif, juga disampaikan kepada Mahkamah Agung.
Kemudian Ayat (3) apabila dalam hasil pemeriksaan sebagaimana yang
dimaksud Ayat (1) ditemukan petunjuk adanya korupsi, kolusi, dan
nepotisme maka hasil pemeriksaan tersebut akan disampaikan kepada
instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-
Undangan yang berlaku, untuk ditindak lanjuti.
Dalam Pasal 4 dalam Peraturan KPK Nomor 7 Tahun 2016 tersebut
menjelaskan Ayat (1) bahwa para Penyelenggara Negara wajib
menyampaikan LHKPN pada saat pengengkatan sebagai Penyelenggara
Negara pada saat pertama kali menjabat. Pelaporan kembali pada saat
pengangkatan kembali sebagai Penyelenggara Negara setelah berakhirnya
masa jabatan atau pensiun, atau pada saat berakhirnya masa jabatan atau
pensiun sebagai Penyelenggara Negara.Ayat (2) menjelaskan bahwa
Penyampaian LHKPN sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) disampaikan
dalam jangkau waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak saat pengangkatan
Pengangkatan pertama/ Pengengkatan kembali/ berakhirnya jabatan
sebagai Penyelenggara Negara.
Pasal 5 Ayat (2) Peraturan KPK Nomor 7 Tahun 2016 menjelaskan
penyampaian LHKPN oleh Penyelenggara Negara secara periodik
dilakukan selama Penyelenggara Negara tersebut menjabat dilakukan
41
selama 1(satu) tahun sekali atas harta kekayaan yang diperoleh sejak
tanggal 1 Januari sampai tanggal 31 Desember. Lebih lanjut, penyampaian
LHKPN sebagaimana dimaksud disampaikan dalam jangka waktu paling
lambat 31 Maret pada tahun berikutnya.
Pada Pasal 6 Ayat (1) penyampaian LHKPN sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 dapat dieserahkan secara langsung
atau media lain yang ditentukan oleh KPK.Pasal 6 Ayat (2) menjelaskan
mengenai format LHKPN sebagaimana yang dimaksud pada Ayat (1)
ditetapkan KPK yang sekurang-kurangnya memuat:
a. Nama
b. Jabatan
c. Instansi
d. Tempat dan tanggal lahir
e. Alamat
f. Identitas suami dan istri
g. Identitas anak
h. Jenis, nilai, dan asal usul perolehan harta yang dimiliki
i. Besarnya penghasilan dan pengeluaran
j. Surat kuasa mendapatkan data keuangan
k. Surat kuasa mengumumkan harta kekayaan
l. Surat pernyataan
Pada Pasal 7 Ayat (1) menjelaskan bahwa KPK akan melakukan
verifikasi administrasi LHKPN sebagaimana Ayat (6). Ayat (2) pada Pasal
7Verifikasi dilakukan dengan meneliti ketepatan pengisian LHKPN serta
kelengkapan bukti pendukung yang dilampirkan sesuai petunjuk pengisian
formulir LHKPN.Ayat (3) menjelakanbukti pendukung yang harus
dilampirkan oleh Penyelenggara Negara paling sedikit memuat beberapa
dokumen yang menerangkan kepemilikan harta kekayaan pada Lembagaan
Keuangan. Hal mengenai ketidak lengkapan laporan LHKPN pada Pasal 8
Ayat (1),(2), dan (3) apabila hasil verifikasi administrasi menyatakan
LHKPN belum lengkap maka KPK menyampaikan pemberitahuan kepada
Penyelenggara Negara mengenai bagian-bagian dari formulir LHKPN dan
bukti pendukungnya masih harus diperbaiki dan/atau dilengkapi oleh
Penyelenggara Negara. Penyampaikan perbaikan atau kelengkapan
LHKPN dilakukan dalam kurun 14 (empat belas) hari kerja sejak
42
diterimanya pemneritahuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) pada
Pasal 8. Penyelengagara Negara tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 Ayat (2) maka Penyelenggara Negara dianggap
menyampaikan LHKPN secara tidak lengkap. Setelah pemberkasan
administrasi Penyelenggara Negara telah dianggap lengkap maka, pada
Pasal 9 dijelaskan dalam hal hasil verifikasi administrasi menyatakan
penyampaian LHKPN telah lengkap, maka KPK memberikan tanda terima
kepada Penyelenggara Negara.
Setelah Penyelenggara Negara telah mendaftarkan diri dan
menyelesaikan prosedur administasi penyampaian LHKPN kepada KPK,
para Penyelenggara Nagara wajib mengumumkan LHKPN kepada publik
melalui media-media massa yang telah disediakan oleh KPK.
Pengumuman tersebut telah diatur melalui Pasal 10 Ayat (1) pada
Peraturan KPK nomor 07 Tahun 2016 tersebut, pengumuman wajib
dilaksanakan oleh Penyelenggara Negara dalam waktu paling lambat 2
(dua) bulan setelah Penyelenggara Negara menyampaikan LHKPN kepada
KPK. Pada Ayat (2) pengumuman sebagaimana dimaksud pasa Ayat (1)
dilakukan dengan menggunakan format yang ditetapkan oleh KPK melalui
media elektronik maupun non elektronik sebagai berikut:
a. Media pengumuman KPK
b. Media pengumuman instansi
c. Surat kabar yang memiliki peredaran secara Nasional
Dalam Pasal 11 mengatur bahwa Penyelenggara negara dapat
memberikan kuasa secara tertulis kepada KPK untuk melakukan
pengumuman atas Harta Kekayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
Kemudian pada Pasal 12 Ayat (1) menjelaskan bahwa pemeriksaan
ilakukan oleh KPK sebelum, selama, dan setelah Penyelenggara Negara
tersebut menjabat. Ayat (2) menjelaskan bahwa pemeriksaan LHKPN
terhadap Penyelenggara Negara yang telah berakhir masa jabatannya atau
pensiun, dilakukan sampai batas waktu paling lama 5 (lima) tahun
terhitung berakhirnya masa jabatan atau pensiun Penyelenggara Negara.
43
Dalam Ayat (3) pemeriksaan LHKPN dilaksanakan atas dasar inisiatif
sendiri berdasarkan hasil analisis atau atas permintaan pihak lain.
Kemudian Ayat (4) Pemeriksaan atas dasar inisiatif sendiri didasarkan
pada,
a. Adanya penambahan harta yang lebih besar atau lebih kecil
dibandingkan penghasilan bersih yang dihasilkan.
b. Adanya penambahan atau pelepasan harta yang sumber
diperolehnya berasal dari hibah/warisan/hadiah dalam jumlah
yang signifikan dari total harta kekayaan yang dilaporkan,
c. Adanya jumlah harta kekayaan yang lebih kecil ibandingkan
hutangnya, dan/atau,
d. Analisis lainnya yang berkaitan dengan profil jabatan, harta
kekayaan dan penghasilan.
Ayat (5) Pemeriksaan dilakukan atas permintaan pihak-pihak tertentu
sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) alam rangka upaya penegakan
hukum. Kemudian Ayat (6) pihak tertentu sebagaimana Ayat (3) tidak
dapat menggunakan LHKPN untuk tujuan selain dari alasan permintaan
pemeriksaan.
Harta kekayaan yang dapat diperiksa oleh KPK sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 13, KPK melakukan pemeriksaan terhadap nilai,
jumlah, jenis, dan asal usul harta kekayaan Harta Kekayaan Penyelenggara
Negara (LHKPN) yang diperoleh sebelum, selama, dan setelah
Penyelengara menjabat. Pasal 14 menjelaskan bahwa pemeriksaan
dilakukan antara lain dengan cara menghimpun, mengidentifikasi,
menganalisis, mengkonfirmasi, mengklarifikasi, mengevaluasi data dan
informasi serta melakukan pengecekan lapangan.
Dalam Pasal 15 dalam hal pemeriksaan, KPK dapat meminta
data/informasi atau keterangan kepada,
a. Penyelenggara Negara yang bersangkutan,
b. Kementrian/lembaga/instansi pemerintahan, lembaga negara,
atau swasta.
c. Penyedia jasa keuangan, antara lain bank, perusahaan
pembiayaan, perusahaan asuransi, perusahaan efek, pedagang
valas.
d. Penyedia barang dan jasa lainnya antara lain perusahaan
properti, pedagang kendaraan bermotor, pedagang
44
permata/perhiasan/logam mulia, pedagan barang seni/barang
antik, atau barang lelang, dan
e. Pihak lainnya.
Pada Ayat (2) permintaan data/informasi atau keterangan kepada
penyedia jasa keuangan sebagaimana disebut pada Ayat (1) huruf c
dilakukan berdasarkan surat kuasa khusus nasabah penyedia jasa keuangan
yang bersangkutan. Ayat (3) menjelasakan dalamrangka pemeriksaan,
maka pihak-pihak sebagaimana disebut Ayat (1) wajib memberikan
data/informasi atau keterangan yang diminta oleh KPK.
Dalam menjalankan pemeriksaan pada Pasal 16 Ayat (1) pemeriksaan
oleh pegawai KPK berasarkan surat perintah tugas yang ditanda tangani
oleh Pimpinan KPK atau Pejabat lain yang ditunjuk. Pada Pasal (2) dalam
melaksanakan pemeriksaan, KPK dapat meminta bantuan tenaga
ahli/profesional. Kemudian Pasal 17 menjelakan bahwa pada Ayat (1)
setiap hasil pemeriksaan wajib dituangkan dalam bentuk laporan hasil
pemeriksaaan LHKPN. Lebih lanjut Ayat (2) Tata cara pemeriksaan
dilakukan berdasarkan prosedur pemeriksaan LHKPN yang ditetapkan
oleh KPK. Kemudian Ayat (3) laporan hasil pemeriksaan LHKPN bersifat
rahasia dan hanya dapat digunakan sebagai data awal untuk kepentingan
sebagaimana dimaksud Pasal 12 Ayat (3).
3. Sanksi Terhadap Pejabat Negara dan Penyelenggara Negara Tidak
Lapor LHKPN
Adapun sanksi yang dikenakan kepada para Penyelenggara Negara
wajib lapor yang tidak melaksankan LHKPN, maka pada Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 pada Pasal 20 Ayat (1) dan (2). Pada Ayat (1)
setiap Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1),(2),(3),(4),(5) dan (6) dikenakan sanksi
administratif sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-Undangan
yang berlaku. Kemudian Ayat (2) setiap Penyelenggara Negara yang yang
melanggar ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (4)
yaitu tidak melakukan tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme atau
(7) yaitu bersediamenjadi saksi dalam perkara korupsi, kolusi, dan dam
45
nepotisme maupun dalam perkara lainnya sesuai ketentuan Peraturan
Perundang-Undangan yang berlaku maka akan dikenakan saksi pidana
atau sanksi perdata sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang
berlaku.Pada peraturan Perundang-Undangan tersebut sanksi
pidanamaupun perdata yang dimaksud yaitu terdapat di Pasal 21 dan 22,
pada Pasal 21 menjelaskan setiap para Penyelnggara Negara atau Anggota
Komisi Pemeriksa yang melakukan kolusi sebagaimana yang dimaksud
pada Pasal 5 Ayat (4) dipidana penjara paling singkat 2 tahun penjara dan
paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua
ratus juta) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00(satu miliar).
Sedangkan pada Pasal 22 setiap Penyelenggara Negara atau Anggota
Komisi Pemeriksa yang melakukan Nepotisme sebagaimana dimaksud
pada Pasal 5 Ayat (4)dipidana penjara paling singkat 2 tahun penjara dan
paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua
ratus juta) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00(satu miliar).
Peraturan KPK Nomor 07 Tahun 2016 pada Pasal 21 Ayat (1), dan
(2). Pada Ayat (21) dalam hal Penyelenggara Negara tidak melaporkan
LHKPN atau tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana yang dimakasud
dalam peraturan komisi ini, maka KPK dapat memberikan rekomendasi
kepada atasanlangsung atau pimpinan lembaga tempat Penyelenggara
Negara(yang bersangkutan) berdinas untuk memberikan sanksi
administratrif kepada Penyelenggara Negara yang bersangkutan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Kemudian pada Ayat (2) apabila
Penyelenggara Negara memberikan keterangan tidak benar mengenai
Harta Kekayaannya dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
D. Pelaporan LHKPN (Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara) di
Indonesia
Implementasi dari LHKPN di Indonesia dapat dilihat dari pelaporan
LHKPN kepada KPK pada kurun waktu 2016-2018. Laporan tersebut telah
46
diumumkan oleh KPK dalan berbagai media massa guna mempermudahkan
masyarakat mengakses LHKPN tersebut.
Data yang didapatkan melalui websiteresmi KPK “Ikhtisar Kepatuhan
LHKPN” pada tanggal 17 Maret 2016 menunjukan masih banyaknya para
pejabat negara yang belum taat untuk melaporkan hasil kekayaan mereka
kepada negara. Data tersebut dapat kita lihat dari table berikut ini:
Bidang Wajib
Lapor
LHKPN
Sudah
Lapor
LHKPN
Belum
Lapor
LHKPN
Kepatuhan
(%)
Eksekutif 213.107 166.800 46.307 78,27 %
Yudikatif 19.355 18.366 989 94, 89 %
Legislatif –
MPR
3 3 0 100,00 %
Legislatif –
DPR
510 494 16 96,86 %
Legislatif –
DPD
113 106 7 93,81 %
Legislatif –
DPRD
12.219 3.587 8.632 29,36 %
Pemilu
Legislatif DPR
RI
2 2 0 100,00 %
Pemilu
Legislatif DPD
RI
25 23 2 92,00 %
Pemilu
Legislatif
DPRD
6 3 3 50,00 %
BUMN/BUMD 22.209 18.000 4.209 81,05 %
47
- 1.261 1.050 211 83,27 %
Total 268.810 208.434 60.376 77,54 %
Jika dilihat dari perbidang para Wajib Lapor LHKPN maka
kepatuhannya sebagai berikut:
Bidang Jumlah Instansi Kepatuhan %
Eksekutif 648 78,27 %
Yudikatif 2 94,89 %
Legislatif 440 32,75 %
BUMN/BUMD 414 81,05 %
- 1 83,27 %
Sehingga pada tahun 2016 kepatuhan para Penyelenggara Negara Wajib
Lapor Harta Kekayaan yang berjumlah 268.810 wajib lapor, sebanyak 60.376
(22,46 %) Wajib Lapor yang belum melaporkan LHKPN kepada KPK.
Kemudian sebanyak 208.434 (77,54 %) Wajib Lapor yang telah melaporkan
harta kekayaannya kepada KPK.13
Pada tahun 2017 hasil ikhtisar kepatuhan pelaporan LHKPN oleh para
Penyelenggara Negara yang disampaikan kepada KPK dapat dilihat dari
website resmi yang dikeluarkan oleh KPK. Persentase laporan 2017 LHKPN
dinilai sebagai berikut:
Bidang Wajib
Lapor
LHKPN
Sudah
Lapor
LHKPN
Belum
Lapor
LHKPN
Kepatuhan
(%)
Eksekutif 236.018 157.152 78.866 66,58 %
Yudikatif 22.489 10.822 11.667 48,12 %
Legislatif –
MPR
2 1 1 50,00 %
13
KPK(Komisi Pemberantasan Korupsi), E-LHKPN Transparansi itu mudah, Data tersebut
berhasil diunduh pada tanggal 22/02/2019 (12:00:23 WIB) melaluli laman website
https://elhkpn.kpk.go.id/portal/user/petakepatuhan (data tersebut dapat sedikit berubah pada setiap
jamnya)
48
Legislatif –
DPR
534 115 419 21,54 %
Legislatif –
DPD
80 46 34 57,50 %
Legislatif –
DPRD
15.143 4.343 10.800 28,68 %
Pemilu
Legislatif DPR
RI
482 2 480 0,41 %
Pemilu
Legislatif DPD
RI
89 58 31 66,17 %
Pemilu
Legislatif
DPRD
1.801 30 1.771 1,67 %
BUMN/BUMD 25.058 21.435 3.623 85,54 %
Total 301.696 194.004 107.692 64,30 %
Jika tingkat kepatuhan tersebut dilihat dari masing-masing bidang
tersebut menunjukan persentase sebagai berikut:
Bidang Jumlah Instansi Kepatuhan (%)
Eksekutif 642 66,58 %
Legislatif 482 25,34 %
Yudikatif 2 48,12 %
BUMN/BUMD 176 85,54 %
Hasil kepatuhan pelaporan LHKPN pada tahun 2017 oleh para
Penyelenggara Negara, ada sebanyak 301.696 Wajib Lapor. Pada sebanyak
194.004 (64,30%) Wajib Lapor yang telah melaporkan harta kekayaannya
49
kepada KPK. Sedangkan sebanyak 107.692 (35,70%) Wajib Lapor yang
belum melaporkannya kepada KPK.14
Ikhtisar kepatuhan yang telah dirangkum pada tahun berikutnya pada
tahun 2018, hasil pelaporan LHKPN yang telah didaftarkan oleh para
Penyelenggara Negara kepada KPK menunjukan sebagai berikut:
Bidang Wajib
Lapor
LHKPN
Sudah
Lapor
LHKPN
Belum
Lapor
LHKPN
Kepatuhan
(%)
Eksekutif 261.263 46.447 214.816 17,78 (%)
Yudikatif 23.860 2.947 20.913 12,35 (%)
Legislatif –
MPR
2 1 1 50,00 (%)
Legislatif –
DPR
523 39 484 7,46 (%)
Legislatif –
DPD
136 82 54 60,29 (%)
Legislatif –
DPRD
16.312 1.626 14.686 9,97 (%)
Pemilu
Legislatif DPR
RI
537 28 509 5,21 (%)
Pemilu
Legislatif DPD
RI
704 548 156 77,84 (%)
Pemilu
Legislatif
5.445 457 4.988 8,39 (%)
14
KPK(Komisi Pemberantasan Korupsi), E-LHKPN Transparansi itu mudah, Data tersebut
berhasil diunduh pada tanggal 22/02/2019 (09:40:27 WIB) melaluli laman website
https://elhkpn.kpk.go.id/portal/user/petakepatuhan (data tersebut dapat sedikit berubah pada setiap
jamnya)
50
DPRD
BUMN/BUMD 27.854 5.124 22.730 18,40 (%)
Total 336.636 57.299 279.337 17,02 (%)
Selanjutnya apabila kepatuhan tersebut dilihat dari jumlah bidang yang
diperiksa oleh KPK pada tahun 2018 maka dapat dilihat sebagai berikut:
Bidang Jumlah Instansi Kepatuhan (%)
Eksekutif 646 17,78 %
Yudikatif 2 12,35 %
Legislatif 510 11,75 %
BUMN/BUMD 180 18,40 %
Kepatuhan pelaporan LHKPN oleh para Penyelenggara Negara yang
Wajib Lapor pada tahun 2018 laporan tersebut, KPK telah merangkum
sebanyak 336.636 Wajib Lapor. Kemudian dari jumlah Wajib Lapor tersebut
sebanyak 279.337 (82,98%) Wajib Lapor belum melaporkan LHKPN KPK,
sedangkan hanya sebanyak 57.299 (17,02%) Wajib Lapor yang telah
melaporkan harta kekayaannya kepada KPK pada tahun 2018.15
Melihat data pelaporan harta kekayaan tersebut, pelaporan LHKPN pada
tahun 2016 jika dilihat dari hasil persentase yang di-input oleh media internet
“Hukum On Line” dari jumlah Penyelenggara Negara Wajib Lapor LHKPN
sebanyak 288.369 ada sebanyak 90.817 Penyelenggara Negara Wajib Lapor
yang baru melaporkan harta kekayaannya kepada KPK, dan sebanyak
197.685 orang telah melaporkan harta kekayaan mereka kepada KPK. Namun
jika dilihat dari persentase yang telah di-input oleh website resmi KPK pada
tahun yang sama kepatuhan para Penyelenggara Negara pada pelaporan
LHKPN, dari sebanyak 268.810 orang Penyelenggara Negara Wajib Lapor
LHKPN sebanyak 208.434 orang telah melaporkan harta kekayaannya kepada
15
KPK(Komisi Pemberantasan Korupsi), E-LHKPN Transparansi itu mudah, Data tersebut
berhasil diunduh pada tanggal 22/02/2019 (09:40:27 WIB) melaluli laman website
https://elhkpn.kpk.go.id/portal/user/petakepatuhan (data tersebut dapat sedikit berubah pada setiap
jamnya)
51
KPK dan sebanyak 60.376 orang Penyelenggara Negara belum melaporkan
harta kekayaannya kepada KPK.
Pada tahun 2017 sebanyak 301.696 orang para Penyelenggara Negara
Wajib Lapor LHKPN yang terdata oleh KPK. Sebanyak 194.004 orang Para
Penyelenggara Wajib Lapor yang telah melaporkan harta kekakyaannya
kepada KPK dan sebanyak 107.692 orang Penyelenggara Negara Wajib
Lapor LHKPN yang belum melaporkan hartanya kepada KPK. Tahun 2018
ada sebanyak 336.636 Wajib Lapor yang terdata sebagai Penyelenggara
Negara Wajib Lapor LHKPN kepada KPK.Sebanayak 279.337 orang Para
Pemyelenggara Negara Wajib Lapor LHKPN yang belum melaporkan harta
kekayaannya kepada KPK dan sebanyak 57.299 orang Penyelenggara Negara
Wajib Lapor LHKPN belum melaporkannya kepada KPK.
Pada table berikutnya memuat data “Rekapitulasi Tindak Pidana Korupsi
di Indonesia melalui laman website ACCH (Anti-Coruption Cleaning House)
yang telah di Up date pada tanggal 31 Desember 2018 silam16
Penindakan 2016 2017 2018 Jumlah
Penyelidikan 96 123 164 383
Penyidikan 99 121 199 419
Penuntutan 76 103 151 330
Inckraht 71 84 106 261
Eksekusi 81 83 113 277
Berdasarkan data rekapitulasi yang keluar pada tanggal 31 Desember
2018, Apabila dikaitkan dengan pelaporan LHKPN di data sebelumnya pada
tahun 2016 jumlah Penyelenggara Negara yang telah melaporkan LHKPN
mencapai 208.434 (77,54 %) orang kemudian melihat hasil di tahun 2017 KPK
telah melakukan tindakan sebagai berikut: Penyelidikan 123 perkara, Penyidikan
16
Diakses pada tanggal 26 Agustus 2019 Pukul 22:45 pada laman web site ACCH. https://acch.kpk.go.id/id/statistik/tindak-pidana-korupsi
52
121 perkara, Penuntutan 103 perkara, Incraht 84 perkara, dan Eksekusi 83
perkara. Tahun 2017 jumlah Penyelenggara Negara yang telah melaporkan
LHKPN mencapai 194.004 (64,30%) orang, dan KPK telah melakukan
penindakan atas tindak Pidana Korupsi di tahun 2018 sebagai berikut:
Penyelidikan 164 perkara, Penyidikan 199 perkara, Penuntutan 151 perkara,
Incraht 106 perkara, dan Eksekusi 113 perkara. Dapat disimpulkan bahwa
penindakan Tindak Pidana Korupsi pada tahun 2018 lebih besar dari pada tahun
2017. Hal ini sebanding lurus dengan jumlah Penyelenggara Negara yang
melaporkan harta kekayaan.
53
BAB IV
IMPLEMENTASI LAPORAN HASIL KEKAYAAN PENYELENGGARA
NEGARA TERHADAP PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN YANG
BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME
Mengartikan sebuah hukum haruslah diartikan sebagai sebuah perangkat
peraturan yang mengatur masyarakat, kemudian barulah hukum tersebut
didukung oleh sistem sanksi yang tegas dan jelas sehingga melahirkan
penegakan keadilan terhadap hukum tersebut. keadilan yang dimaksudkan di
sini adalah keadilan vindikatif bukan keadilan absolute yang mana
menjatuhkan suatu hukuman berdasarkan perosedur hukum dan dengan
alasan yang jelas serta mendasar, dalam arti tidak berdasarkan kepada
perasaan sentiment (hanya menilai dari subjektif), kesetiakawanan,
kompromistik dan atau alasan yang lain yang justru menyebabkan penegakan
hukum tersebut jauh dari rasa keadilan.1 Hukum pada dasarnya mengikat
pada setiap individu ataupun kelompok yang terbeban(terkena wajib
mematuhi peraturan tersebut), sehingga dalam pelaksanaan penegakan hukum
dan penegakan sanksi terhadap adanya pelanggaran hukum, para penegak
hukum tidak boleh melakukan tebang pilih.
Hukum dalam prespektif kebahasaan, hukum dapat diartikan sebagai
menetapkan sesuatu kepada yang lain. Lebih lanjut hukum juga dipahami
sebagai kumpulan dari peraturan yang baik yang berasal dari sebuah
kesepakatan dalam hal menjunjung nilai moral atau adat kebiasaan yang
dibentuk dalam suatu perundangan yang formal, di mana dalam suatu negara
masyarakatnya mengakui terikat atau menjadi subjek dari hukum formal
tersebut.2Hukum juga diartikan sebagai aturan atau norma di mana membuat
perbuatan-perbuatan masyarakatnya atau subjek hukum tersebut memiliki
1 Sabian Utsman, Menuju Penegakan Hukum Responsif Konsep Philippe Nonet & Philip
Selznick Perbandingan Civil Law System & Common Law System Spiral Kekerasasan &
Penegakan Hukum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Cetakan ke-2, h.13 2 M. Hasan Ubadillah, Kontribusi Hukum Islam dalam mewujudkan Good Governance di
Indonesia, diakses pada situs httpjurnalfsh.uinsby.ac.idindex.phpqanunarticleview141 pada
tanggal 26 Januari 2019
54
sebuah pola.3 Sebuah hukum yang dibentuk sudah seharusnya memiliki
sebuah nilai yang berasal dari nilai-nilai yang ada di tengah masyarakat. Nilai
yang terkandung di dalam hukum tersebut lantas disepakati oleh masyarakat
secara luas untuk dimasukan ke dalam sistem peraturan hukum. Peraturan
hukum yang telah dibekali oleh nilai tersebut dilegalkan maka diharapkan
menjadi sebuah peraturan hukum yang diterima dan berjalan dengan baik
oleh subjek hukum itu sendiri, sehingga dengan kesadaran pentingnya
peraturan hukum tersebut membuat pola yang baik ditengah-tengah
maysarakatnya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, hukum tidak hanya mengikat kepada
masyarakatnya saja namun hukum juga seharusnya mengikat kepada semua
elemen dalam negara tersebut.Khususnya dalam hal ini pemerintah atau
Penyelenggara Negara sebagai pelaksana dari pembuat kebijakan maupun
sebagai pihak yang bertanggung jawab terlaksananya tujuan nasional dalam
kehidupan bernegara dari negara tersebut. Diperlukannya upaya penegakan
hukum yang merupakan proses untuk menegakan atau memfungsikan norma-
norma hukum secara nyata dalam berprilaku dalam lalu lintas atau hubungan-
hubungan hukum dalam masyarakat dan bernegara.4Lebih lanjut suatu aturan
yeng telah dibuat, sudah seharusnya ditegakan dan dijalankan dengan baik
dan penuh rasa tanggung jawab oleh setiap mayarakat maupun para
penyelenggaranya yang mengakui terikat oleh hukum tersebut.
Apabila dilihat dari sudut subjeknya penegakan hukum dapat diartikan
dalam subjek yang luas dan dapat pula diartikan dalam sudut yang sempit
atau terbatas.Dalam arti yang luas penegakan hukum berarti menggunakan
dan melibatkan setiap subjek hukum dalam setiap hubungan hukumnya.
Berarti siapapun yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu
maupun tidak melakukan sesuatu dengan berdasarkan diri pada norma aturan
3„Abd al-Hamid Hakim, al-Bayan (Jakarta: Sa‟adiyah Putra, 1972), h. 10.
4 Jimly Asshidiqie,Penegakan HUkum jurnal ini diakses pada laman
httpscholar.google.co.idscholar_urlurl=http%3A%2F%2Fwww.academia.edu%2Fdownload%2F3
1812599%2FPenegakan_Hukum.pdf&hl=id&sa=T&oi=ggp&ct=res&cd=6&d=106869644002487
61702&ei=AItZXOm-KtaMyQTkwKLQBg&scisig=AAGBfm2tEXjPYyOn3vMIPB4W1V_ pada
tanggal 30 Januari 2019.
55
hukum yang berlaku, itu bebrarti seseorang tersebut telah menjalankan atau
telah menegakan aturan yang berlaku. Kemudian apabila dilihat dari arti
sempit dilihat dari subjek hukumnya, penegakan hukum diartikan sebagai
upaya para penegak hukum tertentu dalam menjamin dan memastikan bahwa
suatu aturan hukum tersebut berjalan sebagaimana mestinya. Arti sempit
tersebut memastikan dan menjamin tegaknya hukum tersebut, apabila
diperlukan maka aparatur penegak hukum tersebut dapat melakukannya
dengan daya paksa.5 Pada dasarnya manusia memiliki keinginan hidup
teratur. Tolak ukur untuk dapat dikatakan teratur ataupun pantas tidak pantas
memiliki perbedaan pendapat antara orang yang satu dengan yang lainnya.
Oleh karena itu diperlukan tolak ukur untuk menyatukan presepsi atas hal
tersebut6Oleh karena itu, untuk menjaminnya penegakan hukum tersebut
maka diperlukannya kerjasama dan kesadaran diri sebagai subjek hukum
untuk bertanggung jawab menjalankan aturan hukum, terutamnya untuk
aturan hukum tertentu yang mengikat dan mengharuskannya mematuhi dan
menjalankannya.Tidak hanya itu para penegak hukum pun sudah seharusnya
melakukan upaya-upaya penegakan hukum dengan tindakan yang dirasa
diperlukan untuk memastikan hukum tersebut berjalan dengan baik.
Pemberian reward maupun sanksi itu juga tidak boleh melihat siapa yang
akan diberikannya.
Peneliti di awal telah menjabarkan beberapa pemikiran dalam
permasalahan yang diangkat pada skripsi ini. Pelaporan LHKPN oleh Pejabat
ataupun Penyelenggara Negara merupakan sebuah kewajiban yang mutlak
ketika seseorang akan, saat, dan setelah mengemban amanah di dalam roda
pemerintahan pada setiap sektornya. Pemberian beban ini sesuai Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang
5 Jimly Asshidiqie,Penegakan HUkum jurnal ini diakses pada laman
httpscholar.google.co.idscholar_urlurl=http%3A%2F%2Fwww.academia.edu%2Fdownload%2F3
1812599%2FPenegakan_Hukum.pdf&hl=id&sa=T&oi=ggp&ct=res&cd=6&d=106869644002487
61702&ei=AItZXOm-KtaMyQTkwKLQBg&scisig=AAGBfm2tEXjPYyOn3vMIPB4W1V_ pada
tanggal 30 Januari 2019. 6 Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-masalah Sosial,
(Bandung: Alumni, 1982), h. 54
56
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Pelaksanaan
pelaporan harta kekayaan penyelnggara negara menjadi tugas yang wajib
dilaksanakan mengingat juga bahwa Indonesia merupakan negara hukum, di
mana semua elemen yang ada di dalamnya harus taat terhadap hukum yang
berlaku di Negara Indonesia.Bentuk pelaksanan dari pelaporan harta
kekayaan para Penyelenggara Negara tersebut dibentuk menjadi sebuah
formulir LHKPN.
Pelaksanaan LHKPN tersebut terbentur oleh banyaknya Penyelenggara
Negara yang tidak atau telat melaporkan LHKPN. Hal tersebut membuktikan
bahwa peraturan Perundang-Undangan tersebut tidak efektif atau tumpul
dalam pelaksanaannya, dalam hal ini peraturan yang dimaksud Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 1999. Hal ini dapat kita lihat di Bab 3 sebelumnya
bahwa dari tahun 2016-2018 masih banyak Peneyelengara Negara yang tidak
melaporkan harta kekayaannya. Sudah kewajiban mutlak bagi Penyelenggara
Negara yang khususnya dibebankan melapor harta kekayaannya melaporkan
LHKPN.
Pada dasarnya tidak semua Penyelenggara Negara harus mendaftarkan
LHKPN, hanya beberapa jabatan tertentu yang dikenakan beban melaporkan
harta kekayaannya kepada KPK,
“Sesuai Undang – Undang Nomor 28 Tahun 1999 Penyelenggara Negara
wajib melaporkan LHKPN. Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara
yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat
lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan
negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Penyelenggara Negara yang dimaksud adalah sesuai UU No 28
Tahun 1999 BAB II Pasal 2 meliputi,
a) Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;
b) Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
c) Menteri;
d) Gubernur;
e) Hakim;
f) Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peranturan
perundang-undangan yang berlaku; dan
g) Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
57
Pada penjelasan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 disebutkan
bahwa :
h) Yang dimaksud dengan “Pejabat negara yang lain” dalam ketentuan
ini misalnya Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri
yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa
Penuh, Wakil Gubernur, dan Bupati/Walikotamadya
Yang dimaksud dengan “pejabat lain yang memiliki fungsi strategis”
adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya didalam melakukan
penyelenggaraan negara rawan terhadap praktek korupsi, kolusi, dan
nepotisme, yang meliputi: 1. Direksi, Komisaris, dan pejabat
struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha
Milik Daerah; 2. Pimpinan Bank Indonesia dan Pimpinan Badan
Penyehatan Perbankan Nasional; 3. Pimpinan Perguruan Tinggi
Negeri; 4. Pejabat Eselon I dan Pejabat lain yang disamakan di
lingkungan sipil, militer, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
5. Jaksa; 6. Penyidik; 7. Panitera Pengadilan; 8. Pemimpin dan
bendaharawan proyek.”7
“Lebih lanjut, seuai Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 Pasal 5
Ayat(2)dan(3), disebutkan bahwa Penyelenggara Negara berkewajiban
untuk, bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama dan setelah
menjabat,dan melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan
setelah menjabat. Kemudian bagi yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dikenakan sanksi administratif
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”8
Melihat pernyataan Jeji Azizi tersebut, maka hanya Pejabat Negara atau
Penyelenggara Negara yang memiliki jabatan-jabatan ataupun posisi-posisi
strategis yang wajib melaporkan harta kekayaanya.
Setelah masuknya data LHKPN dari Penyelenggara Negara dan dianggap
lengkap maka KPK memberikan tanda terima kepada Penyelenggara Negara
yang bersangkutan. Tahap selanjutnya yaitu sebagaimana di dalam Pasal 10
Peraturan KPK NO 07 Tahun 2016, Penyelenggara Negara wajib
mengumumkan harta kekayaannya paling lambat 2 bulan setelah
penyampaiannya kepada KPK melalui media pengumuman yang telah
ditetapkan oleh KPK, media instansi resmi, dan/atau media massa sekala
Nasional. Sebagaimana diterangkan dalam Pasal 18 di Peraturan yang sama,
KPK akan memantau dan mengklarifikasi atas harta kekayaan Penyelenggara
Negara. Apabila terdapat laporan ataupun dugaan tindak pidana korupsi,
7Jeji Azizi, Spesialis Fungsional LHKPN, Komisi Pemberantasan Korupsi,Interview Pribadi,
Kuningan, 23 April 2019. 8 Jeji Azizi, Spesialis Fungsional LHKPN, Komisi Pemberantasan Korupsi,, ... 23 April 2019.
58
kolusi maupun nepotisme, maka KPK akan menindaklanjuti sebagaimana
kewenangan KPK pada Pasal 17 pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun
1999.
Mengenai laporan adanya dugaan tindak Pidana Korupsi, di pidak lain
PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) telah
mengantongi dan mengawasi 1,3 juta rekening milik Penyelenggara Negara
yang terdiri dari Pejabat Negara, Politikus, Pengusaha dan Firma Hukum
yang diduga para Penyelenggara Negara tersebut melakukan Tindak Pidana
Pencucian Uang. Wakil Kepala PPATK menegaskan bahwa pihaknya tidak
akan sungkan untuk menyerahkan data rekening tersebut kepada Penegak
Hukum untuk mempersempit ruang gerak pelaku pencucian uang.9 KPK
sebagai lembaga yang berwenang dalam memeriksa LHKPN berdasarkan
Pasal 17 dan Pasal 18 pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tersebut
dapat memeriksa atas inisiatif sendiri maupun menerima laporan dugaan
adanya tindak Pidana Korupsi melalui tindak Pencucian Uang dari para
Penyelenggara Negara yang sengaja melaporkan harta kekayaannya secara
tidak jujur.
Dalam hal pemeriksaan oleh KPK dapat didasarkan pada inisiatif sendiri
yang dalam analisisnya berdasarkan Profil Jabatan, harta kekayaan, dan
penghasilan sebagaimana diterangkan pada Pasal 12 Ayat 2 Peraturan KPK
Nomor 7 Tahun 2016, dengan didukun Pasal 15 dalam Peraturan tersebut
yang menjelaskan KPK dapat meminta Informasi atau keterangan dari pihak
lain. Sebagai contoh kasus KPK memeriksa Emirsyah Safar mantan Dirut
(Direktur Utama) PT Garuda Indonesia untuk mendalami kasus suap
pengadaan pesawat dan 50 mesin Pesawat AirBus A330-300. Dari pengadaan
tersebut KPK mengetahui tersangka Emirsyah menerima aliran dana uang
sejumlah 1,2 juta Euro, 150 ribu Dollar Amerika yang senilai 20 milliar
9Diaksess pada tanggal 26 Agustus 2019 pukul 13:15 dari laman website “NEWS” yang
terbit pada tanggal 26 Agutus 2019 “PPATK Awasi 1,3 Juta Rekening Milik Pejabat Negara”Rabu, 27 Februari 2019 (06:04) WIB, https://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/pnk2sa428/ppatk-awasi-13-juta-rekening-milik-pejabat-negara
59
Rupiah. Tidak hanya itu tersangka menerima barang senilai 2 juta Dollar
Amerika dari Beneficial owner Connaugth International Pte Ltd Soetikno
yang tersebar di rekening Indonesia dan Singapura.10
Dalam Bab 2 sebelumnya peneliti menerangkan sebuah kutipan bahwa,
sebuah aturan hukum atau perundang-undangan menjadi tidak efektif untuk
diterapkan dikarenakan,apabila sebagian besar ketaatan warga masyarakatnya
kepada peraturan hukum atau perundang-undangan hanya bersifat compliance
(berharap imbalan) atau identification (menjaga kepentingan diri sendiri
dalam menjalankan hukum tersebut)maka kualitas efektivitas dari aturan
Perundang-Undangan itu masih dapat dipertanyakan, walaupun warga
mayarakatnya terlihat sangat taat kepada peraturan perundang-undangan yang
berlaku.11
Pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 oleh
Penyelenggara Negara yang dibebankan kewajiban lapor harta kekayaan pada
Undang-Undang tersebut, sebagian hanya bersifat formalitas. Kesadaran akan
pentingnya atau nilai yang terkandung dalam Undang-Undang tersebut
masih kurang banyak dimiliki oleh para Penyelenggara Negara. Tidak
mengherankan apabila banyak di antara Penyelenggara Negara masih kurang
mau mematuhi kewajibannya, apapun itu alasannya.
A. Penerapan Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara terhadap
terciptanya Good and Clean Governance
Kesuksesan dari penerapan LHKPN oleh Penyelenggara Negara
memiliki sebuah nilai yang sangat diimpikan oleh Negara Indonesia. Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 1999 memuat sebuah asas yang merupakan cita-
cita atau Program Nasional dari sebuah negara, khususnya Negara Indonesia
saat ini. Asas-Asas tersebut diantaranya,
1. Asas Kepastian Hukum;
10
Diakses pada tanggal 26 Agustus 2019 pukul 17:20 dari laman website “Suara” yang terbit Rabu, 17 Juli 2019 “Periksa Emirsyah Satar, KPK Klarifikasi Aliran Dana Kasus Korupsi Garuda”. https://www.suara.com/news/2019/07/17/212103/periksa-emirsyah-satar-kpk-klarifikasi-aliran-dana-kasus-korupsi-garuda
11 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana,
2012), h. 349
60
2. Asas Akuntabilitas;
3. Asas Kepentingan Umum;
4. Asas Keterbukaan;
5. Asas Proporsionalitas;
6. Profesionalitas; dan
7. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara.
Tidak berlebihan jika peneliti menyebutnya konsep tersebut merupakan
impian dari setiap negara, dan Negera Indonesia adalah negara yang saat ini
sedang sangat aktif dalam mewujudkan konsep tersebut. Asas Akuntabilitas
dalam kehidupan bernegara sangatlah perlu khususnya mereka yang menjabat
di ranah pemerintahan. Kehidupan bernegara oleh pemerintah tidak terlepas
dari Administrasi Pemerintahan. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
Tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 4 ruang lingkup administrasi
pemerintah meliputi Bidang Eksekutif, Bidang Legislatif, Bidang Yudikatif,
dan Bidang-Bidang lainnya yang berdasarkan Undang-Undang.
Melihat hal tersebut LHKPN merupakan sebuah indikator penting dalam
mewujudkan Good and Clean Governance. Asas tersebut sangat mutlak harus
dimiliki oleh setiap para Penyelenggara Negara di Indonesia termasuk mereka
yang dikenai beban wajib melaporkan harta kekayaanya.
Mengingat kehidupan bernegara dewasa saat ini yang sedang dihadapkan
dengan sebuah permasalah yang mengancam terganggunya sistem dan pola
Penyelenggaraan Negara. Salah satunya adalah tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh para Penyelenggara Negara khususnya di Indonesia.krisis
ekonomi-politik yang melanda Indonesia pada tahun 1997, telah melahirkan
banyak koreksi terhadap berbagai konsep, metode dan prektik-praktik
penyelenggaraan berbangsa dan bernegara, yang diyakini oleh banyak
pengamat berperan besar sebagai salah satu penyumbang krisis
multidimentional tersebut. pemerintahan yang lebih condong sentralistik dan
birokrasi patrimonialistik, Penyelenggara Negara yang terlepas dari kontrol
sosial dan kontrol suprastruktur dan infrastruktur politik, yang disertai banyak
munculnya ideologi pembangunan yang tidak berdasarkan pada ekonomi
61
kerakyatan berimpilkasi luas pada praktik-praktik Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme(KKN) di Indonesia. Krisis-krisis yang dihadapi bangsa Indonesia
ini tidak terlepas dari kegagalan bangsa ini dalam mengembangkan sistem
Penyelenggara Negara dan pembangunan yang tidak mengindahkan prinsi-
prinsip tata pemerintahan yang baik yaitu “good governance”.12
Tidak adanya kesadaran Penyelenggara Negara yang bertanggung jawab
dalam menegakan prinsip Good Governance oleh Para Penyelenggara Negara
maka Bangsa Indonesia kedepannya akan semakin banyak akan menghadapi
permasalahan tindak pidana korupsi yang merusak para Penyelenggara
Negara dalam menjalankan roda pemerintahan.Good Governance sendiri
merupakan sebuah konsep yang mengandung prinsip-prinsip dari Asas-asas
Umum Pemerintahan yang baik, yang mana diyakini dapat merubah watak
para Penyelengagara Negara dalam menjalankan roda pemerintahan dengan
baik dan bersih, terutamanya terbebas dari Tindak Pidana Korupsi.
Good Governance pada dasarnya mempunyai peranan dalam membantu
terselenggara dan tercapainya tujuan Nasional yang menjadi salah satu
pondasi dasar sehingga harus segara diterapkan, khususnya di Indonesia.
Cita-cita yang terdapat dalam good governance haruslah dipahami dan
diyakini dapat membantu upaya-upaya pemberantasan dan pencegahan
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Karakteristik yang terdapat di
dalamgood governance yaitu prinsipefektifvitas, efisiensi, akuntabilitas,
penegakan hukum, dan equality(Keadilan) dapat ditegakan maka
penyalahgunaan wewenang dapat diminimalisir ataupun dihilangkan. Tidak
hanya itu, tanpa menyampingkan Prinsip Transparansi, Konsensus,
Partisipasi, Responsivitas, dan Strategic Vision haruslah ditegakan dalam
setiap tingkatannya, sehingga diharapkan dapat memberikan keseimbangan
bagi pihak Penyelenggara Negara, pihak Swasta, dan pihak Masyarakat.13
12
Sjahruddin Rasul, Penerapan Good Governance di Indonesia dalam Upaya Pencegahan
Tindak Pidana Korupsi, jurnal ini diakses pada laman website
http://journal.ugm.ac.idjmharticleview1627610822 13
Sjahruddin Rasul, Penerapan Good Governance di Indonesia dalam Upaya Pencegahan
Tindak Pidana Korupsi, http://sjournal.ugm.ac.idjmharticleview1627610822b h.544
62
Oleh karena itu dengan adanya beberapa Prinsip-prinsip yang terkandung di
dalam good governance diharapkan seluruh pihak mampu bersama-sama
dalam upayanya menciptakan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari
Nepotisme. Sehingga tujuan-tujuan Nasional dapat tercpai dan terselenggara
dengan baik tanpa adanya gangguan dari Tindak Pidana Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme yang telah mengakar dan membudaya di tengah-tengah
masyarakat.
Good Governance berdasarkan konseptual jika dibagi menjadi dua kata
maka, Good memiliki arti menjadi dua yang pertama yaitu, sebuah nilai yang
menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat serta nilai-nilai yang dapat
meningkatkan kemampuan rakyat dalam mencapai tujuan nasional,
berkemandirian yang berkelanjutan dan keadilan sosial. Kemudian yang
kedua memiliki arti merupakan aspek fungsional pemerintahan yang efektif
dan efisien, dalam pelaksanaan tugasnya dan tujuannya dalam mencapai
tujuannasional.14
Tidak hanya itu pemerintah tidak hanya menjamin
terlaksananya aspek fungsional pemerintah harus mengkoreksi apakah tujuan
nasional tersebut terlah tercapai atau belum berjalan dengan baik.
Rencana strategis Lembaga Administrasi Negara tepatnya pasca
reformasi mengatakan bahwa diperlukannya sebuah pendekatan baru dalam
penyelenggaraan negara dan pembangunan yang terarah untuk mewujudkan
pemerintahan yang lebih baik (Good Governance) yaitu peroses pengelolaan
pemerintahan yang Demokratis, Professional, Profesional, Menjunjung tinggi
supremasi hukum dan hak asasi manusia, Desentralisasi, Partisipasi,
Transparansi, Berkeadilan yang bersih dan Akuntabel, selain Berdayaguna,
Berhasil guna serta berorentasi pada daya saing dalam peningkatan
bangsa.15
Upaya-upaya pelaksaan Good Governance di Indonesia sendiri telah
dilaksanakan dengan Tap MPR Nomor XI/MPR/1999 tentang
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Lebih lanjut diciptakannya Undang-undang Nomor 28 Tahun
14
Sudarmayanti, Good Governance II, (Bandung: Bandar Maju, 2004), h. 4 15
Sudarmayanti, Good Governance II,... h. 7
63
1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme. Pasal 3 pada Undang-undang tersebut telah
menjelaskan Asas-asas yang diperlukan dalam mewujudkan Penyelenggara
Negara yang bersih di antaranya (1) Asas Kepastian Hukum, (2) Asas tertib
Penyelenggara Negara, (3) Asas Kepentingan Umum, (4) Asas Keterbukaan,
(5) Asas Proposionalitas, (6) Asas Profesionalitas, (7) Asas Akuntabilitas.16
Menindak lanjuti kedua peraturan tersebut maka berdasarkan Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, maka
pemerintah membuat suatu Badan Pembantu (Auxilary Organ) yaitu KPK
(Komisi Pemberantasan Korupsi) dalam mewujudkan pemberantasan korupsi
di Indonesia.
Tugas dan fungsi yang diberikan KPK sudah dituangkan dalam Undang-
undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi,
tepatnya dalam Pasal 6 peraturan tersebut. Pasal 6 huruf d dan e telah jelas
bahwa KPK memiliki tugas dan wewenang dalam melakukan pencegahan
korupsi (tindakan prefentif), kemudian KPK memiliki kewenangan dalam
melakukan monitoring terhadap para Penyelenggara Negara dalam halnya
penyelenggaraan pemerintahan negara.Dalam Pasal 7 peraturan perundang-
undangan tersebut, sebagai upayanya KPK menjawab tugas yang diberikan
negara pada Tap MPR Nomor XI/MPR/1999 dan peraturan Undang-undang
Nomor 28 Tahun 1999 untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan
bebas dari tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme KPK tidak hanya
melakukannya dengan cara represif namun juga dengan melakukan upaya
tindakan prefentif. Sebagai upaya prefentif tersebut dijelaskan pada Pasal 13
khususnya pada huruf a bahwa KPK melakukan pendaftaran dan pemeriksaan
terhadap harta kekayaan penyelenggara negara. Berdasarkan hal tersebut
KPK telah berupaya untuk melakukan pencegahan tindak pidana korupsi
tersebut secara prenpentif dengan menerbitkan Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggaraan Negara (LHKPN).
16
Sjahruddin Rasul, Penerapan Good Governance di Indonesia dalam Upaya
PencegahanTindak Pidana Korupsi, jurnal ini diakses pada laman
websitehttp://journal.ugm.ac.idjmharticleview1627610822 pada tanggal 28 Januari 2019
64
Untuk mempermudah teknis pelaporan LHKPN, KPK menggunakan
media massa elektronik untuk mempermudah para Penyelenggara Negara
dalam melaporkan harta kekayaannya. Tidak hanya dalam hal pelaporan
LHKPN saja, tetapi dalam hal pemantauan para Penyelenggara Negara, KPK
terus berupaya memantau dalam memaksimalkan kepatuhan Penyelenggara
Negara dalam melaporkan harta kekayaannya dengan menggunakan
mekanisme media online, sehingga terpantau secara langsung dan
terintegritas.
Dalam tanyajawab pribadi, Jeji Azizi, Spesialis Fungsional LHKPN,
Komisi Pemberantasan Korupsi, menjelaskan bahwa,
“KPK telah menyediakan Dashboard MCP (Monitoring Centre for
Prevention) Kegiatan Implementasi e-LHKPN untuk memonitoring
progres implementasi e-LHKPN yang dilaksanakan oleh KPK dan
instansi dengan berbagai tahapannya, dimulai dari Sosialisasi Sistem e-
LHKPN, Penerbitan Regulasi LHKPN di Instansi yang diselaraskan
dengan system e-LHKPN, Pembentukan Unit Pengelola LHKPN
Instansi, Pendaftaran Master Jabatan Instansi ke database e-LHKPN,
Pendaftaran Wajib LHKPN dan yang terakhir Pendaftaran akun e-Filing
LHKPN.”17
Upaya tersebut KPK terus memantau para Penyelenggara Negara dengan
dalam hal pelaporan LHKPN. Dengan adanya sistem tersebut KPK dapat
langsung menilai dan memberi tindakan apabila ditemukan data yang kurang
maupun adanya Penyelenggara Negara yang belum melaporkan harta
kekayaanya dengan memberi tahukan kepada instansi yang terkait.
17
Jeji Azizi, Spesialis Fungsional LHKPN, Komisi Pemberantasan Korupsi,... 23 April 2019
65
Progres Implementasi e-LHKPN per 2 Mei 2019 :
Terdapat tiga Asas yang cukup penting dan tidak bisa dalam
penerapannya dijalankan secara terpisah sebab satu Asas dengan Asas
lainnya sangat mempengaruhi satu dengan yang lain. Asas tersebut yaitu Asas
Akuntabilitas, Asas Transparansi, dan Asas Pastisipasi Masyarakat. Masing-
masing adalah instrumen yang diperlukan dalam mencapai Asas lainnya, dan
ketiganya merupakan instrumen yang diperlukan dalam mewujudkan
manajemen publik yang baik.18
Apabila Asas tersebut berjalan dengan baik
maka Program Nasional dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan
bebas dari tindak pidana korupsi.
Lebih lanjut sebagaimana ditegaskan oleh Bapak Jeji Azizi dalam tanya
jawab pribadi,
“LHKPN merupakan sebuah alat kontrol para penyelenggara negara
dan merupakan salah satu bentuk langkah pencegahan korupsi sekaligus
transparansi kekayaan pejabat. LHKPN diharapkan menjadi acuan berapa
harta kekayaan penyelenggara negara ketika di awal menjabat dan di
akhir masa jabatan. Pemeriksaan akan dilakuka apabila kenaikan
kekayaan dinilai tidak wajar / tidak sesuai dengan jumlah penghasilan
yang diterima. Pelaporan dan Pemeriksaan LHKPN merupakan
kewajiban Penyelenggara Negara.Keterbukaan terhadap masyarakat
merupakan keniscayaan bagi Pejabat Publik, sehingga jangan ada
kekayaan yang disembunyikan. Penyelenggara Negara mempunyai
peranan yang sangat menentukan dalam penyelenggaraan negara
atautata kelola pemerintah daerah yang bersih, transparan, dan akuntabel
(Good Governance).“19
18
Loina Lalolo Karina P, Indikator dan Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi, dan
Partisipasi, (Jakarta: Seketariat Good Public Governance Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional, 2003), h.6 19
Jeji Azizi, Spesialis Fungsional LHKPN, Komisi Pemberantasan Korupsi,... 23 April 2019.
66
Sudah sewajarnya sebuah pelaporan LHKPN menjadi hal yang wajib
dilaksanakan secara jujur oleh para Penyelenggara Negara, yang mana dari
pelaporan tersebut Penyelenggara Negara dapat dinilai langsung oleh
masyarakat yang dipimpin oleh Penyelenggara Negara tersebut
bertanggungjawab atau tidaknya atas jabatan yang dipegangnya. Tidak hanya
itu untuk menekan dan menghapus angka Tindak Pidana Korupsi dalam
struktur pemerintahan di Indonesia sendiri menciptakan tata kelola
pemerintahan yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme,
maka good governance merupakan salah satu solusi yang terbaik untuk
menciptakan pemerintahan yang bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
tersebut.
Berdasarkan data Ikhtisar Kepatuhan Penyelenggara Negara dalam
melaporkan harta kekayaannya kepada KPK yang diambil dari kurun waktu
tiga tahun yaitu tahun 2016 sampai dengan 2018, masih menunjukan kurang
optimalnya pelaporan LHKPN tersebut. Pada tahun 2016 sebanyak 268.810
orang Penyelenggara Negara Wajib Lapor LHKPN sebanyak 208.434 orang
yang telah melaporkan harta kekayaannya, dan sebanyak 60.376 orang
Penyelenggara Negara belum melaporkan harta kekayaannya. Artinya
sebanyak 22,46% Penyelenggara Negara belum melaporkannya kepada
KPK, Sedangkan 77,54% Penyelenggara Negara telah melaporkannya kepada
KPK. KPK juga mendata persentase kepatuhan Penyelenggara Negara pada
tahun 2016 dari masing-masing Bidang. Bidang Eksekutif terdapat 648
Instansi dengan kepatuhan 78,27%. Bidang Yudikatif terdapat 2 instansi
dengan kepatuhan 94,89%. Bidang Legislatif terdapat 440 instansi dengan
kepatuhan 32,75%. Bidang BUMN/BUMD terdapat 414 instansi
dengankepatuhan 81,05%. Kemudian 1 Bidang lainnya terdata keptuhannya
83,27%.20
Pada tahun 2017 sebanyak 301.696 orang para Penyelenggara Negara
yang Wajib Melaporkan Harta Kekayaannya kepada KPK, terdata sebanyak
20
KPK(Komisi Pemberantasan Korupsi), E-LHKPN Transparansi itu mudah, Data tersebut
berhasil diunduh pada tanggal 22/02/2019 (09:40:27 WIB) melaluli laman website
https://elhkpn.kpk.go.id/portal/user/petakepatuhan
67
194.004 orang para Penyelenggara Negara telah melaporkan harta
kekayaannya kepada KPK. Sedangkan terdapat 107.692 orang Penyelenggara
Negara belum melaporkannya kepada KPK. Berarti sebanyak 64.30%
Penyelenggara Negara telah melaporkan harta kekayaannya, sedangkan
sebanyak 35.70% Penyelenggara negara belum melaporkan harta
kekayaannya kepada KPK. Jika di lihat dari Ikhtisar Kepatuhan perbidang
tersebut pada tahun 2017, maka perolehan persentasenya dapat digambarkan
pada bidang Eksekutif 66,58 % dari 642 instansi, Legislatif 25,34 % dari 482
instansi, Yudikatif 48,12 % dari 2 instansi, dan BUMN/BUMD 85,54 % dari
176 instansi.21
Pada Tahun 2018 ada Ikhtisar Kepatuhan Penyelenggara Negara dalam
melaporkan LHKPN sebanyak 336.636 Wajib Lapor yang terdata sebagai
Penyelenggara Negara Wajib Lapor LHKPN kepada KPK. 279.337 orang
Para Pemyelenggara Negara belum melaporkan harta kekayaannya kepada
KPK dan sebanyak 57.299 orang Penyelenggara Negara telah melaporkannya
kepada KPK. Jika dipersentasekan dari Ikhtisar Kepatuhan Penyelenggara
Negara dalam melaporkan harta kekayaannya kepada KPK maka sebanyak
82, 98% Penyelenggara Negara belum melaporkan harta kekayaannya,
sedangkan hanya sebanyak 17.02% Penyelenggara Negara telah melaporkan
harta kekayaannya kepada KPK. Kemudian jika dilihat dari ikhtisar
kepatuhan perbidang, Bidang Eksekutif sebanyak 17,78% dari 646 instansi,
Bidang Legislatif sebanyak 11,75% dari 510 instansi, Bidang Yudikatif
sebanyak 12,35% dari 2 instansi, dan Bidang BUMN/BUMD 18,40% dari
180 instansi.22
Jika dilihat dari ikhtisar kepatuhan perbidang dalam rentan waktu 2016-
2018, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Bidang Legislatif memiliki
21
KPK(Komisi Pemberantasan Korupsi), E-LHKPN Transparansi itu mudah, Data tersebut
berhasil diunduh pada tanggal 22/02/2019 (09:40:27 WIB) melaluli laman website
https://elhkpn.kpk.go.id/portal/user/petakepatuhan 22
KPK(Komisi Pemberantasan Korupsi), E-LHKPN Transparansi itu mudah, Data tersebut
berhasil diunduh pada tanggal 22/02/2019 (09:40:27 WIB) melaluli laman website
https://elhkpn.kpk.go.id/portal/user/petakepatuhan
68
kepatuhan dalam melaporkan LHKPN kepada KPK dibanding dengan bidang
lainnya. Adanya Penyelenggara Negara yang enggan melaporkan harta
kekayaannya dengan tepat waktu dan bahkan tidak melaporkannya sama
sekali menjadi sebuah kendala yang harus disegera terselesaikan. Melihat
data yang ada, telah sedikit banyak membuat opini buruk di tengah-tengah
masyarakat terhadap para Penyelenggara Negara yang tidak adil (equality)
dalam menjalankan hukum yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1999. Lebih khusus lagi dalam hal ini yang menjadi sorotannya yaitu
ketidak percayaannya masyarakat dalam menilai para Penyelenggara Negara
dari sisi Akuntabilitas (Tanggungjawab), dan Transparansi (Keterbukaan)
dalam memegang jabatannya.
B. Penerapan Sanksi terhadap pelaksanaan Instrumen dan Upaya
penegakan Hukum dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara
Negara
Sanksi diberikan oleh tatanan hukum dengan maksud menimbulkan
perbuatan tertentu yang dikehendaki oleh pembuat Undang-Undang. Sanksi
hukum memiliki karakter sebagai tindakan paksa dalam menjalankan
tugasnya sebagai media pengontrol dari Undang-Undang tersebut.23
Setiap
tindakan dari sebuah perbuatan pasti memiliki sebuah konsekuensi, baik
tindakan tersebut merupakan tindakan yang terpuji maupun yang tersebela.
Konsekuensi yang di dapat apabila melakukan tindakan yang tepuji maka
akan mendapatkan sebuah reward yang positif bagi pelaku, namun sebaliknya
apabila tindakan tersebut merupakan perbuatan yang buruk maka akan
mendapatkan sebuah punishment (sanksi atau hukuman) sesuai dengan
perbuatannya.
Pembuatan sanksi pada dasarnya sebagai konsekuensi dari suatu
perbuatan yang merugikan masyarakatnya dan yang harus dihindari, menurut
maksud dari tatanan hukum. Perbuatan yang merugikan ini disebut dengan
delik. Ditinjau dari pandangan maksud dan tujuan pembuatan tatanan hukum
23
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, (Bandung: Nusa Media, 2016), h.
72
69
ataupun suatu aturan yang telah tertuang dalam peraturan Perundang-
Undangan, delik merupakan suatu kondisi atau syarat berlakunya sanksi oleh
norma hukum. Perbuatan manusia tertentu dinyatakan sebagai delik karena
tatanan hukum meletakkan suatu sanksi sebagai konsekuensi dari perbuatan
tersebut. Sanksi yang diterapkan maka sesuai dengan sanksi yang ada pada
jenis aturan hukum tersebut (Pidana, Perdata, dan Administrasi). Perlu diingat
asumsi mengenai delik bukanlah sebuah perbuatan tertentu yang tanpa diikuti
sebuah sanksi, namun delik merupakan perbuatan yang diikuti sebuah
sanksi.24
Menyimpulkan dari uraian tersebut maka sanksi dapat berjalan jika
adanya sebuah perbuatan yang melawan terhadap hukum (dilarang) yang
telah berlaku dan diikuti pula dengan sebuah sanksi pada aturan tersebut.
Mengingat pentingnya LHKPN dalam menciptakan pemerintahan yang
bersih dan bebas dari Koupsi, Kolusi dan nepotisme maka perlunya
mendukung tertanamnya prinsip good governance dalam kehidupan
bernegara dari para Penyelenggara Negaranya. Namun masih terdapat
banyaknya Penyelenggara Negara Wajib Lapor LHKPN yang masih
terlambat bahkan tidak melaporkannya sama sekali diperlukannya sebuah
upaya hukum, pemberian sanksi maupun solusi-solusi yang harus dilakukan
oleh pihak-pihak yang terkait khususnya oleh KPK untuk mengatasi
permasalah tersebut. Dapat dikatakan bahwa sebagian para Penyelenggara
Negara yang dibebankan melaporkan harta kekayaannya telah melanggar
kewajibannya sebagai Penyelenggara Negara yang termuat di dalam Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 1999. Apabila ditegaskan para Penyelenggara
Negara yang telat maupun tidak melaporkan LHKPN telah melakukan
perbuatan yang melawan hukum (delik) dan menunjukan diri mereka adalah
para Pejabat Negara atau Penyelengagara Negara yang tidak memiliki sifat
keadilan (euality) dalam menjalankan sebuah hukum
Kewajiban melaporkan harta kekayaan merupakan langkah dalam
mendukung Program Nasional dalam menciptakan penyelenggaraan yang
baik, bersih dan bebas dari tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotime. Tidak
24
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara,... h. 74
70
hanya itu kewajiban tersebut merupakan sebuah langkah dari pemerintah
untuk membuktikan bahwa para Penyelenggara Negara di Indonesia
terintegritas dan dapat dipercaya oleh masyarakat. Namun dengan melihat
konsisi di lapangannya maka akan sulit menciptakan pemerintahan yang baik
dan bersih, terutama akan sulit membangun rasa percaya dari masyarakat.
KPK sebagai lembaga yang bertanggungjawab dalam memproses dan
mengawasi LHKPN tersebut KPK telah melakukan berbagai cara untuk
mempermudah pelaporan, salah satunya memperbaiki teknis pelaporan dan
media pelaporan LHKPN tersebut. Berbagai Kegiatan yang telah dilakukan
oleh KPK, dalam upayanya mengevaluasi kendala-kendala dalam mengurai
kelalaian terhadap pelaporan LHKPN, lebih lanjut dijelaskan oleh Bapak Jeji
Azizi yaitu,
a) “Mengadakan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pengelolaan
Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pada
tanggal 27-29 November 2018 yang dihadiri oleh perwakilan dari
Kementerian dan Lembaga yang memiliki nilai rendah dalam
kepatuhan LHKPN di 2018 dan diharapkan adanya kenaikan
kepatuhan LHKPN yang signifikan setelah kegiatan tersebut.”
b) “Mengadakan kegiatan Training of Trainers Pengelolaan LHKPN
kepada para Pengelola LHKPN Instansi.”
c) “Mengadakan kegiatan Sosialisasi Peraturan KPK no 7 Tahun 2016
dan bimbingan teknis pengisian LHKPN ke instansi-instansi.”25
Penjelasan tersebut, tanggung jawab dari masing-masing Instansi Negara
yang berperan sebagai pihak Wajib Lapor LHKPN pun seharusnya ikut turut
andil besar dalam membantu tugas KPK tersebut. Sebab kelancaran pelaporan
LHKPN tersebut merupakan tanggungjawab bersama dari berbagai Bidang
Instansi Pemerintahan, khususnya para Kepala dari masing-masing Bidang
Instansi dalam menggerakan Koordinator LHKPN yang dibebankan untuk
mengkoordinir Wajib Lapor LHKPN pada masing-masing instansinya.
Pada Ikhtisar Kepatuhan Pelaporan LHKPN pada tahun 2019
menunjukan bahwa Wajib Lapor LHKPN berjumlah 348.793 Penyelenggara
Negara, masih terdapat 58.461 (16,76%) Penyelenggara Negara belum
melaporkan harta kekayaannya kepada KPK, dan terdapat 290.332 (83,24%)
25
Jeji Azizi, Spesialis Fungsional LHKPN, Komisi Pemberantasan Korupsi,... 23 April 2019.
71
Penyelenggara Negara telah melaporkan harta kekayaannya kepada KPK.
Namun apabila data tersebut dilihat dari jumlah persentase kepatuhan per-
Bidang Instansi yaitu, Bidang Eksekutif 84,63% dari 641 jumlah Instansi,
Bidang Yudikatif 82,05% dari 2 jumlah Instansi, Bidang Legislatif 63,34%
dari 524 jumlah Instansi, dan BUMN/BUMD 93,45% dari 196 jumlah
Instansi.26
Data tersebut menunjukan Kendala terbesar dari upayanya KPK dalam
menjalankan LHKPN, Bidang Legislatif merupakan salah satu Bidang yang
sangat lalai dalam melaporkan LHKPN, maka dapat ditarik kesimpukan
bahwa Penyelenggara Negara yang mendapat jabatan berasal dari Jabatan
Politisi banyak yang menyampingkan LHKPN dibandingkan dengan Jabatan
yang diperoleh dengan jenjang karir maupun ASN(Aparatur Sipil Negara).
26
KPK(Komisi Pemberantasan Korupsi), E-LHKPN Transparansi itu mudah, Data tersebut
berhasil diunduh pada tanggal 02/05/2019 (12:00:26 WIB) melaluli laman
websitehttps://elhkpn.kpk.go.id/portal/user/petakepatuhan
72
“Tingkat kepatuhan Anggota Dewan yang masih rendah dan masih
banyak yang tidak patuh dalam menyampaikan LHKPN dikarenakan
rendahnya komitmen Anggota Dewan untuk menjadi Penyelenggara
Negara yang jujur dan transparan serta tidak bekerjanya Partai Politik
dalam mengawasi kadernya dan lemahnya sanksi yang dijatuhkan.” 27
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tersebut, para
Penyelenggara Negara yang memiliki jabatan strategis. Strategis yang
dianggap sangat rawan terjadinya Tindak Pidana Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme sehingga pemberian sanksi yang tegas merupakan keharusan bagi
para Penyelenggara Negara yang lalai maupun tidak melaporkannya kepada
KPK. Dalam Pasal 20 Ayat 1 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999
tersebut, menjelaskan bahwa setiap Penyelenggara Negara yang melanggar
ketentuan Pasal 5 sebagaimana yang dimaksud akan dikenakan sanksi
administratif yang berlaku. Mengingat dengan Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014, bahwa ruang lingkup Administarasi Negara meliputi
Bidang Eksekutif, Bidang Legislatif, Bidang Yudikatif, dan Bidang-Bidang
lainnya yang diatur berdasarkan Undang-Undang. Sudah seharusnya dalam
upayanya menegakan kepastian hukum dan Asas Penyelnggaraan
Kepentingan Umum maka sudah seharusnya Penyelenggara Negara yang lalai
terhadap LHKPN dikenakan Sanksi Administrasi, terutama bagi mereka yang
telah berkali-kali melanggar LHKPN tersebut.
Pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, tidak ada Pasal yang
memberikan kesempatan untuk KPK melakukan penindakan secara langsung
terhadap Penyelenggara Negara yang lalai terhadap LHKPN. Tidak
mengherankan bahwa adanya lembaga maupun instansi Negara, khususnya
Bidang Legislatif memiliki kepatuhan dalam pelaporan LHKPN masih
menjadi Insatansi yang banyak melalaikan dan tidak mealaporkan harta
27
Jeji Azizi, Spesialis Fungsional LHKPN Komisi Pemberantasan Korupsi,... 23 April 2019.
73
kekayaannya. Sanksi yang diterapkan oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun
1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme tersebut menjelaskan bahwa sanksi yang diterapkan
hanyalah berseifat sanksi administratif. Hal tersebut dirasa kurang cukup kuat
dalam menjerat para Penyelenggara Negara yang lalai dan tidak
melaporkannya harta kekayaannya kepada KPK. Terlebih lagi mengingat
Peratuan Perundang-undangan yang ada tidak secara tegas memberikan
kewenangan terhadap KPK khususnya dalam hal pemberian sanksi secara
langsung terhadap pelanggar.
Permasalahan yang muncul dari penjelasan di atas diduga kuat berasal
dari sistem pengawasan dan penegakan sanksi pada Undang-Undang Nomor
28 Tahun 1999 menjadi pemicu utama kendala tersebut. Pada Pasal 20 Ayat
1 pada Peraturan Perundang-undangan tersebut menjelaskan bahwa setiap
Penyelenggara Negara yang melanggar Pasal 5 pada Undang-Undang
tersebut, maka akan dikenakan Sanksi Administratif. Banyak pihak yang
menilai Sanksi Administratif kurang kuat dalam menekan para Penyelenggara
Negara yang lalai terhadap ketentuan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999
tersebut. Terlebih lagi ketentuan pada Peraturan Perundang-undnag tersebut
hanya memberikan pelaksanaan, pengawasan, pengelolaan dan Penyelidikan
berkas kepada KPK sebagai lembaga yang bertanggungjawab dalam
pelaksanaan LKHPN tersebut tetapi tidak dalam hal pemberian sanksi secara
langsung kepada Penyelenggara Negara yang lalai terhadap LHKPN.
Penekanan dalam mengupayakan pelaksanaan dan pemberian sanksi terhadap
Penyelenggara Negara hanya dibebankan kepada Pimpinan Instansi tersebut
tanpa adanya pengawasan yang ketat dari KPK. Pada akhirnya banyak
Pimpinan Instansi yang kurang disiplin dalam menjatuhkan sanksi kepada
bawahanya, termasuk para Pimpinan Fraksi-fraksi dalam Lembaga Legislatif
sehingga banyak para Kadernya lalai dalam melaporkan LHKPN.
Banyak pihak yang menginginkan perubahan atas Sanksi tersebut
menjadi Sanksi Pidana untuk menekan Penyelenggara Negara yang lalai
LHKPN. Hal tersebut sudah sepantasnya dilakukan namun perlu dipahami
74
bahwa, dalam Peraturan Perundang-undangan pemberian sanksi haruslah
sesuai dengan isi substansi yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan
tersebut. Pemberian Sanksi Pidana dalam konteks substansi yang tidak tepat
terlihat seperti sangat memaksakan, sehingga pemberian sanksi yang tidak
tepat akan membuat Peraturan Perundang-undangan tersebut menjadi tidak
efektif dan tidak memiliki daya hasil/guna. Hal tersebut bersesuaian dengan
salah satu Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yaitu Asas
Kedayagunaan dan Kehasilgunaan. Artinya setiap Peraturan Perundang-
undangan yang dibuat benar-benar dibutuhkan dan diharapkan bermanfaat
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Akibat lainnya
karena sanksi yang tidak tepat dengan substansi Peraturan Perundang-
undangan tersebut maka akan menjadi sulit untuk diterapkan.28
Aturan dan
sanksi yang diterapkan dalam sebuah Peraturan Perundang-undangan
haruslah memiliki sebuah dayaguna maupun nilai yang sesuai dengan tujuan
substansi dari peraturan tersebut.
Melihat ketentuan Peraturan Perundang-undangan tersebut KPK
menyerahkan para Penyelenggara Negara yang tidak melaporkan harta
kekayaannya kepada masing-masing insatansi guna pemberian tindakan. Hal
serupa dijelaskan oleh Bapak Jeji Azizi dalam tanya jawab pribadinya di KPK
bahwa,
“Sanksi administratif dalam perkembangannya tidak memiliki daya
dorong yang kuat dalam peningkatan kepatuhan LHKPN instansi.
Komitmen Pimpinan dan sanksi yang tegas sangat diperlukan. Sebagai
contoh Kementerian Keuangan dengan jumlah Wajib LHKPN terbanyak
(30.507 orang) dapat mencapai kepatuhan LHKPN 100% karena
komitmen tinggi dari Pimpinannya dan sanksi yang tegas. Sanksinya
adalah hukuman yang mempengaruhi pendapatan pegawai berupa
pengurangan insentif selama waktu yang ditentukan.”29
28
Wicipto Setiadi, Sanksi Administratif sebagai Salah Satu Instrument Penengakan Hukum
dalam Peraturan Perundang-Undangan,
http://scholar.google.co.idscholar_urlurl=http%3A%2F%2Fe-
jurnal.peraturan.go.id%2Findex.php%2Fjli%2Farticle%2Fdownload%2F336%2F220&hl=en&sa=
T&ei=kpaXXJ31JJCemgGH-7bYBw&scisig=AAGBfm3rBxZZ-KnCvf9NNOmQ2cJT9K5O9g,
h. 605 29
Jeji Azizi, Spesialis Fungsional LHKPN Komisi Pemberantasan Korupsi, Interview
Pribadi, ... 23 April 2019.
75
Apabila dilihat dari kurang ketegasan sanksi administratif tersebut
menjadi sedikit sebuah permasalah karena dianggap sepele oleh para
Penyelenggara Negara, hal tersebut ditambah dengan kurang adanya
pemberian kewenangan kepada KPK dalam menindak secara langsung para
Penyelenggara Negara yang lalai terhadap pelaoran LHKPN di dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tersebut. Komitmen para Pemimpin
insatansi yang terkait sangat dibutuhkan dalam pemberian sanksi yang tegas
dan bersifat memberikan efek jera terhadap para Penyelenggara Negara yang
menjabat di Instansinya tersebut, dalam hal melaporkan harta kekayaanya.
Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 menyebutkan setiap
Penyelenggara Negara berkewajiban menyelenggarakan Administrasi
Pemerintah sesuai dengan peraturan Undang-Undang, Kebijakan Pemerintah,
dan AAUPB.
Mengenai sanksi yang diberikan kepada para Penyelenggara Negara
bermacam-macam, ini disebabkan oleh sanksi yang ditentukan oleh Peraturan
Perundang-undangan hanya bersifat umum dan diserahkan kepada Pemimpin
masing-masing instansi tersebut. Sehingga dengan melihat hal tersebut
menyebabkan pemberian sanksi terhadap para Penyelenggara Negara yang
tidak patuh berbeda-beda. Belum lagi ditambah oleh adanya Pimpinan
Instansi yang dinilai kurang tegas terhadap pemberian sanksinya kepada para
Penyelenggara Negara yang tidak patuh.
Seperti yang diterangkan oleh Bapak Jeji Azizi,
“Sanksi yang dijatuhkan kepada Anggota Dewan yang tidak lapor
LHKPN masih lemah, diperlukan sanksi yang dapat memaksa hingga
membuat penyelenggara negara jera bila tidak lapor LHKPN. Upaya
yang dilakukan oleh KPK dalam rangka mendorong tingkat kepatuhan
LHKPN bidang Legislatif diantaranya adalah mengumumkan kepada
publik.”30
30
Jeji Azizi, Spesialis Fungsional LHKPN Komisi Pemberantasan Korupsi, Interview
Pribadi, Kuningan, 23 April 2019.
76
Pengumuman tersebut dilakukan melalui media massa elektronik, dengan
menyebarkan pengumumannya melalui beberapa website jurnal. Sehingga
diharapkan masayarakat dapat memantau dan mengetahui secara langsung
bahwa adanya ketidakpatuhan dan transparansi para Penyelenggara Negara.
Namun pengumuman yang dilakukan tidak secara langsung menyebutkan
satu persatu Para Penyelenggara Negara, hanya dengan menyebutkan nama
instansinya secara langsung. Sehingga dinilai masih kurang efektif dalam
memberikan efek jera langsung kepada para Penyelenggara Negara secara
individualnya. Walaupun demikian pengumuman tersebut membantu
memberikan dampak buruk kepada instansi-instansi yang memiliki tingkat
kepatuhan yang masih buruk tersebut, sehingga diharapkan Pemimpinda dari
Bidang-bidang Instansi tersebut dapat menindak secara tegas para
Penyelenggara Negara yang lalai terhdap LHKPN pada Instansinya tersebut.
“Sanksi yang dijatuhkan oleh instansi / lembaga lainnya berbeda-beda,
ada yang berupa sanksi administratif, penundaan pemberian tunjangan /
gaji, penundaan naik jabatan, larangan menduduki jabatan strategis /
pimpinan, denda hingga pencopotan dari jabatan.”
“Sanksi ini pun bila tidak diterapkan juga tidak akan berdampak kepada
para Wajib LHKPN yang tidak patuh.”31
“Sebagai contoh instansi pemerintahan yang memberikan sanksi tegas
yaitu Badan Kepegawaian Daerah Nusa Tenggara Barat di mana jika ada
pejabat yang tidak melaporkan LHKPN, sampai 31 Mei 2020 maka
pejabat tersebut terancam dicopot.”32
31
Jeji Azizi, Spesialis Fungsional LHKPN Komisi Pemberantasan Korupsi,... 23 April 2019. 32
Jeji Azizi, Spesialis Fungsional LHKPN Komisi Pemberantasan Korupsi,... 23 April 2019.
77
“Diperlukan komitmen yang tinggi dari Pimpinan instansi sebagai
contoh langsung kepada seluruh pegawai karena Pimpinan selalu menjadi
role model.”33
Peran pemimpin sangat menentukan terciptanya kepatuhan terhadap
LHKPN dalam Instansi maupun lembaga yang terkait. Adanya role model
seorang pemimpin yang bertanggungjawab, dapat membantu menciptakan
budaya yang baik dari para Penyelenggara di dalam melaksanakan tugasnya
sebagai roda pemerintahan yang Akuntabilitas (bertanggungjawab) dan
Transparansi (terbuka).
“Sanksi bagi yang belum atau tidak memberikan LHKPN belum banyak
ditunjukkan ke publik dan belum jelas bentuknya seperti apa. Sanksi
administrasi bagi yang tidak menyampaikan LHKPN seperti pemotongan
gaji, tidak naik pangkat, tidak mendapatkan promosi, diturunkan pangkat,
mungkin dipandang ringan dan dianggap sepele oleh penyelenggara
negara.Mungkin bila sanksi terhadap yang tidak menyampaikan LHKPN
dalam bentuk pemecatan, penyelenggara negara akan tepat waktu
melaporkan harta kekayaanya karena takut dipecat.”34
Pada dasarnya sebuah sanksi merupakan sebuah timbal balik yang
diberikan kepada seseorang atas perbuatannya melawan ataupun melanggar
norma hukum yang berlaku, sebagai bentuk konsekuensi dan
tanggungjawabnya terhadap perbuatan tersebut. Disisi lain sanksi sudah
seharusnya membuat efek jera terhadap para pelakunya, namun pemberian
sanksi yang tidak tepat maka akan menyebabkan suatu perbuatan buruk
seseorang dapat diulanginya secara terus menerus. Sehingga menyebabkan
tidak tercapainya nilai yang dituju oleh masyarakat tersebut. Terlebih lagi
dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tersebut tidak memberikan
kewenangan yang lebih kepada KPK untuk ikut serta dalam pemberian
33
Jeji Azizi, Spesialis Fungsional LHKPN Komisi Pemberantasan Korupsi,... 23 April 2019. 34
Jeji Azizi, Spesialis Fungsional LHKPN Komisi Pemberantasan Korupsi,... 23 April 2019.
78
sanksi dan hanya dapat memberikan saran masukan sanksi kepada para
Penyelenggara Negara yang masih lalai terhdap LHKPN. Peran Pimpinan
pada masing-masing Instansi diperlukan dalam memberikan kesadaran
maupun sanksi yang tegas kepada Para Penyelenggara yang menjadi
Penyelenggara Wajib lapor di masing-masing Instansinya menjabat tersebut.
Sanksi Administrasi.
Pada Pasal 81 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014, terdapat beberapa
jenis sanksi yaitu, Sanksi Administrasi ringan yaitu teguran secara lisan,
teguran tertulis, dan penundaan kenaikan pangkat, golongan, dan kenaikan
pangkat lainnya. Sanksi Administrasi sedang yaitu pembayaran uang paksa
dan/atau ganti rugi, pemberhentian sementara dengan memperoleh hak-hak
jabatan, atau pemberhentian sementara tanpa memperoleh hak-hak jabatan.
Sanksi Administrasi berat yaitu pemberhentian namu nmasih mendapatkan
hak keuangan dan fasilitas lainnya, pemberhentian tetap tanpa memperoleh
hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya, pemberhentian tetap dengan
memperoleh hak keuangan dan fasilitas lainnya ditambah dengan publikasi di
media massa, dan memperoleh pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak
keuangan dan fasilitas lainnya serta dipublikasikan di media massa. melihat
adanya pilihan sanksi berat pada Undang-Undang tersebut dan dirasa cukup
efektif menjerat Penyelenggara Negara yang tidak melaporkan LHKPN, maka
pencopotan jabatan atau pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak
keuangan dan fasilitas serta dipublikasikan kepada publik terkait
pelanggarannya. Hal tersebut cukup untuk membuat para Penyelenggara
Negara yang telah berkali-kali melalaikan kewajibannya melaporkan LHKPN
yang berarti menentang Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme.
Penerapan sanksi yang telah ditetapkan dan disepakati pada setiap
masing-masing instansi yang ada haruslah berjalan dengan penuh tanggung
jawab. Ditegakkan tanpa “tebang pilih” atau haruslah berdasarkan asas
kesamaan dihadapan hukum “equality before the law” yang diberikan oleh
79
Peraturan Perundang-undangan maupun peraturan lainnya yang berkaitan
tentang LHKPN. Adanya rasa tanggung jawab dan komitmen tersebut dari
masing masing Pimpinan maka LHKPN dapat terlaksana dengan baik.
“ Diperlukan peran serta masyarakat dalam melakukan kontrol sosial
untuk untuk mewujudkan hak dan tanggungjawab masyarakat dalam
penyelenggaraan negara yang bersih dari tindak pidana korupsi”.35
Karena pada masyarakatlah yang nantinya juga menjadi target dari
pengumuman harta kekayaan para Penyelenggara Negara tersebut.
Masyarakat diharapkan melihat dan menilai dari kualitas Penyelenggara
Negara, apakah para Penyelenggara Negaranya dapat dikatakan
bertanggungjawab dan transparansi terhadap kinerjanya ataupun tidak. Peran
serta masyarkatlah yang mampu memberikan tekanan terhadap para
Penyelenggara Negara yang tidak jujur terhadap kinerjanya maupun patuh
terhadap Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
35
Jeji Azizi, Spesialis Fungsional LHKPN Komisi Pemberantasan Korupsi... 23 April 2019.
80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian tersebut maka dapat ditarik kesimpulan oleh
peneliti mengenai pelaporan LHKPN yaitu,
1. Implementasi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang
Prenyelnggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme belum berhasil membuat para Penyelenggaraan Negara di
Indonesia terbebas dari Tindak Pidana, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Masih banyak pelanggaran yang terjadi terhadap pelaporan LHKPN dari
data yang diambil dari 2016 sampai 2018 yang pelanggaran tersebut
didominasi oleh Bidang Legislatif, sehingga Bidang Legilatif masih
dinilai sebagai salah satu lembaga yang paling tidak transparan mengenai
harta kekayaannya. Kurang disiplin dan kesadaran dari Penyelenggara
Negara dalam melaporkan LHKPN berdampak pada implementasi
LHKPN sebagai indikator dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih
dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme belum dapat terwujud, ini
menunjukan dalam aspek filosofis Undang-Undang ini masih lemah.
2. Bentuk sanksi Administrasi pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
sudah cukup baik. Dalam aspek normatif Undang-Undang tersebut
seudah cukup baik, dikarenakan Sanksi Administrasi di dalam Undang-
Undang tersebut masih belum jelas bentuknya sehingga sanksi yang
diberikan oleh Kepala/Pimpinan dari setiap Instansi berbeda terhadap
bawahannya yang lalai LHKPN. ImplementasiSanksi Administratif
diberikan oleh Kepala Instansi maupun Ketua Fraksi haruslah Sanksi
Administratif Berat yang bersifat menekan dan dapat membuat jera,
seperti penundaan tunjangan, menurunkan golongan/pangkat dan
pencopotan jabatan yang diberikan kepada para Penyelenggara Negara
yang masih lalai dan tidak lapor LHKPN di masing-masing Instansi yang
bersangkutan. KPK telah berupanya mengevaluasi dan mengatasi
kendala-kendala yang menyebabkan pelanggaran LHKPN dengan
81
memberikan teguran kepada Kepala Instansi yang banyak para
Penyelenggara Negara lalai melaporkan LHKPN di Instansinya.
Pengumuman menggunakan berbagai media sosial mengenai Instansi-
instansi yang terdapat banyak Penyelenggara Negara yang lalai agar
diketahui publik dan diharapkan menimbulkan rasa malu dan sadar oleh
Instansi-instansi yang bersangkutan.
B. Rekomendasi
Berdasarkan hasil dan kesimpulan yang telah dituliskan maka diperoleh
beberapa saran ataupun rekomendasi dari peneliti,
1. Peran Pimpinan Instansi menjadi tolak ukur bagi kedisiplinan para
Penyelenggara Negara pada masing-masing Instansi, sehingga
diharapkan adanya pemahaman serta kesadaran yang lebih bagi Para
Pimpinan Instansi. Diperlukan peraturan tegas yang dibentuk di masing-
masing Instansi, mengenai LHKPN, yang mengikat bagi para
Penyelenggara Negara saat mereka masuk dan menjabat pada Instansi
tersebut, sehingga menjadi kontrak yang mengikat bagi para
Penyelenggara Negara.
2. Diperlukannya perumusan sanksi jelas bentuknya yang mengikat Para
Penyelenggara Negara baik yang menjabat dari jenjang karier
maupun/ASN(Aparatur Sipil Negara)maupun yang berasal dari jenjang
politisi, seperti penundaan tunjangan, sampai kepada pemecatan. Tidak
hanya itu diperlukannya sebuah sanksi ydang jelas dan tegas, yang mana
pada sanksi tersebut dikenakan kepada isntansi-instansi yang terdapat
banyak Penyelenggara Negara yang lalai terhadap LHKPN.
3. Perlunya sebuah dibentuk sebuah aturan hukum dan aturan regulasi yang
kuat untuk diberikan kepada KPK dalam menambah ruang lingkupnya
sebagai Badan Penindak Eksternal (Check and Balence), sebagai
pengawas, pemeriksa dan pemberian sanksi secara langsung kepada
Penyelenggara Negara yang tidak patuh terhadap LHKPN. Tidak hanya
itu pengawasan terhadap Instansi secara langsung oleh KPK dalam
82
menjamin penegakan hukum terhadap Penyelenggara Negara yang tidak
patuh terhadap LHKPN.
4. Sistem pengumuman kepada masyarakat mengenai para Penyelenggara
Negara masih dinilai belum jelas dan belum dipahami oleh sebagian
besar masyarakat, sehingga harus adanya sosialisasi kepada masyarakat
akan pentingnya pelaporan LHKPN tersebut oleh para Penyelenggara
Negaratersebut dalam memberantas Tindak Pidana Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme. Diperlukan ketegasan dalam bentuk pengumuman dan
memperlihatkan instansi dan jika perlu adanya list daftar nama identitas
pribadi Penyelenggara Negara yang lalai dan tidak patuh terhadap
LHKPN kepada publik.
83
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang
(Legisprudence), Jakarta, Kencana, 2012.
Azhary, Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-
Unsurnya, Jakarta, UI-Pers, 1995
Bisri, Adib dan Munawir AF, Kamus Al-Bisri,Surabaya, Pustaka Progresif,
1999.
Bungin, M. Burhan, Penelitian Kualitatfi,Jakarta, Kencana Prenada Media
Group, 2007.
Danil, H.Elwi, Korupsi Konsep,TtindakPidana, dan
Pemberantasannya,Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 2011.
Djaja, Ermansjah, Memberantas Korupsi Bersama Kpk Kajian Yuridis UURI
Nomor 30 Tahun 1999 juncto UURI Nomor 20 Tahun 2001 Versi
UURI Nomor 30 Tahun 2002 juncto UURI Nomor 46 Tahun 2009,
Jakarta, Sinar Grafika, 2010.
Friedman, Lawrence M, Sistem Hukum Prespektif Ilmu Sosial, Bandung,
Nusa Media, 2017.
Hadjon, M, Norma Hukum Sebagai Norma Kewenangan dan Asas-Asas
Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) dalam Rangka
Perlindungan Hukum Bagi Rakyat (Tersangka/Terdakwa), dalam Dwi
Windu KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana):
Problematika Penegakan Hukumnya, Surabaya, Fakultas Hukum
Universitas Airlangga, 1998.
Hakim, „Abd al-Hamid, al-Bayan, Jakarta, Sa‟adiyah Putra, 1972.
84
HR, Ridwan, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi,Jakarta, PT
Rajagrafindo, 2013.
Ibrahim, Jhonny ,Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Malang,
Bayumedia Publishing, 2008.
Ilmar, Aminudin, Hukum Tata Pemerintahan, Jakarta, Pramedia Group, 2016
Karina, Loina Lalolo P, Indikator dan Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas,
Transparansi, dan Partisipasi, Jakarta, Seketariat Good Public
Governance Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2003.
Kelsen, Hans, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Bandung, Nusa
Media, 2016
Kussnadi, Moh dan Binta R. saragih, Ilmu Negara, Jakarta, Gaya Media
Pratama, 2007
Marbun, SF, Pembentukan, Pemberlakuan, dan Peranan Asas-asas Umum
Pemerintahan yang Layak dalam Menjelmakan Pemerintahan yang
Baik dan Bersih di Indonesia, Disertasi, Bandung, Universitas
Padjajaran, 2001.
------- Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi di Indonesia,
Yogyakarta, Liberty, 1997.
Muhammad, Fahmi Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta,
Lembaga Penelitian UIN SyarifHidayatullah, 2010.
Mulyadi, Lilik, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoritis,
Praktik dan Masalahnya,P.T. Alumni, Bandung, 2007.
Munawir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia,
Yogyakarta, Pon Pes Al-Munawwir Krapyak, 1984.
85
Nasution, Bahder Johan, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung Mandar
Maju, 2008.
Purbopranoto, Kuntjoro, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan
Peradilan Administrasi Negara, Bandung, Alumni, 1975.
Raharjo, Satjipto,Ilmu Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2006.
-------- Sosiologi Hukum Perkembangan Metodedan Pilihan Masalah,
Yogyakarta, Genta Publishing, 2010.
Sajiono, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, Yogyakarta
Laksbang Pressindo, 2008.
Sedarmayanti, Good Governance “Kepemerintahan yang Baik”,Bandung,
Penerbit Mandar Maju, 2012.
Sibeua, Hotma P, Asas Negara Hukum, Peraturan dan Kebijakan, dan Asas-
asas Umum Pemerintahan yang Baik., Jakarta, Erlangga, 2010.
Soekanto, Soerjono,Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-
masalah Sosial, Bandung, Alumni, 1982.
-------- Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI-Perss, 1986.
Sukardja, Ahmad. Hukum Tata Negara Dan Administrasi Negara Dalam
Prespektif Fikih Siyasah, Jakarta, Sinar Grafika, 2012.
Sudarmayanti,Good Governance II,Bandung, Bandar Maju, 2004.
Syarifudin, Ateng, Asas-asas Pemerintahan yang Layak Pegangan bagi
Pengabdian Kepala Daerah,Bandung, PT Citra Aditya Bhakti,1991.
Utsman, Sabian,Menuju Penegakan Hukum Responsif Konsep Philippe Nonet
& Philip Selznick Perbandingan Civil Law System & Common Law
86
System Spiral Kekerasasan & Penegakan Hukum,Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2010.
Wattimena, Reza A.A, Filasafat Anti-Korupsi, Membedah Hasrat Kuasa,
Pemburuan Kenikmatan, dan Sisi Hewani Manusia di Balik Korupsi,
Yogyakarta, Kanisius (Anggota IKAPI), 2012.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi;
Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 07 Tahun 2016 Tentang
Tata Cara Pelaporan, Pengumuman, dan Pemeriksaan Laporan Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara.
Coruption Education Commission-Republik Indonesia,Laporan Tahunan
(Annual Report) 2006, Jakarta, Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006.
BPKP-LAN, Akuntabilitas dan Good Governance, Jakarta, LANRI, 2000.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1995.
Deputi Pencegahan Direktorat Penelitian dan Pengembangan,
Memberdayakan Instrumen Pencegahan Tindak Pidana Korupsi
“Studi tentang Efektivitas Mekanisme Pelaporan Kekayaan
Penyelenggara Negara bagi Pemberantasan Korupsi di Indonesia”,
Jakarta, Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006.
Skripsi Nurul Nazmi Laily Lubis, FISIP, Universitas Sumatera Utara tahun
2018 , Implementasi Program Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara Berbasis Elektronik Bagi Para Pejabat
87
Struktural Pada Pemerintahan Kota Tebing Tinggi Diakses pada
tanggal 2 Agustus 2019 (21:40 WIB)
http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/6195
Diakses pada hari dan tanggal Selasa, 6 November 2018, pukul 10:31, pada
halaman web https://www.kpk.go.id/id/layanan-publik/laporan-harta-
kekayaan-penyelenggaraan-negara/faq/111-statistik/lhkpn
Diakses pada tanggal 26 Agustus 2019 Pukul 22:45 pada laman web site
ACCH. https://acch.kpk.go.id/id/statistik/tindak-pidana-korupsi
Diaksess pada tanggal 26 Agustus 2019 pukul 17:30 dari laman website
Liputan6.com “Saat Harta Kekayaan Bupati Malang Melonjak
Tajam, Kok Bisa?”13 Oktober 2018 (10:02) WIB oleh Zainul
Arifin,https://www.liputan6.com/regional/read/3666350/saat-harta-
kekayaan-bupati-malang-melonjak-tajam-kok-
bisa?utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.0&utm_referrer=
Diaksess pada tanggal 26 Agustus 2019 pukul 13:15 dari laman website
“NEWS” yang terbit pada tanggal 26 Agutus 2019 “PPATK Awasi 1,3
Juta Rekening Milik Pejabat Negara”Rabu, 27 Februari 2019 (06:04)
WIB,
https://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/pnk2sa428/p
patk-awasi-13-juta-rekening-milik-pejabat-negara
Diakses pada tanggal 26 Agustus 2019 pukul 17:20 dari laman website
“Suara” yang terbit Rabu, 17 Juli 2019 “Periksa Emirsyah Satar, KPK
Klarifikasi Aliran Dana Kasus Korupsi Garuda”.
https://www.suara.com/news/2019/07/17/212103/periksa-emirsyah-
satar-kpk-klarifikasi-aliran-dana-kasus-korupsi-garuda
Jimly Asshidiqie,Penegakan HUkum jurnal ini diakses pada laman
httpscholar.google.co.idscholar_urlurl=http%3A%2F%2Fwww.acade
88
mia.edu%2Fdownload%2F31812599%2FPenegakan_Hukum.pdf&hl=
id&sa=T&oi=ggp&ct=res&cd=6&d=10686964400248761702&ei=AI
tZXOm-
KtaMyQTkwKLQBg&scisig=AAGBfm2tEXjPYyOn3vMIPB4W1V_
pada tanggal 30 Januari 2019.
KPK(Komisi Pemberantasan Korupsi), Ikhtisar Kepatuhan LHKPN, E-
LHKPN Transparansi itu mudah, Data tersebut berhasil diunduh pada
tanggal 22/02/2019 (12:00:23 WIB) melaluli laman
websitehttps://elhkpn.kpk.go.id/portal/user/petakepatuhan (data
tersebut dapat sedikit berubah pada setiap jamnya)
M. Hasan, Ubadillah, Kontribusi Hukum Islam dalam mewujudkan Good
Governance di Indonesia, diakses pada situs
httpjurnalfsh.uinsby.ac.idindex.phpqanunarticleview141pada tanggal
26 Januari 2019
Sjahruddin Rasul, Penerapan Good Governance di Indonesia dalam Upaya
Pencegahan Tindak Pidana Korupsi, jurnal ini diakses pada laman
website http://journal.ugm.ac.idjmharticleview1627610822
Wicipto Setiadi, Sanksi Administratif sebagai Salah Satu Instrument
Penengakan Hukum dalam Peraturan Perundang-Undangan,
http://scholar.google.co.idscholar_urlurl=http%3A%2F%2Fe-
jurnal.peraturan.go.id%2Findex.php%2Fjli%2Farticle%2Fdownload%
2F336%2F220&hl=en&sa=T&ei=kpaXXJ31JJCemgGH-
7bYBw&scisig=AAGBfm3rBxZZ-KnCvf9NNOmQ2cJT9K5O9g,
WAWANCARA PRIBADI.
Bapak Jeji Azizi, Spesialis Fungsional LHKPN, Komisi Pemberantasan
Korupsi, Interview Pribadi, Kuningan, 23 April 2019.
Lampiran 1:
Surat Permohonan Wawancara
Lampiran 2:
Surat Pernyataan
Yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Ahmad Farhan Nazhiri
Tempat, Tanggal Lahir : Mataram, 5 April 1994
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
No. Telp/HP : 082340584477
Instansi/Universitas : Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta
Fakultas/Prodi : Fakultas Ilmu Hukum / Hukum
Kelembagaan Negara
Dengan ini menyatakan bahwa kesediaannya membuat ringkasan penelitian
artikel ilmiah popular untuk di medium publikasi KPK, yang berdasarkan
penelitian skripsi saya yang berjudul,
“URGENSI PENGATURAN SANKSI LAPORAN HASIL KEKAYAAN
PENYELENGGARA NEGARA TERHADAP TERCIPTANYA
PEMERINTAHAN YANG BERSIH, BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI,
DAN NEPOTISME”
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan agar dapat
dipergunakan dengan baik sebagaimana mestinya.
Ciputat, 22 April 2019
Hormat saya,
Ahmad Farhan Nazhiri
Lampiran 3:
TANDA TERIMA SURAT/DOKUMEN
KEPADA INSTANSI
Lampiran 4:
FORMULIR PERMINTAAN INFORMASI
Lampiran 5:
PEDOMAN WAWANCARA KEPADA NARASUMBER
UNIT LHKPN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
Narasumber : Ibu Dwiyanti
Tempat : Gedung KPK
Tanggal :Kuningan 23 April 2019
1. Bagaimana pendapat bapak/ibu terkait implementasi LHKPN selama ini
?Apakah good governance bisa tercapai dengan implementasi LHKPN
yang sekarang ? (Apakah kelebihan dan kekurangannya)
Jawaban :
KPK telah menyediakan Dashboard MCP (Monitoring Centre for
Prevention) Kegiatan Implementasi e-LHKPN untuk memonitoring
progress implementasi e-LHKPN yang dilaksanakan oleh KPK dan
instansi dengan berbagai tahapannya, dimulai dari Sosialisasi Sistem e-
LHKPN, Penerbitan Regulasi LHKPN di Instansi yang diselaraskan
dengan system e-LHKPN, Pembentukan Unit Pengelola LHKPN Instansi,
Pendaftaran Master Jabatan Instansi ke database e-LHKPN, Pendaftaran
Wajib LHKPN dan yang terakhir Pendaftaran akun e-Filing LHKPN.
Menu Monitoring Implementasi e-LHKPN dapat diakses melalui
https://elhkpn.kpk.go.id :
Progres Implementasi e-LHKPN per 2 Mei 2019 :
LHKPN merupakan sebuah alat kontrol para penyelenggara Negara dan
merupakan salah satu bentuk langkah pencegahan korupsi sekaligus
transparansi kekayaan pejabat. LHKPN diharapkan menjadi acuan berapa
harta kekayaan penyelenggara negara ketika di awal menjabat dan di akhir
masa jabatan. Pemeriksaan akan dilakukan apabila kenaikan kekayaan
dinilai tidak wajar / tidak sesuai dengan jumlah penghasilan yang diterima.
Pelaporan dan Pemeriksaan LHKPN merupakan kewajiban Penyelenggara
Negara. Keterbukaan terhadap masyarakat merupakan keniscayaan bagi
Pejabat Publik, sehingga jangan ada kekayaan yang disembunyikan.
Penyelenggara Negara mempunyai peranan yang sangat menentukan
dalam penyelenggaraan Negara atau tata kelola pemerintah daerah yang
bersih, transparan, dan akuntabel (Good Governance).
2. Secara pelaksanaan dan pengawasan kira-kira apa saja kendala yang
dihadapi ?
Jawaban :
Tingkat kepatuhan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara
(LHKPN) posisi per tanggal 2 Mei 2019
Direktorat LHKPN terus mendorong kepatuhan Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara (LHKPN) tahun 2019. Berbagai kegiatan telah
dilaksanakan diantaranya :
- Mengadakan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pengelolaan
Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pada
tanggal 27-29 November 2018 yang dihadiri oleh perwakilan dari
Kementerian dan Lembaga yang memiliki nilai rendah dalam
kepatuhan LHKPN di 2018 dan diharapkan adanya kenaikan
kepatuhan LHKPN yang signifikan setelah kegiatan tersebut.
- Mengadakan kegiatan Training of Trainers Pengelolaan LHKPN
kepada para Pengelola LHKPN Instansi.
- Mengadakan kegiatan Sosialisasi Peraturan KPK no 7 Tahun 2016 dan
bimbingan teknis pengisian LHKPN ke instansi-instansi.
- Tingkat kepatuhan Anggota Dewan yang masih rendah dan masih
banyak yang tidak patuh dalam menyampaikan LHKPN dikarenakan
rendahnya komitmen Anggota Dewan untuk menjadi Penyelenggara
Negara yang jujur dan transparan serta tidak bekerjanya Partai Politik
dalam mengawasi kadernya dan lemahnya sanksi yang dijatuhkan.
3. Katagori apa saja yang harus melaporkan LHKPN, apakah seluruh ASN
dan pejabat politis atau pejabat-pejabat tertentu ?
Jawaban :
Sesuai Undang – Undang Nomor 28 Tahun 1999 Penyelenggara Negara
wajib melaporkan LHKPN. Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara
yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat
lain yang funsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan
Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Penyelenggara Negara yang dimaksud adalah sesuai UU No 28
Tahun 1999 BAB II Pasal 2 meliputi :
- Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;
- Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
- Menteri;
- Gubernur;
- Hakim;
- Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peranturan
perundang-undangan yang berlaku; dan
- Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Kemudian pada Penjelasan UU No 28 Tahun 1999 disebutkan bahwa :
- Yang dimaksud dengan “Pejabat negara yang lain” dalam ketentuan ini
misalnya Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang
berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh,
Wakil Gubernur, dan Bupati/Walikota madya
- Yang dimaksud dengan “pejabat lain yang memiliki fungsi strategis”
adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya didalam melakukan
penyelenggaraan Negara rawan terhadap praktek korupsi, kolusi,
dannepotisme, yang meliputi: 1. Direksi, Komisaris, dan pejabat
struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha
Milik Daerah; 2. Pimpinan Bank Indonesia dan Pimpinan Badan
Penyehatan Perbankan Nasional; 3. Pimpinan Perguruan Tinggi
Negeri; 4. Pejabat Eselon I dan Pejabat lain yang disamakan di
lingkungan sipil, militer, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
5. Jaksa; 6. Penyidik; 7. Panitera Pengadilan; 8. Pemimpin dan
bendaharawan proyek.
4. Apakah sanksi administrative yang berlaku sudah cukup ? Sanksi
administrative apa saja dalam implementasinya ?
Jawaban :
Sesuai UU No. 28 Tahun 1999 Pasal 5 disebutkan bahwa Penyelenggara
Negara berkewajiban untuk :
- Ayat 2 bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama dan setelah
menjabat;
- Ayat 3 melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah
menjabat.
Kemudian bagi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 dikenakan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Sanksi administratif dalam perkembangannya tidak memiliki daya dorong
yang kuat dalam peningkatan kepatuhan LHKPN instansi. Komitmen
Pimpinan dan sanksi yang tegas sangat diperlukan. Sebagai contoh
Kementerian Keuangan dengan jumlah Wajib LHKPN terbanyak (30.507
orang) dapat mencapai kepatuhan LHKPN 100% karena komitmen tinggi
dari Pimpinannya dan sanksi yang tegas. Sanksinya adalah hukuman yang
mempengaruhi pendapatan pegawai berupa pengurangan insentif selama
waktu yang ditentukan.
5. Untuk implementasi sanksi ini antara ASN dan Pejabat Politis ada
perbedaan kah ?
Jawaban :
Sanksi yang dijatuhkan kepada Anggota Dewan yang tidak lapor LHKPN
masih lemah, diperlukan sanksi yang dapat memaksa hingga membuat
penyelenggara negara jera bila tidak lapor LHKPN. Upaya yang dilakukan
oleh KPK dalam rangka mendorong tingkat kepatuhan LHKPN bidang
Legislatif diantaranya adalah mengumumkan kepada publik.
Sanksi yang dijatuhkan oleh instansi / lembaga lainnya berbeda-beda, ada
yang berupa sanksi administratif, penundaan pemberian tunjangan / gaji,
penundaan naik jabatan, larangan menduduki jabatan strategis / pimpinan,
denda hingga pencopotan dari jabatan.
Sanksi ini pun bila tidak diterapkan juga tidak akan berdampak kepada
para Wajib LHKPN yang tidak patuh. Berikut contoh instansi yang
menerapkan sanksi.
6. Dan apakah saran bapak ke depan untuk terciptanya good governance
melalui LHKPN ?
Jawaban :
- Diperlukan komitmen yang tinggi dari Pimpinan instansi sebagai
contoh langsung kepada seluruh pegawai karena Pimpinan selalu
menjadi role model.
- Sanksi bagi yang belum atau tidak memberikan LHKPN belum banyak
ditunjukkan kepublik dan belum jelas bentuknya seperti apa. Sanksi
administrasi bagi yang tidak menyampaikan LHKPN seperti
pemotongan gaji, tidak naik pangkat, tidak mendapatkan promosi,
diturunkan pangkat, mungkin di pandang ringan dan dianggap sepele
oleh penyelenggara negara. Mungkin bila sanksi terhadap yang tidak
menyampaikan LHKPN dalam bentuk pemecatan, penyelenggara
Negara akan tepat waktu melaporkan harta kekayaanya karena takut
dipecat.
- Penerapan sanksi yang telah ditetapkan.
- Diperlukan peran serta masyarakat dalam melakukan kontrol sosial
untuk untuk mewujudkan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam
penyelenggaraan negara yang bersih dari tindak pidana korupsi.
Lampiran 6 :
SURAT KETERANGAN
WAWANCARA