implementasi sistem informasi geografis penataan kota di
TRANSCRIPT
Implementasi Sistem Informasi Geografis Penataan Kota di DKI Jakarta (Ditinjau dari Organizational Setting)
Andrian Saputro, Teguh Kurniawan
Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
E-mail: [email protected]/ [email protected]
Abstrak
Penataan kota menjadi aktivitas vital dimana pemetaan, data, dan informasi yang cepat serta akurat menjadi kunci-kunci penting dalam perencanaan serta pengawasan penataan kota sehingga dibutuhkan teknologi terkini sesuai dengan Program Kerja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta 2013-2017 untuk Urusan Wajib, yaitu Program Pengembangan Sistem Informasi Tata Ruang. Penelitian ini ingin melihat implementasi Sistem Informasi Geografis (SIG) tersebut. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain deskriptif. Analisis dilakukan dengan berdasarkan hasil wawancara dengan informan yang ditinjau dari faktor-faktor organisasional. Hasil dari penelitian ini adalah implementasi SIG dalam penataan kota di DKI Jakarta masih bersifat parsial untuk kegiatan perencanaan tata ruang serta pengendalian tata ruang yang masih menghadapi keterbatasan yang dipengaruhi faktor-faktor organisasional.
Implementation of Geographic Information Systems (GIS) for the City Planning in DKI Jakarta (Judging from the Organizational Setting)
Abstract
Structuring the city is a vital activity which is quick and accurate map, data, information becomes important keys in the planning and supervision of city planning that takes the latest technology in accordance with the Work Programme 2013-2017 Jakarta Government 's Mandatory Affairs, the Program Development System Spatial information. This study wanted to see the implementation of the Geographic Information System (GIS). The analysist is based on interview with the informers, then judging from the organizational factors. Researcher used a qualitative approach with descriptive design. Results from this study is the implementation of GIS in city planning in Jakarta are still partial to the activities of spatial planning and the control layout which is still facing limitations of organizational factors.
Keywords: Geographic Information Systems, City Planning, Organizational Setting, Spatial Planning, Monitoring
and Control.
Pendahuluan
Pembangunan menjadi salah satu kegiatan dalam penyelenggaraan pemerintahan guna
meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Setiap wilayah melakukan pembangunan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakatnya dengan mengelola dan mendayagunakan potensi yang
Implementasi Sistem ..., Andrian Saputro, FISIP UI, 2016
tersedia guna mencapai kesejahteraan masyarakat. Selain itu, pembangunan dapat dipandang
sebagai suatu proses perubahan dari masyarakat primitif ke masyarakat yang lebih maju baik
dalam hal infrastruktur maupun ekonomi. Pembangunan suatu kota erat kaitannya dengan
kegiatan pengelolaan lingkungan dan ruang spasial. Pengelolaan tata ruang menjadi aktivitas vital
dalam penyelenggaraan pemerintahan terutama terkait dengan pembangunan kota. Pembangunan
kota dengan memperhatikan penataan ruang diarahkan untuk mencapai pembangunan kota
berkelanjutan. Kota berkelanjutan akan terbentuk jika penggunaan ruang di dalamnya diatur
secara tepat dan ditaati bersama, sehingga memungkinkan dilaksanakannya pembangunan
ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan secara optimal. Ketiga aspek ini perlu
diperhitungkan dalam perencanaan dan penataan kota karena pilihan rencana dan tatanan tertentu
akan berpengaruh pada pembangunan dan kehidupan yang terjadi di dalam kota. Guna
mewujudkan hal tersebut, maka penataan ruang menjadi satu poin penting dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
Setiap daerah memiliki ruang wilayah yang berbeda-beda sehingga Undang-Undang No.
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengatur tata ruang secara nasional memberikan
hak pemerintah provinsi untuk mengatur ruangannya sendiri sesuai keadaannya dan tidak
bertentangan dengan Undang-Undang. Keleluasaan ini mendorong daerah-daerah untuk
mengembangkan wilayahnya sesuai dengan kebutuhan. Pemerintah daerah mengembangkan dan
mengaplikasikan tata ruang sebagai suatu alat (tools) strategis dalam penataan peruntukkan lahan.
Salah satu tools penting dalam penataan ruang adalah peta atau dikenal dengan sebutan pemetaan
(mapping). Penataan ruang mencakup mulai dari perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh karena itu, selain dibutuhkan peta yang akurat namun
juga dapat memberikan informasi yang sistematis dan detail.
Hingga kini SIG telah dikembangkan kegunaannya dalam penataan ruang terkait
pemetaan wilayah. Terdapat urgensi SIG dalam penataan ruang, yakni (1) karena penataan ruang
mengelola data spasial dan non spasial; (2) SIG sebagai alat analisis data spasial berdasarkan
akurasi yang diinginkan; (3) SIG memungkinkan monitoring dan evaluasi pelaksanaan penataan
ruang; (4) SIG digunakan untuk mendukung pengambilan keputusan dalam proses pelaksanaan
pembangunan (Satar, 2012:6). Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai daerah yang memiliki
tugas, fungsi dan peran yang khusus atau istimewa tentu menghadapi berbagai permasalahan
yang sangat kompleks dan berbeda dengan daerah-daerah lain, seperti masalah kependudukan,
Implementasi Sistem ..., Andrian Saputro, FISIP UI, 2016
urbanisasi, keamanan, transportasi, lingkungan hidup, pengelolaan kawasan khusus, tata ruang
dan masalah sosial kemasyarakatan lain yang memerlukan pemecahan masalah secara sinergis
melalui berbagai instrumen. Menyikapi berbagai permasalahan yang ada, pemerintah berusaha
memperbaiki dan meningkatkan kapasitas baik dari sistem, instrumen maupun dari sumber
dayanya sesuai dengan Program Kerja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta 2013-2017 untuk Urusan
Wajib, yaitu Program Pengembangan Sistem Informasi Tata Ruang. Selain itu, masalah penataan
ruang yang terjadi di Jakarta adalah terjadinya alih fungsi beberapa lahan. Sistem penataan ruang
di Jakarta yang masih memiliki celah kerap kali dijadikan peluang bagi para pihak swasta untuk
melakukan ekspansi bisnis yang menguntungkan seperti pembangunan area perumahan elit
ataupun pusat-pusat perbelanjaan (mall). Jika diperhatikan, apabila pemerintah daerah DKI
Jakarta telah melakukan manajemen ruang kota ini dengan baik tentu ibukota akan tertata baik
mulai dari infrastruktur, sarana-prasarana dan pemanfaatan lahan yang sesuai dengan Rencana
Dasar Tata Ruang (RDTR) DKI Jakarta. Berikut ini dapat dilihat perbandingan peralihan fungsi
lahan di Jakarta dari tahun 1970, 1980, 1990, dan 2000.
Gambar I.3 Peralihan Fungsi Lahan di DKI Jakarta Tahun : 1970, 1980, 1990, 2000.
Sumber: World Bank, 2011
Beberapa dekade terakhir ini SIG sebagai suatu perspektif dan tools dalam penataan ruang
mulai berkembang di kalangan ilmuwan, akademisi dan praktisi. Melihat masalah penataan ruang
DKI Jakarta di atas, maka diperlukan suatu sistem guna menunjang dan mempermudah aparatur
dalam memetakan dan menganalisis data penataan ruang. Aronof (1993) menyatakan SIG adalah
Implementasi Sistem ..., Andrian Saputro, FISIP UI, 2016
sistem berbasis komputer baik perangkat keras, lunak dan prosedur yang dapat digunakan untuk
menyimpan, memanipulasi informasi geografi (Darmawan, 2011: 2). SIG ini pun mulai
diimplementasikan di berbagai bidang seperti, kesehatan, pendidikan, kependudukan, dan
pemerintahan daerah. Di bidang administrasi pertanahan, SIG bukan sekedar menghasilkan peta
kadaster, tetapi sebuah sistem yang memungkinkan pembuatan peta baru secara cepat dan
pemilihan lokasi serta analisa valuasi.
Permasalahan ini merupakan dampak dari sistem penataan ruang yang belum optimal dan
konsisten. Pembangunan infrastruktur dan pengaturan zonasi pemanfaatan ruang akan lebih baik
jika diatur dengan menggunakan peta skala besar. Namun, ketersediaan peta sampai saat ini
meliputi peta dasar dan peta tematik masih sangat kurang, sedangkan banyak pemerintah daerah
sedang menyusun dokumen RDTR. Di dalam suatu rencana tata ruang wilayah, peta adalah suatu
model yang baik untuk menjelaskan dokumen maupun Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang
wilayah tersebut secara spasial. Selain itu, peta rencana tata ruang juga dapat berfungsi sebagai
dasar dalam pemanfaatan ruang dan sebagai tools dalam pengendalian pemanfaatan ruang. RDTR
disusun sebagai bagian dari wilayah Kabupaten/Kota yang merupakan kawasan perkotaan atau
kawasan strategis Kabupaten/Kota yang dilengkapi dengan peraturan zonasi. Hal ini sesuai
dengan Pasal 59 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang, bahwa setiap RTRW kabupaten/kota harus menetapkan bagian dari wilayah
kabupaten/kota yang perlu disusun RDTR-nya.
Sebelum berkembangnya SIG, sistem penataan ruang dilakukan secara manual dimana
basis data spasial menggunakan peta-peta manual yang sudah dilakukan dan digunakan dalam
penataan ruang. Penggunaan analisis spasial secara manual menggunakan metode overlay dengan
beberapa lembar peta. Analisis spasial dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan
seperti land-use planning, aksesibilitas lokasi, analisis distribusi, analisis keterkaitan antar
wilayah. Penggunaan SIG bukanlah segalanya dalam penataan ruang, namun penataan ruang
akan lebih mudah dengan bantuan SIG sebagai alat bantu dalam pengumpulan data spasial dan
analisisnya. Hal tersebut juga didorong dengan adanya semangat transformasi yang dimulai sejak
tahun 2010 untuk mengembangkan SIG dalam penataan kota serta didorong dengan Kebijakan
Satu Peta (One Map Policy) untuk peta dasar yang seragam dan terstandar. Kesiapan suatu
instansi atau lembaga baik dari segi keorganisasian maupun sumber daya manusianya menjadi
kunci penting karena dibutuhkan konsistensi dan keberlanjutan dalam penerapan SIG. Masalah-
Implementasi Sistem ..., Andrian Saputro, FISIP UI, 2016
masalah penataan ruang dan kesiapan organisasi inilah yang melatarbelakangi ketertarikan
peneliti dalam mengangkat penelitian untuk menggambarkan implementasi Sistem Informasi
Geografis Penataan Kota di DKI Jakarta yang ditinjau dari organizational setting.
Tinjauan Teoritis
Perspektif organisasional menjadi fokus penting dalam implementasi SIG dimana
organizational setting tidak hanya memandang dari segi teknis tapi juga mencakup lingkungan
operasional, teknis, politik, finansial, interaksi antar stakeholder. Dalam penelitian ini, peneliti
mengelaborasikan teori dari Huxhold dan Levinson (1995) mengenai 4 elemen penting dalam
SIG dan dari Chan dan Williamson (1995) mengenai 5 komponen SIG yang memfokuskan pada
implementasi SIG dilihat dari perspektif organizational setting.
Tabel II.3 Konsep Organizational Setting
Sumber: Data Olahan Peneliti, 2014
Pada dasarnya organizational setting merupakan suatu pengaturan garis otoritas secara
hierarki (struktur organisasi), komunikasi, hak dan kewajiban organisasi. Struktur organisasi
menekankan pada peran, kewenangan dan tanggung jawab, pengawasan, koordinasi dan
mengelola hubungan interaksi dengan berbagai level manajemen. Komunikasi menekankan pada
pola hubungan dan interaksi yang terjadi di dalam maupun di luar organisasi. Menurut Laudon
Huxhold dan Levinson (1995) -‐ paradigma SIG -‐ dasar manajemen data -‐ teknologi
Chan dan Williamson (1995) -‐ Data
-‐ teknologi informasi -‐ standarisasi -‐ keahlian SDM
organizational setting
Implementasi Sistem ..., Andrian Saputro, FISIP UI, 2016
dan Laudon (1988: 75) terdapat 8 unsur yang harus diperhatikan karena menjadi faktor dalam
pengaturan organisasi, yakni lingkungan, budaya, struktur, prosedur, proses, politik, manajemen
keputusan dan peluang.
a. Lingkungan yang dimaksud yakni dampak eksternal terhadap organisasi yang mencakup
dampak finansial dan politis. Lingkungan dapat berubah dengan cepat dibandingkan
organisasi sehingga dapat memicu kegagalan organisasi karena perubahan lingkungan
eksternal sangat berdampak pada implementasi suatu sistem informasi.
b. Budaya juga perlu diperhatikan karena budaya merupakan suatu asumsi fundamental
dalam organisasi yang memberikan kekuatan pada organisasi serta membentuk semua
komponen dalam organisasi mengenai kebijakan atau sistem apa yang akan dihasilkan,
untuk siapa, bagaimana dan dimana akan dihasilkan.
c. Struktur, terdapat beberapa tipe struktur organisasi yang memungkinkan dimana masing-
masing struktur memiliki perbedaan pendekatan dalam pengimplementasian, misalnya
divisi birokrasi dan mesin birokrasi yang menentukan bagaimana karakteristik otoritas
terpusat dan seberapa cepat perubahan lingkungan dapat terjadi.
d. Standar Prosedur menentukan ketepatan suatu set peraturan, prosedur dan praktik yang
mampu mengembangkan tugas-tugas utama secara efisien, serta standar prosedur ini tidak
mudah untuk berubah.
e. Proses bisnis merupakan cara organisasi mengoordinasikan dan mengelola aktivitas
pekerjaan, informasi dan pengetahuan untuk menghasilkan produk dan jasa dimana
standar prosedur merupakan sub-bagian dari proses bisnis.
f. Politik, menjadi hal yang perlu diperhatikan karena adanya perbedaan posisi dan perspektif
orang-orang terhadap distribusi sumber daya, penghargaan dan sanksi. Perbedaan ini
akan memicu konflik dan resistensi terhadap perubahan.
g. Keputusan Manajemen digunakan untuk mengontrol semua cara faktor di atas dalam
memediasi reaksi antara organisasi dan sistem informasi. Pengambil keputusan
menentukan kerangka waktu dan spesifikasi teknis.
h. Peluang menentukan kontrol yang tepat bagi organisasi dimana outcome dipengaruhi juga
oleh keberuntungan yang baik atau buruk karena kontrol yang sempurna sangatlah tidak
mungkin dilakukan saat organisasi menghadapi komponen sosial.
Implementasi Sistem ..., Andrian Saputro, FISIP UI, 2016
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain deskriptif
berdasarkan konsep organizational setting yang merupakan hasil elaborasi teori dari Huxhold
dan Levinson (1995) mengenai 4 elemen penting dalam SIG dan dari Chan dan Williamson
(1995) mengenai 5 komponen SIG yang memfokuskan pada implementasi SIG dilihat dari
perspektif organizational setting untuk menggambarkan implementasi Sistem Informasi
Geografis Penataan Kota di DKI Jakarta berdasarkan faktor-faktor organisasional. Pada
penelitian ini analisis data temuan akan menghasilkan suatu gambaran deskriptif berupa
implementasi Sistem Informasi Geografis dari sudut pandang faktor-faktor organisasional.
Peneliti menggunakan instrumen pedoman wawancara mendalam untuk mendapatkan data primer
terkait topik penelitian serta melakukan studi pustaka sebagai data tambahan (sekunder).
Peneliti melakukan pengolahan data kualitatif hasil wawancara mendalam dengan
narasumber atau informan yang terkait, yakni: (1) Bapak Andri selaku Kepala Seksi Pengelolaan
sistem Informasi Penataan Kota Bidang Pengendalian Pemanfaatan Ruang, Dinas Penataan Kota
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta; (2) Bapak Ano selaku Staf Seksi Perencanaan Pemanfaatan
Ruang Bidang Perencanaan dan Evaluasi Pola Ruang, Dinas Penataan Kota Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta; (3) Bapak Ari Budi selaku Staf Seksi Perencanaan Pola Ruang Bidang Perencanaan
dan Evaluasi Pola Ruang, Dinas Penataan Kota Pemerintah Provinsi DKI Jakarta; (4) Bapak
Helmy selaku Kepala Sub Bagian Pemantauan Program Pembangunan Biro Penataan Kota dan
Lingkungan Hidup Sekretariat Daerah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta; (5) Bapak Wisnu selaku
Kepala Sub Bagian Pembangunan Fasilitas Sosial dan Fasilitas Umum Biro Penataan Kota dan
Lingkungan Hidup Sekretariat Daerah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta; (6) Bapak Marco
Kusumawijaya selaku Direktur Rujak Center for Urban Studies (RCUS)- salah satu Non
Government Organization (NGOs)di DKI Jakarta yang bergerak di bidang arsitektur dan
pembangunan perkotaan. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan
data dan informasi faktual melalui wawancara mendalam dari berbagai informan atau narasumber
yang terlibat dalam implementasi GIS dalam penataan ruang di DKI Jakarta kemudian dilakukan
triangulasi informasi. Wawancara dilakukan untuk memperoleh persepsi dan realitas sosial yang
terjadi. Hasil wawancara dan studi literatur dipilah dan dikategorikan sesuai dengan bahasan pada
tema penelitian. Hal ini dilakukan untuk menemukan hubungan dan keterkaitan antara data
faktual di lapangan dengan kondisi ideal berdasarkan teori dan konsep. Kemudian
Implementasi Sistem ..., Andrian Saputro, FISIP UI, 2016
menyintesiskan keduanya untuk melihat implementasi GIS dalam penataan ruang di DKI Jakarta
atas fenomena dan realitas yang terjadi di lapangan. Dengan demikian akan terlihat gambaran dan
deskripsi kesenjangan yang terjadi antara kondisi faktual di lapangan dengan kondisi ideal. Hasil
wawancara kemudian diidentifikasi, dikategorikan dan dianalisa keterkaitan alurnya terhadap
fokus penelitian yakni implementasi SIG di lapangan dengan teori-teori agar dapat terlihat
gambaran dan deskripsi atas kebutuhan kondisi realitas di lapangan. Terakhir, hasil analisa
disimpulkan berupa suatu pemahaman umum terkait gambaran implementasi SIG Penataan Kota
di DKI Jakarta yang ditinjau dari organizational setting.
Pembahasan Hasil Penelitian
Faktor lingkungan mempengaruhi implementasi SIG terutama bagaimana perubahan
lingkungan eksternal yakni kondisi tata ruang DKI Jakarta yang berkembang secara signifikan
terutama untuk lahan eksisting (existing area) terbangun sehingga mendorong Dinas Penataan
Kota yang mempunyai kewenangan untuk perencanaan, pemanfaatan hingga pengendalian
pemanfaatan tata ruang untuk melakukan transformasi dengan mengimplementasi SIG. Selain itu,
masalah keruangan perkotaan yang kompleks juga mendorong transformasi ini dilakukan
sehingga diharapkan dapat meminimalisir pelanggaran penataan ruang. Implikasi upaya
peningkatan penataan kota yang optimal diharapkan dapat menyelesaikan isu dan permasalahan
lingkungan, seperti banjir, berkurangnya ruang terbuka hijau, munculnya kawasan pemukiman
kumuh, bangunan-bangunan yang melanggar izin maupun tak berizin dan sebagainya. Adanya
perubahan lingkungan secara internal juga mempengaruhi implementasi SIG untuk penataan kota
yang merupakan implikasi dari perubahan-perubahan lingkungan di DKI Jakarta sehingga
melalui Program Kerja Urusan Wajib Tahun 2013-2017, pemerintah berusaha mendorong
pengembangan dan implementasi SIG untuk penataan kota. Semangat transformasi sistem
informasi dan teknologi di penataan kota ini mendorong organisasi untuk melakukan perubahan
guna mendorong pelaksanaan tugas pokok dan fungsi organisasi. Lingkungan eksternal yang
berupa kondisi pesatnya pertumbuhan atau pembangunan fisik DKI Jakarta dan juga lingkungan
internal organisasi yang membutuhkan SIG untuk mendukung dan mendorong kinerja organisasi.
Selain itu, organisasi dapat menentukan latar belakang dan arah transformasi sistem informasi
dan teknologi dengan menganalisis data-data hasil survei dan perubahan-perubahan yang terjadi.
Implementasi Sistem ..., Andrian Saputro, FISIP UI, 2016
Dengan demikian, organisasi dapat menetukan sistem informasi dan teknologi yang tepat guna
untuk menyesuaikan dengan kondisi lingkungan eksternal dan internal organisasi.
Sistem informasi dan teknologi merupakan hal penting yang harus dipertimbangkan
organisasi sehingga dapat menghasilkan SIG yang mampu mengoptimalkan kinerja dan
pelayanan dari organisasi. SIG bukan semata-mata hanya sebatas mengikuti perkembangan dan
kemajuan teknologi tetapi harus diikuti dengan visi dan misi bersama organisasi karena
secanggih apapun teknologi yang diimplementasikan di dalam organisasi jika tidak tepat guna
maka tidak akan menghasilkan sesuatu apapun yang bermanfaat dan hanya pemborosan anggaran
yang akan terjadi karena biaya yang harus dikeluarkan untuk SIG tidak sedikit. Faktor
lingkungan ini juga erat kaitannya dengan kondisi dari berbagai aspek seperti kondisi politik,
perekonomian, dan sosial masyarakat. Faktor lingkungan dipengaruhi kondisi politik dilihat dari
segi kepemimpinan dalam pemerintahan dimana setiap pemimpin memiliki sudut pandang,
pemikiran, dan ide-ide yang berbeda dalam menghadapi perubahan lingkungan dan diwujudkan
dalam suatu bentuk keputusan atau kebijakan. Sebagaimana kondisi perpolitikan di Indonesia
khususnya di Jakarta tidak terlepas dari kepentingan-kepentingan berbagai pihak sehingga baik
secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi bentuk dukungan secara
administratif dan politis terhadap implementasi SIG.
Aspek perekonomian juga erat kaitannya dengan perubahan lingkungan dimana
pertumbuhan pusat-pusat perbelanjaan dan sentra bisnis yang pesat akan mendorong perubahan
fisik lingkungan di DKI Jakarta. Organisasi dalam melaksanakan fungsi penataan kota harus
menentukan zonasi wilayah karena tanpa adanya pengaturan akan terjadi pertumbuhan fisik yang
tidak seimbang. Meskipun DKI Jakarta merupakan sebuah kota besar bukan berarti hanya sebagai
pusat pemerintahan dan bisnis, melainkan juga harus memperhatikan peruntukan untuk
permukiman penduduk, ruang terbuka hijau, pemakaman, pertamanan, dan sebagainya untuk
mewujudkan lingkungan yang nyaman, tertib dan berkelanjutan. Aspek sosial juga
mempengaruhi lingkungan dimana kondisi sosial masyarakat di DKI Jakarta sangat heterogen
dimana penduduknya merupakan penduduk asli dan juga pendatang. Heterogenitas ini juga
diikuti dengan kondisi ekonomi masyarakatnya. Perhatian pemerintah lebih fokus pada kalangan
marjinal dan masyarakat bawah dimana sering diikuti dengan kepatuhan terhadap peraturan yang
rendah seperti munculnya permukiman tak berizin/ilegal, permukiman kumuh yang tidak sesuai
Implementasi Sistem ..., Andrian Saputro, FISIP UI, 2016
peruntukan. Hal ini terjadi karena terbatasnya lahan di DKI Jakarta dan diikuti tingginya harga
lahan.
Fenomena inilah yang akhirnya mendorong lingkungan mengalami perubahan. Dengan
demikian faktor lingkungan ini sebenarnya merupakan faktor yang dinamis karena berkaitan
dengan berbagai aspek kehidupan. Oleh karena ini, SIG yang tepat guna sangat penting guna
mendorong kinerja organisasi sesuai dengan fenomena-fenomena yang terjadi di lingkungan. SIG
tidak dapat berdiri dan berjalan sendiri melainkan bergantung pada sumber daya manusianya dan
juga organisasi. SIG juga tidak dapat memberikan manfaat jika tidak dimanfaatkan secara tepat
guna oleh organisasi. Berbagai negara di belahan dunia yang berhasil mengimplementasikan SIG
ke dalam pemerintahan bukan hanya melihatnya sebagai tools, sebaliknya sebagai kebutuhan dan
diterapkan secara tepat guna sehingga semakin canggih SIG maka akan semakin banyak
informasi yang diperoleh. Kemudian yang menjadi pertanyaan apakah sudah cukup informasi
yang ada di DKI Jakarta ini dimana informasi adalah kunci penting dalam pengambilan
keputusan dan pembuatan kebijakan. Seharusnya tidak ada kata cukup untuk informasi karena
lingkungan berkembang dan mengalami perubahan maka informasi pun tidak akan statis
melainkan juga berkembang mengikuti perubahan.
Sistem informasi dan teknologi atau SIG yang tepat guna juga mendukung pengambilan
keputusan yang cepat bagi pihak-pihak yang membutuhkan informasi terutama pemerintah.
Dengan demikian perlu dipertimbangkan dan dikaji kembali apakah memang SIG sebatas sebagai
tools pendukung atau sebagai tools kebutuhan. Selain memberikan kemudahan bagi pihak-pihak
yang membutuhkan tentunya SIG berpengaruh baik untuk pelaksanaan pelayanan fungsi
organisasi terkait penataan kota dan perizinan. Selain itu, dari lingkungan dapat dilihat pola atau
perilaku organisasi dalam melaksakan fungsinya, khususnya dalam penataan kota ini. Hal ini
dapat dilihat dengan membandingkan antara perkembangan teknologi di masa lalu dengan saat
ini. Sebelum menggunakan SIG, dahulu penataan kota hanya memanfaatkan data-data numerik
padahal selain data numerik, yang terpenting dalam penataan kota adalah data spasial karena
tidak memungkinkan bagi seseorang untuk mengamati secara langsung perubahan lingkungan
yang begitu luas dan hanya memanfaatkan data-data numerik dari perizinan secara manual.
Padahal tujuan pemerintah adalah penyelenggaraan pelayanan penataan kota yang efektif, efisien,
cepat dan akurat.
Implementasi Sistem ..., Andrian Saputro, FISIP UI, 2016
Faktor budaya organisasi dapat sangat terlihat di Dinas Penataan Kota karena instansi ini
terbilang instansi baru karena baru berjalan selama kurang lebih dua tahun dimana instansi ini
merupakan hasil peleburan dari Dinas Tata Ruang dan Dinas P2B pada tahun 2014. Dengan
demikian, secara tidak langsung terjadi peleburan budaya dari dua organisasi. Peneliti melihat
fenomena yang terjadi adalah bertahannya budaya organisasi yang lebih dominan. Hal ini dilihat
dari konteks implementasi SIG yang merupakan hasil pengembangan dari aplikasi yang
digunakan oleh Dinas P2B dan diinisiasi oleh orang-orang yang dahulu merupakan anggota
organisasinya. Hal ini seharusnya dapat menjadi semangat yang baik guna mendorong
implementasi SIG untuk penataan kota. Jika hal tersebut merupakan latar belakang budaya yang
terdapat di dalam organisasi penataan kota, selanjutnya budaya yang terbentuk dengan adanya
implementasi SIG yakni anggota organisasi diharuskan mengikuti sistem yang ada dan
menggunakan SIG. Jika tidak mengikuti maka akan ada penolakan pekerjaan atau diberikan
pelatihan kembali karena dalam implementasi SIG terdapat hal yang harus diperhatikan yakni
kemampuan sumber daya manusianya. Budaya yang terbentuk ini pun tidak terlepas dari adanya
dorongan dari perubahan lingkungan terhadap organisasi Selain itu, budaya organisasi dapat
dilihat dari implementasi SIG ini masih belum diiringi dengan pengadaan pelatihan yang cukup.
Oleh karena itu, keterbatasan pelatihan sumber daya manusia ini mendorong anggota organisasi
untuk saling menularkan pengetahuan dan keahlian yang dimiliki ke anggota lain dan belajar
sendiri bersama anggota organisasi yang lain.
Kemudahan-kemudahan yang didapat dengan adanya implementasi SIG dalam organisasi
berpengaruh terhadap sistem kerja organisasi dimana jika sebelumnya menggunakan data-data
numerik, kini sudah dapat memanfaatkan data geospasial karena penataan kota memiliki senjata
utama yakni peta sehingga dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan based on
map. Implementasi SIG mampu mengubah budaya kerja organisasi untuk terbiasa dengan suatu
bentuk teknologi baru guna mencapai efektivitas dan efisiensi kerja. Terbentuknya budaya yang
baru dengan implementasi SIG diharapkan dapat mengubah sistem yang ada dalam penataan kota
dimana keterbukaan data dan informasi menjadi hal yang sangat penting. Data dan informasi
yang dapat diakses oleh publik atau banyak pihak menjadi tujuan utama dengan implementasi
SIG, tentunya tetap ada batas-batas terkait data yang dapat di publish dan data internal. Selain itu,
faktor budaya juga dapat dilihat dari bagaimana interaksi yang ada di dalam organisasi sebagai
bentuk implikasi pembagiaan tugas dan wewenang berdasarkan hierarki atau struktur. Hal ini
Implementasi Sistem ..., Andrian Saputro, FISIP UI, 2016
terkait dengan keterlibatan pihak-pihak di luar organisasi dan SIG yang diimplementasikan sesuai
dengan fungsi Dinas Penataan Kota terutama dalam pembuatan peta dan penyedia data serta
informasi geospasial. Jika sebelumnya Dinas Tata Ruang melaksanakan fungsi perencanaan tata
ruang dan Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan melaksanakan fungsi terkait perizinan
dan tindak lanjut di lapangan. Kini, Dinas Penataan Kota cenderung fokus pada perencanaan
penaataan kota, sedangkan perizinan dilimpahkan ke Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
(BPTSP). Dinas Penataan Kota memberikan informasi geospasial yang dibutuhkan oleh BPTSP
untuk menentukan dan mengeluarkan produk perizinan.
Faktor struktur organisasi cenderung melihat dari struktur birokrasi yang berjalan. Dengan
struktur Dinas Penataan Kota yang ada dimana implementasi serta pengembangan SIG ini
melekat pada unit kerja pengelolaan sistem informasi tertentu akan menghambat implementasi
terutama dari sisi penganggaran karena penganggaran dilakukan secara umum yakni
penganggaran mengikuti kegiatan unit kerja lain sehingga sangat terbatas jumlahnya ditambah
proses pengembangan dilakukan secara sendiri tanpa melibatkan pihak ketiga. Selanjutnya,
terkait faktor struktur erat kaitannya dengan perencanaan dan pengembangan SIG dalam
penataan kota. Selain dari perencanaan dan pengembangan sistem tentu juga harus diiringi
dengan evaluasi sistem. Keseluruhan fungsi itu dijalankan sendiri dan langsung oleh Dinas
Penataan Kota khususnya di Bidang Pengendalian Pemanfaatan Ruang.
Faktor standar prosedur juga menentukan dalam konteks implementasi SIG dalam
organisasi. SIG seharusnya dilihat bukan hanya sekedar sebagai alat bantu atau pelengkap
melainkan sebagai suatu sistem dalam penataan kota. Paradigma ini yang seharusnya juga
mengiringi pengembangan sistem informasi. Beberapa pertimbangan dimana SIG bukan sekedar
alat bantu: (a) SIG bukanlah tools untuk menampilkan data spatial; (b) SIG menjadi sebuah
kebutuhan untuk membuat kebijakan. Kebijakan dalam kerangka ruang memerlukan dukungan
informasi spatial yang akurat hasil dari analisis spatial dengan basis data yang lengkap dan up
date; (c) SIG menjadi database yang terus berkembang dan di update dalam keseluruhan
pengambilan keputusan terkait ruang (IFACS, 2016). Implementasi SIG untuk penataan kota
belum diiringi dengan standar prosedur maupun kebijakan yang jelas. Pengaturan baru sebatas
berupa Urusan Wajib Program Kerja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2013-2017. Salah
satu program adalah penerapan teknologi atau pengembangan sistem informasi tata ruang dengan
indikator kinerja yang akan dicapai antara lain: Persentase Kepuasan Masyarakat Pemohon
Implementasi Sistem ..., Andrian Saputro, FISIP UI, 2016
Pelayanan; Kecepatan penyelesaian pelayanan ketatakotaan. Standar prosedur secara langsung
yang mengatur pengembangan dan implementasi SIG belum ada, standarisasi baru sebatas pada
standar peta khususnya dalam hal koordinat pemetaan. Belum adanya standar prosedur yang
jelas dan secara langsung mengatur mengenai implementasi SIG untuk penataan kota disebabkan
karena paradigma terhadap SIG masih sebatas alat bantu. Saat suatu sistem dianggap penting dan
menjadi kebutuhan maka pemerintah akan mengupayakan optimalisasi melalui dukungan
administratif berupa regulasi baik peraturan perundang-undangan maupun pedoman dan petunjuk
pelaksanaan/teknis. Hal ini tentu membutuhkan kesadaran dari seluruh pihak terkait. Masih
minimnya kesadaran akan SIG pun terlihat dari inisiasi pengembangan dan implementasi SIG
yang berasal langsung dari Dinas Penataan Kota sehingga tanggung jawab pun ditanggung
sendiri. Dinas Penataan Kota diberi kebebasan untuk mengembangkan sistem yang dibutuhkan
dan sesuai untuk menjalankan fungsinya. Selain itu, kebijakan juga diperlukan untuk mengatur
terkait hasil output dari SIG yang harus disesuaikan dengan standar pemetaan untuk
meningkatkan akurasi atau ketepatan peta terhadap kondisi nyata di lapangan.
Faktor proses bisnis dalam konteks ini maksudnya adalah cara organisasi melakukan
koordinasi dan mengarahkan penggunaan pemanfaatan SIG untuk kepentingan dan keperluan
penataan ruang. Implementasi SIG digunakan untuk perencanaan tata ruang terkait dalam
pembuatan peraturan atau Perda, pengawasan dan penertiban ruang dan bangunan, serta SIG
untuk kebutuhan pemanfaatan ruang yang masih dalam proses pengembangan berupa plotting
Surat Izin Penggunaan Tanah (SIPT) ke dalam peta digital. Selanjutnya, implementasi SIG dalam
penataan kota secara fungsional ditujukan untuk menjalankan fungsi perencanaan serta
pengawasan dan penertiban dimana fungsi tersebut merupakan tugas pokok dari Dinas Penataan
Kota, meskipun khusus untuk pengawasan masih menghadapi keterbatasan data. Selain itu,
implementasi SIG juga diarahkan untuk urusan terkait Ruang Terbuka Hijau (RTH) khususnya
pemakaman, meskipun masih dalam pengembangan. Bentuk nyata dari implementasi SIG dalam
penataan kota dapat dilihat dari produknya yakni RDTR dan Peraturan Zonasi. Output dari SIG
digunakan untuk pembuatan perencanaan peraturan daerah yang natinya setelah disahkan
menjadi produk hukum seperti RDTR dan Peraturan Zonasi.
Faktor politik juga berpengaruh terhadap implementasi SIG untuk penataan kota dilihat
dari perbedaan persepsi anggota organisasi terhadap perubahan yang berbeda-beda. Sebagian ada
yang merasa terbantu dan dimudahkan dengan adanya SIG, tetapi sebagian lagi merasa dipersulit
Implementasi Sistem ..., Andrian Saputro, FISIP UI, 2016
dan lebih rumit dengan adanya SIG. Selain itu, faktor politik juga dilihat dari bentuk dukungan
Pemerintah atau instansi-instansi di atasnya karena dapat mempengaruhi dari sisi anggaran dan
kebijakan. Sejauh ini belum ada dukungan yang berarti yang diberikan instansi di atas Dinas
Penataan Kota selain melalui penganggaran dan jumlahnya pun masih terbatas. Faktor politik
diwujudkan dengan bentuk dukungan administratif, politis, maupun finansial. Namun, belum
adanya dukungan secara politik dari pemerintah pusat dalam implementasi SIG untuk penataan
kota. Dukungan yang ada sama seperti dari sisi standar prosedur yakni baru dari hal terkait
pemetaan yang berupa proses asistensi atau pendampingan dalam penentuan koordinat peta
sesuai dengan standar nasional yang dikeluarkan oleh Badan Informasi Geospasial.Belum
adanya dukungan dari pusat juga disebabkan perbedaan tingkat pelaksanaan tugas dimana Dinas
Penataan Kota merupakan dinas teknis sehingga hal-hal teknis seperti implementasi SIG untuk
penataan kota menjadi urusan dinas sendiri, sedangkan pihak-pihak di tingkat atas hanya
mengurus hal-hal terkait kebijakan dengan memanfaatkan data dan informasi yang diperoleh dari
Dinas Penataan Kota. Sudut pandang antara satu pihak dengan pihak lain masih bersifat parsial
dan tidak dilihat secara holistik dimana kebutuhan SIG menjadi kebutuhan seluruh pihak karena
hasil dari SIG dimanfaatkan juga oleh pihak lain meskipun secara teknis penggunaannya
dilakukan oleh Dinas Penataan Kota. Selain itu, ego sektoral juga masih melekat dalam diri
instansi-instansi yang ada sehingga hal ini justru menghambat padahal yang dibutuhkan adalah
dukungan. Di samping itu, ego sektoral ini juga menyebabkan koordinasi antar pihak tidak
terjalin. Faktanya yang terjadi adalah sikap seolah-olah membiarkan dan mengacuhkan karena
kurangnya kesadaran dan perhatian. Terakhir, dari minimnya dukungan yang ada berdampak
pada cenderung lemahnya koordinasi antar pihak terkait. Dinas Penataan Kota terlihat berjalan
sendiri dan dukungan hanya dari segi anggaran namun jumlahnya pun dapat dikatakan masih
cukup terbatas.
Faktor keputusan manajemen cenderung mempertimbangkan bagaimana organisasi
mengontrol dan mengendalikan reaksi organisasi terhadap perubahan atas implementasi SIG
untuk pelaksanaan penataan kota. Dengan kata lain, dukungan dari top level manajemen internal
dimanifestasikan dalam bentuk pelatihan sumber daya manusia internal dinas yang dianggarkan
setiap setahun sekali. Selain itu, juga melalui anggaran untuk pengembangan SIG meskipun
jumlahnya cenderung terbatas karena SIG membutuhkan anggaran yang tidak sedikit untuk
hardware, software, lisensi program, hingga biaya maintenance.
Implementasi Sistem ..., Andrian Saputro, FISIP UI, 2016
Faktor peluang yang ada adalah Dinas Penataan Kota sebagai SKPD teknis yang
menangani langsung isu dan permasalahan tata ruang di DKI Jakarta memiliki peluang untuk
menjadi pioneer untuk menyediakan data spasial yang berada pada satu basis data terintegrasi
dan terpusat dengan menyediakan akses bagi users dari instansi-instansi lain terkait dalam
penataan kota sehingga dapat menggunakan data spasial yang tersedia untuk diolah sesuai
kebutuhan masing-masing. Selain itu, peluang untuk mengembangkan SIG cukup besar guna
memberikan data dan informasi yang tidak hanya untuk kepentingan pihak-pihak terkait
melainkan juga demokratisasi pengetahuan yakni keterbukaan kepada masyarakat karena
partisipasi masyarakat dalam penataan kota juga diperlukan dalam penataan kota baik dalam
perencanaan hingga pengawasan langsung di lapangan.
Kesimpulan
Implementasi Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam Penataan Kota di DKI Jakarta
sudah dikembangkan dan diarahkan untuk menunjang tugas dan fungsi instansi meskipun masih
bersifat parsial, internal dan baru mencakup unit kerja perencanaan serta pengawasan dan
penertiban sehingga belum mampu memberikan keterbukaan akses data dan informasi spasial
kepada pihak-pihak di luar instansi terutama masyarakat. Implementasi juga masih dihadapkan
pada keterbatasan-keterbatasan baik sumber daya di dalam maupun di luar organisasi yang
cenderung dipengaruhi oleh faktor-faktor organisasional yakni lingkungan, budaya, struktur,
standar prosedur, proses bisnis, politik, keputusan manajemen dan peluang.
Saran
Demi mengoptimalkan implementasi SIG Penataan Kota di DKI Jakarta, maka peneliti
memberikan beberapa saran terkait implementasi Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam
Penataan Kota di DKI Jakarta sebagai berikut.
1. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Penataan Kota sebagai SKPD teknis
mengintegrasikan Sistem Informasi yang parsial menjadi suatu SIG yang terpusat. SIG
Lumbung memiliki potensi yang baik sebagai SIG Penataan Kota yang dapat digunakan
Implementasi Sistem ..., Andrian Saputro, FISIP UI, 2016
untuk perencanaan tata ruang, pemanfaatan tata ruang serta pengendalian pemanfaatan
tata ruang.
2. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Penataan Kota meningkatan koordinasi
dengan pihak-pihak terkait pelaksanaan penataan ruang dan berkomitmen bersama untuk
mengoptimalkan kelengkapan dan kualitas sumber data spasial, serta diiringi keterbukaan
akses informasi dan data spasial hingga untuk intansi di luar Dinas Penataan Kota yang
terkait dalam pelaksanaan penataan kota sampai pada level masyarakat.
3. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberikan dukungan secara politis dan administratif
terhadap implementasi SIG dalam penataan kota karena kebutuhan SIG bagi penataan
kota bukan hanya sekedar alat bantu (tools) melainkan suatu sistem yang sangat erat
dengan pemetaan, data-data spasial dan geografis. Peta menjadi media atau perangkat
utama dalam pelaksanaan penataan kota.
Daftar Referensi
Buku:
Aronoff, Stand. 1993. Geographic Information Systems : A Management Perspective. Canada:
WDL Publication.
Castle, G.H. 1993. Profiting from a Geographic Information System. Fort Collins Colorado : GIS
World Book, GIS World Inc.
Date, C.J. 2004. An Introduction and Database System. Boston: Addison-Wesley.
Davies, P.B. 2004. Database Systems Third Edition. New York: Palgrave Macmillan.
Davis, Gordon B. 1993. Kerangka Dasar Sistem Informasi Manajemen. Terjemahan, Seri
Manajemen 90-A. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo.
Ellen K, Cromley et al. 2001. GIS and Public Health. New York: The Guilford Press.
Laudon, K.C. and Laudon, J.P. 1998. Management Information Systems, New Approaches to
Organisation and Technology, Fifth Edition. New Jersey: Prentice Hall.
Neuman, W. Lawrence. 2006. Social Research Method: Qualitative and Quantitative
Approaches, Sixth Edition. USA: Pearson.
Raymond McLeod, J. 2007. Management Information System. Jakarta: Salemba Empat.
Satar, Musnanda. 2012. Aplikasi GIS dalam Penataan Ruang. Jakarta: IFACS.
Implementasi Sistem ..., Andrian Saputro, FISIP UI, 2016
Jurnal:
Belanger, F, and Carter, L. 2008. Trust and Risk in E-Government Adoption Journal of Strategic
Information Systems. 17. 165-176.
Bundock, L. 1996 Factors that Influence The Success of a GIS Application Implementation. In
Proceedings of the 24th Annual International Conference and Technical Exhibition of the
Australasian Urban and Regional Information Systems Association Incorporated (Hobart
25th–29th November 1996: AURISA ’96 Hobart), p. 48-57.
Campbell, H. 1996. Theoretical Perspectives on The Diffusion of GIS Technologies. In GIS
Diffusion: The adoption and Use of Geographical Information Systems in Local
Government in Europe, edited by I. Masser, H. Campbell, and M. Craglia (London, UK;
Bristol, PA: Taylor and Francis). p. 23-45.
Chan, T.O. and Williamson, I.P. 1995. Justification of GIS as an Infrastructure Investment –
Some Observations Regarding GIS Management in Victoria. In Proceedings of the 23rd
Annual Conference and Technical Exhibition of the Australasian Urban and Regional
Information Systems Association Incorporated (Melbourne, 20th–24th November 1995:
AURISA ’95). P.492-503.
Chan. T.O. and Williamson. I.P. 1996. The Complimentary Development of GIS and Information
Technology within a Government Organisation. In Proceedings of the 37th Australian
Surveyors Congress (Perth, 13th–18th April 1996: The Institution of Surveyors Australia,
West Australian Division). p.445-454.
Craglia, W.J. and Masser, I. 1996. Introduction. In GIS Diffusion: The Adoption and Use of
Geographical Information Systems in Local Government in Europe, edited by I. Masser,
H. Campbell and M. Craglia (London, UK; Bristol, PA: Taylor and Francis). p.1-6.
Ferrari, R. and Onsrud, H.J. 1995 Understanding Guidance on GIS Implementation: A
Comprehensive Literature Review. Technical Report (No. 95-13). National Centre for
Geographic Information Analysis (NCGIA).
Jankovic, Dejan and Milidragovic, Radmila. 2011. Model For Improving Spatial Planning Area
Management in Local Government: Implementation of GIS Technology, Annals of
Faculty Engineering Hunedoara, International Journal of Engineering, Tome IX,
Fascicule 1.
Rogers, E.M.. 1995. Diffusion of Innovations, Fourth Edition. New York: The Free Press.
Implementasi Sistem ..., Andrian Saputro, FISIP UI, 2016
Schmidt, K. 1994. Establishing GIS Functionality in The Operations of Local Government. In
URISA. p.60-68.
Sumber Lainnnya:
Budianto. 2011. Konsep Tata Ruang Kota Harus Mencapai Keselarasan. Diakses pada
www.umy.ac.id/konsep-tata-ruang-kota-harus-mencapai-keselarasan.html tanggal 18
Oktober 2014 pukul 18.43 WIB
Desyani. 2013. Alih Fungsi Lahan Sebabkan Banjir Kuningan. Diakses pada
http://www.tempo.co/read/news/2013/02/07/083459796/Alih-Fungsi-Lahan-Sebabkan-
Banjir-Kuningan tanggal 12 September 2014 pukul 22.12 WIB.
Purnamasari, Ratih. 2013. Ada apa dengan Rencana Tata Ruang Jakarta 2030?. Diakses pada
http://jakarta.kompasiana.com/layanan-publik/2013/06/05/ada-apa-dengan-rencana-tata-
ruang-jakarta-2030-562374.html tanggal 13 September 2014 pukul 10.28 WIB
Siregar, M. Jehansyah. 2014. Banjir Jakarta dan Inefektifitas Tata Ruang di Indonesia. Diakses
pada 13 September 2014 pukul 10.43 WIB
Wiwoho, Laksono Hari. 2014. Banjir Jakarta akibat Kesalahan Tata Ruang Bertahun-tahun.
Diakses pada
http://megapolitan.kompas.com/read/2014/01/22/2156212/Banjir.Jakarta.akibat.Kesalaha
n.Tata.Ruang.Bertahun-tahun tanggal 13 September 2014 pukul 10.35 WIB.
Implementasi Sistem ..., Andrian Saputro, FISIP UI, 2016